Anda di halaman 1dari 1259

Anonim

DIKADER DI ORGANISASI
YANG SAKIT
(Catatan Eks-Anggota HMI)

ii
DIKADER DI ORGANISASI YANG SAKIT
(Catatan Eks-Anggota HMI)

“Apa saja yang membakar dan membuat orang lain terbakar


adalah berguna.” (Kahlil Gibran)

Penulis, Editor
dan Tata Letak : Anonim
Perancang Sampul : Komune dan Kamerad

Terbitan Pertama, September 2021

Tebal : vii + 1250 Halaman


Ukuran : 14.8 cm x 21 cm

Tidak ada Hak Cipta: bebas digandakan dan disebarkan!

“Kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas adalah dasar dari


segala hal-hal baik.” (Anonim)

Diterbitkan pertama kali dalam bentuk PDF oleh:


Independent Movement

Email : redaksiindependentmovement
@gmail.com
Facebook : Red Black (Independent
Movement)
Halaman Facebook : Independent Movement
Instagram : @independentmovemen.id
Website : independentmovement.id

“Peran kita ialah memantik pemberontakan yang berguna.


Mari kita mengawasi propaganda yang memampukan
manusia makan daging, mampu melawan, menghancurkan
dan membangun.” (Victor Bolshevik)

iii
Karya ini didedikasikan untuk seluruh kader terhisap
dan tertindas dalam himpunan: mereka yang
dihegemoni kesadarannya, dimanfaatkan kemampuan
kerjanya, dan dilucuti kehendak bebasnya! (Anonim)

***

Pembangkangan, bagi mereka yang membaca


sejarah, adalah kualitas terbaik manusia. Melalui
pembangkanganlah kemajuan dicapai, melalui
ketidakpatuhan dan pemberontakan.” (Oscar Wilde)

***

Setiap kali seseorang tampil memperjuangkan


sesuatu yang ideal, atau bertindak memperbaiki
banyak hal yang lain, … menentang ketidakadilan,
maka dia telah mengirimkan satu gelombang kecil
pengharapan, kemudian saling melintas silang
dengan yang datang dari sejuta pusat energi dan
tekad yang berbeda-beda, lalu menyatu membentuk
satu aliran yang dapat meruntuhkan tembok-tembok
penindasan….” (Robert Kennedy)

***

Atas nama cinta yang hilang;


panjang umur perlawanan!

iv
SEMACAM PENGANTAR

"Kamu dilahirkan dengan sayap. Mengapa kamu lebih suka


merangkak dalam hidup?" (Jalaluddin Rumi)

"Jangan lupa kegilaan sesekali membuat hidup lebih


berwarna, orang-orang yang patuh dan penurut sangat
membosankan." (Paulo Coelhoe)

"Segala apa yang dilakukan kaum tertindas adalah benar."


(George Orwell)

Inilah catatan yang tidak hanya memprotes keadaan, tapi juga


mengusung proposal perubahan. Lebih-lebih tulisan ini
melalui perjumpaan dengan aneka kenyataan kelam. Terutama
yang menyangkut penghisapan dan kekerasan. Dibingkai
dalam selubung kekuasaan, maka penindasan itu berlangsung
mengerikan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah
organisasi mahasiswa yang menjadi sasaran perembesan.

Dikader dalam organisasi itu banyak anak muda yang diseret


masuk ke lubang kemunafikan. Mereka diajari banyak teori
yang memuliakan, tapi tidak berhasil dialirkan ke praktik-
praktik pembebasan. Relasi dengan kekuasaan soalnya telah
membuat perkaderan dan pergerakannya mengalami
kemerosotan. Itulah mengapa organisasi ini kemudian bukan
membentuk para pembebas, melainkan mengembangkan
calon-calon penindas baru untuk melanggengkan tatanan.

Sekarang fenomena penindasan itulah yang berlangsung


dalam himpunan. Digemblengnya kader untuk menjadi bagian
kelas penguasa, membuat ekosistem organisasi menampilkan
klasifikasi menjijikan: antara anggota-superior (senior)

v
dengan anggota-inferior (junior). Hanya tulisan ini berpihak
kepada yang dihisap dan ditindas. Inilah mengapa Dikader di
Organisasi yang Sakit tak sekedar mendorong perubahan, tapi
terutama membela kader-kader terhisap dan tertindas dalam
himpunan.

Kepada semua kader terhisap dan tertindas; karya ini


didedikasikan untuk kalian semua. Hanya tulisan ini tak
sekedar buat dibaca, tapi harus dialirkan dalam bentuk kerja-
kerja perlawanan. Sekarang sudah waktunya kamu
menentukan pilihan: bangkit melawan atau mematung
menerima penindasan? Kini saatnya kau menjemput
perubahan: protes organisasimu, bantah seniormu, tinggalkan
gerbongmu, bubarkan organisasimu atau tinggalkan saja
segera!

"Hidup ini suatu perjalanan, tergantung bagaimana kita


menempuhnya. Kita hanya bisa mengikuti arus atau mengejar
mimpi-mimpi kita?" (Paulo Coelhoe)

"Tidak ada dunia yang diciptakan yang merintangi jalannya


guntur." (Holderliin)

"Apabila kau berhenti berubah, berarti kau sudah selesai."


(Benjamin Frankln)

Medan Perlawanan, 22 September 2021

Independenr Movement

vi
DAFTAR ISI

SEMACAM PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii

PROLOG:
Apa Penyakit HMI dan Bagaimana
Mengobati atau Menghindarinya? 1

Gerakan Organisasi Termakan


Propaganda Keji 58

Keluar dari Tangan Diktator Bajik;


Masuk Cengkeraman Kapitalis-Birokrat 107

Terperangkap dalam Hegemoni


Pembangunanisme 130

Oligarki dan Kapitalis


Mengancam Independensi HMI 392

Korporatisme Negara Mencemari


Semangat Pembebasan Islam 492

Fetisisme Kekuasaan 529

Kongres Borjuis menjadi


Arena Reifikasi dan Alienasi 570

Waspadalah terhadap Mitos:


Seniorisme-Gerbongisme 587

vii
Tolaklah Doxa Kaderisasi:
Konsumerisme dan Mimesis 648

Berhati-Hatilah dengan
Berhala Manusia Modern 696

Landasan dan Prinsip Perkaderan


Harusnya jadi Suluh Pergerakan 725

Islam sebagai Ideologi Pembebasan 811

Insan Cita yang Ideologis 867

Waktunya HMI Belajar dari


Organisasi Revolusioner 919

EPILOG:
Bisakah HMI Melawan
Negara dan Kapitalisme? 1135
Program Pembebasan Nasional 1208

DAFTAR PUSTAKA 1223

viii
PROLOG:

Apa Penyakit HMI dan Bagaimana


Mengobati atau Menghindarinya?

“Hati setiap pemuda mengenal keinginan dan keputusasaan,


yang tak dapat diajuk hanya dengan ukuran-ukuran rasional.
Di lain pihak pemuda selalu dibakar oleh cita-cita dan
idealisme yang tinggi-tinggi. Mereka lincah, sigap dan suka
meledak karena penuh vitalitas. Mereka tenggelam dalam
semangat ‘tak mengenal mati’, dan untuk membuktikan
semangat itu mereka mempunyai kecenderungan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang ekstrem.” (Adam Malik)

“Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus.


Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.” (Soe Hok
Gie)

“Hidup itu suatu perjalanan, tergantung bagaimana kita


menghadapinya. Kita hanya bisa mengikuti arus atau
mengejar mimpi-mimpi kita.” (Paulo Coelhoe)

Beberapa tahun yang lalu Himpunan Mahasiswa Islam


Komisariat Fakultas Hukum Universitas Mataram (HMI-
Komfak-Hukum-Unram) membuka stand pendaftaran Latihan
Kader I (Basic Training). Pada saat itu, aku baru semester dua
di kampus. Sedari awal kuliah, sesungguhnya tiada keinginan
untuk berorganisasi. Namun karena dibujuk oleh beberapa
orang mahasiswa untuk mengambil dan mengisi formulir
perkaderan—ditambah pengawalan panitia yang terus
menelpon dan mengirimi pesan ajakan—maka mau tidak mau,
suka tidak suka—meski terkesan dipaksa secara samar dengan

1
bujuk-rayu—kaderisasi kemudian aku ikuti. Selama empat
hari dengan makan, minum dan tidur seadaanya pendidikan
kader dilewati. Sebuah pengalaman baru untuk mahasiswa
yang tidak pernah berorganisasi sama sekali. Karena dari
situlah kudilatih buat berani mengiyakan kehidupan. Hari-hari
yang sebelumnya diisi dengan sekedar main-main diubah
menjadi penuh kegiatan keorganisasian. Hal demikian tidak
terjadi dengan sendirinya, sebelumnya cara berpikir telah
dirombak dan ditata ulang dalam training.

Materi yang disajikan begitu menarik. Ada Etika Diskusi dan


Teknik Dasar Persidangan. Sebuah materi yang
penyampaiannya selalu menimbulkan keributan. Karena
pemateri mengajarkan anak-anak muda untuk belajar seni
diskusi dengan sikap tegas maupun keras dalam sebuah
forum. Itulah sebabnya kenapa ruangan menjadi dipenuhi
argumen dan retorika yang berisi Tanya-jawab, bantahan,
penjelasan bahkan tuduhan. Pertanyaan-pertanyaan
dilontarkan sebagaimana kisah Socrates yang terjun ke pasar-
pasar untuk meluruskan yang salah demi hadirnya sesuatu
yang dipandang benar. Namun bedanya di forum itu, kalimat-
kalimat dilemparkan untuk kemudian dibantah dan dibantai.
Gelegar teks bukan hanya dalam bentuk suara, melainkan juga
tindakan fisik. Makanya Presidium Sidang kadang-kadang
sengsara mendapatkan lemparan penghapus, kertas, bolpoint
hingga kursi dari peserta sidang. Tapi ini merupakan tahap
belajar, karena itu hanyalah setting-an. Peserta
menanggapinya dengan riang gembira, meski mereka terlihat
serius, geli dan ada pula yang marah. Kelak pembelajaran
tersebut sangat berguna dalam pelbagai pengambilan
keputusan, terutama suksesi kepemimpinan atau pesta

2
demokrasi himpunan. Di tingkat Komisariat yang namanya
Rapat Anggota Komisariat (RAK). Di tingkat Koordinator
Komisariat (Korkom) dinamakan Musyawarah Komisariat
(Muskom). Di tingkat Cabang dikenal sebagai Konferensi
Cabang (Konfercab). Di Tingkat Badan Koordinasi (Badko)
namanya Musyawarah Daerah (Musda). Di tingkat Pengurus
Besar (PB) akrab disebut Kongres.

Untuk ikuti forum-forum tersebut tidak bisa sembarang orang.


Hanya peserta penuh dan peninjaulah yang bisa mengikutinya.
Mereka punya retorika andal, argumen yang tepat dan
keterampilan bersiasat. Ini merupakan teknik selain untuk
merumuskan dan mengevaluasi program kerja, namun juga
memuluskan menangnya kandidat Ketua Umum. Makanya
dalam sebuah demokrasi himpunan, pemilik suara penuh
sampai presidium sidang paling sering mendapati dirinya
diculik. Sedangkan para kandidat sibuk melakukan lobi-
lobian; terkadang mereka dapat tekanan, rayuan ala himpunan
sampai kompromi dengan imbalan. Tetapi di sinilah
komitmen dan mental diuji. Kemampuan berpolitk diasah
dengan tajam. Ketajaman itulah yang sampai dapat menusuk
dan memecah kader-kader menjadi berkubu-kubu.
Keberadaan kubu-kubu ini sekilas tak terasa, namun jika
diamati betul-betul tentu akan mudah dideteksi pula. Pesta-
pesta demokrasi dalam HMI—memang paling fenomenal—
tiap tahunnya para peserta terbingkai ke dalam banyak
gerbong-gerbong. Ini berlaku dari Komisariat hingga PB.
Biasanya pemilih membebek pada keputusan yang tak diambil
sendiri, melainkan ditentukan oleh orang-orang kuat dalam
gerbong tertentu. Fenomena ini begitu persis sistem
demokrasi di negera kita. Sebuah peniruan yang sempurna

3
tentang bagaimana caranya bernegara. Jika setiap kali pemilu
negeri ini selalu saja rawan akan politik uang, maka di
himpunan juga terkadang berlaku hal demikian. Biasanya
marak terjadi pada pelaksanaan Kongres. Itulah mengapa
akhir-akhir ini di setiap Kongres HMI selalu ramai dibicaran
soal uang. Mulai dari anggaran pelaksanaan yang bermiliran
sampai dengan harga peserta pemilik suara penuh tak pernah
luput dari pembicaraan.

Berkat uang yang berlimpah ini biaya makan, minum, tidur


dan keperluan lainnya dari peserta dibiayai. Hotel-hotel dari
yang murah sampai yang mahal dipenuhi oleh peserta utusan
dan peserta peninjau. Selama pesta demokrasi himpunan
berlangsung, ke mana-mana mereka wajib memekai mobil
yang disewa khusus oleh kandidatnya. Sementara yang bukan
peserta alias rombongan liar (romli), yang satu ini menjadi
semacam spesies yang patut dikasihani keberadaannya.
Tidurnya saja tak menentu, kadang di Mushollah, Masjid,
Base Camp kandidat, penampungan romli atau terlantar di
emperan pertokoan dan taman-taman di sekitar arena
Kongres. Makan seadanya dan bila tidak ada nasi dari panitia,
maka demonstrasi-demonstrasi minta makanan menjadi
sebuah keharusan. Hal ini sempat saya dan pria yang akrab
kupanggil abang—sesama anggota Komisariat Hukum FH
Unram—alami sendiri sewaktu Kongres XXX HMI di
Ambon. Kami ke sana menggunakan tiket yang diberikan
Ketum Badko HMI Nusra. Kami tahu bahwa tiket pesawat itu
bersal dari uang Kongres yang miliaran. Di dalam pikiran
sempat terlintas kata untuk menolaknya, karena tak tega
menghamburkan uang rakyat. Namun mengetahui bahwa tiket
begitu banyak dan sebagian sudah mulai hangus sebab tak ada

4
yang memakainya, maka rasa penasaran akan suasana
Kongres telah meluncurkan pertanyaan moral tadi. Itulah
kenapa daripada tiket gratis itu mubazir, lebih baik kami
gunakan.

Setiba di Ambon kami dipuaskan dengan melihat kemewahan


seputar pelaksanaan Kongres yang penuh dengan pemborosan
fasilitas untuk para peserta. Peserta-peserta yang kemudian
harga suaranya dapat dinilai dengan uang. Itulah mengapa
Kongres HMI terselip bacinnya bau mani politik. Namun
menurut pelbagai kalangan uang yang didapatkan itu lebih
banyak mengalir kepada para mafia-mafia pemegang kepala
kader. Maka jadilah peserta-peserta pemilik suara penuh
serupa sapi dalam sebuah perkandangan: diberi makan untuk
kemudian susu dan dagingnya dijual demi kebutuhan hidup
hidup peternaknya. Sebah fenomena yang lagi-lagi mirip
Pemilu di negara ini. Pengurus-Pengurus Cabang yang
mewakili ratusan bahkan ribuan kadernya dengan mudah
meletakan suaranya untuk kemudian diperjual-belikan oleh
para mafia. Organisasi ini memang banyak belajar dari
Pemilu: pesta demokrasi tak harus hadirkan suasana yang
sakral, jujur dan adil. Inilah kenapa himpunan sering disebut
sebagai arsitektur sebuah negara. Lumbung bagi calon-calon
pemimpin di masa depan. Tepat sekali! Kaderisasi HMI
memang mengajarkan kader-kadernya menjadi pemimpin,
mereka dipersiapkan jauh-jauh hari dengan sistem demokrasi
yang tak ubahnya sedang berlaku di Indonesia hari-hari ini:
dikuasai oleh kapitalis-birokrat yang berhamba pada kekuatan
modal. Makanya Kongres mematutkan wajah sekedar untuk
memilih pemimpin-pemimpin borjuis menengah. Mereka
biasanya terpilih melalui sebuah kelihaian menarik restu

5
orang-orang besar dan dukungan dari kelas borjuis. Itulah
mengapa beredar kabar bahwa seabrek kandidat dalam
Kongres HMI Ambon berlaga sebagai orang-orang yang
disokong aneka penindas: TNI-Polri, presiden, hingga
pengusaha-pengusaha kapitalis.

Kongres HMI sangat eksotik; bukan sekedar menghasilkan


banyak anggaran rakyat, tetapi juga para calon kandidatnya
memiliki koneksi pada penguasa dan pengusaha. Mungkin ini
berkat ajaran Kepemimpinan Menajemen dan Organisasi
(KMO), yang dipadukan dengan Ideopolitorstratak (Ideologi,
Politik, Organisasi Strategi, dan Taktik). Di LK I dulu, saya
pernah menerima materi KMO, sementara di LK II sedikit
ngantuk waktu penyampaian Idepolitorstaratak. Kedua materi
tersebut, tidak dipungkiri, adalah sebuah ilmu yang sangat
membantu kader-kader memimpin. Materi ini secara totalitas
berbeda dengan pengajaran dosen di bangkuk perkuliahan.
Konon pembelajaran KMO-lah yang memberi semangat pada
kader HMI untuk melaksanakan tugas kepemimpinannya dan
mampu memanejemen organisasi dengan baik. Sedangkan
Idepolitorstaratak, sering populer sebagai ilmu yang hebat
menunjang nalar politis kader. Namun terkadang teori-teori
ini dipraktekan dengan agak buruk. Lihat saja bagaimana
senangnya HMI melakukan perpecahan berkali-kali. Bahkan
Ketum PB HMI yang baru saja terpilih dalam Kongres XXX
di Ambon, kini sedang asik, tegang dan terjerambab dalam
dualisme kepengurusan. Ketum versi Kongres dengan Ketum
versi-versian sama-sama nyaman memperlihatkan
keanomiannya. Mereka sama sekali tak menghiraukan
tuntutan kader yang menginginkannya kepengurusan bersatu
kembali. Kendati demikian, ajaran KMO dan

6
Ideopolitorstaratak ini sangat berguna bagi HMI. Dapat
digunakan untuk berkuasa, memerintah dan membentuk
orang-orang yang bersedia jadi penurut, serta menarik
dukungan yang banyak untuk berkuasa. Itulah mengapa kedua
Ketum dalam satu organisasi ini, keduanya mempunyai
pengikut dan pendukung yang banyak. Di belakang mereka
juga terdapat para abangnya-abangnya yang konon memiliki
kekuatan besar.

Beberapa materi barusan sesungguhnya baru secuil. Begitu


banyak materi-materi lainnya yang akan mahasiswa dapatkan
apabila mengikuti forum perkaderan HMI. Di LK I, saya
bahkan mendapat materi yang mengajak saya melintasi
waktu: namanya Sejarah HMI. Sebuah rekam historis yang
memiliki relevansi dengan sejarah Indonesia modern.
Mempelajarinya, dapat membuat siapa saja menanam
keresahan, kemarahan dan kebencian kepada Partai Komunis
Indonesia (PKI). Biasanya yang diceritakan adalah peristiwa
pemberontakan G30S versi penguasa, karena di situ
mengahadirkan kekompakan HMI bersama serdadu dalam
membasmi orang-orang yang dianggapnya seperti setan.
Diceritakan, organisasi ini sepak terjangnya mirip
perkumpulan para pahlawan penyelamat umat dan bangsa dari
ancaman orang-orang yang dianggap kafir, sesat, najis, dan
sejenisnya. Dijamin, mempelajarinya akan membuat kita
bersemangat memusuhi segala yang berbau komunisme.
Inilah pelajaran berharga yang berpotensi besar dalam
mengunci kader dari keinginan keinginan mengetahui ajaran-
ajaran marxis. Karena ilmu pengetahuan telah lebih dulu
diberi streotipe oleh forum perkaderan himpunan. Kegeraman
terhadap sebuah organisasi terlarang telah membuat HMI

7
menutup pintu untuk mengenal lebih dalam bagaiaman sosok
Marx, Engels, Lenin, Trotsky, dan lain-lain. Dendam kepada
lembaga tertentu kemudian menjadi beban yang
memundurkan gerakan himpunan. Sebab, teori-teori yang
revolusioner ditutup ruangnya untuk selalu dilarang masuk ke
forum perkaderan. Gerakan akhirnya tak punya semangat
progresif. Itulah sebabnya ketika buku-buku kiri dibakar,
ditarik kembali dan dilarang beredar, HMI hanya bergeming.
Sama sekali tak ada niat untuk melancarkan kritik, protes atau
setidak menggulirkan propaganda perlawanan atas tindakan
tersebut. Seolah ini mencerminkan penolakan organisasi
terhadap segala unsur kiri. Kiri baginya bukan sekedar
komunis tapi PKI, maka segala yang kiri sudah pasti PKI.
Tidak ada yang namanya pembedaan antara gagasan dengan
partai. Inilah yang menyebabkan kader-kader lebih suka
gagasan-gagasan yang modernis atau bahkan tardisionalis,
ketimbang transformatif.

Materi di LK I saya dulu tak berhenti sampai di situ,


selanjutnya ada pula mission HMI. Mempelajari mission
berarti mempelajari jalan mana yang mesti dilewati untuk
menuju terwujudnya tujuan organisasi. Sebuah visi yang amat
mulia: terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang
bernafaskan Islam dan bertanggungg jawab atas terwujudnya
masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT. Demi
terwujudnya visi itu maka diberitahukan pula tentang
pentingnya kader menjiwai HMI yang; Islam sebagai asas,
usaha-usahanya dalam Anggaran Dasar (AD), sifat
independensi, statusnya sebagai organisasi mahasiswa,
fungsinya menjadi organisasi kader, dan perannya HMI selaku
organisasi perjuangan. Asas, usaha, sifat, status, fungsi dan

8
peran, merupakan sebuah kesatuan yang tidak boleh
terpisahkan. Saya dan beserta teman-teman lainnya, diajarkan
tentang ini. Tujuan organisasi hanya akan tercapai apabila
kader memahami dan mengamalkan variable-variabel
tersebut. Itulah kenapa sehabis mengikuti training, kami
terdorong untuk mengalirkan wacana itu ke aksi. Akisnya
amat sederhana. Ada yang rajin belajar, kuliah biar jadi insane
akademis. Ada yang fokus bikin skripsi atau jurnal ilmiah biar
bisa jadi insane pencipta. Ada juga yang sering mengikuti
kepanitiaan organisasi supaya dianggap insap pengabdi.
Bahkan ada yang semakin rajin sholat, puasa dan mengaji
guna menjadi insan yang bernafaskan Islam. Sementara untuk,
insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat
adil-makmur, mungkin inilah yang menggerakan kader-kader
untuk demo, seminar, kuliah umum, dan lain-lain. Di antara
kelima insan tersebut berasal dari tujuan yang satu, dan
dipecah-pecah. Terpecahnya tujuan juga terkadang
memecahkan pemahaman kader. Itulah mengapa ada kader
HMI tidak mampu menyeimbangkan geraknya: ketika sedang
mewujudkan insan yang A, maka insan yang B atau C
sementara atau bahkan untuk selama-lamanya tidak
dipreferensikan. Hal demikian tercermin pada kader yang
rajin kuliah tapi tidak suka terlibat dalam kativitas himpunan.
Pada kader yang rajin nulis namun tidak suka aksi. Dan pada
kader yang sibuk beribadah saja tanpa harus repot-repot
mengikuti kerja-kerja gerakan. Inilah realitas yang tengah
dialami oleh himpunan. Tujuan HMI terbagi menjadi
beberapa klaster, yang sampai sekarang kita menyebutnya
‘Lima Kualitas Insan Cita’.

9
Tujuan HMI adalah satu, tapi terbagi-bagi dalam sub-sub
kualitas tertentu. Kualitas itu diwajibkan untuk dimiliki oleh
kader-kader. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut pulalah
sewaktu menjadi peserta Basic Training diajarkan materi
Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Ajaran yang terdiri dari
delapan bagian: (1) Dasar-Dasar Kepercayaan; (2) Hakikat
Kemanusiaan; (3) Kemerdekaan Individu dan Keharusan
Universal; (4) Individu dan Masyarakat; (5) Ketuhanan yang
Maha Esa dan Kemanusiaan; (6) Keadilan Sosial dan
Keadilan Ekonomi; (7) Islam dan Ilmu Pengetahuan, dan
terkahir (8) Kesimpulan dan Penutup: Iman, Ilmu dan Amal.
Materi ini kemudian akrab dikenal sebagai filsafat sosialnya
himpunan. Tetapi di forum LK I saya dan teman-teman hanya
diajarkan sampai NDP Bab III saja. Kata penitia, untuk
bagian-bagian yang selajutnya akan didapatkan di follow-up,
atau juga di forum LK II. Menurut kabar dari Master of
Training, pemahaman tentang NDP membuat kader menjadi
seorang yang modernis; intinya seperti prototipenya
Nurcholish Madjid. Adalah manusia yang berpandangan
modern, toleran, inklusif dan pastinya berpikiran realistis dan
rasional. Materi ini karakter kader yang berpemikiran terbuka,
tidak bakal ada yang fundamentalis kanan ataupun ekstrim
kiri. Meski hanya diberikan sepertiga dari bab-bab yang ada di
NDP, tidak dipungkiri, peserta sangat terkesan. Terkesannya
karena kami paling banyak dibuat bingung, hampir bahkan
sudah ada yang tersesat, baru kemudian diluruskan. Pada
pelurusan inilah dilakukannya penananam nilai tentang
bagaimana sikap berorganisasi—meminjam bahasa kader-
kader HMI sendiri: berada di tengah-tengah. Mungkin inilah
cerminan sikap sebuah organisasi yang modern, yakni
menjadi lembaga yang seperti ilmu sains—obyektif—tidak ke

10
kiri atau ke kanan sebagaiman ilmu sosial yang tidak bebas
nilai.

Setelah ditempah di forum LK I dan dinyatakan lulus, para


peserta kemudian seperti memiliki pandangan yang berbeda
dalam mengarungi dinamika kehidupan kampus. Dalam
pandangan teman-temannya, mereka sedikit bertingkahh aneh.
Dari yang semulanya diam di kelas, tiba-tiba menjadi seorang
yang suka bertanya, membantah dan bahkan menyampaikan
pendapat. Itu jugalah yang saya rasakan sendiri sehabis
diba’iat dari forum perkaderan HMI. Makanya kumeyakini,
kampus memang selayaknya dilalui dengan berorganisasi.
HMI menjadi salah satu wadah yang mampu membentuk
kepribadian mahasiswa. Tetapi semangat dan kebangaan
tadinya semakin lama kian meluntur, karena kondisi
kehidupan mahasiswa hari-hari ini begitu sepat berubah.
Gerakan HMI juga beroleh dampaknya. Secara Hermeneutika,
kumerasakan bahwa HMI tengah berada di bawah ancaman
bayang-bayang kekuatan modal. Tetapi kajian kita hanya
berputar soal revolusi industri, revolusi digital, revolusi
teknologi dan sejenisnya, bukan malah revolusi pemikiran
atau revolusi sosial yang dapat diperguanakan untuk melawan
kapitalisme. Kondisi ini sangat menyebalkan: perubahan
zaman harus dilewati dengan melakukan penyesuaian diri.
Kelak keadaan yang demikian ditakutkan akan melenakan
himpunan untuk berada pada posisi yang dirubah, bukan
malah merubah. Karena gerakan organisasi sekarang seperti
memasuki tikungan sejarah yang ruwet: kampus semakin
mengarah dan menopang tatanan ekonomi global yang
memaksa kader-kader beradaptasi terhadap situasi hingga lupa
bagaiman cara membangun, menguatkan dan melancarkan

11
gerakan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat, serta
menduniakan ajaran Islam yang penuh dengan dorongan
pembebasan. Ketidakmampuan menerapkan upaya-upaya
pembebasan telah membuat pendidikan kaderisasi sejiwa
dengan pendidikan di kampus: memilih menempatkan
mahasiswa sebagai peserta didik yang dituntut menyiapkan
karakter ‘tenaga kerja’ daripada pejuang yang bersedia
menjadi martir umat dan bangsa. Itulah kenapa kader-kader
HMI lebih banyak yang berminat dan mendukung kegiatan
entrepreneurship dari para kapitalis, ketimbang melakukan
gerakan-gerakan alternatif.

Dunia pendidikan tinggi yang setiap hari digeluti,


sesungguhnya telah banyak memberikan pelajaran akan
kegilaan sirkulasi uang di negeri ini. Resistensi akan
kebengisan modal mestinya dapat dibangun tatkala melihat
kampus sudah semakin dikomersialisasi: diawali dari otonomi
kampus, kemudian penaikan biaya, tata kelola kampus secara
komersil, hingga batas waktu belajar. Semua kegiatas ini
didasarkan pada keinganan universitas guna memastikan
reputasinya sebagai perguruan tinggi yang memiliki citra di
mata perusahaan-perusahaan pembuat rangking internasional.
Parahnya anak-anak muda semakin lama menerima
kepercayaan buta bahwa akreditasi akan mampu menjaminnya
dalam menempuh dunia kerja nantinya. Efek dari keadaan
yang semacam ini membuat gerakan HMI di kampus bukan
lagi sebagai variabel primer dan utama, tepi hanya
komplementer. Gerakan organisasi akan menjadi yang
pertama, hanya apabila melaksanakan kegiatan yang
menyokong agenda-agenda atau sejajar dengan tujuan
birokrasi, seperti menggerkan kader-kader untuk mengikuti

12
program-program birokrat; baik jadi peserta maupun panitia,
dan lain-lain. Fenomena yang demikian saharusnya membuat
himpunan untuk tidak menyesuaikan diri dan tertidur lelap.
Tetapi merubahnya dengan cara bangkit dan melawan melaui
kerja-kerja gerakan yang berdisiplin tinggi.

Lihatlah betapa dunia pendidikan telah melahirkan aneka


aktivitas yang berbeda bahkan berlawanan dengan proyek
kesadaran kritis gerakan mahasiswa. Bisa dilihat contohnya
dari beberapa kampus yang hari-hari ini terlibat menjadi
lembaga survey pada pelaksanaan Pemilu 2019. Simultan
dengan itu, dosen-dosen lebih fokus menjadi pengusaha
daripada tugas utamanya dalam mengajar. Di Universitas Al
Azhar Mataram ada dosen yang lebih mementingkan
mengurusi usaha travel-nya ketimbang masuk mengajar.
Bahkan jika seorang dosen memiliki pekerjaan lain—
katakanlah pengacar—ia lebih mementingkan beracara
ketimbang tepat waktu mengajar. Apabila ada dua mata kuliah
yang berbeda--dengan dosennya sama—maka tak segan-segan
digabungkan jadi satu: dua mata kuliah dikuliahkan sekali
waktu. Semua itu dilakukan demi mengefisienkan waktu agar
si dosen memiliki banyak kesempatan melaksanakan
perkerjaan lain yang mendatangkan untung. Makanya demi
laba seorang dosen bisa merangkap sebagai pengusaha. Di
Universitas Mataram ada pengajar yang menjual buku diktat
kepada mahasiswanya. Kampus ini memang terkesan sangat
komersil sekali. Untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) oknum
birokrasi kampus malah tegah menjual nilai. Itu terjadi di
Fakultas Hukum, birokrasi kampus dengan gampang
menerima suap dari mahasiswa tanpa malu sedikitpun.
Memang kampus tidak tau diri; auditariumnya juga bisa

13
dipakai untuk acara-acara yang tidak sejalan dengan fungsi
pencerahannya. Bangunan itu digunakan untuk buat acara
kondangan. Isu-isunya juga, Unram direncanakan oleh
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zulkieflimansyah
untuk perbanyak gedungnya. Kepala daerah ini ingin
membangun gedung baru di wilayah tertinggal guna tempat
kuliah mahasiswa S1. Sementara gedung Unram lama hanya
digunakan mahasiswa S2 dan S3. Kebijakan ini—meminjam
istilah Habermas—berupa tindakan strategis: hanya
mengganggap mahasiswa sebagai objek yang bebas
diperlakukan sesuka hati dan seenak perut dalam pengambilan
keputusan.

Gubernur memberitahukan bahwa pemindahan lokasi kuliah


merupakan bagian akselarasi pembangunan. Tetapi
pernyataan itu tak lebih dari alibi yang diambil atas dasar
kerjasama luar negeri Pemerintah Provinsi NTB. Gubernur
membangun hubungan baik pada bidang pendidikan dengan
negara kapitalis seperti Amerika Serikat dan Cina. Tidak
pelak lagi, dari merekalah gubernur mendapatkan ongkos
nantinya. Bahkan dengan hubungan baik bersama negara-
negara asing, Pemprov NTB digadang-gadang akan
memberangkatkan seribu mahasiswa untuk kuliah ke negara
eropa dan sekitarnya. Sekarang program tersebut tengah
berjalan. Olehnya: organisasi-organisasi mahasiswa, termasuk
HMI dilirik. Aktivis-aktivis malah disinggung: jangan
keseringan demo, lebih baik perbanyak isi pikiran. Itulah
kenapa beberapa kader himpunan—khususnya yang senior—
diberi jatah belajar ke negeri lain. Bagi sebagian kalangan ini
dapat membawa kemajuan untuk daerah (atau lebih tepatnya
kemajuan orang-orang daerah yang punya akses ke gubernur).

14
Entah maju seperti apa yang NTB mau ketika masih banyak
anak-anak di pedalaman yang tidak beroleh pendidikan.
Sekolah-sekolah SD, SMP, SMA, di sana malah berada dalam
kondisi yang mengenaskan. Fasilitasnya juga tak memadai.
Hal begini tentu berbanding terbalik dengan rencana
membangun gedung Baru Unram dan mengkuliahkan seribu
orang ke luar negeri. Melalui analisis wacana kritis Foucault,
kita dapat mengetahui bahwa di dalam setiap tindakan di
belakangnya terdapat relasi-relasi pihak-pihak yang berkuasa.
Darinya kita beroleh proposisi, seiring dengan semakin
banyaknya mahasiswa NTB yang didanai berkuliah di luar
negeri, maka para pejabat negara tujuan pasti meminta
imbalan. Diintervensilah pelbagai kebijakan, baik yang telah
berlaku maupun yang akan diberlakukan. Demikian pula
ketika nanti Unram dibangun di daerah tertinggal, di sana
pasti akan didirikan seabrek bangunan milik kapitalis. Tanah-
tanah rakyat bakal digusur atas nama akselarasi
pembangunan.

Apa yang sedang diperbuat gubernur begitu manis di bibir dan


pahit di lidah. Pandangan yang selama ini disuapkan kepada
masyarakat begitu semu dan penuh tipu daya. Bourdieu
menyebutnya sebagai doxa. Pandangan penguasa yang
berusaha dicekoki ke rakyat hingga menjadi pandangannya
sendiri. Inilah juga yang dimaksud Antonio Gramsci sebagai
suatu hegemoni. Gubernur dan para aparatur ideologis lainnya
berusaha memanipulasi realitas. Ditampilkanlah bahwa
percepatan pembangunan akan menuntaskan kemiskinan dan
kebodohan, padahal kenyataan asilinya tatkala Unram
dipindahkan bukan hanya mahasiswa yang menderita, tapi
buruh, nelayan, pedagang kaki lima (PKL) dan kaum miskin

15
lainnya juga ikut merasakannya. Sama halnya dengan
memberangkatkan seribu anak muda kuliah di luar negeri; ini
akan menjadi tali oleh para negara kapitalis untuk mengikat
kebijakan-kebijakan daerah. NTB kemudian hanyalah menjadi
semacam wanita seksi yang diobral kepada kapitalis global
untuk dinikmati tubuhnya. Dalam keadaan yang seperti ini
rakyat miskin dan tertindas, tidak mendapatkan apa-apa.
Mereka akan terus termiskinkan, sedangkan penguasa
mendapatkan keuntungan luar biasa atasnya. Jika saja yang
gubernur butuhkan adalah citra, kenapa tidak program yang
dijalankan itu seharusnya adalah pendidikan dan kesehatan
gratis untuk warga miskinnya. Tidak usah membuka gedung
baru untuk mahasiswa S1 dan mengkuliahkan S2 orang ke
luar negeri, karena yang rakat butuhkan ialah; anak-anak
petani, buruh, nelayan, pedagang kaki lima dibiayai sekolah
sampai kuliah; pembukaan perpustakaan-perpusatakaan di
setiap wilayah, serta pemenuhan bacaan-bacaan yang
progresif; pendirian puskesmas-puskesmas di daerah-daerah
tertinggal dan penyediaan obat-obta berkualitas yang
terjangkau harganya; pemberian modal dan teknologi, atau
bahkan tanah kepada para petani; dan perbaikan-perbaikan
infrastruktur, jalan, jembatan, dan sekolah-sekolah yang sudah
ada.

Rakyat miskin dan tertindas tidak butuh program kuliah ke


luar negeri, apalagi pembangunan gedung baru buat
mahasiswa S1. Malah, pendirian gedung-gedung baru it tak
tepat sasaran, karena tak bersangkut-paut dengan kebutuhan
riil mahasiswa. Dalam konteks ini citra gubernur memang
akan naik. Tetapi kepemimpinannya dipoles habis-habisan di
atas penderitaan rakyat. Namun dalam kehidupan masyarakat

16
kapitalis, sumber penderitaan dibalikkan. Maka yang
dimunculkan ke tengah adalah sebuah kesadaran palsu. Hal
demikian biasanya terjadi dalam kehidupan manusia yang
sudah terbiasa mengonsumsi kebohongan penguasa. Menurut
Jean Baurdillard, perkembangan konsumerisme hanya akan
menipu kesadaran. Masyarakat sekedar mengonsumsi simbol:
bangunan baru dan kuliah gratis ke luar negeri. Sementara
kepentingan-kepentingan besar yang ada di belekangnya
dengan mudah disembunyikan. Itulah mengapa makna
sesungguhnya tentang kedigdayaan kapitalisme yang berujud
eksploitasi manusia berusaha disublimasikan sedemikian rupa
hingga tidak tampak. Kerja sama luar negeri menjadi ajang
untuk menjual sektor riil kehidupan rakyat. Kuliah yang
digaratiskan di negara-negara lain, tidaklah seberapa jika
dibanding efek jangka panjang hubungan tersebut. Tidak
pelak lagi, kedekatan dengan para kapitalis globallah yang
membuat guernur sampai mewacanakan untuk bangun
kampus baru. Dikhawatirkan dampak dari pembangunan
gedung Unram di daerah tertinggal, akan membuat para
pemilik kos tidak lagi memiliki anak-anak kos yang
menempati kos-kosannya. Sebab kos-kosan di Kota Mataram
paling banyak ditempati oleh mahasiswa S1 ketimbang S2
atau S3 yang kebanyakan telah mempunyai keluarga dan
tempat tinggal pribadi; serta telah mapan secara ekonomi,
karena tidak mungkin mahasiswa S2 dan S3 memilih tingga di
kos-kosan. Sedangkan para pedagang kecil ditakutkan tatkala
mahasiswa S1 menurun jumlahnya di Kota Mataram,
menyebabkan dagangan mereka tak laku. Karena hanya
mahasiswa S1-lah yang menjadi pelanggan aktif dari mereka:
penjual bakso keliling, penjual nasi 24 jam, pedagang-
pedagang kecil di trotoar Taman Budaya, depan Museum

17
NTB, Taman Udayana, Jalan Lingkar, Pantai Ampenan, dan
lain-lain. Simultan dengan itu akan banyak warnet-warnet,
angkringan-angkiran, tempat-tempat pegadaian barang
elektronik yang merugi akibat berkurangnya mahasiswa S1.

Kerugian tak hanya membayangi kehidupan kaum miskin


kota, tapi juga kaum miskin desa. Nanti kalau Unram dibuka
di daerah tertinggal, kurang lebih dibutuhkan lahan seluas 53
hektar untuk membangun 10 Gedung Fakultas S1. Tanah
seluasnya ini tentu diperoleh dengan bukan tanpa masalah,
karena pastilah lahan para petanilah yang akan diambil dan
depergunakan. Penggusuran lahan yang mengatasnamakan
pendidikan kemudian tak dapat dihindarkan. Militer juga akan
ikut andil dalam masalah gusur-menggusur, sehingga menjadi
masalah besar yang mampu menorehkan kekerasan. Apalagi
setelah Unram berdiri di sebuah tempat tertinggal, tidak boleh
tidak, di sana akan dibangun; retail-retail modern, gedung-
gedung dan lain-lain. Saham-sahamnya pasti dimiliki oleh
para pengusaha internasional daripada lokal maupun nasional.
Alih-alih pembangunan kampus baru di daerah tertinggal,
rakyat tentunya lebih butuh dibangunnya industri-industri
lokal yang sepenuhnya dikontrol oleh mereka. Seperti halnya
membangun industri garam, madu, jagung, bawang dan
sebagainya. Tetapi pemerintah malah ingin melakukan hal
vulgar. Pembangunan gedung kuliah baru itu tidak ada
keuntungan signifikan yang didapat oleh mahasiswa,
melainkan hanya penderitaan: bertambah panjangnya jarak
yang ditempuh, lamanya mereka beradaptasi dengan
lingkungan baru; termasuk kesulitan mereka mendapat tempat
tinggal karena tidak mungkin di daerah tertinggal bisa
langsung ada kos-kosan seperti di perkotaan, kecuali

18
bangunan tempat mereka tinggal dibangun oleh pemerintah
dengan melibatkan kapitalis yang mematok biaya tinggi. Hal
yang terakhir ini tentu akan menambah panjang deretan
masalah, segala keperluan memperoleh pendidikan jadinya
terus-menerus dikomersialisasi. Anak kaum kromo tidak
mampu berbuat apa-apa. Mereka bisa-bisa putus kuliah gara-
garanya. Eric Fromm mengatakan, kapitalisme membuat
tujuan-tujuan yang ada pada manusia tidak ada dalam dirinya,
tetepi di luar dirinya. Inilah yang terjadi ketika pembangunan
itu bukan untuk mahasiswa tapi guna memuaskan keinginan
penguasa dan pengusaha. Mahasiswa Unram hari-hari ini
membutuhkan perbaikan fasilitas, ongkos kuliah yang murah,
transparansi anggaran, kebebasan akademik dan birokrasi
yang bebas dari korupsi. Dus, bukan pembangunan gedung
kuliah S1 baru!

Keadaan dan kondisi pendidikan yang sangat ironis ini


sesungguhnya telah dikondisikan oleh kampus dengan
berbagai aturannya, seperti melarang mahasiswa untuk aktif di
organisasi eksternal, rajin belajar dan mengisi absensi agar
wisuda tepat waktu, atau ancaman Drop Out (DO). Itulah
kenapa di ruang-ruang kelas jarang ada suasana diskursus
dosen dengan mahasiswa. Pengajar kemudian didewakan
seolah apa yang disampaikan semuanya benar. Eko Prasetyo
menyatakan—dalam Bangkitlah Gerakan Mahasiswa—
hampir tak ada dosen yang memberikan pengajaran
perlawanan. Mata kuliah kosong akan semangat yang
membangkitkan pergerakan. Situasi ini membuat mahasiswa
lebih pragmatis, dasar bangunan gerakan direhab untuk
menyesuaikan dengan keadaan. Lihatlah bagaimana HMI
lebih banyak mengembangkan hubungan dengan pranata-

19
pranata kenegaraan. Mengadakan seminar atau kuliah umum
serta diskusi yang sasarannya hanya segelintir anggotanya dan
tidak pernah menujukan kepada rakyat kecil dan tertindas
untuk dicerahkan. Aktivitas gerakan kebanyakan bersifat
serimonial dan sporadis, hanya isu nasional yang diadvokasi
itu pun tatkala pada hari-hari besar nasional saja. Sementara
masalah-masalah yang ada di daerah jarang mau disoroti. Hal
ini bukan terjadi di ruang hampa, penyebabnya adalah
kekaburan interpretasi atau bahkan tiadanya keberanian dalam
menjadikan independensi sebagai bentuk keberpihakan
kepada kaum miskin dan tertindas. Makanya kekuatan-
kekuatan produktif himpunan hanyalah dihabiskan untuk
membuat dan mengurusi konflik internal yang ditenggarai
oleh intrik dan manufer-manufer politik beberapa pengurus.
Sudah berkali-kali PB HMI mengalami dualisme
kepemimpinan. Tentu ini membawa dampak buruk untuk
iklim perkaderan. Latihan kader sudah tak mengutamakan
kualitas tapi sekedar untuk memenuhi kewajiban
konstitusional dan sebatas mendorong kuantitas. Tengoklah di
Latihan Kader II (Intermediate Training), Latihan Kader III
(Advance Training), bahkan di latihan-latihan kader khusus,
bisa dilakukan titip-menitip kader, komunikasi senior dan
lain-lain. Ini salah satu contohnya—pada pelaksanaan LK II—
ada kader HMI Cabang Mataram yang mengikuti LK II HMI
Cabang Jakarta Pusat-Utara (Cabjakpustara); dia memberikan
kesaksian bahwa kegiatan itu penuh dengan kontroversi.
Sebelumnya intervensi dari oknum-oknum senior di PB HMI
membuat kepengurusan HMI Cabjakpustara terpecah dua.
Eksesnya sampai merembet terhadap prosesi kaderisasi. LK II
HMI Cabjakpustara 2019 menjadi sasaran perpecahan: ada
pengurus yang menunda dan ada pula yang tetap berkomitmen

20
melaksanakannya. Bahkan dia yang memberikan kesaksian
inipun—sebelumnya—adalah peserta yang diluluskan
makalahnya melalui komunikasi-komunikasi terselubung.

Perkaderan hari-hari ini sepertinya telah terkooptasi oleh


fatsun abangan yang tidak hanya berlaku pada saat aktif di
HMI, tetapi akan tetap bertahan sampai tidak lagi menjadi
anggota biasa himpunan. Itulah mengapa berkembang kredo
bahwa aktivis HMI ketika sudah masuk di pelbagai lembaga
lebih taat kepada instruksi senior ketimbang seorang pimpinan
resminya. Lingkungan yang sepertinya ini akan membentuk
habitus kader HMI yang tak ubah seorang mahasiwa yang
belajar dalam kelas dan menganggap dosen sebagai dewa
penguasa ilmu pengetahuan. Tentu ini melenceng dari
pendidikan kritisnya Paulo Freire, yang mengajarkan
mahasiswa untuk tidak beradaptasi dengan realitas melainkan
mengubahnya. Seperti ucapan Musso dengan cara apapun kita
harus lawan, lawan dan lawan! Dan ditegaskan pula oleh Wiji
Thukul: hanya ada satu kata ’lawan’. Sedangkan dari Ali
Syari’ati dijelaskan bahwa manusia memang mebutuhkan
seorang tokoh untuk dijadikan panutan. Tetapi mereka
haruslah yang mendidik dan mengembangkan, bukan malah
memaksakan kehendaknya. Namun fatsun abangan di HMI
tak mampu ditempatkan pada porsi dan proporsinya. Ini
tentunya dapat menumbuhsuburkan nepotisme yang menjadi
penyumbang terbesar peradaban korupsi dan kolusi. Bungkam
atas ketidakadilan yang terjadi dan tidak ingin merubahnya,
tetapi justru terus melakukan kompromi-kompromi. Sehingga
wajar saja muncul asumsi bahwa sikap tunduk dan takut itu
telah membuat HMI alpa dalam menyuarakan kritik terhadap

21
pelbagai tingkah laku penguasa dan pelbagai kebijakannya
yang banyak menyimpang.

Itu terpampang jelas bagaimana di kantin FH Unram tempo


hari—dalam diskusinya dengan seniornya—ada kader yang
mengkritik kebijakan gubernur. Kader lugu dan jujur tersebut
menyoalkan perusahaan pertambangan yang ada di NTB.
Baginya kerja sama yang dibangun pemerintah dengan
pengusaha hanya merugikan rakyat dan membawa dampak
buruk pada lingkungan. Namun seniornya, malah
menyanjung-nyajung si gubernur. Mungkin ini gara-gara dia
telah mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Makanya ia
kemudian tidak antusias mengkritisi tindak-tanduk
pemerintah. Bahkan ia meredam diskusi dengan retorikanya
yang panjang dan berlika-liku. Konon ada yang mengaggap
orang ini bagai penyihir dengan diksinya. Kalimat dari
mulutnya bisa menyulap kotoran jadi makanan. Itulah kenapa
kader malang tersebut akhirnya menjadi diam tanpa kata. Dia
tak berani membatah apa-apa kata senironya. Ia tahu dirinya
benar dan seniornya salah, namun karena hubungan
senioritas-junioritas maka keinginan menyanggah pun
teredam.

Sudah saatnya kaderisasi HMI diarahkan pada pendidikan dan


pengembangan karakter kader yang progresif. Ada baiknya
senior tak lagi berposisi seperti dosen di kelas.yang
mematikan nalar kritis peserta didik. Supaya pendidikan dan
pengembangan menjadi pembelajaran yang menyalakan
petualangan ketimbang menimpahi informasi atau
memaksakan arahan. Terlebih, suasana krisis sosial yang
tengah meledak di mana-mana, dibutuhkan didikan yang tak

22
berambisi hanya mendapatkan ilmu guna tapi juga ilmu yang
berani mengubah dan mengkomunikasikan realitas apa yang
sesungguhnya terjadi. Pada sisi inilah suatu kaderisasi akan
dapat melepaskan belenggu mental priyayi untuk diganti
dengan mental petarung. Sungguh, mental priyayi itu sangat
memalukan apabila menyusup kaderisasi HMI. Karena akan
menghasilkan orang-orang yang tak ubah hamba. Kemudian
membentuk generasi yang bermutu parasit dengan
kemampuan merampok harta rakyatnya sendiri seperti
generasi tua yang banyak bercokol di kursi kekuasaan. Kita
tak ingin HMI melahirkan sebuah angkatan kader yang sulit
berpikir tangkas, tak mau terbuka dengan perubahan dan
gampang sekali khawatir melihat resiko. Keadaan begini—
parahnya—dapat membentuk pribadi yang tak luwes
menghadapi tantangan hingga mudah sekali melacurkan
dirinya. Oleh karena itu kader HMI seharusnya
mengembangkan tindakan yang mampu menyulut keberanian
melakukan pemberontakan.

Pemberontakan terhadap hal-hal lama yang konservatif dan


cenderung zalim memang harus dilakukan. Saatnya kader-
kader memberontak atas kondisi yang memerosotkan
kemerdekaan. Caranya adalah dengan mengembangkan sikap
resisten akan realitas perbudakan. Tak peduli dianggap gila
karena kegilaan bukan karena kita benar-benar gila, tapi
lingkungan yang menganggap gila. Dengarlah ucapan indah
dari Paulo Coelhoe: ’Jangan lupa, kegilaan sesekali membuat
hidup lebih bewarna, orang-orang yang selalu patuh dan
penurut sangat membosankan’. Atau yang dilukiskan secara
ekspresif dalam syair Sa’di Gulistan: ‘Dia tidak mengendarai
kuda, tetapi juga tidak memikul beban bagai keledai. Dia

23
bukan yang dipertuan, namun dia pun tidak pernah bersembah
diri di bawah duli seorang raja’. Apalagi sebagai pemuda,
sangat patut kader HMI ambil tauladan dari kisah ‘Ashabul
Kahfi’. Cerita perlawanan kaum muda, yang melihat sesuatu
seperti ungkapan Al Ghazali: ‘Jangan kau lihat kebenaran
dengan melihat orangnya. Lihatlah kebenaran itu sendiri,
maka kau akan tahu siapa pemiliknya’. Mereka mengangap
hidup bukanlah bilangan tahun akan tetapi lebih dari itu. Oleh
karenanya mereka bagaikan terucap oleh Jasiem M Badr al-
Muthawi yang menganggap ‘hidup adalah bilangan rasa: akan
arti hidup itu sendiri’. Sehingga mereka tanpa rasa takut
menolak berhamba pada penguasa yang memerintah dengan
sangat keji pada zamannya.

Eko Prasetyo menjelaskan—dalam Kitab Pembebasan-nya—


anak-anak muda ini telah tertambat keimanannya dan
bertarung resiko untuk memepertahankannya. Riwayat-
riwayat termuat dalam cerita Qur’an, penguasa yang dihadapi
oleh mereka bernama Dikyanus. Seorang lalim yang berkuasa
pada masa Bani Israil. Dan karena jumlah mereka yang
sedikit, pemuda-pemuda itu memilih bersembunyi. Mereka
adalah anak muda yang merasa tidak cukup kuat berhadapan
dengan kekuasaan yang punya banyak keunggulan. Makanya
mereka mempraktekkan apa kata Soe Hok Gie: ‘lebih baik
diasingkan daripada berhamba terhadap kemunafikan’.
Karena pemuda-pemuda ini memilih untuk mengasingkan diri
di gua. Seperti halnya cerita Nabi Yusuf: ketimbang berada di
Istana yang iklimnya telah rusak, dia lebih baik berada di
dalam kurungan penjara. Sungguh protoipe seperti inilah yang
seharusnya dimiliki oleh setiap kader himpunan. Perjuangan
kita bukan sekedar tentang kebebasan berpikir, melainkan

24
juga kebebasan berkehendak dan bertindak. Hanya orang-
orang bebaslah yang kelak membawa gerakan HMI ke arah
yang penuh dengan kemajuan. Itulah kader yang tidak diam
dan berhamba pada kekuasaan siapapun, tetapi memiliki
dirinya dan mampu mempertegas eksistensinya sebagai
manusia terhormat. Merekalah kader yang akan membawa
himpunan ini tidak berkompromi dengan kepentingan
penguasa, melainkan hanya tunduk dan patuh pada
kepentingan rakyat. Namun apabila kader HMI masih belum
dapat membebaskan dirinya dalam kungkungan kekuasaan.
Nuraninya tentu masih ada, tetapi seperti tiada. Ketiadaan
inilah yang akan mematikan gerakan himpunan, sebagaimana
bunyi puisi menggugah dari kader HMI-Wati Dini Yuliana
Solin, yang berjudul Menjemput Kematian HMI:

Kau menyiapkan forum diskusi


Idemu kau pertajam
Berdebat dengan teori tanpa aksi
Kau lebih bangga bertemu dengan pejabat daripada rakyat
Kau lebih memilih apatis jika tidak ada keuntungan
Dan
Segenggam kertas berangka di tangan
Kau poles dirimu dengan spirit perjuangan
Kau tancapkan doktrin untuk memperjuangkan kaum tertindas
dari ketimpangan
Tapi kau lebih tertindas oleh kepentingan
Kau antara ada dan tiada
Kau ada tapi tak berguna
Seperti sampah!!!
menumpuk dan membusuk
Akalmu tumpul!!!
Tangan kau ikat
Kaki kau potong

25
Dan hati kau cabut
MATI!!!
Lebih baik kau mati jika tak ada kontribusi
Kau semakin tua tapi semakin Hipertensi
Si pengendali tak mempergunakan nurani dalam berdedikasi
Sembari menunggu maut menjemput kematianmu1

Dalam pengalaman kelam merasakan suasana regresi seperti


pada puisi di ataslah naskah ini ditulis. Saya begitu pesimis
dengan keadaan yang demikian. Tetapi di sisi lain ada
optimisme pada himpunan. Rasa optimis itulah yang
mendorongku untuk memimpikan sesuatu hal yang
menurutku ideal. Dialektika antara optimisme dengan
optimisme akhirnya mendorongku untuk memulai tulisan ini:
Dikader di Organisasi yang Sakit. Naskah ini ditulis setelah
aku keluar dari HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas
Mataram (Unram) Cabang Mataram. Pada saat mengawali
tulisan ini jugalah aku sudah tidak lagi menjadi mahasiswa di
kampus Fakultas Hukum Unram. Kukeluar bukan semata
karena permasalahan nilai akademik yang anjlok untuk
kemudian kampus mendepakku. Tidak pula lantaran—
sebelumnya—soal ikut penyulut kerusuhan saat pemilihan
BEM Unram lalu melarikan diri lantaran takut, atau karena
pada saat itu juga kutelah menjadi korban dari perkelahian
antara Fakultas Teknik dengan Fakultas Hukum. Namun
penyebab utamanya ialah membebaskan diri dari lingkungan
kaderisasi yang telah terinfeksi penyakit kekuasaan. Penyakit
jenis ini tidak mematikan aktivitas organisasi, melainkan
mengurung perjuangannya dalam praktik kooperasi dan
kooptasi dengan kelas penguasa.

1
Youtube/puisi-menjemput-kematian-hmi/

26
Aku tidak ingin ditundukan oleh kekuasaan. Inilah mengapa
cukup lama aku menjauh dari lingkungan himpunan. Mula-
mula kumemundurkan diri dari posisi di Bidang PTKP
(Pendidikan Tinggi, Kemahasiswaa, dan Kepemudaan).
Daripada terus mengurus organisasi yang tengah terinveksi;
aku justru menuruti kata hatiku untuk membebaskan diri dari
ancaman perembesan. Hanya dalam perjalanan pembebasan
ini aku ternyata masih menaruh kasihan terhadap himpunan,
lebih-lebih kepada manusia-manusia bebas yang kemudian
mengikuti perkaderan HMI hingga terbelenggu dalam
cengkeraman organisasi sebagai hamba-hamba kekuasaan.
Itulah mengapa kuberusaha membuat tulisan ini. Dalam
menyelesaikan proyek inilah kumembayangkan diriku
sebagaimana pemuda gembala bernama Santiago di novel
Paulo Coelhoe. Judul dari karyanya adalah Sang Alkemis.
Anak muda Andalusia itu bersedia menjual dombanya demi
ongkos perjalanan mengejar harta karun yang terlitas di
mimpinya. Harta tersebut dikabarkan ada di Afrika, tepatnya
di sekitar Piramida.

Dalam perjalanannya mewujudkan mimpinya; dia menemui


beragam hal baru yang menantang: uangnya dirampok,
bekerja sebagai pelayan, bertemu dengan pria asing dan aneh,
mengembara di padang pasir dengan melewati suasana
peperangan antar-suku, jatuh cinta ke seorang gadis, belajar
pada seorang ahli kimia, terancam akan dibunuh oleh pasukan
perang, sampai akhirnya ia sampai di lokasi dekat Piramida.
Namun di sana malah tidak ditemukan harta karun sama
sekali. Harta ini ternyata ada di Andalusia—di dalam tanah, di
bawah tempat di mana ia dulunya tidur dan bermimpi.
Kembali ke sana maka Santiago kemudian mendapatkan harta

27
karunnya sekaligus banyak pengalaman yang diperolehnya
dalam pengembaraan. Tetapi perjalananku tidak berakhir
seperti itu: aku soalnya tidak menemukan harta karunku di
tempatku dahulu bermimpi, melainkan di atas wilayah yang
baru saja kumasuki. Lebih-lebih karena harta karun yang
kucari tidak tertanam dalam tandusnya perkaderan dan
pergerakan HMI. Itulah mengapa tidak bisa aku kembali
dalam organisasi ini. Melainkan meneruskan perjalanan
hingga sekarang kusampailah di atas daerah yang tak asing
bagiku. Aku melihatnya dalam mimpiku akan sebuah
kendaraan berharga yang dapat dikendarai dalam mewujudkan
perubahan mendasar, yang tidak bisa dicapai melalui jalur
parlementerisme dan statisme melainkan membangun
kekuatan rakyat dari bawah dengan teori dan praktik
sosialisme. Singkatnya: kawasan begitu subur dengan
memberi ruang bersemai, tumbuh dan berkembangnya ide
serta gagasan-gagasan alternatif. Di atas tanahnya berlaku
suatu prinsip perjuangan yang aku idam-idamkan: anti-
kooptasi dan anti-kooperasi terhadap musuh-musuh rakyat.
Sementara metode perjuangannya bukanlah mengagungkan
gerakan reformis tapi revolusioner: persatuan mobilisasi.

Sekarang, aku mengenal wilayah itu dengan nama Pusat


Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
(PEMBEBASAN). PEMBEBASAN adalah organisasi
mahasiswa yang memiliki tujuan progresif-revolusioner:
‘Membangun Gerakan Mahasiswa dan Persatuan yang
Berkarakter Kerakyatan, Mandiri, Demokratis, Ekologis dan
Feminis untuk Persatuan Pembebasan Nasional’. Memancang
prinsip, metode, dan tujuan seperti itulah PEMBEBASAN
menetapkan program umumnya dengan begitu radikal:

28
‘menuntaskan perjuangan nasional (penggulingan rezim)
dengan melawan Imperialisme (Penjajahan Modal Asing) dan
Pemerintahan Agen Imperialis (Rezim Jokowi-Ma’ruf) serta
mempercepat pembentukan Pemerintahan Rakyat Miskin’.
Dahulu, ketika ber-HMI: aku pernah memendam harapan
besar tentang sebuah organisasi yang melayani kepentingan
rakyat seperti itu. Dulunya kupernah mendambakan HMI
tampil sebagai organisasi yang dapat mengembangkan
anggota-anggotanya untuk menjadi manusia-manusia
pembebas. Mereka adalah kader-kader yang mendedikasikan
dirinya untuk melayani kepentingan kaum miskin dan
tertindas. Hanya dalam perjalanan berhimpun; aku justru
dipertontonkan dengan kemunafikan yang begitu bengis—
organisasi meyakini dirinya sebagai ‘harapan masyarakat
Indonesia (umat dan bangsa)’, tapi perbuatannya malah
membela kepentingan ‘kelas penguasa dan negara’.

Itulah mengapa orientasi gerakannya bukan untuk mendorong


dan mempercepat hancurnya tatanan penindasan, melainkan
mempertahankan status-quo saja. Dikader dalam lingkungan
inilah aku merasa jijik, muak, dan marah. Disulut oleh
perasaan inilah aku menon-aktifkan diri dalam berhimpun,
keluar dari busuknya ekosistem himpunan, dan memilih
mengerjakan proyek protesku. Melaksanakan proyek inilah
yang aku bayangkan seiras perjuangan mencari harta karun.
Harapan akan obat perubahan membuatku memiliki daya dan
nyali memulai tulisan dan terus-berusaha menyelesaikan.
Ketika proses penyelesaiannya kugeluti; aku tak sekedar
meracik tawaran obatnya yang kemudian kunamai Dikader di
Organisasi yang Sakit (Catatan Eks-Anggota HMI), tapi juga
menemukan lingkungan baru—PEMBEBASAN. Setelah

29
bergabung dengan organisasi inilah aku memikirkan kembali
apa seharusnya yang menjadi judul tulisanku. Itulah mengapa
sebelum kumenjuduli karya ini dengan menegaskan HMI
sebagai organisasi yang sakit; aku sesungguhnya mempunyai
beberapa tajuk untuk tulisanku: Memimpikan HMI Kiri dan
Bubarkan HMI; Kritik atas Organisasi yang
Mempertahankan Status-Quo.

Hanya kedua judul ini aku singkirkan karena setelah menjauh


dari HMI; aku tidak lagi menaruh harapan besar seperti dulu
kepadanya dan juga kumerasa tak pantas mendesak
dibubarkannya organisasi yang sudah kutinggalkan. Itulah
mengapa sekarang kutetapkan judulnya menjadi Dikader di
Organisasi yang Sakit (Catatan Eks-Anggota HMI). Tajuk
tersebut sekilas diberikan untuk menegaskan bahwa anak-
anak muda wajib berwaspada sebelum terpikat dan mengader
dirinya di organisasi yang berpenyakitan ini. Sederhananya:
judul itu menjadi tanda bahaya untuk setiap mahasiswa yang
ingin ber-HMI. Tetapi dengan mengangkat judul inilah maka
isinya bukan hanya menjelaskan penyakit organisasi tapi juga
mencoba menawarkan obat. Komposisi dari obatnya
sebenarnya merupakan kritik-otokritik dan harapan-harapan
yang tersisa sebelum aku bergabung di organisasi baruku.
Sempat soalnya dalam waktu-waktu menulis karya ini suasana
harap yang kualami hadir serupa pengharapan yang menjaga
dan menggerakan seorang Gramsci. Dia melihat dunia dengan
intelektual seketika merasakan pesimis, namun karena cita-
cita ia tetap optimis. Mungkin inilah yang dinamakan
dorongan ideologis. Suatu keadaan di mana seorang manusia
ingin merubah status-quo: sosial, politik, ekonomi, budaya
dan moral. Mungkin dorongan ideologis itu jugalah yang

30
membuatku merasa tidak mungkin untuk lama-lama bertahan
di HMI hingga meloncat ke PEMBEBASAN. Dalam
lompatan ini aku boleh saja tidak menyelesaikan prosesku
dalam berhimpun dan menggulirkan perubahan bagi
himpunan. Tetapi setidaknya kuberhasil membebaskan diri
dari perkaderan dan pergerakan yang menjadi pelayan
kekuasaan. Singkatnya, pelarianku dari HMI serta
pengerjaanku atas tulisannya ini dapat dilukiskan seperti
keyakinan Edward Snowden:

Saya tidak mau menjadi manusia yang takut bertindak


demi melindungi prinsip-prinsip yang saya pegang …
bagi saya integritas seseorang sejatinya dinilai bukan
dari pengakuannya mengenai apa yang dia yakini,
melainkan dari tindakan yang dia lakukan demi
melindungi keyakinan itu … sebab, kalau kita tidak
mewujudkan keyakinan kita dengan tindakan nyata,
barangkali itu cuma keyakinan abal-abal … karena kita
sendirilah yang memberi hidup kita makna, lewat
tindakan-tindakan kita dan narasi-narasi yang kita
ciptakan.

Dalam Dikader di Organisasi yang Sakit, dorongan ideologis


telah menyalakan api harapan pada diriku tapi juga
memberiku keberanian melakukan lompatan. Pakar ideologi
mikro seperti Althusser bahkan pernah menjelaskan bahwa
‘semua orang menganut ideologi tertentu, tapi dirinya tak
sadar’. Ini terjadi lantaran ideologilah yang memiliki mereka.
Baginya ideologi dibentuk oleh lingkungan atau relasi di
mana kita berada. Terutama oleh para aparatus ideologisnya.
Dia percaya bahwa lingkungan memberikan kerangka-
kerangka yang membatasi ruang pandang individu dalam
mengenali dunia. Inilah yang membuat seseorang menjadi

31
manusia yang digerakkan oleh struktur, sehingga menjauh
dari dirinya—itu tak dia sadari dan tak dapat terhindari.
Penerimaan atas cara pandang bentukan lingkungan ini—
meminjam pemikiran Bourdieu—akan membentuk ‘habitus’.
Sebuah kondisi yang apabila diamini akan menimbulkan
diferensiasi, tapi ketidakterimaan padanya akan menghadirkan
‘resistensi’. Apa yang kualami bukan diferensiasi melainkan
resistensi. Sikap resisten inilah yang membuatku tidak
sependapat dengan kelompok dominan dalam HMI yang
meyakini perubahan hanya dapat dilakukan lewat jalur
pranata-pranata kekuasaan yang formal, sebagaimana
keyakinan popular di kalangan kader-kader himpunan yang
menganggap perubahan cuma bisa diraih ketika sudah
menduduki jabatan-jabatan tertentu pada kursi kekuasaan.

Kini restensi terhadap kelompok dominan dalam HMI tidak


saja mendorongku keluar dari organisasi itu, tapi juga
menjaga nyala perasaan, pikiran dan kehendakku untuk
menyelesaikan tulisan ini. Aku muak terhadap relasi
kaderisasi yang terus-menerus menstimulasi mengisi setiap
jabatan yang membentang di kampus-kampus. Perbuatan ini
serupa dengan kegetolan HMI Cabang Mataram yang setiap
tahunnya bersaing mendorong kadernya memperebutkan
BEM Unram atau banyaknya kader HMI yang amat tergiur
akan kursi-kursi kenegaraan. Yang demikian—dalam
pandangan Althusser—dapat menjadi ideologi kader HMI;
menggantikan Islam sebagai ideologinya yang dengan jelas
termuat dalam pedoman perkaderan. Sewaktu berhimpun
dulu: itulah yang juga membuatku memendam amarah hingga
mendorong pikiranku untuk menentangnya. Pada Dikader di
Organisasi yang Sakit, emosi serta pikiran yang bergejolak itu

32
semua diluapkan begitu rupa: soalnya mereka menutup mata
bahwa pranata-pranata kenegaraan sekarang banyak
kebijakannya yang dikendalikan oleh kekuatan pasar bebas.
Bahkan pandangan tentang perubahan yang datang dari pucuk
kekuasaan telah mendominasi arena perkaderan secara
beringas. Makanya suasana kaderisasi saat ini terus-terusan
dicemari perebutan kekuasaan di pranata-pranata kampus. Itu
biasa disebut sebagai tahap latihan sebelum ke aras yang lebih
tinggi: institusi negara. Meminjam konsep Marx tentang
ideologi—inilah kondisi di mana ditampilkannya kesadaran
palsu. Kesadaran itu meneguhkan keyakinan naïf kalau kader
menduduki jabatan-jabatan struktural tertentu, maka akan
mendorong perubahan yang signifikan dan mudah membawa
kepentingan himpunan. Sementara realitas aslinya: perubahan
yang dimaksudkan tidak mampu beringsut dari tataran
kuantitas dan apa yang dibawa kader hanyalah kepentingan
segelintir orang atau gerbong semata. Namun perubahan dan
mandat itu kebacut dianggapnya sebagai kepentingan seluruh
kader. Dengan begitu perkembangan organisasi pun
menyeruapkan apa yang dimaksud Bourdieu sebagai doxa—
‘cara pandang kelompok dominan’ yang diterima sebagai
pandangan bersama kader-kader HMI. Ini jugalah yang
dikatakan Gramsci sebagai bentuk hegemoni—oleh aparatus
ideologis—lewat perangkat lunak berupa kaderisasi.

Dalam proses perkaderan yang pernah kulalui di HMI; semua


itulah yang menampak di sekelilingku. Aku dikepung oleh
cara pandang kelompok dominan begitu rupa. Tetapi kutidak
mau ditundukan olehnya. Lebih-lebih kutak setuju kalau
perubahan itu tidak pernah beringsut dari individu atau tokoh
yang memiliki jabatan struktural tertentu. Maka sebagai

33
bentuk perlawanan atas hegemoni itulah emosi dan pikiran
kuluapkan lewat karya ini: Dikader di Organisasi yang Sakit.
Hanya tulisan ini tidak saja berdiri di atas kritik-otokritik
melainkan pula mimpi-mimpi. Semula mimpiku saat mulai
menulis ialah mengharapkan bagaimana ke depan HMI
mampu melancarkan perlawanan terhadap segala kemapanan
dan kelaziman yang telah membentuk status-quo. Kuyakin:
cuma dengan sikap berlawan itulah Islam tak melulu tampil
sebagai tradisi himpunan, tapi terutama menjadi ideologi
perjuangan. Namun kujuga mengerti: melihat relasinya
dengan kekuasaan maka sangat sukar terjadinya perubahan
radikal di tubuh himpunan. Inilah kenapa aku lantas
memasang keyakinan: paling tidak, dengan mengeritik
kemerostan kaderisasi dan gerakan HMI—akan ada kader
yang tergugah hingga mereka tersulut mengambil sikap
berlawan: baik melakukan perlawanan positif—melancarkan
kritik dan membangun gerakan penyadaran yang menyasar
seabrek anggota seorganisasinya, maupun menempuh
perlawanan negatif—berhenti ber-HMI dan keluar untuk
mencari organisasi lain sebagai kendaraan perjuangan
melawan kekuasaan.

Selain itu, buku ini mencoba membelejeti seabrek sejarah


kelam HMI hingga mengajak kader-kadernya menempatkan
kembali Islam menjadi ideologi perjuangannya. Islam sebagai
ideologi sesungguhnya tidaklah berlawanan dengan Pancasila
seperti yang distigmakan rezim Soeharto. Orde Baru telah
menjadikan Pancasila—meminjam istilah Foucault—menjadi
‘penoptik’ untuk melanggengkan kekuasaannya: mengatur
dan mengontrol rakyatnya. Inilah yang dulunya pernah
ditegaskan oleh Abdullah Hehamahua:

34
Secara historis. Perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia sebenarnya didorong oleh semangat
religious. Para pejuang muslim tidak berdasarkan
kemarahan kebangsaan (nasionalisme), melainkan
karena penjajahan telah menginjak-injak ajaran agama.
Inti artikel Muhammad Natsir dalam Panji Masyarakat,
akhir tahun 1983, berjudul ‘Dengarlah Jeritan Kami’,
mengisahkan bahwa pesawat terbang yang digunakan
untuk perang mempertahankan kemerdekaan tatkala di
Ibu Kota Republik Indonesia dipindahkan ke
Yogyakarta, sebenarnya adalah hasil dari setuan jihad
Daud Beureuh, agar rakyat Aceh mengumpulkan harga
guna mengumpulkan pesawat terbang bagi perjuangan
bangsa. Di sinilah perang Islam sebagai ideologhi tidak
boleh kita pandang rtemeh dalam keterkaitannya
dengan perjuangan bangsa Indonesia sampai lahirnya
Pancasila sebagai dasar negara. Pun Sila-sila dalam
Pancasila apabila kader HMI menjadikan Islam sebagai
ideologi, tidaklah bertentangan dengannya. Sebab
sebagai dasar negara yang menjadi pedoman sistem
kenegaraan, Pancasila merupakan penjabaran Qur’an
sebagai sistem bernegara … dan alasan
konstitusionalnya. Pancasila sebagai dasar negara
adalah hasil kompromi golongan nasionalis, agamais
dan komunis dalam Sidang PPKI. Dekrit Presiden 5 Juli
1959, ditegaskan bahwa dasar negara Pancasila adalah
dasar negara yang dijiwai oleh Piagam Jakarta.
Ketetapan ini diperkuat oleh TAP MPRS 1986 dan
dikukuhkan lewat TAP MPR RI 1973 … artinya
Pancasila hasil Dekrit Presiden itu merupakan rumusan
ketiga yang disahkan lewat sidang istimewa MPRS
1969 dan diperkuat lewat TAP MPR berikutnya.2

2
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 69.

35
Ketika Islam telah menjadi ideologi gerakan, bukan tidak
mungkin kita dapat melawan cara pandang kelompok
dominan. Terutama pandangan mereka tentang perubahan
yang hanya bisa tercapai ketika menjadi pemimpin yang
bertakhta. Kepemimpinan yang revolusioner bagi Syari’ati
adalah yang tidak berdasarkan jabatan, tidak dipilih atau
dilantik. Tapi pemimpin yang lahir dan hadir karena kualitas-
kualitas yang dimilikinya dan mampu mendidik serta
mengembangkan massa-manusia. Kala itulah perubahan-
perubahan dapat ditorehkan bukan oleh individu, tokoh atau
pemimpin; tapi massa-rakyat yang tadinya telah dididik dan
dikembangkan. Sesuai yang dijelaskan Karl Marx: perubahan
dilakukan oleh massa dan motor penggeraknya adalah
pertentangan kelas. Syari’ati pula menegaskan Islam sebagai
ajaran sosial pertama yang mengandalkan massa sebagai
faktor dasar yang sadar dalam menentukan sejarah dan
masyarakat. Itulah bentuk gerakan yang diimpikan dalam
tulisan ini: sebuah gerakan yang tidak mermahzab kekuasaan
melainkan kerakyatan.

Dalam kehidupan rakyat Indonesia, HMI dikenal sebagai


lembaga kemahasiswaan yang mampu melahirkan kader-
kader bangsa di pelbagai bidang; ada yang bergelantungan di
eksekutif, legislatif, sampai yudikatif. Itulah kenapa himpunan
seringkali diasosiasikan sebagai organisasi yang elitis
ketimbang populis. Senada dengan buku HMI dan Kekuasaan
karya Sidhartahta Mukhtar: di dalamnya HR Agung Laksono
menyatakan pada bagian pengantarnya bahwa kaderisasi HMI
adalah untuk mengisi struktur kekuasaan di Indonesia. Bukan
kita tak bangga dengan pencapaian organisasi; tetapi
mengingat perubahan tidak semata-mata datang dari atas,

36
maka harapan dalam naskah ini begitu memimpikan peran
sejarah kader HMI untuk mewujudkan perubahan—tapi tidak
didorong dari atas melainkan mulai dari bawah. Gerakan
Islam yang bermahzab kekuasaan akan mudah mengalami
kekalahan di medan manapun, terutama dalam menjaring
dukungan massa rakyat. Itulah mengapa dalam menulis
Dikader di Organisasi yang Sakit; aku tak menanamkan
keinginan memecahkan lagi HMI seperti insiden perpecahan
tahun 1986 dan seabrek dualisme kepengurusan di tahun-
tahun sesudahnya. Tetapi mengajak menempatkan kekuasaan
bukan menjadi pusat segala perubahan dan menjelaskan
bahwa kuasa tidak selalu identik dengan apa yang teruraikan
dalam bentuk pranata kenegaraan. Melainkan memosisikan
kekuasaan sebagaimana yang dilukiskan Foucault:

…kuasa yang tidak dimiliki tapi dipraktekan dalam


suatu ruang lingkup, di mana ada banyak posisi yang
strategis berkaitan satu sama lain dan mengalami
pergeseran.

Mungkin pada saat itulah sikap keagamaan HMI menjadi


seperti apa yang dikatakan Eko Prasetyo dalam Islam Kiri;
Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana menuju Gerakan:
‘agama yang meletakan rakyat tertindas sebagai pihak utama
yang patut dibela, dilindungi dan diperjuangkan.’ Jenis
keagamaan ini mirip doktrin komunis, menempatkan
idependensi bukan sebagai sesuatu yang netral atau sebuah
dualitas seumpama pembagian independensi etis dan
organisatoris. Tapi sebagai sebuah kesatuan: tidak dibaginya
antara independensi etis dan independensi organisatoris
dengan meletakkan keduanya di atas lantai kebenaran—Allah
SWT. Tuhan bagi Ali Syari’ati, dalam Qur’an sering disebut

37
dengan massa rakyat: “Jika kalian meminjamkan pinjaman
yang baik kepada Allah.” (QS 64:17) Jelas yang dimaksudkan
dengan Allah, ialah an-nas atau massa-rakyat (kaum miskin
dan tertindas), karena Allah sama sekali tidak memerlukan
pinjaman. Bertolak dari pemahaman inilah makanya Dikader
di Organisai yang Sakit bukan untuk mengkudeta seorang
Ketua Umum PB HMI, apalagi sekedar memberontak
terhadap butanya fatsun abangan, atau menggerakan kader-
kader menegakkan kediktatoran seperti yang dilakukan oleh
Stalin. Tetapi untuk mengeritik HMI supaya sadar-diri dan
lebih bertanggung jawab dalam mendukung perubahan sosial
menuju masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT—
lebih khususnya ialah masyarakat tanpa kelas dalam Islam.

Pada Pasal 3 AD HMI sendiri memaktubkan dirinya sebagai


organisasi yang berasaskan Islam. Inilah mengapa himpunan
mempunyai kewajiban mengamalkan istilah kiri dalam Islam.
Diungkapkan Kazou Shimogaki—dalam Kiri Islam—istilah
kiri pada agama Islam dikenal luas sejak peluncuran jurnal
Kiri Islam (al-Yaser al-Islami) tulisan Hasan Hanafi. Akan
tetapi, istilah itu bukan ciptaan Hasan Hanafi melainkan sudah
digunakan oleh AG Salih. Dalam sebuah tulisannya tahun
1972, Salih menjelaskan bagaimana Islam yang kiri:

Dalam Islam, kiri memperjuangkan pemusnahan


penindasan bagi orang-orang miskin dan tertindas, ia
juga memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban di
antara seluruh masyarakat. Singkat kata, adalah
kecenderungan sosialistik dalam Islam. 3

3
Kazou Shimogaki, (2007), Antara Modernisme dan Posmodernisme: Kiri
Islam, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, Hlm. 6-7.

38
Sebagai organisasi yang berlandaskan Islam, tidak berlebihan
jika organisasi ini mengerahkan gerakannya ke kiri. 4 Bukan
sekedar lewat training yang mencirikan sebagai organisasi
kader melainkan perubahan yang radikal melalui semangat
keislaman yang kiri. Seperti kata Eko Prasetyo dalam Islam
Kiri; Jalan Menuju Revolusi: ‘kiri adalah kategori yang akan
mengembalikan iman dalam perseteruannya dengan
penindas’. Iman akan dihadapkan dengan kezaliman maupun
kekuatan otoriter yang kini menjadi ‘tuhan’ baru. Keimanan
yang seperti itulah yang dicita-citakan yang aku impikan
sehingga mengeritik kecenderungan HMI selama ini: menjadi
organisasi mahasiswa yang mempertahankan status-quo.
Keimanan itu akan membuat himpunan bergerak dengan
Islam sebagai ideologi gerakan—persis yang dulu telah
menjiwai perjuangan para nabi. Ketika menilik kembali
sejarah perkembangan Islam, tampak tugas yang dibebankan
kepada nabi-nabi Islam memiliki kesamaan: nabi-nabi bekerja
untuk melawan segala bentuk penindasan dan kesewenang-
wenangan penguasa, bukan malah berada di bawah ketiak
kekuasaan atau berkompromi dengannya. Mereka muncul
untuk mengenalkan pada massa-rakyat nilai-nilai keadilan
yang setelah kematian Habil oleh Qabil, terus ditelikung oleh
kaum penindas pewaris Qabil: kaum penguasa zalim. Bersama

4
Sebagaimana diketahui bahwa sejak revolusi Prancis 1789 , kelompok
radikal, kelompok Jacobin, kelompok buruh dan rakyat miskin mengambil
posisi kiri dari kursi Ketua Kongres Nasional. Sementara kaum bangsawan
dan aristokrat mengambil sisi kanan. Sejak itu, kanan dan kiri sering
digunakkan dalam terminologi politik. Secara umum kiri diartikan sebagai
Partai yang cenderung radikal, sosialis, anarkis, reformis, progresif, atau
liberal. Dengan kata lain kiri selalu menginginkan sesuatu yang bernama
kemajuan (progres), yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia
atas sesuatu yang bernama ‘takdir sosial’.

39
para nabi umat dikenalkan pada konsep kesetaraan, membela
kaum dhuafa dan mustad’afin, dan menebar kasih sayang bagi
semua orang.

Nilai-nilai mulia itu tak dapat terwujud ketika himpunan


menerapkan strategi gerakan yang mengandalkan datangnya
perubahan dari atas melulu. Bahkan dalam jejak langkahnya,
gerakan kerakyatan telah dicontohkan oleh seorang Lafran
Pane pemrakarsa dan pendiri HMI. Dia menganggap
perubahan tidak semata mengandalkan jabatan struktural. Hal
itulah yang terukir dalam kebesaran jiwa Lafran tatkala
memberikan posisi Ketua Umum kepada MS Mintaredja.
Melaluinya himpunan menjadi lebih banyak diminati dan bisa
diterima secara luas oleh semua kalangan mahasiswa saat itu,
yang bukan hanya dari Sekolah Tinggi Islam (STI) tapi juga
Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada (BPT-GM) dan Sekolah
Tinggi Teknik (STT). Kebesaran jiwa Lafran Pane—dibarengi
dengan peran profetik yang dilakukannya—menjadikan HMI
sebagai organisasi penyadaran yang langsung menikam ke
uluh hati rakyat Indonesia di tengah posisi subordinat dan
ketertindasannya atas kapitalisasi dan kolonialisasi. Sekarang:
mengambil tauladan darinya maka mengharuskan himpunan
kembali pada diri sendiri—Ini bukan berarti menolak masa
kini dan membelakangi masa depan atau secara fanatik
menolak segala hal yang baru dan dengan gelisah berpaling ke
masa lampau. Justru yang dimaksudkan di sini adalah seperti
penjelasan Syari’ati dahulu:

Kembali kepada diri kita sendiri yang manusiawi,


berbudaya dan berkeyakinan. Menemukan kepribadian
dan sifat kita, doktrin dan sejarah kita, dan

40
menghidupkan kembali jiwa kreatif dan nilai-nilai
spiritual yang suci.5

Dalam Dikader di Organisasi yang Sakit, menentang dan


menyingkirkan nilai-nilai kelompok dominan yang telah lama
menjangkiti himpunan menjadi sebuah keharusan. Nilai itu
harus digantikan dengan menghidupkan kembali suatu
prototipe sikap pendirinya yang dulu menjiwai lahirnya
himpunan. Lebih-lebih menauladani tindakan Lafran Pane
yang mirip perjuangan para Nabi: teguh memegang prinsip
tauhid yang membuat dirinya tidak tunduk terhadap
kemunafikan penguasa. Itulah yang membuat dirinya
berusaha mengubah realitas yang tidak ideal pada zamannya.
Kesabarannya dalam berjuang seperti sabar yang dikatakan
oleh Murtadha Muthahari: sebagai sebuah perlawanan
terhadap hawa nafsu dan tirani. Kesabaran itulah yang
membuat dirinya begitu disiplin, ulet serta mengayomi
kawan-kawan seorganisasinya, hingga mampu
mengembangkan dan membina kader-kader untuk tidak silau
terhadap kekuasaan tapi menjadi pemimpin yang tanpa atribut
maupun jabatan—sederhana dan independen seperti pejuang-
pejuang Islam yang telah menjadi martir. Ia menjadikan
Islam, persis ucapan Hasan Hanafi:’ agama adalah revolusi’.
Bagi Roger Graudy, agama bukan semata-mata ‘pantulan dari
kenyataan’, tetapi juga ‘protes’ terhadap kenyataan. Maka
Iman, adalah proyek atau rencana terhadap kenyataan yang
lain: ‘iman kepada wahyu memasukan kita ke dalam
pertarungan dengan kenyataan’.

5
Ali Syari’ati, (1994), Membangun Masa Depan Islam, Bandung: Mizan,
Hlm. 95.

41
Iman sekali lagi adalah proses internal kenyataan dan
dorongan melakukan perubahan dan bukan mencari
penyesuaian dengan kenyataan. Sebab pada dasarnya, Islam
mempunyai pandangan tertentu terhadap manusia, alam dan
kebenaran. Dengan demikian kenapa dibuat tulisan tentang
Dikader di Organisasi yang Sakit? Adalah sebagai sebuah
catatan yang bukan hanya menjelaskan bagaimana kekuasaan
mengancam himpunan, tapi juga menaruh harapan
perubahan—lebih-lebih agar kader-kader HMI tidak
beradaptasi dengan realitas melainkan merubahnya. HMI
yang sakit di sini adalah dalam bentuk gerakan dan
kaderisasinya yang selama ini mempertahankan status-quo.
Itulah mengapa jika kader-kader himpunan tak mampu
mengubah atau menyembuhkan penyakit itu, maka sangat
dianjurkan untuk meninggalkan dan mencari organisasi
lainnya. Terutama organisasi progresif-revolusioner yang
mendidik kita bukan sebatas menjadi kader-kader Islam, tapi
pejuang-pejuang revolusi.

Dalam Dikader di Organisasi yang Sakit, aku memendam


amarah hingga mendorong kader himpunan menjadi
pemberontak seperti Yusuf yang tak bisa terjerambab dalam
bujuk rayu Zulaikha. Dia meninggalkan kemewahan Istana
untuk kemudian mengasingkan diri di Penjara. Kader
himpunan juga diharapkan menauladani Musa yang melawan
penindasan Fir’aun meski pada awalnya dia dibesarkan di
istana, tapi tebaran penghisapan dan kekerasan yang
merajalela menggerakannya keluar dari istana dan berjuang
bersama rakyat melawan penguasa. Sekarang kader himpunan
pula diajak mengambil sikap bagai Isa: menjadi pejuang yang
berjuang bersama rakyat melawan penindasan atas nama

42
agama yang telah bersanding dengan Kolonialisme Rowami.
Kader himpunan pun diingini meniru Sulaiman yang memiliki
kuasa tapi tak pongah bahkan semut pun tidak mau dilukai—
di sini ia mencerminkan masyarakat tanpa kelas dalam Islam.
Kader himpunan kemudian diandaikan bersikap laiknya
Syu’aib yang memerangi kapitalisme tanpa gentar dan
mengambil semangat Luqman sebagai proletar yang sangat
heroik dalam berjuang. Dan terpenting, kader himpunan
melanjutkan perjuangan Muhammad menjadi seorang ‘ummi’.
Ummi di sini bukan tidak bisa baca dan tulis tapi sebagaimana
yang ditafsirkan Syari’ati: ‘sebagai manusia yang menyatu
dengan massa, berada di tengah-tengah rakyat jelata dan
merubah serta mengangkat derajat mereka’.

Melalui kritik Dikader di Organisasi yang Sakit; aku ingin


menyampaikan perlunya kader himpunan berkonfrontasi
dengan kelompok dominan yang selama ini menyetir
organisasi. Mereka menebarkan pandangan yang
menumbuhsuburkan pemahaman tentang perubahan yang
datangnya melalui pranata kenegaraan saja. Kredo itu lama-
lama akan membuat perjuangan himpunan makin jauh dari
kaum tertindas, terhisap dan miskin, serta taat tanpa sikap
kritis pada fatsun abangan. Karya ini mengandung harapan
membangkitkan kembali Islam militan pada kader himpunan
yang agamanya telah lama dibonsai menjadi agama berwatak
borjuis. Dalam kondisi inilah Islam dijajah secara ideologis
oleh kelas penguasa hingga melanggengkan status quo dengan
begitu bengis. Itu yang membuat pandangan Islam—
sebagaimana dikatakan Harvey Cox—dihinggapi oleh
beberapa gejala negatif: ‘menganggap kemiskinan sebagai
kehendak Allah di mana sebuah keyakinan bersifat fatalistik’.

43
Makanya kemiskinan dihadapi bukan sebagai sebuah gejala
ekonomi-politik, tapi tak lebih dari ujian untuk melatih
kesabaran. Pandangan inilah yang menyebabkan timbulnya
kepercayaan kalau ‘miskin’ itu tidak hubungannya dengan
sistem kekuasaan yang berlaku, karena diyakini menjadi
persoalan perangai individu semata. Sikap ini pun tak jarang
memandulkan peran sosial-politik kader himpunan yang lebih
menekankan diskusi tanpa aksi perlawanan terhadap struktur
yang menindas. Walhasil: umat kemudian dijadikan boneka
kepentingan para elit, karena Islam makin dipugar satu-
persatu keyakinan radikalnya menjadi ajaran yang berorientasi
pada kemenangan akhirat.

Disebarluaskan pemahaman agama yang mendukung


pembangunan dan menciptakan harmoni itu telah lama
mempertahankan status-quo. Maka perspektif kelas pun
menjadi dijauhi oleh himpunan. Seakan konfrontasi dengan
PKI pada masa lalu, hingga kini masih menyisahkan luka,
dendam, dan ketakutan pada HMI untuk sedikit terbuka
mengajari kader-kadernya teori kelas. Keyakinan yang
berkembang kemudian sangat naïf: paham kelas dapat
merusak keimanan. Harus dimengerti bahwa pemahaman
Inilah yang membuat Islam menjadi agama yang bermuara ke
segelintir tokoh pemegang kendali kekuasaan. Itu jugalah
penyebab kenapa pengetahuan tentang baik dan buruk harus
diamini berdasarkan otoritas yang dimiliki penguasa. Agama
sendiri pun menjadi kekuatan nilai yang menjaga status-quo.
Bagi Eko Prasetyo dalam Islam Kiri Melawan Kapitalisme
Modal; dari Wacana Menuju Gerakan, perilaku keagamaan
yang direpresentasikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
lebih berbahaya ketimbang tentara yang berwatak fasis.

44
Soalnya mereka hanya bisa mengeluarkan fatwa halal-haram
atau memberi hadiah bagi artis yang berbusana muslim.
Tetapi tidak mampu mengutuk pabrik-pabrik yang menggaji
buruh dengan amat rendah, mengharamkan produk-produk
yang tak mampu memberi upah layak kepada pekerja, dan
memboikot kebijakan anti rakyat miskin—seperti upaya
Pemerintah Indonesia memanfaatkan batu-bara sebagai
pembangkit listrik nasional dengan alasan harga murah Rp
600 per Kwh daripada Gas RP 1.000 per Kwh, BBM Rp
1.600 per Kwh dan Matahari Rp 2.900 per Kwh.

Dalam film Sexy Killers yang didistribusikan Watchdoc, jelas


kebijakan pemerintah selama ini menyembulkan realitas palsu
untuk menghisap rakyatnya sendiri. Kenyataan di lapangan:
membangkitkan listrik dengan batubara menyebabkan
pelbagai kerusakan lingkungan dan hanya menguntungkan
penguasa, pengusaha serta ulama. Dikabarkan fenomena ini
akan berlangsung hingga tahun 2027, di mana 54 % listrik
kita masih nyaman pemerintah gunakan batubara. Dari
sejumlah data di Departemen Hukum dan HAM, telah
memaparkan lingkaran setan dalam kebijakan tersebut.
Pemain-pemainnya: pertama, keluarga Presiden Jokowi
(penguasa);6.kedua, kalangan TNI-Polri (pengusaha); 7 dan

6
PT Rakabu Sejahtera, yang saham perusahaan dan komisarisnya pernah
dijabat putra bungsu Jokowi, Gibran Rakabumi dan saat ini telah digantikan
adiknya Kaesang Pangarep. Mereka memang memperlihatkan kegiatan
usaha perusahaannya hanya ‘mebel dan ferniture’, namun sesungguhnya
dalam dokumen perusahaan Bidang Usaha PT Rakabu Sejahtera begitu
banyak dan aktivitasnya langsung mengenai hajat hidup rakyat kebanyakan,
yakni: pembangunan/konstruksi, pembebasan lahan, real estate, property,
pengerjaan beton, instalasi mesin, jaringan telekomunikasi, multimedia,
reklame dan periklanan, bahkan sampai ke pengembangan wilayah

45
ketiga, kalangan sipil (politisi-pengusaha).8 Lihat saja 10
Perusahaan Batubara terbesar di Indonesia, 7 di antaranya 9

transmigrasi, dan bergerak dalam industri pengolahan kayu, pengangkutan


dan kebutuhan rumah tangga.
7
PT Toba Sejahtera milik Menteri Koordinator Kemaritiman, Letjen TNI
(Purn) Luhut Binsar Pandjaitan ,yang memiliki saham batubara dan PLTU
serta anak perusahaannya PT Kutai Energi yang komisarisnya Letjen TNI
(Purn) Suadi Marasabessy, mantan Kepala Staf Umum TNI. PT Toba
Sejahtera sendiri posisi komisarisnya dijabat oleh mantan Wakil Panglima
TNI Fahcrul Razi. Nama-nama orang militer ini memiliki afiliasi politik
dengan Jokowi. Sedangkan tanpa melihat hubungan politiknya, adapun
nama lain yang terlibat aktif dalam bisnis batubara ialah: (1) Letjen TNI
(Purn) Sumardi. Merupakan Direktur PT Kutai Negara dan Direktur Utama
PT Trisensa Mineral Utama: (2) Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan.
Sebagai Komisaris PT Adimitra Baratama Nusantara; (3) Irjen Pol (Purn)
Mathius Salempang. Menjadi Komisaris PT Bukit Baiduri Energi dan
Diriktur PT Khotai Makmur Insan Abadi; (4) Irjen Pol (Purn) Aryanto
Sutadi. Menjabat Direktur PT Energi Cahaya Industriatama dan Direktur PT
Dunia Usaha Maju; (5) Irjen Pol (Purn) Alpinersinaga. Menjabat sebagai
Direktur PT Energi Cahaya Industritama dan Direktur PT Dunia Usaha
Maju; (6) Komjen Pol (Purn) Nugroho Djajusman. Menjadi Komisaris PT
Bintang Prima Energy Pratama; (7) Lakasamana TNI (Purn) Syamsul Bahri.
Sebagai Komisaris PT Bintang Energy Pratama; (8) Marsekal AL TNI
(Purn) Djoko Suyanto. Sebagai Komisaris Independen PT Adaro Energy:
(9) Laksamana TNI (Purn) Agus Suhartono. Sebagai Presiden Komisaris PT
Bukit Asam Tbk; (10) Laksamana TNI (Purn) Marsetio. Sebagai Komisaris
Independen PT Berau Coal; (11) Prabowo Subianto. Ia memiliki banyak
perusahaan: Nusantara Energy Resources, PT Erabara Persada Nusantara
Kaltimcoal, PT Nusantara Wahana Coal, PT Kaltim Nusantara Coal, PT
Nusantara Berau Coal, PT Nusantara Santan Coal, dan PT Batubara
Nusantara Kaltim.
8
Meliputi: (1) Oesman Sapta (Dewan Penasehat TKN Jokowi-Ma’ruf),
memiliki kaitan dengan perusahaan tambang batubara PT Totyal Orbit di
Barito Utara dan Tanah Bumbu Kalimantan Selatan; (2) Andy Syamsudin
Arsyad, pengusaha yang namanya pernah muncul sebagai Wakli Bendahara
TKN Jokowi-Ma’ruf. Dia sebagai pemilik tambang batubatra di bawah
bendera Grup Johlin Kalimantan Selatan; (3) Hary Tanoesoedibjo, Ketua
Umum Perindo dan selaku Dewan Penasehat TKN Jokowi-Ma’ruf, selain
memiliki tiga stasiun telelevisi nasional di bawah bendera perusahaan MNC
Group, dia juga berbisnis batubara lewat MNC Energy and Natural
Resource: di bahwanya terdapat Sembilan perusahaan yang menanmbang di

46
ternyata diberi ijin seluas-luasnya bahkan sampai dibubuhi
stempel usaha bersaham syari’ah dari MUI.10 Dikatakan
bahwa perusahaan-perusahaan batubara tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam di pasar modal.
Pembelaannya terhadap para perusahan yang memelaratkan
hidup rakyat itu telah membuat MUI mendapat imbalan dari
kapuitalis. Di Bank Muamalat, Dewan Syari’ah MUI
mendapat bantuan modal dari konsorsium tiga nama investor
asal Singapura: Rizal Risjad (Pendiri PT Berau Coal Energy),
Djamal Attamimi (Komisaris PT Toba Bara Sejahtera) dan

Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan; (4) Jusuf Kalla (alumni HMI),
Wakli Presidennya Jokowi sekaligus Dewan Pengaerah TKN Jokowi-
Ma’ruf. Pengusaha asal Sulawesi Selatan ini berbisnis batubara dan listrik
lewat bendera Grup Kalla. Memiliki perusahaan: Kalla Arebama dan PT
Kalla Electrical System, yang bekerja sama dengan PLN; (5) Sandiaga Uno,
adalah pemegang saham Grup Saratoga, yang pernah menjadi Direktur
Utama Multi Harapan Utama Kutai Kartanegara. Jejak Sandi juga muncul
di PT Adaro Energy yang merupakan tambang batubara terbesar di
Indonesia, serta memiliki saham di PT Adaro Power pada proyek PLTU
Batang; (6) Hasim Djojohadikusumo (TPN Prabowo-Sandi), pemegang
saham PT Batu Hitam Perkasa; (7) Ferry Musyidan Baldan (TPN Prabowo-
Sandi). Keluarga Ferry melalui istrinya, memiliki tiga ijin usaha
penambangan batubara di Jawa Timur: PT Syahid Berau Bestari, PT Rantau
Panjang Utama Bhakti dan PT Syahid Indah Utama.
9
Adapun perusahaan batubara terbesar di Indonesia, dan beberapa di
antaranya bersaham syari’ah adalah: (1) Adaro Energy (ADRO), bersaham
syari’ah; (2) Bumi Resources (BUMI); (3) Indika Energy (INDY),
bersaham syari’ah; (4) Indo Tambangraya Megah (ITMG), bersaham
syari’ah; (5) Asia Coal Energy (Grup Sinar Mas); (6) Harun Energy
(HRUM), bersaham syari’ah; (7) Bayan Resources (BYAN), bersaham
syari’ah; (8) Sakari Resources; (9) Tambang Batubara Bukit Asam,
bersaham syari’ah; (10) Toba Batubara Sejahtera (TOBA), bersaham
syari’ah.
10
Dewan Syari’ah Nasional MUI dipimpin oleh Ma’ruf Amin. Dia juga
tercatat sebagai dewan pengawas syari’ah disejumlah Bank: Bank Syari’ah
Mandiri, BNI Syari’ah, Bank Mega Syari’ah, Bank Muamalat. Serta
menjadi dewan pengawas syari’ah di 3 perusahaan asuransi: Mega
Insurance, Bringin Life dan BNI Life Insurance.

47
Dicky Yordan (Direktur Toba Bara). Mereka tidak jauh dari
bisnis batubara yang menguntungkan penguasa di istana:
pengusaha dari elit TNI-Polri dan para pengusaha dari
kalangan pejabat lainnya. Di sampingnya tokoh agama juga
ikut bermain. Mungkin alumni HMI yang berada di pusaran
kekuasaan juga ikut-ikutan. Semoga saja tidak! Tetapi
himpunan seharusnya mulai curiga terhadap senior-alumninya
yang politikus maupun birokrat. Sebab kekuatan modal begitu
dahsyat. Daya pikatnya bisa menerjang siapa saja, termasuk
alumni dan anggota HMI sekalipun. Maka ada baiknya ikatan
senior-junior dan anggota-alumni diawasi dari ancaman
masuknya beragam kepentingan.

Sudah cukup ulama penguasa-politisi-birokrat dan pengusaha-


militer yang berkomplot, jangan alumni HMI. Tetapi apabila
ada senior-alumni himpunan yang terjerambab dalam
kubangan itu, kader-kader seharusnya mulai berjaga diri.
Jangan sampai kepentingan kelas penguasa menerobos
internal organisasi. Posisi kader himpunan (dengan senior-
alumninya) dewasa ini, mengingatkan kita pada keadaan Nabi
Musa, yang hidup dalam suasana penuh godaan. Itulah
mengapa kader himpunan diharapkan mampu bertahan
selaksa Musa. Walaupun memiliki kedekatan dengan keluarga
istana dan dijanjikan hidup bergelimangan tapi karena
meresapi penderitaan rakyat di luar pusaran kekuasaan. Musa
memberontak dan bersama kaum miskin tertindas melakukan
perlawanan. Sekarang sosok Fir’aun dapat dilihat pada
penguasa negara ini, secara keji dan sewenang-wenang tanpa
sedikit pun mengutamakan hajat hidup rakyat. Disokong oleh
entitas seperti Haman (TNI-Polri) yang selalu menegakkan
aturan semata memuluskan jalannya pembangunan

48
infrastruktur demi menopang kekuasaan Fir’aun. Haman pun
terkadang bisa beralih rupa jadi Qarun (pengusaha-politisi),
yang terus memupuk kekayaan tanpa peduli sesama. Keadaan
ini simultan akan peran penting intelektual agamais (MUI)
yang serupa Bal’am—menafsirkan teks kitab untuk
mempertahankan status quo, hingga kejahatan disihir menjadi
kebaikan. Ulama akhirnya menjadi mirip kisah yang
diceritakan Pramodya Ananta Toer dalam Gadis Pantai,
menjadi manusia yang berwatak feodal. Dia hanya
mengutungkan diri dan kelompok, meski terkadang harus
mengorbankan kehidupan perempuan dan anak.

Kehidupan yang sedang kita alami serupa apa kata Wiji


Thukul: ‘sejarah hari ini masih belum berubah’. Kekuasaan
bertahan bukan hanya melalui modal tapi juga senjata:
ancaman dan pembunuhan. Itulah yang terjadi pada Pemilu
2019: lebih dari 440 orang anggota Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia akibat kelelahan.
Tapi menurut dr. Umar Zein,tidak mungkin ratusan orang
meninggal hanya karena kecapekan. Dia membandingkan
dengan kejadian pada zaman penjajah Belanda, banyak
pekerja paksa ditugaskan Deandels membuat jalan Lintas
Anyer-Panurakan namun tidak sampai mati. Mereka dipaksa
membuat parit, memecah batu, mengangkat barang-barang
berat dan lain-lain, tanpa diberikan makan, minum dan obat-
obatan yang memadai. Namun kelelahan tak sampai membuat
ratusan yang meninggal seperti hari ini. Tapi yang membuat
pekerja paksa itu meninggal lebih kepada diserang penyakit:
daya tahan tubuh berkurang sehingga terkena malaria, kejang-
kejang, koma kemudian meninggal. Apalagi KPPS, mereka
cukup mendapat makan, minum dan obat dengan tanpa kerja

49
paksa seperti zaman penjajah. Maka alibi kelelahan tidak dari
pemerintah tidak tepat. Umar zein menegaskan bahwa dalam
ilmu medis ada tiga pintu kematian, otak, jantung dan paru-
paru:

Bila otak tidak cukup mendapat oksigen oleh pelbagai


sebab, misalnya penyumbatan pembuluh darah, maka
terjadi kematian sel-sel otak. Tetapi pasien tidak
langsung mati. Ada mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan kehidupan sel-sel lain. Bahkan
kematian sel otak disebut kematian secara medis, butuh
waktu beberapa jam untuk kemudian disebut kematian
biologis, setelah jantung dan paru berhenti berfungsi….
Kelelahan petugas pemilu pastilah tidak sampai 1/1000
dari kelelahan pekerja paksa zaman Belanda. Kelelahan
mungkin bisa sebagai pemicu gangguan akut atau
eksaserbasi dari penyakit kronik yang diidap. Ini butuh
pemeriksaan medis yang cermat … ini pembodohan
pada rakyat awam atau orang yang tidak paham ilmu
medis, atau sedikit tahu ilmu medis. 11

Pemilu 2019 telah menelan kematian ratusan anggota KPPS


akibat kelelahan yang tidak valid secara medis. Lalu apakah
penyebab kematian kalau bukan adanya kejahatan terselubung
para pemegang kekuasaan yang ingin melanggengkan
kuasanya. Dalam sistem penghitungan KPU, menurut Ahli
Statistik dan Information Technology (IT) Jenni Retno, ada
intruder yang berusaha mengotak-atik data—yang terjadi C1
akan terus mengalami salah hitung di KPU. Bisa saja
kematian para KPPS tentu bertkait kelindan dengan peristiwa
kesalahan input data tersebut. Untuk menyembunyikan

11
Lihat https://swamedium.com/2019/04/30/benarkah-kelelahan-penyebab-
kematian-petugas-pemilu/

50
kejahatannya besar kemungkinan orang-orang jujur dan tidak
bersalah mendapati kekerasan fisik, psikis dan simbolik.
Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka telah dicekoki
dengan racun atau apapun namanya.

Para korban secara faktual dirugikan dan secara struktural


sudah berada pada posisi lemah sehingga tidak dapat membela
diri dan memperoleh perlindungan. Maka pantaslah ini
disebut kekejaman sistemik yang didalangi oleh negara. Fakta
telah bertebaran, lihatlah perilaku aparat-aparatnya yang
menjelma bak Leviathan—yang diistilahkan oleh Thoomas
Hobbes. Aparatus ideologis negara telah berubah jadi
makhluk jahat yang siap menggilas siapa saja yang memerotes
penguasa. Sehingga polisi mulai pontang-panting,
mengatasnamakan stabilitas tapi merenggus hak
konstitusional warga negara. Dalam aksi peringatan 1 Mei
2019 sebagai Hari Buruh Internasioanl (Mey Day), Kepolisian
Daerah Metro Jaya malah bertindak represif kepada
Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). Polisi
berlaku brutal dan membabi buta: merampas alat aksi,
melarang buruh berdemonstrasi dan melakukan perpeloncoan,
penelanjangan serta pemangkasan rambut para peserta aksi.
Sedangkan saat 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas),
aparat kepolisian kembali memperlihatkan banalitasnya.
Aparat kepolisian di NTB memukul, menendang, menginjak
dan menyeret peserta aksi dari Liga Mahasiswa Nasional
Demokrasi (LMND) Cabang Mataram, HMI Majelis
Penyelamat Organisasi (MPO) Cabang Mataram dan HMI
Cabang Sumbawa. Kekerasan aparat terus terjadi atas motif
melindungi dan menyembunyikan kejahatan struktural.

51
Kekerasan aparat itu jugalah yang dialami kader-kader dalam
aksi HMI Cabang Mataram 5 Mei 2019. HMI Mataram
menuntut pertanggungjawaban kepolisian dan KPU terhadap
kekerasan aparat dan tewasnya ratusan anggota KPPS serta
mendesak bertanggung jawab atas represifitas aparat kepada
kader di Sumbawa. Tetapi mereka malah mendapati perilaku
keji aparat: didorong ke api hingga mengalami luka bakar;
dipukuli tongkat sampai kepalanya bocor; ditonjok dan
dipukuli wajahnya hingga luka lebam; sekujur badannya
ditendang dan diseret tak ubah memperlakukan binatang. Jika
merefleksi kembali gerakan HMI pasca reformasi, memang
kerap kali mendapati tindakan represifitas aparat. Hal ini
sering membuat orgabisasi yang semula diam dengan
sekonyong-konyong bangkit melawan tindakan kekerasan.
Namun bukan sekedar perlawanan semacam ini yang
diharapkan dalam Dikader di Organisasi yang Sakit. Tidak
hanya pada aksi yang hanya diakibatkan oleh terlukanya kader
karena ulah pongah negara. Karena jika bergerak hanya pada
konteks ini maka himpunan seakan telah berada dalam
kesempitan gerakan: bukan lagi menjadi milik umat dan
bangsa, melainkan bergerak dengan dorongan mental
kawanan.

Sekarang, gerakan mesti diarahkan untuk belajar


mengadvolasi aneka permasalahan kerakyatan, keumatan dan
kebangsaan: menyeret para pelanggar HAM di era Orde Baru
dan setelahnya; menolak kebijakan ekonomi dan pasar
neoliberal; pemboikotan terhadap lembaga pelayanan publik
yang berwatak komersial dan tidak berpihak pada rakyat;
memperjuangkan gaji buruh dan menolak redistribusi tanah
yang tidak merata; menolak komersialisasi lembaga

52
pendidikan; penghapusan utang luar negeri; dan pengusutan
tuntas para pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Apalagi untuk yang terakhir disebutkan telah menjadi momok
menakutkan di negara ini. Di satu sisi, partisipasi lemah,
terbatas dan mudah dimanipulasi. Di lain sisi, institusi-
institusi kaku atau terlalu mudah diakses dan jelek koordinasi.
Akibatnya bentuk korupsi bisa mengakibatkan siatuasi yang
beragam. Pertama, civil society dan partai-partai politik
lemah, tapi luasnya jaringan hubungan patron-client
mendominasi politik dan ekonomi. Kedua, pengadilan dan
polisi tidak efektif, sementara peremanisme merajalela dan
menguasai banyak segi kehidupan. Ketiga, korupsi dijalankan
dalam rangka mencari pengaruh birokrasi atau badan
legislatif, sedangkan pejabat pemerintah dan militer
mengambil porsi penting ekonomi tanpa takut terkena sanksi.
Akibat korupsi jangka panjang menjadi berat karena dapat
membelokkan perkembangan ekonomi dan politik.

Kata F. Lordon—yang dikutip dari Haryatmoko dalam


Dominasi Penuh Muslihat—korupsi menjadi insentif jangka
pendek yang membebani ongkos jangka panjang, bukan untuk
tujuan poilitik kesejahteraan bersama, tetapi untuk
mempertahankan kekuasan seperti pada pemilu yang katanya
demokratis. Ujung dari semuanya adalah kemelaratan,
kemiskinan dan penderitaan rakyat yang uangnya telah masuk
ke kantong para pejabat dan pengusaha serta ulama. Rakyat
miskin akhirnya dijadikan legitimasi oleh negara dalam
melakukan praktik yang lebih sadis, yakni ditunjang oleh
kebijakan kolonialisme dan imperialisme: utang luar negeri
dan pembangunan yang mengambil contoh dari Barat. Sistem
pemerintahan, hukum, ekonomi terus diupayakan untuk

53
memenuhi standar yang digariskan oleh aturan internasional
baik yang tertuang dalam GATT, WTO, maupun Lol IMF.
Sumber daya alam (SDA) kemudian diekploitasi hingga
rakyat pemilik tanah air jadi babu di negeri sendiri. Keadaan
makin tidak menguntungkan rakyat tatkala aparatur ideologis
dengan masif menebar keyakinan: kesejahteraan hanya bisa
tercapai dengan percepatan pembangunan yang terus-
menerus; penyebarluasan gagasan-gagasan pembangunan oleh
pelbagai media tanpa memerhatikan kebutuhan rakyat; dan
aparatur organisasi HMI yang hanya mengembangkan
kadernya untuk menjadi orang sukses yang tolak ukurnya
yakni menjadi pejabat. Diam-diam semua ini menjadikan
kaderisasi HMI terkadang jauh dari isu-isu publik, namun
lebih mementingkan program kerja rutin.

Kini Islam yang dianggap sebagai ideologi HMI kehilangan


peran revolusionernya. Ini menandakan bahwa Islam sebagai
idologi gerakan hanya ada dalam catatan-catatan perkaderan,
tidak pada gerakan lapangan. Padahal agama kata Hasan
Hanafi adalah sebuah revolusi, yang seharusnya mengarahkan
kader-kader Islam untuk bergerak melawan kaum mustakbirin
perusak tatanan sosial di muka bumi. Jauh hari diingatkan
juga oleh Syari’ati bahwa agama adalah sebuah bentuk protes.
Pengutukan terhadap ketidakadilan: diskriminasi,
kesewenang-wenangan dan perampasan hak. Itulah mengapa
dalam karya ini aku menyematkan harapan besar tentang
sebuah perubahan. Lebih-lebih mengharapkan bangkit sikap
keberagamaan kader-kader himpunan seperti yang menjadi
landasan gerakan Sarekat Islam, Ikhwanul Muslimin dan
Mujahidin Iran. Islam di tangan mereka dijadikan senjata
dalam melakukan revolusi sosial melawan struktur penindas.

54
Karena agama hendak menciptakan kesehatan sosial, bukan
malah menjadi candu: pelipur lara serta tempat berkeluh kesah
kaum miskin dan tertindas. Kinni Islam perlu dijadikan alat
yang canggih untuk melakukan perubahan sosial dan menjadi
ajaran aktif dalam merombak tatanan usang dengan
menghadirkan kembali keadilan hakiki: keadilan yang bukan
didasarkan pada kepentingan orang kaya dan berpengaruh,
namun keadilan yang berwujud masyarakat tanpa kelas dalam
Islam—dilukiskan Murtadha Muthahari sebagai masyarakat
yang mirip fase sosio-historis komunis:

Masyarakat tanpa pembedaan (diskriminasi), tanpa


orang melarat dan tanpa tirani: suatu masyarakat yang
adil. Ia bukan masyarakat tanpa perbedaan, karena
kesamaan itu sendiri merupakan kezaliman dan
perampasan keadilan.

Sepanjang sejarah peradaban: kepemilikan pribadi, pembagian


kerja, hingga surplus dan akumulasi telah membuat manusia
tercerabut dari fitrahnya. Lebih-lebih fitrah merosot melenyap
dalam kehidupan masyarakat berkelas. Masyarakat ini soalnya
melegalkan penindasan atas sesamanya. Itulah yang tercermin
dalam Bani Madyan, Bani Israil dan Bani Quraisy. Kehadiran
para nabi adalah untuk melawan penindasan dalam sistem
masyarakat seperti itu. Namun sekarang struktur kekuasaan
dan sistem kapital telah kembali menjadi status quo
pelanggeng eksploitation de I’homme par I’homme dalam
peradaban modern. Menghadapi keadaan ini maka HMI
dituntut berbenah menjadi organisasi yang progresif-
revolusioner: melancarkan perlawanan yang terus-menerus,
terorganisir dan terencana untuk menghancurkan dan
mengganti tatanan kapitalisme. Itulah yang akan dipersoalkan

55
dalam bagian-bagian dari karya ini selanjutnya. Lebih-lebih
ini tentang sebuah harapan tentang organisasi yang
bersemangat dalam menggencarkan perlawanan terhadap
sistem dan struktur yang menindas itu. Dengan begitu maka
tugas kader himpunan selanjutnya persis yang diingatkan
Syari’ati kepada seluruh kader Islam adalah mengusahakan
renaissance Islam: menghadirkan kembali Islamnya
Muhammad saw, Islamnya Imam Ali, Islamnya Abu Dzar,
Islamnya Imam Husein. Maksudnya adalah menjadikan Islam
sebagai ideologi yang mampu membela kaum miskin dan
tertindas dari keserakahan, kesewenang-wenangan dan
kejahatan kekuasaan. Terutama dikibarkan sebagai ideologi
pembebasan yang menentang eksploitasi dan kekerasan dari
negara dan kapitalisme.

56
Gerakan Organisasi Termakan Propaganda Keji

“Dunia penuh ketidakadilan. Dan mereka yang memperoleh


keuntungan dari ketidakadilan itu juga berwenang
memberikan ganjaran dan hukuman. Ganjaran didapatkan
oleh mereka yang bisa menemukan dalih-dalih yang pintar
untuk mendukung ketidakadilan, dan hukuman didapatkan
oleh mereka yang mencoba menghilangkan ketidakadilan
tersebut.”
(Betrand Russel)

“Di taman pahlawan beberapa pahlawan sedang berbincang-


bincang
tentang keberanian dan perjuangan.
Mereka bertanya apakah ada yang mewariskan semangat
Perjuangan dan pembelaan kepada yang ditinggalkan?
Ataukah patriotisme dan keberanian di zaman pembangunan
ini sudah
tinggal menjadi dongeng dan slogan?
Banyak sekali tokoh di situ yang diam-diam ikut
mendengarkan dengan
Perasaan malu dan sungkan.
Tokoh-tokoh ini menyesali pihak-pihak yang membawa
mereka
ke mari karena menyangka mereka juga pejuang-pejuang
pembeberani.
Lalu menyesali diri mereka sendiri yang dulu terlalu baik
memerankan
Tokoh-tokoh gagah berani tanpa mengindahkan nurani.
(Bunga-bunga yang setiap kali ditaburkan justru membuat
mereka lebih tertekan)”
(A. Mustofa Basri, Di Taman Pahlawan 12)

12
A. Mustofa Bisri, (2019), Pahlawan dan Tikus Kumpulan Puisi,
Yogyakarta: Diva Press, Hlm. 66.

57
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah wadah pergerakan.
Organisasi gerakan ini menampung mahasiswa-mahasiswa
yang beragama Islam. Pendiriannya dipelopori oleh anak-anak
muda yang sadar dan menyimpan amarah terhadap pelbagai
persoalan keumatan, kebangsaan, dan kerakyatan. Maka latar
belakang berdirinya HMI menjadi sangat penuh keheroikan.
Hanya secara garis besar terdapat empat faktor dominan yang
mendorong kelahiran himpunan. Pertama, situasi dunia
internasional: tertutupnya pintu ijtihad diidentifikasi sebagai
penyebab mandegnya perkembangan umat Islam global.
Kemunduran dalam pemikiran tidak hanya mengakibatkan
ketinggalan zaman, tapi juga membutanya tidak mampu
berangsek dari penjajahan. Itulah mengapa kolonialisme-
imperialisme nampak menyelimuti banyak sekali negeri
Islam. Tetapi sadar akan kekurang di negerinya, pelbagai
pemikir kemudian menggagas terbitnya gerakan-gerakan
pembaharuan: Turki, pembaharunya Rifaah Badawi Ath
Tahtawi; Mesir, pelopornya Muhammad Abduh; Saudi
Arabia, pemimpinnya Muhammad Ibnu Abdul Wahab;
Pakistan, dikomandoi Muhammad Iqbal; dan sebagainya. 13
Gerakan Islam global inilah yang memberi inspirasi
perjuangan bagi anak-anak muda muslim Indonesia. Sebab
keadaan umat, bangsa, dan rakyatnya kala itu seiras dengan
kondisi orang-orang di tanah-tanah jajahan lainnya.

Dalah sejarahnya, variabel kedua yang melatarbelakangi


berdirinya HMI ialah: situasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)—kedatangan negara kolonialis Inggris,

13
Buka https://insanlimacita-wordpress-com-latar-belakang-sejarah-
berdirinya-hmi/

58
Portugis, Spanyol, Belanda, dan Jepang ke Indonesia bukan
hanya dilihat membahayakan kedaulatan rakyat, tapi juga
dapat menyebarkan missi dan zending peradaban. Maka perlu
sekali dipancangkan perlawanan seperti yang sedang
dilakukan oleh umat Islam global: gerakan pembaharuan.
Pergerakan demikian sangat dibutuhkan. Apalagi poin ketiga
berdirinya himpunan dilatarbelakangi: situasi umat Islam
Indonesia—pemahaman, penghayatan, dan pengmalan syiar
Islam di negeri ini begitu terdistorsi: roh dan semangat Islam
hilang di tengah berkembangnya mazhabisme, sufisme dan
ketertutupan kesempatan untuk berijtihad. Maka kebutuhan
mendirikan organisasi mahasiswa Islam—sebagai alat
perjuangan melawan kolonialisme-imperialisme—semakin
tak terbendung. Apalagi ketika dipertemukan dengan latar
belakang keempat: situasi Perguruan Tinggi dan dunia
kemahasiswaan—penindasan yang dilakukan negara-negara
kolonialis-imperialis mengakibatkan diselimutinya kampus
dengan sistem pendidikan berorientasi sekularisme yang dapat
mempercepat pendangkalan sikap dan tindakan keberagamaan
banyak mahasiswa.14

Berawal prakondisi-prakondisi itulah yang mendorong HMI


muncul sebagai organisasi mahasiswa Islam. Himpunan
berdiri di Yogyakarta pada pukul 16.00 WITA hari Rabu Pon
1878, 14 Rabiul Awwal 1366 H atau bertepatan dengan 5
Februari 1947. Lembaga ini didirikan oleh mahasiswa-
mahasiswa tingkat I Sekolah Tinggi Islam (STI), yang
diprakarsai Lafran Pane. Proses pengukuhannya dilakukan

14
Lihat Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 16-17.

59
dalam ruangan sewaktu berlangsungnya jam kuliah tafsir
Dosen Harun Yahya. Himpunan selanjutnya mengemban
tugas perjuangan di tengah konfigurasi politik, ekonomi,
agama, kebudayaan dan pendidikan yang mewarnai
kehidupan umat dan bangsa. Pertama, soal politik: Indonesia
masih dijajah Belanda. Kedaulatan rakyat yang dicita-citakan
Proklamasi 17 Agustus 1945 belum sepenuhnya berada di
tangan rakyat Indonesia. Cengkraman dan dominasi
kekuasaan Belanda soalnya amat kuat. Bahkan sesudah
proklamasi kemerdekaan pun negeri ini tetap coba ditambat.
Maka penduduknya terancam tak bisa maju-maju, karena
terus-menerus berusaha dibuat subordinat. Kedua, soal
ekonomi: kondisi perekonomian Indonesia sangat jauh
terbelakang. Rakyat hidup dalam kesengsaraan karena
kemiskinan selalu menerjang. Kekayaan bumi Indonesia
diperas untuk kepentingan ekonomi-politik penjajah. Itulah
mengaap segala sumber daya alam dihisap, diangkut, dan
dibawa ke negeri Belanda. Walhasil, kelas penguasa bisa
hidup senang dan bahagia. Sementara rakyat jajahan
berkalang kemelaratan dan sengsara.

Ketiga, soal agama Islam. Islam yang dikenal selama ini


hanya dari segi hukum: persoalan makruh, mubah, halal dan
haram. Maka Islam laksana gudang larangan. Sementara
tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan mayoritas
penduduk Indonesia cuma diaplikasikan dalam bingkai tradisi:
kawin, mati dan selamatan. Keempat, soal kebudayaan. Islam
menghadapi berbagai aliran budaya, terutama kebudayaan
Barat yang diwakili Amerika dan Belanda. Akibatnya
kebudayaan Islam mengalami pemerosotan begitu rupa.
Kelima, soal pendidikan. Dalam perkembangan ilmu-

60
pengetahuannya, umat Islam Indonesia mengalami
keterbelakangan. Rakyat miskin dan tertindas tidak mudah
beroleh pendidikan, karena penguasa memandang
keberadaannya sebelah mata. Daripada membantu mereka
keluar dari alam kebodohan, penguasa justru semakin
mengucilkannya. Pencerdasan bagi para penindas hanya patut
diberikan terhadap anak-anak pegawai Pemerintah Kolonial
Belanda semata.15

Tugas-tugas kerakyatakan, kebangsaan, dan keumatan dalam


konfigurasi-konfigurasi politik, ekonomi, agama, kebudayaan,
dan pendidikan itu begitu kompleks. Hanya HMI
mereduksinya menjadi dua tugas saja: negara dan agama.
Dengan mengemban kedua misi iniah himpunan milibatkan
diri pada pertempuran melawan Agresi Militer Belanda I.
Keterlibatan di gelanggan perang baginya sesuai tujuan awal
berdirinya HMI: mempertahankan kemerdekaan NKRI,
mempertinggi derajat rakyat Indonesia, menegakkan dan
mengembangkan syiar Islam. Melaluinya seluruh anggota
organisasi diarahkan terjun mengusir tentara-tentara penjajah
untuk membela kehormatan nusa dan bangsa dari gerayangan
kolonialisme Belanda. Pulpen dan pena digantikan senjata,
bedil, bahkan bambu segala. Kader-kadernya melakukan
perjuangan revolusi fisik tanpa memakai nama dan membawa
bendera organisasi, tapi melebur dalam Compi Mahasiswa
(CM) yang dibentuk tentara. Sitompul bercerita:

…Ketika Belanda melakukan serangan militer pada


Clash I 21 Juli 1947, mahasiswa Yogyakarta secara
spontan menyatakan kesediaannya turut berjuang di

15
Disarikan dari Ibid, Hlm. 21-26.

61
garis depan. Untuk itu mereka memasuki latihan militer
secara kilat selama 7 hari, yang diselenggarakan oleh
Markas Besar Tinggi atau MBTTNI Angkatan Darat.
Latihan tersebut diadakan di bekas benteng Belanda
“Verederburgh”, terletak di sebelah Gedung Negara
jalan Malioboro Yogyakarta. Kemudian disusun dalam
Compi Mahasiswa atau CM dengan Komando Hartono
dari HMI (sekarang tahun 1975 berpangkat Mayor
Jenderal). Anggota-anggota HMI turut juga dalam
Compi Mahasiswa ini, di antaranya Ahmad Tirtosudiro
sebagai Wakil Komandan, Amir Alamsyah sebagai
Kepala Staf, Moh. Sanusi tir. H., Usman Abdullah (SH,
Kolonel AD, Purnawirawan), Abdul Firman (Brigjen
AD-tahun 1975), Usep Ranuwiharja (SH, bekas Duta
Besar di Hanoi, tokoh PNI Osa Usep-PDI). 16

Keikutsertaan kader-kader himpunan ternyata berhasil


memukul mundur pasukan-pasukan kolonialis. Tapi
dipatahkannya agresi militer Belanda bukan berarti
kemerdekaan Indonesia langsung berjalan mulus. Masih
persis dengan kondisi kebangsaan sesaat setelah 17 Agustus
I945, Indonesia belum sepenuhnya menjadi bangsa yang
bebas dari penindas. Penindasan soalnya tetap bertahan mulai
dari desa hingga kota-kota. Hanya ketertindasan itu tak
melulu hadir melalui aparat-aparat bersenjata kolonial,
melainkan intervensi-intervensi ekonomi-politik Belanda
beserta sekutu-sekutunya. Di samping bayang-bayang
imperialisme, mayoritas rakyat kecil, lemah, dan miskin juga
berada di bawah ancaman kapitalis-birokrat, borjuis
komprador, dan tuan-tuan tanah. Itulah mengapa situasi

16
Ibid, Hlm. 37.

62
Indonesia disebut DN Aidit sebagai tanah air ‘setengah
jajahan dan setengah feodal’:

Di samping imperialisme yang mengangkangi ekonomi


Indonesia berlangsung pula kegiatan kaum kapitalis
birokrat dan borjuis komprador yang langsung merusak
ekonomi sektor negara dan sektor swasta nasional
patriotik…. Sedangkan kenyataan di desa menunjukan
bahwa hubungan agraris di samping pengaruh
imperialis yang menguasai perkebunan (karet,
tembakau, kopi, kopra, dsb) masih terdapat hubungan-
hubungan ekonomi yang bersifat feodal dan kaum tani,
terutama kaum buruh tani dan tani miskin hidupnya
dalam keadaan melarat dan tergantung pada tuan tanah
feodal. Kenyataan ini disebabkan berhubung masih
adanya hak monopoli tuan tanah atas tanah yang
dikerjakan kaum tani yang tak bertanah, pembajaran
sewa tanah dalam ujud barang hasil panen kepada tuan
tanah, adanya sistem sewa tanah dalam bentuk kerja di
tanah tuan tanah, dan adanya tumpukan hutang yang
menempatkan kaum tani dalam dalam kedudukan
budak terhadap pemilik tanah dan terhadap lintah darat.
Jadi, sisa-sisa feodalisme tidak identik dengan kaum
ningrat seperti yang sering disalahartikan,
“Penghisapan feodal bisa dilakukan, dan dilakukan
secara ganas oleh seseorang tuan tanah yang setetespun
tidak mempunyai darah ningrat”.17

Sisa-sisa feodal dan kolonialisme berpadu dengan


kapitalisme-imperialisme telah menempatkan rakyat kecil,
lemah, dan miskin dalam posisi yang terus terhisap sampai

17
D. N. Aidit, (1964), Revolusi, Angkatan Bersendjata, dan Partai Komunis
(PKI dan AURI), Djakarta: Jajasan Pembaruan, Hlm. 25-26. Tulisan dalam
karya aslinya memakai ejaan lama, tapi oleh penulis diubah sesuai EYD.

63
berkondisi amat menderita. Kala inilah di samping kelas
proletar dan borjuis kecil; buruh tani dan petani miskin ikut
menjadi korbannya. Bentuk pemghisapan terhadap mereka
terdiri dari empat cara: (1) Monopoli tuan-tanah atas tanah;
(2) Sewa tanah dalam wujud hasil bumi; (3) Sewa tanah
dalam bentuk kerja di tanah tuan-tanah; dan (4) Hutang-
hutang yang mencekik kaum tani.18 Kondisi ini merupakan
akibat dari kegagalan pemerintahan Soekarno mengarahkan
Revolusi Agustus 1945 ke arah yang lebih maju. Menurut
Aidit, ada empat faktor yang menyebabkan gagalnya revolusi
borjuis itu: (1) Politik anti-imperialis yang tidak konsekuen,
dengan terus-menerus melakukan kompromi, seperti terbukti
dengan persetujuan Linggarjati dan Renville, dan kemudian
disusul lagi dengan persetujuan KMB yang lebih busuk; (2)
Tidak adanya politik anti-feodal yang dengan tegas memukul
tuan-tanah feodal dan menarik kaum tani ke dalam revolusi;
(3) Tidak jelasnya politik Front Persatuan dengan borjuis
nasional dalam revolusi borjuis demokratis di Indonesia; dan
(4) Tidak adanya pimpinan (hegemoni) kelas buruh yang
tunggal atas revolusi, meskipun ini tak berarti pimpinan
revolusi berada di tangan borjuasi.19

Kegagalan revolusi borjuis kontan membuat kemerdekaan


Indonesia berjalan lunglai. Sejenak melepas diri dari serangan
pasukan kolonial Belanda, kelas penguasa di negeri ini lantas
berbalik menyengsarakan rakyatnya sendiri. Itulah mengapa
dalam tubuh pemerintahan Soekarno-Hatta masih

18
D.N. Aidit, (1964), Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa,
Djakarta: Jajasan Pembaruan, Hlm. 27.
19
D.N. Aidit, (1964), Kibarkan Tinggi Panji Revolusi, Djakarta: Jajasan
Pembaruan, Hlm. 11.

64
menyediakan tempat untuk pejabat-pejabat pribumi yang dulu
menjadi hamba-setia penjajah. Negara merawat mereka
menjadi tengkulak, politisi pandir, dan birokrat pongah. Di
tangan segelintir kalangan inilah kekayaan ditumpuk-tumpuk
begitu rupa hingga mayoritas rakyatnya hidup berkalang
nestapa. Kemiskinan yang menyembul di mana-mana
mengakibatkan orang miskin terlunta-lunta. Aidit
menceritakannya dengan amat pilu:

Kalau kita nongkrong di tangga istana, kita akan


melihat orang yang mondar-mandir itu. Kita akan kenal
semua mereka. Yang juga dahulu ada di Volksraad dan
Chuo Sangi In. Mereka adalah tengkulak-tengkulak
rakyat. Dalam portable yang mereka jinjing ada catatan
berapa jumlah rakyat yang mereka wakili. Rakyat yang
tidak pernah melihat, rakyat yang tidak pernah kenal
padanya … ketahuilah bahwa selama 18 bulan revolusi
kita, golongan pekerja inilah yang paling berat
penderitaannya. Kaum buruh menderita di mana-mana,
kaum buruh tidak mampu berpakaian sederhana, tidak
cukup makan, tidak dapat kesenangan sekedarnya.
Lihatlah kaum tani kita yang sejak jajahan sudah
dihisap secara mutlak, mereka itu masih tetap hidup
dalam lumpur dengan serba kekurangan dalam segala-
segalanya dan di samping itu seumur revolusi, memberi
makan prajurit, menyediakan beras untuk India guna
mengikuti diplomasi pemerintah dan memberi makan
seluruh masyarakat, siapakah yang senang, siapakah
yang mewah hidupnya, siapakah yang berpangkat?
Yang senang, yang mewah, dan yang berpangkat ialah

65
opkomde bourgeois yang memegang jabatan tinggi di
dalam civil maupun militer.20

Di bawah pengaruh kelas borjuis dan penetrasi kekuatan-


kekuatan fasis dalam pranata kenegaraan, maka kehidupan
rakyat disulap jadi begitu mengerikan. Selama perang
mempertahakan kemerdekaan, mereka bukan malah
mempercayakan perjuangan bersenjata kepada kelas pekerja,
kaum tani, dan pemuda-pemuda radikal yang menjadi
kekuatan utama perjuangan kemerdekaan. Tetapi memberi
kesempatan kepada gerombolan pasukan elit bekas didikan
Jepang dan Belanda untuk terlibat aktif dalam bidang
pertahanan dan keamanan. Hanya perjuangan bersejata tidak
dilaksanakannya sendiri, karena menggandeng elemen-elemen
agamais maupun nasionalis lain. HMI merupakan salah satu
organisasi mahasiswa islamik dan patriotik yang bergabung
ke medan pertempuran. Keterlibatan mereka mula-mula
melewati latihan militer selama 7 hari yang digelar oleh
Markas Besar Tertinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat (MBK-TNI-AD). Setelah berhasil melaksanaka latihan,
kader-kader himpunan dan tentara-tentara negara membentuk
Compi Mahasiswa (CM) yang diberikan komandonya kepada
Mayor Jenderal Hartono (anggota HMI Yogyakarta). Di
bawah pimpinannya terlibat pula kader-kader HMI lainnya:
Ahmad Tirtosudiro, Amir Alamsyah, Moh. Sanusi, Usman
Abdullah, Abdul Firman, dan Usep Ranuwiharja.21

20
Soe Hok Gie, (2005), Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Jakarta:
Bentang Pustaka.
21
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 37.

66
Dilengserkannya Kabinet Amir Syarifuddin untuk digantikan
Kabinet Mohammad Hatta menandai dimulainya pengusiran
golongan kiri dari tubuh pemerintahan. Pada 29 Januari 1947,
Hatta secara resmi menggantikan Amir sebagai Perdana
Menteri hingga mencanangkan empat program peralihan
dengan cekatan: (1) Menyelenggarakan Persetujuan Renville;
(2) Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat; (3)
Rasionalisasi; dan (4) Pembangunan. 22 Sejak rencana
pelengseran Amir hingga keluarnya kebijakan Hatta, HMI
selalu mengambil sikap untuk mendukung kekuasaan.
Dukungannya terhadap pemerintah bukan semata karena
banyak kadernya yang telah menduduki kursi-kursi jabatan
ketentaraan, melainkan pula didasarkan paham sempit
keagamaan dan nasionalisme. Berdiri di atas lantai
pemahaman itulah mengapa HMI menjadi salah satu gerakan
mahasiswa yang anti-kiri (FDR/PKI bersama Amir
Syarifuddin), tapi mendukung penuh kepemimpinan borjuis
nasional (Hatta dengan beragam program peralihannya).

Dengan menentang kekuatan-kekuatan kiri dan berpihak


kepada kelas borjuis, maka gerakan HMI tidak mampu
mendekati kebijakan Hatta secara kritis. Itulah mengapa
keempat program peralihan tak dilihatnya sebagai poin-poin
yang hina, melainkan kebijakan-kebijakan yang bagus.
Padahal melalui program inilah Perdana Menteri Hatta
meluncurkan Revolusi Indonesia: pemerintahan melepaskan
ideal-ideal perjuangan kemerdekaan. Inilah mengapa mereka
tidak memiliki komitmen untuk mengenyahkan modal asing,

22
Coen Husain Pontoh, (2005), Mitos Tentara Rakyat, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 53.

67
membasmi sisa-sisa feodal, dan memberi perlindungan
terhadap kelas buruh dan kaum tani yang hidupnya masih
terkungkung kesengsaraan. Daripada menuntaskan jalannya
revolusi, Kabinet Hatta justru bermain mata dengan Negara
Kapitalis Amerika. Hubungan ini bukan sekedar menjadi
alasan diusirnya kaum kiri dari tubuh pemerintahan, tapi juga
dibasminya gerakan-gerakan kiri pada masa-masa awal
kemerdekaan. M.R. Siregar menjelaskannya demikian:

Dari perspektif FDR/PKI, revolusi nasional Indonesia


seharusnya adalah revolusi yang membuahkan sebuah
Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis, bebas
dari dominasi asing di bidang politik dan ekonomi, dan
bebas dari sisa-sisa feodalisme. Tapi dari perspektif
Hatta dan Amerika, revolusi yang akan membuahkan
‘kemerdekaan’ itu haruslah yang bisa memberi tempat
kepada negara-negara Barat untuk ekspor kapital. Pasar
bagi hasil-hasil industri mereka, pangkalan militer, dan
membiarkan kekayaan alam serta tenaga kerja dari
rakyatnya dieksploitasi dengan harga yang murah….
TNI-Masyarakat khususnya dan FDR/PKI umumnya
menjadi semacam duri di mata Hatta dan Amerika…
Pada titik ini bertemu program rasionalisasi pemerintah
Hatta dengan instruksi-instruksi rahasia pemerintah
Amerika, bertemu serasi seperti ruas dengan buku.

Jauh sebelum Peristiwa Madiun terjadi, yaitu masih


dalam kurun percaturan politik mengenai persetujuan
Renville, melalui Dr. Graham, pemerintah Amerika
telah memberikan instruksi rahasia kepada pemimpin-
pemimpin Republik Indonesia supaya mencabut duri
ini. Laporan sangat rahasia polisi Belanda, 1 April
1948, menunjukkan: “…pertemuan-pertemuan terjadi
antara Graham dan Sukiman. Sepanjang pertemuan-

68
pertemuan ini Graham menjanjikan bahwa bantuan
Marshall Plan untuk Indonesia akan dipertimbangkan
begitu Republik menerima Renville dan pengaruh
Sayap Kiri atas pemerintah Indonesia dikurangi, ini,
secara rahasia” kata laporan tersebut, “akan mengekang
semua kegiatan front Sayap Kiri…. Untuk
melaksanakan instruksi rahasia tersebut, maka pada
tanggal 8 Mei 1948, sebuah pertemuan dilakukan
dengan dewan siasat militer. “Para pesertanya”, kata
Kreutzer, “Ialah Hatta dan kepala-kepala dari angkatan
bersenjata, waktu itu: Sudirman, Nasution, Latief
(ketiga-tiganya mewakili Angkatan Darat), Subiyakto
(Angkatan Laut) dan Suryadarman (Angkatan Udara).
Dalam sebuah dokumen rahasia kita menemui pokok-
pokok diskusi. Dua pokok menarik perhatian khusus.
Pertama, semua peserta dengan suara bulat menyetujui
bahwa TNI-Masyarakat pada pokoknya sudah
dibubarkan. Kedua, Hatta mengijinkan orang-orang
Amerika untuk mendirikan pangkalan di Indonesia,
dengan mendapat senjata sebagai gantinya. 23

Daripada mempelajari analisa FDR/PKI, HMI justru bersibuk


diri menjadi gerakan mahasiswa yang membasmi kekuatan-
kekuatan kiri. Bersama tentara-tentara reguler (bekas KNIL
dan PETA), mereka tampil sebagai kekuatan reaksioner. Pada
1948, bersama serdadu-sedadu fasis dilancarkannya
pengejaran, penangkapan, sampai pembunuhan dan
pembantaian terhadap orang-orang kiri. Keterlibatan HMI
dalam pembantaian itu bukan hanya karena kedekatannya
dengan tentara, melainkan pula akibat termakan propaganda
fasis yang menegaskan telah terjadinya pengkhinatan dan

23
M.R. Siregar, (2007), Tragedi Manusia dan Kemanusiaan; Holokaus
Terbesar Setekah Nazi, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 27.

69
pemberontakan FDR/PKI. Kala itu posisi kekuatan kiri dalam
tubuh pemerintahan memang begitu lemah sekali. Setelah
Amir Syarifuddin yang menjadi tokoh sekaliber FDR/PKI
diklengserkan dari jabatan Perdana Menteri; borjuis-borjuis
nasional bersama kekuatan fasis dan imperialis semakin
membanduli gerakan kiri dengan beragam hasutan dan
tuduhan. Tujuannya sederhana: untuk menyingkirkan seluruh
sisa-sisa kekuatan kiri dari pranata kenegaraan hingga dapat
dengan mulus menerapkan keempat program peralihan
Pemerintah Hatta. Dianggap sebagai oposisi berbahaya bagi
pemerintahan, maka gerakan kiri kemudian diperangi bukan
hanya dengan stigma tapi juga pasukan bersenjata. Sejak
bulan Juli-September 1948, provokasi kekuasaan bukan hanya
berbentuk tebaran-tebaran hasutan lewat pamflet tapi juga
penganiayaan dan penculikan dengan tujuan memancing
kemarahan FDR/PKI. Suasana ini dijelaskan oleh M.R.
Siregar begitu rupa:

Perkembangan keadaan di Solo, sejak dua insiden


[pembunuhan terhadap kaum kiri] di kota Madiun
sendiri di bulan Juli dan pelucutan di Bojonegoro,
penangkapan-penangkapan oleh pemerintah terhadap
orang-orang PESINDO di Blitar, razia-razia di Nganjuk
(semuanya di Jawa Timur) di bulan September …
semuanya menimbulkan rasa was-was di kalangan
FDR/PKI, tentara dan kekuatan bersenjata Kiri yang
akan terkena “rasionalisasi” dan massa rakyat
pendukung mereka…. Kemudian, dari jam ke jam
berita-berita berdatangan dan gerak-gerik pasukan yag
pro-Hatta, yang sejak bulan September sudah
menyusup ke Madiun, melipat-duakan rasa cemas
itu…. Berita-berita ini secara meyakinkan
mendemonstrasikan bahwa Polisi Militer [sedadu-

70
sedadu bekas KNIL-PETA] dan begitu juga satuan-
satuan SILIWANGI (utamanya BRIGADE
TENGKORAK) menginginkan pasukan-pasukan FDR
dan pasukan-pasukan lainnya yang berada di bawah
‘pengaruh’ FDR supaya dilucuti. Setelah pelucutan,
pemimpin-pemimpin FDR [Amir Syarifuddin, Musso,
Supardi, Amir Harjono, dan sebagainya] harus
ditangkap…. Kecemasan dan ketegangan luar biasa ini
akhirnya berakibat pada meletusnya pertempuran pada
tengah malam tanggal 18 September di Madiun….
Demikianlah situasi yang menguasai Madiun yag
kemudia memaksa para pembesar sipil dan militer
setempat serta FDR/PKI mengangkat Supardi sebagai
Walikota Residen Sementara.

Tetapi sangat tak terduga-duga, reaksi Presiden


Soekarno terhadap pengangkatan itu sungguh sangat
mengejutkan dan mengecewakan kalangan FDR/PKI
bersama dengan massa pendukung mereka, begitu pula
kalangan tentara dan lascar rakyat yang tidak
menyetujui “rasionalisasi” dan tindakan-tindakan
sewenang-wenang pemerintah pusat. Pada jam 8.00
malam, tanggal 19 September 1948, Presiden Soekarno
… “mengumumkan perang terhadap PKI Musso”….
[Baginya:] di Madiun kekuasaan yang sah telah
disergap (overpowered) dan digatika oleh sebuah
pemerintahan model Soviet di bawah pimpinan
Musso…. Keesokan harinya, 20 September, Wakil
Presiden/Perdana Menteri/Menteri Pertahanan
Mohammad Hatta mengucapka pidato pada sidang BP-
KNIP (Badan Pekerja Komite Indonesia Pusat, dari
parlemen Indonesia ketika itu) dan meminta kepada
lembaga negara itu supaya dia diberi kekuasaan luar
biasa (boleh menyimpang dari undang-undang yang
ada) untuk melakukan pengejaran berdarah terhadap

71
kaum komunis…. Dalam pidato 19 September, selain
meyuruh rakyat memilih antara “PKI-Musso” di satu
pihak dan “Soekarno-Hatta” di lain pihak, Presiden
Soekarno juga menyerukan kepada seluruh rakyat
untuk secara bersama-sama membasmi apa yang
disebut “kaum pengacau”. Maksudnya, kata Aidit,
untuk membasmi kaum komunis, orang-orang
progresif, dan pengikut mereka….24

Dikepung pelbagai propaganda fasis bersama demagogi-


demagogi borjuis nasional, maka Ketum PB HMI (1948-
1949) Ahmad Tirtosudiro membentuk Corp Mahasiswa
(CM)—untuk memobilisasi elemen-elemen mahasiswa
agamais dan nasionalis ke Solo dan Purwodadi—guna
membasmi FDR/PKI. Berkait dengan peran CM selama
berlangsungnya pertempuran, Agus Salim Sitompul
menjelaskan demikian: ‘Corp Mahasiswa yang berintikan
HMI, di samping sebagai kesatuan tempur, intelejen.
Penerangan, duduk dalam staf, telah mengerahkan segenap
potensi dan kekuatan, bersama-sama kekuatan Siliwangi
[tentara reguler bekas serdadu KNIL dan PETA—yang
menjadi pendukung utama pemerintahan Hatta], menyerbu
Madiun, menghancurleburkan PKI dalam waktu dua setengah
bulan, kekuatan PKI dapat diporak-porandakan’. 25 Dalam
sebuah pidato D.N. Aidit pada Peringatan Ulang Tahun PKI
ke-33, diperkirakan jumlah korban pembantaian ini
meraksasa: ’10.000 kaum buruh dan kaum tani serta
golongan-golongan rakyat lainnya, dengan pemimpinan-
pemimpinannya, Komunis dan bukan-Komunis, dibunuh
dalam kejadian di Madiun ini. Juga pemimpin-pemimpin PKI
24
Ibid, Hlm. 34-36.
25
Prof. Dr. H. Agus Salim Sitompul, Op. Cit., Hlm. 39.

72
yang terkemuka dan pemimpin-pemimpin kaum buruh yang
terkemuka, seperti Kawan Musso, Amir Syariffudin, Suripno.
Dr. Wiroreno, Hardjono, Sardjono, dan banyak lagi lainnya
dibunuh dalam kejadian Madiun ini’. 26

Setelah berhasil menggulung orang-orang kiri, HMI kemudian


makin erat menjalin hubungan baik dengan kekuatan
kemiliteran. Itulah mengapa pasukan-pasukan CM
berbondong-bondong menjadi anggota himpunan:
Muhammad Joyosugito, Hinuri, Ahmad Dahlan
27
Ranuwihardja, dan sebagainya. Bahkan dengan kesuksesan
mereka mengganyang gerakan kiri hingga melancarkan
program rasionalisasi pemerintahan Hatta, maka dalam
menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember
1948—TNI dan HMI ditampilkan sebagai pejuang utama.
Kerjasama antara pengurus-pengurus himpunan dengan
tentara-tentara reguler sejak Agresi Militer Belanda I (Compi
Mahasiswa) dan Peristiwa Madiun (Corp Mahasiswa) menjadi
preseden kembali dipakainya kader-kader HMI untuk
menghadapi agresi militer susulan. Kala itu banyak sekali
anggotanya yang dimasukkan ke dalam badan khusus
bentukan militer: Mobilisasi Pelajar Markas Besar Komando
Djawa (Mobpel-MBKD). Melalui pasukan tempur inilah
kader-kadernya kembali diberi peran besar, terutama untuk
menggerakan potensi pelajar-mahasiswa melakukan
perlawanan terhadap Belanda.

26
D.N. Aidit, (1997), Menuju Indonesia Baru, Djakarta: Jajasan
Pembaruan, Hlm. 25.
27
Prof. Dr. H. Agus Salim Sitompul, Op. Cit., Hlm. 37.

73
Pada 27 Desember 1949, perjuangan mereka bersama elemen-
elemen kekuatan rakyat yang masih tersisa dan bersifat lokal
membuahkan hasil: Indonesia mampu merebut kedaulatan
dari tangan Belanda.28 Hanya yang didapat bukanlah daulat
rakyat melainkan kelas penguasa. Pembasmian FDR/PKI
soalnya telah membuat tubuh pemerintahan dikuasai oleh
kalangan borjuis nasional dan kalangan fasis. Mereka hanya
tahu merebut kemerdekaan tanah air tanpa berkomitmen
membersihkan sisa-sisa feodal dan memerangi imperialisme.
Sejak kekuatan kiri dibasmi maka cita-cita pembebasan
nasional terus-menerus diluncurkan begitu rupa. Tentara-
tentara reguler yang tadinya tampil sebagai pejuang
kedaulatan meluncur jadi alat penindasan baru. Sedangkan
elit-elit serdadu menjelma menjadi kapitalis-birokrat dengan
mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi yang
ditinggalkan oleh negara-negara kolonialisme. Persis seperti
itulah Ben Anderson menjelaskannya:

…pucuk TNI/AD menemukan jalan untuk menghadang


kekuatan-kekuatan dari tengah masyarakat yang
memecah-belah aparat sipil negara. Titik-balik ini
terjadi pada 1957. Pada 14 Maret, presiden Sukarno
mengumumkan Undang-Undang Keadaan Darurat
(S.O.B.) di seantero negeri untuk menanggulangi krisis
daerah, dan, dengan demikian, melimpahkan sumber-
sumber kekuatan istimewa kepada aparat militer. Pada

28
Ketika Belanda akhirnya terpaksa mengakui kekalahan, penyebabnya
yang utama bukan terletak pada peran lembaga Republik. Faktor utama
ialah adanya perlawanan rakyat yang sifatnya sangat lokal, terutama di Jawa
dan Sumatera, sebagaimana terungkap dalam gerak aneka ragam organisasi
politik dan militer di luar negara, yang dihimpun, dibiayai dan dipimpin
oleh kekuatan masyarakat di pelbagai tempat. (Lihat B.R.O.G. Anderson,
Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru)

74
mulanya wewenang ini digunakan untuk mengekang
kegiatan parta-partai politik—terutama Partai Komunis
Indonesia (P.K.I.)—, dan menekan organisasi-
organisasi veteran yang dikendalikan parpol, dalam
rangka mematahkan kaitan militer dan parpol.
Kemudian, ketika serikat-serikat buruh yang militan
pada bulan Desember merebut sebagian besar kerajaan-
dagang Belanda untuk mengganjar sikap Belanda yang
kepala-batu dalam isu Irian Barat, ketika itulah, pucuk
TNI/AD melangkah maju dan menggantikan serikat-
serikat itu. Mendadak para perwira TNI/AD merebut
kendali dari sebagian terbesar perusahaan dalam sektor
ekonomi modern tersebut. Maka, untuk pertama kali
korps perwira TNI/AD meraih sumber-sumber
keuangan penting bagi dirinya sendiri, dan dengan
demikian, untuk pertama kali pula, melekatkan suatu
kepentingan ekonomi korporat (usaha dagang yang
terorganisasikan) pada lembaga ABRI secara
keseluruhan, sebagai suatu sektor ekonomi tersendiri di
dalam masyarakat Indonesia. Jadi, pada 1957, untuk
pertama kali sejak 1942, sumber-sumberdaya ekonomi
yang utama (bagi seluruh bangsa) jatuh ke tangan suatu
kendali-tunggal (dari satu aparat di dalam negara)….
Lebih lanjut, dengan penguasaan atas bekas
perusahaan-perusahaan Belanda, maka pucuk pimpinan
TNI/AD kini berada dalam kedudukan yang langsung
bertolak belakang (antagonistis) dengan kekuatan
rakyat—terutama para buruh dan petani yang bekerja di
tambang, perkebunan dan perusahaan-perusahaan
dagang penting lainnya.29

Melalui nasionalisasi seabrek perusahaan asing yang


digalakan pemerintahan maka elit-elit serdadu berhasil

29
Ibid, Hlm. 16-17.

75
memperkokoh kekuasaan ekonomi-politiknya: mendapatkan
posisi-posisi strategis dalam tubuh-tubuh perusahaan,
memperkuat pengaruh pada pranata kenegaraan, hingga terus-
menerus memupuk laba dari lumbung kekayaan alam yang
tersebar di mana-mana. Sementara di sisi mereka HMI
sebagai organisasi yang menjadi patner dekatnya pun beroleh
jatah. Itulah mengapa setiap kegiatan himpunan selalu
mendapatkan angin segar dari tubuh kekuasaan dan
kebutuhan-kebutuhannya diakomodir begitu rupa. Sedangkan
alumni-alumninya amat banyak diorbitkan dalam struktur-
struktur negara (beberapa di antara alumni sekalibernya
seperti Ahmad Tirtosudiro, Akbar Tandjung, dan Abdul
Ghafur—pemaparan berkait ini dapat dibaca pada bagian:
HMI Terperangkap dalam Hegemoni Pembangunanisme).

Sejak awal kemunculannya HMI memang berdiri sebagai


organisasi yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dan menyiarkan ajaran keislamanan. Hanya kedua
tujuan itu kemudian disederhanakan dalam dua tugas utama:
menjaga kekuasaan negara dan memajukan agama Islam.
Inilah yang menjadi alasannya mengemban misi keumatan
dan kebangsaan. Tetapi pemikiran-pemikiran tentang umat
dan bangsa tidak membuatnya berdiri di atas lantai kebenaran
dan kemanusiaan universal. Itulah mengapa mudah sekali
mereka menuduh elemen-elemen kiri sebagai sesat hingga
tega-teganya melaksanakan pembantaian.

Sejak meletusnya peristiwa pembasmian golongan-golongan


kiri di Madiun 1948, HMI memang telah meletakkan dasar
permusuhan dengan PKI. Meski telah dilenyapkan tapi benih-
benih gerakan kiri mampu bertahan dan tumbuh kembali.

76
Sebagai pejuang-pejuang PKI yang selamat dalam Peristiwa
Madiun; Aidit, Lukman, Sudisman, Sakirman, dan Nyoto
terus melanjutkan perjuangan ideologi dan politik PKI. Dalam
membangun kembali organisasi yang telah hancur mereka
memanfaatkan tiga situasi kebangsaan: (1) Agresi Militer
Belanda II (1948): dimanfaatkan untuk meloloskan diri dari
tindakan hukum (kejaran aparat dan penjara pemerintah) dan
tindakan politik (likuidasi dan percaturan politik bangsa); (2)
Sistem Demokrasi Liberal (1950-1959): dipakai dalam
penguatan basis dukungan, keanggotaan dan bargaining-nya
pada percaturan elit-elit politik bangsa; dan (3) Sistem
Demokrasi Terpimpin 1959-1965): dipergunakan sebagai
penguatan hegemoninya di pentas politik nasional, hingga
melakukan indoktrinasi gagasan revolusioner dan pemantapan
pengaruhnya.

Di bawah kepemimpinan Aidit, PKI berkembang dengan amat


pesat: dari 3000-5000 anggota pada 1950, masuk 1954
meningkat menjadi 165.000 dan tambah membludak hingga
1,5 juta saat 1959. Dengan basis massa yang dimiliki, maka
PKI selalu terlibat dalam memimpin pelbagai pemogokan,
kampanye anti-feodal dan anti-imperialis, serta perjuangan-
perjuangan pembebasan nasional lainnya. Bahkan dengan
kekuatan dukungan yang diperoleh, PKI mampu melejit di
Pemilu 1955 dan 1957 dengan menggeser dan menggusarkan
partai-partai lainnya: Masyumi, PNI, PSI, dan NU. Masuk
tahun 1960-an, massa anggota dan simpatisan PKI semakin
bertambah. Lebih dari satu setengah juta rakyat Indonesia
mendukungnya. Itulah mengapa pada tiga provinsi saja—
Jatim, Jateng, dan Jabar—partai itu mampu menempatkan
kader-kadernya sebagai bupati, walikota, bahkan gubernur.

77
Dalam keadaan inilah HMI yang begitu peka dengan
kekuasaan sadar akan kebangkitan PKI. Maka secara cekatan
diambilah peran lamanya: tampil sebagai organisasi
mahasiswa yang bersiap diri untuk berhadap-hadapan,
membubarkan, hingga mematikannya.

Sejak pengejaran dan pembunuhan elemen-elemen kiri dalam


Peristiwa Madiun, HMI dan PKI memang telah menjadi
musuh bebuyutan. Hanya ketakutan terbesar bukan berada
pada kubu gerakan kiri melainkan himpunan. Setelah berhasil
membangun hubungan akomodatif dengan kekuasaan dan
menempatkan alumni-alumninya dalam pranata kenegaraan,
HMI bahkan mamandang PKI sebagai virus perusak status-
quo yang telah lama dibangun. Persis inilah pandangan Ketum
PB HMI (1963-1966) M. Alfan Alfian dahulu. Amatannya
sederhana dan mengandung paranoia: ‘setelah PKI berhasil
menghancurkan pengaruh Hatta, Partai Sosialis Indonesia
(PSI) dan Masyumi, serta kekuatan-kekuatan lainnya, maka
HMI segera menjadi target pembubaran oleh PKI.30 Informasi
sejarah demikian bahkan dibakukan menjadi buku wajib yang
digunakan dalam training-training himpunan—Pemikiran
HMI dan Relevansinya dengan Perjuangan Bangsa
Indonesia. Secara provokatif karya Agussalim Sitompul itu
menjelaskan bahwa:

…tugas utama pembubaran HMI diserahkan kepada


Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI),
organisasi kemahasiswaan yang bernaug di bawah PKI.
Dengan senjata Manipol, Usdek, Nasakom, PKI serta

30
M. Alfan Alfian, (2013), HMI 1963-1966 Menegakkan Pancasila di
Tengah Prahara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 83.

78
antek-anteknya menyusun barisan untuk membubarkan
HMI dengan membentuk Panitia Aksi Pembubaran
HMI…. Pembela dan pendukung HMI pun tidak mau
ketinggalan membentuk Panitia Solidaritas Pembelaan
HMI. Puncak aksi tuntutan pembubaran HMI terjadi di
bulan September 1965, di saat menjelang terjadinya
peristiwa G30S. Tetapi pada 17 September 1965,
dengan keputusan Komando Tertinggi Retoling
Aparatur Revolusi (Kotrat) Bung Karno, HMI
dinyatakan jalan terus dan tidak dibubarkan. PKI,
CGMI dan organisasi-organisasi bawahannya gagal
membubarkan HMI. Selanjutnya, pada tanggal 30
September 1965 mereka mengambil jalan pintas
melalui sepak terjangnya dalam Gerakan 30 September.
Gerakan inilah yang kemudian—dalam kacamata
penguasa—dikenal sebagai pemberontakan (Gestapu 30
September/PKI).31

Hanya peristiwa ini telah menempatkan ABRI—yang dibantu


HMI dan beragam elemen anti-PKI—sebagai pahlawan.
Karena dalam waktu relatif singkat gerakan-gerakan yang
dilakukan PKI dapat digulung melalui kampanye pembasmian
kaum kiri secara besar-besaran. Dari data Kedutaan Besar AS
yang mengikuti berjalannya kejahatan kemanusiaan ini, ada
500.000 orang yang dituduh pendukung PKI dan organisasi-
organisasi massa yang berafiliasi dengan PKI dibunuh antara
bulan Oktober 1965 dan Maret 1966 dan hingga satu juta
orang ditahan. Akhirnya Soekarno dilengserkan dan diganti
oleh Jendral Soeharto.32 John Rosa memang menjelaskan
bahwa tragedi ini bukan sekedar pelanggaran HAM Berat,

31
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Op. Cit., Hlm. 45 dan 47.
32
Data Kedutaan Besar AS Mengikuti Berjalannya Pembunuhan Massal di
Indonesia pada Tahun 1965, lihat https://nsarchive.gwu.edu/

79
melainkan pula strategi penggulingan kekuasaan paling
tengik. Ia menamainya dengan sebutan ‘Kudeta Merangkak’:

Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk


merongrong legitimasi Soekarno, sambil
melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan.
Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Soeharto
secara bertahap, yang dapat disebut sebagai kudeta
merangkak, dilakukannya di bawah selubung usaha
untuk mencegah kudeta. Kedua belah pihak tidak
berani menunjukkan ketidaksetiaan terhadap presiden.
Jika bagi Presiden Soekarno aksi G30S itu sendiri
disebutnya sebagai ‘riak kecil di tengah samudra besar
Revolusi [nasional Indonesia]’, sebuah peristiwa kecil
yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa
menimbulkan guncangan besar terhadap struktur
kekuasaan, bagi Soeharto peristiwa itu merupakan
tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang
menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar
pada pemerintahan Soekarno. Soeharto menuduh Partai
Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G30S, dan
selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap
orang-orang yang terkait dengan partai itu. Tentara
Suharto menangkapi satu setengah juta orang lebih.
Semuanya dituduh terlibat dalam G-30-S. Dalam salah
satu pertumpahan darah terburuk di abad ke-20, ratusan
ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang
berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Bali, dari akhir 1965 sampai pertengahan
1966. Dalam suasana darurat nasional tahap demi tahap
Soeharto merebut kekuasaan Soekarno dan
menempatkan dirinya sebagai presiden de facto
(dengan wewenang memecat dan mengangkat para
menteri) sampai Maret 1966. Gerakan 30 September,
sebagai titik berangkat rangkaian kejadian berkait

80
kelindan yang bermuara pada pembunuhan massal dan
tiga puluh dua tahun kediktatoran, merupakan salah
satu di antara kejadian-kejadian penting dalam sejarah
Indonesia, setara dengan pergantian kekuasaan negara
yang terjadi sebelum dan sesudahnya: proklamasi
kemerdekaan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945,
dan lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998.33

Titik tolak rencana permainan ABRI bisa diartikan sebagai


coup d’etat. Kup inilah yang kemudian dituduhkan pelaku
utamanya adalah PKI. Dengan memakai G30S sebagai dalih;
Soeharto dan perwira-perwira sekawanannya menciptakan
suasana histeris dan penuh krisis yang menggiring semua
unsur non-komunis untuk mempercayai bahwa mereka dalam
ancaman bahaya maut. Sekali dimulai, kampanye perang urat
syaraf bergulir dengan sendirinya dengan lancar. Sementara
personil TNI AD meyakinkan diri mereka sendiri bahwa
orang-orang komunis—dari tokoh-tokoh PKI, buruh-buruh
pabrik, hingga para petani di dusun paling terpencil—
menimbun senjata-senjata bikinan Republik Rakyat
Tiongkok, menggali kuburan massal, membikin daftar orang-
orang yang harus dibunuh, dan berlatih cara-cara mencungkil
mata. Berdiri di atas prangka seperti inilah mereka secara
masif mengampanyekan pentingnya kaum kiri dan ideologi
komunisme.

Selanjutnya dengan cara pengerahan orang-orang sipil untuk


ikut berperan dalam pembasmian, serdadu-serdadu fasis
memastikan agar kampanye itu tampak mendapat dukungan

33
John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September
dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta
Mitra, Hlm. 5.

81
rakyat. Tentara kemudian tampil sebagai juru selamat bangsa
dan pembasmian kaum komunis tampak sebagai tugas yang
patriotik. Termakan oleh propaganda ultar-nasionalisme inilah
yang semakin mendorong HMI terlibat aktif dalam upaya-
upaya penggayangan PKI. Keinginan untuk mempertahankan
keamanan dengan cara membasmi PKI dari bumi Indonesia
membuat Wakil Ketua PB HMI Mar’ie Muhammad bergerak
memprakarsai pendirian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI). Aliansi gerakan mahasiswa rekasioner ini
disyahkan oleh Menteri PTIP Prof. Dr. Syarif Thayeb pada 25
Okrober 1965. Tugas KAMI padat, jelas, dan sangat-sangat
keras: (1) mengamankan Pancasila; dan (2) memperkuat
bantuan kepada ABRI dalam penumpasan ‘G-30S/PKI’
sampai ke akar-akarnya. Dengan melaksanakan kedua peran
itulah mereka menjelma jadi bagian kekuatan fasis. Makanya
pandangan mereka tentang G30S pun meniru kelas penguasa:
menganggap keributan didalangi PKI. Berdiri di atas tuduhan
dan prasangka yang sama dengan militer, maka KAMI
menjadi elemen mahasiswa yang sangat membenci organisasi
politik kaum kiri. Bahkan anggota-anggota dan simpatisan
PKI yang berada dalam kabinet pemerintahan Soekarno
sampai dilucuti.

Pertarungan ekonomi antara Pemerintah Soekarno dengan


negara-negara kapitalisme-imperialisme tidak hanya membuat
perekonomian Indonesia melemah, tapi juga mendorong
dilakukannya propaganda-propaganda hitam oleh agen-agen
kapitalis-imperialis dalam meluluhlantakan musuh
ideologisnya. Variabel inilah yang menjadi pendorong
membesarnya gerakan KAMI hingga menjulur ke mana-
mana. Bulan Januari, Februari, Maret 1966, merupakan suatu

82
titik dalam perkembangan sejarah Bangsa Indonesia. KAMI
melakukan aksi yang menggemparkan di halaman UI Salemba
Jakarta, pada tangga 10 Januari 1966. Bagi mereka gerakan
ini mengumandangkan suara hati nurani rakyat dalam bentuk
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura): (1) Bubarkan PKI, (2)
Retooling Kabinet, dan (3) Turunkan Harga. Hanya
perjuangannya ternyata menjadi pelumas bagi militer untuk
merebut kekuasaan dari tangan Soekarno. Terjunnya anak-
anak muda di jalanan menyuarakan protes atas
ketidakmampuan Pemerintah Soekarno memperbaiki keadaan
menjadi pintu masuk bagi Soeharto untuk menancapkan kuku
Orde Baru (Orba). Agussalim Sitompul menceritakannya
begitu:

Mereka berjuang tanpa pamrih. Terjunnya anak-anak


rakyat itu ke gelanggang perjuangan di jalan raya panas
terik membakar, adalah sekedar menuntut keadilan dan
kebenaran kepada penguasa yang zalim. Kemarahan
rakyat semakin memuncak, setelah menunggu 5 bulan
lebih, tidak ada tindakan pengutukkan terhadap PKI.
Kemarahan rakyat akhirnya beralamat kepada Bung
Karno, yang di mata rakyat terkesan memandang ringan
Tritura. Demonstrasi-demonstrasi rakyat dalam bentuk
kesatuan aksi sejak 1 Maret 1966, sudah 111 hari non-
stop, mencapai puncaknya tanggal 11 Maret 1966,
ketika berlangsungnya Sidang Paripurna Kabinet. Dari
aksi massa itulah yang mendorong lahirnya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang tidak
terlepas dari peranan beberapa orang Perwira Tinggi
AD, seperti: Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf
dan Brigjen Amir Mahmud. Supersemar diberikan oleh
Presiden Soekarno kepada Menteri Panglima Angkatan
Darat Letjen Soeharto tanggal 11 Maret 1966, untuk

83
atas nama Presiden RI mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu demi terjaminnya keamanan dan
ketenangan. Menggunakan Supersemar, besoknya 12
Maret 1966, PKI dibubarkan dan dilarang di seluruh
Indonesia, bersama segala organisasi mantelnya. 34

Pipit Rochiat dalam esai yang ditulisnya pada 1984—Saya


PKI atau Bukan PKI?— menceritakan kejahatan kemanusiaan
yang dilakukan elemen-elemen fasis dengan begitu sedih,
pilu, dan keji. Dia menjelaskan: ‘siapapun yang tidak
menyetujui penahanan dan pembunuhan massal atau
menunjukkan simpati terhadap tahanan politik dianggap
sebagai pendukung PKI’. Sebelum 1965 pemerintah Indonesia
tidak pernah menimpakan kesalahan kepada suatu kelompok
masyarakat secara keseluruhan. Kaum nasionalis yang
berjuang untuk kemerdekaan pada 1945-49 tidak membunuh
orang-orang Belanda hanya karena mereka orang Belanda.
Sementara setelah pemberontakan PRRI/Permesta pada akhir
1950-an pemerintah Soekarno mulai melarang PSI dan
Masyumi karena pemimpin-pemimpin kedua partai
mendukung pemberontakan itu. Tetapi pemerintah Soekarno
tidak pernah menyatakan bahwa semua anggota kedua partai
adalah pengkhianat; pemerintah tidak menahan atau
membunuh orang hanya karena mereka anggota PSI atau
Masjumi. Soekarno mengampuni pemberontak-pemberontak
Darul Islam—orang-orang yang memang mengangkat senjata
untuk melawan pemerintah—kecuali pimpinan-pimpinan
puncaknya. Berbeda halnya dengan Soeharto, ABRI

34
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 49-51.

84
digerakkannya untuk menyebarkan kebohongan-kebohongan
banal—propaganda negara untuk memicu kekerasan,
penangkapan massal tanpa dakwaan, interogasi dengan
penyiksaan, penahanan berkepanjangan tanpa pengadilan,
penghilangan paksa dan pembunuhan kilat.

Soeharto berhasil menutup rapat-rapat ruang bagi orang-orang


yang dituduhnya sebagai komunis. Elit-elit PKI yang pernah
bekerja sama dengannya kemudian ditikam dari belakang.
Orang-orang yang dianggap mendukung atau berhubungan
langsung maupun tidak langsung dengan PKI secara
serampangan dianggap pula sebagai komunis. Label PKI
kemudian tidak hanya diletakan pada partai, melainkan juga
manusia. Semakin lama komunisme disetankan oleh rezim.
Kala itu isu PKI menjelma sebagai alat yang digunakan Orba
dalam melanggengkan kekuasaan. Walhasil, kebangkitan PKI
menjadi momok menakutkan bagi Bangsa Indonesia—
terutama HMI sebagai musuh bebuyutannya. Bahkan sampai
sekarang mereka masih memandang istilah kiri dengan sebuah
labelisasi seenak jidadnya: diletakkan sebagai pemikiran dan
aktivitas ke dalam kelompok sekuler hingga anti-Tuhan
segala. Padahal gelongan kiri selama ini memiliki sikap hidup
yang mulia: berdiri di atas lantai gagasan dan gerakan yang
gigih memperjuangkan nasib buruh dan kaum miskin tani
dengan kecenderungan menempatkan Marxisme-Leninisme
sebagai rujukan paradigmatik. 35

Kini akibat dari pendekatan otoritarianisme kekuasaan, maka


aktivitas gerakan di Indonesia terpolarisasi hingga sukar

35
Lihat Dr. Abdul Munir Mulkhan, (2002), Teologi Kiri Landasan Gerakan
Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hlm. 1.

85
sekali menggalang persatuan dikarenakan politik identitas
yang memecah-belah kesatuan massa. Semua itu diwariskan
turun-temurun dalam rahim republik sejak masa berkuasanya
negara-negara kolonialisme di Bumi Nusantara. Dahulu
Pemerintah Kolonial Belanda mula-mula memberikan angin
segar pada perkembangan gerakan Sarekat Islam (SI), tetapi
setelah Perang Dunia I (1914-1919) selesai—mereka justru
melancarkan provokasi politik devide et impera: SI
dibenturkan dengan PKI dalam urusan Ideologi Islam dan
Ideologi Komunis.36 Sejak dimulainya strategi adu domba itu,
sampai Pembunuhan Massal dan Kudeta Merangkak pada
1965—sesungguhnya didalangi oleh sebuah jaringan besar:
Van Der Plas Connection (NICA-Sekutu). Inilah yang
terungkap dalam sebuah investigasi Media Tempo:

Van Der Plas Connection adalah sebuah jaringan yang


canggih, hanya anggota-anggota inti tertentu yang sadar
akan keberadaannya sebagai anggota jaringan, lainnya
adalah oknum-oknum oportunis tanpa sadar, sekedar
sebagai alat saja ([dalam ledakan peristiwa] seperti,
Drama Berdarah 1 Oktober G30S/PKI, Konspirasi: Van
Der Plas Connection [CIA-MI 6], yang menyeret Dr.
Soebandrio-Sam Kamaruszaman-Aidit-Soeharto) …
Van Der Plas adalah Gubernur Jawa Timur yang
menguasai beberapa bahasa daerah, bahasa Arab, Cina
selain bahasa-bahasa Barat, dengan licik, berhasil
membina keluarga-keluarga BB Ambtenar dan guru-
guru agama, pesantren-pesantren dan organisasi
keagamaan hingga secara lihai mereka dapat
dikendalikan untuk kepentingan kolonialis. Dalam

36
Lihat Ahmad Mansur Suryanegara, (2013), Api Sejarah, Bandung:
Penerbit Salamadani, Hlm. 404.

86
masa pendudukan Jepang, Van Der Plas mengendalikan
intel sekutu di Indonesia dari Australia termasuk dalam
jaringannya adalah orang-orang dari jalur Dr. Van
Mook seperti Mr. Amir Syarifuddin (pernah menjadi
PM—memberontak bersama PKI di Madiun), Dr.
Soemitro (beberapa kali jadi Menteri, master agen
Sekutu, koordinator penyalur senjata dan dana dari
Singapura untuk PRRI-Permesta), dari jalur Van Der
Plas seperti Soebandrio, beberapa Kyai baik di Jawa,
Sumatera, maupun Kalimantan, a.l. H. Hasan Basri,
Kyai IR dari Jatim, dan beberapa perwira, a.l. Soedj,
Roes, juga anak seorang ambtenaar Belanda,
Soemarsono (Ketua Pesindo)—termasuk dalam Van
Der Plas, juga tokoh seperti Walikota Solo Utomo
Ramelan, yang secara nyata dan vokal mendukung
Dewan Revolusi G30S, hal ini bukan peristiwa yang
tanpa rencana. Sedangkan dari CDB PKI saja tidak ada
yang mengeluarkan statement dukungannya.37

Pada tanggal 1 Oktober 1965 terjadi gerakan militer yang


menamakan diri G30S; mencoba menculik dan membunuh 7
orang Jendral namun lolos satu orang, yakni Jenderal
Nasution. Sehingga yang terbunuh hanya 6 orang. Disusul
kemudian dengan pembentukan Dewan Revolusi, yang
diketuai oleh Letkol Untung—yang merupakan pasukan
pengawal Presiden Soekarno—dengan anggota baik sipil
maupun militer: Waperdam I Dr. Soebandrio, Panglima
Kodam Jaya Mayjen Amir Mahmud, Panglima Komando
Tempur II Kalimantan Barat Brigjen Soepardjo. Dalam
investigasi Media Tempo yang dibukukan di Kitab Merah,
pelaku lapangan utama G30S adalah konco-konco Soeharto:

37
Lihat Kitab Merah Kumpulan Kisah-Kisah Tokoh G30S/PKI,
Nyamuklagi.multiply.com: Majalah Tempo, Hlm. 69-70.

87
Letkol Untung (mantan anak buah yang masih mematuhi
Soeharto), Kol. Latief (mantan anak buah Soeharto—tengah
malam dia ke RS Gatot Subroto untuk memberitahukan
rencana pelaksanaan G30S), Brigjen Soepardjo (mantan
ajudan Jendral Roekman, yang akrab dengan Soeharto), dan
Sam Kamaruszaman. Hanya keempat pelaku tersebut
memiliki hubungan baik dengan PKI, karena menjadi hasil
binaan dan infiltrasi komunis ke dalam ABRI. Tetapi juga
keempat-empatnya merupakan teman-teman dekat Soeharto
sewaktu menjadi kader Partai Sosialis di Pathuk,
Yogyakarta—saat PKI Murba dan PSI berada dalam satu
wadah.

Berdasarkan analisis dari Majalah Tempo, Drama 1 Oktober


1965, selain diintervensi Van der Plas Connection: CIA38 dan
M1-6 di tubuh ABRI, juga didukung dendam lama Soeharto
kepada Soekarno. Bung Karno dulunya pernah memecat
Soeharto dari Pangilima Divisi Diponegoro. Kemarahan
akibat peristiwa itulah yang terus membekas dalam diri Harto.
Makanya ia terus-terus memendam amarah, merawat dendam
kesumat, hingga bersumpah akan menghabisi orang-orang
yang membuat dirinya celaka. Mereka itu adalah perwira
anggota Tim Pengusut MBAD dan penanda tangan Surat
Keputusan Pemecatan-nya (Soekarno). Tetapi di sisi lain,

38
Pada 1965, CIA menggulingkan pemerintrah Presiden Soekarno melalui
kup militer. CIA berusaha meruntuhkan kekuasaan Soekarno sejak 1957
melalui berbagai cara, dari usaha pembunuhan, hingga intrik seksual.
Alasannya, Soekarno menyatakan netral dalam konteks Perang Dingin.
Penggantinya, Jenderal Soeharto, kemudian membunuh 50.000 hingga 1
juta warga sipil atas tuduhan “komunis”. CIA menyuplai nama-nama
tersangka tersebut (Lihat FX Sutopo, (2016), Dinamika Intelijen Dunia,
Yogyakarta: Garasi, Hlm. 57).

88
tidak dipungkiri adanya keterlibatan negara-negara
kapitalisme-imperialisme dalam tragedi tersebut. Itu
tercermin dengan sikap Soebandrio yang ternyata pula ingin
menyingkirkan Soekarno. Dalam tahun 1945, Dr. Soebandrio
membentuk Onvangst Comitte (Panitia Penyambutan) untuk
menyambut kedatangan kembali Belanda (NICA-Sekutu)
datang menjajah kembali Indonesia. Dengan demikian
Bandrio di sini membuka kedoknya sebagai anggota Jaringan
Intel Sekutu, yang ada di Indonesia dikendalikan oleh Chr.
Van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur.39

Dalam tubuh Pemerintahan Soekarno, Bandrio menyebarkan


isu berkait rencana penggulingan kekuasaan yang dipelopori
oleh jenderal-jenderal sayap kanan piaraan Amerika Serikat.
Hal ini senada dengan informasi yang Aidit peroleh dari Sam
Kamaruzaman selaku agen komunis yang ditugaskan untuk
menggalang dukungan dalam militer. Akibat termakan oleh
isu tersebutlah Aidit kemudian mengambil sikap untuk
mendukung gerakan yang dibangun oleh perwira-perwira
progresif. Motif dukungannya berdiri di atas tujuan sederhana:
guna melangkahi rencana kudeta agen-agen kapitalisme-
imperialisme. Itulah kenapa Soekarno sendiri yakin:
bagaimanapun PKI terlibat dalam gerakan G30S—perbuatan
yang diambil partai ini tidak setara dengan sebuah
pengkhianatan, melainkan cuma keblinger (pusing) oleh isu
yang terus bergulir. Bahkan berdasarkan dokumen-dokumen
Amerika Serikat yang telah dideklasifikasikan tercuat kabar.
Bahwa kelompok Yani tidak mempunyai rencana untuk

39
Lihat Buku Kitab Merah Kumpulan Kisah-Kisah Tokoh G30S/PKI,
Nyamuklagi.multiply.com: Majalah Tempo, Hlm. 68-79.

89
melakukan kudeta model lama terhadap Soekarno, tapi
melancarkan penggulingan kekuasan dengan cara baru. Maka
strategi perebutan kekuasaan dilakukan secara merangkak:
mula-mula melalui bombardil fitnahan dan hujatan, lalu terus-
menerus menyebarkan kabar bohong tentang rencana kudeta
jenderal-jenderal sayap kanan, hingga korban kejahatan
politiknya bereaksi duluan. Persis seperti itulah John Rosa
menjelaskan:

Dalih yang mereka anggap paling baik ialah usaha kup


PKI yang gagal. Para jenderal sayap kanan itu
barangkali sengaja meniupkan api desas-desus pada
1965 untuk memancing PKI agar melakukan semacam
aksi militer. Mereka boleh jadi menyebarkan cerita-
cerita yang mendorong kalangan politik di Jakarta
untuk berpiir bahwa hari-hari Soekarno sebagai
presiden bisa dihutung dengan jari.

Meskipun rencana kudeta para jenderal sayap kanan adalah


sebuah kebohongan yang disengajakan, namun Aidit kebacut
meresponnya. Dia soalnya tidak ingin pemimpin seprogresif
Soekarno dikudeta karena akan menyebabkan hilangnya
persatuan dalam melawan kapitalisme. Sejak 1951, strategi
PKI di bawah kepemimpinan Aidit memang mengutamakan
terwujudnya ‘Front Persatuan Nasional’. Bahkan pada
Kongres PKI V pada 1954, partai berniat membangun
persekutuan antara kelas buruh, tani, borjuis kecil dan borjuis
nasional. Ini diambil untuk melawan kapitalisme-
imperialisme, bagian dari borjuis nasional yang bekerja sama
dengan kaum imperialis, dan tuan-tuan tanah feodal. Lalu di
awal 1960-an mereka berusaha membawa teori Marxisme-
Leninisme menjadi sejalan sepenuhnya dengan praktik

90
populis organisasi. Itulah kenapa Aidit beserta para ideolog
partai mengembangkan sebuah teori baru yang disebut ‘teori
dua aspek kekuasaan negara’: satu aspek pro-rakyat dan aspek
lain anti-rakyat. Teori ini membantu menjelaskan mengapa
Aidit bersedia mendukung aksi G30S dari tentara-tentara
progresif. Karena dari teori tersebut didapatkan bahwa
beberapa prajurit dan perwira di dalam tubuh ABRI terbagi
menjadi dua golongan yang dialektik.40

Kala itu Aidit mematutkan sikap untuk mendukung militer


yang pro-rakyat dengan memusuhi jenderal-jenderal fasis
dalam tubuh tentara. Namun dukungan darinya—tanpa dia
sadari—merupakan pintu masuk dalam permainan kudeta dari
agen-agen kapitalisme-imperialisme. Walhasil, para perwira-
perwira progresif yang dikira bakal berhasil menjalankan misi
revolusioner ternyata masuk perangkap. John Rosa menyebut
tragedi G30S sebagai ‘semacam persilangan antara kup
sebagian pada taraf tertentu, kemudian melahirkan revolusi
sebagian’. Dengan demikian: G30S bukanlah didalangi oleh
PKI melainkan dibantu olehnya. Karena peristiwa ini timbul
berdasarkan konflik internal di tubuh militer: jenderal kanan
dengan perwira progresif. Tentara-tentara yang mendukung
Soekarno berada pada posisi persis yang dialami Aidit: sama-
sama termakan kobaran isu dari agen-agen kapitalisme-
imprialisme.

Dinamika-dinamika tersebut akhirnya dimenangkan jenderal


kanan atas perwira kiri dan PKI. Kekalahan itu sekaligus

40
Lihat John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30
September dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia
dan Hasta Mitra, Hlm. 235-236.

91
menjadi momen digulingkannya kekuasaan Soekarno.
Jaringan Van der Plas Connection memang sedari awal
mengharuskan anggotanya mengambil kekuasaan dan
mematikan pergerakan PKI dan pendukungnya. Makanya
Soeharto, muncul menggantikan Yani—yang telah
terbunuh—dalam memimpin ABRI. Dia memanfaatkan
Supersemar untuk mengambil-alih kekuasaan yang sah. Pada
12 Maret 1966, PKI dan seluruh organisasi mantelnya
dibubarkan dan dilarang di seluruh Indonesia. Tak tanggung-
tangung kelicikan dan kejahatan Soeharto semakin menjadi.
Saat tertangkapnya Sekjen PKI Aidit di Solo Jawa Tengah,
sekonyong-konyong Harto memerintahkan Kol. Yasir
membawanya langsung ke Jakarta untuk dihabisi di tengah
perjalanan—hingga sekarang tidak ada satupun yang tahu
rimbanya. Kini peristiwa itu menimbulkan tanda tanya dari
Majalah Tempo:

Mengapa seorang tokoh yang sedemikian penting,


selain Sekjen PKI, juga menyandang jabatan sebagai
Menko dihabisi begitu saja? Mengapa tidak dikorek
keterangannya sampai tuntas dan diajukan ke
Pengadilan hingga masyarakat umum mengetahui
secara terbuka. Dalam hal ini sangat ada yang
disembunyikan. Tertangkapnya Aidit, membuka tabir
adanya hubungan Aidit dengan Dr. Subandrio dan
dengan para jajaran Van der Plass (Soeharto yang
memerintahkan untuk menghabisinya). Suatu
konspirasi yang sangat kejam dan telah memakan
banyak korban komunis maupun non-komunis.41

41
Lihat Buku Kitab Merah Kumpulan Kisah-Kisah Tokoh G30S/PKI,
Nyamuklagi.multiply.com: Majalah Tempo, Hlm. 78-79.

92
Melalui surat kabar Tempo, kita dapat mendaras bahwa
peristiwa G30S begitu sesak akan konspirasi para elit politik.
Itulah kenapa hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang
mengetahui adanya gerakan tersebut. Pada 1 Oktober 1965,
Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan
Jenderal Ahmad Yani dan 5 orang staf umumnya diculik dari
rumah-rumah mereka di Jakarta untuk dibawa dengan sebuah
truk ke area perkebunan di selatan kota. Orang-orang yang
diculik kemudian dibunuh dan dimasukkan ke dalam lubang
buaya. Aksi ini digembar-gemborkan: berguna sebagai jalan
melindungi Presiden Soekarno dari komplotan jenderal kanan
yang akan melancarkan kudeta. Tetapi G30S tumbang
sebelum terungkap kebenaran yang sesungguhnya. Sementara
dengan tewasnya Yani, maka Soeharto mengambil-alih
kekuasaan Angkatan Darat untuk segera memberi komando
dalam melancarkan serangan balik. Bagi kalangan sejarawan,
G30S tetap merupakan misteri. Namun di tangan Orde Baru,
dalang dari aksi pembunuhan itu adalah PKI.

Hanya sekarang kita mengerti: ABRI telah merekayasa


sebagian besar bukti ketika menyulut kampanye anti-PKI
dalam bulan-bulan setelah G30S, termasuk cerita tentang para
pengikut PKI yang menyiksa dan menyilet tubuh para jenderal
sambil menari-nari telanjang. Gila! Kebohongan ini nampak
diatur sedemikian rupa hingga menampilkan Harto sebagai
juru selamat. Citra itulah yang terus dipupuk melalui
propaganda Orba yang beragam dan atraktif; melalui buku
teks, nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari
raya nasional. Tetapi kini tudahan-tuduhan Soeharto atas PKI
itu digugat habis-habisan oleh John Rosa melalui
penelitiannya tentang Dalih Pembunuhan Massal:

93
…bahwa G30S adalah percobaan kudeta PKI—tidak
cukup meyakinkan. Sukar dipercaya bahwa partai
politik yang beranggotakan orang-orang sipil semata-
mata dapat memimpin sebuah operasi militer.
Bagaimana mungkin orang sipil dapat memerintah
personil militer untuk melaksanaan keinginan mereka?
Bagaimana mungkin sebuah partai yang terorganisasi
dengan baik, dengan reputasi sebagai partai yang
berdisiplin tinggi, merencanakan tindak amatiran
semacam itu?... Agaknya tak ada alasan ke arah
sana….42

Dalam sejarah Indonesia modern, dari 1958 sampai 1965—


Amerika Serikat telah melatih, mendanai, memberi nasihat,
dan memasok Angkatan Darat dengan berbagai keperluan
yang sebegitu rupa sehingga dapat mengubahnya menjadi
sebentuk ‘Negara dalam Negara’. Di bawah Nasution dan
Yani, TNI AD berangsur-angsur memperluas kekuasaannya,
mengonsolidasi korps perwiranya, dan menjadikan institusi
ini sebagai pemerintahan terselubung. Selama bulan-bulan
menjelang Oktober 1965 Amerika dan serdadu-sedadu
piaraannya menginginkan terjadinya suatu peristiwa besar
yang dapat mendongkel kekuasaan Soekarno. Mereka sibuk
menciptakan kondisi untuk itu dan menyiapkan diri untuk
menghadapinya. Tetapi Amerika tidak membiarkan
perseteruan antara TNI AD dan PKI terjadi oleh kebetulan
semata. Melalui satu peristiwa 1 Oktober 1965 inilah
terkandung sejarah persaingan antara kekuatan komunis dan
anti-komunis sedunia yang berkepanjangan dan ruwet, yang

42
John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September
dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta
Mitra, Hlm. 5-6.

94
meluas dari konflik di desa sampai ke politik tingkat tinggi
kebijakan luar negeri AS. Para pejabat penting dalam
pemerintahan Eisenhower (1952-1960) telah lama berpikir
tentang bagaimana memecah-belah Indonesia menjadi negara-
negara kecil. Bagi mereka, Presiden Soekarno merupakan
sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif
(seperti terpampang pada Konferensi Asia-Afrika 1955),
hujatan berulangnya terhadap negara-negara kapitalisme-
imperialisme, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai
bagian integral dalam politik Indonesia—yang ditakuti oleh
kaum kapitalis-imperialis di Washington, karena menjadi
bukti kesetiaan dan keberpihakan Bung Karno kepada
Moskow dan Beijing.

Eisenhower dan Dulles bersaudara (Allen sebagai kepala CIA


dan John Foster sebagai kepala Departemen Luar Negeri),
sedari awal memang memandang semua pemimpin nasionalis
Dunia Ketiga—yang ingin tetap netral di tengah-tengah
perang dingin—sebagai antek-antek komunis. Dengan penuh
keyakinan akan hak untuk memilih-milih pemimpin di
negara-negara asing, mereka berulang kali menggunakan
operasi rahasia CIA untuk menumbangkan seabrek avant-
garde nasionalis: Mossadegh di Iran (1953), Arbenz di
Guatemala (1954), dan Souvanna Phouma di Laos (1960).
Dulles bersaudara melihat Soekarno pun sebagai salah satu
tokoh yang menjengkelkan. Itulah mengapa dirinya harus
disingkirkan dari panggung kekuasaan. Melancarkan rencana
penggulingan presiden, maka dalam peristiwa kudeta
merangkak yang dilakukan TNI AD; Amerika dan sekutu
memberikan dukungan politik hingga bantuan berupa logistik
dan alutsista. Kekuasaan yang diperoleh Soeharto berkat

95
sokongan dan dorongan negara kapitalis itulah yang membuat
Pemerintah Orba menautkan Indonesia dengan Amerika
Serikat. Dengan mengakhiri politik luar negeri Soekarno yang
bebas aktif, Soeharto bertujuan mencapai pertumbuhan
ekonomi sebagai syarat mutlak untuk kediktatoran yang bisa
tahan lama melalui penggabungan yang sangat erat dengan
perekonomian Barat. Ia mengisyaratkan dukungannya yang
kuat terhadap investasi dari Barat sejak cukup dini.
Oportunisme Soeharto itu tercermin jelas dalam
pembelaannya terhadap modal asing secara terang-terangan
tanpa tahu malu. John Rosa menjelaskannya begitu:

Soeharto menyadari keberangan AS terhadap langkah


Sukarno menasionalisasikan industri minyak. Dia
secara pribadi menghalanginya dalam sebuah sidang
kabinet pada Desember 1965 yang berencana
membahas persoalan itu. Wakil Perdana Menteri III,
Chairul Saleh, memimpin sebuah sidang pada 16
Desember untuk memutuskan tentang nasionalisasi
perusahaan-perusahaan minyak Caltex dan Stanvac.
Segera sesudah Saleh membuka sidang, Suharto serta-
merta tiba dengan helikopter, memasuki ruangan, dan
dengan pongah menyerukan bahwa, sebagaimana
catatan Kedutaan Besar AS dengan sangat gembira
menerangkannya, militer ‘tidak akan mendiamkan
tindakan gegabah terhadap perusahaan-perusahaan
minyak’.43

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara


imperialisme yang dimotori oleh persekutuan tradisional

43
John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September
dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta
Mitra, Hlm. 278-279.

96
Amerika Serikat dan Inggris telah mengubah metode
kolonialisme klasik menjadi neokolonialisme. Gagasan
dasarnya adalah, ketika pada masa kolonialisme klasik
kekuatan imperialisme berjalan dengan penyerbuan secara
militer terhadap Negara sasaran yang hendak ditaklukan,
maka di era Pasca Perang Dunia II upaya melestarikan
imperialisme dilakukan melalui orang-orang dalam, infiltrasi
dan penetrasi modal asing dan penguasaan aset-aset industri
terhadap negara-negara yang hendak ditaklukan. Kalau era
penjajahan Kolonial Belanda upaya imperialisme dilakukan
dengan penyerbuan fisik, tapi selama era neokolonialisme—
sejak berlangsungnya perang dingin dan memasuki Orla, Orba
bahkan Reformasi—semuanya berubah: kini praktik
imperialisme mulai dilakukan dengan cara-cara yang begitu
sublim dan sistematis: pertama, mengendalikan birokrasi
melalui kapitalis birokrat; kedua, pemberian pinjaman dana
(utang); ketiga, pengendalian kebijakan negara.

HMI tidak mampu melihat semua itu. Makanya saat Orba


berkuasa banyak pengurus himpunan yang mendukung penuh
pemerintahan. Bahkan partisipasi anggota dan alumninya
dalam menopang kekuasaan tiran agak beragam: (1)
partisipasi dalam pembentukkan suasana, situasi dan iklim,
yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan; (2)
partisipasi untuk pemberian konsep-konsep dalam berbagai
aspek pemikiran; dan (3) partisipasi dalam bentuk
pelaksanaan langsung dari pembangunan. Mereka mengambil
peran strategis menjadi elit-elit birokrasi bukan sekedar untuk
mempertahankan NKRI, tapi tertutama melanggengkan status
quo kekuasaan. Dalih yang biasa dipancang ialah demi
menjaga stabilitas nasional. Padahal ini dilakukan demi

97
kepentingan-kepentingan praktis semata: memperole akomadi
apa saja dari penguasa, menjaga eksistensi HMI sebagai
organisasi modernis, dan menghindari label buruk
kekuasaan—radikal, pengacau, pemberontak, dan sebagainya.
Dengan mengekor pada rezim maka aktivitas-aktivitas
himpunan tak sekedar berlangsung aman tapi juga berhasil
memperlebar sayapnya dengan beragam bantuan. Namun
seiring berjalannya waktu pemerintahan Soeharto mulai
memperlihatkan kebobrokannya: semakin korup dan begitu
tirani. Melalui pemberlakuan asas tunggal Pancasila,
kekuasaan kemudian tampil sangat totalitarian—termasuk
terhadap HMI.

Kebijakan itu sesungguhnya sempat ditentang oleh himpunan.


HMI pada Kongres XV di Medan 1983 amat tegas menolak
sentralisasi asas demikian. Namun organisasi tidak kuat
menahan tekanan penguasa. Itulah mengapa saat Kongres
XVI 1986 di Padang, himpunan resmi berpecah menjadi dua:
HMI (Diponegoro, Dipo) dan HMI MPO (Majelis Penyelamat
Organisasi). Dipo kemudian terus memperlebarkan sayapnya
dengan mendapatkan dukungan pemerintahan. Sementara
MPO berjuang mati-matian agar dapat bertahan dari ancaman
kekuasaan Soeharto, yang mencapnya sebagai organisasi
illegal dan pengacau. Nasib Dipo dan MPO amat kontras.
Bagi Soeharto, Dipo bisa diajak kompromi dan tidak
membahayakan kekuasaannya. Sedangkan MPO justru
sebaliknya: mereka dipandang sebagai kelompok yang harus
dimusnahkan, karena sifatnya kekiri-kirian seperti komunis:
anti terhadap kapitalisme-imperialisme. Rezim memandang
gerakan MPO serupa sepak terjang PKI atas alasan gila:
mereka tidak mengideologikan Pancasila dan selalu bersikap

98
kritis terhadap pemerintahan. Maka organisasi itu lalu
dikucilkan bahkan berkali-kali coba dibubarkan.

Selepas Era Perang Dingin, negara-negara imperialisme tidak


lagi membutuhkan tameng untuk menghadapi komunisme.
Karena dengan runtuhnya Negara Sosialis Soviet, maka
komunisme tak lagi dianggap kuat dalam menentang
kekuasaan negara-negara kapitalisme-imperialisme.
Pemerintahan negara-negara berkembang seperti Rezim
Orba—yang semula didukung oleh blok Barat guna
dimanfaatkan dalam Perang Dingin dengan komunis—
menjadi tersisih. Keberadaannya sudah tak dibutuhkan.
Pemerintahan Soeharto kemudian mulai mengalami kondisi
lemah. Pasca-Perang Dingin, Orba kehilangan daya tarik di
mata Amerika dan sekutu. Itulah mengapa pemerintahannya
sejak awal 1990-an semakin rapuh. Barat tidak lagi
memerlukan rezim otoriter untuk membendung ancaman
komunisme. Mereka malah menyusun suatu proyek sosial
baru: mengembangkan dan memperluas kepentingan
kapitalisme internasional. Strategi yang ditempuh adalah
menghancurkan struktur dan fondasi ekonomi Indonesia.
Melalui tekanan melakukan liberalisasi sektor perbankan pada
1998, muncullah masalah keuangan puluhan bank swasta
yang memantik terjadinya krisis perekenomian nasional.
Dengan dalih mengatasi krisis moneter ini, mulai Januari
1998, Managing Director IMF Michel Camdessus berhasil
memaksa Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI)
yang meniscayakan restrukturisasi perekonomian Indonesia.
Di sinilah momen dimulainya gemuruh kejatuhan Soeharto.
Hingga Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari tampuk

99
kepresidenan dan menyerahkan jabatan kepada Wakilnya BJ
Habibie. 44

Pada 1998, HMI Dipo dan MPO ikut terlibat menjadi bagian
gerakan mahasiswa yang meruntuhkan rezim Orba. Setelah
setahun BJ Habibie memimpin, HMI Dipo memanfaatkan
Kongres ke-22 tahun 1999 di Jambi untuk kembali ke
khittahnya dan menetapkan kembali asas Islam sebagai dasar
organisasi. Hanya Pasca-Reformasi, gerakan organisasi
semakin menggugui kuasa birokrasi: makin banyak kader
HMI produk era tahun 60-an, 70-an dan bahkan 80-an,
mengisi relung-relung pranata kenegaraan. Nama-nama
mereka seperti M. Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Bachtiar
Chamzah, MS Kaban, Hidayat Nur Wahid, Amien Rais,
sudah tidak asing di telinga kader HMI, sebagai pejabat dan
tokoh negara yang alumni HMI.45 Semenjak Reformasi ’98
alumni HMI memang secara berlomba-lomba menjadi kelas
penguasa. Bergerombolnya mereka menempati kursi-kursi
pemerintah tidak mengerti kalau dalam mempertahankan
kekuasaan modal di Indonesia—strategi yang ditempuh
kapitalisme global adalah menolak melakukan perubahan
mendasar atas sistem politik dan ekonomi yang ada dengan
membuat skenario mengganti aktor-aktor yang bermain di
tubuh pemerintah-negara. Retorika yang mereka kemukakan
sebenarnya sangat-sangat sederhana: melalui pergeseran
sejumlah tokoh yang bermain maka sesungguhnya telah

44
M. Arief Pranoto dan Hendrajit, (2016), Perang Asimetris dan Skema
Penjajahan Gaya Baru, Jakarta Sealatan: Global Future Institute Publisher,
Hlm. 59-60.
45
Ali Asghar dan Aridho Pamungkas, (2013), Perpecahan HMI Menggugat
Kebangkitan Intelektual, Jakarta: Bumen Pustaka Emas, Hlm. 47-48.

100
terjadi reformasi di Indonesia—yang dikatalisatori
penandatanganan Letter of Intent (Lol) oleh Soeharto pada
Januari 1998 lalu.

Dalam situasi itulah alumni HMI yang sedang menjabat di


kursi pemerintahan harus berhati-hati. Jangan sampai
terkelabui apalagi bertekuk lutut di bawah kendali kapitalisme
global. Apalagi tidak dipungkiri kekuasaan menjadi penggoda
terampuh. Mengutip kata Lord Action: ‘kekuasaan cenderung
korup’. Korupsi memang mudah menjebak siapa saja. Itulah
kenapa dalam tubuh pemerintahan dipenuhi pelbagai godaan
uang. Uang menjadi kapital yang senantiasa bersirkulasi
dalam lingkaran kekuasaan. Lol, menandai dimulainya
pendiktean dan pengaturan atas kebijakan ekonomi Indonesia
yang digerakkan di balik layar oleh aktor-aktor geopolitik
dan geoekonomi internasional. Inilah yang dijelaskan oleh M.
Arief Pranoto dan Hendrajit bahwa kebijakan-kebijakan
pemerintah telah dikendalikan oleh kapitalisme global:

…korporasi multinasional dan trans-nasional


corporation, pada perkembangannya telah menjadi
aktor-aktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan politik pembangunan sebuah bangsa di
tingkat lokal, nasional, regional dan bahkan secara
global. Itulah yang sampai sekarang tengah dimaikan
oleh korporasi-korporasi raksasa bidang perminyakan,
pertambangan dan gas dunia, seperti Seven Sisters:
Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, Cevron,
Conoco Phillips, dan Total. Ketujuh korporasi tersebut

101
telah menguasai sumber minyak, pertambangan dan gas
di Indonesia.46

Kedekatan alumni HMI dengan pemerintahan sesungguhnya


ikut mempengaruhi pandangan kader-kader. Itulah mengapa
kian kemari berproses dalam himpunan begitu banyak yang
memendam keinginan mengikuti jejak para alumninya.
Penampilannya cenderung lebih elitis kayak pejabat
ketimbang gaya militan seorang aktivis. Kader-kader itu juga
amat berat dalam membangun, melancarkan dan menguatkan
gerakan-gerakan progresif. Keadaan yang seperti ini
melemahkan kekuatan organisasi. Makanya HMI kehilangan
gairah memperjuangkan kepentingan keumatan, kebangsaan,
apalagi kerakyatan. Yang demikian merupakan implikasi dari
gerakan bermahzab kekuasaan. Mahzab inilah yang
mendorong HMI terlibat aktif dalam program-program yang
menempatkannya menjadi suporter dari negara (pemerintah).
Himpunan sepertinya termakan perangkap para borjuis.
Walhasil, perjuangannya terasing dari rakyat miskin dan
tertindas. Daya kritis HMI pun jauh menurun jika
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Biasanya kemampuan HMI cekatan untuk memberi; koreksi,


kritikan, peringatan, kepada siapapun yang melakukan
kesalahan dan penyelewengan, penyalahgunaan jabatan,
korupsi, kolusi, yang mengakibatkan kerugian negara dan
kesengsaraan rakyat.47 Namun dengan terkontaminasinya

46
Lihat M. Arief Pranoto dan Hendrajit, (2016), Perang Asimetris dan
Skema Penjajahan Gaya Baru, Jakarta Sealatan: Global Future Institute
Publisher, Hlm. 62.
47
Prof. Agussalim Sitompul, (2008), 44 Indikator Kemunduran HMI,
Jakarta: CV Misaka Galiza, Hlm. 97, 99.

102
gerakan oleh pandangan-pandangan kelas penguasa, maka
dengan leluasa aktor-aktor kapitalisme global
mengekpsloitasi, mengeksplorasi dan mengakumulasi kapital.
Inilah yang membelenggu Bangsa Indonesia begitu suruh
dalam melancarkan petlawanan demi menyelamatkan tanah
tumpah darahnya yang sedang dijadikan lahan garapan
kapitalisme global. Dewasa ini himpunan dituntut untuk
memajukan perjuangannya untuk meghancurkan segala
hegemoni yang telah lama membergol. Sudah tidak mungkin
membakukan peran keumatan dan kebangsaan dalam bentuk
tugas agama dan negara. Sebab jika melihat dari gerakannya
selama ini; kita semestinya sedih, kecewa, bahkan marah.
Kenapa misi keumatan menjadi alasan dibantainya elemen-
elemen kiri yang membela nurani kerakyatan? Mengapa misi
kabangsaan dijadikan pembenaran dalam mendukung
kedigdayaan modal dan tirani pemerintahan? Sekarang
bukankah sudah waktunya tugas-tugas umat dan bangsa itu
didekontekstualisasi dan direkontekstualisasi?

Menurut Paul Recour: dekontekstualisasi ialah melepaskan


teks dari konteksnya untuk kemudian dikontekstualisasi,
sedangkan rekontekstualisasi adalah memberikan pemaknaan
baru terhadap teks. Jika mau melakukan itu semua maka tugas
agama tidak lagi sekedar menyebarluaskan Islam dengan
melawan segala penyimpangan dan ketidaktaatan dalam aspek
ibadah formal saja. Melainkan menjadi dorongan kuat
direpresentasikan melalui serangkaian pembelaan-pembelaan
terhadap umat yang tertindas oleh kapitalisme. Sementara
tugas negara bukan lagi menjadi dalih untuk mendukung,
tunduk dan patuh terhadap negara dahulu, karena sekarang
aparatus-aparatusnya tidak serevolusioner sewaktu Soekarno

103
tapi mereka telah menjadi agen-agen dari kapitalisme-
imperialisme seperti rezimnya Soeharto. Dalam keadaan
seperti iniah menjaga jarak terhadap kekuasaan dan
mendekatkan diri pada rakyat merupakan bentuk tafsir baru
atas tugas negara. Apalagi secara empiris: vitalitas himpunan
berada pada konsep perjuangan pembebasan. Itulah mengapa
proses pendirian HMI tidak lepas dari progresifitas teologis
yang utuh dari seorang Lafran Pane: menjadikan Islam
sebagai kerangka berpikir, bersikap dan berperilaku dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia yang berada
dalam penindasan. Maka mengacu ide-ide lahirnya HMI, akan
tampak keinginan Lafran Pane untuk melawan tatanan politik,
agama, ekonomi, budaya, dan pendidikan yang
menyengsarakan kehidupan umat manusia. Kehadiran HMI di
Indonesia adalah wujud keberanian untuk membebaskan diri
dari dua tirani yang berdempet—seperti ditulis oleh Ahmad
Wahib dalam catatan hariannya:

…pertama, tirani kesombongan: sok Islam tulen, sok


ikhlas, sok modern, sok intelek, sok moralis, sok suci,
sok nuchter, dan lain sebagainya; kedua, tirani
ketakutan: konservatif, atheis, kolot, kafir, disorientasi,
lemah ideologi, imannya diragukan, sekularis, kebarat-
baratan, dan lainnya.48

Dalam mengarungi hiruk-pikuk Pasca-Reformasi, Ahmad


Safinuddin pernah mengatakan: ‘semestinya kehadiran HMI
dipahami sebagai keharusan sejarah dan tuntutan zaman’.
Tidak dimaknai sekedar suatu refleksi atas kenyataan sosial

48
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Penyunting), (2016), Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, Hlm. 33.

104
yang kurang baik. Itulah kenapa sebaiknya rasa ke-HMI-an
dipupuk sebagai keniscayaan ideologis yang bangkit secara
eternal dalam diri para kader. Artinya: meskipun tidak dapat
ditemukan suatu ketimpangan sosial yang sedemikian parah,
tapi dipandang perlu untuk dapat menghadirkan institusi yang
termotivasi oleh ideologi tauhid (Islam) untuk membumikan
risalah-risalah Tuhan.49 Sewalaupun kader HMI memiliki
ikatan moral dengan para senior-alumni di birokrasi, tetapi
tugas-tugas kemanusiaan yang didasari semangat keislaman
harus dilaksanakan secara konsisten, konsekuen, dan penuh
kemilitanan. Perjuangan organisasi mesti diarahkan untuk
membela kaum mustad’afin, bukan malah menjadi pembela
penguasa. Gerakan harus berlaga dengan tidak mudah
terdikte, terkooptasi atau diintervensi oleh siapapun. Mungkin
hanya dengan cara inilah HMI akan mampu memfokuskan
diri berjuangan melawan penindasan dalam segala macam
pembawaannya. Sekarang, ada baiknya kader HMI memagut
kembali tugas kekhalifahan yang membesakan itu.
Pelaksanaannya persis yang lukiskan Ali Syari’ati begitu
indah dan kaya akan gairah perlawanan:

Hidup dan bergerak di tengah-tengah alam, sang


manusia ideal lebih memahami Allah. Dia mencari dan
memperjuangkan umat manusia dan dengan demikian
ia menemukan Allah. Dia tidak meninggalkan alam dan
tidak mengabaikan umat manusia. Di tangannya
tergenggam pedang Caesar sedang dalam dadanya
bermukim hati sang Yesus. Dia berpikir dengan otak
Socrates dan mencintai Allah dengan sanubari al-
Hallaj. Sebagaimana yang didambakan Alexis Carrel,
49
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 19.

105
dia adalah manusia yang paham akan keindahan ilmu
dan keindahan Tuhan. Dia memperhatikan kata-kata
Pascal dan kata-kata Descartes. Bagaikan sang Budha,
dia bebas merdeka dari belenggu nafsu dan egoisme.
Bagaikan Abu Dzarr, ditebarkannya benih revolusi bagi
mereka yang lapar. Bagaikan Yesus, dia membawa
pesan cinta kasih dan perdamaian. Dan bagaikan Musa,
dia adalah pesuruh jihad dan pembebasan. 50

50
Dr. Ali Syari’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas, Jakarta: Islamic
Center Jakarta Al-Huda, Hlm. 108-109.

106
Keluar dari Tangan Diktator Bajik:
Masuk Cengkraman Kapitalis-Birokrat

“Mengerikan melihat apa yang terjadi kalau ambisi dan


kekuasaan tumbuh dan berkembang dalam benak orang
idiot.” (Dhuong Thu Huong)

“Bagai angin, hanya terasa


Tapi bagai angin, semuanya bisa
Kalang kabut dibuatnya
Yang atas bisa terjungkur ke bawah
Yang bawah bisa terangkat ke atas
Yang benar bisa tersungkur kalah
Yang kalah bisa terbebas lepas
Yang kiri bisa ke kanan
Yang kanan bisa ke kiri
Yang tengah bisa tertekan
Mati berdiri sendiri
Kebijaksanaan bisa tidak bijaksana
Hukum bisa terpidana
Kelaliman bisa sempurna
Keadilan bisa merana.”
(A.Mustofa Bisri, Rekayasa II51)

Suasana politik Indonesia pada masa Orde Lama (Orla),


terutama tahun 1950-an dan 1960-an—menjadi kurun yang
dipenuhi pergolakan. Terpampang jelas dalam praktek
demokrasi parlementer sesudah kemerdekaan. Apalagi setelah
Pemilu 1955 ditandai dengan memanasnya pertarungan antar-

51
Puisi berjudul Rekayasa II dalam A. Mustofa Bisri, (2019), Pahlawan
dan Tikus: Kumpulan Puisi, Yogyakarta: Diva Press.

107
kekuatan politik yang bernuansa ideologis: mereka saling
sikut dan hantam dengan beragam tebaran kebohongan. Salah
satu dampaknya adalah terganggunya penyelenggaraan
pemerintahan secara kuat dan efektif. Kabinet-kabinet
pemerintahan jatuh bangun dalam waktu yang singkat
persaingan ideologis dan politik aliran semakin bertambah liar
dan atraktif. Ini berimbas dalam kehidupan sehari-hari. 52
Sulastomo menganalisis bahwa kekuatan politik yang
dominan saat itu adalah: pertama, Bung Karno, sebagai
kekuatan politik yang paling menentukan. Kepemimpinannya
praktis mutlak dalam mengambil inisiatif serta isu-isu politik;
kedua, Angkatan Darat/ABRI, di mana sebagai kekuatan
politik belum menemukan form-nya. Kemungkinan
disebabkan landasan konsepsional yang belum ada; ketiga,
PKI, yang secara kuantitatif maupun kualitatif telah siap; dan
keempat, ormas/orpol lain (PNI-NU), yang secara kuantitatif
sudah cukup, akan tetapi secara kuantitatif belum bisa
mengimbangi PKI.53

Situasi dan kondisi masih belum keluar dari aroma revolusi.


Maka dinamika revolusioner masih berlangsung di sana-sini.
Di sisi kekuasaan bahkan terjadi saling-todong antar-mereka
yang mengejar kursi pemerintahan. Karena sesudah
meletusnya Revolusi 1945 sangat banyak pihak yang ingin
meminta imbalan. Walhasil, Indonesia yang baru merdeka
mendapat cobaan dari pelbagai pembantu revolusi yang
mendadak menuntut ongkos atas perjuangan. Itulah mengapa

52
Lihat M. Alfan Alfian, (2013), HMI 1963-1966 Menegakkan Pancasila di
Tengah Prahara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 29-30.
53
Lihat Sulastomo, (2006), Di Balik Tragedi 1965, Jakarta: Yayasan
Pustaka Umat, Hlm. 14.

108
setelah memperoleh kemerdekaan pertempuran bukan lagi
melawan penjajah melainkan sesama anak bangsa. Bahkan,
umat Islam terpecah-belah (secara politik).54 Mereka ingin
sekali mengecap harum wanginya kebun mawar kekuasaan
dengan cara membentuk pelbagai organisasi politik agar
kader-kadernya mempunyai kendaraan masuk ke tubuh
pemerintahan. Inilah kenapa demokrasi parlementer tidak
bertahan lama. Sistem ini gagal. Bung Karno kontan memiliki
penilaian buruk terkait pemerintahan parlementer. Dia
menganggapnya sebagai sistem demokrasi yang meniru
demokrasi Barat: liberal. Lantas ia kemudian menggantinya
dengan pemberlakuan demokrasi terpimpin. Memang banyak
pihak menilai sistem pemerintahan itu sewenang-wenang:
demokrasinya tertutupi oleh terpimpinnya, sehingga yang
terjadi adalah kekuasaan terpusat cuma ke satu tangan. Dalam
sebuah catatan harian, Ahmad Wahib mengeritiknya sebagai
sebentuk kepemimpin yang mengarah pada kediktatoran:

Setelah 5 Juli 1959 struktur demokrasi terpimpin mulai


dijalankan di Indonesia; diikuti tanggal 17 Agustus
1959 oleh Manipol-Usdek; dan lebih tegas lagi pada
tahun 1960, MPRS memutuskan Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi—awal suatu kekuasaan
mutlak di mana DPR pilihan rakyat dibubarkan dan
kebebasan rakyat dilucuti. PSI dan Masyumi bubar
[karena kontra-revolusi]. Masa ini merupakan
kebalikan ekstrim dari masa sebelum 1959. Karena
hampir semua orang tidak berani berkata ‘tidak’,
walaupun hati nuraninya begitu menginginkan berkata

54
Agus Salim Sitompul, (2002), Menyatu dengan, Umat Menyatu dengan
Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997), Jakarta:
LOGOS Hlm. 211.

109
‘tidak’. Pengingkaran hati nurani meluas dari ‘yes-man’
menjadi suatu kebiasaan.55

Sesungguhnya tindakan ini diambil Bung Karno guna


mempertahankan revolusi Indonesia dari goncangan-
goncangan yang dapat meluluhlantakan bangunan revolusi
yang telah dibangun oleh massa rakyat dengann keringat,
darah, dan air mata. Dengan kekuasaan yang terpusat ia
berharap dapat memukul mundur kapitalisme-imperialisme
beserta seluruh agen-agennya dalam tubuh pemerintahan.
Melalui kepemimpinan yang sentralistik dia ingin
membangun perekonomian Indonesia yang terbebas dari
intervensi asing. Itulah kenapa demokrasi terpimpin
dilaksanakan. Namun tujuan baik ini justru harus menemui
gejala-gejala yang tidak diinginkan sewaktu dilaksanakan.
Masyarakat tidak sabaran dengan keadaan ekonomi-politik
yang semakin memburuk. Mereka sepertinya tak mau
memedulikkan gesekan-gesekan tajam antara Bung Karno
dengan negara-negara kapitalisme-imperialisme. Usaha sang
bung besar dalam menstabilkan keadaan untuk sejalan dengan
cita-cita Revolusi Indonesia 1945 dipandang sebagai tindakan
diktator. Gugatan-gugatan kesewenang-wenangan
pemerintahan Orla kemudian ditanggapi Soekarno dengan
kalimat bernada tandas:

Apa aku seorang diktator? Tidak! Ada lima buah badan


demokratis yang memerintah bersamaku. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan

55
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Penyunting), (2016), Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, Hlm.
202-203.

110
Agung serta Presidium, sebuah triumvirat yang terdiri
dari Wakil Perdana Menteri Subandrio, Leimena dan
Khairul Saleh…. Tidak kawan, aku bukan Hitler. Jika
benar bahwa seseorang pemimpin yang dikaruniai daya
tarik dan wibawa untuk menggerakan orang banyak itu
seorang diktator, biarlah dikatakan aku seorang diktator
yang berbuat kebajikan.56

Tindakan yang diambil Bung Karno sesungguhnya mirip


dengan yang dilakukan Lenin untuk melindungi Revolusi
Rusia 1917. Dia berusaha mempertahankan negara yang baru
saja berhasil menggulingkan kekuasaan pemerintahan—dari
musuh-musuh revolusi—melalui pemerintahan yang
sentralistik. Inilah yang kemudian membangkitkan tuduhan-
tuduhan yang tidak berdasar kepada Lenin. Ia bukan hanya
dituduh sewenang-wenang dan diktator sebagaimana Bung
Karno, tetapi juga dengan berbagai tuduhan keji lainnya.
Menurut Ken Budha Kusumandaru, ada empat ‘prasangka
pokok’ yang ditimpahkan terhadap Revolusi Rusia beserta
para tokoh-tokoh revolusionernya: pertama, Revolusi Rusia
bukanlah revolusi yang sesungguhnya, karena merupakan
hasil persekongkolan segelintir orang yang haus kekuasaan;
kedua, Revolusi Rusia menyengsarakan rakyat Rusia; ketiga,
Revolusi Rusia membuahkan otoriterisme; dan keempat, Uni
Sovyet merupakan bukti kegagalan sosialisme. 57

Seperti Indonesia: suasana Rusia seusai Revolusi 1917


memang masih belum sepenuhnya stabil. Bahkan Rusia lebih

56
https://tirto.id/sejarah-nasakom-upaya-sukarno-menyatukan-tiga-
kekuatan-politik-dnlt
57
Ken Budha Kusumandaru, (2004), Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 209-210.

111
parah lagi—Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jepang dan
Jerman bekerja sama dalam menginvansi negara itu. Rusia
dijadikan musuh bersama. Berada dalam situasi ini
mendorong membuat Soviet dan Bolshevik mempertahankan
revolusi dengan tegas dan keras. Inilah yang membuat mereka
sampai harus mengambil hasil tani para petani untuk
menghidupi rakyat di perkotaan. Tindakan itu lantas difitnah
oleh borjuis-borjuis kecil dengan pelbagai stigma. Mereka
tidak sabar bergelut dalam keadaan pasca revolusi, karena
ingin cepat-cepat mendapatkan hasil yang baik. Borjuis-
borjuis kecil mengutuk kemunduran perekonomian Rusia
tanpa mau tahu bahwa kondisi obyektif akibat invansi-invansi
dari negara kapitalisme-imperialisme.

Setelah berhasil meloloskan diri dari serangan-serangan anasir


asing, Rusia lagi-lagi terancam oleh gerakan-gerakan kontra-
revolusi dan sabotase-sabotase industri oleh para borjuis kecil.
Tentara Putih (pasukan loyalis Tsar) yang sebelumnya telah
diampuni oleh Tentara Merah terus-menerus melancarkan
kudeta. Begitupun dengan Serikat Revolusioner (SR) dan
Manshevik yang semula berjuang bersama-sama dengan
Bolshevik dalam menumbangkan rezim Tsar malah ikut
menentang kekuasaan negara di tangan kaum buruh. Secara
terang-terangan mereka menentang konsepsi Bolshevik yang
menegaskan bahwa Rusia pasca revolusi telah menjadi negara
sosialis. Soalnya bagi kedua organisasi itu Rusia belumlah
dapat menjadi negara sosialis sebelum kepemimpinan
diberikan kepada kaum borjuis progresif untuk kemudian
dijadikan sebagai oposisi ekstrem dari kaum buruh sampai
berhasil merebut kekuasaan darinya. Makanya SR dan
Menshevik kemudian bergabung dengan Tentara Putih untuk

112
melancarkan serangan-serangan teror kepada kaum Bolshevik.
Inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perang sipil
di Rusia.

Namun di bawah kepemimpinan kaum Bolshevik yang


terkenal sangat berdisiplin dengan kekuasaan sentralistik,
Rusia berhasil keluar dari segala kemelut tersebut. Kelak
dinamika perpolitikan yang seperti itu—apalagi setelah
kegagalan Revolusi Rusia—terus-menerus dibanduli
prasangka dan tuduhan. Persis inilah yang juga dirasakan Orla
sewaktu mempertahankan Revolusi Indonesia 1945 dari
banyaknya upaya-upaya pemberontakan:

Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 kabinet Juanda


menyerahkan mandatnya kepada presiden melalui
pemberlakuan kembali proklamasi dan UUD 1945,
presiden Soekarno langsung memimpin pemerintahan
bahkan bukan saja kepala negara tetapi juga kepala
pemeritahan yang membentuk kabinet yang mentri-
mentrinya tidak terikat kepada partai. Dan pada waktu-
waktu inilah Dewan Nasional itu mulai di gagas
(kejadian-kejadian ini merupakan saat-saat awal
berlakunya demokrasi terpimpin—Pen). Pembentukan
Dewan Nasional ini, berdasarkan atas (SOB) atau
amanat keadaan darurat dan bahaya perang yang di
umumkan oleh presiden soekarno sebelum
terbentuknya Kabinet Juanda itu, mengingat Indonesia
di hari-hari itu memang dalam keadaan genting dan
potensi konflik yang lebih besar segera mengancam
keutuhan NKRI. Salah satunya dengan terjadinya
gejolak ingin memisahkan diri beberapa Daerah dari
NKRI … Dengan terbentuknya PRRI di Padang.
Ditambah dengan pulangnya pimpinan-pimpinan
Masyumi dari Jakarta menuju Padang, karena waktu itu

113
di Jakarta mereka merasa kurang aman dari pihak-pihak
yang kontra dengan mereka serta sekaligus berencana
memantapkan pemerintahan revolusioner yang mereka
cita-citakan dengan mengangkat ‘Syafruddin
Parawiranegara [salah satu tokoh Masyumi]’ sebagai
mentrinya. PRRI ini segera mendapat sambutan hangat
di Indonesia Bagian Timur, Aceh, dan Indonesia tengah
yang telah terlebih dahulu mengusahakan perjuangan
melalui DI/TII yang terkenal itu. Walaupun pada
akhirnya usaha ingin memisahkan diri, yang di
upayakan berbagai daerah ini berhasil ditumpas.
Sementara kegentingan demi kegentingan yang
terjadi—(maka) Soekarno sebagai seorang organisator
dan sekaligus pengagum persatuan dan kesatuan—tidak
tinggal diam dan tidak kehabisan akal. Soekarno
melakukan upaya dengan menggandeng dua kekuatan
besar dan yang paling bagus organisasinya dan paling
potensial di Indonesia pada waktu itu, yaitu PKI dan
AD atau militer. Walaupun pada kenyataannya kedua
kekuatan ini selalu pro dan kontra antara satu sama lain,
namun bisa jinak di tangan seorang politikus kaliber
soekarno. Mula-mula dua kekuatan ini
dimanfaatkannya pada imperialisme dan kapitalisme
yang masih mengancam Indonesia, berhubung pada
waktu itu Irian Barat masih dikuasai oleh penjajah dan
isu ini dipakai Soekarno untuk mengamanatkan agar
Irian barat selekas-lekasnya dapat dibebaskan serta
upaya untuk mengembalikan Indonesia dalam posisi
pemerintahan secara utuh. Dalam teorinya dapat kita
baca bahwa: soekarno, membutuhkan PKI kasrena
merasa terancam akan Kudeta yang di lakukan Militer
pada waktu itu atau AD pada khususnya sebagai

114
kekuatan potensial yang sewaktu-waktu dapat merong-
rong Soekarno dari tampuk pimpinan.58

Memang selama Pemerintah Soekarno berkuasa bukanlah


menjadi rahasia lagi kalau beberapa kesatuan tentara dalam
menumpas pemberontakan-pemberontakan kaum kanan pada
1950-an dan awal 1960-an kerap meminta bantuan PKI.
Keterlibatan PKI jarang diketahui publik. Mereka mempunyai
departemen khusus yang berperan sebagai penghubung
rahasia dengan para perwira kiri. Pada 1958, keberhasilan
Kolonel Abdul Latief dalam menumpas pemberontakan PRRI
di Sumatera adalah salah satu buktinya. Bukti di mana
kemenangan diperoleh bukan saja dari pengerahan tentara-
tentara regular, melainkan pula kader-kader PKI di desa-desa.
Hubungan yang terjalin di antara mereka telah lama
dimanfaatkan oleh serdadu-serdadu yang mendukung haluan
Nasakom dari Bung Karno untuk mengorganisasi aksi-aksi
kelompok pemuda PKI bersama dengannya.

Maka tidak aneh jika beberapa personil militer, bahkan


perwira-perwira tinggi menyokong PKI. Karena dulu partai
ini dengan penuh semangat mendukung setiap kampanye
militer utama yang dilancarkan penguasa Orla—tak cuma
propaganda melawan pemberontakan PRRI, tapi juga
perlawanan atas DI/TII dan Permesta, serta menyokong
perebutan Irian Barat dari Belanda dan konfrontasi melawan
Malaysia. Bantuan-bantuan yang diberikannya kemudian
memperkukuh kedekatannya dengan Bung Karno. Mengerti di
dalam tubuh partai itu berkumpul banyak serdadu-serdadu

58
https://penasoekarno.wordpress.com/2010/09/13/lahirnya-demokrasi-
terpimpin/

115
progresif; Soekarno lantas mendayagunakannya untuk
mengimbangi tekanan-tekanan kalangan militer yang menjadi
agen kapitalisme-imperialisme. Persis seperti inilah hubungan
timbal-balik antara PKI dan presiden: sama-sama menentang
kekuatan modal. Bahkan ditulis oleh John Rosa bahwa
pemberian dukungan terhadap kekuasaan membuat PKI
mendapatkan banyak simpati dari kalangan militer pendukung
Orla:

PKI memperoleh banyak penghormatan di kalangan


sementara perwira sebagai kekuatan patriotik dan pro-
Soekarno yang berhasil menggalang dukungan
masyarakat untuk peperangan yang dilancarkan
angkatan bersenjata. PKI tampak sebagai partai yang
disiplin dan bertanggung jawab. Bagi para perwira
tinggi yang mempunyai pandangan internasional,
menariknya PKI bukan hanya terletak dalam
hubungannya dengan politik nasional. Beberapa orang
perwira sangat terkesan oleh perang gerilya kaum
komunis Tiongkok yang berjaya dan perlawanan tak
terpatahkan rakyat Vietnam terhadap tentara Amerika
Serikat. Pengalaman mereka dari masa revolusi
nasional membuat mereka dengan teguh bersikap anti-
imperialis. Presiden Soekarno sendiri terus-menerus
mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak
membolehkan tanah airnya dikuasai kaum kapitalis
Barat. Soekarno mengorganisasi Konferensi Asia-
Afrika di Bandung pada 1955 sebagai penolakan tegas
terhadap kekuatan-kekuatan kolonialisme lama. Dengan
demikian revolusi anti-imperialis di Tiongkok dan
Vietnam ibarat gayung bersambut bagi para perwira
Indonesia yang dengan sungguh-sungguh mengikuti
Soekarno. Keberhasilan kaum komunis di negara-
negara lain mengangkat derajat Partai Komunis

116
Indonesia, yang dipandang berbagi semangat dan
kearifan yang sama.59

Selain membendung gerakan-gerakan kontra-revolusi yang


banyak menguras kekuatan, Soekarno juga dibuat kewalahan
dengan kondisi sosio-politis Indonesia yang penuh pergolakan
ideologis. Masing-masing partai politik berupaya mendirikan
ormas. Demikian politik pada akhirnya petanya sendiri,
termasuk peta pergerakan mahasiswa yang ada di masa itu.
Hal inilah yang menyeret HMI dengan anggapan sebagai
underbow Masyumi—Partai yang sebelumnya disebut kontra-
revolusi. Betapapun HMI bukan organ politik, tetapi stigma
sebagai kekuatan politik yang berkaitan erat dengan Masyumi
terus berkembang. Kedekatan kader-kadernya dengan
anggota-anggota Musyumi menjadi pretense dikaitkannya
HMI dan partai politik Islam. Walhasil, himpunan kemudian
mendapat tuduhan menjadi unsur kontra-revolusi pula, bahkan
anti-Pancasila. Peri M. Alfan Alfian, pilihan politik yang
tersedia ketika itu hanyalah ikut dalam barisan atau jargon
revolusi atau kontra-revolusi dengan konsekuensinya masing-
masing. 60 Tak mudah bagi HMI menyesuaikan sikap dan
pandangan politiknya untuk menjaga hak hidup atau
survivalnya di era demokrasi terpimpin yang menjadikan
Manipol-Usdek sebagai pilar. HMI hanya bisa memilih
beradaptasi dengan keadaan karena tidak mungkin menolak
total Manipol-Usdek atau menerimanya secara utuh.

59
Lihat John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30
September dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia
dan Hasta Mitra, Hlm. 190.
60
M. Alfan Alfian, (2013), HMI 1963-1966 Menegakkan Pancasila di
Tengah Prahara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 50.

117
Demikian juga sikap HMI terhadap Nasakom (Nasionalis,
Agamais, dan Komunis), himpunan tidak seratus persen
menerima atau menolaknya. Inilah mengapa HMI dekat
dengan Soekarno, namun tetap selalu berjaga jarak. Artinya
Bung Karno tidak mungkin dijauhi total lantaran kekuatan
demokrasi terpimpinnya yang membuatnya sewaktu-waktu
bisa bertindak tanpa batas (membubarkan HMI). Ketakutan
terhadap pembubaran oleh Orla ternyata mengarahkan HMI
untuk menjadi bagian elemen mahasiswa yang pro-rezim.
Soekarno membina simbiosis mutualisme dengan PKI dan
Angkatan Darat. Inilah yang membuat terjadinya suatu
keadaan tarik tambang: mendayagunakan PKI untuk
menyaingi kekuatan ABRI, serta menggunakan militer demi
menyeimbangkannya dengan kebesaran PKI. Namun dalam
pusaran kekuasaan Bung Karno lebih unggul daripada PKI
dan TNI AD. PKI sangat dekat dengan Bung Karno. Itulah
kenapa ia kemudian mengeluarkan konsep Nasakom. Konsep
yang nantinya akan diharamkan pada saat Orba oleh para
ABRI pimpinan Soeharto. Tuduhan awalnya dilancarkan
sejak terjadinya G30S sebagai dalang utama dari pemberotan
itu.

Inilah mengapa konfrontasi PKI dengan ABRI semakin


terbuka. Saking terbukanya Angkatan Darat mendapatkan
bantuan dari seluruh elemen masyarakat anti-komunis—
termasuk HMI—untuk melawan PKI. Memang dalam Sejarah
HMI sendiri ditandaskan bahwa sejak awal kehadirannya
organisasi ini menentang ajaran komunis. Menurut beberapa
sejarahwan HMI, himpunan hadir untuk menetralisir
berkembangnya paham komunisme di kalangan mahasiswa.
Biasanya yang dijadikan penegasan awal adalah kemuakkan

118
HMI dengan keberadaan organisasi-organisasi berhaluan
sosialisme-komunisme seperti PMY (Perserikatan Mahasiswa
Yogyakarta) dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) di
Surakarta. Dalam latar belakang pendirian HMI ceritanya
begini, Lafran Pane dulunya begitu cemas melihat
perkembangan spiritualitas mahasiswa Islam yang berada di
Perguruan Tinggi—salah satunya; kampus memberlakukan
kuliah dari jam 4 sore sampai 8 malam, sehingga tidak ada
waktu bagi pelajar-pelajar itu muslim untuk melaksanakan
ibadah sholat magrib dan isya.

Hanya persoalannya bukan semata-mata demikian. Tetapi


ditambah lagi dengan belum adanya organisasi yang secara
khusus diperuntukan untuk mahasiswa-mahasiswa beragama
Islam. Kala itu Lafran menganggap belum muncul organisasi-
organisasi mahasiswa yang mampu menyepesialkan dirinya
dalam menampung aspirasi mahasiswa Islam. Tidak ada
serikat atau perhimpunan mahasiswa yang mengajarkan
pentingnya perpaduan antara aspek duniawi dan ukhrowi.
Suasana sekuler inilah yang mewarnai kehidupan mahasiswa
di Perguruan Tinggi. Maka Lafran kemudian mengambil sikap
untuk memprakarsai dan mendirikan HMI. Didirikannya
organisasi mahasiswa Islam ini ternyata bukan semata-mata,
apalagi dikhususkan dalam melawan sosialisme-komunisme.
Melainkan untuk menyaingi sekulerisme guna menghadirkan
suasana-suasana keagamaan dalam kehidupan mahasiswa di
kampus.

Sayangnya kala itu sekularisme bagi HMI: lebih diasosiasikan


sebagai sosialisme-komunisme saja, bukan kapitalisme-
imperialisme atau kapitalisme-neoliberalisme yang

119
mengundang westernisasi. Makanya organisasi berhaluan
sosialis—seperti PMY dan SMI—amat tidak disukai oleh
HMI. Tetapi kekuatan militer fasis di bawah pimpinan
Soeharto yang jelas-jelas merupakan agen kapitalis global
malah didukung. Seorang Lafran tidak secara eksplisit
menyebutkan bahwa didirikannya HMI untuk menghancurkan
sosialisme-komunisme. Namun yang menyebabkan
munculnya kebencian himpunan terhadap komunis ialah
polarisasi-polarisasi politik Indonesia pada masa Soekarno
yang semakin lama makin menajam. Persaingan AD dengan
PKI getarannya sampai ke mana-mana, termasuk menerobos
masuk dalam dunia pendidikan dan agama hingga
mengkambinghitamkan sosialisme-komunisme dengan
organisasi-organisasi mahasiswa yang memakainya sebagai
haluan gerakan. Paham ini dianggap anti-agama. Itulah
mengapa dalam Kongres HMI ke-5 di Medan tahun 1958, PB
HMI mengeluarkan pernyataan yang memandang bahwa
komunisme merupakan satu paham yang membahayakan dan
memusuhi agama.61 Ini juga menjadi sebuah jawaban kenapa
HMI mendukung penuh ABRI dalam aksi-aksi menurunkan
Soekarno dan membubarkan, menyiksa serta melenyapkan
anggota-anggota dan orang-orang yang dituduh PKI.

Setelah tumbangnya Orla perubahan struktur sosio-politik


mengarah ke keadaan yang lebih parah. Segera setelah
gerakan mahasiswa (angkatan 66, yang di dalamnya HMI
menjadi pelopor pergerakan [KAMI] sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bagian yang terdahulu) dan AD berhasil
menciptakan rasa percaya pada masyarakat, maka dengan

61
Ibid, Hlm. 82.

120
cekatan muncul sebuah tata pemerintahan dan struktur
kekuasaan baru: populer dengan sebutan Orba pimpinan
Soeharto. Efek dari kekuasaannya begitu menyakitkan bahkan
sangat mematikan. Doxa yang ditebar penguasa
mempermainkan psikologi rakyat dengan menganggap bahwa
PKI adalah semacam iblis yang anti-kemanusiaan dan agama.
Orba juga berhasil memunculkan stigma bahwa setiap
gerakan yang mengkritik pemerintah ialah gerakan kiri, dan
orang-orang kiri itu komunis. Paling keji, rezim mengeluarkan
keputusan politik untuk membunuh tanpa proses peradilan
terhadap orang-orang yang dicurigai komunis. Suatu tindakan
politik yang menjadi cikal bakal proses pembodohan rakyat
dan pengerdilan demokrasi hingga Soeharto pun berhasil
menancapkan cengkraman dan memperkokoh kekuatan
politiknya selama 32 tahun melalui pelagai kebohongan. Ini
dituliskan Safinuddin dengan gamblang:

Soeharto mendefinisikan Orde Baru yang dipimpinnya


sebagai orde atau pemerintahan untuk mengoreksi total
pemerintahan Soekarno yang gagal membangun
ekonomi rakyat, melindungi ajaran komunisme
ditiupkan sedemikian kencangnya, sehingga tidak ada
ruang analisa bagi rakyat untuk melihat hal lain di balik
peristiwa politik tingkat tinggi (high politic) tersebut.
Soeharto tiba-tiba memoles dirinya menjadi mesias
yang merupakan sintesa dari rezim Orde Lama dan
kebutuhan rakyat Indonesia. Cara ini memudahkannya
membuat tipologi atas orang-orang yang potensial
membangkang (menjadi oposan), sehingga dapat segera

121
dijerat atas nama ketidaksetiaan dan semangat anti-
Orde Lama.62

Rezim Orba mengedepankan slogan pembangunan sebagai


jawaban atas krisis ekonomi di zaman Orla. Pembangunan
menjanjikan kepada rakyat bahwa pemerintah akan berjuang
secara konsekuen memenuhi tuntutan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Impian yang diberikan kepada
rakyat tersebut tentu saja membuat loyalitas dan dukungan
penuh untuk menjaga stabilitas keamanan. Untuk
mendapatkan dana membangun kekuasaannya agar lebih
besar dan kuat, maka Soeharto melaksanankan perundingan
kilat di Jenewa dengan para raksasa-raksasa ekonomi
Amerika. Misinya adalah proyek mengemis utang dari
konsorsium Barat dan Jepang. Sebagai gantinya Indonesia
menyerahkan sumber-sumber alam luar biasa besar ke
pemberi utang. Sehingga sekutu yang pada mulanya
membantu Soeharto menggulingkan kekuasaan Soekarno
dengan sejumlah dana dan bantuan senjata yang digelontorkan
Amerika kepada Soeharto, tak menunggu waktu lama untuk
menjerat pemerintahan Soeharto dalam kendalinya. Inilah
yang dikemukakan Profesor Jeffery Winters melalui analisis
singkatnya:

Konsersium yang dipimpin oleh Amerika membuat


tanah Indonesia telah dikotak-kotakkan untuk dibagi-
bagi kepada mereka yang ada dalam ruangan. Mereka
membaginya ke dalam lima seksi, yakni:
pertambangan, jasa-jasa, industri ringan, perbankan dan
keuangan. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang

62
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 33.

122
berkuasa di dunia, di antaranya: David Rockefeller,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British
Leyland, The International Paper Coeporation, US Steel
dan Henry Kissinger. Indonesia pun akhirnya, seperti
biasa, efeknya sampai sekarang: menjual buruh murah,
pajak rendah dan kekayaan alam sebagai tukar guling
utang, hingga tidak ada ketahanan energi dan pangan. 63

Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia berada pada


kondisi ketergantungan utang luar negeri yang merajalela bak
jamur di musim hujan. Semboyan Trilogi Pembangunan yang
dikonsepsionalkan menunjukan bahwa kelak pendekatan
politik dan keamanan akan semakin memperkokoh proses
fragmentasi kekuasaan politik menuju sistem totalitarianisme,
fasisme dan sejenis junta militer. Ini tercermin ketika Orba
mendirikan wadah aspirasi politik rakyat berupa Golongan
Karya (Golkar) berintikan institusi pertahanan dan keamanan,
yaitu: ABRI dan birokrasi dengan berafiliasi pada
kepentingan Soeharto. Dia kemudian berusaha mengikat
ABRI lewat peran sosial-politik di samping peran pertahanan-
keamanan untuk melindungi kebijakan-kebijakannya—lebih
dikenal dengan istilah Dwi Fungsi ABRI. Sebuah kebijakan
yang sangat berguna untuk melindungi dan membantu Orba
dalam Memunculkan stigma-stigma politik untuk membatasi
kebebasan masyarakat dalam mengartikulasikan peran politik
dan sosialnya.64 Saking gilanya rezim ini, pada 17 Juni 1985,
Orba mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang katanya

63
Afred Suci, (2015), 151 Konspirasi Dunia Paling Gila dan
Mencengangkan!, Jakarta: PT Wahyudi Media, Hlm. 156-157.
64
Lihat Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi
Sosial, Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 34.

123
merupakan pelaksanaan dari amanat Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1983. Sejak itulah seluruh partai dan organisasi
kemasyarakatan harus berdasarkan Pancasila. HMI selaku
organisasi kemasyarakatan yang menghimpun mahasiswa
Islam dipaksa menyesuaikan diri dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebab dengan UU itu
semua Orpol/Ormas diberi kesempatan untuk menyesuaikan
diri selambat-lambatnya 2 tahun sampai 17 Juni 1987.65

Dalam masa pemerintahan Soekarno, HMI sesungguhnya


telah banyak belajar bagaimana sikap yang harus diambil
ketika situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara
berada di bawah ancaman: apabila terancam untuk dibubarkan
maka harus mendukung penguasa. Tetapi kepatuhannya
terhadap Soekarno tak sama dengan ketundukannya di bawah
kekuasaan Soeharto. Orla itu merupakan pemerintahan yang
revolusioner. Sedangkan Orba adalah rezim yang dipenuhi
agen kapitalisme-imperialisme. Itulah kenapa himpunan
bukan sekedar ditundukkan atas kondisi obyektif untuk
mempertahankan status-quo dari anasir-anasir yang
merongrong pemerintahan yang sah, tapi terutama buat
memperlancar para kapitalis mengeruk keuntungan dan
melanggengkan kekuasaannya. Jika dulu kader-kader
himpunan telah dimanfaatkan tenaga, pikiran dan waktunya
untuk mengganyang PKI demi membela kelas penguasa,
mengganyang PKI, dan melancarkan naiknya Soeharto; maka
kini Soeharto kembali bertingkah gila: memecah persatuan
organisasi agar dapat dengan leluasa menyedot dan

65
Imam Sudarwono Padmosugondo, (1985), 5 Undang-Undang Bidang
Pembangunan Politik, Jakarta: KPN PB-7 Pusat, Hlm. 165.

124
melemahkan kekuatan HMI beserta seluruh elemen gerakan
rakyat.

Pengendalian birokrasi secara efektif telah menipiskan watak


ideologi kehidupan umat Islam, sehingga kekuatan ideologis
partai-partai dan organisasi sosial Islam semakin melemah
dan tidak berfungsi. Orba menerapkan depolitisasi dan
departaisasi. Hubungan struktural massa rakyat dan umat
Islam dengan ormas dan orpol mulai terputus akibat politik
‘massa mengambang’ dan penyederhanaan partai-partai
politik. Melaluinya maka rakyat miskin dan tertindas ditutup
ruang gerak politiknya. Orang-orang yang tinggal di pedesaan
dilucuti kemampuan politisnya. Politik soalnya menjadi hak
istimewa kelas-kelas elit yang tersebar di kota-kota, terutama
di bagian Jawa. Kebijakan ini jugalah yang mengakibatkan
Islam ditindih sedemikian rupa hingga kekuatan ideologisnya
dihancurkan. Akibatnya, persatuan ormas/orpol dengan
anggota dan partisannya sering mengalami konflik internal
yang melemahkan.

Dalam keadaan seperti ini struktur ideologi dan kebijaksanaan


politik Orba mniscayakan penyerapan tokoh dan pimpinan
ormas Islam dan ulama ke dalam birokrasi melalui organisasi-
organisasi sosial politik dan keagamaan. Mereka dikurung
kemewahan dan hidup dalam pandangan sederhana: siapa
yang melawan Soeharto berarti harus bersedia menderita.
Kekuasaan kemudian tak hanya diteguhkan lewat sistem,
tetapi juga lewat aktor-aktor pendukung: intelektual dan
agamawan. Mirip seperti pemerintahan Fir’aun yang meminta
dukungan Haman (pendeta tertinggi Amun) untuk menopang
kekuasannya. Mereka melahirkan petuah demi melindungi

125
kelas penguasa. Fatwa yang dimunculkan bukan untuk
memenuhi kebutuhan kaum tertindas, tetapi kepetingan
penguasa-pengusaha-militer dan intelektual-agamawan.

Abdul Munir Mulkham menjelaskan bahwa dengan semakin


lemahnya watak ideologis dan sentimen keagamaan,
menyebabkan perkembangan Islam dan sarana kehidupan
beragama lainnya dengan mudah dikontrol Orba.66 Penguasa
melakukan kontrol menggunakan kekuatan militernya. ABRI
sangat berperan pada proses penentuan kebijakan negara.
Itulah mengapa petinggi-petinggi militer di beri jabatan-
jabatan publik. Bahkan tentara juga sangat berperan besar
dalam proses pembersihan anasir PKI, pelaku tindak pidana
dengan tuduhan subversif atau melakukan kejahatan lainnya,
gerakan-gerakan perjuangan rakyat dalam Peristiwa Tanjung
Priok Jakarta, Talang Sari Way Jepara Lampung, Haur
Koneng Jawa Barat, dan DOM Aceh.67 Peristiwa-peristiwa
tersebut belakangan disorot tajam sebagai pelanggaran HAM
berat yang telah menyajikan kekuasaan ala Machiavellian:
penguasa yang dicintai sekaligus ditakuti. Tapi cinta justru
datang dari kroni-kroni sedangkan perasaan takut bertebaran
di golongan mustad’afin dan dhuafa. Mulai dari naik hingga
berkuasanya Soeharto, memang menampakkan cara meraih
kekuasaan seperti anjuran Niccolo Machiavelli: jahat dan keji.
Dalam karyanya Sang Penguasa dia melukiskan bagaimana
kejahatan dan kekejian itu dengan lakon sejarah yang

66
Dr. Abdul Munir Mulkhan, (2002), Teologi Kiri Landasan Gerakan
Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hlm. 185.
67
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 34.

126
menarik—bagian tulisan tersebut diberi judul ‘Mereka yang
Berkuasa dengan Jalan Kekejaman’.

Cerita yang ditulisnya persis kejahatan Soeharto ketika


menggulingkan kekuasaan Soekarno: melalui karier militer
serta bermodalkan Supersemar dia menempuh jalan yang
nekad dan berbahaya tapi penuh kemunafikan semata demi
mengejar kuasa. Kekuasaan yang didapatkan kemudian lagi-
lagi dipertahankan dengan pembunuhan di mana-mana.
Warganya dikorbankan untuk melanggengkan takhtanya.
Fenomena kekuasaan yang begini disebut Machiavelli dengan
‘pemisahan antara moral dengan politik’. Artinya politik tidak
ada sangkutpautnya dengan hal-hal berbau moralistik. Jean
Jacques Maritain menganggap Machiavelli tidak pernah
mengingkari nilai-nilai moralitas: ‘Dia tahu bahwa kebengisan
dan ketiadaan iman adalah sesuatu yang memalukan, dia tidak
menyebut yang jahat baik, dan yang baik jahat. Dia hanya
semata-mata mengingkari nilai moral—dan ini sudah cukup
untuk merusak politik—dan tidak memperkenankan
pemakaiannya dalam bidang politik’. 68 Sikap seperti itulah
yang ditemukannya dalam peristiwa perebutan kekuasaan
Syracuse: politik bebas nilai seiras sains. Penafian atas
moralitas mengubah perpolitikan jadi panggung tersadis.
Penguasa leluasa menampilkan wajah culas dan perbuatan
bengis tanpa bisa dipatok dengan nilai-nilai moralis. Dalam
tulisannya, sosok yang sesungguhnya jahat dan keji serupa
Soeharto itu adalah Agathocles:

68
Daniel Dhakidae, (2015), Menerjang Badai Kekuasaan; Meneropong
Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, Sampai Putra Sang
Fajar, Bung Karno, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 40.

127
Agathocles, orang Sicilia, tidak hanya dari rakyat biasa,
tetapi dari kelas terendah dalam masyarakat dan dari
kalangan yang sangat miskin, bangkit menjadi raja
Syracuse. Dalam setiap jenjang kedudukannya, orang
ini, anak seorang pembuat periuk tanah liat, bertindak
seperti seorang penjahat. Namun demikian,
kejahatannya itu disertai dengan watak yang penuh
keberanian dan fisik yang kuat, sehingga sewaktu ia
masuk dalam angkatan perang, ia selalu naik pangkat
dan menjadi panglima pasukan. Setelah ia ditunjuk
untuk menduduki pangkat tersebut, ia bertekad bulat
untuk menjadi penguasa dan mempertahankan
kedudukannya tanpa mengindahkan dukungan orang
lain sesuai dengan wewenang yang diberikan
kepadanya secara konstitusional. Ia berhasil
mendapatkan persetujuan atas rencananya dari
Hamilcar, orang Carthago yang sedang memimpin
pasukan perangnya di Sicilia. Pada suatu hari ia
mengumpulkan rakyat dan senat Syracuse, seolah-olah
ia akan membahas masalah-masalah yang menyangkut
negara republik tersebut. Dan dengan memberikan
tanda-tanda yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, ia
menyuruh serdadu-serdadunya membunuh semua
senator bersama semua warga kota yang terkaya. Dan
setelah semuanya mati, ia merebut dan memegang
kekuasaan kota tersebut, tanpa menemui perlawanan
apa pun dari dalam. Walaupun dua kali ia pernah
terpukul dan bahkan dikepung oleh bangsa Carthago,
tidak hanya dia berhasil mempertahankan kota tersebut,
tetapi, dengan meninggalkan sebagian pasukannya
untuk mempertahankan kota tersebut, ia menyerbu
Afrika dengan sisa pasukannya dan dalam waktu
singkat membebaskan Syracuse dari kepungan musuh
yang mengakibatkan pasukan Carthago menderita
kekalahan besar. Mereka terpaksa membuat perjanjian

128
dengannya, merasa puas dengan yang dikuasainya di
Afrika dan menyerahkan Sicilia kepada Agathocles.

Dengan demikian, siapa pun yang mempelajari


tindakan-tindakan orang tersebut tidak akan
menemukan apa yang diraihnya karena nasib baik,
sebab, seperti sudah saya kemukakan, ia memperoleh
kedudukan tersebut melalui jenjang karier militer dan
keberhasilannya dicapai dengan perjuangan yang penuh
kesulitan dan bahaya. Begitulah ia meraih kekuasaan
dan mempertahankannya dengan tindakan-tindakan
yang berani dan berbahaya. Namun membunuh sesama
warga kota, mengkhianati sahabat, bertindak licik,
tanpa belas kasihan, tindakan yang tidak religius,
semuanya itu tidak dapat disebut suatu tindakan
seorang pahlawan. Cara-cara ini hanyalah akan
menjadikan sang pangeran berkuasa tetapi tidak
menjadikannya terhormat. Boleh saja orang mengagumi
keberanian Agathocles dalam menghadapi dan
mengatasi bahaya dan jiwa yang penuh keberanian
dalam menanggung penderitaan dan mengatasi
kesulitan dan nampaknya ia tidak boleh dinilai lebih
rendah daripada panglima-panglima terkenal, namun
kekejamannya yang keji dan tidak manusiawi,
kejahatan-kejahatan yang tidak terhitung jumlahnya itu,
tidak memungkinkan dia disebut sebagai salah satu
orang besar. Yang telah dicapainya tidak dapat disebut
sebagai hasil nasib baik maupun keuletan dan
kecakapan karena hal itu diraihnya tanpa salah satu
keutamaan tersebut.69

69
Dr. M. Sastrapratedja & Drs. Frans M. Parera (Redaksi), (1991), Niccolo
Machiavelli: Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin
Republik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 84-85.

129
Terperangkap dalam Hegemoni Pembangunanisme

“Kolonialisme telah memakai baju baru dalam bentuk kontrol


ekonomi, intelektual, dan fisik; baik dari luar maupun dari
dalam negeri sendiri. Inilah yang disebut sebagai Nekolim
(Neokolonialisme).” (Bung Karno)

“Kita tidak bisa berbicara tentang demokrasi, tanpa


mempertanyakan tentang kepentingan kelas mana yang
dilayani oleh organisasi yang membuat dirinya demokratis.”
(V.I. Lenin)

“Sekali-kali HMI perlu bicara yang bisa bikin kaget orang


lain. Malah kalau perlu caci maki seniornya, walaupun sudah
duduk di birokrasi, kalau dia sudah tidak konsisten dengan
perjuangan awalnya.” (A. Malik Fadjar70)

Keberhasilan menggulingkan Pemerintah Soekarno ternyata


membumbungkan banyak nama demonstran sebagai
pahlawan. Beberapa di antaranya datang dari keluarga besar
himpunan: Akbar Tandjung, Fuad Bawazier, dan lain-lain.
Mereka tercatat sebagai pahlawannya Soeharto: berjuang
bersama para serdadu kanan guna melengserkan Soekarno.
Jalan yang ditempuh sederhana: melalui keaktifan di HMI
maka mahasiswa-mahasiswa itu bergabung dalam KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) untuk meruntuhkan
Orla. Semenjak Soeharto berhasil merebut takhta, kontan
pembangunan menjadi agenda utamanya. Upaya bangun-
membangun tentu menguras banyak tenaga dan sumber daya;

70
Dalam Agus Salim Sitompul, (1997), HMI Mengayuh di Antara Cita dan
Kritik, Yogyakarta: Aditya Media.

130
bukan saja dibutuhkan pekerja kasar di lapangan, tapi juga
para pemikir untuk membantunya memikirkan, menuliskan,
dan merancang apa saja. Himpunan adalah organisasi tukang
pikir dengan kader terbanyak menyumbangkan pembantu bagi
penguasa.

Hanya kader-kadernya yang berjuang menumbangkan Orla


sedikit sekali yang idealis seperti Soe Hok Gie. Gie punya
jasa besar dalam membidani kelahiran Orba. Dialah otak dari
Long March—gerak jalan, menuntut penurunan harga bensin
hingga karcis bis kota—menjelang kejatuhan Soekarno.
Bahkan ketika berhadapan dengan panser-panser perwira kiri
pembela Bung Karno, ia mengambil tindakan nekad:
merebahkan diri di depan panser sampai kendaraan perang itu
terpaksa dihentikan oleh para tentara. Tapi kelak tak
sedikitpun dirinya meminta ganjaran atas jasanya. Baginya
organisasi dan perjuangan mahasiswa digambarkannya penuh
imajinasi—tak segan dibandingkan dengan cowboy: ‘Seorang
datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini
sedang merajalela perampokan, perkosaan, dan ketidakadilan.
Cowboy ini menantang sang bandit berduel dan ia menang.
Setelah bandit mati penduduk kota yang ingin berterima kasih
mencari sang cowboy. Tetapi ia telah pergi ke horizon yang
jauh. Ia tidak ingin pangkat-pangkat atau sanjungan-
sanjungan dan ia akan datang lagi kalau ada bandit-bandit
berkuasa’.

Sepak terjang Gie persis cowboy yang imajinasikannya. Dia


tak mau terima hadiah dan ucapan terima kasih dari Orba.
Justru setelah mengetahui bahwa penguasa yang baru itu lebih
buruk ketimbang Orla, maka dirinya kembali beraksi. Ia tak

131
tanggung mengkiritik teman-temannya yang pernah bejuang
bersamanya di KAMI, karena mereka bermegah-megah dalam
istana sekaligus mengkhianati rakyatnya sendiri: ‘Sebagian
dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga. Mereka
korupsi, mereka berebut kursi, rebut-ribut pesan mobil dan
tukang kecap pula’.71 Kritikan yang begitu datang pula dari
kalangan HMI. Sikap kritis dilayangkan oleh anggota HMI
Cabang Yogyakarta. Namanya Ahmad Wahib. Dia adalah
sosok yang kelak melepaskan keanggotaannya di himpunan
lantaran organisasinya bukan saja berpihak pada tiran, tapi
terutama pemikiran yang berkembang di dalamnya tidak
aerob. Analisannya yang dalam dan tajam merupakan sindiran
terhadap para intelektual, termasuk mahasiswa-mahasiswa
yang bergabung di HMI. Wahib tak sekedar menyindir
melainkan pula mencoba mengingatkan teman-temannya:
‘Sekarang kebanyakan intelektual telah menjadi teknokrat
alias sekrup-sekrup dalam roda pemerintahan. Kaum
intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah
untuk membela beleid-nya atau sebagai solidarity maker.
Ternyatalah, pemerintah memang berusaha memagar dirinya
dengan organisasi intelektual’.

Sindiran sekaligus peringatan itu sayangnya diabaikan,


terutama oleh rekannya dari HMI. Anggota-kader himpunan
yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap Orba
ialah Akbar: organisasinya disulapnya jadi batu pijakan
menuju istana, baik untuk jadi politikus maupun birokrat
tenar. Sewaktu merongrong kekuasaan Soekarno, massa HMI

71
Daniel Dhakidae, (2015), Menerjang Badai Kekuasaan; Meneropong
Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, Sampai Putra Sang
Fajar, Bung Karno, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 79.

132
memang merupakan yang paling banyak mengisi barisan
KAMI. Soeharto tahu akan hal ini, sehingga pemimpin
mahasiswa dari organisasi besar banyak dirembesi. Terhadap
pimpinan-pimpinan pucuk himpunan misalnya, caranya
mudah: mendekati dan mendikte Ketum PB HMI dengan
memberikan kemudahan akses ke istana, khususnya dalam
meniti karir hingga merebut kursi-kursi negara. Kemesraan
antara himpunan dengan Orba terlihat jelas ketika organisasi
ini dipimpin oleh Akbar Tandjung. Kala menjabat Ketum PB
HMI periode 1971-1974, Akbar menyeponsori Pertemuan
Cipayung. Temu inilah yang melahirkan Kelompok
Cipayung. Perkumpulan tersebut begitu aktif mendukung cita-
cita pembangunannya Orba. Baginya dukungan kepada rezim
sesuai dengan Program Kerja HMI di masanya. Makanya ia
juga ikut mendirikan KNPI (Komite Nasional Pemuda
Indonesia). Organisasi ini langsung berada di bawah naungan
pemerintah yang dikhususkan untuk mengendalikan
organisasi-organisasi pemuda secara sentralistik demi
menyukseskan kerja-kerja pembangunannya Soeharto.

(Bahkan selepas memimpin HMI, Akbar juga lagi-lagi tetap


mencoba membantu Orba dengan mendirikan organisasi
pendukung pembangunan: AMPI, Angkatan Muda
Pembaruan Indonesia—sayap pemuda Golkar). Akbar
mengatakan, ‘tak berlebihan kiranya kalau saya mencatat
suatu hal menarik pada periode ini, adalah sifat transisi dari
ciri organisasi “solidarity maker” ke arah yang lebih
pragmatis, yaitu “problem solving oriented’.72 Makanya

72
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul [editor], (2008), HMI Mengayuh di
Antara Cita dan Kritik, Jakarta: CV Misaka Galiza, Hlm. 54.

133
pembangunan-pembangunan yang digencarkan selama Orba
kala itu didukung oleh Akbar dengan segenap pemikiran,
penuh keyakinan, dan kebulatan tekad:

Program pembangunan yang merupakan komitmen


Orde Baru kepada rakyat adalah pembangunan manusia
seutuhnya, dalam pengertian bahwa hasil material yang
dicapai adalah untuk keselamatan seluruh rakyat.
Komitmen Himpunan kepada pembangunan sudah
ditegaskan dalam Kongres X, yaitu peran serta secara
konstruktif dan korektif. Dalam rangka ikut menunjang
iklim pembangunan dan pelaksanaannya secara lancar,
maka diperlukan adanya kepemimpinan yang kuat,
kestabilan sosial serta peran serta masyarakat.
Menjelang diselenggarakannya Persidangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 1973, setelah melihat
situasi tanah air pada waktu itu, terdapat usaha-usaha
untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 serta
menggoyahkan kepemimpinan nasional, maka PB HMI
mengeluarkan pernyataan tertanggal 13 April 1972
tentang Lembaga Kepresidenan dan Masalah UUD
1945; pernyataan tersebut berisi dukungan agar Sidang
MPR memilih dan menetapkan kembali Jenderal
Soeharto sebagai Presiden R.I. serta dukungan agar
Sidang MPR tidak mengubah UUD 1945 sebagai suatu
konsensus nasional karena yang lebih penting adalah
meng-elaborasi ketentuan-ketentuan yang terdapat di
dalamnya….73

Pembangunan yang dilaksanakan Soeharto sebenarnya amat


keras kepala dan penuh tipu daya. Pembangunan dipaksakan

73
Muchriji Fauzi HA dan Ade Komaruddin Mochamad (penyunting),
(1990), HMI Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit PT Gunung
Kulabu, Hlm. 62.

134
dengan mengemis-ngemis kepada pemodal asing hingga
membuat rakyatnya sendiri merana. Kekayaan-kekayaan alam
Indonesia dilacurkan ke tangan para pengusaha luar negeri.
Kebijakan-kebijakan pemerintah juga lebih mementingkan
kehadiran investor asing ketimbang memobilisasi dana dalam
negeri. Ali Sugihardjanto membagi pembangunan yang
dilakukan Orba ke dalam tiga tahapan secara jeli. Periode
pertama (1967-1973) memiliki ciri khusus yaitu politik pintu
terbuka yang mengusahakan berbagai insentif untuk menarik
penanaman modal asing, antara lain melalui usaha-usaha
pembuatan infrastruktur, UU PMA yang sangat memikat
dengan membuat restriksi industri yang sangat sedikit. Pada
periode kedua (1973-1983) pemerintah mengerahkan politik
industrinya pada kegiatan industri impor substitution melalui
berbagai proteksi bagi kepentingan pasar dalam negeri, yang
bertujuan menaikan kandungan lokal dalam hasil produksi. Di
bidang ekspor pemerintah melarang ekspor beberapa bahan
mentah dalam bentuk belum diolah, yang bertujuan
membangun industri barang-barang ekspor. Periode ketiga
(1983-1992) pemerintah telah memberi arah baru menuju
industri berorientasi ekspor ditandai oleh pembukaan hampir
semua sektor industri manufaktur bagi investasi asing, dengan
mengandalkan daya tarik tenaga kerja yang murah.

Eko Prasetyo menyatakan bahwa melalui tiga tahap itu,


penguasa ‘secara berangsur menetapkan jalan
liberalisme/sistem pasar sebagai satu-satunya model:
maksimalisasi kegunaan tanpa batas atau efisiensi’. Kebijakan
ekonomi ini ditempuh juga sebagai bagian dari kepatuhan
Indonesia dengan Bank Dunia maupun negara donor yang
tergabung dalam IGGI (Intergovermental Group on

135
Indonesia)/CGI (Consultative Group on Indonesia). Setiap
penerimaan dana bantuan, Bank Dunia menetapkan standar
operating procedure yang akan meminta kesediaan calon
nasabah untuk mengikatkan diri dengan perdagangan
internasional (dinamakan tata ekonomi dunia baru), membuka
pasar dalam negerinya bagi barang-barang produksi luar
negeri, memberikan kebebasan lalu lintas modal dan laba,
serta membuka diri terhadap investasi asing. 74 Misi utama
World Bank (Bank Dunia) adalah membantu pembangunan
dan rekonstruksi teritori negara-negara anggotanya. Caranya
dengan memfasilitasi investasi kapital untuk tujuan produksi
apa saja. Tak cukup menggunakan dana itu Soeharto pula
melancarkan pembangunannya melalui anggaran dari IMF
(International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional).
Itulah mengapa Prasetyo menjelaskan torehan kebijakan
Soeharto dalam membangun negeri ini sesungguhnya bukan
untuk menyejahterakan rakyat, tapi mengikuti kemauan
penguasa ekonomi global (kapitalis-imperialis):

Usaha rezim Orde Baru dalam memeluk pembangunan


sebenarnya dilatar-belakangi oleh kompetisi di
tingkatan internasional. Fondasi tatanan ekonomi
Internasional saat Soeharto mengambil alih kekuasaan
berada di atas dukungan Amerika. Oleh Amerika
tatanan ekonomi ini dikembangkan melalui dua
mekanisme utama, yakni penerapan sistem Bretton
Woods dan Marshall Plan. Sistem Bretton Wood
dimaksudkan untuk menyediakan kerangka
institusional bagi sebuah tatanan ekonomi liberal yang
diinginkan oleh para pembuat kebijakan Amerika. Dari

74
Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri; Melawan Kapitalisme Modal dari
Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 86-87.

136
pertemuan yang diadakan di Hotel Mount Wahington,
Bretton Woods, New Hampshire, Amerika diputuskan
untuk dibentuk badan bernama Bank Dunia dan IMF….
Hubungan Indonesia dengan IMF memiliki sejarah
yang panjang (Indonesia melamar menjadi anggota
IMF pada tahun 1951, hanya berselisih beberapa hari
dari Jepang. Namun karena panjangnya birokrasi yang
harus dilalui. Indonesia baru menjadi anggota IMF
yang ke-56 April 1954. Dalam perjalanan sejarah
Indonesia Soekarno pernah memutuskan berhenti dari
IMF dan ini satu-satunya negara yang keluar. [Namun
setelah kekuasaan diambilalih oleh Soeharto maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1966, yang
menyatakan tentang (keharusan) bergabungnya kembali
Republik Indonesia dalam International Monetary
Fund International Bank for Reconstruction and
Development.75] Kemudian pada masa Soeharto
Indonesia melamar menjadi anggota IMF pada bulan
Februari 1967. Sejak itu Indonesia mengikat kontrak
dengan IMF) … Amerika juga menginginkan adanya
persepsi dan kebijakan yang sama di antara para
pengambil putusan, yakni dengan menelurkan Marshall
Plan. Marshal Plan memberi kemungkinan bagi
mereka untuk mengelola perekonomian dunia pasca
perang pada basis komitmen bersama bagi
pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang tinggi.
Dari sinilah proyek pembangunan dikembangkan serta
disebarluaskan, dimana negara diletakkan sebagai
pendorong utama perubahan.76

75
Amien Tohari, dkk, (2011), Dinamika Konflik dan Kekerasan di
Indonesia, Jakarta: Institut Titian Perdamaian, Hlm. 119-120.
76
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri; Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 156-157. Tulisan dalam kotak merupakan
tambahan dari penulis.

137
Perjanjian Bretton Woods pada Juli 1944 menjadi inang
kelahiran era globalisasi modern. Melaluinya sistem ekonomi-
politik dilakukan pemusatan. Tujuannya adalah
mempromosikan ekonomi global dengan dalih mencegah
perang, mengurangi kemiskinan, dan membangun kembali
dunia. Dari pertemuan itu bukan saja berhasil membentuk
WB—yang semula Bank Internasional untuk Rekonstruksi
dan Pembangunan (IBRD)—dan IMF, tapi juga lebih banyak
menghasilkan Perjanjian Umum mengenai Tarif dan
Perdagangan (GATT). Lewat kesepakan ini tidak saja
dibentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), melainkan
pula memaksa ditorehkannya lagi pelbagai perjanjian dagang:
Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA),
Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika (FTAA), Perjanjian
Perdagangan Regional antara ASEAN dan Uni Eropa
(ASEAN-EU FTA), Perjanjian Perdagangan Bebas Asia
(AFTA), Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia dan Jepang
(EPA), dan sebagainya.

Seabrek kebijakan pasar bebas itu sangat berdampak buruk


terhadap kehidupan orang-orang miskin dan tertindas yang
tersebar di seluruh dunia. Hans Kung memberi tahu bahwa
dalam sistem yang begitu terdapat enam konsekuensi
mematikan bagi warga: (1) hukum tidak lagi didasarkan pada
martabat manusia yang universal, hak asasi, dan tanggung
jawab manusia, tetapi justru dirumuskan dan dimanipulasi
menurut kehendak ekonomi pasar dan kepentingan kelompok;
(2) politik semakin tunduk pada logika pasar dan lobi-lobi
dari kekuatan-kekuatan ekonomi penekan, sementara
spekulasi global dapat mengguncangkan mata uang nasional;
(3) sains sudah menyerahkan dirinya pada kepentingan

138
ekonomi, dan mengorbankan fungsinya sebagai kontrol yang
paling obyektif dan kritis; (4) kebudayaan telah dihancurkan
oleh pasar, dan seni diperdagangkan dalam mekanisme pasar;
(5) etika sudah dikorbankan untuk kekuasaan dan keuntungan
(laba); dan (6) agama telah disulap sedemikian rupa menjadi
komoditas-komoditas yang dijajakan—seperti halnya di
supermarket—kepada manusia (homo economicus) yang haus
spiritual.77

Dalam sistem pasar bebas golongan yang menjadi korban


utamanya adalah kelas pekerja karena hidupnya dibikin
terombang-ambing. Buruh dibuatnya rapuh: agar
mendapatkan sejumlah pemodal yang mau menanamkan
modalnya, maka kontrol terhadap pekerja merupakan
kebijaksanaan yang wajib ditempuh. Itulah mengapa saat
Soeharto berkuasa diterbitkanlah kebijakan Hubungan
Perburuhan Pancasila yang melarang mengeluh, protes,
mogok, apalagi memberontak. Aturan tersebut berisi tiga
ketentuan yang bertujuan menjaga stabilisas kekuasaan:
pertama, rasa memiliki; kedua, bertanggung jawab; dan
ketiga, intropeksi diri. Sedangkan perlakuan kepada petani
juga tidak kalah keji. Program pemerintah membuat
eksistensinya menyeringai. Soeharto memperuncing derita
kaum tani dengan menyeret pertanian ke sektor industri.
Program itu diberi nama Revolusi Hijau. Isinya adalah paket-
paket yang amat atbitrer; menetapkan penggunaan pupuk
kimiawi, tanaman monokultur, penggunaan standar bibit, dan
pemakaian peptisida tertentu. Akibatnya, petani-petani

77
Disarikan dari Hans Kung, (2002), Etika Ekonomi-Politik Global:
Mencari Visi Baru Bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, Yogyakarta:
Qalam.

139
terasing dari kehidupan keseharianya. Sebab kebijakan Orba
telah meminggirkannya dari kebiasaan maupun pengetahuan
lokalnya. Bahkan, tanah-tanah yang menjadi sumber
penghidupannya digerogoti pemerintah. Di bawah bendera
Land Resource and Management Planing, maka pasar tanah
dibuka secara leluasa. Orientasinya jelas gila: agar
perekonomian semakin berdaya di atas kebutuhan-kebutuhan
dasar berjuta-juta warga. Wahasi, kehidupan rakyat kemudian
semakin sengsara.

Keadaan seperti itulah yang ikut menempatkan kaum tani


bernasib dengan buruh pabrik: tertindih oleh cita-cita
pertumbuhan ekonomi hingga tak punya ruang untuk
menyampaikan aspirasinya. Suara-suara akar rumput sama
sekali tidak didengarkan penguasa. Soalnya setelah
keberhasilan Kudeta 1965, IGGI/CGI bersama IMF dan IBRD
dapat mengontrol negara Indonesia secara leluasa. Itulah
mengapa setelah terjadi pembunuhan massal ’65, maka
Soeharto berusaha memulikan keadaan dengan menyepakati
semua permintaan busuk lembaga-lembaga donor
internasional. Dalam Konferensi IGGI/CGI di Paris pada
Desember 1966, dikirimlah delegasi Pemerintah Indonesia
yang menyetujui kesepakatan soal pembangunan yang poin-
poinnya begitu konyol: (a) Kekuatan pasar akan memainkan
peran pokok dalam rehabilitasi; (b) Perusahaan-perusahaan
negara akan melakukan kompetisi bebas dengan perusahaan
swasta, mengakhiri akses preferensi ke kredit dan alokasi
valuta asing. Monopoli negara di bidang impor diakhiri. Di
sisi lain, perusahaan negara dibebaskan dari kewajiban
menjual dengan harga rendah yang semu. Mereka dapat
melakukan penjualan berdasarkan harga pasar, bekerja secara

140
ekonomis, dengan demikian tidak memerlukan subsidi lagi;
dan (d) Investasi swasta asing akan digalakkan dengan
dikeluarkannya undang-undang investasi baru yang akan
menjamin perpajakan dan lainnya.78

Poin-poin itu disetujui saja karena mendapatkan tekanan keras


dari IGGI/CGI, IMF dan IBRD. Mereka terus-menerus
mendesak Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pintu
terbuka bagi modal asing dan mengintegrasikan diri pada
kerja sama internasional, serta mengurangi investasi dan
intervensi negara dalam perekonomian warganya. Orba
menjawab penekanan tersebut dengan menciptakan aturan
yang dapat menderaskan aliran modal asing dalam
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dengan
mengeluarkan 3 Paket UU pada 1967: UU No. 1/1967
(Penanaman Modal Asing/PMA), UU No. 5/1967 (Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kehutanan), dan UU No. 11/1967 (Pokok-
Pokok Pertambangan). Poin penting dari “paket 1967” ini
adalah terbukanya arus investasi ke Indonesia untuk
mengekstraksi tambang, menambang kayu di hutan,
mengusahakan perkebunan besar, dan semua itu dilakukan
dengan skema permodalan dari perusahaan besar luar negeri. 79

Bahkan melalui UU PMA, negara menjamin enam hal penting


menyangkut perkembangan modal asing di dalam negeri: (1)
Jaminan bahwa tidak ada kehendak untuk menasionalisasi
milik asing dan adanya kompensasi pembayaran jika terjadi
nasionalisasi; (2) Masa kerja tiap perusahaan asing ialah 30

78
Richard Robinson, (2012), Soeharto dan Kebangkitan Kapitalisme
Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, Hlm. 107.
79
Amien Tohari, dkk, (2011), Dinamika Konflik…. Op. Cit., Hlm. 120.

141
tahun yang kemudian dapat diperpanjang sesuai persetujuan;
(3) Pembebasan pembayaran deviden dan pajak perusahaan
bagi investor asing sampai selama tiga tahun, kerugian dapat
diperhitungkan sebagai sebagai tambahan terhadap
pembebasan pajak yang telah lewat; (4) Pembebasan bea
masuk terhadap mesin-mesin yang diimpor beserta
perlengkapannya, demikian halnya dengan bahan baku selama
dua tahun; (5) Kebebasan penuh untuk merekrut tenaga kerja
manajemen dan teknisi asing bagi jabatan dan pekerjaan
semacam itu yang belum sanggup dilakukan oleh tenaga
Indonesia; dan (6) kebebasan [tidak boleh diatur-atur apalagi
dipaksakan dalam] melakukan pemindahan keuntungan, dana
depresiasi dan hasil penjualan saham kepada warga negara
Indonesia.

Dengan keberpihakan kepada pemodal internasional maka


dalam periode 1967-1971 saja, Soeharto berhasil melancarkan
masuknya 428 investor asing: di luar pengusahaan minyak
bumi, total investasi mereka mencapai 1,6 miliar dollar AS.
Sementara sampai tahun 1973 nilai investasi di pelbagai
sektor perekonomian semakin bertambah beringas:
Kehutanan: 495,5 juta dollar AS; Pertanian dan Perikanan:
113,0 juta dollar AS; Pertambangan: 860,5 juta dollar As;
Manufaktur: 1.045,1 juta dollar AS (tekstil: 436,9 juta dolar
AS); Pariwisata, Hotel, dan Real Estate: 195,9 juta dollar AS;
dan lainnya termasuk infrastruktur juga konstruksi: 118,3 juta
dollar AS.80

80
Lihat tabel 5.2 dalam Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 111.

142
Dalam iklim inestasi yang semakin menggelegar kehidupan
kelas bekerja bukan saja diupah murah dan mudah di-PHK,
tapi terutama mereka dikontrol agar tidak melawan para
penindas. Makanya orang-orang miskin di kota maupun
pelosok-pelosok desa amat rentan terkena kekerasan oleh
negara. Lihatlah bagaimana Orba menerbitkan UU No. 5/1975
(Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah): dengannya Soeharto
gampang sekali memilih serdadu-serdadunya untuk menjabat
kepala desa. Militer sengaja dipasang untuk mengendalikan
dan mengamankan pedesaan dari segala keributan yang
dianggap dapat mengganggu kekuasaannya. Sehingga untuk
mengokohkan kekuasaannya dia bukan saja membangun
perekonomian, tapi juga mempertahankan takhtanya dengan
kekuatan politiknya. Syafinuddin Al-Mundari menulis ada
empat poin fenomenal bagaimana Orba mengebiri rakyatnya:

Setelah lima tahun kekuasaan Soeharto dengan Orde


Barunya, nampak suatu fenomena sebagai berikut;
Pertama, dominasi politik dan ekonomi oleh kalangan
elite kekuasan…. Stabilitas nasional diperlebar dengan
menjadi sangat fungsional sebagai sebuah stigma
kekuasaan untuk membatasi peran-peran kontrol
masyarakat. Digambar Arbi Sanit bahwa: “Stabilitas
politik ditentukan oleh tiga komponen yang saling
terkait, yaitu; perkembangan ekonomi, perkembangan
pelembagaan baik struktur maupun proses politik dan
partisipasi politik.” … rakyat tak dapat melakukan
koreksi terhadap tindakan pemerintah yang dipandang
berwarna despotisme sebab sebelumnya telah
“dibingkai” oleh berbagai sumber-sumber
konstitusional. Melebarnya ekses ini menjadikan
pemerintah makin menjadi lahan subur bagi tumbuhnya
praktek monopoli, oligopoli, korupsi, kolusi,

143
nepotisme, serta terwujudnya—secara praksis—suatu
model ekonomi kapitalis…. Kedua, pseudo-democracy,
demokrasi terlepas dari terminologi teologis—
dipercaya sebagai perwujudan suatu interaksi sosial
atau pola hubungan antara institusi sosial dengan
negara maupun individu (baca: warga negara) dengan
pemerintah (neo-feodalisme)…. Ketiga, menerapkan
preasure power dengan military-approach (pendekatan
militer). Stabilitas politik yang—lalu—disebut stabilitas
nasional, dipandang efektif terjaga bilamana “fungsi-
fungsi kekuasaan” dapat diberlakukan … tangan-tangan
kekuasan yang merambah ke tiap-tiap bidang seperti;
Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI), Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI), Pramuka, dan sejenisnya
[Cipayung, SPSI, ICMI—pen], juga menjadi wadah-
wadah sosialisasi kebijakan pemerintah…. Keempat,
mengeliminir peran-peran agama dalam kehidupan.
Sebagai negara dalam tata dunia modern, Orde Baru
sangat mudah menggunakan prinsip-prinsip
sekularisme yang memandang bahwa urusan agama
bukan menyangkut tatanan sistem sosial melainkan
hanya berkaitan dengan aspek-aspek yang berdimensi
individual dalam hubungannya dengan Tuhan…. 81

Orba berhasil mengangkat diskursus pembangunan ke


levelnya yang ideologis: pembangunanisme. Pembangunan
tampil sebagai ideologi hegemonik yang mampu
mengendalikan common sense (pandangan umum) masyarakat
hingga tercapai sebuah persetujuan bersama. Persetujuannya
bukan saja terlihat ketika banyak sekali kekuatan dalam
masyarakat memberikan dukungan kepada pemerintahan

81
Syafinuddin Al-Mandari, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 51-53.

144
untuk terus membangun negeri ini dengan bantuan dana-dana
dari pemodal. Karena persetujuan bahkan telah lebih dahulu
nampak sewaktu Soeharto merebut kekuasaan dari tangan
Soekarno: kelompok jenderal kanan dalam Angkatan Darat
memperoleh tak sekedar dari kapitalis-birokrat dan kapitalis-
imperialis, tapi juga sukses menggalang dukungan sipil. Kala
itu segenap blok Barat—Amerika Serikat dan sekutunya—
bersepakat menaikan Soeharto ke tampuk kekuasaan karena
Soekarno menolak bekerja sama apalagi berhamba pada
kapitalisme, terutama modal asing. Sedangkan masyarakat
ikut melancarkan perebutan kekuasaan oleh kalangan militer
melalui beragam aksi yang menggoncang. Isu yang diangkat
tak hanya terkait depresi ekonomi melainkan pula stigma
tehadap PKI: dianggap seiras setan, binatang jalang, bahkan
tidak beragama dan bertuhan segala.

Kebencian tersebut ditanam dan dibesarkan melalui tangan-


tangan para serdadu piaraan Amerika: jendral-jendral AD
ditugaskan mempropagandakan apa saja yang dapat
menghasut rakyat untuk membersihkan anasir-anasir yang
mengghambat masuknya modal asing. Makanya segala paham
kiri mudah sekali dicap sesat, hingga orang-orang yang
terlanjur dituduh komunis sampai diganyang. Dalam keadaan
inilah Soeharto tampil sebagai artikulator semua kepentingan
yang berbeda. Dia mempertemukannya pada sebuah tuntutan
bersama: anti terhadap kepemimpinan Bung Karno selaku
presiden. Setiap kepentingan tadi ada dalam partikularitasnya
masing-masing: tidak berhubungan antara satu sama lain.
Tetapi Harto berhasil menyatukannya melalui penciptaan
universalitas: kontra kekuasaan. Ernesto Laclau dan Chantal

145
Mouffe menyebutnya sebagai chain of equivalence82 (rantai
kesamaan). Sebab, langkah yang diambil kelompok militer
sesuai dengan konsep hegemoni Gramscian:

Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam


dua cara, sebagai “dominasi” dan sebagai
‘kepemimpinan intelektual dan moral’. Dan di satu
pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi
kelompok-kelompok oposisi untuk “menghancurkan”
atau menundukan mereka, bahkan mungkin dengan
menggunakan kekuatan bersenjata; di lain pihak,
kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok
kerabat dan sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial
dapat dan bahkan harus sudah menerapkan
“kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan
pemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan salah
satu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan
kekuasaan semacam itu). Kelompok sosial tersebut
kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktekan
kekuasaan, tapi bahkan bila dia telah memegang
kekuasaan penuh di tangannya, dia harus terus
memimpin juga.83

Bergeraknya elemen-elemen masyarakat sipil dan politik


untuk membantu militer membasmi paham komunisme,
membunuh orang-orang tertuduh PKI, dan memborbardil
kekuasaan Soekarno—merupakan pertanda bahwa Soeharto
telah memulai menerapkan kepemimpinan hegemoniknya.
Fenomena tersebut menampakan apa yang disebut Gramsci

82
Ernesto Laclau dan Mouffe, (2008), Hegemoni dan Strategi Sosialis;
Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Resist Book, Hlm.
xxxviii.
83
Nezar Patria & Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 117-118.

146
dengan Bonapartiesme: kekuatan sipil dimanfaatkan untuk
memperoleh kekuasan tapi setelah berhasil berkuasa maka
penguasa membelot dari rakyatnya untuk bermain menjadi
kaki tangan dari kapitalisme. Itulah sebabnya kepemimpinan
hegemoninya kemudian dibangun berlandaskan
pembangunanisme. Bangun-membangun dalam bingkai
kekuasaan Orba muncul sebagai ideologi yang menempatkan
usaha-usaha pembangunan dengan bantuan modal asing
menjadi satu-satunya cara untuk memperbaiki dan memajukan
perekonomian.

Mula-mula ajaran itu ditanamkan ke pikiran rakyat melalui


perangkat lunak kekuasaan: orang-orang yang bekerja
membujuk massa maupun segenap lembaga-lembaga sosial-
politik bukan saja melalui propaganda-propaganda media, tapi
juga kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, bahkan lewat
hubungan keluarga sekalipun. Fenomena ini menampak ketika
Orba menanamkan hegemoninya lewat tindakan-tindakan
internalisasi nilai melalui: penggunaan media massa cetak dan
elektronik yang telah lebih dahulu dikooptasi dengan UU No.
4/1967 tentang Pers (pers selalu dalam pengawasan Dewan
Pers juga harus memiliki SIT [Surat Izin Terbit] dari
pemerintah untuk mempublikasikan segala beritanya, dan
paling kasar: Soeharto berhak mencabut SIT bilamana media
dianggap bersalah oleh penguasa); seleksi ketat terhadap
kepemimpinan organisasi sosial dan politik Islam oleh
pemerintah sesuai dengan loyalitas pimpinan tersebut
terhadap Pemerintah Orde Baru, Pancasila, dan UUD ’45; 84

84
Dr. Abdul Munir Mulkhan, (2002), Teologi Kiri; Landasan Gerakan
Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hlm. 133.

147
dan terutama modernisasi di tiga bidang: keagamaan,
pendidikan, dan kebudayaan.

Melalui semua itulah Soeharto dengan leluasanya


menyiramkan apa saja yang berguna untuk menyuburkan
hegemoninya. Makanya Orba juga terus-menerus
menyosialisasikan doktrin P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila). Kontan, umat Islam kala itu
dibuatnya untuk beagama sebatas kultural semata, karena
ditanggalkan dari kekuatan ideologis agamanya. Arbi Sanit
menyebutnya sebagai ‘politik deideologisasi’. Inilah mengapa
kaum agamawan kemudian lebih suka jadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) ketimbang bergelut dalam dunia gerakan yang
sarat tantangan, penuh resiko, dan bergelimang bahaya.
Bahkan segala bentuk karya intelektual hanya diberikan ruang
apabila berguna bagi kepentingan penguasa saja. Adalah
Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang gagasannya dimanfaatkan
habis-habisan oleh Orba. Itulah kenapa sekularisasi atau
modernisasi pemikiran Islam dielu-elukan rezim lantaran
sejalan dengan usaha-usaha pembangunannya. Karena
gagasan segar dari Cak Nur justru kemudian jadi pelumas
penguasa negara Indonesia hingga ekonomi dunia.

Mansour Fakih menyebutkan, memang para ahli ilmu-ilmu


sosial memainkan peran besar dalam menggelobalkan
pembangunanisme. Pada spektrum global teoritisi-teoritisi itu
mengajukan kepada Pemerintah Amerika Serikat (AS) saran-
saran tentang bagaimana caranya mendesiminasikan ideologi
development dan modernisasi dengan menargetkan Dunia
Ketiga. Pertama, dianjurkan untuk menggunakan pengaruh
Amerika, Kebijakan Ekonomi dan Perencanaan. Sebab

148
mereka tahu bahwa bantuan Amerika selama ini sangat efektif
dalam mempengaruhi kebijakan dan perencanaan ekonomi
negara-negara miskin. Kedua, mendidik pemimpin Dunia
Ketiga, baik dalam bentuk training, maupun perjalanan
observasi ke Amerika. Strategi ini konon diusulkan
berdasarkan pengalaman pemimpin mahasiswa dalam
menghancurkan pemerintahan nasionalis Indonesia tahun
1966: kudeta terhadap Soekarno. Ketiga, menggunakan sarana
agama. Banyak studi agama diarahkan pada peran agama
dalam development, sehingga perlunya ‘sekularisasi’ menjadi
bahasa resmi pemimpin agama Dunia Ketiga. Dan keempat,
memakai fungsi training dan riset dari tenaga universitas
Amerika yang bekerja di luar negeri atas biaya USAID
(United States Agency for International Development).85

Mungkin dalam menerapkan anjuran pemikir-pemikir


kapitalis itu maka Oktober 1968 Pemerintah AS mengundang
Cak Nur untuk berkunjung ke negaranya. Selama di negeri
Paman Sam, Cak Nur banyak sekali berdiskusi dengan
mahasiswa dan tokoh-tokoh penting lainnya. Makanya
Ahmad Wahib mensinyalir bahwa pemikiran sekularisasi-
modernisasi pemikiran Islam Cak Nur ialah berasal dari sana.
Namun perjalanannya tak berhenti di Amerika, karena selepas
dari negara kapitalis itulah perjalanannya pun dilanjutkan ke
Timur Tengah. Dengannya tokoh intelektual HMI ini
membantah bahwa yang mempengaruhi pemikirannya bukan
hasil observasinya di AS tapi kunjungannya di Turki, Kuwait,
Libanon dan Arab Saudi. Dari sanalah dirinya bertukar

85
Lihat Dr. Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 201.

149
pikiran dengan tokoh-tokoh radikal, terutama pelarian-
pelarian Ikhwanul Muslimin. Hanya saja setelah kembali ke
Indonesia pandangan politiknya bukan mengandung jalan
pikiran para Ikhwan, melainkan corak-corak ide yang punya
korespondensi bahkan koherensi terhadap pembangunan.
Makanya dalam ranah politik disambut gembira oleh
Soeharto, karena idenya hadir sebagai pelumas kekuasaan
Orba. Buktinya pembaharuan pemikiran Islam yang
dibawanya tak saja melemahkan kekuatan politik kaum
muslim, melainkan juga menafikan kesadaran ideologis yang
bertolak dari agama. Abdul Munir Mulkham menjelaskan
dengan begitu rupa. Dia bahkan bersepakat dengan Wahib
yang menyatakan gagasan-gagasan Cak Nur merupakan
implikasi dari kunjungannya ke Amerika:

Pada tahun 1971 dalam majalah Panji Masyarakat No.


79, 80, dan 85 Nurcholish Madjid melontarkan
pandangannya tentang perlunya pembaharuan struktur
politik dan partai (Islam) sebelum penggabungan
partai-partai Islam ke dalam PPP. Sejalan dengan
konsep sosio-politiknya ia mengatakan bahwa nasib
buruk yang dialami umat Islam Indonesia disebabkan
karena kesalahan metodologis memaknai Islam sebagai
agama (kultur) dalam hubungannya dengan ideologi
politik. Kesalahan metodologi tersebut perlu diubah
melalui pendekatan rasional terhadap kehidupan sosio-
politik. Sesuai konteks sosio-budaya dan politik
Indonesia, maka umat Islam perlu melepaskan diri dari
jebakan “ideologi Islam” yang menghilangkan
dinamisme dan sifat terbuka. Dari pandangannya
tersebut, setelah pulang dari Amerika dengan jelas ia
menyatakan bahwa Islam seharusnya dapat menerima
Pancasila sebagai ideologi … Nurcholish Madjid

150
menyimpulkan bahwa partai-partai yang bersimbol
Islam tidak dapat dipergunakan sebagai indikator
kemusliman seorang pemeluk Islam. Oleh karena itu
umat Islam harus dibebaskan dari ikatan primordial
dengan partai-partai tersebut dengan pernyataan “Islam
yes, partai Islam no” … Nurcholish mengembangkan
konsep Teologi-Politiknya, khususnya yang
menyangkut ideologi-politik. Secara rasional harus
dapat dipahami bahwa Pancasila dapat diterima oleh
umat Islam. Dan Islam dapat dikembangkan dalam
format ideologi tersebut. Oleh karena Pancasila dan
Orde Baru merupakan realitas duniawi, maka harus
dipahami secara rasional….86

Setelah Soeharto berhasil menyederhanakan partai-partai


politik ke tiga partai: PPP (kalangan Islam), PDI (golongan
nasionalis), dan Golkar (kelompok militer sekaligus
pengusaha). Yang diuntungkan bukan hanya PDI tapi
terutama Golkar sebagai kendaraan politiknya penguasa.
Makanya dalam masa Orba terjadi penyusutan dukungan
besar-besaran pada kendaraan politik umat beragama. Pemilu
1971 saja berhasil dimenangkan oleh Golkar dengan
persentase suara 63%. Lalu pada Pemilu selanjutnya Golkar
kembali memperoleh dukungan yang berlimpah: tahun 1977
mendapatkan 62%, tahun 1982 mencapai 64%, tahun 1987
melambung ke 73%, tahun 1992 masih terbilang tinggi 68%
(bahkan pada tahun 1999 atau Pemilu di era “reformasi”,
Golkar masih dapat bertengger di urutan kedua menyisihkan
partainya para reformis seperti Amien Rais [PAN] dan

86
Ibid, Hlm. 150-151.

151
Abdurrahman Wahid [PKB]) 87. Dalam Teologi Kiri-nya,
Mulkham mengungkapkan bahwa partai Islam mengalami
penurunan sebesar 19,30% dari posisi pendukung muslim
tahun 1955. Karena setelah diterimanya asas tunggal
Pancasila, partai Islam hanya didukung oleh 12,43% dari
posisi tahun 1982. Lalu dalam Pemilu 1987 bahkan umat
Islam yang mendukung partai selain PPP—yakni PDI dan
Golkar—mencapai jumlah 81,67%. Mengamati keadaan ini
maka Hasanuddin M. Saleh menggambarkan kekuatan politik
kenegaraan kalangan muslim selama Orba berkuasa sangat
dilemahkan:

Posisi teralienasinya umat Islam dalam politik


kepartaian semakin lengkap, ketika pada Pemilu 1971
partai-partai Islam dikalahkan secara telak oleh
Golongan Karya sebagai pendatang baru (partai
pemerintah) dalam permainan yang relatif kasar. Begitu
pula pada pemilu-pemilu selanjutnya. Fusi partai-partai
Islam ke dalam satu partai (PPP) menjadikan kekuatan
umat Islam dari sisi kepartaian tidak solid dan bahkan
terus-menerus terlibat dalam konflik sehingga menjadi
lemah. Hal ini diperburuk dengan ketentuan depolitisasi
massa yang ada di pedesaan (massa mengambang) yang
menjauhkan partai Islam dari massa pendukungnya.
Kemudian terbit lagi ketentuan yang mengharuskan
partai politik hanya berasaskan Pancasila dan kemudian
mengganti tanda gambar ka’bah menjadi gambar
bintang (salah satu simbol dan lambang negara Garuda
Pancasila) yang berarti bagi PPP adalah pemutusan

87
Syafinuddin Al-Mundari, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 35-36.

152
hubungan emosional dengan massa tradionalnya, yaitu
umat Islam, sebagai komunitas politik…. 88

Suasana kehidupan masyarakat yang dikendalikan


pemerintahan Soeharto memang persis apa yang dipetuahkan
Antonio Gramsci: untuk melancarkan hegemoni dibutuhkan
pelaksanaan intervensi bukan sekadar lewat (1) jalur
pendidikan tapi juga (2) mekanisme kelembagaan. Hanya saja
yang menjadi aspek terpenting untuk menegakkan dan
menguatkan kekuasaan hegemonis diperlukan lembaga
kepartaian dan intelektual-cendikiawan. Baginya: ‘sejarah
sudah menyediakan organisme ini: partai politik—sel pertama
di mana berbagai kehendak kolektif yang sedang menjadi
universal dan total mulai bergabung’. 89 Kehadiran Sekber
Golkar sejak 1964 hingga bertansformasi sebagai Parpol
Golkar memuluskan langkah Soeharto dan Orba-nya dalam
menghegemoni rakyatnya. Karena partai tersebut menjadi alat
utama untuk menyebarkan budaya kelas yang berkuasa. Itulah
mengapa Orba kemudian gampang sekali melakukan penetrasi
terhadap banyak sekali organisasi sosial maupun politik yang
ada dalam kehidupan masyarakatnya. Melalui Golkar dia tak
hanya berhasil menarik militer seperti Ahmad Tirtosudiro dan
Abdul Gafur, namun pula mampu meraih dukungan dari
banyak intelektual-mahasiswa: misalnya Akbar Tandjung,
Jusuf Kalla, hingga Fuad Bawazier, dan sebagainya. Bahkan
ide-ide Cak Nur pun bisa dipelintir bukan sekedar buat
mempopulerkan Golkar melainkan pula melancarkan

88
Hasanuddin M. Saleh, (1996), HMI dan Rekayasa Asas Tunggal
Pancasila, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, Hlm. 88-89.
89
Nezar Patria & Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 164.

153
penerapan asas tunggal Pancasila: asas ini mula-mula
dikhususkan di parpol tapi kemudian meluas sampai ke
organisasi-organisasi kemasyarakatan secara vulgar.

Selama masa kepemimpinan Soeharto, Pancasila tampil tak


lebih sebagai kamuflase dari ideologi pembangunannya.
Pembangunanisme yang dipelopori Orba mempermak negara
hingga menampakan wajahnya persis apa yang dimaksud
Gramsci sebagai ‘negara integral’: hegemoni yang dilapisi
dengan selubung berupa kekuasaan koersi. Negara yang
integralistik ini bukan hanya memiliki perangkat lunak
(pendidikan, kebudayaan, agama, media, penerbitan, hingga
pranata keluarga), tapi juga perangkat keras (TNI-Polri,
pengadilan, birokrasi, bahkan segala administrasi). Dengan
mempergunakan kedua perangkat kekuasaannya maka
ideologi hegemonik tidak saja bekerja di atas persetujuan
malainkan pula paksaan yang mendominasi. Dominasi
dilakukan karena tak mungkin masyarakat dapat terus
dikuasai lewat pelbagai hegemoni perangkat lunaknya. Maka
untuk mempertahankan kekuasaan selanjutnya diperlukan
pengerahan perangkat keras negara. Orba menciptakan
stabilitas dan keamanan bagi jalannya pembangunan;
sekaligus membuat rakyat hidup dalam ketidakberdayaan
untuk melakukan perlawanan. Nezar Patria dan Andi Arief
menyebut kedua perangkat itu sebagai ‘biang keladi’ yang
mendasar tapi berguna sebagai alat hegemoni kekuasaan.
Mereka menjelaskannya demikian:

…bahwa pendidikan yang ada tidak pernah


mengembangkan kemungkinan membangkitkan
kemampuan untuk berfikir kritis dan sistematis…. Di

154
lain pihak, mekanisme kelembagaan (sekolah, Gereja,
partai-partai politik, media massa dan sebagainya)
menjadi “tangan-tangan” kelompok yang berkuasa
untuk menentukan ideologi yang mendominir….
Konflik sosial yang ada dibatasi baik intensitas maupun
ruang lingkupnya, karena ideologi yang ada
membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai, dan
harapan menurut sistem yang telah ditentukan. 90

Kombinasi antara hegemoni dan dominasi inilah yang


mengakibatkan rakyat mudah disulap jadi spesies yang patut
dipenjarakan, bahkan sampai tak segan-segan dieksekusi mati.
Lihat saja bagaimana AD mengeksploitasi slogan anti-
komunis untuk menyingkirkan bukan saja pahamnya tapi juga
orang-orang yang dituduhnya menjadi anggota dan simpatisan
PKI. Kala itu penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan
dilakukan tanpa melewati proses peradilan. Orang-orang
mudah sekali ditindas dan dimatikan hanya kerena persoalan
perpolitikan. Mereka semua dihinakan oleh kekuasaan yang
mengatasnamakan dirinya sebagai Orba: pemerintahan yang
dipandang lebih baik daripada masanya Soekarno.
Pemerintahan sebelumnya disebutnya sebagai Orde Lama
(Orla): penamaan yang dimaknainya secara peyoratif karena
dipandangnya gagal membangun perekonomian, melindungi
ajaran komunisme-leninisme dan PKI, serta melakukan
pelanggaran-pelanggaran konstitusional. Untuk
memperbaikinya maka muncullah Soeharto dengan Orba-nya
yang berkuasa melalui hegemoni pembangunanisme.
Pembangunan baginya merupakan jawaban atas krisis
ekonomi yang ditinggalkan Bung Karno. Selama Soeharto

90
Ibid, Hlm. 187.

155
berkuasa ada beberapa fase hegemoni yang berlangsung.
Kekuasaan negara dilaksanakan secara berurutan dalam tiga
tingkatan kekuasaan hegemonik: mulai dari hegemoni
integral, merosot, hingga minimum.

Dalam fase hegemoni integral biasanya kehidupan massa


menjadi amat suram karena negara tampil begitu tangkas.
Joseph Femia menjelaskan: ‘hegemoni integral ditandai
dengan afiliasi massa mendekati totalitas. Masyarakat
menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang
kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah
dengan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi
dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial
maupun etis’.91 Sepanjang 1967-1969, Orba dengan mulus
menerapkan hegemoni integral. Makanya dalam masa-masa
itu hubungan pemerintah dengan yang diperintah tidak berisi
kontradiksi dan antagonisme, melainkan keadaan yang stabil.
Pada masa inilah Soeharto berhasil menaruh bandul di tubuh
himpunan dengan amat cadas. Kontan HMI dengan penguasa
mulai menjalin hubungan mutualistis. Fenomena tersebut
sebenarnya tidak menimpa kader seluruhnya. Melainkan
hanya orang yang menjadi tokoh organisasi, terutama
pimpinan dan para anggota pengekornya. Syafinuddin
menulis relasi timbal-balik itu berlangsung selama 1967-
1978.92 Jalinan kerja sama di antara keduanya memang
berlangsung lama, tapi terlihat jelas kala PB HMI dipimpin
oleh Akbar Tandjung 1971-1974: bersama himpunan dia

91
Ibid, Hlm. 126.
92
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 49.

156
bukan saja menyeponsori pendirian Cipayung dan KNPI, tapi
juga selalu aktif mendukung pelbagai program pembangunan.

Di tangannya organisasi seolah tidak punya nyali untuk


menerbitkan sikap berlawan terhadap setiap penindasan
penguasa, termasuk pada kebijakan-kebijakan rezim yang
secara eksplisit berdiri di atas kebohongan, penipuan, dan
beragam kejahatan kemanusiaan. Sebagai balasannya maka
himpunan diberi kesempatan panggung untuk eksis, terutama
dalam serangkaian kegiatan-kegiatan pembangunan—seperti
sosialisasi program pemberdayaan (pengekangan) masyarakat:
Keluarga Berencana dan UU Perkawinan. Melaluinya
aktivitas reproduksi perempuan mendapatkan pembatasan,
sedangkan proses pernikahan menjadi tak karuan. Pada tiap
rumah tangga dan kehidupan rakyatnya, negara menganggap
tingkat kelahiran yang tinggi dapat menyebabkan kemiskinan
dan kesengsaraan. Makanya dari perkawinan sampai kelahiran
perlu dikendalikan. Keyakinan naïf itulah yang ditanam lewat
indoktrinasi ideologi pembangunan dalam seabrek kegiatan;
mulai dari pemberitaan hingga penataran. Pengetahuan yang
disuntikan seragam: penderitaan rakyat bukan karena struktur
dan sistem, melainkan kebodohan yang membuat ketinggalan
zaman. Dengan justifikasi yang beginilah Orba
menggencarkan pembangunannya. Dia tidak peduli bahwa
pembagunanisme merupakan turunan dari ajaran pasar yang
akan menyulap apa saja menjadi komoditas. Mansour Fakih
menegaskan bahwa teori perubahan sosial—modernisasi dan
pembangunan—pada dasarnya berlandaskan kapitalisme:

Teori modernisasi lahir di tahun 1950-an di Amerika


Serikat, dan merupakan respon kaum intelektual

157
terhadap Perang Dunia yang bagi penganut evolusi
dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan.
Modernisasi menjadi penemuan teori terpenting dari
perjalanan kapitalisme yang panjang di bawah
kepemimpinan Amerika Serikat…. W.W. Rostow,
seorang ekonom Amerika Serikat, menjadi bapak teori
pembangunan dan pertumbuhan. Teorinya
memperngaruhi model pembangunan di hampir semua
Dunia Ketiga…. Teori Rostow tentang pertumbuhan
pada dasarnya merupakan sebuah versi dari teori
modernisasi dan pembangunan, yakni sebuah teori yang
meyakini bahwa faktor manusia (bukan struktur dan
sistem) menjadi fokus utama perhatian mereka ….
asumsinya adalah bahwa semua masyarakat termasuk
masyarakat Barat pernah mengalami ‘tradisional’ dan
akhirnya menjadi “modern”. Sikap manusia tradisional
dianggap sebagai masalah. Seperti pandangan Rostow
dan pengikutnya, development akan berjalan secara
hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan
dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar
negeri…. 93

Dalam pelaksanaan pembangunan itu PB HMI menjadi


pendukung aktif negara: organisasi ini bergelora sekali
melancarkan program-program pemerintah yang berbentuk
sosio-ekonomi dan edukatif. Itulah mengapa Akbar Tandjung
dan rekan-rekannya tampil dengan kepemimpinan yang bukan
hanya pragmatis dengan penguasa tapi juga amat akomodatif.
Mereka menempatkan modernisasi pemikiran Islam yang
dipelopori Nucholish Madjid (Ketum PB HMI 1966-1969 dan
1969-1971) sebagai referensi justifikatif. Memang buah

93
Dr. Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 52-56.

158
pikiran itu amat signifikan dalam menopang pembangunan.
Makanya antara modernisme dengan pembangunanisme
bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Ini berarti
semakin dikonsumsinya gagasan-gagasan modernis maka
setiap orang—termasuk kader HMI—menjadi gampang sekali
dikendalikan untuk berkomitmen mendukung dan
melaksanakan pembangunan-pembangunan yang digelorakan
elit-elit pemerintahan. Dengan demikian semakin
ditanamkannya buah pikiran Cak Nur, Orba akan makin
diuntungkan. Karena melaluinya hegemoni pembangunanisme
dapat dialirkan ke dalam relung-relung pikiran elemen-elemen
kemasyarakatan. Keadaan inilah yang mengakibatkan rakyat
ditundukan di bawah kepentingan-kepentingan kekuasaan.
Gramsci menyebut situasi sosial-politik yang demikian
sebagai ‘momen’. Yaitu ketika filsafat dan praktek sosial
masyarakat mengalami keharmonisan:

…’momen’, di mana filsafat dan praktek sosial


masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang:
dominasi [terhadap common sense] merupakan konsep
dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam
sebuah masyarakat dan manifestasi perseorangan,
pengaruh dari ‘roh’ ini membentuk moralitas, adat,
religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial,
terutama dari intelektual dan hal-hal yang menunjukkan
pada moral. Hegemoni selalu berhubungan sebagai
penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator.94

Orba memang betul-betul menampilkan elit-elitnya bukan


sekedar kelas borjuis tapi juga kelompok diktator. Soeharto
kala itu serupa yang diterangkan Jules Archer: ‘ia seorang

94
Nezar Patria & Andi Arief, Op. Cit., Hlm. 181.

159
penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaan mutlak
pemerintahan tanpa memperhatikan keinginan-keinginan
nyata dari rakyatnya’.95 Diktator baginya adalah orang yang
berhasil menggulingkan kekuasaan dengan cara kudeta:
seperti ditungganginya aksi-aksi mahasiswa dan kekuatan
serdadu oleh Soeharto dalam menggulingkan rezim Soekarno
dulunya. Maka sederhananya diktator bukanlah seorang yang
mewarisi takhta bagai raja dalam sistem monarki, melainkan
terwujud melalui goncangan keras dalam banyak republik:
perampasan kuasa. Bagi Archer, diktatoris memperoleh
kekuasaan yang begitu besar karena rakyat tidak punya
pilihan, terutama jika dirinya memegang komando militer:
dalam banyak hal kehidupan rakyat sudah demikian sengsara,
sehingga mereka mempertaruhkan kebebasannya pada ‘orang
kuat’; sembari berharap tokoh ini mampu memecahkan
kesulitan-kesulitannya. Dalam pandangan HMI secara
kelembagaan, Soeharto dianggap dapat berperan sebagai aktor
yang memiliki kekuatan besar dalam memajukan kehidupan
bangsa. Melalui kesadaran naïf begitulah Soeharto dipandang
jadi pemimpin yang berkharisma. Kharisma dijelaskan Max
Weber: ‘mengacu pada suatu kualitas tertentu dari
kepribadian individual dengan kekuatan mana dia dianggap
luar-biasa dan diperlukan sebagai seseorang yang mendapat
kekuasaan/kekuatan atau kualitas adi-kodrati, adi-insani, atau
sekurang-kurangnya secara khusus tak ada taranya’. 96

95
Jules Acher, (2017), Kisah Diktator: Biografi Politik Para Penguasa
Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran, Yogyakarta: Narasi, Hlm. 15.
96
Daniel Dhakidae, (2003), Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara
Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustakan, Hlm. 264.

160
Kesadaran tentang kharisma yang melekat pada tokoh, begitu
mistis, dan amat membodohkan seperti itu sayangnya terus
dibangun dengan bantuan banyak intelektual maupun
cendikiawan. Bagi Ben Anderson, kharisma tidak terberi
melainkan melewati pelbagai pembentukan: merupakan
sesuatu yang historis dan terikat pada masa dan tempat
sehingga dapat dilatih, direncanakan ataupun diperhitungkan.
Makanya Anderson ucap: pembentukan kharisma dapat
‘dengan menyiapkan panggung sedemikian rupa sehingga
seseorang memperoleh kharisma tersebut’. Daniel Dhakidae
menjelskan bahwa pemberian gelar ‘Bapak Pembangunan’
adalah awal yang kuat dari ‘stage lighting (pencahayaan
panggung)’ bagi Soeharto.97 Julukan inilah yang kemudian
diglorifikasi menggunakan kerumunan media massa dan
sekawanan orang-orang terdidik yang bersedia membeo
menyebarkan puja-puji untuknya. Kelompok terakhir ialah
para pekerja pikir yang mengorbankan pengetahuannya di
altar pembangunannya Orba. Di antara kawanan ini,
perburuhan otak terbanyak dilakukan oleh kader-kader HMI
berkendaraankan organisasinya. Agus Salim Sitompul
menyatakan ada tiga bentuk keterlibatan lembaga HMI dalam
pembangunan: (1) partisipasi dalam pembentukan suasana,
situasi dan iklim, yang memungkinkan dilaksanakannya
pembangunan; (2) partisipasi dalam pemberian konsep-
konsep dalam berbagai aspek pemikiran; dan (3) partisipasi
dalam bentuk pelaksanaan langsung dari pembangunan. 98

97
Lihat Ibid, Hlm 268.
98
Agus Salim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan
Sejarah Pembangunan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV Misaka Galiza, Hlm.
52.

161
Meski digembar-gemborkan keterlibatan HMI berbentuk
partisipatif. Hanya saja partisipasinya tidaklah dapat
dilepaskan dari sifat hegemonik pembangunanisme yang
mencecoki pikiran dengan pelbagai anasir ilusif, pelaksanaan
pemerintahan yang sangat dominatif hingga menggunakan
aparat-aparat koersif. Sebab terjerambabnya himpunan untuk
melakukan kerja-kerja pembangunan adalah impak dari
kekuasaan hegemonis: Dalam situasi inilah orang-orang
mudah sekali menyembulkan simptom oportunis. Itulah
mengapa PB HMI mengalami sindrom: menganggap satu-
satunya pilihan terbaik adalah dengan menempuh jalur
pragmatis. Dengan alasan survivalitas maka pimpinannya
menempatkan organisasi di bawah ketiak penguasa ketimbang
menerbitkan sikap kritis: men-counter pembangunanisme
sekaligus berpihak terhadap kaum miskin dan tertindas.
Karena ketidakberanian melakukan perlawanan justru
memuluskan rezim untuk menindas rakyat dengan seabrek
selubung pembangunanistis. Kemampuan manipulatif
ideologi pembangunan Orba secara leluasa menempat kader
(anggota maupun alumni) organisasi kita dalam posisi
paradoks, karena mereka ditindas sekaligus ikut menindas:
secara aktif maupun pasif mendukung penindas. Dhakidae
menjelaskannya dengan agak sarkastis, serta mengutip
konsepsi marxisnya Nicos Poulantzas:

Dalam Orde Baru posisi mereka ini sangat unik karena


bukan saja mereka yang langsung terlibat di dalam
modal sebagai modal seperti kaum pemodal sendiri
akan tetapi karena terlibatnya negara Orde Baru di
dalam sirkulasi modal…. Mereka tidak langsung
mengatur modal secara produktif akan tetapi sangat
menentukan dalam menjamin, melalui peran negara,

162
reproduksi kondisi produksi nilai lebih. Pentingnya
kelompok ini yaitu relevansinya pada tingkatan politik.
Di mana titik utama perannya itu? Perannya yang
paling penting adalah apa yang oleh Poulantzas disebut
sebagai power fetishism yang dikembangkan borjuis
kecil ini yang percaya bahwa negara selalu netral dan
berada di atas kepentingan semua kelas. Dalam hal
Orde Baru dengan keterlibatan militer dalam modal,
yang bukan semata-mata menjaga modal akan tetapi
sendiri juga mengolah modal, maka semboyan “berada
di aras segala golongan” selalu dikumandangkan oleh
ABRI Orde Baru. Demikian juga borjuis kecil yang
diorganisasikan dalam organisasi profesional [maupun
kemasyarakatan] seperti “persatuan organisasi pembuat
sepatu menjadi pemuja negara dalam arti yang khas:
[Nicos Poulantzas menjelaskan] karena isolasinya
secara ekonomi … dan karena kedekatan dan
antagonismenya secara ekonomis dengan kaum borjuis
dan proletariat, borjuis kecil itu percaya akan Negara
yang “netral” yang berada di atas kelas-kelas. Borjuis
kecil mengharapkan Negara melihatnya dan menahan
kejatuhannya. Hal tersebut mengarah kepada
“pemberhalaan kepada Negara” (statolatory): kaum
borjuis kecil itu mengindentifikasi dirinya dengan
negara yang kenetralannya mirip dengan yang
[di]milikinya, karena ia melihat dirinya sebagai kelas
“netral” antara kaum borjuis dan kelas buruh, dan
karena itu a pollar of the state—Negara-“nya”. Ia ingin
menjadi “penengah” masyarakat, karena sebagaimana
dikatakan Marx, ia mau agar seluruh masyarakat
menjadi borjuis kecil.99

99
Daniel Dhakidae, Cendikiawan dan Kekuasaan…. Op. Cit., Hlm. 281-
282. Kalimat dalam kotak merupakan tambahan dari penulis.

163
Di masa Soeharto pembangunan hadir dengan tiga modus
yang begitu rupa. Pertama, Pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM/Human Resource Development). Ini berawal
dari pandangan pendukung kapitalisme, Irma Adelman:
dengan studinya dia menyatakan bahwa revolusi bukanlah
pilihan terbaik negara-negara miskin. Negara miskin baginya
harus menempuh jalan pengembangan SDM. Hanya saja
program massa untuk pengembangan tadi malah
mengakibatkan lambatnya pertumbuhan GNP (Gross National
Product), melahirkan tekanan sosial, keributan, dan
ketidakstabilan politik. Dengan begitu diperlukan
pemerintahan yang kuat demi menghadapi masalah-masalah
tadi secara efektif. Tapi bersamaan dengan penciptaan SDM,
pemerintah menggencarkan industrialisasi sumber daya secara
intensif dengan strategi pertumbuhan yang masif. Makanya
Indonesia kontan menjadi negara kecil yang terus-menerus
memproduksi barang untuk pasar internasional. Sedangkan
negara besar menjadi pihak yang beroleh keuntungan dengan
menghasilkan tenaga kerja dan barang-barang skill-intesive
buat keperluan pasar domestik. Selanjutnya pertumbuhan dan
perkembangan industri dapat menyerap lebih banyak pekerja,
menyediakan penghasilan yang mendorong permintaan
komoditas, serta menjamin distribusi hasil secara luas dan
banyak.

Kedua, Pembangunan Pengutamaan Pertanian (Agricultural


First Development). Pendekatan ini dikembangkan oleh
pendukung kapitalisme lainnya: John Mellor. Gagasannya
tentang pertumbuhan dan pemerataan disintesakan dengan
pemikiran Adelman terkait agraria: diperlukan land-reform
dalam menumbuhkan perekonomian. Pertanian lalu diarahkan

164
pada dua peran: (1) Harus menyuplai barang dengan stabil.
Itulah kenapa masyarakat negara berkembang tak segan-segan
menghabiskan penghasilannya untuk komoditi pertanian. Jika
penghasilan naik maka rakyat dapat membeli banyak
makanan. Tapi jika hasil pertanian tak naik maka harga
produk pertanianlah yang dinaikan. Keadaan itu
meniscayakan kenaikan upah. Namun peningkatan gaji
menjadi penghambat orang-orang dalam beroleh pekerjaan
karena lapangan kerja justru semakin minim. Dalam
kebuntuan ini jalan keluarnya ialah meningkatkan hasil
pernatian. (2) Menyuplai tenaga kerja, tapi agak sulit jika
harga hasil pertanian stabil dan rendah. Maka supaya mampu
mencapainya, Mellor sarankan: mesti diadakan perubahan
teknologi dalam pertanian lewat riset biologi untuk
menghasilkan semua yang serba baru; mulai dari bibit,
peptisida, pupuk, irigasi, dan lain sebagainya. Makanya
Soeharto melaksanakan program Revolusi Hijau-nya. Tapi
pembaharuannya tersebut diperlukan lagi topangan
infrastruktur padat modal dari tiga sumber: tingkat tabungan
domestik dan hasil produk domestik; menaikkan hutang luar
negeri; dan mengintensifkan perdagangan internasional.
Walhasil, naiknya input pertanian Orba ternyata enggan
menambah lapangan kerja. Melainkan membumbungkan
pengeluaran kaum tani saja.

Ketiga, Pembangunan Desa Terpadu (Integrated Rural


Development). Pendekatan ini dipelopori pemikir kapitalis
Albert Waterson. Dia berargumen bahwa Revolusi Hijau 100

100
Revolusi Hijau ini didukung oleh skema pendanaan dari dua sumber
yaitu hutang dan hibah luar negeri dari sekelompok penyedia dana hutang
luar negeri bernama Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan

165
telah mengakibatkan ketimpangan antara petani kaya dengan
miskin. Dari kajiannnya atas ratusan usaha pembangunan
pedesaan enam terobosan untuk keberhasilan bidang
pertanian: (1) produksi padat karya, yang caranya seperti
dipakai oleh petani kecil; (2) penggunaan surplus tenaga kerja
di luar musim pertanian untuk membangun infrastruktur kecil-
kecilan. (3) penggunaan tenaga kerja untuk industri pertanian
ringan; (4) memproduksi barang-barang intermediate untuk
hasil pertanian; (5) produksi barang konsumsi ringan
bersumber dari bahan mentah lokal, berdikari dan mandiri:
diselenggarakan oleh organisasi pemerintah yang memiliki
kekuatan di luar departemen yang biasanya menjalankan
program itu; dan (6) regional planning dengan hierarki pusat
pembangunan yang menjembatani gap antara desa-desa dan
ibu kota. Namun oleh Soeharto pembangunan pedesaan
digencarkan dengan tidak memberikan keleluasaan kepada
warga. Dia mengerahkan begitu banyak tentara sebagai
penjaga. Mereka diberi jabatan kepala desa hingga ketua RT
hanya untuk mempertahankan keamanan laju pembangunan
walau harus main pukul, memakai senjata, hingga memasukan
rakyatnya ke sel penjara. Serdadu-serdadu hadir dengan
kelakuan yang begitu bengis, penampilan beringas, dan selalu

World Bank yang sejak tahun 1968 telah memberi dana dalam jumlah besar
kepada pemerintah Indonesia dengan paket-paket perjanjian yang
memungkinkan bermainnya modal asing di Indonesia (seperti paket
Structural Adjustment Programms). Sumber kedua adalah dari pendapatan
minyak bumi, sebagai hasil ledakan minyak dunia yang mencapai harga
US$ 12/barel pada tahun 1974 dari sebelumnya hanya US$ 3/barel. Harga
minyak ini terus naik hingga pada tahun 1982 mencapai US$ 36/barel. Dari
keuntungan penjualan minyak bumi ini 20% dijatahkan untuk pembiayaan
revolusi hijau. Dijelaskan dalam Amien Tohari, dkk, (2011), Dinamika
Konflik…. Op. Cit., Hlm. 120.

166
berbuat keji. Soalnya para algojo ini didukung oleh politisi-
politisi Golkar dan seabrek aturan-aturan dari birokrasi.101

Semarak kebiadaban negara terhadap rakyatnya itu seakan


dipandang HMI dengan mengenakan tutup mata.
Penglihatannya lalu berubah gelap hingga terbaring gemulai
di ranjang istana tanpa rasa peduli terhadap jelata. Penguasa
memang mudah menyihir siapa saja menjadi kebingungan,
berkepribadian ambivalen, sampai bersikap permisif terhadap
pemeritah dan pengusaha. Kepemimpinan Soeharto betul-
betul mampu membuat himpunan terbujur kaku ketika Orba
asik melacurkan kekayaan alam yang semula dikelola oleh
rakyat ke tangan asing. Lewat Kontrak Karya (KK) yang
berpatokan pada UU PMA, perusahaan Exxon Mobil dan PT
Freeport asal Amerika dikawal untuk mencari kekayaan alam
Indonesia. Setelah Exxon Mobil diijinkan masuk ke Aceh
pada 1968, maka sepak terjangnya di sana membuahkan hasil:
pada 1971 perusahaan itu menemukaan ladang gas alam di
Lapangan Arun, Aceh Utara. Kontan Orba kemudian
mengadakan perjanjian pembagian keuntungan dengannya:
pemerintahan Soeharto menerima 70 persen keuntungan dan
Exxon Mobil sendiri menerima 30 persen. Namun Aceh
sendiri hanya menerima manfaat yang minimum: Pemerintah
Daerah dan masyarakat setempat hanya mendapat 5 persen
keuntungan yang disalurkan dari Jakarta ke Aceh. Inilah
sebabnya rakyat Aceh merasa telah diperlakukan tidak
adil oleh penguasa dan pengusaha. Hanya kedua penindas itu
begitu lincah. Dalam kontrak awal, Exxon memberikan saham

101
Terkait dengan tiga modus pembangunan di masa Orba yang baru saja
dipaparkan ini dapat dilihat pada karya Dr. Mansour Fakih, Sesat Pikir….
Op. Cit., Hlm. 66-69.

167
yang tak diperinci besarnya dalam cabang perusahaannya di
Indonesia kepada Soeharto sekaligus mempekerjakan anggota
TNI-Polri sebagai personil keamanan. Sejak saat itulah
penduduk di sana bukan hanya dimiskinkan dan sering
mendapatkan kekerasan. Tetapi juga ikut dicerabutkan dari
kultur keagamaannya. Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sampai menceritakan
apa yang dialami rakyat Aceh dalam sebuah buku hasil
penelitiannya:

Kekayaan alam Aceh terus dikuras oleh Pusat dengan


sistem kebijakan yang sentralistik dan hanya
menjadikan Aceh sebagai ‘sapi perahan’. Rakyat Aceh
tetap miskin. Apalagi label “Daerah Istimewa” bagi
daerah Aceh telah dikebiri oleh pemerintah Orde Baru,
ditambah rakyat Aceh hanya bisa terkesima melihat
daerah dijarah secara eksplosif oleh Pusat, namun nasib
tiga juta rakyatnya saat itu terus menerus mengalami
keterpurukan…. Sejak itu pemerintah Indonesia
memberi Mobil Oil hak eksklusif untuk mengeksplorasi
dan menambang gas alam di area sekitar Arun.…
Rakyat Aceh hanya bisa melihat dengan tetesan
airmata, saat kekayaan alam tanah leluhurnya dikuras
habis-habisan oleh tangan-tangan asing yang membawa
mandat pusat. Bukan hanya itu, keangkuhan yang
ditimbulkan dari keberadaan kawasan industri di Aceh
Utara telah pula melahirkan dan menyebarkan virus
dekadensi moral bagi anak-anak generasi penerus di
Aceh. Lokasi-lokasi pelacuran gelap, diskotik, dan pub
bertebaran dari Aceh Timur. utara hingga ke Banda
Aceh. Bagi masyarakat modern hal itu disadari sebagai
dampak dari berputarnya roda industri. Bagi
masyarakat Aceh hali ini dianggap sebagai
penghancuran syariat Islam. Nilai-nilai agama semakin

168
terpinggirkan dan seakan tak populer lagi untuk
mendapat tempat di tengah-tengah gemuruh mesin
industri yang saat itu mulai berputar di Lhokseumawe,
Aceh Utara.102

Apa yang dialami rakyat Aceh serupa dengan yang dirasakan


Bangsa Papua. Lewat KK yang berpatokan pada UU PMA,
Orba gampang sekali menjual kekayaan alam Papua: emas
hingga tembaga. Lagi-lagi dalam kondisi ini HMI tak
sedikitpun bersuara membela rakyat miskin dan tertindas
begitu rupa. Korban dari kebijakan picik ini adalah penduduk
kecil seperti suku Amungme dan suku-suku lain. Sebelumnya,
kawanan serdadu telah memaksa mereka untuk tunduk
terhadap Pemerintah Indonesia melalui manipulasi Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Soeharto mendapatkan
persetujuan orang-orang Papua dengan mengerahkan
kekuatan militer untuk mengorganisir massa melalui bujuk-
rayu hingga tak segan-segan menindas. Skemanya dimulai
dengan penujukan Perwira Intelijen Ali Murtopo untuk
merancang Operasi Khusus (Opsus). Tujuannya agar bangsa
Papua menerima pengintegrasian daerahnya menjadi bagian
wilayah kekuasaan negara. Demi menyukseskan misi ini maka
Ali memadukan cara persuasif dan intimidatif—berkompromi,
menyuap, sampai menakut-nakuti siapa saja yang menolak
keinginan penguasa. Dalam menundukan orang-orang Papua,
sejarahwan Australia—Edward Elson, membeberkan operator
lapangannya ternyata dipimpin oleh Brigjen Sarwo Edhie.
Panglima Kodam Cendrawasih ini diberi tugas najis:
mempreteli kehendak orang-orang Papua dalam menentukan

102
KontraS, (2006), Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap
Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS, Hlm. 17-18

169
nasibnya sendiri. Makanya mulut kepala-kepala suku dan para
wakil rakyat ditutupi dengan uang. Sedangkan bagi penduduk
yang mencoba beraspirasi akan diterjang dengan perlakuan
yang sewenang-wenang.

Walhasil, menjelang sidang Pepera Agustus 1969 Angkatan


Darat (AD) memastikan kemenangan Soeharto atas bangsa
Papua: 1025 orang yang pro-integrasi dihadirkan untuk
menentukan pendapat dalam mendukung keputusan penguasa
Orba. Mereka dipaksa mengeluarkan pendapanya di bawah
todongan senjata. Koresponden Historia—Martin Sitompul—
mengatakan: ‘Opsus Ali Murtopo berjalan mulus. Soeharto
bernafas lega karena kemenangan Pepera ada dalam
genggaman. Freeport pun dengan leluasan merambah
kekayaan alam Papua’.103 Kesewenang-wenangan dalam
upaya mengitegrasikan Papua ke dalam Indonesia memiliki
hubungan erat dengan rencana PT Freeport untuk menjadikan
Papua sebagai ladang garapannya. Itulah mengapa setelah
Orba berhasil menundukan bangsa Papua, maka pada 1973
tambang tembaga milik Freeport Sulphur segera diresmikan
oleh Soeharto. Sejak pertama kali perusahaan Amerika ini
beroperasi, kontan aktivitas pertambangan mengubah bentang
alam gunung Grasberg menjadi lubang raksasa sedalam 700
meter. Inilah sebabnya danau suci orang Amungme ikut
hancur. Bahkan daerah sungai utama Mimika—Aghawagon,
Otomona, dan Ajkwa—dijadikan tempat mengalirnya limbah
berbahaya dan beracun secara berapi-api. Dalam keadaan
seperti inilah Orba justru menggencarkan kebijakan sesat

103
https://historia.id/politik/articles/papua-di-antara-bung-karno-dan-sang-
jenderal/

170
serupa: transmigrasi. Makanya suku-suku asli Papua
kemudian terjepit oleh migrasi penduduk-penduduk dari luar
wilayahnya. Lalu dengan mudah sekitar 1 juta hektare lahan
mereka dipindahtangankan oleh pemerintah demi menggenjot
pembangunannya. Soalnya pandangan Soeharto persis Hitler:
kalau Nazi merendahkan ras Yahudi dan mengunggulkan ras
Arya dalam memajukan peradaban, maka Orba memandang
rendah penduduk asli Papua dan meninggikan orang Jawa
untuk melakukan pembangunan apa saja.

Dengan bersemangatkan modernitas yang berasal dari Barat


(Amerika Serikat) maka Orba terus melakukan pembangunan.
Jean-Francois Lyotard menyatakan: ‘modernitas merupakan
proyek intelektual dan kebudayaan Barat yang mencari
kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah
kepada kemajuan’. Kemajuan diupayakan supaya manusia
terjauhkan dari kebodohan dan kemiskinan, tapi parameternya
adalah masyarakat Barat (kebaratan). Itulah mengapa
Soeharto menjadikan ukuran keberhasilan pembangunnya
adalah ketika rakyatnya termodernkan seperti orang-orang
Barat yang hidupnya bersemangatkan kerasionalan. Hanya
saja tolak ukur rasional tidaknya seseorang kala itu begitu
sederhana: dia rasional apabila mendukung setiap wacana
pembangunan. Kenaifan seperti inilah yang menopang
peradaban Barat modern. Modernisme berdiri di atas
epistemologi rasionalisme Rene Descartes: I am the thingking
thing (Akulah yang berpikir). Kees Bartens menjelaskan
bahwa tradisi Cartesian sesungguhnya mempunyai premis
yang begitu angkuh terhadap alam: (1) tujuan utama dari
pengetahuan manusia adalah untuk menguasai atau
mengontrol alam; (2) semua pengetahuan yang genuine (asli)

171
harus dapat dibuatkan aksiomanya secara jelas dan pasti, agar
dapat dibuat sistematisasi logisnya; (3) kenyataan ini bisa
dilukiskan sebagai ‘Mesin Raksasa’ yang dapat dibuat bagian-
bagiannya, sehingga keseluruhan adalah penjumlahan dari
bagian-bagian itu; inilah dualisme Cartesian yang terkenal iru
berkaitan dengan subyek-obyek dan pikiran-badan; (4)
kenyataan sebenarnya bersifat deterministik, karena itu bisa
diketahui dan bisa diduga.104

Seturut dengan landasan pemikiran itulah Orba melancarkan


semua program pembangunannya. Bahkan antropolog Austria
Christian Warta menegaskan: ‘Soeharto melihat pendatang
membawa modernitas ke daerah-daerah terpencil Papua’.105
Sebab, para pendatang itu telah lebih dahulu termodernkan
oleh Orba yang begitu menggugui Amerika dengan semangat
rasionalitas peradabannya. Untuk itulah selama ia berkuasa
orang-orang luar—seperti Jawa dan sekitarnya—dikirim ke
Papua guna mengubah karakter dan kepribadian rakyat-rakyat
pedalaman sana. Tujuannya agar masyarakat Papua yang
dipandang ketinggalan menjadi maju: beradab dan berbudaya.
Di mata Soeharto manusia-manusia yang memakai koteka
dianggap tidak modern dan sempurna. Makanya orang-orang
dari daerah mana saja didorong ke Papua untuk mengubah
sifat dasar penduduk-penduduk aslinya. Patokan keberhasilan
memodernkan mereka ialah berubahnya cara pandang
manusia atas dunia; baik soal ekonomi, politik, sosial, budaya,
maupun agamannya. Dengan mempropagandakan nilai-nilai
modernitas Soeharto jadinya mudah sekali menggembeleng

104
Listiyono Santoso, dkk, (2015), Seri Pemikiran Tokoh; Epistemologi
Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hlm. 287.
105
Buka https://historia.id/politik/articles/papua-di-tangan-soeharto/

172
kesadaran warganya sehingga paralel dengan keinginan
negara dalam membangun apa saja. Itulah mengapa
pembangunan di masa Orba menjadi ideologi tak resmi dari
negara. Pembangunanisme merupakan rumpun dari narasi
besar–modernisme yang sengaja disuntikan negara-negara adi
daya (Barat-Eropa) untuk menguasai negara-negara kecil
(Asia-Afrika) seperti Indonesia. Ali Syari’ati menuliskannya
sedemikian rupa:

Elemen struktural apa yang dapat masuk ke dalam


kepribadian dan ruh manusia dan negara? Agama,
sejarah, kultur, peradaban masa lalu, pendidikan, dan
tradisi?... Semua yang dikemukan barusan merupakan
elemen struktural kepribadian manusia dan ruhnya
(semangat) serta, dalam tema umum, adalah sebuah
bangsa dan negara. Mereka menghasilkan satu bentuk
di Eropa, (menghasilkan) bentuk lain di Asia dan
Afrika. Mereka semua menjadi sama. Perbedaan dalam
pemikiran dan ruh kenegaraan harus dihancurkan demi
keseragaman manusia. Mereka harus menyesuaikan
diri, dimanapun mereka berada, pada sebuah pola
tunggal. Pola apa itu? Pola yang diberikan oleh Eropa,
yang ditunjukkan pada semua orang Timur, Asia dan
Afrika bagaimana cara berpikir, berpakaian,
berkeinginan, berduka, membangun rumah mereka,
membangun hubungan sosia mereka, mengonsumsi,
mengekspresikan pandangan mereka, dan akhirnya,
bagaiamana cara untuk sama dan apa yang harus
disamai (diseragamkan). Setelah cara tersebut
terealisasi, budaya baru yang disebut “modernisasi”
telah hadir di seluruh dunia … “termodernkan” berarti
modern dalam konsumsi. Seseorang yang menjadi
modern adalah orang ang telah menselerakan keinginan
terhadap barang-barang modern untuk memuaskan

173
keinginannya. Denga kata lain, dia mengimpor cara
hidup baru dan produk modern dari Eropa….
“Modernisasi” telah didefinisikan sebagai “peradaban”,
karena itu banyak orang yang bekerja sama dengan
orang-orang Eropa dalam rencana modernisasinya….
Modernisasi adalah merubah tradisi, pola konsumsi dan
kehidupan material dari lama ke baru….106

Dengan merebaknya modernitas maka warga Papua banyak


yang menanggalkan sifat dasarnya. Perubahan mereka bukan
sekedar soal konsumsi dan tradisi, tapi terutama terkait tingkat
kepatuhannya terhadap penguasa. Kepatuhan membuatnya
merelakan lahan-lahannya dibanguni apa saja yang berguna
bagi negara. Memang saat suku-suku asli setempat sudah
tidak menjadi penghambat program-program pembangunan,
maka Orba akan menganggapnya telah maju: tinggi adab dan
budayanya. Tetapi pemerintah lama-lama justru semakin
meminggirkan bangsa Papua dari tanah asalnya. Program
transmigrasi bukan cuma mendorong orang-orang luar untuk
masuk menetap ke Papua, tetapi juga mendepak penduduk asli
buat keluar meninggalkan daerahnya. Itulah mengapa sejak
1969 sekitar setengah dari 2,4 juta warga keturunan Papua
malah ditemukan lahir di Jawa.107 Pemindahan besar-besaran
ini tidak cuman dilancarkan oleh tangan-tangan birokrasi,
melainkan didukung pula oleh AD dengan Golkar-nya.
Perbuatan tersebut ditempuh rezim karena dipandang berguna
melumpuhkan perlawanan penduduk lokal atas pengerukan
kekayaan alam Papua. Dalam suasana ini perbuatan bengis
Soeharto persis kolonialisme-imperialisme penguasa negara-

106
Ali Syari’ati, (2017), Sejarah Masa Depan, Yogyakarta: Karkasa, Hlm.
83-86.
107
https://id.m.wikipedia.org/wiki/konflik_papua/

174
negara Barat terhadap kawasan Asia-Afrika: modernisme dan
pembangunan dijadikan payung pelindung niat jahatnya yang
amat eksploitatif. Perampokan kekayaan alam Papua
memperlihatkan bagiamana kekuasaan Orba persis penjelasan
Patria dan Arief:

Pemaksaan dan peraturan negatif negara tidak dapat


dipahami dengan model skematik dan mekanikal.
Setiap negara mengombinasikan fungsi oleh pemaksaan
dengan fungsi oleh ideologi dan ekonomi ke dalam
hubungan antara kekuatan dan aparat produksi
diberikan melalui lapangan yang begitu kompleks dari
superstruktur. Dalam negara integral, Gramsci
menganggap bahwa semua arti intelektual klas dan
kepemimpinan moral atas masyarakat menyebabkan
munculnya cara khusus dalam mengatur untuk
merealisasikan hegemoni dalam nilai keseimbangan
kompromi guna melindungi kekuasaan politik, terutama
dalam sebuah krisis revolusioner. Dari sini Gramsci
mengatakan bahwa negara merupakan sejumlah
aktivitas praktek dan teori yang kompleks, di mana
kelas yang berkuasa tidak hanya membenarkan dan
mempertahankan dominasi, tetapi mengaturnya untuk
memenangkan pemaksaan aktif terhadap kekuatan di
luarnya.108

Tetapi kelak tingkatan hegemoni yang diikatkan Orba


perlahan mulai mengendor ke hegemoni merosot. Merosotnya
hegemonik terjadi kala kapitalisme sudah berkembang
sedemikian rupa hingga membuat kehidupan rakyat sekilas
mengalami kemajuan tapi simultan dengan merebaknya

108
Nezar Patria & Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 146.

175
ketimpangan. Kondisi itulah yang menimpa masyarakat
kapitalis modern. Femia menyebutkan: ‘dalam masyarakat
kapitalis modern, dominasi ekonomi borjuis menghadapi
tantangan berat. Dia menujukan adanya potensi disintegrasi di
sana. Dengan sifat potensial dimaksudkan bahwa disintegrasi
itu tampak dalam konflik tersembunyi ‘di bawah permukaan
kenyataan sosial’.109 Makanya mentalitas massa mengalami
goncangan karena penderitaan yang merebak telah membuat
kekuasaan hegemonik tidak lagi berlangsung secara total. Saat
Soeharto berkuasa keadaan itu bergulir dari 1970-1981.
Masyarakat di kantong-kantong SDA yang dieksploitasi oleh
penguasa dan pengusaha bangkit melawan: pada 1976 rakyat
miskin dan tertindas di Aceh Utara bersepakat mendirikan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM); sedangkan di Papua Barat,
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berdiri sejak
pemerintahan Soekarno semakin mengintensifkan
perlawanannya. Keadaan serupa juga terjadi di wilayah
Pemerintah Pusat, Jakarta: salah satu tragedi besar dari
kemerosotan hegemonik adalah meledaknya Peristiwa
Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Semua
kejadian ini menjadi pertanda bahwa merosotnya kekuatan
hegemonis bukan lagi sekedar dialami perorangan atau
kelompok mahasiswa saja, tapi juga pelbagai gerakan
masyarakat akar rumput.

Elemen-elemen kekuatan sipil nampak sudah tidak percaya


lagi pada program-program penguasa. Terutama terkait
permainan politik para serdadu dalam negara. Soalnya setelah
Kudeta Merangkak 1965 dan penumpasan PKI, kepercayaan

109
Ibid, Hlm. 128.

176
terhadap birokrasi segera menguap begitu rupa. Karena
perwira-perwira militer yang menempati kedudukan strategis
dalam pemerintahan melakukan tindakan manipulatif kredit
ekspor dan kontrak-kontrak negara sehingga menguntungkan
perusahaan-perusahaan milik kapitalis Cina. Itulah mengapa
valuta asing bisa didapatkannya dengan kurs rendah untuk
impor barang-barang pada skala prioritas. Valuta ini
kemudian dipakai buat mengimpor apa saja yang tidak ada
dalam daftar prioritas. Bahkan kemesraan serdadu dengan bos
pabrik bisa menukar surat izin perdagangan tanpa ada
kegiatan ekonomi. Richard Robinson mencatat, pada 1968
saja perkiraan jumlah uang yang berhasil mereka peroleh amat
bervariasi: 35-100 juta dollar AS habis dimanipulasi. 110 Grup
tentara memang senang sekali memanipulasi demi meraih
mengumpulkan keuntungan pada pribadinya serta kroninya.
Rakyat kecil menderita karenanya. Lihatlah bagaimana kasus
Coopa—perusahaan yang mendapatkan kontrak sebagai
pemasol pupuk dalam program Bimas Gotong Royong: tujuan
mulia menyediakan pupuk kepada kaum tani dalam
menyambut Revolusi Hijau malah anggarannya dikorupsi.
Tindakan korup yang terbongkar 1970 ini merugikan
keuangan negara sampai 711.000 dollar AS. Dari hasil
investigasi, Coopa terdaftar di Liechstenstein. Pemiliknya
adalah Arief Husni (Ong Seng Keng). Dia merupakan
Direktur Bank Ramayana tempat Probosutejo (adik Soeharto)
dan Jenderal Soerjo (pembantu Soeharto di Bidang Keuangan
Negara) bertindak sebagai komisaris dan pemegang saham—
bersama keduanyalah Husni melancarkan aksi korupsinya.

110
Lihat Richard Robinson, (2012), Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme
Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, Hlm. 199.

177
Kelak pada 1973, lagi-lagi orang militer tersandung kasus
korupsi. Kali ini anggaran Bulog yang berusaha dicuri. Dana
senilai 800.000 dollar AS mengendap dengan mudah. Kala itu
Kepala Bulog-nya adalah alumni HMI: Ahmad Tirtosudiro.
Dia ditimpah masalah kejahatan atas keungan negara tanpa
mampu dihukum, persis seperti Soerjo. Penguasa yang
membutuhkan pelayannya hanya mencopot jabatan awalnya
untuk kemudian diberi jabatan baru: Duta Besar RI di Jerman
Barat.111 Sekalipun kasus-kasus manipulasi itu berhasil
dibongkar namun tak satupun pejabat pemerintah, terutama
kalangan militernya dapat diseret ke pengadilan. Sementara
dana-dana yang tidak digunakan bukan untuk kepentingan
masyarakat itu cuma sedikit yang dapat diselamatkan. Sebab,
Orba tak berpihak kepada rakyatnya melainkan kroni-
kroninya: mereka termasuk para jenderal yang membantu
Soeharto dalam meraih dan mempertahankan takhtanya.
Harold Crouch menyebutnya perwira-perwira yang dekat
dengan kekuasaan Soeharto sebagai ‘Jenderal Politik dan
Uang’—sebuah sebutan berkonotasi buruk, karena dianggap
sebagai sumber Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 112
Orang-orang kuat—sekaligus bermasalah—dari militer dalam
pemerintahan ini bahkan diistilahkan oleh Robinson sebagai
‘Jenderal Finansial’—mereka datang dari seksi-seksi Finek
yang mengkoordinatori mengenai keuangan, ekonomi, dan
pembangunan:

111
Baca https://merahputih.com/post/read/simak-5-kasus-besar-korupsi-
masa-orde-baru
112
Andi Suwirta, (2018), Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru:
Studi Kasus Pers Mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung, 1966-1974,
Mimbar Indonesia: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Vol. 3(2),
Hlm. 116.

178
[1] Jenderal Hoemardani, sebelum menjabat Deputi
Komandan Finek (Kodam Diponegoro) dan Deputi
Komandan Finek (Mabes AD). Ia juga Direktur PT Tri
Usaha Bhakti (grup bisnis militer terbesar).
Sebelumnya menjabat sebagai Aspri Presiden. Ia adalah
orang penting politik dalam memuluskan hubungan
antara jaringan rumit pengusaha Cina dengan grup-grup
bisnis Jepang. Ia juga seorang anggota penting dalam
pusat politik dan intelijen, Opsus, pimpinan Jenderal
Ali Moertopo. [2] Jenderal Soefjar, sebelumnya
menjabat kepala Finek, Kostrad dan kepala grup bisnis
milik Kostrad, Yayasan Dharma Putra (YDP).
Sebelumnya, menjabat Ketua Kadin. [3] Jenderal
Soerjo, Direktur YDP dan grup Hotel Indonesia milik
negara. Sebelumnya, ia adalah Ketua BPK dan Aspri
Presiden (bidang keungan dan ekonomi), Direktur Tim
Penerbitan Keuangan Negara (Pekuneg), badan yang
juga menentukan perusahaan yang akan disita. [4]
Jenderal Alamsjah, Asisten 7, Finek di Mabes AD
1963-1965; Aspri Presiden, Sekretaris Negara 1969-
1973. [5] Jenderal Tirtosudiro, Aspri Presiden dan
Kepala Bulog sampai 1972. Sebelumnya ia menjabat
Kepala Logistik AD. [6] Jenderal Suhardiman,
sebelumnya direktur perusahaan dagang negara, PT
Jaya Bhakti, sponsor pihak militer dalam mendirikan
Soksi [Sentral Organisasi Karyawan Swadiri
Indonesia—didirikan militer untuk untuk mengontrol
sekaligus mengimbangi Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dianggap kekiri-
kirian], serikat buruh anti-PKI, direktur korporasi
negara Berdikari sampai 1972.113

113
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 198-199.

179
Berkat sepak terjang para jenderalnya dalam mengurusi
politik hingga keuangan, ekonomi, dan pembangunan, maka
kalangan serdadu mendapat dana-dana besar dalam
membangun pelbagai perusahaan milik ABRI. Soalnya
anggaran-anggaran segar nan besar mudah diperoleh lewat
orang-orang militer yang berposisi kuat dan tinggi dalam
birokrasi. Perwira Tinggi TNI-AD Jenderal Achmad
Tirtosudiro misalnya, dipasangkan Soeharto sebagai Kepala
Bulog (Badan Urusan Logistik): dia menguasai sepenuhnya
perdagangan bahan-bahan kebutuhan pokok, khususnya beras
dan bahan pangan lainnya. Selanjutnya Brigadir Jenderal
Suhardiman: ia diberi kuasa terhadap banyak perusahaan
dagang raksasa, salah satunnya ialah PT Berdikari (Perseroan
Terbatas Berdiri Diatas Kaki Sendiri) yang telah diambil-alih
Orba dari Pemerintah Soekarno. Kedua nama barusan masuk
dalam kategori Jenderal Finansial, karena dua-duanya berasal
dari seksi Finek sekaligus bertindak sebagai Aspri Soeharto.
Kedunya serupa keempat Jenderal Finansial lainnya—
Soehjar, Soerjo, Alamsjah, dan Hoemardani: menjadi
penyumbang terbesar dalam memajukan usaha-usaha militer.
Di samping mereka ada pula Jenderal Politik dan Uang,
seperti Mayor Jenderal Ibnu Sutowo: Perwira Tinggi TNI-AD
yang ditempatkan memimpin Pertamina (Perusahaan
Tambang Minyak Nasional). Kemudian Letnan Jenderal
Maraden Panggabean: diberikan jabatan Deputi Panglima
TNI-AD. Lalu Mayor Jenderal Basuki Rahmat: serdadu yang
membawa pernah Supersemar (Surat Perintah 11 Maret)
untuk menjatuhkan Soekarno ini diposisikan menjadi Menteri
Dalam Negeri. Ketiga perwira barusan notabene orang-orang
yang sangat loyal pada penguasa hegemonik. Maka ketiganya

180
diberikan posisi-posisi strategis, baik dalam bidang
kemiliteran maupun ekonomi dan politik. 114

Para Jenderal Finansial serta Jenderal Politik dan Uang itu


sama-sama menyokong tiap-tiap perusahaan yang dikuasai
oleh tentara. Dalam memuluskan usaha militer, mereka
menempuh cara yang begitu rupa. Pola-pola yang dijalankan
untuk membesarkan bisnis serdadu papar Richard Robinson
seperti ini: (a) perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi
dan diambil-alih oleh pihak militer pada 1958 meliputi
pergudangan, angkutan laut, pengangkatan kapal, fasilitas
muatan kapal terbang, bengkel-bengkel dan dok kapal.
Sekalipun semula perusahaan negara ini dipegang pidak
militer, banyak di antaranya yang diubah 1960-an menjadi
perusahaan milik militer; (b) kekayaan yang disimpan dan
diambil-alih oleh militer meliputi uang kontan, hotel-hotel,
galangan kapal dan keagenan tunggal mobil. Otak di belakang
penyitaan dan pembagian kekayaan kepada militer ialah
Pukeneg yang dipimpin Jenderal Soerjo, terutama dalam
mengawasi pembagian kekayaan yang semula milik Yusuf
Muda Dalam. Bidang yang juga sangat penting adalah
diterobosnya konsesi kehutanan milik negara serta
pembagiannya ke dalam HPH (Hak Pengusahaan Hutan)
kepada perusahaan-perusahaan swasta. Kira-kira terdapat 600
HPH telah diterbitkan dan membentuk elemen kunci
konstelasi sebagian besar grup bisnis. Para komandan militer,
seabrek pensiunan perwira dan banyak jenderal diwakili
dengan baik sekali sebagai penerima jatah; dan (c) terdapat
akses istimewa terhadap kontrak untuk menjadi pemasok dan

114
Lihat Andi Suwirta, Op. Cit., Hlm. 116.

181
kontraktor bangunan kepada pihak militer dan pemerintah,
juga lisensi impor dan kredit impor.115

PT Berdikari, Pertamina, dan Bulog disulap jadi tempat


perusahaan-perusahaan militer mengutip banyak untung.
Apalagi dipegangnya jabatan-jabatan Aspri oleh perwira-
perwira militer bukan hanya mampu mengawal dipetiknya
keuntungan itu, tapi juga mampu membuka lebar hubungan
bisnis serdadu dengan para kapitalis-swasta dan kapitalis-
asing. Berkat pengaruh Aspri-lah Bulog diberikan Orba
keleluasaan memonopoli dalam dunia usaha di sektor bahan
pangan. Tetapi melaluinya Bulog berhasil mengembangkan
kerja sama dengan beberapa perusahaan swasta yang bergerak
tidak hanya dalam bidang perdagangan bahan pangan, tetapi
juga di bidang usaha lainnya yang lebih menguntungkan.
Selain itu, hubungan antara para pejabat Bulog dengan
kapitalis asing terjalin penuh harmoni. Dengan pengusaha
Cina saja, mereka memberinya peluang untuk memasok bahan
pangan ke dalam negeri. Impor digalakan walaupun bahan
pangan dari petani-petani masih tersedia. Perbuatan naïf ini
sesungguhnya dilakukanan karena ada tawaran komisi yang
disediakan kapitalis Cina untuk pejabat-pejabat Bulog,
terkhusus kepada Kepala Bulognya.

Di situlah awal mula terciumnya bau bacin KKN yang diduga


kuat dilakukan secara terstruktur oleh Kabulog Jenderal
Ahmad Tirtosudiro. Data dari beberapa pengamat
menunjukan bukti manipulasi keuangan yang dilakukannya.
Mula-mula ketika Bulog mendapat kredit dari BI (Bank

115
Ibid, Hlm. 200.

182
Indonesia) tahun 1968 dengan suku bunga 3%, perusahaan ini
menyimpan sebagian dana itu di bank-bank swasta secara
tidak sah dan menawarkan bunga antara 10-15% demi
melakukan spekulasi pasar. Sebagian dana tadi diinvestasikan
pula untuk proyek-proyek jangka pendek: memberikan
pinjaman kepada Bank Dharma Ekonomi—selaku cabang
perusahaan yang dikuasai oleh TNI-AD—dan PT Berdikari.
Bahkan, dana-dana Bulog nekad disimpan di Bank Sumatra
lantaran kedekatannya dengan direktur bank yang seorang
perwira menengah TNI-AD. Perbuatan-perbuatan demikian
kelak justru semakin mendorong Bulog hingga tak mau
mengadakan pembelian beras petani di awal-awal panen.
Alasannya sepele: akan jauh lebih menguntungkan apabila
anggarannya disimpan selama mungkin di sektor lain. Dengan
begitu Bulog banyak merusak mekanisme perdagangan beras,
sehingga produsen beras lokal dan terutama kaum tani
menjadi makhluk yang paling dirugikan. Singkat cerita: Bulog
pun pada 1972 tidak memiliki cukup persediaan bahan
pangan, sementara harga-harga bahan pokok membumbung
tinggi. Walhasil, perekonomian nasional semakin melemah
karena bertambah derasnya inflasi. 116

Pada 1972, laju inflasi Indonesia sebesar 25%. Lalu makin


tingga hingga pada 1974 mencapai 41%. Sepanjang 1972-
1974 rakyat sangat menderita. Penderitaannya meliputi:
penurunan persediaan pangan nasional, petani-petani semakin
miskin karena hasil panennya tidak dibeli oleh Bulog,
peningkatan harga komoditi secara umum, pencabutan
program subsidi BBM sekaligus naiknya harga BBM serta

116
Lihat Andi Suwarta, Op. Cit., Hlm. 123-131.

183
tarif listrik, dan terutama banyaknya buruh yang di-PHK.
Akumulasi dari semua derita inilah yang melahirkan Peristiwa
Malari 1974: rakyat miskin dan tertindas itu bergabung
bersama ribuan mahasiswa dan siswa. Mereka bersepakat
menerbitkan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan
penguasa. Ketidakpuasan terhadap pemerintah yang
memelihara koruptor dan menguntungkan pemodal soalnya
telah mengakibatkan masyarakat murka. Mereka bersepakat
turun ke jalan menaikan tiga tuntutan: (1) bubarkan lembaga
asisten pribadi presiden (Aspri); (2) turunkan harga kebutuhan
pokok; (3) ganyang korupsi dalam tubuh birokrasi. Ketiga
tuntutan itu terbingkai dalam kesadaran bersama: tolak
derasnya investasi asing—terutama pinjaman modal dari
Jepang—yang membanjiri Indonesia. Makanya parlemen
jalanan digelar bersamaan dengan kedatangan Perdana
Menteri Jepang Kekuei Tanaka di Jakarta. Kehadirannya
disambut sikap dan aksi berlawan dari elemen masyarakat
sipil. Soalnya kunjungannya berisi kepentingan modal asing.
Robinson bahkan menjelaskan kepentingan itulah yang
mengakibatkan Pertamina dan Opsus tak segan dibikin
Soeharto jadi budak kapitalis Jepang:

Kaum nasionalis birokrat melakukan kegiatannya dari


dua basis utama dalam aparat politik dan birokrasi
dalam negara Orde Baru: perusahaan minyak negara
Pertamina dan Opsus, pusat politik dan intelijen yang
dipimpin oleh Jenderal Ali Moertotpo…. Dalam istilah
politik, dorongan ke arah kapitalisme nasional yang
dipimpin negara datang dari koalisi yang longgar yang
terdiri atas Ibnu Sutowo, Presiden Direktur Pertamina,
bersama dengan Jenderal Ali Murtopo dan Soedjono
Hoemardani, dua tokoh dominan dari grup Opsus.

184
Ketiganya diyakinkan perlunya intervensi ekonomi
negara bagi terciptanya ekonommi industri nasional.
Dalam iklim politik, sebagaimana kita lihat, Opsus
telah mulai membangun struktur korporasi negara yang
dirancang untuk memegang monopoli kegiatan politik
secara sah dan menerapkan ideologi negara berdasarkan
konsep negara sebagai pembangun, stabilisator dan
dinamisator…. Sebaliknya, fokus nasionalisme
ekonomi yang dipimpin negara sangat kurang upaya
dan keahlian, mencoba membangun sumber daya utama
dan proyek industri nasional. Untuk maksud ini,
Pertamina menjadi fokus kegiatan bagi para nasionalis
birokrat karena menjadi satu-satunya sumber dana, atau
alat untuk menambah utang, keduanya cukup besar dan
berada di luar kontrol para teknokrat Bappenas.

Pertamina digunakan sebagai pelopor garis depan


penciptaan akumulasi kapitalis industri dalam dua cara.
Pertama, Ibnu Sutowo meningkatkan kegiatan
Pertamina memasuki investasi dalam bidang yang luas
melalui anak-anak perusahaannya…. Gebrakan kedua
yang dilakukan kebijakan nasional Ibnu Sutowo ialah
menggunakan akses minyak dan gas alam Indonesia
sebagai alat mencari dana bagi proyek-proyek
pembangunan penting dalam petrokimia dan gas alam.
Sutowo menoleh mengandalkan Jepang, ketimbang
jalur IGGI, IMF atau IBRD, untuk mendapatkan dana
dan menarik para investor. Gas alam cair menjadi
proyek paling penting. Jepang secara alamiah menjadi
proyek pinjaman karena kebijakan IMF/IBRD bersikap
tidak simpatik terhadap program nasionalistik Ibnu
Sutowo berupa proyek skala besar pembangunan
sumber daya dan industri. Untuk sebagaiannya, Jepang
bersedia memasok dananya ke dalam proyek-proyek
tersebut di luar IGGI/IMF yang akan memberikan

185
kepada Jepang hak istimewa guna mendapatkan
pasokan energi murah. Pada 1976, Robinson mencatat
berikut: … seluruh jumlah energi yang secara resmi
berhubungan dengan transfer dana pinjaman sebesar
2.303.683.000 dollar AS. Angka ini meliputi hampir
satu setengah kali seluruh realisasi investasi asing di
Indonesia pasca 1966 dan lebih dari dua kali investasi
langsung Jepang. 117

Kesangsian akan pembangunan Orba sesungguhnya pertama


kali timbul beberapa tahun sebelum Malari. Namun masih
bersifat sambil lalu, karena belum terkonsolidasi.
Kemerosoton hegemonik ditandai dengan tergeraknya
sebagian kecil kaum intelektual untuk mengkritik seperti
Mohctar Lubis: sepanjang 1969-1970 dia tak gentar
melayangkan kritikan terhadap pemerintahan Soeharto.
Pertama, menyerang Ibnu Sutowo dengan kritikan tajam:
memperlakukan Pertamina sebagai kerajaan pribadinya;
mengobral kontrak dan keuntungan kepada konco-konco,
sekutu politiknya berdasarkan arti politik dan financial bagi
rezim yang berkuasa atau kepada pribadinya. Sutowo
dianggap telah menggunakan sumber daya alam untuk tujuan
melakukan konsolidasi kekayaan dan kekuasaan segelintir
orang yang menguasai aparatur negara. Dan kedua,
mengkritisi rencana Madam Tien Soherato yang mau
membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) serupa
Disneyland. Baginya proyek ini akan menyerap anggaran
yang sangat banyak: ini merupakan simbol pemborosan dan
kesembronoan, bahkan memandang remeh kemiskinan rakyat
yang terus meluas dan meresahkan kehidupan. Di samping

117
Ibid, Hlm. 115-119.

186
Lubis ada pula kelompok mahasiswa seperti Arief Budiman
dan kawan-kawan. Mereka mengkritik rezim dengan
membentuk Komite Anti Korupsi: kelompok ini masih kecil
makanya mudah ditekan penguasa. Demonstrasi mereka gelar
pada Desember 1971 dan Januari 1972.

Suara-suara protes tersebut mudah saja dipentalkan Orba


dengan pengerahan serdadu bersenjata. Tindakan inilah yang
ampuh meredam protes teroganisasi selama 18 bulan:
pimpinan-pimpinan mahasiswa menjadi sasaran kekerasan
negara. Adalah Arief Budiman sampai memilih meninggalkan
Indonesia. Perkembangan perekonomian yang semakin
kapitalistik kemudian memicu banyak orang angkat bicara.
Bahkan beberapa kalangan militer ada yang mulai berani
menyatakan ketidakpuasannya. Soalnya kondisi ekonomi-
politik menyebabkan semakin melebarnya jarak antara yang
kaya dengan miskin, korupsi juga ikut menjadi-jadi di tubuh
pemerintahan, serta makin vulgarnya manipulasi modal asing
terhadap sektor-sektor kehidupan rakyat oleh lembaga-
lembaga internasional. Total bantuan asing dari IGGI/CGI
sejak 1967-1970 saja mencapai 1,04 miliar dolar AS. Di
sampingnya beberapa program Orba pun ikut didanai oleh
AS: sampai 1972 utang luar negeri Indonesia terhadap
Amerika sebesar 1,03 miliar dolar AS. Pada 1973, pinjaman
dana luar negeri membuat membuat banyak orang was-was.
Itulah mengapa Jenderal Simatupang bahkan nekad terlibat
dalam Kelompok Diskusi Cibulan di UI—hasil diskusinya:
menentang pembangunan yang sedang berlangsung karena
telah jauh melenceng hingga membuat rakyat sengsara.
Slamet Bratanata—seorang sekutu militer dari BPS
Siliwangi—pula mengatakan, Indonesia terjebak dalam proses

187
neokolonial, pembangunan hanya bermanfaat bagi tiga pihak:
investor asing, para cukong, dan pejabat. Mereka telah
mengabaikan kapital dalam negeri dan kesejahteraan
sebagaian besar penduduk yang seharusnya terpenuhi.
Baginya, Orba merupakan eksekutor tatanan kolonial baru. Di
dalamnya terdapat kandungan tujuh macam bom waktu: (1)
demoralisasi nasional sebagai akibat bangunan trio avonturir-
cukong-pejabat; (2) ruwetnya birokrasi dan bisnis; (3)
kebijakan pemerintah tentang kredit bank; (4) perusakan
hutan dan sumber daya alam lainnya; (5) pengusiran rakyat
dari tanah mereka dengan ‘feodalisme uang’; (6) kolonialisme
ekonomi; dan (7) berkembangnya pengangguran. 118

Ketidaksejalanan pemikiran massa dengan penguasa


menghiasi fase hegemoni merosot Orba. Sehingga integrasi
budaya dan politik menjadi amat rentan dengan konflik yang
berbahaya. Peristiwa Malari 1974 adalah momen yang
mengafirmasi merosotnya kepemimpinan hegemonis. Namun
untuk mengamankan kekuasaannya Soeharto bereaksi ganas.
Banyak sekali mahasiswa dan pimpinan gerakan yang
ditangkap, dijadikan sebagai tahanan rumah, hingga diadili
untuk dimasukan ke sel tahanan. Bahkan lima koran kritis
yang membantu menyatukan keresahan masyarakat dalam
aksi-aksi protes dibredel: Indonesia Raya, Abadi, Nusantara,
Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, dan Pedoman.
Sementara korban kekerasan terbanyak datangnya dari
masyarakat sipil: 11 nyawa melayang dan 300 orang penuh
luka di sekujur badan. Mendapati kenyataan koersif di
hadapan matanya, PB HMI pimpinan Akbar Tandjung dengan

118
Lihat Ibid, Hlm. 123, 126-127.

188
organisasi-organisasi yang tergabung dalam Kelompok
Cipayung justru duduk manis menyaksikan kebiadaban.
Mereka bukan malah mengeluarkan kutukan atas kezaliman,
melainkan menempuh cara lain untuk mendukung tindak
kesewenang-wenangan. Hasanuddin M. Saleh sangat kecewa
menyaksikan sikap yang diambil organisasi-organisasi
kepemudaan. Soalnya mereka mengaku membela kebenaran
dan memperjuangkan keadilan, tapi menghianati nurani
kerakyatan:

Menanggapi peristiwa Malari ini, HMI dan juga


organisasi mahasiswa ekstra-kampus lainnya,
mengeluarkan pernyataan ketidaksetujuannya dan
bahkan meminta pelaku-pelakunya supaya diadili.
Tidak ada keinginan organisasi ini untuk membela
pelaku-pelaku demonstrasi yang sebenarnya telah
mengekspresikan kepentingan masyarakat yang
berkembang pada saat itu.119

Dengan tiadanya kejelasan pemihakan kepada rakyat maka


protes-protes yang memantik meletusnya Malari dan
pertemuan Dewan Mahasiswa di Bandung yang menorehkan
Petisi 24 Oktober 1973—berisi evaluasi tentang strategi
pembangunan—dinilai PB HMI berada di luar proporsi. Itulah
mengapa himpunan kemudian mengeluarkan pernyataan sikap
pada 28 Desember 1973 dan 15 Januari 1974: meminta agar
aksi diletakan secara proporsional dan sejalan dengan
pandangan birokrasi pemerintahan yang takut pada lahirnya

119
Hasanuddin M. Saleh, (1996), HMI dan Rekayasa Asas Tunggal
Pancasila, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, Hlm. 53

189
gerakan anarki.120 HMI kala dipimpin Akbar Tandjung
memang begitu gandrung akan kepentingan pembangunan.
Menjelang peristiwa Malari, Ketum PB HMI 1972-1974 itu
memang sudah duluan mangambil langkah preventif dalam
mengamankan stabilitas kekuasaan: ketika HMI Cabang
Surabaya sudah siap melangsungkan aksi jalanan besar-
besaran dalam memprotes pelbagai kebijakan Soeharto maka
selaku pimpinan tertinggi organisasinya Akbar bertindak
cekatan: menemui massa untuk memberi penjelasan agar tak
turun ke jalan.121 Walhasil, proses untuk menggelar
demonstrasi pun diberhentikan. Kejadian ini menerangkan
bahwa dalam fase hegemoni merosot ternyata Orba masih bisa
mengendalikan gerak-gerik himpunan.

Massa HMI memang sudah mulai tidak sejalan dengan


pelbagai pemikiran penguasa. Tetapi potensi disintegrasi yang
terdapat dalam organisasi ini justru diredam oleh negara.
Peredaman itulah yang dibalut dalam hubungan mutualis
pemerintah dengan sang ketua. Kondisi ini membuat modus
eksistensi organisasi secara kelembagaan menampakan sikap
penurut yang senantiasa menggugui pemegang kuasa.
Makanya di bawah kendali Akbar, demonstran-demonstan
Malari tidak mau dibela tapi justru didukung supaya diberi
hukuman: sikap organisatoris yang diambilnya lebih memihak
kepada Soeharto ketimbang masyarakat sipil yang teraniaya.
Namun secara individual mentalitas kader-kader yang

120
Akbar Tandjung dalam Lintas Sejarah HMI 1971-1974, pada Agussalim
Sitompul (ed), (2008), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, Jakarta:
CV Misaka Galiza, Hlm. 51.
121
Lihat Syafinuddin Al Mandari, (2003), Demi Cita-cita HMI, Jakarta: PT
Abadi, Hlm. 41.

190
dipimpinnya sesungguhnya tak selaras dengan rezim,
terutama dirinya yang berperan sebagai perangkat kekuasaan
Orba. Kedua aktivis HMI—Judilherry Justam dan Abdullah
Hehamahua—sesudah peristiwa Malari—sempat mengalami
pemenjaraan tanpa proses pengadilan karena mengkritik
penguasa. Kemudian banyak juga kader di Jakarta,
Yogyakarta, Makassar, dan Surabaya memilih jadi oposan
ketimbang pelayan istana seperti pimpinan organisasinya
bersama pengurus serta anggota-anggota yang sependirian
dengannya.

Kontradiksi dalam hegemoni pembangunanisme telah meluas


ke mana-mana. Makanya hubungan antagonisme yang dipicu
kepemimpinan hegemonik tidak saja terjadi di eksternal HMI,
tapi pula di internal organisasi. Sejak 1973, kader himpunan
di beberapa tempat membangkang pada PB-nya sendiri. Kala
kekuasaan tertinggi organisasi bersikap fatalis terhadap
pemerintahan maka aktivis-aktivis HMI di Universitas
Indonesia (UI) bersikeras melawan. Bersama Dema UI
mereka berusaha memukul mundur upaya-upaya Opsus Ali
Moertopo dalam mencengkeram lembaga-lembaga
mahasiswa. Persis perlawanan aktivis-aktivis HMI di UGM:
dengan Dema UGM maka ditolaklah pendirian KNPI. Bahkan
mereka menolak keyakinan Ketum PB HMI Akbar Tandjung
yang mencoba mempengaruhi lewat retorika pragmatisnya:
pentingnya mendirikan komite pemuda demi mengawal
pembangunan. Tapi penolakan terhadap keinginan mendirikan
alat pengontrol organisasi kemasyarakatan itu tidak
membuahkan hasil yang diharapkan. Karena negara sangat
kuat dalam mendorong pendirian KNPI. Pada pra-pendirian
KNPI saja, pemerintah menggunakan metode yang serupa saat

191
diadakannya Cipayung: mengerahkan Opsus untuk
mengintervensi dan mendapatkan persetujuan banyak
pimpinan organisasi mahasiswa. Krissantono menegaskan:
‘Ali Moertopo dapat disebut sebagai bidan lahirnya KNPI.
Dia menunggunya ketika KNPI lahir dan selalu memberi
pengarahan yang dibutuhkan’. 122 Melalui arahannya maka
Ketua Umum DPP KNPI yang pertama diberikan kepada
David Napitupulu, setelahnya jabatan tersebut beralih ke
Akbar Tandjung. Akbar kiranya mendapatkan bayaran
setimpal atas jasanya melempongkan gerakan himpunan:
pelayanan prima yang dipersembahkannya untuk
pembangunan mengakibatkan seabrek kebijakan PB HMI
selalu diselaraskan dengan kepentingan orang-orang di
pranata kenegaraan. Perembesan birokrasi pada himpunan
terekam jelas dalam tulisan Hasanuddin:

Dengan sikap demikian, kader-kader HMI memang


meraih posisi-posisi strategis dalam KNPI. Jabatan
ketua umum KNPI dalam beberapa periode selalu
diduduki oleh kader-kader HMI. Bahkan Menteri Muda
Urusan Pemuda dan Olahraga kemudian menjadi
Menteri Pemuda dan Olahraga berturut-turut dijabat
mantan aktivis HMI (kader HMI menduduki jabatan
Menteri Urusan Pemuda dan Olahraga sampai
kemudian menjadi Menteri Negara Pemuda dan
Olahraga. Abdul Gafur, kemudian Akbar Tandjung,
adalah kader HMI. Yang terakhir ini adalah mantan
Ketua Umum PB HMI dan juga Ketua Umum DPP
KNPI) … dengan masuknya kader HMI dalam KNPI
menjadikan posisi HMI subordinat kepentingan

122
Daniel Dakidae, dkk, (1991), Di Atas Panggung Sejarah dari Sultan ke
Ali Murtopo, Jakarta: LP3ES, Hlm. 154.

192
pemerintah dan menciutkan sikap kritis pada kader-
kader HMI dalam melihat realitas politik … melihat
kenyataan bahwa pada akhir 1970-an, HMI tidak lagi
banyak diperhitungkan dalam konstelasi politik
nasional. Sikap kritis yang spontan khas organisasi
mahasiswa tidak muncul dari HMI [secara
kelembagaan, melainkan hanya terbit dari kesadaran
etis-personal kader-kadernya], bahkan ketika KNPI
melebarkan pengaruh dengan membentuk cabang-
cabang di daerah yang berarti mengurangi pengaruh
HMI.123

Soeharto tahu kuasa hegemonisnya sedang berada pada masa-


masa dekaden. Untuk mengamankan kekuasaannya maka
dalam aliansi hegemoniknya diciptakan sebuah terobosan:
tokoh-tokoh ormas yang berpengaruh diberikan jabatan
pemerintahan. Ini dilakukan demi memperkuat kontrol
terhadap gerakan sosial-kemasyarakatan. Selainnya,
pemerintah juga melaksanakan perubahan strategi
perekonomian, karena penguasa Orba mengerti: ketegangan
sosio-politis yang berlangsung 1970-1974 merupakan
komponen tak terpisahkan dari kebijakan ekonomi Indonesia
yang cuma memerioritaskan pertumbuhan maksimum dan
krisis kapitalisme yang menghantam dunia—Deflasi Dahsyat
(Great Deflasion) di tahun 1970. Kala itu terjadi inflasi besar-
besaran, peningkatan jumlah pengangguran, kemerosotan nilai
ril indeks pasar modal, dan kerontokan perusahaan-
perusahaan serta bank-bank. Negara-negara Eropa mengalami
kehancuran perekonomian, sehingga tidak dapat lagi menjadi

123
Hasanuddin M. Saleh, (1996), HMI dan Rekayasa Asas Tunggal
Pancasila, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, Hlm. 96-97.

193
patner Amerika dalam urusan dagang. Akibatnya, pada 1976
kesepakatan Breton Woods harus dibubarkan lantaran resesi
ekonomi dunia membuat sistem bunganya tak terbendung.
Krisis kapitalisme 1970-an lalu mengukir perubahan
mendasar bagi perekenomian dunia: tingkat investasi merosot
lantaran jatuhnya tingkat keuntungan karena makin
berkurangnya permintaan pasar, perusahaan-perusahaan
raksasa global kemudian berkembang menjadi amat
monopolis, hingga kapitalisme semakin berurusan dengan
stagflasi. Itulah mengapa pertumbuhan menurun sementara
tingkat pengangguran meninggi. Hanya saja negara-negara
maju mencoba memperbaiki perekonomiannya dengan
mengeluarkan kebijakan reformasi ekonomi. Tetapi hasilnya
justru menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan
meningkatnya pengagguran. Sedangkan di negara-negara
berkembang, kemiskinan ekstrem yang dipicu krisis
kapitalisme meluber sampai memantik pelbagai letupan sosial
yang mengancam tatanan.

Karl Marx memberitahukan bahwa krisis kapitalisme bersifat


‘endogen’: ketidakstabilannya bukan berasal dari luar tapi
tertanam dalam sistemnya. Teorinya tentang krisis berpangkal
pada ‘hukum tendensi kemerosotan tingkat keuntungan’.
Penyebab kemerosotan tingkat keuntungan itu karena
terjadinya penurunan tingkat komposisi organik: yakni, ‘nilai
kapital konstan’ (nilai dari pabrik, alat-alat, dan bahan-bahan
yang disediakan kapitalis untuk melakukan kegiatan produksi)
tumbuh lebih cepat daripada ‘nilai kapital variabel’ (nilai dari
tenaga kerja buruh yang dalam kegiatan produksinya
senantiasa mengalami perubahan—upah plus benefit yang

194
diterima kelas pekerja).124 Penurunan tingkat komposisi
organik ini didorong oleh kompetisi dalam sistem kapitalisme
yang mengharuskan kelas kapitalis terus-menerus
mengadopsi teknik-teknik produksi yang lebih mutakhir agar
bisa menghemat penggunaan tenaga kerja sekaligus
menambah produktivitas. Itulah mengapa mereka tak henti-
hentinya berbelanja mesin-mesin terbaru yang lebih produktif
tetapi anggarannya berasal dari jumlah pekerja yang
dipangkas. Perbuatan seperti ini kemudian menjadi faktor
utama penyebab krisis. Tetapi krisis ini bisa ditunda oleh para
kapitalis dalam waktu tertentu. Dalam pengamatan Marx, cara
yang mereka pakai sangat licik: berusaha meningkatkan
tingkat keuntungan dengan menekan belanja kapital konstan
dan terutama meningkatkan eksploitasi terhadap buruh.
Eksploitasi ditingkatkan bukan sekedar melalui perpanjangan
jam kerja, melainkan pula melipat-gandakan beban kerja
tanpa menambah upah. Tujuannya agar sistem kapitalisme
dapat bertahan hidup lebih lama dan menghasilkan banyak
keuntungan. Anto Sangaji memaparkan:

Kestabilan atau ketidakstabilan kapitalisme diukur dari


tingkat keuntungan (rate of profit), yakni rasio nilai
keuntungan terhadap nilai investasi kapital dalam
periode tertentu. Rasio ini menjelaskan apakah investasi
sukses, berjalan di tempat, atau jeblok. Krisis artinya
jeblok, ditandai dengan gejala-gejala: investasi atau
akumulasi kapital melambat atau merosot. Perusahaan-
perusahaan besar memangkas jumlah tenaga kerja agar

124
Lebih jelasnya lihatlah pengantar dari Anto Sangaji dalam Greg Albo
dan Carlo Vanelli, Andre Barahamin dan Yizkia Yoshie Polimpung (ed),
(2015), Penghematan Melawan Demokrasi, (tanpa kota): IndoPROGRESS,
Hlm. 1.

195
tetap bisa bertahan hidup. Perusahaan-perusahaan lebih
kecil terpaksa tutup sama sekali dengan memecat
semua buruhnya. Pengangguran [pun] merebak.125

Sewaktu krisis kapitalisme 1970 kemerosotan tingkat


keuntungan memperlambat akumulasi kapital dan
mengakibatkan lonjakan pengangguran. Begitulah yang
dialami negara-negara di Eropa Barat—Inggris, Jerman, dan
Prancis: tingkat akumulasinya merosot dari 4.8 persen (1965-
1974) menjadi 2.3 persen (1975-1984), sedangkan tingkat
pengangguran meningkat dari 1.8 persen (1965-1974) menjadi
6.1 persen (1975-1984).126 Namun ketika stagflasi
mengancam kelangsungan hidup kapitalisme, PM Inggris
Margaret Teacher dan Presiden AS Ronald Reagen cepat-
cepat mencetuskan terobosan besar—keduanya bersepakat
menerapkan ajaran neoliberalisme seperti yang dianjurkan
Milton Friedman dan Friedrich von Hayek: suatu sistem
ekonomi yang merupakan pengembangan dari sistem
kapitalisme abad-19. Yakni, kapitalisme-neoliberalisme:
kebebasan individu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi
sepenuhnya terlepas dari campur tangan pemerintah, sehingga
regulator utama perekonomian diserahkan kepada mekanisme
pasar. Ketika negara-negara maju mulai menerapkan sistem
kapitalisme-neoliberal, Indonesia tidak langsung
mengikutinya. Pada 1974, Orba justru mengganti strategi
ekonomi dan politiknya dengan tidak lagi terlalu bersandar
pada persaingan bebas (laissez-faire) seperti pada 1967
sampai awal 1974. Karena setelah banyak belajar dari letupan

125
Ibid. Tulisan dalam kurung merupakan tambahan dari penulis.
126
Ibid, Hlm. 2.

196
Malari maka pada akhir 1974-awal 1982 diterapkanlah
kebijakan nasionalisme ekonomi.

Kebijakan itu mirip sekali dengan petuah John Maynard


Keynes: mengharuskan adanya intervensi negara dalam
kehidupan ekonomi demi mengikis pengangguran dengan
menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Melaluinya Orba
berusaha menguatkan kembali perekonomian nasional di
bawah hegemoninya: metode yang dipakai adalah kekuasaan
korporatisme dalam bidang politik maupun ekonomi. Roger
Simon menjelaskan bagaimana respon masyarakat dalam
menghadapi ekonomi-korporasi: ‘masalah negara sudah
diperhatikan, namun hanya sebatas untuk memperoleh
persamaan politik dan hukum dengan kelompok yang
berkuasa: ‘hak untuk ikut serta dalam penetapan undang-
undang dan administrasi, bahkan untuk mengubahnya
memang diakui—namun harus tetap berada dalam struktur
dasar yang ada’.127 Persis seperti inilah tokoh-tokoh organisasi
kemahasiswaan diberikan kesempatan bekerja dalam birokrasi
untuk menjadi bagian kelas penguasa. Hanya saja perubahan
strategi ekonomi-politik yang diterapkan Orba sedikit sekali
membuka lapangan kerja untuk penganggur-penganggur tak
terdidik. Sedangkan begitu banyak menyediakan pekerjaaan
buat kaum terdidik. Mereka soalnya amat berguna supaya
terus melanggengnya kekuasaan hegemonik. Itulah kenapa
memberi kerja kepada seabrek intelektual dipandang lebih
baik ketimbang menyediakan pekerjaan buat para
pengangguran yang kurang berpengetahuan. Keadaan seperti

127
Roger Simon, (2004), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta:
Insist bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Hlm. 38.

197
ini kemudian melancarkan korporatisme dalam pranata
kenegaraan maupun kemasyarakatan. Dari HMI, Akbar
Tandjung menjadi seorang intelektual yang dibumbungkan
karirnya. Dirinya bukan saja diberi posisi Ketum KNPI 1978-
1981, tapi juga dengan berkendaraankan Golkar dimuluskan
langkahnya pada 1997 menjadi anggota DPR RI. Dia
mengikuti jejak dua senior-alumninya: Abdul Gafur yang
telah duluan masuk lingkaran dewan dari Fraksi ABRI pada
1972 (sekaligus selaku tokoh berpengaruh dalam KNPI) dan
Ahmad Tirtosudiro selaku Aspri Presiden dan Kepala Bulog
sampai 1972.

Penerapan korporatisme mula-mula berjalan mulus buat


memulihkan kembali kekuasaan hegemonik secara sosio-
politis. Karena tokoh-tokoh ormas yang dimasukkan ke dalam
pranata kenegaraan diberi peran untuk menjadi alat
hegemonis. Mohtar Mas’oed menjelaskan bahwa dengan
berlakunya korporatisme negara maka terjadi ‘suatu proses di
mana negara menundukan dan menguasai organisasi-
organisasi masyarakat sipil dan negara membuka beberapa
lembaganya bagi penyampaian kepentingan masyarakat sipil
secara terorganisir’.128 Namun lama-lama taktik ekonomi-
korporasinya justru membuat masyarakat sinis. Kebijakan
perkembangan industri penuh intervensi. Beberapa aspek
penting yang dikendalikannya meliputi: (a) prioritas
perkembangan industri dengan fokus pada proyek besar
pemrosesan sumber daya (gas alam, logam, petrokimia, dan
pengolahan minyak bumi) serta industri dasar (baja, kertas,
dan semen); (b) proteksi terhadap kapital domestik melalui

128
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 84.

198
peraturan sektor tertutup dan prioritas bagi modal asing serta
peraturan ketat tentang perusahaan patungan; dan (c) peran
negara yang lebih terstruktur-terpusat dalam pendanaan
infrastruktur, pemberian kredit dan investasi tidak
langsung. 129 Dalam keadaan demikian nyaris tidak ada yang
dapat dilakukan oleh alumni-alumni HMI dengan
keaktifannya di kursi pemerintahan, kecuali mendukung
Soeharto; baik untuk menerbitkan program yang menindas
buruh dan petani maupun memberi semangat buat mengemis-
ngemis modal asing. Mereka tak berani menolak apalagi
membantah perintah presiden yang berpretensi pada perluasan
investasi dan pengarusutamaan utang luar negeri.

Senior-alumni HMI yang menempati lorong-lorong pranata


kenegaraan itu sayangnya senantiasa dijadikan tauladan oleh
seabrek kader, terutama pengurus-pengurus organisasi.
Hubungan antara anggota dengan alumni dirajut dalam
bangunan moralitas yang kuat lewat proses-proses kaderisasi.
Itulah mengapa internalisasi ideologi hegemonik dalam
perkaderan organisasi mengguyur begitu rupa. Tidak saja
melalui mater-materi training tapi juga lebih banyak dipupuk
dengan rangkaian acara silaturahmi ke rumah dinas
alumninya. Senior yang alumni apalagi kalau sudah jadi
pejabat pasti selalu dihargai, dihormati bahkan dipuja-puja.
Karakter hingga perbuatan dan penampilan mereka menjadi
contoh bagi anggota-anggota biasa organisasi. Bahkan para
pengurus organisasi ini kerap kali mewanti-wanti agar
mengikuti tak sekedar jejak dan jalan, tapi juga pikiran dan

129
Richard Robinson, (2012), Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme
Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, 115-131.

199
perbuatan alumni-alumni. Sehingga kala para alumninya
menempati bilik-bilik pranata kenegaraan, maka
kepemimpinan dan moralitas penguasa dengan mudah
dicecoki ke dalam sistem moral junior-juniornya yang masih
aktif berorganisasi. Anggota-anggota himpunan soalnya
terlanjur menganggap alumni-alumninya—yang menjadi
politisi dan berkecimpung dalam birokrasi—sebagai makhluk
yang mesti digugui. Makanya hegemoni negara kemudian
tidak hanya menimpah para alumninya, melainkan juga
anggota-anggota HMI. Inilah kenapa Soeharto mudah sekali
memperalatnya untuk melanjutkan rantai hegemoninya
sampai menembus dinding independensi etis maupun
organisatoris HMI. Melalui merekalah negara membentuk
moralitas anak-anak muda himpunan, terlebih para pengurus
organisasi. Nietzsche menyatakan moralitas bentukan negara
‘tidak alamiah’ karena penuh ilusi, bahkan mengakibatkan
manusia berpaling menentang insting-insting kehidupan.
Maka akibatnya PB HMI lebih memilih bungkam ketimbang
melawan tiran.

Pengadopsian moral yang tidak alamiah bikinan negara itu


menyebabkan moralitas orang-orang PB HMI berubah jadi—
seperti diistilahkan Nierzsche sebagai—‘moralitas budak’:
‘cara kita menafsirkan dan memberlakukan nilai-nilai pada
dunia memiliki sejarah—asal-usulnya kerap brutal dan jauh
dari nilai-nilai yang dihasilkannya. Nilai “baik” misalnya,
diciptakan oleh kasta tuan dan ditinggikan tempatnya untuk
diberlakukan pada mereka sendiri, berlawanan dengan yang
awam, rendah, dan jelata. Nilai tuan (“baik”) berlawanan

200
dengan nilai budak (“buruk”)’.130 Baginya, mentalitas seorang
budak terbentuk akibat proses kesadaran individu yang
cenderung menerima kebenaran moralitas syarat. Terjadi
melalui proses ‘interiorisasi individual’ secara halus: individu
dibius dengan nilai-nilai yang dapat menjamin kelangsungan
moralitas. Nilai yang paling menonjol ialah ketaatan. 131
Interiorisasi berimplikasi pada tindakan adaptif tapi begitu
tersamarkan. Karena interirisasi merupakan kemampuan
memahami dunia yang bukan lagi mengandalkan lingkungan,
melainkan menggunakan konsep-konsep abstrak. Dalam
rezim Soeharto, konsep yang abstrak itu terhimpun melalui
ideologi pembangunannya yang demikian mencekik.

Pembangunanisme menampakan negara persis apa kata


Nietzsche: negara adalah modus dominasi yang menerapkan
‘interiorisai’ teregulasi atas warganya. Negara baginya
merupakan mesin dominasi yang abstrak; sudah ada sebelum
kapitalisme, dan membayang-bayangi persoalan kelas dan
perekonomian rakyatnya. Dia juga menegaskan bahwa negara
tidak seperti kesimpulan kaum konservatif dan liberal—mulai
dari Hobbes hingga Locke: negara berasal dari kontrak sosial.
Karena negara justru lahir sebagai ‘tirani yang mengerikan,
mesin yang menindas, dan kejam’. Pada masa Orba kita
diperlihatkan drama kenegaraan yang sangat mencekam.
Kuasanya dengan tiga model pemerintahan yang seram: (1)
Patrimonial. Bentuk ini dijelaskan Emmerson bahwa
karakteristik pemerintahan didasarkan atas hubungan personal

130
John Moore & Spencer Sunshine (ed.), (2014), Aku Bukan Manusia, Aku
Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Poiitik Anarkisme, Tangerang Selatan:
Marjin Kiri, Hlm. 97.
131
Lihat St. Sunardi, (2012), Nietzsche, Yogyakarta: LKis, Hlm. 124.

201
anak buah dengan bos. Dalam perspektif ini pemegang
kekuasaan dan gejala kekuasan dipandang sebagai kesatuan:
kegiatan politik berpusat pada pemegang kekuasaan dan
struktur politik menggantung dalam jaringan-jaringan vertikal
yang saling bersaing untuk memperoleh perlindungan pribadi
dari penguasa; (2) Politik Birokrasi. Corak ini dikembangkan
Karl D. Jackson. Modelnya suasana politik menentukan diri
sindiri dari lingkungan sosial domestik: kepolitikan birokratik
sulit ditembus oleh kekuatan-kekuatan masyarakat sipil
karena lebih responsive terhadap tekanan-tekanan
internasionalistik; (3) Birokratik Otoritarian. Perumusnya
adalah Dwight Y. King. Di dalam pembuatan kebijakan
melalui pendekatan teknokratik dan birokratik, kewenangan
tertinggi ada pada kelompok oligarki bukan perorangan.
Rezim ini amat antusias mempengaruhi budaya politik dengan
tindakan represif: melakukan pembungkaman atas pelbagai
kritikan.132

Simultan dengan model-model pemerintahan seperti itulah


korporatisme negara membelenggu refleksi dan aksi
himpunan. Itu disebabkan karena ada dua kebijakan rezim
yang berkaitan langsung dengan HMI: terkait dengan bidang
kepemudaan dan penataan organisasi kemahasiswaan. Dalam
keadaan ini alumni-alumninya yang politikus dan birokrat
tidak mampu melakukan penentangan. Karena masuknya
mereka dalam pranata kenegaraan menambah kencang
hegemoni kekuasaan. Melalui merekalah Orba sedikit-demi-
sedikit dapat mengobati hegemoninya yang sempat

132
Disarikan dari Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 82-84. Dan lihat
juga Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 37-38.

202
mengalami kemerosotan. Bahkan dengan terlibatnya seabrek
alumni dalam pemerintahan malah menarik pertatian anggota-
anggota HMI lain untuk ikut-ikutan. Sebab dengan menjadi
pelayan kekuasan maka siapa saja memperoleh jaminan
kehidupan. Arbit Sanit menjelaskan demikian:

…korporatisme yang dikembangkan pemerintah Orde


Baru untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan potensial
juga mengenai secara langsung organisasi pemuda.
Sejak pertengahan 1960-an sampai sekarang strategi
ketergantungan tampaknya menjadi anutan pemerintah
dalam mengkooptasi kekuatan pemuda. Pemuda
dilayani sebanyak mungkin dengan harapan mereka
memberikan imbalan berupa loyalitas dan dukungan.
Aktivitas mereka dikendalikan sedalam mungkin
dengan harapan mereka tidak melakukan hal-hal yang
kurang dikehendaki. Hasilnya adalah pemuda
tergantung dalam pihak pemerintah dalam banyak hal,
mulai dari fasilitas sampai program dan
kepemimpinan. 133

Tetapi kelak dalam PB HMI mulai tumbuh keberanian untuk


menerbitkan penekanan terhadap kekuasaan. Mula-mula
ketika alumni lumpuh maka anggota-anggota HMI mulai
memperlihatkan nyali dalam melawan tiran. Ini bukannya
mencuat setelah posisi Akbar Tandjung sebagai Ketum PB
HMI 1971-1974 digantikan oleh Ridwan Saidi (1974-1976),
karena kepengurusannya belum bisa keluar dari bayang-
bayang ketua sebelumnya. Maklum Ridwan juga pernah
bergelut dalam jajaran ketua KNPI sejak 1973-1978.

133
Arbi Sanit, (1989), Mahasiswa, Kekuasaan, dan Bangsa, Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia, Hlm. 120.

203
Keterlibatannya menjadi pengurus organisasi bentukan
pemerintah itu bahkan menjadi jawaban kenapa ketika
memimpin PB HMI nampak gigih memperjuangkan
keberadaan Kelompok Cipayung yang notabene didikte Orba
melalui gerak Opsus Ali Moertopo: raja intelijen yang akan
mengendalikan aktivitas pengurus ormas manapun. Walhasil,
PB HMI persis Cipayung: tampil sebagai wadah terampuh
untuk memadamkan segala bentuk gerakan dan rasa tidak
puas massa terhadap program-program pemerintahan.

Sikap kritis PB HMI tidak pula terbit kala dinakhodai


Chumaidi Syarif Romas (1976-1978), melainkan di masa
Ketum PB HMI Abdullah Hehamahua (1979-1981). Hanya
saja sewaktu kepemimpinan Syarif Romas di tahun 1978,
sebagian kader himpunan mengambil tindakan persis masa
kepengurusan sebelumnya: kebanyakan menempuh langkah
perlawanan taktis bersama lembaga-lembaga kemahasiswaan
di kampus-kampusnya. Mereka tak memedulikan ada atau
tidaknya instruksi HMI atas nama lembaga. Inisiatif-personal
dalam menentang kebijakan penindas membuatnya maju
berhadapan dengan penguasa. Aktivis-aktivis itu sadar bahwa
Soeharto tengah berusaha menguatkan kekuasaan
hegemoniknya bukan lagi dengan meminta persetujuan tapi
semakin menggunakan paksaan. Mula-mula Orba
membekukan Dema melalui SK KOPKAMTIB tertanggal 21
Januari 1978. Kemudian disusul SK Menteri P & K No.
0156/U/1978 tentang NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Tentu
mahasiswa tidak senang dengan kesewenang-wenangan yang
dipertontonkan. Namun menyaksikan kebiadaban ini PB HMI
hanya bisa duduk manis sembari melipat tangan. Hasanuddin

204
lagi-lagi merekam kebungkaman itu dengan amat memilukan
dan penuh kedilema’an:

[PB] HMI tidak memberikan reaksi apa-apa sebagai


cerminan kepedulian terhadap realitas sosial politik
yang sedang berlangsung. Dalam hal ini ada yang
melihat HMI ambivalen. Di satu sisi pelaku-pelaku
demonstrasi sebagian besar adalah anggota-anggota
HMI, tetapi di sisi lain secara formal organisatoris,
[PB] HMI tidak memiliki keberanian melakukan
pressure kepada pemerintah. Barang kali benar bahwa
penampilan yang demikian merupakan kekhasan [PB]
HMI dalam upaya menyelamatkan diri [pragmatis soal
etis sekaligus oportunis secara organisatoris].134

Tetapi semenjak beralihnya kepemimpinan himpunan ke


tangan Abdullah maka loyalitas dan akomodatif terhadap
Orba perlahan ditanggalkan. Safinuddin mencatat kurun
perubahan sikap himpunan itu sebagai ‘fase kritik-evaluatif’:
ini berlangsung selama 1978-1986.135 Pendirian inilah yang
memberi angin segar untuk ditumbuhkembangkannya
kesadaran buat memandang Islam sebagai sistem dan ideologi
perjuangan dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan. Di
samping itu pada 1979 mulai dilakukan juga kristalisasi ajaran
Islam, terutama untuk dijadikan spirit dalam menentang
modernisasi dan pembangunan. Keadaan ini sejalan dengan
berlangsungnya abad XV Hijriah yang dikenal sebagai ‘abad
kebangkitan (kembali) Islam’. Islam bangkit sebagai agama
ideologis: tercermin jelas pada Revolusi Iran 1979. Gema

134
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 53-54. Dalam kurung merupakan
tambahan dari penulis.
135
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 50.

205
revolusi ini membawa implikasi besar bagi kader-kader
himpunan, termasuk yang memimpin PB HMI: Abdullah
Hehamahua. Tulisan-tulisan polemis Murtadha Muthahari, Ali
Syari’ati, Bani Shadr—disambut baik oleh mereka.
Intensifikasi dialektis antara gagasan yang dipelajari dari
intelektual-intelektual revolusioner itu dibenturkan dengan
realitas kekuasaan Orba yang durjana. Mulai saat itulah ide-
ide modernis yang mendukung pembangunanisme
mendapatkan kontra-wacana. Perlawanan terhadapnya dari
semangat: pertama, warna akademis dalam refleksi dan aksi
yang dilakukan komunitas HMI menjadi lebih tajam. Realitas
sosial tidak lagi digambarkan dalam kerangka normatif
belaka, tetapi sudah mulai mendapat landasan teori-teori
sosial; kedua, memperkuat alur komitmen ideologis dalam
HMI.136 Melaluinya maka organisasi ditegakkan untuk berdiri
di kaki sendiri (berdikari). Bahkan untuk berkegiatan tidak
lagi mengemis-ngemis dana-dana segar dari kapitalis-birokrat,
juga para alumni yang menjadi politisi partai. Abdullah
menegaskannya begini:

Saya waktu jadi ketua PB HMI selama dua tahun, satu


sen pun saya tidak terima dari pemerintah, satu sen pun
tidak, baik dari kementrian dan sebagainya … Saya
beritahu kepada pengurus HMI, mari buktikan bahwa
HMI itu organisasi Islam, milik umat Islam, dibiayai
oleh umat Islam, bukan oleh pemerintah, bukan oleh
Golkar.137

136
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm 120-121.
137
https://m.rupublika.co.id/berita/nasional/politik/15/12/02/kisah-abdullah-
hehamahua-memimpin-pb-hmi-tanpa-terima-uang-pemerintah/

206
Bagi Abdullah, meminta atau menerima bantuan pemerintah
sama halnya dengan memasukan tali ke leher HMI untuk
berhamba pada penguasa. Negara dilihatnya disesaki para
penidas kaum jelata. Persekutuan dengan mereka berarti
menyetujui penindasan yang dilakukannya terhadap kaum
miskin dan tertindas. Islam ditangannya bukan lagi tampil
sebagai agama-budaya tapi agama yang berkekuatan
ideologis. Dirinya persis mendirikan militansi yang bisa
digambarkan dengan ungkapan Sayyid Qutb: ‘Jangan
bersandar dan merasa tenang kepada orang-orang yang zalim.
Kepada para penindas, tiran, dan pelaku-pelaku kezaliman.
Yakni mereka yang memiliki kekuatan di bumi dan menindas
hamba-hamba Allah. Jangan bersandar dan merasa tenang
kepada mereka. Karena itu berarti restu dan pengakuan atas
kemungkaran besar yang mereka lakukan itu. Serta ikut
terlibat dalam dosa kemungkaran itu’. Abdullah sadar bahwa
di hadapannya adalah para durjana yang mencoba menjadikan
modal sebagai muslihat yang berisi candu. Maka jalan yang
ditempuh untuk melancarkan aktivitas organisasinya adalah
dengan mengaktifkan solidaritas sesama muslim.

Untuk itulah dia membuat program yang bersifat keumatan


dengan dibantu oleh banyak sekali majelis taklim. Himpunan
yang dipimpinannya kemudian beroleh bantuan pendanaan
sewalaupun berbentuk recehan. Dengan kemandirian seperti
inilah negara tidak diberi ruang untuk mengintervensi
kebijakan-kebijakan dan program-program keorganisasian. Di
tangan Abdullah sikap berdikari HMI juga terlihat jelas lewat
lembaga-lembaga kekaryaannya. Lembaga kekaryaan—yang
sekarang diganti namanya menjadi Lembaga Pengembangan
Profesi (LPP)—dulu pernah diupayakannya menjadi bilik

207
untuk menempah orang-orang yang bisa mandiri dalam
bekerja: menjadi wirausaha tanpa bergelayut pada pranata
negara. Melalui lembaga-lembaga itulah ia dulu pernah
bermimpi untuk membentuk kader-kader yang mampu
menciptakan lapangan kerja, bukan cari kerja apalagi
mengemis kerja dengan mengandalkan jaringan siapa saja.
Sosok Ketum PB HMI yang satu ini sepertinya sudah sangat
tidak percaya terhadap penguasa. Mungkin keyakinan inilah
yang membawanya menjadi tahanan politik—selama 1 tahun
8 bulan di masa Orba—seusai Peristiwa Malari 1974, karena
keterlibatannya dalam gerakan tersebut membuat pemerintah
menstigmanya selaku orang berbahaya. Soeharto kala itu
memang ingin memusnahkan orang-orang yang punya
pendirian ideologis. Tetapi Islam telah duluan dijadikan
Abdullah sebagai ideologi gerakan dalam menghadapi para
penindas. Selama dia memimpin PB HMI kritikan tajam kerap
kali diberondongkan ke istana. Abdullah menentang keras
NKK/BKK terapan negara:

‘Normalisasi Kampus’ merupakan propaganda intelijen


untuk membendung gerakan dakwah kelompok Islam
di masyarakat, terutama kampus. Gerakan dakwah di
kampus menjadi tempat berkumpul aktivis Islam yang
terbelenggu represi politik Soeharto.138

Kebijakan penataan kehidupan kampus berimplikasi langsung


terhadap kehidupan mahasiswa. Pertama, dengan
digantikannya Dema oleh BKK—yang dikutai Pembantu
Rektor III—maka lembaga kemahasiswaan berubah fungsi

138
https://m.cnnindonesia.com.nasional/kenangan-abdullah-hehamahua-
dan-perintah-tembakan-lb-moerdani

208
menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Dengan begitu maka
kepekaan mahasiswa terhadap pelbagai persoalan sosial,
politik dan ekonomi coba ditanggalkan. Ini diperparah pula
melalui metode sistem kredit semester (SKS) yang menekan
mahasiswa dengan batas waktu maksimal penyelesaian studi,
bahkan disertai sanksi-sanksi. Kedua, organisasi ekstra-
universitas tidak lagi mendapat tempat dalam kampus
sehingga menurunkan basis keanggotaannya. Paralel dengan
itu, PB HMI menentang kebijakan pemerintah: NKK/BKK.
Karena berdampak secara politis terhadap perkembangan
organisasi ekstra universitas, termasuk dirinya: (1)
pembubaran Dema mengakibatkan HMI kehilangan mitra di
perguruan tinggi dengan kepekaan sosialnya cukup tinggi.
Selama ini Dema merupakan lembaga kemahasiswaan otonom
dan sangat berpengaruh, terutama dalam mengajak mahasiswa
untuk menuntut perbaikan suasana kehidupan di kampusnya
maupun kondisi rakyat miskin dan tertindas di luar kampus;
dan (2) menurunya aktivitas sosio-politis mahasiswa lantaran
mendapat intervensi Pembantu Rektor III lewat BKK maupun
tekanan menggunakan SKS. Akibatnya minat mahasiswa
memasuki organisasi ekstra-universitas seperti HMI menurun
drastis.139

Seabrek kebijakan itu merupakan cara Soeharto meredam


pelbagai serangan mahasiswa. Orba belajar banyak pada
peristiwa Malari 1974, terutama tentang seberapa bahayanya
gemuruh ketidakpuasan yang berasal dari kampus-kampus
terhadap kelangsungan kekuasaannya. Ancaman itu dilihatnya
lagi tahun 1977: kampus jadi pusat konsolidasi mahasiswa

139
Disarikan dari Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 97-99.

209
yang berskala masih dalam menekan penguasa. Soalnya
mahasiswa juga memetik pelajaran penting dari tragedi
Malari: aksi keluar kampus mudah ditumpas negara. Makanya
mereka mengubah kampusnya seiras benteng dan medan
pertempuran. Dari kampus pelbagai ketimpangan,
kesewenang-wenangan, dan kejahatan kemanusiaan
disuarakan. Bahkan penyimpangan Pemilu Mei 1977 pun
terkena sorotan: dituntutnya pelaksanaan pemilihan itu karena
penuh manipulasi—mulai dari pelaksanaan kampanye sampai
penusukan tanda gambar sarat kecurangan. Gerakan
mahasiswa lalu mengkritik pula kepemimpinan nasional,
strategi dan hakikat pembangunan hingga tema-temanya yang
bersifat kelokalan. Gerakan ini begitu radikal sehingga
sepanjang 1977-1978 kampus disulap sebagai corong suara
rakyat yang mendesak Soeharto menanggalkan jabatan
presiden. Kontan, Orba mengambil langkah cekatan. Mula-
mula 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog yang ditugaskan
untuk masuk ke setiap universitas demi memediasi
ketegangan. Hanya saja mahasiswa tidak luluh dengan tipuan
kekuasaan. Mahasiswa di Jakarta, Surabaya, Medan, Bogor,
dan Makassar (Ujung Pandang) sudah tak tahan lagi berada di
bawah kendali tiran. 28 Oktober 1977, delapan ribu anak
muda menyemut di ITB mengikrarkan satu tuntutan:
‘Turunkan Soeharto’. 140 Penguasa lantas menetapkan kampus
berstatus darurat perang. Besoknya, peserta aksi dirobohkan
dengan kekuatan para serdadu yang senantiasa memakai bedil
dan trail besi untuk mengganyang.

140
Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gerakan_mahasiswa_di_Indonesia

210
Namun nyali mahasiswa tak bisa dipadamkan begitu saja.
Pada hari Pahlawan 10 November 1977, ITS dan UI dipenuhi
ribuan jiwa muda dengan tuntutan serupa. Aksi-aksi seperti
ini berlanjut sampai 10 Januari 1978 dengan terus mendesak
Soeharto turun takhta. 2000 mahasiswa akhirnya dimasukkan
ke sel tahanan. Mereka dikurung tanpa alasan yang jelas,
diintimidasi lewat pelbagai interogasi tak berprikemanusiaan,
bahkan banyak di antaranya yang dipaksa mengaku sebagai
pemberontak terhadap negara. Sikap kritis kemudian mudah
sekali distigma dengan apa saja. Karena Orba tidak mau
upaya-upaya pembangunannya diganggu oleh suara protes
yang lahir dari penderitaan rakyatnya. Setiap gerakan soalnya
dipandang dapat mengurangi laba yang diperoleh penguasa
dan pengusaha. Sebab pada 1974/1975-1981/1982, Orba
berupaya membangkitkan kembali nasionalisme ekonomi. 141
Artinya negara harus memainkan peran lebih agresif dan aktif
dalam pendanaan, proteksi dan subsidi baik terhadap kapital
domestik maupun dalam investasi langsung. Untuk itulah
kekuasaan dijalankan secara sangat-sangat terpusat demi
terciptanya sektor industri nasional dengan basis proyek
sumber daya besar: baja, gas alam, pengilangan minyak,
pengolahan aluminium, serta sektor subtitusi impor. Pakar
ekonomi Orba Panglaykim menilai: kebijakan ekonomi ini
mampu mengurangi ketergantungan pada pembagian kerja
internasional serta kebijakan IBRD (International Bank for
Reconstruction and Development) dan IMF (International
Monetary Fund) yang menekankan untuk: peningkatan
komparatif, perdagangan bebas, dan industrialisasi
berorientasi ekspor.

141
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 103.

211
Hanya saja kebijakan tersebut justru membawa banyak sekali
konflik; bukan hanya dalam tubuh pemerintahan seperti
Bappenas (teknokrat) vs CSIS (Central for Strategic and
International Studies/Opsus), tapi lebih luas lagi: pengusaha
Cina vs pedagang Pribumi hingga memperhadap-hadapkan
aparat-represif negara vs rakyat-mahasiswa. Karena sejak
diterapkannya nasionalisme ekonomi aparat—tentara maupun
polisi—diberi mandat keluar-masuk kampus hanya buat
meredam suara kritik sekaligus memburu mahasiswa. Dalam
sistem kapitalisme bercorak nasionalis ini negara senantiasa
mengembangkan demokrasi politik tapi berjiwa borjuis.
Demokrasinya teramat bergaya ekslusif: hanya menjamin
vitalitas kelas kapitalis. Kehidupan mereka dijamin di atas air
mata, luka, dan darah rakyat miskin-tertindas. Pendudukan
militer di Timor Timur (Timur Leste) merupakan salah satu
contohnya. Invansi dilakukan mulai tahun 1974/75.
Tujuannya tidak hanya untuk memaksa penduduk
mengintegrasikan diri ke dalam Indonesia, tapi terutama
supaya bisa mematikan gerakan rakyat dan menguasai
kekayaan alam yang ada di sana. Maklum sejak meletusnya
Malari, Orba berpikir keras bagaimana caranya memperbaiki
ekonomi nasional agar tidak larut dalam krisis kapitalisme
global. Apalagi bandul yang dipikul Indonesia tidak ringan,
karena pemerintah tidak langsung mengadopsi strategi negara-
negara maju: menerapkan kebijakan neoliberal. Maka untuk
menyelamatkan kekuasaannya dari krisis kemudian
mengharuskan Soeharto melirik prospek keuntungan dari
kekayaan alam di negeri tetangganya.

Kala itu Orba mendapati informasi bahwa terdapat limpahan


kandungan minyak dan gas di bawah Laut Timur. Info

212
diperoleh pada 1974 dari kontraktor migas asal Australia:
Woodside. Kontraktor ini menemukan ladang Gas Greater
Sunrise di Timur-Portugis (Timor-Leste). Lokasinya berada di
lepas laut Timor—150 km Tenggara Timur-Portugis dan 450
km Barat Laut Darwin. Di sana terkandung potensi cadangan
2,13 tcf dan potensi omzet hingga 50 miliar dollar AS.142 Hak
untuk mengeksploitasi minyak tersebut mula-mula dimiliki
Australia ketika daerah Timor berada di bawah jajahan
Portugis sebagai Timur-Portugis. Tetapi semenjak 1974,
bangsa Timor berhasil membebaskan dirinya dari penjajahan
Portugis. Lalu pada 1975 memproklamirkan kemerdekaannya
sebagai negara Timur-Leste. Setelah rakyat Timor merdeka
maka kesempatan Australia dalam mengebor minyak
terancam. Kemerdekaan bangsa Timor kontan membuat
Australia khawatir diusir paksa dari ladang gas yang
dieksploitasinya. Untuk itulah Australia buru-buru meminta
bantuan AS untuk memperkuatnya dalam mendesak penguasa
Orba memasukan Timor Leste ke dalam wilayah kekuasaan
Indonesia. Harapannya: sesudah dikuasainya wilayah Laut
Timor oleh Indonesia maka Soeharto—yang taat pada
kapitalis-asing seperti AS dan lembaga donor internasional—
akan gampang sekali dibujuk menjual kekayaan alamnya
sebagaimana Portugis memperdagangkan kekayaan alam
Timor-Portugis dahulu.

AS pun setuju memenuhi keinginan teman diplomatisnya:


Australia. Indonesia lalu didatangi bukan sekedar dengan
membawa arahan tapi juga tawaran yang menguntungkan.

142
https://www.cnbcindonesia.com/news/blok-gas-greater-sunrise-kisah-
diplomasi-minyak-3-negara/

213
Soeharto yang dimintai bantuan berpikir pragmatis: apabila
Timor-Leste ditaklukan maka dia dan kroni-kroninya jelas
akan mendapatkan untung besar dari migas yang berlimpah di
sana. Kontan, militer dikerahkan menggempur wilayah Timor
secara bertubi-tubi: mula-mula dilaksankan Operasi Komodo
1974 untuk menciptakan kekacauan, lalu 7 Desember 1975
dilakukanlah Operasi Seroja yang sampai 17 Juli 1976 telah
berhasil mengerahkan 30.000 pasukan bersenjata Indonesia
untuk menduduki Timor sekaligus menumpas orang-orang
yang terlibat keributan. Setekah kekacauan yang sengaja
dibikin berhasil dihentikan sendiri oleh penciptanya, maka
pada 1975 Timor-Leste dipaksa berintegrasi ke dalam
Indonesia menjadi Timor-Timur. Pendudukan ini disponsori
oleh banyak sekali negara kapitalis maju: sepanjang 1975-
1978 TNI-Polri mendapatkan bantuan persenjataan canggih
dari AS, Australia, Belanda, Korsel, Taiwan, dan Jerman
Barat.143 Mulai dari situlah kemerdekaan Timur-Leste atas
Portugis disambung lagi dengan penjajahan dari Orba
bersama kroninya. Kelak, hasil dari kebengisan militer di sana
sesuai yang diharapkan Australia: Soeharto mau berbagi
kekayaan alam Timur-Leste dengannya. Pembagian ini
dikenal sebagai ‘Perjanjian Celah Timur (Timur Gap Treaty)’:
intinya membahas eksploitasi bersama sumber daya alam
(SDA) Laut Timor yang diklaim oleh Indonesia dan Australia:

Timor Leste telah tercatat sebagai salah satu negara


merdeka di dunia. Meskipun demikian, Timor Leste
belum sepenuhnya lepas dan permasalahan yang
menyertai kemerdekaannya sebagai sebuah negara.
Salah satu permasalahan yang masih mengganjal adalah

143
https://wikipidia.org/wiki/Operasi_Soroja

214
perihal kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi di
bawah Laut Timor, yang merupakan satu-satunya
andalan kekayaan alam terbesar Timor Leste. Laut
Timor berada di perbatasan antara Timor Leste dengan
Australia. Kedua negara itu sama-sama menginginkan
kekayaan alam tersebut sejak lama. Qleh karena itu,
guna menyelesaikan konflik tersebut, pada tahun 1989
dibuatlah Timor Gap Treaty antara Australia dengan
Indonesia karena pada saat itu Timor Leste masih
berada di bawah kedaulatan Indonesia.144

Dari pertengahan 1970-an sampai sepanjang 1990-an


pendudukan Indonesia di Timur Leste dilancarkan dengan
berbekal propaganda anti-komunis. Ditebarkannya isu busuk
ini ke Timor sama seperti berlangsungnya G30S: tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh AS. Komunisme adalah isu yang
dominan dalam suasana Perang Dingin (1947-1991). Pada
1974/75, AS dipukul mundur atas kekalahannya dalam Perang
Vietnam (Indochina). Kala itu Pemerintah Komunis Vietnam
Utara berhasil menguasai Vietnam Selatan, Laos, dan
Kamboja. Bagi Amerika, kawasan Asia betul-betul berada di
bawah bayang-bayang musuh ideologisnya: komunisme. Ini
tentunya berbahaya bagi eksistensi negara-negara kapitalis;
apalagi dalam era 1970-an kapitalisme global menuai krisis.
Untuk menyelamatkan kehidupan kapitalisme maka AS
bergerak cekatan: Soeharto didukungnya menduduki Timor
Timur bukan sekedar untuk mengamankan ladang migas yang
diklaim Australia, tapi terutama akibat ketakutannya terhadap
gerakan komunis. Kala itu Amerika menilai Partai Fretilin di
Timur Leste berhaluan komunisme. Sejak pendiriannya,

144
Anonim, Permasalahan Minyak dan Gas Bumi Timur Leste – Australia,
(tanpa kota): Jurnal Hukum Internasional, Hlm. 440.

215
parpol ini memang menentang keras kolonialisme-
kapitalisme-imperialisme. Inilah mengapa Fretilin menjadi
partai yang paling aktif dalam perjuangan pembebasan
daerahnya dari penjajah-kapitalis Portugis.

Pemimimpin-pemimpin partai tersebut kebanyakan adalah


didikan Jesuit. Paham-paham tentang keadilan sosial yang
diperjuangkannya berasal dari ajaran Gereja Katolik dan
komunitarian setempat. Namun di mata AS, keberadaan
gerakan anti-penindasan itu dapat mengancam aktivitas kapal
selam nuklirnya yang melintasi selat-selat di Timur Leste:
Ombai dan Wetar. Bersama kecurigaan inilah Orba terus
didorong menginvansi Timor: tujuannya menjadi tak sekedar
untuk mengamankan kekayaan alam, melainkan pula
memusnahkan seluruh orang-orang tertuduh komunis. Itulah
mengapa pendudukan Indonesia di Timur-Leste dimulai
dengan penciptaan prakondisi oleh Opsus Ali Moertopo dan
dilanjutkan dengan kebohongan media: setelah militer
berhasil menebar keributan lewat Operasi Komodo dan
Pembantaian melalui Operasi Seroja, maka kekacauan-demi-
kekacauan terus dirawat dengan seabrek berita-berita
menyangkut komunis. Maklum, pers kritis sudah tidak ada
lagi karena telah dibredel sehingga yang diijinkan beroperasi
hanyalah media-media yang disulap Soeharto sebagai alat
pendukung kekuasaannya. Roserio Dwi Aprianto Savio
menjelaskan bagaimana dipecahbelahnya gerakan rakyat
Timor oleh para serdadu dan media massa:

Propaganda yang dilakukan media massa Indonesia,


kerapkali menyebarkan informasi yang menyebut
Fretilin sebagai marxis/komunis. Sehingga

216
mengaburkan peranan Fretilin dalam perjuangan
melawan kolonialisme Portugal dan sistem kapitalisme
yang menopangnya. Penyesatan informasi ini,
dilakukan menjelang invasi militer Indonesia dan pada
tahun-tahun awal sesudahnya masih kerap dilekatkan
dengan Fretilin sepanjang dekade 1980-an…. [Mereka]
melancarkan kampanye destabilisasi di Timor-Leste
selama Operasi Komodo [operasi ini dilaksanakan
sebelum militer melaksanakan Operasi Seroja], dengan
tujuan menciptakan keadaan yang kacau, yang
digunakan untuk intervensi militer. Ini diawali dengan
penggarapan terhadap sejumlah tokoh politik Timor-
Leste dari partai UDT, oleh Opsus dan BAKIN.
Alhasil, beberapa pemimpin UDT [Uni Demokrasi
Timor—partai berhaluan sosialis] ‘termakan’ isu anti-
komunis sehingga memecah belah koalisi Fretilin-UDT
yang mengarah kepada prospek kemerdekaan Timor-
Leste…. Bagaimana pun berita-berita tersebut, adalah
cerminan dari situasi Indonesia yang pro-barat pada era
Perang Dingin ketika itu. Walaupun ini coba ditutupi
pers dengan memberitakan kepalsuan ciri politik bebas
aktif sejak zaman Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Non-Blok. Demikian juga sengaja tidak diberitakan
kunjungan PM Australia, Gough Whitlam (6 September
1975) dan Presiden AS, Gerald Ford (6 Desember
1975), ke Indonesia untuk memberi restu kepada
Suharto, dalam menjalankan skenario pencaplokan
Timor-Leste, termasuk dukungan dari sejumlah
pimpinan CIA (Central Intelligence Agency). Pers juga
tidak banyak memberitakan sejumlah pertemuan
diplomatik antara Pemerintah Portugal dan Indonesia,
sebagai upaya mencegah terjadinya pertumpahan darah
di Timor-Leste, namun sebaliknya menulis berita-berita
yang mendukung skenario pencaplokan. Harian
Angkatan Bersenjata menuliskan bahwa andaikata

217
Fretilin itu partai kiri, pasti tidak berakar di kalangan
rakyat, dan dipertegas tajuk rencana harian Pelita:
…secara ideologis, Fretilin tidak mustahil merupakan
bagian dari komunis internasional yang selamanya
tidak mungkin bersahabat dengan Indonesia sebagai
negara non-komunis yang paling konsekuen di wilayah
Asia Pasifik ini.145

Setelah berhasil memecah-belah persatuan rakyat Timur-


Leste, invasi diikuti perang berkepanjangan hingga
menimbulkan jatuhnya korban jiwa yang besar di kalangan
masyarakat sipil. Dalam tiga tahun pertama masa pendudukan
jumlah kematian mencapai sepertiga dari persentase jumlah
penduduk keseluruhan: 1974 warga yang terbunuh sebanyak
688.771 jiwa, lalu pada Oktober 1978 menjadi 329.271 jiwa.
Ini merupakan angka korban tewas tertinggi dalam sejarah
pembantaian pasca Perang Dunia II. Sebagian besar kematian
terjadi karena pembunuhan yang disengaja dan penghilangan
paksa oleh TNI-Polri. Tujuan tindak kejahatan kemanusiaan
itu begitu dangkal: sebagai bentuk kontrol agar penduduk sipil
tidak memberi dukungan kepada Fretilin. Selain digencarkan
pembunahan dan penghilangan twasnya rakyat Timur Leste
juga disebabkan penyakit dan kelaparan akibat pendudukan.
Invansi soalnya telah menghalangi akses kesehatan dan
menghancurkan sumber-sumber makanan. Keadaan ini
diperparah lagi dengan tiadanya sarana kehidupan yang layak
setelah pemindahan penduduk secara paksa ke pemukiman
baru serta pembatasan kebebasan bergerak. Itulah mengapa

145
Roserio Dwi Aprianto Savio, (2008), “Membendung Arus Gerakan Pro
Timur Leste di Indonesia 1991-1999”, Skripsi, Fakultas Sastra Jurusan Ilmu
Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Hlm. 50-56. Tulisan
dalam kurung ‘[]’ dari penulis.

218
berbagai pelanggaran HAM merebak; mulai dari budaya
kekerasan yang dilestarikan dengan menciptakan suasana
saling memata-matai di antara warga Timor-Leste, represi
sistematis terhadap kaum perempuan, pemaksaan sterilisasi
(KB) terhadap ibu-ibu rumah tangga, sampai perekrutan anak-
anaknya menjadi TBO (Tenaga Bantuan Operasi) militer. 146
Kepada warga Indonesia, Soeharto beralasan melakukan
semua kejahatan kemanusiaannya di Timur Leste bukan
sekedar untuk membasmi Fretilin, tapi terutama supaya
upaya-upaya pembangunannya lancar.147 Untuk inilah
integrasi nasional digalakan secara vulgar. Karena integrasi
tak sekedar pada urusan perekonomian melainkan pula
perpolitikan: atas nama pembangunan nasional maka
penjajahan di Timur Leste dibenarkan. Dari kekayaan migas
di sana Orba berharap akan beroleh sejumlah pendapatan buat
dipakai melunasi utang luar negerinya pada lembaga-lembaga
donor internasional, terutama Amerika. Harapan tersebut
berpondasikan nasionalisme ekonomi yang kemudian semakin
mendorong intesifitas korporatisme negara. Richard Robinson
mendedah dalam bukunya:

Inti dari resep ekonomi Panglaykim ialah pendapat


bahwa unit ekonomi nasional terintegrasi (NIEU =
Nationally Integrated Economic Unit), struktur
ekonomi yang dikoordinir oleh negara, di dalamnya
dana dan produksi dikoordinir untuk mencapai tujuan
nasional yang direncanakan…. Panglaykim
memandang dalam sektor korporasi negara memiliki
potensi kekuatan kreatif bagus, NIEU dipandang
sebagai struktur terintegrasi vertikal dalam industri
146
Lihat Ibid, Hlm. 75-76.
147
Lihat Ibid, Hlm. 71.

219
spesifik, proses bahan mentah diintegrasikan, produksi
barang-barang kapital dan manufaktur barang-barang
konsumsi yang membentuk serangkaian penguatan
sambungan ke belakang dan ke depan. Negara akan
memainkan peranan pokok, menyiapkan dana,
pembelian bahan baku impor, memberikan alokasi
kuota, serta koordinasi umum produksi. Melalui
kepemimpinannya, negara menyediakan basis bagi
borjuasi domestik dengan dana partisipasi bisnis swasta
serta memberikan kesatuan dan proteksi yang
diperlukan untuk menghindarkan dominasi menyeluruh
oleh modal asing. Jika borjuasi swasta domestik mulai
melakukan akumulasi kapital, diharapkan dapat
membayar kembali utang serta membeli saham yang
dipegang pemerintah, suatu proses yang akan
memberikan kesempatan dari akumulasi. 148

Korporatisme negara terus-menerus dipraktekkan Soeharto


untuk melindungi akumulasi laba sekaligus membuat gerakan-
gerakan sosial menjadi loyo. Tapi semakin Orba berusaha
memperkuat hegemoninya dengan memadukan penggunaan
perangkap korporasi dan pengerahan aparat-koersif, maka
perlawanan merebak seketika. Ini persis kata Dom Hilder
Camara, ‘kekerasan memancing kekerasan’: tak seorang pun
dilahirkan untuk menjadi budak. Tak seorang pun berusaha
untuk mengalami ketidakadilan, penghinaan dan ketidak
berdayaan. Manusia yang hidup dalam kondisi sub-human
sama dengan hewan—seekor sapi atau keledai—yang
berkubang dalam lumpur’.149 Tidak tahan dengan tindakan
keji negara maka kritik bermunculan di mana-mana. Bahkan

148
Ricard Robinson, Op. Cit., Hlm. 116.
149
Dom Helder Camara, (2005), Spiral Kekerasan, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 31-32.

220
PB HMI yang semula dibungkamnya bertahun-tahun
kemudian ikut bersuara. Di bawah kepemimpinan Abdullah
Hehamua beralih memasang resistensi terhadap penguasa.
Sikap demikian diterbitkannya bersama ribuan orang yang
merasa menderita lainnya. Mereka yang melakukan kritik
tersebut termasuk kaum intelektual liberal, para pemimpinan
ormas Islam, dan bagian tertentu kelompok militer—
semuanya berasal dari kelas menengah dan kaum terpelajar
kota, tanpa adanya basis kekuatan politik atau sekutu politik
yang luas.150 Meski belum punya basis dukungan yang cukup
besar tetapi gerakan-gerakan ini mampu menggoncang
kekuasaan sampai raut muka Soeharto was-was.

Kekuasaan hegemonisnya pun mulai bergerak menurun.


Tidak lagi dalam fasenya yang merosot, tapi sudah memasuki
fase minimum. Bagi Femia keadaan pada keadaan inilah
‘hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit
ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung
bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan
massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-
kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan
dan aspirasi-aspirasi mereka dengan klas lain dalam
masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan
melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya,
politik, sosial, maupun ekonomi yang secara potensial
bertentangan dengan “negara baru” yang dicita-citakan oleh
kelompok hegemoni itu’. 151 Selama Orba, fase hegemoni
minimum berlangsung mulai 1982-1998. Dalam periode

150
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 127.
151
Nezar Patria & Andi Arief, Op. Cit., Hlm. 128-129.

221
inilah kepemimpinan negara jadi begitu menghalalkan lebih
banyak kekerasan hingga semakin rentan. Rakyat soalnya
sudah enggan mudah percaya pada segala bentuk ucapan dan
tindakan presiden. Tapi penguasa tak gampang putus asa
untuk mempertahankan kekuasaannya. Itulah mengapa pada
16 Agustus 1982, Soeharto memaparkan langkah strategisnya
di hadapan DPR: keharusan organisasi sosial-politik
berasastunggalkan Pancasila. Cara ini diambil sebagai upaya
melumpuhkan kekuatan massa dalam kampanye Pemilu 1982
sekaligus mengurangi kekuatan ideologis organisasi
kemasyarakatan yang dipandang punya potensi revolusioner
seperti HMI.

Untuk mempermulus sentralisasi Pancasila terhadap semua


elemen gerakan maka pada 1983 Soeharto mengangkat Abdul
Gafur sebagai Menteri Muda Urusan Pemuda. Gafur memang
telah lama menjadi kaki-tangan Orba dalam melumpuhkan
kekuatan sipil. Saat menjadi anggota DPR RI 1972-1978,
Gafur bahkan dipercaya untuk membantu Opsus mengajak
ormas-ormas membentuk Cipayung dan KNPI. Dia diberi
mandat mendekati pimpinan ormas guna mendapatkan
persetujuan pembentukan organisasi pendukung penguasa.
Hasil dari jeratannya tiada terkira, PB HMI pimpinan Akbar
Tandjung bahkan terjerambab ke dalamnya. Maklum, Gafur
kala itu memiliki prestise besar di mata kader HMI. Jadinya
dirinya dijadikan tauladan hingga setiap omongannya mesti
digugui. Kelak, kebesaran tokoh ini kembali dimanfaatkan
oleh tirani. Gafur diangkat jadi menteri dengan misi yang
gamblang: ideologi tiap-tiap orpol maupun ormas harus
berhasil diganti. Bersama Menko Kesra RI Alamsyah
Ratuprawiranegara dan Kepala Mabak (Markas Besar

222
Angkatan Kepolisian) RI Anton Soedjarwo, ia ditugaskan
Soeharto untuk menekan himpunan agar mengganti ideologi.
Mula-mula Menpora dan Kapolri mengeluarkan pernyataan
pongah: PB HMI tidak boleh berkongres kalau tidak
menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi. Maka ketika
berlangung Kongres XV HMI 1983 di Medan, para pejabat
tadi datang mempengaruhi peserta melalui ceramah dan
dialog yang begitu rupa. Bahkan Gafur menginginkan agar
segenap kader himpunan memelopori penerimaan asas
tunggal Pancasila dalam rangka pembinaan generasi muda.
Dia tegaskan: ‘generasi muda kita kalau tidak dibina bisa
menjadi monyet’. 152 Meski ditekan oleh intervensi alumninya
yang jadi babu Soeharto itu, anggota-anggota HMI tetap solid
memperjuangkan Islam sebagai asas organisasinya.
Hasanuddin menceritakan dalam bukunya:

Peserta Kongres HMI XV melihat persoalan yang


sama, yakni bahwa kebijakan asas tunggal Pancasila
hanyalah menguatkan gejala otoritarian pemerintah
Orde Baru dalam mengeliminasi eksistensi pluralitas
dalam masyarakat. Pada persepsi yang sama peserta
kongres melihat pengertian asas Islam yang memiliki
tatanan nilai yang komprehensif dan diyakini sebagai
alternatif terbaik bagi ideologi lain dengan Pancasila
yang selama ini terbukti dijadikan rezim yang berkuasa
sebagai legitimasi perilaku politiknya … terdapat juga
faktor lain, yaitu upaya yang dilakukan oleh beberapa
tokoh dalam HMI sendiri untuk menyamakan persepsi
serta karakter aktivis-aktivis HMI Cabang yang pada
dasarnya memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam
penyelenggaraan kongres…. Upaya ini tampaknya

152
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 130-131.

223
berhasil, karena pada dasarnya pengurus-pengurus
cabang, terutama cabang-cabang besar seperti Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, dan Ujung Pandang [Makassar]
dalam setiap kongres HMI selalu mendominasi dan
menentukan arah kebijakan kongres. Unsur lain yang
cukup berpengaruh pada peserta kongres adalah tim
pengarah yang terdiri dari pimpinan Badan Koordinasi
Regional (Badko) dan Majelis Pekerja Kongres (MPK).
Tim Pengarah kongres ini diketuai oleh Abdullah
Hehamahua sebagai koordinator MPK…. Tim pengarah
Kongres inilah yang menghalangi masuknya asas
tunggal Pancasila dalam agenda pembahasan forum
kongres. Dengan demikian dapatlah dipahami sikap
kongres HMI mempertahankan asas Islam dengan suara
yang solid.153

Sewaktu Kongres HMI XV di Medan itu Abdullah


Hehamahua sudah tidak lagi menjabat Ketum PB HMI
melainkan sebatas Koordinator MPK PB HMI 1983. Dengan
posisinya yang masih cukup strategis ini maka dirinya
berjuang mati-matian bukan sekedar dalam men-counter
intervensi senior-alumni HMI yang menjadi babu Soeharto,
tapi justru secara langsung mempengaruhi jalannya Kongres
hingga melahirkan keputusan melawan kebijakan penguasa:
Kongres HMI XV sepenuhnya mempertahankan asas Islam
dalam pasal 4 AD HMI, sekaligus menolak desakan
pemerintah yang mendikte himpunan untuk menjadi
organisasi pelopor penerimaan asas tunggal Pancasila. Bahkan
dalam pesta demokrasi itu para peserta dihimbaunya untuk
memilih sosok ketua yang mampu mempertahankan Islam
sebagai asas HMI. Yakni Harry Azhar Aziz terpilih menjadi

153
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 146-147.

224
Ketum PB HMI 1983-1986. Para pemilik suara penuh
memilihnya tak hanya berpatokan pada kriteria yang lazim:
dipunyainya wawasan keislaman, kebangsaan,
kemasyarakatan, dan memiliki integritas kepribadian. Namun
terlebih, mereka memandang Azhar Aziz memiliki komitmen
memperjuangkan penerapan asas Islam ketimbang kandidat
lain. Sehingga dalam kongres inilah kesanggupan
mempertahankan asas Islam dimasukan sebagai kriteria
khusus yang harus lebih diprioritaskan. Makanya peristiwa
hajatan besar himpunan ini pun diberi nama begitu heroik:
Kongres Perjuangan.

Sayangnya Kongres Perjuangan itu kelak dikhianati oleh PB


HMI pimpinan Harry Azhar Aziz sendiri. Dia tidak sanggup
menahan tekanan yang datang dari negara, terutama melalui
tangan-tangan alumninya yang menjadi politisi dan bagian
dari birokrasi. Alumni HMI yang diorbitkan Orba soalnya
bukan cuma Abdul Gafur yang dibawa dari militer ke
Menpora, hingga jadi tokoh KNPI. Tetapi di sampingnya ada
juga juniornya di HMI, Akbar Tandjung: setelah sukses
menjabat Ketum KNPI (1978-1981), dirinya kemudian
diangkat menjadi Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan (F-
KP) DPR RI (1982-1983), Sekretaris FKP-MPR (1992-1997),
anggota Badan Pekerja MPR (1992-1997), Wakil Ketua FKP
MPR (1997-1998), dan diberikan pelbagai jabatan
kementerian dalam kabinet Orba. Bahkan Ridwan Saidi yang
sebelumnya masuk jadi anggota DPR RI (1977-1982), diberi
ruang lagi untuk untuk bertahan di parlemen 1982-1987
selaku Wakil Ketua Komisi X F-PPP DPR RI. Dia merupakan
pentolan partai Islam. Hanya bagi Abdullah Hehamahua, PPP

225
tetaplah produk buatan rezim. 154 Karena dalam partai itu
perjuangan Islam ideologis tidak mendapat angin segar. Jadi
hampir serupa dengan Golkar. Kelak sewalaupun telah
berhasil meraih citra pentolan PPP, Ridwan tidak betah
berkiprah di partainya lalu beralih ke Golkar. Pada fase
hegemoni minimumnya kentara sekali bagaimana Soeharto
mempertahankan kekuasaannya melalui penyatuan tokoh-
tokoh yang dianggap punya pengaruh terhadap massa yang
membuat pemerintah geger. Dalam intervensi penerimaan
asas tunggal Pancasila, peran Akbar dan Ridwan memang
masih diraba-raba dan tidak seberingas Gafur. Tetapi dengan
diberikannya posisi strategis kepada para alumni HMI pastilah
kekuasan hegemonik yang mulai kehilangan pengaruh dapat
ditatar. Walhasil, Soeharto kemudian berhasil menjinakan PB
HMI yang sebelumnya bersikap agak liar.

PB HMI pimpinan Harry Azhar Aziz dibuat tidak konsisten


dengan keputusan hasil Kongres HMI XV di Medan, karena
komitmen mempertahankan asas Islam dibabat. Mula-mula
pada 2-6 April 1985, dia menyelenggarakan Sidang MPK dan
Sidang Pleno II PB HMI di Cilito-Jawa Barat. Lewat
pertemuan inilah konflik di internal organisasi mulai mencuat.
Terdapat dua kelompok yang bersitegang: pertama, Ketum
PB HMI Harry CS. Mereka memandang perlunya HMI
mengeluarkan pernyataan menerima asas tunggal Pancasila
sebelum diadakan Kongres XVI. Komplotan yang dimotori
oleh PB HMI ini tidak hanya mendapat dukungan para
presidiumnya, tapi juga ikut didukung sebagian Ketum Badko

154
Buka http://m.voa-islam.com/news/upclose/2009/07/07/149/abdullah-
hehamahua-saparua-yang-tak-kenal-takut/

226
dan beberapa anggota MPK; kedua, Koordinator MPK Sahar
L. Hasan CS. Grup ini menyampaikan pandangan yang
berlawanan: HMI tak perlu mengeluarkan pernyataan apa-apa
yang berkaitan dengan asas tunggal Pancasila, kareana forum
Kongres-lah yang representatif membahasnya—Hasan juga
didukung oleh sebagian Ketum Badko dan beberapa orang
staf PB HMI. Diskusi dan debat kedua kubu itu jadinya tak
berhasil melahirkan kesepakatan terkait apa yang mesti
dilakukan. Harry CS kemudian melakukan lobi-lobi sehingga
Hasan CS pun mampu diyakinkan bahwa konsep penerimaan
terhadap asas sentral cuman sebagai masukan bagi Kongres
XVI nanti.

Namun konsepsi tersebut mesti terlebih dahulu ke pengurus-


pengurus Cabang se-Indonesia. Hanya saja yang terjadi
setelahnya amat menyimpang dari rencana: konsolidasi
dengan segenap Cabang belum sempat dilakukan, tapi PB
HMI berani mengadakan konferensi pers di Yogyakarta untuk
menyebarkan hasil lobinya tentang penerimaan Pancasila.
Bahkan persetujuan itu dipertegas kembali melalui audiensi
kepada sejumlah menteri negara. Alasan dikeluarkannya
maklumat ini sangat naïf: demi menjaga kesatuan organisasi
dan mendapatkan izin pemerintah dalam melaksanakan
Kongres selanjutnya. Dalam menentang keputusan sepihak
dari Harry CS maka beberapa Cabang HMI bersuara dan
bergerak bersama untuk menolaknya. Meraka tak sekedar
memobilisir timbunya protes di Cabang-nya masing-masing,
tapi juga melaksanakan Pertemuan Terbatas Pimpinan Cabang
(PTCP) yang hasilnya: (1) tetap committed (berkomitmen)
dengan hasil Kongres HMI XV di Medan khususnya tentang
kesetiaan terhadap Islam sebagai asas organisasi dan bertekad

227
akan memperjuangkan di Kongres XVI; (2) gentlement
agreement (perjanjian luhur), saling membela
(kesetiakawanan) dalam menghadapi resiko apapun yang
mungkin timbul, baik dari intern PB HMI maupun dari pihak
ekstern, serta tidak akan membocorkan informasi kepada
pihak yang dapat merugikan Cabang-Cabang yang tergabung
dalam PTCP; dan (3) untuk memperjuangkan pertama-tama
ditempulah langkah-langkah strategis berikut: memecat dan
mencabut status terhadap anggotanya yang duduk di PB HMI
oleh Cabang masing-masing; melakukan koordinasi ide dan
gerak dengan membentuk empat pos koordinasi nasional—
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Ujung Pandang; dan untuk
menambah kekuatan dilakukan juga rekruitmen Cabang-
Cabang lain se-Indonesia.155 Resistensi terus-menerus
diarahkan ke Harry dan komplotannya. Hasanuddin menulis
ada empat dalih kenapa mereka harus melawan dan
bagaimana perlawannya coba dipatahkan PB HMI melalui
kerja sama dengan kawanan alumni yang berpihak kepadanya,
hingga meminta pertolongan aparat-aparat negara:

Menurut mereka, pertama, apabila Pertemuan Ciloto


hanya sekedar membahas dan membuat usulah
perubahan asas kepada kongres, mengapa PB HMI
mesti mengeluarkan pernyataan politis seolah-olah
HMI telah menerima asas tunggal Pancasila. Dan yang
hadir dalam pertemuan Cilito itu hanyalah sebagian
kecil dari anggota MPK. Pengurus Cabang melihat
bahwa PB HMI dengan sengaja memanipulasi keadaan
demi tercapai kepentingannya [Harry CS bersama
senior-alumni HMI yang berdiri di belakangnya, baik
yang terang-terngan maupun sembunyi-sembunyi].
155
Lihat Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm 160-161.

228
Kedua, dengan adanya pernyataan Cilito bukannya
mengeliminir perpecahan, namun justru menyulut
perpecahan dalam tubuh HMI, karena yang bersifat
laten menjadi manifest. Ketiga, posisi izin kongres
tidak setingkat dengan asas organisasi, karena kongres
dapat dilaksanakan secara istimewa atau tanpa izin
sekalipun. Keempat, tekanan dari pemerintah yang
berkaitan dengan asas tunggal Pancasila tidak perlu
dipertimbangkan terlalu jauh karena dasar hukumnya
belum disahkan. Melihat kenyataan demikian, PB HMI
meningkatkan upayanya mempengaruhi pengurus-
pengurus HMI cabang … pertama, memanfaatkan
pengaruh alumni di daerah dan kekuasaan aparat
pemerintah daerah. Dalam tradisi HMI alumni menjadi
faktor berpengaruh. Di samping sebagai narasumber,
alumni juga sebagai penyandang dana bagi kegiatan-
kegiatan HMI. Sedangkan pihak aparat pemerintah
daerah mempunyai wewenang mengeluarkan izin
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan HMI. Dengan
demikian, alumni dan pemerintah daerah cukup
berpengaruh terhadap HMI…. Cara kedua yang
ditempuh PB HMI adalah …[mencabut dan enggan
mengesahkan] SK pengesahan pengurus HMI cabang
yang terbentuk melalui Konperensi Cabang … pertama,
mencabut SK Kepengurusan HMI Cabang Jakarta di
bawah pimpinan M.S. Ka’ban dan mengangkat
Pounsterling dan kawan-kawan sebagai pengurus
cabang transitif; kedua, mencabut SK Kepengurusan
HMI Cabang Bandung dan membentuk panitia
konperensi yang kemudian diangkat menjadi pengurus
cabang sementara; ketiga, mencabut kembali SK
Kepengurusan HMI Cabang Ujung Pandang dan
mengangkat beberapa orang yang mengklaim dirinya
sebagai pengurus cabang Ujung Pandang; keempat,
tidak mengesahkan hasil Konperensi Cabang HMI

229
Cabang Yogyakarta sehingga menjelang kongres PB
HMI mengesahkan beberapa orang sebagai wakil
cabang Yogyakarta atas nama pengurus.156

Kekuasaan Orba yang hegemonik telah mengakibatkan


hubungan PB HMI dengan Cabang-Cabang-nya penuh
ketegangan yang bersifat antagonistik. Himpunan berubah tak
karuan karena menghadapi derasnya kepentingan yang
membuatnya kikuk. Dalam kondisi ini senior-alumni HMI
yang menjadi politikus maupun birokrat dihadapkan dengan
dua pilihan yang sama-sama berpihak pada tiranik:
mendukung penguasa secara pasif (bungkam) atau
membantunya dengan aktif (mengintervensi). Tauladan
perjuangan menegakan asas Islam yang pernah dipraktekan
Abdullah Hehamahua dipandang berbahaya bagi kepentingan
pribadi dan kelompok. Persis seperti itulah pandangan tokoh-
tokoh HMI yang berkarier di parpol dan birokrasi negara.
Tidak hadirnya Abdullah sendiri kala itu bukan karena dia
sudah tidak lagi berstatus sebagai anggota biasa atau seperti
senior-alumni lainnya: sibuk berpofesi sebagai babu
penguasa. Melainkan Soeharto sudah lebih dahulu membuat
pergerakannya terhimpit: para serdadu ditugaskan untuk
memburunya lantaran terlibat dalam gerakan Islam. Selepas
menjadi Ketum PB HMI (1979-1981), dirinya semakin giat
melancarkan perlawanan bersama para mubalig dan aktivis
muslim yang berpegang teguhkan pada ideologi Islam. Sebab,
konflik yang berlangsung di antara mereka dengan pemerintah
sama seperti hubungan PB HMI dengan beberapa Cabang-
nya: persoalan penerimaan asas tunggal Pancasila.

156
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm 158-166. Dalam kurung merupakan
tambahan dari penulis.

230
Namun pada 1984, Abdullah dan teman-temannya kemudian
bersembunyi ke Malaysia karena terus-menerus berusaha
dilenyapkan oleh Soeharto melalui kerumunan tentaranya. 157
Wilayah teritorial yang berbeda dan statusnya sebagai
pelarian amat menyulitkan Abdullah. Keadaan ini
membuatnya kesulitan membangun konsolidasi penolakan
asas tunggal Pancasila dengan Cabang-Cabang HMI se-
Indonesia. Sedangkan Soeharto nampak gesit mengerahkan
kalangan militer untuk memangsa musuh-musuhnya. Soalnya
fase hegemoni minimum ternyata mengakibatkan negara
berubah jadi tempat segala siksa. Anjing-anjing penjaga istana
yang bersenjata lengkap dijadikan alat penebar siksa. Karena
mereka bukan saja diberi kesempatan luas untuk mengisap
laba ekonomi dan menduduki jabatan penting dalam negara.
Tetapi juga disertifikati membunuh siapa saja yang berbahaya
bagi penguasa. Memang sejak kemerosotan hegemoninya
Orba tidak saja menerapkan korporatisme inklusif guna
mendikte pelbagai organisasi sosial, politik maupun
kegamaan. Melainkan pula melancarkan korporatisme ekslusif
supaya gerakan-gerakan ketidakpuasan terhadapnya dapat
diredam, terutama lewat berondongan tembakan. Korporasi
negara yang telah berkembang sedemikian mematikan itu
berdiri di atas ambisi membesarkan perekonomian sekaligus
menimbun keuntungan beberapa golongan. Robinson
menegaskan:

Korporasi negara berada di atas sektor-sektor ekonomi


dan membentuk sumber-sumber penting pendapatan
bagi faksi-faksi politik dan para komandan militer.

157
Buka http://m.voa-islam.com/news/upclose/2009/07/07/149/abdullah-
hehamahua-saparua-yang-tak-kenal-takut/

231
Selain itu, korporasi negara juga memberikan basis
penumpukan kekayaan pribadi para pemegang
kekuasaan politik. Melalui kekuatan korporasi untuk
membagi-bagi kontrak konstruksi, pasokan, dan
distribusi barang, serta membagi konsensi pengeboran
minyak dan penebangan kayu hutan, mereka juga
membangun sumber dukungan bagi para pemimpin
politik. Dengan begitu korporasi negara merupakan
komponen integral dari dominasi politik kaum militer
serta faksi-faksi yang ada di dalamnya.… Dalam
tingkat tertentu, korporasi negara perlu bekerja secara
efisien dengan kriteria bisnis dan keuangan yang
normal. Sebaliknya, korporasi negara juga dikehendaki
melakukan kegiatannya dalam suatu strategi luas
industrialisasi nasional. Keberhasilan mereka baru
mempunyai arti jika seluruh strategi tersebut berhasil
dan pengeluaran dengan defisit serta utang oleh setiap
korporasi negera dibenarkan dalam hubungannya
dengan setiap strategi yang luas tersebut. Korporasi
negara dituntut bertindak sebagai pendana militer serta
pusat kekuatan birokrat politik lainnya. Di samping itu,
mereka juga bertindak sebagai jalan bagi penumpukan
kekayaan pribadi dan akumulasi kapital grup-grup
bisnis swasta.158

Selama fase hegemoni minimum Soeharto menghalalkan


segala cara untuk mengamankan takhtanya. Orba bukan cuma
memberi kesempatan lebar pada para tokoh ormas menjabat
sebagai pembantunya. Tetapi bahkan mengerahkan aparat-
aparat bersenjatanya untuk melindungi usaha kroni-kroninya.
Cara yang dipakainya amat beragam dan sangat keji:
Penembakan Misterius (Petrus), perampasaan kemerdekaan,

158
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 166, 189.

232
penyiksaan, dan penghilangan paksa. Pada 1982, Yogyakarta
jadi tempat pertama yang mengalami keempat kejahatan
negara barusan. Algojonya berasal dari barisan ketentaraan
maupun kalangan kepolisian. Tugasnya sederhana: menembak
dan menghilangkan paksa orang-orang yang dituduh
menggangu pengusaha. Kala itu para bos-bos besar memang
suka didatangi dengan tujuan meminta uang yang tidak
seberapa. Para bos yang rakus kemudian melabeli mereka
sebagai gali. Mereka sesungguhnya berbuat demikian karena
masalah ekonomi. Sampai tahun 80-an terdapat tiga
ketimpangan pembangunan: (1) kesenjangan industri dan
pembangunan; (2) kesenjangan antara desa dan kota; dan (3)
kesenjangan kaya dan miskin. Data BPS 1981 mencatat:
penduduk miskin Indonesia mencapai 42,3 juta jiwa. Warga-
warga ini bergelut dengan permasalahan hidup yang begitu
rupa: ada yang sudah bekerja tapi gaji sedikit, hingga paling
banyak adalah yang menganggur sana-sini. Kedua kelompok
tersebut bernasib serupa: dibelenggu dalam kemiskinan yang
menyeringai. Sayangnya kelas kapitalis tak mau sedikitpun
berempati. Di Yogyakarta, justru kaum miskin dan tertindas
dilaporkannya ke ABRI. Komandan Distrik Militer 0734
Yogyakarta Letkol CZI M. Hasby dan Pangdam VII
Diponogoro Mayjen TNI Soegiarto, kontan bersepakat
mengeluarkan keputusan perang terhadap para gali. Komnas
HAM RI menjelaskan kejahatan yang berlangsung itu begini:

Dengan resep tembak langsung, para gali di Yogyakarta


berjatuhan satui persatu mati. Sisanya kocar-kacir.
Sejumlah tokoh preman ditemukan tewas, rata-rata
dengan luka tembak mematikan di kepala dan beberapa
di bagian leher mereka. Beberapa di antara mereka

233
adalah tokoh gali yang terkenal di kalangan masyarakat
Yogya. Sasaran pembasmian terhadap para gali bukan
hanya menyasar kelompok lapisan bawah saja. Rumah
Sakit Sarjito merupakan rumah sakit di Yogyakarta
yang paling banyak menangani jenasah korban
penembakan misterius. Di antara puluhan jenasah
sebagian besar tak bisa diidentifikasi hingga
dikuburkan dalam status sebagai “Mr. X” atau orang
tak dikenal…. Selain pembunuhan dan eksekusi di luar
proses pengadilan sejumlah preman di Yogyakarta juga
mengalami proses penangkapan secara-semena-
mena…. Banyak di antara korban mati maupun
survivor yang mengalami penyiksaan. Di antara korban
mati bisa dikenali adanya penyiksaan ini dari tanda-
tanda yang terdapat pada jenasah mereka. Perang
terhadap para gali di Yogyakarta juga menggunakan
cara perampasan kemerdekaan. Secara umum, korban
biasanya dibawa oleh lebih dari 1 orang anggota ABRI
yang kadang mengunakan seragam loreng tanpa adanya
surat penangkapan. Sebagian lagi dijemput oleh orang
bertopeng atau orang yang tak dikenali, baik oleh
keluarga maupun masyarakat sekitar. Sebagian dari
korban ditemukan masyarakat dalam bentuk sebagai
jenasah. Sebagian dari orang-orang yang dijemput pada
akhirnya menjadi korban. penghilangan orang secara
paksa di mana orang yang menjadi target dijemput
orang yang tidak dikenal dari rumah korban, dijemput
atau dijebak oleh teman korban, diminta memenuhi
panggilan polisi untuk datang ke kantor polisi. Di
antara para korban yang hilang adalah para residivis
yang dijemput atau di’bon” dari penjara atau lembaga
pemasyarakatan.159

159
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, (tanpa tahun), Ringkasan Eksekutif
Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, Jakarta:
Komnas HAM RI, Hlm. 57.

234
Keadaan seperti itu persis dengan yang dialami daerah-daerah
di Jawa Tengah lainnya. Masyarakat miskin bukan saja
berkalang penderitaan tapi tersadis menjadi sasaran jagalnya.
Petugas penjagal mereka adalah Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Di bawah lembaga
ini terdapat serangkaian organisasi militer atau non-militer
yang melaksanakan tugas dan program keji: menculik,
menyiksa, hingga melakukan pembunuhan. Kopkamtib
merupakan alat kekerasan negara yang paling perkasa, karena
mereka merupakan sebuah lembaga ekstra-konstitusional:
artinya bisa bekerja dengan mengabaikan hukum dan pelbagai
peraturan perundang-undangan. Sejak Agustus 1967, institusi
itu membentuk satuan kerja yang disebut Pelaksana Khusus
(Laksus). Lalu sepanjang permulaan 1980-an mereka secara
terang-terangan menjalankan penjagalan yang sistematis
terhadap ribuan orang. Latar belakang para korban kurang-
lebih sama, yaitu orang-orang yang dianggap sebagai sampah
masyarakat: bukan saja dituduh gali, tapi juga bromocorah,
perampok, preman, hingga residivis. Di tangan Laksus
manusia-manusia itu semua bernasib serupa: dijemput paksa
dari rumah, diinterogasi secara tidak manusiawi, ditahan
semau-mau penguasa, lalu dibunuh secara sadis. Karena bagi
negara, rakyat-rakyatnya yang lemah dan menganggur serupa
bandit atau perompak yang dapat mengganggu tatanan
masyarakat kapitalis.

Kehidupan masyarakat di masa kepemimpinan Soeharto


persis suasana di bawah kekuasaan Alexander Agung kala
memimpin Romawi: atas perintah penguasa maka gampang
sekali tentara imperium melegalkan pembunuhannya. Santo
Agustinus menceritakan diskusi Alexander dengan para

235
perompak. Ketika rakyatnya merompak pangeran langsung
mematahkan perompakan hingga menyerat bandit-bandit itu
ke istana lalu menanyakan: apa pertimbang perompak
melancarkan perbuatan—yang dipandang Alenxander
sebagai—tidak baik. Dengan penuh keyakinan perompak pun
menjawab:’sama saja seperti Sri Paduka yang merusak
seluruh dunia; hanya karena saya lakukan ini dengan armada
mungil, saya disebut perompak; tetapi karena Paduka dengan
armada besar, Paduka disebut penguasa’. Bagi Agustinus
hanya keadilanlah yang membedakan bandit-perompak
dengan negara. Soal perompakan maupun praktik perbanditan
terjadi karena tidak adanya keadilan. Kondisi inilah yang
mendorong orang-orang merongrong pemerintahan.
Mayoritas rakyat di masa Orba memang serba miskin.
Sedangkan segelintir pejabat dan pengusa hidup bergelimang
kekayaan. Agustinus mengatakan: ‘Karena di mana tidak ada
keadilan yang benar, tidak mungkin di sana ada hukum.
Karena kalau dikerjakan secara benar, dengan sendirinya
harus adil, yang dikerjakan secara tidak adil, tidak mungkin
benar’. Terkait kalimat tersebut, Daniel Dhakidae memapar:

Dengan memberikan tempat begitu sentral pada


keadilan—keadilan menentukan apa sesuatu itu disebut
negara atau tidak, sesuatu itu hukum atau bukan, apa
sesungguhnya yang dimaksud Agustinus dengan
keadilan? Untuk ini Agustinus mendasarkan dirinya
pada Aristoteles ketika Agustinus mengatakan “justitia
porro ea virtus est quae sua cuique distribuit”, keadilan
adalah suatu keutamaan yang memberikan/membagi
sesuatu itu kepada orang apa yang menjadi haknya,
rumusan yang hidup sampai dengan hari ini. Dengan
semua itu sebagai dasar—dalam hal ini keadilan—

236
maka ketiadaan keadilan dengan sendirinya bisa
menjadi alasan suatu negara dilawan dalam suatu
perang yang adil, iustum bellum. Karena keadilan harus
dipertahankan dengan berapa pun harga yang harus
dibayar.160

Tiadanya keadilan mengakibatkan negara tak labil. Warganya


betul-betul diperlakukan secara tidak adil. Masyarakat miskin
dan tertindas bukan malah dibantu keluar dari penderitaan,
melainkan dihadapi dengan banal: mereka dijagal. Komnas
HAM RI merekam, pada minggu pertama Juli 1983 ada 17
mayat residivis ditemukan di Kabupaten Tegal. Sampai
pertengahan Juli 1983, ditemukan lagi 20 mayat warga di
seputar Solo, bahkan 7 di antaranya tewas dalam waktu 5 hari.
Total hasil pelaksanaan operasi militer pada 1982-1983 di
Daerah Kowil 95 Solo, sekitar 35 tertuduh penjahat mati
tertembak. Lalu sejak 10-15/16 Juli 1983, tercatat 7 orang
tewas: 5 meninggal akibat terkena tembakan dan 2 lainnya
binasa karena lehernya dijerat dan dicekik. Orba memang
sudah biasa mengacam dan melenyapkan rakyatnya dengan
diawali stigma-stigma ngawur. Warganya bukan lagi
dibinasakan dengan tuduhan anggota atau simpatisan PKI tapi
label penjahat. Berbekal anggapan sinting itulah petrus yang
terjadi antara 1982-1985 mampu membuat ribuan manusia tak
berdosa mendadak dilaknat. Penduduk di berbagai wilayah
Indonesia, terutama Jawa—diubah jadi mayat dengan luka
tembak atau jempol terikat. Jenazah-jenazahnya berserakan
seperti rerompahan daun yang bertebaran di mana-mana:

160
Dhaniel Dhakidae, (2015), Menerjang Badai Kekuasaan; Meneropong
Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie sampai Putra Sang
Fajar, Bung Karno, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 32.

237
ditemukan di berbagai lokasi, mulai dari selokan, sawah,
sungai, jurang, tepi pantai, hingga jalan raya. Total korban
pembunuhan oleh negara tercatat mencapai angka 9.000
jiwa.161

Keterlibatan negara yang terlalu dalam untuk mengatur


kelancaran sirkulasi barang dan jasa demi kemantapan
akumulasi kapital di tangan para pemodal mengakibatkan
rakyat-rakyat kecil jadi sasaran kekerasan dan
pembunuhannya. Nasionalisme ekonomi yang dilaksanakan
Soeharto pun hanya menguntungkan kroni-koroninya, bukan
kaum jelata. Karena kebijakan tersebut tak malah
menghentikan negara dalam melakukan pinjaman luar negeri,
melainkan hanya mengatur kehidupan sosio-ekonomi
sedemikian rupa hingga pelbagai keresahan masyarakat dapat
disingkirkan secara paksa. Itulah mengapa perekonomian
nasional seketika bercorak merkantilis: negara cenderung
campur tangan ke dalam kehidupan ekonomi melalui
peraturan-peraturan yang dibuatnya. Richard Robinson, Kunio
Yoshihara dan Hernan de Soto—ketiganya memang
bersepakat: bahwa pada Dunia Ketiga, negara melakukan
intervensi yang cukup besar lantaran antara penguasa dengan
penguasaha terjadi kerja sama yang erat. Makanya kesuksesan
pengusaha di negara-negara kapitalis Dunia Ketiga tidak
ditentukan oleh kesanggupan kewiraswastaan yang bersaing
di pasar bebas, tapi kedekatannya dengan para pejabat tinggi
negara serta fasilitas-fasilitas yang diperolehnya.162 Tetapi
pada pranata kenagaraan Orba, pengusaha enggan sekedar

161
Data KomIsi Nasional Hak Asasi Manusia, Op. Cit.,, Hlm. 67-68.
162
Lihat Arief Budiman, (1996), Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan
Ideologi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 42.

238
dekat dengan pembuat dan pelaksana kebijakan publik
melainkan diberi kesempatan untuk menjabat apa saja.
Kebalikannya, kalangan birokrat juga dilancarkan membuka
usaha-usahanya. Sehingga taman kekuasaan menjadi wahana
terasyik bagi kapitalis-birokrat dan kapitalis-swasta dalam
memantapkan usahanya, termasuk berguna untuk menarik
kapitalis-kapitalis asing dari negeri lainnya.

Dalam penelitiannya tentang kebangkitan kapitalisme Orba-


nya Soeharto, Richard Robinson163 menemukan bisnis pejabat
dan pengusaha berserakan di mana-mana. Namun di sini akan
dipaparkan sebagiannya. Di antaranya ada Kelompok Bisnis
Divisi Diponegoro: mereka terlibat dalam usaha perkebunan,
perkapalan dan bongkar muat barang apa saja. Dalam
perbisinisan inilah Mayor Hoermadani membangun kemitraan
dengan Bob Hasan dan Sukatja (kedua pengusaha Cina
pendiri PT Pangeran Lines yang setelahnya berubah nama
menjadi PT Wasesa Line). Lewat hubungan kemitraannya
mereka kemudian berhasil mendirikan PT Dwi Bhakti yang
bergabung dengan kelompok bisnis lain untuk membangun
perusahaan pelayaran samudera PT Karana Line: dalam akta
pendiriannya disebutkan tentang adanya pembagian deviden
kepada sejumlah yayasan, termasuk yayasan Kartika Jaya
milik Tien Soeharto. Perusahaan ini juga paling banyak
melakukan kerja sama usaha patungan dengan investor Jepang
dalam pengangkutan kayu balok, PT Garsa Line. Selanjutnya
terdapat pula PT Tri Usaha Bhakti (TUB): merupakan
perusahaan induk yang didirikan oleh Hamkam, khusunya
para Jenderal Finansial—Soedjono Hoemardani, Sofjar,

163
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm.204-210.

239
Soejo, Alamsjah, Ahmad Tirtosudiro, dan Suhardiman.
Perusahaannya paling banyak melakukan usahanya pada
konstruksi dan pembangunan industri. Melaluinya PT TUB
tidak saja menjali hubungan bersama jalinan militer lainnya,
tapi juga meneguhkan aliansi bisnisnya dengan sejumlah
pebisnis penting domestik; baik dengan konglomerat Cina
maupun Pribumi. Lewat kegiatan korporasi tersebutlah
perwira-perwira itu terintegrasi dengan sebagain besar elemen
politik ekonomi kapitalis swasta (Pribumi—Sutowo, Sudarpo;
dan Cina—Liem Soe Liong, Mochtar Riady), negara (Bank
Indonesia dan Pemda DKI Jakarta) dan kapitalis-asing (PT
Perkins dari Inggris).

Di samping kedua kelompok bisnis barusan masih ada pula


Kelompok Bisnis Kostrad: terdiri dari Yayasan Dharma Putra
(YDP) dan Yayasan Trikora. Keduanya berada dalam struktur
komando Kostrad, sehingga bertanggung jawab kepada
asisten 7: Jendral Sofjar (namun sejak 1973 digantikan oleh
Jenderal Soerjo). YDP bukan hanya berhubungan dengan
Bank Windi Kencana yang pernah dimiliki Liem Sioe Liong,
tapi juga mempunyai konsesi hutan (PT Dharma Rimba
Kencana) yang menjadi basis usaha penebangan kayu PT Asia
Veteran. Bahkan YDP memiliki usaha lain, yakni dalam
penerbangan melalui rangkulannya terhadap usaha Perwira
AU dari PT Seleuwah dan PT Mandala, serta perusahaan
dagang dan produser film kecil. Lalu terdapat juga Kelompok
PT Propelad dari Divisi Siliwangi yang didirikan oleh
Jenderal Dharsono berdasarkan konsesi kehutanan, keagenan
tunggal dan bank. Propelad merupakan singkatan: Proyek
Perhotelan Angkatan Darat. Tujuannya sederhana:
membangun hotel, wiswa tamu, dan mengakomodasi segala

240
keperluan AD. Tapi mereka kemudian nekad memasuki
proyek patungan dengan Jepang yang meilbatkan investasi
sebesar 5,5 juta dolar AS. Selanjutnya adalah organisasi
koperasi militer: Inkopad (TNI-AD), Inkopal (TNI-AL),
Inkopau (TNI-AU), dan Inkopak (Angkatan Kepolisian).
Keempatnya merupakan jembatan bagi para tentara dalam
melaksanakan bisnis-bisnis besar dengan pengusaha swasta
dan asing.

Inkopad misalnya, koperasi TNI-AD ini mendapatkan


keuntungan berlimpah dari Pukeneg (Pembubaran Keuangan
Negara) dengan mengambil dan menyita pelbagai grup bisnis
yang digolongkan sebagai bagian Orla. Kemudian mereka
mentransfer hasil rampasannya kepada grup-grup bisnis yang
dekat dengan istana. Itulah mengapa PT Flat Bluntas yang
menangani pembangunan hotel di Jakarta mudah sekali
diambilalihnya. Sesudahnya pembangunan tersebut
dipindahkannya ke PT Wisma Kartika, tetapi dalam
menyelesaikan pembangunannya justru melakukan usaha
patungan dengan perusahaan asing sebesar 3,6 juta dolar AS.
Bangunan pun berhasil berdiri kokoh dan dinamai Hotel
Kartika Plaza. Sementara pemiliknya adalah Inkopad. Melalui
perkoperasiannya AD tidak hanya punya hotel tapi juga Bank
Bukit Barisan: bank ini didirikanya bersama mitranya
pengusaha Cina. Inkopad begitu memberi AD kesempatan
membangun bisnisnya sampai ke mana-mana, bahkan hingga
ke Sulawesi. Di sini mereka punya PT Kartikamina: bergerak
di bidang perikanan sekaligus membuka gudang
pendinginannya. Bisnis AL pun serupa dengan AD: Inkopal
membuka bank kecil—Bhumy Bhari dan Dewaruci. Bahkan
mereka memiliki konsesi untuk menebang kayu melalui PT

241
Sangkurilang. Di sampingnya Inkopal berbisnis di bidang
pergudangan, jasa pengemas dan pemandu kapal hingga
bergerak ke usaha perkapalan besar. Mula-mula dengan PT
Pelita Bahari miliknya, AL mengambil alih galangan kapal
milik negara. Lalu untuk semakin memperbesar kerja sama
pelayarannya maka AL memberikan 5 buah kapal secara
gratis kepada perusahaan yang dikelola pengusaha Cina: PT
Pelayaran Nusantara Bahari. Bersama perusahaan inilah
Inkopal melakukan usaha patungan dengan untuk membangun
pelayaran samudra PT Ampera Lines (yang kemudian
berganti nama menjadi PT Admiral Lines). Perusahaan ini
kemudian bukan saja dikelola oleh pemodal Cina, namun
diberikan lagi 5 kapal secara cuma-cuma oleh AL. Salah satu
pengusaha yang menonjol dalam pengelolaan itu ialah Moh.
Husni: pemegang saham mayoritas PT Emcede—perusahaan
perikanan dan pelayaran. Jalinan kedekatan dengan swasta
membuat perusahaan-perusahaan pelayaran milik AL
gampang sekali dioperasikan pengusaha-pengusaha Cina.
Bersama merekalah Inkopad bisa membangun usaha patungan
di bidang perikanan dan gudang pendinginan. Di samping
bisnis AD dan AL ternyata terdapat pula usaha Angkatan
Kepolisian dan TNI-AU. Keduanya persis koperasi angkatan
lainnya: membuka bank-bank kecil dan memiliki konsesi
penebangan hutan.

Dalam perspektif marxis negara memang diperintah oleh


pemerintah namun kelas kapitalislah yang mengaturnya.
Karena negara yang menyemai tatanan kapitalisme hanya
berfungsi untuk: (1) Legitimasi: upaya menciptakan
konsensus bagi warga negara menyangkut kebenaran dasar
ekonomi dan integritas moral masyarakat kapitalis, sehingga

242
negara begitu aktif mendorong dukungan ke arah status quo
politik dan ekonomi; (2) Penindasan: tindakan yang dilakukan
apabila legitimasi gagal dan hegemoninya semakin berkurang.
Maka represifitas merupakan cara ampuh dalam mencegah
massa melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
negara sekaligus membahayakan kelangsungan kapitalisme;
dan (3) Akumulasi: usaha untuk membuat dan menetapkan
kebijakan yang bisa memuluskan kelas kapitalis dalam
mengumpulkan modal. Caranya seperti menciptakan undang-
undang peringanan beban pajak bagi kaum kaya (pemodal)
maupun menggeser beban pajak tersebut pada warga-biasa
dan membuat pelbagai kebijakan-kebijakan naif buat
merampok rakyatnya. Selama fase hegemoni integral dan
hegemoni merosot, Orba nampak jelas menjalankan ketiga
fungsi tersebut. Lalu ketika memasuki fase hegemoni
minimum, dia tetap berupaya untuk fungsinya sewalaupun
menempuh jalan sesat. Lihatlah bagaimana Soeharto dan
kroni-kroninya menjadi amat getol mengupayakan penerapan
asas tunggal Pancasila. Penyeragaman asas organisasi-
organisasi sosial dan politik ditempuh agar penguasa dan
pengusaha dapat terus berkuasa. Soalnya mereka semua
ketakutan oleh ancaman ideologi lain yang mencoba
menghancurkan istana. Ambisi mengonsentrasikan kekuasaan
ini kemudian membawa petaka pada 1984: Peristiwa Tanjung
Priok di Jakarta Utara. Mula-mula pada Juni 1984 negara
menuduh para mubaligh menyampaikan ceramah-ceramah
radikal saat melaksanakan ibadah tarawihnya: bukan saja
masalah korupsi dan modal asing, melainkan pula pelarangan
penggunaan jilbab dan pemaksaan keluarga berencana (KB)
dan sebagainya. Bahkan di dinding-dinding Mushola As

243
Sa’adah dipasang pamflet-pamflet bertulisan bahasa Arab
yang intinya menentang kebijaksanaan pemerintahan.

Mereka tidak tahan melihat pelajar sekolahan dipakaikan


pakaian seragam sekaligus yang sisiwi dilarang memakai
jilbab. Pakaian seragam sangat menyulitkan kehidupan anak-
anak sekolah bukan sekedar untuk melaksanakan tradisi
kegamaan dalam berjilbab, tapi juga meminggirkannya dari
akses transportasi-angkutan. Lihatlah bagaimana di kota-kota
besar: murid-murid SD hingga SMA menjadi pasar sosial bagi
industri pertransportasian. Dengan atribut pakaian seragam
maka pelajar-pelajar itu tarif angkutannya sudah ditentukan
terlebih dahulu: tarifnya tiga kali lebih rendah daripada
penumpang pada umumnya. Walhasil, sopir-sopir bus kota
lebih banyak menjauhinya karena tidak terlalu
menguntungkan. Sehingga pemakaian pakaian seragam
sebetulnya lebih memudahkan pengindentifikasian terhadap
penumpang-penumpang yang berbayaran rendah. Tetapi
dalam industri tekstil penyeragaman pakaian anak sekolahan
begitu menggiurkan. Keadaan inilah yang membuat industri
pertekstilan berbondong-bondong memegang monopoli
produksi pakaian. Bahkan siapa yang memproduksi seragam
mudah sekali ditentukan langsung oleh penguasa untuk
menjadi konco-konconya. Kebijakan penyeragaman pakaian
ini persis dengan Keluarga Berencana (KB).

Program KB merupakan hasil tekanan dari lembaga-lembaga


internasional, yang mendesak Orba melakukan kontrol
terhadap alat reproduksi: bertujuan mengendalikan
pertumbuhan dan pembiakan tubuh dalam arti nimerik—
jumlah penduduk suatu negara. Baginya penduduk yang tidak

244
terkontrol dapat merebut sumber daya ekonomi politik:
artinya berpotensi merusak pendapatan penguasa. Apalagi
pada 1983, negara baru saja mengeluarkan paket ekonomi
neoliberal: Pakjun 1983. Kebijakan ini memberi keuntungan
besar bagi segenap kapitalis-swasta. Hidup dalam lingkungan
yang diselimuti kenyataan-kenyataan seperti ini mendorong
masyarakat Tandjung Priok memilih menerbitkan gerakan.
Aksi-aksinya diperteguh oleh semangat keislaman hingga
menemukan bentuk sebagai gerakan politik keagamaan.
Melaluinya keputusan-keputusan pemegang kekuasaan tidak
lagi dihadapinya dengan persetujuan tapi perlawanan. Sikap
berlawan ditanam, dipupuk, dan disiram oleh para mubaligh
dari tempat peribadatan hingga merebak ke jalanan.
Mubaligh-mubaligh di Tanjung Priok kebanyakan merupakan
anggota komunitas yang mengusung Islam sebagai
ideologinya. Bagi mereka, Rezim Soeharto setelah
menyingkiran gerakan politik kiri maka kini memandang
gerakan Islam politik sebagai musuh utamanya. Kelompok
Islam politik disebut sebagai ‘kelompok ekstrim kanan’ yang
harus dimusnahkan, karena tidak mau tunduk pada Orba.
Ketindaktundukannya pada negara bukan semata karena
ekonomi melainkan berang mendapati kebijakan penguasa
yang mensubordinatkan agama: kaum muslim coba
dilepaskan dari semangat ideologis agamanya melalui
penerapan asas tunggal Pancasila.

Namun penguasa cepat sekali mengendus gerak-gerik mereka.


Pada 8 September 1984 Sertu Hermanu datang ke Mushollah
As Sa’adah untuk mengganggu aktivitas politik dan
keagamaan warga. Dia bahkan memasuki tempat ibadah itu
tanpa membuka sepatu hanya buat memusnahkan pamflet

245
kritis tadi dengan membasahinya menggunakan air comberan.
Masyarakat emosi atas perbuatannya sehingga membakar
motornya. Hubungan antagonistik antara pemerintah dengan
masyarakat semakin menajam dan mencari mangsa.
Akibatnya para penceramah yang berusaha membangkitkan
kesadaran akan penindasan negara diancam oleh aparat
Kodim Jakarta Utara I Kodam V Jaya I Laksusda Jaya. Empat
orang di antaranya sampai diseret aparat secara paksa dengan
tuduhan melakukan pembakaran kendaraan Hermanu.
Mubaligh-mubaligh itu ditangkap dan disiksa. Maka massa
melancarkan protes besar yang bukan hanya menuntut
pembebasan penceramah melainkan juga seabrek
permasalahan lainnya, terutama menolak asas tunggal
Pancasila. Puncaknya adalah malam 12 September 1984:
warga mengadakan Tabligh Akbar terbuka. Mereka bergerak
menuju Kodim Jakarta Utara untuk membebaskan keempat
orang saudaranya yang ditahan. Sesampainya di tempat tujuan
aparat menyambut dengan ledakan senapan. Dari pengakuan
korban, segerombol serdadu langsung menembak dengan
senjata. Massa yang berada di barisan depan jatuh
bergelimpangan berlumuran darah, sedangkan yang lainnya
bertiarap dan ada di antaranya yang pura-pura mati. Selain itu,
ternyata ada pula korban yang terkena tembakan karena
kebetulan sedang melewati lokasi. Dalam kejadian tersebut
Komnas HAM RI mencatat jumlah korbannya: 23 meninggal,
36 luka-luka tapi tak dirawat, dan 19 luka dalam perawatan. J.
Fabian Junge mencatat aksi pembunuhan ini merupakan
kesengajaan yang telah direncanakan:

Pada tanggal 12 September Amir Biki dan mubaligh


lainnya ikut acara tabligh akbar yang berisikan kritik

246
terhadap pemerintah…. Amir Biki dan pendakwah
lainnya menggunakan kesempatan tersebut untuk
mengajukan tuntutan pembebasan atas empat tahanan
yang sudah disebut diatas. Ketika ultimatum yang
diajukan Biki yaitu bila pembebasan empat tersangka
tersebut hingga pukul 11 malam tidak dipenuhi, ia
mengerahkan massa yang berkumpul untuk
mengadakan aksi protes. Sekitar 1,500 massa berjalan
beriring-iring menuju markas Kodim Jakarta Utara,
tempat dimana empat orang tersangka tadi ditahan.
Pada saat massa berada di depan Polres Metro Jakarta
Utara mereka di hadang oleh satuan regu artileri
pertahanan “Udara Sedang“—Arhanudse—yang segera
melepaskan tembakan ke arah massa … pimpinan
militer pada waktu itu menyatakan bahwa prajurit
artileri atas dasar pertahanan darurat menembaki massa
yang bersenjata. Sembilan dinyatakan tewas dan lima
puluh tiga luka-luka. Para saksi dan kelompok-
kelompok oposisi memberitakan tentang aksi militer
yang terencana itu bahwa jumlah korban meninggal
ditafsir lebih banyak lagi, yaitu berkisar antara 400
sampai 700 orang. Organisasi-organisasi HAM
berkesimpulan bahwa mantan Panglima ABRI
(Angkatan Bersenjata Indonesia) Benny Murdani dan
Pangdam V Jaya Try Sutrisno telah memerintahkan
atau setidaknya dengan sadar telah membiarkan aksi
pembantaian tersebut. Menurut laporan para saksi mata
Murdani dan Sutrisno muncul pada tanggal 12
September tengah malam di tempat kejadian
mengontrol pelaksaan menutup-nutupi aksi
pembantaian tersebut. Mayat-mayat dimasukkan ke
dalam truk-truk militer lalu di bawa ke tempat lain dan
dikuburkan di tempat-tempat yang tidak diketahui.
Sedangkan korban luka-luka dilarikan ke rumah sakit
Angkatan Darat Gatot Subroto, dimana mereka dilarang

247
untuk menerima kunjungan dari keluarga mereka….
Korban yang luka-luka pada aksi demonstrasi tersebut
dijatuhi hukuman karena aksi perlawanan menentang
kekuasaan negara. Pada masa berikutnya ratusan orang
diantaranya sederetan tokoh-tokoh kritikus rejim yang
sebagian besar dari kalangan Islam, ditangkap, disiksa
dan dalam proses pengadilan sandiwara dijatuhi
hukuman penjara antara beberapa bulan sampai
puluhan tahun. Mereka dituduh dengan “menyebarkan
rasa ketidak puasan“ secara tidak langsung telah
menyebabkan aksi demonstrasi. Ada juga yang dituduh
memiliki atau menyebarkan pamflet-pamflet yang
mempertanyakan versi resmi dari kejadian 12
September 1984. Selama dua tahun kemudian, ratusan
orang ditangkap dan dihukum karena dianggap teroris
atau Islam radikal dalam pengadilan yang tidak sah.
Pembantaian Tanjung Priok dan tindak represif
selanjutnya mengakhiri sementara perselisihan dengan
Islam politik yang merupakan penentang rejim paling
keras yang ada setelah era runtuhnya PKI. Dengan
melemahnya pihak penentang ini maka rejim pada
tahun 1985 berhasil menerapkan Undang-Undang asas
tunggal…. 164

Di tangan Soeharto kekuasaan jadi sangat zalim, sinting, dan


menjijikan. Rakyat dibonsai habis-habisan. Segala potensi
perlawanan yang dimiliki kaum miskin dan tertindas
dilenyapkan. Pada 1985 politik-hukum benar-benar diolah
jadi pelumas kekuasaan. Kala itu dibuatkanlah 5 paket UU
Politik165—salah satunya tentang asas tunggal Pancasila—

164
J. Fabian Junge, (tanpa tahun), Kesempatan yang Hilang, Janji yang Tak
Terpenuhi; Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Kejahatan di Tanjung Priok
1948, Jakarta: KontraS/Watch Indonesia, Hlm. 17-18.
165
Ahmad Syafi’I Safinuddin, Op. Cit., Hlm. 62-64.

248
yang penuh dengan kesewenang-wenangan: pertama, UU No.
2/1985 tentang Pemilu. Melaluinya maka presiden dapat
menjadi penyelenggara Pemilu sekaligus Ketua Dewan
Pembina Sekber Golkar. Golkar bahkan diberi kesempatan
yang sama dengan partai politik (parpol): sewalaupun belum
menjadi parpol tapi bisa ikut Pemilu karena punya massa dan
dianggap wajar. Soalnya Soeharto punya kendali terhadap
seluruh aparat pemerintahannya mulai dari atas sampai yang
terendah. Makanya segenap pos-pos kebijakan
dikendalikannya dengan mudah; kedua, UU No. 3/1985
tentang Susunan Keanggotaan DPR/MPR yang terdiri dari: F-
KP, F-PP, F-DI, F-ABRI, dan F-UD. Dengannya Soeharto
menyulap dua fraksi yang dkhususkan hanya untuk orang-
orang piaraanya: F-ABRI (kelompok tentara, khususnya
Angkatan Darat) dan F-UD (gerombolan campur aduk:
serdadu juga kalangan pengusaha-pengusaha dari daerah)—di
DPR/MPR mereka mendapatkan jatah kursi terbanyak tanpa
lewat Pemilu; ketiga, UU No. 4/1985 tentang Partai Politik
dan Golkar. Lewatnyalah Pemilu ditatar untuk dua parta
politik saja—PPP dan PDI—serta satu kalangan: Golkar.
Parpol juga dipagar supaya tidak mendirikan organnya di
tingkat kecamatan. Dalam keadaan inilah massa-rakyat
dibikin mengambang, bahkan berpolitik buta. Mereka soalnya
tidak diberikan pilihan selain mendukung Golkar yang
dikampenyakan birokrasi mulai dari atas hingga ke pelosok-
pelosok desa; keempat, UU No. 5/1985 tentang Referendum.
Aturan ini memaksa rakyat agar tidak mengubah UUD 1945
tanpa melewati MPR yang mengekor pada rezim. Itulah
mengapa massa miskin dan tertindas ditindih segala
aspirasinya karena sengaja dibungkam. Dalam kondisi seperti
itu maka segala aturan bahkan dasar negara sekalipun

249
dijalankan menyimpang dan penuh cacat: menindih kekuatan-
kekuatan sosial hingga melempem; kelima, UU No. 8/1985
tentang Ormas. Peraturan ini berisi paksaan untuk semua
organisasi kemasyarakatan maupun politik menganut asas
tunggal: Pancasila. Lembaga-lembaga sosial-politik kemudian
dipaksa mengganti asasnya: tidak boleh berdiri dan
beraktivitas berdasarkan semangat keyakinan, keagamaan,
serta kelas; karena semuanya harus sesuai keinginan Orba:
berasaskan Pancasila yang disetir ke arah pembangunanisme.

Berada dalam fase hegemoni minimum mengakibatkan negara


kewalahan memakai cara halus untuk mendapatkan
persetujuan massa. Rakyat sudah sangat sengsara bukan saja
karena masalah-masalah ekonomi tapi juga kebijakan politik
negara. Disahkannya 5 paket UU 1985 semakin memperkuat
sistem demokrasi Pancasila-nya Orba. Mochammad Parmudi
mencatat bahwa demokrasi ini memiliki tujuh ciri: (1)
Penyelenggaraan pemilu tidak jujur dan tidak adil; (2)
Pengekangan kebebasan berpolitik bagi Pegawai Negeri Sipil
(PNS); (3) Kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang tidak
mandiri karena para hakim adalah anggota PNS Departemen
Kehakiman; (4) Kurangnya jaminan kebebasan
mengemukakan pendapat; (5) Sistem kepartaian yang tidak
otonom dan berat sebelah; (6) Maraknya praktik kolusi,
korupsi, dan nepotisme [KKN]; dan (7) Menteri-menteri dan
gubernur diangkat menjadi anggota MPR.166 Dengannya
Soeharto mempertahankan kekuasaannya tak segan memakai
moncong senjata, sehingga penguasa berkuasa menggunakan

166
Mochammad Parmudi, (2014), “Islam dan Demokrasi di Indonesia:
(dalam Perspektif Pengembangan Pemikiran Politik Islam)”, Laporan Hasil
Penelitian Individual, IAIN Walisongo, Semarang, Hlm. 150.

250
metode kekerasan. Hanya saja Orba berhasil meraih
persetujuan dari tokoh-tokoh berpengaruh dari organisasi-
organisasi tertentu, termasuk kalangan alumni HMI yang
diberikan jatah mengisi jabatan-jabatan di pranata kenegaraan.

Bersama merekalah ia mencoba memperlebar kekuasaan


hegemonis. Konflik internal HMI yang terjadi pada 1985
merupakan implikasi sepak terjang Orba yang semakin
bersandar pada kesatuan ideologis dengan para elit intelektual,
ekonomis, dan politis. Agar bisa memperoleh atensi lebih dari
keluarga besar himpunan maka penguasa tidak sekedar
menerobos organisasi tersebut melalui alumninya seperti
Menpora Abdul Gafur, melainkan sekaligus mempengaruhi
Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).
Soeharto sepertinya mampu membaca dengan baik bagaimana
hubungan senior-junior maupun anggota-alumni pada HMI-
KAHMI. Itulah mengapa supaya bisa mendiktekan
keinginannya terhadap HMI, Orba melaksanakan taktik
elegan: mendorong KAHMI menjadi pelopor penerimaan asas
tunggal Pancasila. Kontan, alumni-alumni itu melakukan
pertemuan-pertemuan guna membahas soal UU Keormasan
hingga hasil pembahasannya diserahkan kepada negara.
Peristiwa yang agak senyap ini berlangsung dalam fase di
mana KAHMI menemukan bentuknya sebagai mitra aktif
penguasa. Mohammad Fachrur Riza mengabadikan momen
itu sebagai isi skripsinya:

Selama tahun 1973-1977 KAHMI belum menemukan


bentuknya, baru pada tahun 1977-1989 terdapat fase
menemukan bentuk.... Hal yang sangat menarik dari
fase ini adalah mengadakan Sarasehan Nasional
KAHMI I tahun 1985. Sarasehan ini diadakan beberapa

251
kali dengan pembahasan tentang masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Pertama di rumah Drs.
Ahmad Nurhani dengan undangan Pangdam V Jaya
Mayjen Tri Sutrisno. Lalu di rumah Menteri Dalam
Negeri Soeperdjo Roestam dengan tamunya Menteri
Dalam Negeri Munawir Sadzali, terakhir di gedung
Krida Bakti dengan undangan Menteri Sekretaris
Negara Sudharmono dan Menteri Pemuda dan Olah
Raga Abdul Ghafur. Hasil dari sarasehan tersebut yaitu
pembicaraan ke empat tentang RUU Organisasi
Kemasyarakatan pada tanggal 31 Mei 1985 dibawa ke
Rapat Paripurna DPR RI. Rapat Paripurna memutuskan
menerima RUU tersebut menjadi Undang-undang. Pada
tanggal 17 Juni diundangkan UU No.8/1985. 167

Kepeloporan KAHMI dalam memuluskan langkah


pengesahan UU Keormasan berimplikasi terhadap HMI.
Itulah mengapa pada 1985, Ketum PB HMI Harry Azhar Azis
sampai terpengaruhi. Walhasil dia melangsungkan Pertemuan
Cilito 1985: hasilnya asas tunggal Pancasila diterima oleh PB
HMI hingga merebakan perpecahan internal dengan Cabang-
Cabang HMI. Kala itu orang-orang berpengaruh di struktural
kepemimpinan tertinggi organisasi sepertinya berhasil
dipengaruh bahkan dikendalikan oleh senior-seniornya di
KAHMI. Inilah kenapa setelah RUU Keormasan disahkan
menjadi UU No. 8/1985 maka tugas PB HMI adalah
menyatukan pandangan-pandangan yang tersebar di pelbagai
Cabang-nya supaya sejalan dengan negara. Proses penyatuan
dilakukan lewat Simposium Pengembangan Tafsir Organisasi
HMI di Mataram-NTB, pada 12-17 Desember 1985. Acara ini

167
Muhammad Fachrur Riza, (2012), “Politik Jaringan KAHMI dan
Kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid (2001)”, Skripsi, FISIP,
Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta, Hlm. 38.

252
mendapatkan pengawalan ketat dari serdadu suruhan
Soeharto: Kodam Udayana. Maka forum yang seharusnya
digunakan untuk mengkaji ulang ideologi HMI justru
dibelokan sebatas buat memintakan pernyataan kesetujuan
akan asas Pancasila dari pengurus-pengurus Cabang-nya.
Mendapati keadaan ini maka Cabang HMI—seperti
Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan Ujung Pandang—spontan
melayangkan seabrek kritikan terhadap PB HMI. Hasilnya
Harry CS gagal mendapatkan persetujuan segenap Cabang
HMI untuk mengadopsi ideologi penguasa. Hasanuddin
menjelaskan keberhasilan menolak rekayasa simposium
merupakan bukti kuatnya komitem pada hasil Kongres XV,
tapi sekaligus membuat para pembangkang tidak dilibatkan
dalam Kongres HMI XVI di Padang pada 1986:

Keberhasilan pengurus-pengurus Cabang memberi


perlawanan terhadap PB HMI, memberi keyakinan
pada pimpinan-pimpinan cabang itu bahwa sebenarnya
pimpinan-pimpinan cabang masih tetap konsisten
dengan apa yang telah diputuskan pada Kongres XV,
yaitu mempertahankan asas Islam. Oleh karena itu,
pimpinan-pimpinan cabang menuntut PB HMI
mengadakan pertemuan pimpinan cabang seluruh
Indonesia. PB HMI menyanggupi mengadakan sebelum
Kongres XVI. Pimpinan cabang merasa mampu
mengkonsolidasi kekuatan perlawanan dalam forum itu.
Sedangkan pihak PB HMI sendiri, sekalipun memberi
janji akan mengadakan pertemuan pimpinan cabang se-
Indonesia, karena melihat kegagalan pertemuan di
Mataram itu merasa yakin akan sulit menundukan
pengurus-pengurus cabang besar tersebut. Mereka tidak
akan dilibatkan dalam Konngres XVI sebelum mereka
mengeluarkan pernyataan menerima asas tunggal

253
Pancasila…. Ancaman PB HMI itu juga tidak
berpengaruh. Hal ini terlihat dari tidak satupun
pimpinan-pimpinan cabang besar itu mengeluarkan
pernyataan sebagaimana dikehendaki PB HMI….168

Dalam menghadapi tekanan dari PB HMI maka cabang-


cabang HMI mengadakan menyelenggarakan pertemuan pada
Maret 1986 dalam milad HMI XXX. Maksud utama
penyelenggaraan acara ini ialah guna mengonsolidasikan
kekuatan buat mempertahankan Islam sebagai asas organisasi.
Melalui musyawarahnya para utusan Cabang (Jakarta,
Yogyakarta, Puswokerto, Pekalongan, Bandung, Ujung
Pandang, Tanjung Karang dan Pinrang) yang menghadiri
pertemuan itu bersepakat bahwa sikap PB HMI kepada
mereka begitu arogan dan tertutup. Bahkan torehkan Surat
Keputusan bersama Ketua Umum HMI Cabang, yang
dituangkan dalam Surat Kepetusan Nomor
2/KPTS/DRT/A/07/1406, tanggal 15 Maret 1986 tentang
Penyelamatan Organisasi—berisi: (1) Tidak mengakui
kepemimpinan PB HMI di bawah Harry Azhar Azis dan
Burhanuddin Mas’ud masing-masing sebagai Ketua Umum
dan Sekretaris Jenderal PB HMI, dan untuk selanjutnya
menetapkan/menunjuk Majelis Penyelamat Organisasi sebagai
Badan Sementara untuk mengatasi kevakuman kepemimpinan
HMI secara nasional sehingga terbentuknya PB HMI yang
baru secara definitif; (2) Menghimbau kepada Cabang-Cabang
HMI di seluruh Indonesia agar tidak mengikuti Kongres ke-
16, yang diselenggarakan PB HMI di Padang pada bulan
Maret 1986 yang akan datang; (3) Mendesak kepada Majelis
Penyelamat Organisasi agar secepatnya menyelenggarakan

168
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 164-165.

254
Kongres ke-16 dengan menghadirkan Cabang-Cabang HMI di
seluruh Indonesia.169

Berkat pertemuan inilah dibentuknya Majelis Penyelamat


Organisasi (MPO) HMI: satu lembaga yang ditujukan
memaksa PB HMI melakukan dialog sehingga permasalahan
dapat diselesaikan. Pendirian MPO HMI kemudian
diberitahukan kepada Lafran Pane sebagai kendaraan
perjuangan. Lalu diadakanlah siaran pers yang amat tandas
dan penuh ancaman: Cabang-Cabang MPO tidak akan ikut
Kongres XVI apabila disertai syarat-syarat yang
inkonstitusional—menerima asas tunggal Pancasila. Tapi PB
HMI hanya bergeming saja. Sementara MPO tak putus asa.
Mereka justru menempuh cara: (1) menduduki Sekretariat PB
HMI untuk menggantikannya, karena kepengurusan itu
menyimpang dari konstitusi; dan (2) tetap gigih mengajak
semua utusan Cabang yang berniat mengikuti Kongres XVI di
Padang untuk menggantinya dengan mengikuti Kongres HMI
yang dilaksanakan MPO di Jakarta. Menghadapi perlawanan
sengit dari Cabang-Cabang-nya maka PB HMI meminta
bantuan pada negara. Soeharto lantas mengirimkan bala
bantuannya berupa serdadu-serdadu dari Laksus Jaya.
Kawaran tentara ini diarahkan untuk mengepung Sekretariat
PB HMI yang telah diduduki MPO HMI. Dalam peristiwa
inilah MS Ka’ban dan Eggy Sudjana diseret paksa oleh aparat
untuk diinterogasi. Dengan begitu MPO mengambil taktik
meninggalkan sekretariat tadi sampai para tentara kembali ke
markasnya dan mengembalikan kader-kader yang ditahannya.
Setelah situasi aman maka MPO kembali beraksi. Ketum PB

169
Lihat Agus Salim Sitompul 44 Indikator Kemunduran HMI.

255
HMI Harry Azhar Aziz ditemuinya. MPO mengajaknya
dialog hingga meminta rekomendasi mengikuti Kongres XVI
tanpa terlebih dahulu membuat pernayataan penerimaan asas
tunggal Pancasila. Sayangnya Harry malah berkelit: katanya
dia tidak memiliki kewenangan, karena semuanya berada di
tangan alumni HMI Abdul Gafur selaku Menpora.170

Dengan sikap seperti itulah Harry bukan sekedar berhasil


mendapatkan izin berkongres dari Mabak RI. Melainkan pula
secara pasif mampu mencegah keterlibatan Cabang-Cabang
pembangkang pada Kongres HMI. Benar saja, dalam Kongres
XVI di Padang 1986 banyak Cabang HMI—Jakarta,
Yogyakarta, Ujung Pandang, Bandung, dan Purwokerto—
tidak dibolehkan mengikutinya. PB HMI justru membentuk
Cabang-Cabang transitif untuk mengantikan mereka. Kongres
itu lalu dibuka oleh Menko Kesra Alamsyah Prawiranegara.
Dalam pembukaan kongres diundang juga pejabat lainnya:
Menpen Harmoko, Mendagri Soepardjo Rustam, Men-KLH
Munawir Salim Sjadli, Menhakam Poniman, dan Pangab LB
Moerdani. Sementara Menpora Abdul Gafur di tempat lain
terus memantau perkembangan sampai asas tunggal Pancasila
diterima oleh semua Cabang hingga disahkan sebagai asas
HMI. Di pesta demokrasi organisasi ini ada dua calon
kandidat Ketum PB HMI yang populer: Ketum Badko HMI
Sumbar dan Ketum Badko HMI Jabar. Namun karena
keterlibatan keduanya sebagai pengurus KNPI membuat jalan
menuju kepemimpinan PB HMI mudah dihalangi oleh negara,
bahkan dipukul mundur. Pemukulnya tentu saja Soeharto dan
Orba dengan Opsus Ali Moertopo yang sudah menerabas

170
Lihat Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 168-169.

256
KNPI dan HMI menggunakan senior-alumni HMI yang
menjadi tokoh besar politisi maupun birokrat: misalnya,
Akbar Tandjung hingga Abdul Gafur.

Kontan, kedua ketua Badko tadi mundur dan yang terpilih


justru M. Shaleh Khalid. Boleh jadi juga Ketum PB HMI
(1986-1988) Khalid, merupakan ketum yang sebelumnya
digembleng khusus Harry untuk mengantikan dirinya.
Makanya dirinya terjerambab dalam sentimen antara PB HMI
pimpinan Harry dengan MPO HMI. Buktinya, rekomendasi
Kongres XVI oleh Khalid malah dikhianati. Forum kongres
yang merekomendasikannya mencarikan kemelut di internal
HMI justru diabai: sama sekali tak membuka dialog terhadap
Cabang-Cabang yang kukuh mempertahankan Islam sebagai
asas HMI. Pengkhianatan atas kesepakatan peserta kongres
ditanggapi MPO HMI dengan mendefinitifkan lembaganya
menjadi HMI MPO. Format gerakan MPO yang semula
sebagai kelompok penekan berubah jadi lembaga yang berdiri
sendiri. Pembentukan PB HMI MPO dilaksanakan pada 14-17
April 1986 di Yogyakarta. Adapun yang mendirikannya ada 4
Cabang HMI: Yogyakarta, Jakarta, Ujung Pandang, Bandung,
Purwokerto, dan Kerawang Bekasi. Selanjutnya diikuti pula
oleh HMI Cabang lainnya: Semarang, Surakarta, Kudus,
Jember, Surabaya, Malang, Kediri, Palu, Pare-Pare, Pingrang,
Palopo, Bogor, Medan, Wonosobo, dan Tasikmalaya. Awal
berdirinya PB HMI MPO dipimpin oleh Ketum Eggy Sudjana
dan Sekjen M. Nuzkhi Zetka. HMI MPO tentunya tidak akan
berdiri jika PB HMI mau bersikap terbuka dengan Cabang-
Cabang-nya, sehingga perseteruan tak menajdi-jadi.
Hasanuddin M. Saleh menjelaskan, terdapat beberapa faktor
yang menjadi kendala upaya penyelesaian konflik dalam

257
HMI: (1) dominasi kepentingan elite formal organisasi dalam
menentukan jalannya kongres; (2) pola komunikasi yang
cenderung antagonistik, karena masing-masing pihak tidak
ingin menompromikan sumber konfliknya; (3) mereka yang
berkonflik tidak ingin menurunkan intensitas konflik; dan (4)
tidak terdapat alumni yang dapat menjadi penengah konflik.
Orba soalnya telah membuat senior-alumni HMI kikuk.
Walhasil, pemihakan kemudian diberikan kepada negara
ketimban junior-anggota organisasi yang telah
membesarkannya. Hasanuddin mengungkapkannya begitu
rupa:

Kelompok yang sangat potensial menjadi penengah


bagi penyelesaian konflik internal HMI adalah
alumninya. Di samping posisi alumni sebagai yang
dituakan dalam jajaran HMI sehingga suaranya cukup
diperhatikan, alumni juga merupakan penyandang dana
yang secara psikologis dapat menenkan. Namun
persoalannya, alumni HMI telah transparan
menentukan sikap pemihakannya pada kelompok yang
bersedia menerima asas tunggal Pancasila. Setiap
tawaran jalan keluar yang diberikan alumni untuk
menyelesaikan konflik selalu berujung pada meminta
kesediaan pihak HMI MPO untuk menyesuaikan diri
dengan sikap yang telah diambil HMI pada Kongres
XVI, yaitu menerima asas tunggal Pancasila.171

Sejak saat itu alumni-alumni HMI semakin lancar menapaki


karir sebagai politisi maupun birokrat dalam pranata
kenegaraan. Golkar adalah parpol yang paling banyak
menampung para tokoh-tokoh himpunan. Bahkan Harry

171
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm 183.

258
Azhar Aziz juga kemudian berlabuh di Golkar. Dia mengikuti
jejak senior-alumninya. Bagi mereka Golkar merupakan
kendaraan politik terbaik dalam memperoleh jabatan besar.
Melalui Golkar, Abdul Gafur sukses jadi Menpora (1978-
1988). Begitu pun dengan Akbar Tandjung: beroleh posisi
Menpora untuk periode (1988-1993) dan Menegpera (1993-
1998). Bahkan lewat pengaruhnya dalam pranata kenegaraan
maka bisnis susu keluarganya—N.V. Marison/PT Marison
Nusantara—dilancarkan bermitra dengan pemodal asing
hingga dibuka kesempatan mendapatkan suntikan modal dari
konglomerat Cina.172 Walau tak berprofesi sebagai pebisnis
tetapi perkembangan usaha keluargnya memperlihatkan
bagaimana Akbar mampu menautkan modal dengan
kekuasaan. Tokoh HMI yang serupa dengannya adalah Jusuf
Kalla (JK). JK bahkan lebih gemilang lagi: ia bukan sebatas
mulus berkiprah sebagai politisi Golkar dan mendapatkan
kursi DPRD Sulawesi Selatan, tapi terutama sukses
membesarkan bisnis dalam naungan Orba. Bisnisnya bernama
Group Kalla. Jejaring usahanya tersebar di banyak sektor:
mulai dari otomotif, konstruksi, energi, keuangan, properti,
hingga transportasi. Dirinya disebut-sebut selaku salah satu

172
Antara Liem Sioe Liong dengan keluarga Akbar Tandjung pernah
terjalin relasi bisnis semasa era emas Orde Baru. Produk susu Indomilk
yang bernaung di bawah bendera Salim Group kepunyaan Liem dulunya
bermula dari perusahaan yang dirintis oleh Datuk Usman Zahiruddin
Tandjung, ayahanda Akbar Tandjung. Perusahaan bernama N.V. Marison
(belakangan dikenal sebagai PT Marison Nusantara) lalu dilanjutkan oleh
Nahar Zahiruddin Tandjung, kakak Akbar. N.V. Marison kemudian
bermitra dengan Australia Dairy Corporation (ADC), yang bermarkas di
Melbourne, untuk mempruksi susu dan es krim. Liem Sioe Liong melalui
Salim Group-nya lantas ikut memodali perusahaan itu…. N. R. Akbar,
(2020), Siapa Menjerat Gus Dur; Intrik Politik, Oligarki, dan Konspirasi
Pemakzulan, Yogyakarta: Media Pressindo, Hlm. 153-154.

259
konglomerat pribumi yang mendapatkan keuntungan dari
keberadaan Tim Sepuluh. Tim ini dibentuk Soeharto melalui
Mensekneg Sudharmono. Keberadaan Tim Sepuluh—antara
tahun 1980-1988—mempunyai kewenangan untuk
menentukan alokasi anggaran proyek termasuk belanja semua
Departemen dan BUMN. Tim inilah yang memberikan
kesempatan besar untuk beberapa pengusaha pribumi—
termasuk JK—untuk membesarkan bisnisnya.173

Dana tim itu sebenarnya berasal dari pendapatan minyak bumi


dan gas alam yang meningkat tajam sepanjang 1972-83.
Dengan bisnis tersebut sumbangan pendapatan negara dari
ekspor mencapai 65% tahun 1972/1973. Bahkan sebelum
krisis harga minyak dunia pemasukan dari ekspor tadi
melonjak sampai 81,1% di 1982/83. Sedangkan pajak dari
sektor ini tersebut juga amat menguntungkan: 1972/73
memberikan 53% pendapatan dalam negeri dan meningkat
menjadi 70% pada 1982/83.174 Untuk itulah Orba perlu
membentuk Tim Sepuluh buat menyimpan kelebihan
pendapatannya yang tidak terpakai. Tim menyimpan anggaran
hasil pendapatan di sektor minyak dan gas bumi yang begitu
berlimpah sekaligus untuk menguasai proyek di atas Rp 500
juta. Dari anggaran tersebut maka dibinalah kapitalis Pribumi
yang tersebar di mana-mana. Dhaniel Dhakidae mengungkap
bahwa pembinaan kapitalis Pribumi berada langsung di bawah
kontrol Sektariat Negara. Keputusan ini memberikan
keuntungan besar pada mereka yang berhimpun di sekeliling
Soeharto, yakni Sekretariat Negara yang langsung berkait di

173
Buka https://www.pinterpolitik.com/kilas-kiprah-dan-ambisi-jk/
174
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 301.

260
puncaknya dengan Golkar.175 Jeffey A. Winters menyebut
kekuasaan seperti ini sebagai oligarki: ‘suatu sistem politik
pertahanan kekayaan (wealth defense) yang dilakukan oleh
segelintir orang dengan konsentrasi kekayaan besar yang
bersumber dari kekuasaan’.176 Robinson memaparkan dengan
baik bagaimana para oligark maupun kapitalis beraksi
mempereteli pranata kenegaraan:

…permulaan 1980-an, elemen domestik dari kelas


kapitalis melakukan ekspansi kapital dan basis
korporasinya secara signifikan. Sebagian melalui
integrasi dengan kapital internasional dan sebagaian di
bawah proteksi dan subsidi negara. Oleh karena itu,
muncul tekanan untuk membatasi beroperasinya kapital
internasional guna memberikan jalan bagi
perkembangan kapital domestik dan memaksa kapital
internasional memainkan peran yang lebih struktural
dalam membantu perkembangan tersebut. Negara
memainkan peran kunci dalam perkembangan kelas
kapitalis. Negara tidak hanya menyediakan kondisi
politik bagi akumulasi kapital—terhadap represi politik
terhadap kaum buruh serta memberikan subsidi
terhadap harga-harga bahan makan dan bahan bakar—
tetapi juga melakukan investasi secara aktif dalam
infrastruktur dan produksi ... tetapi, adanya fragmentasi
kelas kapitalis membuat negara memainkan perannya
relatif secara otonom dalam hubungannya dengan
kapital.177

Bangunan aliansi dengan kekuasaan hegemonik membuat

175
Lihat Dhaniel Dhakidae, Op. Cit., Hlm 283.
176
Buka PDF Megawati Institute, (2017), Hasil Riset Oligarki Ekonomi,
Jakarta: Megawati Institute, Hlm. 9.
177
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 299.

261
seabrek alumni HMI mendapatkan apa saja yang diingini.
Sementara himpunan sendiri jadi korban yang berhasil
dipecahkan oleh jalaran kepentingan mantan-mantan
anggotanya yang telah menjadi politisi, penguasaha, maupun
elit-elit birokrasi. Perpecahan yang terjadi itu kemudian
meneguhkan HMI untuk bersikap oposisi pada Orba, Soeharto
dan kroni. Kelompok oposan bukan HMI (Dipo) melainkan
HMI MPO. Safinuddin perikan, sejak 1986 kader-kader HMI
MPO mulai melakukan aksi politik kendatipun pada awalnya
harus berlindung pada lembaga yang kemudian disebut
lapisan eksternal HMI MPO.178 Lapisan eksternal tersebut
terdapat pada masing-masing Cabang: gerakan yang
dilakukan bervariasi, keseluruhan bernuansa sangat politis dan
secara efektif mampu menggelindingkan isu yang semakin
mengkristal ke arah oposisi radikal. 179 Hubungan antagonistik
tersebut berlangsung sepanjang 1986-1998: dikenal sebagai
‘fase oposisional’ bagi HMI MPO. Sedangkan untuk HMI
(Dipo) mulai 1986-pascareformasi menapaki fase ‘kritik-
kooperatif’ dengan negara: pernyataan-pernyataan kritis-
kontruktif diberikan selama diakomodasinya segala keperluan
organisasi oleh birokrasi. Langkah ini diambilnya karena
dalam pranata kenegaraan telah banyak bercokol senior-
alumninya. Apalagi KAHMI sendiri begitu dielu-elukan oleh

178
Di HMI MPO Cabang Jakarta berdiri Forum Komunikasi Islam Jakarta
(FKIJ), HMI MPO Cabang Purwokerto dengan Forum Komunikasi
Mahasiswa Islam Purwokerto (FKMIP), HMI Cabang MPO Makassar
dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makasar (FKMIM), HMI
MPO Cabang Wonosobo dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Islam
Wonosobo (FKMIW), HMI Cabang Palopo dengan Forum Komunikasi
Mahasiswa Islam Palopo (FKMIP), HMI Cabang Yogyakarta dengan Liga
Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY), dan lain-lain.
179
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. Xvi-xvii, 93.

262
negara. Dalam Munas KAHMI 1V tanggal 19 Desember
1989, Soeharto menaruh harapan padanya. Para senior-alumni
itu diminta memperluas spektrum aliansi hegemoni. Sasaran
utamanya adalah kaum intelektual, termasuk anggota-anggota
HMI. Tujuannya ialah menggencarkan pembangunan.
Semuanya secara eksplisit terpapar lewat pidato presiden:

Sesungguhnya, usaha kita untuk mewujudkan cita-cita


besar masyarakat Pancasila memerlukan keikutsertaan
kaum cendikiawan, pemikiran-pemikiran kreatif dan
pandangan-pandangan kritis dan konstruktif, sehingga
kehidupan bangsa kita akan terhindar dari kerutinan dan
kejenuhan. Kita memerlukan kaum professional dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat kita sehingga
gerak maju bangsa kita dapat lebih bergairah dan
terarah. Kita memerlukan para wiraswastawan yang
memampu mengembangkan sumber daya alam dan
sumber daya manusia, yang jelas melihat peluang,
melakukan terobosan dan peka terhadap perkembangan
untuk membangun perekonomian bangsa kita. Saya
yakin Korps Alumni HMI mampu menghimpun mereka
dalam sebuah ikatan yang longgar akan tetapi cukup
efektif untuk mengembangkan potensi mereka menjadi
salah satu bagian dari kekuatan nasional bangsa kita
yang sedang membangun.180

Penguasa membutuhkan keterlibatan lebih banyak cendekia


guna menggelorakan pembangunanisme yang berkedok
Pancasila. Kaum cendekiawan itu sekaligus berguna
melindungi upaya-upaya pembangunan dari pelbagai gejolak

180
Abdul Hafidz, dkk (ed.), (1997), HMI dan KAHMI: Menyongsong
Perubahan, Menghadapi Pergantian Zaman, Jakarta: Majelis Nasional
KAHMI, Hlm. 12.

263
perlawanan rakyat dan mencarikan solusi atas beragam
kemunduran dalam pendanaan negara. Richard Robinson
mengungkapkan bahwa laporan Bank Dunia 1981, neraca
pembayaran Indonesia 1980-an menunjukan masa depan
berbalut kesuraman. Kontan, Orba memasuki periode penuh
keraguan dalam perkembangan perekonomian. Pada 1982,
ekonomi Indonesia menghadapi kesulitan. Harga minyak
dunia soalnya seperti tiba-tiba jatuh dari ketinggian, karena
tak sama dengan tahun sebelumnya yang harganya begitu
menggiurkan. Pendapatan ekspor minyak dan gas bumi
1982/83 yang diperkirakan mencapai 21,4 miliar dolar AS,
justru Oktober 1982 direvisi menjadi 17,2 miliar dolar AS—
perkiraan berkurangnya pemasukan mencapai 9,5%. Di
samping itu pendapatan ekspor non-minyak tak
menggembirakan: dalam tiga tahun sejak meningkatnya
ekspor non-minyak sebesar 55%, setelah devaluasi rupiah
1978 pendapatan malah menurun menjadi 9,7%, 25%, dan
(terakhir) diperkirakan 12%. Penurunan ini sebagai dampak
kemerosotan harga-harga komoditi dunia karena resesi,
meningkatnya konsumsi dalam negeri, dan jatuhnya ekspor
kayu balok lantaran pemerintah menggantikannya dengan
ekspor kayu yang telah diproses.

Dengan berkurangannya penerimaan negara dari sektor ekspor


akibat krisis harga minyak maka selanjutnya Indonesia
memasuki krisis fiskal. Proyeksi pendapatan 1982/83 turun
Rp 2.900-Rp 3.000 miliar atau 33-34% dari anggaran
pembangunan yang sebesar Rp 8.600 miliar. Gray
memperkirakan jumlah penurunan pendapatan 1982/83-
1985/86 mencapai Rp 10,6 triliun. Jumlah ini merupakan:
43%, investasi langsung pemerintah; 25%, seluruh investasi

264
sektor publik; dan 28%, proyek belanja dalam anggaran
pembangunan selama empat tahun.181 Turunnya penerimaan
dan ketersediaan anggaran pembangunan sesungguhnya tak
sekedar menjadi akibat dari babak belurnya harga minyak
dunia saja, tapi juga penerapan nasionalisme ekonomi dan
industrialisasi nasional. Soalnya melalui keduanyalah praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh pemerintahan
menggumpal. Sehingga kejahatan dalam tubuh birokrasi yang
dilakukan para oligark ditambah jatuhnya harga minyak oleh
kapitalisme internasional berekses suramnya masa depan
perekonomian nasional. Laporan Global Corruption Report
dari Transparency International, menyebut Soeharto sebagai
sosok terkorup. Uang rakyat yang dikorupsinya mencapai Rp
490 triliun. Dengan perilaku begini koruptor-koruptor pada
eranya juga enggan diseret ke pengadilan, karena berguna
menjadi pendukung kekuasaan:

Suharto memanfaatkan sistem patronase untuk


mendapatkan loyalitas bawahannya, anggota elit
nasional, dan kritikus terkemuka. Dengan menawarkan
peluang bisnis atau posisi politik kepada mereka
Soeharto bisa mengandalkan dukungan dari mereka.
Dengan Angkatan Bersenjata (termasuk aparat
intelijen) dan pendapatan sumber daya nasional sangat
besar (yang berasal dari produksi minyak bumi yang
booming pada 1970-an) yang dia gunakan, dia meraih
kedudukan puncak dalam sistem politik dan ekonomi
nasional, menyerupai kekuatan patrimonial penguasa
tradisional di masa pra kolonial dulu. Dalam membuat
kebijakan ekonomi, Suharto mengandalkan saran dan
dukungan dari kelompok kecil orang kepercayaan di

181
Lihat Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 301-303.

265
sekitarnya. Kelompok ini terdiri dari tiga kategori: (1)
para teknokrat yang dilatih Amerika Serikat (USA-
trained technoctrats[—Bappenas]), (2) para nasionalis
ekonomi (yang mendukung gagasan peranan besar
pemerintah dalam perekonomian [intelektual-politikus-
birokrat], dan (3) para kroni kapitalis (yang terdiri dari
anggota keluarga dan beberapa konglomerat [Cina
maupun Pribumi]). Kadang-kadang semua kategori
tersebut dituduh korup namun sebagian besar
penekanan mengarah ke lingkaran kecil kroni kapitalis
(terutama anak-anak Suharto) yang merupakan
penerima manfaat utama dari skema privatisasi negara
… dan sering menjalankan monopoli bisnis besar yang
beroperasi dengan sedikit pengawasan atau
pemantauan.182

Sepak terjang para koruptor dalam negara kemudian ikut


mendorong berkurangnya anggaran pembangunannya Orba.
Hubungan antara negara dan kapital soalnya berlangusng
begitu rupa. Politikus maupun birokrat soalnya amat intim
dengan seabrek pengusaha-kapitalis. Mereka mampu
menggunakan kekuasaan untuk membagikan lisensi impor,
kredit bank, kredit hutan, kontrak konstruksi, hingga
memasok barang apa saja. Sehingga persoalan suap-menyuap
menjadi bahaya laten dalam ekonomi politik Indonesia. Pada
1980-an, persoalan ini diperparah oleh sedikitnya pendapatan
akan ekspor minyak dan penerimaan non-minyak yang tak
seberapa. Bahkan kedua sektor ekspor tersebut kemudian
sama-sama mengalami kondisi tidak stabil. Sehingga untuk
melanjutkan pembangunannya dalam kondisi krisis fiskal itu

182
Buka artikel berjudul korupsi di Indonesia, di https://www.indonesia-
investments.com/id/bisnis/risiko/korupsi/item235? Tulisan dalam kotak
merupakan tambahan dari penulis.

266
semenjak 1982 Soeharto kembali mengemis bantuan lembaga-
lembaga donor internasional. Corak perekonomian yang
sebelumnya berbasis kekuatan nasional lalu diubah: lagi-lagi
berdiri di atas dana-dana asing. Walhasil, ekonomi persaingan
bebas bergema amat kencang. Mula-mula IBRD maupun
IGGI/CGI memperlihatkan lampu hijau buat membantu
Indonesia keluar dari krisis. Pada 1982/83 jumlah ysng
dipinjamkan mereka hampir mencapai 5 miliar dolar AS. Lalu
sepanjang 1983/84 gelontoran anggaran dari IGGI/CGI
disetujui sebesar 2,2 miliar dolar AS. Sementara laporan Bank
Dunia 1983: diperkirakan bahwa Indonesia akan memerlukan
pendapatan 4,5 miliar per tahun dari 1984/85-1986/87 guna
memenuhi kebutuhan terhadap valuta asing. Darinya 3,4
miliar dolar AS berbentuk pinjaman IGGI/CGI dan pinjaman
komersial luar negeri. 183

Perubahan strategi pembangunan dari nasionalisme ekonomi


dan industrialisasi nasional ke perekonomian yang ditopang
utang ini berimplikasi pada lajur perpolitikan. Itulah mengapa
sejak 1982 keinginan memberlakukan asas tunggal Pancasila
semakin digalakan. Rakyat miskin dan tertindas yang tak
kuasa menanggung pedihnya kemiskinan pun dituduh sebagai
penjahat agar bisa ditembak, ditangkap, hingga dilenyapkan.
Kemudian gerakan Islam politik yang menutuk perilaku
korup, utang luar negeri, dan pelbagai aturan sewenang-
wenang seketika dihancurkan dengan dalih melakukan
pemberontakan. Lantas KAHMI diajaknya beraliansi,
terutama menjadi fasilitator pemenuhan kebutuhan akan kaum
cendikia yang bisa membantu penguasa dalam membangun

183
Lihat Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 305.

267
apa saja. Keberhasilan negara dalam menaklukan para alumni
tersebut selanjutnya berpengaruh besar bagi HMI: alumninya
disuruh mengintervensi PB HMI pimpinan Harry sehingga
menimbulkan konflik internal sampai perpecahan organisasi
yang tidak terkendali. Semua itu dilakukan Orba lantaran di
permulaan 1980-an, kekuasaan bukan sekedar menapaki fase
hegemoni minimum tapi terutama disebabkan oleh kompleks
antara modal dengan pranata kenegaraan. Bahkan akibat
merosotnya harga minyak dunia maka tantangan dari kapital
internasional menjadi tak karuan. Indonesia dipaksa
melakukan integrasi ke dalam ekonomi kapitalis global. Sejak
saat itulah kebijakan pintu terbuka buat investasi asing
kembali dihidupkan, sekaligus ekonomi dipugar berdasarkan
manfaat komperatif dan mengedepankan efisiensi.

Keadaan perekonomian itu kemudian bukan hanya


menyebabkan meningkatnya tekanan yang mengatur kerja
pemerintahan, tapi juga berdampak pada hubungan antara
negara dan kapital: kebutuhan untuk memperbaiki krisis fiskal
berkontradiksi dengan perbuatan para politikus dan birokrat
dalam mengejar sumber-sumber keungan demi menopang
dominasi politik dan ekonomi. Walhasil, otonomi mereka
sebagai aparat pemerintah tergadai. Sedangkan
ketidakmampuan Orba melakukan pembangunan dengan
investasi langsung dalam proyek-proyek besar sama dengan
memberi ruang kapital swasta domestik untuk berinvestasi
menggantikan peran negara. Maka melalui kelemahan
pendanaan negara maka konglomerat-konglomerat Cina dan
Pribumi mengutip untung berlimpag ruah dalam hasil-hasil
investasinya. Sementara rakyat mulai dari petani, buruh,
hingga penganggur semakin menderita. Soalnya penguasa

268
yang mengemis modal asing banyak mengalami penurun
kapasitas secara relatif dalam menyubsidi kebutuhan-
kebutuhan rakyatnya. Pada saat itulah kapitalis-kapitalis
swasta juga beroleh kesempatan besar mengakumulasi
modalnya, karena tiadanya hambatan politik: subsidi bagi
warga. Semua ini merupakan akibat dari tiadanya pembatasan
investasi oleh pemerintah, sehingga pasar sepenuhnya
menjadi penentu efisiensi yang tepat bagi negara. Selanjutnya
pasar pula mampu menyingkirkan semua hambatan struktural
pada kapital asing dan kapital domestik—kebanyakan
konglomerat Cina. Persoalan ekonomi politik yang dihadapi
Indonesia setelah diterapkannya kembali kebijakan pasar
bebas dalam modelnya yang terbaru (neoliberal) dijelaskan
Robinson sedemikian rupa:

Masalah utama ialah keberadaan grup bisnis domestik


besar kaum militer birokrat dan kapitalis swasta kini
dengan kuat membentengi sektor subtitusi barang
impor dalam perakitan kendaraan bermotor, tekstil,
semen, baja dan permesinan berat, fabrikasi logam dan
farmasi. Berlanjutnya keberadaan mereka didasarkan
pada intervensi pemerintah yang menyangkut proteksi,
subsidi, kontrak, investasi langsung dan mediasi
terhadap integrasi dengan kapital asing. Janji-janji
jangka panjang dan manfaat yang abstrak dari pasar
bebas yang disampaikan oleh para ekonom IBRD yang
menyarankannya tidak dapat diterima kelompok
tersebut yang telah menduduki posisinya sekarang
sepenuhnya melalui pemaksaan tekanan politik
terhadap pasar. Jika para kapitalis manufaktur industri
subtitusi impor dibujuk untuk melakukan lompatan
besar dengan kepercayaan guna menghasilkan barang-
barang dengan manfaat komparatif, tidak ada jaminan

269
bahwa mereka akan muncul menjadi kelas kapitalis
baru sebagai konsekuensi dihapusnya hambatan
pertauran. Posisi mereka tidak diharuskan jika investor
internasional tidak diharuskan mengambil mitra lokal
atau menunjuk distributor atau kontraktor lokal, atau
mereka tetap berada di luar sektor seperti pertambangan
kayu hutan dan perdagangan … kita melihat adanya
kontradiksi yang kompleks. Upaya Indonesia untuk
menciptakan integrasi berada dalam kontradiksi dengan
perkembangan struktural di alam pembagian kerja
internasional. Negara Indonesia dikepung oleh krisis
fiskal dan semakin tidak mampu mendanai
pembangunan…. Berkaitan dengan perkembangan
tersebut, muncul kelas kapitalis domestik. Dalam hal
ini, secara berkelanjutan terjadi intervensi politik dalam
ekonomi dan membentuk integrasi antara kekuatan
birokrat politik dengan kapital swasta domestik
(kebanyakan golongan Cina)…184.

Penjelasan tersebut memperlihatkan hubungan saling


mempengaruhi antara basis-struktur dan supra-struktur—
Althusser menyebutnya sebagai overdeterminasi. Mula-mula
ketakutan akan krisis fiskal dijadikan alasan Orba buat
mengutang dana luar negeri. Sehingga kapitalis asing mudah
mengendalikan perekonomian nasional hingga berdiri di atas
persaingan ekonomi tanpa pembatasan. Melalui lubang inilah
kapitalis swasta—pemodal Cina dan sedikit konglomerat
Pribumi—justru ikut mengutip keuntungan. Tiadanya
kesulitan dalam berinvestasi membukakan mereka pintu
selebar-lebarnya hingga merembesi pranata kenegaraan.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkan pemerintah
lalu bisa dipesan-pesan, bahkan dikendalikan sesuai
184
Ibid, Hlm. 311-312.

270
keinginan. Dalam keadaan itulah politik memiliki otonomi
relatifnya atas ekonomi. Makanya hukum yang dibuat para
politikus dan birokrat sarat dengan kepentingan kapitalis
asing, terutama konglomerat-konglomerat domestik. Karya
Richard Robinson berjudul Soeharto & Kebangkitan
Kapitalisme Indonesia bahkan menelanjangi sepak terjang
dari kapitalis-kapitalis domestik—kelas ini sangat penting
dalam ekonomi politik Indonesia semenjak Soeharto berkuasa
dengan Orba-nya: setiap kebijaksanaan negara di bidang
pembangunan harus mempertimbangkan kepentingan mereka.
Sungguh, negara telah berhasil dikuasai dan dicengkeram oleh
niat busuknya yang selalu ingin mengeruk laba lewat apa saja.
Maka dikotomi antara penguasa dengan pengusaha pun tidak
relevan lagi dibuatnya. Karena penguasa dan pengusaha telah
menyatu melalui persetubuhan najis birokrasi dengan modal.
Sehingga aturan yang mereka keluarkan kemudian disebut
sebagai kebijakan neoliberal.

Indonesia menganut kebijakan ekonomi neoliberal dimulai


1982. Maka pada tahun-tahun setelahnya negara melakukan
pelbagai deregulasi demi mengeruk laba sebesar-besarnya.
Kala itu penguasa dan pengusaha berhasil memberlakukan
kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi dengan begitu
rupa. Mula-mula politikus dan birokrat serta para konglomerat
bersepakat mengeluarkan Paket Deregulasi 1 Juni (Pakjun)
1983. Melaluinya negara mengubah mekanisme dan piranti
pengendalian moneter: (1) Penghapusan pagu kredit; (2) Bank
bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan dan deposito;
dan (3) Menghentikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu
yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor.

271
Dengan dikeluarkannya kebijakan ini negara mendadak tidak
punya kekuatan untuk mengintervensi pasar, sehingga
kapitalis-swasta beroleh peran besar dalam mencampuri
upaya-upaya pembangunan Orba. Pasar semakin berdaulat
ketika paket ekonomi neoliberal lainnya kembali
bermunculan: Paket Deregulasi 27 Oktober (Pakto) 1988,
Paket Deregulasi Januari (Pakjan) 1990, Paket Deregulasi 28
Februari (Paktri) 1991, Paket Deregulasi Mei (Pakmei) 1993,
hingga Paket Deregulasi 7 Juli (Pakjul) 1997.

Resep dalam pembuatan pelbagai paket ekenomi itu diperoleh


pemerintah dari badan-badan multilateral: IMF, WTO, dan
Bank Dunia. Bonnie Setiawan menjelaskan bahwa ada
beberapa kaitan antara kebijakan Orba dengan pelaksanaan
program di Bank Dunia dan IMF. Di dalamnya program-
program neoliberal dari lembaga-lembaga internasional itu
mengambil tiga bentuk naïf. Pertama, paket kebijakan
Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari
komponen-komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan
aliran uang yang bebas; (b) Devaluasi; (c) Kebijakan moneter
dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku
bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak,
kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak
menaikkan upah dan gaji. Kedua, paket kebijakan deregulasi,
yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau
diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b)
privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga
mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; (c)
liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan
segala jenis proteksi; (d) memperbesar dan memperlancar arus
masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas

272
dan longgar. Dan ketiga, paket kebijakan yang
direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam
menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata
uang terhadap dolar AS, yang merupakan gabungan dua paket
di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik di sana-sini.185

Institusi-institusi global itu memaksa Orba meliberalkan


pelbagai kebijakannya dengan bujukan yang agak
mengancam: agar mampu selamat bukan hanya dari krisis
fiskal, tapi juga krisis utang yang sejak 1982 banyak
menampar negara-negara Dunia Ketiga—di Amerika Latin
dan Afrika—hingga default (menyatakan tidak mampu
membayar utang). Paham neoliberal dari lembaga-lembaga
multilateral tersebut dijelaskan oleh Bonnie mengandung tiga
postulat: pasar bebas dalam barang dan jasa, perputaran modal
yang bebas, dan kebebasan investasi. Disarikannya dari
Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia dalam What is Neo-
Liberalism?, bahwa neoliberalisme memiliki lima poin pokok:
(1) Aturan pasar: membebaskan perusahaan-perusahaan
swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah.
Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional
dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan
serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi
kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal,
barang dan jasa; (2) Memotong pengeluaran publik dalam hal
pelayanan sosial: ini seperti terhadap sektor pendidikan dan
kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’
untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran

185
Lihat Bonnie Setiawan dalam Ekonomi Pasar yang Neo-Liberalistik vs
Ekonomi Berkeadilan Sosial, buka
https://rowlandpasaribu.wordpress.com/ebook-gue/?

273
untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air
bersih—ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain
pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat
pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis; (3) Deregulasi:
mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa
mengurangi keuntungan pengusaha. (4) Privatisasi: menjual
BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor
swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya,
jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum.
Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang
nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam
sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak;
dan (5) Menghapus konsep barang-barang publik (public
goods) atau komunitas: menggantinya dengan “tanggung
jawab individual”, yaitu menekankan rakyat miskin untuk
mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan
kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan
menyalahkan mereka atas kemalasannya. 186

Melalui segenap kebijakan neoliberal maka penguasa dengan


pengusaha semakin intim di ranjang istana. Pesetubuhan di
antara keduanya mampu melahirkan keluarga-keluarga
politikus dan birokrat serta konglomerat-konglomerat raksasa.
Posisi mereka tak lagi ditentukan oleh mekanisme pasar yang
tidak kasat mata. Melainkan lewat pertautannya dengan sistem
patronase yang amat korup dan sentralistik di bawah penguasa
Orba: Soeharto. Paket-paket ekonomi neoliberal dan lima
paket UU yang disahkan pada 1985—masing-masing tentang:
Pemilu, Susunan Keanggotaan DPR/MPR, Partai Politik (PDI,

186
Ibid, Hlm. 4-5.

274
PPP) dan Golkar, dan Keormasan—merupakan bukti konkret
bagaimana kemesraan di antara mereka. Kelima yang terkahir
sengaja dibuat demi melancarkan jalannya akumulasi laba di
tengah hegemoni kekuasaan yang sudah minimum. Dengan
lima peraturan baru itulah penerapan paket deregulasi
ekonomi kemudian dapat dilindungi dengan diriuhkannya
represi yang membuat dinamika ekonomi-politik berubah
seram dan kehidupan rakyat hampir karam. Lihat saja:
berbekalkan UU Keormasan dengan bangganya negara
menindas orang-orang yang tidak setuju terhadap pelbagai
kebijakannya. Kesewanang-wenangan pemberlakuaan asa
tunggal Pancasila kemudian tidak cuma berhasil menghina,
menembaki, dan membunuh masyarakat Tanjung Priok,
karena beberapa tahun sesudahnya ternyata pasukan
bersenjata kembali dikerahkan untuk menerka, meringkus,
dan mencabut nyawa ratusan jiwa di Lampung. Lagi-lagi
kaum miskin dan tertindas yang taat beragama diganyang
tanpa belas kasihan seperti upaya-upaya membasmi bakteri
jalang. Kejadian ini terjadi tahun 1989, dikenang sebagai
Peristiwa Talangsari. Pembantaian berlangsung tiba-tiba,
kegiatan sholat komunitas muslim bahkan tidak aman untuk
diteruskan dengan dzikir dan do’a. Media Tempo
menceritakannya suasana tersebut dengan penuh bahaya
lantaran kedatangan gerombolan polisi dan tentara:

Gerimis merinjis Talangsari, pagi 19 tahun silam itu.


Harinya Senin, 7 Februari 1989. Umat Islam baru saja
membenahi salat subuh. Tiba-tiba terdengar tembakan,
gencar menyiram bangsal pengikut Warsidi di dukuh
yang masuk bilangan Way Jepara, Lampung Tengah
itu. Pekik tangis pecah ke angkasa, bersama desing
peluru. Empat peleton pasukan Brigade Mobil dari

275
Komando Resor Militer Garuda Hitam, Lampung
Tengah, marah bagai dirasuk dendam. Mereka dipimpin
Kolonel A.M. Hendropriyono. Sehari-hari, jamaah
Warsidi dikenal sebagai kelompok pengajian. Tapi
militer menuduh mereka mempersiapkan negara Islam.
Sebelumnya, beberapa kali polisi berselisih dengan
anggota kelompok ini. Komandan Rayon Militer
(Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, pernah
memanggil Anwar, tokoh kelompok itu. Anwar
menolak, malah meminta Soetiman datang ke
rumahnya. Camat Way Jepara, Zulkifli, kemudian
mengirim surat panggilan. Anwar tetap menolak….
Menyusullah kemudian subuh bersimbah darah itu.
Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara,
korban tewas 27 orang. Tapi sejumlah lembaga
swadaya masyarakat menghitung 246 korban tewas.
Pemerintah memburu jaringan kelompok ini ke Jakarta
dan Jawa Tengah. Beberapa pengikut tertangkap,
dijebloskan ke bui.187

Dalam pembantaian tersebut Komnas HAM mencatat: 109


rumah dibakar, 77 warga diusir paksa, 53 orang dirampas
kemerdekaannya, 46 disiksa, 268 dianiaya, dan 130
meninggal dunia.188 Pelakunya adalah negara melalui tangan-
tangan TNI-Polri dalam Badan Koordinasi Bantuan
Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstranas). Para
korbannya adalah rakyat-rakyat kecil yang menjadi jamaah
atau berfiliasi dengan kelompok Warsidi dari Pondok
Pesantren Warsidi di Desa Cihideung. Keresahan kelompok
ini sama dengan para korban pembunuhan di Tandjung Priok:

187
Media Tempo, (tanpa tahun), Edisi Khusus Soeharto, Jakarta: Tempo,
Hlm. 79.
188
KomIsi Nasional Hak Asasi Manusia, Op. Cit.,, Hlm. 67-68.

276
mempermasalahkan pelarangan pakaian busana muslimah
(jilbab) perempuan. Penyeragaman pakaian diakibatkan
intervensi kapitalis-kapitalis swasta terhadap pengambilan
kebijakan. Walhasil, negara berperan serupa pelumas laba
bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor
pertekstilan. Kontradiksi menjadi begitu tajam ketika
bercampur dengan bara yang selama ini laten: penolakan asas
tunggal Pancasila. Soalnya sejak disahkannya Pakjun 1983,
lima paket UU pada 1985—terutama tentang Keormasan, dan
Pakto 1988, rata-rata masyarakat semakin tidak percaya
kepada keputusan-keputusan keluaran istana. Apalagi setelah
dilarangnya penggunaan jilbab demi membudayakan pakaian
seragam, maka gejolak antara kalangan muslim dengan
penguasa-pengusaha makin membahana. Pertama-tama adalah
berkecamuknya kekerasan aparat dalam Peristiwa Tandjung
Priok 1984. Dan setelah UU Keormasan sah, kontan pada
1985 negara menyerang kelompok Islam politik yang
dipimpin Abdullah Sungkar di Solo sampai dibubarkan secara
paksa dan dikejar ke mana-mana.

Serdadu-serdadu berusaha membunuh Sangkar dan teman-


temannya. Namun dia berhasil melarikan diri ke Jakarta lalu
ke Malaysia. Sementara rekan lainnya menuju Lampung—di
sinilah mereka bergabung dengan jamaah Pesantren Warsidi.
Ceramah-ceramah yang disampaikan mereka yang berhijrah
(muhajir) dari Solo itu kerap mengkritik Orba: berkaitan
dengan pelarangan penggunaan jilbab dan penerapan asas
tunggal Pancasila. Tetapi masyarakat Lampung memberi
lampu hijau pada ceramah-ceramah muhajir terkait penguasa.
Keberterimaan banyak orang terhadap dakwah-dakwah itu
kemudian membuka lebar jalan untuk memperbanyak massa.

277
Jamaah diperbanyak dengan melakukan perekrutan lewat
pengajian rutin. Hanya saja, kelak tidak semua yang
mengikuti pengajian mengetahui adanya upaya perlawanan
yang sistematis oleh para penganjur gerakan kegamaan.
Komnas HAM menjelaskan, berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh: ternyata gerakan Islam politik Kelompok Warsidi
tanggal 7 Februari 1989, dihadiri juga oleh orang-orang yang
baru pertama kali mengikutinya. Mereka tidak tahu apa-apa
tentang tujuan utama pengajian. Hanya saja keikutsertaan
mendengarkan ceramah justru membuatnya menjadi korban
penyerbuan aparat militer dan pihak kepolisian. Sebagian
besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Mereka
banyak yang meninggal langsung di tempat kejadian karena
dibrondongi tembakan peluru ke sekujur badannya. Sementara
bagi yang berhasil meloloskan diri kemudian ditangkap,
ditahan, dianiaya, disiksa, bahkan diusir secara paksa dari
rumahnya:189

Dilihat dari serangkaian tindakan yang dilakukan aparat


negara sebelum, pada saat dan setelah peristiwa
Talangsari 1989 terdapat pola tindakan untuk
melakukan kekerasan kepada penduduk sipil yang
terkait dengan jamaah Warsidi di beberapa lokasi.
Keterangan para Saksi menunjukkan aktivitas aparat
keamanan atau sipil untuk melakukan pembunuhan,
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,
penganiayaan, penyiksaan dan tindakan lain
diantaranya pembakaran rumah-rumah penduduk sipil,
memaksa penghuninya keluar, dengan ancaman,
pembakaran, pelepasan tembakan bahkan penembakan
langsung yang mematikan. Bahwa berbagai institusi

189
Lihat Ibid, Hlm. 174-175.

278
negara dalam berbagai tindak kejahatan dalam
peristiwa Talangsari 1989 yang diduga terlibat atau
setidak-tidaknya mengetahui adalah dari Militer,
Kepolisian dan pemerintah sipil. Bahwa dugaan
keterlibatan institusi dapat dilihat dari kesiapan sarana
dan prasarana dan tindakan aparat negara di masing-
masing institusi pada kejahatan yang terjadi.
Keterlibatan berbagai institusi tersebut dapat
menunjukkan adanya aspek kebijakan pemerintah atas
terjadinya peristiwa Talangsari 1989. Kebijakan tidak
perlu diformulasikan dan secara normatif dapat
disimpulkan di lapangan. Kebijakan negara ini bisa
pelaksanaannya melalui lembaga, personil, atau
sumber-sumber daya negara. Bahwa institusi militer
yang terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah
Komando Rayon Militer (Koramil) Way Jepara,
Koramil Jabung, Koramil Labuan Maringgai, Komando
Distrik Militer (Kodim) Metro, Kodim 0411 Lampung
Tengah, Kodim Painan Padang dan Komando Resort
Militer (Korem) 043 Garuda Hitam Lampung. Selain
itu, … [dari] Jakarta, institusi militer yang terlibat atau
setidak-tidaknya mengetahui adalah Laksusda Jaya
termasuk penjara Kramat V dan Kramat VII. Institusi
Kepolisian yang terlibat atau setidak-tidaknya
mengetahui adalah Kepolisian Sektor (Polsek) Way
Jepara, Kepolisian Resort (Polres) Metro. Institusi
pemerintahan sipil yang terlibat atau setidak-tidaknya
mengetahui adalah Pemerintah Desa Rajabasa Lama
termasuk Pemerintahan tingkat Dusun Talangsari III,
aparat Kecamatan Way Jepara. Bahwa institusi sipil
yang juga diduga terlibat atau setidak-tidaknya
mengetahui adalah Lembaga Pemasyarakat Rajabasa,

279
Lembaga Pemasyarakatan Metro, dan Panti Sosial
Lempasing.190

Dalam fase hegemoni minimum kekerasan Orba semakin


menjadi-jadi. Negara menambah jumlah warganya yang
dibikin mati. TNI-Polri diberi legalitas oleh birokrasi untuk
main hakim sendiri. Maka tak hanya residivis atau orang-
orang tertuduh gali saja yang dilenyapkan tapi juga kalangan
pemeluk Islam sebagai ideologi. Menggebu-gebunya
kesewenang-wenangan bukan malah memulihkan
hegemoninya, melainkan memperluas perlawanan rakyatnya.
Bertambah luasnya resistensi Islam politik adalah bukti
permulaannya: mulai dari Tandjung Priok, Solo, hingga
Lampung. Sepak terjang Islam politik pada 1980-an
merupakan ekses dari dinamika ekonomi-politik yang begitu
tegang. Hanya saja mereka tidak memiliki agenda ekonomi-
politik yang bersungguh-sungguh berpihak kepada rakyat
miskin dan tertindas dengan membebaskannya dari
penindasan kapital, karena basis sosial utamanya berasal dari
kaum muda perkotaan terdidik dan kelas menengah. Lewat
analisis marxisnya Coen Husain Pontoh mengatakan: ‘bukan
berarti mereka mengabaikan dukungan rakyat miskin, tetapi
bagi mereka rakyat miskin hanyalah massa yang dimobilisir
dengan retorika-retorika revolusioner untuk memenangkan
hegemoninya’. 191 Persis seperti itulah yang diperbuat para
mubaligh-mubaligh buat menentang kebijakan penguasa.
Kemunculannya ke permukaan perpolitikan nasional
dikarenakan suasana krisis fiskal dan utang negara. Ini serupa

190
Ibid, Hlm. 180.
191
Deepa Kumar, (2012), Islam Politik; Sebuah Analisis Marxis,
Yogyakarta: Resistbook dan IndoPROGRESS, Hlm. 9.

280
dengan penelitian Deepa Kumar: ‘perkembangan krisis
ekonomi di beberapa negara yang menunjukkan metode
kapitalis untuk perkembangan nasionalis tak mampu
memberikan solusi. Kaum Islamis [Islam politik], melalui
jaringan sosial mereka yang luas mampu menawarkan solusi
‘Islami,’ dan jaringan ini makin berkembang pesat dengan
cara merekrut kalangan kelas menengah dan seksi-seksi lain
yang non-kelas’.192 Kehadirannya kemudian berhasil
mengguncang kuasa tiranis. Makanya kepemimpinan
Soeharto kala itu masuk dalam kondisi yang disebut Gramsci
sebagai ‘krisis hegemoni’ atau ‘krisis otoritas’. Penyebabnya
adalah tindakan tidak populer kelas penguasa sendiri,
sehingga meningkatkan aktivitas politik massa yang semula
mengalami pasivitas:

Manakala klas penguasa telah kehilangan


konsensusnya, misalnya tidak lagi ‘memimpin’ namun
hanya ‘dominasi’, menjalankan kekuatan kekerasan
sendiri, ini maknanya adalah bahwa massa telah
terlepas dari ideologi tradisional mereka, dan tak lagi
percaya apa yang dahulunya mereka percayai, dll.
Krisis ini memuat satu situasi dimana yang tua sedang
sekarat dan yang muda belum lagi lahir.193

Krisis ekonomi memang tidak langsung menghasilkan krisis


hegemoni tapi sebatas menyediakan kondisi untuknya. Itulah
kenapa apa saja yang terjadi pada basis-struktur akan
mempengaruhi super-struktur, dan begitupun sebaliknya. Ini
sejalan dengan rumusan ulang materialisme-historis dari
Martin Suryajaya: ‘superstruktur bertopang pada basis jika

192
Ibid, Hlm. 27.
193
Nezar Patria & Andi Arief, Op. Cit., Hlm. 168-169.

281
dan hanya jika tak ada perubahan dalam prakondisi
superstruktur tanpa perubahan pada basis. Namun, basis tidak
memproduksi superstruktur; basis hanya memproduksi
prakondisi bagi adanya superstruktur’.194 Inilah kenapa ketika
pendapatan negara merosot dan utangnya membumbung
tinggi maka bukan hanya mengakibatkan merebaknya
pelbagai konflik, karena kemudian diikuti dengan perubahan
pelbagai kebijakan juga. Pada saat itu basis nampak
menciptakan prakondisi bagi superstruktur. Situasi krisis yang
dihadapi negara mendorong pemerintah—menggunakan
politik-hukumnya, aparatur represif negara—tampil lebih
otoritarian dalam menertibkan dan mengendalikan rakyatnya.
Tetapi kegagalannya menormalkan situasi justru memicu dan
memperluas aktivitas revolusioner dari kelas yang
sebelumnya pasif: peristiwa Tandjung Priok 1984 hingga
Talangsari 1989 ialah contohnya. Kapitalisme-neoliberalisme
yang dikembangkan Orba sejak permulaan 1980-an menjadi
faktor utama yang membesarkan aksi-aksi kalangan Islam
politik. Dalam tinjauan marxis, massa gerakan ini berasal dari
‘lumpen-proletariat’: mereka merupakan lapisan pekerja dan
rakyat miskin tapi tak menjadi bagian kelas proletariat,
sehingga tidak memiliki kesadaran kelas namun memiliki
potensi revolusioner. Franz Fanon menyatakan: ‘Jika lumpen-
proletariat tidak diorganisasikan oleh kekuatan progresif,
maka mereka akan menjadi elemen kontra-revolusioner’. 195
Kala itu lumpen-proletariat tidak diorganisir oleh kekuatan
politik berbasis kelas melainkan Islam politik. Soalnya

194
https://www.martinsuryajaya.com/post/post/masrxisme-dan-
supervenience/
195
https://indoprogress.com/2018/siapakah-lumpen-proletariat-sebuah-
diskusi-konseptual/

282
semenjak tragedi Pembunuhan Massal 1965, negara telah
membasmi kekuatan-kekuatan politik berkesadaran kelas
bahkan setelahnya kekuatan sosial ini terus-menerus dikutuk.
Itulah kenapa yang diberikan kesempatan hidup dan
berkembang hanyalah kalangan lumpen-proletariat saja.
Situasi ekonomi-politik pemuja sistem pasar bebas menambah
besar jumlahnya. Azhar Irfansyah dan Muhammad Azka
Fahriza memberi paparan singkat mengenai keadaan mereka:

Berman dan Rose, menjelaskan bahwa neoliberalisasi


ekonomi yang membawa ekses pada kehidupan sehari-
hari nan keras masyarakat urban, pada akhirnya
menciptakan lingkungan ideal yang memunculkan
solidaritas dan identitas komunal berbasis agama.
Percepatan industri yang berlangsung sejak Orde Baru
menciptakan lumpenproletariat dalam jumlah besar.
Merekalah, sebagai bagian dari masyarakat muslim
yang sekian lama ditindas dan dihisap secara ekonomi
oleh pemerintahan sekular, yang kemudian diwadahi
aspirasi dan keluhannya oleh gerakan Islam secara
populistik…. 196

Gerakan Islam politik yang mampu menggerakan massa-


rakyat dengan slogan-slogan revolusioner keagamaan bukan
saja dihadapi Orba dengan pasukan bersenjata, tapi juga
dengan pelbagai intelektual yang mengerti agama. Soeharto
sadar ideologi Islam mengancam kekuasaannya. Sehingga
seusai militer berhasil meredam pergerakan para mubaligh
dan kaum muslim-miskin di Tanjung Priok, penguasa segera
mencari cara untuk menekan kesadaran politik umat beragama
196
Dede Mulyanto dan Coen Husain Pontoh (ed.), (2017), Bela Islam atau
Bela Oligarki? Pertalian Agama, Politik, dan Kapitalisme di Indonesia,
(tanpa kota): IndoPROGRESS & Islam Bergerak, Hlm. 45.

283
yang cenderung ekstrim dan berbahaya. Caranya adalah
dengan menghegemoni mereka melalui tokoh-tokoh
keagamaan dan intelektual moderat pendukung rezim. Orang-
orang ini dikenal sebagai cendekiawan muslim. Mula-mula
pada 1984, pertemuan pertama di antara mereka diadakan.
Namun belum menghasilkan keputusan pembentukan
organisasi cendekiawan muslim. Kemudian lewat pertemuan
kedualah dibentuknya organisasi para cendekiawan itu.
Perjumpaan tersebut dilangsungkan di Univesitas Djuanda
Bogor, tahun 1987. Di bawah patronase Letjen (Purn)
Alamsjah Ratu Prawiranegara (Jenderal Finansial), acara temu
para cendekia mencetuskan gagasan pembentukan Ikatan
Cendekiawan Muslim. Untuk itulah dibentuklah Forum
Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKPI) di bawah
kepemimpinan alumni HMI (KAHMI): Letjen (Purn) Achmad
Tirtosudiro (Jenderal Finansial). Sejak KAHMI berhasil
mempengaruhi moral junior-juniornya di PB HMI untuk
menerima asas tunggal Pancasila, maka perbuatan-perbuatan
politik mereka semakin diridhoi Soeharto. Sehingga dalam
struktur KAHMI pun selalu melibatkan semua unsur
kekuasaan.

KAHMI memang bukan merupakan institusi negara tapi


sudah tak dapat dibedakan dengan pranata kenegaraan.
Fachrur Riza menjelaskan: ‘Mulai dari cendekiawan, politisi
parpol, birokrat bahkan banyak senior-alumni HMI yang
masuk dalam jajaran militer, apalagi di zaman Orde Baru
selalu terkait dengan ABRI-Birokrat-Golkar (ABG) di mana

284
semua unsur tersebut terdapat unsur KAHMI’.197 Artinya
organisasi alumni HMI ini adalah peralatan hegemonisnya
tirani. Itulah sebabnya setelah diserapnya unsur-unsur
KAHMI oleh kekuasaan, maka alumni HMI itu menjadi
kelompok utama yang menjadi pelumas kekuasaan
hegemonik. Hanya FKPI yang diketuai Tirtosudiro tak
berhasil menghegemoni kelompok Islam politik. Buktinya,
1989 pembantaian di Talangsari meledak. Lalu di tengah
Munas KAHMI IV 1989 presiden berpidato (lihat kutipan
pidato presiden di atas): KAHMI diminta bantuannya bukan
saja dalam menghegemoni umat Islam tapi juga membngun
apa saja. Kontan, Tirtosudiro dan kawan-kawannya menjawab
permintaannya. Desember 1990 di Malang, organisasi
cendekia yang lebih besar dan luas cakupan diresmikan
berdiri: namanya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI). Di tengah hegemoni minimumnya, lembaga
kecendekiawanan inilah yang memberi bentuk di mana
kepemimpinan Soeharto menyadarkan hegemoninya pada
kesatuan ideologis elit-elit intelektual, politik, dan ekonomi.
Sejauh tentang ICMI, Dhaniel Dhakidae menjelaskannya
begini:

Menurut [Dawam] Rahardjo [alumni HMI] … [FKIP,


menjadi] cikal bakal sesungguhnya ICMI. Dengan
begitu apa yang terjadi di Malang bulan Desember
1990 hanyalah suatu gerak terakhir dari seluruh proses
di mana Dr. Habibie, Wakil Presiden Republik
Indonesia, diangkat menjadi Ketua Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia … ICMI mengambil keuntungan dari
197
Muhammad Fachrur Riza, (2012), “Politik Jaringan KAHMI dan
Kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid (2001)”, Skripsi, FISIP,
Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta, Hlm. 41.

285
politics of inclusion dengan memperoleh posisi sekutu
dalam diskursus agama Orde Baru di mana agama
adalah kekuasaan dan menghapuskan apa saja yang
memberi kesan adanya dikotomi antara agama dan
bukan agama dari satu proses kepada proses lain. Di
sana dilibatkan unsur-unsur institusi agama, militer, dan
birokrat lainnya. Dari satu fase ke fase lainnya ICMI
tergantung pada “ya” atau “tidak” yang diberikan para
penguasa. Bukan sesuatu yang tanpa maksud bahwa di
sana disebut Jenderal-jenderal, bahwa mereka sudah
pensiun tidak menjadi soal di sini, dan para birokrat
Orde Baru lainnya mengambil prakarsa atau pendiri
ICMI…. ICMI memorak-porandakan paham bahwa
kaum cendekiawan adalah makhluk merdeka karena
sebagaian pasti dekat dengan modal, sebagaian lagi
dekat kekuasaan dan yang lainnya lagi dekat dengan
dua-duanya sekaligus. Dengan demikian bisa dipahami
mengapa ada tiga kelompok besar yang menjadi inti
organisasi cendekiawan tersebut sebagaimana
dikatakan Adam Schwarz [dalam karyanya: A Nation in
Waiting, Indonesia in the 1990s] sebagai berikut:

… Dengan mengambil risiko terlalu menyederhanakan


masalah tersebut, keanggotaan ICMI bisa dibagi
menjadi tiga kategori utama. Dalam kategori pertama
adalah birokrat pemerintah dan ‘teknoklog’ yang
bekerja di bawah Habibie di BPPT [Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi] ditambah dengan
sekumpulan pemimpin Golkar. Professor universitas,
pebisnis dan menteri-menteri kabinet yang ‘didorong’
memasuki organisasi tersebut ketika organisasi itu
mulai mendapatkan bentuk awal tahun 1991 … yang
paling terkemuka dari mereka adalah menteri Azwar
Anas, Harmoko, dan Saleh Afiff, maupun mantan
pembantu-pembantu Habibie seperti Wardiman

286
Djojonegoro dan Hartyanto Dhanutirto yang pada bulan
Maret 1993 menjadi menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan Menteri Perhubungan…. Kelompok
kedua termasuk tokoh-tokoh dan pemikir muslim
moderat yang merasa senang dengan ICMI
sebagaimana adanya; yakni, sebagai forum intelektual
di mana kaum Muslim yang memiliki perhatian bisa
berdiskusi bagaimana Islam bisa dibuat menjadi
kekuatan sosial yang lebih positif dalam Indonesia
modern dan bagaimana pengajaran Islam bisa diubah
untuk memperbaiki keadaan ekonomi kaum muslim
yang miskin. Anggota terkemuka dalamkategori ini
termasuk sarjana-sarjana Muslim seperti Nurcholish
Madjid… Emil Salim, dan Sutjipto Wirosaradjono.
Habibie bisa dibilang masuk ke dalam kelompok satu
dan dua ini … Kategori ketiga terdiri dari sebagian
besar pemimpin Islam di luar pemerintahan dengan
rencana yang lebih ambisius untuk ICMI. Mereka lebih
menyukai suatu kendaraan politik yang lebih aktif
mewakili aspirasi Muslim modernis. Lebih dari kedua
kelompok di atas, mereka lebih bertanggung jawab
terhadap ide-ide buat ICMI dan menggerakan
organisasi tersebut; akibatnya, mereka menganggap
dirinya sebagai ‘ICMI yang sesungguhnya’. Mereka
juga mewakili sayap yang lebih mendapatkanperhatian
militer dan yang ingin dirangkul Soeharto. Para anggota
terkemuka kelompok ini adalah Amien Rais, Sri
Bintang Pamungkas, Dawam Rahardjo, Amin Aziz,
Watik Pratikya, Adi Sasono, Lukman Harun, Nasir
Tamara dan Imaduddin Abdulrahim. 198

Dhaniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan…., Op. Cit., Hlm. 593-


198

595. Dalam kotak merupakan tambahan tulisan dari penulis.

287
Pendirian organisasi cendekiawan muslim itu bukan sekedar
untuk menghegemoni kalangan Islam, tapi juga sebagai ajang
cari mukanya Orba di hadapan umat yang selama ini dihujani
kesewenang-wenangan. Kehadiran ICMI seperti sebuah
pencitraan. Penguasa ingin menampakan dirinya sebagai
pengakomodir kepentingan kaum muslimin. Padahal yang
terakomodir hanyalah orang-orang Islam yang berada di dekat
kekuasannya. Terutama aktivis HMI dengan para alumninya.
Keluarga besar himpunan yang berkarir gemilang di bawah
Soeharto bukan cuma Ahmad Tirtosudiro (mantan Kabulog
dan Dubes, Rektor Unisba 1986-1996), Abdul Gafur (anggota
DPA RI 1988-1997, Wakil Ketua MPR RI 1997-1999), Akbar
Tandjung (Menpora 1988-1993, Menteri Perumahan Rakyat
dan Pemukiman 1993-1998), Harry Azhar Aziz (penerima
pelbagai penghargaan kerjasama Orba dengan luar negeri
hingga ditempatkan jadi Pembantu Dekan/Ketua STEI Jakarta
1991-1993, politikus Golkar), dan Jusuf Kalla (konglomerat
piaraan Soeharto, mantan DPRD Sulsel, anggota MPR RI
Fraksi Golkar 1992-1998). Pada 1990-an nama-nama senior-
alumni HMI yang sukses mendapatkan maupun
mempertahankan posisinya dalam pranata kenegaraan
semakin bertambah: Syarifuddin Baharsjah diberikan jabatan
Menteri Pertanian (1993-1998); Mar’ie Muhammad diangkat
jadi Menteri Keuangan (1993-1998) lalu digantikan juniornya
Fuad Bawazier sebagai Menteri Keuangan (Mei 1998-Oktober
1998); Alala ditempatkan menjadi Gubernur Sulawesi
Tenggara (1982-1992); Beddu Amang bukan sekedar
diposisikan sebagai Menteri Urusan Pangan (1993-1996) tapi
juga diangkat Kabulog (1995-1998); Dawam Rahardjo
dipercayakan kursi Rektor Universitas 45 Bekasi (1994-
2004); Bustanil Arifin yang sebelumnya Kabulog (1978-

288
1993) kemudian dijabatkan lagi selaku Menteri Koperasi dan
UKM (1983-1993); Jimly Asshiddiqie dipasang pada Staf
Ahli Menteri Pendidikan (1993-1998) lalu dimuluskan
mendapatkan keanggotaan MPR RI 1998-1999 hingga
Asisten Wakil Presiden (1998-1999); Adi Sasono disuruh
memimpin Menteri Koperasi dan UKM (Mei 1998-Oktober
1999); Fahmi Idris diangkat menduduki Ketua DPP Golkar
(1998-2004) serta diberi posisi Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Mei 1998-Oktober 1999); Ekky Syachruddin
diberi kesempatan menjabat anggota DPR RI Fraksi Golkar
(1997-2001); Amien Rais dilancarkan mendirikan partai baru
hingga menjadi Ketum PAN (1998-2005); dan masih banyak
lagi yang nama-namanya tak sempat disebutkan.

Sepanjang 1990-an banyak sekali senior-alumni HMI yang


berkiprah terlebih dahulu di ICMI. ICMI bagi mereka seperti
KAHMI: tak sekedar aparatus ideologis negara, tapi terutama
batu pijakan menuju birokrasi. Hanya kehadiran ICMI
bukannya mampu meningkatkan hegemoni Orba terhadap
umat Islam melainkan menambah kesangsian pelbagai
kalangan. Aswab Mahasin bahkan menganggapnya sebagai
mesin semi-politis: ‘sulit sekali [ICMI] menjadi
independen’. 199 Lalu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga
ikut melayangkan kritikan. Kala itu Gus Dur sedang
memimpin Nadhlatul Ulama (NU). Sewaktu
kepemimpinannya organisasi keagamaan tersebut amat
membuat berang penguasa. Ketika NU diajak mendukung dan
bergabung ke ICMI tanpa ragu ditolaknya. Karena baginya
ICMI begitu jelek: jadi lembaga penyebar sektarianisme. Pada

199
Lihat Ibid, Hlm. 596.

289
1991, Gus Dur kemudian memprakarsai dan mendirikan
Forum Demokrasi (Fordem). Forum ini tak sekedar berniat
menandingi ICMI, tapi terutama memperjuangkan HAM dan
demokrasi. Fordem didirikan Gus Dur bersama segenap
aktivis bebas dari dikte-dikte penguasa. Mereka tidak cuma
berasal dari kalangan Islam namun pula kelompok agama lain,
bahkan melibatkan unsur-unsur pergerakan sekuler. Waktu
Fordem lahir segenap aktivis-aktivis itu semua bersepakat
melimpahkan jabatan Ketua Umum kepada Gus Dur.
Keberhasilan berdirinya Fordem tidak saja merupakan bukti
kendornya kekuasaan, namun sekaligus menandakan semakin
minimumnya kemampuan hegemoni rezim totaliter. Maka
setelah dilahirkan Fordem langsung menyorot kesewenang-
wenangan aparatus represif negara di Timur Leste. Karena
aktivis-aktivis dalam forum itu sudah sungat muak dengan
kesewenang-wenangan Orba di Dili. Daniel Dhakidae
menjelaskan sikap kritis mereka terbit melalui pernyataan
yang berisi kutukan dan desakan untuk mengusut kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara dan polisi:

Forum [Demokrasi] mengutuk kekerasan yang terjadi


ketika masyarakat sipil ditembak dalam suatu tembakan
massal di Dili. Forum mendesak agar dibentuk Komisi
Penyelidik Nasional untuk mencari fakta menuju
penyelesaian tuntas perkara Dili karena: “…peristiwa
Dili 12 November telah merupakan percikan noda pada
riwayat perjuangan menegakkan hak asasi manusia dari
proses demokratisasi di negeri kita … . Peristiwa 12
November [1991] di Deli bagaimanapun juga telah

290
menjadi citra buruk negara dan bangsa kita di hadapan
dunia internasional … .”200

Peristiwa di Dili 1991 dikenal luas sebagai tragedi


Pembantaian Santa Cruz. Di situlah militer bertingkah
beringas hingga membunuh massa dengan sadis. Berita
pembantaian tersebar ke berbagai penjuru dunia setelah
rekaman video dari Max Stahl—mengenai peristiwa ini—
diputar di ITV Britania pada Januari 1992. Dalam tayangan
yang viral itu terlihat jelas bagaimana TNI-Polri berhasil
melukai, menewaskan dan menghilangkan paksa petani,
buruh, dan terbanyak adalah kalangan mahasiswa. Tragedi ini
bermula tatkala para aktivis se-Timor menyiapkan
demonstrasi menyambut rencana kunjungan parlemen
Portugal ke Timor-Leste. Kedatangan pejabat itu dalam
kerangka perundingan Pemerintah Portugal dengan
Pemerintah Indonesia terkait siapa yang berhak menguasai
Timor Leste. Maka mereka dengan cekatan menyiapkan
spanduk untuk demonstrasi di Gereja Motael, Dili. Hanya saja
aktivitasnya dihalangi inteligen Indonesia hingga memicu
keributan yang menyebabkan kematian Sebastiao Gomes
Rangel oleh tembakan militer Indonesia. Kontan, anggota
dewan Portugal membatalkan kunjungannya. Aksi
menghadang kedatangannya lalu digantikan dengan
mengenang pembunuhan Gomes Rangel dalam bentuk
gerakan klandestin: melakukan arak-arakan untuk
menaburkan bunga di kuburan Rangel, di pemakamam Santa
Cruz. Di situlah suasana duka cita berubah menjadi
demonstrasi terbuka. Rakyat dan mahasiswa mengebumikan

200
Ibid, Hlm. 598. Tulisan dalam kurung merupakan tambahan dari penulis,
sementara cetak miring berasal dari Dhakidae sendiri.

291
mayat Gomes tidak sebatas dengan ritual pemakaman,
melainkan diiringi protes kepada penguasa. Pemerintah
Indonesia dicaci dan dikutuki. Massa bahkan membentangkan
spanduk yang bertuliskan keinginan untuk merdeka:
menenutukan nasib sendiri. Penguasa lantas murka. Aparat-
aparat bersenjatanya kemudian diperintahkan membrondongi
pembangkang dengan peluru. Jumlah korbannya ratusan
orang: terdapat 271 tewas, 382 terluka, dan 250 hilang. 201
Seno Gumira Ajidarma mengisahkan kembali tindakan biadab
tersebut—dalam Jazz, Parfum, dan Insiden—dengan amat
gamang. Lewat salah seorang tokoh di novelnya, dia
menggambarkan suasana mencekam saat kesewenang-
wenangan hingga kekerasan seksual berlangsung:

Hari itu ada 3.000 orang di gereja dan sekitar 1.500


orang menunggu di kuburan, karena memang ada
pengumuman dari beberapa stasiun radio: akan ada
upacara tabur bunga. Jadi semua orang datang,
termasuk anak kecil. Perjalanan dari gereja sampai
kuburan tidak ada gangguan. Hanya, sampai di markas,
katanya ada penusukan seorang tentara. Saya sendiri
tidak lihat siapa yang tusuk, banyak sekali manusianya
… tidak lama kemudian, tiga truk tentara datang dan
baru polisi berani lompat turun dari kendaraan. Di
belakang kuburan, kita lihat sudah banyak dikelilingi
tentara…. Tahu-tahu terdengar tembakan pertama, kita
tidak tahu itu tembakan ke atas atau ke mana. Mungkin
ke atas yang pertama, setelah itu langsung terdengar
rentetan tembakan, selama lima menit lebih. Waktu itu
saya berada di tengah. Saya lihat yang di depan

201
Lihat Roserio Dwi Aprianto Savio, (2008), “Membendung Arus Gerakan
Pro Timur Leste di Indonesia 1991-1999”, Skripsi, Fakultas Sastra Jurusan
Ilmu Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Hlm. 106-107..

292
berjatuhan semua. Tidak mungkin yang mati 19, karena
dari satu tentara saja, selama satu detik, dengan rentetan
tembakan seperti itu, sudah makan beberapa nyawa.
Apalagi ini banyak tentara dan banyak massa, tidak
mungkin hanya 19 orang tewas…. Banyak bukti lebih
dari 19. Dari orang tua yang ditinggal anaknya, ada
yang sampai lima anak yang tidak kembali. Teman-
teman kita yang mati, sudah lebih dari 19. Banyak di
antara teman-teman saya yang meninggal, tapi tidak
tercantum dalam daftar resmi…. Setelah tembarkan
antara lima sampai sepuluh menit selesai, mereka blokir
sekitar kuburan supaya orang tidak bisa lari. Ketika
mereka temukan yang masih hidup, termasuk saya,
disuruh telanjang semua, sambil mengancam,
‘Sekarang kamu semua berdoa, waktunya sudah tiba,
kamu akan mati semua!’ Saya waktu itu ditelanjangi,
kemudian dipukuli pakai kayu, terus salah satu dari
mereka mengambil bollpoint yang ada di baju saya, dan
memasukkan ballpoint tersebut ke alat kelamin saya.
Saya lihat teman di sebelah saya, kepalanya ditusuk
pakai pisau.202

Mendapati pembantaian di Timur Leste, ICMI tak angkat


bicara. Kaum miskin dan tertindas yang tengah menghadapi
persoalan HAM dan demokrasi tidak dibela. Kebengisan
negara dengan militernya enggan disikapi secara kritis, karena
lembaga ini sepenuhnya mendukung penguasa. Kegagapan
mengartikulasikan penderitaan rakyat tak cuma dialami ICMI,
namun pula KAHMI bahkan HMI. Di bawah hegemoni
pembangunanisme Orba, ketiga organisasi tersebut tak punya
taring. Daripada membangkitkan perlawanan ketiganya justru
202
Seno Gumira Ajidarma, (2004), Jazz, Parfum, dan Insiden, Yogyakarta:
Yayasan
Bentang Budaya, Hlm. 12-16. Cetak miring dari penulis.

293
hanya menyuntikan morvin kepada massa. Ketiga-tiganya tak
pernah mau mengerti bahwa kehidupan mustad’afin dan
dhuafa dilemahkan tanpa belas kasihan oleh modal dan
negara. Kapitalisme-neoliberal terus-menerus menggerayangi
kehidupan kongkret mereka: pasar dibebaskan sebebas-
bebasnya tapi rakyat serba diatur hingga gampang
diremukannya. Kebebasan pasar berada di tangan negara
sementara penderitaan warganya juga berasal darinya. Untuk
memastikan pasar bekerja maka negara memfasilitasi
persaingan bebas melalui deregulasi dan privatisasi apa saja.
Mula-mula dipromosikanlah kebijakan-kebijakan perpajakan
dan moneter, seperti melakukan reformasi perpajakan guna
membebasakan arus modal kaum kapitalis. Lalu Inflasi
dikontrol dengan cara membatasi subsidi, sehingga negara
pun tak bisa mengintervensi pasar yang semakin beringas.
Liberalisasi impor dan devaluasi terhadap nilai tukar mata
uang kemudian menjadi lancar. Seiring dengannya spesialisasi
pada komoditi tertentu—berdasarkan keunggulan
komparatif—semakin gencar. Di sampingnya dilakukan pula
peningkatan kompetisi di pasar domestik dan merangsang
ekspor.

Pemerintah juga meliberalkan arus modal guna menarik


investor asing sekaligus meningkatkan kemampuan domestik
dalam konsumsi dan investasi. Kemudian negara lagi-lagi
meliberalisasi sistem keuangan nasional supaya menambah
simpanan dan tingkat pengembalian investasi. Selanjutnya
difleksibelkanlah pasar tenaga kerja untuk meningkatkan
kesempatan kerja tapi bergaji murah; tujuannya agar pemodal
tidak ragu-ragu berinvestasi. Pelayanan terhadap kapital
seterusnya dioptimalkan dengan cara penataan sistem hukum

294
hingga memberi ruang hadirnya aturan yang dapat
memuluskan penciptaan dan perlindungan hak-hak milik—
privatisasi. Dalam kondisi seperti inilah negara tidak segan-
segan mengkhianatati bahkan melenyapkan rakyatnya sendiri.
Demokrasi politik yang dihadirkannya bukan untuk membela
kebenaran, memperjuangkan kesetaraan, memenuhi keadilan
dan perlindungan HAM. Karena sistem demokrasi
diperuntukannya hanya buat melindungi kepentingan kelas
yang berkuasa. Itulah mengapa dalam kehidupan demokratis
yang diselubungi kapitalisme-neoliberalisme, kaum miskin
dan tertindas menjadi korban utamanya: mereka dilemahkan,
sehingga tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan ekonomi suatu negara. Greg Albo dan Carlo Vanelli
mengurainya begitu rupa:

Substansi demokrasi sebagai proses perjuangan kelas-


kelas dan kelompok-kelompok sosial terhadap tatanan
sosial ekonomi yang terus berganti, dan pengembangan
kapasitas kewarga-negaraan, telah dihancurkan….
Yang tersisa dari demokrasi adalah legitimasi
prosedural yang disediakan oleh pemilu yang
menawarkan pilihan di antara kelompok-kelompok elit
politik yang kemudian membela kepentingan pasar dan
mengelola negara menjadi semakin koersif. Hal ini,
tentu saja, adalah langkah mengerikan menuju sebuah
dunia dari rezim politik yang sudah tua dan penyebaran
kekuasaan negara yang dilakukan secara sewenang-
wenang…. Klaim-klaim demokratis dari para neoliberal
untuk pembenaran moral atas kebebasan, sejak Hayek,
dibangun di atas subordinasi individu ke dalam
kekuasaan pasar yang diterapkan melalui pelaksanaan
legitimasi dengan pemaksaan negara dalam
mempertahankan kontrak dan properti. Dalam

295
praktiknya sebagai lawan dari abstraksi individualisme
radikal, neoliberalisme memperkuat ketimpangan kelas
sosial dan diferensiasi ketergantungan pada pasar
dengan mengorbankan proses-proses egalitarian dan
pengembangan demokrasi. Proyek neoliberal memang
saling terkait dengan ‘de-demokratisasi’ dan langkah-
langkah ‘otoriter’ yang tidak mungkin dipisahkan
praktiknya.203

Setelah permulaan 1980-an Orba mengadopsi kebijakan


neoliberal maka darah-darah rakyat kontan dihalalkan.
Pembunuhan yang dilakukan negara bukan hanya pada
peristiwa Petrus 1982-85, Tanjung Priok 1984, Talangsari
1989, dan Santa Cruz 1991; karena sampai masa-masa
terakhir kekuasaan Soeharto kesewenang-wenangan berdarah
semakin melimpah-ruah bagai tumbuhnya jamur di musim
hujan. Kekerasan itu masih seperti fenomena-fenomena
sebelumnya: di permukaannya nampak dipicu oleh persoalan
kriminalitas, keagamaan maupun kebangsaan, tapi di dasarnya
bersemayam kepentingan modal dan kekuasaan. Marx
memang mengatakan: ‘akumulasi kapital dimulai dan
ditopang oleh sebuah proses yang berdarah-darah’. Ini
disebutnya sebagai ‘akumulasi primitif’: ‘adalah proses
pemisahan paksa produsen-langsung (direct producer) dari
sarana produksi dan sarana penghidupannya yang berakibat
pada tertransformasinya sarana penghidupan menjadi sarana
produksi dan produsen-langsung menjadi buruh upahan;
variable capital bagi proses produksi kapitalis. Pemisahan ini
menciptakan capital-relation [relasi sosial tertentu] yang

203
Greg Albo dan Carlo Vanelli (penulis), Andre Barahamin dan Yizkia
Yoshie Polimpung (ed), (2015), Penghematan Melawan Demokrasi, (tanpa
kota): IndoPROGRESS, Hlm. 33-34.

296
merupakan persyaratan fundamental bagi akumulasi
kapital.204 Dari relasi sosial tertentu itulah lahirlah situasi
spesifik: kelas yang tidak menguasai alat produksi teralienasi
karena tenaga kerjanya disulap menjadi komoditas yang
kemudian disubtitusi oleh kelas yang berkuasa menjadi
kapital.

Ketika Karl Marx menciptakan teori akumulasi primitif ini


fenomena yang dipelajarinya adalah perjuangan dengan
kekerasan melawan pengusiran paksa dan perampasan. Dalam
sejarah akumulasi primitif, dia memberi contoh terkait apa
yang terjadi di Inggris—hampir 400 tahun sejak abad ke-14:
akumulasi ini dilaksanakan dengan memagari ‘fasilititas
umum’ yang pada awalnya bisa diakses pemanfaatannya oleh
siapa saja. Pemagaran itu kontan membuat para petani kecil
diusir dari tanah dikerjakannya. Karena tanah yang telah
dipagar tersebut dijadikan ladang untuk penggembalaan
domba demi memenuhi kebutuhan industri kain akan bulu-
bulu domba. Lantas petani-petani malang tadi yang sudah
tidak memiliki sarana produksi disulap oleh penguasa menjadi
tentara cadangan perindustrian yang baru berkembang.
Sayangnya mereka tidak bisa langsung beradaptasi dengan
kegiatan industri, karena perusahaan menuntut keterampilan
dan kedisiplinan tertentu. Orang-orang miskin dan tertindas
ini kemudian lebih memilih hidup sebagai lumpen-
proletariat—gelandangan, pengemis, perampok, dan
sebagainya. Maka untuk menertibkan dan menguasai mereka,
penguasa pun mengeluarkan undang-undang yang disebut

204
Amien Tohari, Dani Yuda Saputra, dkk, (2011), Dinamika Konflik dan
Kekerasan di Indonesia, Jakarta: Institut Titian Perdamaian, Hlm. 97.
Dalam kurung merupakan tambahan dari penulis.

297
oleh Marx dengan ‘Undang-Undang Berdarah’: aturan ini
bertujuan agar para lumpen-proletariat mau menjadi pekerja
upahan. Untuk itulah orang-orang yang tak sudi mematuhinya
dapat dihukum; mulai dari potong kuping, distempel di dada
dengan huruf S sebagai tanda budak (slave) dan huruf V yang
berarti gelandangan (vagabond), sampai dihukum mati selaku
pengkhianat bangsa. Singkat cerita, proses terciptanya
akumulasi primitif ditegaskan oleh Marx begini: ‘Sejarah
perampasan ini ditulis dalam sejarah kemanusiaan dengan
huruf darah dan api‘. Ahmad Tohari dan kawan-kawannya
meyakini bahwa akumulasi primitif akan tetap berlangsung
selama kapitalisme melakukan reproduksi untuk
mengakumulasi kapital kelas penguasa. Karena fenomena
yang dianalisis Marx pada abad 17 dan 18 bukan sekedar
penolakan eksploitasi di tempat kerja, melainkan pelbagai
bentuk perjuangan kelas dari mereka yang menolak dan
melawan pemisahan produsen dengan alat produksinya:

Dalam tradisi Marxis, akumulasi primitif seringkali


dilihat sebagai pra-sejarah modal. Ketika kapitalisme
sudah mapan, akumulasi primitif dilihat hanya sebagai
sejarah; sebagai periode transisi relasi sosial pra-
kapitalis ke relasi sosial kapitalis, khususnya dengan
merujuk peristiwa enclosure [tanah berpagar/tertutup—
pembagian post-feodal atas tanah-tanah yang luas untuk
kepemilikan pribadi] dan clearing of the estate
[pembukaan perkebunan] yang berlangsung selama
300-400 tahun di Inggris sejak akhir abad ke 14.
Padahal tidaklah demikian adanya, akumulasi primitif
akan selalu direproduksi bahkan dalam skala yang
semakin meluas. Memahami akumulasi primitif hanya
sebagai periode transisi akan gagal memahami bahwa
pemisahan pekerja dari alat-alat produksinya bukanlah

298
sebagai premis sejarah bagi relasi sosial kapitalis tetapi,
yang lebih, adalah kondisi dan prasyarat bagi
eksploitasi buruh oleh kapital. Relasi sosial kapital
dibangun di atas pemisahan pekerja dari sarana
produksi, dan dengan demikian akumulasi kapital
bertumpu di atas reproduksi terus-menerus pemisahan
pekerja dari alat produksinya.205

Di masa Orba, proses penciptaan akumulasi primitif


menyeruak ketika Soeharto menggencarkan
pembangunannya. Hawa dingin akumulasi primitif
terkandung dalam pelbagai langkah yang diambilnya di akhir
1960-an-1980-an. Mula-mula dengan Program Revolusi Hijau
maka kehidupan petani terasing dari kegitan produksinya di
lahan-lahan pedesaan hingga mereka harus memilih:
melakukan urbanisasi dan terproletarkan di pabrik-pabrik
perkotaan atau menjadi penganggur, gembel, dan penjahat di
desa-desanya. Apabila petani-petani itu tidak mau ke kota-
kota besar maka akan dipaksa menggunakan Program
Transmigrasi. Kebijakan ini bahkan ampuh sekali dalam
memisahkan Bangsa Papua dari tanah kelahirannya sekaligus
melucuti kekuasaan mereka atas kekayaan alam tanah airnya
dengan pelbagai ilusi. Tetapi ketika penduduk asli Papua
masih ngotot bermukim di kampung halamannya maka
penguasa mulai menggunakan kebijakan kasar: Operasi
Militer. Selama kepemimpinan Soeharto, pengerahan aparatus
represif negara untuk melancarkan sirkulasi dan akumulasi
modal telah mengakibatkan konflik berkepanjangan bukan
hanya di Papua, tapi juga Aceh bahkan di Timur Leste.
Dengan operasi-operasi militer itulah kenapa Laut Timor

205
Ibid, Hlm. 97-98.

299
jatuh ke penguasaan Indonesia bersama Australia dan
perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitasi SDA
rakyat di Aceh dan Papua semakin berjaya di atas
perlindungan negara.

Bahkan setelah kukuh mengadopsi strategi ekonomi-politik


kapitalisme-neoliberal di tahun 1990-an, maka Orba makin
menggencarkan proses penciptaan akumulasi primitifnya.
Dipertahankannya DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh
dan Papua adalah buktinya. DOM digencarkan di kedua
daerah tersebut karena penguasa berniat memuluskan
perampokan kekayaan alam yang ada di sana. Di Aceh, mulai
1989-98 Soeharto menjadikan wilayah tersebut sebagai DOM
demi melindungi kerja samnya dengan Exxon Mobil dalam
menambang gas alam melalui PT Arun dan Mobil Oil
Indonesia. Dalam mendapatkan jasa pengamanan dari TNI-
Polri ini Exxon berani membayar Pemerintah Indonesia lebih
dari 500.000 dolar AS per bulannya. Pembayaran tersebut
mendukung paling sedikit pelibatan 1000 personil keamanan
dari 17 kantor tentara dan polisi.206 Selama Aceh jadi DOM,
aparat-aparat mendapatkan pemasukan tidak saja dari jasa
keamanan (bisnis non-institusional) dengan perusahaan tapi
juga lewat penjualan senjata. George Junus Aditjondro
menyebut perdagangan senjata mereka sebagai ‘bisnis kelabu’
yang sebagian besarnya bersifat illegal; menyangkut
penggunaan sarana milik tentara dan polisi, hingga dilindungi
oleh senjata militer aktif serta otot para preman.

206
Lihat Anonim, (tak bertahun), Seri Studi Kasus: Kasus Keterlibatan?
Exxon Mobil di Pengadilan karena Perannya dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Aceh, International Center for Transitional Justice, tanpa
volume (tiada nomor) Hlm. 9.

300
Dari penelitian itu diberitahukan: penjualan senjata
kebanyakan dilakukan oleh aparat-aparat korup dan kadang-
kadang dijalankan oleh perusahaan yang legal. Bahkan
melalui perdagangan seperti ini kalangan serdadu yang rakus
bisa berniaga dengan GAM. Sepucuk senapan dapat dibeli
dari mereka seharga 50 juta rupiah. Patokan harga yang mahal
membuat GAM terpaksa mengumpulkan uang memakai cara
ilegal juga: menyelundupkan ganja dari Aceh ke negara-
negara tetangga—Muangthai Selatan dan Malaysia. Hanya
saja secara periodik TNI-Polri ternyata mampu menghalang-
halangi aksi penyelundupan sampai ganjanya disita. Akibat
penyitaan, keuntungan besar akhirnya diperoleh pihak
aparatus represif negara. Aditjondro berkata: ‘dari situ
muncullah lelucon yang beredar di kalangan aktivis
perdamaian di Aceh, bahwa “yang datang bawa M-16, pulang
membawa 16 M (16 milyar rupiah)’. 207 Tapi walaupun
menjadi patner bisnis ilegal serdadu-serdadu serakah, GAM
tetap harus dimusnahkan. Karena keberadaan GAM
mengancam sepak terjang modal-asing yang selama ini telah
memberikan keuntungan besar kepada pemerintahan. Apalagi
untung yang dikutip dari hasil penjualan senjata tidaklah
seberapa dibandingkankan anggaran operasi militer dari
perusahaan. Itulah mengapa dalam pembasmian GAM,
Soeharto tak segan-segan meningkatkan status Aceh menjadi
DOM dan mengerahkan ribuan pasukan tambahan. KontraS
melaporkan:

Pemerintah mulai melakukan upaya penumpasan yang


sistematik terhadap GAM sejak 1989 dengan

207
Dario Azzelini & Boris Kanzleiter (ed.), (2018), La Empresa Guerra,
Bisnis Perang dan Kapitalisme Global, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 244.

301
memberlakukan Operasi Militer di Aceh. Sejak itu pula
penumpasan itu dilakukan dengan berbagai cara atas
nama stabilitas keamanan demi pembangunan.
Penumpasan dilegitimasi dengan operasi militer dengan
berbagai nama sandi operasi. TNI terlibat dalam
kekerasan dan pelanggaran HAM secara sistematis
(tertutup) berupa pembunuhan, penculikan,
penangkapan sewenang-wenang tanpa disertai bukti-
bukti yang jelas, penyiksaan bahkan pemerkosaan
terhadap para anggota GAM dan warga sipil yang
dituduh sebagai anggota maupun simpatisan GAM.
Aparat keamanan juga melakukan pembakaran dan
pengrusakan rumah-rumah penduduk sebagai upaya
pemaksaan penduduk untuk mengakui keterlibatannya
dalam GAM … penerapan operasi militer ini juga dapat
dibaca sebagai usaha pemerintah untuk mengamankan
‘modal’ mereka di Aceh. Awalnya adalah sebuah
gerakan sporadis gangguan keamanan dan teror di
Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie, tempat
berbagai sumber daya alam dan industri penting
beroperasi…. [Lalu negara] memutuskan menggelar
operasi keamanan dalam negeri dengan mengirimkan
unit pasukan elite Angkatan Darat (Kopassus), dengan
nama sandi operasi “Jaring Merah”. Operasi tersebut
bukan operasi tempur melainkan operasi intelijen guna
menemukan rantainya dan operasi teritorial guna
menarik simpati dari masyarakat. Operasi Jaring Merah
dengan Komando Operasi Pelaksana adalah Komandan
Resort Militer 011 Lilawangsa yang mulai efektif sejak
tahun 1990. Operasi Militer ini semakin massif ketika
pada bulan Juli 1990, Presiden RI Soeharto
memerintahkan untuk mengerahkan 6.000 pasukan
tambahan, termasuk dua batalyon dari Kopassus
(Komando Pasukan Khusus) dan unit-unit tentara
lainya, seperti Kujang Siliwangi, Kodam VII

302
Brawijaya, Arhanud Medan, Linud Medan dan Brimob.
Setidaknya ada 7 operasi militer yang digelar selama
Aceh dalam masa Daerah Operasi Militer (DOM),
selain Operasi Jaring Merah, ada Operasi Siwa….
Struktur militer [Komando Teritorial (Koter): Komando
Resor Militer (Korem), Komando Distrik Militer
(Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), dan
Bintara Pembina Desa (Babinsa)] memungkinkan
penerapan strategi militer yang cepat di Aceh yang
mencakup pengawasan intensif, pemberlakuan jam
malam, penggeledahan rumah, dan penangkapan-
penangkapan tanpa dasar yang berskala luas. Hal ini
telah menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM oleh
TNI[-Polri] dalam tahun 1989 hingga 1998.208

Melalui praktek kekerasan dan pelanggaran HAM seperti


itulah Orba bersama Exxon Mobil mengamankan usahanya di
Aceh—PT Arun dan Mobil Oil Indonesia. Bahkan salah satu
kamp penyiksaan militer terbesar—sekaligus pusat komando
operasi militer (dengan sandi Operasi Jaring Merah)—berada
di Rancung: lokasi yang merupakan bagian dari kompleks
pabrik besar milik Exxon yang disediakan untuk
dipergunakan oleh aparat keamanan dalam melancarkan
operasinya. Pemodal tidak hanya memberikan aparat tempat
bermarkas, tapi juga fasilitas berupa buldozer untuk
membangun kuburan massal. Selama berlangsungnya DOM
itu Forum Peduli HAM Aceh mencatat ada ribuan kasus
kejahatan yang dilakukan TNI-Polri. Korbannya juga beribu-
ribu: 1.321 orang tewas/terbunuh; 1.958 masyarakat sipil
hilang; 3.430 warga disiksa; 128 wanita dan anak-anak

208
KontraS, (2006), Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap
Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS, Hlm. 25-29. Tulisan dalam kurung
merupakan tambahan dari penulis.

303
diperkosa; dan 597 rumah penduduk dibakar.209 Dengan
didorong oleh penguasa dan pengusaha maka tindakan-
tindakan bengis tersebut berjalan lancar. Dalam melakukan
tindakan kejinya aparat-aparat itu tidak mesti takut hukuman
dan kelaparan, karena diberikan perlindungan dan pasokan
makanan serta bahan bakar buat operasi militer.

Itulah kenapa Exxon Mobil merogoh kantong hampir lima


milyar rupiah setiap bulan hanya buat biaya operasional
pasukan keamanan yang disewanya. Dana yang diberikan
meliputi: uang saku sebesar Rp 40 ribu per prajurit setiap hari,
fasilitas transportasi, kantor pos, barak, radio, telepon, mess,
dan sebagainya.210 Sedangkan untuk memberikan pelayanan
terhadap perusahaan aparat represif negara itu telah
mendirikan sekitar 100-150 pos jaga di sekitar lokasi Exxon.
Masing-masing pos berisikan 25-50 personel. Per harinya
Exxon mengeluarkan anggaran Rp 33,75-127,5 juta buat
membiayai semua keperluan militer. Artinya, dalam setahun
[TNI-Polri] mendapat “setoran” sekitar Rp 12,15 miliar
sampai dengan Rp 45,9 miliar.211 Lewat sokongan politik
yang diberikan politikus dan birokrat di kursi-kursi
pemerintahan dan anggaran operasi militer dari modal-asing
maka sempurnalah kapitalisme-neoliberal memorak-
morandakan kehidupan rakyat Aceh. Kurnia Jayanti
menjelaskan dengan baik bagaimana keserakahan ekonomi-

209
Lihat Kurnia Jayanti, (2013), Konflik Terbuka antara Gerakan Aceh
Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta, Al-Turas, Volume
XIX (1), Hlm. 58.
210
Lihat KontraS, Aceh Damai dengan…. Op. Cit., Hlm. 35.
211
M. Najib Azca, dkk (tim peneliti KontraS), (2004), Ketika Moncong
Senjata Ikut Berniaga; Laporan Penelitian Keterlibatan Militer dalam
Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso, Jakarta: KontraS, Hlm. 35.

304
politik Orba telah mengakibatkan penduduk berkalang
penderitaan, diselimuti kesedihan, dan terus merintih:

…ribuan anak menjadi yatim piatu, banyak rumah


rusak atau dibakar, banyak istri yang menjadi janda,
banyak orang cacat karena penganiayaan, dan korban
jiwa pun sulit untuk di perkirakan jumlah pastinya. Di
perkirakan jumlahnya mencapai 3.800 sampai 35.000
jiwa. DOM juga menyebabkan pula perekonomian
Aceh mengalami stagnasi, sehingga kondisi kehidupan
rakyat Aceh sangat memprihatinkan.… Ekonomi Aceh
Mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup baik.
Namun amat disayangkan, tingkat pertumbuhan yang
cukup fantastik itu tidak memberikan pengaruh yang
positif bagi kesejahteraan penduduk setempat bahkan
kehidupan masyarakat yang hidup di kawasan industri
menunjukan ketidakberdayaan penduduk setempat
dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berubah
begitu cepat. Industrialisasi … memberikan denyut
kekayaan ekonomi yang luar biasa terutama dari migas,
pada 1984. Namun demikian, hadirnya wilayah industri
ini, bukanlah tanpa meninggalkan masalah seperti:
Ketidakpuasan dalam hal ganti rugi tanah yang di
gunakan dalam membangun industri (1). Sebagian
masyarakat ditakut-takuti dan diteror untuk
menyerahkan tanah dan menggunakan pihak militer
dalam aksi-aksi teror dan kekerasan baik fisik maupun
nonfisik (2). Penduduk asli Aceh yang sudah tergusur
tanahnya di tempatkan di lokasi-lokasi penampungan
yang jauh dari desa asal mereka dan jauh dari mata
pencaharian mereka semula (3). Eksploitasi Pusat dan
Daerah, salah satu masalah lainnya pemicu keinginan
rakyat Aceh ingin merdeka adalah adanya indikasi
eksploitasi pemerintahan pusat atas kekayaan alam
Aceh yang terlalu besar (4). Fakta bahwa suku bangsa

305
Aceh menempati 2/3 wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam hampir menyeluruh di Kabupaten Aceh
Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara,
sebagian Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Barat (5).
Faktor[-faktor] … inilah yang … [mengakibatkan]
ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat
dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru
menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan
elite Aceh. Karena Sistem sentarlistik Orde Baru telah
membuat posisi tawar-menawar yang lemah bagi
daerah dan memberikan alokasi sumber-sumber
kekuasaan yang terlalu besar ke pusat dan tidak
menempatkan daerah dalam posisi yang sejajar dalam
sistem politik. 212

Kehidupan mengenaskan seperti itu pulalah yang dialami


rakyat Papua. Dibanding Aceh, Papua bahkan telah sangat
lama digerayangi algojo-algojo bersenjata. Sewaktu Pepera
1969 saja, korban kekerasan maupun pembunuhan militer
diperkirakan sudah mencapai 3000 jiwa. Lalu ketika 1978
Papua ditetapkan sebagai DOM, maka kebiadaban semakin
menggila. Papua dikukuhkan sebagai tempat operasi militer
karena negara begitu berhasrat dalam membasmi OPM.
Sampai 1981, jumlah OAP (Orang Asli Papua) yang tewas di
tangan TNI-Polri meroket menjadi 30.000 kepala. Korban
kebanyakan berasal dari kalangan yang tidak bergabung
dengan OPM. Kawanan serdadu melukai, menyiksa, dan
membunuh mereka dengan mengandalkan prasangka dan
tuduhan—terlibat dalam kelompok pemberontak—tanpa
sedikit pun pembuktian. Negara begitu agresif menjagal
rakyatnya demi mengamankan aktivitas pengerukan kekayaan

212
Ibid, Hlm. 57-60. Dalam kurung merupakan tambahan dari penulis.

306
alam bersama PT Freeport di bumi Papua. Dalam merampok
emas dan tembaga di sana, Freeport berani mempekerjakan
TNI-Polri sebagai pembantunya. Sejak 1980, Orba menerima
upeti setiap tahunnya sebesar 5-7 juta dolar AS. Kemudian
diatur pula dengan Kepres No. 92/1996, bahwa Yayasan Dana
Sejahtera milik Soeharto ikut menerima jatah dari Freeport
senilai 20,3 juta dolar AS. Bahkan ketika 1996, dua ribu
pasukan tambahan berhasil dikirim ke Papua maka
perusahaan langsung membayar jasa pengamanan ini 40 juta
dolar AS.213.

Seperti DOM Aceh, dalam DOM Papua juga berlangsung


kegiatan bisnis kelabu yang dilakukan aparat keamanan.
Dengan bertugasnya 11.500 aparat represif negara dalam
berbagai operasi penumpasan OPM sampai tahun 1984 saja,
maka sekitar 34.500 ekor burung Cendrawasih telah terkuras
dari alam Papua. George Junus Aditjondro menjelaskan:
‘pasukan-pasukan itu tidak punya kesulitan mengangkat satwa
langka yang seharusnya dilindungi, sebab mereka dengan
mudah dapat menggunakan pesawat Hercules TNI/AU, kapal
TNI/AD, serta kapal patroli Polri’. 214 Mereka bahkan
mengomersialkan penggunaan pesawat Herculesnya serupa
usaha penerbangan pesawat-pesawat regular: tiketnya dijual
mulai 200-900 ribu rupiah. Di samping itu serdadu-serdadu
ini pun menjual ikan hasil rampasannya dari tangan nelayan,
hingga bekerja sama dengan para penebang liar yang
memberikannya banyak rupiah. Selama berlangsungnya DOM

213
Buka https://historia.id/politik/articles/papua-di-tangan-soeharto, dan
https://www.kompasiana.com/lagi-lagi-tanah-papua-sebagai-daerah-
operasi-militer-indonesia
214
Dario Azzelini & Boris Kanzleiter, Op. Cit., Hlm. 247.

307
Papua, kayu gaharu menjadi komoditas yang paling banyak
mengisi kantong polisi dan tentara. Konflik yang kerap timbul
di antara pencari gaharu dengan penduduk setempat tak
dihiraukannya. Aparat justru semakin berfokus mengejar
keuntungan dari kekayaan alam Papua. Itulah mengapa untuk
memperoleh untung berlimpah maka serdadu mendorong
segenap pedagang gaharu dalam membujuk pemburu gaharu
menyepakati sistem barter: gaharu ditukar seks. Pekerja seks
komersil (PSK) didatangkan TNI-Polri dari daerah sekitar atas
nama bisnis. Meski PSK yang dipekerjakan kebanyakan
mengalami HIV/AIDS perbarteran tetap digelar. Akibatnya,
pada 1990-an penyakit kelamin mendadak membuat
masyarakat Papua gempar. Soalnya barter gaharu dengan seks
mempercepat penyakit menjalar. Pertukaran komoditas tidak
saja menyebarluaskan sakit tapi amat mengeksploitasi para
pengumpul gaharu tadi. Aditjondro memapar begini:

…pengurasan gaharu telah melecut ledakan HIV/AIDS


di Papua…. Di daerah ‘segiempat emas’ perdagangan
gaharu di Kabupaten Merauke, yakni distrik-distrik
Akat, Agats, Asgon dan Atsy, para pedagang
membujuk rayu laki-laki setempat untuk berhubungan
intim dengan para pekerja seks, dengan bayaran gaharu.
Kedatangan para pekerja seks itu, yang sebagian
didatangkan dari Timika, didukung oleh anggota
berbagai satuan TNI dan Polri, khususnya Kostrad dan
Brimob. Pekerja seks yang direkrut untuk membantu
pengurasan gaharu dari pedalaman Papua umumnya
adalah mereka yang sudah merosot jumlah kliennya di
lokasi-lokasi industri seks di kota-kota Papua, seperti
Merauke, Timika, Sorong, dan Jayapura. Dengan
demikian, kemungkinan penyebaran penyakit kelamin
dan khususnya penyakit HIV/AIDS semakin besar,

308
sebab penyakit HIV/AIDS sudah teridentifikasi diidap
oleh pekerja seks di kota Merauke 1992, tiga tahun
kemudian di Timika, dan tahun 1998 di distrik Agats….
Kembali ke persoalan gaharu dengan pelayanan seks,
kualitas gaharu yang disetor ke pedagang pengumpul,
menjadi ukuran seks yang didapat oleh ‘pemburu
gaharu’ … dengan pelayan seks tersebut, selain
membawa resiko penyakit kelamin, secara ekonomis
juga sangat eksploitatif. Apa yang diterima laki-laki
penyetor gaharu tak ada artinya dibandingkan dengan
500 ribu sampai lima juta rupiah yang dapat diperoleh
eksportir gaharu dari Singapura dan pasaran lain di
dunia.215

Di pasar global harga gaharu bahkan mencapai 500 dolar AS


per poundnya. Inilah yang membuat keluarga istana tertarik
memperbisniskannya. Ari Haryo Wibowo (cucu Soeharto)
sampai terjun ke Papua Barat bersama pamannya Hotomo
Mandala Putra (anak Soeharto) guna memimpin kartel
pengumpul gaharu. Dalam mengangkut gaharu dari
pedalaman Papua maka lapangan terbang Timika yang
dikuasai PT Freeport dipakainya sebagai pos pengumpulan
gaharunya. Sejak di hutan sampai tiba ke bandara seluruh
aktivitas bisnisnya menggunakan pengawalan total aparat
represif negara. Struktur Koter—yang terdiri dari Korem,
Kodim, Koramil, dan Babinsa—adalah ahlinya. Di Papua
mereka jago sekali melakukan bisnis kelabu. Selain mengutip
untung atas hasil hutan, mereka juga mengadakan usaha ilegal
di wilayah perairan. Endapan tailing (bahan buangan
tambang) yang setiap hari mengendap di hilir Sungai Ajkwa
mendatangkan uang bagi satuan Kopassus. Karena para

215
Ibid, Hlm. 267-268.

309
kontraktor penebang pohon mati yang membuang limbahnya
di sepanjang hilir itu membayar ongkos perlindungan kepada
komplotan serdadu yang sedang bertugas. Hanya saja
pemasukan dari bisnis-bisnis kelabu barusan tetaplah tak
mampu mengalahkan keuntungan yang diberikan Freeport.
Perusahaan ini memberikan 11 juta dolar AS per tahun ke
dalam dana kolektif untuk kepentingan militer.216 Terhadap
aparat-aparat pengamannya dijamin pula pembiayaan terkait
infrastruktur, makanan dan uang makan, perumahan,
angkutan, reparasi kendaraan, membayar pengeluaran kecil
dan lain sebagainya.217 Melalui asupan tersebut negara
mengerahkan 3000-4000 personil TNI-Polri buat memuluskan
usaha perampokan SDA dari ancaman OPM.

Dengan pendekatan keamanan-militer, Soeharto terus-


menerus menggunakan ABRI (AD, AU, AL, dan AK) dalam
mengawal pengerukan SDA Papua sekaligus menumpas
gerakan OPM yang mencoba menghalanginya. Operasi
militernya dimulai dari 1966/67-1998. Sejak saat itulah Orba
melaksanakan operasi militer sebanyak enam tahapan: dibuka
oleh Operasi Bharatayudha (1966-1968) pimpinan Pangdam
XVII Cendrawasih Brigjen R.R. Bintaro; dilanjutkan Operasi
Wibawa (1968-1969) dari Brigjen Sarwo Edhi Wibowo;
disambung lagi Operasi Pamungkas (1969-1973) Brigjen
Acub Zainal; empat tahun kemudian dilaksanakanlah Operasi
Koteka dan Operasi Senyum (1977-1978) Pangab M. Jusuf;
setelah mengendor hampir sewindu barulah diadakan Operasi
Gagak (1985-1990) Mayjen Ali Moertopo; dan disusul

216
Lihat Ibid, Hlm. 256-258.
217
Herman Widodo (ed), Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Jakarta: Jurnal HAM, Vol. 12(tanpa nomor), Hlm. 13.

310
Operasi Rajawali (1990-1998) Mayjen Abinowo. Sepanjang
beroperasinya militer dalam mengamankan bisnisnya di
Papua, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Jan Warinussy
memperkirakan: jumlah korbannya hampir 100.000 jiwa.
Sementara Agus Sumule melacak agak rinci sebagian kasus
pelanggaran HAM Berat TNI-Polri: pada 1977 telah dibunuh
126 orang di Asologaiman dan 148 di Wasi, lalu 1979
sebanyak 201 penduduk dibunuh lagi di Kelila-Jayawijaya,
dan sepanjang 1980-1995 ada 13 warga hilang dan 80 wanita
diperkosa di pelbagai wilayah Papua.218

Sejak pelaksanaan operasi militer Papua petaka mendadak


menerpa lingkungan dan penduduk setempat. Apalagi setelah
DOM berlaku maka kehidupan warga semakin sekarat. Hasil
penelitian Tim Peneliti KontraS, bisnis institusional, non-
institusional, maupun kelabu dari TNI-Polri bersama para
pemodal berdampak getir terhadap alam, tumbuhan, hewan
dan terutama rakyat. Kolaborasi kekuasaan dan modal soalnya
memerosotkan kemampuan ekonomi, menikam keunikan
sosial-budaya, dan memangkas kelestarian lingkungan hidup.
Pertama, Dampak Ekonomi. Kerjasama perusahaan dan
aparat dalam menguras kekayaan alam mengakibatkan
penghasilan masyarakat berkurang. Soalnya kegiatan industri
terlalu serakah menyedot hasil hutan hingga penghasilan
warga sekitarnya berkurang. Intesifitas penebangan pohon
bukan saja mengancam keberadaan fatwa liar, melainkan pula
warga: demi kelancaran kegiatan perindustrian maka aparat
melarang orang-orang masuk ke hutan. Kerja-kerja berburu

218
Agus Sumule, (2005), Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi
Papua, Jakarta: Penerbit Gramedia, Hlm. 233-234.

311
dan mencari sagu kontan dianggap mengganggu kenyamanan
penebangan pohon. Dalam membatasi masuknya pemburu
dan petani ke hutan TNI-Polri menghantamnya dengan alasan
mengandung prasangka: kemungkinan mereka akan
bergabung dengan OPM sehingga mesti dihalangi. Hanya
kalau pekerja-pekerja ini berhasil masuk hutan, aparat
kemudian sering kali merampas binatang dan buah-buahan
yang didapatkannya. Kedua, Dampak Sosial-Budaya. Dengan
berpenetrasinya kepentingan Pemerintah Pusat dan pemodal
asing maka OAP—yang tergabung dalam suku-suku atau
marga-marga tertentu--kerap terkontaminasi secara budaya.
Para pendatang bukan hanya mampu menanggalkan
kebudayaan aslinya, tapi juga menyingkirkannya dari tanah-
tanah leluhurnya. Bahkan konflik antar-suku dan marga
seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin
menguasai hak ulayat mereka. Itulah mengapa adu domba
menjadi metode ampuh bagi pemodal dan penguasa dalam
menduduki tanah OAP yang kaya hutannya. Ketika konflik
pecah TNI-Polri lantas mengamankannya. Tapi kegaduhan
justru dimanfaatkannya untuk melucuti kekuasaan masyarakat
adat atas tanahnya. Mula-mula aparat kemanan—yang ada di
kampung-kampung—mencurigai penduduk, lalu membuatnya
was-was, dan tidak bebas bergerak. Inilah mengapa warga-
warga mulai merasa tidak nyaman tinggal dikampungnya
sendiri sampai akhirnya menyingkir bahkan terdepak.

Dan ketiga, Dampak Lingkungan. Usaha pertambangan dan


penebangan hutan sedikit sekali diiringi dengan reboisasi.
Penebangan pohon pun mengakibatkan ketidakseimbangan
ekosistem, karena suara bising dan ancaman kematian—
penggunaan alat berat dan habisnya makanan—yang

312
ditimbulkannya membuat binatang berpindah dari satu hutan
ke hutan lainnya. Bahkan aktivitas perindustrian yang tak
peduli lingkungan ini memicu kelangkaan atau kepunahan
pelbagai jenis binatang di Papua. Di Boven Digoel saja,
limbah perusahaan-perusahaan telah banyak meracuni air
hingga mematikan ikan dan buaya.219 Pembangunan yang
digencarkan Soeharto bukan membawa kedamaian dan
kesejahteraan melainkan keributan dan kerusakan. Ujung-
ujungnya adalah kematian lewat pelbagai kasus kejahatan
HAM. Melaluinya Papua, Aceh dan daerah-daerah pemilik
SDA lainnya menjadi sasaran keberingasan aparat. Hegemoni
pembangunanisme yang berjiwa kapitalisme-neoliberal
memorak-morandakan sektor-sektor penting kehidupan
rakyat. Ahmad Tohari dan kawan-kawannya menjelaskan
bagaimana tragisnya nasib rakyat miskin dan tertindas di
tangan penguasa dan konglomerat:

…pada zaman Soeharto itu diselubungi oleh cerita


hancurnya mayoritas rakyat Indonesia di kantong-
kantong SDA. Mereka dieksploitasi hingga ke bulu-
bulunya, dengan mengambil tanahnya, mengeruk
mineralnya dengan alasan pembangunan, menanami
tanah yang dirampas itu dengan tanaman yang tidak
dinikmati hasilnya oleh penduduk setempat dengan
alasan peningkatan industri, mengambil kayu-kayu
yang ada di sana dengan alasan konservasi, serta
membuat orang-orang itu mendekam dalam situasi sulit
karena harus bekerja sebagai orang upahan yang untuk
biaya hidup sehari-haripun susah. Sebaliknya, di sudut

219
Disarikan dari M. Najib Azca, dkk (tim peneliti KontraS), Ketika
Moncong Senjata Ikut Berniaga; Laporan Penelitian Keterlibatan Militer
dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso, Jakarta: KontraS.

313
yang lain, proses itu menciptakan tumpukan kekayaan
besar di segelintir orang di dalam negeri yang patuh
pada Soeharto, dan patuh pada kebijakan-kebijakan
liberal yang diterapkannya…. Pada periode 1980-an
awal, Rio Tinto, Newmont Gold Company, Newcrest
Mining Ltd, Broken Hill Proprietary Company, dan
Inco Ltd, mulai beroperasi di areal-areal tambang
strategis. Sementara itu perusahaan-perusahaan HPH
(Hak Penguasaan Hutan) milik keluarga Soeharto mulai
membuldozer bukit-bukit di Kalimantan, dan
perkebunan besar swasta selain areal PTPN yang terus
melanjutkan usahanya sejak tahun 1979 (Konversi Hak
Barat). Sementara itu, karakter otoriter yang dilakukan
oleh Orde Baru membuat mekanisme partisipasi rakyat
tidak banyak terkuak ke publik. Pada zaman Orde Baru
kasus konflik dan kekerasan itu telah banyak, tetapi
karena kontrol kuat pemerintah terhadap media massa
pada waktu itu sehingga informasi-informasi konflik di
wilayah-wilayah bersumberdaya alam pada periode
1990-an tidak terlihat kecuali itu ditampilkan dalam
wajah yang berbeda. Misalnya konflik SDA di Aceh
dan di Papua dikampanyekan sebagai gerakan separatis
[Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua
Merdeka (OPM)] yang harus dibasmi dengan kekuatan
Militer. Demonstrasi massa dianggap gerakan subversif
dan menentang Negara….220

Kapitalisme-neoliberalisme telah merampas kedaulatan rakyat


atas tanah dan kekayaan alamnya di perkebunan dan hutan-
hutan. Keadaan ini membuktikan bahwa akumulasi primitif
masih terus mengada dalam kehidupan masyarakat modern.
Sepanjang kepemimpinan hegemonisnya Soeharto—terutama

220
Amien Tohari, Dani Yuda Saputra, dkk, (2011), Dinamika Konflik….
Op. Cit., Hlm. 119-124. Dalam kurung merupakan tambahan dari penulis.

314
sejak digulirkannya pelbagai kebijakan neoliberal—badan-
badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan tak segan-
segan memagari lahan-lahan konsesi, dan mengeluarkan
masyarakat adat dari dari wilayah tersebut. Kontan, hubungan
dan cara komunitas lokal menikmati hasil dari tanah dan alam
menjadi terputus. Penguasa dan pengusaha memutuskan
begitu mudah: melalui pemberlakuan hukum, penggunaan
kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga
penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status
kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh rakyat melainkan
kapitalis-birokrat, kapitalis-swasta dan kapitalis-asing.
Walhasil, fenomena akumulasi primitif mengakibatkan
berserakannya orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat
pada tanah dan alam: mereka hanya mengandalkan tenaga
yang dipunyainya saja, sehingga menjadi pekerja bebas.
Kondisi petani-petani kecil di desa-desa sudah begitu
mengenaskan karena kekayaan alamnya semakin terkuras.
Susahnya bertahan hidup di pedasaan kemudian mendorong
mereka pergi ke kota buat mencari kerja. Tetapi akumulasi
primitif dalam kehidupan masyarakat kapitalis juga ikut
melahirkan kantong-kantong kemiskinan di kota-kota.

Akhirnya masyarakat perkotaan dan pedesaan sama-sama


dimiskinkan lewat berbagai kebijakan neoliberal yang
meliberalisasi, mengomersialisasi, dan memprivatisasi sektor-
sektor publik. Inilah yang membuat kehidupan di desa dan
kota sama saja: mencekik. Penghentian secara paksa akses
atas tanah dan kekayaan alam mendepak orang-orang dari
desanya untuk memulai kesengsaraan di kota-kota: menjadi
buruh upahan. Semetara kebijakan neoliberal yang digalakan
pemerintah tak sedikitpun memperhatikan kesejahteraan kelas

315
pekera, melainkan hanya mempermulus akumulasi modal
banyak perusahaan. Bila rakyat miskin dan tertindas itu
melakukan protes terhadap segala kebijakan yang
memiskinkannya, maka akibatnya sangat fatal: gampang
dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi, hingga
mendapatkan beragam kekerasan aparatus represif negera
yang dibenarkan secara hukum. Dalam fenomena akumulasi
primitif yang merebakan permasalahan kekerasan dapat
digunakan konsep menarik dari Karl Polanyi: double
movement (gerakan ganda). Darinya diketahui terdapat dua
gerakan koinsidensi: Di satu sisi ada gerakan pasar yang
secara inheren tidak punya batasan, sehingga mengancam
eksistensi dasar masyarakat. Sedangkan di sisi lain, berdiri
gerakan sosial yang mencoba mempertahankan dirinya
dengan membuat institusi untuk wadah perlindungan
sekaligus perlawanannya. Melalui gerakan ganda inilah
Masimmo de Angelis menjelaskan kontiunitas akumulasi
primitif dalam masyarakat kapitalis. Baginya akumulasi
primitif (perampasan) juga akumulasi kapital (eksploitasi)
sama-sama meletakkan modal sebagai kekuatan sosial yang
harus mengatasi batas-batas yang menghalangi: akumulasi
kapital dengan pengeksploitasiannya pada tenaga kerja
memiliki batas-batas kuantitatif; sedangkan akumulasi
primitif yang hadir merampas kekayaan-kekayaan alam
mempunyai batas-batas kualitatif. Namun kedua akumulasi
tersebut sama-sama mengharuskan modal mengatasi dua tipe
limits (batas)—the limits of frontier (batas-batas perbatasan)
dan the limits as political recomposition (batas sebagai
rekomposisi politik):

316
The Limits of Frontier adalah batasan yang membelah
wilayah yang sudah dikolonisasi dan wilayah yang
belum dan bisa dikolonisasi. Ini adalah identifikasi
ruang sosial yang relatif masih belum dikolonisasi oleh
relasi produksi kapitalis. Identifikasi ruang seperti ini
berujung pada akumulasi primitif, dengan cara
menjadikan ruang ini sebagai horizon bagi kebijakan
dan tindakan yang memisahkan manusia dari sarana
penghidupan mereka. Adapun the limits as political
recomposition adalah limit yang diidentifikasi oleh
kekuatan sosial yang melawan modal. Cara yang
dilakukan gerakan yang membatasi/menggangu proses
produksi kapitalis ini adalah dengan membangun
pertahanan sosial terhadap dorongan tak berujung
komodifikasi dan akumulasi, dengan cara membuat
ruang yang tidak terkoneksi dengan logika pasar.
Sehingga, kapital dihadapkan dengan kebutuhan dan
problem strategis untuk membongkar penghalang ini.
Kapital itu encloses [tertutup—digunakan untuk
kepentingan pribadi, bukan kepentingan bersama].
Perlawanan, penolakan yang sering terjadi di seputar
masalah sumberdaya alam yang dilancarkan oleh
masyarakat, dan sering kali berbentuk konflik. Konflik
ini bisa dipandang sebagai pertarungan di garis batas
antara pasar yang melakukan perluasan cengkraman
dengan kekuatan rakyat dalam mempertahankan ruang
hidup yang selama ini relatif belum terpasarkan. Dan
perlawanan atau penolakan itu sebenarnya adalah
counter-enclosure [menghadang perampasan oleh para
kapitalis].221

Kapitalisme semakin berkembang karenanya teori akumulasi


primitif Marx dimodifikasi oleh David Harvey menjadi

221
Ibid, Hlm. 99-100. Tulisan dalam kurung dari penulis.

317
accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara
perampasan) yang cakupannya begitu luas. Proses terciptanya
akumulasi tersebut ditekankannya melewati: ‘produksi ruang,
organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru
dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam
cara perolehan sumberdaya baru yang jauh lebih murah,
pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari
dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi
terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan
sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya
aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi
penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja’. Dalam
karyanya—Imperialisme Baru, Genealogi dan Kapitalisme
Kontemporer—Harvey menampilkan model terbaru dari
kebuasan kapitalisme. Ia menyebutnya sebagai ‘ujung tombak
akumulasi dengan cara perampasan’: yakni seperti aset-aset
yang dipegang oleh negara atau dikelola secara bersama oleh
penduduk dilepaskan dengan pelepasan hak secara paksa atau
sukarela ke pasar; lalu ketika modal-modal yang berkelebihan
itu sanggup berinvestasi maka akan memperbaharui dan
berspekulasi dengan menggunakan aset-aset tersebut: ‘apa
yang dilakukan melalui accumulation by disposession
sesungguhnya adalah melepaskan serangkaian aset (termasuk
tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam
banyak hal sungguh tanpa biaya). Modal yang telah
terakumulasi secara berlebihan dapat dipakai untuk merampas
rangkaian aset tersebut dan segera memasukkannya ke dalam
suatu usaha baru pelipatgandaan keuntungan’. Sementara
wujud-wujud mutakhir akumulasi dengan cara perampasan di
zaman neoliberal ini berlangsung melalui: proses privatisasi
badan-badan usaha milik negara dan publik; komodifikasi

318
tanah dan SDA lain; finansialisasi yang dilakukan berbagai
macam badan keuangan internasional dan nasional; kebijakan
mengatasi krisis-krisis finansial, ekonomi, politik, sosial,
bahkan bencana alam; hingga berbagai bentuk privatisasi
asset milik negara.222

Di Indonesia, imperialisme baru seperti itu dilahirkan oleh


Orba. Selama Soeharto berkuasa masa kejayaan akumulasi
dengan cara perampasan berlangsung dari permulaan 1980-an
sampai 1990-an. Semuanya muncul melalui rupa kebijakan
ekonomi-politik kapitalisme-neoliberal. Kebijakan tersebut
bukan saja meningkatkan akumulasi melalui perampasan
sektor-sektor penting kehidupan rakyat, tapi juga menambah
besar utang negara. Utang luar negeri yang berlimpah
mengakibatkan pemerintahan rentan terpengaruh kepentingan
lembaga-lembaga donor internasional, terutama negara
kapitalis pemberi pinjaman seperti Amerika dan sebagainya.
Pada 1970-an—ketika Indonesia meraih pendapatan besar
lewat ekspor minyak yang saat itu harganya tengah meroket,
utang luar negeri justru mengangkasa. Posisinya sebagai
pengekspor minyak terbesar malah dimanfaatkannya untuk
memperoleh lebih banyak pinjaman. Persentase total utang
luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun-
tahun sesudahnya pun meningkat: pada 1980 mencapai
26,8%; tahun 1986 menjadi 53,6%; dan di 1990-an melonjak
ke 230%. Walau utang membuat pemerintah gampang didikte
kepentingan-kepentingan asing, tapi seluruh pinjamannya
justru dibela matia-matian oleh penguasa dengan

222
Lihat David Harvey, (2010), Imperialisme Baru; Genealogi dan Logika
Kapitalisme Kontemporer, Yogyakarta: Resist Book. Hlm. 149-158.

319
mengatasnamakan pembangunan. Bersama cita-cita inilah
Orba mengajak para cendikiawan muslim piaraannya untuk
semakin solid dalam mendukung pelbagai kebijakan
pembangunannya. Meski kejahatan HAM menyelimuti
pelbagai pembangunan, Soeharto tetap mencoba menyatukan
pikiran dengan aliansi hegemoniknya. Dalam sebuah kegiatan
silaturahmi yang diadakan HMI-KAHMI pada 1994, presiden
mengutus Panglima ABRI Feisal Tandjung untuk
menyampaikan pesan naifnya:

Akhir-akhir ini bangsa Indonesia banyak diuji oleh


berbagai permasalahan yang muncul, baik bersifat
konstitusional maupun inkonstitusional dalam berbagai
bentuk kegiatan seperti unjuk rasa, aksi protes, kasus
kemelut dalam tubuh organisasi…. Bila untuk menjaga
stabilitas tersebut pemerintah terpaksa menentukan atau
mengambil langkah preventif atau represif sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku itu semua adalah
demi menyelamatkan kepentingan bangsa dan
negara…. KAHMI sebagai organisasi senior dari
alumni HMI, diharapkan mampu memberikan
bimbingan bagi adik-adiknya yang berada di HMI, agar
lebih berperan secara positif dalam memelihara dan
mengisi kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945… ABRI
sangat mengharapkan kerjasama dengan semua pihak
untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa agar
dapat menunjang jalannya pembangunan nasional.
Untuk itu saya mengharapkan KAHMI bersama ABRI
dapat memelihara jalinan hubungan
kemanunggalan….223

223
Abdul Hafidz, dkk (ed), HMI dan KAHMI Menyongsong… Op. Cit.,
Hlm. 124-127.

320
Ideologi pembangunanisme yang dielu-elukannya telah
memutus urat malu negara. Atas nama pembangunan Orba
tidak hanya menggelar operasi-operasi militer di Timor Leste,
Aceh dan Papua, tapi juga tak tanggung-tanggung menambah
utang luar negerinya. Bisnis-bisnis keamanan yang dilakukan
dalam operasi-operasi militernya enggan cukup memenuhi
kebutuhan pembangunannya. Soalnya keuntungan-
keuntungan dari bisnis tersebut hanya mengalir ke kantong
keluarga istana dan kroni-kroninya. Maka sepanjang 1992-
1996 digencarkanlah peminjaman dana-dana lembaga donor
internasional demi membiayainya negara untuk membangun
apa saja. Itulah mengapa jumlah utang kemudian melambung
ke angkasa. Pinjaman terbanyak didapatkannya dari fasilitas
kredit ekspor yang disediakan ECA (Export Credit Agencies
and Investment Insurance Agencies). Lembaga donor itu
merupakan badan milik pemerintah di negara-negara kapitalis
maju yang berperan merealisasikan berbagai proyek investasi
dan infrastruktur berskala besar di negara-negara berkembang.
Bonnie Setiawan memberitahu, ECA memberikan asuransi
risiko politik apabila ada “jaminan balik” (counter guarantee)
dari pemerintah Indonesia. Pemerintah diwajibkan untuk
menjamin keamanan politik dan membayar kembali investasi
yang sudah dikeluarkan apabila proyek gagal akibat situasi
politik di negaranya. Inilah kenapa jaminan yang diberikan
justru membawa angin segar buat proyek antar-swasta, karena
jika pemerintah gagal menciptakan stabilitas politik maka
risiko hutang swasta bisa menjadi hutang negara.224

224
Lihat sejelas-jelasnya dalam Boonie Setiawan, Op. Cit., Hlm. 9.

321
Bonnie Setiawan menganggap cara kerja ECA itu mirip
‘mafia’, karena di negara asalnya tidak dapat dikontrol
parlemen, tak transparan, dan enggan membuka informasi
kepada publik mengenai proyek-proyeknya. Kala Soeharto
bertakhta ada sekitar 33 proyek pembangunan dibiayai dengan
dana-dana bantuan kapitalis-global: ECA. Proyek tersebut
kebanyakan adalah mega-proyek konglomerat, kroni, dan
anak-anak penguasa. Semua proyek mereka berdiri di atas
kubangan utang, perampasan lahan, serta darah dan air rakyat;
tapi ICMI dan KAHMI tak pernah mempersoalkannya.
Alumni-alumni HMI sepertinya sudah kehilangan keberanian
dalam menyeruakan kebenaran. Soeharto memang telah
berhasil membuat mereka kehilangan keberanian.
Pembangunan melulu dipandangnya dengan riang-gembira.
Bahkan bapak pembangunan selalu dipuja-puja. Di mata
KAHMI, Soeharto begitu sempurna. Itulah sebabnya para
senior-alumni ini kerap kali mempengarungi moralitas junior-
anggota HMI untuk berpandangan sama dengan mereka.
Moralitas yang disuntikannya ke PB HMI bahkan telah
mengakibatkan acara-acara HMI terbuka akan kepentingan
istana. Dalam pembukaan Kongres HMI ke-20 (21 Januari
1995) dan Dies Natalis HMI ke-50 (20 Maret 1997), Soeharto
meminta agar HMI tak henti-henti mendukung pembangunan
meski harus menyuntik rakyat miskin dan tertindas dengan
candu penenang. Pidatonya gamblang: ‘HMI hendak ikut
memberi perasaan tentram di hati masyarakat untuk mencegah
kemungkinan terjadinya gejolak sosial, dengan segala dampak
merugikan kepentingan bersama [pembangunan]’.225 Padahal

225
Abdul Hafidz, dkk (ed), HMI dan KAHMI Menyongsong… Op. Cit.,

322
proyek-proyek pembangunnya tidak saja menambah besar
jumlah utang negara yang ditanggung oleh rakyat, melainkan
pula memunculkan persoalan korupsi. Bonnie menjelaskannya
begini:

Dalam kenyataannya [pabrik pulp and paper—PT


Tanjung Enim Lestari, PT Indah Kiat Pulp and Paper
di Sumatera Selatan dan PT Riau Andalan Permai di
Riau; tambang tembaga dan emas PT Newmont Nusa
Tenggara di Sumbawa; proyek PLTGU Paiton I di
Jawa Timur; dan berbagai proyek semen, teknologi
satelit, serta teknologi dan transport militer], semua
mega-proyek ini bermasalah karena mark-up proyek
dan korupsi besar-besaran; serta membawa bencana,
karena merusak lingkungan, menggusur rakyat dan
menambah beban hutang. Pada masa Suharto, dari
tahun 1992-1996, hutang dari ECA sebanyak US$ 28,2
milyar, atau 24% dari stok hutang Indonesia. Tiga besar
ECA yang aktif di Indonesia adalah Bank Exim Jepang
(JEXIM, sekarang merger dengan OECF menjadi
JBIC), Bank Exim AS, dan Hermes dari Jerman. JBIC
(Japan Bank for International Cooperation) kini adalah
ECA terbesar di dunia, yang juga mengelola proyek-
proyek pinjaman bilateral pemerintah Jepang. JBIC
mendanai 10 proyek besar di Indonesia, yaitu PLTGU
Paiton, Tambang Batu Hijau, LNG Pertamina, Semen
Indo-Kodeco, penyulingan minyak Pertamina,
Indocement, proyek listrik Jawa dan Jawa Barat, listrik
Tambak Lorok, Tanjung Enim Lestari pulp and paper,
dan tambang INCO. ECA kini cenderung semakin
menggantikan mekanisme ODA (Overseas
Development Assistance), karena besarnya kepentingan
TNC-TNC di negara maju untuk mengerjakan berbagai

Hlm. 6.

323
mega-proyek infrastruktur lewat pembiayaan bilateral
maupun multilateral. ECA juga aman bagi TNC, karena
akan digaransi oleh pemerintah. Artinya rakyat juga
yang harus membayar hutangnya.226

Modal hasil utang yang berlimpah bukan sekedar digunakan


membiayai pembangunan melainkan juga menggoda para
kapitalis-birokrat dalam mengguritakan korupsi di tubuh
birokrasi. Paduan antara perilaku korup dengan mengutang
mengakibatkan rakyat menyeringai. Walau pemerintahan
Orba sebegitu kejamnya namun HMI tak punya nyali
mempersoalkannya. Senior-alumninya yang menjadi politikus
maupun birokrat bukan saja telah membutakan bola matanya,
tapi terutama menanggalkan keberanianya. Abainya alumni-
alumni HMI untuk menentang pembangunan-pembangunan
yang diupayakan penguasa berhasil membuat anggota dan
pengurus HMI meniru tauladan kooperati dari para senior-
alumninya. KAHMI tidak cuma manunggal dengan ICMI dan
ABRI, namun pula Golkar dan birokrasi Orba. Selama fase
hegemoni minimumnya Soeharto betul-betul bersandar pada
kesatuan ideologis elit-elit ekonomis, politik, dan intelektual.
Semasa hegemoni minimum inilah tindak dominasi pimpinan
negara muncul berapi-api, tetapi KAHMI, ICMI, dan ABG
(ABRI-Birokrasi-Golkar) terus-menerus berusaha membuat
kekuasaannya kembali stabil. Bahkan Munas KAHMI bulan
April 1995 bahwa KAHMI secara konsisten mendukung
dwifungsi ABRI. 227 Keputusan tersebut diambil demi
tercapainya hubungan yang tetap harmonis dalam kuasa tirani.

226
Ibid, Hlm. 10. Tambahan cetak miring dalam kurung itu dari penulis,
yang diambil dari temuan Bonnie sendiri.
227
Lihat Abdullah Hafidz, dkk (ed), Op., Cit. Hlm. 150.

324
Lalu pada 20 Februari 1996, Majelis Nasional (MN) KAHMI
melaksanakan Konsolidasi Nasional KAHMI Wilayah se-
Indonesia di Jakarta. Urgensinya agar kesatuan dan persatuan
seluruh elemen masyarakat tetap berada di bawah kendali
penguasa. Pidato tentang ini disampaikan oleh mantan
Kosospol ABRI Syarwan Hamid. Dia menjadi pembicara
kunci dalam seminar yang berlangsung 21-22 Agustus 1996:
di dalam bahasannya tercuat permintaan supaya kerjasama
yang antara HMI-KAHMI dan ABRI harus dijaga optimal. 228
Berkat pertemuan tersebut maka banyak sekali Majelis
Wilayah (MW) KAHMI yang kemudian berusaha
melanggengkan status quo dengan kebulatan tekad. Salah
satunya datang dari MW KAHMI Jatim: 21 Agustus 1996
mereka melaksanakan seminar berjudul ‘Orde Baru dan Visi
Masa Depan’ yang mengundang pembicara seperti R. Hartono
sebagai mantan KSAD.

Kegiatan serupa dilaksanakan pula 22 September 1996 oleh


MW KAHMI Medan. Di situlah Beddu Amang selaku Ketua
Presidium Harian MN KAHMI pada 1996—sekaligus
menjabat Bendahara ICMI 1995-2000, Menpan 1993-1996,
dan Kabulog 1995-1998 ini—menyampaikan ceramah berisi
sanjungan buat tiran. Katanya: ‘Soeharto telah membuktikan
diri sanggup dan mampu membangun bangsa ini di tengah-
tengah situasi sosial, politik, dan ekonomi yang cukup sulit

228
Lihat ceramah Ketua Presidium KAHMI Beddu Amang dalam HUT
XXX dan reuni KAHMI Wilayah Sulawesi Selatan di Ujung Pandang, 22
September 1996 dalam Abdullah Hafidz, dkk (ed), Op. Cit., Hlm. 150.
Kemudian renungkanlah pidato mantan Kosospol ABRI Syarwan Hamid,
yang berjudul ‘Tantangan Persatuan dan Kesatuan Bangsa’ dalam Abdullah
Hafidz, dkk (ed), Op., Cit. Hlm. 142-145.

325
secara global’.229 Dengan sikap seperti itulah alumni HMI
yang menjabat pengurus ICMI dan menjadi bagian birokrasi
membela kekuasaan tirani. Contoh dari senior-alumninya
inilah yang diikuti banyak sekali juniornya yang masih
menjadi anggota sekaligus pengurus HMI. Walhasil, kawanan
intelektual—HMI-KAHMI dan ICMI—melempem di tangan
hegemoni pembangunanisme Orba. Demi cita-cita persatuan
dan kesatuan, maka ketidakadilan dan pembunuhan oleh
negara—yang terpampang lewat kebuasan TNI-Polri tiap kali
operasi militer—tak pernah memicu ketiganya angkat bicara.
Seakan kehidupan adil dan demokratis enggan mau
diperjuangkan oleh mereka. Lembaga-lembaga ini hanya
tahunya membangun, membangun, dan membangun saja.
Tanpa sedikitpun mempersoalkan pembangunan yang
dilakukan melalui akumulasi dengan cara perampasan. Itulah
mengapa kewesewenang-wenangan, kekerasan, penangkapan,
penyiksaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemerkosaan,
hingga pelbagai bisnis kelabu di DOM tidak sampai mengetuk
rasa kemanusiaannya. Banyaknya alumni HMI dalam pranata
kenegaraan berimplikasi pada pudarnya keberanian melawan
penguasa. Mereka menjadi bagian dari kalangan yang
mengamini penindasan kapitalisme-neoliberal dengan cara
statis. Karena bungkamnya HMI maupun KAHMI secara
kelembagaan tidak bisa diharapkan untuk menahan langkah
senior-alumninya—di kursi eksekutif maupun legislatif—
yang membidani lahirnya pelbagai kebijakan yang menindas.

Selain dari operasi-operasi militer dan utang luar negeri—


termasuk kepada ECA—yang didukung penuh birokrasi dan

229
Ibid. Hlm. 149.

326
Golkar. Sejak diadopsinya sistem kapitalisme-neoliberal
kebijakan-kebijakan pemerintah sepenuhnya dikendalikan
pasar. Setelah dianutnya kebijakan neoliberal maka dengan
mudahnya pasar mengarahkan Indonesia menjadi anggota
World Trade Organization (WTO). Itulah mengapa pada
1995, Pemerintah Orba meratifikasi semua perjanjian-
perjanjian perdagangan multilateral ke dalam UU No. 7 tahun
1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia. Perjanjian ini mengatur tata-
perdagangan barang, jasa, dan Trade Related Intellectual
Property Rights (TRIPs) atau hak atas kepemilikan intelektual
terkait perdagangan. Melaluinyalah di pertengahan 1990-an
kebijakan-kebijakan mengenai HAKI dibuat berdasarkan
perjanjian dalam WTO: TRIPs. Isinya mengharuskan negara
menciptakan peraturan yang memberikan hak istimewa bagi
individu atau perusahaan atas karya ciptanya; baik yang
berbentuk Paten, Merk, Hak Cipta, Sirkuit Terpadu, Rahasia
Dagang, maupun Indikasi Geografis. Lewat seabrek aturan
yang berdasarkan WTO/TRIPs itulah kekayaan intelektual
milik masyarakat-komunitas kemudian menjadi leluasa
dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing maupun
individu-individu berduit serta para peneliti borjuis.
Perampokannya begitu gampang: hanya sekedar merubah
proses dan produknya saja lalu seketika HAKI rakyat bisa
dirampas. Tindakan demikian disebut sebagai biopiracy
(pembajakan hayati). Pembajakan paling mengerikan
dilakukan perusahaan kosmetik besar asal Jepang: Shiseido.
Perusahaan ini mematenkan kosmetik yang berasal dari
berbagai bahan rempah di Indonesia: kayu rapet, kemukus,

327
lempuyang, pelantas, pulowaras, diluwih, cabe jawa,
brotowali, kayu legi, dan bunga cangkok. 230

Pematenan oleh perusahaan asing tidak saja menimpa


tumbuhan kosmetik tapi juga makanan tradisional Jawa:
Tempe. Tercatat sudah ada 19 paten tentang tempe. Jepang
menguasai 6 paten soal tempe: 4 paten mengenai pembuatan
tempe; 1 paten terkait antioksidan; dan 1 paten teruntuk
pembuatan kosmetik menggunakan bahan tempe yang
diisolasi. Sedangkan 13 paten lainnya dimiliki perusahaan-
perusahaan Amerika: 8 paten dimiliki Z-L Limited
Partnership; Gyorgy mempunyai 2 paten mengenai minyak
tempe; Pfaff menguasai 2 paten mengenai alat inkubator dan
cara membuat bahan makanan; dan Yueh menghaki 1 paten
terkait pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe.
Selain itu paten juga dilakukan Transnational Corporations
(TNC)/Multinatonal Corporations (MNC) terhadap tanaman
transgenik. Pematenannya amat mengancam keberlangsungan
benih tradisional dan kelestarian tanaman. Dengan
dimilikinya hak paten oleh perusahaan itu maka petani-petani
kecil juga dapat dilemahkan hingga disingkirkan. Kaum tani
bukan hanya menjadi sangat bergantung kepada benih-benih
milik TNC/MNC. Karena dengan patennya itu pulalah
perusahaan asing dengan leluasanya masuk langsung ke
negara yang bersangkutan untuk menanamkan benih-
benihnya.231 Akibatnya, kaum tani tercerabut sampai ke akar-
akarnya. Soalnya pematenan tumbuhan transgenik selanjutnya

230
Lihat Bonnie Setiawan, Op. Cit., Hlm. 10.
231
Ibid. Hlm. 11.

328
berujung dirampasnya lahan-lahan rakyat—oleh penguasa dan
pengusaha—untuk ditanami benih paten TNC Bioteknologi.

Pasar rupanya sangat digdaya ketimbang negara. Modal dan


kekuasaan benar-benar telah berkolaborasi sedemikian rupa.
Mereka semakin meluaskan akumulasi dengan cara
perampasannya. Bahkan untuk terus mengawal kerakusan
mengawal modalnya, maka di 1995 penguasa dan pengusaha
bersepakat menciptakan land market (pasar tanah).
Melaluinya bukan hanya TNC Bioteknologi yang diberikan
hak menguasai tanah-tanah rakyat, tapi juga seabrek
TNC/MNC lainnya. Ini dilaksankan melalui kerjasama
pemerintah bersama Bank Dunia dan AusAid: mega-proyek
Land Administration Project (LAP). Proyek ambisius ini
berlangsung selama 25 tahun (1995-2020): dikenal dengan
istilah Land Resource and Management Planning (LRMP).
Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun.
LAP I (1995-2000) saja telah menelan biaya sebesar 140,1
juta dolar AS: didanai dari anggaran nasional sebesar 44,9 juta
dolar AS (32%), pinjaman dari Bank Dunia 80 juta dolar AS
(57%) dan sisanya 15,2 juta dolar AS (11%) dari AusAid. 232
Dalam mega-proyek yang menelan anggaran besar ini jugalah
lagi-lagi Bonnie menjelaskan bagaimana birokrasi kembali
mengutip lewat prilaku korupnya. Dijelaskannya bahwa
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan
adanya peluang bagi negara untuk korupsi dan menipu
rakyatnya. Karena warga bukan hanya tidak mengetahui
keberadaan LAP sampai petugas BPN datang mengukur tanah
mereka, tapi juga tak ada standar biaya registrasi:

232
Lihat Ibid. Hlm. 8.

329
Sebuah kasus di Depok, warga dikenakan biaya Rp
50.000, sementara kwitansi dari BPN hanya tertera Rp
11.500. Bahkan hasil analisis dari Bank Dunia sendiri
berjudul “The Social Assessment of the Land
Certification Program: The Indonesia Land
Administration Project”, LAP I mempunyai banyak
masalah, diantaranya adalah: proyek tersebut tidak
sustainable, karena 62% dari Tim Ajudikasi Tanah
telah bubar sesudah proyek selesai. Selain itu di Jawa
ada jutaan hektar tanah yang merupakan “residual
claims”, yaitu tanah yang diambil secara paksa dari
rakyat pada zaman Orde Baru. Masalah “residual
claims” ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu,
sebelum ada proses sertifikasi. LAP I juga mempunyai
dampak negatif terhadap kaum perempuan, karena
nama-nama perempuan tidak dimasukkan di dalam
sertifikat tanah. Sementara itu BPN berkilah mengenai
beban hutang. Menurutnya pembayaran utang akibat
program LAP ini akan diambil dari pemasukan UU
PHTB (Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), di
mana ditentukan setiap transaksi tanah atau bangunan
senilai di atas Rp 30 juta sejak Januari 1998 akan
dikenai pajak 5%. Dengan demikian, rakyat kembali
yang akan dibebankan pembayaran utang. Secara
keseluruhan, LAP akan meliberalisasi pertanahan di
Indonesia, karena tanah kini dijadikan obyek komoditas
(barang dagangan). Dampaknya, tanah akan dijadikan
obyek penguasaan pemodal besar dan TNC, dengan
legalitas yang dijamin. 233

Di samping pembayaran utang yang mesti ditanggung rakyat,


pembangunan di masa berkuasanya Soeharto memiliki banyak
cerita: seperti tentang buruknya keadaan tanah dan fasilitas

233
Ibid.

330
yang disediakan di sejumlah lokasi, hingga konflik sosial
yang muncul di mana-mana. Konflik soal tanah tak cuma
berlangsung mulai dari penerapan kebijakan nasionalisme
ekonomi sampai neoliberalisme oleh Soeharto karena
diwariskan lagi ke pemerintahan sesudahnya. Tercatat dalam
database KPA bahwa sepanjang 1970-2001 telah terjadi
1.753 konflik agraria struktural. Di dalamnya ada 10 jenis
konflik yang cukup signifikan: pembangunan perkebunan
skala besar (19,6%); pembangunan fasilitas umum di
perkotaan (13,9%); pembangunan perumahan mewah dan
kota-kota baru (13,2%), pembangunan hutan produksi (8,0%);
pembangunan pabrik dan kawasan industri (6,6%);
pembangunan bendungan dan proyek pengairan (4,4%);
pembangunan turisme dan hotel (4,2%); pertambangan
(3,4%); pembangunan fasilitas militer (2,7); dan penetapan
daerah konservasi dan hutan lindung (2,5%).234 Dianto
Bachriadi dan Gunawan Wiradi menyatakan bahwa dalam
data tersebut tidak kurang dari 10,5 juta hektar tanah
disengketakan bersama lebih dari 1 juta rumah tangga sebagai
korban. Lalu ditambahkannya dengan yang dipelajari Anton
Lucas (1992): dari sembilan konflik agrarian struktural di
berbagai wilayah di Jawa, sekitar 89.500 rumah tangga
dipaksa pindah dan 480 rumah dibakar untuk mengusir
mereka. Bahkan keduanya menunjukan hasil penelitian
Endang Suhendar (1994): selama periode 1988-1991 terdapat
sekitar 15.000 petani penggarap di Jawa Barat dipaksa keluar
dari tanah garapannya, karena tanahnya dinyatakan sebagai

234
Lihat Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, (2011), Enam Dekade
Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Bandung:
Agrarian Resource Centre (ARC) bekerjasama dengan Bina Desa &
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Hlm. 11.

331
tanah negara yang hendak digunakan untuk tujuan
membangun apa saja:

Rezim Orde Baru menganut pola pertumbuhan


ekonomi kapitalis sebagai tujuan utama pembangunan.
Tanah dan sumber alam adalah obyek yang harus
dieksploitasi seintensif mungkin. Pemberian izin
konsesi kehutanan dan pertambangan besar merupakan
bagian tak terpisahkan dalam proses ini. Penyediaan
lahan besar-besaran, baik untuk investasi ataupun untuk
tujuan spekulasi menciptakan ketimpangan penguasaan
tanah yang sangat besar dan menyebabkan konflik,
umumnya dipicu oleh penggusuran yang menyebabkan
terjadinya pula pelanggaran serius terhadap hak asasi
manusia. Sebagian besar tanah dialokasikan untuk
perdagangan, bisnis, dan kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pembangunan atau kepentingan
ekonomi nasional….235

Persetubuhan modal dan kekuasaan bukan hanya melahirkan


penderitaan petani yang diusir paksa dari atas tanah-tanahnya.
Pada pertengahan 1990-an penguasa dan pengusaha tak
sekedar merampas tanah tapi juga air warga. Air minum
adalah blue gold (emas biru) bagi perusahaan-perusahaan
dunia. Maka untuk mengesahkan dan melancarkan
perampasan emas biru itu Soeharto mengeluarkan Instruksi
Presiden tanggal 12 Juni 1994. Dengan instruksi inilah
privatisasi air minum oleh pihak swasta mendapat
perlindungan hukum, terutama melalui tangan sekawanan
aparat. Liberalisasi air ini semula memang telah diusulkan
World Bank (WB) kepada Orba. Dalam laporannya tentang

235
Ibid.

332
Urban Water Supply Sector Policy Framework (Kerangka
Kebijakan untuk Sektor Air di Perkotaan), Bank Dunia
merekomendasikan agar Perusahaan Air Minum (PAM)
Jaya—milik Pemda DKI—diswastakan. Tujuannya untuk
meringankan beban utang negara. Karena dengan menyetujui
privatisasi itulah pemerintah akan diberikan pinjaman sebesar
Rp 2,4 triliun untuk pengembangan Jakarta, termasuk di
dalamnya untuk pembiayaan pengelolaan air minumnya.
Sepakat pada tawaran itu maka selanjutnya presiden
mengeluarkan instruksinya. Dengannya Soeharto bukan saja
langsung mengalihkan pengelolaan usaha air minum di
Jakarta dan sekitarnya kepada swasta. Karena di dalam
prosesnya juga berlangsung KKN dari kalangan istana dan
kroninya. Walau begitu penguasaan atas air tersebut akhirnya
berada di tangan PT Kekarpola Airindo milik Sigit
Harjojudanto (putra kedua Soeharto) dan Bambang
Trihatmojo (putra ketiga Soeharto) yang menggandeng
perusahaan air Inggris, Thames Water International (TWI);
dan oleh PT Garuda Dipta Semesta milik Anthony Salim yang
menggandeng perusahaan air dari Perancis, Lyonnaise des
Eaux (LDE).236

Melalui kebijakan kapitalisme-neoliberalnya Orba


melancarkan pembangunannya dengan tidak hanya
melibatkan kapitalis-swasta (Cina dan Pribumi), tapi juga
menggandeng kapitalis-global yang menjadi teman baiknya:
TNC/MNC asal AS, Inggris, dan Jepang. Apalagi sekitar
setengah dari 600 TNC/MNC terbesar dunia terletak di AS,
sepuluh di Inggris, dan 6 di Jepang. Pada 1996 terdapat

236
Bonnie Setiawan, Op. Cit., Hlm. 9.

333
37.000 TNC/MNC di dunia. 90% dari mereka berpusat di
negara maju dengan 200.000 cabangnya yang tersebar di
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam
pertengahan 90-an ini TNC/MNC telah memegang 70%
perdagangan dunia dan memiliki 90% dari paten teknologi
dan produksi seluruh dunia—lagi-lagi termasuk Indonesia.
Lewat keuntungan yang diperolehnya dari kerjasamanya
dengan negara-negara berkembang, maka tepat 1997 jumlah
TNC/MNC kemudian meningkat pesat menjadi 53.607.
Sepanjag 1980-1990-an kekayaannya pula ikut meroket:
mulai dari 1,9 triliun dolar AS (1982), hingga 12,6 triliun
dolar AS (1997).237 Pintu masuk mereka untuk menjerat
negara-negara dunia ketiga adalah melalui Bank Dunia. Tiap
tahunnya WB dan bagian-bagian regionalnya seperti Asian
Development Bank (ADB), dan African Development Bank
(AfDB), dan lain-lain memberikan pinjaman lunak kepada
negara-negara dunia ketiga sekitar 45 trilIun dolar AS. Bank-
bank itulah yang biasa disebut sebagai Bank Pembangunan
Multilateral.238 Dengannya TNC/MNC mudah sekali menjerat
negara peminjam dananya melalui: kontrak-kontrak antara
Bank Pembangunan Multilateral, TNC/MNC sebagai donor,
dan negara dunia ketiga; pembangunan infrastruktur nasional;
dan pengaturan kebijakan politik dan ekonomi negara resipien
(penerima).

Dalam kepemimpinan Soeharto TNC/MNC membawa


dampak besar bagi rakyat Indonesia. Bukan hanya mendorong

237
Lihat Anonim, “Di Bawah Bayang-bayang Kapitalisme Global”,
Komunitas Bambu Ganesha-10 Institut Teknologi Bandung, 28 Oktober
2001, Hlm. 25-26.
238
Lihat Ibid, Hlm. 26.

334
berlangsungnya pelbagai operasi militer di pelbagai daerah
yang memiliki kekayaan alam berlimpah, tapi juga
menimbulkan seabrek permasalahan HAM. Selain rakyat-
pekerja-tani di Aceh dan Papua, buruh adalah termasuk kelas
pekerja yang menjadi korban utamanya. Sistem kerja yang
berbasis efisiensi dan efektivitas menjadikan buruh di pabrik-
pabrik TNC/MNC menderita. Permasalah perburuhan menjadi
masalah serius semasa Orba. Eksploitasi terhadap buruh-
buruh sepatu Nike, Reebok, dan celana Levis di kawasan
industri Tangerang adalah contohnya. Di situ buruh bekerja
enam hari seminggu—sepuluh jam perhari—di ruangan yang
amat pengap karena sedikit ventilasinya. Tiap harinya mereka
digaji Rp 2.600 atau sekitar 1,28 dolar AS, sehingga dalam
sebulan hanya mendapatkan 39 dolar AS. Gaji yang diterima
oleh pekerja-pekerja itu membuat siapa saja memelas jika
dibanding besarnya harga sepasang sepatu Reebok yang dijual
di Amerika: 110 dolar AS.239 Dalam tulisan Soegiri DS dan
Edi Cahyono, kebijakan upah minimum Orba memang tidak
sedikitpun berpihak pada kelas pekerja. Laporan Warner
International Management Consultants menyebutkan bahwa
di antara 50 negara yang dievaluasi, pada tahun 1988 upah
tenaga kerja Indonesia per jam US$ 0,22 dan di 1987
menurun menjadi US$ 0,20/jam. Gaji ini merupakan yang
terendah dari 49 negara lainnya. Sedangkan upah tertinggi
terdapat di Swiss, US$ 17,15/jam; kemudian Belanda, US$
15,62/jam; selanjutnya Jepang, US$ 14,93/jam; lalu Jerman
Barat, US$ 14,71/jam; dan AS, US$ 9,42/jam.

239
Lihat Ibid. Hlm. 34-35.

335
Sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia upah
buruh sangat rendah. Namun biaya kebutuhan hidup terus
merayap naik. Ketika di pertengahan 90-an perekonomian
mulai tak stabil karena fluktuasi rupiah terhadap dolar AS
maupun yen Jepang, maka kenaikan harga sembako semakin
memuncak. Meski demikian pemerintah tak henti-hentinya
menarik investasi asing dengan tetap memasang iming-iming:
harga buruh murah. Kelas pekerja dijadikan logika
keunggulan komparatif oleh pemerintah. Tanpa sedikitpun
upaya menyiapkan keunggulan komparatif selain buruh.240
Dalam keadaan itu pemerintah kemudian berusaha menjerat
dan melemahkan buruh dengan terus-menerus merawat
doktrin busuknya: Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP).
HPP digunakan untuk mengatur hubungan antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan jasa: buruh pemodal dan
penguasa. Ada tiga prinsip dasar HPP: (1) merasa ikut
memiliki; (2) ikut mempertahankan dan memajukan; dan (3)
keberanian untuk mawas diri. Ketiga prinsip ini disuntikan
kepada para pekerja melalui Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FBSI). Organisasi ini sudah sejak berdirinya pada
20 Februari 1973 langsung menjadi alat suntik prinsip-prinsip
HPP. Lalu mulai 1985 lembaga ini diubah namanya menjadi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Meski nama
berubah tapi perannya tak ubah-ubahnya. Keberadaan
FBSI/SPSI justru tak menuntaskan permasalahan yang
dihadapi kelas pekerja. Dengan sikap demikian buruh-buruh
begitu rentan akan siksa. Karena mereka bukan sekedar tak
terlindung dari tindakan pengeksploitasian di pabrik-pabrik,

240
Lihat Soegiri DS dan Edi Cahyono, (tak bertahun), Gerakan Serikat
Buruh; Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, (tanpa kota):
Hasta Mitra, Hlm. 41-42.

336
tapi juga tidak mau dibantu ketika mencoba angkat bicara
terkait penderitaannya. Itulah mengapa ketika penguasa dan
pengusaha menghadapi demonstrasi buruh dengan kekerasan
hingga upaya pembunuhan, FBSI/SPSI sama sekali enggan
memberikan perlindungan dan pembelaan kepada pekerja.
Walhasil, negara leluasa menjagal buruh menggunakan
aparat-aparat represifnya dan mengaburkan siapa penjagalnya.
Soegiri dan Cahyono menjelaskannya begitu rupa:

Pada dasarnya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh


Rejim Soeharto tidak berfungsi dengan baik. Untuk
menyelesaikan kasus-kasus perburuhan digunakan
kekuasaan tangan besi. Militer diberi kekuasaan luas
dalam mengkondisikan stabilitas politik. Menteri
Tenaga Kerja pun berasal dari militer, misalnya
Laksamana Sudomo. Berbagai aksi buruh, yang
sebetulnya non kekerasan, dihadapi dengan kerasnya
laras senjata bukan pendekatan kekeluargaan,
partnership (kemitraan) cerminan dari Tridharma
[prinsip HPP] atau melalui serikat pekerja. Sebuah
kasus yang mengundang perhatian dunia internasional
adalah pembunuhan Marsinah. MARSINAH [25
tahun]—buruh PT Catur Putra Surya (CPS), Porong,
Sidoarjo-Surabaya—mati sangat mengenaskan
tubuhnya ditemukan pada 8 Mei 1993. PT CPS adalah
pabrik yang memproduksi jam tangan. Kematian
Marsinah disebabkan oleh penganiayaan yang
dilakukan oleh aparat militer pasca pemogokan buruh
di pabrik tersebut yang mengakibatkan 13 buruh di-
PHK oleh Kodim Sidoarjo. Dia meninggal dalam
keadaan vagina dan rahimnya hancur diterobos benda
tajam serta tubuh memar oleh pukulan. Orang Perancis
bilang: “l’histoirê cèrepetè” (sejarah berulang). Hal
yang terjadi di Sumatera Timur seabad yang lampau

337
berulang kepada Marsinah. Teror dalam hubungan
industrial. Bila di Sumatera Timur teror dilakukan oleh
pihak pengusaha (sementara negara tutup mata); di
jaman Orba, negara menggunakan aparat militernya—
kalau dipersoalkan oleh pihak lain, maka kasus
dipersempit dan bukan tanggung-jawab lembaga militer
namun ‘oknum’ militer—melakukan teror.241

Di pabrik jam PT CPS dipekerjakan sekitar 500 orang: 300 di


antaranya adalah kaum hawa. Kegiatan produksi berjalan 24
jam penuh dengan 3 kali shift kerja: shift I, jam 7 pagi-
setengah 3 sore; lalu dilanjutkan shift II hingga jam 10
malam; dan terakhir shift III sampai kembali ke jam 7 pagi.
Setiap shift cuma memiliki waktu 30 menit buat istrahat. Pada
shift I dan II diharuskan lembur tiap hari Sabtu selama 2 jam;
dan untuk shift III diwajibkan lembur selama 2 jam dalam
sehari, sehingga kerjanya berkahir di jam 9 pagi. Beban kerja
yang begitu berat tidak sesuai gaji. Mereka hanya dibayar
hanya dibayar Rp 1.700 per hari. Padahal berdasarkan surat
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 5/Men/1992 berlaku
sejak 1 Maret 1993: ditetapkan upah pokok buruh minimal
sebesar Rp 2.250, naik lebih dari 30%.242 Hanya saja bos
pabrik enggan menaikan gaji karyawan. Kasus pembunuhan
terhadap Marsinah berawal dari pemogokan menuntut
dinaikannya upah pekerjaan. Namun di masa Orba pemodal
amat disayangi dan dilindungi ketimbang para pekerja.
Makanya dalam aksi mogok 3-4 Mei 1993, buruh-buruh itu
mendapatkan intimidasi hingga pelbagai perlakuan keji dari

241
Ibid. Hlm. 39-40.
242
Lihat Alex Supartono, (1991), Marsinah; Campur Tangan Militer dan
Politik Perburuhan Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesaia (YLBHI), Hlm. 3-4.

338
aparatus represif negara. Serdadu bukan saja meneror—dan
mengambil peran pemilik perusahaan dalam mem-PHK—
mereka, melainkan pula melenyapkan Marsinah. Selama
pemerintahan Soeharto TNI-Polri memang begitu kentara
melindungi perusahaan yang mampu membayarnya.

Selain pekerja-perempuan di Sidoarjo, pembunuhan terhadap


buruh juga terjadi pada pekerja-laki-laki di Dili-Medan.
Adalah Rusli (30 tahun)—buruh Industri Karet Dili (IKD)—
yang mengalami pembunuhan. Sebelum dibunuh Rusli seperti
Marsinah: terlibat aktif dalam pemogokan. Pada 11 Maret
1994, 3.000 buruh IKD melancarkan mogok. Di saat yang
sama buruh pabrik Gunung Gahapi Sakti (GGS) dan Cipta
Rimba Djaya (CRD) juga menggelar mogok. Lokasi pabrik
mereka bersebelahan. Gerakan kelas pekerja ini akhirnya
bergerak bersamaan. Ketika mereka mulai melakukan
pendudukan di atas alat-alat laboratorium, maka pihak
perusahaan kontan memanggil aparat kepolisian. Polisi
melakukan pengamanan dengan mengeluarkan tembakan ke
arah massa gerakan. Buruh panik berlarian. Kala itu Rusli
terceburkan ke sungai membawa luka pukulan hingga
berujung kematian. Dalam peristiwa itu polisi bukan saja
berhasil menanggalkan nyawa tapi juga membawa 29 buruh
yang tertangkap. Sehari setelah peristiwa 15.000 buruh
mengadakan rally untuk solidaritas terhadap Rusli sekaligus
menuntut pelepasan teman-temannya yang telah ditangkap.243

Sejak 1985-1994 mogok-mogok kelas pekerja telah terjadi


dan merebak ke mana-mana dengan jumlah pemogokan

243
Lihat Soegiri DS dan Edi Cahyono, Op. Cit., Hlm. 41.

339
berikut: 78 kasus (1985); 73 kasus (1986); 39 kasus (1988);
19 kasus (1989); 61 kasus (1990); 100 kasus (1991); 251
kasus (1992); 300 kasus (1993); dan 1.350 kasus (1994). 244
Mula-mula mogok mereka berjalan tanpa adanya organisasi
yang independen dalam mengoptimalkan pengorganisiran dan
pengordinasian gerakannya. FBSI/SPSI tidak bisa diharapkan
untuk melakukannya, karena lembaga ini berada di bawah
naungan Orba. Maka pada November 1990 dibuatlah Serikat
Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM-SK) oleh aktivis-aktivis
buruh bersama pelbagai Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang peduli terhadap nasib kelas pekerja. Namun
tekanan pemerintah lama-lama menimbulkan konflik internal
sehingga SBM-SK tak berusia lama. Lalu untuk mewadahi
perjuangan buruh, maka tepat 25 April 1992 dibentuklah
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Muchtar Pakpahan,
Gus Dur, Rachmawati Soekarno Putri, Sabam Sirat, dan
Sukowaluyo Mintohardjo menjadi orang-orang yang
memprakarsainya. Dengan munculnya serikat ini pemogokan-
pemogokan kelas pekerja bertambah intens dan terus meluas.
Kemudian pelbagai organisasi buruh independen lainnya juga
didirikan guna ikut memperjuangkan kehidupan yang
demokratis. Di antaranya terdapat Serikat Buruh Sejati Bogor
(SBSB) dan Serikat Buruh Tangerang (SBT). Kelak,
organisasi-organisasi buruh itu menyatukan gerakannya ke
dalam Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang
selanjutnya berubah nama menjadi Front Nasional Perjuangan
Buruh Indonesia (FNPBI).

244
Ibid, Hlm. 43.

340
PSBI/FNPBI merupakan front perjuangan yang enggan cuma
melibatkan rakyat-pekerja tapi pula mahasiswa. Front ini
soalnya dibentuk oleh aktivis-aktivis (mahasiswa) kiri yang
tergabung dalam Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).
Melalui PPBI/FNPBI mahasiswa-rakyat-pekerja bersepakat
menerbitkan buletin Workers Banner (Bendera Buruh)
sebagai alat propaganda dalam menggugah kesadaran hingga
mengorganisir perlawan terhadap Orba dengan segenap ABG-
nya. Lewat buletin itulah pembelejetan-pembelejetan bawah
tanah terus-menerus diarahkan menghantam kelas penguasa.
Karena kebijakan-kebijakan neoliberal sudah sangat menyiksa
kaum miskin dan tertindas. Rakyat saat itu bukan saja terus-
menerus dieksploitasi tenaga kerjanya tapi terutama sama
sekali tak dibantu oleh negara. Pada tahun 90-an PT Tanjung
Enim Lestari (TEL) di Sumatera Selatan—yang dibiayai oleh
TNC/MNC asal Amerika, Jepang, dan Eropa—begitu bebas
mendatangkan tenaga-tenaga kerja teknis dari luar negeri
sementara masyarakat setempat tak diserap tenaganya. Itulah
mengapa derita tak cuma dirasakan rakyat-pekerja namun
pula kaum miskin kota dan rakyat-pengaggur. Di mereka,
negara juga memperdaya mahasiswa secara vulgar. Bank
Dunia melalui proyek-proyek IBRD di sektor pendidikan
menginvestasikan kepada Orba dana sebesar 1032,3 juta dolar
AS. Dana sebesar ini diberikan tidak cuma-cuma, karena
pemerintah harus membalasnya terutama dengan membelokan
orientasi pendidikan dari sekolah dasar hingga kampus.

Pembelokan sistem pendidikan didukung penuh oleh salah


satu bentuk perjanjian dalam WTO: The General Agreement
of Trade in Services (GATS). WTO/GATS mengharuskan
Indonesia mengadopsi empat cara penyediaan jasa layanan

341
pendidikannya: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan
tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet
dan online degree program (Mode I); (2) Consumption
abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang
paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar
negeri (Mode II); (3) Commercial presence, atau kehadiran
perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership,
subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi
lokal (Mode III); dan (4) Presence of natural persons, dosen
atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal
(Mode IV). 245 Tujuan utama dari empat mode tersebut adalah
untuk meriuhkan ekspor jasa-jasa pendidikan dan pelatihan
dari negara maju ke negara-negara berkembang. Aktivitas
eksportir sepenuhnya berada di bawah kendali TNC/MNC
yang berada di balik WB. Para kapitalis internasional ini telah
berhasil membuat pendidikan yang dikelola pemerintahan
Soeharto jadi begitu mengenaskan: lulusan perguruan tinggi
gampang beroleh kerja tapi mesti melewati penataran dari
modal dan kekuasaan.Pertautan penguasa dan pengusaha
memaksa lembaga pendidikan membubuhkan kerjasama
dengan TNC/MNC. Karena itulah kampus-kampus kemudian
membuka Career Development Centre (CDC).

Melalui CDC dibuatlah Program Pengembangan Karir


(Probangkir) yang memberi kewajiban gila kepada
mahasiswa: lulus dengan parameter teknis kelulusan
sebagaimana yang ditentukan oleh industri TNC/MNC.
Mahasiswa-mahasiswa dipugar hingga mampu beradaptasi

245
Prof. Dr. Sofian Effendi dalam GATS dan Liberalisasi Pendidikan, Hlm.
6, buka artikelnya di https://sofian.staff.ugm.ac.id

342
dengan segala aturan-aturan yang berlaku di perusahaan-
perusahaan pencari tenaga kerja. Mereka diberikan seminar
dan training sesuai kebutuhan pasar yang mencarinya.
Tujuannya bukan hanya menghasilkan mahasiswa yang
mampu bersaing di dunia kerja, melainkan terutama
menghemat pengeluaran dalam mendapatkan tenaga kerja
terdidik-terlatih. Sewaktu dekade 90-an bergulir, Orba
mewajibkan ITB, UGM dan Universitas Trisakti menyalurkan
sarjana-sarjananya ke perusahaan-perusahaan pencari buruh
murah. Perkembangan kapitalisme yang begitu rupa tak hanya
merampas SDA dan tanah-tanah petani serta mengeksploitasi
tenaga kerja buruh di pabrik-pabrik, tapi juga menyulap
kampus menjadi pusat tenaga kerja murah. Dalam keadaan
inilah Soeharto sukses menempatkan pendidikan sebagai
aparatus ideologis untuk mereproduksi tenaga-tenaga kerja
terampil dan melanggengkan tatanan kapitalis. Louis
Althusser memaparkannya penuh antusias dan jelas:

…bahwa tenaga kerja yang ada harus ‘kompeten,’ yaitu


cocok untuk bekerja dalam sistem yang kompleks dari
proses produksi. Perkembangan kekuatan-kekuatan
produktif dan jenis kesatuan yang secara historis
membentuk kekuatan-kekuatan produktif pada saat
tertentu, mengakibatkan tenaga kerja harus memiliki
(beragam) ketrampilan dan dengan demikian,
direproduksi seperti itu. Beragam: menurut kebutuhan
pembagian kerja secara sosial-teknis, menurut
‘pekerjaan’ atau ‘pos-pos’ yang berbeda…. Di sini,
tidak seperti fomasi sosial yang dicirikan oleh
perhambaan, reproduksi ketrampilan tenaga kerja ini
cenderung (ini merupakan hukum kecenderungan) tidak
lagi dilakukan ‘di tempat’ (kerja magang dalam
produksi itu sendiri), tetapi semakin didapatkan di luar

343
produksi: oleh sistem pendidikan kapitalis, serta oleh
peristiwa- peristiwa dan lembaga-lembaga lain….
Mereka [pelajar-mahasiswa] menempuh jarak yang
berbeda-beda dalam studi mereka, tetapi bagaimanapun
juga, mereka belajar membaca, menulis dan
menambahkan—yaitu, sejumlah teknik, dan juga
sejumlah hal lainnya, termasuk elemen-elemen (yang
mungkin bersifat kasar atau sebaliknya, sempurna)
’ilmu pengetahuan’ atau ’budaya kesusasteraan,’ yang
memiliki manfaat langsung dalam pekerjaan yang
berbeda-beda dalam produksi (satu petunjuk untuk
pekerja kasar, satu lagi untuk teknisi, yang ketiga untuk
insinyur, yang terakhir untuk manajemen puncak, dsb.).
Jadi, mereka mempelajari pengetahuan-tentang-
bagaimana (know-how) … di samping teknik-teknik
dan pengetahuan ini, dan dalam mempelajari mereka,
anak-anak di sekolah juga mempelajari ’aturan’ dari
perilaku baik, yaitu sikap yang harus diawasi oleh
setiap agen di pembagian kerja, sesuai dengan
pekerjaan yang ‘diperuntukkan’ kepadanya: aturan
moral, hati nurani profesional dan warga negara, yang
sebenarnya bermakna aturan-aturan untuk menghormati
pembagian kerja secara sosial-teknis dan pada akhirnya,
aturan-aturan dari tatanan yang dibangun oleh dominasi
kelas…. Untuk menyatakan ini secara lebih ilmiah,
saya mengatakan bahwa reproduksi tenaga kerja
memerlukan tidak hanya reproduksi ketrampilan-
ketrampilannya, tetapi juga pada saat yang bersamaan,
reproduksi ketundukannya terhadap aturan-aturan dari
tatanan yang ada, yaitu reproduksi ketundukan terhadap
ideologi yang berkuasa bagi para pekerja, dan
reproduksi kemampuan untuk menggunakan ideologi
yang berkuasa secara benar bagi agen-agen eksploitasi
dan represi, sehingga mereka juga akan berkontribusi

344
‘dengan kata-kata’ terhadap dominasi dari kelas yang
berkuasa. 246

Semasa Orba lembaga pendidikan dijadikan alat untuk


mendorong mahasiswa mengiternalisasi nilai-nilai kelas
penguasa. Untuk mengatur, mendisiplinkan, dan melemahkan
mereka digunakan pelbagai cara; membekukan Dema
menggunakan NKK/BKK, kumudian menggantikannya
dengan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), hingga
melaksanakan pelbagai kegiatan seminar maupun pelatihan-
pelatihan yang penuh ilusif. Akibat NKK/BKK mayoritas
mahasiswa kehilangan ciri utamanya sebagai kekuatan kritis
terhadap penguasa. Apatisme kontan menyelimuti gerakan
mahasiswa agak lama. Namun ketika tahun 80-an kapitalisme-
neoliberal mulai menerabas ke segala lini kehidupan, maka
sebagian mahasiswa terdorong bergerak secara sembunyi-
sembunyi. Sebagai jalan keluar dari apolitisnya kehidupan
kampus, mereka mengembangkan medan perjuangan baru:
kelompok-kelompok studi. Kala itu terdapat dua arus besar
kelompok studi mahasiswa—kelompok mahasiswa pengkaji
ilmu-ilmu sosial kritis dan kelompok mahasiswa pengkaji
wacana sosial keagamaan Islam.247 Tetapi menjelang
berakhirnya 1980-an sampai masa 1990-an format gerakan
disempurnakan; dari kelompok studi yang bersifat bersifat
teoritis menjadi gerakan penuh praksis. Walhasil, teori
mewujud melalui praktek-praktek perlawanan intens.
Aktivitas-aktivitas lapangan yang sering dilakukan pun

246
Louis Altuhusser, (2015), Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara
(Catatan-Catatan Investigasi), (tanpa kota): IndoPROGRESS, Hlm. 13-14.
247
Lihat Adi Suryadi Culla, (1999) Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa
Pergolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah Indonesia 1980-1998,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 125-126

345
semakin menajamkan pisau teoritis. Sehingga wacana dan
aksi tumbuh-kembang secara dialektis.

Gerakan dimulai ketika pada akhir 1980-an didirikanlah


jaringan bawah tanah: Front Pemuda Nasional (FPN).
Organisasi ini merupakan hasil kristalisasi gerakan kiri yang
mengambil garis radikal. Front tersebut dibentuk oleh para
aktivis yang baru pulang dari studi pergerakan di Filipina. Di
Filipina perlawanan terhadap rezim diktator Ferdinand
Marcos dipelajari secara seksama untuk dipraktekan di
Indonesia: melawan kekuasaan Orba. Dari sanalah dipelajari
langsung bagaimana teknik pengorganisiran dan mobilisasi
massa melawan pemerintahan Marcos yang menggunakan
militer sebagai alat kekuasaannya. Pengalaman di Filipina
membawa pada kesimpulan bahwa mahasiswa tidak dapat
melawan kediktatoran Soeharto tanpa bantuan elemen sosial
lainnya. Sepulangnya dari Filipina, para aktivis ini
mengenalkan pendekatan ‘live-in’ (hidup dan berjuang
bersama) yang menuntut mahasiswa tinggal bersama petani
dan buruh di rumah serta komunitas(nya). 248 Metode
tersbutlah yang diperkenalkan pula kepada kelompok-
kelompok mahasiswa pengkaji teori-teori sosial kritis.
Pertemuan mereka kemudian melahirkan banyak jaringan
aktivis mahasiswa lahir di kampus-kampus.

Jaringan tersebut bergerak di bawah tanah, semakin besar


hingga dilembagakan menjadi FPN. Wadah gerakan mereka
mengambil bentuk komite-komite aksi hingga ormas lintas
sektoral. Melaluinya permasalahan-permasalahan sosial yang

248
Lihat Max Line, (2007), Bangsa yang Belum Selesai Indonesia; Sebelum
dan Sesudah Soeharto, Jakarta: Reform Institute, Hlm. 136.

346
menimpa kaum miskin dan tertindas mulai disuarakan. Aksi-
aksi protes mahasiswa dilancarkan lewat pembentukan
komite-komite aksi sebagai identitas, karena perguruan tinggi
tetap saja melarang keras mahasiswa-mahasiswanya aktif di
luar kampus. Mahasiswa-mahasiswa yang membentuk
komite-komite ini adalah anak-anak muda FPN bersama
mereka-mereka yang sebelumnya telah berkecimpung dalam
kelompok studi pengkaji ilmu-ilmu sosial kritis. Dengan
format gerakan barunya mereka mengorganisir kekuatan
untuk memerotes pelbagai kasus: kejahatan korupsi,
pelanggaran HAM, pengrusakan lingkungan hidup,
penindasan buruh-buruh pabrik, perampasan tanah-tanah
petani, dan kesewenang-wenangan penguasa lainnya.
Gerakan-gerakan ini bersamangatkan solidaritas dalam
pemihakan terhadap kelas tertindas. Makanya gerakan
protesnya selalu melibatkan pelbagai elemen gerakan sipil—
buruh, petani, dan pekerja-pekerja lainnya—dengan kebulatan
tekad melawan kelas penindas.

Kontak mahasiswa-mahasiswa dengan kelompok non-


mahasiswa secara bertahap berubah menjadi pendidikan
politik, advokasi, dan mobilisasi aksi massa yang lebih luas.
Tujuan utama mereka adalah mewujudkan kehidupan
demokratis. Dengan menggunakan pendeatan mobilisasi maka
komite-komite aksi mahasiswa mulai berjajaring dipelbagai
kota: Yogyakarta, Bandung, Medan dan sebagainya. Pada
bulan November 1992, jejaring mahasiswa kritis yang
berpemikiran radikal ini mengadakan pertemuan membentuk
organisasi pergerakan berskala nasional: Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Selanjutnya
kontak mereka (FPN dan SMID) yang meluas dengan massa-

347
rakyat juga berhasil mendirikan organisasi-organisasi lintas
sektoral: Serikat Tani Nasional (STN), Pusat Perjuangan
Buruh Indonesia (PPBI)/Front Nasional Perjuangan Buruh
Indonesia (FNPBI), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker),
Serikat Rakyat Indonesia (SRI), dan lain-lain. Gerakan
mahasiswa-rakyat-pekerja tersebut bukan hanya disatukan
oleh kepentingan mewujudkan kehidupan demokratis, tapi
juga memiliki kesamaan pandangan politik dan strategi
perjuangan: agitasi, propaganda, dan aksi massa. Pada 2 Mei
1994, mereka melaksanakan pertemuan untuk melembagakan
aliansi gerakan-massa. Kala itu sekitar 40 aktifis mahasiswa
dan ormas lintas sektoral berkumpul di kantor Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.
Aktivis-aktivis tersebut bersepakat mendeklarasikan
berdirinya Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) guna
menaungi pelbagai organisasi perlawanan rakyat, mahasiswa,
dan kelas pekerja.

Pembentukan PRD sebagai organisasi payung berhasil


mempelopori integrasi gerakan oposisi ekstra parlementer
berskala nasional menghasilkan program politik yang radikal:
menuntut dibukanya ruang demokrasi seluas mungkin,
pencabutan paket 5 Undang-Undang Politik 1985, dan
pencabutan Dwifungsi ABRI. Seiring dengan massa yang
semakin besar sementara wadah ini dirasa belum efektif
dalam melawan kekuasaan tirani, maka PRD kemudian
bertransformasi menjadi parpol. Perubahan tersebut
berlangsung tanggal 12-14 April 1996 dalam Kongres Luar
Biasa (KLB) PRD yang digelar secara rahasia agar tak
diketahui aparat negara. Peserta kongres bersepakat memilih
Budiman Sujatmiko sebagai pimpinan sekaligus mengubah

348
organisasi payung jadi partai tapi strategi perjuangannya
ekstraparlementer. Tanggal 22 Juli 1996 keputusan tersebut
dideklarasikan di kantor YLBHI Jakarta. Persatuan Rakyat
Demokratik kontan digantikan dengan Partai Rakyat
Demokratik (PRD). Dalam peristiwa itu Ketum PRD
Budiman Sudjatmiko—mewakili organisasi-organisasi rakyat-
mahasiswa-pekerja menjadi onderbouw-nya—membacakan
Manifesto Perjuangan PRD yang berisi pernyataan-pernyataan
radikal.

Manifesto dibukanya dengan kalimat: ‘TIDAK ADA


DEMOKRASI DI INDONESIA’. Selama 30 tahun, 8 bulan,
dan 22 hari Orba berkuasa memang telah menghancurkan
kemampuan ekonomi, politik, dan sosial-budaya rakyatnya.
Semuanya sudah tidak bisa diterima oleh segenap kaum
miskin dan tertindas. Untuk itulah sejak awal kelahirannya
PRD langsung menyatakan sikap antagonis terhadap kelas
penindas. Pernyataannya terhadap penguasa kurang-lebih
mengandung tujuh poin resolusi yang jelas, tegas, dan keras:
(1) berikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Timur
Leste yang selama ini telah dijajah Orba; (2) hentikan operasi-
operasi militer di Papua dan Aceh serta berikan mereka hak-
haknya dalam mengelola kekayaan alamnya; (3) segera cabut
5 paket UU Politik 1985 dan hapus Dwifungsi ABRI; (4)
kasih kesempatan rakyat berpolitik dengan menjamin
kebebasannya mendirikan parpol-parpol baru (multi-partai)
hingga melaksanakan program-programnya tanpa sedikitpun
pembatasan; (5) membangun front perjuangan bersama buruh,
petani, mahasiswa, dan kaum miskin kota untuk merebut
demokrasi dan mengembalikan kedaulatan rakyat; (6)
bergerak secara terorganisir bersama seluruh elemen gerakan

349
rakyat untuk mengantisipasi—dan menentang—munculnya
kecurangan pada Pemilu 1997 nanti: caranya adalah
membentuk Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP);
dan (7) terus-menerus mengorganisir dan ,mengarahkan
pergerakan rakyat untuk melawan kapitalisme, mendesak
MPR melaksanakan Sidang Istimewa (SI) guna mengadili
kejahatan-kejahatan Soeharto, dan memperjuangkan
terwujudnya kehidupan demokratis.249 Lewat manifesto
politiknya maka PRD betul-betul menunjukan dirinya sebagai
apa yang disebut Gramsci dengan partai yang memiliki
‘fungsi polisi progresif’: mengekang kekuatan-kekuatan
reaksioner dalam batasan-batasan tatanan hukum dan
meningkatkan tatanan massa yang terbelakang dalam tatanan
hukum itu’.250 Nezar Patria dan Andi Arief menjelaskan
bagaimana perkembangan rakyat-pekerja ketika sudah
memasuki partai tersebut dengan begitu memukau:

Kaum buruh yang memasuki partai revolusioner akan


[dapat] mengatasi batasan eksistensinya dalam ruang
ekonomi. Dalam pengertian Gramscian, dia akan
menjadiseorang intelektual dan tidak lagi menjadi
seorang buruh penghasil nilai lebih bagi majikan di
pabrik. Partai menggabungkan bersama antara
intelektual dan buruh, yang datang dari luar partai dan
berasal dari berbagai sektor masyarakat…. Walaupun
semua anggota partai adalah intelektual dalam
pengertian yang luas, intelektual baru dari partai
revolusioner akan berbeda dengan intelektual lainnya
… intelektual baru ini harus dapat menghubungkan

249
Buka https://www.prd.or.id/blog/2011/05/03/manifesto-partai-rakyat-
demokratik-lama/
250
Nezar Patria dan Andi Arief, Op. Cit., Hlm. 165.

350
aktivitas mereka dengan situasi kongkrit klas pekerja
dari tempat kerja mereka yang menjadi basis
keberangkatan para intelektual ini. Intelektual organik
dari klas pekerja ini adalah seorang pendiri, organizer,
pejuang militan yang mampu menangani seluruh segi
perjuangan. Ia menyadari kompleksitas dari produksi,
ia mampu membangkitkan perlawanan budaya untuk
hegemoni, dan ia juga dapat menyiapkan perjuangan
politik yang akan berpuncak pada perebutan
kekuasaan….251

Keberhasilan mendirikan PRD hingga merubahnya menjadi


partai progresif-revolusioner tentu tidak bisa dilepaskan dari
prakondisi yang dibangun gerakan-gerakan aktivis-aktivis
kelompok studi pengkaji teori-teori sosial kritis yang
kemudian bergerak dengan komite aksi bersama FPN, SMID,
PPBI/FNPBI, STN, Jakker, SRI, dan organisasi lintas sektoral
lainnya. Mereka sama-sama telah menciptakan apa yang
maksud Gramsci sebagai ‘perang posisi’: ‘berbasiskan pada
gagasan pengepungan aparatus Negara dengan suatu counter-
hegemoni, diciptakan oleh organisasi massa klas pekerja dan
dengan membangun lembaga-lembaga serta mengembangkan
budaya proletar’.252 Mula-mula lewat penemuan fondasi nilai-
nilai baru seperti itulah NKK/BKK dikendorkan daya
bungkamnya. Sehingga pemerintah mengeluarkan SK
Mendikbud No. 0456/U/ 1989 tentang Pedoman Dasar
Organisasi Mahaiswa (PDOM). Berdasarkan PDOM inilah
dibentuklah SMPT untuk melanjutkan pengendalian gerakan
mahasiswa. Hanya saja takaran dosis represi yang agak
berkurang ketimbang NKK/BKK membuat SMPT dilihat

251
Ibid, Hlm. 166-167.
252
Lihat Max Lane, Op. Cit., Hlm. 172-173.

351
menawan oleh sebagian besar mahasiswa. Mayoritas
mahasiswa penikmat kebijakan ini berasal dari kelangan
moderat. Tanpa mengembangkan kebudayaan proletariat,
mereka mudah sekali diluluhkan melalui iming-iming jabatan
senat. Di permulaan 1990-an, kehadiran SMPT bahkan
menarik minat mahasiswa-mahasiswa moderat dari HMI.
Himpunan intelektual berpemikiran moderat ini mencoba
menguasai senat dan unit kegiatan mahasiswa dengan tujuan
memperbesar pengaruhnya dalam dunia perguruan tinggi.

Namun keinginan manambah pengaruh justru membuatnya


semakin rentan dirembesi kepentingan kelas penindas.
Apalagi setelah SMPT berhasil dikuasai maka mereka bukan
cuma punya nilai tawar yang kuat di hadapan birokrasi
kampus, tapi terutama dipaksa berkompromi terhadap
kekuasaan hegemonis. Itulah mengapa leberalisasi perguruan
tinggi tak membuatnya panas. Mereka kemudian menjadi
gerombolan intelektual yang gandrung pada kegiatan seminar
dan pelatihan, daripada bergerak melakukan perlawanan
bersama kaum miskin dan tertindas. Dominasi para
intelektual moderat dalam senat mahasiwa dengan
kecenderungannya yang pro-birokrat inilah yang menjadi
alasan kenapa mahasiswa-mahasiswa radikal—seperti para
aktivis SMID—menarik diri dari politik kampus. Melalui
pembentukan SMPT Orba memang tak lagi mengekang habis
kebebasan mahasiswa, melainkan begitu halus memecah
belah gerakan mahasiswa di kampus-kampus. Kelompok
mahasiswa radikal menilai grup mahasiswa moderat
membawa agenda penguasa. Sementara intelektual moderat—
semacam kader-kader HMI—yang menduduki SMPT balik
membalasnya: dicercahnya kelompok mahasiswa radikal

352
sebagai organ binaan orang-orang komunis.253 Negara rupa-
rupanya telah berhasil menanamkan nilai-nilai moral
artifisialnya kepada sebagian anggota-anggota himpunan yang
polos. Suntikan nilai tersebut terutama dilakukan melalui
bantuan KAHMI. Dengan ikatan moral dan ketauladanan dari
alumni-alumni himpunan yang menjadi politikus maupun
birokrat, maka semangat pembangunanisme diinternalisasi.
Bahkan oleh merekalah panggung-panggung bagi demagog—
untuk menebarkan keyakinan naïf tentang bahaya gagasan dan
gerakan komunisme—disediakan secara megah, terbuka, dan
resmi. Pada 1996, panggung demikian disediakan buat R.
Hartono (mantan KSAD) dalam sebuah seminar yang
diadakan KAHMI Jatim. Dia di hadapan seabrek alumni dan
anggota HMI tak sekedar menyampaikan pidato penuh dusta,
tapi terutama melecehkan dan mengambinghitamkan gerakan
rakyat miskin dan tertindas yang berlawan terhadap rezim:

…Orientasi Orde Baru yang selama ini lebih banyak


ditujukan kepada rakyat atau wong cilik yang menjadi
basis perjuangan Orde Baru dalam perjuangannya harus
ditingkatkan kualitasnya, agar rakyat kecil tidak dengan
mudah menjadi bulan-bulanan dan alat politik yang
dikerahkan dalam bentuk kekuatan massa oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab dan tidak suka
dengan Orde Baru, dengan kedok demi rakyat,
membela hak asasi manusia dan memperjuangkan
demokrasi kerakyatan. Upaya untuk mempengaruhi
rakyat agar tidak suka kepada Orde Baru, selama ini
terasa dilakukan oleh kelompok yang menamakan
dirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang telah

253
Lihat Gunawan, dkk, (2009), Menyulut Lahan Kering Perlawanan:
Gerakan Mahasiswa 1990-an, Jakarta: Spasi dan VHR Book, Hlm. 78.

353
menghasut rasa kebencian rakyat terhadap
pemimpinnya dan terhadap aparat keamanan. Mereka
berdalih memperjuangkan demokrasi rakyat tapi
tindakannya tidak demokratis. Bahkan sesuai dengan
manifesto politiknya, mereka melakukan tindakan
radikal kerakyatan dengan menghasut rakyat untuk
melakukan tindakan revolusioner guna merangsang dan
menggulingkan pemerintah sehingga hal ini
mengingatkan kita kepada demokrasi proletariat ala
komunis…. Dalam peristiwa tanggal 27 Juli 1996, telah
terbukti bahwa perann PRD sangat besar dalam
menyulut kerusuhan yang telah menimbulkan
ketakutan, kerusakan, dan korban jiwa…. Menghadapi
kondisi tersebut, maka segenap komponen Orde Baru
semakin dituntut untuk meningkatkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta semakin meningkatkan
kewaspadaan terhadap bahaya laten komunis….
Komunis tidak berhenti berjuang untuk eksis kembali di
bumi walaupun dalam bentuk yang lain….254

Sejak berdirinya PRD strategi ekstra-parlementer yang


diterapkannya dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) Ideologi:
meliputi penerbitan bacaan dan pendidikan politik; (2) Politik:
melalui kampanye program, penggalangan front atau aliansi,
dan aksi massa; dan (3) Organisasi: dengan pembangunan
struktur dan pembangunan sayap organisasi. Dalam
melancarkan perang posisi terhadap aliansi kelas penguasa
ketiga strategi dilaksanakan secara instensif dan simultan.
Perlawanan inilah yang kemudian menebar ketakutan di
relung-relung kekuasaan hegemonik yang sudah sedemikian
minimum. Apalagi mulai 1966 PRD semakin memperbesar
cakupan aliansinya. Partai ini bahkan menjalin aliansi dengan

254
Abdullah Hafidz, dkk (ed), Op. Cit., Hlm. 132-134.

354
Partai Demokrasi Perjuangan (PDI) pimpinan Megawati
Soekarnoputri. Soalnya dalam manifesto perjuangannya PRD
memiliki pandangan bahwa kekuatan revolusioner tidak hanya
dimiliki kelas proletar (kaum buruh dan kaum tani—petani
sedang dan petani miskin), karena potensi revolusioner juga
dimiliki kaum lainnya: borjuis-menengah (mahasiswa dan
kaum intelektual), rakyat-miskin-kota (gelandangan,
pengamen, pedagang asongan, pengemis, dan semua pekerja
di lapangan kerja yang tidak normal), bahkan borjuis-nasional
(kelas yang ikut tertindas oleh kekuasaan dan modal).
Megawati sendiri berasal dari borjuis-nasional yang
mengalami perlakuan represi kelas penguasa sehingga
memiliki potensi revolusioner dalam perjuangannya.

Pada 1987 Megawati masuk menjadi anggota PDI. Kehadiran


membawa kemajuan signifikan bagi partai. Sosoknya sebagai
anak Bung Karno dan karakternya yang merakyat mampu
menjadikan dirinya sebagai magnet penarik dukungan besar di
kalangan massa-rakyat. Itu terbukti ketika keterlibatannya
dalam kampanye sebagai vote getter berhasil mendongkrak
perolehan suaranya PDI selama dua musim pemilu: di Pemilu
1987 hanya meraih 8,3% suara (29 kursi DPR), lalu di Pemilu
1983 meningkat jadi 10% suara (40 kursi DPR) dan Pemilu
1992 beroleh 14% suara (56 kursi DPR). Kemampuan
Megawati dalam menarik dukungan massa tidak terlepas dari
keberaniannya memperjuangkan kehidupan yang demokratis
dan menyalurkan aspirasi rakyat tanpa tunduk pada tekanan-
tekanan penguasa. Sikap demikian kemudian membawanya
didukung banyak anggota partai di Kongres Luar Biasa (KLB)
PDI pada 2-6 Desember 1993 di Surabaya. Kongres ini
digelar setelah Soeharto berhasil menyingkirkan Soerjadi

355
demi menggantingakannya dengan orang pilihannya. Hanya
saja peserta KLB lebih tertarik pada Mega ketimbang
kandidat yang dikenal direstui pemerintah: Budi Hardjono. 255
Tetapi Orba tak sedikitpun mengalah: bersama segenap
aparatusnya, negara berusaha menghalangi pendukung Mega
untuk menghadiri KLB hingga tak segan-segan membubarkan
kongres menggunakan tangan-tangan serdadunya. Tak
berselang lama pembubaran itu kemudian dilawan Megawati
beserta para pendukungnya dengan menggelar Muswarah
Nasional (Munas) PDI 22-23 Desember di Jakarta.
Melaluinya Megawati akhirnya disahkan segenap
pendukungnya menjadi pimpinan PDI.

Selanjutnya Megawati sedikit-demi-sedikit berusaha


membawa partainya keluar dari jerat Orba. Walhasil,
hegemoni kekuasaan tak lagi mempan terhadap PDI pimpinan
Megawati. Inilah yang kemudian membuat penguasa semakin
siap menempu langkah kekerasan hingga tak segan-segan
mengerahkan pasukan bersenjata. Peristiwa Kerusuhan 27 Juli
(Kudatuli) 1996 bukan saja menjadi pertentangan terbuka
antara PDI dengan kelas penguasa, tapi juga sebagai momen
membuncahnya titik balik perlawanan rakyat. Kerusuhan itu
dibuka oleh penyerangan yang dilakukan massa pimpinan
Soerjadi. Soerjadi sebenarnya telah dicap pembangkang oleh
penguasa, karena telah banyak dosa politiknya pada Orba:
melawan Soeharto dan menyerang bisnis keluarganya. 256
Hanya saja setelah Megawati menggantikannya memimpin
DPP PDI, Soeharto justru menjadikan Soerjadi sekutu dalam

255
Peter Kasenda, (2018 ), Peristiwa 27 Juli 1996; Titik Balik Perlawanan
Rakyat, Yogyakarta: Media Pressindo, Hlm. 71.
256
Ibid, Hlm 76.

356
menghancurkan Mega. Penguasa memilih mantan musuhnya
sebagai kawan politik lantaran punya pengaruh yang cukup
besar atas orang-orang PDI di daerah-daerah. Dalam kerja
sama keduanya Soerjadi punya kepentingan kembali menjadi
DPP PDI; sedangkan Soeharto berkepentingan bukan hanya
menghadapi SU MPR 1998 kelak, tapi terdekat adalah
memenangkan Pemilu 1997. Untuk mewujudkan
kepentingan-kepentingan tersebut maka Megawati perlu lebih
dahulu jatuh. Soalnya sejak Mega bergabung dengan partai
telah terjadi peningkatan perolehan suara PDI pada pemilu.
Orientasi kerakyatannya mampu menarik simpati pelbagai
kalangan: basis massa PNI-Lama, rakyat miskin kota, buruh
sektor informal, petani-petani pedesaan, pemuda-mahasiswa,
dan pengangguran. Bersama barisan massa inilah dibangunlah
aliansi Mega Bintang Rakyat. Di dalamnya diikuti pula oleh
PRD, yang mendukung Megawati karena: pertama untuk
membuka ruang demokrasi yaitu kebebasan berserikat,
berkumpul dan berpartai; kedua, untuk semakin mendesak
rezim Soeharto.257

Kepopulerannya di kalangan rakyat Indonesia menebar


ketakutan bagi penguasa. Penguasa ketakutan bukan saja
Mega selaku anak biologis Soekarno, tapi terutama dia
membawa ideologi Marhaenisme dalam perjuangannya.
Lantas Megawati berusaha dijatuhkan Orba. Caranya ialah
memecahkan internal partainya. Dengan dibantu ABG,
Soerjadi berhasil mendorong munculnya pelbagai desakan

257
Arif Novianto, Lukman Kurniawan, dan Samodra Wibawa, (2018),
Dinamika Gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Indonesia: Analisis
Perspektif Partai Pelopor Dan Partai Kiri Luas, Jurnal Penelitian Politik,
Vol. 15(1), Hlm. 39.

357
kader partai dari daerah-daerah dalam menuntut digelarnya
KLB PDI. Maka bulan Juni 1996 KLB dilaksanakan di
Medan. Untuk mengakomodir massa pendukung Soerjadi dan
TNI-Polri, Direktur CSIS Sofyan Wanandi menggelontorkan
sebesar Rp 3 miliar.258 Dengan biaya itu dibangun tenda-tenda
militer berukuran besar untuk menjaga kongres sesuai apa
yang diinginkan penguasa. Seketika sudut-sudut Kota Medan
dipenuhi aparat keamanan untuk mengadakan operasi KTP.
Di dalamnya bahkan ada perintah tembak di tempat terhadap
siapa-siapa yang mengadakan demonstrasi anti kongres.
Tanpa halangan sedikit pun kongres akhirnya menetapkan
Soerjadi sebagai Ketua Umum sekaligus ketua tim formatur
untuk menyusun DPP PDI versinya. Tapi hasil KLB belum
sesuai harapan Soeharto, karena masih belum mampu
mencopot Megawati dari jabatan Ketum PDI hasil Munas
Jakarta. Dukungan terhadap PDI pimpinan Mega soalnya
bukan berasal dari istana, melainkan kaum miskin dan
tertindas. Itulah mengapa dari sebelum kelas penguasa
mengadakan KLB serta mempersiapkan pengakuan atas DPP
PDI tandingan Megawati yang baru saja terbentuk; maka
anggota, pengurus dan seluruh simpatisan PDI pro-Megawati
kontan melawan sekuat tenaga. Tekanan-demi-tekanan yang
dilakukan ABG bersama preman-preman pendukung pro-
Soerjadi dilawan menggunakan aliansi Mega-Bintang-Rakyat
dengan sebegitu masifnya. Di situ PDI dan PRD jadi partai
yang bekerja sama mengorganisir, memobilisasi, dan
melancarkan perlawanan intensif terhadap rezim anti-
demokrasi. Dalam penelitian Arif Novianto, Lukman
Kurniawan, dan Samodra Wibawa dipaparkan begini:

258
Dhaniel Dhakidae, Op. Cit. Hlm. 726-727.

358
Berbagai aksi gabungan antara PDI dan PRD yang
membuat kedua bendera partai tersebut menjadi
mendapatkan perhatian dari rakyat, sebagaimana
menurut Max Lane dilakukan di berbagai tempat: Aksi
protes menentang penolakan Soeharto terhadap
kepemimpinan Megawati mulai dipicu di Semarang
pada 14 Juni. Kemudian diikuti aksi-aksi di Surabaya
dan Yogyakarta pada 17 Juni; di Salatiga pada 18
Juni; di Jakarta pada 18 Juni yang diikuti sekitar 4.000
orang. Kemudian menjadi aksi terbesar 15.000 orang
pada 20 Juni di Jakarta juga hingga terjadi bentrokan
dengan tentara sekitar 70 orang terluka berat dan 50
orang ditangkap. Di Yogyakarta, 25 Juni terjadi
demonstrasi yang terdiri dari 7.000 orang yang
berhasil menerobos barikade tentara di luar kampus
UGM untuk menuju ke DPRD-Yogyakarta. Di Jakarta
pada 28 Juni, 3.000 orang berkumpul di DPR RI untuk
mendukung Megawati dan di Jakarta pula 12 Juli,
5.000 orang berkumpul di gedung Proklamasi. Pada 18
Juni, PRD mengorganisasi 2.000 buruh dari PT Indo
Shoes yang berbasis diluar Jakarta untuk mogok dan
datang ke Jakarta berkumpul diluar gedung DPR RI,
dimana 3.000 mahasiswa dan buruh lainnya ikut
bergabung. Pada 19 Juli, antara 10.000 hingga 20.000
buruh dari 10 pabrik di daerah Surabaya mogok yang
diorganisasi dibawah bendera PRD dan PPBI yang
mendistribusikan ribuan selebaran kepada buruh
dengan tuntutan-tuntutan: hentikan campur tangan
tentara terhadap buruh; hentikan dwifungsi ABRI;
mencalonkan Megawati sebagai presiden. Aksi tersebut
membuat terjadinya bentrokan dengan tentara hingga
beberapa terluka dan lebih dari 20 orang ditahan,
termasuk pemimpin PPBI Dita Sari dan Coen Pontoh.
Puncak dari peristiwa konfrontasi antara rezim
Soeharto dengan Megawati yang didukung oleh

359
eksponen gerakan kiri adalah pada 27 Juli 1996. Pada
hari itu terjadi peristiwa yang disebut Kudatuli yaitu
penyerbuan terhadap kantor DPP PDI di Jalan
Diponegoro, Jakarta. Para anggota PDI yang
mendukung Megawati menolak untuk keluar dari
gedung DPP PDI sebagaimana yang diintruksikan oleh
Pemerintah Soeharto. Sehingga terjadi penyerbuan
yang dilakukan oleh tentara dan anggota PDI pro-
Soerjadi yang sebelumnya mengepung kantor DPP PDI
tersebut….259

Demonstrasi-demonstrasi di pelbagai daerah yang berujung


aksi massa itu betul-betul membuat kelas penguasa semakin
emosi hingga bersiap-siap menggunakan kekerasan. Apalagi
setelah dirundung mimbar-mimbar bebas di sekitar kantor
DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta, Soeharto justru tak
mau mengendorkan tekanan. Pada 25 Juli 1996, dengan
menerima kepengurusan DPP PDI versi Soerjadi maka
pemerintah memberikan lampu hijau untuk mempersiapkan
skenario perebutan kantor DPP PDI di Jakarta. Peter Kasenda
menjelaskan: ‘mirip operasi intelijen, kantor DPP PDI yang
dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri diserbu di saat
fajar hari Sabtu tanggal 27 Juli 1996. Isu tentang penyerbuan
ini memang telah merebak seminggu sebelumnya. Sekitar
(pukul) 06.30 WIB, Satgas PDI yang bertugas semalaman
masih tidur tiba-tiba datang serbuan dari ratusan massa PDI
pro-Soerjadi berseragam kaos merah dengan tulisan
“Pendukung Kongres Medan” dengan ikat kepala berwarna
merah. Mereka berteriak memaki-maki dan menghujani
dengan batu pendukung Megawati Soekarnoputri yang
bertahan di dalam kantor tersebut. Para penyerbu juga
259
Ibid, Hlm. 39-40. Kursif dari penulis.

360
membakar spanduk-spanduk yang terpasang dipinggir pagar.
Massa PDI pro-Soerjadi dengan leluasa menyerbu karena
ratusan aparat kepolisian dan militer memblokir wilayah
sekitar kantor DPP PDI’.260 Bersama aparat-aparat itulah
mengapa massa pro-Soerjadi berhasil menyulut keributan.
Dalam insiden tersebut Komnas HAM melaporkan: 5
(pendukung Megawati) terbunuh, 149 luka-luka, 23 orang
hilang, dan 136 ditahan.261 Meski pembuka kekerasan-fisik
adalah perbuatan keji massa pro-Soerjadi—kalangan TNI-
Polri dan paramiliter Pemuda Pancasila (PP),262 kesalahan
justru ditimpahkan sepenuhnya kepada PRD. Kepengurusan
partai yang baru terbentuk pun hanya berlangsung selama
lima hari: 22-27 Juli 1997.

Tudingan sebagai ‘Dalang Kudatuli 1996’ dijadikan dalih


untuk mengganyang mereka: dalam waktu singkat kader dan
seluruh simpatisan partai diburu oleh aparatus represif negara.
Perburuhan dilakukan sejak Januari hingga Juni 1997.
Walhasil, 30 orang dari pengurus maupun anggota partai
tertangkap. Para militan partai yang berhasil dibekuk itu
diantaranya seperti Ketum PRD Budiman Sujadtmiko, Sekjen
PRD Petrus H. Haryanto, Ketum SMID Jabodetabek Garda
Sembiring, dan Ketum PPBI/SBSI Mochtar Pakpahan. 263

260
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm. 87.
261
Ibid, Hlm. 96.
262
Kedekatan Pemuda Pancasila dengan kalangan Militer pun juga terlihat
pada kasus yang terjadi pada 27 Juli 1996, Pemuda Pancasila terlihat jelas
sebagai alat represif negara, Pemuda Pancasila mengerahkan massa untuk
mengepung sekretariat DPP PDI di Jalan Diponegoro. Baca selengkapnya
dalam Ikrar Nusa Bhakti, (2001), Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru:
Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli?, Bandung: Mizzan, Hlm.139.
263
Buka https://historia.id/politik/article/catatan-seorang-aktivis-prd-dan-
penggulingan-soeharto

361
Mereka lantas dijatuhi vonis beragam dalam pengadilan
politiknya Orba: 1,5 sampai 13 tahun masa tahanan.
Sedangkan PRD distigma habis-habisan. Represi bahkan
dilegalformalkan melalui Surat Keputusan (SK) Mendagri
Nomor 201-221 Tahun 1997: intinya membubarkan dan
menyatakan PRD dan ormas-ormasnya sebagai ‘Organisasi
Terlarang’ dengan alasan bahwa organisasi ini tidak
berasaskan Pancasila. Nasib PRD pun seiras dengan HMI
MPO, bahkan lebih parah darinya. Mahasiswa-mahasiswa
radikal dibungkam bersama organisasinya yang berafiliasi
dengan PRD, sementara intelektual moderat diijinkan
bertahan dengan lembaga kepemudaannya. Ketika PRD dan
segenap underbow-nya diberangus, maka HMI (Dipo) tetap
aman-aman saja. Dipatrikannya Pancasila menjadi asas HMI
bukan hanya membuat organisasi ini selamat dari pembubaran
paksa, tapi parahnya justru melemahkan dirinya hingga
gampang sekali dikooptasi sedemikian rupa oleh negara.

Saat Orba melumpuhkan PRD maka PB HMI pun hanya bisa


diam-pasif: tanda diberikannya dukungan secara diam-diam.
Inilah mengapa kala puluhan aktivis pro-demokrasi dipenjara,
HMI tidak berani membelanya dari tindasan rezim. Karena
keterlibatan senior-aluminya dalam pranata kenegaraan
berekses langsung pada lemahnya kemandirian dan
perlawanan pengurus-pengurus himpunan. Mereka cuma jadi
penonton ketika peristiwa Kudatuli dimanfaatkan oleh kelas
penguasa untuk mematikan perjuangan demokrasi dan
aktivitas pergerakan. Melalui kerusuhan itu Orba meletuskan
tembakan salvo; tak sekedar menyayat kader-kader PDI
pimpinan Megawati melankan pula menggoyahkan gerakan
PRD dengan seluruh massa-rakyat pendukungnya. Dengan

362
kerusuhan dan pencarian kambing hitam persatuan PDI, PRD,
kaum miskin dan tertindas dalam Mega-Bintang-Rakyat coba
dikacaukan: tujuannya untuk membuat massa-rakyat kesulitan
melawan status quo. Ini sesuai Laporan Pertanggungjawaban
(LPJ) Politik PRD kepada rakyat miskin dan tertindas—yang
ditandatangani Ketum Budiman Sudjatmiko dan Sekjen
Petrus H. Haryanto. Dalam LPJ tersebut dijelaskanlah
mengenai ketakutan Soeharto akan kiprah Megawati dan
gabungan kekuatan PDI dengan PRD hingga merebaknya
Kudatuli—dan pelbagai kerusuhan sesudahnya—bukan
sebagai konspirasi melainkan keharusan sosio-historis:

[a] Kemunculan Megawati sebagai ketua partai melalui


KLB dan Munas, benar-benar menunjukkan daya
dobrak politik "arus bawah." Politik inilah yang
sanggup menantang skenario rekayasa oleh penguasa,
khususnya dalam pemilihan ketua partai yang selama
ini telah menjadi jatah ritual penguasa. Dan dalam
momentum tersebut, "arus bawah" ini memperoleh
kemenangan gemilang. [b] Kepemimpinan Megawati
mengubah PDI dari sekedar "electoral machine"
menjadi partai politik yang tanggap terhadap persoalan-
persoalan rakyat. Megawati setidaknya telah
menampilkan diri sebagai seorang pimpinan politik
yang memiliki visi pembaruan. Dan selama
kepemimpinannya, tema "kemandirian partai,"
"menegakkan kedaulatan rakyat," dan semacamnya
selalu muncul dalam pidatonya. Bukan sesuatu yang
luar biasa jika tema-tema tersebut dibicarakan dalam
seminar-seminar atau ditulis dalam jurnal-jurnal
akademis. Tetapi sungguh berbeda maknanya ketika
disampaikan berulang-ulang di hadapan massa rakyat.
[c] Kemunculan gaya kepemimpinan ini berasal dari
maraknya isu-isu hak asasi manusia dan demokratisasi.

363
Adalah berbahaya di mata penguasa jika isu-isu yang
selama ini disuarakan oleh gerakan prodemokrasi
ekstra-parlementer [PRD], kemudian dilancarkan juga
oleh kekuatan politik [PDI] yang memiliki fraksi di
DPR. Pertemuan dua arus politik inilah yang ditakutkan
penguasa Orde Baru, terutama dalam menghadapi
Pemilu 1997 dan Sidang Umum (SU) MPR 1998.
Kedua arus ini (politik intra dan ekstra parlementer)
semakin saling mengkait dengan membawa potensinya
masing-masing. Di bawah kepemimpinan Megawati,
PDI sedang berproses menyatukan diri dengan gerakan-
gerakan sosial. Sungguh keliru kalau rezim Soeharto
mencoba mengerti semua ini dengan mantra-mantra
`konspirasi' (persekongkolan) atau `penunggangan.' Ia
[Kudatuli 1996] merupakan hasil dari hukum gerak
perkembangan masyarakat…. Rakyat seperti
dilemparkan ke belakang oleh tiap-tiap
ketidakadilan. Dan punggungpunggung mereka
yang legam membentur latar belakang kepahitan
hidupnya, himpitan sosial ekonomi mereka, dan
secara beramai-ramai -- sekali lagi -- terlontar ke
depan menabrak apa saja yang ada di hadapan
mereka. Kerusuhan bukanlah dosa rakyat. Ia adalah
dosa dari para pimpinannya yang sementara sudah
mengantungi kepercayaan dari rakyat, namun tak
kunjung memberikan penegasan ke arah mana
perjuangan ini hendak digariskan dan disasarkan.
Kerusuhan-kerusuhan: 27 Juli, Tasikmalaya, Situbondo,
Tanah Abang, Pekalongan, Banjarnegara, Wonosobo,
dan Temanggung—pada derajat tertentu—pada
hakekatnya adalah bentuk-bentuk pemberontakan lokal.
Di sana ada kemarahan yang meluap dan tak
terhindarkan juga jatuhnya korban-korban. Darah yang
sudah tertumpah harusnya membuat kita belajar untuk
menarik maknanya, yakni dengan memberikan rakyat

364
kepemimpinan politik, melakukan perubahan,
memperjuangkan kebebasan dan keadilan sosial….264

Selanjutnya dalam LPJ PRD dijelaskan juga: kebuasan


kapitalisme global telah mengakibatkan mayoritas rakyat di
negara-negara Dunia Ketiga menjadi paria. Tanggal 8 Oktober
1990, majalah Newsweek melaporkan bahwa di negara
berkembang setiap harinya 40 ribu anak-anak di bawah umur
5 tahun meninggal. Sekitar 150 juta anak-anak di bawah
negara-negara berkembang setiap harinya tidur kelaparan dan
100 juta anak-anak usia sekolah di dunia (60% wanita) tidak
pernah bersekolah. Beberapa miliar manusia makan, minum
dan mandi melalui sumber-sumber air yang sudah tercemar.
Sekitar 450 juta di seluruh dunia menderita kekurangan gizi
sangat parah, badan dan pikiran mereka pun tidak berfungsi
secara normal. Bank Dunia serta organisasi pangan dan
pertanian PBB memang telah memperkirakan: menjelang 90-
an jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan hina dan
absolut melebihi 1 miliar. Peningkatan drastis terjadi di Afrika
Sub-Sahara, Amerika Latin dan Asia (terutama Asia Selatan).
Hampir 60-70% rakyat Dunia Ketiga menerima penghasilan
di bawah rata-rata Gross National Product (GNP): mereka
hanya menerima 10% dari total pendapatan nasionalnya. Tapi
dalam keadaan itu jumlah jutawan di dunia justru mencapai 2
juta orang bersama milyunernya yang berjumlah 160 orang.
Sementara jumlah tuna wisma di seluruh penjuru dunia lebih
dari 100 juta orang. Seperlima umat manusia yang tinggal di

264
Pidato Pertanggungjawaban Politik Partai Rakyat Demokratik (PRD),
Hlm. 10 dan 34. Dalam https://www.budimansudjatmiko.net/. Dalam
kurung tambahan dari penulis, sementara cetak hitam merupakan tulisan
dalam LPJ PRD sendiri.

365
negara-negara Utara mempunyai pendapatan rata-rata 15 kali
lebih tinggi ketimbang 4/5 negara-negara Selatan. Di
Indonesia, pada 1996 penduduknya telah tercatat 200 juta
jiwa; 27 juta mengalami kemiskinan absolut dan 30-60 juta
lainnya hidup berkalang kemiskinan hina pula. Sedangkan
segelintir orang kaya menguasai 61,1% produksi nasional dan
200 konglomeratnya berkuasa atas hampir 70% aset nasional.
Keuntungan 100% dari aset nasional—yang diperoleh dengan
cara monopoli, oligopoli, jual beli lisensi, kolusi dan lain-
lain—oleh 200 konglomerat itu diambil 99%, lalu 27 juta
kaum miskin dan tertindas cuma mendapatkan sisanya: 1%.265

Ketidakadilan sosial-ekonomi seperti itu menjadi alasan


kenapa merebaknya pelbagai aksi demonstrasi yang kemudian
melecut kerusuhan-kerusuhan hingga membawa ke krisis
politik. Lalu perpaduannya dengan krisis ekonomi
mempercepat turunnya Soeharto dari takhtanya. Mula-mula
Krisis Finansial Asia (Asian Financial Crisis) 1997 bukan
saja menjerat Indonesia dalam Krisis Moneter (Krismon)
1997, tapi juga mengarahkannya pada Krisis Ekonomi 1998.
Krisis Asia dipicu oleh terpuruknya nilai baht Thailand: 2 Juli
1997 mata uang hancur menjadi 29,1 baht per dolar AS.
Puncak Krismon Thailand terjadi tanggal 8 Desember 1997:
56 dari 58 lembaga keuangan utamanya tutup. Segera setelah
itu maka para investor berlomba-lomba mengamankan aset-
asetnya dengan cara menarik keluar investasinya dari negara
di Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti Filipina, Malaysia,
Korea Selatan, dan Indonesia. Nilai tukar mata uang negara-
negara yang ditinggalkan pemodal pun merosot begitu rupa.

265
Lebih lengkapnya lihat saja LPJ PRD, Ibid.

366
Indonesia merupakan yang terparah terkena imbasnya,
sehingga memaksa pemerintah menganggulanginya dengan
membengkakan utang luar negerinya. Meskipun sebelum
krisis fundamental ekonomi Indonesia sempat disanjung-
sanjung Bank Dunia, tapi daya tahan perekonomian di bawah
rezim neoliberal tak bisa diharapkan untuk menahan
goncangan keuangan eksternal. Itulah mengapa krisis
finansial yang dimulai dari Thailand mampu menyulap
ekonomi Indonesia jadi amburadul. Dadang Solihin
menjelaskan bahwa bebasnya lalu-lintas modal dalam tatanan
globalisasi-neoliberalis memang gampang menggoyahkan
stabilitas perekonomian negara-negara berkembang. Karena
negara yang mengadopsi liberalisasi aliran modal, tidak
mampu secara bersamaan memiliki nilai tukar mata uang yang
stabil dan kebijakan moneter yang independen:

Globalisasi [imperialisme] yang bersifat top-down juga


mempersering terjadinya guncangan dan
ketidakstabilan eksternal. Krisis finansial menciptakan
beban utang baru bagi negara-negara yang terlanda
krisis sedangkan beban utang yang lama belum juga
terhapuskan. Krisis Asia merupakan imbas dari
liberalisasi finansial. Aliran modal bebas digembar-
gemborkan oleh lembaga keuangan internasional akan
menguntungkan negara penerima (host countries),
walaupun sebenarnya itu hanya akan memperkaya
bank-bank dan lembaga keuangan dari negara maju.
Liberalisasi sektor keuangan mendorong penumpukan
pinjaman jangka pendek oleh perusahaan dan bank
domestik serta memicu maraknya manipulasi dan
spekulasi atas saham dan nilai tukar oleh para investor
asing. Timbulnya insiden guncangan dan
ketidakstabilan keuangan external. Di saat semuanya

367
berjalan baik, aliran kapital tersebut akan membawakan
laba yang melimpah. Namun, saat roda peruntungan
berbalik, negara penerima aliran modal yang menjadi
tumbal. Keadaan makin buruk ketika kemudian IMF
memaksakan stabilisasi melalui kebijakan uang ketat
dan kontraksi fiskal yang menyebabkan tingkat bunga
melambung dan perbankan gulung tikar serta pada
akhirnya rontoknya perekonomian dan penalangan
utang swasta oleh pemerintah. 266

Ketika mulai mendapatkan terpaan resonansi Krisis Asia


1997, maka liberalisasi aliran modal yang sudah lama
diterapkan Orba menambah keruh persoalan. Spekulan-
spekulan berkeliaran. Mereka merusak kekuatan
perekenomian, karena menjadi komplotan yang mendorong
kuat-kuat hancurnya nilai rupiah. Kala itu pebisnis-kapitalis
kenamaan Amerika—George Soros—tampil sebagai gembong
pemain valas yang paling bergairah. Dirinya memborong
semua persediaan dolar di pasaran.267 Walhasil, Indonesia
kesulitan mendapatkan banyak dolar untuk membayar utang-
utang yang jatuh tempo. Apalagi sistem perbankannya
semakin disesaki mafia utang. Maka ekonomi-politik
pembangunan yang neoliberal ikut lumpuh nan usang.
Kegiatan bisnis akhirnya didera stagnasi lumayan panjang.
Kemacetan dunia usaha membuat perusahaan-perusahaan
mendadak bangkrut. Walhasil, puluhan ribu buruh dipaksa
angkat kaki karena pabrik tak sanggup lagi beroperasi dengan
sehat. Krisis telah menyebabkan peningkatan penganggur

266
Dadang Solihin, (2007), Ekonomi Pembangunan: Overview Indonesia
Masa Krisis 1998, Jakarta: PT Artifa Duta Prakarsa, Hlm. 146.
267
Afred Suci, (2015), 151 Konspirasi Dunia Paling Gila dan
Mencengangkan!, Jakarta: PT Wahyudi Media, Hlm. 160.

368
terbuka; dari 4,68 juta pada 1997, menjadi 5,64 juta orang
tahun 1998. Demikian pula jumlah setengah pengangguran;
meningkat dari 28,2 juta jiwa di 1998, naik jadi 32,1 juta jiwa
saat 1998.268 Pertambahan jumlah pengangur mendorong
merebaknya permasalahan sosial. Bersama orang-orang yang
sebelumnya melarat mereka hidup serba labil. Kehidupan
rakyat miskin dan tertindas tiap harinya makin hina. Karena
hidupnya menjadi delapan kali lebih miskin dari semula.
Menghadapi kenyataan seperti itu pemerintah lalu melakukan
manuver mencengangkan: menyetujui program pinjaman dari
WB dan ADB—Social Safety Net Adjustment Loan atau
pinjaman untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebesar 600
juta dolar AS. Inilah kenapa kemiskinan pun ditambal sulam
dengan utang tanpa sedikitpun was-was.

Di tengah berlangsung Krismon 1997, jeratan utang justru


membuat pemerintah semakin lemah tergemulai. Makanya
WB dan ADB gampang mengarahkan Bank Indonesia (BI)
untuk membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing;
khususnya dolar AS. Nilai tukar pun ditentukan oleh kekuatan
pasar yang begitu buas. Pasar memerosot-tajamkan nilai tukar
rupiah: dari rata-rata Rp 2.450 per dolar AS di Juni 1997,
menjadi Rp 18.000 per dolar AS pada 1998 dengan angka
inflasi 59,1%. Kegemaran dalam berutang mentranformasi
krismon jadi Krisis Ekonomi 1998. Indonesia pun menjadi
negara pesakitan; lantaran bersama IMF, WB dan ADB lagi-
lagi mulus menjebak Pemerintah Orba melalui saran
pemulihan krisis: memberikan Bantuan Likuiditas Bank

268
Lihat Bacharuddin Jusuf Habibie, (2006), Detik-Detik yang Menentukan;
Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: THC Mandiri, Hlm.
3.

369
Indonesia (BLBI) kepada bank-bank swasta dan bank-bank
pemerintah. Mula-mula BLBI muncul sebagai bantuan dana
(utang) yang diberikan oleh BI bagi bank-bank yang
mengalami kesulitan likuiditas. Hanya saja pembayaran
utangnya kemudian tidak lagi menjadi tanggung jawab bank
penerima pertolongan, karena ketiga lembaga donor tadi
memaksa negara memberlakukan program bail-out
(penalangan) utang perbankan sehingga pembayarannya
dialihkan sepenuhnya kepada pemerintah lewat penerbitan
obligasi. Bonnie menilai program ini telah mengakibatkan
skandal terbesar di dunia: perampokan besar-besaran terhadap
Bank Sentral—BI. Sementara yang menanggung risiko paling
mengerikan atas kebijakan neoliberal itu bukanlah
pemerintah, melainkan rakyat sendiri. Terutama melalui
penghapusan subsidi:

Meskipun [program bail-out BLBI] hakekatnya adalah


pinjaman dengan persyaratan suku bunga, jangka waktu
dan jaminan tertentu, pada akhirnya menjadi
pengurasan uang negara yang diduga dilakukan baik
oleh bank penerima maupun oleh pejabat-pejabat BI
sendiri. Pengurasan tersebut diperkirakan telah
mencapai Rp 144,53 trilyun (per-29 Januari 2000).
Laporan audit investigasi BPK tanggal 31 Juli 2000
mengungkapkan dugaan penyimpangan tersebut.
Potensi kerugian negara yang ditimbulkannya adalah
Rp 138,44 trilyun (95,78%) dari dana penyaluran
BLBI. Sementara penyimpangan dari bank penerima
dana BLBI berupa berbagai pelanggaran yang
mencapai nilai Rp 84,84 trilyun (59,7%) dari dana
BLBI, dilakukan oleh 48 bank penerima. Sementara itu
kerugian dan dampaknya terhadap APBN juga luar
biasa. Pemerintah dengan ini mempunyai kewajiban

370
untuk membayar angsuran dan bunga obligasi tersebut,
yang dibayar dari dana APBN. Di tahun 2001
diperkirakan angsuran dan bunga obligasi tersebut
mencapai Rp 55,7 trilyun, artinya sekitar 18,9% dari
APBN hanya akan dipakai untuk membayar beban
utang BLBI. Sementara bila kita tengok pengeluaran
APBN untuk keperluan subsidi masyarakat hanya
mencapai 16,4% (Rp 48,2 trilyun) dan untuk keperluan
pembangunan hanya 11,3% (Rp 33,3 trilyun). Dengan
skandal keuangan BLBI ini, yang disarankan oleh [WB
dan ADB bersama] IMF, maka telah mengorbankan
berbagai subsidi yang seharusnya diterima oleh rakyat
lewat APBN.269

Selama terpaan krisis 1997/1998 bukan hanya rakyat miskin


yang dibikin menderita karena kemiskinannya ditambal-sulam
dengan utang, tapi juga kelas pekerja ikut bernasib sama
dengannya lantaran menjadi kalangan yang ikut dimiskinkan
melalui pelbagai tindasan. Dari pabrik-pabrik tempatnya
bekerja mereka di-PHK secara masal sehingga pengangguran
pun meroket tak karuan. Penderitaan mereka makin
menggunung ketika beras, kedelai, gandum, sayuran, buah-
buahan dan jasa transportasi maupun produk-produk
industri—harga-harganya dibuat memuncak. Proses
industrialisasi yang selama ini digencarkan Orba telah
mengakibatkan sektor pertanian kekurangan dalam
memproduksi bahan-bahan pokok. Inilah mengapa di akhir-
akhir kepemimpinannya Soeharto memaksa negara agraris—
yang punya swasembada pangan—seperti Indonesia
mengimpor produk-produk pertanian secara besar-besaran:
beras 9 juta ton, gula 400 ribu ton, kedelai 1 juta ton, sayuran

269
Bonnie Setiawan, Op., Cit, Hlm. 6. Dalam kurung tambahan penulis.

371
130 ribu ton dan buah-buahan 90 ribu ton. 270 Impor gila-
gilaan dilakukan atas perintah lembaga donor internasional
dan kesepakatan perjanjian perdagangan. Lewat Letter of
Intent (LoI) Oktober 1997 dan Memorandum of Economic and
Financial Policies (MEFP) September 1998, IMF berhasil
mengarahkan pemerintahan memberlakukan tarif impor—
beras, kedele, jagung, tepung terigu, dan gula—sebesar 0%.

Bahkan dengan menggunakan LoI itu Bulog dibuatnya tidak


lagi berfungsi mengurusi kestabilan harga pangan. Kabulog
Beddu Amang (Ketua Presidum MN KAHMI) kemudian
benar-benar tak punya kekuatan menghadapi teror pasar
bebas. Kepada rakyat yang sedang memelas hati dirinya
hanya bisa mengatakan: ‘pemerintah akan mengadakan
operasi pasar tanpa batas waktu’.271 Ditambah Agreement on
Agriculture (AoA) WTO—yang mengatur penghapusan dan
pengurangan tarif serta pengurangan subsidi—maka
liberalisasi pula diberlakukan untuk harga pupuk dan sarana
produksi padi lainnya. Keadaan ini betul-betul merugikan
petani-petani di pedesaan: di tengah biaya pupuk yang mahal,
impor beras secara eksesif mengakibatkan harga padi lokal
terus-menerus turun. Kerugian pun tiada terhindarkan. Bonnie
mengutarakan bahwa sejak saat itulah Indonesia didera
kehancuran ketahanan pangan yang berlangsung hingga tahun
2000-an. Dalam keadaan demikian para petani harus bersedia
menanggung beban hidup yang begitu rupa: berkalang

270
David Barsamian & Liem Siok Lan (pewawancara), (2009), Menembus
Batas (Beyond Boundaries) Damai untuk Semesta, Semarang: PT Aneka
Ilmu, Hlm. 215.
271
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm. 113.

372
kemiskinan hingga amat rentan diserang tindasan bos-bos
impor dan perusahaan:

HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras


impor yang masuk ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton,
6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal
produksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton,
sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai
32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya
membutuhkan impor 2 juta ton. Karena jeritan para
petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk
impor dinaikkan menjadi 30%, itupun semula IMF
berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukan
penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari
Thailand, Vietnam dan Australia dengan tetap meraih
untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya,
setelah keluar dari Tanjung Priok dijual Rp 1.600/kg,
dan beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap
masih meraih laba sekitar Rp 600. Meskipun kemudian
pemerintah menghentikan impor beras pada Maret
2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di
tingkat petani. Beras impor terus saja masuk dengan
deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi lokal
terus merosot tajam, sehingga kini hanya mencapai
sekitar Rp 600/kg. Padahal harga. Padahal harga pupuk
sudah sekitar Rp 700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi
kehancuran ketahanan pangan Indonesia … petani
pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan
menyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat
pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi pertanian

373
ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh
TNC dan importir besar.272

Intensifitas kebijakan neoliberal Orba telah mengakibatkan


rakyat miskin dan tertindas semakin menjerit menahan siksa.
Inilah yang mengharuskan PRD untuk tetap berjibaku
menghadapi kelas penguasa. Apalagi dari pertengahan 90-an
hegemoni pembangunanisme telah semakin mendekati
ajalnya. Mahasiswa, kaum buruh dan tani, serta rakyat miskin
kota dan pelbagai elemen progresif lainnya bukan lagi sekedar
tak percaya pada rezim melainkan justru telah berani
meluapkan kemarahan, melakukan pembangkangan
permanen, bahkan pemberontakan. Itulah mengapa walaupun
negara mencap PRD sebagai organisasi ilegal tapi militan-
militannya tak berhenti melakukan perlawanan meski secara
klandestin. November 1996, PRD sudah mengalami
pengelompokan kembali dan memberntuk beberapa komite
aksi di pelbagai kota untuk menerbitkan protes-protesnya.
Mereka juga berhasil membentuk KIPP untuk menarik
perhatian publik terhadap seabrek penyimpangan prosedur
pemilu, terutama larangan keikutsertaan PDI pimpinan
Megawati. Ketika Pemilu 1997 dilangsungkan, atmosfer
politik kian meninggi. Bersama aliansi Mega-Bintang-Rakyat
mereka enggan cuma menerbitkan gerakan boikot pemilu, tapi
juga begitu masif menyebarkan sampai 600.000 selebaran
kepada massa-rakyat. Selebaran-selebaran yang disebarkan
mengajak sama-sama memperjuangkan perubahan radikal:
khususnya “Turunkan Soeharto!” termasuk hapus 5 UU
Politik, cabut Dwifungsi ABRI, komposisi kabinet mewakili

272
Bonnie Setiawan, Op. Cit., Hlm. 8.

374
parpol-parpol, berantas korupsi dan konglomerat, turunkan
harga, selidiki harta kekayaan anak-anak Soeharto, para
menteri, dan pejabat-pejabat lainnya.273

Dengan tuntutan-tuntutan seperti itulah aktivis-aktivis yang


bergerak bersama PRD pun satu-satu persatu diculik.
Eksistensi mereka tercekik oleh penghilangan-penghilangan
paksa yang dilakukan rezim tiranik. Perbuatan keji yang
selama 1997-1998 dipercayakan kepada Tim Mawar pimpinan
Danjen Kopassus Prabowo Subianto. Titik operasinya
meliputi: Lampung, Jakarta, dan Solo. Korban
penghilangannya berjumlah 23 orang: Yani Afrie, Sony,
Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail,
Suyat, Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar
Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun
Naser—13 aktivis ini dilenyapkan hingga tak tentu rimbanya;
sedangkan 10 lainnya beruntung dilepaskan: Mugiyanto, A’an
Rusdianto, Nezar Patria, Faisol Riza, Raharja Waluyo Jati,
Haryanto Taslam, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Desmond J.
Mahesa, “St”. Orang-orang hilang itu disiksa, dianiaya,
bahkan besar kemungkinan telah terbunuh. Sementara korban-
korban yang pernah hilang (telah lepas) walau tak dibunuh,
namun mengaku sempat merasakan penyiksaan dan
penganiayaan di sekujur tubuh. Meski para militannya selalu
mendapatkan kekerasan PRD tetap teguh menggunakan
gerakan ekstra-parlementer dengan mendorong mobilisasi
massa dan aksi protes secara intensif. Tujuannya merubah
sistem politik Indonesia: dari otoriter menjadi deliberatif.

273
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm. 108.

375
Berkat strategi kepeloporan yang diterapkannya maka
kesadaran massa merebak luas. Apalagi krisis politik yang
ditambah dengan krisis ekonomi menyebabkan suasana
semakin panas. Setelah letusan Kudatuli 1996,
pembangkangan justru jadi santapan rutin kelas penindas. 10-
11 Desember 1996 Kota Lampung dilumpuhkan oleh
kombinasi mogok para supir mikrolet dan bus dengan
demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang terjadi secara
spontan.274 Aksi-aksi protes pun mengalami peningkatan.
Bahkan massa pengampanye PPP ikut mendukung aliansi
Mega-Bintang-Rakyat. Saat kampanye yang dilakukannya
pada 14 Mei 1997, kalkulasi pimpinan PRD mengatakan
bahwa sebanyak lebih dari 1.000.000 orang termobilisasi di
berbagai tempat di seluruh kota.275 Gairah perlawanan massa
Mega-Bintang-[Rakyat] berlanjut beberapa minggu pasca
Pemilu 1997 dipancing oleh pengumuman bahwa Golkar telah
memenangkan 70% lebih suara.276 Kecurang-kecurangan
ABG dalam melaksanakan pemilu sepakat mereka tolak
bersama. Hanya saja ketika elemen-elemen pro demokrasi
menekan penguasa, HMI-KAHMI justru ragu berbicara.
Bahkan kalaupun ada kritik-evaluatif kesannya amat menjilat
penguasa. Karena kritik-kritik diberikan PB HMI guna
menjaga stabilitas kekuasaan sang tiran, bukan sebaliknya.
Melaluinya pimpinan-pimpinan HMI memberikan pelbagai
masukan yang berguna bagi penguasa. Itulah mengapa pejabat
himpunan cuma berani buka mulut di ruangan-ruangan
diskusi, seminar, maupun acara-acara organisasi lainnya.
Sampai 1997, PB HMI tak pernah berani menginstruksikan

274
Ibid. Hlm. 104.
275
Ibid. Hlm. 106.
276
Ibid, Hlm. 108.

376
kader-kadernya terlibat aktif dalam parlemen jalanan.
Pengurus-pengurus organisasi ini sepertinya tiada bedanya
dengan senior-alumninya yang menjadi birokat maupun
politikus kelasan.

Dari KAHMI, Amien Rais menjadi orang paling menonjol


dalam melontarkan sinisme-sinisme terhadap gerakan-gerakan
PRD. Pimpinan PAN sekaligus pentolan ICMI tersebut
menyoroti aktivitas politik aktivis-aktivis radikal dengan
pernyataan-pernyataan dangkal tapi menghasut dan sangat
absurd. Elit reformis-moderat ini soalnya memandang gerakan
pro-demokrasi penuh prasangka. Dia secara naïf menganggap
ideologi dan gerakan kiri sebagai pembawa bahaya. Maka
kepada gagasan dewan rakyat dari PRD dia menilai: ‘Itu
berbahaya sekali, karena orang disuruh tak percaya kepada
proses demokrasi, pemilihan dilecehkan, lantas parpol-parpol
mungkin tak diperlukan lagi dan orang hanya mengandalkan
kekuatan massa, kekuatan otot’. 277 Padahal pandangan politik
PRD merupakan antitesa dari kediktatoran Orba yang sesat.
Pandangannya tentang dewan rakyat dapat ditemui dalam
manifesto politiknya: ‘membangun suatu masyarakat sipil
modern yang menghormati kedaulatan rakyat dan
pembenahan praktik demokrasi dengan trias politikanya
secara sejati dan sepenuh-penuhnya. Pembangunan demokrasi
yang sejati dan sepenuh-penuhnya haruslah diabdikan pada
kedaulatan rakyat. Untuk itu suatu pemerintahan koalisi
demokratik kerakyatan haruslah diciptakan di masa depan

277
Arif Novianto, Lukman Kurniawan, dan Samodra Wibawa, (2018),
Dinamika Gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Indonesia: Analisis
Perspektif Partai Pelopor Dan Partai Kiri Luas, Jurnal Penelitian Politik,
Vol. 15(1), Hlm. 39.

377
untuk menyalurkan partisipasi rakyat dengan saling
menghormati aliran ideologi dan alat-alat politiknya masing-
masing secara damai tanpa kekerasan’. 278

Meski pelbagai tuduhan, hujatan, dan stigma-stigma terus-


menerus menerka aktivitas pergerakannya, PRD justru tak
pernah menyerah membumbungkan proposal perubahan.
Krisis-krisis sepanjang 1998 kemudian meningkat drastiskan
gerakan perlawanan terhadap kekuasaan. Pelbagai elemen
akademik yang sebelumnya malu-malu dalam kepasifan
kontan terdorong melakukan aktivitas-aktivitas mengandung
keradikalan. Mereka berbondong-bondong berjuang seperti
aktivis-aktivis pro-demokrasi. Kenaikan-kenaikan harga
sembako, ancaman putus kuliah dan kerja, dan bayangan
tentang suramnya masa depan memicu bangunnya civitas
akademica. Banyak mahasiswa, dosen, hingga rektor yang
selama ini tertidur pulas tetiba berlomba-lomba menggelar
mimbar bebas, demonstrasi, sampai berujung aksi massa.
Melaluinya gerakan-gerakan tidak lagi dilakukan oleh
mahasiswa radikal dan kelas pekerja dari pelbagai sektor, tapi
juga oleh kalangan intelektual moderat dalam seabrek
lembaga di kampus-kampus: SMPT, Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM), dan sebagainya. Keterlibatan mereka
ditengarai oleh krisis ekonomi yang telah menerabas tembok-
tembok kampusnya. Di UTS Surabaya, 500 Dari 11.000
mahasiswa menunda pembayaran SPP. Di Unpatti Ambon,
300 dari 8.600 mahasiswa tidak mendaftar ulang karena tidak
mampu melunasi SPP. Masalah serupa juga menimpa

278
Buka https://www.prd.or.id/blog/2011/05/03/manifesto-partai-rakyat-
demokratik-lama/

378
mahasiswa di Unibraw Malang, UGM Yogyakarta, dan lain-
lain.279 Menyikapi ketidakmampuan penguasa menyelesaikan
krisis ekonomi, maka kampus-kampus mulai memecah
kebisiuan. Mula-mula 25 Februari 1998, mahasiswa UI
bergabung dengan ILUNI UI untuk menggelar aksi
keprihatinan terhadap ketidakbecusan pemerintahan.

Satu bulan setelahnya, gerakan-gerakan serupa meluas ke


mana-mana: 3 Maret, mimbar bebas dilakukan mahasiswa dan
civitas academica Unud Denpasar; 5 Maret, suara protes
muncul di Unair Surabaya; 6 Maret, ekspresi keresahan hadir
di Universitas Yarsi Jakarta; 7 Maret, kritikan terbuka
dilancarakan di Unpad Bandung; 9 Maret, panggung tuntutan
diciptakan di Unpas Bandung, Undip Semarang, dan UNS
Solo; 10 Maret, kekecawaan tersuara di Unila Lampung dan
UII Yogyakarta; dan 11 Maret, unjuk rasa dilakukan lagi oleh
UGM Yogyakarta dan Unibraw Malang. Di kurun waktu
Maret 1998, terdapat sekitar 15 aksi protes yang terjadi di 10
kota dengan melibatkan dosen, guru besar, dan pejabat
dekanat serta pejabat rektorat perguruan tinggi yang
bersangkutan. 280 Menghadapi Sidang Umum (SI) MPR 11
Maret 1998, aksi-aksi mereka ternyata bukan sebatas
membawa aspirasi ekonomi tapi juga politik. Bersama aktivis-
aktivis PRD—yang selama ini telah berjuang melawan
kekuasaan tirani—demonstrasi besar-besaran di pelbagai
tempat menjurus pada tuntutan radikal; terutama menolak
pelantikan Soeharto oleh SU MPR. Itulah mengapa sejak
dibukanya sidang tanggal 1-11 Maret 1998 Orba

279
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm 115-166.
280
Ibid, Hlm. 117.

379
memberlakukan penjagaan amat ketat: 25 ribu TNI-Polri
dikerahkan mengamankan gedung DPR/MPR, di Senayan,
Jakarta—secara non-stop. Walhasil, Soeharto yang
memenangkan Pemilu 1997 dengan curang pun dilantik
tertutup. Ketika itu di luar gedung pelantikannya terjadi unjuk
rasa di mana-mana. Pesertanya bukan hanya mahasiswa dan
civitas academica, melainkan pula berhasil menarik
solidaritas kaum buruh dan tani, rakyat miskin kota, dan
seluruh elemen-elemen pro-demokrasi lainnya. Dalam
suasana inilah mahasiswa-mahasiswa di kampus ITB dengan
aparatus represif negara mengalami bentrok. Salah seorang
massa aksi bahkan mendapatkan hantaman aparat hingga
membuatnya geger otak. 281

Dihadapinya gerakan dengan kekerasan terbuka menandakan


Tim Mawar pimpinan Prabowo Subianto—yang dibentuk
Orba untuk meredam perlawanan rakyat melalui penculikan
dan penghilangan paksa—gagal memenuhi harapan penguasa.
Itulah kenapa setelah puluhan aktivis yang dianggap
memimpin perlawanan ditindas dan dilenyapkan, tapi mimbar
bebas, demonstrasi, dan aksi massa pun tak kunjung mereda.
Bahkan sampai Maret 1998 saja, bersama mahasiswa-
mahasiswa radikal berhasil menorehkan 247 aksi protes. 282
Peter Kasenda menceritakan: ‘[sampai] Mei 1998,
demonstrasi mahasiswa sudah memasuki minggu ke-10.
Tidak ada tanda-tanda bahwa aksi protes mahasiswa ini
menjadi surut, baik karena kelelahan maupun karena represi.
Sebaliknya, represi brutal kalangan militer justru memancing

281
Lihat Ibid, Hlm. 118.
282
Lihat Ibid, Hlm 120.

380
aksi-aksi protes mahasiswa yang kian meluas. Terhitung dari
tanggal 1-30 Mei, tercatat lebih dari 445 demonstrasi yang
merata di seluruh Indonesia’.283 Salah satu insiden yang
menambah besar gelombang perlawanan adalah peristiwa
terbunuhnya 4 orang mahasiswa Univesitas Trisakti: Elang
Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan
Hendriawan Sie. Pada 12 Mei 1998, keempat anak muda ini
tewas tertembak di dalam kampusnya. Peluru tajam aparat
mengenai tempat-tepat vital mereka: kepala, tenggorokan, dan
dada.284 Mula-mula mereka mengadakan aksi damai dengan
melibatkan 6000 massa di kampusnya. Namun penguasa yang
ketakutan berusaha membubarkan aksi melalui penindasan
menggunakan pasukan keamanan. Selain menimbulkan
kematian, represifitas TNI-Polri juga mengakibatkan 681
orang mengalami luka-luka berat maupun ringan.285

Setelah kebuasan serangan aparat di Universitas Trisakti maka


keprihatinan dunia internasional bermunculan, lalu investor
makin banyak yang lari mengamankan asetnya, kemudian
nilai tukar rupiah terus menurun, hingga harga sembako
bertambah kemahalan. Walhasil, kemarahan di segala penjuru
berkecamuk tak tertahankan. 13 Mei 1998, lebih dari 32 aksi
demonstrasi di pelbagai kota serentak diadakan. Ini terutama
sebagai bentuk solidaritas dan penghormatan terhadap para
korban yang telah dilenyapkan dan dilukai. Unjuk-unjuk rasa
sesudah kematian 4 orang mahasiswa tadi pun bukan hanya

283
Ibid, Hlm. 121-125.
284
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti
285
Lihat dokumen KontraS, (2005), Kertas Posisi Kontras Kasus Trisakti,
Semanggi I dan II; Penantian dalam Ketidakpastian, Jakarta: KontraS,
Hlm. 1.

381
menggoncang kekuasaan tapi juga menimbulkan rusuh dari
tanggal 13-15 Mei. Kerusuhan massal terjadi di beberapa kota
secara bersamaan: riuh dengan tindakan pembunuhan,
penganiayaan, pengrusakan, pembakaran, penjarahan,
penghilangan paksa, dan pemerkosaan. Unsur utama pemicu
kerusuhan yakni aktivitas para penyusup dalam
berlangsungnya gerakan perlawanan. Orang-orang yang tidak
dikenal penduduk setempat itu terutama merupakan preman-
preman bayaran: kelompok paramiliter. Mereka hadir ke
jalanan bersama kelompoknya menggunakan bus maupun
truk, lalu meneriakan slogan anti-Tionghoa, dan
memprovokasi massa secara vulgar. Provokator-provokator
itu mempunyai ciri-ciri: berseragam SMA, berjaket
mahasiswa, berpakaian lusuh dan berwajah sangar, berbadan
tegap [ada pula yang bertato], berambut cepak [potongan
rambut khas serdadu], dan bersepatu tentara.286 Keterlibatan
mereka dalam membela kepentingan penguasa bukan saja
dalam memantik Kudatuli tapi juga telah mendorong
kericuhan menjelang lengsernya Soeharto. Bahkan sepak
terjang mereka menjadi anjing penjaga kekuasaan telah
berlangsung sangat lama. Penjagaan yang dilakukan pun tak
sekedar di gerbang istana melainkan pula langsung bercokol
dalam relung-relung parlemen. Ketika mimbar bebas terjadi di
pelbagai kampus, protes merebak ke segala penjuru, hingga
terbitnya aksi massa, kelompok paramiliter peliharaan rezim
ini semakin bertambah besar. Unsur yang paling bertanggung
jawab dalam merekrut, melatih, memobilisir, dan
melindunginya adalah tokoh-tokoh kemiliteran. Abdul Arief
menjelaskan demikian:

286
Peter Kasenda, Op. Cit.,, Hlm. 128.

382
…banyak sekali Ormas-ormas kepemudaan yang lahir
dari kalangan pemerintah Orde Baru untuk melindungi
kinerja pemerintahan mereka. Dalam konteks ini, kita
bisa lihat pada masa Orde Baru, rezim Soeharto
memobilisasi preman-preman lokal ke dalam
organisasi-organisasi seperti Pemuda Pancasila.
Langkah ini ternyata berguna untuk mematahkan
pemogokan atau untuk membubarkan demonstrasi
pihak oposisi dan mengumpulkan masa pada rapat-
rapat umum pro-pemerintah pada waktu pemilihan
umum. Pada akhirnya para pemimpin organisasi-
organisasi tersebut menjadi mahir dalam mencari
sumber daya dari pihak penguasa berupa pemberian-
pemberian, pekerjaan atau kontrak-kontrak pemerintah.
Ratusan pemimpin dan alumni Pemuda Pancasila dan
organisasi-organisasi sejenisnya kini duduk diparlemen
sebagai anggota terpilih sebagai pemimpin di tingkat
pusat maupun lokal, mereka memanfaatkan koneksi-
koneksi mereka dengan pihak militer dan pemerintah
untuk mendapatkan fasilitas serta sering menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan untuk membangun
mesin politik disemua tingkatan pemerintahan dan
partai. Ketika oposisi terhadap rezim Soeharto semakin
kuat dan terbuka, jumlah dan variasi kelompok-
keompok preman pembela kepentingan keluarga
Soeharto semakin bertambah. Dalam kapasitasnya
sebagai Danjen Kopassus, Letjen Prabowo Subianto
yang pada waktu itu mempunyai peranan besar
menumbuhkan kelompok-kelompok tersebut. Mulai
dari kelompok Anak-anak Tidar, yakni sejumlah
lulusan Akabri Darat di Magelang. Ada pula Prabowo
dan kawan-kawannya sesama anggota seperti Mayor
Jendral Zaky Anwar Makarim, juga sudah menjadi

383
pelindung bagi sekelompok pemuda asal Timor Leste di
Jakarta, yang dipimpin pemuda bernama Hercules. 287

Untuk menghadapi aksi-aksi perlawanan massa-rakyat negara


sepertinya bukan hanya berusaha membubarkannya dengan
moncong senjata, tapi juga melalui upaya-upaya pengacauan
melalui provokasi. Skema ini persis yang berlangsung ketika
ditorehkannya peristiwa Kudatuli. Walhasil, korban dalam
Kerusuhan Mei 1998 amat berlimpah; yang tewas saja antara
300-1000 warga. Walau begitu rakyat miskin dan tertindas
bersama aktivis-sktivis pro-demokrasi tak menghentikan
perlawanannya. Gejolak kekerasan politik yang bercampur
penderitaan ekonomi mengharuskan gerakan mahasiswa
bersama pelbagai aktivis lintas sektoral melanjutkan
perjuangannya di pelbagai kota: di Aceh terbentuk Solidaritas
Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR); di Medan muncul Aliansi
Gerakan Reformasi Sumatera Utara (AGRESU); di Bandung
lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung (FKMB), Front
Indonesia Muda Bandung (FIMB), Front Aksi Mahasiswa
Unisba (FAMU), Gerakan Mahasiswa Indonesia Untuk
Perubahan (GMIP), Komite Pergerakan Mahasiswa Bandung
(KPMB), Front Anti Fasis (FAF), Keluarga Mahasiswa ITB
(KM-ITB) dan Komite Mahasiswa (KM) Unpar;288 di Jakarta
berdiri Forum Kota (Forkot, Forum Komunitas Mahasiswa se-
Jabotabek Forum Kota), Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk
Demokrasi (KOMRAD), Forum Komunikasi Senat

287
Abdul Arif, 2013, “Pemuda Pancasila dan Rezim Represif Orde Baru”,
Skripsi, Prodi Ilmu Politik, Fisipol, UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Hlm.
12-13.
288
Lihat Suharsih dan Ign Mahendra K., (2007), Bergerak Bersama Rakyat:
Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 102.

384
Mahasiswa se-Jabotabek (FKSMJ), dan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI); di Yogyakarta
tercetus Solidaritas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat
(SMKR), Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan
(KPRP), Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta
(FKMY), Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY),
Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPERA) dan Liga
Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY); di Surabaya
muncul Arek Surabaya Pro Reformasi (APR/ASPR); dan di
Malang terlihat puluhan kesatuan aksi mahasiswa konsisten
menentang kebijakan dan menolak kelangsungan
289
pemerintahan diktator Soeharto.

Kerusuhan Mei 1998 tidak membuat mereka mengendorkan


perlawannya. Bahkan setelah kerusuhan itu gerakan
mahasiswa dan pelbagai aktivis lintas sektoral justru
berbondong-bondong mendatangi gedung DPR/MPR di
Senayan, Jakarta. Tujuannya untuk menguasai gedung
tersebut agar pemerintah bisa dipaksa mengadakan reformasi
nasional hingga revolusi demokratik. Tanggal 18 Mei, jumlah
massa yang terus bertambah membuat DPR/MPR dibuat
kikuk. Maka sejumlah besar mahasiswa diijinkan masuk ke
dalam halaman kantor parlemen supaya pengendalian
keamanaan lebih mudah dilakukan aparat-aparat penguasa
tiranik. Di antara mereka yang diberi kesempatan berada di
halaman parlemen juga nampak kalangan Pemuda Pancasila
(PP). Keberadaan organisasi paramiliter ini bertujuan
mendukung Soeharto agar tetap berkuasa. Untunglah pasukan

289
Lihat Diro Aritonang, (1999), Runtuhnya Rezim Daripada Soeharto:
Rekaman Perjuangan Mahasiswa
Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, Hlm. 75-76.

385
pengamanan yang bertugas mengusirnya keluar, sehingga PP
tak sampai bentrok dengan mahasiswa. 290 Aspirasi berisi
tuntutan-tuntutan menekan yang diarahkan langsung di
hadapan parlemen Senayan mampu meluluhkan pimpinan
wakil rakyat: Ketua DPR Harmoko meminta Presiden
Soeharto segera mengundurkan diri. Pernyataan sikap ini
langsung disiarkan media massa secara luas. 20 Mei, empat
belas menteri dalam Kabinet Pembangunan VII yang baru
dibentuk Soeharto was-was membaca situasi yang makin
panas. Mereka lalu memutuskan untuk mengundurkan diri.

Untuk menyelamatkan takhtanya, Soeharto lantas membentuk


Komite Reformasi tapi tokoh-tokoh masyarakat tak mau
duduk di dalamnya. Menyadari kekuasaan hegemoniknya
telah luluh-lantah, maka dia pun berencana meninggalkan
kursi kepresidenannya. Sehari kemudian penguasa Orba
membacakan pernyataan mundurnya: ‘Saya memutuskan
untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden
RI terhitung sejak saya becakan pernyataan ini pada hari
Kamis, 21 Mei 1998’.291 Hanya saja kejatuhan Soeharto tak
berarti menuntaskan reformasi dengan revolusi demokratik:
kepemimpinan rakyat seperti yang dicita-citakan PRD dalam
konsep ‘Dewan Rakyat’. Karena memasuki masa transisi sisa-
sisa kekuatan Orba—baik kaum moderat maupun
konservatif—berhasil mengambilalih kekuasaan. Mereka
menjadi pemicu lahirnya polarisasi politik nasional yang
begitu rupa. Gerakan mahasiswa pun ikut diterabas olehnya.
Ketika Soeharto sudah dilengserkan maka kalangan

290
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm. 136.
291
Ibid, Hlm. 138.

386
konservatif juga modernis yang berjubah reformis bersepakat
mengusulkan BJ Habibie sebagai penganggantinya.
Keputusan ini diambil demi memotong terwujudnya komite
rakyat atau dewan rakyat yang diprakarsai oleh segenap
aktivis-aktivis radikal. Walhasil, unsur-sisa rezim Orba
mampu mengungguli kekuatan gerakan rakyat. Konsolidasi
kekuatan rezim lama itu berhasil menaikan Habibie jadi
presiden.

Arif Novianto mencatat bahwa keadaan tersebut kemudian


menciptakan dua garis pemikiran secara umum dan saling
berhadap-hadapan. Pertama, lingkaran elit konservatif [ICMI,
KAHMI, Golkar, dan sebagainya] yang masih dalam enclave
[daerah kantong] Orba dan masyarakat [intelektual-moderat:
KAMMI, HMI, IMM, PMII, PMKRI, dan lain-lain] yang
cenderung mulai bergerak ketika sudah detik-detik lengsernya
Soeharto dan rakyat yang apatis. Kelompok tersebut memilih
untuk mendukung upaya reformasi Presiden Habibie.
Sedangkan yang kedua, kelompok radikal yang
mempromosikan gerakan aksi massa dan mogok sejak akhir
1980-an. Kelompok [progresif-revolusioner] yang terdiri dari
lingkaran politik PRD, Komrad (Komite Mahasiswa dan
Rakyat untuk Demokrasi), Forkot (Forum Kota) dan para
buruh serta kaum miskin kota mendorong adanya reformasi
total dengan menekankan pembentukan komite rakyat atau
dewan rakyat [revolusi demokratik]. 292 Dalam polarisasi
seperti inilah HMI yang tidak jelas kontribusinya saat aksi-
aksi penumbangan Soeharto mulai kelihatan batang

292
Agus Pramusinto & Yuyun Purbokusumo (ed), (2016), Indonesia
Bergerak II: Mozaik Kebijakan Publik 2016, Yogyakarta: Pustaka Pelajar &
MAP UGM, Hlm. 215-217. Dalam kurung merupakan tambahan penulis.

387
hidungnya. Bersama KAMMI dan organisasi mahasiswa
berhaluan keagamaan lainnya mereka mendukung penuh
berkuasanya Habibie sebagai pemerintah transisi.

Pada 22 Mei 1998 di gedung DPR/MPR senayan, bahkan


hampir terjadi bentrok antara kelompok pendukung versus
penentang Habibie sebagai presiden. HMI dan KAMMI kala
itu nyaris saja baku-hantam dengan Forkot dan FKSMJ
(Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jabodetabek).
Kenekadan HMI maupun KAMMI dalam mendukung mati-
matian Habibie adalah tidak terlepas dari peran senior-alumni
di belakangnya. Karena selain didukung oleh kelompok-
kelompok mahasiswa, Habibie juga berhasil menarik
dukungan elit-elit politik: Amien Rais (Ketum PAN, tokoh
ICMI juga KAHMI); Ahmad Sumargono (tokoh KAHMI,
juga Wakil Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia
Islam [KISDI], sekaligus pengurus DPP PBB); Fadly Zon
(Ketua Institut Policy Studies (IPS); Eggi Sudjana (politisi
PPP), Fadel Muhammad (pengusaha sekaligus politisi
Golkar), Letjen (Purn) Fachrul Razi (Wakil Panglima TNI dan
Kasum TNI), Akbar Tandjung (Ketum Golkar), dan
sebagainya. Kepentingan mereka untuk mengamankan
kekuasaan di tangan Habibie bukan saja melibatkan HMI dan
KAMMI, melainkan pula Forum Ummat Islam Penegak
Keadilan dan Konstitusi (Furkon) dan Pengamanan Swakarsa
(Pam Swakarsa).293 Sesudah memastikan kemenangannya dari
gerakan kiri, maka kalangan konservatif dan moderat

293
Lihat disertasi Muhammad Umar Syadat Hasibuan, (2010), Gerakan
Politik Mahasiswa: Studi Kasus Polarisasi Gerakan Mahasiswa pada Masa
Pemerintahan B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid, Ilmu Politik, FISIP,
Universitas Indonesia, Hlm. 7-8.

388
berlomba-lomba mengisi jabatan-jabatan strategis di lembaga
eksekutif maupun legislatif.

Lihat saja bagaimana Akbar Tandjung bermanuver: Ketua


DPR RI Harmoko yang juga menjabat menjabat Ketum
Golkar kala itu diturunkan secara vulgar. Harmoko dinilai
sangat bertanggung jawab atas pelengseran Soeharto (Dewan
Pembina Golkar) dari kursi kepresidenannya. Setelah
Soeharto ditumbangkan oleh gerakan rakyat, maka sisa-sisa
Orba bersepakat mengangkat Akbar sebagai Ketum Golkar.
Pada Juli 1998 Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub)
Golkar pun digelar, Akbar yang didukung kekuatan
konservatif berkedok reformis pun mampu melucuti Harmoko
dari jabatannya sebagai pimpinan Golkar.294 Di bawah
kepemimpinannya, partainya mampu diselamatkan dari
tekanan-tekanan pembubaran. Kelak bersama Amien Rais
yang memperoleh jabatan Ketua MPR, Akbar juga berhasil
meraih posisi Ketua DPR. Dengan pengaruh besar senior-
alumni seperti merekalah, maka kalangan intelektual-
moderat—junior-juniornya di PB HMI—gampang sekali
masuk jadi bagian kelas penguasa. Meski HMI tak jelas
perannya menjatuhkan sang diktator, tetapi besaran massa-
anggota yang dimilikinya membuat pengurus-pengurusnya
punya nilai tawar dalam kehidupan bernegara. Ini
digambarkan Satrio Arismundar melalui sebuah antologi
puisinya yang menceritakan kisah Ketum PB HMI (1997-
1999) Anas Urbaningrum; di masa kepemimpinannya kader-
anggota HMI yang bergerak bersama massa-rakyat untuk

294
Buka https://historia.id/politik/articles/golkar-sepeninggal-daripada-
soeharto/

389
menyungkil kuasa Soeharto itu bukan karena instruksi PB
HMI, melainkan digerakan rasa solidaritas terhadap rakyat
miskin dan tertindas. Selama organisasi mahasiswa muslim
(HMM/HMI) bermassa berlimpah ini dipimpinnya, Anas
justru intens melakukan lobi-lobian dan berkoordinasi dengan
senior-alumninya. Arismunandar menggubah secara indah
bagaimana Anas meraih jabatan-jabatan strategis kenegaraan
dengan memanfaatkan kebesaran organisasinya. Bahkan
tulisan puitis tersebut menyinggung pula tentang bantuan
komunikasi-komunikasi politik yang diperoleh Anas dari
abang-abangnya:

Inilah kisah perjalanan hidupku/Awalnya biasa


saja/Lalu melejit menjadi luar biasa/semua bermula dari
aktivitasku semasa mahasiswa/posisi aktivis mahasiswa
itu berguna juga/Meski organisasi
mahasiswaku/Himpunan Mahasiswa Muslim/tak
banyak berperan pada gerakan reformasi 1998/Ketika
organisasi mahasiswa lain bentrok dengan aparat di
gedung kampus dan jalan-jalan, organisasi
mahasiswaku adem ayem saja/Tak aktif dalam demo-
demo anti rezim otoriter/Tak terlibat dalam gerakan
rakyat/Ketika organisasi mahasiswa lain/ramai-ramai
menduduki gedung DPR/MPR Senayan, organisasi
mahasiswaku tidak bersuara apa-apa, lebih banyak
sebagai penonton saja/Bukan berarti aku diam
berpangku tangan saja/Aku justru gencar melobi kiri-
kanan/dan berkoordinasi dengan senior-seniorku, elite
politik yang sudah duduk duluan di jajaran
kekuasaan/Banyak perhitungan dan analisis politik
diberikan/Kata mereka, “Kalau risiko masih terlalu
besar/jangan pasang badan dulu/Biarkan saja organisasi
mahasiswa yang lain bergerak/Yang penting, pada

390
momen yang tepat/kita bisa menyalip di tikungan/ dan
mearup keuntungan”

Namun, harus diakui banyak untungnya/jadi ketua


umum organisasi mahasiswa terbesar/Meski tak jelas
kiprahnya dalam gerakan reformasi, potensi massanya
masih diperhitungkan, masih bisa dijadikan alat tawar-
menawar/untuk memperoleh posisi-posisi
penting/Seusai amburknya rezim otoriter karena
gerakan rakyat, aku bisa numpang di dalam gerbong
reformasi/Bisa menikmati fasilitas-fasilitasnya/Bisa
menjadi anggota tim terbatas yang bergengsi/yang
dipercayakan merevisi undang-undang politik/Pada
pemilihan umum demokratis pertama 1999, aku bisa
menjadi anggota seleksi partai politik/Kerjaku
memverifikasi kelayakan partai politik/Menentukan
partai mana yang layak/dan yang tak layak ikut
pemilihan umum/Posisiku waktu itu lumayan berkuasa,
meski belum masuk jajaran eksekutif

Selanjutnya aku jadi anggota Komisi Pemilihan


Umum/yang mengawasi pelaksanaan pemilu/Lembaga
ini juga lumayan bergengsi/dan menjadi perhatian
publik/Cocok untuk menaikan karir politikku di tingkat
nasional….295

295
Puisi ini berjudul ‘Kejatuhan Seorang Mantan Aktivis Mahasiswa’
dalam karya Dr. Satrio Arismunandar, (2014), Mereka yang Takluk di
Hadapan Korupsi, (tanpa kota): Inspirasi.co Denny JA’s Public Library,
Hlm. 6-7.

391
Oligarki dan Kapitalis
Mengancam Independensi HMI

“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan.


Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.” (Minke: Bumi
Manusia)

“Jika suatu rupa mencari kesempurnaan dari rupa lain, itu


akan menjadi puncak kesalahan. Mengapa, lalu, hai bodoh,
kau ajukan kebutuhanmu kepada yang sama butuhnya dengan
dirimu.” (Jalaluddin Rumi296)

“Kupilih belut daripada udang/nilai-nilai akan basah oleh


perlawanan/dan mereka yang mencari selamat di balik
batu/akan terhimpit dan ditertawakan waktu.” (D. Zawawi
Imron, Luka)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah mencatatkan


namanya dalam sejarah Indonesia modern sebagai ‘Pejuang
Orde Baru (Orba) dan Pelopor Kebangkitan Angkatan ’66.
Sejak Soeharto berhasil menyongkel kekuasaan Soekarno,
elit-elit himpunan dan seabrek alumninya bertengger makin
dekat dengan negara. Hubungan mereka dibina dalam bingkai
hegemoni pembangunanisme yang dipimpin penguasa Orba.
Makanya anggota-junior-kader HMI bersama senior-alumni di
Korps Alumni HMI (KAHMI) disulap jadi bagian kekuasaan:
aparatus ideologis negara. Itulah mengapa selama Orba
bergulir kedua organisasi ini mendapatkan pelbagai asupan
hingga massa-anggotanya berlimpah-ruah. Relasinya dengan

296
Jalaluddin Rumi, (2001), Matsnawi; Bait-Bait Ilahi untuk Pendidikan
Ruhani, Jakarta: Zaman, Hlm. 531.

392
pemerintah bersifat simbiosis mutualisme. Keadaan demikian
terus-menerus berjalan setelah tumbangnya Soeharto.

Hanya sesudah sang tiran dijatuhkan oleh gerakan rakyat


melalui peristiwa Reformasi 1998, hubungan-hubungan HMI-
KAHMI dengan kelas penguasa justru menjadi sebuah
pameo—sindrom ketergantungan terhadap birokrat-kapitalis
berkembang begitu rupa: elit-elit kekuasaan didekati bukan
hanya untuk meminta diakomodasi segala keperluannya, tapi
juga guna memperoleh takhta-kuasa. Lewat jalur ‘HMI
Connection’, mereka secara cerdik, cekatan, dan tampa perlu
buang banyak kekuatan menerobos ke relung-relung pranata
kenegaraan. Terlibatnya kader umat dan bangsa pada
pertautan kepentingan tak saja berbentuk abstrak: sumbangsih
pemikiran. Karena paling menyontakan adalah dengan ujud
konkretnya: kader-kader yang baru saja selesai mengurus
HMI, berbondong-bondong didistribusikan ke kursi-kursi
pemerintahan. Mereka dipasang mulai dari jabatan wakil
presiden, menteri, sampai kepala dusun.

Keberhasilan mantan-mantan anggota himpunan beroleh


jabatan kenegaraan yang sarat kepentingan mengharuskan
untuk terus menjaga hubungan dengan kader agar tidak
kandas. Sebab hanya dengan begitulah bantuan yang
dibutuhkan didapat secara mulus. Itulah mengapa simbiosis
dengan kader yang masih aktif dalam keanggotaan dirawat
sedemikian bagus. Lihat saja bagaimana setelah mantan
aktivis HMI berhasil masuk birokrasi maka hubungan itu
dijaga melalui dipenuhinya seabrek permintaan pengurus: soal
pendanaan kegiatan, kemudahan meminjam tempat, hingga
membantu menghubungkan dengan para kapitalis-birokrat.

393
Relasi mereka lalu dijaga tidak hanya melalui silaturahmi
anggota dengan alumni maupun jalinan keakraban senior-
junior. Melainkan pula diikat oleh kekuatan pihak pendonor
dan kelemahan penerima donor (patron-client). Inilah kenapa
banyak sekali pengurus-pengurus organisasi mengajarkan
kader-juniornya tentang cara-cara merawat kedekatan. Mereka
membisik liris: hubungan itu dapat dipupuk bukan sekadar
lewat tindakan-tindakan terselubung sewaktu menjalankan
kaderisasi dan gerakan, namun terutama harus memperluas
jaringan dengan manuver-manuver personal yang cekatan.
Tujuannya sederhana: supaya lebih luas menjangkau para
politisan maupun sejumlah negarawan.

Derap lengkah seperti itu membuat pengurus-pengurus bisa


berdektan dengan tokoh-tokoh bangsa, bahkan yang bukan
alumninya sekalipun. Jalinan yang mereka bangun bersama
seabrek pemangku jabatan publik sayangnya mengakibatkan
HMI mudah sekali disusupi beragam kepentingan.
Kepentingan-kepentingan menampakan dirinya lewat
eksistensi organisasinya. Lihat saja bagaimana seminar, kuliah
umum, bahkan demonstrasi-demonstrasi dilaksanakan kader
atas pesanan orang-orang besar di belakangnya. Kekuasaan
memang mempunyai kecerdikan yang amat banal. Dia bukan
saja mampu menyusupi himpunan melalui kegiatan-kegiatan
serimonial. Melainkan juga begitu lihai merembesi aktivitas
organisasi yang sakral. Itu sebabnya Kongres, Musda,
Konfercab, bahkan sampai Muskom dan RAK terselenggara
secara bebal. Pada saat itulah kader-kader tak lagi fokus
membahas program kerja, pandangan jauh ke depan, dan
segala wacana yang dapat memperbaiki kaderisasi dan
gerakan. Karena pikiran peserta sukar sekali beringsut dari

394
keinginan memenangkan calonnya menjadi pemimpin. Maka
jabatan ketua coba diraih dengan bantuan komunikasi-
komunikasi politik beragam unsur: senior yang belum alumni,
KAHMI yang menduduki kursi pranta kenegaraan, juga
orang-orang dari institusi pemerintahan hingga para usahawan
yang bukan senior maupun alumninya.

Terlibatnya pelbagai kekuatan memaksa forum bukan cuma


menampilkan ketegangan, tapi terutama mencekam dan
membahayakan. Tengoklah saat berlangsungnya sidang: pasti
perbuatan-perbuatan ekstrim mudah dicetuskan. Kelak
seorang yang beroleh takhta dengan menghalalkan segara cara
amat kewalahan mendamaikan pelbagai kepentingan.
Kepentingan-kepentingan soalnya tidak hanya datang dari
alumni maupun senior yang politisi atau birokrat, tapi juga
kalangan birokrat, politikus, serta para usahawan yang bukan
alumni-seniornya. Mereka semua menagih imbalan atas
bantuan yang telah diberikan. Bagian selanjutnya dibayar bisa
dalam penentuan aparatur kepengurusan, mendukung dan
mengampanyekan kebijakan publik, bahkan menyediakan
massa-anggota untuk membantu melaksanakan program-
program pemerintahan. Inilah yang akan terjadi ketika
himpunan dipimpin oleh orang-orang yang mengangung-
agungkan jabatan ketimbang pengetahuan, komitmen
pembebasan, dan kerja-kerja kemanusiaan. Dari tangan
merekalah hadirnya beragam kemunduran HMI. Dalam
esainya mengenai Arah Pergerakan HMI, Muchammad
Yuliyanto begitu jeli melihat antagonisme yang berlangsung
dalam organisasi. Apa yang menimpa himpunan
sesungguhnya ekses dari pertarungan wacana kaderisasi.
Ditulisnya bahwa mundurnya himpunan adalah akibat kader-

395
kadernya suka melakukan pertarungan tersembunyi. Tarung
itu dilakukan oleh anggota yang memeluk wacana intelektual-
kultural. Kelompok ini berusaha melawan para pengusung
wacana politis-struktural. Namun ketidakuatan menghadapi
serangan wacana politis-struktural kemudian menyebabkan
kelompok intelektual-kultural mengasingkan diri, berada pada
posisi yang dilemahkan, bahkan sampai diremukan. Soalnya
kepentingan-kepentingan mempunyai daya hancur bukan saja
pada kemurnian perkaderan (kaderisasi dan gerakan). Tapi
terutama terhadap minoritas-minoritas yang mencoba
mempertahankan budaya intektual himpunan:

Yang terjadi adalah dominanya kelompok politis-


struktural yang selalu membicarakan dan melihat
struktur atau jabatan…. Gejala demikian sebenarnya
amat memprihatinkan bagi mereka yang masih aktif,
dari PB HMI hingga komisariat akibat suasana terlalu
bernuansa politik. Walhasil dalam setiap pergantian
kepengurusan melalui konferensi atau kongres, maka
pemilihan pengurus berdasarkan ‘kontribusi politik’….
Akibat nyata secara SDM HMI saat ini hanya menjadi
tempat ‘parkir’ bagi mereka yang tidak jelas
pendidikannya, di samping akhirnya mereka
menggantungkan masa depan dari organisasi. Sikap dan
gerakan organisasi menjadi amat pragmatis dan instan,
karena memang suasana berorganisasi sangat
mendukung pengurus untuk menjadi oportunis dan
menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi
yang diatasnamakan kepentingan organisasi. Kebiasaan
‘menjual’ organissi dengan membangun bargaining di
hadapan birokrat, tokoh politik, maupun orang-orang
istana menjadikan suasana kritis dan sikap korektif
HMI tenggelam dalam pusaran isu dan rumor politik
yang amat tinggi di tubuh HMI…. Sikap dan pikiran

396
pengurus HMI yang terlalu politis sering membawa
dampak terjadinya pergantian kepemimpinan badko
maupun cabang di tengah jalan dengan dalih demi
perbaikan dan penyelamatan organisasi, seperti yang
dialami (badko) Jateng dan cabang Semarang …
padahal sesungguhnya hanyalah persoalan dendam
politik antarkelompok….297

Wacana politis-struktural dalam himpunan dapat melemahkan


kekuatan organisasi. Saya bersaksi bagaimana amat
mudahnya gairah pertemanan dikorbankan di altar kekuasaan.
Beberapa orang yang semula sebagai karib gampang sekali
mematutkan hubungan antagonistis hanya karena beda
kepentingan. Pertentangannya dimekarkan melalui klik-klik
yang terus bermusuhan. Persaingan bahkan disirami oleh
tebaran isu dan rumor yang saling menjatuhkan. Itulah
mengapa orang-orang yang mereka kader dibesarkan dengan
agitasi dan propaganda menyesatkan. Inilah yang bukan
sekedar mencederai kaderisasi, melainkan pula membuat
gerakan mudah digembosi hingga organisasi marak
digerogoti. Pada saat itu kepentingan-kepentingan
bergentayangan senantiasa mencari mangsa dan terus-
menerus merajai. Dalam keadaan demikianlah senior-alumni
mempermak dirinya untuk hadir sebagai pahlawan. Kepada
mereka yang tengah berkonflik ditebarkannya keyakinan
penuh kenaifan: perlindungan hanya bisa didapatkan pada
ketiak senior, selangkangan gerbong, bahkan dapur orang-
orang kuat—birokrat, pengusaha, dan politisi.
Ketidakmampuan kader untuk berdiri sendiri kemudian

297
Abu Yazid Bustami (ed), (2014), HMI Masih Ada; Refleksi Para Kader
HMI, Depok: Layar Terkembang, Hlm. 20-21.

397
menjadi gejala umum dalam himpunan hingga membuat
organisasi menampakkan ketidakindependenan. Soalnya
bangunan kedekatan anggota-anggotanya dengan tokoh-tokoh
publik menerbitkan beragam kecuriagaan. Curiga tetap
berjamuran walaupun kalangan penghuni pranata kenegaraan
yang didekatinya merupakan senior-alumni himpunan. Karena
mereka yang berada di lingkar kekuasaan negara sudah pasti
memiliki kepentingan.

Gebrakan kepentingan yang senantiasa mengintai harusnya


dihadapi HMI dengan sangat awas. Telah menjadi coreng
hitam dalam sejarah: perpecahan HMI menjadi Dipo dengan
MPO tidak sendiri soal paksaan kebijakan rezim yang bengis,
Melainkan dibantu oleh senior-alumni penjilat pantat
penguasa. Mereka punya mematutkan sikapnya yang praktis,
pragmatis dan oportunis. Ajaran moralis busuk seperti inilah
yang berusaha didiktekannya kepada kader-junironya,
terutama saat berlangsungnya pemilihan pimpinan organisasi.
Walhasil, keadaan berubah panas dan kader-kader saling
memberangus. Merekalah pula yang kadang berusaha
mengintervensi kepengurusan sampai pengurus melempem di
hadapan kawanan despotis. Itulah mengapa keputusan yang
diambil pengurus sewaktu berhadapan dengan Soeharto;
tampak dilematis, penuh kompromis, dan sangat culas. Pada
masa Orba, HMI memang tampil sebagai gerakan yang
kurang tangkas. Begitu dekat dengan kekuasaan sampai
membuat daya kritisnya mudah dipangkas. Ahmad Syafi’I
Safinuddin mendedah dinamika itu telah mengakibatkan
kemandirian organisasi terkukus. Karena senior-alumninya
kegirangan dalam berperan selaku kaki-tangan penindas.

398
Makanya kepentingan kekuasaan sampai membuatnya nekad
menerobos Kongres:

Dinamika HMI di masa Orde Baru … hubungan


mutualistis, di dalamnya terdapat partisipasi terbuka
dan dinamis yang ditandai dengan sikap akomodatif.
Pada tahun 1967-1978, HMI memberi dukungan
terhadap pemerintah Orde Baru secara aktif guna
melancarkan program yang berorientasi edukatif dan
sosial. HMI berusaha mendekatkan tema-temanya
dengan gagasan pemerintahan sedemikian rupa,
sehingga pada tahun 1983 sejumlah tokoh HMI telah
berusaha mempengaruhi Kongres HMI untuk
mencantumkan Pancasila sebagai asas di dalam
Anggaran Dasar (AD)-nya….298

Melalui alumni HMI yang menjadi politisi maupun birokrat,


Soeharto mendikte organisasi. Tahun 1986 adalah sejarah
kelam perpecahan himpunan menjadi HMI (Dipo) dengan
HMI MPO. Himpunan pada saat itu dibikin tak mampu
menahan intervensi. Pilihan satu-satunya adalah
menyelamatkan diri meski harus mengekor pada tirani.
Independensi yang diagung-agungkannya meluncur jadi
sebatas bualan. Soalnya organisasi yang semula independen
mudah disulap untuk dependen. Hanya HMI MPO yang tetap
berkomitmen dalam mempertahankan asas Islam dan
keindependenan (keberpihakan kepada kebenaran). Mereka
enggan sedikitpun takluk akan ancaman pembubaran. Justru
tekanan-demi-tekanan yang datang bertubi-tubi terus dilawan.
Pertimbangan ketidakpatuhannya bukan hanya logis, tapi

298
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 49.

399
terutama mengandung nilai kebenaran. Baginya, organisasi
akan semakin kehilangan independensi sebab ketentuan asas
tunggal Pancasila dianggap sangat menghambat proses
revitalisasi nilai-nilai Islam dalam mengembangkan kualitas
kader, sistem perkaderan dan upaya rekayasa masa depan
peradaban. Independensi HMI diyakini sebagai suatu sifat
gerakan yang sangat penting posisinya untuk menyelamatkan
kemandirian dari kehidupan yang suram. Mandiri
dimaksudkannya tidak cuman sikap secara institusional,
melainkan pula individual muslim. Makanya saat organisasi
menerima pemberlakuan asas tunggal Pancasila, Abdullah
Hehamahua (Ketua Umum PB HMI 1979-1981) melontarkan
kecaman tajam kepada pimpinan himpunan yang
berkompromi dengan kekuasaan. Bahkan setelah diterimanya
Pancasila sebagai asas HMI, Hehamua kontan mengirimkan
surat kepada Harry Azhar Azis (Ketua Umum PB HMI 1983-
1986) berisi beberapa alasan ketidaksetujuan:

Pertama, alasan idiologis. Islam sebagai agama


paripurna selain memiliki sistem aqidah yang kokoh
dan bersih, sekaligus memiliki sistem-sistem muamalah
meski sebagian berupa garis-garis besarnya saja; baik
sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, militer,
maupun sistem keluarga … asas tunggal Pancasila
adalah pembatasan berdimensi politis yang diakui atau
tidak, hanya akan memperhadap-hadapkan konsepsi
Pancasila sebagai dokumen kesepakatan bersama antar
tokoh-tokoh nasional menjelang kemerdekaan dengan
Islam, yang merupakan dua medan yang tak
seimbang…. Kedua, alasan historis. Perjuangan
kemerdekaan bangsa oleh wilayah-wilayah kerajaan di
seluruh nusantara sebenarnya merupakan perjuangan
yang didorong oleh semangat relijius. Perjuangan para

400
pejuang muslim tidak berdasarkan kemarahan
kebangsaan, melainkan bahwa penjajahan telah
menginjak-injak ajaran agama. Inti artikel M. Natsir
yang dimuat di Panji Masyarakat, akhir tahun 1983,
berjudul “Dengarlah Jeritan Kami”, mengisahkan
bahwa pesawat terbang yang digunakan untuk perang
mempertahankan kemerdekaan tatkala Ibukota
Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta,
sebenarnya adalah hasil dari seruan jihad Daud Bureuh,
agar warga Aceh mengumpulkan uang guna membeli
pesawat terbang bagi perjuangan bangsa. Di sinilah
secara historis perang Islam sebagai ideologi tidak
dapat dipandang remeh…. Ketiga, alasan
konstitusional. Pancasila sebagai dasar negara adalah
hasil kompromi golongan nasionalis sekukler dan
agamis (Islam) dalam Sidang PPKI. Dekrit Presiden 5
Juli 1959 ditegaskan bahwa dasar negara Pancasila
adalah dasar negara yang dijiwai oleh Piagam Jakarta.
Ketetapan ini diperkuat dengan TAP MPRS 1968 dan
dikukuhkan lewat TAP MPR 1973, maka Pancasila
sebagai asas tunggal sangat bertentangan dengan hal
tersebut … kesimpulannya secara konstitusional,
negara membiarkan dan melindungi pelaksanaan syariat
Islam termasuk penggunaan asas Islam bagi umat Islam
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama di semua
sektor kehidupan. Keempat, alasan operasional. Alasan
tunggal Pancasila adalah suatu paket politik yang
sangat gegabah. Bila disebut bahwa UU Nomor 8/1985
atau lazim disebut UU Keormasan tentang organisasi
masyarakat adalah operasional dari Pasal 28 UUD
1945, maka harus: (a) Diputuskan dengan metode
musyawarah, terbuka, edukatif sebagai aspirasi; (b)
Tidak mereduksi kebebasan dan persamaan hak dalam
mengemukakan pendapat, berserikat dan berkumpul.
Selain itu, terdapat pertimbangan organisatoris,

401
misalnya: pertama, penerimaan asas tunggal Pancasila
di luar kongres disebut inkonstitusional maka
keputusan tersebut tidak sah; kedua, peserta kongres
yang tidak representatif di mana peserta penuh dari
Kongres adalah pengurus Cabang Definitif. Pengurus
Cabang yang sah adalah yang terpilih lewat Konferensi
Cabang sedang yang mengikuti Kongres XVI di Padang
adalah Pengurus Cabang Transitif yang disulap PB
HMI. Tidak hanya itu, tetapi para calon peserta
Kongres harus melalui suatu interogasi intelijen ABRI
atau pihak dinas sosial politik pemerintah yang
merupakan tindakan di luar kelaziman dan melanggar
independensi HMI.299

Sesungguhnya watak independensi HMI adalah sifat


organisasi secara etis dalam karakter dan kepribadian kader.
Cerminannya terdapat pada pola pikir, sikap dan laku:
cenderung kepada kebenaran; bebas, terbuka dan merdeka;
obyektif, rasional dan kritis; progresif dan dinamis;
demokratis, jujur, dan adil. Independen secara etis pada
hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah
kemanusiaan. Fitrah itulah yang mendorong siapa saja
berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada
kebenaran. Kecenderung kepada yang benar seharusnya
membuat kader terdorong untuk meluruskan segala kesalahan.
Baik salah yang diperbuat junior, senior, bahkan alumninya
sekalipun. Kecondongan pada yang benar juga membentuk
pribadi yang tak kenal kompromi dalam memperjuangkan
kebenaran. Itu sebabnya independensi etis mengharuskan
pemiliknya turut aktif melawan kejatahan, penindasan, dan
kesewenang-wenangan di muka bumi. Kecintaan kepada

299
Ibid, Hlm. 66-69.

402
kebenaran memberinya kekuatan untuk melawan segala
perwujudan tirani. Dengan etos, komitmen, dan konsistensi
akan kebenaran maka berhala-berhala psikologis dapat
dihancurkan. Fitrah kemanusiaan selanjutnya meneguhkan
kader untuk selalu setia terhadap hati nuraninya dan
senantiasa memancarkan keinginan akan kebaikan, kesucian
dan kebenaran:

Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi


setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika
berpikir dan bersikap dan berprilaku baik
“hablumminallah” mupun dalam “hablumminannas”
hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.300

Kebenaran yang dimaksudkan dalam independensi etis adalah


Tuhan yang Maha Esa. Sifat independen dengan begitu
merupakan bentuk keimanan kepada-Nya. Iman itu tak hanya
melandasi watak dan kepribadian kader, namun juga ikut
menjadi semangat dalam perjuangan organisasi. Inilah yang
membuat anggota harusnya independen bukan saja dalam
melaksanakan kaderisasi, tapi pula gerakan organisasi. Sifat
independen yang teraktualisasi secara organisatoris
membentuk independensi organisatoris. Independen ini
diartikan sebagai keutuhan kehidupan nasional secara
organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif,
konstruktif, korektif dan konstitusional agar perjuangan dalam
mencapai cita-cita bangsa Indonesia terwujudkan. Itulah
mengapa HMI—secara organisatoris—tidak pernah commited
terhadap pihak manapun—individu, kelompok maupun

300
Solichin (Penyusun), (2010), Candradimuka HMI, Jakarta: Sinergi
Persadatama Foundation, Hlm. 209.

403
golongan—kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan
kebenaran, obyektifitas kejujuran, dan keadilan. Melalui
keindependenannya maka kepengurusan himpunan
semestinya tidak bergantungan apalagi menjadi pesakitan di
tangan siapapun. Itu sebabnya setiap anggota mesti menjaga
organisasinya dari ancaman pelbagai kepentingan-kekuasaan
yang selalu berupaya melakukan perembesan. Karenanya,
implementasi independensi organisatoris mewajibkan kader-
kadernya—termasuk yang menjadi pengurus—untuk
meneguhkan kemandirian:

Anggota-anggota HMI terutama aktivisnya dalam


melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-
ketentuan organisasi serta membawa program
perjuangan HMI. Oleh karena itu tidak diperkenankan
melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa
organisasi atas kehendak pihak luar manapun juga.
Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-
komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar
HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara
organisatoris.301

Independensi etis dan organisatoris bukan dua elemen yang


bertentangan melainkan suatu kesatuan. Maka secara esensial
tidak boleh dipisahkan. Karena keduanya berdiri dengan dasar
yang sama: kebenaran; bukan kepentingan, kekuasaan,
maupun sekadar keuntungan. Hanya saja keindependenan
organisasi sejak zaman Orba telah mengalami kejatuhan.
Soalnya saat itu independensi etis dan organisatoris
dipertentangkan dengan alasan keselamatan, hingga
diceraikan oleh kelicikan orang-orang dari pranata

301
Ibid, Hlm. 210-211.

404
kenegaraan. Penerimaan asas tunggal Pancasila jadi
kebenaran berdasarkan kesepakatan kepengurusan. Padahal
pengecualian yang dapat dijadikan landasan untuk
menorehkan komitmen organisatoris adalah kebenaran; bukan
ancaman, tekanan, dan rayuan. Tafsiran independensi
organisatoris yang memberi kesempatan untuk berkomitmen
dengan pihak eksternal seharusnya tak dijadikan legitimasi
mendukung tiran. Melainkan menjadi pendorong terbitnya
keberpihakan pada kaum miskin dan tertindas.

Sifat independen mestinya memosisikan HMI jadi garda


terdepan dalam membela orang-orang yang terhempas.
Memperjuangkan nasib kaum yang menjadi korban kebijakan
penguasa: dimarginalisasi, dirampoki, digusuri, dikerasi,
dimiskinkan, dinganggurkan, dilacurkan, disakitkan,
dibodohkan, hingga dibunuh oleh aparat-aparat beringas.
Hanya dengan keberpihakan kepada rakyatlah independensi
dalam kaderisasi dan gerakan organisasi mampu meretas
kuasa pihak-pihak yang opresif. Bahkan melalui kemauannya
berada di tengah rakyat maka HMI mendapatkan kekuatan
untuk membebaskan diri akan intervensi-intervensi kekuasaan
yang membuatnya pasif. Sehingga perubahan tidak lagi
ditunggu datangnya dari pemerintahan melalui sikap
akomodatif, kompromistis, dan permisif. Tapi perubahan-
perubahan diupayakan lewat perjuangan akar rumput, penuh
keyakinan, dan secara kolektif. Meirizal menjelaskannya
dengan agak ekspresif:

Salah satu bentuk kepeloporan yang dapat dilakukan


HMI dalam upaya melakukan perubahan adalah dengan
kepeduliannya terhadap berbagai masalah kerakyatan.

405
Aktivitas Pengkaderan HMI yang selama ini dilakukan
di lingkungan kampus, sudah saatnya diperluas dengan
melihat dan terlibat aktif dalam melihat dan
menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat.
Bagaimanapun juga HMI harus menyatu dengan rakyat,
karena tanpa dukungan tersebut, sulit bagi organisasi
ini membangkitkan kembali eksistensinya. Kini saatnya
HMI responsif terhadap kondisi masyarakat yang
menuju perubahan. Keberpihakan kepada yang
tertindas merupakan wujud kebebasan HMI dalam
menentukan arah perjuangannya. Insya Allah!302

Hanya saja bukan malah tegak bersama rakyat dan berdiri


kokoh dengan kaki sendiri, tetapi himpunan justru semakin
menjauh dari masyarakat sipil untuk mengemis di hadapan
negara. Walhasil, mereka kemudian tak malu menanggalkan
kemandirian. Penyebab utamanya adalah misi-misi
terselubung yang dibawa alumninya dari lingkaran pemangku
jabatan kenegaraan. Sejak bergulirnya Reformasi 1998,
seabrek jebolan HMI tumbuh bergelayutan di posisi-posisi
strategis kekuasaan. Inilah yang menjalarkan simptom
interdependensi antara anggota aktif dengan seniornya yang
berdiri dalam lingkar kepentingan: tokoh-tokoh bangsa,
politisi-politisi, maupun para negarawan. Tauladan yang
dipertontonkan kalangan alumninya di gedung-gedung kuasa
membuat kader-kader terkagum-kagum, lalu membangga-
banggakan, sampai ingin menirukan. Terutama soal
bagaimana cara orang yang ditokohkannya menghadirkan
pejabat-pejabat buat bertamu pada kegiatan himpunan.
Bergentayangannya ragam muka penguasa dalam sederet

302
Pasase Meirizal dalam Ahmad Doli Kurnia, (2002), Meluruskan Jalan
menuju Khittah HMI, Yogyakarta: Belukar.

406
acara organisasi sesungguhnya bukan hanya bernilai politis
dan ekonomis, tapi juga komunikatif untuk jenjang karir
setelah berhimpun. Dalam keadaan beginilah independensi
jadi komoditi murahan. Sifat independen ditukar tak sekadar
demi kelangsungan kehidupan himpunan, karena paling utama
ialah tercapainya apa yang diinginkan oleh segelintir
kalangan. Yusuf Maulana menganggapnya sebagai ajang
transformasi citra agar bisa diperdagangkan. Makanya hiruk-
pikuk berorganisasi seiras pasar yang mementaskan
pengumpulan laba lewat persaingan:

Sebagai gerakan mahasiswa yang telah berusia panjang


dan memiliki pengalaman banyak, komodifikasi
pencitraan ini tentu saja terasa ganjil. Ia
mengindikasikan percampuran antara aktivitas yang
esensial dengan aktivitas yang hanya mengelabui
masyarakat bahkan HMI. Secara karikatural, konflik di
tubuh HMI tampaknya sebagai bagian dari praktik
diskursif mereka dalam mengedepankan citra
organisasi….303

Sekarang independensi bukan sekadar menempatkan


organisasi untuk punya nilai tawar di hadapan penguasa,
karena pula mampu mencitrakan kader pada posisi yang
istimewa. Kondisi yang begini membuat sifat independen etis
maupun organisatoris rentan luntur oleh kepentingan apa saja.
Dengan atribut independen maka organisasi dan anggotanya
diletakan sebagai pihak yang mandiri, bebas, dan obyektif.
Padahal pengasosiasian itu tak hanya bermakna postif, tapi
juga negatif. Artinya independensi bermakna ganda. Bentuk

303
Lihat Yusuf Maulana, (2015), Aktivis Bingung Eksis; Pentas Gerakan
Mahasiswa di Era Korporatisme Kuasa, Surabaya: Pustaka Saga, Hlm. 91.

407
positifnya mengandai himpunan bersama kadernya tidak
terlibat dalam politik praktis. Namun wujud kenegatifannya
bisa berupa timbulnya komodifikasi, lantaran sifat independen
sering dimanfaatkan sebagai pendokrak status. Makanya
penguasa memandang himpunan sebagai pemilik paras
menarik. Tarikannya dapat memikat pelbagai anasir buat
mendekat secara licik. Biasanya mereka datang melalui
kendaraan yang subtil: senior-alumni HMI yang berada di
panggung kekuasaan. Kendaraan yang dipakainya begitu
samar tapi penetrasinya amat menggoda menggunakan
rayuan, tawaran, dan imbalan. Pertemuan dengan godaan-
godaan akan membuat independensi kader mengalami
serangan, goncangan, hingga kejatuhan. Kemorosotan timbul
apabila keindependenan dipertukarkan dengan kemudahan
akses, status sosial, bahkan sumbangan-sumbangan
menggiurkan.

Fenomena begitu kerap kali menggelayuti kepengurusan


organisasi. Tengoklah bagaimana senior atau alumni saat
membawa kepentingan tingkat tinggi. Pendekatan yang
dilakukan mengandalkan hubungan emosional, ikatan senior-
junior, maupun kekuatan gerbong yang berhierarki. Pengurus-
pengurus disulapnya menjadi pelumas supaya misinya
tercapai. Itu membuat PB HMI seiras boneka yang mudah
sekali dikendali. Melalui jasa tokoh HMI yang berpolitik
maka kekuatan himpunan bisa dipakai sesuka hati. Cara untuk
melakukan penetrasi ke dalam tubuh organisasi adalah
menggunakan keluasan HMI Connection. Jaringan inilah yang
menghubungkan anggota dengan alumni. Jangkauannya telah
memberi kesempatan terhadap tokoh-tokoh HMI—yang
menjadi bagian pranata kenegaraan—mengooptasi

408
kepengurusan organisasi. Pada saat itulah kepengurusan
himpunan selalu diintai beragam ancaman. Seolah
menyampaikan pengalaman-pengalam yang dirasakannya
selama berhimpun, Harry Azhar Azis melihat koneksi itu
dengan penuh ironi. Makanya ia mengingatkan kepada kader-
kader agar lebih berhati-hati terhadap para alumni, baik yang
berada di birokrasi maupun politisi:

HMI dengan sejarah yang panjang dan jumlah anggota


yang besar serta alumni yang tersebar di pelbagai
bidang pekerjaan, memang telah dianggap sebagai
suatu kekuatan politik. Di arena politik praktis, kita
melihat alumni HMI tersebar di semua partai politik,
yang dengan misleading [menyesatkan] disebut telah
terbentuk suatu “HMI Connection”. Dengan sistem
politik yang ada sekarang, alumni HMI yang berpolitik
tidak mungkin secara sempurna beridealisasi seperti
harapan tujuan HMI, betapapun tujuan HMI telah
menjadi semacam spirit perjuangan mereka. Bukan saja
penafsiran aktual atas tujuan HMI di kalangan
[anggota] HMI, ataupun alumninya, bisa berbeda-beda,
tetapi juga kepentingan partai masing-masing di mana
alumni HMI berafiliasi bisa tidak sama. Dalam kaitan
ini, alumni HMI yang memegang kekuasaan politik,
pada akhirnya lebih bersifat individual, atau paling
tidak berorientasi kepada partainya. Yang menarik,
tidak sedikit alumni HMI, berusaha menghilangkan
afiliasinya dengan HMI, ketika citra politik HMI tidak
menguntungkan. 304

304
Ali Asghar dan Ridho Pamungkas, (2013), Perpecahan HMI Menggugat
Kebangkitan Intelektual, Jakarta Timur: Bumen Pustaka Emas, Hlm. 52.

409
Sewalaupun Harry menganggap sesat sebutan HMI
Connection. Tetapi keberadaannya tak mampu dinafikan.
Perannya sangat dahsyat dalam arus kepentingan. Inilah yang
mendorong kader-kader berdempet dengan kekuasaan. Demi
mencuri pandang penguasa kader himpunan mudah sekali
mengomodifikasi pencitraan. Adalah independensi yang
selama ini mereka komodifikasi. Melalui transformasi
independensi sebagai alat pendongkrak status sosial maka
organisasi seketika berujud arena jual-beli. Citra independen
yang dikomodifikasi menghiasi dirinya serupa manusia
istimewa. Itu sebabnya menjadi kader HMI—terutama yang
masuk kepengurusan—bukan saja mampu membangun
bergaining di hadapan pemangku kepentingan, karena
terkhusus; sifat independennya bisa dipertukarkan.
Pertukarannya menampak dalam komodifikasi pencitraan.
Lewat proses inilah organisasi tampil begitu mempesona di
pandangan kalangan pemerintahan. Dinilainya himpunan
dengan prestise memberikan pengurusnya tumpahan
keuntungan. Untung yang didapatkan dilahirkan melalui
kemampuan pencitraan. Citra ini membuat pengurus menjadi
berharga di mata pemangku kepentingan. Eric Fromm pantas
menyatakan kini manusia telah menjadi sebuah komoditas
yang nilainya terletak pada seberapa dirinya punya ‘nilai jual’
untuk dipasarkan:

Dewasa ini, rata-rata orang merasa kesepian. Orang


melihat dirinya sendiri sebagai sebuah komoditas. Yang
saya maksud di sini adalah bahwa seseorang merasa
nilainya bergantung pada keberhasilannya, bergantung
pada tingkat keterjualannya, berdasarkan pada
pengakuan dari orang lain. Dia merasa bahwa nilai
dirinya tidak tergantung pada sesuatu yang instrinsik

410
atau yang mungkin Anda sebut nilai guna dari
kepribadiannya. Kapasitasnya untuk mencinta, tidak
pada kualitasnya sebagai manusia, kecuali dia dapat
menjualnya, kecuali bila dia dapat berhasil, kecuali bila
dia mendapat pengakuan dari orang lain. 305

Melalui komodifikasi pencitraan maka bukan hanya


independensi yang diperosotkan, melainkan juga kemanusiaan
kader. Komodifikasi membuat manusia menampakan diri
sebagai komoditas yang bisa dibayar. Intelektual Marxis
George Lukacs, menyebut fenomena yang begitu dengan
istilah ‘reifikasi’: kondisi di mana kualitas, tindakan,
hubungan antarmanusia, hingga manusia itu sendiri
ditransformasikan menjadi komoditi. Mereka menjadi
masyarakat yang terkapitalisasi: manusia seiras mahluk tak
jiwa lantaran dirinya telah menjadi benda yang diperjual-beli.
Inilah yang menyebabkan manusia teralienasi. Karl Marx
pertama kali melihat alienasi terjadi pada kehidupan
perburuhan. Buruh bukan sekedar terasing oleh hasil kerjanya;
namun termasuk merasa asing akan dirinya sendiri, aktivitas-
aktivitas kehidupannya, hingga manusia-manusia lain dalam
hubungan produksi yang dilakukan:

Akibatnya, kita selamanya tidak berbahagia dan tidak


merasa puas. Kita hanya mempunyai ilusi kebahagiaan,
kerena merupakan bagian penting dalam kehidupan kita
untuk berada pada hubungan yang layak dalam hal-hal
tersebut. Kapitalisme memisahkan kita dari produksi
kerja kita, dari segala sesuatu yang kita buat, karena
semua produk itu bukan milik kita. Produk-produk

305
Erich Fromm (Penerjemah FX Dono Sunardi), (2018), The Art of
Living; Hidup Anatara Memiliki dan Menjadi, Tangerang: Baca, Hlm. 22.

411
milik para kapitalis dijual demi memperoleh
keuntungan untuk mereka sendiri. Kita dialienasikan
dari kerja yang utamanya kita kerjakan untuk orang
lain.306

Ilusi kebahagiaan yang dimaksudkan Marx itu dipandang oleh


Fromm sebagai bentuk pemutarbalikan kehidupan. Dia
melihat alienasi mendorong manusia untuk ‘bekerja dengan
baik’: harus hidup serta memuaskan sejauh yang dibutuhkan
bagi fungsi dalam pekerjaan. Hanya saja bekerja dengan baik
dalam masyarakat kapitalis justru menggantikan ‘hidup
dengan baik’: sebuah seni yang harus dipelajari dengan
pembelajaran yang membutuhkan upaya, kesetiaan,
pemahaman, dan kesabaran. Dalam HMI pembelajaran seperti
itu mulai terkikis. Alienasi hari-hari ini menerpa kader-kader
secara beringas. Memang mereka bukan kelas pekerja yang
hidupnya begitu temaram: diekspolitasi dalam sistem
produksi kapitalis. Tetapi anak-anak muda himpunan adalah
pekerja-pekerja intelektual yang berada dalam ketertindasan.
Penindasan menyembul lewat hubungan-hubungan antagonis
dalam mem(re)produksi pengetahuan, pengalaman, jaringan,
anggaran, kedudukan, dan jabatan. Itu terjadi karena kader-
kader berada dalam kubangan doxa, mitos, juga fetisisme
kekuasaan. Posisi anggota-anggota organisasi persis buruh
perusahaan yang sengaja dibikin kikuk. Karena mereka
didominasi seperti pada sebuah pabrik. Kelompok
dominannya adalah pengurus, senior, maupun alumni yang
punya kuasa dalam gerbong. Demi melanggengkan
kedigdayaannya maka orang-orang dikadernya untuk

306
Rupert Woodfin dan Oscar Zarate, (2008), Marxisme untuk Pemula,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 61-62.

412
kemudian disulap jadi barang. Independensi yang mereka
rawat kesuciannya justru terpanggang hingga gosong.
Independensi soalnya terbelokan dari hati nurani dan
kecenderungan pada kebenaran, karena pelaksanaannya
gampang dionani. Teronaninya independensi adalah ketika
sifat independen berparameterkan kepentingan individu atau
kelompok yang terus-menerus menghegemoni.

Itu sebabnya hubungan senior-junior dalam gerbong—bahkan


anggota dengan alumninya—bertampilan patron-client. Relasi
inilah yang mengikis keindependenan. Karena independensi
digerogoti hegemoni mereka yang berkepentingan. Makanya
kaderisasi dan gerakan mudah diarahkannya untuk kerasan
berorientasikan kekuasaan. Orientasi itulah yang didukung
penuh dengan perkaderan. Melaluinya maka pendidikan
dalam organisasi yang seharusnya mencerahkan dan
membebaskan justru memenjarakan dengan pandangan
monolitik dari kelompok dominan. Paulo Freire menyebutnya
sebagai bentuk pendidikan gaya bank: manusia sengaja
dididik untuk mandiri, kreatif, dan inovatif; melainkan
nyaman dalam pemujaan dan peniruan. Dalam kondisi inilah
kader-kader menampakan dirinya sebagai manusia yang tidak
independen. Sesekali lihat dan rasakanlah sendiri seperti apa
hierarki yang terbangun dalam gerbong membuat senior
dengan juniornya berhubungan secara mekanik. Persis dengan
susunan antagonisme gaya bank:

Pertama, guru mengajar, murid belajar; kedua, guru


tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; ketiga, guru
berpikir, murid dipikirkan; keempat, guru bicara, murid
mendengarkan; kelima, guru mengatur, murid diatur;
keenam, guru memilih dan memaksakan pilihannya,

413
murid menuruti; ketujuh, guru bertindak, murid
membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan
gurunya; kedalapan, guru memilih apa yang diajarkan,
murid menyesuaikan diri; kesembilan, guru
mengacaukan wewenang ilmu-pengetahuan dengan
wewenang profesionalismenya, dan
mempertentangkannya dengan kebebasan murid; dan
kesepuluh, guru adalah subyek proses belajar, murid
obyeknya—oleh karena guru yang menjadi pusat
segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika
murid-murid kemudian mengidentifikasi diri seperti
gurunya sebagai prototype manusia ideal yang harus
ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal.307

Pendidikan gaya bank memosisikan kader tak lebih dari obyek


investasi dari siapa saja yang berkuasa atas dirinya.
Investornya adalah senior atau alumni yang satu gerbong
dengannya investasinya bukan sekadar pengetahuan yang
mereka ajarkan dalam pembinaan, melainkan juga dengan
dibukakannya jaringan ke mana saja, dana-dana buat kegiatan
organisasi, dan bantuan-bantuan untuk memperoleh jabatan.
Apabila sang patron mempunyai kepentingan maka keadaan
inilah mengancam independensi juniornya, baik dalam
keetisan maupun keorganisatorisan. Karena runtuhnya sifat
independen seorang kader sering disebabkan intervensi
senior-alumninya yang bertanding di arena kekuasaan.
Mereka menjadi bahaya laten bagi gerakan dan kaderisasi
himpunan. Berhadapan dengannya memosisikan siapa saja
yang berubah jadi obyek yang dapat diarahkan, diintruksikan,
hingga dikendalikan. Itu sebabnya kader-kader mudah sekali

307
Paulo Freire, (2010), Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

414
dijual suaranya sewaktu Kongres, dilibatkannya menjadi
pengumpul data lapangan buat lembaga survey Pemilu,
dimasukan sebagai panitia-panitia pambantu program-
program pembangunan yang dikendali birokrat-kapitalis,
bahkan menjadi pencari massa untuk mendukung pertarungan
senior atau alumninya dalam panggung kekuasaan. Pada saat
itulah organisasi dipolitisasi untuk mengoalkan kepentingan-
kepentingan pesanan. Kader kemudian berpenampilan begitu
menjijikan. Karena dirinya jatuh ke lubang komersialisasi
perkaderan. Pendidikan organisasi yang seharusnya membuka
wawasan untuk kepublikan justru dipraktekan semata untuk
meraih seabrek keuntungan. F. Budi Hardiman memberi
penjelasan kenapa orang yang dididik mudah sekali
diperdagangkan:

Komersialisasi pendidikan mengasuh mereka untuk


mengejar kepentingan privat, karena sebagai komoditas
yang telah dibeli, hasil pendidikan harus dapat dijual
juga dengan keuntungan bagi alumnus yang telah
membelinya.308

Politisasi organisasi telah berkali-kali menimpa himpunan.


Kader dididik agar kelak bisa dimanfaatkan. Soalnya para
senior maupun alumni sewaktu-waktu akan mengutip bayaran
atas pendidikan yang telah diberikan. Dalam keadaan inilah
ikatan yang dibangun dan dirawat melalui perkaderan
terjerambab ke perangkap pihak dominan. Tengok saja
bagaimana kepentingan menguasai negara menyekap
kepengurusan Ketum PB HMI (1999-2001) Muhammad

308
F. Budi Hardiman, (2013), Dalam Moncong Oligarki; Skandal
Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Hlm. 32.

415
Fakhruddin. Dia mengaku bahwa visi besar kepemimpinannya
adalah melakukan direct control terhadap pemerintahan: ini
dijadikannya alasan untuk berlagak gandrung melontarkan
kritik dan melancarkan aksi protes sampai Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terjungkalkan. Padahal
gerakannya itu bukan lantaran sifat independen himpunan
yang sejati, tapi dorongan keras dari senior-alumninya yang
sedang terlibat pertempuran. Itulah mengapa PB HMI
pimpinan Fakhruddin tiada bedanya dengan Ketum PB HMI
(1997-1999) Anas Urbaningrum: mengandalkan lobi kanan-
kiri dan koordinasi dengan anggota KAHMI yang bercokol
dalam pranata kenegaraan. Melalui abang-abangnya, mereka
mendapatkan banyak perhitungan dan analisis tentang politik.
Hanya saja ajarannya begitu licik. Prinsip yang ditanam
senior-alumni kepada juniornya di PB HMI, dilukiskan Satrio
Arismunandar secara puitik: ‘Kalau resiko masih terlalu besar
jangan pasang badan dulu/Biarkan saja organisasi mahasiswa
lain yang bergerak/Yang penting, pada momen yang tepat/kita
bisa menyelinap di tikungan dan meraup keuntungan’. 309

Dengan memperhatikan petuah-petuah senior-alumni itulah


PB HMI memilih abstain ketika gerakan rakyat berjuang
menumbangkan rezim Orba. Mimbar bebas, demonstrasi,
maupun aksi massa soalnya menjadi sesuatu yang tidak
menguntungkannya. Tetapi ketika Soeharto telah lengser
maka HMI-KAHMI mulai bersungguh-sungguh mendukung
Bachruddin Jusuf Habibie bahkan sampai berlomba-lomba
turun ke jalan raya. Dukungan kepada Habibie dapat memberi

309
Satrio Arismunandar, (2014), Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi,
(tanpa kota): Inspirasi.co Denny JA’s Public Library, Hlm. 7.

416
mereka keuntungan, terutama mengenai jatah kursi kuasa.
Untuk itulah PB HMI pimpinan Anas memperjuangkan
kepresidenan Habibie tanpa mau mengiraukan keresahan-
keresahana rakyat bahwa tokoh ICMI ini merupakan
representasi dari rezim lama. Justru baginya: dengan
mendukung kekuasaan Presiden Habibie dalam menggantikan
Soeharto adalah satu-satunya cara menyelamatkan situasi
transisi politik sekaligus merupakan langkah terbaik
menyiapkan Pemilu 1999. Dengan bantuan yang diberikannya
kepada pemegang kekuasaan maka Anas mendapatkan
balasan atas jasanya: diorbitkan ke Tim Tujuh (petugas Revisi
UU Politik saat Reformasi 1998) dan Tim Sebelas (petugas
Seleksi Parpol menjelang Pemilu 1999). Sesudah ia berhenti
memimpin organisasinya sikap kooperatif dilanjutkan pula
oleh Ketum PB HMI penggantinya: Muhammad Fakhruddin.
Sama seperti Anas, dia amat berkeras hati mengawal transisi
kekuasaan di bawah pimpinan presiden dari unsur Orba.

Terbitnya sikap kooperatif kepengurusan PB HMI di bawah


tiap kepemimpinan kedua elit organisasi kemahasiswaan itu
tidak terlepas dari pengaruh senior-alumninya yang menjadi
politikus maupun birokrat. Komunikasi dan koordinasi
dengan seniornya selaku tokoh-tokoh ABG seperti Letjen
(Purn) Fachrul Razi (Wakil Panglima TNI dan Kasum TNI),
Akbar Tandjung (Ketum Golkar), Eggie Sudjana (politisi
PPP), Ahmad Sumargono (politisi PPB), dan sebagainya—
telah membuat organisasi Islam ini kesulitan memutuskan
rantai hegemoni unsur sisa-sisa Orba. Itulah mengapa HMI
secara kelembagaan lagi-lagi abstain untuk mendukung rakyat
miskin dan tertindas yang berjuang bersama aktivis-aktivis
pro-demokrasi dalam menentang peninggalan rezim lama:

417
Pemerintahan Habibie hingga Dwi-Fungsi ABRI. Setelah
berhasil melengserkan Soeharto, gerakan rakyat kembali
menekan kekuasaan. Suasan protes semakin memanas
menjelang SI MPR bulan November 1998. Pada 12
November, ratusan ribu massa aksi bergerak menuju gedung
DPR/MPR Senayan dari segala arah: Semanggi, Slipi, dan
Kuningan. Namun tertahan oleh barikade aparat kemanan.
Sebagai bukti representasi dari kekuasaan Orba, pemerintahan
Habibie mengerahkan 18.040 pasukan TNI-Polri. Untuk
mempertahankan kekuasannya, penguasa bahkan membentuk
Pamswakarsa (Pasukan Pengaman Masyarakat Swakarsa:
paramiliter bentukan TNI yang bertugas membantunya
mengamankan jalannya SI MPR 1998) untuk menghadapi
aksi-aksi demonstrasi yang semakin meluas, diikuti banyak
kalangan, dan bertensi tinggi.

Dalam Pamswakarsa; Polda Metro Jaya memobilisasi,


mengorganisir, dan melibataktifkan 125 ribu warga sipil. 310
Suasana seketika berubah mencekam, karena kekuatan unsur-
unsur Orba yang masih bercokol di tubuh pemerintahan
membuat pemerintahan menjadi banal. Seperti di masa
Soeharto, negara sudah siap menjagal siapa saja yang
mengancamnya. HMI tidak punya nyali untuk menantang
keputusannya. Di bawah kepemimpinan Anas Urabaningrum,
organisasi ini hanya bisa berpangku tangan dan menyaksikan
tanpa sedikitpun menyuarakan protes terhadap keputusan
penguasa: rencana menghadapi demonstrasi dengan
menerbitkan kebijakan Operasi Mantap ABRI (1997-1998)

310
Buka www.elsam.or.id., Ringkasan Eksekutif: Laporan Hasil
Penyelidikan KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Hlm. 1.

418
dan Operasi Mantap Brata (1999). Itulah mengapa secara
kelembagaan PB HMI tak berani mengerahkan kader-
kadernya melakukan perlawanan. Elit-elit HMI-KAHMI cuma
bisa menjadi penonton ketika pada 13 November TNI-Polri
bersama paramiliternya diterjunkan ke jalanan untuk
membubarkan aksi massa. Di daerah Semanggi, mereka
menghadang gerakan rakyat menggunakan kendaraan lapis
baja. Saat massa aksi berusaha mendekati barikadenya, maka
aparat represif negara mengejar, memukul, menendang, dan
terutama menembak secara membabi buta. Kejadian ini
dikenang sebagai Tragedi Semanggi I. Korban berjatuhan
lumayan banyak: 18 mahasiswa tewas,311 456 orang
mengalami luka-luka, bahkan di dalamnya bocah (6 tahun)
terkena peluru nyasar di kepalanya.312

Kalangan konservatif dan moderat yang mengisi rezim


Habibie seakan ingin memproklamirkan pemerintahan transisi
menjadi pewaris sah kediktatoran Soeharto. Itulah mengapa
mudah sekali bekas-bekas ABG-nya Orba mendesak
pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU-PKB). Semenjak
wacana tentang aturan ini bergulir, rakyat miskin dan tertindas
bersama aktivis-aktivis pro-demokrasi sudah mulai
menolaknya. Soalnya peraturan baru tersebut dapat memberi
keleluasaan pada militer dalam melancarkan pelbagai
kepentingannya, terutama mengamankan bisnisnya dengan
cara membungkam warga. Namun 23 September 1998, DPR
resmi mengesahkannya menjadi UU PKB. Kala itu PB HMI

311
Lihat KontraS, (2005), Kertas Posisi Kontras Kasus Trisakti, Semanggi I
dan II; Penantian dalam Ketidakpastian, Jakarta: KontraS, Hlm. 1.
312
Buka https://id.m.wikipedia.org/Tragedi_Semanggi

419
lagi-lagi tidak berani menentangnya. Sementara gerakan
rakyat masih terus berjuang melawan kebijakan penguasa.
Puncaknya adalah ketika meletusnya Tragedi Semanggi II
tanggal 24 September. Bandung, Semarang, dan Jakarta
bergolak dengan demonstrasi besar-besaran. Kontan, aparat
TNI-Polri beserta pasukan paramiliter kembali dikerahkan
oleh negara untuk memberangus massa secara vulgar:
dipukul, ditendang, dan ditembak tanpa ampun. Korban pun
berjatuhan: di Bilangan Semanggi Yap Hun Hap tewas
seketika, sementara di seluruh Jakarta 10 demonstran lainnya
ikut meninggal, dan total yang luka-luka di dalam peristiwa
ini mencapai 217 orang.

Pemerintah transisi pimpinan Habibie sulit sekali memutus


koherensinya dengan unsur-unsur Orba. Kelengsaran Soeharto
menandakan tumbangnya negara Orba, tapi belum dapat
menghentikan eksisnya politisi maupun birokrat piaraannya.
Orba sebagai sebuah pakta dominasi Soeharto bersama ABG-
nya dengan kepentingan-kepentingan pembangunanisme
boleh saja telah berakhir. Namun sepak terjang seorang atau
sekelompok dari rezim totaliter ini masih belum tersingkir.
Karena rezim selalu dikaitkan dengan prinsip-prinsip, norma-
norma, aturan-aturan, dan prosedur pengambilan keputusan
yang dianut penguasa negara. Maka keterlibatan tokoh-tokoh
negara eks-Orba dalam pemerintahan Habibie menimbulkan
ekses nyata. Lihat saja bagaimana berlangsungnya kekerasan
yang mengukir kelamnya peristiwa Trisakti I dan II. Kekuatan
rezim lama mengharuskan rezim Habibie bersifat semi-
otoriter. Terkontaminasinya rezim Habibie oleh sisa-sisa
aparat-birokrasi Orba mengakibatkan aparat-birokrasi
Reformasi sebagai pelaksana pemerintahan ikut tercemar.

420
Walau memiliki kemandirian relatif, tetapi mereka mudah
takluk hingga tak bisa menolak melaksanakan kebijakan-
kebijakan dari para pengambil keputusan: rezim Habibie yang
berunsur rezim Soeharto. Itulah mengapa permintaan maaf
Presiden Habibie—pada 26 Maret 1999--terhadap keluarga
korban operasi militer di Aceh menjadi tidak bernilai. Tim
Pencari Fakta (TPF) DOM Aceh yang dibentuknya tak
mampu menghalangi terulangnya kekerasan aparatus represif
negara. Sesudah menyatakan rasa bersalah dan membentuk
TPF—tanggal 3 Mei 1999, Yonif 113 justru menyerang
warga. Serdadu-serdadu ini memberangus penduduk yang
sedang berkumpul di daerah Simpang KKA, Kruleng
Geukueh, Lhokseumawe, Aceh Utara. Korbannya banyak
berjatuhan: 65 meninggal, 10 hilang, dan ratusan orang
lainnya terluka. Bahkan peristiwa itu pula berhasil merampas
nyawa seorang anak kecil berusia 7 tahun bernama Saddam
Husein yang ikut menjadi korban tewas di tangan tentara.313

Setelah mendapat hasil laporan TPF, Habibie lagi-lagi dibuat


tidak mau menindaklanjutinya. Unsur-unsur Orba masih
berpengaruh di dalam rezimnya. Tengoklah bagaimana
Menkopolkam Feisal Tanjung mudah sekali berkelakar bahwa
peristiwa pembantaian di Aceh tidak terkait masalah HAM.
Dia juga menyampaikan pernyataan sembrono: ‘tuduhan
pelanggaran HAM di Aceh merupakan karangan belaka’. 314
Tetapi tuntutan-tuntutan yang dilayangkan gerakan rakyat
pro-demokrasi mampu menekan pemerintahan Habibie hingga

313
Untuk penjelasan lebih panjang mengenai kejadian ini lihatlah Fikar W.
Eda dan S. Setya Dharma, (1999), Sebuah Kesaksian: Aceh Menggugat,
Jakarta: Sinar Harapan.
314
Ibid, Hlm 157.

421
berkenan menghadirkan suasana yang agak demokratis:
pemberian kebebasan pers, pembentukan lembaga
independen, pembebasan tapol Orba, sampai mengijinkan
referendum Timor Leste. Gerakan rakyat juga mampu
memaksa para elit mempercepat Pemilu 1999. Itulah mengapa
Amien Rais yang dulunya mendukung diberikannya mandat
pemerintahan transisi kepada Habibie kini berbalik
mengupayakan pencopotannya. Sekarang posisi Amien bukan
sekedar Ketum PAN, tapi terutama Ketua MPR. Dengan
kuasanya di Gedung DPR/MPR Senayan, maka dia semakin
leluasa menurunkan Habibie dari takhta kepresidenannya.

Kala itu Pemerintah Habibie tak cuma dinilai sebagai


representasi kekuasaan Orba, namun juga dianggap belum
mampu mengeluarkan nusa dan bangsa dari pelbagai krisis
peninggalan rezim Soeharto. Rakyat menganggap
ketidakmampuan Habibie mengadili Soeharto bukan sekedar
merupakan tanda keberpihakan kepada rezim lama, tapi juga
sebagai bukti kelambanan dan ketidakmampuan pemerintahan
dalam menyelesaikan permasalahan. Inilah yang membuat
gerakan rakyat terus-menerus menggelar protes. Karenanya,
Forkot selaku organisasi pergerakan mahasiswa bahkan harus
berhadapan dengan Letjen (Purn) Ahmad Tirtosudiro. Dengan
jabatannya sebagai Ketum ICMI, alumni HMI ini menuding
Forkot sebagai kelompok yang merencanakan makar terhadap
Presiden BJ Habibie. 315 Keinginan pelbagai elemen gerakan
radikal membentuk Komite Rakyat Indonesia (KRI)
ditentangnya bersama Akbar Tandjung dan Amien Rais. KRI
sendiri sebenarnya terdiri dari dua fungsi: eksekutif dan

315
Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Op. Cit., Hlm. 280.

422
legislatif. Komite ini ingin dibentuk bukan untuk selamanya,
melainkan sementara: non-definitif. KRI ditujukan untuk
menuntaskan Reformasi 1998. Caranya melalui pelaksanaan
refomasi total atau revolusi demokratik: (1) Turunkan dan
adili Soeharto; (2) Bubarkan Golkar; (3) Cabut Dwi-Fungsi
ABRI; (4) Tolak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); (5)
Penegakkan supremasi hukum; (6) Pengusutan semua
pelanggaran HAM. Semua ini dipandang lebih mendesak
dibanding sekedar menyelenggarakan Pemilu 1999 yang
hanya memberi jalan bagi kembalinya kekuasaan
otoritarianisme lama.

Hanya saja wakil-wakil rakyat di Senayan tidak sejalan


dengan keinginan rakyatnya dalam melakukan revolusi
demokratik untuk memberantas segala warisan Orba. Mereka
justru sebatas menginginkan terlaksananya pemilu secepatnya
dan menjukirbalikan Habibie dari singgasananya. Maka 7 Juli
1999 Pemilu digelar dengan masih mengikutsertakan parpol
pendukung rezim lama: Golkar. Partai ini berhasil
memenangkan suara terbanyak kedua setelah PDIP yang
menempati posisi pertama. Keterlibatan Golkar membuat
gerakan rakyat menolak hasil pemilihan. Pemilu pertama
sesudah Reformasi 1998 itu pun ditolak habis-habisan.
Namun wakil-wakil rakyat di Senayan justru tidak
menghiraukan. Pada 14 Oktober, elit-elit ini kemudian
meneruskan langkahnya untuk melaksanakan Sidang
Istimewa (SI) MPR. Agendanya adalah Pidato
Pertanggungjawaban Habibie selaku Presiden RI. Di bawah
komando Amien Rais, presiden dipermalukan: dihina dengan
teriakan dan seabrek tingkah laku arbitrer peserta sidang yang
sengaja dibiarkan terjadi. Amien yang semula mempunyai

423
andil besar atas naiknya Habibie ke tampuk kekuasaan kini
berbalik melancarkan penentangan. Puncaknya 20 Oktober:
Amien yang memimpin sidang menolak mentah-mentah
laporan pertanggungjawaban. Malam hari sesudah peristiwa
ini barulah Habibie memilih mundur diri dari kursi kepala
negara. Bahkan lewat pidato pengunduran dirinya dia
menyampaikan pamit untuk meninggalkan seluruh
aktivitasnya di dunia politik Indonesia.

Ketika tampuk kepresidenan mengalami kekososngan maka


MPR RI dipercaya memilih siapa-siapa yang akan
mengesinya. Habibie lantas dengan cekatan membentuk Poros
Tengah yang terdiri dari partai-partai Islam: PAN, PKB, PPP,
PBB, dan PK. Melalui poros inilah bukan hanya berhasil
menarik tambahan kekuatan dari Golkar, tapi terutama
mampu memangkas sepak terjang Megawati dalam
menduduki kursi presiden. Bersama koalisi yang dibangunnya
itulah Amien mulus mengangkat Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) sebagai kepala negara. Tetapi setelah Gus Dur berkuasa
banyak sekali kebijakannya yang tidak sejalan akan keinginan
para pengusungnya, terutama mereka yang menjadi bagian
rezim lama. Konflik memanas saat Gus Dur memecat Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla (Alumni HMI
sekaligus politisi Golkar) dan Menteri Negara Investasi dan
Pemberdayaan BUMN Laksamana Sukardi (politisi PDIP).
Pemecatan kedunya dilakukan agar birokrasi bersih dari KKN
dan kelompok oligarki sisa-sisa Orba.

Avorisme Gus Dur kala itu begitu sarat keberanian:’kalau


ingin melakukan perubahan jangan tunduk pada kenyataan,
asal yakin di jalan yang benar.’ Keyakinan inilah yang

424
mendorongnya untuk menerbitkan kebijakan-kebijakan
progresif: (1) membubarkan Deppen (Departemen
Pertahanan) dan Depsos (Departemen Sosial yang menjadi
lahan penghasilan para koruptor; (2) restrukturisasi Sekneg
(Sektariat Negara) yang selama Orba menjadi pusat
kekuasaan Soeharto; (3) mengembalikan fungsi militer
dengan memisahkan secara tegas antara institusi TNI dan
Polri hingga membubarkan Bakorstanas (Badan Koordinasi
Stabilitas Nasional); (4) mengupayakan pencabutan Tap
MPRS XXV/1996 (Pembubaran PKI dan Pelarangan
Mengembangkan Paham Komunisme), dan meminta maaf
kepada segenap keluarga korban penjagalan 1965; (5)
mengusahakan terjalinnya relasi RI-Israel agar Indonesia lebih
bisa berperan dalam mendamaikan konflik Israel dengan
Palestina; (6) mendukung Referendum Aceh dengan
mempertimbangkan kemungkinannya buat merdeka dan
merangkul pejuang-pejuang pro-kemerdekaan Papua sampai
membiarkan bendera Bintang Kejora berkibar; dan (7)
memberikan pengakuan terhadap agama Konghucu dan
membiarkan umatnya merayakan Imlek tanpa sedikitpun
pembatasan seperti di masa Soeharto.

Hanya saja kepemimpinan dengan kebijakan-kebijakan


progresif ini dipandang oleh kaum moderat dan konservatif
sebagai tindakan ugal-ugalan. Misi besar presiden baru
kemudian tidak sampai tertuntaskan. Dia keburu dilengserkan.
Dirinya distigma dengan isu-isu yang mencengangkan:
Bullogate, Bruneigates, dan Ajinomoto. Tuduhan-tuduhan
penyelewengan kekuasaan digembar-gemborkan tak hanya
melalui media milik Parni Hadi dan Surya Paloh yang dibayar
untuk memanas-manaskan kebohongan secara membeo.

425
Melainkan pula ormas-ormas Islam (termasuk HMI), BEM-
BEM Universitas, partai-partai politik yang berhubungan
dengan keluarga Cendana, bahkan seabrek preman,
cendikiawan, dan pengusaha juga terlibat aktif karena
mendapat pendanaan yang amat vulgar. Ini tergambar jelas
pada buku menyontakan: Menjerat Gusdur. Virdika Rizky
Utama menulis karya tersebut dengan memasukan temuan
dokumen kejahatan politik yang bikin semua orang
terperangah. Skenario menjerat Gus Dur soalnya sangat
kompleks, melibatkan banyak unsur, dan dilancarkan secara
mewah.

Dalam menjerat Gus Dur, kalangan oligark sampai


menggelontorkan anggaran fantastis: 4 triliun rupiah. Dalang
serta operatornya berasal dari keluarga besar HMI: Akbar
Tandjung, Anas Urbaningrum, Amien Rais, Patrialis Akbar,
Hidayat Nur Wahid, Arifin Panigoro, Priyo Budhi Santoso,
Aliwarwan Hanan, Azumardi Azra, Fuad Bawazier, Zoelva
Lindan, Hamdan Zoelva, hingga Muhammad Fahruddin, dan
lain-lain. Skenario pendongkelan kekuasaan DIlancarkan
secara berapi-api bagai sedang kesetanan. Mula-mula
kehidupan masyarakat diteror lewat serangkaian rekayasa:
pemboman fasilitas publik, konflik SARA berkepanjangan,
hingga kemunduran perekonomian. Penyongkelan presiden
melibatkan ketangkasan HMI Connection. Melalui jaringan
inilah segala unsur yang tidak puas akan kepemimpinan Gus
Dur didatangi, dihubungkan, dimobilisasi, hingga bersepakat
melancarkan serangan bersamaan. Walhasil, kepemimpinan
seorang ulamawan yang tidak berdosa tersebut gampang
dihujat: liberal, korup, sewenang-wenang, tak becus, serta
joke-joke yang penuh penghinaan. Demi keberhasilan upaya

426
pelemahan kekuatan presiden maka tokoh-tokoh HMI
(KAHMI) tak segan-segan mempolitisasi himpunan. Kader-
kader organisasi ini ditarik untuk mengikuti kemauan
kelompok dominan. Tujuannya sederhana: menyelamatkan
asset politik dan perekonomian. Caranya amat praktis:
merebut dan mengamankan kekuasaan. Karena Gus Dur
dinilai buruk dalam berkuasa: telah merebut kejayaan para
oligark sejak reformasi digulirkan. Surat Fuad Bawazier
kepada Akbar Tandjung tidak cuma menjelaskan tentang
pelaksanaan tugas dan rekomendasi dalam pemakzulan
presiden. Namun ikut menyinggung soal misi pembalasan
dendam yang ditanam sejak Orba ditumbangkan:

Langsung saja, dengan ini saya laporkan kepada Bang


Akbar tentang percepatan situasi yang berkembang di
luar gedung Parlemen berkaitan dengan pelaksanaan
skenario Semut Merah (SEMER) dengan skenario
pertama. Tugas yang diberikan kepada saya berkaitan
dengan penggalangan opini dan dukungan masyarakat
luas, mahasiswa, media, ormas, pengusaha,
cendikiawan, preman, dan kelompok kanan, serta
masyarakat lainnya di seluruh Indonesia dalam rangka
penjatuhan kredibilitas Presiden Abdurrahman Wahid
melalui kasus Buloggate dan Brunaigate telah berjalan
sesuai rencana. Bahkan lebih dari itu, kekuatan dan
efek dari operasi tahap pertama ini—menurut
pandangan saya—sudah harus ditingkatkan kepada
pelaksanaan operasi skenario tahap kedua, yakni:
Memaksa Abdurrahman Wahid Mundur dan
Mendorong Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden,
yang akan bisa kita kendalikan dan pada akhirnya akan
kita singkirkan juga. Berikut laporan garis besar dan

427
beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari
pelaksanaan skenario pertama, yakni:

[Pertama] BEM PTN (Badan Eksekutif Mahasiswa


Perguruan Tinggi Nasional) dan BEM Perguruan
Tinggi Swasta yang selama ini kita telah koordinir di
Cilosari [HMI Cabang Jakarta Pusat-Utara—pen] dan
Diponegoro (PB HMI) serta kelompok kanan ormas
Islam yang tersentral di tiga titik lainnya yakni; Masjid
Sunda Kelapa, Istiqlal dan Al Azhar mulai bergerak
masif, bergelombang, dan bersamaan hampir di seluruh
Indonesia dengan satu komando isu menuntut Gus Dur
Mundur. Khusus untuk pengepungan Senayan dan
rangka mem-pressure DPR agar menerima hasil kerja
pansus yang menyatakan Gus Dur telah menyalahkan
kekuasaan (abuse of power) secara langsung dipelopori
oleh para alumni ILUNI pro-kita, para rektor serta
BEM UI dan UMJ. Mereka ini bergerak di bawah
komando langsung Ketua Umum PB HMI, Fakhruddin
CS. [Kedua] Pada saat sidang paripurna digelar, adik-
adik mahasiswa ini akan bergabung langsung dengan
seluruh massa aksi rekan-rekan Pemuda Partai Keadilan
yang langsung di bawah komando saudara Hidayat Nur
Wahid, Gerakan Pemuda Ka'bah yang dimobilisir oleh
saudara Ali Marwan Hanan, massa PBB di bawah
saudara Hamdan Zoelva, massa PAN di bawah saudara
Patrialis Akbar, dan massa rakyat dan preman yang
diorganisir oleh saudara Yapto dan DPP Pemuda
Pancasila. Pada saat itulah komando akan saya pegang
langsung, sedangkan operator lapangan akan dipimpin
oleh Ketua Umum KAMMI, AMPI, GPK, BM PAN,
PB HMI, HAMAS, dan IMM. [Ketiga] Gerakan ini
Insya Allah akan memperoleh dukungan penuh dari
Zoelva Lindan dan Julius Usma yang telah mampu
mempengaruhi beberapa kantong massa PDIP untuk

428
bergabung melakukan demonstrasi menyikat Gus Dur
di Sidang Parlemen. [Keempat] Kita juga telah
melakukan aksi borong dollar di pasar valuta asing dan
bursa efek-untuk menjatuhkan nilai tukar rupiah-di
dalam dan luar negeri (terutama di Hongkong, dan
Singapura) secara langsung di bawah kendali
Bendahara Umum DPP Golkar [Fadel Muhammad—
pen]. Aksi borong dollar ini juga didukung oleh
Bambang Tri Atmojo, dan Liem Sioe Liong, Arifin
Panigoro. [Kelima] Seluruh kerja media massa (cetak
dan elektronik) yang bertugas mem-blow up secara
kolosal dan provokatif semua pemberitaan berkaitan
dengan tuntutan mundur terhadap Gus Dur sudah di-
arrange langsung oleh saudara Parni Hadi dan Surya
Paloh, sedangkan operator teknis di lapangan saya telah
menyiapkan banyak kaki terutama di parlemen.
[Keenam] Penggiringan opini publik oleh para tokoh
dan cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur
lewat tulisan di media massa yang dimobilisir langsung
oleh Azumardi Azrha, Dr. Syahrir, dan rekan-rekan
KAHMI telah mampu meyakinkan publik bahwa Gus
Dur memang benar-benar gagal mengemban amanat
reformasi. [Ketujuh] Tugas saudara Din Syamsuddin
untuk mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto
telah berhasil memaksa para ulama dan tokoh agama
mencabut dukungannya kepada presiden.

Dengan posisi Wakil Presiden, Mas Amien bisa


bermain lincah untuk melakukan penggembosan dari
dalam lewat isyu ketidakbecusan Megawati dalam
mengatasi krisis ekonomi dan penyelesaian disintegrasi
bangsa. Untuk itu, mulai dari sekarang harus kita
pegang dan bantu secara kongkrit saudara-saudara kita
dari luar Jawa yang menginginkan kemerdekaan.
Sedangkan untuk persoalan krisis ekonomi, sabotase

429
akan terus dijalankan melalui jalur kawan-kawan lama
kita di era Pak Harto yang sakit hati melihat ini
semua…. Sebagai bahan pertimbangan operasi di
lapangan, saya meminta kabar dari Bang Akbar dan
kawan-kawan tentang perkembangan di dalam gedung
Senayan lewat jalur yang sudah tersedia saja [HMI
Connection], yaitu seluruh perkembangan situasi di
dalam gedung kirim saja melalui saudara Anas
Urbaningrum sebagai penghubung kita. Saya optimis
bahwa skenario ini akan berjalan mulus. Dengan begitu,
misi untuk menyelamatkan seluruh asset politik dan
ekonomi serta invertasi kita serta pengeluaran dana
operasi sebesar 4 T, yang sudah saya sediakan tidak
menjadi sia-sia dan dapat mengembalikan kejayaan kita
yang telah dirampas sejak reformasi. 316

Bunyi dokumen ini bukan hanya menyenandungkan


bagaimana terorganisirnya kejahatan dalam menggulingkan
Abdurrahman Wahid, tapi secara implisit memberitahukan
besarnya pengaruh yang dimiliki Akbar Tandjung.
Pengaruhnya sebagai bagian dari birokrasi, mantan Ketum PB
HMI, maupun tokoh-senior KAHMI membuatnya mudah
sekali mengutip kesetiaan Ketua KAHMI Fuad Bawazier.
Setianya Fuad kepada Akbar tak sekedar didorong oleh
kepentingan mereka dalam mempertahankan kekuasaan
ekonomi-politiknya. Namun terutama telah lebih dahulu
dirajut dalam bingkai relasi feodalis: senior-junior
organisasinya. Dengan hubungan baik yang selama ini telah
mereka bina dalam himpunan, maka kini Bawazier dipercayai
tugas menjadi koordinator skenario menjerat Gus Dur.

316
Lihat lampiran dokumen Fuad Bawazier kepada Akbar Tandung, dalam
Virdika Rizky Utama, (2019), Menjerat Gus Dur, Jakarta: Numedia Digital
Indonesia.

430
Tugasnya itu dilaksanakan dengan lancar. Itulah mengapa
skenario tahap pertamanya saja dilaporkan secara vulgar. Kini
melalui paparan dokumen tersebut sudah seharusnya kader-
kader himpunan membuka pikiran dan mata hatinya lebar-
lebar. Kita mestinya tak usah naif mengakui: elit-senior
KAHMI secara leluasa melancarkan politisasi terhadap HMI.
Dengan memanfaatkan jangkauan HMI Connection, mereka
tak sekedar bisa melibatkan banyak alumni-alumni HMI dan
tokoh-tokoh lainnya, melainkan pula anak-anak muda yang
masih menjadi anggota biasa seperti gerombolan pengurus
organisasi. Virdika menjelaskannya begini:

Melalui senior-senior Himpunan Mahasiswa Islam


(HMI), yang biasa disebut HMI Connection, mereka
menggalang sebuah kekuatan. Padahal sebenarnya isu
yang digalang pun tak populis bahkan cenderung elitis,
tetapi bisa menyatukan kekuatan lainnya. Organisasi
sayap partai—terutama partai Islam—pun mendukung
gerakan tersebut. Mereka dapat menciptakan seolah-
olah keresahan bersama. Lantas, membentuk simpul
TNI.317

Laporan Fuad kepada Akbar menjelaskan kenapa segampang


itu independensi HMI jadi komoditas kekuasaan. Sebab,
kepentingan pragmatis dan oportunis untuk mengamankan
investasi ekonomi dan politik mendorong mereka untuk
menyulap kejahatan menjadi kebaikan dan kebenaran.
Intensitas hegemoni senior-alumni digulirkan melewati
relung-relung HMI Connection. Derasnya aliran hegemonik
ini tidak segan-segan mendistorsi eksistensi himpunan.
Tengok saja bagaimana Ketum PB HMI Muhammad
317
Ibid, Hlm. 330.

431
Fahruddin dikendalikan melalui ikatan seniorisme-
gerbongisme yang tertanam dalam perkaderan. Lewat Operasi
Semer (Semut Merah), dia diarahkan untuk mengkordinir
massa untuk mengepung Senayan. Gus Dur mau digulingkan
lantaran tidak tunduk pada dikte-dikte kelompok oligarki yang
dirawat Orba. Kala itu Gus Dur begitu mengupayakan
menghukum para penjahat besar seperti Soeharto bersama
kroninya. Pada 1 November 1999 kasus Soeharto yang
berbelit-belit saat kepemimpinan Habibie kembali dibuka.
Kaki tangannya seperti Wiranto bahkan dipecat dari
jabatannya sebagai Panglima TNI. Lalu 15 April 2020, Tim
Penyidik Kejagung menetapkan Soeharto sebagai tersangka.
Sedangkan putranya—Tommy Soeharto, dijatuhi hukuman 18
tahun penjara atas kasus tukar guling tanah antara Bulog dan
PT Goro Batara Sakti. Walaupun telah dijatuhi hukuman,
dengan kekuatan uangnya Tommy mampu melumpuhkan
kinerja polisi. Institusi kepolisian dibikinnya pincang hingga
tak efektif menjalankan tugas dan fungsi. Kapolri Rusdihardjo
kemudian dipecat oleg Gus Dur karena menolak menaati
perintahnya untuk mengkap Tommy.

Upaya Gus Dur mengadili Soeharto dan kroninya


mendapatkan pelbagai hambatan serta balasan. Kelompok
orligarki tak bergeming menghadapi kebijakan presiden.
Konflik-demi-konflik diciptakannya. Disulutnya kerusuhan
Ambon hingga meluapnya konflik besar di Maluku adalah
ulah mereka. Militer memiliki agenda tersendiri dalam
melanggengkan konflik tersebut. Elit-elit serdadu ingin
membalas gerakan perlawanan rakyat terhadap dwifungsi
ABRI dengan mengalihkan konflik vertikal menjadi
horizontal. Melalui penciptaan dan perawatan konflik itu

432
kalangan birokrat juga berkepentingan menunda bahkan
menghentikan pemeriksaan para perwira tinggi dan
purnawirawan TNI yang terlibat kejahatan KKN dan HAM,
mempertahankan konsep wawasan nusantara serta struktur
teritorial TNI, dan terutama melindungi pelbagai kegiatan
bisnis militernya. Dalam pelanggaran HAM dan kejahatan
kemanusiaan di Maluku, George Aditjondro menemukan
adanya ‘dua orang jendral purnawirawan, tiga orang jendral
aktif, dan seorang pensiunan perwira TNI/AU terlibat dalam
jaringan ini. Mereka terdiri dari Jendral (Purn) Wiranto,
Mayor Jenderal Kivlan Zein, Letjen (Purn) A.M.
Hendropriyono, Letjen Djaja Suparman, Letjen Suaidy
Marasabessy, Mayjen Sudaidy Silalahi, dan Mayor TNI/AU
(Purn) Abdul Gafur [alumni HMI/KAHMI]. 318

Kebijakan pemerintah mengembalikan fungsi militer dengan


menjauhkannya dari politik kenegaraan, mendukung
referendum Aceh dan mengatensi kalangan pro-kemerdekaan
Papua—menimbulkan penolakan dari elit-elit tentara.
Kekuatan penentang presiden semakin terkonsolidasi ketika
ketika Gus Dur melakukan penghapusan Deppen dan Densos
serta Tap MPRS tentang komunisme, restrukturisasi Sekneg,
dan bongkar-pasang kabinet. Kala itu kelompok Islam
konservatif dan modernis bekerja sama dengan militer untuk
merobohkan takhta kepresidenan. Para oligark adalah
menyandang dana terbesar dalam aksi-aksi menggoncang
kekuasaan. Kemarahan terhadap Gus Dur dikarenakan
kepemimpinannya dengan rezim Soeharto yang memedulikan

318
Buka https://titastory.id/orang-orang-jakarta-di-balik-tragedi-maluku.
Dalam kurung tambahan dari penulis.

433
kepentingan pertahanan harta dan kekayaan oligarki. Oligark-
oligark yang lahir, tumbuh, dan besar semasa Orba disebut
Jeffrey A. Winters sebagai oligarki sultanistik. Ada tiga
definisi utama dari rezim sultanistik. Pertama, penguasa
sultanistik memerintahkan secara pribadi dan mengatur segala
hal yang penting dalam politik dan ekonomi. Mereka
meningkatkan kukuasaan dan pengaturan dengan
menghalangi, bukan membangun lembaga-lembaga
independen. Hukum dan lembaga yang ada ditundukan demi
kepentingan penguasa. Kedua, penguasa sultanistik
mempertahankan kendali strategis atas akses terhadap
kekayaan dan menggunakan sumber daya material sebagai
bagian penting dasar kekuasaan mereka. Hubungan dalam
oligarki antara satu dengan yang lain bersifat simbiosis, tapi
juga penuh ketegangan. Ketiga, penguasa sultanistik mencoba
mengendalikan kekuatan pemaksaan di dalam suatu negara
atau rezim. Ini termasuk pengendalian kekuatan angkatan
bersenjata, intelijen, polisi, aparat kehakiman, dan kadang
melibatkan juga kelompok paramiliter dan preman bayaran. 319
Baginya, perlindungan aset-aset kekayaannya oligarki
sultanistik membutuhkan bantuan dari oligark yang berkuasa.
Karena kestabilan oligarki jenis itu amat bergantung terhadap
seberapa baiknya oligark tertinggi mengelola pertahanan
kekayaan untuk para oligark-oligark lainnya:

Ketika pelembagaan terjadi di bawah oligark


sultanistik, jenisnya sangat berbeda dengan ideal legal-
rasional. Lembaga muncul bukan sebagai entitas yang
menuju birokrasi independen dan tak-pribadi, bukan

319
Jeffrey A. Winters, (2011), Oligarki, Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka, Hlm. 201.

434
juga lembaga yang diduduki dan digunakan para
oligark untuk berkuasa, melainkan sebagai alat kendali
sultanistik atas para oligark dan perkembangannya. Itu
berlaku walaupun lembaga-lembaga tersebut memang
(atau tampak sebagai) lembaga pemerintahan formal
dan biasa ,,, bahwa Suharto berkesempatan lebih baik
menjinakan para oligark Indonesia dalam jangka waktu
lebih lama….320

Sewalaupun Soeharto kemudian berhasil dilengserkan tapi


pengaruhnya tetap ada. Dalam Pemerintah Habibie fenomena
itu dapat dilihat kasat mata, terutama bagaimana dirinya dan
anak-anak serta kroni-kroninya lolos dari hukuman penjara.
Namun pada saat kepemimpinan Gus Dur sisa-sisa rezim lama
mulai merasa kehilangan daya. Kontan kelompok oligarki
marah pada kepala negara. Gus Dur soalnya bukanlah
Soeharto: bagian dari oligark yang menjadi presiden. Maka
para oligark beruapaya menyesuaikan diri atas perubahan
tatanan dengan memanfaatkan kemampuan sumber daya
materialnya. Terhadap penguasa yang tidak disukainya,
Winters mengatakan bahwa mereka akan mengganggu
stabilitas kekuasaannya; ‘termasuk memindahkan kekayaan
keluar ekonomi, diam-diam mendanai gerakan massa,
menyewa milisi pengacau, atau membiayai persekutuan
dengan komandan dan pasukan bersenjata, yang bersedia
mengembalikan rezim yang mengamankan harta’.321

Lihatlah bagaimana jalannya skenario menjerat Gus Dur yang


difasilitasi oleh HMI Connestion. Jaringan ini
menghubungkan orang-orang berkepentingan bukan hanya

320
Ibid, Hlm. 205.
321
Ibid, Hlm, 202.

435
dengan elit militer tapi juga banyak pentolan-pentolan
konservatif dan modernis. Nama-nama yang paling terkenal
dalam melancarkan kejahatan tersebut bukan hanya dari
alumni HMI/KAHMI seperti Akbar Tandjung, Fuad
Bawazier, Priyo Budi Santoso, dan Amien Rais. Tapi pula
orang-orang yang sangat dekat dengan dunia bisnis Orba pun
tak kalah dikenal dalam Semer, semisal: Bambang Tri (putra
ketiga Soeharto dan salah satu pengelola bisnis keluarga
Cendana); Arifin Panigoro (konglomerat berjuluk Raja
Minyak Indonesia sekaligus anak baru di PDIP); Lie Swie
Liong atau Sudono Salim (pengusaha kelas kakap pendiri
Salim Group yang menjadi pilar bisnis Soeharto); dan Surya
Paloh (taipan media paling sukses). Di samping mereka tidak
mau ketinggalan pula sosok kayak pimpinan MUI Din
Syamsuddin (pimpinan MUI), wartawan senior Parni Hadi,
serta seabrek alumni-alumni HMI dari pelbagai profesi.
Kebijakan-kebijakan Gus Dur membuat kawanan ini tak
tenang seperti biasa. Karena pelbagai tindakan eksentrik
presiden dapat menyumbat arus kekayaannya. Apalagi
Winters mengatakan cara oligark memperkaya diri dan
kelompoknya selalu dengan ‘korupsi dan pembagian
kesempatan usaha’.322 Sementara kepemimpinan Gus Dur
berniat menyingkirkan para koruptor dan oligark-oligark sisa
rezim lama. Maka kalangan yang dahulunya dipelihara dan
dibesarkan keluarga Cendana berkelebat menentang siapa-
siapa yang berani mengusik ketentramannya.

Akbar merupakan salah aktor-intelektual senior di balik


drama menjerat Gus Dur hingga menanggalkan kekuasannya.

322
Ibid.

436
Di saat Orba berjaya dirinya tak hanya sukses meniti karir
politik, tapi juga menjadi pelumas yang melicinkan
kesuksesan bisnis keluarganya. Keberadaannya dalam
birokrasi tentu memba angin segar bagi orang-orang di
sekitarnya. Itulah mengapa keluarga Akbar Tandjung sampai
bisa menjadi patner pebisnis kesayangan Soeharto: Sudono
Salim (Liem Sioe Liong). Produk susu Indomilk yang
dinaungi bendera Salim Group bermula dari perusahaan
rintisan ayahnya Akbar: Datuk Usman Zahiruddin Tandjung.
Perusahaannya bernama N.V. Marison yang belakangan lebih
dikenal dengan PT Marison Indonesia. Usaha kemudian hari
memang tidak dikelola oleh Akbar, melainkan kakaknya:
Zahiruddin Tandjung. Namun untuk memajaukan bisnis
peninggalan sang ayah, pasti terdapat peran Akbar Tandjung.
Terutama terkait mempertemukan dan membangun hubungan
baik dengan pemilik Salim Group. Pada akhirnya, merek
Indomilk diproduksi oleh PT Indolakto yang merupakan anak
usaha tidak langsung dari konglomerasi PT Indofood CBP
Sukses Makmur Tbk (ICBP) milik Salim Group. 323

Semasa Orba, Sudono Salim tidak hanya akrab dengan


keluarga Akbar Tandjung tapi juga Fuad Bawazier. Kedekatan
keduanya terjalin ketika dia menjadi Direktur Pembinaan
BUMN Jenderal Moneter Departemen Keuangan RI. Dengan
mewakili Pemerintahan Soeharto, Fuad sering bertemu Salim
setiap kali mengikuti RUPS (Rapat Umum Pemegang
Saham). Posisinya strategisnya dalam kementerian tentunya
membawa dirinya menuju kelimpahan. Bahkan menggunakan

323
N.R. Akbar, (2020), Siapa Menjerat Gus Dur?; Intrik Politik, Oligarki,
dan Konspirasi, Yogyakarta: Media Pressindo, Hlm. 154.

437
kekayaannya Fuad menjadi penyandang dana untuk PAN
Amien Rais. Saluran kekuatan keuangan yang dia miliki
kemudian berhasil mempengaruhi Amien hingga tak lagi
mendukung kepemimpinan Gus Dur. Untuk membanting
presiden dari takhtanya ia bahkan mengeluarkan dana yang
sangat besar. Di sampingnya ada pula bantuan anggaran dari
konglomerasi piaraan Orba: Sudono Salim, Tommy Soeharto,
dan Arifin Panigoro. Ketiga konglomerat ini benar-benar
marah terhadap kebijakan-kebijakan presiden. Salim bisnisnya
mulai tidak dilindungi lagi, Tommy bahkan berani-
beraninyamau dipenjarakan, sementara Arifin juga mengalami
permasalahan krisis macet.

Selama kekuasaannya Gus Dur benar-benar membuat


lingkaran Cendana penuh amarah. Amukan mereka disulut
oleh reformasi birokrasi pemerintahan: pemecatan Laksamana
Sukardi (PDIP) dan Jusuf Kalla (Golkar). Dengan dipecatnya
kedua tokoh partai inilah yang kemudian membuat Golkar dan
PDIP bekerja sama melawan kekuasaan. Selaku politisi PDIP
Arifin Panigoro kemudian menjadi tuan rumah dalam
pembahasan rencana-rencana pendongkelan presiden. Tamu
yang menghadiri rapat tersebut meliputi: Fuad Bawazier,
Ginandjar Kartasasmita, Kapolri Rusdihardjo, Kapolda Metro
Jaya Mayjen Nurfaizi, Asisten Intel Kapolri Mayjen Pol
Guntur, dan Ketum PB HMI M. Fakhruddin. Poin-poin
penting yang mereka bahas dicatat oleh Arifin lalu diberikan
kepada Priyo Budi Santoso untuk dituliskan ulang secara
terperinci. Dia mengemasnya menjadi Dokumen Brawijaya.
Isinya penuh akan strategi dan taktik menurunkan Gus Dur
sekaligus menaiakan Megawati sebagai presiden. Mega
dipandang bisa diajak berkompromi untuk mengamankan

438
kepentinga-kepentingan kelompok oligarki. Bagi mereka
Mega sudah tak seperti yang dulu: kritis-progresif. Tetapi
telah lebih jinak dan bisa diajak berkoalisi; apalagi jika diberi
kesempatan, didukung, dan dibantu menduduki kursi kepala
negara.

Lalu sama seperti Fuad dengan Semer-nya, berkas itu pun


dilaporkan kepada Akbar Tandjung. Peran Akbar dalam
melengserkan presiden memang tak di lapangan, tapi di
ruangan. Maklum dirinya adalah Ketua DPR di Senayan. Kala
itu gedung DPR/MPR disulapnya jadi tempat memberi
komando dan menerima informasi-informasi penting dari tim
penjerat Gus Dur. Di Senayan Akbar dibantu oleh Ketua MPR
Amien Rais. Kedua alumni HMI yang menjadi penguasa
Senayan ini bukan hanya setuju dengan Skenario Semer dan
Dokumen Brawijaya, tapiterlebih merestui Megawati
menggantikan posisi Gus Dur selaku presiden. Hanya hasrat
untuk memperjuangkan Megawati—sebagai penerima restu
KAHMI—menuju singgasana kepresidenan membawa
dampak buruk terhadap gerakan dan kaderisasi HMI.
Organisasi dibuatnya lunglai. Makanya perpecahan himpunan
harus mengalami pengulangan. Pertikaian meliuk-liuk dalam
kepengurusan PB HMI (2004-2006) pimpinan Hasanuddin.
Anasir yang menggerogoti kepengurusan itu serupa dengan
yang membelah HMI menjadi Dipo dan MPO: senior-alumni
yang pragmatis dan oportunis dalam pranata kenegaraan.
Mereka bukan hanya berorintasi kekuasan-jabatan melainkan
pula keuntungan. Ketajaman kepentingan yang dibawanya
begitu menusuk himpunan. Kedalamannya bahkan sampai
menembus dan merobek persatuan barisan pengurus-pengurus
organisasi. Inilah mengapa pertikaian internal sukar dihindari.

439
Setelah berhasil menjerat presiden yang tidak disukai
kelompok oligarki, perselisihan antar-pengurus terkait
kekuasaan negara menjalarkan tajamnya perbedaan pendapat
dalam PB HMI. Banyak pengurusnya mau merekomendasikan
dukungan agar alumninya maju sebagai calon kepala negara
di Pemilu 2004. Namun Hasanuddin condong kepada
Megawati324—orang yang pada 2001 diangkat melalui Sidang
Istimewa MPR sebagai pengganti Gus Dur. Perbedaan
dukungan itu kontan menghadirkan ketegangan. Kondisi batin
para pengurus mendadak kepanasan. Silang kepentingan di
antara mereka menyembul-nyembul hingga berbuntut
dualisme kepengurusan: PB HMI di bawah Hasanuddin
versus PB HMI pimpinan Syahmud Ngabalin. Keduanya
punya pandangan berbeda terkait siapa-siapa yang pantas
didukung menjadi kepala negara. Tetapi dukungan kepada
Mega diberikan Hasanuddin bukan dalam ruang hampa,
melainkan tekanan di mana-mana. Berdasarkan isu yang
merebak: dia ternyata akan mendukung siapa calon presiden
yang dipilih senior besar dalam gerbongnya. Seniornya ialah
alumni HMI: Akbar Tandjung. Kala itu Akbar sedang
menduduki posisi Ketua Koalisi Kebangsaan yang berusaha
memuluskan langkah Megawati untuk menang.

Boleh jadi kecenderungan Hasan merupakan bentuk


kepatuhan terhadap arahan tuannya yang sedang membantu
Mega. Hanya saja ia membantah: ‘kita mendukung calon
presiden yang berasal dari kader HMI, tetapi tidak sebut
nama.’ Pernyataan ini tidak menggugurkan kenyataan
bagaimana rapuhnya kepengurusan kala berhadapan dengan

324
Virdika Rizky Utama, Op. Cit.,, Hlm. 52.

440
para politikus maupun birokrat yang kebetulan adalah
alumninya. Fenomena itu nampak jelas sewaktu PB HMI
1999-2002 pimpinan Muhammad Fahruddin. Didiktenya
Hasan selaku Ketum PB HMI periode 2004-2006 merupakan
kelanjutan arus dukungan kepada Mega sebagai presiden.
Itulah kenapa lagi-lagi himpunan kembali dipolitisasi oleh
mereka yang bersaing di arena kenegaraan. Cuman tak kayak
dulu: mencongkel Gus Dur dari tampuk kepresidenan. Tetapi
bermotif melanggengkan kuasa penguasa yang bisa
menyelamatkan kedigdayaan investasi ekonomi dan politik
alumni-alumni HMI binaan Orba. Dari tangan merekalah
kegaungan sifat independen meluncur ke omong kosong
belaka. Lewat sebuah catatan kritis untuk menyambut Dies
Natalies HMI ke-60, Denis menjelaskannya begitu rupa:

Independensi, yang menjadi kekuatan HMI pun kian


hari kian tergadai. HMI pada awalnya menjadi gerakan
moral force, namun godaan-godaan struktural pada
jaman Orde Baru kemudian merubah orientasi HMI
menjadi political force. Eksodus sebagian besar aktivis
HMI ke wilayah politik praktis membawa implikasi
terseretnya HMI ke dalam arusnya. Political deal yang
terjadi sering kali mengabaikan independensi etis dan
organisatoris yang dipegang teguh oleh HMI
tergadaikan. Terlebih ketika HMI harus dihadapkan
dengan abangnya di tingkatan elit pemerintah, HMI tak
kuasa mengkritisinya dan menjadi impoten.
“Perlawanan” terhadap senioren/alumni akan berimbas
secara signifikan terhadap dinamikan dan aktualisasi
program-program organisasi.325

325
Abu Yazid Bustami (editor), (2014), HMI Masih Ada; Refleksi Para
Kader HMI, Depok: Layar Terkembang, Hlm. 60.

441
Kelak HMI kembali terseret arus permainan para tokohnya
yang menjadi kawanan politisan. Mereka menanam benih
konflik dalam himpunan. Kepentingan yang ditanam sukses
membuat PB HMI pimpinan Noer Fajrieansyah mengalami
silang sengketa kepengurusan. Pertikaian antar-pengurus
dipicu oleh berkembangnya skandal seksual: Fajrie telah
melakukan perzinahan dengan HMI-Wati Niskalawati. Tetapi
hubungan badan yang dituduhkan tidak terbukti. Niskala
menganggapnya justru sebagai fitnah keji. Dia menjelaskan
tudingan tersebut merupakan upaya menyingkirkan Fajrie dari
kursi ketua organisasi dan menyeret HMI dalam kepentingan
politik praktis.326 Hanya saja kemelut terlanjur memanas.
MPK PB HMI menurunkan Fajrie dari tampuk kepemimpinan
lalu digantikan dengan Basri Dodo. Kontan dualisme yang
tersembul tak sekadar jadi pameo, tapi terutama
menghadirkan polemik berkepanjangan hingga kaderisasi dan
gerakan loyo. Kekalutan yang mencemari PB soalnya
mengalir ke Badko, Cabang, Korkom, sampai Komisariat.
Meski begitu Fajrie dan Basri tetap bersikuku sama-sama
mempertahankan posisinya sebagai pimpinan. Maka polarisasi
tajam antarkader selanjutnya menjadi tontonan di seluruh
penjuru himpunan. Organisasi berjalan sempoyongan karena
seluruh bagian badannya diremukan hantaman kepentingan:

Dualisme terjadi di berbagai cabang se-Indonesia …


kader-kader di tingkat cabang, maka saling kejar-
mengejar mendapatkan posisi struktural, dan ketika ada
2 pihak yang bertarung di cabang, di antara mereka
yang kalah, maka lobi-lobi SK PB pun terjadi, versi

326
Lihat https://m.tribunnews.com/nasional/2012/02/22/skandal-amoral-di-
pb-hmi-hanya-isu-saja/

442
Basdo versi Fajrie, sehingga terjadi perseteruan antara
kader-kader di tingkat cabang, imbasnya adalah
komisariat yang notabene adalah ujung tombak dari
HMI itu sendiri ‘Miris’.327

Kekacauan kepengurusan HMI memaksa para politisi jebolan


himpunan—yang semula bermain di balik layar—maju ke
atas panggung partunjukan. Pada Kongres ke-28 di Depok,
penampilannya begitu luar biasa mewarnai parodi demokrasi.
Saat itu Akbar Tandjung, dkk, mencoba hadir tapi
berpenampilan sebagai penyelamat. Alumni-alumni ini tidak
ingin pemilihan Ketum PB HMI terbaru berlarut-larut. Itulah
mengapa mereka dengan cekatan melancarkan intervensi
tanpa mau tahu bahwa langkahnya amat cacat: menghasut
peserta untuk menolak LPJ hingga mendorong dipecatnya
ketua organisasi yang sebelumnya bermasalah. 328 Boleh jadi
torehan perbuatan politisi-alumni HMI ini merupakan bagian
dari skenario untuk menggolkan kepentingannya. Hanya saja
Fajrie yang sudah dipecat kemudian melawan mereka dengan
cara menyalonkan diri kembali jadi kandidat pimpinan
organisasi priode berikutnya. Entah kekuatan-kekuatan siapa
dan apa saja yang membantunya dari belakang. Tetapi
perlawanan inilah yang membuat forum demokrasi himpunan
persis panggung sirkus yang membuat semua mata
tercengang. Soalnya jalannya forum penuh kejutan: intervensi
alumni mengalir di mana-mana, intimidasi kepada peserta tak
karuan, hingga baku pukul mewarnai sidang. Lokasinya pun
berpindah-pindah: dari Asrama Haji Pondok Gede Jakarta

327
https://risdiantopattiwael.wordpress.com/2015/11/24/melihat-
kepemimpinan-arief-rosyid-vs-noer/
328
Liha https://investor.id/archive/alumni-senior-tolak-pencalonan-kembali-
noer-fajrieansyah/

443
Timur, dialihkan menuju Graha Insan Cita Depok, sampai
terakhir kalinya didepak ke GOR Ragunan Jakarta Selatan.
Itulah mengapa Kongres digelar hampir sebulan. Semuanya
berawal dari rembesan kepentingan tokoh-tokoh HMI yang
politisan. Perembesannya telah mengacaukan tingkat
kepengurusan tertinggi hingga yang rendah sekalipun. Alan
Jayadi mengelaborasi hal tersebut secara memilukan:

Intervensi kelompok tua itu diyakini sebagai bentuk


penolakan para senior yang berkepentingan atas posisi
Ketua Umum Pengurus Besar HMI Noer Fajrieansyah
untuk kembali mencalonkan diri periode 2013-2015.
Bahkan campur tangan kaum tua itu berujung pada
tuntutan pemecatan mantan pimpinan HMI tanpa ada
alasan yang kuat; pemecatan anggota HMI harus
melalui komisariat dan diusulkan kepada cabang …
mereka yang mengusulkan pemecatan tidak memahami
aturan main yang mereka sendiri buat…. Keinginan
para senior yang campur tangan dalam Kongres HMI,
membuktikan bahwa ada sosok yang mampu
mengganjal para senior yang ingin mempolitisasi HMI
pada saat ini, khususnya dalam era Tahun Politik
menjelang Pilpres 2014.329

HMI rentan sekali dipolitisasi oleh para alumninya. Yakni


mereka-mereka yang menjadi menjadi birokrat dan politis. Di
tangan merekalah organisasi dijadikan pendorong bukan saja
dalam mengudeta Gus Dur tapi juga untuk meraih dan
mempertahankan kekuasaan, terutama kuasa-kuasa dalam
birokrasi. Itulah mengapa tiap kali Pemilu maka pengurus-
pengurus diintervensi. Intervensi inilah yang menjadi virus

329
Lihat https://www.kompasiana.com/dinamika-strategi-menuju-ri-1-dan-
kongres-pb-hmi-ke-28/

444
tersembunyi di balik dualisme kepengurusan. Dalam kiprah
HMI, sepertinya jenis kuman ini tidak hanya telah memicu
kocar-kacirnya kepemimpinan Fajrie maupun Hasanuddin.
Kelak mereka ikut mengatur adegan perpecahan PB HMI
2018-2020: Sadam Al Jihad vs Arya Kharisma. Konflik
kepengurusannya serupa keretakan para pendahulunya: pecah
menjelang pemilihan kepala negara. Isu untuk
menggoyangkan kepengurusan Sadam persis fitnah yang
dituduhkan pada Fajrie: melakukan perbuatan asusila. Ia
dirongrong lewat kabar hubungan badannya dengan kader
sarinah: korps perempuan GMNI (Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia). Skandal seksual dijadikan senjata utama
untuk melengserkan Sadam dari tahtanya. Melalui kasus
inilah tersebar kabar dia bukan hanya diperasi uangnya.
Tetapi juga diancam bunuh oleh preman jika tidak mau
menanggalkan jabatannya. Hanya persoalan asusila yang
dilakukannya tak sampai dibuktikan kebenarannya di hadapan
publik, terutama kader-kader himpunan. Masalah seksualitas
di tubuh himpunan seperti sebuah komoditas kekuasaan
ketimbang moralitas keagamaan. Kuntowijoyo secara
bersahaja menjelaskan:

Bagaimanapun harus diingat bahwa HMI lebih


merupakan organisasi politik daripada organisasi yang
berorientasi keagamaan. Jadi mereka yang aktif di HMI
cenderung menjadikan aktivitas mereka sebagai karier
politik. Nah, sejauh mana kelompok-kelompok yang
ada di HMI membangun jaringan politik mereka
dengan tokoh-tokoh atau figur tertentu, itulah yang

445
menyebabkan terjadinya pelbagai perbedaan pandangan
maupun sikap politik di kalangan mereka. 330

Dari tangan para tokoh atau figur jugalah seks dimonopoli


sedemikian rupa. Sehingga benar atau tidaknya perbuatan
yang dituduhkan sebagai imoral hanya diketahui oleh orang-
orang yang berkepentingan akan kursi kepemimpinan
tertinggi di HMI. Makanya perbuatan asusila Sadam menjadi
seperti rekayasa, karena fakta yang sesungguhnya terus
dibatasi. Kader-kader cuma dijejali dengan propaganda-
propaganda menjijikan. Politik citra dimainkan secara
berlebihan. Tujuannya lagi-lagi adalah menikam integritas
pimpinan. Senjatanya ialah seks sebagai komoditi
pemberitaan. Tetapi yang diberitakan bukanlah kebenaran
persetubuhan melainkan ketabuan yang terus dikobar-
kobarkan. Dengan mempolitisir tabu seks maka kasus imoral
terus dieksploitasi untuk menjatuhkan. Michel Foucault betul
mengatakan bahwa setiap kebenaran itu terkait pada kondisi
politik. Ini adalah kenyataan pahit dalam kehidupan
masyarakat berkelas yang terkotak-kotak. Kapitalisme
memposisikan persoalan seks sebagai anasir yang harus
dikutuk. Melaluinya wacana seksualitas direpresi sampai
kikuk:

Wacana tentang represi modern atas seksualitas itu


tampak kokoh; mungkin sekali karena mudah
dipertahankan. Bukankah pembenaran sejarah dan
politik yang berbobot selalu melindunginya? Dengan
mengangkat abad ke-17 sebagai masa awal represi

330
Dalam Dedy Mujaddid Muhas, (2003), Pernik-Pernik Pemikiran
Seorang Aktivis; Catatan dari Ruangan ke Lapangan, Jakarta Selatan:
Komunal, Hlm. 77.

446
seksual, setelah beratus-ratus tahun ada keterbukaan
dan kebebasan, wacana itu memberi kesan bahwa
represi seksual terkait dengan perkembangan
kapitalisme: masa itu menyatu dengan tatanan borjuis.
Dengan begitu, riwayat historis seksualitas berikut
riwayat represinya disulap menjadi bagian dari sejarah
alat-alat produksi yang bombastis itu…. Seks dan
berbagai dampaknya mungkin tidak mudah untuk
dianalisis; namun, setelah direkonstruksi kembali,
represi atas seksualitas dapat diuraikan dengan mudah.
Maka taruhan seks—kebebasannya, sekaligus juga
pengetahuan yang diperoleh darinya dan hak untuk
orang membicarakannya—menjadi sah untuk dikaitkan
dengan kehormatan dari sebuah taruhan politik…. 331

Sadam memang dihinakan dengan stigma mesum namun


dirinya tetap agam. Dia tidak mundur berhadapan dengan
Arya walaupun telah dibuat lebam. Itu sebabnya Saddam tak
mau beringsut dari singgasana meskipun alumni campur
tangan. Bahkan sekalipun Koordinator Presidium MN
KAHMI Hamdan Zoelva, Arya Kharisma, dan MPK PB HMI
bersinergi melancarkan tekanan—Sadam enggan berhasil
dirobohkan. Hanya Cabang-Cabang semakin banyak yang
terjerambab mengikuti perpecahan para pimpinan. Inilah yang
membuat perseteruan terjadi di banyak Cabang. Bertikainya
pengurus-pengurus itu menempatkan kaderisasi dan gerakan
di tingkat Komisariat agak compang-camping. Soalnya
kegaduhan kepengurusan mengakibatkan kondusifitas
perkaderan terabaikan. Bukan kemajuan yang diperoleh
melainkan kemunduran. Itu sebabnya pembinaan,

331
Michel Foucault, (1997), Seks & Kekuasaan; Sejarah Seksualitas,
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 4-5.

447
pengembangan, dan penelitian jadi begitu stagnan. Kader
justru kehilangan semangat berorganisasi lantaran
ketauladanan yang dipertontonkan jauh dari harapan.
Penilainannya terhadap pemimpinnya begitu tak karuan.
Kesangsian juga keprihatinan menjadi santapan rutin. Ada
yang jijik dengan Sadam sekaligus mendukung Arya. Namun
terdapat pula yang tetap berkiblat pada ketua hasil Kongres
sembari menolak Ketum PB HMI tandingannya.

Dalam kondisi itu Sadam justru mampu bertahan bukan


sekadar dalam menghadapi serangan pencemaran kehormatan.
Melainkan pula tidak mundur sewalaupun diancami
pemecatan jabatan. Terjangan gelombang kepentingan yang
coba melengserkan Sadam berkaitan dengan penggumpalan
kekuatan politik nasional. Ceritanya agak konyol. Benih
konflik ditabur ketika dua orang tokoh HMI—Noer
Fajrieansyah dengan Haris Pratama—bersaing
memperebutkan jabatan ketua KNPI. Keduanya memang
punya pengalaman banyak soal bagaimana cara kuasa-
menguasai. Maklum mereka sama-sama memiliki pengalaman
praktis di parpol: Haris adalah senior-alumni himpunan yang
sukses berkarier sebagai politisi Golkar, sedangkan Noer
bukan cuma mantan Ketum HMI tapi juga merupakan eks
politisi PDIP yang telah masuk BUMN—berposisi direksi.
Hanya saja untuk berlaga di Kongres KNPI tak sekadar butuh
pengalaman karena terutama ialah rekomendasi dari
organisasi kepemudaan. Karena keduanya pernah aktif
berhimpun maka didekatilah PB HMI supaya beroleh
dukungan. Melalui junior-juniornya yang menjabat pengurus
itu para alumni meraba tubuh himpunan. Imbasnya pengurus-

448
pengurus mengalami persengketaan. Andrian Habibi
menjelaskan bagaimana keruhnya keadaan kepengurusan:

Dampak permulaannya, beberapa pengurus


mengeluarkan siaran pers. Meskipun menggunakan
nama pribadi. Akan tetapi, diujung nama memakai
jabatan di PB HMI. Sehingga menggambarkan bahwa
pernyataan persnya adalah sikap PB HMI. Hal ini
menambah riuh dilema internal HMI.332

PB HMI mengeluarkan pernyataan potensial mendukung


penuh Fajrie maju sebagai Ketum KNPI—itulah yang coba
dijelaskan Kabid PTKP Heru Siana Muslim tempo hari:
Sadam katanya akan menggalang dukungan untuk
memenangkan mantan ketumnya ini. Alasannya: Fajrie telah
memenuhi kriteria Ketum DPP KNPI yang ditentukan dalam
Pleno I PB HMI.333 Namun sikap itu menuai bantahan.
Pernyataannya ditentang Edy Sofyan. Menurutnya, forum
pleno tak pernah menyebutkan nama siapa yang akan
didukung himpunan.334 Bantahan itu terkesan hanya menjaga
perasaan para alumninya yang sedang berhadap-hadapan.
Soalnya tak menggugurkan bagaimana saling saing kedua
alumni untuk mendapatkan rekomendasi dari kepengurusan.
Resonansi yang ditimbulkan oleh kekuatan merekalah yang
memaksa pengurus-pengurus tidak sempat menetapkan nama
orang yang direkomendasi melalui Pleno I, melainkan sebatas
sampai pada pembahasan kriteria yang diusulkan. Makin lama

332
Https://www.qureta.com/post/knpi-dan-mandataris-kongres-hmi
333
Lihat https://detikfakta.id/2018//11/28/sikap-pb-hmi-masalah-kandidat-
masalah-ketua-umum-dpp-knpi/
334
Lihat https://politik.rmol.id/read/2018/pb-hmi-bantah-telah-keluarkan-
rekomendasi-dukungan-di-kongres-knpi/

449
berada dalam ketidakpastian sikap maka membuka pintu
masuk tekanan, bujukan, bahkan imbalan dari pemilik
kepentingan. Keadaan ini tak sekadar menambah nilai tawar
untuk himpunan, tapi terutama menempatkan kepengurusan
pada posisi penuh ketegangan. Inilah sebabnya kehidupan PB
HMI terbelah jadi dua pimpinan: Sadam dengan Arya. PB
versi Sadam merekomendasikan Noer Fajrieansyah tapi
dilawan oleh PB versi Arya yang justru mendukung Haris
Pratama. Kelak, Arya bahkan mengeluarkan instruksi kepada
Badko dan Cabang agar menerima kesahihan kepengurusan
KNPI di bawah pimpinan Haris Pratama.335

Sepertinya dukungan yang diberikan Arya pada Haris bukan


saja setelah dia menang pada Kongres KNPI jilid I. Tetapi
sudah berlangsung sewaktu tahap-tahap pencalonan Ketum
DPP KNPI tempo itu. Mungkin inilah yang menyulut konflik
kepengurusan PB HMI tersembul menjelang pertarungan
pemilihan ketua KNPI. Karena PB di bawah kepemimpinan
Sadam merekomendasikan Fajrie sementara Arya tertambat
untuk membantu Haris yang—segerbong dengannya—
sekaligus merupakan abang yang digugui. Setelah berhasil
keluar jadi pemenang di Kongres KNPI pertama, Haris
kemudian mendapatkan tentangan dari Fajrie beserta
pendukungnya. Sikap menentang itulah yang membuat
mereka menggelar Kongres KNPI jilid II. Pagelaran
demokrasi semacam itu menjadikan KNPI senasib dengan
HMI: dualisme kepengurusan. Menghadapi kondisi begini PB
HMI versi Sadam Al Jihad nampaknya tetap

335
https://boganinews.com/terkini/soal-pb-hmi-keluarkan-instruksi-ke-
badko-dan-cabang-se-indonesia/

450
berkecenderungan pada Noer Fajrieansyah sebagai Ketum
KNPI yang sah. Sedangkan PB HMI versi Arya Kharisma
juga tak mau kalah: dia bersikukuh memberikan pengakuan
dan dukungannya kepada DPP KNPI yang dipimpin Haris
Pratama.

Dalam keadaan seperti itu kita secara kentara melihat


bagaimana keindependenan merosot. Seniorisme-gerbongisme
telah membuat kemandirian terbabat. Meluncurnya
independensi selalu saja disebabkan oleh keterlibatan
pengurus dalam mengurusi kepentingan seniornya. Tengoklah
dualisme di tubuh himpunan: terkait-mengait dengan
pertarungan kedua alumninya. Sekilas silang sengketa PB
versi Sadam dengan PB versi Arya akibat dari perbuatan
asusila. Tetapi sebenarnya: dibantainya Sadam melalui kasus
imoral merupakan skenario yang dipakai untuk menguatkan
posisi Arya guna menjatuhkannya. Permasalahan yang bisa
dicermati dari permukaan konflik itu terkait ketidaksamaan
dukungan terhadap senior-alumninya: Arya tidak sejalan
dengan Sadam soal siapa yang pantas didukung menjadi
Ketua Umum DPP KNPI. Namun jika ditelusuri lagi tentunya
kita akan mengisafi: perpecahan PB HMI merupakan imbas
pertarungan politik pada Pilpres 2019. Boleh jadi Haris
Pratama berambisi menuju takhta KNPI karena ia mengemban
misi besar di belakangnya: memuluskan langkah Jokowi-
Ma’ruf dalam perebutan kekuasaan tertinggi negara. Itulah
mengapa sejak berstatus kandidat Ketum KNPI dirinya
sampai berkelakar mau mengawal penuh capres-cawapres
hingga menggapai singgasana:

451
Jika terpilih [sebagai Ketum DPP KNPI—pen], saya
akan menggerakan pemuda dan OKP [organisasi
kepemuda] se-Nusantara yang berhimpun di KNPI
untuk memenangkan Jokowi dan Kiai Ma’ruf sebagai
Capres-Cawapres 2019-2023.336

Setelah menduduki jabatan Ketum DPP KNPI versinya


sendiri, maka Haris berupaya mendekap PB HMI versi Arya.
Inilah sebabnya ketua PB itu tertambat hatinya untuk
menggerakan struktur-struktur organisasi yang dibawahinya
buat mendukung kepengurusan Haris Pratama. Melalui
dukungannya, Haris makin percaya diri sebagai ketua
lembaga yang menaungi seabrek organisasi pemuda dan
mahasiswa. Dia tak peduli soal dualisme yang terjadi di PB
HMI. Karena yang terpenting Arya adalah pimpinan OKP
yang memiliki anggota di setiap daerah, legitimasi dari MPK,
dan pengakuan MN KAHMI. Namun dalam rangka
menguatkan strukturalnya Arya mengambil langkah cekatan:
membersihkan anasir yang dianggap jadi penganggu
kekuasaannya. Untuk itulah dia mencopot Sadam dari
statusnya sebagai anggota biasa. Insiden pemecatan kali ini
tentu tentu menyegarkan kembali ingatan siapa saja terkait
kasus yang dulunya dituduhkan Fajrie: perbuatan asusila
dengan kader pengurusnya. Kala itu dia mendapatkan
perlakuan seperti Sadam: berusaha dimakzulkan sekaligus
dicopot status keanggotannya lewat serangkaian intervensi
alumni. Kini hal demikian dialami pula oleh Sadam:
dikangkangi skandal imoral, ditandingi kepengurusannya,
hingga coba dipecat dari keanggotaan HMI. Dorongan

336
https://m.jpnn.com/news/kandidat-ketua-umum-knpi-optimistis-
memenangkan-jokowi-maruf/

452
pemecatan terhadapnya sepertinya merupakan hasil rencana
bersama KAHMI. Soalnya beberapa lama setelah Arya
bertemu dengan para alumni, maka disusul pula oleh
keputusan dipecatnya Sadam dari keanggotaan HMI.
Sebelumnya dia diundang dalam Rapat Koordinasi Nasional
KAHMI di Kalimantan Timur. Di situlah ia bertemu dengan
tokoh himpunan yang senior, dipandang besar, dan masih
agak kekar. Mereka adalah pelaku sejarah menjerat Gus Dur.
Beliau adalah Akbar Tandjung, Hamdan Zoelva, serta
beberapa lainnya. Sebagai Koordinator Presidium MN
KAHMI, Zoelva deklarasikan dukungan penuh terhadap PB
HMI tandingan:

Secara tegas KAHMI saat ini hanya mengakui


kepemimpinan Arya Kharisma Hardy sebagai Pejabat
Ketua Umum, untuk itu kami meminta kepada
Presidium MW KAHMI dan MD KAHMI seluruh
Indonesia untuk tidak mengindahkan hal-hal yang
berkenaan dengan institusi PB HMI diluar
Kepengurusan Pejabat Ketua Umum. 337

Pemecatan juga seperti sebuah balasan terhadap Sadam telah


berani me-reshuffle Arya yang menjadi sekjen-nya. Kala itu
jabatan sekjen dialihkan kepada Naila. Arya tak terima atas
keputusan yang dianggapnya melanggar konstitusi. Makanya
dia secara spontan menyembulkan mosi tidak percaya
terhadap pimpinan yang telah membuatnya emosi.
Ketidakpercayaan jadi landasan bukan cuma dalam
mendirikan PB HMI tandingan tapi juga memangkas
eksistensi lawannya lebih keji: menggelar Pleno II lalu

337
https://m.kumparan.com/awie_s/mn-kahmi-secara-kelembagaan-kahmi-
hanya-mengakui-pj-ketua-umum-pb-hmi/

453
mengupayakan terbitnya pemecatan orang yang dimusuhi.
Keberhasilan menanggalkan status keangotaan rivalnya
dilaporkan—bersama kawanan pengurusnya—kepada Jusuf
Kalla (JK) langsung ke istana kepresidenan. 338 JK yang
dihadap lalu membingkai pertemuan di atas meja jamuan.
Perjumpaan itu bagi Arya sangat penting karena seniornya
yang didatanginya adalah orang yang tidak saja kuat secara
keunganan, tapi juga berkedudukan tinggi sebagai orang
nomor dua di taman kenegaraan. Makanya keberadaan
anggota HMI seruangan dengan wakil presiden tentu tak
sekadar peristiwa biasa karena sarat kepentingan.

Jusuf Kalla terlampau hebat dibanding Hamdan Zoelva,


karena dia lebih senior. JK bahkan seiras dengan Akbar
Tandjung: politisi senior, alumni senior, dan terutama tokoh
senior Golkar. Hanya ketiganya sama-sama tercatat dalam
catatan kelam sejarah: terkait-mengait dalam skenario
pelengseran Gus Dur. Abdurrahman Wahid dilengserkan
hanya gegara tak mampu didikte. Maka mereka mendorong
Megawati sebagai pengganti. Setelah masa itu keterlibatan
para penjerat Gus Dur dalam politik nasional sepertinya tidak
pernah berhenti. Memang tak lagi untuk menjerat musuhnya
sampai terpelanting di muka bumi. Tetapi melambungkam
kawannya ke angkasa kuasa: mahligai dominasi dan
hegemoni. Kini mereka berprofesi ganda: menjadi penjerat
juga pendorong siapa saja yang dapat mengamankan
kekuaasaan politik dan ekonominya. Melaluinya oligark-
oligark dapat menghinakan maupun menasbihkan siapa-siapa

338
Lihat https://www.jawapos.com/nasional/politik/06/09/2019/temui-
wapres-jk-arya-sampaikan-pemecatan-sadam-dari-hmi/

454
yang dikehendakinya. Pasca-reformasi, kader-kader HMI
yang memiliki hubungan dengan mereka berduyun-duyun
memasuki parpol atau menduduki jabatan-jabatan strategis
dalam birokrasi. Jebolan-jebolan himpunan itu kemudian
menjadi bagian dari oligarki. Hanya tatanan oligarki sesudah
ditinggal Soeharto bukan lagi berjenis sultanistik melainkan
elektoral. Oligarki elektoral—disebut juga oleh Winters—
seiras dengan oligarki penguasa kolektif: tokoh-tokohnya
biasanya ‘terlibat langsung mempertahankan kekayaan dan
memerintah suatu komunitas atau masyarakat. Namun,
mereka melakukannya secara bersama-sama, bukan sendiri-
sendiri’.339 Dalam oligarki elektoral para oligark menyulap
pemilu sebagai pintunya menuju cagar-perlindungan aset-aset
politik dan kekayaan ekonominya:

Indonesia adalah negara yang politiknya ramai dan


penuh lika-liku, dengan jalannya peristiwa yang tak
terduga, dan banyaknya intrik serta skandal. Bangsa
Indonesia juga rajin datang ke pemungutan suara dan
memberi suara yang sebagian besar tak kompeten sejak
1998…. Politik Indonesia sangat distributif, tapi hanya
di atas, distributifnya tidak pernah secara vertikal
menjangkau kaum miskin. Artinya, kontes demokratis
Indonesia hanya permainan pindah-pindah kelompok
oligark (dan elite yang ingin menjadi oligark) yang
berusaha meraih kekuasaan demi pertahanan kekayaan
atau memperkaya diri (atau kelompok). Kaum miskin
kota dan desa, para pekerja, petani, dan bagian-bagian
populasi yang tertindas secara umum dikesampingkan
dalam proses itu.340

339
Jeffrey A. Winters, Op. Cit, Hlm. 100.
340
Ibid, Hlm. 231-232.

455
Sepertinya melalui pemilu yang begitula senior-alumni
organisasi ini bukan cuma mulus bercokol pada Golkar, PPP,
PKB, PDIP, dan PAN saja, tapi juga Demokrat. Bahkan
tokoh-tokoh KAHMI tak sekedar dipercaya menjabat bupati
atau walikota, melainkan banyak yang dipasang sebagai
menteri. Pintu berkuasanya mereka adalah pemilihan-
pemilihan umum serta bagi-bagi kue kekuasaan yang sarat
manipulasi, terutama dikte-dikte kelompok oligark maupun
para pemilik kapital. Andre Gorz menjelaskan bahwa dalam
demokrasi borjuis pemilu merupakan bentuk mistifikasi
paling nyata: pemilihan umum dirancang sedemikian rupa
untuk melanggengkan tercerai-berainya individu-individu
serta untuk mencegah terbentuknya kekuatan kolektif
masyarakat.341 Baginya, pemilu tak punya hubungan langsung
dengan massa melainkan hanya percaya pada parpol-parpol
yang menjadi mitra-mitra terpercayangnya untuk membela
kepentingan-kepentingan negara kapitalis. Lewat sistim inilah
tokoh organisasi mahasiswa mudah sekali mengisi beragam
jabatan birokratis. Jeffrey A. Winters memandang bahwa
sesudah Soeharto dilengserkan, maka Indonesia tak lagi
diselimuti oligarki sultanistik tapi elektoral. Oligarki elektoral
atau oligarki penguasa kolektif membuat kehidupan politik
menjadi apa yang disebutnya sebagai ‘demokrasi kriminal’: di
mana oligarki secara teratur ikut serta dalam pemilihan umum
sebagai alat berbagai kekuasaan politik, sambil menggunakan
kekuatan kekayaan mereka untuk mengalahkan sistem hukum
dengan intimidasi dan bujukan.342

341
Andre Gorz, (2005), Sosialisme & Revolusi, Yogyakarta: Resist Book.
342
Jeffrey A. Winters, Op. Cit., Hlm. 210.

456
Itulah mengapa negara kapitalis tiada henti-hentinya
mendorong aparatus-aparatusnya menghalalkan kekerasan dan
penipuan demi membungkam dan menundukan rakyat.
Keadaan ini kemudian merawat korupsi-korupsi yang
dilakukan para pejabat. Pasca-reformasi, kasus-kasus korupsi
kolosal di Indonesia dapat diklasemenkan dengan skor
berikut: (1) Jiwasraya, Rp 13 triliun; (2) Asabri, Rp 10 triliun;
(3) Bank Century, Rp 7 triliun; (4) Pelindo II, 6 triliun; (5)
Kota Waringin Timur, Rp 5.8 triliun; (6) BLBI, Rp 4.58
triliun; (7) E-KTP, Rp 2.3 triliun; dan (8) Hambalang, Rp 706
miliar.343 F. Lordon memaparkan bahwa korupsi seterusnya
akan mengkristalkan pelbagai permasalahan secara vulgar:
pertama, civil society dan partai-partai politik lemah, tapi
luasnya jaringan hubungan patron-client, mendominasi politik
dan ekonomi; kedua, pengadilan dan polisi mungkin tidak
efektif, sementara premanisme merajalela dan menguasai di
banyak segi kehidupan; ketiga, korupsi dijalankan dalam
rangka mencari pengaruh birokrasi atau badan legislatif,
sedangkan pejabat pemerintah dan militer mengambil posisi
penting ekonomi, tanpa rasa takut kena sanksi. 344 Dalam
keadaan seperti itu kelompok oligark, gerombolan kapitalis,
maupun oligark-kapitalis tumbuh sehat. Mereka bekerja sama
menghisap segala sumber daya kehidupan rakyat. Demokrasi
borjuis maupun oligarki elektoral membuat parpol dengan
kader-kadernya terdisorientasi. Bahkan kader partai yang
bersemayam di parlemen bukan lagi menjadi wakil rakyat tapi
pengabdi kelompok oligarki. Karena parti-partai parlementer

343
Buka portal-islam.id/2020/01/klasemen-sementara-liga-korupsi-
indonesia.html?m=1
344
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 64.

457
berkembang sesuai apa yang disebut Andreas Ufen sebagai
‘partai kartel’: ‘partai yang melekat pada negara, teralienasi
dari masyarakat dan didominasi oleh para pejabat publik’. 345
Baginya, elit dari partai-partai kartel otoriter kepribadiannya.
Maka para anggota-anggotanya pun kurang bisa mengakses
pelbagai pengambilan keputusan di internal partainya. Budi F.
Hardiman bahkan menambahkan keburukannya:

Partai-partai kartel bersikap bagai perusahaan bisnis


yang menjual produk, yaitu calon presiden, tetapi
produk itu tidak berasal dari masyarakat dan mungkin
juga bukan yang dibutuhkan masyarakat. Akibatnya,
tokoh-tokoh lain yang berkualitas sebagai pemimpin
tidak tersalurkan oleh partai-parta kartel. Partai-partai
seperti itu lebih terbangun dengan uang daripada
solidaritas. Oligarki bisnis-politis sebagai penyokong
dana berada di belakang fasade publik yang mereka
ditampilkan…. Untuk memenangkan para kandidat
mereka, mereka bertindak sebagai perusahaan-
perusahaan yang hasil akhirnya akan menguntungkan
para pemodal mereka, entah dengan mempermudah
bisnis atau mengeruk uang negara lewat praktik
korupsi.346

Aktivis-aktivis jebolan HMI banyak sekali yang terjaring ke


partai-partai kartel. Saat Orba, Akbar Tandjung menjadi
senior-alumni himpunan yang paling terkenal. Dirinya sukses
meniti karir politiknya melalui Golkar. Hingga setelah
runtuhnya kekuasaan Soeharto barulah sikap korupnya
terbongkar. Kelak, jeniornya Anas Urbaningrum seperti

345
F. Budi Hardiman, (2013), Dalam Moncong Oligarki; Skandal
Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta Penerbit Kanisius, Hlm 34.
346
Ibid, Hlm 34-35.

458
mengikuti jejak sang senior. Sewaktu pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), dia amat gemilang berkarir.
Ketenarannya semakin kencang ketika menjabat Ketum DPP
Demokrat. Jabatan pimpinan didapatkannya setelah berhasil
mengalahkan dua alumni HMI di Kongres Demokrat: Andi
Alfian Mallarengeng dan Marzukie Alie. Hanya kemudian
nama besar Anas terpelanting saat tersingkap kasus
korupsinya. Bersamanya terjerat pula Andi Malarangeng.
Kekorupan Andi nyaris seperti Anas: bukan saja menerima
suap dari proyek pemerintah bersama pemodal, tapi juga
melakukan pencucian uang. Dengan kekayaan hasil korupsi
itulah kedua pentolan KAHMI ini mendapatkan biaya untuk
memperebutkan kursi orang nomor satu di Demokrat. Tetapi
pemenangnya bukan Andi melainkan Anas: ia berhasil
merebut kursi ketua partai secara mulus. Karir politiknya di
Demokrat memang hebat. Walau masih muda tapi namanya
sudah melejit-lejit. Sepak terjangnya amat gemilang
dibanding kader-kader partai lainnya. Maka jabatan ketua pun
berhasil dia embat dengan mudahnya. Melalui kekuasaan
inilah dirinya memberi kesepatan kepada elemen-elemen HMI
Connection untuk mengurusi partainya. M. Fakhruddin—
mantan Ketum PB HMI yang ikut menjerat Gus Dur—adalah
salah satu juniornya yang dimasukan dalam jajaran
kepengurusnya. Di sampingnya tidak hanya terdapat aktivis
lintas sektoral lainnya, namun pula menggandeng anggota-
anggota keluarga SBY sebagai jajaran pengurusannya. Anto
Sangaji menjelaskan bahwa fenomena politik tersebut serupa
yang biasa berlangsung di masa Orba:

…di bawah pimpinan Anas Urbanigrum. Ada tiga hal


yang tampaknya ramai dipercakapkan dari

459
kepengurusan baru ini, yakni masuknya gerbong
‘keluarga besar’ SBY, isyu mengenai HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) connection, dan masuknya sejumlah
aktivis…. Politik Indonesia sejak Orde Baru ditandai
dengan menonjolnya ‘keluarga besar’. Masuknya
keluarga besar SBY, membawa ingatan kita pada masa
kejayaan Suharto, di mana partai-partai politik,
terutama Golongan Karya secara leluasa mempraktikan
itu, bukan saja di jajaran kepengurusan partai politik
tingkat pusat, tetapi praktik yang sama juga
berlangsung sampai ke daerah-daerah, di mana para
kepala daerah mengirim istri, anak, menantu, dan
kerabat dekatnya menjadi pengurus partai politik. Sejak
reformasi partai-partai politik terus melanjutkan praktik
‘kekeluargaan’ ini…. Lalu, isu HMI connection di
tubuh Partai Demokrat. Ini jelas bukan perkara baru,
karena, misalnya, Akbar Tandjung (eks Ketua Umum
PB HMI) juga disebut-sebut mempraktikkannya….
Jajaran kepengurusan baru Partai Demokrat juga diisi
oleh the so-called “aktivis”, seperti masuknya Rahland
Nashidik di dalamnya … ini juga bukan barang baru,
karena sejak reformasi 1998, telah terjadi diaspora para
aktivis ke partai-partai politik, terutama partai-partai
arus utama, seperti Partai Golkar dan PDI
Perjuangan….347

Meski dilingkari oleh banyak orang-orang berpengaruh, tapi


tetap saja tak mampu meloloskan Anas dari permasalahan
korupsi. Kasus korupsinya kontan membuat nama besarnya
sebagai pimpinan parpol jatuh bercerai-berai. Namun ketika
dirinya bermasalah dengan hukum kader-kader himpunan
justru mencoba membelanya. Adalah Ketum PB HMI Noer

347
Buka https://indoprogress.com/2010/06/keluarga-besar-sby-hmi-
connection-dan-aktivis/

460
Fajrieansyah secara terang-terangan menyatakan dukungan
terhadap senior-alumninya: ‘untuk Kakanda Anas, beliau
tidak sendiri, ada kami di sini yang selalu mendukung secara
moril’.348 Bahkan oleh Fajrie, dalam agenda Kongres PB HMI
15-22 Maret 2013 direncanakan akan membahas bagaimana
caranya memantapkan dukungannya.349 Itulah mengapa
berjibun-jibun kader membangun konsolidasi hingga
menerbitkan perjuangan yang sebegitu heroiknya. Aksi unjuk
rasa berlangsung di pelbagai Cabang bukan hanya untuk
menyelamatkan nama baik keluarga besar HMI, tapi terutama
membebaskan Anas dari ancaman hukuman penjara. Ketika
Presidium KAHMI itu mau divonis hakim Tipikor, maka
massa HMI menggelar demonstrasi demi menyelamatkannya.
Dengan semangatnya seorang pimpinan aksi bersuara: ‘ayo
kawan-kawan kita harus tegakkan keadilan, bebaskan Anas
Urbaningrum’. 350

Dalam aksi-aksi itulah dukungan atas kejahatan dibalut penuh


retorika. Bahkan tuntutan keadilan pun dibawa-bawa segala.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga besar HMI dan
membebaskan senior-alumninya, maka kader-kader lugu
digiring menjadi massa aksi yang mudah sekali diinstruksikan
membela koruptor. Patronase yang berlangsung antara senior
dengan junior telah mengakibatkan Ketum PB HMI sekalipun
mengambil sikap vulgar. Melalui instruksinya maka kader-
kader himpunan kemudian bergerombol-gerombol
mengikutinya tak peduli akal sehatnya sedang disingkir. Maka
ketika hakim tipikor ingin memvonis seorang koruptor, massa

348
https://m.republika.co.id/hmi-pastikan-anas-urbaningrum0tidak-sendiri/
349
Ibid.
350
https://www.suara.com/bela-anas-aktivis-hmi-serbu-pengadilan-tipikor/

461
HMI memandangnya sebagai sebuah ketidakadilan. Pelaku
korupsi selanjutnya bukan malah setuju dipenjara, melainkan
berusaha dilepaskan. Fenomena ini menyingkapkan
bagaimana independensi dilacurkan atas dasar kepentingan
sektarian: agar HMI-KAHMI tidak tercoreng, alumni HMI
yang korup perlu dibebaskan dari segala tuduhan. Bagi
mereka, kebenaran bukanlah merupakan keberpihakan kepada
Tuhan YME maupun rakyat miskin dan tertindas. Melainkan
kebenaran adalah apa-apa yang berguna untuk melindungi
kebesaran organisasi, termasuk citra tokoh-tokohnya selaku
birokrat atau politikus.

Hubungan patron-client antara senior dengan junior serta


sektariannya sikap keluarga besar HMI membuka lebar-lebar
pintu masuknya kepentingan para oligarki. Melalui kelemahan
inilah kelompok oligarki gampang sekali merembesi
organisasi. Untuk mengamankan kekuasaan politik dan
ekonominya, mereka mampu membuat orang-orang yang
punya jabatan resmi untuk memobilisasi massa baik dalam
mendukungnya maupun menyerang lawan-lawannya.
Suntikan dana-dana segar adalah metode yang digunakan
untuk menghimpun kekuatan. Kepada HMI boleh jadi dana
yang disalurkan itu berbentuk apa saja: anggaran terselubung
buat jajan pengurus, anggaran untuk menjalankan aktivitas
kepengurusan, maupun anggaran yang diperoleh ketika
membantu melaksanakan kegiatan-proyek pemerintahan.
Itulah mengapa Jeffrey A. Winters sampai menegaskan:
‘sumber daya kekuasaan paling vital di Indonesia setelah
lengsernya Suharto adalah uang’. 351 Uang telah berhasil

351
Jeffrey Winters, Op. Cit., Hlm. 269.

462
mendongkak Anas ke kursi Ketum Demokrat, hingga sanggup
memelorotkan independensi HMI. Dalam situasi inilah uang
menjadi seperti yang dikatakan Marx dulu sekali: ‘segala
sesuatu yang tidak Anda dapat lakukan, uang Anda dapat
melakukannya pada Anda; uang itu dapat makan, minum,
menonton bola dan teater. Uang dapat belajar seni,
pegetahuan, sejarah dan kekuaasaan politik, dan dapat
melakukan perjalanan’. Winters mengatakan:

Kekayaan adalah sumber daya universal yang


mendefinisikan oligark dan menggerakan politik serta
proses oligarki. Sumber daya kekuasaan material
menyediakan dasar untuk tegaknya oligark sebagai
pelaku politik yang tangguh. Sumber daya material
dalam berbagai bentuk (yang paling luwes adalah uang
tunai) sudah lama dikenalai sebagai sumber kekuasaan
ekonomi, sosial, dan politik…. Kekuasaan material itu
unik karena memperkenankan oligark membeli
keterlibatan terus-menerus orang lain yang tak
menuntut komitmen pribadi kepada tujuan oligark yang
mempekerjakannya. Yang dibutuhkan hanya
kompensasi material atas jasa.352

Banyaknya anggota keluarga besar HMI yang menduduki


posisi-posisi strategis di pranata kenegaraan boleh jadi
merupakan kompensasi material atas jasa-jasanya dari
kelompok oligarki. Sesudah mendapatkan jabatan-jabatan
besar dalam negara, orang-orang itu justru bertansformasi:
bukan lagi menjadi sebatas elit pemerintahan, tapi juga
melantik dirinya jadi oligark baru. Dengan hak politik formal,
jabatan resmi, kemampuan mobilisasi, kekuasaan material,

352
Ibid, Hlm. 26-27.

463
maupun cara-cara pemaksaan—mereka berusaha
mengamankan kekuasaan ekonomi dan politiknya. Dari rahim
HMI-KAHMI tokoh tenarnya yang oligark tak saja selemah
Anas Urbaningrum, tapi juga sekuat Akbar Tanjung. Jeffery
A. Winters membeberkan bahwa ia merupakan oligark
pribumi yang cukup besar untuk bermain dalam persaingan
oligarkis pasca-1998. Sumber daya kekuasaannya berlapis-
lapis: mulai dari menggunakan kekayaannya sendiri sebagai
kekuasaan material hingga penggunaan jabatan politik selaku
elit. Diceritakan oleh Winters bahwa kisah keoligarkian Akbar
dibuka dengan skandal penggelapan uang rakyat:

…Sebagai Menteri Sekretaris Negara di bawah


Presiden Habibie, dan ketua umum Golkar, Akbar
Tanjung menggelapkan dana Bulog senilai $5 juta
untuk memperkuat kedudukannya dalam partai dan
mendukung Golkar dalam Pemilu 1999. Akbar Tanjung
menyatakan bahwa tindakannya secara teknis bukan
penggelapan karena presiden telah memerintahkannya
menyalurkan dana Bulog untuk memabantu warga
miskin. Namun, tidak ada rekaman perintah tersebut….
Akbar Tanjung, yang waktu itu merupakan ketua umum
Golkar dan ketua DPR, pontang-panting menjelaskan
keadaan keungan Bulog. Bukannya membagikan
bantuan kepada penduduk miskin lewat saluran resmi
pemerintah, dia menklaim mentransfer uangnya ke
yayasan swasta, tapi tidak bisa menyebutkan nama
yayasan itu. Begitu ditemukan, yayasan itu tak dapat
menunjukan bukti telah memberikan bantuan kepada
penduduk miskin. Banyak bukti menunjukan bahwa
uang Bulog itu masuk ke dana yang dipergunakan
Akbar Tanjung sekehendaknya.353

353
Ibid, Hlm 272.

464
Setelah skandal penggelapannya berlalu Akbar Tanjung
kembali membuktikan dirinya sebagai bagian dari kelompok
oligarki. Kali ini korban utamanya ialah keluarga besar HMI.
Dengan ketokohan sebagai senior-alumni ditambah jabatan
publik dan kekuasaan materilnya, dia mencoba menggiring
massa HMI-KAHMI untuk dukung Jokowi-Ma’ruf pada
Pemilu 2019. Jokowi baginya merupakan sosok yang lebih
mampu menjamin pertahanan kekuasaan politik dan
ekonominya ketimbang Prabowo. Di belakang Jokowi
bergelantungan miliarder-miliarder besar: Bos Oso Group
Oesman Sapta Odang; Bos Chairman Group Recapita Rosan
Perkasa Roelani; Bos Media Group Surya Paloh; Bos Mahaka
Group Eric Tohir—yang bersama Rosan Roeslani dan Handy
Soetodjo menguasai 70 persen saham Inter Milan, Italia; bos
MNC Group Hary Tanoesoedibjo; dan alumni HMI Jusuf
Kalla sebagai Bos Kalla Group.354 Bersama JK, Akbar tidak
sendiri—bergabung dengan gerbong kapitalis dan oligark—
menjadi tokoh KAHMI yang berusaha memenangkan Jokowi.
Dengan kepiawaian mereka dalam berpolitik bahkan massa
himpunan nekad digiring mengikuti.

Manuver dan intrik dilakukannya begitu sarat kevulgaran.


Lihat saja bagaimana Akbar menggelar Milad HMI ke-72
berdekorasikan aksesori kekuasaan. Di tangannya anggaran
yang dibutuhkan untuk menggelar acara sekolosal itu tak jadi
permasalahan. Karena kegiatan tersebut bukan sekedar
perayaan ulang tahun organisasi, tapi terutama ajang
menggalang dukungan untuk calon presiden. Itulah mengapa

354
Lihat Dipo Negoro, (2018), Membongkar Dua Kubu Borjuis dalam
Pilpres 2019, Arah Juang, No. 48(I-II), Hlm. 1.

465
jauh sebelum dibukanya Milad HMI ke-72, seabrek
propaganda ditebar begitu riuh, atraktif, dan mencengangkan.
Poster undangan yang disebarnya memberitahukan: Akbar
Tanjung akan menggelar deklarasi KAHMI-HMI mendukung
calon presiden. Namun informasi itu kemudian dibantah:
bukan mendeklarasikan soal calon presiden melainkan
merayakan ulang tahun HMI. Sewalaupun bantahan telah
dilontarkan tapi suasana perayaan milad memberi bukti
terjadinya politisasi: Maka penggung milad disulap jadi altar
pengorbanan independensi. Seluruh anggota dan alumni HMI
memang diundang dalam rangka memperingati hari kelahiran
organisasinya, tapi diselubingi dengan penggalangan
dukungan buat Jokowi. Akbar memang pandai memainkan
skenario penjeratan. Tetapi yang dijeratnya kali ini bukanlah
pemimpin seperti Gus Dur, melainkan keluarga besar
himpunan.

Sasaran jeratannya dihentakan ke dalam tahanan wacana


kekuasaan. Kain ulos yang dipasang pada Jokowi tak sekedar
tanda terima kasih atas ditetapkannya Lafran Pane sebagai
pahlawan nasional. Sebab dengan diulosinya calon presiden,
maka dapat diasosiasikan secara paradoksal: selain bentuk
balas budi atas pemberian gelar, juga merupakan ungkapan
simbolik yang begitu politis. Melaluinya Jokowi diberikan
restu untuk menjadi kepala negara pada periode selanjutnya.
Itulah mengapa di hadapan para hadirin ia begitu diagung-
agungkan persis Lafran Pane. Bahkan Akbar sampaikan tak
tanggung-tanggung sampaikan: Jokowi memiliki kesamaan
dengan pendiri sekaligus pemrakarsa HMI hanya karena
punya keluarga (menantu) dari Tapanuli Selatan hingga

466
menuntut ilmu di UGM.355 Penyerupaannya merupakan
tindakan acum. Dia memposisikan Jokowi sebagai tokoh
sentral yang pantas didamba. Inilah kenapa dirinya berpidato
sambil berdo’a dan menggoda. Melalui sikapnya itu Akbar
tidak cuma bertujuan mempengaruhi khalayak di hadapannya,
melainkan ikut mengarahkan jutaan massa HMI-KAHMI—
yang tersebar di segala penjuru—untuk memilih siapa yang
dimintanya:

Saya di hadapan saudara ingin mendo’akan semoga pak


Jokowi dapat melanjutkan pembangunan di tahun-tahun
yang akan datang. Kalau setuju mohon diaminkan. 356
Sepengetahuan saya cukup banyak warga KAHMI yang
menyatakan dukungan ke Pak Jokowi. Tapi saya tidak
menyatakan saya merepresentasi. Tapi saya tahu warga
KAHMI juga mengatakan ke saya akan memberi
dukungan ke Pak Jokowi…. Saya menggunakan hak
pilih saya, dan hak pilih saya ke Pak Jokowi. Pilihan
saya akan mempengaruhi adik-adik saya [kader-
anggota/alumni] atau memberikan dukungan [pada]
beliau, saya rasanya memang akan mempengaruhi…. 357

Meski katanya acara itu murni milad organisasi. Tapi


kehadiran calon presiden bersama para pejabatnya tidak bebas
nilai. Keberadaan mereka meniscayakan kepentingan tertentu.
Kepentingannya secara jelas diperlihatkan oleh politisi-alumni
HMI Akbar Tandjung: mencoba menambat ‘kesepakatan

355
Lihat https://nasional.tempo.co/read/1172616/saat-akbar-dan-putra-
pendiri-hmi-pakaikan-ulos-jokowi/
356
https://pilpres.tempo.co/read/1172522/di-hut-hmi-akbar-tandjung-
doakan-jokowi-menang-pilpres/
357
https://m.kontan.co.id/news/akbar-tandjung-saya-akan-pengaruhi-kader-
hmi-pilih-jokowi/

467
bersama’ untuk mendukung calon presiden. Sikapnya di atas
panggung—memakaikan ulos, mendo’akan hingga pernyataan
memilih Jokowi—adalah bentuk perongrongan terhadap
independensi secara subtil tapi licik. Tindakan
komunikatifnya bukan searah melainkan berposisi timbal
balik. Karena selain sebagai harapan, apa yang
diperlihatkannya mewacanakan relasi ideal dengan penguasa
terkutuk. Makanya tiba-tiba banyak sekali KAHMI yang ikut
mengekor pada pilihannya: mereka mengatasnamakan diri
Eksponen Alumni HMI Pro-Jokowi.358 Bahkan sinyal yang
diberikannya tadi ikut membuat adik-adiknya—di PB HMI
maupun DPP KNPI—berbaris membebeki. Dualisme yang
berkecamuk pada kedua kepengurusan lembaga ini pastinya
ekses dari penetrasi kekuasaan yang menggoncang. Lihat saja
bagaimana Haris Pratama menyatakan akan membantu
memenangkan Jokowi-Ma’ruf tanpa tending aling-aling.
Bantuan ingin diberikan lewat organisasi-organisasi
kepemudaan yang berada dalam genggamannya. 359 Adalah PB
HMI versi Arya yang bersedia berada di bawah naungannya.
Disinyalir topangan diberikan oleh pimpinan OKP itu karena
Haris bukan saja alumninya, namun terlebih senior segerbong
dengannya

Dalam konstalasi politik nasional, Arya memperlihatkan


strategi yang sangat berhati-hati: kalau abangnya Haris
terang-terangan mendukung Jokowi, maka dirinya bermain
secara awas. Kecenderungan tersembunyi Arya mendukung

358
Lihat https://kabar.news/alumni-hmi-lintas-generasi-dukung-jokowi-
maruf/
359
Lihat https://m.jpnn.com/news/kandidat-ketua-umum-knpi-optimistis-
memenangkan-jokowi-maruf/

468
kekuasaan istana bukan hanya tersirat ketika dirinya
melaporkan hasil Pleno II langsung ke Jusuf Kalla, tapi juga
tampak tatkala didampinginya Akbar Tandjung dalam;
mengulosi, mendo’akan, dan menyembulkan dukungan untuk
kuda pacuannya di Pilpres 2019. Dengan didampingi oleh Pj
Ketum PB HMI, politisi Golkar itu terlihat semringah
berkelakar: ‘komitmen pembangunan yang dilakukan Jokowi
selaras dengan tujuan HMI.’360 Dipandangnya pemerintahan
Jokowi sebagai satu-satunya cara mewujudkan kehidupan
rakyat yang sejahtera. Pernyataan demikian disampaikan
langsung pada momen Milad HMI ke-72. Melalui insiden
itulah kita pun mencium bau bacin liuk-liuk upaya politisasi
organisasi ternyata dilancarkan begitu rupa. Para pemainnya
sebagian berasal dari tokoh-tokoh yang namanya pernah
tercatat sebagai pelaku pelengser Gus Dur.

Kini mereka kembali menampilkan kepiawaiannya: PB HMI


bukan Cuma dibuatnya kocar-kacir, tapi terutama berhasil
mendekorasi tempat ulang tahun himpunan menjadi ajang
menghimpun kekuatan buat Jokowi bertempur. Benar saja
kandidat presiden itu kemudian kembali berkuasa untuk
periode yang kedua. Kemenangan yang didapatkan tidak bisa
dilepaskan dari alat kekuasaannya. Dalam konteks ini yang
digunakannya ialah—meminjam pemikiran Antonio
Gramsci—perangkat lunak: perangkat kerja yang mampu
membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat
melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan
bahkan juga keluarga. Maka senior-alumni HMI yang terlibat

360
Lihat https://www.memoonline.co.id/read/kahmi-dan-pj-ketua-umum-
pb-hmi-dukung-jokowi-dua-periode/

469
membantunya mempertahankan takhta adalah perangkat
lunaknya. Mereka ialah pembantu yang menyalurkan apa
yang disebut Gramsci sebagai hegemoni dalam negara:

….adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat


melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui
penindasan terhadap klas sosial lainnya. Ada berbagai
cara yang dipakai, misalnya melalui institusi yang ada
di masyarakat yang menentukan secara langsung atau
tidak langsung struktur-struktur kognitif dari
masyarakat. Karena itu hegemoni pada hakekatnya
adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan
memandang problematika sosial dalam kerangka yang
ditentukan … terutama dari intelektual dan hal-hal yang
menunjukan pada moral.361

Melalui kesediaannya melancarkan hegemoni negara maka


alumni-alumni yang berpolitik di pranata-pranata kenegaraan
memicu konstelasi ideologi dalam HMI. Isinya bukan
ideologi Islam sebagaimana yang termaktub dalam pedoman
perkaderan, melainkan ide-ide yang berasal dari kepentingan
kelompok dominan yang ditampilkan sebagai kepentingan
semua orang—khususnya HMI-KAHMI. Ideologi seperti itu
merupakan bangunan hegemonik yang terselubung dalam
usahanya melanggengkan kekuasaan Jokowi. Dengannya akal
sehat siapa saja bisa dikendali. Karena gagasan yang ditabur
mudah sekali diterima tanpa dikritisi. Inilah prakondisi
menuju apa saja yang mereka perlukan dalam membentuk
negara integral: hegemoni yang dikombinasikan dengan
dominasi secara kompleks. Artinya aktivitas praktis dan

361
Nezar Patria dan Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 120-121.

470
teoritis kelas berkuasa tidak sebatas menjustifikasi dan
menjaga kuasanya, tapi juga berupaya memenangkan
persetujuan aktif dari setiap yang dikuasai.

Dalam suasana itulah komodifikasi pencitraan dilancarkan.


Independensi etis maupun organisatoris dikorbankan atas
nama kepentingan. Maka sifat independen dilecehkannya
melalui parodi kekuasaan. Independensi yang sudah jatuh
sejak masa Orba kesulitan berdiri. Bahkan setelah Reformasi
justru semakin terdistorsi. Pengurus-pengurus organisasi kini
tidak malu bertamu ke istana-istana borjuis, berpose dengan
kapitalis-birokrat, hingga menenggelamkan idealisme dalam
ruangan-ruangan perjamuan. Mereka menganggap penguasa
sebagai kawan. Perkawanan akhirnya memincangkan gerakan.
Kebijakan-kebijakan neoliberal negara alpa untuk dilawan.
Tiadanya kesungguhan menggencarkan perlawanan
merupakan pertanda independensi mengalami perembesan.
Independensi tinggallah sebuah retorika belaka. Demi
memenuhi permintaan senior-alumni dalam pranata
kenegaraan, maka keindependenan gampang dilacurkan.
Independensi tinggallah slogan bualan: sama sekali enggan
mendorong terbitnya kemandirian sebagai manusia merdeka
yang memperjuangkan kebenaran, melainkan memahat jadi
pribadi pesakitan—hamba sayaha penguasa. Inilah yang
membuat kehidupan organisasi berubah tidak karuan.
Walhasil proses kaderisasi dan gerakannya seperti keracunan.
Rasanya kita harus mendengarkan puisi yang bukan sekedar
mengejek PB, Badko, maupun Cabang—mungkin juga
Korkom dan Komisariat, tapi terutama melukiskan secara
gamblang apa yang menimpa pengurus-pengurus himpunan.

471
Sajak itu ditulis Yusuf Maulana dengan judul memilukan—
Kematian di Meja Perjamuan:


Kawan, aku takkan pernah menyebutmu pelacur intelektual
Karena kutahu kau anak pengajian yang masih simpan iman
Meski, banyak sejuta pemuda resah dengan polamu
Jangan, marah, memikirkan apa yang ada dalam pikiranmu

Aksi memang tidak semata turun ke jalan; kau benar!


Protes tidak sebatas teriak lantang memegang megaphone
Advokasi juga tidak melulu berpeluh dalam teriknya depan
istana

Sebelum kau bicara keragaman aksi,


Atau hindari persepsi publik yang lahirkan caci.
Belajarlah pada sejarah, kawan
Adakah mereka yang didekati penguasa,
Pada akhirnya tegak kepala?

Jihad terberat adalah menasehati penguasa


Dan itu utama dengan bicara langsung dengan menatap mata
Tapi, jangan kau rampas khazanah ini sebagai dalil
Bertindak cepat menerima undangan jamuan bersama
penguasa

Masih banyak yang bisa kauperbuat ketimbang makan di
istana
Apalagi berfoto bersama tanpa ada sesal
...
Kawan, jamuan itu sudah usai;
Ia bak pesta antiklimaks dari janji koarmu di jagat media
Tapi rakyat kadung berburuk sangka

472
Tinggal bagaimana kau luruskan perjuangan yang sempat
bengkok ini
Kawan, jamuan itu mahal, dibiayai uang rakyat
Itu bukan cuma-cuma untuk kau abadikan di dinding kos
Mestinya harus kau pasang di sanubarimu terdalam
Foto dengan coretan garis amat tegas:
Dari anak muda yang pernah dibungkam rezim!362

Politisasi organisasi membahayakan perkembangan kader.


Independensinya gampang sekali meluncur drastis. Karena
diajarkan cara-cara menjadi orang-orang yang praktis,
pragmatis, dan oportunis. Itulah mengapa ketimbang membela
kaum miskin dan tertindas, mereka justru sibuk mengejar
jabatan, memperluas jaringan, bahkan mengumpulkan pundi-
pundi keuangan. Melalinya maka pembelajaran bagiamana
caranya menjadi seorang borjuis maupun sesungguhnya telah
diberikan sejak kader-kader berproses dalam lingkungan
himpunan. Dorongan untuk meraih posisi strategis, mencari
koneksi dengan orang-orang penting, maupun maraup
anggaran justru mengakibatkan aktivis-aktivis HMI
keracunan. Itulah mengapa ketika menjabat kepengurusan
Cabang, kerap orientasi banyak kader mengalami
kemunduran. Perkenalan mereka dengan banyak sekali sekali
tokoh-tokoh di pranata kenegaraan mempengaruhi orientasi
keorganisasian. Ketimbang fokus memajukan perkaderan dan
pergerakan organisasinya, pengurus-pengurus itu justru sibuk
memikirkan apa-apa yang bisa menjamin masa depannya—
terutama soal kemudahan akses hidup mapan. Untuk itulah

362
Yusuf Maulana, (2015), Aktivis Bingung Eksis; Pentas Gerakan
Mahasiswa di Era Korporatisme Kuasa, Surabaya: Pustaka Saga, Hlm.
VIII-X.

473
ralasi-relasi patron-client antara senior dengan junior
dijadikan sebagai pegangan.

Hubungan patronase membuat banyak sekali aktivis HMI


mudah sekali ditanggalkan daya juangnnya. Karena relasi itu
tak segan-segan mendepak keindependenannya. Demi
keluasan jaringan, kegerlapan jabatan, dan pundi-pundi
keunganan; maka akal sehatnya terilusi begitu rupa. Di
hadapan alumni-alumninya yang berada di pranata
kenegaraan, pengurus-pengurus himpunan bukan hanya kerap
mengalami degradasi moral tapi juga kehilangan harga diri
serta harkat dan martabatnya sebagai manusia merdeka.
Karena lingkungan berhimpun telah digerogoti oleh pelbagai
kepentingan. Organisasi kemudian tak mampu melahirkan
insan-insan tercerahkan, melainkan para pengenjar kebesaran,
ketenaran, dan keuntungan. Lewat status senior berpengaruh
maupun jabatan strategis dalam kepengurusan, gampang bagi
mereka memancang nama besar organisasi menjadi nilai
tawar di hadapan pejabat-pejabat pemerintahan dan pembejar-
pembesar kemodalan. Kelakuan demikian tak sekedar
meracuni perkaderan, tapi terutama melumpuhkan
kemampuan membangun, menguatkan, dan memperluas
gerakan. Walhasil, ketika birokrat ingin menerbitkan
kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan kehidupan rakyat,
HMI malah bungkam untuk menghentikannya. Taufik Z.
Karim menjelaskan:

Kebiasaan menggadaikan (baca: menjual nama) HMI


untuk kepentingan pribadi, dengan cara membangun
bargaining di hadapan birokrat, politisi dan pengusaha
menjadikan suara kritis dan sikap korektif HMI

474
tenggelam dalam pusaran isu dan rumor politik yang
amat tinggi di tubuh HMI.363

Di tengah merajanya kapitalisme sepak terjang para kapitalis


dan oligark semakin leluasa melancarkan kepentingannya.
Bahkan tanpa mengenal siapa dan dari mana datangnya, setiap
pemangku kepentingan publik dan aktivis-aktivis yang
berpolitik mudah sekali tenggelam dalam pusaran kekuasaan
mereka. Hari-hari ini strategi kelas borjuis melumpuhkan
berbagai organisasi dilakukan denganbegitu rupa. Terutama
menggunakan kucuran uang untuk pendanaan kegiatanapa
saja. Dalam keadaan seperti inilah HMI menjadi lembaga
kemahasiswaan yang begitu rentan disasarnya. Berkali-kali
organisasi ini dihantam oleh dana-dana segar dan berlimpah
dari penguasa. Itulah mengapa tiap melaksanakan kegiatan
kolosal, pengurus-pengurusnya tak pernah bersusah-susah
mencari biaya. Itulah mengapa setiap mengadakan Kongres,
HMI selalu memperoleh anggaran bermiliaran dari negara. 364
Akibat rongrongan kekuatan modal himpunan kemudian
berubah jadi organisasi pergerakan yang tambun dan kurang
gesit dalam membela rakyat miskin dan tertindas. Pengurus-
pengurusnya cuma terpaku menjalankan program-program
rutin ketimbang mengusahakan terobosan pada bidang-bidang

363
Taufik Z. Karim, (2012), Otokritik terhadap HMI, Yogyakarta: Iqra
Publishing, Hlm. 48.
364
Bukalah polemik soal dana hibah dari APBD RIAU untuk Kongres HMI,
yang mematok harga secara berlebihan: Rp 3 miliar
(m.merdeka.com/2015/09/11). Atau persoalan dana hibah Rp 1 miliar dari
pemkot makasar, tapi tidak sampai di laporan kas masuk HMI, sehingga
dianggap oleh kader HMI Cabang Makassar dana tersebut tidak jelas
diperuntukan buat apa (Makassar.tribunnews.com/2018/01/07).

475
strategis. Makanya kerja-kerja advokasi didekati dengan ragu-
ragu, tanpa komitmen, dan amat-amat lemas.

Kekuatan modal benar-benar menempatkan kaderisasi dan


gerakan dalam kesuraman. Resonansi kepentingan kapitalis
dan oligark soalnya berdampak buruk bagi struktural
himpunan. Bersinggungan dengan mereka bukan sekadar
membuat para pengurus menjadi kompromis, tapi juga
pragmatis dan oportunis. Inilah kenapa jabatan-jabatan
strategis dalam organisasi rawan dimonopoli. Karena gerbong
penguasa atau kelompok dominan menjadikan posisi-posisi
penting kepengurusan seiras hak milik pribadi. Makanya pada
tingkatan kepengurusan tertentu kerap kali ditemui pengurus
yang menjabat dua hingga tiga kali. Dari kinerjanya bukan
saja sering nampak lesu, melainkan pula hadir banyak
masalah sana-sini. Sayangnya mereka kadung merasa mapan
dengan apa yang telah berlangsung selama ini. Walhasil,
regenerasi pengurus-pengurus muda pun harus berjalan
tertatih-tatih. Itulah mengapa roda organisasi kian hari
semakin lunglai nyaris berhenti. Modal sudah merasuki HMI
begitu rupa sehingga banyak pengurusnya yang lebih mirip
politikus maupun birokrat ketimbang aktivis mahasiswa. Gaya
keborjuisan mereka tidak selalu dalam bentuk kemewahan
namun keengganan membuat metodologi gerakan yang
berpihak kepada rakyat jelata.

Daripada memihak terhadap kaum miskin dan tertindas,


mereka justru lebih nyaman mengekor pada senior-alumni
yang berkemampuan menjamin masa depannya. Independensi
baginya bukan memihak kebenran, melainkan kebesaran
jabatan, keluasan jaringan, bahkan limpahan uang semata. Di

476
mata mereka; Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Fuad Bawazier,
Priyo Budi Santoso, Amien Rais, Anas Urbaningrum, M.
Fakhruddin, dan senior-alumni HMI yang politikus maupun
birokrat lainnya—merupakan prototip sempurna.
Kesempurnaan ilusif orang-orang ini berhasil menjauhkan
seabrek kader himpunan dari sinar tauladan yang diajarkan
Lafran Pane. Kini pemikiran dan tindakan Lafran hanya jadi
bahan cerita dalam acara-acara serimonial organisasi semata.
Tetapi jarang diamalkan ke aktivitas perjuangan harian HMI-
KAHMI. Ketimbang dijadikan inspirasi, sosoknya justru
sebatas dipuja-puji sebagai legenda. Namanya diharumkan
selaku pahlawan tapi peninggalannya tentang keharusan
berpikir dan bertindak independen sukar diteruskan bersama.

Ketimbang menggugui senior-alumni HMI yang menjadi


oligark, kader-kader mestinya banyak belajar dari perjuangan
seorang Lafran Pane. Salah satu ajaran yang paling menonjol
darinya adalah sikap rendah hati. Dia tidak seperti
kebanyakan aktivis, politikus, dan birokrat yang lahir dari
rahim HMI: butuh penghormatan kelas dewa dan pengakuan
sana-sini. Karena dirinya justru tidak pernah mau ditokohkan
dan memegang teguh prinsip kesetaraan (egaliter). 365 Sifat
semacam ini rasanya perlu dialirkan ke dalam relung-relung
perkaderan organisasi. Supaya relasi yang terbangun antara
senior dengan junior tidak lagi menjadi ajang mendikte dan
mendogma dengan sabda-sabda sarat manipulasi. Lafran
mengajari kita bagaimana caranya membentuk pribadi-pribadi
independen, bukan penjilat dan pendominasi. Dari sosoknya

365
Hariqo Satria Wibawa, (2011), Lafran Pane Jejak Hayat dan
Pemikirannya, Jakarta Selatan: Penerbit Lingkar, Hlm. 70.

477
itu pulalah pengurus-pengurus mesti memetik pelajaran
tentang kepribadian yang tidak haus akan sebuah jabatan,
jaringan, dan uang seperti streotip kepengurusan hari-hari ini.
Daripada mengajari mengejar modal sosial, ekonomi, dan
simbolik; ia malah mengajarkan jadi seorang yang sabar,
mengayomi junior, sederhana, bersahaja dan yang terpenting
berkomitmen penuh independensi. Itulah mengapa ketika
Lafran ditawari duduk sebagai pimpinan dalam PPP, juga
diminta jadi anggota atau pengurus Golkar, dan dibujuk
menjabat Ketua Umum Al Jamiatul Wasliyah Daerah
Istimewa Yogyakarta—semua bentuk kekuasaan itu
ditolaknya demi menjaga independensi HMI.

Dengan pendirian yang penuh komitmen, konsistensi, dan


persistensi terhadap independensi maka Lafran Pane tidak
pernah mengintervensi junior-juniornya di HMI. Sikap
demikian berbanding terbalik dengan kelakuan seabrek tokoh-
tokoh HMI-KAHMI hari-hari ini: senior atau alumni kerap
kali menyuntikan kepentingannya, terutama mencampuri
pelaksanaan demokrasi organisasi. Silang sengkarutnya
kepentingan mereka mengakibatkan kader-kader diubah
seperti domba-domba. Kader-junior mudah sekali diarahkan
sekenanya. Perilaku tersebut kini telah mengkristal jadi
sebuah tradisi yang membelenggu. Walhasil, anak-anak muda
yang berproses dalam himpunan terancam kehilangan
kemandirian. Ketimbang menjadi manusia merdeka,
perkaderan justru dijadikan wahana melahirkan orang-orang
hamba. Independensi yang dijaga betul-betul oleh Lafran
sekarang justru dicerabutkan dari akar-akarnya. Sifat
independen yang telah mengilhaminya dapat digambarkan

478
melalui ucapan Soe Hok Gie: ‘lebih baik diasingkan daripada
menyerah terhadap kemunafikan’.

Namun kekuatan modal dan daya rembes para oligark telah


membuat pengurus-pengurus HMI tunduk di hadapan
kemunafikan. Independensi etis dan organisasinya tidak
mampu dijadikannya sebagai senjata perlawanan.
Kemerosostan independensi membawanya pada jalan orang-
orang yang bersedia menggadaikan idealisme di hadapan
patron-patron pemberinya kehidupan mapan. Itulah menagapa
jerit tangis kaum miskin dan tertindas tak mau diredakan.
Mereka justru sibuk mengejar kekuasaan apa saja, terutama
mendapatkan akses, jatah kursi, serta suntikan keuangan dari
pranata kenegaraan. Keadaan ini mendorong anggota-anggota
keluarga besar HMI bukan saja berlomba-lomba menduduki
jabatan strategis dalam organisasinya, tapi juga setelah selasai
ber-HMI berusaha menjadi politikus maupun birokrat. Seakan
takhta adalah satu-satunya pintu untuk memperjuangkan
kemaslahatan rakyat. Padahal orintasi menikmati kekuasaan
prana kenegaraan tak sekedar akan mengelitisasi HMI:
memisahkan dari perjuangan bersama massa-rakyat.
Melainkan pula bisa menjerebabkan anggota, pengurus, dan
aktivis-aktitivis jebolannya dalam kubangan kepentingan
kapitalis dan oligark. Kepada para kaum intelektual, Ali
Syariati pernah mengingatkan bahwa merupakan kesalahan
serius apabila para cendekiawan yang berada di dunia
pergerakan dan di tengah masyarakat mengambil
kepemimpinan politik:

…karena sudah terbukti bahwa manusia-manusia yang


tergolong pemimpin politik tidak pernah mampu

479
membentuk front yang berguna dalam gerakan-gerakan
revolusioner … dengan demikian tanggung jawab
pokok cendikiawan adalah membangkitkan dan
membangun masyarakat, bukan memegang
kepemimpinan politik negara. bila masyarakat
dibimbing dan dibangunkan secara benar, dia akan
melahirkan pahlawan-pahlawan yang cukup tangguh
untuk memerintah dan membimbing masyarakat.366

Tugas kaum cendikiawan baginya sederhana namun tidak


mudah: menyatu dengan massa hingga mengembangkannya
menjadi kekuatan yang otonom untuk melakukan transformasi
sosial, termasuk dengan cara membimbing sesamanya. Tetapi
bila para intelektual lebih suka mengejar jabatan-jabatan
politik negara maka tugas-tugas kecendikiaannya mudah
sekali terbelokan, terutama oleh kepentingan kelas penguasa.
Walhasil, independensinya akan ditanggalkannya. Daripada
mempertahakan keindependenan mereka justru
menyeseuaikan diri dengan lingkungan barunya. Lingkungan
ini dipenuhi oleh para kapitalis dan oligark yang memiliki
sumber daya kekuasaan begitu rupa. Terdistorsi dan
terdisorientasinya pemikiran dan tindakan aktivis-aktivis
himpunan maupun senior-alumninya ketika menjadi bagian
dari kelas penguasa adalah buktinya. Di tangan mereka
independensi HMI kehilangan sinarnya. Padahal independensi
itu tak terlepas dari tujuan, status dan peran organisasi yang
semuanya bertolak dari HMI berasaskan Islam. Namun
kekuatan modal dan kemampuan kelompok oligarki berhasil
mencemari bukan saja independesi organisatoris, tapi juga
merubah pemahaman seabrek kader tentang independensi etis.

Ali Syari’ati, (1984), Tugas Cendikiawan Muslim, Jakarta: CV Rajawali,


366

Hlm. 249-250.

480
Makanya berkali-kali kader-kader HMI menggelar
membangun kegiatan kolosal dan melancarkan gerakan
kontrol bukan semata berdasarkan kebenaran; melainkan
kebutuhan, keinginan, maupun pesanan senior-alumninya
yang berkuasa dalam pranata kenegaraan. Kebenaran bagi
mereka bukanlah sesuatu yang mesti dicari melalui
perjuangan terus-menerus. Karena benar atau salah, semuanya
dapat ditentukan lewat kekuasaan negara borjuis. Itulah
mengapa dalam pergerakan bahkan perkaderan yang mereka
lakukan menjadi kering akan nilai-nilai kebenaran yang sejati:
keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan. Walhasil, kaderisasi
tak mampu menyediakan landasan untuk melakukan
pembebasan. Karena ketimbang membebaskan, kaderisasi
justru jadi arena terbitnya pelbagai perbudakan. Sehingga
pergerakan yang dilancarkan pun hanya untuk memuaskan
nafsu segelintir tuan pemilik budak dalam himpunan.
Kebenaraan akhirnya cuma sebuah kedok yang berlagak
penuh kesucian. Tetapi isinya sesak akan kebohongan,
kepalsuan, dan kemunafikan.

Dalam kondisi menghadapi ancaman-ancaman demikian kita


rasanya perlu belajar dari Tragedi Drayfus. Kebenaran bukan
diterima secara gampangan, melainkan berusaha ditemukan,
terutama dengan keberanian menerbitkan dan merawat
keberpihakan. Kisah itu dibuka oleh seorang Alfred Dreyfus
yang dipenjara melalui kesewenang-wenangan keputusan
pengadilan. Sewalaupun tidak bersalah tapi hakim
memutuskannya sebagai orang yang besalah: dituduh telah

481
membocorkan rahasia kemiliteran Prancis kepada Jerman. 367
Pemenjaraan atas pria tak bersalah itu kontan menambat hati
novelis Emil Zola untuk meluncurkan perlawanan. Dia
meyakini bahwa yang salah bukanlah Dreyfus tapi para
pemegang kekuasaan. Maka kebenaran baginya adalah
pemihakan terhadap korban. Zola secara cekatan memerotes.
Mula-mula dia mengeluarkan surat pembelaan terhadap
Dreyfus berjudul J’accuse (Aku Mendakwa). Lalu kampanye-
kampanye memberi dukungan kepada korban kekuasaan
dilakukannya secara intens. Negara borjuis Prancis akhirnya
bereaksi sadis. Perlawanan Zola diredam sedemikian rupa
hingga dirinya ikut mendapatkan siksa. Hanya naskah
pembelaannya kemudian dikenal sebagai ‘Manifesto Para
Intelektual’ yang amat bermakna, menginspirasi, dan
mendunia:

Zola menuduh para anggota dinas ketentaraan Prancis


telah merekayasa bukti, memanipulasi dan menutup-
nutupi fakta kasus tersebut. Emil Zola akhirnya ditahan
dan diadili dengan tuduhan mencemarkan nama baik …
sehingga, pada tahap-tahap awal kemunculannya,
intelektual menunjuk pada sekelompok orang dengan
misi yang diproklamirkan sendiri (independen), yaitu
membela suatu nurani bersama atas persoalan-persoalan
politik yang mendasar.368

367
Alfred Dreyfus, Yahudis, seorang kapten dalam jajaran militer Prancis
ditahan pada 15 Oktober 1894 dengan tuduhan menyelundupkan rahasisa
kemiliteran Prancis kepada tentara Jerman. Dua bulan kemudian Dreyfus
diadili di Mahakamah Militer lalu dibuang ke Guyana.… dalam Daniel
Dhakidae, (1987), Cendikiawan dan Kekuasaan, Jakarta: Pradjnya
Paramita, Hlm. 197-199).
368
Ibid, Hlm. 199.

482
Cerita pembalaan terhadap Dreyfus begitu bergelora akan
semangat independensi. Keberpihakan Emil Zola kepada
kebenaran tidak mengenal kompromi. Karena kegandrungan
terhadap sesuatu yang benar baginya bukan sebatas
terpancang dalam pikiran, melainkan juga harus tercermin
lewat tindakan. Perjuangannya kelak persis seperti kisah
perlawanan seorang Edward Snowden. Pemuda satu ini
merupakan ahli di bidang teknologi. National Security of
America (NSA) merekrutnya untuk membuatkan mesin yang
mampu mengintai seluruh warga bumi. Di tangannya alat itu
dibuat dengan memanfaatkan banyak program secara lihai.
Tapi sebelum terjerambab jauh dalam proyek laknat tersebut
dia keburu sadar: dirinya sedang bekerja pada kelompok
bertabiat Dajal—ingin mengendalikan dunia dan menguasai
kehidupan umat manusia. Maka dengan sekejap ia pun
membuang segala fasilitas, kenikmatan, dan kemapanan yang
terlanjur diterimanya dari Amerika Serikat. Kepicikan,
kebusukan, dan keculasan Pemerintah AS lalu dibongkarnya.
Data-data dibocorkan secara rinci tanpa sedikitpun takut.
Publik akhirnya mengetahui bahwa dalam proyek pembuatan
mesin pengintai massal bukan saja melibatkan pejabat-pejabat
korup, melainkan pula pemodal-pemodal rakus pemilik
Apple, Facebook, dan Microsoft.

Pemihakannya terhadap kebenaran membuatnya harus


menerima balasan dan ancaman kehilangan nyawa. Dirinya
bukan sekedar dicopot jabatan, dipangkas jaringan, dan
dihanguskan dilucuti seluruh kekayaannya. Tapi terutama tak
tentram hidupnya karena diteror dan diburu sana-sini hingga
melarikan diri ke pelbagai negara. Dalam keadaan inilah
Edward Snowden menjadi pejuang tangguh seperti Emil Zola.

483
Kisah keduanya mengajarkan siapa saja: kebenaran tidak
boleh tenggelam dalam pusaran kekuasaan apalagi sampai
dibiarkan dimanipulasi oleh kelas penguasa. Hari-hari ini kita
tentunya merindukan lahirnya orang-orang berkepribadian
seperti mereka dari rahim himpunan. Zola dan Snowden
punya karakter kuat sebagaimana yang dimiliki Lafran. Maka
walaupun tidak hidup sezaman tapi ketiganya seperti
bersepakat: sifat independen tak melulu menghiasi cangkang
kepala atau sebatas didiskusikan, tapi dipraktikan langsung ke
lapangan kehidupan. Seorang Snowden bahkan menegaskan:

Saya tidak mau menjadi manusia yang takut bertindak


demi melindungi prinsip-prinsip yang saya pegang …
bagi saya integritas seseorang sejatinya dinilai bukan
dari pengakuannya mengenai apa yang dia yakini,
melainkan dari tindakan yang dia lakukan demi
melindungi keyakinan itu … sebab kalau kita tidak
mewujudkan keyakinan kita dengan tindakan nyata,
barang kali itu cuma keyakinan abal-abal … karena kita
sendirilah yang memberi hidup kita makna, lewat
tindakan-tindakan kita dan narasi-narasi yang kita
ciptakan. 369

Dengan keindependenannya segenap anak muda bakal


memiliki sikap berani meski harus menghadapi maut.
Independensi bagaikan sebuah sikap keberimanan. Barang
siapa yang memilikinya, maka dirinya mampu menentang
segala bentuk kesyirikan. Bagi HMI, independensinya
mestilah bersumber dari ketauhidan. Karena berpegang teguh
pada ajaran Ketuhanan yang Maha Esa dapat membuat kader-

369
Glenn Grenwald, (2016), No Place To Hide: Edward Snowden:
Pembongkar Sistem Pengintaian Massal AS, Yogyakarta: Bentang.

484
kader menjadi pribadi merdeka. Kemerdekaan itu bukan
sebatas tak terbelenggu nafsu sendiri, melainkan pula terbebas
dari penghambaan, perbudakan, dan penindasan anasir-anasir
di sekitarnya. HOS Tjokroaminoto menjelaskan bahwa tiap-
tiap orang Islam tidak harus memancangkan ketakutan di
hadapan siapapun atau apa pun juga. Takut soalnya hanya
diwajibkan takut kepada Allah saja: ‘La haula wala kuwata
illa billah (Tidak ada pertolongan dan kekuatan melainkan
dari pada Allah belaka). Iyaka na’budu wa iyaka nasta’in
(Hanyalah Tuhan saja yang kita sembah dan hanyalah Tuhan
sendiri yang mintai pertolongan)’. Ketakutan terhadap Tuhan
bukanlah berasal dari rongongan ancaman dan bahaya, tapi
manifestasi keimanan. Iman yang membentuk manusia jadi
pribadi independen itu diceritakan Tjokro demikian:

[Ada] beberapa orang Arab, yang tidak biasa tinggal


dalam rumah yang tetap, belum pernah melihat rumah
batu, dengan pakaiannya yang buruk mereka
dikirimkan untuk menghadap raja-raja Persia dan Roma
yang berkuasa, meskipun raja-raja ini menunjukkan
kekuasaannya, orang-orang Arab tadi tiadalah
menundukkan badannya dan kelihatan tidak takut
sedikitpun di muka raja-raja tadi. Sesungguhnya di
dunia ini tidak ada barang sesuatu yang menakutkan
mereka. Mereka merasa tidak bertanggung jawab pada
apa pun juga, melainkan kepada mereka ampunannya
Allah yang Maha Kuasa, Maha Besar dan Maha Tinggi
mereka itu merdeka seperti udara dan merasakan
seluas-luasnya kemerdekaan yang orang dapat
memikirkannya. AL-Qur’an suci mengatakan:
“Kemurahan yang Tuhan akan mengaruniakan
sebanyak-banyaknya kepada manusia, tiada dapat
ditegahkan oleh siapapun juga, barang apa yang Tuhan

485
mempertegahkan, tiadalah dapat dikaruniakan kepada
manusia kalau tidak ada perantaraan Tuhan, dan Dia-
lah yang kuasa dan berpengetahuan/Surat XXXV. 370

Dalam Islam hanya melalui jalan tauhidlah independensi yang


sejati dapat dimekarkan. Ketauhidan mendekatkan hati setiap
orang beriman kepada Tuhan. Lalu keindependenan menjadi
prasyarat bukan saja untuk mendekati rakyat, tapi terlebih
meraih dukungan. Sarikat Islam (SI) adalah salah satu
organisasi pergerakan yang pernah memadukan semangat
tauhid dan independensi dalam perjuangan. Dengan
melibatkan banyak tokoh-tokoh muda, SI menjelma jadi
kekuatan politik yang mampu menyedot ribuan massa-rakyat
untuk bergabung maupun sebatas partisipan. Gerakannya
berawal dari motif ekonomi dan syiar agama hingga tumbuh
menjadi kendaraan perlawanan terhadap segala bentuk
penindasan. Ketauhidan dan keindependenan
melambungkannya jadi gerakan pembebasan. Corak
pergerakan seperti ini dinilai Kuntowijoyo, berhasil
mempertemukan pendekatan integrasionis dan sistemik.
Integrasionis karena SI menyatu dengan perjuangan bangsa
dan dinyatakan sistemik, karena SI mendekati masalah
kemasyarakatan secara menyeluruh, sebagai sebuah sistem.
Corak inilah yang membuat SI menjadi sebuah gerakan yang
mampu mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan mayoritas
rakyat.371

370
HOS Tjokroaminoto, (2010), Islam dan Sosialisme, Bandung: Sega
Asry, Hlm. 46-47.
371
George McTurnan Kahin, (1995), Nasionalisme dan Revolusi Indonesia,
Jakarta Pustaka Sinar Harapan, Hlm. 55)

486
Kala itu tidak ada gerakan politik yang bisa memenuhi
kebutuhan pokok rakyat selain SI. Namun bertambahnya
dukungan terhadap organisasi pergerakan itu justru disambut
pemerintah kolonial dengan rupa menyeringai. Belanda
bertambah cemas ketika beberapa kader SI mencampurkan
militansi Islam dengan gaya yang lebih marxistis. Eksperimen
ini soalnya berhasil membuat penjajah semakin was-was.
Karena percampuran ramuan ajaran kegamaan yang
dicamupurkan dengan teori sosial-kritis ternyata mampu
menarik dukungan luas rakyat dalam bentuk bergabungnya
berbagai elemen radikal untuk melakukan protes yang jauh
lebih nyaring. Suara-suara massa bergema tajam sekali. Itulah
sebabnya kekuasaan kolonial merasa waktunya untuk tidak
lagi memberi kebebasan pada gerakan ini. Sejumlah tokoh
radikal dicekok oleh pemerintah kolonial dan kemudian
dibuang maupun dilenyapkan secara misterius. Aparat-aparat
kolonialisme-imperialisme memang tidak suka kepada orang-
orang yang berwatak kritis. Eko Prasetyo menuliskan bahwa
untuk membungkam pejuang di zaman pergerakan,
pemerintah kolonial mempraktekan tindakan bengis serupa
pemerintahan Soeharto. Penguasa menikam aktivis bahkan
dipakai tuduhan komunis:

Salah satunya adalah Haji Misbach. Dituduh komunis


oleh pemerintah kolonial. Mencuat dalam sejarah
Sarekat Islam dulu lahir dengan semangat
memberontak. Tokoh yang amat saya kagumi adalah
Haji Misbach. Hidupnya didasarkan atas perintah kitab
suci yang ditafsirkan dengan cara radikal: membela
para petani dengan menentang pemerintah Kolonial.
Seakan agama tak tumbuh bersekutu bersama para
pemodal melainkan memusuhinya dengan sengit.

487
Hidupnya penuh dengan aroma keberanian dan
keteguhan untuk berada di sisi para petani yang
dianiaya. Buat Haji Misbach Islam bisa jadi landasan
gerakan sosial dengan memproduksi pemahaman
keagamaan yang meletakkan titik batas lugas:
kemunkaran melawan kebajikan. Tulisannya pada
waktu itu sangat progresif karena meletakkan setan
bukan sebagai makhluk halus melainkan kekuatan
menindih nilai-nilai kemanusiaan. Bacalah teks
Misbach yang lugas, tajam dan menyeluruh ini:
“Marilah! Saoedara-Saoedara kami, bersama-sama
menolong pada Kang Kromo jang selaloe diisap
darahnja oleh si Demit tadi. Maka soedah terseboet
dalam chadis jang begini artinja: Allah Ta’ala itoe
mesti menolong pada, kalaoe kita misi menolong
djoega kepada saoedara kita!” 372

Dengan pemikiran seperti itulah organisasi pergerakan yang


dipimpin Misbach tak sedikitpun mau berkompromi dengan
Belanda. Itulah mengapa di mata pejabat-pejabat kolonial, SI
pimpinan Misbach amat menakutkan. Kader-kadernya dilatih
tak sekedar jadi patriot, tapi terutama martir yang
berkeyakinan: kebenaran tidak ada di tangan penguasa namun
di tengah kaum miskin yang mengalami penindasan. Darinya,
semestinya HMI banyak belajar, terutama soal membangun,
menggencarkan, dan mempertahankan gerakan. Kala itu SI
merupakan organisasi terbesar di zamannya: persis seperti
HMI hari-hari ini. Dengan massa-anggota yang melimpah
ruah maka pergerakannya dikoptasi. Walhasil SI terpecah dua:
SI Merah dan SI Putih. SI Merah menempuh perjuangan yang

372
Eko Praseto, (2016), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif Atas Kisah-
Kisah dalam Qur’an, Malang: Beranda Kelompok Intrans Publishing dan
Social Movement Institute, Hlm. XXII-XXIII.

488
penuh komitmen dengan garis massa-rakyat. Semntara SI
Putih jalan juangnya adalah dekat dengan para pejabat.
Karena iming-iming penguasa telah berhasil meluluhkan
militansi tokoh-tokohnya. Mereka berduyun-duyun memasuki
birokrasi hingga menjadi penindas-penindas baru. Keadaan ini
serupa apa yang kerap dirasakan kader-kader himpunan
sekarang: pemimpin-pemimpinnya ditawari pelbagai posisi
dalam pranata kenegaraan. Ketika senior-alumninya diberi
jatah di kursi pemerintahan, gerakannya kemudian menjadi
tak karuan. Pemberian jabatan soalnya merupakan cara ampuh
untuk melumpuhkan organisasi pergerakan.

Akibat dikooptasinya gerakan maka independensi sebagai


moral gerakan tak jarang diperjualbelikan bagai komoditi.
Melaluinya bukan hanya para kapitalis yang diuntungkan,
melainkan pula kelompok oligarki. Dalam demokrasi borjuis
yang mempertahankan tatanan kapitalisme, keduanya sama-
sama merawat kekuasaan dengan kekuatan modal yang
dimiliki. Joseph A. Scumpeter pernah mengatakan:
‘kapitalisme menciptakan suatu kerangka pikiran rasional
yang dapat menghancurklan otoritas moral dari begitu banyak
lembaga’. Contoh utamanya adalah ketika Orba berkuasa.
Kekuasaan yang hegemonik tak sekedar mempertahankan
struktur yang ada, namun juga mendorong perubahan-
perubahan dalam cara pandang dari banyak gerakan-gerakan
sosial. Di masa Pemerintah Soeharto terdapat upaya untuk
mengakui Islam sebagai agama, tapi tidak mentolerir usaha
apapun untuk menciptakan ideologi yang punya karakter
tersendiri. Karena dengan dijadikannya Islam sebagai ideologi
akan memunculkan organisasi gerakan yang kuat seperti SI:
kerap kali menentang legitimasi kelas penguasa. Maka dengan

489
dipancangnya Islam hanya sebagai budaya, Orba kemudian
mendukung lahirnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam.
Kala itu dasar-dasar pembaharuan pemikiran Islam
ditanamkan oleh anak-anak muda yang tumbuh di HMI:
Nurcholish Madjid dan kawan-kawan. Pada akhirnya
konstruksi pembaharuan yang digagas memberikan
sumbangan penting terutama bagi dikukuhkannya kekuasaan
negara. Eko Prasetyo menjelaskan begitu rupa:

…gagasan pembaharuan yang digagas memang


cenderung lebih pragmatis dan memepertahankan status
quo. Karakteristik yang menonjol dalam anak muda
pembaharu ini lebih memiliki sikap harmonis,
menerima sistem secara damai, kurang radikal dan
kurang fanatik terhadap umat. Islam di tangan kaum
pembaharu ini berkembang lebih liberal: Islam menjadi
terbuka terhadap berbagai interpretasi yang tunggal.
Sebuah Islam inklusif pun hadir dan terbentuk, tentu
saja, melalui bantuan kekuasaan dan secara tidak
langsung bantuan pemodal. 373

Pola yang sama bahkan bertahan sampai sekarang di Era


Reformasi. Melalui sistem patronase banyak aktivis-aktivis
muda muslim ini meniti pada berbagai posisi penting, baik
departemen maupun BUMN. Maka birokrasi negara pun
seolah menjadi ‘hijau-hitam’ oleh senior-alumni HMI.
Mereka menjadi politikus maupun birokrat bukan semata-
mata karena keterampilan atau kemampuan, tetapi
berdasarkan loyalitas kelompok aktivis ini pada negara.
Departemen-departemen basah jadi ajang rebutannya.

373
Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal Dari
Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 207.

490
Sementara melalui pertautan dengan kepentinga-kepentingan
yang cukup kompleks, maka mereka yang duduk di birokrasi
akhirnya bersifat cukup oportunistik. Itulah sebabnya sikap
gerombolan tersebut amat serupa: kebanyakan cenderung
mempertahankan status quo. Mitos pembangkangan terhadap
kelas penguasa lenyap, karena mereka mengapresiasi doktrin-
doktrin keagamaan yang cocok dengan proyek pembangunan.
Sejak zaman Soeharto sampai Jokowi, doktri keagaamaan-
pembangunan mengalir deras dalam rahim himpunan.
Walhasi, organsasi ini sulit sekali bergerak secara progresif,
radikal, dan revolusioner—untuk memperjuangkan
perubahan, terutama merubah tatanan.

Daripada menajamkan memperkuat kaderisasi dan


menajamkan gerakan, mereka justru betah menjadi pelayan
kekuasaan. Melalui bantuannya maka kelas penguasa bukan
hanya mendapatkan peran dominan, tapi juga banyak stok
kewacanaan. Dalam perjalanan sejarahnya HMI telah
menyumbangkan pelbagai wacana untuk mendukung negara:
pembangunan dan pembaharuan pemikiran Islam, gagasan
tentang masyarakat madani, toleransi dan Islam inklusif.
Pemikiran-pemikiran inilah yang selama ini diorganisasi oleh
pengurus dan anggota-anggota himpunan untuk
disebarluaskan secara masif. Fenomena tersebut kemudian
menjadi persis kata Foucalt: ‘pengetahuan sesungguhnya
merupakan produk prinsip-prinsip pengorganisasian tertentu’.
Prinsip itulah yang dibingkai dan dikukuhkan sebagai ideologi
pembangunan yang rasional tapi kapitalistik. Melalu ideologi
inilah HMI diarahkannya berperan selaku aktor sejarah yang
berada pada posisi terdesak bukan saja oleh kepentingan besar
kekuasaan melainkan juga instrument modalistik. Ancaman

491
ini sangat sulit dihadapi oleh HMI, karena organisasi kurang
serius memperhatikan struktur sosial tempat modal tumbuh
dan berkembang dengan pesat. Pemikiran-pemikiran modernis
soalnya bukanlah merupakan pisau analisis yang tepat.
Modenisme enggan menelanjangi, mem bedah, dan
merubahnya, melainkan merawatnya secara amat sangat.
Lihat saja bagaimana himpunan bersikap dependen pada
Orba. Bahkan setelah reformasi mental-mental warisan rezim
lama itu masih membekas begitu rupa. Walhasil, seabrek
pengurus hingga senior-alumni HMI kerap kali luluh oleh
bujuk-rayu kelas penguasa. Makanya persoalan-persoalan
rakyat enggan disuara.Modal sepertinya telah menyumbat
mulut, tenggorokan, perut, bahkan nuraninya.

Akhirnya penderitaan-penderitaan rakyat miskin dan tertindas


tidak mampu lagi dirasa dan dipikir. Keadaan iniah yang
membuat independensi HMI terancam lapuk di kertas kusut
Anggaran Dasar. Demokrasi borjuis soalnya memosisikan
mereka sebagai pelayan pembangunan-pembangunan yang
dilakukan para oligark. Keadaan demikian sudah seharusnya
mendorong kita untuk mulai mengubah pandangan: berhenti
terpukau terhadap gagasan-gagasan modern yang terangkum
dalam kredo-kredo ideologi pembangunan warisan Orba.
Sadarilah: keyakinan bahwa satu-satunya cara untuk maju
adalah dengan mengikuti resep ekenomi pertumbuhan telah
mengakibatkan umat memfokuskan pada bagaimana modal
cultural dari masyarakat industri harus tertanam. Maka dengan
penuh gairah diadopsilah pelbagai gagasan pembangunan
yang pada dasarnya memudahkan ekspansi modal dalam
menerobos dan meluluhlantakan kehidupan sosial, ekonomi,
politik, budaya kerakyatan. Kini waktunya pemikiran-

492
pemikiran modernis dievaluasi: bukankah gagasan-gagasan
pembaharuan tidak pernah menyentuh dimensi
pembangkangan terhadap struktur kapitalisme, melainkan
menerimanya dengan penuh persahabatan? Jawablah secara
jujur: bukankah dirimu sudah jenuh memperbanyak dan
menyebarluaskan doktrin keagamaan yang berorientasi pada
pengembangan pribadi tanpa menyentuh sistem ekonomi-
politik dan struktur sosial-kemasyarakatan? Berhati-hatilah:
ajaran yang meniscayakan keutamaan pribadi menjadi modal
kultural bagi gerak modernisasi dan pembangunan. Ingatlah!
Ali Syari’ati pernah menyatakan:

…modernitas adalah metode paling baik untuk


menyesatkan dunia non-Eropa dari segala susunan,
bentuk pemikiran dan kepribadian mereka sendiri.
Kapitalisme global telah mengiming-imingkan
“modernisasi” di hadapan setiap masyarakat dunia
ketiga. Orang-orang eropa sadar bahwa dengan
menggoda penduduk timur dengan keinginan yang kuat
akan modernisasi, ia akan bekerjasama dengan mereka
untuk menolak masa lampaunya sendiri unsur pokok
kebudayaannya, agama [sebagai idiologi pembebasan]
dan kepribadiannya yang unik….374

374
Ali Syari’ati, (2017), Sejarah Masa Depan, Yogyakarta: Karkasa.

493
Korporatisme Negara Mencemari
Semangat Pembebasan Islam

“Kini aku sudah tua


Aku terjaga dari tidurku
di tengah malam di pegunungan
Bau apakah yang tercium olehku?
Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
yang dibawa oleh mimpi kepadaku?” (WS Rendra)

“Umur bukan ukuran tahun, akal bukan ukuran tubuh, sehari


hidup singa di rimba, seratus tahun bagi si domba.”
(Muhammad Iqbal)

“Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan


yang membuat kita sulit. Karena itu jangan pernah mencoba
untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba.
Maka jangan katakan pada Tuhan aku punya masalah tapi
katakan pada masalah aku punya Tuhan yang Maha
Segalanya.” (Imam Ali)

Usia HMI sudah tidak muda lagi. Dia sudah tua, penuh
dengan uban, hingga berompong gigi. Tetapi ia memiliki
pengalaman yang amat berisi. HMI berhasil melewati zaman
kekuasaan Orla, Orba, dan kini telah menghirup udara
Reformasi. Organisasi ini telah merasakan bagaimana hidup
bersama Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati,
SBY, hingga Jokowi. Hanya abad 20 telah berlalu. Sekarang
tibalah abad 21. Masa di mana perkembangan kapitalisme
semakin brutal, sadis, dan tidak mudah layu. Francis
Fukuyama berdalih bahwa kapitalisme merupakan akhir dari
sejarah umat manusia: fase sosio-historis tersebut adalah
perkembangan paling puncak dari sejarah dan masyarakat.

494
Maka inilah saatnya peradaban umat manusia berada pada apa
yang dikatakan Hegel: perkembangan yang semakin rasional.
Air kehidupan yang terus-menerus mengalir kemudian
mempengaruhi setiap yang ada di dalamnya, termasuk HMI.
Itulah kenapa sejak kelahirannya, himpunan selalu berusaha
meng-upgrade diri. Organisasi telah beberapa kali berganti
tujuan sampai tiba pada sebuah visi kontemporernya:
terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT.

Tujuan HMI selintas lalu memang agak tegas dan nampak


lugas dan elegan. Makanya organisasi ini merumuskan sifat
yang (katanya) independen, berstatus organisasi mahasiswa,
berfungsi sebagai organisasi pengkaderan, dan berperan
menjadi organisasi perjuangan. Dan yang menjiwai survive-
nya himpunan adalah Islam yang dijadikan sebagai asasnya.
Tetapi jika betul Islam ditempatkan selaku dasar, maka patut
dipertanyakan karakter keberagamaannya. Apakah organisasi
menisbahkan Islam sebagai tradisi? Ataukah mematutkan
Islam jadi ideologi? Keberislaman yang hanya dijadikan
tradisi tentu akan membuat ajaran wahyu melanggengkan
status quo. Keadaan yang demikian mengakibatkan ajaran
langit gagap dalam membumi. Sementara keberislaman yang
dilaksanakan berdasarkan dorongan semangat ideologi
mampu memfungsikan Islam menjadi alat pembebasan. Saat
itulah himpunan memiliki senjata untuk menyelamatkan,
membela dan menghidupkan keadilan dalam alam kenyataan.
Artinya kekuatan ajaran disalurkan langsung untuk menerjang
segala permasalahan yang menyelimuti kehidupan.

495
Maka agama kemudian diaplikasikan sebagai alat perjuangan,
terutama untuk memanusiakan manusia. Begitu banyaknya
teks-teks Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berbuat
adil dan menentang kezaliman penguasa. Ayat-ayat Tuhan
yang tersurat maupun tersirat—secara langsung atau tidak
langsung—menggugat kondisi-kondisi ketidakadilan yang
terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dengan membenturkan wacana langit pada
realitas, HMI pasti akan mendapati dirinya melanjutkan
perjuangan seorang Lafran Pane yang telah menghadirkan
organisasi sebagai alat perjuangan melawan kebodohan,
kesesatan umat, dan kolonialisme-imperialisme. Apa yang
dilakukannya Lafran pada awal-awal kiprah HMI, menjiwai
asas Islam sebagai ruh gerakan. Islam menjadi sebuah
ideologi berbasiskan semangat ketauhidan yang mendorong
penganutnya melakukan pembebasan. Dalam pandangan
hidup tauhid, manusia hanya menaruh takut akan satu
kekuatan dan hanya merasa bertanggung jawab pada satu
hakim. Ia hanya mengahadap ke arah satu kiblat, dan
menunjukan harap dan hasratnya cuma kepada satu sumber.
Akibatnya ialah bahwa selain yang bertolak dari
ketahuhidannya, maka semuanya palsu dan tanpa arti—selain
itu keserbamacaman kecenderungan usaha, hasrat, serta
harapan dan ketakutan manusia adalah sia-sia tanpa guna.
Untuk mengurai ini dengan singkat, padat dan jelas—ada
baiknya kita simak tulisan Ali Syari’ati:

Tauhid memberkahi manusia dengan kebebasan dan


kemuliaan. Menyerah semata-mata kepada-Nya, norma
teragung dari segala-galanya, membuat manusia

496
memberontak terhadap semua kekuasaan dusta,
mematahkan segenap belenggu dan kerakusan nista.375

Tauhid dengan demikian menjadi sebuah ajaran yang berisi


dorongan-dorongan untuk melakukan pembebasan. Kekuatan
inilah yang diperlukan untuk melawan kapitalisme dan
oligarki sebagai suatu sistem yang terus-menerus menghisap
kehidupan umat manusia. Namun setelah penerimaan asas
tunggal Pancasila sebagai asas organisasi, hingga sesudah
pergantian kembali ke asas Islam: gerakan HMI terasa
melempem, bahkan tidak semilitan awal-awal kelahirannya.
Itulah mengapa organisasi kemudian terjerambab dalam
tikungan sejarah: memilih memancang sikap kooperatif
terhadap pemerintahan dengan berbagai wacana yang
konstruktif. Pemikiran-pemikiran kader dan alumni HMI
digunakan untuk melancarkan pembangunan yang berdiri di
atas bangunan kapitalisme-neoliberalisme. Keadaan ini seakan
menjadi lonceng kematian sebuah organisasi gerakan. Lihat
saja bagaimana HMI gagal mengakomodasi isu-isu
kemanusiaan secara progresif. Setelah tumbangnya Soeharto,
tidak pernah terjadi himpunan mendesak pemerintah untuk
memulihkan kembali hak-hak para Tapol dan orang-orang
menjadi penyintas akibat dituduh terlibat dalam G30S.
Padahal dalam genealogisnya Islam mengandung embrio-
embrio revolusioner.

Kekuatan protes dari Islam gagal tersalurkan ke dalam aksi


kongkret dalam kehidupan keseharian. Maklum organisasi
keagamaan itu gagal menjadikan agama sebagai alat
pembebasan. Itulah sebabnya berduyun-duyun pengurusnya

375
Ibid, Hlm. 77

497
berkompromi dengan rezim. Sehingga banyak sekali persolan
penggusuran lahan yang mengakibatkan tersiksanya rakyat
enggan disoroti. Ini terlihat jelas ketika HMI hanya bisa
bergeming ketika terjadi konflik vertikal antara kaum miskin
dengan penguasa dan pengusaha di beragam wilayah:
Freeport Papua; Tiaka, Bangai dan Bombana di Sulawesi
Tengah; Meranti dan Suluk di Bongkal Riau; Ongan
Komering Ilir di Sulawesi Selatan; Kebumen di Jawa Tengah;
Sidoardjo di Jawa Timur; Wot Galih di Lumajang; dan Mesuji
di Lampung—dan masih banyak lagi contohnya. Dalam
keadaan ini HMI seakan ketiduran. Tidak ada sama sekali
usaha-usaha gerakan yang mampu memberikan pendidikan
politik kepada rakyat, agar mereka mendapatkan pengajaran
tentang bagaimana mengarungi kehidupan di zaman modal.
Walhasil, organisasi abstain dalam membangkitkan kesadaran
massa-rakyat untuk lebih jernih melihat kehidupan yang
dipenuhi tebaran kasus korupsi elit-elit birokrasi, buruh yang
dieksploitasi perusahaan, persoalan dunia pendidikan yang
carut-marut, dan segudang polemik nasional maupun lokal
lainnya.

HMI bukan hanya tak bisa menanamkan kesadaran


perlawanan pada rakyat miskin dan tertindas, namun juga
tidak punya komitmen atas nilai. Lihatlah: pergerakannya
enggan mengadvoksi persoalan-persoalan pada sektor riil
kehidupan rakyat, melainkan malah lebih bereaksi apabila ada
kadernya yang mendapatkan aksi represif aparat saja. Ini
merupakan sebuah pertanda bahwa organisasi tidak terlalu
mempersoalkan penderitaan serta ketimpangan-ketimpangan
yang dialami oleh orang-orang di luar tubuh organisasi:
mereka yang setiap harinya bekerja banting-tulang, tapi tetap

498
kesulitan membiayai hidupnya; mereka yang menjadi
mayoritas termiskinkan di tengah kekayaan segelintir
kalangan; dan mereka yang terus-menerus dijauhkan dari
akses kesehatan dan pendidikan layak di kala pembangunan
digencarkan atas nama kesejahteraan. Asghar Ali Engineer
memberitahukan, jika Islam benar dijadikan sebagai landasan
perjuangan maka yang seharusnya dilakukan adalah bergerak
berhadap-hadapan dengan segala yang meluncurkan
kemanusiaan:

Islam yang dibawakan Muhammad SAW ialah suatu


agama dengan penuh semangat memperjuangkan hak-
hak manusia hidup sejahtera di muka bumi. Melawan
sistem yang menindas, tidak mengecualikan manusia di
atas manusia lainnya, benci pada keserakahan segelintir
golongan. Bahkan semasa rasul hidup dan beberapa
dekade sesudahnya, Islam menjadi kekuatan yang
revolusioner. Para sejarawan membuktikan bahwa
rasulullah sebagai utusan Allah melawan hingga
berhasil menggulingkan tangan-tangan yang
membahayakan manusia. Dengan demikian kehadiran
Islam adalah untuk merubah status quo serta
mengetaskan kelompok yang miskin dan tertindas—
mereka inilah yang disebut kaum musttad’afin dan
dhuafa. Sirah nabawi mengajarkan pada kita bahwa
masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi
sebagian anggota lainnya itu tidak dapat disebut sebagai
masyarakat Islam. Suatu hadist mengatakan, bahwa di
dalam negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya
ada kekufuran, namun tidak dapat bertahan jika di
dalamnya terdapat zulm (penindasan).376

376
Asghar Ali Engineer, (2009), Islam dan Teologi Pembebasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 7.

499
Pelajaran gerakan sebenarnya bisa ditauladani dari
Muhammad SAW. Namun setelah berhasil memberikan
dukungan pada militer kanan untuk menyongkel kekuasaan
Soekarno—dan semenjak 1969-sekarang, yang dalam sejarah
HMI tercatat sebagai fase pembangunan—maka organisasi ini
lebih mantap mendukung agenda-agenda pembangunan dari
pemerintah. Itulah mengapa negara kemudian memberikannya
hadiah: para aktivisnya bisa dengan mudah mendekat dan
menjadi bagian kelas penguasa. Lama-lama ini menjadi
perbuatan yang banyak melahirkan sikap kompromistis atas
nama ikatan, jaringan, jabatan, bahkan keuangan segala.
Padahal kita mengerti: sejatinya kejahatan yang paling
sempurna adalah kejahatan yang dilakukan oleh negara. Lord
Action pernah berkata: ‘kekuasaan itu cenderung korup’.
Maka kekorupan kerap kali dilancarkan oleh alumni-alumni
HMI. Korupsi yang diajarkan Orba kini telah menjadi
kebiasaan yang tak mampu ditinggali. Karena orang-orang
yang ada dalam pranata kenegaraan ialah mereka yang lahir,
tumbuh dan berkembang serta banyak menelan pil ajaran
Soeharto.

Sisa-sisa rezim lama bisa dilihat bagaimana sepak terjangnya


pada pranata kenegaraan: orang-orang ini memegang jabatan-
jabatan strategis, bahkan sekaligus pengusaha. Keberadaan
mereka bukan lagi rahasia. Richard Robinso dalam bukunya
Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, menyatakan
pihak militer Indonesia telah terlibat dalam kegiatan ekonomi
sejak 1950-an. Tujuannya agak gila: bukan sekesar mencari
pendapatan di luar anggaran biasa bagi kepentingan operasi
masing-masing komando dan kesatuan militer, melainkan
pula demi kepentingan pribadi dan politik para perwira dan

500
faksinya. Rata-rata bisnis tersebut bersifat illegal dan
dilakukan dengan sangat mengada-ada. Bentuknya terlihat
lewat berbagai pungutan pengangkutan barang,
penyelundupan, dan pemberian perlindungan bagi kejahatan
terorganisir.

Meski kini di Era Reformasi secara resmi aneka bentuk


kejahatan terorganisir telah banyak dikurangi, tapi praktek-
praktek bisnis dengan pola pendekatan kekuasaan masih
marak terjadi. Itulah yang terpampang jelas dalam film
documenter Sexy Killers (lihat bagian terdahulu: Kenapa HMI
Harus Dibubarkan?): anak sulung Presiden Jokowi memiliki
bisnis dengan pengusaha-militer yang didukung oleh tokoh
agamawan. Dari zaman Soeharto sampai Jokowi, sirkulasi
modal selalu saja menggunakan kekuasaan sebagai penopang
utamanya. Beni Pramula menyebutkan, pemainnya lebih
variatif, baik tokoh militer maupun sipil yang memiliki
kedudukan kuat dalam politik. 377 Inilah alasan pertama dan
yang paling utama kenapa HMI dan para alumninya harus
berhati-hati menempati pranata kenegaraan. Jangan sampai
gerakan HMI terinfiltrasi oleh kekuatan modal yang telah
menggerayangi tubuh pemerintahan! Sepertinya kita harus
meresapi baik-baik pernyataan dari salah satu alumni HMI
yang berkata demikian:

Di arena politik praktis kita melihat para alumni HMI


tersebar ke semua partai politik yang dengan
misleading disebut telah terbentuk suatu ‘HMI
Connection’. Tetapi dengan sistem politik yang ada

377
Beni Pramula, (2015), Ironi Negeri Kepulauan, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, Hlm. 53-54.

501
sekarang, alumni tidak mungkin berpolitik secara
sempurna beridealisme seperti harapan tujuan HMI,
betapapun tujuan organisasi telah menjadi semacam
spirit perjuangan mereka. Apabila himpunan terlalu
terpukau dengan kebesaran networking (jaringan) para
alumninya, bila HMI makin terjerumus dengan kegiatan
politik praktis, dan bila HMI terlalu responsif dengan
situasi yang bersifat current event (kegiatan saat ini),
maka organisasi ini secara pasti semakin menjadi
myopic (lamur).378

Tidak kita pungkiri bahwa HMI dari dulu sampai sekarang


mengemban tugas agama dan negara. Tetapi itu seharusnya
sekedar jadi jalan, bukan malah tujuan utama. Karena tujuan
utamanya mestilah memperjuagkan kesejahteraan rakyat.
Perjuangan itu bertolak dari semangat ketauhidan. Itulah
mengapa perjuangan melawan hawa nafsu dan tirani
merupakan suatu keniscayaan. Hanya nafsu dan tirani
sekarang telah mengambil bentuk kekuatan modal dan
otoritas. Jangkauan pengaruhnya bahkan mengakibatkan
gerakan HMI tampil begitu gagap: kian jauhnya agenda
organisasi dengan kebutuhan kongkret rakyat. Usaha untuk
melakukan aksi yang massif bukan hanya makin sedikit
mendapat dukungan, melainkan juga kurang mendapat
perhatian. Justru yang lebih diperhatikan adalah kritikan lewat
medsos atau media-media mainstream. Kritikan ini
mengatasdirikan membela rakyat, tapi di lain sisi amat naïf:
sekedar untuk menunjukan eksistensi organisasi. Maka dalam
istilah pemasaran, gerakan menjadi kian kehilangan fokus:

378
Ali Asghar dan Aridho Pamungkas, (2013), Perpecahan HMI
Menggugat Kebangkitan Intelektual, Jakarta: Bumen Pustaka Emas, Hlm.
52-53.

502
ada sebagian yang kemudian merapat ke partai politik tertentu
dan terdapat pula yang membangun aliansi dengan gerakan
muda lain.

Ketiadaan fokus gerakan mengakibatkan himpunan makin


terkikis kemampuannya untuk membangun analisis yang
tajam dan jitu dalam bergerak. Makanya pilihan aksi kian
ngawur, asal ada panggung, dan terutama berdiri di atas
pandagan picik. Lambat laun kader-kader cenderung terbujuk
merubah etos gerakan massa ke gerakan pemikiran tanpa
mampu membuat keduanya menjadi kompak. Walhasil, HMI
kemudian bukan lagi menjadi tempat untuk melakukan
pendidikan tapi batu loncatan dalam mencapai jabatan yang
lebih tinggi, baik dalam himpunan maupun di eksternal
organisasi. Eko Prasetyo menerangkan bahwa perbuatan yang
demikian efeknya menjadikan gerakan kian bergantung, baik
dengan keberadaan senior maupun lembaga-lembaga yang
dijadikan patron.379 Lama-lama itu juga mengarahkan gerakan
semakin ekslusif. Pikirannya tak lebih besar dari sepiring nasi.
Lihat saja bagimana himpunan kesulitan membangun aliansi
bersama organisasi-organisasi progresif, baik yang bukan
berbasiskan keagamaan maupun berbeda ideologi.

Memang bekerja sama dengan instansi pemerintahan apalagi


punya akses lebih terhadap kekuasaan dapat memudahkan
setiap aktivitas organisasi, terutama dalam memperlebar
sayapnya. Tetapi berdasarkan preseden pahit di masa Orba;
bukankah itu dapat membelenggu gerakan organisasi?
Tidakkah yang demikian mencerminkan sifat kaum aristokrat

Eko Prasetyo, (2005), Assallamu’alaikum: Islam Itu Agama Perlawanan,


379

Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 52-55.

503
yang tidak berpihak kepada kepentingan kaum kecil dan
tertindas? Dan apakah hal tersebut menauladani sosok dan
semangat seorang Lafran Pane yang berhasil menjiwai
semangat nabi: ajaran pembebasan Islam membuatnya berani
meneguhkan sikap berlawan terhadap situasi dan kondisi pada
zamannya? Tugas agama dan negara yang diperankan
organisasi pada mula buka kemunculannya adalah
mencerminkan sikap organisasi yang progresif. Lembaga
mahasiswa Islam ini benar-benar mengamalkan ajaran Islam
untuk membebaskan umat dari cara-cara keberagamaan yang
dangkal dan vulgar.

Dewasa ini—dengan bentuk yang berbeda—prototipe


revolusioner seperti itulah yang kita butuhkan untuk
membangun kesadaran berlawan yang tidak setengah-
setengah. Perlawanan yang setengah hati sangatlah mudah
sekali tunduk di bawah sistem dan struktur yang telah
dirembesi oleh kelompok oligarki dan kapitalis. Maka
membangun kerja sama dengan pemerintah bukanlah pilihan
terbaik dan bagus. Karena penguasa begitu canggih dalam
meruntuhkan idealisme gerakan. Karl Marx memberitahukan
bagaimana kelicikan elit-elit pemerintah: ‘negara
sesungguhnya adalah alat pemaksa yang digunakan oleh kelas
yang sedang berkuasa untuk memadamkan segala
kemungkinan perlawanan dari kelas yang sedang dihisapnya
secara ekonomi’. Itulah kenapa himpunan perlu sekali
menjaga jarak dari kekuasaan, sewalaupun yang sedang
menjabat adalah alumni HMI sekalipun. Jangan naïf: mari kita
akui relasi pemerintah dengan aktivis mahasiswa itu sangat
berbahaya bagi kelangsungan dan kemurnian gerakan! Yusuf
Maulana menyebutkan hubungan yang demikian sebagai

504
‘korporatisme atas aktivisme mahasiswa’. Dia bahkan
memberi penjelasan bagaimana hubungan itu berlangsung.
Dalam karyanya Aktivis Bingung Eksis, fenomenanya telah
kita alami bersama pada masa pemerintahan yang di mana
wakil presidennya adalah alumni sekaliber himpunan:

Bagi pemerintah, bentuk relasi ini bagian dari


menciptakan harmoni agar program pembangunannya
berjalan lancar. Sedangkan bagi mahasiswa, relasi
dengan pemerintah memiliki spektrum kepentingan
yang luas: mulai dari persekutuan jangka pendek
hingga membangun jaringan kerja pada masa
mendatang. Relasi ini sendiri tidak harus didahului oleh
ancaman fisik-langsung dari pihak dominan
(pemerintah) kepada pihak yang subordinat
(mahasiswa). Seperti yang terjadi saat 2005, beriringan
dua kali dinaikkannya harga BBM (1 Maret dan 1
Oktober), Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla serius menjalankan korporatisme; bukan
kooptasi-koersif sebagaimana praktek kekuasaan Orde
Baru.380

Kala itu negara bahkan berhasil merembesi pelaksanaan


pembukaan Kongres HMI. Di acara inilah SBY mulai beraksi.
Yusuf Maulana berpandangan bahwa pidato presiden dalam
Kongres HMI XXV di Makassar itu sarat kepentigan:
ucapannya sekilas terdengar mulia namun jika didalami
sangat munafik: himpunan diminta menjadi organisasi
mahasiswa independen dan tidak terjebak dalam politik
praktis. Politik praktis yang dimaksudkannya ialah seperti ikut
menekan kebijakan-kebijakan pemerintah semisal

380
Yusuf Maulana, (2015), Aktivis Bingung Eksis: Pentas Gerakan
Mahasiswa di Era Korporatisme Kuasa, Surabaya: Pustaka Saga, Hlm. 12.

505
menurunkan harga BBM. Maka melalui pamberian panggung
itulah gerakan oragnisasi dihadang begitu halus dan penuh
persehabatan. Karena segala perkataan yang disampiakn SBY
bukan dilontarkan dalam ruang hampa, tetapi memiliki
relevansi dalam situasi dan kondisi pemerintahan. Bagi Yusuf,
wacana mengindependenkan organisasi tidak lebih adalah
praktik diskursif SBY yang mencoba meminimalkan atau
menetralkan potensi revolusi HMI. Dalam keadaan yang
beginilah fenomena korporatisme inklusif terjadi.

Secara etimologis korporatisme merupakan sistem ekonomi,


politik dan sosial yang melibatkan masyarakat untuk masuk
ke dalam kelompok korporat. Alfred Stepan membagi
korporatisme ke dalam dua jenis: inklusif dan ekslusif.
Korporatisme Inklusif adalah ketika di dalamnya ada upaya
pemerintah untuk mendistribusikan sebagian kekuasaannya
pada kelompok-kelompok dalam kepentingan masyarakat.
Pendistribusian ini dilakukan lantaran rezim memiliki
keterbatasan mengelola seluruh kuasa dalam menstabilkan
pemerintahannya. Sementara korporatisme ekslusif ialah saat
kemampuan pemerintah untuk menguasai kelompok-
kelompok kepentingan meningkat—di sinilah hadirnya
kontrol-koersif dari penguasa. Kedua jenis korporatisme itu
sama-sama dapat mengakibatkan gerakan mahasiswa tidak
berdaya. Jenis yang pertama melemahkan organisasi karena
korporatisme memecah aktivis-aktivis ke dalam konfigurasi
pragmatis dalam perebutan kepentingan berelasi dengan
kekuasaan. Sedangkan jenis kedua mengurangi kekuatan
gerakan melalui cara-cara represi yang dilakukan oleh aparat
seperti TNI-Polri untuk mengawal pembangunan agen-agen
kapitalisme-imperialisme dalam birokrasi pemerintahan.

506
Korporatisme inklusif yang dilakukan pemerintah kepada
gerakan HMI begitu subtil dan agak zalim. Lihatlah
bagaimana kehadiran para pejabat-pejabat negara pada tiap-
tiap setiap pembukaan acara internal organisasi; Konfercab,
Musda, hingga Kongres. Dalam Kongres misalnya, coba
bayangkan siapa yang hadir? Iya, Presiden! Tanpa
kehadirannya Kongres organisasi ini seakan tidak siap untuk
dibuka. Itu terjadi dalam Kongres HMI XXX di Ambon 2018.
Pesta demokrasi himpunan yang memakan anggaran bernialai
miliaran itu hampir seharian diundur, karena Jokowi belum
datang menebar kata-kata mutiaranya di atas panggung.
Wajarlah diundur, soalnya pemberi biaya pelaksanaan
kegiatan belum datang. Seolah si presiden ini adalah Ketua
Umum yang bakal demisioner atau alumni organisasi kita
saja! Apa yang terjadi di Kongres sesungguhnya sama halnya
dengan di Konfercab ataupun Musda: coba aja tengok di
wilayahnya masing-masing! Kehadiran mereka patut kita
curigai. Tentu kader-kader yang berpengalaman menjadi
panitia kegiatan HMI tahu betul barapa besarnya dana yang
dibutuhkannya untuk membiaya acara. Dana yang begitu
melimpah tentunya didapatkan dari kelas penguasa. Sehingga
dalam setiap pembukaan kegitan HMI, pejabat-pejabat
diberikan panggung. Hanya penampilannya di atas penggung
organisasi sangat berbahaya buat kelangsungan gerakan.
Tetapi kita sudah kidung bangga dengan kehadiran elit-elit
pemerintahan.

Sekarang waktunya terbuka: bagaimanakah caranya


menghadirkan sekaliber presiden? Tentu di sini menggunakan
jaringan alumni HMI. Dihubungkan dengan jaringan maka
korporatisme inklusif berjalan mengaliri. Aliran itu berisi

507
racun yang bernama modal dari kelompok oligarki maupun
kapitalis. Dana yang mengalir miliaran tentu bukanlah sebuah
pendananaan yang diberikan secara gratis, melainkan
meminta dibalas. Terutama melalui kepatuhan kepada otoritas
elemen-elemen birokratis. Itulah mengapa organisasi
kemudian semakin terjerambab melaksanakan praktek yang
akomodatif terhadap kepentingan kekuasaan. Daraslah:
seberapa seringnya muncul kabar di berbagai media tentang
pertamuan PB HMI ke istana negara? Bahkan tidakkah kalian
pernah membaca berita: kedatangan rombongan PB ke istana
disambut hangat Jokowi.

Pada waktu itu, sama-sama kita tahu bahwa pertandangannya


ke istana memiliki jarak yang amat dekat dengan Pemilu
2019. Di situ nampak Sadam Al Jihad dan Arya Kharisma
memancarkan senyum manis memantapkan langkah di
belakang presiden. Tetapi semakin dekat hari pencoblasan,
tiba-tiba saja terjadi dualisme kepengurusan PB HMI. Hanya
perpecahan organisasi bukan hanya terjadi di himpunan,
melainkan juga di KNPI yang dengan panas mengahadap-
hadapkan para senior HMI. Entah kenapa pecahnya kedua
organisasi ternama di Indonesia terjadi suasana menjelang
pemilu. Fenomena ini lagi-lagi mesti ditelusuri dengan sebuah
kecurigaan: kami sangat yakin terjadinya konflik kepentingan
dalam HMI dan KNPI itu disebabkan tusukan korporatisme
inklusif dari birokrasi. Berdasarkan proposisi tersebut maka
dapat dipaparkan begini:

Mengenai dualisme PB HMI 2018 diusungkan sebuah:


tindakan pemakzulan Ketum PB HMI Hasil Kongres
XXX di Ambon 2018 (Sadam Al Jihad), memiliki

508
kaitan dengan kencangnya dinamika perpolitikan
Indonesia menjelang Pemilu 2019. Sadam yang dulu
saat Kongres sangat di dukung, sekarang mendadak
ingin dilengserkan dengan suara-suara purau.
Pemakzulannya bukan hanya oleh pengurusnya
melainkan juga Koordinator Presidium MN KAHMI
Hamdan Zoelva, beserta alumni lainnya. Ini diduga
kuat dipicu persaingan antar-gerbong politik senior-
senior HMI yang membawa kepentingan orang-orang
di Istana. HMI dirembes karena memiliki basis anggota
yang berlimpah-ruah. Organisasi ini dianggap
berpengaruh besar baik mendukung maupun
menggulingkan kekuasaan dengan mudah. Makanya
oknum senior atau alumni—yang berafiliasi dengan
para penguasa—melakukan penetrasi terhadap
kepengurusan PB HMI. Mereka mencoba mendikte
pengurus-pengurus organisasi. Hal ini tersirat dalam
dinamika PB HMI yang semakin memanas menjelang
Pemilihan Ketua Umum KNPI dan Pilpres 2019. Sekret
PB HMI dibombardil demo-demo pesanan bahkan
preman bayaran yang teramat sadis. Pengerahannya
digencarkan untuk menanggalakan jabatan Ketua
Umum PB HMI yang diemban Sadam Al Jihad.

Suasana yang penuh ketegangan akhirnya memaksa


MPK PB HMI melakukan sidang yang menetapkan
Arya Kharisma sebagai Pj Ketum PB HMI. Keputusan
ini kemudian didukung penuh oleh Hamdan melalui
otoritasnya di MN KAHMI. Perpecahan yang telah
terligitimasi menimbulkan adanya dua gerbong yang
saling bersaing untuk merekomendasikan siapa yang
pantas jadi Kandidat Ketua Umum KNPI. Pertarungan
memperebutkan jabatan Ketum KNPI itu sebenarnya
dilakukan oleh kedua nama yang sama-sama mantan
anggota HMI: Haris Pertama (politisi Golkar, yang

509
penah mengkader diri di HMI dan Noer Fajrieansyah
(eks politisi PDIP yang menjabat direksi BUMN,
sekaligus mantan Ketum PB HMI). PB HMI begitu
dilematis dalam menentukan dukungan siapa alumni
yang diberi rekomendasi. Namun di bawah
kepemimpinan Sadam ternyata organisasi
mengeluarkan rekom untuk Fajrie, sementara PB HMI
versi Arya mendukung Haris maju di Kongres KNPI.
Kelak di Kongres KNPI yang dilaksanakan pada 18-22
Desember 2018 terjadi pelbagai intrik: Kongres KNPI
yang menetapkan Haris Pertama dan digugat oleh pihak
Fajrie sehingga dilaksankanlah Kongres KNPI Jilid I—
pada Minggu (06/01/2019)—yang memenangkan Noer
Fajrieansyah sebagai Ketua Umum.

Dualisme kepengurusan para senior-alumni himpunan


di KNPI sebelumnya telah duluan menimbulkan
perpecahan junior-juniornya di PB HMI dengan begitu
memalukan. Isu yang digunakan untuk meluncurkan
Ketum hasil Kongres Ambon amat hina: melakukan
pelecehan terhadap perempuan. Kabar ini seperti fitnah:
tidak pernah dibuktikan apalagi dibeberkan ke hadapan
publik tentang kebenarannya. Itulah mengapa
pertikaian-pertikaian yang terjadi merupakan imbas
penggumpalan kekuatan politik nasional menjelang
Pemilu 2019. Lihat saja bagaimana sikap Haris sesudah
memenangkan Kongres KNPI Jilid I: beredar di
pelbagai media nasional dia mendeklarasikan dirinya
mendukung Jokowi-Ma’ruf dalam Pemilu 2019. Hanya
oleh PB HMI versi Arya Kharisma, kepengurusan
KNPI di bawah Haris didukung penuh. Melalui surat
instruksinya ke setiap Badko dan Cabang. Arya
meminta agar semua kader mengikuti pilihannya: sama-
sama patuh terhadap DPP KNPI versi Arya.

510
Korporatisme inklusif yang coba mengarung organisasi
juga nampak jelas dalam Milad HMI ke-72. Acara ini
tak sekedar mengundang Ketua KNPI Haris Pratama.
Tetapi yang terpenting adalah presiden sekaligus calon
kepala negara di pemilu yang selanjutnya. Kegiatan
tersebut diadakan di kediaman politisi-alumni HMI
yang memang mendukung penuh kekuasaan Jokowi:
Akbar Tandjung. Kala itu Akbar menyambut Jokowi
dengan begitu rupa. Dia bukan saja dipakaiakan ulos
tapi juga diberi isyarat menyenangkan: adik-adik HMI
kemungkinan akan terpengaruh untuk mengikutinya—
memilih Jokowi-Ma’ruf untuk memimpin negara.
Ulang tahun himpunan kemudian seperti deklarasi
dukungan terhadap calon presiden. Mungkin itulah
sebabnya, sebelum dimulai acara telah tersebar duluan
undangan deklarasi dukungan untuk Jokowi di tempat
Akbar. Walhasil, kegiatan tersebut berhasil
menghadirkan Hamdan Zoelva dan Jusuf Kalla. Hanya
kehadirannya kompak mengutuk perbuatan Sadam yang
melakukan perbuatan asusila. Makanya kedua tokoh ini
lebih mendukung Pj Ketum PB HMI: Arya Kharisma.
Maka niat busuk untuk mempolitisasi HMI di sini amat
kentara: dalam memenangkan Jokowi-Ma’ruf, Arya
bisa diandalkan dibanding Sadam. Walau Arya
kemudian membantah organisasi tidak akan dipolitisasi
tapi ini dalinya lemah; tak sesuai kenyataan,
mengandung aplogi dan begitu muram.

Antonio Gramsci menemukan sebuah teori hegemoni.


Dalam teorinya dijelaskan bagaimana penguasa akan
menggunakan beragam cara untuk melanggengkan
kekuasaannya, termasuk menguasai aparat represif dan
organisasi kemasyarakatan. Fenomena perpecahan
beruntun tadi: HMI juga KNPI. Menjelaskan
bagaimana rezim melakukan penetrasi terhadap kedua

511
lembaga ini. Hegemoni inilah yang kemudian secara
jelas berbentuk korporatisime inklusif. Dia tidak hanya
melemahkan himpunan tapi terutama menyerap
kekuatan revolusi yang dimiliki: massa-anggota
organisasi. Untuk itulah polarisasi meruap: dualisme
dalam kepengurusan HMI dan dualisme kepengurusan
KNPI. Hanya Saddam berdiri bersama Fajrieansyah,
sementara Arya merapat ke Haris. Walhasil, dengan
pertikaian yang berlarut-larut, HMI selanjutnya alpa
membela kepentingn rakyat. Tenaganya dihabiskan
untuk mengurusi masalah internal, hingga saling
dukung kepada senior-seniornya yang pejabat. Itu
tercermin ketika PB HMI menolak mengambil sikap
terkait pelanggaran HAM pada kecurangan pemilu:
ratusan anggota KPPS meninggal, kriminalisasi tokoh
masyarakat dan dokter yang mengkritik kecurangan
pemilu, tim medis direpresi, dan massa rakyat serta
anak-anak tak bersalah dibunuh dalam aksi 21-22 Mei
2019. Malah dalam suasana yang carut-marut ini
kepengurusan yang berdualisme kompak sekali
meredam gerakan-gerakan kaum tertindas. Lihatlah
bagaimana tindakan yang diambil oleh Sadam Al-Jihad:
dia dengan penuh percaya diri bicara di Metro TV untuk
menghimbau masyarakat tidak melakukan protes.
Sadam dan Arya sesungguhnya serupa: berusaha
mengamankan kekuasaan Jokowi. Hanya keduanya
tidak segerbong: berbeda senior maupun alumni yang
diekori. Perbedaan siapa-siapa yang dipatroni inilah
yang menjadi penyebab utama perpecahan di internal
organisasi.381

381
Catatan dari diskusi-diskusi dengan pelbagai kader HMI sepanjang 2019,
di NTB.

512
Apa yang dipaparkan di atas bukan sekedar berusaha
menggambarkan bagaimana berlangsungnya korporatisme
inklusif, melainkan juga korporatisme ekslusif. Korporatisme
ekslusif menyambar lewat cara-cara aparat TNI-Polri
menangani aksi massa 21-22 Mei 2019. Cara yang dipakai
begitu sarat kekejian. Mula-mula preman diminta
memprovokasi massa rakyat sampai marah dan bertindak
ekstraktif. Ketika suasana mulai merusuh maka inilah yang
sebenarnnya dicari pemerintah sebagai dalih untuk melakukan
tindakan represif. Represifitas aparat kemudian menelan
ratusan korban luka-luka bahkan puluhan meninggal dunia;
beberapa di antaranya adalah bocah-bocah malang yang tidak
berdosa. Anak-anak sekolah ditembaki peluru oleh Brimob
tanpa pandang bahwa mereka bukanlah peserta demonstrasi.
Tetapi untuk menutupi kejahatan ini, penguasa dengan
pelbagai alat propagandanya menyebarkan berita bohong
bahwa yang ditembak dan dipukuli bukanlah anak-anak yang
sedang bermain, melainkan memang pelaku aksi. Itulah yang
kita sama-sama tahu menimpah Harun Al Rasyid: bocah SD
yang dipukuli seperti anjing gila hingga meninggal. Untuk
menutupi kebiadabannya—saking parahnya perilaku sinting
kekuasaan—media sosial pun juga ikut diblokir agar aksi-aksi
dapat diredam dan tidak meluas. Semua ini dilakukan dengan
dalih menjaga stabilitas.

Kestabilan menjadi prakondisi dalam memompa


pembangunan di sana-sini. Makanya peredaman gerakan-
gerakan perlawanan melalui penggerakan kekuatan militer
dijadikan sebagai kebiasaan pemerintahan korporatisme
seperti rezimnya Jokowi. Tujuannya lagi-lagi tidak pernah
beringsut dari kepentingan pembangunannya. Itu dapat

513
dicermati dalam perlakuan bejat yang pemerintah lakukan
terhadap rakyat Papua. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat Papua
menuntut keadilan—yang dilakukan di jalanan Malang,
Surabaya dan Semarang pada Agustus 2019—berujung
dengan balasan koersif. Bahkan TNI-Polri beserta Ormas
yang memiliki hubungan akomodatif dengan kekuasaan
secara leluasa membungkam, menghina dan mengerasi
mahasiswa-mahasiswa di seabrek Asrama Mahasiswa Papua.
Padahal mahasiswa dan rakyat Papua hanya menuntut haknya
yang selama ini dimalingi para oligark dan agen-agen
kapitalisme-imperialisme. Sirkulasi kekuatan modal di
Indonesia telah lama menghadirkan kesenjangan ekonomi dan
diskriminasi rasial bagi penduduk Papua. Perampasan tanah
masyarakat mutiara hitam ditampilkan sangat vulgar oleh
kapital dan negara. Dalih yang diterbitkan sekilas nampak
suci: untuk menyediakan lumbung padi buat bangsa. Tapi
kesucian kata-katanya dikotori oleh pelbagai tindakan
pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua. Makanya West
Papua tiada henti-hentinya meminta referendum segera:
karena di sana telah meluncur wilayah koloni dari Pemerintah
Indonesia. Namun dalam menanggapinya, kelas penguasa
secara pongah membentengi dirinya dengan kegilaan
pemikiran nasionalisme.

Rasa kebangsaan itu menampakan wajahnya dalam bentuk


ultra-nasionalisme. Sebuah persasaan kebangsaan yang amat
ekstrim, ditunjukkan oleh elit-elit politik demi memenangkan
kepentingannya dan tuannya. Ini menyebabkan terjadinya
penyakit megalomaniak: nasionalisme diagung-agungkan
secara buta. Itulah mengapa kekerasan melalui tangan-tangan
militer dan ormas pendukung kekuasaan dihalalkan oleh

514
negara. Bahkan mahasiswa dan rakyat Papua dibombardil
dengan sentimen rasial di bawah panji-panji kapitalisme-
imperialisme yang telah lama menguras habis kekayaan
alamnya. Dalam konteks inilah pemerintah pusat
memproyeksikan dirinya sebagai perpanjangan tangan negara-
negara kolonialisme: menjadi pemerintah kolonial untuk
menjajah Papua. Maka perkembangan negeri-negeri yang
sudah merdeka sekalipun terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan
penjajahan gaya baru; yang menguras habis kekayaan alam,
mengatur kebijakan, dan menawan jantung pemerintahan.
Mereka memaksakan agar perkembangan peradaban negara
jajahan melalui senapan-senapan dan teknologi termaju. Lihat
saja bagaimana bertebarannya aksi kekerasan para serdadu di
Papua. Serdadu-serdau inilah yang kemudian ikut
melanggengkan keberadaan perusahaan-persuhaaan
multinasional di sana.

Eksploitasi terhadap kekayaan alam tanah Papua


mengakibatkan luka yang mengaga bagi penduduk setempat.
Namun suara-suara protes rakyat dan mahasiswa Papua untuk
menuntut refendum, segera dibungkam melalui tameng ultra-
nasionalisme dari kelas penguasa. Itulah sebabnya pemerintah
pusat terus-menerus menjalankan kehidupan ekonomi, politik
dan sosial secara korporatisme; baik secara inklusif maupun
ekklusif. Inilah mengapa dalam menstabilkan kekuasaannya
atas Papua, mereka memakai TNI-Polri beserta ormas yang
dikerahkan untuk mempersekusi, menghina dan melakukan
kekerasan terhadap aksi-aksi mahasiswa dan rakyat Papua. Ini
merupakan cara kerja korporatisme ekslusif, yang senantiasa
mengambil tindakan kontrol-represi. Maka kontradiksi antara
kelas penindas dengan kelas tertindas—yang sebenarnya

515
merupakan permasalahan ekonomi-politik—kemudian diseret
ke permukaan menjadi rasialisme. Ken Budha Kusumandaru
secara tepat telah memprediksakan bahwa pertentangan kelas
dalam masyarakat kapitalis akan berubah jadi konflik ras:

Kelak, epos kapitalisme akan mengambil bentuk


konflik ras. Perubahan sosial dalam berbagai bentuknya
memang ditimbulkan oleh sebab yang sangat beragam.
Namun, perubahan sosial yang mendasar, yang
merupakan perubahan dalam cara manusia
berproduksi, hanya disebabkan oleh dinamika interaksi
antarkelas-kelas ekonomi-politik.382

Ken Budha mendapati kesimpulan tersebut melalui pisau


analisa marxis. Bagi Karl Marx, konflik horisontal di mana-
mana memang tidak pernah terjadi secara alamiah. Karena
pada dasarnya tiap sektor massa-rakyat memiliki kepentingan
ekonomi-politik yang sama, kebutuhan untuk bertahan hidup
yang sama, dan menghadapi penindasan dan penghisapan
yang sama. Makanya dalam konflik rasial yang terjadi di
Indonesia tahun 2019, tidak lain merupakan rekayasa dari
kelas penguasa. Mereka sedang bertempur satu sama lain
untuk mempertahankan lahan yang dihisapnya. Dalam kasus
Papua, kita dapat melihat bagaimana pertautan kepentingan
antara pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat yang
terus-menerus menguras kekayaan alam rakyat mutiara hitam
untuk menopang kekuasaanya. Itulah mengapa kemudian
yang terjadi adalah pertentangan dari kelas penindas dan yang
ditindas. Lalu untuk meredam gerakan rakyat tertindas,
pemerintah melakukan kontrol-koersif. Namun pengerahan

382
Ken Budha Kusumandaru, (2004), Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 93.

516
kekuatan TNI, Polri dan ormas dalam mengepung asrama
mahasiswa di Surabaya malah menggelegarkan sentimen
rasial di tengah kehidupan masyarakat. Dalam konteks inilah
elit-elit politik tidak hanya mempertahankan dominasi melalui
korporatisme ekslusif, melainkan juga terus-menerus
menguatkan hegemoni dengan cara korporatisme inklusif.

Fenomena itu nampak ketika PB HMI berusaha membantu


pemerintah menetralisir rasialisme yang sedang terjadi. Tidak
tanggung-tanggung, Sadam Al Jihad membuat tulisan yang
berjudul Belajar dari Papua, Filosofi Satu Tungku Tiga Batu
adalah Filofofi Pancasila. Tulisannya dimuat pada berbagai
surat kabar online untuk meredam provokasi-provokasi rasial
yang baginya akan memecah belah persatuan bangsa. Sekilas,
tindakan yang diambil begitu bersahaja. Bahkan terkesan
wacana yang ditebarkan merupakan pesanan dari pemerintah
Indonesia. Karena kita tahu sendiri bagaimana korporatisme
ekslusif negara yang selama ini ibaratkan rumah jagal. Itulah
mengapa banyak sekali aktivis-aktivis yang dikriminalisasi,
terutama anak-anak muda yang menyuarakan pembebasan
untuk tanah Papua. Kekuasaan terus-menerus melaksanakan
kejahatan politik. Penguasa bukan hanya menikam rakyatnya
dengan kekerasan fisik, tapi juga simbolik. Kekuatan modal
telah memerosotkan kepemimpinan di negeri ini.
Stokeley Carmichael dan Charles Milton menjelaskan
bahwa kapitalisme memang menyulut diskriminasi, bahkan
memekarkan ‘rasisme terlembaga’—inilah yang pernah
terjadi di Amerika. Kini Tanah Air Ibu Pertiwi pun terlihat
mulai mengikuti jejak negeri Paman Sam. Makanya
pemerintah Indonesia dapat dinisbahkan sebagai pemerintah
kolonial, karena kemiskinan dan keterbelakangan Bangsa

517
Papua merupakan persis fenomena penjajahan warga kulit
hitam di Amerika:

Dengan kata lain, tidak ada ‘dilema Amerika’ karena


warga kulit hitam di negara ini membentuk sebuah
koloni, dan tidak ada niatan dari kekuatan kolonial
untuk membebaskan mereka. Warga kulit hitam adalah
warga Amerika Serikat yang legal dengan, sebagaian
besar, hak-hak ‘legal’ yang sama dengan warga negara
lainnya. Akan tetapi, mereka berdiri sebagai subyek
kolonial dalam hubungan dengan masyarakat kulit
putih. Oleh karenanya, rasisme yang terinstitusi
memiliki nama lain: kolonialisme. 383

Bagi Sadam permasalahan itu bukan kolonialisme tapi


persoalan lain. Maka dengan agak kaku PB HMI mematutkan
keyakinan konspiratif: sedang ada pihak yang mencoba
mengusahakan terjadinya disintegrasi kebangsaan. Itulah
sebabnya dia meminta rakyat Papua jangan terprovokasi.
Namun guliran fakta tereksploitasinya kehidupan manusia-
manusia di tanah Papua diabai. Tebaran kata-katanya enggan
menghiraukan realitas yang tengah terjadi: bagaimana
buruknya kebijakan kesehatan dan pendidikan rakyat mutiara
hitam sementara kekayaan alamnya begitu melimpah terus-
menerus dinikmati oleh penguasa dan pengusaha. Deretan
kalimat Ketua Umum hasil Kongres XXX Ambon itu jelas
mengisyaratkan dukungannya terhadap kelas penguasa. Dia
sepertinya mengamini bahwa sumber masalahnya adalah
rasisme yang ditiupkan oleh anasir-anasir tertentu, namun ia
melupakan diskriminasi dan disharmoni dalam persoalan

383
C.Y. Marselina Nope, (2005), Jerat Kapitalisme Atas Perempuan,
Yogyalarta: Resist Book, Hlm. 29-30.

518
sosial, ekonomi, dan politik warga. Dalam konteks inilah PB
HMI lagi-lagi menisbahkan dirinya berada dalam jeratan
korporatisme inklusif. Makanya organisasi tersebut tak peduli
terhadap kebijakan ekonomi-politik pemerintah sebagai akar
masalah yang sesunguhnya. Bagi Ken Budha tindakan
demikian begitu naïf dan dapat membahayakan:

Berbahaya kalau kita mencari penyelesaian konflik


agama atau suku atau ras, berdasarkan agama, suku,
atau ras an sich. Dengan demikian, kita tidak akan
sampai ke masalah pokoknya dan atas terus berkutat di
permukaan. Kita (hanya) akan menyelesaikan gatal di
kulit tanpa sadar bahwa ada kanker di bawahnya. 384

HMI di era Pasca-Reformasi lagi-lagi masih mempraktekan


gerakan yang akomodatif dan kooperatif dengan
pemerintahan. Seolah orgnisasi ini tidak banyak belajar dari
pengalaman pada masa Orba. Seharusnya kisah pahir bersama
Soeharto dipetik hikmahnya, namun ternyata sama sekali
tidak melakukannya. Itulah kenapa himpunan terus-menerus
memakai gerakan bermahzab kekuasaan yang konservatif dan
agak zalim. Keadaan begini menumpulkan semangat
pergerakan. Islam yang dijadikan asas kehilangan fungsi
ideologisnya. Agama yang dijadikan dasar organisasi
kemudian kehilangan cahaya revolusinya. Makanya ajaran
Islam gagal disalurkan sebagai peluru pembebasan. Di tangan
organisasi ini wahyu dari langit tak mampu digunakan untuk
menciptakan suasana surgawi di dunia. HMI sepertinya
sedang berdiri dengan kepalanya, bukan dengan kakinya.

384
Ken Budha Kusumandaru, (2004), Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 94.

519
Inilah sebabnya kita gagal mencerna realitas penindasan
ekonomi-politik yang sedang berlangsung. Walhasil, gerakan
enggan menyuarakan tentang pentingnya persatuan nasional
guna menguatkan pembebasan nasional. Melainkan hanya
meminta agar terus menjaga harmoni atas nama Pancasila
versi penguasa yang oligark dan kapitalis. Melaluinya HMI
tiada bosan-bosannya berusaha menggencarkan usaha-usaha
pembangunan bersama kapitalis-swasta, kapitalis-birokrat,
hingga kapitalis-imperialis. Makanya pemerintah dijadikan
sandaran terus-menerus. Jika kita simak tulisan Ali Syaria’ti.
Perbuatan demikian bukan malah menauladani Nabi Islam,
melainkan nabi lain. Biasanya gerakan mereka adalah
mendekat dengan kekuasaan agar dapat survive.
Mengenainya, Syari’ati menjelaskannya begini:

Jika kita bandingkan ketika nabi Islam mulai tampil di


hadapan rakyat dengan yang dialami nabi-nabi lain—
Zarahustra, Kong Fu-Tse, Budha dan lain-lain—maka
kita akan sampai pada kesimpulan yang menarik
sebagai berikut: semua nabi terkecuali yang keturunan
Ibrahim, langsung mendekat ke penguasa sekuler yang
ada dan mencoba bergabung dengannya, dengan
harapan bahwa berkat restu sang penguasa mereka akan
lebih berhasil menyiarkan agama mereka. Sebaliknya,
Islam malah menyatakan perlawanan terhadap
penguasa zalim. Risalah kenabian telah memberikan
keberanian kepada Ibrahim menghancurkan berhala-
berhala dengan kampaknya. Dihantamkannya pada
berhala utama kaumnya untuk menyatakan oposisinya
terhadap segenap berhala pada zamannya, dan ia segera
mengumumkan perlawanan terhadap politeisme dan
syirik. Juga seorang Musa, dengan keberaniannya
masuk ke Istana Fir’aun atas nama monoteisme. Dia

520
memakai pakaian gembalanya mengumumkan
perlawanan terhadap Fir’aun, untuk mempersatukan
umatnya. Begitu pula Isa berjuang menghadapi
kekuasaan pendeta, yang berbohong dan menerima
kekuasaan kolonisasi Romawi. Sedang Rasul Islam,
sejak semula burjuang melawan aristokrasi terhadap
para pemilik budak, serta para pedagang Quraisy dan
para tuan tanah di Tha’if.385

Risalah Syari’ati sesungguhnya dapat membantu HMI dalam


menjadikan Islam sebagai agama pembebasan. Rasanya kita
memang perlu merumuskan kembali starategi perjuangan agar
tidak terus-menerus bermahzabkan kekuasaan konservatif:
berjabatan dalam pranata kenegaraan. Sudah saatnya
himpunan melawan hegemoni negara korporatisme. Jangan
sampai organisasi ini kehilangan karakteristik gerakannya
yang secara totalitas berpihak pada rakyat. Karena dapat
mengakibatkan himpunan menjadi wadah yang elitis. Dia
akan lebih suka mendukung kepentingan kelas penguasa
ketimbang kepentingan rakyat miskin dan tertindas. Padahal
ajaran wahyu dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri di
pihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi kaum
penindas. Qur’an menyesalkan, bahkan menegur orang-orang
yang tidak mau menolong mereka yang teraniaya. Peringatan
itu berbunyi: “Mengapa kamu tidak berjihad di jalan Allah
dan membela orang-orang yang tertindas, laki-laki,
perempuan dan anak-anak yang berkata, “Tuhan kami!
Keluarkanlah kami dari kota ini yang penduduknya berbuat
zalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!”
(QS 4:75). Teguran ini pantas menerabas gendang telinga PB
385
Dr. Ali Syari’ati, (2017), Islam Agama Protes, Yogyakarta:Pribumi
Publishing, Hlm. 113.

521
HMI. Soalnya keterasingan HMI dari rakyat disebakan oleh
pengurus-pengurus himpunan sendiri. Mereka sudah terlalu
larut dalam perjuangan yang pragmatis dan oportunis, bukan
ideologis:

Tempo hari pernah kudengar pernyataan dari beberapa orang


pengurus HMI Cabang Mataram. Katanya, HMI di tingkat
Cabang, Badko, dan PB tidak seperti Komisariat dan Korkom:
murni perkaderan. Di tingkatan-tingkatan itu soalnya telah
berbicara beragam kepentingan. Kepentingan tersebut
ditampung berdasatkan pertimbangan-pertimbangan
keuntungan kemanfaatan. Untung dan manfaatnya bukan
sekedar buat organisasi, tapi juga pengurus-pengurus di masa
depan. Maka dalam kepengurusan mereka kaderisasi dan
gerakan disulap jadi kegiatan memalukan. Itulah mengapa
Islam yang menjiwai gerak organisasi luntur tidak karuan.
Maka dorongan-dorongan pembebasan yang terkandung
dalam agama gagal tersalurkan. Itulah sebabnya eksistensi
HMI dalam dunia pergerakan seperti meneguk racun. Hanya
pengurus-pengurus yang mengejar kemapanan tadi tak
berusaha menggencarkan pengobatan. Daripada mengobati,
mereka justru larut dalam kenyaman murahan. Nyaman
dengan sikapnya yang begitu koperatif dengan negara
mengakibatkan HMI jadi organisasi yang tambun. Banyak
sekali persoalan-persoalan rakyat yang diabaikan. Sekarang
elan vitalnya betul-betul keredupan. Pengurus-pengurus itu
soalnya tak kuasa menghadai iming-iming prnata kenegaraan.

Kepada mereka sudah tidak bisa lagi disandarkan harapan,


termasuk terkait perubahan. Kini hanya kepada kader-kader
Komisariat-lah harapan-harapan diletakan. Karena kader-

522
kader ini belum tercemari oleh pelbagai kepentingan. Prorses
yang dilakukannya di organisasi bukan menerima pesanan
atau mengejar keuntungan, tapi sebagai ajang pembelajaran
dan pencarian pengalaman. Itulah mengapa begitu banyak
anak-anak muda Komisariat yang mendorong berlangsngnya
kegiatan tanpa berharap imbalan. Hanya kini anak-anak muda
itu selalu terancam untuk jatuh ke dalam bujuk rayu dan tipu
daya senior-seniornya. Senior biasanya menyuntikan
kesadaran palsu, terutama tentang pentingnya menjadi
pemimpin yang memiliki jabatan. Sayangnya cara untuk
menjabat cuma satu: taat, tunduk, dan patuh terhadap orang-
orang yang memiliki kekuasaan. Terjerambab dalam kubngan
kua amat berbahaya. Sekaranglah sebenarnya mesti mulai
mendidik diri supaya mampu melawan kenaifan yang terus-
menerus coba diwariskan. Apa yang senior jejakan kepada
kita soalnya merupakan keyakian yang mengambil gaya
keborjuisan. Jangan sampai idealismemu merosot lantaran
mengamini pandangan para senioren. Sebab cara pandangnya
akan membuatmu nyaman menerima guliran korporatisme
inklusif negara.

Kinilah waktnya kader-kader yang masih lugu, polos dan lucu


sudah saatnya memasang sikap resisten. Tidak usah mencerna
kalaupun ada seniormu yang berusaha mencecoki pikiranmu
dengan dalih pragmatis seperti barusan. Jangan terlalu
berharap pada mereka. Kalian haruslah meneguhkan karakter
pejuang yang progresif, radikal, maupun sarat
kerevolusioneran. Hanya dengan melawan hegemoni
merekalah gerakan HMI dapat kembali berwatak kerakyatan:
menjadi organisasi pergerakan yang tidak bersandar pada
jabatan, jaringan, anggaran, dan segala bentuk kekuasaan. Jika

523
tidak merakyat, maka gerakan HMI tak akan
mampumelakukan apa-apa ketika melihat kesewenang-
wenangan, penindasan, dan ketidakadilan. Aku yakin: hari-
hari ini banyak sekali kader HMI di Komisariat yang merasa
tidak puas dengan keadaan. Tetapi mengapa mereka hanya
punya niat mengbahnya sementara sukar sekali menemuh
jalan pembangkangan? Jawabannya sederhana: karena kita
memang sengaja dididik oleh generasi tua untuk selalu
menjadi seperti bebek atau mesin! Dengan cara itulah
pembodohan-pembodohan terus bertahan. Terutama ajaran
busuk: membangun hubungan baik dengan pemegang
kekasaan. Padahal yang demikian menghisap darah himpunan.

Terjerat oleh pranata kenegaraan mengakibatkan kekuatan


HMI untuk membangun, melancarkan, dan merawat gerakan
sosial melemah. Itulah mengapa kian hari organisasi ini
semakin sindrom, tidak berbobot, dan amat payah. Keadaan
ini tak sekedar menimpah gerakannya, tapi juga
kaderisasinya. Walhasi, kader-kader dibentuk menjadi
penurut, terus miniru, hingga enggan mencoba mandiri dari
senior-alumninya. Dalam kondisi begini penting bagi anak-
anak muda yang dikader dalam HMI mengambil sikap yang
resisten terhadap segala bentuk dominasi dan hegemoni,
terutama dari negara melalui senior-alumni yang menjadi
politikus maupun birokrat. Ajaran pembebasan Islam harus
mendorong kita menerbitkan perlawanan, menghancurkan,
dan membangun kembali dunia penuh keadilan tanpa
penindasan. Untuk itulah pembangkangan perlu
dijewantahkan tak sekedar pada kelompok dominan dalam
perkaderan, tapi terutama penguasa zalim. Dengan
ketauhidan, Islam menganjurkan kepada pemeluknya

524
mengandrungi ‘jihad’. Bagi Rasulullah SAW, jihad terbesar
adalah berkata benar di hadapan penguasa yang dengan
kekuasaannya merebakan kesengsaraan. Murtadha Muthahari
bahkan mengartikan jihad sebagai sebuah bentuk komitmen
juang seorang muslim dalam melakukan penolakan terhadap
segala kemapanan:

Apakah jihad itu? Ia adalah mengarahkan sesama


manusia untuk melakukan apa yang digariskan oleh
Islam (al-amr bil ma’ruf) dan melarang manusia
melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan (an-nahi
‘an al-munkar). Artinya bila keadaan yang tidak
disukai dan tidak manusiawi, maka kita tidak boleh
menyerah dan menerima. Kita harus berupaya sedapat
mungkin menolak dan menentang tatanan ini demi
tercapainya keadaan yang diinginkan dan dicita-
citakan. 386

Hanya korporatisme inklusif mudah sekali memerosotkan


kualitas jihad seperti itu. Daripada menjadi syuhada atau
martir, kader justru dibentuk berpenampilan sedemikian elitis
tapi kemayu. Maka aktivis-aktivis himpunan tertambat
hatinya mendukung kelas penguasa dalam melakukan
pembangnan. Inilah sebabnya aktivitas perkaderan HMI
menjadi bermahzabkan kekuasaan. Eko Prasetyo mengatakan
bahwa gerakan yang mahzabnya adalah kekusaan akan
mengalami kekalahan yang telak di medan manapun, karena
tidak mampu optimal menganalisis tentang struktur sosial,
apalagi pandangan tentang kelas-kelas sosial masyarakat
benar-benar menjadi ‘ilmu pengetahuan’ yang tak mampu

386
Mutadha Muthahhari, (1988), Falsafah Pergerakan Islam, Jakarta:
Amanah Press, Hlm. 42-43.

525
dikuasai.387 Kader-kader sepertinya perlu melihat kembali
risalah kenabian Muhammad SAW. Dulu risalah tersebut
cepat meluas secara menakjubkan di tengah tirani budaya
kelas elit Arab Jahiliyah. Tetapi kemudian partisipasi
masyarakat terhadap Islam berhenti sesudah agama
kehilangan basis etika kritis.

Belajar dari masa lampau, kita tentunya tak mau organisasi


yang berlandaskan Islam juga kehilangan etika kritisnya
lantaran korporatisme inklusif negara? Maka penting
mengkaji kembali apa sebenarnya misi suci perjuangan Islam
dan apakah hanya bisa dimulai dari kekuasaan politik?
Sejarah telah mencatat: kegagalan Islam membangun
kekuasaan politik atau merebut simpati publik adalah akibat
formalisasi Islam yang ‘beku’ yang hanya penting bagi
pelestarian hegemoni kelas elit atas massa umat yang
tertindas.388 Hari-hari ini sudah waktunya HMI mulai
melakukan penyucian gerakan. Ruh tauhid haruslah dapat
dimanfaatkan untuk mendorong dilakukannya pembebasan.
Itulah kenapa himpunan mesti membaca ulang risalah
kenabian demi menghidupkan kembali perjuangan membela
kaum miskin dan tertindas. Ahmad Safinuddin menjelaskan
kendati kualitas nabi jauh berbeda dengan yang lain, tetapi
suri tauladan yang sifatnya kualitatif dapat actual dalam pada
sosok-sosok yang bukan nabi. Pembawa-pembawa berita
ilahiyah sebenarnya ada pada tiap zaman dan potensial pada

387
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm.30.
388
Dr. Abdul Munir Mulkhan, (2002), Teologi Kiri Landasan Gerakan
Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hlm. 216-217.

526
masing-masing kelompok manusia untuk tampil dengan
moralitas profetik itu.389

Dalam Islam, para pejuangnya senantiasa membela prinsip


sublime: tauhid. Keyakinan ini termaktub dalam ungkapan
ringkas syahadat: asyhadu an laailaaha illallah wa asyhadu
anna Muhammadan rasulullah. Kalimat inilah yang menjadi
esensi keislaman. Sebuah ajaran yang mengharuskan setiap
muslim bukan hanya sekedar mengakui adanya Allah sebagai
Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul. Melainkan berserah
diri kepada-Nya melalui kerja-kerja gerakan di muka bumi.
Tetapi gerakan sosial mesti dilakuakan guna melawan tuhan-
tuhan palsu yang memperbudak, mengeksploitasi dan
meluncurkan kehidupan umat manusia jadi begitu
menyeringai. Untuk itulah sikap dan perjuangan hidup
Muhammad harus dijadikan panutan, karena di sanalah
terdapat hikmah gerakan pembebasan yang sejati. Belajar dari
Sirah Nabawi akan memberi banyak hikmah kepada kader-
kader HMI. Pelajaran yang didapatkannya terutama kepekaan,
keberanian, kedispilinan, komitmen dalam perjuangan
mengangkat harkat dan martabat manusia dari sistem dan
struktur kekuasaan yang zalim. Ingatlah! penguasa zalim di
setiap tempat dan era, tak cuma selalu diuntungkan karena
banyak yang mendukungnya, tetapi karena lebih banyak lagi
yang bungkam dan berdiam diri melihat kezalimannya.
Kemuliaan hidup tidak tampak dari jabatan tinggi, jaringan
luas, harta berlimpah atau juga seberapapun taatnya kita

389
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 7-8.

527
beribadah. Melainkan keberpihakan terhadap korban-korban
kelas pengusa. Rasulullah SAW bahkan bersabda:

Barang siapa yang menyaksikan kemungkaran, maka


hendaklah mencegahnya dengan tangannya atau kalau
tidak mampu maka cegahlah dengan lidahnya dan tidak
mampu hendaklah membenci dalam hati, namun yang
demikian ini adalah selemah-lemahnya iman. 390

390
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), Demi Cita-Cita HMI, Jakarta: PT
Karya Multi Sarana, Hlm. 9-10.

528
FETISISME KEKUASAAN

“Seperti halnya mustahil untuk tidak mencicipi madu atau


racun yang mungkin sudah berada di ujung lidah seseorang,
demikian pula mustahil bagi orang-orang yang berurusan
dengan dana-dana pemerintah untuk tidak mencicipi, paling
tidak setetes saja, kekayaan sang raja.” (Kautila, The
Arthashastra)

“Penghianatan terburuk para tiran yang bobrok terhadap


bangsa yang ditundukkan, bukannya menguras kekayaan
mereka atau merampas hak-hak mereka, melainkan
memperkenalkan mereka cara-cara menjadi jahat.” (Abdul
Karim Soroush)

“Kesucian dan kesalehan pribadi memperoleh makna ketika


Anda bekerja dalam suatu sistem yang benar dan saleh. Jika
Anda bekerja di bawah sistem yang eksploitatif kesalehan dan
kebajikan yang Anda miliki tidak akan bermanfaat.” (Bani
Sadr)

Di bagian terdahulu kita telah sama-sama melihat posisi HMI


di masa Orde Lama (Orla): berdasarkan situasi dan kondisi
yang menyertainya organisasi ini memilih untuk mendukung
kekuasaan yang sah. Dukungannya pada Orla diberikan agar
selamat dari ancaman pembubaran dari Bung Karno, sekaligus
membantu mempertahankan pemerintahan revolusionernya.
Kemudian kita juga menengok kenaifan arah gerakan
himpunan ketika zaman Orde Baru (Orba): dukungan
organisasi terhadap militer dalam upaya-upaya pembubaran
PKI telah menjadi semacam seremoni peletakkan batu

529
pertama dalam membangun hubungan akomodatif dengan
Soeharto. Sejak saat itulah penguasa Orba melihat bahwa
HMI merupakan organisasi yang patut diperhitungkan, karena
memiliki jumlah massa yang menggunung. Inilah mengapa
Orba membuka kesempatan untuk alumni-alumninya buat
duduk di kursi-kursi pemerintahan. Jatah kursi yang diberikan
tentu tidak gratis, melainkan ada konpensasinya. Maka
beradanya mereka di dalam tubuh kekuasaan berimplikasi
pada gerakan organisasinya. Konon: pada saat himpunan
menerima pemberlakuan asas tunggal Pancasila, Orba
mendikte alumni HMI yang berada dalam birokrasi untuk
membujuk kader-kadernya menyetujui penggantian asas Islam
dengan asas Pancasila. Walhasil, gerakan organisasi makin
erat terkooptasi oleh kekuasaan sepanjang pemerintahan
Soeharto.

Setelah tumbangnya Orba himpunan sepertinya sulit


mengubah pandangannya tentang kekuasaan. Jalinan kerja
sama dengan rezim yang dipelajarinya dari Orba menentukan
kerakter gerakannya sampai sekarang. Naluri-naluri kolektif
dari HMI masih terkapar dalam pengalamannya dengan Orba.
Inilah yang menurut Sigmund Freud dapat menghasilkan
sebuah identifikasi ‘dirinya sekarang’ dengan ukuran-ukuran
moral dari ‘masa lalunya’. Pola gerakan kemudian tidak
pernah beringsut jauh dari pendiriannya sewaktu Orba:
perubahan tetap ingin dilakukan melalui pranata-pranata
kenegaraan. Inilah mengapa kader-kadernya memancang
pandangan kolot, konservatif, dan agak zalim. Dianggapnya
posisi-posisi di pranata kenegaraan sebagai barang seksi yang
terus diidam-idamkan. Dukungan terhadap program-program
pemerintah menjadi semacam rutinitas organisasi. Bahkan

530
Program Kerja Nasional (PKN) HMI tak jarang menganjurkan
bidang tertentu dalam himpunan untuk bekerja sama dengan
birokrasi. Itulah yang membuat seabrek pengurus himpunan
tanpa malu bertandang ke kantor-kantor pemerintahan.
Pertemuan mereka ditampilkan sebagai bentuk silaturahmi.
Niat baik ini selalu dijadikan motif untuk menyukseskan
program-program penguasa. Makanya sering kita melihat
HMI mendistribusikan massanya untuk menghadiri atau
menjadi panitia pada kegiatan-kegiatan pemerintah.

Habis bantu-bantu kalangan borjuis itu biasanya kader-kader


biasanya dapat uang jajan: ongkos lelah yang datang karena
telah melancarkan kebijakan penguasa. Di sinilah HMI
mengabaikan betapa banyaknya kebijakan pemerintah yang
tidak bebas kepentingan. Boleh jadi aktivitas yang dilakukan
elit-elit negara ialah untuk melancarkan perputaran modal
asing. Himpunan seolah menolak untuk mengakui bahwa
dalam negara Indonesia masih bercokol agen-agen
kapitalisme-imperialisme. Karena organisasi begitu mudah
membangun hubungan yang komunikatif dengan para
kapitalis-birokrat. Dari dulu hingga sekarang pendekatan
kekuasaan yang konservatif masih dipakai HMI. Itulah kenapa
pemaknaan atas kekuasaan tidak pernah beringsut dari yang
namanya pranata kenegaraan. Pemerintah diartikan sebagai
masyarakat terkuat dan berpengaruh, segala perubahan harus
didatangkan dari mereka. Sepertinya kewajiban utama dalam
menegakkan keadilan hanya dimiliki oleh para pejabat, karena
massa rakyat dipandang berada di posisi paling buncit,
terbawah, dan tak berdaya. Terbangunnya pandangan ini
sesungguhnya bukanlah di ruang hampa, melainkan di dalam
wahana hegemonik organisasi. Lihat saja bagaimana sebagian

531
besar kader menjadikan ajaran Nilai Dasar Perjuangan (NDP)
Bab VI tentang Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
sebagai alasan pembenar sikap lancungnya selama ini:

Negara adalah bentuk masyarakat terpenting, dan


pemerintah adalah susunan masyarakat terkuat dan
berpengaruh. Oleh karena itu, pemerintahlah yang
pertama-tama berkewajiban menegakkan keadilan.
Maksud semula dan fundamental dari didirikannya
negara dan pemerintahan ialah guna melindungi
manusia yang menjadi warga negaranya dari
pengrusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri
sebagai manusia. Sebaliknya setiap orang harus
mengambil bagian yang bertanggung jawab dalam
masalah-masalah negara atas dasar persamaan yang
diperoleh melalui demokrasi. 391

Gerakan himpunan dari masa ke masa menyingkapkan kepada


kita bahwa keadilan sosial dan keadilan ekonomi hanya bisa
terwujud melalui kekuasaan ternyata mendorong setiap
kader—mulai dari Komisariat sampai Pengurus Besar—terus
berjuang memperebutkan posisi strategis di manapun. Hari-
hari ini fenomena itu bukan hanya terjadi di dalam tubuh
HMI, tapi juga pada jabatan-jabatan eksternal organisasi.
Itulah mengapa setelah selesai menjadi pengurus, sesudah
kehilangan status keanggotaan, atau bahkan selepas wisuda;
maka anak-anak muda itu berbondong-bondong memasuki
sistem dan struktur kenegaraan. Mereka sama sekali tidak
pernah mau mengambil hikmah dari hasil pemikiran Marx
maupun Lenin: bahwa kekuasaan yang terpusat pada negara
391
Azhari Akmal Tarigan, (2018), Nilai Dasar Perjuangan HMI Teks,
Interpretasi dan Kontekstualisasi, Bandung: Simbiosa Rakatama Media,
Hlm. 42.

532
itu berada di bawah kontrol penuh kelas penguasa
permodalan. Inilah mengapa keluarga himpunan kerap
terjebak pada pandangan sempit tentang kuasa: memandang
negara sabagai satu-satunya sumber kekuasaan. Padahal dari
Gramsci kita diberitahu: kekuasaan adalah suatu hubungan.
Makanya kekuasaan tidak sesempit pranata kenegaraan.
Melainkan juga berada pada hubungan sosial-kemasyarakatan.

Pendekatan yang begitu juga dikembangkan Michel Foucault.


Dia berpendapat: kekuasaan itu tersebar dalam berbagai
bentuk relasi dalam kehidupan masyarakat sipil. Lewat
karyanya—Power/Knowledge—ia memaparkan bahwa
dengan kemunculan berbagai teknik dan disiplin tertentu
dalam sejarah—ilmu alam, tata bahasa, hukum, kedokteran
dan psikiatri—maka hal ini dapat berubah menjadi hubungan
kekuasaan. Itulah mengapa dalam karya yang membahas
tentang pengetahuan dan kekuasaan inilah kita disajikan
bukan saja tentang kuasa yang dimiliki masyarakat media,
tapi juga bisa dijalankan oleh orang-orang berprofesi
kedokteran di rumah sakit dan sebagainya:

Pusat inisiatif, organisasi, dan kontrol bagi politik ini


tidak seharusnya ditempatkan hanya pada aparat-aparat
Negara. “Sesungguhnya ada sejumlah kebijakan
kesehatan dan beragam, metode yang berbeda-beda
dalam menghadapi masalah medis: berbagai kelompok
keagamaan (salah satu yang terpenting di antaranya
adalah para Quaker [anggota perkumpulan Kristen
antiperang dan antisumpah] dan bermacam-macam
gerakan yang berbeda pendapat di Inggris); asosiasi-
asosiasi sosial yang dermawan dan murah hati,
digemakan dari bureaux [biro] jemaat gereja sampai

533
masyarakat-masyarakat yang dermawan yang bekerja
seperti organ-organ pengawasan dari sebuah kelas
lainnya, yang pada dasarnya disebabkan
kekurangmampuan mereka mempertahankan diri
sehingga menjadi sumber-sumber bahaya kolektif;
kelompok-kelompok masyarakat terpelajar, para
akademisi abad kedelapan belas dan abad kesembilan
belas mencatat suatu masyarakat yang berusaha keras
mengorganisasikan pengetahuan global dan kuantitatif
mengenai fenomena tidak wajar. Kesehatan dan
penyakit, seperti dicirikan oleh kelompok atau populasi,
dipermasalahkan pada abad kedelapan belas melalui
institusi-institusi sosial yang bermacam-macam, dalam
sebuah relasi di mana Negara sendiri memainkan
bermacam peran berbeda-beda…. Kadang-kadang
beragam proyek Negara untuk organisasi-organisasi
kedokteran yang otoriter dihalangi: kode kesehatan
yang dielaborasikan oleh Mai dan diterima oleh
Pembesar Istana tidak pernah membawa pengaruh
apapun. Kadang-kadang Negara juga menjadi objek
tuntutan ini, namun sering kali menolaknya. 392

Dalam penelitian Foucault memperlihatkan bahwa negara


bukanlah sebuah bentuk definitif yang diperlukan dalam
kehidupan rakyat, karena kehadirannya sekedar merupakan
salah satu efek atau instrumen saja. Makanya kekuasaan tidak
cuma dipandang berada pada negara tapi juga masyarakat sipil
dengan segala relasinya. Hanya inilah caranya agar
perkaderan HMI, terkhusus kaderisasi, dan gerakannya dapat
keluar dari jebakan pandangan kuno tentang kekuasan yang
dimonopoli oleh negara. Pendekatan kekuasaan lewat negara
392
Michel Foucault (penerjemah: Yudi Santoso), (2017),
Power/Knowledge; Wacana Kuasa/Pengetahuan, Yogyakarta: Narasi
bekerja sama denagan Pustaka Promethea, Hlm. 216-217.

534
soalnya akan sangat berbahaya. Betapapun aktivis HMI punya
tujuan melakukaan perubahan demi terwujudnya
kesejahteraan umat dan bangsa. Kalau sudah menduduki
jabatan tertentu dalam negara maka tujuannya tadi tinggal
sebuah slogan: amat mulia tapi penuh kenaifan. Soalnya
optimisme untuk merubah dari dalam akan menghadapi
banyak sekali tantangan dan hambatan yang membuat siapa-
siapa mudah melakukan pengkhianatan. Itulah kenapa ada-ada
saja alumni HMI yang tak kuat menahan godaan gemerlapnya
kelimpahan modal dan kemewahan material di tampuk
kenegaraan. Tengoklah bagaimana mereka kemudian
bermasalah dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK):
Anas Urbaningrum yang di vonis 4 tahun bui karena kasus
korupsi Proyek Hambalang; Wa Ode Nurhayati yang terjerat
kasus suap pengurusan dana penyesuaian infrastruktur daerah;
Akil Mochtar terkait sengketa Pilkada Gunung Mas
Kalimantan Tengah dan Pilkada Lebak; Abdullah Puteh
dengan kasus korupsi penggandaan helikopter MI-2 buatan
Rusia tanpa melalui proses tender secara terbuka; dan Andi
Malarangeng yang terlibat dalam korupsi proyek
pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga
Nasional (P3SON).393

Apabila perilaku para alumni tersebut kita bandingkan dengan


ajaran yang selama ini dipelajari dari Nilai Dasar Perjuangan
HMI sungguh akan didapati sebuah kesimpulan yang penuh
ironi. Ternyata mereka bukan malah mempergunakan
kekuasaan untuk mewujudkan keadilan, melainkan menghisap

393
Lihat https://m.merdeka.com/peristiwa/deretan-alumni-hmi-yang-
terlibat-kasus-korupsi-di-kpk.html.

535
rakyat hingga menyeringai. Beradanya orang-orang itu di
dalam pranata kenegaraan nyatanya sekedar memperkaya
dirinya sendiri. Makanya orang-orang yang pernah aktif
dalam himpunan itu tak segan-segan melancarkan perbuatan
zalim seenak perut, sepikir jidad, bahkan sesuka hati. Sederet
nama-nama alumni tadi sesungguhnya tak bermaksud
menggeneralisasi kepada seluruh alumni. Tetapi sekedar
mengingatkan bahwa korupsi selalu menjadi momok bagi
para pejabat dalam sistem yang berlaku sekarang.

Pada karyanya Corruption, Capitalism and Democracy, John


Girling melakukan studi mengenai korupsi yang terjadi di
Indonesia, Thailand, Inggris, Filiphina, dan Prancis. Negara-
negara ini adalah penganut demokrasi ala kapitalisme. Itulah
kenapa dia menjelaskan bahwa terjadi tumpang tindih yang
terjadi antara kapitalisme dan demokrasi. Inilah yang
menyebabkan definisi mengenai apa yang publik dan privat
menjadi kabur.394 Dalam kondisi yang begitu maka negara
gampang sekali menyesatkan tujuan ideal jadi hina karena
hukum berpikir kapitalisme membuat aparat-aparatnya
menjadi pandir. Makanya banyak sekali tindakan yang
diambil bukan saja demi kepentingan segelintir kalengan, tapi
terutama mengakibatkan keadilan tersumbat. Melaluinya
negara justru akan terus-menerus mensubordinasi keinginan-
keinginan masyarakat. Max Stirner menganggap itu terjadi
lantaran negara selalu memiliki program terselubung
sekaligus logika yang sesat:

394
Lihat https://indoprogress.com/2013/04/korupsi-akibat-persekongkolan-
kapitalisme-dengan-demokrasi/

536
Negara tidak akan bisa didudukan di bawah kontrol
rakyat. Negara selalu memiliki logika dan agendanya
sendiri, yang mana hal tersebut sangatlah kejam dan
segera akan berbalik melawan keinginan orang-orang
yang bermaksud mewakilinya.395

Logika dan agenda itulah yang merebakan korupsi dalam


relung-relung kenegaraan. Karena relasi cangkokan tatanan
kapitalisme selalu saja memperhadapkan keinginan rakyat
banyak dengan kepentingan segelintir elit pemerintahan.
Makanya bagi Peter Kropotkin: ‘kemajuan umat manusia
tidak dapat diperoleh melalui sikap patuh kepada negara’.
Sebab kesejahteraan hidup bersama mudah sekali ditindih
oleh penumpakan keuntungan pribadi atau golongan orang-
orang pandir dari pranata kenegaraan. Keadaan beginilah yang
membuat perbuatan-perbuatan koruptif sukar dilenyapkan.
Itulah sebabnya demokrasi bahkan mudah memberi tempat
pada koruptor untuk terus berkeliaran. Girling menekankan
lewat tesisnya bahwa korupsi dihasilkan oleh benturan antara
demokrasi dan kapitalisme. ‘Korupsi kekuasaan’, misalnya,
terjadi akibat disalahgunakannya kepentingan publik untuk
keuntungan yang bersifat privat. Hal tersebut dimungkinkan
lantaran sistem ekonomi dan politik yang berlaku tak sekedar
berjalin erat, tetapi juga saling berbenturan. Kapitalisme dan
demokrasi memang memiliki raison de’etre yang berbeda
satu sama lain. ‘Alasan untuk menjadi’ negara demokrasi
adalah melayani kepentingan publik, sementara basis dari
kapitalisme adalah pengejaran keuntungan pribadi. Namun
keduanya harus bersekongkol untuk membuat sistem ini

395
Saul Newman, Perang Melawan Negara; Anarkisme dalam Pemikiran
Gilles Deleuze & Max Stirner, Makassar: Kontinum, Hlm. 9.

537
bekerja. Penetrasi nilai-nilai pasar ke dalam sistem politik
demokrasi menjadi sesuatu yang kondusif untuk terjadinya
korupsi.396 Kondisi ini memupuk praktik politik uang,
pembiayaan partai atau calon peserta Pemilu oleh perusahaan,
dan tentu saja korupsi lainnya—semacam yang terjadi pada
alumni HMI—sukar dihindari.

Ketidakadilan dan kecenderungan orang untuk terus


melakukan akumulasi kekayaan, selalu terjadi dalam struktur
masyarakat yang kapitalistik. Di situ, logika utama dalam
persoalan ekonomi adalah bagaimana memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya produksi
yang serendah-rendahnya. Struktur masyarakat kapitalis
memang melahirkan nilai-nilai yang fetish (pemujaan
terhadap materi ‘kapital’). Fetisisme adalah praktik pemujaan
yang membuat nilai substansial dari sesuatu menjadi tereduksi
hingga yang menampak kemudian adalah nilai tukar semata.
Itulah kenapa jabatan yang seharunya dijadikan alat malah
menjelma sebagai tujuan. Karena jabatan dihakmiliki semata
untuk memuaskan kepentingan pribadi. Perilaku ini memang
biasanya selalu hinggap di relung-relung busuk kehidupan
masyarakat kapitalis. Mereka selalu mengejar kekayaan dan
kekuasaan, mengobarkan persaingan dan individualisme, serta
mempertahankan status-quo secara banal. Inilah yang
menimbulkan ketidakadilan dan penindasan ekonomi-politik
terhadap kaum miskin dan tertindas, karena persoalan korupsi
sudah bersifat struktural.

396
Lihat https://indoprogress.com/2013/04/korupsi-akibat-persekongkolan-
kapitalisme-dengan-demokrasi/

538
Lewat tesisnya Dony Ardiyanto menegaskan bahwa
penyebabnya korupsi adalah sangat dekat dengan
kekuasaan—orang yang berkuasa punya kecenderungan
sangat besar untuk korup.397 Dalam konteks itu tugas
kekhalifahan betul-betul dipermainkan oleh sistem birokrasi
kapitalis. Bila kader-kader tidak mampu membuang
pandangan naïf: untuk menegakkan keadilan mesti jadi
pejabat. Ini dapat menyebabkan HMI bukan hanya bersikap
konformis dan permisif atas kehidupan yang kapitalis,
melainkan juga menjadi organisasi yang terus-menerus
mengekor pada negara yang memiliki agenda terselubung dan
logika yang sesat. Itulah mengapa dalam menghadapi
kehidupan yang penuh kegialaan ini tidak saja dibutuhkan
penguasaan atas keinginan-keinganan dan kepentingan-
kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu).
Memang NDP menjelaskan bahwa suatu masyarakat yang
tidak menjadikan Tuhan YME sebagai satu-satunya tempat
tunduk dan menyerahkan diri, berpotensi untuk diperbudak
oleh harta benda, jabatan, dan lain-lain. Mereka tidak lagi
menjadi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi
justru dikuasai oleh hasil pekerjaan (materi). Namun harus
rendah hati diakui: untuk memperkuat ajaran tauhid dan
moralitas itu, kita perlu membekali perkaderan dengan
pelbagai analisis kritis-struktural.

Apabila HMI menganggap bahwa kasus korupsi alumninya


adalah murni karena terdistorsinya moralitas—itu tidak
semuanya benar: standar moral tersebut amat normatif. Yang

397
https://media.neliti.com/media/publications/4216-ID-korupsi-demokrasi-
dan-kapitalisme-sebuah-manifesto-bagi-gerakan-sosial-anti-koru.pdf

539
demikian justru dapat membuat kader-kader melepas
tanggung jawab untuk melakukan kritik terhadap sistem
kapitalis, serta kaderisasi dan gerakannya yang konservatif.
Perilaku buruk para alumni HMI bukan lantaran kehilangan
pengetahuan moral tentang kebaikan atau sekedar punya
kemauan koruptif. Mereka yang melakukan kejahatan
‘korupsi’ juga bukan semata-mata karena ada iblis yang
merasuki jiwanya. Tetapi di sana ada sistem yang membuat
seseorang punya kecenderungan untuk senantiasa mengorupsi
apa saja. Dalam pandangan marxis, perilaku seseorang
terbentuk oleh lingkungannya. Sedang lingkungan bukan
takdir karena dia berdiri di atas sistem yang sudah berurat dan
berakar sangat dalam sebagai hasil dialektika teori dan praktik
manusia.

Islam padat dengan berbagai kisah kebaikan dan kejahatan.


Sejarah telah bertutur tentang sistem sosial yang banyak
melahirkan kaum pendusta sekaligus pejuang kebenaran.
Fir’aun yang kisahnya diulang-ulang berkali-kali menyindir
secara tajam bagaimana penguasa yang menciptakan sistem
sosial penindas, sebelum ada seorang atau sekelompok orang
yang berani mengingatkannya. Fir’aun memberikan amsal
bagaimana penguasa jahat berdiri di atas ekonomi yang
kokoh, cendikiawan yang menjilat, dan pasukan yang kejam.
Kekuasaan Fir’aun persis negara Indonesia di era Orba
bahkan hingga sekarang. Makanya diharapkan HMI mengerti
bahwa dirinya bukan sekedar berhadapan dengan perilaku
atau peringai individu tapi sistem kolektif yang keji. Itulah
bahayanya kalau kader sudah menjadikan kekuasaan sebagai
tujuannya, maka ini akan menjadi dinamit yang akan
meledakan himpunan sewaktu-waktu. Sebab untuk masuk

540
pada kekuasaan tidak menjadi suatu kenaïfan bila diakui:
anggota himpunan biasanya menggunakan jaringan-jaringan
senior atau alumninya yang saat ini sebagian besar telah
terkontaminasi oleh kegulitaan sistem.

Kini saatnya HMI membuka mata lebar-lebar bagaimana


aktor-aktor di negara ini bekerja dan menjalankan pengaruh.
Kemahiran sistem kapitalisme adalah membentuk sebuah
sistem kekuasaan yang terintegrasi dengan kepentingan
ekonomi begitu rupa. Dasar-dasar liberalisasi pasar yang
dituangkan dalam nota kesepakatan dan diturunkan melalui
pelbagai peraturan menandaskan kembali kepentingan apa
yang ingin diloloskan. Mereka kemudian bekerja
menyempurnakan sistem yang kapitalis secara cekatan. Lihat
saja bagaimana pendidikan dijalankan tapi bersemangatkan
penggerukan laba, kesehatan dikerjakan bersama balutan
hasrat meraih untung berlimpah, dan pertanian dikelola
dengan tunduk pada prinsip-prinsip dasar pasar. Fenomena
masyarakat yang sekarang sedang kita alami bersama
sesungguhnya mirip dengan bagaimana moralitas Abu Lahab
yang selalu menolak berita kebenaran dari nabi. Abu Lahab
sangat yakin dengan sistem sosial di mana dirinya menjadi
pemenangnya dan sangat tidak mempercayai gagasan
Muhammad tentang keadilan.

Bicara keadilan dalam sistem yang kapitalistik dianggap


sebagai sesuatu utopis. Itulah kenapa seharusnya ada
sekelompok orang yang melawan sistem bukan dari dalam:
agar dirinya tidak terjerambab pada lubang kesesatan. Tetapi
HMI sekarang malah menerapkan strategi perjuangan dengan
meraih kekuasaan, karena baginya sistem bisa begitu saja

541
dirubah dari dalam. Pandangan seperti ini sudah saatnya di
buang ke tong sampah. Sudah cukup anggota-anggota baru
diajarkan kekuasaan hanya berada dalam instansi
pemerintahan. Karena inilah yang mendorong kita untuk
terus-menerus mengasah bagaimana cara merebut dan
mempertahankan kekuasaan pada lembaga negara melalui
‘latihan’ awalnya lewat lembaga-lembaga kemahasiswaan
internal kampus. Penetrasi ke setiap posisi-posisi strategis
yang ada dalam lembaga mahasiwa semakin hari bertambah
masif dengan dalih sepele: untuk melakukan pembasisan
kader dan menunjang aksesibilitas guna mendukung segala
kegiatan HMI di perguruan tinggi. Sayangnya pernyataan ini
sepertinya agak kabur. Pembinaan, penelitian dan
pengembangan potensi kader justru kerap kali terabaikan oleh
orientasi merebut jabatan apa saja. Itulah kenapa Komisariat
menjadi redup akan budaya intelektualisme dan aktivismenya.

Hal demikian pernah aku rasakan dalam dua priode


kepengurusan HMI Komisariat Fakultas Hukum Unram.
Kami sangat fokus untuk mempersiapkan, mendukung dan
melancarkan menangnya kader HMI pada dalam Pemira
Unram. Keinginan untuk menduduki singgasana kekuasaan
telah menyebabkan perpecahan dalam tubuh himpunan.
Karena keputusan presidium tentang ‘nama anggota yang
dicalonkan’, kemudian dipaksakan untuk diikuti oleh seluruh
kader hingga melahirkan kekerasan terselubung. Kita tak
pernah mau mengerti bahwa kader-kader itu seharusnya
berorganisasi secara merdeka. Makanya pemaksaan-demi-
pemaksaan merebak begitu rupa. Hingga ada anggota yang
mendukung dan tidak mendukungnya. Hanya untuk yang
tidak mengikuti hasil presidium; mereka melawan putusan

542
organisasi. Ketidakpatuhannya malah ditanggapi dengan
pengucilan bahkan hampir merekomendasikan pemecatan
kader-kader itu ke fungsionaris HMI Cabang Mataram. Dalam
kondisi tersebut lingkungan perkaderan berubah jadi amat
kelam!

HMI di Unram telah terkenal dengan basis anggotanya yang


agak meraksasa. Itulah sebabnya ketika menjelang pemilihan
Ketua BEM maka ikutlah mahasiswa-mahasiswa yang
mempunyai niat mencalonkan dirinya sebagai ketua itu ke
dalam forum LK I. Mereka tentunya bukan hanya
mendambakan dukungan presidium, melainkan paling utama
adalah dukungan dari kader-kader HMI yang bisa dia comot
satu-persatu. Hanya saja mahasiswa yang mengikuti
perkaderan karena ingin meraup massa tidak pasti akan
didukung oleh keputusan presidium. Inilah yang kemudian
membawa konflik antar-kader: ada yang mengikuti hasil
presidium tapi terdapat pula yang mendukung penyusup.
Kaderisasi gagal dijadikan sebagai ajang membentuk kader-
kader ideal tapi ‘bermental politisi’. Mereka biasanya amat
pragmatis, karena ber-HMI dihitung lewat untung dan rugi.

Buruknya lagi, kita nyaris tak punya waktu untuk berpikir


bagaimana cara keluar dari masalah kronis yang telah lama
membuat laju kaderisasi dan gerakan menjadi bebal. Soalnya
aparatus-aparatus himpunan sudah ketagihan untuk tak pernah
abstain unjuk kebolehan dalam merebut dan mempertahankan
kekuasaan formal. Makanya yang terjadi justru kita semakin
larut dalam sebuah sindrom megalomania. Mekarnya keadaan
ini memicu timbulnya fetisisme dalam kekuasaan yang dipuja
kader HMI: jabatan Ketua BEM dikultuskan seolah-olah dia

543
amat suci, memiliki roh, dan harus dikejar hingga didambakan
terus-menerus. Manakala sikap ini dikaitkan dengan term
‘komoditi’, maka yang dimaksud adalah pemujaan terhadap
sebuah produk lantaran daya pesonanya yang memikat.
Fetisisme komoditi, dengan demikian menegaskan
keberhasilan iklan dengan menciptakan sebuah mitos.
Konsumsi yang dihasilkan dalam sikap fetisis itu adalah
sebuah pemakaian yang absurd. Jean Baudrillard
menyebutnya sebagai ketaklukan manusia pada ‘simbol’.

Baudrillard adalah salah satu pemikir marxis yang berhasil


memperkenalkan semangat postmodern dalam melihat
permasalahan fetisisme dan apa saja yang berkaitan
dengannya dari sudut pandang yang tidak hanya dalam
cakupan ekonomi-politik tapi juga sosial, bahkan lebih luas
lagi. Darinya kita mendapati sebuah pengabstraksian bahwa
berhasratnya HMI pada kekuasaan dapat disebut sebagai
fenomena fetisisme. Dengan adanya fetisisme dan bentuk-
bentuknya yang kadang kala tidak disadari membuat
kesalapahaman dalam memandang sebuah objek (sesuatu).
Sehingga kader-kader akan dibuat percaya diri hanya setelah
memakai dan mengkonsumsi suatu produk tertentu. Dalam
menyikapi hal ini jelas terlihat kalau identitas gerakan
organisasi telah diletakkan pada simbol: jabatan Ketua BEM.
Simbol inilah yang dapat disebut sebagai baju yang apabila
kader himpunan memakainya atau mengonsumsinya, maka
dirinya akan merasa memiliki identitas yang diinginkan:
kekuasaan. Sedangkan jika tidak mendapatkannya, maka
hilanglah kepercayaan diri itu—sungguh memalukan.

544
Fetisisme memposisikan jabatan sebagai barang yang ingin
dikonsumsi. Fetisisme kemudian bekerja dengan membangun
kelompok atas atau penguasa yang merencanakan pola
konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah
massif untuk mengikuti pola konsumsi komplotan dominator
tersebut. Ketika kita kaitkan dengan himpunan, kelas-kelas
atas tersebut ialah mereka yang sekarang menjadi pengurus.
Karena merekalah yang memaksakan pilihannya untuk diikuti
seluruh kader. Maka yang diciptakan fetisisme sebenarnya
merupakan bentuk ‘diferensiasi’ sosial antara kelas atas dan
kelas menengah serta jarak sosial antara keduanya yang
selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu kelas
atas. Sebagian besar kader-kader kemudian hanyalah menjadi
kelas menengah yang tidak mampu berkehendak sendiri.
Sebab dalam masyarakat kapitalis, fetisisme pada benda
membuat seseorang kehilangan kemerdekaannya. Herbert
Marcuse mengandaikan kehidupan orang-orang itu sebagai
manusia satu dimensi—hidupnya amat mekanis dan mati rasa,
karena kebebasannya terkekangi:

…bahwa kebebasan memilih berbeda dengan


kebebasan dapat memilih, kebebasan memilih
menyatakan perbuatan memilih segala yang ada tanpa
halangan dan kesulitan. Meski demikian aksi memilih
dengan bebas bersifat terbatas, mengingat apa yang
dipilih sudah ditentukan dan dikondisikan, diseleksi dan
dibatasi.398

Di sinilah konsep Bourdieu tentang ‘habitus’ berguna untuk


memberikan penjelasan mengenai berbagai disposisi yang

398
Valentinus Saeng CP, (2012), Herbert Marcuse Perang Semesta
Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: Gramedia, Hlm. 259.

545
menentukan pilihan. Dengan habitus-nya dia merujuk pada
berbagai ‘disposisi yang tidak disadari’. Dalam fenomena
yang terjadi di HMI, pendapat yang tak disadari itu berupa
pendekatan kekuasaan kelas atas yang coba dialirkan ke kelas
menengah. Ia kemudian menjelaskan: ‘disposisi membentuk
kesatuan tak-sadar suatu kelas, skema-skema klasifikasi,
pilihan-pilihan yang dianggap benar yang tampak jelas dalam
pengertian seseorang mengenai ketepatan dan validitas
seleranya akan berbagai benda dan praktek budaya, seni,
makanan, hari libur, hobi, dan seterusnya’. Tetapi lebih
ekstrim lagi, Althusser sebagai pakar ideologi mikro
menyebut ini bukan habitus, melainkan ideologi. Mungkin
karena telah menjadi ideologi, maka gerakan yang bermahzab
kekuasaan itu tiap tahunnya mendorong HMI bertanding
memperebutkan posisi Ketua Bem Universitas tanpa malu-
malu.

Organisasi ini begitu berhasrat dalam memenangkan


pertarungan. Pada tahun 2018 isu radikalisme dimainkan
untuk menjatuhkan lawan politik: KAMMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia) dan LDK (Lembaga Dakwah
Kampus). Tulisan-tulisan yang berisi stigma terhadap
kandidat dari elemen gerakan lainnya disebar. anggota HMI
nampaknya bukan lagi mematutkan diri sebagai ‘kader HMI’
melainkan telah menjelma bak ‘politisi HMI’. Itulah yang
memacu gerombolan himpunan menyerang KAMMI atas
hubungannya dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Bahkan saking parahnya, demokrasi mahasiswa dikooptasi
sedemikian rupa: HMI mengatur ritme Pemira 2018 mulai
dari awal sampai akhir. Karena Ketua Panitia Pemira adalah
kader yang sengaja dipasang untuk mengakomodir

546
kepentingan HMI. Hanya kepentingannya yang subyektif
harus bersedia berhadap-hadapan dengan kekuatan obyektif:
subyektivitas menganggap HMI akan menang, tapi realitasnya
mengatakan bahwa basis dukungan massa-mahasiswa
terhadap kandidat HMI belum terlalu kuat. Pemaksaan untuk
menang pada akhirnya menghasilkan loncatan dialektis. Inilah
yang menyebabkan perkelahian antara mahasiswa FH Unram
dengan mahasiswa FT Unram tempo hari.

Kejadian itu sekarang harus jujur kuakui: amat memalukan


bagi organisasi gerakan. Makanya sekarang aku sangat
menyesali keterlibatanku dahulu dalam memperjuangkan
kandidat himpunan. Kini aku mengerti: bukan kemenangan
yang didapatkan melainkan banyak kekalahan. Untuk kali
pertamanya, kita bukan hanya kalah melainkan malu besar:
nama HMI di mata mahasiswa umum dilabeli sebagai
organisasi yang haus akan kekuasaan dan kader-kadernya
dicap sebagai politisi busuk yang bersembunyi di balik
kemasan status mahasiswa. Parahnya, meski sudah jatuh
tetimpa tangga, aparat organisasi masih bisa berkilah dengan
kata yang agak dangkal: tidak setiap anggota dapat menjadi
pengurus maka harus dilakukan distribusi kader ke jabatan-
jabatan organisasi internal kampus. Lagi-lagi ini merupakan
sebuah pernyataan yang amat naïf dan agak zalim. Karena kita
tahu anak-anak muda yang ber-HMI tidak semuanya meyakini
perlunya kekuasaan formal: jabatan. Paradigma kekuasaan
yang sudah ketinggalan zaman itu malah akan mematikan
iklim kaderisasi yang progresif. Itulah kenapa permasalahan
tiap-tiap Komisariat terkesan sama semua: kader-kadernya
hilang.

547
Sekaranglah saatnya kita membuka mata bahwa gerakan
bermahzab kekuasaan ternyata malah membuat anggota
menjauh, bahkan lenyap dari peradaban HMI. Marilah jangan
pungkiri: mayoritas anggota tak berorintasi pada kekuasaan—
masuk HMI hanya untuk mengejar dan mendapatkan jabatan.
Daripada mengejar kuasa; banyak di antara mereka
menginginkan HMI menjadi wadah pendalaman nilai-nilai
keislaman, membentuk intelektualitas lewat baca dan diskusi,
serta menumbuhkan kepekaan sosial melalui gerakan
advokasi. Kini waktunya kalian mengerti: berdasarkan
fenomena yang sering kali kita dapati dewasa ini, HMI
dihadapkan pada situasi dan kondisi perkaderan yang
mengalami suatu sindrom kolektif dengan begitu vulgar.
Itulah yang marak terjadi mulai dari Komisariat, Koordinator
Komisariat (Korkom), Cabang, Badan Koordinasi (Badko)
dan Pengurus Besar (PB). Di mana anggota berlomba-lomba
untuk mengecap harum wangi posisi Ketua Umum, bahkan
dengan menempuh cara-cara beringas. Mereka biasanya
menjadikan gerbong-gerbongnya sebagai kendaraan dalam
setiap suksesi kepemimpinan: Rapat Anggota Komisariat
(RAK), Musyawarah Komisariat (Muskom), Konferensi
Cabang (Konfercab), Musyawarah Daerah (Musda), dan
Kongres. Makanya tidak jarang setiap kandidat dibantu oleh
mentornya. Namun di sinilah terbukanya keran untuk ikut
campurnya kepentingan senior atau alumni dalam
mempengaruhi kemenagan dan kekalahannya. Soalnya
masing-masing kandidat di-back-up oleh senior-senior mana
saja, terutama yang menjadi aparat ideologi negara.

Bahkan dengan memanfaatkan jaringan seniornya, maka para


calon ketum mendapatkan akses terhadap siapa saja. Mungkin

548
inilah yang dapat menjelaskan bagaimana pada Kongres HMI
2018 di Ambon melejit kabar mencengangkan: dukungan
kepada kadindat datang dari kalangan di Istana Presiden, TNI-
Polri, dan para pengusaha-kapitalis. Keadaan demikian
membuat Kongres sesak akan kepentingan-kepentingan yang
begitu deras. Besarnya arus kepentingan yang menerjang
arena telah bukan hanya membuat tubuhnya difasilitasi
dengan kelimpahan fasilitas. Karena juga kepala-kepala
peserta utusan juga mendadak dapat dihargai dengan uang-
uang panas. Alasannya sederhana: semua itu adalah biaya
politik. Sebenarnya fenomena politik ala borjuis ini jauh-jauh
hari dikabarkan Taufik Karim melalui Otokritik terhadap
HMI. Menurutnya ada empat indikasi terjadinya politik
transaksional dalam organisasi ini:

Ada beberapa indikasi terjadinya praktek politik


transaksional dalam HMI, diantaranya: pertama, para
demisoner Ketum yang berkenginan melanjutkan
studinya harus terakomodasi. Sebagai contoh pernah
mendengar salah satu alumni mengatakan, bahwa
ketika kalian memaksakan untuk menjadi Ketua
Umum. Maka saya harus menanggung sebagian dana
pendidikan yang bersangkutan; kedua, kesepakatan
para pendahulu sehingga terjadilah dosa turunan yang
ditanggung para penerusnya. Sebagai contoh, terjadi
rolling Ketum dari institusi yang satu ke institusi yang
lain sehingga pesta demokrasi hanya sebatas serimonial
tidak memikirkan subtansinya; ketiga, praktek jual beli
suara dalam pesta demokrasi. Contohnya suara peserta
utusan dihargai dengan rupiah dan dipenuhi segala
fasilitas dan akomodasi dengan alasan cost politic;
keempat, bagi-bagi kue struktur kepengurusan.
Contohnya institusi A mendukung salah satu kandidat

549
dengan nilai tawar posisi struktural yang dikehendaki
oleh institusi tersebut.399

Praktik politik transaksional bukan hanya di Pemilu tapi telah


merambat sampai ke tubuh HMI. Inilah yang menyebabkan
terjadinya many politic dan aksi-aksi premanisme saat prosesi
pemilihan Ketum. Contohnya seperti yang dialami oleh para
peserta Musda (Musyawarah Daerah) Badko HMI Nusra
2018. Pertarungan memperebutkan jabatan Ketua Umum telah
mendorong terjadinya pertarungan kekuatan yang amat
memilukan. Pelaksanaan pemilihan pimpinan terselip masalah
serius.400 Salah seorang peserta utusan penuh mengakui
bahwa telah terjadi yang namanya aksi premanisme. Preman
‘orang tak dikenal’ dikerahkan untuk melakukan intimidasi.
Lalu setelah selesainya Musda ternyata sempat terjadi sesuatu
yang amat memalukan. Menurut seorang junior dari kandidat
Ketum yang bertaruh dalam Musyawarah, telah terjadi yang
namanya permainan uang dalam arena. Tempo hari ia
menceritakan bahwa abangnya telah mematahkan keinginan
kandidat lain untuk maju melalui pemberian sejumlah
cepengan. Apa yang diutarakan mungkin bisa saja bohong,
namun tidaklah menutup kemungkinan juga merupakan suatu
kebenaran. Apalagi kita tahu penggunaan uang dalam pesta
demokrasi himpunan telah menjadi kebiasaan yang dilatenkan
sehingga dipandang sebagai suatu kewajaran.

Namun bangkai (politik uang) yang disembunyikan pasti bau


amisnya akan mencemari udara sekitar. Inilah yang
399
Taufik Z. Karim, (2012), Otokritik terhadap HMI, Yogyakarta: Buku
Litera, Hlm. 28-29.
400
https://patriot.id/peserta-musda-badko-hmi-nusra-ke-17-dicurangi-5-
cabang-walk-out-dan-minta-pemilihan-ulang/

550
menyebabkan kita tak kaget lagi ketika mendengar kabar
buruk bahwa jabatan Ketum telah menjelma jadi semacam
barang dagangan. Benar kata Baudrillard, fetisisme kini bukan
sekedar terjadi terhadap komoditas melainkan terjadi juga
pada berbagai lini kehidupan—seperti kekuasaan yang
menjadi salah satu spektrum dari fetisisme itu sendiri. Maka
yang ada tak sekedar fetisisme komoditas, melainkan juga
fetisisme kekuasaan. Namun di mana-mana fetisisme—seperti
yang terjadi pada komoditas, pastilah sama dengan yang
timbul terhadap kekuasaan. Kesamaannya ada pada
fenomenanya, yakni timbulnya penyimpangan sebagaimana
yang ditegaskan Marx dalam analisanya mengenai komoditas:

Komoditas pada pandangan pertama menampak seperti


ihwal remeh-temeh yang jelas dengan sendirinya. Akan
tetapi, analisis atas komoditas menyingkap betapa hal
itu demikian ganjil penuh dengan keruwetan metafisis
dan detail teologis … [sebab] sebuah komoditi mesti
berguna atau terlihat cukup berguna agar seseorang
membelinya. Tapi ketergunaan dalam hal ini, bukanlah
isu terpenting. Sebagai komoditas, sebuah produk mesti
dijual agar bisa digunakan. Tanpanya sebuah produk
tak bisa digunakan. Jika sebuah komoditas gagal dalam
menunjukan kemampuan tukarnya maka ketergunaan,
dengan sendirinya digagalkan….401

Teori Marx tentang fetisisme komoditas membuka jalan untuk


menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan sosial dalam
masyarakat kapitalis niscaya menghasilkan penampakan yang
mengaburkan bentuk relasi-relasi sosial yang melandasinya.

401
Karl Marx, (2004), Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik: Buku
Pertama Proses Produksi Kapital, (Indonesia): Hasta Mitra.

551
Fetisisme komoditas bagi Marx, perkembangannya terdapat
dalam uang dan kapital. Sementara dalam fetisisme kekuasaan
yang terjadi di HMI, perkembangan bisa kita cermati pada
training dan jabatan. Fetisisme kekuasaan yang terjadi dalam
tubuh himpunan bahkan telah menjadikan Konferensi Cabang
(Konfercab) hanya berputar soal bagaimana memuluskan
kader untuk mendapatkan jabatan Ketum. Contohnya dapat
diamati pada Konferensi HMI Cabang Mataram tempo hari.
Waktu itu, saya kebetulan menjadi peserta utusan penuh
dalam forum. Sebelum menjadi peserta, para kandidat Ketum
Cabang telah mendekati Ketum Komisariat untuk memintai
komitmen dukungannya. Ketum di komisariatku tidak
ketinggalan dari dekapan pendekatan tersebut. Itulah mengapa
hanya pengurus-pengurus yang bisa dipegang atau
dipercayailah yang dipasang sebagai peserta utusan penuh
(berhak memilih pada konferensi). Dalam keadaan demikian
kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa Konfercab
sedari awal telah menempatkan jabatan sebegai preferensi.

Konferensi yang seharusnya dijadikan kesempatan besar


untuk memvonis penyakit organisasi dengan melakukan
berbagai evaluasi ‘serius’ terhadap kinerja pengurus selama
satu periode malah merosot ke preferensi bagaimana kandidat
A, B, atau C bisa menang dalam pertarungan. Forum yang
awalnya telah di-setting sedemikian rupa mendorong
berjalannya suasana demokrasi penuh tipuan. Ini terlihat
sewaktu diaturnya siapa yang ditempatkan sebagai presidium
sidang 1, 2 dan 3. Mereka seperti halnya peserta sidang, yakni
sengaja dipersiapkan untuk mengantur ritme konferensi.
Ritme yang diperlukan dalam melancarkan strategi guna
memenangkan kandidat yang didukung. Arena Konfercab

552
kemudian menampilkan air muka penuh ketegangan. Keadaan
di dalamnya ibaratkan peperangan. Kalau dalam perang tujuan
konvensionalnya adalah penaklukan, maka dalam konferensi
tujuannya ialah jabatan Ketum Cabang. Peserta dan presidium
sidang dapat diibaratkan sebagai pasukan yang kebingungan:
tidak tahu kenapa dirinya harus bertempur dengan pidak
lawannya. Karena mereka tak mampu berkehendak sendiri,
melainkan hanya mengikuti instruksi senior yang
bersembunyi di balik layar-layar kebesarannya.

Senior itulah yang memberikan komando ke para bawahannya


hingga sampai ke telinga peserta dan presidium sidang yang
mengikuti konferensi. Instruksi yang datang biasanya berisi
arahan untuk memperlambat atau mempercepat Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ) dari para calon pengurus
demisioner, atau mengulur dan melancarkan jalannya forum
dengan argumen-argumen rasional. Pada saat inilah peserta
dan presidium yang dipasang oleh kandidat tertentu saling
bahu-membahu untuk mengatur dan terus menguasai jalannya
konferensi. Mereka bekerja sama untuk melemahkan pasukan
kandidat lainnya yang berada dalam forum. Keadaan yang
begini tentunya akan membantu mengefisienkan waktu dalam
melakukan konsolidasi kekuatan. Namun di sisi lain,
perbuatan itu menyebabkan merosotnya daya kritis peserta
dalam mengevaluasi kinerja pengurus selama satu priode
kepengurusannya.

Itulah kenapa LPJ yang bermasalah malah dibiarkan berlalu


begitu saja. Bidang organisasi yang sakit dianggap sehat dan
yang sehat justru dipaksa sakit. Dengan demikian, kita sukar
memberikan vonis terhadap permasalahan obyektif yang

553
terjadi di himpunan. Forum dihiasi dengan lebih banyak
balutan retorika daripada wacana. Kondisi ini mengakibatkan
peserta konferensi lebih cenderung berdiri di atas kepalanya
ketimbang menggunakan kakinya. Mereka pada akhirnya
terbalik melihat dunia. Kenyataan-kenyataan kongkret yang
selama ini dirasakan dalam proses kaderisasi—baik itu yang
baik maupun buruk—tidak mendapati saluran untuk
diungkapkan. Pikiran, perasaan dan kehendak peserta
Konferensi telah diracuni oleh fetisisme jabatan. Dorongan-
dorongan yang ada dalam diri hanya tentang bagaimana
caranya untuk memenangkan kandidat Ketum Cabang
masing-masing. Kita akhirnya tidak pernah beringsut jauh dari
yang namanya pemujaan akan simbol kekuasaan.

Fetisisme jabatan sangat berengsek. Ketika berhasil


memenangkan kandidat Ketum, maka kue pun dibagi. Orang-
orang yang mendukungnya dihadiahi jabatan dalam
kepengurusannya. Tak heran di beberapa Cabang ada
Pengurus yang diangkat secara inkonstitusinal karena
diberikan jabatan berdasarkan jasa dukungan atau usulan
orang-orang yang berhasil memenangkan kandidatnya sebagai
Ketum, tanpa memandang dan memperhatikan aturan. Dalam
Anggaran Rumah Tanggar (ART) HMI, kita diwanti-wanti
agar tidak memasukan orang yang tidak memenuhi kriteria ke
dalam sebuahh struktur kepengurusan. Tetapi yang demikian
hanya sekedar bualan, konstitusi telah kehilangan kekuatan
untuk dapat dijalankan dengan konsekuen. Fenomena ini
menandakan telah terjadi degradasi dalam kaderisasi HMI.

Kemunduran organisasi tidak hanya terjadi dalam ranah


kepengurusan, karena fetisisme jabatan juga mendukung

554
timbulnya fetisisme training. Yang paling menonjol terjadi
pada perkaderan formal. Itulah kenapa tak jarang ditemui
kader-kader yang mengikuti LK II (Intermediate Training)
atau LK III (Advance Training) dengan motif sederhana:
untuk memenuhi ketentuan konstitusi HMI agar dapat
mencalonkan diri sebagai Ketum, atau yang paling dangkal
adalah demi citra guna meninggikan kelas sosial dalam
himpunan. Fetisisme training memposisikan makalah atau
jurnal hanya sekedar formalitas yang diajukan calon peserta.
Makalah atau jurnal tidak harus bermutu, karena surat
keputusan (SK) kelulusannya dapat dikondisikan melalui
kekuatan jaringan. Training pada akhirnya seperti pesta
demokrasi HMI: terjambab dalam pemujaan obyek. Latihan
Kader menjadi serupa benda yang harus dikonsumsi demi
meningkatkan status sosial seseorang dalam himpunan.
Mungkin penjelasan yang begini dapat memberikan gambaran
terkait bagaimana perkembangan fetisisme kekuasaan melalui
status ‘training’ dan jabatan ‘Ketum’:

Suatu hari ketika sedang akan dilangsungkan LK III.


Saya dimintai oleh salah seorang yang dikenal jadi
senior di HMI untuk membantunya membuat jurnal.
Dia merupakan pengurus Badko yang terlibat dalam
kepanitiaan LK III. Karena kesibukannya itulah ia
meminta bantuan dibuatkan jurnal. Saya yang bodoh,
lugu dan agak sedikit lucu pun menyanggupi
permintaannya. Meski agak sedikit amburadul,
permintaannya berhasil diselesaikan. Kemudian
dengannya senior tadi mengikuti LK III. Bagiku, jurnal
itu memiliki banyak kekurangan sana-sini, maklum
pada waktu itu adalah kali pertamanya aku membuat
jurnal. Tetapi mungkin karena dia adalah panitia
pelaksanaan kegiatan, maka untuk meluluskan sebuah

555
jurnal adalah persoalan yang gampang. Konon dia
mamaksakan ikut training karena sebentar lagi
kepengurusannya akan demisioner dan ia berniat
mencalonkan diri sebagai Ketum Badko. Namun niatan
itu pupus di tengah jalan, kondisi obyektifnya
(penudukungnya) tidak memungkinkan. Meski begitu,
dalam konteks inilah saya menilai Latihan Kader kita
ikuti bukan karena sesuatu yang ada pada LK itu
sendiri, melainkan di luar LK itu. Inilah fenomena yang
menurut Marx adalah alienasi. Keyakinanku terhadap
terjadiya fetisisme dalam kaderisasi semakin kuat. Dulu
juga, saya pernah mendapati ada kader yang sangat
ingin mengikuti LK II karena diangapnya sebagai
prasyarat untuk menjadi calon Ketum HMI Komisariat.
Namun setelah konstitusi berubah: kriteria LK II
dihapuskan dalam ketentuan menjadi kandidat Ketum
dalam Rapat Anggoota Komisariat (RAK). Maka dia
kemudian mengurungkan niatnya untuk LK II dan
langsung mengambil sikap mencalonkan diri menjadi
Ketum Komisariat. Tetapi sayangnya dia gagal.
Kegagalannya menjadi Ketum, mungkin sedikit
terbayarkan oleh keberhasilannya wisuda. Sesudah
wisudanya dia berniat lagi mengikuti LK II. Dirinya
menganggap karirnya di HMI akan tenggelam bila
belum LK II. Kali ini motifnya mengikuti training
bukan karena ingin meraih kekusaan yang formal,
melainkan untuk menaikan statusnya. Dalam
pandangannya, kader yang tidak tinggi tingkat
kaderisasinya tak akan dipandang besar bahkan
terancam dikucilkan oleh kader-kader himpunan
lainnya. Sungguh keyakinan yang amat kolot. 402

402
Catatan ber-HMI pada tahun 2017-2018.

556
Kisah di atas sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk
menggeneralisasikannya pada seluruh kader HMI. Tetapi
cerita ini ditujuankan untuk menunjukkan kepada kita
bagaimana fetisisme kekuasaan membuat seseorang
menganggap tingkatan kaderisasi dan jabatan pemimpin
punya kekuatan dahsyat. Keduanya menjadi obyek yang
memiliki kekuatan magis. Baudrillard menerangkan bahwa
objek sebagai tanda yang dalam aturan nilai penandaan bisa
digolongkan antara dua keterangan: fungsionalitas dan
pemeragaan. Tetapi sebenarnya dua penggolongan tersebut
dilebih-lebihkan (ostention). Kedua keterangan itu dapat
menjadi bagian dari objek yang sama, sehingga obyek dapat
menjadi perangkat yang menggabungkan ‘keserampangan’
dengan tampilan ‘fungsionalitas’. Apabila suatu objek lebih
menunjukkan suatu pemeragaan yang dilebih-lebihkan
(ostention), maka tanda dari nilai itulah yang kemudian
menumbuhkan keinginan seseorang terhadap obyek tersebut.
Kondisi begini membuat obyek berubah menjadi fetish.
Menurutnya, yang demikian akan menghasilkan representasi
dari dunia simulasi: dunia yang terbentuk dari hubungan
berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi
relasional yang jelas. Hubungan demikian melibatkan tanda
riil (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda
semu (citra) yang hadir melalui proses reproduksi. Kedua
tanda tersebut saling menumpuk dan berjalin kelindan
membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana
yang asli, riil, palsu, atau semu. Semuanya menjadi bagian
realitas yang dijalani dalam kehidupan yang kapitalis. 403

403
Baca selengkapnya dalam Jean Baudrillard, (2011), Masyarakat
Konsumsi, Yogyakarta: Kreasi wacana.

557
Kesilangsengkarutan antara fakta dengan citra kemudian
melahirkan masyarakat simulasi: segala sesuatu ditentukan
oleh relasi tanda, citra dan kode. Identitas seseorang tidak lagi
ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Tetapi
ditundukan konstruksi obyek yang membentuk cermin
bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan
hubungannya dengan orang lain. Melalui pemikiran ini
didapati bahwa ketika status dan jabatan dilebih-lebihkan oleh
kader-kader HMI, maka yang kemudian akan terjadi adalah
lahirnya fetish. Konsekuensi logis dari fetisisme status
training dan fetisisme jabatan Ketum akan bertransformasi
hingga melahirkan fetisisme kekuasaan. Jerat fetisisme
menyebabkan mereka memiliki kebutuhan palsu. Itulah
kenapa untuk mendekatkan realitas dengan imajinasi kader,
kapitalisme menciptakan subtitusi-subtitusi berupa bermacam
identitas simbolis di balik sebuah obyek. Mereka kemudian
hanya mendapatkan kepuasan yang tidak riil tapi sebatas
kesenangan imajiner. Kesenangan vulgar inilah yang
membuat kader memiliki kesadaran palsu atas training ‘LK II
dan LK III’ dan jabatan Ketum (dan lainnya)’. Dalam
kehidupan yang kapitalis, training dan jabatan dikonsumsi
untuk membentuk simbol ‘kelas sosial’ yang lebih tinggi.
Kader pada akhirnya menampakkan penyakit megalomania;
ingin ditokohkan, jadi orang besar, atau dorongan berkuasa
secara formal. Wabah ini sangat berbahays karena mudah
tersebar melalui relasi-relasi sosial dalam himpunan. Jika
terus dibiarkan bukan-tidak-mungkin akan mencemari kader-
kader lainnya.

Fetisisme dalam kehidupan kaderisasi akan membuat kader


berkeinginan keras untuk mengikuti LK II sekedar untuk

558
membedakan diri dengan anggota yang masih bestatus LK I.
Mereka mengikuti training lanjutan agar dapat menaikan citra
kelas sosialnya di mata kader-kader lain. Pada titik tertentu,
fetisisme training paralel dengan fetisisme jabatan. Fenomena
ini dapat ditemui pada kader yang mengikuti jenjang
perkaderan yang lebih tinggi karena ingin memperoleh
kekuasaan formal. Motif yang agak zalim ini menandai
terjadinya transformasi kesadaran kader menuju fetisisme
kekuasaan. Pemujaan atas kekuasaan menjadi sangat
menyeramkan, lantaran akan membuat kader melebih-
lebihkan posisi-posisi tertentu dalam kepengurusan HMI,
seperti halnya jabatan Ketum. Ketua seakan memiliki
kekuatan magis. Itulah kenapa dalam himpunan yang
namanya jabatan tersebut selalu saja disakralkan. Cobalah
kalian tengok dan mulai belajar jujur pada diri sendiri
bagaimana di RAK-mu ada tradisi aneh: muncul kepercayaan
bahwa yang tidak mendapatkan restu dari Ketum sebelumnya,
maka dia tidak bisa naik jadi Ketum selanjutnya. Fenomena
ini terjadi di Komisariat-ku dulu. Aku yakin apa yang pernah
kurasakan ini sama—dan mungkin—pernah kalian rasakan di
Komisariat-mu:

Lagi-lagi kita harus mengakui bahwa apa yang terjadi


di RAK memiliki persamaan dengan suksesi di hierarki
kepemimpinan HMI lainnya, itulah kenapa pemilihan
Presidium Sidang 1, 2, dan 3 serupa dengan yang
terjadi dalam Konfercab. Dalam RAK bukan lagi
sesuatu yang tabu ketika senior mencampuri
prosesinya. Mulai dari orang-orang Cabang sampai
senior yang sudah alumni turut ambil bagian di
dalamnya. Misalnya, kepentingan yang dibawa oleh
orang Cabang biasanya adalah untuk dapat menaikan

559
kader yang bisa diandalkan dalam mengikat suara
Komisariat untuk bertarung dalam Konfercab. Dalam
hal inilah juga biasanya yang dimainkan adalah isu
‘Suku’, ‘Bukan Gerbong Kita’, ‘Kader Senior A, B,
atau C, dan sebagainya dimainkan untuk melancarkan
naiknya junior yang didukung. Tetapi akibat terparah
dari semua ini adalah terjadinya perpecahan para
anggota-anggota Komisariat, yang temanifestasi dalam
meningkatnya konfrontasi antar-gerbong lama, bahkan
dapat memicu timbulnya kelompok-kelopok kecil
(gerbong baru). Keadaan ini biasanya amat sublim,
makanya jarang kader yang bisa merakasan situasi dan
kondisi ini. Namun mereka akan mulai mengetahui
adanya implikasi bawaan tersebut ketika sudah melihat
sendiri bagaimana menurunya keaktifan kader dalam
kegiatan-kegiatan Komisariat.404

Spektrum fetisisme kekuasaan juga terjadi dalam Latihan


Kader I. Keadaan ini begitu memilukan. Komisariat yang
semula diyakini sebagai tempat di mana dilakukannya
kaderisasi yang paling murni, ternyata terinfiltrasi oleh yang
namanya kepentingan besar dari Cabang. Pelaksanaan LK I
(Basic Training) dalam keadaan yang fetish, tak mampu
diharapkan sebagai ajang menggembleng mahasiswa-
mahasiswa untuk menjadi kader HMI secara an sich.
Melainkan dijadikan momen untuk mengumpulkan anak-anak
muda yang berfungsi untuk menguatkan gerbong-gerbong
politik dalam himpunan. Sejak itulah mereka menjadi ‘kader
senior’ tertentu. Fenomena inilah yang sempat terjadi sewaktu
saya aktif di Komisariat. Ada kader dari salah satu gerbong
yang bergriliya mengumpulkan teman-teman dan sanak-

404
Catatan ber-HMI pada tahun 2017-2019.

560
saudaranya untuk diikutkan dalam Basic Training. Biasanya,
paling serius bergrilya adalah kalangan oposisi yang belum
berhasil menempatkan kadernya pada posisi Ketum. Kendati
begitu, dalam keadaan yang demikianlah kelompok penekan
dan yang berkuasa sama-sama berusaha mengumpulkan
sebanyak-banyaknya mahasiswa untuk di-HMI-kan dan
kemudian dimasukan ke dalam gerbongnya masing-masing.
Situasi dan kondisi ini menampilkan efek bawaan dari
kapitalisme, yakni persaingan beraroma pasar. Mereka tidak
sekedar melangsungkan Basic Training untuk menunaikan
amanah kepengurusan, melainkan lebih kepada bagaimana
caranya melakukan pembasisan pada gerbongnya. Itulah
kenapa tempo hari di komisariat saya dulu pernah terjadi
sebuah pengkoptasian keikutsertaan peserta dalam sebuah
forum training:

Saat berlangsungnya forum LK I HMI Komisariat


Fakultas Hukum Unram. Ada peserta training yang
tiba-tiba diusir oleh Matster of Training (MoT). Dia
dipaksa meninggalkan tempat perkaderan hanya dengan
alasan yang naïf: persoalan semester akademik. Peserta
yang diusir adalah mahasiswa yang sebenarnya
semester VIII, namun karena cuti maka ia ketinggalan.
Itulah kenapa pada waktu mengikuti LK I, ia tercatat
menjadi mahasiswa semester VI. Namun karena pada
dasarnya ia merupaakan mahasiswa yang semesternya
tinggi, maka inilah yang dijadikan alibi untuk
dikeluarkannya ia dari forum. Terusirnya anak muda itu
sesungguhnya penuh dengan intrik. Karena sebelumnya
Mot dan Screning Comitte (SC) diberi ultimatum oleh
Kabid PAO (Pembiaan Aparatur Organisasi) Cabang
Mataram, kurang lebih begini: ‘saya tidak mau mengisi
materi Konstitusi HMI apabila peserta tersebut belum

561
diusir’. Kabid PAO menganggap anak muda tadi
mengikuti LK I punya niat yang mungkin tidak baik—
apalagi jika melihat dari semesternya; soalnya dulu
pernah kejadian ada mahasiswa semester atas yang
mengikuti LK I, dan setelah dinyatakan lulus ia malah
berpolitik praktis: menjadi tim sukses Zul-Rohmi. MoT
(Pengurus BPL) dan SC (Pengurus Cabang dan
Pengurus Komisariat) yang tidak mau ambil pusing
seketika mengamini pernyataan itu. Makanya
pengusiran yang kemudian dilakukannya terkesan
dipelopori oleh pandangan subyektif yang coba
dirasionalisasikan olehnya sedemikian rupa. Namun
jika kita menggali lebih dalam lagi, apa sebenarnya
yang memicu pengusiran itu maka akan didapati sebuah
persoalan klasik yang sarat dengan kepentingan.
Kenapa begitu? Di Komisariat Hukum ada gerbong
besar (A dan B) yang saling berhadap-hadapan untuk
menancapkan kuasanya. Kabid PAO adalah mantan
Ketum Komisariat Hukum yang berasal dari gerbong
A. Sementara peserta yang dikeluarkannya merupakan
anak muda yang ingin di-HMI-kan oleh gerbong B.
Pemuda itu memang sebelumnya telah dibuat kagum,
hingga belajar banyak tentang HMI dari gerbong B.
Hanya saja ia belum terdaftar menjadi kader HMI.
Maka untuk ber-HMI-lah dia mengikuti Basic
Traininng, namun digagalkan oleh kelompok dominan.
Karena kedekatannya dengan gerbong B telah lebih
dahulu diketahui oleh gerbnong A. Makanya si ketua
yang sedari awal punya hegemoni atas Komisariat yang
pernah dipimpinnya menanamkan kecurigaan pada
peserta tersebut. Rasa curiga kemudian dia nyatakan
melalui jaringan kekuasaannya. Inilah yang
membuatnya lancar dalam melempar stigma yang agak
zalim. Maka diusirnya peserta LK I yang diikutkan oleh
gerbong B membersitkan sebuah konflik laten anatara

562
gerbong A dengan B. Namun dikeluarkannya dia dari
forum Hukum, tidak meredupkan keinginannya
menjadi anggota HMI. Sesudah kejadian tersebut, ia
mencoba mengikuti LK I HMI Komisariat Ummat. Dia
seolah ingin membantah tudingan negatif yang
sebelumnya dilabelkan pada dirinya hanya karena
persolana semester. Di sini ia berhasil mengikuti forum
sampai dibai’at menjadi anggota himpunan. Ketua
Bidang PAO tidak bisa seenaknya menyabotase forum
sebagaimana di Komisariat Hukum. Kelak setelah ia
berhimpun, lagi-lagi tuduhan yang membuatnya terusir
dari LK I Hukum sama sekali tidak terbukti. Dia tidak
pernah terlibat dalam politik praktis seperti anggapan
berlebihan dari Kabid PAO Cabang. Namun ia justru
semakin kukuh menjadi bagian dari gerbong B, yang
terus bersaing dengan gerbong A.405

Paparan barusan memberikan gambaran kepada kita


bagaimana fetisisme kekuasaan masuk dalam lorong Basic
Training. Pertautan antara fakta dan citra telah membelokan
forum perkaderan. Obyek ‘training’ dilebih-lebihkan seakan-
akan LK I bukan lagi sekedar pintu masuk dalam HMI, tetapi
lebih sebagai sumber kekuatan dari gerbong-gerbong yang
bersaing karena saat itulah ajang tiap kelompok untuk
melakukan pembasisan: menambah massa. Inilah yang
mengubah iklim kaderisasi menjadi sebuah arena pertarungan.
Ini mewartakan kepada kita bahwa perkembangan kaderisasi
mulai tidak alami. Karena apa yang ditampilkan bukan lagi
perubahan sesuai dengan kaidah evolusi secara alamiah,
melainkan persaingan yang menjadi karakteristik dari
kapitalisme.

405
Ibid.

563
Itulah mengapa ada-ada saja kalangan pengurus—yang
berasal dari gerbong tertentu—mencoba mengkooptasi
pembentukan panitia LK I. Ketua Panitia (Ketupat) da
Sekretaris Panitia (Sekpat) yang kelihatannya dipilih secara
demokratis dalam Rapat Pembentukan Panitia, ternyata di titik
tertentu terjadi yang sebaliknya: persis penempatan Presidium
Sidang. Kriterianya amat sederhana: tak bandel, mudah diatur,
dan paling penting mau bekerja. Kader yang menjadi Ketupat
dan Sekpat semula telah diseleksi terlebih dahulu berdasarkan
kualifikasi tersebut. Sewaktu melaksankan rapat pemilihan
Ketupat dan Sekpat, pengurus tinggallah memberitahukan
kepada kader-kader lainnya untuk memilih A dan B. Hattanya
tidak setiap orang bisa memimpin kepanitiaan, karena Ketupat
dan Sekpat—tidak-boleh-tidak—adalah kader yang sedari
awal menyenangkan di mata pengurus.

Pada hakikatnya ini merupakan sebuah ajaran yang


menyesatkan. Tindakan yang tidak demokratis sangat
berbahaya bagi kelangsungan kaderisasi. Kader-kader yang
lugu itu seakan hanya jadi obyek yang bisa diperlakukan
seenaknya oleh pengurus. Sifatnya yang begitu penurut
membuatnya jadi lemah tanpa daya mengatakan penolakan.
Dari mulutnya hanya bisa bilang: siap. Seakan tidak ada
pilihan kata lain, terutama ‘tidak siap’. Kepenurutannya
kemudian malah melanggengkan perilaku yang tidak
demokratis. Ini bahkan mengalami loncatan kualitatif menuju
pelaksanaan LK I yang fetish. Intervensi-intervensi yang
demikian akan dianggap sebagai sebuah hal lumrah. Itulah
kenapa para pengurus dari gerbong tertentu tidak kesusahan
dalam menjalankan kemauannya. Kader-kader kemudian

564
seperti domba-domba yang tak memiliki kehendak sendiri,
melainkan ikut pada sang gembala.

Mereka seakan tidak sadar bahwa haknya telah dilucuti oleh


kepentingan segelintir orang. Lama-lama kehidupan
kaderisasi yang seperti ini akan menumbuhsuburkan
pengambilan keputusan secara sembunyi-sembunyi dalam
pemilihan yang terbuka. Pemilihan Ketupat dan Sekpat
merupakan awal diajariya kader HMI tentang sikap yang tidak
demokratis. Fetisisme kekuasaan dengan demikian ternyata
juga merasuki ajang pemilihan panitia. Lihatlah bagaiaman
kepanitiaan kemudian bukan sekedar untuk melaksanakan
kegiatan perkaderan, melainkan pula amat sarat kepentingan.
Sikap yang tidak demokratis memberikan sinyalemen bahwa
LK I memiliki tendensi tertentu.

Jika saja pengurus mau jujur, kenapa kader itu dipilih pasti
mereka akan mengatakan: itu sebagai ajang pengorbitan. Di
situlah kemampuan kerja kader diberi ruang besar untuk
penyaluran. Pengetahuan kepemimpian, manajemen dan
organisasi mendapatkan lahan subur untuk ditanami. Kelak
hasilnya bukan sekedar tertempahnya kualitas diri, tapi juga
didapatkan citra ‘sang pekerja’. Citra itu mulanya memang
tidak disadari oleh kader-kader yang terlibat dalam
kepanitiaan, karena mereka hanya merasa dirinya memiliki
panggilan moral dalam mengadakan training. Tetapi citra
yang nantinya akan melekat pada panitia—melalui
pengalamannya sendiri—sudah jauh-jauh hari diprediksi oleh
pengurus. Itulah kenapa kader yang sudah berhasil
menuntaskan mandatnya sebagai panitia kemudian terus-
menerus dirawat sampai suatu ketika bisa dipasang dalam

565
posisi kepengurusan. Perawatan kader pastinya dilakukan
dalam sebuah gerbong tertentu, baik oleh pengurus maupun
senior yang ada di Komisariat.

Orang yang dibesarkan dalam gerbong kemudian akan jadi


lebih politis, lantaran dia tentunya mendapatkan pengertahuan
tentang keberadaan kader-kader dari gerbong saingannya.
Namun kekuatan kader dari gerbong lainnya tidaklah mampu
menandingi kader yang tadinya berhasil mendapat prestise
dalam kepanitiaan. Kader-kader yang pernah menjadi panitia
akan cenderung dipandang sebagai pekerja keras daripada
kader lainnya. Pada saat inilah niscaya timbul sebuah
diferensiasi, yang membedakan kader ‘mantan panitia’
dengan yang ‘bukan mantan panitia’. Pembedaan ini memberi
jawaban kepada kita mengapa pengurus lebih suka kepada
orang-orang yang dianggapnya rajin, ketimbang mereka yang
dipandang tak suka bekerja dan kenapa kader-kader yang
tidak mendapatkan posisi panitia cenderung menganggap
dirinya bukan apa-apa dibandingkan mereka yang masuk
dalam kepanitiaan.

Kelak orang-orang yang pernah aktif sebagai panitia


mendapatkan preferensi jadi pengurus ketimbang anggota
biasa yang tidak pernah mengecap posisi kepanitiaan. Basic
Training dengan begitu bukan hanya untuk memproduksi
kader, melainkan juga salon untuk mempersiapkan pewaris
atau reproduksi kekuasaan. Status ‘pernah manjadi panitia—
dalam parameter yang lebih kecil—sejenis citra yang diraih
ketika seseorang mengikuti jenjang training yang lebih tinggi.
Itulah kenapa keikutsertaan dalam kepanitiaan tak ubahnya
jimat atau sertifikat sebagai prasyarat menempati posisi

566
struktural organisasi. Itu nampak jelas ketika Mide Formateur
dan Formateur Ketum Komisariat begitu memberi prioritas
pada orang-orang yang mantan panitia untuk jadi pengurus.
Karena dalam budaya kaderisasi yang dicemari oleh fetisisme
kekuasaan untuk memasukan seorang kader menjadi pengurus
bukan sekedar melihat jenjang perkaderan semata, melainkan
juga rekam kepanitiaan seseorang. Jika tidak percaya, cobalah
lihat di Komisariat-mu, bukankah yang paling banyak
diangkat menjadi pengurus Komisariat adalah mereka yang
sebelumnya pernah aktif di kepanitiaan; terutama Ketupat dan
Sekpat yang semula telah ditentukan oleh pengurus dari
gerbong tertentu?

Mereka memang sengaja dipasang guna kepentingan


reproduksi kekuasaan. Makanya pada waktu pembentukan
kepanitiaan demokrasi hanya sebatas slogan. Pembentukan
panitia kehilangan ruh keterbukaan ketika keputusan yang
dihasilkan bukan dari kehendak memilih, melainkan
terkooptasi oleh keputusan pihak dominan yang diambil
secara sembunyi-sembunyi. Itulah kenapa sebelum
terbentuknya panitia LK I kalian mendapatkan bisikan, atau
bahkan pesan elektronik dari yang mengarahkan untuk
memberikan suaranya pada kader A, B, C, dan seterusnya.
Biasanya dalih yang digunakan adalah untuk mempercepat
pembentukan panitia demi berjalan lancarnya kegiatan
training. Keagungan retorika semacam ini membutakan kita
bahwa sesungguhnya ada pertautan kepentingan jangka
panjang dalam penempatan seseorang untuk memimpin
kepanitiaan.

567
Menggunakan pemikiran Uberto Eco, kita mendapati
fenomena di atas sebagai hipersemiotika: hubungan antara
tanda yang melampaui batas karena representasinya terlalu
melebih-lebihkan realitas yang sesungguhnya. Inilah yang
kemudian mengakibatkan munculnya tanda dusta (false
sign)—menutupi realitas asli dengan merepresentasikan
realitas yang lain. Tanda dusta itulah yang ditebarkan kepada
kader-kader dengan cara mendiktekan keinginan-keinginan
melalui bentuk yang subtil. Makanya kader yang begitu polos
dengan cekatan mengamini tindakan tidak demokratis hanya
karena ingin mempercepat terbentuknya panitia untuk
memperlancar training. Tujuan suci mengadakan LK I
akhirnya menutupi tindakan busuk yang mendahuluinya
dalam kepanitiaan: keputusan minoritas diberi legitimasi
hingga menjadi putusan mayoritas.

Ketupat dan Sekpat yang disiapkan sejak awal, juga


sesungguhnya telah lebih dahulu termakan oleh permainan
tanda. Mereka dicekoki dengan tanda palsu (pseudo sign)—
realitas kompleks hanya ditampilkan sebagian saja, artinya
terjadi reduksi kenyataan. Makanya yang kader-kader itu tahu
hanya soal bagaimana caranya memimpin panitia agar Basic
Training dilaksanakan dengan sukses. Mereka sama sekali
tidak mengetahui di belakang layar kelompok kepentingan
telah memplotnya sejak awal siapa-siapa yang akan
memimpin panitia. Dalam konteks inilah training yang
merupakan ‘penanda’ mengalami hipersemiotika, karena
konsep yang ada dalam pikiran pengurus sebagai ‘petanda’,
telah terjangkit fetisisme kekuasaan. Itulah kenapa training
dan kepanitiaan tidak lagi memiliki nilai yang inheren pada
dirinya, melainkan didapati berada pada kekuasaan. Fetisisme

568
kekuasaan membuat pengurus dan kader-kader HMI lainnya
terbiasa untuk mengkhianati demokrasi yang hakiki. Jika
kondisi yang demikian kau temui di Komisariat-mu. Maka
ada baiknya diupayakan sebuah pembangkangan. Jadilah anak
muda pemberang seperti harapan Jo Grimond, yakni
memberontak terhadap sistem yang licik:

Mereka harus memberontak terhadap birokrasi dalam


semua bentuk dan sikapnya, terhadap birokrasi dalam
pemerintahan, birokrasi dalam big bussines, birokrasi
dalam aparatur partai-partai politik, birokrasi di antara
mahasiswa sendiri, birokrasi dalam pekerjaan-
pekerjaan. Demi membela demokrasi terhadap
birokrasi; membela manusia terhadap mesin; membela
pengambilan keputusan secara terbuka terhadap
pengambilan keputusan rahasisa; membela
kemanusiaan terhadap gengsi; membela kehidupan
terhadap kematian. 406

406
Yozar Anwar, (1981), Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20: Kisah-Kisah
Perjuangan Anak Muda Pemberang, Jakarta: Sinar Harapan, Hlm. 11.

569
Kongres Borjuis menjadi
Arena Reifikasi dan Alienasi

“Di manakah ketentraman bisa ditemukan di antara berjuta


manusia jika setiap genggam nasi yang masuk ke mulut harus
dibayar dengan martabat mereka?” (Mahasiswa Indonesia:
Amarah Suci)

“Masa tergelap dalam sejarah anak muda adalah ketika ia


duduk belajar bagaimana mendapat uang tanpa mencarinya
dengan jujur.” (Horace Greeley)

“Tidak ada yang lebih mendatangkan kekuasaan kepada


penjual, selain pengetahuan bahwa pembeli sangat
memerlukan barang dagangannya.” (Multatuli)

Dalam Das Kapital Jilid I—pada bagian bentuk-nilai—Karl


Marx berangkat dari analisisnya atas komoditas. Dia
menjelaskan bahwa nilai-guna adalah muatan material dari
kekayaan yang proporsi, atau relasi kuantitatif antarkomoditas
yang terwujud dalam nilai-tukar. Nilai tukar adalah ‘bentuk
tampilan’ dari ‘nilai’—abstraksi dari curahan kerja yang
memungkinkan tiap-tiap komoditas dipertukarkan satu dengan
yang lain. Kerja yang menyusun substansi nilai merupakan
‘kerja abstrak’, yakni jenis kerja yang diabstraksikan dari
aspek kualitatifnya dan dapat dihitung besarannya lewat rata-
rata ‘waktu kerja yang diperlukan secara sosial’. Itulah
mengapa nilai lahir bukan lagi di pasar melainkan diciptakan
di dalam proses produksi. Nilai merupakan sesuatu yang laten
pada komoditas sebelum dipertukarkan, dan kemudian
teraktualisasikan dalam pertukaran; yakni melalui nilai-tukar

570
antar-komoditas. Sementara yang menjadi penentu nilai
adalah hubungan-hubungan produksi antar-manusia—Marx
menyebutkannya: (a) mengasalkan substansi nilai pada bentuk
kerja yang khas cara produksi kapitalis; jenis kerja yang
diabstraksikan dari aspek kualitatifnya, yakni kerja abstrak;
lalu (b) mengemukakan aspek kuantitatif kerja abstrak, yakni
waktu-kerja yang dibutuhkan secara sosial sebagai
‘pengukur besaran nilai’; dan (c) mengemukakan analisis
relasi pertukaran lewat konsep bentuk-nilai yang memecahkan
teka-teki bagaimana nilai dapat berkembang menjadi nilai-
tukar, atau dalam bentuknya yang paling berkembang,
bagaimana komoditas dapat berkembang menjadi uang. 407

Analisa mengenai bentuk nilai telah membuat Marx melihat


kontradiksi berikut: pertama, nilai yang mengungkapkan diri
lewat nilai-guna; kedua, kerja abstrak yang mengungkapkan
diri lewat kerja konkret; dan ketiga, kerja sosial yang
mengungkapkan diri lewat kerja individual. Pertentangan-
pertentangan ini ditemukan Marx dalam analisisnya mengenai
komoditas. Hal-hal kontradiktif itu didapatkan dari produk
kerja manusia yang bertransformasi menjadi ‘bentuk-
komoditas’. Marx menulis: ‘berubah
menjadi ihwal yang melampaui keindrawian’. Pernyataan ini
mengacu pada analisis bentuk-penyetara nilai yang
bagaikan camera obscura (lensa gelap)—menampilkan ruang
hitam—yang menopengi dan membalik, bentuk-relatif nilai.
Itulah kenapa ketika dalam pertukaran apa yang menjadi
landasan komoditas hadir sebagai kebalikannya; (a) nilai

407
Karl Marx, (2004), Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik: Buku
Pertama Proses Produksi Kapital, (Indonesia): Hasta Mitra. Hlm. 174.

571
‘menampak sebagai oposisinya’ yakni nilai guna, (b) kerja
abstrak ‘menampak sebagai oposisinya’ yakni kerja konkret,
dan (c) relasi antar-kerja sosial ‘menampak sebagai
oposisinya’ yakni sebagai relasi antar-produk-produk kerja
individual. Kesimpulan seperti ini didapati Marx dari sifat
kerja di bawah kapitalisme, yang termanifestasi ke dalam sifat
objektif komoditas-komoditas—relasi
sosial ‘menampak’ dalam bentuk relasi antar-komoditas.
Relasi antar-komoditas itu menutupi relasi-relasi sosial yang
melandasinya. Penampakan inilah yang menjelaskan mengapa
nilai dalam kesadaran masyarakat kapitalis seolah-olah
timbul di dalam aras sirkulasi: pasar.

Dalam masyarakat kapitalis nilai komoditas seakan tampak


tidak ada hubungannya dengan basis materilnya: kerja yang
dicurahkan oleh pekerja dalam bentuk kerja abstrak. Itu
sebabnya komoditas dalam cara produksi kapitalis hadir
seakan-akan memiliki kekuatan yang ‘mistis-ajaib’—mampu
mendefinisikan diri lewat dirinya sendiri—berhubungan satu
sama lain tanpa ada kaitan dengan hubungan-hubungan antar-
manusia yang menciptakannya. Makanya hasil kerja manusia
tampil sebagai bentuk yang berelasi dengan manusia tapi
terlepas di luar kendalinya. Fenomena inilah yang ditemukan
Marx terjadi pada kelas proletar, yakni komoditas dipandang
bernilai terlepas dari kerja buruh. Penemuan itu kemudian
dikukuhkannya sebagai ‘fetisisme komoditas’. Fetish,
ternyata bukan hanya terjadi pada komoditas perdagangan
saja, melainkan juga dalam pelbagai kehidupan lainnya. Inilah
mengapa teori fetisisme komoditas dari Marx—di bagian
sebelumnya—dipakai dalam menjelaskan tentang dinamika
kekuasaan dalam sistem kaderisasi HMI. Maka di kesempatan

572
ini pula masih akan memakai perspektif marxis. Akan dibahas
fenomena fetisisme yang terjadi dalam kegiatan reproduksi
kekuasaan organisasi, yang secara implisit ditemui saat
berlangsungnya Kongres HMI.

Fetisisme kekuasaan telah menyetir Kongres HMI. Forum


yang seharusnya menjadi ajang melempar gagasan dan
mengeluarkan kritik terhadap proker-proker demi
dilakukannya perbaikan, justru hanya menitikberatkan soal
ganti pemimpin. Makanya Kongres kemudian menjadi
wahana vulgar yang menghasilkan nilai-guna dan nilai-tukar.
Demikian tercermin bagaimana lancarnya konsumsi barang
dan jual-beli kepala peserta Kongres. Peserta pemilik suara
penuh sebelumnya telah terlena oleh fasilitas mewah dan
uang-uang konsumsi yang diberikan. Keadaan ini persis yang
dikatakan Georg Lukacs: ‘reifikasi (membendakan)
menyaratkan bahwa sebuah masyarakat harus terbiasa untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhannya dalam kerangka
pertukaran komoditi’. Memakai perspektif Bouerdieu, kita
dengan jelas melihat fenomena kapitalisasi itu bukan sekedar
menyentuh barang dan mencari modal ekonomi, melainkan
pula menjangkau pencarian modal simboli, sosial, dan
budaya. Inilah kenapa HMI seolah mengambil posisi
semacam pabrik dengan kadernya yang menjelma menjadi
komoditi. Untuk ongkos produksi dan reproduksi komoditi
itulah yang mengakibatkan Kongres membutuhkan pendanaan
berlimpah sampai miliaran rupiah. Parahnya: biaya sebanyak
itu diongkosi dengan uang rakyat. Hubungan korporatisme
inklusif dengan negara telah mendorong pemerintah tidak
segan-segan memberikan anggaran kepada HMI.

573
Dana segar tentunya diberikan pemerintah dengan tidak
cuma-cuma. Karena anggaran Kongres merupakan sebuah
pinjaman yang harus dibayarkan melalui hubungan yang
akomodatif dengan negara. Makanya pengurus-pengurus
organisasi ini menjadi sangat akrab dengan para pejabat.
Itulah kenapa HMI membiasakan diri mengundang pejabat
atau politisi dalam aneka kegiatan: Latihan Kader, seminar
dan diskusi-diskusi publik. Semua itu dilakukan secara sadar
untuk mendapatkan jaringan. Karenanya, banyak program
pemerintah yang didukung guna mencari kas organisasi—
semisal: sosialisasi-sosialisasi, ataupun menyediakan kader
untuk terlibat dalam lembaga-lembaga survey pada saat-saat
menjelang Pemilu. Kondisi ini mengakibatkan buntunya
semangat gerakan membela kepentingan kaum miskin dan
tertindas, tapi lebih bangga mendukung pemerintah.
Kebanggaan ini yang lalu dengan sekejap merenggut harga
diri kader. Mereka tak lebih dari barang yang mudah
diarahkan ke sana-ke mari oleh pelbagai kepentingan.

HMI sudah saatnya sadar bahwa dirinya berada di bawah


bayang-bayang kekuatan modal. Hegemoni kapitalisme telah
membuat kader-kadernya menampilkan bentuk komoditi. Karl
Marx menjelaskan komoditi berwatak ganda: nilai-guna dan
nilai-tukar. Sayangnya pengurus himpunan hanya memandang
komoditi sebagai nilai-guna: objek yang konkret dan berguna
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Itulah kenapa sewaktu
Kongres mereka tak sadar bahwa sebagaian kader-kader
memiliki nilai-tukar. Ingatlah! Masyarakat kapitalis
bereksperimen pada nilai guna. Marx menjelaskan, mereka
mengubah nilai itu menjadi nilai tukar: barang-barang yang
diproduksi bukan langsung dikonsumsi, melainkan dijual.

574
Tiap komoditi kemudian memiliki dua wajah: nilai guna yang
akrab dan familiar, dan nilai tukar yang tersembunyi di balik
kedok. Wajah yang pertama terhubung langsung dengan ciri-
ciri fisik dari komoditi tertentu sebagaimana ketika peserta
mengonsumsi: minum kopi di kedai, makan di KFC, tidur di
hotel, menyewa mobil sedan untuk dikendarai, dan lain-lain.
Namun yang kedua—nilai tukar—tidak dapat nampak pada
makan, minum, tidur dan jalan-jalan seperti barusan.

Nilai-tukar tidak memiliki keberadaan material apapun.


Walau demikian ia adalah hakikat dari komoditi di bawah
kapitalisme. Ekspresi puncak dari nilai tukar itu ialah uang,
yang merupakan alat tukar universal. Kekuatan uang itulah
yang mengotori kesucian Kongres HMI dan memelorotkan
kehormatan para kader. Karena watak ganda dari masyarakat
kapitalis bukan hanya terjadi pada konflik antara para kerja
upahan dengan kapital, melainkan juga terjadi pada kerja-
kerja tulus organisasi dengan kapital. Makanya sekarang
kekuatan modal bukan hanya mengalir di pasaran, tetapi telah
menerjang ke segala lini kehidupan. Inilah mengapa nasib
kader-kader HMI hari-hari ini serupa kelas pekerja. Kaum
buruh mengira menjual tenaganya pada majikan tapi
sebenarnya mereka menjualkan kemampuan kerjanya yang
lalu digunakan sesuai kehendak majikannya. Nilai lebih yang
kemudian dihasilkan adalah hasil kerja kelas pekerja tapi
kelas borjuis tidak membayarkan pada mereka, karena itu
merupakan sumber akumulasi kapital dari para borjuis.
Fenomena inilah yang juga meradang dalam himpunan. Jika
kita andaikan panitia lokal, panitia nasional, dan peserta
Kongres sebagai buruh—maka apa yang mereka alami saat
pesta demokrasi (borjuis) HMI persis dengan nasib pekerja di

575
perusahaan kapitalis. Pada buruh pabrik nilai-lebih dari
kerjanya dihisap oleh majikannya, sementara anak-anak muda
yang bekerja dalam Kongres juga menghasilkan nilai-tukar
yang kemudian menyediakan iklim bagus bagi terisinya
kantong para mafia dengan uang hasil penjualan suara
peserta-peserta penuh—inilah letak persamaannya!

Sebelumnya, Adam Smith dan David Ricardo hanya


menemukan teori nilai-lebih yang dihasilkan dalam kerja.
Tetapi selanjutnya, Marx malah melangkah jauh dengan
merevolusionerkan teori ini. Dia menemukan watak sejati dari
nilai-lebih yang terbungkus di balik kabut, yaitu nilai-tukar.
Nilai inilah yang membuat kader-kader HMI bukan sekedar
menyalurkan tenaganya untuk mendukung jalannya Kongres,
melainkan juga menyodorkan kemampuan kerjanya untuk
dipergunakan sesuai kehendak kelas penguasa: mafia
Kongres. Ini menyebabkan hasil kerja kader-kader kemudian
bukan diperuntukan kepada dirinya sendiri atau kepentingan
organisasi yang inheren, tapi diberikan pada orang-orang yang
menguasai kepala pemegang suara penuh. Mereka adalah
senior-senior—bahkan alumni—yang menjadi penguasa
dalam gerbong politik yang diikuti peserta Kongres. Para
mafia Kongres tak pernah berpikiran bahwa suara itu tak
mungkin terwujud tanpa limpahan daya dari para kader yang
tulus bekerja untuk organisasi: panitia dan peserta. Oleh
karena itu, mafia-mafia tak segan-segan menjadikan pesta
demokrasi himpunan sebagai ajang mengeruk keuntungan.
Untung yang diberikan pada mereka berasal dari keringat dan
lelah panitia serta peserta yang dieksploitasi. Eksploitasi
inilah yang memperlancar mengalirnya uang dalam Kongres
untuk masuk ke kantong para mafia. Itulah kenapa proses

576
Kongres selain memiliki nilai pakai yang berbentuk material,
juga mempunyai nilai tukar yang sama sekali tak berwujud:
penghisapan kemampuan kerja manusia.

Secara fenomenologis, Kongres menampakkan bagaimana


hubungan-hubungan produksi dan reproduksi dalam
masyarakat kapitalis: nilai-guna bertentangan dengan nilai-
tukar, kerja kongkret berlawanan dengan kerja abstrak, dan
produk-produk antarkerja individual berhadap-hadapan
dengan relasi-relasi antarkerja sosial. Keadaan seperti ini
membuat kader-kader HMI (panitia dan peserta) ditelanjangi
dan dipermainkan habis-habisan oleh kekuatan modal. Para
anak-anak muda lugu yang jadi panitia tahunya hanya kerja
tanpa pamrih karena mereka ingin berproses dengan tulus dan
ikhlas tanpa pernah menolak tugas. Sayangnya proses-proses
kita telah disabotase oleh agen-agen kapitalis. Mereka adalah
para mafia Kongres. Borjuis-borjuis ini juga telah dengan
mudahnya melucuti kehendak peserta utusan penuh. Pemilik
hak pilih tak punya kehendak atas suara-suaranya karena
dalam kaderisasi yang diselimuti fetisisme kekuasaan dirinya
bukan lagi manusia, tetapi hanyalah benda yang dikendalikan
mafia.

Pengurus-pengurus Cabang—yang juga mantan-mantan


Pengurus Komisariat itu—dengan demikian telah mendapati
dirinya seperti seorang kader yang ditempatkan dalam
kepanitiaan Basic Training (yang kita bicarakan pada bagian
sebelumnya). Pada posisi inilah didapati konfrontasi antara
kepentingan HMI secara universal dengan kepentingan
gerbong yang amat sempit. Namun mereka bukan sekedar
memberikan tenaganya untuk himpunan, melainkan juga

577
diperas kemampuan kerja demi kepentingan segelintir
kalangan (pengurus, senior, atau alaumni dalam gerbong
tertentu). Yang membedakannya, di LK I hubungan-hubungan
produksi dan reproduksi terjadi pada parameter kepentingan
yang tidak sebesar Kongres. Namun fetisisme kekuasaan di
LK I—maupun LK II dan LK III—sesungguhnya suatu saat,
tidak-boleh-tidak, akan berkulminasi pada Kongres yang
demikian. Pengambilan keputusan secara diam-diam dalam
pembentukan kepanitiaan Basic Training merupakan imbuhan
yang mengejewantahkan rusaknya sistem kekuasaan
organisasi. Sehingga pelajaran yang tidak demokratis pada
momentum menjelang LK I menjadi sinyalemen dari
fetisisme kekuasaan yang berkembang dalam kaderisasi.
Kader-kader diajari cara yang tak jujur dan secara implisit
mengajari mereka untuk menjadi seorang yang sewenang-
wenang.

Training dan jabatan yang hidup dalam kaderisasi HMI hari-


hari ini menjadi dua obyek yang paralel. Keduanya memiliki
koherensi gelap karena fetisisme kekuasaan telah meracuni
organisasi. Anak muda yang sejak dari Komisariat diajarkan
bertindak tidak demokratis—dikooptasi oleh senior atau
pengurus demi kepentingan gerbong tertentu—sebagaimana
yang terjadi dalam pembentukan panitia Basic Training.
Kelak akan terbiasa hidup dalam sistem yang seperti itu.
Awalnya mereka ditarik masuk semakin dalam ke gerbong
tersebut. Ketika mereka menjadi pengurus Komisariat—lalu
ke Korkom, Cabang, Badko bahkan hingga ke PB—dirinya
tetap tidak bisa melepaskan diri dari gerbong yang telah
membesarkannya. Oleh karena itu, kader-kader yang
tergabung dalam sebua gerbong harus tunduk dan patuh

578
kepada senior yang menjadi penguasa atas gerbongnya.
Dalam perkembangan fetisisme kekuasaan yang pada proses
dilahirkan nilai tukar, itu terjewantah lewat apa yang terjadi
terhadap pelaksanaan Kongres. Fenomena yang terjadi dalam
Kongres HMI memberitahukan kepada kita bahwa kader-
kader yang terlibat telah berubah jadi komoditi para mafia.
Mereka seperti telah menjelmakan diri sebagai buruh pabrik
kekuasaan. Kesadarannya diotak-atik dan keberaniannya
merosot. Ini dapat menjelaskan bagaiaman peserta pemilik
suara penuh secara sadar menukarkan tenaga dan
idealismenya dengan uang (many politic) tapi mereka tak
punya keberanian menentang tuannya.

Kader-kader itu hanya bisa bergumam dan mengutuk hasil


kerjanya yang masuk ke kantong senior pemegang kepalanya.
Namun mereka tak memiliki keberanian untuk menggugat
kesewenang-wenangan atas dirinya. Apa yang peserta itu
rasakan sesungguhnya tidak separah yang dialami panitia
Kongres. Karena panitia-panitia itu tenaganya dimanfaatkan
untuk memproduksi kebutuhan-kebutuhan peserta dalam
memperlancar reproduksi kekuasaan himpunan sepenuhnya
tak sadar bahwa yang mereka lakukan telah dipelintir untuk
mengakumulasi keuntungan para mafia. Ini menyebabkan
menampaknya: kerja kongkret yang dilakukan peserta dan
panitia Kongres menjadi oposisi dari kerja abstraknya
(waktunya); nilai-guna yang didapatkan pada kemewahan
pelayanan dalam Kongres berlawanan dengan nilai-tukar yang
tak berbentuk; dan relasi-relasi antar-kerja sosial beroposisi
dengan suara dari peserta dan barang-barang kegiatan yang
disediakan oleh panitia—yang menjadi produk-produk kerja
individual. Kontradiksi-kontradiski tersebut disebabkan oleh

579
terakumulasinya laba segelintir orang, namun peserta dan
panitia tidak berdaya melawan. Mereka tiada memiliki
kekuatan untuk menentang para penghisapnya. Makanya
kader-kader dalam Kongres HMI tak ubahnya komoditi yang
secara fenomenal diperdagangkan para borjuis.

Senior yang menjadi penguasa dalam gerbong bukan hanya


berhasil menjual kepala peserta pemilik suara penuh,
melainkan juga sukses dalam menguangkan kemampuan kerja
panitia Kongres dalam proses eksploitasi yang nampak agung
sekaligus samar-samar. Itulah kenapa Kongres HMI selain
ditaburi many politic, juga terjadi yang namanya penghisapan
kerja manusia. Inilah yang terjadi ketika kerja kongkret dari
panitia menjadi oposisi bagi kerja abstraknya. Dalam kondisi
yang begini kader-kader jelas terhisap. Apa yang mereka
kerjakan dengan tulus dan iklas demi organisasi menjadi
penopang mengalirnya keuntungan di tangan segelintir orang.
Dengan demikian, fetisisme kekuasaan yang berlangsung
dalam HMI tidak sekedar berkembang dalam training dan
jabatan tetapi yang paling parah adalah menjadikan uang
sebagai nilai tukarnya. Di sinilah kader-kader yang mengaku
dirinya sebagai kader umat dan bangsa dikenalkan serta
diajari praktik demokrasi ala kapitalis. Kelak, mereka yang
telah kukuh dengan mental borjuis seperti itu—tidak-boleh-
tidak—pasti akan menjadi komponen utama yang
melanggengkan sistem kapitalisme dalam kehidupan rakyat.
Karena demokrasi yang berlangsung dalam organisasi persis
dengan apa selama ini diterapkan oleh negara pada pemilihan
umum. Demokrasi hanya dapat melahirkan kekuasaan secara
formalitas, yang tidak sedikit pun menyentuh subtantansi.
Makanya orang yang menjadi pemimpin hanya punya hak

580
memerintah tanpa kekuatan yang betul-betul terkonsolidasi
untuk menjalankan kepemimpinannya. Itulah kenapa sesudah
Kongres kita kerap kali melihat kejadian dari berperpecahnya
pengurus sampai kepengurusan yang tidak mampu
merealisasikan program kerjanya.

Ketidakmampuan menuntaskan proker organisasi dan


dualisme kepengurusan merupakan konsekuensi logis dari
pemerkosaan yang dilakukan kapitalisme atas sistem
kekuasaan HMI. Fenomena fetisisme kekuasaan adalah
merupakan penyingkapan dari sistem demokrasi himpunan
yang kurang-lebih telah mengutip watak busuk Pemilu
sebagai arena tarung kekuatan dan pencarian keuntungan bagi
segelintir kalangan. Itu sebabnya keberadaan para mafia pada
arena Kongres serupa dengan eksistensi partai politik dan
perusahaan, yang sama-sama memperebutkan para pemilih.
Dalam Kongres tentunya mafia-mafia saling bersaing
memperjual-belikan suara peserta penuh. Masing-masing
mafia tentunya berasal dari gerbong-gerbong yang berbeda.
Gerbong dalam arena perebutan kekuasaan himpunan adalah
kendaraan yang digunakan oleh kandidat-kandidat Ketum
untuk mendapatkan kursi kuasa. Dengan demikian, gerbong
kemudian menampilkan bentuk bagaiakan partai politik dalam
Pemilu. Karena itulah anatara perbuatan mafiap—melalui
gerbongnya—dapat dibandingkan dengan perusahaan dan
parpol. Ketiganya menempati posisi dalam sebuah garis yang
lurus: mati-matian memikat konsumen-pemilik suara.
Penjelasan terkait ini dapat disimak dari paparan Noberto
Bobbio, yang mengambil pandangan Anthony Downs tentang
kimiripan wajah perusahaan kapitalis dengan kompetisi dalam
demokrasi borjuis:

581
Liberalisme (kapitalisme) memang ingin mengamputasi
individu dari tubuh organis dan membiarkannya hidup
di luar kandungan ibu, melemparkannya ke dalam
dunia yang tidak dikenalnya dan penuh bahaya.
Demokrasi menggabungkannya dengan sesamanya
sehingga masyarakat dapat di bangun lewat persatuan
individu-individu itu, memang bukan sebagai kesatuan
organis, tetapi sebagai asosiasi-asosiasi individu-
individu yang bebas … karenanya Anthony Downs,
melihat adanya garis antara perusahaan dalam
kapitalisme dan dalam demokrasi kompetisi antarpartai
politik. Perusahaan bersaing untuk memperebutkan
para pemilih. Baik perusahaan maupun partai politik
tahu bahwa mereka harus berjuang keras untuk menarik
konsumen atau para pemilih.408

Kalau sudah begini maka tidak ada salahnya juga kita


mengasosiasikan HMI sebagai pabrik kapitalis penghasil
komoditi. Barang dagangan utamanya adalah kekuasaan yang
dihasilkan dari kemampuan kerja kader-kadernya. Kader yang
menjadi peserta utusan penuh dilucuti kehendak dan
kehormatanya sekaligus dipelintir akal sehatnya oleh
kekuatan-kekuatan seniorisme dan gerbongnisme. Sedangkan
mereka yang mengambil tugas kepanitiaan ditutupi matanya
untuk tidak melihat kenyataan bahwa Kongres HMI menjadi
pasar gelap yang membazar suara untuk seorang kandidat
Ketum. Perdagangan ini ditopang oleh waktu kerja dari
peserta dan panitia. Dengan demikian, kerja mereka dalam
posisi panitia dan peserta Kongres dapat terus terjaga untuk
tidak marah dan melawan terhadap aksi pertukaran komoditi.

408
Lihat I Wibowo, Demokrasi dan Kapitalisme, dalam I Wibowo dan B
Herry Priyono (Ed), (2006), Esai-esai untuk Frans Magnis Suseno, Sesudah
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius

582
Fenomena ini persis apa yang dikabarkan Marx dalam
analisisnya tentang komoditas. Makanya fetisisme dalam
komoditas berguna untuk menjelaskan persolan kukuasaan
yang berlangsung dalam himpunan. Kita dapat melihat bahwa
perkembangan tertinggi dari fetisisme kekuasaan sama halnya
dengan fetisisme komoditas: ujung-ujungnya ‘uang’.

Perkembangan kekuasaan pada titik kulminasinya telah


membuat kerja-kerja dari peserta dan panitia Kongres
menjelma serupa cairan emas yang melicinkan jalannya
akumulasi kapital ke kantong mafia. Keadaan demikian
memoles kader-kader malang itu jadi komoditi, karena
kemampuan kerja mereka tidak terbayarkan sebagaimana
besaran pembayaran pada jual-beli suara yang diterima
penjualnya: mafia Kongres. Tetapi peserta dan panitia
haruslah pasrah dan menerima hasil pahit bahwa waktu kerja
yang mereka gunakan untuk bekerja dalam pelaksanaan
demokrasi (borjuis) itu telah menopang mengalirnya
keuntungan senior yang termanifestasikan dalam perbuatan
many politic. Sesungguhnya uang ini tak bisa disepadankan
dengan kerja peserta dan panitia, namun kemampuan kerja
mereka itulah yang menghasilkan nilai-tukar yang terkespresi
dalam jual-beli suara oleh mafia Kongres. Itu sebabnya dalam
perspektif marxis manusia (peserta dan panitia Kongres) dapat
dipandang sebagai komoditi dari tuannya (mafia Kongres).
Pada bagian yang menjelaskan tentang proses pertukaran
komoditi dalam karyanya Das Kapital Jilid I, Marx
mememaparkan begini:

Jelas bahwa komoditi sendiri tidak dapat pergi ke pasar


dan sendiri melakukan pertukaran-pertukaran. Oleh

583
karenanya, harus minta pertolongan para wali mereka,
yang adalah juga para pemilik mereka. Komoditi adalah
barang-barang dan karena juga mereka tak berdaya
terhadap manusia…. Agar supaya barang-barang ini
dapat berhubungan satu sama lain sebagai komoditi,
para wali mereka mesti menempatkan diri mereka
dalam hubungan satu sama lain sebagai komoditi….
Bukan uang yang menjadikan komoditi dapat
disepadankan tapi sebaliknya. Karena semua komoditi
sebagai nilai-nilai, adalah kerja manusia yang
dimaterialisasikan/diwujudkan, dan oleh karena itu
dapat diubah menjadi ukuran bersama/umum nilai-nilai
mereka, yaitu, menjadi uang. Uang sebagai ukuran
bersama nilai adalah keharusan bentuk
penampilan/fenomenal dari ukuran nilai yang tetap ada
dalam komoditi, yaitu waktu-kerja.409

Terjerambab dalam kubangan pertukaran itulah peserta dan


panitia Kongres menjelma jadi kader-kader terhisap dan
tertindas. Kemampuan kerja dan suara mereka diuangkan oleh
para mafia secara beringas. Inilah yang membuat para korban
dari praktik demokrasi borjuis ini teralienasi. Proses
alienasinya persis yang dijelaskan Marx: ‘[manusia] tidak
memenuhi dirinya dalam pekerjaannya, tetapi menolak
dirinya, memiliki perasaan sengsara daripada menjadi
makhluk yang baik, tidak mengembangkan energi mental dan
fisiknya secara bebas, tetapi tenaganya terkuras dan
mentalnya tercerabut. Hubungan ini pada saat yang bersamaan
merupakan hubungan dengan dunia eksternal, dengan objek-

409
Ibid, Hlm. 57, 68.

584
objek alam, sebagai dunia yang asing dan bermusuhan’. 410
Melaksanakan kerja-kerja Kongres, maka alienasi seperti
itulah yang menimpah kader-kader himpunan. Soalnya uang
yang dipertukarkan oleh para mafia dengan kemampuan kerja
mereka telah meluncurkan kemanusiaan.

Dehumanisasi itu berlangsung di atas proses reifikasi


(pembendaan) terhadap panitia dan pekerja Kongres. Dalam
bekerja melaksanakan demokrasi borjuis himpunan;
dibendakannya manusia bukan saja dengan mekarnya
fetisisme kekuasaan, tapi lebih-lebih berkuasanya uang. Marx
menjelaskan: ‘kekuasaan [uang] adalah untuk
membingungkan dan membalikkan semua kualitas manusia
dan alam, membuat ketidaksesuaian menjadi persaudaraan
sehingga kekuasaan suci uang berada dalam karakternya
sebagai kehidupan spesies yang teralienasi. Uang adalah
kekuasaan kemanusiaan yang teralienasi’. 411 Sebagai simbol
kepemilikan pribadi yang berdaya, merayu, bahkan memaksa;
uang dengan mudahnya membelokan kerja manusia bukan
untuk pemenuhan kebutuhannya sendiri, melainkan melayani
kepentingan orang lain yang menjadi tuan-tuan pemilik uang
[pemodal-borjuis-kapitalis]. Hanya dalam relasi dengan
golongan yang terakhir disebutkan inilah Marx melukisnya
begitu suram:

…sedikit pun golongan ini tidak menyisakan hubungan


antara manusia dengan manusia selain hubungan
kepentingan dan hubungan ‘bayar-membayar’ yang
410
Lihat Manuskrip Ekonomi dan Filsafat Karl Marx dalam Erich Fromm,
(2004), Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm.
63.
411
Ibid, Hlm. 218.

585
tidak mengenal tenggang rasa. Mereka mengganti
semangat keagamaan, antuasiasme kepahlawanan, dan
sentimentalism dengan hitung-menghitung untung-rugi
secara egois. Mereka menjadikan harga diri seseorang
sebagai sesuatu yang dapat dibeli; mereka menggeser
kebebasan individual yang tidak mengindahkan moral,
yakni kebebasan perdagangan. Dengan kata lain, kelas
borjuis telah mengganti eksploitasi berselubungkan
agama dan janji-janji politik dengan eksploitasi yang
terang-terangan, tidak kenal malu, dan brutal…. Semua
hubungan yang harmonis, dan dilandasi perasaan,
dengan sejumlah praduga dan pendapat yang sifatnya
menghargai, disapu bersih dan menjadi usang sebelum
waktunya. Semua yang dianggap solid kini menjadi
tercerai-berai, semua yang dipandang suci, kini
dianggap biasa….412

412
Lihat Karl Marx dalam C. Wright Mills, (2003), Kaum Marxis: Ide-Ide
Dasar dan Sejarah Perkembangannya, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, Hlm.
41-42.

586
Waspadalah terhadap Mitos:
Seniorisme-Gerbongisme

“Saat cinta berdaulat, tidak ada keinginan untuk menguasai,


dan saat kekuasaan berkuasa, cinta berkurang. Seseorang
merupakan bayangan atas yang lain.” (Carl Gustav Jung)

“Kebudayaan barbar ditandai dengan kehendak manusia


untuk menundukkan dan melukai orang lain. Kebudayaan
normal adalah kebudayaan orang-orang yang mengagumi
dan membiarkan sesamanya tertawa dan bahagia” (F.
Nietzche)

“Bila Anda ingin mempertahankan rasa hormat Anda


terhadap diri-sendiri, lebih baik membuat orang lain tidak
senang dengan melakukan hal-hal yang Anda ketahui
benar, daripada untuk sementara membuat mereka senang
dengan melakukan apa-apa yang Anda ketahui salah.”
(William J.H. Boetcker)

Setelah para peserta dibai’at dalam Basic Training, maka


anak-anak muda itu mendapati dirinya menjadi kader HMI.
Mereka kemudian dengan penuh antusias mengikuti proses-
proses kaderisasi organisasi. Waktu-waktu ini biasa disebut
dengan masa berhimpun. Ketika mengembangkan diri dalam
himpunan, mahasiswa-mahasiswa bertemu dengan orang-
orang yang lebih duluan dikader. Pertemuan tersebut lama-
lama melahirkan sebuah ikatan antara kader baru dengan
kader lama—‘yang baru’ seketika dilabeli sebagai junior,
sedangkan ‘yang lama’ dikukuhkan jadi senior. Struktur inilah
yang seakan didefinitifkan jadi sistem ‘senior-junior’. Tatanan

587
yang begini bukan terbentuk secara niscaya, karena
kelahirannya melalui jalur yang artifisial dan sarat tipu daya.
Seiring dengan berjalannya waktu, deretan senior dan junior
semakin bertambah banyak hingga akhirnya membangun
sebuah budaya senioritas.

Sidi Gazalba menjelaskan suatu kebudayaan adalah cara


berpikir dan merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi
kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan
sosial dalam suatu ruang dan waktu.413 Cara berpikir dan
merasa inilah yang telah membentuk relasi sosial dalam
perkaderan organisasi. Pikir dan rasa merupakan kebudayaan
batiniah yang termanifestasi melalui perbuatan dan tindakan
lahiriah. Hanya pemikiran dan perasaan dalam budaya
senioritas membuat kehidupan antar-kader dibedakan ke
dalam tingkatan pengalaman dan usia berhimpun. Itulah
kenapa angkatan LK I ‘A’ tak bisa dihindarkan mempunyai
junior dari angkatan LK I ‘B’; kemudian junior hasil LK I ‘B’,
secara superfisial dan mekanis menjadi senior ketika muncul
kader-kader dari angkatan LK I ‘C’; dan begitu seterusnya.

Tatanan senioritas begitu linear sehingga garis senior-junior


terus bertambah panjang dari masa ke masa. Eksistensi
budaya ini sesungguhnya dapat memberi angin segar untuk
kehidupan kaderisasi. Sebab, pembinaan dan pengembangan
kader dapat dilakukan oleh para senior kepada anggota-
anggota baru secara teroptimalisasi. Tetapi dalam perkaderan
HMI tidak setiap orang mampu mengemban peran kesenioran.
Itulah mengapa banyak kader yang secara pengalaman dan

413
Sidi Gazalba, (1990), Sistematika Filsafat: Buku Pertama Pengantar
kepada Dunia FIlsafat, Jakarta: Bulan Bintang, Hlm. 57.

588
usia berhimpun sudah lama sekali, namun mereka abstain
dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak muda yang
baru berorganisasi. Orang-orang yang seperti ini hanya
mendapatkan penghormatan dari kader-kader baru berkat
budaya senioritas yang berdiri di atas prestise. Namun rasa
hormat yang didapatkan tentunya tidaklah berlebihan.
Dihormatinya kader-kader lama yang tidak mendidik kader-
kader baru itu hanya berada pada aras pengalaman dan
usianya sebagai orang yang lebih dahulu masuk organisasi.
Tidak sama dengan kader-kader yang melaksanakan tugas
sebagai seorang senior: mendidik dan mengembangkan kader.
Mereka yang ‘tahu diri’ sebagai senior memiliki kader binaan.
Maka kader yang dibina bukan hanya menghormatinya, tetapi
juga amat memberikannya pelbagai penghargaan.

Kader-kader yang dibina oleh senior tertentu kepribadiaanya


akan cenderung lebih matang ketimbang anak-anak muda
yang tidak mendapatkan didikan seorang abang. Kelak
mereka yang mendapatkan didikan ini biasanya juga
mempunyai junior masing-masing. Junior-junior itu kemudian
mencari dan menjuniori kader-kader baru juga, dan begitu
seterusnya. Pembentukan senior-junior dalam proses
kaderisasi biasanya berlangsung secara khusus. Ekslusivitas
ini secara terselubung menghadirkan kelompok-kelompok
kecil dalam himpunan. Kelompok itu terawat dalam ikatan
senior-junior yang amat kental daripada sekedar budaya
senioritas. Itulah kenapa di tubuh HMI kemudian
berkembanglah paham seniorisme. Seniorisme merupakan
ajaran naïf: junior dibuat tunduk dan patuh tampa sarat pada
orang yang dianggapnya sebagai senior. Ketundukan dan
kepatuhan timbul karena perasaan utang budi terhadap senior

589
yang telah mendidiknya. Hattanya rasa keberutangan itu
membuat setiap junior punya keharusan untuk membayarnya.
Namun utang budi merupakan sesuatu yang abstrak sehingga
dalam membalasnya tidak bisa dengan materi, melainkan
lewat jasa—berbentuk non-material.

Perasaan keberutangan menjadi momok dalam pikiran.


Karena untuk menancapkan kekuasaannya, seniorisme
mengikat junior dengan—meminjam istilah Karl Marx—
‘kesadaran palsu’ dalam bentuk imajiner: ‘utang budi’. Itu
sebabnya junior yang memiliki kesadaran ini tidak bisa
bersembunyi dari dorongan untuk membalas utangnya.
Balasan yang diberikan terhadapnya adalah melalui sesuatu
yang abstrak pula: penghormatan, penghargaan, bahkan
pemujaan. Tapi hormat, harga, dan puja terwujud lewat sikap
dan perbuatan junior kala berhubungan dengan senior.
Wujudnya seperti seorang junior memposisikan dirinya
sebagai mahluk yang inferior saat berhadapan dengan senior.
Bukankah betapa sering kita melihat banyak sekali junior
yang merelakan waktu dan tenaganya demi membalas jasa
seniornya? Jasa itu dibalasnya atas dasar perasaan utang budi
yang palsu. Namun semakin ia mengabdikan dirinya maka
utangnya terhadap senior bukan malah dilunasi, melainkan
tambah beronggok hingga dorongan melunasinya kian
menggebu. Karena pada saat dia membalas jasa seniornya
justru buhul pengikat direproduksi dengan dipertemukannya
junior dengan pengetahuan juga pengalaman-pengalaman
baru. Ini merupakan konsekuensi logis lantaran perkaderan
merupakan tempat berlangsungnya (re)produksi budaya.
Cuma saja ketika junior menganggap senior sebagai sumber
pengetahuan dan pengalamannya, maka dengan serta-merta

590
senior jadi superior; unggul, kuat dan berkuasa. Inilah
mengapa di hadapan senior, junior kerap kali alami
subordinasi begitu rupa.

Melaluinya hubungan senior-junior bertransformasi dalam


bentuknya yang ideologis: seniorisme. Louis Althusser
mendedahkan ideologi itu merupakan ‘representasi dari
hubungan imajiner’ individu terhadap kondisi keberadaannya
yang nyata. Ideologi bukan merupakan perwujudan kenyataan
melainkan oranglah yang menghubungkannya dengan dunia
nyata lewat persepsinya. Itulah mengapa pakar ideologi
mikro—yang menyebar pada seluruh praktik kehidupan;
tindakan kecil dan besar, pikiran awam dan ilmiah, maupun
sela-sela terkecil kehidupan manusia—tadi meyakini bahwa
setiap orang menginternalisasi ideologi ke dalam dirinya.
Ideologi menjadi dasar tiap-tiap pengambilan keputusan yang
dilakukannya. Dalam kondisi inilah kesadaran palsu
kemudian beralih ke sebuah ketidaksadaran. Makanya junior
mudah sekali menerima suntikan pengetahuan dan
pengalaman apa saja yang diberikan. Penyuntikan dilakukan
melalui seabrek ajaran tentang apa yang dianggap sebagai
kebenaran, kesalahan, kebaikan, dan keburukan.
Diiternalisasinya nilai-nilai itu oleh junior maka dia berarti
berada di bawah kekuasaan seniornya. Hanya saja ia tidak
sadar kalau dirinya telah dikuasai. Inilah mengapa dalam
kubangan seniorisme, para junior tidak berani melanggar
perintah dan keinginan orang-orang yang punya dominasi.
Mereka begitu menyeringai, karena kebebasannya dibatasi.
Tapi sekat keterbatasan dikaburkan seniorisme dengan
taburan ilusi. Althusser menyebut fenomena tersebut sebagai
interpelasi:

591
Ideologi bertindak atau ‘berfungsi’ dengan satu cara
yang ‘merekrut’ subjek-subjek di antara individu-
individu, atau mengubah individu-individu menjadi
subjek-subjek (ideologi) melalui operasi yang sangat
presisi, yang saya namakan interpelasi atau memanggil
… gerak-gerik subjek yang seolah-olah bebas ternyata
dibatasi oleh relasi dalam struktur. Kebebasan subjek
pada dasarnya adalah ilusi yang diciptakan ideologi
agar ia merasa bertanggung jawab dan mendorong
dirinya melakukan serangkaian tindakan menghidupkan
struktur yang ada sebelum ia lahir … individu
diinterpelasi sebagai suatu subjek (bebas) agar ia dapat
taat sepenuhnya pada perintah-perintah Subjek
[seniorisme—pen], agar dia membuat gerak-gerik atau
tindak-tanduk dari ketaatan ‘sepenuhnya oleh dirinya
sendiri’…. Dengan ketaatan yang diyakini sebagai
kehendaknya, subjek menjalankan perannya seolah
tanpa paksaan, seolah dengan kuasanya ia bekerja.
Dengan begitu, tidak diperlukan pengawasan secara
fisik, tidak perlu Subjek [seniorisme—seniornya] ada
didekat subjek-subjek untuk memastikan mereka
bekerja seperti yang diharapkan. Para subjek telah
mengatur dirinya sendiri sebagai pihak-pihak yang taat
dengan ilusi kebebasan dan otonominya. 414

Apabila kader sudah diselimuti seniorisme maka lama-


kelamaan akan melahirkan kebergantungan pada seniornya.
Kebergantungannya begitu rupa: ada junior yang tidak lagi
memiliki rasa percaya diri untuk belajar secara otodidak,
terdapat pula yang tak mampu bekehendak sendiri tanpa
meminta nasehat seniornya, bahkan paling celaka muncul juga

414
Louis Althusser, (2008), Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis,
Psikoanalisis, Cultural Studies, Yogyakarta: Jalasutra, Hlm. xviii-xix.
Dalam kurung merupakan tambahan penulis.

592
orang yang menganggap sulit maju dan besar jika enggan
dibantu abang yang dianggap berkuasa. Itu menempatkan
manusia terkungkung oleh otoritas di luar dirinya. Kondisi ini
dapat menimbulkan koherensi vulgar senior-junior dalam
perkaderan. Makanya keterikatan mereka berlangsung bukan
hanya ketika ber-HMI tapi juga selepas menjadi anggota
himpunan. Soalnya kader-kader yang dididik melalui
kaderisasi organisasi sudah amat sulit keluar dari ilusi
seniorisme. Maka dia terus berada dalam struktur yang
meredam segala anasir antagonisme terhadap seniornya,
karena subyek terlanjur terkungkung oleh jeratan ideologi.
Itulah mengapa kader HMI lebih banyak mirip serdadu
ketimbang martir. Sebab anak-anak muda dikader dalam
kehidupan yang tidak progresif-revolusioner. Lihat saja
bagaimana relasi subordinasi dan akomodasi menjadikannya
membeo pada setiap perintah, arahan dan kemauan-kemauan
senior.

Mereka seolah sudah kehilangan kehendak untuk


menyangsikan apa-apa yang diinginkan senior. Inilah yang
membentuk habituasi kader menjadi terbiasa menelan dogma,
nenerima dikte, dan tunduk pada doktrin-doktrin vulgar.
Keadaan begini justru menyulap junior serupa temuan
teknologis canggih yang diprogram oleh seniornya.
Terkadang dia punya keinginan untuk keluar dari kuasa
namun tak mampu merealisasikannya. Karena
kemerdekaannya hanya ada di pikiran sementara tidak dalam
tindakan. Itu sebabnya seniorisme menjadi model didikan ala
feodal, yang meletakkan senior jadi gembala sedangkan junior
menjadi dombanya. Modus kaderisasi begini banyak sekali
melahirkan sosok-sosok manusia robot sekaligus pandir.

593
Lihatlah fenomena yang berlangsung sekarang: pembodohan
intelektual hingga robotisasi kader. Anak mudah yang telah
menyerupai robot mudah sekali diperintah ke sana-ke mari
untuk melakukan apa saja tanpa pamrih. Dirinya hanya bisa
berkata: ‘siap senior’ atau ‘siap salah’. Keadaan demikian
telah berlangsung cukup lama. Mungkin semenjak HMI
bergaul dengan serdadu: membantu Soeharto menghancurkan
Orla. Kalau dulu ‘siap-siapan’ hanya ditemui di organisasi
militer, maka kini yang demikian dapat ditemui di HMI:
soalnya hubungan senior-junior menampakan hierarki.

Dalam kaderisasi yang hierarkis seorang kader nyaris tidak


mungkin meluruskan apa saja yang salah dari ajaran
seniornya. Kesalahan bahkan mudah sekali dipelintir jadi
kebenaran oleh yang punya kuasa. Inilah yang terjadi apabila
antara senior dengan junior membangun suasana diskursif tapi
lahir kata-kata naïf: ‘siap salah senior’ atau ‘senior tidak
pernah salah’. Kala itu seorang abang dapat memberikan
ceramahnya hingga motivasi yang berujung perintah kepada
adik-adiknya. Penerima pengetahuan kemudian
memperlihatkan sikap tertegun, terkesima dan kian segan
untuk terus mendengarkan bahkan melakukan apapun
keinginan yang keluar dari mulut pembicara. Kader-kader
nyaris tidak peduli bahwa apa yang dicekoki kepadanya
adalah sebuah agitasi-agitasi hina. Seniorisme tak
mendorongnya untuk kritis dan menyangsi melainkan menjadi
seorang yang harus bertenggang rasa. Makanya dalam
perkaderan yang begini kata kunci untuk maju, besar dan
sukses hanya satu: ‘siap’. Kader memang sengaja dilatih
untuk diperintah dan menerima arahan, tanpa berani mengelak
dalam menghadapi permintaan. Itulah kenapa sewaktu saya

594
aktif ber-HMI tak jarang mendapati seorang kader dengan
mudah meminjamkan barang-barang berharganya—uang,
handphone, dan leptop—kepada seorang abang kesayangan.

Mereka juga tak pernah berani menolak tugas dari seniornya,


seperti; mengantar-jemput ke mana-mana, beli rokok,
makanan atau minuman, dan sebagainya. Fatsun abangan
dipelihara hingga ditradisikan oleh seniorisme. Paham ini jadi
bahaya laten dalam proses kaderisasi karena eksistensi kader
bukan sebagai kader HMI melainkan kader senior tertentu.
Itulah mengapa untuk dapat menggerakan mereka agar terlibat
dalam kegiatan organisasi, maka seorang pengurus tidak bisa
hanya mengandalkan permintaan dari hati-ke-hati. Melainkan
juga melewati jembatan senior agar diberikan ijin maupun
dimudahkan komunikasi. Karena dalam himpunan kita kerap
kali mendapati seorang anggota biasa lebih menampilkan
posisinya sebagai kader dari senior A atau B, ketimbang kader
HMI secara an sich. Dia lebih tertambat dan bersemangat
akan perintah dan arahan—berdasarkan kepentingan—
seniornya daripada organisasinya secara kolektif dan utuh. Ini
disebabkan monopoli pengetahuan biasa dilakukan ketika
mengkader seseorang anggota. Walhasil, yang dituruti, ditaati,
dan dipatuhi cumalah orang yang diseniorkannya saja.

Seniorisme menghadirkan ilusi: semua yang menjadi


permintaan senior adalah bertujuan untuk mendidik. Makanya
tatkala seorang junior merasakan ada ketidaklaziman dalam
pengajaran yang dilakukan oleh seniornya tapi dia justru
kikuk. Dalam kondisi ini ia bahkan harus memaksakan dirinya
mengerjakan sesuatu yang sewalaupun dianggapnya sebagai
sebuah penyimpangan. Kader dilemahkan karena posisinya

595
sebagai junior sengaja dibuat menjadi penurut, pengekor,
hingga agak tolol. Jika tidak percaya, coba kalian tanyakan
pada dirimu: sudah berapa kali melaksanakan keinginan
senior hingga diri merasa tidak bebas, amat konyol, dan
sangat naif? Nietzsche berkata bahwa kenaifan itu tumbuh
karena hasrat manusia yang terdalam dibiarkan tersumbat oleh
norma-norma yang berasal dari otoritas di luar dirinya.
Pembatasan-pembatasan ini soalnya tidak ditanggapi secara
kritis. Tetapi cenderung dibiasakan dengan sikap dogmatis.
Sikap itu sama sekali tak melatih untuk mempertanyakan apa
yang dianggap sebagai kebenaran. Makanya ketika seorang
senior mengatakan bahwa seminar, kuliah umum, atau
demonstrasi itu benar; junior hanya bisa mengamininya lalu
siap mengikutinya dengan tegar.

Junior-junior tidak pernah tahu atas kepentingan siapa


kegiatan tersebut diadakan. Namun mereka hanya dicekoki
sabda: keterlibatan kalian merupakan bagian dari proses
kaderisasi yang memberi banyak pengetahuan dan
pengalaman. Bahkan ketika dirinya sadar bahwa di balik acara
itu terselip kepentingan pragmatis dan oportunis, baik untuk
memperoleh jaringan, jabtan maupun uang oleh segelintir
kalangan. Tetapi lagi-lagi posisinya sebagai junior tak
memberinya keberanian buat menentang tindakan pihak
dominan yang penuh tipuan dan kelicikan. Kedudukannya
yang inferior justru membuatnya mudah diperdaya lewat
berbagai dalih yang melemahkan dan membingungkan. Dalih
yang biasanya senior pakai adalah yang bersifat persuasif.
Kadernya dibujuk dan dirayu untuk menjadi orang yang
permisif. Bujukan dan rayuan dibingkai dalam kepraktisan.
Fenomena inilah yang terjadi ketika kader diberitahukan:

596
segala kegiatan yang diadakan itu akan memberikan manfaat
kepada kalian; melatih mencetuskan, mengkonsepkan, dan
menjalankan acara; membuka link dengan para pemangku
kepentingan publik; hingga memberi keuntungan materil.
Dengan menghadapi godaaan besar maka junior tak segan-
segan membebek: menjadi pendukung aktif atau panitia dalam
segala hal yang dibenarkan para feodal. Suasana perkaderan
seperti ini amat dekaden, membahayakan independensi, dan
sangat-sangat kelam. Persis sebuah kemerosotan pengajaran
yang dijelaskan oleh Eric Fromm:

Mula-mula tiap pelajar menyimpan perasaan


menentang dan berontak, tapi karena kedudukannya
yang lemah biasanya seorang pelajar mesti mengalah.
Maka jadilah proses belajar itu berujud penghapusan
tanggapan antagonistik. Demi upaya penghapusan
itulah maka proses belajar lalu menggunakan metode
mengancam dan menghukum, menakut-nakuti sampai
suatu cara yang lebih samar, yaitu lewat penyuapan
atau penjelasan yang membingungkan. Penjelasan yang
bisa membuat pelajar meninggalkan sikap menentang.
Mula-mula ia berhenti untuk mengungkapkan setiap
perasaan, lama-kelamaan ia berhenti untuk merasa.415

Perkembangan seniorisme dalam himpunan berlangsung


dengan amat cepat dan berlimpah. Satu orang senior tak hanya
memiliki seorang junior melainkan dua, tiga atau lebih.
Ditempahnya kader-kader baru oleh kader lama kemudian
semakin mengukuhkan hubungan senior-junior dalam bingkai
seniorisme. Perkembangan kaderisasi dalam paham yang
415
Lihat Erich Fromm dalam Mendidik si Automan, pada buku Omi Intan
Naomi (ed), (2015), Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif,
Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

597
meninggikan derajat dan kehormatan senior ini pasti
mengalami lompatan dari kuantitas menuju kualitas.
Lompatan inilah yang membuat para senior dan junior
membentuk sebuah kelompok kecil dalam himpunan.
Keterbentukan kelompok tersebut dibilang positif dalam
mengawal dinamika organisasi. Karena lewat perkumpulan
senior-junior itu semangat kaderisasi dikobarkan tiada henti.
Namun di titik tertentu, kelompok tadi bisa berubah menjadi
pragmatis. Itulah kenapa ada sekumpulan senior dan junior—
dalam setiap pesta demokrasi organisasi—memanfaatkan
kelompoknya untuk dipergunakan sebagai gerbong
kepentingan. Sentimen seniorisme meluap hingga membuat
sekelompok orang menjadi sektarian. Mereka begitu
mengagungkan seniornya secara berlebihan: perintah seorang
abang lebih berdaya dibanding instruksi kepengurusan
manapun, bahkan PB HMI sekalipun.

Saat itulah eksistensi anggota selaku kader HMI dikalahkan


oleh eksistensinya sebagai kader dari senior dalam
gerbongnya. Sebab keberadaan mereka dalam sebuah
kelompok senior-junior—yang telah bertransformasi menjadi
gerbong—meniscayakan untuk bersaing dengan gerbong-
gerbong lainnya. Makanya dalam RAK, Muskom, Konfercab,
Musda, maupun Kongres kita mendapati senior yang memiliki
junior—dan junior (senior) yang juga mempunyai junior ke
bawahnya—akan bertarung memperebutkan kekuasaan
organisasi: melawan senior bersama junior dari gerbong lain.
Hiruk-pikuk dalam sebuah gerbong memang memberikan
pengajaran politis pada kader-kader. Hanya kala itu seorang
senior yang punya kepentingan terhadap kekuasaan mengubah
iklim pengajaran yang diberikan kepada juniornya menjadi

598
amat paradoks. Kepongahan pihak dominan membuat ruh
ajaran jatuh pada hasrat merebut kursi panas. Melalui
kekuasaan dalam gerbongnya bahkan seorang senior tak
segan-segan memaksa juniornya menjadi makhluk culas.
Sebab dalam sebuah gerbong pelajaran yang diberikan senior
bernuansa pragmatis-oportunis. Gambaran Betrand Russel
dapat melukiskannya begitu jelas:

Mengajar, bukan lagi mengajarkan apa yang diyakini,


melainkan untuk menanam keyakinan-keyakinan serta
kebodohan-kebodohan yang dipandang berguna untuk
mereka yang memerintahkannya.

Keyakinan dan kebodohan oleh pihak dominan dirawat dalam


sebuah kelompok kepentingan. Untuk inilah setelah
dikuasainya kader-kader maka mereka dimasukkan ke
gerbong tertentu yang berada dalam himpunan. Gerbong
sebelumnya telah membesarkan seniornya hingga punya
kemampuan menaklukan. Maka ditaklukannya kader-kader
adalah berkat didikan abang-abang dalam gerbongnya juga.
Gerbong soalnya tidak hanya memberi modal pengetahuan,
melainkan pula sosial, ekonomi, dan terutama simbolik.
Keempat modal itulah yang harus dipelihara dan diperbanyak
melalui reproduksi aparat ideologis. Pengembangbiakan
dilancarkan seorang senior dengan mengkader anggota-
anggota organisasi agar berguna untuk menjadi sekrup-sekrup
yang tangkas. Merekalah yang dijadikan alat dalam
mempertahankan, mengokohkan, dan menguatkan
keberlangsungan kehidupan gerbong: hidup yang tak sekadar
diselimuti kepentingan tapi juga mengajarkan tentang
ketidakbebasan karena belenggu kehirarkisan.

599
Kala junior dikader dalam gerbong maka dia bukan cuma
harus taat pada senior yang lebih mengkadernya. Melainkan
juga senior dari seniornya dan begitu seterusnya. Melalui
gerbong mereka dididik seperti serdadu: punya garis
komando. Kehidupan senior-junior di dalam gerbong begitu
sentralistik: orang-orang yang berada di bawah berhubungan
dengan yang di atasnya dengan sikap membeo. Keadaan ini
lagi-lagi dirawat sama seperti bagaimana awalnya kader
berhadapan dengan seniornya: dilumpuhkan lewat suntikan
kesadaran palsu hingga diracuni kesadarannya. Selanjutnya,
untuk menguasai anggota himpunan tidak sekadar diluluhkan
dalam jerat seniorisme melainkan juga gerbongisme. Gerbong
tak hanya menebar ilusi pengetahuan dan pengalaman
(budaya). Melainkan pula jaringan atau koneksi (sosial); uang,
anggaran maupun pendanaan (ekonomi); dan pangkat,
jabatan, serta kebesaran (simbolik). Seolah keempat kapital
ini hanya bisa diperoleh lewat kekuatan dari gerbong.
Kesadaran palsu inilah yang dalam gerbong menjadi ajaran
senior manapun.

Ketika seseorang sudah terselimuti dengan kesadaran palsu


maka dirinya rentan celaka. Kemanusiaannya terancam oleh
kepentingan apa saja. Soalnya gerbongisme lebih menekan
individu ketimbang seniorisme. Makanya dalam membina dan
mendidik kader sering kali bagai drama yang penuh
kamuflase: dari kulitnya anggota seperti dilatih menjadi
seorang idealis, tetapi di bagian sel-sel dalamnya diajarkan
jadi manusia yang begitu praktis, pragmatis, dan oportunis.
Sebab kaderisasi dan gerakan organisasi tak melulu diinspirasi
maupun dimotivasi kepentingan perkaderan, melainkan
terbuka untuk disusupi pelbagai anasir yang mengandung

600
kelicikan, kepicikan, dan kehinaan. Itulah mengapa kader-
kader dibina dan dididik namun lewat kerja-kerja dangkal,
kurang mencerdaskan, dan kehilangan kemampuan
penggugahan. Lihatlah bagaimana ada-ada saja yang
melaksanakan kegiatan pesanan—seminar, kuliah umum,
bahkan demo—guna memperoleh keuntungan pemenuhan
kebutuhan dan keinginan. Banyak pula yang menjadi
influencer, buzzer, tim survey pemilu, hingga panitia apa aja
demi meraup imbalan. Bahkan, tumbuh subur gerbong-
gerbong yang doyan membangun relasi dengan para birokrat
maupun politisi supaya menjadi besar ketenaran dengan
hubungan patron-client. Dari gerbong inilah kebanyakan
muncul wajah-wajah haus kuasa: mereka biasanya berupaya
merebut dan mempertahankan kekuasaan—baik di internal
maupun eksternal himpunan—dengan cara apapun.

Seniorisme-gerbongisme rupanya berhadap-hadapan dengan


perkaderan yang sesungguhnya: sejati, tulus, dan mengandung
kesucian. Perhadapan keduanya selalu memengunggulkan
kepentingan sempit senior dan gerbongnya, ketimbang
kaderisasi dan gerakan. Untuk itulah jika HMI tak mampu
mengakarkan ideologi Islamnya kepada setiap anggotanya,
maka bersedialah dikalahkan oleh ancaman ideologis
senioristis-gerbongistis yang cenderung sekretarian. Mereka
membuat kader-kader terpolarisasi dalam seabrek
kepentingan. Internalisasi ideologi yang dilakukannya
mengilfiltrasi pribadi-pribadi yang sedang berhimpun.
Implikasinya terlihat jelas ketika seseorang dikader bisa
diperintahkan apa saja sesuai kebutuhan atau keinginan
senior-senior pemegang otoritas sebuah gerbong. Kala itu
anggota organisasi yang menerima perintah tak segan-segan

601
untuk saling berperang. Dalam kondisi ini gerak-gerik mereka
tidak lagi dilaksanakan karena dorongan kesadaran palsu
melainkan kemayu ketidaksadaran. Sebab internalisasi nilai-
nilai kegerbongan tidak berhenti di dogma maupun doktrin,
tetapi berlanjut pada ideologi yang melancarkan pendiktean.
Struktur gerbongisme kemudian menempatkan senior dengan
junior pada hierarki yang agak ketat, bahkan lebih rigorius
daripada seniorisme. Makanya kemerdekaan individu jadi
terasa hampa. Pribadi-pribadi direpresi untuk terus
menggugui, membeo, bahkan memuja-muja senior dari
gerbongnya.

Ilusi dari gerbongisme menunda, mengendalikan, bahkan


mematikan tindakan yang terbit dari kebebasan. Dalam
kondisi inilah kondisi para korban seniorisme-gerbongisme
persis mesin. Kemanusiaannya meluncur lantaran tidak sadar
terhadap dunianya. Althusser menyatakan ideologi membawa
manusia bergerak dalam relasi palsu namun seolah nyata.
Tidak ada orang yang hidup tanpa ideologi karena manusia
adalah ‘binatang ideologi’. Melaluinya maka semua agen
produksi, eksploitasi dan represi, terus bergerak seirama
dalam ketidaksadarannya untuk menjalankan (re)produksi.
Keadaan seperti ini biasanya terjadi pada tatanan masyarakat
kapitalis: untuk memastikan dominasi kelas yang berkuasa
terhadap kelas pekerja, negara dan aparatusnya akan
melakukan tindakan-tindakan praktis sekaligus sadis. Di ranah
produksi, kapitalisme memproduksi ‘keterampilan’ yang nanti
berguna untuk bekerja. Sedangkan dalam relasi produksi,
memproduksi ketundukan pada aturan-aturan apa saja,
terutama yang datang dari negara. Kini fenomena itu tampak
berlangsung di HMI secara sepoi-sepoi, halus, dan penuh

602
kamuflase. Makanya perkaderan rentan ditindih oleh
seniorisme dan gerbongisme.

Kedua paham itu bersepakat menjadikan senior dalam sebuah


gerbong gampang memperlakukan juniornya serupa buruh:
kerja-kerja yang diberikan kepada orang-orang yang
dikadernya mengandung unsur ekploitatif. Kita akan
menemukan fenomena ini melalui analisis kelas marxisme.
Pemikiran Karl Marx tidak sama dengan Max Weber. Weber
melihat dalam hubungan sosial masyarakat kapitalis ada
kelompok yang mendapat sesuatu berlimpah dan ada pula
yang dapatnya kekurangan. Menurutnya kelas-kelas sosial
dalam masyarakat melandasi kehidupannya di atas persaingan
yang lebih mirip permainan. Sebab di dalamnya tidak
ditemukan hubungan antagonistik. Sedangkan Marx
memandangnya berbeda: tatanan kapitalis menempatkan
kelas-kelas masyarakat melakukan persaingan tapi isinya
adalah pertarungan yang begitu mencekik. Maka agendanya
bukan hanya soal kompetisi mencari dan mengumpulkan
kapital, tapi terutama eksploitasi terhadap sesamanya. Inilah
yang menjadi bahasan ‘filsafat kerja’ Marxisme: esensi
manusia terkandung dalam produksinya. Proposisi demikian
lahir melalui analisa pada hubungan sosial yang dilakukan
lewat kerja. Sahabatnya—Frederick Engels bahkan
berpendapat bahwa kerja bukan sekadar sumber kekayaan,
melainkan pula mampu mengembangkan dan membedakan
kehidupan manusia dengan makhluk lainnya:

Semua kera antropoid [binatang yang menyerupai


manusia, terutama dari bentuk fisiknya: orang-utan,
simpanse, dan gorila] dapat berdiri tegak dan bergerak

603
di atas kedua kaki mereka saja, namun hanya dalam
suatu keadaan darurat dan secara sangat canggung.
Sikap alamiah mereka adalah suatu sikap setengah
tegak dan termasuk di situ penggunaan tangan mereka.
Mayoritasnya menunjukan buku-buku kepalan tangan
ke atas tanah dan, dengan kedua kaki mereka terangkat
mengayunkan tubuh mereka melalui lengan-lengan
mereka yang panjang, mirip sekali sebagaimana
seorang pincang bergerak dengan bantuan penopang-
penopang. Pada umumnya dewasa ini pun kita masih
dapat menyaksikan di antara kera-kera semua tahapan
peralihan dari berjalan di atas ke-empat anggota badan
pada berjalan di atas kedua kaki. Tetapi tiada dari
mereka yang menjadikan metode tersebut terakhir itu
lebih dari pada suatu pengganti sementara … di
kalangan kera sudah berlaku suatu pembagian tertentu
dalam penggunaan tangan dan kaki. Yang pertama
terutama digunakan untuk mengumpulkan dan
memegang makanan, sebagaimana sudah
terjadi/berlaku penggunaan cakar-depan di kalangan
mamalia rendahan. Banyak kera menggunakan kedua
tangan mereka untuk membangun sarang-sarang untuk
diri mereka sendiri di pepohonan atau bahkan, seperti
Orang-Utan, membangun atap-atap di antara cabang-
cabang untuk perlindungan terhadap cuaca. Dengan
kedua tangan mereka memegang anak-anaknya untuk
melindungi diri terhadap musuh, atau memborbardir
yang tersebut belakangan itu dengan buah-buah dan
batu-batu. Dalam keadaan terperangkap dengan kedua
tangan mereka, dilakukannya sebuah gerakan yang
sederhana yang diturun (ditirukan) dari makhluk
manusia. Tetapi justru di sinilah orang melihat betapa
lebar jurang antara tangan yang tidak berkembang
bahkan kera-kera yang paling antropoid dan tangan

604
manusia yang telah sangat disempurnakan oleh kerja
selama ratusan ribu tahun.416

Bagi Frederick Engels, kerja merupakan aktivitas signifikan


yang mempengaruhi kehidupan manusia. Melalui kegiatan
dan relasi produksinya maka manusia menemukan
kemampuan mencipta ucapan artikulat dalam berhubungan
dengan sesamanya. Kerja dan artikulasi kemudian menjadi
dua rangsangan yang membuat sempurna perkembangan
otaknya. Perubahan pada otak lalu bersamaan dengan
berkembangnya organ-organ indrawinya. Puncak
perkembangannya ini menjadi pembeda antara manusia
dengan kera dan binatang-binatang lainnya. Maka melalui
kerja-sama tangan, organ-organ bicara, dan otak; manusia
dalam kehidupannya sebagai individu dan anggota
masyarakat, berkemampuan melaksanakan operasi-operasi
yang kompleks untuk menetapkan dan mencapai tujuan
hidupnya. Sehingga dari generasi-ke-generasi kerja tadi makin
berbeda, beraneka ragam, dan mengalami penyemurnaan-
demi-penyempurnaan.

Itulah yang terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia


ketika agrikultur ditambahkan pada perburuan dan
peternakan. Setelahnya ditemukan cara menenun dan
menganyam. Selanjutnya dilakukan pula pengerjaan logam
dan tembikar, bahkan pernavigasian. Hingga bersama-sama
dengan majunya perdagangan dan industri, maka lahirlah seni
dan ilmu pengetahuan dalam kegiatan-kegiatan persukuan.
Suku-suku manusia yang sudah mengalami pelbagai

416
Frederick Engels, (tanpa tahun), Dialektika Alam, (tidak berkota): Hasta
Mitra, Hlm. 169-170. Dalam kurung tambahan penulis.

605
kemajuan akhirnya mengembangkan negara-negara dan
nasion-nasion. Di dalamnya tidak hanya terdapat sistem
hukum dan politik, tapi juga bentuk-bentuk pikiran
keagamaan. Hanya saja semua mode produksi (budaya, sosial,
ekonomi, dan simbolik) yang ada hingga sekarang semuanya
telah diarahkan semata-mata pada pencapaian efek kerja yang
paling segera sekaligus penuh kegunaan. Yakni, untuk
memusatkan keuntungan ke tangan pemegang kekuasaan.
Engels menjelaskan demikian:

Dalam hubungannya dengan alam, seperti dengan


masyarakat, cara produksi sekarang terutama dan di
atas segala-galanya hanya memikirkan hasil pertama,
hasil yang paling dapat disentuh; dan kemudian
dinyatakan keterkejutan bahwa akibat-akibat paling
jauh dari tindakan-tindakan pada tujuan ini ternyata
sangat berbeda sekali, bahkan teristimewa memiliki
watak/sifat yang berlawanan … milik perorangan
berdasarkan kerja individual mau tidak mau
berkembang menjadi ketiadaan pemilikan apapun kaum
pekerja, sedang semua keuntungan menjadi semakin
dan kian terkonsentrasi di tangan kaum [penindas: kelas
borjuis]….417

Marx menyatakan kerja adalah syarat eksistensi manusia yang


abadi dan alamiah. Hanya sistem kapitalis merosotkan kerja-
kerja manusia ke kubangan penyimpangan yang artfisial,
dangkal, dan sangat pongah. Dalam produksi kapitalisme
bangunan kerja bukan cuma menawarkan kompetisi biasa,
tapi juga berisi seabrek eksploitasi. Namun penindasan itu
dimediasi oleh relasi sosial kelas tertindas dengan kelas

417
Ibid, Hlm. 184. Dalam kurung tambahan penulis.

606
penindasnya. Hubungan mereka terdiri dari empat tahapan:
mulai dari relasi properti, relasi pembagian kerja, relasi
pembagian surplus, hingga relasi produksi. Coba pikirkan
dengan akal dan rasakan menggunakan nurani. Mula-mula (1)
keadaan manusia dalam ‘relasi properti’: hak milik
menentukan siapa sebagai tuan dan siapakah yang menjadi
hamba. Melaluinya maka penguasa dapat memperlakukan
yang dikuasainya secara suka-suka. Sebab, kepemilikian
pribadi melegitimasi perbuatan arbitrer pemiliknya. Sehingga
(2) ‘relasi pembagian kerja’ ditentukan dari kepemilikan
properti barusan: ada yang memerintah dan terdapat pula yang
diperintah. Maka hubungan manusia dengan sesamanya
mematutkan perbudakan.

Dengan menjadi budak seseorang dipaksa untuk melayani


majikan. Itulah mengapa selanjutnya (3) pada ‘relasi
pembagian surplus’ terjadi bagi hasil namun tidak
proporsional: keuntungan lebih banyak diberikan kepada
pemegang hak milik pribadi ketimbang orang yang
diperintah-perintah. Soalnya budak bukan hanya tidak
memiliki properti, tapi terutama tak berkuasa atas dirinya.
Inilah yang membuat budak bekerja sekadar buat bertahan
hidup saja. Hingga dalam (4) ‘relasi produksi’: pekerja
mendapat balasan atas kerjanya tapi tak lebih untuk
memenuhi konsumsi sehari-hari, sementara tuan dapat
memilih apa yang ingin dilakukannya terhadap keuntungan
yang diperoleh dari hasil kerja budak-budaknya; entah
menggunakannya untuk konsumsi, atau mengakumulasinya—
akumulasi dilaksanakan lewat reproduksi: mengulang
keempat relasi eksploitasi tadi tanpa henti-henti.

607
Metode yang dipakai Marx untuk menganalisa hubungan
sosial dalam kerja itu adalah holisme (pemikiran yang
menyatakan bahwa sistem alam semesta, baik yang bersifat
fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mental-psikis, dan
kebahasaan, serta segala kelengkapannya harus dipandang
sebagai sesuatu yang integral). Dengannya ia melihat
eksploitasi yang lahir dalam relasi sosial antara pekerja
dengan majikannya. Kaum Marxis menyebut penindasan
tersebut sebagai ‘pengambilalihan nilai-lebih’. Nilai-lebih
lahir melalui proses penciptaan komoditas oleh para buruh
lewat waktu kerjanya. Dalam waktu kerja yang digunakan
untuk kegiatan (re)produksi buruh juga menghasilkan nilai-
tukar yang abstrak: kemampuan kerja. Meski abstrak namun
kemampuan kerja itu berguna untuk mengumpulkan pundi-
pundi keuntungan—nilai lebih—bagi siapa-siapa yang
memperkerjakannya. Hanya saja nilai-lebih tidak berasal dari
pertukaran, tapi melalui pembelian tenaga-kerja dan
penggunaannya di dalam produksi. 418 Rupert Woodfin dan
Oscar Zarate menjelaskannya bahwa keuntungan pihak
penindas sesungguhnya didapat dengan cara mengeksploitasi
kerja-kerja manusia:

Keuntungan mestinya dihasilkan dari modal variabel


[pembelian tenaga-kerja], di sinilah keniscayaan
eksploitasi kapitalisme terjadi. Kaum buruh diwajibkan
untuk bekerja lebih lama daripada rata-rata. Kaum
buruh diwajibkan untuk bekerja lebih lama dari pada
rata-rata nilai-tukar yang sesungguhnya dalam kerja
mereka…. Modal variabel, atau sejumlah uang yang

418
Anthony Brewer, (1999), Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Jakarta:
Teplok Press, Hlm. 62.

608
dihabiskan untuk tenaga kerja, menambahkan nilai
tukar komoditi karena, selama proses produksi kaum
buruh menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk
bekerja yang tidak menghasilkan apapun bagi mereka
sendiri. Buruh memberikan nilai lebih banyak pada
komoditas daripada yang dibayarkan untuk mereka.
Mereka dieksploitasi. 419

Dalam ruang lingkup HMI pembelian tenaga-kerja itu


dilakukan kelompok dominan melalui penyaluran
pengetahuan dan pengalaman kepada siapa-siapa yang
dikadernya. Makanya hubungan vulgar senior dengan
juniornya (seniorisme) menampakkan fenomena bacin: kader
dapat diupah (dibeli) menggunakan modal budaya. Apabila
kader tidak mampu memasang sikap kritis terhadap apa saja
yang diperintahkan seniornya maka ini menjadi penanda:
dirinya sudah terjerambab dalam kesadaran palsu—‘utang
budi’ atas jasa-jasa seniornya. Kesadaran berutang
mendorongnya mentaati, menuruti, dan terus menggugui
seniornya. Makanya dia gampang sekali mengerjakan
keinginan-keinginan pihak yang telah menguasai
kesadarannya. Bilamana ia membiasakan diri dengan
pekerjaannya tadi, tentu ini menandakan kesadaran palsu telah
berkembang menjadi ketidaksadaran. Ketaksadaran itulah
yang membuat senior—yang tergabung pada gerbong
tertentu—dengan mudahnya memasukan orang yang
dikadernya ke dalam gerbongnya. Bayaran yang akan
diberikan gerbong bukan lagi sekadar budaya, tapi
diberitambahkan kapital lainnya: ekonomi, sosial, dan

419
Rupert Woodfin dan Oscar Zarate, (2006), Marxisme untuk Pemula,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 52.

609
simbolik. Dengan begitu sempurnalah sudah penetrasi
kapitalisme dalam tubuh HMI: kerja-kerja yang dilakukan
kader-kadernya menampilkan tendensi-tendensi yang
kapitalistik.

Relasi properti mula-mula berlangsung melalui seniorisme. Di


situ ada pihak yang mempunyai hak milik pribadi atas kapital
budaya: pengetahuan dan pengalaman. Dua-dua modal ini
dikomodifikasi agar menghasilkan keuntungan, terutama
dalam mendominasi pihak lainnya. Karena hak milik modal-
modal sedari awal memberi legitimasi kepada pemiliknya
untuk berkuasa. Makanya seorang kader bermodal punya
kuasa atas orang-orang yang tidak memilikinya. Itulah yang
berlangsung saat seorang anggota biasa dikader dalam
himpunan: hubungannya dengan siapa-siapa yang
mendidiknya bagaikan tuan dengan hamba. Kepemilikan
terhadap modal budaya menentukan relasi pembagian kerja
mereka. Pembagiannya menempatkan senior sebagai orang
yang berhak memberi perintah, sekaligus memposisikan
junior menjadi seseorang yang berkewajiban menerima dan
melaksanakan permintaan seniornya. Hubungan keduanya
persis yang terjadi dalam suasana perburuhan: menampilkan
parodi perbudakan manusia oleh sesamanya. Tetapi kader
tidak diupah dengan uang. Melainkan kapital budaya; isinya
seabrek nilai-nilai, terutama moralitas yang mengekang.
Setelah nilai tersebut berhasil diinternalisasi, maka kader
kemudian dibawa masuk ke gerbong seniornya. Dalam
gerbonglah dia bertemu dengan banyak sekali senior yang
punya jaringan, anggran, jabatan dan kuasa-kuasa. Mereka
adalah pihak dominan yang bukan hanya mempropertikan
budaya, tapi juga lewat gerbonglah dihakmilikinya; kapital

610
simbolik, sosial, dan ekonomi. Oleh orang-orang yang
berkuasa dalam gerbong inilah keempat kapital itu
dihakmiliki.

Kian ke mari keempat modal tadi terus diproduksi ulang


dalam gerbong. Tujuannya agar kekuasaan-kemodalan yang
dimiliki semakin membumbung. Hanya metode yang dipakai
mewajibkan menjalarnya keharusan saling saing-menyaing.
Maka kepada gerbong lainnya dpancanglah kekuatan,
kebesaran dan keberingasan. Tengok saja saat persaingan
memperebutkan takhta organisasi: aparat-aparat gerbongis
bersedia melancarkan beragam cara guna memperjuangkan
kepentingan. Kepentingannya dianggap lahir dari cita-cita
bersama padahal hanya menyangkut kepentingan elit yang
hadir melalui hegemoni senior-senior selaku kelompok
dominan. Karena memperjuangkan apa yang diinginkan
senior dalam gerbongnya inilah kenapa kader-kader bersedia
menjadi suporter bahkan ikut menjadi pemain di lingkar
kekuasaan pranata kenegaraan (agar lebih jelas daraslah
bagian terdahulu: Komplotan Oligarki & Kapitalis
Mengancam Independensi HMI).

Kala itu mereka betul-betul terjerambab dalam hegemoni


seniorisme-gerbongisme yang menusuk dengan halus tapi
sangat banal. Antonio Gramsci pernah berkata bahwa
hegemoni merupakan kekuasaan intelektual dan moral. Dalam
hegemoni terdapat konstelasi ideologi yang energik, stabil,
dan unggul. Ide itu berasal dari kepentingan pihak dominan,
namun ditampilkan sebagai kepentingan bersama. Inilah yang
dialami kader-kader ketika dihegemoni lewat oleh senior dan
gerbongnya. Senior-senior dalam gerbong membuat

611
kehidupan mereka tidak setara karena berlaku keherarkisan
yang menggila. Hierarki menempatkannya dalam keadaan
subordinat terhadap siapa-siapa yang berkedudukan lebih
tinggi. Bahkan dengan hierarkisitas itulah sebuah gerbong
dinamai dengan nama senior atau alumni yang berada di
puncak tertinggi. Keadaan begini membuat gerbong dapat
memekarkan pemaksaan bertipu daya: manusia melihat
aktivitasnya sebagai kepentingan koektif, padahal
sesunggunya kekolektifan hanyalah ilusi.

Belitan struktur telah mengatur gerak-gerik individu tanpa


sadar dirinya dikendali tentang apa saja yang mesti diyakini
dan dipercayai. Karena ideologi yang membentang sebagai
jalinan struktur sebuah gerbong memetakan kader untuk
berperan sesuai dengan keinginan penghegemoni. Dengan
terperangkap dalam kerangkeng intelektualitas dan moralitas,
maka idealisme anak-anak muda teracuni: dicekoki dengan
nilai-nilai yang berguna dalam melanggengkan tatanan yang
disukai kelompok pendominasi. Upaya pelanggengannya
melewati metode gerbongnisasi: mengkader orang untuk
kemudian dimasukan ke dalam gerbong yang berhierarki
sampai memasangnya sebagai aparat ideologis gerbong yang
dikuasai. Lewat cara inilah mereka melakukan reproduksi dari
produksi hingga menguatkan relasi produksi dan
mempertahankan daya hegemonik dari ideologi.

Seniorisme-gerbongisme kemudian mengancam kelangsungan


kaderisasi, gerakan, bahkan organisasi secara general. Soalnya
dalam sebuah gerbong terdapat kontradiksi yang lebih
antagonistik. Inilah yang menyebabkan hubungan senior-
junior yang semula berlandaskan perkaderan mengalami

612
anomali. Sebab terjadi perhadap-hadapan kepentingan: tujuan
perkaderan yang mencerahkan dan membebaskan melawan
gerbong yang bertujuan mengatur dan menguasai. Dalam
keadaan inilah HMI digerogoti oleh kelompok dominan yang
pandai melancarkan hegemoni. Kepentingan untuk meraih
dan mempertahankan kekuasaan kemudian meracuni aktivitas
organisasi. Makanya anggota-anggotanya mudah sekali
dikorbankan oleh para seniornya untuk memenangkan
pertarungan di meja kuasa. Kader-kader yang awalnya dikader
begitu rupa mendapati dirinya pada arus kekuasaan yang
membuat buta. Itu sebabnya sesudah junior duduk di tampuk
kepemimpinan maka seorang senior tak malu melakukan
intervensi kepadanya. Sekelumit perpecahan dalam tubuh
himpunan menjelaskan bagaimana seniorisme-gerbongisme
dapat sangat berbahaya (pemaparannya terdapat pada bagian
terdahulu: Komplotan Oligarki & Kapitalis Mengancam
Independensi HMI).

Hubungan senior-junior dalam gerbong-gerbong di tubuh


himpunan memang amat menggila. Kepentingan mereka
berhasil membuat kader-kader saling bertarung antara satu
dengan lainnya. Dualisme-dualisme kepengurusan organisasi
menjadi bukti bagaimana gelombang intervensi meracuni
pikiran orang-orang hingga jadi beringas. Lihat saja parodi
pembombardilan isu skandal seksual, aksi-aksi premanisme,
hingga campur tangan alumni dipakai menekan Ketum PB
HMI Saddam Al Jihad supaya mundur dari jabatannya.
Keculasan itu serupa dengan penggunaan intimidasi bahkan
culik-menyulik peserta Musyawarah saat berlangsungnya
Musda HMI Badko Nusra di Bima. Ilusi kepentingan yang
ditasbihkan dalam gerbong bahkan tak segan mengerahkan

613
kader-kader untuk mericuhkan Konfercab HMI Cabang
Ciputat. Sirkus kekuasaan tak sekadar berlangsung di PB,
Badko, dan Cabang; melainkan juga sampai ke Komisariat.
Baiklah, akan kuceritakan padamu tentang pertikaian
antarkader waktu RAK HMI Komisariat FH Unram. Kala itu
senior-senior dari gerbong yang menjadi kelompok dominan
tampil dengan tindakan yang agak seram:

Mula-mula para senior memainkan isu primordialisme.


Sentimen kesukuan ini disuntikan dengan spuit:
seniorisme-gerbongisme. Maklum kedua kader yang
menjadi kandidat ketua berasal dari suku yang berbeda:
Sasak dengan Mbojo. Dengan begitu maka
komodifikasi suku dijadikan alat ampuh untuk
membuat konstituen membeo. Buktinya dukungan
kader kebanyakan diberikan berdasarkan ikatan
kesukuan. Bahkan mereka tampak terpolarisasi dalam
pertarungan yang membahayakan. Soalnya isu yang
disuntikan aparat gerbong itu sensitif, konservatif, dan
sangat naïf. Inilah kenapa ketegangan meruap-ruap
dengan permisif. Melaluinya baku lawan
antarpendukung kandidat ketua tak dapat dihindarkan.
Di dalam forum mereka tidak hanya saling serang
dengan argumen, namun juga dengan pukulan tangan,
tendangan sepatu, hingga hantaman botol minuman.
Suasana telah seketika berubah: bukan lagi pertarungan
sehat kedua kandidat anggota HMI, tapi perkelahian
antara suku lantaran sudah terlanjur tersulut strategi
kekuasaan. Itulah sebabnya jalannya RAK amat lama:
satu mingguan. Alasannya: pertikaian para pendukung
yang sulit diredamkan karena telah terjerambab pada
sentimen kesukuan. Sentimen itu bukan hanya
menghadirkan amukan saat jalannya persidangan, tapi
pula merembet sampai ke luar ruangan. Makanya di

614
parkiran FH Unram suasan jadi sangat mencekam.
Beberapa kader mengibarkan golok hingga pedang
dengan muka geram. Untunglah tidak sampai saling
bacok atau bunuh-bunuhan. Tapi insiden inilah yang
membuat panik hingga ada pendukung salah satu
kandidat yang menelpon preman. Ia memanggil
bantuan dari eksternal organisasi karena ingin melawan
kader yang memberinya pukulan. Malam itu bundaran
Unram jadi titik kumpul puluhan orang yang bersenjata
tajam. Orang-orang itu berkumpul depan rektorat dan
bersiap-siap menyerbu ke arena RAK untuk melindungi
penelpon; sekaligus membasmi dia punya lawan. Hanya
saja perseteruan dengan elemen masyarakat bisa
dielakan. Karena rembetan konflik diredam oleh pihak
keamanan. Walhasil, preman kemudian dipulangkan ke
sarangnya dengan dikawal. Sementara kader-kader
yang berseteru berhasil didamaikan oleh pemegang
kekuasaan intelektual dan moral.420

Perebutan kekuasaan dalam organisasi serupa persaingan ala


kapitalis. Akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang
membuat kelas pekerja terhempas. Alan Woods dan Ted
Grant menyampaikan, persaingan dalam tatanan masyarakat
kapitalisme memang mendorong manusia tak segan-segan
saling memberangus. Rebakan struktur itu telah menerpa
HMI. Soalnya kehidupan berorganisasi kini bagaikan
hidupnya masyarakat dalam negara yang terus-menerus
dikapitalisasi. Kader-kadernya mendapatkan fenomena persis
buruh: teralienasi. Itulah mengapa anak-anak muda himpunan
mudah sekali direpresi, dintimidasi, bahkan dieksploitasi.
Melalui hegemoni seniorisme-gerbongisme maka kader bukan

420
Catatan kejadian mencekam saat RAK ke-41 HMI Komisariat FH
Unram, 2019.

615
hanya diminumkan dengan kesadaran palsu. Bahkan justru
dibikin tidak sadar oleh ilusi-ilusi yang menempatkan dirinya
sebagai babu. Sebab kekuasaan intelektual dan moral dari
senior pada gerbongnya telah meracuninya. Itulah kenapa
mereka gampang sekali diperintah untuk saling memusuhi,
melemahkan, dan mengalahkan dalam ring tinjunya kuasa.
Karena kesadarannya telah ditanggalkan oleh gerbong yang
pandai menghasut lewat bisikan mengejar kepentingan
bersama: meraih dan mempertahankan kekuasaan, menjaga
kebesaran kelompok, hingga merawat dan menguatkan
barisan.

Padahal semuanya hanya rekayasa pihak dominan. Melalui


garis komandonya yang berhierarki maka kader-kader dalam
gerbong disulap menjadi pasukan. Anak-anak muda itu
dipersiapkan guna berlaga di medan peperangan melawan
aparat gerbong lain. Dalam pertarungannya mereka tak ragu-
ragu untuk saling melukai agar membawa pulang
kemenangan. Seniorisme-gerbongisme memang mengkader
orang-orang seperti serdadu: bertempur demi majikan.
Persaingan dilakukan bukan karena kehendak sendiri
melainkan perintah dari tuan-tuan yang bercokol pada
pranata-pranata kenegaraan. Hubungan tentara dengan negara
ini persis apa yang berlangsung terhadap kader dengan
gerbong: senior memberi instruksi menyerang yang wajib
diindahkan. Seniorisme-gerbongisme membuat siapa saja
yang menjadi junior terbatas soal keberanian, kekuatan, dan
kecakapan. Karena hanya berani, kuat, dan cakap selama
menjadi penurut yang terus dikendalikan. Dirinya bahkan tak
dapat mempertanyakan, membantah, dan melawan kala
diarahkan bersaing dengan kader dari gerbong lain. Inilah

616
yang memekarkan persaingan, mencangkokan permusuhan,
dan membuahkan perpecahan. Lewat iklim begini maka
perkaderan yang dilaksanakan HMI seolah berusaha
memanipulasi teori Carles Darwin tentang evolusi.
Perkembangan kehidupan bukan lagi dilihat sebagai
kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan bumi.
Melainkan menjadi arena unjuk kekuatan. Padahal Darwin
sendiri menyatakan fittests (keberlangsungan hidup mahluk
yang paling fit) tak didasari atas persaingan tapi perubahan.
Ken Budha Kusumandaru menjelaskan:

Perjuangan menyesuaikan diri dengan perubahan-


perubahan yang terus-menerus terjadi tidak harus
dilakukan dalam suasana persaingan. Bahkan dalam
seleksi alam tidak dikenal istilah penghisapan satu
mahluk terhadap mahluk lainnya. Apalagi atas sesama
mahluk satu spesies. Rantai makanan sekalipun terbagi
sangat adil sehingga mereka yang berada paling atas
dari rantai itu selalu akan menjadi mangsa bagi mahluk
yang berada paling bawah dalam lingkaran itu—
setidaknya setelah pemangsa itu mati. Terlebih lagi
pada manusia. Sebagai mahluk sosial, ia tentunya dapat
bahu-membahu dalam solidaritas dengan sesamanya
menghadapi perubahan yang terjadi—bukan bersaing
saling menghancurkan seperti yang diajarkan oleh
kapitalisme. 421

Dalam Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme, Ken Budha


menegaskan bahwa kapitalisme sebenarnya dirawat oleh
negara. Bahkan sejarah kemunculan negara itu bermotif
melindungi kepentingan kelas kapitalis yang berkuasa. Dia

421
Ken Budha Kusumandaru, (2004), Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 56-57.

617
memberi contoh pada negara-negara awal yang pernah berada
di dunia: terdapat dalam peradaban masyarakat Hun, Yunani,
Romawi, Goth, maupun Scythia. Rata-rata perkembangan
pengorganisasian sistem politiknya ditentukan oleh kemajuan
sistem pertaniannya. Pertama tiap-tiap komunitas memiliki
pemimpin perang (warchief) sendiri. Kedua, setelah sistem
pertanian mereka maju maka sistem administrasi dan politik
semakin berkembang—ini membuat pemimpin-pemimpin
perang yang dalam sukunya membentuk aliansi-aliansi atau
federasi. Lalu pada tahap ketiga, setelah proses konsentrasi
kekuasaan diselesaikan secara tuntas maka dibangunlah
imperium-imperium melalui perang saudara di antara anggota
federasi.422

Perang dilakukan bukan sekedar untuk menambah wilayah


kekuasaan. Tetapi terutama melindungi, memperluas, dan
memperbanyak lahan maupun hasil pertanian. Makin banyak
surplus pertanian yang didapatkan kemudian ikut medorong
pertarungan dalam masyarakat yang semakin tak karuan.
Inilah sebabnya mereka berlomba-lomba memperkuat
pasokan senjata hingga mencoba menyerang lebih duluan.
Namun hanya orang-orang kaya saja yang mampu
memenangkan lomba persenjataan. Ini mengakibatkan
timbulnya pemusatan kekuasaan pada segelintir kalangan.
Merekalah yang lalu secara atbitrer menguasai negara demi
mengakumulasi keuntungan. Sebab, konsolidasi kekuasaan
politik dan militernya itu berkorespondensi satu-satu dengan
pemusatan kekuatan perekonomian. Makanya secara historis:

422
Lihat Ibid, Hlm. 80-81.

618
kepentingan ekonomi kapitalisme menjadi alasan utama
kehadiran persaingan, peperangan, sampai penaklukan.

Haryatmoko menjelaskan persaingan menumbuhkan perasaan


ketidakadilan, terutama ketika persaingan kian mempertajam
polarisasi masyarakat dalam kelompok kelas. Lalu perasaan
ketidakadilan melanggengkan ketertutupan dan perasaan tidak
aman bagi setiap orang.423 Kini perasaan demikian seperti
mengancam keberadaan himpunan. Lihat saja bagaimana
proses-proses ber-HMI yang banyak diisi dengan persaingan
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan telah
membuat hubungan antar-kader amat bau bacin. Kehidupan
mereka bagaikan hidupnya masyarakat di negara-negara awal:
baku lawan demi menjaga, merawat, dan memperbanyak aset-
aset yang mengutungkan. Dalam konteks HMI aset itu bukan
berkaitan dengan kapital ekonomi saja. Melainkan juga modal
sosial, sombolik, dan budaya. Aktifitas (re)produksi dari
keempat kapital inilah yang membuat pelajaran dan
pengalaman yang diperoleh kader—dari seniornya—dalam
sebuah gerbong justru membuatnya jadi manusia yang hidup
dalam penaklukan: dirinya didominasi oleh kepentingan pihak
penguasa.

Motif berdirinya gerbong memang persis sebuah negara:


mengamankan apa saja yang dianggap berharga. Bahkan
kendali atas kehidupan orang-orang yang ada di dalamnya jadi
monopoli segelintir kepala. Mereka adalah senior yang bisa
mengendalikan orang berherarki di bawahnya: junior-
juniornya. Dari tangan merekalah anggota HMI disulap bagai

423
Haryatnoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 167.

619
tentara sebuah negara. Karena gerbong ibaratkan negara yang
harus mengamankan sumber daya melalui persaingan dengan
gerbong atau negara lainnya. Itulah sebabnya kader-kadernya
kemudian dibentuk sebagai aparatur kekuasaannya. Kala itu
seniorisme-gerbongnisme tampil tanpa memberi junior
kebebasan melainkan mengakarkan ketakutan. Individu-
individu dipandang sebagai benda bagi senior yang memiliki
kuasa atas gerbong. Mereka menebarkan prinsip sinting: agar
dapat bertahan hidup dalam himpunan maka harus punya
senior sekaligus gerbong tempat bernaung. Keyakinan ini
ditanamkan hingga kader tak merasakan bahwa dia
ditempatkan pada posisi subordinat. Melaluinya maka
kepentingan senior berpengaruh dalam gerbongnya diterima
serupa kepentingan kolektif, bahkan sampai dipandang
kramat.

Banyak yang percaya: dengan dipilihnya suatu gerbong


sebagai tempat bernaung maka survivalitas akan terjamin.
Melalui gerbong ‘namanya’ akan dibesarkan, gampang
beroleh ‘anggaran’, dan dirinya mudah mendapatkan ‘jabatan’
apapun. Namun di dalam gerbong, keharuman nama,
kemudahan dana, dan capaian jabatannya dipertukarkan
dengan kemerdekaan politisnya. Makanya seorang kader tak
pernah sanggup menolak perintah dan arahan dari senior yang
satu gerbong dengannya. Dia tidak lagi punya sifat
independen, kemandirian sikap, dan kebebasan kehendak,
kala berhadapan dengan seniornya. Inilah yang menyebabkan
pesta demokrasi organisasi. Kader yang menjadi peserta
penuh dampang sekali suaranya diperjual-beli. Kala itu bukan
dirinya yang didatangi untuk dibeli dukungannya melainkan
senior yang berkuasa atas gerbongnya. Senior seperti seorang

620
makelar: memasang harga berapa saja untuk dukungan
juniornya. Lewat tangan senionya maka kader-kader disulap
jadi komoditi. Derajat kemanusiaannya dikebiri. Dirinya tak
lebih dari komoditas karena seniorisme-gerbongisme
memperdagangkannya seolah punya lisensi.

Ketidakberdayaan seorang kader terhadap senior dalam


gerbongnya tentu dia sadari. Tetapi kesadaran itu terbelenggu
oleh kesadaran palsu hingga dirinya tidak sadar atas
kenyataan. Ini menyebabkannya tak mampu beringsut dari
lingkungan orang-orang yang memperlakukannya sebagai
instrumen. Pada keadaan begini maka kader-kader menjadi
mirip tentara. Gerbong berubah jadi lembaga militer yang di
dalamnya ada senior sebagai pemberi komando dengan
banyak gaya. Kepetingan mereka adalah untuk melemahkan
bahkan meniadakan kekuatan gerbong lainnya agar kekuasaan
organisasi terus-menerus menjadi milik gerbongnya. Untuk
itulah dibutuhkan kader-kader yang siap diperintah dan
bertempur habis-habisan. Peperangan yang dilakukan adalah
menggunakan kedahsyatan jaringan, isu, fitnah, uang bahkan
preman. Persaingan yang saling menerka memang mendapat
panggung dalam perkembangan kekuasaan yang fetish.
Fetishisme kekuasaan kemudian juga ikut memitoskan
keberadaan senior dan gerbong.

Kapitalisme menjadikan kekuasaan di matanya hanya punya


satu kepentingan, yakni mengejar untung; baik keuntungan
soal pengetahuan dan pengalaman, jaringan, anggaran,
maupun jabatan. Hanya saja ketika seniorisme yang berfungsi
membina kader bertemu dengan gerbongisme yang begitu
hierarkis maka kader-kader mendadak mempraktekan mental

621
kawanan. Hannah Arendth menyebutnya sebagai
‘kedangkalan imajinasi’. Karena tiap tugas yang diberikan
oleh seniornya tak mampu dipertanyakan apalagi disangsikan.
Perintah dan arahan dalam hegemoni seniorisme-gerbongisme
dianggap sebagai satu-satunya yang bisa menjamin
kelangsungan hidupnya dalam berhimpun. Itu sebabnya
kader-kader rela mengorbankan apa yang dia miliki demi
tercapainya kepentingan pihak dominan. Anak-anak muda itu
tengah diperbudak namun tak punya pilihan untuk melawan.
Perlawanan atau pemberontakan soalnya dipandang oleh yang
berkuasa sebagai sesuatu yang irasional karena akan
membahayakan kepentingannya. Itulah kenapa sikap berlawan
dan berontak disingkirkan dari pandangan para juniornya.
Dengan begitu seorang junior akan merasa nyaman
diperlakukan sebagai alat kepentingan apa saja. Ini disebut
Max Horkheimer sebagai bentuk rasionalitas instrumental:
individu menyerupai benda dan alat yang netral belaka.
Sindhunata menjelaskannya mirip dengan mode eksistensi
binatang:

Sekarang realitas begitu kejam terhadap individu. Ia


menyodorkan satu cara agar individu dapat
mempertahankan dirinya, yakni dengan menyerahkan
diri dan meniru realitas. Realitas memperlakukan
individu bagaikan binatang yang tak berakal saja:
‘Survival individu dicapai dengan cara survival biologis
paling primitif, yakni peniruan’.424

424
Sindhunata, (1982), Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik
Masyarakat Modern oleh Max Horkhoimer dalam Rangka Sekolah
Frankfurt, Jakarta: PT Gramedia, Hlm. 117.

622
Relasi akomodatif dengan senior dalam sebuah gerbong telah
menjadi cara satu-satunya yang dianggap dapat
mempertahankan diri junior. Mereka berharap dengan
ketundukan dan kepatuhannya akan memberikan modal
padanya. Modal yang diandaikan adalah terdiri dari empat
jenis kapital: budaya (pengetahuan dan pengalaman), sosial
(jaringan, relasi, dan koneksi), simbolik (pangkat, jabatan, dan
kebesaran), dan ekonomi (uang, anggaran, maupun
pendanaan). Dari Horkheimer kita diberi tahu bahwa modal
memang meminta banyak korban. Karena modallah maka
sebuah kerja yang dilakukan oleh manusia justru malah
menindas dan mengalamiahkan (membinatangkan) dirinya.
Inilah fenomena yang terjadi dalam hubungan seorang junior
dengan seniornya dalam sebuah gerbong. Hasrat akan modal
budaya, simbolik, sosial dan ekonomi telah membuat kerjanya
dalam organisasi memiliki nilai tukar. Ketika kerja organisasi
ingin dipertukarkan dengan modal itu, maka inilah yang
ditegaskan Horkhaimer sebagai ‘dilema manusia rasional’.
Dengan pengertian rasionalnya, individu makin berusaha
menemukan identitasnya. Tetapi makin dikejar malah
identitas sebagai individu malah semakin dihancurkan.

Pencarian identitas adalah sesuatu yang rasional, namun


usahanya ternyata mempertukarkan kemerdekaannya dengan
modal—ini membuat dia kehilangan ‘kediriannya’. Itulah
kenapa seorang junior terus-menerus berada di bawah bayang
senior atau gerbongnya. Keadaan yang begini mengubahnya
menjadi barang yang tak punya kehendak sendiri. Ia jadinya
begitu rentan diperalat oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya
demi kepentingan apa saja. Inilah jawaban kenapa seorang
kader memiliki nilai pakai dan nilai tukar sewaktu Kongres.

623
Sebab para mafia mudah sekali memperjual-belikan suaranya
untuk dikonsumsi pembeli melalui alat pertukaran—uang.
Dalam keadaan yang begitulah kader-kader melakukan kerja-
kerja organisasi ternyata keuntungan para abang. Karena
kemampuan kerja sekaligus waktu yang dikorbankannya
untuk berproses secara tulus dan ikhlas justru dipertukarkan
oleh seniorisme-gerbongisme dengan kepeng-kepeng yang
masuk kantong pribadi. Junior-juniornya hanya dipandang
sebagai barang dagangan orang-orang yang menguasainya.
Memang hegemoninya maka senior dalam gerbong
menyulapnya jadi komoditas kuasa. Makanya kehidupan
kegerbongan tak memiliki garis demarkasi yang jelas antara
kepentingan senior secara individu dengan kepentingan
bersama kader-kadernya. Itu sebabnya seorang junior begitu
rentan ditempatkan bukan hanya sebagai instrumen pelancar
kepentingan, tapi pula kapital sebuah gerbong hingga
komoditi unggulan penghasil pemberi untung kepada tuannya.

Senior sesungguhnya tidak semata buruk karena dibutuhkan


untuk mengembangkan intelektualitas dan moralitas dalam
perkaderan. Bahkan senior dengan gerbong juga diperlukan
buat memberikan pendidikan sosial, ekonomi, dan politik
kepada kader-kader himpunan. Hanya saja senior beserta
gerbongnya sewaktu-waktu dapat berubah ancaman; bukan
sekadar bagi kaderisasi dan gerakan, tapi terutama terhadap
organisasi secara menyeluruh. Soalnya ketika senior dan
gerbong berkembang menjadi seniorisme-gerbongisme maka
isme-isme kecil yang ditebarkannya boleh jadi amat parah.
Sebab, dalam sebuah gerbong tidak hanya diisi oleh senior-
senior yang masif aktif berhimpun. Karena dapat pula dirinya
telah berstatus anggota biasa tapi tengah membina keakraban

624
dengan elit-elit pemerintahan. Bahkan, gerbong pun tak jarang
terisi oleh alumni yang terlibat aktif dalam pranata-pranata
kenegaraan. Di dalam suatu gerbong mereka-mereka inilah
yang mengambil posisi sebagai kelompok dominan. Kala
kader segerbong dengan merekalah maka dirinya pasti
menginternalisasi nilai-nilai yang diajarkan. Nilai itu akan
bertransformasi ke sebentuk dogma, doktrin, hingga ideologi
yang mampu mengarahkan, mengatur, dan mengendalikan.
Melaluinya kader dihegemoni sesuai dengan kepentingan
kelompok dominan. Kepentingannya adalah tergantung dari
kelas sosial mana dia berasal, bersemayam, maupun
bergelayutan.

Jika mereka—adalah senior yang menjalin hubungan baik


dengan elit pemerintahan atau—merupakan alumni yang
menjadi bagian kelas borjuis, maka kepentingan yang
dibawanya adalah untuk melanggengkan tatanan kapitalisme
agar terus merajai. Kala itu kader akan dijerat menuju
kesadaran palsu hingga meluncur ke ketidaksadaran atas yang
sedang terjadi. Karena nilai yang dicekoki kepadanya telah
membuatnya nyaman dengan keadaan sampai tidak mampu
mengkritisi. Ketidakmampuan untuk memaksimalkan
kekuatan pikiran, perasaan dan kehendak disebabkan oleh
struktur gerbong yang berhierarki. Makanya apa saja yang
diminumkan orang yang berkedudukan tinggi dalam
gerbongnya tak mampu disangsi. Kondisi ini tentu membuat
individu-individu secara sukarela menerima ideologi, hingga
terikat kepada siapa yang memberinya. Itulah sebabnya
seorang kader begitu subordinat ketika berhadapan dengan
seniornya. Karena dirinya telah masuk dalam hegemoni senior
yang menjadi ‘perangkat lunak’ kekuasaan negara. Melalui

625
gerbongnya maka kader-kader selalu dibujuknya untuk patuh,
tunduk, bahkan berhamba pada penguasa. Bujukan inilah
yang secara diam-diam atau terang-terangan disalurkan pada
relung-relung perkaderan. Tengoklah bagaimana disihirnya
orientasi berorganisasi untuk lebih condong mengisi jabatan-
jabatan kenegaraan. Kekuasaan selalu diasosiasikannya
dengan negara. Inilah kenapa mempengaruhi gerakan HMI
untuk ikut mendukung birokrasi, hingga menghasilkan
seabrek kader yang mendamba takhta istana. Common sense
demikian, merupakan hasil internalisasi nilai-nilai yang
bersumber dari seniorisme-gerbongsime. Dengan kaki
tangannya—senior atau alumni HMI—sebagai kelompok
dominan dalam gerbong organisasi maka negara mudah sekali
melaksanakan tindakan-tindakan seperti yang ditulis Marx
dalam The Eighteenth Brumaire XVIII Louis Bonaparte:

Negara terlibat, mengontrol, mengatur, mengawasi, dan


mengelola masyarakat sipil dari pelbagai ekspresinya
yang paling mencakup-semua-hal sampai gerakan-
gerakannya yang paling tidak signifikan, dan dari
bentuk-bentuk eksistensinya yang paling umum sampai
kehidupan pribadi individual-individual.425

Penetrasi kekuasaan itu dijalankan melalui hegemoni ideologi


mikro: seniorisme-gerbongsime. Ajaran ini seiras dengan apa
yang dikatakan Althusser: ‘ideologi sebagai alat reproduksi
formasi sosial kapitalisme’. Itulah sebabnya organisasi kita
diarahkannya begitu aktif mendukung, mengawal, dan
melaksankan program-program dari borjuis-birokrat. Sebab
seniorisme-gerbongisme merupakan perpanjangan tangan dari

425
https://www.marxists.org/indonesia/archive-marx-engels/1852/brumaire/

626
kekuasaan hegemonik negara. Melaluinya maka himpunan
coba dipenetrasi sedemikian rupa. Perembesan itu dilakukan
lewat senior yang suka bermain dengan birokrasi maupun
alumni yang menjadi birokrat. Merekalah yang menjadi
perangkat lunak kekuasaan negara untuk membuat HMI tak
berani macam-macam hingga bertekuk lutut. Dibuatnya
kekuatan organisasi lemah itu amat sederhana: daya
seniorisme-gerbongisme digunakannya untuk menekan
bahkan mengendalikan pikiran, perasaan, dan kehendak
junior-juniornya yang sedang menjadi pengurus himpunan.
Kala itu seorang kader begitu sulit menolak kemauan
seniornya. Sebab seniorisme-gerbongisme telah menjadi
ideologi mikro yang mengendalikan kesadarannya.

Hubungan dia dengan seniornya sebenarnya berawal dari


proses perkaderan. Melalui kaderisasi seorang senior
menancapkan kekuasaan. Kekuasaannya berasal dari
kepemimpinan intelektual dan moral dalam aktivitas
kaderisasi yang dijalankan. Apabila junior tidak kritis ketika
dikader maka dirinya akan menjadi pesakitan. Dianggapnya
senior sebagai sumber segala pengetahuan dan pengalaman.
Inilah yang membuatnya ketergantungan hingga dirinya
menginternalisasi semua ajaran. Pada saat itulah lahir ideologi
mikro: seniorisme. Kalah telah berbentuk paham maka senior
mudah sekali mengatur pandangan, sikap, dan tindakan orang
dikadernya. Mungkin inilah yang biasa terjadi pada junior-
junior yang menjadi kader binaan. Mereka dibina agar bisa
dibentuk sesuai keinginan siapa-siapa yang mendidiknya.
Syukur bilamana seniornya adalah intelektual-kultural:
juniornya pasti dikembangkan menuju prototip kader ideal—
manusia yang berdedikasi dalam kaderisasi dan gerakan,

627
bukan tetek-bengek kuasa yang bertakhta. Namun apabila
senior bertipikal politik-struktural: dipastikan kadernya
dipahat hingga jadi manusia yang bersedia mengejar kuasa
apa saja.

Untuk senior yang bertipikal politik-struktural biasanya


adalah bagian dari gerbong tertentu. Maka orang yang
dikadernya pun diseret masuk dalam gerbongya tanpa ragu-
ragu. Gerbong dalam HMI merupakan sebuah kelompok
kepentingan yang begitu rupa. Kepentingannya bukan sebatas
pengetahuan dan pengalaman, tapi terutama jaringan, koneksi,
uang, anggaran, pendanaan, jabatan, kedudukan, kebesaran,
dan pelbagai macam kekuasaan lainnya. Seperti yang
dijelaskan pada awal-awal bahasan, apabila kader ingin
tundukan maka senior-senior dalam gerbong itu
memandikannya dengan nilai-nilai baru yang berisi aturan
tentang mana baik, buruk, benar, dan salah. Ketika junior
telah menginternalisasinya maka kala itu gerbong berubah
jadi ideologi mikro: gerbongisme. Lengkaplah sudah
dihegemoni oleh kesatuan ideologis seniorisme-gerbongisme.
Dalam kondisi inilah dia kehidupan berorganisasinya dihiasi
kontradiksi: dia dikader tidak sekadar untuk mewujudkan
tujuan HMI secara kolektif tapi di pundaknya diletakan
sebuah kepentingan gerbong yang sektarian. Fenomena ini
nampak paradoksal: di dalam organisasi ternyata ada lagi
organisasi yang terbentuk dari kepentingan segelintir
kalangan. Kelompok ini sangat politis, bahkan pragmatis dan
oportunis.

Di tangan mereka perkaderan menampilkan kontradiksi:


kepentingan menanamkan pengetahuan dan pengalaman

628
berhadap-hadapan dengan kepentingan apa saja. Pada saat
inilah seorang kader terancam oleh pelbagai perembesan yang
bukan memerosotkan idealismenya. Karena juga dapat
menyulapnya jadi benda tak berjiwa tapi berharga. Lihatlah
bagaimana hubungan senior-junior dalam sebuah gerbong
menampakan relasi bagaikan buruh dengan tuan: kader tidak
merdeka karena menjadi budak, namun berani melawan
penguasanya. Memang dengan disihirnya kader sebagai
barang maka ia tidak punya kuasa atas dirinya. Inilah
fenomena yang berlangsung ketika dia berhadapan dengan
kepentingan-kepentingan aparatus kekuasaan dalam
gerbongnya. Jika saja belenggu seperti itulah yang kalian
rasakan dalam berhimpun, tidak syak lagi: senior dan gerbong
telah menjadi isme yang mengerikan sekaligus berbahaya.
Wajah HMI diubah mirip panggung sirkus yang penuh
gejolak, trik, dan sandiwara. Mungkin itulah kenapa junior
dikader untuk kemudian dipenjara dalam gerbong kelompok
dominan.

Mereka telah memekarkan mitos berorganisasi: kepentingan


gerbong dapat dirasionalisasi walau menunggangi kaderisasi
yang dilaksanakan pada junior. Makanya selalu dibawa oleh
tiap-tiap senior yang sedang mendidik kader. Bahkan sesuatu
yang tak rasional pun bisa dirasionalkan untuk kemudian
didiktekan kepada para junior. Itulah mengapa pada masing-
masing Cabang misalnya, jika kita mau mencari tahu pasti di
Komisariat yang berada dalam wilayah kerjanya ada-ada saja
senior dari gerbong tertentu yang mencoba mendidik
kadernya dengan hasutan. Ceramah mereka biasanya berisi
kejelekan dari gerbong lawan. Bahkan ada pula yang
mengarahkan juniornya untuk beroposisi dengan pengurus

629
Komisariat atau Cabang-nya. Tidak syak lagi, ini disebabkan
perseteruan antara gerbong yang terjadi dalam himpunan.
Keadaan begini jika tak mampu dikendalikan dengan baik
maka bukan malah membuat hidup organisasi, melainkan
keterpecahan-demi-keterpecahan. Karena iklim yang
dipertahankan penuh dengan persaingan.

Saling saing-menyaingi itu dilakukan dengan pelbagai cara,


bahkan dengan pengorbanan-demi-pengorbanan. Pengorbanan
yang paling sering dilakukan kadernya adalah ketika
dikorbankannya disiplin ilmunya demi fokus dalam pentas
perpolitikan. Hanya saja politik yang dipelajarinya sangat
konservatif: tidak pernah beringsut dari soal menguasai dan
mempertahankan kekuasaan yang terepresentasi melalui
jabatan-jabatan di struktural saja. Kader-kader yang tidak
sanggup atau jenuh mendapati cara-cara berpolitik seperti itu
jangan heran jika mereka mulai menjauh dari radius
organisasi. Mereka biasanya kecewa bukan hanya kepada
seniornya, tetapi juga berimbas pada HMI. Makanya tak
jarang di antaranya yang memilih nonaktif, bahkan pindah
organisasi. Tetapi untuk kader-kader yang merasa mampu dan
nyaman dengan memikul kepentingan gerbongnya. Maka
mereka akan semakin mengugu perintah-perintah seniornya.
Senior dan gerbong kemudian dimitoskan karena dianggap
memiliki kekuatan besar yang berpengaruh dalam kehidupan
berorganisasinya. Fenomena ini pantas disebut ‘mitosisasi
kaderisasi’. Dalam mitos ada yang dinamakan subtitusi;
seperti pertukaran yang terjadi pada komoditi.

Subtitusi dari sebuah mitos dahulu pernah berlangsung pada


zaman kuno: masyarakat primitif mengurbankan manusia

630
sebagai pengganti ujud atau peristiwa. Manusia yang
dipersembahkan dalam pemujaan kepada yang ilahi karena
dianggap merupakan orang pilihan: khas dan suci tanpa dosa.
Maka dirinya pantas untuk dibunuh dalam ritual kepada dewa
agung. Darah yang ditumpahkan di atas altar pemujaan
dipandang akan mendatangkan kebahagiaan hidup:
kedamaian, kesejahteraan, dan kebutuhan bergelimang.
Peristiwa ini membersitkan lahirnya nilai tukar: manusia jadi
komoditi yang dipertukarkan dengan pemberian kekuatan
mistis. Sedangkan subtitusi dalam kaderisasi nampak tatkala
seorang kader terjerambab dalam kesadaran palsu berupa:
utang budi kepada senior; atau keinginan meraih modal sosial,
simbolik, ekonomi, dan politik lewat gerbong. Ini persis
dengan apa yang ingin diraih masyarakat primitif ketika
mengurbankan manusia melalui altar pemujaan: kesadaran
palsu hingga ketidaksadaran mendorongnya untuk
memberikan penghormatan dan penghargaan kepada senior
dan gerbongnya dengan kemampuan kerja yang dimilikinya.

Itulah kenapa ada junior atau kader yang selalu saja menuruti
tiap-tiap kemauan senior dalam gerbongnya sewalaupun apa
yang diturutinya bertentangan dengan hati nurani atau
kehendak bebasnya. Dalam kondisi inilah terjadinya subtitusi:
waktu kerja kader-kader dikurbankan demi keuntungan yang
didapatkan oleh orang yang cerdik memanfaatkan kepatuhan
dan ketundukan mereka yang menjadi bagian dari
gerbongnya. Dengan begitulah seniorisme-gerbongisme
menjelma jadi kekuatan yang sakral, sedangkan kemampuan
kerja (abstrak) yang dipersembahkan kepadanya dianggap
sebagai sesuatu yang memang pantas dipersembahkan agar
mendapatkan balasan: pengetahuan, pengalaman, relasi,

631
koneksi, jaringan, uang, anggaran, pendanaan, jabatan,
pangkat, kebesaran, maupun kekuasaan apa saja.

Mitos yang berlangsung dalam proses kaderisasi bukan hanya


memberi tempat untuk bercokolnya nilai tukar, melainkan
juga menabukan senior dan gerbong. Tabu dalam mitos pada
hakekatnya adalah ketakutan terhadap yang ilahi. Ketakutan
itulah yang muncul dalam pikiran masyarakat primitif ketika
berhadapan dengan dewanya. Kini ketakutan itu hadir kembali
dalam kehidupan masyarakat modern. Itu terjadi pada kader-
kader tatkala berhadapan dengan seniorisme-gerbongsime tapi
dengan menampilkan relasi penghambaan. Dalam Dialectic of
Englightenment, Max Horkheimer dan Theodor Adorno
menyebut, ketidakmerdekaan yang terjadi dalam kehidupan
kontemporer adalah ekses ketidakrasionalan tatanan
masyarakat kapitalis:

Irasionalisme kapitalisme totaliter mempunyai cara


tersendiri dalam memuaskan kebutuhannya. Cara
memuaskan kebutuhan itu mempunyai pula bentuk-
bentuk obyektif yang dideterminasikan oleh
penindasan, yang membuat pemuasan kebutuhan itu
menjadi tidak mungkin, dan yang mengarah pada
pembinasaan manusia. Irasionalisme kapitalisme
totaliter itu mempunyai ‘prototip dalam seorang
pahlawan’ yang melepaskan diri dari pengorbanan
(dalam masyarakat kuno) dengan cara mengorbankan
dirinya sendiri. Sejarah peradaban adalah sejarah
terulangnya pengorbanan itu. Dengan kata lain: ‘sejarah
pengingkaran diri’.

Kini seniorisme-gerbongisme menjadi ideologi yang berusaha


mempertahankan tatanan kapitalisme dengan seabrek ilusi.

632
Itulah kenapa manusia sampai dibuat mengingkari dirinya
sendiri. Dia kehilangan kehormatannya karena penindasaan
kemanusiaan yang terjadi dalam irasionalisme kapitalisme
totaliter. Rayuan akan modal budaya, simbolik, sosial, dan
ekonomi telah membuat individu tidak berdaya
mempertahankan kehendak bebasnya. Soalnya seniorisme-
gerbongisme berhasil menjeratnya begitu rupa. Nasib mereka
mirip kelas pekerja. Marx katakan: ‘dinamika utama
masyarakat kapitalis terletak pada perkembangan modal.
Modal berkembang dengan cara melakukan eksploitasi pada
kelas pekerja.’ Kapitalisme memang tak hanya berlangsung
dalam ranah perburuhan tapi menyebar sampai dunia
pendidikan. Bahkan kini menyentuh wilayah perkaderan
himpunan. Ini sangat berbahaya karena jika terus dibiarkan
maka akan memerosotkan bukan lagi sebatas gerakan dan
kaderisasi, tapi organisasi itu sendiri. Karenanya, hegemoni
yang dilancarkannya mesti ditandingi. Gramsci
memberitahukan bahwa orang tidak bisa keluar dari
hegemoni, tapi dapat mereorganisasi dan merekonfigurasi
sesuai kepentingan kelas atau kelompok yang sebelumnya
dikuasai.

Hegemoni dalam negara yang dilancarkannya lewat aparatus


ideologisnya memiliki kelemahan. Titik lemahnya terdapat
pada jumlah kelompok dominan: mereka begitu sedikit
dibanding kelas yang dilemahkan. Makanya untuk
menghegemoni selalu dipergunakannya aliansi dan
kompromi-kompromi ideologis dengan kekuatan-kekuatan
lain (kelas menengah). Hal inilah yang terjadi ketika
pengurus-pengurus (senior) HMI berkompromi dengan
kapitalis-birokrat: alumni-alumninya yang berada dalam

633
pranata kenegaraan. Sementara bagi Gramsci, orang-orang
yang dihegemoninya memiliki bukan hanya kesadaran palsu
atau ketidaksadaran tapi kesadaran ganda: selain ide-idenya
dipengaruhi para borjuis juga terpengaruh oleh pengalaman
nyata, seperti: pengekangan, kesewenang-wenangan,
penindasan, kemiskinan, maupun perbudakan. Kala kenyataan
ini mampu dirasakan maka ada kemungkinan menaklukan
hegemoni. Perlawanan kecil-kecilan adalah bertahan,
terutama mencoba menanggalkan semua ‘konsep dunia’ dari
mereka yang menguasai. Lalu secara intensif menyadari dan
menyikapi segala kontradiksi ideologi yang berusaha mereka
cekoki. Hanya saja untuk memaksimalkan perjuangan
pembebasan dibutuhkan kehadiran kaum intelektual organik:
para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan
sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik tapi juga
memakai bahasa-bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan
perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan
oleh orang-orang yang tertindas di sekitarnya.

Ringkasnya intelektual organik adalah mereka yang mampu


merasakan emosi, semangat, dan apa yang dirasakan kaum
tertindas; memihak kepadanya, mengungkapkan apa yang
dialami dan kecenderungan-kecenderungan obyektif
masyarakat. Dengannya orang-orang yang teraniaya dapat
menggapai kesadaran kritis hingga transformatif yang dapat
menggerakannya melakukan perlawanan sampai dapat
merobohkan status quo yang menghambat. Sederhananya
peran intelektual organik bagi Gramsci: menerbitkan counter
hegemony, berjuang bersama massa yang tertindas. Tidak
seperti intelektual tradisional: secara terus-menerus
melakukan hal-hal yang sama dari generasi-ke-generasi—

634
menyebarkan ide dari untuk mempertahankan kekuasaan
hegemonik sekaligus menjadi mediator antara massa dengan
kelas penindas. Dalam HMI, tugasnya intelektual organik
boleh jadi; membangun persekutuan dengan kader-kader
tertindas, terutama anggota-anggota baru himpunan yang
biasanya rentan sebagai sasaran tindas. Anak-anak muda ini
harus diberi senjata agar bisa melindungi diri dari ancaman
kelompok dominan yang diperalat perangkat-perangkat
kenegaraan. Langkah awalnya bisa dengan membaca literatur-
literatur yang kekiri-kirian, mengabstraksi realitas supaya
dapat menggerakan, bahkan sampai mencoba memprovokasi,
hingga belajar menyatukan penderitaan, dan ujungnya adalah
menyembulkan perlawanan kecil-kecilan maupun besar-
besaran. Hanya lewat tindakan itulah generasi muda
himpunan memeluk avorisme seperti yang diucap Bernard
Shaw dengan penuh keyakinan:

Orang yang berhasil di dunia adalah orang yang bangkit


dan mencari lingkungan yang diinginkannya, dan jika
mereka tidak berhasil menemukannya, mereka
menciptakannya sendiri.

Kita tentunya tak ingin seniorisme dan gerbongisme terus-


menerus menjadi mitos dalam kaderisasi. Mitos tak pernah
menanamkan keberanian melainkan kengerian yang terus
menghantui. Dia membodohi manusia dengan ketakutan yang
disuntikan melalui jalur emosional yang tidak pernah
memberi ruang kepada pikiran-pikiran rasional. Thomas
Hobbes percaya bahwa kehidupan manusia ditentukan bukan
oleh akal budinya, tapi emosinya yang irasional. Makanya ia
begitu yakin bahwa manusia itu bisa diatur, dikendalikan dan
dikuasai asalkan terlebih dahulu dan tetap dibuat untuk

635
merasa takut hingga dirinya tidak stabil. Seniorisme dan
gerbongnisme tampil sebagai mitos yang telah berhasil
membuat banyak kader terteror, bergidik, hingga jadi bacul.
Ini adalah akibat ulah senior yang menjadikan gerbongnya
mirip kamp konsentrasi: kadernya diracuni dengan ide-ide
konyol. Senior menyuapi junior dengan apa saja yang berguna
agar anggota HMI jadi penurut, tidak berani membangkang,
hingga komformis, kompromis, dan agak sedikit tolol. Sebab
seniorisme-gerbongisme bukan saja merayu dengan kapital—
budaya, sosial, ekonomi, dan simbolik—tapi juga memvonis
masa depan: kalau tidak taat, tertib, tunduk dan patuh, maka
tidak ada yang bisa menjamin kesuksesan dalam berhimpun.
Melaluinya tak hanya kebenaran yang didakukan, tapi juga
kebaikan dikasih ukuran. Dalam tataran wacana, seniorisme-
gerbongnisme telah menancapkan dominasi simbolis kepada
kader yang dilancarkan melalui relasi pengetahuan dan
kekuasaan. Inilah yang membuat junior lemah di hadapan
senior-gerbongnya karena terus menyantap jamuan beragam
kepentingan.

Manusia pada kondisi itu seorang kader jadi mahluk yang


terpasung dan amat penakut. Bagi Nietzsche keberanian dan
kemerdekaannya hilang karena individu cenderung menerima
kebenaran moralitas tanpa syarat. Kebenaran itulah yang
berkembang ketika senior dan gerbong telah menjadi isme
yang agak sesat. Keduanya sama-sama menyuapi kader
dengan kesadaran palsu hingga ketidaksadaran. Dalam istilah
Nietzsche penyuapannya dilakukan menggunakan
‘interiorisasi individual’ penuh kehalusan. Prosesnya
dilakukan seperti penyuntikan obat yang dapat membius
kader: nilai-nilai yang dapat menjamin kelangsungan

636
moralitas—salah satu nilai yang paling menonjol ialah
‘ketaatan’. Pembentukan ‘kader taat’ diupayakan melalui
proses ideologisasi. Proses inilah yang membuat seorang
kader dibina langsung oleh seorang senior dalam tabung
internalisasi nilai: gerbong. Pembinaan dan pengembanganya
mengajarkan apa yang boleh dan tidak patut dilakukan
kadernya. Pokoknya apa yang baik, buruk, benar dan salah
ditata ulang. Dia yang telah berhasil melewati tempaan
kemudian dijadikan aparatus kekuasaan gerbong.

Dalam gerbong terdapat banyak sekali kader. Ada senior


adapula junior. Tetapi barisan senior-junior ini begitu
berhierarki. Dari tingkat terendah sampai tertinggi. Peringkat
mereka bukan semata diukur melalui usia, tapi terutama
modal budaya, sosial, simbolik, maupun ekonomi. Makanya
junior saja, senior kecil, senior menengah, hingga senior
tertinggi. Namun intinya: semua senior wajib dihargai,
dihormati, digugui, digurui, bahkan terus-menerus ditauladani
(pengaturan dan pengontrolan seperti inilah yang dibahas
dalam bagian: Tolaklah Doxa Kaderisasi: Konsumerisme dan
Mimesis). Itulah kenapa tiap apa yang mereka ajarkan oleh
mereka gampang sekali diaminkan. Sewalaupun praktik-
praktik politik yang dilakukan orang-orang dalam gerbong itu
dekaden, tapi karena dianggap bermoral maka—mau-tidak-
mau—akan dipandang berisi kebaikan dan mengandung
kebenaran. Dalam keadaan ini baik dan benar terlahir dari
konsensus seniorisme-gerbongisme. Nilai yang dihasilkannya
tak peduli bertentangan dengan hati nurani tiap-tiap individu.
Karena yang terpenting adalah tercapainya kepentingan
senior-senior dalam gerbong itu.

637
Dengan sikap yang konformis maka ini memberi kesempatan
kepemimpinan intelektual dan moral untuk mengukuhkan
hegemoninya. Kala itu wacana intelektualitas dan moralitas
menjadi persis yang diistilahkan Max Stirner dengan ‘momok
yang menakuti’: penampakan sosok hantu, abstraksi ideologis
yang meskipun demikian berdampak nyata secara politis—
wacana-wacana tersebut memberikan pembenaran terhadap
pihak penguasa terhadap penindasannya. Penindasan tersebut
seperti cara andalan yang dipakai negara dalam meluluhkan
kekuatan reolusioner masyarakat sipilnya. Kini metode
hegemoni yang demikian ikut digunakan seniorisme-
gerbongisme bukan saja dalam mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaannya pada HMI, tapi terutama
merupakan ajang melanggengkan tatanan kapitalisme yang
dikelola oleh negara. Sebab, mereka yang berusaha
membungkam kemampuan kritis, daya kreatif, dan
kemerdekaan kadernya menampakan bagaimana represi
perangkat lunak kekuasaan negara bekerja: menguasai dengan
ilusi ideologi dalam bentuk ajaran-ajaran rasional dan moral.
Lewat keadaan yang beginilah Stirner menyebut moralitas
serupa dengan ‘agama sekuler’ dan negara berubah jadi
‘gereja baru’. Sebab nilai moral seiras kepercayaan religius:
fatanatik, menuntut ketaatan melulu. Sedangkan ukuran-
ukuran rasional dijunjung di atas perspektif individu.
Akibatnya ego manusia disubordinasi di bawah kenyataan-
kenyataan semu. Deleuze bahkan membuka kedok dari
bentuk-bentuk dan struktur yang mengafirmasi keberadaan
dan pemahaman terhadap pranata-pranata kenegaraan.
Pandangan itu kemudian Saul Newman deksripsikan:

638
Deleuze percaya bahwa pemikiran terlibat dalam
dominasi negara, yakni menyediakan sebuah dasar
legitimasi dan persetujuan. “hanya pikiranlah yang
mampu menciptakan fiksi mengenai negara bahwa hal
tersebut universal dengan mengangkat negara ke
universalitas secara de jure” (Deleuze dan Guittari
1998: 375). Rasionalitas adalah sebuah contoh dari
pemikiran negara … Deleuze mengatakan bahwa
wacana rasional dan moral sebenarnya tidak lain
adalah bagian dari negara itu sendiri. Negara bukan
sekedar serangkaian institusi-institusi dan berbagai
penjabaran politis, melainkan juga terdiri dari sejumlah
besar norma-norma, teknologi-teknologi, wacana,
praktek, bentuk-bentuk pemikiran, dan struktur-ketata
bahasaan. Ini bukan sekedar bahwa narasi-narasi
menyediakan sebuah pembenaran atas (keberadaan)
negara—melainkan hal-hal tersebut adalah manifestasi
dari bentuk negara dalam pemahaman…. 426

Dalam HMI pembenaran dan pemahaman terhadap kekuasaan


negara disuntikan kepada kader melalui intensitas pendidikan
yang didapatkan dari seniorisme-gerbongisme. Lewat gerbong
maka senior mendidik kadernya supaya siap mengejar kursi-
kursi pranata kenegaraan. Itulah kenapa perkaderan menjadi
semacam tabung yang berusaha menyeragamkan pandangan
siapa saja tentang kekuasaan: kuasa hanya dianggap mampu
diperoleh ketika menjabat sebagai bagian birokrasi
pemerintahan. Apabila reduktifnya ajaran sosio-politis dalam
gerbong menjadi referensi seorang senior dalam mendidik
juniornya, maka—tidak-boleh-tidak—kader yang dididiknya
supaya dapat bekerja di bawah pelbagai kepentingan.

426
Saul Newman, (2009), Perang Melawan Negara; Anarkisme dalam
Pemikiran Deleuze dan Max Stirner, Makassar: Kontinum, Hlm. 19-21.

639
Pengajaran yang diberikannya tak membebaskan manusia
melainkan melatihnya menjadi hamba kekuasaan. Senior yang
seperti itu pasti tidak pernah bisa dibantah. Dia bahkan
cenderung bersikap totaliter: mengatur dan mengontrol
dengan penuh gairah. Jika juniornya loyal akan diberi
ganjaran hadiah. Tapi kalau sebaliknya: justru dilimpahkan
hukuman yang bikin susah, bawa sedih, dan mungkin pula
agak pedih.

Ganjaran hadiah dan limpahan hukuman membuat seorang


junior diperlakukan persis pegawai negara. Sepertinya inilah
mengapa dalam gerbong sosok senior begitu mirip majikan:
ingin terus-menerus memetik keuntungan dari kerja
budaknya. Jika kondisi kalian kayak begini ada baiknya
kemerdekaan harus direbut dengan penuh keberanian.
Ingatlah! Mendapatkan didikan dari senior memang wajar.
Hanya saja kalau senior membawa kepentingan terselubung
dari gerbongnya itulah yang membuat pengajarannya jadi
begitu vulgar. Tidakkah kalian berpikir: etiskah kalau
eksistensi sebagai ‘kader HMI’ dihakmiliki hingga menjadi
sebatas ‘kader gerbong’ atau ‘kader senior’? Kondisi ini
mengakibatkan pikiran, perasaan, dan kehendak
terkerangkeng. Di dalamnya kemandirian, kebebasan, dan
kemerdekaan menjadi berkurang, bahkan hampir kosong.
Sebab seniorisme-gerbongisme seperti penyihir: mandiri,
bebas, dan merdeka cuma ilusi yang ditampilkan menjadi
kenayataan. Kita ditindih oleh kepemimpinan intelektual dan
moral mereka, sehingga terpisah dari dunia nyata.
Kuceritakan kepada kalian bagaimana cerdiknya pihak
penguasa mengusung moralitas yang mencoba menjadikan
orang yang dikadernya sebagai budak belia:

640
Ini merupakan pengalamanku sewaktu aktif ber-HMI.
Sangat berharga untuk data pendukung tulisan
mengenai HMI. Namun bukan bermaksud
menggeneralisasi. Masa-masa awal memasuki rumah
HMI, aku bertemu dengan pelbagai orang yang dalam
organisasiku rata-rata dikenal sebagai senior. Dari
merekalah diajarkan banyak hal, terutama mengenai
pengetahuan dan pengalaman yang kaya akan nilai-nilai
moral bagaimana caranya menjadi kader yang baik dan
benar. Ternyata untuk menjadi kader yang ideal
menurut mereka ialah mesti mau banyak belajar.
Pembelajaran paling diutamakan melalui senior,
berkecimpung dalam sebuah gerbong besar. Melaluinya
kudiminumkan dengan ajaran moralis sedemikian rupa:
mulai dari buku yang bisa dan tidak boleh dibaca,
teknik retorika yang bagus walau agak munafik, soal
gaya berpakaian dan berpenampilan mirip pejabat,
pentingnya sopan-santun kepada yang senior,
keharusan perjuangan mewujudkan kepentingan
gerbong, tentang kegiatan-kegiatan yang baik dan
buruk untuk dikerjakan, hingga aturan-aturan moral
lainnya. Mungkin inilah yang membuatku dulu begitu
menuruti, menggugui, bahkan memuja senior-seniorku
yang berkuasa dalam gerbong yang nampak perkasa.
Walhasil, diriku seperti pembantu: bersedia mengantar
jemputnya ke mana-mana dan kapan saja,
menemaninya berjam-jam di warnet hanya sebagai
pesuruh, tinggal sekamar dengannya dalam kondisi
serupa pelayan, tidak berani mencela apa yang
diperintahkannya, hingga memenuhi keinginan-
keinginannya baik soal meraih dan mempertahankan
kekuasaan gerbong dalam organisasi maupun dalam
kehidupan pribadi seperti meminjamkannya motor
sewalaupun sedang dibutuhkan sendiri dan memberi

641
pinjaman uang yang sewalaupun lama—atau sama
sekali enggan—diganti.

Moralitas yang mereka tanamkan sempat memahatku


sebagai mahluk yang selalu mentaati pelbagai
permintaan, himbauan dan instruksi. Namun kurang
mampu membuka mulut buat bertanya apalagi
menyangsi. Itulah mengapa ketika leptopku dipinjam
lalu kemudian dihilangkan, kuserasa tak bertenaga
mengeluarkan kata: minta ganti rugi. Sebab hubungan
hierarki senior-junior yang dipintal dalam gerbong
begitu kuat merekati. Sampai suatu hari, ternyata yang
meminjamkan leptop lalu berujung hilang bukan aku
sendiri. Tapi juga ada dua kader lainnya. Inilah yang
membuatku terdorong angkat bicara kepada senior-
seniorku yang menjadi pengurus Cabang. Sayangnya
mereka-mereka ini tidak mau menyeret pelaku
penghilang barang. Sebab mereka bukan hanya junior
dari senior yang bersalah tadi, melainkan terutama
kader-kadernya dalam gerbong. Makanya kasus
tersebut kemudian seperti disembunyikan karena tidak
pernah diselidiki sampai terang. Ikatan senior-junior
yang terbangun melalui seniorisme-gerbongisme telah
menyihir nyali pengurus-pengurs itu jadi menciut.
Dalam keadaaan beginilah keadilan teraniaya oleh
moralitas yang kecut. Bahkan kepemimpinan
intelektual dan moral dari seorang senior menempatkan
orang yang dikadernya pada posisi rentan terkena virus
berbahaya: bisu, tuli, dan buta. Keadaan demikian
membuatku kecewa. Kekecewaan hadir lantaran
aktivitas perkaderan mudah sekali dipelintir oleh
segelintir kalangan dengan kuasanya.

Memang apa yang kualami kala berhadapan dengan senior


dan gerbong tak bisa diuniersalkan. Hanya saja aku yakin

642
seniorisme-gerbongsime di mana-mana menciptakan kondisi
serupa: individu-individu disubordinasi oleh seniornya dalam
sebuah gerbong yang berdiri pada tatanan yang dibangun
melalui hubungan-hubungan tidak seimbang karena wacana-
wacana dimonopoli oleh kepentingan-kepentingan pihak
dominan. Melaluinya kebebasan kader dikorban pada altar
kesadaran palsu hingga ketidaksadaran. Algojo pembunuhnya
adalah ilusi-ilusi ideologis yang dilancarkan lewat tindakan-
tindakan penghegemonian. Tindakan itulah yang tersalurkan
ke bentuk pemberian ajaran-ajaran moralitas. Ajarannya
membuat kita tidak bebas. Sebab seniorisme-gerbongisme
merupakan diskursus ideologis yang menghegemoni
kesadaran sasarannya dengan amat culas. Lewat
kemampuannya menginterplasi maka kesadaran seseorang
gampang dikendalikannya. Dalam kondisi inilah manusia
dibikin tidak merdeka. Kemerdekaan individu secara
terselubung ditekan oleh pelbagai kepentingan kelas yang
berkuasa. Padahal Immanuel Kant mengungkap: tanpa
kebebasan maka moralitas tidak dibutuhkan.

Kant mengajukan tiga postulat yang menjadi bangunan dari


moralitas sejati: (1) Otonomi pribadi: moralitas seseorang itu
adalah satu ‘pengatur diri yang rasional’; (2) Rasa
hormat/penghargaan: manusia harus selalu diperlakukan
sebagai tujuan, bukan alat yang rasional, manusia harus
diperlakukan sebagai tujuan bukan alat. ‘Tidak boleh ada
orang yang digunakan’; dan (3) Kewajiban: tindakan moral
adalah tindakan yang harus kita lakukan berdasar prinsip

643
moral tertentu, bukan berdasarkan tujuan atau hasilnya. 427
Tetapi kemudian dia membagi moralitas ke dalam dua varian:
imperatif-hipotetis—tindakan yang dilakukan demi
mengejarkan tujuan atau hasil; dan imperatif-kategoris—
tindakan tanpa syarat karena dorongannya memang ada dalam
diri manusia: kemanusiaan. Moralitas pertama persis ajaran
yang tertanan oleh senior-senior dalam sebuah gerbong:
bekerja demi memperjuangkan pelbagai kepentingan pihak
dominan. Sedangkan selanjutnya, itulah moralitas yang
berangkat dari ‘niat baik’ dalam diri manusia. Kant
mengatakan: ‘sebuah perintah kategoris menjadi sesuatu yang
mewakili sebuah tindakan yang amat penting untuk dirinya,
tanpa dorongan akan tujuan yang lain.’

Hanya saja kehendak itu diperoleh melalui penalaran-


penalaran rasional. Hasil kerja akal ini juga harus
menempatkan memanusiakan manusia, bukan
memperlakukan orang layaknya benda yang bisa ditukar dan
punya nilai jual. Dalam pemikiran yang beginilah maka ‘niat
baik’ hadir tanpa dilandasi oleh motif-motif tertentu karena
sudah menjadi kewajiban. Kewajiban itulah yang disebut Kant
sebagai ‘prinsip moral’: prinsip yang bersifat universal dan
tidak menjadikan manusia sebagai alat tapi tujuan. Melalui
pemikirannya maka dapat ia menjelaskan tentang siapa
manusia yang bermoral: ‘orang yang menguasai kehendaknya
dengan hanya mengikuti hukum moral dalam dirinya.’
Petuahnya harus disimak dengan seksama. Dia mencoba
meyakinkan kita: moral seorang kader bukanlah dicari pada

427
Buka ceramah Fahruddin Fa’iz di https://youtu.be/zAc_YfZZF9k-ngaji-
filsafat-immanuel-kant-deontologi-filsafat-moral/

644
senior, gerbong, maupun negara. Melainkan mesti diciptakan
sendiri oleh pribadi otonom yang gandrung akan kebajikan
ketimbang sebatas mengejar kesenangan dan kebahagiaan
semu yang ditawarkan seniorisme-gerbongisme lewat kapital
sosial, ekonomi, simbolik, maupun budayanya. Resapilah!
Immanuel Kant berkata:

Dua hal yang membangkitkan ketakjuban saya: langit


bertaburkan bintang di atas dan hukum moral di dalam
diri saya…. Moralitas bukanlah doktrin yang tepat
tentang bagaimana kita dapat membuat diri kita
bahagia, tetapi bagaimana kita dapat menjadikan diri
kita untuk layak akan kebahagiaan…. Bertindaklah
seakan dasar-dasar tindakanmu akan menjadi hukum
untuk seluruh dunia….428

Lagi-lagi moralitas universal hanya dapat terbit kala manusia


hidup dengan kebebasan berpikir, merasa, dan berkehendak.
Itulah pesan yang perlu dipetik dari kata-kata Kant yang
begitu bijak. Intinya manusia bukan alatnya moral melainkan
tujuanya. Karena nilai moral tak diukur melalui hasilnya tapi
niatnya. Namun dalam gerbong kader-kader saling
memandang manusia sebagai benda. Makanya anak-anak
muda yang sudah terbelenggu dalam seniorisme-gerbongisme
seperti tak tampak sebagai kader HMI. Melainkan menampak
jadi kader senior maupun gerbong yang senantiasa menguasai.
Nilai moralnya dipatok berdasarkan kepentingan-kepentingan
sektariannya. Melaluinya moralitas dikibarkan dengan amat
pamrih terhadap apa saja yang berguna untuk berkuasa.
Mendapati kondisi ini kita mesti rindu pada sosok-sosok

428
https://jagokata.com/kata-kata-bijak/dari-immanuel_kant.html

645
kader yang otonom: berkepribadian utuh sebagai manusia
merdeka. Dia mampu mewarnai hidupnya dengan khitah
perjuangan, bukan daftar belanja kelompok penguasa.

Semangat dan keyakinannya mendorongnya untuk selalu


berorientasi pada kebenaran melalui jalan pengetahuan,
kebaikan, dan keindahan. Dirinya tidak mudah menggadaikan
kodrat kemanusiaannya kepada otoritas senior dalam gerbong
maupun pandangan-pandangan sempit dari pranata-pranata
kenegaraan. Karenanya, ia tak boleh menyerah pada
lingkungan, pasrah terhadap kenyataan, apalagi berbaris bagai
bebek yang berjalan bergerombolan. Tetapi bertindak seperti
rajawali yang terbang lepas di angkasa. Dengan melakukan
pembangkangan maka kader-kader tidak cuma menempuh
langkah pembebasan. Namun terutama berusa menyabotase
hegemoni kekuasaan yang sudah mapan. Perlawanan itu
adalah sebentuk proposal perubahan yang diciptakan untuk
meretas stabilitas penjara. Resistensi yang tercipta dapat
dilukiskan melalui puisi Muhammad Iqbal, yang berjudul
Budak dan Orang Merdeka:

Akan kusampaikan padamu kisah indah bagai permata


Agar dapat kau bedakan antara budak dengan orang merdeka
Budak punya kebiasaan mengulang-ulang
Orang merdeka selalu sibuk mencipta
Tali biolanya bergetar selalu menyanyikan lagu baru
Kebiasaannya menghindari pengulangan-pengulangan
Jalanya tak berputar seperti jarum jam
bagi budak waktu adalah belenggu
bibirnya tak henti-henti menyesali nasib buruknya

646
Keberanian orang merdeka jadi bahan pertimbangan takdir
ia adalah tangan yang menciptakan peristiwa-peristiwa

647
Tolaklah Doxa Kaderisasi:
Konsumerisme Dan Mimesis

“Para pahlawan baru budaya konsumen tidak mengadopsi


sebuah gaya hidup secara tidak sengaja melalui tradisi atau
kebiasaan, melainkan menjadikan gaya hidup sebuah proyek
kehidupan dan menampilkan individualitas dan selera gaya
mereka melalui kekhasan pemakaian barang-barang.” (Mike
Featherstone)

“Akibat dari meniru buta tindakan tak bermanfaat, manusia


kerap menukar harkat dengan roti sekerat.” (Jalaluddin Rumi,
Matsnawi)

“Di dalam satu ruangan dengan orang-orang yang bersepakat


melakukan persekongkolan diam, satu kata saja yang
menyuarakan kebenaran akan terdengar seperti satu tembakan
pistol.” (Cleslaw Milosz)

Tahun 1950-1963 dalam pilar perjuangan himpunan yang


dikenal dengan fase ‘pembinaan HMI sebagai organisasi
kader dan alat perjuangan bangsa’. Ini terjadi berhubung sejak
tiga tahun sebelumnya pengurus dan anggotanya begitu
banyak yang terlibat dalam suasana perang kemerdekaan: ikut
terjun pada gelanggang medan pertempuran semata untuk
menegakan ajaran Islam dan mempertahankan kemerdekaan
serta mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Maka
konsekuensi yang kelak mesti ditanggung organisasi adalah:
para pengurus banyak yang berpisah untuk melaksanakan
tugas perjuangan di pelbagai front; mereka tidak dapat
mengadakan rapat, apalagi fokus pada konsolidasi organisasi

648
bahkan sampai ada beberapa Cabang yang mati dengan
anggotanya yang tidak terurus dengan rapi. Itu sebabnya
banyak kritik kemudian menyerang himpunan, bahkan sampai
ada yang mengatakan supaya HMI bubar saja. Makanya
himpunan kemudian dihadapkan pada sebuah tantangan: jalan
terus atau membubarkan diri.

Memang awal tahun 1950 ialah masa tergelap dan paling


suram dalam perjalanan organisasi. Inilah mendorong Lafran
Pane mengambil langkah cekatan: kepemimpinan PB HMI
yang semula berada di tangan MS Mintaredja, diambilalihnya
demi menyelamatkan kehidupan organisasi. Diambilnya
posisi Ketua Umum HMI bukan soal berambisi dan demi
popularitas, tapi karena tanggung jawabnya terhadap
himpunan. Di samping pemrakarsa sekaligus pendiri HMI itu
ada nama lain yang diajak memperrahankan eksistensi
oeganisasi, dia adalah A. Dahlan Ranuwiharja sebagai Sekjen-
nya. Mereka sama-sama menjadi pengurus transisi. Ini
merupakan usaha penyelamatan HMI. Melalui kesabaran,
ketekunan dan keuletan keduanya tidak kenal lelah apalagi
menyerah. Lafran dan Dahlan, menghimpun dan membangun
kembali sisa-sisa kekuatan yang masih ada guna
mengkonsolidasi kembali organisasi. Untuk melancarkan misi
tersebut, maka kedudukan PB HMI—pada bulan Juli 1951—
dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta; mengikuti
perpindahan Ibu Kota Negara Indonesia.

Lafran dan Dahlan begitu sungguh-sungguh dalam melakukan


penyelamatan HMI dari ancaman kematian. Perpindahan PB
HMI mengikuti kedudukan Ibu Kota Negara Indonesia
merupakan langkah yang arif dan bijaksana. Tindakan cerdas

649
keduanya mampu merubah dan membawa kepada iklim baru
bagi perkembangan organisasi. Lembaga mahasiswa ini
kemudian sedikit-demi-sedikit keluar dari keterpurukan.
Himpunan beringsut cepat menuju arah kemajuan. Itu nampak
jelas ketika mereka melakukan pembentukan basis-basis
organisasi; mulai dari Komisariat, Cabang, Badko, sampai
lembaga-lembaga otonom. Aktivitas organisasi kembali
dipenuhi warna dan dinamika. Di mana ada fakultas atau
universitas, maka di situ berdiri struktur kepemimpinan
organisasi.

Itulah yang mendorong para pengurus membuat dan


menetapkan atribut HMI, seperti emblem, muts, bendera dan
stempel HMI yang seragam. Semua ini dilakukan demi
meneguhkan identitas mahasiswa sebagai kader himpunan.
Maka diciptakan pulalah lambang HMI oleh anggota HMI
Cabang Bandung, Ahmad Sadali. Lalu kemudian dibuatkan
juga Hymne HMI oleh RM Akbar, anggota HMI Cabang
Medan. Organisasi yang sebelumnya menjadi pesakitan di
atas kursi roda akhirnya sembuh dan sehat kembali. Dorongan
kesehatan membuatnya penuh vitalitas. Gubahan
kehidupannya secara tegas dituangkannya bukan hanya pada
tampilan luarnya saja, tapi terutama ialah melalui daya kejut
dari dalam, yakni; dirumuskannya tafsir asas HMI,
kepribadian HMI yang terdiri dari 6 butir, diadakannya 8 kali
perubahan AD/ART HMI, dan ditetapkan metode training-
nya pada tahun 1962 yang selanjutnya disempurnakan lagi
pada tahun 1963 (hingga diperbaharui kembali di tahun 2004,

650
dan lagi-lagi disempurnakan 2015—masih tetap dipakai
sampai sekarang). 429

Tujuan utama dari konsolidasi, pembinaan dan pembuatan


metode perkaderan semata agar HMI tampil dengan
meyakinkan dalam segala gerak dan aktivitasnya di tengah-
tengah kehidupan sosial-kemasyarakatan. Itulah menagapa dia
berfungsi sebagai organisasi yang menampung anak-anak
muda Islam dan berperan menjadi alat perjuangan mereka
untuk kurun waktu yang tidak terbatas. Keberadaan himpunan
membawa perkembangan jiwa anggota-anggotanya. Mereka
tidak hanya dikembangkan dalam kaderisasi, melainkan juga
melalui suasana gerakan. Tiap-tiap anggota dibina bukan
untuk bekerja sendiri, tetapi pula mampu melakukan kerja
bersama. Sehingga definisi kader bagi organisasi ini lumayan
canggih: sekelompok orang yang terorganisir secara terus-
menerus dan suatu saat akan menjadi tulang punggung bagi
kelompok yang lebih besar. Kader organisai ini memiliki
empat ciri: pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk
dalam organisasi, mengenal aturan-aturan permainan
organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera
pribadi; kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang
terus-menerus (permanen), tidak mengenal semangat
musiman tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam
memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran; ketiga,
seorang kader memiliki bobot atau kualitas sebagai tulang
punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan
komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan

429
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 40-44.

651
kaderisasi adalah pada aspek kualitas; keempat, seorang kader
memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon
dinamika sosial lingkungannya mampu melakukan ‘social
engineering’.430

Perkaderan dinisbatkan sebagai usaha organisasi yang


dilakukan secara sadar dan sistematis selaras dengan pedoman
perkaderan HMI, yakni landasan yang menjadi pijakan ‘dasar
organisasi’—nilai-nilai yang meliputi: teologis, ideologis,
sosio-historis dan konstitusi. Keempat nilai ini diikhtiarkan
menjadi spirit yang harus dijiwai oleh kader himpunan secara
kolektif maupun individual. Itulah sebabnya prinsip
perkaderan tak ubahnya asas atau sebuah kebenaran hasil
konsesnsus organisasi yang harus dipedomani kadernya dalam
berpikir, bertindak dan berprilaku. Prinsip-prinsip itu meliputi
ajaran yang mengandung nilai: integratif, keseimbangan,
persamaan, kasih sayang, keteladanan, dan ketaatan. Nilai-
nilai inilah yang diharapkan akan membentuk kepribadian
kader ‘muslim inteligensia’, dengan kemampuan: pertama,
memiliki kemampuan membumikan ajaran Islam dalam
amaliyah sehari-hari, dan berprilaku; kedua, memiliki
kemampuan mentranformasikan dan mengimplementasikan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya dalam lingkup kehidupan
di mana ia berpijak; ketiga, memiliki kemampuan leadership
dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka
bumi. 431

430
Lihat Pedoman Perkaderan 2015 (PDF), Jakarta: Penerbit BPL PB HMI.
431
Lihat Hasil Kongres HMI di Ambon, (14-27 Februari 2018), Hasil-Hasil
Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam Meneguhkan Kebangsaan
Wujudkan Indonesia Berkeadilan, Jakarta: Penerbit PB HMI, Hlm. 363-
379.

652
Kendati landasan pedoman perkaderan begitu komprehensif
dengan beragam kandungan nilai pencerahannya. Tetapi hari-
hari ini kader himpunan seperti tercerabut dari apa telah
digariskan dalam kitab perkaderannya. Lihat saja pada setiap
kampus pasti ada anggota yang hanya tergila-gila dengan
dunia akademisi, menghabiskan waktu untuk duduk di bangku
kuliah karena iming-iming di akhir semester mendapat nilai
A. makanya mereka sampai tega mengorbankan rasa peka dan
kepedulian sosial terhadap persoalan keumatan dan
kebangsaan. Di samping itu dapat pula dijumpai kader yang
sebelumnya telah diperjuangkan lewat presidium hingga
diusahakan mati-matian untuk menduduki jabatan di internal
kampus, tetapi setelah menjabat dia tidak mau lagi aktif untuk
berhimpun. Alasannya begitu sepele: sulit membagi waktu.

Dengan begitu himpunan seolah dibuatnya tak lebih dari batu


loncatan untuk memperoleh jabatan. Inilah mengapa
organisasi dipandang sebagai sumber kekuatan dalam
mendukungnya memperebutkan kekuasaan. Keyakinan ini
biasanya didapatkan ketika mahasiswa melihat sepak terjang
HMI dalam memenangkan kadernya menjadi Ketua BEM,
DPM, UKM, atau sekedar menempatkan anggota-anggotanya
ke dalam organisasi internal kampus tersebut. Inilah yang
menarik hadirnya peserta LK I yang memiliki niatan
pragmatis dalam menjadi kader himpunan. Dia mengikuti
training agar beroleh dukungan kader-kader himpunan,
terutama para pengurusnya. Memang ada kader militan yang
siap berdedikasi dengan sepenuh pikiran dan perasaan
terhadap organisasi. Namun dia biasanya lebih condong hanya
ke demonstrasi-demonstrasi, baik dalam keadaan benar
ataupun salah. Itu sebabnya mereka mudah sekali digiring

653
untuk kepentingan oknum-oknum dalam himpunan. Dorongan
untuk melakukan aksi terjatuh pada demo-demo bayaran yang
keuntungannya didapatkan senior, sedangkan dirinya kadang
kala tak mendapatkan apa-apa. Kader-kader malang ini tak
jarang menumbalkan aktivitas kuliahnya demi melancarkan
kritik sekaligus memuluskan terisinya kantong mafia
kaderisasi.

Pembentukan dan pengembangan kader sebenarnya telah


dimulai sejak mahasiswa Islam lulus dari LK I sampai dengan
habis masa keanggotaannya kelak. Demi membentuk
profesionalitas bahkan HMI menyediakan mereka Lembaga
Pengembangan Profesi (LPP), yang meliputi: LEMI
(ekonomi); LDMI (da’wah); LAPMI (pers); Lapenmi
(pendidikan); LPMI (pertanian); LTMI (teknologi); LKBHMI
(hukum); LSMI (seni-budaya); LAMI (astronomi); LKMI
(kesehatan). Beberapa di antara lembaga-lembaga ini sudah
ditanam di masing-masing Cabang. Tetapi—sekarang—
apabila ada Cabang yang baru mulai mendirikan LPP,
sayangnya seorang Direktur bisa dipilih dan diangkat
berdasarkan andil pemenangan Ketua Umum pada Konfercab.
Orang yang mengemban jabatan karena lewat cara inilah yang
kelak tak jarang kebingunagan dalam menjalankan
lembaganya. Karena dia mengemban amanah bukan
didasarkan atas kemampuan, melainkan balas jasa politik.
Maka dipimpinnya lembaga kekaryaan oleh kader yang
seperti itu mengakibatkan kemunduran organisasi. Pada
kondisi yang beginilah lembaga tak mampu mengembangkan
disiplin keilmuan dan profesi kader. Itu sebabnya lembaga
dibentuk bukan lagi memfokuskan diri untuk mencipta dan

654
berkarya, tapi hanya sebagai bentuk barter kepentingan
seorang Ketum Cabang.

Untuk melaksanakan pembinaan dan pengembangan


anggotanya tidak saja melalui lembaga karena HMI masih
punya badan lainnya. Dus, walaupun lembaganya stagnan tapi
Badan Khusus seperti Korps HMI-Wati (Kohati) masih bisa
memberi kehidupan terhadap kaderisasi. Dari Kohati ingin
dicetak kader-kader muslimah yang memiliki kualitas insan
cita. Badan ini menyemai kesadaran akan pentingnya
keterlibatan wanita dalam kerja-kerja membangun peradaban.
Mungkin inilah sebabnya seorang HMI-Wati sering diberikan
materi yang agak menyentakan hati HMI-Wan: kiat-kiat
menjadi istri solehah. Kaum hawa tidak hanya memberi
pengetahuan cara berkeluarga dan melayani suaminya kelak,
namun kadang ada Kohati yang menyelenggarakan pameran
busana yang menampilkan kemolekan dan kecantikan seorang
wanita dengan pakaian-pakaian yang islami. Di sini yang
dinilai tak hanya kain dan aksesoris yang digunakan,
melainkan juga kecerdasan yang dimiliki ketika menjawab
pertanyaan dewan juri dan kemampuan melancarkan aksi
panggung yang memukau penonton. Tidak pernah Kohati
yang menyelenggarakan pendidikan politis yang terbuka
untuk masyarakat umum, terutama buruh-buruh perempuan.
Jarang pula Kohati melaksanakan latihan kerja-kerja gerakan
untuk mengorganisir atau membangun aliansi perlawanan
dengan elemen-elemen gerakan wanita dari organisasi
lainnya. Itulah kenapa badan yang identik dengan bunya
melati ini hanya mampu mengharumkan tamannya sendiri.
Aroma kesegaran dan keindahan warnanya tak dapat
dinikmati umum.

655
Meski tak mampu mengalunkan keindahannya pada rakyat-
wanita. Badan yang mengambil simbol bunga melati itu tetap
jadi sarang absah untuk membina para HMI-Wati. Pelatihan
dan pendidikan yang diberikannya persis dengan Badan
Pengelola Latihan (BPL). Badan yang satu ini jadi tempat
bernaungnya para master. Tetapi master di sini tak sekedar
dilatih dan dididik, tapi mereka juga melatih dan mendidik.
Orang-orang ini sengaja ditampung untuk mengelola training-
training organisasi. Merekalah guru dalam setiap forum-
forum perkaderan. Penampilannya selalu rapi hampir tak ada
yang kelihatan memakai celana atau baju yang agak robek,
apalagi tampil acak-acakan. Di tubuhnya melekat lengkap
atribut-atribut organisasi. Maka tampilannya begitu sempurna
tanpa cacat sedikit pun. Dari pikirannya bersemayam gagasan-
gagasan luar biasa. Sementara dalam perasaannya penuh
dengan kasih sayang, kelembutan, kehangatan, bahkan cinta.
Pada mulutnya tersembul kata-kata pembuat kagum siapa saja
yang mendengarnya. Itu sebabnya master mampu meluluhkan
peserta LK, terutama hati dari golongan kaum hawa.
Sedangkan untuk kelompok Adam juga terkadang mampu
digerakkan olehnya melalui secarik motivasi dan inspirasi.
Mungkin itulah yang membuat BPL tampil sebagai badan
yang unik lagi menarik bagi kader-kader HMI-Wati dan HMI-
Wan.

BPL selalu bersinar di jenjang training mana pun ia berada.


Kilauan cahayanya mampu menarik perhatian siapa saja.
Namun kedahsyatan teriknya membuat kita tak mampu
melihat dengan jelas apa yang sebenarnya sedang terjadi
dalam tubuh badan ini. Apakah para masternya hanya mampu
jadi tukang ceramah dan pidato saja biar dianggap keren di

656
mata peserta atau kader? Ataukah pengelola latihan
menjadikan forum sebagai ajang buat manggung persis
personil band yang mengharapkan munculnya banyak
penggemar? Kenapa dia tidak mampu melahirkan kader-kader
yang tak melulu loyal pada seniornya, tapi militan pada
organisasi? Apa yang membuat master gagal menghasilkan
kader-kader yang bukan penurut dan pengekor, tetapi
pemberani dan mandiri? Mengapa pengelola latihan tak
mampu menanamkan ajaran-ajaran perlawanan kepada
peserta-peserta training? Tidakkah kamu merasa kesal melihat
semakin banyaknya orang-orang yang kau kader dulu
sekarang telah banyak yang terjerambab dalam kubangan
kapitalisme hingga dirinya berlaku oportunis dan pragmatis?
Mungkinkah Anda tak pernah berpikiran untuk membentuk
kader-kader yang progresif revolusioner, yakni mereka yang
memberontak terhadap tatanan yang zalim ini?

Dalam menunjukkan perannya di tubuh himpunan, BPL persis


seperti Kohati: lebih banyak mengambil saluran Latihan
Kader (LK). Kedua badan ini sepertinya amat terselamatkan
oleh pelbagai training-training formal, informal, dan
nonformal yang ada di HMI. Itulah mengapa keduanya tidak
sedilematis keberadaaan Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang). Badan yang satu ini nyaris tidak suka manggung
pada kegiatan-kegiatan besar organisasi. Dirinya mungkin
tidak punya waktu akan hal itu karena sibuk meneliti dan
mengembangkan sesuatu di laboratoriumnya. Tetapi entah apa
sebenarnya yang diteliti dan dikembangkannya selama ini.
Karena penelitian dan pengembangkan yang dilakukannya tak
mampu melahirkan temuan baru bagi kelangsungan dan
kesehatan himpunan. Hitung saja sudah berapa kader yang

657
melanggar konstitusi? Tidakkah Balitbang mau mencarikan
obat untuk Formateur/Ketum dan Mide Formateur yang
mamasukan pengurusnya secara inkonstitusinal; baik belum
LK II atau LK III, ataupun yang tidak pernah mengabdi jadi
pengurus Komisariat atau Cabang? Balitbang mesti mengerti
bahwa pengangkatan pengurus bukan saja melewati
kualifikasi yang tercatat dalam konstitusi, melainkan
terpenting adalah rekomendasi senior atau balas jasa
pemenangan seorang Ketum. Fenomena itulah yang hari-hari
ini marak terjadi dalam setiap struktur kepengurusan HMI.

Dulu ancaman terhadap kehidupan HMI datangnya dari


eksternal organisasi. Sekarang aroma kematian seperti itu
telah berkecambah dalam aktivitas kaderisasinya. Inilah yang
menyebabkan suasana berhimpun merosot. Pengurus-
pengurus sudah banyak yang setengah hati mengurus anggota.
Orang-orang itu lebih menggiatkan diri pada apa yang
diperintahkan senior ketimbang menjalankan proker-proker
bidangnya. Lihat saja ada pengurus Cabang atau Komisariat
yang lebih nyaman melaksanakan kegiatan dengan Badko
daripada struktur kepengurusannya sendiri. Mereka biasanya
jadi panitia atau sekedar membantu menyukseskan seminar,
kuliah umum, atau dialog publik yang digelar seniornya
melalui kerja sama dengan pejabat-pejabat di instansi
pemerintahan. Keterlibatannya dalam kegiatan semacam itu
bukan hanya membawa raganya seorang, melainkan juga
banyak tubuh dan kemampuan kerja dari kader yang menjadi
juniornya. Kejadian yang seperti ini juga tak hanya menimpah
pengurus di bidang-bidang tertentu saja, karena tak jarang
seorang Ketum pun menjadi sasaran utamanya. Itu sebabnya
Komisariat atau Cabang nekad menggiring kader-kadernya

658
untuk menjadi peserta pada acara-acara yang dilaksanakan
senior atau alumni HMI berpengaruh. Di sini yang sebuah
kepengurusan dapatkan bukan hanya jaringan yang terawat
atau koneksi yang semakin besar, tetapi juga modal untuk
mengisi kas organisasi.

HMI memang adalah benda mati, makanya sering menjadi


instrumen yang dipergunakan untuk memenuhi hasrat
individu-individu di dalamnya. Itulah kenapa kepentingan
segelintir orang sewaktu-waktu dapat disamarkan dalam
bentuk silaturahmi. Inilah yang terjadi pada saat pengurus-
pemgurus himpunan menemui seniornya yang sedang
menjabat di birokrasi. Mereka mendalihkan pertemuan
dengan pejabat bukan karena ada maksud tertentu tapi
mempererat tali persaudaraan dengan alumni. Makanya
anggota kemudian menampik pelbagai kecurigaan dari tindak-
tanduk para pengurusnya. Kedekatan dengan alumni yang
pejabat kini dipandang bebas nilai, karena kader-kader
menanggalkan daya kritisnya. Keadaan yang seperti ini
sungguh tidak baik bagi kelangsungan kaderisasi dan gerakan
organisasi. Ini dapat menyulap himpunan jadi lumbung sapi
tempat pelacuran intelektual, yang ketika sudah memasuki
masa panen maka akan dimanfaatkan seenak perut oleh orang-
orang tak bertanggung jawab. Idealisme sebagai kemewahan
terakhir yang hanya dimiliki oleh seorang pemuda—seperti
yang dicetuskan Tan Malaka—akan sukar ditemui pada diri
kader hijau-hitam. Kondisi ini membuat himpunan rentan
dengan penyakit hingga para penggerak organisasi tak punya
daya melawan kebusukan lingkungan di sekitarnya.

659
Organisasi kepemudaan yang telah bermesraan dengan
kepentingan penguasa sulit menjadi pelopor perubahan
mendasar. Karena dia tak mengambil posisi berhada-hadapan
dengan kekuasaan, melainkan mendukung dan
mempertahankannya. Kondisi ini membuat kaderisasi dan
gerakan berubah wajah jadi batu loncatan untuk meniti karir
politik semata. Dinamika berorganisasi kemudian bukan
hanya sebatas pada perebutan jabatan di struktural HMI,
melainkan juga di pranata-pranata kenegaraan. Itu sebabnya
seorang senior dalam sebuah pesta demokrasi dapat
melibatkan kader-junior untuk mendukungnya dengan cara
berkampanye—secara sembunyi-sembunyi bahkan terang-
terangan—dalam memperebutkan kursi-kursi di eksekutif
maupun legislatif. Keadaan yang demikian telah membuat
kader menanggalkan independensinya. Independensi luluh di
bawah ketiak koneksi dan sepercik harapan akan curahan
balasan dari senior setelah menang nantinya. Itu sebabnya
kader HMI tak segan-segan berpolitik praktis. Lihat saja
ketika struktur kepengurusan HMI berani mengeluarkan surat
rekomendasi agar seorang kader atau mantan anggotanya
dapat dipertimbangkan untuk diterima bekerja dalam pranata
kenegaraan. Tindakan ini membersitkan fenomena politisasi
himpunan demi mengecap bau kebun mawar kekuasaan..

Melalui keberlimpahan anggota dan keluasan jaringannya


HMI membantu para penggeraknya untuk mendempeti
pejabat atau juga melicinkan jalan menjadi pemangku
kepentingan publik. Dengan modal itu kemudian banyak di
antara kader-kader bercita-cita masuk tubuh birokrasi
pemerintahan. Impian ini sesungguhnya tidak hadir dalam
ruang hampa, melainkan dalam melalui dominasi simbolis

660
dalam sistem kaderisasi. Itulah yang biasanya mengalir
melalui wacana, pandangan dan pemikiran yang berorientasi
kekuasaan dalam birokrasi. Dalam masa Orba saja, himpunan
telah berhasil menyalurkan 200 aktivisnya ke dalam jabatan
anggota dan pimpinan DPR. Hingga dewasa ini entah sudah
berapa ratus atau ribu orang-orang yang pernah bergelut
dalam HMI menapak karir birokratif. Tetapi semakin banyak
mantan-mantan anggotanya yang terjun berpolitik,
perkembangan kaderisasi bukannya progresif tapi tak berdaya
bahkan agak sedikit regresi. Ini terjadi karena kader-kader
terlalu menghabiskan tenaga untuk mengejar kuasa. Makanya
buyar dalam disiplin kaderisasi dan gerakan. Hal demikian
dijelaskan oleh Sidratahta Mukhtar dengan sangat lugas dalam
bagian kesimpulan di karyanya HMI dan Kekuasaan:

HMI dikenal sebagai organisasi yang berorientasi


kekuasaan. Orientasi ini telah meningkatkan partisipasi
politik HMI dalam dunia birokrasi dan DPR di
Indonesia. Namun orientasi kekuasaan itu telah
menyebabkan HMI dewasa ini mengalami degradasi
baik sistem perkaderan maupun wacana dan tradisi
pemikiran-pemikirannya. HMI kurang lagi memiliki
pengaruh yang kuat dalam wacana kebangsaan,
keumatan dan terutama dinamika kemahasiswaan. 432

Lingkungan itu mendukung kader HMI untuk menjadi pejabat


atau politisi. Kaderisasi kemudian digeluti dengan amat
monoton: selalu saja untuk mempersiapkan seseorang untuk
berkuasa. Kondisi ini linear dengan gerakan organisasi yang
kehilangan imajinasi: tak pernah mampu merangsek keluar

432
Sidratahta Mukhtar, (2006), HMI dan Kekuasaan, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, Hlm. 127-128.

661
dari urusan dari arus kekuasaan. Lihat saja ketika rekrutmen
anggota digelar maka pamflet-pamflet yang berisi gambar-
gambar alumni HMI yang telah masuk dalam tubuh birokrasi
dijadikan pemancing minat mahasiswa umum bergabung ke
dalam himpunan. Calon-calon kader bukan dicari melalui
kerja-kerja gerilya yang penuh tantangan dan militansi,
melainkan memanfaatkan citra alumni-alumni yang sudah
tenar, kaya, dan berbantal kuasa. Seolah tidak ada hal lain
yang dapat dilakukan dalam merebut perhatian mahasiswa
terhadap HMI. Karena untuk mengrekrutmen saja kita
sepertinya telah kehilangan imijinasi. Sehingga yang
dijadikan alat memancing mahasiswa sekedar prestise semata,
bukan malah kemampuan, keunggulan dan keunikan
kaderisasi dan gerakan organisasi.

Direkrutnya mahasiswa melalui iming-iming ketenaran,


jabatan dan hidup bergelimangan membersitkan telah
hilangnya daya kreatif dalam berorganisasi. Organisasi
ditawarkan bukan hingar-bingar semangat yang mendobrak
kebuntuan, melainkan balutan kabut kelimpahan. Maka dalam
benak calon-calon kader pasti yang terlintas adalah HMI itu
mampu menjamin masa depan, terutama dapat membentuknya
menjadi orang besar yang ditokohkan. Inilah yang kelak bakal
membuat ber-HMI menjadi kurang menantang. Soalnya
perkenalan awal himpunan dengan calon anggotanya bukan
dalam suasana yang melecut tumbuhnya keberanian, tetapi
dalam bujukan kenyamanan. Itu sebabnya jangan heran jika
kader kehilangan gagasan menantang untuk merekrut para
pemberani ke tubuh himpunan. Karena dalam rekrutnen yang
menjadi gerbang berorganisasi masih digunakan pengenalan-
pengenalan lembek dan jauh dari aroma militan. Sepertinya

662
kita sama sekali tak pernah mmendengarkan saran dari
Nietzsche: ‘jika kita hendak mengikutsertakan orang-orang
yang berani dalam suatu soal, kita harus menggambarkan
masalahnya lebih berbahaya dari yang sebenarnya’

Kini perekrutan anggota telah memprioritaskan bagaimana


menambah kuantitas orang-orang yang hanya merindukan
kebahagiaan dan membenci pola hidup tidak menyenangkan.
Itu sebabnya cara yang digunakan menarik perhatian calon
kader tak pernah beringsut dari foto tokoh-tokoh HMI yang
sudah sukses, kaya dan amat mapan. Kita enggan merayu
mereka dengan memperkenalkan sosok orang-orang yang tak
pernah suka dengan kemapanan seperti: Haji Misbach,
Semaoen, Mas Marco Tjipto Mangunkoesoemo, Douwes
Dekker, Tan malaka, Haji Agus Salim, Soekarno, Hatta,
hingga Sok Hoe Gie. Kita juga sepertinya kurang bersemangat
dalam menunjukan bahwa himpunan tidak hanya melahirkan
politisi, pejabat dan pengusaha, tetapi juga sosok martir,
pemikir dan pendobrak pernah tumbuh dalam organisasi ini—
Munir, Nurcholish Madjid dan Ahmad Wahib. Prototip para
pahlawan di dunia gerakan dan pemikiran sekarang telah
ditindih intelektual salon berstreotip borjuis: politisi cerdik,
pejabat populer dan pengusaha kaya. Meredupnya imajinasi
tentang perjuangan dan perlawanan telah mengakibatkan
kegagalan dalam merekrut orang-orang yang punya mimpi
besar. Kita kemudian hanya mampu mengumpulkan manusia-
manusia peniru generasi tua yang banyak mengalami
perembesan.

Itulah yang secara sadar kita lakukan ketika memajang muka-


muka mereka pada selebaran-selebaran ajakan ber-HMI yang

663
dibagikan langsung atau diperlihatkan melalui media sosial
kepada mahasiswa-mahasiswa umum. Ditemui dan disapanya
penglihatan calon anggota bukan dalam suasana yang
mengajak untuk berjuang, apalagi melawan. Melainkan
sekedar mengonsumsi citra orang-orang yang ditokohkan
untuk kemudian diikuti. Ini terjadi karena tak ada gagasan
alternatif yang mampu disalurkan, tapi hanya dorongan-
dorongan berisi kelaziman: berorganisasilah untuk melatih
berbicara dan belajar menyibukan diri dengan kegiatan yang
terencana. Perekrutan tak pernah tahu bagaimana caranya
menyalurkan tentang harapan-harapan melakukan perubahan
radikal: menggerogoti ketengangan kaum borjuis,
memperjuangkan hajat hidup rakyat, hingga menempuh jalan
pembebasan dengan penghancuran kekuatan-kekuatan
kapitalisme. Tetapi rekrutmen sangat lihai mengikuti pola
pasar. Lihat saja bagiamana ditampilkannya foto alumni yang
sudah sukses untuk dikonsumsi mahasiswa. Meski tujuannya
agar konsumen terbujuk mengikuti training dan berproses
dalam himpunan, tetapi motivasi dasarnya adalah ingin sukses
menjadi seperti tokoh alumni yang sudah mapan, baik
berkarier sebagai politisi, pejabat maupun pengusaha. Seolah
organisasi akan menjamin mereka untuk berkarir nantinya.
Padahal tidak ada jaminan dirinya akan seperti itu. Inilah yang
dimaksud Jean Baudrillard sebagai ‘hipermodernitas’ atau
‘radikalisasi modernitas’, yang membuat manusia terjerat
dalam konsumerisme tanda:

Masyarakat konsumerisme merupakan tatanan


manipulasi tanda. Praktik tanda mengarahkan juga
konsumsi akan gambar, fakta, dan informasi. Konsumsi

664
ini menyamakan yang riil dalam tanda-tanda riil,
menyamakan sejarah dalam tanda-tanda perubahan.433

Pengemasan tanda menggantikan realitas berlangsung dalam


rekrutmen yang menampilkan keunggulan-keunggulan atau
pencapaian-pencapaian tokoh-tokoh yang pernah dikader di
HMI. Ini menyiratkan bahwa sedari awal calon anggota telah
diajarkan untuk berpikir pragmatis: organisasi menjamin
kehidupan mereka ke depan. Maka jangan heran kalau
motivasi utama seseorang dalam berhimpun semata untuk
mengejar prestise, terutama jabatan pada relung-relung
pranata kenegaraan. Itu ditanamkan kepada mereka sejak
masa rekrutmen anggota: dicekoki dengan citra seorang tokoh
HMI yang sudah suskes menjadi politisi atau berkarir di
brokrasi. Lambat laun orientasi politik kemudian menggeser
tradisi intelektual. Inilah yang menyebabkan kader
menghikuti dan menjadikan jenjang perkaderan lanjutan
sebagai batu loncatan ke posisi-posisi struktural organisasi
atau bahkan demi mendapat kelancaran dalam memperbesar
koneksi semata. Mereka sepertinya sudah sangat terjerambab
di kubangan konsumsi tanda. Makanya kesuksesan menjadi
kader HMI tolak ukurnya adalah seperti para alumninya yang
telah jadi orang besar dalam menjabat dan berusaha.

Arena konsumsi memang sudah menjadi medan sosial yang


terstruktur. Artinya, kebutuhan juga konsumsi budaya selalu
melalui kelompok yang menjadi model. Mereka yang
dijadikan patokan itu ialah para elit himpunan, dari tokoh-
tokoh besar yang menjadi alumni sampai tokoh-tokoh kecil

433
Haryatmoko (2010), Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama,Hlm. 277.

665
dalam struktur-struktur kepengurusan organisasi. Merekalah
yang mengarahkan selera kader melalui gerbong atau
juniornya; kemudian baru menyebar ke kategori-kategori
sosial lainnya. Itu sebabnya sikap aneh dan agak cenderung
elitis bermunculan pertama kali terhadap kader-kader yang
dekat dengan alumni, berstatus pengurus, atau bahkan hanya
terlibat aktif menopang sebuah gerbong. Selanjutnya akan
tersosialisasi ke dalam struktur sosial yang ada dalam
himpunan, termasuk kepanitiaan training sekalipun.
Penyebaran perilaku konsumtif serupa dengan jalaran inveksi
bakteri atau virus, yang tersebar tak langsung secara massal
tapi dengan pelan-pelan menggunakan organisme terseleksi:
kelas elit organisasi. Kalau sudah begini kelak HMI akan
mendapati kader-kadernya melulu menjadi pendukung
penguasa, karena elit-elit himpunan terus-menerus menyuapi
kader; bahkan sedari menjadi calon anggota dengan
paradigma kekuasaan yang sudah kuno: karir sebagai politisi,
jabatan di birokrasi, bahkan pengusaha yang berpolitik
praktis.

Output perkaderan kemudian paling banyak menghasilkan


kader-kader yang dalam kehidupannya tak pernah beringsut
dari dorongan berkuasa. Inilah yang membuat iklim kaderisasi
dekaden, karena terkikis oleh impuls-impuls kekuasaan. Itu
sebabnya kader yang dari disiplin ilmu mana pun mesti lebih
mendalami perpolitikan—bagaimana cara merebut dan
mempertahankan kekuasaan serta membangun jaringan—
daripada konsen atas pembelajaran-pembelajaran di bidang
keilmuan yang sedang ia geluti. Keadaan yang seperti ini
bahkan telah menggagalkan aktivis-aktivis HMI dalam
studinya. Mereka ada yang pindah jurusan, kena DO (Drop

666
Out), hingga berhenti kuliah. Akibatnya, nama organisasi
kemudian tercemar oleh kejadian buruk yang menimpah
anggotanya: himpunan kadang diberi label sebagai organisasi
yang mengarahkan orang jadi Mapala (mahasiswa paling
lama). Betahnya mereka di kampus tak semuanya karena tak
bisa wisuda. Tetapi juga ada yang disebabkan lantaran pilihan
mengemban amanah kepengurusan, terutama sebagai Ketum.
Bahkan juga, kadang seorang aktivis betah menjadi
mahasiswa itu demi membangun jaringan. Orang-orang
seperti ini tentunya memiliki kepetingan jangka panjang.
Kampus baginya adalah arena latihan sebelum keluar ke
medan yang lebih besar. Melalui kampuslah kekuatan
politisnya dibangun. Mereka biasanya punya junior yang
banyak dan punya gerbong besar. Ditangannyalah junior dan
gerbong dirawat guna kepentingan apapun, termasuk
pemenangan Ketua BEM.

HMI dikenal memiliki kekuatan moral dan politis. Namun


hari-hari ini organisasi lebih unggul dengan kekuatan
politisnya. Mungkin itulah tepatnya kader himpunan diberi
label sebagai politisi kampus ketimbang aktivis kampus.
Apalagi dalam perebutan jabatan kemahasiswaan di internal
kampus tak jarang mereka membangkitkan konflik dengan
sesama mahasiswa, karena yang dibawa adalah politik
identitas yang cenderung mendaku kebenaran dengan
menyalahkan yang lain. Inilah yang membuat mereka
menganggap kandidat dari himpunan adalah segala-galanya.
Apalagi kalau sudah direstui oleh keputusan presidium; maka
kader jadi lebih agresif dalam memperlancar kemenangan
saudaranya. Itu sebabnya mereka bersedia bermain licik:
menggunakan kekerasan fisik maupun simbolik. Semua

667
dilakukan demi menancapkan kuku kuasa. Orientasi
kekuasaan sepertinya memang dilatih mulai dari kehidupan
kampus, melainkan juga pada internal organisasi. Lihat saja
bagaimana \posisi Ketum selalu diidam-idamkan. Hasrat
berkuasa kemudian menghabiskan banyak kekuatan pada
kepentingan hegemoni dan dominasi ketimbang dipergunakan
untuk memperbaiki perkaderan, apalagi membangun,
menguatkan dan mengevaluasi gerakan.

Konsumerisme tanda yang ditebarkan oleh kelompok elit


himpunan telah memonotonkan arah kaderisasi dan gerakan:
hanya menuju kekuasaan yang konservatif. Inilah juga yang—
seperti dijelaskan di bagian sebelumnya—mengakibatkan
terjadinya fetisisme kekuasaan yang berkembang melalui
jabatan, training, bahkan kepanitiaan pada kegiatan
organisasi. Dalam suasana konsumsi prestise besar para
alumni HMI, kaderisasi menjadi seperti arena perjuangan
sosial bagi kader-kader. Mereka ingin mengikuti jalan yang
telah dibangun orang-orang besar yang pernah dikader dalam
himpunan. Itulah kenapa perkaderan dan gerakan dijadikan
bagian dari struktur lingkup kekuasaan yang dinamikanya
adalah memproduksi kuasa, kemudian mereproduksinya,
melanggengkannya, bahkan memodifikasinya. Inilah yang
kadang kala bagi beberapa kelompok elit organisasi,
perkaderan diubah hingga dipisahkannya dari gerakan.
Padahal dalam kaderisasi, perkaderan dan gerakan merupakan
sebuah kesatuan dalam memajukan himpunan. Ini terjadi
lantaran kaderisasi telah dibikin kaku oleh kecenderungan
pada kekuasaan. Saat itulah seorang pengurus atau senior
secara arbitrer menanamkan pengetahuan kepada kader bahwa
organisasi perkaderan itu beda dengan organisasi gerakan.

668
Mereka mengkader seseorang dalam bingkai kaderisasi yang
hanya berisi perkaderan. Tindakan ini tentunya dilakukan atas
dasar kepentingan. Mereka tak ingin kadernya bergelut dalam
dunia gerakan, karena sewaktu-waktu dapat mengancam
kekuasaan dari orang-orang yang memiliki hubungan dengan
mereka; semacam para politisi bermasalah maupun pejabat
tengik.

Di sinilah konsumerisme tanda selain membuat kader tergoda


untuk jadi orang hebat seperti alumninya juga ternyata
mendukung penjalaran korparatisme inklusif negara. Itulah
mengapa untuk mudah menjadi aktor besar yang ditokohkan
meniscayakan sikap kooperatif dengan pemerintahan. Karena
penguasa dapat memberi jalan menuju ketinggian. Maka dari
itu, daya gerakan mesti ditanggalkan dari kaderisasi lantaran
akan sangat berbahaya bagi kelangsungan status quo.
Keadaan yang begini teori-teori pendidikan dalam perkaderan
tak mampu menemui saluran praksis. Sebab gerakan sebagai
lapangan praktek duluan dibungkam sebab dipandang dapat
membahayakan kekuasaan. Tetapi model kaderisasi yang
begitu akan memberi keuntungan pada kelompok elit dalam
organisasi. Mereka adalah orang-orang yang ingin meraih,
mempertahankan, atau mengamankan posisi di internal
himpunan, juga menjadikan organisasi sebagai batu loncatan
untuk meraih kekuasaan sesudah ber-HMI: jabatan birokratis,
karir sebagai politisi atau pengusaha suskses, atau kemudahan
akses terhadap penguasa, juga terutama popularitas.

Konsumsi yang dilakukan kader terhadap tanda—


kekuasaan—alumninya sesunggunya bukanlah kebutuhan
dasar, melainkan demi memenuhi tekanan psikologis,

669
ekonomi, dan sosial. Penyebabnya adalah tuntutan mobilitas
sosial, status, dan persaingan dalam segala bidang kehidupan
masyarakat kapitalis. Logika sosial konsumsi bukan terletak
pada kepemilikan nilai-guna tapi logika produksi dan
manipulasi yang bermakna sosial. Inilah yang membuatnya
berkeinginan berada pada posisi seperti alumni yang
bergelimang prestise. Karena pada saat itulah dia merasakan
dirinya telah menaiki tangga kelas sosial. Jabatan, jaringan,
uang, dan segala bentuk kekuasaan yang dimilikinya
memberikannya sebuah klasifikasi dan diferensiasi sosial—
artinya apa yang melekat pada dirinya sebagai ‘tanda’
kemudian dirasakannya membentuk sebuah nilai yang
menentukan statusnya dalam hirarki sosial. Namun dalam
logika tanda, nilai bukan terletak pada fungsi-kegunaan
menjawab tuntutan sosial. Maka dari itu bukan kenikmatan
atau kepuasan yang menjadi prioritas, tetapi fungsi kolektif.
Haryatmoko menjelaskannya dengan amat baik:

Konsumsi adalah sistem yang menjamin tatanan tanda-


tanda untuk memenuhi tuntutan integrasi kelompok.
Konsumsi itu sekaligus sistem nilai ideologis dan
sistem komunikasi karena membentuk struktur interaksi
sosial. [Dia memberikan menggambarkan seperti ini:]
ketika hari lebaran pulang kampung dengan
mengendarai mobil BMW dan membangun rumah
besar di kampong asal, inisiatif untuk mengumpulkan
‘trah [keluarga besar satu keturunan]’ tentu akan
mendapatkan sambutan luas dari anggota-anggota lain.
Barang yang Anda miliki menempatkan Anda pada
posisi yang mungkin akan mendapatkan pengakuan
sosial. 434

434
Ibid, Hlm. 280.

670
Tanpa disadari aktivitas organisasi ini telah dibiasakan manja
dengan berada di bawah perlindungan tanda. Simbol
kemudian bercokol untuk dijadikan bentuk penyangkal
terhadap yang riil karena diyakini akan membawa rasa aman
bagi kehidupan. Gejala seperti inilah yang disebut dengan
hipermodernisme: ditandai oleh konsumsi yang telah
meninggalkan logika kebutuhan. Hidup manusia telah didikte
oleh obyek karena harus mengikuti ritme barang yang sudah
berubah jadi tanda yang bermakna sosial. Baudrillard
menjelaskan bahwa pergantian tanda yang terus-menerus
mengubah pola hubungan antara konsumen dan obyek
konsumsi. Konsumen tidak lagi membeli barang lantaran
manfaat yang terkandung di dalamnya, tetapi lebih-lebih
sekedar soal pemaknaan keseluruhan obyek yang diatur
penataan tanda. Itulah kenapa sesudah rekruitmen anggota
yang mengeksploitasi prestise alumni, maka jabatan, jenjang
training, bahkan keikutsertaan dalam kepanitiaan himpunan,
digeluti dengan tujuan terselubung: meningkatkan status
semata. Tidak heran jika aktivitas himpunan kemudian
terancam oleh kekuatan manipulasi tanda. Lihat saja
bagaimana organisasi kita menonjolkan dinamikanya melalui
pengorganisiran sebuah kegiatan apapun supaya dianggap
punya vitalitas. Itu sebabnya HMI kerap kali menggelar acara
serimonial dengan menggandeng atau meminta dukungan dari
institusi-institusi kenegaraan—seperti pada acara: seminar,
kuliah umum, diskusi publik, dan sebagainya.

Konsumsi tanda bukan hanya mengaburkan aktivitas


organisasi dalam ruang lingkup kaderisasi, tapi terutama telah
memerosotkan kerja-kerja gerakannya. Aksi bagi himpunan
tak pernah lebih luas dari demonstrasi. Itulah kenapa

671
organisasi ini kehilangan imijinasi membangun gerakan
alternatif. Bahkan saat menggelar aksi massa, HMI seakan tak
mampu menguatkan konsistensi dan mengevaluasi
gerakannya. Soalnya pergerakan sering kali bersifat spontan
dan tak pernah mampu melibatkan elemen-elemen progresif
lainnya, apalagi rakyat miskin dan tertindas. Demo-demo
yang dilancarkan berkonotasi untuk menunjukkan eksistensi
saja. Orasi-orasi kader-kadernya juga sepertinya lebih mirip
penampilan panggung para personil band ketimbang aktivis.
Ini semua terjadi karena konsumerisme telah merambah ke
dalam setiap aktivitas organisasi. Makanya himpunan
kehilangan kemampuan untuk menjawab tuntutan sosial.
Perkaderan tak hanya menampakkan diri tengah memisahkan
antara kaderisasi dengan gerakan. Melainkan kaderisasi dan
gerakan juga sudah tak kuasa menciptakan perubahan
mendasar karena terus terjerambab dalam tipuan-tipuan
kehidupan masyarakat kapitalis. Kapitalisme amat berbahaya
bagi kelangsungan dan kemajuan organisasi kita. Paham
soalnya akan membuat proses-proses yang dilalui kader-kader
himpunan ini berpenyakitan akibat kubangangan kelimpahan.
Inilah yang membuat perjuangan organisasi setengah-
setengah dalam melakukan perlawanan. Karena
keberlimpahan yang tumpah ruah dari kedigdayaan pasar
telah membuat kita menanggalkan cita-cita pembebasan.
Anak-anak muda yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam
keadaan yang begini malah akan menjadi pemuda seperti yang
digambarkan Bernard Shaw dengan perkataan:

Maka anak-anak muda itu dicemari oleh kompromi


kotor, memburuk karena oportunisme, bulukan karena

672
sikapnya yang lamban, tidak karuan bentuknya karena
ditarik ke sana-ke mari dan busuk oleh perembesan.

Sisi negatif dari konsumerisme mendorong orang menjadi


individualis sehingga mengikis solidaritas. Makin konsumen
cenderung soliter maka semakin lemah mereka untuk
mengorganisir perlawanan. Itu sebabnya kita menjadi sangat
konformis terhadap nilai yang ditawarkan kelompok elit
dalam himpunan. Sulit menemukan kader yang kritis ketika
haknya untuk memilih dan dipilih (maju mencalonkan diri)
menjadi ketua umum diarahkan atau dibatasi oleh pengurus
atau seniornya. Makanya tatanan yang begitu terus-menerus
dikonsumsi hingga kokoh dinobatkan sebagai tradisi. Sistem
konsumsi dalam kehidupan sosial-politik yang begitu
kemudian bisa bertransformasi ke bentuk ideologi. Itulah
kenapa konsumsi melembagakan kode nilai yang
membedakan dan menentukan interaksi dan komunikasi
kader-kader. Sistem ini mengandalkan mesin integrasi dan
regulasi yang tidak disadari. Tengoklah bagaimana jabatan,
training, kepanitiaan dikonsumsi bukan untuk mendapatkan
kepuasan, melainkan kenaikan status sosial. Itu jugalah yang
terjadi pada masa rekrutmen anggota: mahasiswa disuguhi
pamflet-pamfet alumni yang sudah mapan agar bisa
membanyangkan kalau himpunan dapat menjamin masa
depannya. Dan ini pula telah membuat pemakaian muts,
gordon, batik, dan sepatu pentopel sering dipelintir ke arah
kebesaran simbolik: kader memakainya agar dikenal sebagai
kelompok sosial tertentu dalam himpunan, terutama pengurus,
senior, bahkan alumninya yang telah mapan di kursi
kekuasaan.

673
Kehidupan yang konsumeris didorong oleh narcisisme bukan
dalam arti kenikmatan diri, tetapi cermin dari wajah kolektif.
Pada saat inilah berlaku apa kata Emile Durkheim: ‘yang
kudus adalah bentuk ketakutan kepada yang kolektif.’
Melaluinya konsumsi tidak digerakkan oleh diri sendiri,
melainkan kelompok elit. Fenomena ini menampak ketika
kader-kader amat konformis dengan nilai-nilai yang ditabur
pengurus, senior, maupun alumninya. Dengan mendekatkan
ideal kepada dirinya kader seolah memiliki motivasi sendiri
padahal kadaan itu telah membuat dirinya mematuhi dengan
lebih baik apa yang menjadi tuntutan kolektif. Makanya
ketika konsumsi dianggap distimulasi oleh pribadi sendiri,
berarti perilaku konsumtif tidak perlu lagi menghadapi
ancaman yang berarti. Kondisi itulah yang disindir
Baudrillard dengan ungkapan menusuk: ‘merayu diri adalah
konsumsi sempurna, meski sebetulnya acuannya tetap yang
lain.’ Dus, meskipun motif konsumsi mengacu pada
kolektivitas namun seseorang akan tetap berusaha
meyakinkan dirinya bahwa seakan yang menjadi acuan utama
dan pertama penentu konsumsinya bukan orang lain tapi
pribadinya sendiri. Padahal situasi dan kondisi organisasi
memperlihatkan pada kita bahwa yang menentukan episteme
kader-kader adalah pengurus, senior, bahkan alumninya.
Itulah mengapa penyebaran foto-foto alumni—yang sedang
atau pernah jadi pejabat, politisi maupun pengusaha—saat
masa rekrtutmen anggota persis penyebaran sebuah iklan.

Dalam iklan, setiap gambar dan informasi selalu saja


mendakukan persetujuan dengan arbitrer. Artinya dengan
membaca pesan yang disampaikannya kita akan mengikuti
secara otomatis kode yang telah dibaca. Itu terjadi tatkala kita

674
tertarik mengikuti perkaderan himpunan hanya karena terbius
oleh kegemilangan, ketenaran dan kelimpahan yang
menyeruap prestise yang dimiliki tokoh-tokoh besar HMI.
Maka tahap perekrutan calon-calon kader himpunan menjadi
tidak menantang dan cenderung agak dangkal. Karena
komunikasi yang pengurus atau senior lakukan meminjam
strategi pengiklanan; bukan memprioritaskan pada isinya, cara
penyampaiannya, atau tujuan ekonomi dan dampak
psikologinya, tapi dari logika medium yang tidak mengacu
pada dunia riil melainkan tanda atau simbol. Keadaan inilah
yang telah membuat seorang tidak kratif dan inovatif, lantaran
terus-menerus menjadikan kedigdayaan alumni sebagai
pemancing mahasiswa untuk berorganisasi. Mereka yang
melaksanakan perekrutmenan seperti itu dapat diasosiasikan
sebagai operator mistik, karena tugasnya adalah membesar-
besarkan obyek dan kejadian.

Kehidupan organisasi yang diselimuti oleh kuasa tanda seperi


itu mengakibatkan terjadinya pelbagai mistifikasi. Itulah
mengapa untuk dapat memakai gordon atau muts saja seorang
senior atau pengurus biasanya menanamkan kredo yang agak
naïf kepada kadernya; harus LK II dulu atau—paling tidak—
sudah lama berorganisasi. Gordon dan muts kemudian
dijadikan pembeda kelas sosial orang-orang dalam himpunan.
Para pengguna atribut biasanya adalah mereka yang sudah
memiliki keunggulan dalam jenjang training dan status
kesenioran. Itu sebabnya ketika seseorang menggunakan
atribut organisasi ia akan mudah dikenal sebagai kader yang
tingkatan training-nya sudah tinggi atau posisinya sudah
menjadi senior. Dengan demikian dirinya akan lebih dihargai,
dihormati, bahkan dibesar-besarkan oleh kader-kader yang

675
masih baru atau junior. Maka ketika junior-junior berhdapan
dengan mereka pasti mendapati dirinya inferior. Inilah yang
menyebabkan munculnya sikap sungkan, segan, bahkan
kepatuhan untuk melaksanakan setiap apa yang dimintakan
oleh orang yang superior. Lihatlah bagaiamana di setiap
acara-acara formal organisasi: kader yang beratribut lengkap
menjadi pusat perhatian karena gordon dan muts telah
membentuk citranya menjadi tokoh himpunan.

Prestise yang melekat itulah yang mendorong kader-kader


junior datang menjabat tangannya, memproritaskan tempat
duduk paling depan untuknya, dan memandangnya derajatnya
lebih tinggi ketimbang kader yang tak menggunakan atribut.
Konsumsi tanda yang terjadi pada kemudian memunculkan
paham naïf: atributisme. Gordon dan muts bukan hanya
dipakai untuk mendukung kegiatan himpunan, tapi juga
digunakan untuk membedakan status sosial kader-kader. Itu
sebabnya dalam setiap acara himpunan perintah orang-orang
yang beratribut tak bisa ditolak oleh kader-kader. Karena
atribut yang dimilikinya seakan menjadi legitimasi dalam
mengeluarkan arahan. Apalagi mereka yang beratribut tidak
mungkin melakukan kerja kasar, melainkan hanya kerja pikir
yang sering termanifestasikan dengan kegemaran memerintah.
Semakin dirinya dipatuhi oleh kader-kader himpunan maka
akan menunjang ketokohannya. Pada saat itulah parameter
ketokohan diukur secara dangkal: kemampuan memerintah.
Maka kemudian orang-orang yang sering dipatuhi perintahnya
oleh kader-kader sering diasosiasikan sebagai tokoh. Dengan
ketokohan yang sudah disandangnya kelak dia tak perlu
menguras banyak tenaga dalam berorganisasi, tetapi hanya
perlu mengeluarkan instruksi bahkan fatwa. Jika tidak segera

676
dilaksanakan maka orang yang telah menerima perintahnya
akan dibrondongi dengan pernyataan: kader offside hingga
kader liar.

Tokoh dalam himpunan kerap hadir dari kalangan pengurus


atau senior. Sebab merekalah yang selalu menjadi inisiator
dari tindakan-tindakan yang dilakukan kader-kader. Itulah
kenapa berkembang sebuah anekdot: jika kader adalah kaki-
tangan maka senior atau pengurus merupakan kepalanya.
Kemampuan untuk menginisisasi atau memprakarsasi
membuat pengurus dan senior menyandang status tokoh.
Prestise yang didapatnya itu terkadang membuatnya lebih
cerdik dalam mempertahankannya. Itu sebabnya seorang
tokoh himpunan selalu berpakaian rapi, wangi, dan menarik
perhatian persis pejabat. Pakaian yang digunakannya
terkadang bukan hanya dipoles dengan gordon dan muts, tapi
terutama pakaian berkelas. Lewat itu jugalah citranya dipoles
sedemikian rupa hingga membedakan status sosialnya dengan
kader-kader bawahan. Lalu semakin mereka mampu
menggerakkan banyak orang untuk mengikuti perintahnya
maka bangunan ketokohannya makin kuat. Makanya orang
yang ditokohkan bukan hanya mereka yang memyukau dalam
penampilan, melainkan pula yang menjadi pemerintah. Itulah
mengapa jika ada pengurus atau senior yang ingin menjadi
tokoh dia mendapati keyakinan naïf: harus bisa memaksakan
kemauannya pada kader-kader, terutama yang menjadi
juniornya.

Dalam konteks itu tak hanya gordon, muts, atau pakaian yang
jadi tanda, tapi juga perintah. Kemampuan memberikan
perintah menjadi tanda yang dikonsumsi karena dianggap

677
mampu menaikan posisi kelas sosialnya. Lihatlah bagaiamana
sseorang yang mendaku dirinya besar memerintah kader-
kader. Perintah yang diberikannya bukan semata demi
kepentingan organisasi, tapi juga untuk memenuhi keinginan
pribadi. Contohnya terjadi saat seorang yang superior
menyuruh kader untuk membeli rokok, makanan, minuman,
atau mengantar-jemputnya ke sana-ke mari, bahkan sampai
meminjam motor, uang, atau leptop kadernya berhari-hari
atau berminggu-minggu. Kini memberikan perintah di mata
kader yang ingin menjadi tokoh dianggap sebagai prasyarat
ketokohan. Maka semakin seseorang memberikan perintah
dan kader melaksanakan apa yang diperintahkannya, itu akan
menambah kokoh posisinya sebagai tokoh. Inilah yang
kemudian memunculkan pandangan yang agak zalim dalam
himpunan: tokoh adalah orang yang mampu menguasai kader.

Pandangan konservatif ini terus-menerus disosialisasikan


terhadap kader-kader melalui perilaku-perilaku senior, bahkan
pengurus organisasi. Lihat saja bagaimana seorang kader-
junior meniru penampilan abang-abangnya bukan sekedar dari
segi pemakaian atribut organisasi dan pakaian, melainkan juga
dalam menjadi pemerintah. Makanya peniruannya dilakukan
melalui perintah-perintah yang diberikan kepada kader yang
dianggapnya lebih inferior darinya. Bangunan sikap ini makin
diperteguh oleh budaya senioritas dan paham seniorisme-
gerbongsime. Namun tak syak lagi, ketidakmampuan untuk
keluar dari kelaziman itulah yang menyebabkan anggota-
anggota organisasi lebih banyak yang suka memerintah
ketimbang melakukan sesuatu dengan mandiri. Mereka
menganggap dengan memerintah dirinya bisa menjadi
tokohnya himpunan persis kayak senior-senior atau pengurus-

678
pengurusnya. Memang logika konsumsi di balik tanda yang
bertebaran dalam himpunan tidak terletak pada nilai-guna atau
kepuasan, tetapi logika produksi dan manipulasi yang
bermakna sosial. Maka yang terjadi adalah tanda yang
merupakan hasil abstraksi pikiran manusia direkayasa menjadi
petanda ‘realitas’; yang membedakan pemakainya dengan
kelompok lain, dan bisa juga menjadi petanda yang dapat
membuat konsumennya masuk dalam kelompok sosial
tertentu. Mengenainya—dalam karyanya La societe du
risqué—Jean Baudrillard menjelaskan dengan gamblang:

Jadi konsumsi merupakan proses klasifikasi dan


diferensiasi sosial, artinya obyek atau tanda tertata
sebagai suatu nilai yang menentukan status dalam
hierarki sosial. Dengan demikian konsumsi menjadi
bagian dari strategi yang menentukan bobot dalam
distribusi nilai status. Konsumsi tidak bisa dilepaskan
dari makna sosial lain seperti pengetahuan, kekuasaan,
dan budaya. Ketiga hal ini sering dipakai untuk
mengukur stratifikasi sosial. Proses diferensiasi sosial
ini merupakan proses yang dihayati seakan sebagai
kebebasan. Jadi perilaku itu memang seakan pilihan
bebas, seperti tidak ada perasaan dipaksa, juga bukan di
bawah tekanan struktur tertentu.

Sesungguhnya arena konsumsi itu amat terstruktur. Jadi tidak


mungkin seorang kader mempunyai motivasi untuk
memerintah dengan sendirinya, karena pasti ada kelompok
yang menjadi patokan sikapnya: para pengurus atau senior-
seniornya. Merekalah yang mengarahkan pandangan kader-
kader himpunan. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya
dominasi simbolis. Dominasi yang tidak disadari oleh korban
dan pelakunya karena mengandaikan keterlibatan yang

679
didominasi; bukan melalui kepatuhan pasif atau paksaan
maupun penerimaan bebas terhadap suatu nilai, tapi karena
bentuk persetujuan terhadap sudut pandang kelompok
dominan. Piierre Bourdieu menyebutnya sebagai ‘Doxa’:
sudut pandang penguasa atau dominan yang menyatakan diri
dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang
universal. Inilah yang membuat kader-kader kebanyakan
mudah sekali terjerumus dalam rayuan citra ketika
mengonsumsi: gordon, muts, dan pelajaran memerintah.
Mereka tak sadar bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya
lebih dahulu diberikan contohnya oleh pengurus atau
seniornya. Fenomena ini sebenarnya persis yang dialami
abang-abangnya itu dalam hubungannya dengan alumninya,
yakni berusaha meniru capaian-capaian alumni yang sudah
jadi pejabat, politisi, maupun pengusaha. Karena kesadaran
itulah makanya di setiap kegiatan-kegiatan organisasi para
pengurus dan senior tak mirip lagi dengan penampilan
seorang mahasiswa, tapi lebih persis barisan pejabat, politisi,
maupun pengusaha. Itu sebabnya mereka terlihat sangat haus
dalam memeprebutkan kekuasaan: jabatan dan jaringan dalam
organisasi. Bahkan boleh jadi itulah juga yang membentuk
kepercayaan diri hingga mereka tak penah malu bertemu dan
bermesraan dengan para pemangku kepentingan publik untuk
melaksanakan seminar, kuliah umum, roadshow, dan pelbagai
kegiatan mencari untung sekaligus menukarkan kemampuan
kerja kader yang menjadi panitia acara.

Bingkai keakraban dengan kekuasaan telah memekarkan


korporatisme inklusif dalam tubuh himpunan. Ini mungkin
akan memberi angin segar bagi terpenuhinya anggaran
pelaksanaan kaderisasi. Tetapi dapat mencungkil gerakan dari

680
spektrum dan nuansa perkaderan. Itulah mengapa kaderisasi
kemudian tak mampu menggandeng gerakan. Perkaderan tak
lagi mampu dihidupkan melalui kaderisasi dan gerakan, tapi
hanya melalui kaderisasi sendirian. Inilah yang menyebabkan
organisasi melempem di bawah ketiak kekuasaan. Himpunan
seakan tak tidak punya gagasan menantang untuk melawan
kesewenang-wenangan karena gagal menguatkan kemampuan
gerakan. Makanya sudah waktunya doxa yang ditanam oleh
kelompok-kelompok dominan ditanggalkan. Sudah tak
mungkin kita memasang sikap permisif pada elit-elit
organisasi yang terus memeluk kekuasaan secara konservatif
dan agak zalim: terus-menerus mendekati dan mencoba
menduduki pranata-pranata kenegaraan saja.

Sampai kapan kader-kader memakan pandangan generasi tua


dalam himpunan untuk terus memerintah dan besar menjadi:
pejabat, politisi, dan pengusaha? Tidakkah kita marah melihat
pesta demokrasi organisasi yang coba didekte oleh kelompok
dominan, bahkan melalui penggunaan uang? Kenapa kita
terus dibiarkan untuk mengejar prestise, ketimbang meraih
perubahan yang mendasar? Kapankah kader bisa mandiri,
imajinatif, kreatif, dan inovatif jika terus membebek pada
sistem dan struktur yang sudah kolot ini? Masih inginkan
meraih dan menjaga ketokohan dengan kelaziman dan
kemapanan? Tidak bisakah kita mengupayakan munculnya
kaderisasi yang mampu mendorong timbulnya gerakan
alternatif? Sampaikan kader-kader dibiarkan mengonsumsi
dan meniru pandangan kelompok dominan: menyamankan
diri dalam dekapan korporatisme inklusif negara? Tak boleh
ditunda lagi, sekaranglah saatnya untuk berhenti
mengonsumsi, meniru dan mengamini segenap pandangan

681
buluk dari kelompok dominan, yakni pengurus, senior, dan
alumninya yang tergabung dalam gerbong kepentingan. Sebab
tak mau kalian akan menjadi anak-anak muda kurangajar yang
diperanakkan oleh angkatan takabur sebagiamana yang
syairkan WS Rendra. Tetapi kuingin kalian punya keberanian
untuk merebut kebebasan serupa kandungan puisinya yang
lain:

Aku tidak melihat alasan.


Kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju atau tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah menggantikan pergaulan pikiran yang
merdeka.

Waktunya kita untuk menolak doxa yang membuat


bergentayangannya homogenitas pandangan arbitrer.
Penolakan itu mesti dialirkan melalui sikap yang berlawan
dengan pandangan dominan. Maka yang harus dilakukan
adalah dengan mulai membangun perlawanan kecil-kecilan:
memasang komitmen kuat untuk tidak meniru, lalu menentang
nilai-nilai lama dengan menyodorkan sebuah proposal
perubahan. Untuk mengubah keadaan ini hanya bisa
dilakukan oleh manusia-manusia yang sadar dan terorganisir
oleh kejenuhan dan kemuakkan akibat lingkungannya. Dalam
kondisi inilah berlaku apa perkataan Albert Camus: ‘suatu
kemajuan awal bahwa semangat pemberontakan yang
menggusur pikiran bermula diilhami oleh absurditas dan
kemandulan dunia yang tampak jelas. Dalam pengalaman
yang absurd derita itu bersifat individual. Tetapi saat

682
pemberontakan mulai, penderitaan dilihat sebagai sesuatu
penyelamatan kolektif.’435 Dari situlah merebaknya ajakan
kuat untuk menghentikan peniruan.

Ingatlah! Max Horkheimer menyebut dorongan meniru itu


sesungguhnya hanya wajar dipunyai anak-anak. Ia
mengistilahkannya dengan sebutan: mimesis. Dengannya anak
kecil belajar-meniru untuk tertawa, berteriak, bertepuk tangan,
berbicara, serta mengenal lingkungannya. Semuanya
dilakukan tanpa kesadaran karena lingkungan telah
mengendalikannya secara alamiah. Namun karena
kalamiahannya manusia modern berusaha mengganti mimesis
yang primitf itu dengan sikap rasional. Maksudnya, orang
tidak diperkenankan lagi meniru secara alamiah, melainkan
harus mengadaptasikan diri secara sadar terhadap
lingkungannya. Fenomena inilah yang sedang terjadi dalam
kehidupan HMI lewat proses kaderisasi yang dilakukan oleh
pengurus dan seniornya. Melalui pendidikan dan pengajaran
yang diberikan kader-kader dimintai menerima keadaan.
Kader tidak diberi kesempatan untuk keluar dari kelaziman,
melainkan didorong untuk terus melanggengkannya.

Itulah mengapa tatanan yang mereka bentuk tanpa lelah


menyuntik kita untuk menjadi manusia-manusia yang patuh
dan menurut saja pada senior, gerbong, juga terhadap budaya
kaderisasi yang mengejar prestise dan cenderung memisahkan
diri dengan gerakan. Semua ini tentu akan menghambat
kemajuan dan perubahan, tapi dirasionalisasikan oleh
kelompok dominan dengan amat naïf: agar mampu bertahan

435
Albert Camus, (2015), Pemberontak, Yogyakarta: Narasi, Hlm. 37.

683
hidup dan mencapai kesuksesan dalam kehidupan di internal
dan eksternal organisasi. Itu sebabnya ketika lingkungan
organisasi yang sudah diselimuti pencarian modal--budaya,
sosial, simbolik, ekonomi—pengurus dan senior malah
menyebarkan pandangan yang memnbujuk agar permisif dan
konformis. Kader-kader kemudian dibiarkan terbuai dalam
kebudayaan yang menghasut untuk terus melakukan peniruan.
Kondisi seperti ini membuat suasana organisasi tak ubahnya
dengan kehidupan manusia kuno. Sindhunata menjelaskan
dengan baik pemikiran Hokheimer tentang mimesis:

Meski mimesis sudah disingkirkan oleh sikap rasional,


tapi mimesis itu ternyata muncul kembali justru lewat
sikap rasionalnya tadi. Pada zaman ini orang modern
mengira dengan sadar, ternyata tidak sadar: bahwa
kesadaran untuk mengadaptasikan diri kepada
lingkungannya sama saja dengan kealamiahan untuk
meniru lingkungannya seperti dilakukan oleh anak-anak
atau masyarakat-masyarakat primitive. Alasannya,
orang modern tidak lagi kritis terhadap segala kaidah,
kategori atau tuntutan yang dipasang masyarakat. Ia
malah menyebut rasional kalau orang mau menerima
realitas dan menyesuaikan diri kepadanya. Maka ia
meniru begitu saja semua kaidah, kategori, atau
tuntutan masyarakat, tanpa mempersoalkan lagi dengan
sadar apakah semua itu masih patut dianggap rasional.
Sikap demikian itu sebenarnya meniru secara alamiah,
bukan menerima dengan kesadaran yang kritis. Di
sinilah mimesis ini adalah tanda kemenangan alam yang
bisa dan berhasil ‘mengalamiahkan’ dan

684
‘mengirasionalkan’ manusia justru lewat sikap
rasionalnya.436

Sikap irasional yang coba dirasionalkan oleh kelompok


dominan dalam organisasi adalah ketika memaksakan
keyakinan bahwa dengan seniorisme-gerbongisme kader-
kader mendapatkan modal budaya, simbolik, sosial, dan
ekonomi. Maka kader yang tunduk dan patuh terhadap senior
dan gerbongnya tak segan-segan merasionalisasi sikap
permisifnya walau seorang mafia memperjual-belikan
suaranya sewaktu Kongres. Sehingga pesta demokrasi jadi
semacam tempat produksi yang mempertukarkan tenaga
panita dengan keuntungan yang dikantongkan ke segelintir
kalangan; Ini pulalah yang membuat peserta-peserta
Konfercab tidak menyoroti dengan seksama LPJ dari
pengurus dan mengevaluasi kepemimpinan selama satu tahun,
melainkan sebatas mengarahkan pikiran dan perasaan hanya
seputaran soal bagaimana memenangkan ketua umum yang
didukung; bahkan itu jugalah yang mengakibatkan maju atau
tidaknya seorang calon ketua pada RAK harus terlebih dahulu
meminta restu ketum yang sebentar lagi akan lengser; dan hal
tersebutlah yang membuat pengurus-pengurus himpunan tak
tahu malu menganggap baik kedekatannya dengan
pemerintah, sedangkan ini mencerminkan merosotnya
organisasi dalam pekatnya korporatisme inklusif.

Dalam himpunan kita sesungguhnya banyak sekali kejadian di


mana terjadi rasionalisasi namun akhirnya yang menampak

436
Sindhunata, (1982), Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik
Masyarakat Modern oleh Max Hokheimer dalam Rangka Sekolah
Frankfurt, Jakarta: PT Gramaedia Pustaka, Hlm. 113-114.

685
adalah keadaan irasional. Kebanyakan yang melakukan itu
ialah senior atau pengurus yang menjadi aparatus ideologis
dari gerbong tertentu. Merekalah yang tergabung dalam
kelompok dominan yang kemudian bukan hanya menentukan
apa yang kader-kader konsumsi, melainkan juga
mengendalikan pandangan kita. Itu sebabnya kita selalu
nyaman meniru apa saja yang mereka tawarkan:
berpenampilan yang elitis, menjadi orang yang suka
memerintah, membangun koneksi melalui hubungan baik
dengan borjuis-biokrat, bahkan kelak setamat jadi mahasiswa
mengejar posisi sebagai pejabat, politisi, maupun pengusaha.
Sederet tawaran itu mungkin saja rasional untuk mengejar
ketinggian kehidupan duniawi, tetapi sangat irasional saat
pandangan mereka dipaksa untuk diuniversalkan hingga
berubah sebagai doxa. Karena pada saat itulah kebenaran
didakukan dan hegemoni diakarkan melalui dominasi
simbolik. Kekerasan yang terjadi memang bukan pada fisik,
tapi terhadap akal, hati dan kemauan.

Dominasi semacam itu tidak mendewasakan karena akan


menghambat perkembangan pikiran, perasaan, dan kehendak.
Tengok saja bagaimana kelompok dominan menyumbat hasrat
kader-kader yang terdalam dengan norma-norma yang berasal
dari otoritas. Inilah yang membuat kehidupan kaderisasi
terancam oleh banyak dogma yang berkembang dalam
perkaderan. Dogma-dogma itu telah membuat perkaderan
dipenuhi oleh orang-orang yang bermental kawanan: sudut
pandang kita terhadap apa saja begitu mudah ditentutakan
hingga dikendalikan oleh senior atau pengurus. Hannah
Arendt menyebut kondisi ini dengan ‘kedangkalan imajinasi’,
karena tiap gagasan, perintah, atau tugas tak mampu

686
dipertanyakan apalagi disangsikan. Inilah yang menimbulkan
suasana ekstrem: politisasi perkaderan. Itulah mengapa begitu
marak pelanggaran konstitusi yang bukan hanya dilakukan
anggota biasa tanpa jabatan, tapi terlebih oleh mereka yang
menjadi pengurus himpunan. Aturan organisasi pada keadaan
yang demikian dapat dijadikan senjata untuk menyerang,
namun juga berfungsi sebagai perisasi pelindung. Kemuraman
ini telah lama menganiaya keadilan dalam arena kepentingan.
Maka kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan pun tersumbat
oleh keinginan menguasai. Dalam kurungan sangkar sistemik
inilah seorang kader kehilangan tindakan otentiknya, karena
mudah sekali menyerah pada keadaan dan sistem yang
menindih kesadaran kritisnya. Kondisi yang begini—tidak-
boleh-tidak—pasti akan membawa ekses sebagaimana yang
dijelaskan Haryatmoko:

…yang membuat masyarakat modern terjebak dalam


pencarian kebenaran yang justru menyeret ke arena
pertarungan kekuatan. Kebenaran diidentikan dengan
keunggulan. Lalu dia menjadi ajang pendakuan, serta
pembuktian hubungan pendakuan kekuasaan, serta
pembuktian hubungan pengetahuan-kekuasaan,
pencarian massa dan pengakuan sosial.437

Di bawah jeratan doxa yang terus ditebar oleh kelompok


dominan maka kader-kader sukar beringsut dari perilaku
konsumtif dan mimesis-nya. Sebab mereka tidak mau
menerima keragaman pandangan, tetapi terus-menerus
memonotonkan sesuai kepentingan abang-abangnya.
Makanya tak ada lagi keindahan pemikiran karena kader

437
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 1.

687
disibukan oleh pemurnian kebenaran yang terus
disuntikannya. Keyakinan itulah yang sering dicekoki ke
dalam pikiran kader. Terkadang berisi ajaran yang penuh
kenaifan, bahkan bisa pula berisi kebencian. Dengan otoritas
yang dimilikinya seseorang dengan mudahnya
mendakwahkan keinginan-keinginannya yang penuh ambisi
dengan kelihaian retoris. Kata-kata mereka bahkan bisa
menyulap kotoran jadi sesuatu yang bersih, bahkan berbinar
kesucian. Inilah yang menyebabkan kita terdorong
menorehkan perbuatan yang tak sesuai dengan arahan pikiran
dan perasaan sendiri. Itu sebabnya seseorang dengan mudah
mengikuti gelaran demonstrasi yang berbalas bayaran.
Terkadang ada pula yang tak percaya dengan kekuatan aksi
massa karena telah diracuni kesadarannya. Dalam kondisi ini
pengetahuan akan perkaderan hanya dinisbahkan dengan
kaderisasi dan dipisahkan dari gerakan. Jalaran virus itulah
yang memperperdaya untuk mengejar selalu mengejar jabatan
karena sistem kaderisasi telah terlalu nyaman memeluk mesra
kekuasaan. Makanya kader-kader lalu dengan bangga
membangun keintiman dengan kapitalis-birokrat dan
bekelakuan seperti seorang priyayi. Tak heran di sekeliling
kita dipenuhi oleh manusia-manusia yang tak bisa merdeka
dari kuasa modal.

Bangunan kesadaran yang didiktekan oleh kelompok dominan


bahkan dengan serampangan menghambat perkembangan
ilmu-pengetahuan dengan menentukan apa bacaan dan
gagasan apa yang patut dikonsumsi. Kemudian bukan hanya
asupan keilmuan yang ingin mereka kendalikan, tapi terbanter
adalah penilaian baik, buruk, benar, dan salah. Inilah yang
membuat mayoritas kader himpunan secara gegabah

688
menanam kebencian terhadap organisasi yang dibenci oleh
penguasa. Akibatnya himpunan ketinggalan juga kesulitan
dalam mempertajam barisan, memperlebar sayap, dan
menguatkan, persatuan dengan gerakan lainnya. Kader-kader
tidak punya kesempatan merangsek menuju kemajuan. Karena
doxa telah membuat pandangan kader terus membebek pada
mereka yang melanggengkan tatanan. Itu sebabnya kebebasan
berpikir berada dalam ancaman kepongahan. Gagasan-
gagasan yang berbeda kemudian dengan mudah dihinakan.
Keadaan inilah yang mengakibatkan kebebasan tidak mampu
disalurkan ke bentuk tindakan, melainkan dipaksa menjadi
basi dalam pikiran. Itu sebabnya kader tak pernah berdaya
berhadap-hadapan dengan orang yang memiliki otoritas:
senior dan pengurus.

Dirinya bukan saja merasa tertekan untuk mendeklarasikan


pandangan tapi juga ketakutan dalam mencetuskan tindakan.
Jadilah ia mahluk yang tak punya pendirian dan begitu mudah
diarahkan, bahkan dikendalikan oleh mereka yang
menggunakan pengetahuan dan kekuasaan dengan
mendalihkan apa yang dianggap sebagai kebenaran. Itulah
strategi yang digunakan untuk membungkam, menundukan,
dan memaksakan kehendaknya kepada para korbannya. Maka
kader-kader mendapati dirinya sangat malang: seperti spesies
yang tidak sanggup menyangsikan keinginan dan perintah.
Keadaan jika terus dibiarkan maka akan melahirkan manusia
yang terus-menerus membebek karena tidak punya
kemandirian dan inisiatif. Untuk itulah keberanian harus
dimiliki untuk melawan dominasi. Keberanian mesti disulut
dari benturan yang terjadi akibat perlakuan arbitrer kelompok
dominan. Inilah yang akan menumbuhkan kontradiksi internal

689
dalam diri seseorang. Tekanan-tekanan yang sudah tak mau
lagi ditampung akan melecut sikap berani untuk meraih
perubahan. Pada saat itulah manusia memeluk teguh
kebebasannya untuk mengembangkan pikiran, perasaan dan
kehendaknya. Dengan begitu doxa yang selama ini bertaburan
dalam himpunan dapat ditolak. Penolakan terhadap
pandangan dominan mengharuskan kader melakukan
perlawanan melalui pengaktifan pikiran kritis. Dalam Dits et
Ecrits, Michel Foucault menyebutnya sebagai kemampuan
menjawab tantangan untuk mengurai atau menganalisa
hubungan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran:

Dengan membongkar hubungan kekuasaan yang


disembunyikan akan mendorong tumbuhnya
perlawanan agar semakin memperluas lingkup
kebebasan. Lalu lingkup baru ini memungkinkan suara
yang tercekik dan terpinggirkan bisa mengungkap.
Dalam konteks inilah, kebebasan kita ditantang untuk
membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam
bertindak. Orang tidak lagi terkungkung oleh tradisi,
norma atau aturan yang cenderung mengekang
perubahan. Hanya dalam suasana kebebasan di mana
beragam bentuk dominasi dibongkar sehingga
dimungkinkan menghasilkan pengetahuan yang dapat
melawan cara memerintah yang dominan, bahkan bila
pengetahuan itu memakai selubung kebaikan dan nilai-
nilai luhur.

Albert Einstein pernah berkata bahwa keyakinan tanpa akal


sehat terhadap otoritas adalah musuh kebenaran yang paling
buruk. Dia lalu menganjurkan untuk menjadi manusia
merdeka karena kebebasan adalah dasar penting untuk
lahirnya semua nilai yang baik. Maka tak syak lagi anak-anak

690
muda yang sekarang menjadi kader himpunan juga mesti
memperjuangkan dirinya untuk menjadi orang-orang bebas.
Untuk itulah di hadapan senior atau pengurus yang mewakili
gerbongnya kebebasan harus dijadikan sebagai tameng dalam
menunjang tumbuh suburnya lingkungan perkaderan yang
bersih dari perhambaan dan perbudakan atas nama mencari
modal: budaya, sosial, simbolik, dan ekonomi. Dalam kondisi
yang seperti itu kader tidak akan lagi mudah didekte apalagi
cepat memakan dogma mereka. Karena pada keadaan jiwa
yang bebas keberanian akan berubah jadi senjata melawan
kepentingan dan dominasi. Doxa yang berusaha digunakan
untuk meracuni dan mengendalikan cara pandang seseorang
tak lagi memiliki daya paksa. Kader yang mampu melakukan
ini kemudian dapat membentuk nilai-nilai kemanusiaan yang
tidak lagi terkekang oleh pandangan yang datang dari
kelompok dominan.

Kebebasan akan memberikan kesetaraan; setara yang bukan


menyamaratakan setiap kader dari tingkat umur, lamanya
berhimpun, maupun jenjang kaderisasi, melainkan
memberikan kesempatan yang sama terhadap kepada para
individu dalam mengoptimalkan pikiran, perasaan, dan
kehendaknya. Dalam keadaan seperti itu perkaderan pasti
mampu mengakarkan solidaritas sejati, yakni kebersamaan
dan persaudaraan tanpa embel-embel kepentingan senior atau
gerbong. Kader kemudian mendapati dirinya terbebas dari
sangkar seniorisme-gerbongisme yang selama ini mengancam
perkembangan dan kemajuannya sebagai manusia mandiri dan
bermartabat. Untuk itulah kita perlu lebih gandrung
memperjuangkan kemanusiaan daripada prestise, kepentingan,
maupun kekuasaan. Pemikiran seperti ini diyakini Alexander

691
Berkman sebagai gagasan alternatif untuk memekarkan
kebebasan agar lahirnya tatanan yang manusiawi:

Kita harus belajar berpikir secara berbeda tentang


pemerintah dan otoritas…. Kita harus belajar untuk
menghormati kemanusiaan sesama kita, bukan untuk
menyerang atau memaksanya, bersumpah untuk
menghentikan paksaan dalam bentuk apapun:
memahami obat bagi kejahatan terhadap kebebasan
adalah memiliki lebih banyak kebebasan, bahwa
kebebasan adalah ibu dari keteraturan. 438

Ketika kader-kader berani menyalurkan kebebasannya maka


akan timbul, tumbuh dan berkembang sebuah pola interaksi
yang tidak terbujur kaku di bawah jabatan, status, atau
prestise apapun. Dengannya tak ada lagi ketakutan untuk
menegur, mengkritik, dan menggugat senior, pengurus,
maupun gerbong, yang memerosotkan organisasi. Melalui
kebebasan kita tidak akan melukai tapi malah berusaha
menyelamatkan mereka dari segala bentuk perembesan.
Karena kebebasan yang dimiliki kader akan membawa
kesetaraan yang mampu memperkuat rasa persaudaraan dalam
himpunan. Itulah kenapa bebasnya kader dari dominasi
maupun hegemoni aparatus ideologis negera dapat
menghadirkan kebaikan. Tidak ada lagi kekerasan simbolik
yang muncul dalam kesewenang-wenangan doxa. Kader tak
lagi terbelenggu oleh pandangan yang didiktekan lewat
otoritas, melainkan berhak menggunakan pandangannya
sendiri. Ini berkat kebebasan yang memberikan kesetaraan
bukan dalam jumlah tapi kesempatan. Kesetaraan semacam

438
Alexander Berkman, (2018), Apa Itu Anarkisme Komunis?, Yogyakarta:
Penerbit Jalan Baru, Hlm. 296.

692
itulah yang membuka pintu tak sekedar dalam soal
berkegiatan, tapi terutama mendatangkan kemajuan dan
kemandirian.

Kebebasan pada diri masing-masing kader harus membuatnya


menghormati karakter manusia yang beragam. Melalui
kebebasan tidak akan ada penindasan terhadap keragaman.
Karena dengan kebebasan sejatinya tak memaksakan
kesamaan dalam soal jumlah, melainkan membuka pintu
persamaan kesempatan. Kesamaan pada jumlah hanya akan
menghadirkan kesewenang-wenangan. Itulah yang membuat
kelompok dominan menebarkan pandangan untuk membentuk
tatanan zalim: monopoli wacana hingga memaksa
keseragaman. Lingkungan seperti itu bertahan lantaran tidak
adanya keberanian untuk menyalurkan kebebasan. Untuk itu
kader harus melakukan perlawanan sederhana yang dimulai
dari penolakan guna memperluas ruang lingkup kebebasan.
Sikap berlawan harus diarahkan terhadap pandangan
kelompok dominan yang dengan penuh muslihat
diuniversalkan. Cara pandang yang demikian amat kejam
terhadap keberagaman. Ini sangat berbahaya buat mekarnya
pikiran, perasaan, dan kehendak manusia. Sebab dominasi
terhadap pandangan itu akan mengekang kehidupan dan
kebiasaan dengan sebuah cetakan seragam yang menolak
siapa dan apa saja yang berbeda. Doxa yang datang dari para
pemilik otoritas selama ini telah membuat kita hidup seperti
mesin otomatis yang diprogram mekanik. Fenomena inilah
yang disebut sebagai perbudakan moral, intelektual, dan lebih
berbahaya ketimbang diperbudak secara fisik.

693
Waktunya bendera pembebasan dikibarkan dalam setiap
individu yang dikader dalam himpunan. Sudah tidak mungkin
lagi kader-kader ditindih kesempatannya untuk menorehkan
pandangan. Maka dari itu kebebasan harus dijadikan senjata
dalam merebut kesetaraan. Tidak jenuhkah kalian meminum
doxa dari kelompok dominan? Sampai kapan kebenaran
diproduksi lewat otoritas? Telah berapa lama akal sehatmu
dirampok? Apa kalian begitu nyaman menjadi budak
pemikiran dan kepentingan? Di manakah kebebasanmu saat
sebagai manusia yang merdeka? Tak beranikah kau
menggugat kenapa mereka terus merayu kita dengan
kebenaran instan, bukan dicari sendiri-sendiri? Melalui
karyanya Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab,
Khaled Abou El Fadl menuliskan gagasan Amr Ibn Bahr
tentang kebenaran; baginya pergulatan untuk mencapai
kebenaran tak bisa dikawan dengan model berfikir yang kolot,
naïf, dan kaku. Itulah kenapa kebenaran tidak boleh
dipaksakan atau disuntikan lewat jarum: status, jabatan,
maupun selubung kuasa pengetahuan. Karena itulah siapa-
siapa yang mendaku kebenaran apalagi menyebarkannya
hingga menjadi cara pandang umum. Maka dialah orang yang
disebut Amr sebagai kaum perompak akal:

Dalam setiap manifestasi kehidupan, baik dalam


kehidupan binatang atau tumbuhan, saya menjumpai
pelajaran, dan saya benci, teramat membenci, intelek-
satu-dimensi. Saya hidup memerangi moral picik kaum
perompak akal, kaum tradisionalis, dan kaum birokrat.
Saya hidup membela keindahan pemikiran dan seni
bernalar. Sebab tidak hanya nalar yang dibenci oleh
kaum perompak melainkan juga estetika nalar…. Saya

694
merasa bahwa kebenaran tidak sepenting semangat
mencari kebenaran.

695
Berhati-Hatilah dengan Berhala Manusia Modern

“Akan datang suatu zaman atas manusia. Perut-perut mereka


menjadi tuhan-tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka
menjadi kiblat mereka. Kehormatan mereka terletak pada
kekayaan mereka. Dinar-dinar mereka menjadi agama
mereka. Kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka.
Waktu itu, tidak tersisa iman sedikitpun kecuali namanya
saja. Mesjid-mesjid mereka makmur dan damai. Akan tetapi
hati mereka kosong dari petunjuk. Ulama-ulama mereka
menjadi mahluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi.
Kalau terjadi zaman seperti itu. Allah akan menyiksa mereka
dan menumpahkan kepada mereka berbagai bencana (al-
bala) kekejaman penguasa, kekeringan massa dan kekejaman
para pejabat serta pengambil keputusan.” (Nabi Muhammad
SAW439)

Tujuan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sangat mulia:


terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT
Melaluinya aktivitas himpunan dinisbahkan sebagai proses
pembinaan terhadap kader agar setiap individu memiliki
kualitas insan cita. Makanya tugas pokok HMI secara
organisatoris adalah menyediakan sumber daya manusia
(SDM) yang dapat berperan aktif dalam kehidupan umat dan
bangsa. Itulah mengapa penyediaan SDM yang berkualitas
diupayakannya melalui serangkaian usaha sistematis, terarah
dan utuh-menyeluruh—kegiatan tersebut dinamainya dengan

439
Lihat dalam Jaluluddin Rakhmat, (2005), Meraih Cinta Ilahi:
Pencerahan Sufistik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

696
perkaderan. Dalam perkaderannya biasanya ditemui segala
bentuk usaha-usaha kaderisasi yang bukan hanya dalam
bentuk kegiatan formal tapi juga informal dan non-formal.
Kaderisasi merupakan serangkaian usaha organisasi yang
dilakukan secara sadar, sistematis, dan terus-menerus untuk
pembentukan dan pengembangan diri serta karakter kader. 440
Berkat seabrek kegiatan kaderisasinya pantaslah kiranya
perkaderan menjadi ajang pendidikan buat kader. Kini
pendidikan itu bukan hanya mencerahkan tapi juga
mengakibatkan kejatuhan moral dan intelektual. Ini telah
dibahas di bagian sebelumnya: bagaimana doxa tidak hanya
menghomogenkan pandangan, melainkan pula menyuburkan
konsumerisme dan mimesis terhadap apa saja yang bersal dari
kelompok dominan.

Bourdieu memang pernah menjelaskan bahwa doxa


merupakan bahaya laten dalam sistem pendidikan, karena
terjadi distribusi kapital bahasa yang tidak setara: ada yang
diakui dan diterima gagasan-gagasannya, hingga ada pula
yang tidak memiliki pengaruh sama sekali; dan kemudian ia
hanya bisa menerima sebagai kebenaran terhadap apa-apa
yang merugikannya. Itulah mengapa budaya konsumtif dan
peniruan terhadap pikiran, perbuatan, dan penampilan senior
atau pengurus bahkan alumninya. Keadaan yang begini telah
menjadi sesuatu yang lumrah dalam peradaban himpunan.
Karena telah sudah mengakarnya kelumrahan itu maka
konsumerisme dan mimesis jadi habitus: kebiasaan. A.
Giddens menjelaskan ternyata kebiasaan tersebut kait-mengait

440
Lihat Kongres HMI di Ambon, (14-27 Februari 2018), Hasil-Hasil
Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam Meneguhkan Kebangsaan
Wujudkan Indonesia Berkeadilan, Jakarta: Penerbit PB HMI, Hlm. 364.

697
dengan praktik-praktik sosial, cara pandang, sistem
pengorganisasian, interaksi kekuasaan, dan norma yang
berlaku. Baginya, untuk melakukan perubahan terhadap
habitus adalah mesti melewati jalur pendidikan. Melaluinya
kebiasaan bukan hanya dapat dibentuk tapi juga diubah. Maka
dengan pendidikan kader, mahasiswa-mahasiswa Islam tak
seharusnya dibuat jadi intelektual tukang tapi intelektual
progresif.

Sudah saatnya segala penyakit yang menerobos masuk ke


dalam organisasi dibersihkan dengan perkaderan. Itulah
kenapa sekarang pendidikan kader yang tak punya gairah
perlawanan sudah tak dibutuhkan. Pendidikan kader hari-hari
ini mesti mampu menyuntikan dorongan-dorongan
pembebasan. Hanya dengan itulah anggota-anggota himpunan
tidak mudah lagi meminum doxa dari kelompok dominan.
Mereka tak akan gampang percaya dengan segala omongan
pengurus, senior bahkan alumni sekalipun. Ini akan
melindunginya dari bahaya laten untuk dijadikan massa yang
bisa digiring ke mana saja: meramaikan aksi bayaran, jadi
panitia-panitia kegiatan-kegiatan serimonial, atau ikut seminar
dan dialog bersama pemangku kepentingan publik. Kader
memang harus dididik untuk jadi penurut apalagi takut pada
setiap perintah. Itu sebabnya siapapun yang mengkader
anggota tak boleh mendominasi, melainkan mengajar dengan
menajamkan gairah kebebasan. Inilah yang akan membuat
siapa saja mampu mengutuk segala kelaziman dan menggugat
pelbagai perembesan. Karena pengetahuan yang dimilikanya
tak hanya dalam bentuk gagasan tapi juga mampu disuarakan
sebagai sikap hidup dan tindakan.

698
Dalam lensa sejarah HMI pernah mengalami fase kebangkitan
intelektual dan pergolakan pemikiran. Itu terjadi sekitar tahun
1970 sampai 1994. Ini adalah masa bagaimana kebebasan
berpikir mampu memekarkan gairah intelektualitas kader.
Itulah mengapa lahir pemikir-pemikir besar dari himpunan. Di
antaranya ada Nurcholish Madjid—yang akrab disapa Cak
Nur—dan Ahmad Wahib. Nurcholish tak sekedar jadi kader
yang sukses mengetuai struktural Badko hingga dua kali
memimpin PB, tapi terutama telah mampu meletakkan
bangunan Nilai Dasar Perjuangan HMI. Darinya juga lahir
wacana sekularisasi pemikiran Islam. Gagasan itu timbul
lantaran muslim mengalami kejuwudan. Maka baginya harus
diupayakan kebebasan dalam berpikir. Sikap bebas telah
membuat dirinya berani mencetuskan kritikan yang
menggetarkan. Dulu, dalam pandangannya HMI harus bubar
karena dalam tubuhnya berkumpul para koruptor dan master
clean. Kaum-kaum perompak yang dikritik Cak Nur itu
ternyata persis kelompok dominan yang hari-hari ini tumbuh
subur dalam himpunan, salah satunya: melakukan many
politic demi meraih jabatan. Mendapati keadaaan ini
Nurcholish tak tinggal diam makanya pernyataan untuk
melenyapkan organisasi bukan malah didasarai atas motif
jahat tapi niat baik: tidak terima kesucian himpunan dikotorori
oleh pelbagai kepentingan.

Kelak percikan kebebasan berpikir itu mendorong


perkembangan kaderisasi. Batu yang diletakan Cak Nur
mampu menyadarkan kader-kader HMI lainnya akan
pentingnya kebebasan. Karena dalam pemikiran yang bebas
kader bukan saja diberi asupan pengetahuan dan pengalaman,
tapi juga dibukakan kesempatan menggugat keburukan

699
dengan menyuarakan kebenaran. Inilah mengapa selanjutnya
muncul sosok Ahmad Wahib. Wahib tak sekadar bergiat
dalam himpunan sebagai pengurus Cabang, tapi juga
meluaskan lahan pengabdian sebagai jurnalis yang
menggugah kesadaran masyarakat. Darinya disemai tauladan
pemberontakan untuk memperjuangkan ruang berpikir bebas.
Baginya tidak ada seorang pun yang boleh membatasi
seseorang dalam berpikir. Itulah kenapa dirinya sampai
memilih langkah berlawan: memundurkan diri dari
keanggotaan himpunan. Dia tampaknya kesal dengan
kelaziman-kelaziman pemikiran keagamaan yang ada di
lingkungan organisasinya. Ia mungkin pula jenuh mendapati
aktivitas kaderisasi yang lebih mengutamakan kekuasaan
ketimbang ilmu-pengetahuan. Makanya Wahib menjadi
pribadi yang selalu gelisah. Kegelisahannya mendorongnya
terus melakukan permenungan dan pencarian intensif. Kelak
berpikir yang kemudian dituliskannya dalam sebuah catatan
harian. Wahib melahirkan sebuah karya yang sekarang
dikenal luas dengan Pergolakan Pemikiran Islam.

Mereka telah banyak memberikan kontribusi bukan hanya


buat himpunan, namun pula untuk umat dan bangsa. Lagi-lagi
yang membesarkan pikiran keduanya adalah perkaderan berisi
pencerahan dan pembebasan. Kaderisasi ditunjang oleh
suasana penuh gairah kebebasan, bukan pembatasan
kesempatan, penyeragaman pandangan, dan kebuasan
kekuasaan. Nurcholish dan Wahib adalah dua kader HMI
yang dibesarkan dalam suasana kebebasan berpikir. Keduanya
menyebut itu bukan sebagai sekularisme tapi sekularisasi:

700
Sekularisme itu anti agama tapi sekularisasi itu netral
agama. Sekularisme itu walaupun mencapainya
memerlukan sekularisasi (sebagai proses ‘pendekatan’),
dia bersikap tidak senang terhadap sekularisasi, karena
keterbukaan dan kebebasan yang diberikan oleh
sekularisasi itu bagai pencarian hakikat lebih lanjut
‘melampaui dunia ini dan saat ini’…. Dengan
sekularisasi berarti kita bahwa kita betul-betul
ememahami tanggung jawab kita sebagai khafifatullah
fil ardhi. Hanya dengan demikian kita akan terlihat
bahwa telah terjadi ‘kemitraan’ antara Tuhan dan
manusia dalam menulis sejarah….441

Lingkungan kebebasan yang telah melahirkan pemikir-


pemikir itu kini dicemari bau bacin politik. Kaderisasi
kemudian berada pada posisi yang amat rentan: terancam oleh
pelbagai kepentingan murahan. Tidak bisa lagi kita berharap
organisasi ini melahirkan pemikir-pemikir tangguh seperti
dahulu. Sebab kaderisasi bukan lagi terbuka dan
membebaskan, tapi tertutup dan memenjarakan. Itulah kenapa
begitu banyak kader himpunan yang terbelenggu doxa
kelompok dominan. Sulit sekali mendapati kader yang berani
berdiri di atas bangunan pandangan yang bebas. Tetapi betapa
mudahnya melihat manusia yang tahunya hanya meniru dan
mengonsumsi apa saja yang datangnya dari para pendominasi.
Makanya hari-hari ini kader himpunan sudah banyak yang
berubah. Kalau dulu organisasi dijadikan ruang persemaian
pengetahuan maka sekarang telah menjadi wahana mencari
dan mempertahankan kekuasaan. Itulah mengapa makalah LK

441
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Peny.), (2003), Pergolakan Pemikiran
Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta; Pustaka LP3ES Indonesia
dan Freedom Institut, Hlm. 79-80.

701
II dan jurnal LK III sering kali dilancarkan melalui lobi-lobi
politik. Training-training ini kerap kali diikuti sebagai batu
loncatan untuk prasyarat memeluk jabatan. Perkaderan
himpunan yang seharusnya mencerahkan dan membebaskan
manusia dari belenggu justru menjebak seseorang pada status.
Kader-kader kemudian tak hanya berjuang untuk menjabat
sebagai pengurus, tapi terutama bagaimana memenangkan
citra. Makanya gordon dan muts bukan sekedar dipakai untuk
mengikuti kegiatan resmi, namun kebanyakan digunakan
sebagai pembeda kelas sosial dalam himpunan.

Budaya intelektual kini telah ditindih oleh pelbagai


kepentingan apa saja, termasuk politik yang memerosotkan.
Politik yang mereka jalankan bukan dalam kediriannya
sebagai zoon politicon, melainkan manusia-manusia oportunis
dan pragmatis. Itu sebabnya ada yang mendakukan pandangan
bahwa bahwa organisasi kader itu tak pantas
berkecenderungan ke dunia pergerakan. Perkaderan dipahami
dengan amat konservatif. Maka kaderisasi dalam habitus yang
sindrom seperti itu cenderung ingin memisahkan diri dari
gerakan. Jadinya arah perkaderan justru tidak memiliki
kejelasan orientasi. Banyak sekali gagasan-gagasan besar tak
disalurkan lewat kerja-kerja lapangan. Ini terjadi karena
episteme yang ada dalam organisasi sudah dikuasai oleh cara
pandang kelompok dominan. Dalam kondisi yang begini
maka kader-kader, terutama para pengurusnya semakin
bergelantungan pada senior atau alumni. Aktivitas himpunan
kemudian tidak bisa dijalankan tanpa bantuan patron. Pada
saat inilah organisasi sangat mudah tersusupi oleh kekuatan
modal, baik yang datang dari birokrasi maupun pendonor
asing. Inilah yang memposisikan himpunan bernasib sama

702
dengan negara: jadi pesakitan karena didikte kepentingan para
pemberi pinjaman. Inilah yang menyebabkan
ketidakmandirian pengurus. Dia mudah mengemban tugas
dari siapa saja yang memberinya bantuan. Titah yang
diberikan bermacam namun intinya adalah mendukung segala
yang dilakukan penguasa. Jika itu menimpah seorang ketua
umum maka akan terjadi hal memalukan: himpunan bungkam
ketika terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan. Kondisi yang
begini kaderisasi telah merosot ke dalam kubangan kehinaan.

Degradasi moral bukan hanya menimpah pimpinan organisasi,


tapi dengan pasti akan bergelantungan pada jajaran pengurus
lainnya. Saat itulah keburukan dilaksanakan secara berjemaah
hingga dijadikan sebagai cara pandang organisasi karena
melalui posisi mereka sebagai kelompok dominan pandangan
itu ditebarkan ke anggota-anggota himpunan. Dominasi inilah
yang membujuk dan mengarahkan kader-kader untuk terus
mengonsumsi dan meniru kenaifan yang ditanamkan
pemimpin-pemimpinnya. Keburukan akhirnya disepakati
sebagai sebuah kebaikan. Dalam keadaan yang seperi ini
maka pembusukan cepat sekali merambah dan terus
mengembangbiakan manusia-manusia berpringai busuk.
Kondisi ini sangat menghina kaderisasi: pendidikan kader tak
melahirkan pahlawan tapi justru penjahat. Pengetahuan yang
dimilikinya jadi barang murahan; sama sekali tidak
mengandung komitmen pembebasan. Tercemarnya kehidupan
himpunan selanjutnya dapat dilukiskan melalui syair indah
Abu Shukur dari puisinya yang berjudul Kembang Para
Syuhada:

703
Sebuah pohon dari benih yang pahit.
Buahnya dimakan dengan mentega dan gula.
Akan tetap terasa sebagai buah yang pahit.
Dari benih yang seperti itu, tak kau peroleh yang manis.

Jika perkaderan diasosiasikan sebagai pohonnya himpunan.


Maka proses kaderisasinya hari-hari ini telah menghasilkan
banyak sekali buah. Kebanyakan di antaranya hadir dengan
rasa yang pahit. Kepahitan itulah yang kita rasakan ketika
mendengar kabar adanya sekalangan pengurus yang dengan
gampang mempertontonkan kekerasan demi jabatan.
Kelakuan mereka persis senior-senior yang menjadi mafia
dalam hinpunan. Senior-senior itu bukan hanya memperjual-
belikan kepala peserta utusan penuh pada saat pesta
demokrasi organissi. Melainkan juga mereka biasa
memanfaatkan junior-juniornya untuk kepentingan apa saja di
luar kegiatan himpunan. Tengoklah bagaiamana kader-kader
didiktekan dan digunakkan kemampuannya untuk mendukung
calon legislatif atau eksekutif tertentu, terutama orang-orang
yang pernah menjadi dikader di hjimpunan. Untuk
memenangkan mereka dengan lihai kader dipasang jadi tim
sukses secara sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya kaderisasi
kemudian rawan dipolitisasi. Tetapi inilah yang membentuk
pandangan umum bahwa bukan hanya kaderisasi HMI yang
berorientasi kekuassan, tapi juga pada gerakan yang dilakukan
kader-kadernya.

Dalam kaderisasi berorientasi kekuasaan maka kedekatan


seorang junior dengan senior atau pengurus tak lagi murni
merawat budaya intelektual, karena dicemari soal (re)produksi
kuasa. Inilah juga yang terjadi pada hubungan anggota dan
alumni. Bertemunya mereka bukan sekedar silaturahmi, tapi

704
terurtama mencari dan merawat koneksi. Orientasi terhadap
kekuasaan telah memerosotkan perkembangan pengetahuan
dalam kaderisasi dan menumpulkan gerakan organisasi.
Pandangan yang demikian telah mengakarkan keyakinan
tentang pentingnya menguasai dan memerintah. Kader-kader
yang terlanjur mengonsumsi cara pandang naïf ini cenderung
mematrikan mental yang agak zalim. Merekalah yang
berusaha memanfaatkan organisasi sebagai batu loncatan
untuk menjadi penguasa dan pemerintah. Hasrat akan
kekuasaan mendorong hadirnya manusia-manusia licik, kasar,
dan rakus. Mereka tanpa segan menyebarkan isu apa saja yang
dapat memuluskan mengecap singgasana. Fenomena itulah
yang terjadi ketika dalam organisasi kita diperlihatkan
bermacam cara untuk melengserkan seorang Ketua Umum
hasil Kongres.

Kekuasaan kini bukan saja sukses mengurung perkembangan


kaderisasi dan kemajuan gerakan ke dalam penjara
kepentingan karatan. Melainkan juga secara gemilang erhasil
memperhamba anak-anak muda yang berada dalam
himpunan. Inilah yang menunjang terjadinya penyimpangan
perjuangan organisasi. Kader-kader yang dilahirkan, hidup,
tumbuh, dan berkembang lalu mudah sekali tumbang. Mereka
ditumbangkan oleh hasrat kuasa yang membuat manusia
memeluk moralitas borjuis. Kondisi moral seperti ini
memahat manusia jadi kerdil: dia tidak punya komitmen
terhadap nilai kebenaran, keadilan, kebebasan, kesetaraan,
persaudaraan, dan keindahan. Tetapi dirinya lebih
mementingkan kehidupan yang berisi kesenangan dan
kebahagiaan buatan dalam bentuk kekuasaan. Ali Syari’ati
menggapnya kemorosotan tersebut sebagai akibat dari berhala

705
psikologis. Dalam karyanya yang berjudul Haji, dia
menjelaskan tentang kecenderungan dan kemerosotan akibat
pemberhalaan manusia modern:

Apakah berhala psikologis itu? Jabatan Anda? Nama


baik Anda? Posisi Anda? Profesi Anda? Kekayaan
Anda? Tempat tinggal Anda? Taman Anda? Mobil
Anda? Orang yang Anda cintai? Keluarga Anda?
Spiritualitas Anda? Baju Anda? Kemasyhuran Anda?
Tanda tangan Anda? Jiwa Anda? Masa muda Anda?
Kecantikan Anda? Saya sendiri tidak tahu. Anda sendiri
yang mengetahuinya … Saya hanya bisa memberikan
tanda-tandanya kepada Anda: apa saja yang mengajak
Anda berhenti berbuat. Apa saja yang membawa
keraguan terhadap tanggung jawab Anda. Apa saja
yang melekat pada Anda dan menarik Anda ke
belakang. Apa saja yang telah Anda susun dalam hati
yang tidak membolehkan Anda mendengar pesan
supaya mengakui kebenaran. Apa saja yang
menyebabkan Anda lari. Apa saja yang membawa
Anda kepada justifikasi, legitimasi, hermeunetik,
mencari kompromi dan cinta yang membuat anda buta
dan tuli.

Eric Fromm menjelaskan penyembahan berhala merupakan


tindakan mengingkari kedirian manusia sebagai mahluk
berjiwa yang mempunyai kehidupan. Dia memberitahukan
bahwa berhala-berhala manusia modern yang serakah dan
terasing dapat merupakan konsep produksi (budaya, sosial,
ekonomi, dan politik), konsumsi, teknologi, serta perusakan
terhadap lingkungan. Kader-kader yang sudah terjatuh ke
dalam pemberhalaan itu harusnya diselamatkan. Waktunya
kaderisasi jadi suluh yang membebaskan dari belenggu

706
kepicikan, kesesatan, dan kehinaan. Sudah tidak boleh lagi
perkaderan dengan gerakan organisasi terus-menerus
memproduksi dan mendistribusikan kekuasaan konservatif
nan kolot: pangkat dan jabatan, terutama yang berada pada
pranata kenegaraan. Karena ini mudah sekali membelokan
tujuan. Sudah banyak kepentingan kapitalis-birokrat yang
merembes aktivitas himpunan. Itulah yang menyebabkan para
pengurus lebih nyaman bertemu dengan senior, alumni,
bahkan pejabat, ketimbang anggota biasa himpunan, terutama
kader Komisariat. Mereka lebih memikirkan bagaimana
caranya membangun, merawat dan membesarkan jaringannya
daripada beragam persoalan yang membuat himpunan hampir
sekarat.

Dengan ketidakmampan menyembuhkan penyakit maka


jalannya organisasi jadi begitu pasif. Bidang Kewirausahaan
dan Pengembangan Profesi (KPP) kehilangan daya imajinatif.
Jarang sekali bidang itu melakukan aktivitas baru, unik, dan
menarik. Ia hanya tahunya mendorong lembaga kekaryaan
dalam melaksanakan kegiatan yang tidak mandiri tapi amat
menguntungkan dan menggiurkan. Itu sebabnya begitu marak
kegiatan Lembaga Pengembangan Profesi (LPP) yang tak
pernah beringsut dari program pemerintahan. KPP dan LPP-
nya kemuduian gemar berseminar, berkuliah umum, hingga
berdiskusi akbar tanpa aksi. Mereka amat lihai berteori
bersama kaum borjuis tapi tidak sampai ke tataran praksis.
Melalui kegiatan beginilah himpunan mendapatkan jatah
untuk dijadikan kas organisasi. Hanya saja tindakan barusan
justru membuat gerakan bergantung pada penguasa lewat
hubungan akomodasi.

707
Ditunjang oleh kenyaman itu maka Bendahara kemudian
sukar berfungsi untuk mengumpulkan iuran dari anggota.
Tetapi ia juga akan ikut mengandalkan jatah dari penguasa.
Lagi-lagi ini dapat berdampak pada proses kaderisasi dan
gerakan. Di bawah kenyamanan itulah para pengurus enggan
menempuh cara militan. Karena mereka sudah terbiasa
dibantui, disuapi, dan dihidupi. Makanya dalam training,
pesta demokrasi organisasi, bahkan dalam kegiatan apa saja
HMI tak pernah mandiri soal anggaran. Jika tidak pada
alumninya, pasti kader-kader selalu berharap dana melalui
proposal yang dibawa ke para birokrat. Sungguh organisasi
tak pernah tahu bagaimana caranya menghasilkan uang
sendiri. Wajar kader-kadernya tak ada inisiatif untuk
mengadakan usaha-usaha kreatif, inovatif, dan merakyat.
Orang-orang yang hidup di lingkungan ini pasti keslitan untuk
mandiri, berjiwa pemberani, dan berpikir kritis. Coba
tengoklah keadaan Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan
dan Pemuda (PTKP) hari-hari ini. Mungkin mereka tahu
bagaimana caranya menggelar diskusi dan kajian. Tapi
kebanyakan gagal mengalirkannya sampai ke gerakan. Isu-isu
pendidikan, kepemudaan kerakyatan jarang diperhatikan.
Wajarlah kader-kader kemudian tak bergairah untuk
melakukan pergerakan dan mengupayakan munculnya
perubahan. Karena perbuatannya dalam membahas
permasalahan dan melancarkan protes hanya ketika ada
instruksi.

Pendidikan kader seolah telah gagal memberi pengetahuan


gerakan, karena sebuah pergerakan dilakukan bukan berdasar
tuntutan situasi tapi kehebatan kekuatan instruksi. Itulah
mengapa PTKP kesulitan dalam mengadvokasi persoalan

708
yang menimpah kaum miskin dan tertindas. Kondisi ini persis
yang terjadi pada Bidang Pendelolaan SDA dan Lingkungan
Hidup: entah apa tugas dan wewenangnya untuk lingkungan
di tengah kerusakan yang ditimbulkan oleh pelbagai aktivitas
perusahaan. Dia jarang sekali mempersoalkan pembangunan
infrastruktur yang tidak berbanding lurus dengan SDM dan
kesejahteraan rakyat. Masalah seperti itu juga abai dilihat
Bidang Pemberdayaan Umat (PU). Makanya Islam yang
dijual oleh ustad-ustad seleb tak mau dikritik dan ditolak.
Sama halnya dengan bergelimangnya kasus korupsi yang
jarang diprotes dan dikutuk. Kondisi yang bungkam terhadap
macam-macam kebobrokan menandakan kaderisasi tidak
berhasil mendorong untuk kader-kadernya bergerak. Inilah
alasan kenapa Kejahatan dan kekerasan Bidang Hukum dan
Hak Asasi Manusia (Kum-HAM) tak pernah peduli dengan
maraknya kekerasan aparat terhadap masyarakat tanpa tahu
malu . Bidang ini kelihatannya amat pongah: hanya bersuara
polisi menyenggol kader-kadernya yang kemayu. Etos,
komitmen, dan konsistensi gerakannya sudah layu. Makanya
malas sekali dia memperjuangkan keadilan untuk korban-
korban pelanggaran HAM masa lalu dan saat ini yang
menjamur di Indonesia dan Papua.

Kaderisasi kini sudah tak mengajarkan keberanian.


Pendidikan kader yang selama ini didapat dalam organisasi
sepertinya kurang mampu menggerakan seseorang untuk
memperjuangkan keadilan. Itulah sebabnya Bidang
Pembangunan Nasional (PN) buta atas penggusuran lahan,
pemutusan hubungan kerja, dan kekerasan didapatkan oleh
kaum tani dan buruh. Bidang ini nyaris tidak mau tahu
bagaimana kedigdayaan modal telah menghancurkan

709
kehidupan ekonomi-politik rakyat. Makanya ia sama sekali
enggan melancarkan propaganda-propaganda tentang
petingnya kemandirian bangsa dan persatuan pergerakan
nasional. Sikap itu persis yang ditampilkan Bidang Hubungan
Internasional (HI): tak pernah mau mengutuk pemodal-
pemodal asing yang membuat Indonesia jadi pesakitan.
Bidang HI mungkin hanya sibuk mencari kerja sama yang
menguntungkan dengan elemen-elemen asing luar negeri.
Tetapi tak pernah mau membangun hubungan berkemajuan
dan kerja-kerja perlawanan dengan menggandeng organisasi-
organisasi dunia. Kini perkaderan organisasi sedang melewati
masa suram.

Pendidikan yang diberikan kepada kader adalah berisi ajaran


yang tak mampu memadukan kaderisasi dengan gerakan.
Kaderisasi organisasi mungkin dipandang oleh para pengurus
sebatas hanya forum-forum LK saja. Itulah mengapa bidang-
bidang organisasi abai terhadap kesewenang-wenangan yang
terjadi di luar sana. Kondisi ini begitu mencemaskan lantaran
membuat himpunan kehilangan kemampuan melawan tapi
lebih memilih berkompromi dengan keadaan. Dalam kondisi
yang hampir impoten ini Bidang Pembinaan Anggota (PA)
diharapkan memberikan obat terbaik. Sudah saatnya kader
dibina bukan untuk mengonsumsi dan meniru, apalagi untuk
mudah meyakini pandangan-pandangan naïf yang sudah
cukup lama memmudurkan kaderisasi dan gerakan organisasi.
Bidang PA seharusnya mampu menyediakan arena yang
membuat kader menjadi seorang yang berani, punya inisiatif,
dan berpegang teguh pada nilai-nilai yang ideal. Kita tentunya
sudah muak melihat kader yang penurut dan takut terhadap
senior dan gerbongnya. Tetapi ingin sekali rasanya

710
menyaksikan munculnya kader-kader yang punya gairah
perlawanan, pemberontakan, maupun pembebasan.

Bidang PA pastinya tak ingin seorang pengurus himpunan


tunduk pada instruksi senior atau alumni, ketimbang pada
kebijakan organisasi. Itulah sebabnya kader-kader butuh
dididik dan diajari bagaimana caranya mengubah keadaan.
Tidakkah kita kesal melihat kelakuan Bidang Pembinaan
Aparatur Organisasi (PAO) yang kebanyakan bersikap
permisif pada pelanggaran dan kejahatan. Bidang ini sangat
sinting: berpangku tangan ketika banyak terjadi pelanggaran
konstitusi. Aturan baginya bukan hanya untuk menertibkan,
tapi juga meniadakan hukuman. Itulah mengapa jarang sekali
diusut anggota-anggotanya yang melakukan penyimpangan,
terutama soal pembagian kue kekuasaan, politik uang pada
pemilihan ketua, dan terhadap mereka yang menjual nama
organisasi: mencari untung dengan memasukan proposal ke
birokrasi untuk dinikmati sendiri atau bersama anggota-
anggota gerbongnya. Perbuatan-perbuatan itu tentunya
mencoreng nama baik himpunan. Sama halnya
bermunculannya anggota organisasi yang suka mabuk,
berjudi, memeras seudara sehimpun, mengeksploitasi junior,
bahkan mempermainkan badan, pikiran, dan perasaan HMI-
Wati—kekejian ini terjadi di Semarang: ada kader HMI-Wan
yang berhubungan badan dengan kader perempuan namun
tatkala si gadis hamil ia tidak mau bertanggung jawab.

Ketidakbecusan menegakkan konstitusi tak semata disengaja


atau pula sekedar untuk menjaga nama baik kader, tetapi
paling banyak ditunjang oleh persoalan politis: intervensi
senior melalui kekuatan gerbongnya. Proses kaderisasi yang

711
penuh dengan kepentingan seperti itu telah merusak
pendidikan kader. Itulah mengapa forum-forum diskusi atau
kajian dalam himpunan tidak memiliki banyak peminat lagi.
Karena lingkungan organisasi tak lagi fokus mendidik dan
mengajarkan tentang keindahan pemikiran, tetapi keharusan
berkuasa: berjabatan, menguasai, dan memerintah. Inilah yang
menyebabkan tradisi intelektual yang dibangun dalam
himpunan ikut meredup. Makanya pelbagai forum keilmuan
formal yang disediakan pengurus kalah saing dengan tempat
tongkrongan. Kondisi ini sepertinya memberi masukan
kepada organisasi: kaderisasi bukan hanya harus berjalan
bersama gerakan, melainkan juga tak bisa dilaksanakan secara
kaku, kolot, apalagi agak kejam. Sudah waktunya ruang
organisasi tidak hanya mengajarkan tentang teori kehidupan
berdemokrasi, namun terutama adalah mempraktekan
demokratisasi. Itu sebabnya perlu disediakan ruang-ruang
demokratis yang selebar-lebarnya agar segala pikiran, sikap,
dan tindakan yang ada dalam himpunan dapat diberi kritik dan
otokritik.

Keadaan itu memberikan kebebasan kepada setiap kader,


yakni mendapatkan kesempatan yang sama. Melaluinya maka
kelompok dominan yang punya kecendurangan mewarisi sisa-
sisa feodal bisa digugat. Karena kita tentunya mendambakan
pendidikan kader yang membebaskan, bukan memperbudak,
membelenggu, dan meracuni dengan otoritas. Intinya
mengkader bukanlah memperbudak tapi mencerahkan dengan
pengetahuan-pengetahuan berkemajuan. Itulah mengapa
kaderisasi seharusnya enggan dijadikan arena unjuk
ketangkasan, permaianan kekuasaan, dan pendakuan
kebenaran senior kepada junior. Namun lewat perkaderanlah

712
pikiran-pikiran kritis disemai dan ditajamkan untuk
memperjuangkan kehidupan yang tercerahkan. Makanya
himpunan tak tepat diposisikan sebagai kandang sapi perahan
dengan memosisikan kader sebagai perkakas yang mudah
digunakan dan dimanfaatkan seenak perut penguasa. Kita
sepertinya punya harapan serpa: tak mau lagi dipertontonkan
parade pengeksploitasian kader yang dipakai dan ditukar demi
kepentingan apa saja.

Kaderisasi seyogyanya menyerukan perlawanan terhadap sisa-


sisa feodal dan ancaman patriarki dalam himpunan. Sudah
muak rasanya menghirup pandangan kelompok dominan yang
bukan hanya cenderung sewenang-wenang pada junior, tapi
juga memandang rendah perempuan. Mereka terlalu
mendominasi wacana. Itulah mengapa dalam kativitas
organisasi HMI-Wati tidak semenonjol HMI-Wan. Lihatlah
bagaimana diskusi atau kajian berlangsung: selalu saja kaum
Hawa terposisikan untuk menjadi pendengar setia karena tak
diajarkan keberanian untuk menyalurkan gagasan dan
pendapat seperti kaum Adam. Keadaan inilah yang membuat
posisi wanita menjadi amat rentan. Ketiadaan kesempatan
untuk bersuara meletakkan dirinya untuk terus terbiasa
dengan sikap bungkam. Selanjutnya yang terbangun adalah
kebiasaan memakan dan meyakini apa saja yang disuapi para
lelaki kepadanya. Karena pada posisi itu dirinya mudah sekali
terpana, terpukau, hingga terjerat wacana lelaki. Kondisi
inilah yang telah mengakarkan cara pandang naïf: nikahilah
Kohati-mu maka sempurnalah HMI-mu.

Keyakinan itu begitu naïf, bahkan terkesan menjadi


pengafirmasian kasar untuk menaklukan perempuan.

713
Pandangan demikian datangnya dari kelompok dominan.
Mereka adalah segelintir senior atau pengurus yang bukan
sekedar berusaha mengkader banyak orang dengan wacana
pongahnya, tapi terutama mencari pasangan hidup melalui
penggunaan pengetahuan dan kekuasaannya. Junior-lelaki
bukan sendirian menjadi korban ajaran kebodohannya: karena
kalau sudah mengonsumsi dan menirunya maka yang
dikorbankan tak cuma dirinya, melainkan yang terparah HMI-
Wati. Kata ‘menikahi untuk menyempurnakan’ itu merupakan
bentuk obyektifikasi terhadap perempuan. Karena itulah
perempuan sekarang sudah waktunya memasang perisai atas
upaya-upaya pembendaan. Jangan biarkan diri kalian mudah
termakan rayuan berselubung otoritas. Makanya perlu sekali
meneguhkan perlawanan diam-diam seperti nasehat cerdas
dari Annie Lecre:

Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar


menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri
dan bukan melalui mata laki-laki…. Jangan berperang
melawan laki-laki. Itu justru cara dia memenangkan
nilainya. Menyangkal untuk menegaskan diri.
Membunuh untuk hidup. Cukup kita kurangi isi-isi
nilainya dengan menertawakannya.

Pandangan yang terlanjur menyebar di kehidupan organisasi


kita itu tidak bebas nilai. Karenanya HMI-Wati jangan sampai
terjebak pada wacana laki-laki yang hadir dengan pendirian
netral sekalipun. Jika kalian tak mulai melancarkan
perlawanan maka boleh jadi perempuan bukan hanya
menyukai mereka karena balutan jabatan dan keaktifannya
berorganisasi saja, tapi juga kadar pengetahuan yang
terjewantah melalui kecerdikan memainkan retorika. Keadaan

714
ini bukan hanya melemahkan kaum perempuan melainkan
pula membuka kemungkinan untuk mendapatkan perlakuan
sewenang-wenang. Itu sebabnya jika kita coba melakukan
riset pasti di setiap Cabang ada saja senior atau pengurus yang
hobinya gonta-ganti pacar—HMI-Wati. Kadang kala
kesanggupan mengonta-ganti wanita dijadikan bahan pamer di
antara orang-orang yang berperingai serupa. Entah kelas
sosial seperti apa yang ingin mereka dapatkan; mungkinkah
yang dikejar adalah status playboy-nya himpunan? Lagi-lagi
orientasinya bukan hanya kepuasan perasaan namun juga
akumulasi citra. Makanya mereka berpacaran tak sekedar soal
cinta namun pula motif kepentingan dan kebutuhan bertahan
hidup. Ada yang sekedar menjalin hubungan hanya untuk
mengulik-ngulik informasi seputar rumah tangga Komisariat.
Pada saat itulah si kekasih tak sadar berperan serupa agen
ganda. Info-info rahasia tentang isi dapur rumahnya begitu
lancar diberitahukan kepada kekasihnya: bisa lewat diskusi,
gosip, hingga curhat. Bentuk pacaran kayak begini marak
terjadi di antara pengurus Cabang dengan pengurus
Komisariat.

Dengan menaklukan HMI-Wati terkadang kehidupan HMI-


Wan jadi lebih sejahtera. Perempuan bukan hanya
dijadikannya sebagai tempat berbagai cerita dan sandaran
duka saja, tapi bahkan lebih mirip tambang galiannya. Itulah
kenapa pacar dapat dengan mudah dipinjam uangnya,
leptopnya, dan motornya. Eric Fromm menyebut hubungan
yang begitu berjenis ‘dagang’. Jalinan perasaan tak tulus
melainkan diikat oleh buhul jual-beli. Makanya pacaran
kemudian harus berbuah keuntungan materil. Tetapi tak
jarang di antara kader-kader yang memang tulus mencinta.

715
Cuma ini berlaku di kalangan anggota biasa yang tidak
dikendalikan oleh naluri kuasa. Bukan pada mereka yang
mengejar jabatan, mendamba kebesaran jaringan, memuja
untung, maupun mau menduduki apa dan siapa saja. Karena
lingkungan kaderisasi berorientasi kekuasaan hanya akan
mencetak orang-orang yang mengobyekan sesama manusia.
Ini bahkan telah memosisikan kaum prempuan himpunan
persis bunga melati yang mekar bak sampah. Keharuman dan
keindahannya dicemari oleh anasir-anasir kumuh.

Kekumuhannya memicu kita membaca HMI secara peyoratif:


Himpunan Mencari Istri. Soalnya hubungan antara HMI-Wati
dengan HMI-Wan berkembang begitu rupa. Sampai untuk
menyempurnakan ke-HMI-annya seorang pemuda himpunan
tak malu mencetuskan kelakar busuk: harus menikahi kader
agar nanti buah hatinya tak lagi di-HMI-kan dengan
mengikuti LK I karena sudah dikader sejak dalam buaian
orangtuanya. Asmara di antara HMI-Wan dengan HMI-Wati
sesungguhnya bukanlah suatu yang mesti permasalahan.
Hanya saja percintaan mereka kerap kali membawa bahaya
laten: apabila hubungan romantis terputus kerap kali eksesnya
pasti menimpah perkaderan: HMI-Wati menjauh dari aktivitas
organisasi, terjadi konflik antar-HMI-wati, dan lain-lain.
Dalam kondisi itu ikatan terjalin serupa yang disampaikan
Sigmund Freud: cinta yang ada sekarang masih dalam esensi
kebinatangan. Esensi ini memosisikan organisasi pada
ancaman struktur patriarki. Fromm menjelaskan bahwa
patriarki itu sangat keji:

Patriarki sesungguhnya adalah purwarupa dari segala


bentuk eksploitasi, tidak hanya eksploitasi kelas, tetapi

716
juga eksploitasi separuh umat manusia oleh setengah
manusia yang lain. 442

Nasib HMI-Wati pada saat berhadapan dengan HMI-Wan


persis yang dialami junior dalam benang seniorisme-
gerbongisme: mudah ditundukkan oleh kepentingan-
kepentingan yang membuatnya menyeringai. Mereka sama-
sama rentan mengalami kekerasan yang sasarannya adalah
psikologi, cara berpikir, bahkan afeksi. Karena kaderisasi
yang diselimuti doxa memberi tempat untuk hidupnya
pandangan patriarki. Itulah kenapa kekerasan simbolis tidak
hanya menimpa junior tapi juga HMI-Wati. Dampaknya
memang tidak terlihat seperti kekerasan fisik: luka, traumatis,
kegelisahan, bahkan korban tak merasa sedang dimanipulasi.
Karena kesewenang-wenangan ini timbul dari ketidaktahuaan
seseorang kala didominasi, diatur, dikuasai. Inilah mengapa
cara pikir, kerja, dan tindak kader selalu saja nampak
dimekanisasi. Fenomena itu memberitahu kita bahwa
kaderisasi tak sekedar diancam oleh patriarki, melainkan pula
sisa-sisa feodal. Soalnya kapitalisme bukan saja mendorong
berjalannya perbudakan pada para pekerja, karena pula bisa
merambah sampai ke dalam himpunan.

Kini tidak cuma negara yang mempertahankan akumulasi dan


represi sebagai sistem harian. Hari-hari ini organisasi tempat
kaderisasi yang seharusnya jadi suluh gerakan pembebasan
justru mengonsumsi dan meniru praktik para penguasa di luar
sana. Melalui jalinan korporatisme inklusif maka himpunan
dengan mudah mempertontonkan kemesraan dalam sistem

442
FX Dono Sunardi (penerjemah), (2008), The Art of Living; Hidup
Antara Memiliki dan Menjadi, Tangerang Selatan: Baca, Hlm. 99.

717
kapitalisme. Dekapan sistem masyarakat yang sakit itu
nampak lewat perangai-perangai mereka di sekitar kita;
kedengkian antara kader atau senior dari gerbong yang satu
dengan lainnya, para mafia Kongres yang mengantongi
sejumlah uang dengan menjual kepala dan mengeksploitasi
kemampuan kerja kadernya, sikap arbitrer dari seorang senior
kepada juniornya, diracuninya kader sampai tak sadar dirinya
dikendalikan untuk terus mengonsumsi dan meniru cara
pandang kelompok dominan, hingga HMI-Wan
membonekakan HMI-Wati melalui perbudakan perasaan.

Kondisi itu menandakan terjadinya anomali kaderisasi.


Penyimpangan-demi-penyimpang ke arah komersialisasi
pendidikan kader tak bakal membentuk manusia-manusia
merdeka, melainkan orang-orang yang terkomoditaskan.
Proudhon begitu menentang struktur seperti ini lantaran ia
ibaratkan bidan lahirnya ‘kediktatoran’: massa tak lagi
memiliki kekuatan selain melestarikan penghambaan,
menghancurkan semua pemikiran individual, dan paling
sinting: menjadi pengabdi untung. Kalau masih begini maka
organisasi ini tak pantas lagi dinobatkan semulia kata Jendral
Soedirman: Harapan Masyarakat Indonesia. Karena serangan
kapitalisme terhadap himpunan bukan saja menimbulkan
gejala menuju ‘Hancurnya Mahasiswa Islam’. Karena geliat
kapitalisme berdampak besar maka anak-anak muda
himpunan berpotensi menjadi penyumbang terbesar mencapai
‘Hancurnya Masyarakat Indonesia’.

Jalan menuju kehancuran sedang dibangun dengan batu


pandangan berisi rayuan untuk mengonsumsi dan meniru,
tanpa bisa mencipta dan merubah. Kenaifan inilah yang

718
membuat himpunan bungkam di hadapan penguasa-negara.
Organisasi sepertinya tak punya daya untuk melayangkan
proposal perubahan. Makanya tidak ada gerakan alternatif
yang dilaksanakan himpunan. Dalam keadaan ini kaderisasi
tak mampu melahirkan kader-kader progresif-revolusioner,
melainkan manusia-manusia berwatak pragmatis, oportunis,
feodalis, patriarkis, bahkan kapitalis. Karena anak-anak muda
yang terorganisir itu mudah sekali meneguk doxa kelompok
dominan himpunan. Itulah mengapa kaderisasi enggan
menjadi suluh gerakan: kekuatan organisasi sukar diarahkan
untuk menggugat tatanan, tapi justru mendukung dan
mempertahankannya.

Kaderisasi yang berorientasi pada kekuasaan menyebabkan


gerakan lebih suka cari aman ketimbang menggeluti tantangan
dan ketegangan. Orientasi kekuasaan kemudian
menghancurkan pikiran-pikiran kritis yang berkembang dalam
himpunan. Kondisi inilah yang menyebabkan terbentuknya
pribadi-pribadi kaku dan tak militan. Pada tangan merekalah
himpunan jadi tempat yang dingin hingga tidak bagus buat
menempah para pejuang pembebasan. Dalam lingkungan
seperti itulah kader-kader kehilangan daya perlawanan
terhadap para tiran karena kaderisasi sukar mempersenjatai
gerakan keberpihakan terhadap kaum miskin dan tertindas.
Organisasi yang gandrung akan kekuasaan bukan malah
membentuk kader jadi pemimpin, melainkan penguasa yang
tak punya etos, komitmen, dan konsistensi pembelaan
terhadap rakyat. Inilah yang membuat gerakan-gerakan
himpunan menampakan keindependensian yang munafik.
Indepensi yang berpihak kepada kebenaran telah merosot
dalam kubangan kepentingan. Kebenaran bukan lagi dicari

719
dengan sikap pembelaan terhadap rakyat melainkan diterima
dari kenyamanan berhubungan dengan penguasa.

Orientasi terhadap kekuasaan lagi-lagi merupakan penyakit


yang menahun dalam himpunan. Inilah yang membuat HMI
menisbatkan diri sebagai pesakitan hingga abstain dalam
mempersoalkan kebijakan-kebijakan setan—agenda
neoliberalisme: (1) Liberalisasi keungan: kurs bebas, devisa
bebas, dan pengembangan BEJ (Bursa Efek Jakarta); (2)
Liberalisasi perdagangan; meratifikasi keputusan WTO; (3)
Pengetatan prioritas APBN, termasuk pencabutan subsidi; (3)
Privatisasi BUMN; (4) Penjualan korporasi domestik kepada
pemodal internasional; (5) Perlindungan maksimal terhadap
hak milik pribadi (swasta); (6) Mekanisme harga pasar tenaga
kerja; minimalkan perlindungan buruh; dan (7) Bank
Indonesia sepenuhnya didikte oleh standar Basse/I dan
Basse/II dari BIS (Bank for International Settlements—Bank
untuk Penyelesaian Internasional).443

Himpunan tak mampu menerapkan pendidikan perlawanan


kepada kader. Kaderisasi dan Gerakan jadinya enggan pernah
beringsut dari gerakan yang sudah kuno: berorientasi
kekuasaan. Kader-kader kemudian selalu diarahkan untuk
terus meraih dan mempertahankan jabatan, kedudukan,
jaringan, bahkan uang dengan pura-pura buta terhadap anasir
yang mengancam sektor-sektor strategis kehidupan rakyat.
Makanya kapitalisme dianggap mampu menyejahterahkan
kehidupan. Nilai-nilai pasar kemudian mudah sekali diterima
dan disyiarkan ke dalam organisasi. Eksploitasi, akumulasi,

443
Awalil Rizky dan Nasyith Mahdi,(2008), Neo Liberalisme
Mencengkeram Indonesia, Jakarta: E. Publishing Company, Hlm. 285.

720
bahkan ekspansi telah menjadi santapan rutin himpunan.
Orang-orang terus bersaing untuk saling menguasai,
menghisap, bahkan menghancurkan. Fenomena itu jelas-jelas
telah kita lihat bersama; tak sekedar pada kehidupan
bermasyarakat, tapi parahnya juga muncul dalam organisasi.

Itulah mengapa kaderisasi sepandangan dengan sistem laknat


yang mengotori negara ini: pertama, kalau di negara hak milik
perorangan diakui secara luas hingga tanpa batas, maka pada
himpunan hak milik itu juga serupa; hanya saja mengambil
bentuk kekuasaan: jabatan ketua umum yang tidak pernah
mau dibagi oleh gerbong tertentu, junior yang dikuasai senior,
HMI-Wati yang mudah dikendalikan karena termakan jebakan
perasaan HMI-Wan; kedua, jika negara mengakui adanya
motif ekonomi—mengejar keuntungan dengan cara apapun,
maka himpunan juga demikian: jual-beli suara peserta utusan
penuh di Kongres, atau cari duit dengan melaksanakan
kegiatan yang melibatkan pejabat; dan ketiga, bilamana di
negara berlaku mekanisme pasar—yang mengharuskan
adanya modal-kapital—dalam mengatur persaingan individu,
maka di himpunan pula tak jauh berbeda: kepemilikan
modal-jabatan, jaringan, bahkan uang menentukan kehidupan
kader—itulah yang terjadi ketika SK kelulusan makalah LK II
maupun jurnal LK III mudah sekali dintervensi; agar dapat
mengikuti pemilihan ketua umum berlaku tradisi yang agak
zalim: wajib meminta restu dari ketua yang sebelumnya
hingga para senior yang menjadi aparatur gerbong, jika tak
direstui maka dengan mudah dihadang bahkan dipukul
mundur dengan seabrek isu liar dan kadang membabi buta.
Makanya di setiap pemilihan ketua umum himpunan kader-

721
kader seolah jadi serdadu-serdadu yang taat pada perintah
komandan.

Mereka siap bukan saja menyaingi tapi juga menaklukan


siapa-siapa yang dianggap lawan. Perseteruan dilakukan lag-
lagi karena memperebutkan sumber daya kekuasaan: jabatan,
kedudukan, maupun pengakuan atas kebesaran dan kekuatan
yang dimiliki. Dalam keadaan inilah perkaderan HMI
ditakutkan akan terus memproduksi dan mereproduksi kader-
kader megalomaniak. Cita-citanya sederhana: jadi penguasa
secara hierarkis. Dipimpinnya organisasi, diurusnya
kaderisasi, dan dikadernya kader oleh orang-orang seperti itu
jarang sekali mengilhami. Sebab hanya menonjolkan
kemampuan menguasai, memerintah, dan terutama menyulap
sesamanya serupa benda yang mudah dihardik sesuka hati.
Semuanya dilakukan untuk menguatkan kendalinya atas
pelbagai modal yang ada dalam organisasi: budaya, politik,
simbolik, maupun ekonomi. Kondisi ini begitu membuat
kader-kader menyeringai. Kaderisasi tak jadi suluh gerakan
tapi sebatas pembersih jalan menuju kekuasan berhierarki:
bukan cuma jabatan dalam organisasi melainkan pula pada
birokrasi. Orientaasi terhadap prestise itulah yang menjauhkan
kader-kader dari rakyat miskin dan tertindas yang terus
menyeringai. Namun menambah dekat jarak mereka dengan
bandit-bandit berdasi, penjahat-penjahat kelas teri, dan mafia-
mafia kapitalisasi. Makanya kaderisasi dijalankan bukan
malah untuk mengasah naluri gerakan. Tepi justru untuk
memahat seseorang menjadi manusia-manusia yang lamban
dalam menerbitkan kepedulian, menyuarakan kebenaran, dan
menuntut keadilan.

722
Dikadernya anak-anak muda dalam panggung kekuasaan
menghabiskan banyak tenaga. Keletihan kader-kadernya
membuat wajah kaderisasi lebih mirip parodi, ketimbang
tempat bersemaianya pengetahuan dan ajaran pembebasan.
Pertunjukan yang ditampilkan berhasil memancing gelak tawa
kaum penindas sekaligus duka cita bagi kaum yang ditindas.
Karena kader-kader HMI kehilangan gairah gerakan.
Makanya organisasi jadi begitu gagap. Kadernya terus
bersaing pada ruang terang kekuasaan apapun. Sementara
rakyat-rakyat kecil nan lemah dibiarkan hidup dalam
kegelapan. Bukan karena tiadanya penerang, tapi matahari
bersembunyi lantaran tak berani menerjang gunung-gunung
yang ada di hadapan. Gelap yang tak mampu disingkirkannya
dari kehidupan menjadi alasan bumi mendeklarasikan
kebingungan. Melalui metaphor seperti itulah kaderisasi dan
gerakan himpunan dapat digambarkan. Gambaran lanjutannya
dilukiskan lebih dalam oleh A. Mustofa Bisri lewat puisinya
yang amat menggetarkan:

Bumi bingung mencari-cari


Matahari siang hari

Burung-burung
Dikerahkan mengintip mendung
Gunung-gunung
Diperintahkan mengirim sungai
Ke laut dan telaga.

Burung-burung
Melihat matahari
Tapi angin dan mendung
Mengancamnya jika bicara.

723
Sungai, laut, dan telaga bahkan
Konon sempat memandikan
Matahari dan awan-awan
Sayang gunung-gunung
Sudah terlebih dahulu
Sejak awal membuat mereka bisu

(Diam-diam
Langit mencemaskan
keadaan bumi)444

444

724
Landasan dan Prinsip Perkaderan
Harusnya jadi Suluh Pergerakan

“Kuatnya wacana politis-struktural di HMI mengakibatkan


terpenggirnya secara perlahan mereka yang mengedepankan
gerakan intelektual kultural. Karena itu mereka ‘lari’
meninggalkan HMI dan rajin membangun wacana dalam
kelompok studi maupun lembaga yang mengkhususkan pada
gerakan pemikiran, semacam Formaci di Ciputat atau aktif di
JIL maupun Kelompok Studi Mangkubumen di Kota Solo.”
(Muchammad Yuliyanto445)

“Kelirulah orang yang menyombongkan harta dan


keturunannya, sebab hanya pengetahuan dan kebaikan akhlak
yang patut dibanggakan.” (Ali bin Abu Thalib)

“Semoga budaya kehidupan mekar dan berjaya atas


kekerasan, kepongahan, hinaan dan kebodohan.” (Heidi
Guilani)

Kekuatan modal bukan saja berhasil membentuk tatanan


masyarakat kapitalis, karena terparah adalah menyulap
kaderisasi jadi ikut-ikutan melahirkan kader bermental
borjuis. Kapitalisme kini telah mampu menyebarkan virusnya
dalam perkaderan HMI. Keadaan ini membuat sebagian kecil
kelompok dominan terus beroleh keuntungan dari kader-kader
malang yang menjadi korban. Itulah mengapa sistem
perkaderan terancam oleh penetrasi anasir yang menjijikan.

445
Abu Yazid Bustami (ed.), (2014), HMI Masih Ada; Refleksi Para Kader,
Depok: Layar Terkembang, Hlm. 20.

725
Makanya landasan teologis446 yang dirumuskan dengan
orientasi ketuhanan dan kemanusiaan kontan mengalami
kemerosotan: manusia yang katanya mencari dan merindukan
Tuhan, justru terbelokan berhala psikologis: status, jabatan,
jaringan, pasangan, hingga uang. Sikap mencari kebenaran
secara tulus, murni, lapang, toleran, tidak sempit dan tak
membelenggu jiwa malah mulai terkikis dari kaderisasi
himpunan. Itu sebabnya fitrah manusia yang suci dinyatakan
dalam sikap bersih dan baik kepada sesame. Namun dalam
menjalankan fungsi kekhalifahan ini patut dipertanyakan
apakah masih ada atau tidak pada kader himpunan, terutama
kepada ketua di tingkat: Komisariat, Korkom, Cabang, Badko,
terutama PB? Soalnya hari-hari ini organisasi menyingkapkan
kepada kita bagaimana streotip-streotip pemimpin himpunan!

Kelompok dominan dalam himpunan kerap kali mencari jalan


pintas dan parsial. Pengetahuan dan kekuasaan yang
dimilikinya menjauhkan dari kesadaran kehadiran Tuhan
dalam setiap aktivitas hidupnya. Itu sebabnya tak ada perisasi
yang mampu melindingunginya dari ketelanjangan spiritual
dan moral: penyalahgunaan jabatan, kehausan kuasa, maupun
dominasi terselubung terhadap perempuan dan junior.
Landasan teologis sepertinya tak mengakar pada dirinya.
Maka keimanan yang muncul padanya tak menauladani sikap
keberagamaan yang mendorong nabi Ibrahim mendobrak
kebuntuan zamannya. Dengan iman yang seperti ini maka
lingkungan kaderisasi yang sudah dicemari barhala psikologis

446
Lihat Pedoman Perkaderan HMI, Kongres HMI di Ambon, (14-27
Februari 2018), Hasil-Hasil Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam
Meneguhkan Kebangsaan Wujudkan Indonesia Berkeadilan, Jakarta:
Penerbit PB HMI.

726
pasti dapat diruntuhkan. Kader bisa mencetuskan pertanyaan
atas keadaan, bukan menyesuaikan diri dengan anasir yang
mengancam perkaderan. Karena melalujinya akan ada metode
pendidikan kritis: refleksi atas kemunduran-kemunduran
organisasi. Kaderisasi kemudian dapat dibersihkan dari segala
pemberhalaan pada senior, gerbong, jaringan, uang, dan
apapun yang memberi keuntungan, kesenangan, dan
kebahagiaan semu. Ini semua tak membawa damai dan sikap
penuh kehangatan—persaudaraan—tetapi celaka. Berhala
psikologis itulah yang membuat kader-kader saling
bertengkar, bermusuhan, hingga menyerukan kekerasan
terhadap saudara sehimpun.

Pemberhalaan mengakibatkan membelotnya kaderisasi. Kader


bukan lagi dididik untuk cerdas, tapi menjadi; bodoh, budak,
dikuasai, hingga dimanfaatkan, bahkan suaranya diperjual-
belikan. Kondisi serba meluncur inilah yang seharusnya jadi
sarat material untuk membangkitkan sikap keberagamaan
sebagaimana Ibrahim. Iman yang menuntunnya menempuh
jalan revolusioner: menghancurkan berhala, berlawanan
dengan logika sesat masyarakat, dan menentang kelaliman
raja Namrud. Iman baginya tak bisa dikompromikan dengan
keadaan, melainkan menembakan pertentangan. Tauladan
itulah yang harus ditorehkan segera. Karena kini iblis yang
tidak kasat mata itu hadir dalam ujudnya yang terbaru:
kekuasaan—prestise duniawi—dalam masyarakat kapitalis.
Iblis serupa dengan kekuasaan: kekuatannya adalah godaan.
Goda kuasa itulah yang memercikan anomali kaderisasi:
lahirnya manusia yang suka mencari untung dalam organisasi.
Landasan teologis tak mau diindahkan oleh orang-orang
berperingai busuk. Mentalitas feodal dan borjuis sudah

727
waktunya didepak keluar dari proses kaderisasi. Karena jika
dibiarkan maka akan melanggengkan pemujaan terhadap
dunia ketimbang mengkalungkan ketauhidan. Al Ghazali
berkata: ‘sebelum memperoleh pencerahan sekalipun,
seseorang akan mengetahui bahwa segala sesuatu bisa
membuktikan keberadaan Tuhan. Namun, naluti fitrah itu
akan hilang ketika ia mulai berbaur dengan masyarakat yang
korup, karena urusan duniawi telah mencegahnya untuk
mengarungi samudera wawasan yang luas’.

Iman yang kita miliki harus dibenturkan pada realitas


material. Ketika itu maka ajaran-ajaran syurgawi dapat
berhadapan dengan sampah-sampah dunia. Ringkasnya
keyakinan manusia tidak boleh terpasung alam material, tetapi
harus melakukan perjuangan yang terus-menerus
berkontradiski terhadap realitas. Pada saat itulah segala
kubangan kegelapan duniawi mampu diterangi dengan
kekuatan iman: keyakinan yang teguh untuk menghancurkan
tatanan iblis-kapitalis. Karena iman menjadi tonggak pengikat
yang bukan berfungsi sebagai identitas semata, tapi ruh utuh
kemanusiaan yang membuat manusia dapat berperan sebagai
pemimpin, bukan pejabat, politisi, pengusaha, maupun ketua.
Pemimpin itu dalam Qur’an disebut khalifah: wakil Tuhan di
muka bumi. Dia adalah manusia yang tidak dibentuk oleh
lingkungannya, tapi sebaliknya. Maka khalifah dalam Islam
itu bukan sesederhana orang-orang yang memimpin dalam
sebuah pranata kenegaraan, berkuasa dalam gerbong, ataupun
berjabatan apapun. Ali Syari’ati menegaskan bahwa khalifah
adalah manusia yang dengan iman dan kesadarannya telah
dibebaskannya dirinya dari segala macam paksaan yang
senantiasa memperkosa manusia serta membentuknya

728
menurut serba stereotip—dengan ilmu, teknologi, sosiologi,
dan kesadaran diri:

…pandangan-hidup tauhid ialah ditolaknya


ketergantungan manusia pada suatu kekuatan sosial,
dan dikaitkannya manusia, secara khusus maupun
dalam semua dimensinya, pada kesadaran dan
kehendak Yang Maha Kuasa. Sumber bantuan,
orientasi, kpercayaan dan pertolongan setiap orang
ialah suatu titik sentral tunggal, suatu poros yang
dikitari kosmos. Segala sesuatu bergerak dalam
lingkaran dengan radil benderang yang sama-jarak dari
pusatnya, yang merupakan sumber utama segenap
alam, merupakan satu-satunya kesadaran, satu-satunya
kekuatan yang ada dan menguasai jagad raya. Posisi
manusia dalam alam ialah sebagai peragaan obyektif
dari kebenaran ini, yang terlihat lebih jelas pada
tawafnya mengelilingi Ka’bah. Dalam perspektif
tauhid, manusia hanya menaruh takut akan satu
kekuatan, dan hanya merasa bertanggung jawab kepada
satu hakim. Ia hanya menghadap ke arah satu qiblah,
dan menunjukan harap dan hasratnya hanya kepada satu
sumber. Akibatnya ialah selain itu semuanya palsu dan
tanpa arti—selain itu semua berbagai macam
kecenderungan, usaha, ketakutan, hasrat serta harapan
manusia sia-sia tanpa-guna. Tauhid memberkahi
manusia dengan kebebasan dan kemuliaan. Menyerah
semata-mata kepada-Nya—norma teragung dari segala-
segalanya—membuat manusia memberontak terhadap
semua kekuasaan dusta, mematahkan segenap
belenggu, dan kerakusan nista.447

Dr. Ali Syari’ati, (2017), Manusia dan Islam: Sebuah Kajian Sosiologis,
447

Yogyakarta: Cakrawangsa, Hlm. 114-115.

729
Ketauhidan sejatinya membuka jalan manusia mencapai
kualitas revolusioner. Inilah sikap hidup yang seharusnya
himpunan dapat tanamkan melalui pendidikan kader.
Pemberontakan mesti disemai pada diri anak-anak muda yang
dikader. Oscar Wilde pernah berkata: ‘pembangkangan, bagi
mereka yang pernah membaca sejarah, adalah kualitas terbaik
manusia. Melalui pembangkanganlah kemajuan dicapai,
melalui ketidakpatuhan dan pemberontakan’. Dengan
memiliki dorongan untuk memberontak yang berasal dari
kesadaran tauhid maka kader menjadi manusia-manusia
merdeka. Dia tidak akan lagi mudah terjatuh dalam jebakan
seniorisme-gerbongisme maupun mitos yang berisi doxa
tentang konsumerisme dan mimesis. Sebab dirinya enggan
menjadikan kekuasaan sebagai orientasi hidupnya. Jabatan,
jaringan, uang, serta segala godaan kekuasaan kemudian
dipandangnya sebagai susatu yang tidak bernilai dibanding
Tuhan. Ia juga tak akan gampang mengonsumsi dan meniru
gaya hidup, serta pandangan, dan kebiasaan kelompok
dominan.

Pada saat itulah himpunan mampu mengarahkan kader untuk


mengambil tauladan dari nabi Yusuf sebagai pemberontak.
Pemberontakan yang dilakukan bukan sekedar terhadap
kekuasaan yang berusaha menguasainya, tapi terutama pada
goda dan tipu sistem dan struktur dalam lingkungannya.
Yusuf dikisahkan lebih baik memilih mendekam dalam
penjara ketimbang mengecap kelimbahan di istana tapi
sebagai budak dari nafsu Zulaikha. Pemberontakan ini
sepatutnya ditauladani kader-kader himpunan, terutama HMI-
Wan. Dengan kekuatan iman kader akan mendapatkan tenaga
untuk menolak mentah-mentah politik birahi dari siapa saja.

730
Bukan hanya nafsu seksual yang bisa diberangus tapi juga
dorongan mengejar prestise: memerintah, jaringan, jabatan,
dan kenikamatan materi: uang. Iman akan melindungi kader
dengan pakaian taqwa yang menempatkannya hanya takut
kepada Tuhan, bukan pada manusia, alam, dan tuhan-tuhan
palsu lainnya. Maka prinsip teologis berisi seruan
pemberontakan terhadap berhala-berhala psikologis
selanjutnya dapat menguatkan kekuatan ideologis kaderisasi.

Dalam landasan ideologis perkaderan, Islam ditegaskan


sebagai dasar nilai transformatif yang secara sadar dapat
memenuhi kebutuhan dan menjawab persoalan di masyarakat.
Islam mengarahkan manusia untuk meraih tujuan dan
idealisme yang dicita-citakan karena perjuangan dilakukan
bukan atas dasar kepentingan kekuasaan tapi keikhlasan dan
pengorbanan demi keyakinan. Iman kepada Tuhan
menggerakan manusia mencetuskan aksi-aksi pembebasan.
Jalaluddin Rakhmat menjelaskan pada saat inilah agama tak
tampil jadi budaya tapi ideologi:

…yakni keyakinan yang dipilih secara sadar untuk


memberikan respon pada kebutuhan dan masalah
masyarakat yang terjadi. Agama sebagai ideologi
bukanlah agama yang mempertahankan status quo, tetapi
yang memberikan arah kepada bangsa untuk mencapai
apa yang dicita-citakan.

Ideologi Islam senantiasa mengilhami, memimpin,


mengorganisir perjuangan dan perlawanan yang luar biasa
untuk meruntuhkan status quo, belenggu dan penindasan
terhadap manusia. Itulah mengapa landasan teologis
seharusnya membentuk kader menjadi seorang pembebas,

731
bukan budak, hamba, ataupun mahluk hilang kemerdekaannya
di hadapan kepentingan apapun. Tetapi mesti menempatkan
kader sebagai ideolog. Orang-orang yang punya keyakinan
untuk mengubah dunia sesuai ideal yang dicita-citakan.
Kaderisasi yang mampu menciptakan manusia-manusia
seperti ini berarti memberi kesempatan untuk tumbuhnya
anak-anak muda idealis. Posisi mereka persis ucapan Soe Hok
Gie: ‘yang barangkali harus bertempur dua front. Melawan
lingkungannya sendiri dan melawan musuh-musuhnya di luar.
Hidupnya adalah kesepian yang abadi.’

Prototip kayak begitu jarang sekali ditemui dalam himpunan.


Ruang-ruang kaderisasi tak memberi kesempatan hidup pada
kader-kader idealis. Itu sebabnya himpunan kemudian
dihimpit disesaki oleh orang-orang bermental feodal, hingga
borjuis. Lihat saja bagaimana bertebarannya kader-kader yang
berlagak seperti pejabat atau politisi. Mereka memiliki selera
kelas atas makanya tempat diskusinya selalu di café, bukan di
lapangan, taman, atau di kedai kopi biasa. Kemewahan yang
ditampilkannya bukan sekedar dari segi pilihan tongkrongan,
tapi juga penampilan: pakaian yang digunakannya seperti
tokoh dan pastinya ingin sekali ditokohkan. Di pundaknya
banyak sekali junior-junior menaruh harapan akan kesuksesan
karir organisasi. Lingkungan kaderisasi demikian telah
melatih kader untuk menanggalkan sikap idealis. Karena
mengajarinya untuk menyikapi apa saja dengan pragmatis,
oportunis, hingga materialis.

Kaderisasi kini tidak melatih kader menjadi militan melainkan


membentuknya sebagai orang-orang yang mengejar
kemapanan dan terus terbiasa pada kelaziman. Islam bagi

732
kader-kader ini tal tampil dengan kandungan ideologisnya,
tetapi subur dengan ritual, nasihat, perintah, bahkan ancaman
dan hukuman. Itulah mengapa sikap keberagamaan dalam
himpunan lebih banyak menampilkan penerimaan terhadap
kapitalisme, perlawanan terhadap komunisme, dan
mengkafirkan segala ilmu-ilmu yang mengancam tatanan.
Karena Islam yang ditanam melalui kaderisasi itu tidak
mampu memihak secara tegas terhadap kaum miskin dan
tertindas. Makanya Islam mematitkan diri terus-menerus
menjadi agama budaya, bukan ideologi. Soalnya nilai-nilai
ketauhidan, kemanusiaan, dan keadilan dalam teologinya
enggan dijadikan sebagai sumber motivasi dan inspirasi
gerakan perubahan. Organisasi kemudian secara sukarela
menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat kapitalis.
Hidup yang mendukung penguasa tanpa jijik sedikitpun
terhadap kepentingan-kepentingan para pemodal yang berada
di setiap tabuhan kebijakannya. Makanya kebijakan-kebijakan
yang bercorak kapitalistik dilawan justru acuh-tak-acuh
dipermasalahkan.

Tatanan iblis yang mengakibatkan timbulnya penghisapan


sesama manusia seharusnya ditentang dan diberangus hingga
tiada. Landasan ideologis perkaderan harusnya tak
melanggengkan tatanan jahanam, tapi mendorong kader untuk
menorehkan pemberontakan terhadapnya. Islam sebagai
ideologi mestinya membuat kaderisasi jadi senjata buat
melancarkan gerakan perlawanan terhadap segala penindasan
terhadap sesama. Untuk itulah engetahuan dalam pendidikan
kader tidak mesti netral melainkan memihak kepada rakyat
miskin dan tertindas, terlebih pada kader-kader yang teraniaya
oleh kuasa. Pada saat itulah kaderisasi akan melahirkan dan

733
memekarkan jiwa-jiwa pemberontak. Pemberontakan yang
dimaksud bukan memberontak pada senior-senior baik atau
pemimpin-pemimpin bajik, tetapi pada orang-orang atau
kelompok-kelompok yang berperilaku picik, licik, dan
congkak. Maka mereka yang ditantang, dibantah, dan
dilawan, adalah kelas penindas. Kelas ini bukan semata-mata
mendapatkan serangan, namun pula tepat untuk disadarkan
dan selamatkan. Buat menggugah orang-orang yang dibikin
jahat oleh tatanan kapitalis itu mesti malalui jalan
pemberontakan.

Iman sebagai dasar ideologi Islam membantu manusia


menjadi pemberontak. Itulah yang membesarkan pejuang
revolusioner Islam: nabi Muhammad. Keimanannya kepada
Tuhan tak cuma berhasil membebaskan dirinya dari
kungkungan lingkungan tapi juga menciptakan sejarah
pembebasan kaum tertindas: mengubah masyarakat yang
korup dan beku menjadi kekuatan bergolak dan kreatif, yang
pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan, dan
pahlawan. Landasan ideologis perkaderan wajib menauladani
perjuangan dengan ideologi Islam yang dilakukan rasulullah:
hadir di tengah rakyat. Syari’ati menyatakan, Islam akan
tampil sebagai ideologi apabila dialirkan ke saluran gerakan
massa menuju perubahan radikal:

…‘revolusi yang permanen’, menegakkan keadilan


sosial, persaudaraan kemanusiaan,, dan
memperjuangkan suatu masyarakat tanpa kelas di mana
cara-cara produksi akan menjadi milik umum.

Himpunan sudah waktunya untuk berbenah diri: hentikan


memproduksi kader-kader yang mudah sekali dihakmiliki

734
senior dengan gerbongnya. Ajarilah anak-anak muda untuk
tidak gampang menurut, terbujuk, dan terlena pada tiap-tiap
kepentingan. Kaderisasi adalah penyulut kehancuran namun
cahaya perubahan. Melaluinya kader-kader jangan dididik jadi
bebek maupun budak tapi pelawan hingga pemberontak.
Dengan begitu maka tatanan yang buruk tak dapat
membuatnya tak berkutik. Tetapi membangkitkan keresahan,
kutukan, dan didobrakan. Menarik menyimak apa kata
Foucauilt: hanya orang-orang merdeka yang punnya
kemampuan menyatakan kebenaran. Karena manusia-manusia
terkerangkeng tiada daya menerangkan sebuah kebohongan.
Itulah mengapa pada kepala-kepala yang terbelenggu
lingkungan tak manusia bisa terus bertahan dan semakin
dilanggengkan. Kita tentunya berharap melalui kaderisasi
kader-kader dibebaskan dari segala jebakan, ketakutan dan
pembodohan. Himpunan mesti menata lingkungan manusiawi
tanpa penindasan, pemerasan, dan penguasaan terhadap
sesama. Maka organisasi ini harus mendukung perkembangan
pikiran dan perasaan kader tapi juga kehendaknya. Itu
sebabnya kaderisasi harus memberi pretensi bukan sekedar
terhadap kebebasan berpikir, melainkan pula bertindak tanpa
dipagar.

Pendidikan kader harusnya menghilangkan kenyaman


seseorang hidup dalam kelaziman, yakni penerimaan atas
gelimangan lingkungan yang diselimuti sistem kapitalisme.
Tetapi berkeingan bergulat untuk mewujudkan keadilan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan dengan melakukan perubahan
mendasar. Landasan sosio-historis perkaderan cukup terang
mewartakan: kelahiran HMI tidak terlepas dari permasalahan
umat dan bangsa yang mengalami ketertindasan sosial,

735
ekonomi, politik, agama dan pendidikan, yang disebabkan
oleh keserakahan serta pelanggengan kekuasaan kolonialisme
dan imperialisme. Kini penindasan-penindasan itu masih
membanjiri kehidupan rakyat, bahkan telah berpenetrasi
hingga membelokan arah kaderisasi dan gerakan himpunan.

Itu sebabnya kader-kader banyak menguras kekuatan buat


berebut jabatan, memperlebar jaringan, dan mencari untung
lewat program pemerintah atau kerja sama dengan penguasa,
ketimbang mengkonsolidasi dan melancarkan gerakan
menggandeng kalangan miskin dan tertindas. Bangunan
kehidupan masyarakat kapitalis telah membuat kemampuan
empati organisasi tak murni, sampai nyaris kandas. Dibelanya
rakyat hanya pada hari-hari nasional atau ketika situasi sedang
panas. Tak pernah diadakan kerja-kerja harian yang mampu
memberikan dorongan agar kaum-kaum kecil dan menderita
jadi cerdas. Bahkan enggan mau diberikan pendidikan-
pendidikan politik buat para jelata secara intens. Karena
pengurus-pengurus himpunan hanya tahu soal bagaimana
caranya mengolah senior, terutama para alumni yang masuk
birokrasi hingga dirinya berketergantungan secara beringas.

Landasan sosio-historis sepertinya agak temaram untuk


membaca zaman. Maka kolonialisme dan imperialisme
dikiranya sudah dimusnahkan. Padahal penjajahan-penjajahan
bertahan dalam lini-lini kehidupan. Kolonialisme telah
menyeruapkan konflik dalam kehidupan masyarakat. Stokeley
dan Charles V. Hamilton pernah berkata dalam karyanya:
kapitalisme itu menumbuhkan diskriminasi, hingga menyulut
rasisme yang terlembaga. Itulah yang terjadi ketika Negara-
Bangsa Indonesia mengobarkan sentimen ras terhadap

736
Rakyat-Bangsa Papua. Sementara imperialisme hadir dengan
wajahnya yang paling menggiurkan: modal asing. Hegemoni
kapital bukan hanya mengendalikan kebijakan-kebijakan dan
segala aturan pemerintahan lewat birokrat-kapitalis, tapi juga
membuat negara mewadahi hasrat konsumsi masyarakat lewat
topangan lembaga perbankan dan bujukan kapitalis-swasta.
Fenomena ini disebut oleh Lenin sebagai’cara kapitalisme
menyelamatkan dirinya’. Penyelamatan terhadap sistem inilah
yang kemudian membuat rakyat mendapat perlakuan picik:
dibodohi, ditipu, dirampok, hingga dimiskinkan melalui
kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir kalangan.
Negara sukar keluar dari dikte-dikte pemodal karena
pemerintah telah menjadi pesakitan di kursi kemodalan.

Sakit yang menimpah beberapa elitnya mudah sekali


mengontaminasi banyak orang pada relung-relung birokrasi.
Itulah yang menyebabkan hadir seabrek penguasa yang tak
sekedar karib pengusaha, tapi juga ikut berusaha-dagang.
Pada saat Pemilu mereka bekerja sama melakukan tindakan
licik. Kapitalis-swasta canggihnya melebihi sepak terjang
KPU: memberi diskon apa saja terhadap massa sembari
menganjurkan agar tidak golput. Sedangkan kapitalis-birokrat
melancarkan strateginya piciknya lewat iklan barang yang ada
embel-embel untuk memilih. Lalu para kandidat pejabat atau
politisi tak saja menghalalkan politik uang karena mereka juga
mematutkan politik barang: mempromosikan komoditas dan
memborong dagangan—pakaian atau sembako—untuk
dibagikan kepada konstituen. Tim yang dikerahkan
menggalang dukungan tidak hanya kaum intelektual tukang.
Soalnya bagi yang berjaringan kuat bisa menyetir polisi,
serdadu, hingga beragam geng preman.

737
Dalam menguasai pasar kapitalis-swasta tak seperti kapitalis-
birokrat. Dia tak gampang memakai tenaga aparat represif.
Tetapi bagi pengusaha keuntungan ekonomi harus
diperjuangkan melalui pemasaran yang atraktif. Maka dalam
memasarkan produknya dipilihlah orang-orang yang tidak
salah-salah. Artis-artis cantik nan seksi hingga kaum agawan
dijadikan penarik perhatian massa. Panggung-panggung
musik dan ceramah-ceramah tayang bersamaan dengan
pemajangan barang dan seruang-seruan persuasif. Dukungan
terhadap konsumsi terutama dilakukan melalui iklan-iklan
media yang berisi anjuran membeli dan memakai apa saja.
Fenomena ini begitu subur dalam spiral perputaran kekuasaan
modal. Bank-bank ikut menyuplai masyarakat dengan
pinjaman yang membuat bergantungan. Konsumerisme boleh
saja mekar tapi tidak pernah membuat orang merasa puas. Ini
memicu rakyat untuk meminta bantuan rentenir. Uang
dipinjam lagi-lagi beli dan pakai. Kehidupannya jadinya amat
mengenaskan. Masyarakat sukar mencipta karena sudah
sangat konsumtif. Keadaan inilah yang membuatnya jadi
banyak tanggungan. Wajah-wajahnya amat menyeringai
dengan utang. Itulah mengapa penyebab ketimpangan antara
yang kaya dengan miskin begitu kompleks: bukan saja
melalui kebijakan tapi bisa berkembang karena gaya hidup
konsumtif yang dipupuk sistem kapitalis.

Ibaratkan pengurus-pengurus yang menjadi kelas elit dalam


himpunan. Pejabat, politisi, pengusaha, bahkan artis cantik-
seksi hingga para agamawan merupakan segelintir kalangan
yang mendapatkan kemakmuran di puncak piramida sosial.
Orang-orang itu persis kelompok dominan HMI: punya
kemampuan menentukan pola pikir kelas bawah. Makanya

738
mereka merbak sebagai kelompok dominan dalam negara.
Bukan saja cara pandangnya memengaruhi publik tapi juga
dirinya memiliki banyak kesempatan untuk mengakses
kehidupan penuh kebahagiaan. Hidup mewah berbantal
kekayaan didapatkan dengan cara memperjual-belikan apa
saja: hukum, jabatan, kekayaan alam, tenaga kerja, tubuh, dan
agama. Sementara petani, buruh, tukang becak, pedagang kaki
lima, tukang becak dan ojek, hingga pengemis dan
gelandangan menjadi spesies terbesar penopang kelangsungan
hidup kelas atas pada piramid. Kaum-kaum miskin dan
tertindas inilah yang terus dieksploitasi melalui sistem
kapitalisme yang mengajaknya untuk mengonsumsi meskipun
tak punya biaya.

Dalam kemiskinan orang-orang kecil itu tak cuma mudah


sekali beralih jadi tenaga kerja asing karena mengharapkan
gaji besar, tapi juga rentan melakukan apa saja: melacur,
mencuri, mengedarkan minuman keras dan narkoba, bahkan
menjual organ. Kapitalisme tak sekadar menjadi biang dari
segala kekerasan dan eksploitasi terhadap manusia namun
pula alam. Kekayaan alam dijarah habis oleh perusahaan yang
dilindungi oleh penguasa dengan aparat dan militer, juga
preman-preman bayaran. Kebakaran hutan, longsor, dan
banjir merupakan buntut dari keserakahan manusia dalam
tatanan kapitalis. Kaum-kaum kecil kemudian menjadi korban
utama kejahatan modal. Nasibnya sama seperti alam yang
dihancurkan: dimiskinkan melalui perekonomian yang
membuatnya hidup membudak, tak mampu memperoleh
pendidikan layak, dan hidup sakit-sakitan sukar mendapatkan
pelayan kesehatan bermutu.

739
Pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan dalam sistem
kapitalisme adalah neraka bagi rakyat jelata sekaligus surga
untuk segelintir kalangan yang punya kuasa dan harta. Itulah
mengapa pembangunan-demi-pembangunan yang menggeliat
di negeri ini bukan malah memberikan kesejahteraan kepada
rakyat. Tetapi menerbitkan masalah-masalah baru:
perampasan lahan, menipisnya sumber mata pencaharian
penduduk, kerusakan lingkungan, konflik horisontal, hingga
korupsi anggaran. Infrastruktur dibangun di atas airmata, luka
mengaga, dan darah bercurahan. Inilah yang membuat rakyat
tak hanya disengsarakan oleh perusahaan tambang dan
perkebunan, tapi terutama negara. Penguasa dengan aparat
represifnya, baik polisi maupun tentara dikerahkan untuk
melakukan pengambilalihan atas tanah yang mau dibanguni
apa saja. Lenin melalui Negara dan Revolusi, memaksudkan
kejahatan itu berasal dari kebiadaban imperialisme:

…imperialisme—mulai pada zaman kapital bank,


zaman monopoli-monopoli kapitalis raksasa, zaman
perkembangan kapitalisme monopoli-negara—telah
mendemonstrasikan dengan kekuatan khusus suatu
pengokohan luar biasa dari ‘mesin negara’ dan suatu
pertumbuhan yang tinggi yang didukung oleh aparat
birokrasi dan militer, dalam hubungannya dengan
pengintesifan tindakan-tindakan penindas terhadap
proletariat baik di negeri monarkis maupun di negeri
republik yang paling merdeka….

Dalam landasan sosio-hostoris katanya kelahiran HMI


membawa tugas memberangus penindasan. Kini misi itu
dipertanyakan. Terutama mengenai etos, komitmen, dan
konsistensi perjuangan himpunan. Sebab kejahatan

740
kapitalisme melanggengkan struktur kolonialisme-
imperialisme tanpa bisa dilawannya. Bahkan nyaris tak ada
rasa bersalah kala melihat negeri ini; bangga menonjolkan
rasisme, menerima pendiktean pasar dalam pembuatan
kebijakan, hingga menempatkan pemerintahan sebagai hamba
modal paling setia. Dalam kondisi inilah penguasa menindas
bukan sekedar menerapkan korporatisme inklusif tapi juga
korporatisme ekslusif. Itulah mengapa di hadapan mereka
kader-kader organisasi enggan cuma dimudahkan akses
terhadap kekuasaan namun juga gerakannya kerap mendapat
serangan-koersif dari aparatur represif. Sistem pasar telah
membuat negara mematutkan diri sebagai monster jahat yang
tak segan-segan membunuh rakyat. Maka dengan dimiskinkan
dan ditindasnya rakyat atas kepentingan pasar jadi skenario
menyelamatkan hidup kapitalisme. Kapitalisme yang
diramalkan Marx akan hancur dengan sendirinya justru
kembali berdaya dan bergaya. Caranya untuk selamat tak
cuma atas kerja pemodal malainkan pula negara selaku
pembantu utamanya. Itu sebabnya pembangunan-
pembangunan yang disemarakan bertujuan untuk
mengintensifikasi akumulasi kapital begitu rupa.

Infrastruktur yang merebak ke mana-mana jadi pilar penopang


akumulasi kapital. David Harvey menyebut ini
sebagai spasio-temporal fixes (perbaikan ruang sementara).
Baginya penjajahan yang bersumber dari kapitalisme lahir
dari relasi dialektis antara logika kekuasaan teritorial dan
logika kapitalistik. Keduanya boleh berbeda namun memiliki
hubungan yang saling jalin-menjalin secara internal. Namun
keluaran-keluaran dialektika antara kedua logika itu sangat
kontras di antara ruang dan waktu yang berbeda. Karena

741
setiap logika menciptakan kontradiksi-kontradiksi bukan
dalam dirinya sendiri tapi logika lainnya. Itulah kenapa
akumulasi kapital yang tiada henti menimbulkan krisis-krisis
periodik pada logika teritorial karena ada kebutuhan untuk
menciptakan suatu akumulasi yang berkesejajaran dalam
bidang kekuatan politik atau militer. Ketika kontrol penguasa
berpindah maka arus kapital selalu mengikutinya. 448 Itu
sebabnya pembangunan-pembangunan yang dilaksanakan
negara tak dapat dipisahkan dengan kepentingan pemodal.
Dalam kondisi inilah setiap kebijakan yang diterbitkan tak
pernah bawa sejahtera buat rakyat tapi hanya beri bahagia
pada pengusaha. Soalnya birokrasi begitu miskin inisiatif
tanpa permintaan kapitalisme yang mencoba bertahan hidup
melalui strategi keruangan. Harvey menjelaskannya:

Spasio-temporal fixes, yakni strategi keruangan yang


dijalankan oleh kapitalisme untuk menunda krisis yang
inheren dalam kapitalisme secara temporal ... ekspansi
geografis dan reorganisasi spasial menjadi salah satu
opsinya. Namun, opsi ini tidak bisa dipisahkan dari
proses pergeseran-pergeseran temporal dimana surplus
kapital dialihkan ke proyek-proyek jangka panjang
yang butuh waktu bertahun-tahun agar nilai mereka
kembali bersirkulasi lewat aktivitas produktif yang
sedang mereka dukung pendanaannya.… Kompresi
ruang dan waktu merupakan sebuah keniscayaan dari
perjalanan kapital. Semakin luas jangkauan geografis
dan semakin singkat rentang waktu kontrak di pasar,
semakin bagus.

448
David Harvey, (2010), Imperialisme; Genealogi dan Logika Kapitalisme
Kontemporer, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 203, Hlm. 122.

742
Karya Melawan Rezim Infrastruktur dari Muhammad Ridha
begitu jelas memaparkan bagaimana bentuk penyelamatan
kapitalisme itu melewati saluran keruangan yang dilegitimasi
dengan kebijakan. Itulah mengapa negara dan rakyat saling
bertarung dalam medang pertempuran: jalan raya. Jalanan
bukan saja jadi tempat pertemuan seabrek kepentingan tapi
terutama sebagai titik pemisah antara kematian dan
kehidupan. Karena jalan raya adalah tempat berlangsungnya
produksi dan distribusi kapital, yang berhadap-hadapan
dengan pelbagai gerakan sosial. Polanyi mengistilahkannya
dengan: gerakan ganda. Gerakan yang mempertentangkan
massa dengan negara dan mengadu kuat antara tuntutan rakyat
dengan kekuatan modal.

Dalam studi ekonomi-politik dijelaskan bahwa logika


keruangan itu dilaksanakan pemerintah dengan mendepak
kampus yang berdiri di kota pusat perdagangan menuju
daerah pimggiran. Langkah ini diambil bukan hanya untuk
membuka ruang-ruang baru untuk mengeruk keuntungan.
Tetapi juga agar tidak ada lagi aksi-aksi pengancam sirkulasi
modal. Ridha mencontohkan apa yang menimpah gerakan
sosial di Makassar. Ketika Universitas Alauddin Makassar
dipindahkan ke Kabupaten Gowa maka aksi mahasiswa yang
semulanya sering menggolkan pelbagai tuntuntan menjadi
menurun drastis. Mereka kehilangan posisi strategisnya di
Jalan Sultan Alauddin yang biasanya: menutup jalan sebentar
saja maka sirkulasi manusia dan barang-barang dagangan

743
industri di Makassar terhenti, dan tentu tuntutan politis
mereka mudah tersampaikan.449

Sikap pongah pemerintah terhadap gerakan sosial di Makassar


ternyata kelak bakal menimpah elemen pergerakan di
Mataram. Keinginan Gubernur NTB untuk memindahkan
kampus keluar dari Mataram merupakan syiar kapitalisme.
Penguasa dan penguasa lagi-lagi sangat takut dengan gerakan
perlawanan yang sering dibangun di pusat perdagangannya.
Makanya mahasiswa-mahasiswa mau disingkirkan menjauhi
radius yang membahayakan kepentingan pasar. Pemerintah
dan pemodal memang begitu rupa dalam melancarkan
serangannya terhadap kaum yang dianggap sebagai
pengganggu sirkulasi kapital. Itulah mengapa upaya
mempreteli gerakan tak saja lewat rencana relokasi kampus,
tapi juga dengan tawaran kuliah ke luar negeri. Melalui
bangunan kerja sama yang dijalin gubernur bersama birokrasi
asing dan kapitalis-swasta maka banyak sekali mahasiswa
Mataram mampu diberangkatkannya menempuh pendidikan
S2 ke Amerika, Cina, Australia, dan Malaysia. Anak-anak
muda itu memang tak semuanya sering membahayakan
kekuasaan. Tetapi kebanyakan di antara yang mendapat
beasiswa adalah aktivis-aktivis pencetus, penggerak, dan
pengikut aksi. Kader-kader himpunan bahkan ada yang
menerima mentah-mentah kebijakan ini. Pengurus-pengurus
organisasi juga amat senang dengan kebijakan itu. Makanya
mereka sangat antusias dalam menagihnya dari pemerintah.

449
Muhammad Ridha, (2018), Melawan Rezim Infrastruktur; Studi
Ekonomi-Politik, Yogyakarta Carabaca dan Social Movement Institute
(SMI),

744
Kritik-kritik dilontarkan seperti seseorang yang merengek
minta makan. Dirinya seolah tak mau membuka mata bahwa
kebijakan itu melemahkan elemen gerakan, bahkan secara
halus merenggut hak orang-orang yang seharusnya menerima
bantuan: anak-anak dari keluarga kaum miskin dan tertindas
di daerah pedalaman, pinggiran, dan tertinggal yang hari-hari
ini tertatih-tatih dalam mengenyam pendidikan yang normal.
Seoalah penerimaan organisasi terhadap kebijakan licik ini
adalah bentuk kompensasi: dukungan terhadap kekuasaan
diberikan dengan balasan imbalan yang menggiurkan.
Sayangnya sikap itu menampakan wajah himpunan yang agak
bengis, pragmatis, dan oportunis. Keberpihakan terhadap
kaum miskin dan terttindas ditukarkan dengan keuntungan,
jaringan, dan kepentingan apa saja. Gerakan kemudian tak
lagi berpusat pada jalanan, melainkan terpaku dalam ruang-
ruang pranata kenegaraan. Kaderisasi sepertinya gagal
menyuntikan keberanian, meradikalkan pengetahuan, dan
mempertajam gerakan. Landasan sosi-historis sama sekali
enggan dijadikan ajaran penggugah perkaderan. Zaman yang
kita tinggali hari-hari persis dengan suasana yang menjadi
alasan kelahiran HMI: penjajahan. Kolonialisme-Imperialisme
memang telah menancapkan pengaruhnya sejak negeri ini
dikenal dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Pada
masa silam jalur perdagangan merupakan alat menembus alat
yang dikuasai oleh kerajaan.

Kala itu raja-raja hidup berdampingan dengan kasta saudagar


kaya yang punya kepentingan mencari untung. Zaman dahulu
VOC jadi organisasi sekaligus simbol persahabatan
pemerintah dan pengusaha dalam perdagangan. Mereka ingin
menguras bahan mentah; lada, pala, dan cengkeh. Makanya

745
peperangan-demi-peperangan tak tanggung-tanggung
dilakukan guna melancarkan arus komoditi mengalir ke negeri
asalnya. Itulah mengapa VOC serupa dengan kekuasaan
korporasi yang bukan hanya mengeksploitasi tapi juga mampu
menggalang dukungan dari aparatur represif, bahkan memiliki
angkatan bersenjata yang tangguh. Dengan menebar ketakutan
di ujung bedil maka kerajaan-kerajaan semulanya menjadi
bersahabat justru diperangi dan ditaklukan. Sejumlah raja-raja
tamak jatuh di bawah kendalinya. Amangkurat II merupakan
contoh penguasa pribumi yang membebek pada VOC: (1)
Memonopoli penuh impor tekstil dan candu; (2) Impor tekstil
dan candu dilarang tanpa cap dari VOC: (3) Memonopoli
penuh atas impor beras dan gula; (4) Tuntutan agar beras
harus diserahkan setiap tahun ke VOC dengan harga pasar; (5)
Dilarangnya semua pedagang Jawa beroperasi: (6)
Penyerahan Semarang sebagai kota pelabuhan dan juga
pelabuhan lainnya pada VOC sampai hutang penguasa
Amangkurat II lunas.450

Raja itu persis pemerintah kita sekarang: tidak punya wibawa,


menipu rakyat demi dirinya sendiri, dan menggelincirkan
penduduk dalam jurang kemiskinan. Rakyat miskin bukan
dibantu tapi didekati dengan data dan puisi. Lapangan kerja
diadakan hanya saja kesempatan kerja yang ditiadakan. Inilah
yang membuat hidup rakyat berada dalam kubangan
penderitaan. Apalagi harga kebutuhan hidup yang semakin
melonjak karena kebijakan mengikuti instruksi pasar. Daging
sapi, beras, garam, hingga cangkul diimpor bukan karena

450
Anthony Reid, (1999), Dari Ekspansi hingga Krisis (II), Jaringan
Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Hlm. 378.

746
tidak punya, tapi pemerintah didikte pemodal secara vulgar.
Dengan dikendalikannya negara oleh kekuatan modal maka
laut dan lahan-lahan yang menjadi sumber mata pencaharian
rakyat mudah sekali dialihkan ke perusahaan pertambangan
hingga perkebunan. Inilah yang melancarkan dikurasnya
sumber daya alam dan dirusaknya lingkungan. Rakyat
kemudian menjadi korban dengan nasib yang menyeringai:
dimiskinkan, dibodohkan, menempati tempat tinggal tak
layak, tidak beroleh makan bergizi dan minum bersih, lalu
sering sakit-sakitan, enggan mampu berobat, dan ujung-
ujungnya mati mengenaskan.

Sejarah negeri ini telah banyak mengajarkan bagaimana


kesepakatan antara penguasa dan pengusaha bukan saja
melicinkan perampokan terhadap kekayaan alam, tapi
terutama menghisap darah rakyat terus-terusan. Secara
historis, rakyat dalam negara-bangsa kita memang kerap
bertukar peran namun tidak pada korban: karena sistem pasar
membuat orang-orang miskin selalu dipaku di tembok
penindasan. Struktur kekuasaan kolonial di masa silam masih
awet di negeri kita. Mandatnya seperti yang dibawa penguasa
Orba hingga penguasa-penguasa Pasca-Reformasi: amankan
usaha dengan cara apapun. Itulah mengapa pembunuhan
terhadap kelas pekerja masih terus terjadi sampai puluhan
tahun setelah kemerdekaan. Di saat Soeharto berkuasa nyawa
Marsinah direnggut paksa karena berani menuntut agar
tunjangan Rp 550 diberikan secara tetap. Dirinya mendapat
perlakuan keji dari aparat: ditusuk kelaminnya dengan benda
keras sampai menyebabkan tulangnya remuk, bersimbah
darah, dan meninggal laiknya binatang buruan.

747
Kelak akan banyak lagi kelas pekerja yang meninggal baik
disebabkan keracunan, kelelahan bekerja maupun
mempertahankan lahannya. Tahun 2019, di seluruh Indonesia
ada 527 anggota KPPS meninggal dunia karena menengguk
racun hasil permainan bengis kekuasaan. Hanya saja ratusan
pekerja itu dikatakan tewas lantaran soal yang nggak masuk
akal: lelah. Penguasa menempuh langkah beringas untuk
menyembunyikan kejahatannya. Itulah mengapa seorang
dokter yang ingin membongkar keborokan pemilihan presiden
justru ditahan. Hasrat untuk berkuasa telah membuat mereka
tak segan-segan mengorbankan rakyatnya. Jadilah nasib kelas
pekerja amat berbantal sengsara. Buruh bukan hanya bergaji
kecil, tapi juga gampang sekali dimatikan tiba-tiba.

Efek racun memang serupa dengan lelah yang berlebihan:


mencatatkan korban. Di Bima seorang kuli bangunan
ditemukan tewas di lokasi tempatnya bekerja. Meninggalnya
dia tak terindikasi keracunan kayak anggota KPPS, tapi murni
capek banting tulang dan peras tenaga hingga melepas nyawa.
Waktu kerja yang lama tidak memberikannya istrahat yang
cukup hingga menghancurkan dirinya. Matinya pekerja saat
membangun gedung itu tak sampai menyeret pemilik proyek
untuk diadili. Nasibnya serupa yang menimpah petani
Labuhanbatu di kemudian hari: perebutan lahan dengan
perusahaan berujung terbunuhnya dua orang warga-penggarap
di tangan preman bayaran.451 Pemilik perusahaan secara
terang memakai preman untuk mengamankan perkebunan
yang ingin dikuasainya. Itu sebabnya kedua penggarap

451
Https://kodim-p-labuhanbatu-minta-polisi-jangan-berkompromi-panggil-
dan-periksa-tam-tong-chin/

748
dibacok dan ditusuk sampai tubuhnya koyak, bercucuran
darah, hingga tewas, dan kemudian mayatnya dibuang ke
parit. Penegak hukum memang sudah menangkap
pembunuhnya tapi tak punya keberanian menjerat bos
pembunuh. Soalnya kekuasaan kini terus menghiasi
kehidupan dengan tontonan yang menjijikan: penguasa tak
melayani rakyat melainkan pengusaha.

Kita sepertinya enggan beringsut dari struktur penindasan


kolonial. Itu sebabnya hari-hari ini penguas mewarisi peringai
Amangkurat II juga Soeharto: menjual apa saja kepada
pemodal dan tak segan-segan mengorbankan rakyatnya.
Kuasa seperti itu telah menganiaya keadilaan di bawah ketiak
kekuasaan. Padahal Blaise Pascal pernah berpesan: ‘keadilan
dan kekuasaan harus seiring sejalan, karena itu apapun yang
adil harus berkuasa dan apapun yang berkuasa harus adil.’
Namun dalam sejarah bangsa kita keadilan dan kekuasaan
terus-menerus berdiri diametral. Pertentangan keduanya telah
meloloskan jenderal yang memberikan perintah untuk
membunuh ratusan ribu orang pada tahun ’65. Serdadu bengis
itu tidak berhasil lolos dari hukaman, karena negara enggan
menghukumnya. Lihat saja para penjahat kemanusiaan
dilindungi dengan kekuasaan. Makanya para penjahat yang
menghilangkan paksa belasan anak muda bukan malah diberi
sanksi tapi kenikmatan. Karena kini pelaku kejahatan sulit
diberi hukaman karena berlindung jabatan kebirokratan.

Daripada menangkap dan menahan penjahat HAM; negara


justru membuat aktivis-aktivis kemanusiaan dan lingkungan
yang dipenjarakan. Tengoklah bagaimana penguasa dengan
aturannya melindungi pemodal. Tangannya begitu ringan

749
menyeret pengutuk-pengutuk kebiadaban militer dan
pertambangan yang terjadi di tanah Papua. Serupa kejadian
protes di Sukoharjo dan Wera: pemerintah yang telah
dipenetrasi kekuatan modal menutup mata atas penderitaan
yang disebabkan oleh perusahaan. Walhasil anak-anak muda
itu kemudian mendadak hilang, dikriminalisasi, hingga
disidangkan di pengadilan. Memang memasuki 2019 aktivis
yang ditangkap oleh negara mencapai jumlah yang
mencengangkan. Pembebasan Kolektif Kota Yogyakarta
bahkan mendata: 84 orang sudah menjadi korban
penangkapan penuh kesewenang-wenangan.452

Sudah waktunya HMI mengakui dengan jujur bahwa bangsa


ini belum mampu merangsek keluar dari struktur
kolonialisme-imperialisme. Himpunan saatnya kembali
menentang segala bentuk penindasan yang terjadi. Landasan
sosio-historis harusnya menjadi kaca mata kaderisasi untuk
melihat masyarakat dan sejarah dengan seksama. Ali Syari’ati
memberitahu bahwa masyarakat seperti halnya sejarah, terdiri
atas dua kelas, Habil (yang ditindas) dan Qabil (penindas):

Menurut ajaran Islam, filsafat sejarah adalah


berdasarkan semacam determinisme historis. Sejarah
adalah aliran peristiwa yang berkesinambungan, dan
seperti haknya manusia sendiri, di dalamnya
terkandung kontrasiksi dialekstis, suatu pertarungan
antara dua anasir yang berlawan dan bermula sejak
kejadian manusia…. Pertarungan Habil dan Qabil
adalah pertartungann dua kubu yang saling berlawanan
yang berlangsung sepanjang sejarah, dalam bentuk

452
https://patriot.id/pembebasan-kolektif-ajak-terbitkan-solidaritas/

750
dialektika sejarah…. Kontradiksi bermula pada
pembunuhan Habil oleh Qabil.453

Kedua kelas itu selalu ada dalam peradaban manapun. Kelas


Habil itulah yang setiap harinya diperbudak, diperhamba, dan
dihisap: buruh, petani, pemulung, gelandangan, tukang becak,
tukang ojek, nalayan, dan PKL. Orang-orang ini lemah bukan
saja karena kelas sosialnya, tapi juga menderita akibat
kebijakan dan cara pandang gerombolan Qabil: pejabat,
pengusaha, politisi, ustad-seleb, hingga artis. Kalau dalam
organisasi kita kelas Habil terdiri dari: junior-HMI-Wan dan
perempuan-HMI-Wati. Keduanya tertindas di bawah tatanan
yang agak feodal dan patriarki. Penindasnya lagi-lagi adalah
golongan Qabil: senior yang mendakukan kebenaran, gerbong
yang merebakan segala macam kepentingan, dan mafia-mafia
yang bertebaran untuk mengutip untung apa saja melalui
pemilihan ketua hingga pengerahan kekuatan massa
himpunan. Dalam keadaan begini pasti kaderisasilah yang
akan dilunsurkan. Gerakan pula tak ketinggalan dibenamkan.
Itu sebabnya perkaderan terancam bukan saja oleh musuh dari
luar, tapi terutama kadernya sendiri. Makanya sisa-sisal feodal
dan gairah patriarki hadir begitu rupa dan membuat kader-
kader kebanyakan menyeringai. Penyakit ini membuat ajaran
teologi tidak berarti karena berhala-berhala psikoogis semakin
menjadi-jadi. Efeknya sampai melemahkan kerja-kerja
organisasi. Kader-kader dimobilisasi ke jalan yang tidak suci.
Makanya banyak senior yang ringan kata menghina,
memfitnah, bahkan mengstigma ‘yang lain’. Para demagog ini
muncul karena membawa misi: persaingan gerbong. Mereka

453
Dr. Ali Syari’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian
Sosiologi Islam, Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda, Hlm. 89-90.

751
kerap kali mengatasnamakan ideologi dan independensi
padahal isinya kosong.

Kuasai-menguasai seperti menjadi risalah popular dalam


kaderisasi. Seolah himpunan begitu akrab dengan para
penguasa ketimbang rakyat jelata. Itulah mengapa perkaderan
gagal memekarkan kesadaran sosio-histroris yang membuat
kader merasakan kondisi sejarah dan masyarakat yang sedang
disiksa oleh kekuatan modal dan negara. Keadaan ini
mengakibatkan landasan konstitusi perkaderan tak mampu
menggerakan apa-apa. Bagaimana bisa mewujudkan cita-cita
perjuangan HMI di masa depan kalau kader-kadernya banyak
yang bertransfigurasi jadi bidak-bidak catur ketimpang
pejuang yang progresif-revolusioner? Bisakah himpunan
mempertegas posisinya dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa jika dirinya lebih bertendensi membela negara
ketimbang rakyat? Tidakkah mustahil untuk mewujudkan
masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT tanpa
mengubah tatanan kapitalisme; yang menampakan
kolonialisme-imperialisme-neoliberalisme, menyulut fasisme,
dan mempertahan sisa-sisa feodal dan patriarki? Kapitalisme
merupakan sumber utama dari segala kejahatan hingga
ketidakadilan yang menimpah kaum miskin dan tertindas.
Sementara Islam merupakan agama yang mendorong umatnya
untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan. Itu sebabnya
landasan konstitusional yang menyampaikan bahwa HMI
berasakan Islam seharunya mendorong kaderisasi agar mampu
memperjuangkan keadilan. Zakiyuddin Baidhawy
menjelaskan bagaimana kesungguhan doktrin Islam melawan
kebuasan modal itu jadi tanggung jawab manusia sebagai

752
khalifah, terutama pemimpin-pemimpin yang memimpin
kader-kader Islam:

Dalam perspektif Islam, keadilan merupakan nilai-nilai


moral yang sangat ditekankan dalam al-Qur’an. Dalam
al-Qur’an tidak kurang dari seratus ungkapan yang
memasukkan gagasan tentang keadilan, baik dalam
bentuk kata-kata yang bersifat langsung maupun tidak
langsung. Demikian pula di dalam kitab itu ada dua
ratus peringatan untuk melawan ketidakadilan. Semua
itu mencerminkan dengan jelas komitmen Islam
terhadap keadilan…. Dalam hal aktivitas ekonomi
konsumsi dan distribusi, al-Qur’an menyebutkan
larangan memakan harta dengan cara ‘batil’ dan
perlunya peredaran kekayaan secara adil … sehingga
tujuan kehadiran para rasul pun ditegaskan dalam al-
Qur’an adalah untuk menegakkan sistem yang adil.
Keadilan juga menjadi tanggung jawab kepemimpinan
yang bukan hanya dipandang sekedar kontrak sosial
tetapi juga kontrak antara Allah dan sang pemimpin
untuk menegakkannya.454

Sebagai landasan konstitusional perkaderan, doktrin Islam


waktunya disalurkan ke dalam aliran perlawanan hingga
pemberontokan pada berhala psikologis dan segala kebijakan
yang menindih kemanusiaan. Kader diajarkan untuk melawan
dan memberontak terhadap setiap penindas, juga sistem dan
struktur yang membuatnya ikut menindas. Karena setiap
penindasan mesti menghasilkan ketidakadilan. Sedangkan
Islam merupakan ajaran yang menyerukan pentingnya
mewujudkan keadilan. Imam Ali pernah berkata: ‘Jika kamu

454
Zakiyuddin Baidhawy, (2007), Islam Melawan Kapitalisme, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm.10-11.

753
tidak berbuat adil, kamu menjadi penindas. Bila kamu
menindas makhluk Allah, bukan saja mahluknya. Tapi Allah
pun akan menjadi musuhmu!’ Adil dalam masyarakat
kapitalis tidak mampu dicapai dengan sikap yang netral, tetapi
butuh keberpihakan. Konstitusi HMI dengan lugas
mengatakan bahwa organisasi ini bersifat independen:
berpihak kepada kebenaran. Hari-hari ini, ‘benar’ tak
ditemukan dalam pidato penguasa tapi jerit-tangis rakyat
miskin dan tertindas. Itulah mengapa betapa pongahnya
pimpinan-pimpinan himpunan jika menurut saja pada
omongan pemegang kuasa yang sudah terang bersenggama
dengan modal sembari menyayat rakyatnya sendiri. Ingatlah
petuah dari Bung Karno, Tuhan ternyata tidak bersemayam
dalam kelimpahan istana-istana penguasa melainkan berada di
gubuk-gubuk si miskin. Itu sebabnya kaum-kaum dhua’afa
dan mustad’afin mesti diberpihaki. Muhammad pernah
berkata: ‘tidaklah orang-orang miskin lapar dan telanjang
kecuali karena ulah orang-orang kaya.’

Dalam keadaan yang begitulah kaderisasi mestinya mampu


menerbitkan, mengokohkan, dan membesarkan gerakan.
Independensi yang tercantum dalam landasan konstitusional
perkaderan seharusnya membuat kader berwatak mandiri,
merdeka, dan terlebih revolusioner. Melalui sifat yang
independen maka kebenaran yang diberpihaki bukanlah pada
pidato recehan, pandangan bulukan, dan sikap untung-rugi
kekuasaan. Melainkan kebenaran yang tak diberi kesempatan
untuk dinyatakan oleh kaum miskin dan tertindas di hadapan
penguasa yang berbantal kebusukan. Syari’ati ajarkan bahwa
keberpihakan kepada massa-rakyat sama dengan komitmen
keimanan kepada Tuhan. Dia memang menganjurkan

754
khalifah-nya membela dan memperjuangkan keadilan dan
kesejahteraan bagi sesamanya dengan melawan segala bentuk
penindasan. Farid Essack berkata: ‘Allah memang tidak akan
bertanya pada kita sejauh mana kita berbuat baik. Tapi juga
sampai sejauh mana kita bisa melawan kejahatan.’ Maka
kaderisasi digelar untuk memekarkan independensi hingga
jadi senjata pemberangus segala yang jahat. Itulah mengapa
kebenaran sebaiknya tak lagi dicari untuk dipendam,
melainkan buat dinyatakan. Michel Foucault memperkenalkan
tentang ‘Parrhesia’: menyatakan kebenaran. Baginya
menyatakan kebenaran adalah permainan hidup dan mati.
Karena pernyataan tentang sesuatu yang ‘benar’bukan hanya
membawa akibat pahit dan sakit terhadap orang-orang yang
tidak bersedia menerimanya, tapi terutama melawan
mayoritas:

…parrhesia: merupakan aktivitas lisan dimana seorang


pembicara mengungkapkan hubungan pribadinya
dengan kebenaran, dan kesediaan menanggung resiko
hidupnya karena mengungkap kebenaran dan
pengungkapan kebenaran itu sebagai kewajiban
membantu tatanan.455

Memang tatanan sepertinya harus dibantu dengan


mengungkapkan kebenaran yang disumbat kekuasaan.
Kebenaran tidak hanya akan memperbaikinya, tapi terutama
membawa perubahan mendasar: yang lama ditanggalkan
dengan menerbitkan yang baru. Kaderisasi himpunan ada
baiknya membekali kader-kadernya untuk menyatakan
kebenaran, bukan malah menyembunyikan. Dengan begitu

455
https//suluhpergerakan.org/parrhesia-mendengar-kuliah-michel-foucault

755
perembesan yang telah menjalari kehidupan himpunan dapat
dibersihkan. Pembersihan itulah yang harus dilakukan dengan
mendorong kader menentang pandangan mayoritas. Cara
pandang yang selama ini berselubung kepentingan apa saja
waktunya diberangus. Pernyataan akan sesuatu yang ‘benar’
itu memang akan membahayakan kekuasaan negara, juga
kelompok dominan dalam organisasi. Tetapi dengan
mengungkap tabir gelap itulah kalungan sanksi bukan saja
dapat dipasang pada leher pejabat korup, politisi culas, dan
pengusaha rakus. Melainkan pula mampu menjerat dan
mengobati anggota-anggota HMI yang terjangkit virus
kapitalisme: berperingai borjuis, suka bertindak ala feodal,
bersikap patriartki, dan terutama mengejar untung dari siapa
saja dan apa saja—dari organisasi-sesama kader dan pranata
kenegaraan-penguasa. Obat yang diberikan kepada mereka
adalah peringatan hingga hukuman yang akan membuatnya
berdisiplin dalam perjuangan. Ringkasnya, independensi yang
berkandungkan kebenaran jadi benteng kaderisasi dari para
perompak akal yang membentuk habitus praktis, pragmatis,
dan oportunis.

Sifat independen yang berani memerikan kebenaran seperti itu


pula akan meneguhkan landasan konstitusional HMI.
melaluinya himpunan tidak saja punya etos selaku organisasi
mahasiswa, tapi juga komitmen berperan sebagai organisasi
perjuangan dan konsistensi berfungsi menjadi organisasi
kader. Untuk itulah kader seharusnya bukan selalu mengacu
untuk jadi tulang punggung kelompok yang lebih besar;
gerbong kekuasaan, hingga elit kenegaraan. Namun paling
utama: berdisiplin tinggi mencapai tujuan himpunan,
menentang pelbagai pembodohan, dan melawan segala

756
penyimpangan. Makanya kader tak cuma butuh terorganisir
tapi harus terlatih mempertanyakan untuk apa dia
diorganisasi, juga dimobilisasi. Jangan sampai ada
penyumbatan daya kritis hingga membuat kaderisasi tak
ubahnya kehidupan sapi di sebuah kandang jualan: dijamin
kebutuhannya dan dipelihara dengan baik, tapi kemudian
susunya diperas, lalu daging sampai tulangnya di jual kepada
siapa yang mampu membayar. Kita percaya sebagai
organisasi mahasiswa himpunan tidak mengembangkan
kader-kadernya bertansfigurasi ke spesies-spesies piaraan
senior atau alumni. Itulah mengapa sebagai organisasi
mahasiswa HMI perlu menegaskan kembali posisinya: apakah
dia pencetak manusia-manusia pembaharu, ataukah sebatas
pengonsumsi dan peniru apa saja yang disuntikan penguasa?

Sebagai organisasi mahasiswa HMI tentu punya daya politis


dan moralis. Itulah kenapa mahasiswa yang menjadi
anggotanya tak sekedar dipandang sebagai kaum terdidik
yang bermoral, namun juga dididik untuk berpolitik.
Himpunan merupakan organisasi yang mengajari ajaran-
ajaran moralitas dan cara-cara berpolitik. Moral dan politik
kemudian jadi kekuatan yang menempatkan organisasi
sebagai alat perjuangan kader-kadernya. Hanya saja status dan
peran organisasi hari-hari ini perlu digugat. Kenapa politik
himpunan tak pernah mampu ditopang dengan gagasan
alternatif? Tidakkah rasa bahwa gagasan politik yang
berorientasi pada pranata kenegaraan itu sudah kolot?
Gagasan itulah yang menindih moralitas. Soalnya begitu
banyak pengurusnya yang dengan bangga menyatakan
organisasi ini independen tapi dirinya menyetir organisasi ke
terminal kekuasaan. Itu sebabnya perjuangan himpunan

757
kemudian lebih menampakan air muka kayak partai politik
daripada organisai mahasiswa. Tengoklah bagaiamana HMI
ternyata punya legitimasi bukan saja dalam menarik beasiswa
kuliah untuk aktivisnya, tapi kadang memberikan
rekomendasi kepada aktivis-aktivisnya untuk ditempatkan
pada jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintahan—biasanya
yang dibantunya itu adalah senior-senior yang dianggap
berjasa, terlebih memiliki junior yang sedang menjadi ketum
PB, Badko, Cabang, Korkom, maupun Komisariat.

Sekarang pengurus himpunan nyaris sukar dibedakan dengan


politisi, bahkan mungkin hampir serupa orang-orang istana.
Pantaslah mereka menyulap kaderisasi jadi taman yang
ditanami bibit kekuasaan. Kuasa kemudian dipupuk dengan
kompromi dan disirami air bah kepentingan. Makanya bunga
yang mekar bukan menghasilkan keindahan melainkan
konflik sesama kader, baik dalam pertarungan meraih jabatan
di internal maupun di eksternal organisasi. Imbas darinya
adalah layunya kaderisasi dan gerakan karena gairah berkuasa
mengancam perkembangan pikiran, perasaan, dan kehendak.
Itu sebabnya kaderisasi lebih banyak melahirkan orang-orang
yang kayak kehilangan kemerdekaannya di hadapan senior-
gerbong, hobinya mengejar untung apa saja, kemudian bisa
hidup mapan jadi penguasa; ketimbang anak-anak muda
radikal, militan, progresif-revolusioner. Dalam kondisi inilah
kita merindukan organisasi mahasiswa yang bukan hanya
berjuang semata mengorbitkan kadernya, tapi mencerahkan
dari kebodohan dan membebaskan dari beragam belenggu.
Caranya amat sederhana, yakni menempatkan kaderisasi
sebagai sumber pengetahuan dalam membangun gerakan.

758
Tapi gerakan yang dilakukan bukan bergerak mengikuti
zaman melainkan melawan segala kelazimannya.

Perlawanan itulah yang kelak akan mendorong ke arah


perubahan. Kita tentunya sangat berharap perkaderan HMI
tidak lagi memprioritaskan lahirnya penguasa-birokrasi-
politisi, tapi pemimpin-penggerak. Karena sekarang kita pasti
merindui sosok kader seperti Lafran Pane: punya gagasan
besar, akhlak mulia, kepribadian kuat, penampilan sederhana,
berjiwa besar, dan tidak haus jabatan. Kita juga mendamba
munculnya Cak Nur-Cak Nur baru: orang-orang yang
memiliki beragam referensi, arif-bijaksana dalam tindakan,
dan berpemikiran melampaui zamannya. Kita pula sedang
berandai hadirnya pemuda seiras Ahmad Wahib: kader-
jurnalis yang mematutkan diri sebagai pemikir bebas hingga
memilih keluar dari himpunan ketimbang dibatasi
kebebasannya dalam berpikir. Bahkan kita pun
membayangkan kaderisasi mampu membentuk kader punya
prototip persis Cak Munir: mampu memadukan antara teori
dan praktek, menerbitkan sikap keberpihakan kepada kaum
buruh dan tani, dan berjuang melawan penguasa tiran hingga
jadi martir demi membela kepentingan rakyat miskin dan
tertindas. Orang-orang yang baru disebutkan barusan adalah
manusia-manusia yang begitu gandrung bukan saja pada
Tuhan tapi pula terhadap pengetahuan dan kemanusiaan. Ini
sebabnya mereka bukan hanya diterangi oleh ajaran-ajaran
ilahi melainkan ilmu-ilmu duniawi. Kecintaan pada Tuhan
membuatnya tak mudah mempercayai penguasa.
Kebijaksanaan yang dimilikinya menjadikannya tak
berorientasi kuasa. Makanya anak-anak muda itu tidak sama
dengan para senior juga pengurus HMI hari-hari ini yang

759
punya kecenderungan menjilat apa saja, terutama penguasa.
Kalau pemuda-pemuda tadi masih hidup pasti kini mereka
akan memperingatkan kader-kader agar berhati-harti dengan
kuasa: kekuasaan bukan cuma pewujud keadilan tapi lebih
banyak berisi godaan berbuah perpecahan, perseteruan,
hingga penindasan. Maka peringatan yang diberikannya
adalah sebagaimana yang tulisan yang digubah Sayyid Qutb
dengan penuh gejolak keimanan:

Jangan bersandar dan merasa tenang kepada orang-


orang yang zalim. Kepada para penindas, tiran, dan
pelaku-pelaku kezaliman. Yakni mereka yang memiliki
kekuatan di bumi dan menindas hamba-hamba Allah.
Dengan kekuatan mereka dan memperhambakan
mereka kepada selain Allah. Jangan bersandar dan
merasa tenang kepada mereka. Karena itu berarti restu
dan pengakuan atas kemungkaran besar yang mereka
lakukan itu. Serta ikut terlibat dalam dosa kemungkaran
besar itu.

Kaderisasi ada baiknya mengamalkan ajaran Rasulullah


SAW: ‘sesungguhnya yang termasuk jihad besar ialah berkata
benar kepada penguasa zalim’. Ini selaras dengan ‘prinsip
integratif perkaderan’: mengarahkan agar seluruh aspek yang
ada di dalam perkaderan digunakan secara menyeluruh,
terhubung dan tidak parsial serta mendikotomikan antara satu
aspek dengan aspek yang lainnya. Hal ini dapat ditemukan
pada perintah Tuhan YME dalam al-Qur’an, bahwa selain
manusia diperintahkan untuk sholat, ia juga diperintahkan
untuk berzakat. Ibadah dalam hubungannya dengan Tuhan
YME mesti mendorong manusia untuk melaksankan jihad—
berhubungan dengan sesamanya—membebaskan manusia

760
lainnya dari kesengsaraan yang dihadapinya. Ali Syari’ati
memerikan ibadah demi ibadah bermakna absurd: shalat demi
shalat bermakna bahwa setiap orang mengerjakan shalat telah
memenuhi tanggung jawabnya. Inilah yang disebutnya
sebagai ‘agama untuk agama’: sikap keagamaan seorang
muslim yang asosial, bahkan ahistoris. Sementara olehnya
ditegaskan bahwa Qur’an mengatakan fakta yang
sebenarnyas:

Sesungguhnya shalat itu mencegah (orang-orang


beriman) dari perbuatan keji dan munkar.” Artinya
shalat adalah sarana untuk menolak dan menghilangkan
tindakan dan perilaku yang buruk dan jahat, juga
mencegah korupsi, dan segala macam bentuk kejahatan.
Karena itu, manakala shalat seseorang tidak
mempunyai dampak seperti ini, dia sama saja dengan
orang yang tidak mengerjakan shalat sama sekali.
Mobil yang tidak mengantar saya ke mana-mana sama
saja artinya dengan ketiadaan mobil. Jadi, memiliki
mobil hanya untuk memiliki mobil sama sekali tidak
ada artinya.456

Ibadah seharusnya tak sekadar memperbaiki diri pribadi tapi


juga menata masyarakat jadi lebih baik, adil, dan sejahtera.
Hattanya segala bentuk ketidakadilan, kejahatan, dan
penindasan kepada rakyat mesti disingkirkan. Melalui prinsip
integratif dapat menerbitkan amal gerakan untuk kaum miskin
dan tertindas di sekitarnya. Pada saat itulah aktifitas kaderisasi
memacu semangat pergerakan kader hingga terlibat dalam
misi suci: memberangus kebatilan dengan berjihad

456
Ali Syari’ati, (1995), Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Bandung:
Mizan, Hlm. 91.

761
menegakan amal ma’ruf nahi munka. Namun perlawanan
terhadap para tiran itu hanya bisa terlaksana apabila organisasi
tidak mematukan sikap kompromi yang membuatnya meberi
restu diam-diam hingga terbujur kaku di bawah ketiak
penindas. Dengan menjauhi penguasa maka himpunan punya
keteguhan berpihak kepada rakyat. Keberpihakan ini akan
menghadirkan aksi yang tak cuma bersifat musiman:
penggalangan dana untuk korban bencana, parlemen
jalananan sewaktu ada instruksi PB HMI, maupun sebatas
menebar kritik lewat medsos ketika ada isu nasional yang
sedang hangat dibicarakan. Tetapi akan memosisikan HMI
langsung ke tengah-tengah kehidupan rakyat—merasakan
kepedihan dan penderitaan hidup massa.

Prinsip integratif mendorong himpunan tidak cuma beribadah


tapi lebih mengalirkan nilai-nilai ritualnya ke kehidupan
keseharian. Hidup yang menampilkan dua kutub yang
berlawanan. Ketamakan penguasa, penggumpalan keuntungan
di tangan pemodal, dan penyelundupan risalah di mulut
agamawan, yang terus berhadap-hadapan dengan kemelaratan,
ketertindasan, dan kematian tiba-tiba bagi rakyat kebanyakan.
Dalam kondisi ini jihad-gerakan mesti dilakukan, yakni
mendidik massa, mengkonsolidasi kekuatan, dan kemudian
berkata benar kepada para penguasa. Menauladani perjuangan
Al Husain putra Syaidina Ali, kita diajak untuk menambatkan
sikap militan. Dia telah menorehkan tauladan cara berjihad
dan menemui kesyahidan sebagai seorang mujahid. Jihad
baginya serupa melaksanakan seruan Rasulullah: tidak akan
pernah tunduk pada tiran. Itulah mengapa dia berteguh hati
mengahadapi Yazid. Penguasa dari bani Umayyah yang
menerornya agar mau memberikan bai’at sama sekali tidak

762
membuatnya gentar. Tetapi malah mendirikan penolakan
hingga dirinya gugur.

Medan Karbala kemudian jadi bukti keteguhan gerakan Imam


Husain: 72 pejuang Islam berkonfrontasi dengan 30 ribu
aparat represif kekuasaan. Peristiwa itu kini dikenang sebagai
hari Asyura. Pada saat itulah sang iman bersama
pendukungnya menemui kematian. Tetapi mati yang dipilih
secara sadar. Pergerakan revolusionernya memberikan
persaksian kepada umat manusia bahwa kejahatan,
kepongahan, kekerasan, penindasan, kebejatan, maupun
angkara murka masih bercokol di muka bumi. Itulah kenapa
dalam Islam mati syahid bukanlah kematian yang timbulkan
pihak musuh, mlainkan maut yang dikehendaki syuhadah.
Jiwa-jiwa mulia ini memberikan kesaksian dengan segala
logika, penalaran, kecerdasan, kesadaran, dan kewaspadaan.
Ali Syari’ati menjelaskannya dengan kata-kata indah dan
menawan:

Mati syahid memberi persaksian pada kehendak


sejarah, sekaligus menjadi simbol bagi sesuatu yang
harus hidup. Kematian itu memberi persaksian atas apa
yang sedang terjadi di masa yang lengang dan penuh
rahasia itu. Dan akhirnya mati syahid menjadi satu-
satunya alasan bagi keberadaan, satu-satunya tanda
kehadiran, satu-satunya alat untuk menyerang dan
bertahan, serta satu-satunya cara untuk melawan agar
kebenaran dan keadilan dapat tetap hidup di suatu
zaman yang sedang didominasi sebuah rezim, di mana
kesia-siaan, kepalsuan, penindasan merajalela….457

457
Dr. Ali Syari’ati, (2003), Kemuliaan Mati Syahid, Jakarta: Pustaka
Zahra, Hlm. 130.

763
Peristiwa Asyura bukan hanya menorehkan darah tapi juga
pesan kepada seluruh umat manusia. Gubahan yang ingin
disampaikan itu berisi ajakan untuk melawan dan
membrontak kepada kekuasaan kelas penguasa. Para syuhada
dalam medan Karbala pula mencoba memberikan
pengetahuan jihad kepada kaum muslim, termasuk kader
himpunan. Bahwa tidak mungkin menanggalkan tugas maha
penting: menentang kezaliman dan ketidakadilan. Itulah
mengapa perjuangan Imam Husain patut dijadikan tauladan
gerakan. Melaluinya HMI diajarkan untuk menegakan
kebenaran yang terpasung oleh kekuasaan dalam perjalanan
sejarah peradaban manusia. Syari’ati memberitahu:
‘sepanjang sejarah, terdapat seorang penguasa, seorang
penindas yang menguasai jalannya sejarah, seorang algojo
yang mencetak syuhada. Dalam kehidupan historis umat
manusia, banyak orang yang telah menjadi korban
mengenaskan di tangan algojo ini. Banyak sudah perempuan
yang terbungkam oleh cambukan algojo ini’.

Sejarah Indonesia modern ikut mencatat bagaimana kelas


penguasa menjagal rakyat miskin dan tertindas kebanyakan.
Melalui karyanya Musim Menjagal458, Geoffrey Robinson
membeberkan kepada dunia berapa jumlah korban yang
terbunuh pada tahun 1965-1966. Temuannya juga
menempatkan penguasa dengan algojonya yang berseragam
loreng sebagai pencipta genocida. Pembantaian pertama kali
terjadi di Aceh hingga November 1965 tewaslah 10.000
orang. Di bulan yang sama penjagalan dilanjutkan ke Medan

458
Geoffrey B. Robinson, (2018), Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan
Massal di Indonesia 1965-1966, Depok: Komunitas Bambu.

764
dengan menyasar kelas pekerja di perkebunan dan lahan
pertanian mencapai angka 40.000 nyawa melayang. Kokangan
senjata militer tak berhenti karena setelah itu bunuh-
membunuh dilanjutkan ke Jawa Tengah; minggu ketiga
Oktober rakyat yang terbunuh memasuki jumlah 140.000
orang. Kaum miskin dann tertindas yang menjadi sasaran
serdadu. Memasuki Desember pelenyapan kembali menyasar
Jawa Timur dengan jumlah yang terbunuh 180.000 kepala.
Masih di bulan yang sama pemberangusan kehidupan kaum
kromo dilancarkan pula di Bali: sekitar 80.000 jiwa
meninggal. Dari perjalanan algojo-algojo kekuasaan
mengarah ke NTT: berhasil merenggut nyawa 6000 penduduk
tak berdosa.

Di hadapan kekuasaan Orde Baru rakyat sama sekali tidak


dilihatnya sebagai manusia. Itulah mengapa Angkatan Darat
seperti diberi lisensi untuk membunuh orang-orang yang
tetuduh PKI maupun memiliki hubungan dengan kaum
komunis. Akhirnya korban-korban berjatuhan di mana-mana.
Darahnya jadi banjir bandang dalam sejarah bangsa kita.
Tetapi jiwa-jiwa kelas miskin dan tertindas yang melayang di
tangan para serdadu itu sepanjang zaman akan terus bersaksi
tentang kekejaman Soeharto. Penguasa yang bukan hanya
merenggut paksa nyawa mereka, tapi juga anak-anak muda
melawan kezaliman dan ketidakadilannya. Di situ ada buruh
perempuan Marsinah, wartawan Udin, penyair Wiji Thukul,
dan pejuang HAM Munir. Mereka adalah sosok-sosok yang
melawan bersama massa-rakyat. Kaum miskin dan tertindas
dirangkulnya hingga bersatu dan ditakuti penguasa. Ketakutan
akan kekuatan rakyat itu kemudian meracuni pikiran
kekuasaan hingga mengantarkan keempat tokoh tadi pada

765
kemartiran di hadapan rezim penindas. Kini pada keyakinan
dan keberanian orang-orang yang terbunuh itulah harusnya
kita belajar. Bahwa guliran perubahan yang terjadi di
Indonesia mengharuskan kader untuk lebih cekatan dan
militan, terutama dengan menyatukan kekuatan dengan
rakyat.

Arief Heryanto melihat paling tidak ada dua pelajaran penting


dari kasus perubahan di Indonesia. Pertama, demokratisasi
menyaratkan lebih dari sekedar perjuangan suka rela,
pengorbanan dan martir di kalangan perintisnya.
Demokratisasi juga menyaratkan kondisi-kondisi historis
tertentu yang mendukung perjuangan itu. Kedua,
demokratisasi atau reformasi, dapat berkembang secara lancar
bilamana hal ini bukan sekedar rancangan besar atau
perubahan brillian elite politik yang bijak. Watak demokratis
tumbuh dalam kesadaran, wacana dan tindakan sehari-hari
pada skala kecil dan lokal. Dan ini merupakan landasan yang
menentukan bagi sebuah gerakan. 459 Inilah kenapa kerja-kerja
organisasi mesti mengambil bentuk populis, bukan elitis.
Pengurus-pengurus himpunan harus berhenti menguras tenaga
dan menghabiskan banyak waktu buat urusan kuno:
memobilisasi kader jadi peserta acara yang dibangun dengan
pemerintah, mendistribusikan sebanyak mungkin anggota
untuk memegang kedudukan di organisasi internal kampus,
saling sikut di pemilihan ketum dengan bantuan senior-
gerbong, hingga gonta-ganti pasangan dalam himpunan.

459
Arief Heryanto pada Intelektual Publik, Media dan Demokrasi, dalam
Vedi R Hadiz, (2005), Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.

766
Kita tentunya ingin sekali kaderisasi melatih kader-kader
bergerak sebagaimana kawan-kawan HMI di Yogyakarta,
yakni menerbitkan kepedulian terhadap rakyat miskin lewat
gerakan. Eko Prasetyo menceritakan bahwa mereka
menggelar serangkaian pendidikan alternatif untuk komunitas
miskin yang berprofesi sebagai abang becak atau abang
parkir. Kaum miskin ini dilatih untuk mengembangkan
kapasitas organisasi dan kemudian mulai melihat bagaimana
peluang struktural mereka untuk ambil peranan. Pendidikan
ini membekali beberapa kalangan melakukan analisis sosial
atas situasi yang mereka hadapi. Analisis yang akan membuat
mereka memahami posisi, peran dan peluang mereka terhadap
perubahan sosial yang sedang berjalan. 460 Dalam keadaan
inilah kaderisasi tidak hanya menjadi cahaya buat kehidupan
organisasi karena sinarnya mampu beringsut menerangi
rakyat-rakyat miskin dan tertindas. Kaderisasi memang
merupakan kekuatan utama kaum pergerakan gerakan.
Makanya kaderisasi tidak boleh mengasingkan diri dari
gerakan.

Perpaduan kaderisasi dan gerakan juga dapat dicontoh dari


HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Mataram. Komisariat ini
mengonsepkan sebuah kegiatan yang amat memukau: HMI
Mengajar. Melalui konsep dan gerakan itulah himpunan
bukan saja mengkader anggotanya sendiri tapi terlebih
memberikan pengajaran terhadap masyarakat. Rakyat-rakyat
yang dimiskinkan dan tertindas oleh kebijakan penguasa
mereka temui dengan sinaran keilmuan dan dorongan untuk

Eko Prasetyo, (2005), Assalamu’alaikum: Islam Itu Agama Perlawanan,


460

Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 121.

767
melawan keadaaan. Sementara dari organisasi kiri, Front
Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Mataram ikut memberi
tauladan demikian. Di Pulau Lombok, mereka turun ke desa-
desa untuk mengorganisir petani-petani miskin maupun
warga-warga korban penggusuran. Kader-kadernya bukan
hanya hidup bersama rakyat selama berbulan-bulan, tapi juga
mendirikan forum-forum belajar di tengah-tengah
perkampungan kumuh tanpa sedikitpun menarik bayaran.

Jika gerakan HMI mau mengambil tauladan dari mereka maka


dengan perjuangan seperti itulah kader-kader tak hanya
ditempatkan di ruangan melulu, melainkan pula banyak diberi
kesempatan menyalurkan pengetahuannya ke lapangan.
Pengalaman bertemu dengan orang-orang lemah tak berdaya
membuat mata mereka terbelalak: rakyat-rakyat kecil bukan
hidup susah karena malas bekerja tapi gara-gara sistem yang
tidak berkeadilan. Ketidakadilan itulah yang mengakibatkan
banyaknya orang-orang kampung kesulitan mendapatkan
pekerjaan, sukar beroleh kesehatan, dan jauh dari bangkuk
sekolahan. Hanya dengan mencetuskan gerakan inilah rasa-
rasanya himpunan tak saja akan memperoleh banyak data
mengenai kebobrakan kekuasaan, tapi juga organisasi dapat
membangun hubungan aktif yang mampu mendorong
masyarakat berjuang merebut hak-haknya.

Itulah mengapa organisasi mesti melaksanakan pendidikan


kader bersamaan dengan penerbitan pelbagai gerakan sosial.
Apalagi secara terang ‘prinsip keseimbangan perkaderan’
mendukung kerja-kerja kemanusiaan: keharusan dalam
pengembangan dan pembinaan manusia sehingga tidak
adanya kepincangan dan kesenjangan antara material dan

768
spiritual atau jasmani dan rohani—Qur’an menyebutkannya
iman dan amal secara bersamaan. Bangunan keseimbangan
bukan saja sejalan dengan prinsip integratif, tapi juga
mendorong kader-kader untuk bersikap terbuka. Melalui sikap
seimbang itu kaderisasi tak melulu diajarkan pengetahuan-
pengetahuan yang bertolak dari langit, melainkan pula
diberikan ilmu-ilmu duniawi. Ini dapat membentuk
kesimbangan kehidupan yang seterusnya akan mendinamisasi
kaderisasi. Dalam kondisi yang dinamis kaderisasi pasti
semakin kaya akan pelbagai bentuk pemikiran. Tidak ada lagi
yang namanya pendakuan kebenaran berdasarkan sentimen
keagamaan. Karena kader-kader tak dibatasi untuk mengecap
indahnya hikmah, terutama dari ajaran-ajaran yang dilarang
penguasa. Sosialisme, komunisme, marxisme-leninisme,
bahkan anarkisme boleh dipelajari tanpa dihalang-halangi
dengan prasangka, tebaran ketakutan, dan sanksi-sanksi.
Pengalaman berseteru dengan PKI kemudian tak lagi jadi tabir
gelap untuk tidak menimbah hikmah dari ilmu-ilmu kiri.

Dengan prinsip keseimbangan kaderisasi merebakan bukan


saja dorongan membangun gerakan, tapi juga menjamin
kebebasan berpikir. Pada saat itulah kader-kader tak lagi anti
terhadap paham-paham dan orang-orang kiri. Sejarah HMI
yang menceritakan kebiadaban PKI kemudian tak mudah
dipercayai, melainkan dibaca dengan sangsi. Alih-alih
membeci kader justru akan mencoba mencari kebenaran
sendiri. Maka buku-buku yang dibaca bukan lagi sebatas yang
dianjurkan oleh negara karena dengan sikap terbuka maka
kader berkesempatan membaca pustaka yang dianggap
sebagai ancaman: buku kiri. Pergelutan dengan pemikiran-
pemikiran kiri pasti membuatnya lebih memiliki empati dan

769
tanggung jawab untuk melawan tak hanya upaya-upaya
pelarangan, penyitaan, bahkan pembakaran buku-buku kiri
yang marak terjadi. Tetapi pula memberanikan diri untuk
memperjuangkan kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan yang
dipreteli oleh penguasa bersama kroni-kroni Kader-kader
yang telah dibebaskan untuk menimbah ilmu kiri pasti tak
mudah lagi menjadi bulan-bulanan senior, gerbong, maupun
negara: ditipu, dibodohi, hingga dieksploitasi sembunyi-
sembunyi. Karena sikap keberagamaan yang dipersenjatai
dengan semangat kiri akan meneguhkan imannya kepada
Tuhan sehingga enggan jatuh ke penghambaan terhadap
sesama manusia. Suluh Pergerakan bahkan memberikan enam
belas alasan kenapa mesti menimba pengetahuan kiri:

Pertama, … supaya tak mudah dibohongi. Dibohongi


tentang sejarah yang diselewengkan oleh Orde Baru
berulang kali…. Dibohongi tentang kata kiri yang
selalu dianggap bertentangan dengan Pancasila dan
agama. Kedua, … untuk lebih mengerti. Terutama
terhadap perkara yang hampir mustahil kita dapat
tangani: pelanggaran kemanusiaan yang terjadi berkali-
kali maupun ketimpangan sosial yang masih ada di
negeri ini…. Ketiga, … untuk lebih empati. Terurtama
pada petani yang sawahnya disita, juga pada buruh
yang gampang sekali di PHK, terutama pada orang
miskin yang susah sekali cari kerja dan khususnya pada
korban kejahatan HAM yang tidak diperhatikan sama
sekali…. Keempat, … untuk lebih berani. Berani
mempertahankan hak kita sebagai rakyat merdeka.
Berani menentang ketidakadilan yang terjadi sekitar
kita. Berani untuk menyatakan yang benar meski itu
berbahaya…. Kelima, untuk lebih bisa memahami.
Terutama kait mengait antara kebodohan dengan

770
kekerasan. Terutama hubungan antara penindasan dan
kesenjangan. Khususnya hubungan antara kekuasaan
dan eksploitasi sumber daya alam…. Keenam, …
supaya terhindar dari kesombongan. Rasa sombong
untuk merasa diri lebih tahu masa lalu dan sikap
sombong merasa diri lebih berwenang ketimbang yang
lainnya…. Ketujuh, … untuk belajar tentang kebenaran.
Biar di masa mendatang negeri ini tak berbalut
kekerasan lagi, tidak membiarkan ketidakadilan
merajalela, tidak membiarkan penggusuran gampang
terjadi, dan menciptakan kesenjangan jadi perkara yang
terus-menerus dialami…. Kedelapan, … supaya
terhindar dari bencana di masa depan…. Kesembilan,
…untuk membantu penguasa. Terutama dalam
menghadapi kebodohan yang kiat meningkat tajam....
Kesepuluh, … untuk memahami aturan. Terutama
aturan tentang demokrasi yang menyaratkan kebebasan
untuk menyatakan pandangan dan khususnya aturan
agama yang melarang kita untuk bersikap masa bodoh
apalagi tak peduli…. Kesebelas, … untuk memelihara
akal dan hati. Biar akal kita tak hanya dijejali
propaganda dan dihasut oleh kebohongan yang
dikatakan berulang kali. Juga biar hati kita hidup oleh
kebaikan, bukan kebencian, apalagi merasa yakin
dengan pendapatnya sendiri…. Kedua belas, … untuk
meyakini kita ini manusia bukan serigala. Yang mudah
tersentuh oleh ketidakadilan, yang mudah disentuh oleh
kebenaran, dan mudah empati pada yang mengalami
ketidakadilan…. Ketiga belas, … untuk melindungi
anak-anak di masa depan. Supaya mereka tidak lagi
dijejali dengan berita bohong yang membuat mereka
bodoh, konyol, dan tolol…. Keempat belas, … agar
hidup lebih berarti…. Saat hidup kita tak pernah mau
tunduk pada keculasan dan saat menjalani hidup kita
tidak bersama mereka yang suka melakukan kekejian.

771
Kelima belas, … untuk bisa hidup lebih baik…. Kita
tidak tertawan oleh kebodohan yang terus-terusan dan
kita bisa menjadi bangsa yang percaya diri.… Bukan
karena kemajuan ekonomi, tapi penghormatan bangsa
kita pada nilai-nilai kemanusiaan. Terakhir [keenam
belas], … [melaksanakan] perintah Allah untuk
pertama kali: Bacalah!....461

Menjalankan prinsip keseimbangan maka HMI mesti


memberitahu kadernya untuk tidak boleh antipati terhadap
sosialisme, komunisme, marxisme-leninisme, bahkan
anarkisme. Soalnya hidup yang simbang tak cuma
mengharuskan manusia beramal, tapi juga menyeimbangkan
pengetahuan akan ilmu agama dengan ilmu dunia. Dus, sangat
disayangkan apabila ada senior-senior maupun pengurus-
pengurus organisasi ini yang mencoba membatasi bacaan
kader. Tempo hari kutemui orang-orang yang demikian:
meracuni pikir melalui pengekangan referensi. Mereka
melarang kader bukan saja untuk mengecap manisnya
pemikiran pemikir kiri: Proudhon, Bakunin, Marx-Engels,
Lenin, Trotsky, Alexander Berkman, Emma Goldman, Victor
Serge, dan sebagainya. Bahkan juga bukunya-bukunya
Syari’ati yang notabene sosialisme Islam enggan dianjurkan
buat dibaca.

Memang dalam himpunan pemikiran-pemikiran kiri itu


distigma sesat. Bahkan untuk bergaul dengan kader atau siapa
saja yang sudah terlanjur membancanya ikut dilarang hingga
dicibir dan diumpat-umpat. Dilancarkannya pembatasan dan
penghinaan sesungguhnya untuk membuat kader terus-

461
https://suluhpergerakan.org/16-alasan-membaca-buku-kiri/

772
menerus bergelayutan pada kelompok dominan; baik terus
memasang ketundukan pada senior-pengurus, maupun
terjaganya stabilitas hierarki dalam gerbong. Mereka tak ingin
kadernya menggapai kemerdekaan dalam berpikir dan
bertindak. Karena melalui itulah kader-kader dibentuknya
untuk menjadi manusia-manusia kecil yang selalu membebek
terhadap bacaan sekaligus tindakan orang-orang yang
menyerukan pelarangan membaca paham atau bergaul dengan
pembaca dan organisator kiri.

Sepak terjang perompak akal itu bukan saja mengkrangkeng


perkembang pengetahuan kader tapi juga menyumbat lajur
pergerakan. Makanya ketika banyak kalangan hidup dapat
hidup rukun dengan kaum kiri justru HMI membenci PKI dan
segala ajaran berbau kiri. Diskusi-diskusi menghadang
kebangkitan komunis digelarnya tanpa mau menggali
kebenaran dan hikmah ajaran. Bahkan setiap 30 September
ada-ada saja Cabang atau Komisariat yang mencekoki kader-
kadernya dengan tayangan peristiwa G30S versi penjagal
(negara-pemerintah). Kebencian yang dirawat dalam lapangan
kaderisasi inilah yang membuat organisasi kita begitu abai
tatkala buku kiri diberantas aparat. Himpunan bukan malah
menentangnya namun menunjukan dukungan secara pasif:
bungkam seribu bahasa. Tampilan geming himpunan
kemudian bukan malah menampakan keberpihakannya
kepada umat dan bangsa seperti slogan-slogannya, melainkan
diam-diam menuruti kemauan penguasa. Itu sebabnya untuk
memperoleh pengetahuan yang kekiri-kirian saja kader sulit
sekali mendapat dukungan.

773
Seolah perkaderan hari-hari ini hanya diperuntukan buat
menyesuaikan diri dengan kapitalisme dan tak mau
mengubahnya. Sikap konformis terhadap tatanan setan lagi-
lagi secara jelas menyeruap lewat dibatasinya bergelut dengan
wacana-wacana progresif-revolusioner: kiri. Pengetahuan
yang tak sekedar mendorong kader keluar dari perbudakan
seniorisme-gerbongnisme, tapi juga menerbitkan perlawanan
atas sisa-sisa feodal, aroma-aroma patriarki, dan mental-
mental borjuis yang melemahkan kaderisasi dan gerakan
organisasi. Untuk mencapai pengetahuan yang seimbang
dalam kaderisasi maka supatutnya HMI berani
menyingsingkan lengan lalu melawan stigma-stigma yang
mengakar dan mendungukan kader-kadernya, terutama
mengenai kebiadaban PKI dan sesatnya ilmu-ilmu kiri.
Prinsip keseimbangan seharusnya membantu
menyeimbangkan pengetahuan kader. Bukan malah menutup
lubang-lubang cahaya keilmuannya hingga membuatnya
mudah dibodohi penguasa melalui pelbagai propaganda
busuk, terjerambab iming-iming kekuasaan dari senior-
gerbong, dan paling keji: dibikin abai terhadap soal-soal
kebenaran, kemanusiaan, keadilan baik dalam internal
organisasi maupun di eksternalnya.

Sudah saatnya pengurus tak sekedar mengijinkan kader


menggunakan buku kiri sebatas buat daftar pustaka makalah-
makalah training, tapi terutama memfasilitasi semua kader
dalam menggali hikmah-hikmah pemikiran-pemikiran
komunisme, marxisme-leninisme, dan anarkisme pada setiap
aktivitas kaderisasi secara umum. Sungguh disesalkan
bilamana kelompok dominan himpunan menanamkan
kebodohan pada kader: melarang bertemu dengan bacaan

774
maupun sekadar bergaul untuk bertukar pengetahuan dengan
orang-orang yang membaca buku kiri. Dengan sikap yang
demikian tentu akan memundurkan tak cuma kaderisasi dan
gerakan organisasi, namun ikut membonsai perkembangan
bangsa menuju kemajuan. Pembatasan untuk membuka
pikiran membuat kader-kader yang dididik jadi dungu karena
dunia ditahunya amat sempit. Kalau saja keadaan ini
dibiarkan pasti akan menimbulkan masalah serupa lukisan
Destoyevsky—dalam Catatan dari Bawah Tanah—dengan
begitu muram:

Perhatikanlah baik-baik! Kita bahkan tidak tahu apa


yang kini dimaksud hidup itu, apa ia sebenarnya, dan
apa namanya. Jauhkan kita dari buku, maka kita segera
akan tenggelam dan jadi bingung.

Kebingungan itulah yang disingkirkan oleh Islam. Peradaban


Islam menemui zaman keemasannya ketika melandaskan ilmu
dijadikan pelita penerang hidup yang suram. Harun al Rasyid
(785-809 M) dan al-Ma’mun (813-833 M) merupakan dua
pemimpin dari bani Abbasiyah yang mendorong rakyatnya
untuk membaca pelbagai buku. Bacaan-basaan dari bahasa
berbahasa Yunani dan Romawi mereke terjemahkan ke dalam
bahasa Arab untuk semua kalangan. Tidak ada literatur yang
dilarang, pemikiran yang diberangus, atau tokoh yang
disesatkan. Masa kepemimpinan keduanya dituturkan
Nurcholish Madjid mampu membentuk sikap kaum muslim
yang begitu terbuka dan positif terhadap berbagai
pengetahuan dan kebudayaan bangsa-bangsa lain: pertama,
memahami diri sebagai sebagai ‘umat penengah’ dan ‘saksi
atas manusia’ sehingga berkeinginan untuk menyatukan dan
mengembangkan semua warisan ilmu-pengetahuan dari mana

775
saja; dan kedua, sejalan dengan keyakinan agama bahwa
mereka harus membawa kebaikan bagi umat manusia sebagai
‘rahmat untuk sekalian alam’. Pemberian perhatian lebih pada
perkembangan pengetahuan dan keilmuan inilah yang
mengkontraskan pemerintahan Abassiyah dengan
kekuasaan—yang sebelumnya—bani Ummayah: ilmu
pengetahuan masih bersifat nasionalistik dan parokialistik,
bahkan sangat chauvinistik karena merasa dirinya yang paling
benar, cerdas, dan suci.

Setelah masa keemasannya Islam mengalami zaman


kesuraman. Temaram dunia Islam seperti mengingatkan kita
pada persaingan dan pembunuhan yang dilakukan bani
Umayyah terhadap Ali, Abu Dzar, Hasan, dan Husein serta
pengikutnya. Sejarah berkisah kemerosotan Islam terjadi
seputar abad ke-17. Katupnya adalah kolonialisme yang
menguras sumber daya alam dan manusianya. Penjajahan itu
dilakukan oleh Mongol terhadap Abbasiyah. Sementara
variabel lainnya adalah kepongahan, kerakusan, kehidupan
bermewahan para pemimpin di istana, dan konflik antarsuku,
antarketurunan, juga antarkeluarga. Efeknya kesultanan
menjadi lemah dan mudah sekali digoyahkan sampai akhirnya
runtuh. Mongol berhasil meluncurkan dinasti Abbasiyah
sampai memusnahkan pusat keemasannya: perpustakaan
raksasa Alamut-Iran dihancurkan hingga memusnahkan
setengah juta bukunya. Suasana berubah mencekam. Kader-
kader Islam tidak lagi dimajukan dengan cara menyatukan
khazanah secara internasional dan kosmopolit, melainkan
berada di bawah ketidakadilan, kekerasan, pembantaian, dan
penggunaan agama, hingga pengetahuan apa saja untuk

776
menopang kebiadaban penguasa. Ali Syari’ati menuliskannya
dengan amat perih:

…pembantaian besar-besaran oleh Jenghiz dan Hulagu,


ketika kekuasaan orang-orang Mongol telah mereduksi
massa rakyat Iran pada penyerahan, depresi,
penghinaan, dan kelemahan, ketika pembalasan dendam
Jenghiz adalah hukum, ketika pedang dan algojo
menjadi pelaksan hukum, ketika orang-orang Khan
Mongol, orang-orang nomad, para opsir dan ketua-
ketua suku Mongol masing-masing berkuasa sebagai
raja feodal atas berbagai wilayah dan negara, dan
memperbudak kaum tani dengan cara sangat keja,
ketika—di kota-kota juga—ahli-ahli agama hampir
semuanya melayani penguasa-penguasa Mongol,
mereka malah menyeru massa rakyat untuk tunduk atas
nama ‘agama Sunni sejati’ pada penguasa-penguasa
muslim gadungan yang tetap melestarikan prototipe-
prototipe Jenghiz. Mereka mengebiri diri mereka
sendiri hanya untuk menyenangkan sentimen-sentimen
keagamaan kaum muslim dengan mengorbankan
penyebaran budaya, akidah, moralitas, masyarakat, dan
eksistensi kaum muslim!462

Dengan menilik sejarah peradaban Islam HMI tentu akan


diberitahu bahwa agama ini menggapai masa keemasannya
dengan ilmu. Namun pengetahuan yang didapat kemudian
menjadi bumerang bagi pemiliknya ketika dipakai untuk
berebut pengaruh, status, kedudukan, dan jabatan
pemerintahan yang tidak melayani rakyat—menegakan
keadilan, mewujudkan kesejahteraan, dan berempati kepada

462
Ali Syari’ati, (1995), Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Bandung:
Mizan, Hlm. 52.

777
kaum miskin-tertindas. Dengan menelantarkan kebutuhan-
kebutuhan rakyat, dalam sejarahnya peradaban Islam
kemudian kontan mengalami kemunduran, kehinaan, bahkan
kehancuran. Itulah yang terjadi pada masa kekuasaan
Abbasiyah. Syari’ati menceritakannya begini: ketika kaum
cerdik-pandai tidak bertanggung jawab dalam membuahkan
kesadaran dan keselamatan bagi masyarakat maka ilmu hanya
menjadi pelayan musuh-musuh rakyat. Maka sinar keilmuan
berubah jadi bara kegelapan: alat pembuat kemerosotan,
kebodohan, perbudakan intelektual, dan penghancur kondisi
ekonomi-politik masyarakat.

Kini jalaran kepekatan historis itu masih berlanjut. Bahkan


menerpa kehidupan organisasi kita. Islam yang pertama kali
dimunculkan HMI sebagai agama perlawanan kemudian luluh
akan rayuan. Karena keilmuan dan pengetahuan kader muslim
tidak berpihak pada massa-rakyat, melainkan kekuasaan
orang-orang di istana-istana pemerintahan. Dalam HMI,
kecerdasan dipakai untuk menghadirkan semboyan agama
yang mendukung penindas: memberi dukungan terhadap
agen-agen kapitalisme. Penyalahgunaan ilmu-pengetahuan itu
mulai terjadi di masa Orba. Tengoklah bagimana kisah
menjadi konco dan kacung Soeharto ditasbihkan sampai ke
dalam materi wajib LK I: Sejarah Perjuangan HMI. Cerita
bekerja sama dengan tentara memberangus para tertuduh PKI
bertebaran bukan sabatas diceritakan dalam forum-forum
diskusi organisasi, tapi juga sengaja dibawa jadi bahan
obrolan di kampus, kos-kosan, kantin, hingga pelbagai tempat
tongkrongan. Dikisahkanlah himpunan dan angkatan darat
sebagai pahlawan sementara PKI dan tertuduh komunis
adalah pelaku penghianatan, pemberontakan, bahkan mahluk

778
yang sedang kesetanan. Aktivis Gerakan Sosial Roy
Murtodho menjelaskan, apabila kebohongan gampang kita
percayai sebagai kebenaran maka itulah ‘bentuk kegagalan
untuk mentransformasikan Islam sebagai jalan pembebasan
melalui ilmu pengetahuan, menjadikan mereka gagal
merumuskan siapa kawan, siapa lawan’. Dia bahkan mewanti
bahwa dalam konteks Indonesia ketergagapan kaum muslim
Indonesia pada literasi bisa dibaca sebagai korban dari
pembungkaman politik dan distorsi sejarah yang dilakukan
Orba:

Maka tak heran, sekarang, di tengah gairah untuk


melawan hoax, sering kali kaum muslim, tanpa sadar
justru terlibat dalam melanggengkan hoax sejarah Orde
Baru tentang G30S. Maka kerugian terbesar generasi
muda Islam sekarang adalah ketidakmengertiannya
pada berbagai ilmu sosial kritis yang berkembang
khususnya tradisi filsafat marxisme yang bisa menjadi
bekal perjuangan kaum muslim di akhir zaman, tanpa
terjatuh menjadi fasis beragama. Dalam hal ini, baik
muslim moderat maupun muslim fundamentalis,
keduanya masih curiga dan phobia terhadap marxisme
sehingga tertinggal jauh dari studi-studi sosial kritis
yang banyak dipengaruhi marxisme, dan tak banyak
menimbah manfaat darinya.463

Kaderisasi boleh jadi ketinggalan akan teori-teori sosial-kritis,


terutama marxisme, anarkisme, dan segala pemikiran yang
berkembang darinya. Padahal pancaran wacana kiri itu
mendukung prinsip persamaan perkaderan: tidak berlaku

463
Roy Murtadho pada Islam dan Pentingnya Menggali Pengetahuan,
dalam Eko Prasetyo, AL-ALAQ:Bacalah!, Malang: Intrans Publishing &
Social Movement Institute.

779
diskriminasi dalam mengkader agar tak menghasilkan
streotipe antara kader yang satu dengan yang lainnya. Melalui
pengetahuan kiri inilah doxa yang monilitik dari kelompok
dominan mampu disangsikan kebenarannya. Maka persamaan
bukan menyatukan perbedaan tapi saling mengisi,
menghormati sesama, tolong-menolong tanpa pamrih, dan
mampu hidup bersama meski berbeda-berbeda cara pandang,
pilihan, dan gagasan. Walhasil, tidak ada lagi pendakuan
kebenaran, pemaksaan, perhambaan, perbudakan, dan
ketidakadilan. Sebab kaderisasi yang mengakui persamaan tak
menyamaratakan semua kader secara jumlah. Melainkan sama
yang dimaksudkan untuk diberikan adalah soal persamaan
kesempatan. Saat itulah seorang senior dengan gerbongnya
enggan lagi membatasi seseorang maju pada pemilihan ketua.
Karena siapa yang menjadi ketum selanjutnya sudah tidak lagi
ditentukan oleh: ketum sebelumnya, abang-abang pengurus,
maupun sekaliber alumni.

Ketika kader-kader diberikan kesempatan yang sama maka


kemerosotan Kongres dapat diperbaiki: tradisi politik uang
diberangus, kepala peserta penuh berhenti dijual, dan
kemampuan kerja panitia sudah tidak menghasilkan
keuntungan buat mafia melainkan hanya diperuntukan pada
organisasi. Melalui prinsip persamaaan kita tentunya
mengandaikan lahirnya kader yang dapat mengoptimalkan
kehendaknya: bersikap dan bertindak sesuai arahan akal dan
hati nuraninya, tidak dikendalikan ketakutan dan mudah
dibujuk imbalan, juga dapat memilih dan dipilih oleh siapa
saja tanpa merasakan kekangan. Persamaan mengharuskan
tiap-tiap senior mengkader juniornya bukan dengan
kepentingan gerbong melainkan ketulusan, keihlasan, dan

780
kemerdekaan. Keseganan pada seorang kader tua atau muda
tak diberikan secara terpaksa tapi berdasarkan kemampuan,
dedikasi, dan militansi dalam menjalankan kerja-kerja
himpunan. Hanya dengan menciptakan lingkungan inilah
kesenjangan posisi antara junior dengan senior dapat
dihapuskan. Tidak ada yang membedakannya selaku kader
HMI kecuali perjuangannya selama berorganisasi atau soal-
soal alamiah: pengalaman dan usia.

Dengan begitu kaderisasi enggan dipolitisasi. Maka sindrom-


sindrom yang merembes training dapat diobati: penetuan
lolosnya makalah/jurnal, dapatnya mengikuti screening
hingga tercantumnya nama kader dalam SK Kelulusan bukan
lagi lobi-lobi senior atau pengurus. Melainkan kapabilitas,
ikhtiar (usaha dan do’a), serta kesungguhan perjuangan tiap-
tiap pribadi calon peserta. Dalam lingkungan yang beginilah
senior atau pengurus kehilangan daya dalam menggaransikan
kelulusan karena telah dilucuti kemampuannya untuk
menghadang maupun memuluskan langkah seseorang yang
akan mengikuti training. Tentu jenuh kita melihat tiap kali
dibuka Intermediate Training pasti terdapat muka-muka
peserta titipan dari senior atau pengurus. Kader yang
diikutkan pada kegiatan perkaderan formal ini bukan cuma
satu, dua orang; karena bahkan mencapai tiga, empat nama
datang dari Cabang-Cabang tertentu.

Syukur calon peserta itu jika tidak mendapatkan kendala


hingga mampu menuntaskan seluruh prosesi pra-forum,
karena jika terkendala: tidak lulus makalah/jurnal atau gagal
lolos screening, dirinya pasti tidak dapat mengikuti forum.
Halangan yang didapati biasanya dilaporkan ke seniornya.

781
Senior kemudian menghubungi siapa saja yang dianggap
mampu membantu juniornya. Kadang bantuan yang diberikan
ada yang berhasil meloloskan sampai mendapat sertifikat
training, tapi bisa juga gagal di tengah jalan. Kegagalan yang
dialami kader titipan tadi dapat disebabkan oleh pelbagai hal:
bisa lantaran Cabang penyelenggara kegiatan menolak
diintervensi, boleh juga Cabang pelaksana training
memerioritaskan kader dari wilayah kerjanya ketimbang kader
dari Cabang lainnya, atau mungkin pula terjadi persaingan
titip-menitip peserta sehingga senior atau pengurus paling
berpengaruhlah yang juniornya akan diluluskan. Itulah
mengapa junior yang bergantung pada kebesaran orang lain
seumpama dikader dengan suntikan semangat pragmatis.
Mengikuti kaderisasi yang demikian membuat dirinya mudah
menanggalkan kemandirian dan identitasnya sebagai manusia
merdeka. Dia kemudian terlena hingga jadi pesakitan di
bawah bayang-bayang orang yang dianggap dapat
menyokongnya.

Prinsip persamaan seharusnya membuat kaderisasi


memperlakukan kader-kadernya dengan penuh kesetaraan.
Maka kesempatan enggan diberikan bukan berdasarkan lobi-
lobian, kekuatan jaringan, atau kemasyhuran pendukung.
Melainkan didasarkan atas kemampuan yang dimiliki
individu. Pada saat itu bukan saja perbuatan titip-menitip
kader dapat diusir keluar dari training-training HMI. Tetapi
juga RAK, Muskom, Konfercab, Musda, dan Kongres tak
bakal dijalani dengan pendiktean untuk memilih, pembatasan
siapa yang berhak dipilih melalui restu, penaklukan antara
gerbong, reifikasi terhadap panitia dan pemilik suara penuh,
maupun perseteruan antar-kader yang begitu rupa hingga

782
melibatkan kekuatan pinjaman: senior maupun alumni yang
tidak budiman, orang-orang dari pranata kemasyarakatan
ataupun mereka-mereka yang bercokol dalam lembaga
kenegaraan, bahkan preman-preman bayaran. Keadaan ini
berlangsung dalam tubuh organisasi melalui dorongan
semangat persaingan. Saling saing-menyaingi itulah yang
menyebabkan persamaan merosot. Karena kader-kader selalu
ingin berkuasa dan menguasai sesamanya. Itu sebabnya kita
kerap kali melihat fenomena ketidaksetaraan dan
ketidakbebasan dalam himpunan. Senior-senior mengkader
seseorang persis hubungan budak dengan tuan: diperintah ke
sana-ke mari, dipinjam apa saja darinya bahkan terkadang
tidak bertanggung jawab soal pinjamannya, dan dibikin
berada pada posisi yang inferior.

Dikader dengan keadaan yang tidak setara itulah yang


menyebabkan kader tak betah berada dalam himpunan. Kader-
kader yang sering mendapatkan pembatasan kebebasan
kemudian meninggalkan gerombolan. Jalan yang lalu mereka
tempuh beragam: mulai dari berhenti aktif mengikuti kegiatan
organisasi hingga beralih ke lembaga lainnya. Anak-anak
muda itu soalnya kecewa terhadap apa-apa yang dialaminya
ketika dikader oleh senior yang bukan malah membebaskan
melainkan membelenggunya. Belenggu itu biasanya terparah
terjadi di gerobong-gerbong yang berdiri di atas pandangan
konservatif tentang kekuasaan. Gerbong saling beradu
kekuatan sampai membuat orang yang dikader di dalamnya
disulap serupa tentara. Peperangan yang dilakukannya adalah
melawan eksistensi gerbong lainnya. Itu sebabnya kita sering
kali melihat pertarungan antara kader. Persaingan
ditunjukannya tak sebatas lewat tiap-tiap pemilihan ketua, tapi

783
juga melalui pelbagai aktivitas-aktivitas kaderisasinya.
Pertunjukan kekuatan merekalah yang kemudian membuat
perkaderan HMI meluncur. Kader yang seharusnya disuntikan
dengan pengetahuan yang mencerahkan justru dijadikan
sasaran propaganda hitam. Isu-isu yang mereka tebarkan
begitu rupa: bisa bobroknya gerbong tertentu hingga rusaknya
peringai anggota-anggotanya. Pokoknya kekuatan para
pedagog itu berfungsi melemahkan, menjatuhkan, dan
mengalahkan apa dan siapa saja yang menjadi lawannya.

Kemenangan yang ingin sekali dididapatkan dari kekalahan


lawan itu adalah kekuasaan: pengakuan keunggulan,
kedudukan atau jabatan dalam organisasi, maupun
pengendalian aktivitas atau program-program himpunan.
Itulah dikatakan Charles Darwin sebagai ‘struggle for
existence (perjuangan untuk eksistensi)’: kompetisi antar-
spesies akibat keterbatasan sumberdaya. Secara sederhana
teori evolusi Darwin menggambarkan dua bentuk pertarungan
yang dilakukan dalam mempertahankan eksistensi: (1)
Perjuangan organisme melawan organisme untuk sumber daya
yang terbatas; dan (2) Perjuangan organisme dengan
lingkungannya. Perjuangan yang pertama itu menampak
ketika kader saling melemahkan antara satu sama lainnya.
Sedangkan perjuangan yang kedua tampak saat kader
mencoba melawan lingkungan kaderisasi dengan kelompok
dominan himpunan yang terus ingin menguasai apa dan siapa
saja. Kompetisi memang menjadi hal penting dari teori
Darwin. Ia menyebutnya sebagai seleksi alam. Kelak rumusan
itulah yang digunakan untuk melegitimasi feodalisme,
rasisme-seksisme, fasisme-brutalisme-militerisme,
kolonialisme, maupun kapitalisme-imperialisme. Namun

784
untuk bertahan hidup di alam tidak selamanya dilakukan
dengan penghisapan, pertarungan, persaingan, atau
penaklukan. Prancis Emile Gautier berkata: ‘sebenarnya
penerapan dari prinsip Darwin terhadap manusia haruslah
berarti kerja sama sosial ketimbang persaingan yang brutal’.

Itulah mengapa ilmuan Nikolai D. Nozhin juga


menyampaikan: ‘hanya bantuan timbal-balik di antara
manusia yang akan menghasilkan individu yang sepenuhnya
terintegrasi menikmati kesehatan dan kebebasan’. Bahkan
pada Mutual Aid: A Factor of Evolution-nya, pemuka
anarkisme Kropotkin menjelaskan prinsip evolusi ternyata
bukan cuma persaingan melainkan juga kooperasi dan
resiprokal. Menurutnya fittest dalam proses evolusi bukanlah
‘yang terkuat’ dan ‘yang paling mampu’ bertahan hidup,
melainkan ‘yang paling ramah’. Baginya kerja sama di antara
spesieslah yang dapat dipakai sebagai cara bertahan hidup.
Itulah mengapa ia mencetuskan pandangan yang tidak
memungkiri adanya persaingan, tapi tak sepenuhnya percaya
bahwa persainganlah yang utama—karena menurutnya:
pertama, organisme melawan organisme dari spesies yang
sama untuk sumber daya terbatas yang mengarah ke
persaingan; kedua, organisme melawan lingkungan, yang
mengarah pada kerja sama:

Ada banyak peperangan dan pemusnahan yang terjadi


di tengah-tengah berbagai spesies; ada, pada saat yang
sama, sebanyak, atau mungkin bahkan lebih lagi, saling
mendukung, saling membantu, dan saling

785
membela….464 Kropotkin menyatakan bahwa Mutual
Aid (Saling Bantuan) adalah salah satu faktor [penting]
dalam evolusi. Seperti yang ia juga katakan:
“Kemasyarakatan adalah hukum alam seperti halnya
perjuangan bersama … perang masing-masing terhadap
semua bukanlah hukum alam. Bantuan timbal balik
adalah hukum alam sama halnya dengan perjuangan
bersama….”465

Guna membangun kehidupan yang tidak dilandasi atas


persaingan maka dibutuhkan kehidupan berpatrikan
persamaan. Ini akan menempatkan manusia pada kondisi yang
setara. Tidak ada pemaksaan, pengekangan, dan perhambaan.
Hanya saja persamaan dan kesetaraan menyaratkan adanya
kendaraan utama: kebebasan. Kebebasan akan menyingkirkan
tindakan-tindakan pembatasan terhadap setiap individu karena
mereka dipandang sebagai manusia yang manusiawi, bukan
seperti yang dikira Hobbes: mahluk yang melakukan ‘perang
semua melawan semua’ maupun ‘manusia adalah serigala
bagi manusia lainnya’ karena mereka dipandang seiras
‘monster laut’ pembawa kematian. Prinsip persamaan
perkaderan sesungguhnya memberi stimulan untuk menata
kaderisasi dalam bingkai keramahan. Pada saat itulah
kaderisasi dapat membentuk kader yang tidak saling
memangsa, melainkan tolong-menolong dengan sesamanya.
Karena lingkungan ini tak mengajarkan kader untuk
menguasai dan memiliki yang lain, terlebih hidup buat
menaklukan apa saja. Suasana permusuhan antara gerbong,
persaingan antar-senior, maupun penaklukan antar-kader

464
Wikipedia.org, (2009 Paperback ed), Saling Bantuan: A Factor of
Evolution, London: Freedom Press.
465
https://anarkis.org/primata-evolusi-anarkisme-bagian-2-habis/

786
justru akan memecahkan himpunan dan meracuni kaderisasi
dan gerakan. Hanya dengan menciptakan relasi yang mampu
menampung perbedaan melalui hubungan yang setaralah
kader-kader dilatih berorganisasi dalam prinsip persamaan.

Itulah mengapa ikatan senior-junior atau pula kader dengan


gerbongnya harus menanggalkan bentuk penuh belenggu
otoritas-kehirarkisan. Melainkan menghadirkan kebebasan
yang melahirkan persamaan dan kesetaraan. Kaderisasi
dengannya pasti menumbuhkan partisipasi, berkontribusi dan
solidaritas kader tanpa merasa dirinya didikte, dipaksa,
maupun ditekan. Persamaan dibutuhkan supaya tercapainya
keadilan dalam pergaulan hidup bersama. Melaluinya
hubungan yang dijalani manusia-manusia berlangsung setara.
Tetapi untuk mengalirkan semangat prinsip persamaan lagi-
lagi kader perlu dididik untuk menjadi orang-orang yang
bebas. Melalui kebebasan maka anak-anak muda yang
digembleng menggunakan nilai-nilai keislaman mendapatkan
kesempatan mewujudkan ajaran langit ke muka bumi dengan
penuh semangat ketauhidan. Tauhid yang membentuk sikap
manusia merdeka yang anti-otoritarian. Mereka beridir di atas
perlawanan terhadap segala rupa ketidakadilan, kesewenang-
wenangan, dan penghardikan kemanusiaan—baik
kemerosotan itu timbul dalam tubuh organisasi maupun
terjadi pada kehidupan di luar himpunan.

Dalam sejarahnya Islam membebaskan umat manusia dari


penghambaan, perbudakan, dan seabrek kezaliman kekuasaan.
Manusia tidak diperkenankan mengikuti tradisi, kebiasaan dan
adat yang mengekang kebebasan serta akal sehatnya. Itu
sebabnya kutukan pada sistem feodal, patriarki, kapitalisme,

787
dan kolonialisme-imperialisme menjadi bagian urgen
mendalam ajaran Islam. Agama ini menyeru pemberian
kebebasan bagi segenap manusia. Entah dia adalah kader yang
berada di bawah kungkungan senior-gerbong ataupun orang-
orang miskin dan tertindas di seluruh penjuru dunia. Karena
Islam mendorong manusia untuk mendirikan kebebasan dalam
mencapai persamaan hingga mewujudkan kesetaran
kehidupan umat manusia. Prinsip persamaan yang melahirkan
kesetaraan itu didirikan melalui kebebasan yang berasal dari
fitrah kemanusiaan: cinta kasih terhadap sasama.

Itu sejalan dengan kaderisasi HMI yang juga mempunyai


prinsip kasih sayang: sebuah manifestasi sifat Tuhan YME—
ar-rahman (maha pengasih) dan ar-rahim (maha penyayang).
Melalui prinsip inilah dinyatakan bahwa konsekuensi
kedudukan manusia sebagai khalifah memanifestasikan sifat
ketuhanan, hingga diaktualisasikan dalam pendidikan dan
perkaderan. Maka berteman melebihi saudara kemudian tak
ssemata mengharuskan kader menumbuhkan kasih sayang
pada sekelompok atau seorang anggota tertentu, tapi semua
kader himpunan agar mereka merasakan diayomi dan
diamong. Saling membesarkan juga tidak berlaku sesempit
orang-orang dalam gerbong saja, tetapi terhadap seluruh kader
tanpa memandang sempitnya matriks kegerbongan. Bahkan
dengan kasih sayang, ketauhidan dapat dibumikan dalam
kedudukan manusia yang sejajar. Kesejajaran itu telah
menempatkan Islam sebagai agama yang memuliakan pribadi
bukan berdasar status, kekayaan atau keturunan melainkan
perilaku kesehariannya. Segala pikiran, sikap dan tindakan
despotis karenanya mesti menjadi sasaran kritikan dan
perlawanan. Maka sisa-sisa feodal-patriarki, rasisme-

788
seksisme, fasisme-brutalisme-militerisme, kolonialisme dan
kapitalisme-imperialisme—yang membuang kesejajaran
hingga mengembangkan penjajahan sosial, budaya, dan
ekonomi-politik terhadap umat manusia—harus menjadi
musuh abadi himpunan. Karena dalam sistem masyarakat
seperti itulah persamaan dan kasih sayang ditanggalkan.
Penyingkiran terhadap prinsip hidup yang setara dan cinta
kemanusiaan dilakukan lewat pelucutan kebebasan.

Ketika kader mencoba membatasi kebebasan sesamanya maka


pada saat itulah lonceng kebodohan dibunyikan. Bunyi
nyaringnya mengundang situasi kejahiliaan. Inilah mengapa
relasi perbudakan kerap kita lihat bergelayutan dalam
perkaderan. Junior tak bebas memilih jalurnya sendiri karena
didominasi oleh senior bersama gerbong yang membawa
pelbagai kepentingan. Itu sebabnya kaderisasi yang
berlangsung antara senior dengan juniornya tidak dalam
kesetaraan. Melainkan dibangun hubungan disparitas: si
superior dan si inferior. Yang membedakan mereka bukan lagi
‘fungsi’ yang dapat diterima dengan akal sehat: ‘pengader’
dan ‘yang dikader’, ‘pengurus’ dan ‘anggota’, atau ‘anggota’
dan ‘alumni’. Tetapi sudah dalam derajat sebagai manusia:
‘tuan’ dan ‘budak’. Makanya otonomi sebagai individu
seumpama dilipat, dimasukan, dan ditindih dalam mesin
pencetak. Percetakan ini kemudian menghasilkan kader-kader
dengan pandangan dan tindakan yang amat monolitik. Kondisi
begini diistilahkan Moh. Hatta tak menorehkan persatuan tapi
‘persatean’: penyatuan orang-orang di bawah kekuasaan untuk
dikendalikan. Kaderisasi yang seharunya memberi pencerahan
buat menerbitkan pembebasan justru membelenggu dengan
cetakan-cetakan yang seragam. Penyeragaman yang dilakukan

789
telah membuat kader tidak bebas memilih dan pilih, tak bebas
bertindak secara kreatif, dan paling konyol: terus
mengonsumsi dan meniru apa saja yang dianggap baik, benar,
serta mulia mereka—kelompok dominan. Erich Fromm
menyebut penaggalan kebebasan manusia malah merupakan
pembodohan:

Kebodohan tidaklah diakibatkan oleh kurangnya


kecerdasan pikir, tetapi oleh ketiadaan kebebasan.
Nalar hanya mampu berkembang dalam kebebasan,
tidak hanya di dalam kebebasan dari kekuatan-kekuatan
koersif dari luar, tetapi juga dari berbagai kekuatan
koersif internal yang memenjarakan dalam beragam
manifestasinya.466

Pada himpunan kita nalar dipenjara dalam jeruji yang


bernama kepentingan kuasa. Sementara senior dengan
gerbongnya merupakan sipir yang terus mengawasi dan
mengintai kehidupan orang-orang yang dikadernya. Dalam
kondisi inilah prinsip kasih sayang tidak diberikan secara
sukarela karena prasyaratnya adalah kepatuhan dan
ketundukan kepada siapa-siapa yang merasa dirinya sebagai
senior, orang yang lebih tinggi hierarkinya dalam gerbong,
maupun mendaku jadi penguasa. Itulah mengapa sering terjadi
perseteruan antara sesama kader HMI: junior dengan junior,
junior dengan senior, dan senior dengan senior. Pertentangan-
pertentangan yang terjadi lagi-lagi tidak pernah beringsut dari
soal mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan membentuk mental seseorang menjadi selalu ingin
menyaingi, menaklukan, dan menguasai sesamanya secara

466
Erich Fromm (Penerjemah FX Dono Sunardi), (2018), The Art of
Living; Hidup Antara Memiliki dan Menjadi, Tangerang: Baca, Hlm. 47.

790
berlebihan. Maka yang kerap timbul adalah penghambaan dan
perbudakan. Fenomena itu bukan saja menampak lewat
eksistensi seniorisme-gerbongisme. Tetapi juga kerap dialami
HMI-Wati yang merajut romantika dengan HMI-Wan. Seolah
prinsip kasih sayang dijadikan alasan membumbungkan
asmara yang ugal-ugalan:

Cabang Semarang punya cerita pilu terkait kisah cinta


dalam perkaderan. Seorang kadernya tegah menghamili
kader lainnya. Perempuan yang tengah berbadan dua itu
kemudian meminta pertanggungjawaban. Sayangnya
pelaku penghamilan malah lepas tangan hingga korban
akhirnya berada dalam kepiluan. Duka cita tak tertahan.
Itu sebabnya gadis yang tengan mengandung lantas
mengingini kematian. Beberapa kali ia coba bunuh diri
tapi untunglah masih bisa diselamatkan. Meski dia
selamat namun cabang bayi bernasib malang. Benih
manusia yang tidak mendapatkan pertanggungjawaban
dari orang yang seharusnya menjadi bapaknya itu lantas
dimatikan. Calon ibu soalnya tidak mau menanggung
malu maka dirinya menggugurkan kandungan. Cabang
Mataram tidak mau ketinggalan ada dua orang HMI-
Wan yang memacari masing-masing satu HMI-Wati.
Keduanya sama-sama bermasalah: setelah berhasil
meniduri pacarnya, dua-duanya melakukan
pengkhianatan—ada yang berselingkuh dan terdapat
pula yang menelantarkan pasangannya. Alasan yang
mereka berikan kepada korbannya lumayan gila: yang
satu beralasan sudah beristri, sedang lainnya memasang
alasan dilarang berpacaran oleh orangtuanya. 467

467
Cerita ini diendus baunya pada 2019 dan 2021. Kisah dari Semarang
didapatkan dari kader HMI Cabang Mataram. Tempo hari dia berkunjung
ke Sekretariat HMI Cabang Semarang. Di situ ia bertemu dengan salah
seorang pengurus Cabang. Pada saat itulah mereka mulai membuka bicara:

791
Cinta dibawa tenggelam ke dasar birahi hingga
disempitkan hanya buat kepuasan seksual. Inilah yang
memicu penindasan terhadap perempuan. Kasih sayang
ternyata berisi kepalsuan, karena dikuasai naluri
kebinatangan. Itulah yang sempat terjadi di kader-kader
HMI-Wan dari Cabang Semarang dan Cabang
Mataram. Pacaran yang dilakukan dua kader HMI tak
lebih dari kenikamatan di atas dipan. Seusai pesta
selangkangan dilakukan maka datang kebosanan.
Pasangannya diputus tak lama setelah melakukan
hubungan badan. Pejantan mungkin saja tidak
merasakan kehilangan. Tapi perempuan yang telah
dibuka keperawanannya mendekam goncangan
kejiwaan. Sakitnya patah hati membuat dirinya bukan
saja jijik melihat muka mantan pacarnya, tapi terutama
meninggalkan organisasi hingga nekad menanggalkan
statusnya sebagai mahasiswa. Setelah berhenti
menempuh pendidikan tinggi dengan gesit ia kembali
menepi ke lingkungan pedesaan. Lalu diambilnya
keputusan untuk menikah dengan orang lain. 468

Cinta dalam hubungan asmara sederet HMI-Wan dengan


HMI-wati itu tidak mencerminkan adanya kebebasan. Karena
mereka dikendalikan kekuatan-kekuatan koersif internal
dirinya. Itulah yang membuatnya justru terpasung oleh
tekanan-tekanan. Makanya terjadi pelecehan dan kekerasan
seksual, sikap sewenang-wenang, dan serangan batin
menyakitkan—korbannya adalah perempuan. Kebebasan

mendiskusikan apa saja hingga sampai pada peroalan cinta kader-kadernya


yang berkharir dengan duka. Sedangkan lakon romantika di Mataram
diperoleh langsung oleh penulis baik lewat curhatan langsung pelaku
maupun teman-teman pelaku.
468
Ini merupakan hasil wawancara dengan beberapa teman dekat dari
korban seksisme HMI-Wan Cabang Mataram, 2019.

792
palsu dalam tatanan masyarakat kapitalis begitu kontradiktif,
bahkan sama halnya tidak memiliki kebebasan. Karena
dijadikan alat melukai, menyakiti, mengakumulasi dan
mengeksploitasi. Tanpa kebebasan sejati maka persamaan dan
kasih sayang jadi seperangkat penipuan, kepalsuan, dan
kemunafikan. Soalnya mengakibatkan persamaan jatuh pada
penyatean. Hingga kasih sayang pun merosot menuju
kekerasan. Kebebasan akan membuat individu mempunyai
kesadaran bertanggung jawab, menggelorakan kemanusiaan,
dan menegakkan keadilan. Ketika manusia terbebas dari
kekuatan koersif dari dalam dan luar dirinya maka dia tidak
akan memperlakukan sesamanya dalam relasi-relasi
kepemilikian. Melainkan subyek-subyek setara dan
mempunyai kemerdekaan. Erich Fromm menuliskan
bagaimana kehidupan orang-orang yang kemudian menjadi
penindas karena keinginan menguasai dan menghakmiliki
secara pribadi:

Masyarakat yang tidak berorientasi kepada kepemilikan


terutama berasal dari periode prasejarah, yaitu
kelompok pemburu, peramu, dan petani yang
berpindah-pindah, yang menyusun satu-satunya formasi
sosial sampai terbentuknya kota-kota, dengan yang
disebut terakhir ini menandakan lahirnya patriarkis,
eksploitasi manusia oleh manusia, dan kontrol atas
mereka…. Eksploitasi, perbedaan kelas—dan,
bersamanya, juga kecemburuan—tidak muncul sampai
surplus dalam jumlah yang luar biasa besar—pada
sekitar abad ke-4 atau ke-5 SM—dan dewasa ini, hal-
hal tersebut menguasai seluruh dunia, meskipun dengan
beberapa penguacualian…. Dalam masyarakat
agraris—sekitar 9000 sampai 7000 SM—eksploitasi
tidak ada, karena setiap orang harus bekerja agar bisa

793
bertahan hidup. Eksploitasi kali pertama mulai ketika
surplus demikian besar sehingga orang mulai
mendirikan sebuah negara, mengambil budak,
membentuk pemerintahan, melancarkan perang, dan
memenjarakan tawanan. Kaum perempuan juga berada
pada posisi tawanan, terlepas dari situasi paradoksal
bahwa kaum laki-laki mengatakan membutuhkan
perempuan….469

Eko Supriyadi lewat Sosialisme Islam470 menjelaskan,


kemerdekaan dinisbatkan pada kebebasan manusia untuk
memilih jalan hidupnya; kebebasan dari segala bentuk
eksploitasi dan penindasan oleh sesamanya. Melalui
kebebasan maka semua manusia akan diperlakukan sama.
Persamaan bersumber pada nihilnya dominasi manusia atas
manusia lainnya, persamaan kedudukan di hadapan Tuhan,
serta tidak berlakunya kelas-kelas sosial maupun kelebihan
satu golongan manusia berdasarkan atribut sosial, kultural,
ekonomi seperti kasta, suku, ras, jabatan, dan kekayaan.
Hanya melalui kebebasanlah akan didapatinya kesetaraan dan
persamaan. Inilah yang akan mengikat tali persaudaraan
bukan saja di antara sesama muslim, tapi dengan umat
beragama lainnya. Persaudaraan dalam konsep Islam
disandarkan pada konsep humanistik: tidak ada manusia yang
mampu hidup sendiri tanpa bekerja sama dan bersolidaritas
dengan sesamanya. Kerja sama dan solidaritas itu tumbuh di
atas prinsip kasih sayang. Namun tatanan masyarakat kapitalis

469
Erich Fromm (Penerjemah FX Dono Sunardi), (2018), The Art of
Living; Hidup Anatara Memiliki dan Menjadi, Tangerang: Baca, Hlm. 52-
54.
470
Lihat Eko Supriyadi, (2017), Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 126-127.

794
hari-hari ini telah membuat kehidupan dipenuhi persaingan,
penaklukan, dan penguasaan. Manusia mendudukan manusia
lain tak lebih pada derajat kebendaan. Erich Fromm menyebut
mereka punya karakter pemasaran: tidak memiliki keterikatan
mendalam pada dirinya sendiri, atau pada orang lain, bahkan
enggan mempunyai kepedulian bukan karena egois melainkan
relasinya dengan orang-orang lain dan dirinya sendiri
sedemikian tipisnya.

Fromm mewanti bahwa yang penting bagi orang-orang itu


adalah kenyamanan yang diberikan oleh benda-benda,
sewalaupun benda-benda dianggapnya tidak memiliki
subtansi. Soalnya benda adalah hal yang bisa dibeli dan
dihabiskan, seperti juga para sahabat atau kekasih yang dapat
ditinggalkan. Karena karakter pemasaran menempatkannya
pada kehidupan tanpa ikatan mendalam dengan apapun.
Fenomena inilah yang sedang kita rasakan terjadi dalam
himpunan. Banyak sekali kader yang sepertinya tak dilihat
sebagai manusia oleh rekan maupun pasangannya, terutama
kelompok dominan. Itulah kenapa menghadapkan anak-anak
muda dengan pembatasan, pengekangan, hingga dilemahkan
untuk kemudian diperbudak. Dalam kondisi yang begitulah
muncul kekerasan fisik maupun simbolik. Persamaan dan
kasih sayang tunduk terhadap kekuatan pasar karena terus
menghasut untuk memiliki dan berkuasa terhadap apa dan
siapa saja. Dalam pemilikan dan penguasaan tidak ada yang
namanya cinta, melainkan pseudo-cinta. Maka dengan melalui
cinta yang murnilah segala penindasan dan kesewenang-
wenangan mampu dilawan. Cinta yang tidak menindas,
memperbudak dan memperhamba, tapi membebaskan. Cinta
seperti sebuah agama bagi para pejuang kemanusiaan,

795
keadilan, dan kebenaran. Emma Goldman memberitahukan
cinta cuma bisa tumbuh melalui kebebasan:

Seolah cinta adalah sesuatu yang tidak bebas! Manusia


telah membeli otak, tetapi jutaan orang di dunia telah
gagal membeli cinta. Manusia telah ditundukkan oleh
tubuh, tetapi semua kekuatan di bumi belum mampu
menaklukkan cinta. Manusia telah menaklukkan
seluruh bangsa, tetapi semua pasukannya tidak bisa
menaklukkan cinta. Manusia telah dirantai dan
terbelenggu semangatnya, ia menjadi benar-benar tak
berdaya sebelum cinta mendatanginya. Tinggi di atas
takhta dengan semua kemegahan dan kemewahannya
untuk dapat memerintah, manusia tetaplah miskin dan
terpencil, kecuali jika cinta melewatinya. Dan jika cinta
menetap, gubuk termiskin akan bersinar dengan
kehangatan, kehidupan, dan warna. Dengan demikian,
cinta memiliki kekuatan sihir yang membuat seorang
raja menjadi pengemis. Ya, cinta itu bebas, ia dapat
tinggal tidak di dalam atmosfer lainnya. Dalam
kebebasan, cinta memberikan semuanya sendiri tanpa
syarat, berlimpah, dan sungguh-sungguh!471

Kebebasan bukan hanya akan memekarkan persamaan dan


kasih sayang dalam kaderisasi. Tapi juga mampu menyemai
ketauladanan. Tauladan diterbitkan tak melewati saluran
paksaan melainkan melalui relung kerelaan dan keikhlasan.
Itulah mengapa kaderisasi harus menyediakan lingungkan
yang mampu mengkader tanpa tekanan atau pengekangan,
menerima perbedaan pandangan, dan membebaskan dari
segala bentuk perhambaan maupun perbudakan. Melaluinya

471
Emma Goldman (Penerjemah Bima Satria Putra), (2017), Ini Bukan
Revolusiku, Salatiga: Pustaka Catut, Hlm. 188.

796
prinsip keteladanan yang bersemayam pada lembaran
perkaderan mudah disembulkan ke permukaan. Prinsip itu
dimaksudkan agar perkaderan bukan hanya sekadar memberi
pelajaran bagi kader, tetapi turut membetuk kepribadiannya
dengan perlakuan dan perbuatan. Itulah mengapa kader-kader
yang berperan sebagai senior ataupun pengurus tidak melulu
mengandalkan omongan. Melainkan harus membuktikannya
lewat tindakan. Jangan koar soal kebenaran, kemerdekaan,
keadilan dan persaudaraan apabila enggan mengupayakan
terwujudnya dalam kenyataan. Intinya pengetahuan yang
dimiliki tak cukup diberitahukan menggunakan mulut, karena
yang terpenting adalah mengaktualisasikan pada laku, sikap,
dan tindakan keseharian. Maka untuk menebar tauladan ke
sekitar bukan dengan omong kosong yang hanya bertaut
seputar gagasan. Tetapi langsung menghadirkannya dalam
kenyataan.

Dengan begitu kader yang sedang mengader dirinya dan orang


lain tak lagi tampil seenak jidad: menyuruh, mendikte, apalagi
mendogma. Namun secara bijaksana mencontohkan,
memperoyeksikan, dan memperlihatkan langsung dengan
perbuatan baiknya. Untuk memberikan tauladan memang
tidak bisa lewat mulut tapi harus berbuat sedemikian rupa.
Pada saat itu kaderisasi mampu mengkader lewat apa saja
yang ditampilkan tanpa melulu mengandalkan suara: arahan,
hentakan, tipuan, maupun rayuan perkataan. Kesal rasahnya
melihat senior atau pengurus berbuih mulutnya keluarkan
kebaikan, tapi apa yang ditunjukan sarat kebobrokan. Inilah
fenomena yang kerap ditemukan dalam perkaderan. Mereka
mengajarkan perihal moral tapi kelakuan immoral. Mereka
acap kali membicarakan soal rakyat namun dekat dengan

797
penguasa dan pemodal. Mereka senang mendeklarasi
pemihakan kepada kebenaran di kala sikapnya bersemayam
belaan terhadap kepentingan kekuasaan. Mereka nyatakan
perjuangkan kesetaraan meski tindakannya mengekang,
mendominasi, dan menyelubungi dengan pembatasan-
pembatasan. Keadilan dan kesejahteraan mereka wujudkan
cuma melalui bunyian dan tulisan. Adil dan sejahtera yang
ditujuankan setengah-setengah diperjuangkan. Inilah yang
merebakan disparitas antara gagasan dengan bangunan
perbuatan. Makanya aktivitas dan program organisasi
kemudian ikut terkontaminasi hingga lunglai menerbitkan
gerakan.

Sepertinya kita membutuhkan senior maupun pengurus yang


mampu memberikan pendidikan revolusioner terhadap kader.
Itulah mengapa didikan yang diberikan mesti berisi doktrin
yang dapat memberdayakan kaum tertindas dan
mentranformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di
masyarakat melalui pendidikan. Melaluinya maka pengajaran
bukan saja mengandung keteladanan, tapi terutama
menghidupkan kesadaran kritis yang selama ini ditindih
kelompok dominan. Paulo Freire memerikan pendidikan
hendaknya mampu mendorong kesadaran yang dididik untuk
mengubah realitas di masyarakat—melakukan humanisasi
ilmu pengetahuan dengan langkah praksis sejati. Jika dalam
kapitalisme manusia hanya jadi hamba konsumen—sanasib
dengan junior diperbudak kepentingan senior dengan
gerbongnya—maka melalui pendidikan kritis dan keteladanan
pengader dituntut untuk mencerahkannya: mempertanyakan
dan melawan struktur sosial yang membuatnya menyeringai.
Untuk itulah potensi kreatif, gairah, keberanian dan inisiatif

798
kader perlu didorong dan diberi ruang maka dalam aktivitas
kaderisasi: tidak boleh lagi kebebasan—kesempatan—
dipereteli.

Kita tentu akan sedih jika mendengar kabar baru-baru ini.


Informasi yang aku dapatkan adalah HMI Cabang Mataram
begitu arogan dalam kaderisasi. Komisariat Tarbiyah
dibatasinya untuk berkegiatan. Itulah mengapa sewaktu
Komisariat akan melaksanakan acara seminar maka dengan
pongah coba digagalkan. Salah seorang pengurus Cabang
dikirim untuk membatalkan peminjaman temopat untuk
pelaksanaan. Dikatakan olehnya kepada pemilik tempat
bahwa Cabang tidak bertanggung jawab atasnya. Kontan
orang yang sebelumnya meminjamkan aula untuk berkegiatan
menghubungi kader HMI Tarbiyah lalu memberitahukan
perihal tersebut. Untunglah kemudian Ketua Umum
Komisariat mengambil langkah cekatan menemui pemilik
tempat. Dia nekad atas namakan pengurus Cabang sampaikan
pembelaan: ‘memang sebelumnya terjadi miskomunikasi tapi
sekarang sudah diperbaiki’. Maka seketika tempat kembali
dipinjami. Cabang rupanya takut disaingi Komisariat-nya soal
aktivitas. Kelak dia kembali berulah: Komisariat Tarbiyah
mengadakan kajian keislaman selama tiga hari-tiga malam
namun enggan didukung, bahkan lagi-lagi disabotase. Mereka
menelepon semua kader-kader yang bisa dihubunginya agar
meninggalkan forum kaderisasi. Alasan diperlihatkannya
sikap abainya sepele: masalah administrasi. Panitia pelaksana
kegiatan dianggap salah mengetik surat yang dikirimkannya
ke Cabang makanya undangan diminta untuk diperbaiki.
Tetapi perbaikan yang dilakukan sampai berkali-kali masih
tetap disalahkan. Itu sebabnya anak-anak muda Komisariat

799
merasa dipermainkan. Inilah membuat panitia pelaksana
kegiatan menempuh langkah melawan: melangsungkan kajian
tanpa harus suratnya diterima.472

Ketauladanan yang ditonjolkan dalam himpunan nampak


normatif, begitu kaku, dan amat dingin. Makanya kader-kader
dibelenggu dengan penerapan administrasi yang berlebihan.
Herbert Marcuse menyebut kondisi ini merupakan
karakteristik yang dimiliki masyarakat satu dimensi: manusia-
manusia diperlakukan seumpama mesin yang sesuka hati
dikendali, bahasa yang sering mereka gunakan melulu
fungsional, dan aktivitas-aktivitasnya kerap terjebak pada
imperium-imperium citra yang tolol. Inilah yang kemudian
dia jelaskan akan melahirkan realitas seram: ‘masyarakat
teknologi’. Kemajuan-kemajuan tidak lagi melayani manusia
karena dirinya justru diperbudak oleh ciptaannya sendiri.
Fenomena itulah yang menampak ketika kaderisasi terlalu
menekankan kerja-kerja birokrasi: pengembangan dan
pembinaan digencarkan tapi berasal dari kebutuhan palsu,
bukan berdasarkan apa yang benar-benar dibutuhkan anggota
organisasi. Karena itulah perkaderan HMI sepertinya telah
mengarah ke arah satu dimensional: anggota-anggotanya
dikader untuk mengisi relung-relung kenegaraan tidak atas
kebutuhannya sendiri, melainkan sengaja dibentuk melalui
kaderisasi. Itulah mengapa begitu banyak aktivis himpunan
ingin sekali menikmati komoditas kekuasaan, terutama
jabatan-jabatan biokratif. Hanya saja mereka tidak menyadari

472
Wawancara dengan Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiyah—
Supriadin, 2019. Dia diwawancarai saat jam istrahat kegiatan kajian
keislaman kontemporer—kala itu sudah larut malam.

800
bahwa itu adalah kesadaran naïf. Marcuse menjelaskan ini
dengan baik:

Ternyata bukan kebutuhan nyata manusia yang


menentukan proses produksi, melainkan kebutuhan itu
sendiri diciptakan supaya hasil produksi itu bisa laku….
Intensitas, kepuasan, dan bahkan karakter dari
kebutuhan-kebutuhan manusia, di luar tingkat-tingkat
biologis, sejauh ini selalu diprakondisikan. Apakah
kemungkinan untuk mengerjakan atau meninggalkan,
menikmati atau menghancurkan, memiliki atau
menolak susuatu dicapai sebagai suatu kebutuhan
sangatlah tergantung dari apakah hal itu bisa dianggap
sebagai sesuatu yang diinginkan dan perlu bagi institusi
[pranata kenegaraan] dan kepentingan kemasyarakatan
yang masih berlaku…. Kita bisa membedakan antara
kebutuhan yang sebenarnya dan yang palsu. Kebutuhan
“palsu” adalah kebutuhan yang dibebankan pada
individu oleh adanya kepentingan sosial khusus dalam
represinya; kebutuhan-kebutuhan yang mengabadikan
kerja, agresivitas, penderitaan dan ketidakadilan…. 473

Agar kursi-kursi kekuasaan dalam pranata kenegaraan cepat


laku maka perkaderan organisasi kita menjejalkan kebutuhan
palsu. Kebutuhan yang disetir melalui para pengurus, senior
hingga alumni itu lama-lama jadi candu. Bahkan mereka
sendiri pun terjerat oleh kepalsuan yang menipu. Itulah
mengapa tak jarang kita temui pengurus-pengurus cenderung
berpenampilan, berpikir, dan bersikap seperti pejabat,
ketimbang kaum pergerakan. Soalnya mereka suka betul
memproyeksikan dirinya sebagai kalangan birokrat elegan

473
Herbert Marcuse, (2016), Manusia Satu Dimensi, Yogyakarta: Narasi,
Hlm. 7.

801
daripada kelompok mahasiswa kumal. Orang-orang seperti itu
juga doyan sekali mematutkan perbuatan adminitratif total.
Merekalah yang biasanya menyusahkan kader dalam urusan
surat-menyurat: bukan sekadar mengoreksi tapi malah
menyalahkan, bahkan mengakal-akali agar adanya kesalahan
agar kader terlihat tolol. Surat kader-kader yang menjadi
panitia pelaksana kerap dicoret dengan tangan-tangannya
yang jahil.

Peristiwa itulah yang kerap dihadapi ketika anak-anak muda


dari Komisariat mengirim undangan—pemberitahuan,
permintaan mengisi diskusi, permohonan Steering Comitee
(SC) juga Master of Training (MoT), maupun peminjaman
alat—ke Cabang. Kader pada saat itu diharuskan
memperbaikinya tak cuma sekali karana bahkan berulang.
Soalnya mereka amat tahu bagaimana caranya melelahkan
orang: apa yang salah pada penulisan surat tidak
diberitahunya secara komprehensif melainkan parsial, suka-
suka, dan setengah hati. Sehingga perbaikan dilakukan
bertahap, dalam waktu yang lumayan lama bahkan sampai
berhari-hari, dan menghabiskan biaya agak banyak lantaran
bolak-balik print untuk kemudian disalahkan lagi. 474 Kalau
saja mereka mampu berempati pastinya pengaderan
dilakukannya dengan kepedulian. Kader yang dicoreti
kerjaannya dibantu untuk memperbaikinya langung di
Sekretariat Cabang—menggunakan peralatan

474
Ini adalah keluhan kader-kader HMI Cabang Mataram yang pernah
menjadi panitia dalam pelbagai kegiatan himpunan, sepanjang tahun 2017-
2019. Apa yang mereka rasakan persis dengan yang saya alami sewaktu
menjadi ketua panitia LK I dulu: bukan hanya surat yang diperbaiki, tapi
juga proposal kegiatan. Orang-orang Cabang, terutama PA dan BPL paling
getol meminta perbaikan-demi-perbaikan.

802
kesekretariatan—tanpa memutarnya ke sana-ke mari, hingga
tidak menyita waktu berlimpah, dan terutama tak membuatnya
membayar jasa print secara berlebihan.

Kader sesungguhnya bukan tidak memiliki keikhlasan dalam


berorganisasi, namun dirinya tak sanggup dimaini. Pemberian
tauladan konyol seperti itu tidak mengilhami, tapi justru
mengadali. Dengan sikap demikianlah pengurus ingin
memperlihatkan superioritasnya. Secara simbolik dia bagai
mengatakan bahwa dirinya enggan sekadar harus disegani,
tapi terutama dituruti dan dipuja. Sikap dan tindakan ala
feodal inilah yang kemudian banyak ditiru dan dilakukan
kader lainnya. Soalnya mereka mudah sekali mencontoh apa
saja yang dilakukan kelompok dominan. Itulah mengapa
ketika alumni HMI berbondong-bondong masuk ke birokrasi
maka anggota-anggota himpunan dengan bangga mengambil
tauladan. Begitu juga kala senior atau pengurus berdekatan
dengan para birokrat, politisi, dan pengusaha: kader-kader
merasa punya kewajiban untuk melakukan apa yang
dipertontonkan. Tauladan ala borjuis yang berkembang dalam
kaderisasi telah membuat himpunan melahirkan banyak kader
dengan sikap ke-elit-elitan, ketimbang kerakyatan. Makanya
jarang sekali kita melihat diperlihatkannya tauladan yang
berkalang kesederhanaan: hidup penuh empati dan
bersemangat menggalang gerakan keberpihakan terhadap
orang miskin. Namun kader malah lebih banyak disuguhkan
dengan tampilan pengurus, senior, maupun alumni yang
bergelimang kemewahan. Mereka bahkan enggan memberi
tauladan bagaiaman caranya memperjuangkan keadilan
sewalaupun nyawa jadi taruhan. Tetapi justru
berkecenderungan untuk menjual pengetahuannya pada

803
pemegang kekuasaan. Kehidupan yang mereka lalui gagal
menginspirasi dan mengilhami apalagi menggencarkan
tindakan pembebasan. Melainkan jadi referensi melancarkan
aksi kompromi-kompromian.

Tauladan ditanamkan kelompok dominan dalam himpunan


sepertinya kehilangan imajinasi. Apa yang mereka contohkan
pada umumnya hanya ada dua poin besar: jika tidak
‘kompromi’ maka saling ‘membatasi’. Kompromi melatih
berdiplomasi. Sedangkan membatasi adalah mengasah
kemampuan untuk menguasai. Keduanya berguna buat
merebut dan mempertahankan kekuasaan. Ketauladanan
macam apa yang ingin diajarkan melalui pementasan cara
menjadi penguasa. Pemberian tauladan berkuasa dalam arena
persaingan yang terus-menerus bukan malah mencerahkan,
melainkan menciptakan kader-kader yang siap menundukan,
memerintah, dan mendominasi tanpa henti. Itulah mengapa
begitu banyak senior atau pengurus berlagak superiori.
Mereka selalu ingin menggurui, dipatuhi, dibebeki, sampai
diekori. Dikiranya itulah bentuk ketaatan dalam berorganisasi.
Waktunya kaderisasi dihiasi dengan tauladan yang diajarkan
nabi-nabi Islam beserta para pengikutnya yang bergelimang
kemuliaan: berani menyuarakan kebenaran di hadapan tiran,
bergerak bersama kaum mustad’afin dan dhuafa, dan tidak
terjerembab dalam pengejaran prestise yang membelenggu
solidaritas kemanusiaan.

Dengan menauladani jejak para pembebas itulah kader-kader


tidak terlindung dari sistem sosial yang membesarkan Fir;aun,
Qarun, Bal’am, dan Haman. Sosok-sosok ini memberi
pelajaran bagaimana nasib orang yang manyalahgunakan

804
tahta, harta, pengetahuan, dan kekuatan. Tujuan HMI tidak
akan pernah tercapai jika kadernya meniru stereotip mereka:
orang-orang yang mengeksploitasi apa saja. Di mata keempat
tokoh yang dikutuk Qur’an itu manusia dipandangnya sebagai
orang yang tidak dapat berbuat apa-apa selain menaati
keinginannya. Ketaatan didapatkannya dengan kekuasaan,
baik melalui pendakuan kebenaran, jabatan atau kedudukan,
keuangan, hingga kekerasan. Intinya taatnya orang kepada
penjahat-penjahat tadi berkat dimilikinya modal: budaya,
sosial, ekonomi, dan politik. Melalui modal-modal inilah
manusia-manusia merdeka diperbudak. Fenomena tersebut
persis kelakuan senior dengan gerbongnya hari-hari ini:
kader-kader terdiri atas hierarki maka yang berada di bawah
harus tunduk, patuh, bahkan takut terhada mereka-mereka
yang di atas. Melalui gerbong mudah sekali senior-senior
mengatur, menertibkan, dan memaksakan ketaatan siapa-siapa
yang menjadi juniornya. Ketaatan dikutip secara paksa karena
diberlakukan dominasi. Apakah ini pelaksanaan prinsip
ketaatan? Tentu tidak demikian!

Ketaatan dalam prinsip perkaderan menyatakan: setiap kader


hendaknya menaati setiap aturan-aturan main perkaderan HMI
yang diiringi oleh pengalaman dalam lingkup keseharian,
khususnya ketaatan dalam menjalankan amal saleh dalam
aktivitas kesehariannya: bersumber dari perintah Allah SWT,
Rasulullah SAW, maupun pemimpin yang bertujuan
mewujudkan kemaslahatan. Darinya kita diberitahu bahwa
taat itu boleh sepanjang dalam beramal sesuai dengan anjuran
al-Qur’an, al-Hadist, dan orang-orang yang tidak
menyesatkan, membodoh-bodohi, apalagi berusaha
membendakan sesama manusia—mahluk ciptaan Tuhan.

805
Makanya mentaati tak boleh memenjarakan. Taat yang
membelenggu akan memekarkan ketidakbebasan: keterikatan
vulgar, perbudakan-penghambaan, maupun pseudo-
kebebasan. Karena ketaatan yang sejati mesti berlandaskan
inisiatif, keikhlasan, dan kesadaran. Bukan malah kepentingan
untuk beroleh jabatan, dibukakan koneksi, maupun disuntikan
anggaran. Ketaatan macam ini tidak tulus karena tersirat
paksaan. Pada saat itu kader dikendalikan bukan sekadar oleh
keinginannya, melainkan juga anasir-anasir dari
lingkungannya. Itulah yang terjadi tatkala kader turut pada
senior atau gerbong hanya karena bisa membesarkannya.
Dirinya bukan cuma jadi mahluk yang pragmatis, tapi pula
agak hina: memerosotkan nilainya sebagai manusia yang
merdeka. Ini juga kerap terjadi pada pengurus yang
mempolitisasi konstitusi. Dia yang semula ingin menundukan
alam justru jatuh terbelenggu oleh lingkungannya. Soalnya
hukum organisasi bukan diatatinya dengan ikhlas, melainkan
sekadar mendukung kepentingannya: menjatuhkan lawan
politiknya, membatasi maupun membuka ruang kader dalam
mengakses kepengurusan, dan terutama menguasai dengan
tipuan konstitusional.

Dengan begitu kader dilarang keras menerbitkan ketaatan buta


pada senior atau gerbong, terutama penguasa zalim yang
mempolitisir peraturan. Intinya jangan sekali-kali berikan
ketaatan pada mereka yang memerintah berdasar kepentingan
pribadi, gerbong, maupun golongan. Melainkan sikap taat
hanya dipersembahkan kepada aturan beserta pemimpin yang
sepenuhnya berusaha mewujudkan tujuan mulia himpunan.
Pada saat itu ketaataan bukan berdiri dalam ancaman,
paksaan, dan imbalan. Namun berdasarkan inisiatif,

806
partisipasi, maupun keikhlasan. Hanya dengan begitulah
organisasi mampu beringsut ke lingkungan yang diandaikan
Syari’ati: ‘medidik kuda kecil liar dan beringas tapi tidak
mengajarinya menggunakan cambuk dan tongkat untuk
membuatnya jinak dan kemudian ditunggangi’. Karena
pengajaran disalurkan bukan melalui perintah-perintah tetapi
ketauladanan. Inilah yang memberi ruang agar ketaatan
tumbuh tidak dalam pengambilalihan, pendakuan, dam
keterpaksaan. Melainkan kerelaan yang berlandaskan
kesadaran.

Melaluinya ketaatan tidak memanggungkan perhambaan dan


perbudakan kader oleh kelompok dominan. Karena taat-
mentaati disirami cinta kasih dan perlakuan penuh kesetaraan.
Maka manusia-manusia dikader sebagai subyek yang
memiliki kemerdekaan. Kaderisasi yang membentuk kader
merdeka berarti melindungi anak-anak muda dari segala
perembesan. Kader-kader mampu diselamatkan dari anasir
picisan: seniorisme-gerbongnisme yang sewenang-wenangan.
Itu seharusnya prinsip ketaatan enggan menjadikan kader
sebagai penurut yang mudah mematuhi dan mengekor.
Melainkan membuatnya taat hanya pada aturan dan kebijakan
yang benar. Untuk itulah ketaatan tak membatasi dan
membelenggu pikiran, perasaan, dan kehendak. Tapi malah
mendorong jadi manusia-manusia yang sadar. Perkembangan
kesadaran akan membangun sikap protes apabila melihat,
mengetahui, dan merasakan penindasan dalam lingkungan
perkaderan. Kesadaran demikian juga membersitkan gairah
pemberontakan terhadap segala bentuk eksploitasi yang
meraja dalam kehidupan. Karena hanya lewat ‘ketaatan yang
sadar (berdisiplin)’ kaderisasi dapat membentuk manusia

807
utuh. Dia bukanlah mereka yang terus mengonsumsi dan
meniru apa saja yang terdapat pada lingkungan tanpa mau
mencipta dan mengubah. Paulo Freire menjelaskannya begini:

…manusia utuh adalah manusia sebagai subjek.


Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah
manusia sebagai obyek. Adaptasi adalah bentuk
pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang
menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah
realitas, menyesuaikan diri adalah kekhasan tingkah
laku binatang, yang bila diperlihatkan oleh manusia
adalah gejala dehumanisasi.475

Perkaderan HMI mestinya menghumanisasi. Karenanya


kaderisasi harus dijalankan dengan manusiawi. Ketaatan
kepada senior maupun gerbong jangan sampai membatasi
apalagi melegitimasi eksploitasi. Untuk itulah kader perlu
dididik menggunakan garis besar pendekatan progresif:
menekankan tumbuhnya sikap kritis dan kreatif peserta didik.
Sudah cukup kader diperlakukan sebagai objek yang dibentuk
menjadi manusia-manusia tak mandiri. Saatnya kaderisasi tak
melulu menekankan pada kepatuhan dan ketundukan buta
pada kelompok dominan. Kader mestinya dididik untuk
menerbitkan ketaatan yang sejati: sikap taat berdasarkan
inisiatif dan partisipasi; bukan rayuan imbalan, paksaan
berlebihan, bahkan ancaman ketakutan. Hanya dengan
begitulah ketaatan tidak akan menjerumuskan ke dalam
dominasi. Melainkan kesetaraan hakiki. Setara yang membuat
berani mempertanyakan situasi dan kondisi. Setara yang
mendorong melawan tirani. Setara yang membentuk karakter

475
Prof. Dr. Paulo Freire, (1984), Pendidikan Sebagai Praktek Perlawanan,
Jakarta: PT Gramedia, Hlm. 4.

808
tanpa kompromi. Setara yang memekarkan simpati dan
empati. Ringkasnya ketaatan bukan berlandaskan hierarki.
Soalnya tingkatan hanya akan memberi kuasa pada kader
yang dianggap tinggi untuk mendikte, mendogma, hingga
menebar doxa sesuka hati.

Paulo Freire memberitahu bahwa pendidikan yang


mengobjektifikasi peserta didik, sama dengan
memperbodohnya, sehingga tidak terjadi perkembangan
kesadaran.476 Pengajaran bukanlah wujud dari penindasan.
Pendidik selalu bertujuan membina kepribadian manusia.
Diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk
mendukungnya: suatu keadaan di mana pendidik dan peserta
didik bersama-sama mendunia. Dalam keadaan inilah tidak
terjadi dominasi yang melemahkan. Karena pada saat itu
pendidikan dibangun bukan berdasarkan hierarki, melainkan
kesetaraan yang mermerdekakan. Freire kemudian
menyodorkan perspektif filosofis dalam praktiknya: untuk
mengembangkan orang yang dididik agar mempunyai
dorongan sikap ingin tahu dan gairah untuk maju maka harus
ditanamkan keyakinan bahwa manusia tidak hanya berperan
sebagai ada dalam dunia, tapi terutama mencipta dan merubah
dunianya:

Dengan mencipta dan mencipta lagi manusia menyusun


realitas struktural dan menambahkannya pada realitas
natural, yang dibuat oleh manusia. Manusia selalu
menangkap gejala alam kaitan sebab-akibat. Semakin
cermat dan tepat manusia mengkap kausalitas, semakin

476
Siti Murtiningsih, (2004), Pendidikan Alat Perlawanan, Depok: Resist
Book, Hlm. 7.

809
kritis pemahaman mereka atas realitas. Dalam bahasa
yang lain, kesadaran kritis menganalisa kausalitas itu:
apa yang hari ini benar, barang kali esok tidak lagi,
selalu mengintegrasikan diri dengan realitas. Akhirnya
lambat laun setiap pemahaman akan realitas tersebut
akan diikuti oleh aksi. Setiap manusia menangkap
adanya tantangan, memahaminya, dan merumuskan
kemungkinan-kemungkinan memecahkannya, maka
selanjutnya ia akan bertindak. Dengan tumbuhnya
keasadaran kritis, manusia akan tergerak dan bangkit
untuk mengatasi dan merubah dunianya. Manusia harus
menciptakan kebudayaan dan sejarahnya sendiri.
Perubahan akan kebudayaan dan sejarah menyebabkan
manusia bersikap kritis terhadap dunianya.477

477
Ibid, Hlm. 12.

810
Islam Sebagai Ideologi Pembebasan

“Sesungguhnya orang-orang yang menerima adzab Alla


adalah mereka yang melihat para penindas dan tidak
memerangi mereka.” (Muhammad SAW)

“Inilah kata-kataku yang terakir bagi kaum Muslim dan


rakyat tertindas di seluruh dunia, kalian tidak boleh duduk
berpangku tangan, menunggu diberi anugera kemerdekaan
dan kebebasan oleh orang yang berkuasa di negeri kalian
atau oleh kekuatan asing. Kalian waai rakyat tertindas di
dunia, wahai negeri-negeri Muslim. Bangun! Ambillah hak
kalian dengan gigi dan cakar kalian! (Ayatulla Khomeini478)

Dengan menjadi mahasiswa maka setiap orang selalu


dikonotasikan dengan kaum intelektual dan keduanya saling
melengkapi. Kata intelektual dalam pandangan Ali Syari’ati
diasosiasikan dengan suatu ideologi: ‘keyakinan-keyakinan
dan gagasan-gagasan yang ditaati oleh suatu kelompok, suatu
kelas sosial, suatu bangsa, atau ras tertentu’. Ideologi
membimbing mereka dalam mengembangkan suatu pola
pemikiran yang menuntut penganutnya bersikap setia
(committed).479 Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah
suatu keharusan yang mengarahkan setiap perjuangannya.
Dalam organisasi ideologi biasanya menjadi nafas penggerak
setiap kerja-kerja keorganisasian dan mengatur tindak-tanduk
keanggotan. Pada HMI, dijelaskan melalui pedoman

478
Lihat Jalalludin Rakhmat, (2000), Sufi yang Mengguncang Dunia dalam
Kuliah-kulia Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah.
479
Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam,
Bandung: Mizan, Hlm. 72.

811
perkaderannya bahwa Islam menjadi ideologi perjuangan.
Maka mahasiswa-mahasiswa yang tergabung sebagai
anggotanya harus memeluknya sebagai suatu keniscayaan.

Tapi jika ideologi membimbing, mengembangkan, dan


menuntut penganutnya bersetia. Maka melihat kenyataan yang
berlangsung dalam himpunan; kita dapat menemukan
bagaimana sebagian besar mahasiswa yang dikader HMI telah
gagal mendefinisikan suatu ideologi Islam secara utuh untuk
dirinya dalam berkehidupan dengan masyarakat di sekitarnya.
Pengaruh globalisasi dan kapitalisme menjadi ancaman paling
nyata. Itulah mengapa pembangunan akhirnya dijadihkan
dalih segar dalam mengalirkan modernisasi gunda
melancarkan kebebasan mengekspresikan kepemilikan-
individu. Gejalanya mulai bermunculan, teraktual adalah
kegiatan Korps HMI-Wati480 untuk mengadakan Miss Kohati.
Dalam kegiatan ini mereka bukan hanya mempertontonkan
gaya dan penampilan semata, tapi juga memajang pelbagai
aksesoris yang melekat pada dirinya guna memesona seabrek
mata. Perbuatan inilah pernah ditentang oleh pejuang
femenisme Annie Lecre:

Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar


menilai apapun dengan cara pandang mereka sendiri
dan bukan melalui mata laki-laki.

480
Beberapa waktu yang lalu beredar kabar di halaman faceboook
BeritaHMI.Com, bahwa Kohati HMI Cabang Mataram sebentar lagi segera
akan melaksanakan Miss Kohati. Namun karena banyaknya kritikan yang
memborbardil Kohati, maka “Miis Kohati” disamarkan dalam kata “Duta
Kohati”, yang esensi tetap sama, yakni memamerkan keelokan raut wajah,
tubuh dan busana serta intelektualitas HMI-Wati pada dewan juri dan
penonton.

812
Kontes kecantikan berbalut busana dan ditaburi gincu
intelektualitas itu diibaratkan menjadi sebuah usaha
pengarahan menuju komodifikasi. Penampilan kohati di atas
panggung dipersonifikasi tak ubah seperti komoditi yang
dijual di dewan juri dan penonton demi sebuah nilai dan
hadiah. Pantas saja Karl Marx jauh-jauh hari
memberitahukan: bahwa produksi tidak harus bersifat
ekonomi, tapi juga berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.
Wajar seorang J. Baudrillard menilai modernisasi telah
menghadirkan masyarakat konsumeris: semua hasrat, rencana,
kebutuhan, keinginan dan relasi diterjemahkan sebagai tanda
dan obyek untuk dibeli dan dikonsumsi. Maka manusia
modern seperti diucap Erich Fromm: mengalami alienasi.
Karena dalam hegemoni kapitalisme, kesenangan,
penghargaan, kesejahteraan material dan kesuksesan telah
menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Inilah wajah homo
konsumerisme yang berilusi bahwa dirinya berbahagia.
Kohati seakan menyangkal perjuangan keumatan dan
kebangsaan. Perekonomian kapitalistik dengan wajah
pembangunannya telah memperalat menuju kemerosotan. 481
Meski sumber dari koherensi kehidupan manusia adalah
moralitas, namun di bawah kapitalisme nilai-nilai moral telah

481
Bisa jadi motif dibalik kegiatan itu adalah untuk membuka link dengan
berbagai pelaku usaha busana atau orang-orang yang berkepntingan lainnya.
Bisa pula sekedar memancing datangnya wisatawan untuk bergelantungan
di daerahnya hingga menyebabkan bercecerannya sampah dan narkoba di
mana-mana dan narkoba mewabah seperti yang banyak diberitakan oleh
media online. Jika dikata ini suatu terobosan baru untuk eksis dan bisa
dijual ke alumni dalam hal meminta sumbanagan yang kemudian sisanya
dijadikan kas, mungkin ini berasal kebosanan, kepasifan atau frustasi yang
didapatkan yang menjadi psikologi retak manusia modern seperti kata Eric
Fromm (Dikutip dari catatan diskusi dengan beberapa aktivis HMI, Maret
2019).

813
dinafikan oleh rasionalitas; moralitas dipandang tak lebih dari
ungkapan kaum positivis: perasaan-perasaan subyektif. Robert
L. Heilbroner menjelaskannya begini:

Kriteria-kriteria moral dan etis, satu-satunya tanggul


yang bisa menahan banjir ekspansi kapital—itu tidak
memiliki relevansi di dalam wilayah kegiatan
ekonomis. 482

Dengan kata lain, kapitalisme tidak memiliki dimensi moral.


Itulah kenapa paham ini berbahaya akan kelangsungan
kaderisasi. Karena modal dapat melakukan perembesan
terhadap gerakan organisasi. Inilah penyebab terjadinya bias
pemahaman, penghayatan dan penerapan ideologi HMI dalam
cara pandang dunia bagi kader-kadernya. Lihatlah begitu
banyak kader pragmatis yang melakukan apa saja asal
membawa akibat instan buat dirinya. Mereka begitu lihai
mengambil peran bak bunglon yang selalu berubah penderian
saking parahnya sampai menjual organisasinya kepada
penguasa: menjadi penjilat dengan mengadakan kegiatan suci
seperti seminar atau kuliah umum dengan motif terselubung
seperti membangun koneksi dan semacamnya. Seakan mereka
sedang berlomba dengan para kader materialis 483, yang
mencari keuntungan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selaksa pahlawan mereka berkoar menuntut keadilan secara
gamblang di kantor-kantor pemerintahan. Terkesan mereka
pandai tapi juga licik: mengancam ke sana-ke mari dan

482
Martinus Satya Widodo, (2005), Cinta dan Keterasingan, Yogyakarta:
Penerbit Narasi, Hlm. 5.
483
Materialis di sini bukan mengara pada aliran filsafat materialisme,
melainkan diasosiasikan dengan aktivitas kehidupan yang mengejar materi.

814
memeras sana-sini. Dilakukannya demonstrasi tak jarang
berdasarkan kepentingan oknum-oknum tertentu.

Simultan dengan itu menjamur pula kader-kader hedonis,


yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang-
senang tanpa sejengkal pun memikirkan penderitaan rakyat
miskin. Mereka biasanya berpenampilan parlente seperti
pejabat negara atau bintang sinetron. Kegemarannya
nongkrong di tempat-tempat mewah dan mentereng. Di
hatinya tak begitu gandrung akan kegiatan ilmiah dan sangat
menanti-nanti acara-acara serimonial. Secara kuantitas,
mereka tak jau berbeda dengan kader-kader simbolis yang
sangat bangga menggunakan atribut dan simbol-simbol
organisasi untuk pencitraan. Ke mana-mana seolah hal yang
dapat menunjukan identitasnya sebagai kader HMI wajib
dibawa. Di sisi lain, bergelayut pula kader-kader admistratif
yang selesai dibai’at langsung menghilang entah ke mana.
Namun kebermanfaatan mereka—secara negatif—bisa
digunakan untuk pasukan peramai acara-acara serimonial atau
bisa digunakan untuk mendulang suara dalam suksesi
kepemimpinan HMI.

Organisasi itu memang menampung banyak tipe kader. Itula


mengapa dalam himpunan juga kerap ditemukan kader-kader
biologis. Mereka menjadikan HMI sebagai tempat mencari
pacar. Gonta-ganti pasangan antara HMI-Wan dengan HMI-
wati bukanlah hal tabu. Inilah mengapa lingkaran-lingkaran
diskusi untuk persemaian diskursus ilmiah diseret sebagai
ajang buat gosip. Obrolan tidak pernah beringsut keburukan
pasangan. Terutama yang membina hubungan di atas lantai
eksploitasi: menebar kata-kata indah demi mendapatkan

815
makan dan minum gratis, duit pinjaman bahkan tak
dikembalikan, hingga kendaraan dan barang-barang lainnya.
Hampir mereka setingkat dengan kader retoris, yang
membedakan adalah persoalan praksis. Di mana yang menjilat
tadi biasanya dengan perkataan biasa saja namun tepat
sasaran. Sementara para kader retorik, mereka adalah orang-
orang memiliki kemampuan berteori sangat kuat namun
lemah dalam memeraktekan. Inilah yang membuat dirinya
terjebak menghabiskan waktunya hanya untuk baca dan
diskusi ketimbang menulis atau terjun langsung ke lapangan.

Sedangkan yang menjadi fenomena aktual hari-hari ini adalah


bertumbuhsuburnya kader game online. Mereka kerap
menjadikan gadget atau smartphone-nya sebagai sasaran
pemberalaan. Permainan game online tidak bisa ditinggalkan
meski dalam keadaan seurgen apapun. Efeknya: buku, diskusi
dan aksi mulai lenyap dari aktivitas keseharian. Dalam
sekelumit karakter kader ini seakan isu-isu kultural
merupakan bagian yang tak dapat terhindarkan lagi dan
perlahan mulai mengilfiltrasi himpunan. Globalisasi
karenanya tidak hanya berkaitan dengan aktivitas ekonomi.
Transformasi kapitalisme dalam beberapa dekade terakhir
juga membawa pengaruh signifikan pada wilayah kebudayaan
dan memunculkan pelbagai mode kehidupan. Bagi sementara
pengamat, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
dan peningkatan volume pertukaran budaya membuat apa
yang dibayangkan Marshal McLuhan pada 1960-an dengan
“Global Village (Desa Global)” tampaknya kian mendekati
kenyataan. Tapi bagi para pengkritiknya, bukan melahirkan
“Global Village”, globalisasi budaya justru menciptakan
“Global Pillage (Penjarahan Global)” oleh yang kaya dan

816
berkuasa dengan kerugian paling besar bagi mayoritas rakyat
di seluruh penjuru dunia ketiga yang umumnya tidak berdaya.
Salah satu elemen utama dalam produksi budaya adalah apa
yang bisa disebut dengan “Industri-Industri Budaya (IB)” 484
yang meliputi lembaga-lembaga yang terlibat dalam
memproduksi makna secara sosial.485

Max Horkheimer dan Theodore Adorno memandang


fenomena yang sedang berlangsung itu sebagai sebuah
malapetaka, karena IB menyusupkan produk-produk budaya
tersebut ke dalam benak massa-rakyat yang semakin pasif
melalui bentuk komunikasi satu arah yang memproduksi
“status-quo” yang bersifat anti-pencerahan. Para pemikir
Mazhab Frankfurt menjelaskan bahwa efek buruk IB dapat
menyebabkan hilangnya otentisitas pribadi, permintaan dan
penghargaan terhadap karya-karya seni yang orisinil, dan
meningkatnya ketidakmampuan untuk membayangkan produk
budaya alternatif hingga kemungkinan yang paling parah dari
semua itu adalah penyeragaman opini, selera dan perilaku.

484
Istilah IB sebetulnya dipopulerkan oieh dua pemikir Mazhab Frankfurt:
Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Dalam masa pengasingan di
Amerika, kedua pemikir ini dibuat terkejut oleh kekuatan, jangkauan dan
daya tembus produksi budaya yang dihasilkan perusahaan. Dalam masa
pengasingannya di Amerika keduanya dikejutkan oleh penetrasi produk-
produk budaya yang disebarluaskan oleh korporasi-korporasi bisnis yang
sampai mempengaruhi mode kehidupan manusia hingga terkikis dan
tercerabut dari budaya aslinya.
485
Termasuk dalam lembaga-lembaga ini adalah periklanan dan pemasaran,
broadcasting, media cetak dan elektronik, film, industry music, video dan
game computer, game online. Industri-industri budaya juga bersentuhan
dengan fesyen dan olahraga dan perangkat lunak. (Lihat Eric Hiariej,
(2012), Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan, Yogyakarta: Institute of
International Studies Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Hlm. 166-167).

817
Kekhawatiran ini membuktikan apa yang dikemukakan oleh
Karl Marx tentang korelasi positif antara penguasaan alat-alat
produksi dan kendali atas ideologi dan cara berpikir. Sehingga
IB menjadi momok yang begitu menakutkan.

Apabila tidak dilawan apalagi dibiarkan tumbuh subur dalam


raga himpunan, maka IB ditakutkan akan merong-rong
penerapan ideologi kader-kader himpunan. Dinyatakan oleh
Althusser 486, bahwa semua manusia beridiologi bukan karena
manusia punya ideologi tapi ideologi memiliki manusia.
Baginya ideologi merupakan sebuah repsentasi individu-
individu imajiner pada kondisi nyata dan eksistensinya.
Menginterplasi manusia menjadi subjek dari ideologi
tersebut.487 Dunia nyata ditutupi oleh ideologi dengan
kenyataan-kenyataan na’if yang bukan realitas itu sendiri,
misalnya: fenomena kapitalisme yang disublimisasikan ke
pembangunan atau modernisasi oleh Soeharto. Juga seperti
pelengseraan kekuasaan dalam Dinasti Umayah: Mu’awiyah
mengambil kepemimpinan dengan cara mengembangkan
ideologi Jabariyah untuk menutupi tragedi alienasi dan
eksploitasi yang sesungguhnya—tindakan ini telah membuat
rakyat bersedia memba’iat dia tanpa memperhatikan realitas
yang sesungguhnya.

486
Althusser adalah pelopor kajian ideologi mikro, ideologi yang menyebar
pada seluruh praktek kehidupan, pada tingkat kecil dan besar, pada pikiran
awam dan ilmiah, pada percakapan hari ini dan iklim politik negeri ini, pada
semua sela-sela terhadap kehidupan manusia. Ideologi bagi Althusser
bukanlah kesadaran palsu seperti yang ditegaskan Marx, melainkan sesuatu
profoundly unconscious, sebagai hal-hal yang secara mendalam tidak
disadari (Lihat Pengantar Bagus Takwin dalam Louis Althuser, (1984),
Tentang Ideologi, Yogyakarta: Jalasutra, Hlm. xvi)
487
Ibid. Hlm. 39.

818
Menurut Althusser, apabila rakyat menerima ideologi
dominan dari penguasa maka akan menyebabkan terjadinya
pelanggengan status-quo. Untuk melawannya dibutuhkan
ideologi tandingan yang dijadikan sebagai alternatif. Ideologi
alternatif itulah yang seharusnya dikembangkan oleh kader-
kader himpunan. HMI sebagai organisasi telah menasbikan
Islam sebagai ideologi perjuangan yang memersatukan dan
menggerakan setiap kader-kadernya. Pemahaman ideologi
yang baik akan membentuk dan memajukan kualitas kader
dalam mengarungi kehidupan sosio-historis. Bagi Syari’ati,
itulah kesadaran diri tertentu manusia yang membentuk
masyarakat:

Jika kita membicarakan kebudayaan Cina, kita tidak


akan menyebut fisikawan-fisikawan maupun
arsiteknya, melainkan Lao Tse dan Confucius. Jika kita
mempertanyakan semangat apa yang telah memperkuat
semangat bangsa India dalam menciptakan karya ilmiah
dan karya-karya seni mereka, kita akan ingat kepada
Upanishad, Weda dan Budha. Segera setelah kita
memperdebatkan semangat dan budaya Persia, secepat
itu pula Zoroaster muncul dalam pikiran kita …
siapakah yang menciptakan kebudayaan Persia dan
membentuk masyarakat sedemikiann rupa … Individu-
individu yang muncul dalam pikiran kita bukanlah
filosof, fisikawan, arsitek, sastrawan ataupun politisi,
tapi orang-orang yang diilhami oleh ideologi. 488

Setiap Ideologi mulai dengan suatu peringkat sikap kritis atas


suatu status quo suatu masyarakat dan berbagai aspek

488
Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Penerbit
Mizan, Hlm. 58.

819
kebudayaan, ekonomi, politik dan moralnya yang cenderung
menghambat perubahan yang diinginkan. 489 Sebagai ideologi,
agama adalah keyakinan yang secara sadar dipilih untuk
menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang
ada, mengarahkan suatu masyarakat atau suatu bangsa untuk
mencapai tujuan-tujuan dan ideal-ideal yang mereka cita-
citakan, yang untuk tujuan dan ideal tersebut mereka rela
berjuang dan bertempur. Seseorang yang sedang memilih
ideologi pertama kali akan berpikir tentang status kelas
sosialnya, kondisi ekonomi dan politik masyarakatnya, serta
keadaan masa itu. Ia akan bisa mengetahui mengapa ia tidak
suka dan tidak puas dengan sistem yang ada. Ia selanjutnya
akan yakin pada keharusan adanya beberapa perubahan dan
pembaharuan yang mendasar pada sistem tersebut. Untuk
mengarahkan dan memberi tujuan pada keyakinan itu, ia
memilih suatu ideologi. Ideologi tersebut dipilih untuk
mengubah dan merombak status-quo; ideologi inilah yang
memberi seorang ideolog, alternatif-alternatif baru dan
membantunya mencapai ideal-ideal dan tujuan-tujuan sesuai
dengan semboyan yang diucapkannya.490

489
(Lihat Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual, Bandung:
Penerbit Mizan, Hlm. 77).
490
Dalam sejarah, ada dua jenis agama atau dua perangkat: (1) Agama
sebagai ideologi; (2) Agama sebagai kumpulan tradisi-tradisi daerah atau
konvensi-konvensi sosial, atau sebagai semangat kolektif suatu kelompok.
Ketika rasul-rasul besar muncul dari kalangan suku-suku tertentu, ketika
mereka memimpin gerakan-gerakan historis untuk membangkitkan dan
mencerahkan kemanusiaan, dan ketika mereka memproklamirkan
semboyan-semboyan mereka secara jelas dalam mendukung massa
manusia—pada saat itulah para pengikut di samping mereka, dan bergabung
bersama mereka atas kehendak bebas mereka itulah saat kemunculan agama
sebagai ideologi (Ibid, Hlm. 88-89).

820
Namun suatu ideologi tidak boleh dipaksakan, karena ideologi
tak lagi merupakan ideologi jika ideologi itu bukan menjadi
pilihan sukarela melainkan dipaksakan—ia tak lebih daripada
suatu tradisi sosial, suatu bagian dari kebudayaan; ia telah
kehilangan misi aslinya. Potensi kritis dari ideologi
diapresiasi apabila ia dikaitkan dengan diskursus perjuangan
dan perlawanan, karena ia menjelaskan relasi antara
kekuasaan, makna dan kepentingan. 491 Tetapi untuk
memegang teguh Islam sebagai ideologi, kader HMI mesti
membenturkan nilai-nilai yang dibawa Islam pada persoalan
di sekelilingnya. Seperti halnya diceritakan bahwa orang
Persia yang semula berada di bawah tirani, kesenjangan
sosial, ketidakadilan dan monopolisme. Kelak dengan
mulianya kandungan nilai-nilai yang dibawa Islam, mereka
menerima keyakinan Islam sebagai ideologi menurut
kehendak bebasnya. Inila yang telah membantunya
menentang suatu sistem pemerintahan yang korup,
mengulingkannya dan mengantikannya dengan tatanan baru
yang sah. Islam sebagai ideologi bagi mereka telah membawa
suatu tatanan sosial baru yang berdasarkan pada keadilan,
persamaan, imamah dan efisiensi pemerintahan.

Begitupun agama yang menentang rasialitas dan diskriminasi


ini dijadikan oleh orang Afrika dan Amerika Latin sebagai
ideologi karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
mampu membangkitkan kesadaran melawan status-quo. Itulah
kiranya kader HMI mesti membaca lingkungannya berdasar
ideal dan tujuan Islam. Tengoklah bagaimana keadaan

491
Dr. M. Agus Nuryanto, (2009), Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap
Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, Hlm.
30.

821
himpunan yang hanya bisa merebut dan mempertahankan
kekuasaan, semangat persaingan akibat hantaman kapitalisme
telah mengikis persaudaraan, kesetaraan dan keadilan.
Bercokolnya modernitas membuka ruang pandangan liberal
ingga banyak di antara kader himpunan yang terjebak pada
sisa-sisa ideologi pembangunan. Berdialog dengan realitas
yang tidak ideal akan membuat Islam menjadi sebuah
ideologi. Mengancam sistem kapitalisme yang selama ini
telah membunuh moralitas dengan senjata rasionalitasnya.
Pantas saja Antonio Gramsci menyatakan bahwa jika melihat
dunia dengan intelektualnya ia mendadak pesimis, tapi yang
membuatnya optimis adalah cita-cita besarnya untuk terus
berkonfrontasi dengan kapitalisme-imperialisme.

Membangkitkan ideologi alternatif berarti memiliki keyakinan


kuat tentang bagaimana mengubah status-quo. Ideologi
menjabarkan status-quo lengkap dengan keadaan dan
tingkatan sosial, historis, geografis, dan politis pengikutnya,
serta keadaan mereka dengan pertandingannya dengan
kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam masyarakat yang
sama. Ideologi dapat menafsirkan posisi seseorang serta
tingkatan-ringkatan kelompok, kelas, daerah dan bangsanya.
Ia dapat menjawab berbagai masalah yang berhubungan
dengan kemanusiaan, kelompok-kelompok, kelas-kelas sosial
dan alam semesta.492 Berdiri di atas perjuangan ideologis,
HMI diharuskan peka dalam melihat realitas lalu meramunya
dalam bentuk kenyataan representatif yang bertolak dari
ideologi Islam. Tidakkah kita melihat sejak dekade 1950-an

492
Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Penerbit
Mizan, Hlm. 114.

822
negara telah tampil sebagai aktor dominan dalam proses
modernisasi ekonomi. Perusahaan-perusahaan negara
misalnya, tumbuh sebagai kekuatan penting di balik
perekonomian nasional. Seiring tampilnya Orba, negara
terlibat aktif dalam membangun fasilitas publik,
mengembangkan infrastruktur sosial, mempromosikan
pendidikan, menyediakan basis legal bagi beroperasinya pasar
dan secara langsung ikut mengakumulasi kapital.

Sekalipun gelombang reformasi yang menerpa sejak 1998


berhasil memaksa, diantaranya: privatisasi. Tapi arti penting
negara dalam pembangunan tidak serta-merta hilang begitu
saja. Sebaliknya reformasi hanya membuka jalan baru bagi
proses re-regulasi peran negara dalam pembangunan ekonomi.
Negara menjadi pelindung para kapitalis yang paling
berpengaruh dari efek destruktif yang ditimbulkan reformasi.
Deregulasi perdagangan untuk membasmi monopoli impor
gagal menyentuh sektor-sektor yang berada di bawah kendali
pengusaha besar pemelihara hubungan baik dengan
kekuasaan.493 Dalam konteks ini Islam mesti dibangkitkan
kembali menjadi ideologi perlawanan terhadap segala
kezaliman: (1) Melawan segala bentuk penindasan dan
kesewenang-wenangan: Islam memusuhi mereka yang
mengeksploitasi kaum miskin dan bahkan mengancam akan

493
Contohnya: hubungan baik dengan kekuasaan telah membuat sektor
Farmasi dan Plastik tidak tersentuh dari perbaikan. Lebih-lebih kesulitan
fiskal, tidak menciptakan hambatan yang terlalu banyak pada sektor-sektor
yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan sektor-sektor
domestik lainnya seperti otomotif dan petrokimia (Lihat Eric Hiariej,
(2012), Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan, Yogyakarta: Institute of
International Studies Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Hlm. 121-122).

823
menghancurkannya 494; (2) Menentang monopoli ekonomi dan
sistem kapitalisme: Islam melarang penimbunan kekayaan dan
tradisi konsumtif (berlebih-lebihan)495; (3) Membela kaum
yang lemah dan tertindas (kelompok-kelompok rentan): Islam
memerintahkan orang berimann untuk membela golongan
lemah sebab golongan itu adalah pembantu dan kekasih Allah
dan melarang keras menyakiti mereka 496; (4) Menegakkan
prinsip keadilan dan pemerataan: Islam mengutuk sistem
hukum, sosial, ekonomi, politik yang tidak adil dan ukuran
ketaqwaan yang pokok adalah mampu menegakkan
keadilan. 497

Sejarawan Edmund Burke pernah menyatakan: ‘jika suatu


kelompok berkeinginan menentang ideologi yang diakui
negara (ideologi pembangunan Soeharto, yang saat ini masih
bercokol dan membangkitkan semangat modernisme
pelanggeng kapitalisme) maka mereka harus mengembangkan
ideologi kontra-hegemoni mereka sendiri’. Hal yang sama
bisa dikatakan mengenai ideologi agama yang bisa
dibangkitkan jika mitos serta simbol tradisi yang ada dalam
kandungan ajaran agama dibentuk ulang, maka segala

494
Ayat-ayat Qur’an yang terkait: QS 4:75; QS 8:39; QS 4:148; QS 7:137;
QS 9: 103; QS 22:39; QS 2:190; QS 9:36; QS 2:191; QS 5:7-8; QS 89:6-14
(Lihat Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal Dari
Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 13).
495
Ayat-ayat Qur’an yang terkait: QS 104:6-8; QS 7:31; QS 59:7; QS 9:34;
QS 2:129; QS 2:275-278; QS 30:39; QS 104:1-4; QS 7:31; QS 57:7; QS
51:19; QS 2:190; QS 6:142; QS 10:12, 83; QS 21:9; 26:151; QS 51:34; QS
42:5; QS 44:31 (Ibid).
496
Ayat-ayat Qur’an yang terkait: QS 17:16; QS 28:5; QS 4:75; QS 62:2;
QS 22:45; QS 107-1-3; QS 2:264; QS 42:8 (Ibid).
497
Ayat-ayat Qur’an yang terkait: QS 7:29; QS 4:135; QS 5:8; QS 9:34; QS
55:8-9; QS 11:84-85; QS 2:188; QS 2:275; QS 2:278-279 (Ibid).

824
keyakinan dapat terealisir hingga orang-orang dapat bangkit
dan menyelamatkan agama mereka dari kepunahan.
Pandangan inilah yang muncul dalam Imam Khomeini
bersama para aktivis Islam seperti di Mujahiddin Iran. Bagi
Khomeini agama bukanlah suatu penerimaan teoritis terhadap
suatu kepercayaan, melainkan sikap dan gaya hidup yang
mengekspresikan perjuangan revolusioner untuk mencapai
kebahagiaan dan integritas yang dikehendaki Tuhan bagi umat
manusia. Dalam bahasa yang lebih ringkas, ia meyakini:
ketika agama datang maka segala hal mengikutinya.
Keyakinan itu bersanding dengan visi transformatif ilahiah
perjalanan spiritual Khomeini:

Jika seorang percaya kepada Tuhan yang Maha Besar


dan dengan mata hatinya melihat Dia sejelas dia
melihat matahari maka mustahil dia akan melakukan
perbuatan dosa.

Seperti sosok imam dalam tradisi Syi’ah, Khomeini


menentang pemerintahan zalim dan korup, meski harus
mengalami pemenjaraan, dipaksa hidup dalam penagasingan,
dan dirampas hak-haknya. Begitupun dengan sosok Hasan al-
Banna, Islam dijadikannya sebagai ideologi untuk
organisasinya Ikhwanul Muslimin. Islam baginya merupakan
keimanan yang melawan kesewenang-wenangan dengan jihad
sebagai landasannya. Jihad yang menegakkan keimanan dapat
mengurus semua hal dari pemerintahan hingga pelayanan
sosial. Dari Khomeini dan Hassan al Banna, selalu
melukiskan mengenai dampak-dampak nyata yang
diakibatkan oleh penerapan ideologi sekuler. Sekulerisme
yang menjadi roh sistem ekonomi yang kapitalistik telah

825
memunculkan berbagai krisis hingga saat ini menjadi
pertanyaan raksasa pemimpin muslim. 498

Fenomena itu bagi Sayyid Qutb499, ditenggarai oleh yang


dinamainya dengan situasi Jahiliah: suatu kondisi
kemerosotan intelktual dan moral yang berulang-ulang setiap
kali masyarakat menyeleweng dari ajaran Islam, baik di masa
lampau, sekarang maupun di masa depan. Menghadapi
keadaan inilah orang-orang yang menjadikan Islam sebagai
ideologi seharusnya mampu mengambil tauladan dari para
pejuang Islam terdahulu. Bagi Qutb: pembawa-pembawa
berita ilahiyah sebenarnya ada pada setiap zaman dan
potensial dimiliki masing-masing kelompok manusia untuk
tampil dengan bendera moralitas profetik itu. Bila mau
mengambil pelajaran dari perjuangan pemuda-pemuda
muslim dulunya, maka sekarang HMI mesti dikelola secara
baik, tidak birokratis, dan memberikan pelayanan secara
manusiawi dengan berorientasi pada masyarakat akar rumput.

498
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 76-77, 96.
499
Sayyid Qutb yang tumbuh dalam tradisi Sunni memandang krisis yang
diderita oleh kalangan muslim karena belenggu yang diciptakan oleh sistem
Barat. Konsep yang popular digunakannya dan kemudian diwarisi oleh
generasi selanjutnya, adalah jahiliah. Sebuah system yang mengalienasi
manusia untuk menjauh dari prinsip-prinsip Islam dan mengembalikannya
pada watak kebinatangan. Dalam bahasa Qutb kapitalisme tidak
menghormati bangsa-bangsa Arab, dengan menyatakan, jutaan orang
kelaparan, dungu, kurus kering, yang membanting tulang siang malam
mencari makan dan tidak dapat menyisahkan waktu dalam melaksanakan
apa yang disebut ‘hak untuk memilih’ dan ‘kebebasan memilih’. Maka
sebaiknya mereka mengikuti perintah majikan yang menguasai sumber
penghidupan mereka. Kapitalisme bagi qutb hanya menyisahkan
penderitaan dan ketergantungan.

826
Sikap ini sekaligus merupakan suatu pengaplikasian dari
ideologi yang progresif.

Islam sebagai ideologi perjuangan telah mampu menunjukan


kemampuannya dalam membangun jalan perjuangan
revolusioner. Di Iran ada Khomaini dengan para aktivis
Mujahiddin Iran selain memberikan bantuan terhadap rakyat
tertindas, juga mengorganisir massa melakukan penentangan
pada kebijakan kapitalisme kroni rezim yang mempercepat
menjalarnya kemiskinan; dan di Irak ada Hasan al Banna
dengan organisasinya Ikhwanul Muslimun, telah banyak
memberdayakan rakyat jelata dan mampu menjadi organisasi
yang menghimpun aspirasi kaum mustad’afin menentang
kebijakan pemerintah dalam menjalankan swastanisasi.
Sedangkan di Indonesia berdiri organisasi gerakan yang
sarupa: Sarekat Islam. Organisasi ini memicu perlawanan
sengit oleh para ulama terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Pelopornya seperti Haji Misbach. Hidupnya didasarkan atas
perintah kitab suci yang ditafsirkannya secara radikal:
membela para petani dengan menentang kolonialisme dan
imperialisme dalam sistim kapitalistik. Seakan agama tak
tumbuh dengan bersekutu bersama pemodal melainkan
memusuhinya dengan tegas. Hidupnya penuh dengan aroma
keberanian dan keteguhan untuk berada di sisi kaum miskin
dan tertindas. Buat Haji Misbach Islam bisa jadi landasan
ideologis, pemahaman keagamaan yang meletakan titik batas
lugas: kemungkaran melawan kebajikan. Tulisannya pada era
itu sangat maju karena meletakan setan bukan sebagai
makhluk halus melainkan kekuatan yang menindih nilai-nilai
kemanusiaan. Misbach menulisnya dengan lugas, menyentu
dan tajam:

827
Marilah! Saoedara-daoedara kami, bersama-sama
menolong pada Kang Kromo jang selaloe diisap
darahnya oleh si Demit tadi. Maka soedah terseboet di
dalam chadist jang begini artinya: Allah Ta’alla itoe
mesti menolong pada kita. Kalau kita misi menolong
joega pada saoedara kita!500

Teks tersebut menghidupkan kembali Islam sebagai bara


perlawanan atas kapitalisme yang merusak sendi-sendi
kemanusiaan dengan seabrek banalitas. Qur’an di hadapan
Haji Misbach bukan sekedar urusan ritual dan kepatuhan buta
melainkan kitab pembebasan yang memberi tekanan kuat
pada keberpihakan terhadap kaum tertindas. Maka jika
kemudian Qur’an hanya melahirkan para pemeluk yang hanya
menerima keadaan, pasrah akan penindasan apalagi
mendukung realitas yang timpang; buat Misbach itu
pemahaman keagamaan yang sengaja diadakan untuk
mematahkan pergerakan. Inilah yang patut dicamkan oleh
kader-kader HMI sekalian. Misbach telah berhasil
membangkitkan Islam sebagai ideologi kaum pergerakan.
Islam dijadikan seperangkat nilai-nilai dasar yang menjadi
motor gerakan. Nilai itu mengklaim bahwa Islam adalah
ideologi yang diinginkan dan paling pas bagi dasar
pertumbuhan masyarakat. Menjadi gagasan penuh otentisitas,
Islam bukan lagi agama ritual melainkan cara hidup: berpikir
dan bertindak dalam memahami akar masalah—sistem dan
struktur yang menindas.

500
Eko Prasetyo, (2016), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif Atas Kisah-
Kisah Dalam Qur’an, Malang: Diterbitkan Atas Kerjasama Beranda
Kelompok Intrans Publishing dan Sosial Movement Institute, Hlm. XXII-
XXIII.

828
Organisasi yang menjadikan Islam sebagai ideologi pastinya
tidak akan dekat dan menjilat penguasa tapi berbaur dengan
kalangan jelata dan membangkitkan kesadaran kelas pada
mereka. Karena sistem kapitalisme ini telah menjadi ancaman
serius, tidak dapat diubah dengan menebarkan beberapa kader
ke posisi-posisi pemerintahan. Sebab pusat kendalinya bukan
berada dalam skala nasional tapi internasional. Jika perubahan
diharapkan datang dari dalam sungguh begitu jauh panggan
dari api. Alternatifnya saat ini adalah menempu perjuangan
dari bawah bersama massa-rakyat, didik dan cerdaskan
mereka untuk membaca realitas agar dapat membela diri dan
supaya dapat berlawan terhadap kekuasaan tirani. Maka untuk
menegakkan kebenaran berlandaskan keadilan, kesetaraan dan
kemerdekaan; HMI mesti membangkitkan kembali
karakteristik ideologi Islam dalam bentuk keberpihakan
kepada kaum miskin dan tertindas.

Di masa Orla, Soekarno menjadi sentra kekuasaan yang


membuat himpunan larut dalam hegemoni kelas penguasa
melalui sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Namun
sikap Soekarno tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Karena
apa yang dilakukan oleh Orla merupakan langkah yang tepat
untuk mempertahankan Indonesia yang baru saja
melaksanakan revolusi. Soekarno ketika itu, bersikap laiknya
seorang Khomeini: mempertahankan revolusi Iran dengan
melawan segala entitas yang anti-revolusi. Namun ketika
keruntuhan Orla. Soeharto muncul mengambil-alih kekuasaan
dengan bantuan rakyat. Sementara kelak dia menghianati
rakyatnya sendiri, seperti yang dimaksud Gramsci sebagai
Bonapartisme: kekuatan sipil dimanfaatkan untuk berkuasa
dan segera setelah bertakhta malah main mata dengan

829
kelompok borjuis. Orba berjalan dengan kekuasaan yang amat
hegemonik. Bukan hanya dengan menggunakan perangkat
keras: hukum dan militer, tapi juga perangkat lunak:
pendidikan dan budaya. Maka kehidupan disulap tak ubah
yang disebut Gramsci dengan Statolatory: semua komponen
memberhalakan negara karena pasrah begitu saja akan segala
kebijakan. Kekuasaan kemudian menonjolkan diri amat
arbitrer sampai masuk ke hegemoni yang mengerikan.

Fahruddin Fa’iz memberitahukan bahwa hegemonik


merupakan jenis kepemimpinan intelektual dan moral.
Dengan demikian kekuasaan hegemoni lebih merupakan
kekuasaan melalui persetujuan (konsesus), yang mencangkup
beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosional atas
tatanan sosial politik yang ada. Itulah yang terjadi ketika
dalam bidang pendidikan diberlakukan P4 (Pendidikan,
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Upaya menguasai
itu dilakukan dengan cara meruntuhkan perkembangan
pemikiran yang merdeka. Ini jugalah yang mendorong
dikendalikannya perkembangan kebudayaan: pola pikir,
tingkah laku, dan kepribadian umat didikte sesuai keinginan
rezim. Makanya Islam kemudian tak mampu dijadikan
Ideologi karena tak diberi kesempatan untuk merangsek
keluar dari bilik kultur.

Penerimaan asas tunggal Pancasila merupakan cara efektif


mengarahkan HMI tunduk dibawa ketiak penguasa.
Hegemoni Soeharto berlaku secara total. HMI kemudian
bagian aparatus ideologis dari sistem. Pancasila disulap jadi
hegemoni berselubung ideologi pembangunan Soeharto,
isinya bukan satu ide melainkan kepentingan dari kelompok

830
dominan yang ditampilkan sebagai kepentingan semua orang.
Seolah-olah ideologi pembangunan ini menjadi satu-satunya
cara agar bangsa dan negara bisa maju. Parahnya ideologi ini
telah tertanam dalam-dalam di tubuh HMI, bahkan
sewalaupun telah mengambil kembali Islam sebagai asas
organisasi tapi tidak mempan melawan hegemoni yang sudah
terkristalisasi. Pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan
dan tradisi Orba sekarang menjadi sistem yang diterima secara
tidak kritis karena telah ditransormasikan sebagai common
sense.

Sewalaupun telah menumbangkan Soeharto dengan


Reformasi, dalam fenomena ini terjadi apa yang dikatakan
Gramsci sebagai Caesarisme, gejolak-gejolak ekonomi dan
politik menguras kekuatan rakyat hingga tidak sadar
masuknya pihak ketiga (tangan-tangan tak terlihat dari
kapitalisme global dalam birokrasi pemerintahan) yang
bercokol sampai sekarang—pasca-Reformasi. Maka untuk
mempertahankan hegemoni ini kelompok dominan yang
biasanya minoritas dalam pemerintahan berkompromi dengan
merangkul kolompok kelas menengah seperti alumni HMI
yang berjejer masuk ke pemerintahan. Semua dilakukan untuk
mendapatkan dukungan yang besar. Mungkin saja lewat
jaringan ‘HMI Connection’, yang menyentuh sampai ke
anggota-anggota himpunan sendiri. Sehingga hegemoni
akhirnya merasuk bahkan sampai ke internal HMI. Implikasi
darinya adalah tak jarang ada oknum kader HMI yang
membawa kepentingan oleh karena telah tercekoki ideologi
kelas penguasa.

831
Keadaan itulah yang membuat ideologi perjuangan HMI
mengalami simptom dan tercerabut dari semangat
pembebasannya. Berkembang pesat manusia-manusia yang
membawa peran sebagai intelektual tradisonal:
melanggengkan status-quo. Mereka terus-menerus melakukan
hal yang sama dari generasi ke generasi: menjadi mediator ide
antara massa-rakyat dengan kelas atas.

Kini sudah saatnya HMI mesti melakukan counter ideologi.


Memobilisir kader-kadernya menjadi intelektual organik 501
demi melawan hegemoni kelas penguasa. Sebab Islam sebagai
ideologi sukar diterima oleh kader HMI apabila ideologi
pembangunan yang tersublimasi dalam doktrin modernisasi
masih berbekas dan banyak dianut oleh kader himpunan.
Sesungguhnya menyiapkan sebuah barisan yang militan dan
mau berkorban untuk Islam juga dilakukan oleh Ali Syari’ati.
Tafsir Syari’ati atas perjuangan Rasulullah SAW dan Ali AS,
telah meletakan Islam dalam kategori agama sebuah
perjuangan melawan kezaliman penguasa. Dia mengisahkan:

501
Menurut Gramsci semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua
manusia dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual. Kaum intelektual
dalam makna fungsional terbagi menjadi dua kelompok. Pada kelompok
pertama terdapat kaum intelektual “tradisonal”, kaum pujangga, ilmuwan
dan sebagainya, yang mempunyai posisi dalam celah masyarakat yang
mempunyai aura antarkelas tertentu tetapi berasal dari hubungan kelas masa
silam dan sekarang serta melingkupi sebuah lampiran untuk pembentukan
berbagai kelas historis. Yan kedua, terdapat kaum intelektual “organic”,
elemen pemikir dan pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental
tertentu. Kaum intelektual organik ini secara mudah dibedakan oleh profesi
mereka, daripada dengan fungsi mereka dalam mengarahkan gagasan dan
aspirasi dari kelas di mana mereka berada di dalamnya secara organik
(Lihat Antonio Gramsci, (2017) Sejarah dan Budaya, Yogyakarta: Narasi -
Pustaka Promethea, Hlm. 127-128).

832
…pengikut Muhammad sama sepertiku, Bilal, seorang
budak, anak seorang budak dari Abyssina; Salman,
gelandang dari Persia yang diciduk menjadi budak; Abu
Zar, manusia gurun yang ditimpa kemiskinan; dan
terakhir Salim, seorang budak beristri Khuzairah,
seorang hitam yang terasing dan diremehkan. Aku
percaya pada kenabian Muhammad karena istananya
tidak lebih dari tumpukan tanah liat. Ia terlihat di antara
para pekerja yang mengangkut barang dan membangun
ruangan. Sementara Ali as. Ali adalah orang-orang
yang berasal dari kelompok kita, kelompok yang
menderita. Ali ayunkan pedang untuk menyelamatkan
kita dalam setiap tahapan hidup ini….

Bahklan Syari’ati telah memberikan penafsiran yang progresif


terhadap konsep penantian Imam Mahdi. Penantian yang
mendorong manusia untuk melakukan pemberontakan
terhadap kondisi ketertindasan yang dialaminya.
Pemberontakan baginya merupakan bentuk penentangan
segala bentuk penindasan karena meyakini bahwa
kemenangan ada di tangan kaum tertindas. Maka ‘penantian’
menurut Syari’ati: adalah suatu jalan untuk mengatakan
‘tidak’ terhadap realitas yang berlaku. Penantian yang positif
berarti penolakan untuk menerima status-quo dalam pikiran,
kehidupan dan keyakinan orang yang menanti. Dirinya
mengutip penjelasan Imam Shadiq as:

Kekuatan-kekuatan kriminal dan penindasan akan


menghabiskan begitu banyak energi untuk saling
berperang sehingga mereka akan melemah secara
militer, dan menjadi sedemikian rusak sehingga mereka
akan membusuk dari dalam dan akan kehilangan
kehendak untuk bertahan. Pada saat yang sama kaum

833
tertindas akan bangkit dari tidurnya, dan dipersenjatai
dengan senjata keyakinan dan kesadaran. Mereka akan
menyergap kekuatan yang menindas dari luar dan
dalam.

Sebuah konsep penantian yang positif meyakini suatu konsep


sejarah yang sedang bergerak menuju kemenangan keadilan
yang tidak dapat dihindari, pembebasan kaum mustad’afin,
dan penghapusan kezaliman dan ketidakadilan. Pemikiran ini
serupa dengan apa yang dijelaskan Murtadha Muthahhari
dengan ‘Manusia Sempurna’. Konsep ini yang
mengilustrasikan bagaimana mukmin perlu memiliki
kepekaan dan kepedulian atas ketimpangan yang dialami oleh
sesamanya. Karenanya manusia adalah mereka yang berani
menentang bentuk tirani. Dikutipkannya ayat, “Orang-orang
yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah) dan yang memohon ampun di waktu
sahur.” (QS Ali Imran: 17) Kata sabar menurut Muthahhari—
dalam Qur’an berarti ‘perlawanan’, terutama dalam melalui
pertempuran. Bagi Muthahhari syarat sholat yang diterima
Allah ialah melakukan jihad, sedang syarat jihad yang
diterima Allah ialah mendirikan sholat. Di samping jihad,
pandangan yang penting dari Muthahhari adalah mengenai
apa itu hidup? Hidup adalah pemberontakan dan pengorbanan
dalam melawan kaum penindas. Itulah mengapa dikutipnya
ucapan Imam Ali as saat berperang dengan Muawiyah:

Apakah hidup hanya sekedar berjalan, makan dan


tidur? Apakah kematian hanya dikuburkan di bawah
tanah? Tidak, itu bukan hidup dan bukan pula mati.
Hidup adalah mati yang menaklukan dan mati adalah
hidup yang ditaklukan.

834
Sederet pandangan inilah yang dipergunakan para ideologi
untuk mendidik umat dalam menjadi manusia terhormat,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Husein as: ‘Lebih
baik mati dalam kehormatan daripada hidup dalam kehinaan.
Kehormatan itulah yang mendorong nabi dulunya
mengajarkan: ‘apabila Anda dalam keperluan janganlah
mengemis secara hina kepada siapapun. Mintalah itu dengan
sikap menghargai diri’. Kehormatan dan martabat seorang
muslim, mengikuti apa yang difirmankan Allah, “Dan orang-
orang yang beriman dengan Dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
(QS al Fath: 28) Maka ajaran Islam sebagaimana yang
dikatakan oleh Will Durant: ‘tidak ada agama yang mengajak
manusia kepada kekuatan dan kekuasaan sebagaimana
Islam’. 502 Namun bukan berarti kekuatan dan kekuasaan itu
berbentuk formal: gelar, pangkat, jabatan, dan sebagainya.
Melainkan suatu bentuk kekuatan dan kekuasaan dalam artian
luas, meski tanpa takhta tapi mampu menjadikan kader
seorang pemimpin-pemimpin transformatif yang bergerak
dalam masyarakat dan sejarah untuk mempercepat perubahan
dalam mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat tertindas serta
sadarnya kaum penindas.

HMI memiliki doktrin Islam. Ajaran itu dipahami secara


ketat sebagai satu-satunya alternatif tatanan dunia untuk
menuju keselamatan. Adanya keinginan keras dalam
mewujudkannya sebagai aturan-aturan sosial untuk
pembebasan manusia yang hakiki, merupakan bukti bahwa

502
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 84-87.

835
HMI menempatkan Islam sebagai sumber gerakan
ideologisnya. Islam diyakini dapat mengantarkan manusia
pada cita-cita pembebasan sejati, bukan menempatkan
pembebasan sebagai pintu gerbang penindasan jenis lain. HMI
yang menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa Islam mesti
berperisai kesadaran; ia bukanlah organisasi fundamentalis
yang tak mengenal pertimbangan rasional ataupun organisasi
yang cenderung merasionalkan segala sesuatu. Jika merujuk
pada pedoman perkaderannya; muatan-muatan intelektual
selalu mendampingi tema-tema spiritual keislamannya—
simultan dengan tafsir HMI berasaskan Islam.

Bagaimanapun juga kesatuan budi atau kekuatan pikiran,


perasaan dan kehendak adalah unsur subtansial untuk sebuah
kemajuan. Maka Islam sebagai ideologi HMI sudah saatnya
dditransformasikan dalam setiap aktivitas gerakan dan
pergerakannya. Tujuannya untuk memulai langkah yang lebih
praksis kerakyatan daripada teoritis dan praksis elitis.
Kuntowijoyo menggambarkan bahwa ideologi menguatkan
struktur sosial dan menjadi sumber inspirasi masyarakat.
Pelbagai organisasi Islam dan tokoh pergerakan yang
menjadikan Islam sebagai ideologi telah banyak memberikan
contoh yang semestinya kader-kader himpunan tauladani.
Dari Imam Khomeini bersama Mujahidin Iran, Hasan al
Banna dengan Ikhwanul Muslimun, Haji Misbach beserta
Sarekat Islam; Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari, maupun
Sayid Qutb dengan pemikiran-pemikiran progresif-
revolusionernya—telah mampu membumikan Qur’an sebagai
kitab pembebasan dan mempelajari perjuangan nabi-nabi
sebagai suri tauladan. Tinggal sekarang giliran segenap kader
HMI untuk mengikuti sederet jejak langkah mereka. Itula

836
mengapa langka pertamanya mesti dimulai dari revolusi
pemikiran demi penguatan idiologi. Persis nasehat
Muthahhari:

Dari mana Rasulullah memulai gerakan dakwahnya?


Beliau tidak melakukan revolusi industri atau revolusi
sastra, beliau memulai dakwahnya dengan revolusi
pemikiran Al-Qur’an yang diikuti oleh revolusi
tersebut.503

Pemikiran tradisionalis 504 meyakini bahwa permasalahan


kemiskinan pada hakekatnya adalah ketentuan dari rencana
Tuhan. Hanya Tuhan yang Maha Tahu apa arti dan hikmah di
balik ketentuan demikian. Aliran berpikir itu memandang
makhluk tidak tahu tentang gambaran besar skenario Tuhan.
Dari perjalanan panjang umat manusia, dijelaskannya bahwa
masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak jelas kaitannya
dengan globalisasi dan neoliberalisme. Kemiskinan dan
globalisasi justru adalah ‘ujian’ atas keimanan dan manusia
tidak tahu manfaat dan mudharat-nya, atau malapetaka apa di

503
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 107-108.
504
Akar teologis paradigma ini bersandar pada konsep Sunni mengenai
predeterminisme (takdir), yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum
diciptakan-Nya alam. Dari teologi Sunni terutama Asy’ariah, manusia
memang tidak memiliki free will untuk menciptakan sejarah mereka sendiri.
Meskipun manusia didorong untuk berusaha, akhirnya Tuhan jualah yang
menentukan. Dewasa ini pemikir-pemikir tradisionalis sesungguhnya tidak
seperti yang didudaga banyak orang, yakni berada di Pondok Pesantren dan
di kalangan umat Islam pedesaan, ataupun sering diasosiasikan dengan
pengikut Nadhlatul Ulamab (NU). Namun pemikiran tradisionalis
sesungguhnya ada di mana-mana `di pedesaan maupun perkotaan,
masyarakay awam atau kalangan cendikia, bahkan terdapat di setiap
organisasi Islam, termasuk HMI. Kata Kuntowijoyo, juga kerap menimpah
mereka yang dikategorikan golongan modernis seperti Muhammadiyah.

837
balik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat,
bangsa dan lingkungannya kelak. Kader HMI tak boleh
berpemikiran seperti itu, karena proses globalisasi yang
berdiri di atas paham neoliberalisme dan modernisasi
menempatkan paradigma tradisionalis menjadi sasaran untuk
ditundukan. Memang harus diakui bahwa pemikiran yang
berkembang dalam himpunan tidaklah mengambil corak
tradiosional, melainkan modernis.

Hanya pemikiran modernis 505 dan liberal tentang kemiskinan


dan keterbelakangan tidak kalah naifnya dengan tradisionalis,
karena percaya masalah yang dihadapi kaum miskin pada
dasarnya berakar dari persoalan ‘kesalahan sikap mental,
kreativitas, budaya ataupun teologi’. Kemiskinan baginya
tidak ada sangkut-pautnya dengan menguatnya paham
neoliberalisme maupun globalisasi, untuk melawannya mesti
menyiapkan manusia menjadi liberal supaya dapat bersaing
dalam globalisasi. Sudah seharusnya kader himpunan

505
Pandangan kaum modernis cenderung menyerang teologi Sunni yang
dijulukinya teologi fatalistic sebagai akar penyebab kemerosotan umat.
Pemikiran modernis berakar pada para pemikir reformis, seperti:
Muhammad Abduh di Mesir atau Mustafa Attaturk di Turki serta banyak
pembaharu lainnya. Di Indonesia, teologi rasionalis ini pernah
mempengaruhi gerakan Muhammadiyah selama PD II. Agenda sentral
gerakan Muhammadiyah pada dasarnya berperang melawan Takhayul,
Bid’ah dan Kufarat, serta berlomba-lomba dalam kebaikan. Oleh sebab itu
mereka juga dikenal sebagai gerakan purifikasi. Gelombang kedua gerakan
pembaharuan muncul pada awal Orde Baru. Kaum modernis atau kaum
pembaharu, melalui agenda sekulerisasi yang dicanangkan Soeharto dengan
kaum intelektual seperti Nurcholish Madjid. Telah memfokuskan
peperangan melawan siapa saja yang merintangi modernisasi dan
pembangunan, melalui agenda sukularisasi (untuk lebih jelasnya baca di
pengantar Mansour Fakih pada Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri Melawan
Kapitalisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist
Press, Hlm. xi-xii).

838
membuang jauh-jauh pemikiran demikian. Pemikiran
modernis dan liberal sesungguhnya memiliki pendekatan dan
analisa yang sama dengan penganut paham modernisasi
sekuler yang menjadi aliran mainstream dalam ilmu sosial dan
dianut para aparat developmentalisme. Di mata mereka
kemiskanan disebabkan oleh ketidakmampuan berpartisipasi
secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi.
Sehingga divonislah permasalahan kemiskinan yang selama
ini menimpa Indonesia disebabkan oleh rendahnya kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) tanpa memerhatikan struktur
kelas, gender dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat.
Walhasil, mereka mewanti-wanti agar semua orang
berpartisipasi dan mampu bersaing dalam proses globalisasi
guna mendorong industrialisasi dan pembangunan yang
menempatkan kaum miskin dan tertindas di posisi paling
buncit.

Pemikiran tradisionalis dan modernis tidak tepat diikuti ole


kader-kader himpunan, karena keduanya sama sekali tidak
mempersoalkan globalisasi, industrialiasi dan pembangunan,
sepanjang semua itu dilakukan dalam metodologi yang benar
serta dikelola oleh suatu pemerintahan yang bersih tanpa
mempedulikan penetrasi kapitalisme global. Lari dari
pemikiran itu tak boleh juga kalian menganut paham
revivalisme atau fundamentalis 506, yang melihat baik faktor ke

506
Pandangan ini berangkat berdasarkan keyakinan bahwa Al-Qur’an pada
dasarnya telah menyediakan petunjuk secara komplit, jelas dan sempurna
sebagai fondasi bermasyarakat dan bernegara. Ditambahkan jika umat Islam
percaya bahwa alam beserta manusia adalah ciptaan Tuhan Allah, maka
aturan yang paling sempurna untuk mengatur kehidupan umat manusia
adalah aturan Tuhan Allah…. Selain itu mereka juga melihat agama serta
isme yang lain sebagai ancaman. Yang dimaksud sebagai ancaman umat

839
dalam maupun keluar sebagai akar penyebab persoalan
kemiskinan dan kemunduran umat manusia. Pemikiran ini
menyatakan dengan gambalng bahwa penyebab kesenjangan
adalah persoalan tidak didirikannya negara Islam atau justru
karena semakin banyaknya umat Islam memakai ideologi lain
sebagai pijakan ketimbang menggunakan Qur’an sebagai
acuan dasar. Globalisasi dan kapitalisme menurut mereka
adalah salah satu agenda Barat dan konsep non-Islami yang
dipaksakan pada masyarakat muslim. Kaum ini biasanya tidak
menggunakan analisis ekonomi-politik, tapi mereka menolak
kapitalisme, globalisasi dan pembangunan berdasarkan
argumen-argumen moralisme semata.507

Islam adalah berbagai isme, termasuk marxisme, kapitalisme, zionisme


serta paham dan ideologi non-Islam lainnya (Ibid, Hlm. xv).
507
Sejak lama kaum revivalisme atau fundamentalisme dipinggirkan oleh
aparatus developmentalisme dan globalisasi, dianggap sebagai salah satu
penghambat pembangunan serta ancaman bagi kapitalisme. Mereka
menerbitkan buku, mengorganisasi kelompok diskusi militan di kalangan
mahasiswa, menguasai BEM dan/atau DPM di Perguruan Tinggi,
menciptakan simbol resistensi termasuk dalam cara berpakaian dan
bertingkah laku, menciptakan proyek percontohan sistem kemasyarakatan
dan system ekonomi tertutup yang merupakan gagasan alternative terhadap
kapitalisme. Biasanya perlawanan terhadap mereka telah dilakukan melalui
cara koersi maupun penjinakan. Karena mereka terlanjur dilabeli
“fundamentalis” yang anti terhadap “pembangunan dan demokrasi”. Maka
pemerintah pun kerap kali memberikann legitimasi untuk menumpas
mereka. Contohnya, meski bukan dengan cara yang koersif, pemerintah
telah menggerakan gerombolan intel untuk mengintai dan mendapatkan
data-data terkait dengan perkembangan kaum yang dicurigai fundamentalis
di setiap Perguruan Tinggi. Ada indikasi mereka berkembang biak pada
kelompok-kelompok pengajian di kampus-kampus, salah satunya di
Universitas Mataram—2018 lalu Intel Polda NTB bergerak mengorek-
ngorek informasi terkait keberadaan mereka di Mesjid Unram dan
Mushollah-Mushollah Fakultas (Hasil diskusi bersama beberapa orang
kader HMI yang pernah bertemu dengan intel Polda NTB, di Taman
Budaya Mataram, 2020).

840
Guna menolak beragam aliran pemikiran itulah mengapa HMI
bersama kader-kadernya mesti mengembangkan ideologi
Islam sebagai paradigma alternatif berdasarkan teologi
pembebasan, atau yang dalam bahasa Eko Prasetyo disebut
dengan paham ‘Islam Kiri’, Islam jenis ini merupakan agama
yang meletakan rakyat tertindas sebagai pihak utama yang
harus dibela, dilindungi dan diperjuangkan kehormatannya.
Singkatnya, corak keagamaan demikian mirip dengan dogma
komunis: berpihak kepada mereka yang miskin (dhu’afa) dan
tertindas (mustad’afin).508 Dalam konteks inilah Mansour
Fakih menjelaskan begitu rupa:

Mereka percaya bahwa kemiskinan rakyat, termasuk


yang muslim disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan
struktur ekonomi, politik dan kultur yang tidak adil.
Oleh karena itu agenda mereka adalah melakukan
transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi
yang secara fundamental baru dan lebih adil dalam
bidang ekonomi, politik dan kultur. Ini adalah proses
panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif,
politik tanpa represi, kultur tanpa dominasi dan
hegemoni serta penghormatan terhadap HAM (human
rights). Keadilan menjadi prinsip fundamental dari
paradigma ini. Fokus kerja mereka adalah selain
mencari akar teologi, metodologi dan aksi yang
memungkinkan terjadinya transformasi sosial.

508
Menurut Eko Prasetyo, Islam kiri bukan menggerakan mereka lalu
menegakan kediktatoran, seperti yang dilakukan oleh Stalin, tapi untuk
mendukung proses transformasi menuju masyarakat yang lebih adil. Dalam
perspektif Islam memang ada kepentingan-kepentingan yang berbeda antara
kaum kaya dan miskin, tapi secara fungsional, perbedaan itu harus
dijembatani dan perlunya interaksi (Lihat Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri
Melawan Kapitalisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta:
Insist Press, Hlm. xxxiii-xxxiv).

841
Pemihakan terhadap kaum miskin dan tertindas tidak
hanya diilhami oleh Al-Qur’an, tetapi juga hasil analisis
kritis terhadap struktur yang ada. Islam bagi mereka
dipahami sebagai agama pembebasan bagi yang
tertindas, serta mentransformasikan sistem eksploitasi
menjadi sistem yang adil.

Ketika Islam diletakkan sebagai alat pembebasan, maka


ajaran-ajarannya harus dijadikan sebagai idiom-idiom falsafah
hidup. Meminjam kata Muthahhari: ‘setiap agama bersandar
pada konsep pandangan dunia’. Maka Islam sebagai ideologi
adalah yang menjadikan agama sebagai instrumen penting
dalam perjuangan revolusioner. Oleh kader-kader himpunan;
Islam sudah saatnnya tidak semata diletakkan sebagai
setumpuk tradisi beku, melainkan ideologi yang
membebaskan umat manusia dari segala bentuk penindasan.
Jika Islam cuma dimaknai sebagai setumpuk tradisi-tradisi
keagamaan, maka Islam tidak hadir dalam bentuknya yang
ideologis melainkan menjelma sebagai candu sebagaimana
kritikan Karl Marx. Agama akan berubah sebagai candu umat
manusia ketika dijadikan pelarian dari kondisi-kondisi yang
buruk menyengsarakan kehidupan. Kala itu kesengsaraan-
kesengsaraan di dunia ikhlas ditanggung demi mendapatkan
jaminan kebahagiaan setelah kematian. Inilah yang dikritik
Marx dengan kata-kata yang menawan: agama adalah
‘lenguhan kaum yang tertindas, hati dari manusia robot dan
jiwa dari keadaan yang kosong’.509

509
Michael Lowy, (2013), Teologi Pembebasan Kiritik Marxisme dan
Marxisme Kritis, Yogyakarta: Insist Press, Hlm 1-2.

842
Maka untuk membuat Islam menjadi agama pembebasan,
menurut Asghar Ali Engineer, Islam mesti dilihat dalam
konteks sosiologis dan filosofis. Agama dapat menjadi candu
atau kekuatan yang revolusioner tergantung pada: pertama,
kondisi sosio-politik yang nyata; dan kedua, tergantung
dengan siapa yang akan bersekutu dengan agama, apakah
kaum revolusioner atau status quo.510 HMI harus
membangkitkan Islam sebagai ideologi pembebasan. Secara
praksis, agama yang dianggap sebagai kebaikan dan berdiri
sepihak dengan revolusi, kemajuan dan perubahan. Itulah
mengapa agama harus dilepaskan dari aspek-aspek teologis
yang bersifat filosofis—yang berkembang mencapai
puncaknya hingga aspek filosofis ini menjadi bagian utama
dari agama yang bukannya mendukung kaum penindas,
namun berpihak kepada kelompok tertindas. Dengan kata lain
pembebasan teologi sangat diperlukan untuk mengembangkan
Ideologi Islam. Karena umumnya teologi pada masa sekarang
ini dikuasasi oleh orang-orang yang sangat mendukung status
quo: ritualis, dogmatis dan bersifat sangat membingungkan.
Agama tidak boleh hanya berhenti sampai urusan akhirat,
namun juga tidak boleh semata-mata berurusan dengan
duniawi.

Singkatnya, agama harus dapat menjaga relevansinya.


Historisitas dan kontemporerisitas agama di satu pihak, dan
urusan duniawi dan akhirat di pihak lain, harus disatukan
sehingga menjadi suatu agama yang hidup dan dinamis.
Dengan demikian maka pendapat dalam Nilai Dasar

510
Asghar Ali Enggineer, (2000), Islam dan Teologi Pembebasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 29-30.

843
Perjuangan (NDP) HMI mesti didekati dengan sikap kritis.
Kita mesti menyangsikan pernyataan yang berbunyi: ‘bidang
iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedang
ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk
mengusahakan dan mengumpulkannya di dunia ini’. Karena
bua pemikiran ini mendukung gagasan sekularisme yang
merupakan akar perkembangan keilmuan modern. Pendapat
tersebut memuluskan jalan dan menguatkan imperialisme
epistemologis—meminjam istilah Syamsul Arifin dan
Tobrani—yakni semakin kuatnya dominasi sains Barat yang
sekuler. Prinsip bebas nilai dalam pemanfaatan sains
dipandang sangat bertentangan dengan Islam dan berandil
kuat memundurkan peradaban Islam dan kemajuan
peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Ali Syari’ati
prinsip ini berdiri di atas lantasan yang agak zalim: ‘sains
untuk sains, senin untuk seni, ilmu untuk ilmu adalah reduksi
makna ilmu pengetahuan yang seharusnya menerangkan
fungsi transformatif untuk kemaslahatan dan keselamatan
umat manusia’. 511

Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi, maka HMI mesti


mengasah teologinya sebagai landasan alternatif terciptanya
prinsip-prinsip sains dan keilmuan yang tidak memberi ruang
bersemainya peran nilai-nilai pembebasan agama dalam
kehidupan. Islam adalah sebuah agama yang dalam pengertian
teknis dan sosial-revolutif menjadi tantangan dan mengancam
struktur penindasan. Struktur itu seperti yang saat ini
menaungi internal HMI; iklim memperebutkan dan

511
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 82.

844
mempertahankan kekuasaan yang tak jarang menikam saudara
sendiri, kaderisasi yang berorientasi koneksi dan
merepresentasikan realitas palsu dalam membentuk kader
penurut, fatsun abangan yang keterlaluan sampai mencemari
independensi himpunan. Dengan meradikalkan ajaran Islam,
rasa-rasanya HMI akan mampu mendobrak kebuntuan.
Tujuan pendobrakan yang dilakukan ialah demi mewujudkan:
persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan
(equality), dan keadilan sosial (sosial justice).

Pertama, Islam menekankan kesatuan manusia (unity of


mankind) yang ditegaskan di dalam ayat Al-Qur’an, “Hai
manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan.
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,
supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sungguh
Allah Maha Mengetahui,” (QS 49:13). Ayat ini membantah
secara tegas semua konsep superioritas rasial, kesukuan,
kebangsaan, keluarga, golongan, gerbong bahkan manusia
manapun (baca: entah penguasa, senior maupun alumni
sekalipun), dengan satu penegasan dan seruan akan
pentingnya kesalehan. Kesalehan yang disebutkan dalam Al-
Qur’an bukan hanya ritual, namun juga kesalehan sosial,
“Berbuatlah adil, karena itu lebih dekat kepada taqwa.” (QS
5:8). Bergerak mendengarkan anjuran inilah kelak akan ada
kebutuhan besar di kalangan kader HMI untuk melawan
kapitalisme yang selama ini menimbulkan pelbagai
ketidakadilan. Adam Smith512 adalah peletak dasar doktrin

512
Gagasan liberal Adam Smith tertuang dalam kebebasan ilmiah yang
merupakan dasar ideologi liberal, “Setiap orang selama ia tidak melanggar
hokum keadilan, dibiarkan bebas sepenuh-penuhnya untuk mengejar

845
kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum
pasar atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi
karena kompetisi dan kekuatan individualisme dalam
menciptakan keteraturan ekonomi tak peduli memerosotkan
kemanusiaan. Memancang Islam sebagai ideologi
pembebasan; berarti berkomitmen untuk memerangi hal-hal
yang memekarkan ketidakadilan dan ketidakmanusiawian.

Kedua, Islam sangat menekankan keadilan dalam semua


aspek kehidupan. Keadilan tak akan tercipta apabila tidak
membebaskan golongan lemah dan marjinal dari penderitaan,
serta memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi
pemimpin. Qur’an tidak ragu-ragu untuk mempercayakan
kepemimpinan seluruh dunia kepada mustad’afin: kaum
lemah dan tertindas. Mereka adalam pemimpin dan pewaris
dunia, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-
orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan
mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi (bumi).” (QS 28:5) Di sisi lain, Qur’an juga
mempertanyakan sikap manusia yang tidak mau melancarkan
perlawanan terhadap penindas dan memerintahkan kepada
mereka orang-orang yang beriman untuk beristiqomah
membebaskan golongan masyarakat lemah dan tertindas.

kepentingannya sendiri dengan caranya sendiri, dan membawa baik


industrinya maupun modalnya ke dalam persaingan dengan industri dan
modal orang-orang lain”. Dalam banyak hal Smith memiliki jasa besar,
khususnya dalam mengembangkan konsep teori pembangunan, di mana
menurutnya kemakmuran dapat dicapai jika ada akumulasi capital melalui
peningkatan jumlah tabungan di mana dengannya akan diperluas areal pasar
yang pada gilirannya akan meningkatkan pola pembagian kerja. Itu semua
menghendaki tidak ada campur tangan lembaga atau instansi manapun
(Lihat Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal Dari
Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 114).

846
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela
orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak
yang berkata, ‘Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari kota ini
yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan
dan pertolongan dari-Mu.” (QS 4:75) Dari inilah kita dapat
melihat bagaimana Al-Qur’an mengungkapkan sebuah teori
yang disebut Asghar Ali Engineer dengan ‘kekerasan yang
membebaskan’ (liberative violence).

Para penindas dan eksploitator menganiaya golongan lemah


dan seenaknya menggunakan kekerasan untuk
mempertahankan kepentingan mereka. Maka tidak mungkin
untuk menentang penindas tanpa melakukan perlawanan
meski dengan memakai cara-cara kekerasan pula. Bahkan di
lain ayat kaum muslim diperintahkan untuk berperang sampai
tidak ada lagi penindasan, “Dan perangilah mereka itu
sampai tidak ada lagi fitnah.” (QS 8:39) Tuhan dengan tegas
mengutuk keras zulm (penindasan) dan perbuatan jahat.513
Ayat ini merupakan sebuah landasan teologis untuk
diaplikasikan secara ideologis dalam mengutuk keras
kejahatan dan kerusakan yang terjadi di muka bumi oleh
praktik setan (kapitalisme) dan pengikutnya (kelas borjuis)
dengan senjata sekaligus perisai ketaqwaan.514

513
Allah dalam firman-Nya, tidak menyukai kata-kata kasar kecuali oleh
orang-orang yang teraniaya: “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang
diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang-orang yang dizalimi…,”
(QS 4:148).
514
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan
pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi
pakaian taqwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagaian tanda-tanda
kekuasaan Alllah, mudah-mudahan mereka ingat. Wahai anak cucu Adam!
Janganlah dampai kamu tertipu oleh setan sebagaiman halnya dia (setan)
telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan

847
Ketaqwaan itu bukan sikap keterterimaan atas keadaan.
Melainkan kesediaan berjuang dan bersabar dalam upaya-
upaya menggapai perubahan. Jika kita menilik sejarah
perkembangan Islam akan tampak tugas yang dibebankan
pada beberapa nabi memiliki kesamaan. Para nabi bekerja
untuk melawan segala bentuk kesewenang-wenangan dan
penindasan penguasa yang membawa sifat-sifat kesetanan.
Mereka muncul mengenalkan kepada masyarakat nilai-nilai
keadilan yang terus ditelikung oleh kepentingan penguasa.
Bersama nabi-nabi yang bergerilya dalam kehidupan
masyarakat; umat dikenalkan pada konsep kesetaraan,
penghormatan kepada kaum yang tidak mampu, dan kasih
sayang bagi sesama manusia dan alam. Nilai-nilai mulia itu
takkan mungkin terwujud jika rakyat masih dilanda gulita
kebodohan dan ketertinggalan. Karenanya Islam yang dibawa
nabi dijadikan sebagai ideologi pembebasan. Ali Syari’ati
pernah berucap, bahwa para tokoh ideolog Islam bukanlah
mahkluk bijak yang berdiri di atas pandangan penindas seperti
Aristoteles dan Plato yang percaya: ‘Tuhan atau alam telah
menciptakan sebagian manusia sebagai budak dan sebagian
lagi sebagai orang bebas, agar si budak melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan biasa, agar bebas bisa mengurus masalah
yang lebih tinggi seperti moral, syair, musik dan peradaban’.

Nilai persamaan yang dihidupkan oleh para nabi itu justru


dapat hidup selama masyarakat bebas dari perbudakan dan

pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya


dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan mereka itu
pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman,” (QS Al-A’raf 26-27).

848
hidup dalam posisi yang setara.515 Meski diyakini bahwa
kualitas Nabi jauh berbeda dari manusia-manusia lainnya,
tetapi suri tauladan yang sifatnya kualitatif bisa ditauladani
oleh sosok-sosok yang bukan Nabi. Maka aktivitas harian
kader HMI ketika diperhadapkan dengan dinamika kehidupan
sosial yang kompleks; tidak boleh tidak, mestilah menjadikan
sholat516 seperti ibadahnya para nabi: sebagai senjata
sekaligus perisai yang tak hanya melatih anak cucu Adam
menutup aurat dan membangun landasan taqwa, melainkan
gerakan transformasi kehidupan masyarakat. Itulah mengapa
ibadah sudah waktunya tak sebatas ditujukan pada kedisplinan
menjalankan ritual tapi juga menyangkut proses merubah
relasi-relasi sosial yang menindas rakyat. Pelajaran untuk
kader HMI dalam melakukan semua itu bisa diperoleh dari
sikap tak berlebih-lebihan dan keinganan untuk melakukan
perbaikan yang sejak lama diberi tauladannya oleh Lafran
Pane. 517

515
Bahkan sahabat-sahabat dekat Muhammad SAW hampir semua adalah
bekas budak , di antaranya: Salman, Amar bin Yasir, Bilal, Syhayb dan
Khabab bin Al Arat. Mereka semua adalah kelas sosial yang tertindas
namun mengambil peran historis bagi kejayaan dan kemajuan Islam (Ibid,
Hlm. 2).
516
Taqwa dalam turunan sikap tidak suka membawa fitnah, tak memakan
hak orang lain, bila beruntung bersyukur, bila kena musibah sabar dan
ketika berdosa istigfar. Allah berfirman, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah
pakaianmu yang bagus pada saat (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tudak menyukai orang
yang berlebih-lebihan,” (QS Al-A’raf: 35)
517
Dalam pendekatan psikologi; kesederhanaan, ketabahan dan kesabaran
yang menjadi sifat Lafran Pane sama halnya dengan apa yang diucapkan
Rasulullah SAW: Hendaklah kamu puas dengan apa yang Allah bagikan
kepada kamu, kamu akan menjadi manusia yang kaya. Sejajar dengan pesan
ini ada juga nasehat: jika kamu berada dalam keadaan tubuh yang sehat,
keamanan terjaga dan ada makanan unuk hari ini, kamu akan menjadi
manusia yang paling kaya (HR Ibn. Majah). Tapi tentu kekuatan personal

849
Usaha mengadakan perbaikan itu berkaca pada realitas yang
tak bisa hanya diamati dan dituruti melainkan harus diubah.
Maka kebutuhan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi
dan terlibat aktif dalam peran historis tak lagi didasarkan pada
kehendak semata, melainkan dalam istilah marxis—dinamika
objektif sejarah. Melalui perantaraan krisis yang di mana
kader-kader himpunan diserang oleh modernisasi akut dan
keharusan meneladani perjuangan nabi itulah sebuah sejarah
dibangun. Mengangkat kesadaran revolusioner yang memang
secara potensial dimiliki anak cucu Adam. Secara sederhana,
setan dan pengikutnya dari kalangan manusia merupakan
unsur permanen dalam kehidupan yang membelenggu dan
menciptakan kehidupan yang semu dan korup. Dalam kondisi
inilah semangat pemberontakan yang diilhami oleh para Nabi
menjadi unsur dialektis yang dapat memecahkan belenggu
tersebut.

Kisah perjuangan Adam beserta nabi-nabi lain tak pernah


usai, karena kemenangan mereka ditentukan oleh
kesadarannya sebagai entitas sosial yang diekploitasi,
disesatkan dan dijajah oleh setan dan pengikutnya. Kini
waktunya kader HMI mengenal setan dan pengkitnya lewat
perantaraan sifat-sifat umum mereka: rakus, tamak,
eksploitatif, menindas hingga mau menang sendiri. Tirani
sifat-sifat itu membuat tatanan sosial tak pernah mencapai
keseimbangan. Boleh jadi oleh kekuasaan mereka pulalah
yang membuat sebagian besar anggota himpunan berada
dalam kesadaran semu yang berdiri di tas lantai modernitas

ini tak bisa berdiri sendiri, darinya Lafran Pane mengikutkan dengan
kehendak mengadakan perbaikan berupa turut andil berjuang
memerdekakan Indonesia dan mendirikan HMI.

850
pelanggeng kapitalisme. Islam sebagai ideologi sudah saatnya
dijadikan senjata perlawanan terhadap itu semua. Terutama
dalam melawan status-quo yang tela lama berusaha
memerosotkan kemanusiaan kita. Status-quo adalah musuh
utama ideologi Islam. Perkaderan yang hanya mengajarkan
untuk mengembangkan kualitas tapi jarang mendorong
pemberontakan terhadap ketidakadilan mesti digugat.

Untuk menempuh jalan revolusioner seperti Ibrahim, maka


harus dihidupkanlah sebua kesangsian berbentuk pertanyaan-
pertanyaan terhadap keadaan—metode ini dalam filsafat
pendidikan kritis disebut refleksi. Dahulu kritik-demi-kritik
didaratkan pada realitas yang kontradiktif: penyembahan
berhala bercampur baur kepercayaan mutlak pada penguasa.
Di lingkungan sekitar Ibrahim soalnya kekuasaan tak
menginginkan ada kutub kebenaran. Dengan julukan raja
empat penjuru dunia, Namrud memilih menjatuhkan hukuman
hingga mendirikan takhtanya persis petunjuk Nicollo
Machiavelli: pemerintah yang tangguh tahu caranya
mengelolah masyarakat seolah-olah manusia pada dasarnya
jahat, yang takkan berbuat baik kepada sesama kecuali
terpaksa. Hukum tidak perlu kalau semua berjalan baik. Baru
setelah semua tidak berjalan baik, hukum perlu. Maka
dihukumlah Ibrahim dengan cara dibakar. Semua dilakukan
demi mengembalikan keadaan seperti semula—semata untuk
mempertahankan kekuasaannya.

Namun dengan keyakinan tauhid sanksi itu mudah dilalui


Ibrahim. Keasadaran Ketuhanan yang Maha Esa—kalau
meminjam pemikiran Althusser—telah menjadi ideologi bagi
Ibrahim. Itulah mengapa dirinya bersedia menjadi martir demi

851
membela keyakinannya. Kini kisah Ibrahim perlu diambil
sebagai pelajaran oleh kader HMI dalam perjuangannya. 518
Dengan berani dirinya mengajarkan bagaimana menentang
kekuasaan tirani yang mereduksi ketauhidan. Kelak elan yang
berasal dari ideologi Islam ini juga telah menggerakan istrinya
sampai bolak-balik tujuh kali dari bukit Safa dan Marwa
hanya untuk mencarikan air buat dapat menyusui anaknya
Ismail. Dikatakan oleh Eko Prasetyo bahwa tindakan tersebut
bukan sekedar kisah mengenai ujian melainkan juga
bagaimana keyakinan itu memiliki akar yang kokoh. Jejak
perjuangan ini pun patut diteladani oleh Kohati dalam
mengarungi kehidupan organisasi sehingga ia mampu
meneruskan gerak juang Anniswati Rokhlan, Yulia
Mulyawati dan Nurhayati Jamaz—yang di mana Kohati

518
Eko Prasetyo mengatakan terdapat banyak tafsir yang berusaha
menggambarkan sifat ideologis Ibrahim. Rekaman Qur’an yang
mengungkap dialog Ibrahim dengan ayahnya sarat dengan hikmah. Ibrahim
meletakan basis argumentasi sesembahan pada konteks yang sederhana tapi
menusuk: sesembahan apapun itu tak boleh setara apalagi rendah. Patung
maupun berhala adalah cermin konyol jadi sesembahan. Kesimpulan ini
diperoleh Ibrahim dengan perenungan yang dalam dan benar. Maka kalau
ayahnya tetap bertahan dengan berhala itu berarti setanlah yang disembah
… Ibrahim menempuh jalan revolusioner menghancurkan barisan berhala.
Kuil-kuil yang mendominasi tata kota dengan ukuran raksasa ada yang
berukuran 210 kaki (65 meter) x 150 kaki (46 meter) hingga 275 kaki (85
meter) x 175 (54 meter). Malahan ada kuil yang bertingkat banyak hingga
mencapai ketinggian 40 kaki (12 meter) bisa dibayangkan betapa nekatnya
Ibrahim, yang menurut sejarawan usianya ketika itu 16 tahun. Konon
senjatanya kapak dan ditebanginya patung satu-persatu. Robohlah barisan
patung-patung raksasa dengan menyisahkan sebuah patung yang dipasangi
oleh kapak Ibrahim. Tindakan ironi Ibrahim mengobarkan kemarahan para
pendeta. Mereka semua langsung menuduh Ibrahim pelakunya hingga
diseret ke muka pengadilan dan dihadapkan langsung dengan Raja Namrud
(lebih lanjut lihat Eko Prasetyo, (2013), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif
Atas Kisah Dalam Qur’an, Malang: Kelompok Instrans Publishing dan
Social Movement Institute, Hlm. 29).

852
dibentuk pada 17 September 1966 bukan hanya untuk
menambah kesadaran HMI-Wati terlibat dalam barisan massa
dalam demonstrasi yang dilaksanakan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk menanggapi gejolak
peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru,519 tapi ke depan

519
Latar belakang dan ide dasar lahirnya Kohati. Pertama, Perjuangan HMI
makin meningkat sesuai gerakan perjuangan bangsa, terutama dari masa
peralihan dari Orde Lama menuju Orde Baru. Peningkatan kesadaran wanita
pada umumnya untuk aktif dalam segala aspek kehidupan makin besar …
kesadaran untuk lebih meningkatkan peranan HMI-Wati telah mendorong
terbentuknya Korps HMI-Wati (Kohati)…. Kedua, keterangan Anniswati
Rokhlan (Ketua Umum Pertama Kohati PB HMI): Banyak sekali arti yang
dapat diambil dari eksistensi Kohati dalam HMI. Semula memang maksud
didirikannya Kohati adalah pengerahan missal dalam KAP (Kesatuan Aksi
Pengganyangan) Gestapu/PKI, di mana kita ikut berpartisipasi aktif….
Ketiga, keterangan Yulia Mulyawati (Sekretaris Umum Kohati PB HMI
yang Pertama), mengungkapkan yang mendorong berdirinya Kohati adalah
karena terbentuknya berbagai Korps dalam Angkatan Bersenjata sebagai
wadah khusus wanita (baca: terdapat dorongan moral untuk berjuang
bersama kaum wanita) … Yulia juga mengungkapkan: (1) untuk
pembentukan kader-kader HMI-Wati yang dapat membawakan aspirasi
HMI yang murni di manapun berada; (2) Karena kuantitas dan kualitas
HMI-Wati yang makin meningkat dirasakan sangat penting adanya wadah
yang sifatnya semiotonom. Gagasan berdirinya Kohati adalah pada
Musyawarah Kerja Departemen Keputrian HMI Cabang Jakarta Raya, 12
Desember 1965. Sedangkan garis besar landasan kerja dan struktur
organisasi berhasil disusun pada Konferensi HMI Cabang Jakarta Raya oleh
Komisi Keputrian tanggal 17 Januari 1966 (baca: kelak Kohati secara
nasional dibentuk dan diresmikan dalam Musyawarah Nasional (Munas)
Kohati yang berlangsung di Solo tanggal 15-17 September 1966 pada
Kongres HMI ke-8, pembacaan SK-nya dilaksanakan pada pukul 10.00
WIB, 17 September 1966) …. Keempat, Nuhayati Jamaz serupa dengan
Anniswati Rokhlan, mengungkapkan bahwa situasi sosial politik sekitar
tahun 1966 menyebabkan timbulnya hasrat dan semangat dari seluruh
unsure masyarakat yang ada dalam mempersatukan kekuatan menumpas
gerakan PKI…. (Lebih lengkapnya lihat Agus Salim Sitompul, (1995),
Korps HMI-Wati dalam Sejarah 1966-1994, Jakarta: CV Misalika Galiza,
Hlm. 10-17).

853
mampu mengambil peran-peran kerakyatan yang lebih luas
lagi.

Mungkin saat itulah Kohati tidak sekedar bisa mengadakan


Miss Kohati (baca: atau yang pernah Kohati HMI Cabang
Mataram sublimkan menjadi Duta Kohati—yang tujuannya
berada di luar dirinya sendiri: bukan memajukan kaum
perempuan, tapi membingkai keperempuan berdasarkan
ukuran-ukuran yang ditentukan penilaian laki-laki). Dengan
memagut peran kerakyatan, maka kaum-kaum perempuan
dalam himpunan bisa secara gandrung melaksanakan kerja-
kerja berkemajuan. Kerja ini juga senafas dengan ajaran-
ajaran Islam sebagai ideologi pembebasan. Saat ideologi
Islam menjiwai gerak-gerak organisasi, maka sedapat
mungkin haruslah mengambil tauladan dari tindakan ekstrem
Ibrahim yang bersedia mengorbankan anaknya Ismail. Mereka
telah menorehkan konsep pengorbanan bagi karya
kemanusiaan: kerelaan untuk menanggalkan semua
kemapanan, kehendak untuk bertarung melawan kekuatan
penindas sekaligus meninggalkan apa yang dicintai.

Darinya kita diberitahu bahwa keagungan manusia beriman


terletak pada keberaniannya melawan kazaliman. Lebih-lebih
kepada HMI seolah diajarkan bahwa menempuh tindakan
berani bukan karena motif mendapat jaminan kebesaran dan
kehidupan. Praktik perjuangan yang demikian soalnya hanya
akan berakhir dengan persemaian gagasan di bilik-bilik
kekuasaan. Lenin mengutuk tipe perjuangan itu sebagai
‘tukang omong’. Saat berhadapan dengan kelompok yang
meyakini jalan parlemen, dia memegang teguh sikap untuk
berada dalam rel revolusi. Parlementarisme hanya jalan abu-

854
abu dan mengelabui suara mayoritas buruh. Parlementarisme
menurut Lenin, mendorong mundur perubahan karena tak
pernah garang dengan tatanan yang menjadi landasan
penindasan. Lenin mengikuti jejak para penghulu utusan
Tuhan, memerangi penindas jauh lebih bermartabat
ketimbang melakukan perundingan. Ibrahim mengalami
situasi yang sama ketika Luth ditawanan penindas. Ibrahim
melawan pasukan gabungan empat kerajaan bersama 318
pengikutnya sampai mereka berhasil memporak-porandakan
pasukan musuh. Kala itu Ibrahim lagi-lagi membuktikan
eksistensinya sebagai utusan Tuhan: berani, tak menyerah dan
tidak berkompromi. Baginya menyerang lebih mempunyai
kemungkinan kemenangan ketimbang mengajak Raja
Kedorlaomer untuk berunding.

Islam sebagai ideologi yang berisi pandangan dunia tauhid


juga telah meneguhkan perjuangan Nabi Yusuf. Tatkala
dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, ruang batin
penuh kesendirian telah menciptakan ikatan antara dirinya
dengan iman yang diyakininya. Senada dengan pernyataan
Kierkegaard: ‘lompatan iman muncul setelah manusia
melakukan penyerahan diri dan dalam situasi kesendirian’.
Kelak semangat ideologis dari agama itupun yang telah
mengarahkan Yusuf lebih baik memilih mendekam di penjara
daripada berada di lingkungan yang bisa membuatnya
terjerambab dalam kubangan kehinaan. Yusuf seperti utusan
Tuhan lainnya: tak terlampau menyukai kekaguman semu dan
tidak senang dengan popularitas dangkal. Itulah mengapa
tikaman asmara Zulaikha yang dihindarinya dan kerumunan
perempuan yang hendak memujanya dijauhinya. Dia tahu
bahwa lingkungan istana yang bergelimang kemewahan

855
sangat membahayakan idealismenya. Sehingga ia memilih
untuk menuju ruang keterkucilan. Maka diambilnya jalan
militan sekaligus tegas, yakni mendekapkan diri di penjara.
Qur’an melukiskan pilihan itu, Yusuf berkata, “Tuhanku,
penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan aku dari tipu
daya mereka, dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
jahil. Maka Tuhannya memperkenannya bagi Yusuf, dan Dia
menghindarkannya dari tipu daya mereka. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS
Yusuf: 34)

Ayat itu semestinya mengilhami kader HMI untuk waspada


dan curiga serta menghindari gemerlap kekuasaan dan
kesukaan yang berlebihan pada wanita. Kisah Yusuf
sesungguhnya mesti ditauladani demi menghindari segala
tindakan mengkambinghitamkan saudara sendiri demi
kekuasaan dan melakukan tindakan amoral terhadap kaum
Hawa. Dengan berkomitmen kepada ajaran wahyu, mungkin
tidak akan terjadi lagi pelbagai kasus amoral dalam tubuh
HMI yang bercampurbaur dengan syahwat meraih kuasa.
Sudah muak rasanya kita melihat ada-ada saja kader yang
sampai menggadaikan independensi (kecintaan akan
kebenaran) terhadap oknum-oknum yang punya kepentingan
besar dan dekat dengan pemangku kekuasaan publik. Tentang
cerita Nabi Yusuf, Eko Prasetyo menganalisisnya secara
struktural. Ternyata Yusuf tinggal di lingkungan yang
mempertahankan akumulasi dan represif sebagai praktek
harian. Sistem masyarakat yang sakit ini dicerminkan dari
perangai-peringai-peringai saudaranya Yusuf yang penuh

856
kedengkian, para pedagang yang mau cari untung, hingga istri
pejabat yang bertindak sewenang-wenang. 520

Struktur sosial seperti itulah yang Proudhon dijuluki sebagai


kediktatoran: ‘massa tak lagi memiliki kekuatan selain dari
melestarikan penghambaan, menghancurkan semua pemikiran
individual [pengendalian diri] dan mengabdikan dirinya untuk
mendapatkan untung’.521 Atas kisah ini Erich Fromm tak
memberi jawaban hanya saja melakukan analisis pada situasi
dekadensi moral. Menurutnya kondisi tersebut disebabkan
oleh ketiadaan orientasi produktif yang membuat setiap orang
melakukan kegiatan destruktif. Dengan psikoanalisisnya
Fromm mengkritik keras kapitalisme. Kebuasan kapitalisme
telah menciptakan struktur sosial masyarakat saling menindas
satu dengan yang lainnya. Kapitalisme di mata Michael
Foucault telah membangun relasi politik dan seks. Tirani ini
pernah dilawan Yusuf dan sekarang perlawanannya patut
dijiwai kader-kader HMI. Dulu Yusuf memberi tauladan
tentang tindakan yang dilepaskan dari cengkraman beku
kekuasaan lewat kehendak bebasnya. Ideologi Islam yang
berdasarkan ketauhidan memberinya dorongan untuk
melawan kelaziman.

Itulah mengapa Yusuf mencoba menerbitkan sikap yang


melompat dari nalar. Fenomena ini mebenarkan apa yang
dikatakan Marx: manusia mempunyai daya kreatifnya dengan
kemampuan untuk mengendalikan dan secara penuh berusaha

520
Lihat Eko Prasetyo, (2013), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif Atas
Kisah Dalam Qur’an, Malang: Kelompok Instrans Publishing dan Social
Movement Institute.
521
Ibid, Hlm. 54-55.

857
melibatkan diri dalam sejarah. Dasar inilah yang
dipergunakan oleh Gramsci untuk melihat kekuatan individu-
individu sebagai lapisan yang kritis dan sadar menjadi massa
pengubah gerak sejarah. Sikap inilah yang disebut Marx
sebagai ‘kesadaran kelas’ yang mendorong terlibat ke dalam
‘pertentangan kelas’ sebagai motor penggerak sejarah. Namun
pada kasus Yusuf lebih tepat jika didekati dengan apa yang
dimaksud Mutthahari sebagai ‘kesadaran alam yang gaib’ atau
‘kesadaran agamawi’. Kesadaran ini meletupkan gerakan
berdasarkan inspirasi wahyu. Penghayatan atas nilai-nilai
pembebasan dari ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk
berkonfrontasi dengan realitas duniawi. Memang tak mungkin
kebenaran bisa hidup tanpa melalui pergolakan. Abdurrahman
Jami menyebut: ‘tanpa kepahitan, hidup takkan pernah
menjadi manis’.

Maka nyala keimanan yang dimiliki Yusuf telah membangkar


seluruh ujian pada dirinya hingga melahirkan sikap
revolusioner. Graudy, sebagai salah seorang marxis yang
kemudian memeluk Islam pernah menyatakan bahwa pilihan
tindakan radikal memang memerlukan transendensi. Suatu
sikap yang menciptakan semangat yang menyala dan optimis.
Itu sebabnya para pemeluk agama punya keberanian dan
kesungguhan dalam berkorban. Graudy memberi konsep yang
lebih hakiki dalam memaknai transendensi. Baginya:
transendensi bisa berujud pada sikap militan dalam menolak
semua kekuasaan yang hendak memerankan diri sebagai
Tuhan. Walhasil, efek yang meledak darinya adalah
konfrontasi terhadap segala bentuk dominasi. Kelak seperti
halnya pemberontakan Yusuf terhadap kemapanan kekuasaan,
Nabi Musa juga melakukannya. Musa bagi Asghar Ali

858
Enggineer muncul sebagai pemimpin kaum tertindas
sebagaimana dinyatakan dalam Qur’an: mengobarkan api
perlawanan untuk membebaskan Bani Israil dari penindasan
Fir’aun. “Kepada kaum yang lemah, Kami wariskan tanah
yang telah Kami berkati di Timur dan Barat. Dan
laksanakanlah janji Tuhanmu yang indah atas bani Israil
karena kesabarannya. Dan Kami hancurkan ciptaan Fir’aun
dan kaumnya serta apa yang telah dibangunnya.” (QS
7:137).522

Kesadaran keagamaan sebagai hasil konfrontasi wahyu


dengan realitas telah membangkitkan keberanian yang
melahirkan semangat ideologis untuk merobohkan kezaliman.
Musa beroleh kesadaran seperti Yusuf: sewalaupun telah
berkehidupan di istana tapi kemudian sadar bahwa lingkungan
itu melenakannya. Maka dia meninggalkan tempat tumbuhnya
untuk menempuh perjuangan revolusioner: bersekutu dengan
rakyat kecil di luar istana yang hidupnya menderita dan
berbalik melawan penguasa korup sampai meruntuhkannya.
Kisah Musa memberi tauladan pada kader HMI bagaimana
kemapanan seperti sebuah racun. Walau hidup mewah di
istana dengan penuh kelimpahan, namun Musa tetap curiga
pada sistem yang begitu sentausa dan menyenangkan. Mula-
mula Fir’aun mengingatkan Musa akan masa lampaunya yang
diasuh dan tumbuh di istana. Argumenya mirip dengan senior
pragmatis dan oportunis kepada juniornya: merasa telah
berjasa besar dalam mendidik dan memuluskan karir murid-
muridnya. Ibaratkan bahasa penguasa otoriter: merasa telah

522
Asghar Ali Enggineer, (2000), Islam dan Teologi Pembebasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 34.

859
melakukan yang terbaik untuk rakyat (atau juniornya). Sikap
dan kepercayaan naïf itu dipupuk di atas pengungkapan jasa-
jasa: dirawat, dibesarkan, diberi makan dan pengetahuan.

Ungkapan itu sebenarnya sinyal bahwa Musa berada di bawah


kekuasaan Fir’aun: Makanya dipaksa bertindak harus tahu
terima kasih. Membaca ini kader HMI harusnya jeli bahwa
usaha pelanggengan kekuasaan: hegemoni dan dominasi,
selalu tegak di atas ilusi. Ketentuan hukum yang dipegang
oleh penguasa memberi bayangan ketakutan pada siapapun.
Dalam istilah Qur’an dikatakan sebagai permainan sihir yang
hebat.523 Kekuasaan melipat gandakan pengaruhnya melalui
ancaman, tekanan dan harapan semu, yang diteguhkan bukan
hanya oleh sistem tapi juga oleh aktor pendukung. Di masa
Musa, aktor tersebut adalah Haman. Menggunakan telaah dari
Dr. Loauy Fatoohi dan Prof. Shetna Al-Dargezelli, Eko
Prasetyo menjelaskan bahwa Haman identik dengan ‘pendeta
tertinggi Amun’.

Tiap-tiap zaman kekuasaan memang memerlukan intelektual


sekaligus rohaniawan untuk mempertahankan kedudukannya.
Begitulah kiranya yang terjadi di rezim Soeharto, yang
menggunakan serdadu dan kaum intelektual atau tokoh-tokoh

523
“Maka susunlah rencanamu, kemudian datanglah berbaris-baris:
pastilah orang yang menang hari ini akan beruntung. Mereka berkata: Hai
Musa! Engkaulah yang akan melempar atau kami yang melempar lebih
dulu? Ia berkata: Ya, kalianlah yang melempar lebih dulu! Tiba-tiba tali
dan tongkat terbayang kepada mereka karena hasil sihir mereka—seperti
berayap—rayap cepat. Musa merasa takut dalam hatinya,” QS 20:64-67).
Ziaul Haque menafsirkan bahwa tali-tali dan tongkat-tongkat itu bersifat
metaforis dan alegoris (Eko Prasetyo, (2013), Kitab Pembebasan Tafsir
Progresif Atas Kisah Dalam Qur’an, Malang: Kelompok Instrans
Publishing dan Social Movement Institute, Hlm. 84).

860
agama demi memperpanjang masa kuasanya. Betapa banyak
yang berwatak mirip dengan Haman. Petuahnya lahir untuk
menyokong penguasa. Fatwa dilahirkan dari pesanan
kekuasaan. Kelak Nabi Isa juga turut berjuang melawannya.
Isa telah menusuk nafsu kekuasaan yang berdampingan
dengan watak sewenang-wenang agama. Kekuasaan pendeta
yang memonopoli segala-galanya mulai terancam. Kekuasaan
Romawi yang bengis menjarah harta rakyat khawatir dengan
sepak terjang Isa dengan para pengikutnya. Isa hadir
menyuarakan penyimpangan yang dilakukan oleh para ulama
Yahudi yang kerap kali mengkomersilkan ajaran. Berongkos
jabatan dalam agama maka dibangunlah kesadaran palsu
tentang dosa, ritual dan pembalasan. Inilah yang dimaksud
oleh Marx agama sebagai candu yang melemahkan kesadaran
kritis rakyat hingga melanggengkan status quo. Inilah yang
dimaksud Syari’ati sebagai agama budaya: menolak
perubahan. Tidak sama dengan agama sebagai ideologi. Di
mana keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawab
kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang ada. Ia
mengarahkan suatu masyarakat atau suatu bangsa untuk
mencapai tujuan-tujuan dan ideal-ideal yang mereka cita-
citakan. 524

Jika agama telah mencapai tingkat ideologi, maka


pemeluknya mendapati dirinya rela berjuang dengan sepenuh
jiwa dan raga. Keimanan yang bertolak dari Ketuhanan yang
Maha Esa telah menampilkan bagaimana ideologi Islam
menggerakan Rasulullah SAW untuk membangkitkan dan

524
Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Mizan, Hlm.
88.

861
mencerahkan kemanusiaan. Berdasarkan firman Allah, Nabi
Muhammad secara tegas mengecam saudagar-saudagar kaya
yang menimbun kekayaan, karena nafsu serakah itu mengarah
pada eksploitasi dan penindasan. Sekarang penumpukan
kekayaan ini diasosiasikan sebagai praktik kapitalisme.
Sistem inilah yang memandang manusia tak lebih dari
komoditi yang bisa diperjualbelikan. Dalam firman-Nya,
tindakan ini para kapitalis itu dicercah seumpama
‘menyalakan api di dalam hati sehingga membakar dirinya
sendiri’.525 Penumpukan harta akan melemparkan masyarakat
ke dalam api yang membara dan memecahbelahnya.

Kehadiran Islam justru mendorong manusia dengan alasan


yang rasional untuk menjadi kaya tapi melalui cara-cara yang
benar,526 bukan dengan eksploitasi, jalan yang tidak adil dan
menipu. Terlebih dalam iklim Mekkah di mana suku Badui
mempunyai adat kebiasaan yang sulit diatur. Ibn Khaldun
melukiskan bagaimana kemerosotan telah jadi bayangan
dalam kehidupan Suku Badui. Ikatan kesukuan yang kukuh
dengan standar etika kolektivisme membuat kehidupan
mengalir dalam tali persaudaraan yang kental akan dunia
perdagangan yang pragmatis. Maka kedatangan Muhammad
telah membangun jalan untuk melakukan revolusi terhadap
sistem kehidupan masyarakatnya. Baginya konsep kesehatan
sosial amat penting untuk masyarakat Islam dan hanya bisa
diraih dengan keadilan yang distributif (distributive justice).527

525
“Yaitu api azab Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati.
Sungguh api itu ditutup rapat atas (diri) mereka,” (QS 104:6-8).
526
Lihat QS 10: 93, QS 16:73, QS 17:70, QS 20:81, QS 23:51, QS 40:94,
QS 45:16.
527
Asghar Ali Enggineer, (2000), Islam dan Teologi Pembebasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 35.

862
Kisah tersebut mesti dijadikan pelajaran oleh kader HMI, di
mana lewat karakter masyarakat yang semacam ini tumbuhlah
Muhammad dengan keteguhan dan keberaniannya
membawakan ajaran Islam dan melawan status-quo
zamannya. Jika sekedar keyakinan akan keesaan Tuhan tanpa
amalan apapun mungkin orang Mekkah akan menerimanya.
Tapi dorongan untuk menciptakan tata sosial yang adil sangat
memberatkan. Para jutawan kapitalis terancam dengan
gagasan keadilan dan persamaan yang melekat dalam Islam.
Mereka menolak peringatan Qur’an, “Makanlah barang-
barang yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan
janganlah kamu melampaui batas karena Kami akan
menimpahkan siksa kepadamu….” (QS 7:31)

Maka kedatangan Muhammad sesungguhnya untuk


menghindarkan dari siksa tersebut. Karena hanya keadilan
distributiflah yang dapat mencegah bencana dalam
masyarakat. Sehingga hari-hari ini sebagai kader-kader Islam,
menjadi tugas setiap anggota HMI berupaya mewujudkan
keadilan dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan
tertindas agar terhindar dari prahara.528 Perlu diingat bahwa
nilai-nilai dasar Islam sepanjang zaman tidak akan berubah,
yang berubah hanya nilai-nilai instrumentalnya sesuai dengan
lingkungan yang ada. Ali Enggineer mengatakan: ‘kesamaan
(equality) adalah sebuah nilai dasar, sedang lembaga untuk
menciptakan kesamaan itu bernilai instrumental’.529 Dengan

528
“…. dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus)
mereka infakan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan)…,”
(QS 2:219).
529
Pada zaman pertengahan, lembaga yang berfungsi mengelola sumbangan
secara suka rela dapat menciptakan keadilan sosio-ekonomi. Pada zaman
modern, lembaga yang sama dapat difungsikan melalui pemerintah dengan

863
menjadikan Islam sebagai ideologi yang berdasarkan
semangat pembabasan Qur’an, HMI mesti mampu menjadi
instrumen pendorong kader-kadernya mewujudkan keadilan
distributif. Bukan semata lewat jalur kekuasaan tapi
melakukan advokasi, pelatihan dan pencerdasan kaum
mustad’afin.

Semua itu berguna agar mereka mampu memahami sistem


dan struktur kehidupannya dan mampu mencari jalan keluar
atas kesenjangan yang sedang dihadapinya. Apalagi keadilan
ekonomi, politik dan sosial merupakan masalah pokok di
dalam ajaran Islam. Abu Dzar, seorang sahabat Rasulullah,
dia telah menangkap semangat revolusioner Islam. Baginya,
ukhuwah Islamiyah tidak akan berarti tanpa pemerataan sosio-
ekonomi. Maka dirinya sangat kritis terhadap kebijakan
pemerintahan Umayyah yang mengkapling-kapling tanah
dalam jumlah yang besar untuk kepentingan pribadi. Sehingga
dia memprotes keras usaha Mu’awiyah untuk merubah istilah
‘harta orang Islam’ dengan ‘harta milik Allah—implikasinya
jelas bahwa nantinya harta kekayaan dapat dengan mudah
dipindahmilikkan untuk kepentingan pribadi penguasa tanpa
pertanggungjawaban kepada umat Islam. Sedangkan Ibnu
Taymiyyah, seorang ahli hukum pada abad pertengahan,
menganggap keadilan itu sangat sentral: ‘kehidupan manusia
di muka bumi ini akan lebih tertata dengan sistem yang

memberikan jaminan kesejahteraan atau socialisting planning atau dengan


menetapkan sebuah aturan yang membatasi atau bahkan dalam kondisi
tertentu menghapuskan hak-hak atas kekayaan (Asghar Ali Enggineer,
(2000), Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm.
36-37).

864
berkeadilan walau disertai dengan perbuatan dosa, daripada
dengan tirani yang alim’.

Itulah mengapa dikatakan bahwa Allah membenarkan negara


yang berkeadilan walaupun dipimpin oleh orang kafir, dan
menyalahkan negara yang tidak berkeadilan meskipun
dipimpin oleh seorang muslim. Juga disebutkan bahwa dunia
akan bisa bertahan dengan keadilan dan kekafiran, namun
tidak dengan ketidakadilan dan Islam. 530 Maka untuk
menegakan keadilan memerlukan perjuangan ideologis. Islam
sebagai ideologi HMI mesti dialirkan dalam bentuk
perjuangan yang diwariskan para nabi-nabi Islam. Mereka
telah memberikan pelajaran penting dalam menempuh
perjuangan pembebasan: bersekutu dengan kaum miskin dan
tertindas melawan kekuasaan. Semasa hidupnya, mereka telah
mengajari kita bagaiamana caranya memproklamirkan
semboyan-semboyan perjuangannya secara jelas di tengah-
tengah massa untuk sama-sama menentang kepongahan,
kebodohan dan kezaliman. Bagi Syari’ati, inilah saatnya di
mana agama muncul sebagai ideologi yang membebaskan:

Ketika rasul-rasul besar muncul dari kalangan suku-


suku tertentu, ketika mereka memimpin gerakan-
gerakan histroris untuk membangkitkan dan
mencerahkan kemanusiaan, dan ketika mereka
memproklamirkan semboyan-semboyan mereka secara
jelas dalam mendukung massa manusia—pada saat
itulah para pengikut berkumpul di sekitar mereka, dan

530
Akhirnya disimpulkan bahwa seseorang belumlah dikatakan memahami
ajaran Islam dan menangkap intinya, jika mengesampingkan konsep
keadilan sosio-ekonomi, persamaan jenis kelamin, ras dan kebebasan, serta
menghargai harkat dan martabat manusia (Ibid, Hlm. 39).

865
bergabung bersama mereka atas kehendak bebas
mereka sendiri. Itulah saat kemunculan agama sebagai
ideologi. 531

Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam,


531

Bandung: Mizan, Hlm. 89.

866
Insan Cita yang Ideologis

“Sebagai golongan kaum intelektual, tugas kita memang


bukan sekedar ‘memberi makna’ terhadap realitas sosial
globalisasi, menguatnya neoliberalisme saat ini, dan
meratapinya. Tugas kita sebagai intelektual adalah ikut
menciptakan sejarah dengan membangun gerakan pemikiran
dan kesadaran kritis untuk memberi makna (terhadap masa)
depan…. Bersama rakyat mereka merebut makna dan ruang
yang membuat mereka mampu untuk memutuskan arah
perjalanan masyarakat berjalan menuju suatu dunia yang
dikhayalkan merupakan tempat yang adil bagi perjalanan
umat manusia….” (Mansoer Fakih532)

“…fungsi dari intelektual-intelektual ini ialah untuk


menanamkan ‘homogenitas dan kesadaran akan fungsi’ ke
dalam diri kelompok sosial yang menjadi induknya … fungsi
yang bergerak melampaui medan ekonomi dan mencakup
level sosial dan politik … tapi, para intelektual suka
beranggapan diri mereka independen dan otonom. Mereka
tak sadar akan adanya fakta bahwa mereka memiliki kaitan
dengan sebuah kelompok sosial tertentu di mana mereka
menjadi pembawa suaranya.” (Antonio Gramsci533)

Di bagian sebelumnya kita telah mengungkit bagaimana


ideologi bukan hanya tidak bisa dipisahkan dengan peran
kaum intelektual, tapi juga memiliki pengaruh signifikan

532
Dr. Mansoer Fakih, (2011), Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. xxi.
533
Eko Prasetyo, (2007), Jadilah Intelktual Progresif!, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 25

867
dalam perilaku sosial. Memang dikenalnya frasa ideologi
secara luas sebagai istilah di kalangan cendekiawan ilmu-ilmu
sosial dimulai sejak akhir abad ke-18 oleh Destutt Tracy.
Perkenalan ini dapat dianggap sebagai reaksi intelektual dari
golongan masyarakat atas menjalarnya fenomena
ketidakberpihakan hegemoni kultural pada tuntutan
humanisasi yang tengah menerjang kesadaran masyarakat di
zaman itu. Sejak masa tersebut kita beroleh temuan bahwa
setiap ideologi dunia yang berhasil memberi pengaruh besar
terhadap struktur masyarakat selalu digerakan oleh gerakan
yang revolusioner. Hanya tiap sistem sosial yang berlaku
dalam dimensi-dimensi kemasyarakatan akan berproses ke
arah pengkristalan nilai-nilai. Lama-lama nilai yang telah
mengeristal akan membentuk status-quo, baik secara
ekonomi-politik maupun mengambil konteks pemikiran dan
perilaku. Tetapi kemapanan tersebut justru bertentangan
dengan dinamisasi perkembangan masyarakat yang
meniscayakan proses dialektis menuju kehidupan sosio-
historis yang lebih maju.

Dalam kondisi itulah berlakulah kata-kata Karl Marx: ‘tidak


akan pernah muncul perubahan sosial tanpa revolusi’.
Begitulah yang pernah diukir oleh para nabi, karena kalau
bukan untuk menyulut revolusi maka nabi-nabi Islam tidak
akan pernah diutus. Mereka telah menanamkan benih-benih
perubahan yang merombak total masyarakatnya: dari
kebudayaan sampai kondisi sosial, dan ekonomi-politiknya.
Ini sejalan dengan deskripsi Ahmad Syafi’I Safinuddin (2003)
dalam HMI dan Wacana Revolusi Sosial: ‘perubahan sosial
dan peradaban akan menemukan kesejatiannya melalui
revolusi pemikiran. Karena dalam revolusi pemikiran akan

868
menguatkan ideologi sebagai landasan gerakan’. Cita-cita
revolusi pemikiran dalam karyanya dipaparka dengan
menggeser tiga unsur filsafat: (1) epistemologi dengan metode
eksperimental-empirik (positivisme) sebagai satu-satunya
standar kebenaran, menggantikannya dengan dzikir dan pikir
(idealisme); (2) ontologi dengan aspek nyata (materialisme),
digantikan dengan ghaib dan syahadah (idealisme); dan (3)
aksiologi yang mengandung prinsip ‘bebas nilai’, diubah
menjadi ilmu yang tidak bebas nilai—mencari ridho Allah
(idealisme).

Namun dalam buku ini tidak bisa disetujui sepenuhnya apa


yang menjadi pemikiran Safinuddin barusan, karena aliran
filsafat materialisme tidak akan disingkirkan. Namun
materialisme yang akan dipakai bukanlah materialisme-
mekanik, melainkan materialisme-dialektik dari Karl Marx.
Dengan menggunakan materialisme-dialektik maka kader-
kader himpunan dapat mengasah pandangan keislaman yang
materialis. Itulah sebuah bentuk keberagamaan yang
dicetuskan oleh Muhammad Al-Fayyld. Pemikiran ini
berusaha mempersilangkan logika dunia dengan logika
spiritual sebagaimana model gerakan yang dipelopori Haji
Misbach dengan memadukan Islam dan komunis. Pertautan
antara keduanya berusaha mewujudkan cita-cita syurgawi dari
agama untuk melawan tipu-daya dan hegemoni setan yang
bernama kapitalisme. Pertemuan antara logika spiritual dan
logika dunia juga akan memudahkan kita melihat alam
sebagai suatu kesatuan. Bagi Syari’ati, konsekuensi dilihatnya
alam sebagai sebuah kesatuan akan mendorong manusia
menerbitkan pemberontakan terhadap hal-hal yang
merendahkan kemanusiaan:

869
Manusia hanya takut pada satu kekuatan dan
bertanggung jawab di hadapan satu hakim. Manusia
hanya menghadap ke satu kiblat serta menujukan
harapan-harapan dan keinginan-keinginannya hanya
kepada satu sumber. Akibat wajarnya adalah bahwa
semua yang lain adalah salah dan tidak ada artinya—
segala ragam kecenderungan, perjuangan, ketakutan,
keinginan dan harapan manusia adalah sia-sia dan tidak
ada hasilnya. Tauhid menganugerahi manusia dengan
martabat. Tunduk kepada-Nya saja—norma tertinggi
dari segala wujud—mendorong manusia untuk
memberontak terhadap seluruh kekuatan yang ada serta
segala kendala ketakutan dan keserakahan yang
menghinakan.534

Ketika kader HMI berusaha merubah dunia sekelilingnya,


maka niscaya harus melakukan perjuangan; membebaskan
kaum miskin dan tertindas dari penderitaan hidupnya,
menentang penguasa zalim yang telah mengeluarkan
kebijakan dengan sewenang-wenangan. dan melawan
hegemoni modal yang telah bersimaharajalela. Hanya sebagai
ruh penggerak perjuangan; Islam harus dikibarkan bukan
sekedar sebagai budaya yang berpuas hati dengan ritual-ritual
ibadah semata. Tapi terutama menghadirkan kembali Islam
sebagai ideologi. Hanya dalam keadaan inilah kader-kader
himpunan akan bergumul melewati tiga tahapan ideologis: (1)
cara melihat dan menangkap alam semesta; (2) terdiri dari
cara khusus dalam memahami dan menilai semua benda dan
gagasan atau ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan
mental; dan (3) mencangkup usulan-usulan, metode-metode,

534
Ali Syari’ati, (2013), Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam dalam
Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Rausyan Fikr
Institute, Hlm. 125.

870
berbagai pendekatan dan keinginan-keinginan yang
dimanfaatkan mengubah status-quo yang membuat tidak puas.
Pada tahap ketiga inilah ideologi mulai menjalankan misinya
dengan memberikan pendukungnya pengarahan, tujuan dan
cita-cita serta rencana praktis sebagai dasar perubahan dan
kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.535

Sekarang yang perlu sama-sama diusahakan adalah


menjadikan Islam sebagai ideologi. Dalam memajukan ajaran
wahyu menjadi Ideologi, Safinuddin memberi saran: lakukan
revolusi pemikiran. Tetapi revolusi pemikiran yang akan
ditawarkan oleh pembahasan ini tidak seperti arahan HMI dan
Revolusi Sosial: menyingkirkan materialisme dari pemikiran
kader-kader himpunan, melainkan meneguhkan keberislaman
yang materialis. Sentuhan awalnya terdapat pada sisi ontologi.
Karena pada konteks kultural dan peradaban, kesadaran
ontologis akan menurunkan suatu sistem sosial yang
membebaskan dan menyelamatkan.536 Kemudian mendorong
sebuah aksiologis ilmu pengetahuan yang tidak ditempatkan
sebagai sesuatu yang bebas nilai, tetapi pengetahuan-
pengetahuan yang berdiri di atas lantai keberpihakan. Bagi
Syari’ati: ‘slogan netralitas ilmu yang dijelaskan pada
ilmuwan dan intelektual di negara berkembang, hal ini
diulang-ulang terus menerus. Ini merupakan tragedi zaman
kita—suatu tragedi yang konsekuensinya melahirkan korupsi,
kolonialisme, invasi dan perang’.

535
Ali Syari’ati, (1984), Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta: CV Rajawali,
Hlm. 195.
536
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 110.

871
Netralitas ilmu sebagai produk ganjil abad ke-20 yang telah
menyebabkan jenius, fisisis, psikolog, ahli statistik dan lain-
lain menjadi budak-budak sewaan dan sarjana-sarjana bayaran
dari pemodal dan penguasa yang mewakili sistem kapitalisme
maupun diktatorial di dunia. Dengan demikian ilmu telah
memisahkan hubungannya dengan ideologi dan ilmu-ilmu
terus mengutuk ideologi. Karena ideologi merupakan
ancaman potensial besar bagi kekuatan-kekuatan yang sedang
memerintah dan tatanan masyarakat kapitalis. Dalam
pengertian lain tentang ideologi yang mendorong kaum
intelektual mewujudkan perubahan, Syariati pernah
menjelaskan bahwa ia sering merupakan karakteristik suatu
kelas khusus dalam masyarakat yang disebut roushanfikr.
Intelektual macam ini merupakan orang-orang yang
berpegang teguh pada ideologi yang telah dipilih secara sadar.
Melalui ideologinya ia bukan hanya mencapai tingkat
kesadaran kelas, melainkan pula mempunyai pandangan dunia
dan kemampuan praksis yang jauh lebih berguna dibanding
ilmuwan atau filosof:

Ideologi dan kesadaran kelas itulah yang menolongnya


mencapai kesadaran istimewa tentang kehidupan dan
jalan bertindak yang jelas, jalan hidup, dan jalan
berpikir, dengan cita-cita jelas yang membentuk filsafat
hidupnya. Hal-hal inilah yang membentuk
kesadarannya; ia bersedia berkurban segala-galanya
untuk membela kesadaran itu. Dengan mengabdikan
dirinya untuk cita-cita ideologisnya, ia akan menjadi
pecinta mujahid dan pejuang. Ia akan menjadi
pengejewantahan kesadarannya dan keyakinannya
hingga mendorong gerakan-gerakan progresif dalam
sejarah dan menyadarkan massa terhadap fakta-fakta

872
kehidupan mereka dalam masyarakat. Peranan yang
dimainkan berbeda dengan filosof. Seorang filosof
seperti Aristoteles tidak memiliki tipe kesadaran dan
keyakinan tersebut. Aristoteles bukanlah seorang
roushanfikr, karena ia tidak memprakarsai gerakan
sosial atau revolusi satupun dalam masyarakat, di
samping tidak pernah mencoba membangkitkan
kesadaran massa yang menderita terhadap fakta-fakta
masyarakat mereka. Plato tidak pula berbeda dari
Aristoteles, karena Plato tidak dapat mempengaruhi
persoalan-persoalan masyarakat secara menentukan,
meskipun ia berhasil membangun suatu mazhab
berpikir. Ptolemy adalah seorang ilmuwan dan dokter
dengan pengetahuan ilmiah cukup banyak, tetapi
ilmunya tidak berpengaruh sama sekali terhadap nasib
zaman dan masyarakatnya. Andai kata bangsa Yunani
mempunyai seribu orang seperti mereka, maka
kehidupan bangsa Yunani akan sama saja dengan
sebelumnya, malah mungkin akan lebih buruk, karena
intelektual-intelektual seperti itu adalah konsumen-
konsumen mulus yang hidup menggantungkan diri pada
kekuatan para petani. Yang dibutuhkan Yunani
bukanlah filosof atau ilmuwan, tetapi ideolog-ideolog
aktif untuk memperbaiki dan mengubah nasib para
budak yang malang.537

Dewasa ini gerakan-gerakan ideologislah yang mencampakan


kekuatan-kekuatan opresif di muka bumi. Ketika para
penindas menebar kejahatan; para ideolog progresif muncul
sebagai pengibar panji-panji kemanusiaan dengan penuh
komitmen dan militansi. Memang dalam bentuknya yang aktif
ideologi dapat dipandang sebagai pembuat suatu keajaiban

Ali Syari’ati, (1984), Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta: CV Rajawali,


537

Hlm. 223-224.

873
dan penyelamat yang menghembuskan daya hidup di atas
lautan penderitaan kehidupan rakyat miskin dan tertindas. Ali
Syari’ati berkata: ‘ideologi bagaikan terompet Israfil yang
mempercepat kebangkitan mayat dari kuburan sejarah’. Bagi
banyak bangsa, ideologi berarti gerakan, revolusi, kehancuran
dan kebangkitan. Sementara yang menjadi pendorong di
belakang kejadian-kejadian besar itu adalah roushanfikr
dengan ideologi yang menuntunnya ke arah perubahan. Kaum
intelektual yang berdiri di atas pandangan ideologis selalu
mendedikasikan pengetahuan-pengetahuannya untuk
memihak kepada kaum miskin dan tertindas sepanjang
perjalanan sejarah dan masyarakat. Mereka memandang
bahwa segala bentuk ilmu-pengetahuan yang bermekaran di
atas tatanan masyarakat berkelas (perbudakan, feodalisme,
dan kapitalisme) selalu berada dalam keadaaan yang tidak
bebas nilai, karena meniscayakan adanya kecenderungan
untuk berpihak:

Dalam berkelas ada filsafat kelas penghisap dan ada


filsafat [kelas] yang dihisap. Misalnya, dalam
masyarakat kapitalis ada filsafat borjuis dan ada filsafat
proletar. Filsafat borjuis itu mencerminkan kepentingan
kelas borjuis sehingga pandangan apapun yang
diajukannya, intinya tetap merupakan pandangan yang
mempertahankan kepentingan kelasnya…. Dalam
menyimpulkan kenyataan dalam masyarakat kapitalis,
MDH [Materialisme Dialektika Historis]
menyimpulkan bahwa di dalam masyarakat kapitalis
ada dua kelas yang berlawanan kepentingannya yang
menentukan arah perkembangan masyarakat itu yaitu
borjuasi dan proletariat. Borjuasi adalah kelas
penghisap yang akan mengalami keruntuhannya,
sedangkan proletariat adalah masyarakat yang akan

874
memikul tanggung jawab membangun suatu baru, yakni
masyarakat tanpa kelas dimana tidak ada penghisapan
manusia di atas manusia lainnya.538

Kaum intelektual yang tercerahkan mengerti bahwa ilmu-


pengetahuan tidak bebas nilai. Lihat saja bagaimana
pengetahuan-pengetahuan yang tersebar dalam masyarakat
kapitalis selalu mewakili kepentingan kelas penguasa.
Keadaaan ini seharusnya mampu dimengerti oleh kader-kader
himpunan pula. Ilmu-pengetahuan sudah waktunya tidak
dianggap terbebas dari kepentingan kelompok dominanan
melulu. Kini saatnya mendekati ilmu-ilmu pengetahuan bukan
saja dengan kesangsian, tapi juga pemihakan yang jelas untuk
apa dan siapa pengetahuan-pengetahuan itu dipelajari.
Mendekati ilmu-pengetahuan dengan memancang
keberpihakan yang jelas merupakan langkah menuju
pengetahuan yang ideologis.

Pengetahuan ideologi akan mendorong dan menegaskan di


mana posisi kita di tengah pertarungan antara dua kelas dalam
masyarakat: borjuasi versus proletariat. Sedangkan anggapan
yang terus menempatkan ilmu-pengetahuan itu bebas nilai
sangat membahayakan eksistensi intelktual mengarungi
kehidupan sosio-historis: terombang-ambing, tambun dan
lamban, hingga terdegradasi dan tak berani menentukan sikap.
Dengan kaburnya keberpihakan intelktual, maka ini
menandakan tidak adanya ideologi yang jelas mereka anut.
Sosok stereotip demikian dapat dilihat keberadaannya dalam

538
Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
(PEMBEBASAN), (2021), Pengantar Materialisme Dialektika Historis,
Mataram: PEMBEBASAN Kolkot Mataram, Hlm. 2.

875
lingkaran kaderisasi dan gerakan HMI. Mereka berdiri sebagai
kader-kader intelektual salon atau kelompok-kelompok elit,
yang berkerumun di kedai-kedai kopi atau ankringan-angkiran
dan acara-acara serimonial belaka. Memang sering mereka
menggelar kegiatan intelektuil, tapi hanya memperdebatkan
hal-hal yang melangit, muluk-muluk, hingga melemparkan
isme-isme mikro terbaru yang tak dapat digunakan untuk
menghubungkan perjuangannya dengan rakyat miskin dan
tertindas. Di forum-forum perkaderan, mulut mereka berbusa
membicarakan Islam menjadi tradisi semata. Gagal mereka
Islam sebagai ideologi yang mendaratkan dirinya di atas
infrastruktur kultural massa.

Fenomena pembelajaran seperti itulah yang dikritik Syari’ati


begitu tajam: ‘tidak akan jauh berbeda dengan sebuah buku
bacaan publik. Sarjana, mahasiswa dan pembaca-pembaca
tertentu membaca buku tersebut; atau ribuan naskah dari buku
tersebut mungkin diterbitkan. Namun massa tetap saja tidak
berubah. Kaum intelektual akan terasing dari masyarakat,
tidak akan pernah dapat mengakhiri keadaannya yang
dekaden secara terus-menerus’. Walaupun HMI memiliki
pemikir-pemikir raksasa tapi jika dalam pergerakannya Islam
tidak diusung sebagai ideologi perjuangan, maka kaderisasi
dan gerakannya menjadi mong kosong belaka: tidak mampu
mempercepat perubahan kehidupan sosio-histroris massa.
Padahal tanggung jawab kaum intelektual pernah diwanti-
wanti oleh Syari’ati adalah membangkitkan dan membangun
masyarakat, bukan memegang kepemimpinan politik negara:

Bila masyarakat dibimbing dan dibangunkan secara


benar, dia akan dapat melahirkan pahlawan-pahlawan

876
yang cukup tangguh untuk memerintah dan memimpin
masyarakat. Jadi tugas intelektual adalah melanjutkan
kewajiban dalam membangunkan dan menerangi
masyarakat yang terjajah terutama bertanggung jawab
untuk menciptakan kesadaran kolektif guna melawan
kolonialis, sehingga bangsanya dapat mengambil sikap
tegas melawan kekuatan-kekuatan yang ingin
menjajahnya.

Melalui penanaman dalam alam berpikir publik semua


konflik, pertentangan dan antagonisme yang ada dalam
masyarakat. Dengan kata lain, faktor-faktor eksternal tentang
masyarakat dan sejarah harus diinternalisasikan di dalam hati
dan pikiran rakyat. Jadi misi satu-satunya kaum intelektual
adalah mengubah antagonisme dialektik obyektif menjadi
pikiran subyektif dari rakyat, karena antagonisme tidak dapat
dengan sendirinya mendorong kemajuan sosial, kecuali jika ia
ditanamkan ke dalam kesadaran sosial. Dalam konteks ini
pasal 4 AD: terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi,
yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah
SWT—harus didorong oleh kesadaran ideologis berdasarkan
ilmu yang tidak bebas nilai. Tetapi sebuah keilmuan yang
langsung berdialog realitas dengan bertolak semata dari
kebenaran: Tuhan yang Maha Esa.

Itulah mengapa yang menjadi syarat dalam membumikan


nilai-nilai kemanusiaan ilahiah diharuskan lebih dahulu sadar
akan perubahan yang datang dari perjuangan bersama massa-
rakyat. Hanya dengan cara inilah revolusi pemikiran kader-
kader himpunan tidak sebatas dalam spektrum ide dan
gagasan semata, melainkan pula praktik revolusioner dalam

877
kehidupan nyata. Terutama dalam membuka jalan menuju
revolusi sosial. Karena jika sekedar berharap pada revolusi
industri atau tekhnologi—itu tak cukup buat mewujudkan
perubahan mendasar dalam gerak sejarah dan masyarakat.
Apalagi revolusi yang demikian—secara empiris—bukanlah
satu-satunya faktor dalam mendobrak kegelapan abad
pertengahan dan menciptakan zaman modern yang membawa
sinar cemerlang bagi kebangkitan ilmu, seni, industri dan
lahirnya pranata-pranata sosial-politik dan perundang-
undangan yang kini berkembang di dunia modern. Tetapi
pembaharuan539 pemikiran keagamaan dalam coraknya
sebagai akar pemikiran antroposentrislah yang meruntuhkan
semangat abad pertengahan dan mengguncangkan bangunan
lembaga kegerejaan Katolik dari dalam. 540

539
Hendaknya kaum terpelajar yang paham tentang sumber-sumber
pengambilan istilah yang secara khusus berlaku dalam sosiologi politik dan
aliran-aliran pemikiran modern, tidak menganggap bahwa istilah ishlah
(pembaharuan), sesuai kata Ali Syari’ati, dalam artian reformasi atau
evolusi sebagai lawan dari revolusi. Sebab pembaharuan di sini bertolak
dari pemikiran Syari’ati, yang menolak semua perubahan pada kulit luar
dan semua permainan kata yang kosong dalam memperbincangkan agama.
540
Orang-orang Protestanlah yang merombak kekuatan raksasa agama
Masehi yang bersifat reaktif dan negative, baik sosial maupun individu.
Menjadi kekuatan perkasa yang positif dan berorientasi ke masa depan. Kita
juga bisa melihat dampak paling jelas dan pokok dalam perubahan itu pada
peta Eropa yang digambarkan oleh Max Weber, di mana kita bisa melihat
kaitan antara kapitalisme, industry dan pertumbuhan ekonomi dengan
protestanisme. Pada kondisi di mana orang-orangProtestan merupakan
mayoritas, pasti ditemukan kemajuan industri dan materi, tetapi bila
mayoritasnya adalah penganut Katolik maka keterbelakangan dan
kemandekan material merupakan cirri yang melekat pada mereka. Korelasi
anatar kapitalisme industri dengan protestanisme merupakan hubungan
timbale-balik, sebagaimana halnya dengan Katolik dalam hubungannya
dengan keterbelakangan ekonomi, kemunduran dan kemandekan (Lihat Ali
Syari’ati, (2014), Ummah dan Imamah Kontruksi Sosiologi Pengetahuan

878
Apabila HMI ingin memajukan perspektif kader-kadernya,
maka perlu dilakukan pembaharuan pemikiran keagamaan.
Pembaharuan model ini diandaikan Syari’ati bukan sebagai
perubahan agama, tetapi tepatnya diartikan renaissance
(kebangkitan) Islam yang gerakannya terwadahkan melalui
perjuangan revolusioner: ‘melawan khurafat, kejumudan,
imperialisme, reaksioner, fanatisme buta, interes elitis, dan
melenyapkan segala sesuatu yang dilontarkan atas nama
Islam, baik berbentuk sistem kelas, diktatorisme, intrik sosial,
pencucian otak dan pemasungan kebebasan berpikir’. Maka
dalam melawan segala bentuk penindasan; membebaskan
penindas dan tertindas tidak sekedar dipahami sebagai
perlawanan terhadap hawa nafsu (kontrol diri), melainkan
juga tirani sosial: feodalisme, rasisme-seksisme, militerisme-
fasisme, kolonialisme-imperialisme, dan kapitalisme-
neoliberalisme. Sedangkan pembaruan pemikiran Islam yang
dimaksudkan untuk membebaskan agama dari kungkungan
kesewenang-wenangan intelektual dan spiritual, serta kembali
kepada sumber-sumber revolusi Islam yang asli—ialah
dengan mewujudkan kepemimpinan masyarakat
(kepeloporan) dan keadilan kelas (adil secara sosial-ekonomi).

Mungkin dengan melakukan pembaruan pemikiran seperti


itulah HMI dapat lebih berani menafsirkan 5 Kualitas Insan
Cita HMI secara berbeda. Waktunya tafsir tujuan ini bukan
lagi berdiri di atas kecenderungan kooperatif, akomodatif, dan
berkempromis dengan kelas penguasa. Kini sudah saatnya

dalam Autentisitas Ideologi dan Agama, Yogyakarta: Rausyanfikr Institute,


Hlm. 8-9).

879
tujuan-tujuan tersebut diradikalkan sedemikian rupa. Che
Guevara pernah berkata:

Ini berarti cita-cita revolusioner itu harus mendahului


gerak perjuangan itu sendiri dan menjadi pendorongnya
… dan cita-cita ini tak boleh ditumbuhkan dalam diri
massa melalui pidato-pidato dan propaganda-
propaganda revolusioner, namun melalui kemampuan
untuk mengangkat tujuan-tujuan atau menaikan
perjuangan ke taraf yang semakin tinggi dan melalui
kemampuan untuk menetapkan sasaran-sasaran
‘antara’….

Pertama, insan akademis. Kader HMI mesti mendudukan


tujuan insan akademis pada posisi yang tidak terjebak dalam
pendidikan formal: mengejar nilai dan gelar sarjana. Tak pula
terlena dengan dunia akademis konvensional dari pendidikan
tinggi yang kebanyakan menganggap ilmu bebas nilai, hingga
keilmuan yang ditimbah di Perguruan Tinggi membuat
mahasiswa tercerabut dari masalah-masalah sosial-
kemasyarakatannya. Tapi secara ideologis kualitas insan
akademis mesti mendorong semangat pemberontakan—
melawan status-quo akademis: menentang dogma nilai tinggi,
ritual absensi, kepatuhan pada dosen dan birokrasi, hingga
wisuda wajib cepat sekali. Sudah saatnya dorongan ideologis
diupayakan dalam mewujudkan insan akademis dengan
penolakan atas kelaziman: pandangan yang selalu meyakini
bahwa apa yang diterima secara umum maka itulah
kebenaran final. Seperti rajin kuliah pasti pintar. Telah
menjadi kredo yang tak berani disanggah. Lama-lama ini
menjalar pada yang pintar pasti patuh: yang patuh akan

880
berhasil. Janji kepatuhan ini membuat semua lembaga
pendidikan menanam kepatuhan dengan membabi buta.

Walhasil, mahasiswa-mahasiswa yang punya pandangan naïf


seperti itu menjadi tumbal pendidikan. Mereka menganggap
IP tinggi bisa menjawab masa depan yang lebih baik. Padahal
keyakinan gila ini ditunjang oleh iklim kampus untuk
menabukan keinginan-keinginan mahasiswa dalam
berorganisasi, membangun gerakan, dan menabrak
kebuntutan. Birokrasi menyodori formulir untuk tidak
melakukan kegiatan yang mengganggu stabilitas: menjadi
mahasiswa baik yang tidak protes dan menentang segala
kebijakan kampus. Selama ini pendidikan tinggi hanya
berusaha untuk meneguhkan kepatuhan sebagai sebuah
kebijakan, bahkan sekaliber kader HMI kerap dibikin
kehilangan nyali menentang dan terdiam melihat kejanggalan.
Maka dengan ‘berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif
dan kritis’. Lalu dengan ‘memiliki kemampuan teoritis,
mampu memformulasikan apa yang diketahui dan
dirahasiakan’. Kader HMI harus ‘selalu berlaku dan
menghadapi suasana di sekelilingnya dengan penuh
kesadaran’ dan melaksanakan tanggung jawab etis atau
meminjam istilah Paulo Freire: menjadikan pendidikan
sebagai alat perlawanan—tidak beradaptasi, permisif dan
tunduk kepada realitas, melainkan berusaha mengubah
keadaan berdasarkan ideal-ideal yang dicita-citakan.

Sedangkan ‘Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu


pengetahuan sesuai dengan pilihannya’—tentunya tidak
tersekat oleh tawaran ilmu-ilmu dari fakultasnya tapi mampu
mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu-pengetahuan yang

881
bahkan di luar apa yang menjadi konsentrasinya—‘baik
secara teotitis maupun tehknis dan sanggup bekerja secara
ilmiah: bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan
prinsip-prinsip perkembangan’. Itulah mengapa kader HMI
harusnya tidak hanya melakukan analisis wacana diskursif
untuk membaca apa yang ada di permukaan dan berdamai
dengan keadaan, namun juga melakukan analisis wacana
kritis—melihat penyebab kemunduran akademis bukan
sekedar karena kekacauan kurikulum tapi menyangkut
dominasi kapitalisme. Produk yang dihasilkan adalah
‘cultural of positivism’: ilmu yang didiseminasikan kepada
peserta didik adalah ilmu yang mengorientasikan mereka
untuk beradaptasi dengan dunia masyarakat industri dan
mengorbankan aspek critical subjectivity, yaitu kemampuan
untuk melihat dunia secara kritis.541

Peter McLaren mengemukakan tiga dampak kapitalisme


terhadap pendidikan: (1) Hubungan antara kapitalisme dan
pendidikan urban telah menyebabkan praktek-praktek sekolah
lebih mendukung kontrol ekonomi oleh kelas-kelas elit; (2)
Hubungan antara kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah
mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya
bertujuan mendapatkan profit material dibanding untuk
menciptakan kehidupan global yang lebih baik; dan (3)
Perkawinan antara kapitalisme dan pendidikan, kapitalisme
dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi ilmu
pendidikan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan
mengorbankan nilai-nilai keadilan sosial dan martabat

541
Dr. M. Agus Nuryatno, (2008), Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap
Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, Hlm.
57.

882
kemanusiaan. Namun karena pendidikan bukanlah wujud dari
penindasan tapi bertujuan membina kepribadian manusia.
Maka menuntut kader HMI sebagai insan akademis untuk
peka dan peduli. Dalam pandangan kata Freire, pendidikan
kritis-progresif mesti dilakukan dalam melawan kapitalisme
yang bercokol di lingkungan akademis. Sehingga kualitas
insan akademis tidak berhenti hanya pada berpendidikan
tinggi melainkan mendorong kesadaran ideologis yang
diarahkan untuk berkonfrontasi untuk mengenyahkan status-
quo.

Apabila kapitalisme terus dibiarkan menggerogoti dunia


pendidikan maka akan mereduksi lingkungan yang sehat
dalam membina perkembangan akademis. Sudah seharusnya
watak intelektual akademis yang ideologis dicirikan memiliki
keberanian untuk mengekspresikan gagasan-gagasan progresif
dengan cara yang lebih komunikatif sekaligus provokatif.
Sanggup untuk mempertahankan ide-ide alternatif dengan
cara apapun dan tetap memelihara ‘kebebasan akademis’
sebagai landasan keyakinan bersama. Pada titik inilah kampus
menjadi tempat di mana kecurigaan, kekuatiran, kesangsian
pada negara maupun modal disuburkan. Sebab posisi kampus
bukan untuk melahirkan para penguasa, tapi mendidik kaum
pembaharu yang bisa merevolusi sistem sosial dan politik
yang kacau serta beku. Itulah kenapa tujuan insan akademis
harusnya memupuk kebebasan, keberanian dan independensi
kader HMI. Secara ideologis mendorong cara berfikir baru
dan melibatkan diri dalam aktivitas organisasi yang lebih
praksis: melawan kapitalisme pendidikan—tolak kenaikan
UKT (Uang Kuliah Tunggal), mendesak perbaikan fasilitas,

883
mengutuk korupsi birokrasi kampus, dan kerja-kerja
perlawanan lain-lain.

Terlibat dalam soal-soal kemanusiaan akan mengoptimalkan


laju berpikir dan merasa. Karenanya tiap pengalaman baru
yang berhasil diraih, tetap tak boleh membutakan kader HMI
dengan terus-terus menjaga jarak secara kritis. Sebab
kepuasan akan membawa pada kematian ide-ide segar. Untuk
itu dibutuhkan cara agar percikannya terus menjalar, tak
mungkin hanya terus-terus mengikuti kuliah yang sekedar
duduk manis di ruangan. Maka seorang insan akademis
memerlukan diskusi-diskusi, kajian-kajian atau terlibat aktif
dalam setiap forum-forum intelektual dalam menjaga ide-ide
segarnya. Kelak insan akademis HMI akan membentuk dan
mengarahkan kadernya menjadi seorang yang memiliki
keyakinan menolak kemapanan yang menjadi ciri umum
aktivis. Mereka selalu berdiri dalam posisi yang berlawanan
terhadap kelaziman. Berbekal organisasi yang
membangkitkan kepedulian, pendidikan yang memberi
pengetahuan, dan persahabatan pengasah sebagai solidaritas
dalam segala bentuk penidasan yang terjadi dalam dunia
akademisnya. Sekaranglah saatnya dalam tujuan insan
akademis, kader HMI tidak meletakan keberadaannya dalam
pendidikan tinggi sebagai opium penenang dari pelbagai
polemik kemahasiswaan. Tapi berpendidikan artinya
memperjuangkan peran pendidikan sebagai wahana bagi
praksis pembebasan. Berkait ini Paulo Freire pernah berpesan:

Proyek pendidikan diciptakan untuk memberikan


kehidupan dalam kelas dan untuk mempergunakan
pengetahuan dan transformasi sebagai senjata untuk

884
mengubah dunia. Dari perspektif lokasi sosial orang-
orang malang di Bumi, menjadi jelas bahwa
pengetahuan saja, sebagaimana dikehendaki oleh
sekolah, tidak akan mengubah kehidupan. Hanya
konversi pengetahuan menjadi aksi yang dapat
mengubah kehidupan. Ini secara konkret
mendefinisikan makna praktik: gerakan dialektik antara
konversi aksi transformatif ke dalam pengetahuan dan
konversi pengetahuan ke dalam aksi transformatif. 542

Kedua, insan pencipta. ‘Sanggup melihat kemungkinan-


kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada dan
bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang
lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada
(Allah SWT).’ Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan
kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan. Maka
melakukan telaah korektif terhadap NDP mesti diupayakan
oleh HMI secara individual-kader maupun kolektif-
organisatoris.543 Mengingat amanat perubahan atas NDP

542
Tim Redaksi Indopublika, (2017), Che Guevara, Paulo Freire dan
Politik Harapan, Yogyakarta: Penerbit Indopublika, Hlm. 7-8.
543
Menurut Safinuddin dalam kritik terhadap NDP ia menyoroti: (1) “Jadi
untuk memahami Ketuhanan yang Maha Esa dan ajaran-ajarannya,
manusia harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dengan terlebih dahulu
mempercayai kerasulan Muhammad….” Dalam pandangan ini, Tuhan
dikenal lewat makhluknya. Artinya, sebelum mengenal dan percaya
terhadap kebenaran Tuhan sangat bergantung pada kepercayaan terhadap
Rasul-Nya, sementara dalam saat yang sama untuk menjamin kebenaran
berita-berita dari Rasul, syarat utamanya adalah; manusia terlebih dahulu
harus percaya terhadap Tuhan … adalah suatu kerancuan bila masyarakat
mempercayai Tuhan dari pembawa risalah sementara yang menjamin
kebenaran perkataan Nabi dinisbahkan kepada Tuhan yang belum diyakini
secara mutlak … pandangan ini sangat antroposentris, sehingga lemah
sebab kerelatifan tidak mungkin menghasilkan penjelasan tentang
kemutlakan sang Maha Mutlak…; (2) “Dia senantiasa mencari kebenaran
selama perjalanan hidupnya. Kebenaran ini menyatakan diri dan dapat

885
menjadi salah satu poin keputusan Kongres HMI ke-15 di
Medan tahun 1983. Memang pernah diungkapkan Safinuddin:
‘NDP HMI membutuhkan yang namanya perubahan’.
Memandang perkembangan sosio-historis sekarang; nilai-nilai
dasar itu sudah harusnya dilakukan pembaharuan. Senada
dengan pernyataan Nurcholish Madjid bahwa ia sebagai
perumusnya sendiri memberi ruang bagi kader-kader HMI
untuk memperbaharui NDP. Itulah mengapa ajaran NDP yang
menekankan metode mengenal Islam dengan terlebih dahulu
mengenal kerasulan Muhammad SAW dapat dirubah; bisa
saja dengan pendekatan-pendekatan untuk mengenal Islam
dari Ali Syari’ati: pertama, mengenal Allah dan
membandingkannya dengan obyek-obyek penyembahan
dalam agama lain; kedua, mengenal kitab Al-Qur’an dan
membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya (atau
kitab-kitab yang dikatakan samawi); ketiga, mengenal Nabi
Muhammad saw dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh
pembaharu agung lainnya yang eksis sepanjang sejarah; dan

ditemukan di alam serta sejarah umat manusia. Ilmu pengetahuan adalah


alat untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran itu.” Nampak
dalam pernyataan itu ketidaktegasan cakupan dan ketegorisasi ilmu
pengetahuan utamanya keberpihakan kepada paradigma keilmuan dari
sistem epistemologis yang menyelamatkan. Di pahami bahwa ilmu
pengetahuan yang membangun zaman modern terdiri atas paradigma
material—meminjam istilah Muthahhari—yang sejalan dengan filosof-
filosof sekaliber Al-Ghazali—bahwa paradima ilmiah yang menyandarkan
kebenaran terhadap eksperimentasi dan percobaan-percobaan laboratorium
tidak cukup sempurna untuk menjelaskan alam dan kemanusiaan—asal-usul
dan tempat kembali—secara mutlak…; (3) “Bidang iman dan
pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedang ilmu pengetahuan
menjadi wewenang manusia untuk mengusahakannya dan
mengumpulkannya di dunia ini.” Pernyataan ini mengandung gagasan
sekularisme yang merupaakan akar perkembaangan keilmuan modern…
(Lihat Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi
Sosial, Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm.110).

886
keempat, mengenal tokoh-tokoh Islam terkemuka dan
membandingkannya dengan figur-figur menonjol dari agama-
agama dan aliran-aliran pemikiran lainnya.544

Tujuan insan pencipta pun sudah seharusnya mendorong


kader HMI untuk melakukan eksodus pemikiran, termasuk
dalam statusnya sebagai mahasiswa dalam menghadapi
kegiatan kuliah yang tercerabut dari akar sosialnya. Apalagi
sudah bukan sekedar negara yang mengontrol kampus karena
kekuatan modal justru telah mengendalikan aktivitas negara
dan akademik. Hal ini menuntut untuk menciptakan langkah
alternatif sebagai upaya perlawanan. Lantaran kini
pengetahuan yang tertanan sudah diorientasikan pada
terpenuhinya pasar tenaga kerja yang bergerak secepat
sirkulusasi kekuatan modal. Keadaan yang membuat gagasan
padam akibat selera pasar. Ditandai oleh pengetahuan yang
menekankan kemampuan operasional daripada kesanggupan
kritik. Inilah yang seharusnya mendorong kader-kader HMI
mencipta iklim-iklim kritik: rekonstruktif, dekonstruktif
bahkan destruktif terhadap birokrasi kampus. Jap Ki Hien
pernah berkata: ‘pernyataan para mahasiswa itu bukan
pernyataan politik, melainkan suatu pernyataan etik’. Untuk
itu haruslah dibangun forum-forum evaluasi terhadap pelbagai
kebijakan kampus: diskusi dan kajian isu yang rutin.
Memanfaatkan kantin dan pelbagai tempat lainnya untuk
tumbuh dan berseminya pikiran-pikiran yang progresif-
revolusioner. Bila perlu mengadakan lomba karya tulis
dengan tema melucuti salah urus birokrasi kampus.

544
Ali Syar’ati, (2013), Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam dalam
Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: RausyanFikr
Institute, Hlm. 54.

887
Bahkan kader HMI bisa membuat makalah atau tulisan opini
di koran dan media sosial yang menganalisis secara struktur
bau amis dunia Perguruan Tinggi. Melakukan riset terhadap
sistem birokrasi yang amburadul. Menyebarkan selebaran
yang berisi meme atau quotes ekspresif dan atraktif sebagai
bentuk propaganda kebobrokan kehidupan akademis. Lalu
kader-kader yang sering dipanggil abang membentuk adik-
adiknya menjadi pribadi-pribadi berjiwa pergerakan: aktif
memberikan tekanan-tekanan terhadap pelbagai kejanggalan.
Tentu semua ini ‘bersifat independen, terbuka, tidak isolatif,
insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi
kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang
indah-indah.’ Maka bekerja sama dengan elemen mahasiswa
lainnya merupakan keniscayaan. Sebab pergerakan butuh
persatuan dalam menggalang gerakan. Sehingga tidak boleh
ada sindrom-sindrom pemecah belah kesatuan. Apalagi
semacam politik identitas yang membuat tak bisa bertemu
dengan organisasi kemahasiswaan lainnya. Tapi ‘dengan
memiliki kemampuan akademis dan mampu melaksanakan
kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam’.

Mungkin dengan cara itulah nilai-nilai prinsipil Islam—


keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan—mesti
diimplementasikan dalam susanana koeksistensi menggalang
solidaritas perjuangan bersama organisasi dan mahasiswa-
mahasiswa lainnya. Semua ini dilakukan demi bangkit
kembalinya gerakan mahasiswa yang sadar akan tanggung
jawab kesejarahannya. Namun apabila persoalan identitas
menjadi begitu pelik, maka sebagai insan pencipta tugas HMI
adalah mendorong tampilnya identitas kolektif untuk tampil
ke permukaan dengan berdiri secara antagonis dengan

888
kekuasaan: berhadap-hadapan sebagai ‘kami’ melawan
‘mereka’. Identitas ini bukan sebatas peneguhan eksistensial
untuk menciptakan dan menunjukkan kembali ‘siapa’ gerakan
mahasiswa sebenarnya, tapi terutama untuk mendapatkan
kekuatan besar dalam menghadapi kapitalisme dan negara.
Dalam dunia gerakan, kekuatan ini bernama persatuan. Hanya
melalui persatuan maka elemen gerakan di mana-mana tidak
mudah dipukul mundur oleh kekuasaan. Baviskar
menjelaskan:

Secara internal semuanya harus tampak seragam dan


satu suara menentang negara [dan kapitalisme]. Bila
representasi yang satu-padu ini tidak dapat diciptakan,
gerakan perlawanan jadi lebih rentang terhadap
tantangan dan represi kekerasan oleh negara.

Ketiga, insan pengabdi. ‘Ikhlas dan sanggup berkarya demi


kepentingan umat dan bangsa’ merupakan sikap yang harus
terus-menerus menjiwai perjuangan kader HMI. Sadar
membawa tugas insan pengabdi, bukan hanya sanggup
membuat dirinya baik tetapi juga membuat kondisi
sekelilingnya baik’. Sehingga ‘Insan akademis, pencipta dan
pengabdi adalah insan yang bersungguh-sungguh
mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk
kepentingan umat dan bangsa’. Untuk itu HMI yang notabene
menghimpun kaum muda tak boleh mati rasa. Diucap oleh
Pramodya Ananta Toer: ‘sejarah dunia adalah sejarah orang
muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa’.
Maka menjadi insan pengabdi menuntut memerankan sosok
seorang Minke seperti dalam Tetralogi Pram. Prototipe
seorang anak muda yang bergulat dengan masa lampau dan
jadi juru bicara masa depan—berjumpa dengan kaum Eropa

889
maju, modern dan kejam—mendorong terbentuknya sikap
anti-kolonial yang mendorong perlawanan dan perjuangan
kemanusiaan. Karenanya juga tujuan sebagai pengabdi
mengharuskan kader HMI berkalang dengan banyak persoalan
kemanusiaan: keadilan yang dicoreng, kekerasan yang ditebas
hingga kesejahteraan yang sebatas retorika mesti
dipermasalahkan. Ini semua mesti menjadi hal-hal yang
mengharuskan kader mendedikasikan perjuangannya untuk
merubah realitas demikian. Pengabdian semacam itu bukan
hanya mengurus organisasi tapi juga mampu merambah ke
spektrum keumatan, kebangsaan, dan kerakyatan tanpa tunggu
jadi alumni atau selesai wisuda.

Itulah mengapa HMI membutuhkan upaya aktif dan terencana


dalam memperluas pengaruh gerakan, baik melalui produksi
dan reproduksi pengetahuan serta aksi yang terus-menerus.
Sudah waktunya kader-kader himpunan mengerti bagaimana
kampus hari-hari ini mencoba memutus hubungan mahasiswa
dengan massa. Dalam kondisi inilah dibutuhkan kemampuan
membangun persatuan dengan pelbagai elemen progresif yang
tersebar di mana-mana. Sebab perubahan tak bisa dilakukan
oleh person-person cair, melainkan oleh massa-manusia yang
bersekutu dan terorganisir. Marx pernah berkata: ‘motor
penggerak perubahan adalah pertentangan kelas’. Maka HMI
yang menjadikan Islam sebagai ideologi mesti membangun
kontak dengan seluruh individu-massa kelas tertindas.
Melancarkan gerakan seperti ini merupakan bentuk
pengabdian sebagai manifestasi dari perjuangan ideologis.
Tujuannya jelas: agar mampu melaksankan transformasi
dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan dengan melibatkan

890
dua kekuatan penting sepanjang sejarah: proletariat dan kaum
miskin. Syari’ati pernah menjelaskan:

Islam adalah ajaran sosial pertama yang mengandalkan


massa sebagai faktor dasar yang sadar dalam
menentukan sejarah dan masyarakat. Bukan mereka
yang terpilih sebagaimana pendapat Nietzsche. Lain
para aristokrat dan ningrat sebagaimana kata Plato. Tak
juga tokoh-tokoh besarnya Carlyle dan Emerson. Tidak
pula mereka yang berdarah biru sebagaimana kata
Alexis Carel. Apalagi hanya pendeta dan intelektual.
Melainkan massa.

Dengan pernyataan itulah Syari’ati rasa-rasanya bukan hanya


mendorong kader-kader himpunan memulai perjuangan
ideologis. Melainkan pula memberikan kritik konstruktif
terhadap bagian NDP HMI yang berbunyi: ‘Perbuatan
manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut
sejarah. Dunia adalah wadah bagi sejarah, di mana manusia
menjadi pemilik atau rajanya’.545 Di sini mesti ditambahkan
pencipta perubahan dalam sejarah adalah massa-rakyat tidak
sekedar manusia secara personal. Maka pemilik sejarah
bukanlah individu manusia tapi umat manusia secara
menyeluruh.546 Pandang tersebut sangatlah penting bagi

545
Lihat NDP HMI dalam Kongres HMI di Ambon, (14-27 Februari 2018),
Hasil-Hasil Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam Meneguhkan
Kebangsaan Wujudkan Indonesia Berkeadilan, Jakarta: Penerbit PB HMI.
546
Menurut ajaran Islam, filsafat sejarah adalah berdasarkan semacam
determinisme historis tertentu. Sejarah adalah aliran peristiwa yang
berkesinambungan, dan seperti halnya manusia sendiri, di dalamnya
terkandung kontradiksi dialektis, suatu pertarungan konstan antara dua
anasir yang berlawanan yang bermula sejak kejadian manusia. Pertarungan
itu berlangsung segenap tempat dan waktu, dan jumlah totalnya itulah yang
merupakan sejarah. Jadi sejarah ialah gerakan umat manusia sepanjang alur

891
perjuangan organisasi: supaya kelak kader HMI dan
alumninya tidak semata mengupayakan perubahan mulai dari
atas—membangun hubungan kooperatif, akomodatif, dan
kompromis dengan kelas-kelas penguasa di pranata-pranata
kenegaraan. Sangat keliru jika HMI mengamini perubahan
hanya bisa tercapai ketika berada di puncak kepemimpinan.
Pandangan demikian justru menderivasikan bahwa motor
penggerak sejarah adalah seorang tokoh.

Menganut pandangan yang konservatif seperti itu malah akan


mendorong para aktivis HMI berbondong-bondong
mendekati, menduduki dan mempertahankan status-quo.
Padahal pencipta perubahan ialah massa-rakyat itu sendiri,
bukan segelintir individu atau kelompok pemegang
kekuasaan. Bahkan nabi sekalipun tidak berwenang
menciptakan perubahan, namun dia cuma menjadi aktor
sejarah—sementara penciptanya adalah massa rakyat. Kata
“manusia” (an-nas) memiliki makna yang mendalam dan arti
yang jelas dalam Islam. Hanya manusia secara keseluruhan
yang merupakan wakil-wakil dari Allah dan “keluarga”-Nya
(al-nas ‘iyalu Allah). Qur’an berawal dari nama Allah dan
berakhir dengan nama manusia. Ka’bah adalah rumah Allah,
tetapi Qur’an menyebutnya sebagai “rumah manusia” dan
“rumah bebas” (a1-bayt al-‘atiq)547 karena berlawanan
dengan rumah-rumah lain yang berlawanan dalam ikatan
kepemilikan pribadi. Terhadap penafsiran tersebut, Ali

waktu (Lihat Dr. Ali Syari’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas Sebuah
Kajian Sosiologi Islam, Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda, Hlm. 89).
547
Ayat terkait, “…dan melakukan thawaf sekeliling rumah manusia
(Baitullah),” (QS 22:29) dan “…kemudian tempat penyembelihannya
adfalah di sekitar Baitul ‘Atiq (Baitullah),” (QS 22:33).

892
Syari’ati menjelaskan begini: ‘kita melihat di sini bahwa kata
al-nas tidak menunjukkan sekedar kumpulan individu-
individu. Sebaliknya, kata tersebut memiliki pengertian
masyarakat. Seluruh masyarakat yang telah eksis sepanjang
sejarah, apakah mereka telah didefinisikan dalam istilah-
istilah nasional, politik ataukah ekonomi, telah terbangun
dalam sistem kontradiksi, sebuah kontradiksi yang telah eksis
di jantungnya. Dalam setiap masyarakat kelas, dua kelas yang
bermusuhan dan bertentangan telah eksis, di satu sisi: raja,
pemilik dan artistokrasi. Di sisi lain: Allah548 dan manusia
(massa-rakyat yang tertindas)’.549 Jika sepanjang sejarah umat
manusia hanya ada dua struktur—penindas dan tertindas,
setiap masa kader himpunan bertanggung jawab untuk
menentukan sikap: di mana harus berpihak dalam pertarungan
abadi antara dua kutub sayap masyarakat tersebut? Syari’ati
menulis secara provokatif:

Kita tidak boleh menjadi penonton. Kita percaya bahwa


ada semacam determinisme sejarah. Tetapi kita pun
percaya akan kebebasan pribadi serta

548
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik….” (QS
64:17) jelas bahwa yang dimaksud dengan Allah adalah sesungguhnya
“manusia” karena Allah tidak membutuhkan pinjaman apapun dari kamu.
Oleh karena itu dalam urusan-urusan masyarakat, semuanya berkenaan
dengan sistem sosial, tetapi tidak dalam persoalan-persoalan sistem
keyakinan seperti kosmos, kata-kata al-nas dan Allah terdapat besama-
sama. Dengan demikian, ketika dikatakan, “kekuasaan milik Allah”,
maknanya adalah bahwa kekuasaan milik manusia, bukan milik orang-
orang yang menyatakan diri mereka sebagai wakil-wakil atau putra-putra
Tuhan, sebagai Tuhan sendiri, atau sebagai salah satu dari kerabat dekat-
Nya. (Lihat Ali Syar’ati, (2013), Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam
dalam Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta:
RausyanFikr Institute, Hlm. 172).
549
Ibid, Hlm. 173.

893
pertanggungjawaban manusiawinya, yang merupakan
inti proses determinisme sejarah … sebagai manusia
pribadi harus memilih apakah ia akan bergerak maju
bersama sejarah serta mempercepat langkah mantapnya
dengan kekuatan ilmu pengetahuan, atau tinggal masa
bodoh, menjadi egois dan oportunis di hadapan sejarah,
dan dilindas roda sejarah.550

Dalam menempuh perjuangan ideologis, maka sekarang sudah


seharusnya HMI menempuh gerakan pembebasan. Maka
memperlebar spektrum pergerakan sampai ke kalangan rakyat
kecil dan tertindas menjadi suatu keharusan. Tak syak lagi
kelas pekerja dan kaum miskin adalah elemen yang harus
disadarkan. Buruh hari-hari ini sangat butuh diperhatikan,
terutama ketika ekspansi dan operasi pasar menghela di mana-
mana. Mereka diperas dengan cara keji dan dipotong pelbagai
haknya. Nasib yang tidak kalah mengenaskan adalah orang-
orang miskin. Mereka sering dikambinghitamkan pemerintah
untuk memotong banyak subsidi. Bahkan menjadi lapisan
yang kini marak digunakan sebagai alat kampanye, sasaran
sumbangan politisi, dan tempat cuci dosa para ulama bojuis
dengan para ningrat lainnya. Sebagai organisasi yang
menampung kaum intelektual, keberadaan HMI sewajarnya
mengabdikan diri pada mereka; bukan hanya diraih
dukungannya tapi juga mampu membangun hubungan yang
intensif serta aktif dengan kedua elemen penggerak sejarah
itu.

Menuju terwujudnya insan pengabdi mengantarkan kader


untuk belajar mengorganisir massa yang miskin dan tertindas.

550
Dr. Ali Syari’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas Sebuah Kajian
Sosiologi Islam, Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda, Hlm. 99

894
Dengan pondasinya adalah menguatkan dasar gerakan:
bersekutu dengan kekuatan-kekuatan progresif di kampus,
baik itu organisasi mahasiswa internal maupun eksternal
kampus, dosen, karyawan kantin, penjaga atau satpam kampus
bahkan sekalipun. Pasti ada di antara mereka yang masih peka
dan bisa merasakan penderitaan rakyat kecil di sekitarnya.
Sehingga HMI dan kader-kadernya mampu memercikan api
gerakan yang dimulai dari dalam lingkungan Perguruan
Tinggi. Memang langkah sebagai insane pengabdi
memerlukan metode cemerlang. Eko Prasetyo
menganjurkannya dengan tiga tahapan: menanam benih,
merawat benih dan memanen hasil. 551

Pertama, menanam benih. Tidak hanya membutuhkan tempat


tapi juga waktu yang tepat. Mengharuskan kader HMI terlebih
dahulu menjangkau pada mahasiswa-mahasiswa di semester-
semester awal sebagai sasaran penyadaran atas tidak sehatnya
iklim perkuliahan. Di mulai dari meluncurkan perdebatan
terbuka dalam forum-forum perkualiahan. Lalu tiap-tiap kader
HMI yang berkecimpung dalam lembaga internal kampus
menyebarkan isu untuk kemudian dilakukan kajian bersama
seluruh elemen gerakan di kampus. Jika ada kader yang
terlibat menjadi panitia ospek mesti memberikan simpati dan
meyakinkan mahasiswa baru bahwa kampus sekarang tengah
mengalami sindrom. Selanjutnya kader di sini butuh
kampanye dan propaganda yang aktif—mesti mengemban
tugas propagandis: meyakinkan dan memberikan tafsiran.
Menyebarkan selebaran-selebaran berisi realitas yang perlu

551
Eko Prasetyo, (2015), Bangkitlah Gerakan Mahasiswa, Malang: Intrans
Publishing, Hlm 185-187.

895
sama-sama diubah. Kedua, merawat benih. Situasi kampus
yang terus mengawasi dalam membangkitkan kesadaran kritis
adalah tantangan paling dekat. Maka kader-kader harus
menyukai tantangan, bisa menghidupkan pengaruh dan
popular. Fase ini sangat berguna dalam menanam loyalitas
dan mempengaruhi lingkungan. Kegiatan yang dilakukan
bukan sekedar diskusi, seminar atau bedah buku melainkan
juga ‘mengkaryakan’ aktivis untuk kerja-kerja langsung di
sektor rakyat. Terutama massa miskin dan buruh. Tak hanya
membangun basis dengan melakukan advokasi,
pendampingan melainkan juga merintis riset-riset perlawanan
demi semakin menguatkan kesadaran bahwa pengetahuan itu
tersebar di tengah-tengah massa dan mengendap dalam
realitas. Ketiga, memanen hasil. Bisa diawali dengan
‘mengembangkan’ jaringan dan isu gerakan. Bukan hanya
melucuti kebijakan birokrasi kampus dan rezim melainkan
juga mendorong secara agresif gagasan politik552 alternatif.
Sebuah gagasan yang sedini mungkin memberi ‘tafsiran’ baru
atas model kekuasaan seperti apa yang cocok di masa
mendatang: sistem politik yang tidak atas harapan palsu tapi
kepentingan praktis mahasiswa, buruh dan kaum miskin
beserta seluruh rakyat tertindas. 553

552
Politik yang dimaksudkan di sini merupakan HMI yang berfungsi
sebagai political force atau sebagai mahluk zoon politicon seperti kata
Aristoteles, dan mesti dibarengi dengan moral force seorang kader HMI.
553
Menurut Bang Eko, Tesis dasar proposal itu mesti berkaca pada sejarah
pertarungan rezim dengan kekuatan progresif yang muncul di awal Orde
Baru. Kemenangan serdadu dengan bantuan modal internasional mendorong
lahirnya ‘kediktatoran borjuis’ yang bekerja dengan cara sadis. Jika gerakan
mahasiswa yang mendorong revolusi demokratis pada tahun 1998 di mana
hasilnya sejauh-jauhnya hanya kemenangan demokrasi liberal: itu semua
karena ‘ketidakmatangan’ gerakan karena mendorong agenda perubahan.
Tanpa pemimpin yang kuat, tanpa agenda yang jelas, tanpa organisasi yang

896
Keempat, insan yang bernafaskan Islam. ‘Islam yang
menjiwai dan memberi pedoman pola pikir dan pola lakunya
tanpa memakai merek Islam. Islam akan menjadi pedoman
dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai
universal Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan
menjiwai karyanya. Ajaran Islam telah berhasil membentuk
“Unity Personality” dalam dirinya. Nafas Islam telah
membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split
personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai
warga negara dan dirinya sebagai muslim’. 554 Maka untuk
mencapai tujuan ini HMI mesti tidak menghadapi negara
sebagaimana cara kerja modal. Menggantungkan peran pada
negara lazim dilakukan oleh kekuatan modal, karena keaktifan
dan kewenangan negara dalam melakukan restrukturisasi
ekonomi. Meiksins Wood (1998) menyatakan, modal
membutuhkan negara untuk membuka jalan menuju ekonomi
global, entah dengan melakukan kebijakan neo-liberal atau
dengan cara-cara lain. Wajar jika muncul kesimpulan, ‘tidak

berdisiplin. Amat mudah kemudian, gerakan mahasiswa melakukan


kompromi dengan kelas borjuis sehingga tahapan perubahan radikal
terhenti. Efek yang paling dramatis adalah likuiditas total semua kelompok
progresif untuk tunduk pada rezim liberal (Lihat Eko Prasetyo, (2015),
Bangkitlah Gerakan Mahasiswa, Malang: Intrans Publishing, Hlm 187-
188).
554
Seperti halnya kader-kader HMI di Balikpapan yang dengan semangat
Islam ideologinya telah mengerjakan program pendampingan secara
antusias membela kepentingan masyarakat nelayan. Di Makassar keadaan
yang sama dilakukan kader HMI, bekerja di sektor basis bahkan tanpa ragu
melindungi pedagang kaki lima. Demo-demo dilakukan bahkan tanpa
instruksi dari PB sekalipun: begitupun dengan kawan-kawan HMI di
Maluku demi membela hak petani kopra mereka menggelar parlemen
jalanan tanpa harus ada instruksi dari PB HMI. hal ini sejalan dengan Hadis
riwayat al-Hakim dan ath-Thabrani: barang siapa berjalan untuk memenuhi
keperluan saudaranya pada satu saat di siang hari, ia berhasil memenuhinya
atau tidak berhasil. Itu lebih baik baginya daripada I’tikaf dua bulan.

897
ada negara yang mampu memperjuangkan kebijakan ekonomi
yang betul-betul tidak disukai oleh para pemilik modal’.555

Dengan semangat ideologi Islam yang berpatut dengan tujuan


HMI, kader-kader tidak boleh menyontek pada apa yang
dikerjakan oleh instrumen modal: memanfaatkan negara bagi
terakomodasinya kepentingan-kepentingan yang bisa
diatasnamakan agama. Komodifikasi agama merupakan
tantangan aktual yang dihadapi oleh organisasi-organisasi
Islam. Soalnya bertaut dengan kepentingan modal ayat-ayat
ilahiah sekalipun gampang sekali menjadi komoditas dalam
pranata kenegaraan. Memang negara telah lama keluar dari
amanah konstitusi, terutama tentang penegakkan keadilan.
Keadilan sosial merupakan norma yang ada dalam UUD 1945
semestinya dibaca dua arah. Ke arah positif artinya adalah
kewajiban utama siapapun yang memegang kekuasaan negara
untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat. Ke arah
negatif ialah kewajiban utama siapa pun yang memegang
kekuasaan negara untuk mencegah tumbuh dan menjalarnya
ketidakadilan. Nampak dua aspek ini sudah mulai luntur.
Keadilan hanya onggokan yang sesekali muncul dalam aturan,
ruang kuliah atau pidato atau politisi. Realitas sosial semacam
ini merupakan cermin dari bagaimana logika ekonomi pasar
bebas memakan institusi sosial. Sumber kekuasaan kini bukan
lagi di tangan negara melainkan para pemodal pengakumulasi
kekayaan secara banal. Mengutip istilah Joel Hellman, yang
melalukan survey di 20 negara Eropa Timur, menyebut gejala
ini sebagai state capture, siasat berbisnis dengan menyeret

555
Vedi R. Hadiz, (2004), Menggugat Otoritarianisme di Asia Tenggara,
Perbandingan dan Pertautan Indonesia dan Malaysia, Bogor: Kepustakaan
Populer Gramedia, Hlm. 64.

898
aparatur negara ke dalam korupsi melalui suap dan pembelian
peraturan.556

Menghadapi keadaan seperti itu kader-kader himpunan mesti


membebaskan agama dari karantina dan hegemoni pasar.
Lebih-lebih pada kegiatan haji yang berujung pada korupsi.
Maka ajaran Islam sebagai ideologi perjuangan yang
membebaskan harus dibenturkan dengan realitas yang
pluralistik dan sistem sosial yang sedang mengalami
pergeseran: alam ekonomi pasar menjelaskan tata sosial
dengan bahasa ekonomi yang sederhana, bagaimana
kemakmuran didapatkan jika masing-masing orang
dibebaskan untuk berusaha. Aspek kebebasan ini disuntukan
melalui pemahaman agama yang ganjil: kalau Islam
sesungguhnya cocok dengan demokrasi liberal. Secara diam-
diam Islam pun mengakui sistem ekonomi pasar yang
kapitalistik. Seperti diadakannya Duta Kohati yang sama
sekali tak menyentuh keresahan rakyat miskin dan tertindas,
atau diskusi-diskusi yang kerap kali berkeliling-keliling
hingga terjebak pada tataran teologi ketimbang aksi riil di
lapangan dalam bentuk menyadarkan rakyat akan
permasalahan sistemik dan struktural yang dihadapinya.

556
Lihatlah bagaimana kontroversialnya UU MD3 yang mengesankan
bahwa DPR anti kritik dan bebas berbuat menyimpang, apalagi setelah
MKD tidak hanya mengurus soal moral tapi juga berhak mengadili masalah
publik. Mereka juga dengan aturan tersebut bisa memanggil paksa setiap
orang dengan bantuan polisi. Dalam buku Eko Prseto juga, bahwa tiba-tiba
DPR menaikkan pendapatannya sendiri, di tengah musibah beruntun yang
menimpah rakyat. Kalau dulu pendapatan DPR ditambah berbagai
tunjangan, mencapai angka Rp 19,8 juta dan untuk Ketua DPR Rp 33 juta
kini mengalami kenaikan drastis:anggota Rp 38 juta dan pimpinan menjadi
Rp 65 juta (Lihat Eko Prasetyo, (2005), Assalamu’alaikum: Islam Itu
Agama Perlawanan, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 40).

899
Dalam kondisi ini pilar agama lama-lama hanya akan
mengurus pembinaan akhlak pribadi saja, bukan
membicarakan soal-soal mendesak tatanan dunia.

Dengan model keberagaan demikia maka Islam akhirnya


tampil sangat egoistis karena tak mungkin ada perubahan
sosail yang bisa terpahat jika berkubang pada pembentukan
pribadi mulia semata. Apalagi kemuliaan seorang pribadi
kader HMI tercantum bagaimana dirinya melatih serta
mendisiplinkan diri pada senior, silaturahmi kiri-kanan ke
alumni yang memangku jabatan publik, terlibat aktivitas
serimonial, ikut jadi panitia di setiap kegiatan, berlomba-
lomba mengejar IP dan wisuda tepat waktu, hingga berebut
jabatan di internal dan eksternal organisasi. Terus-menerus
mencangkokan pendekatan fungsional seperti ini dapat
berbahaya buat pemahaman idiologi organisasi. Bisa-bisa
Islam merosot persis apa Etika Protestan. Sebuah etika yang
sangat cocok dan mendorong pembentukan sistem ekonomi
kapitalistik: ethosnya mengenalkan pentingnya ajaran dan
latihan untuk bekerja keras, memandang persolan politik
sebagai masalah sederhana, asal semuanya berbuat baik
selesailah semua urusan. Padahal perbuatan baik seorang
majikan tentu beda dengan perbuatan baik seorang karyawan
atau pekerja. Ketika pemeluk dibujuk untuk tidak
mempertanyakan akses dan sistem sosial di sekitarnya, maka
saat itulah ajaran pembebsan Islam meluncur untuk
meneguhkan status-quo ekonomi-politik yang ada. Hatta:
jadilah kemiskinan dipelihara hingga orang miskin selalu
menjadi sasaran praktek amal saleh—baik berujud pemberian
zakat, sedekah atau infak. Walhasil, Islam hanya bisa
mengasihani orang miskin, bukan membelanya.

900
Itulah mengapa HMI harus memutuskan tali kasih sayang
yang paradoksal bagaikan opium itu: si kaya dan si miskin
diselimuti ilusi kebaikan dan kecintaan yang diikat oleh rasa
iba—yang kaya santuni orang miskin dan si miskin merasa
beruntung karena dikasihani orang kaya. Kapitalisme memang
punya kemampuan untuk memelihara kaum miskin agar tidak
marah. Banyak lembaga yang kemudian muncul dan
menyediakan jasa khusus dalam menyalurkan sedekah.
Sumbangan ini diambil dari sebagian kekayaan para jutawan
yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin,
terutama berkait pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain ikut
serta sejumlah gerakan Islam menjadi motor penggerak—
mungkin pula HMI, yang selama ini sudah terbukti cakap dan
mahir memelihara sistem sosial kapitalistik. Didekati dengan
cara demikian maka kelompok miskin tidak akan menjadi
gerakan radikal yang marah terhadap sistem produksi
eksploitatif. Tapi orang miskin menjadi kelas sosial yang
dipelihara dan dikelola dengan mahir oleh sistem agama. Para
aparat agama, khususnya kaum rohaniawan menjadi
penyangga utama yang membuat kelompok miskin menjadi
kelas sosial yang benar-benar terlindung. Jasa Islam dalam
sistem sosial tersebut adalah meredam ketegangan sosial yang
punya peluang untuk muncul. Mesin keagamaan diusahkan
tetap bergerak menampung, memelihara dan memberikan
jaminan ‘rasa aman’ bagi kaum kaya. 557

Menghadapi kemunduran gerakan kegamaan seperti itu


seharusnya kader HMI mulai berbenah: persenjatai diri
dengan Islam ideologinya Ali Syari’ati, Hasan Hanafi, Eko

557
Ibid, Hlm. 99-100.

901
Prasetyo, Muhammad Al-Fayyadl, Asghar Ali Enggineer,
Murtadha Muthhahari, atau Haji Misbach. Pemikiran mereka
semua melihat ketidakadilan bukan lantaran takdir, tapi
permasalahan struktur dalam sebuah sistem yang menindas.
Maka perlu dilakukan usaha kecil-kecilan untuk
mengembangkan bibit perlawanan. Seperti dikatakan Scott
dalam studinya mengenai gerakan petani: ‘perlawanan itu
merupakan awal dari pengingkisan terhadap struktur
kekuasaan dan dominasi wacana yang tidak adil’. Fase untuk
menerjang kekuasaan dominan adalah dengan
melipatgandakan ruang-ruang pendidikan politik, bahkan
sampai di luar-luar kampus demi penyadaran rakyat dari
kejahatan aparatus ideologis negara yang terus menghegemoni
dan mendominasi.

Sudah waktunya gerakan HMI mendorong aksi pada level


pelucutan setiap konsentrasi kebijakan apapun. Sejauh ini
‘rantai akumulasi’ kapital sudah menyebar ke mana-mana.
Kader-kader himpunan mesti sadar bahwa tiap upaya
mempengaruhi medan produksi pasti akan berpengaruh
terhadap sistem mata rantai akumulasi. Itu ditujukan dari
bagaimana tanggapan brutalitas aparat yang selama ini
menerjang gerakan rakyat sampai berlinang keringat, air mata,
bahkan darah yang terus bercucur hingga di balik jeruji-jeruji
kantor polisi. Kini menjadi insan yang bernafaskan Islam
sudah seharusnya mendorong kader-kader himpunan untuk
memproklamasikan ideal-ideal luhurnya di tengah massa
rakyat—seperti halnya Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad saw
dan Imam Husein yang berjuang menyadarkan dan menyulut
perlawanan mereka atas penindasan-penindasan yang
dihadapinya. Syari’ati mengatakan:

902
…mereka ibarat bunga api yang dipijarkan oleh
benturan batu; mereka menyadarkan pikiran yang
tumpul, membangkitkan semangat bagi kehendak dan
gerakan pada abad yang mati; mereka memacu getar,
hidup dan darah pada orang-orang yang lembam dalam
pikiran, agama dan ritus mereka; mereka datang untuk
mengubah jalan sejarah dan kemudian mengarahkannya
menuju tujuan-tujuan lain.

Hanya dengan menempuh perjuangan kelas Islam yang


menjadi ideologi HMI dapat tumbuh dan berjaya bersama
rakyat yang selama ini didera penderitaan, rasa sakit dan
kemelaratan. Sekarang ideologi tersebut harus
memanifestasikan dirinya sebagai suatu risalah masa lampau
yang dihidupkan kembali untuk mendorong orang-orang yang
terlucuti, bodoh dan melarat bangkit menuntut hak dan
identitasnya sebagai manusia merdeka. Dalam situasi
menyalakan api perubahan, kader HMI dapat menjadi titik
awal yang paling efektif bagi perjuangan ideologis tetapi
massa-rakyatlah yang mewujudkannya dalam tindakan
mereka. Maka sekaranglah saatnya setiap gerakan dan
pergerakan HMI mengibarkan Islam bukan sebagai budaya
yang memacu kemunculan ahli-ahli teologi, melainkan Islam
sebagai ideologi yang memacu hadirnya mujahid-mujahid
terbaru. Dibesarkan oleh organisasi seperti ini maka di masa
depan anak-anak muda himpunan tidak ada lagi yang
mengikuti jejak orang-orang seperti Aristoteles dan Plato—
pada pengembangan-pengembangan filsafat, atau Nurcholish
Madjid dan Ahmad Wahib—dalam tradisi sekolah-sekolah
teologis; tetapi menyitir kata Syari’ati melahirkan ideolog
dalam jubah Abu Dzar! Menjadi seorang ideologi berarti
membawa mandat menguak unsur-unsur revolusioner dalam

903
agama, dan menjelaskan pokok-pokok peraturan antara agama
dan revolusi. Singkatnya, sebagaimana ucap Hasan Hanafi—
memaknai agama sebagai revolusi:

…agama menjadi landasan dan revolusi adalah tuntutan


zaman, sebagaimana para filsuf muslim pendahulu kita
mengupayakan pertautan antara filsafat (al-hikmah)
yang merupakan keharusan zaman dengan syari’at
sebagai landasan. Upaya ini merupakan kerja natural
untuk mengaktualisasikan vitalitas peradaban Islam dan
kelangsungan di dalam sejarah.

Kerja mempertautkan agama dan revolusi bukanlah sesuatu


yang asing dan latah. Agama adalah revolusi itu sendiri, dan
para nabi merupakan revolusioner pembaru sejati.558 Ibrahim
adalah cerminan di mana akal menundukan tradisi-tradisi
buta; revolusi tauhid melawan berhala-berhala. Yusuf
melakukan revolusi kesadaran melawan naluri seksual dan
kemewahan istana Zulaikha. Musa merefleksikan revolusi
pembebasan melawan ototriterianisme. Isa adalah contoh
revolusi ruh atas dominasi materialisme. Dan Muhammad
SAW merupakan teladan bagi kaum papa, hamba sahaya, dan
komunitas tertindas berhadapan dengan para konglomerat, elit
Quraisy dan gembong-gembongnya dalam perjuangan
menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih,
persaudaraan dan egaliter. HMI yang memancang Islam
sebagai ideologi perjuangannya mesti mengambil inspirasi
gerakan dari para nabi Islam. Qur’an menggambarkan
kenabian sebagai revolusi memberantas dekadensi moral dan

558
Pembaru di sini ialah merupakan para pembaru yang dalam pandangan
Ali Syari’ati adalah merupakan pencetus revolusi. Tidaklah evolutif dan
anti-revolusi.

904
sosial, dengan berbagai resiko yang dihadapi: penganiayaan,
penyiksaan, pemenjaraan dan pembunuhan.

Dalam konteks revolusi itulah ajaran tauhid mempunyai


fungsi praktis: melahirkan keteguhan perilaku dan sistem
keyakinan yang mengimplikasikan suatu tujuan transformasi
kehidupan manusia dan sistem ekonomi-politik. Tidak ada
nabi yang datang mengokohkan status quo karena gerak
kenabian dalam sejarah selalu merupakan gerak progresif bagi
perubahan sosial secara keseluruhan, terlebih dalam dimensi
keyakinan dan moralitas umat manusia.559 Singkatnya, dari
gairah perlawanan nabi-nabi itulah kader HMI dapat memetik
hikmah. Bahwa sesungguhnya menggariskan hidup yang
bernafaskan Islam adalah berjuang mengamalkan nilai-nilai
kemanusiaan menuju taraf yang lebih tinggi dan sempurna.

Kelima, insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya


masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT.
Kader-kader himpunan mesti ‘berwatak sanggup memikul
akibat-akibat dari perbuatannya dan sadar dalam menempuh
jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.
Spontan dalam menghadapi tugas, responsiF dalam
menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis.
Rasa tanggung jawab, taqwa kepada Allah SWT, yang
menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang
dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
diridhoi Allah SWT’. Itulah mengapa proyek yang paling
mendesak dari HMI adalah membangun kerangka konseptual
yang bisa menjadi ‘garis pembatas’ antara gerakan dengan

559
Kazou Shimogaki, (2007), Antara Modernisme dan Posmodernisme:
Kiri Islam, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, Hlm. 166.

905
kekuasaan. Program ini dikerjakan bersama dengan agen-agen
atau kelompok-kelompok progresif: elemen mahasiswa,
akademisi, rohaniawan, buruh dan rakyat miskin lainnya.
Kerja kolektif dalam menyusun kerangka konseptual
diharapkan menjadi gagasan bersama dalam melakukan
konsolidasi. Pada masa gerakan mahasiswa ’98 adalah contoh
dari sebuah gagasan kolektif. Namun gagasan itu terhenti
pada modifikasi aturan dengan tetap memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi aktor-aktor politik masa lalu untuk
berkuasa. Walhasil, ide dan aksi mereka menjadi hampa:
tanpa mengandung agenda-agenda perubahan konkret dan
menyentuh langsung struktur ekonomi yang ada.

Tetapi dari kegagalan itu HMI dapat belajar dan sadar agar
kelak membangun gerakan yang tidak berorientasi pada
perebutan jabatan-jabatan formal di beragam pranata
kenegaraaan. Bahkan dari sejarah gerakan masa lalu kader-
kader himpunan harus mengambil hikmah: sudah bukan
waktunya menyibukan diri dengan pertengkaran dan
perpecahan; tapi diniscayakan membangun, menguatkan, dan
meluaskan persatuan. Maka tidaklah menguntungkan gerakan
bilamana kader himpunan sampai bernafsu pada kekuasaan,
apalagi sampai menyebabkan persaingan merebut jabatan
Ketua Umum yang memobilisir preman dan demo-demo
bayaran serta mengancam jiwa kader-kader sendiri. Keadaan
ini justru membuat gejala yang kemudian menonjol adalah
kian jauhnya agenda organisasi dari kebutuhan konkret rakyat.
Usaha melakukan aksi penyadaran yang masif tak saja
semakin sedikit mendapat dukungan, namun sudah sangat-
sangat kurang beroleh perhatian. Sebab fokus perjuangan
telah terpecah-belah; aksi-aksi kemudian jarang dipercikan,

906
gerakan kian ngawur hingga kader-kadernya kebanyakan
terbujuk untuk merubah etos gerakan: dari gerakan massa
menjadi gerakan pemikiran yang cenderung elitis. Hal ini
dipicu berkembangnya kredo pandir: ‘HMI bukan organisasi
massa tapi organisasi kader’. Padahal dalam realitasnya: HMI
merupakan organisasi yang menampung massa-mahasiswa.
Dengan diinterpretasikan secara modernis, maka organisasi
massa-mahasiswa itu diarahkan oleh kelompok-kelompok
dominan yang ada di dalamnya pada kegiatan-kegiatan
intelektual salon di ruangan semata. Situasi ini membuat
perkaderan bukan lagi tempat untuk melakukan pendidikan
dan pembentukan kader-kader militan, melainkan dijadikan
batu loncatan dalam menggapai singgasana-singgasana kuasa.

Insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat


adil-makmu yang diridhoi Allah SWT sudah saatnya mencari
dan mengembangkan gagasan kolektif. Terutama dengan
mendorong kekuatan moral dan politiknya menciptakan
wadah atau memperlebar sayapnya ke agenda praksis:
mengorganisir rakyat miskin dan tertindas yang mentah secara
politik. Maka orientasi gerakan HMI sudah harus dirubah:
berhenti menjadi pelayan kekuasaan dan mulai membangun
sebuah kekuatan yang dapat memperluas dan memperdalam
ruang-ruang demokratik. Menghadapi hegemoni kapitalisme
dan dominasi negara, maka untuk mewujudkan insan yang
kelima ini HMI mesti lebih bersikap awas: ‘evaluatif dan
selektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan
usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur’.
Memberikan rasa ‘percaya pada diri sendiri dengan sadar akan
kedudukannya sebagai “khallifah fil-ard” yang harus
melaksankan tugas-tugas kemanusiaan’. Karenanya perlulah

907
kita memandang dunia tidak semata dengan rasio, melainkan
ideal-ideal yang berasal dari penghayatan ideologisnya.
Gramsci pernah berpesan: ‘hanya cita-citalah yang akan
membuat optimis’.

Sekarang kader-kader himpunan diharapkan mampu


memproduksi ‘utopian tatanan alternatif’ sebagai upaya untuk
menghapus segala kemungkinan kompromi pada mitos-mitos
keadilan dan kesejahteraan seperti yang pernah diiming-
imingi kekuasaan Orba dahulu. Kini kita tentunya ingin HMI
kebal dari apa yang diistilahkan Bourdiau dengan doxa: cara
pandang kekuasaan yang dicekoki ke pikiran dan moralitas
rakyat hingga menjadi seolah-olah sebagai pandangannya
sendiri. Kita juga mau organisasi ini tidak lagi takut pada pada
ancaman-ancaman penguasa seperti pada tahun 1983-1986:
usaha ‘pengendalian dan pengawasan’ dalam bentuk UU
Organisasi Kemasyarakatan—yang oleh Foucault
disebut‘panoptikon’. Lagi-lagi ditegaskan: HMI harus
berbenah. Tanggalkan semua kebesaraan usang: kejayaaan
masa lalu hingga pamor kedekatan dengan elit-elit kekuasaan.
Prestise-prestise ini bukan hanya tidak berguna, tapi lebih-
lebih sangat dikutuk jika dibawa sebagai nilai tawar dalam
membangun persatuan gerakan rakyat. Daripada membawa
identitas konco kekuasaan; lebih baik HMI mulai menyulam
pakaian kerakyatan. Citra ini persis yang ditampilkan nabi-
nabi Islam dalam tindakan-perjuangan. Jika benar HMI
meyakini tujuannya dalam bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil-makmur, tentu mesti
membangkitkan ideologi Islam seperti tauladan para nabi:
bertempur melawan kelas penindas dengan membangkitkan
kesadaran dan menyulut meledaknya gerakan massa-rakyat.

908
Berhadapan dengan kekuasaan maka mendorong arus
konfrontasi yang terus-menerus menjadi keniscayaan. Mouffe
katakan: ‘konfrontasi adalah sengketa antara mereka yang
berpegang pada prinsip etika politik yang sama, tapi bisa jadi,
beda cara menafsirkan’. Konfrontasi tak harus dalam larutan
kebencian tapi bersandar pada etika politik: kebebasan dan
kesetaraan. Dalam tujuan kelima dari Insan Cita HMI, adalah
menuju masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT.
Hanya tidak mungkin keadilan dan kemakmuran itu dapat
terwujud selama himpunan bergerak secara melempem,
apalagi sampai berdamai (memediasikan kepentingannya)
dengan kelas penguasa. Berdamai dengan kekuasaan berarti
menanggalkan ideologi Islam sebagai ruh pergerakan. Padahal
agama—meminjam istilah Garaudy560—merupakan filsafat
aksi: ‘filsafat amal, perjuangan politik dan terus berpikir
tentang kasus-kasus masyarakat untuk memecahkan berbagai
problem yang ditimbulkan oleh kenyataan hidup’. Jika
demikian maka iman, bukanlah ‘pantulan’ dari kenyataan,
tetapi ‘proyek’ atau rencana terhadap kenyataan lain. Iman
kepada wahyu memasukkan kita ke dalam pertarungan
dengan kenyataan. Iman—sekali lagi—adalah protes internal
terhadap kenyataan dan dorongan menuju perubahan dan

560
Roger Garaudy seorang aktivis Partai Komunis yang kemudian hari
mendeklarasikan dirinya masuk Islam sembari menyatakan: datang ke Islam
bagi saya tidak berarti menyangkal Yesus atau Marx. Saya sekrang telah
menemukan titik yang selalu saya cari, yaitu titik di mana kreativitas
artistic, aksi politik, dan keimanan membentuk kesatuan sungguh-sungguh.
Sebagai penganut setia gerakan marxis Graudy mengalami kekecewaan
amat mendalam, kemudian menempatkan agama sebagai bagian dari
gerakan perubahan.

909
bukan mencari penyesuaian dengan kenyataan.561 Memagut
keimanan seperti itu maka segala bentuk berhala manusia
modern akan dihadapi dengan penentangan. Iman soalnya
mendorong manusia yang berimanan untuk selalu
memurnikan keesaan Tuhan. Melalui pengesaan Tuhan, maka
manusia selanjutnya terdorong memuliakan sesamanya bukan
dengan sikap pemujaan melainkan persamaan:

Ia menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras,


warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan dan
kekuasaan. Ia menempatkan manusia dalam kesamaan.
Ia juga menyatukan antara manusia dan alam yang
melengkapi penciptaan Tuhan … keesaan Tuhan berarti
keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara
spiritualitas dan kewadagan, antara keagamaan dan
keduniawian. Dengan memahami seluruh aspek
kehidupan diatur oleh satu hukum, dan tujuan seluruh
muslim bersatu dalam kehendak Allah.562

Bagi Syari’ati: dengan pancaran roh Tuhan sebagai unsur


penciptaan manusia di samping tanah pembentuknya—
manusia memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab.
Manusia dikatakannya: wajib memilih kehendaknya dan
tujuan dari kehendak dan pilihannya sendiri. Maka
menggunakan terminologi Brahmanisme, dia melukiskan
manusia seumpama jalan, pelancong atau musafir, dan
perjalanan. Penggabaran ini berdiri di atas pemikiran yang
mengasosisikan manusia sebagai makhluk yang selalu

561
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 25
562
Kazou Shimogaki, (2007), Antara Modernisme dan Posmodernisme:
Kiri Islam, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, Hlm. 23.

910
melakukan hijrah dari diri tanah liatnya menuju diri
ilahiahnya:

…dalam pandangan dunia tauhid, manusia hanya satu


pada satu kesatuan dan bertanggung jawab di hadapan
satu hakim. Manusia hanya menghadap wajah pada satu
kiblat serta menunjukan harapan-harapan dan
keinginan-keinginannya hanya kepada satu sumber.
Akibat wajarnya adalah bahwa semua yang lain adalah
salah dan tidak ada artinya—segala ragam
kecenderungan, perjuangan, ketakutan, keinginan dan
harapan manusia adalah sia-sia dan tidak ada hasilnya.
Tauhid menganugerahi manusia kemandirian dan
martabat. Tunduk kepada-Nya saja—norma tertinggi
dari segala wujud—mendorong manusia untuk
memberontak terhadap seluruh kekuatan yang ada serta
segala kendala ketakutan dan keserakahan yang
menghinakan.563

Hidup dalam tatanan masyarakat kapitalis, maka bertanggung


jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang
diridhoi Tuhan yang Maha Esa; mengharuskan kader-kader
himpunan terlibat aktif menjadi aktor sejarah. Sejarah bagi
Syari’ati adalah: ‘aliran peristiwa yang berkesinambungan,
dan seperti halnya manusia sendiri, di dalamnya terkandung
kontradiksi dialektis, suatu pertarungan konstan antara dua
anasir yang berlawanan yang bermula sejak kejadian manusia.
Pertarungan itu berlangsung segenap tempat dan waktu, dan
jumlah totalnya itulah yang merupakan sejarah’. Sejarah
dalam keilmuan Islam di mulai sejak pertarungan Qabil dan

563
Ali Syari’ati, (2013), Sosiologi islam Pandangan Dunia Islam dalam
Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Rausyanfikr
Institute, Hlm. 125

911
Habil564—yang dimenangkan oleh Qabil atas terbunuhnya
Habil. Setelah tiadanya Habil—yang berlangsung sampai
sekarang, adalah terus bertenggernya orang-orang seperti
Qabil di muka bumi.

Itulah mengapa sejarah umat manusia terus-menerus ditandai


oleh perang agama melawan agama: di satu pihak ialah agama
syirik: yang menyekutukan Allah—membenarkan berlakunya
pemberhalaan hingga diskriminasi kelas dalam kehidupan
masyarakat; di pihak lain ialah agama tauhid: mengesakan
Allah—menyerukan kesatuan semua kelas dan ras di atas
prinsip-prinsip persamaan, kesetaraan, persaudaraan, keadilan
dan kebebasan. Syari’ati menjelaskan bahwa pertarungan
trans-historis antara Habil dan Qabil merupakan pertempuran
tauhid melawan syirik; antara keadilan serta kesatuan manusia
di satu pihak dan diskriminasi sosial serta rasial di pihak
lainnya. Baginya: suatu saat revolusi akan terjadi untuk
melenyapkan stereotip-stereotip Qabil dari kehidupan dunia:

Kesamaan akan terwujud di seluruh dunia, dan melalui


kesamaan serta keadilan akan berlakulah kesatuan dan

564
Kedua putra Adam itu adalah manusia biasa dan wajar, tetapi mereka
saling bermusuhan. Yang seorang membunuh yang lain, maka bermulalah
sejarah kemanusiaan. Pertarungan Adam bersifat subjektif, batiniah dan
berlangsung dalam esensinya sendiri. Atau dalam umat manusia secara
keseluruhan. Tetapi pertarungan di antara keduanya bersifat objektif,
berlangsung dalam kehidupan yang lebih lahiriah. Karena kisah Habil dan
Qabil merupakan sumber filsafat sejarah kita, sebagaimana Adam
merupakan sumber filsafat kita tentang manusia. Pertarungan antara Qabil
dan Habil adalah pertarungan antara dua kubu yang saling berlawanan yang
berlangsung sepanjang sejarah dalam bentuk dialektika sejarah … Habil
lenyap dan Qabil tampil ke permukaan sejarah sampai hari ini (Lihat Ali
Syar’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas, Jakarta: Islamic Center
Jakarta Al-Huda, Hlm. 90).

912
persaudaraan umat manusia. Inilah arah pasti sejarah.
Suatu revolusi universal akan berlangsung di semua
kawasan hidup manusia. Kelas tertindas akan menuntut
balas. Mewujudkan berita gembira dari Allah, “Sudah
menjadi kehendak Kami bahwa Kami akan
melimpahkan kurnia Kami atas mereka yang selama ini
menderita dan tertindas di muka bumi dan akan Kami
tetapkan mereka menjadi pemimpin dan pewaris
bumi,” (QS 28:5).

Kelak saat seruan Tuhan ini tertorehkan, maka masyarakat


adil-makmur yang diridhoi-Nya akan terwujudkan. Namun
dalam upaya menunggunya kader HMI sebagai individu harus
bertanggung jawab untuk menentukan sikap dalam
pertarungan abadi dalam kedua sayap masyarakat: penindas
dan tertindas. Tidak boleh kalian menjadi penonton, apalagi
menunggu dengan santai dan malas. Syari’ati berpesan:
‘sewalaupun berlaku determinisme sejarah, namun kita
percaya akan kebebasan individu serta pertanggungjawaban
manusiawinya, yang merupakan inti proses determinisme
universal dan bisa terbuktikan secara ilmiah’.565 Itulah
mengapa dalam perjuangan mewujudkan perubahan sosio-
historis ke arah masyarakat adil-makmur, kader-kader
himpunan tidak boleh jauh dari masyarakat—massa-rakyat
tertindas sepanjang sejarah: buruh dan kaum miskin. Marx
mengingatkan: massa adalah pencipta sejarah dan
pertentangan kelas merupakan motor penggeraknya. 566 Tetapi

565
Masyarakat dan sejarah didasarkan pada kontradiksi dan perjuangan, dan
bahwa bertentangan dengan kepercayaan kaum idealis.
566
Namun dalam filsafat sejarahnya, menurut Syari’ati Marx telah
mencampuradukan kriteria tertentu dalam filsafat sejarahnya sehingga
klasifikasi dalam tahap perkembangan sosial menjadi kacau. ia telah
mengacaukan tiga entitas berbeda: bentuk kepemilikan, bentuk dari

913
dalam menyulut revolusi dibutuhkan kesiapan. Terutama
kader-kader pelopor dengan organisasi politik yang
berdisiplin. Mereka diberi mandat bukan hanya untuk
mengorganisir individu-massa yang cair, melainkan pula
meradikalkan mereka dalam perjuangan kelas.

Dengan begitu tanggung jawab mewujudkan masyarakat adil-


makmur yang diridhoi Allah SWT, menuntut HMI mampu
menjadi organisasi yang revolusioner. Jika kita merunut
sejumlah teori revolusi, maka organisasi yang revolusioner
menyulut kesadaran rakyat dalam memerangi struktur
kelompok-kelompok penindas hingga lahirlah suatu revolusi
sosial-demokratik. 567 Harry Eckstein menyatakan bahwa
situasi revolusioner yang menjadi syarat-syarat khusus
timbulnya suatu revolusi sangatlah bervariasi. Dari syarat-
syarat kejiwaan (sosialisme politik yang timpang, mitos-mitos
sosial yang saling bertubrukan, suatu filsafat sosial yang telah
aus, pengasingan kaum intelektual) kemudian syarat-syarat
ekonomi (bertambahnya kemiskinan, pertumbuhan ekonomi
yang pesat, ketidakseimbangan antara produksi dan distribusi,
pertumbuhan jangka panjang ditambah kemunduran jangka

hubungan-hubungan kelas dan bentuk dari alat-alat produksi. Menurut


Marx, tahap-tahap perkembangan sejarah dibagi ke 7 tahapan: sosialisme
primitive, perbudakan, penghambaan, feodalisme, bourjuisme, kapitalisme
industry, sosialisme-komunisme, yang ia anggap masing-masing tahapnya
memiliki perkembangan struktur sosial yang berbeda. Namun kata Syar’ati
dari ke-7 tahap perkembangan tersebut tetap sama memiliki hanya dua
struktur: penindas dan tertindas.
567
Merujuk pada kamus pembebasan Revolusi didefinisikan sebagai: (1)
Ledakan politik menggulingkan atau mengambil alih kekuasaan yang
berdiri di atas sistem tertentu; (2) Aktivitas yang diarahkan pada perubahan
mendasar dalam hal struktur/formasi sosial ekonomi (Lihat Jurnal
Pembebasan No. 12/Th.IV/Minggu III-IV Agustus 1999).

914
pendek) juga syarat-syarat sosial (sesalan karena sirkulasi elit
yang terbatas, kekacauan sebagai akibat pengerahan elit yang
terlalu luas, anomi sebagai akibat mobilisasi sosial yang
terlalu kuat, konflik disebabkan oleh bangkitnya kelas sosial
yang baru) hingga syarat-syarat politik (pemerintahan yang
buruk, pemerintahan yang terpecah-pecah, pemerintahan yang
lemah, pemerintahan yang tiranis). 568

Kini situasi revolusioner itulah yang kita nanti-nantikan


meletus dari kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat
kapitalis. Sudah muak kita melihat negara dengan
pemerintahannya yang terus-menerus menjadi mesin penindas
rakyat. Negara yang telah dikendalikan oleh kekuatan modal
memang menjabarkan dirinya sebagai alat dari kelas borjuis.
Fungsi-fungsinya sangat rakus, buas dan sadis: (1)
Menciptakan kondisi sehingga pengembangan modal bisa
berjalan dengan lancar, baik bagi pengusaha nasional maupun
bagi bisnis asing. Inilah yang kemudian dinamakan sebagai
business confidence; (2) Memeratakan kekayaan secukupnya
supaya kaum buruh bisa memreproduksi dirinya, dan juga
supaya kaum buruh percaya bahwa mereka sudah
diperlakukan secara adil sehingga mereka tidak membuat
keributan yang dapat merusak suasana bisnis yang baik; (3)
Berperan sebagai polisi untuk mencegah ganguan terhadap
sistem yang ada, serta mengembangkan suatu ideologi yang
membuat kaum buruh merasa diperlakukan adil dalam sistem
yang sebenarnya menguntungkan kapitalis.

568
Zaiyardam Zubir, (2003), Radikalisme Kaum Pinggiran Studi tentang
Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm.
211.

915
Terdapat dua pendekatan untuk memandang posisi negara
dalam lingkungan kapitalisme sekarang: internasional dan
global. Pada sudut pandang internasional, sistem kapitalisme
internasional telah mendominasi adanya kompetisi pada
tingkat kebijakan nasional tapi peran maupun kebijakan yang
diambil negara nasional masih sangat dibutuhkan: mulai dari
mempromosikan upah buruh murah, meluaskan pangsa pasar,
hingga menjamin kestabilan hukum guna menarik investor.
Sedangkan pendekatan global, kapitalisme global telah
berhasil mentransformasi negara-negara nasional menjadi
negara transnasional; penyebabnya adalah semakin
terdesentralisasinya rantai produksi hingga terdorong
terciptanya sel-sel produksi baru. Posisi negara dalam dua
kedua pendekatan itu sebenarnya memiliki kemiripan: sama-
sama mempunyai otonomi relatif dalam melakukan pilihan
kebijakan nasional karena harus mempertimbangkan
kepentingan kapitalisme internasional atau global. Indonesia
sendiri telah sangat jauh tenggelam dalam kedua jenis jeratan
kapitalisme itu: internasional dan global.

Dalam kondisi inilah sangat tidak mungkin bagi HMI


mewujudkan masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah
SWT, apabila perjuangan organisasinya enggan dimajukan
untuk berperan aktif melawan kekuatan-kekuatan modal.
Secara sederhana pertanggungjawaban HMI dalam usaha
mewujudkan insan yang ke lima itu adalah memberikan
pengajaran dan pendidikan revolusioner mulai dari kader-
kadernya sendiri hingga kepada rakyat miskin dan tertindas
agar mereka dapat menanggalkan kesadaran-kesadaran
lamanya. Pertama, kesadaran magis: (a) realitas sosial
merupakan sesuatu yang telah dibentuk oleh wahyu dan

916
doktrin kitab suci; (b) semua perubahan sosial merupakan
hasil campur tangan Tuhan sepenuhnya; dan (c) perubahan
sosial dapat terjadi jika kehidupan masa lalu. Kedua,
kesadaran naïf: (a) realitas sosial merupakan sesuatu yang
dibentuk oleh Tuhan dan kebiasaan individu; (b) perubahan
mengandalkan tampilnya individu yang perilakunya sesuai
dengan bunyi literer teks kitab suci; (c) perubahan sosial lebih
berorientasi pada perbaikan kualitas individu. Kedua
kesadaran ini sangat berbahaya karena meneguhkan status-
quo kapitalisme dan negara. Dua-duanya harus diganti dengan
yang ketiga, kesadaran revolusioner: (a) realitas sosial adalah
sesuatu yang dipengaruhi oleh aktor sosial juga struktur
global seperti negara, modal dan senjata; (b) perubahan sosial
mengandalkan kemampuan untuk melihat struktur secara
kritis dan mendorong wahyu dalam konteks ‘inspirasi’ dan
‘spirit‘ pembebasan; (c) perubahan sosial berorientasi pada
terbentuknya gerakan sosial yang populis.569

Tetapi lebih-lebih kepada kaum intelektual yang tergabung


dalam HMI, cara terbaik untuk membangkitkan kesadaran
revolusioner itu dengan memajukan komitmen moral menjadi
kerja-kerja politik. Terutama mulai dari membangun gerakan
kolektif hingga menempuh perjuangan kultural dan politis.
Langkahnya dapat melalui tahapan-tahapan berikut: (1)
memunculkan komitmen moral, keprihatinan individu
terhadap: kesenjangan dan ketidakadilan, kapitalisme
pendidikan, globalisasi modal yang memunculkan gagasan
pembaruan tetapi masih bersifat sporadis; (2) memunculkan
gerakan kolektif yang didasarkan atas cita-cita bersama, yakni

569
Ibid, Hlm. 263-264.

917
pembebasan kaum tertindas dan perlawanan terhadap
ketidakadilan; dan (3) perjuangan revolusioner untuk
mendidik dan mengembangkan umat dan bangsa dengan
merebut kuasa politis maupun kultural yang dijalankan
melalui sejumlah tindakan praksis.570

570
Al-Qur’an, sebagaimana sebagaimana yang dinyatakan Muh. Iqbal,
adalah kitab yang mengandalkan ‘amal’ daripada gagasan. Dalam 750
ayatnya Qur’an mendorong penggunaan akal sedang 250 ayatnya
menyangkut persoalan hukum. Dalam bahasa Iqbal tindakan adalah bentuk
kontemplasi tertinggi. Basis kesadaran revolusioner selanjutnya adalah
pemahaman nilai-nilai autentik. Aotentisitas menolak segala bentuk
‘kebiasaan’ yang menjadi kelaziman, sebagaimana dilukiskan oleh
Nietszche, “…apa yang menjadi lazim pastilah bernilai rendah. Begitulah
semestinya dan lalu begitu adanya; hal-hal besar untuk orang-orang besar,
jurang-jurang memiliki kedalaman, kehalusan memiliki orang-orang
berbudi. Ringkasnya sesuatu yang langka untuk orang langka.” (Ibid, Hlm.
265).

918
Waktunya HMI Belajar
dari Organisasi Revolusioner

“Kini kebutuhan kita bukan pada keberanian semata-mata,


tapi lebih-lebih pada ‘pengetahuan revolusioner dan
kecakapan mengambil sikap revolusioner’.” (Tan Malaka)

“Kita tidak bisa berbicara tentang demokrasi, tanpa


mempertanyakan kepentingan kelas mana yang dilayani oleh
organisasi yang menyebut dirinya demokratis.” (V.I. Lenin)

“Kerja kita menggalang dan mengorganisasi rakyat untuk


mengubah produksi perorangan dan keluarga menjadi
produksi kolektif itu mengkonsolidasikan proses demokrasi
ekonomi…. Kita sekaligus juga memberi bentuk material
pada prinsip keadilan yang menggariskan bahwa semua
kekayaan negeri kita dan usaha-usaha kita adalah milik
masyarakat, dan ditujukan untuk memperbaiki kehidupan dan
kesejahteraan rakyat.” (Samora Machel571)

Pasca-Reformasi bergulir, HMI kian regres dan kehilangan


kemampuan kritis dalam memperjuangkan hak-hak kaum
miskin dan tertindas. Di dalam tubuhnya organisasi ini
diguyur pelbagai permasalahan serius: klik-klik merayap
setiap transisi kepemimpinan hingga perpecahan menjadi
santapan rutin kader-kadernya. Tidak jelasnya persatuan
internalnya ikut memicu kemunduran gerakan himpunan.
Mereka gagap sekali membela kepentingan rakyat ketika
berhadapan dengan kekuasaan. Bahkan untuk soal

571
Samora Machel, (2018), Membangun Kekuatan Rakyat, Yogyakarta:
Tanah Merah, Hlm. 46-47.

919
kaderisasinya; setiap tahun minat mahasiswa baru mengikuti
perkaderannya makin menurun dan dirinya gagal melebarkan
sayap ke kampus-kampus kecil. Maklum: strategi gerakannya
masih sama dengan apa yang dilancarkan saat Orba:
mendekati dan membantu kelas penguasa. Padahal perubahan
adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakan untuk
dapat bertahan hidup di muka bumi. Tanpa adanya perubahan
maka dapat dipastikan manusia tidak akan mampu survive.
Begitu juga dengan masyarakat, bangsa, maupun organisasi:
Mereka yang tidak mau berubah tak akan mampu
mengahadapi perkembangan zaman. Benjamin Frankln
mengingatkan: ‘apabila kau berhenti berubah berarti kau
sudah selesai’.

Memang tanpa perubahan maka kehidupan sosio-historis tidak


akan pernah berjalan. Itulah mengapa revolusi-revolusi silih-
berganti mewarnai tatanan. Revolusi dalam sebuah lingkup
tertentu merupakan perubahan sosial dan kebudayaan yang
berlangsung dengan cepat. Perubahan yang terjadi dapat
direncanakan atau tanpa rencana, dan dapat dijalankan tanpa
kekerasan atau melalui kekerasan.572 Bagi Karl Marx revolusi
adalah sebuah perubahan sistem kemasyarakatan secara
struktural. Dalam bidang politik terumuskan dalam
perjuangan kaum yang tak berpunya (proletar), untuk
merampas harta kaum borjuis lewat perjuangan kelas.
Aktivitas revolusioner itu diyakini Marx akan berakhir dengan
terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Asas dari sistem
masyarakat semacam itu dirumuskan Marx sebagai: dari tiap

572
L. Santoso AZ, (2017), Para Penggerak Revolusi Arus Sejarah
Pemikiran dan Mereka untuk Perubaha Dunia, Yogyakarta: Laksana, Hlm.
5.

920
orang diminta menurut kecakapannya, dan kepada tiap orang
diberikan menurut kebutuhannya’.573 Mirip dengan lukisan
Murtadha Muthahari tentang rupa masyarakat tanpa kelas
dalam Islam: ‘masyarakat tanpa pembedaan (diskriminasi),
tanpa orang melarat dan tanpa tirani: suatu masyarakat yang
adil. Ia bukan masyarakat tanpa perbedaan, karena kesamaan
itu sendiri merupakan kezaliman dan perampasan keadilan’.

Gambaran indah tentang masyarakat tanpa kelas begitu


ekuivalen dengan tujuan HMI dalam mewujudkan masyarakat
cita: masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT. Tapi
ideal ini sangat jauh panggang dari api tatkala himpunan
menjadi organisasi yang impoten akan persoalan-persoalan
rakyat. Daripada berjuang membesakan kaum miskin dan
tertindas; himpunan justru tampil sebagai wadah yang hanya
mementingkan anggota-anggotanya semata. Itulah mengapa
kebebasan dalam pandangan kebanyakan kader-kadernya
hanyalah kebebasan untuk dirinya sendiri, bukan kebebasan
untuk semua. Maklum selama ini perjuangan organisasi ini
tidak mempercayai daya maha dahsyat yang dimiliki kaum
miskin dan tertindas di mana-mana. Ketimbang meyakini
kekuatan massa; mereka justru meneguhkan keyakinan pada
kemampuan dan kualitas individu semata. Itulah mengapa
perubahan dalam corak pemikiran modernis kader-kader HMI
bukan diupayaka dengan mengorganisir dan meradikalkan
massa, melainkan berfokus terhadap pengembangan pribadi
saja. Padahal Marx telah mengingatkan: ‘perjuangan
pembebasan bisa melahirkan perbudakan ketika perubahan itu

573
Andi Muawiyah Ramly, (2013), Peta Pemikiran Karl Marx
(Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis), Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta, Hlm. 84.

921
tidak diikuti dengan pemutusan hubungan-hubungan
eksploitatif, dan apabila perubahan tidak dipelopori oleh kaum
proletar’. Kini sudah seharusnya HMI mulai menaruh percaya
terhadap kekuatan kelas pekerja. Hanya dengan meyakini dan
berjuang bersama merekalah himpunan dapat memajukan
perjuangannya dalam mempercepat pelenyapan kapitalisme.

Akan sulit dicapai masyarakat adil-makmur jika gerakan yang


dibangun tidak belajar dari sejarah. Bahwa sepanjang zaman
perubahan tak ditemukan di istana-istana kelas penguasa,
melainkan medan perjuangan massa. Bahkan dari Lafran Pane
didapati pelajaran berharga: HMI dibesarkan bukan dengan
konflik dan kekerasan demi mendapatkan dan
mempertahankan takhta. Himpunan justru meluas dan
membesar ketika Lafran merelakan jabatannya sebagai Ketua
Umum kepada MS Mintaredja. Kini, kerendahan hati yang
diajarkan pemrakarsa dan pendiri HMI malah dihinakan oleh
lumuran libido-libido kuasa. Itulah mengapa dalam
internalnya konflik mudah sekali membawara. Perpecahan
meletus karena persoalan kekuasaan semata. Demi menguasai
tampuk kepemimpinan organisasi, nilai-nilai pembebasan
Islam mudah sekali ditanggalkan. Mereka sepertinya tidak
pernah mendengarkan peringatan Syari’ati: ‘Islam tidak
pernah kalah karena serangan dari luar; Islam justru
terkalahkan akibat masalah internal [rebutan meraih dan
menjaga singgasana kekuasaan]’.

Persoalan internal menjadi ancaman serius bukan hanya bagi


umat Islam secara luas, tapi lebih khususnya kader-kader
Islam dalam HMI. Berkali-kali sumber daya himpunan
terkuras sia-sia cuma menggonta-ganti kepemimpinan dan

922
menambal-sulam keretakan organisasi. Selama ini kader-
kader himpunan memang telah banyak menghabiskan
kekuatan-kekuatan produktifnya untuk mengurus dualisme
kepengurusan. Biasanya setiap kali dualisme PB HMI terjadi,
maka rembetan konfliknya mengalir ke segala tingkatan
kepemimpinan: Badko, Cabang, Korkom hingga Komisariat.
Konflik yang tersembul dari atas ke bawah lama-lama
menyulap organisasi ini persis kata Max Weber: ‘kelompok
individu-individu yang tidak mengenal satu sama lainnya
tetapi saling bertempur demi orang-orang yang mengenal satu
sama lainya’. Bahkan setelah pecah kepengurusan berkali-
kali, HMI masih congkak untuk mengevaluasi gerakannya
dari masa ke masa.

Itulah mengapa walaupun bertebaran kata islah, namun


sampai detik ini HMI (Dipo) dengan HMI MPO sukar untuk
dipersatukan kembali. Sampai sekarang kekuatan organisasi
tidak pernah mereka ukur lewat persatuan internal, melainkan
kesuksesan bekerja sama dengan instansi-instansi
pemerintahan dan kebesaran senior-seniornya di kursi
kenegaraan. Padahal kader-kader tak mungkin diasuh sekedar
dengan kebanggaan dan pencapaian banyak alumninya di
panggung kekuasaan. Jika orientasi gerakan masih merujuk
pada elit-elit pemerintahan tidak mungkin himpunan dapat
memagut persoalan-persoalan kerakyatan. Dari pada
memperjuangkan hak-hak rakyat; bangunan relasi dengan
kelas penguasa justru merecoki kedisiplinan organisasi hingga
tiada hentinya mengalami konflik dan keretakan. Walhasil,
berorganisasi kemudian bukan menjalin persahabatan tapi
menajamkan permusuhan.

923
Tanpa menjadi organisasi yang mampu menjaga persatuan
tidak mungkin HMI dapat memajukan perjuangan. Agar
persatuan organisasi mampu ditegakkan, maka tidak ada cara
lain kecuali mengikat persahabatan antar-kader dengan buhul
ideologis geakan. Langkah yang perlu dilakukan adalah
membina kembali suasana persahabatan dalam bingkai
perlawanan: menghancurkan kapitalisme demi sebuah cita-
cita mewujudkan kemaslahatan umat manusia laiknya Marx
dan Engels: masyarakat tanpa kelas. Keduanya mencurahkan
waktu untuk belajar dan melakukan temuan sosial. Saat Das
Kapital I disusun dengan penuh jerih payah dan dikuatirkan
tidak sampai tamat, Engels terus memberi semangat dan
mengingatkan Marx. Namun setelah Marx meninggal dunia,
tugas Engels sebagai sahabat karib ada dua: menuntaskan
karya Marx hingga melahirkan Das Kapital II dan III, serta
meneruskan kerja perlawanan Marx. Selain dari mereka
berdua, persahabatan yang diikat dengan tali ideologi Juga
bisa diambil dari kisah sahabat nabi: Salman dan Abu Darda.
Persahabatan keduanya dilukiskan oleh Syari’ati bagaikan
jalinan anggota badan: ‘ketika tangan terluka maka mata
menangis, dan tangan mengusap air mata’.

Dengan menjalin persahabatn dalam semangat ideologis,


maka bersahabatnyanya kader-kader HMI bukan lagi
berdasarkan ikatan kesukuan, kepentingan golongan, maupun
iming-iming keuntungan. Sudah muak rasanya kita melihat
hubungan perkaderan dibina atas motif-motif yang dangkal
dan bulukan. Lihatlah bagaimana persahabatan dalam
organisasi diikat selain oleh buhul ideologis: sikap kader
dengan sesamanya tidak memiliki komitmen perjuangan. Jika
ada terjadi pelanggaran terhadap konstitusi HMI, maka jarang

924
yang berani memberikan hukuman melainkan diselesaikan
secara kekeluargaan. Alasannya sederhana: takut menganggu
hubungan, melukai perasaan, hingga dimusuhi oleh gerbong
yang bersangkutan. Keadaan inilah yang membuat organisasi
enggan memberi sanksi kepada anggota-anggotanya
sewalaupun berkait pencorengan idependensi himpunan.

Tidak didirikannya perkawanan di atas lantai ideologis


mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran pada sifat organisasi
dan prinsip perjuangan dihadapi secara toleran. Mereka
soalnya lebih mementingkan hubungan kawanan ketimbang
kedisiplinan dalam perjuangan. Lihat saja bagaimana
berbondong-bondongnya mantan Pengurus Cabang yang baru
saja demisioner atau para kader setelah wisuda dari S1
menyalonkan diri jadi anggota parlemen. Bahkan tidak
menunggu lama; saat aktif sebagai anggota atau pengurus
pun, ada-ada saja yang mencoba menerima pesanan menjadi
tim sukses hingga ketua tim pemenangan kandidat kepala
daerah. Salah satu contohnya adalah apa yang dipertontonkan
oleh Sekum HMI Komisariat FH Unram. Status keanggotan
dan kepengurusan tidak menjadi bahan pertimbangannya
dalam melenggang sebagai Ketua Poros Milenial Dinda-
Dahlan. Bajingan ini tak mau tahu kalau dipunggungnya
masih melekat status keanggotaan dan kepengurusan.
Daripada melaksanakan kerja-kerja kaderisasi; dia justru
melesat jadi pion dalam pertarungan memperebutkan kursi
kenegaraan. Seabrek Pengurus HMI Cabang Mataram tahu
akan pelanggaran tersebut. Hanya gerombolan aparatur
organisasi ini tidak punya nyali mengambil sikap tegas:
ketimbang melakukan pemecatan, kepada pelanggar justru
diberikan teguran. Jatuhnya disiplin organisasi lagi-lagi

925
disebabkan oleh perkawanan didirikan bukan secara ideologis.
Itulah mengapa dalam tubuh kepengurusan HMI Komisariat
FH Unram sendiri banyak pengurus yang berusaha
melindungi: mulai dari melarang kader menyebarkan
informasi hingga melarang-larang untuk membuat forum
diskusi berkait pelanggaran konstitusi dan independensi
HMI.574

Dengan diabaikannya penegakan disiplin organisasi, maka


lama-lama pelanggaran yang terus dibiarkan tanpa sanksi
yang tegas akan diikuti. Bahkan tidak adanya ketegasan justru
dapat memuluskan setiap pelanggaran dihadapi sebagai
kelumrahan. Pelanggaran yang telah dianggap wajar
selanjutnya ikut memperparah rusaknya kedisiplinan
himpunan. Itulah mengapa begitu banyak kader yang—baik
terdeteksi maupun tak terdeteksi—terlibat dalam pertarungan
politik kenegaraan. Keterlibatan mereka biasanya dengan
menjadi tim sukses secara sembunyi-sembunyi atau terang-
terangan. Tak jarang tenaganya dihabiskan untuk membantu
borjuis-borjuis nasional maupun oligark dalam meraih atau
mempertahankan kekuasaan. Dihadapkan pada kondisi ini
pengurus-pengurus buakn sekedar kewalahan memberikan
teguran, tapi lagi-lagi enggan bernyali memberikan sanksi
pemecatan. Sebab pertimbangan-pertimbagan naïf seperti
‘kader dari gerbong sendiri’, ‘kader senior’, atau ‘kader

574
Temuan ini berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa kader HMI
Komisariat FH Unram dan amatan langsung di lapangan. Pada bulan
Desember 2020 lalu, penulis juga pernah menyoal pelanggaran konstisusi
dan independensi HMI itu dalam sebuah artikel di Independent Movement
(https//:independentmovement.id/hei-kawan-himpunan-pecat-musuh-
kebenaran/).

926
kesayangan alumni’—lebih diutamakan daripada konstitusi
himpunan.

Fenomena seperti itu sekarang berlangsung di pelbagai


Cabang HMI. Suasana kawanan betul-betul telah
mengalahkan kekuatan AD/ART. Kondisi ini diperparah oleh
hegemoni kapitalisme: individu-individu dituntut untuk
mengejar kepemilikan pribadi. Maka kebutuhan perjuangan
pun bisa diracuni: bukan lagi menguatkan persatuan ideologis
dan mencapai tujuan-tujuan kolektif, melainkan upaya untuk
mengkonseptualisasikan peran ke dalam bentuk simbolik.
Jean Bardrillard sebut ini sebagai konsumerisme: ‘masyarakat
konsumerisme itu mengalami tekanan psikologis dan sosial
yang berat karena tuntutan mobilitas yang tinggi, status,
persaingan dalam segala bidang’. 575 Inilah mengapa ber-HMI
sekarang tak sekedar untuk memberi dukungan dan
memperbaiki diri semata. Melainkan pula menjerumuskan
dalam jurang konsumsi pribadi. Dalam arena sosial yang
terstruktur, kebutuhan dan konsumsi budaya selalu melalui
kelompok elit sebagai modelnya. Itulah yang sedang
berlangsung di lingkungan organisasi: senior, alumni, atau
pengurus yang menjadi kelompok dominan mengarahkan
selera beberapa kader sebagai permulaan, hingga lama-lama
tersebar dan menjangkit lebih banyak lagi kader-kader
himpunan. Menurut Baurdillard, tidak ada konsumsi yang
langsung massal, tetapi mulai dengan kelompok terseleksi.
Hukum pembaharuan materi adalah distinction yang mengatur
pasar. Penyebarannya melalui mekanisme: media massa.

575
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan
Diskrimanasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 21.

927
Maka ketika ramai pemberitaan kader-kader HMI yang terjun
ke gelanggang birokrasi—seketika diikuti oleh keluarga
himpunan di sana-sini.

Jadilah gerakan semata tertuju ke usaha mendekati,


mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di pranata-
pranata kenegaraan yang cenderung elitis dan jauh dari massa-
rakyat. Sedangkan di kala masyarakat mulai menuntut
perubahan akibat ketidakadilan yang terus
bersimaharajalela—seperti dalam meletusnya gerakan
Reformasi Dikorupsi (2019), Mosi Tidak Percaya (2020-21),
dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa
West Papua (2019-2021). PB HMI malah menjadi barisan
terdepan yang menyuntikkan morvin melalui aneka pidato dan
rilis media: meminta menjaga stabilitas dan keamanan, hingga
menegaskan NKRI sudah final. Membangun hubungan
dengan alumni-alumninya yang sekarang telah menjadi kelas
penguasa membuat HMI bergerak tolol: menjadi bagian dari
kekuatan yang melanggengkan status-quo. Padahal sudah
diwanti-wantikan Ali Syari’ati: ‘Islam sebagai agama, adalah
ajaran spiritual dan sosial pertama yang mengandalkan massa
sebagai faktor dasar yang sadar dalam menentukan sejarah
dan masyarakat’. Bukan seperti pendapat Nietzsche, ‘mereka
yang terpilih’: Presiden Indonesia atau Ketum PB HMI. Tidak
pula mengikuti kata Plato, ‘aristokrat dan ningrat’: pengusaha
dari TNI-Polri. Juga tak mengamini pikiran Carlyle dan
Emerson, ‘tokoh-tokoh besar’: alumni-alumni HMI di
birokrasi atau senior-senior di organisasi. Enggan juga
meyakini ucapan Alexis Carrel, mereka yang berdarah biru
atau rahib, pendeta dan ulama. Tetapi lagi-lagi ditegaskan
Syari’ati, ditentukan oleh ‘massa’: mereka adalah kaum

928
miskin dan tertindas. Qur’an memang menjanjikan mereka
kekuasaan di muka bumi, “Dan Kami hendak memberi
karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan
hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS 28: 5)

Hidup di bawah cengkeraman statisme dan kapitalisme,


walaupun selalu dibumbui dengan kehendak untuk
memperbaiki kehidupan rakyat tapi pada kenyataannya tujuan
utama kekuasaan selalu bersifat dominatif dan eksploitatif.
Menghadapi kondisi inilah jalan mencapai pembebasan rakyat
yang sejati hanya dapat terwujud dengan memulai perlawanan
yang dimulai dari perjuangan demokratik yang terus-menerus
dipertajam hingga menjadi perjuangan kelas. Tetapi dalam
melakukannya organisasi pergerakan dituntut untuk memiliki
ideologi revolusioner, kedisiplinan dan bersifat demokratis.
Bertempur memancang ketiga kualitas itu maka terbuka
kemungkinan untuk menggulingkan kekuasaan yang otoriter
sekalipun menjadi mungkin—persis avorisme: ‘dunia lain
adalah mungkin’. Dalam situasi revolusioner di Paris 1986,
menuliskan grafiti yang mengandung pesan pemberontakan,
semangat dan harapan:

Bersikaplah realistik, tuntutlah yang tak mungkin.


Dilarang melarang. Anggap hasratmu sebagai
kenyataan. Komoditi adalah candu masyarakat.
Semakin banyak kau mengonsumsi semakin sedikit kau
hidup…. Larilah, kamerad, dunia kuno di belakangmu.
Di bawah batu-batu trotoar: pantai.576

576
Sean M. Sheehan, (2003), Anarkisme; Perjalanan Sebuah Gerakan
Perlawanan, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, Hlm. 140.

929
Tetapi hakikat perjuangan ini tidak dengan menantang sosok
personal atau sembarangan melawan individu pejabat
despotis. Melainkan pertempuran melenyapkan sistem dan
struktur penindas yang termanifestasikan dalam kekuatan
modal dan negara. Sekitar satu setengah abad yang lalu Marx
menulis: ‘kapital hanya bisa diakumulasikan dengan jalan
penindasan [menggunakan alat-alat represi ideologi, politik,
dan hukum]’. Makanya perkembangan kapitalisme akan
selalu bergandengan dengan perlawanan terhadap eksploitasi
dan keterasingan. Barry Gills memang menemukann paradoks
dalam globalisasi ekonomi—yang bisa dilihat sebagai bentuk
kapitalisme paling kontemporer. Ia bukan hanya melemahkan
tapi juga mengaktifkan kekuatan-kekuatan perlawanan.
Seperti yang tampak dalam krisis global 1998-1999,
ketegangan politik palig penting pada era yang akan datang
adalah antara kekuatan kapitalisme global yang sedang
berusaha memperluas pergerakan modal tanpa kecuali dengan
kekuatan-kekuatan sosial perlawanan yang tengah berupaya
untuk mempertahanka dirinya dari terjangan neoliberalisme.
Di akhir 1990-an kapitalisme tampil penuh kemenangan di
atas puing-puing kebangkrutan rezim-rezim komunis yang
terjadi satu dekade lebih awal. Francis Fukuyama menjelaskan
perkembangan ini sebagai akhir dari sejarah peradaban.
Namun unjuk rasa di Seattle 1999 tidak bisa dipandang
sebelah mata. Sebaliknya, protes tersebut berhasil
membangkitkan perlawanan yang cukup luas terhadap
kapitalisme global.577 Sean M. Sheenan menegaskan bahwa

577
Eric Hiariej, (2012), Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan,
Yogyakarta: institute of International Studies Jurungan Hubungan

930
gerakan itu sebagai bentuk kebangkitan gerakan kiri baru
(sosialisme libertarian: anarkis) dalam menentang
neoliberalisme, terutama dengan mengutip pernyataan
pemberontak Zapatista:

Perang dingin telah usai, persoalan kiamat nuklir


nampaknya sudah lewat, namun rasa ketidakpuasan
malah meletup di sini. Protes ini bukan berasal dari
partai-partai politik kiri (setidaknya bukan dalam
pengertian tradisionalnya, sebab partai-partai tersebut
sama sekali absen di Seattle. Kiri institusional tidak ikut
merencanakan peristiwa ini, tapi solidaritas yang
menjalari pelbagai aliran kelompok demonstran ini
memang bersifat kiri dan libertarian baik dalam
semangat maupun organisasinya…. Gerakan ini
menaruh harapannya pada organisasi-organisasi akar
rumput dan pada protes di panggung internasional.
Inilah konsekuensi dari globalisasi yang membuatnya
ada. Sebagian dari sejarah gerakan yang mengharu biru
di Seattle ini berawal di Selatan pada acara Pertemuan
Internasional demi Kemanusiaan dan Melawan
Neoliberalisme tahun 1996 yang digelar di wilayah
basis pemberontak Zapatista, negara bagian Chiapas,
Meksiko, serta deklarasinya untuk membentuk jaringan
perlawanan baru.

“Jaringan suara yang bukan hanya bicara namun


berjuang demi kemanusiaan. Jaringan lima benua yang
turut menangkal kematian yang disuguhkan Kekuasaan
pada kita. Jaringan tanpa pusat atau pengambilan
keputusan, yang tak memiliki komando sentral atau

Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah


Mada, Hlm. 213, 220.

931
hierarki. Kitalah jaringan itu, kita semua yang
melawan.”578

Jika hegemoni neoliberalisme dimulai dengan dibukanya


Tembok Berlin pada 9 November 1989, maka hegemoni itu
merosot tajam hanya dalam 10 tahun bersama dengan unjuk
rasa pelbagai individu dan organisasi yang berdisiplin pada 30
November 1999, di Seattle, Amerika. Meski gerakan-gerakan
kiri mulai bangkit kembali; Washington Consensus (WC)
1990 yang berisi sepuluh kebijakan neoliberal kebacut
diterima dan diterapkan di banyak negara. Termasuk
Indonesia yang sangat bersemangat dalam menjadikannya
sebagai pedoman bagi pengambilan kebijakannya. Tahu
bagaimana negara menghambakan dirinya kepada kapitalisme
global, maka perjuangan HMI harusnya dapat memberikan
perlawanan terhadap seabrek kebijakan neoliberal. Peristiwa
krisis finansial di Asia 1997-1998 menjadi peristiwa penting
yang terlupakan. Bersama Dana Moneter Internasioal (IMF)
yag sekedar menambahkan resep neoliberalisme dengan dosis
yang lebih tinggi membawa implikasi ideologis yang sangat
serius sampai sekarang. Bahkan membuat demokrasi
Indonesia sepenuhnya dikuasai oligarki dengan penguasa
yang anti-kritik, bebal dan gila. Seenak perutnya mereka
menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) hingga
melejitkan persoalan ketimpangan, penganggurangan,
degradasi lingkungan, kesejahteraan sosial, hukum dan Hak
Asasi Manusia (HAM).

Tanpa mampu mengokohkan persatuan dan menguatkan


disiplin; sangat tidak mungkin HMI untuk melakukan

578
Sean M. Sheehan, Op., Cit, Hlm. 8-9.

932
perlawanan. Bertolak dari Islam sebagai ideologi yang
menginspirasi para mujahid dalam gerakan-gerakan
pembebasan, maka sekarang kader-kader himpunan mesti
belajar dari sejarah pergerakan mereka di masa silam. Soalnya
gerakan organisasi itu tak ubah dengan mobilisasi sebuah
pasukan perang. Dahulu, Perwira Mushalib ibn Khawarij—
dengan sedikit bantuan yang diterimanya dari Umar di
Madinah—dengan mengalahkan kekaisaran Sassania Persia.
Kemudian di bawah pimpinan ‘Amar ibn ‘Ash pasukan Islam
secara gemilang menaklukan Byzantium Romawi. Apa yang
menjadi kunci kemenangannya? Ali Syari’ati menjawab:
‘Timur dan Barat yang bersenjata modern bisa dirobohkan
karena pasukan muslim memiliki [persatuan] dan disiplin
tinggi.579 Dalam kisah tersebut sepatutnya dijadikan pelajaran
oleh HMI selaku organisasi pergerakan kader-kader Islam.
Apabila tidak, benarlah kata Hegel: ‘selama ini pembelajaran
kita akan sejarah adalah tidak pernah belajar dari sejarah sama
sekali’.

Padahal jauh sebelum itu, dalam perang: Uhud, Hunain dan


Ahzab. Nabi Muhammad telah memberi pelajaran bagi
gerakan kader-kade Islam: akibat ketidakdisiplinan
pengorganisiran telah membuat pasukan Islam tidak mampu
mencapai kemenangan agung sebagaiman pada pertempuran
Badar, dengan jumlah kaum Ansar dan Muhajirin 300 orang
berhasil mengalahkan kafir Quraisy yang berjumlah 1000
orang. Daripada berdisiplin dan menguatkan persatuan; malah
pasukan muslim lebih mengutamakan watak konsumerisme.

Ali Syari’ati, (1994), Membagun Peradaban Islam, Bandung: Penerbit


579

Mizan, Hlm. 121.

933
Mereka berebut ghanimah, ketimbang tujuan peperangan—
yang ditafsirkan oleh Syaikh Muhammad Husain Fadhullah
pemrakarsa gerakan Hizbullah—sebagai ‘upaya untuk
menyerang pasukan musuh sebagai bagian pembelaan’.
Menghadapi kondisi inilah mengapa kemudian Rasulullah
SAW meluruskan aqidah dan disiplin pasukan Islam. Dalam
kisah inilah Eko Prasetyo menjelaskan bahwa bersama perang
terdapat pengetahuan keorganisasian yang sangat penting bagi
setiap organisasi gerakan:

Bagaimana meletakkan tujuan iman [ideologis] sebagai


pemandu tindakan di lapangan. Titik terpenting
pelajaran gerakan ada di sini, bagaimana aktivis
pergerakan mempunyai pengetahuan dan kemauan yang
keras untuk mempertahankan prinsip-prinsip
perjuangan. Bersama rasa patuh diikuti dengan
keyakinan untuk percaya terhadap nilai yang dijunjung.
Keutamaan sikap semacam ini—uniknya—
dilambangkan Qur’an sebagai kata: sabar. Istilah
shabarun, yang menurut Quraisy Shihab bermakna,
kemampuan untuk menahan diri, dengan mental baja
untuk meraih cita-cita agung.580

Jika ingin menjadi organisasi gerakan yang berdaya, maka


HMI harus belajar dari sejarah gerakan Islam. Terutama
tentang pentingnya persatuan dan disiplin. Bila saja himpunan
mau berbenah; sudah seharusnya dualisme kepengurusan
segera diselesaikan. Mula-mula mesti ada komitmen bersama
dan tindakan bijaksana untuk rekonsiliasi internal. Kemudian
pada setiap pesta demokrasi HMI tidak boleh menggunakan
580
Eko Prasetyo, (2016), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif Atas Kisah-
kisah dalam Qur’an, Malang: Beranda Kelompok Intrans Publishing dan
Sosial Movement Institute, Hlm. 259-260.

934
praktek many politic; supaya perpecahan tak kembali timbul.
Namun seperti organisasi revolusioner Afrika—FRELIMO:
pemimpin organisasi harus dipilih seorang dari anggota yang
menunjukan kualitas militansi luar biasa:

[Dia] membedakan dirinya [dengan anggota-anggota


lainnya] melalui dedikasinya kepada perjuangan
pembebasan dan penyangkalan kepentingan pribadi
dengan menyerahkan diri kepada perjuangan dan
melayani kepentingan massa-rakyat, serta bersikap
sangat waspada mencegah terpilihnya orang-orang yang
berkecenderungan eksploitatif, walaupun mereka bisa
saja punya pendukung banyak, karena alasan-alasan
subyektif ataupun karena kegiatan demagogis. 581

Sebagai organisasi revolusioner FRELIMO punya metode


kerja yang bisa dijadikan bahan pelajaran untuk semua
organisasi gerakan, termasuk HMI. Metode itu berisi hal-hal
pokok yang dapat diringkas begini: (1) Kebebasan berdiskusi;
(2) Prinsip minoritas mengikuti mayoritas; (3)
Pertanggungjawaban kolektif; dan (4) Kritik dan otokritik
dalam pekerjaan maupun tingkah laku. Bersama pergerakan
seperti inilah Samora Machel dengan lega mempercayakan
kepada para kader-kader organisasinya tugas untuk
mengkritik kesalahan, peyimpangan dan pelanggaran garis
perjuangan serta disiplin organisasi. Karena kritik terbuka dan
pencelaan memberikan pelajaran politik dalam mendidik
setiap aggota menjadi sosok revolusioner. Syahdan, gerakan
mereka menjadi sangat gesit menentang segala macam
pengadilan rahasia dan kesukaan menyusun peraturan-

581
Samora Machel, (2018), Membangun Kekuatan Rakyat, Yogyakarta:
Tanaha Merah Press, Hlm. 34, 49.

935
peraturan yang syarat kepentingan segelintir orang. Kepada
setiap elemen gerakan, FRELIMO memberitahukan:
‘demokrasi di dalam organisasi adalah sarat penting bagi
setiap dan semua orang untuk merasa berkomitmen dan
bertanggung jawab mengenai suatu keadaan, karena muncul
dan berkembangnya situasi itu selalu berkaitan erat’. Samora
Machel juga menegaskan adanya hal-hal penting yang perlu
diperhatikan untuk menjadi organisasi revolusioner:

Pertama, mewujudkan, menanamkan dan


mempertahankan garis perjuangan organisasi; kedua,
menjamin agar disiplin dimengerti dan dipertahankan,
sebagai penjaga kebijakan; ketiga, menjadikan ideologi
sebagai komando disetiap aktivitas; keempat,
mengorganisir setiap sektor kerja, mengorganisirnya
dalam semangat perjuangan antara dua garis yang
memisahkan kita dengan musuh, dan perlunya
memperoleh pandangan yang menyeluruh dan
memadukan tugas utama dengan tugas-tugas
revolusioner lainnya; kelima, mengorganisir dan
membimbing para militan dalam menganalisis secara
kritis kegiatan individual maupun kolektif dan dalam
mensintesakan pengalaman-pengalaman, membuat
inisiatif, menciptakan inovasi, dan kemajuan; keenam,
mengorganisasi dan membimbing sektor kerja dalam
menjalankan pendidikan politik, baca-tulis, menaikkan
tingkat ilmiah dan mempelajari dan menganalisa
keadaan kita dengan musuh; ketujuh, mempertahankan
ofensif (kerja-kerja dalam bentuk advokasi, aksi,
pendidikan penyadaran kaum tertindas, dan lain-lain)
yang intensif dan konsisten untuk perjuangan kolektif
dan membersihkan jajaran kita dari unsur-unsur yang
tidak bisa diperbaiki, yang tidak bisa ditembus oleh
garis perjuangan dan bersikukuh dengan selera-selera,

936
kebiasaan-kebiasaan dan kekeliruan-kekeliruan yang
korup, serta menolak untuk berubah; kedelapan,
mengorganisasi dan membimbing studi tentang
pengalaman teoritis dan praksis revolusi-revolusi lain,
sehingga bisa menarik pelajaran-pelajaran yang
berguna bagi keadaan dan mendidik militansi dengan
semangat revolusioner internasional.582

Suatu tauladan menjadi organisasi revolusioner dapat pula


diambil dari Ikhwanul Muslimun pimpinan Hasan Al Banna
di Mesir. Mereka melakukan perekrutan anggotanya secara
aktif melalui pidato, kuliah umum, upacara dan penerbitan—
Ikhwan menanamkan kepada setiap kadernya prinsip
perjuangan fundamental dalam Qur’an.583 Pertama,
‘berkomitmen’. Seperti kata Banna saat Muktamar Ikhwanul
Muslimun yang berlansung di Dar Ali Lutfillah pada 11
Dzulhijjah 1459 H: ‘tidak ada satu pun di antara kalian, baik
yang hadir maupun yang tidak hadir dalam Muktamar ini,
yang bermaksud memburu kesenangan duniawi di bawah
naungan bendera dakwah. Kalian mengorbankan jiwa dan
raga tidak lain hanya bersandar kepada Allah dengan
mengharap pertolongan dan pahala dari-Nya’.584 Kedua,
‘berpemahaman’. Allah telah melimpahkan kepada kader
Ikhwan rahmat-Nya, sehingga dapat memahami Islam dengan
pemahaman yang bersih, mudah dan menyeluruh sesuai
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan umat, serta
mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Pemahaman yang

582
Ibid, Hlm. 75-76.
583
Hasan Al Banna, (2018), Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2,
Surakarta: Era Adicitra Intermedia, Hlm. 73-76.
584
“Cukuplah Allah sebagai pelindung dan cukuplah Allah sebagai
penolong,“ (An-Nisa’: 45).

937
jauh dari kebekuan dan keserbabolehan, keruwetan filsafat,
dan dari sikap berlebihan maupun menyepelekan, bersandar
pada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, juga sejarah
Salafusaleh, hati yang bersih dan akal yang jernih. Kader
Islam mengenal Islam dengan segala dimensinya: akidah dan
ibadah, negara dan bangsa, moral dan materi, dunia dan
akhirat, toleransi dan kekuatan, serta peradaban dan undang-
undang.585

Ketiga, ‘ukhuwah (persaudaraan)’. Setiap syu’bah (cabang)


Ikhwan merupakan kesatuan ruh dan hati yang disatukan oleh
tujuan yang luhur: satu cita-cita, satu penderitaan dan satu
perjuangan. Kesatuan yang harmonis ini ada karena antara
satu dengan yang lainnya saling mengikat, saling
berhubungan, saling meyanyangi, dan saling menghargai.
Masing-masing merasa sebagai bagian yang penting dari yang
lainnya, bagaikan batu-bata bangunan yang saling
menguatkan.586 Keempat, ‘jihad’. Merupakan upaya-upaya
pembebasan dari penindasan. Kader Islam siap beramal dan
beruJang demi menegakkan kebenaran. Rumah-rumah di
mana saja siap digunakan untuk aktivitas dakwah, pembinaan
dan pengarahan. Berbagai perkumpulan secara rutin
mengadakan latihan jasmani dan rohani, dengan penuh
antusias dan senang hati. Ideologi-ideologi gerakan tersebar di
pelbagai pelosok desa dan kota lewat cabang-cabang. Mereka
saling menolong, membahu dan berlomba berbuat kebaikan.
Ceramah dan tulisan disebarkan demi mengungkapkan

585
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia
dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kalian,” (Al-Baqarah: 143).
586
“Sesungguhnya orang-orag beriman itu bersaudara,” (Al-Hujurat: 10).

938
keindahan, kecemerlangan dan kekuatan progresif Islam.
Pengiriman utusan untuk tafaquh fiddin (mendalami ilmu
agama) dan mengajarkannya kepada manusia tidak pernah
berhenti. 587 Kelima, ‘pengorbanan’. Dakwah yang dijadikan
alat perjuangan Ikhwan dilaksanakan dengan jalan yang suci.
Maka kepemilikan materil individu demi diswadayakan untuk
kepentingan organisasi. Sehingga dana-dana perjuangan
didapatkan dari kantong pribadi tiap-tiap kader.588 Keenam,
‘ikhlas’. Kader Islam yang terhimpun dalam Ikhawanul
Muslimun bukan untuk bersombong dan bermegah-megahan
melainkan secara tulus berjuang tanpa pamrih. Perjuangan
berpangkal dari keimanan, keikhlasan, kesatuan, dukugan dan
pengorbanan atas berkat rahmat dan ridha-Nya.589

Dalam gerakannya bersama Ikhwanul Muslimun, Banna


melakukan dua perlawanan gigih: (1) menerapkan etika sosial
Islam dalam kegiatan dan layanan yang nyata menjangkau
komunitas; dan (2) melaksanankan perlawanan secara politik,
terutama atas pendudukan Inggris di Terusan Suez dan Kaum
Zionis di Palestina. Perjuangan revolusioner itu telah
mengukuhkan jaringan Ikhwan dengan dunia Arab lain,
seperti Suriah dan Yordania. Aktivitas politik ini juga telah
mendorong Ikhwanul Muslimun untuk megembangkan
kegiatan media cetak dan melaluinya Banna
mengkomunikasikan—pada tahun 1936—gagasannya secara

587
“Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia member petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya,” (Al-An’am: 88)
588
“Sesungguhnya Allah telah membeli diri orang-orang mukmin, diri dan
harta mereka, dengan memberikan surge untuk mereka,” (At-Taubah: 111).
589
“Sebenarnya Allah-lah yang melimpahkan nikmat kepada kalian degan
menunjuki kalian kepada keimanan, jika kalian adalah orang-orang yang
benar,” (Al Hujurat: 17).

939
langsung kepada raja, perdana menteri, serta semua kepala
negara-negara Arab. Dalam pengamatan John L. Espito dan
John o. Voll, prestasi terpenting Ikhwanul Muslimun
sekaligus sumber kekuatan dan kredibilitasnya adalah sejauh
mana ia dapat menciptakan suatu tatanan alternatif dan
normatif dengan landasan agama dan pertimbangan-
pertimbangan politik, sosial dan ekonomi. Tatanan alternatif
memberikan suatu pandangan dunia ideologis yang
didasarkan atas dan dilegitimasi oleh agama serta
menawarkan sistem pelayanan sosial alternatif yang
menunjukkan relevansi dan efektifitas agama dengan realitas
dan masalah-masalah sosial. Akibatnya, Islam akan dianggap
sebagai agen perubahan yang efektif dan sekaligus sebagai
tantangan atau ancaman. 590

Dengan menjulurnya status quo yang telah lama membaluti


hajat hidup rakyat; sudah seharusnya HMI mulai merubah
gerakannya: dari akomodatif, terkooptasi, kooperatis, menuju
gerakan progresif sebagai organisasi revolusioner. Jika saja
tersadarkan untuk berubah, maka sudah saatnya himpunan
mendayagunakannya seluruh kekuatannya untuk melawan
struktur dan sistem yang tidak ideal ini: struktur dan sistem
yang mengeksploitasi rakyat-pekerja dan membunuh rakyat
miskin setiap detiknya. Itulah mengapa perlu diuladani apa
yang diajarkan Ikhwanul Muslimun. Pertama, ‘menjauhi titik-
titik khilafiyah’. Dalam hal ini Ikhwan berkeyakinan bahwa
kekuasaan pada pranata kenegaraan sering kali menimbulkan
perpecahan. Begitulah peristiwa tatkala zaman para sahabat

590
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 69.

940
dan akan terus-menerus terjadi sampai hari kiamat. Kedua,
‘menjauhi dominasi tokoh dan pembesar’. Tokoh dan
pembesar kerap kali berpaling dari dakwah (perjuangan)
dengan berorientasi pada tujuan dan ambisi pribadi. Ketiga,
‘menjauhi fanatisme partai dan golongan’. Partai [borjuasi]
dan golongan hanya dapat minumbulkan pertentangan dan
saling merendahkan. Keempat, ‘memperhatikan masalah
takwin (pembentukkan kepribadian) dan tadarruj (bertahap)
dalam langkahnya’. Dimulai dari: (1) Fase Ta’rif
(Pemberitahuan): penyampaian, pengenalan dan penyebaran
fikrah (ideologi) sehingga dapat terpatri dalam diri anggota
dengan segenap tingkatan sosialnya, (2) Fase Takwin
(Pembentukan): melakukan seleksi terhadap aktivis yang
sudah terekrut, mengoordinasikan, dan memobilisasi untuk
berinteraksi dengan rakyat, dan (3) Fase Tanfidz (Aksi):
merupakan tahapan pelaksanaan amal menuju produktivitas
kerja perjuangan yang optimal.

Kelima, ‘mengutamakan sisi amaliah yang produktif di atas


seruan-seruan dan propaganda-propaganda kosong’. Sehingga
menjauhkan organisasi dari mengoceh tanpa kerja nyata yang
dampak negatifnya ialah kesesatan da kerusakan. Keenam,
‘sangat menaruh perhatian pada pemuda’. Universitas
dijadikan markas untuk menebarkan gagasan yang
menanamkan idealisme kepada para pemuda. Ketujuh, ‘cepat
berkembang di pedesaan dan perkotaan’. Pembacaan akan
realitas penindasan yang terjadi dalam negeri dapat dijadikan
sarana penyadaran untuk menyebarluaskan semangat
perlawanan. Dalam melebarkan sayap organisasi Ikhwan tidak
meminta-minta sumbangan kepada pemerintah. Ikatan yang
ada antara cabang-cabang Ikhwan bukan sekedar nama atau

941
tujuan. Tetapi ikatan kasih sayang, kerja sama, kesucian amal
dan persaudaraan di jalan dakwah (perjuangan). Maka
hubungan kantor pusat dengan cabang-cabang Ikhwan bukan
seperti atasan dan bawahan tetapi berdasarkan kekeluargaan.
Sehingga Cabang-Cabang di pedesaan dan perkotaan tidak
melulu menunggu instruksi dari kantor pusat. Namun
berinisiatif untuk bekerja di setiap lini sosial. Untuk
kepentingan itu bermunculan organisasi-organisasi (wajiah)
yang terkait dengan setiap bidang garap.591

Tidak hanya gerakan Ikhwan, organisasi revolusioner lainnya


yang patut ditauladani adalah Ejercito Zapatista de Liberacion
Nacional (EZLN) atau yang dikenal luas dengan gerakan
Zapatista. Pesona gerakan perlawanan petani adat di Chiapas,
Meksiko Tenggara, tidak terlepas dari sosok Subcomandate
Marcos. Sejarah politik revolusioner Amerika Latin takkan
pernah sama lagi semenjak kemunculannya. Marcos bercerita,
berpuisi, menganalisa, membedah, menelaah, melantur,
meracau, membanyol, merayu. Lewat komunike dan surat-
suratnya—yang melipat dua oplah surat kabar yang
memuatnya—ia menciptakan tokoh-tokoh yang bisa menjadi
medium pengungkapan gagasannya dalam mengungkai
paradoks globalisasi dan kepalsuan neoliberalisme. 592 Tentara

591
Hasan Al Banna, (2018), Risalah Pergerakan Ikwanul Muslimin 1,
Surakarta: Era Adicitra Intermedia, Hlm. 206-220.
592
Pesona gerakan ini telah berhasil menarik simpati dunia. Forum-forum
aksi internasional macam People’s Global Action dan World Social Forum
juga bercikal bakal dari pertemuan antarbenua demi kemanusiaan dan
melawan neoliberalisme yang dirintis di Wilayah Zapatista. Bila gerakan
Sandinista pada tahun 80-an hanya mampu menginspirasi kelompok music,
sosial dan kesenian, Zapatista bahkan bisa menggerakan klub sepak bola
sebesar Inter Milan untuk menyumbangkan 5.000 euro bagi desa-desa

942
Pembebasan Nasional Zapatista meski sebelumnya melakukan
pemberontakan, namun sekarang mereka bukan hadir untuk
merebut kekuasaan apalagi dengan menghalalkan kekerasan.
Melainkan mengupayakan tergapainya ruang politik yang
selama ini tidak memenuhi tuntutan dan aspirasi rakyat
miskin. Marcos nyatakan dengan tegas tentang gerakan
organisasinya:

Ini gerakan yang memiliki keyakinan tangguh untuk


ikut terlibat dalam penentuan kebijakan yang
sasarannya adalah mereka. Kaum miskin dan
masyarakat adat tak bisa hanya diukur mengikuti
diktum deret ukur, atau mereka diberikan sedekah ala
kadarnya. Mereka ingin terlibat, ikut menentukan,
memastikan bahwa keputusan politik apapun yang
berkenan dengan mereka, wajib mempertimbangkan
dan melibataktifkan mereka. Maknanya tidak
sederhana. Konsekuensinya tidak mudah. Mereka
dituntut untuk merumuskan cita-cita politik yang
mutlak harus mereka perjuangkan sendiri. Dalam
cakupan harapan seperti ini Zapatista memang tidak
saja berhadapan dengan penguasa licik melainkan juga
lembaga keuangan internasional yang memaksa
Meksiko membuka pintu seluas-luasnya untuk
investasi. Tanah tidak lagi dijarah oleh tuan tanah tapi
agen-agen perusahaan yang berkedok dan dilindungi
oleh aparatur negara.

Marcos memberikan contoh akan sikap organisasi gerakan


dalam melawan penindasan: membangkitkan perlawanan
yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Zapatista mengambil

otonom Chiapas (Subcomandate Marcos, (2005), Kata Adalah Senjata,


Yogyakarta: Resist Book, Hlm. vi).

943
sikap revolusioner dengan memposisikan diri terlibat dan
bersatu dengan rakyat tertindas. Marcos memberikan bekal
pengetahuan sempurna bagaimana mengarahkan gerakan agar
kaum miskin mampu melihat jaringan kekuasaan yang
menindas rakyat kecil. Zapatista memberikan tamparan yang
serius atas pemerintah Meksiko. Organisasi ini tidak lagi
mengharap belas kasih dari penguasa korup. Dalam kawasan
Lacandon Meksiko, mereka mendirikan ‘Junta Pemerintahan
yang Baik’. Sebuah sistem yang menolak cara pasar
membinasakan yang lemah. Mereka berpendirian bahwa
pengakuan atas martabat kemanusiaan bisa jadi jiwa
hubungan antar-anggota masyarakat. Untuk bidang
pendidikan dan kesehatan, Marcos mengatakan:

…pendidikan itu gratis dan komite pendidikan


menempuh upaya besar (kuulangi: dengan dukungan
masyarakat sipil) untuk memastikan bahwa tiap-tiap
siswa memiliki buku catatan dan pensilnya sendiri
tanpa harus membayarnya. Di bidang kesehatan,
ditempuh upaya-upaya untuk memastikannya bahwa
kesehatan juga gratis. Di beberapa klinik Zapatista,
companere tidak lagi diminati bayaran, tidak untuk
obatnya, tidak untuk operasi (bila diperlukan dan bisa
dikerjakan dalam kondisi kami) dan di beberapa klinik
lainnya harga obat yang diminta, tidak untuk konsultasi
atau perawatan medis.

Diungkapkan oleh Eko Prasetyo (2009) bahwa EZLN tinggal


bersama masyarakat adat di Chiapas, Meksiko. Masyarakat
adat itu yang terus digempur oleh kebijakan buas
pembangunan dari penguasa-penguasa korup dan gila. Walau
desakan mereka atas pengakuan masyarakat adat jadi tuntutan
utama gerakan, tapi jangkauan tindakan mereka sangat luas—

944
melebihi luasnya hutan Lacandon. Gema tulisan Marcos
hingga kini mampu menyentuh semua kalangan dan
menjangkau solidaritas yang tak terbatas. Ia menentang apa
yang menjadi sasaran perlawanan kalangan miskin di seantero
dunia: pengenyahan petani dan semua bersangkut paut dengan
pedesaan. Ketika desa ditanggalkan dan pembangunan lebih
memilih untuk memperluas kota, maka pilihan buruk ini akan
mengantarkan kemiskinan mejadi tragedi banyak warga.
EZLN lantas menjawab bukan dengan mendirikan partai
politik sebagai pilihan primitif yang miskin imajinasi. EZLN
semula memang pasukan bersenjata tetapi kemudian
melaksanakan perjuangan dengan mengembangkan basis dan
akar di masyarakat adat. Komunike-komunike yang
dikeluarkan oleh Marcos memberi sinyal dari mandat dan
tujuan akan pengakuan hak yang lebih dalam. Hak atas
keberadaan masyarakat adat dan menolak berbagai bentuk
penghambaan. Mengutp istilah Gramsci, EZLN telah
mengubah strateginya dari ‘perang manuver’ yang menentang
kekuasaan negara melalui kekuatan bersenjata menjadi
‘perang posisi’ yang menandingi kepemimpinan intelektual
dan moral dari kelas yang berkuasa di Meksiko. Seperti kredo
EZLN: ’Kita tidak sedang menghimbau untuk angkat senjata,
tapi kita ingin bernyanyi untuk mereka yang berani berteriak:
“cukup adalah cukup!’593

Dengan demikian dalam menjadi organisasi revolusioner,


maka harus mengalungkan pencerahan, mengembangkan dan
bergerak bersama rakyat. HMI yang mempunyai banyak

593
Lihat Eko Prtasetyo, (2009), Kaum Miskin Bersatulah!, Yogyakarta:
Resist Book.170-171.

945
lembaga sesungguhnya memiliki segenap sumber daya untuk
membangkitkan kekuatan rakyat. Terutama dengan
menorehkan kerja-kerja kemanusiaan dan berhenti melakukan
seminar atau program yang hanya menyasar kaum borjuis.
Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) sudah saatnya
dioptimalkan peran dan fungsinya. Waktunya lembaga ini
menghimpun pelbagai tulisan kader yang mendorong gagasan
perubahan. Kemudian didistribusikan gagasan-gagasan itu
kepada massa-rakyat sebagai tindakan penyadaran lewat
propaganda rutin. Kalian mesti mengerti: dalam
mengendorkan hegemoni kapitalisme sangat perlu
membangkitkan kesadaran perlawanan melalui artikulasi
ideologi ke dalam tulisan. Begitulah yang diperbuat kedua
anggota Sarekat Islam (SI): Haji Misbach594 dan Mas Marco
Kartodikromo595 pada zaman pergerakan, yang strukturnya

594
H. Mohammad Misbach, lahir pada 1876 di Kauman, Surakarta.
Kehidupannya didedikasikan untuk mengangkat derajat rakyat miskin dan
tertindas. Sosok aktivis ini memiliki keahlian melakukan propaganda.
Aspek propaganda Misbach terasa kental dalam tulisan-tulisannya di surat
kabar Medan Muslim dan Islam Bergerak. Di masanya, Ia bahkan
mengecam sikap lunak Muhammadiyah dan Tjokroaminoto. Namun tokoh
SI yang satu ini, karena sikap kritisnya sampai diberi stigma ‘Haji
Komunis’. Dijelaskannya korelasi Islam dan Komunisme sebagai modal
penting perjuagan untuk kemerdekaan. Semangat itulah yang kita temukan
dalam artikel-artikelnya semisal “Semprong Wasiat”, Islam dan
Aturannya”, ataupun serial tulisan “Islam dan Komunisme (lihat HM.
Misbach, (2016), Haji Misbach Sang Propagandis, Yogyakarta: Kendi,
Hlm. ix.
595
Marco Kartodikromo atau biasa dikenal Mas Marcos, lahir di Cepu,
Blora, Jawa Tengah, pada 1890, bertepatan dengan terjadinya
pemberontakan Samin. Ia adalah seorang wartawan dan aktivis pergerakan
anti-kolonial. Ia pernah menjabat Sekretaris SI di Solo. Ia merupakan anak
kelima dari Mas Karowikoro, seorang asisten wedana. Ia juga pendiri surat
kabar Doenia Bergerak (1914). Pemerintah kolonial Belanda
memenjarakannya mulai dari tahun 1915, Mei 1917, Februari 1918, lantas
diasingkan ke Digul, Papua, hingga meninggal dunia (lihat Agung Dwi

946
masih sama dengan Indonesia dewasa ini. Tak peduli
dimobardil intimidasi dan beragam tindakan kekerasan dari
pemerintah kolonial Belanda, Misbach bilang: ‘Kawan kita
banyak yang melarikan diri sebab takut, tetapi saya mesti
bekerja sampai mati untuk pergerakan’.

Komitmen radikal itu mengarahkannya untuk meninggalkan


lingkungan kemegahan kraton menuju kekumuhan akar
rumput demi melaksanakan perjuangan pembebasan rakyat
pribumi. Walau Misbach sempat sukses dalam usaha batik,
namun watak revolusioner mendorongnya menuju aktivitas
penyadaran massa bersama organisasi Inlandsche
Journalisten Bond (IJB) yang didirikan oleh Marco pada 31
Januari 1914, dan kemudian memulai perjuangan melalui
surat kabar Doenia Bergerak sebagai corong propagandanya.
Setelah itu dia juga memimpin redaksi dan melancarkan aksi
propaganda di surat kabar Medan Moeslim dan Islam
bergerak. Dengan melancarkan gerakan ini, ia sebenarnya
telah meruntuhkan klasifikasi klasik tentang tiga faktor
dominan dalam pergerakan rakyat anti-kolonial: nasionalisme,
Islam dan komunisme. Diakui Takashi Shiraishi bahwa
gagasan, propaganda dan aksi-aksi Misbach diwarnai oleh
ketiga pandangan tersebut. Dirinya berucap:

Jika kita membuang klasifikasi itu, maka pergerakan


nasional akan tampak khas. Di zaman pergerakan,
pemimpin pergerakan berpikir, menulis dan berkata
serta bertindak sebagai orang pertama. Karena

Hartanto, (2008), Karya-Karya Lengkap Mas Marco Kartodikromo:


Pikiran, Tindakan dan Perlawanan, Jakarta: Boekoe, Hlm. 42).

947
dicerahkan oleh kata-kata dan perbuatan mereka, rakyat
melihat dunia dan bergerak. 596

Pemuda-pemuda di zaman pergerakan sadar akan pentingnya


media sebagai alat penyampai gagasan berkemajuan dan
pengayaan wawasan publik. Dalam mencapai perubahan,
mereka memanfaatkan koran sebagai medium perlawanan.
Senada dengan seruan Lenin:

Bagaimanapun juga, penyebaran Koran seharusnya


tidak terbatas pada penyebaran ide-ide, pendidikan
politik dan pendaftaran sekutu-sekutu politik. Sebuah
koran tidak hanya melakukan propaganda dan agitasi
kolektif, tetapi juga harus menjadi organisastor kolektif.

Landasan sikap itulah yang termanifestasi pada tindakan


Misbach tatkala mengombinasikan cara propaganda lisan dan
tulisan. Dengan mewujudkan muara kombinasi tersebut dalam
aksi dan praktek konsolidasi rakyat di berbagai tingkatan.
Maka disemainya pembentukan organisasi SATN (Sidiq,
Amanah, Tableg, Vatonah)—sebuah perkumpulan para kiai
yang dikemudikan untuk menerapkan ajaran Islam sebagai
alat pembebasan. Di sisi lain, dia juga menjadi pelopor dalam
gerakan PKBT (Perkumpulan Kaum Buruh dan Tani)—
organisasi yang dijadikan sebagai alat perjuangan melawan
penindasan perkebunan. Selanjutnya Misbach ikut bergabung
pula menjadi propagandis Insulinde, National Indesche Pratij-
Sarekat Hindia (NIP-SH), SI Merah dan Sarekat Rakyat (SR).
Tugas menggerakan rakyat ini dilaksanakan Misbach melalui
pidato-pidatonya di tiap-tiap rapat umum dan rapat

596
Takashi Shiraishi, (1997), Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa
1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, Hlm. 76.

948
tersembunyi. Penyebaran gagasan progresif-revolusionernya
dijalaninya pula sebagaimana sepak terjang Mas Marco:
melaksanakan perjuangan perlawanan berbekal penebaran
pemikiran provokatif pada surat kabar.

Di media massa itulah pemikiran-pemikiran Marco tertuang.


Ia sudah berlatih menuangkan gagasannya semenjak magang
di Medan Prijaji yang didirikan oleh Tirto Adi Soerjo.
Mereka sama-sama menyadarkan dan menggerakan rakyat
lewat surat kabar yang kritis terhadap Pemerintah Hinda
Belanda. Kelak Medan Prijaji yang terbit di Bandung pada
Januari 1907 hingga Januari 1912 ini dikenal sebagai koran
nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu
(bahasa Indonesia). Seluruh pekerja-pekerjanya; mulai dari
pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah
dari golongan pribumi.597 Sementara Tirto adalah orang
pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat
propaganda dan membentuk pendapat umum, serta berusaha
menarik perhatian kaum muda supaya sadar, bergerak, dan
memihak pada rakyat miskin dan tertindas. Namun tatkala
koran iini bangkrut, Marco mendapat undangan dari
Martodharsono untuk mengelola Saratomo, surat kabar milik
Sarekat Islam (SI) Surakarta pada 1912. Di situlah kelak ia
juga mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) dan
menerbitkan Doenia Bergerak pada 31 Januari 1914. Lewat
propagandanya Marco berjuang tanpa pamrih membela
korban-korban dari kapitalisme dan negara. Agus Dwi
Hartanto melukiskan perjuangannya begitu rupa:

597
Pramoedya Ananta Toer, (1985), Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra,
Hlm. 63.

949
Ia menginginkan kehidupan yang damai dan rukun
antar bangsa, dan hanya kepada Tuhan yang Maha Adil
ia berharap agar menolong bangsanya yang sengsara
serta menderita ketidakailan. Dia ingin sesegara
mungkin melihat keadilan, kepandaian dan
kesejahteraan bagi bangsanya.598

Berulang kali ditahan pemerintah kolonial tak membuat


dirinya jerah. Bahkan sekeluarnya dari penjara pada 30 Maret
1918, Marco kembali ke dunia pergerakan dan menjadi
redaktur surat kabar Sinar Djawa sekaligus sebagai Komisaris
SI Cabang Semarang yang berkali-kali menggerakan buruh
untuk melaksanakan mogok. Bersama surat kabar dan
organisasinya ia mendukung berbagai pemogokan buruh yang
teratur untuk memperbaiki nasib, mencari keadilan, dan
melawan perbuatan sewenang-wenang Belanda. Kini, dari
Misbach dan Marco dengan koran-koran yang dikelola
keduanya sebagai corong organisasinya itu pulalah HMI
sekarang dapat mengambil pelajaran perjuangan via media
massa. Sebab menjadi organisasi yang revolusioner dituntut
dapat merasuk ke alam pikiran massa rakyat. Untuk
menyusup dan membangkitkan kesadaran masyarakat
dibutuhkan sebuah senjata surat kabar dan amunisi tulisan-
tulisan progresif dari kader organisasi. Itulah HMI mesti
menghidupkan kembali program masa lalunya—saat Fase
Pembinaan HMI Sebagai Organisasi Kader dan Alat
Perjuangan Bangsa—yang pernah direkam oleh Agus Salim
Sitompul begini:

598
Agung Dwi Hartanto, (2008), Karya-Karya Lengkap Mas Marco
Kartodikromo: Pikiran, Tindakan dan Perlawanan, Jakarta: Boekoe, Hlm.
84, 103.

950
…untuk memasyarakatkan pemikiran-pemikiran HMI,
media massa merupakan alat yang ampuh. Sejak 1
Agustus 1954, PB HMI menerbitkan Majalah Media
yang menjadi corong resmi organisasi dalam
menyuarakan aspirasi umat dan bangsa, juga berfungsi
sebagai penyebar kebudayaan Islam dan kebudayaan
pada umumnya, serta pembawa suara pembaharuan
yang dicetuskan HMI.599

Sekarang Lapmi telah berdiri di seabrek Cabang HMI se-


Indonesia, tapi jarang ada bulletin, surat kabar atau media
online resmi yang dimiliki sebagai alat propaganda organisasi.
Daripada membuat media sendiri dan melaui mengembangkan
program jurnalistik, lembaga ini di banyak Cabang justru tak
tentu arahnya dan bahkan ada-ada pula yang mati. Memang
terdapat segelintir media online yang dikelola atau diawaki
oleh kader HMI, namun mereka yang menjadi jurnalis,
wartawan atau editor bukanlah anggota-anggota Lapmi.
Hanya tak jarang tebaran kekecewaan yang dituliskan mereka
di media mampu memprovokasi, meraih dukungan, dan
menggerakan massa. Tengoklah bagaimana Universitas
Mataram (Unram) menaikan ongkos kuliah tanpa
mempedulikan calon mahasiswa miskin. Kala itu banyak
sekali kawan-kawan HMI di Unram menggiring isu lewat
media: Dhen Malaka, Satria Madisa, Alan Ananami, Aldiara
Elang dan lain-lain. Rupanya mereka sadar akan kekuatan
tulisan dalam menelanjangi realitas yang menampilkan
kedangkalan.

599
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 44.

951
Tulisan mereka dalam bentuk opini dan rilis dikirim ke media
online, setelahnya diviralkan ke grup facebook: info maba
Unram, info mahasiswa Unram, keluarga ideologi HMI
Komisariat Hukum. Judul pemberitaan juga amat menghela
emosi: Unram Naikan Ongkos Kuliah Pakai Cara
Machiavelli, Tidakkah Mahasiswa Sadar dan Lawan?; Orang
Miskin Dilarang Masuk Unram, Mikirin Unram Elang Curhat
Tentang Pejabat Kampus dan Mahasiswa Lho, Bagi Unram
Kemiskinan Adalah Kematian, Mahasiswa Miskin Mana Ya?;
Mahasiswa Unram Sudah Kaya-kaya, BEM-DPM Sentosa
dan Birokrasi Bahagia; Unram Naikan UP, Satria: Sudah
Konstitusional! Dhen: Mana Keadilan?; Parasit Pendidikan,
Unram Kesurupan Uang! Geram Rukiah WR II dan Hajatkan
Boikot Kampus.600 Selama beberapa waktu warta ini
disebarkan, akhirnya gayung bersambut: Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Unram kemudian terketuk hatinya untuk
melakukan Konsolidasi Akbar hingga meraih dukungan
seluruh elemen mahasiswa—yang diberitakan dengan judul:
Mahasiswa Unram, Mundur Ditindas Atau Bangkit Melawan
Iblis? Diam Adalah Pengkhianatan! dan BEM; Mahasiswa
Tanggalkan Kenyamanan Semu, Jika Keadilan Ditegakkan
Kebenaran Tidak Diperlukan Lagi.601

Setelah propaganda telah dimasifkan, tiba pada Rabu


(26/06/2019) pagi, ratusan mahasiswa Unram yang tergabung
dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Kampus (AMPK)
melancarkan protes besar-besaran. Mahasiswa-mahasiswa

600
Kumpulan judul tulisan ini dimuat mulai dari tanggal 16-25 Juni 2019,
untuk melihatnya buka situs media online: https://patriot.id/
601
Dua tulisan ini kembali dimuat di situs media online: https://patriot.id/,
tanggal 25-26 Juni 2019.

952
dari setiap fakultas keluar membanjiri jalanan-jalanan
kampus. Mereka berbondong-bondong datang dari arah barat
dan timur mengepung rektorat Unram dengan membawa 13
tuntutan yang berpoin utama: penghapusan kebijakan uang
pangkal yang membelenggu calon mahasiswa miskin. Maka
aula rektorat menjadi lautan massa, karena telah dikepung
mahasiswa dari beragam penjuru mata angin. Para demonstran
bertahan sampai sore, karena menolak membubarkan diri
hingga birokrasi memberi respon. Singkat cerita: tuntutan-
tuntatan mahasiswa dijawab oleh Rektor Unram, beberapa di
antaranya mengabulkan penghapusan uang pangkal untuk
calon mahasiwa baru dari keluarga miskin berdasarkan syarat
tertentu.602

Saatnya HMI berkaca juga pada gerakan Komite Penyelamat


Organisasi Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP). Mereka
mempunyai surat kabar resmi yang diberi nama Arah Juang.
Misi untuk membangun ‘Partai Kelas Buruh’ dan visi
‘Mewujudkan Sosialisme Sejati’ disemai dengan upaya-upaya
penyadaran kelas. Lewat media online dan surat kabar.
Gagasan-gagasan yang membongkar seluk beluk rusaknya
kekuasaan diedarkan untuk membuka banyak orang. Bahkan
pengorganisiran buruh di pelbagai daerah dilakukan lewat
kerja-kerja jurnalistik yang provokatif. Perlawanan-
perlawanan terhadap perusahaan yang dengan seenak jidad
menurunkan upah dan mem-PHK pun dapat terus

602
https://katada.id/soroti-kebijakan-kampus-mahasiswa-kepung-rektorat-
unram/, https://patriot.id/ingat-mahasiswa-rektor-unram-janji-penuhi-
tuntutan-ampk-hasilnya-akan-disosialisasikan/, https://katada.id//setelah-
didemo-unram-hapus-uang-pangkal-calon-mahasiswa-tidak-mampu/,
https://patriot.id/dituntut-mahasiswa-rektor-unram-kasih-13-jawaban-
gerakan-mau-diarahkan-ke-mana/

953
digencarkan. Buruh-buruh tertindas kemudian mampu
mengkonsolidasikan pergerakan menjadi masif. Memang
media bukan hanya menyebarkan informasi datar, namun
paling penting adalah mengorganisir perlawanan atas para
penindas. Maka benarlah katanya Semaoen: ‘pergerakan itu
lawan ketentraman’. Inilah mengapa ukuran pergerakan bukan
hanya pribadi yang baik, tapi kekuatan.

Kekuatan itulah yang terpancar dalam ledakan pemogokan


yang dipimpin Semaoen pada awal-awal tahun 1918. Protes
besar menyebar ke mana-mana; di setiap pabrik pemogokan
rakyat miskin terjadi. Buruh tergerakan oleh pikiran-pikiran
berani Semaoen. Apalagi setelah koran Sinar Djawa dipimpin
oleh Semaoen. Surat kabar yang kemudian mengubah haluan
menjadi lebih progresif. Pada masa Semaoen di Sinar Djawa
terbit 4 halaman setiap hari (kecuali hari Ahad, Jum’at, dan
hari besar)—selain beredar di Nusantara—koran ini juga
sampai ke benua Amerika dan Eropa. Setiap mau
menggerakan massa untuk melakukan aksi, Semaoen selalu
menyerukan tulisan dengan kata-kata dahsyat:
‘PROKLAMATOR MOGOK SAREKAT ISLAM
SEMARANG: Awas! Awas! Awas!!!!!’ Kelak di SI
Semarang, Semaoen bersama Tan Malaka juga membuat
media bernama: Njala. Lewat tulisan di media massa, lagi-lagi
kesadaran massa-rakyat dibangkitkan. Dalam tulisan awal
berdirinya Njala, dia langsung mengajak rakyat untuk
senantiasa melawan kekuasaan yang zalim:

Saoedara-saoedara! Sekarang kamoe kalah dalam


pertandingan, tetapi kami pertjaja bahwa di kemoedian
kamoe akan dapat djalan djoega oentoek menoentoet

954
kemenangan asalkan kamoe maoe menoentoet! Ra’jat
Indonesia, sadarlah atas pendirian klas jang ada
padamoe dan pertjajalah bahwa kemenangan klasmou
itoe hanja bergantoeng atas kekoetanmoe!

Tetapi Semaoen mengkahiri masanya sebagai aktivis


pergerakan sangatlah cepat. Diakhirinya masa aktivisnya
bukan atas keinginan sendiri melainlan tekanan kolonial yang
berat. Kala itu dia memimpin mogok buruh kereta api
terbesar: 10.000 buruh kereta api yang ada di Semarang,
Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Pekalongan, Tegal dan
Cirebon melaksanakan serempak. Pemogokan ini berujung
pada pembuangan Semaoen. Dalam usia 24 tahun ia didepak
meninggalkan Hindia Belanda karena dianggap berbahaya
bagi stabilitas dan keselamatan kekuasaan. Hanya sebelum
menjalani pembuangan, kepada anak-anak muda pergerakan
mendapat peninggalan kata-kata yang menggugah dari
Semaoen. Petuah ini setidaknya bisa diresapi oleh Lapmi agar
melalui media massa tak gentar mengorganisir perlawanan.
Semaoen mengingatkan:

…bergerak dan mengadjak bergerak jalah soetoe daja


oepaja boeat mengoegah siapa jang masih tidoer, boeat
boeka matanja mereka jang masih terboei, boeat
menanam benih ‘berani’ jang koeat, boeat teroes-
meneroes mengoeatkan persatoean … kemenangan
ra’jat didapat dengan ichtiar, kekoetan dan
keroekoenannja sendiri!603

603
Eko Prasetyo, (2008), Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!
‘Soekarno, Semaoen dan Moh. Natsir’, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 200-
205.

955
Dalam ajaran Islam jalan juang via media massa populer
dengan nama dakwah. HMI yang bernafaskan Islam ke depan
mesti mengoptimalkan Lapmi usaha mengkomunikasikan
gagasan-gagasan kader HMI. Dengan adanya Lapmi
seharusnya mendorong PB HMI untuk membentuk buletin,
surat kabar, ataupun media online resmi sebagai alat dakwah
serupa strategi propaganda dari organisasi Laskar Jihad—
yang berjihad di Ambon, Poso dan Maluku—lewat media
massa hingga mereka berhasil menarik dukungan massa dan
menyebarkan ajaran-ajaran Islam ke dalam bentuk gagasan
politik alternatif. Apalagi jika melihat dorongan internal
seperti pentingnya menampung pemikiran-pemikiran
progresif kader-kader HMI dan dorongan eksternal berupa
perjuangan membela kepentingan umat dan bangsa di tengah
transisi politik nasional atau perubahan konfigurasi di
panggung politik internasional, yang membuat mengarus
derasnya informasi-informasi destruktif. Tentu harus dapat
dilawan HMI dengan menebar polemik wacana yang
kemudian dapat mencetuskan aksi.

Lapmi mesti mengambil peran aktif dalam membela hak


rakyat. Sadarlah bahwa media juga telah menjadi alat
penguasa untuk menghegemoni perasaan dan pikiran
masyarakat; itulah yang terjadi tatkala negara menyebarkan
intimidasi bahwa pada Aksi 22 Mei 2019 akan muncul teroris
yang akan menembakan kepala para demonstran. Penguasa
lewat medianya telah berhasil menancapkan stignma perusuh
terhadap korban tewqas dalam aksi tersebut. Peran media
massa hari-hari ini begitu sentral, karena media pulalah yang
memberikan gambaran bagaimana pertarungan keras kaum
muslim melawan zionis di Palestina dan melaluinya, sejumlah

956
fatwa tentang jihad dan boikot dikumandangkan ke seluruh
dunia. Bahkan diucap Eko Prasetyo: ‘melalui media sejumlah
konsep penting dalam Islam dianalisis, dikaitkan dan
dicarikan relevansinya dengan peran dan tanggung jawab
umat’.604

Dengan media, gagasan dan tindakan; keberpihakan HMI


kepada kebenaran bisa mendapatkan wujud. Menurut firman
Allah dalam QS Al-A’raf: 157, pesan dakwah itu mesti
mengandung: (1) Amar ma’ruf nahi munkar; (2) Penjelasan
mengenai mana yang halal dan mana yang haram; (3) hal-hal
yang membebaskan manusia dari beban kehidupan dan
belenggu yang memasung kehidupan mereka. Maka media
juga sudah pasti mampu memberikan Lembaga Dakwah
Mahasiswa Islam (LDMI) bentuk perjuangan baru dalam
menapaki era globalisasi. Lapmi dan LDMI mesti bekerja
sama dalam menebarkan benih-benih penyadaran pada umat
dan bangsa. Lewat dakwah pesan ideologis dari ajaran Islam
disemaikan dan melalui media massa ideologi itu
didistribusikan secara persuasif. Bagi James Lull: ‘media akan
mampu menarik perhatian, dramatisasi dan secara langsung
potongan-potongan fragmen kultural dan informasi’. Melalui
pendirian media resmi dan melancarkan propaganda lewatnya,
HMI bukan tidak mungkin menjadi garda terdepan dalam
melawanan industri-industri media yang makin hari mulai
menyisir perguruan tinggi dan membuat mahasiswa menjadi
grup pelawak, da’i hingga penyanyi dangdut segala.
Parameternya ialah SMS para penonton dan biasanya mereka

604
Eko Prasetyo, (2011), Membela Agama Tuhan Potret Gerakan Islam
dalam Pusaran Konflik Global, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 248-249.

957
dipilih dari yang fasih baca Qur’an, lucu, tampan, cantik
ataupun mampu menghibur siapa saja.

Daya pikat iklan menuntut banyak orang bergaya hidup


sebagaimana yang diiklankan. Kampus kemudian bukan lagi
menjadi pemasok kaum yang tercerahkan melainkan tenaga
kerja dadakan. Kompetisi untuk menumpuk kemewahan
bersanding dengan susahnya mencari pekerjaan membuat
sebagian orang mencari jalan pintas dalam mendapatkan
penghasilan tambahan. Moralitas kontan dipasang sebagai
penyeleksi yang paling buncit dalam memutuskan seseorang
untuk bertindak. Apalagi struktur sosial tak memberi banyak
pilihan pekerjaan. Itu selanjutnya mengantarkan proses
sekulerisasi dan liberalisasi secara masif, bahkan melemahkan
posisi agama dalam ranah sosial-historis. Kondisi yang
muram ini mendorong kekuatan modal bekerja dengan
antusias untuk menciptakan tatanan sosial baru. Andai
keadaan demikian terus terjadi, adalah benar kata Karl Marx:
‘agama itu hanya candu!’ Maka di sini keberadaan HMI
ditanyakan: kenapa bisa membisu melihat Islam dihantam
kapitalisme. Kalau saja masih melongo dan beradaptasi
dengan keadaan ini maka betul sekali ucapan Rasulullah:
‘kelak Islam hanya seperti buih, banyak pengikutnya tak ada
mutu!’

Saatnya HMI membaca kembali perkembangan zaman. Untuk


menjadi organisasi yang revolusioner haruslah mampu
menjadikan himpunan sebagai corong pengungkit perubahan
sosial di tengah masyarakat. Maka selain melakukan
propaganda, LDMI mrsti melancarkan agitasi lewat
dakwahnya—laiknya Lafran Pane dahulu: membangun

958
ceramah-ceramah keagamaaan bersama MS Mintaredja di
sebuah masjid kampus Kauman Yogyakarta. Tetapi gerakan
HMI dengan LDMI-nya tidak boleh sebatas menebarkan
siraman rohani pada khalayak ramai, melainkan pula
mengarahkan pikiran mereka ke kesadaran Islam ideologis.

Ajaran Islam sudah waktunya dipergunakan menetralisir arus


sekularisasi dan liberalisasi yang kini jadi keprihatinan umum.
Di sejumlah tempat telah terbit banyak aturan yang hendak
mengatur tata susila masyarakat. Alasan sederhana: karena
banyaknya kemaksiatan. Agama hanya ditempatkan sebagai
bentuk ritual belaka ketimbang bagian dari kerja gerakan.
Sokongan untuk mendudukan Islam sebatas ritualisme tampak
dari meriahnya pelbagai pendekatan keislaman yang tak lebih
dari membentuk kepribadian mulia. Ada yang meyakini hati
sebagai pusat perubahan dengan dali simple: semua tindakan
bermula dari hati. Yang lain yakin kalau perubahan bisa
diawali sebatas dari bagaimana mengingat Allah melalui
ibadah: dzikir merupakan manifestasi yang umum dilakukan.
Di lain tempat terdapat pula yang mencoba untuk mengolah
emosi dengan menciptakan rangkaian istilah: dari SQ sampai
ESQ. Pokoknya mereka berangkat dari dalil: perubahan tidak
akan dapat terwujud jika kepribadian manusia tidak diolah.
Hal ini biasanya menggerogoti mahasiswa dengan pusat
penyebarannya ada di masjid atau mushollah kampus. Tentu
itu membuat sebagian besar mahasiswa memahami agama
dengan begitu sempit. Bahkan sampai tak jarang yang
mengkafirkan sesama karena berbeda pemahaman menjadi
sesuatu yang banter.

959
Media lagi-lagi mengambil peran penting dalam
menyebarluaskan pemahaman keagamaan yang demikian.
Ada banyak kemasan acara dan iklan yang berusaha
meyakinkan kalau model pemahaman keagamaan tersebut
sangat ideal. Dari mulai ceramah biasa hingga beberapa film
dan pengkilanan yang memperlihatkan hukuman untuk para
pendosa. Agama kemudian diringkas sebagai aktivitas yang
punya dua imbalan; pahala dan dosa. Makanya banyak
kegiatan keagamaan memiliki unsur persis sebagaimana
media: mampu menghibur dan memiliki unsur dramatik.
Apalagi tatkala ulama jadi bintang iklan; agama kemudian
mengambil peran sebagai industri gaya baru. Maka tugas
Lapmi yang paling penting, adalah melakukan counter
terhadap propaganda-propaganda keagamaan yang
menyesatkan seperti ini. LDMI juga mesti mulai menjadikan
masjid atau mushollah kampus sebagai sentral aktivitasnya.
Di sana mesti dilakukan propaganda dengan penyebaran
pamflet-pamflet berisi gagasan progresif dan agitasi-agitasi
lewat ceramah-ceramah pencerahan, yang tidak melulu
berbicara tentang akhirat melainkan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Sadarkan mereka dari ancaman kapitalisme.
Sistem modal membawa berbagai implikasi yang hebat, di
antaranya adalah hilangnya fungsi kritis agama. Peran kontrol
dan oposisi terhadap sistem sosial yang diskriminatif
digagalkan karena karena energi agama lebih diorientasikan
pada program pembentukan watak individu.

LDMI mesti sadar fenomena ini tidak muncul seketika.


Instrumen modal membawa pengaruh ketika ruang sosial
membawa seseorang dalam alinenasi. Industrialisasi sering
dijadikan tersangka dalam proses alienasi; di sini Erich

960
Fromm mengungkit kembali bagaimana pengucilan terhadap
kesadaran individu terbentuk. Karl Marx juga
menganggapnya hal itu disebabkan oleh proses produksi yang
telah membawa seseorang pada pengasingan. Nampak sekali
bagaimana lingkungan keagamaan telah lama membawa umat
dalam keterasingan: training, seminar dan pelatihan dalam
memuaskan kebutuhan rohani. Eko Prasetyo gelisah melihat
para pegawai BUMN (Badan Usaha Milik Negara) semarak
dengan training penataan hati dan emosi, tetapi tak
berpengaruh pada kinerja layanan publik. Makanya agama
kemudian mengembangkan fungsi dakwah yang dikulit
luarnya seolah sebagai dakwah itu sendiri. Lucunya: ini
dilakukan oleh salah satu kader HMI. Dia mengikuti lomba
ceramah yang diselenggarakan oleh stasiun televesi lalu
meminta dukungan kepada anggota HMI se-Indonesia. LDMI
mestinya mengkritik perilaku sia-sia tersebut. Tindakan yang
demikian mengakibatkan kerentanan dalam menjawab
problem sosial-masyarakat. Jangan sampai gerakan
keagamaan kader-kader HMI jatuh hanya karena ilusi-ilusi
simbolik.

Sadarlah oligarki modal yang menjadi kekuatan media telah


bersekutu dengannya. Hubungan kekerabatan yang terjalin
menjadi sebuah jaring laba-laba. Kader HMI yang jadi ulama
dimanfaatkan dengan iming-iming hadiah dan kepopuleran.
Sehingga meluaplah berbagai bentuk bisnis keagamaan
sebagaimana selama ini banyak terjadi pergaulan intim para
pemuka agama dengan para salesman pasar yang dipasarkan
lewat media. Mereka telah meletakkan posisi konsumen
dalam lingkar kehidupan agama yang dingin, aman dan
melayani kepentingan kapitalis. Inilah yang dimaksud Erich

961
Fromm—merujuk bahasa Berle dan Means—sebagai
‘mentalitas pasar’. Itulah mengapa LDMI harus menegakan
sikap resisten, karena jika dibiarkan akan menghancurkan
fokus perjuangan ideologis. Eko Prasetyo menjelaskan:

…di balik benturan keras dengan kapitalisme global


maka gerakan Islam bukan berdiri dengan sistem
tunggalnya, tapi malah ikut larut dan mencampur aduk
sistem pendekatan keagamaannya dengan sentuhan keji
kapitalisme … pada sisi umat gerakan Islam menjadi
tidak begitu sensitif dengan isu-isu sosial; sedangkan
pada sisi masyarakat, gerakan Islam menderita
manipulasi kesadaran.605

Saatnya LDMI belajar dari gerakan Ikwanul Muslimun atau


Laskar Jihad. Gunakan media untuk berdakwa, namun berisi
risalah dan ceramah-ceramah yang dapat membongkar
kejahatan imperialisme di belakang kapitalisme. Lewat Lapmi
tulisan-tulisan bisa disebarkan, hingga kader-kader himpunan
dapat diajak lebih hati-hati terhadap jebakan modal. Bahkan
melaluinya pendakwah-pendakwah yang menjadi budak
kapital bisa ditentang dan masyarakat dapat disadarkan.
Paling tidak: iklan-iklan keagamaan dan produk-produk yang
menipu bisa dilucuti kedangkalannya. Untuk itulah LDMI dan
Lapmi mesti bergandengan tangan dalam melawan
pertumbuhan kegiataan keagamaan yang menyesuaikan diri
dengan naluri bisnis. Harus ada resistensi terhadap media-
media kapitalis yang mempreferensikan citra ketimbang
esensi ajaran, sehingga penyampaian ceramah oleh para ustad
jadinya tak lebih dari promosi dan penyajian produk. Agama

605
Eko Prasetyo, (2007), Astaghfirullah! Islam Jangan Dijual, Ypgyakarta:
Resist Book. Hlm. 10.

962
memang tidak dikarakteristikan dalam nilai guna dan nilai
tukar sebagaimana kata Marx, melainkan ditumpukan pada
tanda.

Baurdillard mendefinisikan ‘nilai tanda sebagai ekspresi,


gaya, prestise, semewahan dan kekuatan yang menjadi
penting untuk dikonsumsi’. Ini membuat umat senantiasa
dimborbardil oleh tayangan-tayangan yang tidak berbobot.
Lihatlah bagaiamana bertebaran drama yang menayangkan
Islam sebagai agama yang sadis dengan azab dunia dan siska
kubur. Begitu pula dengan film-film setan yang menampilkan
pocong dan kuntilanak. Kemudian digembar-gemborkan
ceramah-ceramah yang mengutamakan perbaikan individu
daripada sistem, hingga diadakannya training-traninig
keagamaan yang menampilkan ustad-ustad bermental borjuis.
Mereka mendapatkan keuntungan besar dari stasiun televesi
dan iklan-iklan. Sedangkan umat dikibuli bahkan disesatkan
oleh ritual keagamaan yang membuat seseorang teralienasi.
Walhasil, dakwah tampil kokoh sebagai industri yang dikelola
guna mengakumulasi modal. Tercermin ketika kekuatan
kapital melakukan standarisasi pada kegiatan dakwah. Stasiun
televesi akan memberi: aturan, standar bahkan materi,
terhadap seorang penceramah. Maka ceramah keagamaan
terjebak dalam dunia hiburan: menghibur, tidak mengajak
berpikir, dan merayu publik untuk terus mengkonsumsi.
Makin ringan, konyol dan gila kegiatan keagamaan maka
akan semakin diminati penonton. Begitulah yang terjadi
dalam setiap bulan ramadhan: ketika ceramah-ceramah
keagamaan disandingkan dengan unsur komedi. Pesan ustad
begitu ringan sementara ngelanturan pelawak memberi kesan
agama tak lebih dari bahan guyonan. Apalagi di dalam acara

963
terselip kuis-kuis yang memberi pertanyaan tentang agama
namun dengan soal-soal tak bermutu. Akhirnya rayuan iklan
ditambah bujukan hadiah berhasil melenakan umat. Sifat
keagamaan tak lagi menerangkan melainkan menyesatkan.
Tidak ada batasan pahala dan dosa, karena semua kegiatan
ditampilkan punya peluang pahala.

Dalam kapitalisasi dakwah—bagi Eko Prasetyo—putaran


uang yang beredar dan menjadi bagian dari proses
penumpukan laba. Bukan hanya ustadz (seleb) yang kemudian
memperoleh hasil laba tapi juga berbagai jenis usaha
menyertainya. Dalam bisnis SMS saja ada banyak keuntungan
yang diraih dari sekedar tayangan program pemilihan da’i dan
hal yang serupa berlangsung pada perolehan iklan yang terus
mengisi slot acara. Pada tahun 2005 saja, omzet operator
mengelola lalu-lalang SMS memiliki keuntungan yang amat
besar, sekitar Rp 5 triliun. Dan keuntungan ini terbesar berasal
dari aneka kuis yang dilakukan oleh berbagai media. Putaran
laba itu kemudian dimistifikasi—melalui perantara ulama—
sebagai rejeki yang didapat dan diperoleh dari Allah. Malahan
pemakaiannya—dalam bahasa pembawa acara kontes da’i—
akan disalurkan di jalan Allah. Menyebut nama Allah dalam
sirkulasi kapital untuk meraih laba besar tidak lebid dari
upaya ‘manipulasi’ terhadap sistem pertanggungjawaban
publik. Karena realitasnya tetap sama: bisnis—apapun
namanya—selalu ber tujuan memupuk untung, bukan
meningkatkan ketakwaan apalagi mendorong kekayaan dan
solidaritas sosial.606

606
Ibid, Hlm. 112-113.

964
Fenomena demikian merupakan tampilan cacat dari ajaran
Max Weber tentang ‘Etika Protestan’, yang menjadi biang
keladi pemacu kapitalisme. Di mana kekuatan iman dipaksa
melayani kebutuhan manusia lewat penggunaan mantra yang
tepat oleh ahli-magi, sedangkan agen-agen agama harus
‘dipuja’, atau menyembunyikan diri.607 Pemodal telah
menjelma jadi ahli-magi dan ustadz sengaja dioles untuk
senantiasa mendapatkan puja-puja. Padahal Islam
sebagaimana yang diucap oleh Mantan Ketum PB HMI
Nurcholish Madjid: ‘memiliki etos membanggakan dalam
soal kerja’. Dengan mengutip Robert Bellah; Nurcholish
percaya bahwa etos bahwa etos dalam Islam adalah
menggarap dunia yang lebih baik: industrilisasi dan
modernisasi mampu menopang religiusitas. Namun siasat
kapitalisme begitu lihai: menghalalkan segala cara untuk
meluncurkan nilai kemanusiaan demi meninggikan laba.
Maka sirkulasi kapital mendorong termistifikasikan
kehidupan manusia. Inilah yang disebut Marx dengan
fetisisme: mitos atau khayalan. Serupa jenis semangat
keagamaan—yang oleh Lafran Pane—disebut ‘ulama mistis’;
yang berusaha menggabungkan ajaran Islam dengan hal-hal
magis. Lama-kelamaan akan menyesatkan umat dan
memundurkan perkembangan kehidupan sosial-ekonomi.
Bagaimanapun kapitalisasi dakwah telah menyerupai apa
yang dinyatakan Appadurai:

…sebagai lanskap yang berada dalam arus global di


mana muatan-muatan keagamaan sebagaimana produk

607
Max Weber, (2012), Sosiologi Agama, Yogyakarta: IRCiSoD, Hlm. 34.

965
bisnis tercerabut dari akar umatnya dan mulai melintasi
batas dengan logika bisnis yang menyertainya.

LDMI mesti cepat-cepat mengambil sikap yang antagonistis


terhadapnya. Dengan bantuan Lapmi—melalui media—
dilancarkan perlawanan terhadap film-film dan iklan-iklan
produk yang membodohkan masyarakat. Tekanan-tekanan
juga mesti diarahkan kepada para ustad-ustad yang menjual
agama untuk kepentingan pemodal. Bila perlu stasiun televisi
yang menayangkan drama dan ceramah mereka diboikot.
Desak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan
cap ‘haram’ terhadap siaran-siaran iklan dan acara keagamaan
yang telah tejangkit kapitalisme. Kampanyekan keharusan
fungsi sosial semua tempat peribadatan dengan mengubah visi
dan tradisi yang sekarang ini bertitik tolak pada ritual hingga
membuat umat terhegemoni oleh para pemodal. Terangkan
kepada kaum muslim bahwa masjid dan mushollah harus
diupayakan berfungsi sebagai laboratorium penelitian senjata
melawan kapitalisme dan melakukan pembelaan terhadap
kaum rakyat tertindas. Inilah makanya LDMI dan Lapmi
mesti bersinergi melakukan kerja-kerja advokasi.
Melancarkan pemberitaan atas investigasi kerusakan
kontekstualisasi ajaran agama akibat kapitalisme. Pendekatan
struktural niscaya dimasifkan, sehingga masyarakat yang
menjadi korban iklan, sinetron dan ceramah para ustad borjuis
dibela habis-habisan. Kemudian umat perlu disadarkan atas
kondisi yang sesungguhnya berada di balik realitas palsu—
ditampilkan kapitalisme—dengan segala persoalan sosial
yang melingkarinya.

966
Tugas penyadaran tersebut mesti pula dipercayakan ke
Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (Lapenmi). Di tengah
tercerabutnya kegiatan kuliah dari akar sosialnya akibat
kekuatan modal yang mengendalikan kegiatan akademis.
Maka Lapenmi mesti hadir ke tiap-tiap kampus untuk
menuangkan refleksi kritis guna menyadarkan mahasiswa atas
kondisinya yang hampir sekarat: pengetahuan yang tertanam
diorientrasikan untuk pasar tenaga kerja pada jalur sirkulasi
kapital. Di sinilah Lapenmi mesti bekerjasama dengan LDMI,
dan Lapmi untuk menarik kembali mereka yang sudah terjerat
kesesatan pengetahuan. Seminar, diskusi dan kajian progresif
adalah kuncinya. Angkatlah mengenai tema-tema derita
mahasiswa akan ongkos pendidikan yang mahal, korupsi
pejabat-pejabat kampus hingga kemelaratan rakyat di luar
tembok kampus. Buatlah les-les yang mengajarkan mahasiswa
bagaimana caranya membaca realitas dengan paradigma
materialis historis dan semangat idealis. Karena kebanyakan
pengajaran kampus telah membungkam rasa kepedualian dan
daya kritis mahasiswa. Langkah ini setidaknya akan
mendorong timbulnya pencerahan batin mahasiswa. Sejalan
dengan ungkapan penyair Maya Angelou:

…orang akan mudah melupakan kau katakan, orang


akan melupakan apa yang kau lakukan tetapi orang
tidak akan pernah lupa bagaimana kau membuat
mereka merasa….

Kemudian Lapenmi juga mesti melebarkan sayapnya ke


tengah-tengah buruh dan rakyat miskin. Harus ada program
pengajaran untuk mereka sebagaimana Sekolah Sarekat Islam
(SI)-nya Tan Malaka. Setidaknya suatu pertemuan atau rapat-
rapat rutin untuk memberi pengajaran yang membebaskan

967
anak-anak kaum tani dan kaum buruh yang notabenenya
miskin dan tidak berpendidikan mesti menjadi sasaran utama.
Tidak usah permasalahkan biaya apabila Lapenmi mau
mengambil tauladan dari SI, yang menarik sumbangan dari
masyarakat yang peduli. Sepak terjang Lapenmi diupayakan
mengambil tujuan Sekolah SI: pertama, memberi banyak
jalan (kepada murid) untuk mendapatkan mata pencarian di
dunia yang kapitalistis; kedua, memberi hak kepada murid
untuk mengikuti kegemaran (hobi) mereka dengan
membentuk perkumpulan-perkumpulan; dan ketiga,
mengarahkan perhatian para murid kepada kewajiban mereka
yang akan datang terhadap jutaan keluarga Pak Kromo (rakyat
kecil). 608

Melalui Lapenmi juga HMI mestinya mengeritik keras dan


menekan habis-habisan pemerintah untuk merevisi UU
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UU Dikti
ini soalnya menjadi produk dari proyek Indonesia Managing
Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE)
antara Indonesia dengan World Bank (Bank Dunia). Protes itu
juga patut dilancarkan terhadap sistenm akreditasi kampus
dan UU BHP. Peraturan-peraturan tersebut mendukung
liberalisasi dan privatisasi dunia pendidikan. Menyebabkan
meroketnya ongkos pendidkan, karena perguruan tinggi
mempunyai otonomi yang lebih besar. Kemudian pemerintah
sangat aktif memacu kampus untuk berkompetisi dengan
melakukan pemeringkatan perguruan tinggi terbaik tiap

608
Eko Prasetyo dan Aditya Permono, (2012), Waktunya Tan Malaka
Memimpin, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 28.

968
tahunnya.609 Pada tahun 2015 Kemenristekdikti merilis sebuah
dokumen yang sangat ambisius, judulnya: ‘Menjadikan
Perguruan Tinggi Indonesia Kelas Dunia’. Indikator dalam
memberikan nilai pada sebuah kampus demi memenuhi
standar kampus dunia tidak terlepas dari aneka lembaga
kapitalis-imperialis: Quacquerelly Symonds World University
Rankings (QS)610, Times Higher Education (THE)611, dan
Shanghai Jiao Tong Rankings (SJT)612.

Kampus-kampus yang ada di Indonesia berlomba-lomba ingin


mendapatkan predikat kelas dunia. Padahal lembaga-lembaga
pemberi peringkat merupakan swasta (QS dan THE) dan
sama-sama univeristas (SJT). Sayangnya pendidikan di negeri
ini berhasil didikte untuk mengikuti standar mereka. Edi
Subkhan dalam Pendidikan Kritis menyatakan bahwa dengan
diakuinya suatu perguruan tinggi oleh lembaga-lembaga itu,
maka suatu kampus akan mendapatkan popularitas, prestise
dan kebanggaan. Yang digunakan sebagai modal menarik
minat calon mahasiswa, lembaga donor dan lainnya masuk

609
lihat https:suluhpergerakan.org/memahami-skema-liberalisasi-
perguruan-tinggi-di-indonesia/
610
QS adalah perusahaan yang berpusat di London—didirikan Nunzio
Quacquarelli pada tahun 1990—yang bergerak di bidang konsultasi
pendidikan, survey, pemeringkatan universitas, dan dikenal atas publikasi
rutinnya bernama QS World University Rankings.
611
THE adalah majalah mingguan yang berbasis di London. Tadinya THE
adalah koran yang terbit sejak 1971-2008 bernama Times Higher Education
Supplement (THES), dan berafiliasi dengan koran The Times. THE
kemudian tergabung dalam korporasi media Thompson Reuters, dan
menyusun peringkat 200 Universitas.
612
SJT adalah pemeringkatan yang dibuat oleh Universitas Shanghai Jiao
Tong yang dipublikasikan dengan nama Academic Rangking of World
(ARWU).

969
kampus.613 Saatnya Lapenmi menjadi corong penolakan
kapitalisasi pendidikan. Soalnya pemeringkatan kampus telah
menjadi sebatas modal pencitraan untuk menarik calon
mahasiswa. Mereka kemudian tak mampu keluar dari kondisi
yang dibikinnya sendiri. Malah kian hari terus berusaha
memoles diri dan membentuk citra dengan simbol-simbol
teknologi mutakhir, membuat fasilitas perkuliahan serba
mewah, mengupayakan akses transportasi terbaru,
menjalankan transaksi keuangan serupa bank, dan sebagainya.
Makanya kampus tak ubah rumah bordil yang
memberlakukan aturan: siapa yang punya uang maka dia
mendapat kepuasan. Tidak malah mengutamakan peningkatan
pada substansi pendidikan. Semakin hari makin banyak
perguruan tinggi makin terobsesi pada akreditasi dan tiap
tahun dikejar dengan gelontoran dana-dana besar meski untuk
soal sepele. Dengan terus bertambahnya peringkat suatu
kampus, maka meroket pula biaya yang dibutuhkan guna
melanggengkannya. Otomatis ongkos kuliah terus melangit
demi menopang banalitas kampus akan citra.

Telah menjadi pengetahuan publik bahwa liberalisasi


pendidikan tinggi bukan meletus di ruang hampa. Tetapi tidak
dapat dipisahkan dengan privatisasi, komersialisasi dan
persaingan antara perguruan tinggi dalam memeras
mahasiswa. Panji Mulkillah Ahmad menjelaskan—dalam
artikel Memahami Skema Liberalisasi Pendidikan Tinggi di
Indonesia—bahwa semua ini ditengarai oleh lembaga-
lembaga yang menjadi pilar-pilar neoliberalisme: IMF

613
Edi Subkhan, (2016), Pendidikan Kritis, Kritik atas Praksis
Neoliberalisasi dan Standardisasi Pendidikan, Yogyakarta: Arruz Media,
247

970
(International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank)
dan WTO (World Trade Organization). Pertama, WTO
berperan mengubah konsepsi pendidikan yang tadinya
merupakan barang publik (hak semua warga negara) menjadi
barang privat berupa jasa yang diliberalisasikan. Lalu IMF
berupaya mendorong negara agar menerapkan politik
pengetatan anggaran (austerity) terutama mengurangi
pelbagai subsidi, termasuk soal pendidikan. Sedangkan Bank
Dunia melakukan pendanaan proyek-proyek bagi pemerintah
dan perguruan tinggi untuk menjalankan skema liberalisasi
seperti penerapan sistem akreditasi, UU BHP dan UU Dikti.
Kedua, Iklim persaingan sengaja diciptakan agar kampus
berlomba-lomba memperebutkan puncak peringkat kampus
terbaik, kelas dunia dan akreditasi yang tinggi. Kemudian
lembaga-lembaga swasta pemberi peringkat dan pemerintah
menetapkan indikator-indikatornya seperti jumlah riset
publikasi internasional, jumlah sitasi, banyaknya mahasiswa
asing, keaktifan dalam acara-acara internasional, dan
sebagainya. Karena semua indikator ini diukur secara
kuantitatif, maka kampus menggejot berdirinya sarana dan
prasarana penujang; dari laboratorium, perpustakaan digital,
rumah sakit universitas, hingga banyak pos satpam.

Ketiga, akibat pembangunan yang sengit maka kampus butuh


banyak biaya, sehingga sumber dana dicari dari manapun; dari
memungut banyak uang mahasiswa sampai bekerjasama
dengan perusahaan. Keempat, agar leluasa mencari duit maka
pemerintah memberi kampus otonomi pengelolaan keuangan.
Bentuk PTNBH adalah yang paling ideal dari segi otonomi.
Makanya dana yang diperoleh tak dianggap Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga tidak perlu disetorkan

971
ke kas negara: Pemerintah Pusat. Meski mendapat kucuran
Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
(BPPTNBH), tetap saja spektrum otonomi yang diberikan
pemerintah ke perguruan tinggi juga luas. Malah bisa dengan
mudah mendirikan badan usaha tanpa perlu persetujuan dari
Menteri Keungan. Kelima, dana yang dikumpulkan kampus
diprioritaskan untuk pembangunan fisik maupun non fisik.
Pembangunan ditujukan guna menunjang indikator perolehan
peringkat, akreditasi hingga gelar. Ini untuk menggradasi
reputasi demi menarik calon mahasiswa, investor, lembaga
donor, dan lain-lain. Semakin baik citra suatu perguruan
tinggi maka akan banyak peminatnya. Birokrasi kampus
akhirnya serupa para pedagang yang menjajakan jualannya.
Makanya berlakulah hukum pasar hingga ilmu pengetahuan
meluncur dan citra-citra diobral dengan tarif yang mahal.614

Begitu banyak rasanya kader HMI yang muak dengan


persolan liberalisasi pendidikan. Karena memang tiap
tahunnya perguruan tinggi se-Indonesia terus-menerus
menaikan ongkos perkuliahan. Namun Lapenmi sama sekali
abai dalam mengorganisir penderitahan, kekesalan dan
keberangan mereka menjadi kekuatan. Bila perlu ajaklah tiap-
tiap kader HMI Komisariat untuk melancarkan perlawanan.
Padahal Uang Kuliah Tunggal (UKT), Uang Pangkal (UP)
atau Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sering kali
menjelang Ujian Akhir Semester (UAS) dinaikan. Memang
ini telah menjadi kebiasaan kampus. Momen ujian sengaja
dipilih agar mahaiswa lebih fokus menyambut UAS

614
lihat https:suluhpergerakan.org/memahami-skema-liberalisasi-
perguruan-tinggi-di-indonesia/

972
ketimbang menyoroti kenaikan biaya pendidikan. Tetapi
ketika ada mahasiswa yang protes; seketika pimpinan kampus
hadir dengan wajah fasis. Makana ada-ada saja aksi
mahasiswa ang dibungkam dengan amat keji: represifitas
satpam, sidang etik, skorsing dan drop out (DO). Permainan
kasar birokrasi bukan hanya dilakukan perguruan tinggi
negeri, melainkan juga perguruan tinggi swasta. Saat 2017,
sebanyak 22 mahasiswa Universitas Proklamasi di-DO
lantaran menuntut transaparansi anggranan yang memang
dicurigai kampus menyalahgunakannya. Di tahun ang sama
pula, kampus yang ngakunya Islam seperti Universitas Islam
Makassar (UIM) juga pimpinannya bertindak buas. Tiga
mahasiswa menggugat status rektornya yang menjabat tiga
priode, tapi dia tidak terima dan malah men-DO para
mahasiswanya. Lalu 2018, Julio Harianja dekenakan skorsing
oleh rektornya karena aktif mengorganisir mahasiwa untuk
melawan kebijakan kampus terkait mahalnya UP.

Sementara teraktual, ada-ada pula pimpinan universitas ang


sesuka hatinya melemparkan kata-kata sadis terhadap
mahasiswanya. Ini terjadi 2019 di kampus yang lagi-lagi
bersimbol Islam. Rektor Universitas Muhammadiyah
Mataram (Ummat) beceloteh begitu gamblang ingin
‘membunuh mahasiswa’, karena didemo untuk menurunkan
ongkos kuliah. Dia bilang begitu malah seusai keluar sholat
Dzuhur di Muhollah Ummat. Agama baginya jadi seperti
kesenangan. Begitu selesai beribadah malah yang muncul rasa
lapar. Jadilah agama sebatas perkara ritualistik wudhu dan
sujud hanya simbol yang tidak menyucikan. Sehingga
keagamaan sebagaimana kata Imanuel Kant: agama dalam
tataran akal sehat. Sebuah keimanan yang palsu dalam

973
kampus yang memegang keculasan dengan bendera kebajikan
dikibarkan oleh rektor. Keinginannya jadi pembunuh ternyata:
membunuh karir akademik massa aksi. Makanya kemudian
para aktivis mahasiswa diancam dengan sanksi skrosing dan
DO. Seharusnya pembungkaman dan ancaman terhadap
kebebasan akademik yang sedemikian itu disoroti oleh
Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam. Jangan hanya
menyibukkan diri dengan seminar dan kuliah umum, karena
banyak persoalan pendidikan yang memanggil untuk
diadvokasi. Penggagalan pemutaran film senyap di kampus
Institut Seni Indonesia (ISI) dan Universitas Gadjah Mada
(UGM) oleh massa juga mestilah sudah menyadarkan
Lapenmi bahwa bergerak dalam ranah pendidikan adalah
penting mengawal terwujudnya kebebasan akademik.
Birokrasi kampus mesti didesak buat melindungi
mahasiswanya. Maka tugas Lapenmi tak hanya menyuntikan
semangat kenekadan mahasiswa untuk berjuang, melainkan
mengorganisir mereka untuk menuntut hak-haknya yang
selama ini menolak diberikan oleh kampus.

Betapa banyak kampus yang ketakutan mendengar istilah


radikal kiri dan fundamentalis kanan. Sampai-sampai di
Unram banyak intel Polda NTB berkeliaran. Sesekali aparat
tersebut mengulik informasi tentang perkembangan organisasi
yang distigma tak layak diikuti mahasiswa. 615 Mereka takut

615
2018 lalu saya dan beberapa teman mahasiswa Unram pernah ditanyai
oleh Intel Polda NTB terkait perkembangan organisasi internal kampus
yang mereka curigai berpaham fundamentalis radikal. Ternyata LDK—bagi
mereka—dianggap benih-benih radikalisme penyebarkan paham pendirian
negara Islam. Oleh karena aparat kepolisian turun tangan ingin
menggembosi dan setiba waktunya akan menutup ruang gerak gerakan
mahasiswa yang telah distigmanya.

974
dengan tumbuh suburnya lembaga dakwah kampus (LDK),
karena dianggap menjadi underbrow ormas-ormas yang ingin
mendirikan negara Islam. Mungkin itulah sebabnya Unram
mendirikan Unit Kegiatan Mahasiswa Pembinaan Ideologi
Bangsa (UKM-PIB), yang dikira akan menjadi lembaga
penetralisir perkembangan ideologi-ideologi paham-paham
anti Pancasilais. Makanya untuk mendirikan UKM PIB
birokrasi kampus begitu alergi mengundang616 apalagi
memasukan organisasi-organisasi kemahasiswaan eksternal
kampus yang dinilainya radikal dan fundamentalis. Hal
demikian setidaknya memanggil Lapenmi untuk aktif
menyuarakan bahwa kampus tidak seperti yang
distigmakannya. Sedari awal perguruan tinggi bukan semata-
mata diberi tugas melahirkan sarjana dan untuk kuliah semata,
karena di sinilah taman pengetahuan dan gerakan. Lembaga
Pendidikan Mahasiswa Islam saatnya menanamkan kembali
keyakinan pada mahasiswa dan merajut kepercayaan birokrasi
bahwa melalui kampus mahasiswa tidak dilatih buat tertib dan
takut. Melainkan dimatangkan dengan gagasan dan polemik,
sehingga kehidupan akademik semua gagasan berhak untuk
mendapat panggung dan dipentaskan.

616
Sebelum keluar dari Unram, 2018 lalu saya sempat ke Ruangan WR III
untuk menyerahkan berkas pengajuan beasiswa tapi gagal karena terkendala
persyaratan IP yang diharuskan tiga koma. Walau begitu, di sana sudah ada
WR III dan Kasubbag Kemahasiswaan Unram. Ternyata mereka sedang
membicarakan terkait rencana pendirian UKM PIB. Akhirnya ditanyakanlah
kepada saya nama-nama organisasi mahasiswa eksternal kampus. Saya
memberitahukan hampir seluruh nama OKP yang ada di Unram, tapi
mereka menyeleksinya dan membuatkan undangan hanya untuk segelintir
OKP yang dianggap baik-baik. Sementara untuk OKP yang tidak diundang,
mungkin dianggap radikal dan fundamentalis.

975
Bilamana pemikiran-pemikiran radikal sudah tak mendapat
ruang di kampus. Sepatutnya Lapenmi menanam kecuriagaan
yang mendalam. Bisa jadi perguruan tinggi sekarang telah
sepenuhnya menjadi hamba pemodal. Mereka tak berani
mendengar dan melihat gagasan-gagasan kritis dan progresif
mahasiswanya. Karena pastinya akan mempertanyakan,
menyerang dan menggugat kampus yang terus-terusan
membebek pada WTO, IMF dan WB. Makanya satu-satunya
cara untuk membungkam mahasiswa adalah dengan
membatasi kebebasan akademik. Kini harus ada agenda besar
Lapenmi untuk menyatukan, menguatkan dan menggelorakan
ide-ide mahasiswa yang eksistensinya diteror modal.
Kemuakkan, kepedihan, penderitaan dan kemerahan yang
bergentayangan di kampus mesti diorganisir menjadi kekuatan
perlawanan terhadap hegemoni pasar bebas. Tiap kali ongkos
kuliah dinaikan dan terjadi skandal korupsi elit-elit kampus,
maka elemen-elemen mahasiswa harus mampu diajak bekerja
sama untuk menyerang kebijakan dan menekan tindakan
birokasi kampus.

Gelombang protes dari dalam kampus juga harus dijadikan


senjata dalam menolak setiap pertemuan WTO, IMF dan WB
yang diadakan di Indonesia. Karena mereka bukan hanya
meliberalisasi sektor pendidikan yang merupakan wilayah
kerja Lapenmi, tapi juga malah semakin mengakumulasi
modal perekonomian, mengkomersialiasi kesehatan,
mengeksploitasi hasil pertanian, perkebunan, dan
pertambangan. Sangat banyak kader himpunan yang
menanam keresahan, kebencian dan dendam terhadap
pertemuan lembaga-lembaga kapitalis internasional semacam
acara bisnis IMF-WB Annual Meetings 2018 di Bali. Namun

976
HMI sama sekali enggan unjuk gigi dalam bergerak bersama
rakyat mengusir plesiran akbar imperialis global. Padahal para
pemodal membawa kepentingan yang sama sekali
mengabaikan hajat hidup kaum miskin. Malah mereka hanya
membahas perkara yang semata-mata meraup keuntungan dari
perekonomian rakyat: pertama, penguatan International
Monetary System (IMS); kedua, ekonomi digital; ketiga,
kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur; keempat,
penguatan ekonomi dan keuangan syariah; dan kelima, sektor
fiskal. Lima soal ini berangkat dari kerentanan ekonomi
global dan menegaskan bahwa kapitalisme telah gagal
mengatasi masalah klasik: kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan. Meskipun telah mengalami kegagalan, namun
kapitalisme tetap mampu bertahan. Intelektual Marxis Prancis
Henri Levebre mengatakan, kapitalisme bertahan karena
berhasil melakukan penciptaan perluasan ruang (production of
space). Namun pertahanannya semakin hari akan terus
menguras habis darah kaum miskin dan tertindas. Dalam
konteks inilah gagasan besar Lenin menjadi nyata, yakni pada
abad ke-20 muncul imperialisme sebagai tahap terakhir dari
perkembangan kapitalisme: terjewantah lewat penciptaan laba
yang dilakukan melalui ‘kolonisasi wilayah dengan ditopang
oleh kekuatan modal finansial’. 617

Akibat kapitalisme kesempatan mengecap pendidikan murah


begitu jauh panggang dari api. Banyak sekolah yang
memasang tarif selangit. Koran Tempo edisi 2 Juli 2012
mengabarkan: banyak sekolah di Solo, di jenjang SMU tarif

617
Lihat https://idoprogress.com/2018/10/mengapa-kita-harus-tolak-
pertemuan-tahunan-imf-wb/

977
masuk sekolah berkisar antara Rp 12,5-15 juta, untuk SMP
anatara 7,5-10 juta, dan SD sekitar Rp 1-3 juta; Tangerang
dan Jakarta kondisinya juga sama, untuk SD dan SMP dikenai
sumbangan rata-rata Rp 1-2 juta. Pihak sekolah juga tak
jarang bekerja sama dengan lembaga penerbit untuk terus-
menerus menyuapi siswa dengan buku-buku yang tidak
berkualitas dan menggandeng penjahit pakaian sekolah guna
mencekoki murid dengan seragam yang seharusnya bisa dibeli
sendiri. Tindakan yang demikian seperti memaksa dan
menguras uang siswa, sementara pihak sekolah dan pengusaha
mendapatkan untung berlebih. Jadilah sekolah resmi jadi
tempat buat menjajakan barang-barang guna meraup laba.
Parahnya kerap kali pimpinan sekolah juga malah lebih
senang mengutip laba lewat penyalahgunaan anggaran dari
pemerintah. Murid-murid miskin di SDN Inpres Tanjun Baru
merupakan korbannya. Kepala sekolah memintai uang
sejumlah Rp 75 ribu dari banyak murid penerima Bantuan
Siswa Miskin (BSM).618 Itulah sebabnya mengapa Eko
Prasetyo—melalui karyanya Orang Miskin Dilarang
Sekolah—menyatakan bahwa biaya sekolah yang mahal akan
menjadikan pendidikan biang utama dalam proses
pemiskinan:

Pertama, melalui pintu penarikan biaya yang amat


tinggi kepada siswa … pintu penarikan biaya ‘awal’ ini
kemudian ditambahi dengan uang buku dan seragam,
dimana sekolah bekerja sama dengan berbagai
perusahaan penerbitan serta pedagang kain. Walaupun
ada ‘kemewahan’, yakni beasiswa maupun bantuan

618
https://patriot.id/heboh-guru-sekolah-beberkan-pungli-kepala-sekolah-
sdn-tanjung-baru/

978
dana bagi siswa yang tidak mampu, tetapi hal ini tidak
begitu saja menyelesaikan masalah … muncul metode
penetapan siapa yang ‘patut’ mendapat bantuan dan
bagaimana mekanisme penyaluran bantuan. Di sini
masuklah masalah…, yakni transparansi dan
akuntabilitas penyaluran dana…. (Kedua), adalah
kegiatan siswa menjelang akhir sekolah, di antaranya
wisata dan tambahan les pelajaran. Saya pernah
mengalami, bagaimana sekolah—tempat adik
kandung—meminta ongkos Rp 450-500 ribu untuk
kegiatan yang kadang berbuah kecelakaan. Dengan
alasan mengunjungi tempat-tempat bersejarah,
Orangtua harus dibebani biaya transportasi hingga
member uang saku. Belum lagi ongkos untuk wisuda
yang kini menjadi ritual pada setiap jenjang lembaga
pendidikan. Hal yang mengejutkan, terdapat sekolah
yang merayakan kelulusan siswanya di hotel
berbintang.619

Pimpinan sebuah lembaga pendidikan dalam sistem kapitalis


memang amatlah boros dan abai akan kemiskinan peserta
didik. Bahkan ada kepala sekolah yang lebih senang
merangkap jadi kepala proyek ketimbang memimpin guru-
guru dan memperhatikan kesejahteraan mereka dengan
cermat. Dalam mengurusi soal renovasi dan pembangunan
gedung-gedung baru, Kepala Sekolah SMPN 2 Bolo—saking
asyiknya menikmati kucuran anggaran pembangunan—malah
berkelit ketika dimintai transparansi. Secara tidak langsung
dia memberitahukan bahwa dirinya telah menyalahgunakan
anggaran, sehingga takut apabila pemakaian uang diketahui
publik. Kemudian sebagai kepala sekolah yang dekat dengan

619
Eko Prasetyo, (2004), Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 21-22.

979
Bupati Bima maka dia mengusulkan agar guru yang
mengkritiknya—soal keterbukaan penggunaan duit—
dipindahkan ke sekolah lain. 620 Makanya sekolah sekolah di
Bima tak hanya dijadikan tempat menimbah ilmu, melainkan
juga ladang politik. Soalnya banyak Pegawai Negeri Sipil
(PNS) menempati jabatan strategis bukan karena kompetensi
yang dimiliki, tapi melulu soal kedekatannya dengan
penguasa. Biasanya mereka adalah piaraan Bupati yang
sebelumnya telah banyak membantu dan menyukseskan
tuannya dalam kampanye-kampanye Pilkada.

Kejinya intevensi kekuasaan ke dalam dunia pendidikan juga


tercermin saat Bupati Kampar melecehkan martabat tenaga
pengajar; ada guru yang menanyakan soal anggaran namun
dengan serta-merta bupati memarahinya, hingga menimbulkan
gejolak demonstrasi guna mencopot jabatan si kepala daerah.
Bupati bukan meminta maaf tapi mengancam akan
memindahkan, mengganti bahkan memecat para guru yang
berani menurunkannya.621 Guru kemudian bernasib serupa
murid: sama-sama ditindas oleh para pengambil kebijakan.
Hari-hari ini pun keinginan menjadi guru bukan lagi pilihan
yang tepat. Tenaga pengajar kini tinggallah profesi yang
mulia di papan nama namun sengsara dalam kenyataan.
Adalah Nining Suryani seorang guru honorer di Pandeglang
terpaksa mendiami toilet sekolah sebagai rumah karena

620
https://patriot.id/pemimpin -smpn-2-bolo-mati-penguasa-kembali-akan-
bunuh-guru-dan-siswa-lawan/
621
Eko Prasetyo, (2004), Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 21-22.

980
kurangnya perhatian pemerintah atas upahnya yang rendah
dan kondisi keluarganya diselimuti kemiskinan. 622

Saatnya Lapenmi membuka mata bahwa persoalan pendidikan


selalu saja disebabkan masalah struktural. Pemerintah
setengah hati mencerdaskan bangsa, sehingga ongkos belajar
terkungkung oleh biaya yang semakin mahal. Dalam
pandangan pemangku kebijakan publik mungkin pendidikan
memakan waktu yang lama agar hasilnya dapat terlihat dalam
masa kepemimpinannya yang hanya lima tahun. Makanya
bagi mereka bidang pendidikan kurang mampu dipamerkan
selama dirinya berkuasa. Jika ada pemimpin yang aktif
menyoroti pendidikan, sayangnya hanya terkesan mengejar
citra guna dipuji kekuasaannya. Itulah yang tercermin ketika
Gubernur NTB mencanangkan program 1000 mahasiswa
NTB dibiayai kuliah gratis ke luar negeri. Beasiswa biasanya
diberikan kepada anak-anak muda pilihan yang pintar
berbahasa asing dan aktivis-aktivis organisasi yang sengaja
diberikan jatah sewalaupun belum lancar bahasa asing.
Padahal di daerahnya begitu banyak ketimpangan: banyak
orang miskin di pedalaman dan pinggiran yang belum
mendapatkan akses pendidikan, mahasiswa-mahasiswa yang
mengeluh karena ongkos kuliah setiap tahunnya naik,
lembaga-lembaga pendidikan yang masih membutuhkan
perbaikan serta fasilitas memadai dan kebutuhan akan dunia
literasi yang belum memadai.

Kebijakan mendepak pemuda NTB untuk kuliah ke negara


lain tentu didorong oleh pelbagai kerja sama luar negeri yang

622
https://m.detik.com/news/berita/d-4624684/tinggal-di-wc-sd-guru-
honorer-di-pandeglang-bergaji-rp-350-ribubulan?

981
dilakukan gubernur dengan pemodal-pemodal internasional.
Meski program yang dilaksanakan terkesan anggun, namun di
belakangnya terselip kepentingan pebisnis. Dikuliahkannya
mereka hanya untuk mengikat persahabatan dengan para
kapitalis. Orientasi pendidikan pada pasar inilah yang
mengekalkan kemelaratan orang miskin. Aktor negara
kemudian menjadi tertuding pertama dan utama karena
membiarkan pendidikan yang katanya Bung Karno ‘jembatan
emas untuk meraih kemerdekaan’ jatuh ke tangan pasar. Maka
dari itu sangat perlu Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam
membangun jaringan dengan mahasiswa juga bersama para
siswa dan guru. Hubungan disemai untuk menggelorakan
kembali perlawanan dari dalam kampus-kampus dan sekolah-
sekolah guna menerjang keluar sampai ke telinga para
pengambil kebijakan.

Sangat diharapkan dari Lapenmi akan lahir kader-kader yang


sebagaimana Tjipto Mangunkusumo. Sosok yang tidak tinggal
diam atas keputusan kolonial yang sering mengabaikan
kepentingan umum. Mahasiswa kedokteran ini begitu benci
akan para feodal yang terdiri dari kelompok kraton dan
agamawan yang bersekongkol dengan Belanda menindas para
buruh perkebunan. Rakyat yang semulanya diam, namun
melalui kehadiran Tjipto semangat perlawanannya
dibangkitkan. Darinya Lapenmi dapat mengambil tauladan
bahwa untuk menyulut orang-orang untuk melawan adalah
dengan melakukan pengorganisiran rasa tidak puas. Melihat
pendidikan yang telah dilacurkan para pemodal hingga
menyebabkan mahalnya ongkos belajar dan rendahnya gaji
guru, maka inilah amunisi yang bisa ditebarkan ke setiap
kampus dan sekolah lewat tulisan, poster, spanduk dan mural.

982
Supaya bisa ditembakan para mahasiswa, siswa dan guru
melalui pergerakan yang dimobilisasi dan dipersenjatai
langsung oleh Lapenmi. Gerakan sosial yang dilakukan bukan
sekedar berorientasi pada tuntutan kesejahteraan semata,
melainkan juga desakan untuk kembali membumikan
pembelajaran kritis. Suasana belajar yang membuat pendidik
dan peserta didik sama-sama berangkat dari kenyataan
keseharian, khususnya meresapi gelora ketertindasan akibat
pembangunan ang mengabaikan nilai kemanusiaan.

Komersialisasi pendidikan selalu berhubungan erat dengan


perubahan tatanan serta pergeseran formasi kelas sosial.
Akibatnya dunia pendidikan menjadi lingkaran yang
mengalami perbuahan sosial besar, yang disebabkan oleh
transfromasi raksasa pada tatanan global. Kehidupan
masyarakat global kemudian sujud sepenuhnya pada gagasan
demokrasi liberal yang kini menguasasi segenap arena sosial.
Dalam keadaan inilah Lapenmi dituntut tidak bergerak
sendirian, tapi juga mengajak Lembaga Ekonomi Mahasiswa
Islam (LEMI) untuk menyebarkan ide dan gagasan radikal.
Tujuannya untuk melawan hegemoni demokrasi liberal yang
terus-terusan menanam sejumlah dogma sinting pada segala
macam bidang, termasuk ekonomi: pertama, semua negara
wajib mengadopsi sistem ekonomi liberal guna
mempertautkan satu negara dengan yang lain berdasar aturan
perdagangan bebas dari WTO. Organisasi perdagangan
internasional ini telah mendesain kepentingan negara bahkan
memberi aturan yang tak dapat ditolak. Sehingga kerap kali
Indonesia dipacu membuka pasar dan mencabut pelbagai
subsidi yang melindungi hajat hidup rakyat; kedua,
melakukan privatisasi terhadap sektor publik. Pemerintah

983
kemudian dilucuti peran kontrolnya guna diambil-alih oleh
swasta. Karena mereka dibuat tidak beres melayani
kepentingan publik; di situ ada korupsi yang mewabah dalam
semua lini. Kertidakbecusan tata kelola negara membuat
pemerintah tidak dipercaya, sehingga pengelolaan diserahkan
pada swasta agar lebih transparan dan
dipertanggungjawabkan; ketiga, menempatkan negara sebagai
penjamin bagi kelangsungan pasar. Terobosan ini bermula
dari mencopot semua layanan publik dari pengawasan dan
kendali negara, namun lama-kelamaan mendorong pemerintah
melakukan kapitalisasi terhadap semua bentuk pelayanan
publik; keempat, mendorong semangat wirausahawan serta
memberi jaminan maupun perlindungan hukum bagi setiap
inovasi yang dilakukan oleh individu, inilah yang popular
dengan hak kekayaan intelektual. 623

Untuk poin terakhir itu sepertinya telah merasuk bahkan


didukung HMI melalui LEMI-nya. Inilah yang terlihat ketika
setiap daerah dikunjungi sekedar untuk menyampaikan
ceramah tentang pentingnya berwirausaha. Padahal kegiatan
demikian justru akan melancarkan akumulasi modal ke tangan
para kapitalis. Sosialisasi yang dilakukan juga tak mampu
menyasar rakyat miskin dan menyentuh akar penyebab
kemiskinan, melainkan sekadar melibatkan kalangan pejabat,
ulama dan pengusaha bersama keriuhan dukungan lembaga
sponsor dan pajangan iklan. Kini pertanyaannya: kalau cuma
sosialisasi, seminar, diskusi ataupun workshop terkait
ekonomi yang dilakukan hingga mulut berbusa, bukankah ini

623
Lihat Eko Prasetyo, (2004), Orang Miskin Dilarang Sekolah,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 31-33.

984
menjadi kerja-kerja organisasi yang sama sekali tak mampu
menikam tepat ke jantung kekuatan ekonomi liberal?
Ingatlah! Tidak semua rakyat memiliki daya upaya untuk
berwirausaha. Tak mungkin kaum buruh, kaum tani, penarik
becak, pengamen jalanan bisa dengan muda jadi pengusaha.
Bahkan selama ini usaha-usaha pedagang kaki lima (PKL)
sekalipun berkali-kali jatuh-bangun dalam kebijakan yang
sepenuhnya dikendalikan pasar. Neoliberalisme memiliki
kekuatan dan kedigdayaan lantaran ditopang pemerintah
dengan bermodal aturan yang sangat mengikat. Aturan-aturan
ini membuat gaji buruh rendah. Berjuta-juta lahan pertanian
diserobot pelbagai perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Tarif bahan bakar minyak, listrik dan air dinaikan, kemudian
diikuti naiknya harga sembako dan ongkos angkutan umum.
Namun pemerintah menutup telinga dan bermuka tebal untuk
disalahkan. Malah mereka atas nama kebersihan dan
keindahan kota, maka pemukiman warga digusur dan rakyat
miskin kota ditertibkan.

Kebijakan-kebijakan bengis itu tentu ditorehkan pemerintah


guna memuluskan program pembangunan yang parameternya
ialah kemajuan ekonomi neoliberal: segala aturan
perekonomian dikukuhkan dan dikendalikan WTO melalui
perdagangan barang, perdagangan jasa dan Hak atas
Kekayaan Intelektual (HAKI). Menghadapi ini semualah
LEMI mestinya mengerti: sekarang yang dibutuhkan oleh
rakyat adalah keberanian negara untuk keluar, memutus
hubungan, dan menentang lembaga perdagangan
internasional. Kaum miskin dan tertindas tentunya sangat
kesal melihat belanja pemerintah didisiplinkan sesuai
keinginan pasar. Tender untuk belanja pemerintah saja

985
dipaksa melibatkan sektor perusahaan multi-nasional.
Walaupun diikuti oleh pemain lokal tapi ada standar
internasional yang akan mengikat peserta tender; yang dengan
aturannya maka perusahaan manca-negara selalu keluar jadi
pemenang. Ini terjewantah saat perusahaan-perusahaan asing
campur tangan ketika pemerintah mengalokasikan anggaran
fantastis dalam pembangunan infrastruktur. Lagi-lagi karena
aturan sedari awal ditentukan lembaga perdagangan
internasional, maka banyak sektor kehidupan selalu
melibatkan modal asing. Melalui aturan WTO pasar domestik
dibuka lebar. Indonesia lantas meliberalisasi seabrek sektor
jasa yang vital bagi rakyat: energi, pendidikan, hukum,
kesehatan, dan sebagainya.

Aktor yang ikut berperan aktif dalam permainan liberalisasi


itu adalah IMF. Dia seolah memerankan posisi dokter yang
berniat mengobati pasien melalui tiga resep busuk:
liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Racikan obat-obatan
barusan berasal dari risalah perdukunan yang dikenal luas
sebagai ‘Washington Consensus’. Semula dia hadir membantu
keterpurukan negara dalam membayar hutang pembangunan,
namun semakin lama donoran kapital malah membuat
kebergantungan hingga IMF jadi penguasa dalam menentukan
semua kebijakan ekonomi pasiennya. Pencabutan subsudi
yang menjerat rakyat ke dalam kubangan kemiskinan
merupakan bukti ketidakberdayaan negara atas beringasnya
jeratan IMF. Kemelaratan rakyat kemudian dijadikan
legitimasi pemerintah dalam mengemis ke aktor berkitutnya:
World Bank (WB). Lembaga ini memiliki peran memberikan
pinjaman bagi negara-negara miskin. Tetapi kenyataannya: ia
justru lebih banyak mengalokasikan pinjaman pada sejumlah

986
industri perusak lingkungan. Karena itulah dukungan kepada
beberapa perusahaan yang mengembangkan tambang minyak
menjadi komitmen besar di lingkungan WB. Argumentasi
Bank Dunia biasanya: mendukung investasi di sektor swasta
dalam bidang yang ‘padat modal’ akan membuat pemerintah
dapat mengalokasikan anggaran untuk pelayanan publik.
Sementara banyak pemerintahan yang sektor swastanya
mendapatkan bantuan WB tambah memotong anggaran publik
dan bahkan pinjaman dananya sengaja tidak dikontrol
sehingga mudah dikorupsi.

Korupsi yang dibiarkan merupakan taktik agar negara-negara


peminjam semakin kewalahan membayar hutang, hingga
urusan hutang-piutang menjadi semacam spiral kejahatan bagi
negara Dunia Ketiga: negara-negara miskin menggali lubang
baru untuk menutup lubang lama. Ini memang sejalan dengan
tujuan Bank Dunia dalam memeras negara penerima donor
sampai menjadi pesakitan. Kemudian makin hari pemerintah
hanya bisa meredahkan sakit dengan terus memotong subsidi
dan kembali menghutang. Dengan demikian tidak ada harapan
melindungi kepentingan rakyat apabila cara yang ditempuh
elemen gerakan masih mendukung kebijakan pemerintah,
yang sedari awal tidak bisa lepas dari kontrol lembaga
perdagangan internasional. HMI harusnya menyadari
bagaimana kenyataan pasar tak bisa berjalan sebagaimana
yang diidealkan Adam Smith: pakem gagasannya yang
dilandasi moral dan diikat buhul hukum. Kini pasar justru
melucuti moralitas lalu diganti dengan dorongan efisiensi dan
efektifitas. Hukum malah lebih parah lagi: tidak digunakan
mengawal terwujudnya keadilan tapi sebatas menjaga
akumulasi laba secara beringas. Ekonomi telah bergerak

987
sangat buas karena pembeli dan penjual berjalan dengan
informasi yang tak seimbang. Kekuatan yang dimiliki penjual
dan pembeli ibaratkan hubungan majikan dengan budak.
Gelagat yang tak seimbang diawali oleh sebuah keyakinan
ortodoks: percaya bahwa perdagangan bebas akan
memberikan keuntungan besar.

Memagut keyakinan gila itulah banyak kalangan yang percaya


kalau kemakmuran dapat tercapai apabila semua negara
meliberalkan semua aturan perdagangan. Makanya fungsi
publik kepemilikan dihapuskan kemudian digantikan oleh
fungsi privat yang popular dengan nama privatisasi. Ketika
kepemilikan atas sumber daya alam ikut dilonggarkan, maka
taktik berikutnya adalah merangkum kepemilikan pada
sejumlah lembaga dan negara-negara besar. Jika di masa
kolonial penjajahan menggunakan senjata; kini imperialisme
sudah lebih canggih dan segar. WTO, IMF dan Bank dunia
menjelma serupa imperium penindas rakyat. Penjajahannya
bukan dilakukan menggunakan mocong senjata melainkan
dengan aturan perdagangan internasional: peluru perenggut
kehidupan rakyatnya adalah melalui kebijakan yang diambil
oleh pemerintah. Itu terbukti setelah negara-negara kaya
menguasai pendapatan yang diperoleh negara-negara kecil;
bisnis yang dijalankannya dibuat semakin meluas ke dalam
sektor-sektor usaha rakyat. Sejumlah data membernarkan
bagaimana 200 korporasi terbesar di dunia saat ini menguasai
hampir 30% kegiatan perekonomian global, kendati
memperkerjakan kurang dari 1 persen angkatan kerja seluruh
dunia. Keuntungan mereka meningkat sebesar 362,4 persen

988
antara 1983-1999, sedangkan jumlah orang yang dipekerjakan
hanya meningkat sebesar 14,4 persen. 624

Kepemilikan akhirnya dikukuhkan hanya pada segelintir


orang. Kemudian muncul yang namanya HAKI, agar asosiasi-
asosiasi perdagangan dapat menjatuhkan sanksi terhadap
pembajakan. Dengannya diterapkanlah paten terhadap
kekayaan-kekayaan budaya dan genetika negara-negera kecil
yang tak menguasi teknologi. Paten digunakan sebagai taktik
dalam mendapatkan hak istimewa atas sebuah kepemilikan.
Indonesia mendukung hak privat ini dengan membentuk UU
Hak Cipta agar kapitalis leluasa memburu para pembajak.
HAKI telah memberikan angin segar kepada pelbagai pabrik
untuk berdiri dan memasarkan produk-produk bermerknya.
Lama-lama semakin mendapati sinyalemen untung besar,
maka pemerintah dipaksa melakukan fleksibilitas kebijakan
perburuhan. Alasan produktivitas menjadi dalih para investor
untuk lancarkan kehendak mengatur buruh. Makanya
kehidupan kelas pekerja amat menyedihkan: mereka
diposisikan sebagai onderdil perdagangan yang sepenuhnya
dikuasai pemodal. Beratus juta tenaga kerja akhirnya
mengalami kesulitan. Ujung dari politik perburuhan tak lain
adalah bagaimana menempatkan para pekerja sebagai tenaga
kerja yang harus mengikuti kemauan pasar. Sehingga banyak
bermunculan lembaga-lembaga penyalur TKI/TKW. Banyak
di antara mereka yang bekerja di luar negeri dicerca legalitas
keberadaannya karena pemerintah tidak melindunginya.
Padahal buruh-buruh itu merupakan pahlawan devisa. Namun

624
Eko Prasetyo, (2005), Orang Miskin Tanpa Subsidi, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 105-106.

989
pemangku kepentingan publik tetap saja bermuka tebal—
sebagaimana atas alasan legalitas; PKL dengan riang
dibubarkan dan diberi sanksi begitu rupa.

Semua itu menegaskan bahwa negara sesungguhnya abai


membela kepentingan rakyat miskin. Taik-menarik
kepentingan menjadi sesuatu yang lazim dalam pengambilan
keputusan. Namun lagi-lagi pasarlah yang keluar sebagai
pemenang. Keadaan ini membuat pemerintah menjadi
tawanan lembaga perdagangan internasional. Apalagi ide
good governance adalah hasil suntikan lembaga dunia yang
telah sepenuhnya diamini, hingga perwujudannya adalah
melakukan pembaharuan di lingkungan pemerintahan secara
banal. Tapi lama-kelamaan gagasan demikian malah
menyingkap kelicikan pasar. Borjuis lokal yang selama ini
dibina dan didukung pemerintah banyak diberikan jatah kursi
birokrasi. Oligarki kekuasaan menjadi tampilan menjijikan di
tubuh pemerintahan. Perekonomian yang licik ini kemudian
melanggeng karena selain memperoleh dukungan penuh
kebijakan, juga beroleh sokongan teoritik dari sejumlah
ilmuwan tukang. WS Rendra biasa menyebut mereka sebagai
‘intelektual salon’: siap sedia mendukung apa saja yang keluar
dari mulut penguasa. Tak segan-segan mereka ikut-ikutan
membenarkan bahwa pemerintahan yang baik kelak pasti
mampu menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Padahal fakta membuktikan bahwa ide tersebut hanya ajang
pergantian posisi yang ujung-ujungnya menguatkan
kekuasaan dan akumulasi modal pada segelintir kalangan.
Sedangkan pengambilan keputusan masih mengaga oleh
intervensi lembaga perdagangan internasional, yang jelas-jelas
tidak pernah dapat menuntaskan persoalan kemiskinan

990
melainkan malah terus-menerus memeras kekayaan alam dan
memiskinkan rakyat kebanyakan.

Sistem ekonomi neoliberalisme kelak akan semakin


menorehkan kesenjangan. Akhirnya kaya dan miskin menjadi
persoalan penuh keakutan: kekayaan orang kaya semakin
menjadi-jadi dan yang miskin tinggallah menunggu kematian.
Kekayaan subur di atas topangan pasar yang digerakan oleh
hasrat mengeruk laba. Keuntungan dihimpun melalui praktek
produksi yang tidak bertumpu pada kerja keras, peras
keringat, dan banting tulang—melainkan bagaimana
akumulasi laba dimasifikasi oleh dorongan konsumsi. Hanya
pencitraan yang terus-menerus merangsang seseorang untuk
belanja, mengeluarkan uang dan menerjungkan diri dalam
spiral konsumsi tanpa kontrol. Hasrat untuk membeli dipupuk
lewat iklan-iklan di pelbagai media. Penjajanya bukan hanya
kaum artis, tapi bahkan ustad-ustad seleb penjual agama.
Namun mereka sama-sama merupakan wayang yang
dikendalikan modal. Artis dan rohaniawan menjadi manusia-
manusia yang menikmati keuntungan tanpa kerja keras. Di
sisi lain diikuti pula oleh para ilmuwan yang kini
menyediakan data dan menjadi pengawal dari proses
akumulasi laba. Gelombang neoliberalisme telah menyulap
mereka seiras cyborg: memakan apa saja dan rela
menjalankan mandat pengetahuan secara busuk—
membenarkan semua praktek penumpukan kekayaan tanpa
menciptakan kritikan dan sanggahan.

Selanjutnya ada pula anggota parlemen yang bangga


mengumpulkan pundi-pundi kekayaan melalui proyek-proyek
pembangunan: demikian tercermin tatkala tahun 2018,

991
sebanyak 41 orang anggota DPRD Malang dengan tanpa malu
memakan uang pengelolaan sampah rakyatnya.625 Memang di
negeri ini wakil rakyat sering menikam orang-orang kecil
yang diwkilinya. 2015 saja, Pos Bantuan Hukum untuk rakyat
miskin di Aceh malah digunakan membiayai pengacara untuk
membela Gubernur Abdullah Putteh dan rekan-rekan
pejabatnya dari kasus korupsi. Kejadian ini begitu fenomenal:
Indonesia menorehkan sejarah tentang maling uang rakyat
yang proses hukumnya dibiayai negara sendiri. Sudah
ketahuan mencuri malah tak tau diri: semakin menambah
barang curian. Perilaku ini sebenarnya bukan muncul di ruang
hampa karena sistem telah banyak membentuk pejabat—
meminjam istilah Semaoen—menjadi ‘setan uang’. Di kantor-
kantor parlemen para wakil rakyat adalah sosok yang setiap
kegiatannya selalu dibelit duit. Kunjungan yang menjadi
kewajiban pekerjaannya harus disediakan ongkos banyak.
Begitu pula tunjangannya yang seharusnya memakai uang
sendiri justru diongkosi rakyat; untuk beli rumah, mobil,
kesehatan, jalan-jalan hingga purna tugas. Bahkan sampai
ketika BBM naik gaji merekalah yang lebih duluan
menyesuaikan diri dengan kenaikan harga.

Perbuatan serupa dipertontonkan pula oleh seorang eksekutif:


hunian seorang Dubes Jenewa menghabiskan uang rakyat
hingga Rp 70 miliar dan juga alokasi anggaran Rp 1 miliar
untuk rencana membeli rumah di 12 negara. Rumah mewah
seorang duta besar biasanya didalihkan untuk mendukung lobi
dan pertemuan. Melihat itu semua maka sekarang rakyat

625
https://regional.kompas.com/kasus-korupsi-massal-di-dprd-kota-malang-
ini-sejumlah-faktanya/

992
semakin menyadari bahwa sejatinya kemiskinan mereka
bukan sekedar persoalan kemalasan, melainkan persoalan
struktur yang memang menempatkan di posisi inferior
menunggu kematian. Jika saja HMI mau menganalisis sumber
penderitaan rakyat secara mendalam; sudah seharusnya
pekerjaan LEMI jangan lagi mendirikan seminar, workshop
dan acara-acara wirausaha sana-sini. Soalnya itu semua tak
bisa dijadikan sebagai kerja perlawanan terhadap kemiskinan
rakyat di tengah belitan sistem yang keji ini.

Program-program demikian justru akan semakin


memperdalam jurang kesenjangan dan merebakan
kemelaratan. Kian miskin rakyat maka semakin melejit
kekayaan dan kemewahan dari komplotan kapitalis-birokrat
dalam pranata kenegaraan. Kondisi inilah yang berjalan di
NTT: rakyat kelaparan sedangkan pejabatnya berkalung
kelimpahan. Kompas merinci angka korupsi yang fantastis:
hingga 2004 kerugian keuangan negara (uang rakyat)
mencapai Rp 138,69 miliar; sebanyak Rp 23,88 miliar masuk
kantong pejabat di lingkungan dinas dan instansi pemerintah
provinsi. Sementara menurut Indonesia Corruption Watch
(ICW), NTT menduduki peringkat keenam daerah terkorup di
negeri ini. Meski telah berceceran pelbagai data korupsi,
Bupati Anton Bagul Dagur mengaku memmbeli rumah
mewah seniali Rp 2 miliar dari uang sendiri tanpa mengutip
duit rakyat: sedangkan kenyataan membuktikan bahwa
ketiadaan gelontoran dana untuk kebutuhan rakyatnya,
membuat penduduk-penduduk miskin terancam kelaparan.

Hingar bingar penumpukan kekayaan dan konsumsi


diakibatkan oleh rongrongan pasar bebas. Neoliberalisme

993
selain mengendalikan kebijakan pemerintah juga ikut
membentuk habitus ‘konsumsi’. Pemborosan yang tak saja
melahirkan tikus-tikus berdasi, tapi juga memunculkan orang-
orang yang mudah sekali mengikuti rayuan-rayuan iklan
besutan para pemodal. Keinginan-keinginan mengecap barang
mewah dan memperoleh kesenangan telah mengalahkan
kebutuhan hidup normal. Itulah sebabnya si kaya amat
gersang solidaritas terhadap si miskin. Bahkan tingkah laku
pemilik kekayaan sengaja tampil aneh untuk melecehkan dan
membedakan diri dengan kaum-kaum kecil. Eko Prasetyo
dalam Orang Kaya di Negeri Miskin—melalui sejumlah
data—meneriakan dengan tegas bagaimana gaya hidup orang
kaya penuh gairah, ingin membeli dan menikmati apa saja
secara vulgar. Mereka tak segan-segan menggunakan hartanya
dengan begitu boros. Seekor burung perkutut rela dibeli meski
varian harganya mulai dari Rp 5 juta-3,5 miliar. Uang yang
dikeluarkan guna melampiaskan hobi memelihara dan
mendengar suara perkutut seharusnya bisa digunakan untuk
kebutuhan hidup ribuan rumah tangga miskin. Namun
fenomena ini mewartakan bahwa melampiaskan kesenangan
bersama binatang lebih berharga ketimbang menolong
manusia yang jauh lebih membutuhkan.

Orang kaya sungguh banyak menghabiskan uang demi


kesenangan. Itulah kenapa diskotik pada akhir pekan sampai
dikunjungi ribuan pengunjung. Pendapatan dari tiket tempat
hiburan ini rata-rata Rp 150 juta. Penikmat-penikmat dunia
malam ternyata per orang mengeluarkan uang Rp 500 ribu-50
Juta hanya untuk mengonsumsi minuman dan obat-obatan
ineks. Ongkos yang mereka keluarkan tentunya lebih besar
daripada gaji buruh yang bekerja selama satu bulan. Tak mau

994
ketinggalan, para pengguna motor gede pun ikut menonjolkan
kekayaannya. Motor berkekuatan minimum 500 cc berharga
amat mahal: Rp 100-400 juta. Aksesoris dalam
mengendarainya dibutuhkan uang mulai Rp 400 ribu-4 juta.
Belum lagi biaya perawatannya selangit. Ini uang tentu bagi
yang miskin bisa dipakai untuk biaya sekolah dari SD hingga
SMA. Dipacu status simbolik maka sebuah kegiatan yang
mengeluarkan banyak uang membuat orang jadi lebih percaya
diri sekaligus abai terhadap kemiskinan orang-orang di
sekitarnya. Bahkan dengan mengkonsumsi mereka mencoba
memasang tapal batas dengan kelas lainnya. Inilah yang
mendorong banyak orang kaya bertingkah gila: membeli
banyak pistol plus peluru dan ijinnya yang per paket senilai
puluhan juta dengan motif menjaga hartanya dan dijadikan
ajang gaya-gayaan; mengikuti permaianan airsoft gun biar
dianggap keren dan mirip tentara, yang menghabiskan uang
Rp 35 juta; menggunakan penyekat ruang ‘gebyok’ senilai Rp
3,5-85 juta biar dianggap ningrat; memburu sepeda luar negeri
yang harganya dari Rp 15-50-an juta; berburu fashion
keluaran terbaru dengan merogoh kocek Rp 3-5 juta; nonton,
piknik dan makan di restoran dengan anggaran Rp 1-2 juta;
merawat tubuh tak tanggung keluarkan uang Rp 1,2 juta,
hingga creambath dan manicure-pedicure yang menghabiskan
biaya Rp 1 juta tiap dua kali seminggu; dan bahkan tiap tahun
orang-orang kaya mendepak uangnya secara mudah hanya
untuk gonta-ganti mobil yang senilai ratusan hingga miliaran
rupiah.626

626
Lihat Eko Prasetyo, (2005), Orang Kaya di Negeri Miskin, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 73-88.

995
Gaya hidup orang-orang kaya tentu menimbulkan decak
kagum bahkan sampai memaksa kaum melarat mengeluarkan
air liur kaum. Dari segi jumlah kekayaan mereka tidak
seberapa, tapi jika dihitung simpanannya tentu sangat berarti.
Sebagian kalangan menyebutkan ada sekitar Rp 300 triliunan
data Perbankan bersumber dari 500 ribu orang kaya.627 Di
antara mereka ada yang dari kalangan militer sekaligus politisi
dan pengusaha. Pernah KPK melaporkan kekayaan para calon
presiden: Jusuf Kalla (alumni HMI) dengan kekayaan
mencapai Rp 122,6 miliar dan USD 14.928; Megawati
mencapai Rp 59,8 miliar; Wiranto Rp 46,2 miliar; SBY
berdiri di atas Rp 4,6 triliun; dan Aburizal Bakrie total
hartanya Rp 1,1 triliun. Sedangkan yang sangat fantastis
jumlah kekayaannya ada pada 10 orang kaya lainnya yang
dirilis media BBC pada 2018. Daftar nama mereka dan
sumbernya meliputi. Pertama, R Budi dan Michel Hartono
dengan kekayaan mencapai Rp 508 triliun. Sekitar 70%
kekayaan mereka berasal dari Bank Central Asia. Keluarga ini
juga memiliki perusahaan rokok Djarum, perusahaan
elektronik Polytron, dan real estate. Kedua, Susilo
Wonowidjojo yang hartanya sejumlah Rp 508 triliun. Dia
adalah pemilik saham Gudang Garam: perusahaan yang
memproduksi rokok sekitar 20 miliar batang setiap tahun.
orang ini pula merauk keuntungan besar lewat investasi
kelapa sawit melalui Makin Group.

Ketiga, Eka Tjipta Wijaya dengan kekayaan Rp 124 triliun.


Hartanya berasal dari berusaha di GRUP Sinar Mas yang
bergerak di industri kertas, agrobisnis, telekomunikasi, real

627
Ibid, Hlm. 73-88.

996
estate dan layanan financial. Keempat, Sri Prakash Lohia
kekayaannya sebesar Rp 108 triliun. Hartanya berasal dari
harga saham Indorama Ventures, perusahaan pengahsil pukuk,
bahan mentah tekstil dan sarung tangan medis. Kelima,
Anthony Salim melalui kekayaannya yang mencapai Rp 76,9
miliar. Dia adalah kepala grup Salim, yang memiliki saham
Indofood dan berbagai perusahaan lainnya. Keenam, Tahir
jumlah kekayaannya mencapai Rp 65 triliun. Dia katanya
adalah bos Mayapada Group, perusahaan yang bergerak di
bidang perbankan, rumah sakit dan real estate. Ketujuh,
Chairul Tanjung dengan harta senilai Rp 50,8 miliar. Ia
merupakan pengusaha yang memiliki perusahaan CT Corp:
pengelola wiralaba Wendy’s, Versace dan Mango; sekaligus
menaungi beberapa stasiun TV, Bank Mega dan Jaringan
Super Market. Kedelapan, Boenjamin Setiawan dan keluarga,
yang kekayaannya mencapai Rp 46,4 triliun. Jamin memiliki
perusahaan farmasi Kalbe Farma dan juga menjadi pemilik 12
rumah sakit Mitra Keluarga. Kesembilan, Jogi Hendra Atmaja
dengan total asset senilai Rp 45 triliun. Ia mempunyai Grup
Mayora: salah satu perusahaan biskuit, kopi, permen, dan
lain-lain. Kesepuluh, Prajogo Pangestu yang total
kekayaannya Rp 43,5 triliun. Pengusaha ini memiliki PT
Barito Pacific dan Chandra Asri, yang merupakan produsen
petrokimia terbesar di Indonesia.628

Memang di negara-negara Dunia Ketiga, ekonomi neoliberal


tanpa regulasi industri yang jelas telah menghasilkan
konsentrasi sumber daya pada tangan-tangan kaum kaya yang

628
https://www.bbc.com/indonesia-orang-terkaya-indonesia-2018-siapa-
saja-dan-dari-mana-sumbernya?/

997
sangat sedikit jumlahnya. Sementara kebanyakan warga lain
hidup dalam kubangan kemiskinan, kemelaratan dan tinggal
di pedesaan-pedesaan termiskin. Kesenjangan antara kaya dan
miskin semakin lebar tak karuan. Indonesia adalah salah satu
negara di Asia Tenggara yang mengalaminya. Di mana terjadi
proses aristokrasi di kalangan borjuis membuat mereka lebih
berdaya dalam monopoli dan mengubah laba menjadi rente:
Itulah mengapa para pejabat pemerintah (birokrat-kapitalis)
mencari kekayaan dan menyewakan kekuasaan birokrasinya
kepada kroni-kroninya (oligarki). Inilah yang menumbuhkan
hubungan-hubungan ekonomi patron-klien antara pengusaha
politik dalam birokrasi dengan seabrek pengusaha serta
kelompok-kelompok usaha tertentu di luar birokrasi. 629
Fenomena kekayaan super banyak yang hanya dimiliki oleh
sebagaian kalangan kemudian menjadi kendala utama dalam
meretas kemiskinan kaum tertindas.

Di negeri ini orang-orang kaya bisa hidup makmur dan


bertambah berlimpah kekayaannya karena disokong oleh
sistem pasar bebas. Sementara orang-orang miskin meskipun
bekerja keras namun kebijakan pemerintah yang tak berpihak
padanya membuatnya semakin melarat dan terperas. Inilah
yang disebut Eko Prasetyo ‘kaya tanpa kerja’ dan ‘miskin itu
sengsara’. Kenyataan demikian secara terus-menerus terjadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kaum politisi,
pengusaha, rohaniawan dan artis dengan mudah mendapatkan
uang tanpa harus capek-capek. Mereka malah lebih banyak
memiliki waktu bersantai, menghibur, dan memoles diri

629
Lihat Zakiyuddin Baidhawy, (2007), Islam Melawan Kapitalisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 7.

998
dengan beragam aksesoris mewah. Sementara orang-orang
miskin di pedesaan dan perkotaan yang bekerja sampai ngos-
ngosan, tetap saja berkekurangan duit dan hidup
sealakadarnya. Hidupnya begitu susah dan makin hari
bertambah melarat saja. Bahkan orang-orang miskin bukan
hanya dikibuli berkali-kali tapi juga sengaja dibiarkan bodoh
karena persoalan ekonomi membuatnya jauh dari akses
pendidikan. Akhirnya melepas nyawa adalah jalan terakhir
mengakhiri kesengsaraan: 2012 siswi SD di Grobogan
gantung diri lantaran tak punya uang bayar SPP senilai Rp
210 ribu; hal yang serupa terjadi tahun 2016 di Makassar
sesosok remaja mengakhiri hidupnya karena tak mampu bayar
biaya sekolah sebesar Rp 900.000.

Pemberlakuan aturan memang tidak pernah berpihak pada


kaum miskin. Orang-orang miskin lama-kelamaan jadi
makhluk terhinakan. Kerja yang kepala keluarga mereka
lakukan tidak mampu membuahkan keuntungan yang
berlimpah seperti politisi, ulama, pengusaha dan artis.
Pekerjaan juga terkadang malah menjadi pintu kematian buat
orang miskin: 2019 seorang kuli bangunan di Kota Bima—
yang diupah hanya Rp 90 ribu—merenggang nyawa akibat
kelelahan bekerja. Derita rakyat kecil ternyata bukan saja
sewaktu hidup. Ketika sudah tewas dan jadi mayat; dia dan
keluarganya juga masih disusahkan: karena biaya administrasi
yang mahal jenazah seorang pria di RSUP NTB terpaksa
didiamkan lama di kamar jenazah. Keluarga miskin yang
tidak punya ongkos sewa ambulan mesti rela mayat sanak-
keluarganya didiamkan berhari-hari di rumah sakit. Di RSUD
Bima malah lebih parah lagi: jasad seorang anak dari keluarga
miskin terpaksa dipulangkan ke rumah duka dengan motor. Di

999
Jakarta kebijakan pemerintah lebih gila: orang miskin wajib
merogoh kocek Rp 640 ribu ketika hendak mengubur mayat
keluarganya. Bahkan untuk ke akhirat pun masih diwajibkan
melengkapi syarat-syarat administratif: surat keterangan
kematian dari rumah sakit/puskesmas dan kelurahan; kartu
tanda pra sejahtera atau surat keterangan miskin.

Sederet kegetiran hidup rakyat kecil itu lagi-lagi


memberitahukan kepada HMI: apabila hanya melakukan
seminar, diskusi dan workshop dengan kelas borjuasi, maka
LEMI tak dapat mengurangi penderitaan kaum miskin dan
tertindas di negeri ini. Program-program tersebut hanya akan
memanaskan hati para korban kekuasaan, karena
persoalannya tidak timbul dalam ruangan-ruangan yang
dipenuhi retorika hampa tapi kebijakan pemerintah. Itulah
mengapa jebakan kemiskinan selalu saja diawali oleh
ketiadaan akses terhadap layanan publik. Rentetan
selanjuthnya adalah ditutupnya peluang kerja hingga rakyat
banyak tercekik. Kakek pengemudi becak di Simpang Lima
Semarang penghasilannya paling tinggi Rp 12 ribu sehari: Rp
3 ribu harus disetor ke pemilik becak, sisanya Rp 9 ribu untuk
dirinya. Penghasilannya yang sedikit tentu bukan tanpa sebab.
Sebelumnya dia mendapatkan Rp 25.000 sehari, namun
setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang hanya
membolehkan becak di ruas-ruas jalan tertentu;
penghasilannya pun akhirnya meluncur.630 Fakta-fakta tandas
membuktikan bagiamana rakyat miskin sengaja dimiskinkan.
Sebagaimana kebijakan impor, naiknya harga pupuk,

630
Dihimpun dari berita di media: tribunnews.com, kompas.com,
kahaba.net, dan patriot.id

1000
pemotongan subsidi dan alih-fungsi lahan telah mendorong
pemelaratan jutaan petani. Mereka akhirnya tidak lagi
berminat bertani, tapi malah nganggur dan ada pula yang
pergi ke kota-kota jadi buruh.

Apa yang dialami petani-petani persis dengan nestapanya para


nelayan. Akibat mahalnya BBM, limbah beracun perusahaan-
perusahaan yang menyebar di perairan, dan munculnya kapal-
kapal besar bermesin penangkapan ikan canggih—membuat
nelayan kesusahan dan tidak mampu bersaing sehingga
mereka kebanyakan beralih kerja jadi buruh. Orang-orang
pedesaan dan pinggiran laut yang memburuh di kota lagi-lagi
harus berlinang kesedihan. Kemiskinan ekonomi dan
penderitaan hidup kembali dihadirkan oleh beragam
peraturan. Kebijakan fleksibilitas tenaga kerja membuat buruh
mendasarkan kerjanya pada kontrak individual yang
melumpuhkan otoritas serikat buruh, sehingga kian sedikit
hak-hak buruh yang bersedia diakomodasi perusahaan karena
bertabrakan dengan kepentingan investasi pemerintah.
Kemudian relokasi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan
juga malah didukung pemerintah dengan menekan hak-hak
buruh. Untuk menambal hidupnya, buruh sangat rentan
menjadi menu makanan berbagai kredit konsumtif dari
makelar perusahaan.

Kondisi itu juga mirip dengan yang dialami para pedagang


kecil. Tumbuh suburnya retail modern yang didukung
penguasa sampai ke jalur-jalur yang menjadi ruang-ruang
ekonomi PKL memerosotkan pendapatan kaum miskin kota.
Bahkan aturan tata kota yang melarang berjualan di trotoar
jalanan telah membuka peluang kekerasan aparat terhadap

1001
mereka. Status ilegal selain memuluskan banyak PKL
diringkus dan dijebloskan ke sel tahanan, juga ikut menutup
kepercayaan perbankan dalam memberikannya kredit—
pinjaman keuangan. Memang untuk menambal kehidupan
yang miskin, hutang sana-sini jadi jalan curam yang kerap kali
mereka lalui. Oscar Lewis percaya bahwa kemiskinan timbul
dikarenakan adanya situasi-situasi begini: (1) masih
menonjolnya sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem
produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat
pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga kerja
tak terampil: (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya
golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi
sosial; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada
sistem uniteral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada
kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta
kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal, dan
sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status
ekonomi sebagai hasil dari ketidaksanggupan pribadi atau
memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. 631

Dalam persoalan ekonomi sudah saatnya HMI menegaskan


keberpihakannya kepada siapa: rakyat miskin dan tertindas
atau pemerintah? Jangan melulu memihak ke negara: terus-
terusan mendukung pembangunan yang sudah nyata-nyatanya
memelaratkan dan menjulurkan ketimpangan di mana-mana.
Dari moncong kader-kader himpunan seharusnya keluar
pembelaan-pembelaan terhadappara korban kekuasaan, bukan
malah mendukung program-program berwirausaha yang

631
Eko Prasetyo, (2005), Orang Kaya di Negeri Miskin, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 133.

1002
melncarkan kepentingan pemodal. LEMI semestinya
mendesak pemerintah untuk mengubah indikator kemiskinan
tidak lagi definisi Biro Pusat Statistik. Bahwa penduduk
dikatakan miskin jika memenuhi tujuh dari dua belas kriteria
dasar: (1) luas bangunan 8m2 per orang; (2) jenis lantai
hunian berupa tanah/bambu/kayu murahan; (3) dinding tempat
tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok
tanpa diplester; (4) tidak ada fasilitas jamban; sumber air
minum dari sumur; (5) bahan bakar memasak dari kayu/arang;
(6) konsumsi lauk-pauk tidak bervariasi; (7) tidak mampu beli
pakaian minimal satu stel per tahun untuk setiap anggota
keluarga; (8) hanya sanggup makan satu/dua kali sehari; (9)
tidak memiliki asset rumah tangga seperti lemari; (10)
penghasilan kepala rumah tangga di bawah Rp 600 ribu per
bulan; (11) pendidikan tertinggi kepala keluarga SD atau tidak
tamat; dan (12) tidak memiliki tabungan barang yang mudah
dijual dengan minimal Rp 500 ribu. Eko Prasetyo menuturkan
bahwa paradigma itu berangkat dari suatu pemahaman yang
malah akan memiskinkan orang miskin. Pemerintah soalnya
lebih memandang ‘apa yang dimiliki’, ketimbang ‘yang tidak
dimiliki’ orang-orang miskin.632

Sekarang gerakan Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam


harusnya menekan para pengambil keputusan untuk
mengubah cara pandang terhadap penderita kemiskinan.
Pejabat-pejabat pemerintah tak patut diajarkan dengan kata-
kata yang lembut dalam ruangan ber-AC, tapi perlu didesak
dengan lecutan orasi dan petisi. Bahkan lebih jauh lagi: LEMI
mesti terlebih dahulu meyakinkan rakyat miskin bahwa

632
https://arsipskpd.batam.go.id/

1003
kemiskinan bukan semata-mata soal ekonomi melainkan juga
gejala sosial—sindrom yang biasanya disebabkan oleh
lembaga perdagangan internasional, yang kemudian
menumbuh suburkan korupsi dan penggelembungan uang
segelintir kalangan. Orang miskin perlu sekali disadarkan
bahwa kemelaratannya akibat ketamakan kebijakan birokrasi
dan kesombongan gaya hidup orang kaya. Senada dengan
yang diucapkan Syaidina Ali: ‘tidak akan lapar orang miskin,
kecuali karena keraakusan orang kaya’. Dengan demikian
harus ada desakan terhadap pemerintah untuk membuatkan
aturan pembatasan harta kekayaan. Orang-orang kaya di
negeri ini sebagian harta-hartanya harus dilucuti demi
meretaskan kemiskinan. Hanya distibusi kekayaan itu lagi-
lagi tidak mungkin kalau cuma diperjuangkan LEMI tanpa
melibatkan kaum miskin sebagai sesarannya. Inilah mengapa
pendidikan politik harus diberikan kepada mereka.

Sadarkan orang-orang miskin di beragam pemukiman kumuh


bahwa pajak, sedekah, sumbangan dan bantuan tak efektif
memperbaiki kehidupan. Bahkan kegiatan-kegiatan filantropis
itu hanya dijadikan orang kaya sebagai ajang pamer
kedermawanan guna menegaskan posisi lemah si miskin.
Makanya selama ini agenda kasih sayang menjamur pada
momen-momen menjelang Pemilu. Harapannya agar disorot
kamera. Diberitakan sekencang-kencangnya supaya menaikan
citra politisi hingga mampu menarik simpati dan dukungan
massa. Dalam kondisi inilah sungguh sia-sia LEMI
mendukung onggokan program ekonomi pemerintah.
Sekarang waktunya bergerak, lebih-lebih menggandeng
Lapmi menyebarkan pemberitaan tentang kemunduran
perekonomian rakyat akibat pasar bebas. Bangkitkan

1004
semangat perlawanan dan keyakinan agar petani, nelayan,
buruh, PKL, tukang becak berkumpul dan berserikat.
Tanamkan keyakinan kepada mereka tentang kebutuhan
bersama akan sebuah organisasi dan membangun gerakan
dalam melawan penguasa lalim. Terutama untuk sama-sama
menuntut dikukuhkannya aturan distribusi kekayaan yang
mengambil prinsip Qur’an: ‘dalam harta mereka (orang yang
berkecukupan) itu terdapat hak orang yang meminta dan tidak
memiliki’.

Sekarang LEMI perlu terjung ke tengah-tengah masyarakat—


terutama menyasar rakyat miskin bukan dengan motivasi
berwirausaha, tetapi membeberkan pelbagai kebijakan yang
tidak tepat sasaran. Kali ini kader HMI bisa mengambil
tauladan dari Oscar Romero: Sosok pemuda San Salvador
yang sepanjang hidupnya dilimpahkan sepenuhnya membela
kepentingan orang miskin. Dia berada di barisan terdepan
dalam membela kaum papa dari kebengisan para borjuis.
Makanya ia dedikasikan hidupnya untuk mengecam
kekayaan-kekayaan yang tidak pernah dibagi: komplotan-
komplotan orang kaya diserangnya tanpa ampun. Si kaya
serakah dilawan dan si miskin dibela. Pembelaannya
sederhana namun penuh gairah perjuangan kelas: berbicara
keadilan dan menyuapi massa tidak dengan pidato, melainkan
dorongan dan gerakan. Olehnya LEMI diajak mendekati
rakyat dengan menebarkan risalah tentang beragam persoalan.
Aturan-aturan mana yang perlu diubah dan bagaimana
seharusnya ideal yang perlu diperjuangkan? instansi-instansi
apa saja yang telah banyak menyalahgunakan anggaran?
Siapa saja pejabat-pejabat yang melakukan korupsi, sebanyak
apa kerugian yang dialami oleh negara? Bagaimana efeknya

1005
terhadap kehidupan rakyat? Kemudian dengarkan pendapat,
rintihan dan curahan hati kaum miskin dan tertindas. Lalu
bantu mereka untuk bangkit, mengorganisir diri dan bergerak
bersama-sama—dengan jumlah yang lebih banyak—untuk
melayangkan protes.

Tinggalkan semua kemewahan bekerjasama dengan


pemerintah. Kini LEMI harus mengabdiakan perjuangannya
untuk massa. Bangunlah sebuah gerakan untuk mengutuk
setiap kaum ningrat dan menghajar program pemerintah yang
hanya menguntungkan pemodal: minta sektor-sektor publik
dinasionalisasi, desak agar tiap-tiap koruptor dihukum berat
serta sita harta-hartanya, dan dorong pembuatan aturan
pembatasan kekayaan orang-orang kaya. Saatnya rakyat
disulut kesadarannya akan kelas sosialnya supaya terketuk
akal sehat dan hatinya menghancurkan status-quo yang
selama ini mendulang keuntungan pada segelintir orang-orang
serakah. Lewat LEMI proposal tatanan politik alternatif mesti
dikibarkan. Sebagaimana yang Njoto wacanakan:
‘pemerintahan yang demokratis yakni pemerintah yang bukan
ditopang diktator borjuis atau proletariat, melainkan diktator
rakyat. Mampu menjamin kemerdekaan nasional serta
perkembangan melalui demokrasi dan kemajuan’.633 Ia
merupakan pemerintahan yang sanggup mempersatukan
semua tenaga anti-feodal dan anti-imperialis: yang
bertanggung jawab memberikan tanah secara cuma-cuma
kepada kaum tani, melindungi nelayan dari pencemaran dan
perebutan lapangan kerja oleh kapal-kapal ikan besar,

633
Njoto, (2017), Marxisme, Ilmu dan Amalnya,Yogyakarta: Berdikari
Book, Hlm. 84.

1006
memberikan ruas-ruas jalan yang terbuka untuk tukang becak,
menjamin hak demokrasi bagi rakyat; suatu pemerintah yang
mampu membela industri dan perdagangan nasional terhadap
persaingan asing, untuk meninggikan tingkat hidup material
kaum buruh dan menghapuskan pengangguran, serta
memberikan status legal dan tempat yang layak bagi para
PKL.

Secara sungguh-sungguh kemajuan ekonomi berbasis


kerakyatan harus terus-menerus didorong dan dikawal oleh
LEMI. Tidak ada cerita kalau kenaikan harga bahan pokok,
penyerobotan lahan pekerjaan petani dan nelayan,
pembubaran paksa dan penangkapan serta penahan PKL,
pembatasan ruang kerja tukang becak, menurunnya nilai tukar
rupiah atas dolar, impor yang meroket, penurunan upah,
pemutusan hubungan kerja, tenaga kerja asing yang
bersimaharajalela, dan lain-lain—hanya sekedar diganti
dengan permintaan maaf pemerintah. Peran LEMI di sini
adalah mengorganisir kaum miskin dan tertindas yang
dihinakan untuk melancarkan aksi massa: demonstrasi, rapat
umum, atau mogok bersama. Dalam pidatonya Semaoen
berkata:

Ingat bahwa keinginan mogok harus datang dari hati


dan tidak dihasut karena orang lain. Namun pemogokan
tersebut harus secara umum dan tidak hanya setempat.
Cara untuk melawan tindakan ekonomi, adalah dengan
mogok. Jangan takut, jika kita mogok teman-teman kita
akan membantu.

LEMI harus mengerti: bukan lagi saatnya untuk bergulat soal


konsep perubahan yang dilakukan dari atas untuk turun ke

1007
bawah, melainkan dari bawah naik ke atas. Maka sekaranglah
saatnya menerapkannya dalam medan pertempuran: lancarkan
perlawanan terhadap semua lembaga pelayanan publik yang
berwatak komersial dan tidak berpihak pada rakyat. Jika terus
dibiarkan mereka akan meledakan angka kematian terhadap
warga miskin yang tak mampu menjangkau ongkos pelayanan
kesehatan dan membodohkan mereka yang tidak punya akses
pendidikan. Itulah mengapa lagi-lagi diwanti-wanti agar
LEMI menyebarkan pemahaman ke seganap kaum miskin dan
tertindas tentang praktek-praktek curang perdagangan
internasional. Ajak mereka menuntut ongkos murah bahkan
gratis di sektor-sektor primer kehidupan rakyat. Minta mereka
untuk membenci koruptor dan memperjuangkan hukuman
berat sampai menyita kekayaan pelaku korupsi. Dorong
mereka mendesak nasionalisasi asset-aset publik dengan
memberikan saham yang diperuntukan bagi kepentingan
rakyat. Makanya LEMI dituntut mengemban program
revolusioner: berkampanye menolak kenaikan ongkos
pelayanan publik dan swastanisasi sektor-sektor publik;
melancarkan sosialisasi-sosialisasi ke pelbagai penjuru atas
kejamnya praktek ekonomi liberal; melakukan pemantauan
terhadap kebijakan pencabutan subsidi yang berdampak pada
meroketnya angka kemiskinan; dan menanamkan kepada
massa rakyat teologi dan ideologi yang berlawan terhadap
sistem kapitalisme.

Di samping LEMI, HMI juga punya Lembaga Konsultasi dan


Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI). Lembaga ini
niscaya harus dilibatkan guna menangani persoalan
ketidakadilan yang menjerat kaum miskin. Jangan biarkan
mereka terombang-ambing tak karuan karena mencari

1008
bantuan. Sudah cukup orang-orang papa disusahkan oleh
aneka kebijakan pemerintah yang tak mampu mengangkat
harkat dan martabatnya. Sekaranglah waktunya LKBHMI
membuktikan dirinya sebagai hajat hidup rakyat melalui
kerja-kerja advokasinya. Ketika para pejabat hukum tak
berani menegakan keadilan karena asal-usul mereka
dibesarkan oleh pendidikan yang buta atas fakta. Maka kader-
kader hukum HMI mesti menggunakan segala upaya untuk
terus mencurigai, membakar keberanian dan mengobarkan
inisiatif untuk melawan setiap ketidakadilan penguasa.

Memang kader himpunan tidak boleh diam apabila melihat


hukum dilecut dalam urutan-urutan pasal dan dirangkai oleh
prosedur yang kebal kritikan. Perjuangan menegakan hukum
mesti mengutamakan nilai keadilan. Sebagaimana ucapan
Blaise Pascal: ‘keadilan dan kekuasaan harus seiring sejalan,
karena itu apapun yang adil mungkin berkuasa dan apapun
yang berkuasa harus adil’. Sikap ini dulunya tercermin dalam
diri pejuang-pejuang kemerdekaan. Eko Prasetyo dalam
Keadilan Tidak untuk yang Miskin mengutipkan kata-kata
Sjahrir yang mendengungkan keyakinan terindahnya
mengenai kekuasaan dalam kalimat yang sangat tinggi akan
nilai keadilan:

Kekuatan kita harus terdiri atas penumbuhan cita-cita


kita tentang keadilan dan perikemanusiaan. Hanya
nasionalisme yang diemban oleh cita rasa seperti itu
dapat memajukan kita di dalam sejarah dunia … oleh
karena itu kita sebagai bangsa percaya kepada
kemanusiaan, berpengharapan pada tempo yang akan
datang. Kita telah belajar menggunakan alat-alat
kekuasaan, akan tetapi tidak berdewa atau bersumpah

1009
pada kekuasaan, kita percaya pada tempo yang akan
datang untuk kemanusiaan … kebangsaan kita hanya
jembatan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang
sempurna, bukan untuk memuaskan diri sendiri kita,
sekali-kali bukan untuk merusakkan pergaulan
kemanusiaan … bangsa kita hanya satu roman dari
pembaktian kita pada kemanusiaan.634

LKBHMI sesungguhnya dapat mengambil tauladan dari kader


HMI almarhum Munir635. Perjuangan mantan Ketua HMI
Komisariat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang
ini seolah telah menjadi monumen bagi semua aktivis. Ia
ditasbihkan memiliki dedikasi intelektual yang penuh
komitmen dalam membela kaum miskin dan tertindas.
Tindakan itu tercermin lewat kekonsistenannya dan totalitas
perlawanan terhadap para tiran. Ideologinya melebur dalam

634
Eko Prasetyo, (2010), Keadilan Tidak untuk yang Miskin, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 9-11.
635
Munir Said Thalib, lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 –
meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan Amsterdam , 7 September
2004 pada umur 38 tahun. Dia merupakan seorang aktivis yang menjujung
tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, anti kekerasan dan
berjuang tanpa kenal lelah dalam melawan praktek-praktek otoritarian dan
militeristik. Ia mematutkan hidupnya memperjuangkan hak-hak orang
tertindas. Selama dalam hidupnya ia selalu berkomitmen untuk selalu
membela siapa saja yang haknya dizalimi. Tidak gila harta, pangkat dan
jabatan juga fasilitas. Adapun kasus-kasu penting yang ia tangani: Penasihat
Hukum Kasus Fernando Araujo dkk, di Depansar yang dituduh
merencanakan pemberontakan melawan pemerintah secara diam-diam
untuk memisahkan Timor-Timur dari Indeonesia (1992); Penasihat Hukum
Kasus Marsinah dan para buruh PT CPS melawan Kodam V Brawijaya atas
tindak kekerasan pembunuh marsinah, aktivis buruh (1994); Penasihat
Hukum Masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan
pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah, Madura
Jawa Timur (1993); kasus Tanjumg Priok; kasus Semanggi, kasus
penculikan 24 Aktivis (1997-1998), dan pelbagai kasus pelanggaran HAM
berat lainnya (lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/Munir_Said_Thalib).

1010
satu praksis: membela kaum dhuafa dan mustad’afin. Baginya
doktrin keagamaan HMI mengajarkannya untuk comiteed
berdiri di atas landasan pembebasan. Munir mengatakan: ‘kita
tidak ada pertentangan agama, kita tidak ada pertentangan
etnis, yang ada hanyalah penyalahgunaan kekuasaan yang
harus kita lawan!’636 Dia melihat kerangka pembangunan
hukum memiliki fungsi fundamental untuk menjaga
kelanggengan negara, serta mengatur bagaimana rakyat harus
menempatkan diri melalui alat-alat kontrol yang telah
ditentukan oleh negara:

Pada sisi ini, politik dan kepentingan kesejahteraan


ekonomi diperjuangkan oleh negara. Negara juga
menjadi sumber utama berjalannya ekonomi dan
mekanisme pasar. Namun perangkat kekuasaan—yang
bermakna alat akumulasi modal—justru menempatkan
diri pada sisi atau tugas polisionil terhadap modal atau
kebijakan ekonomi. Hukum menempati posisi sebagai
alat represi bagi tuntutan yang dipandang mengganggu
distribusi serta pertumbuhan ekonomi yang berorientasi
pada akumulasi modal. Makanya hukum juga berfungsi
mengatur rakyat dengan kapital dan negara, serta
membangun birokrasi sebagai pelaksana kontrol.
Pembangunan hukum menjadi bagian dari kebutuhan
suprastruktur politik dan modal yang mengatur saluran
partisipasi dan tuntutan dalam sistem yang mapan.
Barangkali, apa yang ditulis Upendra Baxi benar,
bahwa institusi dan proses hukum memang sengaja

636
https://www.kompasiana.com/munir-dan-imajinasi-tentang-hmi?

1011
dibuat dengan menjauhkan partisipasi subtantif dari
rakyat banyak. 637

Perjuangan Munir kemudian tidak sebatas menempuh jalur


hukum lewat profesinya sebagai pengacara, melainkan juga
menjadi aktivis Organisasi Non-Pemerintahan
(Ornop)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
memperjuangkan keadilan hukum untuk kaum buruh dan
rakyat miskin melalui jalan pergerakan. Dia kerja-kerja
pengorganisiran dan penyadaran massa dengan menanamkan
keyakinan bahwa realitas kemiskinan dan persoalan sosial
mesti dilihat secara struktural dan global. Sehingga
dibutuhkan alternatif gerakan dan pembacaan paradigma
sistem kapitalisme yang luas. Makanya ia dan LSM-nya tidak
mengandalkan gelontoran dana dari lembaga-lembaga donor
internasional, tapi lebih mengusahakan pembiayaan atas
bantuan masyarakat. Baginya lembaga donor hanya akan
menjadi pengganjal gerakan-gerakan yang dibangun. Karena
itu organisasi dijalankan dengan anggaran swadaya dari
anggota dan warga setempat tanpa paksaan sedikitpun.

Munir memberi tauladan bagaimana tindakan progresif.


Baginya teori kapitalisme pinggiran Samir Amin, meskipun
telah ditinggalkan atau mengalami berbagai revisi dan kritik
tapi patut disimak: pertama, peralihan kapitalisme pinggiran
berbeda secara mendasar dengan peralihan kapitalisme pusat;
kedua, kapitalisme pinggiran dicirikan dengan tanda-tanda
ekstraversi, yakni distorsi atas kegiatan-kegiatan usaha yang

637
Munir, (2014), Gerakan Perlawanan Buruh Gagasan Politik dan
Pengalaman Pemberdayaan Buruh Pra Feformasi, Malang: Omah Munir
dan Intrans Publishing, Hlm. 27, 29.

1012
mengarah pada upaya ekspor. Ekstraversi bukan sebagai
akibat dari ketidakmampuan pasar dalam negeri, tetapi lebih
disebabkan superioritas produksi dari negara-negara sentral
dalam hampir segala bidang, yang memaksakan wilayah
pinggiran untuk mengurung dirinya sendiri dengan sekedar
berperan sebagai pelengkap proses produksi. Sementara
dengan proses distorsi, tingkat upah di pinggiran menjadi
rendah dibanding negara sentral. Pemikiran ini telah membuat
Munir melihat permasalahan kapitalisme secara global.
Cardoso—yang mengembangkan perspektif baru tentang teori
dependensi—berpendapat: ‘dalam batas-batas tertentu,
kepentingan modal asing bersesuaian dengan kemakmuran
negara pinggiran’. Dari pengertian ini negara-negara
multinasional membantu proses pembangunan negara
pinggiran. Dalam konsepnya tersebut ada tiga macam
kekuatan politik: negara birokratis-teknokratis militer,
perusahaan multinasional dan borjuis lokal. Ketiganya sangat
dominan memainkan peran.

Memandang perkembangan sosial dengan menggunakan teori


kapitalisme pinggiran, membuat Munir mendirikan keyakinan
tentang keharusan adanya gerakan alternatif: kebutuhan akan
LSM harus lahir atas realitas kritik terhadap dominasi negara
maupun modal serta problem distribusi sumber daya ekonomi,
politik, pendidikan dan lain sebagainya yang memberikan
alternatif atas arus dominan. Sebagai kekuatan kritis dengan
memilih untuk berpihak terhadap kelompok masyarakat yang
tidak diuntungkan oleh arus pembangunan, institusi ini
berupaya menampilkan sisi kritisnya yang tumbuh dari waktu
ke waktu dan semakin menemukan bentuknya—sebagai
kekuatan keswadayaan yang kritis dan mandiri. Kelak lewat

1013
profesi pengacara dan kekuatan Ornop-nya, Munir lebih
banyak bersama, membela dan memperjuangkan hak-hak
kaum buruh dan rakyat miskin di mana-mana. Meski kerap
kali diintimidasi oleh rezim despotis; Munir tak mundur
apalagi berputus asa. Keberaniannya kemudian
mempertemukannya dengan ajalnya: pembunuhan dengan
racun yang dilakukan oleh kaki tangan Orba.

Prototipe Munir serupa pengacara yang diceritakan Harper


Lee dalam novelnya To Kill Moecking Bird. Mengisahkan
tentang penegak hukum bernama Atticus sebagai pengacara
yang hidup tatkala Amerika berkabut diskriminasi: membeci
apapun yang dilakukan Negro dan membenarkan semua
tindakan kulit putih. Atticus ditunjuk hakim untuk membela
orang kulit hitam: Tom Robinson selaku tersangka yang
dituduh memperkosa wanita kulit putih. Bukti diajukan jaksa
lemah dan Atticus menyerang balik semua tuduhan itu. Semua
yang datang di persidangan tahu bahwa Robin tak pernah
melakukan tindakan pemerkosaan. Maka berkat pembelaan
cerdas Atticus tuduhan kelihatan lobangnya, tapi vonis
bergerak tak segaris dengan perasaan keadilan. Begitulah
yang dilukis Eko Praseyo hingga dalam bukunya dikutipkan
tamsil indah tentang peristiwa barusan:

Ada sesuatu di dunia kita yang membuat seseorang


kehilangan akal—mereka tak bisa adil meskipun sudah
berusaha. Dalam pengadilan kita, ketika keasksian
orang kulit putih dipertentangkan dengan kesaksian
orang kulit hitam, orang kulit putih selalu menang. Ini
buruk, tetapi inilah fakta kehidupan … semakin
bertambah usiamu, semakin banyak hal seperti ini
kaulihat. Satu-satunya tempat di mana semestinya

1014
seseorang mendapat keadilan adalah dalam ruang
pengadilan, baik kulitnya berwarna apapun dalam
pelangi, tetapi kebencian biasanya terbawa dalam petak
juri.638

Tentu ini dapat dijadikan inspirasi LKBHMI untuk berani


melawan tirani kekuasaan. Keadilan tak sekedar terpaut pada
ketentuan saja. Karena pasal dan aturan seagung apapun tak
punya efek jika hanya jadi jamuan diskusi dan debat semata.
Juga keadilan tak bisa dipastikan dengan sekedar lahirnya
komite dan tampilnya manusia besar; karena ini juga sama
mustahilnya ketika tinggal dalam kubangan sistem yang
semrawut. Sistem tersebut yang dilihat Tan Malaka di mana
pengambilan keputusan dipengaruhi oleh asal-muasal kelas—
penegak hukum dijelaskannya sangat dipengaruhi oleh
keberadaan kelasnya. Dalam kondisi inilah sistem kapitalisme
telah berhasil merantai wewenang dan peran hukum hanya
sebatas mengutamakan kepentingan kelompok tertentu—
dalam istilah Tan Malaka—disebut ‘kaum fulus’. Makanya
asas persamaan di mata hukum jadi sangat absurd. Soalnya
hukum cuma bisa dijamin oleh kekuasaan politik. Karl Marx
memang percaya sejak manusia menciptakan hubungan
dengan landasan ‘hubungan produksi’, maka mulai saat itulah
kehidupan sosialnya terbelah menjadi dua kelompok utama:
pengeksploitasi dan tereksploitasi.

Keadaan itu telah membuat tiap kerakusan diberi


perlindungan hukum dan kejahatan dianggap sebagai biasa
ditemui sehari-hari. Bagi Marx inilah fenomena borjuisme

638
lihat Eko Prasetyo, (2010), Keadilan Tidak untuk yang Miskin,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 31-32.

1015
yang kerdil: hukum terjatuh dalam empirisme kasar, yakni
kenikmatan untuk menuai prinsip-prinsip praktis semata.
Seakan-akan dengan meletakan semua unsur kejahatan maka
semua tindakan dapat mudah dicengkram olehnya. Setiap
sikap kritis bisa dengan mudah dituduh subversif. Empirisme
kasar telah membuat hukum berlumuran proses yang tidak
adil. Namun semua tahu—sampai kematiannya akibat
diracun—keadilan bagi Munir lebih mirip dengan keinginan
yang terus-menerus harus diperjuangkan. Persis dengan
sebuah kehendak yang dibunyikan dengan penuh keyakinan
akan kemenangan. Inilah mengapa keadilan memiliki hunian
yang permanen: di sangkar pengadilan atau pada kantor
penegak hukum. Pandangan demikian telah mengarahkan
Munir berjuang tanpa pandang bulu membela hak rakyat
tertindas dalam beragam kasus: pembantaian Tanjung Priok;
Semanggi I dan II; penculikan 24 aktivis; pembunuhan
Marsinah; kerusuhan mahasiswa dan petani Pasuruan;
pelanggaran HAM Aceh; dan sebagainya.

Belajar dari sosok Munir, maka tugas LKBHMI menjadi


sangat sederhana tapi menantang: mengintervensi jalannya
penegakan hukum menggunakan kendaraan gerakan. Tentu
ini membutuhkan pengejewantahan melalui penceburan diri
membela kepentingan-kepentingan kaum buruh dan rakyat
miskin langsung di lapangan. Dialog atau seminar bukan tidak
boleh dilakukan hanya saja perlu menyasar kalangan akar
rumput alih-alih para borjuis. Pengetahuan-pengetahuan
hukum mesti diajarkan kepada rakyat agar dapat mencerahkan
dan membangkitkan kesadaran serta imajinasinya tentang
keadilan. Mengutip kalimat Clarance Darrow: ‘keadilan tidak
ada kaitannya dengan apa yang terjadi dalam ruang sidang;

1016
keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu’.
Begitulah yang tercermin dalam gugatan kecurang Pemilu
2019, yang telah menewaskan ratusan anggota KPPS,
terbunuhnya puluhan warga dalam tragedi 21-23 Mei, dan
pelanggaran-pelanggaran lainnya; Mahkamah Konstitusi
(MK) hanya bisa menyelesaikan sengketa pemilu dan dengan
dalih yang positivistik mereka menolak mengadili skandal
kejahatan Terencana, Sistematis dan Masif (TSM) itu.

Kini kematian para pekerja demokrasi tinggal sebuah


kenangan sebagaiman tewas-terbunuhnya para martir gerakan:
pejuang HAM, almarhum Munir; aktivis buruh, almarhum
Wiji Thukul dan aktivis buruh perempuan, almarhumah
Marsinah; Wartawan, almarhum Udin; dan lain-lain.
Kepergian mereka telah meninggalkan luka bagaimana
mereka diculik, dibuang, dibunuh dan diracun. Catatan kelam
ini mengisahkan kejahatan yang tak bisa diadili dan bahkan
tak dikenal siapa pelakunya. Kita hanya tahu tak ada bukti
akurat yang bisa menyeret pembunuh. Hukum tetap
memusatkan diri pada alat bukti dan prosedur tanpa
memahami keberadaan korban hingga membuat pelanggaran
HAM dimengerti sebagai suatu tindakan tak sengaja. Paling
banter tatkala hukum ingin menjerat Soeharto: TAP MPR
dimunculkan untuk memastikan pengadilan baginya. Namun
tim pengacaranya begitu mahir menyiapkan argumentasi
pembelaan: Soeharto tidak bisa diadili karena sedang
mengidap penyakit dan kondisi kesehatannya tidak
memungkinkan. Lama-kelamaan tumpukan dalih teronggok
oleh sebuah keyakinan angkuh: presiden tak bersalah. Setelah
jatuhnya kekuasaann Orba, penyakit tiba-tiba mudah hinggap
di badan kelas penguasa. Tengoklah bagaimana mantan

1017
menteri Rama Ginandjar: dia jatuh sakit pada saat perkaranya
diusut sampai menjadikan surat dokter sebagai tameng dalam
persidangan. Begitu pula yang terjadi dalam kasus korupsi
Proyek Penanganan Lahan Gambut di Kuala Kuapas,
Kalimantan Tengah: tersangka utama—Direktur Utama PT
Sumatera Indonesia, Tay Juhana—jatuh sakit lalu diijinkan
berobat ke Singapura sampai tak terlacak keberadaannya.

Apabila penegakan hukum dan keadilan hanya mengandalkan


jalur sidang, pasti semua itu bisa dimanipulasi. Lihatlah
bagaimana negeri ini baru saja dihebohkan oleh ketidakadilan
dalam memutus perkara Pemilu 2019 lalu. Bahkan kian
kemari hukum semakin jauh dari cita-cita keadilan untuk
semua. Itulah mengapa tidak ada pengadilan untuk para
pelaku pelanggaran HAM dalam aksi-aksi besar yang baru
saja terjadi: Reformasi Dikorupsi (2019), Mosi Tidak Percaya
(2020-2021), dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri
bagi Bangsa West Papua (2019-2021). Apalagi soal
kolonialisme—rasisme dan militerisme—yang telah lama
membelenggu Tanah Air Papua dan Ras Melanesia (1961-
sekarang); sama sekali tak dapat diadili siapa pelakunya.
Padahal di Bumi Cendrawasih sekitar puluhan hingga ratusan
ribu orang asli Papua telah menjadi korban kejahatan negara
yang begitu rupa: penyisiran, penganiayaan, dan pengusiran;
pelecehan dan pemerkosaan; propaganda busuk dan
stigmatisasi politik-rasial; penangkapan dan penahanan;
penculikan dan penghilangan paksa; pembunuhan,
pembantaian, dan pemusnahan etnis; pembodohan dan
pemiskinan; serta perusakan lingkungan dan perampokan
harta-benda maupun kekayaan alam.

1018
Selama ini hukum mendekati kaum miskin dan tertindas
dengan memperpanjang proses pengungkapan hingga
mencoba mengaburkan atau meniadakan siapa pelaku
kejahatannya. Itulah mengapa sampai sekarang begitu banyak
kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang tidak mampu
diselesaikan, karena ditunda-tunda dengan tujuan agar semua
orang melupakannya. Perbuatan keji dan mungkar ini disebut
Haryatmoko sebagai upaya ‘pengaburan ingatan sosial’.
Pengaburannya melalui tiga cara banal. Pertama, pemaknaan
sejarah versi penguasa waktu itu akan tetap dominan dan
mengabaikan penderitaan korban. Kedua, kesaksian korban
tidak bisa dikonfrontasikan para pelaku dan arsitek kejahatan
HAM. Tiadanya konfrontasi ini akan melemahkan bobot
proses hukum. Ketiga, tiadanya pengakuan hukum terhadap
korban sebagai korban. Korban justru mengalami viktimisasi
kedua. Pelaku penikmat impunity (tiada sanksi hukum). 639
Sewalaupun dalam pengadilan ditemukan siapa yang patut
dihukum, tapi tak selamanya dialah orangnya. Begitulah
negara menyelamatkan para penjahat kemanusiaan dari aturan
dan sanksi yang berlaku. Eko Prasetyo mengingatkan kita:

Ingatkah kita dengan pelaku penculikan mahasiswa.


Puluhan anak-anak muda diambil paksa. Sebagian
kembali dan yang lain hilang hingga kini. Pelakunya
diadili oleh Peradilan Militer. Tim Mawar disebut
sebagai pasukan eksekutornya. Prabowo malahan
dicopot gara-gara perkara ini. Tapi gelar peradilan ini
tak diikuti oleh korban apalagi kesaksian kawan-kawan
pergerakan. Yang nampak hanya jumlah hukuman dan
sanksi. Tapi sang terhukum bukan sosok yang salah

639
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 52-53.

1019
sepenuhnya. Hanya dalam waktu tak terlampau lama
partai Prabowo punya pengurus aktivis yang dulu ia
culik. Lalu Prabowo calonkan diri sebagai Presiden. Ia
tak sendiri karena pesaingnya para Jenderal juga
mencalonkan. Hilang ingatan kita tentang siapa mereka
yang sesungguhnya. Yang muncul ke permukaan
hanyalah kumpulan Jenderal yang tak bersalah …
hukum tak hanya mengaburkan tapi mampu mengubur
sebuah kisah kejahatan. Hingga kini penculikan hanya
cerita yang tak mampu mengungkit emosi massa untuk
menuntut hadirnya keadilan.640

Tepatlah hukum tak mampu menegaskan apa yang oleh Lenin


sebut dengan ‘mata rantai imperialisme’. Titik mata rantai
ekonomi memang secara kasat mata mempengaruhi
pembentukan hukum hingga dapat dimanipulasi menjadi
kententuan yang menghapus batas-batas kelas. Lihat saja
bagaimana negara menciptakan banyak sekali peraturan
bermasalah: Otonomi Khusus (Otsus) Papua (2001); Revisi
UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan,
RUU Minerba, dan RUU Ketenagakerjaan (2019); dan
Omnibus Law Cipta Kerja serta Otsus Jilid II (2020-2021).
Semua aturan ini dibuat bukan sekadar tidak melibatkan
rakyat, melainkan pula berdasarkan kepentingan pemerintah
dan pemodal semata. Dalam menghadapi semua itu tidak
boleh LKBHMI menyesuaikan diri dengan sistem hukum
telah lama rusak. Bila adaptasi yang dilakukan, Sutan Sjahrir
menyebutnya sebagai langkah ‘reformisme’: bentuk
perjuangan yang mengikuti kepentingan kelompok dominan.
Perjuangan kaum reformis soalnya dibatasi oleh ukuran-
ukuran yang ditentukan kelas borjuis. Itulah mengapa kaum

640
Eko Prasetyo, Op. Cit., Hlm. 211-212.

1020
reformis tidak pernah mampu mengabil peran dalam
memajukan kesadaran serta meradikalkan massa, melainkan
memungkas dan memundurkan perjuangan rakyat:

Oleh sebab itu perjuangan kaum reformis dibatasi oleh


kemauan kaum borjuis. Kaum reformis akan
menghentikan perjuangannya manakala dianggap
membahayakan kedudukan dan pengaruh kaum borjuis.
Kaum reformis itu tidak memimpin rakyat banyak maju
ke medan perjuangan, tetapi justru menahan dan
menghambat kemajuan perjuangan rakyat …
[makanya] reformisme berarti juga perjuangan untuk
mendapatkan reformen, yaitu perubahan-perubahan
kecil. 641

Sekarang LKBHMI seharusnya tampil dengan gerakan


radikal. Sudah waktunya untuk mewujudkan keadilan bukan
lagi jalur hukum yang dilalui, melainkan sudah melocat ke
jalan gerakan. Trotsky mengingatkan: ‘tegas-tegasku katakan
bahwa pembaharuan hukum sampai saat ini telah mengubah
makna pergerakan, dari usaha menciptakan garis demarkasi
menuju proses pengaburan identitas’. Fenomena ini
disebutnya sebagai ‘jebakan yudisial’. Dengan memakan
jebakan itulah makanya banyak sekali aktivis pergerakan yang
mengalami kemerosotan dalam melakukan radikalisasi
sebagai tugas demokratiknya. Kebutuhannya seolah bukan
lagi pengembangan basis massa yang progresif dan solid,
melainkan mengembangkan ‘aliansi’ aktif dengan para
yuris—kalangan yang mengemban watak represif dan wakil
dari kepentingan kelas penguasa. Keadaan demikian telah
lama meradang di mana-mana. Inilah kenapa tak bisa keadilan

641
Sutan Syahrir, (2000), Pikiran & Perjuangan, Yogyakarta: Jendela.

1021
ditegakkan kalau cuma berharap pada penegak hukum semata.
Kini perebutan keadilan meniscayakan adanya konsistensi
mengarungi dunia gerakan. Maka peran LKBHMI semestinya
mempelopori advokasi bukan lagi sekedar lewat jalur hukum,
tapi juga kerja-kerja gerakan. Terlalu percaya dengan
penegakan hukum saja dapat mengakibatkan perjuangan cuma
meraih capaian-capaian yang bersifat sesaat: tidak mampu
membentuknya menjadi kekuatan-kekuatan yang
terkonsolidasi. Kita mengerti: arena hukum selalu
mengaburkan posisi kelas-kelas sosial seseorang dalam
masyarakat. Bahkan hukum selama ini mencampurbaurkan
kaum miskin dan tertindas dalam kedudukannya sebagai
warga negara semata. Karl Marx pernah berkata:

Negara (hukum), menurut kebiasaannya, menghapus


perbedaan-perbedaan yang ditentukan oleh kelahiran,
tingkat sosial, pendidikan dan pekerjaan. Ketika negara
tersebut memutuskan bahwa kelahiran, tingkat sosial
dan pekerjaan adalah perbedaan-perbedaan non-politik;
ketika negara tersebut mengatakan tanpa memandang
perbedaan-perbedaan tersebut bahwa setiap anggota
adalah patner sama dalam kedudukan rakyat, maka
bentuk hukum menggantikan keserbaragaman
kebutuhan dan kepentingan konkrit dengan abstraksi
‘keinginan’ dan ‘hak’, individu yang dibedakan secara
sosial dengan abstraksi subjek yuridis atau person
hukum…. 642

Dibedakannya individu melalui abstraksi yuridis tentu


menimbulkan sebuah ilusi: atribut warga negara

642
Issac Balbus, (1988), Bentuk Komoditi dan Hukum: Suatu Esai tentang
‘Otonomi Relatif Hukum’ dalam Hukum, Politik dan Perubahan Sosial,
Jakarta: YLBHI.

1022
menumbuhkan kredo ‘semua orang sama di mata hukum’ dan
kepentingan-kepentingan material yang ada disembunyikan
dalam prinsip konstituasionalisme: paham yang meletakkan
posisi seseorang pada pendasaran yang tidak material, hingga
meredam kontradiksi dengan persamaan hak palsu. Inilah
membuat hukum mengandung poin yang menindas dan
mengaburan pertentangan kelas: bukan lagi terletak kesadaran
massa melainkan kebutuhan akan stabilitas sistem dan
bagaimana membuat jalannya sistem itu memberi
perlindungan untuk semuanya. Menghadapi kenyataan inilah
LKBHMI mesti memilih langkah alternatif: menempuh
langkah advokatif yang tidak semata bersenjatakan hukum,
melainkan menitikbertkan pada gerakan radikal. Lagi-lagi
Munir memberi tauladan cara meracik penegakan hukum
dalam semangat gerakan. Membela hak rakyat miskin dan
tertindas perlu melibatkan diri langsung untuk mengorganisir
mereka guna melakukan perlawanan.

Supaya kaum dhu’afa dan mustad’afin tersadarkan atas


kehinaan yang menimpah dirinya itu makanya kerja-kerja
penyadaran dan pengorganisiran perlu dilancarkan. Di luar
sana tentu banyak buruh dan tani yang menantikan datangnya
kalian dalam memberikan pendidikan perlawanan. Tindakan
ini dapat diambil contoh dari seorang mahasiswa bernama
Satriawan. Bapaknya menyekolahkannya di Fakultas Hukum
dengan harapan sederhana: agar kelak jadi pengacara. Namun
ia muak dengan hanya mempelajari teori-teori hukum yang
malah timpang dari realitas penegakannya. Itulah mengapa
anak muda ini mengambil sikap untuk terjung langsung ke
lapangan. Dia lantas meninggalkan bangkuk perkuliahan lalu
bertandang ke pabrik arloji di Sidoardjo—tempat Marsinah

1023
dan teman-temannya bekerja. Marsinah menceritakannya
dalam catatan hariannya:

Hari ini aku bertemu dengan seorang anak muda.


Perawakannya sederhana dengan kaca mata yang
sedikit tebal. Baru kali ini aku mendengar kalimat yang
selama ini aku rindukan. Ia katakan di hadapan kami:
‘kalian adalah manusia bebas yang diberi anugerah
kemerdekaan. Di antara yang paling menyakitkan dari
kebebasan manusia adalah penindasan. Lihat diri kalian
betapa jauh dari mereka yang selama ini tinggal dan
berkomentar tentang kalian. Menteri tenaga kerja yang
sopan, rapi dan omongannya ngawur itu hanya
mengucapkan bualan. Ia katakana bahwa hubungan
kalian dengan majikan harus sesuai dengan etika.
Sebutkan etika darimana yang mengajarkan bahwa
buruh sepantasnya diupah rendah. Etika mana yang
mengharuskan kalian bekerja tanpa berhenti, tanpa cuti
dan tanpa perlindungan. Kukatakan pada kalian kalau
waktunya untuk menuntut hak sebagai manusia yang
bermartabat. Hak untuk mendapat perlakuan yang
layak, mendapat gaji yang bisa memenuhi kebutuhan
kalian dan memberi jaminan bagi keluarga kalian. Ini
bukan sesuatu yang mustahil selama kalian mau
memperjuangkannya.’ Kata-katanya mungkin tak
setepat itu tapi menurutku kalimatnya meninggalkan
kesan mendalam bagiku … kurasakan kalimat anak
muda itu seperti sebuah irama indah yang
menghangatkan perasaanku … beberapa hari kemudian
kutahu namanya Satriawan. Katanya ia mahasiswa
hukum yang sudah jenuh dengan buku dan percaya lagi
pada bangku. Ia katanya akan tinggal dan bekerja
membantu kami.643

643
Eko Prasetyo, Op. Cit., Hlm. 167-168.

1024
Kedatangan Satriawan akhirnya mampu menggugah
kesadaran buruh. Mereka kemudian melancarkan perlawanan
melalui pemogokkan bersama. Kelak sikap berlawan itulah
yang mengantarkan semakin koersifnya perlakuan yang
didapatkan para buruh hingga terbunuhnya Marsinah di
tangan militer yang bersimbah darah. Maka dengan tewasnya
aktivis perempuan penggerak massa ini, kerja-kerja gerakan
redup dan tidak ada aturan yang mampu menjerat pembunuh
Marsinah. Hukum kembali menampilkan wajahnya yang tak
berpihak pada kaum miskin dan tertindas. Kini kelancungan
itu memperlihatkan kepada kita semua bagaimana jalur
hukum tak selamanya menjanjikan keadilan. Inilah mengapa
konsolidasi massa mesti dilakukan untuk menguatkan
tuntutan-tuntutan dan harapan keadilan dengan kerja-kerja
advokasi di luar sistem. Isu-isu pelanggaran HAM mesti
digugat dari luar pengadilan. Termasuk menyorot beragam
aturan bajingan: Perpres Nomor 37 Tahun 2019 yang
mengatur tentang pemberian jabatan ABRI pada instansi-
instansi sipil; Perpres Nomor 73 Tahun 2020 yang memberi
posisi istimewa terhadap Badan Intelijen Negara, hingga
Perppu No. 1 tahun 2020 yang melindungi aparat untuk
berbuat apa saja selama corona.

Semua aturan itu tentunya mengingatkan kita akan kelamnya


Dwifungsi ABRI. Menghadapi inilah tugas LKBHM
semestinya bekerja menentang lahirnya Neo-Dwifungsi
ABRI. Munculnya peran militer dalam ranah kehidupan sipil
soalnya membawa ekses keji: mulai dari tingginya
pelanggaran HAM, hingga mengguritanya kerajaan bisnis
militer yang sarat akan korupsi dan manipulasi. LKBHMI
harus menentang kebijakan tersebut dengan membangun

1025
gerakan aktif bersama massa rakyat. Salah satu langkah
awalnya ialah membangkitkan ingatan masa lalu. Ingatkan
rakyat bagaimana pelanggaran-pelanggran HAM yang
dilakukan aparatus represif negara. Sadarkan mereka betapa
bahayanya jika militer mengambil peran aktif di bidang-
bidang sosial-kemasyarakatan. Apalagi aparatus represif
negara dikenal sangat culas dan bengis dengan bisnis-bisnis
terselubungnya. Sudah saatnya mengusut tuntas perkara-
perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang
berlangsung saat Orba sampai sekarang. Perilaku korup
pejabat negara dan militer telah mempercepat kemiskinan dan
mendorong tampilnya pemerintahan yang otoriter serta tak
transparan.

Kader hijau hitam harus membentuk gerakan anti-korupsi dan


menelanjangi habis-habisan mitos kepahlawanan militer.
Saatnya melancarkan perlawanan secara aktif dan kreatif.
Mulailah mencari data korupsi para pejabat pusat dan daerah,
investigasi dan dokumentasi kekejaman militer untuk
mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM yang selama ini
mereka lakukan dengan seenak jidadnya—baik kejahatan
masa lalu maupun kini, terutama dalam peristiwa operasi-
operasi militer yang masih berlangsung di Papua sana. Inilah
mengapa LKBHMI perlu meminta bantuan Lapmi untuk
bersamanya menyemai kesadaran lewat propaganda media
supaya dapat mengorganisir perlawan kolektif atas kejahatan
korupsi dan kebrutalan militer. Lalu ajaklah LDMI
menyebarluaskan gagasan anti-korupsi dan kebanalan militer
di kampus-kampus seperti dalam tiap-tiap pengajian. Tidak
lupa pula gandenglah LSMI untuk mementaskan teater di
dunia kampus dan kemasyarakatan terkait aneka kejahatan

1026
militer dan kemelaratan rakyat akibat korupsi. Lalu raihlah
tangan Lapenmi untuk mengadakan pendidikan anti-korupsi
dan pelanggaran HAM di kalangan rakyat miskin dan
tertindas hingga mampu membangkitkan kesadaran mareka
akan pentingnya sikap berlawan. Kemudian juga masukanlah
LEMI dalam melancarkan sosialisasi-sosialisasi tentang
dampak korupsi bagi perekonomian dan keharusan pelucutan
semua bisnis militer untuk dikembalikan pada rakyat dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Mungkin hanya dengan kerja-kerja inilah LKBHMI mampu
merintis aliansi dengan kelas tertindas—yang menjadi korban
kejahatan korupsi dan kekerasan militer—serta organisasi-
organisasi pro-demokrasi dan elemen-elemen progresif dalam
membangun gerakan rakyat.

Perjuangan serupa tentunya mesti dapat dilakukan pula oleh


Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI). Keberadaan
lembaga ini seharusnya tak sekedar menggendutkan HMI
dengan pelbagai seminar-seminar dan penelitian yang tak
jelas, melainkan ikut melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan
yang membebaskan kaum tani. Terjun langsung ke lapangan
untuk mendengar keluh-kesah buruh tani dan menyadarkan
mereka akan posisi kelasnya lebih penting ketimbang sekedar
berada di ruangan bersama pejabat. Ingatlah ucapan Tan
Malaka: ‘Bila kaum muda telah belajar di sekolah dan
menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur
dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya
memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik
pendidikan itu tidak diberikan sama sekali’. Kini LPMI sudah
semestinya membina hubungan dengan para petani. Sudah
cukup lama kaum tani Indonesia menderita, tidak hanya oleh

1027
pengusaha melainkan juga keserakahan militer. Pada masa
Orde Baru (Orba) terjadi ketimpangan yang besar dalam
penguasaan tanah. Kebanyakan petani di pedesaan tidak
mempunyai tanah dan tak mendapatkan layanan-layanan
pemerintah.

Sekarang kemiskinan dan kenestapaan petani belum beringsut


jauh menuju perubahan: umumnya disebabkan oleh kebijakan,
terutama terkait dengan program agraria. Tanah-tanah
produktif di desa dikuasai oleh perusahaan (swasta), BUMN
(pemerintah) dan perhutani. Ini membawa dampak buruk bagi
kaum tani di Desa Sarimukti Kabupaten Garut, Desa Tanjung
Karang Kabupaten Tasikmalaya, dan Desa Cilcujang
Kabupaten Ciamis—mereka tidak bisa berobat dan
menyekolahkan anak-anakanya karena kemiskinan. 644 Tetapi
mengetahui ketertindasan itulah yang mendorong para
mahasiswa dari kota melakukan hubungan dengan petani.
Misi mereka adalah menyadarkan petani-petani akan
dangkalnya realitas di sekelilingnya. Membangun kontak
dengan petani berjalan sesuai rencana. Mahasiswa-mahasiswa
itu berhasil mengajak kaum tani membentuk sebuah
organisasi perlawanan. Pada 24 Januari 2000 dideklarasikan
berdirinya Serikat Petani Pasundan (SPP). Gerakan ini
menisbahkan dirinya menjadi pelopor perubahan nasib petani
miskin yang tidak memiliki akses pada tanah garapan.
Organisasi yang diprakarsai petani dengan bantuan mahasiswa
kota mematutkan keyakinan tentang pembaruan agraria
sebagai satu-satunya cara untuk melakukan perubahan radikal

644
Tim Kaderisasi FSBKU, dkk, (2006), Kaderisasi Organisasi Rakyat:
Pengalaman Lima Organisasi Rakyat, Bandung: Garis Pergerakan dan
Pergerakan – People Centered Advocacy Institute, Hlm. 63-64

1028
agar nasib petani tersejahterahkan. Itulah mengapa SPP
mengusahakan terwujudnya reformasi agrarian yang
dilakukan dengan 3 proses: pertama, redistribusi tanah untuk
penggarap; kedua, perbaikan layanan alam; dan ketiga,
penataan produksi bersama. Pembaruan agrarian berintikan
tanah untuk rakyat (land reform), yakni adalah suatu cara agar
kaum tani memiliki dan menggarap serta menjaga kelestarian
alam yang menjadi sumber kehidupannya. 645

LPMI semestinya mampu berperan aktif sebagaimana pemuda


kota yang telah berhasil mendorong kesadaran para petani
dalam memperjuangkan hajat hidupnya. Kemunculan SPP
yang menjadi wadah pergerakan petani bukan di ruang
hampa. Kasus korupsi jatah beras gratis untuk orang miskin di
Desa Sarimukti, Garut—merupakan awal timbulnya gejolak.
Lalu dengan hadirnya mahasiswa-mahasiswa perkotaan yang
menyulut aksi-aksi protes menjadi dasar pengorganisiran:
peran pemuda-pemuda ini begitu penting dalam
membangkitkan kesadaran penduduk untuk mempergunakan
cara-cara baru dalam melawan penindasan di kampungnya.
Ke depan kita tentunya menginginkan kader-kader himpunan
yang berada di LPMI menjadi eksponen penggerak dan
penyadaran bagi kaum tani. Bukan malah memakai nama
lembaga pertanian tapi bergaulnya dengan kaum berdasi,
melainkan harus terjun ke lapangan dan membangun
hubungan aktif dengan buruh tani hingga secara langsung
melihat dan merasakan bagaimana keadaan ketertindasan
mereka. Sekarang peran aktivis mahasiswa di kota-kota sangat
diharapkan oleh para petani miskin pedesaan. Tengoklah

645
Ibid

1029
kasus Cibenda di Ciamis: tahun 1992 sebagian warga
penggarap di Blok Bulat Laut—Desa Kecamatan Parigi
Kabupaten Ciamis—kehilangan lahan garapan karena
tanahnya disertifikasi pemerintah untuk pengusaha dan
pejabat daerah; lalu pada 1993 lahanyan diubah menjadi
tambak udang—ini mengakibatkan rakyat miskin terusir dari
tanahnya sendiri; sedangkan 1998—setelah Soeharto
lengser—sekelompok mahasiswa dari kota mempelopori
masyarakat untuk membangun gerakan sampai warga berhasil
mendirikan organisasi tani lokal (OTL) yang secara gradual
mampu mengangkat harkat dan martabat kaum tani dari
belenggu kekuasaan.

Tentu dengan banyak belajar dari elemen gerakan lainnya


LPMI dapat mengambil langkah revolusioner. Kampanyekan
tentang pentingnya perwujudan kesadaran nasionalisme
agrarian. Nasionalisme agrarian bukanlah ultra-nasionalisme
atau nasionalisme yang menindas rakyat-bangsa lain demi
kepentingan menguatkan negara dan mengangkat derajat
pemerintahan. Nasionalisme agrarian justru sebagaimana yang
ditafsirkan Muchsin: ‘bentuk kebijakan agraria yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, keadilan bagi
rakyat tani dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur’. 646 Kebijakan ini tak sekedar menetapkan keluasan

646
Nasionalisme agrarian telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor
5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), sebagaimana kata
Muchsin, dkk (2007: 53) adalah sebagai berikut: a. Bahwa wilayah Negara
Indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1); b. Bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan
karunia Tuhan yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia … haruslah

1030
kewenangan negara dalam menguasai sumber-sumber agraria
di seluruh wilayah negeri ini secara keji: kelompok-kelompok
masyarakat adat di Indonesia menghadapi kenyataan bahwa
ha-hak mereka atas sumber-sumber agrarian tidak diakui oleh
pemerintah. Ketidakpastian status tanah-tanah yang dikuasai
oleh kelompok masyarakat adat dalam hutan. Terutama
berkait HPM (Hak Penguasaan Masyarakat) dan HPHTI (Hak
Penguasaan Hutan Tanaman Industri), telah menimbulkan
silang sengketa yang berkepanjangan hingga merenggut
kesejahteraan. Secara simplistik petani-petani yang
seharusnya dilindungi hak ulayatnya dituduhkan oleh
penguasa sebagai peladang berpindah, perambah hutan,
ataupun masyarakat terasing yang tidak memiliki sertifikat
tanah.

Kisah tentang orang-orang Asmat di Kecamatan Sawa Erma


menggambarkan masifnya penindasan oleh perusahaan dan
pemerintah. Di balik pertengkaran antara para penebang kayu
dan pemegang HPH terselip persekongkolan busuk kepala
desa, camat sampai Bupati Merauke. Bahkan elit-elit birokrat
membuka kesempatan kepada pemodal untuk meminta

dipelihara dan didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat


(Pasal 1, 2, 14-15); c. Hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bersifat abadi, sehingga tidak
dapat dipisahkan oleh siapapun (Pasal 1); Negara … dan rakyat Indonesia
diberi wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (Pasal 2); e. Hak ulayat sebagai bagian dari masyarakat hukum adat
diakui keberadaannya... (Pasal 3 UUPA); f. …Badan hukum pada
prinsipnya tidak dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 9,
21 dan 49), lihat Dr. Sahnan, S.H., M.Hum., (2016), Hukum Agraria
Indonesia, Malang: Setara Press, Hlm. 41-42

1031
bantuan militer tingkat rendahan guna memaksa penduduk
Asmat dengan penggunaan senjata. Tujuannya untuk
menebang kayu-kayu demi kepentingan pengusaha yang
mendapat konsensi dari pemerintah. Bupati dengan dukungan
camat dan kepala-kepala desa di tempat itu—dalam rangka
menjamin kepentingan penanaman modal perusahaan
pemegang HPH—tak peduli dengan nasib warga pemilik
lahan; itulah sebabnya tidak heran jika tentara-tentara
rendahan tampak terlibat sana-sini ‘mengawasi’ pekerjaan
penebangan kayu langsung di hutan-hutan penduduk. 647
Penderitaan demikian dirasakan pula oleh petani-petani Lauje
Pegunungan di Wiliayah Tinombo-Tomini, Sulawesi Tengah.
Tanah yang semula menjadi sumber hidup mereka diserobot
pemerintah: keadaan tiadanya tanaman keras budidaya pada
tanah-tanah istrahat petani dipakai sebagai alasan para pejabat
untuk menuduh bahwa kekosongan lahan berarti menandakan
tanah tidak dimiliki oleh siapapun, sehingga diklaim jadi
tanah negara. Kesewenang-wenangan serupa juga dialami
para petani Bunggu di Moi dan Ngovi, pemerintah lebih
berpihak kepada Perusahaan Inti Perkebunan (PIR-Bun)
daripada rakyat miskin. Perusahaan perkebunan lantas
mengambil-alih kekuasaan atas 80.000 hektar tanah yang
semula dikuasai oleh orang-orang Ngovi dan Moi, yang
mengakibatkan penduduk hidup tercerai-berai baik dalam
artian fisik maupun mental.

Lagi-lagi serupa dengan itu semua—hak-hak adat kaum tani


Atoni Meko di Biboki Nusa Tenggara Timur (NTT),

647
Maria Rita Ruwiastuti, (2009), Sesat Pikir Politik Hukum Agraria,
Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Hlm. 21-22.

1032
dihapuskan oleh negara. Tanah perladangan penduduk seluas
20.000 hektar berpindah ke PT Fendi Hutani Lestari (PT-
FHL) atas sikap lancung pemerintah. Hal demikian terjadi
juga menimpah para petani Mullo di Pollen Provinsi NTT dan
petani-petani Bata Toba di Parbuluan Kabupaten Dairi. Pada
umumnya penindasan terhadap para petani yang memiliki hak
ulayat ini dipicu pelaksanaan reformasi agrarian dengan
setengah hati. Variabel kesetengah-hatian kekuasaan itu bagi
Maria Rita Ruwiastuti (2009) meliputi: pertama, di situ
terlibat dua sistem aturan yang sama-sama berlaku atas obyek
yang disengketakan; kedua, sistem aturan yang satu
menegasikan sahnya yang lain; ketiga, tidak terdapatnya
kesadaran serta pengetahuan yang cukup mengenai adanya
konflik aturan tersebut di kalangan masyarakat desa yang
menjadi korbannya; keempat, tidak ada penjelasan yang
memadai, jujur dan terbuka dari pihak pemerintah kepada
penduduk setempat mengenai penegasan tersebut; kelima,
sistem pemerintahan sungguh pun bersifat desentralistik
kenyataannya sangat sentralistik.

Sebagai lembaga pertanian seharusnya LPMI memperhatikan


segenap persoalan yang menimpah kaum tani. Itulah mengapa
perlu membangun kontak yang intensif dengan korban-korban
kekuasaan ini. Lebih-lebih buruh-buruh tani yang tiada
berakses apa-apa di wilayah pedesaan dan pedalaman.
Tanamkan kesadaran pada mereka tentang pentingnya
reformasi agrarian yang sejati, sebarluaskan perkembangan
politik agraria, adakan pelatihan-pelatihan kritis untuk para
petani, dan LPMI perlu terlibat aktif membela rakyat miskin
dalam masalah-masalah sengketa lahan antara petani dengan
perusahaan dukungan pemerintah. Lagi-lagi mereka mesti

1033
didorong membentuk sebuah perkumpulan untuk dapat
mempengaruhi setiap kebijakan yang akan dihadapinya,
sebagaimana organisasi masyarakat adat Lombok Utara—
Parekat Ombara. Dengan dibentuknya Parekat Ombara kaum
tani berhasil merebut kemenangannya dalam perjuangan
melawan militer dan pejabat yang ingin merebut lahannya.
Mereka memberikan pelajaran: apabila petani memiliki
organisasi perlawanan maka akan berguna sebagai alat
perjuangan dalam mempertahankan tanah, hidup dan
martabat. Petani memang memiliki kekuatan dalam berjuang,
namun mereka butuh diorganisir. Dalam Brumaire Kedelapan
Belas Louis Boparte, Marx bertutur:

Petani dengan lahan kecil membentuk massa yang


besar. Mereka hidup dengan kondisi yang serupa tanpa
memiliki bermacam-macam hubungan satu sama lain,
tidak ada hubungan saling menguntungkan …
sepanjang jutaan keluarga hidup dalam syarat-syarat
hidup ekonomis yang membedakan gaya hidup,
kepentingan dan budaya mereka dari kelas-kelas lain,
maka mereka adalah kelas tersendiri. Namun sepanjang
hanya ada antar-hubungan bersifat lokal di antara
petani-petani lahan kecil ini, dan identitas kepentingan
mereka tidak membentuk komunitas apapun di antara
mereka, maka mereka bukan suatu kelas. Akibatnya
mereka tidak berkemampuan mendesakkan kepentingan
kelas-kelasnya sendiri … mereka tidak dapat mewakili
dirinya sendiri, mereka harus diwakili … melindungi
mereka dari kelas-kelas lain dan memberi mereka hujan
dan sinar matahari dari atas.

Terhadap teks itu John Molyneux berpendapat: Marx


sesungguhnya ‘membicarakan sifat yang paling mendasar dari

1034
kelas petani, yang ditentukan oleh syarat-syarat
keberadaannya secara sosial—ketidakmampuan mereka untuk
membebaskan diri. Kaum tani memang dapat berjuang,
bahkan dengan kegarangan yang luar biasa, tetapi tidak dapat
menjadi kelas penguasa dalam masyarakat’.648 Namun bukan
berarti mereka tidak bisa memberikan tekanan dan mengatur
jalannya kekuasaan. Karena dengan terjung ke pedesaan
LPMI dapat membangkitkan kesadaran perlawanan kaum
tani. Langkah ini meminjam istilah Che Guevara: ‘bergerilya’.
Sebagaimana gerilyawan dengan cita-citanya akan tatanan
sosial yang adil, Che memberi petuah: ‘kaum tani harus selalu
dibantu secara teknis, ekonomis, moral dan budaya’.
Singkatnya: tujuan mendasar intelektual revolusioner adalah
membebaskan kaum tani dari belenggu yang mengikatnya.
Andai kader-kader himpuna merupakan intelktual seperti itu
maka sudah waktunya mengusahakan petani-petani desa
merebut kebebasannya dengan menentang kebijakan
pemerintah, perusahaan dan militer yang zalim, hingga meraih
kemenangan dan kembali berkuasa atas lahannya masing-
masing.

Komitmen moral dan ideologis berkait keberpihakan kepada


kaum miskin dan tertindas juga seharusnya terjewantah dalam
penolakan terhadap semua kebijakan ekonomi neoliberal.
Kebijakan ini soalnya dapat mematikan sektor usaha rakyat,
terutama kalangan petani dan pengusaha kecil. Lihatlah
bagaimana ‘kebijakan agraria’ yang dilaksanakan dengan
setengah hati menyebabkan terusirnya petani dari lahannya

648
John Molyneux, (2015), Mana Tradisi Marxis yang Sejati?, Yogyakarta:
Rumah Penerbitan Bintang Nusantara, Hlm. 76-77.

1035
dan ‘kebijakan revolusi hijau sektor pertanian’ ternyata
menimbulkan asupan kimia yang tidak terkontrol sehingga
menyebabkan serangan hama besar-besaran pada tanaman
pangan, bahkan membuat kerusakan lingkungan teramat
parah—mendorong penggunaan teknologi secara
serampangan, menyingkirkan banyak tenaga kerja,
merendahkan harga pangan yang berujung pada kemiskinan,
hingga mengakibatkan melonjaknya peredaran barang-barang
mewah sementara pangan kemudian ikut diimpor.
Menghadapi ini semualah lembaga pertanian HMI harusnya
jadi katalisator yang mampu membangkitkan kesadaran
kolektif dalam mengecam kebijakan ekonomi yang hanya
patuh pada serikat-serikat dagang internasional dan mendesak
pemerintah untuk memproteksi sektor usaha berbasis
kertakyatan—terutama pertanian.

Makanya LPMI dianjurkan untuk membangkitkan kesadaran


kelas pada rakyat tani, juga mengajak LEMI menyulut
kesadaran kelas buruh-buruh perkotaan, serta menyerukan
kepada seluruh ormas dan elemen-elemen progresif untuk
menolak keras kesepakatan-kesepakatan internasional yang
ada dalam GATT maupun WTO—khususnya menentang
liberalisasi terhadap sektor-sektor ekonomi strategis bagi
rakyat miskin dan tertindas: kaum buruh dan kaum tani. LPMI
pula perlu meminta lembaga-lembaga HMI lain
membantunya: Lapmi didorong melancarkan pengorganisiran
dan mobilisasi lewat media terkait kerugian-kerugian yang
akan diderita jika menerapkan praktek pasar bebas; LDMI dan
Lapenmi dimintai memasifikasi kampanye-kampanye,
pendidikan/pelatihan dan pengajian kritis terhadap liberalisasi
ekonomi, di kalangan mahasiswa dan masyarakat; dan

1036
LKBHMI diajak untuk mendesak pemerintah memberikan
perlindungan bagi hajat-hidup kaum tani pedesaan melalui
penyusunan peraturan perlindungan usaha rakyat—termasuk
melindungi aktivitas masyarakat adat.

Selain itu, LEMI dan LPMI juga tidak boleh abai terhadap
permasalahan rendahnya upah buruh dan redistribusi tanah
yang tidak merata—ini telah manyakiti rakyat miskin: kaum
buruh dan kaum tani tak mampu mencukupi kebutuhan fisik
minimum sehingga tak dapat hidup layak. Sedangkan
monopoli kepemilikan tanah telah membuat kaum tani
pedesaan kehilangan lahan gara-gara dikuasai perusahaan
serta dijadikan tempat wisata. Sementara kaum miskin dan
buruh perkotaan hidup nomaden dan menjadi korban utama
dari industrialisasi demi pendirian perusahaan—mereka kerap
kali mendapati penggusuran lahan oleh pemerintah yang
mementingkan pembangunan infrastruktur apapun. Dalam
kondisi inilah HMI dituntut berdiri di atas keyakinan
ideologisnya dalam melancarkan pembelaan terhadap kaum
dhu’afa dan mustad’afin. Makanya harus ada gerakan-gerakan
perlawanan: membongkar keuntungan yang diperoleh
perusahaan selama ini dengan cara eksploitasi kaum tani
pedesaan dan buruh perkotaan; mendukung kenaikan upah
serta jaminan sosial pekerja yang memadai; mengungkap
secara terang-terangan siapa saja pejabat dan pengusaha atau
siapa pun yang memiliki tanah luas namun tak digunakan
untuk kepentingan produktif pertanian; dan diupayakan
pelbagai desakan kepada Badan Pertanahan Nasional agar
menjadi lembaga yang memprakarsai pembagian tanah untuk
kaum tani dan rakyat miskin.

1037
Dalam melancarkan gerakan itu LEMI dan LPMI juga mesti
dibantu LDMI. Adakan adakan penekanan dan bercermah
atau merukiah para pemangku kebijakan publik. Teriakan
kepada mereka bahwa pola wakaf tanah seharusnya bukan
hanya untuk tempat beribadah, melainkan yang utama adalah
diberikan pada rakyat miskin yang tak punya tanah guna
kepentingan produktif. Juga perlu menginvestigasi perusahaan
yang menggaji rendah buruh dan memboikot produk-
produknya. Tekan pula Majelis Ulama Indonesia untuk
mengeluarkan fatwa haram terhadap barang-barang produksi
pabrik yang menindas pekerja. Paling penting kemudian
LEMI harus mendorong para pekerja untuk melakukan
pemogokan agar perusahaan menaikan upah buruh. Sementara
LPMI mengajari petani berdemonstrasi menuntut
pengembalian lahan yang digusur pemerintah. Semaoen
pernah berkata:

…cara untuk melawan tindakan-tindakan ekonomi,


adalah dengan mogok [demonstrasi besar-besaran dan
masif—yang disebut Tan Malaka—dengan aksi massa].
Jangan takut, jika kita mogok teman-teman kita akan
membantu.

Kemudian Lembaga Pariwisata dan Pecinta Alam Mahasiswa


Islam (Leppami); ketika pemerintah merenggut lahan petani
untuk mendirikan lokasi wisata bersama pengusaha, maka
kaum miskin dan tertindas harus dibela habis-habisan.
Kewisataan dan kecintaan terhadap alam bukan sekedar
ramah kepada wisatawan dan suka kepada keindahan,
melainkan bagaimana membela hak-hak dari rongrongan
kekuasaan. Tindakan penguasa yang menggerakan aparat
kepolisian—seperti pada peristiwa pembebasan lahan demi

1038
mendirikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di
Kuta, Lombok Tengah—mesti disoroti secara serius oleh
Leppami. Jangan biarkan atas nama pembangunan dan wisata
rakyat terus-menerus tergusur dan diusir sana-sini. Sudah
muak melihat motif untuk mendatangkan turis-turis asing
lebih dipreferensikan ketimbang kesejahteraan penduduk.
Padahal pariwisata kerap mengalami sindrom. Pengusaha
menjadi mafia devisa: sejak 2016—dalam berwisata ke Bali—
pengusaha memberikan subsidi kepada turis-turis asing; paket
wisata Bali-Tiongkok dibandrol murah meriah—Rp
600.000—guna mengutip keuntungan besar bagi para
pengusaha hotel, souvenir dan travel.

Sedangkan pembayaran ongkos wisata itu tidak menggunakan


rupiah tapi mata uang lain, sehingga negara dirugikan secara
kolosal. Sementara para tenaga kerja baik yang menjadi
pembuat kerajinan, pelayan hotel maupun pekerja travel terus
dieksploitasi. Inilah yang dimaksud dengan ‘transformasi
(uang) menjadi modal’. Mafia pariwisata memberi persekot
dalam bentuk paket wisata guna merubah uangnya menjadi
modal. Menurut Marx dengan rumus M - C - M: ‘nilai lebih’
yang didapatkan para borjuis berdasarkan hasil pemuaian
inheren uang—hingga menjadikan dirinya lebih banyak:
keuntungan ini dimaksudkan Engels sebagai penipuan—
dalam proses modal yang digunakan kapitalis. 649 Dalam

649
Dalam M – C – M operasi itu, pada sekilas pintas pertama, tampak
tautologis, tanpa tujuan. Menukarkan Poundsterling 100 untuk
Poundsterling 100, dan itu dengan cara berputar pula, tampak absurd. Satu
jumlah uang dapat dibedakan dari sejumlah uang lain dengan ukuran; M – C
– M memperoleh maknanya, oleh karenanya, hanya melalui perbedaan
kuantitatif pada ujung-ujungnya. Lebih banyak uang telah ditarik dari
peredaran daripada yang dimasukkan ke dalamnya. Kapas dibeli dengan

1039
perngembangan pariwisata dan sumber daya alam (SDA)
Indonesia Leppami diharapkan tak lagi duduk bergeming
melainkan mulai menyoroti tiap-tiap kebijakan pemerintah di
bidang tersebut. Harus ada pembongkaran terhadap selubung-
selubung kapitalisme yang berada di belakangnya. Makanya
Leppami mesti jadi lembaga yang tangkas bukan malah
memaknai pariwisata tak lebih dari kegiatan ‘liburan’ dan
mencintai alam dengan hanya ‘naik-turun’ gunung semata.
Kader-kader HMI di Leppami mesti membentuk prototipe
seperti Soe Hok Gie. Pendiri organisasi Mahasiswa Pecinta
Alam ini memadukan semangat nasionalis dan eksistensialis
untuk membangkitkan kepedulian terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan mencintai ‘Tanah Air Ibu Pertiwi’ tak
sekedar dalam formalitas kelembagaan dan selesai pada
gagasan, tapi terutama terjewantah lewat praksis. Komitmen
moral itudituliskan Gie dengan gambalng:

…kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia


yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak
mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat
kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat….650

Pounsterling 100 telah dijual—misalnya—untuk Poundsterling 100 +


Poundsterling 10; proses itu, dengan demikian mengikuti formula MM – C
– M1, di mana M1 = m + ?? ini, tambahan ini adalah nilai lebih. Nilai yang
pada mulanya dibayarkan di muka tidak saja tetap utuh di dalam sirkulasi,
tetapi menambahkan pada dirinya sendiri suatu nilai-lebih; “memuaikan
dirinya sendiri”—dan “gerakan ini mengubah uang menjadi modal”, lihat
Frederick Engels, (2007), Tentang Das Kapital, Modified & Authorised by:
Edi Cahyono Webmaster, Hlm. 55-56.
650
Soe Hok Gie, (2011), Catatan Sang Demonstran, Jakarta: LP3ES, Hlm.
49.

1040
Sederet kalimat Soe Hok Gie sekiranya memberikan
sinyalemen kepada manusia-manusia baru, yakni generasi
muda yang tergabung dalam Leppami bergerak mengenali dan
melindungi kepentingan kaum miskin dan tertindas. Kekayaan
alam seharusnya menjadi alat yang sebesar-besarnya
digunakan untuk menyejaterahkan kehidupan mereka. Bukan
seperti motif dekil pemerintah dalam menjadikan Madura
sebagai ‘Pulau Industri’, yang di baliknya terselip
keserakahan mengeksploitasi hasil alam di Pulau Madura;
terutama emas hitam: minyak dan gas (migas). Terdapat lebih
dari 100 blok migas di sekeliling pulau; untuk daratannya
mayoritas hak eksplorasi dipegang oleh Expan Nusantara
(anak perusahaan Medco), sedangkan potensi migas offshore
(lepas pantai) dibagi antara perusahaan: Conoco Phillips,
Santos, Kodeco, Arco, dan lain-lain. Kekayaan alam yang
berlimpah tak menjamin kesejahteraan penduduk setempat:
sejak tahun 1982 perusahaan-perusahaan tersebut
beroperasi—masyarakat Kangean dan Pagerungan di
Madura—tidak mendapati kemanfaatan, bahkan untuk
menikmati listrik masih menggunakan genset. Alhasil
masyarakat Madura tak ubahnya penduduk Papua: ketika
SDA dikeruk habis mereka merasakan penderitaan dan
kemiskinan. Dalam kasus penggerukan kelimpahan alam
Madura penguasa dan pengusaha ikut bermain: pembangunan
Jembatan Suramadu 651 lebih dipreferensikan pemerintah

651
Pertama, pembangunan Jembatan Suramadu yang menelan biaya Rp 4,5
triliun itu, sekitar Rp 2,1 triliun di antaranya berasal dari konsorsium Cina.
Kedua, sejak diresmikannya Jembatan Suramadu, banyak investor Cina
mendapat ijin ekploitasi dan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Madura.
Ketiga, selain sektor migas, para pengusaha Cina juga terlibat dalam
beberapa proyek pembangunan infrastruktur, salah satunya pembangunan

1041
daripada membangun Jembatan Selat Sunda atau Jembatan
Ketapang-Gilimanuk—penghubung dua pulau yang lebih
besar dan ramai ketimbang selat Madura—menyiratkan
adanya tindakan konspiratif dalam memberi dukungan kepada
perusahaan untuk menghabiskan kekayaan alam Madura.

Itulah yang sepatutnya diberikan atensi khusus oleh Leppami,


karena persoalan ekploitasi dan eksplorasi bukan hanya
berdiri di atas akumulasi yang berputar pada pemerintah dan
perusahaan, melainkan pula memberi dampak faktual akan
kerusakan ekosistem. Sebagaimana pencemaran lingkungan
oleh tambang emas Freeport Papua, ekosistem pesisir laut
Madura semakin mengalami kerusakan. Erosi pantai dan
berkurangnya pendapatan petani laut dan nelayan. Paling
ironis ialah pengolahan migas juga ikut mengurangi
persediaan air bersih warga Madura; menyebabkan mereka
mencari air bersih di pulau-pulau lainnya. Dalam konteks
tersebut dibutuhkan perhatian serius dari Leppami; sangat
dianjurkan mengajak LEMI untuk mendesak pemerintah dan
perusahaan lebih mempedulikan kemaslahatan hidup rakyat
miskin dan tertindas, karena telah banyak sarana dan
prasarana publik yang beralih tangan ke swasta tapi mereka
justru mementingkan laba ketimbang kesejahteraan sosial.
Untuk melindungi alam dari kerusakan dan keserakahan,
maka Leppami mesti getol mengkampanyekan tentang
pentingnya menghambat perusahaan asing (investor) yang
masuk di negeri ini lantaran mereka telah memuluskan aneka
kepentingan: meraup habis SDA Indonesia, membuat tinggi

jalan raya Socah menuju Suramadu. Lihat


https://islambergerak.com/2014/04/rebutan-minyak-di-pulau-garam/

1042
impor barang setengah jadi dan barang modal, menciptakan
ketidakstabilan moneter dan bahkan menciptakan konflik
horizontal dalam kehidupan. 652

Saatnya Leppami membangun kerja sama yang intensif


dengan pelbagai elemen masyarakat yang bergerak menjaga
alam. Salah satunya adalah Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi). Mereka rajin melaporkan pelbagai
aktivitas perusak lingkungan dan pencurian kekayaan alam
oleh perusahaan yang telah melacurkan harga diri bangsa ini.
Untuk itu diperlukan banyak belajar dari Walhi, terutama
bagaimana mereka rajin memantau ke sana-ke mari dan
mengkritik setiap kebijakan pemerintah dan aktivitas
perusahaan yang menghancurkan hajat hidup orang banyak.

652
Pada 8 Maret 2012 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) merilis temuan mengejutkan; konflik Sunni vs Syiah
di Sampang, Madura sengaja diciptakan untuk kepentingan eksplorasi
minyak. Slah satu lokasi yang akan dibor adalah lahan milik Sunandar,
seorang penganut Syiah asal Dusun Nangkernang, Omben, Sampang.
Sunandar menolak menjual lahannya. Padahal, penanaman pipa gas
sepanjang 2-3 kilometer harus melewati Dusun Nangkernang … bulan
Agustus 2012 atau 5 bulan setelah Kontras merilis temuannya, warga Syiah
di Dusun Nangkernang benar-benar diserang oleh warga Sunni …
(sedangkan) awal Desember 2012 seorang pria Australia berinisial TH
melakukan penelitian soal konflik Sunni-Syiah di Desa Nangkernang. TH
mengaku sebagai pemantau HAM, tapi kemudian dideportasi ke Australia
karena persoalan izin keimigrasian … menurut Pimred Buletin Khidmah A.
Mubarak Yasin, Jika rangkaian fakta ini dirajut dan dikomparasikan (baca:
kasus Irak dan Afganistan yang diserang oleh Amerika Serikat dengan
pelbagai alasan hanya karena ingin menguasai migas) dengan fakta-fakta
yang terjadi di Sampang. Akan tampak sekali bahwa AS tidak suka pada
keberadaan pengusaha-pengusaha Cina yang mulai menguasai sumber-
sumber migas dan proyek-proyek infrastruktur di Madura. AS tentu tidak
mau kehilangan dominasi dan supremasinya di Pulai Madura, yang sudah
mereka genggam sejak awal decade 1980-an (untuk lebih jelasnya lihat
https://islambergerak.com/2014/04/rebutan-minyak-di-pulau-garam/).

1043
Hanya perjuangan yang sungguh-sungguh melawan sistem
kapitalis tidak sebatas dengan pemantauan dan kritik.
Melainkan pula melancarkan pendidikan politik, sosialisasi
dan kampanye masif pada kalangan masyarakat tentang
pentingnya menjaga lingkungan dan bersikap kritis pada
pemerintah dan perusahaan. Jika mencatat bencana-bencana
yang terjadi kerap kali ditengarai oleh tiadanya kesadaran
kolektif masyarakat baik dalam merawat alam maupun
menentang kebijakan publik yang memerosotkan. Adalah
contohnya, tindakan penguasa yang menerbitkan konsensi
pertambangan di kawasan hutan lindung pada masa
pemerintahan Megawati—dengan seenak perut mengesahkan
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan menyetujui Proyek Ladia
Galaska di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam—sementara
status lingkungan hidup dalam kurun waktu tersebut
mengandung permasalahan lingkungan, karena merugikan
kepentingan daya dukung ekosistem hutan dan membuka
akses terhadap penjarahan hutan seisinya. Menghadapi semua
ini eksekutif dan legislatif tidak merasa bersalah dalam
membuat dan mengesahkan aturannya. Apalagi yang amat
membangkitan amarah ialah ketika partai politik peserta
Pemilu 2004 sama sekali tidak memiliki platform pro-
lingkungan. 653 Bahkan untuk dana bencana Gempa Lombok

653
Sejumlah partai politik peserta Pemilu 2004, parpol yang sama sekali
platform pro lingkungan adalah PNI Marhaenisme, Partai Buruh Sosial
Demokrat, Partai Merdeka, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai
Nasional Banteng Kemerdekaan, Partai Persatuan Nadhlatul Ummah
Indonesia, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Sarikat Indonesia, Partai
Persatuan Daerah, dan Partai Pelopor … Sejumlah parpol tadi di atas sudah
bisa menggambarkan bagaimana nasib lingkungan hidup kita di meja kerja
mereka … mereka yang tidak pro lingkungan mana mungkin tiba-tiba

1044
2018, Muhir selaku anggota Komisi IV DPRD Kota
Mataram—tega mengorupsi uang kemanusiaan dan
lingkungan hidup. Makanya keberadaan Leppami sudah
saatnya bergerak meningkatkan kesadaran kritis rakyat, lenih-
lebih untuk menyulut sikap politiknya dalam mengkritik
kebijakan dan menyoroti rencana/janji-janji yang tertuang
dalam platform parpol serta kelauan wakil rakyat: hal ini
dapat dijadikan alat dalam menuntut dan mendesak politisi-
politisi pongah tukang abai kemaslahatan hidup manusia dan
lingkungan.

Leppami mesti menjadi suluh penjaga sumber daya alam dan


lingkungan hidup dari segala macam keserakahan; eksploitasi,
ekspansi dan akumulasi para perusak alam. Dalam mencegah
bencana: banjir dan tanah longsor, harus dikobarkan gerakan
peduli lingkungan berbasis kerakyatan. Tanamkan keyakinan
kepada masyarakat akan dibutuhkannya pembuatan saluran air
yang benar, reboisasi, rehabilitasi hutan dan lahan sampai aksi
tanam sejuta pohon. Sementara industri kehutanan yang
sampai sekarang menebang pohon dan mengurangi jumlah
hutan mesti dilawan; karena hal ini dapat menyebabkan
banjir, lumpuhnya perekonomian rakyat, membuat
infrastruktur rusak hingga kerugian materi bertriliunan.
Membangun kesadaran lingkungan hidup membutuhan waktu
lama, makanya ajak masyarakat dan semua elemen progresif
bekerja sama. Pemerintah mesti dididik dengan budaya
menjaga lingkungan. Ajak Lapmi untuk menyebarkan

menjadi orang sangat peduli lingkungan ketika menjadi wail rakyat … janji-
janji yang mereka umbar sewaktu kampanye saja dengan mudah dilupakan,
apalagi yang tidak mereka cantumkan [lihat Sarwono Kusumaatmadja,
(2007) Politik & Lingkungan, Depok: Koekoesan, Hlm. 45-46].

1045
propaganda soal tidak becusnya kebijakan lingkungan yang
telah membuat sengsara. Minta LDMI menyebarkan pamflet,
ceramah-ceramah berisi agitasi, dan analisis dampak negatif
kapitalisme pada lingkungan hidup di tiap-tiap masjid atau
mushollah. Usahakan juga agar Lapenmi tergerak hatinya
membantu memberikan pendidikan lingkungan kepada
masyarakat; terutama dengan pemutaran film lingkungan yang
mudah dicerna orang-orang awam dan menghadirkan pakar,
akademisi dan aktivis lingkungan.

Bahkan bantuan LKBHMI, LEMI dan LPMI juga sangat


diperlukan dalam mengadvokasi persoalan lingkungan, baik
dalam penyerobotan lahan dan tanah warga untuk dijadikan
tempat wisata dan perkebunan maupun persoalan perusahaan
yang mematikan usaha rakyat. Kini jelaslah tugas
kemanusiaan kader-kader HMI dalam lembaga kekaryaan:
menciptakan karya kemanusiaan yang bersifat kerakyatan
untuk membela kepentingan kaum miskin dan tertindas.
Mereka menggelorakan sikap berlawan dengan terus-menerus
mengutuk ulah bejat pengusaha dan penguasa yang
berkongkalikong menerbitan kelakuan penindasan terhadap
rakyat. Jauh hari Bertolt Brech nyatakan: ‘kelaparan tak
terjadi secara kebetulan, namun diorganisasi oleh bisnis
besar’. Leppami dalam pariwisata dan lingkungan harus
mampu melihat kepentingan-kepentingan di belakangnya:
sistem ekonomi yang berhamba pada kedigdayaan pasar
dunia. Sistem ini telah membenamkan kedaulatan rakyat akan
kepemilikan sumber daya alam yang sebenarnya. Makanya
kaum miskin di negeri ini menjadi manusia tuna kompleks:
tak bisa mendapat pekerjaan, nggak mampu bayar pendidikan,

1046
dan harus mengais-ngais indentitas untuk memperoleh
layanan kesehatan gratis.

Untuk yang terakhir disebutkan; soal kesehatan merupakan


fenomena paling tragis untuk rakyat di sekitar perusahaan
migas dan perkebunan. Dalam bidang kesehatan HMI
mempunyai LKMI (Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam).
Lembaga ini mesti membuka mata lebar-lebar bahwa
timbulnya pelbagai penyakit rakyat itu berkaitan erat dengan
instansi lainnya. Itulah mengapa dorong, tekan dan desaklah
pemerintah agar soal kesehatan masyarakat haruslah dimulai
dari pemerintahan yang sehat pikiran, perasaan dan
tindakannya. Telah banyak kebijakan yang menelan korban
kaum miskin. Kawat-kawat listrik yang bertegangan ratusan
volt telah banyak menimbulkan penyakit; dari macam-macam
keluhan gejala di sekujur tubuh, bayi lahir cacat, hingga
gangguan mental. Sementara ongkos rumah sakit begitu
mahal, pelayanan juga begitu rawan akan malapraktik.
Penyakit yang berbeda-beda diberikan obat yang selalu sama.
Terasa betul sistem kesehatan memang tidak untuk kaum
miskin. Mereka jadi korban yang selalu kena tindasan. Karena
negara hanya punya solusi klasik: penyakit hanya bisa
disembuhkan dengan menyediakan obat-obatan dan dokter,
ketimbang kebijakan dan perubahan sosial.

Walhasil, dalam sistem kapitalis orang sakit tidak dipandang


sekedar sebagai pasien, melainkan juga dilebihkan posisinya
menjadi konsumen: dibujuk untuk mengkonsumsi obat oleh
dokter dan industri farmasi guna mengail laba besar-besaran.
Para penderita penyakit menjadi semakin sengsara di atas
sistem kesehatan yang berhamba kekuatan kemodalan. Eko

1047
Prasetyo dalam Orang Miskin Dilarang Sakit menceritakan,
persekongkolan tengik ini bisa dilakukan dengan cara
beragam:

Pertama, dokter ‘diwajibkan’ untuk meresepkan


sejumlah obat dari perusahaan farmasi tertentu. Si
dokter akan mendapat imbalan sejumlah uang atau
seperangkat fasilitas untuk memenuhi kebutuhan
dokter.… (Kedua), persekongkolan licik dalam bisnis
obat-obatan dapat juga ditempuh dengan langkah lain
yang berupa pemberian diskon terselubung dengan
memanfaatklan tangan dokter. Agen obat menawarkan
produk ke dokter. Selanjutnya si agen akan memesan
obat dari apotik yang telah ditentukan (yang biasa
disebut dengan apotek panel). Apotek ini menerima
komisi dari perusahaan farmasi 2 sampai 2,5%. Lalu
agen mengirim obatnya kepada dokter (meski
sebenarnya dilarang, praktek dokter memberi obat
langsung ke pasien sangat lazim dilakukan. Setelah
jatuh tempo pembayaran (biasanya satu bulan), dokter
akan membayar seluruhnya tanpa potongan—sehingga
nampak seperti bisnis yang wajar. Namun potongan
harga 15-2% akan ditransferkan ke rekening sang
dokter….654

Di negeri ini hak untuk sehat sangatlah mahal karena obat-


obatan menjadi ajang penanaman modal. Bahkan para petugas
kesehatan malah ikut diperbudak oleh para pemodal. Memang
minimnya pengetahuan medis telah memposisikan rakyat
kecil selalu dalam keadaan labil. Mereka dipaksa
melanggengkan status-qou dengan sikap membebek, tunduk

654
Eko Prasetyo, (2004), Orang Miskin Dilarang Sakit, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 99-100.

1048
dan menghormati prosedur perofesional yang dikerjakan oleh
aparat kesehatan. Makanya kalau ada kesalahan medis akibat
salah obat atau penanganan; mereka jarang sekali
mempertanyakan atau menuntut ganti rugi. Ini paling banyak
menimpah orang-orang susah yang hidup pada desa-desa
pedalaman, tertinggal, dan terpinggir. Akhirnya mereka
menjelma tak lebih dari konsumen yang terus-menerus
bergantung pada obat. Padahal ada banyak fakta yang
menunjukan bagaimana obat ikut menambah parah sebuah
penyakit. Studi kepustakaan yang dilakukan Knutt Schroeder
membuktikan bahwa obat batuk yang marak beredar di
pasaran menghasilkan efek-efek buruk bagi kesehatan.
Bermacam efek samping seperti mulut kering, kepala pusing
dan susah tidur justru memperparah kondisi penderita. Untuk
obat batuk saja, menurut daftar obat Indonesia, pada tahun
1994 telah beredar lebih dari 150 merk. Survei perihal derajat
kemanjuran obat belakangan ini mulai banyak dilakukan
orang. Hanya repotnya, sekali ada ketidakberesan dan bahaya
dari salah satu jenis obat, kita diminta secepatnya
berhubungan dengan dokter. Lagi-lagi ketergantungan
masyarakat dibentuk melalui pola konsumsi. 655

Jerembab sistem kapitalisme sudah menyuburkan peredaran


obat-obatan yang juga banyak disalahgunakan kaum muda
sebagai ajang mabuk-mabukan. Tramadol, comix dan
pelbagai obat batuk lainnya telah dimanfaatkan serupa obat
penenang. Pengguna biasanya adalah siswa-siswa sekolah
dasar, yang notabene berasal dari kalangan keluarga miskin.
Surplus obat-obatan tak ubah racun yang jika dibiarkan akan

655
Ibid, Hlm. 37.

1049
membunuh masyarakat di tengah mahalnya biaya berobat.
Itulah mengapa peran LKMI sangat diharapkan untuk
membasmi keadaan tersebut. Gerakan alternatif mesti
dibangun untuk menekan dan meruntuhkan siklus kesehatan
yang kapitalistis. Kecongkakan sistem kesehatan yang
bersanding erat dengan ongkos kesehatan yang mahal, sanitasi
lingkungan yang buruk, dan gizi makanan yang rendah telah
mengukuhkan orang miskin jadi korban pemerintah berdarah
dingin. Makanya tugas LKMI adalah mendorong hadirnya
pelayanan kesehatan yang tak hanya berkutat pada disiplin
ilmu yang melulu medis, melainkan juga terkait masyarakat
dan sistem sosial yang membentuknya. Calon-calon dokter
atau perawat yang ada di LKMI saatnya terjun langsung ke
lapangan: berbaur dengan masyarakat, menanyakan keluhan-
keluhan mereka terkait kesehatan, dan menangani persoalan-
persoalan sosial yang dialaminya.

Ajari rakyat-rakyat miskin tentang bagaimana menciptakan


tata lingkungan yang memenuhi standar kesehatan. Dengan
begitu mereka diajak untuk terlibat dalam penataan
lingkungan dan melatih sejak dini untuk melihat problem
kesehatan, bukan dari sisi prilaku semata. Makanya kerja
sama dengan Leppami juga sangat diperlukan. LKMI dan
Leppami harus menanamkan keyakinan pada mereka: kalau
masalah kesehatan begitu penting melibatkan instansi lain.
Pendidikan kesehatan anti-kapitalisme ada baiknya
dicanangkan kepada rakyat miskin agar mereka dapat keluar
dari jeratan perusahaan farmasi dan dokter tengik. Untuk itu
LKMI sekiranya meminta bantuan Lapenmi dan LEMI ikut
terlibat memberikan penyuluhan; kalau kesehatan tidak
semata-mata ditentukan oleh tingkah laku, namun pula

1050
struktur sosial, penghasilan ekonomi, dan kebijakan
pemerintah. Maka tandaskan pada meraka tentang suatu
penyakit banyak terkait dengan kebijakan yang diambil
penguasa. Dengan demikian penyuluhan tak sekedar memberi
pemahaman tapi lebih-lebih mendengarkan keluhan
masyarakat agar mereka bisa terlibat dalam masalah yang
dihadapinya.

Lalu seret pula Lapmi untuk mengeluarkan warta dalam


bentuk tekanan atas sitem kesehatan yang tidak manusiawi;
masyarakat yang sehat tidak cukup hanya mendorong mereka
menghargai hidup sehat tetapi harus ada perubahan pada
tingkat pendapatan serta peningkatan akses ekonomi
masyarakat. Syahdan, sangat penting agar LKMI mampu
mengorganisir perlawanan masyarakat terhadap: rumah sakit,
puskesmas dan apotek, serta seluruh pekerja kesehatannya.
Paksa mereka membangkitkan keberpihakan nyata pada
rakyat miskin yang tidak mampu mengakses biaya kesehatan.
Desak pejabat publik dan pengusaha farmasi agar membatasi
peredaran bebas obat yang berpotensi disalahgunakan sebagai
alat yang memabukan. Kemudian juga ajak LKBHMI untuk
membangun gerakan advokasi dan protes untuk membela
pasien yang telah disengsarakan oleh pelbagai lembaga
kesehatan, terutama dokter-dokter pelaku malapraktik.

Dalam mengawal pengembangan kesehatan masyarakat


Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI) juga bisa ikut
membantu. Kampanye media sosial cukup efektif dalam
memberikan informasi pada publik terkait kebobrokan
kebijakan kesehatan. Obat-obatan yang tidak berkualitas dan
dokter-dokter pelaku malapraktik dapat diorbitkan terus

1051
menerusnya muka-mukanya. Lembaga ini pula mesti cekatan
memberi antidot terhadap wabah yang dibawa arus
perkembangan teknologi dan informasi, yakni propaganda
borjuis yang menghegemoni kesadaran kritis masyarakat.
Apalagi kini revolusi industri telah memasuki era disprusi
yang membuat semua hal tecerabut dari akarnya: fenomena
ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya
dilakukan di dunia nyata ke dunia maya, sehingga terjadi
perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan sehari-
hari. Ini menjadi pemicu lahirnya generasi muda yang melek
internet.

Dalam novel Kerumunan Terakhir—Okky Madasari (2016)—


menceritakan, seseorang bernama Jayanegara yang
mengalami kegugupan bahkan kegalauan akibat perubahan
zaman yang begitu cepat. Dari desa kemudian ia mengadu
nasib ke sebuah kota metropolitan, Jakarta. ‘Hijrah’ itu
membawanya mengenal dunia yang tak pernah ia bayangkan
sebelumnya, dari kerumunan yang satu ke kerumunan lainnya.
Lalu ditanggalkannya nama aslinya untuk diganti dengan
nama baru: Matajaya. Novel yang bertutur tentang orang
kelahiran pada era 1990-an, yang masih mengalami segala
pemikiran dan peristiwa tradisional tiba-tiba bertemu dengan
apa yang dinamakan ‘dunia digital’, seketika dia menjelma
jadi sosok yang tercerabut dari akar kehidupan yang
sesungguhnya. Okky mengakhiri romannya dengan tulisan
retoris:

Sepotong kisah tentang kegagapan manusia di tengah


zaman yang berubah cepat, yang tak memebri
kesempatan setiap orang untuk diam dan mengenang,

1052
berhenti dan kembali ke belakang. Dari kerumunan satu
ke kerumunan lainnya, dalam kebisingan dan
keasingan. Generasi zaman ini berbondong-bondong
meninggalkan masa lalu menuju masa depan. Tapi di
manakah masa depan itu?656

Demikian perkembangan teknologi menjadikan seseorang


memiliki dua kepribadian yang berbeda. Inilah yang disebut
sebagai alter ego. Dalam ilmu sosial dan sastra gejala ini
dinamakan dramaturgi: pandangan tentang kehidupan sosial
sebagai serentetan pertunjukan drama pada sebuah pentas.
Bagi Erving Goffman, dramaturgi itu mengenal istilah
panggung depan dan panggung belakang. Karakter seseorang
di panggung depan: bermuka langsung. Berbeda dengan
panggung belakang: tidak bermuka langsung. Sekarang
fenomena seperti merambah ke segala macam bidang
kehidupan. Politisi di depan rakyat begitu banyak menebar
janji-janji dan citra baik, namun di belakang sekonyong-
kenyong mengkhianatinya. Para pemimpin bicara di atas
panggung bahwa pembangunan dilaksanakan demi rakyat,
ternyata lama-kelamaan dirasakan manfaatnya sangat besar
untuk pengusaha. Kebijakan dan aturan dibuat hanya sekedar
menawarkan tampilan sederhana: mengikat dengan kepastian
tanpa menitikberatkan terhadap keadilan. Rakyat miskin
bersimaharajalela di negeri ini, bahkan dalam memenuhi
kesehatannya sangat susah. Pemerintah dan perusahaan malah
memberikan subsidi sebagai kerja filantropis guna menutupi
banyak kekejian.

656
Lihat Arba Megazhe Edisi 50 April 2019, Generasi Milenial di Era
Disrupsi, Surabaya: SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya Sekolah
Teladan Tradisional, Hlm. 8-9.

1053
Mereka kira kemiskinan bisa teratasi jikalau diberi
sumbangan. Malah yang ada rakyat semakin bergantung dan
lama-kelamaan perbuatan demikian akan menjadi candu untuk
rakyat miskin. Dramaturgi inilah yang dipertontonkan kepala
daerah macam Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri. Dia
begitu rajin menemui orang sakit sampai ke rumah sakit dan
mengunjungi rakyat kecil guna disorot media. Sedangkan
kepemimpinannya begitu asal-asalan. Jembatan dan jalan di
daerah pedalaman mengalami kerusakan. Lima belas Aparatur
Sipil Negara (ASN) korupsi enggan diseret ke pengadilan.
Kecamatan-kecamatan yang kekeringan sulit memperoleh air
bersih dan rakyat kesusahan memenuhi kehidupan rumah
tangga. Narkoba bergentayangan hampir di tiap pelosok
kabupaten. Kepala-kepala sekolah dan desa yang diduga
menyelewengkan anggaran pembangunan—hanya karena
dekat dengan kekuasaan maka—sulit diusut. Aksi-aksi protes
masyarakat kerap kali diganjari intimidasi preman dan ulah
represi aparat kepolisian.

Fenomena itu ternyata seiras dengan pengumuman Pemilu


2019: penggunaan media sosial dibatasi oleh kominfo. Arus
informasi tidak berimbang: seabrek pembenaran berkeliaran
sementara upaya membongkar dan mengkritisi tindakan
mereka dimatikan. Kemudian dicekokilah masyarakat dengan
siaran berita bahwa langkah penguasa adalah paling tepat.
Semua dilakukan demi menjaga stabilitas negara. Tak peduli
fakta lapangan mengatakan lain, bahkan sangat tragis: para
bocah telah dianiaya aparat, massa aksi ditembaki peluru
tajam, petugas medis dan wartawan menjadi sasaran koersif.
Maka dramaturgi kemudian tak sekedar dialami oleh orang
desa dalam novel Okky Madasari, melainkan yang paling

1054
berbahaya adalah ketika hinggap pada muka masam
pemegang kekuasaan.

Perkembangan teknologi dan melubernya pelbagai informasi


sudah melahirkan banyak sekali penipu dari kalangan
penguasa dan korban tipuannya ialah rakyat miskin. Namun
menjadi ironi tatkala kalangan jelata terasing dari dirinya
sendiri. Tak jarang mereka mengambil sikap permisif dan
menyesuaikan diri hingga meniru tindakan para penjahat
bertopeng. Tetapi tatkala rakyat miskin terserang dramarturgi
yang muncul adalah wajah-wajah serupa badut. Kesedihannya
jadi bahan kasihan yang membenarkan sumbangan dari si
penguasa dan si pengusaha. Ujung-ujungnya perbuatan
filantropis ini malah melanggengkan status-quo dan membuat
para pemegang kuasa tertawa terbahak-bahak di atas takhta
dan hartanya. Ketika Pemilu tiba modus belas kasih bahkan
digunakan untuk menggelembungkan pundi-pundi suara.
Politik uang dan bagi-bagi sembako berubah menjadi modal
yang diterima dengan bahagia sebagai gaji pemilih. Suara
rakyat tak ubahnya komoditi yang diperdagangkan. Kerja-
kerja pemilihan berjalan begitu mekanis. Inilah yang
dimaksud Marx sebagai kapitalisme yang bukan hanya
menyangkut pasar tapi juga ‘sosial, budaya, dan politik’.
Itulah mengapa banyak sekali massa-rakyat yang teralienasi
dari dirinya sendiri. Mereka memilih bukan karena
kehendaknya, melainkan dibuai rayuan modal kapitalis-
oligarki yang merembes demokrasi melalui tim sukses yang
bergentayangan sana-sini. Kemudian kemenangan dan jabatan
yang diraih kelak dijadikan ajang sirkulasi modal: mulai dari
pengembalian uang yang dikeluarkan selama pemilu hingga
untuk memperkaya diri dengan korupsi.

1055
Kini dengan kemajuan teknologi maka semakin canggih pula
cara-cara mereka untuk melakukan korupsi. Bayangkan
bagaimana pengadaan e-KTP pada tahun 2011 dan 2012
ternyata ikut menghasilkan koruptor yang berasal dari
Kemendagri dan petinggi DPR, sebesar Rp 2,315 miliar;
begitupun dengan suap proyek Sistem Komunikasi Radio
Terpadu di Kementerian Kehutanan, korupsi hibah kereta api
dari Jepang di Kementerian Perhubungan, maling anggaran
proyek pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan,
dan lain-lain. 657 Atas nama penyediaan barang-barang
teknologi inilah anggaran yang seharusnya digunakan untuk
menyejahterakan rakyat malah masuk kantong penjahat
berdasi. Layar media terus disesaki oleh informasi-informasi
seputar kejahatan para pejabat. Sementara penegakan hukum
atas koruptor berjalan di tempat. Bahkan penjahat korupsi e-
KTP, Setya Novanto (Setnov) sempat dua kali melarikan diri
dari hukuman. Lagi-lagi seperti banyak penjahat sisa Orba
lain: dengan bermodalkan surat keterangan sakit dari dokter,
mereka diijinkan periksa dan dirawat di rumah sakit—namun
dalam perawatannya tidak diberi penjagaan ketat hingga
mendapat kesempatan kabur.

Menghadapi kemajuan teknologi dan kepungan informasi;


tentu informasi-informasi korupsi dan bobroknya keamanan
menimbulkan reaksi publik. Tiap-tiap orang berteriak kencang
di alam maya tapi nihil bergerak di dunia nyata. Morozov
menyebut fenomena ini sebagai ‘Slaktivisme’: sebuah
perasaan-perasaan kesal dan marah yang terluap begitu saja.

657
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/15/13012381/18-kasus-
korupsi-besar-mangkrak-pimpinan-kpm-tegaskan-terus-bekerja

1056
Sherry Turkle dalam tulisannya I share therefore I am juga
menjelaskan tentang hal itu: ‘di era sekarang ini akun media
sosial kita pergunakan untuk mengungkapkan perasaan di
dalam diri kita dan merasa dengan membagi (share) perasaan
tadi, kita akan segera terhubung dengan teman-teman lainnya,
sehingga membuat perasaan cemas berubah menjadi nyaman.
Setiap harinya terdapat ratusan juta pengguna media sosial di
Indonesia’.658 Banyak di antara mereka kecewa dan protes di
dunia maya. Tenaga mereka habis berjam-jam hanya untuk
manyalaki kebiadaban kekuasaan. Sepatutnya LTMI bisa
menjadi sentra pengorganisir luapan-luapan kekecewaan
netizen. Jangan sampai emosi tersebut terbuang percuma.
Lembaga ini mesti memanfaatkan teknologi dengan
mengambil sikap advokatif. Keresahan-keresahan rakyat di
media sosial harus diorganisir, sehingga munculah gerakan-
gerakan beraneka hastag: #SaveKPK, #HukumMatiKoruptor,
dan sebagainya. Lalu gerakan online kemudian juga harus
diwujudkan dalam dunia nyata. Intinya teknologi dan
informasi mestilah dimanfaatkan sebagai alat dalam melawan
kejahatan penguasa dan membela rakyat miskin.

Tulisan, video, musik dan gambar mempunyai daya ungkit


untuk menarik perhatian para netizen. Kesadaran mereka akan
buruknya kondisi yang dihadapi harus dibangkitkan dengan
upaya-upaya provokatif. Maka pemberontakan di media sosial

658
Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite—dirilis Januari 2019—
pengguna medsos di Indonesia mencapai 150 juta jiwa atau sebesar 56%
total populasi, dan dipastikan angka ini akan terus meroket. Mereka
berselancar di facebook, whatsApp, instagram, twiteer dan youtube. Dalam
media sosial—kurang lebih mereka menggunakan waktu 3 jam dalam sehari
(lihat https://databok.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/berapa-
pengguna-media-sosial-di-indonesia, dan wwwaresocial.com).

1057
harus ditarik keluar ke jalan. Begitu banyak lembaga negara
yang lalai dalam merealisasikan keterbukaan informasi
publik. Sebaiknya perilaku tersebut dicurigai dan dikritik.
Apalagi masyarakat wajib mendapatkan haknya untuk
informasi terkait berapa dan untuk apa anggaran-anggaran di
tiap-tiap instansi publik—termasuk berkait urusan kesehatan
dan pendidikan masyarakat. Sudah saatnya LTMI mengawal
setiap kebijakan pemerintah yang melukai hajat hidup rakyat.
Manfaatkanlah handphone atau leptop untuk penggunaan:
facebook, instagram, whatsapp, twiteer, youtube dan lain-lain.
Media-media ini saatnya dijadikan alat-alat propaganda
alternatif dalam menyulut kesadaran netizen ke aneka bentuk
perlawanan yang menjadi sebuah preferensi perjuangan—
terutama untuk mengorganisir amarah mereka hingga dirinya
tergerak terjun langsung ke jalanan bersama massa rakyat
tertindas dalam melakukan rapat umum, aksi massa, dan
pemogokan.

Itulah mengapa Teknologi Informasi (TI) bagi LTMI haruslah


dipandang sebagai sarana yang tak sebatas memudahkan
kaderisasi, melainkan pula menyalurkan ajaran-ajaran
pembebasan Islam guna membangkitkan kesadaran rakyat.
Dengan demikian kebutuhan untuk mendayahgunakan TI
menjadi keharusan sebuah gerakan. Tujuannya supaya
lembaga yang beraras pada teknologi dan informasi ini dapat
mengkomunikasikan dan menyebarluaskan informasi-
informasi kepada masyarakat atas berbagai ketimpangan
kehidupan. Yusuf Maulana lewat karya Aktivis Bingung Eksis
menyampaikan:

1058
…sebuah telepon genggam dari produsen ternama luar
negeri misalnya, tidak semata seonggok barang
nirpesan (bebas nilai). Ia hadir sebagai sebuah ikon
yang mengafirmasi suatu tanda, yakni gaya hidup
kelas.… Di sinilah semestinya aktivis mahasiswa
melakukan transformasi teknologi sekaligus
mendekonstruksi nilai tersebut. Temuan terbaru
teknologi semestinya tidak lagi dipandang bebas nilai.
Bukan masanya lagi mengapriorikan kenyataan adanya
gaya hidup dalam muatan produk-produk elekteronik.
Maka, alih-alih turut menikmati—disadari atau tidak—
nilai yang termuat pada produk TI ini, mereka
semestinya merumuskan nilai tandingan. Dalam hal ini
gaya hidup digantikan kesadaran politis. Jadi,
kewajiban utama aktivis gerakan mahasiswa dalam
penerapan TI adalah merumuskan nilai (baru).659

Sebuah keyakinan Islam sebagai ideologi yang kemudian


diaplikasikan ke dalam bentuk perjuangan menggunakan TI.
Konteks ini juga membutuhkan keterlibatan segenap lembaga-
lembaga HMI: terutama Lapmi. LTMI perlu bersinergi dan
bergerak bersama Lapmi. Semua berita yang ada di portal
Lapmi harus dipropagandakan ke pelbagai media sosial
lainnya. Dalam rangka memberantas sindrom perkembangan
teknologi-informasi, LTMI sangat dianjurkan terjung
langsung ke tengah masyarakat guna memberikan pemahaman
kepada mereka tentang kemajuan dan penggunaan TI yang
berorintasi kemanusiaan. Tanamkan kesadaran kepada mereka
akan keharusan memanfaatkan teknologi dalam mengawal
dan memprotes kebijakan pemerintah yang melukai hajat
hidup rakyat miskin. Kemudian dengan berbasiskan TI perlu

659
Yusuf Maulana, (2015), Aktivis Bingung Eksis, Surabaya: Pustaka Saga,
Hlm. 151-152.

1059
sekali LTMI membuat layanan pengaduan masyarakat untuk
mendengar keluhuan-keluhan orang-orang yang hak-haknya
tidak terakomodasi pelbagai kebijakan pemegang kekuasaan.
Sewaktu-waktu akumulasi penderitaan rakyat disalurkan ke
bentuk gerakan lapangan.

Kini sudah waktunya kemajuan teknologi informasi mesti


diarahkan kepada sikap dan tindakan keberpihakan terhadap
kaum miskin dan tertindas. Kumpulkan data-data tentang
aneka kekejian penindas: kebijakan yang memiskinkan rakyat,
kekayaan segelintir pejabat, perusahaan yang merusak
kesehatan dan mencuri kekayaan alam, hegemoni modal yang
membangkitkan semangat konsumsi; hingga menjual agama
dan meluncurkan budaya, pelanggaran-pelanggaran HAM,
dan lain-lain. Kemudian ditabulasikan lalu lemparkan
hasilnya ke publik dibantu oleh upaya virtualisasi dari kader-
kader HMI hingga dijadikan sebagai tema-tema gerakan
bersama. Tidak lupa pula lembaga-lembaga kekaryaan lainnya
diajak mengadvokasi permasalahan sesuai dengan praktis
kelembagaannya. Ke depan LTMI mesti menjadi lembaga
yang mampu merangkai dan menghidupkan ide-ide alternatif.
Bila perlu mesti mengadakan pelatihan dan pembinaan kepada
kader-kader himpunan untuk menjadi hacker-hacker yang
menggunakan ilmunya untuk memberontak terhadap pelbagai
instansi yang menggunakan TI dalam mendukung para
kapitalis. Persis kata Thomas Jefferson: ‘pemberontakan kecil
sesekali adalah hal yang bagus’.

Apalagi kini kita mengerti bahwa sudah tidak mungkin kalau


teknologi informasi terus dikuasai dan dimanfaatkan oleh para
borjuis. Maka saatnya menggunakan teknologi informasi

1060
sebagai senjata dalam menyulut menyalaknya perlawanan via
digital. Sementara amunisinya ialah tebaran-tebaran: meme-
meme provokatif yang menampar pikiran dan perasaan;
quotes pemberi inspirasi perlawanan kaum muda; dan video,
musik, foto, serta himpunan film dokumenter berkait
kejadian-kejadian yang merangkum penderitaan rakyat. Untuk
yang terakhir tak apa membuat orang-orang pesimis.
Giringlah mereka untuk melihat pelbagai realitas palsu yang
suram, tetapi kesuraman yang kemudian membangkitkan
dinamisme. Tujuannya jelas: supaya muncul sebuah—
meminjam istilah Dhaniel Dhakidae—‘sense of commitment
atau rasa komitmen’, untuk membela rakyat-rakyat miskin
yang sengaja dimiskinkan oleh cara kelola kekuasaan yang
selalu ingin memperkaya diri. Itulah mengapa diperlukan
kerja sama yang serius antara LTMI dengan Lapmi dalam
memantik timbulnya arus deras perubahan melalui sulutan
propaganda-propaganda media. Dewasa ini keperkasaan pena
dalam skala global telah termanifestasi pada gelombang-
gelombang demokratisasi sejak pertengahan 1970.
Gelombang demikian diidentifikasi oleh Samuel P.
Hungtingtong sebagai yang ketiga dalam sejarah dunia
modern. Misalnya pada 1989, secara dramatis gelombang itu
menumbangkan negara Soviet di Eropa Timur dan melahirkan
gerakan demokratisasi di negara banyak bekas-bekas
Republik Soviet.660

Hanya demokrasi di negara dunia ketiga malah kemudian


ditunggangi oleh kapitalisme yang hanya memupuk kekayaan
pada pejabat, pengusaha dan militer. Makanya informasi

660
Eko Prasetyo, (2012), Kekuatan Pena, Jakarta: Indeks, Hlm. 27.

1061
teknologi harus diupayakan menjadi senjata makan tuan bagi
kapitalisme. Napoleon Bonaparte meyakini: ‘empat surat
kabar yang memesuhi lebih menakutkan ketimbang seribu
bayonet’. Memang tatkala orang seperti Napoleon berkuasa,
mereka sangat membenci gagasan intelektual. Di bawah
kekuasaannya kaum intelektual justru mengalami penindasan
lewat sensor dan militer atau polisi rahasia. Kekeresan dan
pembungkaman paksa tak jarang berujung kematian. Di
Indonesia, kekejian demikian persis yang dialami Udin dan
Prabangsa. Keduanya merupakan beberapa di antara jurnalis
yang mendapati kematian di tangan penguasa yang ketakutan
atas pemberitaan koran dan viralisasi media. Paniknya kelas
penguasa dalam menghadapi serangan-serangan media itulah
yang juga tersirat dalam brutalitas aparat kepolisian terhadap
puluhan wartawan saat gerakan 21-22 Mei 2019 lalu. Para
jurnalis dipikuli hingga babak belur dan seluruh peralatan
peliputannya direbut bahkan dihancurleburkan. Kemudian
Kominfo membungkam masyarakat dalam mengakses media
agar tidak memperoleh informasi yang menurut penguasa
dapat membahayakan status-quo.

Diancam oleh arus deras informasi yang membahayakan


kekuasaannya; tentunya mereka tidak menginginkan
timbulnya gerakan protes besar-besaran sebagaimana yang
terjadi di Hong Kong. Melalui pemanfaatan teknologi
informasi masyarakat Hongkong melawan hegemoni
pengusaha Cina melalui terjangan kksi massa yang dikenal
dengan Umbrella Movement (Gerakan Payung). Ini sekaligus
meledak sebagai puncak kemarahan rakyat Hongkong atas
segala skandal dan ketamakan penguasa. Gerakan ini
menginginkan respon yang tepat dari pemerintah atas

1062
kehidupan yang semakin meminggirkan rakyat miskin.
Tuntutan utamanya adalah meminta dilaksanakannya
pemilihan umum secara langsung. Mereka menginginkan ada
ruang bagi warga mencalonkan kandidat-kandidatnya, karena
pesta demokrasi Hongkong sudah lama ditentutakan oleh
Komisi Pemilihan—kelompok yang menentukan pemilihan
Dewan Eksekutif atau Chief Excecutive Hongkong—yang
didominasi oleh kelompok bisnis Cina. Bertahun-tahun suara
rakyat miskin dan tertindas diabaikan, persis seperti
Indonesia: banyak kebijakan masih diskriminatif dan tidak
adil bagi rakyat-pekerja. Daripada berusaha memperbaiki
kehidupan rakyat dengan mendorong perubahan mendasar;
pejabat-pejabat di negeri ini justru berkongsi dengan
pengusaha hingga militer. Inilah yang membuat oligarki lahir,
tumbuh subur, dan merajalela. Lihat saja bagaimana para
juragan properti semakin kaya menguasai pemilikan tanah,
apartemen dan gedung-gedung komersial di segenap penjuru
Hongkong. Sewalaupun Umbrella Movement tak punya
pemimpin tunggal, tapi gerakan ini mengajarkan kita tentang
pentingnya peran mahasiswa dan wartawan.

Kala itu kemajuan teknologi informasi dimanfaatkan oleh


para pelajar begitu rupa. Mereka menjadikan media sosial
sebagai alat untuk meraih dukungan massa di mana-mana.
Hanya pemerintah kemudian membalasnya dengan tindakan
represi menggila. Brutalitas aparat lantas menggairahkan
sebarek wartawan untuk terus meliputnya. Kelak
penggiringan opini dan jajakan pemberitaan menjadi alasan
utama kenapa negara harus me;lancarkan kekerasan pada
jurnalis. Namun peran media sosial dan berita surat kabar
yang masif menyebarkan kabar kezaliman penguasa—

1063
ditambah protes-protes seluler dari netizen—lama-kelamaan
efektif menggaet dukungan dari pelbagai elemen masyarakat
Hongkong hingga tercetusnya perlawanan secara kolosal. 661
Hasilnya pemilihan legislatif Hongkong jadi terbuka bagi
pelbagai kalangan. Meskipun pada akhirnya tokoh-tokoh
mahasiswa yang dituduh sebagai provokator divonis dalam
persidangan. Kini Gerakan Payung mengajarkan pada kita
bahwa untuk sebuah perubahan dibutuhkan tindakan. Dalam
bertindak diperlukan kesadaran, pengetahuan, dan
keterampilan teknis—lebih-lebih dalam memanfaatkan
kemajuan ilmu dan teknologi.

Teknologi informasi seperti telepon seluler, komputer maupun


laptop saat ini telah menjadi pendukung utama peradaban
modern. Menyebabkan perkembangan modernisasi
kapitalisme sekarang semakin intens dan kompleks. Bahkan
sampai hegemonisasi budaya, homologi pemaknaan dan
perasaan disamakan dari sudut estetika pasar. Guliran wacana
yang tersebar melalui arus informasi telah banyak
menaklukan kesadaran kritis. Masyarakat kapitalis begitu
gampang terjebak dalam bimbingan politisi jompo moral yang
anti-rakyat dan artis maupun ustad-ustad seleb. Tauladan
buruk bergentayangan: mengajarkan liberalisme, menyajikan
semarak tubuh dan menyugesti untuk membeli apa saja.
Semuanya dilakukan guna melanggengkan budaya pasar yang
merangsang konsumerisme. Lama-lama ini akan membentuk
apa yang disebut Pierre Bourdieu dengan habitus:
pengetahuan praktis dari agen kapitalis mengenai cara

661
https://indoprogress.com/2014/11/umbrella-movement-ketika-pelajar-
hongkong-bergerak-menuntut-demokrasi-di-jalanan/

1064
melakukan sesuatu, merespon situasi dan memahami apa yang
terjadi. Maka geliat kapitalisme akan memicu terjadinya:
‘distingsi’. Dimana selera terhadap berbagai benda budaya
berfungsi sebagai tanda kelas yang menjadi pembeda dalam
kehidupan. Kemudian struktur kelas atau pekerjaan yang
dasarnya adalah budaya dan ekonomi menjadi penopang
dinamika gaya hidup.

Masyarakat yang berkelebihan akan cenderung melakukan


distingsi guna membedakannya dari rakyat yang serba
kekurangan. Penularan untuk membedakan diri ini bukan saja
dipercepat oleh korporasi bisnis, melainkan juga lembaga-
lembaga yang berisi: seniman, intelektual, artis dan ustad.
Makanya kasus Indonesia, dalam banyak hal meniru mode
asing. Mulai dari acara televisi, makanan, minuman hingga
penampilan merupakan imitasi. Kebudayaan yang dianggap
maju diadopsi tapi konsekuensinya harus membedakan dari
budaya sendiri. Bagi Bourdieu: ‘semakin hari, seiring
dominannya politik-ekonomi pasar bebas, jumlah anggota
kelas menengah baru yang berfungsi sebagai perantara budaya
(cultural transmitter) semakin meningkat dengan
662
pandangannya yang baru tentang dunia’. Itulah sebabnya
kenapa banyak sekali dibuka acara-acara borjuis: AFI,
Dangdut Academy, Indonesian Idol, Indonesian Model, dan
lain-lain. Semua ini bertujuan memberi kesempatan bagi kelas
menengah baru yang nantinya memiliki kesempatan berkarier

662
Nurani Sayomukti, (2012), Sastra Perlawanan: Menggugat Seni-Budaya
Kapitalis, Menegakkan Seni-Sastra Kerakyatan yang Humanis-Kritis,
Malang: Beranda (Kelompok Penerbit Intrans) & STKIP PGRI Publishing,
Hlm. 65.

1065
dan mengekspresikan gaya hidup dengan berpilar pada paham
individualisme dan liberalisme yang melahirkan narsisme.

Dalam kondisi itulah orang-orang diseret menjual tubuh untuk


iklan, film dan semarak budaya pasar. Makanya seperti yang
terjadi pada ranah dakwah—yang seharusnya ikut menjadi
wilayah penyadaran LDMI—para ustadz seleb hanya
ngomong soal moral dan mengahruskan membunyikan
omongan bahwa manusia harus menekan kemauan
manusiawinya. Mereka hanya melihat kesehatan tubuh-jiwa
tidak ada kaitannya dengan penataan struktur dalam
masyarakat. Makanya tak jarang Pekerja Seks Komersil
(PSK) yang muncul karena kondisi kemiskinan dan
ketidaktersediaan lapangan kerja justru dicipir, sementara
komplotan borjuis: pelaku iklan dari golongan artis dan ustad
malah dipuja. Pandangan seperti ini telah menjadi epistem
masyarakat kapitalis. Manipulasi benda-benda berujung
pemujaan simbol-simbol sebagaimana kata Jean Baudrillard.
Keadaan ini membuat eksistensi individu-individu tidak
didasarkan pada pencerahan diri, tetapi pada keinginan dan
rayuan mengikuti orang yang diidolakan. Itu tercermin ketika
budaya pop seperti model baju dan kosmetik artis-artis korea
dibebeki oleh anak-anak muda secara berlebihan.

HMI yang memiliki LSBMI (Lembaga Seni Budaya


Mahasiswa Islam) harus tanggap terhadap hegemoni budaya
pasar. Kesenian dan kesusastraan mesti kembali digemakan
menjadi senjata gerakan perlawanan. Bagi Bourdieu untuk
menentang distingsi dibutuhkan bangkitnya resistensi
kultural. Ini menjadi sebuah usaha membedakan diri dari
kelas borjuis. Tentu dalam melawan kekuasaan modal

1066
dibutuhkan penghayatan yang dalam hingga mampu
membongkar selubung realitas palsu. Dari Sutan Syahrir kita
diajarkan: ‘hanya dengan jalan membaca roman orang dapat
memperoleh pengalaman-pengalaman lain dan hanya dengan
membaca sajak orang dapat mengenal pelbagai perasaan
murni yang ada pada manusia tetapi sering disembunyikan’.
Perjuangan dengan roman berarti mengharuskan LSBMI
melancarkan propaganda melalui sastra. Imanuel Kant pernah
berkata: ‘kalau seni yang indah tidak mengungkapkan
gagasan moral, gagasan yang menyatukan orang, itu bukanlah
seni, hanya hiburan. Orang perlu dibuat untuk menjauhkan
mereka dari kekecewaan dalam kehidupan’. Sekarang
banyaknya kader himpunan yang pandai mencipta puisi sudah
waktunya diarahkan untuk melakukan kerja-kerja penyadaran.
Singkatnya, puisi yang mereka tulis bukan sekedar memompa
semangat melainkan juga ruang refleksi dan kritik—terutama
untuk melihat kenyataan dalam getar jarak dan rasa.

Tatkala muncul ketidakadilan kuasa dan eksploitasi modal,


maka puisi bisa dijadikan perahu yang menampung duka
tersebut. Kekuatan seni budaya mestilah dihidupkan HMI
sebagai sarana perlawanan. Sejarah telah mencatat bagaimana
perlawanan gerakan anak muda kiri di masa Orde Baru. Saat
rezim membungkam demonstrasi sikap berlawan mereka
salurkan lewat puisi, teater dan pelbagai roman. Begitulah
yang dipersembahkan WS Rendra lewat puisi-puisi
perlwanannya, hingga ketika Reformasi ’98 ia menyempatkan
diri menggugah keberanian massa rakyat untuk tetap
bersemangat menentang para kekuasaan tirani. Bahkan jauh
sebelumnya, berulang kali pentas ‘Teater Koma’ dilarang.
Penyair Wiji Thukul diculik dan dihilangkan. Sementara

1067
Novel karya Pramodya Ananta Toer diharamkan untuk
dibaca, hingga pengedarnya dapat tuduhan subversif. Rezim
Soeharto memang masa-masa seni-budaya dijadikan senjata
kaum muda dalam melawan kezaliman. Adalah Iwan Fals jadi
aktivis di dunia musik. Lagu-lagunya terbilang paling berani:
lirik lagunya mengkritik habis para wakil rakyat ‘jangan tidur
waktu sidang soal rakyat’ dan menampar Soeharto dengan
nyanyian ‘Ibu Tin’. Kemudian pula ada grup Elpamas yang
melawan dengan lagu ‘Pak Tua’. Sebuah karya yang
mengasosiasikan Soeharto sebagai orangtua yang sudah
seharusnya turun takhta dan menyerahkan urusan negara ke
tokoh yang lebih muda. Selanjutnya muncul juga Slank
dengan karyanya berjudul ‘Gosip Jalanan’. Lirik lagunya
secara kentara ditujukan kepada DPR yang korup: segala
aktivitasnya Ujung-Ujungnya Duit (UUD).

Dulu seni budaya jadi senjata nomor wahid dalam menyibak


penindasan penguasa zalim. Sekarang juga masih ada
perhimpunan yang terilhami dari jejak pemuda-pemuda itu.
Sebut saja Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker). Mereka
merupakan sekumpulan pekerja yang bergerak di bidang daya
cipta dan kreativitas. Agenda utamanya ialah membentuk
jaringan kebudayaan terkecil yakni ‘sanggar seni’ di basis
buruh dan petani. Langkah mereka yakni mengorganisir aksi-
aksi kebudayaan, hingga membangun sanggar dan komunitas
yang menyatukan perjuangan komunitas lokal dan nasional.
Dalam kerja-kerja inilah mereka berusaha menyadarkan kaum
miskin dan tertindas lewat bacaan, selebaran, aksi budaya,
rapat akbar, diskusi, kajian dan beragam pendidikan politik
lain. Sekarang gerakan kebudayaan menjadi sangat penting.
Apalagi dunia kontemporer sering dianggap sedang

1068
mengalami sebuah ‘cultural turn (giliran budaya)’. Makna,
bahasa, identitas dan proliferasi (pembiakan) media dilihat
sebagai isu-isu penting yang menandai kondisi postmodern
dan global. Merujuk pada fenomena giliran budaya, Fredric
Jameson berpendapat bahwa ekonomi pun telah ikut-ikutan
menjadi kultural, berpatut soal makna, tanda dan imej.

Kondisi inilah yang membuat isu kultural menjadi bagian


yang tak terhindarkan dalam perbincangan tentang globalisasi.
Bagi Tomlinson, globalisasi terletak di jantung budaya
modern; praktik budaya terletak di jantung globalisasi.
Globalisasi karenanya tidak hanya berkaitan dengan aktivitas
ekonomi. Transformasi kapitalisme dalam beberapa dekade
terakhir juga membawa pengaruh signifikan dalam wilayah
kebudayaan.663 Maka untuk menetralisir ancaman budaya
kapitalis—terhadap beragam kearifan lokal—yang dipelopori
oleh media dengan iklan para artis dan ustad itulah perlu
diupayakan sebuah counter kebudayaan. LSBMI harus
mendirikan perlawanan yang bertolak dari ajaran
membebaskan dalam Islam. Ditransformasikan pada kerja-
kerja kesenian berarti memekarkan seni bukan sebatas untuk
menerjemahakan realitas melainkan pula corong penyalur
suara-suara pemberontakan. Itulah mengapa kesusasteraan
tidak sekedar menyajikan fiksi tapi juga data dan fakta.
Dengan begitu LSBMI jadilah tempat kader-kader HMI
menuangkan ciptaan-ciptaan seperti seorang Pramodya
menulis novelnya, atau Thukul dan Rendra dalam puisinya,

663
Eric Hiariej, (2012), Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan,
Yogyakarta: Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Hlm. 163.

1069
bahkan dapat pula terjun ke tengah-tengah masyarakat dan
mengornasirnya serupa yang dilakukan Jaker.

Lewat LSBMI berkepribadian secara kebudayaan mesti


diwujudkan. Sasaran awalnya adalah mahasiswa di kampus-
kampus yang saat ini mulai dilandah kekeringan budaya dan
kepribadian. Cara mendekati mereka adalah melakukan
‘malam-malam kebudayaan’ seperti bentuk aktivitas
propaganda HMI di awal-awal berdirinya. Musik, teater dan
lukisan yang menjiwai semangat pembebasan Islam mesti
dilancarkan kembali oleh kader-kader seniman HMI. Di
tengah karya sastra yang hampir tak diminati, maka sudah
tidak mungkin menghadirkan kesenian yang terjatuh dalam
kegiatan menghibur semata. Ini soalnya akan menyebabkan
seni diadili oleh keyakinan parsial, hingga muncul anggapan
bahwa seni tak punya faedah sama sekali. LSBMI diharapkan
mampu menyadarkan mahasiswa dari pelbagai pandangan
ngawur. Terutama anggapan bahwa seni tak punya peran
dalam kerja-kerja pengorganisiran. Singkirkan juga kredo
kalau seni tidak ada hubungannya dengan agama. Buktikan
bahwa kesenian dan kebudayaan bisa punya peran-peran
sebagaimana dulu dilakukan ‘Wali Songo’ dalam tugas-tugas
islamisasi maupun perlawanan terhadap kekuasaan kolonial.
Maka LSBMI semestinya mengibarkan kembali peran-peran
itu dengan bentuknya yang terbaru. Termasuk merajut
kemegahan agama dengan seni. Adalah sastra salah satunya
yang dapat membawa sikap keberagamaaan dalam dimensi
yang tulus. Eko Prasetyo mengutip Naskah Djamin, yang
dalam novelnya melalui sang tokoh berkata: ‘kewajiban setiap
orang hidup untuk mengatasi segala yang dihadapkan
padanya. Mengatasi dengan simpatik, dan saling memberi

1070
kesempatan’. Inilah bentuk daya rajut seni terhadap sikap
keberagamaan yang toleran. Toleran terhadap setiap
kebenaran agama, namun membangun sikap kontradiktif
terhadap kapitalisme guna menjaga para penganut agama dari
hegemoni modal yang merusak moralitas kemanusiaan:

Dulu ketika manifest kebudayaan dicetuskan pertama


kalinya, terungkap komitmen sosial yang dipancarkan
oleh kaum seniman: pekerjaan seorang seniman sering
kali dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh
masalah-masalah.… Dan seniman tak dibutuhkan lagi
seandainya nanti ‘dunia sempurna’. Tapi dunia seperti
itu tak ada karena ‘Kami tak pernah berfikir tentang
suatu zaman di mana tak ada masalah lagi, Kami tak
mungkin menerima sebuah utopia’. Kelak manifest ini
akan diserang habis-habisan oleh Manikebu, tapi
setidaknya mandat seniman tak bergeser: berhadapan
dan terlihat dalam perkara kemanusiaan. Sastra dengan
kemampuan persuasifnya mampu memberi petunjuk
ganda: membawa pembaca pada sebuah renungan
tentang keadaan tapi juga menanam keyakinan untuk
dapat bergulat di dalamnya. Maka itu sebabnya banyak
sastrawan kemudian jadi aktivis: tak hanya menulis tapi
juga menceburkan diri dalam gerakan. Semaoen selain
ketua partai juga penulis novel. Hamka di samping
ulama juga penulis novel. Terlebih banyak seniman
Lekra yang menulis karya dengan indah tapi juga
terlibat dalam kegiatan partai. Menulis bukan kerja
tekhnis tapi lambang dari kerja penyadaran. 664

Tindakan seperti merekalah yang diharapkan dapat dilakukan


HMI dengan LSBMI-nya. Dengan seni perbuatan menghasut

664
Eko Prasetyo, (2017), Bergeraklah Mahasiswa!, Malang: Intrans
Publishing dan Social Movement Institute, Hlm. 113-114.

1071
bisa dilancarkan. Memberikan kesadaran bagi para
penikmatnya atau setidaknya mengusahakan khalayak
mengkonfrontir antara kesadaran dengan kenyataan. Merujuk
istilah Walter Benjamin maupun Brecht, karya seni progresif
bersifat reflektif: memberi renungan atas kenyataan sosial dan
itu sebabnya bukan tanggapan murni emosional, tapi sekaligus
mengembangkan kesadaran atas lingkungan sosial. Seni juga
tak hanya berperan tunggal—membangkitkan kesadaran, tapi
juga memencarkan keindahan. GWF Hegel megatakan: ‘seni
bersikap kritis terhadap dunia untuk menciptakan rasa rindu
akan perasaan keindahan yang mampu menyingkirkan segala
yang buruk dan tercela dalam realitas politik praktis.
Kerinduan akan keindahan itu bertentangan dengan kerakusan
untuk memiliki segala dan semuanya’. Melalui kerja-kerja
kesenian LSBMI bisa tampil menjadi kekuatan perlawanan
sekaligus penyadaran terhadap kedangkalan-kedangkalan
westernisasi yang merusak budaya bangsa. Setidaknya
lembagai ini mampu melakukan perlawanan kecil-kecilan
serupa Serikat Pengamen Indonesia (SPI): membangun
budaya kerakyatan dalam men-counter hegemoni budaya
kelas penguasa.

SPI mengangkat lagu-lagu bertema kritik atas ketimpangan


sosial-ekonomi dan kemerosotan kebudayaan. Mereka bukan
sekedar menyanyi melainkan pula bergerak bersama rakyat
melawan anasir-anasir yang mereduksi nilai-nilai kerakyatan.
Pendidikan alternatif disemaikan melalui pembelajaran
bersama di jalanan. Pemuda-pemuda yang dimiskinkan oleh
sistem kekuasaan banyak yang bergabung ke dalam SPI.
Ketika pada tahun 2008 harga BBM melambung tinggi dan
kemiskinan merajalela, dengan penuh semangat mereka

1072
menggelorakan pernyataan ‘Mobilisasi’: Deklarasi Serikat
Pengamen Indonesia (SPI) dan aksi bersama Front
Pembebasan Nasional (FPN) 21 Mei. Gerakan pegiat seni
budaya ini melakukan penolakan pada rencana kenaikan BBM
dengan aksi massa dan rapat umum. SPI mengkampenyakan
perlawanan terhadap modal asing. Baginya pemerintah adalah
agen imperialisme—yang mencetuskan beragam kebijakan
neoliberal—hingga mendorong kenaikan BBM dan
kesengsaraan rakyat berkepanjangan. Makanya gerakan ini
begitu keras menyatakan sikap: “LAWAN ELIT POLITIK
PENIPU RAKYAT YANG SOK REFORMIS DAN
NASIONALIS—padahal hanya minta jatah dari modal asing”.
Lewat propaganda media, SPI menyuarakan secara lantang
ajakan melawan kaum kapitalis:

Ajak seluruh orang-orang yang Anda sayangi untuk


melawan bersama rakyat. Karena, melawan penjajahan
modal asing (imperialisme) dan agen-agen dalam
negerinya, adalah keharusan, jika hendak
mempertahankan kelangsungan hidup. Sebab, dominasi
imperialisme jugalah yang telah merenggut syarat
kelangsungan hidup orang miskin.665

Salah satu anggota SPI, Bung Bob namanya—penyanyi,


pengamen dan aktivis. Pemuda ini merupakan seorang yang
menggemakan seni sebagai senjata gerakan. Ketika dia
diundang menjadi pemateri sebuah diskusi dia berdiri di atas
pandangan yang begitu progresif, namun karena kerjaannya
ngamen maka dirinya dipandang sebelah mata. Tapi jangan
salah; Bung Bob merupakan mantan mahasiswa Perguruan

665
Kprm-prd.blogspot.com/2008/05/mobilisasi-deklarasi-serikat-
pengamen.html?m=1

1073
Tinggi Seni. Ia terlibat dalam SPI karena keinginan kerasnya
memperjuangkann hak-hak kaum miskin lewat gerakan seni
budaya yang revolusioner. SPI banyak menorehkan ide
tentang pendidikan gerakan yang patut dicontoh LSBMI.
Sebuah gerakan yang berbasiskan dan digerakkan langsung
oleh kaum miskin kota: petani, buruh, pedagang kaki lima
(PKL), pedagang asongan, tukang becak dan lain-lain. Maka
tidak salah lagi perubahan bukan mengemis pada penguasa,
melainkan dilakukan sendiri oleh kaum tertindas melalui
tindakan konkret. Dalam sebuah forum ilmiah di sebuah
kampus Bung Bob tegaskan:

Saya datang ke sini bukan sekedar ingin bicara. Saya


ingin kita semua punya pikiran sama. Soal revolusi
sosial. Mengapa aku katakan revolusi sosial? Karena
memang perubahan yang sekarang ini tak pantas kita
bicarakan. Kebebasan mungkin anugerah. Tapi buat
siapa? Apa anak tukang becak dengan kebebasan bicara
bisa sekolah di kampus ini? Buat siapa kebebasan
berekspresi kalau tidak diikuti oleh bebas dari
kemiskinan? Bebas dari kebodohan? Bebas dari
kenaikan harga yang tambah hari tambah mellambung?
Oke kalian bisa bilang kita dalam tahapan proses, tapi
apa ukuran kemajuan kalau sekedar bebas dirikan
partai? Bebas dirikan koran? Dan bebas mati karena
tidak kuat bayar biaya kesehatan? Jawabanku tetap
sama: kita butuh revolusi sosial mendasar. Agar apa?
Agar semua orang dapat menikmati pendidikan seperti
kalian yang ada di sini! Agar ketimpangan bisa
ditumpas dan kemakmuran dapat dirasakan oleh semua
orang…. 666

666
Eko Prasetyo, (2008), Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!
Soekarno, Semaoen & Moh. Natsir, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 39.

1074
Revolusi sosial dapat diusahakan dengan mengembangkan
seni-budaya kerakyatan. Namun di era pasar bebas yang
ditunggangi kapitalisme-neoliberal ini begitu banyak karya
seni-sastra yang didominasi nuansa seksual. Walhasil, hasrat
seksual manusia diseret ke dalam arena budaya liberal.
Banyak penulis novel dan puisi yang lahir dari dunia artis-
selebritis dengan gaya glamor dan suka dugem. Mereka
adalah para borjuis yang akan meracuni kesenian rakyat
dengan luapan karya yang tidak pernah membawa mandat
membangkitkan semangat perlawanan. Bahkan jika diambil
definisi dari Nurani Soyomukti: ‘seni adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan keindahan yang diterima indera’. Maka
para artis yang tampil ganteng, cantik dan gila-gilaan entah
dengan keahlian memoles diri atau karena pesanan—yang
jelas semuanya adalah gambaran keindahan. Namun
pengamat estetika Rusia NG Chernyshevsky menjelaskan
bahwa keindahan adalah yang di dalamnya manusia melihat
kehidupan sebagaimana dipahaminya. Itulah mengapa seni
memproduksi segala sesuatu yang pada akhirnya menjadi
kepentingan manusia.667

Inilah yang tengah diakukan kaum kapitalis, dimana mereka


bukan hanya menciptakan produk secara kuantitaif dan
kualitatif, melainkan juga memproduksi budaya citra. Di layar
televisi bahkan di setiap acara-acara borjuis seperti iklan dan
pemasaran produk lainnya. Mereka menampilkan sebuah
kesenian elitis: diproduksilah ideologi tubuh yang

667
Nurani Sayomukti, (2012), Sastra Perlawanan: Menggugat Seni-Budaya
Kapitalis, Menegakkan Seni-Sastra Kerakyatan yang Humanis-Kritis,
Malang: Beranda (Kelompok Penerbit Intrans) & STKIP PGRI Publishing,
Hlm. 62.

1075
menjejalkan ‘norma-norma keindahan tubuh’ para artis atau
seles. Bentuk, ukuran, warna dan bau mereka yang
kemewahan menjadi sebuah keindahan. Estetika tubuh ini
ditebarkan kepada masyarakat untuk membuatnya semakin
konsumtif: agar kapitalis dapat terus melanggengkan posisi
sosial sebagai pemilik alat produksi yang akan membuatnya
kaya dan hidup enak. Begitulah yang terpampang lewat iklan-
iklan rokok, parfum, elektronik, dan merk-merk produk yang
dipampang melalui daya tarik estetisasi tubuh gadis cantik
atau pria tampan. Ketika citra-citra dan estetika konsumtif
bisa diterima publik, maka stabilitas masyarakat kapitalis
terjamin. Keadaan ini membuat terjadinya ‘esttitasi kehidupan
sehari-hari’, hingga menyuburkan ide-ide dan rasa yang
dipengaruhi oleh seni pasar. Segala sesuatu kemudian mudah
dijadikan konsumsi oleh masyarakat; mulai dari sinetron,
cerita-cerita tabloid, majalah-majalah dewasa, dagelan pop,
lagu-lagu pop, dan lain-lain. Kondisi ini dalam banyak hal
dapat mempengaruhi keadaan batin masyarakat. Mereka tidak
hanya lupa akan kebutuhannya, melainkan pula jauh dari
penjelasan ekonomi-politik dari kondisinya dalam kelas-kelas
sosial.

Estetika pasar itu malah menguntungkan pemodal untuk


melanggengkan penghisapannya. Caranya adalah dengan
meniadakan ruang kesadaran—terhadap realitas riil
kehidupan—supaya budaya konsumtif menyebar dan pasar
semakin hidup. Dalam corak ekonomi pasar bebas ideologi-
ideologi yang berwatak kapitalistik telah mengehegemoni dan
memudarkan kebudayaan rakyat. Makanya cara berpikir
orang-orang menjadi pragmatis, oportunis dan tiada henti
memuja kemewahan akibat gerak modal. Maka

1076
berkembanglah wacana-wacana seksualitas, humor,
pendidikan, kesehatan, politik, bahkan agama sebagaimana
yang terjadi dalam acara-acara dakwah ustad borjuis—yang
turut mengokohkan jaringan kapitalisme hingga semakin
melebar dan mendalam. Menghadapi inilah LSBMI
diharapkan mampu mengemban tugas penyadaran. Spektrum
kapitalisme yang telah menyentuh pelbagai lini kehidupan
mengharuskan lembaga kesenian ini tidak bergerak sendirian.
Lembaga-lembaga HMI lainnya dan segenap kader hijau-
hitam mesti disatupadukan guna memiliki daya serang yang
kuat. Bangunlah gertaan alternatif secara besar-besaran, yang
menaruh keyakinan pada kamampuan kaum miskin dan
tertindas untuk merebut kemenangan.

Mula-mula kampanyekan wacana bahwa di era pasar bebas,


kisah ‘cinta dan damai’ yang digulirkan pelbagai media massa
itu sengaja dilakukan kelas penguasa untuk menghibur massa
tertindas dengan lakon-lakon cinta kacangan, iklan, informasi
selebritis dan hiburan-hiburan, agar terdiam dan tak berani
melawan sebagaimana orang yang diberi morfin. Ingatkan
rakyat jangan sampai jadi pesakitan yang kecanduan akibat
hegemoni. Dengan sajak dan roman yang digaungkan di
panggung-panggung terbuka, porta tulisan Lapmi dan media-
media sosial LTMI, tandaskan kepada rakyat: tugas para
pebisnis bukanlah menyingkap realitas yang sebenarnya
terjadi di masyarakat, tapi menyembunyikan ketertindasan
politik, ekonomi dan budaya pada tatanan yang neoliberal.
Iklan, sinetron, musik dan acara-acara yang dibekingi
pemodal lagi-lagi ditegaskan menghegemoni makna: cinta dan
damai. Cinta pada produk kapitalis, artis, ustad seleb, bahkan
politis pembelot. Kecintaan itu telah membuat masyarakat

1077
dengan senang hati juga mencintai mereka. Meniru
penampilan, kepribadian serta tak ketinggalan menjadikannya
tauladan. Sementara kedamaian yang dimanipulasi telah
membuat rakyat bungkam dan tidak marah ketika negara
berutang setinggi langit, menaikan harga-harga kebutuhan
pokok, memasarkan kesehatan, mengkomersialisasi
pendidikan dan memutus subsidi. Bahkan karena alasan
kedamaian masyarakat tidak berang dan protes terhadap
persahabatahn penguasa, militer dan pemodal yang melalui
perusahaan-perusahaan pertambangan mengurak habis
kekayaan alam negeri ini.

Kondisi itu sudah seharusnya dilawan karena penekanan,


pengejaran dan kecintaan pada segala sesuatu yang
absurdisme cenderung meromantisasi perlawanan kaum
miskin. Perkembangan kapitalisme melalui estisasi kehidupan
sehari-hari sungguh sangat ugal-ugalan. Menegaskan bahwa
kebudayaan sebagai suatu jenis ‘nilai lebih’. Memang
menurut Leon Trotsky, kebudayaan hidup dari getah ekonomi
dan kelebihan material pada masyarakat sangat penting bagi
pertumbuhannya. Sehingga kelimpahan mendukung
perkembangan seni yang borjuis. Tapi dengan adanya
seniman-seniman LSBMI sangat diharapkan mampu menjadi
garda terdepan yang menyerang kapitalisme kebudayaan.
George Lukacs pernah mengatakan bahwa seniman dan
sastrawan terbesar adalah mereka yang menangkap kembali
dan mencipta ulang keseluruhan harmoni kehidupan
manusia.668 Dalam menggelorakan resistensi terhadap alienasi

668
Terry Eagleton, (2002), Marxisme dan Kritik Sastra, Yogyakarta:
Sumbu, Hlm. 34.

1078
dan fragmentasi masyarakat kapitalis; Nurani Soyomukti
mengajarkan kepada kita untuk memproyeksikan gambaran
yang kaya dan banyak segi keseluruhan kehidupan manusia.
Hal demikian dapat dilakukan lewat kerja-kerja kebudayaan
berbasis kerakyatan. Teater, puisi dan roman mesti
diusahakan menjadi altar penyadaran yang mampu
menggambarkan posisi ketertindasan rakyat oleh kekuatan
kemodalan.

Ranah kesenian dan kebudayaan juga telah banyak


menempatkan kaum perempuan tak lebih dari sarana untuk
memaksimalkan keuntungan. Seni borjuis yang termanifestasi
dalam watak hedonis berpilar pada logika pasar sudah
mendapatkan banyak dukungan kaum perempuan: model,
artis dan lain-lain. Estetika yang dimunculkan bukan
meningkatkan kepekaan kemanusiaan. Keindahan di bawah
kekuasaan modal tak mampu menguak luka-luka sejarah
penindasan terhadap kaum hawa, melainkan merangsang
potensi hedonis estetis pasar. Perempuan-perempuan menjadi
budak estetik kapitalistik. Mereka disulap menjadi objek
media dalam mengeruk laba, sedangkan mayoritas kaum
perempuan lainnya malah termarjinalkan, tertindas, dan papa.
Sangat kasihan ketika seni hedonis yang membangkitkan
ideologi tubuh memanipulasi kesadaran perempuan miskin.
Karena mereka akan terbujuk untuk mengikuti trend para artis
dan selebritis tanpa berpikir panjang akan siapa dan di mana
posisi sosial-ekonomi mereka.

Memang tingkat ketertindasan perempuan lebih parah


ketimbang laki-laki. Remaja perempuan menjadi populasi
dominan yang sangat strategis sebagai target para pelaku

1079
pasar. Tebaran ajakan memakai kosmetik, membeli pakaian
dan barang-barang mewah, serta merawat kecantikan
menempatkannya pada keadaan yang mudah diarahkan oleh
aparatus ideologis kapitalisme sebagai konsumen utama.
Sementara pada saat yang sama kebanyakan di antara
perempuan dijadikan tenaga kerja murah. Bukan sekedar
gajinya yang rendah, tapi juga kehormatannya. Telah banyak
kaum hawa mendera kasus pelecehan seksual dalam pabrik-
pabrik, gudang-gudang tembakau dan perkebunan. Lewat
seni-budaya seharusnya mereka bisa dicerahkan dan disulut
keberangannya untuk melawan. Sastra sangat tepat dijadikan
perajut komunikasi dan penyadaran. Apalagi perempuan
relatif memiliki waktu luang untuk banyak membaca roman
dan menulis keluh kesah serta kontradiksi dalam hidupnya.
Hanya saja perlu ada gerakan yang mampu menjangkaunya.
Tidaklah berlebihan kiranya LSBMI menggandeng Korps
HMI-Wati (Kohati) dalam aktivitas seni-budaya. Tentu kader
HMI-Wati pasti banyak yang memiliki gairah kesusasteraan.
Pencerahan kaum perempuan melalui sastra sangat tepat
melawan arus modernisasi yang mendukung berkembang
biaknya seni-budaya borjuis.

Kelak sangatlah tepat Kohati melancarkan perjuangan


perempuan dalam menuntut kesetaraan dan penghormatan
atas hak-hak kemanusiaannya lewat karya sastra. Karena
secara apik dapat dilihat tindakan-tindakan yang dilakukan
masyarakat dan mendobrak ideologi yang melanggengkan
struktur sosial patriarki, serta menggagas ide-ide perlawanan
atas kapitalisme. Tentu kita merindukan sosok HMI-Wati
yang mampu berperan aktif mencerahkan dan mengobarkan
semangat perlawanan sebagaimana Nyai Ontosoroh dalam

1080
novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah
perempuan yang bernama asli Sanikem. Semulanya berkalang
dalam kebodohan dan penindasan feodal. Ayahnya telah
menjual dirinya pada tuan kolonial. Kedekatannya dengan
keilmuan barat kemudian hari membuatnya tercerahkan.
Pertemuannya dengan pengetahuan telah membawa dirinya
pada sebuah sikap dan pendirian baru. Baginya melawan
penindasan yang dimunculkan oleh sistem pemerintahan
kolonial merupakan prinsip. Terlepas dari persoalan menang
atau kalah. Melawan kezaliman adalah sebuah kehormatan
kalau dilakukan secara terhormat. Keyakinan itu kelak
diajarkan pada anak angkatnya, Minke. Karena sebuah
keyakinannya sebagai manusia merdeka anak muda ini tak
pernah berkompromi dengan penindas. Bahkan ayahnya yang
merupakan seorang yang feodalistik tidak disukainya.

Saking bencinya terhadap penjajahan Minke sampai melawan


ayahnya yang menjadi hamba kolonial Belanda. Baginya ada
kekuatan baru yang harus dipelajari dan digunakan dalam
perjuangan pembebasan, yakni pena dan kekuatan rakyat.
Kesadaran yang demikian telah mengarahkannya untuk
menulis dengan penuh penghayatan. Lalu mengambil langkah
lapangan menuju pada perjuangan kemanusiaan membela dan
menyingkap ketertindasan rakyatnya. Memang sebelum
munculnya berbagai gerakan kebangkitan, tepatnya saat
serangan terhadap feodalisme dan kapitalisme-kolonialisme
dilakukan dengan ‘perang pena’ dan ‘perang sastra’ oleh para
aktivis politik dan budayawan progresif-revolusioner. Jauh
hari telah muncul nama besar seperti RA Kartini yang
mencintai tulis-menulis, surat-menyurat, untuk membongkar
selubung ideologis kebangsawanan yang menindas kaum

1081
perempuan. Bagi Pramoedya Ananta Toer, Kartini tidak
punya massa apalagi uang. Yang dipunyainya adalah
kepekaaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala perasaan
yang tertekan itu. Dia begitu menginsyafi kepengarangan
adalah tugas sosial dan keinsyafan itu disebut Pramoedya
sebagai ‘manifest kepengarangan Kartini’. Berasal dari
kesadaran batinnya tentang kewajiban-kewajibannya terhadap
rakyatnya, bangsanya dan negerinya.669 Kartini tidak sekedar
menyaksikan bagaimana penidasan kolonial yang membuat
rakyatnya dan kaum hawa mengalami keterbelengguan,
melainkan juga ikut merasakan pemenjaraan tatanan dan
tradisi patriarkhi, sebagaimana ditulisnya pada Stella
Zeehendelaar—Jepara, tertanggal 25 Mei 1899—begini:

Waktu aku berumur 12 tahun, aku disuruh tinggal di


rumah, aku dimasukkan ke dalam ‘kotak’. Aku di kunci
di dalam rumah dan benar-benar terpisah dari dunia
luar, dunia yang tidak mungkin aku kunjungi kecuali
jika aku dipinang oleh seorang laki-laki, seorang asing
yang tak pernah kukenal sebelumnya…. Tapi
Orangtuaku tak kunjung mengerti. Mereka sangat kaku.
Aku telah berada dalam penjara. Empat tahun sudah
aku hidup di dalam sebuah ruang tanpa bisa melihat
dunia luar.670

669
Pramoedya Ananta Toer, (2003), Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta
Timur: Lentera Dipantara, Hlm. 5-6.
670
Gagasan emansipasi Kartini memicu tumbuhnya organisasi-organisasi
wanita pada rentang tahun 1912-1928. Antara lain: Putri Mardika Jakarta
(1912), Keutamaan Istri Tasikmalaya (1913), Serikat Siti Fatimah Garut
(1918), Wanita Utomo Yogyakarta (1921), Aisyiyah Yogyakarta (1917),
Sarekat Putri Islam Yogyakarta (1925), Wanita Katolik Yogyakarta (1920),
Ina Tumi Ambon (1927), Persatuan Tarbiyah Islamiyah Jakarta (1928) dan
Putri Setia Manado (1928), serta organisasi lainnya yang berkembang di

1082
Keadaan batin yang demikian melahirkan dorongan-dorongan
untuk mencapai pembebasan. Kelak buah pikiran Kartini
dikenal sebagai gagasan feminisme terawal di Indonesia. Ide
emansipasi yang kemudian berkembang melalui pendidikan,
hingga menjadi wacana terkuat dan tajam yang mewarnai
masa pergerakan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
gagasan feminisme yang ditorehkan Kartini dikemudian hari
mengilhami lahirnya Kohati. Buku Korps HMI-Wati dalam
Sejarah 1966-1994 menjelaskan bahwa kesadaran untuk
meningkatkan peranan dan aktivitas kader-kader perempuan
himpunan telah mendorong terbentuknya Korps HMI-Wati
(Kohati). Jika dikatakan HMI merupakan kader umat dan
kader bangsa, dengan demikian HMI-Wati turut serta
bersamanya menjadi kader wanita Islam. 671 Lembaga
kewanitaan ini telah menjadi tempat kaum hawa menyuarakan
dan mewujudkan pelbagai aspirasinya. Apabila pada tahun
1800-an Kartini telah menginspirasi sejumlah organisasi
gerakan hingga dikenal sebagai gelombang pertama dari
feminisme, maka Kohati adalah gelombang kedua
berkembangnya feminisme yang tertoreh pada tahun 1960-
an.672

Dalam perkembangannya—menurut Gerda Lerner—terdapat


beberapa definisi mengenai istilah feminisme: (a) Feminisme
adalah sebuah doktrin yang menyokong hak-hak sosial dan

daerah (lihat Ahyar Anwar, (2009), Genealogi Feminis, Jakarta: Republika,


Hlm. 61).
671
Korps HMI-Wati Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Periode
1992-1994, (1995), Korps HMI-Wati dalam Sejarah 1966-1994, Jakarta:
CV Misaka Galiza, Hlm. 11.
672
Lihat Gadis Ariva, (2003), Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan, Hlm. 84.

1083
politik yang setara bagi perempuan; (b) Menyusun sebuah
deklarasi perempuan sebagai sebuah kelompok dan sejumlah
teori yang telah diciptakan oleh perempuan; (c) Kepercayaan
pada perlunya perubahan sosial yang luas yang berfungsi
untuk meningkatkan daya perempuan.673 Dari pengistilahan
ini maka penting kiranya Kohati memperjuangkan feminisme
dalam cakupan gerakan-gerakan perempuan maupun
perjuangan emansipasinya. Lerner menjelaskan bahwa
gerakan hak-hak perempuan berarti sebuah gerakan yang
peduli dengan pemenangan bagi kesetaraan perempuan
dengan laki-laki dalam semua aspek masyarakat dan memberi
mereka aspek pada semua hak-hak dan kesemapatan-
kesempatan yang dinikmati laki-laki dalam institusi-institusi
kemasyarakatan. Maka dominasi laki-laki dalam sistem
patriarki membawa segudang kekerasan bagi perempuan—
pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi,
pelecehan seksual—harus diadvokasi oleh Kohati. Kasus
kekerasan seksual sebagaimana yang dialami Agni semestinya
disuarakan. Agni harus dibela dan menjadi kewajiban Kohati
untuk mendesak pelaku immoral serta Universitas Gadjah
Mada (UGM) bertanggung jawab. Begitupun dengan
pelecahan sosial dan ketidakadilan hukum yang menimpa
Baiq Nuril dan Anindya Shabrina tidak boleh HMI-Wati
abaikan dan tutup mata. Harus ada desakan terhadap para
perusak kemanusiaan untuk menyerahkan dirinya hingga
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pengambil
kebijakan juga harus didesak untuk membuat aturan-aturan

673
C.Y. Marselina Nope, (2005), Jerat Kapitalisme Atas Perempuan,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 66.

1084
yang memihak dan melindungi perempuan dari banalitas
kejahatan yang begitu rupa.

Pembelaan terhadap perempuan yang diperlakukan secara keji


adalah keharusan moral Kohati. Cukup banyak penderitaan
dialami perempuan Indonesia selama ini. Komite Nasional
Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) sendiri
menyebutkan di tahun 2016 terdapat 256.150 kasus kekerasan
seksual menimpa kaum hawa. Kemudian naik 25 persen pada
tahun 2017 yaitu mencapai 348.466 kasus.674 Masuk 2019,
kekerasan itu kembali meningkat sampai 406.178 kasus. Lalu
tiba 2020, persentasenya mengalami kenaikan 6 persen
menjadi 431.471 kasus. Mansour Fakih menyebutkan
kekerasan seksual merupakan satu bentuk dari ketidakadilan
gender: marginalisasi ekonomi, subordinasi, streotip dan
beban kertja. Objektifikasi perempuan bermula dari
eksploitasi seksual seperti prostitusi, pornografi, sales
promotion girl (SPG), dan industri hiburan maupun industri
kecantikan yang menggunakan tubuh mereka untuk
memproduksi sekaligus memasarkan produk. Memang
perselingkuhan patriarki dan kapitalisme selanjutkan
melahirkan domestifikasi perempuan, pekerja upahan murah,
kapitalisasi pekerjaan domestik semacam pembantu yang
tidak dilindungi Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga
sebagai konsumen barang-barang mewah meski nilai gunanya
jelas tak ada. Quraish Shihab menolak pandangan-pandangan
yang membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Dia
menegaskan keduanya sama-sama berasal dari tanah. Karena

674
http://medium.com/lingkaran-solidaritas/telaah-teologis-progresif-
perempuan-dan-kekerasan-4c46f48773ba

1085
yang mampu meninggirendahkan derajat seseorang adalah
nilai pengabdian dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha
Esa, maka ajaran Islam yang fundamen adalah persamaan
manusia: laki-laki dan perempuan maupun antar-bangsa, suku
dan keturunan.

Namun kapitalisme menyokong pelaksanaan sistem patriarki


yang menyebabkan timbulnya seabrek perlakuan disriminatif
terhadap perempuan. Timbul karena patriarki adalah suatu
sistem produksi yang mandiri, sehingga memberikan kendali
atas komponen-komponen penting dari alat produksi dan
reproduksi kepada laki-laki. Konsekuensinya keluarga-
keluarga patriarki hanya menjadi lumbung reproduksi bagi
kapitalisme. Edward, Reich dan Weiskopf mengatakan
bahwa—dalam kapitalisme—kedudukan perempuan
mengalami ‘penurunan nilai’, karena kapitalisme
memindahkan banyak aktivitas produksi dari rumah ke pabrik
hingga memangkas makna pekerjaan perempuan dalam
produksi domestik.675 Mereka dipinggirkan dalam sistem
produksi lantaran yang mereka kerjakan seperti menjadi ibu
rumah tangga tidak memberi kontribusi langsung dalam
akumulasi keuntungan bagi pemodal. Edwar dan kawan-
kawannya menggambarkan situasi ini dengan cermat:

…laki-laki dapat bekerja demi upah di pabrik-pabrik


dan meninggalkan aktivitas reproduksi—yang penting
bagi istri-istrinya—dilaksanakan secara berkelanjutan
di rumah. Sementara perempuan muda lajang dapat
berharap untuk bekerja selama beberapa tahun sebagai

675
C.Y. Marselina Nope, (2005), Jerat Kapitalisme Atas Perempuan,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 116.

1086
pekerja upahan di luar rumah, kebanyakan perempuan
yang telah menikah tidak dapat, karena pekerjaan
produksi ulang itu sendiri telah menyita banyak jam
kerja dari kebanyakan hidup perempuan yang
menikah….

Dalam kondisi itu nyatalah kapitalisme mengabaikan peran


serta perempuan dalam proses penumpukan laba, meskipun
kaum paling banyak memberikan kontribusi secara tidak
langsung yang berupa ‘reproduksi dari daya kerja’.
Kapitalisme juga tidak menaruh perhatian pada gender.
Asalkan seorang pekerja dapat menghasilkan keuntungan
maksimum dalam penumpukan laba—dengan produktivitas
maksmimum dan efisiensi maksimum—ia akan disambut baik
untuk ikut meramaikan hiruk-pikuk pasar. Makanya seorang
laki-laki dapat saja tersingkir setiap waktu dari proses
produksi apabila dirinya tidak mampu memberi performa
yang dituntut: produktivitas, kemampuan dan efisiensi
maksimal. Setiap saat kedudukannya terbuka untuk digantikan
oleh perempuan yang berkompeten dan mampu memenuhi
syarat pemodal. Itulah sebabnya kapitalisme juga berubah
menjadi pisau bermata dua: memperkuat dominasi laki-laki
sekaligus menyerang sistem patriarki. Namun lagi-lagi
kapitalisme bukanlah pilihan terbaik yang mampu
memberikan perlindungan atas perempuan. Secara alami dan
biologis, kaum hawa berbeda dari kaum Adam: terdapat
kondisi yang menghalangi perempuan untuk seproduktif laki-
laki—menstruasi, kehamilan, melahirkan, menyusui,
mangasuh, dan sebagainya. Kapitalisme lalai menyoroti fakta-
fakta tersebut karena bertentangan dengan prinsipnya yang
konsisten berorientasi laba.

1087
Dengan demikian perjuangan feminisme Kohati saatnya
mengambil posisi yang tidak asal-asalan. Jangan sampai
perjuangan pembebasan dari sistem patriarki membuat
gerakan terjatuh dalam kubangan kapitalisme. Gerbang
kesetaraan memang dibuka lebar-lebar. Keadaan ini
menciptakan kompetisi antar-individu dalam arena kehidupan.
Laki-laki dan perempuan saling bersaing dalam
mempertahankan kapital yang ritmenya dikendalikan pasar.
Sehingga dalam memandang person-person manusia,
kapitalisme mengabaikan kodrat kemanusiaan bahwa laki-laki
dan perempuan secara alamiah dan biologis berbeda.
Perempuan tersegregasi ketika memasuki sistem produksi.
Karakter lahiriah perempuan yang membedakannya dengan
laki-laki menghalanginya untuk lebih produktif. Tapi
kapitalisme enggan peduli, malah memperlakukan manusia
semata-mata dari pencapaiannya berproduksi. Memang
kesetaraan, kebebasan, demokrasi dan individualisme yang
identik dengan kapitalisme membawa dua dampak besar
terhadap kehidupan perempuan. Kapitalisme mendorong
pemberdayaan perempuan tapi pada saat yang sama
memasung perempuan dipaksa berkompetisi.

Menghadapi keadaan itulah perlawanan Kohati terhadap


kapitalisme adalah berusaha menuntut agar perempuan
diperlakukan berbeda sesuai dengan peran gendernya. Agenda
besar feminisme Kohati adalah mengupayakan dihargainya
karakteristik perempuan dari laki-laki. Bukan semata-mata
menyetarakan keduanya. Perempuan harus disadarkan bahwa
kuatnya semangat untuk mengapresiasi dan mengekspresikan
diri seharusnya tidak menjerumuskan mereka ke dalam
euphoria ‘keadilan gender’ tanpa mempertimbangkan kodrat

1088
keperempuanannya dan atribut-atribut yang melekat dalam
dirinya. Sangat memprihatinkan apabila mereka melalaikan
tanggung jawab dan kewajibannya sebagai ibu dan istri karena
tak mampu menahan dorongan ekstraktif dari kapitalisme
yang membuatnya lebih mengutamakan karir, ambisi dan
kesenangan yang bersembunyi di balik slogan ‘perempuan
berhak atas hidup, tubuh dan pilihannya’. Jangan sampai
perempuan terus-menerus dibodohi oleh kebiadaban sistem
kapitalisme. C.Y. Marselina Nope dalam Jerat Kapitalisme
Atas Perempuan—yang mengutip artikel Indrasari
Tjandraningsih berjudul Buruh Perempuan Menguak Mitos—
memberi gambaran bagaimana kapitalisme membuat
terombang-ambingnya kehidupan perempuan dalam ranah
produksi dan reproduksi. Fungsi ekonomis perempuan malah
tereduksi oleh industri yang berakar pada berbagai
pertimbangan faktor keperempuanan. Dia memaparkan:

Dari sisi pabrik, preferensi terhadap buruh


perempuan—yang terpenting dan terutama—karena
mereka sangat memenuhi syarat dalam strategi
penekanan biaya produksi. Preferensi itu terbentuk
akibat pencitraan perempuan hasil dari sosialisasi
ideologi gender. Kapitalisme telah mereduksi peran
perempuan menjadi hanya pemegang dan pelaksana
fungsi domestik belaka. Fungsi ekonomi perempuan
dihapuskan dengan menonjolkan fungsi reproduktifnya.
Dan karena itu, mereka kehilangan berbagai
kesempatan dari berbagai akses dan pemilikan alat-alat
produksi serta menafikan nilai-nilai ekonomis kegiatan
mereka. Hasil dari semua keadaan tersebut adalah
serangkaian anggapan yang saling mendukung:
perempuan bukanlah pencari nafkah. Apabila kemudian
ia bekerja, yang dilakukannya hanyalah kegiatan

1089
sambilan. Heyzer dan Tan menulis ada dua konsep
yang dapat dianggap menjadi penyebab terbentuknya
anggapan seperti itu. Pertama, family wage atau suatu
keyakinan bahwa lelaki adalah penghasil nafkah
keluarga karena dia sebagai kepala keluarga. Kedua,
continuity of work (keberlangsungan kerja), yang
mengasumsikan bahwa perempuan selalu akan
mengundurkan diri dari pekerjaannya pada suatu saat
untuk melahirkan dan merawat anak, sehingga dengan
demikian tidak menjamin kontinuitas kerja mereka. 676

Kesetaraan dan hak-hak perempuan terancam oleh patriarki


yang telah berselingkuh dengan kekuatan modal telah
menghadirkan perbudakan yang berdiri di atas lantai
kapitalistik. Artikel di atas senada dengan pemikiran Simone
De Beauvoir dalam The Second Sex: perempuan didefinisikan
dengan berdasarkan referensi dari laki-laki bukan malah pada
dirinya sendiri. Dengan demikian kaum Hawa menjadi sebatas
fenomena yang insedental semata: tidak esensial. Keadaan
inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemodal dalam
menghardik buruh perempuan. Adalah Marsinah menjadi
korban dari buasnya perselingkuhan kapitalisme dan patriarki.
Dia dibunuh lantaran memperjuangkan haknya untuk
mendapatkan upah layak. Badannya diperlakukan tak ubah
binatang. Bahkan alat kelaminnya ditusuki benda tajam.
Peristiwa keji tersebut didalangi oleh pengusaha yang
didukung pemerintah dengan pengerahan aparat-aparat
kemiliteran. Kapitalisme memang menawarkan kebebasan
namun kaum hawa tetap menjadi sasaran penindasan. Itulah
mengapa mahasiswi bernama samara Agni diperlakukan
seenak hati oleh laki-laki. Penegakan hukum dan keadilan atas
676
Ibid, Hlm. 179-180

1090
kekerasan seksual yang gadis ini dapatkan tak mampu
menghadirkan pertanggungjawaban dari pelaku. Nasib serupa
menimpa Ibu Nuril—pelecehan seksual yang dialaminya telah
memerosotkan harga dirinya. Hukum bukan malah
melindungi tapi ikut menghisap keuangannya: denda Rp 500
juta dimintakan kepadanya dengan tanpa memedulikan
posisinya sebagai korban kekerasan seksual.

Menghadapi fenomena-fenomena kekerasan terhadap


perempuan yang begitu rupa, maka Kohati seharusnya mampu
menjadi garda terdepan dalam membela hak-hak perempuan-
perempuan tertindas di mana-mana. Perlawanan HMI-Wati
ada baiknya dikobarkan melalui karya sastra. Peran sastra
dalam kebudayaan Indonesia tak diragukan lagi. Seni-Budaya
telah mempercepat lahirnya kesadaran masyarakat dan
bangkitnya gerakan rakyat. Sangat dinantikan kehadiran
Kartini-Kartini muda dari rahim himpunan. Tentu kita tak
ingin kesusasteraan Indonesia hanya dipenuhi oleh laki-laki.
Kohati harus mempercepat lahirnya karya-karya sastra—dari
HMI-Wati—untuk mengiringi gerakan sosial dalam
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Eksistensi
Kohati kini dipertanyakan karena capaian legal dan formal
seperti lomba-lomba Miss Kohati—yang kemudian
disublimkan menjadi Duta Kohati—atau apapun namanya
tidak cukup mencerahkan kaum hawa. Untuk mengadapi
tatanan penindasan neoliberalisme dan sisa-sisa feodalisme—
yang telah menjadikan tubuh perempuan sebagai dagangan
iklan-iklan media, menumbuhsuburkan semangat konsumsi
dan mengasilkan bias gender—dibutuhkan sebuah
perlawanan: gerakan perempuan yang tidak ekslusif tapi
terlibat dalam perjuangan massa rakyat, mengarahkan

1091
serangan ideologis dan programatik. Amunisinya adalah
menggunakan karya sastra seperti Kartini: menorehkan
tulisan-tulisan yang mewarnai dan memberikan nuansa estetis
pada gerakan sosial dan politik guna menghancurkan akar
penyebab ketertindasan perempuan.

Karya sastra dilahirkan kader-kader HMI-Wati mesti mampu


menyibak tabir palsu kebebasan yang ditawarkan kapitalisme
dan memaparkan semua ketertindasan, kepedihan dan sakit
hati yang dialami perempuan dalam sajak-sajak dan roman-
roman. Singkatnya karya sastra mesti dikukuhkan menjadi
media konkret perjuangan sosial: ia merupakan seni yang
bermuatan politis.677 Yakni dijadikan sebagai sebagai
kendaraan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dari
ancaman patriarki sekaligus membela mereka dari kebuasan
kapitalisme. Perjuangan yang demikian serupa dengan yang
diproklamirkan oleh Simone De Beauvoir dengan kalimat
patriotik: jalan pembebasan perempuan. Langkah yang harus
ditempuh dengan melalui wacana dan aksi pengarusutamaan
guna mewujudkan keberpihakan kepada perempuan. Kaum
Hawa yang selama ini diberi stigma tidak berdaya disbanding
laki-laki haruslah diberdayakan dengan cara meyakinkan
mereka bahwa perempuan juga bisa bersaing. Untuk itu
Kohati lewat karya sastranya bisa melakukan counter stigma-
stigma terhadap perempuan yang melekat dalam kebudayaan.
Dalam level pemikiran—melalui tulisan-tulisannya—HMI-
Wati mesti melawan mitos-mitos irrasionalitas, kompleksitas,
sulit dimengerti dan lain-lain, yang diperuntukan pada

677
Albert Camus (dll), (1998), Seni, Politik dan Pemberontakan,
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Hlm. xxxii.

1092
eksistensi kaum Hawa. Kemudian pada tingkatan praktek,
hadirkan program-program kerja yang memfokuskan pada
munculnya kegiatan-kegiatan pemberdayaan dengan mengkat
isu pentingnya kemandirian secara ekonomi sebagai pintu
pembebasan perempuan. Lalu lanjutkan dengan gerakan sosial
yang mendukung perlakuan setara atas perempuan di bidang
sosial, budaya dan politik. Kemudian bangkitkan tindakan-
tindakan advokatif secara kolektif pada pelbagai kasus
kekerasan, pelanggaran, pelecehan dan perampasan hak-hak
mereka.

Dalam mengoptimalkan perlawanan terhadap pelbagai


penindasan pada sektor-sektor kehidupan rakyat, HMI
kemudian lagi-lagi mesti menjadi organisasi yang
revolusioner. Yaitu melakukan gerakan-gerakan yang
berpihak dan membela kepentingan rakyat miskin dan
tertindas. Itulah mengapa kaderisasi harus disuntikan dengan
ajaran-ajaran yang advokatif. Supaya lahir kader-kader yang
juga progresif-revolusioner: prototipe manusia yang secara
ikhlas memperjuangkan nasib kaum mustad’afin dan dhuafa.
Makanya pengkaderan haruslah dijadikan laboratorium
kelahiran kader dan gerakan revolusioner. Pendidikan kader
niscaya ditajamkan dengan membangkitkan doktrin-doktrin
ideologi perlawanan, hingga dapat digunakan dalam
menentang neoliberalisme dan sisa-sisa feodal. Maka peran
aktif melawan segala bentuk penindasan tidak hanya menjadi
tugas Kohati dan lembaga-lemabaga kekaryaan, melainkan
segenap kader-kader HMI. Inilah kenapa diperlukan
perjuangan secara totalitas yang mengambil sikap anti-
kapitalisme-imperialisme dan antifeodalisme-patriarki.
Komitmen itu harus ditanamkan oleh Badan Pengelola

1093
Latihan (BPL) pengkaderan. Eko Prasetyo menyebutnya
sebagai pendidikan perlawanan.678 Kegiatan belajar-mengajar
diusahakan membawa mandat pembebasan. Supaya kelak
kader-kader mengambil pengetahuan dari kemelaratan,
kekerasan dan ketimpangan di lingkungan sekelilingnya.
Kemudian mampu mengukuhkan kepedulian, keberpihakan
dan keberanian untuk menggulirkan wacana-wacana
perubahan menuju aksi-aksi lapangan.

Pendidikan perlawanan persis seperti konsep pendidikan


kritisnya Paulo Freire. Sebuah konsep pendidikan yang
mampu membentuk pribadi yang revolusioner. Dengan begitu
dalam sebuah forum pengkaderan para Master of Training
dianjurkan memacu pandangan sebagai berikut: pertama,
melihat peserta didik sebagai seorang yang memiliki potensi
kemanusiaan dan kecerdasan: agar peserta didik memiliki
kecerdasan sosial dan sikap empati yang terpupuk melalui
kegiatan belajar-mengajar; kedua, memposisikan peserta didik
dalam posisi kelas sosial yang berbeda, tapi melalui kegiatan
belajar-mengajar ditumbuhkan solidaritasnya: supaya
mendorong kegiatan belajar-mengajar sebagai proses merajut
kepedulian dan solidaritas sosial yang kuat; ketiga,
menganggap peserta didik adalah seorang yang punya potensi
politik dan kesadaran untuk melawan segala bentuk
kesewenang-wenangan dan ketimpangan sosial: demi
mendorong aktivitas pengkaderan sebagai kegiatan politik
yang memiliki tujuan pada perubahan sosial yang lebih luas.

678
Lihat Eko Prasetyo, (2006), Guru: Mendidik Itu Melawan, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 186.

1094
Kemudian materi-materi kaderisasi haruslah progresif,
meliputi: pertama, realitas sosial yang penuh ketimpangan
dan diskriminasi dijadikan sandaran untuk melihat secara
kritis tatanan sosial yang terbentuk: untuk mendorong
kepekaan sosial mereka dan memotivasinya untuk ikut andil
dalam proses perubahan sosial; kedua, kekuasaan politik
maupun modal yang telah menjadi landasan bagi semua
transaksi sosial dan tumbuh kembangnya budaya pragmatis,
konsumtif, patriarki, serta bertahannya sisa-sisa feodal: guna
mengembangkan kesadaran kritis tentang struktur sosial
maupun jaringan kekuasaan yang selama ini mendominasi
sistem birokrasi, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan; ketiga, sejarah bukan sebagai tindakan elit
melainkan juga serangkaian tindakan-tindakan massa maupun
rakyat kecil yang turut serta merumuskan identitas
kebangsaan: supaya melatih mereka melihat fakta historis
dalam garis pandang gerakan sosial dan memberikan
perspektif populis dalam membaca alur pergerakan sejarah.
Selanjutnya metodologi pembelajaran yang digunakan yakni:
pertama, meletakkan peserta didik sebagai bagian dari proses
pembelajaran dan meletakan mereka sebagai subjek
pembelajar: demi mengembangkan kesadaran pada mereka
kalau proses pembelajaran adalah latihan untuk memupuk
akal sehat, toleransi dan mengasah kepekaan; kedua, Master
of Training dan pemateri berperan sebagai fasilitator ruang
kelas dan organizer yang melihat tugas mengajar sebagai
bagian dari kegiatan politik: agar mendidik tidak semata-mata
menjalankan fungsi transfer pengetahuan melainkan
bagaimana meletakkan pembelajaran sebagai proses
kesadaran politik; ketiga, teks pembelajaran bukan hanya ada
pada buku (materi berdasarkan modul LK dan semacamnya)

1095
melainkan juga pada kenyataan-kenyataan historis yang
berbarbalut ketimpangan, kesenjangan dan diskriminasi: agar
pengetahuan bukan sekedar kumpulan informasi melainkan
realitas dinamis yang terjadi di lingkungan sosial.

Mungkin sistem perkaderan di atas telah diupayakan HMI;


hanya saja kian hari makin menumpul. Pengajaran dan
pembahasan apa saja di forum-forum kaderisasi harus kita
akui bersama: cuma berpetualang pada tataran wacana dan
belum mampu dialirkan lewat aksi nyata terhadap setiap
persoalan yang tengah dihadapi mustad’afin dan dhuafa.
Bahkan tak jarang lebih banyak memfokuskan diri pada
bahasan-bahasan negeri atas awan ketimbang menyoal yang
ada di tanah. Tuhan menjadi tema bahasan paling menarik tapi
tak mampu menghadirkan gerakan sosial kemanusiaan yang
militan. Menghadapi kedaan inilah ada baiknya doktrin
keagamaan yang diajarkan dalam setiap perkaderan HMI,
terutama sejak Latihan Kader I mestilah memberi tempat
untuk ajaran keberislaman yang materialis. Suatu kesadaran
keagamaan yang dilukiskan Muhammad Al-Fayyadl sebagai
kondisi keberislaman yang bertolak dari kondisi-kondisi
sosial yang konkret, digugah oleh ketimpangan, kesenjangan,
dan kontradiksi antara ‘yang seharusnya’ dan ‘yang
senyatanya’, yang sensitif pada pergeseran dan perubahan
fakta-fakta material yang mengitari kondisi-kondisi sosial
tersebut, hingga terdorong mengubah secara revolusioner
kondisi-kondisi sosial tersebut dengan menggali sumber-
sumber ajaran Islam. Baginya: tiap-tiap keberislaman niscaya
bersifat idealis, sampai pada saatnya mengalami pembalikan
materialis. Ini dikarenakan setiap keberislaman niscaya
bertolak dari pembiasan ideal-moral yang terpantul pada

1096
ajaran Islam. Namun berhenti pada ideal-moral itu akan
menjadi idealis sepenuhnya—tentu akan membawa masalah
sampai bertolak pada kondisi-kondisi konkret, material, dan
aktual dari kehidupan yang hendak dijawab.679

Pengajaran keberislaman yang materialis itu dibutuhkan


sebagai pisau analisis dalam menghadapi kapitalisme. Biar
dapat melihat bahwa kemiskinan masyarakat bukan sekedar
disebabkan kemalasan dan kebodohan, melainkan persoalan
struktural. Soal-soal serius itulah yang terasa abai HMI soroti;
misalnya dulu di NTT ada sebanyak 95.000 orang kurang gizi,
13.600 gizi buruk, 400 anak busung lapar dan tewas mencapai
40 orang. Tidak mungkin ini timbul dengan sendirinya karena
di daerah itu diketahui pula bahwa BBM naik Rp 15.000 per
liter dan kenaikan tersebut telah mengakibatkan pelbagai
bahan makanan untuk hidup sehat naik. Namun peristiwa
yang menghardik rakyat kecil ini tak menjadi kasus menarik
untuk HMI bahas dalam forum-forumnya agar kemudian
berusaha mengubahnya lewat gerakan. Penderitaan mereka
memang tak pantas disebut sebatas takdir. Sehingga wajarlah
Bank Dunia pada tahun 2006 menyatakan orang miskin di
Indonesia mencapai 60 juta orang. Tentu munculnya
kemiskinan ini berkait-kelindan dengan tingkah laku para
pemegang kekuasaan. Tetapi pernahkah dalam forum-forum
ilmiah HMI secara intens membedah penderitaan,
kesengsaraan dan kemelaratan rakyat secara intens, lalu
kemudian melahirkan keputusan berani bahwa penyebabnya
adalah ulah pemerintah yang tak amanah?

679
https://Islambergerak.com/2016/10/membangun-keberislaman-yang-
materialis/

1097
Kita tidak pungkiri HMI kadang kala melakukan gerakan
protes. Aksi-aksi yang dilancarkan oleh masing-masing
Cabang kerap kali tak melatih banyak kader menganalisis
permasalahan secara mendalam dan serius. Soalnya
kebanyakan gerakannya mengandalkan instruksi aksi dari PB
HMI. Itulah kenapa kader-kader himpunan paling sukanya
menanggapi persoalan-persoalan nasional ketimbang daerah.
Namun jika ada yang Cabang yang menyoroti persoalan
lokal—dalam protes-protesnya—nyaris sama seperti aksi
nasionalnya: hampir tidak melibatkan rakyat yang hak-haknya
disuarakan. Buruh, petani, nelayan, tukang ojek dan becak,
PKL dan lain-lain—yang secara langsung dirugikan oleh
salahnya kebijakan-kebijakan—abai diorganisir untuk
bergabung ke dalam gerakan. Alasannya begitu sepele: ‘HMI
bukan organisasi massa, melainkan organisasi kader’. Padahal
garis batas antara organisasi massa dengan kader itu adalah
sejauh menyangkut soal disiplin keanggotaan bukan dalam
menyangkut mobilisasi demi meraih kekuatan dalam
pergerakan. Gerakan kemudian jadi begitu monoton,
pembelaan terhadap kepentingan rakyat lebih banyak
diartikulasikan ke dalam bentuk demo, demo dan demo.
Dalam kondisi inilah gerakan kontan terjebak pada modus
aktivisme. Gerakan mereka lakukan bukan berdasarkan
pembacaan atas gerak material yang ada. Melainkan
dorongan-dorongan sentimentil saja.

Melalui gerakan yang berkecenderungan pada aktivisme


belaka, maka sudah jelas bagaimana kaum miskin dan
tertindas yang tersebar di mana-mana tidak mampu digerakan
apalagi disulut kesadarannya. Daripada bersimpati pada
gerakan mereka; rakyat justru memandang sebelah mata aksi-

1098
aksinya. Mana mungkin organisasi yang sebelumnya jarang
terjung mengadakan pelatihan, pendidikan dan mendorong
massa untuk bergerak mau didengarkan secara tiba-tiba oleh
rakyat. Jangankan massa luas yang bukan kader, anggota
sendiri pun sukar diarahkan untuk sama-sama turun
menyuarakan aspirasi rakyat. Makanya Cabang-Cabang
pemilik daftar nama ratusan bahkan ribuan kader tapi saat
diajak mengikuti parlemen jalanan, yang hadir justru tak
sampai belasan. Mereka malah lebih banyak menghabiskan
waktu untuk membaca dan berdiskusi ketimbang aksi. Seolah
gerak perubahan dalam sejarah hanya digerakan oleh
individu-individu yang pintar dan cerdas. Padahal sekaliber
Ali Syari’ati dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah
ajaran sosial pertama yang meyakini gerak perubahan dalam
sejarah dan masyarakat itu dilakukan oleh massa. Pemikiran
ini diuraikan dengan jelas oleh Marx: perubahan dalam
sejarah dan masyarakat memang dilakukan massa, tetapi
motor penggeraknya adalah pertentangan kelas. Dalam
gagasannya ia melihat dalam masyarakat ada kelas borjuis dan
proletar, namun pemilik kekuatan terbesar adalah kaum
proletar: orang miskin dan tertindas yang notabene sebagian
besar berasal dari kelas pekerja.

Ali Syari’ati merupakan pemikir Islam yang ikut terpengaruhi


oleh konsep kelasnya Marx. Makanya dalam filsafat
sejarahnya dijelaskannya bahwa sepanjang sejarah hanya ada
dua struktur: penindas dan tertindas. Penindas-penindas yang
mewakili Qabil dan orang-orang tertindas sebagai
golongannya Habil. Pemikiran-pemikiran yang seperti inilah
yang telah menjadikannya sebagai salah satu penggerak
revolusi Iran. Dia menganggap Islam dan komunisme

1099
bukanlah musuh tapi saingan. Sehingga dalam autensitas
pemikirannya dilihat kesungguhan mensintesakan antara
Islam dan komunisme. Inilah yang menggerakannya terlibat
aktif dalam menggerakan rakyat melakukan perlawanan
terhadap penguasa rezim penindas. Ceramah-ceramah dan
kuliah-kuliahnya dianggap berbahaya oleh pemerintah, karena
ia mendorong massa untuk melawan kekuasaan yang zalim.
Apa yang dilakukannya begitu menampakan hawa perjuangan
kelas: menggagap bahwa rakyat miskin dan tertindaslah yang
memiliki kekuatan besar dalam menciptakan perubahan.
Hidupnya kemudian diakhiri dengan kematian menjadi martir
di altar kekuasaan.

Islam baginya adalah agama protes terhadap segala bentuk


penindasan. Pandangan keagamaannya persis keberislaman
yang materialis. Konsep beragama ini dijelaskan Al-Fayyadl,
memiliki pendekatan khusus dalam memaknai keimanan dan
keislaman yang dianutnya—keimanan dan keislaman tak
cukup diyakini dan diamalkannya, tapi juga mendorongnya
mengubah kondisi kehidupan obyektif, yang menjadi syarat
agar keimanan dan keislamannya dapat ditegakkan dengan
sempurna. Seorang muslim progresif yang materialis tidak
puas dengan shalat lima waktu dan berzakat, sampai
menyadari bahwa shalat dan zakatnya membawa dampak
signifikan orang-orang di sekelilingnya. Dalam menjalankan
syariat Islam, ia percaya bahwa syariat itu, sungguh-sungguh
membawa rahmat, tidak dapat melibatkan unsur-unsur yang
eksploitatif atau merugikan sesama. 680 Betapa mulianya
pendangan keislaman seperti ini. Apalagi jika ditanamkan

680
Ibid.

1100
oleh BPL pada tiap-tiap training HMI. Rasa-rasanya memang
sudah waktunya training-training perlu ditanamkan kebencian
kepada orang-orang yang tampil dengan aneka sikap durjana.
Misalnya, berhaji dari uang yang diperoleh dari tunggakan
gaji para buruh atau hasil merampas lahan yang menjadi
tempat bergantung keluarga miskin. Membaca Qur’an dalam
setiap training juga kemudian mesti diarahkan pada kenyatan-
kenyataan yang sedang terjadi. Eko Prasetyo menyebutnya
sebagai tindakan ‘membaca Qur’an dalam spirit
perlawanan’. 681

Membaca ayat-ayat ilahi dengan spirit perlawanan merupakan


sebuah model penelaahan sosial-historis terhadap wahyu.
Terutama dengan tujuan memecahkan permasalahan
ketimpangan kekayaan yang menganga antara si kaya dan si
miskin serta keterpurukan-keterpurukan sosial yang
disebabkan olehnya. Hal demikian bisa dicarikan solusinya
melalui pelbagai surah dalam Qur’an—salah satunya adalah
Al Lahab. Melalui firman Tuhan inilah ngaji-ngaji dalam
pengkaderan diupayakan mengingat kembali ketertindasan
rakyat jika muncul orang-orang seperti Abu Lahab lewat
pertanyaan-pertanyaan: apa saja perangai Abu Lahab yang
dikutuk oleh Tuhan? Sistem sosial seperti apa yang membuat
Abu Lahab itu punya kekuasaan dan pengaruh? Dampak
sosial seperti apa yang timbul karena ada manusia
sebagaimana Abu Lahab? Dan gerakan sosial seperti apa yang
bisa menumpas kejahatan Abu Lahab? Kemudian bandingkan
kehidupan hari-hari ini dengan keadaan sewaktu Abu Lahab.

Eko Prasetyo, (2005), Assallamu’alaikum: Islam Itu Agama Perlawanan,


681

Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 136.

1101
Pasti ada persamaan antara zaman sekarang dengan zamannya
Lahab; yang dirajai oleh kebebasan semu kapitalisme,
kesetiaan buta pada golongan tertentu, perbudakan tenaga
kerja, dan penumpukan kekayaan ke tangan segelintir
kalangan. Kondisi ini membuat orang kaya semakin kaya dan
yang miskin ditindas habis-habisan. Sepanjang sejarah jadinya
hanya ada dua kekuatan dalam masyarakat: penindas dan
tertindas.

HMI sebagai organisasi perjuangan sudah saatnya


mengaktifkan spirit perlawanan yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW: berpihak kepada kaum kromo. Karena
melalui gerakan sosial dengan spirit perlawanan dari
wahyulah, nabi kemudian mampu meruntuhkan penindasan
yang terjadi. Ingatlah! Ketika di jazirah Arab Abu Lahab
dengan segelintir jutawan suku Quraisy menguasai alat-alat
produksi dengan menindas mayoritas budak dan kelas pekerja
yang menjadi basis bagi jaman jahiliyah. Perjuangan melawan
penindasan tak sekedar dengan taburan dan permainan kata-
kata lewat retorika di forum-forum diskusi. Malah ketika
menjelaskan tujuannya dalam pertemuan dengan para tokoh
kaum Quraisy; Muhammad ingin dibunuh sehingga dirinya
terus dikejar-kejar. Abu Lahab yang pongah bersama para
pedagang menguatkan barisan melalui penyatuan dalam sifat-
sifat lancungnya: kerakusan, monopoli dan keserakahan yang
terus menjadi-jadi. Fenomena ini merupakan kebiasaan
masyarakat yang telah membawa Mekkah dalam suasana
ketidakadilan: cerminan brutal kehidupan ialah menjalarnya
kemiskinan dengan cepat. Kekuasaan menjelma jadi hak paten
golongan pemilik modal. Piramida sosialnya sama persis
dengan keadaan kini: di puncak bercokol sebagian besar orang

1102
kaya sementara di dasarnya terdapat banyak orang miskin.
Untuk melakukan perubahan langkah gesit yang diambil
Muhammad ialah tindakan revolusioner: membangun gerakan
pengorganisiran massa tertindas. Melalui gerakan ini Islam
kemudian secara diametral melawan dan berusaha
meruntuhkan kekuatan kapitalis.

Dengan perjuangan kelas—sebagaimana yang dikukuhkan


Marx dalam doktrin komunis—maka agama yang dibawa
Muhammad diterima lebih luas. Belakangan juga Rasulullah
SAW kembali memberi tauladan bahwa pengorganisiran yang
terus-menerus lewat pembentukan pasukan membuat Islam
dapat memperluas wilayah kekuasaannya. Sejarah Islam
merupakan sebuah pembuktikan bagaimana agama selain
jalan mendekatkan diri kehadirat-Nya dapat pula dijadikan
landasan gerakan. Itulah mengapa HMI seharusnya
menekankan kepada BPL untuk menanamkan kesadaran ini
sejak Latihan Kader I. Ajaran yang menekan keharusan
pembelaan terhadap kaum miskin dan tertindas. Inilah yang
terjewantah melalui pengorganisiran massa oleh Muhammad
dalam sirah nabawiyah. Saatnya peserta-peserta training—
sebelum dibai’at menjadi kader himpunan—mesti diberi
pondasi kuat tentang bagaimana caranya melakukan
perubahan dan keberpihakan kepada rakyat miskin dan
tertindas mengikuti jejak nabi. Di sini calon-calon kader mesti
dibuka cakrawala berpikirnya agar kelak mereka mampu
memahami bagaimana struktur, sistem dan negara bekerja
dalam memperlakukan rakyat.

Dalam memuluskan langkah itu keberislaman yang materialis


merupakan alternatif yang tepat untuk diajarkan sedini

1103
mungkin. Trutama mulai dari Basic Training HMI. Di mana
saat forum LK I para peserta diajak untuk mentranformasikan
kesadaran keberagamaan menuju alam yang konkret dengan
belajar mengenal rakyat. Sudah waktunya Master of Training
mengalokasikan waktu secukupnya untuk mengarahkan
calon-calon anggota organisasi membentuk kelompok lalu
terjun ke lapangan, pemukiman penduduk, ataupun tempat
seabrek warga bekerja untuk membantu, menanyakan keluh
kesah mereka, sekaligus kenal langsung bagaimana kondisi
kehidupannya. Pengalaman ini tentunya mampu
menumbuhkan kepekaan sebagai modal perjuangan yang
lebih besar. Pertemuan kelompok peserta training dengan
rakyat—sewalaupun hanya bebera jam—pasti memberi
referensi soal cara kerja sistem sosial dalam lingkungan
kemasyarakatan. Kemudian setelah calon-calon kader itu
kembali ke forum; pengelola latihan memberikan mereka
kesempatan untuk mempresentasikan segala sesuatu yang
dialaminya. Lebih-kebih agar mereka bisa melihat dengan
jelas bahwa kemiskinan, ketertindasan dan kesengsaraan
masyarakat tak serta-merta muncul karena kehendak Tuhan.
Karena peserta justru digugah oleh fakta-fakta lapangan yang
diperolehnya tentang kemiskinan maupun ketertindasan
lainnya yang selalu lahir dari keburukan sistem dan
ketimpangan struktur.

Dengan begitu Latihan Kader I menjadi pintu memasuki


rumah HMI sekaligus merupakan tahap awal merajut
kepekaan peserta didik pada kaum miskin dan tertindas.
Semua itu juga dilakukan agar mereka tidak mengambil
kesimpulan kalau menjadi kader HMI hanya sebatas belajar di
forum-forum ilmiah, mengambil pengetahuan dari buku, dan

1104
sekedar paham teori tanpa praktek. Tetapi Basic Training
sesungguhnya meletakkan keyakinan manusia untuk
melakukan aksi dalam mempercepat perubahan. Itulah
mengapa BPL HMI diharapkan mampu menyulut api
kesadaran anak-anak muda yang petama kali mengikuti
perkaderan untuk senantiasa mengimplementasikan prinsip-
prinsip keislaman melalui kerja gerakan. Karena memang
sebelum mengecap suasana kaderisasi himpunan mereka telah
diracuni oleh sistem kuliah yang memekarkan dogma
menjinjikan untuk membentuk budak-budak intelektual. Guna
memajukan kesadaran korban-korban perkuliahan itulah
proses rekruitmen LK I mesti dinisbahkan sebagai ajang
mengenalkan calon kader pada teori dan gerakan sosial yang
menampilkan dimensi praksis: jabaran dari nilai, visi dan
ideologi ‘Islam’ yang membebaskan.

Tentu sekarang kita sudah muak kalau Basic Training sekedar


menjadi panggung penerimaan anggota baru semata. Mestinya
LK I diupayakan sebagai tahap awal dalam menanamkan
sikap radikal dan militansi berorganisasi. Di tengah himpitan
kekuatan pasar yang telah banyak membentuk manusia-
manusia pragmatis seperti hari-hari ini, maka tepat kiranya—
sebelum mereka resmi menjadi kader—ideologi Islam
ditanamkan pada peserta. Tujuannya: supaya mereka kelak tak
mudah terperook dalam gerakan oportunis. Itulah mengapa
saat forum perkaderan berlangsung; Islam mesti dialirkan
dalam ajaran-ajaran yang mendorong terbitnya protes,
perlawanan dan pembebasan dari segala bentuk penindasan
yang dialami masyarakat. Itulah mengapa Master of Training
perlu menyuntikan peserta dengan ajaran keberislaman yang
materialis. Islam yang mengajarkan pemeluknya

1105
mendedikasikan dirinya untuk menyoroti kenyataan-
kenyataan pahit, pedih dan penderitaan rakyat; ketimbang
terjerambab pada wacana-wacana langit yang hanya berputar-
putar mencari Tuhan dan membicarakan datangnya hari akhir.

Kini harusnya master-master mengerti bahwa mereka yang


mengikuti LK I tentu saja merupakan mahasiswa-mahasiswa
Islam yang bukan sekedar meyakini Allah SWT sebagai
Tuhan-nya, tapi juga membenarkan tentang datangnya hari
kiamat. Tinggal kemudian yang harus diutamakan adalah
mengajarkan pentingnya menjadi muslim progresif melalui
keberislaman yang materialis. Keberislaman ini bertolak dari
prinsip sosialisme Islam: (1) ‘Melawan segala bentuk
penindasan dan kesewenang-wenangan’. Bermakna Islam
memusuhi kaum yang mengeksploitasi kelompok-kelompok
miskin; (2) ‘Menentang monopoli ekonomi dan kapitalisme’.
Bermakna Islam melarang penimbunan kekayaan dan tradisi
konsumtif; (3) ‘Islam membela kaum lemah dan tertindas’.
Bermakna Islam menyuruh orang beriman untuk membela
kelompok lemah serta larangan untuk menganiaya mereka;
dan (4) ‘Menegakkan keadilan dan prinsip pemerataan’.
Bermakna Islam mengutuk hukum, sosial, ekonomi, politik,
yang tidak adil, dan parameter ketakwaan pada sejauh mana
menegakkan keadilan. 682 Dengan begitu forum Basic Trainig
mesti dioptimalkan penanaman keyakinan tentang
keniscayaan melakukan gerakan sosial. Gerakan tersebut
tentunya berasal dari dorongan keberagamaan yang selain
mengakui kebenaran wahyu, juga ikut mepertimbangkan

682
Munir Che Anam, (2008), Muhammad SAW & Karl Marx: Tentang
Masyaarakat Tanpa Kelas, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, Hlm. 142.

1106
kenyataan-kenyataan kongkret di dunia. Melalui cara inilah
ajaran Islam tidak stagnan dan menghadirkan agama sebagai
candu masyarakat sebagaimana yang diungkapkan Karl Marx
dalam kritiknya yang amat tajam dan menggugah pikiran kita:

Kesengsaraan religius pada saat bersamaan merupakan


ungkapan kesedihan dan protes yang nyata. Agama
adalah desakan makhluk tertindas, hati dunia yang tak
punya hati, dan jiwa dari situasi yang tidak punya jiwa.
Ini adalah opium rakyat. Penghapusan agama sebagai
kebahagiaan semu rakyat dibutuhkan untuk
kebahagiaan sejati mereka. Permintaan untuk
melepaskan ilusi. Kritik terhadap agama merupakan
awal terhadap bencana alam, seruannya agama.

Kritik Marx sebenarnya bukan dilontarkan kepada Tuhan,


melainkan modus keberagamaan dari manusia. Pada abad ke-
19, dia menemukan adanya hubungan ‘kotor’ antara gereja
dengan pemegang kekuasaan yang terjadi dalam ranah agama
dan politik Eropa. Penguasa menggunakan agama untuk
memobilisasi rakyat untuk memenuhi kepentingan
kekuasaannya. Manusia-manusia kemudian sengaja dibuat
bungkam dan tak berani menentang kesewenang-wenangan
rahib dan pejabat. Jika muncul kemiskinan akibat korupsi,
rakyat harus menerimanya. Mereka diatur bersabar dan tabah,
karena ajaran agamanya mengharuskan demikian. Ketika
mereka diam atas penindasan maka baginya ini akan menjadi
amal yang dapat memupuk pundi-pundi pahalanya. Lama-
kelamaan orang-orang tidak pernah berani menyangkal tiap-
tiap tindakan gereja dan negara yang menghisap
kehidupannya. Gereja yang mematutkan diri sebagai
pendukung hak-hak feodal dan penganut paham kembali ke

1107
abad pertengahan didukung penuh. Itulah mengapa hubungan
di antara para anggota lapis atas dalam struktur lembaga
agama dengan masyarakat cenderung bersifat patron-client
dan Gereja mengaggap dirinya wakil Tuhan di muka bumi.
Makanya rakyat harus tunduk dan patuh pada otoritas
kegamanaan yang meniupkan ilusi. Mereka kemudian
menganggap hidupnya tidak penting, karena mereka lebih
mengutamakan syurga ketimbang memperjuangkan hidup di
alam ini. Situasi dan kondisi seperti yang dianggap Marx
membawa kemerosotan bagi para penganut agama.
Keberagmaannya tak mampu menggerakan seseorang
mengubah dunianya. Keberagamaan kemudian hanya ada
dalam peribadatan formal, tapi tak bisa diaktualisasikan
melalui proses perkembangan masyarakat dan sejarah. Dalam
argumen Marx dan Engels, agama seharusnya dapat mereka
dijelaskan dalam kondisi sosio-historis, tidak selamanya harus
teologis dan terkotakkan pada dikotomi pahala-dosa dan
surga-neraka.683 Kritik Marx atas agama kelak juga kembali
ditegaskan oleh Lenin. Dia secara ekspresif melukiskan
kesengsaraan rakyat dalam ilusi keberagamaan yang pasif ala
borjuis:

Kemandulan dari kelas-kelas yang dieksploitasi dalam


perjuangannya melawan para penindasnya secara tak
terelakkan menumbuhkan kepercayaan akan kehidupan
yang lebih baik setelah kematian persis sebagaimana
kemandulan orang-orang primitif dalam
pertarungannya melawan alam menumbuhkan
kepercayaan terhadap dewa-dewa, setan-setan,
mukjizat-mukjizat, dan semacamnya. Mereka yang

683
https://id.m.wikipedia/org/wiki/agama_adalah_candu/

1108
miskin berkekurangan sepanjang hidupnya telah dididik
oleh agama untuk bersikap pasrah dan sabar di dunia ini
sambil terlena akan imbalan surgawi. Sementara
mereka yang hidup di atas kerja keras orang lain dididik
oleh agama untuk bersikap dermawan saat di dunia
sehingga dengan begitu posisinya sebagai para
pengeksploitasi manusia-manusia lain bisa dijustifikasi
keberadaannya dan menjadikan mereka kemudahan
untuk masuk surga. Agama adalah candu masyarakat,
agama adalah sejenis arak spiritual, yang di dalamnya
para budak kapital menggagalkan citra manusiawinya,
menggagalkan hasratnya menjadi manusia.

Pemikiran tentang agama seperti itu sesungguhnya


mengarahkan kita menjadi manusia yang penuh rasa
kemanusiaan. Tetapi kader-kader himpunan kebanyakan
malah menafsirkannya secara simplistik: melepaskan teks dari
konteksnya hingga memahaminya secara tidak adil. Makanya
ditorehkanlah penilaian bahwa Marx dan Lenin membenci
Tuhan. Makanya paham sosialisme ilmiah (marxisme)
maupun komunisme (marxisme-leninisme) senantiasa
ditentang mati-matian bahkan kerap kali dikafirkan dalam
forum-forum perkaderan HMI. Lihat saja bagaimana ketika
masuk materi Fase Perjuangan Sejarah HMI: dengan
ekspresif seorang pemateri menggabarkan PKI seperti setan.
Inilah yang sebenarnya mesti BPL luruskan, karena pertikaian
lama HMI versus PKI telah dilanggengkan menjadi dendam.
Parahnya aparatus ideologis organisasi menumbuhsuburkan
amarah ini sampai ke dalam forum-forum training.

Sekarang pandangan itu rasa-rasanya telah menjadi doxa


dalam himpunan. Jika ditanyakan kepada kader-kader HMI
yang baru LK I tentang sosialisme-komunisme, serentak

1109
jawabannya: merupakan paham dari organisasi terlarang yang
tidak boleh dipelajari. Lalu sosialisme-komunisme jadilah
barang yang terus dilecehkan dengan beragam stigma naïf.
Terutama membahayakan keberadaan agama. Padahal
keberagamaan yang disilangkan dengan komunis itu akan
memuliakan manusia dan agamanya. Eko Prasetyo dalam
Agama itu Bukan Candu (2005) pernah menjelaskan bahwa
sosialisme atau komunisme yang diajarkan Marx merupakan
sebuah interpretasi yang otentik atas agama. Kritik marxisme
atas agama adalah kritik terhadap cara-cara empiris manusia
menjalankan keberagamaannya. Dalam konteks peradaban
saat ini, kritik tersebut sungguh mengena. Keberagamaan itu
soalnya menjadi modus eksistensi borjuis-kapitalis yang
menjadi kelas penguasa di mana-mana:

Cara keberagamaan tersebut tercermin dalam praktek


komersialisasi dakwah agama. Agama telah menjadi
sarana akumulasi laba. Agama telah menjadi komoditi
layak jual. Muncul pengajian dan kursus-kursus
tasawuf singkat untuk dijual ke konsumen. Agama
menjadi salah satu bidang jasa baru di pasar
perekonomian. Bahkan, mulai muncul fenomena
pengajian-pengajian disponsori oleh kapitalisme
multinasional. Memang pada intinya model keagamaan
yang dikritik oleh Marx adalah sikap keagamaan yang
hanya sibuk dengan nasehat-nasehat yang bagus tanpa
mau mengubah dunia sesuai dengan harapan-harapan
ideal agama. Kalaupun ada gerakan praksis biasanya
tujuan akhirnya semata-mata untuk ritual ibadah
dengan alasan bahwa kebahagiaan akhirat jauh lebih
bagus daripada kebutuhan duniawi. Manusia yang
dibuai oleh ajaran begini kemudian dibatasi di wilayah
teks dan tafsir teks serta peribadatan. Inilah yang

1110
biasanya bergentayangan sampai menyuruh orang-
orang yang ditimpah kemiskinan, penderitaan dan
kehinaan untuk selalu bersabar. Pemahaman
keagamaan yang seperti ini membuat penganutnya
takluk di bawah gelombang individualis, koruptif dan
konsumsif, hingga membuat orang-orang hanya
menjadi penonton sejarah.684

Bagi Marx, agama seharusnya dijadikan sebuah ajaran yang


ideal. Namun agama dipandangnya sebagai sesuatu yang tak
bisa dirasakan dan diinderawi oleh manusia secara kolektif.
Maka pengasosiasian agama dengan candu bukanlah bernada
negatif dan peyoratif, tapi merupakan gambaran hakiki
mengenai agama sebagai ‘impian dan harapan akan kehidupan
surgawi yang tidak dapat ditemukan dunia nyata’. Manusia
jika terus-terusan hidup mencadu tentu membuatnya lupa
dengan lingkungan di sekitarnya. Singkanya, kritik atas
agama ini sesungguhnya diarahkan untuk mengajak manusia
mentransformasikan agama menjadi apa yang disebutnya
sebagai spiritualitas: ‘menggali kearifan dalam diri manusia
guna dijadikan alat perjuangan dalam membangun alam
surgawi bagi kehidupan bersama di dunia’. Keadaan inilah
yang memberi kesempatan terhadap manusia untuk
mengembangkan akal budi, perasaan dan kemauan
menyejarahnya. Marx menuliskan itu begitu rupa:

Kritik atas agama menyingkapkan kenyataan ke


hadapan manusia sehingga dia lalu akan bisa berpikir,
bertindak dan menciptakan dirinya sebagaimana
layaknya seorang manusia yang telah melenyapkan

684
Eko P. Darmawan, (2005), Agama itu Bukan Candu, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 19.

1111
ilusi-ilusi yang menyelubunginya dan pulih kembali
indera-indera dan perasaannya, dan dengan itu dia akan
menjadi Matahari yang sejati bagi dirinya sendiri.
Agama tak lain dari Matahari bayangan yang akan
menerangi manusia sepanjang manusia itu tak sanggup
menerangi dirinya sendiri.

Kritik Marx atas agama sebenarnya sealur dengan Nietzche:


‘Tuhan telah mati’. Dia telah berhasil membunuh tuhan-tuhan
bentukan masyarakatnya. Saat itu berhasil dilakukan oleh
setiap orang maka dirinya akan terbebas dari ‘kecengengan
transendental’ yang membuat manusia melarikan diri dari
dunia nyata: kondisi ketika manusia tak mampu
mengoptimalkan kehendaknya lalu tenggelam dalam
‘mentalitas budak’. Itulah sebabnya Marx berusaha
menyadarkan orang-orang yang menjadikan agama sebagai
opium. Karena kebenaran baginya bukanlah sesuatu yang
bersifat teoritis melainkan material. Artinya, dirasakan oleh
indera dan hati individu-individu manusia secara kolektif,
yang kemudian memunculkan akhlak pembangun kehidupan
bersama dalam perkembangan daya-daya ilahiah: akal budi,
kehendak dan perasaan. Namun logika dunia yang dipakai
marxisme dalam memandang agama juustru dicap oleh para
pemakai logika spiritual dengan tuduhan: komunisme atau
marxisme yang anti-Tuhan hingga wajib dimusnahkan.
Orang-Orang tak mau mengerti bahwa yang dilawan Marx
adalah agama borjuis, bukan Tuhan atau agama kaum miskin
dan tertindas. Pemahaman begini muncul karena kebiasaan
menggunakan logika formal tanpa mau memakai dialektika.
Padahal lewat dialektikalah logika dunia dan spiritual dapat
disilangkan. Itulah kenapa dialektika disebut juga sebagai
‘logika kontradiksi’:

1112
Dialektika adalah sebuah metode untuk memikirkan
dan mengartikan dunia baik yang mewujud dalam alam
maupun dalam masyarakat. Ia adalah sebuah cara untuk
melihat semesta, yang berangkat dari aksioma bahwa
segala hal berada dalam kondisi yang selalu berubah
dan mengalir. Tapi bukan hanya itu. Dialektika
menjelaskan bahwa perubahan dan pergerakan
melibatkan kontradiksi dan hanya dapat terjadi melalui
kontradiksi itu. Jadi, bukannya sebuah garis progres
yang mulus dan tak terputus-putus, melalui dialektika
kita mendapati suatu garis yang di sana-sini disela
dengan priode-priode yang mendadak dan meledak-
ledak, di mana akumulasi dari perubahan yang kecil-
kecil (perubahan kuantitatif) menjalani suatu
percepatan yang tinggi, di mana kuntitas diubah
menjadi kualitas. Dialektika adalah logika dari
kontradiksi. 685

Muhammad Al-Fayyadl menjelaskan bahwa kesempitan


berpikir seperti itu akibat pencampuradukan antara dua logika
yang sama-sama benar dan absah untuk mengidentifikasi
agama: logika spiritual dan logika dunia. Logika spiritual
melihat agama dengan parameter-parameter internal agama
yang diyakini sebagai suatu hal yang ilahiah, sakral dan abadi.
Sementar logika dunia melihat agama dengan parameter-
parameter eksternal, yaitu agama sebagai praktik dan institusi
yang bekerja dengan hukum-hukum dunia; bisa diamati dan
diubah seiring dengan perubahan tata sosial yang membentuk
dan dibentuknya. Dengan menempatkan kedua logika ini ke
dalam ranah kebenarannya masing-masing—ontologi
idealisme dan ontologi materialisme secara proporsional,

685
Alan Woods dan Ted Grant, (2015), Nalar yang Memberontak: Filsafat
Marxisme dan Sains Modern, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 41.

1113
maka akan mudah diketahui kenapa Marx tidak menerima
agama sebagai kenyataan ilahiah—itu karena dia melihat yang
nyata hanyalah materi. Sedangkan mengapa kebanyakan umat
beragama tak mau membuka diri untuk menandaskan
kapitalisme bukan hanya berada dalam persoalan moral tapi
juga sosial, lebih-lebih lantaran terlalu kentalnya mereka
memandang perubahaan keduniaan berpatokan pada ide-ide
keagamaan. Pada akhirnya orang-orang terjebak dalam
pemikiran berlandaskan idealisme total, tanpa mau
menghiraukan kenyataan-kenyataan konkret yang ada di alam.

Tidak ada cara lain untuk menerima ajaran komunis tanpa


menanggalkan keimanan, selain dengan mematutkan diri pada
pandangan keberislaman yang materialis: menggunakan
paduan antara logika dunia dengan logika spiritual (logika
kontradiksi: dialektika). Al-Fayyadl menjelaskan bahwa
kedua logika tersebut tidak selamanya terpisah, karena di
antara kepekatan yang melapisi keduanya, terdapat titik
persinggungan, pertemuan-pertemuan yang tak terduga, dan
persilangan-persilangan yang mengejutkan. 686 Sintesa dari
idealisme (logika spiritual) dengan materialisme (logika
dunia) itulah yang melahirkan teologi pembebasan versi Islam
maupun Kristiani. Dalam Islam ambil contoh dari sosok Haji
Moehammad Misbach. Dia adalah tokoh pertama dalam
sejarah Indonesia yang berhasil memadukan Islam dan
komunisme. Kedua paham ini sama-sama menjadi momok
bagi status-quo. Makanya sering kali penguasa melakukan
politik adu domba terhadap masing-masing kelompok yang
menganut paham tersebut. Kalangan komunis diupayakan

686
https://indoprogress.com/2013/marxisme-dan-ateisme/

1114
untuk menyerang kaum agamawan yang tidak mau bergerak
secara revolusioner, sedangkan para agamawan pendukung
kekuasaan juga diarahkan menyerang orang-orang komunis
dengan melancarkan aneka stigma: anti-tuhan, sesat, kafir,
dan sebagainya.

Pada era kolonial benturan kedua paham itu kerap kali


diskenariokan pemerintah dengan sedemikian rupa. Namun
tidak dipungkiri bahwa keberislaman yang materialis dengan
penuh semangat telah ditampilkan Misbach lewat perpaduan
antara Islam dan komunis. Perjuangan kelas yang menjadi
senjata komunisme baginya merupakan cara umat Islam
mengekspresikan keislamannya. Terutama dalam membela
kaum lemah, melawan fitnah dan menentang kapitalisme.
Keyakinan inilah yang dipakainya saat mengorganisir buruh
perkebunan dan kaum tani di Surakarta untuk melakukan
perlawanan menuntut hak-haknya yang telah direnggut
perusahaan dan penguasa kolonial. Upaya advokasi persoalan
hidup kaum miskin dan tertindas dipraktekannya dengan
berlandaskan dua keyakinan sekaligus: Islam dan komunis.
Dalam pandangan Misbach perang terhadap kapitalisme
adalah memerangi kemiskinan, karena kemiskinan
mendekatkan seseorang pada kekufuran. Dia mengatakan:
‘sebab adanja kemiskinan itoe, maka timboelah beberapa
matjam keadaan jang melanggar kemanoesiaan atau agama’.

Atas dasar pemikiran itulah sinkretisme antara Islam dan


komunisme menjadi dasar gerakan sosialnya. Advokasi
kemudian dilakukan untuk menyelamatkan hidup kaum
miskin dan tertindas dengan mengambil bentuk perjuangan
kelas komunisme, namun juga bertolak dari dorongan-

1115
dorongan keagamaan. Materialisme historis, dialektika
materialis dan perjuangan kelas dari komunisme disandingkan
oleh Misbach dengan Islam sebagai agama pembebasan.

Lewat surat kabar dan vergadering disebarluaskan risalah-


risalah perlawanan atas penindasan yang terjadi pada rakyat di
tanah jajahan. Ketidakpuasan, kesengsaraan dan penderitaan
orang-orang di sekelilingnya dikobarkan Misbach berdasarkan
kesadaran ideologis. Itulah sebabnya buruh-buruh dan petani-
petani miskin melakukan perjuangan radikal di Surakarta.
Melalui penyerapan aksi-aksi propaganda Misbach, mereka
tergugah pikiran, perasaan dan kehendaknya untuk melawan
sistem dan struktur penindasan kolonial. Memang keimanan
Misbach telah membuatnya tidak hanya menerima keadaan
tapi berusaha mengubahnya. Maka iman mendorongnya
melaksanakan apa yang dikatakan nabi Muhammad dalam
sabdanya: ‘hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang
yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka
ambillah’. Sehingga ketika ia menemukan komunisme, lalu
dirasanya akan mampu memberi manfaat. Kemudian dengan
terus terang dia berkata:

Sesoedah saja mendapat pengetahoean jang demikian


itoe, dalam hati saja selaloe berpikir-pikir tentang
berhoeboengannja dengan fatsal igama, sebab saja ada
rasa bahoewa ilmoe kommunist itoe soeatoe
pendapetan jang beroe, saja ada berpikir, hingga rasa
dalam hati berani menentoekan bahoewa perintah
dalam igama moesti menerangkan djoega sebagaimana
atoeran-atoeran kommunisten.687

687
Dr. Syamsul Bakri, (2015), Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-
1942, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, Hlm. 147.

1116
Gagasan Misbach tentunya dapat dimengerti sebagai
pelampauan logika spiritual agama untuk keluar dari ranah
kebenarannya sendiri dan bertemu dengan kenyataan faktual
dunia. Ini serupa dengan pemikiran agamawan Kristiani
Thomas Muenzer. Dia mematutkan diri sebagai teolog
pemimpin para petani revolusioner dari abad ke-16. Oposisi
revolusioner terhadap feodalisme pada abad pertengahan
didasari oleh semangat keagamaan yang membuatnya mampu
mendorong massa rakyat melakukan pemberontakan. Orang-
orang miskin melarat dilecut keberanian dan disulut
kesadarannya oleh ajaran-ajaran Muenzer: pemahaman atas
Injil dipadukan dengan komunisme. Risalah-risalah
keagamaan yang ditebarkan oleh Muenzer dari dalam gereja
beringsut keluar ke lingkungan rakyat miskin dan tertindas,
diungkapkan oleh Karl Kautsky dengan apik: ‘betapapun jika
upaya untuk mewujudkan perintah komunistis pada
masyarakat itu menimbulkan hal yang klenik. Maka, di tangan
lain, perjuangan dengan sebuah gereja dibentuk oleh
pertumbuhan ide-ide komunis’. Makanya Engels sampai
berkata bahwa Kristianitas itu sendiri adalah revolusi:
ketertarikannya terhadap kelas miskin dan tertindas, petani,
dan pengangguran kaum miskin kota; hal tersebut
menguntungkan banyak hal bagi gerakan sosialisme pada
waktu itu.688

Pandangan demikian memberi isyarat bagaimana terdapatnya


titik persinggungan yang memungkinkan agama dipikirkan
ulang oleh logika dunia. Sebagaimana yang tercermin dalam

688
http://gerakanaksara.blogspot.com/2017/06/sosialisme -dan-agama-
sebagai-alat/

1117
gagasan Engels yang melihat kesejajaran sosialisme modern
dengan agama Kristen primitif dan membuatnya tertarik
dengan cara Muenzer untuk menjelaskan bahwa bahasa
teologis sebagai jubah untuk ‘pidato politis’ menanggapi
kekecewaan ekonomi rakyat Inggris. Pandangan yang begini
kemudian membuat gagasan Engels serupa pikiran Marx;
mereka berdua sama-sama meilihat karakter ganda dari
agama, yang mempertahankan tatanan dominan, namun di sisi
lain dapat mengubahnya. Itulah yang membuat Al-Fayyadl
kemudian menilai penglihatan Engels atas gerakan yang
dibangkitkan penginjil Muenzer lebih terdengar teologis.
Karena di sisi lain Muenzer tampak seperti seorang ateis yang
revolusioner, padahal dia merupakan seorang agamawan yang
taat. Stereotip ini jugalah yang selama ini dilekatkan pada
Misbach: oleh sebagian kalangan yang melihatnya secara
sekilas dia diberi stigma sebagai seorang ateis. Tetapi dari
dekat dirinya merupakan seorang muslim yang revolusioner
dengan visi: Islam membutuhkan alat bernama komunisme
untuk mengkongkretkan misi dan cita-cita agama. Kesadaran
keagamaan kemudian disilangkan dengan komunisme. Dalam
tangan Misbach Islam ditransormasikan menjadi ideologi.
Islam sebagai ideologi tidak sekedar memandang kenyataan-
kenyataan ketidakadilan dan ketertindasan, tapi juga
berkeinginan keras mengubahnya. Semua ini dilakukan demi
menghadikan doktrin-doktrin Islam yang ditafsirkan dengan
beralatkan komunisme sebagai pisau dalam membedah
kenyataan-kenyataan di alam materil.

Rasa-rasanya: BPL harus mendrong tumbuhnya keberislaman


yang materialis sedari Latihan Kader I. Keberislaman itu
begitu akrab dengan filsafat materialisme-dialektika-historis

1118
dari Marx. Organisasi keagamaan yang tidak menggunakan
senjata marxisme, amat rawan akan ancaman kekuatan modal.
Gerakan juga kurang mampu bersikap serius dalam memihak
kepada rakyat miskin dan tertindas. Itulah yang tercermin
lewat Kongres HMI di Riau dan Ambon yang masing-masing
menghabiskan anggaran Rp 5,3 miliar dan Rp 5,8 miliar.
Dengan uang sebanyak inilah tak heran tersebar kabar
terjadinya jual-beli suara peserta utusan saat Kongres. Konon:
harga pemilik suara penuh Rp 25 juta per kepala. Uang-uang
daerah yang notabene berasal dari rakyat bukan dipergunakan
meretaskan kemiskinan, melainkan digunakan untuk
kepentingan pesta demokrasi organisasi mahasiswa. Ketum
yang terpilih dengan menghabiskan anggaran rakyat Rp 5,8
miliar setelah naik ke singgasana malah seperti kegirangan:
melakukan tindakan immoral. Lantas kepengurusan
mengalami dualisme. Uniknya rentetan kejadian dari kasus
immoral sampai HMI mengalami dualisme berbarengan
dengan dinamika Pemilu 2019. Memang menjelang Pemilu
tidak hanya himpunan yang mengalami keterpecahan,
melainkan juga sekaliber pengurus KNPI yang pernah dikader
di HMI.

Lagi-lagi peristiwa itu sama sekali tidak memberi tauladan


apalagi membawa kebaikan pada rakyat, umat dan bangsa.
Apalagi ketika Saddam Al Jihad dilandah kasus pelecehan
seksual; Islam seolah dioperasionalkan oleh kader HMI hanya
berkecimpung pada gerakan-gerakan dalam pengertian yang
simbolik, khususnya untuk menyangkut akhlak terpuji
seorang muslim. Makanya kasus Sadam menjadi trending
topik bagi keluarga besar himpunan. HMI lalu disibukan dan
bahkan hampir dihabiskan tenaganya untuk mengurus

1119
persoalan-persoalan formalistik guna perbaikan citra yang
telah tercoreng. Organisasi yang demikian—kalau bagi
Misbach—bisa dianggap telah terjebak dalam misi
kapitalisme-imperialisme: menggiring agama menjauh dari
rakyat miskin dan tertindas untuk hanya mempersoalkan hal
privat. Keadaan demikian selanjutnya membuat HMI
menjauhi dunia pergerakan. Perhimpunan Islam yang seperti
ini tentu akan menghadirkan kader-kader yang menjadikan
agama sebagai candunya kaum kromo. Karena Islam yang
dipasangkan pada himpunan tidak pernah mencari dan berani
mengutuk kekuatan modal yang membuat hilangnya
kemaslahatan umum. Ini terbukti melalui eksistensi organisasi
yang cenderung menampilkan Islam sebagai ibadah formal
saja. Maka wajarlah kader-kadernya lebih suka
mempersoalkan perilaku asusila, tetapi diam terhadap
serangan-serangan kapitalisme yang membuat orang-orang
jadi asosial dan banyak menghardik kaum mustadafin dan
dhuafa.

HMI mesti beringsut dari kebuntuan gerakan. Jangan biarkan


ajaran pembebasan Islam dijinakan oleh kapitalisme yang
sekarang nampak melalui komersialisasi pelbagai kegiatan
keagamaan. Himpunan mesti punya alat menyalurkan doktrin
pembebasan yang dimiliki oleh Islam. Alat tersebut ialah
komunisme yang dipadukan dengan ajaran-ajaran teologis.
Sintesa dari keduanya adalah keberislaman yang materialis.
Kelak penanaman paham ini harus dilakukan oleh BPL dalam
tiap-tiap forum perkaderan, terutama Latihan Kader I. Semua
ini dilakukan agar nanti kader yang akan memimpin
organisasinya memiliki perhatian serius terhadap pentingnya
melawan kapitalisme-imperialisme. Itulah mengapa gagasan-

1120
gagasan yang berguna sebagai alat perlawanan terhadap
kekuatan modal perlu diajarkan ketika pertama kali memasuki
pintu himpunan. Tentu ke depan kita tidak ingin HMI terus-
terusan menjadi organisasi yang melakukan pemborosan, baik
dalam kongres maupun dalam aktivitas-aktivitas lainnya.
Apalagi kemudian itu membuat kader hijau hitam hanya
disibukan oleh urusan perebutan kursi kekuasaan organisasi
dan menjauhkan diri dari permasalahan rakyat, umat dan
bangsa. Semua ini harus dianggap sebagai masalah kronis
dalam HMI. Hanya ajaran keberislaman yang materialis
dengan pisau marxisme yang dapat menjadi obat alternatifnya.
Melaluinya kader-kader yang lahir dari rahim HMI mampu
mengobarkan semangat revolusioner yang terus-menerus dan
berkomitmen memerangi kapitalisme.

Harus diketahui imperium modal telah merusak suasana


kaderisasi dalam himpunan. Ini jelas tercermin saat ada
Cabang atau Badko yang melakukan kerjasama dengan
instansi pemerintahan melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti
seminar atau kuliah umum. Lihat saja bagaimana HMI
Cabang Mataram tempo hari pernah mendukung sosialisasi
Pemilu bersama pemerintah. Kader-kader diundang untuk
menghadiri acara diskusi sebagai peserta. Setelah acara selesai
peserta-peserta mendapatkan uang jajan. Kapital ini kata
mereka untuk dijadikan kas Komisariat. Namun pada
kenyataannya banyak kader yang memilih membelanjakan
uang ini untuk keperluan pribadi. Dalam pristiwa ini begitu
kelihatan bagaimana kekuatan modal berpenetrasi dalam
gerakan. Tiada lagi aksi-aksi protes atas segala kebijakan
yang bermasalah terhadap sektor kehidupan rakyat. Yang ada
malah debat-debat di ruang ber-ac yang hanya diikuti oleh

1121
kalangan menengah dan hasilnya tak jelas dirasakan kaum
miskin dan tertindas. Hal serupa sama dengan yang dialami
Badko Nusra tahun lalu. Badko ini mengadakan kuliah umum
di Islamic Center dengan mengundang pemateri-pemateri
nasional, yang merupakan tokoh-tokoh dan pejabat-pejabat
pemerintahan. Namun dalam pelaksanaannya persis orang
yang berjudi. Sebab dalam menggelar kegiatan, uang untuk
sewa tempat dan lain sebagainya tidak hanya didapatkan dari
proposal yang diajukan ke instansi pemerintahan melainkan
juga berasal dari hasil gadai motor seorang kader. Kendaraan
tersebut digadai lantaran ongkos berkegiatan belum semuanya
cair hingga dicarikanlah tambalan. Nanti sehabis acara baru
dana-dana pengeluaran itu diganti. Jika ada anggaran yang
lebih maka akan dimasukan sebagai kas organisasi. Kegiatan
yang semacam ini juga marak dilakukan kader HMI
sewalaupun tanpa membawa-bawa nama dan bendera
organisasi. Itulah yang terjadi sewaktu kuliah umum BEM
Nusantara di Auditarium Unram dulu. Hanya karena ada
senior dari PB yang terlibat dalam kegiatan, maka panitia dan
peserta kegiatannya bisa dengan mudah diambil dari kader-
kader HMI. Paling lelah adalah kader yang berada di
Komisariat yang menjadi junior dari senior-seniornya yang
terlibat mengawal acara.

Hubungan senior-junior di situ bersifat lebih praktis dan


ekonomis. Sayang yang berada di posisi junior tidak punya
daya untuk melawan sebab sudah terbiasa diobyektifikasi
untuk menurut apa kata senior. Mereka menggugu seniornya
tentunya tidak sembarang, tetapi karena ingin dapat
pengalaman. Soalnya di HMI mereka percaya pada kredo:
pantang menolak tugas dan pantang tugas tak selesai. Apalagi

1122
setiap aktivitas yang disuruhlakukan oleh seniornya kerap kali
dianggap sebagai latihan dan jalan untuk berproses. Kondisi
ini terkadang beraroma feodal, karena yang muncul
dipermukaan adalah fenomena penghambaan: tuan
pemerintah dan budak penurut. Apa yang keluar dari mulut
senior selalu saja dianggap benar dan baik oleh karena itu
tidak bisa dibantah. Hal ini sama dengan pendidikan gaya
bank yang dibenci oleh Paulo Freire: kader hanya bisa diisi
dengan apapun tak peduli itu kotor. Makanya tak heran—
dalam kegiatan BEM Nusantara—si junior digunakan tenaga
dan waktunya demi lancarnya hajatan. Ada yang masuk dalam
seksi peralatan, konsumsi hingga disuruh jadi sopir buat antar
jemput tamu-tamu dan orang-orang yang ditokohkan. Tapi
mereka tentunya dapat imbalan baik itu uang maupun sebatas
nomor handphone untuk menambah koneksi.

Bahkan sehabis kegiatan malah sisa-sisa anggaran yang


dipergunakan untuk kegiatan dibagikan untuk masing-masing
pelaksananya. Biasanya para pekerja lapangan mendapatkan
gaji yang tak seberapa ketimbang orang-orang yang berada di
posisi puncak yang sering kali menyebut dirinya sebagai
pemikir: mereka ini mendapatkan jatah yang lebih banyak. 689
Namun jika terus dibiarkan keadaan yang seperti merusak
moral kaderisasi. Kader yang biasanya bekerja di himpunan
tanpa pamrih. Kemudian terlibat di acara-acara seperti ini
dengan penuh pamrih. Terutama diajari mengejar duit dengan
begitu rupa. Inilah yang nantinya akan membuat iklim
pengkaderan melahirkan banyak setan-setan uang. Parahnya

689
Sumber: sekelumit peristiwa ini pernah saya lihat dan rasakan sendiri
sewaktu aktif di HMI.

1123
definisi kaderisasi justru jadi kian rancu: apakah kader adalah
mereka yang melaksanakan aktivitas organisasi?, ataukah
cuma mereka yang membebek dan bersedia turut pada
perintah senior yang berkeneksi sampai ke relung-relung
birokrasi? Sekarang, perlu sekali calon-calon kader HMI
dalam Latihan Kader I dibekali dengan ilmu yang mengutuk
negara dan kapitalisme. Tujuan jelas: supaya mereka tidak
mudah menjadi budak kelas penguasa hingga diperas tenaga
lebih banyak daripada yang mereka peroleh. Tentunya kita tak
mau HMI menjadi semacam perusahaan tempat
berlangsungnya sirkulasi modal bagi para majikan dengan
cara memeras keringat orang-orang yang diperbudak begitu
rupa.

Itulah mengapa harus ada perlawanan. Hanya untuk melawan


harus ada kesadaran atas muslihat-muslihat kekuasaan.
Penyadaran tentu bisa dilakukan dengan menanamkan ajaran
kelas yang ada dalam komunisme. Ilmu komunisme yang
coba diajarkan melalui keberislaman yang materialis kelak
pasti akan sangat berguna untuk bekal kader HMI mengarungi
dunia yang sudah akut terhegemoni oleh modal. Dengan
menyuntikan komunisme dalam forum pengkaderan kelak
akan lahir kader-kader yang berpikiran progresif dan mampu
mengemban tugas revolusioner. Sehingga mereka tak mudah
dibodohi dan ditipu semisal oleh kelompok-kelompok
dominan yang katanya mendidik mereka namun
memanfaatkan tenaganya untuk kepentingan selain HMI—
segelintir orang yang mengatasnamakan HMI. Dalam
tulisannya Marx mengatakan begini:

1124
Doktrin materialis yang menyatakan bahwa manusia
adalah produk dari lingkungan dan pendidikan, dan
karena itu manusia berubah manakala lingkungan dan
pendidikannya berubah. Lupa bahwa manusialah yang
mengubah lingkungan dan karena itu yang hakiki ialah
mendidik sang pendidik.

Ketika Marx menandaskan: yang hakiki itu mendidik sang


pendidik. Arti dari kalimat ini adalah: mendidik agar sang
pendidik sanggup menghidupkan dan mengembangkan guru
dalam dirinya. Itulah mengapa Master of Training harus
menumpahkan ajaran keberislaman yang materialis kepada
peserta. Tujuannya membantu mereka mengetahui bahwa
untuk belajar selanjutnya tidak mesti bergantung pada orang
lain, karena dia dapat menjadi guru bagi dirinya sendiri.
Ketika guru dalam diri mereka telah berkembang maka
ketergantungan pada didikan senior-seniornya dan segala
otoritas di luar dirinya akan berhenti. Sehingga kader-kader
tidak akan mudah menurut kepada orang-orang yang serupa
berhala karena apa-apa yang disabdakannya selalu
dirasionalkan hingga menampilkan sebuah kebenaran yang
harus diikuti. Ini berpotensi membuat kader HMI memuja
selain Tuhan lantaran relasi senior-junior ada kalanya oleh
yang superior dijadikan ajang pendakuan sebuah kebenaran
yang harus diikuti bagi pihak inferior. Inilah yang
menyebabkan kader HMI tidak bisa menolak banyak
keinginan yang keluar dari mulut seniornya. Dalam kondisi
inilah kebenaran dianggap benar berdasarkan otoritas dari
mana dia muncul, bukan dicari dan dipikirkan secara susah-
payah. Maka yang nampak adalah sebuah etika heteronomi
ketimbang otonom. Suatu praksis kehidupan yang menuntut
ketaatan dan membela kebenaran dari orang-orang yang

1125
ditokohkan, tanpa mampu bertanggung jawab dalam
menentukan pilihan.

Persoalan demikian lagi-lagi hanya akan dapat ditentang


apabila seorang kader memiliki fundamen keberislaman yang
materialis. Sebuah keislaman yang mirip paham komunis:
kebenaran bukan diberi tapi ditemukan sendiri. Inilah yang
akan membuat seseorang dapat leluasa berpikir, merasa dan
berkehendak dalam hidupnya. Singkatnya, manusia dapat
mempunyai eksistensi sendiri. Bagi Nietzsche keadaan itu
dapat dicapai dengan cara ‘membunuh tuhan-tuhan palsu’
dalam kehidupannya. Pembunuhan terhadap berhala-berhala
manusia modern dilakukan melalui proses berpikir yang
sebebas-bebasnya. Imanuel Kant memang pernah
mengingatkan bahwa kunci dari pencerahan akal budi adalah
‘berani berpikir bebas’ dan tentunya tidak bergantung pada
orang lainnya. Dalam keadaan inilah kader-kader HMI
mampu menjadi guru bagi dirinya. Eko Prasetyo menjelaskan
bahwa kemampuan untuk berpikir secara materialisme
dialektis seperti Marx akan membantu manusia menemukan
daya kearifannya:

Inilah makna semboyan ‘Sapere Aude’, Temukan


Kearifanmu Sendiri! Dan karena daya kearifan itu
senantiasa bersifat kreatif, maka gerak kearifan itu
senantiasa mencipta, entah itu mencipta dirinya sendiri
atau mencipta lingkungannya. Kearifan tak bisa
membiarkan alam ini bergerak secara liar tanpa tujuan,
tanpa nilai. Kearifan senantiasa merasa harus turut
terlibat mengarahkan pembentukan gerak sejarah alam
semesta, baik semesta dirinya maupun semesta hidup
bersama. Barang kali akan muncul reaksi ketakutan

1126
bahwa jika setiap orang menjadi ‘Matahari’ bagi
dirinya sendiri, maka akan terjadi anarkisme pendapat
tentang kebenaran. Maka bagi mereka, bukanlah lebih
baik jika kemudian tetap ada otoritas, sementara
mayoritas yang lain cukuplah menjadi pengikut?
Anggapan semacam ini sesungguhnya berasal dari
asumsi tak sadar yang menganggap seolah-olah
kebenaran itu adalah barang yang istimewa, kebenaran
itu tidak bisa dimiliki oleh setiap orang. Hanya mereka
yang istimewalah yang memegang benda istimewa
tersebut. Anggapan yang membedakan kebenaran itulah
yang lalu menciptakan semacam relasi yang tak sehat
dalam kehidupan religiusitas. Kehidupan tak sehat
macam apa? Yaitu kerdilnya daya kearifan dalam setiap
individu. Individu-individu beragama menjadi massa
yang senantiasa harus menunggu sabda ‘orang-orang
istimewa’ untuk tahu bagaimana harus menilai dan
bertindak atas realitas.690

Dengan keberislaman yang materialis, yakni keberagamaan


yang meminjam pikiran-pikiran Marx. Bukan tak mungkin
kearifan dalam diri akan ditemui. Kearifan itu bagaikan daya
sinaran matahari dalam kehidupan seorang manusia.
Penggambaran matahari pada diri manusia pertama kali
diungkapkan Suhrawardi Al-Maqtul melalui filsafat
cahayanya. Pengetahuan diartikan Suhwardi sebagai cahaya
yang berasal dari limpahan cahaya Tuhan. Pancaran cahaya
dari semua cahaya (Nur al-Anwar) inilah yang kemudian
membuat gradasi-gradasi manusia. Pemikiran ini lalu dikenal
luas dengan filsafat iluminasi. Pemikiran yang ditorehkannya
adalah panenteisme: menyatakan bahwa dalam diri manusia

690
Eko P. Darmawan, (2005), Agama Itu Bukan Candu, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 184-185.

1127
sesungguhnya memiliki kebenaran. Maka tidak salah lagi,
matahari yang ditemukan Marx melalui pemikiran
materialisnya merupakan cahaya yang berasal dari pancaran
sumber segala kebenaran. Dengan Matahari yang terkandung
dalam diri manusia itu dapat menumbuhkan kearifan yang
membuatnya benci terhadap segala bentuk penindasan. Lewat
kearifan pulalah seseorang punya energi yang memencar
keluar dirinya untuk memerangi kegelapan, sehingga
selubung dari kapitalisme akan tersingkap dan realitas
ketimpangan dapat terlihat jelas untuk kemudian diubah.

Saat kearifan itu dimiliki maka kader-kader himpunan dapat


dengan mudah melihat, menjauhi dan kemudian terdorong
melawan kapitalisme. Terutama menentang hegemoni modal
yang memperbudak, memelaratkan dan terus-terusan menipu.
Tipu muslihat ini disebut Misbach dengan istilah fitnah; yang
kemudian semakin menindas dan menghisap. Dalam Islam
gagasan dasar tentang fitnah adalah godaan yang dikirim
Tuhan untuk menguji kesetiaan pemeluk-Nya. Fitnah
memiliki pengertian sebagai godaan dan ujian kesetian pada
Allah SWT. Tetapi fitnah bukan merupakan godaan yang
berasal dari dalam, melainkan dari kenyataan-kenyataan di
luar diri manusia. Namun lebih jauhnya Misbach memandang
fitnah dalam kehidupan manusia modern sebagai kapitalisme.
Kekuatan kapital soalnya membuat orang-orang berhamba
pada uang, bukan kepada Tuhan. Perampokan, kekerasan, dan
tipu-daya yang menyertai sistem itulah yang diasosiasikannya
menjadi fitnah. Inilah mengapa hidup di dunia modal rentan
memelorotkan iman seseorang. Gagasan Misbach tentang
munafik pun masuk dalam konteks demikian. Makanya

1128
mereka yang mengaku muslim, tetapi tidak berjuang melawan
fitnah-kapitalisme adalah munafik.

Hanya dalam memerangi fitnahan kapitalisme dia memilih


komunisme sebagai alat perjuangan menuju Islam sejati. Iman
baginya bukan sekedar meyakini adanya Tuhan dan
ajarannya, tapi proyek bagaimana mewujudkan ajaran
ketuhanan melalui misi kemanusiaan. Iman kepada wahyu
membuatnya tidak menyerah kepada kenyataan negeri jajahan
yang penuh dengan ketimpangan, melainkan berjuang untuk
mengubahnya. Ilmu komunis kemudian menurutnya dapat
membantunya memerangi penjajahan modal. Komunisme
sebagai kerangka teoritis telah menerangkan soal uang lebih
jauh. Makanya ia mengidentifikasi hasrat mengeruk dalam
sistem kapitalisme sebagai setan. Orientasi terhadap uang
menurutnya adalah tipu muslihat setan yang dapat
menjauhkan manusia dari Tuhan. Itulah mengapa dia
sedikitpun tak berkompromi dengan pemimpin-pemimpin
organisasi Islam yang enggan bergerak melawan kapitalisme.

Makanya dulu Misbach dengan berani mengecam sikap


Jamiyatul Kasanah, Muhammadiyah dan Central Sarikat
Islam (CSI) yang bungkam dan tanpa sedikitpun memerangi
kapitalisme. Memang Tjokroaminoto pernah
mengatasnamakan diri berjuang demi rakyat menggunakan
organisasi, tapi malah menjadikan organisasi sebagai alat
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Misbach
mengutuknya dengan keras melalui seabrek perkataan dan
tulisannya. Baginya: perjuangan membebaskan penderitaan
rakyat dari kekuatan modal perkebunan yang didukung oleh
pemerintah kolonial membutuhkan orang-orang yang imannya

1129
teguh. Dalam tulisannya Medan Moeslim yang berjudul Islam
dan Gerakan, ia mengingatkan Tjokro agar segera sadar dari
kesalahannya dengan membandingkan dirinya dengan kisah
kekalahan Adam di tangan iblis: ‘pada waktoe bapa kita nabi
Adam masih di taman firdaus, setan telah menipunya dan
menjatuhkannya dengan berboeat seolah-olah membawa
perintah Toehan’. Sekarang O.S. Tjokroaminoto akan
memperdayai anak-anak Adam dengan berboeat seolah-olah
adalah pemimpin yang aktif di jalan Islam’.

Melalui analisis komunisme maka kisah penciptaan manusia


dimaknai Misbach sebagaimana yang dilakukan Hasan
Hanafi: memandang bahwa teologi sebagai hermeneutika,
bukan merupakan ilmu pengetahuan yang terlepas dari
keadaan-keadaan kongkret. Makanya kelakukan memperkaya
diri dari Tjokro dilihatnya sebagai hasil hasutan setan. Dalam
kehidupan nyata setan menampilkan diri ke dalam bentuk
uang. Pemikiran begini tentunya sejalan dengan Hisham
Sharabi yang menyatakan bahwa setiap bahasa simbolik
Islam, untuk memahami makna dan pesannya yang paling
dalam haruslah disekularisasikan dan dirasionalkan. Tanpa
melalui berpikir sejarah (historikal thingking) atau mencari
kebenaran dalam proses (truth a process), pengikut-pengikut
yang imannya bersemangat, tetapi mereka hidup dalam
kesadaran-kesadaran palsu yang menentramkan. Untuk itu
dinyatakan bahwa gerakan Islam harus melakukan
transformasi pada tingkatan ekonomi, yakni (pertama)
penataan infrastruktur material, kedua pembaharuan sosial,
ketiga dalam praktek politik yang mendudukan posisi yang

1130
jelas hubungan negara dan warganya. 691 Dahulu dapat
dikatakan bahwa gerakan komunisme Islam dari Misbach
yang melandaskan diri pada ajaran pembebesan Islam
merupakan lompatan progresif dan transformatif dari
pemahamannya akan hikmah-hikmah dalam Qur’an.

Rasa-rasanya jika Misbach masih hidup sampai sekarang,


tentu dengan melihat kondisi kaderisasi dan gerakan HMI
yang telah dirusak oleh imperium modal—pasti akan dia
kritik. Bahkan dengan kehadirannya maka kader hijau hitam
pun bakal dianjurkan olehnya menjadikan komunis sebagai
jalan mengimplementasikan ajaran-ajaran pembebasan dalam
Islam—apalagi keadaan mayoritas rakyat Indonesia hari-hari
ini belum beringsut keluar dari jajahan kapitalisme seperti
pada zamannya. Kini ada baiknya segenap kader HMI,
terutama BPL menyimak baik-baik tulisan Misbach di bawah
ini. Dia mencoba memaparkan pentingnya melawan
kapitalisme lewat keberislaman yang materialis; yakni dengan
menggunakan ilmu komunis sebagai saluran ekspresif bagi
gerakan Islam. Dalam Islam Bergerak dirinya menyajikan
tulisan yang lumayan panjang tentang hal demikian:

Sebeloemnja hendaklah diketahoei lebih dahoeloe,


betapakah nasibnja ra’jat djadjahan seperti di Hindia
ini. Ra’jat djadjahan itoe, jalah boleh di ertikan ra’jat
perboedakan; segala peratoeran menoerut sebagaimana
kehendak toewannja, baik jang beragama Boedha,
Kristen, Islam dan I.I.s sekalipoen peratoeran itoe
banjak djoega jang tiada sesoewai kemaoean ra’jat,
ataoepoen bertentangan dengan kehendak agamanja,

691
Dr. Moeslim Abdurrahman (pengantar), (2003), Islam Pribumi, Jakarta:
Erlangga.

1131
diharoeskanlah dan malah wadjib mereka itoe
memeloeknja; inilah jang menjebabkan kita mesti fikir
lebih dalam … soedah saja oetarakan betapa nasib
ra’jat djadjahan itoe, boleh sekali dikatakan orang
sebagaimana halnja boeroeng jang ada di dalam
sangkar, jang djoega terikat dengan beberapa ikatan
jang begitoe koeat. Soedah tentoe sadja, roesaklah
kemerdekaan hidoep itoe, djika tida’ dapat kebebasan
dari segala ikatan tadi. Roesaklah kemerdekaan itoe,
berarti djoega roesaknja Iman pada Allah Ta’ala, djika
mereka itoe ta’ segan menjoesoen kekoewatan bersama
goena menghindarkan diri dari pada segala ikatan
orang, karena disebabkan: pertama, hidoep bersama
terganggoe; kedoewa: tidak merdeka poela memboewat
barang sesoeatoe perintah Allah jang terma’toep dalam
Qoer’an djika perintah itoe dipraktijkan; ketiga,
terpaksa menoerut perintah oerang jang banjak djoega
tidak sesoeai ataoe bertentangan dengan kehendak
Qoer’an.

Hidup bersama artinja hak manoesia itoe tidak ada


perbedaan, hanja Toehanlah jang lebih tinggi; karena
djika hak manusia, tentoelah ada djuga manoesia jang
lebih rendah, begitoe teroes meneroes sehingga ada
kakaloetan doenia terjadi dan semoea itoe saja ambil
pokoknja sadja karena dari loba tama’nja kapitalisme
dan imperialisme, sebab ijalah jang menggoenakan
tipoe moeslihatnja dengan djalan memfitnah, menindas,
mengisap dan lain2 perkataan poela. Menilik hal-hal
terseboet…, bisakah kaoem moeslimin di Hindia ini
mendjalankan kehendak Islam jang sebenarnja djika
kemerdekaan kita itoe masih terikat dalam tangan
kemodalan ataoepoen dengan kekoewatannja fitnahan
djika mereka itoe tidak bersama menoesoen

1132
kekoewatan goena membebaskan sebab-sebab
terseboet. Tebaklah hei toean-toean pembatja!

Agama Islam berkembang di Hindia, agama Islam


berharoem gandanja di seloeroeh Hindia, begitoe kata
orang jang baroe birahi kata-kata, sehingga
perkoempoelannja kaum modal poetih merasa perloe
mendirikan perkoempoelan Islam dinamakan
Djamijatoel Kasanah, kaum modal Djawa dinamakan
Mohammadijah (M.D.) langkah dan tradjangnja 2
perserikatan itoe tidak berbeda, jang dipentingkan
menjiarsiarkan agama Islam dengan tida memerangi
fitnah, walaoepoen jang ditindas tinggal tertindas, dan
jang menindas tinggal menindas, en toch tida’ ambil
moemet asalkan soedah menjiarkan agama.692

Dengan sifat pedulinya atas nasib rakyat miskin dan tertindas,


maka Misbach mengambil langkah maju ke depan pentas
pergerakan. Gerakan yang dilakukannya sangat revolusioner:
menyebarkan ajaran Islam yang menganjurkan menggunakan
analisis komunisme. Itulah kenapa dalam propagandanya ke
tiap-tiap daerah selalu menegaskan bahwa umat Islam
memerlukan komunisme agar bisa menjadi muslim sejati,
apalagi dorongan wahyu yang juga menyuruhlakukan
pembebasan itu bersesuaian dengan tujuan komunis.
Demikian ini ialah ceramah Misbach tentang Islam dan
Komunisme:

692
Lihatlah selengkapnya tulisan H.M. Misbach yang berjudul Perbarisan
Islam Bergerak: Sikap Kita dalam karya Takashi Shiraishi, (1990), Zaman
Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti, Hlm. 136-137.

1133
Qoer’an menetapkan bahwa merupakan kewajiban
setiap moeslim untuk mengakui hak asasi manusia dan
pokok ini djuga ada dalam prinsip-prinsip komunis …
adalah perintah Tuhan bahwa [kita] harus berjoeang
melawan penindasan dan penghisapan. Ini juga salah
satu sasaran komunisme. Sehingga benar jika dikatakan
bahwa ia jang tida’ dapat menerima prinsip-prinsip
komunisme itu bukanlah moeslim sejati. Dan itulah
sebabnja mengapa yang Maha Kuasa dengan keras
mengutuk ibadat dan salat jang dilakukan PEB [Politiek
Economische Bond: karena di dalamnja tergaboeng
anggota-anggota Jamiyatul Kasanah, Muhammadiyah
dan CSI]. Sebab setiap jang percaya pada-Nja terikat
kewajiban membasmi penindasan, penekanan dan
penghisapan dan ini jang diabaikan oleh seksi agama
PEB. Komunisme tidak toleran pada diskriminasi
pangkat dan ras, dan dengan demikian mengutuk
keberadaan kelas-kelas di masyarakat.693

693
Ibid, Hlm. 367.

1134
EPILOG:

Bisakah HMI Melawan Negara dan Kapitalisme?

“Sejarah dari setiap masyarakat yang ada sampai sekarang


adalah sejarah pertentangan kelas. Orang merdeka atau
budak, bangsawan atau jembel, tuan dan pelayan yang
ditindas dan yang menindas berada dalam pertentangan yang
tajam, mereka melangsungkan pertentangan yang tidak ada
akhirnya.” (Karl Marx dan Frederick Engels, Manifesto
Partai Komunis)

“…zaman ini adalah zaman kemerosotan. Raja-ra kecil


bermunculan pada diri sendiri…. Kekacauan dan perang
akan memburu kalian silih berganti. Laki-laki akan pada mati
di medan perang. Perempuan akan dijarah-rayah dan kanak-
kanak akan terlantar…. Kemerosotan zaman dan
kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas kalian
selama kalian tak mampu menahan kemerosotan besar ini….”
(Pramoedya Ananta Toer)

Pada awal mula pendiriannya HMI mempunyai tujuan yang


amat revolusioner pada zamannya: (1) Mempertahankan
NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; dan (2)
Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Kemudian untuk mewujudkan cita-cita inilah mengapa
dilawanlah penjajah dan dilakukanlah ekspansi syiar Islam
secara besar-besaran di kalangan mahasiswa, sampai
Indonesia benar-benar merdeka dan mahasiswa muslim
kemudian banyak yang di-HMI-kan. Sekarang, tradisi
perlawanan ini kiranya perlu dibumikan kembali sesuai

1135
dengan konteks penjajahan kontemporer: imperialisme yang
didalangi oleh kapitalisme. Kapitalisme hingga kini terus-
menerus melanggengkan eksploitasi de 1’homme par
I’homme. Penindasan-demi-penindasan merajalela tanpa
menggunakan senjata sebagaimana penjajahan klasik. Kawan
dan lawan tidak mudah dikenali. Itulah mengapa ada manusia
yang dengan mudahnya merampas hak-hak saudaranya.
Bahkan Bung Karno pun ikut menandaskannya begitu rupa:
‘perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi
perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara
sendiri’.

Pernyataan yang sudah cukup lama tersebut telah terteguhkan


dengan maraknya korupsi para pejabat, pelanggaran HAM
oleh aparat, kekayaan yang bertumpuk-tumpuk pada segelintir
kalangan, dan kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak
dikeluarkan untuk mengankat derajat dan martabat rakyat.
Kemerdekaan kemudian tak lebih dari slogan sialan. Soalnya
di negara merdeka malah begitu banyak orang-orang sengsara.
Patutlah fenomena begini diasosiasikan sebagai keterjajahan
gaya baru. Penjajahan ini semakin lama akan melahirkan
banyak penderitaan dan kemelaratan banyak orang, atas
kebahagiaan dan keberlimpahan segelintir orang. Kondisi
inilah yang pernah diramalkan Charles Fourier dalam
traktatnya ‘Teori Empat Gerakan dan Takdir Umum
Kehidupan Umat Manusia’. Pada 1808, dia membagi
perjalanan masyarakat dalam 80.000 ke dalam empat fase
besar: dua menaik (ascendant) dan dua menurun (descadent).
Kedua fase yang menaik berisi harmoni yang mengikat
manusia dalam pelbagai bentuknya—individual maupun
komunal. Ini disebut juga sebagai fase surgawi di atas bumi:

1136
manusia dan binatang berkawan dalam sebuah kehidupan
rimba yang polos dan sensual, ikatan-ikatan afektif begitu
kuat: kebersamaan begitu hidup antar-sesama manusia
maupun alam.

Namun sejak manusia mengenal metalurgi, maka alam


sekonyong-konyong dijadikan ladang eksploitasi. Kemudian
terciptalah sekat-sekat antar-keluarga, harmoni menurun,
peperangan berkecamuk, dan kekerasan merajalela. Peradaban
metalurgi inilah yang mengawali kedua fase menurun: penuh
dengan dekadensi. Fase ini yang kita lalui sekarang:
kemerosotan moral semakin parah disebabkan oleh kekuatan
modal. Orang-orang bergaya hidup makin konsumtif,
individualis, oportunis dan pragmatis. Keadaan begini juga
telah membuat negeri kita tegak di dalam balutan organisasi
perdagangan internasional yang mengendalikan segala bentuk
kebijakan pemerintahan. Kekayaan sumber daya alam
Indonesia dieksploitasi habis-habisan. Pembangunan
dilakukan tanpa memerhatikan kebutuhan rakyat yang
sesungguhnya. Hukum semakin lemah di hadapan penguasa
dan pengusaha. Pendidikan dan kesehatan tak lagi mampu
diharapkan untuk menolong kaum papa. Perekonomian begitu
lesu hingga tak mampu menyejahterahkan kehidupan
penduduk. Buruh, petani, PKL, nelayan, pedagang kecil,
tukang becak, pengemis dan pengangguran terlantung-lantung
di negeri ini. Singkatnya, rakyat miskin dan tertindas secara
resmi kehilangan daulatnya di sana-sini.

Kewibawaan negara dan kehormatan rakyat memang telah


lama diluncurkan oleh superioritas modal yang mendapat
dukungan kekuasaan. Hukum, pendidikan, kesehatan, sosial,

1137
ekonomi dan budaya makin lama semakin terkoptasi oleh
kapitalisme. Bahkan agama telah terkomersialisasi oleh yang
namanya setan uang. Fenomena inipun berangsur-angsur
nampak mulai berpenetrasi ke dalam gerakan HMI. Lihat saja
bagaimana idealisme perkaderan direcoki dengan mudah,
karena kader-kadernya kebanyakan mengejar kemapanan
yang berdiri di atas kekuatan modal. Gerakan organisasi
kemudian menumpul. semenjak Orde Baru sampai Pasca-
Reformasi himpunan tak mampu memperbaiki gerakannya.
Itulah kenapa tidak ada proposal perubahan yang ditawarkan
untuk kehidupan rakyat, umat dan bangsa. Usaha-usaha
menuju terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT—jauh dari
panggang dari api.

Makanya insan akademis cuma dimaknai secara formal:


kuliah yang rajin, kejar nilai tinggi, wisuda tepat waktu, dan
bersiap menempuh dunia kerja. Ilmu pengetahuan kemudian
dipandangnya sebagai barang bebas nilai. Inilah mengapa
lebih banyak kader yang peduli pada matakuliah daripada
persoalan rakyat. Sejalan dengan itu Insan pencipta juga
dimaknai cukup dengan membuat aneka tulisan walaupun
tidak memihak dan menggerakan kesadaran rakyat dalam
melakukan perlawan terhadap penindas. Bahkan daya cipta
pula tak jarang disederhanakan sekedar dalam pembuatan
makalah sebagai persyaratan LK II. Inipun masih banyak
yang belum mandiri kala membuatnya. Selanjutnya adalah
insan pengabdi. Adalah lebih banyak disempitkan mengabdi
dalam kegiatan-kegiatan HMI. Lahan pengabdiannya biasanya
masuk dalam kepanitiaan. Itulah yang mendorong kader-kader

1138
Komisariat bersenang hati bantu-bantu di setiap kegiatan
serimonial, terutama yang berdiri di atas kerjasama
mendukung program-program lembaga pemerintahan. Lalu
insan yang bernafaskan Islam, tidak pernah beringsut dari
persoalan moral semata. Islam bagi mereka lebih dimaknai
sebagai pengatur tingkah-laku individu saja. Tengoklah
bagaimana maraknya omelan terhadap tindakan immoral
Ketum PB HMI ketimbang menjadikan Islam sebagai agama
protes terhadap penindasan-penindasan yang dialami rakyat.

Terakhir, Insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya


masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT.
Pandangan untuk poin barusan begitu beragam, saking
jamaknya bahkan ada yang mengatakan ini ‘bonus’ ketika
insan yang pertama sampai keempat sudah dilaksanakan.
Padahal tujuan pamungkas ini merupakan yang paling penting
yang seharusnya sewaktu mengupayakan terwujudnya insan
akdemis, pencipta, pengabdi, atau yang bernafaskan Islam
wajib seoptimal mungkin dilandasi atas dorongan mencapai
tujuan kelima itu. Artinya tanggung jawab terwujudnya
masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT mesti
menjiwai insan lainnya. Sehingga aktivitas yang kader HMI
lalukan selalu didasarkan atas tanggung jawab tersebut.
Karena sadar akan pertanggungjawaban itulah yang dapat
mendorong kader-kader himpunan berperan aktif dalam
membumikan ajaran pembebasan dalam Islam dengan
mengambil bentuk gerakan-gerakan sosial. Dengan
memegang tanggungjawab itu jugalah tiap-tiap terjadi
kekerasan, penderitaan, penidasan, dan ketidakadilan yang
menimpah rakyat harusnya membuat kita melakukan kerja-
kerja advokasi.

1139
Tentu hari-hari ini begitu banyak anggota biasa yang sudah
bosan melihat gerakan HMI yang bergerak secara elitis
ketimbang revolusiner. Apalagi sangat sedikit gagasan-
gagasan himpunan yang mengambil peran gerakan dari
bawah: membangun kekauatan rakyat. Malah yang
menggeliat ialah perubahan-perubahan yang ingin dilakukan
dengan keyakinan dimulai dari atas: dekat dengan para
pejabat. Hal demikian pasti membuat kita semakin muak. Itu
jelas terbukti lewat kritik-keritik terhadap pengurus HMI.
Mereka lebih tepat diasosiasikan sebagai kader pejabat
daripada kader HMI. Tetapi bila diberi stigma begini pasti di
antara mereka melakukan pembelaan: pejabat yang didekati
adalah senior atau alumni HMI. Perbuatannya kemudian
menjadi amat disederhanakan dengan dalih: silaturaHMI. Ini
tidak akan meluncurkan independensi, apalagi yang didekati
adalah senior-senior alias alumni sendiri. Dus, bertemu
dengan para politisi dianggap biasa dan lama-lama menjadi
kebiasaan. Mungkin inilah yang membuat pengurus-
pengurusnya lebih suka berpenampilan mirip pejabat
ketimbang mahasiswa. Rapinya mereka minta ampun dech..,
jika dalam kegiatan-kegiatan organisasi belum menggunakan
batik, sepatu pentopel, jam tangan, minyak wangi, tentu dirasa
belum oke. Nongkrongnya lebih banyak di tempat-tempat
mewah yang terlalu ramai dan berisik untuk diskusi.

Gaya woow seperti itu tentunya sedikit tidaknya pasti


mempengaruhi kader-kader untuk ikut-ikutan. Makanya
kaderisasi semakin hedon ketimbang militan. Berkuranglah
diskusi dan kajian di tempat-tempat terbuka, karena cari ilmu
harus di tempat yang bikin nyaman, menyenangkan dan
mahalan. Bila ada diskusi mungkin hanya ditemukan

1140
Komisariat saja. Itupun cukup formal, paling lama 2 jam, dan
para peserta terkadang lebih tertarik pada cemilan yang
disediakan pengurus ketimbang sajian materi. Bahasan ilmiah
pun sulit sekali menemukan saluran ke dunia aksi. Lagi-lagi
hanya sebatas wacana. Keadaan begini membuat program
kerja-program kerja tak mampu menyentuh kalangan akar
rumput. Walhasil, HMI lantas begitu jauh dari sikap
kerakyatan. Banyak persoalan-persoalan rakyat yang lupa
dibela himpunan. Soalnya jika ada gerakannya yang populis
itu hanya pas momen-momen tertentu saja. Inilah mengapa
pembelaan-pembelaan terhadap kepentingan kaum bisa tampil
dan hilang sesuka hati: sekedar untuk membuktikan bahwa
HMI masih ada. Harapannya mungkin agar dianggap
organisasi ini masih berisi orang-orang yang idealis. Padahal
program kerjanya lebih banyak menjadi ekspresi kepentingan
borjuis. Di Cabang, Badko, atau PB sekalipun; seminar,
kuliah umum, diskusi publik dan semacamnya sasarannya
hanya kalangan-kalangan mahasiswa, pejabat dan pengusaha.
Kini HMI yang disebut-sebut Jendral Soedirman sebagai
harapan masyarakat Indonesia jadi sebatas wahana untuk
memenuhi hasrat-hasrat masyarakat kapitalis. Rupa-rupanya
organisasi ini mungkin sudah lupa dengan pesan Soedirman:
‘HMI jangan menyendiri’. Kesendirian di sini dimaksudkan
sebagai gerakan yang cenderung ekslusif. Soalnya bila
melakukan pergerakan jarang melibatkan rakyat miskin dan
tertindas. Gerakannya juga begitu tertutup sekali untuk
bekerjasama dengan organisasi kepemudaan di luar Cipayung
Plus. Makanya HMI sangat terlihat kaku dalam membangun
gerakan bersama organisasi progresif. Pengurus-pengurusnya
paling suka main dengan organisasi-organisasi mahasiswa
keagamaan modernis dan sejenis. Sementara untuk organisasi-

1141
organisasi kiri—SMI, FMN, PEMBEBASAN, dan lain-lain—
sangat-sangat dijauhi dan tidak pernah bisa ketemu.

Kalau ada aksi massa—sewalaupun isu yang diangkat itu


sama, mana ada HMI mau membangun gerakan dengan
kawan-kawan kiri. Ketidaksanggupan membuka diri inilah
yang membuat gerakan menjadi monoton. Jika gerakan kiri
mencoba membela rakyat dengan pelbagai cara; HMI justru
tahunya lewat demo, diskusi, seminar, dan kuliah umum yang
nyaris di kegiatan-kegiaan ini muka-muka yang terlihat selalu
itu-itu saja: kader HMI, pengurus HMI, kader-kader
Cipayung, hingga senior atau alumni-alumninya melulu.
Padahal begitu banyak jalur yang bisa ditempuh untuk
mengimplementasikan keberpihakan kepada kaum miskin dan
tertindas. Tapi HMI memang terlalu pongah untuk belajar
dengan kawan-kawan kiri di sekitarnya. Terutama dalam
membangun kekauatan rakyat dengan mendorong, membina
dan melatihnya berjuang sendiri. Namun tindakan ini sulit
dilakukan, karena HMI tidak mempunyai program kerja yang
demikian. Kaderisasi tak diupayakan untuk mendidik kader-
kader progresif. Training-training HMI belum mampu
beringsut jauh dari persoalan langit. Jika pun mengkaji
masalah dunia tapi tak menyulut wacana ke saluran aksi.
Organisasi lantas begitu kering dari semangat perlawanan
terhadap kapitalisme yang menjadi penjajah kontemporer.

Itulah mengapa pengurus-pengurus HMI tak memiliki


keberanian menegakan Islam sebagai ajaran pembebasan.
Jadilah kapitalisme terus merajalela di negeri ini: (1) Kapitalis
birokrat. Persenyawaan antara kepentingan modal dengan
birokrasi telah melahirkan mafia dan koruptor. Para

1142
penyamun itu senantiasa menjilat siapa saja. Inilah penyebab
seringnya terjadi kasus jual-beli jabatan dalam birokrasi.
Keadaan begini membuat kekuasaan menjadi lahan subur
oligarki; (2) Kapitalis swasta. Bentuknya memang lebih
mandiri dari ikatan dengan birokrasi. Inilah kenapa setan uang
yang ini lebih kreatif, sehingga dapat ditemui pada aneka
bidang: entertainment (artis dan ustad), bisnis perbankan, dan
industri manufaktur. Ketiganya menjadi pemicu tumbuhnya
budaya konsumsi dalam kehidupan masyarakat; (3) Kapitalis-
imperialis (modal asing). Golongan yang paling sudah lama
menghegemoni negeri ini. Mereka membuat pemerintah tidak
peduli terhadap nasib rakyat. Kebijakan-kebijakan yang
dihasilkannya hanya untuk memenuhi kebutuhan lembaga
perdagangan internasional, yang telah mengalirkan modal
kepada negara. Utang lama-kelamaan beratambah banyak dan
negara menjadi peakitan. Makanya segala sektor kehidupan
rakyat gampang sekali dikomersialisasi, seperti yang terjadi
pada bidang kesehatan dan pendidikan. Sementara yang
paling para dijarah adalah sumber daya alam: minyak, hutan,
tembaga, gas, bauksit, batubara, dan lain-lain.

Hanya perkembangan kapitalisme yang semakin merasuk kuat


ke tiap-tiap lini kehidupan itu tak pernah mampu disorot HMI.
Tidak heran kalau organisasi ini kemudian mudah sekali
termakan doxa penguasa. Doxa yang dimaksudkan adalah
bagaimana pandangan pemerintah yang menganggap
komunisme sebagai ajaran berbahaya langsung diamini begitu
saja. Apalagi dalam sejarah Indonesia modern pertikaian
antara HMI dengan PKI dijadikan penguat kebencian terhadap
segala yang berbau komunis. Mahasiswa yang semula tidak
mengenal komunisme, tapi dalam latihan kader I (sejarah

1143
HMI) malah ditanami keyakinan untuk membencinya lewat
sajian materi yang parsial dan penuh stigma. Pengajaran
beginilah yang melanggengkan sikap ketertutupan dan
kesempitan berpikir calon anggota. Bahkan jika mereka sudah
resmi menjadi anggotanya dapat dipastikan bahwa kebencian
akan paham komunis terus bertambah, karena dalam praktek
berorganisasi yang mengambil bentuk sosionomi bakal terus
mereproduksi keterikatan dengan kelompoknya. Demikian
membuat seseorang sullit berpikir, merasa dan berkehendak
sebagai manusia merdeka. Soalnya lingkungan perkaderan
mengharuskan anggapan mayoritas terhadap sesatnya
marxisme-leninisme ditelan begitu saja. Padahal melalui
pandangan marxis-leninis sangat berguna sebagai landasan
membuat program kerja organisasi yang menyeluruh, teratur
dan terencana guna memerangi kapitalisme.

Walhasil: akibat keringnya pisau teoritis untuk membedah


realitas kehidupan konkret, maka gerakan HMI semakin
menumpul. Keberadaan Lapmi, LDMI, LEMI, LSBMI,
LTMI, LKMI, Lapenmi, Leppami, LTMI, dan Kohati—yang
dapat dijadikan oleh PB atau Cabang dalam melakukan
pelbagai praksis pembelaan terhadap kepentingan kaum
miskin dan tertindas—tak sanggup dioptimalkan sama sekali.
Lembaga-lembaga kekaryaan dan semi otonom seperti mereka
seharusnya menjadi jembatan penghubung mahasiswa—
sebagai kelas menegah perkotaan—dengan masyarakat kelas
menengah ke bawah. Makanya BPL diharapkan menanamkan
kesadaran keberislaman yang materialis dalam setiap latihan
kader, terutama basic training. Karena keberislaman yang
materialis itu mempertemukan logika dunia dengan logika
spiritual. Inilah yang nantinya akan melahirkan kader-kader

1144
ideolog. Mereka adalah kader progresif yang tidak sekedar
memposisikan ajaran Tuhan sebagai sesuatu yang ideal
semata, melainkan berusaha mewujudkan seruan wahyu
dalam kehidupan dunia. Pengimplementasian kalam ilahi ke
alam nyata guna mewujudkan kehidupan syurgawi di dunia
tentu tmembutuhkan alat. Alatnya ialah komunisme, sebuah
ilmu yang akan membuat kita melihat dunia secara
menyeluruh untuk kemudian mengubahnya lewat kerja-kerja
gerakan. Melalui penyilangan antara Islam dengan komunis,
maka resistensi atas penindasan manusia oleh kapitalisme
juga pasti bisa digencarkan.

Perlawanan itu dilakukan agar kita tidak semakin terlena


hingga terjerambab ke dalam kubangan peradaban yang
fasenya menurun ini. Lagi-lagi berdasarkan penelitian Charles
Fourier: kondisi tatanan yang dekaden—dalam perjalanan
masyarakat dan sejarah—sebenarnya periodenya pendek saja.
Bisa diambil sampel dari kehidupan leluhur primitif umat
manusia. Contohnya ada pada zamannya para nabi. Dalam
sejarahnya utusan-utusan Tuhan itu muncul bukan tanpa
sebab, melainkan karena kondisi kehidupan yang penuh
dengan kemerosotan. Nabi-nabi ditugaskan untuk
mengembalikan jalannya peradaban pada jalur yang benar.
Keimanan kepada wahyu telah mendorong mereka berani
berjuang menegakan keadilan dengan menumpas kebatilan.
Iman telah membuat tidak tinggal diam melihat ketidakadilan,
penindasan dan segala keburukan. Ibrahim menempuh
langkah revolusioner, yakni menghancurkan berhala-berhala.
Dia banyak belajar dari realitas hingga kenyaan-kenyataan
yang dihadapinya bukan malah membuatnya nyaman,

1145
melainkan mendorongnya mengambil sikap untuk
mengubahnya.

Dengan berbekal iman dia menjebol struktur kesadaran palsu


umat penyembah patung untuk diseret diletakan dalam meja
kesadaran ketauhidan. Inilah yang menyulut kemarahan para
aparat status quo. Pendeta murka padanya, kemudian
dilaporkan pada Raja Namrud. Pemegang kekuasaan lalu
menghukum Ibrahim dengan memasukkannya ke dalam
kobaran api, namun atas kuasa Tuhan ia bisa terselamatkan
dari hukuman. Jalan juang seorang Ibrahim kelak diikuti pula
oleh Syu’aib: membawa misi kenabian untuk melawan
kapitalisme pada zamannya. Kota Madyan yang ditempatinya,
dilihatnya penuh perilaku eksploitatif: takaran dan timbangan
dalam berdagang penuh dengan kecurangan dan keculasan.
Syu’aib lantas mengambil sikap sebagaimana aktivis:
membangun gerakan yang awalannya adalah agitasi dan
propanda guna menyadarkan masyarakat. Ini membuat para
saudagar-saudagar dan elit-elit Madyan yang menjadi budak
uang mengonfrontir Syu’aib. Namun Tuhan membantu nabi-
Nya melalui penghancuran peradaban Madyan untuk
digantikan dengan perdaban lainnya. Perjuangan Syu’aib
dapat pula ditemui dalam kisah Dawud melawan zalimnya
kekuasaan Jalut. Lakon kenabian Musa dan Harun melawan
Fir’aun, Isa menentang para pendeta kapitalis. Kemudan
paling fenomenal adalah perjuangan Muhammad yang
berhasil mengganti peradaban jahiliah dengan peradaban
Islam. Muhammad secara revolusioner berhasil
menumbangkan kekuasaan para saudagar kaya yang
memperoleh keuntungan dari perdagangan dan wisata berhala
dalam kehidupan masyarakat Arab jahiliah.

1146
Nabi dan rasul merupakan aktivis di zamannya. Mereka itu
sesungguhnya menempuh jalan pembebasan yang kemudian
hari diproklamirkan Marx sebagai bentuk perjuangan kelas.
Melalui konfrontasi yang tiada henti dan berbekal doktrin-
doktrin pencerahan dari wahyu yang diajarkan melalui
dakwah-dakwahnya, kesadaran perlawanan kaum mustad’afin
dan duafa dikuatkan. Kelas penindas yang merupakan kaum
mustakbirin kemudian dapat dirobohkan oleh massa miskin
dan tertindas. Yang demikian—dikatakan Ali Syari’ati—
terjadi karena Islam diangkat sebagai ideologi: ‘ketika para
utasan Tuhan ini muncul dari kalangan suku-suku tertentu,
ketika mereka memimpin gerakan-gerakan historis untuk
membangkitkan dan mencerahkan kemanusiaan, dan mereka
memproklamasikan semboyan mereka secara jelas dalam
mendukung massa manusia—pada saat itulah para pengikut
muncul di sekitar mereka, dan bergabung bersama mereka
atas kehendak bebasnya sendiri. Itulah saat kemunculan
agama sebagai ideologi’. Ideologi bagi Syari’ati adalah
pembawaan tertinggi yang paling bernilai bagi manusia. Tidak
dalam bentuk ilmu, teknologi, seni, cita rasa keagamaan
maupun sosial-politis, tetapi merupakan ‘kesadaran diri
manusia’:

Dalam kerangka inilah, kedatangan Nabi Muhammad


Saw menandai titik balik sejarah para budak. Sepanjang
hidup, mereka (para budak) selalu diyakini lidah-lidah
agama, ilmu pengetahuan, filsafat, dan cara hidup
sehari-hari melalui sastra dan kesenian, yang semuanya
sepakat dan kompak menyuarakan bahwa keberadaan
mereka telah ‘ditakdirkan’ untuk mengabdi kepada
tuan-tuannya. Situasi demikianlah yang membuat
mereka pupus, tenggelam ke dalam keyakinan yang

1147
fatal; betapa dirinya hidup semata-mata untuk
menanggung derita, memikul beban berat, menahan
lapar demi memuaskan kesenangan dan kenikmatan
yang dirasakan orang lain.… Semua nilai
dijungkirbalikkan ketika Nabi Saw sendiri memimpin
dimulainya ikhtiar menghancurkan segenap tatanan
jahiliah dan pola kecongkakan kaum ningrat. Beliau
Saw memerintahkan para bangsawan untuk
memendekkan jubah-jubah yang biasa mereka
kenankan dan memotong janggut-janggut panjang
lambang tingkat kepriyayian mereka. Beliau Saw
memerintahkan mereka untuk mengubah gaya berjalan
mereka yang penuh kesombongan, menunggang kuda
pun diharuskan bersedia berboncengan berdua. Bahkan,
untuk itu, beliau Saw tak segan-segan menghancurkan
nilai-nilai aristokrat seraya menanamkan nilai-nilai
luhur (monoteisme).694

Para utusan Tuhan yang telah menjadikan Islam sebagai


ideologi memiliki kesadaran diri sebagai manusia yang
berpikir, merasa, dan berkehendak dengan merdeka. Bahkan
kesadaran inilah yang meniscayakannya bergerak dan
memimpin orang-orang miskin tertindas untuk mencapai
keemaslahatan hidup bersama. Perjuangan seperti itulah yang
telah dijadikan tauladan oleh Kiai Misbach. Ajaran
monoteisme diaplikasikan olehnya untuk membebaskan
manusia dari penjajahan pemerintah kolonial. Namun untuk
mengaktifkan kesadaran ideologis Islam itu—dalam
mengangkat martabat rakyat dan bangsanya—Misbach
memilih menggunakan ilmu komunis. Hikmah yang

694
Ali Syari’ati, (2011), Do’a Tangisan dan Perlawanan, Refleksi
Sosialisme Religius: Doa Ahlulbait dan Asyura di Karbala, Yogyakarta:
Rausyanfikr Institute, Hlm. 191-193.

1148
didapatkannya dari ajaran Karl Marx mendorongnya
melakukan perjuangan kelas sebagaimana yang diperbuat
nabi-nabi. Hidupnya dihabiskan hanya untuk berjuan
mengangkat derajat buruh dan tani yang dilucuti
kehormatannya. Pembelaan terhadap kaum miskin dan
tertindas dilakukan melalui pengorganisiran rasa tidak puas
dan gerakan perlawanan terhadap kelas penguasa. Maka sepak
terjang Misbach masuk dalam kategori tindakan pembebasan.
Perbuatan membebaskan manusia dari belenggu penindasan
ini merupakan misi kenabian. Hanya tanpa membawa atribut
nabi dan rasul pun; sebagai manusia biasa kita berpotensi
mengemban misi kenabian. Muhammad Al Fayyadl
menjelaskan:

…mukjizat adalah kemampuan-kemampuan


supranatural yang diberikan Allah SWT untuk
membuktikan kebenaran misi nabi dan rasul. Tetapi
sesungguhnya mukjizat utama yang dimiliki mereka
justru dalam statusnya sebagai manusia-manusia biasa,
sosok-sosok historis yang sama berpeluh dan
berkeringat dengan para buruh, para petani dan orang-
orang jelata. Mereka berada di pasar, di jalanan,
dikejar-kejar aparat dan tentara, hidup dalam
kemiskinan dan kepapaan, diasingkan dan dipenjara,
difitnah dan diintimidasi, di-bully dan didiskriminasi,
merasakan kecemasan dan ketakutan sehingga butuh
teman untuk saling menguatkan—hal-hal yang hanya
bisa dibayangkan dari manusia biasa.

Dengan kata lain: semua orang yang merasakan penindasan,


perbudakan, pemerasan dan segala macam ketidakadilan—
merupakan nabi. Hanya saja tidak semuanya mampu
melaksanakan misi pembebasan sebagaimana rasul atau nabi.

1149
Tetapi Misbach bisa menauladani keluhuran para utusan
Tuhan itu dengan beralatkan komunis. Sadar akan perjuangan
kelas yang sedang ditembuhnya maka dia tak menyerah meski
ditekan, dipukul dan hajar kanan-kiri oleh kekuasaan
kolonialis-kapitalis. Sekarang, jika HMI mau membangun
gerakan anti-kapitalis maka sudah seharusnya mempelajari
dan mengajarkan ilmu-ilmu komunis. Memang misi kenabian
jarang orang berani dan sanggup melaksanakannya, tetapi
dengan menggunakan materialisme dialektik dan dialektika
historis—yang disandingkan dengan ajaran pembebasan
wahyu—maka perjuangan kelas para nabi dan rasul dapat
dihidupkan kembali guna membebaskan umat manusia dari
penindasan kapitalisme. Bahkan melalui pemakaian ilmu
komunis itulah agama tidak bakal lagi ditampilkan sebagai
rezim kebenaran yang mendukung status quo. Mungkin dalam
kondisi inilah HMI tak akan cuma diam waktu ada
pelanggaran HAM, penggusuran lahan petani, dan PHK para
buruh. Organisasi pasti juga tidak bakal ketinggalan dalam
mencipta dan menyalurkan ide serta gagasan tentang
perubahan sosial.

Dengan demikian gerakan organisasi yang selama ini terkesan


bermahzab kekuasaan dapat diubah. Kita tidak akan melihat
lagi keterlibatan sembunyi-sembunyi para kader atau
pengurus-pengurus HMI dalam memperjuangkan senior-
seniornya pada Pemilu. Karena program-program kerja
himpunan bukan lagi dicemari oleh kepentingan oportunis
tapi semangat revolusioner. Mungkin dalam keadaan inilah
banyak kader dapat diselamatkan dari sifat pragmatis dan
ketatan buta pada senior yang memupuk mental budak.
Kader-kader tidak lagi membebek pada orang tertentu,

1150
melainkan hanya taat dan patuh kepada garis perjuangan dan
keputusan-keputusan organisasional yang demokratis.
Sekarang, jika HMI ingin menjadi organisasi yang memiliki
keberpihakan pada rakyakt miskin dan tertindas; tentu spirit
keislaman kader-kadernya mesti diarahkan ke jalan yang
transformatif. Makanya keberislaman yang materialis menjadi
syarat dalam menempah kader progresif. Melaluinya kita
tidak lagi harus takut, membatasi diri, dan bermusuhan
dengan segala yang berbau komunis. Tetapi justru
diperkenalkan dengan ajaran revolusioner dari teori-teori
marxis-leninis. Singkatnya: gerakan organisasi diberikan
banyak pelajaran analisis tentang struktur sosial.

Mungkin dalam keadaan itulah kader-kader himpunan mampu


menanggalkan gerakan yang selama ini bermahzab
kekuasaan—pandangan yang meletakkan kekuasaan dalam
bingkai normatif, modernis dan bahkan konservatif.
Perubahan yang dianggap selalu datang dari atas akan
membuat pranata kenegaraan menjadi orientasi perjuangan,
sehingga membuat orang-orang lebih banyak mengejar
jabatan pemerintahan ketimbang melakukan gerakan-gerakan
yang transformatif. Pandangan yang demikian itu sangatlah
berbahaya, karena menempatkan pemerintah sebagai sesuatu
yang suci dan memiliki kekuatan besar dalam menata hidup
rakyat. Ketika pemerintah sudah dijadikan sebagai entitas
yang super, maka secara otomatis pranata-pranata kenegaraan
dianggap mampu menciptakan keadaan atau kondisi apa saja
yang dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan
kesejahteraan. Alam berpikir macam ini disebut Tan Malaka
sebagai ‘logika mistika’. Sebuah pola pikir yang didasarkan

1151
pada sim salabim atau ‘ptah! (sabda!). Tan menuliskannya
secara ekspresif tapi menyindir tentang itu:

…demikianlah Firmannya Maha Dewa Ra: Bersabda:


maka timbullah bumi dan langit. Bersabda: maka
timbullah bintang dan udara. Bersabda: maka timbullah
sungai Nil dan daratan. Bersabda: maka timbullah tanah
subur dan gurun.695

Logika mistika menempatkan segenap fenomena alam,


sejarah dan masyarakat di bawah kendali kekuatan yang maha
ghaib. Bahkan kemampuan berpikir, merasa, dan berkehendak
dari manusia disubordinasikan kepada kekuatan mistis. Dalam
kehidupan masyarakat berkelas, kekuatan itu dapat
mengambil bentuk otoritas. Lebih-lebih yang berkait dengan
kekuasaan birokratis. Tenggelam dalam logika inilah
mengapa terbentuk anggapan bahwa setiap perubahan hanya
mampu diupayakan dari atas: negara, pemerintah, rezim dan
kebijakan. Menelan mentah-mentah padangan ini sama halnya
menganggap pranata-pranata kenegaraan maha-kuasa: bisa
memenuhi segala kebutuhan warga. Padahal pandangan
demikian justru mendorong maasyarakat bersifat fatalis pada
kelas penguasa. Sekarang fenomena fatalisme terhadap
kekuasan itu berkembang dalam himpunan begitu rupa. Inilah
kenapa banyak anggota dan pengurus HMI yang memandang
lembaga negara sebagai barang ajaib, langka, dan mewah.
Bagi mereka semua perubahan harus melalui otoritas
saja.Sementara kita tahu: untuk melakukan perubahan tak
serta-merta melalui instansi-instansi pemerintahan, karena

695
Tan Malaka, (2010), Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika),
Jakarta: PT Suaka Buku, Hlm. 38.

1152
pemerintah bukanlah lembaga supra-masyarakat tapi bagian
mata rantai yang fungsinya sangat luas. Makanya perubahan
itu tidak selamanya selalu datang dari atas!

Memang tidak dipakainya materialisme-dialektika-historis


dalam memahami kehidupan membuat pandangan kader-
kader himpunan tertinggal jauh. Jika saja mereka mau
mengenakan keberislaman yang materialis, maka bukan tak
mungkin gerakan HMI bisa lebih tajam mengurai realitas
kehidupan dunia. Kenyataan-kenyataan berupa kekerasan,
penindasan, kemiskinan dan pelbagai bentuk ketidakadilan
kemudian tidak hanya dilihat melainkan juga ditentang.
Keterlibatan HMI sebagai organisasi gerakan selanjutnya
dapat dipastikan menyentuh kuasa sebagaimana yang
dikatakan Foucault: ‘kuasa yang tidak dimiliki, tetapi
dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup, di mana ada banyak
posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan
mengalami pergeseran’. Dalam konteks inilah pengetahuan
berada sepenuhnya dalam relasi kuasa. Ini berdampak
lahirnya pandangan bahwa semua pengetahuan bersifat
politis. Makanya pemikiran tentang independensi himpunan
dapat dikatakan menjadi sesuatu yang tidak netral.
Independensi (etis) mengharuskan adanya gerakan
keberpihakan. Pemihakan itulah yang selama ini HMI kenal
dengan memihak kepada kebenaran (Allah SWT). Tetapi jika
menggunakan pemikiran yang materialis, keberpihakan itu
seharusnya dibuktikan dengan melayani kepentingan kaum
miskin dan tertindas.

Qur’an menyatakannya begini, ‘Berikanlah pinjaman yang


baik kepada Tuhan’. Tuhan bagi Ali Syari’ati tak pernah

1153
membutuhkan apa-apa dari hamba-Nya. Oleh karenanya—
dalam pemikiran Syari’ati—yang membutuhkan pinjaman,
bantuan, ataupun pertolongan ialah kaum mustad’afin dan
dhuafa. Itulah mengapa pembelaan-pembelaan terhadap
kepentingan mereka menjadi yang utama dan pertama. Dalam
menjadikan Islam sebagai ideologi perlawanan, maka prinsip
sosialisme Islam menuntut untuk segera diaktualisasikan:
pertama, melawan segala bentuk penindasan dan
kesewenang-wenangan; kedua, menentang monopoli ekonomi
dan kapitalisme; ketiga, Islam membela kaum lemah dan
tertindas. dan keempat, menegakkan keadilan dan prinsip
pemerataan. Untuk mengusahakan terwujudnya cita-cita
pembebasan ini adalah menjauhkan diri dari jalan perjuangan
yang menganggap segala perubahan datangnya dari
pemerintah, tetapi membangun gerakan populis. Menurut
Hasan Hanafi, keseluruhan warisan kesejarahan Islam
menunjuk kepada keharusan pencegahan hubungan langsung
antara Islam dengan kekuasaan.696

Baginya Islam seharusnya berfungsi orientatif bagi ideologi


populistik yang ada, terutama sosialisme. Kuatnya keyakinan
ini telah membawa Hasan Hanafi mencetuskan gagasan Kiri
Islam. Sebuah pemikiran yang manggunakan analisis kelas
dengan bertumpu pada tradisi marxisme. Kiri Islam ialah
terobosan yang dirancang sedemikian rupa. Terutama dalam
gerakan sosial yang membawakan gagasan pembebasan
dengan menghancurkan konstruk lama yang serba reaksioner
dari feodalime dan kapitalisme. Itulah yang membuat Hanafi

696
Listiyono, dkk, (2015), Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hlm. 272.

1154
menjadi pemikir Islam dengan keyakinan bahwa tradisi agama
mempunyai pijakan ideologis yang kuat untuk menggerakan
perubahan sosial. Dunia Islam baginya jika tidak ingin
tersobek di antara tradisionalisme dan sekularisme—antara
konservatifme dan progresivisme, dan antara
fundamentalisme dan westernisme—maka tidak ada jalan lain
yang dapat dilakukan, kecuali memakai landasan kekayaan
tradisi-tradisi Islam lama yang dimaknai secara dinamis dan
kreatif. Tradisi-tradisi Islam lama itulah yang tercermin dalam
perjuangan-perjuangan pembebasan para nabi yang digerakan
oleh semangat ketauhidan. Kemudian untuk menariknya
kembali sekarang diperlukan elaborasi tradisi lama dengan
abstraksi atas basis material massa dan kebudayaan dari
ideologi-ideologi modern yang menjadi pertautan menarik di
antara bangunan epistemologi dalam sebuah paradigma.

Hasan Hanafi menganggap bahwa tradisi lama lebih efektif


memperoleh dukungan dan menggerakan rakyat. Tradisi ini
soalnya berakar dan melembaga sebagai sebuah tradisi dalam
masyarakat, sedangkan abstraksi ideologi modern dapat
memberikan spirit yang mengarahkan nuansa progresivitas
gerakan. Itulah yang dijelaskan Hasan Hanafi melalui Dari
Akidah ke Revolusi. Bahwa akidah merupakan tradisi,
sedangkan revolusi merupakan modernisasi. Modernisasi
yang dimaksud bukanlah seperti yang tengah bergulir di
Indonesia untuk mendukung kapitalisme-imperialisme
ataupun neoliberalisme, melainkan modernisasi pemikiran
yang menggunakan pisau analisis marxisme dalam melawan
penidasan, penghisapan dan kemiskinan. Maka akidah
baginya merupakan keimanan dan jiwa rakyat; sementara
revolusi sebagai tuntutan zaman modern. Keduanya

1155
mengukuhkan keyakinannya untuk senantiasa membangunkan
kaum tertindas, terhisap dan miskin dari ilusi-ilusi sistem dan
struktur yang rusak. Sikap revolusioner Hanafi terukir lewat
risalah penyadarannya berikut:

Dalam pendahuluan [ilmu kalam] yang sarat dengan


nilai-nilai keimanan itu, hubungan manusia dengan
Tuhan tidak terbatas pada tataran pengetahuan teoritis,
melainkan juga pada tataran amaliah-praktis. Manusia
memuji Tuhan atas segala nikmat yang telah diberikan
Tuhan kepadanya, dan bersyukur kepada-Nya atas
segala karunia yang telah dilimpahkan kepadanya.
Semua ini menjadikan hubungan manusia dengan
Tuhan menjadi satu arah: dari Tuhan sang Pemberi,
kepada manusia yang selalu diberi; sehingga posisi
manusia hanyalah sebuah bejana untuk menerima
segala nikmat, menampung segala pemberian, dan
menampung segala kemurahan dan kebaikan. Manusia
dengan tabiatnya yang mulia dan utama seharusnya
dibiarkan berkembang, menjauhi segala anugerah dan
pemberian, karena menolak dirinya menolak yang
selalu diberi (tangan di bawah). Sebenarnya banyak
krisis manusia di zaman modern ini disebabkan oleh
mentalitas manusianya yang hanya menanti kebaikan
dan kemurahan, merindukan hadiah dan pemberian,
serta mendekati penguasa karena mengharapkan
pemberian.… Tersingkirnya peran rakyat dewasa ini
karena gejala umum perubahan sosial yang terjadi telah
melahirkan manusia yang hanya berharap kemurahan
dan kebaikan semata…. Ia harus diubah dengan belajar
dan mengaca kepada pengalaman, serta segera
melakukan pekerjaan itu dengan kiat-kiat yang
berlawanan dengan pekerjaan yang keliru itu. Selain itu
dengan memperdalam kerangka teori dan pengalaman
praktis yang tepat. Tidak ada yang melindungi anak

1156
manusia kecuali karyanya sendiri. Dan tidak ada
kesuksesan kecuali dengan bekerja sama dengan rakyat
banyak yang diperkuat dinamika sejarah. Sebenarnya
keberhasilan untuk menghimpun kekuatan tidak akan
pernah datang dengan mendoakan orang-orang yang
kuat. Juga, tidak dengan memohon pertolongan kepada
pemberi kekuatan. (Tetapi) kekuatan diraih dengan
persiapan dan kerja.697

Pemikiran Kiri Islam tampak sealur dengan Marxisme, karena


sederet kalimat di atas sesungguhnya menjadi kritikan kepada
umat-umat beragama yang tidak pernah mengoptimalkan daya
pikir, rasa dan kehendaknya. Mereka selalu berharap kepada
pemberian Tuhan, padahal tanpa meminta belas kasih-Nya
pun manusia telah diberikan anugerah kehendak bebas oleh-
Nya. Tetapi akibatnya ketidak mampuan mempergunakan
daya kekuatan yang telah diberikan Tuhan, maka krisis
kemanusiaan di zaman modern ialah lahirnya orang-orang
yang bermental budak. Orang-orang beragama lebih suka
meminta belas kasih ketimbang melakukan kerja. Keadaan
yang demikian menyebabkan agama menjadi candu bagi
masyarakat. Padahal agama bagi Hanafi ialah revolusi itu
sendiri. Yang membuat sikap hidup manusia menjadi
revolusioner: berupaya menyatakan dirinya melalui usaha-
usaha mengubah kehidupannya. Tetapi hanya akan terwujud
melalui persiapan dan kerja untuk menghasilkan karya-karya
kemanusiaannya. Itulah mengapa manusia seharusnya
bergerak di muka bumi tanpa hartus terlebih dahulu
menunggu bantuan-bantuan dari otoritas di luar dirinya.
Pandangan ini jugalah yang dipelajari Marx dari Hegel bahwa
697
Hasan Hanafi (Prolog), (2003), Dari Akidah ke Revolusi, Jakarta:
Paramadina.

1157
manusia memahami dirinya lewat bekerja. Karena dalam
pekerjaannya manusia menyatakan diri tidak hanya
berkesadaran secara intelektual, melainkan berkarya secara
nyata sehingga ia memandang dirinya sendiri. Pandangan ini
sejalan dengan perspektif fenomenologi Hegelian. Marx
menjelaskan, sudut pandang Hegel sebagai pandangan
ekonomi-politik modern. Dia memahami pekerjaan sebagai
esensi dari manusia yang sedang menyatakan diri. Tetapi yang
dilihatnya hanyalah segi positif dari pekerjaan, bukan sisi
negatifnya. Oleh karena itu, pekerjaan adalah gerak manusia
untuk menjadi dirinya sendiri dengan menempatkan dirinya di
luar dirinya sendiri, sebagai manusia yang memproyeksikan
dirinya sendiri di luar dirinya.698

Itulah mengapa Marx menganggap bahwa kerja itu bersifat


antropologis, karena dengan bekerja manusia dapat
mengungkapkan dirinya secara obyektif. Kemudian dengan
proses ini manusia mengkonkretisasi dirinya, sehingga tidak
menjadi makhluk yang abstrak. Maka kerja seharusnya dapat
membuat manusia menemukan kebahagiaannya dan dengan
bekerja manusia menjadi bagian yang hidup dalam siklus
alam semesta. Namun peradaban kapitalis telah membawa
efek buruk terhadap kesadaran manusia. Marx
mengungkapkan bahwa kapitalisme menjadi bangunan sosial
yang memanusiakan benda dan membendakan/merifikasikan
manusia, dan menjadikan sarana sebagai tujuan, sementara
tujuan malah dijadikan saran. Artinya manusia tak lebih
berharga daripada hasil kerjanya. Keadaan ini membuat

698
Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens (ed.), (1978), Sekitar Manusia:
Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia, Jakarta: Gramedia. Hlm. 83.

1158
manusia memberhalakan hasil pekerjaannya sendiri. Inilah
yang sedang terjadi dalam kehidupan di negeri ini: budaya
konsumtif menjadi perwujudan kongkret dari alam kesadaran
yang memberhalakan benda. Bahkan kondisi begini juga
mengguyur tubuh himpunan. Itulah mengapa Kongres HMI
yang seharusnya menjadi ajang melempar gagasan dan
mengeluarkan kritik terhadap proker-proker demi
dilakukannya perbaikan malah terpelintir ke sebatas ganti
pemimpin.

Dalam kondisi itulah Kongres menjadi wahana vulgar bagi


perputaran uang dan penghasil nilai tukar. Demikian
tercermin bagaimana lancarnya jual-beli kepala peserta
Kongres. Mereka biasanya terlena oleh fasilitas mewah dan
uang-uang konsumsi yang tersedia secara beringas. Fenomena
ini persis yang dikatakan Georg Lukacs: ‘reifikasi
(membendakan) mensyaratkan bahwa sebuah masyarakat
harus terbiasa untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya
dalam kerangka pertukaran komoditi’. Pemikir marxis
Postmodern seperti Bouerdieu bahkan melihat fenomena
kapitalisasi itu bukan sekedar menyentuh barang, melainkan
juga memancang dirinya di atas pelbaga modal: ekonomi,
budaya, sosial, dan simbolik. Pengejaran terhadap keempat
modal inilah yang membuat HMI mengambil posisi semacam
pasar dan kader menjelma serupa komoditi. Makanya meledak
pelbagai kejanggalan yang begitu rupa: ongkos Kongres
menghabiskan miliaran uang rakyat yang kemudian
digunakan untuk ber-many politic; latihan Kader juga tak
jarang bisa diikuti melalui komunikasi senior; seminar dan
diskusi-diskusi publik yang mengundang pejabat atau politisi
gedean guna mendapatkan jaringan; dan banyak program

1159
pemerintah yang didukung dengan tujuan mencari kas
organisasi, semisal—soialisasi-sosialisasi, ataupun
menyediakan kader untuk terlibat dalam lembaga-lembaga
survey pada saat-saat menjelang Pemilu. Tindakan ini
mengakibatkan buntunya semangat gerakan membela hak-hak
kaum-kaum tertindas, tapi lebih bangga mendukung
pemerintah. Walhasil, kader-kadernya kemudian menjelma
jadi benda yang mudah diarahkan ke sana-ke mari sesuai
kepentingan kelas penguasa.

HMI sudah saatnya untuk sadar bahwa dirinya berada di


bawah bayang-bayang kekuatan modal. Hegemoni
kapitalisme telah membuat kader-kadernya menjelma seiras
komoditas. Dalam Das Kapital Jilid I, Karl Marx menjelaskan
watak ganda dari komoditi—sebagai nilai guna dan nilai
tukar. Organisasi yang tak membentengi diri dengan pisau
analisis marxis akan cenderung melihat komoditi hanya
sebagai nilai guna, objek yang konkret dan berguna untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Namun perlu diingat!
Masyarakat kapitalis itu bereksperimen pada nilai guna. Marx
menjelaskan bahwa mereka mengubah nilai itu menjadi nilai
tukar: barang-barang yang diproduksi bukan langsung
dikonsumsi, melainkan dijual. Tiap komoditi kemudian
memiliki dua wajah: nilai guna yang akrab dan familiar dan
nilai tukar yang tersembunyi di balik kedok. Wajah yang
pertama terhubung langsung dengan ciri-ciri fisik dari
komoditi tertentu sebagaimana ketika mengonsumsi suara
peserta utusan penuh, minum kopi, makan di KFC, tidur di
hotel, menyewa mobil sedan untuk dikendarai, dan lain-lain.
Namun yang kedua—nilai tukar—tidak dapat nampak pada
suara, makan, minum, tidur dan jalan-jalan seperti barusan.

1160
Soalnya nilai ini tidak memiliki keberadaan material apapun.
Walau demikian ia adalah hakikat dari komoditi di bawah
kapitalisme. Ekspresi puncak dari nilai tukar itu ialah uang,
yang merupakan alat tukar universal.

Bombardil uang itulah yang mengotori kesucian Kongres


HMI dan memelorotkan kehormatan para kader. Karena
watak ganda dari masyarakat kapitalis bukan hanya terjadi
pada konflik antara pekerja upahan dengan kapital, melainkan
juga terjadi pada kerja-kerja tulus organisasi dengan kapital.
Kaum buruh mengira menjual tenaganya pada majikan, tapi
sebenarnya mereka menjualkan kemampuan kerjanya yang
lalu digunakan sesuai kehendak majikannya. Nilai lebih yang
kemudian dihasilkan adalah hasil kerja kelas pekerja tapi
kelas borjuis tidak dibayarkan pada mereka. Karena itu
merupakan sumber akumulasi kapital dari para borjuis.
Fenomena ini jika kita andaikan panitia lokal, panitia
nasional, dan peserta Kongres sebagai buruh; maka apa yang
mereka alami dalam pesta demokrasi itu persis dengan nasib
pekerja di perusahaan kapitalis. Buruh-buruh pabrik yang
menghasilkan nilai lebih dari kerjanya dihisap oleh majikan,
sementara anak-anak muda yang bekerja dalam Kongres juga
menciptakan nilai tukar yang kemudian mengisi kantong para
mafia. Inilah letak persamaannya!

Dahulu Adam Smith dan David Ricardo hanya menemukan


teori nilai lebih yang dihasilkan dalam kerja. Tetapi
selanjutnya Marx justru melangkah jauh dengan
merevolusionerkan teori itu. Dia menemukan watak sejati dari
nilai lebih yang terbungkus di balik kabut, yaitu nilai tukar.
Nilai inilah yang membuat kader-kader HMI bukan sekedar

1161
menyalurkan tenaganya untuk mendukung jalannya Kongres,
melainkan juga menyodorkan kemampuan kerjanya untuk
dipergunakan sesuai kehendak kelas penguasa: mafia
Kongres. Inilah yang menyebabkan hasil kerja kader-kader
diperuntukan bukan lagi kepada dirinya sendiri, tapi diberikan
pada orang-orang yang menguasai kepala pemegang suara
penuh. Para mafia tak pernah berpikiran bahwa suara itu tak
mungkin terwujud tanpa limpahan daya dari para panitia dan
peserta Kongres. Itulah mengapa mafia-mafia tak segan-segan
menjadikan pesta demokrasi himpunan sebagai ajang
memutar uang. Makanya uang yang mengalir dalam Kongres
dapat diasosiasikan sebagai kapital yang masuk kantong
mafia.

Itulah mengapa proses Kongres selain memiliki nilai pakai


yang berbentuk material juga mempunyai nilai tukar yang
sama sekali tak berwujud: eksploitasi kemampuan kerja
manusia. Mereka ditelanjangi dan dipermainkan habis-habisan
oleh proses sirkulasi modal. Para anak-anak muda lugu yang
jadi panitia tahunya hanya kerja tanpa pamrih karena mereka
ingin berproses dalam himpunan sebagaimana bunyi himne
HMI: berproses ‘tulus dan ikhlas’. Sementara peserta utusan
penuh tak punya daya untuk menolak hegemoni modal pada
suara-suaranya, karena dirinya bukan lagi berdiri manusia
yang berkehendak bebas tapi hanyalah benda yang
dikendalikan mafia. Akhirnya tenaga dan kemampuan kader
yang diperuntukan dalam Kongres justru menjadi kerja-kerja
yang berujung pada terakumulasinya laba segelintir orang.
Kader-kader tak memiliki kekuatan untuk menentang para
penghisapnya. Makanya Kongres secara fenomenal jadi lahan

1162
garapan para borjuis. Dalam proses eksploitasi ini, Marx
menjelaskan begini:

Jelas bahwa komoditi sendiri tidak dapat pergi ke pasar


dan sendiri melakukan pertukaran-pertukaran. Oleh
karenanya, harus minta pertolongan para wali mereka,
yang adalah juga para pemilik mereka. Komoditi adalah
barang-barang dan karena juga mereka tak berdaya
terhadap manusia…. Agar supaya barang-barang ini
dapat berhubungan satu sama lain sebagai komoditi,
para wali mereka mesti menempatkan diri mereka
dalam hubungan satu sama lain sebagai komoditi….
Bukan uang yang menjadikan komoditi dapat
disepadankan tapi sebaliknya. Karena semua komoditi
sebagai nilai-nilai, adalah kerja manusia yang
dimaterialisasikan/diwujudkan, dan oleh karena itu
dapat diubah menjadi ukuran bersama/umum nilai-nilai
mereka, yaitu, menjadi uang. Uang sebagai ukuran
bersama nilai adalah keharusan bentuk
penampilan/fenomenal dari ukuran nilai yang tetap ada
dalam komoditi, yaitu waktu-kerja. 699

Carik-carik tulisan Marx di atas, selain menunjukan proses


pertukaran nilai dalam masyarakat kapitalis; juga ikut
menegaskan bahwa penderitaan yang dibawa kapitalisme
sesungguhnya adalah penindasan eksistensi manusia. Dari
pisau marxisme kita dapat melihat fenomena kapitalisasi
dalam tubuh himpunan, karena materialisme yang dialektis
dan historis memperhitungkan sepenuhnya fenomena-
fenomena seperti agama, seni, sains, moralitas, hukum,
politik, tradisi, karakter nasional dan berbagai perwujudan

699
Karl Marx, (2004), Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik: Buku
Pertama Proses Produksi Kapital, (Indonesia): Hasta Mitra. Hlm. 57, 68.

1163
dari kesadaran manusia. Marxisme juga menunjukkan hakikat
dari fenomenaa-fenomena itu dan bagaimana mereka
terhubung dengan perkembangan nyata dari masyarakat, yang
tergantung pada kemampuannya untuk memproduksi dan
mengembangkan kondisi-kondisi material untuk
mempertahankan keberadaannya. Dengan perspektif marxis,
kita jelas melihat bahwa efek perkembangan kapitalisme telah
menerobos masuk ke dalam tubuh HMI. Itu nampak dari
bagaimana kader-kader HMI—dalam pesta demokrasi
himpunan—mengalami kemerosotan kehendak karena ulah
perputaran modal melalui nilai tukar.

Kader-kader akhirnya hanya menjadi manusia-manusia yang


tertindas oleh kekuatan modal. Mereka menjadi alat para
penindas (mafia Kongres) untuk mencapai keinginannya.
Lihat saja bagaimana kerja organisasi—secara fenomenal—
semata-mata untuk merealisasikan fungsi ekonomi ketimbang
kemanusiaan. Makanya waktu kerja—sadar atau tidak sadar—
menjadi ajang akumulasi kapital di tangan segelintir mafia.
Alan Woods dan Ted Graft—dalam Nalar yang
Memberontak—mengatakan bahwa nilai tukar memiliki satu
kekuatan yang dikandungnya, yang sungguh diakui secara
universal, sehingga orang rela membunuh untuk
mendapatkannya.700 Mungkin dari keampuhan racun nilai
tukar itulah yang membuat—sehabis Kongres HMI di
Ambon—terjadi perpecahan dalam kepengurusan PB HMI.
Rapat harian untuk menindaklanjuti keputusan MPK PB
HMI—soal dualisme kepengurusan organisasi—diwarnai

700
Alan Woods dan Ted Grant, (2015), Nalar yang Memberontak: Filsafat
Marxisme dan Sains Modern, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 90.

1164
tindak kekerasan. Preman-preman bermunculan melakukan
pemukulan terhadab beberapa orang pengurus organisasi. 701
Entah siapa yang mengundang para tukang pukul bersenjata
tajam itu. Namun patut diduga bahwa HMI hari-hari ini
sedang mengidap sakit kronis. Penyakit yang datang karena
rongrongan kekuatan modal menjadi penyebab utama tidak
berkutiknya organisasi melawan kapitalisme.

Jarang ada program-program HMI yang langsung


menggerakan kader-kadernya untuk secara intens membela
kepentingan buruh, petani, PKL, kaum nelayan, penarik
becak, serta rakyat miskin dan tertindas lainnya. Jika pun ada
aksi pembelaan maka ini lebih kepada gerakan spontan,
miskin kajian, dan sama sekali tak melibatkan rakyat yang
terzalimi. Hanya saja nama rakyat tak malunya dibawa dalam
aksi-aksi tematik. Aksi yang tak pernah bisa mengundang
keterlibatan orang-orang miskin dan tertindas. Sepertinya kata
‘rakyat’ telah menjadi slogan jualan dan sebatas pendongkrak
popularitas organisasi. Slogan yang hanya mengalir melalui
demo tanpa disalurkan lewat program-program kerja yang
progresif. Memang dalam rongrongan kapitalisme perasaan
keberagamaan atau esensi kemanusiaan diletakkan di bawah
jeratan ilusi. Makanya gerakan tak pernah beringsut dari
kesadaran lama, yang cenderung tertinggal dari
perkembangan masyarakat. Ini yang terus membuat organisasi
terus terhimpit di ketiak rezim dan menjadi pendukung utama
bertahannya stabilitas sebagai syarat berlangsungnya sirkulasi
kapital. Keadaan inilah yang membuat kebiasaan, rutinitas
dan tradisi HMI menjadi persis kata Marx: ‘merupakan beban

701
https://sultra.id/situasi-pb-hmi-mencekam/

1165
seberat gunung Alpen di bawah benak laki-laki dan
perempuan, yang, pada masa-masa sejarah yang normal,
berpegang erat-erat pada kebiasaan lama yang biasa
dilakukannya’.

Itulah kenapa HMI tak pernah usai mengalami dualisme


kepengurusan. Perpecahan-perpecahan yang tidak sekedar
menguras tenaga himpunan, tapi menumbuhkan aksi-aksi
premanisme yang bahkan hampir membunuh kader-kadernya
sendiri. Model keberagamaan dalam HMI lantas
memunculkan orang-orang yang mengalami sindrom. Mereka
inilah yang dikenal dengan kader baik-baik; berjamaah saat
sholat, menampilkan kedamaian ketika melantunkan ayat suci,
dan berkasih-kasih tatkala berzakat, dan sangat sabar
sekaligus penyayang di bulan puasa. Tetapi dalam kehidupan
sosio-historis; mereka adalah pesaing dan musuh. Model
keberagamaan seperti inilah yang terkadang mengumbar-
umbar kata berteman melebih saudara hanya kepada
gerbongnya sendiri. Sementara pada yang lainnya mereka
mengokohkan ego, otoritas dan senioritas sebagai ajang
pendakuan. Makanya kebersamaan dan persahabatan tak
pernah beringsut jauh dari kepentingan. Hasilnya: Islam yang
dijiwai HMI lebih banyak dipraktekan dalam semangat pasif
dan bernada borjuis. Itulah mengapa kesadaran seseorang
dalam menyoroti realitas penindasan, ketimpangan,
penjajahan modal, dan sebagainya—begitu kaku dan kering
akan perlawanan. Keadaan ini telah lama dikritik oleh Karl
Marx: ‘agama apabila tak digunakan untuk memerangi segala
bentuk penindasan, akan menjelma jadi hati dari dunia yang
tak berperasaan’. Kritik inilah yang seharusnya membuat
kader himpunan mempergunakan daya revolusi dalam agama

1166
untuk membersihkan dunia dari fitnah-fitnah yang dibawa
kapitalisme.

Ada baiknya HMI berkaca pada Teologi Pembebasan Asghar


Ali Engineer: agama dititikberatkan pada aspek praksis
daripada teoritisasi metafisisk-teologis yang tidak jelas,
mencakup hal-hal abstrak dan konsep-konsep ambigu. Praksis
yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi
dialektis antara ‘apa yang ada’ dan ‘apa yang seharusnya’.
Dalam tradisi marxis, praksis diandaikan sebagai hubungan
dialektis antara aksi di satu pihak dan unsur teoritis di lain
pihak, sehingga sering dikatakan sebagai aktivitas
revolusioner: mengubah relasi-relasi antarmanusia tidak
dengan cara buta, melainkan berdasar pengertian teoritis.
Asghar—melalui teorinya—telah berhasil menancapkan
kesadaran Islam yang bersifat liberatif. Islam kemudian
menjadi ancaman yang membahayakan status quo atau segala
bentuk kemapanan yang mengeksploitasi kaum miskin dan
tertindas. Agama dalam prakteknya telah dia dilepaskan dari
aspek-aspek tologis yang bersifat filosofis, karena pada
perkembangannya aspek filosofis ini menjadi bagian utama
dari agama yang justru mendukung kelompok penindas.
Agama yang demikian disamakan Aghar dengan mistik dan
menghipnotis masyarakat. Makanya Asghar dalam Teologi
Pembebasan-nya bertujuan membersihkan agama dari unsur-
unsur penindas tapi pembersih yang dipilihnya adalah malalui
sapu yang bernama marxisme. Dengannya dia meracik konsep
pembebasan, maka agama tidak berhenti pada urusan akhirat
atau duniawi saja tetapi harus menjaga relevansinya:
historisitas dan kontemporerisitas agama di satu pihak, serta

1167
soal akhirat dan duniawi di pihak lain harus disatukan
sehingga menjadi agama yang hidup dan dinamis.

Pandangan seperti itu tentu tidak muncul tiba-tiba, melainkan


tersemat di dalamnya keberislaman yang materialis. Inilah
mengapa ajaran dalam Teologi Pembebasan menyarankan
langkah-langkah berikut: (1) Mesti mulai melihat kehidupan
manusia di dunia dan akhirat; (2) Anti status quo yang
melindungi golongan kaya (the haves) daripada golongan
miskin (the haves not), dan anti kemapanan baik agama
maupun politik; (3) Membela kelompok yang tertindas yang
tercerabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan
mereka dan membekali mereka dengan senjata ideologis yang
kuat untuk melawan penindas; (4) Selain mengakui konsep
metafisika tentang taqdir, dalam rentang sejarah umat manusia
itu bebas menentukan nasibnya sendiri.702 Berkat aliran
filsafat materialisme dialektis—yang disilangkan dengan
pandangan spiritual; upaya-upaya yang ditempuh proyek
pembebasannya Asghar membuat kita mampu mendorong
pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar-wenawar
antara kebebasan manusia dan taqdir. Itulah mengapa manusia
diharuskannya bukan semata-mata menyoroti Tuhan saja, tapi
juga terkait dengan bagaimana perkembangan dirinya sebagai
manusia dalam kehidupan dunia. Dalam prolognya di Islam
dan Pembebasan, Djohan Effendi menjelaskan bagaimana
revolusionernya pandangan seorang Asghar itu:

Bagi Asghar Ali, seorang mukmin sejati bukanlah


sekedar orang yang percaya kepada Allah, tetapi ia juga

702
Listiyono, dkk, (2015), Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hlm. 306.

1168
harus seorang mujahid yang berjuang menegakkan
keadilan, melawan kezaliman dan penindasan. Jadi, jika
seseorang mengaku sebagai muslim tetapi tidak
berjuang menegakkan keadilan dan melawan kezaliman
serta penindasan, apalagi jika ia justru mendukung
sistem dan struktur masyarakat yang tidak adil,
walaupun ia percaya kepada Tuhan, orang itu, dalam
pandangan Asghar, masih dianggap sebagai kafir.703

Teologi Pembebasan sangat mengedepankan perjuangan


mewujudkan keadilan sosial-ekonomi. Bagi Asghar, Islam
memberikan konsep msyarakat yang bebas dari eksploitasi,
penindasan, dominasi, dan ketidakadilan di muka bumi.
Sehingga gerakan yang dibangunnya adalah mempertahankan
kesatuan manusia, dan tidak mentolerir perlakuan
diskriminasi. Inilah mengapa dia begitu membenci
masyarakat kapitalis. Ia kemudian tidak hanya menjadi
seorang pemikir, melainkan juga seorang aktivis. Dirinya
melakukan telaah terhadap konsep kesejarahan dan
perjuangan Nabi Muhammad. Baginya jalan juang
Muhammad SAW adalah perjuangan yang revolusioner.
Kesimpulannya atas sejarah itu tentu didapatkan dengan
menggunakan pisau analisa marxis. Sementara untuk
menauladani perjuangan nabi; Asghar mengambil langkah
terjun ke dunia pergerakan. Dia dikenal sebagai salah satu
pemimpin gerakan Syi’ah Isma’illiyah, Daudi Bohras (Guzare
Daudi), yang berpusat di Bombai India. Melalui organisasinya
Asghar mencoba menerapkan gagasan-gagasan
pembebasannya. Pemikiran progresifnya ini mengingatkan
kita pada pemikiran Feuerbach dalam Esensi Agama Kristen,
703
Djohan Effendi (pengantar), pada Asghar Ali Engineer, (2016), Islam
dan Pembebasan, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

1169
yang telah menemukan bahwa gagasan roh absolutnya Hegel
tak lain adalah manusia yang menyempurnakan diri dalam
rasa keberagamaan atau esensi sejati kemanusiaannya.
Keabstrakan pandangan Hegel ditariknya ke wilayah nyata
pada diri manusia. Namun yang membedakan antara Asghar
dengan Feuerbach ialah persoalan praksis. Loncatan
pemikiran yang dialektis seperti Asghar tidak ditemukan pada
Feuerbach, karena perasaan keagamaan pada Esensi Agama
Kristen tak mampu menghadirkan manusia-manusia yang
bersemangat merubah dunianya. Materialisme Feuerbach
kemudian cuma menjelaskan dunia nyata tapi tidak berusaha
mengubahnya. Inilah yang membuat Marx mengkritik
Feuerbach.

Walaupun Marx dipandang sebagai orang yang tidak


memeluk agama tertentu. Tetapi dia meyakini betul bahwa
agama seharusnya membentuk pribadi menjadi revolusioner.
Agama dalam filsafat materialisme Marx, tak ubahnya cahaya
yang menerangi kegelapan dan mampu melenyapkan pelbagai
ilusi dalam kehidupan manusia. Sementara rasa keberagamaan
atau esensi sejati kemanusiaan atau rasa keberagamaannya
Feuerbach itu pasif, tak sama dengan yang dipahami Marx:
‘rasa keberagamaan atau esensi sejati kemanusiaan sebagai
sesuatu yang berwatak aktif dan revolusioner’. Intinya orang-
orang beragama seharusnya melakukan gerak perubahan baik
pada alam kehidupan sosio-historis maupun modus
bereksistensi manusia melalui kondisi obyektif di luar dirinya
maupun kondisi subyektif dalam dirinya sendiri. Sementara
kritik panjang Marx termaktub dalam Tesis tentang
Feuerbach. Tesis ini menjelaskan bagaimana materialisme
kuno itu memiliki sebelas hal-hal yang membuatnya lemah:

1170
Pertama. Kekurangan utama dari materialisme yang
ada hingga kini—termasuk materialisme Feuerbach—
ialah bahwa hal, realitas, kenyataan konkret hanya
dipahami sebagai obyek kontemplasi, bukan sebagai
praksis atau aktivitas manusia yang konkret, jadi tidak
secara subyektif. Sementara, berseberangan dengan
materialisme, idealisme memahami sisi aktif dari
realitas tersebut hanya secara abstrak, dan itulah
sebabnya tidak memahami aktivitas inderawi yang
sejati. Feuerbach memang menempatkan obyek-obyek
inderawi sebagai sungguh-sungguh berbeda dari obyek-
obyek pikiran, hanya saja dia tidak memahami aktivitas
manusia sebagai aktivitas yang bersifat obyektif. Itulah
sebabnya, dalam The Essence of Christianity, dia
menganggap sikap teoritis sebagai satu-satunya sikap
sejati manusia, sementara praksis hanya dianggap
sebagai manifestasi tak sempurna dari sikap teoritis.
Karena itu, dia tak bisa memahami makna dari aktivitas
‘revolusioner’, dari aktivitas ‘praksis-kritis’. Kedua.
Soal apakah kebenaran obyektif bisa dicapai oleh
pemikiran-pemikiran manusia sesungguhnya bukan
problem teori, namun merupakan sebuah problem
praksis. Manusia harus membuktikan kebenaran, seperti
halnya membuktikan kenyataan dan kuasa, seperti
membuktikan kedangkalan pemikirannya lewat praksis.
Perdebatan mengenai benar atau tidaknya sebuah
pemikiran yang diletakkan secara terisolasi dari praksis
merupakan sebuah problem yang sepenuhnya berwatak
skolastik. Ketiga. Ajaran materialis mengenai
berubahnya lingkungan dan pendidikan lupa bahwa
manusia-manusialah yang mengubah lingkungan dan

1171
karena itu adalah hakiki untuk mendidik pendidik.
Doktrin materialisme yang semacam itu hanya akan
membela masyarakat menjadi dua bagian, di mana yang
satu lebih unggul daripada yang lainnya. Berbarengnya
perubahan lingkungan dengan aktivitas lingkungan atau
perbuatan diri manusia, itulah yang disebut sebagai
praksis revolusioner. Keempat. Feuerbach berangkat
dari fakta tentang keterasingan-diri manusia dalam
agama, mengenai terbelahnya dunia menjadi wilayah
agama dan wilayah duniawi. Karyanya berusaha
menyatukan kembali wilayaha agama ke dalam wilayah
duniawi. Namun, duniawi yang semata-mata duniawi
dan yang berdiri sendiri sebagai sebuah kenyataan yang
bersifat independen di awang-awang hanya bisa terlihat
secara demikian manakala dalam wilayah keduniawian
tersebut terbelah dan berkontradiksi dengan dirinya
sendiri. Karena itu, wilayah duniawi yang terbelah dan
berkontradiksi dengan dirinya sendiri ini harus
dipahami sebagai wilayah duniawi yang sedang
berkontradiksi dan mengevolusi dirinya sendiri secara
praksis. Jadi, sebagai misal, setelah alam kehidupan
keluarga yang profan dipahami dalam hakekatnya
sebagai alam kehidupan keluarga yang sakral, maka
alam kehidupan keluarga yang profan haruslah
dihancurkan, baik dalam teori maupun praksis. Kelima.
Feuerbach, yang tidak merasa puas dengan pemikiran
abstrak, menghendaki kontemplasi kepancainderaan;
tetapi dia tidak menganggap kepancaindraan (yang ada
secara konkret) sebagai aktivitas praktis dan konkret
dari manusia. Keenam. Feuerbach melebur hakekat
keagamaan ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi

1172
hakekat kemanusiaan bukanlah abstraksi yang secara
inheren ada dalam diri setiap individu. Dalam
kenyataannya, apa yang disebut sebagai esensi manusia
itu adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan sosial.
Oleh karenanya, Feuerbach, yang tidak memasuki kritik
terhadap hakekat yang nyata sebagai keseluruhan dari
relasi-relasi sosial, terpaksa: (1) Mengabstaraksi
sentimen keagamaan dari proses sejarah dan
menempatkannya sebagai sesuatu yang dengan sendiri
dan mengandaikan individu manusia yang abstrak,
yaitu terisolasi dari proses historis; (2) Karena itu,
baginya hakekat kemanusiaan hanya bisa dipahami
sebagai ‘jenis’, sebagai sesuatu keumuman intern yang
bisu secara alamiah ada dalam diri banyak individu,
mempersatukan perorangan yang banyak itu. Ketujuh.
Konsekuensinya, Feuerbach tidak melihat bahwa
‘perasaan keagamaan’ sebagai hasil produksi sosial,
dan bahwa individu abstrak yang dianalisanya itu
sesungguhnya termasuk bagian dari masyarakat
tertentu. Kedelapan. Semua kehidupan sosial pada
hakikatnya bersifat praksis. Segala kegaiban yang
dijelaskan oleh teori secara mistisisme sesungguhnya
bisa ditemukan solusi rasionalnya dalam praksis
manusiawi dan dalam pemahaman praktek itu.
Kesembilan. Titik tertinggi yang dicapai oleh
materialisme kontemplatif, yaitu materialisme yang
tidak memahami yang konkret sebagai aktivitas praksis,
adalah renungan masing-masing individu dalam
keterisolasiannya dan kontemplasi masyarakat yang
memuja hak-hak pribadi. Kesepuluh. Pendirian
materialisme lama ialah masyarakat pemuja hak-hak

1173
pribadi, sementara titik awal materialisme baru adalah
masyarakat yang manusiawi, atau kemanusiaan yang
berwatak sosial. Kesebelas. Para filosof hanya bergerak
menafsirkan dunia dengan berbagai caranya masing-
masing; padahal yang terpenting adalah mengubah
dunia.704

Dapat dimengerti bahwa kritik Marx di atas menisbahkan


pada sebuah penemuan materialisme baru: materialisme yang
dimajukan melalui metode dialektis dari Hegel. Dialektika di
tangan Marx tidak sekedar berlaku dalam pikiran
sebagaimana ajaran Hegel, melainkan ditarik ke dunia nyata
menggunakan materialisme Feuerbach. Racikan antara
dialektika dan materialisme yang dilakukan oleh Marx
memang diarahkan lagi untuk mengkritik Feuebarch. Baginya
materialisme lama itu merupakan warisan borjuis dan bersifat
mekanis. Ia melihat manusia sebagai makhluk pasif, hanya
sebagai hasil atau efek dari lingkungan materil—sebagai
obyek. Atas penemuan aliran filsafat barunya ini pula yang
juga membuat Marx mengkritik Hegel. Makanya dialektika
Hegel yang berintintikan ide ditentang oleh Marx. Dia
menyatakan bahwa dialektika bukan sekedar terjadi dalam
pikiran, melainkan juga di dunia nyata. Gaya berpikir ini lalu
disebut sebagai materialisme dialektis. Memang pada
awalnya, dialektika digunakan oleh filosof materialis
Yunani—kaum Stoician—untuk menguji kesahihan sebuah
argumen dengan memperhadapkannya pada kondisi-kondisi
umum dan khusus. Dialektika berasal dari bahasa Yunani

704
https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1845/tesis-
feuerbach.htm/

1174
‘dialego’, artinya pembalikan, perbantahan. Pada pengertian
lama dialektika bermakna seni pencapaian kebenaran melalui
pertentangan dalam perdebatan dari satu pertentangan ke
pertentangan lainnya; selanjutnya dialektika banyak
digunakan untuk memahami kenyataan. Sedangkan dalam
pengertian baru, dialektika mengandung sebuah gerak maju
dari tahapan rendah ke taraf yang lebih tinggi dan serentak
dengan dibarengi adanya persatuan.

Singkatnya, dialektika mengandung suatu pola ulangan dari


antagonisme yang disusul dengan penyesuaian. Berpikir
dialektis yang menjadi salah satu aspeknya adalah berpikir
secara totalitas, dalam artian keseluruhan yang ada di
dalamnya memiliki unsur-unsur hukum: mengingkari dan
diingkari atau saling bernegasi; saling berkontradiksi atau
kutub berlawanan yang saling merasuki; dan peralihan dari
kuantitas menjadi kualitas dan begitupun sebaliknya. Ketika
dialektika ini digunakan Hegel, muncul pandangan bahwa
proses kehidupan itu berasal dari otak manusia: ide. Ide
baginya adalah subjek yang independen, hakikat dari dunia
nyata. Sementara dunia nyata sendiri merupakan sekedar
bentukan ide yang eksternal dan fenomenal. Tetapi menurut
Marx ide bukanlah yang pertama, melainkan yang kedua:
karena ide merupakan dunia nyata yang diterjemahakan dalam
bentuk-bentuk pikiran manusia. Meskipun bertentangan tapi
pemikiran Marx dan Hegel memiliki persamaan dalam proses
sejarah: gagasan bahwa gerak sejarah umat manusia itu
bersifat evolutif menuju tahap yang lebih tinggi. Kata Hegel,
proses kenaikan tahapannya tidaklah berlangsung melalui dan
dalam proses yang linear namun dialektik—terjadi

1175
pertarungan antara tesis dan antitesis yang menghasilkan
sintesa.

Sintesa itu merupakan tahap dimana tesis dan antitesis


melebur ke tahap yang lebih tinggi. Namun sesudah melebur
jadi sintesa, maka sintesis dengan otomatis jadi tesis baru
yang secara alamiah menghadirkan lagi sebuah antitesis-nya.
Tesis, antitesis, dan sintesis ini akan terus-menerus terjadi
sampai berhasil mencapai tujuannya: menyelesaikan segala
pertentangannya dalam sejarah. Sintesis total itu dinamai
Hegel dengan roh absolut, yang selama ini mewujudkan
dirinya dalam sejarah sebagai ruh subjektif dan ruh objektif.
Hegel mengatakan bahwa perwujudan dari roh absolut dengan
menunjuk; peraban Cina-India sebagai roh subjektif, peraban
Yunani-Romawi jadi roh objektif, dan roh absolutnya ialah
peradaban Jerman. Penjelasannya Hegel begini: kebudayaan
Cina-India rohnya belum sadar diri, manusia masih berada
dalam keadaan alami—roh berkarya dan menyusun dunianya
secara spontan; sementara pada kebudayaan Yunani-Romawi
keadaan alami yang tak sadar itu mendapatkan lawannya,
karena manusia mulai menyadari subjektivitasnya terhadap
dunia maka mereka memisahkan diri dari kesatuan alaminya
dengan dunia—roh menampatkan diri di luar dan berhadapan
dengan apa yang secara objektif ada namun subjektivitas ini
begitu mengasingkan diri dari dunia objektif—roh tidak
mengenal hakikat dan makna dari dunia objektif secara sejati,
yang dibutuhkan oleh subjektivitas dalam rangka
pembentukan dirinya; kemudian baru dalam kebudayaan
Jerman, Hegel melihat ada kesatuan yang harmonis antara roh
subjektif dan roh absolute—manusia tidak terasing dengan
dunia objektif, tapi mampu dijadikan oleh manusia sebagai

1176
pembentuk dan pengembang subjektivitasnya, sehingga pada
saat inilah muncullah roh absolut. Itulah yang dikritik oleh
Marx. Dia menilai bahwa penggunaan dialektika bukan
sekedar pada proses pergerakan ide tanpa memandang asal-
usul ide tersebut. Dalam Das Capital dia membuat pernyataan
yang menarik garis batas antara dialektikanya dengan
dialektika Hegel yang beridiri di pandangan idealis:

Metode dialektika saya, pada dasarnya, tidak hanya


berbeda dari metode Hegelian, melainkan ia secara
langsung berlawanan dengan metode Hegel. Bagi Hegel
proses berpikir yang bahkan ditransformasinya menjadi
objek independen, dengan nama Ide itu. Bagi saya
sebaliknya, yang ideal itu tidak lain dan tidak bukan
hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran
manusia. Dan diterjemahakan ke dalam bentuk-bentuk
pikiran…. Dalam bentuk pemistikannya dialektika
menjadi mode di Jerman, karena ia seakan-akan
mengubah bentuk dan mengagumkan yang ada. Dalam
bentuk rasionilnya ia merupakan sebuah skandal dan
sesuatu yang sangat dibenci borjuasi dan para juru-
bicaranya yang doktriner, karena ia mencangkup dalam
pemahaman positifnya mengenai ada/eksis suatu
pengakuan serentak akan negasinya, kehancurannya
yang tidak terelakkan; karena ia memandang setiap
bentuk yang berkembang secara historikal sebagai
suatu keadaan cair, dalam gerak, dan karenanya
memahami juga aspek kesementaraannya; dan karena ia
tidak membiarkan dirinya ditundukkan oleh apapun,
karena dalam hakekatnya sendiri ia kritikal dan
revolusioner. Kenyataan bahwa gerak masyarakat
kapitalis itu penuh dengan kontradiksi mengesankan
dirinya secara paling mencolok pada borjuasi yang
praktikal dalam perubahan-perubahan daur berkala

1177
yang dilalui industri modern, yang puncaknya adalah
krisis umum (akhir fase kapitalis) itu….705

Proses kesadaran manusia terjadi secara dinamis dalam alam


kenyataan, bukan malah seperti apa yang dinyatakan
Feuerbach: kesadaran manusia akan esensi sejati kemanusiaan
atau rasa keberagamaan telah ada begitu saja dalam diri setiap
pribadi. Marx menjelaskan bahwa esensi sejati kemanusiaan
atau rasa keberagamaan itu adalah sesuatu yang konkret.
Inilah mengapa esensi itu menjadi inti kemanusiaan yang
harus berkembang secara konkret pula. Artinya
perkembangannya terjadi melalui benturan-benturannya
dengan realitas. Daya manusia—bagi Marx—pikiran,
perasaan dan kehendak membutuhkan obyek-obyek luar diri
untuk menyatakan dirinya sendiri. Bila dalam sebuah
masyarakat kapitalis di mana perkembangan pikiran, perasaan
dan kemauan historisnya dicekam oleh dunia yang dipenuhi
kekerasan, penidasan dan kemiskinan, maka rasa
keberagamaan atau esensi kemanusiaan tidak dapat
berkembang—itulah yang terjadi dalam masyarakat kapitalis.

Lewat Agama Itu Bukan Candu, Eko Prasetyo memaparkan


itu semua. Bahwa dalam konteks sosio-historis masyarakat
kapitalis, orang merasa beragama hanya pada saat: beribadat,
berdakwah dan berada di tempat-tempat ibadah saja.
Sementara pada saat-saat biasa: jalan-jalan, kerja, kuliah, dan
lain-lain rasa keberagamaan tidak didapati. Perasaan
kehadiran Tuhan hanya berlangsung di tempat-tempat

705
Karl Marx (Kata Susulan untuk Edisi ke-2), (2004), Kapital Sebuah
Kritik Ekonomi Politik: Buku Pertama Proses Produksi Kapital,
(Indonesia): Hasta Mitra.

1178
tertentu, maka di situlah rasa keberagamaan diredusir
maknanya. Karena Tuhan dilokalisir dalam ruang dan waktu
tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Makanya untuk
mengembangkan esensi rasa keberagamaan Marx kemudian
menekankan pentingnya mengubah dunia melalui praksis.
Praksis adalah tidak dipakai sejauh bertentangan dengan teori.
Tetapi dalam praksis justru diandaikan suatu hubugan
dialektis antara aksi di satu pihak dan hubungan teoritis di lain
pihak, jadi praksis tidak sama dengan aksi begitu saja. Praksis
adalah aktivitas revolusioner, aktivitas yang mengubah relasi-
relasi antarmanusia tapi tidak secara buta melainkan berdasar
pengertian teoritis.706 Penjelasan ini sekaligus menjadi lawan
dari rasa keberagamaan menurut Feuerbach, yakni yang
ditemukan dalam aktivitas kontemplasi yang pasif. Melalui
materialisme dialektikanya, Marx sendiri memahami rasa
keberagamaan atau esensi kemanusiaan itu sebagai sesuatu
yang berwatak aktif dan revolusioner. Paulo Freire—dalam
Education For Critical Consciousness—mengelaborasi sisi
historisitas pemikiran Marx yang revolusioner itu dengan
sangat baik:

Peran yang wajar untuk dijalani manusia dalam dan


bersama dengan dunia bukanlah peran yang pasif.
Karena manusia bukanlah makhluk alam (biologis)
semata-mata, namun juga sanggup berpartisipasi dalam
dimensi penciptaan, manusia bisa mengubah realitas
dengan tangannya.… Manakala manusia tak lagi
memiliki kesanggupan mengubah realitas, sebagai
gantinya ia akan menyesuaikan diri dengan realitas
yang ada. Adaptasi adalah ciri khas dari dunia binatang.
706
K. Bertens, (1979), Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Penerbit
Yayasan Kanisius, Hlm. 184.

1179
Jika manusia menjalani hidupnya dengan beradaptasi,
maka itu adalah gejala dehumanisasi/kemerosotan nilai
manusia.

Marx telah melebur materialisme dan dialektika untuk


kemudian ditempa ulang menjadi sebuah alat pembebasan
yang revolusioner. Dialektika Hegel didudukan pada
materialisme, karena itu materialisme Feuerbach lalu
diperluas dan ditempatkan dalam konteks kesejarahan.
Selanjutnya diberi nama materialisme historis. Lewat
materialisme historis diungkapkan bahwa manusia dapat
dipahami sejauh ia ditempatkan dalam konteks sejarah yang
terwujud dalam peristiwa-peristiwa kemasyarakatan. Maka
untuk memahami manusia, sejarah harus diletakkan dalam
kaitannya dengan masyarakat. Pemikiran ini kemudian ia
kembangkan bersama sahabat sejatinya: Engels. Mereka
akhirnya berhasil mengembangkan hukum evolusi sejarah
dalam beberapa tahapan: tahap primitif, tahap perbudakan,
tahap feodalis, tahap kapitalis, dan tahap sosialis-komunis.
Maka gerak sejarah bukan lagi menuju roh absolutnya Hegel,
melainkan mengarah kepada masyarakat tanpa kelas
(komunis). Bagi Marx: yang menggerakan fase-fase tersebut
hingga berpindah dari satu ke lainnya, adalah perkembangan
kekuatan produktif manusia dan kelas-kelas sosial yang
terbentuk sebagai akibat perkembangan kekuatan itu.
Sementara yang menggerakan menuju terpenuhinya puncak
sejarah—masyarakat tanpa kelas—adalah perkembangan
kekuatan produktif manusia dan kaum proletar.

Dalam tahap terakhir dari kapitalisme perkembangan


kekuatan produktif manusia akan sedemikian memuncak tapi

1180
hanya dimiliki oleh kalangan kecil pemilik kapital. Pemilik
modal ini menindas nilai kerja kaum buruh guna kepentingan
pengakumulasian laba. Karena itu pula para kapitalis terus-
menerus bersaing dengan sesamanya. Akibatnya: beberapa
kapitalis bangkrut hingga mereka berkonversi masuk ke kelas
proletar. Keadaan ini makin lama semakin menciptakan
pengelompokan kelas sosial dalam masyarakat secara tajam
menjadi dua kelas yang saling bertentangan. Tetapi kaum
buruh dipastikan akan terus bertambah banyak. Kekuatan
kelas inilah yang kemudian dapat mengalahkan kaum pemilik
modal yang kian hari makin sedikit. Penindasan-penindasan
para kapitalis terhadap kaum buruh semakin menjadi-jadi. Ini
melecut tumbuhnya kesadaran kelas proletar. Kesadaran kelas
yang timbul dengan sendirinya inilah—bagi Marx—akan
mendorong kelas proletar menggerakan revolusi demi
mewujudkan masyarakat tanpa kelas.

R.N. Carew Hunt pada Teori dan Praktek Komunis—yang


dikutip oleh Andy Muawiyah—menjelaskan bahwa
menjelang keruntuhan masyarakat kapitalis, Marx
merumuskan formulasi teoritisnya dalam tiga hukum gerakan
ekonomi: pertama, Hukum Akumulasi Modal (The Law of
Capitalist Accumulation). Dalam masyarakat kapitalis
terdapat dorongan yang memperbesar modal. Perusahaan-
perusahaan kecil terus-menerus ditelan oleh perusahaan-
perusahaan menengah dan perusahaan menengah lambat laun
ditelan—dengan cara dibeli atau persaingan mematikan—oleh
perusahaan besar. Kalau hal ini terjadi maka hanya beberapa
perusahaan raksasa yang menguasai seluruh aktivitas ekonomi
masyarakat; kedua, Hukum Konsentrasi Modal (The Law of
the Concentration Capital). Penjabarannya adalah dengan

1181
adanya konsentrasi modal, maka kekayaan berada di tangan
segelintir manusia, kapitalis kecil gulung tikar dan menjadi
buruh bagi kapitalis kuat. Di pihak lain segera terlihat bahwa
di belakang kapitalis besar ini berdiri massa rakyat yang tidak
mempunyai harta akibat penghisapan yang berjalan simultan;
dan ketiga, Hukum Bertambahnya Kemelaratan (The Law of
Increasing Misery). Sesudah teori akumulasi, yakni
pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang, maka
perusahaan raksasa akhirnya terdiri dari mesin-mesin saja,
mengakibatkan meningkatnya pengangguran atau kalau kaum
buruh tetap ingin memiliki kerja, berarti ia akan mendapat
upah yang tidak memadai. 707

Dalam analisis ekonominya, Marx senantiasa mengedepankan


nilai kemanusiaan dari hubungan-hubungan antar-manusia.
Gagasan-gagasannya kemudian dikenal dengan sosialisme
ilmiah yang merumuskan bahwa sosialisme akan
menggantikan kapitalisme melalui perjuangan kelas. Berdiri
di atas pandangan inilah Marx begitu yakin bahwa konflik
internal dari kapitalisme akan membuat dirinya sendiri
hancur. Setelah keruntuhan kapitalisme, fase sosio-historis
yang muncul ialah komunisme. Dalam fase ini komunitas
berada di barisan terdepan menjadi pengarah kehidupan gerak
sejarah dan masyarakat. Cita-cita komunitas bagi Marx,
adalah munculnya masyarakat paguyuban, masyarakat di
mana gerak perkembangan dari setiap individu menjadi
prasyarat bagi gerak perkembangan seluruh masyarakat.
Tetapi masyarakat komunis bukan dengan sendirinya

707
Andi Muawiyah Ramly, (2013), Peta Pemikiran Karl Marx
[Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis], Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, Hlm. 164.

1182
melenyapkan orang kaya dan orang miskin, tetapi melalui fase
itulah mereka dirubah wataknya oleh basis material yang ada.
Inilah yang menjadi perbedaannya dengan masyarakat
kapitalis, karena dalam masyarakat berkelas ini hanya orang
kaya yang memiliki kesempatan berkembang di tengah
mayoritas orang miskin yang hidupnya makin tersisih.
Sementara pada masyarakat komunis tak ada kelas, lantaran
tiada yang namanya hak istimewa. Dalam masyarakat inilah
perbedaan tingkat ekonomi tak mempengaruhi kesempatan
setiap individu untuk mengembangkan dirinya dengan
sempurna, melainkan akan menjadi ajang menjalarnya
solidaritas di antara individu untuk mengembangkan hidup
sesamanya. Mekarnya saling-bantu pada kehidupan
masyarakat ini didasarkan atas hilangnya hak istimewa yang
selama ini menjadi lantai berdirinya tatanan kapitalisme.
Hanya untuk mewujudkan masyarakat komunis dibutuhkan
sebuah gerakan bersama yang dilakukan oleh kelas pekerja
sedunia. Dalam The German Ideology Marx menegaskannya
begitu:

…secara empiris, komunisme hanya mungkin (tercapai)


jika terjadi gerakan dari mayoritas individu-individu
berlangsung ‘sekali untuk selamanya’ dan serentak, dan
untuk bisa demikian, dibutuhkan perkembangan
kekuatan-kekuatan produktif dan pergaulan dunia yang
bersemangatkan komunisme. 708

Artinya, jalan menuju fase komunis itu dibutuhkan kesadaran


perlawanan secara universal terhadap rezim kapitalisme.
Sikap keberlawanan ini harus disatukan dalam spektrum yang

708
www.marxists.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/

1183
mendunia. Itulah mengapa dibutuhkan konsistensi dan
persatuan gerakan yang meluas dalam menentang kapitalisme-
imperialisme (modal asing). Hanya pemikiran Marx ini tidak
hanya menjadi ajaran yang berpaut seputar persoalan ekonomi
saja, karena ekonomi Cuma sebagai basis yang dianalisnya
untuk mempelajari dan mendalami bagaimana fenomena-
fenomena penindasan yang menimpah kelas pekerja pada
zamannya. Tetapi gagasan komunisme justru membicarakan
tentang pembebasan manusia dari segala bentuk eksploitasi
dalam kehidupannya. Inilah mengapa hakikat dari komunisme
merupakan ajaran tentang pentingnya eksistensi manusia.
Makanya komunisme menginginkan sebuah bangunan
masyarakat yang lebih mengutamakan kualitas ketimbang
kuantitas. Kini sejarah umat manusia sedang mengarah pada
terwujudnya masyarakat tanpa kelas yang perubahannya
ditentukan oleh kekuatan produksi dan reproduksi, tetapi
dalam perjalanannya tidak sepenuhnya berpijak pada
kepentingan ekonomi semata. Soalnya dalam menuju
masyarakat komunis, ekonomi hanya merupakan basis
ketimbang penentu. Ini persis yang dijelaskan Engels di
suratnya--ke J. Bloch di Konigsberg, 21 September 1890.
Bahwa unsur ekonomi bukanlah satu-satunya yang
memngaruhi dan menentukan kemenangan dalam perjuangan
kelas buruh:

Menurut pandangan materialis terhadap sejarah,


penentu akhir dalam sejarah adalah produksi dan
reproduksi dari kehidupan keseharian. Baik Marx
maupun saya, tidak pernah mengatakan lebih dari ini.
Dengan demikian, jika seseorang memutarbalikan hal
ini dengan menyatakan bahwa unsur ekonomi adalah
penentu satu-satunya, ia mengubah posisi ini menjadi

1184
satu frasa yang tidak bermakna, abstrak, dan tidak
masuk nalar. Situasi ekonomi adalah basis, tapi
berbagai unsur dalam superstruktur—bentuk-bentuk
politik dari perjuangan kelas dan hasil-hasilnya, dalam
kata lain: konstitusi-konstitusi yang disusun oleh kelas
yang berkuasa setelah menang dalam pertempuran,
dsb., bentuk-bentuk peradilan, dan berbagai pemikiran
yang timbul di benak para pelaku perjuangan kelas ini
secara politik teori-teori politik, yudisial, filosof,
pandangan-pandangan religius, dan perkembangan
mereka lebih lanjut menjadi sistem-sistem dogma;
semua ini mempunyai pengaruh dalam jalannya
perjuangan-perjuangan historis, dan dalam berbagai
kasus merupakan faktor dominan dalam menentukan
bentuk perjuangan yang diambilnya.

Melalui materialisme historis kita dapati kesimpulan bahwa


perkembangan peradaban umat manusia itu tidak selamanya
ditentukan oleh ekonomi, melainkan juga kekuatan-kekuatan
lainnya: agama, politik, budaya, ideologi dan sebagainya.
Ekonomi hanyalah merupakan basis penopang hubungan-
hubungan sosial dalam masyarakat namun bukan semata
menjadi penentu, karena keberlangsungan kehidupan
masyarakat dan sejarah juga dipengaruhi oleh superstruktur.
Meski antara basis-struktur dan supra-struktur sama-sama
beroleh kesempatan mempengaruhi dan menentukan
perkembangan masyarakat dan sejarah, tapi bukan berarti
tidak ada penentu utamanya. Karena dari kedua struktur itu
ditemukan produksi dan reproduksi kekayaan material yang
terus-menerus—faktor inilah yang memegang pengaruh besar
dalam menentukan perkembangan kehidupan sosio-historis.
Faktor ini biasanya termanifestasi melalui kerja-kerja
manusia; termasuk kerja ideologis yang dijewantahkan

1185
melalui gerakan organisasi. Dengan demikian perjuangan
melawan kapitalisme bukan hanya menjadi tugas kaum buruh
yang secara langsung terikat dalam hubungan-hubungan
ekonomi, tetapi oleh seluruh elemen kekuatan sosial yang
terseret dalam penindasan masyarakat kapitalis. Inilah
mengapa peran melawan hegemoni modal juga menuntut
dijalankan oleh segenap elemen-elemen progresif dalam
masyarakat.

Berdiri di atas tatanan yang membuka kesempatan kepada


semua elemen sosial dalam melaksanakan perjuangan anti-
kapitalisme, maka HMI memiliki potensi dalam berjuang
melawan kapitalisme. Hanya gerakan menentang kekuatan
modal tidak bisa sembarang dilakukan tanpa mengubah
dirinta menjadi bagian dari kekuatan revolusioner. Inilah
mengapa himpunan harus berusaha mengubah dirinya menjadi
organisasi revolusioner. Dalam menempah kader-kader
menjadi revolusioner diniscayakan pengajaran teori-teori
revolusioner. Marxisme adalah salah satu teori revolusioner
yang bisa diajarkan kepada kader-kader himpunan.
Materialisme dialektis akan membuat kader HMI tidak
semata-mata menganggap kesadaran manusia terbentuk
dengan ajaran keagamaan, tetapi lebih-lebih dapat memahami
bahwa proses perkembangan kesadaran itu dibentuk oleh
kenyataan-kenyataan konkret. Sementara materialisme
historis membukakan pandangan kader bagaimana perjalanan
sejarah umat manusia dipenuhi pertentangan kelas.
Pemahaman atas inilah yang membuat kita secara bijak
memilih akan mendukung kelas yang mana: penindas atau
yang tertindas?

1186
Aliran filsafat materialisme dialektis dan historis itulah yang
harusnya disilangkan dengan pikiran-pikiran teologi atau
tradisi-tradisi kader muslim. Persilangan inilah yang telah
melahirkan pemikiran Keberislaman yang Materialis, Kiri
Islam, Islamisme dan Komunisme, Islam Kiri, ataupun
Teologi Pembebasan. Gagasan-gagasan itu mengutamakan
penyaluran prinsip-prinsip Islam dalam dimensi praksis.
Darinya praktek keberagamaan kader-kader himpunan dapat
mengambil sikap transformatif: kekuatan-kekuatan
pembebasan disalurkan ke pelbagai bentuk gerakan
kemanusiaan dan perlawanan terhadap kapitalisme. Maka
tujuan untuk mewujudkan masyarakat adil-makmur yang
diridhoi Allah SWT selanjutnya mulai dilakukan dengan
mengambil langkah maju. Langkah itu adalah menempuh
perjuangan kelas berdasarkan pemahaman bahwa dalam
realitas perkembangan sejarah dan masyarakat selalu diliputi
oleh pertentangan kelas. Melaluinya tugas kader HMI menjadi
lebih sederhana tapi menantang: mendedikasikan dirinya pada
upaya-upaya menghapus kehidupan diskriminatif, berkasta
dan berkelas yang membeda-bedakan manusia berdasarkan
kelas sosialnya dalam masyarakat.

Untuk itulah dibutuhkannya teori yang revolusioner seperti


Marxisme. Melalui filsafat materialisme dialektis, kader-kader
himpunan tidak perlu khawatir lagi dengan gerakan yang
konservatif: merebut dan mempertahan kekuasaan dalam
pranatan kenegaraan. Mereka juga tidak akan menjadikan
ajaran Marx sebagai dogma—yang mengharuskan organisasi
mengupayakan kader-kadernya mengambil-alih kekuasaan
negara atau membentuk diktator proletariat. Berdiri di atas
pandangan marxis, maka kita malah akan dengan jelas

1187
memahami kondisi-kondisi obyektif bahwa negara sekarang
tidaklah sama dengan masa-masa kehidupan Karl Marx
dahulu. Dengan begitu: organisasi tentunya tidak akan
mempraktekan teori-teori komunis tanpa lebih dulu
memahami kenyataan konkret dan menemukan apa yang
menjadi kebutuhan riil perjuangan kontemporer. Filosof
Yunani Heraclitus pernah berkata: ‘segala sesuatu mengalir
dan tak satu pun yang tinggal diam’. Pelajaran inilah yang
terdapat dalam materialisme dialektis:

Di alam tidak ada satupun hal yang tinggal tetap.


Segala sesuatunya berada dalam peralihan, pergerakan
dan perubahan yang abadi. Walau demikian, kita
menemukan bahwa tidak ada sesuatu pun yang muncul
dari ketiadaan tanpa memiliki pendahulu yang hadir
sebelum dirinya. Sama halnya, tidak ada sesuatu pun
yang pernah menghilang tanpa bekas, dalam artian
bahwa ia menghilang tanpa kemudian melahirkan
sesuatu. Karakter umum dunia ini dapat dinyatakan
dalam satu prinsip yang kiranya meringkaskan satu
hubungan besar berbagai pengalaman, dan yang belum
pernah dibuktikan keliru dalam pengamatan atau
percobaan apapun, baik yang ilmiah maupun tidak;
yaitu, bahwa segala sesuatu datang dari segala yang lain
dan menimbulkan sesuatu yang lain lagi. 709

Marxisme memang menawarkan analisis yang komprehensif


terhadap realitas. Adalah Lenin yang telah membuktikannya
dalam kancah gerakan kalau bukan hanya kaum buruh yang
memiliki potensi revolusioner tapi juga petani. Marx
sebelumnya memang mengatakan bahwa hanya kaum

709
Alan Woods dan Ted Grant, (2015), Nalar yang Memberontak: Filsafat
Marxisme dan Sains Modern, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 43.

1188
buruhlah yang memiliki potensi revolusiner, karena mereka
memiliki keterikatan langsung dalam hubungan-hubungan
produksi dan penggunaan alat-alat produksi. Keadaan
mayoritas kelas buruh semakin tersisihkan oleh mesin dan
terus ditindas segelintir kelas borjuis, sehingga dengan
sendirinya—akibat konflik internal kapitalisme—akan timbul
kesadaran kelas proletar. Tetapi teori ini disempurnakan
Lenin. Mula-mula dia melihat realitas perkembangan sosio-
historis Rusia yang berbeda dengan apa yang dijelaskan Marx.
Baginya kekuatan revolusioner juga dimiliki oleh petani-
petani kecil di pedesaan. Rusia pada masa Tsar sebagian besar
penduduk-penduduknya bekerja sebagai petani, sementara
yang menjadi buruh pabrik tidaklah begitu banyak. Makanya
Lenin menorehkan analisis, perjuangan kelas proletar
melawan kelas borjuis itu hanya dapat beroleh kemenangan
ketika kekuatan buruh dan petani telah bersatu. Sikap ini
sekaligus membuktikan bagaimana marxisme tampil sebagai
ilmu yang tidak melulu berisi dogma.

Itulah mengapa Lenin sampai mengeritik pandangan Marx


tentang perjuangan partai kelas buruh. Dalam What is To Be
Done, Lenin merevisi bentuk tertentu dari teori ekonomi-
politik Marx. Dia seolah tidak percaya bahwa konflik internal
kapitalisme dengan sendirinya akan membangkitkan
kesadaran kelas proletar. Baginya kesadaran yang akan
ditimbulkan hanyalah berupa kesadaran serikat dagang.
Perjuangan serikat-serikat buruh itu sekedar mampu
membangkitkan kesadaran ekonomistik di kalangan mereka
sendiri. Ini tidak cukup untuk merobohkan kekuasaan Tsar,
karena buruh masih belum merasa perlu memasuki
perjuangan politik. Apalagi rezim sangat berpengaruh di

1189
semua kelas, strata, dan kelompok sosial masyarakat lainnya,
termasuk dalam aspek kehidupan dan aktivitas keagamaan,
ilmiah dan budaya. Karenanya, harus diupayakan
pembangunan dan penguatan kesadaran politik untuk
melawannya. Lenin akhirnya menorehkan gagasan tentang
pentingnya partai politik yang terkoordinatif dan militan.
Sebuah organisasi yang terdiri dari ‘revolusioner profesional’;
mereka akan bekerja memimpin kaum buruh dan petani, serta
merumuskan cara-cara merebut kekuasaan melalui strategi
politik yang cerdas.

Di tangan Lenin tahapan perjuangan kelas disempurnakan.


Marx sebelumnya telah menjabarkan revolusi terbagi ke dua
tahapan: pertama, revolusi yang dipelopori oleh golongan
borjuis—dengan dibantu para buruh modern—untuk
menghancurkan kelas feodal; dan kedua, adalah revolusi yang
dilaksanakan sepenuhnya oleh kelas proletar untuk
membinasakan para borjuis. Dia menjelaskan bahwa revolusi-
revolusi itu akan terjadi dengan sendirinya. Ketika konflik
inheren tercipta dan pada puncak perkembangan kapital sudah
tidak lagi dapat ditoleransi, maka kaum tertindas akan
merebut kekuasaan negara. Tetapi melalui Lenin kedua tahap
tadi dijadikan satu. Dalam mencapai revolusi sosialis itu tidak
ada lagi pembagian antara revolusi borjuis dengan revolusi
proletariat, melainkan cuma ada revolusi proletar—revolusi
yang dipimpin oleh kelas proletariat. Untuk itulah Lenin
membentuk Partai Bolsyewik yang menjadi ‘pelopor
proletariat’. Marx memang mewajibkan adanya organisasi
kelas buruh. Namun organisasi ini sekedar menjadi lembaga
yang mengkoordinasi kesadaran massa. Artinya, gerakannya
bersifat pasif karena menunggu munculnya kesadaran kelas

1190
pekerja dari kontradiksi internal kapitalisme, untuk kemudian
disatukan menjadi kekuatan yang besar.

Lenin tidak setujui dengan cara itu. Makanya dia mengambil


langkah maju: membentuk organisasi politik yang berdisiplin
tinggi dan tersentralisasi, serta secara terus-menerus
menyuntikan kesadaran sosialis ke dalam pikiran kaum buruh
dan kaum tani. Indoktrinasi harus dilakukan secara sadar,
nyata dan terencana oleh orang-orang profesional, dan
selanjutnya dilakukan pengoordinasian yang efektif untuk
menyelenggarakan revolusi proletariat. Revolusi kemudian
dipimpin oleh buruh-buruh dengan bantuan para petani. Lenin
menegaskan bahwa tidak pernah mungkin ada gerakan
revolusiner tanpa organisasi yang berdisiplin tinggi dan
berjiwa revolusioner. Itulah mengapa ia berkeyakinan bahwa
kesadaran politik dapat ditanamkan kepada kaum buruh dan
tani dari luar pertarungan ekonomi; di luar dari atmosfer
pertarungan kelas penindas dan yang ditindas, buruh dan
majikan. Kesadaran itu baginya dapat disuntikan
menggunakan sebuah organisasi revolusioner. Pemikiran
inilah yang membuat perjuangannya begitu tegas, jelas dan
menjaga kebersihan organisasi dari unsur yang ceroboh dan
kabur:

Perjuangan partai memberi kekuatan dan daya hidup


partai; ketidaktegasan dan kekaburan garis-garis batas
yang terang merupakan bukti nyata kelemahan partai;

1191
partai menjadi kuat dengan membersihkan dirinya
sendiri.710

Gagasan tersebut berhasil memberikan kemenangan bagi


segenap kaum tertindas di Rusia. Kekuasaan diraih bukan
dipelopori borjuis, tetapi langsung melalui tangan proletar.
Itulah yang terjadi dalam Revolusi Oktober 1917. Proletariat
dengan penuh keberanian berjuang mengalahkan kekuasaan
Tsar. Perjuangan kaum buruh dan tani dalam kepemimpinan
Partai Bolsyewik terbukti mampu memerangi kapitalis. Ide-
ide perlawanan Lenin selanjutnya dikenal dengan ‘leninisme’.
Sebuah pemikiran yang telah menegaskan kembali kata Marx
dan Engels bahwa ekonomi bukan penentu perjuangan kelas.
Tetapi yang menentukan perkembangan sejarah dan
masyarakat adalah produksi dan reproduksi. Inilah yang
kemudian membawa Lenin melakukan perlawanan
menggunakan organisasi politik yang terdiri dari revolusioner
profesional yang memproduksi kesadaran kelas melalui
doktrinasi. Pemikiran itu dalam khazanah komunis
disandingkan bersama pemikiran Marx menjadi marxisme-
leninisme. Mazhab ini menempatkan imperialisme sebagai
tahap tertinggi dari perkembangan kapitalisme:

Imperialisme mulai dari zaman kapital bank, zaman


monopoli-monopoli kapitalis raksasa, zaman
perkembangan kapitalisme menjadi monopoli
kapitalisme monopoli-negara—telah
mendemonstrasikan dengan kekuatan yang khusus
suatu pengokohan yang luar biasa dari ‘mesin negara’

710
Tulisan Lenin dalam Surat Lesalle kepada Marx 24 Juni 1852, lihat
Saiful Arif dan Eko Prasetyo, (2004), Lenin Revolusi Oktober 1917,
Yogyakarta: Resist Book. Hlm. 74.

1192
dan suatu pertumbuhan yang tinggi yang didukung oleh
aparat birokrasi dan militer, dalam hubungannya
dengan pengintensifan tindakan-tindakan penindas
terhadap proletar baik di negeri monarkis maupun di
negeri-negeri republik yang paling merdeka.

Indonesia merupakan pembuktian dari bercokolnya


kapitalisme pada negara republik, yang menggunakan
birokrasi dan militer sebagai penopangnya. Kapitalisme
bahkan berkembang dengan pesatnya. Bukan sekedar soal
modal dan produksi, tapi juga mode, hak asasi dan ilusi
demokrasi yang begitu rupa. Pada situasi dan kondisi inilah
HMI sebagai organisasi perjuangan diharapakan mengambil
langkah maju. Kekuatan modal sudah menerobos masuk ke
dalam tubuh organisasi. Itu merupakan penyakit peradaban
modern yang harus segera diberi antidot. Uang yang berputar
dalam Kongres secepatnya mesti diusir. Langkah pertamanya
adalah menumbuhkan kesadaran perlawanan pada diri kader.
Maka teori-teori marxisme-leninisme perlu ditanamkan dalam
tubuh organisasi. Caranya dapat dengan melakukan
indoktrinasi-indoktrinasi dalam forum-forum perkaderan.
Tugas ini harus dibebankan kepada BPL. Master of Training
mesti mendobrak kebuntuan HMI.

Sekarang rasa-rasanya tidak ada cara lain yang paling tepat


dilakukan, kecuali dengan mencontoh Lenin: melalui
revolusioner profesionalnya membangkitkan kesadaran kelas
pada buruh dan petani. Tauladan dari perjuangan Lenin ialah
memberi pelajaran berharga, terutama dalam menempatkan
Master of Training sebagai revolusioner profesionalnya HMI.
Tugas mereka sederhana: menanamkan kesadaran sosialisme
pada kader. Bagi Lenin, seorang revolusioner profesional

1193
tidak melulu berasal dari kelas buruh, karena yang penting
adalah kesanggupannya menjalankan tanggung jawab dengan
baik. Itulah makanya Lenin juga meyakini bahwa untuk
melakukan indoktrinasi kesadaran sosialisme dapat pula
dilakukan oleh kaum terpelajar.711 Tanpa menjadi organisasi
revolusioner memang sangat lucu kalau dibayangkan
gerombolan Master HMI mengambil peran sebagai kelompok
terpelajar yang menjadi revolusioner profesional untuk
membekali dan menyadarkan kader-kader himpunan—dengan
teori-teori revolusioner—untuk melawan kapitalisme.

Adam Smith pernah berkata: ‘pekerjaan dalam sistem


kapitalisme mengandung efek yang membahayakan terhadap
pikiran, mental, karakter buruh’. Dalam kondisi inilah kelas
pekerja kesulitan mencapai kesadaran sosialis, tapi hanya
mendapatkan kesadaran serikat buruh. Dalam tubuh himpunan
yang sudah diselimuti kekuatan modal ini—jika diandaikan
posisi kader sebagai kelas pekerja, maka dirinya juga cumalah
terbatas kesadarannya. Kesadaran yang dimiliki sebatas dalam
bentuk kesadaran berhimpun, bukan kesadaran yang
revolusioner. Ini oleh beberapa variabel: pertama, (seperti
ketika Kongres) semua medium pemikiran dan opininya
dikontrol (mafia); dan kedua, kader dalam organisasi yang
tercemari oleh kekuatan modal secara lugu menerima ide-ide
dan ideologi kapitalisme yang bekerja dalam kesadarannya
tanpa ia sadari. Berhadapan dengan keadaan inilah dibutuhkan
‘kekuatan dari luar’ diri kader yang mampu menyuntikan
kesadaran perlawanan pada mereka. Hal demikian lagi-lagi

711
John Molyneux, (2015), Mana Tradisi Marxis yang Sejati, Yogyakarta:
Rumah Penerbitan Bintang Nusantara, Hlm. 17.

1194
harus dilakukan dengan bertolak dari pemikiran Lenin—
disuntikan lewat kelompok kecil dalam HMI: master yang
memiliki peran ibarat revolusioner profesional.

Dalam konteks himpunan, doktrin-doktrin sosialisme ilmiah


itu harus dipadukan dengan sosialisme Islam. Perpaduan ini
bukan bertujuan membangkitkan kesadaran revolusioner
kader untuk menggulingkan kekuasaan seorang Ketua Umum,
melainkan mempertajam pikiran, menghaluskan perasaan, dan
menambat kehendeak mereka akan pentingnya melawan
kekejian-kekejian kapitalisme. Inilah yang nantinya membuat
para anggota himpunan tak lagi menjadikan organisasi
sebagai batu pijakan menuju ke kursi-kursi kekuasaan dengan
alasan naïf: melakukan perubahan dari atas, yakni lewat
instansi pemerintahan. Tetapi HMI akan dijadikan sebagai
senjata perjuangan mewujudkan kehidupan masyarakat adil-
makmur yang diridhoi Allah SWT, terutama melalui gerakan-
gerakan sosial yang dibangun dari bawah—bersama kaum
tertindas, terhiap dan miskin di mana-mana. Singkatnya, anak-
anak muda yang telah digugah kesadarannya dengan teori
revolusioner pasti mendapati dirinya memiliki kesadaran
revolusioner. Di sinilah mereka akan mengambil peran aktif
dalam organisasi. Tidak mudah dirinya terbujuk oleh rayuan
modal, tetapi akan berhimpunan dengan sikap yang
berdisiplin dan berani. Kedisplinan dan keberanian inilah
yang akan memperkokoh gerakan organisasi.

Itulah mengapa Master of Training harus mulai mendidik


kader-kader himpunan dengan teori-teori revolusioner yang
dapat membangkitkan kesadaran perlawanan. Kesadaran itu
akan tumbuh dan berkembang pada diri banyak anak muda

1195
seiring dengan bertambah kelamnya realitas kehidupan yang
terus-menerus dicemari kapitalisme. Kesadaran tersebut
dengan sendirinya mendorong pemiliknya untuk melakukan
gerakan-gerakan perubahan. Di titik inilah HMI dapat
mendayagunakan kader-kader revolusionernya. Mereka selain
berproses di Komisariat, juga sangat tepat disalurkan ke tiap-
tiap lembaga pengembangan profesi (LPP) yang ada di
wilayah kerja Cabang maupun PB. Karena lambaga
mempunyai spektrum lebih luas ketimbang Komisariat,
Korkom, Cabang, Badko, atau PB. Kelembagaan yang semula
mempunyai fungsi praksis sangatlah cocok untuk diarahkan
oleh aneka kader yang mempunyai kesadaran revolusioner.

Lembaga ekonomi, pendidikan, hukum, seni-budaya, dakwah,


pecinta alam, kesehatan, pertanian, teknologi, pers, termasuk
bidang keperempuanan. Adalah merupakan wadah yang dapat
dijadikan senjata dalam mengemban mandat sosio-historis. Di
tangan kader-kader yang dididik dengan teori-teori
revolusioner tadi, peran utama lembaga-lembaga ini ialah
menjadi jembatan yang menjadi akses HMI ke masyarakat.
Melalui lembaga, himpunan bisa secara efektif melakukan
komunikasi, pengembangan dan pengadvokasian
kepentingan-kepentingan rakyat. Kalau sudah begini, kelak
organisasi tidak akan pernah sepi dan terasing dari
masyarakat. Singkatnya: himpunan bukan hanya dijadikan
alat perjuangan mahasiswa, tetapi juga ‘pembina, pembela
dan pembantu’ yang aktif menyelesaikan permasalahan dan
melayani kebutuhan kongkrit rakyat di sekitarnya. Dalam
kerja inilah HMI dapat menampilkan dirinya sebagai
organisasi yang revolusioner. Kedekatan organisasi dengan
rakyat jangan sepintas diartikan himpunan telah berubah

1196
bentuk ke organisasi yang menjadikan masyarakat luas
sebagai sasaran keanggotaannya. Tidak! Rakyat yang bukan
mahasiswa tentu tak bisa menjadi anggota HMI. Tetapi kader-
kaderlah yang menjadi elemen pendukung perjuangan
mereka. Melalui lembaga yang ada dalam tubuh himpunan,
mereka dibangkitkan kesadaran kelasnya dan didorong untuk
membetuk sebuah perserikatan atau perhimpunannya sendiri.
Organisasi-organisasi yang mereka bentuk tidak boleh
dilepaskan dari pantauan, melainkan gerakan mereka
diusahakan membangun hubungan yang terus-menerus
dengan lembaga-lembaga HMI. Artinya setiap lembaga yang
ada dalam himpunan memiliki pekerjaan riil: membangkitkan
kesadaran rakyat untuk mendirikan organisasi dan berjuang
dengan tenaga dan kemampuannya sendiri.

Hanya dengan berorganisai dan berjuang bersama maka


massa-rakyat ikut berperan sebagai kekuatan penggerak
sejarah dan pembentuk masyarakat baru. Mereka tidak
dipandang dengan stereotip: bodoh, rendah, lemah, dan aneka
penghinaan yang begitu rupa. Tetapi mereka berdaya untuk
menentukan nasibnya sendiri. Perjuangan-perjuangan untuk
melawan kapitalisme kemudian tidak dilakukan secara solo
oleh HMI; tapi secara teratur, terarah, dan terorganisir
bersama-sama dengan kaum tertindas, terhisap dan miskin
yang sudah sadar bahwa dirinya mempunyai kemampuan
untuk terlibat dalam kerja-kerja gerakan. Namun dalam
membangkitkan kesadaran melawan kapitalisme; lagi-lagi
tidak boleh tidak, materialisme dialaketis dan dialektika
historis harus dijadikan sebagai rujukan. Tidak mungkin
kesadaran kader-kader terus-menerus mengekor pada
kesadaran senior, terutama mafia Kongres. Melainkan sudah

1197
saatnya sebuah kesadaran didapati langsung dari keadaan
sosial sekelilingnya: situasi dan kondisi kehidupan yang telah
dihegemoni kekuatan modal. Negara tidak memiliki
kemandirian dalam mengambil keputusan. Tubuh
pemerintahan dipenuhi oleh elemen-elemen oligarkis dan
korup. Merekalah yang dengan mudah mengkomersialisasi
sektor kesehatan dan pendidikan. Perusahaan-perusahaan
negara di tangan para kapitalis ini juga dengan mudah
diswastanisasi. Makanya kekayaan-kekayaan alam menjadi
barang yang terus-menerus dicuri asing tanpa proteksi.
Indonesia kini seolah menjadi germo di mata negara-negara
imperialis—melacurkan sumber daya alam, tenaga kerja dan
pelnbagai kebijakan.

Itulah sumber dari segala penderitaan rakyat. Kaum tertindas,


terhisap dan miskin semakin dihardik. Fenomena ini menuntut
untuk ditolak. Ketika HMI berkenan menyilangkan
komunisme dengan tradisi Islam; dipastikan program-program
kerja organisasi nggak bakal terasing di luar kebutuhan-
kebutuhan kongkret perjuangan rakyat. Pada saat itulah
himpunan tak akan berpijak dengan kepalanya, melainkan
sudah berdiri menggunakan kakinya. Basis teoritis yang
disediakan marxisme atau marxisme-leninisme begitu berguna
sebagai selang untuk menyerap keberadaan sosial yang
kemudian membentuk kesadaran sosial. Kesadaran sosial
kader yang didapatkan dari keadaan-keadaan konkret itu
selanjutnya dibenturkan dengan kesadaran ketuhanan. Dalam
konteks inilah ‘apa yang nyata’ dan ‘apa yang seharusnya’
akan berdialog. Ajaran-ajaran syurgawi agama dihadap-
hadapkan dengan realitas duniawi. Kekerasan, kejahatan,
ketimpangan, penindasan, kemiskinan dan pelbagai bentuk

1198
ketidakadilan yang terjadi dalam kenyataan hidup umat
manusia tentu mengusik sikap keberagamaan HMI. Saat itulah
Islam hadir menjiwai perjuangan organisasi dan mendapat
tarikan dan jalan yang jelas untuk aktualisasikan. Singkatnya:
melalui gerakan demikianlah prinsip-prinsip sosialisme Islam
dapat diartikulasi ke kerja-kerja perlawanan untuk mengubah
dunia demi mewujudkan insan akademis, pencipta, pengabdi,
yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah
SWT.

Dengan sikap keberagamaan materialis yang memberi ruang


pada teori revolusioner, maka gerakan HMI kelak pasti bukan
sekedar asal-asalan dan sebatas cari panggung buat eksis.
Tetapi penuh perhitungan teoritis dan ideologis. Demikian
hanya bisa tercapai apabila ilmu komunis dijadikan teori
gerakan yang akan memajukan Islam bukan sebatas sebagai
agama, tepi lebih-lebih: ideologi HMI. Perspektif marxis akan
menggeser agama dalam bentuknya yang tak ideologis.
Agama yang digeser ini didefinisikan Durkheim, sebagai
kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-
persaan pribadi; suatu peniruan terhadap modus-modus,
ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-
praktek yang secara sosial telah mantap selama generasi demi
generasi. Tetapi sebagai ideologi, agama akan dipraktekan
sebaagai keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawab
kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang ada. Bagi
Syariati, agama jenis itu dapat dilihat ketika nabi-nabi besar
muncul dari kalangan suku-suku tertentu; saat mereka
memimpin gerakan-gerakan historis untuk membangkitkan
dan mencerahkan kemanusiaan, dan pada waktu mereka

1199
memproklamiskan semboyan-semboyan secara jelas dalam
mendukung massa manusia. Itulah agama yang menampilkan
bentuk ideologis.

Namun sekarang banyak agama yang telah merosot dalam


bentuk agama sebagai tradisi—mengambil bentuk lembaga-
lembaga sosial. Itulah yang tengah terjadi dalam tubuh
himpunan, agama yang diletakkan sebagai jati diri organisasi
tak mampu diarahkan menjangkau dan menggerakan massa
rakyat. Inilah mengapa himpunan ditawarkan untuk
mengidiologikan Islam melalui filsafat marxis. Materialisme
dialektis akan membawa ajaran ilahiah mengalir dan
berbenturan langsung dengan kenyataan-kenyataan di dunia
materi. Sedangkan materialisme historis membentangkan peta
agar kader-kader tahu mana jalur yang dapat membawanya
berjuang bersama kekuatan penggerak sejarah dan pembentuk
masyarakat: massa-rakyat dan proletariat. Aliran filsafat
materialisme dialektis dan historis dapat memberikan bantuan
pada HMI untuk mengungkap kondisi ekonomi dan sosial
masyarakat, serta membuat kader-kadernya dapat mengetahui
di manakah posisi kelas sosialnya. Ketika telah berhasil
mendapatkan abstraksi yang utuh dari sistem dan struktur
yang ada dalam kehidupan konkret dan mendapati sebuah
keadaan yang jelek—tidak sesuai dengan yang diidealkan
oleh ajaran-ajaran ilahiah—maka pada saat inilah agama
harus ditempatkan sebagai spirit pendobrak realitas yang tidak
diinginkan.

Dengan memeluk sikap keberislaman yang materialis, maka


marxisme dapat ditempatkan sebagai tangga untuk menaikkan
agama yang berbentuk tradisi pada tingkat agama sebagai

1200
ideologi. Ali Syari’ati memang tidak menyatakan bahwa
filsafat merupakan pembentuk ideologi. Tetapi dia tidak
memungkiri peran filsafat dalam membentuk ideologi. Secara
empiris, banyak aliran pemikiran filosofis yang telah
menyusun dan menguatkan ideologi. Dan usaha-usaha
penyusunan dan penguatan ideologi kebanyakan dilakukan
melalui organisasi dan gerakan yang menyoroti persoalan
sosio-historis. Ini persis yang dijelaskan Syari’ati tentang cara
menjadikan agama sebagai ideologi:

Seseorang yang sedang memilih suatu ideologi,


pertama kali akan berpikir tentang status kelas
sosialnya, kondisi ekonomi dan politik masyarakatnya,
serta keadaan masa itu. Ia akan bisa mengetahui
mengapa ia tidak suka dan tidak puas dengan sistem
yang ada. Ia selanjutnya akan yakin pada keharusan
adanya perubahan dan pembaharuan yang mendasar
pada sistem tersebut. Untuk mengarahkan dan
memberikan tujuan akan keyakinannya itu, ia memilih
suatu ideologi. Ideologi itu dipilih untuk mengubah dan
merombak status-quo.712

Dipadukan dengan ajaran Islam, maka teori marxis mampu


melecut perjuangan himpunan. Perpaduan ajaran ilahiah
dengan marxisme bahkan diprediksi akan menghadirkan
gerakan ideologis yang unik: komunisme ditempatkan
seruangan dengan Islam. Mereka tidak bersatu dan tidak pula
terpisah, tetapi saling menguatkan. Kondisi tersebut dapat
terjadi ketika HMI tidak meletakkan kedua ajaran dalam
posisi yang sejajar, melainkan Islam lebih mendapati letak

Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam,


712

Bandung: Penerbit Mizan, Hlm. 88.

1201
yang lebih tinggi daripada komunis. Akibat ketinggian Islam
itulah yang sekali lagi harus kita rendah hati katakan bahwa
agama sebagai ajaran langit membutuhkan sebuah teori yang
memang berada di bumi. Itulah kenapa materialisme dialektis
dan historis amat tepat untuk mengupayakan terwujudnya
suasana surgawi dalam kehidupan duniawi. Kita tentunya
sangat menyayangkan apabila HMI dalam gerakan-
gerakannya mematutkan keyakinan sempit seperti Wilhem
Weitling. Dia adalah seorang aktivis sosialis yang mempunyai
keyakinan kolot: gerakan yang berkemajuan tidak harus
berlandaskan teori yang maju.

Sikap Weitling mungkin sama halnya dengan gerakan HMI


tempo hari: tidak butuh teori dan menentang propaganda.
Pada 1846 di Kota Brusel, Belgia, tingkat penghargaan atas
kemanusiaan merosot tajam di bawah kaum borjuis; kelas
pekerja dan rakyat kebanyakan berada dalam posisi yang
mengenaskan. Bagi Weitling, rakyat sudah cukup tertindas
dan siap melawan. Kebetulan pada saat itu Marx ada di kota
tersebut. Namun Marx hanya memilih untuk mencari teori
ketimbang asal praktek. Itulah yang membuat dirinya
mengecam Marx: menulis analisa kursi goyang mengenai
doktrin-doktrin yang jauh dari dunia kehidupan rakyat yang
menderita. Pernyataannya kemudian dibantah oleh Marx:
‘ketidaktahuan tidak pernah menolong siapapun’. Weitling
memang begitu pragmatis, baginya yang dibutuhkan bukanlah
teori dan propaganda dalam menangani hal-hal yang
berhubungan langsung dengan penderitaan rakyat; tetapi
slogan-slogan agitasi yang sederhana, aksi-aksi langsung dan
kenekatan. Sementara Marx memahami bahwa untuk
menumbangkan kapitalisme dibutuhkan persatuan rakyat yang

1202
diperlengkapi dengan senjata ideologi yang lengkap, dan
harus dibangun dengan propaganda yang sabar. Massa harus
dididik dan dilatih untuk memiliki cara pandang dunia yang
luas. Tidak hanya berurusan dengan isi perut mereka saja,
tetapi menyentuh semua aspek kehidupan: seni, sastra, sains,
kebudayaan, sejarah, filsafat, dan sebagainya.

Sudah tak bisa dipungkiri dan mangkir. Bahwa dalam


mendorong maju perjuangannya HMI membutuhkan teori-
teori revolusioner. Tidak mungkin gerakan organisasi terus
bersandar pada mazhab kekuasaan yang konservatif. Soalnya
ini dapat mengurung pergerakan dalam teori politik yang
dominan di masyarakat, ketimbang memilih teori revolusioner
dan mengembangkannya berdasarkan kebutuhan gerakan.
Apalagi kita mengerti kalau teori-teori yang mendominasi
kehidupan hari-hari ini selalu menjadi penyangga kepentingan
kelas borjuis. Itulah yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat kapitalis. Editor Militan Indonesia Ted Sprague
menjelaskan bagaimana kelas berkuasa mempertahankan
kekuasaannya tidak hanya dengan senjata dan kekerasan,
tetapi terutama nilai-nilai, moralitas, gagasan, dan filsafat.
Mereka berkuasa bukan sekadar dengan polisi dan tentara
saja, melainkan pula orang-orang bayaran, yang mereka
tempatkan di sekolah-sekolah, kantor-kantor media, tempat-
tempat ibadah, dan setiap sudut di mana rakyat ingin mencari
pengetahuan.

Di satu pihak, rakyat tertindas dibuat percaya bahwa


masyarakat kapitalis adalah bentuk yang paling alami dan
tanpanya umat manusia akan punah. Di lain pihak, rakyat
pekerja yang melawan dalam setiap langkahnya dijauhkan

1203
dari kesimpulan-kesimpulan revolusioner. Dengan segala
perangkat kekuasaan yang dimiliki kelas penguasa terus-
menerus mengupayakan agar doktrin-doktrin marxis ditakuti
dan ditabukan dalam kehidupan masyarakat. Tebaran
pandangan kekuasaan inilah yang kemudian menyebabkan
pelarangan, bahkan perpecahan sampai pertengkaran demi
membatasi pembelajaran ilmu komunis. Mereka begitu ingin
melanggengkan status-quo, sampai tega menyebar prsangka,
stigma, fitnah dan tuduhan bengis. Pembatasan ini
digencarkan karena marxisme merupakan ajaran yang
menantang dan berniat menghancurkan tatanan masyarakat
kapitalis. Mengerti dengan revolusionernya teori inilah
kenapa ilmu tersebut perlu sekali diajarkan dalam perkaderan
HMI. Lebih-lebih dalam bentuk keberislaman yang
materialis—sikap keberagamaan yang berdiri di atas cara
pandang, prinsip dan praktek komunis. Louis Althusser
memang menyatakan bahwa marxisme bukan sekedar ilmu
kaum proletar. Definisi marxisme sebagai teorinya kaum
buruh hanya akan menurunkan marxisme ke ‘level ideologi’.
Padahal posisi puncaknya adalah sebagai ilmu pengetahuan
sosial. Inilah mengapa kemudian John Molyneux
mengungkapkan bahwa ilmu komunis itu bukan hanya
dikhusukan untuk proletariat:

Definisi marxisme sebagai ilmu proletarian tidak


membatasi teori ini kepada analisis perjuangan kelas
buruh ataupun kepada sistem kapitalis saja (walaupun
ini jelas merupakan tugas utama kaum sosialis). Kita
dapat saja menganalisis keseluruhan sejarah umat
manusia sampai zaman modern.… Contohnya tulisan
Engels tentang proses munculnya manusia dari
makhluk yang lebih primitif (ke yang modern).

1204
Argumentasi tulisan ini adalah bahwa kerja merupakan
syarat dasar dari kehidupan manusia.

Pandangan yang menempatkan komunisme hanya sebagai


ideologi yang mengancam keberadaan kapitalisme berasal
dari kelas borjuis, dan itu menyesatkan. Mereka biasanya
menganggap bahwa marxisme tidak obyektif untuk dikatakan
sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu baginya hanyalah ilmu alam,
bukan ilmu sosial. Padahal pengetahuan selalu merupakan
hubungan antara orang yang mengetahui dan apa yang
diketahui: subyek dan obyek. Dalam ilmu alam obyek
pengetahuan itu alam yang terletak di luar manusia.
Sedangkan untuk ilmu sosial, obyeknya adalah masyarakat
yang terdiri atas manusia dan gabungan dari hubungan-
hubungannya. Konsekuensi dari perbedaan ini adalah, semua
manusia mempunyai hubugan yang kurang lebih sama melalui
hukum-hukum alam, tetapi dalam hukum-hukum sosial
sangatlah berbeda-beda. Penjelasannya begini: sebagai akibat
dari hukum gravitasi, seorang buruh dan seorang kapitalis jika
melompat dari puncak Monas pasti mereka akan menabrak
bumi dengan kecepatan yang sama, dan sama-sama mati. Ini
merupakan analisis melalui ilmu alam, hasilnya ialah
kematian. Sementara dalam ilmu sosial—hukum ekonomi—
tentu tidak mengakibatkan hasil yang sama untuk keduanya.
Mereka tidak hanya meninggal dunia, melainkan juga
menghasilkan kemiskinan untuk keluarga buruh dan tidak
berubahnya kemakmuran bagi kapitalis.

Marxisme adalah ilmu sosial, jadi wajar tidak seobyektif


sebagaimana keobyektifan ilmu alam. Lenin menjelaskan:
‘mengharapkan ilmu sosial bersikap netral dalam sebuah

1205
masyarakat kapitalis adalah sebodoh dan senaif
mengharapkan sikap netral kaum majikan dalam menentukan
apakah gaji kaum buruh akan dinaikkan dengan mengurangi
laba perusahaan’. Sikap inilah yang dibenci oleh kelas borjuis,
sehingga marxisme, marxisme-leninisme (komunisme); atau
apapun namanya—Itu diharamkan dan wajib dibinasakan dari
muka bumi. Namun kita mengerti bahwa hanya melalui
analisis marxislah didapati pengetahuan komprehensif tentang
alam, manusia dan masyarakat. Sederhananya: salah satu
manfaat belajar teori ini bagi HMI, adalah bisa digunakan
dalam menentukan sebuah program kerja yang progresif-
revolusioner. Boleh jadi melalui pisau analisa marxismelah
himpunan mendapati kesimpulan bahwa problem umum yang
dialami selama ini ialah belum tuntasnya perjuangan meraih
kemerdekaan (pembebasan nasional) yang sejati, karena
rongrongan musuh-musuh rakyat: (1) Penjajahan Modal
Asing (Imperialisme); (2) Agen-Agen Imperialis (Borjuis
Nasional dan Komprador); (3) Sisa-Sisa Orba (Golkar dan
Militerisme—TNI-Polri Fasis) dan Partai Borjuis; (4)
Reformis Gadungan; dan (5) Fundamentalisme dan Milisi
Sipil Reaksioner.

Meyakini teori dan praktik perlawanan yang berlaku dalam


tradisi marxis, maka sebuah perjuangan pembebasan nasional
haruslah dilakukan dengan membangun kekuatan rakyat-
pekerja dengan seluruh kaum tertindas, terhisap dan miskin.
Maka setelah tahu macam-macam musuh rakyat; kita dituntut
untuk mengetahui apa saja yang menjadi kekuatan rakyat
sekarang: (1) Organisasi dan Penyatuan Perjuangan Rakyat;
(2) Keterlibatan Langsung Rakyat dalam Demokrasi
Kerakyatan; (3) Pemerintahan Rakyat Miskin; (4) Ilmu

1206
Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Alam
Berkelanjutan; dan (5) Manusia yang Sehat, Produktif,
Merdeka, Melawan, dan Bersolidaritas. Dengan mengenal
kekuatan-kekuatan rakyat inilah organisasi dapat menarik
garis demarkasi dan memasang posisi diametral terhadap
musuh-musuh rakyat. Memancang sikap berlawan pada
merekalah dibutuhkannya prinsip politik yang tegas: Anti-
Kooptasi dan Anti-Kooperasi. Di sisi lain, melaksanakan
perjuangan kelas ini pula meniscayakan adanya metode
gerakan tersendiri. Metode itu terutama untuk menguatkan
perjuangan politik rakyat dalam melawan musuh-musuh
kekuasaannya. Koran Pembebasan dari Partai Pembebasan
Rakyat (PPR) menjelaskannya sebagai Persatuan Mobilisasi:

Dengan persatuan mobilisasi maka rakyat dapat


melipatgandakan kekuatannya; melipatgandakan
tuntutannya; melipatgandakan keberanian
perlawanannya; melipatgandakan kualitas
perjuangannya sehingga tuntutan mendesak dan
strategis dapat terwujud. Mobilisasi perlawanan dengan
persatuan tersebut harus dirancang dengan terorganisir
dan sistematis agar setiap orang yang terlibat dalam
persatuan mobilisasi menyadari landasan dan
konsekuensi dari mobilisasi (aksi) perlawanan tersebut.
Semakin banyak yang sadar maka akan semakin sedikit
peluang dari agen-agen imperialis/penjajah untuk
memecah-belah perlawanan rakyat….713

Berdiri di atas prinsip dan metode perjuangan seperti itulah


organisasi dituntut menetapkan program yang revolusioner.

713
https://koranpembebasan.org/2008/03/19/program-prinsip-dan-metode-
politik-rakyat-miskin/

1207
Program itu tidak ditujukan untuk melindungi dan
melancarkan kepentingan kelas penguasa, melainkan
melayani kepentingan kaum terhisap, tertindas dan miskin.
Adapun untuk melaksanakan gerakan pembebasan nasional,
maka program-program berikutlah yang dapat ditawarkan:
Umum, Pejuangan (Strategis, Tuntutan Mendesak Rakyat,
Tuntutan Mendesak Mahasiswa), Ideologi, Politik, dan
Organisasi:

1208
Program Pembebasan Nasional

A. Program Umum

Menuntaskan perjuangan Pembebasan Nasional


(Penggulingan Rezim) dengan melawan Imperialisme,
Pemerintahan Agen Imperialis dan menghancurkan Sisa-Sisa
Feodalisme dalam lapangan budaya serta mempercepat
pembentukan Pemerintahan Buruh dan Rakyat (Pemerintahan
Kaum Tertindas, Terhisap dan Miskin).

B. Program Perjuangan (Jangka Panjang)

1. Strategis

a. Bangun industrialisasi (pabrik) nasional dan


nasionalisasi industri vital dan pertambangan di bawah
kontrol buruh dan rakyat.
b. Hapus utang luar negeri.
c. Nasionalisasi industri perbankan di bawah kontrol
buruh dan rakyat.
d. Tangkap, adili dan sita harta koruptor dengan
melibatkan partisipasi rakyat.
e. Pajak progresif bagi kaum elit dan perusahaan-
perusahaan besar.

2. Tuntutan Mendesak Rakyat

a. Pembukaan lapangan pekerjaan.


b. Menuntutenam jam kerja.
c. Upah layak nasional untuk kesejahteraan buruh.
d. Hapus sistem kerja kontrakdan outsourching.

1209
e. Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, feminis, ekologis
dan bervisi kerakyatan.
f. Kesehatan gratis yang berkualitas.
g. Kuota 50 % untuk perempuan di semua jabatan publik.
h. Perluas ruang demokrasi, lawan rasisme dan berikan
kebebasan berideologi, beragama dan berkeyakinan.
i. Pemenuhan hak terhadap kaum disabilitas.
j. Membela kebebasan identitas dan orientasi seksual.
k. Pemanfaatan alam untuk kesejahteraan secara ekologis.
l. Tanah, modal dan teknologi modern di bawah komite
tani.
m. Perumahan bersubsidi, modern dan layak untuk rakyat.
n. Air bersih dan higienis, BBM, listrik dan sembilan
bahan pokok yang murah.
o. Bubarkan komando teritorial TNI.
p. Adili Partai Golkar dan Jendral Pelanggar HAM.
q. Lawan dan adili milisi sipil reaksioner.
r. Membangun kebudayaan maju dan kerakyatan.
s. Menolak pernikahan anak di bawah umur, poligami dan
kekerasan seksual.
t. Tarik militer dari tanah Papua dan mendukung
perjuangan Rakyat-Bangsa Papua Barat untuk
menentukan nasibnya sendiri.

3. Tuntutan Mendesak Mahasiswa

a. Lawan komersialisasi kapitalisasi, privatisasi, dan


komersialisasi pendidikan; wujudkan pendidikan gratis,
demokratis, ilmiah, berkarakter kerakyatan, mandiri,
ekologis, dan feminis.
b. Masukan karya-karya sastra maju (Pramoedya Ananta
Toer, Jose Rizal, dll) dalam kurikulum.
c. Bangun Dewan Mahasiswa dan Majelis Civitas
Akademik.

1210
d. Bentuk Pengadilan Perselisihan Akademik.
e. Lawan diskriminasi berbasis gender, suku, agama, ras,
antar-golongan, orientasi seksual, dan disabilitas dalam
kehidupan kampus.

4. Program Ideologi, Politik, dan Organisasi (Jangka


Pendek)

Program Ideologi

a. Mengkampanyekan budaya progresif.


b. Penyebaran alat-alat propaganda regular (koran,
selebaran dan poster).
c. Membangun infrastruktur propaganda: pendidikan IT
dan pendidikan jurnalistik.
d. Mengkampanyekan seluas-luasnya perjuangan
pembebasan nasional kepada seluruh rakyat.
e. Mempropagandakan kebudayaan progresif, melawan;
budaya sisa feodalisme, budaya konservatif-
fundamental dan kebudayaan imprealis untuk
menuntaskan perjuangan pembebasan nasional.
f. Mempropagandakan perjuangan untuk pembebasan,
kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
g. Menyelenggarakan pendidikan secara regular dan
sistematis.
h. Standarisasi kurikulum pendidikan pembebasan.
i. Menelaah kebijakan di dunia pendidikan.
j. Menyelenggarakan konfrensi-konfrensi Stratak untuk
mempertajam landasan dan konsep perjuangan ke
depan.
k. Memproduksi, mendistribusikan dan mendiskusikan
koran organisasi dan alat-alat propaganda lainnya.

Program Politik

1211
a. Mengkampanyekan keberhasilan sosialisme di Amerika
Latin.
b. Mengampanyekan kebaikan-kebaikan sosialisme.
c. Membangun gerakan berkesadaran kerakyatan dan
berprinsip mandiri dan demokratis.
d. Membangun Front Persatuan Gerakan Rakyat untuk
Melawan Imprealisme dan Agen-Agen Imprealis.
e. Mengkampanyekan persatuan gerakan rakyat sebagai
kekuatan sejati perubahan bagi masyarakat Indonesia
agar tidak lagi terjatuh dalam cengkraman borjuasi
antek neo-liberalisme.
f. Mengkampanyekan perlawanan atas praktek-praktek
gerakan yang kooptatif, kolaboratif dan kooperatif
dengan imprealis dan agen imprealis dengan agitasi dan
propaganda yang berkelanjutan.
g. Mengkampanyekan dan menggalang solidaritas
terhadap perjuangan rakyat di negeri-negeri yang
sedang melawan imprealis maupun yang tengah
memperjuangkan demokrasi dari Pemerintahan
Diktator.
h. Mengkampanyekan gerakan budaya pembebasan.
i. Mengkampanyekan hak penentuan nasib sendiri untuk
Rakya-Bangsa Papua Barat.
j. Mendesak pembubaran KAHMI selaku sarang
kapitalis-oligarki dan sisa-sisa Orba.
k. Aksi serentak nasional pertiga bulan.

Program Organisasi

a. Bidang Pembinaan Anggota: (1) Menajamkan materi


terurai LK I, LK II, LK III agar lebih dinamis sesuai
kebutuhan-kebutuhan organisasi dan kenyataan-
kenyataan perkembangan sosio-historis; (2) Mendorong
seluruh struktur kepemimpinan HMI mengembangkan

1212
Latihan Kader yang berdasarkan kesadaran dari
kenyataan-kenyataan lingkungan di mana struktur
kepengurusan itu berletak; (3) menyusun silabus dan
menyelenggarakan pusdiklat yang progresif-
revolusioner; (4) Bekerja sama dengan BPL dalam
mengembangkan ajaran keberislaman yang materialis
(Islam yang memakai aliran filsafat materialisme
dialektis dan historis) untuk kemudian dipadukan ke
dalam penyampaian materi NDP kepada peserta
training dan anggota; (5) Menertibkan pelaksanaan dan
pembinaan anggota di semua jenjang (menindak tegas
tindakan-tindakan titip menitip kader dalam kegiatan
perkaderan); (6) menyusun silabus pembinaan atau
follow up (terutamamenikberatkan pada hal-hal yang
mampu mendorongan kader untuk membaca, menulis,
berdiskusi dan melakukan aksi [yang bukan hanya
demonstrasi] dan penciptaan lingkungan pembinaan
yang terbebas dari unsur dogmatis); (6) Bekerja sama
dengan bidang terkait untuk menyusun data base
anggota dengan teliti dan terus-menerus diperbaharui
tiap tahun; (7) Mengadakan konferensi-konferensi
ideopolitorstratak (ideologi, politik, organisasi, strategi
dan taktik) untuk mempertajam landasan dan konsep
perjuangan ke depan; (8) Mengupayakan organisasi
mendayagunakan teknologi, seperti membangun
infrastuktur propaganda untuk pembinaan kader, yaitu:
pendidikan IT dan pendidikan jurnalistik; dan (9)
Menumbuhkembangkan sifat kader yang berani dan
berempati, serta bersikap penuh tanggung jawab untuk
senantiasa terlibat dalam gerakan sosial membela
kepentingan rakyat.

1213
b. Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi: (1)
Melakukan restrukturisasi terhadap pengurus-pengurus
yang stagnan, bermasalah, terutama pragmatis, dan
wajib menerapkan menajemen organisasi berbasis
teknologi. (2) Menegakan disiplin organisasi dengan
tegas dan tanpa pandang bulu terhadap anggota-anggota
yang melanggar AD/ART: kepengurusan tidak tepat
waktu, anggota yang sudah dan/atau belum memenuhi
kriteria menjadi pengurus, dan sebagainya; (3)
Menyusun pola rekruitmen pengurus HMI yang
ideologis, militan, berdisiplin dan taat konstitusi, serta
menindak keras pelanggaran-pelanggaran apabila
ditemukan dalam draft rancangan kepengurusan; (4)
Menghidupkan kembali struktur-struktur
kepemimpinan organisasi yang vakum; (5) Perluasan
organisasi ke daerah-daerah atau kampus dan geo-
politik lain yang belum ada sturuktur kepemimpinan;
(6) Mengefektifkan pelaksanaan pembuatan laporan
kegiatan dengan seksama; (7) Terus-menerus
melakukan sosialisasi kepada aparat dan anggota
organisasi agar membawa gerakan HMI ke arah yang
berkarakter kerakyatan, mandiri, demokrtatis, ekologis
dan feminis; (8) Membersihkan organisasi dari
pengaruh-pengaruh imperialisme, agen-agen imperialis,
dan musuh-musuh rakyat lainnya; dan (9) Memecat
aparatur-aparatur organisasi yang terlibat many politic
dalam setiap pesta demokrasi HMI dan yang melakukan
praktik seksisme.
c. Bidang Administrasi dan Kesekretariatan: (1) Terus
melakukan penyempurnaan terhadap pedoman
administrasi kesekretariatan sesuai dengan

1214
perkembangan internal dan eksternal organisasi; (2)
Mengupayakan tersedianya secretariat HMI yang
representative dan permanen di setiap wilayah dan
Cabang; (3) Melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat
membuat secretariat menjadi pusat dokumentasi dan
informasi organisasi; (4) Melakukan Up-Grading
kesekretariatan secara teratur, terencana dan sistematis;
(5) Melakukan pengadaan sarana dan prasarana
secretariat sesuai dengan kebutuhan nyata akan
perkembangan zaman, terutama menyediakan
perpustakaan dengan bahan-bahan bacaan yang
progresif-revolusioner untuk para kader; perpus juga
dapat diadakan secara online; dan (6) Mengadakan,
mengaktifkan dan meningkatkan pengelolaan koran dan
alat-alat propaganda HMI untuk keperluan informasi-
informasi seputar perkaderan dan pergerakan, terutama
demi kepentingan agitasi-propaganda organisasi kepada
mahasiswa dan rakyat (aktivitas ini dapat menggandeng
LTMI).
d. Bidang Keuangan dan Perlengkapan: (1) Menyusun
sistem pendanaan, pengelolaan dan pengawasan dana
organisasi yang berasal dari uang halal dan anti
meminta atau mempergunakan dana dari kapitalis; (2)
Mengaktifkan pengelolaan iuaran anggota secara
modern, disiplin dan penuh tanggung jawab; (3) Tidak
menggantungkan diri pada sokongan anggaran dari
alumni HMI; (4) Melakukan kegiatan-kegiatan usaha
progresif sebagai sumber dana untuk membiaya
kebutuhan organisasi (salah satunya, adalah melalui
kerja sama dengan Lapmi untuk membuat dan
menyebarluaskan secara intensif alat-alat propaganda

1215
regular [surat kabar, surat kabar online, selebaran,
pamflet dan karikatur perlawanan—hasil penjualan
koran bisa digunakan untuk membiayai kehidupan
HMI]); (5) Menegakkan tertib administrasi keuangan
dengan tegas; dan (6) Menyusun anggaran rutin dan
anggaran kegiatan.
e. Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi:
(1) Menjadikan Lembaga Pengembangan Profesi (LPP)
untuk melakukan kerja-kerja perlawanan:
mempraktekan gerakan-gerakan pembelaan terhadap
kepentingan mahasiswa-siswa dan kaum miskin dan
tertindas, untuk kemudian membina dan
mengembangkan potensi mereka; (2) Mensinergikan
antara LPP yang satu dengan yang lainnya, dan
mendorong mereka untuk membangun jaringan
bersama elemen-elemen progresif: buruh, petani,
nelayan, pedagang kaki lima, tukang ojek dan tukang
becak, juru parker, dan lain-lain, untuk kemudian
mereka dibuatkan sebuah perserikatan atau
perhimpunan sendiri, yang berguna sebagai wadah
perjuangannya; (3) Mengembangkan LPP berdasarkan
potensi, minat, serta bakat dari anggota di Wilayah dan
Cabang; dan (4) Mendorong LPP-LPP untuk membantu
dan memperlancar program-program organisasi dari
pelbagai bidang HMI.
f. Bidang Pemberdayaan Perempuan: (1) Sosialisasi
pelaksaan pedoman dasar Kohati; (2) Mendorong kader
HMI-Wati untuk sungguh-sungguh mengembangkan
dirinya menjadi seorang perempuan yang progresof-
revolusioner, hingga mamutkan komitmen untuk
senantiasa melakukan perjuangan pembebasan

1216
perempuan; (3) Melaksanakan indoktrinasi teori-teori
feminisme melalui forum-forum khusus perempuan; (4)
Melakukan kajian/diskusi keperempuan dengan materi-
materi perlawanan terhadap kapitalisme dan budaya
patriarki-seksisme dan sisa-sisa feodal; (5) Mengadakan
kerja sama dengan elemen-elemen progresif dari
organisasi-organisasi lainnya untuk sama-sama
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan untuk
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat; (6)
Melaksanakan advokasi atas isu-isu keperempuanan
dengan terus-menerus dan berdisiplin tinggi; (7)
Mempelopori kampanye-kampanye tentang pentingnya
kuota 50% untuk perempuan di setiap jabatan publik;
(8) Melatih HMI-Wati untuk mengembangkan dirinya
menulis karya-karya sastra perlawanan: puisi dan
roman-roman untuk pembebasan, kesetaraan dan
keadilan bagi perempuan (untuk ini Kohati perlu
bersinergi dengan LSBMI); dan (9) Demi
menumbuhkan profesionalitas dan menjaga kobaran
jiwa pergerakan HMI-Wati, ada baiknya HMI-Wan
dibatasi untuk tidak menjadikan pacaran dengan HMI-
Wati sebagai preferensi.
g. Bidang Hubungan Internasional: (1) Membangun
hubungan dan meningkatkan kerjasama dengan
pelbagai organisasi progresif internasional: mahasiswa,
pemuda, dan rakyat; (2) Rutin melakukan kajian-kajian
terhadap permasalahan-permasalahan internasional; (3)
Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang
pelbagai dinamikan internasional; (4) Terus
mengembangkan strategi rekruitmen untuk meng-HMI-
kan mahasiswa Islam yang berada di luar negeri dan

1217
mengembangkan progresivitas Cabang HMI di luar
negeri, serta terus merintis pendirian Cabang baru; (5)
Berperan aktif dalam gerakan-gerakan pemuda,
mahasiswa, dan rakyat Internasional dalam menentang
kapitalisme-imperialisme dan totalitarianisme; (5)
Mengutuk keras setiap kerja sama-kerja sama
internasional yang dilakukan Indonesia dengan negara-
negara penganut kapitalisme, totalitarianisme, dan
zionisme; (6) Melakukan kontrol-kritik-protes terhadap
setiap kebijakan (neoliberal) luar negeri dari
Pemerintah Indonesia; (7) Melaksanakan konferensi-
konferensi untuk memperkuat gerakan Internasional
dalam melawan kolonialisme, kapitalisme,
imperialisme, fasisme, dan totalitarianisme; dan (8)
Menggalang dukungan dunia internasional dalam
perjuangan pembebasan yang dilakukan rakyat-rakyat
tertindas di pelbagai negeri tertindas, terhisap dan
jajahan.
h. Bidang Pembangunan Nasional: (1)
Mengkampanyekan pentingnya persatuan nasional
dalam bentuk kesatuan gerakan rakyat untuk melawan
kapitalisme-imperialisme; (2) Bekerja sama dengan
lembaga-lembaga progresif lainnya untuk membangun
front persatuan gerakan rakyat dalam melawan paham-
paham kapitalisme-imperialisne dan agen-agennya; (3)
Melalui agitasi dan propaganda yang berkelanjutan,
dilakukan perlawanan terhadap praktek-praktek
gerakan yang kooperatif, kooperasi dan kolaboratif
pada kapitalis-birokrat, kapitalis swasta dan kapitalis-
imperialis; (4) Memberikan kritik dan saran setiap
penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan otonomi

1218
daerah; (5) Mengutuk keras setiap pelaksanaan Pemilu
yang penuh kecurangan, kebohongan dan tidak
demokratis; (6) Memberikan pendidikan politik yang
dapat membangkitkan kesadaran rakyat bahwa dirinya
sedang berada di bawah ancaman kapitalisme; (7)
Mendukung penuh setiap gerakan-gerakan rakyat yang
memperjuangkan hak-haknya; (8) Melakukan dialog
seluas-luasnya untuk demokratisasi dan kesetaraan
rakyat-rakyat daerah di Indonesia yang terbelakang,
termelaratkan, dan terabaikan; terutama rakyat Papua;
(9) Menyebarluaskan bacaan-bacaan yang progresif
kepada seluruh rakyat melalui surat kabar, majalah dan
media online; dan (10) Menyerang budaya: konsumtif,
konservatif, sisa-sisa feodal, patriarki, kolonialis-
imperialis dengan kampanye-kampanye budaya
progresif yang berbasis kerakyatan.
i. Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan
Kepemudaan: (1) Mengutuk keras dan menolak
komersialisasi-leberalisasi pendidikan; (2) Melakukan
pembelejetan terhadap ideologi kapitalisme-
neoliberalisme yang dipasok pada mahasiswa dan yang
sekarang bercokol dalam kurikulum pendidikan; (3)
Mengkampanyekan seluas-luasnya tentang pentingnya
ongkos kuliah yang murah dan terjangkau; (4)
Mendesak dihentikannya represifitas, kekerasan,
intimidasi dan persekusi terhadap aksi-aksi mahasiswa,
pemuda dan rakyat; (5) Menolak tindakan-tindakan
pelarangan dan pembakaran buku, terutama buku kiri;
(6) Mengadakan latihan-latihan yang progresif untuk
dapat mengembangkan semangat advokasi dari
mahasiswa, pemuda dan masyarakat guna membela

1219
kepentingan rakyat miskin dan tertindas; (7)
Membentuk sistem jaringan organisasi dan gerakan
mahasiswa dengan menggandeng elemen-elemen
progresif di universitas yang bersedia bekerja sama,
seperti: organisasi internal dan eksternal kampus,
dosen, satpam, penjaga kantin; kemudian memperluas
spektrum kerja sama dengan elemen progresif di luar
kampus: kelas pekerja; (8) Membantu memproduksi
dan mendistribusikan koran organisasi dan alat-alat
propaganda lainnya; dan (9) Mengasah profesionalisme
dan aktivisme kader dengan menyalurkan mereka untuk
mendukung kerja-kerja gerakan yang dilakukan LPP.
j. Bidang Pemberdayaan Umat: (1) Merumuskan pola
hubungan kerja sama yang dinamis dan progres antara
HMI dengan lembaga-lembaga masyarakat sipil dan
organisasi-organisasi keagamaan nasional maupun
internasional; (2) Melakukan fungsionalisasi prinsip-
prinsip (sosialisme) Islam dalam kehidupan
bermasyarakat; (3) Membuatkan, mengembangkan dan
memajukan media-media komunikasi antargenerasi
muda Islam; (4) Meningkatkan aktivitas pelaksanaan
kajian-kajian mengenai perkembangan pemikiran Islam
di struktur-struktur kepemimpinan HMI; (5)
Mempropagandakan dengan seluas-luasnya ajaran-
ajaran sosialisme dan mengutuk keras upaya-upaya
pengadudombaan antara Islam dengan komunisme; (6)
Melawan segala tindakan yang melakukan
komersialisasi ajaran Islam dalam berbagai bidang
kehidupan umat; (7) Mengutuk keras ustad-ustad yang
menjual agama Islam; dan (8) Mengkampanyekan

1220
dengan seluas-luasnya tentang pentingnya melawan
fitnah-fitnah dari kapitalisme.
k. Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan
Lingkungan Hidup: (1) Melakukan kajian kritis
terhadap berbagai aspek perlindungan dan pengelolaan
SDA dan lingkungan hidup; (2) Mendorong kader HMI
agar tergerak untuk melakukan pengawasan terhadap
aspek-espek perlindungan dan pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup; (3) Melaksanakan advokasi terhadap
permasalahan-permasalahan terkait perlindungan dan
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup; (4)
Mengkampanyekan seluas-luasnya keharusan
pemanfaatan SDA secera berkesinambungan dan
kewajiban menjaga kelangsungan lingkungan hidup; (5)
Berkerja sama dengan pelbagai elemen masyarakat sipil
untuk mengontrol kinerja pemerintah dalam upaya-
upaya perlindungan dan pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup; (6) Menyebarkan propaganda
tentang kejamnya eksploitasi kekayaan alam dan
kerusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan-
perusahaan pertambangan dan perkebunan di Indonesia;
(7) Mendesak perbaikan dan pemulihan lingkungan
hidup yang telah dirusak oleh perusahaan-perusahaan
pertambangan; (8) Melaksanakan pelatihan progresif
terkait pengawasan pengelolaan SDA dan lingkungan
hidup kepada anggota organisasi, mahasiswa dan
rakyat; dan (9) Menyelenggarakan konverensi-
konverensi untuk mengembangkan dan memajukan
konsep pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.
l. Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia HAM: (1)
Melaksanakan kajian kritis terhadap perbagai aspek

1221
hukum dan HAM; (2) Mendorong kader HMI supaya
terlibat aktif dalam melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan hukum dan penegakan HAM di Indonesia;
(3) Menyelenggarakan pelatihan advokasi masalah
hukum dan HAM; (6) Mendadvokasi tiap-tiap
kejahatan hukum dan HAM secara terus-menerus; (5)
Melaksanakan konferensi-konferensi dalam
mengembangkan dan memajukan konsep hukum dan
HAM; (6) Mendesak ditangkap dan berikannya
hukuman terhadap semua pelaku kajahatan
kemanusiaan di Indonesia dan Papua. (7) Mendesak
diberlakukannya penegakan hukum dan HAM yang
mengutamakan aspek keadilan untuk rakyat miskin dan
tertindas; (8) Mendesak agar diberhentikannya
keterlibatan militer dalam memangku jabatan publik;
(9) Memprotes praktik brutalistik dan militeristik dari
TNI-Polri dan memperjuangkan pelenyapan brutalisme
dan militerisme; dan (10) Mengampanyekan tentang
pentingnya pemberian keadilan untuk seluruh kaum
tertindas, terhisap dan miskin yang telah menjadi
korban pelanggaran HAM.

1222
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman, Moeslim (Pengantar), (2003), Islam Pribumi,


Jakarta: Erlangga.

Acher, Jules, (2017), Kisah Diktator: Biografi Politik Para


Penguasa Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran, Yogyakarta:
Narasi.

Aidit, D.N., (1964), Revolusi, Angkatan Bersendjata, dan


Partai Komunis (PKI dan AURI), Djakarta: Jajasan
Pembaruan.

Aidit, D.N., (1964), Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan


Desa, Djakarta: Jajasan Pembaruan.

Aidit, D.N., (1964), Kibarkan Tinggi Panji Revolusi,


Djakarta: Jajasan Pembaruan.

Aidit, D.N., (1997), Menuju Indonesia Baru, Djakarta: Jajasan


Pembaruan.

Ajidarma, Seno Gumira, (2004), Jazz, Parfum, dan Insiden,


Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.

Akbar, N.R., (2020), Siapa Menjerat Gus Dur?; Intrik Politik,


Oligarki, dan Konspirasi, Yogyakarta: Media Pressindo.

Akmal Tarigan, Azhari, (2018), Nilai Dasar Perjuangan HMI


Teks, Interpretasi dan Kontekstualisasi, Bandung: Simbiosa
Rakatama Media.

1223
Al Banna, Hasan, (2018), Risalah Pergerakan Ikhwanul
Muslimin 2, Surakarta: Era Adicitra Intermedia.

Alfian, M. Alfan, (2013), HMI 1963-1966 Menegakkan


Pancasila di Tengah Prahara, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.

Al-Mundari, Syafinuddin, (2003), HMI & Wacana Revolusi


Sosial, Makassar: Penerbit Hijau Hitam.

Al-Mandari, Syafinuddin, (2003), Demi Cita-cita HMI,


Jakarta: PT Abadi.

Althusser, Louis, (2008), Tentang Ideologi; Marxisme


Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, Yogyakarta:
Jalasutra.

Ananta Toer, Pramoedya, (2003), Panggil Aku Kartini Saja,


Jakarta Timur: Lentera Dipantara,.

Ananta Toer, Pramoedya, (1985), Sang Pemula, Jakarta:


Hasta Mitra.

Anwar, Yozar, (1981), Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20:


Kisah-Kisah Perjuangan Anak Muda Pemberang, Jakarta:
Sinar Harapan.

Anwar, Ahyar, (2009), Genealogi Feminis, Jakarta:


Republika.

1224
Anam, Munir Che, (2008), Muhammad SAW & Karl Marx:
Tentang Masyaarakat Tanpa Kelas, Yogyakarta; Pustaka
Pelajar.

Arif, Saiful dan Eko Prasetyo, (2004), Lenin Revolusi Oktober


1917, Yogyakarta: Resist Book.

Arismunandar, Satrio (2014), Mereka yang Takluk di


Hadapan Korupsi, (tanpa kota): Inspirasi.co Denny JA’s
Public Library.

Aritonang, Diro (1999), Runtuhnya Rezim Daripada


Soeharto: Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998,
Bandung: Pustaka Hidayah.

Ariva, Gadus, (2003), Filsafat Berperspektif Feminis,


Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Asghar, Ali dan Pamungkas, Aridho, (2013), Perpecahan


HMI Menggugat Kebangkitan Intelektual, Jakarta: Bumen
Pustaka Emas.

A. Winters, Jeffrey, (2011), Oligarki, Jakarta: Penerbit PT


Gramedia Pustaka

AZ, L. Santoso, (2017), Para Penggerak Revolusi Arus


Sejarah Pemikiran dan Mereka untuk Perubaha Dunia,
Yogyakarta: Laksana.

Azca, M. Nazib, dkk (tim peneliti KontraS), (2004), Ketika


Moncong Senjata Ikut Berniaga; Laporan Penelitian

1225
Keterlibatan Militer dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven
Digoel dan Poso, Jakarta: KontraS.

Bachriadi, Dianto dan Wiradi Gunawan, (2011), Enam


Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di
Indonesia, Bandung: Agrarian Resource Centre (ARC)
bekerjasama dengan Bina Desa & Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA).

Baidhawy, Zakiyuddin, (2007), Islam Melawan Kapitalisme,


Yogyakarta: Resist Book.

Bakri, Syamsul, (2015), Gerakan Komunisme Islam Surakarta


1914-1942, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara.

Balbus, Issac (1988), Bentuk Komoditi dan Hukum: Suatu


Esai tentang ‘Otonomi Relatif Hukum’ dalam Hukum, Politik
dan Perubahan Sosial, Jakarta: YLBHI.

Barsamian, David & Liem Siok Lan (pewawancara), (2009),


Menembus Batas (Beyond Boundaries) Damai untuk Semesta,
Semarang: PT Aneka Ilmu.

Baudrillard, Jean, (2011), Masyarakat Konsumsi, Yogyakarta:


Kreasi Wacana.

Berkman, Alexander, (2018), Apa Itu Anarkisme Komunis?,


Yogyakarta: Penerbit Jalan Baru.

Bertens, K., (1979), Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta:


Penerbit Yayasan Kanisius.

1226
Brewer, Anthony, (1999), Kajian Kritis Das Kapital Karl
Marx, Jakarta: Teplok Press.

Bustami, Abu Yazid, (ed), (2014), HMI Masih Ada; Refleksi


Para Kader HMI, Depok: Layar Terkembang.

Camus, Albert, (2015), Pemberontak, Yogyakarta: Narasi.

CP, Valentinus Saeng, (2012), Herbert Marcuse Perang


Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: Gramedia.

Culla, Suryadi Adi, (1999) Patah Tumbuh Hilang Berganti:


Sketsa Pergolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah
Indonesia 1980-1998, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Dakidae, Daniel, dkk, (1991), Di Atas Panggung Sejarah dari


Sultan ke Ali Murtopo, Jakarta: LP3ES.

Dhakidae, Daniel, (2003), Cendikiawan dan Kekuasaan


dalam Negara Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustakan.

Dhakidae, Daniel, (2015), Menerjang Badai Kekuasaan;


Meneropong Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok
Gie, Sampai Putra Sang Fajar, Bung Karno, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.

Doli, Ahmad Kurnia, (2002), Meluruskan Jalan menuju


Khittah HMI, Yogyakarta: Belukar.

DS, Soegiri dan Edi Cahyono (tak bertahun), Gerakan Serikat


Buruh; Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru,
(tanpa kota): Hasta Mitra.

1227
Dwi Hartanto, Agung, (2008), Karya-Karya Lengkap Mas
Marco Kartodikromo: Pikiran, Tindakan dan Perlawanan,
Jakarta: Boekoe.

Eagleton, Terry, (2002), Marxisme dan Kritik Sastra,


Yogyakarta: Sumbu.

Eda, Fikar W. dan S. Setya Dharma, (1999), Sebuah


Kesaksian: Aceh Menggugat, Jakarta: Sinar Harapan.

Effendi, Djohan dan Ismed Natsir (Peny.), (2003), Pergolakan


Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta;
Pustaka LP3ES Indonesia dan Freedom Institut.

Effendi, Djohan dan Ismed Natsir (Penyunting), (2016),


Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib,
Jakarta: LP3ES.

Engels, Frederick, (tanpa tahun), Dialektika Alam, (tidak


berkota): Hasta Mitra.

Engels, Frederick, (2007), Tentang Das Kapital, Modified &


Authorised by: Edi Cahyono Webmaster.

Engineer, Asghar Ali, (2000), Islam dan Teologi


Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Engineer, Asghar Ali, (2009), Islam dan Teologi


Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

1228
Fakih, Mansour, (2001), Sesat Pikir Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press.

Fakih, Mansoer, (2011), Jalan Lain; Manifesto Intelektual


Organik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fauzi HA, Muchriji dan Ade Komaruddin Mochamad


(penyunting), (1990), HMI Menjawab Tantangan Zaman,
Jakarta: Penerbit PT Gunung Kulabu.

Fromm, Erich, (2004), Konsep Manusia Menurut Marx,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fromm, Erich (Penerjemah FX Dono Sunardi), (2018), The


Art of Living; Hidup Antara Memiliki dan Menjadi,
Tangerang: Baca.

Foucault, Michel, (1997), Seks & Kekuasaan; Sejarah


Seksualitas, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Foucault, Michel, (penerjemah: Yudi Santoso), (2017),


Power/Knowledge; Wacana Kuasa/Pengetahuan,
Yogyakarta: Narasi bekerja sama denagan Pustaka Promethea.

Gazalba, Sidi, (1990), Sistematika Filsafat: Buku Pertama


Pengantar kepada Dunia FIlsafat, Jakarta: Bulan Bintang.

Goldman, Emma (Penerjemah Bima Satria Putra), (2017), Ini


Bukan Revolusiku, Salatiga: Pustaka Catut.

Gorz, Andre (2005), Sosialisme & Revolusi, Yogyakarta:


Resist Book.

1229
Gramsci, Antonio, (2017) Sejarah dan Budaya, Yogyakarta:
Narasi - Pustaka Promethea.

Grenwald, Glenn, (2016), No Place To Hide: Edward


Snowden: Pembongkar Sistem Pengintaian Massal AS,
Yogyakarta: Bentang.

Gunawan, dkk, (2009), Menyulut Lahan Kering Perlawanan:


Gerakan Mahasiswa 1990-an, Jakarta: Spasi dan VHR Book.

Hadiz, Vedi R. (2005), Menggugat Otoriterisme di Asia


Tenggara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Hafidz, Abdul, dkk (ed.), (1997), HMI dan KAHMI:


Menyongsong Perubahan, Menghadapi Pergantian Zaman,
Jakarta: Majelis Nasional KAHMI.

Hanafi, Hasan, (Prolog), (2003), Dari Akidah ke Revolusi,


Jakarta: Paramadina.

Hardiman, F. Budi, (2013), Dalam Moncong Oligarki;


Skandal Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.

Hariqo Wibawa, Satria, (2011), Lafran Pane; Jejak Hayat dan


Pemikirannya, Jakarta Selatan: Penerbit Lingkar.

Harvey, David, (2010), Imperialisme Baru; Genealogi dan


Logika Kapitalisme Kontemporer, Yogyakarta: Resist Book.

1230
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat; Akar
Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama.

Herbert Marcuse, Marcuse (2016), Manusia Satu Dimensi,


Yogyakarta: Narasi.

Hiariej, Eric (2012), Globalisasi, Kapitalisme dan


Perlawanan, Yogyakarta: institute of International Studies
Jurungan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Husain Pontoh, Coen, (2005), Mitos Tentara Rakyat,


Yogyakarta: Resist Book.

Hok Gie, Soe, (2005), Orang-Orang di Persimpangan Kiri


Jalan, Jakarta: Bentang Pustaka.

Hok Gie, Soe, (2011), Catatan Sang Demonstran, Jakarta:


LP3ES.

Intan Naomi, Omi (ed), (2015), Menggugat Pendidikan:


Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Junge, J. Fabian, (tanpa tahun), Kesempatan yang Hilang,


Janji yang Tak Terpenuhi; Pengadilan HAM Ad Hoc untuk
Kejahatan di Tanjung Priok 1948, Jakarta: KontraS/Watch
Indonesia.

1231
Jusuf Habibie, Bacharuddin, (2006), Detik-Detik yang
Menentukan; Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi,
Jakarta: THC Mandiri.

Kahin, George McTurnan, (1995), Nasionalisme dan Revolusi


Indonesia, Jakarta Pustaka Sinar Harapan.

Karim, Taufik Z., (2012), Otokritik terhadap HMI,


Yogyakarta: Iqra Publishing.

Kasenda, Peter, (2018 ), Peristiwa 27 Juli 1996; Titik Balik


Perlawanan Rakyat, Yogyakarta: Media Pressindo.

Kumar, Deepa, (2012), Islam Politik; Sebuah Analisis Marxis,


Yogyakarta: Resistbook dan IndoPROGRESS.

Kung, Hans, (2002), Etika Ekonomi-Politik Global: Mencari


Visi Baru Bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI,
Yogyakarta: Qalam.

Kusumandaru, Ken Budha, (2004), Karl Marx, Revolusi dan


Sosialisme, Yogyakarta: Resist Book.

Laclau, Ernesto dan Mouffe, (2008), Hegemoni dan Strategi


Sosialis; Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta:
Resist Book.

Line, Max, (2007), Bangsa yang Belum Selesai Indonesia;


Sebelum dan Sesudah Soeharto, Jakarta: Reform Institute.

Listiyono, dkk, (2015), Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi


Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

1232
Lowy, Michael, (2013), Teologi Pembebasan Kiritik
Marxisme dan Marxisme Kritis, Yogyakarta: Insist Press.

Malaka, Tan, (2010), Madilog (Materialisme, Dialektika dan


Logika), Jakarta: PT Suaka Buku.

Machel, Samora, (2018), Membangun Kekuatan Rakyat,


Yogyakarta: Tanah Merah.

Maulana, Yusuf (2015), Aktivis Bingung Eksis; Pentas


Gerakan Mahasiswa di Era Korporatisme Kuasa, Surabaya:
Pustaka Saga.

Marcos, Subcomandate, (2005), Kata Adalah Senjata,


Yogyakarta: Resist Book.

Marx, Karl, (2004), Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik:


Buku Pertama Proses Produksi Kapital, (Indonesia): Hasta
Mitra.

Misbach, HM (2016), Haji Misbach Sang Propagandis,


Yogyakarta: Kendi.

Mills, C. Wright, (2003), Kaum Marxis: Ide-Ide Dasar dan


Sejarah Perkembangannya, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Molyneux, John, (2015), Mana Tradisi Marxis yang Sejati,


Yogyakarta: Rumah Penerbitan Bintang Nusantara.

1233
Moore, John & Spencer Sunshine (ed.), (2014), Aku Bukan
Manusia, Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Poiitik
Anarkisme, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Muawiyah Ramly, Andi, (2013), Peta Pemikiran Karl Marx


[Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis],
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Mulkhan, Abdul Munir, (2002), Teologi Kiri Landasan


Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Munir, (2014), Gerakan Perlawanan Buruh Gagasan Politik


dan Pengalaman Pemberdayaan Buruh Pra Feformasi,
Malang: Omah Munir dan Intrans Publishing.

Mukhtar, Sidratahta (2006), HMI dan Kekuasaan, Jakarta:


Prestasi Pustaka Publisher.

Muhas, Dedy Mujaddid, (2003), Pernik-Pernik Pemikiran


Seorang Aktivis; Catatan dari Ruangan ke Lapangan, Jakarta
Selatan: Komunal.

Mustofa Bisri, A., (2019), Pahlawan dan Tikus Kumpulan


Puisi, Yogyakarta: Diva Press.

Muthahhari, Mutadha, (1988), Falsafah Pergerakan Islam,


Jakarta: Amanah Press.

Murtiningsih, Siti, (2004), Pendidikan Alat Perlawanan,


Depok: Resist Book.

1234
M. Sheehan, Sean, (2003), Anarkisme; Perjalanan Sebuah
Gerakan Perlawanan, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

N, R. Akbar, (2020), Siapa Menjerat Gus Dur; Intrik Politik,


Oligarki, dan Konspirasi Pemakzulan, Yogyakarta: Media
Pressindo.

Newman, Saul, Perang Melawan Negara; Anarkisme dalam


Pemikiran Gilles Deleuze & Max Stirner, Makassar:
Kontinum.

Njoto, (2017), Marxisme, Ilmu dan Amalnya,Yogyakarta:


Berdikari Book.

Nope, C.Y. Marselina., (2005), Jerat Kapitalisme Atas


Perempuan, Yogyalarta: Resist Book.

Nuryanto, M. Agus, (2008), Mazhab Pendidikan Kritis


Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan,
Yogyakarta: Resist Book.

Patria, Nezar & Arief, Andi (2003), Antonio Gramsci: Negara


& Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Poespowardojo, Soejanto dan K. Bertens (ed.), (1978), Sekitar


Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia, Jakarta:
Gramedia. Hlm. 83.

Pranoto, M. Aref dan Hendrajit, (2016), Perang Asimetris dan


Skema Penjajahan Gaya Baru, Jakarta Sealatan: Global
Future Institute Publisher.

1235
Pramula, Beni, (2015), Ironi Negeri Kepulauan, Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.

Pramusinto, Agus & Yuyun Purbokusumo (ed), (2016), In-


donesia Bergerak II: Mozaik Kebijakan Publik 2016,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar & MAP UGM.

Prasetyo, Eko, (2002), Islam Kiri; Melawan Kapitalisme


Modal dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist
Press.

Prasetyo, Eko, (2003), Islam Kiri; Jalan Menuju Revolusi


Sosial, Yogyakarta: Insist Press.

Prasetyo, Eko, (2004), Orang Miskin Dilarang Sakit,


Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2004), Orang Miskin Dilarang Sekolah,


Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2005), Agama itu Bukan Candu, Yogyakarta:


Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2005), Assalamu’alaikum: Islam Itu Agama


Perlawanan, Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko (2005), Orang Kaya di Negeri Miskin,


Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2005), Orang Miskin Tanpa Subsidi,


Yogyakarta: Resist Book.

1236
Prasetyo, Eko, (2006), Guru: Mendidik Itu Melawan,
Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2007), Astaghfirullah! Islam Jangan Dijual,


Ypgyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2007), Jadilah Intelektual Progresif!,


Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2008), Minggir! Waktunya Gerakan Muda


Memimpin! ‘Soekarno, Semaoen dan Moh. Natsir’,
Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2009), Kaum Miskin Bersatulah!, Yogyakarta:


Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2010), Keadilan Tidak untuk yang Miskin,


Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko (2011), Membela Agama Tuhan Potret


Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, Yogyakarta:
Resist Book.

Prasetyo, Eko dan Aditya Permono, (2012), Waktunya Tan


Malaka Memimpin, Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Eko, (2015), Bangkitlah Gerakan Mahasiswa,


Malang: Intrans Publishing.

1237
Prasetyo, Eko, (2016), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif
Atas Kisah-Kisah dalam Qur’an, Malang: Beranda Kelompok
Intrans Publishing dan Social Movement Institute.

Prasetyo, Eko, (2019) AL-ALAQ:Bacalah!, Malang: Intrans


Publishing & Social Movement Institute.

Rakhmat, Jalaluddin (2000), Sufi yang Mengguncang Dunia


dalam Kuliah-kulia Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah.

Rakhmat, Jalaluddin, (2005), Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan


Sufistik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ramly, Andi Muawiyah, (2013), Peta Pemikiran Karl Marx


(Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis),
Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.,

Reid, Anthony, (1999), Dari Ekspansi hingga Krisis (II),


Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

R. Hadiz, Vedi, (2004), Menggugat Otoritarianisme di Asia


Tenggara, Perbandingan dan Pertautan Indonesia dan
Malaysia, Bogor: Kepustakaan Populer Gramedia.

Ridha, Muhammad, (2018), Melawan Rezim Infrastruktur;


Studi Ekonomi-Politik, Yogyakarta Carabaca dan Social
Movement Institute (SMI).

Rizky Utama, Virdika, (2019), Menjerat Gus Dur, Jakarta:


Numedia Digital Indonesia.

1238
Rizky, Awalil dan Nasyith Mahdi, (2008), Neo Liberalisme
Mencengkeram Indonesia, Jakarta: E. Publishing Company.

Robinson, Geoffrey B., (2018), Musim Menjagal: Sejarah


Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, Depok:
Komunitas Bambu.

Robinson, Richard, (2012), Soeharto dan Kebangkitan


Kapitalisme Indonesia, Depok: Komunitas Bambu.

Rosa, John, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30


September dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah
Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Rumi, Jalaluddin, (2001), Matsnawi; Bait-Bait Ilahi untuk


Pendidikan Ruhani, Jakarta: Zaman.

Ruwiastuti, Marita Rita (2009), Sesat Pikir Politik Hukum


Agraria, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar
(Anggota IKAPI).

Sahnan, (2016), Hukum Agraria Indonesia, Malang: Setara


Press.

Saleh, Hasanuddin M., (1996), HMI dan Rekayasa Asas


Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran
bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

Sarwono Kusumaatmadja, (2007) Politik & Lingkungan,


Depok: Koekoesan.

1239
Satya Widodo, Martinus, (2005), Cinta dan Keterasingan,
Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Sayomukti, Nurani, (2012), Sastra Perlawanan: Menggugat


Seni-Budaya Kapitalis, Menegakkan Seni-Sastra Kerakyatan
yang Humanis-Kritis, Malang: Beranda (Kelompok Penerbit
Intrans) & STKIP PGRI Publishing.

Sumule, Agus (2005), Mencari Jalan Tengah: Otonomi


Khusus Provinsi Papua, Jakarta: Penerbit Gramedia.

Sanit, Arbi, (1989), Mahasiswa, Kekuasaan, dan Bangsa,


Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia.

Santoso, Listiyono, dkk, (2015), Seri Pemikiran Tokoh;


Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sastrapratedja, M & Frans M. Parera (ed.), (1991), Niccolo


Machiavelli: Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan
kepada Pemimpin Republik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama,

Shimogaki, Kazou, (2007), Antara Modernisme dan


Posmodernisme: Kiri Islam, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Shiraishi, Takashi, (1990), Zaman Bergerak: Radikalisme


Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti.

Sindhunata, (1982), Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik


Masyarakat Modern oleh Max Horkhoimer dalam Rangka
Sekolah Frankfurt, Jakarta: PT Gramedia.

1240
Solichin (Penyusun), (2010), Candradimuka HMI, Jakarta:
Sinergi Persadatama Foundation.

Solihin, Dadang, (2007), Ekonomi Pembangunan: Overview


Indonesia Masa Krisis 1998, Jakarta: PT Artifa Duta
Prakarsa.

Subkhan, Edi, (2016), Pendidikan Kritis, Kritik atas Praksis


Neoliberalisasi dan Standardisasi Pendidikan, Yogyakarta:
Arruz Media.

Suharsih dan Ign Mahendra K., (2007), Bergerak Bersama


Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial
di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book.

Supartono, Alex, (1991), Marsinah; Campur Tangan Militer


dan Politik Perburuhan Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesaia (YLBHI).

Supriyadi, Eko, (2017), Sosialisme Islam Pemikiran Ali


Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sunardi, St., (2012), Nietzsche, Yogyakarta: LKis.

Sunardi, FX Dono, (penerjemah), (2008), The Art of Living;


Hidup Antara Memiliki dan Menjadi, Tangerang Selatan:
Baca.

Simon, Roger, (2004), Gagasan-gagasan Politik Gramsci,


Yogyakarta: Insist bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

1241
Siregar, M.R., (2007), Tragedi Manusia dan Kemanusiaan;
Holokaus Terbesar Setekah Nazi, Yogyakarta: Resist Book.

Sudarwono Padmosugondo, Imam, (1985), 5 Undang-Undang


Bidang Pembangunan Politik, Jakarta: KPN PB-7 Pusat.

Suryanegara, Ahmad Mansur, (2013), Api Sejarah, Bandung:


Penerbit Salamadani.

Sutopo, FX, (2016), Dinamika Intelijen Dunia, Yogyakarta:


Garasi.

Sitompul, Agussalim, (1995), Korps HMI-Wati dalam Sejarah


1966-1994, Jakarta: CV Misalika Galiza.

Sitompul, Agussalim, (2002), Menyatu dengan, Umat


Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-
Keindonesiaan HMI (1947-1997), Jakarta: LOGOS.

Sitompul, Agussalim (2008), Pemikiran HMI dan


Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia,
Jakarta: CV Misaka Galiza,

Sitompul, Agussalim, (2008), 44 Indikator Kemunduran HMI,


Jakarta: CV Misaka Galiza.

Sitompul, Agussalim (ed.), (2008), HMI Mengayuh di Antara


Cita dan Kritik, Jakarta: CV Misaka Galiza.

Suci, Alfred, (2015), 151 Konspirasi Dunia Paling Gila dan


Mencengangkan!, Jakarta: PT Wahyudi Media.

Sulastomo, (2006), Di Balik Tragedi 1965, Jakarta: Yayasan


Pustaka Umat.

1242
Syari’ati, Ali (1984), Tugas Cendikiawan Muslim, Jakarta:
CV Rajawali.

Syari’ati, Ali (1993), Ideologi Kaum Intelektual; Suatu


Wawasan Islam, Bandung: Mizan.

Syari’ati, Ali (1994), Membangun Masa Depan Islam,


Bandung: Mizan.

Syari’ati, Ali, (1995), Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi,


Bandung: Mizan.

Syari’ati, Ali, (2001), Paradigma Kaum Tertindas Sebuah


Kajian Sosiologi Islam, Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-
Huda.

Syari’ati, Ali, (2003), Kemuliaan Mati Syahid, Jakarta:


Pustaka Zahra.

Syari’ati, Ali, (2011), Do’a Tangisan dan Perlawanan,


Refleksi Sosialisme Religius: Doa Ahlulbait dan Asyura di
Karbala, Yogyakarta: Rausyanfikr Institute.

Syari’ati, Ali, (2013), Sosiologi Islam Pandangan Dunia


Islam dalam Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru,
Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute.

Syari’ati, Ali, (2014), Ummah dan Imamah Kontruksi


Sosiologi Pengetahuan dalam Autentisitas Ideologi dan
Agama, Yogyakarta: Rausyanfikr Institute.

1243
Syari’ati, Ali, (2017), Islam Agama Protes,
Yogyakarta:Pribumi Publishing.

Syari’ati, Ali, (2017), Manusia dan Islam: Sebuah Kajian


Sosiologis, Yogyakarta: Cakrawangsa.

Syari’ati, Ali, (2017), Sejarah Masa Depan, Yogyakarta:


Karkasa.

Tim Redaksi Indopublika, (2017), Che Guevara, Paulo Freire


dan Politik Harapan, Yogyakarta: Penerbit Indopublika.

Tjokroaminoto, HOS, (2010), Islam dan Sosialisme,


Bandung: Sega Asry.

Tohari, Amien, dkk, (2011), Dinamika Konflik dan Kekerasan


di Indonesia, Jakarta: Institut Titian Perdamaian.

Weber, Max, (2012), Sosiologi Agama, Yogyakarta:


IRCiSoD.

Wibowo, I, Demokrasi dan Kapitalisme, dalam I Wibowo dan


B Herry Priyono (Ed), (2006), Esai-esai untuk Frans Magnis
Suseno, Sesudah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Woodfin, Rupert dan Oscar Zarate, (2008), Marxisme untuk


Pemula, Yogyakarta: Resist Book.

Woods, Alan dan Ted Grant, (2015), Nalar yang


Memberontak: Filsafat Marxisme dan Sains Modern,
Yogyakarta: Resist Book.

1244
Zubir, Zaiyardam, (2003), Radikalisme Kaum Pinggiran Studi
tentang Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan,
Yogyakarta: Insist Press.

Booklet, Jurnal, Koran, Skripsi, dll

Albo, Greg dan Carlo Vanelli (penulis), Andre Barahamin dan


Yizkia Yoshie Polimpung (ed), (2015), Penghematan
Melawan Demokrasi, (tanpa kota): IndoPROGRESS.

Altuhusser, Louis, (2015), Ideologi dan Aparatus Ideologi


Negara (Catatan-Catatan Investigasi), (tanpa kota):
IndoPROGRESS.

Anderson, B.R.O.G., (Tanpa Tahun), Negara Kolonial dalam


Baju Orde Baru

Anonim, “Di Bawah Bayang-bayang Kapitalisme Global”,


Komunitas Bambu Ganesha-10 Institut Teknologi Bandung,
28 Oktober 2001.

Anonim, Permasalahan Minyak dan Gas Bumi Timur Leste –


Australia, (tanpa kota): Jurnal Hukum Internasional.

Anonim, (Tanpa Tahun), Seri Studi Kasus: Kasus


Keterlibatan? Exxon Mobil di Pengadilan karena Perannya
dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh, International
Center for Transitional Justice, tanpa volume (tiada nomor).

Aprianto Savio, Roserio Dwi, (2008), Membendung Arus


Gerakan Pro Timur Leste di Indonesia 1991-1999, Skripsi,

1245
Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.

Arif, Abdul, (2013), Pemuda Pancasila dan Rezim Represif


Orde Baru (Skripsi, Prodi Ilmu Politik, Fisipol, UIN
Syarifhidayatullah Jakarta).

Fachrur Riza, Muhammad, (2012), Politik Jaringan KAHMI


dan Kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid (2001), Skripsi,
FISIP, Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Herman Widodo (ed), Jurnal HAM Komisi Nasional Hak


Asasi Manusia, Jakarta: Jurnal HAM, Vol. 12 (Tanpa Nomor).

Jayanti, Kurnia,, (2013), Konflik Terbuka antara Gerakan


Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta,
Al-Turas, Volume XIX (1).

Jurnal Pembebasan No. 12/Th.IV/Minggu III-IV Agustus


1999

Media Tempo, (Tanpa Tahun), Edisi Khusus Soeharto,


Jakarta: Tempo.

Mulyanto, Dede dan Coen Husain Pontoh (ed.), (2017), Bela


Islam atau Bela Oligarki? Pertalian Agama, Politik, dan
Kapitalisme di Indonesia, (tanpa kota): IndoPROGRESS &
Islam Bergerak.

Negoro, Dipo, (2018), Membongkar Dua Kubu Borjuis dalam


Pilpres 2019, Arah Juang, No. 48 (I-II).

1246
Novianto, Arif, dkk, (2018), Dinamika Gerakan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) di Indonesia: Analisis Perspektif Partai
Pelopor Dan Partai Kiri Luas, Jurnal Penelitian Politik, Vol.
15(1),

Parmudi, Mochammad, (2014), Islam dan Demokrasi di


Indonesia: (dalam Perspektif Pengembangan Pemikiran
Politik Islam, Laporan Hasil Penelitian Individual, IAIN
Walisongo, Semarang.

Suwirta, Andi, (2018), Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde
Baru: Studi Kasus Pers Mingguan Mahasiswa Indonesia di
Bandung, 1966-1974, Mimbar Indonesia: Jurnal Indonesia
untuk Kajian Pendidikan, Vol. 3(2).

Syadat Hasibuan, Muhammad Umar (2010), Gerakan Politik


Mahasiswa: Studi Kasus Polarisasi Gerakan Mahasiswa
pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie dan Abdurrahman
Wahid, Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.

Catatan Berorganisasi dan Wawancara

Catatan ber-HMI pada tahun 2017-2018.

Catatan diskusi dengan beberapa aktivis HMI (Maret 2019).

Catatan tentang kejadian mencekam dalam RAK ke-41 HMI


Komisariat FH Unram (2019).

1247
Wawancara dengan beberapa teman dekat dari korban
seksisme HMI-Wan Cabang Mataram (2019).

Wawancara dengan Ketua Umum HMI Komisariat


Tarbiyah—Supriadin (2019).

Dokumen Organisasi

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), (14-27 Februari 2018),


Hasil-Hasil Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam
Meneguhkan Kebangsaan Wujudkan Indonesia Berkeadilan,
Jakarta: Penerbit PB HMI.

Komnas HAM, (Tidak Bertahun), Ringkasan Eksekutif


Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat, Jakarta: Komnas
HAM.

KontraS, (2005), Kertas Posisi Kontras Kasus Trisakti,


Semanggi I dan II; Penantian dalam Ketidakpastian, Jakarta:
KontraS.

KontraS, (2006), Aceh Damai dengan Keadilan?


Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS.

KontraS, (2020), Ringkasan Eksekutif: Laporan Hasil


Penyelidikan KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi
II. Jakarta: KontraS.

Megawati Institute, (2017), Hasil Riset Oligarki Ekonomi,


Jakarta: Megawati Institute.

1248
Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
(PEMBEBASAN), (2021), Pengantar Materialisme
Dialektika Historis, Mataram: PEMBEBASAN Kolkot
Mataram.

Tim Kaderisasi FSBKU, dkk, (2006), Kaderisasi Organisasi


Rakyat: Pengalaman Lima Organisasi Rakyat, Bandung:
Garis Pergerakan dan Pergerakan - People Centered
Advocacy Institute.

Internet

youtube.com | suluhpergerakan.org | anarkis.org |


koranpembebasan.com | independentmovement.id |
indoprogress.com | rowlandpasaribu.wordpress.com |
martinsuryajaya.com | indoprogress.com | marxists.org |
kprm-prd.blogspot.com | Islambergerak.com |
kompasiana.com | jagokata.com | sofian.staff.ugm.ac.id |
prd.or.id | m.voa-islam.com | cnnindonesia |
cnbcindonesia.com | detik.com | kompas.com |
insanlimacita.wordpress.com | nsarchive.gwu.edu |
nyamuklagi.multiply.com | tirto.id | bbc.com | elsam.or.id |
sultra.id | penasoekarno.wordpress.com |
databok.katadata.co.id | gerakanaksara.blogspot.com |
historia.id | id.m.wikipedia.org |
risdiantopattiwael.wordpress.com | merahputih.com |
titastory.id | detikfakta.id | suara.com | politik.rmol.id |
boganinews.com | jpnn.com | kumparan.com | kontan.co.id |
tempo.co | kabar.news | memoonline.co.id | media.neliti.com |
patriot.id | tribunnews.com | republika.co.id | jawapos.com |

1249
pinterpolitik.com | indonesia-investments.com |
budimansudjatmiko.net | katada.id | swamedium.com

1250
1251

Anda mungkin juga menyukai