DIKADER DI ORGANISASI
YANG SAKIT
(Catatan Eks-Anggota HMI)
ii
DIKADER DI ORGANISASI YANG SAKIT
(Catatan Eks-Anggota HMI)
Penulis, Editor
dan Tata Letak : Anonim
Perancang Sampul : Komune dan Kamerad
Email : redaksiindependentmovement
@gmail.com
Facebook : Red Black (Independent
Movement)
Halaman Facebook : Independent Movement
Instagram : @independentmovemen.id
Website : independentmovement.id
iii
Karya ini didedikasikan untuk seluruh kader terhisap
dan tertindas dalam himpunan: mereka yang
dihegemoni kesadarannya, dimanfaatkan kemampuan
kerjanya, dan dilucuti kehendak bebasnya! (Anonim)
***
***
***
iv
SEMACAM PENGANTAR
v
dengan anggota-inferior (junior). Hanya tulisan ini berpihak
kepada yang dihisap dan ditindas. Inilah mengapa Dikader di
Organisasi yang Sakit tak sekedar mendorong perubahan, tapi
terutama membela kader-kader terhisap dan tertindas dalam
himpunan.
Independenr Movement
vi
DAFTAR ISI
SEMACAM PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
PROLOG:
Apa Penyakit HMI dan Bagaimana
Mengobati atau Menghindarinya? 1
vii
Tolaklah Doxa Kaderisasi:
Konsumerisme dan Mimesis 648
Berhati-Hatilah dengan
Berhala Manusia Modern 696
EPILOG:
Bisakah HMI Melawan
Negara dan Kapitalisme? 1135
Program Pembebasan Nasional 1208
viii
PROLOG:
1
bujuk-rayu—kaderisasi kemudian aku ikuti. Selama empat
hari dengan makan, minum dan tidur seadaanya pendidikan
kader dilewati. Sebuah pengalaman baru untuk mahasiswa
yang tidak pernah berorganisasi sama sekali. Karena dari
situlah kudilatih buat berani mengiyakan kehidupan. Hari-hari
yang sebelumnya diisi dengan sekedar main-main diubah
menjadi penuh kegiatan keorganisasian. Hal demikian tidak
terjadi dengan sendirinya, sebelumnya cara berpikir telah
dirombak dan ditata ulang dalam training.
2
demokrasi himpunan. Di tingkat Komisariat yang namanya
Rapat Anggota Komisariat (RAK). Di tingkat Koordinator
Komisariat (Korkom) dinamakan Musyawarah Komisariat
(Muskom). Di tingkat Cabang dikenal sebagai Konferensi
Cabang (Konfercab). Di Tingkat Badan Koordinasi (Badko)
namanya Musyawarah Daerah (Musda). Di tingkat Pengurus
Besar (PB) akrab disebut Kongres.
3
tentang bagaimana caranya bernegara. Jika setiap kali pemilu
negeri ini selalu saja rawan akan politik uang, maka di
himpunan juga terkadang berlaku hal demikian. Biasanya
marak terjadi pada pelaksanaan Kongres. Itulah mengapa
akhir-akhir ini di setiap Kongres HMI selalu ramai dibicaran
soal uang. Mulai dari anggaran pelaksanaan yang bermiliran
sampai dengan harga peserta pemilik suara penuh tak pernah
luput dari pembicaraan.
4
yang memakainya, maka rasa penasaran akan suasana
Kongres telah meluncurkan pertanyaan moral tadi. Itulah
kenapa daripada tiket gratis itu mubazir, lebih baik kami
gunakan.
5
orang-orang besar dan dukungan dari kelas borjuis. Itulah
mengapa beredar kabar bahwa seabrek kandidat dalam
Kongres HMI Ambon berlaga sebagai orang-orang yang
disokong aneka penindas: TNI-Polri, presiden, hingga
pengusaha-pengusaha kapitalis.
6
Ideopolitorstaratak ini sangat berguna bagi HMI. Dapat
digunakan untuk berkuasa, memerintah dan membentuk
orang-orang yang bersedia jadi penurut, serta menarik
dukungan yang banyak untuk berkuasa. Itulah mengapa kedua
Ketum dalam satu organisasi ini, keduanya mempunyai
pengikut dan pendukung yang banyak. Di belakang mereka
juga terdapat para abangnya-abangnya yang konon memiliki
kekuatan besar.
7
menutup pintu untuk mengenal lebih dalam bagaiaman sosok
Marx, Engels, Lenin, Trotsky, dan lain-lain. Dendam kepada
lembaga tertentu kemudian menjadi beban yang
memundurkan gerakan himpunan. Sebab, teori-teori yang
revolusioner ditutup ruangnya untuk selalu dilarang masuk ke
forum perkaderan. Gerakan akhirnya tak punya semangat
progresif. Itulah sebabnya ketika buku-buku kiri dibakar,
ditarik kembali dan dilarang beredar, HMI hanya bergeming.
Sama sekali tak ada niat untuk melancarkan kritik, protes atau
setidak menggulirkan propaganda perlawanan atas tindakan
tersebut. Seolah ini mencerminkan penolakan organisasi
terhadap segala unsur kiri. Kiri baginya bukan sekedar
komunis tapi PKI, maka segala yang kiri sudah pasti PKI.
Tidak ada yang namanya pembedaan antara gagasan dengan
partai. Inilah yang menyebabkan kader-kader lebih suka
gagasan-gagasan yang modernis atau bahkan tardisionalis,
ketimbang transformatif.
8
peran, merupakan sebuah kesatuan yang tidak boleh
terpisahkan. Saya dan beserta teman-teman lainnya, diajarkan
tentang ini. Tujuan organisasi hanya akan tercapai apabila
kader memahami dan mengamalkan variable-variabel
tersebut. Itulah kenapa sehabis mengikuti training, kami
terdorong untuk mengalirkan wacana itu ke aksi. Akisnya
amat sederhana. Ada yang rajin belajar, kuliah biar jadi insane
akademis. Ada yang fokus bikin skripsi atau jurnal ilmiah biar
bisa jadi insane pencipta. Ada juga yang sering mengikuti
kepanitiaan organisasi supaya dianggap insap pengabdi.
Bahkan ada yang semakin rajin sholat, puasa dan mengaji
guna menjadi insan yang bernafaskan Islam. Sementara untuk,
insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat
adil-makmur, mungkin inilah yang menggerakan kader-kader
untuk demo, seminar, kuliah umum, dan lain-lain. Di antara
kelima insan tersebut berasal dari tujuan yang satu, dan
dipecah-pecah. Terpecahnya tujuan juga terkadang
memecahkan pemahaman kader. Itulah mengapa ada kader
HMI tidak mampu menyeimbangkan geraknya: ketika sedang
mewujudkan insan yang A, maka insan yang B atau C
sementara atau bahkan untuk selama-lamanya tidak
dipreferensikan. Hal demikian tercermin pada kader yang
rajin kuliah tapi tidak suka terlibat dalam kativitas himpunan.
Pada kader yang rajin nulis namun tidak suka aksi. Dan pada
kader yang sibuk beribadah saja tanpa harus repot-repot
mengikuti kerja-kerja gerakan. Inilah realitas yang tengah
dialami oleh himpunan. Tujuan HMI terbagi menjadi
beberapa klaster, yang sampai sekarang kita menyebutnya
‘Lima Kualitas Insan Cita’.
9
Tujuan HMI adalah satu, tapi terbagi-bagi dalam sub-sub
kualitas tertentu. Kualitas itu diwajibkan untuk dimiliki oleh
kader-kader. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut pulalah
sewaktu menjadi peserta Basic Training diajarkan materi
Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Ajaran yang terdiri dari
delapan bagian: (1) Dasar-Dasar Kepercayaan; (2) Hakikat
Kemanusiaan; (3) Kemerdekaan Individu dan Keharusan
Universal; (4) Individu dan Masyarakat; (5) Ketuhanan yang
Maha Esa dan Kemanusiaan; (6) Keadilan Sosial dan
Keadilan Ekonomi; (7) Islam dan Ilmu Pengetahuan, dan
terkahir (8) Kesimpulan dan Penutup: Iman, Ilmu dan Amal.
Materi ini kemudian akrab dikenal sebagai filsafat sosialnya
himpunan. Tetapi di forum LK I saya dan teman-teman hanya
diajarkan sampai NDP Bab III saja. Kata penitia, untuk
bagian-bagian yang selajutnya akan didapatkan di follow-up,
atau juga di forum LK II. Menurut kabar dari Master of
Training, pemahaman tentang NDP membuat kader menjadi
seorang yang modernis; intinya seperti prototipenya
Nurcholish Madjid. Adalah manusia yang berpandangan
modern, toleran, inklusif dan pastinya berpikiran realistis dan
rasional. Materi ini karakter kader yang berpemikiran terbuka,
tidak bakal ada yang fundamentalis kanan ataupun ekstrim
kiri. Meski hanya diberikan sepertiga dari bab-bab yang ada di
NDP, tidak dipungkiri, peserta sangat terkesan. Terkesannya
karena kami paling banyak dibuat bingung, hampir bahkan
sudah ada yang tersesat, baru kemudian diluruskan. Pada
pelurusan inilah dilakukannya penananam nilai tentang
bagaimana sikap berorganisasi—meminjam bahasa kader-
kader HMI sendiri: berada di tengah-tengah. Mungkin inilah
cerminan sikap sebuah organisasi yang modern, yakni
menjadi lembaga yang seperti ilmu sains—obyektif—tidak ke
10
kiri atau ke kanan sebagaiman ilmu sosial yang tidak bebas
nilai.
11
gerakan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat, serta
menduniakan ajaran Islam yang penuh dengan dorongan
pembebasan. Ketidakmampuan menerapkan upaya-upaya
pembebasan telah membuat pendidikan kaderisasi sejiwa
dengan pendidikan di kampus: memilih menempatkan
mahasiswa sebagai peserta didik yang dituntut menyiapkan
karakter ‘tenaga kerja’ daripada pejuang yang bersedia
menjadi martir umat dan bangsa. Itulah kenapa kader-kader
HMI lebih banyak yang berminat dan mendukung kegiatan
entrepreneurship dari para kapitalis, ketimbang melakukan
gerakan-gerakan alternatif.
12
program-program birokrat; baik jadi peserta maupun panitia,
dan lain-lain. Fenomena yang demikian saharusnya membuat
himpunan untuk tidak menyesuaikan diri dan tertidur lelap.
Tetapi merubahnya dengan cara bangkit dan melawan melaui
kerja-kerja gerakan yang berdisiplin tinggi.
13
dipakai untuk acara-acara yang tidak sejalan dengan fungsi
pencerahannya. Bangunan itu digunakan untuk buat acara
kondangan. Isu-isunya juga, Unram direncanakan oleh
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zulkieflimansyah
untuk perbanyak gedungnya. Kepala daerah ini ingin
membangun gedung baru di wilayah tertinggal guna tempat
kuliah mahasiswa S1. Sementara gedung Unram lama hanya
digunakan mahasiswa S2 dan S3. Kebijakan ini—meminjam
istilah Habermas—berupa tindakan strategis: hanya
mengganggap mahasiswa sebagai objek yang bebas
diperlakukan sesuka hati dan seenak perut dalam pengambilan
keputusan.
14
Entah maju seperti apa yang NTB mau ketika masih banyak
anak-anak di pedalaman yang tidak beroleh pendidikan.
Sekolah-sekolah SD, SMP, SMA, di sana malah berada dalam
kondisi yang mengenaskan. Fasilitasnya juga tak memadai.
Hal begini tentu berbanding terbalik dengan rencana
membangun gedung Baru Unram dan mengkuliahkan seribu
orang ke luar negeri. Melalui analisis wacana kritis Foucault,
kita dapat mengetahui bahwa di dalam setiap tindakan di
belakangnya terdapat relasi-relasi pihak-pihak yang berkuasa.
Darinya kita beroleh proposisi, seiring dengan semakin
banyaknya mahasiswa NTB yang didanai berkuliah di luar
negeri, maka para pejabat negara tujuan pasti meminta
imbalan. Diintervensilah pelbagai kebijakan, baik yang telah
berlaku maupun yang akan diberlakukan. Demikian pula
ketika nanti Unram dibangun di daerah tertinggal, di sana
pasti akan didirikan seabrek bangunan milik kapitalis. Tanah-
tanah rakyat bakal digusur atas nama akselarasi
pembangunan.
15
lainnya juga ikut merasakannya. Sama halnya dengan
memberangkatkan seribu anak muda kuliah di luar negeri; ini
akan menjadi tali oleh para negara kapitalis untuk mengikat
kebijakan-kebijakan daerah. NTB kemudian hanyalah menjadi
semacam wanita seksi yang diobral kepada kapitalis global
untuk dinikmati tubuhnya. Dalam keadaan yang seperti ini
rakyat miskin dan tertindas, tidak mendapatkan apa-apa.
Mereka akan terus termiskinkan, sedangkan penguasa
mendapatkan keuntungan luar biasa atasnya. Jika saja yang
gubernur butuhkan adalah citra, kenapa tidak program yang
dijalankan itu seharusnya adalah pendidikan dan kesehatan
gratis untuk warga miskinnya. Tidak usah membuka gedung
baru untuk mahasiswa S1 dan mengkuliahkan S2 orang ke
luar negeri, karena yang rakat butuhkan ialah; anak-anak
petani, buruh, nelayan, pedagang kaki lima dibiayai sekolah
sampai kuliah; pembukaan perpustakaan-perpusatakaan di
setiap wilayah, serta pemenuhan bacaan-bacaan yang
progresif; pendirian puskesmas-puskesmas di daerah-daerah
tertinggal dan penyediaan obat-obta berkualitas yang
terjangkau harganya; pemberian modal dan teknologi, atau
bahkan tanah kepada para petani; dan perbaikan-perbaikan
infrastruktur, jalan, jembatan, dan sekolah-sekolah yang sudah
ada.
16
kapitalis, sumber penderitaan dibalikkan. Maka yang
dimunculkan ke tengah adalah sebuah kesadaran palsu. Hal
demikian biasanya terjadi dalam kehidupan manusia yang
sudah terbiasa mengonsumsi kebohongan penguasa. Menurut
Jean Baurdillard, perkembangan konsumerisme hanya akan
menipu kesadaran. Masyarakat sekedar mengonsumsi simbol:
bangunan baru dan kuliah gratis ke luar negeri. Sementara
kepentingan-kepentingan besar yang ada di belekangnya
dengan mudah disembunyikan. Itulah mengapa makna
sesungguhnya tentang kedigdayaan kapitalisme yang berujud
eksploitasi manusia berusaha disublimasikan sedemikian rupa
hingga tidak tampak. Kerja sama luar negeri menjadi ajang
untuk menjual sektor riil kehidupan rakyat. Kuliah yang
digaratiskan di negara-negara lain, tidaklah seberapa jika
dibanding efek jangka panjang hubungan tersebut. Tidak
pelak lagi, kedekatan dengan para kapitalis globallah yang
membuat guernur sampai mewacanakan untuk bangun
kampus baru. Dikhawatirkan dampak dari pembangunan
gedung Unram di daerah tertinggal, akan membuat para
pemilik kos tidak lagi memiliki anak-anak kos yang
menempati kos-kosannya. Sebab kos-kosan di Kota Mataram
paling banyak ditempati oleh mahasiswa S1 ketimbang S2
atau S3 yang kebanyakan telah mempunyai keluarga dan
tempat tinggal pribadi; serta telah mapan secara ekonomi,
karena tidak mungkin mahasiswa S2 dan S3 memilih tingga di
kos-kosan. Sedangkan para pedagang kecil ditakutkan tatkala
mahasiswa S1 menurun jumlahnya di Kota Mataram,
menyebabkan dagangan mereka tak laku. Karena hanya
mahasiswa S1-lah yang menjadi pelanggan aktif dari mereka:
penjual bakso keliling, penjual nasi 24 jam, pedagang-
pedagang kecil di trotoar Taman Budaya, depan Museum
17
NTB, Taman Udayana, Jalan Lingkar, Pantai Ampenan, dan
lain-lain. Simultan dengan itu akan banyak warnet-warnet,
angkringan-angkiran, tempat-tempat pegadaian barang
elektronik yang merugi akibat berkurangnya mahasiswa S1.
18
bangunan tempat mereka tinggal dibangun oleh pemerintah
dengan melibatkan kapitalis yang mematok biaya tinggi. Hal
yang terakhir ini tentu akan menambah panjang deretan
masalah, segala keperluan memperoleh pendidikan jadinya
terus-menerus dikomersialisasi. Anak kaum kromo tidak
mampu berbuat apa-apa. Mereka bisa-bisa putus kuliah gara-
garanya. Eric Fromm mengatakan, kapitalisme membuat
tujuan-tujuan yang ada pada manusia tidak ada dalam dirinya,
tetepi di luar dirinya. Inilah yang terjadi ketika pembangunan
itu bukan untuk mahasiswa tapi guna memuaskan keinginan
penguasa dan pengusaha. Mahasiswa Unram hari-hari ini
membutuhkan perbaikan fasilitas, ongkos kuliah yang murah,
transparansi anggaran, kebebasan akademik dan birokrasi
yang bebas dari korupsi. Dus, bukan pembangunan gedung
kuliah S1 baru!
19
pranata kenegaraan. Mengadakan seminar atau kuliah umum
serta diskusi yang sasarannya hanya segelintir anggotanya dan
tidak pernah menujukan kepada rakyat kecil dan tertindas
untuk dicerahkan. Aktivitas gerakan kebanyakan bersifat
serimonial dan sporadis, hanya isu nasional yang diadvokasi
itu pun tatkala pada hari-hari besar nasional saja. Sementara
masalah-masalah yang ada di daerah jarang mau disoroti. Hal
ini bukan terjadi di ruang hampa, penyebabnya adalah
kekaburan interpretasi atau bahkan tiadanya keberanian dalam
menjadikan independensi sebagai bentuk keberpihakan
kepada kaum miskin dan tertindas. Makanya kekuatan-
kekuatan produktif himpunan hanyalah dihabiskan untuk
membuat dan mengurusi konflik internal yang ditenggarai
oleh intrik dan manufer-manufer politik beberapa pengurus.
Sudah berkali-kali PB HMI mengalami dualisme
kepemimpinan. Tentu ini membawa dampak buruk untuk
iklim perkaderan. Latihan kader sudah tak mengutamakan
kualitas tapi sekedar untuk memenuhi kewajiban
konstitusional dan sebatas mendorong kuantitas. Tengoklah di
Latihan Kader II (Intermediate Training), Latihan Kader III
(Advance Training), bahkan di latihan-latihan kader khusus,
bisa dilakukan titip-menitip kader, komunikasi senior dan
lain-lain. Ini salah satu contohnya—pada pelaksanaan LK II—
ada kader HMI Cabang Mataram yang mengikuti LK II HMI
Cabang Jakarta Pusat-Utara (Cabjakpustara); dia memberikan
kesaksian bahwa kegiatan itu penuh dengan kontroversi.
Sebelumnya intervensi dari oknum-oknum senior di PB HMI
membuat kepengurusan HMI Cabjakpustara terpecah dua.
Eksesnya sampai merembet terhadap prosesi kaderisasi. LK II
HMI Cabjakpustara 2019 menjadi sasaran perpecahan: ada
pengurus yang menunda dan ada pula yang tetap berkomitmen
20
melaksanakannya. Bahkan dia yang memberikan kesaksian
inipun—sebelumnya—adalah peserta yang diluluskan
makalahnya melalui komunikasi-komunikasi terselubung.
21
pelbagai tingkah laku penguasa dan pelbagai kebijakannya
yang banyak menyimpang.
22
berambisi hanya mendapatkan ilmu guna tapi juga ilmu yang
berani mengubah dan mengkomunikasikan realitas apa yang
sesungguhnya terjadi. Pada sisi inilah suatu kaderisasi akan
dapat melepaskan belenggu mental priyayi untuk diganti
dengan mental petarung. Sungguh, mental priyayi itu sangat
memalukan apabila menyusup kaderisasi HMI. Karena akan
menghasilkan orang-orang yang tak ubah hamba. Kemudian
membentuk generasi yang bermutu parasit dengan
kemampuan merampok harta rakyatnya sendiri seperti
generasi tua yang banyak bercokol di kursi kekuasaan. Kita
tak ingin HMI melahirkan sebuah angkatan kader yang sulit
berpikir tangkas, tak mau terbuka dengan perubahan dan
gampang sekali khawatir melihat resiko. Keadaan begini—
parahnya—dapat membentuk pribadi yang tak luwes
menghadapi tantangan hingga mudah sekali melacurkan
dirinya. Oleh karena itu kader HMI seharusnya
mengembangkan tindakan yang mampu menyulut keberanian
melakukan pemberontakan.
23
bukan yang dipertuan, namun dia pun tidak pernah bersembah
diri di bawah duli seorang raja’. Apalagi sebagai pemuda,
sangat patut kader HMI ambil tauladan dari kisah ‘Ashabul
Kahfi’. Cerita perlawanan kaum muda, yang melihat sesuatu
seperti ungkapan Al Ghazali: ‘Jangan kau lihat kebenaran
dengan melihat orangnya. Lihatlah kebenaran itu sendiri,
maka kau akan tahu siapa pemiliknya’. Mereka mengangap
hidup bukanlah bilangan tahun akan tetapi lebih dari itu. Oleh
karenanya mereka bagaikan terucap oleh Jasiem M Badr al-
Muthawi yang menganggap ‘hidup adalah bilangan rasa: akan
arti hidup itu sendiri’. Sehingga mereka tanpa rasa takut
menolak berhamba pada penguasa yang memerintah dengan
sangat keji pada zamannya.
24
juga kebebasan berkehendak dan bertindak. Hanya orang-
orang bebaslah yang kelak membawa gerakan HMI ke arah
yang penuh dengan kemajuan. Itulah kader yang tidak diam
dan berhamba pada kekuasaan siapapun, tetapi memiliki
dirinya dan mampu mempertegas eksistensinya sebagai
manusia terhormat. Merekalah kader yang akan membawa
himpunan ini tidak berkompromi dengan kepentingan
penguasa, melainkan hanya tunduk dan patuh pada
kepentingan rakyat. Namun apabila kader HMI masih belum
dapat membebaskan dirinya dalam kungkungan kekuasaan.
Nuraninya tentu masih ada, tetapi seperti tiada. Ketiadaan
inilah yang akan mematikan gerakan himpunan, sebagaimana
bunyi puisi menggugah dari kader HMI-Wati Dini Yuliana
Solin, yang berjudul Menjemput Kematian HMI:
25
Dan hati kau cabut
MATI!!!
Lebih baik kau mati jika tak ada kontribusi
Kau semakin tua tapi semakin Hipertensi
Si pengendali tak mempergunakan nurani dalam berdedikasi
Sembari menunggu maut menjemput kematianmu1
1
Youtube/puisi-menjemput-kematian-hmi/
26
Aku tidak ingin ditundukan oleh kekuasaan. Inilah mengapa
cukup lama aku menjauh dari lingkungan himpunan. Mula-
mula kumemundurkan diri dari posisi di Bidang PTKP
(Pendidikan Tinggi, Kemahasiswaa, dan Kepemudaan).
Daripada terus mengurus organisasi yang tengah terinveksi;
aku justru menuruti kata hatiku untuk membebaskan diri dari
ancaman perembesan. Hanya dalam perjalanan pembebasan
ini aku ternyata masih menaruh kasihan terhadap himpunan,
lebih-lebih kepada manusia-manusia bebas yang kemudian
mengikuti perkaderan HMI hingga terbelenggu dalam
cengkeraman organisasi sebagai hamba-hamba kekuasaan.
Itulah mengapa kuberusaha membuat tulisan ini. Dalam
menyelesaikan proyek inilah kumembayangkan diriku
sebagaimana pemuda gembala bernama Santiago di novel
Paulo Coelhoe. Judul dari karyanya adalah Sang Alkemis.
Anak muda Andalusia itu bersedia menjual dombanya demi
ongkos perjalanan mengejar harta karun yang terlitas di
mimpinya. Harta tersebut dikabarkan ada di Afrika, tepatnya
di sekitar Piramida.
27
karunnya sekaligus banyak pengalaman yang diperolehnya
dalam pengembaraan. Tetapi perjalananku tidak berakhir
seperti itu: aku soalnya tidak menemukan harta karunku di
tempatku dahulu bermimpi, melainkan di atas wilayah yang
baru saja kumasuki. Lebih-lebih karena harta karun yang
kucari tidak tertanam dalam tandusnya perkaderan dan
pergerakan HMI. Itulah mengapa tidak bisa aku kembali
dalam organisasi ini. Melainkan meneruskan perjalanan
hingga sekarang kusampailah di atas daerah yang tak asing
bagiku. Aku melihatnya dalam mimpiku akan sebuah
kendaraan berharga yang dapat dikendarai dalam mewujudkan
perubahan mendasar, yang tidak bisa dicapai melalui jalur
parlementerisme dan statisme melainkan membangun
kekuatan rakyat dari bawah dengan teori dan praktik
sosialisme. Singkatnya: kawasan begitu subur dengan
memberi ruang bersemai, tumbuh dan berkembangnya ide
serta gagasan-gagasan alternatif. Di atas tanahnya berlaku
suatu prinsip perjuangan yang aku idam-idamkan: anti-
kooptasi dan anti-kooperasi terhadap musuh-musuh rakyat.
Sementara metode perjuangannya bukanlah mengagungkan
gerakan reformis tapi revolusioner: persatuan mobilisasi.
28
‘menuntaskan perjuangan nasional (penggulingan rezim)
dengan melawan Imperialisme (Penjajahan Modal Asing) dan
Pemerintahan Agen Imperialis (Rezim Jokowi-Ma’ruf) serta
mempercepat pembentukan Pemerintahan Rakyat Miskin’.
Dahulu, ketika ber-HMI: aku pernah memendam harapan
besar tentang sebuah organisasi yang melayani kepentingan
rakyat seperti itu. Dulunya kupernah mendambakan HMI
tampil sebagai organisasi yang dapat mengembangkan
anggota-anggotanya untuk menjadi manusia-manusia
pembebas. Mereka adalah kader-kader yang mendedikasikan
dirinya untuk melayani kepentingan kaum miskin dan
tertindas. Hanya dalam perjalanan berhimpun; aku justru
dipertontonkan dengan kemunafikan yang begitu bengis—
organisasi meyakini dirinya sebagai ‘harapan masyarakat
Indonesia (umat dan bangsa)’, tapi perbuatannya malah
membela kepentingan ‘kelas penguasa dan negara’.
29
bergabung dengan organisasi inilah aku memikirkan kembali
apa seharusnya yang menjadi judul tulisanku. Itulah mengapa
sebelum kumenjuduli karya ini dengan menegaskan HMI
sebagai organisasi yang sakit; aku sesungguhnya mempunyai
beberapa tajuk untuk tulisanku: Memimpikan HMI Kiri dan
Bubarkan HMI; Kritik atas Organisasi yang
Mempertahankan Status-Quo.
30
membuatku merasa tidak mungkin untuk lama-lama bertahan
di HMI hingga meloncat ke PEMBEBASAN. Dalam
lompatan ini aku boleh saja tidak menyelesaikan prosesku
dalam berhimpun dan menggulirkan perubahan bagi
himpunan. Tetapi setidaknya kuberhasil membebaskan diri
dari perkaderan dan pergerakan yang menjadi pelayan
kekuasaan. Singkatnya, pelarianku dari HMI serta
pengerjaanku atas tulisannya ini dapat dilukiskan seperti
keyakinan Edward Snowden:
31
manusia yang digerakkan oleh struktur, sehingga menjauh
dari dirinya—itu tak dia sadari dan tak dapat terhindari.
Penerimaan atas cara pandang bentukan lingkungan ini—
meminjam pemikiran Bourdieu—akan membentuk ‘habitus’.
Sebuah kondisi yang apabila diamini akan menimbulkan
diferensiasi, tapi ketidakterimaan padanya akan menghadirkan
‘resistensi’. Apa yang kualami bukan diferensiasi melainkan
resistensi. Sikap resisten inilah yang membuatku tidak
sependapat dengan kelompok dominan dalam HMI yang
meyakini perubahan hanya dapat dilakukan lewat jalur
pranata-pranata kekuasaan yang formal, sebagaimana
keyakinan popular di kalangan kader-kader himpunan yang
menganggap perubahan cuma bisa diraih ketika sudah
menduduki jabatan-jabatan tertentu pada kursi kekuasaan.
32
semua diluapkan begitu rupa: soalnya mereka menutup mata
bahwa pranata-pranata kenegaraan sekarang banyak
kebijakannya yang dikendalikan oleh kekuatan pasar bebas.
Bahkan pandangan tentang perubahan yang datang dari pucuk
kekuasaan telah mendominasi arena perkaderan secara
beringas. Makanya suasana kaderisasi saat ini terus-terusan
dicemari perebutan kekuasaan di pranata-pranata kampus. Itu
biasa disebut sebagai tahap latihan sebelum ke aras yang lebih
tinggi: institusi negara. Meminjam konsep Marx tentang
ideologi—inilah kondisi di mana ditampilkannya kesadaran
palsu. Kesadaran itu meneguhkan keyakinan naïf kalau kader
menduduki jabatan-jabatan struktural tertentu, maka akan
mendorong perubahan yang signifikan dan mudah membawa
kepentingan himpunan. Sementara realitas aslinya: perubahan
yang dimaksudkan tidak mampu beringsut dari tataran
kuantitas dan apa yang dibawa kader hanyalah kepentingan
segelintir orang atau gerbong semata. Namun perubahan dan
mandat itu kebacut dianggapnya sebagai kepentingan seluruh
kader. Dengan begitu perkembangan organisasi pun
menyeruapkan apa yang dimaksud Bourdieu sebagai doxa—
‘cara pandang kelompok dominan’ yang diterima sebagai
pandangan bersama kader-kader HMI. Ini jugalah yang
dikatakan Gramsci sebagai bentuk hegemoni—oleh aparatus
ideologis—lewat perangkat lunak berupa kaderisasi.
33
bentuk perlawanan atas hegemoni itulah emosi dan pikiran
kuluapkan lewat karya ini: Dikader di Organisasi yang Sakit.
Hanya tulisan ini tidak saja berdiri di atas kritik-otokritik
melainkan pula mimpi-mimpi. Semula mimpiku saat mulai
menulis ialah mengharapkan bagaimana ke depan HMI
mampu melancarkan perlawanan terhadap segala kemapanan
dan kelaziman yang telah membentuk status-quo. Kuyakin:
cuma dengan sikap berlawan itulah Islam tak melulu tampil
sebagai tradisi himpunan, tapi terutama menjadi ideologi
perjuangan. Namun kujuga mengerti: melihat relasinya
dengan kekuasaan maka sangat sukar terjadinya perubahan
radikal di tubuh himpunan. Inilah kenapa aku lantas
memasang keyakinan: paling tidak, dengan mengeritik
kemerostan kaderisasi dan gerakan HMI—akan ada kader
yang tergugah hingga mereka tersulut mengambil sikap
berlawan: baik melakukan perlawanan positif—melancarkan
kritik dan membangun gerakan penyadaran yang menyasar
seabrek anggota seorganisasinya, maupun menempuh
perlawanan negatif—berhenti ber-HMI dan keluar untuk
mencari organisasi lain sebagai kendaraan perjuangan
melawan kekuasaan.
34
Secara historis. Perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia sebenarnya didorong oleh semangat
religious. Para pejuang muslim tidak berdasarkan
kemarahan kebangsaan (nasionalisme), melainkan
karena penjajahan telah menginjak-injak ajaran agama.
Inti artikel Muhammad Natsir dalam Panji Masyarakat,
akhir tahun 1983, berjudul ‘Dengarlah Jeritan Kami’,
mengisahkan bahwa pesawat terbang yang digunakan
untuk perang mempertahankan kemerdekaan tatkala di
Ibu Kota Republik Indonesia dipindahkan ke
Yogyakarta, sebenarnya adalah hasil dari setuan jihad
Daud Beureuh, agar rakyat Aceh mengumpulkan harga
guna mengumpulkan pesawat terbang bagi perjuangan
bangsa. Di sinilah perang Islam sebagai ideologhi tidak
boleh kita pandang rtemeh dalam keterkaitannya
dengan perjuangan bangsa Indonesia sampai lahirnya
Pancasila sebagai dasar negara. Pun Sila-sila dalam
Pancasila apabila kader HMI menjadikan Islam sebagai
ideologi, tidaklah bertentangan dengannya. Sebab
sebagai dasar negara yang menjadi pedoman sistem
kenegaraan, Pancasila merupakan penjabaran Qur’an
sebagai sistem bernegara … dan alasan
konstitusionalnya. Pancasila sebagai dasar negara
adalah hasil kompromi golongan nasionalis, agamais
dan komunis dalam Sidang PPKI. Dekrit Presiden 5 Juli
1959, ditegaskan bahwa dasar negara Pancasila adalah
dasar negara yang dijiwai oleh Piagam Jakarta.
Ketetapan ini diperkuat oleh TAP MPRS 1986 dan
dikukuhkan lewat TAP MPR RI 1973 … artinya
Pancasila hasil Dekrit Presiden itu merupakan rumusan
ketiga yang disahkan lewat sidang istimewa MPRS
1969 dan diperkuat lewat TAP MPR berikutnya.2
2
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 69.
35
Ketika Islam telah menjadi ideologi gerakan, bukan tidak
mungkin kita dapat melawan cara pandang kelompok
dominan. Terutama pandangan mereka tentang perubahan
yang hanya bisa tercapai ketika menjadi pemimpin yang
bertakhta. Kepemimpinan yang revolusioner bagi Syari’ati
adalah yang tidak berdasarkan jabatan, tidak dipilih atau
dilantik. Tapi pemimpin yang lahir dan hadir karena kualitas-
kualitas yang dimilikinya dan mampu mendidik serta
mengembangkan massa-manusia. Kala itulah perubahan-
perubahan dapat ditorehkan bukan oleh individu, tokoh atau
pemimpin; tapi massa-rakyat yang tadinya telah dididik dan
dikembangkan. Sesuai yang dijelaskan Karl Marx: perubahan
dilakukan oleh massa dan motor penggeraknya adalah
pertentangan kelas. Syari’ati pula menegaskan Islam sebagai
ajaran sosial pertama yang mengandalkan massa sebagai
faktor dasar yang sadar dalam menentukan sejarah dan
masyarakat. Itulah bentuk gerakan yang diimpikan dalam
tulisan ini: sebuah gerakan yang tidak mermahzab kekuasaan
melainkan kerakyatan.
36
maka harapan dalam naskah ini begitu memimpikan peran
sejarah kader HMI untuk mewujudkan perubahan—tapi tidak
didorong dari atas melainkan mulai dari bawah. Gerakan
Islam yang bermahzab kekuasaan akan mudah mengalami
kekalahan di medan manapun, terutama dalam menjaring
dukungan massa rakyat. Itulah mengapa dalam menulis
Dikader di Organisasi yang Sakit; aku tak menanamkan
keinginan memecahkan lagi HMI seperti insiden perpecahan
tahun 1986 dan seabrek dualisme kepengurusan di tahun-
tahun sesudahnya. Tetapi mengajak menempatkan kekuasaan
bukan menjadi pusat segala perubahan dan menjelaskan
bahwa kuasa tidak selalu identik dengan apa yang teruraikan
dalam bentuk pranata kenegaraan. Melainkan memosisikan
kekuasaan sebagaimana yang dilukiskan Foucault:
37
dengan massa rakyat: “Jika kalian meminjamkan pinjaman
yang baik kepada Allah.” (QS 64:17) Jelas yang dimaksudkan
dengan Allah, ialah an-nas atau massa-rakyat (kaum miskin
dan tertindas), karena Allah sama sekali tidak memerlukan
pinjaman. Bertolak dari pemahaman inilah makanya Dikader
di Organisai yang Sakit bukan untuk mengkudeta seorang
Ketua Umum PB HMI, apalagi sekedar memberontak
terhadap butanya fatsun abangan, atau menggerakan kader-
kader menegakkan kediktatoran seperti yang dilakukan oleh
Stalin. Tetapi untuk mengeritik HMI supaya sadar-diri dan
lebih bertanggung jawab dalam mendukung perubahan sosial
menuju masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT—
lebih khususnya ialah masyarakat tanpa kelas dalam Islam.
3
Kazou Shimogaki, (2007), Antara Modernisme dan Posmodernisme: Kiri
Islam, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, Hlm. 6-7.
38
Sebagai organisasi yang berlandaskan Islam, tidak berlebihan
jika organisasi ini mengerahkan gerakannya ke kiri. 4 Bukan
sekedar lewat training yang mencirikan sebagai organisasi
kader melainkan perubahan yang radikal melalui semangat
keislaman yang kiri. Seperti kata Eko Prasetyo dalam Islam
Kiri; Jalan Menuju Revolusi: ‘kiri adalah kategori yang akan
mengembalikan iman dalam perseteruannya dengan
penindas’. Iman akan dihadapkan dengan kezaliman maupun
kekuatan otoriter yang kini menjadi ‘tuhan’ baru. Keimanan
yang seperti itulah yang dicita-citakan yang aku impikan
sehingga mengeritik kecenderungan HMI selama ini: menjadi
organisasi mahasiswa yang mempertahankan status-quo.
Keimanan itu akan membuat himpunan bergerak dengan
Islam sebagai ideologi gerakan—persis yang dulu telah
menjiwai perjuangan para nabi. Ketika menilik kembali
sejarah perkembangan Islam, tampak tugas yang dibebankan
kepada nabi-nabi Islam memiliki kesamaan: nabi-nabi bekerja
untuk melawan segala bentuk penindasan dan kesewenang-
wenangan penguasa, bukan malah berada di bawah ketiak
kekuasaan atau berkompromi dengannya. Mereka muncul
untuk mengenalkan pada massa-rakyat nilai-nilai keadilan
yang setelah kematian Habil oleh Qabil, terus ditelikung oleh
kaum penindas pewaris Qabil: kaum penguasa zalim. Bersama
4
Sebagaimana diketahui bahwa sejak revolusi Prancis 1789 , kelompok
radikal, kelompok Jacobin, kelompok buruh dan rakyat miskin mengambil
posisi kiri dari kursi Ketua Kongres Nasional. Sementara kaum bangsawan
dan aristokrat mengambil sisi kanan. Sejak itu, kanan dan kiri sering
digunakkan dalam terminologi politik. Secara umum kiri diartikan sebagai
Partai yang cenderung radikal, sosialis, anarkis, reformis, progresif, atau
liberal. Dengan kata lain kiri selalu menginginkan sesuatu yang bernama
kemajuan (progres), yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia
atas sesuatu yang bernama ‘takdir sosial’.
39
para nabi umat dikenalkan pada konsep kesetaraan, membela
kaum dhuafa dan mustad’afin, dan menebar kasih sayang bagi
semua orang.
40
menghidupkan kembali jiwa kreatif dan nilai-nilai
spiritual yang suci.5
5
Ali Syari’ati, (1994), Membangun Masa Depan Islam, Bandung: Mizan,
Hlm. 95.
41
Iman sekali lagi adalah proses internal kenyataan dan
dorongan melakukan perubahan dan bukan mencari
penyesuaian dengan kenyataan. Sebab pada dasarnya, Islam
mempunyai pandangan tertentu terhadap manusia, alam dan
kebenaran. Dengan demikian kenapa dibuat tulisan tentang
Dikader di Organisasi yang Sakit? Adalah sebagai sebuah
catatan yang bukan hanya menjelaskan bagaimana kekuasaan
mengancam himpunan, tapi juga menaruh harapan
perubahan—lebih-lebih agar kader-kader HMI tidak
beradaptasi dengan realitas melainkan merubahnya. HMI
yang sakit di sini adalah dalam bentuk gerakan dan
kaderisasinya yang selama ini mempertahankan status-quo.
Itulah mengapa jika kader-kader himpunan tak mampu
mengubah atau menyembuhkan penyakit itu, maka sangat
dianjurkan untuk meninggalkan dan mencari organisasi
lainnya. Terutama organisasi progresif-revolusioner yang
mendidik kita bukan sebatas menjadi kader-kader Islam, tapi
pejuang-pejuang revolusi.
42
agama yang telah bersanding dengan Kolonialisme Rowami.
Kader himpunan pun diingini meniru Sulaiman yang memiliki
kuasa tapi tak pongah bahkan semut pun tidak mau dilukai—
di sini ia mencerminkan masyarakat tanpa kelas dalam Islam.
Kader himpunan kemudian diandaikan bersikap laiknya
Syu’aib yang memerangi kapitalisme tanpa gentar dan
mengambil semangat Luqman sebagai proletar yang sangat
heroik dalam berjuang. Dan terpenting, kader himpunan
melanjutkan perjuangan Muhammad menjadi seorang ‘ummi’.
Ummi di sini bukan tidak bisa baca dan tulis tapi sebagaimana
yang ditafsirkan Syari’ati: ‘sebagai manusia yang menyatu
dengan massa, berada di tengah-tengah rakyat jelata dan
merubah serta mengangkat derajat mereka’.
43
Makanya kemiskinan dihadapi bukan sebagai sebuah gejala
ekonomi-politik, tapi tak lebih dari ujian untuk melatih
kesabaran. Pandangan inilah yang menyebabkan timbulnya
kepercayaan kalau ‘miskin’ itu tidak hubungannya dengan
sistem kekuasaan yang berlaku, karena diyakini menjadi
persoalan perangai individu semata. Sikap ini pun tak jarang
memandulkan peran sosial-politik kader himpunan yang lebih
menekankan diskusi tanpa aksi perlawanan terhadap struktur
yang menindas. Walhasil: umat kemudian dijadikan boneka
kepentingan para elit, karena Islam makin dipugar satu-
persatu keyakinan radikalnya menjadi ajaran yang berorientasi
pada kemenangan akhirat.
44
Soalnya mereka hanya bisa mengeluarkan fatwa halal-haram
atau memberi hadiah bagi artis yang berbusana muslim.
Tetapi tidak mampu mengutuk pabrik-pabrik yang menggaji
buruh dengan amat rendah, mengharamkan produk-produk
yang tak mampu memberi upah layak kepada pekerja, dan
memboikot kebijakan anti rakyat miskin—seperti upaya
Pemerintah Indonesia memanfaatkan batu-bara sebagai
pembangkit listrik nasional dengan alasan harga murah Rp
600 per Kwh daripada Gas RP 1.000 per Kwh, BBM Rp
1.600 per Kwh dan Matahari Rp 2.900 per Kwh.
6
PT Rakabu Sejahtera, yang saham perusahaan dan komisarisnya pernah
dijabat putra bungsu Jokowi, Gibran Rakabumi dan saat ini telah digantikan
adiknya Kaesang Pangarep. Mereka memang memperlihatkan kegiatan
usaha perusahaannya hanya ‘mebel dan ferniture’, namun sesungguhnya
dalam dokumen perusahaan Bidang Usaha PT Rakabu Sejahtera begitu
banyak dan aktivitasnya langsung mengenai hajat hidup rakyat kebanyakan,
yakni: pembangunan/konstruksi, pembebasan lahan, real estate, property,
pengerjaan beton, instalasi mesin, jaringan telekomunikasi, multimedia,
reklame dan periklanan, bahkan sampai ke pengembangan wilayah
45
ketiga, kalangan sipil (politisi-pengusaha).8 Lihat saja 10
Perusahaan Batubara terbesar di Indonesia, 7 di antaranya 9
46
ternyata diberi ijin seluas-luasnya bahkan sampai dibubuhi
stempel usaha bersaham syari’ah dari MUI.10 Dikatakan
bahwa perusahaan-perusahaan batubara tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam di pasar modal.
Pembelaannya terhadap para perusahan yang memelaratkan
hidup rakyat itu telah membuat MUI mendapat imbalan dari
kapuitalis. Di Bank Muamalat, Dewan Syari’ah MUI
mendapat bantuan modal dari konsorsium tiga nama investor
asal Singapura: Rizal Risjad (Pendiri PT Berau Coal Energy),
Djamal Attamimi (Komisaris PT Toba Bara Sejahtera) dan
Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan; (4) Jusuf Kalla (alumni HMI),
Wakli Presidennya Jokowi sekaligus Dewan Pengaerah TKN Jokowi-
Ma’ruf. Pengusaha asal Sulawesi Selatan ini berbisnis batubara dan listrik
lewat bendera Grup Kalla. Memiliki perusahaan: Kalla Arebama dan PT
Kalla Electrical System, yang bekerja sama dengan PLN; (5) Sandiaga Uno,
adalah pemegang saham Grup Saratoga, yang pernah menjadi Direktur
Utama Multi Harapan Utama Kutai Kartanegara. Jejak Sandi juga muncul
di PT Adaro Energy yang merupakan tambang batubara terbesar di
Indonesia, serta memiliki saham di PT Adaro Power pada proyek PLTU
Batang; (6) Hasim Djojohadikusumo (TPN Prabowo-Sandi), pemegang
saham PT Batu Hitam Perkasa; (7) Ferry Musyidan Baldan (TPN Prabowo-
Sandi). Keluarga Ferry melalui istrinya, memiliki tiga ijin usaha
penambangan batubara di Jawa Timur: PT Syahid Berau Bestari, PT Rantau
Panjang Utama Bhakti dan PT Syahid Indah Utama.
9
Adapun perusahaan batubara terbesar di Indonesia, dan beberapa di
antaranya bersaham syari’ah adalah: (1) Adaro Energy (ADRO), bersaham
syari’ah; (2) Bumi Resources (BUMI); (3) Indika Energy (INDY),
bersaham syari’ah; (4) Indo Tambangraya Megah (ITMG), bersaham
syari’ah; (5) Asia Coal Energy (Grup Sinar Mas); (6) Harun Energy
(HRUM), bersaham syari’ah; (7) Bayan Resources (BYAN), bersaham
syari’ah; (8) Sakari Resources; (9) Tambang Batubara Bukit Asam,
bersaham syari’ah; (10) Toba Batubara Sejahtera (TOBA), bersaham
syari’ah.
10
Dewan Syari’ah Nasional MUI dipimpin oleh Ma’ruf Amin. Dia juga
tercatat sebagai dewan pengawas syari’ah disejumlah Bank: Bank Syari’ah
Mandiri, BNI Syari’ah, Bank Mega Syari’ah, Bank Muamalat. Serta
menjadi dewan pengawas syari’ah di 3 perusahaan asuransi: Mega
Insurance, Bringin Life dan BNI Life Insurance.
47
Dicky Yordan (Direktur Toba Bara). Mereka tidak jauh dari
bisnis batubara yang menguntungkan penguasa di istana:
pengusaha dari elit TNI-Polri dan para pengusaha dari
kalangan pejabat lainnya. Di sampingnya tokoh agama juga
ikut bermain. Mungkin alumni HMI yang berada di pusaran
kekuasaan juga ikut-ikutan. Semoga saja tidak! Tetapi
himpunan seharusnya mulai curiga terhadap senior-alumninya
yang politikus maupun birokrat. Sebab kekuatan modal begitu
dahsyat. Daya pikatnya bisa menerjang siapa saja, termasuk
alumni dan anggota HMI sekalipun. Maka ada baiknya ikatan
senior-junior dan anggota-alumni diawasi dari ancaman
masuknya beragam kepentingan.
48
infrastruktur demi menopang kekuasaan Fir’aun. Haman pun
terkadang bisa beralih rupa jadi Qarun (pengusaha-politisi),
yang terus memupuk kekayaan tanpa peduli sesama. Keadaan
ini simultan akan peran penting intelektual agamais (MUI)
yang serupa Bal’am—menafsirkan teks kitab untuk
mempertahankan status quo, hingga kejahatan disihir menjadi
kebaikan. Ulama akhirnya menjadi mirip kisah yang
diceritakan Pramodya Ananta Toer dalam Gadis Pantai,
menjadi manusia yang berwatak feodal. Dia hanya
mengutungkan diri dan kelompok, meski terkadang harus
mengorbankan kehidupan perempuan dan anak.
49
paksa seperti zaman penjajah. Maka alibi kelelahan tidak dari
pemerintah tidak tepat. Umar zein menegaskan bahwa dalam
ilmu medis ada tiga pintu kematian, otak, jantung dan paru-
paru:
11
Lihat https://swamedium.com/2019/04/30/benarkah-kelelahan-penyebab-
kematian-petugas-pemilu/
50
kejahatannya besar kemungkinan orang-orang jujur dan tidak
bersalah mendapati kekerasan fisik, psikis dan simbolik.
Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka telah dicekoki
dengan racun atau apapun namanya.
51
Kekerasan aparat itu jugalah yang dialami kader-kader dalam
aksi HMI Cabang Mataram 5 Mei 2019. HMI Mataram
menuntut pertanggungjawaban kepolisian dan KPU terhadap
kekerasan aparat dan tewasnya ratusan anggota KPPS serta
mendesak bertanggung jawab atas represifitas aparat kepada
kader di Sumbawa. Tetapi mereka malah mendapati perilaku
keji aparat: didorong ke api hingga mengalami luka bakar;
dipukuli tongkat sampai kepalanya bocor; ditonjok dan
dipukuli wajahnya hingga luka lebam; sekujur badannya
ditendang dan diseret tak ubah memperlakukan binatang. Jika
merefleksi kembali gerakan HMI pasca reformasi, memang
kerap kali mendapati tindakan represifitas aparat. Hal ini
sering membuat orgabisasi yang semula diam dengan
sekonyong-konyong bangkit melawan tindakan kekerasan.
Namun bukan sekedar perlawanan semacam ini yang
diharapkan dalam Dikader di Organisasi yang Sakit. Tidak
hanya pada aksi yang hanya diakibatkan oleh terlukanya kader
karena ulah pongah negara. Karena jika bergerak hanya pada
konteks ini maka himpunan seakan telah berada dalam
kesempitan gerakan: bukan lagi menjadi milik umat dan
bangsa, melainkan bergerak dengan dorongan mental
kawanan.
52
pendidikan; penghapusan utang luar negeri; dan pengusutan
tuntas para pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Apalagi untuk yang terakhir disebutkan telah menjadi momok
menakutkan di negara ini. Di satu sisi, partisipasi lemah,
terbatas dan mudah dimanipulasi. Di lain sisi, institusi-
institusi kaku atau terlalu mudah diakses dan jelek koordinasi.
Akibatnya bentuk korupsi bisa mengakibatkan siatuasi yang
beragam. Pertama, civil society dan partai-partai politik
lemah, tapi luasnya jaringan hubungan patron-client
mendominasi politik dan ekonomi. Kedua, pengadilan dan
polisi tidak efektif, sementara peremanisme merajalela dan
menguasai banyak segi kehidupan. Ketiga, korupsi dijalankan
dalam rangka mencari pengaruh birokrasi atau badan
legislatif, sedangkan pejabat pemerintah dan militer
mengambil porsi penting ekonomi tanpa takut terkena sanksi.
Akibat korupsi jangka panjang menjadi berat karena dapat
membelokkan perkembangan ekonomi dan politik.
53
memenuhi standar yang digariskan oleh aturan internasional
baik yang tertuang dalam GATT, WTO, maupun Lol IMF.
Sumber daya alam (SDA) kemudian diekploitasi hingga
rakyat pemilik tanah air jadi babu di negeri sendiri. Keadaan
makin tidak menguntungkan rakyat tatkala aparatur ideologis
dengan masif menebar keyakinan: kesejahteraan hanya bisa
tercapai dengan percepatan pembangunan yang terus-
menerus; penyebarluasan gagasan-gagasan pembangunan oleh
pelbagai media tanpa memerhatikan kebutuhan rakyat; dan
aparatur organisasi HMI yang hanya mengembangkan
kadernya untuk menjadi orang sukses yang tolak ukurnya
yakni menjadi pejabat. Diam-diam semua ini menjadikan
kaderisasi HMI terkadang jauh dari isu-isu publik, namun
lebih mementingkan program kerja rutin.
54
Karena agama hendak menciptakan kesehatan sosial, bukan
malah menjadi candu: pelipur lara serta tempat berkeluh kesah
kaum miskin dan tertindas. Kinni Islam perlu dijadikan alat
yang canggih untuk melakukan perubahan sosial dan menjadi
ajaran aktif dalam merombak tatanan usang dengan
menghadirkan kembali keadilan hakiki: keadilan yang bukan
didasarkan pada kepentingan orang kaya dan berpengaruh,
namun keadilan yang berwujud masyarakat tanpa kelas dalam
Islam—dilukiskan Murtadha Muthahari sebagai masyarakat
yang mirip fase sosio-historis komunis:
55
dalam bagian-bagian dari karya ini selanjutnya. Lebih-lebih
ini tentang sebuah harapan tentang organisasi yang
bersemangat dalam menggencarkan perlawanan terhadap
sistem dan struktur yang menindas itu. Dengan begitu maka
tugas kader himpunan selanjutnya persis yang diingatkan
Syari’ati kepada seluruh kader Islam adalah mengusahakan
renaissance Islam: menghadirkan kembali Islamnya
Muhammad saw, Islamnya Imam Ali, Islamnya Abu Dzar,
Islamnya Imam Husein. Maksudnya adalah menjadikan Islam
sebagai ideologi yang mampu membela kaum miskin dan
tertindas dari keserakahan, kesewenang-wenangan dan
kejahatan kekuasaan. Terutama dikibarkan sebagai ideologi
pembebasan yang menentang eksploitasi dan kekerasan dari
negara dan kapitalisme.
56
Gerakan Organisasi Termakan Propaganda Keji
12
A. Mustofa Bisri, (2019), Pahlawan dan Tikus Kumpulan Puisi,
Yogyakarta: Diva Press, Hlm. 66.
57
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah wadah pergerakan.
Organisasi gerakan ini menampung mahasiswa-mahasiswa
yang beragama Islam. Pendiriannya dipelopori oleh anak-anak
muda yang sadar dan menyimpan amarah terhadap pelbagai
persoalan keumatan, kebangsaan, dan kerakyatan. Maka latar
belakang berdirinya HMI menjadi sangat penuh keheroikan.
Hanya secara garis besar terdapat empat faktor dominan yang
mendorong kelahiran himpunan. Pertama, situasi dunia
internasional: tertutupnya pintu ijtihad diidentifikasi sebagai
penyebab mandegnya perkembangan umat Islam global.
Kemunduran dalam pemikiran tidak hanya mengakibatkan
ketinggalan zaman, tapi juga membutanya tidak mampu
berangsek dari penjajahan. Itulah mengapa kolonialisme-
imperialisme nampak menyelimuti banyak sekali negeri
Islam. Tetapi sadar akan kekurang di negerinya, pelbagai
pemikir kemudian menggagas terbitnya gerakan-gerakan
pembaharuan: Turki, pembaharunya Rifaah Badawi Ath
Tahtawi; Mesir, pelopornya Muhammad Abduh; Saudi
Arabia, pemimpinnya Muhammad Ibnu Abdul Wahab;
Pakistan, dikomandoi Muhammad Iqbal; dan sebagainya. 13
Gerakan Islam global inilah yang memberi inspirasi
perjuangan bagi anak-anak muda muslim Indonesia. Sebab
keadaan umat, bangsa, dan rakyatnya kala itu seiras dengan
kondisi orang-orang di tanah-tanah jajahan lainnya.
13
Buka https://insanlimacita-wordpress-com-latar-belakang-sejarah-
berdirinya-hmi/
58
Portugis, Spanyol, Belanda, dan Jepang ke Indonesia bukan
hanya dilihat membahayakan kedaulatan rakyat, tapi juga
dapat menyebarkan missi dan zending peradaban. Maka perlu
sekali dipancangkan perlawanan seperti yang sedang
dilakukan oleh umat Islam global: gerakan pembaharuan.
Pergerakan demikian sangat dibutuhkan. Apalagi poin ketiga
berdirinya himpunan dilatarbelakangi: situasi umat Islam
Indonesia—pemahaman, penghayatan, dan pengmalan syiar
Islam di negeri ini begitu terdistorsi: roh dan semangat Islam
hilang di tengah berkembangnya mazhabisme, sufisme dan
ketertutupan kesempatan untuk berijtihad. Maka kebutuhan
mendirikan organisasi mahasiswa Islam—sebagai alat
perjuangan melawan kolonialisme-imperialisme—semakin
tak terbendung. Apalagi ketika dipertemukan dengan latar
belakang keempat: situasi Perguruan Tinggi dan dunia
kemahasiswaan—penindasan yang dilakukan negara-negara
kolonialis-imperialis mengakibatkan diselimutinya kampus
dengan sistem pendidikan berorientasi sekularisme yang dapat
mempercepat pendangkalan sikap dan tindakan keberagamaan
banyak mahasiswa.14
14
Lihat Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 16-17.
59
dalam ruangan sewaktu berlangsungnya jam kuliah tafsir
Dosen Harun Yahya. Himpunan selanjutnya mengemban
tugas perjuangan di tengah konfigurasi politik, ekonomi,
agama, kebudayaan dan pendidikan yang mewarnai
kehidupan umat dan bangsa. Pertama, soal politik: Indonesia
masih dijajah Belanda. Kedaulatan rakyat yang dicita-citakan
Proklamasi 17 Agustus 1945 belum sepenuhnya berada di
tangan rakyat Indonesia. Cengkraman dan dominasi
kekuasaan Belanda soalnya amat kuat. Bahkan sesudah
proklamasi kemerdekaan pun negeri ini tetap coba ditambat.
Maka penduduknya terancam tak bisa maju-maju, karena
terus-menerus berusaha dibuat subordinat. Kedua, soal
ekonomi: kondisi perekonomian Indonesia sangat jauh
terbelakang. Rakyat hidup dalam kesengsaraan karena
kemiskinan selalu menerjang. Kekayaan bumi Indonesia
diperas untuk kepentingan ekonomi-politik penjajah. Itulah
mengaap segala sumber daya alam dihisap, diangkut, dan
dibawa ke negeri Belanda. Walhasil, kelas penguasa bisa
hidup senang dan bahagia. Sementara rakyat jajahan
berkalang kemelaratan dan sengsara.
60
pengetahuannya, umat Islam Indonesia mengalami
keterbelakangan. Rakyat miskin dan tertindas tidak mudah
beroleh pendidikan, karena penguasa memandang
keberadaannya sebelah mata. Daripada membantu mereka
keluar dari alam kebodohan, penguasa justru semakin
mengucilkannya. Pencerdasan bagi para penindas hanya patut
diberikan terhadap anak-anak pegawai Pemerintah Kolonial
Belanda semata.15
15
Disarikan dari Ibid, Hlm. 21-26.
61
garis depan. Untuk itu mereka memasuki latihan militer
secara kilat selama 7 hari, yang diselenggarakan oleh
Markas Besar Tinggi atau MBTTNI Angkatan Darat.
Latihan tersebut diadakan di bekas benteng Belanda
“Verederburgh”, terletak di sebelah Gedung Negara
jalan Malioboro Yogyakarta. Kemudian disusun dalam
Compi Mahasiswa atau CM dengan Komando Hartono
dari HMI (sekarang tahun 1975 berpangkat Mayor
Jenderal). Anggota-anggota HMI turut juga dalam
Compi Mahasiswa ini, di antaranya Ahmad Tirtosudiro
sebagai Wakil Komandan, Amir Alamsyah sebagai
Kepala Staf, Moh. Sanusi tir. H., Usman Abdullah (SH,
Kolonel AD, Purnawirawan), Abdul Firman (Brigjen
AD-tahun 1975), Usep Ranuwiharja (SH, bekas Duta
Besar di Hanoi, tokoh PNI Osa Usep-PDI). 16
16
Ibid, Hlm. 37.
62
Indonesia disebut DN Aidit sebagai tanah air ‘setengah
jajahan dan setengah feodal’:
17
D. N. Aidit, (1964), Revolusi, Angkatan Bersendjata, dan Partai Komunis
(PKI dan AURI), Djakarta: Jajasan Pembaruan, Hlm. 25-26. Tulisan dalam
karya aslinya memakai ejaan lama, tapi oleh penulis diubah sesuai EYD.
63
berkondisi amat menderita. Kala inilah di samping kelas
proletar dan borjuis kecil; buruh tani dan petani miskin ikut
menjadi korbannya. Bentuk pemghisapan terhadap mereka
terdiri dari empat cara: (1) Monopoli tuan-tanah atas tanah;
(2) Sewa tanah dalam wujud hasil bumi; (3) Sewa tanah
dalam bentuk kerja di tanah tuan-tanah; dan (4) Hutang-
hutang yang mencekik kaum tani.18 Kondisi ini merupakan
akibat dari kegagalan pemerintahan Soekarno mengarahkan
Revolusi Agustus 1945 ke arah yang lebih maju. Menurut
Aidit, ada empat faktor yang menyebabkan gagalnya revolusi
borjuis itu: (1) Politik anti-imperialis yang tidak konsekuen,
dengan terus-menerus melakukan kompromi, seperti terbukti
dengan persetujuan Linggarjati dan Renville, dan kemudian
disusul lagi dengan persetujuan KMB yang lebih busuk; (2)
Tidak adanya politik anti-feodal yang dengan tegas memukul
tuan-tanah feodal dan menarik kaum tani ke dalam revolusi;
(3) Tidak jelasnya politik Front Persatuan dengan borjuis
nasional dalam revolusi borjuis demokratis di Indonesia; dan
(4) Tidak adanya pimpinan (hegemoni) kelas buruh yang
tunggal atas revolusi, meskipun ini tak berarti pimpinan
revolusi berada di tangan borjuasi.19
18
D.N. Aidit, (1964), Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa,
Djakarta: Jajasan Pembaruan, Hlm. 27.
19
D.N. Aidit, (1964), Kibarkan Tinggi Panji Revolusi, Djakarta: Jajasan
Pembaruan, Hlm. 11.
64
menyediakan tempat untuk pejabat-pejabat pribumi yang dulu
menjadi hamba-setia penjajah. Negara merawat mereka
menjadi tengkulak, politisi pandir, dan birokrat pongah. Di
tangan segelintir kalangan inilah kekayaan ditumpuk-tumpuk
begitu rupa hingga mayoritas rakyatnya hidup berkalang
nestapa. Kemiskinan yang menyembul di mana-mana
mengakibatkan orang miskin terlunta-lunta. Aidit
menceritakannya dengan amat pilu:
65
opkomde bourgeois yang memegang jabatan tinggi di
dalam civil maupun militer.20
20
Soe Hok Gie, (2005), Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Jakarta:
Bentang Pustaka.
21
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 37.
66
Dilengserkannya Kabinet Amir Syarifuddin untuk digantikan
Kabinet Mohammad Hatta menandai dimulainya pengusiran
golongan kiri dari tubuh pemerintahan. Pada 29 Januari 1947,
Hatta secara resmi menggantikan Amir sebagai Perdana
Menteri hingga mencanangkan empat program peralihan
dengan cekatan: (1) Menyelenggarakan Persetujuan Renville;
(2) Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat; (3)
Rasionalisasi; dan (4) Pembangunan. 22 Sejak rencana
pelengseran Amir hingga keluarnya kebijakan Hatta, HMI
selalu mengambil sikap untuk mendukung kekuasaan.
Dukungannya terhadap pemerintah bukan semata karena
banyak kadernya yang telah menduduki kursi-kursi jabatan
ketentaraan, melainkan pula didasarkan paham sempit
keagamaan dan nasionalisme. Berdiri di atas lantai
pemahaman itulah mengapa HMI menjadi salah satu gerakan
mahasiswa yang anti-kiri (FDR/PKI bersama Amir
Syarifuddin), tapi mendukung penuh kepemimpinan borjuis
nasional (Hatta dengan beragam program peralihannya).
22
Coen Husain Pontoh, (2005), Mitos Tentara Rakyat, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 53.
67
membasmi sisa-sisa feodal, dan memberi perlindungan
terhadap kelas buruh dan kaum tani yang hidupnya masih
terkungkung kesengsaraan. Daripada menuntaskan jalannya
revolusi, Kabinet Hatta justru bermain mata dengan Negara
Kapitalis Amerika. Hubungan ini bukan sekedar menjadi
alasan diusirnya kaum kiri dari tubuh pemerintahan, tapi juga
dibasminya gerakan-gerakan kiri pada masa-masa awal
kemerdekaan. M.R. Siregar menjelaskannya demikian:
68
pertemuan ini Graham menjanjikan bahwa bantuan
Marshall Plan untuk Indonesia akan dipertimbangkan
begitu Republik menerima Renville dan pengaruh
Sayap Kiri atas pemerintah Indonesia dikurangi, ini,
secara rahasia” kata laporan tersebut, “akan mengekang
semua kegiatan front Sayap Kiri…. Untuk
melaksanakan instruksi rahasia tersebut, maka pada
tanggal 8 Mei 1948, sebuah pertemuan dilakukan
dengan dewan siasat militer. “Para pesertanya”, kata
Kreutzer, “Ialah Hatta dan kepala-kepala dari angkatan
bersenjata, waktu itu: Sudirman, Nasution, Latief
(ketiga-tiganya mewakili Angkatan Darat), Subiyakto
(Angkatan Laut) dan Suryadarman (Angkatan Udara).
Dalam sebuah dokumen rahasia kita menemui pokok-
pokok diskusi. Dua pokok menarik perhatian khusus.
Pertama, semua peserta dengan suara bulat menyetujui
bahwa TNI-Masyarakat pada pokoknya sudah
dibubarkan. Kedua, Hatta mengijinkan orang-orang
Amerika untuk mendirikan pangkalan di Indonesia,
dengan mendapat senjata sebagai gantinya. 23
23
M.R. Siregar, (2007), Tragedi Manusia dan Kemanusiaan; Holokaus
Terbesar Setekah Nazi, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 27.
69
pemberontakan FDR/PKI. Kala itu posisi kekuatan kiri dalam
tubuh pemerintahan memang begitu lemah sekali. Setelah
Amir Syarifuddin yang menjadi tokoh sekaliber FDR/PKI
diklengserkan dari jabatan Perdana Menteri; borjuis-borjuis
nasional bersama kekuatan fasis dan imperialis semakin
membanduli gerakan kiri dengan beragam hasutan dan
tuduhan. Tujuannya sederhana: untuk menyingkirkan seluruh
sisa-sisa kekuatan kiri dari pranata kenegaraan hingga dapat
dengan mulus menerapkan keempat program peralihan
Pemerintah Hatta. Dianggap sebagai oposisi berbahaya bagi
pemerintahan, maka gerakan kiri kemudian diperangi bukan
hanya dengan stigma tapi juga pasukan bersenjata. Sejak
bulan Juli-September 1948, provokasi kekuasaan bukan hanya
berbentuk tebaran-tebaran hasutan lewat pamflet tapi juga
penganiayaan dan penculikan dengan tujuan memancing
kemarahan FDR/PKI. Suasana ini dijelaskan oleh M.R.
Siregar begitu rupa:
70
sedadu bekas KNIL-PETA] dan begitu juga satuan-
satuan SILIWANGI (utamanya BRIGADE
TENGKORAK) menginginkan pasukan-pasukan FDR
dan pasukan-pasukan lainnya yang berada di bawah
‘pengaruh’ FDR supaya dilucuti. Setelah pelucutan,
pemimpin-pemimpin FDR [Amir Syarifuddin, Musso,
Supardi, Amir Harjono, dan sebagainya] harus
ditangkap…. Kecemasan dan ketegangan luar biasa ini
akhirnya berakibat pada meletusnya pertempuran pada
tengah malam tanggal 18 September di Madiun….
Demikianlah situasi yang menguasai Madiun yag
kemudia memaksa para pembesar sipil dan militer
setempat serta FDR/PKI mengangkat Supardi sebagai
Walikota Residen Sementara.
71
kaum komunis…. Dalam pidato 19 September, selain
meyuruh rakyat memilih antara “PKI-Musso” di satu
pihak dan “Soekarno-Hatta” di lain pihak, Presiden
Soekarno juga menyerukan kepada seluruh rakyat
untuk secara bersama-sama membasmi apa yang
disebut “kaum pengacau”. Maksudnya, kata Aidit,
untuk membasmi kaum komunis, orang-orang
progresif, dan pengikut mereka….24
72
yang terkemuka dan pemimpin-pemimpin kaum buruh yang
terkemuka, seperti Kawan Musso, Amir Syariffudin, Suripno.
Dr. Wiroreno, Hardjono, Sardjono, dan banyak lagi lainnya
dibunuh dalam kejadian Madiun ini’. 26
26
D.N. Aidit, (1997), Menuju Indonesia Baru, Djakarta: Jajasan
Pembaruan, Hlm. 25.
27
Prof. Dr. H. Agus Salim Sitompul, Op. Cit., Hlm. 37.
73
Pada 27 Desember 1949, perjuangan mereka bersama elemen-
elemen kekuatan rakyat yang masih tersisa dan bersifat lokal
membuahkan hasil: Indonesia mampu merebut kedaulatan
dari tangan Belanda.28 Hanya yang didapat bukanlah daulat
rakyat melainkan kelas penguasa. Pembasmian FDR/PKI
soalnya telah membuat tubuh pemerintahan dikuasai oleh
kalangan borjuis nasional dan kalangan fasis. Mereka hanya
tahu merebut kemerdekaan tanah air tanpa berkomitmen
membersihkan sisa-sisa feodal dan memerangi imperialisme.
Sejak kekuatan kiri dibasmi maka cita-cita pembebasan
nasional terus-menerus diluncurkan begitu rupa. Tentara-
tentara reguler yang tadinya tampil sebagai pejuang
kedaulatan meluncur jadi alat penindasan baru. Sedangkan
elit-elit serdadu menjelma menjadi kapitalis-birokrat dengan
mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi yang
ditinggalkan oleh negara-negara kolonialisme. Persis seperti
itulah Ben Anderson menjelaskannya:
28
Ketika Belanda akhirnya terpaksa mengakui kekalahan, penyebabnya
yang utama bukan terletak pada peran lembaga Republik. Faktor utama
ialah adanya perlawanan rakyat yang sifatnya sangat lokal, terutama di Jawa
dan Sumatera, sebagaimana terungkap dalam gerak aneka ragam organisasi
politik dan militer di luar negara, yang dihimpun, dibiayai dan dipimpin
oleh kekuatan masyarakat di pelbagai tempat. (Lihat B.R.O.G. Anderson,
Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru)
74
mulanya wewenang ini digunakan untuk mengekang
kegiatan parta-partai politik—terutama Partai Komunis
Indonesia (P.K.I.)—, dan menekan organisasi-
organisasi veteran yang dikendalikan parpol, dalam
rangka mematahkan kaitan militer dan parpol.
Kemudian, ketika serikat-serikat buruh yang militan
pada bulan Desember merebut sebagian besar kerajaan-
dagang Belanda untuk mengganjar sikap Belanda yang
kepala-batu dalam isu Irian Barat, ketika itulah, pucuk
TNI/AD melangkah maju dan menggantikan serikat-
serikat itu. Mendadak para perwira TNI/AD merebut
kendali dari sebagian terbesar perusahaan dalam sektor
ekonomi modern tersebut. Maka, untuk pertama kali
korps perwira TNI/AD meraih sumber-sumber
keuangan penting bagi dirinya sendiri, dan dengan
demikian, untuk pertama kali pula, melekatkan suatu
kepentingan ekonomi korporat (usaha dagang yang
terorganisasikan) pada lembaga ABRI secara
keseluruhan, sebagai suatu sektor ekonomi tersendiri di
dalam masyarakat Indonesia. Jadi, pada 1957, untuk
pertama kali sejak 1942, sumber-sumberdaya ekonomi
yang utama (bagi seluruh bangsa) jatuh ke tangan suatu
kendali-tunggal (dari satu aparat di dalam negara)….
Lebih lanjut, dengan penguasaan atas bekas
perusahaan-perusahaan Belanda, maka pucuk pimpinan
TNI/AD kini berada dalam kedudukan yang langsung
bertolak belakang (antagonistis) dengan kekuatan
rakyat—terutama para buruh dan petani yang bekerja di
tambang, perkebunan dan perusahaan-perusahaan
dagang penting lainnya.29
29
Ibid, Hlm. 16-17.
75
memperkokoh kekuasaan ekonomi-politiknya: mendapatkan
posisi-posisi strategis dalam tubuh-tubuh perusahaan,
memperkuat pengaruh pada pranata kenegaraan, hingga terus-
menerus memupuk laba dari lumbung kekayaan alam yang
tersebar di mana-mana. Sementara di sisi mereka HMI
sebagai organisasi yang menjadi patner dekatnya pun beroleh
jatah. Itulah mengapa setiap kegiatan himpunan selalu
mendapatkan angin segar dari tubuh kekuasaan dan
kebutuhan-kebutuhannya diakomodir begitu rupa. Sedangkan
alumni-alumninya amat banyak diorbitkan dalam struktur-
struktur negara (beberapa di antara alumni sekalibernya
seperti Ahmad Tirtosudiro, Akbar Tandjung, dan Abdul
Ghafur—pemaparan berkait ini dapat dibaca pada bagian:
HMI Terperangkap dalam Hegemoni Pembangunanisme).
76
Sebagai pejuang-pejuang PKI yang selamat dalam Peristiwa
Madiun; Aidit, Lukman, Sudisman, Sakirman, dan Nyoto
terus melanjutkan perjuangan ideologi dan politik PKI. Dalam
membangun kembali organisasi yang telah hancur mereka
memanfaatkan tiga situasi kebangsaan: (1) Agresi Militer
Belanda II (1948): dimanfaatkan untuk meloloskan diri dari
tindakan hukum (kejaran aparat dan penjara pemerintah) dan
tindakan politik (likuidasi dan percaturan politik bangsa); (2)
Sistem Demokrasi Liberal (1950-1959): dipakai dalam
penguatan basis dukungan, keanggotaan dan bargaining-nya
pada percaturan elit-elit politik bangsa; dan (3) Sistem
Demokrasi Terpimpin 1959-1965): dipergunakan sebagai
penguatan hegemoninya di pentas politik nasional, hingga
melakukan indoktrinasi gagasan revolusioner dan pemantapan
pengaruhnya.
77
Dalam keadaan inilah HMI yang begitu peka dengan
kekuasaan sadar akan kebangkitan PKI. Maka secara cekatan
diambilah peran lamanya: tampil sebagai organisasi
mahasiswa yang bersiap diri untuk berhadap-hadapan,
membubarkan, hingga mematikannya.
30
M. Alfan Alfian, (2013), HMI 1963-1966 Menegakkan Pancasila di
Tengah Prahara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 83.
78
antek-anteknya menyusun barisan untuk membubarkan
HMI dengan membentuk Panitia Aksi Pembubaran
HMI…. Pembela dan pendukung HMI pun tidak mau
ketinggalan membentuk Panitia Solidaritas Pembelaan
HMI. Puncak aksi tuntutan pembubaran HMI terjadi di
bulan September 1965, di saat menjelang terjadinya
peristiwa G30S. Tetapi pada 17 September 1965,
dengan keputusan Komando Tertinggi Retoling
Aparatur Revolusi (Kotrat) Bung Karno, HMI
dinyatakan jalan terus dan tidak dibubarkan. PKI,
CGMI dan organisasi-organisasi bawahannya gagal
membubarkan HMI. Selanjutnya, pada tanggal 30
September 1965 mereka mengambil jalan pintas
melalui sepak terjangnya dalam Gerakan 30 September.
Gerakan inilah yang kemudian—dalam kacamata
penguasa—dikenal sebagai pemberontakan (Gestapu 30
September/PKI).31
31
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Op. Cit., Hlm. 45 dan 47.
32
Data Kedutaan Besar AS Mengikuti Berjalannya Pembunuhan Massal di
Indonesia pada Tahun 1965, lihat https://nsarchive.gwu.edu/
79
melainkan pula strategi penggulingan kekuasaan paling
tengik. Ia menamainya dengan sebutan ‘Kudeta Merangkak’:
80
kelindan yang bermuara pada pembunuhan massal dan
tiga puluh dua tahun kediktatoran, merupakan salah
satu di antara kejadian-kejadian penting dalam sejarah
Indonesia, setara dengan pergantian kekuasaan negara
yang terjadi sebelum dan sesudahnya: proklamasi
kemerdekaan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945,
dan lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998.33
33
John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September
dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta
Mitra, Hlm. 5.
81
rakyat. Tentara kemudian tampil sebagai juru selamat bangsa
dan pembasmian kaum komunis tampak sebagai tugas yang
patriotik. Termakan oleh propaganda ultar-nasionalisme inilah
yang semakin mendorong HMI terlibat aktif dalam upaya-
upaya penggayangan PKI. Keinginan untuk mempertahankan
keamanan dengan cara membasmi PKI dari bumi Indonesia
membuat Wakil Ketua PB HMI Mar’ie Muhammad bergerak
memprakarsai pendirian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI). Aliansi gerakan mahasiswa rekasioner ini
disyahkan oleh Menteri PTIP Prof. Dr. Syarif Thayeb pada 25
Okrober 1965. Tugas KAMI padat, jelas, dan sangat-sangat
keras: (1) mengamankan Pancasila; dan (2) memperkuat
bantuan kepada ABRI dalam penumpasan ‘G-30S/PKI’
sampai ke akar-akarnya. Dengan melaksanakan kedua peran
itulah mereka menjelma jadi bagian kekuatan fasis. Makanya
pandangan mereka tentang G30S pun meniru kelas penguasa:
menganggap keributan didalangi PKI. Berdiri di atas tuduhan
dan prasangka yang sama dengan militer, maka KAMI
menjadi elemen mahasiswa yang sangat membenci organisasi
politik kaum kiri. Bahkan anggota-anggota dan simpatisan
PKI yang berada dalam kabinet pemerintahan Soekarno
sampai dilucuti.
82
titik dalam perkembangan sejarah Bangsa Indonesia. KAMI
melakukan aksi yang menggemparkan di halaman UI Salemba
Jakarta, pada tangga 10 Januari 1966. Bagi mereka gerakan
ini mengumandangkan suara hati nurani rakyat dalam bentuk
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura): (1) Bubarkan PKI, (2)
Retooling Kabinet, dan (3) Turunkan Harga. Hanya
perjuangannya ternyata menjadi pelumas bagi militer untuk
merebut kekuasaan dari tangan Soekarno. Terjunnya anak-
anak muda di jalanan menyuarakan protes atas
ketidakmampuan Pemerintah Soekarno memperbaiki keadaan
menjadi pintu masuk bagi Soeharto untuk menancapkan kuku
Orde Baru (Orba). Agussalim Sitompul menceritakannya
begitu:
83
atas nama Presiden RI mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu demi terjaminnya keamanan dan
ketenangan. Menggunakan Supersemar, besoknya 12
Maret 1966, PKI dibubarkan dan dilarang di seluruh
Indonesia, bersama segala organisasi mantelnya. 34
34
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 49-51.
84
digerakkannya untuk menyebarkan kebohongan-kebohongan
banal—propaganda negara untuk memicu kekerasan,
penangkapan massal tanpa dakwaan, interogasi dengan
penyiksaan, penahanan berkepanjangan tanpa pengadilan,
penghilangan paksa dan pembunuhan kilat.
35
Lihat Dr. Abdul Munir Mulkhan, (2002), Teologi Kiri Landasan Gerakan
Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hlm. 1.
85
sekali menggalang persatuan dikarenakan politik identitas
yang memecah-belah kesatuan massa. Semua itu diwariskan
turun-temurun dalam rahim republik sejak masa berkuasanya
negara-negara kolonialisme di Bumi Nusantara. Dahulu
Pemerintah Kolonial Belanda mula-mula memberikan angin
segar pada perkembangan gerakan Sarekat Islam (SI), tetapi
setelah Perang Dunia I (1914-1919) selesai—mereka justru
melancarkan provokasi politik devide et impera: SI
dibenturkan dengan PKI dalam urusan Ideologi Islam dan
Ideologi Komunis.36 Sejak dimulainya strategi adu domba itu,
sampai Pembunuhan Massal dan Kudeta Merangkak pada
1965—sesungguhnya didalangi oleh sebuah jaringan besar:
Van Der Plas Connection (NICA-Sekutu). Inilah yang
terungkap dalam sebuah investigasi Media Tempo:
36
Lihat Ahmad Mansur Suryanegara, (2013), Api Sejarah, Bandung:
Penerbit Salamadani, Hlm. 404.
86
masa pendudukan Jepang, Van Der Plas mengendalikan
intel sekutu di Indonesia dari Australia termasuk dalam
jaringannya adalah orang-orang dari jalur Dr. Van
Mook seperti Mr. Amir Syarifuddin (pernah menjadi
PM—memberontak bersama PKI di Madiun), Dr.
Soemitro (beberapa kali jadi Menteri, master agen
Sekutu, koordinator penyalur senjata dan dana dari
Singapura untuk PRRI-Permesta), dari jalur Van Der
Plas seperti Soebandrio, beberapa Kyai baik di Jawa,
Sumatera, maupun Kalimantan, a.l. H. Hasan Basri,
Kyai IR dari Jatim, dan beberapa perwira, a.l. Soedj,
Roes, juga anak seorang ambtenaar Belanda,
Soemarsono (Ketua Pesindo)—termasuk dalam Van
Der Plas, juga tokoh seperti Walikota Solo Utomo
Ramelan, yang secara nyata dan vokal mendukung
Dewan Revolusi G30S, hal ini bukan peristiwa yang
tanpa rencana. Sedangkan dari CDB PKI saja tidak ada
yang mengeluarkan statement dukungannya.37
37
Lihat Kitab Merah Kumpulan Kisah-Kisah Tokoh G30S/PKI,
Nyamuklagi.multiply.com: Majalah Tempo, Hlm. 69-70.
87
Letkol Untung (mantan anak buah yang masih mematuhi
Soeharto), Kol. Latief (mantan anak buah Soeharto—tengah
malam dia ke RS Gatot Subroto untuk memberitahukan
rencana pelaksanaan G30S), Brigjen Soepardjo (mantan
ajudan Jendral Roekman, yang akrab dengan Soeharto), dan
Sam Kamaruszaman. Hanya keempat pelaku tersebut
memiliki hubungan baik dengan PKI, karena menjadi hasil
binaan dan infiltrasi komunis ke dalam ABRI. Tetapi juga
keempat-empatnya merupakan teman-teman dekat Soeharto
sewaktu menjadi kader Partai Sosialis di Pathuk,
Yogyakarta—saat PKI Murba dan PSI berada dalam satu
wadah.
38
Pada 1965, CIA menggulingkan pemerintrah Presiden Soekarno melalui
kup militer. CIA berusaha meruntuhkan kekuasaan Soekarno sejak 1957
melalui berbagai cara, dari usaha pembunuhan, hingga intrik seksual.
Alasannya, Soekarno menyatakan netral dalam konteks Perang Dingin.
Penggantinya, Jenderal Soeharto, kemudian membunuh 50.000 hingga 1
juta warga sipil atas tuduhan “komunis”. CIA menyuplai nama-nama
tersangka tersebut (Lihat FX Sutopo, (2016), Dinamika Intelijen Dunia,
Yogyakarta: Garasi, Hlm. 57).
88
tidak dipungkiri adanya keterlibatan negara-negara
kapitalisme-imperialisme dalam tragedi tersebut. Itu
tercermin dengan sikap Soebandrio yang ternyata pula ingin
menyingkirkan Soekarno. Dalam tahun 1945, Dr. Soebandrio
membentuk Onvangst Comitte (Panitia Penyambutan) untuk
menyambut kedatangan kembali Belanda (NICA-Sekutu)
datang menjajah kembali Indonesia. Dengan demikian
Bandrio di sini membuka kedoknya sebagai anggota Jaringan
Intel Sekutu, yang ada di Indonesia dikendalikan oleh Chr.
Van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur.39
39
Lihat Buku Kitab Merah Kumpulan Kisah-Kisah Tokoh G30S/PKI,
Nyamuklagi.multiply.com: Majalah Tempo, Hlm. 68-79.
89
melakukan kudeta model lama terhadap Soekarno, tapi
melancarkan penggulingan kekuasan dengan cara baru. Maka
strategi perebutan kekuasaan dilakukan secara merangkak:
mula-mula melalui bombardil fitnahan dan hujatan, lalu terus-
menerus menyebarkan kabar bohong tentang rencana kudeta
jenderal-jenderal sayap kanan, hingga korban kejahatan
politiknya bereaksi duluan. Persis seperti itulah John Rosa
menjelaskan:
90
populis organisasi. Itulah kenapa Aidit beserta para ideolog
partai mengembangkan sebuah teori baru yang disebut ‘teori
dua aspek kekuasaan negara’: satu aspek pro-rakyat dan aspek
lain anti-rakyat. Teori ini membantu menjelaskan mengapa
Aidit bersedia mendukung aksi G30S dari tentara-tentara
progresif. Karena dari teori tersebut didapatkan bahwa
beberapa prajurit dan perwira di dalam tubuh ABRI terbagi
menjadi dua golongan yang dialektik.40
40
Lihat John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30
September dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia
dan Hasta Mitra, Hlm. 235-236.
91
menjadi momen digulingkannya kekuasaan Soekarno.
Jaringan Van der Plas Connection memang sedari awal
mengharuskan anggotanya mengambil kekuasaan dan
mematikan pergerakan PKI dan pendukungnya. Makanya
Soeharto, muncul menggantikan Yani—yang telah
terbunuh—dalam memimpin ABRI. Dia memanfaatkan
Supersemar untuk mengambil-alih kekuasaan yang sah. Pada
12 Maret 1966, PKI dan seluruh organisasi mantelnya
dibubarkan dan dilarang di seluruh Indonesia. Tak tanggung-
tangung kelicikan dan kejahatan Soeharto semakin menjadi.
Saat tertangkapnya Sekjen PKI Aidit di Solo Jawa Tengah,
sekonyong-konyong Harto memerintahkan Kol. Yasir
membawanya langsung ke Jakarta untuk dihabisi di tengah
perjalanan—hingga sekarang tidak ada satupun yang tahu
rimbanya. Kini peristiwa itu menimbulkan tanda tanya dari
Majalah Tempo:
41
Lihat Buku Kitab Merah Kumpulan Kisah-Kisah Tokoh G30S/PKI,
Nyamuklagi.multiply.com: Majalah Tempo, Hlm. 78-79.
92
Melalui surat kabar Tempo, kita dapat mendaras bahwa
peristiwa G30S begitu sesak akan konspirasi para elit politik.
Itulah kenapa hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang
mengetahui adanya gerakan tersebut. Pada 1 Oktober 1965,
Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan
Jenderal Ahmad Yani dan 5 orang staf umumnya diculik dari
rumah-rumah mereka di Jakarta untuk dibawa dengan sebuah
truk ke area perkebunan di selatan kota. Orang-orang yang
diculik kemudian dibunuh dan dimasukkan ke dalam lubang
buaya. Aksi ini digembar-gemborkan: berguna sebagai jalan
melindungi Presiden Soekarno dari komplotan jenderal kanan
yang akan melancarkan kudeta. Tetapi G30S tumbang
sebelum terungkap kebenaran yang sesungguhnya. Sementara
dengan tewasnya Yani, maka Soeharto mengambil-alih
kekuasaan Angkatan Darat untuk segera memberi komando
dalam melancarkan serangan balik. Bagi kalangan sejarawan,
G30S tetap merupakan misteri. Namun di tangan Orde Baru,
dalang dari aksi pembunuhan itu adalah PKI.
93
…bahwa G30S adalah percobaan kudeta PKI—tidak
cukup meyakinkan. Sukar dipercaya bahwa partai
politik yang beranggotakan orang-orang sipil semata-
mata dapat memimpin sebuah operasi militer.
Bagaimana mungkin orang sipil dapat memerintah
personil militer untuk melaksanaan keinginan mereka?
Bagaimana mungkin sebuah partai yang terorganisasi
dengan baik, dengan reputasi sebagai partai yang
berdisiplin tinggi, merencanakan tindak amatiran
semacam itu?... Agaknya tak ada alasan ke arah
sana….42
42
John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September
dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta
Mitra, Hlm. 5-6.
94
meluas dari konflik di desa sampai ke politik tingkat tinggi
kebijakan luar negeri AS. Para pejabat penting dalam
pemerintahan Eisenhower (1952-1960) telah lama berpikir
tentang bagaimana memecah-belah Indonesia menjadi negara-
negara kecil. Bagi mereka, Presiden Soekarno merupakan
sebuah kutukan. Politik luar negerinya yang bebas aktif
(seperti terpampang pada Konferensi Asia-Afrika 1955),
hujatan berulangnya terhadap negara-negara kapitalisme-
imperialisme, dan kesediaannya merangkul PKI sebagai
bagian integral dalam politik Indonesia—yang ditakuti oleh
kaum kapitalis-imperialis di Washington, karena menjadi
bukti kesetiaan dan keberpihakan Bung Karno kepada
Moskow dan Beijing.
95
sokongan dan dorongan negara kapitalis itulah yang membuat
Pemerintah Orba menautkan Indonesia dengan Amerika
Serikat. Dengan mengakhiri politik luar negeri Soekarno yang
bebas aktif, Soeharto bertujuan mencapai pertumbuhan
ekonomi sebagai syarat mutlak untuk kediktatoran yang bisa
tahan lama melalui penggabungan yang sangat erat dengan
perekonomian Barat. Ia mengisyaratkan dukungannya yang
kuat terhadap investasi dari Barat sejak cukup dini.
Oportunisme Soeharto itu tercermin jelas dalam
pembelaannya terhadap modal asing secara terang-terangan
tanpa tahu malu. John Rosa menjelaskannya begitu:
43
John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September
dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta
Mitra, Hlm. 278-279.
96
Amerika Serikat dan Inggris telah mengubah metode
kolonialisme klasik menjadi neokolonialisme. Gagasan
dasarnya adalah, ketika pada masa kolonialisme klasik
kekuatan imperialisme berjalan dengan penyerbuan secara
militer terhadap Negara sasaran yang hendak ditaklukan,
maka di era Pasca Perang Dunia II upaya melestarikan
imperialisme dilakukan melalui orang-orang dalam, infiltrasi
dan penetrasi modal asing dan penguasaan aset-aset industri
terhadap negara-negara yang hendak ditaklukan. Kalau era
penjajahan Kolonial Belanda upaya imperialisme dilakukan
dengan penyerbuan fisik, tapi selama era neokolonialisme—
sejak berlangsungnya perang dingin dan memasuki Orla, Orba
bahkan Reformasi—semuanya berubah: kini praktik
imperialisme mulai dilakukan dengan cara-cara yang begitu
sublim dan sistematis: pertama, mengendalikan birokrasi
melalui kapitalis birokrat; kedua, pemberian pinjaman dana
(utang); ketiga, pengendalian kebijakan negara.
97
kepentingan-kepentingan praktis semata: memperole akomadi
apa saja dari penguasa, menjaga eksistensi HMI sebagai
organisasi modernis, dan menghindari label buruk
kekuasaan—radikal, pengacau, pemberontak, dan sebagainya.
Dengan mengekor pada rezim maka aktivitas-aktivitas
himpunan tak sekedar berlangsung aman tapi juga berhasil
memperlebar sayapnya dengan beragam bantuan. Namun
seiring berjalannya waktu pemerintahan Soeharto mulai
memperlihatkan kebobrokannya: semakin korup dan begitu
tirani. Melalui pemberlakuan asas tunggal Pancasila,
kekuasaan kemudian tampil sangat totalitarian—termasuk
terhadap HMI.
98
kritis terhadap pemerintahan. Maka organisasi itu lalu
dikucilkan bahkan berkali-kali coba dibubarkan.
99
kepresidenan dan menyerahkan jabatan kepada Wakilnya BJ
Habibie. 44
Pada 1998, HMI Dipo dan MPO ikut terlibat menjadi bagian
gerakan mahasiswa yang meruntuhkan rezim Orba. Setelah
setahun BJ Habibie memimpin, HMI Dipo memanfaatkan
Kongres ke-22 tahun 1999 di Jambi untuk kembali ke
khittahnya dan menetapkan kembali asas Islam sebagai dasar
organisasi. Hanya Pasca-Reformasi, gerakan organisasi
semakin menggugui kuasa birokrasi: makin banyak kader
HMI produk era tahun 60-an, 70-an dan bahkan 80-an,
mengisi relung-relung pranata kenegaraan. Nama-nama
mereka seperti M. Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Bachtiar
Chamzah, MS Kaban, Hidayat Nur Wahid, Amien Rais,
sudah tidak asing di telinga kader HMI, sebagai pejabat dan
tokoh negara yang alumni HMI.45 Semenjak Reformasi ’98
alumni HMI memang secara berlomba-lomba menjadi kelas
penguasa. Bergerombolnya mereka menempati kursi-kursi
pemerintah tidak mengerti kalau dalam mempertahankan
kekuasaan modal di Indonesia—strategi yang ditempuh
kapitalisme global adalah menolak melakukan perubahan
mendasar atas sistem politik dan ekonomi yang ada dengan
membuat skenario mengganti aktor-aktor yang bermain di
tubuh pemerintah-negara. Retorika yang mereka kemukakan
sebenarnya sangat-sangat sederhana: melalui pergeseran
sejumlah tokoh yang bermain maka sesungguhnya telah
44
M. Arief Pranoto dan Hendrajit, (2016), Perang Asimetris dan Skema
Penjajahan Gaya Baru, Jakarta Sealatan: Global Future Institute Publisher,
Hlm. 59-60.
45
Ali Asghar dan Aridho Pamungkas, (2013), Perpecahan HMI Menggugat
Kebangkitan Intelektual, Jakarta: Bumen Pustaka Emas, Hlm. 47-48.
100
terjadi reformasi di Indonesia—yang dikatalisatori
penandatanganan Letter of Intent (Lol) oleh Soeharto pada
Januari 1998 lalu.
101
telah menguasai sumber minyak, pertambangan dan gas
di Indonesia.46
46
Lihat M. Arief Pranoto dan Hendrajit, (2016), Perang Asimetris dan
Skema Penjajahan Gaya Baru, Jakarta Sealatan: Global Future Institute
Publisher, Hlm. 62.
47
Prof. Agussalim Sitompul, (2008), 44 Indikator Kemunduran HMI,
Jakarta: CV Misaka Galiza, Hlm. 97, 99.
102
gerakan oleh pandangan-pandangan kelas penguasa, maka
dengan leluasa aktor-aktor kapitalisme global
mengekpsloitasi, mengeksplorasi dan mengakumulasi kapital.
Inilah yang membelenggu Bangsa Indonesia begitu suruh
dalam melancarkan petlawanan demi menyelamatkan tanah
tumpah darahnya yang sedang dijadikan lahan garapan
kapitalisme global. Dewasa ini himpunan dituntut untuk
memajukan perjuangannya untuk meghancurkan segala
hegemoni yang telah lama membergol. Sudah tidak mungkin
membakukan peran keumatan dan kebangsaan dalam bentuk
tugas agama dan negara. Sebab jika melihat dari gerakannya
selama ini; kita semestinya sedih, kecewa, bahkan marah.
Kenapa misi keumatan menjadi alasan dibantainya elemen-
elemen kiri yang membela nurani kerakyatan? Mengapa misi
kabangsaan dijadikan pembenaran dalam mendukung
kedigdayaan modal dan tirani pemerintahan? Sekarang
bukankah sudah waktunya tugas-tugas umat dan bangsa itu
didekontekstualisasi dan direkontekstualisasi?
103
tapi mereka telah menjadi agen-agen dari kapitalisme-
imperialisme seperti rezimnya Soeharto. Dalam keadaan
seperti iniah menjaga jarak terhadap kekuasaan dan
mendekatkan diri pada rakyat merupakan bentuk tafsir baru
atas tugas negara. Apalagi secara empiris: vitalitas himpunan
berada pada konsep perjuangan pembebasan. Itulah mengapa
proses pendirian HMI tidak lepas dari progresifitas teologis
yang utuh dari seorang Lafran Pane: menjadikan Islam
sebagai kerangka berpikir, bersikap dan berperilaku dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia yang berada
dalam penindasan. Maka mengacu ide-ide lahirnya HMI, akan
tampak keinginan Lafran Pane untuk melawan tatanan politik,
agama, ekonomi, budaya, dan pendidikan yang
menyengsarakan kehidupan umat manusia. Kehadiran HMI di
Indonesia adalah wujud keberanian untuk membebaskan diri
dari dua tirani yang berdempet—seperti ditulis oleh Ahmad
Wahib dalam catatan hariannya:
48
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Penyunting), (2016), Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, Hlm. 33.
104
yang kurang baik. Itulah kenapa sebaiknya rasa ke-HMI-an
dipupuk sebagai keniscayaan ideologis yang bangkit secara
eternal dalam diri para kader. Artinya: meskipun tidak dapat
ditemukan suatu ketimpangan sosial yang sedemikian parah,
tapi dipandang perlu untuk dapat menghadirkan institusi yang
termotivasi oleh ideologi tauhid (Islam) untuk membumikan
risalah-risalah Tuhan.49 Sewalaupun kader HMI memiliki
ikatan moral dengan para senior-alumni di birokrasi, tetapi
tugas-tugas kemanusiaan yang didasari semangat keislaman
harus dilaksanakan secara konsisten, konsekuen, dan penuh
kemilitanan. Perjuangan organisasi mesti diarahkan untuk
membela kaum mustad’afin, bukan malah menjadi pembela
penguasa. Gerakan harus berlaga dengan tidak mudah
terdikte, terkooptasi atau diintervensi oleh siapapun. Mungkin
hanya dengan cara inilah HMI akan mampu memfokuskan
diri berjuangan melawan penindasan dalam segala macam
pembawaannya. Sekarang, ada baiknya kader HMI memagut
kembali tugas kekhalifahan yang membesakan itu.
Pelaksanaannya persis yang lukiskan Ali Syari’ati begitu
indah dan kaya akan gairah perlawanan:
105
dia adalah manusia yang paham akan keindahan ilmu
dan keindahan Tuhan. Dia memperhatikan kata-kata
Pascal dan kata-kata Descartes. Bagaikan sang Budha,
dia bebas merdeka dari belenggu nafsu dan egoisme.
Bagaikan Abu Dzarr, ditebarkannya benih revolusi bagi
mereka yang lapar. Bagaikan Yesus, dia membawa
pesan cinta kasih dan perdamaian. Dan bagaikan Musa,
dia adalah pesuruh jihad dan pembebasan. 50
50
Dr. Ali Syari’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas, Jakarta: Islamic
Center Jakarta Al-Huda, Hlm. 108-109.
106
Keluar dari Tangan Diktator Bajik:
Masuk Cengkraman Kapitalis-Birokrat
51
Puisi berjudul Rekayasa II dalam A. Mustofa Bisri, (2019), Pahlawan
dan Tikus: Kumpulan Puisi, Yogyakarta: Diva Press.
107
kekuatan politik yang bernuansa ideologis: mereka saling
sikut dan hantam dengan beragam tebaran kebohongan. Salah
satu dampaknya adalah terganggunya penyelenggaraan
pemerintahan secara kuat dan efektif. Kabinet-kabinet
pemerintahan jatuh bangun dalam waktu yang singkat
persaingan ideologis dan politik aliran semakin bertambah liar
dan atraktif. Ini berimbas dalam kehidupan sehari-hari. 52
Sulastomo menganalisis bahwa kekuatan politik yang
dominan saat itu adalah: pertama, Bung Karno, sebagai
kekuatan politik yang paling menentukan. Kepemimpinannya
praktis mutlak dalam mengambil inisiatif serta isu-isu politik;
kedua, Angkatan Darat/ABRI, di mana sebagai kekuatan
politik belum menemukan form-nya. Kemungkinan
disebabkan landasan konsepsional yang belum ada; ketiga,
PKI, yang secara kuantitatif maupun kualitatif telah siap; dan
keempat, ormas/orpol lain (PNI-NU), yang secara kuantitatif
sudah cukup, akan tetapi secara kuantitatif belum bisa
mengimbangi PKI.53
52
Lihat M. Alfan Alfian, (2013), HMI 1963-1966 Menegakkan Pancasila di
Tengah Prahara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 29-30.
53
Lihat Sulastomo, (2006), Di Balik Tragedi 1965, Jakarta: Yayasan
Pustaka Umat, Hlm. 14.
108
setelah memperoleh kemerdekaan pertempuran bukan lagi
melawan penjajah melainkan sesama anak bangsa. Bahkan,
umat Islam terpecah-belah (secara politik).54 Mereka ingin
sekali mengecap harum wanginya kebun mawar kekuasaan
dengan cara membentuk pelbagai organisasi politik agar
kader-kadernya mempunyai kendaraan masuk ke tubuh
pemerintahan. Inilah kenapa demokrasi parlementer tidak
bertahan lama. Sistem ini gagal. Bung Karno kontan memiliki
penilaian buruk terkait pemerintahan parlementer. Dia
menganggapnya sebagai sistem demokrasi yang meniru
demokrasi Barat: liberal. Lantas ia kemudian menggantinya
dengan pemberlakuan demokrasi terpimpin. Memang banyak
pihak menilai sistem pemerintahan itu sewenang-wenang:
demokrasinya tertutupi oleh terpimpinnya, sehingga yang
terjadi adalah kekuasaan terpusat cuma ke satu tangan. Dalam
sebuah catatan harian, Ahmad Wahib mengeritiknya sebagai
sebentuk kepemimpin yang mengarah pada kediktatoran:
54
Agus Salim Sitompul, (2002), Menyatu dengan, Umat Menyatu dengan
Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI (1947-1997), Jakarta:
LOGOS Hlm. 211.
109
‘tidak’. Pengingkaran hati nurani meluas dari ‘yes-man’
menjadi suatu kebiasaan.55
55
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Penyunting), (2016), Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, Hlm.
202-203.
110
Agung serta Presidium, sebuah triumvirat yang terdiri
dari Wakil Perdana Menteri Subandrio, Leimena dan
Khairul Saleh…. Tidak kawan, aku bukan Hitler. Jika
benar bahwa seseorang pemimpin yang dikaruniai daya
tarik dan wibawa untuk menggerakan orang banyak itu
seorang diktator, biarlah dikatakan aku seorang diktator
yang berbuat kebajikan.56
56
https://tirto.id/sejarah-nasakom-upaya-sukarno-menyatukan-tiga-
kekuatan-politik-dnlt
57
Ken Budha Kusumandaru, (2004), Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 209-210.
111
parah lagi—Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jepang dan
Jerman bekerja sama dalam menginvansi negara itu. Rusia
dijadikan musuh bersama. Berada dalam situasi ini
mendorong membuat Soviet dan Bolshevik mempertahankan
revolusi dengan tegas dan keras. Inilah yang membuat mereka
sampai harus mengambil hasil tani para petani untuk
menghidupi rakyat di perkotaan. Tindakan itu lantas difitnah
oleh borjuis-borjuis kecil dengan pelbagai stigma. Mereka
tidak sabar bergelut dalam keadaan pasca revolusi, karena
ingin cepat-cepat mendapatkan hasil yang baik. Borjuis-
borjuis kecil mengutuk kemunduran perekonomian Rusia
tanpa mau tahu bahwa kondisi obyektif akibat invansi-invansi
dari negara kapitalisme-imperialisme.
112
melancarkan serangan-serangan teror kepada kaum Bolshevik.
Inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perang sipil
di Rusia.
113
di Jakarta mereka merasa kurang aman dari pihak-pihak
yang kontra dengan mereka serta sekaligus berencana
memantapkan pemerintahan revolusioner yang mereka
cita-citakan dengan mengangkat ‘Syafruddin
Parawiranegara [salah satu tokoh Masyumi]’ sebagai
mentrinya. PRRI ini segera mendapat sambutan hangat
di Indonesia Bagian Timur, Aceh, dan Indonesia tengah
yang telah terlebih dahulu mengusahakan perjuangan
melalui DI/TII yang terkenal itu. Walaupun pada
akhirnya usaha ingin memisahkan diri, yang di
upayakan berbagai daerah ini berhasil ditumpas.
Sementara kegentingan demi kegentingan yang
terjadi—(maka) Soekarno sebagai seorang organisator
dan sekaligus pengagum persatuan dan kesatuan—tidak
tinggal diam dan tidak kehabisan akal. Soekarno
melakukan upaya dengan menggandeng dua kekuatan
besar dan yang paling bagus organisasinya dan paling
potensial di Indonesia pada waktu itu, yaitu PKI dan
AD atau militer. Walaupun pada kenyataannya kedua
kekuatan ini selalu pro dan kontra antara satu sama lain,
namun bisa jinak di tangan seorang politikus kaliber
soekarno. Mula-mula dua kekuatan ini
dimanfaatkannya pada imperialisme dan kapitalisme
yang masih mengancam Indonesia, berhubung pada
waktu itu Irian Barat masih dikuasai oleh penjajah dan
isu ini dipakai Soekarno untuk mengamanatkan agar
Irian barat selekas-lekasnya dapat dibebaskan serta
upaya untuk mengembalikan Indonesia dalam posisi
pemerintahan secara utuh. Dalam teorinya dapat kita
baca bahwa: soekarno, membutuhkan PKI kasrena
merasa terancam akan Kudeta yang di lakukan Militer
pada waktu itu atau AD pada khususnya sebagai
114
kekuatan potensial yang sewaktu-waktu dapat merong-
rong Soekarno dari tampuk pimpinan.58
58
https://penasoekarno.wordpress.com/2010/09/13/lahirnya-demokrasi-
terpimpin/
115
progresif; Soekarno lantas mendayagunakannya untuk
mengimbangi tekanan-tekanan kalangan militer yang menjadi
agen kapitalisme-imperialisme. Persis seperti inilah hubungan
timbal-balik antara PKI dan presiden: sama-sama menentang
kekuatan modal. Bahkan ditulis oleh John Rosa bahwa
pemberian dukungan terhadap kekuasaan membuat PKI
mendapatkan banyak simpati dari kalangan militer pendukung
Orla:
116
Indonesia, yang dipandang berbagi semangat dan
kearifan yang sama.59
59
Lihat John Rosa, (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30
September dan Kudeta Soeharto, Jakarta: Institute Sejarah Sosial Indonesia
dan Hasta Mitra, Hlm. 190.
60
M. Alfan Alfian, (2013), HMI 1963-1966 Menegakkan Pancasila di
Tengah Prahara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 50.
117
Demikian juga sikap HMI terhadap Nasakom (Nasionalis,
Agamais, dan Komunis), himpunan tidak seratus persen
menerima atau menolaknya. Inilah mengapa HMI dekat
dengan Soekarno, namun tetap selalu berjaga jarak. Artinya
Bung Karno tidak mungkin dijauhi total lantaran kekuatan
demokrasi terpimpinnya yang membuatnya sewaktu-waktu
bisa bertindak tanpa batas (membubarkan HMI). Ketakutan
terhadap pembubaran oleh Orla ternyata mengarahkan HMI
untuk menjadi bagian elemen mahasiswa yang pro-rezim.
Soekarno membina simbiosis mutualisme dengan PKI dan
Angkatan Darat. Inilah yang membuat terjadinya suatu
keadaan tarik tambang: mendayagunakan PKI untuk
menyaingi kekuatan ABRI, serta menggunakan militer demi
menyeimbangkannya dengan kebesaran PKI. Namun dalam
pusaran kekuasaan Bung Karno lebih unggul daripada PKI
dan TNI AD. PKI sangat dekat dengan Bung Karno. Itulah
kenapa ia kemudian mengeluarkan konsep Nasakom. Konsep
yang nantinya akan diharamkan pada saat Orba oleh para
ABRI pimpinan Soeharto. Tuduhan awalnya dilancarkan
sejak terjadinya G30S sebagai dalang utama dari pemberotan
itu.
118
HMI dengan keberadaan organisasi-organisasi berhaluan
sosialisme-komunisme seperti PMY (Perserikatan Mahasiswa
Yogyakarta) dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) di
Surakarta. Dalam latar belakang pendirian HMI ceritanya
begini, Lafran Pane dulunya begitu cemas melihat
perkembangan spiritualitas mahasiswa Islam yang berada di
Perguruan Tinggi—salah satunya; kampus memberlakukan
kuliah dari jam 4 sore sampai 8 malam, sehingga tidak ada
waktu bagi pelajar-pelajar itu muslim untuk melaksanakan
ibadah sholat magrib dan isya.
119
mengundang westernisasi. Makanya organisasi berhaluan
sosialis—seperti PMY dan SMI—amat tidak disukai oleh
HMI. Tetapi kekuatan militer fasis di bawah pimpinan
Soeharto yang jelas-jelas merupakan agen kapitalis global
malah didukung. Seorang Lafran tidak secara eksplisit
menyebutkan bahwa didirikannya HMI untuk menghancurkan
sosialisme-komunisme. Namun yang menyebabkan
munculnya kebencian himpunan terhadap komunis ialah
polarisasi-polarisasi politik Indonesia pada masa Soekarno
yang semakin lama makin menajam. Persaingan AD dengan
PKI getarannya sampai ke mana-mana, termasuk menerobos
masuk dalam dunia pendidikan dan agama hingga
mengkambinghitamkan sosialisme-komunisme dengan
organisasi-organisasi mahasiswa yang memakainya sebagai
haluan gerakan. Paham ini dianggap anti-agama. Itulah
mengapa dalam Kongres HMI ke-5 di Medan tahun 1958, PB
HMI mengeluarkan pernyataan yang memandang bahwa
komunisme merupakan satu paham yang membahayakan dan
memusuhi agama.61 Ini juga menjadi sebuah jawaban kenapa
HMI mendukung penuh ABRI dalam aksi-aksi menurunkan
Soekarno dan membubarkan, menyiksa serta melenyapkan
anggota-anggota dan orang-orang yang dituduh PKI.
61
Ibid, Hlm. 82.
120
cekatan muncul sebuah tata pemerintahan dan struktur
kekuasaan baru: populer dengan sebutan Orba pimpinan
Soeharto. Efek dari kekuasaannya begitu menyakitkan bahkan
sangat mematikan. Doxa yang ditebar penguasa
mempermainkan psikologi rakyat dengan menganggap bahwa
PKI adalah semacam iblis yang anti-kemanusiaan dan agama.
Orba juga berhasil memunculkan stigma bahwa setiap
gerakan yang mengkritik pemerintah ialah gerakan kiri, dan
orang-orang kiri itu komunis. Paling keji, rezim mengeluarkan
keputusan politik untuk membunuh tanpa proses peradilan
terhadap orang-orang yang dicurigai komunis. Suatu tindakan
politik yang menjadi cikal bakal proses pembodohan rakyat
dan pengerdilan demokrasi hingga Soeharto pun berhasil
menancapkan cengkraman dan memperkokoh kekuatan
politiknya selama 32 tahun melalui pelagai kebohongan. Ini
dituliskan Safinuddin dengan gamblang:
121
dijerat atas nama ketidaksetiaan dan semangat anti-
Orde Lama.62
62
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 33.
122
berkuasa di dunia, di antaranya: David Rockefeller,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British
Leyland, The International Paper Coeporation, US Steel
dan Henry Kissinger. Indonesia pun akhirnya, seperti
biasa, efeknya sampai sekarang: menjual buruh murah,
pajak rendah dan kekayaan alam sebagai tukar guling
utang, hingga tidak ada ketahanan energi dan pangan. 63
63
Afred Suci, (2015), 151 Konspirasi Dunia Paling Gila dan
Mencengangkan!, Jakarta: PT Wahyudi Media, Hlm. 156-157.
64
Lihat Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi
Sosial, Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 34.
123
merupakan pelaksanaan dari amanat Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1983. Sejak itulah seluruh partai dan organisasi
kemasyarakatan harus berdasarkan Pancasila. HMI selaku
organisasi kemasyarakatan yang menghimpun mahasiswa
Islam dipaksa menyesuaikan diri dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebab dengan UU itu
semua Orpol/Ormas diberi kesempatan untuk menyesuaikan
diri selambat-lambatnya 2 tahun sampai 17 Juni 1987.65
65
Imam Sudarwono Padmosugondo, (1985), 5 Undang-Undang Bidang
Pembangunan Politik, Jakarta: KPN PB-7 Pusat, Hlm. 165.
124
melemahkan kekuatan HMI beserta seluruh elemen gerakan
rakyat.
125
kelas penguasa. Fatwa yang dimunculkan bukan untuk
memenuhi kebutuhan kaum tertindas, tetapi kepetingan
penguasa-pengusaha-militer dan intelektual-agamawan.
66
Dr. Abdul Munir Mulkhan, (2002), Teologi Kiri Landasan Gerakan
Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hlm. 185.
67
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 34.
126
menarik—bagian tulisan tersebut diberi judul ‘Mereka yang
Berkuasa dengan Jalan Kekejaman’.
68
Daniel Dhakidae, (2015), Menerjang Badai Kekuasaan; Meneropong
Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, Sampai Putra Sang
Fajar, Bung Karno, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 40.
127
Agathocles, orang Sicilia, tidak hanya dari rakyat biasa,
tetapi dari kelas terendah dalam masyarakat dan dari
kalangan yang sangat miskin, bangkit menjadi raja
Syracuse. Dalam setiap jenjang kedudukannya, orang
ini, anak seorang pembuat periuk tanah liat, bertindak
seperti seorang penjahat. Namun demikian,
kejahatannya itu disertai dengan watak yang penuh
keberanian dan fisik yang kuat, sehingga sewaktu ia
masuk dalam angkatan perang, ia selalu naik pangkat
dan menjadi panglima pasukan. Setelah ia ditunjuk
untuk menduduki pangkat tersebut, ia bertekad bulat
untuk menjadi penguasa dan mempertahankan
kedudukannya tanpa mengindahkan dukungan orang
lain sesuai dengan wewenang yang diberikan
kepadanya secara konstitusional. Ia berhasil
mendapatkan persetujuan atas rencananya dari
Hamilcar, orang Carthago yang sedang memimpin
pasukan perangnya di Sicilia. Pada suatu hari ia
mengumpulkan rakyat dan senat Syracuse, seolah-olah
ia akan membahas masalah-masalah yang menyangkut
negara republik tersebut. Dan dengan memberikan
tanda-tanda yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, ia
menyuruh serdadu-serdadunya membunuh semua
senator bersama semua warga kota yang terkaya. Dan
setelah semuanya mati, ia merebut dan memegang
kekuasaan kota tersebut, tanpa menemui perlawanan
apa pun dari dalam. Walaupun dua kali ia pernah
terpukul dan bahkan dikepung oleh bangsa Carthago,
tidak hanya dia berhasil mempertahankan kota tersebut,
tetapi, dengan meninggalkan sebagian pasukannya
untuk mempertahankan kota tersebut, ia menyerbu
Afrika dengan sisa pasukannya dan dalam waktu
singkat membebaskan Syracuse dari kepungan musuh
yang mengakibatkan pasukan Carthago menderita
kekalahan besar. Mereka terpaksa membuat perjanjian
128
dengannya, merasa puas dengan yang dikuasainya di
Afrika dan menyerahkan Sicilia kepada Agathocles.
69
Dr. M. Sastrapratedja & Drs. Frans M. Parera (Redaksi), (1991), Niccolo
Machiavelli: Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin
Republik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 84-85.
129
Terperangkap dalam Hegemoni Pembangunanisme
70
Dalam Agus Salim Sitompul, (1997), HMI Mengayuh di Antara Cita dan
Kritik, Yogyakarta: Aditya Media.
130
bukan saja dibutuhkan pekerja kasar di lapangan, tapi juga
para pemikir untuk membantunya memikirkan, menuliskan,
dan merancang apa saja. Himpunan adalah organisasi tukang
pikir dengan kader terbanyak menyumbangkan pembantu bagi
penguasa.
131
tanggung mengkiritik teman-temannya yang pernah bejuang
bersamanya di KAMI, karena mereka bermegah-megah dalam
istana sekaligus mengkhianati rakyatnya sendiri: ‘Sebagian
dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga. Mereka
korupsi, mereka berebut kursi, rebut-ribut pesan mobil dan
tukang kecap pula’.71 Kritikan yang begitu datang pula dari
kalangan HMI. Sikap kritis dilayangkan oleh anggota HMI
Cabang Yogyakarta. Namanya Ahmad Wahib. Dia adalah
sosok yang kelak melepaskan keanggotaannya di himpunan
lantaran organisasinya bukan saja berpihak pada tiran, tapi
terutama pemikiran yang berkembang di dalamnya tidak
aerob. Analisannya yang dalam dan tajam merupakan sindiran
terhadap para intelektual, termasuk mahasiswa-mahasiswa
yang bergabung di HMI. Wahib tak sekedar menyindir
melainkan pula mencoba mengingatkan teman-temannya:
‘Sekarang kebanyakan intelektual telah menjadi teknokrat
alias sekrup-sekrup dalam roda pemerintahan. Kaum
intelektual pada gilirannya dipergunakan lagi oleh pemerintah
untuk membela beleid-nya atau sebagai solidarity maker.
Ternyatalah, pemerintah memang berusaha memagar dirinya
dengan organisasi intelektual’.
71
Daniel Dhakidae, (2015), Menerjang Badai Kekuasaan; Meneropong
Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, Sampai Putra Sang
Fajar, Bung Karno, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 79.
132
memang merupakan yang paling banyak mengisi barisan
KAMI. Soeharto tahu akan hal ini, sehingga pemimpin
mahasiswa dari organisasi besar banyak dirembesi. Terhadap
pimpinan-pimpinan pucuk himpunan misalnya, caranya
mudah: mendekati dan mendikte Ketum PB HMI dengan
memberikan kemudahan akses ke istana, khususnya dalam
meniti karir hingga merebut kursi-kursi negara. Kemesraan
antara himpunan dengan Orba terlihat jelas ketika organisasi
ini dipimpin oleh Akbar Tandjung. Kala menjabat Ketum PB
HMI periode 1971-1974, Akbar menyeponsori Pertemuan
Cipayung. Temu inilah yang melahirkan Kelompok
Cipayung. Perkumpulan tersebut begitu aktif mendukung cita-
cita pembangunannya Orba. Baginya dukungan kepada rezim
sesuai dengan Program Kerja HMI di masanya. Makanya ia
juga ikut mendirikan KNPI (Komite Nasional Pemuda
Indonesia). Organisasi ini langsung berada di bawah naungan
pemerintah yang dikhususkan untuk mengendalikan
organisasi-organisasi pemuda secara sentralistik demi
menyukseskan kerja-kerja pembangunannya Soeharto.
72
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul [editor], (2008), HMI Mengayuh di
Antara Cita dan Kritik, Jakarta: CV Misaka Galiza, Hlm. 54.
133
pembangunan-pembangunan yang digencarkan selama Orba
kala itu didukung oleh Akbar dengan segenap pemikiran,
penuh keyakinan, dan kebulatan tekad:
73
Muchriji Fauzi HA dan Ade Komaruddin Mochamad (penyunting),
(1990), HMI Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit PT Gunung
Kulabu, Hlm. 62.
134
dengan mengemis-ngemis kepada pemodal asing hingga
membuat rakyatnya sendiri merana. Kekayaan-kekayaan alam
Indonesia dilacurkan ke tangan para pengusaha luar negeri.
Kebijakan-kebijakan pemerintah juga lebih mementingkan
kehadiran investor asing ketimbang memobilisasi dana dalam
negeri. Ali Sugihardjanto membagi pembangunan yang
dilakukan Orba ke dalam tiga tahapan secara jeli. Periode
pertama (1967-1973) memiliki ciri khusus yaitu politik pintu
terbuka yang mengusahakan berbagai insentif untuk menarik
penanaman modal asing, antara lain melalui usaha-usaha
pembuatan infrastruktur, UU PMA yang sangat memikat
dengan membuat restriksi industri yang sangat sedikit. Pada
periode kedua (1973-1983) pemerintah mengerahkan politik
industrinya pada kegiatan industri impor substitution melalui
berbagai proteksi bagi kepentingan pasar dalam negeri, yang
bertujuan menaikan kandungan lokal dalam hasil produksi. Di
bidang ekspor pemerintah melarang ekspor beberapa bahan
mentah dalam bentuk belum diolah, yang bertujuan
membangun industri barang-barang ekspor. Periode ketiga
(1983-1992) pemerintah telah memberi arah baru menuju
industri berorientasi ekspor ditandai oleh pembukaan hampir
semua sektor industri manufaktur bagi investasi asing, dengan
mengandalkan daya tarik tenaga kerja yang murah.
135
Indonesia)/CGI (Consultative Group on Indonesia). Setiap
penerimaan dana bantuan, Bank Dunia menetapkan standar
operating procedure yang akan meminta kesediaan calon
nasabah untuk mengikatkan diri dengan perdagangan
internasional (dinamakan tata ekonomi dunia baru), membuka
pasar dalam negerinya bagi barang-barang produksi luar
negeri, memberikan kebebasan lalu lintas modal dan laba,
serta membuka diri terhadap investasi asing. 74 Misi utama
World Bank (Bank Dunia) adalah membantu pembangunan
dan rekonstruksi teritori negara-negara anggotanya. Caranya
dengan memfasilitasi investasi kapital untuk tujuan produksi
apa saja. Tak cukup menggunakan dana itu Soeharto pula
melancarkan pembangunannya melalui anggaran dari IMF
(International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional).
Itulah mengapa Prasetyo menjelaskan torehan kebijakan
Soeharto dalam membangun negeri ini sesungguhnya bukan
untuk menyejahterakan rakyat, tapi mengikuti kemauan
penguasa ekonomi global (kapitalis-imperialis):
74
Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri; Melawan Kapitalisme Modal dari
Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 86-87.
136
pertemuan yang diadakan di Hotel Mount Wahington,
Bretton Woods, New Hampshire, Amerika diputuskan
untuk dibentuk badan bernama Bank Dunia dan IMF….
Hubungan Indonesia dengan IMF memiliki sejarah
yang panjang (Indonesia melamar menjadi anggota
IMF pada tahun 1951, hanya berselisih beberapa hari
dari Jepang. Namun karena panjangnya birokrasi yang
harus dilalui. Indonesia baru menjadi anggota IMF
yang ke-56 April 1954. Dalam perjalanan sejarah
Indonesia Soekarno pernah memutuskan berhenti dari
IMF dan ini satu-satunya negara yang keluar. [Namun
setelah kekuasaan diambilalih oleh Soeharto maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1966, yang
menyatakan tentang (keharusan) bergabungnya kembali
Republik Indonesia dalam International Monetary
Fund International Bank for Reconstruction and
Development.75] Kemudian pada masa Soeharto
Indonesia melamar menjadi anggota IMF pada bulan
Februari 1967. Sejak itu Indonesia mengikat kontrak
dengan IMF) … Amerika juga menginginkan adanya
persepsi dan kebijakan yang sama di antara para
pengambil putusan, yakni dengan menelurkan Marshall
Plan. Marshal Plan memberi kemungkinan bagi
mereka untuk mengelola perekonomian dunia pasca
perang pada basis komitmen bersama bagi
pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang tinggi.
Dari sinilah proyek pembangunan dikembangkan serta
disebarluaskan, dimana negara diletakkan sebagai
pendorong utama perubahan.76
75
Amien Tohari, dkk, (2011), Dinamika Konflik dan Kekerasan di
Indonesia, Jakarta: Institut Titian Perdamaian, Hlm. 119-120.
76
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri; Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 156-157. Tulisan dalam kotak merupakan
tambahan dari penulis.
137
Perjanjian Bretton Woods pada Juli 1944 menjadi inang
kelahiran era globalisasi modern. Melaluinya sistem ekonomi-
politik dilakukan pemusatan. Tujuannya adalah
mempromosikan ekonomi global dengan dalih mencegah
perang, mengurangi kemiskinan, dan membangun kembali
dunia. Dari pertemuan itu bukan saja berhasil membentuk
WB—yang semula Bank Internasional untuk Rekonstruksi
dan Pembangunan (IBRD)—dan IMF, tapi juga lebih banyak
menghasilkan Perjanjian Umum mengenai Tarif dan
Perdagangan (GATT). Lewat kesepakan ini tidak saja
dibentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), melainkan
pula memaksa ditorehkannya lagi pelbagai perjanjian dagang:
Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA),
Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika (FTAA), Perjanjian
Perdagangan Regional antara ASEAN dan Uni Eropa
(ASEAN-EU FTA), Perjanjian Perdagangan Bebas Asia
(AFTA), Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia dan Jepang
(EPA), dan sebagainya.
138
ekonomi, dan mengorbankan fungsinya sebagai kontrol yang
paling obyektif dan kritis; (4) kebudayaan telah dihancurkan
oleh pasar, dan seni diperdagangkan dalam mekanisme pasar;
(5) etika sudah dikorbankan untuk kekuasaan dan keuntungan
(laba); dan (6) agama telah disulap sedemikian rupa menjadi
komoditas-komoditas yang dijajakan—seperti halnya di
supermarket—kepada manusia (homo economicus) yang haus
spiritual.77
77
Disarikan dari Hans Kung, (2002), Etika Ekonomi-Politik Global:
Mencari Visi Baru Bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, Yogyakarta:
Qalam.
139
terasing dari kehidupan keseharianya. Sebab kebijakan Orba
telah meminggirkannya dari kebiasaan maupun pengetahuan
lokalnya. Bahkan, tanah-tanah yang menjadi sumber
penghidupannya digerogoti pemerintah. Di bawah bendera
Land Resource and Management Planing, maka pasar tanah
dibuka secara leluasa. Orientasinya jelas gila: agar
perekonomian semakin berdaya di atas kebutuhan-kebutuhan
dasar berjuta-juta warga. Wahasi, kehidupan rakyat kemudian
semakin sengsara.
140
ekonomis, dengan demikian tidak memerlukan subsidi lagi;
dan (d) Investasi swasta asing akan digalakkan dengan
dikeluarkannya undang-undang investasi baru yang akan
menjamin perpajakan dan lainnya.78
78
Richard Robinson, (2012), Soeharto dan Kebangkitan Kapitalisme
Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, Hlm. 107.
79
Amien Tohari, dkk, (2011), Dinamika Konflik…. Op. Cit., Hlm. 120.
141
tahun yang kemudian dapat diperpanjang sesuai persetujuan;
(3) Pembebasan pembayaran deviden dan pajak perusahaan
bagi investor asing sampai selama tiga tahun, kerugian dapat
diperhitungkan sebagai sebagai tambahan terhadap
pembebasan pajak yang telah lewat; (4) Pembebasan bea
masuk terhadap mesin-mesin yang diimpor beserta
perlengkapannya, demikian halnya dengan bahan baku selama
dua tahun; (5) Kebebasan penuh untuk merekrut tenaga kerja
manajemen dan teknisi asing bagi jabatan dan pekerjaan
semacam itu yang belum sanggup dilakukan oleh tenaga
Indonesia; dan (6) kebebasan [tidak boleh diatur-atur apalagi
dipaksakan dalam] melakukan pemindahan keuntungan, dana
depresiasi dan hasil penjualan saham kepada warga negara
Indonesia.
80
Lihat tabel 5.2 dalam Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 111.
142
Dalam iklim inestasi yang semakin menggelegar kehidupan
kelas bekerja bukan saja diupah murah dan mudah di-PHK,
tapi terutama mereka dikontrol agar tidak melawan para
penindas. Makanya orang-orang miskin di kota maupun
pelosok-pelosok desa amat rentan terkena kekerasan oleh
negara. Lihatlah bagaimana Orba menerbitkan UU No. 5/1975
(Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah): dengannya Soeharto
gampang sekali memilih serdadu-serdadunya untuk menjabat
kepala desa. Militer sengaja dipasang untuk mengendalikan
dan mengamankan pedesaan dari segala keributan yang
dianggap dapat mengganggu kekuasaannya. Sehingga untuk
mengokohkan kekuasaannya dia bukan saja membangun
perekonomian, tapi juga mempertahankan takhtanya dengan
kekuatan politiknya. Syafinuddin Al-Mundari menulis ada
empat poin fenomenal bagaimana Orba mengebiri rakyatnya:
143
nepotisme, serta terwujudnya—secara praksis—suatu
model ekonomi kapitalis…. Kedua, pseudo-democracy,
demokrasi terlepas dari terminologi teologis—
dipercaya sebagai perwujudan suatu interaksi sosial
atau pola hubungan antara institusi sosial dengan
negara maupun individu (baca: warga negara) dengan
pemerintah (neo-feodalisme)…. Ketiga, menerapkan
preasure power dengan military-approach (pendekatan
militer). Stabilitas politik yang—lalu—disebut stabilitas
nasional, dipandang efektif terjaga bilamana “fungsi-
fungsi kekuasaan” dapat diberlakukan … tangan-tangan
kekuasan yang merambah ke tiap-tiap bidang seperti;
Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI), Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI), Pramuka, dan sejenisnya
[Cipayung, SPSI, ICMI—pen], juga menjadi wadah-
wadah sosialisasi kebijakan pemerintah…. Keempat,
mengeliminir peran-peran agama dalam kehidupan.
Sebagai negara dalam tata dunia modern, Orde Baru
sangat mudah menggunakan prinsip-prinsip
sekularisme yang memandang bahwa urusan agama
bukan menyangkut tatanan sistem sosial melainkan
hanya berkaitan dengan aspek-aspek yang berdimensi
individual dalam hubungannya dengan Tuhan…. 81
81
Syafinuddin Al-Mandari, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 51-53.
144
untuk terus membangun negeri ini dengan bantuan dana-dana
dari pemodal. Karena persetujuan bahkan telah lebih dahulu
nampak sewaktu Soeharto merebut kekuasaan dari tangan
Soekarno: kelompok jenderal kanan dalam Angkatan Darat
memperoleh tak sekedar dari kapitalis-birokrat dan kapitalis-
imperialis, tapi juga sukses menggalang dukungan sipil. Kala
itu segenap blok Barat—Amerika Serikat dan sekutunya—
bersepakat menaikan Soeharto ke tampuk kekuasaan karena
Soekarno menolak bekerja sama apalagi berhamba pada
kapitalisme, terutama modal asing. Sedangkan masyarakat
ikut melancarkan perebutan kekuasaan oleh kalangan militer
melalui beragam aksi yang menggoncang. Isu yang diangkat
tak hanya terkait depresi ekonomi melainkan pula stigma
tehadap PKI: dianggap seiras setan, binatang jalang, bahkan
tidak beragama dan bertuhan segala.
145
Mouffe menyebutnya sebagai chain of equivalence82 (rantai
kesamaan). Sebab, langkah yang diambil kelompok militer
sesuai dengan konsep hegemoni Gramscian:
82
Ernesto Laclau dan Mouffe, (2008), Hegemoni dan Strategi Sosialis;
Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Resist Book, Hlm.
xxxviii.
83
Nezar Patria & Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 117-118.
146
dengan Bonapartiesme: kekuatan sipil dimanfaatkan untuk
memperoleh kekuasan tapi setelah berhasil berkuasa maka
penguasa membelot dari rakyatnya untuk bermain menjadi
kaki tangan dari kapitalisme. Itulah sebabnya kepemimpinan
hegemoninya kemudian dibangun berlandaskan
pembangunanisme. Bangun-membangun dalam bingkai
kekuasaan Orba muncul sebagai ideologi yang menempatkan
usaha-usaha pembangunan dengan bantuan modal asing
menjadi satu-satunya cara untuk memperbaiki dan memajukan
perekonomian.
84
Dr. Abdul Munir Mulkhan, (2002), Teologi Kiri; Landasan Gerakan
Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hlm. 133.
147
dan terutama modernisasi di tiga bidang: keagamaan,
pendidikan, dan kebudayaan.
148
mereka tahu bahwa bantuan Amerika selama ini sangat efektif
dalam mempengaruhi kebijakan dan perencanaan ekonomi
negara-negara miskin. Kedua, mendidik pemimpin Dunia
Ketiga, baik dalam bentuk training, maupun perjalanan
observasi ke Amerika. Strategi ini konon diusulkan
berdasarkan pengalaman pemimpin mahasiswa dalam
menghancurkan pemerintahan nasionalis Indonesia tahun
1966: kudeta terhadap Soekarno. Ketiga, menggunakan sarana
agama. Banyak studi agama diarahkan pada peran agama
dalam development, sehingga perlunya ‘sekularisasi’ menjadi
bahasa resmi pemimpin agama Dunia Ketiga. Dan keempat,
memakai fungsi training dan riset dari tenaga universitas
Amerika yang bekerja di luar negeri atas biaya USAID
(United States Agency for International Development).85
85
Lihat Dr. Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 201.
149
pikiran dengan tokoh-tokoh radikal, terutama pelarian-
pelarian Ikhwanul Muslimin. Hanya saja setelah kembali ke
Indonesia pandangan politiknya bukan mengandung jalan
pikiran para Ikhwan, melainkan corak-corak ide yang punya
korespondensi bahkan koherensi terhadap pembangunan.
Makanya dalam ranah politik disambut gembira oleh
Soeharto, karena idenya hadir sebagai pelumas kekuasaan
Orba. Buktinya pembaharuan pemikiran Islam yang
dibawanya tak saja melemahkan kekuatan politik kaum
muslim, melainkan juga menafikan kesadaran ideologis yang
bertolak dari agama. Abdul Munir Mulkham menjelaskan
dengan begitu rupa. Dia bahkan bersepakat dengan Wahib
yang menyatakan gagasan-gagasan Cak Nur merupakan
implikasi dari kunjungannya ke Amerika:
150
menyimpulkan bahwa partai-partai yang bersimbol
Islam tidak dapat dipergunakan sebagai indikator
kemusliman seorang pemeluk Islam. Oleh karena itu
umat Islam harus dibebaskan dari ikatan primordial
dengan partai-partai tersebut dengan pernyataan “Islam
yes, partai Islam no” … Nurcholish mengembangkan
konsep Teologi-Politiknya, khususnya yang
menyangkut ideologi-politik. Secara rasional harus
dapat dipahami bahwa Pancasila dapat diterima oleh
umat Islam. Dan Islam dapat dikembangkan dalam
format ideologi tersebut. Oleh karena Pancasila dan
Orde Baru merupakan realitas duniawi, maka harus
dipahami secara rasional….86
86
Ibid, Hlm. 150-151.
151
Abdurrahman Wahid [PKB]) 87. Dalam Teologi Kiri-nya,
Mulkham mengungkapkan bahwa partai Islam mengalami
penurunan sebesar 19,30% dari posisi pendukung muslim
tahun 1955. Karena setelah diterimanya asas tunggal
Pancasila, partai Islam hanya didukung oleh 12,43% dari
posisi tahun 1982. Lalu dalam Pemilu 1987 bahkan umat
Islam yang mendukung partai selain PPP—yakni PDI dan
Golkar—mencapai jumlah 81,67%. Mengamati keadaan ini
maka Hasanuddin M. Saleh menggambarkan kekuatan politik
kenegaraan kalangan muslim selama Orba berkuasa sangat
dilemahkan:
87
Syafinuddin Al-Mundari, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 35-36.
152
hubungan emosional dengan massa tradionalnya, yaitu
umat Islam, sebagai komunitas politik…. 88
88
Hasanuddin M. Saleh, (1996), HMI dan Rekayasa Asas Tunggal
Pancasila, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, Hlm. 88-89.
89
Nezar Patria & Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 164.
153
penerapan asas tunggal Pancasila: asas ini mula-mula
dikhususkan di parpol tapi kemudian meluas sampai ke
organisasi-organisasi kemasyarakatan secara vulgar.
154
lain pihak, mekanisme kelembagaan (sekolah, Gereja,
partai-partai politik, media massa dan sebagainya)
menjadi “tangan-tangan” kelompok yang berkuasa
untuk menentukan ideologi yang mendominir….
Konflik sosial yang ada dibatasi baik intensitas maupun
ruang lingkupnya, karena ideologi yang ada
membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai, dan
harapan menurut sistem yang telah ditentukan. 90
90
Ibid, Hlm. 187.
155
berkuasa ada beberapa fase hegemoni yang berlangsung.
Kekuasaan negara dilaksanakan secara berurutan dalam tiga
tingkatan kekuasaan hegemonik: mulai dari hegemoni
integral, merosot, hingga minimum.
91
Ibid, Hlm. 126.
92
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 49.
156
bukan saja menyeponsori pendirian Cipayung dan KNPI, tapi
juga selalu aktif mendukung pelbagai program pembangunan.
157
terhadap Perang Dunia yang bagi penganut evolusi
dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan.
Modernisasi menjadi penemuan teori terpenting dari
perjalanan kapitalisme yang panjang di bawah
kepemimpinan Amerika Serikat…. W.W. Rostow,
seorang ekonom Amerika Serikat, menjadi bapak teori
pembangunan dan pertumbuhan. Teorinya
memperngaruhi model pembangunan di hampir semua
Dunia Ketiga…. Teori Rostow tentang pertumbuhan
pada dasarnya merupakan sebuah versi dari teori
modernisasi dan pembangunan, yakni sebuah teori yang
meyakini bahwa faktor manusia (bukan struktur dan
sistem) menjadi fokus utama perhatian mereka ….
asumsinya adalah bahwa semua masyarakat termasuk
masyarakat Barat pernah mengalami ‘tradisional’ dan
akhirnya menjadi “modern”. Sikap manusia tradisional
dianggap sebagai masalah. Seperti pandangan Rostow
dan pengikutnya, development akan berjalan secara
hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan
dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar
negeri…. 93
93
Dr. Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 52-56.
158
pikiran itu amat signifikan dalam menopang pembangunan.
Makanya antara modernisme dengan pembangunanisme
bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Ini berarti
semakin dikonsumsinya gagasan-gagasan modernis maka
setiap orang—termasuk kader HMI—menjadi gampang sekali
dikendalikan untuk berkomitmen mendukung dan
melaksanakan pembangunan-pembangunan yang digelorakan
elit-elit pemerintahan. Dengan demikian semakin
ditanamkannya buah pikiran Cak Nur, Orba akan makin
diuntungkan. Karena melaluinya hegemoni pembangunanisme
dapat dialirkan ke dalam relung-relung pikiran elemen-elemen
kemasyarakatan. Keadaan inilah yang mengakibatkan rakyat
ditundukan di bawah kepentingan-kepentingan kekuasaan.
Gramsci menyebut situasi sosial-politik yang demikian
sebagai ‘momen’. Yaitu ketika filsafat dan praktek sosial
masyarakat mengalami keharmonisan:
94
Nezar Patria & Andi Arief, Op. Cit., Hlm. 181.
159
penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaan mutlak
pemerintahan tanpa memperhatikan keinginan-keinginan
nyata dari rakyatnya’.95 Diktator baginya adalah orang yang
berhasil menggulingkan kekuasaan dengan cara kudeta:
seperti ditungganginya aksi-aksi mahasiswa dan kekuatan
serdadu oleh Soeharto dalam menggulingkan rezim Soekarno
dulunya. Maka sederhananya diktator bukanlah seorang yang
mewarisi takhta bagai raja dalam sistem monarki, melainkan
terwujud melalui goncangan keras dalam banyak republik:
perampasan kuasa. Bagi Archer, diktatoris memperoleh
kekuasaan yang begitu besar karena rakyat tidak punya
pilihan, terutama jika dirinya memegang komando militer:
dalam banyak hal kehidupan rakyat sudah demikian sengsara,
sehingga mereka mempertaruhkan kebebasannya pada ‘orang
kuat’; sembari berharap tokoh ini mampu memecahkan
kesulitan-kesulitannya. Dalam pandangan HMI secara
kelembagaan, Soeharto dianggap dapat berperan sebagai aktor
yang memiliki kekuatan besar dalam memajukan kehidupan
bangsa. Melalui kesadaran naïf begitulah Soeharto dipandang
jadi pemimpin yang berkharisma. Kharisma dijelaskan Max
Weber: ‘mengacu pada suatu kualitas tertentu dari
kepribadian individual dengan kekuatan mana dia dianggap
luar-biasa dan diperlukan sebagai seseorang yang mendapat
kekuasaan/kekuatan atau kualitas adi-kodrati, adi-insani, atau
sekurang-kurangnya secara khusus tak ada taranya’. 96
95
Jules Acher, (2017), Kisah Diktator: Biografi Politik Para Penguasa
Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran, Yogyakarta: Narasi, Hlm. 15.
96
Daniel Dhakidae, (2003), Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara
Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustakan, Hlm. 264.
160
Kesadaran tentang kharisma yang melekat pada tokoh, begitu
mistis, dan amat membodohkan seperti itu sayangnya terus
dibangun dengan bantuan banyak intelektual maupun
cendikiawan. Bagi Ben Anderson, kharisma tidak terberi
melainkan melewati pelbagai pembentukan: merupakan
sesuatu yang historis dan terikat pada masa dan tempat
sehingga dapat dilatih, direncanakan ataupun diperhitungkan.
Makanya Anderson ucap: pembentukan kharisma dapat
‘dengan menyiapkan panggung sedemikian rupa sehingga
seseorang memperoleh kharisma tersebut’. Daniel Dhakidae
menjelskan bahwa pemberian gelar ‘Bapak Pembangunan’
adalah awal yang kuat dari ‘stage lighting (pencahayaan
panggung)’ bagi Soeharto.97 Julukan inilah yang kemudian
diglorifikasi menggunakan kerumunan media massa dan
sekawanan orang-orang terdidik yang bersedia membeo
menyebarkan puja-puji untuknya. Kelompok terakhir ialah
para pekerja pikir yang mengorbankan pengetahuannya di
altar pembangunannya Orba. Di antara kawanan ini,
perburuhan otak terbanyak dilakukan oleh kader-kader HMI
berkendaraankan organisasinya. Agus Salim Sitompul
menyatakan ada tiga bentuk keterlibatan lembaga HMI dalam
pembangunan: (1) partisipasi dalam pembentukan suasana,
situasi dan iklim, yang memungkinkan dilaksanakannya
pembangunan; (2) partisipasi dalam pemberian konsep-
konsep dalam berbagai aspek pemikiran; dan (3) partisipasi
dalam bentuk pelaksanaan langsung dari pembangunan. 98
97
Lihat Ibid, Hlm 268.
98
Agus Salim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan
Sejarah Pembangunan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV Misaka Galiza, Hlm.
52.
161
Meski digembar-gemborkan keterlibatan HMI berbentuk
partisipatif. Hanya saja partisipasinya tidaklah dapat
dilepaskan dari sifat hegemonik pembangunanisme yang
mencecoki pikiran dengan pelbagai anasir ilusif, pelaksanaan
pemerintahan yang sangat dominatif hingga menggunakan
aparat-aparat koersif. Sebab terjerambabnya himpunan untuk
melakukan kerja-kerja pembangunan adalah impak dari
kekuasaan hegemonis: Dalam situasi inilah orang-orang
mudah sekali menyembulkan simptom oportunis. Itulah
mengapa PB HMI mengalami sindrom: menganggap satu-
satunya pilihan terbaik adalah dengan menempuh jalur
pragmatis. Dengan alasan survivalitas maka pimpinannya
menempatkan organisasi di bawah ketiak penguasa ketimbang
menerbitkan sikap kritis: men-counter pembangunanisme
sekaligus berpihak terhadap kaum miskin dan tertindas.
Karena ketidakberanian melakukan perlawanan justru
memuluskan rezim untuk menindas rakyat dengan seabrek
selubung pembangunanistis. Kemampuan manipulatif
ideologi pembangunan Orba secara leluasa menempat kader
(anggota maupun alumni) organisasi kita dalam posisi
paradoks, karena mereka ditindas sekaligus ikut menindas:
secara aktif maupun pasif mendukung penindas. Dhakidae
menjelaskannya dengan agak sarkastis, serta mengutip
konsepsi marxisnya Nicos Poulantzas:
162
reproduksi kondisi produksi nilai lebih. Pentingnya
kelompok ini yaitu relevansinya pada tingkatan politik.
Di mana titik utama perannya itu? Perannya yang
paling penting adalah apa yang oleh Poulantzas disebut
sebagai power fetishism yang dikembangkan borjuis
kecil ini yang percaya bahwa negara selalu netral dan
berada di atas kepentingan semua kelas. Dalam hal
Orde Baru dengan keterlibatan militer dalam modal,
yang bukan semata-mata menjaga modal akan tetapi
sendiri juga mengolah modal, maka semboyan “berada
di aras segala golongan” selalu dikumandangkan oleh
ABRI Orde Baru. Demikian juga borjuis kecil yang
diorganisasikan dalam organisasi profesional [maupun
kemasyarakatan] seperti “persatuan organisasi pembuat
sepatu menjadi pemuja negara dalam arti yang khas:
[Nicos Poulantzas menjelaskan] karena isolasinya
secara ekonomi … dan karena kedekatan dan
antagonismenya secara ekonomis dengan kaum borjuis
dan proletariat, borjuis kecil itu percaya akan Negara
yang “netral” yang berada di atas kelas-kelas. Borjuis
kecil mengharapkan Negara melihatnya dan menahan
kejatuhannya. Hal tersebut mengarah kepada
“pemberhalaan kepada Negara” (statolatory): kaum
borjuis kecil itu mengindentifikasi dirinya dengan
negara yang kenetralannya mirip dengan yang
[di]milikinya, karena ia melihat dirinya sebagai kelas
“netral” antara kaum borjuis dan kelas buruh, dan
karena itu a pollar of the state—Negara-“nya”. Ia ingin
menjadi “penengah” masyarakat, karena sebagaimana
dikatakan Marx, ia mau agar seluruh masyarakat
menjadi borjuis kecil.99
99
Daniel Dhakidae, Cendikiawan dan Kekuasaan…. Op. Cit., Hlm. 281-
282. Kalimat dalam kotak merupakan tambahan dari penulis.
163
Di masa Soeharto pembangunan hadir dengan tiga modus
yang begitu rupa. Pertama, Pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM/Human Resource Development). Ini berawal
dari pandangan pendukung kapitalisme, Irma Adelman:
dengan studinya dia menyatakan bahwa revolusi bukanlah
pilihan terbaik negara-negara miskin. Negara miskin baginya
harus menempuh jalan pengembangan SDM. Hanya saja
program massa untuk pengembangan tadi malah
mengakibatkan lambatnya pertumbuhan GNP (Gross National
Product), melahirkan tekanan sosial, keributan, dan
ketidakstabilan politik. Dengan begitu diperlukan
pemerintahan yang kuat demi menghadapi masalah-masalah
tadi secara efektif. Tapi bersamaan dengan penciptaan SDM,
pemerintah menggencarkan industrialisasi sumber daya secara
intensif dengan strategi pertumbuhan yang masif. Makanya
Indonesia kontan menjadi negara kecil yang terus-menerus
memproduksi barang untuk pasar internasional. Sedangkan
negara besar menjadi pihak yang beroleh keuntungan dengan
menghasilkan tenaga kerja dan barang-barang skill-intesive
buat keperluan pasar domestik. Selanjutnya pertumbuhan dan
perkembangan industri dapat menyerap lebih banyak pekerja,
menyediakan penghasilan yang mendorong permintaan
komoditas, serta menjamin distribusi hasil secara luas dan
banyak.
164
pada dua peran: (1) Harus menyuplai barang dengan stabil.
Itulah kenapa masyarakat negara berkembang tak segan-segan
menghabiskan penghasilannya untuk komoditi pertanian. Jika
penghasilan naik maka rakyat dapat membeli banyak
makanan. Tapi jika hasil pertanian tak naik maka harga
produk pertanianlah yang dinaikan. Keadaan itu
meniscayakan kenaikan upah. Namun peningkatan gaji
menjadi penghambat orang-orang dalam beroleh pekerjaan
karena lapangan kerja justru semakin minim. Dalam
kebuntuan ini jalan keluarnya ialah meningkatkan hasil
pernatian. (2) Menyuplai tenaga kerja, tapi agak sulit jika
harga hasil pertanian stabil dan rendah. Maka supaya mampu
mencapainya, Mellor sarankan: mesti diadakan perubahan
teknologi dalam pertanian lewat riset biologi untuk
menghasilkan semua yang serba baru; mulai dari bibit,
peptisida, pupuk, irigasi, dan lain sebagainya. Makanya
Soeharto melaksanakan program Revolusi Hijau-nya. Tapi
pembaharuannya tersebut diperlukan lagi topangan
infrastruktur padat modal dari tiga sumber: tingkat tabungan
domestik dan hasil produk domestik; menaikkan hutang luar
negeri; dan mengintensifkan perdagangan internasional.
Walhasil, naiknya input pertanian Orba ternyata enggan
menambah lapangan kerja. Melainkan membumbungkan
pengeluaran kaum tani saja.
100
Revolusi Hijau ini didukung oleh skema pendanaan dari dua sumber
yaitu hutang dan hibah luar negeri dari sekelompok penyedia dana hutang
luar negeri bernama Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan
165
telah mengakibatkan ketimpangan antara petani kaya dengan
miskin. Dari kajiannnya atas ratusan usaha pembangunan
pedesaan enam terobosan untuk keberhasilan bidang
pertanian: (1) produksi padat karya, yang caranya seperti
dipakai oleh petani kecil; (2) penggunaan surplus tenaga kerja
di luar musim pertanian untuk membangun infrastruktur kecil-
kecilan. (3) penggunaan tenaga kerja untuk industri pertanian
ringan; (4) memproduksi barang-barang intermediate untuk
hasil pertanian; (5) produksi barang konsumsi ringan
bersumber dari bahan mentah lokal, berdikari dan mandiri:
diselenggarakan oleh organisasi pemerintah yang memiliki
kekuatan di luar departemen yang biasanya menjalankan
program itu; dan (6) regional planning dengan hierarki pusat
pembangunan yang menjembatani gap antara desa-desa dan
ibu kota. Namun oleh Soeharto pembangunan pedesaan
digencarkan dengan tidak memberikan keleluasaan kepada
warga. Dia mengerahkan begitu banyak tentara sebagai
penjaga. Mereka diberi jabatan kepala desa hingga ketua RT
hanya untuk mempertahankan keamanan laju pembangunan
walau harus main pukul, memakai senjata, hingga memasukan
rakyatnya ke sel penjara. Serdadu-serdadu hadir dengan
kelakuan yang begitu bengis, penampilan beringas, dan selalu
World Bank yang sejak tahun 1968 telah memberi dana dalam jumlah besar
kepada pemerintah Indonesia dengan paket-paket perjanjian yang
memungkinkan bermainnya modal asing di Indonesia (seperti paket
Structural Adjustment Programms). Sumber kedua adalah dari pendapatan
minyak bumi, sebagai hasil ledakan minyak dunia yang mencapai harga
US$ 12/barel pada tahun 1974 dari sebelumnya hanya US$ 3/barel. Harga
minyak ini terus naik hingga pada tahun 1982 mencapai US$ 36/barel. Dari
keuntungan penjualan minyak bumi ini 20% dijatahkan untuk pembiayaan
revolusi hijau. Dijelaskan dalam Amien Tohari, dkk, (2011), Dinamika
Konflik…. Op. Cit., Hlm. 120.
166
berbuat keji. Soalnya para algojo ini didukung oleh politisi-
politisi Golkar dan seabrek aturan-aturan dari birokrasi.101
101
Terkait dengan tiga modus pembangunan di masa Orba yang baru saja
dipaparkan ini dapat dilihat pada karya Dr. Mansour Fakih, Sesat Pikir….
Op. Cit., Hlm. 66-69.
167
yang tak diperinci besarnya dalam cabang perusahaannya di
Indonesia kepada Soeharto sekaligus mempekerjakan anggota
TNI-Polri sebagai personil keamanan. Sejak saat itulah
penduduk di sana bukan hanya dimiskinkan dan sering
mendapatkan kekerasan. Tetapi juga ikut dicerabutkan dari
kultur keagamaannya. Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sampai menceritakan
apa yang dialami rakyat Aceh dalam sebuah buku hasil
penelitiannya:
168
terpinggirkan dan seakan tak populer lagi untuk
mendapat tempat di tengah-tengah gemuruh mesin
industri yang saat itu mulai berputar di Lhokseumawe,
Aceh Utara.102
102
KontraS, (2006), Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap
Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS, Hlm. 17-18
169
nasibnya sendiri. Makanya mulut kepala-kepala suku dan para
wakil rakyat ditutupi dengan uang. Sedangkan bagi penduduk
yang mencoba beraspirasi akan diterjang dengan perlakuan
yang sewenang-wenang.
103
https://historia.id/politik/articles/papua-di-antara-bung-karno-dan-sang-
jenderal/
170
serupa: transmigrasi. Makanya suku-suku asli Papua
kemudian terjepit oleh migrasi penduduk-penduduk dari luar
wilayahnya. Lalu dengan mudah sekitar 1 juta hektare lahan
mereka dipindahtangankan oleh pemerintah demi menggenjot
pembangunannya. Soalnya pandangan Soeharto persis Hitler:
kalau Nazi merendahkan ras Yahudi dan mengunggulkan ras
Arya dalam memajukan peradaban, maka Orba memandang
rendah penduduk asli Papua dan meninggikan orang Jawa
untuk melakukan pembangunan apa saja.
171
harus dapat dibuatkan aksiomanya secara jelas dan pasti, agar
dapat dibuat sistematisasi logisnya; (3) kenyataan ini bisa
dilukiskan sebagai ‘Mesin Raksasa’ yang dapat dibuat bagian-
bagiannya, sehingga keseluruhan adalah penjumlahan dari
bagian-bagian itu; inilah dualisme Cartesian yang terkenal iru
berkaitan dengan subyek-obyek dan pikiran-badan; (4)
kenyataan sebenarnya bersifat deterministik, karena itu bisa
diketahui dan bisa diduga.104
104
Listiyono Santoso, dkk, (2015), Seri Pemikiran Tokoh; Epistemologi
Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hlm. 287.
105
Buka https://historia.id/politik/articles/papua-di-tangan-soeharto/
172
kesadaran warganya sehingga paralel dengan keinginan
negara dalam membangun apa saja. Itulah mengapa
pembangunan di masa Orba menjadi ideologi tak resmi dari
negara. Pembangunanisme merupakan rumpun dari narasi
besar–modernisme yang sengaja disuntikan negara-negara adi
daya (Barat-Eropa) untuk menguasai negara-negara kecil
(Asia-Afrika) seperti Indonesia. Ali Syari’ati menuliskannya
sedemikian rupa:
173
keinginannya. Denga kata lain, dia mengimpor cara
hidup baru dan produk modern dari Eropa….
“Modernisasi” telah didefinisikan sebagai “peradaban”,
karena itu banyak orang yang bekerja sama dengan
orang-orang Eropa dalam rencana modernisasinya….
Modernisasi adalah merubah tradisi, pola konsumsi dan
kehidupan material dari lama ke baru….106
106
Ali Syari’ati, (2017), Sejarah Masa Depan, Yogyakarta: Karkasa, Hlm.
83-86.
107
https://id.m.wikipedia.org/wiki/konflik_papua/
174
negara Barat terhadap kawasan Asia-Afrika: modernisme dan
pembangunan dijadikan payung pelindung niat jahatnya yang
amat eksploitatif. Perampokan kekayaan alam Papua
memperlihatkan bagiamana kekuasaan Orba persis penjelasan
Patria dan Arief:
108
Nezar Patria & Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 146.
175
ketimpangan. Kondisi itulah yang menimpa masyarakat
kapitalis modern. Femia menyebutkan: ‘dalam masyarakat
kapitalis modern, dominasi ekonomi borjuis menghadapi
tantangan berat. Dia menujukan adanya potensi disintegrasi di
sana. Dengan sifat potensial dimaksudkan bahwa disintegrasi
itu tampak dalam konflik tersembunyi ‘di bawah permukaan
kenyataan sosial’.109 Makanya mentalitas massa mengalami
goncangan karena penderitaan yang merebak telah membuat
kekuasaan hegemonik tidak lagi berlangsung secara total. Saat
Soeharto berkuasa keadaan itu bergulir dari 1970-1981.
Masyarakat di kantong-kantong SDA yang dieksploitasi oleh
penguasa dan pengusaha bangkit melawan: pada 1976 rakyat
miskin dan tertindas di Aceh Utara bersepakat mendirikan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM); sedangkan di Papua Barat,
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berdiri sejak
pemerintahan Soekarno semakin mengintensifkan
perlawanannya. Keadaan serupa juga terjadi di wilayah
Pemerintah Pusat, Jakarta: salah satu tragedi besar dari
kemerosotan hegemonik adalah meledaknya Peristiwa
Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Semua
kejadian ini menjadi pertanda bahwa merosotnya kekuatan
hegemonis bukan lagi sekedar dialami perorangan atau
kelompok mahasiswa saja, tapi juga pelbagai gerakan
masyarakat akar rumput.
109
Ibid, Hlm. 128.
176
terhadap birokrasi segera menguap begitu rupa. Karena
perwira-perwira militer yang menempati kedudukan strategis
dalam pemerintahan melakukan tindakan manipulatif kredit
ekspor dan kontrak-kontrak negara sehingga menguntungkan
perusahaan-perusahaan milik kapitalis Cina. Itulah mengapa
valuta asing bisa didapatkannya dengan kurs rendah untuk
impor barang-barang pada skala prioritas. Valuta ini
kemudian dipakai buat mengimpor apa saja yang tidak ada
dalam daftar prioritas. Bahkan kemesraan serdadu dengan bos
pabrik bisa menukar surat izin perdagangan tanpa ada
kegiatan ekonomi. Richard Robinson mencatat, pada 1968
saja perkiraan jumlah uang yang berhasil mereka peroleh amat
bervariasi: 35-100 juta dollar AS habis dimanipulasi. 110 Grup
tentara memang senang sekali memanipulasi demi meraih
mengumpulkan keuntungan pada pribadinya serta kroninya.
Rakyat kecil menderita karenanya. Lihatlah bagaimana kasus
Coopa—perusahaan yang mendapatkan kontrak sebagai
pemasol pupuk dalam program Bimas Gotong Royong: tujuan
mulia menyediakan pupuk kepada kaum tani dalam
menyambut Revolusi Hijau malah anggarannya dikorupsi.
Tindakan korup yang terbongkar 1970 ini merugikan
keuangan negara sampai 711.000 dollar AS. Dari hasil
investigasi, Coopa terdaftar di Liechstenstein. Pemiliknya
adalah Arief Husni (Ong Seng Keng). Dia merupakan
Direktur Bank Ramayana tempat Probosutejo (adik Soeharto)
dan Jenderal Soerjo (pembantu Soeharto di Bidang Keuangan
Negara) bertindak sebagai komisaris dan pemegang saham—
bersama keduanyalah Husni melancarkan aksi korupsinya.
110
Lihat Richard Robinson, (2012), Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme
Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, Hlm. 199.
177
Kelak pada 1973, lagi-lagi orang militer tersandung kasus
korupsi. Kali ini anggaran Bulog yang berusaha dicuri. Dana
senilai 800.000 dollar AS mengendap dengan mudah. Kala itu
Kepala Bulog-nya adalah alumni HMI: Ahmad Tirtosudiro.
Dia ditimpah masalah kejahatan atas keungan negara tanpa
mampu dihukum, persis seperti Soerjo. Penguasa yang
membutuhkan pelayannya hanya mencopot jabatan awalnya
untuk kemudian diberi jabatan baru: Duta Besar RI di Jerman
Barat.111 Sekalipun kasus-kasus manipulasi itu berhasil
dibongkar namun tak satupun pejabat pemerintah, terutama
kalangan militernya dapat diseret ke pengadilan. Sementara
dana-dana yang tidak digunakan bukan untuk kepentingan
masyarakat itu cuma sedikit yang dapat diselamatkan. Sebab,
Orba tak berpihak kepada rakyatnya melainkan kroni-
kroninya: mereka termasuk para jenderal yang membantu
Soeharto dalam meraih dan mempertahankan takhtanya.
Harold Crouch menyebutnya perwira-perwira yang dekat
dengan kekuasaan Soeharto sebagai ‘Jenderal Politik dan
Uang’—sebuah sebutan berkonotasi buruk, karena dianggap
sebagai sumber Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 112
Orang-orang kuat—sekaligus bermasalah—dari militer dalam
pemerintahan ini bahkan diistilahkan oleh Robinson sebagai
‘Jenderal Finansial’—mereka datang dari seksi-seksi Finek
yang mengkoordinatori mengenai keuangan, ekonomi, dan
pembangunan:
111
Baca https://merahputih.com/post/read/simak-5-kasus-besar-korupsi-
masa-orde-baru
112
Andi Suwirta, (2018), Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde Baru:
Studi Kasus Pers Mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung, 1966-1974,
Mimbar Indonesia: Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, Vol. 3(2),
Hlm. 116.
178
[1] Jenderal Hoemardani, sebelum menjabat Deputi
Komandan Finek (Kodam Diponegoro) dan Deputi
Komandan Finek (Mabes AD). Ia juga Direktur PT Tri
Usaha Bhakti (grup bisnis militer terbesar).
Sebelumnya menjabat sebagai Aspri Presiden. Ia adalah
orang penting politik dalam memuluskan hubungan
antara jaringan rumit pengusaha Cina dengan grup-grup
bisnis Jepang. Ia juga seorang anggota penting dalam
pusat politik dan intelijen, Opsus, pimpinan Jenderal
Ali Moertopo. [2] Jenderal Soefjar, sebelumnya
menjabat kepala Finek, Kostrad dan kepala grup bisnis
milik Kostrad, Yayasan Dharma Putra (YDP).
Sebelumnya, menjabat Ketua Kadin. [3] Jenderal
Soerjo, Direktur YDP dan grup Hotel Indonesia milik
negara. Sebelumnya, ia adalah Ketua BPK dan Aspri
Presiden (bidang keungan dan ekonomi), Direktur Tim
Penerbitan Keuangan Negara (Pekuneg), badan yang
juga menentukan perusahaan yang akan disita. [4]
Jenderal Alamsjah, Asisten 7, Finek di Mabes AD
1963-1965; Aspri Presiden, Sekretaris Negara 1969-
1973. [5] Jenderal Tirtosudiro, Aspri Presiden dan
Kepala Bulog sampai 1972. Sebelumnya ia menjabat
Kepala Logistik AD. [6] Jenderal Suhardiman,
sebelumnya direktur perusahaan dagang negara, PT
Jaya Bhakti, sponsor pihak militer dalam mendirikan
Soksi [Sentral Organisasi Karyawan Swadiri
Indonesia—didirikan militer untuk untuk mengontrol
sekaligus mengimbangi Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dianggap kekiri-
kirian], serikat buruh anti-PKI, direktur korporasi
negara Berdikari sampai 1972.113
113
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 198-199.
179
Berkat sepak terjang para jenderalnya dalam mengurusi
politik hingga keuangan, ekonomi, dan pembangunan, maka
kalangan serdadu mendapat dana-dana besar dalam
membangun pelbagai perusahaan milik ABRI. Soalnya
anggaran-anggaran segar nan besar mudah diperoleh lewat
orang-orang militer yang berposisi kuat dan tinggi dalam
birokrasi. Perwira Tinggi TNI-AD Jenderal Achmad
Tirtosudiro misalnya, dipasangkan Soeharto sebagai Kepala
Bulog (Badan Urusan Logistik): dia menguasai sepenuhnya
perdagangan bahan-bahan kebutuhan pokok, khususnya beras
dan bahan pangan lainnya. Selanjutnya Brigadir Jenderal
Suhardiman: ia diberi kuasa terhadap banyak perusahaan
dagang raksasa, salah satunnya ialah PT Berdikari (Perseroan
Terbatas Berdiri Diatas Kaki Sendiri) yang telah diambil-alih
Orba dari Pemerintah Soekarno. Kedua nama barusan masuk
dalam kategori Jenderal Finansial, karena dua-duanya berasal
dari seksi Finek sekaligus bertindak sebagai Aspri Soeharto.
Kedunya serupa keempat Jenderal Finansial lainnya—
Soehjar, Soerjo, Alamsjah, dan Hoemardani: menjadi
penyumbang terbesar dalam memajukan usaha-usaha militer.
Di samping mereka ada pula Jenderal Politik dan Uang,
seperti Mayor Jenderal Ibnu Sutowo: Perwira Tinggi TNI-AD
yang ditempatkan memimpin Pertamina (Perusahaan
Tambang Minyak Nasional). Kemudian Letnan Jenderal
Maraden Panggabean: diberikan jabatan Deputi Panglima
TNI-AD. Lalu Mayor Jenderal Basuki Rahmat: serdadu yang
membawa pernah Supersemar (Surat Perintah 11 Maret)
untuk menjatuhkan Soekarno ini diposisikan menjadi Menteri
Dalam Negeri. Ketiga perwira barusan notabene orang-orang
yang sangat loyal pada penguasa hegemonik. Maka ketiganya
180
diberikan posisi-posisi strategis, baik dalam bidang
kemiliteran maupun ekonomi dan politik. 114
114
Lihat Andi Suwirta, Op. Cit., Hlm. 116.
181
kontraktor bangunan kepada pihak militer dan pemerintah,
juga lisensi impor dan kredit impor.115
115
Ibid, Hlm. 200.
182
Indonesia) tahun 1968 dengan suku bunga 3%, perusahaan ini
menyimpan sebagian dana itu di bank-bank swasta secara
tidak sah dan menawarkan bunga antara 10-15% demi
melakukan spekulasi pasar. Sebagian dana tadi diinvestasikan
pula untuk proyek-proyek jangka pendek: memberikan
pinjaman kepada Bank Dharma Ekonomi—selaku cabang
perusahaan yang dikuasai oleh TNI-AD—dan PT Berdikari.
Bahkan, dana-dana Bulog nekad disimpan di Bank Sumatra
lantaran kedekatannya dengan direktur bank yang seorang
perwira menengah TNI-AD. Perbuatan-perbuatan demikian
kelak justru semakin mendorong Bulog hingga tak mau
mengadakan pembelian beras petani di awal-awal panen.
Alasannya sepele: akan jauh lebih menguntungkan apabila
anggarannya disimpan selama mungkin di sektor lain. Dengan
begitu Bulog banyak merusak mekanisme perdagangan beras,
sehingga produsen beras lokal dan terutama kaum tani
menjadi makhluk yang paling dirugikan. Singkat cerita: Bulog
pun pada 1972 tidak memiliki cukup persediaan bahan
pangan, sementara harga-harga bahan pokok membumbung
tinggi. Walhasil, perekonomian nasional semakin melemah
karena bertambah derasnya inflasi. 116
116
Lihat Andi Suwarta, Op. Cit., Hlm. 123-131.
183
tarif listrik, dan terutama banyaknya buruh yang di-PHK.
Akumulasi dari semua derita inilah yang melahirkan Peristiwa
Malari 1974: rakyat miskin dan tertindas itu bergabung
bersama ribuan mahasiswa dan siswa. Mereka bersepakat
menerbitkan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan
penguasa. Ketidakpuasan terhadap pemerintah yang
memelihara koruptor dan menguntungkan pemodal soalnya
telah mengakibatkan masyarakat murka. Mereka bersepakat
turun ke jalan menaikan tiga tuntutan: (1) bubarkan lembaga
asisten pribadi presiden (Aspri); (2) turunkan harga kebutuhan
pokok; (3) ganyang korupsi dalam tubuh birokrasi. Ketiga
tuntutan itu terbingkai dalam kesadaran bersama: tolak
derasnya investasi asing—terutama pinjaman modal dari
Jepang—yang membanjiri Indonesia. Makanya parlemen
jalanan digelar bersamaan dengan kedatangan Perdana
Menteri Jepang Kekuei Tanaka di Jakarta. Kehadirannya
disambut sikap dan aksi berlawan dari elemen masyarakat
sipil. Soalnya kunjungannya berisi kepentingan modal asing.
Robinson bahkan menjelaskan kepentingan itulah yang
mengakibatkan Pertamina dan Opsus tak segan dibikin
Soeharto jadi budak kapitalis Jepang:
184
Ketiganya diyakinkan perlunya intervensi ekonomi
negara bagi terciptanya ekonommi industri nasional.
Dalam iklim politik, sebagaimana kita lihat, Opsus
telah mulai membangun struktur korporasi negara yang
dirancang untuk memegang monopoli kegiatan politik
secara sah dan menerapkan ideologi negara berdasarkan
konsep negara sebagai pembangun, stabilisator dan
dinamisator…. Sebaliknya, fokus nasionalisme
ekonomi yang dipimpin negara sangat kurang upaya
dan keahlian, mencoba membangun sumber daya utama
dan proyek industri nasional. Untuk maksud ini,
Pertamina menjadi fokus kegiatan bagi para nasionalis
birokrat karena menjadi satu-satunya sumber dana, atau
alat untuk menambah utang, keduanya cukup besar dan
berada di luar kontrol para teknokrat Bappenas.
185
kepada Jepang hak istimewa guna mendapatkan
pasokan energi murah. Pada 1976, Robinson mencatat
berikut: … seluruh jumlah energi yang secara resmi
berhubungan dengan transfer dana pinjaman sebesar
2.303.683.000 dollar AS. Angka ini meliputi hampir
satu setengah kali seluruh realisasi investasi asing di
Indonesia pasca 1966 dan lebih dari dua kali investasi
langsung Jepang. 117
117
Ibid, Hlm. 115-119.
186
Lubis ada pula kelompok mahasiswa seperti Arief Budiman
dan kawan-kawan. Mereka mengkritik rezim dengan
membentuk Komite Anti Korupsi: kelompok ini masih kecil
makanya mudah ditekan penguasa. Demonstrasi mereka gelar
pada Desember 1971 dan Januari 1972.
187
neokolonial, pembangunan hanya bermanfaat bagi tiga pihak:
investor asing, para cukong, dan pejabat. Mereka telah
mengabaikan kapital dalam negeri dan kesejahteraan
sebagaian besar penduduk yang seharusnya terpenuhi.
Baginya, Orba merupakan eksekutor tatanan kolonial baru. Di
dalamnya terdapat kandungan tujuh macam bom waktu: (1)
demoralisasi nasional sebagai akibat bangunan trio avonturir-
cukong-pejabat; (2) ruwetnya birokrasi dan bisnis; (3)
kebijakan pemerintah tentang kredit bank; (4) perusakan
hutan dan sumber daya alam lainnya; (5) pengusiran rakyat
dari tanah mereka dengan ‘feodalisme uang’; (6) kolonialisme
ekonomi; dan (7) berkembangnya pengangguran. 118
118
Lihat Ibid, Hlm. 123, 126-127.
188
organisasi-organisasi yang tergabung dalam Kelompok
Cipayung justru duduk manis menyaksikan kebiadaban.
Mereka bukan malah mengeluarkan kutukan atas kezaliman,
melainkan menempuh cara lain untuk mendukung tindak
kesewenang-wenangan. Hasanuddin M. Saleh sangat kecewa
menyaksikan sikap yang diambil organisasi-organisasi
kepemudaan. Soalnya mereka mengaku membela kebenaran
dan memperjuangkan keadilan, tapi menghianati nurani
kerakyatan:
119
Hasanuddin M. Saleh, (1996), HMI dan Rekayasa Asas Tunggal
Pancasila, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, Hlm. 53
189
gerakan anarki.120 HMI kala dipimpin Akbar Tandjung
memang begitu gandrung akan kepentingan pembangunan.
Menjelang peristiwa Malari, Ketum PB HMI 1972-1974 itu
memang sudah duluan mangambil langkah preventif dalam
mengamankan stabilitas kekuasaan: ketika HMI Cabang
Surabaya sudah siap melangsungkan aksi jalanan besar-
besaran dalam memprotes pelbagai kebijakan Soeharto maka
selaku pimpinan tertinggi organisasinya Akbar bertindak
cekatan: menemui massa untuk memberi penjelasan agar tak
turun ke jalan.121 Walhasil, proses untuk menggelar
demonstrasi pun diberhentikan. Kejadian ini menerangkan
bahwa dalam fase hegemoni merosot ternyata Orba masih bisa
mengendalikan gerak-gerik himpunan.
120
Akbar Tandjung dalam Lintas Sejarah HMI 1971-1974, pada Agussalim
Sitompul (ed), (2008), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, Jakarta:
CV Misaka Galiza, Hlm. 51.
121
Lihat Syafinuddin Al Mandari, (2003), Demi Cita-cita HMI, Jakarta: PT
Abadi, Hlm. 41.
190
dipimpinnya sesungguhnya tak selaras dengan rezim,
terutama dirinya yang berperan sebagai perangkat kekuasaan
Orba. Kedua aktivis HMI—Judilherry Justam dan Abdullah
Hehamahua—sesudah peristiwa Malari—sempat mengalami
pemenjaraan tanpa proses pengadilan karena mengkritik
penguasa. Kemudian banyak juga kader di Jakarta,
Yogyakarta, Makassar, dan Surabaya memilih jadi oposan
ketimbang pelayan istana seperti pimpinan organisasinya
bersama pengurus serta anggota-anggota yang sependirian
dengannya.
191
diadakannya Cipayung: mengerahkan Opsus untuk
mengintervensi dan mendapatkan persetujuan banyak
pimpinan organisasi mahasiswa. Krissantono menegaskan:
‘Ali Moertopo dapat disebut sebagai bidan lahirnya KNPI.
Dia menunggunya ketika KNPI lahir dan selalu memberi
pengarahan yang dibutuhkan’. 122 Melalui arahannya maka
Ketua Umum DPP KNPI yang pertama diberikan kepada
David Napitupulu, setelahnya jabatan tersebut beralih ke
Akbar Tandjung. Akbar kiranya mendapatkan bayaran
setimpal atas jasanya melempongkan gerakan himpunan:
pelayanan prima yang dipersembahkannya untuk
pembangunan mengakibatkan seabrek kebijakan PB HMI
selalu diselaraskan dengan kepentingan orang-orang di
pranata kenegaraan. Perembesan birokrasi pada himpunan
terekam jelas dalam tulisan Hasanuddin:
122
Daniel Dakidae, dkk, (1991), Di Atas Panggung Sejarah dari Sultan ke
Ali Murtopo, Jakarta: LP3ES, Hlm. 154.
192
pemerintah dan menciutkan sikap kritis pada kader-
kader HMI dalam melihat realitas politik … melihat
kenyataan bahwa pada akhir 1970-an, HMI tidak lagi
banyak diperhitungkan dalam konstelasi politik
nasional. Sikap kritis yang spontan khas organisasi
mahasiswa tidak muncul dari HMI [secara
kelembagaan, melainkan hanya terbit dari kesadaran
etis-personal kader-kadernya], bahkan ketika KNPI
melebarkan pengaruh dengan membentuk cabang-
cabang di daerah yang berarti mengurangi pengaruh
HMI.123
123
Hasanuddin M. Saleh, (1996), HMI dan Rekayasa Asas Tunggal
Pancasila, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, Hlm. 96-97.
193
patner Amerika dalam urusan dagang. Akibatnya, pada 1976
kesepakatan Breton Woods harus dibubarkan lantaran resesi
ekonomi dunia membuat sistem bunganya tak terbendung.
Krisis kapitalisme 1970-an lalu mengukir perubahan
mendasar bagi perekenomian dunia: tingkat investasi merosot
lantaran jatuhnya tingkat keuntungan karena makin
berkurangnya permintaan pasar, perusahaan-perusahaan
raksasa global kemudian berkembang menjadi amat
monopolis, hingga kapitalisme semakin berurusan dengan
stagflasi. Itulah mengapa pertumbuhan menurun sementara
tingkat pengangguran meninggi. Hanya saja negara-negara
maju mencoba memperbaiki perekonomiannya dengan
mengeluarkan kebijakan reformasi ekonomi. Tetapi hasilnya
justru menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan
meningkatnya pengagguran. Sedangkan di negara-negara
berkembang, kemiskinan ekstrem yang dipicu krisis
kapitalisme meluber sampai memantik pelbagai letupan sosial
yang mengancam tatanan.
194
diterima kelas pekerja).124 Penurunan tingkat komposisi
organik ini didorong oleh kompetisi dalam sistem kapitalisme
yang mengharuskan kelas kapitalis terus-menerus
mengadopsi teknik-teknik produksi yang lebih mutakhir agar
bisa menghemat penggunaan tenaga kerja sekaligus
menambah produktivitas. Itulah mengapa mereka tak henti-
hentinya berbelanja mesin-mesin terbaru yang lebih produktif
tetapi anggarannya berasal dari jumlah pekerja yang
dipangkas. Perbuatan seperti ini kemudian menjadi faktor
utama penyebab krisis. Tetapi krisis ini bisa ditunda oleh para
kapitalis dalam waktu tertentu. Dalam pengamatan Marx, cara
yang mereka pakai sangat licik: berusaha meningkatkan
tingkat keuntungan dengan menekan belanja kapital konstan
dan terutama meningkatkan eksploitasi terhadap buruh.
Eksploitasi ditingkatkan bukan sekedar melalui perpanjangan
jam kerja, melainkan pula melipat-gandakan beban kerja
tanpa menambah upah. Tujuannya agar sistem kapitalisme
dapat bertahan hidup lebih lama dan menghasilkan banyak
keuntungan. Anto Sangaji memaparkan:
124
Lebih jelasnya lihatlah pengantar dari Anto Sangaji dalam Greg Albo
dan Carlo Vanelli, Andre Barahamin dan Yizkia Yoshie Polimpung (ed),
(2015), Penghematan Melawan Demokrasi, (tanpa kota): IndoPROGRESS,
Hlm. 1.
195
tetap bisa bertahan hidup. Perusahaan-perusahaan lebih
kecil terpaksa tutup sama sekali dengan memecat
semua buruhnya. Pengangguran [pun] merebak.125
125
Ibid. Tulisan dalam kurung merupakan tambahan dari penulis.
126
Ibid, Hlm. 2.
196
Malari maka pada akhir 1974-awal 1982 diterapkanlah
kebijakan nasionalisme ekonomi.
127
Roger Simon, (2004), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta:
Insist bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Hlm. 38.
197
ini kemudian melancarkan korporatisme dalam pranata
kenegaraan maupun kemasyarakatan. Dari HMI, Akbar
Tandjung menjadi seorang intelektual yang dibumbungkan
karirnya. Dirinya bukan saja diberi posisi Ketum KNPI 1978-
1981, tapi juga dengan berkendaraankan Golkar dimuluskan
langkahnya pada 1997 menjadi anggota DPR RI. Dia
mengikuti jejak dua senior-alumninya: Abdul Gafur yang
telah duluan masuk lingkaran dewan dari Fraksi ABRI pada
1972 (sekaligus selaku tokoh berpengaruh dalam KNPI) dan
Ahmad Tirtosudiro selaku Aspri Presiden dan Kepala Bulog
sampai 1972.
128
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 84.
198
peraturan sektor tertutup dan prioritas bagi modal asing serta
peraturan ketat tentang perusahaan patungan; dan (c) peran
negara yang lebih terstruktur-terpusat dalam pendanaan
infrastruktur, pemberian kredit dan investasi tidak
langsung. 129 Dalam keadaan demikian nyaris tidak ada yang
dapat dilakukan oleh alumni-alumni HMI dengan
keaktifannya di kursi pemerintahan, kecuali mendukung
Soeharto; baik untuk menerbitkan program yang menindas
buruh dan petani maupun memberi semangat buat mengemis-
ngemis modal asing. Mereka tak berani menolak apalagi
membantah perintah presiden yang berpretensi pada perluasan
investasi dan pengarusutamaan utang luar negeri.
129
Richard Robinson, (2012), Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme
Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, 115-131.
199
perbuatan alumni-alumni. Sehingga kala para alumninya
menempati bilik-bilik pranata kenegaraan, maka
kepemimpinan dan moralitas penguasa dengan mudah
dicecoki ke dalam sistem moral junior-juniornya yang masih
aktif berorganisasi. Anggota-anggota himpunan soalnya
terlanjur menganggap alumni-alumninya—yang menjadi
politisi dan berkecimpung dalam birokrasi—sebagai makhluk
yang mesti digugui. Makanya hegemoni negara kemudian
tidak hanya menimpah para alumninya, melainkan juga
anggota-anggota HMI. Inilah kenapa Soeharto mudah sekali
memperalatnya untuk melanjutkan rantai hegemoninya
sampai menembus dinding independensi etis maupun
organisatoris HMI. Melalui merekalah negara membentuk
moralitas anak-anak muda himpunan, terlebih para pengurus
organisasi. Nietzsche menyatakan moralitas bentukan negara
‘tidak alamiah’ karena penuh ilusi, bahkan mengakibatkan
manusia berpaling menentang insting-insting kehidupan.
Maka akibatnya PB HMI lebih memilih bungkam ketimbang
melawan tiran.
200
dengan nilai budak (“buruk”)’.130 Baginya, mentalitas seorang
budak terbentuk akibat proses kesadaran individu yang
cenderung menerima kebenaran moralitas syarat. Terjadi
melalui proses ‘interiorisasi individual’ secara halus: individu
dibius dengan nilai-nilai yang dapat menjamin kelangsungan
moralitas. Nilai yang paling menonjol ialah ketaatan. 131
Interiorisasi berimplikasi pada tindakan adaptif tapi begitu
tersamarkan. Karena interirisasi merupakan kemampuan
memahami dunia yang bukan lagi mengandalkan lingkungan,
melainkan menggunakan konsep-konsep abstrak. Dalam
rezim Soeharto, konsep yang abstrak itu terhimpun melalui
ideologi pembangunannya yang demikian mencekik.
130
John Moore & Spencer Sunshine (ed.), (2014), Aku Bukan Manusia, Aku
Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Poiitik Anarkisme, Tangerang Selatan:
Marjin Kiri, Hlm. 97.
131
Lihat St. Sunardi, (2012), Nietzsche, Yogyakarta: LKis, Hlm. 124.
201
anak buah dengan bos. Dalam perspektif ini pemegang
kekuasaan dan gejala kekuasan dipandang sebagai kesatuan:
kegiatan politik berpusat pada pemegang kekuasaan dan
struktur politik menggantung dalam jaringan-jaringan vertikal
yang saling bersaing untuk memperoleh perlindungan pribadi
dari penguasa; (2) Politik Birokrasi. Corak ini dikembangkan
Karl D. Jackson. Modelnya suasana politik menentukan diri
sindiri dari lingkungan sosial domestik: kepolitikan birokratik
sulit ditembus oleh kekuatan-kekuatan masyarakat sipil
karena lebih responsive terhadap tekanan-tekanan
internasionalistik; (3) Birokratik Otoritarian. Perumusnya
adalah Dwight Y. King. Di dalam pembuatan kebijakan
melalui pendekatan teknokratik dan birokratik, kewenangan
tertinggi ada pada kelompok oligarki bukan perorangan.
Rezim ini amat antusias mempengaruhi budaya politik dengan
tindakan represif: melakukan pembungkaman atas pelbagai
kritikan.132
132
Disarikan dari Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 82-84. Dan lihat
juga Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 37-38.
202
mengalami kemerosotan. Bahkan dengan terlibatnya seabrek
alumni dalam pemerintahan malah menarik pertatian anggota-
anggota HMI lain untuk ikut-ikutan. Sebab dengan menjadi
pelayan kekuasan maka siapa saja memperoleh jaminan
kehidupan. Arbit Sanit menjelaskan demikian:
133
Arbi Sanit, (1989), Mahasiswa, Kekuasaan, dan Bangsa, Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia, Hlm. 120.
203
Keterlibatannya menjadi pengurus organisasi bentukan
pemerintah itu bahkan menjadi jawaban kenapa ketika
memimpin PB HMI nampak gigih memperjuangkan
keberadaan Kelompok Cipayung yang notabene didikte Orba
melalui gerak Opsus Ali Moertopo: raja intelijen yang akan
mengendalikan aktivitas pengurus ormas manapun. Walhasil,
PB HMI persis Cipayung: tampil sebagai wadah terampuh
untuk memadamkan segala bentuk gerakan dan rasa tidak
puas massa terhadap program-program pemerintahan.
204
lagi-lagi merekam kebungkaman itu dengan amat memilukan
dan penuh kedilema’an:
134
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 53-54. Dalam kurung merupakan
tambahan dari penulis.
135
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI & Wacana Revolusi Sosial,
Makassar: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 50.
205
revolusi ini membawa implikasi besar bagi kader-kader
himpunan, termasuk yang memimpin PB HMI: Abdullah
Hehamahua. Tulisan-tulisan polemis Murtadha Muthahari, Ali
Syari’ati, Bani Shadr—disambut baik oleh mereka.
Intensifikasi dialektis antara gagasan yang dipelajari dari
intelektual-intelektual revolusioner itu dibenturkan dengan
realitas kekuasaan Orba yang durjana. Mulai saat itulah ide-
ide modernis yang mendukung pembangunanisme
mendapatkan kontra-wacana. Perlawanan terhadapnya dari
semangat: pertama, warna akademis dalam refleksi dan aksi
yang dilakukan komunitas HMI menjadi lebih tajam. Realitas
sosial tidak lagi digambarkan dalam kerangka normatif
belaka, tetapi sudah mulai mendapat landasan teori-teori
sosial; kedua, memperkuat alur komitmen ideologis dalam
HMI.136 Melaluinya maka organisasi ditegakkan untuk berdiri
di kaki sendiri (berdikari). Bahkan untuk berkegiatan tidak
lagi mengemis-ngemis dana-dana segar dari kapitalis-birokrat,
juga para alumni yang menjadi politisi partai. Abdullah
menegaskannya begini:
136
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm 120-121.
137
https://m.rupublika.co.id/berita/nasional/politik/15/12/02/kisah-abdullah-
hehamahua-memimpin-pb-hmi-tanpa-terima-uang-pemerintah/
206
Bagi Abdullah, meminta atau menerima bantuan pemerintah
sama halnya dengan memasukan tali ke leher HMI untuk
berhamba pada penguasa. Negara dilihatnya disesaki para
penidas kaum jelata. Persekutuan dengan mereka berarti
menyetujui penindasan yang dilakukannya terhadap kaum
miskin dan tertindas. Islam ditangannya bukan lagi tampil
sebagai agama-budaya tapi agama yang berkekuatan
ideologis. Dirinya persis mendirikan militansi yang bisa
digambarkan dengan ungkapan Sayyid Qutb: ‘Jangan
bersandar dan merasa tenang kepada orang-orang yang zalim.
Kepada para penindas, tiran, dan pelaku-pelaku kezaliman.
Yakni mereka yang memiliki kekuatan di bumi dan menindas
hamba-hamba Allah. Jangan bersandar dan merasa tenang
kepada mereka. Karena itu berarti restu dan pengakuan atas
kemungkaran besar yang mereka lakukan itu. Serta ikut
terlibat dalam dosa kemungkaran itu’. Abdullah sadar bahwa
di hadapannya adalah para durjana yang mencoba menjadikan
modal sebagai muslihat yang berisi candu. Maka jalan yang
ditempuh untuk melancarkan aktivitas organisasinya adalah
dengan mengaktifkan solidaritas sesama muslim.
207
untuk menempah orang-orang yang bisa mandiri dalam
bekerja: menjadi wirausaha tanpa bergelayut pada pranata
negara. Melalui lembaga-lembaga itulah ia dulu pernah
bermimpi untuk membentuk kader-kader yang mampu
menciptakan lapangan kerja, bukan cari kerja apalagi
mengemis kerja dengan mengandalkan jaringan siapa saja.
Sosok Ketum PB HMI yang satu ini sepertinya sudah sangat
tidak percaya terhadap penguasa. Mungkin keyakinan inilah
yang membawanya menjadi tahanan politik—selama 1 tahun
8 bulan di masa Orba—seusai Peristiwa Malari 1974, karena
keterlibatannya dalam gerakan tersebut membuat pemerintah
menstigmanya selaku orang berbahaya. Soeharto kala itu
memang ingin memusnahkan orang-orang yang punya
pendirian ideologis. Tetapi Islam telah duluan dijadikan
Abdullah sebagai ideologi gerakan dalam menghadapi para
penindas. Selama dia memimpin PB HMI kritikan tajam kerap
kali diberondongkan ke istana. Abdullah menentang keras
NKK/BKK terapan negara:
138
https://m.cnnindonesia.com.nasional/kenangan-abdullah-hehamahua-
dan-perintah-tembakan-lb-moerdani
208
menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Dengan begitu maka
kepekaan mahasiswa terhadap pelbagai persoalan sosial,
politik dan ekonomi coba ditanggalkan. Ini diperparah pula
melalui metode sistem kredit semester (SKS) yang menekan
mahasiswa dengan batas waktu maksimal penyelesaian studi,
bahkan disertai sanksi-sanksi. Kedua, organisasi ekstra-
universitas tidak lagi mendapat tempat dalam kampus
sehingga menurunkan basis keanggotaannya. Paralel dengan
itu, PB HMI menentang kebijakan pemerintah: NKK/BKK.
Karena berdampak secara politis terhadap perkembangan
organisasi ekstra universitas, termasuk dirinya: (1)
pembubaran Dema mengakibatkan HMI kehilangan mitra di
perguruan tinggi dengan kepekaan sosialnya cukup tinggi.
Selama ini Dema merupakan lembaga kemahasiswaan otonom
dan sangat berpengaruh, terutama dalam mengajak mahasiswa
untuk menuntut perbaikan suasana kehidupan di kampusnya
maupun kondisi rakyat miskin dan tertindas di luar kampus;
dan (2) menurunya aktivitas sosio-politis mahasiswa lantaran
mendapat intervensi Pembantu Rektor III lewat BKK maupun
tekanan menggunakan SKS. Akibatnya minat mahasiswa
memasuki organisasi ekstra-universitas seperti HMI menurun
drastis.139
139
Disarikan dari Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 97-99.
209
yang berskala masih dalam menekan penguasa. Soalnya
mahasiswa juga memetik pelajaran penting dari tragedi
Malari: aksi keluar kampus mudah ditumpas negara. Makanya
mereka mengubah kampusnya seiras benteng dan medan
pertempuran. Dari kampus pelbagai ketimpangan,
kesewenang-wenangan, dan kejahatan kemanusiaan
disuarakan. Bahkan penyimpangan Pemilu Mei 1977 pun
terkena sorotan: dituntutnya pelaksanaan pemilihan itu karena
penuh manipulasi—mulai dari pelaksanaan kampanye sampai
penusukan tanda gambar sarat kecurangan. Gerakan
mahasiswa lalu mengkritik pula kepemimpinan nasional,
strategi dan hakikat pembangunan hingga tema-temanya yang
bersifat kelokalan. Gerakan ini begitu radikal sehingga
sepanjang 1977-1978 kampus disulap sebagai corong suara
rakyat yang mendesak Soeharto menanggalkan jabatan
presiden. Kontan, Orba mengambil langkah cekatan. Mula-
mula 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog yang ditugaskan
untuk masuk ke setiap universitas demi memediasi
ketegangan. Hanya saja mahasiswa tidak luluh dengan tipuan
kekuasaan. Mahasiswa di Jakarta, Surabaya, Medan, Bogor,
dan Makassar (Ujung Pandang) sudah tak tahan lagi berada di
bawah kendali tiran. 28 Oktober 1977, delapan ribu anak
muda menyemut di ITB mengikrarkan satu tuntutan:
‘Turunkan Soeharto’. 140 Penguasa lantas menetapkan kampus
berstatus darurat perang. Besoknya, peserta aksi dirobohkan
dengan kekuatan para serdadu yang senantiasa memakai bedil
dan trail besi untuk mengganyang.
140
Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gerakan_mahasiswa_di_Indonesia
210
Namun nyali mahasiswa tak bisa dipadamkan begitu saja.
Pada hari Pahlawan 10 November 1977, ITS dan UI dipenuhi
ribuan jiwa muda dengan tuntutan serupa. Aksi-aksi seperti
ini berlanjut sampai 10 Januari 1978 dengan terus mendesak
Soeharto turun takhta. 2000 mahasiswa akhirnya dimasukkan
ke sel tahanan. Mereka dikurung tanpa alasan yang jelas,
diintimidasi lewat pelbagai interogasi tak berprikemanusiaan,
bahkan banyak di antaranya yang dipaksa mengaku sebagai
pemberontak terhadap negara. Sikap kritis kemudian mudah
sekali distigma dengan apa saja. Karena Orba tidak mau
upaya-upaya pembangunannya diganggu oleh suara protes
yang lahir dari penderitaan rakyatnya. Setiap gerakan soalnya
dipandang dapat mengurangi laba yang diperoleh penguasa
dan pengusaha. Sebab pada 1974/1975-1981/1982, Orba
berupaya membangkitkan kembali nasionalisme ekonomi. 141
Artinya negara harus memainkan peran lebih agresif dan aktif
dalam pendanaan, proteksi dan subsidi baik terhadap kapital
domestik maupun dalam investasi langsung. Untuk itulah
kekuasaan dijalankan secara sangat-sangat terpusat demi
terciptanya sektor industri nasional dengan basis proyek
sumber daya besar: baja, gas alam, pengilangan minyak,
pengolahan aluminium, serta sektor subtitusi impor. Pakar
ekonomi Orba Panglaykim menilai: kebijakan ekonomi ini
mampu mengurangi ketergantungan pada pembagian kerja
internasional serta kebijakan IBRD (International Bank for
Reconstruction and Development) dan IMF (International
Monetary Fund) yang menekankan untuk: peningkatan
komparatif, perdagangan bebas, dan industrialisasi
berorientasi ekspor.
141
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 103.
211
Hanya saja kebijakan tersebut justru membawa banyak sekali
konflik; bukan hanya dalam tubuh pemerintahan seperti
Bappenas (teknokrat) vs CSIS (Central for Strategic and
International Studies/Opsus), tapi lebih luas lagi: pengusaha
Cina vs pedagang Pribumi hingga memperhadap-hadapkan
aparat-represif negara vs rakyat-mahasiswa. Karena sejak
diterapkannya nasionalisme ekonomi aparat—tentara maupun
polisi—diberi mandat keluar-masuk kampus hanya buat
meredam suara kritik sekaligus memburu mahasiswa. Dalam
sistem kapitalisme bercorak nasionalis ini negara senantiasa
mengembangkan demokrasi politik tapi berjiwa borjuis.
Demokrasinya teramat bergaya ekslusif: hanya menjamin
vitalitas kelas kapitalis. Kehidupan mereka dijamin di atas air
mata, luka, dan darah rakyat miskin-tertindas. Pendudukan
militer di Timor Timur (Timur Leste) merupakan salah satu
contohnya. Invansi dilakukan mulai tahun 1974/75.
Tujuannya tidak hanya untuk memaksa penduduk
mengintegrasikan diri ke dalam Indonesia, tapi terutama
supaya bisa mematikan gerakan rakyat dan menguasai
kekayaan alam yang ada di sana. Maklum sejak meletusnya
Malari, Orba berpikir keras bagaimana caranya memperbaiki
ekonomi nasional agar tidak larut dalam krisis kapitalisme
global. Apalagi bandul yang dipikul Indonesia tidak ringan,
karena pemerintah tidak langsung mengadopsi strategi negara-
negara maju: menerapkan kebijakan neoliberal. Maka untuk
menyelamatkan kekuasaannya dari krisis kemudian
mengharuskan Soeharto melirik prospek keuntungan dari
kekayaan alam di negeri tetangganya.
212
diperoleh pada 1974 dari kontraktor migas asal Australia:
Woodside. Kontraktor ini menemukan ladang Gas Greater
Sunrise di Timur-Portugis (Timor-Leste). Lokasinya berada di
lepas laut Timor—150 km Tenggara Timur-Portugis dan 450
km Barat Laut Darwin. Di sana terkandung potensi cadangan
2,13 tcf dan potensi omzet hingga 50 miliar dollar AS.142 Hak
untuk mengeksploitasi minyak tersebut mula-mula dimiliki
Australia ketika daerah Timor berada di bawah jajahan
Portugis sebagai Timur-Portugis. Tetapi semenjak 1974,
bangsa Timor berhasil membebaskan dirinya dari penjajahan
Portugis. Lalu pada 1975 memproklamirkan kemerdekaannya
sebagai negara Timur-Leste. Setelah rakyat Timor merdeka
maka kesempatan Australia dalam mengebor minyak
terancam. Kemerdekaan bangsa Timor kontan membuat
Australia khawatir diusir paksa dari ladang gas yang
dieksploitasinya. Untuk itulah Australia buru-buru meminta
bantuan AS untuk memperkuatnya dalam mendesak penguasa
Orba memasukan Timor Leste ke dalam wilayah kekuasaan
Indonesia. Harapannya: sesudah dikuasainya wilayah Laut
Timor oleh Indonesia maka Soeharto—yang taat pada
kapitalis-asing seperti AS dan lembaga donor internasional—
akan gampang sekali dibujuk menjual kekayaan alamnya
sebagaimana Portugis memperdagangkan kekayaan alam
Timor-Portugis dahulu.
142
https://www.cnbcindonesia.com/news/blok-gas-greater-sunrise-kisah-
diplomasi-minyak-3-negara/
213
Soeharto yang dimintai bantuan berpikir pragmatis: apabila
Timor-Leste ditaklukan maka dia dan kroni-kroninya jelas
akan mendapatkan untung besar dari migas yang berlimpah di
sana. Kontan, militer dikerahkan menggempur wilayah Timor
secara bertubi-tubi: mula-mula dilaksankan Operasi Komodo
1974 untuk menciptakan kekacauan, lalu 7 Desember 1975
dilakukanlah Operasi Seroja yang sampai 17 Juli 1976 telah
berhasil mengerahkan 30.000 pasukan bersenjata Indonesia
untuk menduduki Timor sekaligus menumpas orang-orang
yang terlibat keributan. Setekah kekacauan yang sengaja
dibikin berhasil dihentikan sendiri oleh penciptanya, maka
pada 1975 Timor-Leste dipaksa berintegrasi ke dalam
Indonesia menjadi Timor-Timur. Pendudukan ini disponsori
oleh banyak sekali negara kapitalis maju: sepanjang 1975-
1978 TNI-Polri mendapatkan bantuan persenjataan canggih
dari AS, Australia, Belanda, Korsel, Taiwan, dan Jerman
Barat.143 Mulai dari situlah kemerdekaan Timur-Leste atas
Portugis disambung lagi dengan penjajahan dari Orba
bersama kroninya. Kelak, hasil dari kebengisan militer di sana
sesuai yang diharapkan Australia: Soeharto mau berbagi
kekayaan alam Timur-Leste dengannya. Pembagian ini
dikenal sebagai ‘Perjanjian Celah Timur (Timur Gap Treaty)’:
intinya membahas eksploitasi bersama sumber daya alam
(SDA) Laut Timor yang diklaim oleh Indonesia dan Australia:
143
https://wikipidia.org/wiki/Operasi_Soroja
214
perihal kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi di
bawah Laut Timor, yang merupakan satu-satunya
andalan kekayaan alam terbesar Timor Leste. Laut
Timor berada di perbatasan antara Timor Leste dengan
Australia. Kedua negara itu sama-sama menginginkan
kekayaan alam tersebut sejak lama. Qleh karena itu,
guna menyelesaikan konflik tersebut, pada tahun 1989
dibuatlah Timor Gap Treaty antara Australia dengan
Indonesia karena pada saat itu Timor Leste masih
berada di bawah kedaulatan Indonesia.144
144
Anonim, Permasalahan Minyak dan Gas Bumi Timur Leste – Australia,
(tanpa kota): Jurnal Hukum Internasional, Hlm. 440.
215
parpol ini memang menentang keras kolonialisme-
kapitalisme-imperialisme. Inilah mengapa Fretilin menjadi
partai yang paling aktif dalam perjuangan pembebasan
daerahnya dari penjajah-kapitalis Portugis.
216
mengaburkan peranan Fretilin dalam perjuangan
melawan kolonialisme Portugal dan sistem kapitalisme
yang menopangnya. Penyesatan informasi ini,
dilakukan menjelang invasi militer Indonesia dan pada
tahun-tahun awal sesudahnya masih kerap dilekatkan
dengan Fretilin sepanjang dekade 1980-an…. [Mereka]
melancarkan kampanye destabilisasi di Timor-Leste
selama Operasi Komodo [operasi ini dilaksanakan
sebelum militer melaksanakan Operasi Seroja], dengan
tujuan menciptakan keadaan yang kacau, yang
digunakan untuk intervensi militer. Ini diawali dengan
penggarapan terhadap sejumlah tokoh politik Timor-
Leste dari partai UDT, oleh Opsus dan BAKIN.
Alhasil, beberapa pemimpin UDT [Uni Demokrasi
Timor—partai berhaluan sosialis] ‘termakan’ isu anti-
komunis sehingga memecah belah koalisi Fretilin-UDT
yang mengarah kepada prospek kemerdekaan Timor-
Leste…. Bagaimana pun berita-berita tersebut, adalah
cerminan dari situasi Indonesia yang pro-barat pada era
Perang Dingin ketika itu. Walaupun ini coba ditutupi
pers dengan memberitakan kepalsuan ciri politik bebas
aktif sejak zaman Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Non-Blok. Demikian juga sengaja tidak diberitakan
kunjungan PM Australia, Gough Whitlam (6 September
1975) dan Presiden AS, Gerald Ford (6 Desember
1975), ke Indonesia untuk memberi restu kepada
Suharto, dalam menjalankan skenario pencaplokan
Timor-Leste, termasuk dukungan dari sejumlah
pimpinan CIA (Central Intelligence Agency). Pers juga
tidak banyak memberitakan sejumlah pertemuan
diplomatik antara Pemerintah Portugal dan Indonesia,
sebagai upaya mencegah terjadinya pertumpahan darah
di Timor-Leste, namun sebaliknya menulis berita-berita
yang mendukung skenario pencaplokan. Harian
Angkatan Bersenjata menuliskan bahwa andaikata
217
Fretilin itu partai kiri, pasti tidak berakar di kalangan
rakyat, dan dipertegas tajuk rencana harian Pelita:
…secara ideologis, Fretilin tidak mustahil merupakan
bagian dari komunis internasional yang selamanya
tidak mungkin bersahabat dengan Indonesia sebagai
negara non-komunis yang paling konsekuen di wilayah
Asia Pasifik ini.145
145
Roserio Dwi Aprianto Savio, (2008), “Membendung Arus Gerakan Pro
Timur Leste di Indonesia 1991-1999”, Skripsi, Fakultas Sastra Jurusan Ilmu
Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Hlm. 50-56. Tulisan
dalam kurung ‘[]’ dari penulis.
218
berbagai pelanggaran HAM merebak; mulai dari budaya
kekerasan yang dilestarikan dengan menciptakan suasana
saling memata-matai di antara warga Timor-Leste, represi
sistematis terhadap kaum perempuan, pemaksaan sterilisasi
(KB) terhadap ibu-ibu rumah tangga, sampai perekrutan anak-
anaknya menjadi TBO (Tenaga Bantuan Operasi) militer. 146
Kepada warga Indonesia, Soeharto beralasan melakukan
semua kejahatan kemanusiaannya di Timur Leste bukan
sekedar untuk membasmi Fretilin, tapi terutama supaya
upaya-upaya pembangunannya lancar.147 Untuk inilah
integrasi nasional digalakan secara vulgar. Karena integrasi
tak sekedar pada urusan perekonomian melainkan pula
perpolitikan: atas nama pembangunan nasional maka
penjajahan di Timur Leste dibenarkan. Dari kekayaan migas
di sana Orba berharap akan beroleh sejumlah pendapatan buat
dipakai melunasi utang luar negerinya pada lembaga-lembaga
donor internasional, terutama Amerika. Harapan tersebut
berpondasikan nasionalisme ekonomi yang kemudian semakin
mendorong intesifitas korporatisme negara. Richard Robinson
mendedah dalam bukunya:
219
spesifik, proses bahan mentah diintegrasikan, produksi
barang-barang kapital dan manufaktur barang-barang
konsumsi yang membentuk serangkaian penguatan
sambungan ke belakang dan ke depan. Negara akan
memainkan peranan pokok, menyiapkan dana,
pembelian bahan baku impor, memberikan alokasi
kuota, serta koordinasi umum produksi. Melalui
kepemimpinannya, negara menyediakan basis bagi
borjuasi domestik dengan dana partisipasi bisnis swasta
serta memberikan kesatuan dan proteksi yang
diperlukan untuk menghindarkan dominasi menyeluruh
oleh modal asing. Jika borjuasi swasta domestik mulai
melakukan akumulasi kapital, diharapkan dapat
membayar kembali utang serta membeli saham yang
dipegang pemerintah, suatu proses yang akan
memberikan kesempatan dari akumulasi. 148
148
Ricard Robinson, Op. Cit., Hlm. 116.
149
Dom Helder Camara, (2005), Spiral Kekerasan, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 31-32.
220
PB HMI yang semula dibungkamnya bertahun-tahun
kemudian ikut bersuara. Di bawah kepemimpinan Abdullah
Hehamua beralih memasang resistensi terhadap penguasa.
Sikap demikian diterbitkannya bersama ribuan orang yang
merasa menderita lainnya. Mereka yang melakukan kritik
tersebut termasuk kaum intelektual liberal, para pemimpinan
ormas Islam, dan bagian tertentu kelompok militer—
semuanya berasal dari kelas menengah dan kaum terpelajar
kota, tanpa adanya basis kekuatan politik atau sekutu politik
yang luas.150 Meski belum punya basis dukungan yang cukup
besar tetapi gerakan-gerakan ini mampu menggoncang
kekuasaan sampai raut muka Soeharto was-was.
150
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 127.
151
Nezar Patria & Andi Arief, Op. Cit., Hlm. 128-129.
221
inilah kepemimpinan negara jadi begitu menghalalkan lebih
banyak kekerasan hingga semakin rentan. Rakyat soalnya
sudah enggan mudah percaya pada segala bentuk ucapan dan
tindakan presiden. Tapi penguasa tak gampang putus asa
untuk mempertahankan kekuasaannya. Itulah mengapa pada
16 Agustus 1982, Soeharto memaparkan langkah strategisnya
di hadapan DPR: keharusan organisasi sosial-politik
berasastunggalkan Pancasila. Cara ini diambil sebagai upaya
melumpuhkan kekuatan massa dalam kampanye Pemilu 1982
sekaligus mengurangi kekuatan ideologis organisasi
kemasyarakatan yang dipandang punya potensi revolusioner
seperti HMI.
222
Angkatan Kepolisian) RI Anton Soedjarwo, ia ditugaskan
Soeharto untuk menekan himpunan agar mengganti ideologi.
Mula-mula Menpora dan Kapolri mengeluarkan pernyataan
pongah: PB HMI tidak boleh berkongres kalau tidak
menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi. Maka ketika
berlangung Kongres XV HMI 1983 di Medan, para pejabat
tadi datang mempengaruhi peserta melalui ceramah dan
dialog yang begitu rupa. Bahkan Gafur menginginkan agar
segenap kader himpunan memelopori penerimaan asas
tunggal Pancasila dalam rangka pembinaan generasi muda.
Dia tegaskan: ‘generasi muda kita kalau tidak dibina bisa
menjadi monyet’. 152 Meski ditekan oleh intervensi alumninya
yang jadi babu Soeharto itu, anggota-anggota HMI tetap solid
memperjuangkan Islam sebagai asas organisasinya.
Hasanuddin menceritakan dalam bukunya:
152
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 130-131.
223
berhasil, karena pada dasarnya pengurus-pengurus
cabang, terutama cabang-cabang besar seperti Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, dan Ujung Pandang [Makassar]
dalam setiap kongres HMI selalu mendominasi dan
menentukan arah kebijakan kongres. Unsur lain yang
cukup berpengaruh pada peserta kongres adalah tim
pengarah yang terdiri dari pimpinan Badan Koordinasi
Regional (Badko) dan Majelis Pekerja Kongres (MPK).
Tim Pengarah kongres ini diketuai oleh Abdullah
Hehamahua sebagai koordinator MPK…. Tim pengarah
Kongres inilah yang menghalangi masuknya asas
tunggal Pancasila dalam agenda pembahasan forum
kongres. Dengan demikian dapatlah dipahami sikap
kongres HMI mempertahankan asas Islam dengan suara
yang solid.153
153
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 146-147.
224
Ketum PB HMI 1983-1986. Para pemilik suara penuh
memilihnya tak hanya berpatokan pada kriteria yang lazim:
dipunyainya wawasan keislaman, kebangsaan,
kemasyarakatan, dan memiliki integritas kepribadian. Namun
terlebih, mereka memandang Azhar Aziz memiliki komitmen
memperjuangkan penerapan asas Islam ketimbang kandidat
lain. Sehingga dalam kongres inilah kesanggupan
mempertahankan asas Islam dimasukan sebagai kriteria
khusus yang harus lebih diprioritaskan. Makanya peristiwa
hajatan besar himpunan ini pun diberi nama begitu heroik:
Kongres Perjuangan.
225
tetaplah produk buatan rezim. 154 Karena dalam partai itu
perjuangan Islam ideologis tidak mendapat angin segar. Jadi
hampir serupa dengan Golkar. Kelak sewalaupun telah
berhasil meraih citra pentolan PPP, Ridwan tidak betah
berkiprah di partainya lalu beralih ke Golkar. Pada fase
hegemoni minimumnya kentara sekali bagaimana Soeharto
mempertahankan kekuasaannya melalui penyatuan tokoh-
tokoh yang dianggap punya pengaruh terhadap massa yang
membuat pemerintah geger. Dalam intervensi penerimaan
asas tunggal Pancasila, peran Akbar dan Ridwan memang
masih diraba-raba dan tidak seberingas Gafur. Tetapi dengan
diberikannya posisi strategis kepada para alumni HMI pastilah
kekuasan hegemonik yang mulai kehilangan pengaruh dapat
ditatar. Walhasil, Soeharto kemudian berhasil menjinakan PB
HMI yang sebelumnya bersikap agak liar.
154
Buka http://m.voa-islam.com/news/upclose/2009/07/07/149/abdullah-
hehamahua-saparua-yang-tak-kenal-takut/
226
dan beberapa anggota MPK; kedua, Koordinator MPK Sahar
L. Hasan CS. Grup ini menyampaikan pandangan yang
berlawanan: HMI tak perlu mengeluarkan pernyataan apa-apa
yang berkaitan dengan asas tunggal Pancasila, kareana forum
Kongres-lah yang representatif membahasnya—Hasan juga
didukung oleh sebagian Ketum Badko dan beberapa orang
staf PB HMI. Diskusi dan debat kedua kubu itu jadinya tak
berhasil melahirkan kesepakatan terkait apa yang mesti
dilakukan. Harry CS kemudian melakukan lobi-lobi sehingga
Hasan CS pun mampu diyakinkan bahwa konsep penerimaan
terhadap asas sentral cuman sebagai masukan bagi Kongres
XVI nanti.
227
akan memperjuangkan di Kongres XVI; (2) gentlement
agreement (perjanjian luhur), saling membela
(kesetiakawanan) dalam menghadapi resiko apapun yang
mungkin timbul, baik dari intern PB HMI maupun dari pihak
ekstern, serta tidak akan membocorkan informasi kepada
pihak yang dapat merugikan Cabang-Cabang yang tergabung
dalam PTCP; dan (3) untuk memperjuangkan pertama-tama
ditempulah langkah-langkah strategis berikut: memecat dan
mencabut status terhadap anggotanya yang duduk di PB HMI
oleh Cabang masing-masing; melakukan koordinasi ide dan
gerak dengan membentuk empat pos koordinasi nasional—
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Ujung Pandang; dan untuk
menambah kekuatan dilakukan juga rekruitmen Cabang-
Cabang lain se-Indonesia.155 Resistensi terus-menerus
diarahkan ke Harry dan komplotannya. Hasanuddin menulis
ada empat dalih kenapa mereka harus melawan dan
bagaimana perlawannya coba dipatahkan PB HMI melalui
kerja sama dengan kawanan alumni yang berpihak kepadanya,
hingga meminta pertolongan aparat-aparat negara:
228
Kedua, dengan adanya pernyataan Cilito bukannya
mengeliminir perpecahan, namun justru menyulut
perpecahan dalam tubuh HMI, karena yang bersifat
laten menjadi manifest. Ketiga, posisi izin kongres
tidak setingkat dengan asas organisasi, karena kongres
dapat dilaksanakan secara istimewa atau tanpa izin
sekalipun. Keempat, tekanan dari pemerintah yang
berkaitan dengan asas tunggal Pancasila tidak perlu
dipertimbangkan terlalu jauh karena dasar hukumnya
belum disahkan. Melihat kenyataan demikian, PB HMI
meningkatkan upayanya mempengaruhi pengurus-
pengurus HMI cabang … pertama, memanfaatkan
pengaruh alumni di daerah dan kekuasaan aparat
pemerintah daerah. Dalam tradisi HMI alumni menjadi
faktor berpengaruh. Di samping sebagai narasumber,
alumni juga sebagai penyandang dana bagi kegiatan-
kegiatan HMI. Sedangkan pihak aparat pemerintah
daerah mempunyai wewenang mengeluarkan izin
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan HMI. Dengan
demikian, alumni dan pemerintah daerah cukup
berpengaruh terhadap HMI…. Cara kedua yang
ditempuh PB HMI adalah …[mencabut dan enggan
mengesahkan] SK pengesahan pengurus HMI cabang
yang terbentuk melalui Konperensi Cabang … pertama,
mencabut SK Kepengurusan HMI Cabang Jakarta di
bawah pimpinan M.S. Ka’ban dan mengangkat
Pounsterling dan kawan-kawan sebagai pengurus
cabang transitif; kedua, mencabut SK Kepengurusan
HMI Cabang Bandung dan membentuk panitia
konperensi yang kemudian diangkat menjadi pengurus
cabang sementara; ketiga, mencabut kembali SK
Kepengurusan HMI Cabang Ujung Pandang dan
mengangkat beberapa orang yang mengklaim dirinya
sebagai pengurus cabang Ujung Pandang; keempat,
tidak mengesahkan hasil Konperensi Cabang HMI
229
Cabang Yogyakarta sehingga menjelang kongres PB
HMI mengesahkan beberapa orang sebagai wakil
cabang Yogyakarta atas nama pengurus.156
156
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm 158-166. Dalam kurung merupakan
tambahan dari penulis.
230
Namun pada 1984, Abdullah dan teman-temannya kemudian
bersembunyi ke Malaysia karena terus-menerus berusaha
dilenyapkan oleh Soeharto melalui kerumunan tentaranya. 157
Wilayah teritorial yang berbeda dan statusnya sebagai
pelarian amat menyulitkan Abdullah. Keadaan ini
membuatnya kesulitan membangun konsolidasi penolakan
asas tunggal Pancasila dengan Cabang-Cabang HMI se-
Indonesia. Sedangkan Soeharto nampak gesit mengerahkan
kalangan militer untuk memangsa musuh-musuhnya. Soalnya
fase hegemoni minimum ternyata mengakibatkan negara
berubah jadi tempat segala siksa. Anjing-anjing penjaga istana
yang bersenjata lengkap dijadikan alat penebar siksa. Karena
mereka bukan saja diberi kesempatan luas untuk mengisap
laba ekonomi dan menduduki jabatan penting dalam negara.
Tetapi juga disertifikati membunuh siapa saja yang berbahaya
bagi penguasa. Memang sejak kemerosotan hegemoninya
Orba tidak saja menerapkan korporatisme inklusif guna
mendikte pelbagai organisasi sosial, politik maupun
kegamaan. Melainkan pula melancarkan korporatisme ekslusif
supaya gerakan-gerakan ketidakpuasan terhadapnya dapat
diredam, terutama lewat berondongan tembakan. Korporasi
negara yang telah berkembang sedemikian mematikan itu
berdiri di atas ambisi membesarkan perekonomian sekaligus
menimbun keuntungan beberapa golongan. Robinson
menegaskan:
157
Buka http://m.voa-islam.com/news/upclose/2009/07/07/149/abdullah-
hehamahua-saparua-yang-tak-kenal-takut/
231
Selain itu, korporasi negara juga memberikan basis
penumpukan kekayaan pribadi para pemegang
kekuasaan politik. Melalui kekuatan korporasi untuk
membagi-bagi kontrak konstruksi, pasokan, dan
distribusi barang, serta membagi konsensi pengeboran
minyak dan penebangan kayu hutan, mereka juga
membangun sumber dukungan bagi para pemimpin
politik. Dengan begitu korporasi negara merupakan
komponen integral dari dominasi politik kaum militer
serta faksi-faksi yang ada di dalamnya.… Dalam
tingkat tertentu, korporasi negara perlu bekerja secara
efisien dengan kriteria bisnis dan keuangan yang
normal. Sebaliknya, korporasi negara juga dikehendaki
melakukan kegiatannya dalam suatu strategi luas
industrialisasi nasional. Keberhasilan mereka baru
mempunyai arti jika seluruh strategi tersebut berhasil
dan pengeluaran dengan defisit serta utang oleh setiap
korporasi negera dibenarkan dalam hubungannya
dengan setiap strategi yang luas tersebut. Korporasi
negara dituntut bertindak sebagai pendana militer serta
pusat kekuatan birokrat politik lainnya. Di samping itu,
mereka juga bertindak sebagai jalan bagi penumpukan
kekayaan pribadi dan akumulasi kapital grup-grup
bisnis swasta.158
158
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 166, 189.
232
penyiksaan, dan penghilangan paksa. Pada 1982, Yogyakarta
jadi tempat pertama yang mengalami keempat kejahatan
negara barusan. Algojonya berasal dari barisan ketentaraan
maupun kalangan kepolisian. Tugasnya sederhana: menembak
dan menghilangkan paksa orang-orang yang dituduh
menggangu pengusaha. Kala itu para bos-bos besar memang
suka didatangi dengan tujuan meminta uang yang tidak
seberapa. Para bos yang rakus kemudian melabeli mereka
sebagai gali. Mereka sesungguhnya berbuat demikian karena
masalah ekonomi. Sampai tahun 80-an terdapat tiga
ketimpangan pembangunan: (1) kesenjangan industri dan
pembangunan; (2) kesenjangan antara desa dan kota; dan (3)
kesenjangan kaya dan miskin. Data BPS 1981 mencatat:
penduduk miskin Indonesia mencapai 42,3 juta jiwa. Warga-
warga ini bergelut dengan permasalahan hidup yang begitu
rupa: ada yang sudah bekerja tapi gaji sedikit, hingga paling
banyak adalah yang menganggur sana-sini. Kedua kelompok
tersebut bernasib serupa: dibelenggu dalam kemiskinan yang
menyeringai. Sayangnya kelas kapitalis tak mau sedikitpun
berempati. Di Yogyakarta, justru kaum miskin dan tertindas
dilaporkannya ke ABRI. Komandan Distrik Militer 0734
Yogyakarta Letkol CZI M. Hasby dan Pangdam VII
Diponogoro Mayjen TNI Soegiarto, kontan bersepakat
mengeluarkan keputusan perang terhadap para gali. Komnas
HAM RI menjelaskan kejahatan yang berlangsung itu begini:
233
adalah tokoh gali yang terkenal di kalangan masyarakat
Yogya. Sasaran pembasmian terhadap para gali bukan
hanya menyasar kelompok lapisan bawah saja. Rumah
Sakit Sarjito merupakan rumah sakit di Yogyakarta
yang paling banyak menangani jenasah korban
penembakan misterius. Di antara puluhan jenasah
sebagian besar tak bisa diidentifikasi hingga
dikuburkan dalam status sebagai “Mr. X” atau orang
tak dikenal…. Selain pembunuhan dan eksekusi di luar
proses pengadilan sejumlah preman di Yogyakarta juga
mengalami proses penangkapan secara-semena-
mena…. Banyak di antara korban mati maupun
survivor yang mengalami penyiksaan. Di antara korban
mati bisa dikenali adanya penyiksaan ini dari tanda-
tanda yang terdapat pada jenasah mereka. Perang
terhadap para gali di Yogyakarta juga menggunakan
cara perampasan kemerdekaan. Secara umum, korban
biasanya dibawa oleh lebih dari 1 orang anggota ABRI
yang kadang mengunakan seragam loreng tanpa adanya
surat penangkapan. Sebagian lagi dijemput oleh orang
bertopeng atau orang yang tak dikenali, baik oleh
keluarga maupun masyarakat sekitar. Sebagian dari
korban ditemukan masyarakat dalam bentuk sebagai
jenasah. Sebagian dari orang-orang yang dijemput pada
akhirnya menjadi korban. penghilangan orang secara
paksa di mana orang yang menjadi target dijemput
orang yang tidak dikenal dari rumah korban, dijemput
atau dijebak oleh teman korban, diminta memenuhi
panggilan polisi untuk datang ke kantor polisi. Di
antara para korban yang hilang adalah para residivis
yang dijemput atau di’bon” dari penjara atau lembaga
pemasyarakatan.159
159
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, (tanpa tahun), Ringkasan Eksekutif
Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, Jakarta:
Komnas HAM RI, Hlm. 57.
234
Keadaan seperti itu persis dengan yang dialami daerah-daerah
di Jawa Tengah lainnya. Masyarakat miskin bukan saja
berkalang penderitaan tapi tersadis menjadi sasaran jagalnya.
Petugas penjagal mereka adalah Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Di bawah lembaga
ini terdapat serangkaian organisasi militer atau non-militer
yang melaksanakan tugas dan program keji: menculik,
menyiksa, hingga melakukan pembunuhan. Kopkamtib
merupakan alat kekerasan negara yang paling perkasa, karena
mereka merupakan sebuah lembaga ekstra-konstitusional:
artinya bisa bekerja dengan mengabaikan hukum dan pelbagai
peraturan perundang-undangan. Sejak Agustus 1967, institusi
itu membentuk satuan kerja yang disebut Pelaksana Khusus
(Laksus). Lalu sepanjang permulaan 1980-an mereka secara
terang-terangan menjalankan penjagalan yang sistematis
terhadap ribuan orang. Latar belakang para korban kurang-
lebih sama, yaitu orang-orang yang dianggap sebagai sampah
masyarakat: bukan saja dituduh gali, tapi juga bromocorah,
perampok, preman, hingga residivis. Di tangan Laksus
manusia-manusia itu semua bernasib serupa: dijemput paksa
dari rumah, diinterogasi secara tidak manusiawi, ditahan
semau-mau penguasa, lalu dibunuh secara sadis. Karena bagi
negara, rakyat-rakyatnya yang lemah dan menganggur serupa
bandit atau perompak yang dapat mengganggu tatanan
masyarakat kapitalis.
235
perompak. Ketika rakyatnya merompak pangeran langsung
mematahkan perompakan hingga menyerat bandit-bandit itu
ke istana lalu menanyakan: apa pertimbang perompak
melancarkan perbuatan—yang dipandang Alenxander
sebagai—tidak baik. Dengan penuh keyakinan perompak pun
menjawab:’sama saja seperti Sri Paduka yang merusak
seluruh dunia; hanya karena saya lakukan ini dengan armada
mungil, saya disebut perompak; tetapi karena Paduka dengan
armada besar, Paduka disebut penguasa’. Bagi Agustinus
hanya keadilanlah yang membedakan bandit-perompak
dengan negara. Soal perompakan maupun praktik perbanditan
terjadi karena tidak adanya keadilan. Kondisi inilah yang
mendorong orang-orang merongrong pemerintahan.
Mayoritas rakyat di masa Orba memang serba miskin.
Sedangkan segelintir pejabat dan pengusa hidup bergelimang
kekayaan. Agustinus mengatakan: ‘Karena di mana tidak ada
keadilan yang benar, tidak mungkin di sana ada hukum.
Karena kalau dikerjakan secara benar, dengan sendirinya
harus adil, yang dikerjakan secara tidak adil, tidak mungkin
benar’. Terkait kalimat tersebut, Daniel Dhakidae memapar:
236
maka ketiadaan keadilan dengan sendirinya bisa
menjadi alasan suatu negara dilawan dalam suatu
perang yang adil, iustum bellum. Karena keadilan harus
dipertahankan dengan berapa pun harga yang harus
dibayar.160
160
Dhaniel Dhakidae, (2015), Menerjang Badai Kekuasaan; Meneropong
Tokoh-tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie sampai Putra Sang
Fajar, Bung Karno, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 32.
237
ditemukan di berbagai lokasi, mulai dari selokan, sawah,
sungai, jurang, tepi pantai, hingga jalan raya. Total korban
pembunuhan oleh negara tercatat mencapai angka 9.000
jiwa.161
161
Data KomIsi Nasional Hak Asasi Manusia, Op. Cit.,, Hlm. 67-68.
162
Lihat Arief Budiman, (1996), Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan
Ideologi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 42.
238
dekat dengan pembuat dan pelaksana kebijakan publik
melainkan diberi kesempatan untuk menjabat apa saja.
Kebalikannya, kalangan birokrat juga dilancarkan membuka
usaha-usahanya. Sehingga taman kekuasaan menjadi wahana
terasyik bagi kapitalis-birokrat dan kapitalis-swasta dalam
memantapkan usahanya, termasuk berguna untuk menarik
kapitalis-kapitalis asing dari negeri lainnya.
163
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm.204-210.
239
Soejo, Alamsjah, Ahmad Tirtosudiro, dan Suhardiman.
Perusahaannya paling banyak melakukan usahanya pada
konstruksi dan pembangunan industri. Melaluinya PT TUB
tidak saja menjali hubungan bersama jalinan militer lainnya,
tapi juga meneguhkan aliansi bisnisnya dengan sejumlah
pebisnis penting domestik; baik dengan konglomerat Cina
maupun Pribumi. Lewat kegiatan korporasi tersebutlah
perwira-perwira itu terintegrasi dengan sebagain besar elemen
politik ekonomi kapitalis swasta (Pribumi—Sutowo, Sudarpo;
dan Cina—Liem Soe Liong, Mochtar Riady), negara (Bank
Indonesia dan Pemda DKI Jakarta) dan kapitalis-asing (PT
Perkins dari Inggris).
240
keperluan AD. Tapi mereka kemudian nekad memasuki
proyek patungan dengan Jepang yang meilbatkan investasi
sebesar 5,5 juta dolar AS. Selanjutnya adalah organisasi
koperasi militer: Inkopad (TNI-AD), Inkopal (TNI-AL),
Inkopau (TNI-AU), dan Inkopak (Angkatan Kepolisian).
Keempatnya merupakan jembatan bagi para tentara dalam
melaksanakan bisnis-bisnis besar dengan pengusaha swasta
dan asing.
241
Sangkurilang. Di sampingnya Inkopal berbisnis di bidang
pergudangan, jasa pengemas dan pemandu kapal hingga
bergerak ke usaha perkapalan besar. Mula-mula dengan PT
Pelita Bahari miliknya, AL mengambil alih galangan kapal
milik negara. Lalu untuk semakin memperbesar kerja sama
pelayarannya maka AL memberikan 5 buah kapal secara
gratis kepada perusahaan yang dikelola pengusaha Cina: PT
Pelayaran Nusantara Bahari. Bersama perusahaan inilah
Inkopal melakukan usaha patungan dengan untuk membangun
pelayaran samudra PT Ampera Lines (yang kemudian
berganti nama menjadi PT Admiral Lines). Perusahaan ini
kemudian bukan saja dikelola oleh pemodal Cina, namun
diberikan lagi 5 kapal secara cuma-cuma oleh AL. Salah satu
pengusaha yang menonjol dalam pengelolaan itu ialah Moh.
Husni: pemegang saham mayoritas PT Emcede—perusahaan
perikanan dan pelayaran. Jalinan kedekatan dengan swasta
membuat perusahaan-perusahaan pelayaran milik AL
gampang sekali dioperasikan pengusaha-pengusaha Cina.
Bersama merekalah Inkopad bisa membangun usaha patungan
di bidang perikanan dan gudang pendinginan. Di samping
bisnis AD dan AL ternyata terdapat pula usaha Angkatan
Kepolisian dan TNI-AU. Keduanya persis koperasi angkatan
lainnya: membuka bank-bank kecil dan memiliki konsesi
penebangan hutan.
242
negara begitu aktif mendorong dukungan ke arah status quo
politik dan ekonomi; (2) Penindasan: tindakan yang dilakukan
apabila legitimasi gagal dan hegemoninya semakin berkurang.
Maka represifitas merupakan cara ampuh dalam mencegah
massa melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
negara sekaligus membahayakan kelangsungan kapitalisme;
dan (3) Akumulasi: usaha untuk membuat dan menetapkan
kebijakan yang bisa memuluskan kelas kapitalis dalam
mengumpulkan modal. Caranya seperti menciptakan undang-
undang peringanan beban pajak bagi kaum kaya (pemodal)
maupun menggeser beban pajak tersebut pada warga-biasa
dan membuat pelbagai kebijakan-kebijakan naif buat
merampok rakyatnya. Selama fase hegemoni integral dan
hegemoni merosot, Orba nampak jelas menjalankan ketiga
fungsi tersebut. Lalu ketika memasuki fase hegemoni
minimum, dia tetap berupaya untuk fungsinya sewalaupun
menempuh jalan sesat. Lihatlah bagaimana Soeharto dan
kroni-kroninya menjadi amat getol mengupayakan penerapan
asas tunggal Pancasila. Penyeragaman asas organisasi-
organisasi sosial dan politik ditempuh agar penguasa dan
pengusaha dapat terus berkuasa. Soalnya mereka semua
ketakutan oleh ancaman ideologi lain yang mencoba
menghancurkan istana. Ambisi mengonsentrasikan kekuasaan
ini kemudian membawa petaka pada 1984: Peristiwa Tanjung
Priok di Jakarta Utara. Mula-mula pada Juni 1984 negara
menuduh para mubaligh menyampaikan ceramah-ceramah
radikal saat melaksanakan ibadah tarawihnya: bukan saja
masalah korupsi dan modal asing, melainkan pula pelarangan
penggunaan jilbab dan pemaksaan keluarga berencana (KB)
dan sebagainya. Bahkan di dinding-dinding Mushola As
243
Sa’adah dipasang pamflet-pamflet bertulisan bahasa Arab
yang intinya menentang kebijaksanaan pemerintahan.
244
terkontrol dapat merebut sumber daya ekonomi politik:
artinya berpotensi merusak pendapatan penguasa. Apalagi
pada 1983, negara baru saja mengeluarkan paket ekonomi
neoliberal: Pakjun 1983. Kebijakan ini memberi keuntungan
besar bagi segenap kapitalis-swasta. Hidup dalam lingkungan
yang diselimuti kenyataan-kenyataan seperti ini mendorong
masyarakat Tandjung Priok memilih menerbitkan gerakan.
Aksi-aksinya diperteguh oleh semangat keislaman hingga
menemukan bentuk sebagai gerakan politik keagamaan.
Melaluinya keputusan-keputusan pemegang kekuasaan tidak
lagi dihadapinya dengan persetujuan tapi perlawanan. Sikap
berlawan ditanam, dipupuk, dan disiram oleh para mubaligh
dari tempat peribadatan hingga merebak ke jalanan.
Mubaligh-mubaligh di Tanjung Priok kebanyakan merupakan
anggota komunitas yang mengusung Islam sebagai
ideologinya. Bagi mereka, Rezim Soeharto setelah
menyingkiran gerakan politik kiri maka kini memandang
gerakan Islam politik sebagai musuh utamanya. Kelompok
Islam politik disebut sebagai ‘kelompok ekstrim kanan’ yang
harus dimusnahkan, karena tidak mau tunduk pada Orba.
Ketindaktundukannya pada negara bukan semata karena
ekonomi melainkan berang mendapati kebijakan penguasa
yang mensubordinatkan agama: kaum muslim coba
dilepaskan dari semangat ideologis agamanya melalui
penerapan asas tunggal Pancasila.
245
kritis tadi dengan membasahinya menggunakan air comberan.
Masyarakat emosi atas perbuatannya sehingga membakar
motornya. Hubungan antagonistik antara pemerintah dengan
masyarakat semakin menajam dan mencari mangsa.
Akibatnya para penceramah yang berusaha membangkitkan
kesadaran akan penindasan negara diancam oleh aparat
Kodim Jakarta Utara I Kodam V Jaya I Laksusda Jaya. Empat
orang di antaranya sampai diseret aparat secara paksa dengan
tuduhan melakukan pembakaran kendaraan Hermanu.
Mubaligh-mubaligh itu ditangkap dan disiksa. Maka massa
melancarkan protes besar yang bukan hanya menuntut
pembebasan penceramah melainkan juga seabrek
permasalahan lainnya, terutama menolak asas tunggal
Pancasila. Puncaknya adalah malam 12 September 1984:
warga mengadakan Tabligh Akbar terbuka. Mereka bergerak
menuju Kodim Jakarta Utara untuk membebaskan keempat
orang saudaranya yang ditahan. Sesampainya di tempat tujuan
aparat menyambut dengan ledakan senapan. Dari pengakuan
korban, segerombol serdadu langsung menembak dengan
senjata. Massa yang berada di barisan depan jatuh
bergelimpangan berlumuran darah, sedangkan yang lainnya
bertiarap dan ada di antaranya yang pura-pura mati. Selain itu,
ternyata ada pula korban yang terkena tembakan karena
kebetulan sedang melewati lokasi. Dalam kejadian tersebut
Komnas HAM RI mencatat jumlah korbannya: 23 meninggal,
36 luka-luka tapi tak dirawat, dan 19 luka dalam perawatan. J.
Fabian Junge mencatat aksi pembunuhan ini merupakan
kesengajaan yang telah direncanakan:
246
terhadap pemerintah…. Amir Biki dan pendakwah
lainnya menggunakan kesempatan tersebut untuk
mengajukan tuntutan pembebasan atas empat tahanan
yang sudah disebut diatas. Ketika ultimatum yang
diajukan Biki yaitu bila pembebasan empat tersangka
tersebut hingga pukul 11 malam tidak dipenuhi, ia
mengerahkan massa yang berkumpul untuk
mengadakan aksi protes. Sekitar 1,500 massa berjalan
beriring-iring menuju markas Kodim Jakarta Utara,
tempat dimana empat orang tersangka tadi ditahan.
Pada saat massa berada di depan Polres Metro Jakarta
Utara mereka di hadang oleh satuan regu artileri
pertahanan “Udara Sedang“—Arhanudse—yang segera
melepaskan tembakan ke arah massa … pimpinan
militer pada waktu itu menyatakan bahwa prajurit
artileri atas dasar pertahanan darurat menembaki massa
yang bersenjata. Sembilan dinyatakan tewas dan lima
puluh tiga luka-luka. Para saksi dan kelompok-
kelompok oposisi memberitakan tentang aksi militer
yang terencana itu bahwa jumlah korban meninggal
ditafsir lebih banyak lagi, yaitu berkisar antara 400
sampai 700 orang. Organisasi-organisasi HAM
berkesimpulan bahwa mantan Panglima ABRI
(Angkatan Bersenjata Indonesia) Benny Murdani dan
Pangdam V Jaya Try Sutrisno telah memerintahkan
atau setidaknya dengan sadar telah membiarkan aksi
pembantaian tersebut. Menurut laporan para saksi mata
Murdani dan Sutrisno muncul pada tanggal 12
September tengah malam di tempat kejadian
mengontrol pelaksaan menutup-nutupi aksi
pembantaian tersebut. Mayat-mayat dimasukkan ke
dalam truk-truk militer lalu di bawa ke tempat lain dan
dikuburkan di tempat-tempat yang tidak diketahui.
Sedangkan korban luka-luka dilarikan ke rumah sakit
Angkatan Darat Gatot Subroto, dimana mereka dilarang
247
untuk menerima kunjungan dari keluarga mereka….
Korban yang luka-luka pada aksi demonstrasi tersebut
dijatuhi hukuman karena aksi perlawanan menentang
kekuasaan negara. Pada masa berikutnya ratusan orang
diantaranya sederetan tokoh-tokoh kritikus rejim yang
sebagian besar dari kalangan Islam, ditangkap, disiksa
dan dalam proses pengadilan sandiwara dijatuhi
hukuman penjara antara beberapa bulan sampai
puluhan tahun. Mereka dituduh dengan “menyebarkan
rasa ketidak puasan“ secara tidak langsung telah
menyebabkan aksi demonstrasi. Ada juga yang dituduh
memiliki atau menyebarkan pamflet-pamflet yang
mempertanyakan versi resmi dari kejadian 12
September 1984. Selama dua tahun kemudian, ratusan
orang ditangkap dan dihukum karena dianggap teroris
atau Islam radikal dalam pengadilan yang tidak sah.
Pembantaian Tanjung Priok dan tindak represif
selanjutnya mengakhiri sementara perselisihan dengan
Islam politik yang merupakan penentang rejim paling
keras yang ada setelah era runtuhnya PKI. Dengan
melemahnya pihak penentang ini maka rejim pada
tahun 1985 berhasil menerapkan Undang-Undang asas
tunggal…. 164
164
J. Fabian Junge, (tanpa tahun), Kesempatan yang Hilang, Janji yang Tak
Terpenuhi; Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Kejahatan di Tanjung Priok
1948, Jakarta: KontraS/Watch Indonesia, Hlm. 17-18.
165
Ahmad Syafi’I Safinuddin, Op. Cit., Hlm. 62-64.
248
yang penuh dengan kesewenang-wenangan: pertama, UU No.
2/1985 tentang Pemilu. Melaluinya maka presiden dapat
menjadi penyelenggara Pemilu sekaligus Ketua Dewan
Pembina Sekber Golkar. Golkar bahkan diberi kesempatan
yang sama dengan partai politik (parpol): sewalaupun belum
menjadi parpol tapi bisa ikut Pemilu karena punya massa dan
dianggap wajar. Soalnya Soeharto punya kendali terhadap
seluruh aparat pemerintahannya mulai dari atas sampai yang
terendah. Makanya segenap pos-pos kebijakan
dikendalikannya dengan mudah; kedua, UU No. 3/1985
tentang Susunan Keanggotaan DPR/MPR yang terdiri dari: F-
KP, F-PP, F-DI, F-ABRI, dan F-UD. Dengannya Soeharto
menyulap dua fraksi yang dkhususkan hanya untuk orang-
orang piaraanya: F-ABRI (kelompok tentara, khususnya
Angkatan Darat) dan F-UD (gerombolan campur aduk:
serdadu juga kalangan pengusaha-pengusaha dari daerah)—di
DPR/MPR mereka mendapatkan jatah kursi terbanyak tanpa
lewat Pemilu; ketiga, UU No. 4/1985 tentang Partai Politik
dan Golkar. Lewatnyalah Pemilu ditatar untuk dua parta
politik saja—PPP dan PDI—serta satu kalangan: Golkar.
Parpol juga dipagar supaya tidak mendirikan organnya di
tingkat kecamatan. Dalam keadaan inilah massa-rakyat
dibikin mengambang, bahkan berpolitik buta. Mereka soalnya
tidak diberikan pilihan selain mendukung Golkar yang
dikampenyakan birokrasi mulai dari atas hingga ke pelosok-
pelosok desa; keempat, UU No. 5/1985 tentang Referendum.
Aturan ini memaksa rakyat agar tidak mengubah UUD 1945
tanpa melewati MPR yang mengekor pada rezim. Itulah
mengapa massa miskin dan tertindas ditindih segala
aspirasinya karena sengaja dibungkam. Dalam kondisi seperti
itu maka segala aturan bahkan dasar negara sekalipun
249
dijalankan menyimpang dan penuh cacat: menindih kekuatan-
kekuatan sosial hingga melempem; kelima, UU No. 8/1985
tentang Ormas. Peraturan ini berisi paksaan untuk semua
organisasi kemasyarakatan maupun politik menganut asas
tunggal: Pancasila. Lembaga-lembaga sosial-politik kemudian
dipaksa mengganti asasnya: tidak boleh berdiri dan
beraktivitas berdasarkan semangat keyakinan, keagamaan,
serta kelas; karena semuanya harus sesuai keinginan Orba:
berasaskan Pancasila yang disetir ke arah pembangunanisme.
166
Mochammad Parmudi, (2014), “Islam dan Demokrasi di Indonesia:
(dalam Perspektif Pengembangan Pemikiran Politik Islam)”, Laporan Hasil
Penelitian Individual, IAIN Walisongo, Semarang, Hlm. 150.
250
metode kekerasan. Hanya saja Orba berhasil meraih
persetujuan dari tokoh-tokoh berpengaruh dari organisasi-
organisasi tertentu, termasuk kalangan alumni HMI yang
diberikan jatah mengisi jabatan-jabatan di pranata kenegaraan.
251
kali dengan pembahasan tentang masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Pertama di rumah Drs.
Ahmad Nurhani dengan undangan Pangdam V Jaya
Mayjen Tri Sutrisno. Lalu di rumah Menteri Dalam
Negeri Soeperdjo Roestam dengan tamunya Menteri
Dalam Negeri Munawir Sadzali, terakhir di gedung
Krida Bakti dengan undangan Menteri Sekretaris
Negara Sudharmono dan Menteri Pemuda dan Olah
Raga Abdul Ghafur. Hasil dari sarasehan tersebut yaitu
pembicaraan ke empat tentang RUU Organisasi
Kemasyarakatan pada tanggal 31 Mei 1985 dibawa ke
Rapat Paripurna DPR RI. Rapat Paripurna memutuskan
menerima RUU tersebut menjadi Undang-undang. Pada
tanggal 17 Juni diundangkan UU No.8/1985. 167
167
Muhammad Fachrur Riza, (2012), “Politik Jaringan KAHMI dan
Kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid (2001)”, Skripsi, FISIP,
Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta, Hlm. 38.
252
mendapatkan pengawalan ketat dari serdadu suruhan
Soeharto: Kodam Udayana. Maka forum yang seharusnya
digunakan untuk mengkaji ulang ideologi HMI justru
dibelokan sebatas buat memintakan pernyataan kesetujuan
akan asas Pancasila dari pengurus-pengurus Cabang-nya.
Mendapati keadaan ini maka Cabang HMI—seperti
Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan Ujung Pandang—spontan
melayangkan seabrek kritikan terhadap PB HMI. Hasilnya
Harry CS gagal mendapatkan persetujuan segenap Cabang
HMI untuk mengadopsi ideologi penguasa. Hasanuddin
menjelaskan keberhasilan menolak rekayasa simposium
merupakan bukti kuatnya komitem pada hasil Kongres XV,
tapi sekaligus membuat para pembangkang tidak dilibatkan
dalam Kongres HMI XVI di Padang pada 1986:
253
Pancasila…. Ancaman PB HMI itu juga tidak
berpengaruh. Hal ini terlihat dari tidak satupun
pimpinan-pimpinan cabang besar itu mengeluarkan
pernyataan sebagaimana dikehendaki PB HMI….168
168
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 164-165.
254
Kongres ke-16 dengan menghadirkan Cabang-Cabang HMI di
seluruh Indonesia.169
169
Lihat Agus Salim Sitompul 44 Indikator Kemunduran HMI.
255
HMI Harry Azhar Aziz ditemuinya. MPO mengajaknya
dialog hingga meminta rekomendasi mengikuti Kongres XVI
tanpa terlebih dahulu membuat pernayataan penerimaan asas
tunggal Pancasila. Sayangnya Harry malah berkelit: katanya
dia tidak memiliki kewenangan, karena semuanya berada di
tangan alumni HMI Abdul Gafur selaku Menpora.170
170
Lihat Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 168-169.
256
KNPI dan HMI menggunakan senior-alumni HMI yang
menjadi tokoh besar politisi maupun birokrat: misalnya,
Akbar Tandjung hingga Abdul Gafur.
257
HMI: (1) dominasi kepentingan elite formal organisasi dalam
menentukan jalannya kongres; (2) pola komunikasi yang
cenderung antagonistik, karena masing-masing pihak tidak
ingin menompromikan sumber konfliknya; (3) mereka yang
berkonflik tidak ingin menurunkan intensitas konflik; dan (4)
tidak terdapat alumni yang dapat menjadi penengah konflik.
Orba soalnya telah membuat senior-alumni HMI kikuk.
Walhasil, pemihakan kemudian diberikan kepada negara
ketimban junior-anggota organisasi yang telah
membesarkannya. Hasanuddin mengungkapkannya begitu
rupa:
171
Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm 183.
258
Azhar Aziz juga kemudian berlabuh di Golkar. Dia mengikuti
jejak senior-alumninya. Bagi mereka Golkar merupakan
kendaraan politik terbaik dalam memperoleh jabatan besar.
Melalui Golkar, Abdul Gafur sukses jadi Menpora (1978-
1988). Begitu pun dengan Akbar Tandjung: beroleh posisi
Menpora untuk periode (1988-1993) dan Menegpera (1993-
1998). Bahkan lewat pengaruhnya dalam pranata kenegaraan
maka bisnis susu keluarganya—N.V. Marison/PT Marison
Nusantara—dilancarkan bermitra dengan pemodal asing
hingga dibuka kesempatan mendapatkan suntikan modal dari
konglomerat Cina.172 Walau tak berprofesi sebagai pebisnis
tetapi perkembangan usaha keluargnya memperlihatkan
bagaimana Akbar mampu menautkan modal dengan
kekuasaan. Tokoh HMI yang serupa dengannya adalah Jusuf
Kalla (JK). JK bahkan lebih gemilang lagi: ia bukan sebatas
mulus berkiprah sebagai politisi Golkar dan mendapatkan
kursi DPRD Sulawesi Selatan, tapi terutama sukses
membesarkan bisnis dalam naungan Orba. Bisnisnya bernama
Group Kalla. Jejaring usahanya tersebar di banyak sektor:
mulai dari otomotif, konstruksi, energi, keuangan, properti,
hingga transportasi. Dirinya disebut-sebut selaku salah satu
172
Antara Liem Sioe Liong dengan keluarga Akbar Tandjung pernah
terjalin relasi bisnis semasa era emas Orde Baru. Produk susu Indomilk
yang bernaung di bawah bendera Salim Group kepunyaan Liem dulunya
bermula dari perusahaan yang dirintis oleh Datuk Usman Zahiruddin
Tandjung, ayahanda Akbar Tandjung. Perusahaan bernama N.V. Marison
(belakangan dikenal sebagai PT Marison Nusantara) lalu dilanjutkan oleh
Nahar Zahiruddin Tandjung, kakak Akbar. N.V. Marison kemudian
bermitra dengan Australia Dairy Corporation (ADC), yang bermarkas di
Melbourne, untuk mempruksi susu dan es krim. Liem Sioe Liong melalui
Salim Group-nya lantas ikut memodali perusahaan itu…. N. R. Akbar,
(2020), Siapa Menjerat Gus Dur; Intrik Politik, Oligarki, dan Konspirasi
Pemakzulan, Yogyakarta: Media Pressindo, Hlm. 153-154.
259
konglomerat pribumi yang mendapatkan keuntungan dari
keberadaan Tim Sepuluh. Tim ini dibentuk Soeharto melalui
Mensekneg Sudharmono. Keberadaan Tim Sepuluh—antara
tahun 1980-1988—mempunyai kewenangan untuk
menentukan alokasi anggaran proyek termasuk belanja semua
Departemen dan BUMN. Tim inilah yang memberikan
kesempatan besar untuk beberapa pengusaha pribumi—
termasuk JK—untuk membesarkan bisnisnya.173
173
Buka https://www.pinterpolitik.com/kilas-kiprah-dan-ambisi-jk/
174
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 301.
260
puncaknya dengan Golkar.175 Jeffey A. Winters menyebut
kekuasaan seperti ini sebagai oligarki: ‘suatu sistem politik
pertahanan kekayaan (wealth defense) yang dilakukan oleh
segelintir orang dengan konsentrasi kekayaan besar yang
bersumber dari kekuasaan’.176 Robinson memaparkan dengan
baik bagaimana para oligark maupun kapitalis beraksi
mempereteli pranata kenegaraan:
175
Lihat Dhaniel Dhakidae, Op. Cit., Hlm 283.
176
Buka PDF Megawati Institute, (2017), Hasil Riset Oligarki Ekonomi,
Jakarta: Megawati Institute, Hlm. 9.
177
Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 299.
261
seabrek alumni HMI mendapatkan apa saja yang diingini.
Sementara himpunan sendiri jadi korban yang berhasil
dipecahkan oleh jalaran kepentingan mantan-mantan
anggotanya yang telah menjadi politisi, penguasaha, maupun
elit-elit birokrasi. Perpecahan yang terjadi itu kemudian
meneguhkan HMI untuk bersikap oposisi pada Orba, Soeharto
dan kroni. Kelompok oposan bukan HMI (Dipo) melainkan
HMI MPO. Safinuddin perikan, sejak 1986 kader-kader HMI
MPO mulai melakukan aksi politik kendatipun pada awalnya
harus berlindung pada lembaga yang kemudian disebut
lapisan eksternal HMI MPO.178 Lapisan eksternal tersebut
terdapat pada masing-masing Cabang: gerakan yang
dilakukan bervariasi, keseluruhan bernuansa sangat politis dan
secara efektif mampu menggelindingkan isu yang semakin
mengkristal ke arah oposisi radikal. 179 Hubungan antagonistik
tersebut berlangsung sepanjang 1986-1998: dikenal sebagai
‘fase oposisional’ bagi HMI MPO. Sedangkan untuk HMI
(Dipo) mulai 1986-pascareformasi menapaki fase ‘kritik-
kooperatif’ dengan negara: pernyataan-pernyataan kritis-
kontruktif diberikan selama diakomodasinya segala keperluan
organisasi oleh birokrasi. Langkah ini diambilnya karena
dalam pranata kenegaraan telah banyak bercokol senior-
alumninya. Apalagi KAHMI sendiri begitu dielu-elukan oleh
178
Di HMI MPO Cabang Jakarta berdiri Forum Komunikasi Islam Jakarta
(FKIJ), HMI MPO Cabang Purwokerto dengan Forum Komunikasi
Mahasiswa Islam Purwokerto (FKMIP), HMI Cabang MPO Makassar
dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makasar (FKMIM), HMI
MPO Cabang Wonosobo dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Islam
Wonosobo (FKMIW), HMI Cabang Palopo dengan Forum Komunikasi
Mahasiswa Islam Palopo (FKMIP), HMI Cabang Yogyakarta dengan Liga
Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY), dan lain-lain.
179
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. Xvi-xvii, 93.
262
negara. Dalam Munas KAHMI 1V tanggal 19 Desember
1989, Soeharto menaruh harapan padanya. Para senior-alumni
itu diminta memperluas spektrum aliansi hegemoni. Sasaran
utamanya adalah kaum intelektual, termasuk anggota-anggota
HMI. Tujuannya ialah menggencarkan pembangunan.
Semuanya secara eksplisit terpapar lewat pidato presiden:
180
Abdul Hafidz, dkk (ed.), (1997), HMI dan KAHMI: Menyongsong
Perubahan, Menghadapi Pergantian Zaman, Jakarta: Majelis Nasional
KAHMI, Hlm. 12.
263
perlawanan rakyat dan mencarikan solusi atas beragam
kemunduran dalam pendanaan negara. Richard Robinson
mengungkapkan bahwa laporan Bank Dunia 1981, neraca
pembayaran Indonesia 1980-an menunjukan masa depan
berbalut kesuraman. Kontan, Orba memasuki periode penuh
keraguan dalam perkembangan perekonomian. Pada 1982,
ekonomi Indonesia menghadapi kesulitan. Harga minyak
dunia soalnya seperti tiba-tiba jatuh dari ketinggian, karena
tak sama dengan tahun sebelumnya yang harganya begitu
menggiurkan. Pendapatan ekspor minyak dan gas bumi
1982/83 yang diperkirakan mencapai 21,4 miliar dolar AS,
justru Oktober 1982 direvisi menjadi 17,2 miliar dolar AS—
perkiraan berkurangnya pemasukan mencapai 9,5%. Di
samping itu pendapatan ekspor non-minyak tak
menggembirakan: dalam tiga tahun sejak meningkatnya
ekspor non-minyak sebesar 55%, setelah devaluasi rupiah
1978 pendapatan malah menurun menjadi 9,7%, 25%, dan
(terakhir) diperkirakan 12%. Penurunan ini sebagai dampak
kemerosotan harga-harga komoditi dunia karena resesi,
meningkatnya konsumsi dalam negeri, dan jatuhnya ekspor
kayu balok lantaran pemerintah menggantikannya dengan
ekspor kayu yang telah diproses.
264
sektor publik; dan 28%, proyek belanja dalam anggaran
pembangunan selama empat tahun.181 Turunnya penerimaan
dan ketersediaan anggaran pembangunan sesungguhnya tak
sekedar menjadi akibat dari babak belurnya harga minyak
dunia saja, tapi juga penerapan nasionalisme ekonomi dan
industrialisasi nasional. Soalnya melalui keduanyalah praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh pemerintahan
menggumpal. Sehingga kejahatan dalam tubuh birokrasi yang
dilakukan para oligark ditambah jatuhnya harga minyak oleh
kapitalisme internasional berekses suramnya masa depan
perekonomian nasional. Laporan Global Corruption Report
dari Transparency International, menyebut Soeharto sebagai
sosok terkorup. Uang rakyat yang dikorupsinya mencapai Rp
490 triliun. Dengan perilaku begini koruptor-koruptor pada
eranya juga enggan diseret ke pengadilan, karena berguna
menjadi pendukung kekuasaan:
181
Lihat Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 301-303.
265
sekitarnya. Kelompok ini terdiri dari tiga kategori: (1)
para teknokrat yang dilatih Amerika Serikat (USA-
trained technoctrats[—Bappenas]), (2) para nasionalis
ekonomi (yang mendukung gagasan peranan besar
pemerintah dalam perekonomian [intelektual-politikus-
birokrat], dan (3) para kroni kapitalis (yang terdiri dari
anggota keluarga dan beberapa konglomerat [Cina
maupun Pribumi]). Kadang-kadang semua kategori
tersebut dituduh korup namun sebagian besar
penekanan mengarah ke lingkaran kecil kroni kapitalis
(terutama anak-anak Suharto) yang merupakan
penerima manfaat utama dari skema privatisasi negara
… dan sering menjalankan monopoli bisnis besar yang
beroperasi dengan sedikit pengawasan atau
pemantauan.182
182
Buka artikel berjudul korupsi di Indonesia, di https://www.indonesia-
investments.com/id/bisnis/risiko/korupsi/item235? Tulisan dalam kotak
merupakan tambahan dari penulis.
266
semenjak 1982 Soeharto kembali mengemis bantuan lembaga-
lembaga donor internasional. Corak perekonomian yang
sebelumnya berbasis kekuatan nasional lalu diubah: lagi-lagi
berdiri di atas dana-dana asing. Walhasil, ekonomi persaingan
bebas bergema amat kencang. Mula-mula IBRD maupun
IGGI/CGI memperlihatkan lampu hijau buat membantu
Indonesia keluar dari krisis. Pada 1982/83 jumlah ysng
dipinjamkan mereka hampir mencapai 5 miliar dolar AS. Lalu
sepanjang 1983/84 gelontoran anggaran dari IGGI/CGI
disetujui sebesar 2,2 miliar dolar AS. Sementara laporan Bank
Dunia 1983: diperkirakan bahwa Indonesia akan memerlukan
pendapatan 4,5 miliar per tahun dari 1984/85-1986/87 guna
memenuhi kebutuhan terhadap valuta asing. Darinya 3,4
miliar dolar AS berbentuk pinjaman IGGI/CGI dan pinjaman
komersial luar negeri. 183
183
Lihat Richard Robinson, Op. Cit., Hlm. 305.
267
apa saja. Keberhasilan negara dalam menaklukan para alumni
tersebut selanjutnya berpengaruh besar bagi HMI: alumninya
disuruh mengintervensi PB HMI pimpinan Harry sehingga
menimbulkan konflik internal sampai perpecahan organisasi
yang tidak terkendali. Semua itu dilakukan Orba lantaran di
permulaan 1980-an, kekuasaan bukan sekedar menapaki fase
hegemoni minimum tapi terutama disebabkan oleh kompleks
antara modal dengan pranata kenegaraan. Bahkan akibat
merosotnya harga minyak dunia maka tantangan dari kapital
internasional menjadi tak karuan. Indonesia dipaksa
melakukan integrasi ke dalam ekonomi kapitalis global. Sejak
saat itulah kebijakan pintu terbuka buat investasi asing
kembali dihidupkan, sekaligus ekonomi dipugar berdasarkan
manfaat komperatif dan mengedepankan efisiensi.
268
yang mengemis modal asing banyak mengalami penurun
kapasitas secara relatif dalam menyubsidi kebutuhan-
kebutuhan rakyatnya. Pada saat itulah kapitalis-kapitalis
swasta juga beroleh kesempatan besar mengakumulasi
modalnya, karena tiadanya hambatan politik: subsidi bagi
warga. Semua ini merupakan akibat dari tiadanya pembatasan
investasi oleh pemerintah, sehingga pasar sepenuhnya
menjadi penentu efisiensi yang tepat bagi negara. Selanjutnya
pasar pula mampu menyingkirkan semua hambatan struktural
pada kapital asing dan kapital domestik—kebanyakan
konglomerat Cina. Persoalan ekonomi politik yang dihadapi
Indonesia setelah diterapkannya kembali kebijakan pasar
bebas dalam modelnya yang terbaru (neoliberal) dijelaskan
Robinson sedemikian rupa:
269
bahwa mereka akan muncul menjadi kelas kapitalis
baru sebagai konsekuensi dihapusnya hambatan
pertauran. Posisi mereka tidak diharuskan jika investor
internasional tidak diharuskan mengambil mitra lokal
atau menunjuk distributor atau kontraktor lokal, atau
mereka tetap berada di luar sektor seperti pertambangan
kayu hutan dan perdagangan … kita melihat adanya
kontradiksi yang kompleks. Upaya Indonesia untuk
menciptakan integrasi berada dalam kontradiksi dengan
perkembangan struktural di alam pembagian kerja
internasional. Negara Indonesia dikepung oleh krisis
fiskal dan semakin tidak mampu mendanai
pembangunan…. Berkaitan dengan perkembangan
tersebut, muncul kelas kapitalis domestik. Dalam hal
ini, secara berkelanjutan terjadi intervensi politik dalam
ekonomi dan membentuk integrasi antara kekuatan
birokrat politik dengan kapital swasta domestik
(kebanyakan golongan Cina)…184.
270
keinginan. Dalam keadaan itulah politik memiliki otonomi
relatifnya atas ekonomi. Makanya hukum yang dibuat para
politikus dan birokrat sarat dengan kepentingan kapitalis
asing, terutama konglomerat-konglomerat domestik. Karya
Richard Robinson berjudul Soeharto & Kebangkitan
Kapitalisme Indonesia bahkan menelanjangi sepak terjang
dari kapitalis-kapitalis domestik—kelas ini sangat penting
dalam ekonomi politik Indonesia semenjak Soeharto berkuasa
dengan Orba-nya: setiap kebijaksanaan negara di bidang
pembangunan harus mempertimbangkan kepentingan mereka.
Sungguh, negara telah berhasil dikuasai dan dicengkeram oleh
niat busuknya yang selalu ingin mengeruk laba lewat apa saja.
Maka dikotomi antara penguasa dengan pengusaha pun tidak
relevan lagi dibuatnya. Karena penguasa dan pengusaha telah
menyatu melalui persetubuhan najis birokrasi dengan modal.
Sehingga aturan yang mereka keluarkan kemudian disebut
sebagai kebijakan neoliberal.
271
Dengan dikeluarkannya kebijakan ini negara mendadak tidak
punya kekuatan untuk mengintervensi pasar, sehingga
kapitalis-swasta beroleh peran besar dalam mencampuri
upaya-upaya pembangunan Orba. Pasar semakin berdaulat
ketika paket ekonomi neoliberal lainnya kembali
bermunculan: Paket Deregulasi 27 Oktober (Pakto) 1988,
Paket Deregulasi Januari (Pakjan) 1990, Paket Deregulasi 28
Februari (Paktri) 1991, Paket Deregulasi Mei (Pakmei) 1993,
hingga Paket Deregulasi 7 Juli (Pakjul) 1997.
272
dan longgar. Dan ketiga, paket kebijakan yang
direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam
menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata
uang terhadap dolar AS, yang merupakan gabungan dua paket
di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik di sana-sini.185
185
Lihat Bonnie Setiawan dalam Ekonomi Pasar yang Neo-Liberalistik vs
Ekonomi Berkeadilan Sosial, buka
https://rowlandpasaribu.wordpress.com/ebook-gue/?
273
untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air
bersih—ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain
pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat
pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis; (3) Deregulasi:
mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa
mengurangi keuntungan pengusaha. (4) Privatisasi: menjual
BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor
swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya,
jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum.
Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang
nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam
sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak;
dan (5) Menghapus konsep barang-barang publik (public
goods) atau komunitas: menggantinya dengan “tanggung
jawab individual”, yaitu menekankan rakyat miskin untuk
mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan
kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan
menyalahkan mereka atas kemalasannya. 186
186
Ibid, Hlm. 4-5.
274
PPP) dan Golkar, dan Keormasan—merupakan bukti konkret
bagaimana kemesraan di antara mereka. Kelima yang terkahir
sengaja dibuat demi melancarkan jalannya akumulasi laba di
tengah hegemoni kekuasaan yang sudah minimum. Dengan
lima peraturan baru itulah penerapan paket deregulasi
ekonomi kemudian dapat dilindungi dengan diriuhkannya
represi yang membuat dinamika ekonomi-politik berubah
seram dan kehidupan rakyat hampir karam. Lihat saja:
berbekalkan UU Keormasan dengan bangganya negara
menindas orang-orang yang tidak setuju terhadap pelbagai
kebijakannya. Kesewanang-wenangan pemberlakuaan asa
tunggal Pancasila kemudian tidak cuma berhasil menghina,
menembaki, dan membunuh masyarakat Tanjung Priok,
karena beberapa tahun sesudahnya ternyata pasukan
bersenjata kembali dikerahkan untuk menerka, meringkus,
dan mencabut nyawa ratusan jiwa di Lampung. Lagi-lagi
kaum miskin dan tertindas yang taat beragama diganyang
tanpa belas kasihan seperti upaya-upaya membasmi bakteri
jalang. Kejadian ini terjadi tahun 1989, dikenang sebagai
Peristiwa Talangsari. Pembantaian berlangsung tiba-tiba,
kegiatan sholat komunitas muslim bahkan tidak aman untuk
diteruskan dengan dzikir dan do’a. Media Tempo
menceritakannya suasana tersebut dengan penuh bahaya
lantaran kedatangan gerombolan polisi dan tentara:
275
Komando Resor Militer Garuda Hitam, Lampung
Tengah, marah bagai dirasuk dendam. Mereka dipimpin
Kolonel A.M. Hendropriyono. Sehari-hari, jamaah
Warsidi dikenal sebagai kelompok pengajian. Tapi
militer menuduh mereka mempersiapkan negara Islam.
Sebelumnya, beberapa kali polisi berselisih dengan
anggota kelompok ini. Komandan Rayon Militer
(Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, pernah
memanggil Anwar, tokoh kelompok itu. Anwar
menolak, malah meminta Soetiman datang ke
rumahnya. Camat Way Jepara, Zulkifli, kemudian
mengirim surat panggilan. Anwar tetap menolak….
Menyusullah kemudian subuh bersimbah darah itu.
Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara,
korban tewas 27 orang. Tapi sejumlah lembaga
swadaya masyarakat menghitung 246 korban tewas.
Pemerintah memburu jaringan kelompok ini ke Jakarta
dan Jawa Tengah. Beberapa pengikut tertangkap,
dijebloskan ke bui.187
187
Media Tempo, (tanpa tahun), Edisi Khusus Soeharto, Jakarta: Tempo,
Hlm. 79.
188
KomIsi Nasional Hak Asasi Manusia, Op. Cit.,, Hlm. 67-68.
276
mempermasalahkan pelarangan pakaian busana muslimah
(jilbab) perempuan. Penyeragaman pakaian diakibatkan
intervensi kapitalis-kapitalis swasta terhadap pengambilan
kebijakan. Walhasil, negara berperan serupa pelumas laba
bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor
pertekstilan. Kontradiksi menjadi begitu tajam ketika
bercampur dengan bara yang selama ini laten: penolakan asas
tunggal Pancasila. Soalnya sejak disahkannya Pakjun 1983,
lima paket UU pada 1985—terutama tentang Keormasan, dan
Pakto 1988, rata-rata masyarakat semakin tidak percaya
kepada keputusan-keputusan keluaran istana. Apalagi setelah
dilarangnya penggunaan jilbab demi membudayakan pakaian
seragam, maka gejolak antara kalangan muslim dengan
penguasa-pengusaha makin membahana. Pertama-tama adalah
berkecamuknya kekerasan aparat dalam Peristiwa Tandjung
Priok 1984. Dan setelah UU Keormasan sah, kontan pada
1985 negara menyerang kelompok Islam politik yang
dipimpin Abdullah Sungkar di Solo sampai dibubarkan secara
paksa dan dikejar ke mana-mana.
277
Jamaah diperbanyak dengan melakukan perekrutan lewat
pengajian rutin. Hanya saja, kelak tidak semua yang
mengikuti pengajian mengetahui adanya upaya perlawanan
yang sistematis oleh para penganjur gerakan kegamaan.
Komnas HAM menjelaskan, berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh: ternyata gerakan Islam politik Kelompok Warsidi
tanggal 7 Februari 1989, dihadiri juga oleh orang-orang yang
baru pertama kali mengikutinya. Mereka tidak tahu apa-apa
tentang tujuan utama pengajian. Hanya saja keikutsertaan
mendengarkan ceramah justru membuatnya menjadi korban
penyerbuan aparat militer dan pihak kepolisian. Sebagian
besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Mereka
banyak yang meninggal langsung di tempat kejadian karena
dibrondongi tembakan peluru ke sekujur badannya. Sementara
bagi yang berhasil meloloskan diri kemudian ditangkap,
ditahan, dianiaya, disiksa, bahkan diusir secara paksa dari
rumahnya:189
189
Lihat Ibid, Hlm. 174-175.
278
negara dalam berbagai tindak kejahatan dalam
peristiwa Talangsari 1989 yang diduga terlibat atau
setidak-tidaknya mengetahui adalah dari Militer,
Kepolisian dan pemerintah sipil. Bahwa dugaan
keterlibatan institusi dapat dilihat dari kesiapan sarana
dan prasarana dan tindakan aparat negara di masing-
masing institusi pada kejahatan yang terjadi.
Keterlibatan berbagai institusi tersebut dapat
menunjukkan adanya aspek kebijakan pemerintah atas
terjadinya peristiwa Talangsari 1989. Kebijakan tidak
perlu diformulasikan dan secara normatif dapat
disimpulkan di lapangan. Kebijakan negara ini bisa
pelaksanaannya melalui lembaga, personil, atau
sumber-sumber daya negara. Bahwa institusi militer
yang terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah
Komando Rayon Militer (Koramil) Way Jepara,
Koramil Jabung, Koramil Labuan Maringgai, Komando
Distrik Militer (Kodim) Metro, Kodim 0411 Lampung
Tengah, Kodim Painan Padang dan Komando Resort
Militer (Korem) 043 Garuda Hitam Lampung. Selain
itu, … [dari] Jakarta, institusi militer yang terlibat atau
setidak-tidaknya mengetahui adalah Laksusda Jaya
termasuk penjara Kramat V dan Kramat VII. Institusi
Kepolisian yang terlibat atau setidak-tidaknya
mengetahui adalah Kepolisian Sektor (Polsek) Way
Jepara, Kepolisian Resort (Polres) Metro. Institusi
pemerintahan sipil yang terlibat atau setidak-tidaknya
mengetahui adalah Pemerintah Desa Rajabasa Lama
termasuk Pemerintahan tingkat Dusun Talangsari III,
aparat Kecamatan Way Jepara. Bahwa institusi sipil
yang juga diduga terlibat atau setidak-tidaknya
mengetahui adalah Lembaga Pemasyarakat Rajabasa,
279
Lembaga Pemasyarakatan Metro, dan Panti Sosial
Lempasing.190
190
Ibid, Hlm. 180.
191
Deepa Kumar, (2012), Islam Politik; Sebuah Analisis Marxis,
Yogyakarta: Resistbook dan IndoPROGRESS, Hlm. 9.
280
dengan penelitian Deepa Kumar: ‘perkembangan krisis
ekonomi di beberapa negara yang menunjukkan metode
kapitalis untuk perkembangan nasionalis tak mampu
memberikan solusi. Kaum Islamis [Islam politik], melalui
jaringan sosial mereka yang luas mampu menawarkan solusi
‘Islami,’ dan jaringan ini makin berkembang pesat dengan
cara merekrut kalangan kelas menengah dan seksi-seksi lain
yang non-kelas’.192 Kehadirannya kemudian berhasil
mengguncang kuasa tiranis. Makanya kepemimpinan
Soeharto kala itu masuk dalam kondisi yang disebut Gramsci
sebagai ‘krisis hegemoni’ atau ‘krisis otoritas’. Penyebabnya
adalah tindakan tidak populer kelas penguasa sendiri,
sehingga meningkatkan aktivitas politik massa yang semula
mengalami pasivitas:
192
Ibid, Hlm. 27.
193
Nezar Patria & Andi Arief, Op. Cit., Hlm. 168-169.
281
dan hanya jika tak ada perubahan dalam prakondisi
superstruktur tanpa perubahan pada basis. Namun, basis tidak
memproduksi superstruktur; basis hanya memproduksi
prakondisi bagi adanya superstruktur’.194 Inilah kenapa ketika
pendapatan negara merosot dan utangnya membumbung
tinggi maka bukan hanya mengakibatkan merebaknya
pelbagai konflik, karena kemudian diikuti dengan perubahan
pelbagai kebijakan juga. Pada saat itu basis nampak
menciptakan prakondisi bagi superstruktur. Situasi krisis yang
dihadapi negara mendorong pemerintah—menggunakan
politik-hukumnya, aparatur represif negara—tampil lebih
otoritarian dalam menertibkan dan mengendalikan rakyatnya.
Tetapi kegagalannya menormalkan situasi justru memicu dan
memperluas aktivitas revolusioner dari kelas yang
sebelumnya pasif: peristiwa Tandjung Priok 1984 hingga
Talangsari 1989 ialah contohnya. Kapitalisme-neoliberalisme
yang dikembangkan Orba sejak permulaan 1980-an menjadi
faktor utama yang membesarkan aksi-aksi kalangan Islam
politik. Dalam tinjauan marxis, massa gerakan ini berasal dari
‘lumpen-proletariat’: mereka merupakan lapisan pekerja dan
rakyat miskin tapi tak menjadi bagian kelas proletariat,
sehingga tidak memiliki kesadaran kelas namun memiliki
potensi revolusioner. Franz Fanon menyatakan: ‘Jika lumpen-
proletariat tidak diorganisasikan oleh kekuatan progresif,
maka mereka akan menjadi elemen kontra-revolusioner’. 195
Kala itu lumpen-proletariat tidak diorganisir oleh kekuatan
politik berbasis kelas melainkan Islam politik. Soalnya
194
https://www.martinsuryajaya.com/post/post/masrxisme-dan-
supervenience/
195
https://indoprogress.com/2018/siapakah-lumpen-proletariat-sebuah-
diskusi-konseptual/
282
semenjak tragedi Pembunuhan Massal 1965, negara telah
membasmi kekuatan-kekuatan politik berkesadaran kelas
bahkan setelahnya kekuatan sosial ini terus-menerus dikutuk.
Itulah kenapa yang diberikan kesempatan hidup dan
berkembang hanyalah kalangan lumpen-proletariat saja.
Situasi ekonomi-politik pemuja sistem pasar bebas menambah
besar jumlahnya. Azhar Irfansyah dan Muhammad Azka
Fahriza memberi paparan singkat mengenai keadaan mereka:
283
yang cenderung ekstrim dan berbahaya. Caranya adalah
dengan menghegemoni mereka melalui tokoh-tokoh
keagamaan dan intelektual moderat pendukung rezim. Orang-
orang ini dikenal sebagai cendekiawan muslim. Mula-mula
pada 1984, pertemuan pertama di antara mereka diadakan.
Namun belum menghasilkan keputusan pembentukan
organisasi cendekiawan muslim. Kemudian lewat pertemuan
kedualah dibentuknya organisasi para cendekiawan itu.
Perjumpaan tersebut dilangsungkan di Univesitas Djuanda
Bogor, tahun 1987. Di bawah patronase Letjen (Purn)
Alamsjah Ratu Prawiranegara (Jenderal Finansial), acara temu
para cendekia mencetuskan gagasan pembentukan Ikatan
Cendekiawan Muslim. Untuk itulah dibentuklah Forum
Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKPI) di bawah
kepemimpinan alumni HMI (KAHMI): Letjen (Purn) Achmad
Tirtosudiro (Jenderal Finansial). Sejak KAHMI berhasil
mempengaruhi moral junior-juniornya di PB HMI untuk
menerima asas tunggal Pancasila, maka perbuatan-perbuatan
politik mereka semakin diridhoi Soeharto. Sehingga dalam
struktur KAHMI pun selalu melibatkan semua unsur
kekuasaan.
284
semua unsur tersebut terdapat unsur KAHMI’.197 Artinya
organisasi alumni HMI ini adalah peralatan hegemonisnya
tirani. Itulah sebabnya setelah diserapnya unsur-unsur
KAHMI oleh kekuasaan, maka alumni HMI itu menjadi
kelompok utama yang menjadi pelumas kekuasaan
hegemonik. Hanya FKPI yang diketuai Tirtosudiro tak
berhasil menghegemoni kelompok Islam politik. Buktinya,
1989 pembantaian di Talangsari meledak. Lalu di tengah
Munas KAHMI IV 1989 presiden berpidato (lihat kutipan
pidato presiden di atas): KAHMI diminta bantuannya bukan
saja dalam menghegemoni umat Islam tapi juga membngun
apa saja. Kontan, Tirtosudiro dan kawan-kawannya menjawab
permintaannya. Desember 1990 di Malang, organisasi
cendekia yang lebih besar dan luas cakupan diresmikan
berdiri: namanya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI). Di tengah hegemoni minimumnya, lembaga
kecendekiawanan inilah yang memberi bentuk di mana
kepemimpinan Soeharto menyadarkan hegemoninya pada
kesatuan ideologis elit-elit intelektual, politik, dan ekonomi.
Sejauh tentang ICMI, Dhaniel Dhakidae menjelaskannya
begini:
285
politics of inclusion dengan memperoleh posisi sekutu
dalam diskursus agama Orde Baru di mana agama
adalah kekuasaan dan menghapuskan apa saja yang
memberi kesan adanya dikotomi antara agama dan
bukan agama dari satu proses kepada proses lain. Di
sana dilibatkan unsur-unsur institusi agama, militer, dan
birokrat lainnya. Dari satu fase ke fase lainnya ICMI
tergantung pada “ya” atau “tidak” yang diberikan para
penguasa. Bukan sesuatu yang tanpa maksud bahwa di
sana disebut Jenderal-jenderal, bahwa mereka sudah
pensiun tidak menjadi soal di sini, dan para birokrat
Orde Baru lainnya mengambil prakarsa atau pendiri
ICMI…. ICMI memorak-porandakan paham bahwa
kaum cendekiawan adalah makhluk merdeka karena
sebagaian pasti dekat dengan modal, sebagaian lagi
dekat kekuasaan dan yang lainnya lagi dekat dengan
dua-duanya sekaligus. Dengan demikian bisa dipahami
mengapa ada tiga kelompok besar yang menjadi inti
organisasi cendekiawan tersebut sebagaimana
dikatakan Adam Schwarz [dalam karyanya: A Nation in
Waiting, Indonesia in the 1990s] sebagai berikut:
286
Djojonegoro dan Hartyanto Dhanutirto yang pada bulan
Maret 1993 menjadi menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan Menteri Perhubungan…. Kelompok
kedua termasuk tokoh-tokoh dan pemikir muslim
moderat yang merasa senang dengan ICMI
sebagaimana adanya; yakni, sebagai forum intelektual
di mana kaum Muslim yang memiliki perhatian bisa
berdiskusi bagaimana Islam bisa dibuat menjadi
kekuatan sosial yang lebih positif dalam Indonesia
modern dan bagaimana pengajaran Islam bisa diubah
untuk memperbaiki keadaan ekonomi kaum muslim
yang miskin. Anggota terkemuka dalamkategori ini
termasuk sarjana-sarjana Muslim seperti Nurcholish
Madjid… Emil Salim, dan Sutjipto Wirosaradjono.
Habibie bisa dibilang masuk ke dalam kelompok satu
dan dua ini … Kategori ketiga terdiri dari sebagian
besar pemimpin Islam di luar pemerintahan dengan
rencana yang lebih ambisius untuk ICMI. Mereka lebih
menyukai suatu kendaraan politik yang lebih aktif
mewakili aspirasi Muslim modernis. Lebih dari kedua
kelompok di atas, mereka lebih bertanggung jawab
terhadap ide-ide buat ICMI dan menggerakan
organisasi tersebut; akibatnya, mereka menganggap
dirinya sebagai ‘ICMI yang sesungguhnya’. Mereka
juga mewakili sayap yang lebih mendapatkanperhatian
militer dan yang ingin dirangkul Soeharto. Para anggota
terkemuka kelompok ini adalah Amien Rais, Sri
Bintang Pamungkas, Dawam Rahardjo, Amin Aziz,
Watik Pratikya, Adi Sasono, Lukman Harun, Nasir
Tamara dan Imaduddin Abdulrahim. 198
287
Pendirian organisasi cendekiawan muslim itu bukan sekedar
untuk menghegemoni kalangan Islam, tapi juga sebagai ajang
cari mukanya Orba di hadapan umat yang selama ini dihujani
kesewenang-wenangan. Kehadiran ICMI seperti sebuah
pencitraan. Penguasa ingin menampakan dirinya sebagai
pengakomodir kepentingan kaum muslimin. Padahal yang
terakomodir hanyalah orang-orang Islam yang berada di dekat
kekuasannya. Terutama aktivis HMI dengan para alumninya.
Keluarga besar himpunan yang berkarir gemilang di bawah
Soeharto bukan cuma Ahmad Tirtosudiro (mantan Kabulog
dan Dubes, Rektor Unisba 1986-1996), Abdul Gafur (anggota
DPA RI 1988-1997, Wakil Ketua MPR RI 1997-1999), Akbar
Tandjung (Menpora 1988-1993, Menteri Perumahan Rakyat
dan Pemukiman 1993-1998), Harry Azhar Aziz (penerima
pelbagai penghargaan kerjasama Orba dengan luar negeri
hingga ditempatkan jadi Pembantu Dekan/Ketua STEI Jakarta
1991-1993, politikus Golkar), dan Jusuf Kalla (konglomerat
piaraan Soeharto, mantan DPRD Sulsel, anggota MPR RI
Fraksi Golkar 1992-1998). Pada 1990-an nama-nama senior-
alumni HMI yang sukses mendapatkan maupun
mempertahankan posisinya dalam pranata kenegaraan
semakin bertambah: Syarifuddin Baharsjah diberikan jabatan
Menteri Pertanian (1993-1998); Mar’ie Muhammad diangkat
jadi Menteri Keuangan (1993-1998) lalu digantikan juniornya
Fuad Bawazier sebagai Menteri Keuangan (Mei 1998-Oktober
1998); Alala ditempatkan menjadi Gubernur Sulawesi
Tenggara (1982-1992); Beddu Amang bukan sekedar
diposisikan sebagai Menteri Urusan Pangan (1993-1996) tapi
juga diangkat Kabulog (1995-1998); Dawam Rahardjo
dipercayakan kursi Rektor Universitas 45 Bekasi (1994-
2004); Bustanil Arifin yang sebelumnya Kabulog (1978-
288
1993) kemudian dijabatkan lagi selaku Menteri Koperasi dan
UKM (1983-1993); Jimly Asshiddiqie dipasang pada Staf
Ahli Menteri Pendidikan (1993-1998) lalu dimuluskan
mendapatkan keanggotaan MPR RI 1998-1999 hingga
Asisten Wakil Presiden (1998-1999); Adi Sasono disuruh
memimpin Menteri Koperasi dan UKM (Mei 1998-Oktober
1999); Fahmi Idris diangkat menduduki Ketua DPP Golkar
(1998-2004) serta diberi posisi Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Mei 1998-Oktober 1999); Ekky Syachruddin
diberi kesempatan menjabat anggota DPR RI Fraksi Golkar
(1997-2001); Amien Rais dilancarkan mendirikan partai baru
hingga menjadi Ketum PAN (1998-2005); dan masih banyak
lagi yang nama-namanya tak sempat disebutkan.
199
Lihat Ibid, Hlm. 596.
289
1991, Gus Dur kemudian memprakarsai dan mendirikan
Forum Demokrasi (Fordem). Forum ini tak sekedar berniat
menandingi ICMI, tapi terutama memperjuangkan HAM dan
demokrasi. Fordem didirikan Gus Dur bersama segenap
aktivis bebas dari dikte-dikte penguasa. Mereka tidak cuma
berasal dari kalangan Islam namun pula kelompok agama lain,
bahkan melibatkan unsur-unsur pergerakan sekuler. Waktu
Fordem lahir segenap aktivis-aktivis itu semua bersepakat
melimpahkan jabatan Ketua Umum kepada Gus Dur.
Keberhasilan berdirinya Fordem tidak saja merupakan bukti
kendornya kekuasaan, namun sekaligus menandakan semakin
minimumnya kemampuan hegemoni rezim totaliter. Maka
setelah dilahirkan Fordem langsung menyorot kesewenang-
wenangan aparatus represif negara di Timur Leste. Karena
aktivis-aktivis dalam forum itu sudah sungat muak dengan
kesewenang-wenangan Orba di Dili. Daniel Dhakidae
menjelaskan sikap kritis mereka terbit melalui pernyataan
yang berisi kutukan dan desakan untuk mengusut kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara dan polisi:
290
menjadi citra buruk negara dan bangsa kita di hadapan
dunia internasional … .”200
200
Ibid, Hlm. 598. Tulisan dalam kurung merupakan tambahan dari penulis,
sementara cetak miring berasal dari Dhakidae sendiri.
291
mayat Gomes tidak sebatas dengan ritual pemakaman,
melainkan diiringi protes kepada penguasa. Pemerintah
Indonesia dicaci dan dikutuki. Massa bahkan membentangkan
spanduk yang bertuliskan keinginan untuk merdeka:
menenutukan nasib sendiri. Penguasa lantas murka. Aparat-
aparat bersenjatanya kemudian diperintahkan membrondongi
pembangkang dengan peluru. Jumlah korbannya ratusan
orang: terdapat 271 tewas, 382 terluka, dan 250 hilang. 201
Seno Gumira Ajidarma mengisahkan kembali tindakan biadab
tersebut—dalam Jazz, Parfum, dan Insiden—dengan amat
gamang. Lewat salah seorang tokoh di novelnya, dia
menggambarkan suasana mencekam saat kesewenang-
wenangan hingga kekerasan seksual berlangsung:
201
Lihat Roserio Dwi Aprianto Savio, (2008), “Membendung Arus Gerakan
Pro Timur Leste di Indonesia 1991-1999”, Skripsi, Fakultas Sastra Jurusan
Ilmu Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Hlm. 106-107..
292
berjatuhan semua. Tidak mungkin yang mati 19, karena
dari satu tentara saja, selama satu detik, dengan rentetan
tembakan seperti itu, sudah makan beberapa nyawa.
Apalagi ini banyak tentara dan banyak massa, tidak
mungkin hanya 19 orang tewas…. Banyak bukti lebih
dari 19. Dari orang tua yang ditinggal anaknya, ada
yang sampai lima anak yang tidak kembali. Teman-
teman kita yang mati, sudah lebih dari 19. Banyak di
antara teman-teman saya yang meninggal, tapi tidak
tercantum dalam daftar resmi…. Setelah tembarkan
antara lima sampai sepuluh menit selesai, mereka blokir
sekitar kuburan supaya orang tidak bisa lari. Ketika
mereka temukan yang masih hidup, termasuk saya,
disuruh telanjang semua, sambil mengancam,
‘Sekarang kamu semua berdoa, waktunya sudah tiba,
kamu akan mati semua!’ Saya waktu itu ditelanjangi,
kemudian dipukuli pakai kayu, terus salah satu dari
mereka mengambil bollpoint yang ada di baju saya, dan
memasukkan ballpoint tersebut ke alat kelamin saya.
Saya lihat teman di sebelah saya, kepalanya ditusuk
pakai pisau.202
293
hanya menyuntikan morvin kepada massa. Ketiga-tiganya tak
pernah mau mengerti bahwa kehidupan mustad’afin dan
dhuafa dilemahkan tanpa belas kasihan oleh modal dan
negara. Kapitalisme-neoliberal terus-menerus menggerayangi
kehidupan kongkret mereka: pasar dibebaskan sebebas-
bebasnya tapi rakyat serba diatur hingga gampang
diremukannya. Kebebasan pasar berada di tangan negara
sementara penderitaan warganya juga berasal darinya. Untuk
memastikan pasar bekerja maka negara memfasilitasi
persaingan bebas melalui deregulasi dan privatisasi apa saja.
Mula-mula dipromosikanlah kebijakan-kebijakan perpajakan
dan moneter, seperti melakukan reformasi perpajakan guna
membebasakan arus modal kaum kapitalis. Lalu Inflasi
dikontrol dengan cara membatasi subsidi, sehingga negara
pun tak bisa mengintervensi pasar yang semakin beringas.
Liberalisasi impor dan devaluasi terhadap nilai tukar mata
uang kemudian menjadi lancar. Seiring dengannya spesialisasi
pada komoditi tertentu—berdasarkan keunggulan
komparatif—semakin gencar. Di sampingnya dilakukan pula
peningkatan kompetisi di pasar domestik dan merangsang
ekspor.
294
hingga memberi ruang hadirnya aturan yang dapat
memuluskan penciptaan dan perlindungan hak-hak milik—
privatisasi. Dalam kondisi seperti inilah negara tidak segan-
segan mengkhianatati bahkan melenyapkan rakyatnya sendiri.
Demokrasi politik yang dihadirkannya bukan untuk membela
kebenaran, memperjuangkan kesetaraan, memenuhi keadilan
dan perlindungan HAM. Karena sistem demokrasi
diperuntukannya hanya buat melindungi kepentingan kelas
yang berkuasa. Itulah mengapa dalam kehidupan demokratis
yang diselubungi kapitalisme-neoliberalisme, kaum miskin
dan tertindas menjadi korban utamanya: mereka dilemahkan,
sehingga tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan ekonomi suatu negara. Greg Albo dan Carlo Vanelli
mengurainya begitu rupa:
295
praktiknya sebagai lawan dari abstraksi individualisme
radikal, neoliberalisme memperkuat ketimpangan kelas
sosial dan diferensiasi ketergantungan pada pasar
dengan mengorbankan proses-proses egalitarian dan
pengembangan demokrasi. Proyek neoliberal memang
saling terkait dengan ‘de-demokratisasi’ dan langkah-
langkah ‘otoriter’ yang tidak mungkin dipisahkan
praktiknya.203
203
Greg Albo dan Carlo Vanelli (penulis), Andre Barahamin dan Yizkia
Yoshie Polimpung (ed), (2015), Penghematan Melawan Demokrasi, (tanpa
kota): IndoPROGRESS, Hlm. 33-34.
296
merupakan persyaratan fundamental bagi akumulasi
kapital.204 Dari relasi sosial tertentu itulah lahirlah situasi
spesifik: kelas yang tidak menguasai alat produksi teralienasi
karena tenaga kerjanya disulap menjadi komoditas yang
kemudian disubtitusi oleh kelas yang berkuasa menjadi
kapital.
204
Amien Tohari, Dani Yuda Saputra, dkk, (2011), Dinamika Konflik dan
Kekerasan di Indonesia, Jakarta: Institut Titian Perdamaian, Hlm. 97.
Dalam kurung merupakan tambahan dari penulis.
297
oleh Marx dengan ‘Undang-Undang Berdarah’: aturan ini
bertujuan agar para lumpen-proletariat mau menjadi pekerja
upahan. Untuk itulah orang-orang yang tak sudi mematuhinya
dapat dihukum; mulai dari potong kuping, distempel di dada
dengan huruf S sebagai tanda budak (slave) dan huruf V yang
berarti gelandangan (vagabond), sampai dihukum mati selaku
pengkhianat bangsa. Singkat cerita, proses terciptanya
akumulasi primitif ditegaskan oleh Marx begini: ‘Sejarah
perampasan ini ditulis dalam sejarah kemanusiaan dengan
huruf darah dan api‘. Ahmad Tohari dan kawan-kawannya
meyakini bahwa akumulasi primitif akan tetap berlangsung
selama kapitalisme melakukan reproduksi untuk
mengakumulasi kapital kelas penguasa. Karena fenomena
yang dianalisis Marx pada abad 17 dan 18 bukan sekedar
penolakan eksploitasi di tempat kerja, melainkan pelbagai
bentuk perjuangan kelas dari mereka yang menolak dan
melawan pemisahan produsen dengan alat produksinya:
298
sebagai premis sejarah bagi relasi sosial kapitalis tetapi,
yang lebih, adalah kondisi dan prasyarat bagi
eksploitasi buruh oleh kapital. Relasi sosial kapital
dibangun di atas pemisahan pekerja dari sarana
produksi, dan dengan demikian akumulasi kapital
bertumpu di atas reproduksi terus-menerus pemisahan
pekerja dari alat produksinya.205
205
Ibid, Hlm. 97-98.
299
jatuh ke penguasaan Indonesia bersama Australia dan
perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitasi SDA
rakyat di Aceh dan Papua semakin berjaya di atas
perlindungan negara.
206
Lihat Anonim, (tak bertahun), Seri Studi Kasus: Kasus Keterlibatan?
Exxon Mobil di Pengadilan karena Perannya dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Aceh, International Center for Transitional Justice, tanpa
volume (tiada nomor) Hlm. 9.
300
Dari penelitian itu diberitahukan: penjualan senjata
kebanyakan dilakukan oleh aparat-aparat korup dan kadang-
kadang dijalankan oleh perusahaan yang legal. Bahkan
melalui perdagangan seperti ini kalangan serdadu yang rakus
bisa berniaga dengan GAM. Sepucuk senapan dapat dibeli
dari mereka seharga 50 juta rupiah. Patokan harga yang mahal
membuat GAM terpaksa mengumpulkan uang memakai cara
ilegal juga: menyelundupkan ganja dari Aceh ke negara-
negara tetangga—Muangthai Selatan dan Malaysia. Hanya
saja secara periodik TNI-Polri ternyata mampu menghalang-
halangi aksi penyelundupan sampai ganjanya disita. Akibat
penyitaan, keuntungan besar akhirnya diperoleh pihak
aparatus represif negara. Aditjondro berkata: ‘dari situ
muncullah lelucon yang beredar di kalangan aktivis
perdamaian di Aceh, bahwa “yang datang bawa M-16, pulang
membawa 16 M (16 milyar rupiah)’. 207 Tapi walaupun
menjadi patner bisnis ilegal serdadu-serdadu serakah, GAM
tetap harus dimusnahkan. Karena keberadaan GAM
mengancam sepak terjang modal-asing yang selama ini telah
memberikan keuntungan besar kepada pemerintahan. Apalagi
untung yang dikutip dari hasil penjualan senjata tidaklah
seberapa dibandingkankan anggaran operasi militer dari
perusahaan. Itulah mengapa dalam pembasmian GAM,
Soeharto tak segan-segan meningkatkan status Aceh menjadi
DOM dan mengerahkan ribuan pasukan tambahan. KontraS
melaporkan:
207
Dario Azzelini & Boris Kanzleiter (ed.), (2018), La Empresa Guerra,
Bisnis Perang dan Kapitalisme Global, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 244.
301
memberlakukan Operasi Militer di Aceh. Sejak itu pula
penumpasan itu dilakukan dengan berbagai cara atas
nama stabilitas keamanan demi pembangunan.
Penumpasan dilegitimasi dengan operasi militer dengan
berbagai nama sandi operasi. TNI terlibat dalam
kekerasan dan pelanggaran HAM secara sistematis
(tertutup) berupa pembunuhan, penculikan,
penangkapan sewenang-wenang tanpa disertai bukti-
bukti yang jelas, penyiksaan bahkan pemerkosaan
terhadap para anggota GAM dan warga sipil yang
dituduh sebagai anggota maupun simpatisan GAM.
Aparat keamanan juga melakukan pembakaran dan
pengrusakan rumah-rumah penduduk sebagai upaya
pemaksaan penduduk untuk mengakui keterlibatannya
dalam GAM … penerapan operasi militer ini juga dapat
dibaca sebagai usaha pemerintah untuk mengamankan
‘modal’ mereka di Aceh. Awalnya adalah sebuah
gerakan sporadis gangguan keamanan dan teror di
Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie, tempat
berbagai sumber daya alam dan industri penting
beroperasi…. [Lalu negara] memutuskan menggelar
operasi keamanan dalam negeri dengan mengirimkan
unit pasukan elite Angkatan Darat (Kopassus), dengan
nama sandi operasi “Jaring Merah”. Operasi tersebut
bukan operasi tempur melainkan operasi intelijen guna
menemukan rantainya dan operasi teritorial guna
menarik simpati dari masyarakat. Operasi Jaring Merah
dengan Komando Operasi Pelaksana adalah Komandan
Resort Militer 011 Lilawangsa yang mulai efektif sejak
tahun 1990. Operasi Militer ini semakin massif ketika
pada bulan Juli 1990, Presiden RI Soeharto
memerintahkan untuk mengerahkan 6.000 pasukan
tambahan, termasuk dua batalyon dari Kopassus
(Komando Pasukan Khusus) dan unit-unit tentara
lainya, seperti Kujang Siliwangi, Kodam VII
302
Brawijaya, Arhanud Medan, Linud Medan dan Brimob.
Setidaknya ada 7 operasi militer yang digelar selama
Aceh dalam masa Daerah Operasi Militer (DOM),
selain Operasi Jaring Merah, ada Operasi Siwa….
Struktur militer [Komando Teritorial (Koter): Komando
Resor Militer (Korem), Komando Distrik Militer
(Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), dan
Bintara Pembina Desa (Babinsa)] memungkinkan
penerapan strategi militer yang cepat di Aceh yang
mencakup pengawasan intensif, pemberlakuan jam
malam, penggeledahan rumah, dan penangkapan-
penangkapan tanpa dasar yang berskala luas. Hal ini
telah menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM oleh
TNI[-Polri] dalam tahun 1989 hingga 1998.208
208
KontraS, (2006), Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap
Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS, Hlm. 25-29. Tulisan dalam kurung
merupakan tambahan dari penulis.
303
diperkosa; dan 597 rumah penduduk dibakar.209 Dengan
didorong oleh penguasa dan pengusaha maka tindakan-
tindakan bengis tersebut berjalan lancar. Dalam melakukan
tindakan kejinya aparat-aparat itu tidak mesti takut hukuman
dan kelaparan, karena diberikan perlindungan dan pasokan
makanan serta bahan bakar buat operasi militer.
209
Lihat Kurnia Jayanti, (2013), Konflik Terbuka antara Gerakan Aceh
Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta, Al-Turas, Volume
XIX (1), Hlm. 58.
210
Lihat KontraS, Aceh Damai dengan…. Op. Cit., Hlm. 35.
211
M. Najib Azca, dkk (tim peneliti KontraS), (2004), Ketika Moncong
Senjata Ikut Berniaga; Laporan Penelitian Keterlibatan Militer dalam
Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso, Jakarta: KontraS, Hlm. 35.
304
politik Orba telah mengakibatkan penduduk berkalang
penderitaan, diselimuti kesedihan, dan terus merintih:
305
Aceh menempati 2/3 wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam hampir menyeluruh di Kabupaten Aceh
Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara,
sebagian Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Barat (5).
Faktor[-faktor] … inilah yang … [mengakibatkan]
ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat
dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru
menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan
elite Aceh. Karena Sistem sentarlistik Orde Baru telah
membuat posisi tawar-menawar yang lemah bagi
daerah dan memberikan alokasi sumber-sumber
kekuasaan yang terlalu besar ke pusat dan tidak
menempatkan daerah dalam posisi yang sejajar dalam
sistem politik. 212
212
Ibid, Hlm. 57-60. Dalam kurung merupakan tambahan dari penulis.
306
alam bersama PT Freeport di bumi Papua. Dalam merampok
emas dan tembaga di sana, Freeport berani mempekerjakan
TNI-Polri sebagai pembantunya. Sejak 1980, Orba menerima
upeti setiap tahunnya sebesar 5-7 juta dolar AS. Kemudian
diatur pula dengan Kepres No. 92/1996, bahwa Yayasan Dana
Sejahtera milik Soeharto ikut menerima jatah dari Freeport
senilai 20,3 juta dolar AS. Bahkan ketika 1996, dua ribu
pasukan tambahan berhasil dikirim ke Papua maka
perusahaan langsung membayar jasa pengamanan ini 40 juta
dolar AS.213.
213
Buka https://historia.id/politik/articles/papua-di-tangan-soeharto, dan
https://www.kompasiana.com/lagi-lagi-tanah-papua-sebagai-daerah-
operasi-militer-indonesia
214
Dario Azzelini & Boris Kanzleiter, Op. Cit., Hlm. 247.
307
Papua, kayu gaharu menjadi komoditas yang paling banyak
mengisi kantong polisi dan tentara. Konflik yang kerap timbul
di antara pencari gaharu dengan penduduk setempat tak
dihiraukannya. Aparat justru semakin berfokus mengejar
keuntungan dari kekayaan alam Papua. Itulah mengapa untuk
memperoleh untung berlimpah maka serdadu mendorong
segenap pedagang gaharu dalam membujuk pemburu gaharu
menyepakati sistem barter: gaharu ditukar seks. Pekerja seks
komersil (PSK) didatangkan TNI-Polri dari daerah sekitar atas
nama bisnis. Meski PSK yang dipekerjakan kebanyakan
mengalami HIV/AIDS perbarteran tetap digelar. Akibatnya,
pada 1990-an penyakit kelamin mendadak membuat
masyarakat Papua gempar. Soalnya barter gaharu dengan seks
mempercepat penyakit menjalar. Pertukaran komoditas tidak
saja menyebarluaskan sakit tapi amat mengeksploitasi para
pengumpul gaharu tadi. Aditjondro memapar begini:
308
sebab penyakit HIV/AIDS sudah teridentifikasi diidap
oleh pekerja seks di kota Merauke 1992, tiga tahun
kemudian di Timika, dan tahun 1998 di distrik Agats….
Kembali ke persoalan gaharu dengan pelayanan seks,
kualitas gaharu yang disetor ke pedagang pengumpul,
menjadi ukuran seks yang didapat oleh ‘pemburu
gaharu’ … dengan pelayan seks tersebut, selain
membawa resiko penyakit kelamin, secara ekonomis
juga sangat eksploitatif. Apa yang diterima laki-laki
penyetor gaharu tak ada artinya dibandingkan dengan
500 ribu sampai lima juta rupiah yang dapat diperoleh
eksportir gaharu dari Singapura dan pasaran lain di
dunia.215
215
Ibid, Hlm. 267-268.
309
kontraktor penebang pohon mati yang membuang limbahnya
di sepanjang hilir itu membayar ongkos perlindungan kepada
komplotan serdadu yang sedang bertugas. Hanya saja
pemasukan dari bisnis-bisnis kelabu barusan tetaplah tak
mampu mengalahkan keuntungan yang diberikan Freeport.
Perusahaan ini memberikan 11 juta dolar AS per tahun ke
dalam dana kolektif untuk kepentingan militer.216 Terhadap
aparat-aparat pengamannya dijamin pula pembiayaan terkait
infrastruktur, makanan dan uang makan, perumahan,
angkutan, reparasi kendaraan, membayar pengeluaran kecil
dan lain sebagainya.217 Melalui asupan tersebut negara
mengerahkan 3000-4000 personil TNI-Polri buat memuluskan
usaha perampokan SDA dari ancaman OPM.
216
Lihat Ibid, Hlm. 256-258.
217
Herman Widodo (ed), Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Jakarta: Jurnal HAM, Vol. 12(tanpa nomor), Hlm. 13.
310
Operasi Rajawali (1990-1998) Mayjen Abinowo. Sepanjang
beroperasinya militer dalam mengamankan bisnisnya di
Papua, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Jan Warinussy
memperkirakan: jumlah korbannya hampir 100.000 jiwa.
Sementara Agus Sumule melacak agak rinci sebagian kasus
pelanggaran HAM Berat TNI-Polri: pada 1977 telah dibunuh
126 orang di Asologaiman dan 148 di Wasi, lalu 1979
sebanyak 201 penduduk dibunuh lagi di Kelila-Jayawijaya,
dan sepanjang 1980-1995 ada 13 warga hilang dan 80 wanita
diperkosa di pelbagai wilayah Papua.218
218
Agus Sumule, (2005), Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi
Papua, Jakarta: Penerbit Gramedia, Hlm. 233-234.
311
dan mencari sagu kontan dianggap mengganggu kenyamanan
penebangan pohon. Dalam membatasi masuknya pemburu
dan petani ke hutan TNI-Polri menghantamnya dengan alasan
mengandung prasangka: kemungkinan mereka akan
bergabung dengan OPM sehingga mesti dihalangi. Hanya
kalau pekerja-pekerja ini berhasil masuk hutan, aparat
kemudian sering kali merampas binatang dan buah-buahan
yang didapatkannya. Kedua, Dampak Sosial-Budaya. Dengan
berpenetrasinya kepentingan Pemerintah Pusat dan pemodal
asing maka OAP—yang tergabung dalam suku-suku atau
marga-marga tertentu--kerap terkontaminasi secara budaya.
Para pendatang bukan hanya mampu menanggalkan
kebudayaan aslinya, tapi juga menyingkirkannya dari tanah-
tanah leluhurnya. Bahkan konflik antar-suku dan marga
seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin
menguasai hak ulayat mereka. Itulah mengapa adu domba
menjadi metode ampuh bagi pemodal dan penguasa dalam
menduduki tanah OAP yang kaya hutannya. Ketika konflik
pecah TNI-Polri lantas mengamankannya. Tapi kegaduhan
justru dimanfaatkannya untuk melucuti kekuasaan masyarakat
adat atas tanahnya. Mula-mula aparat kemanan—yang ada di
kampung-kampung—mencurigai penduduk, lalu membuatnya
was-was, dan tidak bebas bergerak. Inilah mengapa warga-
warga mulai merasa tidak nyaman tinggal dikampungnya
sendiri sampai akhirnya menyingkir bahkan terdepak.
312
ditimbulkannya membuat binatang berpindah dari satu hutan
ke hutan lainnya. Bahkan aktivitas perindustrian yang tak
peduli lingkungan ini memicu kelangkaan atau kepunahan
pelbagai jenis binatang di Papua. Di Boven Digoel saja,
limbah perusahaan-perusahaan telah banyak meracuni air
hingga mematikan ikan dan buaya.219 Pembangunan yang
digencarkan Soeharto bukan membawa kedamaian dan
kesejahteraan melainkan keributan dan kerusakan. Ujung-
ujungnya adalah kematian lewat pelbagai kasus kejahatan
HAM. Melaluinya Papua, Aceh dan daerah-daerah pemilik
SDA lainnya menjadi sasaran keberingasan aparat. Hegemoni
pembangunanisme yang berjiwa kapitalisme-neoliberal
memorak-morandakan sektor-sektor penting kehidupan
rakyat. Ahmad Tohari dan kawan-kawannya menjelaskan
bagaimana tragisnya nasib rakyat miskin dan tertindas di
tangan penguasa dan konglomerat:
219
Disarikan dari M. Najib Azca, dkk (tim peneliti KontraS), Ketika
Moncong Senjata Ikut Berniaga; Laporan Penelitian Keterlibatan Militer
dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso, Jakarta: KontraS.
313
yang lain, proses itu menciptakan tumpukan kekayaan
besar di segelintir orang di dalam negeri yang patuh
pada Soeharto, dan patuh pada kebijakan-kebijakan
liberal yang diterapkannya…. Pada periode 1980-an
awal, Rio Tinto, Newmont Gold Company, Newcrest
Mining Ltd, Broken Hill Proprietary Company, dan
Inco Ltd, mulai beroperasi di areal-areal tambang
strategis. Sementara itu perusahaan-perusahaan HPH
(Hak Penguasaan Hutan) milik keluarga Soeharto mulai
membuldozer bukit-bukit di Kalimantan, dan
perkebunan besar swasta selain areal PTPN yang terus
melanjutkan usahanya sejak tahun 1979 (Konversi Hak
Barat). Sementara itu, karakter otoriter yang dilakukan
oleh Orde Baru membuat mekanisme partisipasi rakyat
tidak banyak terkuak ke publik. Pada zaman Orde Baru
kasus konflik dan kekerasan itu telah banyak, tetapi
karena kontrol kuat pemerintah terhadap media massa
pada waktu itu sehingga informasi-informasi konflik di
wilayah-wilayah bersumberdaya alam pada periode
1990-an tidak terlihat kecuali itu ditampilkan dalam
wajah yang berbeda. Misalnya konflik SDA di Aceh
dan di Papua dikampanyekan sebagai gerakan separatis
[Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua
Merdeka (OPM)] yang harus dibasmi dengan kekuatan
Militer. Demonstrasi massa dianggap gerakan subversif
dan menentang Negara….220
220
Amien Tohari, Dani Yuda Saputra, dkk, (2011), Dinamika Konflik….
Op. Cit., Hlm. 119-124. Dalam kurung merupakan tambahan dari penulis.
314
sejak digulirkannya pelbagai kebijakan neoliberal—badan-
badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan tak segan-
segan memagari lahan-lahan konsesi, dan mengeluarkan
masyarakat adat dari dari wilayah tersebut. Kontan, hubungan
dan cara komunitas lokal menikmati hasil dari tanah dan alam
menjadi terputus. Penguasa dan pengusaha memutuskan
begitu mudah: melalui pemberlakuan hukum, penggunaan
kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga
penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status
kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh rakyat melainkan
kapitalis-birokrat, kapitalis-swasta dan kapitalis-asing.
Walhasil, fenomena akumulasi primitif mengakibatkan
berserakannya orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat
pada tanah dan alam: mereka hanya mengandalkan tenaga
yang dipunyainya saja, sehingga menjadi pekerja bebas.
Kondisi petani-petani kecil di desa-desa sudah begitu
mengenaskan karena kekayaan alamnya semakin terkuras.
Susahnya bertahan hidup di pedasaan kemudian mendorong
mereka pergi ke kota buat mencari kerja. Tetapi akumulasi
primitif dalam kehidupan masyarakat kapitalis juga ikut
melahirkan kantong-kantong kemiskinan di kota-kota.
315
pekera, melainkan hanya mempermulus akumulasi modal
banyak perusahaan. Bila rakyat miskin dan tertindas itu
melakukan protes terhadap segala kebijakan yang
memiskinkannya, maka akibatnya sangat fatal: gampang
dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi, hingga
mendapatkan beragam kekerasan aparatus represif negera
yang dibenarkan secara hukum. Dalam fenomena akumulasi
primitif yang merebakan permasalahan kekerasan dapat
digunakan konsep menarik dari Karl Polanyi: double
movement (gerakan ganda). Darinya diketahui terdapat dua
gerakan koinsidensi: Di satu sisi ada gerakan pasar yang
secara inheren tidak punya batasan, sehingga mengancam
eksistensi dasar masyarakat. Sedangkan di sisi lain, berdiri
gerakan sosial yang mencoba mempertahankan dirinya
dengan membuat institusi untuk wadah perlindungan
sekaligus perlawanannya. Melalui gerakan ganda inilah
Masimmo de Angelis menjelaskan kontiunitas akumulasi
primitif dalam masyarakat kapitalis. Baginya akumulasi
primitif (perampasan) juga akumulasi kapital (eksploitasi)
sama-sama meletakkan modal sebagai kekuatan sosial yang
harus mengatasi batas-batas yang menghalangi: akumulasi
kapital dengan pengeksploitasiannya pada tenaga kerja
memiliki batas-batas kuantitatif; sedangkan akumulasi
primitif yang hadir merampas kekayaan-kekayaan alam
mempunyai batas-batas kualitatif. Namun kedua akumulasi
tersebut sama-sama mengharuskan modal mengatasi dua tipe
limits (batas)—the limits of frontier (batas-batas perbatasan)
dan the limits as political recomposition (batas sebagai
rekomposisi politik):
316
The Limits of Frontier adalah batasan yang membelah
wilayah yang sudah dikolonisasi dan wilayah yang
belum dan bisa dikolonisasi. Ini adalah identifikasi
ruang sosial yang relatif masih belum dikolonisasi oleh
relasi produksi kapitalis. Identifikasi ruang seperti ini
berujung pada akumulasi primitif, dengan cara
menjadikan ruang ini sebagai horizon bagi kebijakan
dan tindakan yang memisahkan manusia dari sarana
penghidupan mereka. Adapun the limits as political
recomposition adalah limit yang diidentifikasi oleh
kekuatan sosial yang melawan modal. Cara yang
dilakukan gerakan yang membatasi/menggangu proses
produksi kapitalis ini adalah dengan membangun
pertahanan sosial terhadap dorongan tak berujung
komodifikasi dan akumulasi, dengan cara membuat
ruang yang tidak terkoneksi dengan logika pasar.
Sehingga, kapital dihadapkan dengan kebutuhan dan
problem strategis untuk membongkar penghalang ini.
Kapital itu encloses [tertutup—digunakan untuk
kepentingan pribadi, bukan kepentingan bersama].
Perlawanan, penolakan yang sering terjadi di seputar
masalah sumberdaya alam yang dilancarkan oleh
masyarakat, dan sering kali berbentuk konflik. Konflik
ini bisa dipandang sebagai pertarungan di garis batas
antara pasar yang melakukan perluasan cengkraman
dengan kekuatan rakyat dalam mempertahankan ruang
hidup yang selama ini relatif belum terpasarkan. Dan
perlawanan atau penolakan itu sebenarnya adalah
counter-enclosure [menghadang perampasan oleh para
kapitalis].221
221
Ibid, Hlm. 99-100. Tulisan dalam kurung dari penulis.
317
accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara
perampasan) yang cakupannya begitu luas. Proses terciptanya
akumulasi tersebut ditekankannya melewati: ‘produksi ruang,
organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru
dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam
cara perolehan sumberdaya baru yang jauh lebih murah,
pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari
dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi
terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan
sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya
aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi
penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja’. Dalam
karyanya—Imperialisme Baru, Genealogi dan Kapitalisme
Kontemporer—Harvey menampilkan model terbaru dari
kebuasan kapitalisme. Ia menyebutnya sebagai ‘ujung tombak
akumulasi dengan cara perampasan’: yakni seperti aset-aset
yang dipegang oleh negara atau dikelola secara bersama oleh
penduduk dilepaskan dengan pelepasan hak secara paksa atau
sukarela ke pasar; lalu ketika modal-modal yang berkelebihan
itu sanggup berinvestasi maka akan memperbaharui dan
berspekulasi dengan menggunakan aset-aset tersebut: ‘apa
yang dilakukan melalui accumulation by disposession
sesungguhnya adalah melepaskan serangkaian aset (termasuk
tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam
banyak hal sungguh tanpa biaya). Modal yang telah
terakumulasi secara berlebihan dapat dipakai untuk merampas
rangkaian aset tersebut dan segera memasukkannya ke dalam
suatu usaha baru pelipatgandaan keuntungan’. Sementara
wujud-wujud mutakhir akumulasi dengan cara perampasan di
zaman neoliberal ini berlangsung melalui: proses privatisasi
badan-badan usaha milik negara dan publik; komodifikasi
318
tanah dan SDA lain; finansialisasi yang dilakukan berbagai
macam badan keuangan internasional dan nasional; kebijakan
mengatasi krisis-krisis finansial, ekonomi, politik, sosial,
bahkan bencana alam; hingga berbagai bentuk privatisasi
asset milik negara.222
222
Lihat David Harvey, (2010), Imperialisme Baru; Genealogi dan Logika
Kapitalisme Kontemporer, Yogyakarta: Resist Book. Hlm. 149-158.
319
mengatasnamakan pembangunan. Bersama cita-cita inilah
Orba mengajak para cendikiawan muslim piaraannya untuk
semakin solid dalam mendukung pelbagai kebijakan
pembangunannya. Meski kejahatan HAM menyelimuti
pelbagai pembangunan, Soeharto tetap mencoba menyatukan
pikiran dengan aliansi hegemoniknya. Dalam sebuah kegiatan
silaturahmi yang diadakan HMI-KAHMI pada 1994, presiden
mengutus Panglima ABRI Feisal Tandjung untuk
menyampaikan pesan naifnya:
223
Abdul Hafidz, dkk (ed), HMI dan KAHMI Menyongsong… Op. Cit.,
Hlm. 124-127.
320
Ideologi pembangunanisme yang dielu-elukannya telah
memutus urat malu negara. Atas nama pembangunan Orba
tidak hanya menggelar operasi-operasi militer di Timor Leste,
Aceh dan Papua, tapi juga tak tanggung-tanggung menambah
utang luar negerinya. Bisnis-bisnis keamanan yang dilakukan
dalam operasi-operasi militernya enggan cukup memenuhi
kebutuhan pembangunannya. Soalnya keuntungan-
keuntungan dari bisnis tersebut hanya mengalir ke kantong
keluarga istana dan kroni-kroninya. Maka sepanjang 1992-
1996 digencarkanlah peminjaman dana-dana lembaga donor
internasional demi membiayainya negara untuk membangun
apa saja. Itulah mengapa jumlah utang kemudian melambung
ke angkasa. Pinjaman terbanyak didapatkannya dari fasilitas
kredit ekspor yang disediakan ECA (Export Credit Agencies
and Investment Insurance Agencies). Lembaga donor itu
merupakan badan milik pemerintah di negara-negara kapitalis
maju yang berperan merealisasikan berbagai proyek investasi
dan infrastruktur berskala besar di negara-negara berkembang.
Bonnie Setiawan memberitahu, ECA memberikan asuransi
risiko politik apabila ada “jaminan balik” (counter guarantee)
dari pemerintah Indonesia. Pemerintah diwajibkan untuk
menjamin keamanan politik dan membayar kembali investasi
yang sudah dikeluarkan apabila proyek gagal akibat situasi
politik di negaranya. Inilah kenapa jaminan yang diberikan
justru membawa angin segar buat proyek antar-swasta, karena
jika pemerintah gagal menciptakan stabilitas politik maka
risiko hutang swasta bisa menjadi hutang negara.224
224
Lihat sejelas-jelasnya dalam Boonie Setiawan, Op. Cit., Hlm. 9.
321
Bonnie Setiawan menganggap cara kerja ECA itu mirip
‘mafia’, karena di negara asalnya tidak dapat dikontrol
parlemen, tak transparan, dan enggan membuka informasi
kepada publik mengenai proyek-proyeknya. Kala Soeharto
bertakhta ada sekitar 33 proyek pembangunan dibiayai dengan
dana-dana bantuan kapitalis-global: ECA. Proyek tersebut
kebanyakan adalah mega-proyek konglomerat, kroni, dan
anak-anak penguasa. Semua proyek mereka berdiri di atas
kubangan utang, perampasan lahan, serta darah dan air rakyat;
tapi ICMI dan KAHMI tak pernah mempersoalkannya.
Alumni-alumni HMI sepertinya sudah kehilangan keberanian
dalam menyeruakan kebenaran. Soeharto memang telah
berhasil membuat mereka kehilangan keberanian.
Pembangunan melulu dipandangnya dengan riang-gembira.
Bahkan bapak pembangunan selalu dipuja-puja. Di mata
KAHMI, Soeharto begitu sempurna. Itulah sebabnya para
senior-alumni ini kerap kali mempengarungi moralitas junior-
anggota HMI untuk berpandangan sama dengan mereka.
Moralitas yang disuntikannya ke PB HMI bahkan telah
mengakibatkan acara-acara HMI terbuka akan kepentingan
istana. Dalam pembukaan Kongres HMI ke-20 (21 Januari
1995) dan Dies Natalis HMI ke-50 (20 Maret 1997), Soeharto
meminta agar HMI tak henti-henti mendukung pembangunan
meski harus menyuntik rakyat miskin dan tertindas dengan
candu penenang. Pidatonya gamblang: ‘HMI hendak ikut
memberi perasaan tentram di hati masyarakat untuk mencegah
kemungkinan terjadinya gejolak sosial, dengan segala dampak
merugikan kepentingan bersama [pembangunan]’.225 Padahal
225
Abdul Hafidz, dkk (ed), HMI dan KAHMI Menyongsong… Op. Cit.,
322
proyek-proyek pembangunnya tidak saja menambah besar
jumlah utang negara yang ditanggung oleh rakyat, melainkan
pula memunculkan persoalan korupsi. Bonnie menjelaskannya
begini:
Hlm. 6.
323
mega-proyek infrastruktur lewat pembiayaan bilateral
maupun multilateral. ECA juga aman bagi TNC, karena
akan digaransi oleh pemerintah. Artinya rakyat juga
yang harus membayar hutangnya.226
226
Ibid, Hlm. 10. Tambahan cetak miring dalam kurung itu dari penulis,
yang diambil dari temuan Bonnie sendiri.
227
Lihat Abdullah Hafidz, dkk (ed), Op., Cit. Hlm. 150.
324
Lalu pada 20 Februari 1996, Majelis Nasional (MN) KAHMI
melaksanakan Konsolidasi Nasional KAHMI Wilayah se-
Indonesia di Jakarta. Urgensinya agar kesatuan dan persatuan
seluruh elemen masyarakat tetap berada di bawah kendali
penguasa. Pidato tentang ini disampaikan oleh mantan
Kosospol ABRI Syarwan Hamid. Dia menjadi pembicara
kunci dalam seminar yang berlangsung 21-22 Agustus 1996:
di dalam bahasannya tercuat permintaan supaya kerjasama
yang antara HMI-KAHMI dan ABRI harus dijaga optimal. 228
Berkat pertemuan tersebut maka banyak sekali Majelis
Wilayah (MW) KAHMI yang kemudian berusaha
melanggengkan status quo dengan kebulatan tekad. Salah
satunya datang dari MW KAHMI Jatim: 21 Agustus 1996
mereka melaksanakan seminar berjudul ‘Orde Baru dan Visi
Masa Depan’ yang mengundang pembicara seperti R. Hartono
sebagai mantan KSAD.
228
Lihat ceramah Ketua Presidium KAHMI Beddu Amang dalam HUT
XXX dan reuni KAHMI Wilayah Sulawesi Selatan di Ujung Pandang, 22
September 1996 dalam Abdullah Hafidz, dkk (ed), Op. Cit., Hlm. 150.
Kemudian renungkanlah pidato mantan Kosospol ABRI Syarwan Hamid,
yang berjudul ‘Tantangan Persatuan dan Kesatuan Bangsa’ dalam Abdullah
Hafidz, dkk (ed), Op., Cit. Hlm. 142-145.
325
secara global’.229 Dengan sikap seperti itulah alumni HMI
yang menjabat pengurus ICMI dan menjadi bagian birokrasi
membela kekuasaan tirani. Contoh dari senior-alumninya
inilah yang diikuti banyak sekali juniornya yang masih
menjadi anggota sekaligus pengurus HMI. Walhasil, kawanan
intelektual—HMI-KAHMI dan ICMI—melempem di tangan
hegemoni pembangunanisme Orba. Demi cita-cita persatuan
dan kesatuan, maka ketidakadilan dan pembunuhan oleh
negara—yang terpampang lewat kebuasan TNI-Polri tiap kali
operasi militer—tak pernah memicu ketiganya angkat bicara.
Seakan kehidupan adil dan demokratis enggan mau
diperjuangkan oleh mereka. Lembaga-lembaga ini hanya
tahunya membangun, membangun, dan membangun saja.
Tanpa sedikitpun mempersoalkan pembangunan yang
dilakukan melalui akumulasi dengan cara perampasan. Itulah
mengapa kewesewenang-wenangan, kekerasan, penangkapan,
penyiksaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemerkosaan,
hingga pelbagai bisnis kelabu di DOM tidak sampai mengetuk
rasa kemanusiaannya. Banyaknya alumni HMI dalam pranata
kenegaraan berimplikasi pada pudarnya keberanian melawan
penguasa. Mereka menjadi bagian dari kalangan yang
mengamini penindasan kapitalisme-neoliberal dengan cara
statis. Karena bungkamnya HMI maupun KAHMI secara
kelembagaan tidak bisa diharapkan untuk menahan langkah
senior-alumninya—di kursi eksekutif maupun legislatif—
yang membidani lahirnya pelbagai kebijakan yang menindas.
229
Ibid. Hlm. 149.
326
Golkar. Sejak diadopsinya sistem kapitalisme-neoliberal
kebijakan-kebijakan pemerintah sepenuhnya dikendalikan
pasar. Setelah dianutnya kebijakan neoliberal maka dengan
mudahnya pasar mengarahkan Indonesia menjadi anggota
World Trade Organization (WTO). Itulah mengapa pada
1995, Pemerintah Orba meratifikasi semua perjanjian-
perjanjian perdagangan multilateral ke dalam UU No. 7 tahun
1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia. Perjanjian ini mengatur tata-
perdagangan barang, jasa, dan Trade Related Intellectual
Property Rights (TRIPs) atau hak atas kepemilikan intelektual
terkait perdagangan. Melaluinyalah di pertengahan 1990-an
kebijakan-kebijakan mengenai HAKI dibuat berdasarkan
perjanjian dalam WTO: TRIPs. Isinya mengharuskan negara
menciptakan peraturan yang memberikan hak istimewa bagi
individu atau perusahaan atas karya ciptanya; baik yang
berbentuk Paten, Merk, Hak Cipta, Sirkuit Terpadu, Rahasia
Dagang, maupun Indikasi Geografis. Lewat seabrek aturan
yang berdasarkan WTO/TRIPs itulah kekayaan intelektual
milik masyarakat-komunitas kemudian menjadi leluasa
dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing maupun
individu-individu berduit serta para peneliti borjuis.
Perampokannya begitu gampang: hanya sekedar merubah
proses dan produknya saja lalu seketika HAKI rakyat bisa
dirampas. Tindakan demikian disebut sebagai biopiracy
(pembajakan hayati). Pembajakan paling mengerikan
dilakukan perusahaan kosmetik besar asal Jepang: Shiseido.
Perusahaan ini mematenkan kosmetik yang berasal dari
berbagai bahan rempah di Indonesia: kayu rapet, kemukus,
327
lempuyang, pelantas, pulowaras, diluwih, cabe jawa,
brotowali, kayu legi, dan bunga cangkok. 230
230
Lihat Bonnie Setiawan, Op. Cit., Hlm. 10.
231
Ibid. Hlm. 11.
328
berujung dirampasnya lahan-lahan rakyat—oleh penguasa dan
pengusaha—untuk ditanami benih paten TNC Bioteknologi.
232
Lihat Ibid. Hlm. 8.
329
Sebuah kasus di Depok, warga dikenakan biaya Rp
50.000, sementara kwitansi dari BPN hanya tertera Rp
11.500. Bahkan hasil analisis dari Bank Dunia sendiri
berjudul “The Social Assessment of the Land
Certification Program: The Indonesia Land
Administration Project”, LAP I mempunyai banyak
masalah, diantaranya adalah: proyek tersebut tidak
sustainable, karena 62% dari Tim Ajudikasi Tanah
telah bubar sesudah proyek selesai. Selain itu di Jawa
ada jutaan hektar tanah yang merupakan “residual
claims”, yaitu tanah yang diambil secara paksa dari
rakyat pada zaman Orde Baru. Masalah “residual
claims” ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu,
sebelum ada proses sertifikasi. LAP I juga mempunyai
dampak negatif terhadap kaum perempuan, karena
nama-nama perempuan tidak dimasukkan di dalam
sertifikat tanah. Sementara itu BPN berkilah mengenai
beban hutang. Menurutnya pembayaran utang akibat
program LAP ini akan diambil dari pemasukan UU
PHTB (Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), di
mana ditentukan setiap transaksi tanah atau bangunan
senilai di atas Rp 30 juta sejak Januari 1998 akan
dikenai pajak 5%. Dengan demikian, rakyat kembali
yang akan dibebankan pembayaran utang. Secara
keseluruhan, LAP akan meliberalisasi pertanahan di
Indonesia, karena tanah kini dijadikan obyek komoditas
(barang dagangan). Dampaknya, tanah akan dijadikan
obyek penguasaan pemodal besar dan TNC, dengan
legalitas yang dijamin. 233
233
Ibid.
330
yang disediakan di sejumlah lokasi, hingga konflik sosial
yang muncul di mana-mana. Konflik soal tanah tak cuma
berlangsung mulai dari penerapan kebijakan nasionalisme
ekonomi sampai neoliberalisme oleh Soeharto karena
diwariskan lagi ke pemerintahan sesudahnya. Tercatat dalam
database KPA bahwa sepanjang 1970-2001 telah terjadi
1.753 konflik agraria struktural. Di dalamnya ada 10 jenis
konflik yang cukup signifikan: pembangunan perkebunan
skala besar (19,6%); pembangunan fasilitas umum di
perkotaan (13,9%); pembangunan perumahan mewah dan
kota-kota baru (13,2%), pembangunan hutan produksi (8,0%);
pembangunan pabrik dan kawasan industri (6,6%);
pembangunan bendungan dan proyek pengairan (4,4%);
pembangunan turisme dan hotel (4,2%); pertambangan
(3,4%); pembangunan fasilitas militer (2,7); dan penetapan
daerah konservasi dan hutan lindung (2,5%).234 Dianto
Bachriadi dan Gunawan Wiradi menyatakan bahwa dalam
data tersebut tidak kurang dari 10,5 juta hektar tanah
disengketakan bersama lebih dari 1 juta rumah tangga sebagai
korban. Lalu ditambahkannya dengan yang dipelajari Anton
Lucas (1992): dari sembilan konflik agrarian struktural di
berbagai wilayah di Jawa, sekitar 89.500 rumah tangga
dipaksa pindah dan 480 rumah dibakar untuk mengusir
mereka. Bahkan keduanya menunjukan hasil penelitian
Endang Suhendar (1994): selama periode 1988-1991 terdapat
sekitar 15.000 petani penggarap di Jawa Barat dipaksa keluar
dari tanah garapannya, karena tanahnya dinyatakan sebagai
234
Lihat Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, (2011), Enam Dekade
Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Bandung:
Agrarian Resource Centre (ARC) bekerjasama dengan Bina Desa &
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Hlm. 11.
331
tanah negara yang hendak digunakan untuk tujuan
membangun apa saja:
235
Ibid.
332
Urban Water Supply Sector Policy Framework (Kerangka
Kebijakan untuk Sektor Air di Perkotaan), Bank Dunia
merekomendasikan agar Perusahaan Air Minum (PAM)
Jaya—milik Pemda DKI—diswastakan. Tujuannya untuk
meringankan beban utang negara. Karena dengan menyetujui
privatisasi itulah pemerintah akan diberikan pinjaman sebesar
Rp 2,4 triliun untuk pengembangan Jakarta, termasuk di
dalamnya untuk pembiayaan pengelolaan air minumnya.
Sepakat pada tawaran itu maka selanjutnya presiden
mengeluarkan instruksinya. Dengannya Soeharto bukan saja
langsung mengalihkan pengelolaan usaha air minum di
Jakarta dan sekitarnya kepada swasta. Karena di dalam
prosesnya juga berlangsung KKN dari kalangan istana dan
kroninya. Walau begitu penguasaan atas air tersebut akhirnya
berada di tangan PT Kekarpola Airindo milik Sigit
Harjojudanto (putra kedua Soeharto) dan Bambang
Trihatmojo (putra ketiga Soeharto) yang menggandeng
perusahaan air Inggris, Thames Water International (TWI);
dan oleh PT Garuda Dipta Semesta milik Anthony Salim yang
menggandeng perusahaan air dari Perancis, Lyonnaise des
Eaux (LDE).236
236
Bonnie Setiawan, Op. Cit., Hlm. 9.
333
37.000 TNC/MNC di dunia. 90% dari mereka berpusat di
negara maju dengan 200.000 cabangnya yang tersebar di
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam
pertengahan 90-an ini TNC/MNC telah memegang 70%
perdagangan dunia dan memiliki 90% dari paten teknologi
dan produksi seluruh dunia—lagi-lagi termasuk Indonesia.
Lewat keuntungan yang diperolehnya dari kerjasamanya
dengan negara-negara berkembang, maka tepat 1997 jumlah
TNC/MNC kemudian meningkat pesat menjadi 53.607.
Sepanjag 1980-1990-an kekayaannya pula ikut meroket:
mulai dari 1,9 triliun dolar AS (1982), hingga 12,6 triliun
dolar AS (1997).237 Pintu masuk mereka untuk menjerat
negara-negara dunia ketiga adalah melalui Bank Dunia. Tiap
tahunnya WB dan bagian-bagian regionalnya seperti Asian
Development Bank (ADB), dan African Development Bank
(AfDB), dan lain-lain memberikan pinjaman lunak kepada
negara-negara dunia ketiga sekitar 45 trilIun dolar AS. Bank-
bank itulah yang biasa disebut sebagai Bank Pembangunan
Multilateral.238 Dengannya TNC/MNC mudah sekali menjerat
negara peminjam dananya melalui: kontrak-kontrak antara
Bank Pembangunan Multilateral, TNC/MNC sebagai donor,
dan negara dunia ketiga; pembangunan infrastruktur nasional;
dan pengaturan kebijakan politik dan ekonomi negara resipien
(penerima).
237
Lihat Anonim, “Di Bawah Bayang-bayang Kapitalisme Global”,
Komunitas Bambu Ganesha-10 Institut Teknologi Bandung, 28 Oktober
2001, Hlm. 25-26.
238
Lihat Ibid, Hlm. 26.
334
berlangsungnya pelbagai operasi militer di pelbagai daerah
yang memiliki kekayaan alam berlimpah, tapi juga
menimbulkan seabrek permasalahan HAM. Selain rakyat-
pekerja-tani di Aceh dan Papua, buruh adalah termasuk kelas
pekerja yang menjadi korban utamanya. Sistem kerja yang
berbasis efisiensi dan efektivitas menjadikan buruh di pabrik-
pabrik TNC/MNC menderita. Permasalah perburuhan menjadi
masalah serius semasa Orba. Eksploitasi terhadap buruh-
buruh sepatu Nike, Reebok, dan celana Levis di kawasan
industri Tangerang adalah contohnya. Di situ buruh bekerja
enam hari seminggu—sepuluh jam perhari—di ruangan yang
amat pengap karena sedikit ventilasinya. Tiap harinya mereka
digaji Rp 2.600 atau sekitar 1,28 dolar AS, sehingga dalam
sebulan hanya mendapatkan 39 dolar AS. Gaji yang diterima
oleh pekerja-pekerja itu membuat siapa saja memelas jika
dibanding besarnya harga sepasang sepatu Reebok yang dijual
di Amerika: 110 dolar AS.239 Dalam tulisan Soegiri DS dan
Edi Cahyono, kebijakan upah minimum Orba memang tidak
sedikitpun berpihak pada kelas pekerja. Laporan Warner
International Management Consultants menyebutkan bahwa
di antara 50 negara yang dievaluasi, pada tahun 1988 upah
tenaga kerja Indonesia per jam US$ 0,22 dan di 1987
menurun menjadi US$ 0,20/jam. Gaji ini merupakan yang
terendah dari 49 negara lainnya. Sedangkan upah tertinggi
terdapat di Swiss, US$ 17,15/jam; kemudian Belanda, US$
15,62/jam; selanjutnya Jepang, US$ 14,93/jam; lalu Jerman
Barat, US$ 14,71/jam; dan AS, US$ 9,42/jam.
239
Lihat Ibid. Hlm. 34-35.
335
Sedangkan di negara berkembang seperti Indonesia upah
buruh sangat rendah. Namun biaya kebutuhan hidup terus
merayap naik. Ketika di pertengahan 90-an perekonomian
mulai tak stabil karena fluktuasi rupiah terhadap dolar AS
maupun yen Jepang, maka kenaikan harga sembako semakin
memuncak. Meski demikian pemerintah tak henti-hentinya
menarik investasi asing dengan tetap memasang iming-iming:
harga buruh murah. Kelas pekerja dijadikan logika
keunggulan komparatif oleh pemerintah. Tanpa sedikitpun
upaya menyiapkan keunggulan komparatif selain buruh.240
Dalam keadaan itu pemerintah kemudian berusaha menjerat
dan melemahkan buruh dengan terus-menerus merawat
doktrin busuknya: Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP).
HPP digunakan untuk mengatur hubungan antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan jasa: buruh pemodal dan
penguasa. Ada tiga prinsip dasar HPP: (1) merasa ikut
memiliki; (2) ikut mempertahankan dan memajukan; dan (3)
keberanian untuk mawas diri. Ketiga prinsip ini disuntikan
kepada para pekerja melalui Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FBSI). Organisasi ini sudah sejak berdirinya pada
20 Februari 1973 langsung menjadi alat suntik prinsip-prinsip
HPP. Lalu mulai 1985 lembaga ini diubah namanya menjadi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Meski nama
berubah tapi perannya tak ubah-ubahnya. Keberadaan
FBSI/SPSI justru tak menuntaskan permasalahan yang
dihadapi kelas pekerja. Dengan sikap demikian buruh-buruh
begitu rentan akan siksa. Karena mereka bukan sekedar tak
terlindung dari tindakan pengeksploitasian di pabrik-pabrik,
240
Lihat Soegiri DS dan Edi Cahyono, (tak bertahun), Gerakan Serikat
Buruh; Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, (tanpa kota):
Hasta Mitra, Hlm. 41-42.
336
tapi juga tidak mau dibantu ketika mencoba angkat bicara
terkait penderitaannya. Itulah mengapa ketika penguasa dan
pengusaha menghadapi demonstrasi buruh dengan kekerasan
hingga upaya pembunuhan, FBSI/SPSI sama sekali enggan
memberikan perlindungan dan pembelaan kepada pekerja.
Walhasil, negara leluasa menjagal buruh menggunakan
aparat-aparat represifnya dan mengaburkan siapa penjagalnya.
Soegiri dan Cahyono menjelaskannya begitu rupa:
337
berulang kepada Marsinah. Teror dalam hubungan
industrial. Bila di Sumatera Timur teror dilakukan oleh
pihak pengusaha (sementara negara tutup mata); di
jaman Orba, negara menggunakan aparat militernya—
kalau dipersoalkan oleh pihak lain, maka kasus
dipersempit dan bukan tanggung-jawab lembaga militer
namun ‘oknum’ militer—melakukan teror.241
241
Ibid. Hlm. 39-40.
242
Lihat Alex Supartono, (1991), Marsinah; Campur Tangan Militer dan
Politik Perburuhan Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesaia (YLBHI), Hlm. 3-4.
338
aparatus represif negara. Serdadu bukan saja meneror—dan
mengambil peran pemilik perusahaan dalam mem-PHK—
mereka, melainkan pula melenyapkan Marsinah. Selama
pemerintahan Soeharto TNI-Polri memang begitu kentara
melindungi perusahaan yang mampu membayarnya.
243
Lihat Soegiri DS dan Edi Cahyono, Op. Cit., Hlm. 41.
339
berikut: 78 kasus (1985); 73 kasus (1986); 39 kasus (1988);
19 kasus (1989); 61 kasus (1990); 100 kasus (1991); 251
kasus (1992); 300 kasus (1993); dan 1.350 kasus (1994). 244
Mula-mula mogok mereka berjalan tanpa adanya organisasi
yang independen dalam mengoptimalkan pengorganisiran dan
pengordinasian gerakannya. FBSI/SPSI tidak bisa diharapkan
untuk melakukannya, karena lembaga ini berada di bawah
naungan Orba. Maka pada November 1990 dibuatlah Serikat
Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM-SK) oleh aktivis-aktivis
buruh bersama pelbagai Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang peduli terhadap nasib kelas pekerja. Namun
tekanan pemerintah lama-lama menimbulkan konflik internal
sehingga SBM-SK tak berusia lama. Lalu untuk mewadahi
perjuangan buruh, maka tepat 25 April 1992 dibentuklah
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Muchtar Pakpahan,
Gus Dur, Rachmawati Soekarno Putri, Sabam Sirat, dan
Sukowaluyo Mintohardjo menjadi orang-orang yang
memprakarsainya. Dengan munculnya serikat ini pemogokan-
pemogokan kelas pekerja bertambah intens dan terus meluas.
Kemudian pelbagai organisasi buruh independen lainnya juga
didirikan guna ikut memperjuangkan kehidupan yang
demokratis. Di antaranya terdapat Serikat Buruh Sejati Bogor
(SBSB) dan Serikat Buruh Tangerang (SBT). Kelak,
organisasi-organisasi buruh itu menyatukan gerakannya ke
dalam Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang
selanjutnya berubah nama menjadi Front Nasional Perjuangan
Buruh Indonesia (FNPBI).
244
Ibid, Hlm. 43.
340
PSBI/FNPBI merupakan front perjuangan yang enggan cuma
melibatkan rakyat-pekerja tapi pula mahasiswa. Front ini
soalnya dibentuk oleh aktivis-aktivis (mahasiswa) kiri yang
tergabung dalam Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).
Melalui PPBI/FNPBI mahasiswa-rakyat-pekerja bersepakat
menerbitkan buletin Workers Banner (Bendera Buruh)
sebagai alat propaganda dalam menggugah kesadaran hingga
mengorganisir perlawan terhadap Orba dengan segenap ABG-
nya. Lewat buletin itulah pembelejetan-pembelejetan bawah
tanah terus-menerus diarahkan menghantam kelas penguasa.
Karena kebijakan-kebijakan neoliberal sudah sangat menyiksa
kaum miskin dan tertindas. Rakyat saat itu bukan saja terus-
menerus dieksploitasi tenaga kerjanya tapi terutama sama
sekali tak dibantu oleh negara. Pada tahun 90-an PT Tanjung
Enim Lestari (TEL) di Sumatera Selatan—yang dibiayai oleh
TNC/MNC asal Amerika, Jepang, dan Eropa—begitu bebas
mendatangkan tenaga-tenaga kerja teknis dari luar negeri
sementara masyarakat setempat tak diserap tenaganya. Itulah
mengapa derita tak cuma dirasakan rakyat-pekerja namun
pula kaum miskin kota dan rakyat-pengaggur. Di mereka,
negara juga memperdaya mahasiswa secara vulgar. Bank
Dunia melalui proyek-proyek IBRD di sektor pendidikan
menginvestasikan kepada Orba dana sebesar 1032,3 juta dolar
AS. Dana sebesar ini diberikan tidak cuma-cuma, karena
pemerintah harus membalasnya terutama dengan membelokan
orientasi pendidikan dari sekolah dasar hingga kampus.
341
pendidikannya: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan
tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet
dan online degree program (Mode I); (2) Consumption
abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang
paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar
negeri (Mode II); (3) Commercial presence, atau kehadiran
perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership,
subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi
lokal (Mode III); dan (4) Presence of natural persons, dosen
atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal
(Mode IV). 245 Tujuan utama dari empat mode tersebut adalah
untuk meriuhkan ekspor jasa-jasa pendidikan dan pelatihan
dari negara maju ke negara-negara berkembang. Aktivitas
eksportir sepenuhnya berada di bawah kendali TNC/MNC
yang berada di balik WB. Para kapitalis internasional ini telah
berhasil membuat pendidikan yang dikelola pemerintahan
Soeharto jadi begitu mengenaskan: lulusan perguruan tinggi
gampang beroleh kerja tapi mesti melewati penataran dari
modal dan kekuasaan.Pertautan penguasa dan pengusaha
memaksa lembaga pendidikan membubuhkan kerjasama
dengan TNC/MNC. Karena itulah kampus-kampus kemudian
membuka Career Development Centre (CDC).
245
Prof. Dr. Sofian Effendi dalam GATS dan Liberalisasi Pendidikan, Hlm.
6, buka artikelnya di https://sofian.staff.ugm.ac.id
342
dengan segala aturan-aturan yang berlaku di perusahaan-
perusahaan pencari tenaga kerja. Mereka diberikan seminar
dan training sesuai kebutuhan pasar yang mencarinya.
Tujuannya bukan hanya menghasilkan mahasiswa yang
mampu bersaing di dunia kerja, melainkan terutama
menghemat pengeluaran dalam mendapatkan tenaga kerja
terdidik-terlatih. Sewaktu dekade 90-an bergulir, Orba
mewajibkan ITB, UGM dan Universitas Trisakti menyalurkan
sarjana-sarjananya ke perusahaan-perusahaan pencari buruh
murah. Perkembangan kapitalisme yang begitu rupa tak hanya
merampas SDA dan tanah-tanah petani serta mengeksploitasi
tenaga kerja buruh di pabrik-pabrik, tapi juga menyulap
kampus menjadi pusat tenaga kerja murah. Dalam keadaan
inilah Soeharto sukses menempatkan pendidikan sebagai
aparatus ideologis untuk mereproduksi tenaga-tenaga kerja
terampil dan melanggengkan tatanan kapitalis. Louis
Althusser memaparkannya penuh antusias dan jelas:
343
produksi: oleh sistem pendidikan kapitalis, serta oleh
peristiwa- peristiwa dan lembaga-lembaga lain….
Mereka [pelajar-mahasiswa] menempuh jarak yang
berbeda-beda dalam studi mereka, tetapi bagaimanapun
juga, mereka belajar membaca, menulis dan
menambahkan—yaitu, sejumlah teknik, dan juga
sejumlah hal lainnya, termasuk elemen-elemen (yang
mungkin bersifat kasar atau sebaliknya, sempurna)
’ilmu pengetahuan’ atau ’budaya kesusasteraan,’ yang
memiliki manfaat langsung dalam pekerjaan yang
berbeda-beda dalam produksi (satu petunjuk untuk
pekerja kasar, satu lagi untuk teknisi, yang ketiga untuk
insinyur, yang terakhir untuk manajemen puncak, dsb.).
Jadi, mereka mempelajari pengetahuan-tentang-
bagaimana (know-how) … di samping teknik-teknik
dan pengetahuan ini, dan dalam mempelajari mereka,
anak-anak di sekolah juga mempelajari ’aturan’ dari
perilaku baik, yaitu sikap yang harus diawasi oleh
setiap agen di pembagian kerja, sesuai dengan
pekerjaan yang ‘diperuntukkan’ kepadanya: aturan
moral, hati nurani profesional dan warga negara, yang
sebenarnya bermakna aturan-aturan untuk menghormati
pembagian kerja secara sosial-teknis dan pada akhirnya,
aturan-aturan dari tatanan yang dibangun oleh dominasi
kelas…. Untuk menyatakan ini secara lebih ilmiah,
saya mengatakan bahwa reproduksi tenaga kerja
memerlukan tidak hanya reproduksi ketrampilan-
ketrampilannya, tetapi juga pada saat yang bersamaan,
reproduksi ketundukannya terhadap aturan-aturan dari
tatanan yang ada, yaitu reproduksi ketundukan terhadap
ideologi yang berkuasa bagi para pekerja, dan
reproduksi kemampuan untuk menggunakan ideologi
yang berkuasa secara benar bagi agen-agen eksploitasi
dan represi, sehingga mereka juga akan berkontribusi
344
‘dengan kata-kata’ terhadap dominasi dari kelas yang
berkuasa. 246
246
Louis Altuhusser, (2015), Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara
(Catatan-Catatan Investigasi), (tanpa kota): IndoPROGRESS, Hlm. 13-14.
247
Lihat Adi Suryadi Culla, (1999) Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa
Pergolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah Indonesia 1980-1998,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 125-126
345
semakin menajamkan pisau teoritis. Sehingga wacana dan
aksi tumbuh-kembang secara dialektis.
248
Lihat Max Line, (2007), Bangsa yang Belum Selesai Indonesia; Sebelum
dan Sesudah Soeharto, Jakarta: Reform Institute, Hlm. 136.
346
menimpa kaum miskin dan tertindas mulai disuarakan. Aksi-
aksi protes mahasiswa dilancarkan lewat pembentukan
komite-komite aksi sebagai identitas, karena perguruan tinggi
tetap saja melarang keras mahasiswa-mahasiswanya aktif di
luar kampus. Mahasiswa-mahasiswa yang membentuk
komite-komite ini adalah anak-anak muda FPN bersama
mereka-mereka yang sebelumnya telah berkecimpung dalam
kelompok studi pengkaji ilmu-ilmu sosial kritis. Dengan
format gerakan barunya mereka mengorganisir kekuatan
untuk memerotes pelbagai kasus: kejahatan korupsi,
pelanggaran HAM, pengrusakan lingkungan hidup,
penindasan buruh-buruh pabrik, perampasan tanah-tanah
petani, dan kesewenang-wenangan penguasa lainnya.
Gerakan-gerakan ini bersamangatkan solidaritas dalam
pemihakan terhadap kelas tertindas. Makanya gerakan
protesnya selalu melibatkan pelbagai elemen gerakan sipil—
buruh, petani, dan pekerja-pekerja lainnya—dengan kebulatan
tekad melawan kelas penindas.
347
rakyat juga berhasil mendirikan organisasi-organisasi lintas
sektoral: Serikat Tani Nasional (STN), Pusat Perjuangan
Buruh Indonesia (PPBI)/Front Nasional Perjuangan Buruh
Indonesia (FNPBI), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker),
Serikat Rakyat Indonesia (SRI), dan lain-lain. Gerakan
mahasiswa-rakyat-pekerja tersebut bukan hanya disatukan
oleh kepentingan mewujudkan kehidupan demokratis, tapi
juga memiliki kesamaan pandangan politik dan strategi
perjuangan: agitasi, propaganda, dan aksi massa. Pada 2 Mei
1994, mereka melaksanakan pertemuan untuk melembagakan
aliansi gerakan-massa. Kala itu sekitar 40 aktifis mahasiswa
dan ormas lintas sektoral berkumpul di kantor Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.
Aktivis-aktivis tersebut bersepakat mendeklarasikan
berdirinya Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) guna
menaungi pelbagai organisasi perlawanan rakyat, mahasiswa,
dan kelas pekerja.
348
organisasi payung jadi partai tapi strategi perjuangannya
ekstraparlementer. Tanggal 22 Juli 1996 keputusan tersebut
dideklarasikan di kantor YLBHI Jakarta. Persatuan Rakyat
Demokratik kontan digantikan dengan Partai Rakyat
Demokratik (PRD). Dalam peristiwa itu Ketum PRD
Budiman Sudjatmiko—mewakili organisasi-organisasi rakyat-
mahasiswa-pekerja menjadi onderbouw-nya—membacakan
Manifesto Perjuangan PRD yang berisi pernyataan-pernyataan
radikal.
349
rakyat untuk mengantisipasi—dan menentang—munculnya
kecurangan pada Pemilu 1997 nanti: caranya adalah
membentuk Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP);
dan (7) terus-menerus mengorganisir dan ,mengarahkan
pergerakan rakyat untuk melawan kapitalisme, mendesak
MPR melaksanakan Sidang Istimewa (SI) guna mengadili
kejahatan-kejahatan Soeharto, dan memperjuangkan
terwujudnya kehidupan demokratis.249 Lewat manifesto
politiknya maka PRD betul-betul menunjukan dirinya sebagai
apa yang disebut Gramsci dengan partai yang memiliki
‘fungsi polisi progresif’: mengekang kekuatan-kekuatan
reaksioner dalam batasan-batasan tatanan hukum dan
meningkatkan tatanan massa yang terbelakang dalam tatanan
hukum itu’.250 Nezar Patria dan Andi Arief menjelaskan
bagaimana perkembangan rakyat-pekerja ketika sudah
memasuki partai tersebut dengan begitu memukau:
249
Buka https://www.prd.or.id/blog/2011/05/03/manifesto-partai-rakyat-
demokratik-lama/
250
Nezar Patria dan Andi Arief, Op. Cit., Hlm. 165.
350
aktivitas mereka dengan situasi kongkrit klas pekerja
dari tempat kerja mereka yang menjadi basis
keberangkatan para intelektual ini. Intelektual organik
dari klas pekerja ini adalah seorang pendiri, organizer,
pejuang militan yang mampu menangani seluruh segi
perjuangan. Ia menyadari kompleksitas dari produksi,
ia mampu membangkitkan perlawanan budaya untuk
hegemoni, dan ia juga dapat menyiapkan perjuangan
politik yang akan berpuncak pada perebutan
kekuasaan….251
251
Ibid, Hlm. 166-167.
252
Lihat Max Lane, Op. Cit., Hlm. 172-173.
351
menawan oleh sebagian besar mahasiswa. Mayoritas
mahasiswa penikmat kebijakan ini berasal dari kelangan
moderat. Tanpa mengembangkan kebudayaan proletariat,
mereka mudah sekali diluluhkan melalui iming-iming jabatan
senat. Di permulaan 1990-an, kehadiran SMPT bahkan
menarik minat mahasiswa-mahasiswa moderat dari HMI.
Himpunan intelektual berpemikiran moderat ini mencoba
menguasai senat dan unit kegiatan mahasiswa dengan tujuan
memperbesar pengaruhnya dalam dunia perguruan tinggi.
352
sebagai organ binaan orang-orang komunis.253 Negara rupa-
rupanya telah berhasil menanamkan nilai-nilai moral
artifisialnya kepada sebagian anggota-anggota himpunan yang
polos. Suntikan nilai tersebut terutama dilakukan melalui
bantuan KAHMI. Dengan ikatan moral dan ketauladanan dari
alumni-alumni himpunan yang menjadi politikus maupun
birokrat, maka semangat pembangunanisme diinternalisasi.
Bahkan oleh merekalah panggung-panggung bagi demagog—
untuk menebarkan keyakinan naïf tentang bahaya gagasan dan
gerakan komunisme—disediakan secara megah, terbuka, dan
resmi. Pada 1996, panggung demikian disediakan buat R.
Hartono (mantan KSAD) dalam sebuah seminar yang
diadakan KAHMI Jatim. Dia di hadapan seabrek alumni dan
anggota HMI tak sekedar menyampaikan pidato penuh dusta,
tapi terutama melecehkan dan mengambinghitamkan gerakan
rakyat miskin dan tertindas yang berlawan terhadap rezim:
253
Lihat Gunawan, dkk, (2009), Menyulut Lahan Kering Perlawanan:
Gerakan Mahasiswa 1990-an, Jakarta: Spasi dan VHR Book, Hlm. 78.
353
menghasut rasa kebencian rakyat terhadap
pemimpinnya dan terhadap aparat keamanan. Mereka
berdalih memperjuangkan demokrasi rakyat tapi
tindakannya tidak demokratis. Bahkan sesuai dengan
manifesto politiknya, mereka melakukan tindakan
radikal kerakyatan dengan menghasut rakyat untuk
melakukan tindakan revolusioner guna merangsang dan
menggulingkan pemerintah sehingga hal ini
mengingatkan kita kepada demokrasi proletariat ala
komunis…. Dalam peristiwa tanggal 27 Juli 1996, telah
terbukti bahwa perann PRD sangat besar dalam
menyulut kerusuhan yang telah menimbulkan
ketakutan, kerusakan, dan korban jiwa…. Menghadapi
kondisi tersebut, maka segenap komponen Orde Baru
semakin dituntut untuk meningkatkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta semakin meningkatkan
kewaspadaan terhadap bahaya laten komunis….
Komunis tidak berhenti berjuang untuk eksis kembali di
bumi walaupun dalam bentuk yang lain….254
254
Abdullah Hafidz, dkk (ed), Op. Cit., Hlm. 132-134.
354
Partai Demokrasi Perjuangan (PDI) pimpinan Megawati
Soekarnoputri. Soalnya dalam manifesto perjuangannya PRD
memiliki pandangan bahwa kekuatan revolusioner tidak hanya
dimiliki kelas proletar (kaum buruh dan kaum tani—petani
sedang dan petani miskin), karena potensi revolusioner juga
dimiliki kaum lainnya: borjuis-menengah (mahasiswa dan
kaum intelektual), rakyat-miskin-kota (gelandangan,
pengamen, pedagang asongan, pengemis, dan semua pekerja
di lapangan kerja yang tidak normal), bahkan borjuis-nasional
(kelas yang ikut tertindas oleh kekuasaan dan modal).
Megawati sendiri berasal dari borjuis-nasional yang
mengalami perlakuan represi kelas penguasa sehingga
memiliki potensi revolusioner dalam perjuangannya.
355
demi menggantingakannya dengan orang pilihannya. Hanya
saja peserta KLB lebih tertarik pada Mega ketimbang
kandidat yang dikenal direstui pemerintah: Budi Hardjono. 255
Tetapi Orba tak sedikitpun mengalah: bersama segenap
aparatusnya, negara berusaha menghalangi pendukung Mega
untuk menghadiri KLB hingga tak segan-segan membubarkan
kongres menggunakan tangan-tangan serdadunya. Tak
berselang lama pembubaran itu kemudian dilawan Megawati
beserta para pendukungnya dengan menggelar Muswarah
Nasional (Munas) PDI 22-23 Desember di Jakarta.
Melaluinya Megawati akhirnya disahkan segenap
pendukungnya menjadi pimpinan PDI.
255
Peter Kasenda, (2018 ), Peristiwa 27 Juli 1996; Titik Balik Perlawanan
Rakyat, Yogyakarta: Media Pressindo, Hlm. 71.
256
Ibid, Hlm 76.
356
menghancurkan Mega. Penguasa memilih mantan musuhnya
sebagai kawan politik lantaran punya pengaruh yang cukup
besar atas orang-orang PDI di daerah-daerah. Dalam kerja
sama keduanya Soerjadi punya kepentingan kembali menjadi
DPP PDI; sedangkan Soeharto berkepentingan bukan hanya
menghadapi SU MPR 1998 kelak, tapi terdekat adalah
memenangkan Pemilu 1997. Untuk mewujudkan
kepentingan-kepentingan tersebut maka Megawati perlu lebih
dahulu jatuh. Soalnya sejak Mega bergabung dengan partai
telah terjadi peningkatan perolehan suara PDI pada pemilu.
Orientasi kerakyatannya mampu menarik simpati pelbagai
kalangan: basis massa PNI-Lama, rakyat miskin kota, buruh
sektor informal, petani-petani pedesaan, pemuda-mahasiswa,
dan pengangguran. Bersama barisan massa inilah dibangunlah
aliansi Mega Bintang Rakyat. Di dalamnya diikuti pula oleh
PRD, yang mendukung Megawati karena: pertama untuk
membuka ruang demokrasi yaitu kebebasan berserikat,
berkumpul dan berpartai; kedua, untuk semakin mendesak
rezim Soeharto.257
257
Arif Novianto, Lukman Kurniawan, dan Samodra Wibawa, (2018),
Dinamika Gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Indonesia: Analisis
Perspektif Partai Pelopor Dan Partai Kiri Luas, Jurnal Penelitian Politik,
Vol. 15(1), Hlm. 39.
357
kader partai dari daerah-daerah dalam menuntut digelarnya
KLB PDI. Maka bulan Juni 1996 KLB dilaksanakan di
Medan. Untuk mengakomodir massa pendukung Soerjadi dan
TNI-Polri, Direktur CSIS Sofyan Wanandi menggelontorkan
sebesar Rp 3 miliar.258 Dengan biaya itu dibangun tenda-tenda
militer berukuran besar untuk menjaga kongres sesuai apa
yang diinginkan penguasa. Seketika sudut-sudut Kota Medan
dipenuhi aparat keamanan untuk mengadakan operasi KTP.
Di dalamnya bahkan ada perintah tembak di tempat terhadap
siapa-siapa yang mengadakan demonstrasi anti kongres.
Tanpa halangan sedikit pun kongres akhirnya menetapkan
Soerjadi sebagai Ketua Umum sekaligus ketua tim formatur
untuk menyusun DPP PDI versinya. Tapi hasil KLB belum
sesuai harapan Soeharto, karena masih belum mampu
mencopot Megawati dari jabatan Ketum PDI hasil Munas
Jakarta. Dukungan terhadap PDI pimpinan Mega soalnya
bukan berasal dari istana, melainkan kaum miskin dan
tertindas. Itulah mengapa dari sebelum kelas penguasa
mengadakan KLB serta mempersiapkan pengakuan atas DPP
PDI tandingan Megawati yang baru saja terbentuk; maka
anggota, pengurus dan seluruh simpatisan PDI pro-Megawati
kontan melawan sekuat tenaga. Tekanan-demi-tekanan yang
dilakukan ABG bersama preman-preman pendukung pro-
Soerjadi dilawan menggunakan aliansi Mega-Bintang-Rakyat
dengan sebegitu masifnya. Di situ PDI dan PRD jadi partai
yang bekerja sama mengorganisir, memobilisasi, dan
melancarkan perlawanan intensif terhadap rezim anti-
demokrasi. Dalam penelitian Arif Novianto, Lukman
Kurniawan, dan Samodra Wibawa dipaparkan begini:
258
Dhaniel Dhakidae, Op. Cit. Hlm. 726-727.
358
Berbagai aksi gabungan antara PDI dan PRD yang
membuat kedua bendera partai tersebut menjadi
mendapatkan perhatian dari rakyat, sebagaimana
menurut Max Lane dilakukan di berbagai tempat: Aksi
protes menentang penolakan Soeharto terhadap
kepemimpinan Megawati mulai dipicu di Semarang
pada 14 Juni. Kemudian diikuti aksi-aksi di Surabaya
dan Yogyakarta pada 17 Juni; di Salatiga pada 18
Juni; di Jakarta pada 18 Juni yang diikuti sekitar 4.000
orang. Kemudian menjadi aksi terbesar 15.000 orang
pada 20 Juni di Jakarta juga hingga terjadi bentrokan
dengan tentara sekitar 70 orang terluka berat dan 50
orang ditangkap. Di Yogyakarta, 25 Juni terjadi
demonstrasi yang terdiri dari 7.000 orang yang
berhasil menerobos barikade tentara di luar kampus
UGM untuk menuju ke DPRD-Yogyakarta. Di Jakarta
pada 28 Juni, 3.000 orang berkumpul di DPR RI untuk
mendukung Megawati dan di Jakarta pula 12 Juli,
5.000 orang berkumpul di gedung Proklamasi. Pada 18
Juni, PRD mengorganisasi 2.000 buruh dari PT Indo
Shoes yang berbasis diluar Jakarta untuk mogok dan
datang ke Jakarta berkumpul diluar gedung DPR RI,
dimana 3.000 mahasiswa dan buruh lainnya ikut
bergabung. Pada 19 Juli, antara 10.000 hingga 20.000
buruh dari 10 pabrik di daerah Surabaya mogok yang
diorganisasi dibawah bendera PRD dan PPBI yang
mendistribusikan ribuan selebaran kepada buruh
dengan tuntutan-tuntutan: hentikan campur tangan
tentara terhadap buruh; hentikan dwifungsi ABRI;
mencalonkan Megawati sebagai presiden. Aksi tersebut
membuat terjadinya bentrokan dengan tentara hingga
beberapa terluka dan lebih dari 20 orang ditahan,
termasuk pemimpin PPBI Dita Sari dan Coen Pontoh.
Puncak dari peristiwa konfrontasi antara rezim
Soeharto dengan Megawati yang didukung oleh
359
eksponen gerakan kiri adalah pada 27 Juli 1996. Pada
hari itu terjadi peristiwa yang disebut Kudatuli yaitu
penyerbuan terhadap kantor DPP PDI di Jalan
Diponegoro, Jakarta. Para anggota PDI yang
mendukung Megawati menolak untuk keluar dari
gedung DPP PDI sebagaimana yang diintruksikan oleh
Pemerintah Soeharto. Sehingga terjadi penyerbuan
yang dilakukan oleh tentara dan anggota PDI pro-
Soerjadi yang sebelumnya mengepung kantor DPP PDI
tersebut….259
360
membakar spanduk-spanduk yang terpasang dipinggir pagar.
Massa PDI pro-Soerjadi dengan leluasa menyerbu karena
ratusan aparat kepolisian dan militer memblokir wilayah
sekitar kantor DPP PDI’.260 Bersama aparat-aparat itulah
mengapa massa pro-Soerjadi berhasil menyulut keributan.
Dalam insiden tersebut Komnas HAM melaporkan: 5
(pendukung Megawati) terbunuh, 149 luka-luka, 23 orang
hilang, dan 136 ditahan.261 Meski pembuka kekerasan-fisik
adalah perbuatan keji massa pro-Soerjadi—kalangan TNI-
Polri dan paramiliter Pemuda Pancasila (PP),262 kesalahan
justru ditimpahkan sepenuhnya kepada PRD. Kepengurusan
partai yang baru terbentuk pun hanya berlangsung selama
lima hari: 22-27 Juli 1997.
260
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm. 87.
261
Ibid, Hlm. 96.
262
Kedekatan Pemuda Pancasila dengan kalangan Militer pun juga terlihat
pada kasus yang terjadi pada 27 Juli 1996, Pemuda Pancasila terlihat jelas
sebagai alat represif negara, Pemuda Pancasila mengerahkan massa untuk
mengepung sekretariat DPP PDI di Jalan Diponegoro. Baca selengkapnya
dalam Ikrar Nusa Bhakti, (2001), Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru:
Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli?, Bandung: Mizzan, Hlm.139.
263
Buka https://historia.id/politik/article/catatan-seorang-aktivis-prd-dan-
penggulingan-soeharto
361
Mereka lantas dijatuhi vonis beragam dalam pengadilan
politiknya Orba: 1,5 sampai 13 tahun masa tahanan.
Sedangkan PRD distigma habis-habisan. Represi bahkan
dilegalformalkan melalui Surat Keputusan (SK) Mendagri
Nomor 201-221 Tahun 1997: intinya membubarkan dan
menyatakan PRD dan ormas-ormasnya sebagai ‘Organisasi
Terlarang’ dengan alasan bahwa organisasi ini tidak
berasaskan Pancasila. Nasib PRD pun seiras dengan HMI
MPO, bahkan lebih parah darinya. Mahasiswa-mahasiswa
radikal dibungkam bersama organisasinya yang berafiliasi
dengan PRD, sementara intelektual moderat diijinkan
bertahan dengan lembaga kepemudaannya. Ketika PRD dan
segenap underbow-nya diberangus, maka HMI (Dipo) tetap
aman-aman saja. Dipatrikannya Pancasila menjadi asas HMI
bukan hanya membuat organisasi ini selamat dari pembubaran
paksa, tapi parahnya justru melemahkan dirinya hingga
gampang sekali dikooptasi sedemikian rupa oleh negara.
362
kerusuhan dan pencarian kambing hitam persatuan PDI, PRD,
kaum miskin dan tertindas dalam Mega-Bintang-Rakyat coba
dikacaukan: tujuannya untuk membuat massa-rakyat kesulitan
melawan status quo. Ini sesuai Laporan Pertanggungjawaban
(LPJ) Politik PRD kepada rakyat miskin dan tertindas—yang
ditandatangani Ketum Budiman Sudjatmiko dan Sekjen
Petrus H. Haryanto. Dalam LPJ tersebut dijelaskanlah
mengenai ketakutan Soeharto akan kiprah Megawati dan
gabungan kekuatan PDI dengan PRD hingga merebaknya
Kudatuli—dan pelbagai kerusuhan sesudahnya—bukan
sebagai konspirasi melainkan keharusan sosio-historis:
363
Adalah berbahaya di mata penguasa jika isu-isu yang
selama ini disuarakan oleh gerakan prodemokrasi
ekstra-parlementer [PRD], kemudian dilancarkan juga
oleh kekuatan politik [PDI] yang memiliki fraksi di
DPR. Pertemuan dua arus politik inilah yang ditakutkan
penguasa Orde Baru, terutama dalam menghadapi
Pemilu 1997 dan Sidang Umum (SU) MPR 1998.
Kedua arus ini (politik intra dan ekstra parlementer)
semakin saling mengkait dengan membawa potensinya
masing-masing. Di bawah kepemimpinan Megawati,
PDI sedang berproses menyatukan diri dengan gerakan-
gerakan sosial. Sungguh keliru kalau rezim Soeharto
mencoba mengerti semua ini dengan mantra-mantra
`konspirasi' (persekongkolan) atau `penunggangan.' Ia
[Kudatuli 1996] merupakan hasil dari hukum gerak
perkembangan masyarakat…. Rakyat seperti
dilemparkan ke belakang oleh tiap-tiap
ketidakadilan. Dan punggungpunggung mereka
yang legam membentur latar belakang kepahitan
hidupnya, himpitan sosial ekonomi mereka, dan
secara beramai-ramai -- sekali lagi -- terlontar ke
depan menabrak apa saja yang ada di hadapan
mereka. Kerusuhan bukanlah dosa rakyat. Ia adalah
dosa dari para pimpinannya yang sementara sudah
mengantungi kepercayaan dari rakyat, namun tak
kunjung memberikan penegasan ke arah mana
perjuangan ini hendak digariskan dan disasarkan.
Kerusuhan-kerusuhan: 27 Juli, Tasikmalaya, Situbondo,
Tanah Abang, Pekalongan, Banjarnegara, Wonosobo,
dan Temanggung—pada derajat tertentu—pada
hakekatnya adalah bentuk-bentuk pemberontakan lokal.
Di sana ada kemarahan yang meluap dan tak
terhindarkan juga jatuhnya korban-korban. Darah yang
sudah tertumpah harusnya membuat kita belajar untuk
menarik maknanya, yakni dengan memberikan rakyat
364
kepemimpinan politik, melakukan perubahan,
memperjuangkan kebebasan dan keadilan sosial….264
264
Pidato Pertanggungjawaban Politik Partai Rakyat Demokratik (PRD),
Hlm. 10 dan 34. Dalam https://www.budimansudjatmiko.net/. Dalam
kurung tambahan dari penulis, sementara cetak hitam merupakan tulisan
dalam LPJ PRD sendiri.
365
negara-negara Utara mempunyai pendapatan rata-rata 15 kali
lebih tinggi ketimbang 4/5 negara-negara Selatan. Di
Indonesia, pada 1996 penduduknya telah tercatat 200 juta
jiwa; 27 juta mengalami kemiskinan absolut dan 30-60 juta
lainnya hidup berkalang kemiskinan hina pula. Sedangkan
segelintir orang kaya menguasai 61,1% produksi nasional dan
200 konglomeratnya berkuasa atas hampir 70% aset nasional.
Keuntungan 100% dari aset nasional—yang diperoleh dengan
cara monopoli, oligopoli, jual beli lisensi, kolusi dan lain-
lain—oleh 200 konglomerat itu diambil 99%, lalu 27 juta
kaum miskin dan tertindas cuma mendapatkan sisanya: 1%.265
265
Lebih lengkapnya lihat saja LPJ PRD, Ibid.
366
Indonesia merupakan yang terparah terkena imbasnya,
sehingga memaksa pemerintah menganggulanginya dengan
membengkakan utang luar negerinya. Meskipun sebelum
krisis fundamental ekonomi Indonesia sempat disanjung-
sanjung Bank Dunia, tapi daya tahan perekonomian di bawah
rezim neoliberal tak bisa diharapkan untuk menahan
goncangan keuangan eksternal. Itulah mengapa krisis
finansial yang dimulai dari Thailand mampu menyulap
ekonomi Indonesia jadi amburadul. Dadang Solihin
menjelaskan bahwa bebasnya lalu-lintas modal dalam tatanan
globalisasi-neoliberalis memang gampang menggoyahkan
stabilitas perekonomian negara-negara berkembang. Karena
negara yang mengadopsi liberalisasi aliran modal, tidak
mampu secara bersamaan memiliki nilai tukar mata uang yang
stabil dan kebijakan moneter yang independen:
367
berjalan baik, aliran kapital tersebut akan membawakan
laba yang melimpah. Namun, saat roda peruntungan
berbalik, negara penerima aliran modal yang menjadi
tumbal. Keadaan makin buruk ketika kemudian IMF
memaksakan stabilisasi melalui kebijakan uang ketat
dan kontraksi fiskal yang menyebabkan tingkat bunga
melambung dan perbankan gulung tikar serta pada
akhirnya rontoknya perekonomian dan penalangan
utang swasta oleh pemerintah. 266
266
Dadang Solihin, (2007), Ekonomi Pembangunan: Overview Indonesia
Masa Krisis 1998, Jakarta: PT Artifa Duta Prakarsa, Hlm. 146.
267
Afred Suci, (2015), 151 Konspirasi Dunia Paling Gila dan
Mencengangkan!, Jakarta: PT Wahyudi Media, Hlm. 160.
368
terbuka; dari 4,68 juta pada 1997, menjadi 5,64 juta orang
tahun 1998. Demikian pula jumlah setengah pengangguran;
meningkat dari 28,2 juta jiwa di 1998, naik jadi 32,1 juta jiwa
saat 1998.268 Pertambahan jumlah pengangur mendorong
merebaknya permasalahan sosial. Bersama orang-orang yang
sebelumnya melarat mereka hidup serba labil. Kehidupan
rakyat miskin dan tertindas tiap harinya makin hina. Karena
hidupnya menjadi delapan kali lebih miskin dari semula.
Menghadapi kenyataan seperti itu pemerintah lalu melakukan
manuver mencengangkan: menyetujui program pinjaman dari
WB dan ADB—Social Safety Net Adjustment Loan atau
pinjaman untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebesar 600
juta dolar AS. Inilah kenapa kemiskinan pun ditambal sulam
dengan utang tanpa sedikitpun was-was.
268
Lihat Bacharuddin Jusuf Habibie, (2006), Detik-Detik yang Menentukan;
Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: THC Mandiri, Hlm.
3.
369
Indonesia (BLBI) kepada bank-bank swasta dan bank-bank
pemerintah. Mula-mula BLBI muncul sebagai bantuan dana
(utang) yang diberikan oleh BI bagi bank-bank yang
mengalami kesulitan likuiditas. Hanya saja pembayaran
utangnya kemudian tidak lagi menjadi tanggung jawab bank
penerima pertolongan, karena ketiga lembaga donor tadi
memaksa negara memberlakukan program bail-out
(penalangan) utang perbankan sehingga pembayarannya
dialihkan sepenuhnya kepada pemerintah lewat penerbitan
obligasi. Bonnie menilai program ini telah mengakibatkan
skandal terbesar di dunia: perampokan besar-besaran terhadap
Bank Sentral—BI. Sementara yang menanggung risiko paling
mengerikan atas kebijakan neoliberal itu bukanlah
pemerintah, melainkan rakyat sendiri. Terutama melalui
penghapusan subsidi:
370
untuk membayar angsuran dan bunga obligasi tersebut,
yang dibayar dari dana APBN. Di tahun 2001
diperkirakan angsuran dan bunga obligasi tersebut
mencapai Rp 55,7 trilyun, artinya sekitar 18,9% dari
APBN hanya akan dipakai untuk membayar beban
utang BLBI. Sementara bila kita tengok pengeluaran
APBN untuk keperluan subsidi masyarakat hanya
mencapai 16,4% (Rp 48,2 trilyun) dan untuk keperluan
pembangunan hanya 11,3% (Rp 33,3 trilyun). Dengan
skandal keuangan BLBI ini, yang disarankan oleh [WB
dan ADB bersama] IMF, maka telah mengorbankan
berbagai subsidi yang seharusnya diterima oleh rakyat
lewat APBN.269
269
Bonnie Setiawan, Op., Cit, Hlm. 6. Dalam kurung tambahan penulis.
371
130 ribu ton dan buah-buahan 90 ribu ton. 270 Impor gila-
gilaan dilakukan atas perintah lembaga donor internasional
dan kesepakatan perjanjian perdagangan. Lewat Letter of
Intent (LoI) Oktober 1997 dan Memorandum of Economic and
Financial Policies (MEFP) September 1998, IMF berhasil
mengarahkan pemerintahan memberlakukan tarif impor—
beras, kedele, jagung, tepung terigu, dan gula—sebesar 0%.
270
David Barsamian & Liem Siok Lan (pewawancara), (2009), Menembus
Batas (Beyond Boundaries) Damai untuk Semesta, Semarang: PT Aneka
Ilmu, Hlm. 215.
271
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm. 113.
372
kemiskinan hingga amat rentan diserang tindasan bos-bos
impor dan perusahaan:
373
ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh
TNC dan importir besar.272
272
Bonnie Setiawan, Op. Cit., Hlm. 8.
374
parpol-parpol, berantas korupsi dan konglomerat, turunkan
harga, selidiki harta kekayaan anak-anak Soeharto, para
menteri, dan pejabat-pejabat lainnya.273
273
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm. 108.
375
Berkat strategi kepeloporan yang diterapkannya maka
kesadaran massa merebak luas. Apalagi krisis politik yang
ditambah dengan krisis ekonomi menyebabkan suasana
semakin panas. Setelah letusan Kudatuli 1996,
pembangkangan justru jadi santapan rutin kelas penindas. 10-
11 Desember 1996 Kota Lampung dilumpuhkan oleh
kombinasi mogok para supir mikrolet dan bus dengan
demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang terjadi secara
spontan.274 Aksi-aksi protes pun mengalami peningkatan.
Bahkan massa pengampanye PPP ikut mendukung aliansi
Mega-Bintang-Rakyat. Saat kampanye yang dilakukannya
pada 14 Mei 1997, kalkulasi pimpinan PRD mengatakan
bahwa sebanyak lebih dari 1.000.000 orang termobilisasi di
berbagai tempat di seluruh kota.275 Gairah perlawanan massa
Mega-Bintang-[Rakyat] berlanjut beberapa minggu pasca
Pemilu 1997 dipancing oleh pengumuman bahwa Golkar telah
memenangkan 70% lebih suara.276 Kecurang-kecurangan
ABG dalam melaksanakan pemilu sepakat mereka tolak
bersama. Hanya saja ketika elemen-elemen pro demokrasi
menekan penguasa, HMI-KAHMI justru ragu berbicara.
Bahkan kalaupun ada kritik-evaluatif kesannya amat menjilat
penguasa. Karena kritik-kritik diberikan PB HMI guna
menjaga stabilitas kekuasaan sang tiran, bukan sebaliknya.
Melaluinya pimpinan-pimpinan HMI memberikan pelbagai
masukan yang berguna bagi penguasa. Itulah mengapa pejabat
himpunan cuma berani buka mulut di ruangan-ruangan
diskusi, seminar, maupun acara-acara organisasi lainnya.
Sampai 1997, PB HMI tak pernah berani menginstruksikan
274
Ibid. Hlm. 104.
275
Ibid. Hlm. 106.
276
Ibid, Hlm. 108.
376
kader-kadernya terlibat aktif dalam parlemen jalanan.
Pengurus-pengurus organisasi ini sepertinya tiada bedanya
dengan senior-alumninya yang menjadi birokat maupun
politikus kelasan.
277
Arif Novianto, Lukman Kurniawan, dan Samodra Wibawa, (2018),
Dinamika Gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Indonesia: Analisis
Perspektif Partai Pelopor Dan Partai Kiri Luas, Jurnal Penelitian Politik,
Vol. 15(1), Hlm. 39.
377
untuk menyalurkan partisipasi rakyat dengan saling
menghormati aliran ideologi dan alat-alat politiknya masing-
masing secara damai tanpa kekerasan’. 278
278
Buka https://www.prd.or.id/blog/2011/05/03/manifesto-partai-rakyat-
demokratik-lama/
378
mahasiswa di Unibraw Malang, UGM Yogyakarta, dan lain-
lain.279 Menyikapi ketidakmampuan penguasa menyelesaikan
krisis ekonomi, maka kampus-kampus mulai memecah
kebisiuan. Mula-mula 25 Februari 1998, mahasiswa UI
bergabung dengan ILUNI UI untuk menggelar aksi
keprihatinan terhadap ketidakbecusan pemerintahan.
279
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm 115-166.
280
Ibid, Hlm. 117.
379
memberlakukan penjagaan amat ketat: 25 ribu TNI-Polri
dikerahkan mengamankan gedung DPR/MPR, di Senayan,
Jakarta—secara non-stop. Walhasil, Soeharto yang
memenangkan Pemilu 1997 dengan curang pun dilantik
tertutup. Ketika itu di luar gedung pelantikannya terjadi unjuk
rasa di mana-mana. Pesertanya bukan hanya mahasiswa dan
civitas academica, melainkan pula berhasil menarik
solidaritas kaum buruh dan tani, rakyat miskin kota, dan
seluruh elemen-elemen pro-demokrasi lainnya. Dalam
suasana inilah mahasiswa-mahasiswa di kampus ITB dengan
aparatus represif negara mengalami bentrok. Salah seorang
massa aksi bahkan mendapatkan hantaman aparat hingga
membuatnya geger otak. 281
281
Lihat Ibid, Hlm. 118.
282
Lihat Ibid, Hlm 120.
380
aksi-aksi protes mahasiswa yang kian meluas. Terhitung dari
tanggal 1-30 Mei, tercatat lebih dari 445 demonstrasi yang
merata di seluruh Indonesia’.283 Salah satu insiden yang
menambah besar gelombang perlawanan adalah peristiwa
terbunuhnya 4 orang mahasiswa Univesitas Trisakti: Elang
Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan
Hendriawan Sie. Pada 12 Mei 1998, keempat anak muda ini
tewas tertembak di dalam kampusnya. Peluru tajam aparat
mengenai tempat-tepat vital mereka: kepala, tenggorokan, dan
dada.284 Mula-mula mereka mengadakan aksi damai dengan
melibatkan 6000 massa di kampusnya. Namun penguasa yang
ketakutan berusaha membubarkan aksi melalui penindasan
menggunakan pasukan keamanan. Selain menimbulkan
kematian, represifitas TNI-Polri juga mengakibatkan 681
orang mengalami luka-luka berat maupun ringan.285
283
Ibid, Hlm. 121-125.
284
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti
285
Lihat dokumen KontraS, (2005), Kertas Posisi Kontras Kasus Trisakti,
Semanggi I dan II; Penantian dalam Ketidakpastian, Jakarta: KontraS,
Hlm. 1.
381
menggoncang kekuasaan tapi juga menimbulkan rusuh dari
tanggal 13-15 Mei. Kerusuhan massal terjadi di beberapa kota
secara bersamaan: riuh dengan tindakan pembunuhan,
penganiayaan, pengrusakan, pembakaran, penjarahan,
penghilangan paksa, dan pemerkosaan. Unsur utama pemicu
kerusuhan yakni aktivitas para penyusup dalam
berlangsungnya gerakan perlawanan. Orang-orang yang tidak
dikenal penduduk setempat itu terutama merupakan preman-
preman bayaran: kelompok paramiliter. Mereka hadir ke
jalanan bersama kelompoknya menggunakan bus maupun
truk, lalu meneriakan slogan anti-Tionghoa, dan
memprovokasi massa secara vulgar. Provokator-provokator
itu mempunyai ciri-ciri: berseragam SMA, berjaket
mahasiswa, berpakaian lusuh dan berwajah sangar, berbadan
tegap [ada pula yang bertato], berambut cepak [potongan
rambut khas serdadu], dan bersepatu tentara.286 Keterlibatan
mereka dalam membela kepentingan penguasa bukan saja
dalam memantik Kudatuli tapi juga telah mendorong
kericuhan menjelang lengsernya Soeharto. Bahkan sepak
terjang mereka menjadi anjing penjaga kekuasaan telah
berlangsung sangat lama. Penjagaan yang dilakukan pun tak
sekedar di gerbang istana melainkan pula langsung bercokol
dalam relung-relung parlemen. Ketika mimbar bebas terjadi di
pelbagai kampus, protes merebak ke segala penjuru, hingga
terbitnya aksi massa, kelompok paramiliter peliharaan rezim
ini semakin bertambah besar. Unsur yang paling bertanggung
jawab dalam merekrut, melatih, memobilisir, dan
melindunginya adalah tokoh-tokoh kemiliteran. Abdul Arief
menjelaskan demikian:
286
Peter Kasenda, Op. Cit.,, Hlm. 128.
382
…banyak sekali Ormas-ormas kepemudaan yang lahir
dari kalangan pemerintah Orde Baru untuk melindungi
kinerja pemerintahan mereka. Dalam konteks ini, kita
bisa lihat pada masa Orde Baru, rezim Soeharto
memobilisasi preman-preman lokal ke dalam
organisasi-organisasi seperti Pemuda Pancasila.
Langkah ini ternyata berguna untuk mematahkan
pemogokan atau untuk membubarkan demonstrasi
pihak oposisi dan mengumpulkan masa pada rapat-
rapat umum pro-pemerintah pada waktu pemilihan
umum. Pada akhirnya para pemimpin organisasi-
organisasi tersebut menjadi mahir dalam mencari
sumber daya dari pihak penguasa berupa pemberian-
pemberian, pekerjaan atau kontrak-kontrak pemerintah.
Ratusan pemimpin dan alumni Pemuda Pancasila dan
organisasi-organisasi sejenisnya kini duduk diparlemen
sebagai anggota terpilih sebagai pemimpin di tingkat
pusat maupun lokal, mereka memanfaatkan koneksi-
koneksi mereka dengan pihak militer dan pemerintah
untuk mendapatkan fasilitas serta sering menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan untuk membangun
mesin politik disemua tingkatan pemerintahan dan
partai. Ketika oposisi terhadap rezim Soeharto semakin
kuat dan terbuka, jumlah dan variasi kelompok-
keompok preman pembela kepentingan keluarga
Soeharto semakin bertambah. Dalam kapasitasnya
sebagai Danjen Kopassus, Letjen Prabowo Subianto
yang pada waktu itu mempunyai peranan besar
menumbuhkan kelompok-kelompok tersebut. Mulai
dari kelompok Anak-anak Tidar, yakni sejumlah
lulusan Akabri Darat di Magelang. Ada pula Prabowo
dan kawan-kawannya sesama anggota seperti Mayor
Jendral Zaky Anwar Makarim, juga sudah menjadi
383
pelindung bagi sekelompok pemuda asal Timor Leste di
Jakarta, yang dipimpin pemuda bernama Hercules. 287
287
Abdul Arif, 2013, “Pemuda Pancasila dan Rezim Represif Orde Baru”,
Skripsi, Prodi Ilmu Politik, Fisipol, UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Hlm.
12-13.
288
Lihat Suharsih dan Ign Mahendra K., (2007), Bergerak Bersama Rakyat:
Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 102.
384
Mahasiswa se-Jabotabek (FKSMJ), dan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI); di Yogyakarta
tercetus Solidaritas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat
(SMKR), Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan
(KPRP), Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta
(FKMY), Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta (PPPY),
Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPERA) dan Liga
Mahasiswa Muslim Yogyakarta (LMMY); di Surabaya
muncul Arek Surabaya Pro Reformasi (APR/ASPR); dan di
Malang terlihat puluhan kesatuan aksi mahasiswa konsisten
menentang kebijakan dan menolak kelangsungan
289
pemerintahan diktator Soeharto.
289
Lihat Diro Aritonang, (1999), Runtuhnya Rezim Daripada Soeharto:
Rekaman Perjuangan Mahasiswa
Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, Hlm. 75-76.
385
pengamanan yang bertugas mengusirnya keluar, sehingga PP
tak sampai bentrok dengan mahasiswa. 290 Aspirasi berisi
tuntutan-tuntutan menekan yang diarahkan langsung di
hadapan parlemen Senayan mampu meluluhkan pimpinan
wakil rakyat: Ketua DPR Harmoko meminta Presiden
Soeharto segera mengundurkan diri. Pernyataan sikap ini
langsung disiarkan media massa secara luas. 20 Mei, empat
belas menteri dalam Kabinet Pembangunan VII yang baru
dibentuk Soeharto was-was membaca situasi yang makin
panas. Mereka lalu memutuskan untuk mengundurkan diri.
290
Peter Kasenda, Op. Cit., Hlm. 136.
291
Ibid, Hlm. 138.
386
konservatif juga modernis yang berjubah reformis bersepakat
mengusulkan BJ Habibie sebagai penganggantinya.
Keputusan ini diambil demi memotong terwujudnya komite
rakyat atau dewan rakyat yang diprakarsai oleh segenap
aktivis-aktivis radikal. Walhasil, unsur-sisa rezim Orba
mampu mengungguli kekuatan gerakan rakyat. Konsolidasi
kekuatan rezim lama itu berhasil menaikan Habibie jadi
presiden.
292
Agus Pramusinto & Yuyun Purbokusumo (ed), (2016), Indonesia
Bergerak II: Mozaik Kebijakan Publik 2016, Yogyakarta: Pustaka Pelajar &
MAP UGM, Hlm. 215-217. Dalam kurung merupakan tambahan penulis.
387
hidungnya. Bersama KAMMI dan organisasi mahasiswa
berhaluan keagamaan lainnya mereka mendukung penuh
berkuasanya Habibie sebagai pemerintah transisi.
293
Lihat disertasi Muhammad Umar Syadat Hasibuan, (2010), Gerakan
Politik Mahasiswa: Studi Kasus Polarisasi Gerakan Mahasiswa pada Masa
Pemerintahan B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid, Ilmu Politik, FISIP,
Universitas Indonesia, Hlm. 7-8.
388
berlomba-lomba mengisi jabatan-jabatan strategis di lembaga
eksekutif maupun legislatif.
294
Buka https://historia.id/politik/articles/golkar-sepeninggal-daripada-
soeharto/
389
menyungkil kuasa Soeharto itu bukan karena instruksi PB
HMI, melainkan digerakan rasa solidaritas terhadap rakyat
miskin dan tertindas. Selama organisasi mahasiswa muslim
(HMM/HMI) bermassa berlimpah ini dipimpinnya, Anas
justru intens melakukan lobi-lobian dan berkoordinasi dengan
senior-alumninya. Arismunandar menggubah secara indah
bagaimana Anas meraih jabatan-jabatan strategis kenegaraan
dengan memanfaatkan kebesaran organisasinya. Bahkan
tulisan puitis tersebut menyinggung pula tentang bantuan
komunikasi-komunikasi politik yang diperoleh Anas dari
abang-abangnya:
390
momen yang tepat/kita bisa menyalip di tikungan/ dan
mearup keuntungan”
295
Puisi ini berjudul ‘Kejatuhan Seorang Mantan Aktivis Mahasiswa’
dalam karya Dr. Satrio Arismunandar, (2014), Mereka yang Takluk di
Hadapan Korupsi, (tanpa kota): Inspirasi.co Denny JA’s Public Library,
Hlm. 6-7.
391
Oligarki dan Kapitalis
Mengancam Independensi HMI
296
Jalaluddin Rumi, (2001), Matsnawi; Bait-Bait Ilahi untuk Pendidikan
Ruhani, Jakarta: Zaman, Hlm. 531.
392
pemerintah bersifat simbiosis mutualisme. Keadaan demikian
terus-menerus berjalan setelah tumbangnya Soeharto.
393
Relasi mereka lalu dijaga tidak hanya melalui silaturahmi
anggota dengan alumni maupun jalinan keakraban senior-
junior. Melainkan pula diikat oleh kekuatan pihak pendonor
dan kelemahan penerima donor (patron-client). Inilah kenapa
banyak sekali pengurus-pengurus organisasi mengajarkan
kader-juniornya tentang cara-cara merawat kedekatan. Mereka
membisik liris: hubungan itu dapat dipupuk bukan sekadar
lewat tindakan-tindakan terselubung sewaktu menjalankan
kaderisasi dan gerakan, namun terutama harus memperluas
jaringan dengan manuver-manuver personal yang cekatan.
Tujuannya sederhana: supaya lebih luas menjangkau para
politisan maupun sejumlah negarawan.
394
keinginan memenangkan calonnya menjadi pemimpin. Maka
jabatan ketua coba diraih dengan bantuan komunikasi-
komunikasi politik beragam unsur: senior yang belum alumni,
KAHMI yang menduduki kursi pranta kenegaraan, juga
orang-orang dari institusi pemerintahan hingga para usahawan
yang bukan senior maupun alumninya.
395
kadernya suka melakukan pertarungan tersembunyi. Tarung
itu dilakukan oleh anggota yang memeluk wacana intelektual-
kultural. Kelompok ini berusaha melawan para pengusung
wacana politis-struktural. Namun ketidakuatan menghadapi
serangan wacana politis-struktural kemudian menyebabkan
kelompok intelektual-kultural mengasingkan diri, berada pada
posisi yang dilemahkan, bahkan sampai diremukan. Soalnya
kepentingan-kepentingan mempunyai daya hancur bukan saja
pada kemurnian perkaderan (kaderisasi dan gerakan). Tapi
terutama terhadap minoritas-minoritas yang mencoba
mempertahankan budaya intektual himpunan:
396
pengurus HMI yang terlalu politis sering membawa
dampak terjadinya pergantian kepemimpinan badko
maupun cabang di tengah jalan dengan dalih demi
perbaikan dan penyelamatan organisasi, seperti yang
dialami (badko) Jateng dan cabang Semarang …
padahal sesungguhnya hanyalah persoalan dendam
politik antarkelompok….297
297
Abu Yazid Bustami (ed), (2014), HMI Masih Ada; Refleksi Para Kader
HMI, Depok: Layar Terkembang, Hlm. 20-21.
397
menjadi gejala umum dalam himpunan hingga membuat
organisasi menampakkan ketidakindependenan. Soalnya
bangunan kedekatan anggota-anggotanya dengan tokoh-tokoh
publik menerbitkan beragam kecuriagaan. Curiga tetap
berjamuran walaupun kalangan penghuni pranata kenegaraan
yang didekatinya merupakan senior-alumni himpunan. Karena
mereka yang berada di lingkar kekuasaan negara sudah pasti
memiliki kepentingan.
398
Makanya kepentingan kekuasaan sampai membuatnya nekad
menerobos Kongres:
298
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 49.
399
terutama mengandung nilai kebenaran. Baginya, organisasi
akan semakin kehilangan independensi sebab ketentuan asas
tunggal Pancasila dianggap sangat menghambat proses
revitalisasi nilai-nilai Islam dalam mengembangkan kualitas
kader, sistem perkaderan dan upaya rekayasa masa depan
peradaban. Independensi HMI diyakini sebagai suatu sifat
gerakan yang sangat penting posisinya untuk menyelamatkan
kemandirian dari kehidupan yang suram. Mandiri
dimaksudkannya tidak cuman sikap secara institusional,
melainkan pula individual muslim. Makanya saat organisasi
menerima pemberlakuan asas tunggal Pancasila, Abdullah
Hehamahua (Ketua Umum PB HMI 1979-1981) melontarkan
kecaman tajam kepada pimpinan himpunan yang
berkompromi dengan kekuasaan. Bahkan setelah diterimanya
Pancasila sebagai asas HMI, Hehamua kontan mengirimkan
surat kepada Harry Azhar Azis (Ketua Umum PB HMI 1983-
1986) berisi beberapa alasan ketidaksetujuan:
400
pejuang muslim tidak berdasarkan kemarahan
kebangsaan, melainkan bahwa penjajahan telah
menginjak-injak ajaran agama. Inti artikel M. Natsir
yang dimuat di Panji Masyarakat, akhir tahun 1983,
berjudul “Dengarlah Jeritan Kami”, mengisahkan
bahwa pesawat terbang yang digunakan untuk perang
mempertahankan kemerdekaan tatkala Ibukota
Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta,
sebenarnya adalah hasil dari seruan jihad Daud Bureuh,
agar warga Aceh mengumpulkan uang guna membeli
pesawat terbang bagi perjuangan bangsa. Di sinilah
secara historis perang Islam sebagai ideologi tidak
dapat dipandang remeh…. Ketiga, alasan
konstitusional. Pancasila sebagai dasar negara adalah
hasil kompromi golongan nasionalis sekukler dan
agamis (Islam) dalam Sidang PPKI. Dekrit Presiden 5
Juli 1959 ditegaskan bahwa dasar negara Pancasila
adalah dasar negara yang dijiwai oleh Piagam Jakarta.
Ketetapan ini diperkuat dengan TAP MPRS 1968 dan
dikukuhkan lewat TAP MPR 1973, maka Pancasila
sebagai asas tunggal sangat bertentangan dengan hal
tersebut … kesimpulannya secara konstitusional,
negara membiarkan dan melindungi pelaksanaan syariat
Islam termasuk penggunaan asas Islam bagi umat Islam
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama di semua
sektor kehidupan. Keempat, alasan operasional. Alasan
tunggal Pancasila adalah suatu paket politik yang
sangat gegabah. Bila disebut bahwa UU Nomor 8/1985
atau lazim disebut UU Keormasan tentang organisasi
masyarakat adalah operasional dari Pasal 28 UUD
1945, maka harus: (a) Diputuskan dengan metode
musyawarah, terbuka, edukatif sebagai aspirasi; (b)
Tidak mereduksi kebebasan dan persamaan hak dalam
mengemukakan pendapat, berserikat dan berkumpul.
Selain itu, terdapat pertimbangan organisatoris,
401
misalnya: pertama, penerimaan asas tunggal Pancasila
di luar kongres disebut inkonstitusional maka
keputusan tersebut tidak sah; kedua, peserta kongres
yang tidak representatif di mana peserta penuh dari
Kongres adalah pengurus Cabang Definitif. Pengurus
Cabang yang sah adalah yang terpilih lewat Konferensi
Cabang sedang yang mengikuti Kongres XVI di Padang
adalah Pengurus Cabang Transitif yang disulap PB
HMI. Tidak hanya itu, tetapi para calon peserta
Kongres harus melalui suatu interogasi intelijen ABRI
atau pihak dinas sosial politik pemerintah yang
merupakan tindakan di luar kelaziman dan melanggar
independensi HMI.299
299
Ibid, Hlm. 66-69.
402
kebenaran memberinya kekuatan untuk melawan segala
perwujudan tirani. Dengan etos, komitmen, dan konsistensi
akan kebenaran maka berhala-berhala psikologis dapat
dihancurkan. Fitrah kemanusiaan selanjutnya meneguhkan
kader untuk selalu setia terhadap hati nuraninya dan
senantiasa memancarkan keinginan akan kebaikan, kesucian
dan kebenaran:
300
Solichin (Penyusun), (2010), Candradimuka HMI, Jakarta: Sinergi
Persadatama Foundation, Hlm. 209.
403
golongan—kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan
kebenaran, obyektifitas kejujuran, dan keadilan. Melalui
keindependenannya maka kepengurusan himpunan
semestinya tidak bergantungan apalagi menjadi pesakitan di
tangan siapapun. Itu sebabnya setiap anggota mesti menjaga
organisasinya dari ancaman pelbagai kepentingan-kekuasaan
yang selalu berupaya melakukan perembesan. Karenanya,
implementasi independensi organisatoris mewajibkan kader-
kadernya—termasuk yang menjadi pengurus—untuk
meneguhkan kemandirian:
301
Ibid, Hlm. 210-211.
404
kenegaraan. Penerimaan asas tunggal Pancasila jadi
kebenaran berdasarkan kesepakatan kepengurusan. Padahal
pengecualian yang dapat dijadikan landasan untuk
menorehkan komitmen organisatoris adalah kebenaran; bukan
ancaman, tekanan, dan rayuan. Tafsiran independensi
organisatoris yang memberi kesempatan untuk berkomitmen
dengan pihak eksternal seharusnya tak dijadikan legitimasi
mendukung tiran. Melainkan menjadi pendorong terbitnya
keberpihakan pada kaum miskin dan tertindas.
405
Aktivitas Pengkaderan HMI yang selama ini dilakukan
di lingkungan kampus, sudah saatnya diperluas dengan
melihat dan terlibat aktif dalam melihat dan
menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat.
Bagaimanapun juga HMI harus menyatu dengan rakyat,
karena tanpa dukungan tersebut, sulit bagi organisasi
ini membangkitkan kembali eksistensinya. Kini saatnya
HMI responsif terhadap kondisi masyarakat yang
menuju perubahan. Keberpihakan kepada yang
tertindas merupakan wujud kebebasan HMI dalam
menentukan arah perjuangannya. Insya Allah!302
302
Pasase Meirizal dalam Ahmad Doli Kurnia, (2002), Meluruskan Jalan
menuju Khittah HMI, Yogyakarta: Belukar.
406
acara organisasi sesungguhnya bukan hanya bernilai politis
dan ekonomis, tapi juga komunikatif untuk jenjang karir
setelah berhimpun. Dalam keadaan beginilah independensi
jadi komoditi murahan. Sifat independen ditukar tak sekadar
demi kelangsungan kehidupan himpunan, karena paling utama
ialah tercapainya apa yang diinginkan oleh segelintir
kalangan. Yusuf Maulana menganggapnya sebagai ajang
transformasi citra agar bisa diperdagangkan. Makanya hiruk-
pikuk berorganisasi seiras pasar yang mementaskan
pengumpulan laba lewat persaingan:
303
Lihat Yusuf Maulana, (2015), Aktivis Bingung Eksis; Pentas Gerakan
Mahasiswa di Era Korporatisme Kuasa, Surabaya: Pustaka Saga, Hlm. 91.
407
positifnya mengandai himpunan bersama kadernya tidak
terlibat dalam politik praktis. Namun wujud kenegatifannya
bisa berupa timbulnya komodifikasi, lantaran sifat independen
sering dimanfaatkan sebagai pendokrak status. Makanya
penguasa memandang himpunan sebagai pemilik paras
menarik. Tarikannya dapat memikat pelbagai anasir buat
mendekat secara licik. Biasanya mereka datang melalui
kendaraan yang subtil: senior-alumni HMI yang berada di
panggung kekuasaan. Kendaraan yang dipakainya begitu
samar tapi penetrasinya amat menggoda menggunakan
rayuan, tawaran, dan imbalan. Pertemuan dengan godaan-
godaan akan membuat independensi kader mengalami
serangan, goncangan, hingga kejatuhan. Kemorosotan timbul
apabila keindependenan dipertukarkan dengan kemudahan
akses, status sosial, bahkan sumbangan-sumbangan
menggiurkan.
408
kepengurusan organisasi. Pada saat itulah kepengurusan
himpunan selalu diintai beragam ancaman. Seolah
menyampaikan pengalaman-pengalam yang dirasakannya
selama berhimpun, Harry Azhar Azis melihat koneksi itu
dengan penuh ironi. Makanya ia mengingatkan kepada kader-
kader agar lebih berhati-hati terhadap para alumni, baik yang
berada di birokrasi maupun politisi:
304
Ali Asghar dan Ridho Pamungkas, (2013), Perpecahan HMI Menggugat
Kebangkitan Intelektual, Jakarta Timur: Bumen Pustaka Emas, Hlm. 52.
409
Sewalaupun Harry menganggap sesat sebutan HMI
Connection. Tetapi keberadaannya tak mampu dinafikan.
Perannya sangat dahsyat dalam arus kepentingan. Inilah yang
mendorong kader-kader berdempet dengan kekuasaan. Demi
mencuri pandang penguasa kader himpunan mudah sekali
mengomodifikasi pencitraan. Adalah independensi yang
selama ini mereka komodifikasi. Melalui transformasi
independensi sebagai alat pendongkrak status sosial maka
organisasi seketika berujud arena jual-beli. Citra independen
yang dikomodifikasi menghiasi dirinya serupa manusia
istimewa. Itu sebabnya menjadi kader HMI—terutama yang
masuk kepengurusan—bukan saja mampu membangun
bergaining di hadapan pemangku kepentingan, karena
terkhusus; sifat independennya bisa dipertukarkan.
Pertukarannya menampak dalam komodifikasi pencitraan.
Lewat proses inilah organisasi tampil begitu mempesona di
pandangan kalangan pemerintahan. Dinilainya himpunan
dengan prestise memberikan pengurusnya tumpahan
keuntungan. Untung yang didapatkan dilahirkan melalui
kemampuan pencitraan. Citra ini membuat pengurus menjadi
berharga di mata pemangku kepentingan. Eric Fromm pantas
menyatakan kini manusia telah menjadi sebuah komoditas
yang nilainya terletak pada seberapa dirinya punya ‘nilai jual’
untuk dipasarkan:
410
atau yang mungkin Anda sebut nilai guna dari
kepribadiannya. Kapasitasnya untuk mencinta, tidak
pada kualitasnya sebagai manusia, kecuali dia dapat
menjualnya, kecuali bila dia dapat berhasil, kecuali bila
dia mendapat pengakuan dari orang lain. 305
305
Erich Fromm (Penerjemah FX Dono Sunardi), (2018), The Art of
Living; Hidup Anatara Memiliki dan Menjadi, Tangerang: Baca, Hlm. 22.
411
milik para kapitalis dijual demi memperoleh
keuntungan untuk mereka sendiri. Kita dialienasikan
dari kerja yang utamanya kita kerjakan untuk orang
lain.306
306
Rupert Woodfin dan Oscar Zarate, (2008), Marxisme untuk Pemula,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 61-62.
412
kemudian disulap jadi barang. Independensi yang mereka
rawat kesuciannya justru terpanggang hingga gosong.
Independensi soalnya terbelokan dari hati nurani dan
kecenderungan pada kebenaran, karena pelaksanaannya
gampang dionani. Teronaninya independensi adalah ketika
sifat independen berparameterkan kepentingan individu atau
kelompok yang terus-menerus menghegemoni.
413
murid menuruti; ketujuh, guru bertindak, murid
membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan
gurunya; kedalapan, guru memilih apa yang diajarkan,
murid menyesuaikan diri; kesembilan, guru
mengacaukan wewenang ilmu-pengetahuan dengan
wewenang profesionalismenya, dan
mempertentangkannya dengan kebebasan murid; dan
kesepuluh, guru adalah subyek proses belajar, murid
obyeknya—oleh karena guru yang menjadi pusat
segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika
murid-murid kemudian mengidentifikasi diri seperti
gurunya sebagai prototype manusia ideal yang harus
ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal.307
307
Paulo Freire, (2010), Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
414
dijual suaranya sewaktu Kongres, dilibatkannya menjadi
pengumpul data lapangan buat lembaga survey Pemilu,
dimasukan sebagai panitia-panitia pambantu program-
program pembangunan yang dikendali birokrat-kapitalis,
bahkan menjadi pencari massa untuk mendukung pertarungan
senior atau alumninya dalam panggung kekuasaan. Pada saat
itulah organisasi dipolitisasi untuk mengoalkan kepentingan-
kepentingan pesanan. Kader kemudian berpenampilan begitu
menjijikan. Karena dirinya jatuh ke lubang komersialisasi
perkaderan. Pendidikan organisasi yang seharusnya membuka
wawasan untuk kepublikan justru dipraktekan semata untuk
meraih seabrek keuntungan. F. Budi Hardiman memberi
penjelasan kenapa orang yang dididik mudah sekali
diperdagangkan:
308
F. Budi Hardiman, (2013), Dalam Moncong Oligarki; Skandal
Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Hlm. 32.
415
Fakhruddin. Dia mengaku bahwa visi besar kepemimpinannya
adalah melakukan direct control terhadap pemerintahan: ini
dijadikannya alasan untuk berlagak gandrung melontarkan
kritik dan melancarkan aksi protes sampai Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terjungkalkan. Padahal
gerakannya itu bukan lantaran sifat independen himpunan
yang sejati, tapi dorongan keras dari senior-alumninya yang
sedang terlibat pertempuran. Itulah mengapa PB HMI
pimpinan Fakhruddin tiada bedanya dengan Ketum PB HMI
(1997-1999) Anas Urbaningrum: mengandalkan lobi kanan-
kiri dan koordinasi dengan anggota KAHMI yang bercokol
dalam pranata kenegaraan. Melalui abang-abangnya, mereka
mendapatkan banyak perhitungan dan analisis tentang politik.
Hanya saja ajarannya begitu licik. Prinsip yang ditanam
senior-alumni kepada juniornya di PB HMI, dilukiskan Satrio
Arismunandar secara puitik: ‘Kalau resiko masih terlalu besar
jangan pasang badan dulu/Biarkan saja organisasi mahasiswa
lain yang bergerak/Yang penting, pada momen yang tepat/kita
bisa menyelinap di tikungan dan meraup keuntungan’. 309
309
Satrio Arismunandar, (2014), Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi,
(tanpa kota): Inspirasi.co Denny JA’s Public Library, Hlm. 7.
416
mereka keuntungan, terutama mengenai jatah kursi kuasa.
Untuk itulah PB HMI pimpinan Anas memperjuangkan
kepresidenan Habibie tanpa mau mengiraukan keresahan-
keresahana rakyat bahwa tokoh ICMI ini merupakan
representasi dari rezim lama. Justru baginya: dengan
mendukung kekuasaan Presiden Habibie dalam menggantikan
Soeharto adalah satu-satunya cara menyelamatkan situasi
transisi politik sekaligus merupakan langkah terbaik
menyiapkan Pemilu 1999. Dengan bantuan yang diberikannya
kepada pemegang kekuasaan maka Anas mendapatkan
balasan atas jasanya: diorbitkan ke Tim Tujuh (petugas Revisi
UU Politik saat Reformasi 1998) dan Tim Sebelas (petugas
Seleksi Parpol menjelang Pemilu 1999). Sesudah ia berhenti
memimpin organisasinya sikap kooperatif dilanjutkan pula
oleh Ketum PB HMI penggantinya: Muhammad Fakhruddin.
Sama seperti Anas, dia amat berkeras hati mengawal transisi
kekuasaan di bawah pimpinan presiden dari unsur Orba.
417
Pemerintahan Habibie hingga Dwi-Fungsi ABRI. Setelah
berhasil melengserkan Soeharto, gerakan rakyat kembali
menekan kekuasaan. Suasan protes semakin memanas
menjelang SI MPR bulan November 1998. Pada 12
November, ratusan ribu massa aksi bergerak menuju gedung
DPR/MPR Senayan dari segala arah: Semanggi, Slipi, dan
Kuningan. Namun tertahan oleh barikade aparat kemanan.
Sebagai bukti representasi dari kekuasaan Orba, pemerintahan
Habibie mengerahkan 18.040 pasukan TNI-Polri. Untuk
mempertahankan kekuasannya, penguasa bahkan membentuk
Pamswakarsa (Pasukan Pengaman Masyarakat Swakarsa:
paramiliter bentukan TNI yang bertugas membantunya
mengamankan jalannya SI MPR 1998) untuk menghadapi
aksi-aksi demonstrasi yang semakin meluas, diikuti banyak
kalangan, dan bertensi tinggi.
310
Buka www.elsam.or.id., Ringkasan Eksekutif: Laporan Hasil
Penyelidikan KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Hlm. 1.
418
dan Operasi Mantap Brata (1999). Itulah mengapa secara
kelembagaan PB HMI tak berani mengerahkan kader-
kadernya melakukan perlawanan. Elit-elit HMI-KAHMI cuma
bisa menjadi penonton ketika pada 13 November TNI-Polri
bersama paramiliternya diterjunkan ke jalanan untuk
membubarkan aksi massa. Di daerah Semanggi, mereka
menghadang gerakan rakyat menggunakan kendaraan lapis
baja. Saat massa aksi berusaha mendekati barikadenya, maka
aparat represif negara mengejar, memukul, menendang, dan
terutama menembak secara membabi buta. Kejadian ini
dikenang sebagai Tragedi Semanggi I. Korban berjatuhan
lumayan banyak: 18 mahasiswa tewas,311 456 orang
mengalami luka-luka, bahkan di dalamnya bocah (6 tahun)
terkena peluru nyasar di kepalanya.312
311
Lihat KontraS, (2005), Kertas Posisi Kontras Kasus Trisakti, Semanggi I
dan II; Penantian dalam Ketidakpastian, Jakarta: KontraS, Hlm. 1.
312
Buka https://id.m.wikipedia.org/Tragedi_Semanggi
419
lagi-lagi tidak berani menentangnya. Sementara gerakan
rakyat masih terus berjuang melawan kebijakan penguasa.
Puncaknya adalah ketika meletusnya Tragedi Semanggi II
tanggal 24 September. Bandung, Semarang, dan Jakarta
bergolak dengan demonstrasi besar-besaran. Kontan, aparat
TNI-Polri beserta pasukan paramiliter kembali dikerahkan
oleh negara untuk memberangus massa secara vulgar:
dipukul, ditendang, dan ditembak tanpa ampun. Korban pun
berjatuhan: di Bilangan Semanggi Yap Hun Hap tewas
seketika, sementara di seluruh Jakarta 10 demonstran lainnya
ikut meninggal, dan total yang luka-luka di dalam peristiwa
ini mencapai 217 orang.
420
Walau memiliki kemandirian relatif, tetapi mereka mudah
takluk hingga tak bisa menolak melaksanakan kebijakan-
kebijakan dari para pengambil keputusan: rezim Habibie yang
berunsur rezim Soeharto. Itulah mengapa permintaan maaf
Presiden Habibie—pada 26 Maret 1999--terhadap keluarga
korban operasi militer di Aceh menjadi tidak bernilai. Tim
Pencari Fakta (TPF) DOM Aceh yang dibentuknya tak
mampu menghalangi terulangnya kekerasan aparatus represif
negara. Sesudah menyatakan rasa bersalah dan membentuk
TPF—tanggal 3 Mei 1999, Yonif 113 justru menyerang
warga. Serdadu-serdadu ini memberangus penduduk yang
sedang berkumpul di daerah Simpang KKA, Kruleng
Geukueh, Lhokseumawe, Aceh Utara. Korbannya banyak
berjatuhan: 65 meninggal, 10 hilang, dan ratusan orang
lainnya terluka. Bahkan peristiwa itu pula berhasil merampas
nyawa seorang anak kecil berusia 7 tahun bernama Saddam
Husein yang ikut menjadi korban tewas di tangan tentara.313
313
Untuk penjelasan lebih panjang mengenai kejadian ini lihatlah Fikar W.
Eda dan S. Setya Dharma, (1999), Sebuah Kesaksian: Aceh Menggugat,
Jakarta: Sinar Harapan.
314
Ibid, Hlm 157.
421
berkenan menghadirkan suasana yang agak demokratis:
pemberian kebebasan pers, pembentukan lembaga
independen, pembebasan tapol Orba, sampai mengijinkan
referendum Timor Leste. Gerakan rakyat juga mampu
memaksa para elit mempercepat Pemilu 1999. Itulah mengapa
Amien Rais yang dulunya mendukung diberikannya mandat
pemerintahan transisi kepada Habibie kini berbalik
mengupayakan pencopotannya. Sekarang posisi Amien bukan
sekedar Ketum PAN, tapi terutama Ketua MPR. Dengan
kuasanya di Gedung DPR/MPR Senayan, maka dia semakin
leluasa menurunkan Habibie dari takhta kepresidenannya.
315
Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Op. Cit., Hlm. 280.
422
legislatif. Komite ini ingin dibentuk bukan untuk selamanya,
melainkan sementara: non-definitif. KRI ditujukan untuk
menuntaskan Reformasi 1998. Caranya melalui pelaksanaan
refomasi total atau revolusi demokratik: (1) Turunkan dan
adili Soeharto; (2) Bubarkan Golkar; (3) Cabut Dwi-Fungsi
ABRI; (4) Tolak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); (5)
Penegakkan supremasi hukum; (6) Pengusutan semua
pelanggaran HAM. Semua ini dipandang lebih mendesak
dibanding sekedar menyelenggarakan Pemilu 1999 yang
hanya memberi jalan bagi kembalinya kekuasaan
otoritarianisme lama.
423
andil besar atas naiknya Habibie ke tampuk kekuasaan kini
berbalik melancarkan penentangan. Puncaknya 20 Oktober:
Amien yang memimpin sidang menolak mentah-mentah
laporan pertanggungjawaban. Malam hari sesudah peristiwa
ini barulah Habibie memilih mundur diri dari kursi kepala
negara. Bahkan lewat pidato pengunduran dirinya dia
menyampaikan pamit untuk meninggalkan seluruh
aktivitasnya di dunia politik Indonesia.
424
mendorongnya untuk menerbitkan kebijakan-kebijakan
progresif: (1) membubarkan Deppen (Departemen
Pertahanan) dan Depsos (Departemen Sosial yang menjadi
lahan penghasilan para koruptor; (2) restrukturisasi Sekneg
(Sektariat Negara) yang selama Orba menjadi pusat
kekuasaan Soeharto; (3) mengembalikan fungsi militer
dengan memisahkan secara tegas antara institusi TNI dan
Polri hingga membubarkan Bakorstanas (Badan Koordinasi
Stabilitas Nasional); (4) mengupayakan pencabutan Tap
MPRS XXV/1996 (Pembubaran PKI dan Pelarangan
Mengembangkan Paham Komunisme), dan meminta maaf
kepada segenap keluarga korban penjagalan 1965; (5)
mengusahakan terjalinnya relasi RI-Israel agar Indonesia lebih
bisa berperan dalam mendamaikan konflik Israel dengan
Palestina; (6) mendukung Referendum Aceh dengan
mempertimbangkan kemungkinannya buat merdeka dan
merangkul pejuang-pejuang pro-kemerdekaan Papua sampai
membiarkan bendera Bintang Kejora berkibar; dan (7)
memberikan pengakuan terhadap agama Konghucu dan
membiarkan umatnya merayakan Imlek tanpa sedikitpun
pembatasan seperti di masa Soeharto.
425
Melainkan pula ormas-ormas Islam (termasuk HMI), BEM-
BEM Universitas, partai-partai politik yang berhubungan
dengan keluarga Cendana, bahkan seabrek preman,
cendikiawan, dan pengusaha juga terlibat aktif karena
mendapat pendanaan yang amat vulgar. Ini tergambar jelas
pada buku menyontakan: Menjerat Gusdur. Virdika Rizky
Utama menulis karya tersebut dengan memasukan temuan
dokumen kejahatan politik yang bikin semua orang
terperangah. Skenario menjerat Gus Dur soalnya sangat
kompleks, melibatkan banyak unsur, dan dilancarkan secara
mewah.
426
pelemahan kekuatan presiden maka tokoh-tokoh HMI
(KAHMI) tak segan-segan mempolitisasi himpunan. Kader-
kader organisasi ini ditarik untuk mengikuti kemauan
kelompok dominan. Tujuannya sederhana: menyelamatkan
asset politik dan perekonomian. Caranya amat praktis:
merebut dan mengamankan kekuasaan. Karena Gus Dur
dinilai buruk dalam berkuasa: telah merebut kejayaan para
oligark sejak reformasi digulirkan. Surat Fuad Bawazier
kepada Akbar Tandjung tidak cuma menjelaskan tentang
pelaksanaan tugas dan rekomendasi dalam pemakzulan
presiden. Namun ikut menyinggung soal misi pembalasan
dendam yang ditanam sejak Orba ditumbangkan:
427
beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari
pelaksanaan skenario pertama, yakni:
428
bergabung melakukan demonstrasi menyikat Gus Dur
di Sidang Parlemen. [Keempat] Kita juga telah
melakukan aksi borong dollar di pasar valuta asing dan
bursa efek-untuk menjatuhkan nilai tukar rupiah-di
dalam dan luar negeri (terutama di Hongkong, dan
Singapura) secara langsung di bawah kendali
Bendahara Umum DPP Golkar [Fadel Muhammad—
pen]. Aksi borong dollar ini juga didukung oleh
Bambang Tri Atmojo, dan Liem Sioe Liong, Arifin
Panigoro. [Kelima] Seluruh kerja media massa (cetak
dan elektronik) yang bertugas mem-blow up secara
kolosal dan provokatif semua pemberitaan berkaitan
dengan tuntutan mundur terhadap Gus Dur sudah di-
arrange langsung oleh saudara Parni Hadi dan Surya
Paloh, sedangkan operator teknis di lapangan saya telah
menyiapkan banyak kaki terutama di parlemen.
[Keenam] Penggiringan opini publik oleh para tokoh
dan cendekiawan atas kegagalan pemerintahan Gus Dur
lewat tulisan di media massa yang dimobilisir langsung
oleh Azumardi Azrha, Dr. Syahrir, dan rekan-rekan
KAHMI telah mampu meyakinkan publik bahwa Gus
Dur memang benar-benar gagal mengemban amanat
reformasi. [Ketujuh] Tugas saudara Din Syamsuddin
untuk mengendalikan MUI lewat kasus Ajinomoto
telah berhasil memaksa para ulama dan tokoh agama
mencabut dukungannya kepada presiden.
429
akan terus dijalankan melalui jalur kawan-kawan lama
kita di era Pak Harto yang sakit hati melihat ini
semua…. Sebagai bahan pertimbangan operasi di
lapangan, saya meminta kabar dari Bang Akbar dan
kawan-kawan tentang perkembangan di dalam gedung
Senayan lewat jalur yang sudah tersedia saja [HMI
Connection], yaitu seluruh perkembangan situasi di
dalam gedung kirim saja melalui saudara Anas
Urbaningrum sebagai penghubung kita. Saya optimis
bahwa skenario ini akan berjalan mulus. Dengan begitu,
misi untuk menyelamatkan seluruh asset politik dan
ekonomi serta invertasi kita serta pengeluaran dana
operasi sebesar 4 T, yang sudah saya sediakan tidak
menjadi sia-sia dan dapat mengembalikan kejayaan kita
yang telah dirampas sejak reformasi. 316
316
Lihat lampiran dokumen Fuad Bawazier kepada Akbar Tandung, dalam
Virdika Rizky Utama, (2019), Menjerat Gus Dur, Jakarta: Numedia Digital
Indonesia.
430
Tugasnya itu dilaksanakan dengan lancar. Itulah mengapa
skenario tahap pertamanya saja dilaporkan secara vulgar. Kini
melalui paparan dokumen tersebut sudah seharusnya kader-
kader himpunan membuka pikiran dan mata hatinya lebar-
lebar. Kita mestinya tak usah naif mengakui: elit-senior
KAHMI secara leluasa melancarkan politisasi terhadap HMI.
Dengan memanfaatkan jangkauan HMI Connection, mereka
tak sekedar bisa melibatkan banyak alumni-alumni HMI dan
tokoh-tokoh lainnya, melainkan pula anak-anak muda yang
masih menjadi anggota biasa seperti gerombolan pengurus
organisasi. Virdika menjelaskannya begini:
431
Fahruddin dikendalikan melalui ikatan seniorisme-
gerbongisme yang tertanam dalam perkaderan. Lewat Operasi
Semer (Semut Merah), dia diarahkan untuk mengkordinir
massa untuk mengepung Senayan. Gus Dur mau digulingkan
lantaran tidak tunduk pada dikte-dikte kelompok oligarki yang
dirawat Orba. Kala itu Gus Dur begitu mengupayakan
menghukum para penjahat besar seperti Soeharto bersama
kroninya. Pada 1 November 1999 kasus Soeharto yang
berbelit-belit saat kepemimpinan Habibie kembali dibuka.
Kaki tangannya seperti Wiranto bahkan dipecat dari
jabatannya sebagai Panglima TNI. Lalu 15 April 2020, Tim
Penyidik Kejagung menetapkan Soeharto sebagai tersangka.
Sedangkan putranya—Tommy Soeharto, dijatuhi hukuman 18
tahun penjara atas kasus tukar guling tanah antara Bulog dan
PT Goro Batara Sakti. Walaupun telah dijatuhi hukuman,
dengan kekuatan uangnya Tommy mampu melumpuhkan
kinerja polisi. Institusi kepolisian dibikinnya pincang hingga
tak efektif menjalankan tugas dan fungsi. Kapolri Rusdihardjo
kemudian dipecat oleg Gus Dur karena menolak menaati
perintahnya untuk mengkap Tommy.
432
kalangan birokrat juga berkepentingan menunda bahkan
menghentikan pemeriksaan para perwira tinggi dan
purnawirawan TNI yang terlibat kejahatan KKN dan HAM,
mempertahankan konsep wawasan nusantara serta struktur
teritorial TNI, dan terutama melindungi pelbagai kegiatan
bisnis militernya. Dalam pelanggaran HAM dan kejahatan
kemanusiaan di Maluku, George Aditjondro menemukan
adanya ‘dua orang jendral purnawirawan, tiga orang jendral
aktif, dan seorang pensiunan perwira TNI/AU terlibat dalam
jaringan ini. Mereka terdiri dari Jendral (Purn) Wiranto,
Mayor Jenderal Kivlan Zein, Letjen (Purn) A.M.
Hendropriyono, Letjen Djaja Suparman, Letjen Suaidy
Marasabessy, Mayjen Sudaidy Silalahi, dan Mayor TNI/AU
(Purn) Abdul Gafur [alumni HMI/KAHMI]. 318
318
Buka https://titastory.id/orang-orang-jakarta-di-balik-tragedi-maluku.
Dalam kurung tambahan dari penulis.
433
kepentingan pertahanan harta dan kekayaan oligarki. Oligark-
oligark yang lahir, tumbuh, dan besar semasa Orba disebut
Jeffrey A. Winters sebagai oligarki sultanistik. Ada tiga
definisi utama dari rezim sultanistik. Pertama, penguasa
sultanistik memerintahkan secara pribadi dan mengatur segala
hal yang penting dalam politik dan ekonomi. Mereka
meningkatkan kukuasaan dan pengaturan dengan
menghalangi, bukan membangun lembaga-lembaga
independen. Hukum dan lembaga yang ada ditundukan demi
kepentingan penguasa. Kedua, penguasa sultanistik
mempertahankan kendali strategis atas akses terhadap
kekayaan dan menggunakan sumber daya material sebagai
bagian penting dasar kekuasaan mereka. Hubungan dalam
oligarki antara satu dengan yang lain bersifat simbiosis, tapi
juga penuh ketegangan. Ketiga, penguasa sultanistik mencoba
mengendalikan kekuatan pemaksaan di dalam suatu negara
atau rezim. Ini termasuk pengendalian kekuatan angkatan
bersenjata, intelijen, polisi, aparat kehakiman, dan kadang
melibatkan juga kelompok paramiliter dan preman bayaran. 319
Baginya, perlindungan aset-aset kekayaannya oligarki
sultanistik membutuhkan bantuan dari oligark yang berkuasa.
Karena kestabilan oligarki jenis itu amat bergantung terhadap
seberapa baiknya oligark tertinggi mengelola pertahanan
kekayaan untuk para oligark-oligark lainnya:
319
Jeffrey A. Winters, (2011), Oligarki, Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka, Hlm. 201.
434
juga lembaga yang diduduki dan digunakan para
oligark untuk berkuasa, melainkan sebagai alat kendali
sultanistik atas para oligark dan perkembangannya. Itu
berlaku walaupun lembaga-lembaga tersebut memang
(atau tampak sebagai) lembaga pemerintahan formal
dan biasa ,,, bahwa Suharto berkesempatan lebih baik
menjinakan para oligark Indonesia dalam jangka waktu
lebih lama….320
320
Ibid, Hlm. 205.
321
Ibid, Hlm, 202.
435
dengan elit militer tapi juga banyak pentolan-pentolan
konservatif dan modernis. Nama-nama yang paling terkenal
dalam melancarkan kejahatan tersebut bukan hanya dari
alumni HMI/KAHMI seperti Akbar Tandjung, Fuad
Bawazier, Priyo Budi Santoso, dan Amien Rais. Tapi pula
orang-orang yang sangat dekat dengan dunia bisnis Orba pun
tak kalah dikenal dalam Semer, semisal: Bambang Tri (putra
ketiga Soeharto dan salah satu pengelola bisnis keluarga
Cendana); Arifin Panigoro (konglomerat berjuluk Raja
Minyak Indonesia sekaligus anak baru di PDIP); Lie Swie
Liong atau Sudono Salim (pengusaha kelas kakap pendiri
Salim Group yang menjadi pilar bisnis Soeharto); dan Surya
Paloh (taipan media paling sukses). Di samping mereka tidak
mau ketinggalan pula sosok kayak pimpinan MUI Din
Syamsuddin (pimpinan MUI), wartawan senior Parni Hadi,
serta seabrek alumni-alumni HMI dari pelbagai profesi.
Kebijakan-kebijakan Gus Dur membuat kawanan ini tak
tenang seperti biasa. Karena pelbagai tindakan eksentrik
presiden dapat menyumbat arus kekayaannya. Apalagi
Winters mengatakan cara oligark memperkaya diri dan
kelompoknya selalu dengan ‘korupsi dan pembagian
kesempatan usaha’.322 Sementara kepemimpinan Gus Dur
berniat menyingkirkan para koruptor dan oligark-oligark sisa
rezim lama. Maka kalangan yang dahulunya dipelihara dan
dibesarkan keluarga Cendana berkelebat menentang siapa-
siapa yang berani mengusik ketentramannya.
322
Ibid.
436
Di saat Orba berjaya dirinya tak hanya sukses meniti karir
politik, tapi juga menjadi pelumas yang melicinkan
kesuksesan bisnis keluarganya. Keberadaannya dalam
birokrasi tentu memba angin segar bagi orang-orang di
sekitarnya. Itulah mengapa keluarga Akbar Tandjung sampai
bisa menjadi patner pebisnis kesayangan Soeharto: Sudono
Salim (Liem Sioe Liong). Produk susu Indomilk yang
dinaungi bendera Salim Group bermula dari perusahaan
rintisan ayahnya Akbar: Datuk Usman Zahiruddin Tandjung.
Perusahaannya bernama N.V. Marison yang belakangan lebih
dikenal dengan PT Marison Indonesia. Usaha kemudian hari
memang tidak dikelola oleh Akbar, melainkan kakaknya:
Zahiruddin Tandjung. Namun untuk memajaukan bisnis
peninggalan sang ayah, pasti terdapat peran Akbar Tandjung.
Terutama terkait mempertemukan dan membangun hubungan
baik dengan pemilik Salim Group. Pada akhirnya, merek
Indomilk diproduksi oleh PT Indolakto yang merupakan anak
usaha tidak langsung dari konglomerasi PT Indofood CBP
Sukses Makmur Tbk (ICBP) milik Salim Group. 323
323
N.R. Akbar, (2020), Siapa Menjerat Gus Dur?; Intrik Politik, Oligarki,
dan Konspirasi, Yogyakarta: Media Pressindo, Hlm. 154.
437
kekayaannya Fuad menjadi penyandang dana untuk PAN
Amien Rais. Saluran kekuatan keuangan yang dia miliki
kemudian berhasil mempengaruhi Amien hingga tak lagi
mendukung kepemimpinan Gus Dur. Untuk membanting
presiden dari takhtanya ia bahkan mengeluarkan dana yang
sangat besar. Di sampingnya ada pula bantuan anggaran dari
konglomerasi piaraan Orba: Sudono Salim, Tommy Soeharto,
dan Arifin Panigoro. Ketiga konglomerat ini benar-benar
marah terhadap kebijakan-kebijakan presiden. Salim bisnisnya
mulai tidak dilindungi lagi, Tommy bahkan berani-
beraninyamau dipenjarakan, sementara Arifin juga mengalami
permasalahan krisis macet.
438
kepentinga-kepentingan kelompok oligarki. Bagi mereka
Mega sudah tak seperti yang dulu: kritis-progresif. Tetapi
telah lebih jinak dan bisa diajak berkoalisi; apalagi jika diberi
kesempatan, didukung, dan dibantu menduduki kursi kepala
negara.
439
Setelah berhasil menjerat presiden yang tidak disukai
kelompok oligarki, perselisihan antar-pengurus terkait
kekuasaan negara menjalarkan tajamnya perbedaan pendapat
dalam PB HMI. Banyak pengurusnya mau merekomendasikan
dukungan agar alumninya maju sebagai calon kepala negara
di Pemilu 2004. Namun Hasanuddin condong kepada
Megawati324—orang yang pada 2001 diangkat melalui Sidang
Istimewa MPR sebagai pengganti Gus Dur. Perbedaan
dukungan itu kontan menghadirkan ketegangan. Kondisi batin
para pengurus mendadak kepanasan. Silang kepentingan di
antara mereka menyembul-nyembul hingga berbuntut
dualisme kepengurusan: PB HMI di bawah Hasanuddin
versus PB HMI pimpinan Syahmud Ngabalin. Keduanya
punya pandangan berbeda terkait siapa-siapa yang pantas
didukung menjadi kepala negara. Tetapi dukungan kepada
Mega diberikan Hasanuddin bukan dalam ruang hampa,
melainkan tekanan di mana-mana. Berdasarkan isu yang
merebak: dia ternyata akan mendukung siapa calon presiden
yang dipilih senior besar dalam gerbongnya. Seniornya ialah
alumni HMI: Akbar Tandjung. Kala itu Akbar sedang
menduduki posisi Ketua Koalisi Kebangsaan yang berusaha
memuluskan langkah Megawati untuk menang.
324
Virdika Rizky Utama, Op. Cit.,, Hlm. 52.
440
para politikus maupun birokrat yang kebetulan adalah
alumninya. Fenomena itu nampak jelas sewaktu PB HMI
1999-2002 pimpinan Muhammad Fahruddin. Didiktenya
Hasan selaku Ketum PB HMI periode 2004-2006 merupakan
kelanjutan arus dukungan kepada Mega sebagai presiden.
Itulah kenapa lagi-lagi himpunan kembali dipolitisasi oleh
mereka yang bersaing di arena kenegaraan. Cuman tak kayak
dulu: mencongkel Gus Dur dari tampuk kepresidenan. Tetapi
bermotif melanggengkan kuasa penguasa yang bisa
menyelamatkan kedigdayaan investasi ekonomi dan politik
alumni-alumni HMI binaan Orba. Dari tangan merekalah
kegaungan sifat independen meluncur ke omong kosong
belaka. Lewat sebuah catatan kritis untuk menyambut Dies
Natalies HMI ke-60, Denis menjelaskannya begitu rupa:
325
Abu Yazid Bustami (editor), (2014), HMI Masih Ada; Refleksi Para
Kader HMI, Depok: Layar Terkembang, Hlm. 60.
441
Kelak HMI kembali terseret arus permainan para tokohnya
yang menjadi kawanan politisan. Mereka menanam benih
konflik dalam himpunan. Kepentingan yang ditanam sukses
membuat PB HMI pimpinan Noer Fajrieansyah mengalami
silang sengketa kepengurusan. Pertikaian antar-pengurus
dipicu oleh berkembangnya skandal seksual: Fajrie telah
melakukan perzinahan dengan HMI-Wati Niskalawati. Tetapi
hubungan badan yang dituduhkan tidak terbukti. Niskala
menganggapnya justru sebagai fitnah keji. Dia menjelaskan
tudingan tersebut merupakan upaya menyingkirkan Fajrie dari
kursi ketua organisasi dan menyeret HMI dalam kepentingan
politik praktis.326 Hanya saja kemelut terlanjur memanas.
MPK PB HMI menurunkan Fajrie dari tampuk kepemimpinan
lalu digantikan dengan Basri Dodo. Kontan dualisme yang
tersembul tak sekadar jadi pameo, tapi terutama
menghadirkan polemik berkepanjangan hingga kaderisasi dan
gerakan loyo. Kekalutan yang mencemari PB soalnya
mengalir ke Badko, Cabang, Korkom, sampai Komisariat.
Meski begitu Fajrie dan Basri tetap bersikuku sama-sama
mempertahankan posisinya sebagai pimpinan. Maka polarisasi
tajam antarkader selanjutnya menjadi tontonan di seluruh
penjuru himpunan. Organisasi berjalan sempoyongan karena
seluruh bagian badannya diremukan hantaman kepentingan:
326
Lihat https://m.tribunnews.com/nasional/2012/02/22/skandal-amoral-di-
pb-hmi-hanya-isu-saja/
442
Basdo versi Fajrie, sehingga terjadi perseteruan antara
kader-kader di tingkat cabang, imbasnya adalah
komisariat yang notabene adalah ujung tombak dari
HMI itu sendiri ‘Miris’.327
327
https://risdiantopattiwael.wordpress.com/2015/11/24/melihat-
kepemimpinan-arief-rosyid-vs-noer/
328
Liha https://investor.id/archive/alumni-senior-tolak-pencalonan-kembali-
noer-fajrieansyah/
443
Timur, dialihkan menuju Graha Insan Cita Depok, sampai
terakhir kalinya didepak ke GOR Ragunan Jakarta Selatan.
Itulah mengapa Kongres digelar hampir sebulan. Semuanya
berawal dari rembesan kepentingan tokoh-tokoh HMI yang
politisan. Perembesannya telah mengacaukan tingkat
kepengurusan tertinggi hingga yang rendah sekalipun. Alan
Jayadi mengelaborasi hal tersebut secara memilukan:
329
Lihat https://www.kompasiana.com/dinamika-strategi-menuju-ri-1-dan-
kongres-pb-hmi-ke-28/
444
tersembunyi di balik dualisme kepengurusan. Dalam kiprah
HMI, sepertinya jenis kuman ini tidak hanya telah memicu
kocar-kacirnya kepemimpinan Fajrie maupun Hasanuddin.
Kelak mereka ikut mengatur adegan perpecahan PB HMI
2018-2020: Sadam Al Jihad vs Arya Kharisma. Konflik
kepengurusannya serupa keretakan para pendahulunya: pecah
menjelang pemilihan kepala negara. Isu untuk
menggoyangkan kepengurusan Sadam persis fitnah yang
dituduhkan pada Fajrie: melakukan perbuatan asusila. Ia
dirongrong lewat kabar hubungan badannya dengan kader
sarinah: korps perempuan GMNI (Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia). Skandal seksual dijadikan senjata utama
untuk melengserkan Sadam dari tahtanya. Melalui kasus
inilah tersebar kabar dia bukan hanya diperasi uangnya.
Tetapi juga diancam bunuh oleh preman jika tidak mau
menanggalkan jabatannya. Hanya persoalan asusila yang
dilakukannya tak sampai dibuktikan kebenarannya di hadapan
publik, terutama kader-kader himpunan. Masalah seksualitas
di tubuh himpunan seperti sebuah komoditas kekuasaan
ketimbang moralitas keagamaan. Kuntowijoyo secara
bersahaja menjelaskan:
445
menyebabkan terjadinya pelbagai perbedaan pandangan
maupun sikap politik di kalangan mereka. 330
330
Dalam Dedy Mujaddid Muhas, (2003), Pernik-Pernik Pemikiran
Seorang Aktivis; Catatan dari Ruangan ke Lapangan, Jakarta Selatan:
Komunal, Hlm. 77.
446
seksual, setelah beratus-ratus tahun ada keterbukaan
dan kebebasan, wacana itu memberi kesan bahwa
represi seksual terkait dengan perkembangan
kapitalisme: masa itu menyatu dengan tatanan borjuis.
Dengan begitu, riwayat historis seksualitas berikut
riwayat represinya disulap menjadi bagian dari sejarah
alat-alat produksi yang bombastis itu…. Seks dan
berbagai dampaknya mungkin tidak mudah untuk
dianalisis; namun, setelah direkonstruksi kembali,
represi atas seksualitas dapat diuraikan dengan mudah.
Maka taruhan seks—kebebasannya, sekaligus juga
pengetahuan yang diperoleh darinya dan hak untuk
orang membicarakannya—menjadi sah untuk dikaitkan
dengan kehormatan dari sebuah taruhan politik…. 331
331
Michel Foucault, (1997), Seks & Kekuasaan; Sejarah Seksualitas,
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 4-5.
447
pengembangan, dan penelitian jadi begitu stagnan. Kader
justru kehilangan semangat berorganisasi lantaran
ketauladanan yang dipertontonkan jauh dari harapan.
Penilainannya terhadap pemimpinnya begitu tak karuan.
Kesangsian juga keprihatinan menjadi santapan rutin. Ada
yang jijik dengan Sadam sekaligus mendukung Arya. Namun
terdapat pula yang tetap berkiblat pada ketua hasil Kongres
sembari menolak Ketum PB HMI tandingannya.
448
pengurus mengalami persengketaan. Andrian Habibi
menjelaskan bagaimana keruhnya keadaan kepengurusan:
332
Https://www.qureta.com/post/knpi-dan-mandataris-kongres-hmi
333
Lihat https://detikfakta.id/2018//11/28/sikap-pb-hmi-masalah-kandidat-
masalah-ketua-umum-dpp-knpi/
334
Lihat https://politik.rmol.id/read/2018/pb-hmi-bantah-telah-keluarkan-
rekomendasi-dukungan-di-kongres-knpi/
449
berada dalam ketidakpastian sikap maka membuka pintu
masuk tekanan, bujukan, bahkan imbalan dari pemilik
kepentingan. Keadaan ini tak sekadar menambah nilai tawar
untuk himpunan, tapi terutama menempatkan kepengurusan
pada posisi penuh ketegangan. Inilah sebabnya kehidupan PB
HMI terbelah jadi dua pimpinan: Sadam dengan Arya. PB
versi Sadam merekomendasikan Noer Fajrieansyah tapi
dilawan oleh PB versi Arya yang justru mendukung Haris
Pratama. Kelak, Arya bahkan mengeluarkan instruksi kepada
Badko dan Cabang agar menerima kesahihan kepengurusan
KNPI di bawah pimpinan Haris Pratama.335
335
https://boganinews.com/terkini/soal-pb-hmi-keluarkan-instruksi-ke-
badko-dan-cabang-se-indonesia/
450
berkecenderungan pada Noer Fajrieansyah sebagai Ketum
KNPI yang sah. Sedangkan PB HMI versi Arya Kharisma
juga tak mau kalah: dia bersikukuh memberikan pengakuan
dan dukungannya kepada DPP KNPI yang dipimpin Haris
Pratama.
451
Jika terpilih [sebagai Ketum DPP KNPI—pen], saya
akan menggerakan pemuda dan OKP [organisasi
kepemuda] se-Nusantara yang berhimpun di KNPI
untuk memenangkan Jokowi dan Kiai Ma’ruf sebagai
Capres-Cawapres 2019-2023.336
336
https://m.jpnn.com/news/kandidat-ketua-umum-knpi-optimistis-
memenangkan-jokowi-maruf/
452
pemecatan terhadapnya sepertinya merupakan hasil rencana
bersama KAHMI. Soalnya beberapa lama setelah Arya
bertemu dengan para alumni, maka disusul pula oleh
keputusan dipecatnya Sadam dari keanggotaan HMI.
Sebelumnya dia diundang dalam Rapat Koordinasi Nasional
KAHMI di Kalimantan Timur. Di situlah ia bertemu dengan
tokoh himpunan yang senior, dipandang besar, dan masih
agak kekar. Mereka adalah pelaku sejarah menjerat Gus Dur.
Beliau adalah Akbar Tandjung, Hamdan Zoelva, serta
beberapa lainnya. Sebagai Koordinator Presidium MN
KAHMI, Zoelva deklarasikan dukungan penuh terhadap PB
HMI tandingan:
337
https://m.kumparan.com/awie_s/mn-kahmi-secara-kelembagaan-kahmi-
hanya-mengakui-pj-ketua-umum-pb-hmi/
453
mengupayakan terbitnya pemecatan orang yang dimusuhi.
Keberhasilan menanggalkan status keangotaan rivalnya
dilaporkan—bersama kawanan pengurusnya—kepada Jusuf
Kalla (JK) langsung ke istana kepresidenan. 338 JK yang
dihadap lalu membingkai pertemuan di atas meja jamuan.
Perjumpaan itu bagi Arya sangat penting karena seniornya
yang didatanginya adalah orang yang tidak saja kuat secara
keunganan, tapi juga berkedudukan tinggi sebagai orang
nomor dua di taman kenegaraan. Makanya keberadaan
anggota HMI seruangan dengan wakil presiden tentu tak
sekadar peristiwa biasa karena sarat kepentingan.
338
Lihat https://www.jawapos.com/nasional/politik/06/09/2019/temui-
wapres-jk-arya-sampaikan-pemecatan-sadam-dari-hmi/
454
yang dikehendakinya. Pasca-reformasi, kader-kader HMI
yang memiliki hubungan dengan mereka berduyun-duyun
memasuki parpol atau menduduki jabatan-jabatan strategis
dalam birokrasi. Jebolan-jebolan himpunan itu kemudian
menjadi bagian dari oligarki. Hanya tatanan oligarki sesudah
ditinggal Soeharto bukan lagi berjenis sultanistik melainkan
elektoral. Oligarki elektoral—disebut juga oleh Winters—
seiras dengan oligarki penguasa kolektif: tokoh-tokohnya
biasanya ‘terlibat langsung mempertahankan kekayaan dan
memerintah suatu komunitas atau masyarakat. Namun,
mereka melakukannya secara bersama-sama, bukan sendiri-
sendiri’.339 Dalam oligarki elektoral para oligark menyulap
pemilu sebagai pintunya menuju cagar-perlindungan aset-aset
politik dan kekayaan ekonominya:
339
Jeffrey A. Winters, Op. Cit, Hlm. 100.
340
Ibid, Hlm. 231-232.
455
Sepertinya melalui pemilu yang begitula senior-alumni
organisasi ini bukan cuma mulus bercokol pada Golkar, PPP,
PKB, PDIP, dan PAN saja, tapi juga Demokrat. Bahkan
tokoh-tokoh KAHMI tak sekedar dipercaya menjabat bupati
atau walikota, melainkan banyak yang dipasang sebagai
menteri. Pintu berkuasanya mereka adalah pemilihan-
pemilihan umum serta bagi-bagi kue kekuasaan yang sarat
manipulasi, terutama dikte-dikte kelompok oligark maupun
para pemilik kapital. Andre Gorz menjelaskan bahwa dalam
demokrasi borjuis pemilu merupakan bentuk mistifikasi
paling nyata: pemilihan umum dirancang sedemikian rupa
untuk melanggengkan tercerai-berainya individu-individu
serta untuk mencegah terbentuknya kekuatan kolektif
masyarakat.341 Baginya, pemilu tak punya hubungan langsung
dengan massa melainkan hanya percaya pada parpol-parpol
yang menjadi mitra-mitra terpercayangnya untuk membela
kepentingan-kepentingan negara kapitalis. Lewat sistim inilah
tokoh organisasi mahasiswa mudah sekali mengisi beragam
jabatan birokratis. Jeffrey A. Winters memandang bahwa
sesudah Soeharto dilengserkan, maka Indonesia tak lagi
diselimuti oligarki sultanistik tapi elektoral. Oligarki elektoral
atau oligarki penguasa kolektif membuat kehidupan politik
menjadi apa yang disebutnya sebagai ‘demokrasi kriminal’: di
mana oligarki secara teratur ikut serta dalam pemilihan umum
sebagai alat berbagai kekuasaan politik, sambil menggunakan
kekuatan kekayaan mereka untuk mengalahkan sistem hukum
dengan intimidasi dan bujukan.342
341
Andre Gorz, (2005), Sosialisme & Revolusi, Yogyakarta: Resist Book.
342
Jeffrey A. Winters, Op. Cit., Hlm. 210.
456
Itulah mengapa negara kapitalis tiada henti-hentinya
mendorong aparatus-aparatusnya menghalalkan kekerasan dan
penipuan demi membungkam dan menundukan rakyat.
Keadaan ini kemudian merawat korupsi-korupsi yang
dilakukan para pejabat. Pasca-reformasi, kasus-kasus korupsi
kolosal di Indonesia dapat diklasemenkan dengan skor
berikut: (1) Jiwasraya, Rp 13 triliun; (2) Asabri, Rp 10 triliun;
(3) Bank Century, Rp 7 triliun; (4) Pelindo II, 6 triliun; (5)
Kota Waringin Timur, Rp 5.8 triliun; (6) BLBI, Rp 4.58
triliun; (7) E-KTP, Rp 2.3 triliun; dan (8) Hambalang, Rp 706
miliar.343 F. Lordon memaparkan bahwa korupsi seterusnya
akan mengkristalkan pelbagai permasalahan secara vulgar:
pertama, civil society dan partai-partai politik lemah, tapi
luasnya jaringan hubungan patron-client, mendominasi politik
dan ekonomi; kedua, pengadilan dan polisi mungkin tidak
efektif, sementara premanisme merajalela dan menguasai di
banyak segi kehidupan; ketiga, korupsi dijalankan dalam
rangka mencari pengaruh birokrasi atau badan legislatif,
sedangkan pejabat pemerintah dan militer mengambil posisi
penting ekonomi, tanpa rasa takut kena sanksi. 344 Dalam
keadaan seperti itu kelompok oligark, gerombolan kapitalis,
maupun oligark-kapitalis tumbuh sehat. Mereka bekerja sama
menghisap segala sumber daya kehidupan rakyat. Demokrasi
borjuis maupun oligarki elektoral membuat parpol dengan
kader-kadernya terdisorientasi. Bahkan kader partai yang
bersemayam di parlemen bukan lagi menjadi wakil rakyat tapi
pengabdi kelompok oligarki. Karena parti-partai parlementer
343
Buka portal-islam.id/2020/01/klasemen-sementara-liga-korupsi-
indonesia.html?m=1
344
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 64.
457
berkembang sesuai apa yang disebut Andreas Ufen sebagai
‘partai kartel’: ‘partai yang melekat pada negara, teralienasi
dari masyarakat dan didominasi oleh para pejabat publik’. 345
Baginya, elit dari partai-partai kartel otoriter kepribadiannya.
Maka para anggota-anggotanya pun kurang bisa mengakses
pelbagai pengambilan keputusan di internal partainya. Budi F.
Hardiman bahkan menambahkan keburukannya:
345
F. Budi Hardiman, (2013), Dalam Moncong Oligarki; Skandal
Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta Penerbit Kanisius, Hlm 34.
346
Ibid, Hlm 34-35.
458
mengikuti jejak sang senior. Sewaktu pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), dia amat gemilang berkarir.
Ketenarannya semakin kencang ketika menjabat Ketum DPP
Demokrat. Jabatan pimpinan didapatkannya setelah berhasil
mengalahkan dua alumni HMI di Kongres Demokrat: Andi
Alfian Mallarengeng dan Marzukie Alie. Hanya kemudian
nama besar Anas terpelanting saat tersingkap kasus
korupsinya. Bersamanya terjerat pula Andi Malarangeng.
Kekorupan Andi nyaris seperti Anas: bukan saja menerima
suap dari proyek pemerintah bersama pemodal, tapi juga
melakukan pencucian uang. Dengan kekayaan hasil korupsi
itulah kedua pentolan KAHMI ini mendapatkan biaya untuk
memperebutkan kursi orang nomor satu di Demokrat. Tetapi
pemenangnya bukan Andi melainkan Anas: ia berhasil
merebut kursi ketua partai secara mulus. Karir politiknya di
Demokrat memang hebat. Walau masih muda tapi namanya
sudah melejit-lejit. Sepak terjangnya amat gemilang
dibanding kader-kader partai lainnya. Maka jabatan ketua pun
berhasil dia embat dengan mudahnya. Melalui kekuasaan
inilah dirinya memberi kesepatan kepada elemen-elemen HMI
Connection untuk mengurusi partainya. M. Fakhruddin—
mantan Ketum PB HMI yang ikut menjerat Gus Dur—adalah
salah satu juniornya yang dimasukan dalam jajaran
kepengurusnya. Di sampingnya tidak hanya terdapat aktivis
lintas sektoral lainnya, namun pula menggandeng anggota-
anggota keluarga SBY sebagai jajaran pengurusannya. Anto
Sangaji menjelaskan bahwa fenomena politik tersebut serupa
yang biasa berlangsung di masa Orba:
459
kepengurusan baru ini, yakni masuknya gerbong
‘keluarga besar’ SBY, isyu mengenai HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) connection, dan masuknya sejumlah
aktivis…. Politik Indonesia sejak Orde Baru ditandai
dengan menonjolnya ‘keluarga besar’. Masuknya
keluarga besar SBY, membawa ingatan kita pada masa
kejayaan Suharto, di mana partai-partai politik,
terutama Golongan Karya secara leluasa mempraktikan
itu, bukan saja di jajaran kepengurusan partai politik
tingkat pusat, tetapi praktik yang sama juga
berlangsung sampai ke daerah-daerah, di mana para
kepala daerah mengirim istri, anak, menantu, dan
kerabat dekatnya menjadi pengurus partai politik. Sejak
reformasi partai-partai politik terus melanjutkan praktik
‘kekeluargaan’ ini…. Lalu, isu HMI connection di
tubuh Partai Demokrat. Ini jelas bukan perkara baru,
karena, misalnya, Akbar Tandjung (eks Ketua Umum
PB HMI) juga disebut-sebut mempraktikkannya….
Jajaran kepengurusan baru Partai Demokrat juga diisi
oleh the so-called “aktivis”, seperti masuknya Rahland
Nashidik di dalamnya … ini juga bukan barang baru,
karena sejak reformasi 1998, telah terjadi diaspora para
aktivis ke partai-partai politik, terutama partai-partai
arus utama, seperti Partai Golkar dan PDI
Perjuangan….347
347
Buka https://indoprogress.com/2010/06/keluarga-besar-sby-hmi-
connection-dan-aktivis/
460
Fajrieansyah secara terang-terangan menyatakan dukungan
terhadap senior-alumninya: ‘untuk Kakanda Anas, beliau
tidak sendiri, ada kami di sini yang selalu mendukung secara
moril’.348 Bahkan oleh Fajrie, dalam agenda Kongres PB HMI
15-22 Maret 2013 direncanakan akan membahas bagaimana
caranya memantapkan dukungannya.349 Itulah mengapa
berjibun-jibun kader membangun konsolidasi hingga
menerbitkan perjuangan yang sebegitu heroiknya. Aksi unjuk
rasa berlangsung di pelbagai Cabang bukan hanya untuk
menyelamatkan nama baik keluarga besar HMI, tapi terutama
membebaskan Anas dari ancaman hukuman penjara. Ketika
Presidium KAHMI itu mau divonis hakim Tipikor, maka
massa HMI menggelar demonstrasi demi menyelamatkannya.
Dengan semangatnya seorang pimpinan aksi bersuara: ‘ayo
kawan-kawan kita harus tegakkan keadilan, bebaskan Anas
Urbaningrum’. 350
348
https://m.republika.co.id/hmi-pastikan-anas-urbaningrum0tidak-sendiri/
349
Ibid.
350
https://www.suara.com/bela-anas-aktivis-hmi-serbu-pengadilan-tipikor/
461
HMI memandangnya sebagai sebuah ketidakadilan. Pelaku
korupsi selanjutnya bukan malah setuju dipenjara, melainkan
berusaha dilepaskan. Fenomena ini menyingkapkan
bagaimana independensi dilacurkan atas dasar kepentingan
sektarian: agar HMI-KAHMI tidak tercoreng, alumni HMI
yang korup perlu dibebaskan dari segala tuduhan. Bagi
mereka, kebenaran bukanlah merupakan keberpihakan kepada
Tuhan YME maupun rakyat miskin dan tertindas. Melainkan
kebenaran adalah apa-apa yang berguna untuk melindungi
kebesaran organisasi, termasuk citra tokoh-tokohnya selaku
birokrat atau politikus.
351
Jeffrey Winters, Op. Cit., Hlm. 269.
462
mendongkak Anas ke kursi Ketum Demokrat, hingga sanggup
memelorotkan independensi HMI. Dalam situasi inilah uang
menjadi seperti yang dikatakan Marx dulu sekali: ‘segala
sesuatu yang tidak Anda dapat lakukan, uang Anda dapat
melakukannya pada Anda; uang itu dapat makan, minum,
menonton bola dan teater. Uang dapat belajar seni,
pegetahuan, sejarah dan kekuaasaan politik, dan dapat
melakukan perjalanan’. Winters mengatakan:
352
Ibid, Hlm. 26-27.
463
maupun cara-cara pemaksaan—mereka berusaha
mengamankan kekuasaan ekonomi dan politiknya. Dari rahim
HMI-KAHMI tokoh tenarnya yang oligark tak saja selemah
Anas Urbaningrum, tapi juga sekuat Akbar Tanjung. Jeffery
A. Winters membeberkan bahwa ia merupakan oligark
pribumi yang cukup besar untuk bermain dalam persaingan
oligarkis pasca-1998. Sumber daya kekuasaannya berlapis-
lapis: mulai dari menggunakan kekayaannya sendiri sebagai
kekuasaan material hingga penggunaan jabatan politik selaku
elit. Diceritakan oleh Winters bahwa kisah keoligarkian Akbar
dibuka dengan skandal penggelapan uang rakyat:
353
Ibid, Hlm 272.
464
Setelah skandal penggelapannya berlalu Akbar Tanjung
kembali membuktikan dirinya sebagai bagian dari kelompok
oligarki. Kali ini korban utamanya ialah keluarga besar HMI.
Dengan ketokohan sebagai senior-alumni ditambah jabatan
publik dan kekuasaan materilnya, dia mencoba menggiring
massa HMI-KAHMI untuk dukung Jokowi-Ma’ruf pada
Pemilu 2019. Jokowi baginya merupakan sosok yang lebih
mampu menjamin pertahanan kekuasaan politik dan
ekonominya ketimbang Prabowo. Di belakang Jokowi
bergelantungan miliarder-miliarder besar: Bos Oso Group
Oesman Sapta Odang; Bos Chairman Group Recapita Rosan
Perkasa Roelani; Bos Media Group Surya Paloh; Bos Mahaka
Group Eric Tohir—yang bersama Rosan Roeslani dan Handy
Soetodjo menguasai 70 persen saham Inter Milan, Italia; bos
MNC Group Hary Tanoesoedibjo; dan alumni HMI Jusuf
Kalla sebagai Bos Kalla Group.354 Bersama JK, Akbar tidak
sendiri—bergabung dengan gerbong kapitalis dan oligark—
menjadi tokoh KAHMI yang berusaha memenangkan Jokowi.
Dengan kepiawaian mereka dalam berpolitik bahkan massa
himpunan nekad digiring mengikuti.
354
Lihat Dipo Negoro, (2018), Membongkar Dua Kubu Borjuis dalam
Pilpres 2019, Arah Juang, No. 48(I-II), Hlm. 1.
465
jauh sebelum dibukanya Milad HMI ke-72, seabrek
propaganda ditebar begitu riuh, atraktif, dan mencengangkan.
Poster undangan yang disebarnya memberitahukan: Akbar
Tanjung akan menggelar deklarasi KAHMI-HMI mendukung
calon presiden. Namun informasi itu kemudian dibantah:
bukan mendeklarasikan soal calon presiden melainkan
merayakan ulang tahun HMI. Sewalaupun bantahan telah
dilontarkan tapi suasana perayaan milad memberi bukti
terjadinya politisasi: Maka penggung milad disulap jadi altar
pengorbanan independensi. Seluruh anggota dan alumni HMI
memang diundang dalam rangka memperingati hari kelahiran
organisasinya, tapi diselubingi dengan penggalangan
dukungan buat Jokowi. Akbar memang pandai memainkan
skenario penjeratan. Tetapi yang dijeratnya kali ini bukanlah
pemimpin seperti Gus Dur, melainkan keluarga besar
himpunan.
466
menuntut ilmu di UGM.355 Penyerupaannya merupakan
tindakan acum. Dia memposisikan Jokowi sebagai tokoh
sentral yang pantas didamba. Inilah kenapa dirinya berpidato
sambil berdo’a dan menggoda. Melalui sikapnya itu Akbar
tidak cuma bertujuan mempengaruhi khalayak di hadapannya,
melainkan ikut mengarahkan jutaan massa HMI-KAHMI—
yang tersebar di segala penjuru—untuk memilih siapa yang
dimintanya:
355
Lihat https://nasional.tempo.co/read/1172616/saat-akbar-dan-putra-
pendiri-hmi-pakaikan-ulos-jokowi/
356
https://pilpres.tempo.co/read/1172522/di-hut-hmi-akbar-tandjung-
doakan-jokowi-menang-pilpres/
357
https://m.kontan.co.id/news/akbar-tandjung-saya-akan-pengaruhi-kader-
hmi-pilih-jokowi/
467
bersama’ untuk mendukung calon presiden. Sikapnya di atas
panggung—memakaikan ulos, mendo’akan hingga pernyataan
memilih Jokowi—adalah bentuk perongrongan terhadap
independensi secara subtil tapi licik. Tindakan
komunikatifnya bukan searah melainkan berposisi timbal
balik. Karena selain sebagai harapan, apa yang
diperlihatkannya mewacanakan relasi ideal dengan penguasa
terkutuk. Makanya tiba-tiba banyak sekali KAHMI yang ikut
mengekor pada pilihannya: mereka mengatasnamakan diri
Eksponen Alumni HMI Pro-Jokowi.358 Bahkan sinyal yang
diberikannya tadi ikut membuat adik-adiknya—di PB HMI
maupun DPP KNPI—berbaris membebeki. Dualisme yang
berkecamuk pada kedua kepengurusan lembaga ini pastinya
ekses dari penetrasi kekuasaan yang menggoncang. Lihat saja
bagaimana Haris Pratama menyatakan akan membantu
memenangkan Jokowi-Ma’ruf tanpa tending aling-aling.
Bantuan ingin diberikan lewat organisasi-organisasi
kepemudaan yang berada dalam genggamannya. 359 Adalah PB
HMI versi Arya yang bersedia berada di bawah naungannya.
Disinyalir topangan diberikan oleh pimpinan OKP itu karena
Haris bukan saja alumninya, namun terlebih senior segerbong
dengannya
358
Lihat https://kabar.news/alumni-hmi-lintas-generasi-dukung-jokowi-
maruf/
359
Lihat https://m.jpnn.com/news/kandidat-ketua-umum-knpi-optimistis-
memenangkan-jokowi-maruf/
468
kekuasaan istana bukan hanya tersirat ketika dirinya
melaporkan hasil Pleno II langsung ke Jusuf Kalla, tapi juga
tampak tatkala didampinginya Akbar Tandjung dalam;
mengulosi, mendo’akan, dan menyembulkan dukungan untuk
kuda pacuannya di Pilpres 2019. Dengan didampingi oleh Pj
Ketum PB HMI, politisi Golkar itu terlihat semringah
berkelakar: ‘komitmen pembangunan yang dilakukan Jokowi
selaras dengan tujuan HMI.’360 Dipandangnya pemerintahan
Jokowi sebagai satu-satunya cara mewujudkan kehidupan
rakyat yang sejahtera. Pernyataan demikian disampaikan
langsung pada momen Milad HMI ke-72. Melalui insiden
itulah kita pun mencium bau bacin liuk-liuk upaya politisasi
organisasi ternyata dilancarkan begitu rupa. Para pemainnya
sebagian berasal dari tokoh-tokoh yang namanya pernah
tercatat sebagai pelaku pelengser Gus Dur.
360
Lihat https://www.memoonline.co.id/read/kahmi-dan-pj-ketua-umum-
pb-hmi-dukung-jokowi-dua-periode/
469
membantunya mempertahankan takhta adalah perangkat
lunaknya. Mereka ialah pembantu yang menyalurkan apa
yang disebut Gramsci sebagai hegemoni dalam negara:
361
Nezar Patria dan Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 120-121.
470
teoritis kelas berkuasa tidak sebatas menjustifikasi dan
menjaga kuasanya, tapi juga berupaya memenangkan
persetujuan aktif dari setiap yang dikuasai.
471
Sajak itu ditulis Yusuf Maulana dengan judul memilukan—
Kematian di Meja Perjamuan:
…
Kawan, aku takkan pernah menyebutmu pelacur intelektual
Karena kutahu kau anak pengajian yang masih simpan iman
Meski, banyak sejuta pemuda resah dengan polamu
Jangan, marah, memikirkan apa yang ada dalam pikiranmu
472
Tinggal bagaimana kau luruskan perjuangan yang sempat
bengkok ini
Kawan, jamuan itu mahal, dibiayai uang rakyat
Itu bukan cuma-cuma untuk kau abadikan di dinding kos
Mestinya harus kau pasang di sanubarimu terdalam
Foto dengan coretan garis amat tegas:
Dari anak muda yang pernah dibungkam rezim!362
362
Yusuf Maulana, (2015), Aktivis Bingung Eksis; Pentas Gerakan
Mahasiswa di Era Korporatisme Kuasa, Surabaya: Pustaka Saga, Hlm.
VIII-X.
473
ralasi-relasi patron-client antara senior dengan junior
dijadikan sebagai pegangan.
474
tenggelam dalam pusaran isu dan rumor politik yang
amat tinggi di tubuh HMI.363
363
Taufik Z. Karim, (2012), Otokritik terhadap HMI, Yogyakarta: Iqra
Publishing, Hlm. 48.
364
Bukalah polemik soal dana hibah dari APBD RIAU untuk Kongres HMI,
yang mematok harga secara berlebihan: Rp 3 miliar
(m.merdeka.com/2015/09/11). Atau persoalan dana hibah Rp 1 miliar dari
pemkot makasar, tapi tidak sampai di laporan kas masuk HMI, sehingga
dianggap oleh kader HMI Cabang Makassar dana tersebut tidak jelas
diperuntukan buat apa (Makassar.tribunnews.com/2018/01/07).
475
strategis. Makanya kerja-kerja advokasi didekati dengan ragu-
ragu, tanpa komitmen, dan amat-amat lemas.
476
mata mereka; Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Fuad Bawazier,
Priyo Budi Santoso, Amien Rais, Anas Urbaningrum, M.
Fakhruddin, dan senior-alumni HMI yang politikus maupun
birokrat lainnya—merupakan prototip sempurna.
Kesempurnaan ilusif orang-orang ini berhasil menjauhkan
seabrek kader himpunan dari sinar tauladan yang diajarkan
Lafran Pane. Kini pemikiran dan tindakan Lafran hanya jadi
bahan cerita dalam acara-acara serimonial organisasi semata.
Tetapi jarang diamalkan ke aktivitas perjuangan harian HMI-
KAHMI. Ketimbang dijadikan inspirasi, sosoknya justru
sebatas dipuja-puji sebagai legenda. Namanya diharumkan
selaku pahlawan tapi peninggalannya tentang keharusan
berpikir dan bertindak independen sukar diteruskan bersama.
365
Hariqo Satria Wibawa, (2011), Lafran Pane Jejak Hayat dan
Pemikirannya, Jakarta Selatan: Penerbit Lingkar, Hlm. 70.
477
itu pulalah pengurus-pengurus mesti memetik pelajaran
tentang kepribadian yang tidak haus akan sebuah jabatan,
jaringan, dan uang seperti streotip kepengurusan hari-hari ini.
Daripada mengajari mengejar modal sosial, ekonomi, dan
simbolik; ia malah mengajarkan jadi seorang yang sabar,
mengayomi junior, sederhana, bersahaja dan yang terpenting
berkomitmen penuh independensi. Itulah mengapa ketika
Lafran ditawari duduk sebagai pimpinan dalam PPP, juga
diminta jadi anggota atau pengurus Golkar, dan dibujuk
menjabat Ketua Umum Al Jamiatul Wasliyah Daerah
Istimewa Yogyakarta—semua bentuk kekuasaan itu
ditolaknya demi menjaga independensi HMI.
478
melalui ucapan Soe Hok Gie: ‘lebih baik diasingkan daripada
menyerah terhadap kemunafikan’.
479
membentuk front yang berguna dalam gerakan-gerakan
revolusioner … dengan demikian tanggung jawab
pokok cendikiawan adalah membangkitkan dan
membangun masyarakat, bukan memegang
kepemimpinan politik negara. bila masyarakat
dibimbing dan dibangunkan secara benar, dia akan
melahirkan pahlawan-pahlawan yang cukup tangguh
untuk memerintah dan membimbing masyarakat.366
Hlm. 249-250.
480
Makanya berkali-kali kader-kader HMI menggelar
membangun kegiatan kolosal dan melancarkan gerakan
kontrol bukan semata berdasarkan kebenaran; melainkan
kebutuhan, keinginan, maupun pesanan senior-alumninya
yang berkuasa dalam pranata kenegaraan. Kebenaran bagi
mereka bukanlah sesuatu yang mesti dicari melalui
perjuangan terus-menerus. Karena benar atau salah, semuanya
dapat ditentukan lewat kekuasaan negara borjuis. Itulah
mengapa dalam pergerakan bahkan perkaderan yang mereka
lakukan menjadi kering akan nilai-nilai kebenaran yang sejati:
keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan. Walhasil, kaderisasi
tak mampu menyediakan landasan untuk melakukan
pembebasan. Karena ketimbang membebaskan, kaderisasi
justru jadi arena terbitnya pelbagai perbudakan. Sehingga
pergerakan yang dilancarkan pun hanya untuk memuaskan
nafsu segelintir tuan pemilik budak dalam himpunan.
Kebenaraan akhirnya cuma sebuah kedok yang berlagak
penuh kesucian. Tetapi isinya sesak akan kebohongan,
kepalsuan, dan kemunafikan.
481
membocorkan rahasia kemiliteran Prancis kepada Jerman. 367
Pemenjaraan atas pria tak bersalah itu kontan menambat hati
novelis Emil Zola untuk meluncurkan perlawanan. Dia
meyakini bahwa yang salah bukanlah Dreyfus tapi para
pemegang kekuasaan. Maka kebenaran baginya adalah
pemihakan terhadap korban. Zola secara cekatan memerotes.
Mula-mula dia mengeluarkan surat pembelaan terhadap
Dreyfus berjudul J’accuse (Aku Mendakwa). Lalu kampanye-
kampanye memberi dukungan kepada korban kekuasaan
dilakukannya secara intens. Negara borjuis Prancis akhirnya
bereaksi sadis. Perlawanan Zola diredam sedemikian rupa
hingga dirinya ikut mendapatkan siksa. Hanya naskah
pembelaannya kemudian dikenal sebagai ‘Manifesto Para
Intelektual’ yang amat bermakna, menginspirasi, dan
mendunia:
367
Alfred Dreyfus, Yahudis, seorang kapten dalam jajaran militer Prancis
ditahan pada 15 Oktober 1894 dengan tuduhan menyelundupkan rahasisa
kemiliteran Prancis kepada tentara Jerman. Dua bulan kemudian Dreyfus
diadili di Mahakamah Militer lalu dibuang ke Guyana.… dalam Daniel
Dhakidae, (1987), Cendikiawan dan Kekuasaan, Jakarta: Pradjnya
Paramita, Hlm. 197-199).
368
Ibid, Hlm. 199.
482
Cerita pembalaan terhadap Dreyfus begitu bergelora akan
semangat independensi. Keberpihakan Emil Zola kepada
kebenaran tidak mengenal kompromi. Karena kegandrungan
terhadap sesuatu yang benar baginya bukan sebatas
terpancang dalam pikiran, melainkan juga harus tercermin
lewat tindakan. Perjuangannya kelak persis seperti kisah
perlawanan seorang Edward Snowden. Pemuda satu ini
merupakan ahli di bidang teknologi. National Security of
America (NSA) merekrutnya untuk membuatkan mesin yang
mampu mengintai seluruh warga bumi. Di tangannya alat itu
dibuat dengan memanfaatkan banyak program secara lihai.
Tapi sebelum terjerambab jauh dalam proyek laknat tersebut
dia keburu sadar: dirinya sedang bekerja pada kelompok
bertabiat Dajal—ingin mengendalikan dunia dan menguasai
kehidupan umat manusia. Maka dengan sekejap ia pun
membuang segala fasilitas, kenikmatan, dan kemapanan yang
terlanjur diterimanya dari Amerika Serikat. Kepicikan,
kebusukan, dan keculasan Pemerintah AS lalu dibongkarnya.
Data-data dibocorkan secara rinci tanpa sedikitpun takut.
Publik akhirnya mengetahui bahwa dalam proyek pembuatan
mesin pengintai massal bukan saja melibatkan pejabat-pejabat
korup, melainkan pula pemodal-pemodal rakus pemilik
Apple, Facebook, dan Microsoft.
483
Kisah keduanya mengajarkan siapa saja: kebenaran tidak
boleh tenggelam dalam pusaran kekuasaan apalagi sampai
dibiarkan dimanipulasi oleh kelas penguasa. Hari-hari ini kita
tentunya merindukan lahirnya orang-orang berkepribadian
seperti mereka dari rahim himpunan. Zola dan Snowden
punya karakter kuat sebagaimana yang dimiliki Lafran. Maka
walaupun tidak hidup sezaman tapi ketiganya seperti
bersepakat: sifat independen tak melulu menghiasi cangkang
kepala atau sebatas didiskusikan, tapi dipraktikan langsung ke
lapangan kehidupan. Seorang Snowden bahkan menegaskan:
369
Glenn Grenwald, (2016), No Place To Hide: Edward Snowden:
Pembongkar Sistem Pengintaian Massal AS, Yogyakarta: Bentang.
484
kader menjadi pribadi merdeka. Kemerdekaan itu bukan
sebatas tak terbelenggu nafsu sendiri, melainkan pula terbebas
dari penghambaan, perbudakan, dan penindasan anasir-anasir
di sekitarnya. HOS Tjokroaminoto menjelaskan bahwa tiap-
tiap orang Islam tidak harus memancangkan ketakutan di
hadapan siapapun atau apa pun juga. Takut soalnya hanya
diwajibkan takut kepada Allah saja: ‘La haula wala kuwata
illa billah (Tidak ada pertolongan dan kekuatan melainkan
dari pada Allah belaka). Iyaka na’budu wa iyaka nasta’in
(Hanyalah Tuhan saja yang kita sembah dan hanyalah Tuhan
sendiri yang mintai pertolongan)’. Ketakutan terhadap Tuhan
bukanlah berasal dari rongongan ancaman dan bahaya, tapi
manifestasi keimanan. Iman yang membentuk manusia jadi
pribadi independen itu diceritakan Tjokro demikian:
485
mempertegahkan, tiadalah dapat dikaruniakan kepada
manusia kalau tidak ada perantaraan Tuhan, dan Dia-
lah yang kuasa dan berpengetahuan/Surat XXXV. 370
370
HOS Tjokroaminoto, (2010), Islam dan Sosialisme, Bandung: Sega
Asry, Hlm. 46-47.
371
George McTurnan Kahin, (1995), Nasionalisme dan Revolusi Indonesia,
Jakarta Pustaka Sinar Harapan, Hlm. 55)
486
Kala itu tidak ada gerakan politik yang bisa memenuhi
kebutuhan pokok rakyat selain SI. Namun bertambahnya
dukungan terhadap organisasi pergerakan itu justru disambut
pemerintah kolonial dengan rupa menyeringai. Belanda
bertambah cemas ketika beberapa kader SI mencampurkan
militansi Islam dengan gaya yang lebih marxistis. Eksperimen
ini soalnya berhasil membuat penjajah semakin was-was.
Karena percampuran ramuan ajaran kegamaan yang
dicamupurkan dengan teori sosial-kritis ternyata mampu
menarik dukungan luas rakyat dalam bentuk bergabungnya
berbagai elemen radikal untuk melakukan protes yang jauh
lebih nyaring. Suara-suara massa bergema tajam sekali. Itulah
sebabnya kekuasaan kolonial merasa waktunya untuk tidak
lagi memberi kebebasan pada gerakan ini. Sejumlah tokoh
radikal dicekok oleh pemerintah kolonial dan kemudian
dibuang maupun dilenyapkan secara misterius. Aparat-aparat
kolonialisme-imperialisme memang tidak suka kepada orang-
orang yang berwatak kritis. Eko Prasetyo menuliskan bahwa
untuk membungkam pejuang di zaman pergerakan,
pemerintah kolonial mempraktekan tindakan bengis serupa
pemerintahan Soeharto. Penguasa menikam aktivis bahkan
dipakai tuduhan komunis:
487
Hidupnya penuh dengan aroma keberanian dan
keteguhan untuk berada di sisi para petani yang
dianiaya. Buat Haji Misbach Islam bisa jadi landasan
gerakan sosial dengan memproduksi pemahaman
keagamaan yang meletakkan titik batas lugas:
kemunkaran melawan kebajikan. Tulisannya pada
waktu itu sangat progresif karena meletakkan setan
bukan sebagai makhluk halus melainkan kekuatan
menindih nilai-nilai kemanusiaan. Bacalah teks
Misbach yang lugas, tajam dan menyeluruh ini:
“Marilah! Saoedara-Saoedara kami, bersama-sama
menolong pada Kang Kromo jang selaloe diisap
darahnja oleh si Demit tadi. Maka soedah terseboet
dalam chadis jang begini artinja: Allah Ta’ala itoe
mesti menolong pada, kalaoe kita misi menolong
djoega kepada saoedara kita!” 372
372
Eko Praseto, (2016), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif Atas Kisah-
Kisah dalam Qur’an, Malang: Beranda Kelompok Intrans Publishing dan
Social Movement Institute, Hlm. XXII-XXIII.
488
penuh komitmen dengan garis massa-rakyat. Semntara SI
Putih jalan juangnya adalah dekat dengan para pejabat.
Karena iming-iming penguasa telah berhasil meluluhkan
militansi tokoh-tokohnya. Mereka berduyun-duyun memasuki
birokrasi hingga menjadi penindas-penindas baru. Keadaan ini
serupa apa yang kerap dirasakan kader-kader himpunan
sekarang: pemimpin-pemimpinnya ditawari pelbagai posisi
dalam pranata kenegaraan. Ketika senior-alumninya diberi
jatah di kursi pemerintahan, gerakannya kemudian menjadi
tak karuan. Pemberian jabatan soalnya merupakan cara ampuh
untuk melumpuhkan organisasi pergerakan.
489
dipancangnya Islam hanya sebagai budaya, Orba kemudian
mendukung lahirnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam.
Kala itu dasar-dasar pembaharuan pemikiran Islam
ditanamkan oleh anak-anak muda yang tumbuh di HMI:
Nurcholish Madjid dan kawan-kawan. Pada akhirnya
konstruksi pembaharuan yang digagas memberikan
sumbangan penting terutama bagi dikukuhkannya kekuasaan
negara. Eko Prasetyo menjelaskan begitu rupa:
373
Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal Dari
Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 207.
490
Sementara melalui pertautan dengan kepentinga-kepentingan
yang cukup kompleks, maka mereka yang duduk di birokrasi
akhirnya bersifat cukup oportunistik. Itulah sebabnya sikap
gerombolan tersebut amat serupa: kebanyakan cenderung
mempertahankan status quo. Mitos pembangkangan terhadap
kelas penguasa lenyap, karena mereka mengapresiasi doktrin-
doktrin keagamaan yang cocok dengan proyek pembangunan.
Sejak zaman Soeharto sampai Jokowi, doktri keagaamaan-
pembangunan mengalir deras dalam rahim himpunan.
Walhasi, organsasi ini sulit sekali bergerak secara progresif,
radikal, dan revolusioner—untuk memperjuangkan
perubahan, terutama merubah tatanan.
491
ini sangat sulit dihadapi oleh HMI, karena organisasi kurang
serius memperhatikan struktur sosial tempat modal tumbuh
dan berkembang dengan pesat. Pemikiran-pemikiran modernis
soalnya bukanlah merupakan pisau analisis yang tepat.
Modenisme enggan menelanjangi, mem bedah, dan
merubahnya, melainkan merawatnya secara amat sangat.
Lihat saja bagaimana himpunan bersikap dependen pada
Orba. Bahkan setelah reformasi mental-mental warisan rezim
lama itu masih membekas begitu rupa. Walhasil, seabrek
pengurus hingga senior-alumni HMI kerap kali luluh oleh
bujuk-rayu kelas penguasa. Makanya persoalan-persoalan
rakyat enggan disuara.Modal sepertinya telah menyumbat
mulut, tenggorokan, perut, bahkan nuraninya.
492
pemikiran modernis dievaluasi: bukankah gagasan-gagasan
pembaharuan tidak pernah menyentuh dimensi
pembangkangan terhadap struktur kapitalisme, melainkan
menerimanya dengan penuh persahabatan? Jawablah secara
jujur: bukankah dirimu sudah jenuh memperbanyak dan
menyebarluaskan doktrin keagamaan yang berorientasi pada
pengembangan pribadi tanpa menyentuh sistem ekonomi-
politik dan struktur sosial-kemasyarakatan? Berhati-hatilah:
ajaran yang meniscayakan keutamaan pribadi menjadi modal
kultural bagi gerak modernisasi dan pembangunan. Ingatlah!
Ali Syari’ati pernah menyatakan:
374
Ali Syari’ati, (2017), Sejarah Masa Depan, Yogyakarta: Karkasa.
493
Korporatisme Negara Mencemari
Semangat Pembebasan Islam
Usia HMI sudah tidak muda lagi. Dia sudah tua, penuh
dengan uban, hingga berompong gigi. Tetapi ia memiliki
pengalaman yang amat berisi. HMI berhasil melewati zaman
kekuasaan Orla, Orba, dan kini telah menghirup udara
Reformasi. Organisasi ini telah merasakan bagaimana hidup
bersama Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati,
SBY, hingga Jokowi. Hanya abad 20 telah berlalu. Sekarang
tibalah abad 21. Masa di mana perkembangan kapitalisme
semakin brutal, sadis, dan tidak mudah layu. Francis
Fukuyama berdalih bahwa kapitalisme merupakan akhir dari
sejarah umat manusia: fase sosio-historis tersebut adalah
perkembangan paling puncak dari sejarah dan masyarakat.
494
Maka inilah saatnya peradaban umat manusia berada pada apa
yang dikatakan Hegel: perkembangan yang semakin rasional.
Air kehidupan yang terus-menerus mengalir kemudian
mempengaruhi setiap yang ada di dalamnya, termasuk HMI.
Itulah kenapa sejak kelahirannya, himpunan selalu berusaha
meng-upgrade diri. Organisasi telah beberapa kali berganti
tujuan sampai tiba pada sebuah visi kontemporernya:
terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT.
495
Maka agama kemudian diaplikasikan sebagai alat perjuangan,
terutama untuk memanusiakan manusia. Begitu banyaknya
teks-teks Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berbuat
adil dan menentang kezaliman penguasa. Ayat-ayat Tuhan
yang tersurat maupun tersirat—secara langsung atau tidak
langsung—menggugat kondisi-kondisi ketidakadilan yang
terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dengan membenturkan wacana langit pada
realitas, HMI pasti akan mendapati dirinya melanjutkan
perjuangan seorang Lafran Pane yang telah menghadirkan
organisasi sebagai alat perjuangan melawan kebodohan,
kesesatan umat, dan kolonialisme-imperialisme. Apa yang
dilakukannya Lafran pada awal-awal kiprah HMI, menjiwai
asas Islam sebagai ruh gerakan. Islam menjadi sebuah
ideologi berbasiskan semangat ketauhidan yang mendorong
penganutnya melakukan pembebasan. Dalam pandangan
hidup tauhid, manusia hanya menaruh takut akan satu
kekuatan dan hanya merasa bertanggung jawab pada satu
hakim. Ia hanya mengahadap ke arah satu kiblat, dan
menunjukan harap dan hasratnya cuma kepada satu sumber.
Akibatnya ialah bahwa selain yang bertolak dari
ketahuhidannya, maka semuanya palsu dan tanpa arti—selain
itu keserbamacaman kecenderungan usaha, hasrat, serta
harapan dan ketakutan manusia adalah sia-sia tanpa guna.
Untuk mengurai ini dengan singkat, padat dan jelas—ada
baiknya kita simak tulisan Ali Syari’ati:
496
memberontak terhadap semua kekuasaan dusta,
mematahkan segenap belenggu dan kerakusan nista.375
375
Ibid, Hlm. 77
497
berkompromi dengan rezim. Sehingga banyak sekali persolan
penggusuran lahan yang mengakibatkan tersiksanya rakyat
enggan disoroti. Ini terlihat jelas ketika HMI hanya bisa
bergeming ketika terjadi konflik vertikal antara kaum miskin
dengan penguasa dan pengusaha di beragam wilayah:
Freeport Papua; Tiaka, Bangai dan Bombana di Sulawesi
Tengah; Meranti dan Suluk di Bongkal Riau; Ongan
Komering Ilir di Sulawesi Selatan; Kebumen di Jawa Tengah;
Sidoardjo di Jawa Timur; Wot Galih di Lumajang; dan Mesuji
di Lampung—dan masih banyak lagi contohnya. Dalam
keadaan ini HMI seakan ketiduran. Tidak ada sama sekali
usaha-usaha gerakan yang mampu memberikan pendidikan
politik kepada rakyat, agar mereka mendapatkan pengajaran
tentang bagaimana mengarungi kehidupan di zaman modal.
Walhasil, organisasi abstain dalam membangkitkan kesadaran
massa-rakyat untuk lebih jernih melihat kehidupan yang
dipenuhi tebaran kasus korupsi elit-elit birokrasi, buruh yang
dieksploitasi perusahaan, persoalan dunia pendidikan yang
carut-marut, dan segudang polemik nasional maupun lokal
lainnya.
498
kesulitan membiayai hidupnya; mereka yang menjadi
mayoritas termiskinkan di tengah kekayaan segelintir
kalangan; dan mereka yang terus-menerus dijauhkan dari
akses kesehatan dan pendidikan layak di kala pembangunan
digencarkan atas nama kesejahteraan. Asghar Ali Engineer
memberitahukan, jika Islam benar dijadikan sebagai landasan
perjuangan maka yang seharusnya dilakukan adalah bergerak
berhadap-hadapan dengan segala yang meluncurkan
kemanusiaan:
376
Asghar Ali Engineer, (2009), Islam dan Teologi Pembebasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 7.
499
Pelajaran gerakan sebenarnya bisa ditauladani dari
Muhammad SAW. Namun setelah berhasil memberikan
dukungan pada militer kanan untuk menyongkel kekuasaan
Soekarno—dan semenjak 1969-sekarang, yang dalam sejarah
HMI tercatat sebagai fase pembangunan—maka organisasi ini
lebih mantap mendukung agenda-agenda pembangunan dari
pemerintah. Itulah mengapa negara kemudian memberikannya
hadiah: para aktivisnya bisa dengan mudah mendekat dan
menjadi bagian kelas penguasa. Lama-lama ini menjadi
perbuatan yang banyak melahirkan sikap kompromistis atas
nama ikatan, jaringan, jabatan, bahkan keuangan segala.
Padahal kita mengerti: sejatinya kejahatan yang paling
sempurna adalah kejahatan yang dilakukan oleh negara. Lord
Action pernah berkata: ‘kekuasaan itu cenderung korup’.
Maka kekorupan kerap kali dilancarkan oleh alumni-alumni
HMI. Korupsi yang diajarkan Orba kini telah menjadi
kebiasaan yang tak mampu ditinggali. Karena orang-orang
yang ada dalam pranata kenegaraan ialah mereka yang lahir,
tumbuh dan berkembang serta banyak menelan pil ajaran
Soeharto.
500
faksinya. Rata-rata bisnis tersebut bersifat illegal dan
dilakukan dengan sangat mengada-ada. Bentuknya terlihat
lewat berbagai pungutan pengangkutan barang,
penyelundupan, dan pemberian perlindungan bagi kejahatan
terorganisir.
377
Beni Pramula, (2015), Ironi Negeri Kepulauan, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, Hlm. 53-54.
501
sekarang, alumni tidak mungkin berpolitik secara
sempurna beridealisme seperti harapan tujuan HMI,
betapapun tujuan organisasi telah menjadi semacam
spirit perjuangan mereka. Apabila himpunan terlalu
terpukau dengan kebesaran networking (jaringan) para
alumninya, bila HMI makin terjerumus dengan kegiatan
politik praktis, dan bila HMI terlalu responsif dengan
situasi yang bersifat current event (kegiatan saat ini),
maka organisasi ini secara pasti semakin menjadi
myopic (lamur).378
378
Ali Asghar dan Aridho Pamungkas, (2013), Perpecahan HMI
Menggugat Kebangkitan Intelektual, Jakarta: Bumen Pustaka Emas, Hlm.
52-53.
502
ada sebagian yang kemudian merapat ke partai politik tertentu
dan terdapat pula yang membangun aliansi dengan gerakan
muda lain.
503
yang tidak berpihak kepada kepentingan kaum kecil dan
tertindas? Dan apakah hal tersebut menauladani sosok dan
semangat seorang Lafran Pane yang berhasil menjiwai
semangat nabi: ajaran pembebasan Islam membuatnya berani
meneguhkan sikap berlawan terhadap situasi dan kondisi pada
zamannya? Tugas agama dan negara yang diperankan
organisasi pada mula buka kemunculannya adalah
mencerminkan sikap organisasi yang progresif. Lembaga
mahasiswa Islam ini benar-benar mengamalkan ajaran Islam
untuk membebaskan umat dari cara-cara keberagamaan yang
dangkal dan vulgar.
504
‘korporatisme atas aktivisme mahasiswa’. Dia bahkan
memberi penjelasan bagaimana hubungan itu berlangsung.
Dalam karyanya Aktivis Bingung Eksis, fenomenanya telah
kita alami bersama pada masa pemerintahan yang di mana
wakil presidennya adalah alumni sekaliber himpunan:
380
Yusuf Maulana, (2015), Aktivis Bingung Eksis: Pentas Gerakan
Mahasiswa di Era Korporatisme Kuasa, Surabaya: Pustaka Saga, Hlm. 12.
505
menurunkan harga BBM. Maka melalui pamberian panggung
itulah gerakan oragnisasi dihadang begitu halus dan penuh
persehabatan. Karena segala perkataan yang disampiakn SBY
bukan dilontarkan dalam ruang hampa, tetapi memiliki
relevansi dalam situasi dan kondisi pemerintahan. Bagi Yusuf,
wacana mengindependenkan organisasi tidak lebih adalah
praktik diskursif SBY yang mencoba meminimalkan atau
menetralkan potensi revolusi HMI. Dalam keadaan yang
beginilah fenomena korporatisme inklusif terjadi.
506
Korporatisme inklusif yang dilakukan pemerintah kepada
gerakan HMI begitu subtil dan agak zalim. Lihatlah
bagaimana kehadiran para pejabat-pejabat negara pada tiap-
tiap setiap pembukaan acara internal organisasi; Konfercab,
Musda, hingga Kongres. Dalam Kongres misalnya, coba
bayangkan siapa yang hadir? Iya, Presiden! Tanpa
kehadirannya Kongres organisasi ini seakan tidak siap untuk
dibuka. Itu terjadi dalam Kongres HMI XXX di Ambon 2018.
Pesta demokrasi himpunan yang memakan anggaran bernialai
miliaran itu hampir seharian diundur, karena Jokowi belum
datang menebar kata-kata mutiaranya di atas panggung.
Wajarlah diundur, soalnya pemberi biaya pelaksanaan
kegiatan belum datang. Seolah si presiden ini adalah Ketua
Umum yang bakal demisioner atau alumni organisasi kita
saja! Apa yang terjadi di Kongres sesungguhnya sama halnya
dengan di Konfercab ataupun Musda: coba aja tengok di
wilayahnya masing-masing! Kehadiran mereka patut kita
curigai. Tentu kader-kader yang berpengalaman menjadi
panitia kegiatan HMI tahu betul barapa besarnya dana yang
dibutuhkannya untuk membiaya acara. Dana yang begitu
melimpah tentunya didapatkan dari kelas penguasa. Sehingga
dalam setiap pembukaan kegitan HMI, pejabat-pejabat
diberikan panggung. Hanya penampilannya di atas penggung
organisasi sangat berbahaya buat kelangsungan gerakan.
Tetapi kita sudah kidung bangga dengan kehadiran elit-elit
pemerintahan.
507
racun yang bernama modal dari kelompok oligarki maupun
kapitalis. Dana yang mengalir miliaran tentu bukanlah sebuah
pendananaan yang diberikan secara gratis, melainkan
meminta dibalas. Terutama melalui kepatuhan kepada otoritas
elemen-elemen birokratis. Itulah mengapa organisasi
kemudian semakin terjerambab melaksanakan praktek yang
akomodatif terhadap kepentingan kekuasaan. Daraslah:
seberapa seringnya muncul kabar di berbagai media tentang
pertamuan PB HMI ke istana negara? Bahkan tidakkah kalian
pernah membaca berita: kedatangan rombongan PB ke istana
disambut hangat Jokowi.
508
kaitan dengan kencangnya dinamika perpolitikan
Indonesia menjelang Pemilu 2019. Sadam yang dulu
saat Kongres sangat di dukung, sekarang mendadak
ingin dilengserkan dengan suara-suara purau.
Pemakzulannya bukan hanya oleh pengurusnya
melainkan juga Koordinator Presidium MN KAHMI
Hamdan Zoelva, beserta alumni lainnya. Ini diduga
kuat dipicu persaingan antar-gerbong politik senior-
senior HMI yang membawa kepentingan orang-orang
di Istana. HMI dirembes karena memiliki basis anggota
yang berlimpah-ruah. Organisasi ini dianggap
berpengaruh besar baik mendukung maupun
menggulingkan kekuasaan dengan mudah. Makanya
oknum senior atau alumni—yang berafiliasi dengan
para penguasa—melakukan penetrasi terhadap
kepengurusan PB HMI. Mereka mencoba mendikte
pengurus-pengurus organisasi. Hal ini tersirat dalam
dinamika PB HMI yang semakin memanas menjelang
Pemilihan Ketua Umum KNPI dan Pilpres 2019. Sekret
PB HMI dibombardil demo-demo pesanan bahkan
preman bayaran yang teramat sadis. Pengerahannya
digencarkan untuk menanggalakan jabatan Ketua
Umum PB HMI yang diemban Sadam Al Jihad.
509
penah mengkader diri di HMI dan Noer Fajrieansyah
(eks politisi PDIP yang menjabat direksi BUMN,
sekaligus mantan Ketum PB HMI). PB HMI begitu
dilematis dalam menentukan dukungan siapa alumni
yang diberi rekomendasi. Namun di bawah
kepemimpinan Sadam ternyata organisasi
mengeluarkan rekom untuk Fajrie, sementara PB HMI
versi Arya mendukung Haris maju di Kongres KNPI.
Kelak di Kongres KNPI yang dilaksanakan pada 18-22
Desember 2018 terjadi pelbagai intrik: Kongres KNPI
yang menetapkan Haris Pertama dan digugat oleh pihak
Fajrie sehingga dilaksankanlah Kongres KNPI Jilid I—
pada Minggu (06/01/2019)—yang memenangkan Noer
Fajrieansyah sebagai Ketua Umum.
510
Korporatisme inklusif yang coba mengarung organisasi
juga nampak jelas dalam Milad HMI ke-72. Acara ini
tak sekedar mengundang Ketua KNPI Haris Pratama.
Tetapi yang terpenting adalah presiden sekaligus calon
kepala negara di pemilu yang selanjutnya. Kegiatan
tersebut diadakan di kediaman politisi-alumni HMI
yang memang mendukung penuh kekuasaan Jokowi:
Akbar Tandjung. Kala itu Akbar menyambut Jokowi
dengan begitu rupa. Dia bukan saja dipakaiakan ulos
tapi juga diberi isyarat menyenangkan: adik-adik HMI
kemungkinan akan terpengaruh untuk mengikutinya—
memilih Jokowi-Ma’ruf untuk memimpin negara.
Ulang tahun himpunan kemudian seperti deklarasi
dukungan terhadap calon presiden. Mungkin itulah
sebabnya, sebelum dimulai acara telah tersebar duluan
undangan deklarasi dukungan untuk Jokowi di tempat
Akbar. Walhasil, kegiatan tersebut berhasil
menghadirkan Hamdan Zoelva dan Jusuf Kalla. Hanya
kehadirannya kompak mengutuk perbuatan Sadam yang
melakukan perbuatan asusila. Makanya kedua tokoh ini
lebih mendukung Pj Ketum PB HMI: Arya Kharisma.
Maka niat busuk untuk mempolitisasi HMI di sini amat
kentara: dalam memenangkan Jokowi-Ma’ruf, Arya
bisa diandalkan dibanding Sadam. Walau Arya
kemudian membantah organisasi tidak akan dipolitisasi
tapi ini dalinya lemah; tak sesuai kenyataan,
mengandung aplogi dan begitu muram.
511
lembaga ini. Hegemoni inilah yang kemudian secara
jelas berbentuk korporatisime inklusif. Dia tidak hanya
melemahkan himpunan tapi terutama menyerap
kekuatan revolusi yang dimiliki: massa-anggota
organisasi. Untuk itulah polarisasi meruap: dualisme
dalam kepengurusan HMI dan dualisme kepengurusan
KNPI. Hanya Saddam berdiri bersama Fajrieansyah,
sementara Arya merapat ke Haris. Walhasil, dengan
pertikaian yang berlarut-larut, HMI selanjutnya alpa
membela kepentingn rakyat. Tenaganya dihabiskan
untuk mengurusi masalah internal, hingga saling
dukung kepada senior-seniornya yang pejabat. Itu
tercermin ketika PB HMI menolak mengambil sikap
terkait pelanggaran HAM pada kecurangan pemilu:
ratusan anggota KPPS meninggal, kriminalisasi tokoh
masyarakat dan dokter yang mengkritik kecurangan
pemilu, tim medis direpresi, dan massa rakyat serta
anak-anak tak bersalah dibunuh dalam aksi 21-22 Mei
2019. Malah dalam suasana yang carut-marut ini
kepengurusan yang berdualisme kompak sekali
meredam gerakan-gerakan kaum tertindas. Lihatlah
bagaimana tindakan yang diambil oleh Sadam Al-Jihad:
dia dengan penuh percaya diri bicara di Metro TV untuk
menghimbau masyarakat tidak melakukan protes.
Sadam dan Arya sesungguhnya serupa: berusaha
mengamankan kekuasaan Jokowi. Hanya keduanya
tidak segerbong: berbeda senior maupun alumni yang
diekori. Perbedaan siapa-siapa yang dipatroni inilah
yang menjadi penyebab utama perpecahan di internal
organisasi.381
381
Catatan dari diskusi-diskusi dengan pelbagai kader HMI sepanjang 2019,
di NTB.
512
Apa yang dipaparkan di atas bukan sekedar berusaha
menggambarkan bagaimana berlangsungnya korporatisme
inklusif, melainkan juga korporatisme ekslusif. Korporatisme
ekslusif menyambar lewat cara-cara aparat TNI-Polri
menangani aksi massa 21-22 Mei 2019. Cara yang dipakai
begitu sarat kekejian. Mula-mula preman diminta
memprovokasi massa rakyat sampai marah dan bertindak
ekstraktif. Ketika suasana mulai merusuh maka inilah yang
sebenarnnya dicari pemerintah sebagai dalih untuk melakukan
tindakan represif. Represifitas aparat kemudian menelan
ratusan korban luka-luka bahkan puluhan meninggal dunia;
beberapa di antaranya adalah bocah-bocah malang yang tidak
berdosa. Anak-anak sekolah ditembaki peluru oleh Brimob
tanpa pandang bahwa mereka bukanlah peserta demonstrasi.
Tetapi untuk menutupi kejahatan ini, penguasa dengan
pelbagai alat propagandanya menyebarkan berita bohong
bahwa yang ditembak dan dipukuli bukanlah anak-anak yang
sedang bermain, melainkan memang pelaku aksi. Itulah yang
kita sama-sama tahu menimpah Harun Al Rasyid: bocah SD
yang dipukuli seperti anjing gila hingga meninggal. Untuk
menutupi kebiadabannya—saking parahnya perilaku sinting
kekuasaan—media sosial pun juga ikut diblokir agar aksi-aksi
dapat diredam dan tidak meluas. Semua ini dilakukan dengan
dalih menjaga stabilitas.
513
dicermati dalam perlakuan bejat yang pemerintah lakukan
terhadap rakyat Papua. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat Papua
menuntut keadilan—yang dilakukan di jalanan Malang,
Surabaya dan Semarang pada Agustus 2019—berujung
dengan balasan koersif. Bahkan TNI-Polri beserta Ormas
yang memiliki hubungan akomodatif dengan kekuasaan
secara leluasa membungkam, menghina dan mengerasi
mahasiswa-mahasiswa di seabrek Asrama Mahasiswa Papua.
Padahal mahasiswa dan rakyat Papua hanya menuntut haknya
yang selama ini dimalingi para oligark dan agen-agen
kapitalisme-imperialisme. Sirkulasi kekuatan modal di
Indonesia telah lama menghadirkan kesenjangan ekonomi dan
diskriminasi rasial bagi penduduk Papua. Perampasan tanah
masyarakat mutiara hitam ditampilkan sangat vulgar oleh
kapital dan negara. Dalih yang diterbitkan sekilas nampak
suci: untuk menyediakan lumbung padi buat bangsa. Tapi
kesucian kata-katanya dikotori oleh pelbagai tindakan
pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua. Makanya West
Papua tiada henti-hentinya meminta referendum segera:
karena di sana telah meluncur wilayah koloni dari Pemerintah
Indonesia. Namun dalam menanggapinya, kelas penguasa
secara pongah membentengi dirinya dengan kegilaan
pemikiran nasionalisme.
514
negara. Bahkan mahasiswa dan rakyat Papua dibombardil
dengan sentimen rasial di bawah panji-panji kapitalisme-
imperialisme yang telah lama menguras habis kekayaan
alamnya. Dalam konteks inilah pemerintah pusat
memproyeksikan dirinya sebagai perpanjangan tangan negara-
negara kolonialisme: menjadi pemerintah kolonial untuk
menjajah Papua. Maka perkembangan negeri-negeri yang
sudah merdeka sekalipun terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan
penjajahan gaya baru; yang menguras habis kekayaan alam,
mengatur kebijakan, dan menawan jantung pemerintahan.
Mereka memaksakan agar perkembangan peradaban negara
jajahan melalui senapan-senapan dan teknologi termaju. Lihat
saja bagaimana bertebarannya aksi kekerasan para serdadu di
Papua. Serdadu-serdau inilah yang kemudian ikut
melanggengkan keberadaan perusahaan-persuhaaan
multinasional di sana.
515
merupakan permasalahan ekonomi-politik—kemudian diseret
ke permukaan menjadi rasialisme. Ken Budha Kusumandaru
secara tepat telah memprediksakan bahwa pertentangan kelas
dalam masyarakat kapitalis akan berubah jadi konflik ras:
382
Ken Budha Kusumandaru, (2004), Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 93.
516
kekuatan TNI, Polri dan ormas dalam mengepung asrama
mahasiswa di Surabaya malah menggelegarkan sentimen
rasial di tengah kehidupan masyarakat. Dalam konteks inilah
elit-elit politik tidak hanya mempertahankan dominasi melalui
korporatisme ekslusif, melainkan juga terus-menerus
menguatkan hegemoni dengan cara korporatisme inklusif.
517
Papua merupakan persis fenomena penjajahan warga kulit
hitam di Amerika:
383
C.Y. Marselina Nope, (2005), Jerat Kapitalisme Atas Perempuan,
Yogyalarta: Resist Book, Hlm. 29-30.
518
sosial, ekonomi, dan politik warga. Dalam konteks inilah PB
HMI lagi-lagi menisbahkan dirinya berada dalam jeratan
korporatisme inklusif. Makanya organisasi tersebut tak peduli
terhadap kebijakan ekonomi-politik pemerintah sebagai akar
masalah yang sesunguhnya. Bagi Ken Budha tindakan
demikian begitu naïf dan dapat membahayakan:
384
Ken Budha Kusumandaru, (2004), Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 94.
519
Inilah sebabnya kita gagal mencerna realitas penindasan
ekonomi-politik yang sedang berlangsung. Walhasil, gerakan
enggan menyuarakan tentang pentingnya persatuan nasional
guna menguatkan pembebasan nasional. Melainkan hanya
meminta agar terus menjaga harmoni atas nama Pancasila
versi penguasa yang oligark dan kapitalis. Melaluinya HMI
tiada bosan-bosannya berusaha menggencarkan usaha-usaha
pembangunan bersama kapitalis-swasta, kapitalis-birokrat,
hingga kapitalis-imperialis. Makanya pemerintah dijadikan
sandaran terus-menerus. Jika kita simak tulisan Ali Syaria’ti.
Perbuatan demikian bukan malah menauladani Nabi Islam,
melainkan nabi lain. Biasanya gerakan mereka adalah
mendekat dengan kekuasaan agar dapat survive.
Mengenainya, Syari’ati menjelaskannya begini:
520
memakai pakaian gembalanya mengumumkan
perlawanan terhadap Fir’aun, untuk mempersatukan
umatnya. Begitu pula Isa berjuang menghadapi
kekuasaan pendeta, yang berbohong dan menerima
kekuasaan kolonisasi Romawi. Sedang Rasul Islam,
sejak semula burjuang melawan aristokrasi terhadap
para pemilik budak, serta para pedagang Quraisy dan
para tuan tanah di Tha’if.385
521
HMI. Soalnya keterasingan HMI dari rakyat disebakan oleh
pengurus-pengurus himpunan sendiri. Mereka sudah terlalu
larut dalam perjuangan yang pragmatis dan oportunis, bukan
ideologis:
522
kader ini belum tercemari oleh pelbagai kepentingan. Prorses
yang dilakukannya di organisasi bukan menerima pesanan
atau mengejar keuntungan, tapi sebagai ajang pembelajaran
dan pencarian pengalaman. Itulah mengapa begitu banyak
anak-anak muda Komisariat yang mendorong berlangsngnya
kegiatan tanpa berharap imbalan. Hanya kini anak-anak muda
itu selalu terancam untuk jatuh ke dalam bujuk rayu dan tipu
daya senior-seniornya. Senior biasanya menyuntikan
kesadaran palsu, terutama tentang pentingnya menjadi
pemimpin yang memiliki jabatan. Sayangnya cara untuk
menjabat cuma satu: taat, tunduk, dan patuh terhadap orang-
orang yang memiliki kekuasaan. Terjerambab dalam kubngan
kua amat berbahaya. Sekaranglah sebenarnya mesti mulai
mendidik diri supaya mampu melawan kenaifan yang terus-
menerus coba diwariskan. Apa yang senior jejakan kepada
kita soalnya merupakan keyakian yang mengambil gaya
keborjuisan. Jangan sampai idealismemu merosot lantaran
mengamini pandangan para senioren. Sebab cara pandangnya
akan membuatmu nyaman menerima guliran korporatisme
inklusif negara.
523
tidak merakyat, maka gerakan HMI tak akan
mampumelakukan apa-apa ketika melihat kesewenang-
wenangan, penindasan, dan ketidakadilan. Aku yakin: hari-
hari ini banyak sekali kader HMI di Komisariat yang merasa
tidak puas dengan keadaan. Tetapi mengapa mereka hanya
punya niat mengbahnya sementara sukar sekali menemuh
jalan pembangkangan? Jawabannya sederhana: karena kita
memang sengaja dididik oleh generasi tua untuk selalu
menjadi seperti bebek atau mesin! Dengan cara itulah
pembodohan-pembodohan terus bertahan. Terutama ajaran
busuk: membangun hubungan baik dengan pemegang
kekasaan. Padahal yang demikian menghisap darah himpunan.
524
mengandrungi ‘jihad’. Bagi Rasulullah SAW, jihad terbesar
adalah berkata benar di hadapan penguasa yang dengan
kekuasaannya merebakan kesengsaraan. Murtadha Muthahari
bahkan mengartikan jihad sebagai sebuah bentuk komitmen
juang seorang muslim dalam melakukan penolakan terhadap
segala kemapanan:
386
Mutadha Muthahhari, (1988), Falsafah Pergerakan Islam, Jakarta:
Amanah Press, Hlm. 42-43.
525
dikuasai.387 Kader-kader sepertinya perlu melihat kembali
risalah kenabian Muhammad SAW. Dulu risalah tersebut
cepat meluas secara menakjubkan di tengah tirani budaya
kelas elit Arab Jahiliyah. Tetapi kemudian partisipasi
masyarakat terhadap Islam berhenti sesudah agama
kehilangan basis etika kritis.
387
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm.30.
388
Dr. Abdul Munir Mulkhan, (2002), Teologi Kiri Landasan Gerakan
Membela Kaum Mustadl’afin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hlm. 216-217.
526
masing-masing kelompok manusia untuk tampil dengan
moralitas profetik itu.389
389
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 7-8.
527
beribadah. Melainkan keberpihakan terhadap korban-korban
kelas pengusa. Rasulullah SAW bahkan bersabda:
390
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), Demi Cita-Cita HMI, Jakarta: PT
Karya Multi Sarana, Hlm. 9-10.
528
FETISISME KEKUASAAN
529
pertama dalam membangun hubungan akomodatif dengan
Soeharto. Sejak saat itulah penguasa Orba melihat bahwa
HMI merupakan organisasi yang patut diperhitungkan, karena
memiliki jumlah massa yang menggunung. Inilah mengapa
Orba membuka kesempatan untuk alumni-alumninya buat
duduk di kursi-kursi pemerintahan. Jatah kursi yang diberikan
tentu tidak gratis, melainkan ada konpensasinya. Maka
beradanya mereka di dalam tubuh kekuasaan berimplikasi
pada gerakan organisasinya. Konon: pada saat himpunan
menerima pemberlakuan asas tunggal Pancasila, Orba
mendikte alumni HMI yang berada dalam birokrasi untuk
membujuk kader-kadernya menyetujui penggantian asas Islam
dengan asas Pancasila. Walhasil, gerakan organisasi makin
erat terkooptasi oleh kekuasaan sepanjang pemerintahan
Soeharto.
530
Program Kerja Nasional (PKN) HMI tak jarang menganjurkan
bidang tertentu dalam himpunan untuk bekerja sama dengan
birokrasi. Itulah yang membuat seabrek pengurus himpunan
tanpa malu bertandang ke kantor-kantor pemerintahan.
Pertemuan mereka ditampilkan sebagai bentuk silaturahmi.
Niat baik ini selalu dijadikan motif untuk menyukseskan
program-program penguasa. Makanya sering kita melihat
HMI mendistribusikan massanya untuk menghadiri atau
menjadi panitia pada kegiatan-kegiatan pemerintah.
531
besar kader menjadikan ajaran Nilai Dasar Perjuangan (NDP)
Bab VI tentang Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
sebagai alasan pembenar sikap lancungnya selama ini:
532
itu berada di bawah kontrol penuh kelas penguasa
permodalan. Inilah mengapa keluarga himpunan kerap
terjebak pada pandangan sempit tentang kuasa: memandang
negara sabagai satu-satunya sumber kekuasaan. Padahal dari
Gramsci kita diberitahu: kekuasaan adalah suatu hubungan.
Makanya kekuasaan tidak sesempit pranata kenegaraan.
Melainkan juga berada pada hubungan sosial-kemasyarakatan.
533
masyarakat-masyarakat yang dermawan yang bekerja
seperti organ-organ pengawasan dari sebuah kelas
lainnya, yang pada dasarnya disebabkan
kekurangmampuan mereka mempertahankan diri
sehingga menjadi sumber-sumber bahaya kolektif;
kelompok-kelompok masyarakat terpelajar, para
akademisi abad kedelapan belas dan abad kesembilan
belas mencatat suatu masyarakat yang berusaha keras
mengorganisasikan pengetahuan global dan kuantitatif
mengenai fenomena tidak wajar. Kesehatan dan
penyakit, seperti dicirikan oleh kelompok atau populasi,
dipermasalahkan pada abad kedelapan belas melalui
institusi-institusi sosial yang bermacam-macam, dalam
sebuah relasi di mana Negara sendiri memainkan
bermacam peran berbeda-beda…. Kadang-kadang
beragam proyek Negara untuk organisasi-organisasi
kedokteran yang otoriter dihalangi: kode kesehatan
yang dielaborasikan oleh Mai dan diterima oleh
Pembesar Istana tidak pernah membawa pengaruh
apapun. Kadang-kadang Negara juga menjadi objek
tuntutan ini, namun sering kali menolaknya. 392
534
soalnya akan sangat berbahaya. Betapapun aktivis HMI punya
tujuan melakukaan perubahan demi terwujudnya
kesejahteraan umat dan bangsa. Kalau sudah menduduki
jabatan tertentu dalam negara maka tujuannya tadi tinggal
sebuah slogan: amat mulia tapi penuh kenaifan. Soalnya
optimisme untuk merubah dari dalam akan menghadapi
banyak sekali tantangan dan hambatan yang membuat siapa-
siapa mudah melakukan pengkhianatan. Itulah kenapa ada-ada
saja alumni HMI yang tak kuat menahan godaan gemerlapnya
kelimpahan modal dan kemewahan material di tampuk
kenegaraan. Tengoklah bagaimana mereka kemudian
bermasalah dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK):
Anas Urbaningrum yang di vonis 4 tahun bui karena kasus
korupsi Proyek Hambalang; Wa Ode Nurhayati yang terjerat
kasus suap pengurusan dana penyesuaian infrastruktur daerah;
Akil Mochtar terkait sengketa Pilkada Gunung Mas
Kalimantan Tengah dan Pilkada Lebak; Abdullah Puteh
dengan kasus korupsi penggandaan helikopter MI-2 buatan
Rusia tanpa melalui proses tender secara terbuka; dan Andi
Malarangeng yang terlibat dalam korupsi proyek
pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga
Nasional (P3SON).393
393
Lihat https://m.merdeka.com/peristiwa/deretan-alumni-hmi-yang-
terlibat-kasus-korupsi-di-kpk.html.
535
rakyat hingga menyeringai. Beradanya orang-orang itu di
dalam pranata kenegaraan nyatanya sekedar memperkaya
dirinya sendiri. Makanya orang-orang yang pernah aktif
dalam himpunan itu tak segan-segan melancarkan perbuatan
zalim seenak perut, sepikir jidad, bahkan sesuka hati. Sederet
nama-nama alumni tadi sesungguhnya tak bermaksud
menggeneralisasi kepada seluruh alumni. Tetapi sekedar
mengingatkan bahwa korupsi selalu menjadi momok bagi
para pejabat dalam sistem yang berlaku sekarang.
394
Lihat https://indoprogress.com/2013/04/korupsi-akibat-persekongkolan-
kapitalisme-dengan-demokrasi/
536
Negara tidak akan bisa didudukan di bawah kontrol
rakyat. Negara selalu memiliki logika dan agendanya
sendiri, yang mana hal tersebut sangatlah kejam dan
segera akan berbalik melawan keinginan orang-orang
yang bermaksud mewakilinya.395
395
Saul Newman, Perang Melawan Negara; Anarkisme dalam Pemikiran
Gilles Deleuze & Max Stirner, Makassar: Kontinum, Hlm. 9.
537
bekerja. Penetrasi nilai-nilai pasar ke dalam sistem politik
demokrasi menjadi sesuatu yang kondusif untuk terjadinya
korupsi.396 Kondisi ini memupuk praktik politik uang,
pembiayaan partai atau calon peserta Pemilu oleh perusahaan,
dan tentu saja korupsi lainnya—semacam yang terjadi pada
alumni HMI—sukar dihindari.
396
Lihat https://indoprogress.com/2013/04/korupsi-akibat-persekongkolan-
kapitalisme-dengan-demokrasi/
538
Lewat tesisnya Dony Ardiyanto menegaskan bahwa
penyebabnya korupsi adalah sangat dekat dengan
kekuasaan—orang yang berkuasa punya kecenderungan
sangat besar untuk korup.397 Dalam konteks itu tugas
kekhalifahan betul-betul dipermainkan oleh sistem birokrasi
kapitalis. Bila kader-kader tidak mampu membuang
pandangan naïf: untuk menegakkan keadilan mesti jadi
pejabat. Ini dapat menyebabkan HMI bukan hanya bersikap
konformis dan permisif atas kehidupan yang kapitalis,
melainkan juga menjadi organisasi yang terus-menerus
mengekor pada negara yang memiliki agenda terselubung dan
logika yang sesat. Itulah mengapa dalam menghadapi
kehidupan yang penuh kegialaan ini tidak saja dibutuhkan
penguasaan atas keinginan-keinganan dan kepentingan-
kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu).
Memang NDP menjelaskan bahwa suatu masyarakat yang
tidak menjadikan Tuhan YME sebagai satu-satunya tempat
tunduk dan menyerahkan diri, berpotensi untuk diperbudak
oleh harta benda, jabatan, dan lain-lain. Mereka tidak lagi
menjadi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi
justru dikuasai oleh hasil pekerjaan (materi). Namun harus
rendah hati diakui: untuk memperkuat ajaran tauhid dan
moralitas itu, kita perlu membekali perkaderan dengan
pelbagai analisis kritis-struktural.
397
https://media.neliti.com/media/publications/4216-ID-korupsi-demokrasi-
dan-kapitalisme-sebuah-manifesto-bagi-gerakan-sosial-anti-koru.pdf
539
demikian justru dapat membuat kader-kader melepas
tanggung jawab untuk melakukan kritik terhadap sistem
kapitalis, serta kaderisasi dan gerakannya yang konservatif.
Perilaku buruk para alumni HMI bukan lantaran kehilangan
pengetahuan moral tentang kebaikan atau sekedar punya
kemauan koruptif. Mereka yang melakukan kejahatan
‘korupsi’ juga bukan semata-mata karena ada iblis yang
merasuki jiwanya. Tetapi di sana ada sistem yang membuat
seseorang punya kecenderungan untuk senantiasa mengorupsi
apa saja. Dalam pandangan marxis, perilaku seseorang
terbentuk oleh lingkungannya. Sedang lingkungan bukan
takdir karena dia berdiri di atas sistem yang sudah berurat dan
berakar sangat dalam sebagai hasil dialektika teori dan praktik
manusia.
540
pada kekuasaan tidak menjadi suatu kenaïfan bila diakui:
anggota himpunan biasanya menggunakan jaringan-jaringan
senior atau alumninya yang saat ini sebagian besar telah
terkontaminasi oleh kegulitaan sistem.
541
dirubah dari dalam. Pandangan seperti ini sudah saatnya di
buang ke tong sampah. Sudah cukup anggota-anggota baru
diajarkan kekuasaan hanya berada dalam instansi
pemerintahan. Karena inilah yang mendorong kita untuk
terus-menerus mengasah bagaimana cara merebut dan
mempertahankan kekuasaan pada lembaga negara melalui
‘latihan’ awalnya lewat lembaga-lembaga kemahasiswaan
internal kampus. Penetrasi ke setiap posisi-posisi strategis
yang ada dalam lembaga mahasiwa semakin hari bertambah
masif dengan dalih sepele: untuk melakukan pembasisan
kader dan menunjang aksesibilitas guna mendukung segala
kegiatan HMI di perguruan tinggi. Sayangnya pernyataan ini
sepertinya agak kabur. Pembinaan, penelitian dan
pengembangan potensi kader justru kerap kali terabaikan oleh
orientasi merebut jabatan apa saja. Itulah kenapa Komisariat
menjadi redup akan budaya intelektualisme dan aktivismenya.
542
organisasi. Ketidakpatuhannya malah ditanggapi dengan
pengucilan bahkan hampir merekomendasikan pemecatan
kader-kader itu ke fungsionaris HMI Cabang Mataram. Dalam
kondisi tersebut lingkungan perkaderan berubah jadi amat
kelam!
543
amat suci, memiliki roh, dan harus dikejar hingga didambakan
terus-menerus. Manakala sikap ini dikaitkan dengan term
‘komoditi’, maka yang dimaksud adalah pemujaan terhadap
sebuah produk lantaran daya pesonanya yang memikat.
Fetisisme komoditi, dengan demikian menegaskan
keberhasilan iklan dengan menciptakan sebuah mitos.
Konsumsi yang dihasilkan dalam sikap fetisis itu adalah
sebuah pemakaian yang absurd. Jean Baudrillard
menyebutnya sebagai ketaklukan manusia pada ‘simbol’.
544
Fetisisme memposisikan jabatan sebagai barang yang ingin
dikonsumsi. Fetisisme kemudian bekerja dengan membangun
kelompok atas atau penguasa yang merencanakan pola
konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah
massif untuk mengikuti pola konsumsi komplotan dominator
tersebut. Ketika kita kaitkan dengan himpunan, kelas-kelas
atas tersebut ialah mereka yang sekarang menjadi pengurus.
Karena merekalah yang memaksakan pilihannya untuk diikuti
seluruh kader. Maka yang diciptakan fetisisme sebenarnya
merupakan bentuk ‘diferensiasi’ sosial antara kelas atas dan
kelas menengah serta jarak sosial antara keduanya yang
selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu kelas
atas. Sebagian besar kader-kader kemudian hanyalah menjadi
kelas menengah yang tidak mampu berkehendak sendiri.
Sebab dalam masyarakat kapitalis, fetisisme pada benda
membuat seseorang kehilangan kemerdekaannya. Herbert
Marcuse mengandaikan kehidupan orang-orang itu sebagai
manusia satu dimensi—hidupnya amat mekanis dan mati rasa,
karena kebebasannya terkekangi:
398
Valentinus Saeng CP, (2012), Herbert Marcuse Perang Semesta
Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: Gramedia, Hlm. 259.
545
menentukan pilihan. Dengan habitus-nya dia merujuk pada
berbagai ‘disposisi yang tidak disadari’. Dalam fenomena
yang terjadi di HMI, pendapat yang tak disadari itu berupa
pendekatan kekuasaan kelas atas yang coba dialirkan ke kelas
menengah. Ia kemudian menjelaskan: ‘disposisi membentuk
kesatuan tak-sadar suatu kelas, skema-skema klasifikasi,
pilihan-pilihan yang dianggap benar yang tampak jelas dalam
pengertian seseorang mengenai ketepatan dan validitas
seleranya akan berbagai benda dan praktek budaya, seni,
makanan, hari libur, hobi, dan seterusnya’. Tetapi lebih
ekstrim lagi, Althusser sebagai pakar ideologi mikro
menyebut ini bukan habitus, melainkan ideologi. Mungkin
karena telah menjadi ideologi, maka gerakan yang bermahzab
kekuasaan itu tiap tahunnya mendorong HMI bertanding
memperebutkan posisi Ketua Bem Universitas tanpa malu-
malu.
546
kepentingan HMI. Hanya kepentingannya yang subyektif
harus bersedia berhadap-hadapan dengan kekuatan obyektif:
subyektivitas menganggap HMI akan menang, tapi realitasnya
mengatakan bahwa basis dukungan massa-mahasiswa
terhadap kandidat HMI belum terlalu kuat. Pemaksaan untuk
menang pada akhirnya menghasilkan loncatan dialektis. Inilah
yang menyebabkan perkelahian antara mahasiswa FH Unram
dengan mahasiswa FT Unram tempo hari.
547
Sekaranglah saatnya kita membuka mata bahwa gerakan
bermahzab kekuasaan ternyata malah membuat anggota
menjauh, bahkan lenyap dari peradaban HMI. Marilah jangan
pungkiri: mayoritas anggota tak berorintasi pada kekuasaan—
masuk HMI hanya untuk mengejar dan mendapatkan jabatan.
Daripada mengejar kuasa; banyak di antara mereka
menginginkan HMI menjadi wadah pendalaman nilai-nilai
keislaman, membentuk intelektualitas lewat baca dan diskusi,
serta menumbuhkan kepekaan sosial melalui gerakan
advokasi. Kini waktunya kalian mengerti: berdasarkan
fenomena yang sering kali kita dapati dewasa ini, HMI
dihadapkan pada situasi dan kondisi perkaderan yang
mengalami suatu sindrom kolektif dengan begitu vulgar.
Itulah yang marak terjadi mulai dari Komisariat, Koordinator
Komisariat (Korkom), Cabang, Badan Koordinasi (Badko)
dan Pengurus Besar (PB). Di mana anggota berlomba-lomba
untuk mengecap harum wangi posisi Ketua Umum, bahkan
dengan menempuh cara-cara beringas. Mereka biasanya
menjadikan gerbong-gerbongnya sebagai kendaraan dalam
setiap suksesi kepemimpinan: Rapat Anggota Komisariat
(RAK), Musyawarah Komisariat (Muskom), Konferensi
Cabang (Konfercab), Musyawarah Daerah (Musda), dan
Kongres. Makanya tidak jarang setiap kandidat dibantu oleh
mentornya. Namun di sinilah terbukanya keran untuk ikut
campurnya kepentingan senior atau alumni dalam
mempengaruhi kemenagan dan kekalahannya. Soalnya
masing-masing kandidat di-back-up oleh senior-senior mana
saja, terutama yang menjadi aparat ideologi negara.
548
inilah yang dapat menjelaskan bagaimana pada Kongres HMI
2018 di Ambon melejit kabar mencengangkan: dukungan
kepada kadindat datang dari kalangan di Istana Presiden, TNI-
Polri, dan para pengusaha-kapitalis. Keadaan demikian
membuat Kongres sesak akan kepentingan-kepentingan yang
begitu deras. Besarnya arus kepentingan yang menerjang
arena telah bukan hanya membuat tubuhnya difasilitasi
dengan kelimpahan fasilitas. Karena juga kepala-kepala
peserta utusan juga mendadak dapat dihargai dengan uang-
uang panas. Alasannya sederhana: semua itu adalah biaya
politik. Sebenarnya fenomena politik ala borjuis ini jauh-jauh
hari dikabarkan Taufik Karim melalui Otokritik terhadap
HMI. Menurutnya ada empat indikasi terjadinya politik
transaksional dalam organisasi ini:
549
dengan nilai tawar posisi struktural yang dikehendaki
oleh institusi tersebut.399
550
menyebabkan kita tak kaget lagi ketika mendengar kabar
buruk bahwa jabatan Ketum telah menjelma jadi semacam
barang dagangan. Benar kata Baudrillard, fetisisme kini bukan
sekedar terjadi terhadap komoditas melainkan terjadi juga
pada berbagai lini kehidupan—seperti kekuasaan yang
menjadi salah satu spektrum dari fetisisme itu sendiri. Maka
yang ada tak sekedar fetisisme komoditas, melainkan juga
fetisisme kekuasaan. Namun di mana-mana fetisisme—seperti
yang terjadi pada komoditas, pastilah sama dengan yang
timbul terhadap kekuasaan. Kesamaannya ada pada
fenomenanya, yakni timbulnya penyimpangan sebagaimana
yang ditegaskan Marx dalam analisanya mengenai komoditas:
401
Karl Marx, (2004), Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik: Buku
Pertama Proses Produksi Kapital, (Indonesia): Hasta Mitra.
551
Fetisisme komoditas bagi Marx, perkembangannya terdapat
dalam uang dan kapital. Sementara dalam fetisisme kekuasaan
yang terjadi di HMI, perkembangan bisa kita cermati pada
training dan jabatan. Fetisisme kekuasaan yang terjadi dalam
tubuh himpunan bahkan telah menjadikan Konferensi Cabang
(Konfercab) hanya berputar soal bagaimana memuluskan
kader untuk mendapatkan jabatan Ketum. Contohnya dapat
diamati pada Konferensi HMI Cabang Mataram tempo hari.
Waktu itu, saya kebetulan menjadi peserta utusan penuh
dalam forum. Sebelum menjadi peserta, para kandidat Ketum
Cabang telah mendekati Ketum Komisariat untuk memintai
komitmen dukungannya. Ketum di komisariatku tidak
ketinggalan dari dekapan pendekatan tersebut. Itulah mengapa
hanya pengurus-pengurus yang bisa dipegang atau
dipercayailah yang dipasang sebagai peserta utusan penuh
(berhak memilih pada konferensi). Dalam keadaan demikian
kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa Konfercab
sedari awal telah menempatkan jabatan sebegai preferensi.
552
kemudian menampilkan air muka penuh ketegangan. Keadaan
di dalamnya ibaratkan peperangan. Kalau dalam perang tujuan
konvensionalnya adalah penaklukan, maka dalam konferensi
tujuannya ialah jabatan Ketum Cabang. Peserta dan presidium
sidang dapat diibaratkan sebagai pasukan yang kebingungan:
tidak tahu kenapa dirinya harus bertempur dengan pidak
lawannya. Karena mereka tak mampu berkehendak sendiri,
melainkan hanya mengikuti instruksi senior yang
bersembunyi di balik layar-layar kebesarannya.
553
terjadi di himpunan. Forum dihiasi dengan lebih banyak
balutan retorika daripada wacana. Kondisi ini mengakibatkan
peserta konferensi lebih cenderung berdiri di atas kepalanya
ketimbang menggunakan kakinya. Mereka pada akhirnya
terbalik melihat dunia. Kenyataan-kenyataan kongkret yang
selama ini dirasakan dalam proses kaderisasi—baik itu yang
baik maupun buruk—tidak mendapati saluran untuk
diungkapkan. Pikiran, perasaan dan kehendak peserta
Konferensi telah diracuni oleh fetisisme jabatan. Dorongan-
dorongan yang ada dalam diri hanya tentang bagaimana
caranya untuk memenangkan kandidat Ketum Cabang
masing-masing. Kita akhirnya tidak pernah beringsut jauh dari
yang namanya pemujaan akan simbol kekuasaan.
554
timbulnya fetisisme training. Yang paling menonjol terjadi
pada perkaderan formal. Itulah kenapa tak jarang ditemui
kader-kader yang mengikuti LK II (Intermediate Training)
atau LK III (Advance Training) dengan motif sederhana:
untuk memenuhi ketentuan konstitusi HMI agar dapat
mencalonkan diri sebagai Ketum, atau yang paling dangkal
adalah demi citra guna meninggikan kelas sosial dalam
himpunan. Fetisisme training memposisikan makalah atau
jurnal hanya sekedar formalitas yang diajukan calon peserta.
Makalah atau jurnal tidak harus bermutu, karena surat
keputusan (SK) kelulusannya dapat dikondisikan melalui
kekuatan jaringan. Training pada akhirnya seperti pesta
demokrasi HMI: terjambab dalam pemujaan obyek. Latihan
Kader menjadi serupa benda yang harus dikonsumsi demi
meningkatkan status sosial seseorang dalam himpunan.
Mungkin penjelasan yang begini dapat memberikan gambaran
terkait bagaimana perkembangan fetisisme kekuasaan melalui
status ‘training’ dan jabatan ‘Ketum’:
555
jurnal adalah persoalan yang gampang. Konon dia
mamaksakan ikut training karena sebentar lagi
kepengurusannya akan demisioner dan ia berniat
mencalonkan diri sebagai Ketum Badko. Namun niatan
itu pupus di tengah jalan, kondisi obyektifnya
(penudukungnya) tidak memungkinkan. Meski begitu,
dalam konteks inilah saya menilai Latihan Kader kita
ikuti bukan karena sesuatu yang ada pada LK itu
sendiri, melainkan di luar LK itu. Inilah fenomena yang
menurut Marx adalah alienasi. Keyakinanku terhadap
terjadiya fetisisme dalam kaderisasi semakin kuat. Dulu
juga, saya pernah mendapati ada kader yang sangat
ingin mengikuti LK II karena diangapnya sebagai
prasyarat untuk menjadi calon Ketum HMI Komisariat.
Namun setelah konstitusi berubah: kriteria LK II
dihapuskan dalam ketentuan menjadi kandidat Ketum
dalam Rapat Anggoota Komisariat (RAK). Maka dia
kemudian mengurungkan niatnya untuk LK II dan
langsung mengambil sikap mencalonkan diri menjadi
Ketum Komisariat. Tetapi sayangnya dia gagal.
Kegagalannya menjadi Ketum, mungkin sedikit
terbayarkan oleh keberhasilannya wisuda. Sesudah
wisudanya dia berniat lagi mengikuti LK II. Dirinya
menganggap karirnya di HMI akan tenggelam bila
belum LK II. Kali ini motifnya mengikuti training
bukan karena ingin meraih kekusaan yang formal,
melainkan untuk menaikan statusnya. Dalam
pandangannya, kader yang tidak tinggi tingkat
kaderisasinya tak akan dipandang besar bahkan
terancam dikucilkan oleh kader-kader himpunan
lainnya. Sungguh keyakinan yang amat kolot. 402
402
Catatan ber-HMI pada tahun 2017-2018.
556
Kisah di atas sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk
menggeneralisasikannya pada seluruh kader HMI. Tetapi
cerita ini ditujuankan untuk menunjukkan kepada kita
bagaimana fetisisme kekuasaan membuat seseorang
menganggap tingkatan kaderisasi dan jabatan pemimpin
punya kekuatan dahsyat. Keduanya menjadi obyek yang
memiliki kekuatan magis. Baudrillard menerangkan bahwa
objek sebagai tanda yang dalam aturan nilai penandaan bisa
digolongkan antara dua keterangan: fungsionalitas dan
pemeragaan. Tetapi sebenarnya dua penggolongan tersebut
dilebih-lebihkan (ostention). Kedua keterangan itu dapat
menjadi bagian dari objek yang sama, sehingga obyek dapat
menjadi perangkat yang menggabungkan ‘keserampangan’
dengan tampilan ‘fungsionalitas’. Apabila suatu objek lebih
menunjukkan suatu pemeragaan yang dilebih-lebihkan
(ostention), maka tanda dari nilai itulah yang kemudian
menumbuhkan keinginan seseorang terhadap obyek tersebut.
Kondisi begini membuat obyek berubah menjadi fetish.
Menurutnya, yang demikian akan menghasilkan representasi
dari dunia simulasi: dunia yang terbentuk dari hubungan
berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi
relasional yang jelas. Hubungan demikian melibatkan tanda
riil (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda
semu (citra) yang hadir melalui proses reproduksi. Kedua
tanda tersebut saling menumpuk dan berjalin kelindan
membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana
yang asli, riil, palsu, atau semu. Semuanya menjadi bagian
realitas yang dijalani dalam kehidupan yang kapitalis. 403
403
Baca selengkapnya dalam Jean Baudrillard, (2011), Masyarakat
Konsumsi, Yogyakarta: Kreasi wacana.
557
Kesilangsengkarutan antara fakta dengan citra kemudian
melahirkan masyarakat simulasi: segala sesuatu ditentukan
oleh relasi tanda, citra dan kode. Identitas seseorang tidak lagi
ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri. Tetapi
ditundukan konstruksi obyek yang membentuk cermin
bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan
hubungannya dengan orang lain. Melalui pemikiran ini
didapati bahwa ketika status dan jabatan dilebih-lebihkan oleh
kader-kader HMI, maka yang kemudian akan terjadi adalah
lahirnya fetish. Konsekuensi logis dari fetisisme status
training dan fetisisme jabatan Ketum akan bertransformasi
hingga melahirkan fetisisme kekuasaan. Jerat fetisisme
menyebabkan mereka memiliki kebutuhan palsu. Itulah
kenapa untuk mendekatkan realitas dengan imajinasi kader,
kapitalisme menciptakan subtitusi-subtitusi berupa bermacam
identitas simbolis di balik sebuah obyek. Mereka kemudian
hanya mendapatkan kepuasan yang tidak riil tapi sebatas
kesenangan imajiner. Kesenangan vulgar inilah yang
membuat kader memiliki kesadaran palsu atas training ‘LK II
dan LK III’ dan jabatan Ketum (dan lainnya)’. Dalam
kehidupan yang kapitalis, training dan jabatan dikonsumsi
untuk membentuk simbol ‘kelas sosial’ yang lebih tinggi.
Kader pada akhirnya menampakkan penyakit megalomania;
ingin ditokohkan, jadi orang besar, atau dorongan berkuasa
secara formal. Wabah ini sangat berbahays karena mudah
tersebar melalui relasi-relasi sosial dalam himpunan. Jika
terus dibiarkan bukan-tidak-mungkin akan mencemari kader-
kader lainnya.
558
membedakan diri dengan anggota yang masih bestatus LK I.
Mereka mengikuti training lanjutan agar dapat menaikan citra
kelas sosialnya di mata kader-kader lain. Pada titik tertentu,
fetisisme training paralel dengan fetisisme jabatan. Fenomena
ini dapat ditemui pada kader yang mengikuti jenjang
perkaderan yang lebih tinggi karena ingin memperoleh
kekuasaan formal. Motif yang agak zalim ini menandai
terjadinya transformasi kesadaran kader menuju fetisisme
kekuasaan. Pemujaan atas kekuasaan menjadi sangat
menyeramkan, lantaran akan membuat kader melebih-
lebihkan posisi-posisi tertentu dalam kepengurusan HMI,
seperti halnya jabatan Ketum. Ketua seakan memiliki
kekuatan magis. Itulah kenapa dalam himpunan yang
namanya jabatan tersebut selalu saja disakralkan. Cobalah
kalian tengok dan mulai belajar jujur pada diri sendiri
bagaimana di RAK-mu ada tradisi aneh: muncul kepercayaan
bahwa yang tidak mendapatkan restu dari Ketum sebelumnya,
maka dia tidak bisa naik jadi Ketum selanjutnya. Fenomena
ini terjadi di Komisariat-ku dulu. Aku yakin apa yang pernah
kurasakan ini sama—dan mungkin—pernah kalian rasakan di
Komisariat-mu:
559
kader yang bisa diandalkan dalam mengikat suara
Komisariat untuk bertarung dalam Konfercab. Dalam
hal inilah juga biasanya yang dimainkan adalah isu
‘Suku’, ‘Bukan Gerbong Kita’, ‘Kader Senior A, B,
atau C, dan sebagainya dimainkan untuk melancarkan
naiknya junior yang didukung. Tetapi akibat terparah
dari semua ini adalah terjadinya perpecahan para
anggota-anggota Komisariat, yang temanifestasi dalam
meningkatnya konfrontasi antar-gerbong lama, bahkan
dapat memicu timbulnya kelompok-kelopok kecil
(gerbong baru). Keadaan ini biasanya amat sublim,
makanya jarang kader yang bisa merakasan situasi dan
kondisi ini. Namun mereka akan mulai mengetahui
adanya implikasi bawaan tersebut ketika sudah melihat
sendiri bagaimana menurunya keaktifan kader dalam
kegiatan-kegiatan Komisariat.404
404
Catatan ber-HMI pada tahun 2017-2019.
560
saudaranya untuk diikutkan dalam Basic Training. Biasanya,
paling serius bergrilya adalah kalangan oposisi yang belum
berhasil menempatkan kadernya pada posisi Ketum. Kendati
begitu, dalam keadaan yang demikianlah kelompok penekan
dan yang berkuasa sama-sama berusaha mengumpulkan
sebanyak-banyaknya mahasiswa untuk di-HMI-kan dan
kemudian dimasukan ke dalam gerbongnya masing-masing.
Situasi dan kondisi ini menampilkan efek bawaan dari
kapitalisme, yakni persaingan beraroma pasar. Mereka tidak
sekedar melangsungkan Basic Training untuk menunaikan
amanah kepengurusan, melainkan lebih kepada bagaimana
caranya melakukan pembasisan pada gerbongnya. Itulah
kenapa tempo hari di komisariat saya dulu pernah terjadi
sebuah pengkoptasian keikutsertaan peserta dalam sebuah
forum training:
561
diusir’. Kabid PAO menganggap anak muda tadi
mengikuti LK I punya niat yang mungkin tidak baik—
apalagi jika melihat dari semesternya; soalnya dulu
pernah kejadian ada mahasiswa semester atas yang
mengikuti LK I, dan setelah dinyatakan lulus ia malah
berpolitik praktis: menjadi tim sukses Zul-Rohmi. MoT
(Pengurus BPL) dan SC (Pengurus Cabang dan
Pengurus Komisariat) yang tidak mau ambil pusing
seketika mengamini pernyataan itu. Makanya
pengusiran yang kemudian dilakukannya terkesan
dipelopori oleh pandangan subyektif yang coba
dirasionalisasikan olehnya sedemikian rupa. Namun
jika kita menggali lebih dalam lagi, apa sebenarnya
yang memicu pengusiran itu maka akan didapati sebuah
persoalan klasik yang sarat dengan kepentingan.
Kenapa begitu? Di Komisariat Hukum ada gerbong
besar (A dan B) yang saling berhadap-hadapan untuk
menancapkan kuasanya. Kabid PAO adalah mantan
Ketum Komisariat Hukum yang berasal dari gerbong
A. Sementara peserta yang dikeluarkannya merupakan
anak muda yang ingin di-HMI-kan oleh gerbong B.
Pemuda itu memang sebelumnya telah dibuat kagum,
hingga belajar banyak tentang HMI dari gerbong B.
Hanya saja ia belum terdaftar menjadi kader HMI.
Maka untuk ber-HMI-lah dia mengikuti Basic
Traininng, namun digagalkan oleh kelompok dominan.
Karena kedekatannya dengan gerbong B telah lebih
dahulu diketahui oleh gerbnong A. Makanya si ketua
yang sedari awal punya hegemoni atas Komisariat yang
pernah dipimpinnya menanamkan kecurigaan pada
peserta tersebut. Rasa curiga kemudian dia nyatakan
melalui jaringan kekuasaannya. Inilah yang
membuatnya lancar dalam melempar stigma yang agak
zalim. Maka diusirnya peserta LK I yang diikutkan oleh
gerbong B membersitkan sebuah konflik laten anatara
562
gerbong A dengan B. Namun dikeluarkannya dia dari
forum Hukum, tidak meredupkan keinginannya
menjadi anggota HMI. Sesudah kejadian tersebut, ia
mencoba mengikuti LK I HMI Komisariat Ummat. Dia
seolah ingin membantah tudingan negatif yang
sebelumnya dilabelkan pada dirinya hanya karena
persolana semester. Di sini ia berhasil mengikuti forum
sampai dibai’at menjadi anggota himpunan. Ketua
Bidang PAO tidak bisa seenaknya menyabotase forum
sebagaimana di Komisariat Hukum. Kelak setelah ia
berhimpun, lagi-lagi tuduhan yang membuatnya terusir
dari LK I Hukum sama sekali tidak terbukti. Dia tidak
pernah terlibat dalam politik praktis seperti anggapan
berlebihan dari Kabid PAO Cabang. Namun ia justru
semakin kukuh menjadi bagian dari gerbong B, yang
terus bersaing dengan gerbong A.405
405
Ibid.
563
Itulah mengapa ada-ada saja kalangan pengurus—yang
berasal dari gerbong tertentu—mencoba mengkooptasi
pembentukan panitia LK I. Ketua Panitia (Ketupat) da
Sekretaris Panitia (Sekpat) yang kelihatannya dipilih secara
demokratis dalam Rapat Pembentukan Panitia, ternyata di titik
tertentu terjadi yang sebaliknya: persis penempatan Presidium
Sidang. Kriterianya amat sederhana: tak bandel, mudah diatur,
dan paling penting mau bekerja. Kader yang menjadi Ketupat
dan Sekpat semula telah diseleksi terlebih dahulu berdasarkan
kualifikasi tersebut. Sewaktu melaksankan rapat pemilihan
Ketupat dan Sekpat, pengurus tinggallah memberitahukan
kepada kader-kader lainnya untuk memilih A dan B. Hattanya
tidak setiap orang bisa memimpin kepanitiaan, karena Ketupat
dan Sekpat—tidak-boleh-tidak—adalah kader yang sedari
awal menyenangkan di mata pengurus.
564
seperti domba-domba yang tak memiliki kehendak sendiri,
melainkan ikut pada sang gembala.
Jika saja pengurus mau jujur, kenapa kader itu dipilih pasti
mereka akan mengatakan: itu sebagai ajang pengorbitan. Di
situlah kemampuan kerja kader diberi ruang besar untuk
penyaluran. Pengetahuan kepemimpian, manajemen dan
organisasi mendapatkan lahan subur untuk ditanami. Kelak
hasilnya bukan sekedar tertempahnya kualitas diri, tapi juga
didapatkan citra ‘sang pekerja’. Citra itu mulanya memang
tidak disadari oleh kader-kader yang terlibat dalam
kepanitiaan, karena mereka hanya merasa dirinya memiliki
panggilan moral dalam mengadakan training. Tetapi citra
yang nantinya akan melekat pada panitia—melalui
pengalamannya sendiri—sudah jauh-jauh hari diprediksi oleh
pengurus. Itulah kenapa kader yang sudah berhasil
menuntaskan mandatnya sebagai panitia kemudian terus-
menerus dirawat sampai suatu ketika bisa dipasang dalam
565
posisi kepengurusan. Perawatan kader pastinya dilakukan
dalam sebuah gerbong tertentu, baik oleh pengurus maupun
senior yang ada di Komisariat.
566
struktural organisasi. Itu nampak jelas ketika Mide Formateur
dan Formateur Ketum Komisariat begitu memberi prioritas
pada orang-orang yang mantan panitia untuk jadi pengurus.
Karena dalam budaya kaderisasi yang dicemari oleh fetisisme
kekuasaan untuk memasukan seorang kader menjadi pengurus
bukan sekedar melihat jenjang perkaderan semata, melainkan
juga rekam kepanitiaan seseorang. Jika tidak percaya, cobalah
lihat di Komisariat-mu, bukankah yang paling banyak
diangkat menjadi pengurus Komisariat adalah mereka yang
sebelumnya pernah aktif di kepanitiaan; terutama Ketupat dan
Sekpat yang semula telah ditentukan oleh pengurus dari
gerbong tertentu?
567
Menggunakan pemikiran Uberto Eco, kita mendapati
fenomena di atas sebagai hipersemiotika: hubungan antara
tanda yang melampaui batas karena representasinya terlalu
melebih-lebihkan realitas yang sesungguhnya. Inilah yang
kemudian mengakibatkan munculnya tanda dusta (false
sign)—menutupi realitas asli dengan merepresentasikan
realitas yang lain. Tanda dusta itulah yang ditebarkan kepada
kader-kader dengan cara mendiktekan keinginan-keinginan
melalui bentuk yang subtil. Makanya kader yang begitu polos
dengan cekatan mengamini tindakan tidak demokratis hanya
karena ingin mempercepat terbentuknya panitia untuk
memperlancar training. Tujuan suci mengadakan LK I
akhirnya menutupi tindakan busuk yang mendahuluinya
dalam kepanitiaan: keputusan minoritas diberi legitimasi
hingga menjadi putusan mayoritas.
568
kekuasaan membuat pengurus dan kader-kader HMI lainnya
terbiasa untuk mengkhianati demokrasi yang hakiki. Jika
kondisi yang demikian kau temui di Komisariat-mu. Maka
ada baiknya diupayakan sebuah pembangkangan. Jadilah anak
muda pemberang seperti harapan Jo Grimond, yakni
memberontak terhadap sistem yang licik:
406
Yozar Anwar, (1981), Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20: Kisah-Kisah
Perjuangan Anak Muda Pemberang, Jakarta: Sinar Harapan, Hlm. 11.
569
Kongres Borjuis menjadi
Arena Reifikasi dan Alienasi
570
antar-komoditas. Sementara yang menjadi penentu nilai
adalah hubungan-hubungan produksi antar-manusia—Marx
menyebutkannya: (a) mengasalkan substansi nilai pada bentuk
kerja yang khas cara produksi kapitalis; jenis kerja yang
diabstraksikan dari aspek kualitatifnya, yakni kerja abstrak;
lalu (b) mengemukakan aspek kuantitatif kerja abstrak, yakni
waktu-kerja yang dibutuhkan secara sosial sebagai
‘pengukur besaran nilai’; dan (c) mengemukakan analisis
relasi pertukaran lewat konsep bentuk-nilai yang memecahkan
teka-teki bagaimana nilai dapat berkembang menjadi nilai-
tukar, atau dalam bentuknya yang paling berkembang,
bagaimana komoditas dapat berkembang menjadi uang. 407
407
Karl Marx, (2004), Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik: Buku
Pertama Proses Produksi Kapital, (Indonesia): Hasta Mitra. Hlm. 174.
571
‘menampak sebagai oposisinya’ yakni nilai guna, (b) kerja
abstrak ‘menampak sebagai oposisinya’ yakni kerja konkret,
dan (c) relasi antar-kerja sosial ‘menampak sebagai
oposisinya’ yakni sebagai relasi antar-produk-produk kerja
individual. Kesimpulan seperti ini didapati Marx dari sifat
kerja di bawah kapitalisme, yang termanifestasi ke dalam sifat
objektif komoditas-komoditas—relasi
sosial ‘menampak’ dalam bentuk relasi antar-komoditas.
Relasi antar-komoditas itu menutupi relasi-relasi sosial yang
melandasinya. Penampakan inilah yang menjelaskan mengapa
nilai dalam kesadaran masyarakat kapitalis seolah-olah
timbul di dalam aras sirkulasi: pasar.
572
ini pula masih akan memakai perspektif marxis. Akan dibahas
fenomena fetisisme yang terjadi dalam kegiatan reproduksi
kekuasaan organisasi, yang secara implisit ditemui saat
berlangsungnya Kongres HMI.
573
Dana segar tentunya diberikan pemerintah dengan tidak
cuma-cuma. Karena anggaran Kongres merupakan sebuah
pinjaman yang harus dibayarkan melalui hubungan yang
akomodatif dengan negara. Makanya pengurus-pengurus
organisasi ini menjadi sangat akrab dengan para pejabat.
Itulah kenapa HMI membiasakan diri mengundang pejabat
atau politisi dalam aneka kegiatan: Latihan Kader, seminar
dan diskusi-diskusi publik. Semua itu dilakukan secara sadar
untuk mendapatkan jaringan. Karenanya, banyak program
pemerintah yang didukung guna mencari kas organisasi—
semisal: sosialisasi-sosialisasi, ataupun menyediakan kader
untuk terlibat dalam lembaga-lembaga survey pada saat-saat
menjelang Pemilu. Kondisi ini mengakibatkan buntunya
semangat gerakan membela kepentingan kaum miskin dan
tertindas, tapi lebih bangga mendukung pemerintah.
Kebanggaan ini yang lalu dengan sekejap merenggut harga
diri kader. Mereka tak lebih dari barang yang mudah
diarahkan ke sana-ke mari oleh pelbagai kepentingan.
574
Tiap komoditi kemudian memiliki dua wajah: nilai guna yang
akrab dan familiar, dan nilai tukar yang tersembunyi di balik
kedok. Wajah yang pertama terhubung langsung dengan ciri-
ciri fisik dari komoditi tertentu sebagaimana ketika peserta
mengonsumsi: minum kopi di kedai, makan di KFC, tidur di
hotel, menyewa mobil sedan untuk dikendarai, dan lain-lain.
Namun yang kedua—nilai tukar—tidak dapat nampak pada
makan, minum, tidur dan jalan-jalan seperti barusan.
575
perusahaan kapitalis. Pada buruh pabrik nilai-lebih dari
kerjanya dihisap oleh majikannya, sementara anak-anak muda
yang bekerja dalam Kongres juga menghasilkan nilai-tukar
yang kemudian menyediakan iklim bagus bagi terisinya
kantong para mafia dengan uang hasil penjualan suara
peserta-peserta penuh—inilah letak persamaannya!
576
Kongres selain memiliki nilai pakai yang berbentuk material,
juga mempunyai nilai tukar yang sama sekali tak berwujud:
penghisapan kemampuan kerja manusia.
577
diperas kemampuan kerja demi kepentingan segelintir
kalangan (pengurus, senior, atau alaumni dalam gerbong
tertentu). Yang membedakannya, di LK I hubungan-hubungan
produksi dan reproduksi terjadi pada parameter kepentingan
yang tidak sebesar Kongres. Namun fetisisme kekuasaan di
LK I—maupun LK II dan LK III—sesungguhnya suatu saat,
tidak-boleh-tidak, akan berkulminasi pada Kongres yang
demikian. Pengambilan keputusan secara diam-diam dalam
pembentukan kepanitiaan Basic Training merupakan imbuhan
yang mengejewantahkan rusaknya sistem kekuasaan
organisasi. Sehingga pelajaran yang tidak demokratis pada
momentum menjelang LK I menjadi sinyalemen dari
fetisisme kekuasaan yang berkembang dalam kaderisasi.
Kader-kader diajari cara yang tak jujur dan secara implisit
mengajari mereka untuk menjadi seorang yang sewenang-
wenang.
578
kepada senior yang menjadi penguasa atas gerbongnya.
Dalam perkembangan fetisisme kekuasaan yang pada proses
dilahirkan nilai tukar, itu terjewantah lewat apa yang terjadi
terhadap pelaksanaan Kongres. Fenomena yang terjadi dalam
Kongres HMI memberitahukan kepada kita bahwa kader-
kader yang terlibat telah berubah jadi komoditi para mafia.
Mereka seperti telah menjelmakan diri sebagai buruh pabrik
kekuasaan. Kesadarannya diotak-atik dan keberaniannya
merosot. Ini dapat menjelaskan bagaiaman peserta pemilik
suara penuh secara sadar menukarkan tenaga dan
idealismenya dengan uang (many politic) tapi mereka tak
punya keberanian menentang tuannya.
579
terakumulasinya laba segelintir orang, namun peserta dan
panitia tidak berdaya melawan. Mereka tiada memiliki
kekuatan untuk menentang para penghisapnya. Makanya
kader-kader dalam Kongres HMI tak ubahnya komoditi yang
secara fenomenal diperdagangkan para borjuis.
580
memerintah tanpa kekuatan yang betul-betul terkonsolidasi
untuk menjalankan kepemimpinannya. Itulah kenapa sesudah
Kongres kita kerap kali melihat kejadian dari berperpecahnya
pengurus sampai kepengurusan yang tidak mampu
merealisasikan program kerjanya.
581
Liberalisme (kapitalisme) memang ingin mengamputasi
individu dari tubuh organis dan membiarkannya hidup
di luar kandungan ibu, melemparkannya ke dalam
dunia yang tidak dikenalnya dan penuh bahaya.
Demokrasi menggabungkannya dengan sesamanya
sehingga masyarakat dapat di bangun lewat persatuan
individu-individu itu, memang bukan sebagai kesatuan
organis, tetapi sebagai asosiasi-asosiasi individu-
individu yang bebas … karenanya Anthony Downs,
melihat adanya garis antara perusahaan dalam
kapitalisme dan dalam demokrasi kompetisi antarpartai
politik. Perusahaan bersaing untuk memperebutkan
para pemilih. Baik perusahaan maupun partai politik
tahu bahwa mereka harus berjuang keras untuk menarik
konsumen atau para pemilih.408
408
Lihat I Wibowo, Demokrasi dan Kapitalisme, dalam I Wibowo dan B
Herry Priyono (Ed), (2006), Esai-esai untuk Frans Magnis Suseno, Sesudah
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
582
Fenomena ini persis apa yang dikabarkan Marx dalam
analisisnya tentang komoditas. Makanya fetisisme dalam
komoditas berguna untuk menjelaskan persolan kukuasaan
yang berlangsung dalam himpunan. Kita dapat melihat bahwa
perkembangan tertinggi dari fetisisme kekuasaan sama halnya
dengan fetisisme komoditas: ujung-ujungnya ‘uang’.
583
karenanya, harus minta pertolongan para wali mereka,
yang adalah juga para pemilik mereka. Komoditi adalah
barang-barang dan karena juga mereka tak berdaya
terhadap manusia…. Agar supaya barang-barang ini
dapat berhubungan satu sama lain sebagai komoditi,
para wali mereka mesti menempatkan diri mereka
dalam hubungan satu sama lain sebagai komoditi….
Bukan uang yang menjadikan komoditi dapat
disepadankan tapi sebaliknya. Karena semua komoditi
sebagai nilai-nilai, adalah kerja manusia yang
dimaterialisasikan/diwujudkan, dan oleh karena itu
dapat diubah menjadi ukuran bersama/umum nilai-nilai
mereka, yaitu, menjadi uang. Uang sebagai ukuran
bersama nilai adalah keharusan bentuk
penampilan/fenomenal dari ukuran nilai yang tetap ada
dalam komoditi, yaitu waktu-kerja.409
409
Ibid, Hlm. 57, 68.
584
objek alam, sebagai dunia yang asing dan bermusuhan’. 410
Melaksanakan kerja-kerja Kongres, maka alienasi seperti
itulah yang menimpah kader-kader himpunan. Soalnya uang
yang dipertukarkan oleh para mafia dengan kemampuan kerja
mereka telah meluncurkan kemanusiaan.
585
tidak mengenal tenggang rasa. Mereka mengganti
semangat keagamaan, antuasiasme kepahlawanan, dan
sentimentalism dengan hitung-menghitung untung-rugi
secara egois. Mereka menjadikan harga diri seseorang
sebagai sesuatu yang dapat dibeli; mereka menggeser
kebebasan individual yang tidak mengindahkan moral,
yakni kebebasan perdagangan. Dengan kata lain, kelas
borjuis telah mengganti eksploitasi berselubungkan
agama dan janji-janji politik dengan eksploitasi yang
terang-terangan, tidak kenal malu, dan brutal…. Semua
hubungan yang harmonis, dan dilandasi perasaan,
dengan sejumlah praduga dan pendapat yang sifatnya
menghargai, disapu bersih dan menjadi usang sebelum
waktunya. Semua yang dianggap solid kini menjadi
tercerai-berai, semua yang dipandang suci, kini
dianggap biasa….412
412
Lihat Karl Marx dalam C. Wright Mills, (2003), Kaum Marxis: Ide-Ide
Dasar dan Sejarah Perkembangannya, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, Hlm.
41-42.
586
Waspadalah terhadap Mitos:
Seniorisme-Gerbongisme
587
yang begini bukan terbentuk secara niscaya, karena
kelahirannya melalui jalur yang artifisial dan sarat tipu daya.
Seiring dengan berjalannya waktu, deretan senior dan junior
semakin bertambah banyak hingga akhirnya membangun
sebuah budaya senioritas.
413
Sidi Gazalba, (1990), Sistematika Filsafat: Buku Pertama Pengantar
kepada Dunia FIlsafat, Jakarta: Bulan Bintang, Hlm. 57.
588
usia berhimpun sudah lama sekali, namun mereka abstain
dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak muda yang
baru berorganisasi. Orang-orang yang seperti ini hanya
mendapatkan penghormatan dari kader-kader baru berkat
budaya senioritas yang berdiri di atas prestise. Namun rasa
hormat yang didapatkan tentunya tidaklah berlebihan.
Dihormatinya kader-kader lama yang tidak mendidik kader-
kader baru itu hanya berada pada aras pengalaman dan
usianya sebagai orang yang lebih dahulu masuk organisasi.
Tidak sama dengan kader-kader yang melaksanakan tugas
sebagai seorang senior: mendidik dan mengembangkan kader.
Mereka yang ‘tahu diri’ sebagai senior memiliki kader binaan.
Maka kader yang dibina bukan hanya menghormatinya, tetapi
juga amat memberikannya pelbagai penghargaan.
589
yang telah mendidiknya. Hattanya rasa keberutangan itu
membuat setiap junior punya keharusan untuk membayarnya.
Namun utang budi merupakan sesuatu yang abstrak sehingga
dalam membalasnya tidak bisa dengan materi, melainkan
lewat jasa—berbentuk non-material.
590
senior jadi superior; unggul, kuat dan berkuasa. Inilah
mengapa di hadapan senior, junior kerap kali alami
subordinasi begitu rupa.
591
Ideologi bertindak atau ‘berfungsi’ dengan satu cara
yang ‘merekrut’ subjek-subjek di antara individu-
individu, atau mengubah individu-individu menjadi
subjek-subjek (ideologi) melalui operasi yang sangat
presisi, yang saya namakan interpelasi atau memanggil
… gerak-gerik subjek yang seolah-olah bebas ternyata
dibatasi oleh relasi dalam struktur. Kebebasan subjek
pada dasarnya adalah ilusi yang diciptakan ideologi
agar ia merasa bertanggung jawab dan mendorong
dirinya melakukan serangkaian tindakan menghidupkan
struktur yang ada sebelum ia lahir … individu
diinterpelasi sebagai suatu subjek (bebas) agar ia dapat
taat sepenuhnya pada perintah-perintah Subjek
[seniorisme—pen], agar dia membuat gerak-gerik atau
tindak-tanduk dari ketaatan ‘sepenuhnya oleh dirinya
sendiri’…. Dengan ketaatan yang diyakini sebagai
kehendaknya, subjek menjalankan perannya seolah
tanpa paksaan, seolah dengan kuasanya ia bekerja.
Dengan begitu, tidak diperlukan pengawasan secara
fisik, tidak perlu Subjek [seniorisme—seniornya] ada
didekat subjek-subjek untuk memastikan mereka
bekerja seperti yang diharapkan. Para subjek telah
mengatur dirinya sendiri sebagai pihak-pihak yang taat
dengan ilusi kebebasan dan otonominya. 414
414
Louis Althusser, (2008), Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis,
Psikoanalisis, Cultural Studies, Yogyakarta: Jalasutra, Hlm. xviii-xix.
Dalam kurung merupakan tambahan penulis.
592
orang yang menganggap sulit maju dan besar jika enggan
dibantu abang yang dianggap berkuasa. Itu menempatkan
manusia terkungkung oleh otoritas di luar dirinya. Kondisi ini
dapat menimbulkan koherensi vulgar senior-junior dalam
perkaderan. Makanya keterikatan mereka berlangsung bukan
hanya ketika ber-HMI tapi juga selepas menjadi anggota
himpunan. Soalnya kader-kader yang dididik melalui
kaderisasi organisasi sudah amat sulit keluar dari ilusi
seniorisme. Maka dia terus berada dalam struktur yang
meredam segala anasir antagonisme terhadap seniornya,
karena subyek terlanjur terkungkung oleh jeratan ideologi.
Itulah mengapa kader HMI lebih banyak mirip serdadu
ketimbang martir. Sebab anak-anak muda dikader dalam
kehidupan yang tidak progresif-revolusioner. Lihat saja
bagaimana relasi subordinasi dan akomodasi menjadikannya
membeo pada setiap perintah, arahan dan kemauan-kemauan
senior.
593
Lihatlah fenomena yang berlangsung sekarang: pembodohan
intelektual hingga robotisasi kader. Anak mudah yang telah
menyerupai robot mudah sekali diperintah ke sana-ke mari
untuk melakukan apa saja tanpa pamrih. Dirinya hanya bisa
berkata: ‘siap senior’ atau ‘siap salah’. Keadaan demikian
telah berlangsung cukup lama. Mungkin semenjak HMI
bergaul dengan serdadu: membantu Soeharto menghancurkan
Orla. Kalau dulu ‘siap-siapan’ hanya ditemui di organisasi
militer, maka kini yang demikian dapat ditemui di HMI:
soalnya hubungan senior-junior menampakan hierarki.
594
aktif ber-HMI tak jarang mendapati seorang kader dengan
mudah meminjamkan barang-barang berharganya—uang,
handphone, dan leptop—kepada seorang abang kesayangan.
595
sebagai junior sengaja dibuat menjadi penurut, pengekor,
hingga agak tolol. Jika tidak percaya, coba kalian tanyakan
pada dirimu: sudah berapa kali melaksanakan keinginan
senior hingga diri merasa tidak bebas, amat konyol, dan
sangat naif? Nietzsche berkata bahwa kenaifan itu tumbuh
karena hasrat manusia yang terdalam dibiarkan tersumbat oleh
norma-norma yang berasal dari otoritas di luar dirinya.
Pembatasan-pembatasan ini soalnya tidak ditanggapi secara
kritis. Tetapi cenderung dibiasakan dengan sikap dogmatis.
Sikap itu sama sekali tak melatih untuk mempertanyakan apa
yang dianggap sebagai kebenaran. Makanya ketika seorang
senior mengatakan bahwa seminar, kuliah umum, atau
demonstrasi itu benar; junior hanya bisa mengamininya lalu
siap mengikutinya dengan tegar.
596
segala kegiatan yang diadakan itu akan memberikan manfaat
kepada kalian; melatih mencetuskan, mengkonsepkan, dan
menjalankan acara; membuka link dengan para pemangku
kepentingan publik; hingga memberi keuntungan materil.
Dengan menghadapi godaaan besar maka junior tak segan-
segan membebek: menjadi pendukung aktif atau panitia dalam
segala hal yang dibenarkan para feodal. Suasana perkaderan
seperti ini amat dekaden, membahayakan independensi, dan
sangat-sangat kelam. Persis sebuah kemerosotan pengajaran
yang dijelaskan oleh Eric Fromm:
597
meninggikan derajat dan kehormatan senior ini pasti
mengalami lompatan dari kuantitas menuju kualitas.
Lompatan inilah yang membuat para senior dan junior
membentuk sebuah kelompok kecil dalam himpunan.
Keterbentukan kelompok tersebut dibilang positif dalam
mengawal dinamika organisasi. Karena lewat perkumpulan
senior-junior itu semangat kaderisasi dikobarkan tiada henti.
Namun di titik tertentu, kelompok tadi bisa berubah menjadi
pragmatis. Itulah kenapa ada sekumpulan senior dan junior—
dalam setiap pesta demokrasi organisasi—memanfaatkan
kelompoknya untuk dipergunakan sebagai gerbong
kepentingan. Sentimen seniorisme meluap hingga membuat
sekelompok orang menjadi sektarian. Mereka begitu
mengagungkan seniornya secara berlebihan: perintah seorang
abang lebih berdaya dibanding instruksi kepengurusan
manapun, bahkan PB HMI sekalipun.
598
amat paradoks. Kepongahan pihak dominan membuat ruh
ajaran jatuh pada hasrat merebut kursi panas. Melalui
kekuasaan dalam gerbongnya bahkan seorang senior tak
segan-segan memaksa juniornya menjadi makhluk culas.
Sebab dalam sebuah gerbong pelajaran yang diberikan senior
bernuansa pragmatis-oportunis. Gambaran Betrand Russel
dapat melukiskannya begitu jelas:
599
Kala junior dikader dalam gerbong maka dia bukan cuma
harus taat pada senior yang lebih mengkadernya. Melainkan
juga senior dari seniornya dan begitu seterusnya. Melalui
gerbong mereka dididik seperti serdadu: punya garis
komando. Kehidupan senior-junior di dalam gerbong begitu
sentralistik: orang-orang yang berada di bawah berhubungan
dengan yang di atasnya dengan sikap membeo. Keadaan ini
lagi-lagi dirawat sama seperti bagaimana awalnya kader
berhadapan dengan seniornya: dilumpuhkan lewat suntikan
kesadaran palsu hingga diracuni kesadarannya. Selanjutnya,
untuk menguasai anggota himpunan tidak sekadar diluluhkan
dalam jerat seniorisme melainkan juga gerbongisme. Gerbong
tak hanya menebar ilusi pengetahuan dan pengalaman
(budaya). Melainkan pula jaringan atau koneksi (sosial); uang,
anggaran maupun pendanaan (ekonomi); dan pangkat,
jabatan, serta kebesaran (simbolik). Seolah keempat kapital
ini hanya bisa diperoleh lewat kekuatan dari gerbong.
Kesadaran palsu inilah yang dalam gerbong menjadi ajaran
senior manapun.
600
kelicikan, kepicikan, dan kehinaan. Itulah mengapa kader-
kader dibina dan dididik namun lewat kerja-kerja dangkal,
kurang mencerdaskan, dan kehilangan kemampuan
penggugahan. Lihatlah bagaimana ada-ada saja yang
melaksanakan kegiatan pesanan—seminar, kuliah umum,
bahkan demo—guna memperoleh keuntungan pemenuhan
kebutuhan dan keinginan. Banyak pula yang menjadi
influencer, buzzer, tim survey pemilu, hingga panitia apa aja
demi meraup imbalan. Bahkan, tumbuh subur gerbong-
gerbong yang doyan membangun relasi dengan para birokrat
maupun politisi supaya menjadi besar ketenaran dengan
hubungan patron-client. Dari gerbong inilah kebanyakan
muncul wajah-wajah haus kuasa: mereka biasanya berupaya
merebut dan mempertahankan kekuasaan—baik di internal
maupun eksternal himpunan—dengan cara apapun.
601
untuk saling berperang. Dalam kondisi ini gerak-gerik mereka
tidak lagi dilaksanakan karena dorongan kesadaran palsu
melainkan kemayu ketidaksadaran. Sebab internalisasi nilai-
nilai kegerbongan tidak berhenti di dogma maupun doktrin,
tetapi berlanjut pada ideologi yang melancarkan pendiktean.
Struktur gerbongisme kemudian menempatkan senior dengan
junior pada hierarki yang agak ketat, bahkan lebih rigorius
daripada seniorisme. Makanya kemerdekaan individu jadi
terasa hampa. Pribadi-pribadi direpresi untuk terus
menggugui, membeo, bahkan memuja-muja senior dari
gerbongnya.
602
kamuflase. Makanya perkaderan rentan ditindih oleh
seniorisme dan gerbongisme.
603
di atas kedua kaki mereka saja, namun hanya dalam
suatu keadaan darurat dan secara sangat canggung.
Sikap alamiah mereka adalah suatu sikap setengah
tegak dan termasuk di situ penggunaan tangan mereka.
Mayoritasnya menunjukan buku-buku kepalan tangan
ke atas tanah dan, dengan kedua kaki mereka terangkat
mengayunkan tubuh mereka melalui lengan-lengan
mereka yang panjang, mirip sekali sebagaimana
seorang pincang bergerak dengan bantuan penopang-
penopang. Pada umumnya dewasa ini pun kita masih
dapat menyaksikan di antara kera-kera semua tahapan
peralihan dari berjalan di atas ke-empat anggota badan
pada berjalan di atas kedua kaki. Tetapi tiada dari
mereka yang menjadikan metode tersebut terakhir itu
lebih dari pada suatu pengganti sementara … di
kalangan kera sudah berlaku suatu pembagian tertentu
dalam penggunaan tangan dan kaki. Yang pertama
terutama digunakan untuk mengumpulkan dan
memegang makanan, sebagaimana sudah
terjadi/berlaku penggunaan cakar-depan di kalangan
mamalia rendahan. Banyak kera menggunakan kedua
tangan mereka untuk membangun sarang-sarang untuk
diri mereka sendiri di pepohonan atau bahkan, seperti
Orang-Utan, membangun atap-atap di antara cabang-
cabang untuk perlindungan terhadap cuaca. Dengan
kedua tangan mereka memegang anak-anaknya untuk
melindungi diri terhadap musuh, atau memborbardir
yang tersebut belakangan itu dengan buah-buah dan
batu-batu. Dalam keadaan terperangkap dengan kedua
tangan mereka, dilakukannya sebuah gerakan yang
sederhana yang diturun (ditirukan) dari makhluk
manusia. Tetapi justru di sinilah orang melihat betapa
lebar jurang antara tangan yang tidak berkembang
bahkan kera-kera yang paling antropoid dan tangan
604
manusia yang telah sangat disempurnakan oleh kerja
selama ratusan ribu tahun.416
416
Frederick Engels, (tanpa tahun), Dialektika Alam, (tidak berkota): Hasta
Mitra, Hlm. 169-170. Dalam kurung tambahan penulis.
605
kemajuan akhirnya mengembangkan negara-negara dan
nasion-nasion. Di dalamnya tidak hanya terdapat sistem
hukum dan politik, tapi juga bentuk-bentuk pikiran
keagamaan. Hanya saja semua mode produksi (budaya, sosial,
ekonomi, dan simbolik) yang ada hingga sekarang semuanya
telah diarahkan semata-mata pada pencapaian efek kerja yang
paling segera sekaligus penuh kegunaan. Yakni, untuk
memusatkan keuntungan ke tangan pemegang kekuasaan.
Engels menjelaskan demikian:
417
Ibid, Hlm. 184. Dalam kurung tambahan penulis.
606
penindasnya. Hubungan mereka terdiri dari empat tahapan:
mulai dari relasi properti, relasi pembagian kerja, relasi
pembagian surplus, hingga relasi produksi. Coba pikirkan
dengan akal dan rasakan menggunakan nurani. Mula-mula (1)
keadaan manusia dalam ‘relasi properti’: hak milik
menentukan siapa sebagai tuan dan siapakah yang menjadi
hamba. Melaluinya maka penguasa dapat memperlakukan
yang dikuasainya secara suka-suka. Sebab, kepemilikian
pribadi melegitimasi perbuatan arbitrer pemiliknya. Sehingga
(2) ‘relasi pembagian kerja’ ditentukan dari kepemilikan
properti barusan: ada yang memerintah dan terdapat pula yang
diperintah. Maka hubungan manusia dengan sesamanya
mematutkan perbudakan.
607
Metode yang dipakai Marx untuk menganalisa hubungan
sosial dalam kerja itu adalah holisme (pemikiran yang
menyatakan bahwa sistem alam semesta, baik yang bersifat
fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mental-psikis, dan
kebahasaan, serta segala kelengkapannya harus dipandang
sebagai sesuatu yang integral). Dengannya ia melihat
eksploitasi yang lahir dalam relasi sosial antara pekerja
dengan majikannya. Kaum Marxis menyebut penindasan
tersebut sebagai ‘pengambilalihan nilai-lebih’. Nilai-lebih
lahir melalui proses penciptaan komoditas oleh para buruh
lewat waktu kerjanya. Dalam waktu kerja yang digunakan
untuk kegiatan (re)produksi buruh juga menghasilkan nilai-
tukar yang abstrak: kemampuan kerja. Meski abstrak namun
kemampuan kerja itu berguna untuk mengumpulkan pundi-
pundi keuntungan—nilai lebih—bagi siapa-siapa yang
memperkerjakannya. Hanya saja nilai-lebih tidak berasal dari
pertukaran, tapi melalui pembelian tenaga-kerja dan
penggunaannya di dalam produksi. 418 Rupert Woodfin dan
Oscar Zarate menjelaskannya bahwa keuntungan pihak
penindas sesungguhnya didapat dengan cara mengeksploitasi
kerja-kerja manusia:
418
Anthony Brewer, (1999), Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Jakarta:
Teplok Press, Hlm. 62.
608
dihabiskan untuk tenaga kerja, menambahkan nilai
tukar komoditi karena, selama proses produksi kaum
buruh menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk
bekerja yang tidak menghasilkan apapun bagi mereka
sendiri. Buruh memberikan nilai lebih banyak pada
komoditas daripada yang dibayarkan untuk mereka.
Mereka dieksploitasi. 419
419
Rupert Woodfin dan Oscar Zarate, (2006), Marxisme untuk Pemula,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 52.
609
simbolik. Dengan begitu sempurnalah sudah penetrasi
kapitalisme dalam tubuh HMI: kerja-kerja yang dilakukan
kader-kadernya menampilkan tendensi-tendensi yang
kapitalistik.
610
simbolik, sosial, dan ekonomi. Oleh orang-orang yang
berkuasa dalam gerbong inilah keempat kapital itu
dihakmiliki.
611
kehidupan mereka tidak setara karena berlaku keherarkisan
yang menggila. Hierarki menempatkannya dalam keadaan
subordinat terhadap siapa-siapa yang berkedudukan lebih
tinggi. Bahkan dengan hierarkisitas itulah sebuah gerbong
dinamai dengan nama senior atau alumni yang berada di
puncak tertinggi. Keadaan begini membuat gerbong dapat
memekarkan pemaksaan bertipu daya: manusia melihat
aktivitasnya sebagai kepentingan koektif, padahal
sesunggunya kekolektifan hanyalah ilusi.
612
anomali. Sebab terjadi perhadap-hadapan kepentingan: tujuan
perkaderan yang mencerahkan dan membebaskan melawan
gerbong yang bertujuan mengatur dan menguasai. Dalam
keadaan inilah HMI digerogoti oleh kelompok dominan yang
pandai melancarkan hegemoni. Kepentingan untuk meraih
dan mempertahankan kekuasaan kemudian meracuni aktivitas
organisasi. Makanya anggota-anggotanya mudah sekali
dikorbankan oleh para seniornya untuk memenangkan
pertarungan di meja kuasa. Kader-kader yang awalnya dikader
begitu rupa mendapati dirinya pada arus kekuasaan yang
membuat buta. Itu sebabnya sesudah junior duduk di tampuk
kepemimpinan maka seorang senior tak malu melakukan
intervensi kepadanya. Sekelumit perpecahan dalam tubuh
himpunan menjelaskan bagaimana seniorisme-gerbongisme
dapat sangat berbahaya (pemaparannya terdapat pada bagian
terdahulu: Komplotan Oligarki & Kapitalis Mengancam
Independensi HMI).
613
kader-kader untuk mericuhkan Konfercab HMI Cabang
Ciputat. Sirkus kekuasaan tak sekadar berlangsung di PB,
Badko, dan Cabang; melainkan juga sampai ke Komisariat.
Baiklah, akan kuceritakan padamu tentang pertikaian
antarkader waktu RAK HMI Komisariat FH Unram. Kala itu
senior-senior dari gerbong yang menjadi kelompok dominan
tampil dengan tindakan yang agak seram:
614
parkiran FH Unram suasan jadi sangat mencekam.
Beberapa kader mengibarkan golok hingga pedang
dengan muka geram. Untunglah tidak sampai saling
bacok atau bunuh-bunuhan. Tapi insiden inilah yang
membuat panik hingga ada pendukung salah satu
kandidat yang menelpon preman. Ia memanggil
bantuan dari eksternal organisasi karena ingin melawan
kader yang memberinya pukulan. Malam itu bundaran
Unram jadi titik kumpul puluhan orang yang bersenjata
tajam. Orang-orang itu berkumpul depan rektorat dan
bersiap-siap menyerbu ke arena RAK untuk melindungi
penelpon; sekaligus membasmi dia punya lawan. Hanya
saja perseteruan dengan elemen masyarakat bisa
dielakan. Karena rembetan konflik diredam oleh pihak
keamanan. Walhasil, preman kemudian dipulangkan ke
sarangnya dengan dikawal. Sementara kader-kader
yang berseteru berhasil didamaikan oleh pemegang
kekuasaan intelektual dan moral.420
420
Catatan kejadian mencekam saat RAK ke-41 HMI Komisariat FH
Unram, 2019.
615
hanya diminumkan dengan kesadaran palsu. Bahkan justru
dibikin tidak sadar oleh ilusi-ilusi yang menempatkan dirinya
sebagai babu. Sebab kekuasaan intelektual dan moral dari
senior pada gerbongnya telah meracuninya. Itulah kenapa
mereka gampang sekali diperintah untuk saling memusuhi,
melemahkan, dan mengalahkan dalam ring tinjunya kuasa.
Karena kesadarannya telah ditanggalkan oleh gerbong yang
pandai menghasut lewat bisikan mengejar kepentingan
bersama: meraih dan mempertahankan kekuasaan, menjaga
kebesaran kelompok, hingga merawat dan menguatkan
barisan.
616
yang memekarkan persaingan, mencangkokan permusuhan,
dan membuahkan perpecahan. Lewat iklim begini maka
perkaderan yang dilaksanakan HMI seolah berusaha
memanipulasi teori Carles Darwin tentang evolusi.
Perkembangan kehidupan bukan lagi dilihat sebagai
kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan bumi.
Melainkan menjadi arena unjuk kekuatan. Padahal Darwin
sendiri menyatakan fittests (keberlangsungan hidup mahluk
yang paling fit) tak didasari atas persaingan tapi perubahan.
Ken Budha Kusumandaru menjelaskan:
421
Ken Budha Kusumandaru, (2004), Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 56-57.
617
memberi contoh pada negara-negara awal yang pernah berada
di dunia: terdapat dalam peradaban masyarakat Hun, Yunani,
Romawi, Goth, maupun Scythia. Rata-rata perkembangan
pengorganisasian sistem politiknya ditentukan oleh kemajuan
sistem pertaniannya. Pertama tiap-tiap komunitas memiliki
pemimpin perang (warchief) sendiri. Kedua, setelah sistem
pertanian mereka maju maka sistem administrasi dan politik
semakin berkembang—ini membuat pemimpin-pemimpin
perang yang dalam sukunya membentuk aliansi-aliansi atau
federasi. Lalu pada tahap ketiga, setelah proses konsentrasi
kekuasaan diselesaikan secara tuntas maka dibangunlah
imperium-imperium melalui perang saudara di antara anggota
federasi.422
422
Lihat Ibid, Hlm. 80-81.
618
kepentingan ekonomi kapitalisme menjadi alasan utama
kehadiran persaingan, peperangan, sampai penaklukan.
423
Haryatnoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 167.
619
tentara sebuah negara. Karena gerbong ibaratkan negara yang
harus mengamankan sumber daya melalui persaingan dengan
gerbong atau negara lainnya. Itulah sebabnya kader-kadernya
kemudian dibentuk sebagai aparatur kekuasaannya. Kala itu
seniorisme-gerbongnisme tampil tanpa memberi junior
kebebasan melainkan mengakarkan ketakutan. Individu-
individu dipandang sebagai benda bagi senior yang memiliki
kuasa atas gerbong. Mereka menebarkan prinsip sinting: agar
dapat bertahan hidup dalam himpunan maka harus punya
senior sekaligus gerbong tempat bernaung. Keyakinan ini
ditanamkan hingga kader tak merasakan bahwa dia
ditempatkan pada posisi subordinat. Melaluinya maka
kepentingan senior berpengaruh dalam gerbongnya diterima
serupa kepentingan kolektif, bahkan sampai dipandang
kramat.
620
makelar: memasang harga berapa saja untuk dukungan
juniornya. Lewat tangan senionya maka kader-kader disulap
jadi komoditi. Derajat kemanusiaannya dikebiri. Dirinya tak
lebih dari komoditas karena seniorisme-gerbongisme
memperdagangkannya seolah punya lisensi.
621
kawanan. Hannah Arendth menyebutnya sebagai
‘kedangkalan imajinasi’. Karena tiap tugas yang diberikan
oleh seniornya tak mampu dipertanyakan apalagi disangsikan.
Perintah dan arahan dalam hegemoni seniorisme-gerbongisme
dianggap sebagai satu-satunya yang bisa menjamin
kelangsungan hidupnya dalam berhimpun. Itu sebabnya
kader-kader rela mengorbankan apa yang dia miliki demi
tercapainya kepentingan pihak dominan. Anak-anak muda itu
tengah diperbudak namun tak punya pilihan untuk melawan.
Perlawanan atau pemberontakan soalnya dipandang oleh yang
berkuasa sebagai sesuatu yang irasional karena akan
membahayakan kepentingannya. Itulah kenapa sikap berlawan
dan berontak disingkirkan dari pandangan para juniornya.
Dengan begitu seorang junior akan merasa nyaman
diperlakukan sebagai alat kepentingan apa saja. Ini disebut
Max Horkheimer sebagai bentuk rasionalitas instrumental:
individu menyerupai benda dan alat yang netral belaka.
Sindhunata menjelaskannya mirip dengan mode eksistensi
binatang:
424
Sindhunata, (1982), Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik
Masyarakat Modern oleh Max Horkhoimer dalam Rangka Sekolah
Frankfurt, Jakarta: PT Gramedia, Hlm. 117.
622
Relasi akomodatif dengan senior dalam sebuah gerbong telah
menjadi cara satu-satunya yang dianggap dapat
mempertahankan diri junior. Mereka berharap dengan
ketundukan dan kepatuhannya akan memberikan modal
padanya. Modal yang diandaikan adalah terdiri dari empat
jenis kapital: budaya (pengetahuan dan pengalaman), sosial
(jaringan, relasi, dan koneksi), simbolik (pangkat, jabatan, dan
kebesaran), dan ekonomi (uang, anggaran, maupun
pendanaan). Dari Horkheimer kita diberi tahu bahwa modal
memang meminta banyak korban. Karena modallah maka
sebuah kerja yang dilakukan oleh manusia justru malah
menindas dan mengalamiahkan (membinatangkan) dirinya.
Inilah fenomena yang terjadi dalam hubungan seorang junior
dengan seniornya dalam sebuah gerbong. Hasrat akan modal
budaya, simbolik, sosial dan ekonomi telah membuat kerjanya
dalam organisasi memiliki nilai tukar. Ketika kerja organisasi
ingin dipertukarkan dengan modal itu, maka inilah yang
ditegaskan Horkhaimer sebagai ‘dilema manusia rasional’.
Dengan pengertian rasionalnya, individu makin berusaha
menemukan identitasnya. Tetapi makin dikejar malah
identitas sebagai individu malah semakin dihancurkan.
623
Sebab para mafia mudah sekali memperjual-belikan suaranya
untuk dikonsumsi pembeli melalui alat pertukaran—uang.
Dalam keadaan yang begitulah kader-kader melakukan kerja-
kerja organisasi ternyata keuntungan para abang. Karena
kemampuan kerja sekaligus waktu yang dikorbankannya
untuk berproses secara tulus dan ikhlas justru dipertukarkan
oleh seniorisme-gerbongisme dengan kepeng-kepeng yang
masuk kantong pribadi. Junior-juniornya hanya dipandang
sebagai barang dagangan orang-orang yang menguasainya.
Memang hegemoninya maka senior dalam gerbong
menyulapnya jadi komoditas kuasa. Makanya kehidupan
kegerbongan tak memiliki garis demarkasi yang jelas antara
kepentingan senior secara individu dengan kepentingan
bersama kader-kadernya. Itu sebabnya seorang junior begitu
rentan ditempatkan bukan hanya sebagai instrumen pelancar
kepentingan, tapi pula kapital sebuah gerbong hingga
komoditi unggulan penghasil pemberi untung kepada tuannya.
624
dengan elit-elit pemerintahan. Bahkan, gerbong pun tak jarang
terisi oleh alumni yang terlibat aktif dalam pranata-pranata
kenegaraan. Di dalam suatu gerbong mereka-mereka inilah
yang mengambil posisi sebagai kelompok dominan. Kala
kader segerbong dengan merekalah maka dirinya pasti
menginternalisasi nilai-nilai yang diajarkan. Nilai itu akan
bertransformasi ke sebentuk dogma, doktrin, hingga ideologi
yang mampu mengarahkan, mengatur, dan mengendalikan.
Melaluinya kader dihegemoni sesuai dengan kepentingan
kelompok dominan. Kepentingannya adalah tergantung dari
kelas sosial mana dia berasal, bersemayam, maupun
bergelayutan.
625
gerbongnya maka kader-kader selalu dibujuknya untuk patuh,
tunduk, bahkan berhamba pada penguasa. Bujukan inilah
yang secara diam-diam atau terang-terangan disalurkan pada
relung-relung perkaderan. Tengoklah bagaimana disihirnya
orientasi berorganisasi untuk lebih condong mengisi jabatan-
jabatan kenegaraan. Kekuasaan selalu diasosiasikannya
dengan negara. Inilah kenapa mempengaruhi gerakan HMI
untuk ikut mendukung birokrasi, hingga menghasilkan
seabrek kader yang mendamba takhta istana. Common sense
demikian, merupakan hasil internalisasi nilai-nilai yang
bersumber dari seniorisme-gerbongsime. Dengan kaki
tangannya—senior atau alumni HMI—sebagai kelompok
dominan dalam gerbong organisasi maka negara mudah sekali
melaksanakan tindakan-tindakan seperti yang ditulis Marx
dalam The Eighteenth Brumaire XVIII Louis Bonaparte:
425
https://www.marxists.org/indonesia/archive-marx-engels/1852/brumaire/
626
kekuasaan hegemonik negara. Melaluinya maka himpunan
coba dipenetrasi sedemikian rupa. Perembesan itu dilakukan
lewat senior yang suka bermain dengan birokrasi maupun
alumni yang menjadi birokrat. Merekalah yang menjadi
perangkat lunak kekuasaan negara untuk membuat HMI tak
berani macam-macam hingga bertekuk lutut. Dibuatnya
kekuatan organisasi lemah itu amat sederhana: daya
seniorisme-gerbongisme digunakannya untuk menekan
bahkan mengendalikan pikiran, perasaan, dan kehendak
junior-juniornya yang sedang menjadi pengurus himpunan.
Kala itu seorang kader begitu sulit menolak kemauan
seniornya. Sebab seniorisme-gerbongisme telah menjadi
ideologi mikro yang mengendalikan kesadarannya.
627
bukan tetek-bengek kuasa yang bertakhta. Namun apabila
senior bertipikal politik-struktural: dipastikan kadernya
dipahat hingga jadi manusia yang bersedia mengejar kuasa
apa saja.
628
berhadap-hadapan dengan kepentingan apa saja. Pada saat
inilah seorang kader terancam oleh pelbagai perembesan yang
bukan memerosotkan idealismenya. Karena juga dapat
menyulapnya jadi benda tak berjiwa tapi berharga. Lihatlah
bagaimana hubungan senior-junior dalam sebuah gerbong
menampakan relasi bagaikan buruh dengan tuan: kader tidak
merdeka karena menjadi budak, namun berani melawan
penguasanya. Memang dengan disihirnya kader sebagai
barang maka ia tidak punya kuasa atas dirinya. Inilah
fenomena yang berlangsung ketika dia berhadapan dengan
kepentingan-kepentingan aparatus kekuasaan dalam
gerbongnya. Jika saja belenggu seperti itulah yang kalian
rasakan dalam berhimpun, tidak syak lagi: senior dan gerbong
telah menjadi isme yang mengerikan sekaligus berbahaya.
Wajah HMI diubah mirip panggung sirkus yang penuh
gejolak, trik, dan sandiwara. Mungkin itulah kenapa junior
dikader untuk kemudian dipenjara dalam gerbong kelompok
dominan.
629
Komisariat atau Cabang-nya. Tidak syak lagi, ini disebabkan
perseteruan antara gerbong yang terjadi dalam himpunan.
Keadaan begini jika tak mampu dikendalikan dengan baik
maka bukan malah membuat hidup organisasi, melainkan
keterpecahan-demi-keterpecahan. Karena iklim yang
dipertahankan penuh dengan persaingan.
630
sebagai pengganti ujud atau peristiwa. Manusia yang
dipersembahkan dalam pemujaan kepada yang ilahi karena
dianggap merupakan orang pilihan: khas dan suci tanpa dosa.
Maka dirinya pantas untuk dibunuh dalam ritual kepada dewa
agung. Darah yang ditumpahkan di atas altar pemujaan
dipandang akan mendatangkan kebahagiaan hidup:
kedamaian, kesejahteraan, dan kebutuhan bergelimang.
Peristiwa ini membersitkan lahirnya nilai tukar: manusia jadi
komoditi yang dipertukarkan dengan pemberian kekuatan
mistis. Sedangkan subtitusi dalam kaderisasi nampak tatkala
seorang kader terjerambab dalam kesadaran palsu berupa:
utang budi kepada senior; atau keinginan meraih modal sosial,
simbolik, ekonomi, dan politik lewat gerbong. Ini persis
dengan apa yang ingin diraih masyarakat primitif ketika
mengurbankan manusia melalui altar pemujaan: kesadaran
palsu hingga ketidaksadaran mendorongnya untuk
memberikan penghormatan dan penghargaan kepada senior
dan gerbongnya dengan kemampuan kerja yang dimilikinya.
Itulah kenapa ada junior atau kader yang selalu saja menuruti
tiap-tiap kemauan senior dalam gerbongnya sewalaupun apa
yang diturutinya bertentangan dengan hati nurani atau
kehendak bebasnya. Dalam kondisi inilah terjadinya subtitusi:
waktu kerja kader-kader dikurbankan demi keuntungan yang
didapatkan oleh orang yang cerdik memanfaatkan kepatuhan
dan ketundukan mereka yang menjadi bagian dari
gerbongnya. Dengan begitulah seniorisme-gerbongisme
menjelma jadi kekuatan yang sakral, sedangkan kemampuan
kerja (abstrak) yang dipersembahkan kepadanya dianggap
sebagai sesuatu yang memang pantas dipersembahkan agar
mendapatkan balasan: pengetahuan, pengalaman, relasi,
631
koneksi, jaringan, uang, anggaran, pendanaan, jabatan,
pangkat, kebesaran, maupun kekuasaan apa saja.
632
Itulah kenapa manusia sampai dibuat mengingkari dirinya
sendiri. Dia kehilangan kehormatannya karena penindasaan
kemanusiaan yang terjadi dalam irasionalisme kapitalisme
totaliter. Rayuan akan modal budaya, simbolik, sosial, dan
ekonomi telah membuat individu tidak berdaya
mempertahankan kehendak bebasnya. Soalnya seniorisme-
gerbongisme berhasil menjeratnya begitu rupa. Nasib mereka
mirip kelas pekerja. Marx katakan: ‘dinamika utama
masyarakat kapitalis terletak pada perkembangan modal.
Modal berkembang dengan cara melakukan eksploitasi pada
kelas pekerja.’ Kapitalisme memang tak hanya berlangsung
dalam ranah perburuhan tapi menyebar sampai dunia
pendidikan. Bahkan kini menyentuh wilayah perkaderan
himpunan. Ini sangat berbahaya karena jika terus dibiarkan
maka akan memerosotkan bukan lagi sebatas gerakan dan
kaderisasi, tapi organisasi itu sendiri. Karenanya, hegemoni
yang dilancarkannya mesti ditandingi. Gramsci
memberitahukan bahwa orang tidak bisa keluar dari
hegemoni, tapi dapat mereorganisasi dan merekonfigurasi
sesuai kepentingan kelas atau kelompok yang sebelumnya
dikuasai.
633
pranata kenegaraan. Sementara bagi Gramsci, orang-orang
yang dihegemoninya memiliki bukan hanya kesadaran palsu
atau ketidaksadaran tapi kesadaran ganda: selain ide-idenya
dipengaruhi para borjuis juga terpengaruh oleh pengalaman
nyata, seperti: pengekangan, kesewenang-wenangan,
penindasan, kemiskinan, maupun perbudakan. Kala kenyataan
ini mampu dirasakan maka ada kemungkinan menaklukan
hegemoni. Perlawanan kecil-kecilan adalah bertahan,
terutama mencoba menanggalkan semua ‘konsep dunia’ dari
mereka yang menguasai. Lalu secara intensif menyadari dan
menyikapi segala kontradiksi ideologi yang berusaha mereka
cekoki. Hanya saja untuk memaksimalkan perjuangan
pembebasan dibutuhkan kehadiran kaum intelektual organik:
para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan
sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik tapi juga
memakai bahasa-bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan
perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan
oleh orang-orang yang tertindas di sekitarnya.
634
menyebarkan ide dari untuk mempertahankan kekuasaan
hegemonik sekaligus menjadi mediator antara massa dengan
kelas penindas. Dalam HMI, tugasnya intelektual organik
boleh jadi; membangun persekutuan dengan kader-kader
tertindas, terutama anggota-anggota baru himpunan yang
biasanya rentan sebagai sasaran tindas. Anak-anak muda ini
harus diberi senjata agar bisa melindungi diri dari ancaman
kelompok dominan yang diperalat perangkat-perangkat
kenegaraan. Langkah awalnya bisa dengan membaca literatur-
literatur yang kekiri-kirian, mengabstraksi realitas supaya
dapat menggerakan, bahkan sampai mencoba memprovokasi,
hingga belajar menyatukan penderitaan, dan ujungnya adalah
menyembulkan perlawanan kecil-kecilan maupun besar-
besaran. Hanya lewat tindakan itulah generasi muda
himpunan memeluk avorisme seperti yang diucap Bernard
Shaw dengan penuh keyakinan:
635
merasa takut hingga dirinya tidak stabil. Seniorisme dan
gerbongnisme tampil sebagai mitos yang telah berhasil
membuat banyak kader terteror, bergidik, hingga jadi bacul.
Ini adalah akibat ulah senior yang menjadikan gerbongnya
mirip kamp konsentrasi: kadernya diracuni dengan ide-ide
konyol. Senior menyuapi junior dengan apa saja yang berguna
agar anggota HMI jadi penurut, tidak berani membangkang,
hingga komformis, kompromis, dan agak sedikit tolol. Sebab
seniorisme-gerbongisme bukan saja merayu dengan kapital—
budaya, sosial, ekonomi, dan simbolik—tapi juga memvonis
masa depan: kalau tidak taat, tertib, tunduk dan patuh, maka
tidak ada yang bisa menjamin kesuksesan dalam berhimpun.
Melaluinya tak hanya kebenaran yang didakukan, tapi juga
kebaikan dikasih ukuran. Dalam tataran wacana, seniorisme-
gerbongnisme telah menancapkan dominasi simbolis kepada
kader yang dilancarkan melalui relasi pengetahuan dan
kekuasaan. Inilah yang membuat junior lemah di hadapan
senior-gerbongnya karena terus menyantap jamuan beragam
kepentingan.
636
moralitas—salah satu nilai yang paling menonjol ialah
‘ketaatan’. Pembentukan ‘kader taat’ diupayakan melalui
proses ideologisasi. Proses inilah yang membuat seorang
kader dibina langsung oleh seorang senior dalam tabung
internalisasi nilai: gerbong. Pembinaan dan pengembanganya
mengajarkan apa yang boleh dan tidak patut dilakukan
kadernya. Pokoknya apa yang baik, buruk, benar dan salah
ditata ulang. Dia yang telah berhasil melewati tempaan
kemudian dijadikan aparatus kekuasaan gerbong.
637
Dengan sikap yang konformis maka ini memberi kesempatan
kepemimpinan intelektual dan moral untuk mengukuhkan
hegemoninya. Kala itu wacana intelektualitas dan moralitas
menjadi persis yang diistilahkan Max Stirner dengan ‘momok
yang menakuti’: penampakan sosok hantu, abstraksi ideologis
yang meskipun demikian berdampak nyata secara politis—
wacana-wacana tersebut memberikan pembenaran terhadap
pihak penguasa terhadap penindasannya. Penindasan tersebut
seperti cara andalan yang dipakai negara dalam meluluhkan
kekuatan reolusioner masyarakat sipilnya. Kini metode
hegemoni yang demikian ikut digunakan seniorisme-
gerbongisme bukan saja dalam mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaannya pada HMI, tapi terutama
merupakan ajang melanggengkan tatanan kapitalisme yang
dikelola oleh negara. Sebab, mereka yang berusaha
membungkam kemampuan kritis, daya kreatif, dan
kemerdekaan kadernya menampakan bagaimana represi
perangkat lunak kekuasaan negara bekerja: menguasai dengan
ilusi ideologi dalam bentuk ajaran-ajaran rasional dan moral.
Lewat keadaan yang beginilah Stirner menyebut moralitas
serupa dengan ‘agama sekuler’ dan negara berubah jadi
‘gereja baru’. Sebab nilai moral seiras kepercayaan religius:
fatanatik, menuntut ketaatan melulu. Sedangkan ukuran-
ukuran rasional dijunjung di atas perspektif individu.
Akibatnya ego manusia disubordinasi di bawah kenyataan-
kenyataan semu. Deleuze bahkan membuka kedok dari
bentuk-bentuk dan struktur yang mengafirmasi keberadaan
dan pemahaman terhadap pranata-pranata kenegaraan.
Pandangan itu kemudian Saul Newman deksripsikan:
638
Deleuze percaya bahwa pemikiran terlibat dalam
dominasi negara, yakni menyediakan sebuah dasar
legitimasi dan persetujuan. “hanya pikiranlah yang
mampu menciptakan fiksi mengenai negara bahwa hal
tersebut universal dengan mengangkat negara ke
universalitas secara de jure” (Deleuze dan Guittari
1998: 375). Rasionalitas adalah sebuah contoh dari
pemikiran negara … Deleuze mengatakan bahwa
wacana rasional dan moral sebenarnya tidak lain
adalah bagian dari negara itu sendiri. Negara bukan
sekedar serangkaian institusi-institusi dan berbagai
penjabaran politis, melainkan juga terdiri dari sejumlah
besar norma-norma, teknologi-teknologi, wacana,
praktek, bentuk-bentuk pemikiran, dan struktur-ketata
bahasaan. Ini bukan sekedar bahwa narasi-narasi
menyediakan sebuah pembenaran atas (keberadaan)
negara—melainkan hal-hal tersebut adalah manifestasi
dari bentuk negara dalam pemahaman…. 426
426
Saul Newman, (2009), Perang Melawan Negara; Anarkisme dalam
Pemikiran Deleuze dan Max Stirner, Makassar: Kontinum, Hlm. 19-21.
639
Pengajaran yang diberikannya tak membebaskan manusia
melainkan melatihnya menjadi hamba kekuasaan. Senior yang
seperti itu pasti tidak pernah bisa dibantah. Dia bahkan
cenderung bersikap totaliter: mengatur dan mengontrol
dengan penuh gairah. Jika juniornya loyal akan diberi
ganjaran hadiah. Tapi kalau sebaliknya: justru dilimpahkan
hukuman yang bikin susah, bawa sedih, dan mungkin pula
agak pedih.
640
Ini merupakan pengalamanku sewaktu aktif ber-HMI.
Sangat berharga untuk data pendukung tulisan
mengenai HMI. Namun bukan bermaksud
menggeneralisasi. Masa-masa awal memasuki rumah
HMI, aku bertemu dengan pelbagai orang yang dalam
organisasiku rata-rata dikenal sebagai senior. Dari
merekalah diajarkan banyak hal, terutama mengenai
pengetahuan dan pengalaman yang kaya akan nilai-nilai
moral bagaimana caranya menjadi kader yang baik dan
benar. Ternyata untuk menjadi kader yang ideal
menurut mereka ialah mesti mau banyak belajar.
Pembelajaran paling diutamakan melalui senior,
berkecimpung dalam sebuah gerbong besar. Melaluinya
kudiminumkan dengan ajaran moralis sedemikian rupa:
mulai dari buku yang bisa dan tidak boleh dibaca,
teknik retorika yang bagus walau agak munafik, soal
gaya berpakaian dan berpenampilan mirip pejabat,
pentingnya sopan-santun kepada yang senior,
keharusan perjuangan mewujudkan kepentingan
gerbong, tentang kegiatan-kegiatan yang baik dan
buruk untuk dikerjakan, hingga aturan-aturan moral
lainnya. Mungkin inilah yang membuatku dulu begitu
menuruti, menggugui, bahkan memuja senior-seniorku
yang berkuasa dalam gerbong yang nampak perkasa.
Walhasil, diriku seperti pembantu: bersedia mengantar
jemputnya ke mana-mana dan kapan saja,
menemaninya berjam-jam di warnet hanya sebagai
pesuruh, tinggal sekamar dengannya dalam kondisi
serupa pelayan, tidak berani mencela apa yang
diperintahkannya, hingga memenuhi keinginan-
keinginannya baik soal meraih dan mempertahankan
kekuasaan gerbong dalam organisasi maupun dalam
kehidupan pribadi seperti meminjamkannya motor
sewalaupun sedang dibutuhkan sendiri dan memberi
641
pinjaman uang yang sewalaupun lama—atau sama
sekali enggan—diganti.
642
seniorisme-gerbongsime di mana-mana menciptakan kondisi
serupa: individu-individu disubordinasi oleh seniornya dalam
sebuah gerbong yang berdiri pada tatanan yang dibangun
melalui hubungan-hubungan tidak seimbang karena wacana-
wacana dimonopoli oleh kepentingan-kepentingan pihak
dominan. Melaluinya kebebasan kader dikorban pada altar
kesadaran palsu hingga ketidaksadaran. Algojo pembunuhnya
adalah ilusi-ilusi ideologis yang dilancarkan lewat tindakan-
tindakan penghegemonian. Tindakan itulah yang tersalurkan
ke bentuk pemberian ajaran-ajaran moralitas. Ajarannya
membuat kita tidak bebas. Sebab seniorisme-gerbongisme
merupakan diskursus ideologis yang menghegemoni
kesadaran sasarannya dengan amat culas. Lewat
kemampuannya menginterplasi maka kesadaran seseorang
gampang dikendalikannya. Dalam kondisi inilah manusia
dibikin tidak merdeka. Kemerdekaan individu secara
terselubung ditekan oleh pelbagai kepentingan kelas yang
berkuasa. Padahal Immanuel Kant mengungkap: tanpa
kebebasan maka moralitas tidak dibutuhkan.
643
moral tertentu, bukan berdasarkan tujuan atau hasilnya. 427
Tetapi kemudian dia membagi moralitas ke dalam dua varian:
imperatif-hipotetis—tindakan yang dilakukan demi
mengejarkan tujuan atau hasil; dan imperatif-kategoris—
tindakan tanpa syarat karena dorongannya memang ada dalam
diri manusia: kemanusiaan. Moralitas pertama persis ajaran
yang tertanan oleh senior-senior dalam sebuah gerbong:
bekerja demi memperjuangkan pelbagai kepentingan pihak
dominan. Sedangkan selanjutnya, itulah moralitas yang
berangkat dari ‘niat baik’ dalam diri manusia. Kant
mengatakan: ‘sebuah perintah kategoris menjadi sesuatu yang
mewakili sebuah tindakan yang amat penting untuk dirinya,
tanpa dorongan akan tujuan yang lain.’
427
Buka ceramah Fahruddin Fa’iz di https://youtu.be/zAc_YfZZF9k-ngaji-
filsafat-immanuel-kant-deontologi-filsafat-moral/
644
senior, gerbong, maupun negara. Melainkan mesti diciptakan
sendiri oleh pribadi otonom yang gandrung akan kebajikan
ketimbang sebatas mengejar kesenangan dan kebahagiaan
semu yang ditawarkan seniorisme-gerbongisme lewat kapital
sosial, ekonomi, simbolik, maupun budayanya. Resapilah!
Immanuel Kant berkata:
428
https://jagokata.com/kata-kata-bijak/dari-immanuel_kant.html
645
kader yang otonom: berkepribadian utuh sebagai manusia
merdeka. Dia mampu mewarnai hidupnya dengan khitah
perjuangan, bukan daftar belanja kelompok penguasa.
646
Keberanian orang merdeka jadi bahan pertimbangan takdir
ia adalah tangan yang menciptakan peristiwa-peristiwa
647
Tolaklah Doxa Kaderisasi:
Konsumerisme Dan Mimesis
648
bahkan sampai ada beberapa Cabang yang mati dengan
anggotanya yang tidak terurus dengan rapi. Itu sebabnya
banyak kritik kemudian menyerang himpunan, bahkan sampai
ada yang mengatakan supaya HMI bubar saja. Makanya
himpunan kemudian dihadapkan pada sebuah tantangan: jalan
terus atau membubarkan diri.
649
keduanya mampu merubah dan membawa kepada iklim baru
bagi perkembangan organisasi. Lembaga mahasiswa ini
kemudian sedikit-demi-sedikit keluar dari keterpurukan.
Himpunan beringsut cepat menuju arah kemajuan. Itu nampak
jelas ketika mereka melakukan pembentukan basis-basis
organisasi; mulai dari Komisariat, Cabang, Badko, sampai
lembaga-lembaga otonom. Aktivitas organisasi kembali
dipenuhi warna dan dinamika. Di mana ada fakultas atau
universitas, maka di situ berdiri struktur kepemimpinan
organisasi.
650
dan lagi-lagi disempurnakan 2015—masih tetap dipakai
sampai sekarang). 429
429
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 40-44.
651
kaderisasi adalah pada aspek kualitas; keempat, seorang kader
memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon
dinamika sosial lingkungannya mampu melakukan ‘social
engineering’.430
430
Lihat Pedoman Perkaderan 2015 (PDF), Jakarta: Penerbit BPL PB HMI.
431
Lihat Hasil Kongres HMI di Ambon, (14-27 Februari 2018), Hasil-Hasil
Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam Meneguhkan Kebangsaan
Wujudkan Indonesia Berkeadilan, Jakarta: Penerbit PB HMI, Hlm. 363-
379.
652
Kendati landasan pedoman perkaderan begitu komprehensif
dengan beragam kandungan nilai pencerahannya. Tetapi hari-
hari ini kader himpunan seperti tercerabut dari apa telah
digariskan dalam kitab perkaderannya. Lihat saja pada setiap
kampus pasti ada anggota yang hanya tergila-gila dengan
dunia akademisi, menghabiskan waktu untuk duduk di bangku
kuliah karena iming-iming di akhir semester mendapat nilai
A. makanya mereka sampai tega mengorbankan rasa peka dan
kepedulian sosial terhadap persoalan keumatan dan
kebangsaan. Di samping itu dapat pula dijumpai kader yang
sebelumnya telah diperjuangkan lewat presidium hingga
diusahakan mati-matian untuk menduduki jabatan di internal
kampus, tetapi setelah menjabat dia tidak mau lagi aktif untuk
berhimpun. Alasannya begitu sepele: sulit membagi waktu.
653
untuk kepentingan oknum-oknum dalam himpunan. Dorongan
untuk melakukan aksi terjatuh pada demo-demo bayaran yang
keuntungannya didapatkan senior, sedangkan dirinya kadang
kala tak mendapatkan apa-apa. Kader-kader malang ini tak
jarang menumbalkan aktivitas kuliahnya demi melancarkan
kritik sekaligus memuluskan terisinya kantong mafia
kaderisasi.
654
berkarya, tapi hanya sebagai bentuk barter kepentingan
seorang Ketum Cabang.
655
Meski tak mampu mengalunkan keindahannya pada rakyat-
wanita. Badan yang mengambil simbol bunga melati itu tetap
jadi sarang absah untuk membina para HMI-Wati. Pelatihan
dan pendidikan yang diberikannya persis dengan Badan
Pengelola Latihan (BPL). Badan yang satu ini jadi tempat
bernaungnya para master. Tetapi master di sini tak sekedar
dilatih dan dididik, tapi mereka juga melatih dan mendidik.
Orang-orang ini sengaja ditampung untuk mengelola training-
training organisasi. Merekalah guru dalam setiap forum-
forum perkaderan. Penampilannya selalu rapi hampir tak ada
yang kelihatan memakai celana atau baju yang agak robek,
apalagi tampil acak-acakan. Di tubuhnya melekat lengkap
atribut-atribut organisasi. Maka tampilannya begitu sempurna
tanpa cacat sedikit pun. Dari pikirannya bersemayam gagasan-
gagasan luar biasa. Sementara dalam perasaannya penuh
dengan kasih sayang, kelembutan, kehangatan, bahkan cinta.
Pada mulutnya tersembul kata-kata pembuat kagum siapa saja
yang mendengarnya. Itu sebabnya master mampu meluluhkan
peserta LK, terutama hati dari golongan kaum hawa.
Sedangkan untuk kelompok Adam juga terkadang mampu
digerakkan olehnya melalui secarik motivasi dan inspirasi.
Mungkin itulah yang membuat BPL tampil sebagai badan
yang unik lagi menarik bagi kader-kader HMI-Wati dan HMI-
Wan.
656
mata peserta atau kader? Ataukah pengelola latihan
menjadikan forum sebagai ajang buat manggung persis
personil band yang mengharapkan munculnya banyak
penggemar? Kenapa dia tidak mampu melahirkan kader-kader
yang tak melulu loyal pada seniornya, tapi militan pada
organisasi? Apa yang membuat master gagal menghasilkan
kader-kader yang bukan penurut dan pengekor, tetapi
pemberani dan mandiri? Mengapa pengelola latihan tak
mampu menanamkan ajaran-ajaran perlawanan kepada
peserta-peserta training? Tidakkah kamu merasa kesal melihat
semakin banyaknya orang-orang yang kau kader dulu
sekarang telah banyak yang terjerambab dalam kubangan
kapitalisme hingga dirinya berlaku oportunis dan pragmatis?
Mungkinkah Anda tak pernah berpikiran untuk membentuk
kader-kader yang progresif revolusioner, yakni mereka yang
memberontak terhadap tatanan yang zalim ini?
657
melanggar konstitusi? Tidakkah Balitbang mau mencarikan
obat untuk Formateur/Ketum dan Mide Formateur yang
mamasukan pengurusnya secara inkonstitusinal; baik belum
LK II atau LK III, ataupun yang tidak pernah mengabdi jadi
pengurus Komisariat atau Cabang? Balitbang mesti mengerti
bahwa pengangkatan pengurus bukan saja melewati
kualifikasi yang tercatat dalam konstitusi, melainkan
terpenting adalah rekomendasi senior atau balas jasa
pemenangan seorang Ketum. Fenomena itulah yang hari-hari
ini marak terjadi dalam setiap struktur kepengurusan HMI.
658
untuk menjadi peserta pada acara-acara yang dilaksanakan
senior atau alumni HMI berpengaruh. Di sini yang sebuah
kepengurusan dapatkan bukan hanya jaringan yang terawat
atau koneksi yang semakin besar, tetapi juga modal untuk
mengisi kas organisasi.
659
Organisasi kepemudaan yang telah bermesraan dengan
kepentingan penguasa sulit menjadi pelopor perubahan
mendasar. Karena dia tak mengambil posisi berhada-hadapan
dengan kekuasaan, melainkan mendukung dan
mempertahankannya. Kondisi ini membuat kaderisasi dan
gerakan berubah wajah jadi batu loncatan untuk meniti karir
politik semata. Dinamika berorganisasi kemudian bukan
hanya sebatas pada perebutan jabatan di struktural HMI,
melainkan juga di pranata-pranata kenegaraan. Itu sebabnya
seorang senior dalam sebuah pesta demokrasi dapat
melibatkan kader-junior untuk mendukungnya dengan cara
berkampanye—secara sembunyi-sembunyi bahkan terang-
terangan—dalam memperebutkan kursi-kursi di eksekutif
maupun legislatif. Keadaan yang demikian telah membuat
kader menanggalkan independensinya. Independensi luluh di
bawah ketiak koneksi dan sepercik harapan akan curahan
balasan dari senior setelah menang nantinya. Itu sebabnya
kader HMI tak segan-segan berpolitik praktis. Lihat saja
ketika struktur kepengurusan HMI berani mengeluarkan surat
rekomendasi agar seorang kader atau mantan anggotanya
dapat dipertimbangkan untuk diterima bekerja dalam pranata
kenegaraan. Tindakan ini membersitkan fenomena politisasi
himpunan demi mengecap bau kebun mawar kekuasaan..
660
dalam sistem kaderisasi. Itulah yang biasanya mengalir
melalui wacana, pandangan dan pemikiran yang berorientasi
kekuasaan dalam birokrasi. Dalam masa Orba saja, himpunan
telah berhasil menyalurkan 200 aktivisnya ke dalam jabatan
anggota dan pimpinan DPR. Hingga dewasa ini entah sudah
berapa ratus atau ribu orang-orang yang pernah bergelut
dalam HMI menapak karir birokratif. Tetapi semakin banyak
mantan-mantan anggotanya yang terjun berpolitik,
perkembangan kaderisasi bukannya progresif tapi tak berdaya
bahkan agak sedikit regresi. Ini terjadi karena kader-kader
terlalu menghabiskan tenaga untuk mengejar kuasa. Makanya
buyar dalam disiplin kaderisasi dan gerakan. Hal demikian
dijelaskan oleh Sidratahta Mukhtar dengan sangat lugas dalam
bagian kesimpulan di karyanya HMI dan Kekuasaan:
432
Sidratahta Mukhtar, (2006), HMI dan Kekuasaan, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, Hlm. 127-128.
661
dari urusan dari arus kekuasaan. Lihat saja ketika rekrutmen
anggota digelar maka pamflet-pamflet yang berisi gambar-
gambar alumni HMI yang telah masuk dalam tubuh birokrasi
dijadikan pemancing minat mahasiswa umum bergabung ke
dalam himpunan. Calon-calon kader bukan dicari melalui
kerja-kerja gerilya yang penuh tantangan dan militansi,
melainkan memanfaatkan citra alumni-alumni yang sudah
tenar, kaya, dan berbantal kuasa. Seolah tidak ada hal lain
yang dapat dilakukan dalam merebut perhatian mahasiswa
terhadap HMI. Karena untuk mengrekrutmen saja kita
sepertinya telah kehilangan imijinasi. Sehingga yang
dijadikan alat memancing mahasiswa sekedar prestise semata,
bukan malah kemampuan, keunggulan dan keunikan
kaderisasi dan gerakan organisasi.
662
kita sama sekali tak pernah mmendengarkan saran dari
Nietzsche: ‘jika kita hendak mengikutsertakan orang-orang
yang berani dalam suatu soal, kita harus menggambarkan
masalahnya lebih berbahaya dari yang sebenarnya’
663
dibagikan langsung atau diperlihatkan melalui media sosial
kepada mahasiswa-mahasiswa umum. Ditemui dan disapanya
penglihatan calon anggota bukan dalam suasana yang
mengajak untuk berjuang, apalagi melawan. Melainkan
sekedar mengonsumsi citra orang-orang yang ditokohkan
untuk kemudian diikuti. Ini terjadi karena tak ada gagasan
alternatif yang mampu disalurkan, tapi hanya dorongan-
dorongan berisi kelaziman: berorganisasilah untuk melatih
berbicara dan belajar menyibukan diri dengan kegiatan yang
terencana. Perekrutan tak pernah tahu bagaimana caranya
menyalurkan tentang harapan-harapan melakukan perubahan
radikal: menggerogoti ketengangan kaum borjuis,
memperjuangkan hajat hidup rakyat, hingga menempuh jalan
pembebasan dengan penghancuran kekuatan-kekuatan
kapitalisme. Tetapi rekrutmen sangat lihai mengikuti pola
pasar. Lihat saja bagiamana ditampilkannya foto alumni yang
sudah sukses untuk dikonsumsi mahasiswa. Meski tujuannya
agar konsumen terbujuk mengikuti training dan berproses
dalam himpunan, tetapi motivasi dasarnya adalah ingin sukses
menjadi seperti tokoh alumni yang sudah mapan, baik
berkarier sebagai politisi, pejabat maupun pengusaha. Seolah
organisasi akan menjamin mereka untuk berkarir nantinya.
Padahal tidak ada jaminan dirinya akan seperti itu. Inilah yang
dimaksud Jean Baudrillard sebagai ‘hipermodernitas’ atau
‘radikalisasi modernitas’, yang membuat manusia terjerat
dalam konsumerisme tanda:
664
ini menyamakan yang riil dalam tanda-tanda riil,
menyamakan sejarah dalam tanda-tanda perubahan.433
433
Haryatmoko (2010), Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama,Hlm. 277.
665
dalam struktur-struktur kepengurusan organisasi. Merekalah
yang mengarahkan selera kader melalui gerbong atau
juniornya; kemudian baru menyebar ke kategori-kategori
sosial lainnya. Itu sebabnya sikap aneh dan agak cenderung
elitis bermunculan pertama kali terhadap kader-kader yang
dekat dengan alumni, berstatus pengurus, atau bahkan hanya
terlibat aktif menopang sebuah gerbong. Selanjutnya akan
tersosialisasi ke dalam struktur sosial yang ada dalam
himpunan, termasuk kepanitiaan training sekalipun.
Penyebaran perilaku konsumtif serupa dengan jalaran inveksi
bakteri atau virus, yang tersebar tak langsung secara massal
tapi dengan pelan-pelan menggunakan organisme terseleksi:
kelas elit organisasi. Kalau sudah begini kelak HMI akan
mendapati kader-kadernya melulu menjadi pendukung
penguasa, karena elit-elit himpunan terus-menerus menyuapi
kader; bahkan sedari menjadi calon anggota dengan
paradigma kekuasaan yang sudah kuno: karir sebagai politisi,
jabatan di birokrasi, bahkan pengusaha yang berpolitik
praktis.
666
Out), hingga berhenti kuliah. Akibatnya, nama organisasi
kemudian tercemar oleh kejadian buruk yang menimpah
anggotanya: himpunan kadang diberi label sebagai organisasi
yang mengarahkan orang jadi Mapala (mahasiswa paling
lama). Betahnya mereka di kampus tak semuanya karena tak
bisa wisuda. Tetapi juga ada yang disebabkan lantaran pilihan
mengemban amanah kepengurusan, terutama sebagai Ketum.
Bahkan juga, kadang seorang aktivis betah menjadi
mahasiswa itu demi membangun jaringan. Orang-orang
seperti ini tentunya memiliki kepetingan jangka panjang.
Kampus baginya adalah arena latihan sebelum keluar ke
medan yang lebih besar. Melalui kampuslah kekuatan
politisnya dibangun. Mereka biasanya punya junior yang
banyak dan punya gerbong besar. Ditangannyalah junior dan
gerbong dirawat guna kepentingan apapun, termasuk
pemenangan Ketua BEM.
667
dilakukan demi menancapkan kuku kuasa. Orientasi
kekuasaan sepertinya memang dilatih mulai dari kehidupan
kampus, melainkan juga pada internal organisasi. Lihat saja
bagaimana \posisi Ketum selalu diidam-idamkan. Hasrat
berkuasa kemudian menghabiskan banyak kekuatan pada
kepentingan hegemoni dan dominasi ketimbang dipergunakan
untuk memperbaiki perkaderan, apalagi membangun,
menguatkan dan mengevaluasi gerakan.
668
Mereka mengkader seseorang dalam bingkai kaderisasi yang
hanya berisi perkaderan. Tindakan ini tentunya dilakukan atas
dasar kepentingan. Mereka tak ingin kadernya bergelut dalam
dunia gerakan, karena sewaktu-waktu dapat mengancam
kekuasaan dari orang-orang yang memiliki hubungan dengan
mereka; semacam para politisi bermasalah maupun pejabat
tengik.
669
ekonomi, dan sosial. Penyebabnya adalah tuntutan mobilitas
sosial, status, dan persaingan dalam segala bidang kehidupan
masyarakat kapitalis. Logika sosial konsumsi bukan terletak
pada kepemilikan nilai-guna tapi logika produksi dan
manipulasi yang bermakna sosial. Inilah yang membuatnya
berkeinginan berada pada posisi seperti alumni yang
bergelimang prestise. Karena pada saat itulah dia merasakan
dirinya telah menaiki tangga kelas sosial. Jabatan, jaringan,
uang, dan segala bentuk kekuasaan yang dimilikinya
memberikannya sebuah klasifikasi dan diferensiasi sosial—
artinya apa yang melekat pada dirinya sebagai ‘tanda’
kemudian dirasakannya membentuk sebuah nilai yang
menentukan statusnya dalam hirarki sosial. Namun dalam
logika tanda, nilai bukan terletak pada fungsi-kegunaan
menjawab tuntutan sosial. Maka dari itu bukan kenikmatan
atau kepuasan yang menjadi prioritas, tetapi fungsi kolektif.
Haryatmoko menjelaskannya dengan amat baik:
434
Ibid, Hlm. 280.
670
Tanpa disadari aktivitas organisasi ini telah dibiasakan manja
dengan berada di bawah perlindungan tanda. Simbol
kemudian bercokol untuk dijadikan bentuk penyangkal
terhadap yang riil karena diyakini akan membawa rasa aman
bagi kehidupan. Gejala seperti inilah yang disebut dengan
hipermodernisme: ditandai oleh konsumsi yang telah
meninggalkan logika kebutuhan. Hidup manusia telah didikte
oleh obyek karena harus mengikuti ritme barang yang sudah
berubah jadi tanda yang bermakna sosial. Baudrillard
menjelaskan bahwa pergantian tanda yang terus-menerus
mengubah pola hubungan antara konsumen dan obyek
konsumsi. Konsumen tidak lagi membeli barang lantaran
manfaat yang terkandung di dalamnya, tetapi lebih-lebih
sekedar soal pemaknaan keseluruhan obyek yang diatur
penataan tanda. Itulah kenapa sesudah rekruitmen anggota
yang mengeksploitasi prestise alumni, maka jabatan, jenjang
training, bahkan keikutsertaan dalam kepanitiaan himpunan,
digeluti dengan tujuan terselubung: meningkatkan status
semata. Tidak heran jika aktivitas himpunan kemudian
terancam oleh kekuatan manipulasi tanda. Lihat saja
bagaimana organisasi kita menonjolkan dinamikanya melalui
pengorganisiran sebuah kegiatan apapun supaya dianggap
punya vitalitas. Itu sebabnya HMI kerap kali menggelar acara
serimonial dengan menggandeng atau meminta dukungan dari
institusi-institusi kenegaraan—seperti pada acara: seminar,
kuliah umum, diskusi publik, dan sebagainya.
671
organisasi ini kehilangan imijinasi membangun gerakan
alternatif. Bahkan saat menggelar aksi massa, HMI seakan tak
mampu menguatkan konsistensi dan mengevaluasi
gerakannya. Soalnya pergerakan sering kali bersifat spontan
dan tak pernah mampu melibatkan elemen-elemen progresif
lainnya, apalagi rakyat miskin dan tertindas. Demo-demo
yang dilancarkan berkonotasi untuk menunjukkan eksistensi
saja. Orasi-orasi kader-kadernya juga sepertinya lebih mirip
penampilan panggung para personil band ketimbang aktivis.
Ini semua terjadi karena konsumerisme telah merambah ke
dalam setiap aktivitas organisasi. Makanya himpunan
kehilangan kemampuan untuk menjawab tuntutan sosial.
Perkaderan tak hanya menampakkan diri tengah memisahkan
antara kaderisasi dengan gerakan. Melainkan kaderisasi dan
gerakan juga sudah tak kuasa menciptakan perubahan
mendasar karena terus terjerambab dalam tipuan-tipuan
kehidupan masyarakat kapitalis. Kapitalisme amat berbahaya
bagi kelangsungan dan kemajuan organisasi kita. Paham
soalnya akan membuat proses-proses yang dilalui kader-kader
himpunan ini berpenyakitan akibat kubangangan kelimpahan.
Inilah yang membuat perjuangan organisasi setengah-
setengah dalam melakukan perlawanan. Karena
keberlimpahan yang tumpah ruah dari kedigdayaan pasar
telah membuat kita menanggalkan cita-cita pembebasan.
Anak-anak muda yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam
keadaan yang begini malah akan menjadi pemuda seperti yang
digambarkan Bernard Shaw dengan perkataan:
672
sikapnya yang lamban, tidak karuan bentuknya karena
ditarik ke sana-ke mari dan busuk oleh perembesan.
673
Kehidupan yang konsumeris didorong oleh narcisisme bukan
dalam arti kenikmatan diri, tetapi cermin dari wajah kolektif.
Pada saat inilah berlaku apa kata Emile Durkheim: ‘yang
kudus adalah bentuk ketakutan kepada yang kolektif.’
Melaluinya konsumsi tidak digerakkan oleh diri sendiri,
melainkan kelompok elit. Fenomena ini menampak ketika
kader-kader amat konformis dengan nilai-nilai yang ditabur
pengurus, senior, maupun alumninya. Dengan mendekatkan
ideal kepada dirinya kader seolah memiliki motivasi sendiri
padahal kadaan itu telah membuat dirinya mematuhi dengan
lebih baik apa yang menjadi tuntutan kolektif. Makanya
ketika konsumsi dianggap distimulasi oleh pribadi sendiri,
berarti perilaku konsumtif tidak perlu lagi menghadapi
ancaman yang berarti. Kondisi itulah yang disindir
Baudrillard dengan ungkapan menusuk: ‘merayu diri adalah
konsumsi sempurna, meski sebetulnya acuannya tetap yang
lain.’ Dus, meskipun motif konsumsi mengacu pada
kolektivitas namun seseorang akan tetap berusaha
meyakinkan dirinya bahwa seakan yang menjadi acuan utama
dan pertama penentu konsumsinya bukan orang lain tapi
pribadinya sendiri. Padahal situasi dan kondisi organisasi
memperlihatkan pada kita bahwa yang menentukan episteme
kader-kader adalah pengurus, senior, bahkan alumninya.
Itulah mengapa penyebaran foto-foto alumni—yang sedang
atau pernah jadi pejabat, politisi maupun pengusaha—saat
masa rekrtutmen anggota persis penyebaran sebuah iklan.
674
tertarik mengikuti perkaderan himpunan hanya karena terbius
oleh kegemilangan, ketenaran dan kelimpahan yang
menyeruap prestise yang dimiliki tokoh-tokoh besar HMI.
Maka tahap perekrutan calon-calon kader himpunan menjadi
tidak menantang dan cenderung agak dangkal. Karena
komunikasi yang pengurus atau senior lakukan meminjam
strategi pengiklanan; bukan memprioritaskan pada isinya, cara
penyampaiannya, atau tujuan ekonomi dan dampak
psikologinya, tapi dari logika medium yang tidak mengacu
pada dunia riil melainkan tanda atau simbol. Keadaan inilah
yang telah membuat seorang tidak kratif dan inovatif, lantaran
terus-menerus menjadikan kedigdayaan alumni sebagai
pemancing mahasiswa untuk berorganisasi. Mereka yang
melaksanakan perekrutmenan seperti itu dapat diasosiasikan
sebagai operator mistik, karena tugasnya adalah membesar-
besarkan obyek dan kejadian.
675
masih baru atau junior. Maka ketika junior-junior berhdapan
dengan mereka pasti mendapati dirinya inferior. Inilah yang
menyebabkan munculnya sikap sungkan, segan, bahkan
kepatuhan untuk melaksanakan setiap apa yang dimintakan
oleh orang yang superior. Lihatlah bagaiamana di setiap
acara-acara formal organisasi: kader yang beratribut lengkap
menjadi pusat perhatian karena gordon dan muts telah
membentuk citranya menjadi tokoh himpunan.
676
dilaksanakan maka orang yang telah menerima perintahnya
akan dibrondongi dengan pernyataan: kader offside hingga
kader liar.
Dalam konteks itu tak hanya gordon, muts, atau pakaian yang
jadi tanda, tapi juga perintah. Kemampuan memberikan
perintah menjadi tanda yang dikonsumsi karena dianggap
677
mampu menaikan posisi kelas sosialnya. Lihatlah bagaiamana
sseorang yang mendaku dirinya besar memerintah kader-
kader. Perintah yang diberikannya bukan semata demi
kepentingan organisasi, tapi juga untuk memenuhi keinginan
pribadi. Contohnya terjadi saat seorang yang superior
menyuruh kader untuk membeli rokok, makanan, minuman,
atau mengantar-jemputnya ke sana-ke mari, bahkan sampai
meminjam motor, uang, atau leptop kadernya berhari-hari
atau berminggu-minggu. Kini memberikan perintah di mata
kader yang ingin menjadi tokoh dianggap sebagai prasyarat
ketokohan. Maka semakin seseorang memberikan perintah
dan kader melaksanakan apa yang diperintahkannya, itu akan
menambah kokoh posisinya sebagai tokoh. Inilah yang
kemudian memunculkan pandangan yang agak zalim dalam
himpunan: tokoh adalah orang yang mampu menguasai kader.
678
pengurusnya. Memang logika konsumsi di balik tanda yang
bertebaran dalam himpunan tidak terletak pada nilai-guna atau
kepuasan, tetapi logika produksi dan manipulasi yang
bermakna sosial. Maka yang terjadi adalah tanda yang
merupakan hasil abstraksi pikiran manusia direkayasa menjadi
petanda ‘realitas’; yang membedakan pemakainya dengan
kelompok lain, dan bisa juga menjadi petanda yang dapat
membuat konsumennya masuk dalam kelompok sosial
tertentu. Mengenainya—dalam karyanya La societe du
risqué—Jean Baudrillard menjelaskan dengan gamblang:
679
didominasi; bukan melalui kepatuhan pasif atau paksaan
maupun penerimaan bebas terhadap suatu nilai, tapi karena
bentuk persetujuan terhadap sudut pandang kelompok
dominan. Piierre Bourdieu menyebutnya sebagai ‘Doxa’:
sudut pandang penguasa atau dominan yang menyatakan diri
dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang
universal. Inilah yang membuat kader-kader kebanyakan
mudah sekali terjerumus dalam rayuan citra ketika
mengonsumsi: gordon, muts, dan pelajaran memerintah.
Mereka tak sadar bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya
lebih dahulu diberikan contohnya oleh pengurus atau
seniornya. Fenomena ini sebenarnya persis yang dialami
abang-abangnya itu dalam hubungannya dengan alumninya,
yakni berusaha meniru capaian-capaian alumni yang sudah
jadi pejabat, politisi, maupun pengusaha. Karena kesadaran
itulah makanya di setiap kegiatan-kegiatan organisasi para
pengurus dan senior tak mirip lagi dengan penampilan
seorang mahasiswa, tapi lebih persis barisan pejabat, politisi,
maupun pengusaha. Itu sebabnya mereka terlihat sangat haus
dalam memeprebutkan kekuasaan: jabatan dan jaringan dalam
organisasi. Bahkan boleh jadi itulah juga yang membentuk
kepercayaan diri hingga mereka tak penah malu bertemu dan
bermesraan dengan para pemangku kepentingan publik untuk
melaksanakan seminar, kuliah umum, roadshow, dan pelbagai
kegiatan mencari untung sekaligus menukarkan kemampuan
kerja kader yang menjadi panitia acara.
680
spektrum dan nuansa perkaderan. Itulah mengapa kaderisasi
kemudian tak mampu menggandeng gerakan. Perkaderan tak
lagi mampu dihidupkan melalui kaderisasi dan gerakan, tapi
hanya melalui kaderisasi sendirian. Inilah yang menyebabkan
organisasi melempem di bawah ketiak kekuasaan. Himpunan
seakan tak tidak punya gagasan menantang untuk melawan
kesewenang-wenangan karena gagal menguatkan kemampuan
gerakan. Makanya sudah waktunya doxa yang ditanam oleh
kelompok-kelompok dominan ditanggalkan. Sudah tak
mungkin kita memasang sikap permisif pada elit-elit
organisasi yang terus memeluk kekuasaan secara konservatif
dan agak zalim: terus-menerus mendekati dan mencoba
menduduki pranata-pranata kenegaraan saja.
681
buluk dari kelompok dominan, yakni pengurus, senior, dan
alumninya yang tergabung dalam gerbong kepentingan. Sebab
tak mau kalian akan menjadi anak-anak muda kurangajar yang
diperanakkan oleh angkatan takabur sebagiamana yang
syairkan WS Rendra. Tetapi kuingin kalian punya keberanian
untuk merebut kebebasan serupa kandungan puisinya yang
lain:
682
pemberontakan mulai, penderitaan dilihat sebagai sesuatu
penyelamatan kolektif.’435 Dari situlah merebaknya ajakan
kuat untuk menghentikan peniruan.
435
Albert Camus, (2015), Pemberontak, Yogyakarta: Narasi, Hlm. 37.
683
hidup dan mencapai kesuksesan dalam kehidupan di internal
dan eksternal organisasi. Itu sebabnya ketika lingkungan
organisasi yang sudah diselimuti pencarian modal--budaya,
sosial, simbolik, ekonomi—pengurus dan senior malah
menyebarkan pandangan yang memnbujuk agar permisif dan
konformis. Kader-kader kemudian dibiarkan terbuai dalam
kebudayaan yang menghasut untuk terus melakukan peniruan.
Kondisi seperti ini membuat suasana organisasi tak ubahnya
dengan kehidupan manusia kuno. Sindhunata menjelaskan
dengan baik pemikiran Hokheimer tentang mimesis:
684
‘mengirasionalkan’ manusia justru lewat sikap
rasionalnya.436
436
Sindhunata, (1982), Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik
Masyarakat Modern oleh Max Hokheimer dalam Rangka Sekolah
Frankfurt, Jakarta: PT Gramaedia Pustaka, Hlm. 113-114.
685
adalah keadaan irasional. Kebanyakan yang melakukan itu
ialah senior atau pengurus yang menjadi aparatus ideologis
dari gerbong tertentu. Merekalah yang tergabung dalam
kelompok dominan yang kemudian bukan hanya menentukan
apa yang kader-kader konsumsi, melainkan juga
mengendalikan pandangan kita. Itu sebabnya kita selalu
nyaman meniru apa saja yang mereka tawarkan:
berpenampilan yang elitis, menjadi orang yang suka
memerintah, membangun koneksi melalui hubungan baik
dengan borjuis-biokrat, bahkan kelak setamat jadi mahasiswa
mengejar posisi sebagai pejabat, politisi, maupun pengusaha.
Sederet tawaran itu mungkin saja rasional untuk mengejar
ketinggian kehidupan duniawi, tetapi sangat irasional saat
pandangan mereka dipaksa untuk diuniversalkan hingga
berubah sebagai doxa. Karena pada saat itulah kebenaran
didakukan dan hegemoni diakarkan melalui dominasi
simbolik. Kekerasan yang terjadi memang bukan pada fisik,
tapi terhadap akal, hati dan kemauan.
686
dipertanyakan apalagi disangsikan. Inilah yang menimbulkan
suasana ekstrem: politisasi perkaderan. Itulah mengapa begitu
marak pelanggaran konstitusi yang bukan hanya dilakukan
anggota biasa tanpa jabatan, tapi terlebih oleh mereka yang
menjadi pengurus himpunan. Aturan organisasi pada keadaan
yang demikian dapat dijadikan senjata untuk menyerang,
namun juga berfungsi sebagai perisasi pelindung. Kemuraman
ini telah lama menganiaya keadilan dalam arena kepentingan.
Maka kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan pun tersumbat
oleh keinginan menguasai. Dalam kurungan sangkar sistemik
inilah seorang kader kehilangan tindakan otentiknya, karena
mudah sekali menyerah pada keadaan dan sistem yang
menindih kesadaran kritisnya. Kondisi yang begini—tidak-
boleh-tidak—pasti akan membawa ekses sebagaimana yang
dijelaskan Haryatmoko:
437
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 1.
687
disibukan oleh pemurnian kebenaran yang terus
disuntikannya. Keyakinan itulah yang sering dicekoki ke
dalam pikiran kader. Terkadang berisi ajaran yang penuh
kenaifan, bahkan bisa pula berisi kebencian. Dengan otoritas
yang dimilikinya seseorang dengan mudahnya
mendakwahkan keinginan-keinginannya yang penuh ambisi
dengan kelihaian retoris. Kata-kata mereka bahkan bisa
menyulap kotoran jadi sesuatu yang bersih, bahkan berbinar
kesucian. Inilah yang menyebabkan kita terdorong
menorehkan perbuatan yang tak sesuai dengan arahan pikiran
dan perasaan sendiri. Itu sebabnya seseorang dengan mudah
mengikuti gelaran demonstrasi yang berbalas bayaran.
Terkadang ada pula yang tak percaya dengan kekuatan aksi
massa karena telah diracuni kesadarannya. Dalam kondisi ini
pengetahuan akan perkaderan hanya dinisbahkan dengan
kaderisasi dan dipisahkan dari gerakan. Jalaran virus itulah
yang memperperdaya untuk mengejar selalu mengejar jabatan
karena sistem kaderisasi telah terlalu nyaman memeluk mesra
kekuasaan. Makanya kader-kader lalu dengan bangga
membangun keintiman dengan kapitalis-birokrat dan
bekelakuan seperti seorang priyayi. Tak heran di sekeliling
kita dipenuhi oleh manusia-manusia yang tak bisa merdeka
dari kuasa modal.
688
menanam kebencian terhadap organisasi yang dibenci oleh
penguasa. Akibatnya himpunan ketinggalan juga kesulitan
dalam mempertajam barisan, memperlebar sayap, dan
menguatkan, persatuan dengan gerakan lainnya. Kader-kader
tidak punya kesempatan merangsek menuju kemajuan. Karena
doxa telah membuat pandangan kader terus membebek pada
mereka yang melanggengkan tatanan. Itu sebabnya kebebasan
berpikir berada dalam ancaman kepongahan. Gagasan-
gagasan yang berbeda kemudian dengan mudah dihinakan.
Keadaan inilah yang mengakibatkan kebebasan tidak mampu
disalurkan ke bentuk tindakan, melainkan dipaksa menjadi
basi dalam pikiran. Itu sebabnya kader tak pernah berdaya
berhadap-hadapan dengan orang yang memiliki otoritas:
senior dan pengurus.
689
dalam diri seseorang. Tekanan-tekanan yang sudah tak mau
lagi ditampung akan melecut sikap berani untuk meraih
perubahan. Pada saat itulah manusia memeluk teguh
kebebasannya untuk mengembangkan pikiran, perasaan dan
kehendaknya. Dengan begitu doxa yang selama ini bertaburan
dalam himpunan dapat ditolak. Penolakan terhadap
pandangan dominan mengharuskan kader melakukan
perlawanan melalui pengaktifan pikiran kritis. Dalam Dits et
Ecrits, Michel Foucault menyebutnya sebagai kemampuan
menjawab tantangan untuk mengurai atau menganalisa
hubungan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran:
690
muda yang sekarang menjadi kader himpunan juga mesti
memperjuangkan dirinya untuk menjadi orang-orang bebas.
Untuk itulah di hadapan senior atau pengurus yang mewakili
gerbongnya kebebasan harus dijadikan sebagai tameng dalam
menunjang tumbuh suburnya lingkungan perkaderan yang
bersih dari perhambaan dan perbudakan atas nama mencari
modal: budaya, sosial, simbolik, dan ekonomi. Dalam kondisi
yang seperti itu kader tidak akan lagi mudah didekte apalagi
cepat memakan dogma mereka. Karena pada keadaan jiwa
yang bebas keberanian akan berubah jadi senjata melawan
kepentingan dan dominasi. Doxa yang berusaha digunakan
untuk meracuni dan mengendalikan cara pandang seseorang
tak lagi memiliki daya paksa. Kader yang mampu melakukan
ini kemudian dapat membentuk nilai-nilai kemanusiaan yang
tidak lagi terkekang oleh pandangan yang datang dari
kelompok dominan.
691
Berkman sebagai gagasan alternatif untuk memekarkan
kebebasan agar lahirnya tatanan yang manusiawi:
438
Alexander Berkman, (2018), Apa Itu Anarkisme Komunis?, Yogyakarta:
Penerbit Jalan Baru, Hlm. 296.
692
itulah yang membuka pintu tak sekedar dalam soal
berkegiatan, tapi terutama mendatangkan kemajuan dan
kemandirian.
693
Waktunya bendera pembebasan dikibarkan dalam setiap
individu yang dikader dalam himpunan. Sudah tidak mungkin
lagi kader-kader ditindih kesempatannya untuk menorehkan
pandangan. Maka dari itu kebebasan harus dijadikan senjata
dalam merebut kesetaraan. Tidak jenuhkah kalian meminum
doxa dari kelompok dominan? Sampai kapan kebenaran
diproduksi lewat otoritas? Telah berapa lama akal sehatmu
dirampok? Apa kalian begitu nyaman menjadi budak
pemikiran dan kepentingan? Di manakah kebebasanmu saat
sebagai manusia yang merdeka? Tak beranikah kau
menggugat kenapa mereka terus merayu kita dengan
kebenaran instan, bukan dicari sendiri-sendiri? Melalui
karyanya Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab,
Khaled Abou El Fadl menuliskan gagasan Amr Ibn Bahr
tentang kebenaran; baginya pergulatan untuk mencapai
kebenaran tak bisa dikawan dengan model berfikir yang kolot,
naïf, dan kaku. Itulah kenapa kebenaran tidak boleh
dipaksakan atau disuntikan lewat jarum: status, jabatan,
maupun selubung kuasa pengetahuan. Karena itulah siapa-
siapa yang mendaku kebenaran apalagi menyebarkannya
hingga menjadi cara pandang umum. Maka dialah orang yang
disebut Amr sebagai kaum perompak akal:
694
merasa bahwa kebenaran tidak sepenting semangat
mencari kebenaran.
695
Berhati-Hatilah dengan Berhala Manusia Modern
439
Lihat dalam Jaluluddin Rakhmat, (2005), Meraih Cinta Ilahi:
Pencerahan Sufistik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
696
perkaderan. Dalam perkaderannya biasanya ditemui segala
bentuk usaha-usaha kaderisasi yang bukan hanya dalam
bentuk kegiatan formal tapi juga informal dan non-formal.
Kaderisasi merupakan serangkaian usaha organisasi yang
dilakukan secara sadar, sistematis, dan terus-menerus untuk
pembentukan dan pengembangan diri serta karakter kader. 440
Berkat seabrek kegiatan kaderisasinya pantaslah kiranya
perkaderan menjadi ajang pendidikan buat kader. Kini
pendidikan itu bukan hanya mencerahkan tapi juga
mengakibatkan kejatuhan moral dan intelektual. Ini telah
dibahas di bagian sebelumnya: bagaimana doxa tidak hanya
menghomogenkan pandangan, melainkan pula menyuburkan
konsumerisme dan mimesis terhadap apa saja yang bersal dari
kelompok dominan.
440
Lihat Kongres HMI di Ambon, (14-27 Februari 2018), Hasil-Hasil
Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam Meneguhkan Kebangsaan
Wujudkan Indonesia Berkeadilan, Jakarta: Penerbit PB HMI, Hlm. 364.
697
dengan praktik-praktik sosial, cara pandang, sistem
pengorganisasian, interaksi kekuasaan, dan norma yang
berlaku. Baginya, untuk melakukan perubahan terhadap
habitus adalah mesti melewati jalur pendidikan. Melaluinya
kebiasaan bukan hanya dapat dibentuk tapi juga diubah. Maka
dengan pendidikan kader, mahasiswa-mahasiswa Islam tak
seharusnya dibuat jadi intelektual tukang tapi intelektual
progresif.
698
Dalam lensa sejarah HMI pernah mengalami fase kebangkitan
intelektual dan pergolakan pemikiran. Itu terjadi sekitar tahun
1970 sampai 1994. Ini adalah masa bagaimana kebebasan
berpikir mampu memekarkan gairah intelektualitas kader.
Itulah mengapa lahir pemikir-pemikir besar dari himpunan. Di
antaranya ada Nurcholish Madjid—yang akrab disapa Cak
Nur—dan Ahmad Wahib. Nurcholish tak sekedar jadi kader
yang sukses mengetuai struktural Badko hingga dua kali
memimpin PB, tapi terutama telah mampu meletakkan
bangunan Nilai Dasar Perjuangan HMI. Darinya juga lahir
wacana sekularisasi pemikiran Islam. Gagasan itu timbul
lantaran muslim mengalami kejuwudan. Maka baginya harus
diupayakan kebebasan dalam berpikir. Sikap bebas telah
membuat dirinya berani mencetuskan kritikan yang
menggetarkan. Dulu, dalam pandangannya HMI harus bubar
karena dalam tubuhnya berkumpul para koruptor dan master
clean. Kaum-kaum perompak yang dikritik Cak Nur itu
ternyata persis kelompok dominan yang hari-hari ini tumbuh
subur dalam himpunan, salah satunya: melakukan many
politic demi meraih jabatan. Mendapati keadaaan ini
Nurcholish tak tinggal diam makanya pernyataan untuk
melenyapkan organisasi bukan malah didasarai atas motif
jahat tapi niat baik: tidak terima kesucian himpunan dikotorori
oleh pelbagai kepentingan.
699
dengan menyuarakan kebenaran. Inilah mengapa selanjutnya
muncul sosok Ahmad Wahib. Wahib tak sekadar bergiat
dalam himpunan sebagai pengurus Cabang, tapi juga
meluaskan lahan pengabdian sebagai jurnalis yang
menggugah kesadaran masyarakat. Darinya disemai tauladan
pemberontakan untuk memperjuangkan ruang berpikir bebas.
Baginya tidak ada seorang pun yang boleh membatasi
seseorang dalam berpikir. Itulah kenapa dirinya sampai
memilih langkah berlawan: memundurkan diri dari
keanggotaan himpunan. Dia tampaknya kesal dengan
kelaziman-kelaziman pemikiran keagamaan yang ada di
lingkungan organisasinya. Ia mungkin pula jenuh mendapati
aktivitas kaderisasi yang lebih mengutamakan kekuasaan
ketimbang ilmu-pengetahuan. Makanya Wahib menjadi
pribadi yang selalu gelisah. Kegelisahannya mendorongnya
terus melakukan permenungan dan pencarian intensif. Kelak
berpikir yang kemudian dituliskannya dalam sebuah catatan
harian. Wahib melahirkan sebuah karya yang sekarang
dikenal luas dengan Pergolakan Pemikiran Islam.
700
Sekularisme itu anti agama tapi sekularisasi itu netral
agama. Sekularisme itu walaupun mencapainya
memerlukan sekularisasi (sebagai proses ‘pendekatan’),
dia bersikap tidak senang terhadap sekularisasi, karena
keterbukaan dan kebebasan yang diberikan oleh
sekularisasi itu bagai pencarian hakikat lebih lanjut
‘melampaui dunia ini dan saat ini’…. Dengan
sekularisasi berarti kita bahwa kita betul-betul
ememahami tanggung jawab kita sebagai khafifatullah
fil ardhi. Hanya dengan demikian kita akan terlihat
bahwa telah terjadi ‘kemitraan’ antara Tuhan dan
manusia dalam menulis sejarah….441
441
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Peny.), (2003), Pergolakan Pemikiran
Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta; Pustaka LP3ES Indonesia
dan Freedom Institut, Hlm. 79-80.
701
II dan jurnal LK III sering kali dilancarkan melalui lobi-lobi
politik. Training-training ini kerap kali diikuti sebagai batu
loncatan untuk prasyarat memeluk jabatan. Perkaderan
himpunan yang seharusnya mencerahkan dan membebaskan
manusia dari belenggu justru menjebak seseorang pada status.
Kader-kader kemudian tak hanya berjuang untuk menjabat
sebagai pengurus, tapi terutama bagaimana memenangkan
citra. Makanya gordon dan muts bukan sekedar dipakai untuk
mengikuti kegiatan resmi, namun kebanyakan digunakan
sebagai pembeda kelas sosial dalam himpunan.
702
dengan negara: jadi pesakitan karena didikte kepentingan para
pemberi pinjaman. Inilah yang menyebabkan
ketidakmandirian pengurus. Dia mudah mengemban tugas
dari siapa saja yang memberinya bantuan. Titah yang
diberikan bermacam namun intinya adalah mendukung segala
yang dilakukan penguasa. Jika itu menimpah seorang ketua
umum maka akan terjadi hal memalukan: himpunan bungkam
ketika terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan. Kondisi yang
begini kaderisasi telah merosot ke dalam kubangan kehinaan.
703
Sebuah pohon dari benih yang pahit.
Buahnya dimakan dengan mentega dan gula.
Akan tetap terasa sebagai buah yang pahit.
Dari benih yang seperti itu, tak kau peroleh yang manis.
704
terurtama mencari dan merawat koneksi. Orientasi terhadap
kekuasaan telah memerosotkan perkembangan pengetahuan
dalam kaderisasi dan menumpulkan gerakan organisasi.
Pandangan yang demikian telah mengakarkan keyakinan
tentang pentingnya menguasai dan memerintah. Kader-kader
yang terlanjur mengonsumsi cara pandang naïf ini cenderung
mematrikan mental yang agak zalim. Merekalah yang
berusaha memanfaatkan organisasi sebagai batu loncatan
untuk menjadi penguasa dan pemerintah. Hasrat akan
kekuasaan mendorong hadirnya manusia-manusia licik, kasar,
dan rakus. Mereka tanpa segan menyebarkan isu apa saja yang
dapat memuluskan mengecap singgasana. Fenomena itulah
yang terjadi ketika dalam organisasi kita diperlihatkan
bermacam cara untuk melengserkan seorang Ketua Umum
hasil Kongres.
705
psikologis. Dalam karyanya yang berjudul Haji, dia
menjelaskan tentang kecenderungan dan kemerosotan akibat
pemberhalaan manusia modern:
706
kepicikan, kesesatan, dan kehinaan. Sudah tidak boleh lagi
perkaderan dengan gerakan organisasi terus-menerus
memproduksi dan mendistribusikan kekuasaan konservatif
nan kolot: pangkat dan jabatan, terutama yang berada pada
pranata kenegaraan. Karena ini mudah sekali membelokan
tujuan. Sudah banyak kepentingan kapitalis-birokrat yang
merembes aktivitas himpunan. Itulah yang menyebabkan para
pengurus lebih nyaman bertemu dengan senior, alumni,
bahkan pejabat, ketimbang anggota biasa himpunan, terutama
kader Komisariat. Mereka lebih memikirkan bagaimana
caranya membangun, merawat dan membesarkan jaringannya
daripada beragam persoalan yang membuat himpunan hampir
sekarat.
707
Ditunjang oleh kenyaman itu maka Bendahara kemudian
sukar berfungsi untuk mengumpulkan iuran dari anggota.
Tetapi ia juga akan ikut mengandalkan jatah dari penguasa.
Lagi-lagi ini dapat berdampak pada proses kaderisasi dan
gerakan. Di bawah kenyamanan itulah para pengurus enggan
menempuh cara militan. Karena mereka sudah terbiasa
dibantui, disuapi, dan dihidupi. Makanya dalam training,
pesta demokrasi organisasi, bahkan dalam kegiatan apa saja
HMI tak pernah mandiri soal anggaran. Jika tidak pada
alumninya, pasti kader-kader selalu berharap dana melalui
proposal yang dibawa ke para birokrat. Sungguh organisasi
tak pernah tahu bagaimana caranya menghasilkan uang
sendiri. Wajar kader-kadernya tak ada inisiatif untuk
mengadakan usaha-usaha kreatif, inovatif, dan merakyat.
Orang-orang yang hidup di lingkungan ini pasti keslitan untuk
mandiri, berjiwa pemberani, dan berpikir kritis. Coba
tengoklah keadaan Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan
dan Pemuda (PTKP) hari-hari ini. Mungkin mereka tahu
bagaimana caranya menggelar diskusi dan kajian. Tapi
kebanyakan gagal mengalirkannya sampai ke gerakan. Isu-isu
pendidikan, kepemudaan kerakyatan jarang diperhatikan.
Wajarlah kader-kader kemudian tak bergairah untuk
melakukan pergerakan dan mengupayakan munculnya
perubahan. Karena perbuatannya dalam membahas
permasalahan dan melancarkan protes hanya ketika ada
instruksi.
708
yang menimpah kaum miskin dan tertindas. Kondisi ini persis
yang terjadi pada Bidang Pendelolaan SDA dan Lingkungan
Hidup: entah apa tugas dan wewenangnya untuk lingkungan
di tengah kerusakan yang ditimbulkan oleh pelbagai aktivitas
perusahaan. Dia jarang sekali mempersoalkan pembangunan
infrastruktur yang tidak berbanding lurus dengan SDM dan
kesejahteraan rakyat. Masalah seperti itu juga abai dilihat
Bidang Pemberdayaan Umat (PU). Makanya Islam yang
dijual oleh ustad-ustad seleb tak mau dikritik dan ditolak.
Sama halnya dengan bergelimangnya kasus korupsi yang
jarang diprotes dan dikutuk. Kondisi yang bungkam terhadap
macam-macam kebobrokan menandakan kaderisasi tidak
berhasil mendorong untuk kader-kadernya bergerak. Inilah
alasan kenapa Kejahatan dan kekerasan Bidang Hukum dan
Hak Asasi Manusia (Kum-HAM) tak pernah peduli dengan
maraknya kekerasan aparat terhadap masyarakat tanpa tahu
malu . Bidang ini kelihatannya amat pongah: hanya bersuara
polisi menyenggol kader-kadernya yang kemayu. Etos,
komitmen, dan konsistensi gerakannya sudah layu. Makanya
malas sekali dia memperjuangkan keadilan untuk korban-
korban pelanggaran HAM masa lalu dan saat ini yang
menjamur di Indonesia dan Papua.
709
kehidupan ekonomi-politik rakyat. Makanya ia sama sekali
enggan melancarkan propaganda-propaganda tentang
petingnya kemandirian bangsa dan persatuan pergerakan
nasional. Sikap itu persis yang ditampilkan Bidang Hubungan
Internasional (HI): tak pernah mau mengutuk pemodal-
pemodal asing yang membuat Indonesia jadi pesakitan.
Bidang HI mungkin hanya sibuk mencari kerja sama yang
menguntungkan dengan elemen-elemen asing luar negeri.
Tetapi tak pernah mau membangun hubungan berkemajuan
dan kerja-kerja perlawanan dengan menggandeng organisasi-
organisasi dunia. Kini perkaderan organisasi sedang melewati
masa suram.
710
menyaksikan munculnya kader-kader yang punya gairah
perlawanan, pemberontakan, maupun pembebasan.
711
penuh dengan kepentingan seperti itu telah merusak
pendidikan kader. Itulah mengapa forum-forum diskusi atau
kajian dalam himpunan tidak memiliki banyak peminat lagi.
Karena lingkungan organisasi tak lagi fokus mendidik dan
mengajarkan tentang keindahan pemikiran, tetapi keharusan
berkuasa: berjabatan, menguasai, dan memerintah. Inilah yang
menyebabkan tradisi intelektual yang dibangun dalam
himpunan ikut meredup. Makanya pelbagai forum keilmuan
formal yang disediakan pengurus kalah saing dengan tempat
tongkrongan. Kondisi ini sepertinya memberi masukan
kepada organisasi: kaderisasi bukan hanya harus berjalan
bersama gerakan, melainkan juga tak bisa dilaksanakan secara
kaku, kolot, apalagi agak kejam. Sudah waktunya ruang
organisasi tidak hanya mengajarkan tentang teori kehidupan
berdemokrasi, namun terutama adalah mempraktekan
demokratisasi. Itu sebabnya perlu disediakan ruang-ruang
demokratis yang selebar-lebarnya agar segala pikiran, sikap,
dan tindakan yang ada dalam himpunan dapat diberi kritik dan
otokritik.
712
pikiran-pikiran kritis disemai dan ditajamkan untuk
memperjuangkan kehidupan yang tercerahkan. Makanya
himpunan tak tepat diposisikan sebagai kandang sapi perahan
dengan memosisikan kader sebagai perkakas yang mudah
digunakan dan dimanfaatkan seenak perut penguasa. Kita
sepertinya punya harapan serpa: tak mau lagi dipertontonkan
parade pengeksploitasian kader yang dipakai dan ditukar demi
kepentingan apa saja.
713
Pandangan demikian datangnya dari kelompok dominan.
Mereka adalah segelintir senior atau pengurus yang bukan
sekedar berusaha mengkader banyak orang dengan wacana
pongahnya, tapi terutama mencari pasangan hidup melalui
penggunaan pengetahuan dan kekuasaannya. Junior-lelaki
bukan sendirian menjadi korban ajaran kebodohannya: karena
kalau sudah mengonsumsi dan menirunya maka yang
dikorbankan tak cuma dirinya, melainkan yang terparah HMI-
Wati. Kata ‘menikahi untuk menyempurnakan’ itu merupakan
bentuk obyektifikasi terhadap perempuan. Karena itulah
perempuan sekarang sudah waktunya memasang perisai atas
upaya-upaya pembendaan. Jangan biarkan diri kalian mudah
termakan rayuan berselubung otoritas. Makanya perlu sekali
meneguhkan perlawanan diam-diam seperti nasehat cerdas
dari Annie Lecre:
714
ini bukan hanya melemahkan kaum perempuan melainkan
pula membuka kemungkinan untuk mendapatkan perlakuan
sewenang-wenang. Itu sebabnya jika kita coba melakukan
riset pasti di setiap Cabang ada saja senior atau pengurus yang
hobinya gonta-ganti pacar—HMI-Wati. Kadang kala
kesanggupan mengonta-ganti wanita dijadikan bahan pamer di
antara orang-orang yang berperingai serupa. Entah kelas
sosial seperti apa yang ingin mereka dapatkan; mungkinkah
yang dikejar adalah status playboy-nya himpunan? Lagi-lagi
orientasinya bukan hanya kepuasan perasaan namun juga
akumulasi citra. Makanya mereka berpacaran tak sekedar soal
cinta namun pula motif kepentingan dan kebutuhan bertahan
hidup. Ada yang sekedar menjalin hubungan hanya untuk
mengulik-ngulik informasi seputar rumah tangga Komisariat.
Pada saat itulah si kekasih tak sadar berperan serupa agen
ganda. Info-info rahasia tentang isi dapur rumahnya begitu
lancar diberitahukan kepada kekasihnya: bisa lewat diskusi,
gosip, hingga curhat. Bentuk pacaran kayak begini marak
terjadi di antara pengurus Cabang dengan pengurus
Komisariat.
715
Cuma ini berlaku di kalangan anggota biasa yang tidak
dikendalikan oleh naluri kuasa. Bukan pada mereka yang
mengejar jabatan, mendamba kebesaran jaringan, memuja
untung, maupun mau menduduki apa dan siapa saja. Karena
lingkungan kaderisasi berorientasi kekuasaan hanya akan
mencetak orang-orang yang mengobyekan sesama manusia.
Ini bahkan telah memosisikan kaum prempuan himpunan
persis bunga melati yang mekar bak sampah. Keharuman dan
keindahannya dicemari oleh anasir-anasir kumuh.
716
juga eksploitasi separuh umat manusia oleh setengah
manusia yang lain. 442
442
FX Dono Sunardi (penerjemah), (2008), The Art of Living; Hidup
Antara Memiliki dan Menjadi, Tangerang Selatan: Baca, Hlm. 99.
717
kapitalisme. Dekapan sistem masyarakat yang sakit itu
nampak lewat perangai-perangai mereka di sekitar kita;
kedengkian antara kader atau senior dari gerbong yang satu
dengan lainnya, para mafia Kongres yang mengantongi
sejumlah uang dengan menjual kepala dan mengeksploitasi
kemampuan kerja kadernya, sikap arbitrer dari seorang senior
kepada juniornya, diracuninya kader sampai tak sadar dirinya
dikendalikan untuk terus mengonsumsi dan meniru cara
pandang kelompok dominan, hingga HMI-Wan
membonekakan HMI-Wati melalui perbudakan perasaan.
718
membuat himpunan bungkam di hadapan penguasa-negara.
Organisasi sepertinya tak punya daya untuk melayangkan
proposal perubahan. Makanya tidak ada gerakan alternatif
yang dilaksanakan himpunan. Dalam keadaan ini kaderisasi
tak mampu melahirkan kader-kader progresif-revolusioner,
melainkan manusia-manusia berwatak pragmatis, oportunis,
feodalis, patriarkis, bahkan kapitalis. Karena anak-anak muda
yang terorganisir itu mudah sekali meneguk doxa kelompok
dominan himpunan. Itulah mengapa kaderisasi enggan
menjadi suluh gerakan: kekuatan organisasi sukar diarahkan
untuk menggugat tatanan, tapi justru mendukung dan
mempertahankannya.
719
dengan sikap pembelaan terhadap rakyat melainkan diterima
dari kenyamanan berhubungan dengan penguasa.
443
Awalil Rizky dan Nasyith Mahdi,(2008), Neo Liberalisme
Mencengkeram Indonesia, Jakarta: E. Publishing Company, Hlm. 285.
720
bahkan ekspansi telah menjadi santapan rutin himpunan.
Orang-orang terus bersaing untuk saling menguasai,
menghisap, bahkan menghancurkan. Fenomena itu jelas-jelas
telah kita lihat bersama; tak sekedar pada kehidupan
bermasyarakat, tapi parahnya juga muncul dalam organisasi.
721
kader seolah jadi serdadu-serdadu yang taat pada perintah
komandan.
722
Dikadernya anak-anak muda dalam panggung kekuasaan
menghabiskan banyak tenaga. Keletihan kader-kadernya
membuat wajah kaderisasi lebih mirip parodi, ketimbang
tempat bersemaianya pengetahuan dan ajaran pembebasan.
Pertunjukan yang ditampilkan berhasil memancing gelak tawa
kaum penindas sekaligus duka cita bagi kaum yang ditindas.
Karena kader-kader HMI kehilangan gairah gerakan.
Makanya organisasi jadi begitu gagap. Kadernya terus
bersaing pada ruang terang kekuasaan apapun. Sementara
rakyat-rakyat kecil nan lemah dibiarkan hidup dalam
kegelapan. Bukan karena tiadanya penerang, tapi matahari
bersembunyi lantaran tak berani menerjang gunung-gunung
yang ada di hadapan. Gelap yang tak mampu disingkirkannya
dari kehidupan menjadi alasan bumi mendeklarasikan
kebingungan. Melalui metaphor seperti itulah kaderisasi dan
gerakan himpunan dapat digambarkan. Gambaran lanjutannya
dilukiskan lebih dalam oleh A. Mustofa Bisri lewat puisinya
yang amat menggetarkan:
Burung-burung
Dikerahkan mengintip mendung
Gunung-gunung
Diperintahkan mengirim sungai
Ke laut dan telaga.
Burung-burung
Melihat matahari
Tapi angin dan mendung
Mengancamnya jika bicara.
723
Sungai, laut, dan telaga bahkan
Konon sempat memandikan
Matahari dan awan-awan
Sayang gunung-gunung
Sudah terlebih dahulu
Sejak awal membuat mereka bisu
(Diam-diam
Langit mencemaskan
keadaan bumi)444
444
724
Landasan dan Prinsip Perkaderan
Harusnya jadi Suluh Pergerakan
445
Abu Yazid Bustami (ed.), (2014), HMI Masih Ada; Refleksi Para Kader,
Depok: Layar Terkembang, Hlm. 20.
725
Makanya landasan teologis446 yang dirumuskan dengan
orientasi ketuhanan dan kemanusiaan kontan mengalami
kemerosotan: manusia yang katanya mencari dan merindukan
Tuhan, justru terbelokan berhala psikologis: status, jabatan,
jaringan, pasangan, hingga uang. Sikap mencari kebenaran
secara tulus, murni, lapang, toleran, tidak sempit dan tak
membelenggu jiwa malah mulai terkikis dari kaderisasi
himpunan. Itu sebabnya fitrah manusia yang suci dinyatakan
dalam sikap bersih dan baik kepada sesame. Namun dalam
menjalankan fungsi kekhalifahan ini patut dipertanyakan
apakah masih ada atau tidak pada kader himpunan, terutama
kepada ketua di tingkat: Komisariat, Korkom, Cabang, Badko,
terutama PB? Soalnya hari-hari ini organisasi menyingkapkan
kepada kita bagaimana streotip-streotip pemimpin himpunan!
446
Lihat Pedoman Perkaderan HMI, Kongres HMI di Ambon, (14-27
Februari 2018), Hasil-Hasil Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam
Meneguhkan Kebangsaan Wujudkan Indonesia Berkeadilan, Jakarta:
Penerbit PB HMI.
726
pasti dapat diruntuhkan. Kader bisa mencetuskan pertanyaan
atas keadaan, bukan menyesuaikan diri dengan anasir yang
mengancam perkaderan. Karena melalujinya akan ada metode
pendidikan kritis: refleksi atas kemunduran-kemunduran
organisasi. Kaderisasi kemudian dapat dibersihkan dari segala
pemberhalaan pada senior, gerbong, jaringan, uang, dan
apapun yang memberi keuntungan, kesenangan, dan
kebahagiaan semu. Ini semua tak membawa damai dan sikap
penuh kehangatan—persaudaraan—tetapi celaka. Berhala
psikologis itulah yang membuat kader-kader saling
bertengkar, bermusuhan, hingga menyerukan kekerasan
terhadap saudara sehimpun.
727
waktunya didepak keluar dari proses kaderisasi. Karena jika
dibiarkan maka akan melanggengkan pemujaan terhadap
dunia ketimbang mengkalungkan ketauhidan. Al Ghazali
berkata: ‘sebelum memperoleh pencerahan sekalipun,
seseorang akan mengetahui bahwa segala sesuatu bisa
membuktikan keberadaan Tuhan. Namun, naluti fitrah itu
akan hilang ketika ia mulai berbaur dengan masyarakat yang
korup, karena urusan duniawi telah mencegahnya untuk
mengarungi samudera wawasan yang luas’.
728
menurut serba stereotip—dengan ilmu, teknologi, sosiologi,
dan kesadaran diri:
Dr. Ali Syari’ati, (2017), Manusia dan Islam: Sebuah Kajian Sosiologis,
447
729
Ketauhidan sejatinya membuka jalan manusia mencapai
kualitas revolusioner. Inilah sikap hidup yang seharusnya
himpunan dapat tanamkan melalui pendidikan kader.
Pemberontakan mesti disemai pada diri anak-anak muda yang
dikader. Oscar Wilde pernah berkata: ‘pembangkangan, bagi
mereka yang pernah membaca sejarah, adalah kualitas terbaik
manusia. Melalui pembangkanganlah kemajuan dicapai,
melalui ketidakpatuhan dan pemberontakan’. Dengan
memiliki dorongan untuk memberontak yang berasal dari
kesadaran tauhid maka kader menjadi manusia-manusia
merdeka. Dia tidak akan lagi mudah terjatuh dalam jebakan
seniorisme-gerbongisme maupun mitos yang berisi doxa
tentang konsumerisme dan mimesis. Sebab dirinya enggan
menjadikan kekuasaan sebagai orientasi hidupnya. Jabatan,
jaringan, uang, serta segala godaan kekuasaan kemudian
dipandangnya sebagai susatu yang tidak bernilai dibanding
Tuhan. Ia juga tak akan gampang mengonsumsi dan meniru
gaya hidup, serta pandangan, dan kebiasaan kelompok
dominan.
730
Bukan hanya nafsu seksual yang bisa diberangus tapi juga
dorongan mengejar prestise: memerintah, jaringan, jabatan,
dan kenikamatan materi: uang. Iman akan melindungi kader
dengan pakaian taqwa yang menempatkannya hanya takut
kepada Tuhan, bukan pada manusia, alam, dan tuhan-tuhan
palsu lainnya. Maka prinsip teologis berisi seruan
pemberontakan terhadap berhala-berhala psikologis
selanjutnya dapat menguatkan kekuatan ideologis kaderisasi.
731
bukan budak, hamba, ataupun mahluk hilang kemerdekaannya
di hadapan kepentingan apapun. Tetapi mesti menempatkan
kader sebagai ideolog. Orang-orang yang punya keyakinan
untuk mengubah dunia sesuai ideal yang dicita-citakan.
Kaderisasi yang mampu menciptakan manusia-manusia
seperti ini berarti memberi kesempatan untuk tumbuhnya
anak-anak muda idealis. Posisi mereka persis ucapan Soe Hok
Gie: ‘yang barangkali harus bertempur dua front. Melawan
lingkungannya sendiri dan melawan musuh-musuhnya di luar.
Hidupnya adalah kesepian yang abadi.’
732
kader-kader ini tal tampil dengan kandungan ideologisnya,
tetapi subur dengan ritual, nasihat, perintah, bahkan ancaman
dan hukuman. Itulah mengapa sikap keberagamaan dalam
himpunan lebih banyak menampilkan penerimaan terhadap
kapitalisme, perlawanan terhadap komunisme, dan
mengkafirkan segala ilmu-ilmu yang mengancam tatanan.
Karena Islam yang ditanam melalui kaderisasi itu tidak
mampu memihak secara tegas terhadap kaum miskin dan
tertindas. Makanya Islam mematitkan diri terus-menerus
menjadi agama budaya, bukan ideologi. Soalnya nilai-nilai
ketauhidan, kemanusiaan, dan keadilan dalam teologinya
enggan dijadikan sebagai sumber motivasi dan inspirasi
gerakan perubahan. Organisasi kemudian secara sukarela
menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat kapitalis.
Hidup yang mendukung penguasa tanpa jijik sedikitpun
terhadap kepentingan-kepentingan para pemodal yang berada
di setiap tabuhan kebijakannya. Makanya kebijakan-kebijakan
yang bercorak kapitalistik dilawan justru acuh-tak-acuh
dipermasalahkan.
733
memekarkan jiwa-jiwa pemberontak. Pemberontakan yang
dimaksud bukan memberontak pada senior-senior baik atau
pemimpin-pemimpin bajik, tetapi pada orang-orang atau
kelompok-kelompok yang berperilaku picik, licik, dan
congkak. Maka mereka yang ditantang, dibantah, dan
dilawan, adalah kelas penindas. Kelas ini bukan semata-mata
mendapatkan serangan, namun pula tepat untuk disadarkan
dan selamatkan. Buat menggugah orang-orang yang dibikin
jahat oleh tatanan kapitalis itu mesti malalui jalan
pemberontakan.
734
senior dengan gerbongnya. Ajarilah anak-anak muda untuk
tidak gampang menurut, terbujuk, dan terlena pada tiap-tiap
kepentingan. Kaderisasi adalah penyulut kehancuran namun
cahaya perubahan. Melaluinya kader-kader jangan dididik jadi
bebek maupun budak tapi pelawan hingga pemberontak.
Dengan begitu maka tatanan yang buruk tak dapat
membuatnya tak berkutik. Tetapi membangkitkan keresahan,
kutukan, dan didobrakan. Menarik menyimak apa kata
Foucauilt: hanya orang-orang merdeka yang punnya
kemampuan menyatakan kebenaran. Karena manusia-manusia
terkerangkeng tiada daya menerangkan sebuah kebohongan.
Itulah mengapa pada kepala-kepala yang terbelenggu
lingkungan tak manusia bisa terus bertahan dan semakin
dilanggengkan. Kita tentunya berharap melalui kaderisasi
kader-kader dibebaskan dari segala jebakan, ketakutan dan
pembodohan. Himpunan mesti menata lingkungan manusiawi
tanpa penindasan, pemerasan, dan penguasaan terhadap
sesama. Maka organisasi ini harus mendukung perkembangan
pikiran dan perasaan kader tapi juga kehendaknya. Itu
sebabnya kaderisasi harus memberi pretensi bukan sekedar
terhadap kebebasan berpikir, melainkan pula bertindak tanpa
dipagar.
735
ekonomi, politik, agama dan pendidikan, yang disebabkan
oleh keserakahan serta pelanggengan kekuasaan kolonialisme
dan imperialisme. Kini penindasan-penindasan itu masih
membanjiri kehidupan rakyat, bahkan telah berpenetrasi
hingga membelokan arah kaderisasi dan gerakan himpunan.
736
Rakyat-Bangsa Papua. Sementara imperialisme hadir dengan
wajahnya yang paling menggiurkan: modal asing. Hegemoni
kapital bukan hanya mengendalikan kebijakan-kebijakan dan
segala aturan pemerintahan lewat birokrat-kapitalis, tapi juga
membuat negara mewadahi hasrat konsumsi masyarakat lewat
topangan lembaga perbankan dan bujukan kapitalis-swasta.
Fenomena ini disebut oleh Lenin sebagai’cara kapitalisme
menyelamatkan dirinya’. Penyelamatan terhadap sistem inilah
yang kemudian membuat rakyat mendapat perlakuan picik:
dibodohi, ditipu, dirampok, hingga dimiskinkan melalui
kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir kalangan.
Negara sukar keluar dari dikte-dikte pemodal karena
pemerintah telah menjadi pesakitan di kursi kemodalan.
737
Dalam menguasai pasar kapitalis-swasta tak seperti kapitalis-
birokrat. Dia tak gampang memakai tenaga aparat represif.
Tetapi bagi pengusaha keuntungan ekonomi harus
diperjuangkan melalui pemasaran yang atraktif. Maka dalam
memasarkan produknya dipilihlah orang-orang yang tidak
salah-salah. Artis-artis cantik nan seksi hingga kaum agawan
dijadikan penarik perhatian massa. Panggung-panggung
musik dan ceramah-ceramah tayang bersamaan dengan
pemajangan barang dan seruang-seruan persuasif. Dukungan
terhadap konsumsi terutama dilakukan melalui iklan-iklan
media yang berisi anjuran membeli dan memakai apa saja.
Fenomena ini begitu subur dalam spiral perputaran kekuasaan
modal. Bank-bank ikut menyuplai masyarakat dengan
pinjaman yang membuat bergantungan. Konsumerisme boleh
saja mekar tapi tidak pernah membuat orang merasa puas. Ini
memicu rakyat untuk meminta bantuan rentenir. Uang
dipinjam lagi-lagi beli dan pakai. Kehidupannya jadinya amat
mengenaskan. Masyarakat sukar mencipta karena sudah
sangat konsumtif. Keadaan inilah yang membuatnya jadi
banyak tanggungan. Wajah-wajahnya amat menyeringai
dengan utang. Itulah mengapa penyebab ketimpangan antara
yang kaya dengan miskin begitu kompleks: bukan saja
melalui kebijakan tapi bisa berkembang karena gaya hidup
konsumtif yang dipupuk sistem kapitalis.
738
mereka merbak sebagai kelompok dominan dalam negara.
Bukan saja cara pandangnya memengaruhi publik tapi juga
dirinya memiliki banyak kesempatan untuk mengakses
kehidupan penuh kebahagiaan. Hidup mewah berbantal
kekayaan didapatkan dengan cara memperjual-belikan apa
saja: hukum, jabatan, kekayaan alam, tenaga kerja, tubuh, dan
agama. Sementara petani, buruh, tukang becak, pedagang kaki
lima, tukang becak dan ojek, hingga pengemis dan
gelandangan menjadi spesies terbesar penopang kelangsungan
hidup kelas atas pada piramid. Kaum-kaum miskin dan
tertindas inilah yang terus dieksploitasi melalui sistem
kapitalisme yang mengajaknya untuk mengonsumsi meskipun
tak punya biaya.
739
Pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan dalam sistem
kapitalisme adalah neraka bagi rakyat jelata sekaligus surga
untuk segelintir kalangan yang punya kuasa dan harta. Itulah
mengapa pembangunan-demi-pembangunan yang menggeliat
di negeri ini bukan malah memberikan kesejahteraan kepada
rakyat. Tetapi menerbitkan masalah-masalah baru:
perampasan lahan, menipisnya sumber mata pencaharian
penduduk, kerusakan lingkungan, konflik horisontal, hingga
korupsi anggaran. Infrastruktur dibangun di atas airmata, luka
mengaga, dan darah bercurahan. Inilah yang membuat rakyat
tak hanya disengsarakan oleh perusahaan tambang dan
perkebunan, tapi terutama negara. Penguasa dengan aparat
represifnya, baik polisi maupun tentara dikerahkan untuk
melakukan pengambilalihan atas tanah yang mau dibanguni
apa saja. Lenin melalui Negara dan Revolusi, memaksudkan
kejahatan itu berasal dari kebiadaban imperialisme:
740
kapitalisme melanggengkan struktur kolonialisme-
imperialisme tanpa bisa dilawannya. Bahkan nyaris tak ada
rasa bersalah kala melihat negeri ini; bangga menonjolkan
rasisme, menerima pendiktean pasar dalam pembuatan
kebijakan, hingga menempatkan pemerintahan sebagai hamba
modal paling setia. Dalam kondisi inilah penguasa menindas
bukan sekedar menerapkan korporatisme inklusif tapi juga
korporatisme ekslusif. Itulah mengapa di hadapan mereka
kader-kader organisasi enggan cuma dimudahkan akses
terhadap kekuasaan namun juga gerakannya kerap mendapat
serangan-koersif dari aparatur represif. Sistem pasar telah
membuat negara mematutkan diri sebagai monster jahat yang
tak segan-segan membunuh rakyat. Maka dengan dimiskinkan
dan ditindasnya rakyat atas kepentingan pasar jadi skenario
menyelamatkan hidup kapitalisme. Kapitalisme yang
diramalkan Marx akan hancur dengan sendirinya justru
kembali berdaya dan bergaya. Caranya untuk selamat tak
cuma atas kerja pemodal malainkan pula negara selaku
pembantu utamanya. Itu sebabnya pembangunan-
pembangunan yang disemarakan bertujuan untuk
mengintensifikasi akumulasi kapital begitu rupa.
741
setiap logika menciptakan kontradiksi-kontradiksi bukan
dalam dirinya sendiri tapi logika lainnya. Itulah kenapa
akumulasi kapital yang tiada henti menimbulkan krisis-krisis
periodik pada logika teritorial karena ada kebutuhan untuk
menciptakan suatu akumulasi yang berkesejajaran dalam
bidang kekuatan politik atau militer. Ketika kontrol penguasa
berpindah maka arus kapital selalu mengikutinya. 448 Itu
sebabnya pembangunan-pembangunan yang dilaksanakan
negara tak dapat dipisahkan dengan kepentingan pemodal.
Dalam kondisi inilah setiap kebijakan yang diterbitkan tak
pernah bawa sejahtera buat rakyat tapi hanya beri bahagia
pada pengusaha. Soalnya birokrasi begitu miskin inisiatif
tanpa permintaan kapitalisme yang mencoba bertahan hidup
melalui strategi keruangan. Harvey menjelaskannya:
448
David Harvey, (2010), Imperialisme; Genealogi dan Logika Kapitalisme
Kontemporer, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 203, Hlm. 122.
742
Karya Melawan Rezim Infrastruktur dari Muhammad Ridha
begitu jelas memaparkan bagaimana bentuk penyelamatan
kapitalisme itu melewati saluran keruangan yang dilegitimasi
dengan kebijakan. Itulah mengapa negara dan rakyat saling
bertarung dalam medang pertempuran: jalan raya. Jalanan
bukan saja jadi tempat pertemuan seabrek kepentingan tapi
terutama sebagai titik pemisah antara kematian dan
kehidupan. Karena jalan raya adalah tempat berlangsungnya
produksi dan distribusi kapital, yang berhadap-hadapan
dengan pelbagai gerakan sosial. Polanyi mengistilahkannya
dengan: gerakan ganda. Gerakan yang mempertentangkan
massa dengan negara dan mengadu kuat antara tuntutan rakyat
dengan kekuatan modal.
743
industri di Makassar terhenti, dan tentu tuntutan politis
mereka mudah tersampaikan.449
449
Muhammad Ridha, (2018), Melawan Rezim Infrastruktur; Studi
Ekonomi-Politik, Yogyakarta Carabaca dan Social Movement Institute
(SMI),
744
Kritik-kritik dilontarkan seperti seseorang yang merengek
minta makan. Dirinya seolah tak mau membuka mata bahwa
kebijakan itu melemahkan elemen gerakan, bahkan secara
halus merenggut hak orang-orang yang seharusnya menerima
bantuan: anak-anak dari keluarga kaum miskin dan tertindas
di daerah pedalaman, pinggiran, dan tertinggal yang hari-hari
ini tertatih-tatih dalam mengenyam pendidikan yang normal.
Seoalah penerimaan organisasi terhadap kebijakan licik ini
adalah bentuk kompensasi: dukungan terhadap kekuasaan
diberikan dengan balasan imbalan yang menggiurkan.
Sayangnya sikap itu menampakan wajah himpunan yang agak
bengis, pragmatis, dan oportunis. Keberpihakan terhadap
kaum miskin dan terttindas ditukarkan dengan keuntungan,
jaringan, dan kepentingan apa saja. Gerakan kemudian tak
lagi berpusat pada jalanan, melainkan terpaku dalam ruang-
ruang pranata kenegaraan. Kaderisasi sepertinya gagal
menyuntikan keberanian, meradikalkan pengetahuan, dan
mempertajam gerakan. Landasan sosi-historis sama sekali
enggan dijadikan ajaran penggugah perkaderan. Zaman yang
kita tinggali hari-hari persis dengan suasana yang menjadi
alasan kelahiran HMI: penjajahan. Kolonialisme-Imperialisme
memang telah menancapkan pengaruhnya sejak negeri ini
dikenal dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Pada
masa silam jalur perdagangan merupakan alat menembus alat
yang dikuasai oleh kerajaan.
745
peperangan-demi-peperangan tak tanggung-tanggung
dilakukan guna melancarkan arus komoditi mengalir ke negeri
asalnya. Itulah mengapa VOC serupa dengan kekuasaan
korporasi yang bukan hanya mengeksploitasi tapi juga mampu
menggalang dukungan dari aparatur represif, bahkan memiliki
angkatan bersenjata yang tangguh. Dengan menebar ketakutan
di ujung bedil maka kerajaan-kerajaan semulanya menjadi
bersahabat justru diperangi dan ditaklukan. Sejumlah raja-raja
tamak jatuh di bawah kendalinya. Amangkurat II merupakan
contoh penguasa pribumi yang membebek pada VOC: (1)
Memonopoli penuh impor tekstil dan candu; (2) Impor tekstil
dan candu dilarang tanpa cap dari VOC: (3) Memonopoli
penuh atas impor beras dan gula; (4) Tuntutan agar beras
harus diserahkan setiap tahun ke VOC dengan harga pasar; (5)
Dilarangnya semua pedagang Jawa beroperasi: (6)
Penyerahan Semarang sebagai kota pelabuhan dan juga
pelabuhan lainnya pada VOC sampai hutang penguasa
Amangkurat II lunas.450
450
Anthony Reid, (1999), Dari Ekspansi hingga Krisis (II), Jaringan
Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Hlm. 378.
746
tidak punya, tapi pemerintah didikte pemodal secara vulgar.
Dengan dikendalikannya negara oleh kekuatan modal maka
laut dan lahan-lahan yang menjadi sumber mata pencaharian
rakyat mudah sekali dialihkan ke perusahaan pertambangan
hingga perkebunan. Inilah yang melancarkan dikurasnya
sumber daya alam dan dirusaknya lingkungan. Rakyat
kemudian menjadi korban dengan nasib yang menyeringai:
dimiskinkan, dibodohkan, menempati tempat tinggal tak
layak, tidak beroleh makan bergizi dan minum bersih, lalu
sering sakit-sakitan, enggan mampu berobat, dan ujung-
ujungnya mati mengenaskan.
747
Kelak akan banyak lagi kelas pekerja yang meninggal baik
disebabkan keracunan, kelelahan bekerja maupun
mempertahankan lahannya. Tahun 2019, di seluruh Indonesia
ada 527 anggota KPPS meninggal dunia karena menengguk
racun hasil permainan bengis kekuasaan. Hanya saja ratusan
pekerja itu dikatakan tewas lantaran soal yang nggak masuk
akal: lelah. Penguasa menempuh langkah beringas untuk
menyembunyikan kejahatannya. Itulah mengapa seorang
dokter yang ingin membongkar keborokan pemilihan presiden
justru ditahan. Hasrat untuk berkuasa telah membuat mereka
tak segan-segan mengorbankan rakyatnya. Jadilah nasib kelas
pekerja amat berbantal sengsara. Buruh bukan hanya bergaji
kecil, tapi juga gampang sekali dimatikan tiba-tiba.
451
Https://kodim-p-labuhanbatu-minta-polisi-jangan-berkompromi-panggil-
dan-periksa-tam-tong-chin/
748
dibacok dan ditusuk sampai tubuhnya koyak, bercucuran
darah, hingga tewas, dan kemudian mayatnya dibuang ke
parit. Penegak hukum memang sudah menangkap
pembunuhnya tapi tak punya keberanian menjerat bos
pembunuh. Soalnya kekuasaan kini terus menghiasi
kehidupan dengan tontonan yang menjijikan: penguasa tak
melayani rakyat melainkan pengusaha.
749
menyeret pengutuk-pengutuk kebiadaban militer dan
pertambangan yang terjadi di tanah Papua. Serupa kejadian
protes di Sukoharjo dan Wera: pemerintah yang telah
dipenetrasi kekuatan modal menutup mata atas penderitaan
yang disebabkan oleh perusahaan. Walhasil anak-anak muda
itu kemudian mendadak hilang, dikriminalisasi, hingga
disidangkan di pengadilan. Memang memasuki 2019 aktivis
yang ditangkap oleh negara mencapai jumlah yang
mencengangkan. Pembebasan Kolektif Kota Yogyakarta
bahkan mendata: 84 orang sudah menjadi korban
penangkapan penuh kesewenang-wenangan.452
452
https://patriot.id/pembebasan-kolektif-ajak-terbitkan-solidaritas/
750
dialektika sejarah…. Kontradiksi bermula pada
pembunuhan Habil oleh Qabil.453
453
Dr. Ali Syari’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian
Sosiologi Islam, Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda, Hlm. 89-90.
751
kerap kali mengatasnamakan ideologi dan independensi
padahal isinya kosong.
752
khalifah, terutama pemimpin-pemimpin yang memimpin
kader-kader Islam:
454
Zakiyuddin Baidhawy, (2007), Islam Melawan Kapitalisme, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm.10-11.
753
tidak berbuat adil, kamu menjadi penindas. Bila kamu
menindas makhluk Allah, bukan saja mahluknya. Tapi Allah
pun akan menjadi musuhmu!’ Adil dalam masyarakat
kapitalis tidak mampu dicapai dengan sikap yang netral, tetapi
butuh keberpihakan. Konstitusi HMI dengan lugas
mengatakan bahwa organisasi ini bersifat independen:
berpihak kepada kebenaran. Hari-hari ini, ‘benar’ tak
ditemukan dalam pidato penguasa tapi jerit-tangis rakyat
miskin dan tertindas. Itulah mengapa betapa pongahnya
pimpinan-pimpinan himpunan jika menurut saja pada
omongan pemegang kuasa yang sudah terang bersenggama
dengan modal sembari menyayat rakyatnya sendiri. Ingatlah
petuah dari Bung Karno, Tuhan ternyata tidak bersemayam
dalam kelimpahan istana-istana penguasa melainkan berada di
gubuk-gubuk si miskin. Itu sebabnya kaum-kaum dhua’afa
dan mustad’afin mesti diberpihaki. Muhammad pernah
berkata: ‘tidaklah orang-orang miskin lapar dan telanjang
kecuali karena ulah orang-orang kaya.’
754
khalifah-nya membela dan memperjuangkan keadilan dan
kesejahteraan bagi sesamanya dengan melawan segala bentuk
penindasan. Farid Essack berkata: ‘Allah memang tidak akan
bertanya pada kita sejauh mana kita berbuat baik. Tapi juga
sampai sejauh mana kita bisa melawan kejahatan.’ Maka
kaderisasi digelar untuk memekarkan independensi hingga
jadi senjata pemberangus segala yang jahat. Itulah mengapa
kebenaran sebaiknya tak lagi dicari untuk dipendam,
melainkan buat dinyatakan. Michel Foucault memperkenalkan
tentang ‘Parrhesia’: menyatakan kebenaran. Baginya
menyatakan kebenaran adalah permainan hidup dan mati.
Karena pernyataan tentang sesuatu yang ‘benar’bukan hanya
membawa akibat pahit dan sakit terhadap orang-orang yang
tidak bersedia menerimanya, tapi terutama melawan
mayoritas:
455
https//suluhpergerakan.org/parrhesia-mendengar-kuliah-michel-foucault
755
perembesan yang telah menjalari kehidupan himpunan dapat
dibersihkan. Pembersihan itulah yang harus dilakukan dengan
mendorong kader menentang pandangan mayoritas. Cara
pandang yang selama ini berselubung kepentingan apa saja
waktunya diberangus. Pernyataan akan sesuatu yang ‘benar’
itu memang akan membahayakan kekuasaan negara, juga
kelompok dominan dalam organisasi. Tetapi dengan
mengungkap tabir gelap itulah kalungan sanksi bukan saja
dapat dipasang pada leher pejabat korup, politisi culas, dan
pengusaha rakus. Melainkan pula mampu menjerat dan
mengobati anggota-anggota HMI yang terjangkit virus
kapitalisme: berperingai borjuis, suka bertindak ala feodal,
bersikap patriartki, dan terutama mengejar untung dari siapa
saja dan apa saja—dari organisasi-sesama kader dan pranata
kenegaraan-penguasa. Obat yang diberikan kepada mereka
adalah peringatan hingga hukuman yang akan membuatnya
berdisiplin dalam perjuangan. Ringkasnya, independensi yang
berkandungkan kebenaran jadi benteng kaderisasi dari para
perompak akal yang membentuk habitus praktis, pragmatis,
dan oportunis.
756
penyimpangan. Makanya kader tak cuma butuh terorganisir
tapi harus terlatih mempertanyakan untuk apa dia
diorganisasi, juga dimobilisasi. Jangan sampai ada
penyumbatan daya kritis hingga membuat kaderisasi tak
ubahnya kehidupan sapi di sebuah kandang jualan: dijamin
kebutuhannya dan dipelihara dengan baik, tapi kemudian
susunya diperas, lalu daging sampai tulangnya di jual kepada
siapa yang mampu membayar. Kita percaya sebagai
organisasi mahasiswa himpunan tidak mengembangkan
kader-kadernya bertansfigurasi ke spesies-spesies piaraan
senior atau alumni. Itulah mengapa sebagai organisasi
mahasiswa HMI perlu menegaskan kembali posisinya: apakah
dia pencetak manusia-manusia pembaharu, ataukah sebatas
pengonsumsi dan peniru apa saja yang disuntikan penguasa?
757
kemudian lebih menampakan air muka kayak partai politik
daripada organisai mahasiswa. Tengoklah bagaiamana HMI
ternyata punya legitimasi bukan saja dalam menarik beasiswa
kuliah untuk aktivisnya, tapi kadang memberikan
rekomendasi kepada aktivis-aktivisnya untuk ditempatkan
pada jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintahan—biasanya
yang dibantunya itu adalah senior-senior yang dianggap
berjasa, terlebih memiliki junior yang sedang menjadi ketum
PB, Badko, Cabang, Korkom, maupun Komisariat.
758
Tapi gerakan yang dilakukan bukan bergerak mengikuti
zaman melainkan melawan segala kelazimannya.
759
punya kecenderungan menjilat apa saja, terutama penguasa.
Kalau pemuda-pemuda tadi masih hidup pasti kini mereka
akan memperingatkan kader-kader agar berhati-harti dengan
kuasa: kekuasaan bukan cuma pewujud keadilan tapi lebih
banyak berisi godaan berbuah perpecahan, perseteruan,
hingga penindasan. Maka peringatan yang diberikannya
adalah sebagaimana yang tulisan yang digubah Sayyid Qutb
dengan penuh gejolak keimanan:
760
lainnya dari kesengsaraan yang dihadapinya. Ali Syari’ati
memerikan ibadah demi ibadah bermakna absurd: shalat demi
shalat bermakna bahwa setiap orang mengerjakan shalat telah
memenuhi tanggung jawabnya. Inilah yang disebutnya
sebagai ‘agama untuk agama’: sikap keagamaan seorang
muslim yang asosial, bahkan ahistoris. Sementara olehnya
ditegaskan bahwa Qur’an mengatakan fakta yang
sebenarnyas:
456
Ali Syari’ati, (1995), Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Bandung:
Mizan, Hlm. 91.
761
menegakan amal ma’ruf nahi munka. Namun perlawanan
terhadap para tiran itu hanya bisa terlaksana apabila organisasi
tidak mematukan sikap kompromi yang membuatnya meberi
restu diam-diam hingga terbujur kaku di bawah ketiak
penindas. Dengan menjauhi penguasa maka himpunan punya
keteguhan berpihak kepada rakyat. Keberpihakan ini akan
menghadirkan aksi yang tak cuma bersifat musiman:
penggalangan dana untuk korban bencana, parlemen
jalananan sewaktu ada instruksi PB HMI, maupun sebatas
menebar kritik lewat medsos ketika ada isu nasional yang
sedang hangat dibicarakan. Tetapi akan memosisikan HMI
langsung ke tengah-tengah kehidupan rakyat—merasakan
kepedihan dan penderitaan hidup massa.
762
membuatnya gentar. Tetapi malah mendirikan penolakan
hingga dirinya gugur.
457
Dr. Ali Syari’ati, (2003), Kemuliaan Mati Syahid, Jakarta: Pustaka
Zahra, Hlm. 130.
763
Peristiwa Asyura bukan hanya menorehkan darah tapi juga
pesan kepada seluruh umat manusia. Gubahan yang ingin
disampaikan itu berisi ajakan untuk melawan dan
membrontak kepada kekuasaan kelas penguasa. Para syuhada
dalam medan Karbala pula mencoba memberikan
pengetahuan jihad kepada kaum muslim, termasuk kader
himpunan. Bahwa tidak mungkin menanggalkan tugas maha
penting: menentang kezaliman dan ketidakadilan. Itulah
mengapa perjuangan Imam Husain patut dijadikan tauladan
gerakan. Melaluinya HMI diajarkan untuk menegakan
kebenaran yang terpasung oleh kekuasaan dalam perjalanan
sejarah peradaban manusia. Syari’ati memberitahu:
‘sepanjang sejarah, terdapat seorang penguasa, seorang
penindas yang menguasai jalannya sejarah, seorang algojo
yang mencetak syuhada. Dalam kehidupan historis umat
manusia, banyak orang yang telah menjadi korban
mengenaskan di tangan algojo ini. Banyak sudah perempuan
yang terbungkam oleh cambukan algojo ini’.
458
Geoffrey B. Robinson, (2018), Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan
Massal di Indonesia 1965-1966, Depok: Komunitas Bambu.
764
dengan menyasar kelas pekerja di perkebunan dan lahan
pertanian mencapai angka 40.000 nyawa melayang. Kokangan
senjata militer tak berhenti karena setelah itu bunuh-
membunuh dilanjutkan ke Jawa Tengah; minggu ketiga
Oktober rakyat yang terbunuh memasuki jumlah 140.000
orang. Kaum miskin dann tertindas yang menjadi sasaran
serdadu. Memasuki Desember pelenyapan kembali menyasar
Jawa Timur dengan jumlah yang terbunuh 180.000 kepala.
Masih di bulan yang sama pemberangusan kehidupan kaum
kromo dilancarkan pula di Bali: sekitar 80.000 jiwa
meninggal. Dari perjalanan algojo-algojo kekuasaan
mengarah ke NTT: berhasil merenggut nyawa 6000 penduduk
tak berdosa.
765
kemartiran di hadapan rezim penindas. Kini pada keyakinan
dan keberanian orang-orang yang terbunuh itulah harusnya
kita belajar. Bahwa guliran perubahan yang terjadi di
Indonesia mengharuskan kader untuk lebih cekatan dan
militan, terutama dengan menyatukan kekuatan dengan
rakyat.
459
Arief Heryanto pada Intelektual Publik, Media dan Demokrasi, dalam
Vedi R Hadiz, (2005), Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
766
Kita tentunya ingin sekali kaderisasi melatih kader-kader
bergerak sebagaimana kawan-kawan HMI di Yogyakarta,
yakni menerbitkan kepedulian terhadap rakyat miskin lewat
gerakan. Eko Prasetyo menceritakan bahwa mereka
menggelar serangkaian pendidikan alternatif untuk komunitas
miskin yang berprofesi sebagai abang becak atau abang
parkir. Kaum miskin ini dilatih untuk mengembangkan
kapasitas organisasi dan kemudian mulai melihat bagaimana
peluang struktural mereka untuk ambil peranan. Pendidikan
ini membekali beberapa kalangan melakukan analisis sosial
atas situasi yang mereka hadapi. Analisis yang akan membuat
mereka memahami posisi, peran dan peluang mereka terhadap
perubahan sosial yang sedang berjalan. 460 Dalam keadaan
inilah kaderisasi tidak hanya menjadi cahaya buat kehidupan
organisasi karena sinarnya mampu beringsut menerangi
rakyat-rakyat miskin dan tertindas. Kaderisasi memang
merupakan kekuatan utama kaum pergerakan gerakan.
Makanya kaderisasi tidak boleh mengasingkan diri dari
gerakan.
767
melawan keadaaan. Sementara dari organisasi kiri, Front
Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Mataram ikut memberi
tauladan demikian. Di Pulau Lombok, mereka turun ke desa-
desa untuk mengorganisir petani-petani miskin maupun
warga-warga korban penggusuran. Kader-kadernya bukan
hanya hidup bersama rakyat selama berbulan-bulan, tapi juga
mendirikan forum-forum belajar di tengah-tengah
perkampungan kumuh tanpa sedikitpun menarik bayaran.
768
spiritual atau jasmani dan rohani—Qur’an menyebutkannya
iman dan amal secara bersamaan. Bangunan keseimbangan
bukan saja sejalan dengan prinsip integratif, tapi juga
mendorong kader-kader untuk bersikap terbuka. Melalui sikap
seimbang itu kaderisasi tak melulu diajarkan pengetahuan-
pengetahuan yang bertolak dari langit, melainkan pula
diberikan ilmu-ilmu duniawi. Ini dapat membentuk
kesimbangan kehidupan yang seterusnya akan mendinamisasi
kaderisasi. Dalam kondisi yang dinamis kaderisasi pasti
semakin kaya akan pelbagai bentuk pemikiran. Tidak ada lagi
yang namanya pendakuan kebenaran berdasarkan sentimen
keagamaan. Karena kader-kader tak dibatasi untuk mengecap
indahnya hikmah, terutama dari ajaran-ajaran yang dilarang
penguasa. Sosialisme, komunisme, marxisme-leninisme,
bahkan anarkisme boleh dipelajari tanpa dihalang-halangi
dengan prasangka, tebaran ketakutan, dan sanksi-sanksi.
Pengalaman berseteru dengan PKI kemudian tak lagi jadi tabir
gelap untuk tidak menimbah hikmah dari ilmu-ilmu kiri.
769
tanggung jawab untuk melawan tak hanya upaya-upaya
pelarangan, penyitaan, bahkan pembakaran buku-buku kiri
yang marak terjadi. Tetapi pula memberanikan diri untuk
memperjuangkan kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan yang
dipreteli oleh penguasa bersama kroni-kroni Kader-kader
yang telah dibebaskan untuk menimbah ilmu kiri pasti tak
mudah lagi menjadi bulan-bulanan senior, gerbong, maupun
negara: ditipu, dibodohi, hingga dieksploitasi sembunyi-
sembunyi. Karena sikap keberagamaan yang dipersenjatai
dengan semangat kiri akan meneguhkan imannya kepada
Tuhan sehingga enggan jatuh ke penghambaan terhadap
sesama manusia. Suluh Pergerakan bahkan memberikan enam
belas alasan kenapa mesti menimba pengetahuan kiri:
770
kekerasan. Terutama hubungan antara penindasan dan
kesenjangan. Khususnya hubungan antara kekuasaan
dan eksploitasi sumber daya alam…. Keenam, …
supaya terhindar dari kesombongan. Rasa sombong
untuk merasa diri lebih tahu masa lalu dan sikap
sombong merasa diri lebih berwenang ketimbang yang
lainnya…. Ketujuh, … untuk belajar tentang kebenaran.
Biar di masa mendatang negeri ini tak berbalut
kekerasan lagi, tidak membiarkan ketidakadilan
merajalela, tidak membiarkan penggusuran gampang
terjadi, dan menciptakan kesenjangan jadi perkara yang
terus-menerus dialami…. Kedelapan, … supaya
terhindar dari bencana di masa depan…. Kesembilan,
…untuk membantu penguasa. Terutama dalam
menghadapi kebodohan yang kiat meningkat tajam....
Kesepuluh, … untuk memahami aturan. Terutama
aturan tentang demokrasi yang menyaratkan kebebasan
untuk menyatakan pandangan dan khususnya aturan
agama yang melarang kita untuk bersikap masa bodoh
apalagi tak peduli…. Kesebelas, … untuk memelihara
akal dan hati. Biar akal kita tak hanya dijejali
propaganda dan dihasut oleh kebohongan yang
dikatakan berulang kali. Juga biar hati kita hidup oleh
kebaikan, bukan kebencian, apalagi merasa yakin
dengan pendapatnya sendiri…. Kedua belas, … untuk
meyakini kita ini manusia bukan serigala. Yang mudah
tersentuh oleh ketidakadilan, yang mudah disentuh oleh
kebenaran, dan mudah empati pada yang mengalami
ketidakadilan…. Ketiga belas, … untuk melindungi
anak-anak di masa depan. Supaya mereka tidak lagi
dijejali dengan berita bohong yang membuat mereka
bodoh, konyol, dan tolol…. Keempat belas, … agar
hidup lebih berarti…. Saat hidup kita tak pernah mau
tunduk pada keculasan dan saat menjalani hidup kita
tidak bersama mereka yang suka melakukan kekejian.
771
Kelima belas, … untuk bisa hidup lebih baik…. Kita
tidak tertawan oleh kebodohan yang terus-terusan dan
kita bisa menjadi bangsa yang percaya diri.… Bukan
karena kemajuan ekonomi, tapi penghormatan bangsa
kita pada nilai-nilai kemanusiaan. Terakhir [keenam
belas], … [melaksanakan] perintah Allah untuk
pertama kali: Bacalah!....461
461
https://suluhpergerakan.org/16-alasan-membaca-buku-kiri/
772
menerus bergelayutan pada kelompok dominan; baik terus
memasang ketundukan pada senior-pengurus, maupun
terjaganya stabilitas hierarki dalam gerbong. Mereka tak ingin
kadernya menggapai kemerdekaan dalam berpikir dan
bertindak. Karena melalui itulah kader-kader dibentuknya
untuk menjadi manusia-manusia kecil yang selalu membebek
terhadap bacaan sekaligus tindakan orang-orang yang
menyerukan pelarangan membaca paham atau bergaul dengan
pembaca dan organisator kiri.
773
Seolah perkaderan hari-hari ini hanya diperuntukan buat
menyesuaikan diri dengan kapitalisme dan tak mau
mengubahnya. Sikap konformis terhadap tatanan setan lagi-
lagi secara jelas menyeruap lewat dibatasinya bergelut dengan
wacana-wacana progresif-revolusioner: kiri. Pengetahuan
yang tak sekedar mendorong kader keluar dari perbudakan
seniorisme-gerbongnisme, tapi juga menerbitkan perlawanan
atas sisa-sisa feodal, aroma-aroma patriarki, dan mental-
mental borjuis yang melemahkan kaderisasi dan gerakan
organisasi. Untuk mencapai pengetahuan yang seimbang
dalam kaderisasi maka supatutnya HMI berani
menyingsingkan lengan lalu melawan stigma-stigma yang
mengakar dan mendungukan kader-kadernya, terutama
mengenai kebiadaban PKI dan sesatnya ilmu-ilmu kiri.
Prinsip keseimbangan seharusnya membantu
menyeimbangkan pengetahuan kader. Bukan malah menutup
lubang-lubang cahaya keilmuannya hingga membuatnya
mudah dibodohi penguasa melalui pelbagai propaganda
busuk, terjerambab iming-iming kekuasaan dari senior-
gerbong, dan paling keji: dibikin abai terhadap soal-soal
kebenaran, kemanusiaan, keadilan baik dalam internal
organisasi maupun di eksternalnya.
774
maupun sekadar bergaul untuk bertukar pengetahuan dengan
orang-orang yang membaca buku kiri. Dengan sikap yang
demikian tentu akan memundurkan tak cuma kaderisasi dan
gerakan organisasi, namun ikut membonsai perkembangan
bangsa menuju kemajuan. Pembatasan untuk membuka
pikiran membuat kader-kader yang dididik jadi dungu karena
dunia ditahunya amat sempit. Kalau saja keadaan ini
dibiarkan pasti akan menimbulkan masalah serupa lukisan
Destoyevsky—dalam Catatan dari Bawah Tanah—dengan
begitu muram:
775
saja; dan kedua, sejalan dengan keyakinan agama bahwa
mereka harus membawa kebaikan bagi umat manusia sebagai
‘rahmat untuk sekalian alam’. Pemberian perhatian lebih pada
perkembangan pengetahuan dan keilmuan inilah yang
mengkontraskan pemerintahan Abassiyah dengan
kekuasaan—yang sebelumnya—bani Ummayah: ilmu
pengetahuan masih bersifat nasionalistik dan parokialistik,
bahkan sangat chauvinistik karena merasa dirinya yang paling
benar, cerdas, dan suci.
776
menopang kebiadaban penguasa. Ali Syari’ati menuliskannya
dengan amat perih:
462
Ali Syari’ati, (1995), Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Bandung:
Mizan, Hlm. 52.
777
kaum miskin-tertindas. Dengan menelantarkan kebutuhan-
kebutuhan rakyat, dalam sejarahnya peradaban Islam
kemudian kontan mengalami kemunduran, kehinaan, bahkan
kehancuran. Itulah yang terjadi pada masa kekuasaan
Abbasiyah. Syari’ati menceritakannya begini: ketika kaum
cerdik-pandai tidak bertanggung jawab dalam membuahkan
kesadaran dan keselamatan bagi masyarakat maka ilmu hanya
menjadi pelayan musuh-musuh rakyat. Maka sinar keilmuan
berubah jadi bara kegelapan: alat pembuat kemerosotan,
kebodohan, perbudakan intelektual, dan penghancur kondisi
ekonomi-politik masyarakat.
778
yang sedang kesetanan. Aktivis Gerakan Sosial Roy
Murtodho menjelaskan, apabila kebohongan gampang kita
percayai sebagai kebenaran maka itulah ‘bentuk kegagalan
untuk mentransformasikan Islam sebagai jalan pembebasan
melalui ilmu pengetahuan, menjadikan mereka gagal
merumuskan siapa kawan, siapa lawan’. Dia bahkan mewanti
bahwa dalam konteks Indonesia ketergagapan kaum muslim
Indonesia pada literasi bisa dibaca sebagai korban dari
pembungkaman politik dan distorsi sejarah yang dilakukan
Orba:
463
Roy Murtadho pada Islam dan Pentingnya Menggali Pengetahuan,
dalam Eko Prasetyo, AL-ALAQ:Bacalah!, Malang: Intrans Publishing &
Social Movement Institute.
779
diskriminasi dalam mengkader agar tak menghasilkan
streotipe antara kader yang satu dengan yang lainnya. Melalui
pengetahuan kiri inilah doxa yang monilitik dari kelompok
dominan mampu disangsikan kebenarannya. Maka persamaan
bukan menyatukan perbedaan tapi saling mengisi,
menghormati sesama, tolong-menolong tanpa pamrih, dan
mampu hidup bersama meski berbeda-berbeda cara pandang,
pilihan, dan gagasan. Walhasil, tidak ada lagi pendakuan
kebenaran, pemaksaan, perhambaan, perbudakan, dan
ketidakadilan. Sebab kaderisasi yang mengakui persamaan tak
menyamaratakan semua kader secara jumlah. Melainkan sama
yang dimaksudkan untuk diberikan adalah soal persamaan
kesempatan. Saat itulah seorang senior dengan gerbongnya
enggan lagi membatasi seseorang maju pada pemilihan ketua.
Karena siapa yang menjadi ketum selanjutnya sudah tidak lagi
ditentukan oleh: ketum sebelumnya, abang-abang pengurus,
maupun sekaliber alumni.
780
kemerdekaan. Keseganan pada seorang kader tua atau muda
tak diberikan secara terpaksa tapi berdasarkan kemampuan,
dedikasi, dan militansi dalam menjalankan kerja-kerja
himpunan. Hanya dengan menciptakan lingkungan inilah
kesenjangan posisi antara junior dengan senior dapat
dihapuskan. Tidak ada yang membedakannya selaku kader
HMI kecuali perjuangannya selama berorganisasi atau soal-
soal alamiah: pengalaman dan usia.
781
Senior kemudian menghubungi siapa saja yang dianggap
mampu membantu juniornya. Kadang bantuan yang diberikan
ada yang berhasil meloloskan sampai mendapat sertifikat
training, tapi bisa juga gagal di tengah jalan. Kegagalan yang
dialami kader titipan tadi dapat disebabkan oleh pelbagai hal:
bisa lantaran Cabang penyelenggara kegiatan menolak
diintervensi, boleh juga Cabang pelaksana training
memerioritaskan kader dari wilayah kerjanya ketimbang kader
dari Cabang lainnya, atau mungkin pula terjadi persaingan
titip-menitip peserta sehingga senior atau pengurus paling
berpengaruhlah yang juniornya akan diluluskan. Itulah
mengapa junior yang bergantung pada kebesaran orang lain
seumpama dikader dengan suntikan semangat pragmatis.
Mengikuti kaderisasi yang demikian membuat dirinya mudah
menanggalkan kemandirian dan identitasnya sebagai manusia
merdeka. Dia kemudian terlena hingga jadi pesakitan di
bawah bayang-bayang orang yang dianggap dapat
menyokongnya.
782
melibatkan kekuatan pinjaman: senior maupun alumni yang
tidak budiman, orang-orang dari pranata kemasyarakatan
ataupun mereka-mereka yang bercokol dalam lembaga
kenegaraan, bahkan preman-preman bayaran. Keadaan ini
berlangsung dalam tubuh organisasi melalui dorongan
semangat persaingan. Saling saing-menyaingi itulah yang
menyebabkan persamaan merosot. Karena kader-kader selalu
ingin berkuasa dan menguasai sesamanya. Itu sebabnya kita
kerap kali melihat fenomena ketidaksetaraan dan
ketidakbebasan dalam himpunan. Senior-senior mengkader
seseorang persis hubungan budak dengan tuan: diperintah ke
sana-ke mari, dipinjam apa saja darinya bahkan terkadang
tidak bertanggung jawab soal pinjamannya, dan dibikin
berada pada posisi yang inferior.
783
juga melalui pelbagai aktivitas-aktivitas kaderisasinya.
Pertunjukan kekuatan merekalah yang kemudian membuat
perkaderan HMI meluncur. Kader yang seharusnya disuntikan
dengan pengetahuan yang mencerahkan justru dijadikan
sasaran propaganda hitam. Isu-isu yang mereka tebarkan
begitu rupa: bisa bobroknya gerbong tertentu hingga rusaknya
peringai anggota-anggotanya. Pokoknya kekuatan para
pedagog itu berfungsi melemahkan, menjatuhkan, dan
mengalahkan apa dan siapa saja yang menjadi lawannya.
784
untuk bertahan hidup di alam tidak selamanya dilakukan
dengan penghisapan, pertarungan, persaingan, atau
penaklukan. Prancis Emile Gautier berkata: ‘sebenarnya
penerapan dari prinsip Darwin terhadap manusia haruslah
berarti kerja sama sosial ketimbang persaingan yang brutal’.
785
membela….464 Kropotkin menyatakan bahwa Mutual
Aid (Saling Bantuan) adalah salah satu faktor [penting]
dalam evolusi. Seperti yang ia juga katakan:
“Kemasyarakatan adalah hukum alam seperti halnya
perjuangan bersama … perang masing-masing terhadap
semua bukanlah hukum alam. Bantuan timbal balik
adalah hukum alam sama halnya dengan perjuangan
bersama….”465
464
Wikipedia.org, (2009 Paperback ed), Saling Bantuan: A Factor of
Evolution, London: Freedom Press.
465
https://anarkis.org/primata-evolusi-anarkisme-bagian-2-habis/
786
justru akan memecahkan himpunan dan meracuni kaderisasi
dan gerakan. Hanya dengan menciptakan relasi yang mampu
menampung perbedaan melalui hubungan yang setaralah
kader-kader dilatih berorganisasi dalam prinsip persamaan.
787
dan kolonialisme-imperialisme menjadi bagian urgen
mendalam ajaran Islam. Agama ini menyeru pemberian
kebebasan bagi segenap manusia. Entah dia adalah kader yang
berada di bawah kungkungan senior-gerbong ataupun orang-
orang miskin dan tertindas di seluruh penjuru dunia. Karena
Islam mendorong manusia untuk mendirikan kebebasan dalam
mencapai persamaan hingga mewujudkan kesetaran
kehidupan umat manusia. Prinsip persamaan yang melahirkan
kesetaraan itu didirikan melalui kebebasan yang berasal dari
fitrah kemanusiaan: cinta kasih terhadap sasama.
788
seksisme, fasisme-brutalisme-militerisme, kolonialisme dan
kapitalisme-imperialisme—yang membuang kesejajaran
hingga mengembangkan penjajahan sosial, budaya, dan
ekonomi-politik terhadap umat manusia—harus menjadi
musuh abadi himpunan. Karena dalam sistem masyarakat
seperti itulah persamaan dan kasih sayang ditanggalkan.
Penyingkiran terhadap prinsip hidup yang setara dan cinta
kemanusiaan dilakukan lewat pelucutan kebebasan.
789
telah membuat kader tidak bebas memilih dan pilih, tak bebas
bertindak secara kreatif, dan paling konyol: terus
mengonsumsi dan meniru apa saja yang dianggap baik, benar,
serta mulia mereka—kelompok dominan. Erich Fromm
menyebut penaggalan kebebasan manusia malah merupakan
pembodohan:
466
Erich Fromm (Penerjemah FX Dono Sunardi), (2018), The Art of
Living; Hidup Antara Memiliki dan Menjadi, Tangerang: Baca, Hlm. 47.
790
berlebihan. Maka yang kerap timbul adalah penghambaan dan
perbudakan. Fenomena itu bukan saja menampak lewat
eksistensi seniorisme-gerbongisme. Tetapi juga kerap dialami
HMI-Wati yang merajut romantika dengan HMI-Wan. Seolah
prinsip kasih sayang dijadikan alasan membumbungkan
asmara yang ugal-ugalan:
467
Cerita ini diendus baunya pada 2019 dan 2021. Kisah dari Semarang
didapatkan dari kader HMI Cabang Mataram. Tempo hari dia berkunjung
ke Sekretariat HMI Cabang Semarang. Di situ ia bertemu dengan salah
seorang pengurus Cabang. Pada saat itulah mereka mulai membuka bicara:
791
Cinta dibawa tenggelam ke dasar birahi hingga
disempitkan hanya buat kepuasan seksual. Inilah yang
memicu penindasan terhadap perempuan. Kasih sayang
ternyata berisi kepalsuan, karena dikuasai naluri
kebinatangan. Itulah yang sempat terjadi di kader-kader
HMI-Wan dari Cabang Semarang dan Cabang
Mataram. Pacaran yang dilakukan dua kader HMI tak
lebih dari kenikamatan di atas dipan. Seusai pesta
selangkangan dilakukan maka datang kebosanan.
Pasangannya diputus tak lama setelah melakukan
hubungan badan. Pejantan mungkin saja tidak
merasakan kehilangan. Tapi perempuan yang telah
dibuka keperawanannya mendekam goncangan
kejiwaan. Sakitnya patah hati membuat dirinya bukan
saja jijik melihat muka mantan pacarnya, tapi terutama
meninggalkan organisasi hingga nekad menanggalkan
statusnya sebagai mahasiswa. Setelah berhenti
menempuh pendidikan tinggi dengan gesit ia kembali
menepi ke lingkungan pedesaan. Lalu diambilnya
keputusan untuk menikah dengan orang lain. 468
792
palsu dalam tatanan masyarakat kapitalis begitu kontradiktif,
bahkan sama halnya tidak memiliki kebebasan. Karena
dijadikan alat melukai, menyakiti, mengakumulasi dan
mengeksploitasi. Tanpa kebebasan sejati maka persamaan dan
kasih sayang jadi seperangkat penipuan, kepalsuan, dan
kemunafikan. Soalnya mengakibatkan persamaan jatuh pada
penyatean. Hingga kasih sayang pun merosot menuju
kekerasan. Kebebasan akan membuat individu mempunyai
kesadaran bertanggung jawab, menggelorakan kemanusiaan,
dan menegakkan keadilan. Ketika manusia terbebas dari
kekuatan koersif dari dalam dan luar dirinya maka dia tidak
akan memperlakukan sesamanya dalam relasi-relasi
kepemilikian. Melainkan subyek-subyek setara dan
mempunyai kemerdekaan. Erich Fromm menuliskan
bagaimana kehidupan orang-orang yang kemudian menjadi
penindas karena keinginan menguasai dan menghakmiliki
secara pribadi:
793
bertahan hidup. Eksploitasi kali pertama mulai ketika
surplus demikian besar sehingga orang mulai
mendirikan sebuah negara, mengambil budak,
membentuk pemerintahan, melancarkan perang, dan
memenjarakan tawanan. Kaum perempuan juga berada
pada posisi tawanan, terlepas dari situasi paradoksal
bahwa kaum laki-laki mengatakan membutuhkan
perempuan….469
469
Erich Fromm (Penerjemah FX Dono Sunardi), (2018), The Art of
Living; Hidup Anatara Memiliki dan Menjadi, Tangerang: Baca, Hlm. 52-
54.
470
Lihat Eko Supriyadi, (2017), Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 126-127.
794
hari-hari ini telah membuat kehidupan dipenuhi persaingan,
penaklukan, dan penguasaan. Manusia mendudukan manusia
lain tak lebih pada derajat kebendaan. Erich Fromm menyebut
mereka punya karakter pemasaran: tidak memiliki keterikatan
mendalam pada dirinya sendiri, atau pada orang lain, bahkan
enggan mempunyai kepedulian bukan karena egois melainkan
relasinya dengan orang-orang lain dan dirinya sendiri
sedemikian tipisnya.
795
keadilan, dan kebenaran. Emma Goldman memberitahukan
cinta cuma bisa tumbuh melalui kebebasan:
471
Emma Goldman (Penerjemah Bima Satria Putra), (2017), Ini Bukan
Revolusiku, Salatiga: Pustaka Catut, Hlm. 188.
796
prinsip keteladanan yang bersemayam pada lembaran
perkaderan mudah disembulkan ke permukaan. Prinsip itu
dimaksudkan agar perkaderan bukan hanya sekadar memberi
pelajaran bagi kader, tetapi turut membetuk kepribadiannya
dengan perlakuan dan perbuatan. Itulah mengapa kader-kader
yang berperan sebagai senior ataupun pengurus tidak melulu
mengandalkan omongan. Melainkan harus membuktikannya
lewat tindakan. Jangan koar soal kebenaran, kemerdekaan,
keadilan dan persaudaraan apabila enggan mengupayakan
terwujudnya dalam kenyataan. Intinya pengetahuan yang
dimiliki tak cukup diberitahukan menggunakan mulut, karena
yang terpenting adalah mengaktualisasikan pada laku, sikap,
dan tindakan keseharian. Maka untuk menebar tauladan ke
sekitar bukan dengan omong kosong yang hanya bertaut
seputar gagasan. Tetapi langsung menghadirkannya dalam
kenyataan.
797
penguasa dan pemodal. Mereka senang mendeklarasi
pemihakan kepada kebenaran di kala sikapnya bersemayam
belaan terhadap kepentingan kekuasaan. Mereka nyatakan
perjuangkan kesetaraan meski tindakannya mengekang,
mendominasi, dan menyelubungi dengan pembatasan-
pembatasan. Keadilan dan kesejahteraan mereka wujudkan
cuma melalui bunyian dan tulisan. Adil dan sejahtera yang
ditujuankan setengah-setengah diperjuangkan. Inilah yang
merebakan disparitas antara gagasan dengan bangunan
perbuatan. Makanya aktivitas dan program organisasi
kemudian ikut terkontaminasi hingga lunglai menerbitkan
gerakan.
798
kader perlu didorong dan diberi ruang maka dalam aktivitas
kaderisasi: tidak boleh lagi kebebasan—kesempatan—
dipereteli.
799
merasa dipermainkan. Inilah membuat panitia pelaksana
kegiatan menempuh langkah melawan: melangsungkan kajian
tanpa harus suratnya diterima.472
472
Wawancara dengan Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiyah—
Supriadin, 2019. Dia diwawancarai saat jam istrahat kegiatan kajian
keislaman kontemporer—kala itu sudah larut malam.
800
bahwa itu adalah kesadaran naïf. Marcuse menjelaskan ini
dengan baik:
473
Herbert Marcuse, (2016), Manusia Satu Dimensi, Yogyakarta: Narasi,
Hlm. 7.
801
daripada kelompok mahasiswa kumal. Orang-orang seperti itu
juga doyan sekali mematutkan perbuatan adminitratif total.
Merekalah yang biasanya menyusahkan kader dalam urusan
surat-menyurat: bukan sekadar mengoreksi tapi malah
menyalahkan, bahkan mengakal-akali agar adanya kesalahan
agar kader terlihat tolol. Surat kader-kader yang menjadi
panitia pelaksana kerap dicoret dengan tangan-tangannya
yang jahil.
474
Ini adalah keluhan kader-kader HMI Cabang Mataram yang pernah
menjadi panitia dalam pelbagai kegiatan himpunan, sepanjang tahun 2017-
2019. Apa yang mereka rasakan persis dengan yang saya alami sewaktu
menjadi ketua panitia LK I dulu: bukan hanya surat yang diperbaiki, tapi
juga proposal kegiatan. Orang-orang Cabang, terutama PA dan BPL paling
getol meminta perbaikan-demi-perbaikan.
802
kesekretariatan—tanpa memutarnya ke sana-ke mari, hingga
tidak menyita waktu berlimpah, dan terutama tak membuatnya
membayar jasa print secara berlebihan.
803
pemegang kekuasaan. Kehidupan yang mereka lalui gagal
menginspirasi dan mengilhami apalagi menggencarkan
tindakan pembebasan. Melainkan jadi referensi melancarkan
aksi kompromi-kompromian.
804
tahta, harta, pengetahuan, dan kekuatan. Tujuan HMI tidak
akan pernah tercapai jika kadernya meniru stereotip mereka:
orang-orang yang mengeksploitasi apa saja. Di mata keempat
tokoh yang dikutuk Qur’an itu manusia dipandangnya sebagai
orang yang tidak dapat berbuat apa-apa selain menaati
keinginannya. Ketaatan didapatkannya dengan kekuasaan,
baik melalui pendakuan kebenaran, jabatan atau kedudukan,
keuangan, hingga kekerasan. Intinya taatnya orang kepada
penjahat-penjahat tadi berkat dimilikinya modal: budaya,
sosial, ekonomi, dan politik. Melalui modal-modal inilah
manusia-manusia merdeka diperbudak. Fenomena tersebut
persis kelakuan senior dengan gerbongnya hari-hari ini:
kader-kader terdiri atas hierarki maka yang berada di bawah
harus tunduk, patuh, bahkan takut terhada mereka-mereka
yang di atas. Melalui gerbong mudah sekali senior-senior
mengatur, menertibkan, dan memaksakan ketaatan siapa-siapa
yang menjadi juniornya. Ketaatan dikutip secara paksa karena
diberlakukan dominasi. Apakah ini pelaksanaan prinsip
ketaatan? Tentu tidak demikian!
805
Makanya mentaati tak boleh memenjarakan. Taat yang
membelenggu akan memekarkan ketidakbebasan: keterikatan
vulgar, perbudakan-penghambaan, maupun pseudo-
kebebasan. Karena ketaatan yang sejati mesti berlandaskan
inisiatif, keikhlasan, dan kesadaran. Bukan malah kepentingan
untuk beroleh jabatan, dibukakan koneksi, maupun disuntikan
anggaran. Ketaatan macam ini tidak tulus karena tersirat
paksaan. Pada saat itu kader dikendalikan bukan sekadar oleh
keinginannya, melainkan juga anasir-anasir dari
lingkungannya. Itulah yang terjadi tatkala kader turut pada
senior atau gerbong hanya karena bisa membesarkannya.
Dirinya bukan cuma jadi mahluk yang pragmatis, tapi pula
agak hina: memerosotkan nilainya sebagai manusia yang
merdeka. Ini juga kerap terjadi pada pengurus yang
mempolitisasi konstitusi. Dia yang semula ingin menundukan
alam justru jatuh terbelenggu oleh lingkungannya. Soalnya
hukum organisasi bukan diatatinya dengan ikhlas, melainkan
sekadar mendukung kepentingannya: menjatuhkan lawan
politiknya, membatasi maupun membuka ruang kader dalam
mengakses kepengurusan, dan terutama menguasai dengan
tipuan konstitusional.
806
partisipasi, maupun keikhlasan. Hanya dengan begitulah
organisasi mampu beringsut ke lingkungan yang diandaikan
Syari’ati: ‘medidik kuda kecil liar dan beringas tapi tidak
mengajarinya menggunakan cambuk dan tongkat untuk
membuatnya jinak dan kemudian ditunggangi’. Karena
pengajaran disalurkan bukan melalui perintah-perintah tetapi
ketauladanan. Inilah yang memberi ruang agar ketaatan
tumbuh tidak dalam pengambilalihan, pendakuan, dam
keterpaksaan. Melainkan kerelaan yang berlandaskan
kesadaran.
807
utuh. Dia bukanlah mereka yang terus mengonsumsi dan
meniru apa saja yang terdapat pada lingkungan tanpa mau
mencipta dan mengubah. Paulo Freire menjelaskannya begini:
475
Prof. Dr. Paulo Freire, (1984), Pendidikan Sebagai Praktek Perlawanan,
Jakarta: PT Gramedia, Hlm. 4.
808
tanpa kompromi. Setara yang memekarkan simpati dan
empati. Ringkasnya ketaatan bukan berlandaskan hierarki.
Soalnya tingkatan hanya akan memberi kuasa pada kader
yang dianggap tinggi untuk mendikte, mendogma, hingga
menebar doxa sesuka hati.
476
Siti Murtiningsih, (2004), Pendidikan Alat Perlawanan, Depok: Resist
Book, Hlm. 7.
809
kritis pemahaman mereka atas realitas. Dalam bahasa
yang lain, kesadaran kritis menganalisa kausalitas itu:
apa yang hari ini benar, barang kali esok tidak lagi,
selalu mengintegrasikan diri dengan realitas. Akhirnya
lambat laun setiap pemahaman akan realitas tersebut
akan diikuti oleh aksi. Setiap manusia menangkap
adanya tantangan, memahaminya, dan merumuskan
kemungkinan-kemungkinan memecahkannya, maka
selanjutnya ia akan bertindak. Dengan tumbuhnya
keasadaran kritis, manusia akan tergerak dan bangkit
untuk mengatasi dan merubah dunianya. Manusia harus
menciptakan kebudayaan dan sejarahnya sendiri.
Perubahan akan kebudayaan dan sejarah menyebabkan
manusia bersikap kritis terhadap dunianya.477
477
Ibid, Hlm. 12.
810
Islam Sebagai Ideologi Pembebasan
478
Lihat Jalalludin Rakhmat, (2000), Sufi yang Mengguncang Dunia dalam
Kuliah-kulia Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah.
479
Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam,
Bandung: Mizan, Hlm. 72.
811
perkaderannya bahwa Islam menjadi ideologi perjuangan.
Maka mahasiswa-mahasiswa yang tergabung sebagai
anggotanya harus memeluknya sebagai suatu keniscayaan.
480
Beberapa waktu yang lalu beredar kabar di halaman faceboook
BeritaHMI.Com, bahwa Kohati HMI Cabang Mataram sebentar lagi segera
akan melaksanakan Miss Kohati. Namun karena banyaknya kritikan yang
memborbardil Kohati, maka “Miis Kohati” disamarkan dalam kata “Duta
Kohati”, yang esensi tetap sama, yakni memamerkan keelokan raut wajah,
tubuh dan busana serta intelektualitas HMI-Wati pada dewan juri dan
penonton.
812
Kontes kecantikan berbalut busana dan ditaburi gincu
intelektualitas itu diibaratkan menjadi sebuah usaha
pengarahan menuju komodifikasi. Penampilan kohati di atas
panggung dipersonifikasi tak ubah seperti komoditi yang
dijual di dewan juri dan penonton demi sebuah nilai dan
hadiah. Pantas saja Karl Marx jauh-jauh hari
memberitahukan: bahwa produksi tidak harus bersifat
ekonomi, tapi juga berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.
Wajar seorang J. Baudrillard menilai modernisasi telah
menghadirkan masyarakat konsumeris: semua hasrat, rencana,
kebutuhan, keinginan dan relasi diterjemahkan sebagai tanda
dan obyek untuk dibeli dan dikonsumsi. Maka manusia
modern seperti diucap Erich Fromm: mengalami alienasi.
Karena dalam hegemoni kapitalisme, kesenangan,
penghargaan, kesejahteraan material dan kesuksesan telah
menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Inilah wajah homo
konsumerisme yang berilusi bahwa dirinya berbahagia.
Kohati seakan menyangkal perjuangan keumatan dan
kebangsaan. Perekonomian kapitalistik dengan wajah
pembangunannya telah memperalat menuju kemerosotan. 481
Meski sumber dari koherensi kehidupan manusia adalah
moralitas, namun di bawah kapitalisme nilai-nilai moral telah
481
Bisa jadi motif dibalik kegiatan itu adalah untuk membuka link dengan
berbagai pelaku usaha busana atau orang-orang yang berkepntingan lainnya.
Bisa pula sekedar memancing datangnya wisatawan untuk bergelantungan
di daerahnya hingga menyebabkan bercecerannya sampah dan narkoba di
mana-mana dan narkoba mewabah seperti yang banyak diberitakan oleh
media online. Jika dikata ini suatu terobosan baru untuk eksis dan bisa
dijual ke alumni dalam hal meminta sumbanagan yang kemudian sisanya
dijadikan kas, mungkin ini berasal kebosanan, kepasifan atau frustasi yang
didapatkan yang menjadi psikologi retak manusia modern seperti kata Eric
Fromm (Dikutip dari catatan diskusi dengan beberapa aktivis HMI, Maret
2019).
813
dinafikan oleh rasionalitas; moralitas dipandang tak lebih dari
ungkapan kaum positivis: perasaan-perasaan subyektif. Robert
L. Heilbroner menjelaskannya begini:
482
Martinus Satya Widodo, (2005), Cinta dan Keterasingan, Yogyakarta:
Penerbit Narasi, Hlm. 5.
483
Materialis di sini bukan mengara pada aliran filsafat materialisme,
melainkan diasosiasikan dengan aktivitas kehidupan yang mengejar materi.
814
memeras sana-sini. Dilakukannya demonstrasi tak jarang
berdasarkan kepentingan oknum-oknum tertentu.
815
makan dan minum gratis, duit pinjaman bahkan tak
dikembalikan, hingga kendaraan dan barang-barang lainnya.
Hampir mereka setingkat dengan kader retoris, yang
membedakan adalah persoalan praksis. Di mana yang menjilat
tadi biasanya dengan perkataan biasa saja namun tepat
sasaran. Sementara para kader retorik, mereka adalah orang-
orang memiliki kemampuan berteori sangat kuat namun
lemah dalam memeraktekan. Inilah yang membuat dirinya
terjebak menghabiskan waktunya hanya untuk baca dan
diskusi ketimbang menulis atau terjun langsung ke lapangan.
816
berkuasa dengan kerugian paling besar bagi mayoritas rakyat
di seluruh penjuru dunia ketiga yang umumnya tidak berdaya.
Salah satu elemen utama dalam produksi budaya adalah apa
yang bisa disebut dengan “Industri-Industri Budaya (IB)” 484
yang meliputi lembaga-lembaga yang terlibat dalam
memproduksi makna secara sosial.485
484
Istilah IB sebetulnya dipopulerkan oieh dua pemikir Mazhab Frankfurt:
Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Dalam masa pengasingan di
Amerika, kedua pemikir ini dibuat terkejut oleh kekuatan, jangkauan dan
daya tembus produksi budaya yang dihasilkan perusahaan. Dalam masa
pengasingannya di Amerika keduanya dikejutkan oleh penetrasi produk-
produk budaya yang disebarluaskan oleh korporasi-korporasi bisnis yang
sampai mempengaruhi mode kehidupan manusia hingga terkikis dan
tercerabut dari budaya aslinya.
485
Termasuk dalam lembaga-lembaga ini adalah periklanan dan pemasaran,
broadcasting, media cetak dan elektronik, film, industry music, video dan
game computer, game online. Industri-industri budaya juga bersentuhan
dengan fesyen dan olahraga dan perangkat lunak. (Lihat Eric Hiariej,
(2012), Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan, Yogyakarta: Institute of
International Studies Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Hlm. 166-167).
817
Kekhawatiran ini membuktikan apa yang dikemukakan oleh
Karl Marx tentang korelasi positif antara penguasaan alat-alat
produksi dan kendali atas ideologi dan cara berpikir. Sehingga
IB menjadi momok yang begitu menakutkan.
486
Althusser adalah pelopor kajian ideologi mikro, ideologi yang menyebar
pada seluruh praktek kehidupan, pada tingkat kecil dan besar, pada pikiran
awam dan ilmiah, pada percakapan hari ini dan iklim politik negeri ini, pada
semua sela-sela terhadap kehidupan manusia. Ideologi bagi Althusser
bukanlah kesadaran palsu seperti yang ditegaskan Marx, melainkan sesuatu
profoundly unconscious, sebagai hal-hal yang secara mendalam tidak
disadari (Lihat Pengantar Bagus Takwin dalam Louis Althuser, (1984),
Tentang Ideologi, Yogyakarta: Jalasutra, Hlm. xvi)
487
Ibid. Hlm. 39.
818
Menurut Althusser, apabila rakyat menerima ideologi
dominan dari penguasa maka akan menyebabkan terjadinya
pelanggengan status-quo. Untuk melawannya dibutuhkan
ideologi tandingan yang dijadikan sebagai alternatif. Ideologi
alternatif itulah yang seharusnya dikembangkan oleh kader-
kader himpunan. HMI sebagai organisasi telah menasbikan
Islam sebagai ideologi perjuangan yang memersatukan dan
menggerakan setiap kader-kadernya. Pemahaman ideologi
yang baik akan membentuk dan memajukan kualitas kader
dalam mengarungi kehidupan sosio-historis. Bagi Syari’ati,
itulah kesadaran diri tertentu manusia yang membentuk
masyarakat:
488
Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Penerbit
Mizan, Hlm. 58.
819
kebudayaan, ekonomi, politik dan moralnya yang cenderung
menghambat perubahan yang diinginkan. 489 Sebagai ideologi,
agama adalah keyakinan yang secara sadar dipilih untuk
menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang
ada, mengarahkan suatu masyarakat atau suatu bangsa untuk
mencapai tujuan-tujuan dan ideal-ideal yang mereka cita-
citakan, yang untuk tujuan dan ideal tersebut mereka rela
berjuang dan bertempur. Seseorang yang sedang memilih
ideologi pertama kali akan berpikir tentang status kelas
sosialnya, kondisi ekonomi dan politik masyarakatnya, serta
keadaan masa itu. Ia akan bisa mengetahui mengapa ia tidak
suka dan tidak puas dengan sistem yang ada. Ia selanjutnya
akan yakin pada keharusan adanya beberapa perubahan dan
pembaharuan yang mendasar pada sistem tersebut. Untuk
mengarahkan dan memberi tujuan pada keyakinan itu, ia
memilih suatu ideologi. Ideologi tersebut dipilih untuk
mengubah dan merombak status-quo; ideologi inilah yang
memberi seorang ideolog, alternatif-alternatif baru dan
membantunya mencapai ideal-ideal dan tujuan-tujuan sesuai
dengan semboyan yang diucapkannya.490
489
(Lihat Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual, Bandung:
Penerbit Mizan, Hlm. 77).
490
Dalam sejarah, ada dua jenis agama atau dua perangkat: (1) Agama
sebagai ideologi; (2) Agama sebagai kumpulan tradisi-tradisi daerah atau
konvensi-konvensi sosial, atau sebagai semangat kolektif suatu kelompok.
Ketika rasul-rasul besar muncul dari kalangan suku-suku tertentu, ketika
mereka memimpin gerakan-gerakan historis untuk membangkitkan dan
mencerahkan kemanusiaan, dan ketika mereka memproklamirkan
semboyan-semboyan mereka secara jelas dalam mendukung massa
manusia—pada saat itulah para pengikut di samping mereka, dan bergabung
bersama mereka atas kehendak bebas mereka itulah saat kemunculan agama
sebagai ideologi (Ibid, Hlm. 88-89).
820
Namun suatu ideologi tidak boleh dipaksakan, karena ideologi
tak lagi merupakan ideologi jika ideologi itu bukan menjadi
pilihan sukarela melainkan dipaksakan—ia tak lebih daripada
suatu tradisi sosial, suatu bagian dari kebudayaan; ia telah
kehilangan misi aslinya. Potensi kritis dari ideologi
diapresiasi apabila ia dikaitkan dengan diskursus perjuangan
dan perlawanan, karena ia menjelaskan relasi antara
kekuasaan, makna dan kepentingan. 491 Tetapi untuk
memegang teguh Islam sebagai ideologi, kader HMI mesti
membenturkan nilai-nilai yang dibawa Islam pada persoalan
di sekelilingnya. Seperti halnya diceritakan bahwa orang
Persia yang semula berada di bawah tirani, kesenjangan
sosial, ketidakadilan dan monopolisme. Kelak dengan
mulianya kandungan nilai-nilai yang dibawa Islam, mereka
menerima keyakinan Islam sebagai ideologi menurut
kehendak bebasnya. Inila yang telah membantunya
menentang suatu sistem pemerintahan yang korup,
mengulingkannya dan mengantikannya dengan tatanan baru
yang sah. Islam sebagai ideologi bagi mereka telah membawa
suatu tatanan sosial baru yang berdasarkan pada keadilan,
persamaan, imamah dan efisiensi pemerintahan.
491
Dr. M. Agus Nuryanto, (2009), Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap
Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, Hlm.
30.
821
himpunan yang hanya bisa merebut dan mempertahankan
kekuasaan, semangat persaingan akibat hantaman kapitalisme
telah mengikis persaudaraan, kesetaraan dan keadilan.
Bercokolnya modernitas membuka ruang pandangan liberal
ingga banyak di antara kader himpunan yang terjebak pada
sisa-sisa ideologi pembangunan. Berdialog dengan realitas
yang tidak ideal akan membuat Islam menjadi sebuah
ideologi. Mengancam sistem kapitalisme yang selama ini
telah membunuh moralitas dengan senjata rasionalitasnya.
Pantas saja Antonio Gramsci menyatakan bahwa jika melihat
dunia dengan intelektualnya ia mendadak pesimis, tapi yang
membuatnya optimis adalah cita-cita besarnya untuk terus
berkonfrontasi dengan kapitalisme-imperialisme.
492
Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Penerbit
Mizan, Hlm. 114.
822
negara telah tampil sebagai aktor dominan dalam proses
modernisasi ekonomi. Perusahaan-perusahaan negara
misalnya, tumbuh sebagai kekuatan penting di balik
perekonomian nasional. Seiring tampilnya Orba, negara
terlibat aktif dalam membangun fasilitas publik,
mengembangkan infrastruktur sosial, mempromosikan
pendidikan, menyediakan basis legal bagi beroperasinya pasar
dan secara langsung ikut mengakumulasi kapital.
493
Contohnya: hubungan baik dengan kekuasaan telah membuat sektor
Farmasi dan Plastik tidak tersentuh dari perbaikan. Lebih-lebih kesulitan
fiskal, tidak menciptakan hambatan yang terlalu banyak pada sektor-sektor
yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan sektor-sektor
domestik lainnya seperti otomotif dan petrokimia (Lihat Eric Hiariej,
(2012), Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan, Yogyakarta: Institute of
International Studies Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Hlm. 121-122).
823
menghancurkannya 494; (2) Menentang monopoli ekonomi dan
sistem kapitalisme: Islam melarang penimbunan kekayaan dan
tradisi konsumtif (berlebih-lebihan)495; (3) Membela kaum
yang lemah dan tertindas (kelompok-kelompok rentan): Islam
memerintahkan orang berimann untuk membela golongan
lemah sebab golongan itu adalah pembantu dan kekasih Allah
dan melarang keras menyakiti mereka 496; (4) Menegakkan
prinsip keadilan dan pemerataan: Islam mengutuk sistem
hukum, sosial, ekonomi, politik yang tidak adil dan ukuran
ketaqwaan yang pokok adalah mampu menegakkan
keadilan. 497
494
Ayat-ayat Qur’an yang terkait: QS 4:75; QS 8:39; QS 4:148; QS 7:137;
QS 9: 103; QS 22:39; QS 2:190; QS 9:36; QS 2:191; QS 5:7-8; QS 89:6-14
(Lihat Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal Dari
Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 13).
495
Ayat-ayat Qur’an yang terkait: QS 104:6-8; QS 7:31; QS 59:7; QS 9:34;
QS 2:129; QS 2:275-278; QS 30:39; QS 104:1-4; QS 7:31; QS 57:7; QS
51:19; QS 2:190; QS 6:142; QS 10:12, 83; QS 21:9; 26:151; QS 51:34; QS
42:5; QS 44:31 (Ibid).
496
Ayat-ayat Qur’an yang terkait: QS 17:16; QS 28:5; QS 4:75; QS 62:2;
QS 22:45; QS 107-1-3; QS 2:264; QS 42:8 (Ibid).
497
Ayat-ayat Qur’an yang terkait: QS 7:29; QS 4:135; QS 5:8; QS 9:34; QS
55:8-9; QS 11:84-85; QS 2:188; QS 2:275; QS 2:278-279 (Ibid).
824
keyakinan dapat terealisir hingga orang-orang dapat bangkit
dan menyelamatkan agama mereka dari kepunahan.
Pandangan inilah yang muncul dalam Imam Khomeini
bersama para aktivis Islam seperti di Mujahiddin Iran. Bagi
Khomeini agama bukanlah suatu penerimaan teoritis terhadap
suatu kepercayaan, melainkan sikap dan gaya hidup yang
mengekspresikan perjuangan revolusioner untuk mencapai
kebahagiaan dan integritas yang dikehendaki Tuhan bagi umat
manusia. Dalam bahasa yang lebih ringkas, ia meyakini:
ketika agama datang maka segala hal mengikutinya.
Keyakinan itu bersanding dengan visi transformatif ilahiah
perjalanan spiritual Khomeini:
825
memunculkan berbagai krisis hingga saat ini menjadi
pertanyaan raksasa pemimpin muslim. 498
498
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 76-77, 96.
499
Sayyid Qutb yang tumbuh dalam tradisi Sunni memandang krisis yang
diderita oleh kalangan muslim karena belenggu yang diciptakan oleh sistem
Barat. Konsep yang popular digunakannya dan kemudian diwarisi oleh
generasi selanjutnya, adalah jahiliah. Sebuah system yang mengalienasi
manusia untuk menjauh dari prinsip-prinsip Islam dan mengembalikannya
pada watak kebinatangan. Dalam bahasa Qutb kapitalisme tidak
menghormati bangsa-bangsa Arab, dengan menyatakan, jutaan orang
kelaparan, dungu, kurus kering, yang membanting tulang siang malam
mencari makan dan tidak dapat menyisahkan waktu dalam melaksanakan
apa yang disebut ‘hak untuk memilih’ dan ‘kebebasan memilih’. Maka
sebaiknya mereka mengikuti perintah majikan yang menguasai sumber
penghidupan mereka. Kapitalisme bagi qutb hanya menyisahkan
penderitaan dan ketergantungan.
826
Sikap ini sekaligus merupakan suatu pengaplikasian dari
ideologi yang progresif.
827
Marilah! Saoedara-daoedara kami, bersama-sama
menolong pada Kang Kromo jang selaloe diisap
darahnya oleh si Demit tadi. Maka soedah terseboet di
dalam chadist jang begini artinya: Allah Ta’alla itoe
mesti menolong pada kita. Kalau kita misi menolong
joega pada saoedara kita!500
500
Eko Prasetyo, (2016), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif Atas Kisah-
Kisah Dalam Qur’an, Malang: Diterbitkan Atas Kerjasama Beranda
Kelompok Intrans Publishing dan Sosial Movement Institute, Hlm. XXII-
XXIII.
828
Organisasi yang menjadikan Islam sebagai ideologi pastinya
tidak akan dekat dan menjilat penguasa tapi berbaur dengan
kalangan jelata dan membangkitkan kesadaran kelas pada
mereka. Karena sistem kapitalisme ini telah menjadi ancaman
serius, tidak dapat diubah dengan menebarkan beberapa kader
ke posisi-posisi pemerintahan. Sebab pusat kendalinya bukan
berada dalam skala nasional tapi internasional. Jika perubahan
diharapkan datang dari dalam sungguh begitu jauh panggan
dari api. Alternatifnya saat ini adalah menempu perjuangan
dari bawah bersama massa-rakyat, didik dan cerdaskan
mereka untuk membaca realitas agar dapat membela diri dan
supaya dapat berlawan terhadap kekuasaan tirani. Maka untuk
menegakkan kebenaran berlandaskan keadilan, kesetaraan dan
kemerdekaan; HMI mesti membangkitkan kembali
karakteristik ideologi Islam dalam bentuk keberpihakan
kepada kaum miskin dan tertindas.
829
kelompok borjuis. Orba berjalan dengan kekuasaan yang amat
hegemonik. Bukan hanya dengan menggunakan perangkat
keras: hukum dan militer, tapi juga perangkat lunak:
pendidikan dan budaya. Maka kehidupan disulap tak ubah
yang disebut Gramsci dengan Statolatory: semua komponen
memberhalakan negara karena pasrah begitu saja akan segala
kebijakan. Kekuasaan kemudian menonjolkan diri amat
arbitrer sampai masuk ke hegemoni yang mengerikan.
830
dominan yang ditampilkan sebagai kepentingan semua orang.
Seolah-olah ideologi pembangunan ini menjadi satu-satunya
cara agar bangsa dan negara bisa maju. Parahnya ideologi ini
telah tertanam dalam-dalam di tubuh HMI, bahkan
sewalaupun telah mengambil kembali Islam sebagai asas
organisasi tapi tidak mempan melawan hegemoni yang sudah
terkristalisasi. Pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan
dan tradisi Orba sekarang menjadi sistem yang diterima secara
tidak kritis karena telah ditransormasikan sebagai common
sense.
831
Keadaan itulah yang membuat ideologi perjuangan HMI
mengalami simptom dan tercerabut dari semangat
pembebasannya. Berkembang pesat manusia-manusia yang
membawa peran sebagai intelektual tradisonal:
melanggengkan status-quo. Mereka terus-menerus melakukan
hal yang sama dari generasi ke generasi: menjadi mediator ide
antara massa-rakyat dengan kelas atas.
501
Menurut Gramsci semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua
manusia dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual. Kaum intelektual
dalam makna fungsional terbagi menjadi dua kelompok. Pada kelompok
pertama terdapat kaum intelektual “tradisonal”, kaum pujangga, ilmuwan
dan sebagainya, yang mempunyai posisi dalam celah masyarakat yang
mempunyai aura antarkelas tertentu tetapi berasal dari hubungan kelas masa
silam dan sekarang serta melingkupi sebuah lampiran untuk pembentukan
berbagai kelas historis. Yan kedua, terdapat kaum intelektual “organic”,
elemen pemikir dan pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental
tertentu. Kaum intelektual organik ini secara mudah dibedakan oleh profesi
mereka, daripada dengan fungsi mereka dalam mengarahkan gagasan dan
aspirasi dari kelas di mana mereka berada di dalamnya secara organik
(Lihat Antonio Gramsci, (2017) Sejarah dan Budaya, Yogyakarta: Narasi -
Pustaka Promethea, Hlm. 127-128).
832
…pengikut Muhammad sama sepertiku, Bilal, seorang
budak, anak seorang budak dari Abyssina; Salman,
gelandang dari Persia yang diciduk menjadi budak; Abu
Zar, manusia gurun yang ditimpa kemiskinan; dan
terakhir Salim, seorang budak beristri Khuzairah,
seorang hitam yang terasing dan diremehkan. Aku
percaya pada kenabian Muhammad karena istananya
tidak lebih dari tumpukan tanah liat. Ia terlihat di antara
para pekerja yang mengangkut barang dan membangun
ruangan. Sementara Ali as. Ali adalah orang-orang
yang berasal dari kelompok kita, kelompok yang
menderita. Ali ayunkan pedang untuk menyelamatkan
kita dalam setiap tahapan hidup ini….
833
tertindas akan bangkit dari tidurnya, dan dipersenjatai
dengan senjata keyakinan dan kesadaran. Mereka akan
menyergap kekuatan yang menindas dari luar dan
dalam.
834
Sederet pandangan inilah yang dipergunakan para ideologi
untuk mendidik umat dalam menjadi manusia terhormat,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Husein as: ‘Lebih
baik mati dalam kehormatan daripada hidup dalam kehinaan.
Kehormatan itulah yang mendorong nabi dulunya
mengajarkan: ‘apabila Anda dalam keperluan janganlah
mengemis secara hina kepada siapapun. Mintalah itu dengan
sikap menghargai diri’. Kehormatan dan martabat seorang
muslim, mengikuti apa yang difirmankan Allah, “Dan orang-
orang yang beriman dengan Dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
(QS al Fath: 28) Maka ajaran Islam sebagaimana yang
dikatakan oleh Will Durant: ‘tidak ada agama yang mengajak
manusia kepada kekuatan dan kekuasaan sebagaimana
Islam’. 502 Namun bukan berarti kekuatan dan kekuasaan itu
berbentuk formal: gelar, pangkat, jabatan, dan sebagainya.
Melainkan suatu bentuk kekuatan dan kekuasaan dalam artian
luas, meski tanpa takhta tapi mampu menjadikan kader
seorang pemimpin-pemimpin transformatif yang bergerak
dalam masyarakat dan sejarah untuk mempercepat perubahan
dalam mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat tertindas serta
sadarnya kaum penindas.
502
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 84-87.
835
HMI menempatkan Islam sebagai sumber gerakan
ideologisnya. Islam diyakini dapat mengantarkan manusia
pada cita-cita pembebasan sejati, bukan menempatkan
pembebasan sebagai pintu gerbang penindasan jenis lain. HMI
yang menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa Islam mesti
berperisai kesadaran; ia bukanlah organisasi fundamentalis
yang tak mengenal pertimbangan rasional ataupun organisasi
yang cenderung merasionalkan segala sesuatu. Jika merujuk
pada pedoman perkaderannya; muatan-muatan intelektual
selalu mendampingi tema-tema spiritual keislamannya—
simultan dengan tafsir HMI berasaskan Islam.
836
mengapa langka pertamanya mesti dimulai dari revolusi
pemikiran demi penguatan idiologi. Persis nasehat
Muthahhari:
503
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 107-108.
504
Akar teologis paradigma ini bersandar pada konsep Sunni mengenai
predeterminisme (takdir), yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum
diciptakan-Nya alam. Dari teologi Sunni terutama Asy’ariah, manusia
memang tidak memiliki free will untuk menciptakan sejarah mereka sendiri.
Meskipun manusia didorong untuk berusaha, akhirnya Tuhan jualah yang
menentukan. Dewasa ini pemikir-pemikir tradisionalis sesungguhnya tidak
seperti yang didudaga banyak orang, yakni berada di Pondok Pesantren dan
di kalangan umat Islam pedesaan, ataupun sering diasosiasikan dengan
pengikut Nadhlatul Ulamab (NU). Namun pemikiran tradisionalis
sesungguhnya ada di mana-mana `di pedesaan maupun perkotaan,
masyarakay awam atau kalangan cendikia, bahkan terdapat di setiap
organisasi Islam, termasuk HMI. Kata Kuntowijoyo, juga kerap menimpah
mereka yang dikategorikan golongan modernis seperti Muhammadiyah.
837
balik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat,
bangsa dan lingkungannya kelak. Kader HMI tak boleh
berpemikiran seperti itu, karena proses globalisasi yang
berdiri di atas paham neoliberalisme dan modernisasi
menempatkan paradigma tradisionalis menjadi sasaran untuk
ditundukan. Memang harus diakui bahwa pemikiran yang
berkembang dalam himpunan tidaklah mengambil corak
tradiosional, melainkan modernis.
505
Pandangan kaum modernis cenderung menyerang teologi Sunni yang
dijulukinya teologi fatalistic sebagai akar penyebab kemerosotan umat.
Pemikiran modernis berakar pada para pemikir reformis, seperti:
Muhammad Abduh di Mesir atau Mustafa Attaturk di Turki serta banyak
pembaharu lainnya. Di Indonesia, teologi rasionalis ini pernah
mempengaruhi gerakan Muhammadiyah selama PD II. Agenda sentral
gerakan Muhammadiyah pada dasarnya berperang melawan Takhayul,
Bid’ah dan Kufarat, serta berlomba-lomba dalam kebaikan. Oleh sebab itu
mereka juga dikenal sebagai gerakan purifikasi. Gelombang kedua gerakan
pembaharuan muncul pada awal Orde Baru. Kaum modernis atau kaum
pembaharu, melalui agenda sekulerisasi yang dicanangkan Soeharto dengan
kaum intelektual seperti Nurcholish Madjid. Telah memfokuskan
peperangan melawan siapa saja yang merintangi modernisasi dan
pembangunan, melalui agenda sukularisasi (untuk lebih jelasnya baca di
pengantar Mansour Fakih pada Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri Melawan
Kapitalisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta: Insist
Press, Hlm. xi-xii).
838
membuang jauh-jauh pemikiran demikian. Pemikiran
modernis dan liberal sesungguhnya memiliki pendekatan dan
analisa yang sama dengan penganut paham modernisasi
sekuler yang menjadi aliran mainstream dalam ilmu sosial dan
dianut para aparat developmentalisme. Di mata mereka
kemiskanan disebabkan oleh ketidakmampuan berpartisipasi
secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi.
Sehingga divonislah permasalahan kemiskinan yang selama
ini menimpa Indonesia disebabkan oleh rendahnya kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) tanpa memerhatikan struktur
kelas, gender dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat.
Walhasil, mereka mewanti-wanti agar semua orang
berpartisipasi dan mampu bersaing dalam proses globalisasi
guna mendorong industrialisasi dan pembangunan yang
menempatkan kaum miskin dan tertindas di posisi paling
buncit.
506
Pandangan ini berangkat berdasarkan keyakinan bahwa Al-Qur’an pada
dasarnya telah menyediakan petunjuk secara komplit, jelas dan sempurna
sebagai fondasi bermasyarakat dan bernegara. Ditambahkan jika umat Islam
percaya bahwa alam beserta manusia adalah ciptaan Tuhan Allah, maka
aturan yang paling sempurna untuk mengatur kehidupan umat manusia
adalah aturan Tuhan Allah…. Selain itu mereka juga melihat agama serta
isme yang lain sebagai ancaman. Yang dimaksud sebagai ancaman umat
839
dalam maupun keluar sebagai akar penyebab persoalan
kemiskinan dan kemunduran umat manusia. Pemikiran ini
menyatakan dengan gambalng bahwa penyebab kesenjangan
adalah persoalan tidak didirikannya negara Islam atau justru
karena semakin banyaknya umat Islam memakai ideologi lain
sebagai pijakan ketimbang menggunakan Qur’an sebagai
acuan dasar. Globalisasi dan kapitalisme menurut mereka
adalah salah satu agenda Barat dan konsep non-Islami yang
dipaksakan pada masyarakat muslim. Kaum ini biasanya tidak
menggunakan analisis ekonomi-politik, tapi mereka menolak
kapitalisme, globalisasi dan pembangunan berdasarkan
argumen-argumen moralisme semata.507
840
Guna menolak beragam aliran pemikiran itulah mengapa HMI
bersama kader-kadernya mesti mengembangkan ideologi
Islam sebagai paradigma alternatif berdasarkan teologi
pembebasan, atau yang dalam bahasa Eko Prasetyo disebut
dengan paham ‘Islam Kiri’, Islam jenis ini merupakan agama
yang meletakan rakyat tertindas sebagai pihak utama yang
harus dibela, dilindungi dan diperjuangkan kehormatannya.
Singkatnya, corak keagamaan demikian mirip dengan dogma
komunis: berpihak kepada mereka yang miskin (dhu’afa) dan
tertindas (mustad’afin).508 Dalam konteks inilah Mansour
Fakih menjelaskan begitu rupa:
508
Menurut Eko Prasetyo, Islam kiri bukan menggerakan mereka lalu
menegakan kediktatoran, seperti yang dilakukan oleh Stalin, tapi untuk
mendukung proses transformasi menuju masyarakat yang lebih adil. Dalam
perspektif Islam memang ada kepentingan-kepentingan yang berbeda antara
kaum kaya dan miskin, tapi secara fungsional, perbedaan itu harus
dijembatani dan perlunya interaksi (Lihat Eko Prasetyo, (2002), Islam Kiri
Melawan Kapitalisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan, Yogyakarta:
Insist Press, Hlm. xxxiii-xxxiv).
841
Pemihakan terhadap kaum miskin dan tertindas tidak
hanya diilhami oleh Al-Qur’an, tetapi juga hasil analisis
kritis terhadap struktur yang ada. Islam bagi mereka
dipahami sebagai agama pembebasan bagi yang
tertindas, serta mentransformasikan sistem eksploitasi
menjadi sistem yang adil.
509
Michael Lowy, (2013), Teologi Pembebasan Kiritik Marxisme dan
Marxisme Kritis, Yogyakarta: Insist Press, Hlm 1-2.
842
Maka untuk membuat Islam menjadi agama pembebasan,
menurut Asghar Ali Engineer, Islam mesti dilihat dalam
konteks sosiologis dan filosofis. Agama dapat menjadi candu
atau kekuatan yang revolusioner tergantung pada: pertama,
kondisi sosio-politik yang nyata; dan kedua, tergantung
dengan siapa yang akan bersekutu dengan agama, apakah
kaum revolusioner atau status quo.510 HMI harus
membangkitkan Islam sebagai ideologi pembebasan. Secara
praksis, agama yang dianggap sebagai kebaikan dan berdiri
sepihak dengan revolusi, kemajuan dan perubahan. Itulah
mengapa agama harus dilepaskan dari aspek-aspek teologis
yang bersifat filosofis—yang berkembang mencapai
puncaknya hingga aspek filosofis ini menjadi bagian utama
dari agama yang bukannya mendukung kaum penindas,
namun berpihak kepada kelompok tertindas. Dengan kata lain
pembebasan teologi sangat diperlukan untuk mengembangkan
Ideologi Islam. Karena umumnya teologi pada masa sekarang
ini dikuasasi oleh orang-orang yang sangat mendukung status
quo: ritualis, dogmatis dan bersifat sangat membingungkan.
Agama tidak boleh hanya berhenti sampai urusan akhirat,
namun juga tidak boleh semata-mata berurusan dengan
duniawi.
510
Asghar Ali Enggineer, (2000), Islam dan Teologi Pembebasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 29-30.
843
Perjuangan (NDP) HMI mesti didekati dengan sikap kritis.
Kita mesti menyangsikan pernyataan yang berbunyi: ‘bidang
iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedang
ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk
mengusahakan dan mengumpulkannya di dunia ini’. Karena
bua pemikiran ini mendukung gagasan sekularisme yang
merupakan akar perkembangan keilmuan modern. Pendapat
tersebut memuluskan jalan dan menguatkan imperialisme
epistemologis—meminjam istilah Syamsul Arifin dan
Tobrani—yakni semakin kuatnya dominasi sains Barat yang
sekuler. Prinsip bebas nilai dalam pemanfaatan sains
dipandang sangat bertentangan dengan Islam dan berandil
kuat memundurkan peradaban Islam dan kemajuan
peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Ali Syari’ati
prinsip ini berdiri di atas lantasan yang agak zalim: ‘sains
untuk sains, senin untuk seni, ilmu untuk ilmu adalah reduksi
makna ilmu pengetahuan yang seharusnya menerangkan
fungsi transformatif untuk kemaslahatan dan keselamatan
umat manusia’. 511
511
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 82.
844
mempertahankan kekuasaan yang tak jarang menikam saudara
sendiri, kaderisasi yang berorientasi koneksi dan
merepresentasikan realitas palsu dalam membentuk kader
penurut, fatsun abangan yang keterlaluan sampai mencemari
independensi himpunan. Dengan meradikalkan ajaran Islam,
rasa-rasanya HMI akan mampu mendobrak kebuntuan.
Tujuan pendobrakan yang dilakukan ialah demi mewujudkan:
persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan
(equality), dan keadilan sosial (sosial justice).
512
Gagasan liberal Adam Smith tertuang dalam kebebasan ilmiah yang
merupakan dasar ideologi liberal, “Setiap orang selama ia tidak melanggar
hokum keadilan, dibiarkan bebas sepenuh-penuhnya untuk mengejar
845
kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum
pasar atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi
karena kompetisi dan kekuatan individualisme dalam
menciptakan keteraturan ekonomi tak peduli memerosotkan
kemanusiaan. Memancang Islam sebagai ideologi
pembebasan; berarti berkomitmen untuk memerangi hal-hal
yang memekarkan ketidakadilan dan ketidakmanusiawian.
846
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela
orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak
yang berkata, ‘Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari kota ini
yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan
dan pertolongan dari-Mu.” (QS 4:75) Dari inilah kita dapat
melihat bagaimana Al-Qur’an mengungkapkan sebuah teori
yang disebut Asghar Ali Engineer dengan ‘kekerasan yang
membebaskan’ (liberative violence).
513
Allah dalam firman-Nya, tidak menyukai kata-kata kasar kecuali oleh
orang-orang yang teraniaya: “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang
diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang-orang yang dizalimi…,”
(QS 4:148).
514
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan
pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi
pakaian taqwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagaian tanda-tanda
kekuasaan Alllah, mudah-mudahan mereka ingat. Wahai anak cucu Adam!
Janganlah dampai kamu tertipu oleh setan sebagaiman halnya dia (setan)
telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan
847
Ketaqwaan itu bukan sikap keterterimaan atas keadaan.
Melainkan kesediaan berjuang dan bersabar dalam upaya-
upaya menggapai perubahan. Jika kita menilik sejarah
perkembangan Islam akan tampak tugas yang dibebankan
pada beberapa nabi memiliki kesamaan. Para nabi bekerja
untuk melawan segala bentuk kesewenang-wenangan dan
penindasan penguasa yang membawa sifat-sifat kesetanan.
Mereka muncul mengenalkan kepada masyarakat nilai-nilai
keadilan yang terus ditelikung oleh kepentingan penguasa.
Bersama nabi-nabi yang bergerilya dalam kehidupan
masyarakat; umat dikenalkan pada konsep kesetaraan,
penghormatan kepada kaum yang tidak mampu, dan kasih
sayang bagi sesama manusia dan alam. Nilai-nilai mulia itu
takkan mungkin terwujud jika rakyat masih dilanda gulita
kebodohan dan ketertinggalan. Karenanya Islam yang dibawa
nabi dijadikan sebagai ideologi pembebasan. Ali Syari’ati
pernah berucap, bahwa para tokoh ideolog Islam bukanlah
mahkluk bijak yang berdiri di atas pandangan penindas seperti
Aristoteles dan Plato yang percaya: ‘Tuhan atau alam telah
menciptakan sebagian manusia sebagai budak dan sebagian
lagi sebagai orang bebas, agar si budak melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan biasa, agar bebas bisa mengurus masalah
yang lebih tinggi seperti moral, syair, musik dan peradaban’.
848
hidup dalam posisi yang setara.515 Meski diyakini bahwa
kualitas Nabi jauh berbeda dari manusia-manusia lainnya,
tetapi suri tauladan yang sifatnya kualitatif bisa ditauladani
oleh sosok-sosok yang bukan Nabi. Maka aktivitas harian
kader HMI ketika diperhadapkan dengan dinamika kehidupan
sosial yang kompleks; tidak boleh tidak, mestilah menjadikan
sholat516 seperti ibadahnya para nabi: sebagai senjata
sekaligus perisai yang tak hanya melatih anak cucu Adam
menutup aurat dan membangun landasan taqwa, melainkan
gerakan transformasi kehidupan masyarakat. Itulah mengapa
ibadah sudah waktunya tak sebatas ditujukan pada kedisplinan
menjalankan ritual tapi juga menyangkut proses merubah
relasi-relasi sosial yang menindas rakyat. Pelajaran untuk
kader HMI dalam melakukan semua itu bisa diperoleh dari
sikap tak berlebih-lebihan dan keinganan untuk melakukan
perbaikan yang sejak lama diberi tauladannya oleh Lafran
Pane. 517
515
Bahkan sahabat-sahabat dekat Muhammad SAW hampir semua adalah
bekas budak , di antaranya: Salman, Amar bin Yasir, Bilal, Syhayb dan
Khabab bin Al Arat. Mereka semua adalah kelas sosial yang tertindas
namun mengambil peran historis bagi kejayaan dan kemajuan Islam (Ibid,
Hlm. 2).
516
Taqwa dalam turunan sikap tidak suka membawa fitnah, tak memakan
hak orang lain, bila beruntung bersyukur, bila kena musibah sabar dan
ketika berdosa istigfar. Allah berfirman, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah
pakaianmu yang bagus pada saat (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tudak menyukai orang
yang berlebih-lebihan,” (QS Al-A’raf: 35)
517
Dalam pendekatan psikologi; kesederhanaan, ketabahan dan kesabaran
yang menjadi sifat Lafran Pane sama halnya dengan apa yang diucapkan
Rasulullah SAW: Hendaklah kamu puas dengan apa yang Allah bagikan
kepada kamu, kamu akan menjadi manusia yang kaya. Sejajar dengan pesan
ini ada juga nasehat: jika kamu berada dalam keadaan tubuh yang sehat,
keamanan terjaga dan ada makanan unuk hari ini, kamu akan menjadi
manusia yang paling kaya (HR Ibn. Majah). Tapi tentu kekuatan personal
849
Usaha mengadakan perbaikan itu berkaca pada realitas yang
tak bisa hanya diamati dan dituruti melainkan harus diubah.
Maka kebutuhan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi
dan terlibat aktif dalam peran historis tak lagi didasarkan pada
kehendak semata, melainkan dalam istilah marxis—dinamika
objektif sejarah. Melalui perantaraan krisis yang di mana
kader-kader himpunan diserang oleh modernisasi akut dan
keharusan meneladani perjuangan nabi itulah sebuah sejarah
dibangun. Mengangkat kesadaran revolusioner yang memang
secara potensial dimiliki anak cucu Adam. Secara sederhana,
setan dan pengikutnya dari kalangan manusia merupakan
unsur permanen dalam kehidupan yang membelenggu dan
menciptakan kehidupan yang semu dan korup. Dalam kondisi
inilah semangat pemberontakan yang diilhami oleh para Nabi
menjadi unsur dialektis yang dapat memecahkan belenggu
tersebut.
ini tak bisa berdiri sendiri, darinya Lafran Pane mengikutkan dengan
kehendak mengadakan perbaikan berupa turut andil berjuang
memerdekakan Indonesia dan mendirikan HMI.
850
pelanggeng kapitalisme. Islam sebagai ideologi sudah saatnya
dijadikan senjata perlawanan terhadap itu semua. Terutama
dalam melawan status-quo yang tela lama berusaha
memerosotkan kemanusiaan kita. Status-quo adalah musuh
utama ideologi Islam. Perkaderan yang hanya mengajarkan
untuk mengembangkan kualitas tapi jarang mendorong
pemberontakan terhadap ketidakadilan mesti digugat.
851
membela keyakinannya. Kini kisah Ibrahim perlu diambil
sebagai pelajaran oleh kader HMI dalam perjuangannya. 518
Dengan berani dirinya mengajarkan bagaimana menentang
kekuasaan tirani yang mereduksi ketauhidan. Kelak elan yang
berasal dari ideologi Islam ini juga telah menggerakan istrinya
sampai bolak-balik tujuh kali dari bukit Safa dan Marwa
hanya untuk mencarikan air buat dapat menyusui anaknya
Ismail. Dikatakan oleh Eko Prasetyo bahwa tindakan tersebut
bukan sekedar kisah mengenai ujian melainkan juga
bagaimana keyakinan itu memiliki akar yang kokoh. Jejak
perjuangan ini pun patut diteladani oleh Kohati dalam
mengarungi kehidupan organisasi sehingga ia mampu
meneruskan gerak juang Anniswati Rokhlan, Yulia
Mulyawati dan Nurhayati Jamaz—yang di mana Kohati
518
Eko Prasetyo mengatakan terdapat banyak tafsir yang berusaha
menggambarkan sifat ideologis Ibrahim. Rekaman Qur’an yang
mengungkap dialog Ibrahim dengan ayahnya sarat dengan hikmah. Ibrahim
meletakan basis argumentasi sesembahan pada konteks yang sederhana tapi
menusuk: sesembahan apapun itu tak boleh setara apalagi rendah. Patung
maupun berhala adalah cermin konyol jadi sesembahan. Kesimpulan ini
diperoleh Ibrahim dengan perenungan yang dalam dan benar. Maka kalau
ayahnya tetap bertahan dengan berhala itu berarti setanlah yang disembah
… Ibrahim menempuh jalan revolusioner menghancurkan barisan berhala.
Kuil-kuil yang mendominasi tata kota dengan ukuran raksasa ada yang
berukuran 210 kaki (65 meter) x 150 kaki (46 meter) hingga 275 kaki (85
meter) x 175 (54 meter). Malahan ada kuil yang bertingkat banyak hingga
mencapai ketinggian 40 kaki (12 meter) bisa dibayangkan betapa nekatnya
Ibrahim, yang menurut sejarawan usianya ketika itu 16 tahun. Konon
senjatanya kapak dan ditebanginya patung satu-persatu. Robohlah barisan
patung-patung raksasa dengan menyisahkan sebuah patung yang dipasangi
oleh kapak Ibrahim. Tindakan ironi Ibrahim mengobarkan kemarahan para
pendeta. Mereka semua langsung menuduh Ibrahim pelakunya hingga
diseret ke muka pengadilan dan dihadapkan langsung dengan Raja Namrud
(lebih lanjut lihat Eko Prasetyo, (2013), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif
Atas Kisah Dalam Qur’an, Malang: Kelompok Instrans Publishing dan
Social Movement Institute, Hlm. 29).
852
dibentuk pada 17 September 1966 bukan hanya untuk
menambah kesadaran HMI-Wati terlibat dalam barisan massa
dalam demonstrasi yang dilaksanakan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk menanggapi gejolak
peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru,519 tapi ke depan
519
Latar belakang dan ide dasar lahirnya Kohati. Pertama, Perjuangan HMI
makin meningkat sesuai gerakan perjuangan bangsa, terutama dari masa
peralihan dari Orde Lama menuju Orde Baru. Peningkatan kesadaran wanita
pada umumnya untuk aktif dalam segala aspek kehidupan makin besar …
kesadaran untuk lebih meningkatkan peranan HMI-Wati telah mendorong
terbentuknya Korps HMI-Wati (Kohati)…. Kedua, keterangan Anniswati
Rokhlan (Ketua Umum Pertama Kohati PB HMI): Banyak sekali arti yang
dapat diambil dari eksistensi Kohati dalam HMI. Semula memang maksud
didirikannya Kohati adalah pengerahan missal dalam KAP (Kesatuan Aksi
Pengganyangan) Gestapu/PKI, di mana kita ikut berpartisipasi aktif….
Ketiga, keterangan Yulia Mulyawati (Sekretaris Umum Kohati PB HMI
yang Pertama), mengungkapkan yang mendorong berdirinya Kohati adalah
karena terbentuknya berbagai Korps dalam Angkatan Bersenjata sebagai
wadah khusus wanita (baca: terdapat dorongan moral untuk berjuang
bersama kaum wanita) … Yulia juga mengungkapkan: (1) untuk
pembentukan kader-kader HMI-Wati yang dapat membawakan aspirasi
HMI yang murni di manapun berada; (2) Karena kuantitas dan kualitas
HMI-Wati yang makin meningkat dirasakan sangat penting adanya wadah
yang sifatnya semiotonom. Gagasan berdirinya Kohati adalah pada
Musyawarah Kerja Departemen Keputrian HMI Cabang Jakarta Raya, 12
Desember 1965. Sedangkan garis besar landasan kerja dan struktur
organisasi berhasil disusun pada Konferensi HMI Cabang Jakarta Raya oleh
Komisi Keputrian tanggal 17 Januari 1966 (baca: kelak Kohati secara
nasional dibentuk dan diresmikan dalam Musyawarah Nasional (Munas)
Kohati yang berlangsung di Solo tanggal 15-17 September 1966 pada
Kongres HMI ke-8, pembacaan SK-nya dilaksanakan pada pukul 10.00
WIB, 17 September 1966) …. Keempat, Nuhayati Jamaz serupa dengan
Anniswati Rokhlan, mengungkapkan bahwa situasi sosial politik sekitar
tahun 1966 menyebabkan timbulnya hasrat dan semangat dari seluruh
unsure masyarakat yang ada dalam mempersatukan kekuatan menumpas
gerakan PKI…. (Lebih lengkapnya lihat Agus Salim Sitompul, (1995),
Korps HMI-Wati dalam Sejarah 1966-1994, Jakarta: CV Misalika Galiza,
Hlm. 10-17).
853
mampu mengambil peran-peran kerakyatan yang lebih luas
lagi.
854
abu dan mengelabui suara mayoritas buruh. Parlementarisme
menurut Lenin, mendorong mundur perubahan karena tak
pernah garang dengan tatanan yang menjadi landasan
penindasan. Lenin mengikuti jejak para penghulu utusan
Tuhan, memerangi penindas jauh lebih bermartabat
ketimbang melakukan perundingan. Ibrahim mengalami
situasi yang sama ketika Luth ditawanan penindas. Ibrahim
melawan pasukan gabungan empat kerajaan bersama 318
pengikutnya sampai mereka berhasil memporak-porandakan
pasukan musuh. Kala itu Ibrahim lagi-lagi membuktikan
eksistensinya sebagai utusan Tuhan: berani, tak menyerah dan
tidak berkompromi. Baginya menyerang lebih mempunyai
kemungkinan kemenangan ketimbang mengajak Raja
Kedorlaomer untuk berunding.
855
sangat membahayakan idealismenya. Sehingga ia memilih
untuk menuju ruang keterkucilan. Maka diambilnya jalan
militan sekaligus tegas, yakni mendekapkan diri di penjara.
Qur’an melukiskan pilihan itu, Yusuf berkata, “Tuhanku,
penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan aku dari tipu
daya mereka, dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
jahil. Maka Tuhannya memperkenannya bagi Yusuf, dan Dia
menghindarkannya dari tipu daya mereka. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS
Yusuf: 34)
856
kedengkian, para pedagang yang mau cari untung, hingga istri
pejabat yang bertindak sewenang-wenang. 520
520
Lihat Eko Prasetyo, (2013), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif Atas
Kisah Dalam Qur’an, Malang: Kelompok Instrans Publishing dan Social
Movement Institute.
521
Ibid, Hlm. 54-55.
857
melibatkan diri dalam sejarah. Dasar inilah yang
dipergunakan oleh Gramsci untuk melihat kekuatan individu-
individu sebagai lapisan yang kritis dan sadar menjadi massa
pengubah gerak sejarah. Sikap inilah yang disebut Marx
sebagai ‘kesadaran kelas’ yang mendorong terlibat ke dalam
‘pertentangan kelas’ sebagai motor penggerak sejarah. Namun
pada kasus Yusuf lebih tepat jika didekati dengan apa yang
dimaksud Mutthahari sebagai ‘kesadaran alam yang gaib’ atau
‘kesadaran agamawi’. Kesadaran ini meletupkan gerakan
berdasarkan inspirasi wahyu. Penghayatan atas nilai-nilai
pembebasan dari ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk
berkonfrontasi dengan realitas duniawi. Memang tak mungkin
kebenaran bisa hidup tanpa melalui pergolakan. Abdurrahman
Jami menyebut: ‘tanpa kepahitan, hidup takkan pernah
menjadi manis’.
858
Enggineer muncul sebagai pemimpin kaum tertindas
sebagaimana dinyatakan dalam Qur’an: mengobarkan api
perlawanan untuk membebaskan Bani Israil dari penindasan
Fir’aun. “Kepada kaum yang lemah, Kami wariskan tanah
yang telah Kami berkati di Timur dan Barat. Dan
laksanakanlah janji Tuhanmu yang indah atas bani Israil
karena kesabarannya. Dan Kami hancurkan ciptaan Fir’aun
dan kaumnya serta apa yang telah dibangunnya.” (QS
7:137).522
522
Asghar Ali Enggineer, (2000), Islam dan Teologi Pembebasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 34.
859
melakukan yang terbaik untuk rakyat (atau juniornya). Sikap
dan kepercayaan naïf itu dipupuk di atas pengungkapan jasa-
jasa: dirawat, dibesarkan, diberi makan dan pengetahuan.
523
“Maka susunlah rencanamu, kemudian datanglah berbaris-baris:
pastilah orang yang menang hari ini akan beruntung. Mereka berkata: Hai
Musa! Engkaulah yang akan melempar atau kami yang melempar lebih
dulu? Ia berkata: Ya, kalianlah yang melempar lebih dulu! Tiba-tiba tali
dan tongkat terbayang kepada mereka karena hasil sihir mereka—seperti
berayap—rayap cepat. Musa merasa takut dalam hatinya,” QS 20:64-67).
Ziaul Haque menafsirkan bahwa tali-tali dan tongkat-tongkat itu bersifat
metaforis dan alegoris (Eko Prasetyo, (2013), Kitab Pembebasan Tafsir
Progresif Atas Kisah Dalam Qur’an, Malang: Kelompok Instrans
Publishing dan Social Movement Institute, Hlm. 84).
860
agama demi memperpanjang masa kuasanya. Betapa banyak
yang berwatak mirip dengan Haman. Petuahnya lahir untuk
menyokong penguasa. Fatwa dilahirkan dari pesanan
kekuasaan. Kelak Nabi Isa juga turut berjuang melawannya.
Isa telah menusuk nafsu kekuasaan yang berdampingan
dengan watak sewenang-wenang agama. Kekuasaan pendeta
yang memonopoli segala-galanya mulai terancam. Kekuasaan
Romawi yang bengis menjarah harta rakyat khawatir dengan
sepak terjang Isa dengan para pengikutnya. Isa hadir
menyuarakan penyimpangan yang dilakukan oleh para ulama
Yahudi yang kerap kali mengkomersilkan ajaran. Berongkos
jabatan dalam agama maka dibangunlah kesadaran palsu
tentang dosa, ritual dan pembalasan. Inilah yang dimaksud
oleh Marx agama sebagai candu yang melemahkan kesadaran
kritis rakyat hingga melanggengkan status quo. Inilah yang
dimaksud Syari’ati sebagai agama budaya: menolak
perubahan. Tidak sama dengan agama sebagai ideologi. Di
mana keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawab
kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang ada. Ia
mengarahkan suatu masyarakat atau suatu bangsa untuk
mencapai tujuan-tujuan dan ideal-ideal yang mereka cita-
citakan. 524
524
Ali Syari’ati, (1993), Ideologi Kaum Intelektual, Bandung: Mizan, Hlm.
88.
861
mencerahkan kemanusiaan. Berdasarkan firman Allah, Nabi
Muhammad secara tegas mengecam saudagar-saudagar kaya
yang menimbun kekayaan, karena nafsu serakah itu mengarah
pada eksploitasi dan penindasan. Sekarang penumpukan
kekayaan ini diasosiasikan sebagai praktik kapitalisme.
Sistem inilah yang memandang manusia tak lebih dari
komoditi yang bisa diperjualbelikan. Dalam firman-Nya,
tindakan ini para kapitalis itu dicercah seumpama
‘menyalakan api di dalam hati sehingga membakar dirinya
sendiri’.525 Penumpukan harta akan melemparkan masyarakat
ke dalam api yang membara dan memecahbelahnya.
525
“Yaitu api azab Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati.
Sungguh api itu ditutup rapat atas (diri) mereka,” (QS 104:6-8).
526
Lihat QS 10: 93, QS 16:73, QS 17:70, QS 20:81, QS 23:51, QS 40:94,
QS 45:16.
527
Asghar Ali Enggineer, (2000), Islam dan Teologi Pembebasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 35.
862
Kisah tersebut mesti dijadikan pelajaran oleh kader HMI, di
mana lewat karakter masyarakat yang semacam ini tumbuhlah
Muhammad dengan keteguhan dan keberaniannya
membawakan ajaran Islam dan melawan status-quo
zamannya. Jika sekedar keyakinan akan keesaan Tuhan tanpa
amalan apapun mungkin orang Mekkah akan menerimanya.
Tapi dorongan untuk menciptakan tata sosial yang adil sangat
memberatkan. Para jutawan kapitalis terancam dengan
gagasan keadilan dan persamaan yang melekat dalam Islam.
Mereka menolak peringatan Qur’an, “Makanlah barang-
barang yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan
janganlah kamu melampaui batas karena Kami akan
menimpahkan siksa kepadamu….” (QS 7:31)
528
“…. dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus)
mereka infakan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan)…,”
(QS 2:219).
529
Pada zaman pertengahan, lembaga yang berfungsi mengelola sumbangan
secara suka rela dapat menciptakan keadilan sosio-ekonomi. Pada zaman
modern, lembaga yang sama dapat difungsikan melalui pemerintah dengan
863
menjadikan Islam sebagai ideologi yang berdasarkan
semangat pembabasan Qur’an, HMI mesti mampu menjadi
instrumen pendorong kader-kadernya mewujudkan keadilan
distributif. Bukan semata lewat jalur kekuasaan tapi
melakukan advokasi, pelatihan dan pencerdasan kaum
mustad’afin.
864
berkeadilan walau disertai dengan perbuatan dosa, daripada
dengan tirani yang alim’.
530
Akhirnya disimpulkan bahwa seseorang belumlah dikatakan memahami
ajaran Islam dan menangkap intinya, jika mengesampingkan konsep
keadilan sosio-ekonomi, persamaan jenis kelamin, ras dan kebebasan, serta
menghargai harkat dan martabat manusia (Ibid, Hlm. 39).
865
bergabung bersama mereka atas kehendak bebas
mereka sendiri. Itulah saat kemunculan agama sebagai
ideologi. 531
866
Insan Cita yang Ideologis
532
Dr. Mansoer Fakih, (2011), Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. xxi.
533
Eko Prasetyo, (2007), Jadilah Intelktual Progresif!, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 25
867
dalam perilaku sosial. Memang dikenalnya frasa ideologi
secara luas sebagai istilah di kalangan cendekiawan ilmu-ilmu
sosial dimulai sejak akhir abad ke-18 oleh Destutt Tracy.
Perkenalan ini dapat dianggap sebagai reaksi intelektual dari
golongan masyarakat atas menjalarnya fenomena
ketidakberpihakan hegemoni kultural pada tuntutan
humanisasi yang tengah menerjang kesadaran masyarakat di
zaman itu. Sejak masa tersebut kita beroleh temuan bahwa
setiap ideologi dunia yang berhasil memberi pengaruh besar
terhadap struktur masyarakat selalu digerakan oleh gerakan
yang revolusioner. Hanya tiap sistem sosial yang berlaku
dalam dimensi-dimensi kemasyarakatan akan berproses ke
arah pengkristalan nilai-nilai. Lama-lama nilai yang telah
mengeristal akan membentuk status-quo, baik secara
ekonomi-politik maupun mengambil konteks pemikiran dan
perilaku. Tetapi kemapanan tersebut justru bertentangan
dengan dinamisasi perkembangan masyarakat yang
meniscayakan proses dialektis menuju kehidupan sosio-
historis yang lebih maju.
868
menguatkan ideologi sebagai landasan gerakan’. Cita-cita
revolusi pemikiran dalam karyanya dipaparka dengan
menggeser tiga unsur filsafat: (1) epistemologi dengan metode
eksperimental-empirik (positivisme) sebagai satu-satunya
standar kebenaran, menggantikannya dengan dzikir dan pikir
(idealisme); (2) ontologi dengan aspek nyata (materialisme),
digantikan dengan ghaib dan syahadah (idealisme); dan (3)
aksiologi yang mengandung prinsip ‘bebas nilai’, diubah
menjadi ilmu yang tidak bebas nilai—mencari ridho Allah
(idealisme).
869
Manusia hanya takut pada satu kekuatan dan
bertanggung jawab di hadapan satu hakim. Manusia
hanya menghadap ke satu kiblat serta menujukan
harapan-harapan dan keinginan-keinginannya hanya
kepada satu sumber. Akibat wajarnya adalah bahwa
semua yang lain adalah salah dan tidak ada artinya—
segala ragam kecenderungan, perjuangan, ketakutan,
keinginan dan harapan manusia adalah sia-sia dan tidak
ada hasilnya. Tauhid menganugerahi manusia dengan
martabat. Tunduk kepada-Nya saja—norma tertinggi
dari segala wujud—mendorong manusia untuk
memberontak terhadap seluruh kekuatan yang ada serta
segala kendala ketakutan dan keserakahan yang
menghinakan.534
534
Ali Syari’ati, (2013), Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam dalam
Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Rausyan Fikr
Institute, Hlm. 125.
870
berbagai pendekatan dan keinginan-keinginan yang
dimanfaatkan mengubah status-quo yang membuat tidak puas.
Pada tahap ketiga inilah ideologi mulai menjalankan misinya
dengan memberikan pendukungnya pengarahan, tujuan dan
cita-cita serta rencana praktis sebagai dasar perubahan dan
kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.535
535
Ali Syari’ati, (1984), Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta: CV Rajawali,
Hlm. 195.
536
Ahmad Syafi’I Safinuddin, (2003), HMI dan Wacana Revolusi Sosial,
Jakarta: Penerbit Hijau Hitam, Hlm. 110.
871
Netralitas ilmu sebagai produk ganjil abad ke-20 yang telah
menyebabkan jenius, fisisis, psikolog, ahli statistik dan lain-
lain menjadi budak-budak sewaan dan sarjana-sarjana bayaran
dari pemodal dan penguasa yang mewakili sistem kapitalisme
maupun diktatorial di dunia. Dengan demikian ilmu telah
memisahkan hubungannya dengan ideologi dan ilmu-ilmu
terus mengutuk ideologi. Karena ideologi merupakan
ancaman potensial besar bagi kekuatan-kekuatan yang sedang
memerintah dan tatanan masyarakat kapitalis. Dalam
pengertian lain tentang ideologi yang mendorong kaum
intelektual mewujudkan perubahan, Syariati pernah
menjelaskan bahwa ia sering merupakan karakteristik suatu
kelas khusus dalam masyarakat yang disebut roushanfikr.
Intelektual macam ini merupakan orang-orang yang
berpegang teguh pada ideologi yang telah dipilih secara sadar.
Melalui ideologinya ia bukan hanya mencapai tingkat
kesadaran kelas, melainkan pula mempunyai pandangan dunia
dan kemampuan praksis yang jauh lebih berguna dibanding
ilmuwan atau filosof:
872
kehidupan mereka dalam masyarakat. Peranan yang
dimainkan berbeda dengan filosof. Seorang filosof
seperti Aristoteles tidak memiliki tipe kesadaran dan
keyakinan tersebut. Aristoteles bukanlah seorang
roushanfikr, karena ia tidak memprakarsai gerakan
sosial atau revolusi satupun dalam masyarakat, di
samping tidak pernah mencoba membangkitkan
kesadaran massa yang menderita terhadap fakta-fakta
masyarakat mereka. Plato tidak pula berbeda dari
Aristoteles, karena Plato tidak dapat mempengaruhi
persoalan-persoalan masyarakat secara menentukan,
meskipun ia berhasil membangun suatu mazhab
berpikir. Ptolemy adalah seorang ilmuwan dan dokter
dengan pengetahuan ilmiah cukup banyak, tetapi
ilmunya tidak berpengaruh sama sekali terhadap nasib
zaman dan masyarakatnya. Andai kata bangsa Yunani
mempunyai seribu orang seperti mereka, maka
kehidupan bangsa Yunani akan sama saja dengan
sebelumnya, malah mungkin akan lebih buruk, karena
intelektual-intelektual seperti itu adalah konsumen-
konsumen mulus yang hidup menggantungkan diri pada
kekuatan para petani. Yang dibutuhkan Yunani
bukanlah filosof atau ilmuwan, tetapi ideolog-ideolog
aktif untuk memperbaiki dan mengubah nasib para
budak yang malang.537
Hlm. 223-224.
873
dan penyelamat yang menghembuskan daya hidup di atas
lautan penderitaan kehidupan rakyat miskin dan tertindas. Ali
Syari’ati berkata: ‘ideologi bagaikan terompet Israfil yang
mempercepat kebangkitan mayat dari kuburan sejarah’. Bagi
banyak bangsa, ideologi berarti gerakan, revolusi, kehancuran
dan kebangkitan. Sementara yang menjadi pendorong di
belakang kejadian-kejadian besar itu adalah roushanfikr
dengan ideologi yang menuntunnya ke arah perubahan. Kaum
intelektual yang berdiri di atas pandangan ideologis selalu
mendedikasikan pengetahuan-pengetahuannya untuk
memihak kepada kaum miskin dan tertindas sepanjang
perjalanan sejarah dan masyarakat. Mereka memandang
bahwa segala bentuk ilmu-pengetahuan yang bermekaran di
atas tatanan masyarakat berkelas (perbudakan, feodalisme,
dan kapitalisme) selalu berada dalam keadaaan yang tidak
bebas nilai, karena meniscayakan adanya kecenderungan
untuk berpihak:
874
memikul tanggung jawab membangun suatu baru, yakni
masyarakat tanpa kelas dimana tidak ada penghisapan
manusia di atas manusia lainnya.538
538
Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
(PEMBEBASAN), (2021), Pengantar Materialisme Dialektika Historis,
Mataram: PEMBEBASAN Kolkot Mataram, Hlm. 2.
875
lingkaran kaderisasi dan gerakan HMI. Mereka berdiri sebagai
kader-kader intelektual salon atau kelompok-kelompok elit,
yang berkerumun di kedai-kedai kopi atau ankringan-angkiran
dan acara-acara serimonial belaka. Memang sering mereka
menggelar kegiatan intelektuil, tapi hanya memperdebatkan
hal-hal yang melangit, muluk-muluk, hingga melemparkan
isme-isme mikro terbaru yang tak dapat digunakan untuk
menghubungkan perjuangannya dengan rakyat miskin dan
tertindas. Di forum-forum perkaderan, mulut mereka berbusa
membicarakan Islam menjadi tradisi semata. Gagal mereka
Islam sebagai ideologi yang mendaratkan dirinya di atas
infrastruktur kultural massa.
876
yang cukup tangguh untuk memerintah dan memimpin
masyarakat. Jadi tugas intelektual adalah melanjutkan
kewajiban dalam membangunkan dan menerangi
masyarakat yang terjajah terutama bertanggung jawab
untuk menciptakan kesadaran kolektif guna melawan
kolonialis, sehingga bangsanya dapat mengambil sikap
tegas melawan kekuatan-kekuatan yang ingin
menjajahnya.
877
kehidupan nyata. Terutama dalam membuka jalan menuju
revolusi sosial. Karena jika sekedar berharap pada revolusi
industri atau tekhnologi—itu tak cukup buat mewujudkan
perubahan mendasar dalam gerak sejarah dan masyarakat.
Apalagi revolusi yang demikian—secara empiris—bukanlah
satu-satunya faktor dalam mendobrak kegelapan abad
pertengahan dan menciptakan zaman modern yang membawa
sinar cemerlang bagi kebangkitan ilmu, seni, industri dan
lahirnya pranata-pranata sosial-politik dan perundang-
undangan yang kini berkembang di dunia modern. Tetapi
pembaharuan539 pemikiran keagamaan dalam coraknya
sebagai akar pemikiran antroposentrislah yang meruntuhkan
semangat abad pertengahan dan mengguncangkan bangunan
lembaga kegerejaan Katolik dari dalam. 540
539
Hendaknya kaum terpelajar yang paham tentang sumber-sumber
pengambilan istilah yang secara khusus berlaku dalam sosiologi politik dan
aliran-aliran pemikiran modern, tidak menganggap bahwa istilah ishlah
(pembaharuan), sesuai kata Ali Syari’ati, dalam artian reformasi atau
evolusi sebagai lawan dari revolusi. Sebab pembaharuan di sini bertolak
dari pemikiran Syari’ati, yang menolak semua perubahan pada kulit luar
dan semua permainan kata yang kosong dalam memperbincangkan agama.
540
Orang-orang Protestanlah yang merombak kekuatan raksasa agama
Masehi yang bersifat reaktif dan negative, baik sosial maupun individu.
Menjadi kekuatan perkasa yang positif dan berorientasi ke masa depan. Kita
juga bisa melihat dampak paling jelas dan pokok dalam perubahan itu pada
peta Eropa yang digambarkan oleh Max Weber, di mana kita bisa melihat
kaitan antara kapitalisme, industry dan pertumbuhan ekonomi dengan
protestanisme. Pada kondisi di mana orang-orangProtestan merupakan
mayoritas, pasti ditemukan kemajuan industri dan materi, tetapi bila
mayoritasnya adalah penganut Katolik maka keterbelakangan dan
kemandekan material merupakan cirri yang melekat pada mereka. Korelasi
anatar kapitalisme industri dengan protestanisme merupakan hubungan
timbale-balik, sebagaimana halnya dengan Katolik dalam hubungannya
dengan keterbelakangan ekonomi, kemunduran dan kemandekan (Lihat Ali
Syari’ati, (2014), Ummah dan Imamah Kontruksi Sosiologi Pengetahuan
878
Apabila HMI ingin memajukan perspektif kader-kadernya,
maka perlu dilakukan pembaharuan pemikiran keagamaan.
Pembaharuan model ini diandaikan Syari’ati bukan sebagai
perubahan agama, tetapi tepatnya diartikan renaissance
(kebangkitan) Islam yang gerakannya terwadahkan melalui
perjuangan revolusioner: ‘melawan khurafat, kejumudan,
imperialisme, reaksioner, fanatisme buta, interes elitis, dan
melenyapkan segala sesuatu yang dilontarkan atas nama
Islam, baik berbentuk sistem kelas, diktatorisme, intrik sosial,
pencucian otak dan pemasungan kebebasan berpikir’. Maka
dalam melawan segala bentuk penindasan; membebaskan
penindas dan tertindas tidak sekedar dipahami sebagai
perlawanan terhadap hawa nafsu (kontrol diri), melainkan
juga tirani sosial: feodalisme, rasisme-seksisme, militerisme-
fasisme, kolonialisme-imperialisme, dan kapitalisme-
neoliberalisme. Sedangkan pembaruan pemikiran Islam yang
dimaksudkan untuk membebaskan agama dari kungkungan
kesewenang-wenangan intelektual dan spiritual, serta kembali
kepada sumber-sumber revolusi Islam yang asli—ialah
dengan mewujudkan kepemimpinan masyarakat
(kepeloporan) dan keadilan kelas (adil secara sosial-ekonomi).
879
tujuan-tujuan tersebut diradikalkan sedemikian rupa. Che
Guevara pernah berkata:
880
berhasil. Janji kepatuhan ini membuat semua lembaga
pendidikan menanam kepatuhan dengan membabi buta.
881
bahkan di luar apa yang menjadi konsentrasinya—‘baik
secara teotitis maupun tehknis dan sanggup bekerja secara
ilmiah: bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan
prinsip-prinsip perkembangan’. Itulah mengapa kader HMI
harusnya tidak hanya melakukan analisis wacana diskursif
untuk membaca apa yang ada di permukaan dan berdamai
dengan keadaan, namun juga melakukan analisis wacana
kritis—melihat penyebab kemunduran akademis bukan
sekedar karena kekacauan kurikulum tapi menyangkut
dominasi kapitalisme. Produk yang dihasilkan adalah
‘cultural of positivism’: ilmu yang didiseminasikan kepada
peserta didik adalah ilmu yang mengorientasikan mereka
untuk beradaptasi dengan dunia masyarakat industri dan
mengorbankan aspek critical subjectivity, yaitu kemampuan
untuk melihat dunia secara kritis.541
541
Dr. M. Agus Nuryatno, (2008), Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap
Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, Hlm.
57.
882
kemanusiaan. Namun karena pendidikan bukanlah wujud dari
penindasan tapi bertujuan membina kepribadian manusia.
Maka menuntut kader HMI sebagai insan akademis untuk
peka dan peduli. Dalam pandangan kata Freire, pendidikan
kritis-progresif mesti dilakukan dalam melawan kapitalisme
yang bercokol di lingkungan akademis. Sehingga kualitas
insan akademis tidak berhenti hanya pada berpendidikan
tinggi melainkan mendorong kesadaran ideologis yang
diarahkan untuk berkonfrontasi untuk mengenyahkan status-
quo.
883
mengutuk korupsi birokrasi kampus, dan kerja-kerja
perlawanan lain-lain.
884
mengubah dunia. Dari perspektif lokasi sosial orang-
orang malang di Bumi, menjadi jelas bahwa
pengetahuan saja, sebagaimana dikehendaki oleh
sekolah, tidak akan mengubah kehidupan. Hanya
konversi pengetahuan menjadi aksi yang dapat
mengubah kehidupan. Ini secara konkret
mendefinisikan makna praktik: gerakan dialektik antara
konversi aksi transformatif ke dalam pengetahuan dan
konversi pengetahuan ke dalam aksi transformatif. 542
542
Tim Redaksi Indopublika, (2017), Che Guevara, Paulo Freire dan
Politik Harapan, Yogyakarta: Penerbit Indopublika, Hlm. 7-8.
543
Menurut Safinuddin dalam kritik terhadap NDP ia menyoroti: (1) “Jadi
untuk memahami Ketuhanan yang Maha Esa dan ajaran-ajarannya,
manusia harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dengan terlebih dahulu
mempercayai kerasulan Muhammad….” Dalam pandangan ini, Tuhan
dikenal lewat makhluknya. Artinya, sebelum mengenal dan percaya
terhadap kebenaran Tuhan sangat bergantung pada kepercayaan terhadap
Rasul-Nya, sementara dalam saat yang sama untuk menjamin kebenaran
berita-berita dari Rasul, syarat utamanya adalah; manusia terlebih dahulu
harus percaya terhadap Tuhan … adalah suatu kerancuan bila masyarakat
mempercayai Tuhan dari pembawa risalah sementara yang menjamin
kebenaran perkataan Nabi dinisbahkan kepada Tuhan yang belum diyakini
secara mutlak … pandangan ini sangat antroposentris, sehingga lemah
sebab kerelatifan tidak mungkin menghasilkan penjelasan tentang
kemutlakan sang Maha Mutlak…; (2) “Dia senantiasa mencari kebenaran
selama perjalanan hidupnya. Kebenaran ini menyatakan diri dan dapat
885
menjadi salah satu poin keputusan Kongres HMI ke-15 di
Medan tahun 1983. Memang pernah diungkapkan Safinuddin:
‘NDP HMI membutuhkan yang namanya perubahan’.
Memandang perkembangan sosio-historis sekarang; nilai-nilai
dasar itu sudah harusnya dilakukan pembaharuan. Senada
dengan pernyataan Nurcholish Madjid bahwa ia sebagai
perumusnya sendiri memberi ruang bagi kader-kader HMI
untuk memperbaharui NDP. Itulah mengapa ajaran NDP yang
menekankan metode mengenal Islam dengan terlebih dahulu
mengenal kerasulan Muhammad SAW dapat dirubah; bisa
saja dengan pendekatan-pendekatan untuk mengenal Islam
dari Ali Syari’ati: pertama, mengenal Allah dan
membandingkannya dengan obyek-obyek penyembahan
dalam agama lain; kedua, mengenal kitab Al-Qur’an dan
membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya (atau
kitab-kitab yang dikatakan samawi); ketiga, mengenal Nabi
Muhammad saw dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh
pembaharu agung lainnya yang eksis sepanjang sejarah; dan
886
keempat, mengenal tokoh-tokoh Islam terkemuka dan
membandingkannya dengan figur-figur menonjol dari agama-
agama dan aliran-aliran pemikiran lainnya.544
544
Ali Syar’ati, (2013), Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam dalam
Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: RausyanFikr
Institute, Hlm. 54.
887
Bahkan kader HMI bisa membuat makalah atau tulisan opini
di koran dan media sosial yang menganalisis secara struktur
bau amis dunia Perguruan Tinggi. Melakukan riset terhadap
sistem birokrasi yang amburadul. Menyebarkan selebaran
yang berisi meme atau quotes ekspresif dan atraktif sebagai
bentuk propaganda kebobrokan kehidupan akademis. Lalu
kader-kader yang sering dipanggil abang membentuk adik-
adiknya menjadi pribadi-pribadi berjiwa pergerakan: aktif
memberikan tekanan-tekanan terhadap pelbagai kejanggalan.
Tentu semua ini ‘bersifat independen, terbuka, tidak isolatif,
insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi
kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang
indah-indah.’ Maka bekerja sama dengan elemen mahasiswa
lainnya merupakan keniscayaan. Sebab pergerakan butuh
persatuan dalam menggalang gerakan. Sehingga tidak boleh
ada sindrom-sindrom pemecah belah kesatuan. Apalagi
semacam politik identitas yang membuat tak bisa bertemu
dengan organisasi kemahasiswaan lainnya. Tapi ‘dengan
memiliki kemampuan akademis dan mampu melaksanakan
kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam’.
888
kekuasaan: berhadap-hadapan sebagai ‘kami’ melawan
‘mereka’. Identitas ini bukan sebatas peneguhan eksistensial
untuk menciptakan dan menunjukkan kembali ‘siapa’ gerakan
mahasiswa sebenarnya, tapi terutama untuk mendapatkan
kekuatan besar dalam menghadapi kapitalisme dan negara.
Dalam dunia gerakan, kekuatan ini bernama persatuan. Hanya
melalui persatuan maka elemen gerakan di mana-mana tidak
mudah dipukul mundur oleh kekuasaan. Baviskar
menjelaskan:
889
maju, modern dan kejam—mendorong terbentuknya sikap
anti-kolonial yang mendorong perlawanan dan perjuangan
kemanusiaan. Karenanya juga tujuan sebagai pengabdi
mengharuskan kader HMI berkalang dengan banyak persoalan
kemanusiaan: keadilan yang dicoreng, kekerasan yang ditebas
hingga kesejahteraan yang sebatas retorika mesti
dipermasalahkan. Ini semua mesti menjadi hal-hal yang
mengharuskan kader mendedikasikan perjuangannya untuk
merubah realitas demikian. Pengabdian semacam itu bukan
hanya mengurus organisasi tapi juga mampu merambah ke
spektrum keumatan, kebangsaan, dan kerakyatan tanpa tunggu
jadi alumni atau selesai wisuda.
890
dua kekuatan penting sepanjang sejarah: proletariat dan kaum
miskin. Syari’ati pernah menjelaskan:
545
Lihat NDP HMI dalam Kongres HMI di Ambon, (14-27 Februari 2018),
Hasil-Hasil Kongres XXX Himpunan Mahasiswa Islam Meneguhkan
Kebangsaan Wujudkan Indonesia Berkeadilan, Jakarta: Penerbit PB HMI.
546
Menurut ajaran Islam, filsafat sejarah adalah berdasarkan semacam
determinisme historis tertentu. Sejarah adalah aliran peristiwa yang
berkesinambungan, dan seperti halnya manusia sendiri, di dalamnya
terkandung kontradiksi dialektis, suatu pertarungan konstan antara dua
anasir yang berlawanan yang bermula sejak kejadian manusia. Pertarungan
itu berlangsung segenap tempat dan waktu, dan jumlah totalnya itulah yang
merupakan sejarah. Jadi sejarah ialah gerakan umat manusia sepanjang alur
891
perjuangan organisasi: supaya kelak kader HMI dan
alumninya tidak semata mengupayakan perubahan mulai dari
atas—membangun hubungan kooperatif, akomodatif, dan
kompromis dengan kelas-kelas penguasa di pranata-pranata
kenegaraan. Sangat keliru jika HMI mengamini perubahan
hanya bisa tercapai ketika berada di puncak kepemimpinan.
Pandangan demikian justru menderivasikan bahwa motor
penggerak sejarah adalah seorang tokoh.
waktu (Lihat Dr. Ali Syari’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas Sebuah
Kajian Sosiologi Islam, Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda, Hlm. 89).
547
Ayat terkait, “…dan melakukan thawaf sekeliling rumah manusia
(Baitullah),” (QS 22:29) dan “…kemudian tempat penyembelihannya
adfalah di sekitar Baitul ‘Atiq (Baitullah),” (QS 22:33).
892
Syari’ati menjelaskan begini: ‘kita melihat di sini bahwa kata
al-nas tidak menunjukkan sekedar kumpulan individu-
individu. Sebaliknya, kata tersebut memiliki pengertian
masyarakat. Seluruh masyarakat yang telah eksis sepanjang
sejarah, apakah mereka telah didefinisikan dalam istilah-
istilah nasional, politik ataukah ekonomi, telah terbangun
dalam sistem kontradiksi, sebuah kontradiksi yang telah eksis
di jantungnya. Dalam setiap masyarakat kelas, dua kelas yang
bermusuhan dan bertentangan telah eksis, di satu sisi: raja,
pemilik dan artistokrasi. Di sisi lain: Allah548 dan manusia
(massa-rakyat yang tertindas)’.549 Jika sepanjang sejarah umat
manusia hanya ada dua struktur—penindas dan tertindas,
setiap masa kader himpunan bertanggung jawab untuk
menentukan sikap: di mana harus berpihak dalam pertarungan
abadi antara dua kutub sayap masyarakat tersebut? Syari’ati
menulis secara provokatif:
548
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik….” (QS
64:17) jelas bahwa yang dimaksud dengan Allah adalah sesungguhnya
“manusia” karena Allah tidak membutuhkan pinjaman apapun dari kamu.
Oleh karena itu dalam urusan-urusan masyarakat, semuanya berkenaan
dengan sistem sosial, tetapi tidak dalam persoalan-persoalan sistem
keyakinan seperti kosmos, kata-kata al-nas dan Allah terdapat besama-
sama. Dengan demikian, ketika dikatakan, “kekuasaan milik Allah”,
maknanya adalah bahwa kekuasaan milik manusia, bukan milik orang-
orang yang menyatakan diri mereka sebagai wakil-wakil atau putra-putra
Tuhan, sebagai Tuhan sendiri, atau sebagai salah satu dari kerabat dekat-
Nya. (Lihat Ali Syar’ati, (2013), Sosiologi Islam Pandangan Dunia Islam
dalam Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta:
RausyanFikr Institute, Hlm. 172).
549
Ibid, Hlm. 173.
893
pertanggungjawaban manusiawinya, yang merupakan
inti proses determinisme sejarah … sebagai manusia
pribadi harus memilih apakah ia akan bergerak maju
bersama sejarah serta mempercepat langkah mantapnya
dengan kekuatan ilmu pengetahuan, atau tinggal masa
bodoh, menjadi egois dan oportunis di hadapan sejarah,
dan dilindas roda sejarah.550
550
Dr. Ali Syari’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas Sebuah Kajian
Sosiologi Islam, Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda, Hlm. 99
894
Dengan pondasinya adalah menguatkan dasar gerakan:
bersekutu dengan kekuatan-kekuatan progresif di kampus,
baik itu organisasi mahasiswa internal maupun eksternal
kampus, dosen, karyawan kantin, penjaga atau satpam kampus
bahkan sekalipun. Pasti ada di antara mereka yang masih peka
dan bisa merasakan penderitaan rakyat kecil di sekitarnya.
Sehingga HMI dan kader-kadernya mampu memercikan api
gerakan yang dimulai dari dalam lingkungan Perguruan
Tinggi. Memang langkah sebagai insane pengabdi
memerlukan metode cemerlang. Eko Prasetyo
menganjurkannya dengan tiga tahapan: menanam benih,
merawat benih dan memanen hasil. 551
551
Eko Prasetyo, (2015), Bangkitlah Gerakan Mahasiswa, Malang: Intrans
Publishing, Hlm 185-187.
895
sama-sama diubah. Kedua, merawat benih. Situasi kampus
yang terus mengawasi dalam membangkitkan kesadaran kritis
adalah tantangan paling dekat. Maka kader-kader harus
menyukai tantangan, bisa menghidupkan pengaruh dan
popular. Fase ini sangat berguna dalam menanam loyalitas
dan mempengaruhi lingkungan. Kegiatan yang dilakukan
bukan sekedar diskusi, seminar atau bedah buku melainkan
juga ‘mengkaryakan’ aktivis untuk kerja-kerja langsung di
sektor rakyat. Terutama massa miskin dan buruh. Tak hanya
membangun basis dengan melakukan advokasi,
pendampingan melainkan juga merintis riset-riset perlawanan
demi semakin menguatkan kesadaran bahwa pengetahuan itu
tersebar di tengah-tengah massa dan mengendap dalam
realitas. Ketiga, memanen hasil. Bisa diawali dengan
‘mengembangkan’ jaringan dan isu gerakan. Bukan hanya
melucuti kebijakan birokrasi kampus dan rezim melainkan
juga mendorong secara agresif gagasan politik552 alternatif.
Sebuah gagasan yang sedini mungkin memberi ‘tafsiran’ baru
atas model kekuasaan seperti apa yang cocok di masa
mendatang: sistem politik yang tidak atas harapan palsu tapi
kepentingan praktis mahasiswa, buruh dan kaum miskin
beserta seluruh rakyat tertindas. 553
552
Politik yang dimaksudkan di sini merupakan HMI yang berfungsi
sebagai political force atau sebagai mahluk zoon politicon seperti kata
Aristoteles, dan mesti dibarengi dengan moral force seorang kader HMI.
553
Menurut Bang Eko, Tesis dasar proposal itu mesti berkaca pada sejarah
pertarungan rezim dengan kekuatan progresif yang muncul di awal Orde
Baru. Kemenangan serdadu dengan bantuan modal internasional mendorong
lahirnya ‘kediktatoran borjuis’ yang bekerja dengan cara sadis. Jika gerakan
mahasiswa yang mendorong revolusi demokratis pada tahun 1998 di mana
hasilnya sejauh-jauhnya hanya kemenangan demokrasi liberal: itu semua
karena ‘ketidakmatangan’ gerakan karena mendorong agenda perubahan.
Tanpa pemimpin yang kuat, tanpa agenda yang jelas, tanpa organisasi yang
896
Keempat, insan yang bernafaskan Islam. ‘Islam yang
menjiwai dan memberi pedoman pola pikir dan pola lakunya
tanpa memakai merek Islam. Islam akan menjadi pedoman
dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai
universal Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan
menjiwai karyanya. Ajaran Islam telah berhasil membentuk
“Unity Personality” dalam dirinya. Nafas Islam telah
membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split
personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai
warga negara dan dirinya sebagai muslim’. 554 Maka untuk
mencapai tujuan ini HMI mesti tidak menghadapi negara
sebagaimana cara kerja modal. Menggantungkan peran pada
negara lazim dilakukan oleh kekuatan modal, karena keaktifan
dan kewenangan negara dalam melakukan restrukturisasi
ekonomi. Meiksins Wood (1998) menyatakan, modal
membutuhkan negara untuk membuka jalan menuju ekonomi
global, entah dengan melakukan kebijakan neo-liberal atau
dengan cara-cara lain. Wajar jika muncul kesimpulan, ‘tidak
897
ada negara yang mampu memperjuangkan kebijakan ekonomi
yang betul-betul tidak disukai oleh para pemilik modal’.555
555
Vedi R. Hadiz, (2004), Menggugat Otoritarianisme di Asia Tenggara,
Perbandingan dan Pertautan Indonesia dan Malaysia, Bogor: Kepustakaan
Populer Gramedia, Hlm. 64.
898
aparatur negara ke dalam korupsi melalui suap dan pembelian
peraturan.556
556
Lihatlah bagaimana kontroversialnya UU MD3 yang mengesankan
bahwa DPR anti kritik dan bebas berbuat menyimpang, apalagi setelah
MKD tidak hanya mengurus soal moral tapi juga berhak mengadili masalah
publik. Mereka juga dengan aturan tersebut bisa memanggil paksa setiap
orang dengan bantuan polisi. Dalam buku Eko Prseto juga, bahwa tiba-tiba
DPR menaikkan pendapatannya sendiri, di tengah musibah beruntun yang
menimpah rakyat. Kalau dulu pendapatan DPR ditambah berbagai
tunjangan, mencapai angka Rp 19,8 juta dan untuk Ketua DPR Rp 33 juta
kini mengalami kenaikan drastis:anggota Rp 38 juta dan pimpinan menjadi
Rp 65 juta (Lihat Eko Prasetyo, (2005), Assalamu’alaikum: Islam Itu
Agama Perlawanan, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 40).
899
Dalam kondisi ini pilar agama lama-lama hanya akan
mengurus pembinaan akhlak pribadi saja, bukan
membicarakan soal-soal mendesak tatanan dunia.
900
Itulah mengapa HMI harus memutuskan tali kasih sayang
yang paradoksal bagaikan opium itu: si kaya dan si miskin
diselimuti ilusi kebaikan dan kecintaan yang diikat oleh rasa
iba—yang kaya santuni orang miskin dan si miskin merasa
beruntung karena dikasihani orang kaya. Kapitalisme memang
punya kemampuan untuk memelihara kaum miskin agar tidak
marah. Banyak lembaga yang kemudian muncul dan
menyediakan jasa khusus dalam menyalurkan sedekah.
Sumbangan ini diambil dari sebagian kekayaan para jutawan
yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin,
terutama berkait pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain ikut
serta sejumlah gerakan Islam menjadi motor penggerak—
mungkin pula HMI, yang selama ini sudah terbukti cakap dan
mahir memelihara sistem sosial kapitalistik. Didekati dengan
cara demikian maka kelompok miskin tidak akan menjadi
gerakan radikal yang marah terhadap sistem produksi
eksploitatif. Tapi orang miskin menjadi kelas sosial yang
dipelihara dan dikelola dengan mahir oleh sistem agama. Para
aparat agama, khususnya kaum rohaniawan menjadi
penyangga utama yang membuat kelompok miskin menjadi
kelas sosial yang benar-benar terlindung. Jasa Islam dalam
sistem sosial tersebut adalah meredam ketegangan sosial yang
punya peluang untuk muncul. Mesin keagamaan diusahkan
tetap bergerak menampung, memelihara dan memberikan
jaminan ‘rasa aman’ bagi kaum kaya. 557
557
Ibid, Hlm. 99-100.
901
Prasetyo, Muhammad Al-Fayyadl, Asghar Ali Enggineer,
Murtadha Muthhahari, atau Haji Misbach. Pemikiran mereka
semua melihat ketidakadilan bukan lantaran takdir, tapi
permasalahan struktur dalam sebuah sistem yang menindas.
Maka perlu dilakukan usaha kecil-kecilan untuk
mengembangkan bibit perlawanan. Seperti dikatakan Scott
dalam studinya mengenai gerakan petani: ‘perlawanan itu
merupakan awal dari pengingkisan terhadap struktur
kekuasaan dan dominasi wacana yang tidak adil’. Fase untuk
menerjang kekuasaan dominan adalah dengan
melipatgandakan ruang-ruang pendidikan politik, bahkan
sampai di luar-luar kampus demi penyadaran rakyat dari
kejahatan aparatus ideologis negara yang terus menghegemoni
dan mendominasi.
902
…mereka ibarat bunga api yang dipijarkan oleh
benturan batu; mereka menyadarkan pikiran yang
tumpul, membangkitkan semangat bagi kehendak dan
gerakan pada abad yang mati; mereka memacu getar,
hidup dan darah pada orang-orang yang lembam dalam
pikiran, agama dan ritus mereka; mereka datang untuk
mengubah jalan sejarah dan kemudian mengarahkannya
menuju tujuan-tujuan lain.
903
agama, dan menjelaskan pokok-pokok peraturan antara agama
dan revolusi. Singkatnya, sebagaimana ucap Hasan Hanafi—
memaknai agama sebagai revolusi:
558
Pembaru di sini ialah merupakan para pembaru yang dalam pandangan
Ali Syari’ati adalah merupakan pencetus revolusi. Tidaklah evolutif dan
anti-revolusi.
904
sosial, dengan berbagai resiko yang dihadapi: penganiayaan,
penyiksaan, pemenjaraan dan pembunuhan.
559
Kazou Shimogaki, (2007), Antara Modernisme dan Posmodernisme:
Kiri Islam, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, Hlm. 166.
905
kekuasaan. Program ini dikerjakan bersama dengan agen-agen
atau kelompok-kelompok progresif: elemen mahasiswa,
akademisi, rohaniawan, buruh dan rakyat miskin lainnya.
Kerja kolektif dalam menyusun kerangka konseptual
diharapkan menjadi gagasan bersama dalam melakukan
konsolidasi. Pada masa gerakan mahasiswa ’98 adalah contoh
dari sebuah gagasan kolektif. Namun gagasan itu terhenti
pada modifikasi aturan dengan tetap memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi aktor-aktor politik masa lalu untuk
berkuasa. Walhasil, ide dan aksi mereka menjadi hampa:
tanpa mengandung agenda-agenda perubahan konkret dan
menyentuh langsung struktur ekonomi yang ada.
Tetapi dari kegagalan itu HMI dapat belajar dan sadar agar
kelak membangun gerakan yang tidak berorientasi pada
perebutan jabatan-jabatan formal di beragam pranata
kenegaraaan. Bahkan dari sejarah gerakan masa lalu kader-
kader himpunan harus mengambil hikmah: sudah bukan
waktunya menyibukan diri dengan pertengkaran dan
perpecahan; tapi diniscayakan membangun, menguatkan, dan
meluaskan persatuan. Maka tidaklah menguntungkan gerakan
bilamana kader himpunan sampai bernafsu pada kekuasaan,
apalagi sampai menyebabkan persaingan merebut jabatan
Ketua Umum yang memobilisir preman dan demo-demo
bayaran serta mengancam jiwa kader-kader sendiri. Keadaan
ini justru membuat gejala yang kemudian menonjol adalah
kian jauhnya agenda organisasi dari kebutuhan konkret rakyat.
Usaha melakukan aksi penyadaran yang masif tak saja
semakin sedikit mendapat dukungan, namun sudah sangat-
sangat kurang beroleh perhatian. Sebab fokus perjuangan
telah terpecah-belah; aksi-aksi kemudian jarang dipercikan,
906
gerakan kian ngawur hingga kader-kadernya kebanyakan
terbujuk untuk merubah etos gerakan: dari gerakan massa
menjadi gerakan pemikiran yang cenderung elitis. Hal ini
dipicu berkembangnya kredo pandir: ‘HMI bukan organisasi
massa tapi organisasi kader’. Padahal dalam realitasnya: HMI
merupakan organisasi yang menampung massa-mahasiswa.
Dengan diinterpretasikan secara modernis, maka organisasi
massa-mahasiswa itu diarahkan oleh kelompok-kelompok
dominan yang ada di dalamnya pada kegiatan-kegiatan
intelektual salon di ruangan semata. Situasi ini membuat
perkaderan bukan lagi tempat untuk melakukan pendidikan
dan pembentukan kader-kader militan, melainkan dijadikan
batu loncatan dalam menggapai singgasana-singgasana kuasa.
907
kita memandang dunia tidak semata dengan rasio, melainkan
ideal-ideal yang berasal dari penghayatan ideologisnya.
Gramsci pernah berpesan: ‘hanya cita-citalah yang akan
membuat optimis’.
908
Berhadapan dengan kekuasaan maka mendorong arus
konfrontasi yang terus-menerus menjadi keniscayaan. Mouffe
katakan: ‘konfrontasi adalah sengketa antara mereka yang
berpegang pada prinsip etika politik yang sama, tapi bisa jadi,
beda cara menafsirkan’. Konfrontasi tak harus dalam larutan
kebencian tapi bersandar pada etika politik: kebebasan dan
kesetaraan. Dalam tujuan kelima dari Insan Cita HMI, adalah
menuju masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT.
Hanya tidak mungkin keadilan dan kemakmuran itu dapat
terwujud selama himpunan bergerak secara melempem,
apalagi sampai berdamai (memediasikan kepentingannya)
dengan kelas penguasa. Berdamai dengan kekuasaan berarti
menanggalkan ideologi Islam sebagai ruh pergerakan. Padahal
agama—meminjam istilah Garaudy560—merupakan filsafat
aksi: ‘filsafat amal, perjuangan politik dan terus berpikir
tentang kasus-kasus masyarakat untuk memecahkan berbagai
problem yang ditimbulkan oleh kenyataan hidup’. Jika
demikian maka iman, bukanlah ‘pantulan’ dari kenyataan,
tetapi ‘proyek’ atau rencana terhadap kenyataan lain. Iman
kepada wahyu memasukkan kita ke dalam pertarungan
dengan kenyataan. Iman—sekali lagi—adalah protes internal
terhadap kenyataan dan dorongan menuju perubahan dan
560
Roger Garaudy seorang aktivis Partai Komunis yang kemudian hari
mendeklarasikan dirinya masuk Islam sembari menyatakan: datang ke Islam
bagi saya tidak berarti menyangkal Yesus atau Marx. Saya sekrang telah
menemukan titik yang selalu saya cari, yaitu titik di mana kreativitas
artistic, aksi politik, dan keimanan membentuk kesatuan sungguh-sungguh.
Sebagai penganut setia gerakan marxis Graudy mengalami kekecewaan
amat mendalam, kemudian menempatkan agama sebagai bagian dari
gerakan perubahan.
909
bukan mencari penyesuaian dengan kenyataan.561 Memagut
keimanan seperti itu maka segala bentuk berhala manusia
modern akan dihadapi dengan penentangan. Iman soalnya
mendorong manusia yang berimanan untuk selalu
memurnikan keesaan Tuhan. Melalui pengesaan Tuhan, maka
manusia selanjutnya terdorong memuliakan sesamanya bukan
dengan sikap pemujaan melainkan persamaan:
561
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 25
562
Kazou Shimogaki, (2007), Antara Modernisme dan Posmodernisme:
Kiri Islam, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, Hlm. 23.
910
melakukan hijrah dari diri tanah liatnya menuju diri
ilahiahnya:
563
Ali Syari’ati, (2013), Sosiologi islam Pandangan Dunia Islam dalam
Kajian Sosiologi untuk Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: Rausyanfikr
Institute, Hlm. 125
911
Habil564—yang dimenangkan oleh Qabil atas terbunuhnya
Habil. Setelah tiadanya Habil—yang berlangsung sampai
sekarang, adalah terus bertenggernya orang-orang seperti
Qabil di muka bumi.
564
Kedua putra Adam itu adalah manusia biasa dan wajar, tetapi mereka
saling bermusuhan. Yang seorang membunuh yang lain, maka bermulalah
sejarah kemanusiaan. Pertarungan Adam bersifat subjektif, batiniah dan
berlangsung dalam esensinya sendiri. Atau dalam umat manusia secara
keseluruhan. Tetapi pertarungan di antara keduanya bersifat objektif,
berlangsung dalam kehidupan yang lebih lahiriah. Karena kisah Habil dan
Qabil merupakan sumber filsafat sejarah kita, sebagaimana Adam
merupakan sumber filsafat kita tentang manusia. Pertarungan antara Qabil
dan Habil adalah pertarungan antara dua kubu yang saling berlawanan yang
berlangsung sepanjang sejarah dalam bentuk dialektika sejarah … Habil
lenyap dan Qabil tampil ke permukaan sejarah sampai hari ini (Lihat Ali
Syar’ati, (2001), Paradigma Kaum Tertindas, Jakarta: Islamic Center
Jakarta Al-Huda, Hlm. 90).
912
persaudaraan umat manusia. Inilah arah pasti sejarah.
Suatu revolusi universal akan berlangsung di semua
kawasan hidup manusia. Kelas tertindas akan menuntut
balas. Mewujudkan berita gembira dari Allah, “Sudah
menjadi kehendak Kami bahwa Kami akan
melimpahkan kurnia Kami atas mereka yang selama ini
menderita dan tertindas di muka bumi dan akan Kami
tetapkan mereka menjadi pemimpin dan pewaris
bumi,” (QS 28:5).
565
Masyarakat dan sejarah didasarkan pada kontradiksi dan perjuangan, dan
bahwa bertentangan dengan kepercayaan kaum idealis.
566
Namun dalam filsafat sejarahnya, menurut Syari’ati Marx telah
mencampuradukan kriteria tertentu dalam filsafat sejarahnya sehingga
klasifikasi dalam tahap perkembangan sosial menjadi kacau. ia telah
mengacaukan tiga entitas berbeda: bentuk kepemilikan, bentuk dari
913
dalam menyulut revolusi dibutuhkan kesiapan. Terutama
kader-kader pelopor dengan organisasi politik yang
berdisiplin. Mereka diberi mandat bukan hanya untuk
mengorganisir individu-massa yang cair, melainkan pula
meradikalkan mereka dalam perjuangan kelas.
914
pendek) juga syarat-syarat sosial (sesalan karena sirkulasi elit
yang terbatas, kekacauan sebagai akibat pengerahan elit yang
terlalu luas, anomi sebagai akibat mobilisasi sosial yang
terlalu kuat, konflik disebabkan oleh bangkitnya kelas sosial
yang baru) hingga syarat-syarat politik (pemerintahan yang
buruk, pemerintahan yang terpecah-pecah, pemerintahan yang
lemah, pemerintahan yang tiranis). 568
568
Zaiyardam Zubir, (2003), Radikalisme Kaum Pinggiran Studi tentang
Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan, Yogyakarta: Insist Press, Hlm.
211.
915
Terdapat dua pendekatan untuk memandang posisi negara
dalam lingkungan kapitalisme sekarang: internasional dan
global. Pada sudut pandang internasional, sistem kapitalisme
internasional telah mendominasi adanya kompetisi pada
tingkat kebijakan nasional tapi peran maupun kebijakan yang
diambil negara nasional masih sangat dibutuhkan: mulai dari
mempromosikan upah buruh murah, meluaskan pangsa pasar,
hingga menjamin kestabilan hukum guna menarik investor.
Sedangkan pendekatan global, kapitalisme global telah
berhasil mentransformasi negara-negara nasional menjadi
negara transnasional; penyebabnya adalah semakin
terdesentralisasinya rantai produksi hingga terdorong
terciptanya sel-sel produksi baru. Posisi negara dalam dua
kedua pendekatan itu sebenarnya memiliki kemiripan: sama-
sama mempunyai otonomi relatif dalam melakukan pilihan
kebijakan nasional karena harus mempertimbangkan
kepentingan kapitalisme internasional atau global. Indonesia
sendiri telah sangat jauh tenggelam dalam kedua jenis jeratan
kapitalisme itu: internasional dan global.
916
doktrin kitab suci; (b) semua perubahan sosial merupakan
hasil campur tangan Tuhan sepenuhnya; dan (c) perubahan
sosial dapat terjadi jika kehidupan masa lalu. Kedua,
kesadaran naïf: (a) realitas sosial merupakan sesuatu yang
dibentuk oleh Tuhan dan kebiasaan individu; (b) perubahan
mengandalkan tampilnya individu yang perilakunya sesuai
dengan bunyi literer teks kitab suci; (c) perubahan sosial lebih
berorientasi pada perbaikan kualitas individu. Kedua
kesadaran ini sangat berbahaya karena meneguhkan status-
quo kapitalisme dan negara. Dua-duanya harus diganti dengan
yang ketiga, kesadaran revolusioner: (a) realitas sosial adalah
sesuatu yang dipengaruhi oleh aktor sosial juga struktur
global seperti negara, modal dan senjata; (b) perubahan sosial
mengandalkan kemampuan untuk melihat struktur secara
kritis dan mendorong wahyu dalam konteks ‘inspirasi’ dan
‘spirit‘ pembebasan; (c) perubahan sosial berorientasi pada
terbentuknya gerakan sosial yang populis.569
569
Ibid, Hlm. 263-264.
917
pembebasan kaum tertindas dan perlawanan terhadap
ketidakadilan; dan (3) perjuangan revolusioner untuk
mendidik dan mengembangkan umat dan bangsa dengan
merebut kuasa politis maupun kultural yang dijalankan
melalui sejumlah tindakan praksis.570
570
Al-Qur’an, sebagaimana sebagaimana yang dinyatakan Muh. Iqbal,
adalah kitab yang mengandalkan ‘amal’ daripada gagasan. Dalam 750
ayatnya Qur’an mendorong penggunaan akal sedang 250 ayatnya
menyangkut persoalan hukum. Dalam bahasa Iqbal tindakan adalah bentuk
kontemplasi tertinggi. Basis kesadaran revolusioner selanjutnya adalah
pemahaman nilai-nilai autentik. Aotentisitas menolak segala bentuk
‘kebiasaan’ yang menjadi kelaziman, sebagaimana dilukiskan oleh
Nietszche, “…apa yang menjadi lazim pastilah bernilai rendah. Begitulah
semestinya dan lalu begitu adanya; hal-hal besar untuk orang-orang besar,
jurang-jurang memiliki kedalaman, kehalusan memiliki orang-orang
berbudi. Ringkasnya sesuatu yang langka untuk orang langka.” (Ibid, Hlm.
265).
918
Waktunya HMI Belajar
dari Organisasi Revolusioner
571
Samora Machel, (2018), Membangun Kekuatan Rakyat, Yogyakarta:
Tanah Merah, Hlm. 46-47.
919
kaderisasinya; setiap tahun minat mahasiswa baru mengikuti
perkaderannya makin menurun dan dirinya gagal melebarkan
sayap ke kampus-kampus kecil. Maklum: strategi gerakannya
masih sama dengan apa yang dilancarkan saat Orba:
mendekati dan membantu kelas penguasa. Padahal perubahan
adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakan untuk
dapat bertahan hidup di muka bumi. Tanpa adanya perubahan
maka dapat dipastikan manusia tidak akan mampu survive.
Begitu juga dengan masyarakat, bangsa, maupun organisasi:
Mereka yang tidak mau berubah tak akan mampu
mengahadapi perkembangan zaman. Benjamin Frankln
mengingatkan: ‘apabila kau berhenti berubah berarti kau
sudah selesai’.
572
L. Santoso AZ, (2017), Para Penggerak Revolusi Arus Sejarah
Pemikiran dan Mereka untuk Perubaha Dunia, Yogyakarta: Laksana, Hlm.
5.
920
orang diminta menurut kecakapannya, dan kepada tiap orang
diberikan menurut kebutuhannya’.573 Mirip dengan lukisan
Murtadha Muthahari tentang rupa masyarakat tanpa kelas
dalam Islam: ‘masyarakat tanpa pembedaan (diskriminasi),
tanpa orang melarat dan tanpa tirani: suatu masyarakat yang
adil. Ia bukan masyarakat tanpa perbedaan, karena kesamaan
itu sendiri merupakan kezaliman dan perampasan keadilan’.
573
Andi Muawiyah Ramly, (2013), Peta Pemikiran Karl Marx
(Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis), Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta, Hlm. 84.
921
tidak diikuti dengan pemutusan hubungan-hubungan
eksploitatif, dan apabila perubahan tidak dipelopori oleh kaum
proletar’. Kini sudah seharusnya HMI mulai menaruh percaya
terhadap kekuatan kelas pekerja. Hanya dengan meyakini dan
berjuang bersama merekalah himpunan dapat memajukan
perjuangannya dalam mempercepat pelenyapan kapitalisme.
922
menambal-sulam keretakan organisasi. Selama ini kader-
kader himpunan memang telah banyak menghabiskan
kekuatan-kekuatan produktifnya untuk mengurus dualisme
kepengurusan. Biasanya setiap kali dualisme PB HMI terjadi,
maka rembetan konfliknya mengalir ke segala tingkatan
kepemimpinan: Badko, Cabang, Korkom hingga Komisariat.
Konflik yang tersembul dari atas ke bawah lama-lama
menyulap organisasi ini persis kata Max Weber: ‘kelompok
individu-individu yang tidak mengenal satu sama lainnya
tetapi saling bertempur demi orang-orang yang mengenal satu
sama lainya’. Bahkan setelah pecah kepengurusan berkali-
kali, HMI masih congkak untuk mengevaluasi gerakannya
dari masa ke masa.
923
Tanpa menjadi organisasi yang mampu menjaga persatuan
tidak mungkin HMI dapat memajukan perjuangan. Agar
persatuan organisasi mampu ditegakkan, maka tidak ada cara
lain kecuali mengikat persahabatan antar-kader dengan buhul
ideologis geakan. Langkah yang perlu dilakukan adalah
membina kembali suasana persahabatan dalam bingkai
perlawanan: menghancurkan kapitalisme demi sebuah cita-
cita mewujudkan kemaslahatan umat manusia laiknya Marx
dan Engels: masyarakat tanpa kelas. Keduanya mencurahkan
waktu untuk belajar dan melakukan temuan sosial. Saat Das
Kapital I disusun dengan penuh jerih payah dan dikuatirkan
tidak sampai tamat, Engels terus memberi semangat dan
mengingatkan Marx. Namun setelah Marx meninggal dunia,
tugas Engels sebagai sahabat karib ada dua: menuntaskan
karya Marx hingga melahirkan Das Kapital II dan III, serta
meneruskan kerja perlawanan Marx. Selain dari mereka
berdua, persahabatan yang diikat dengan tali ideologi Juga
bisa diambil dari kisah sahabat nabi: Salman dan Abu Darda.
Persahabatan keduanya dilukiskan oleh Syari’ati bagaikan
jalinan anggota badan: ‘ketika tangan terluka maka mata
menangis, dan tangan mengusap air mata’.
924
yang berani memberikan hukuman melainkan diselesaikan
secara kekeluargaan. Alasannya sederhana: takut menganggu
hubungan, melukai perasaan, hingga dimusuhi oleh gerbong
yang bersangkutan. Keadaan inilah yang membuat organisasi
enggan memberi sanksi kepada anggota-anggotanya
sewalaupun berkait pencorengan idependensi himpunan.
925
disebabkan oleh perkawanan didirikan bukan secara ideologis.
Itulah mengapa dalam tubuh kepengurusan HMI Komisariat
FH Unram sendiri banyak pengurus yang berusaha
melindungi: mulai dari melarang kader menyebarkan
informasi hingga melarang-larang untuk membuat forum
diskusi berkait pelanggaran konstitusi dan independensi
HMI.574
574
Temuan ini berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa kader HMI
Komisariat FH Unram dan amatan langsung di lapangan. Pada bulan
Desember 2020 lalu, penulis juga pernah menyoal pelanggaran konstisusi
dan independensi HMI itu dalam sebuah artikel di Independent Movement
(https//:independentmovement.id/hei-kawan-himpunan-pecat-musuh-
kebenaran/).
926
kesayangan alumni’—lebih diutamakan daripada konstitusi
himpunan.
575
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan
Diskrimanasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 21.
927
Maka ketika ramai pemberitaan kader-kader HMI yang terjun
ke gelanggang birokrasi—seketika diikuti oleh keluarga
himpunan di sana-sini.
928
miskin dan tertindas. Qur’an memang menjanjikan mereka
kekuasaan di muka bumi, “Dan Kami hendak memberi
karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan
hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS 28: 5)
576
Sean M. Sheehan, (2003), Anarkisme; Perjalanan Sebuah Gerakan
Perlawanan, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, Hlm. 140.
929
Tetapi hakikat perjuangan ini tidak dengan menantang sosok
personal atau sembarangan melawan individu pejabat
despotis. Melainkan pertempuran melenyapkan sistem dan
struktur penindas yang termanifestasikan dalam kekuatan
modal dan negara. Sekitar satu setengah abad yang lalu Marx
menulis: ‘kapital hanya bisa diakumulasikan dengan jalan
penindasan [menggunakan alat-alat represi ideologi, politik,
dan hukum]’. Makanya perkembangan kapitalisme akan
selalu bergandengan dengan perlawanan terhadap eksploitasi
dan keterasingan. Barry Gills memang menemukann paradoks
dalam globalisasi ekonomi—yang bisa dilihat sebagai bentuk
kapitalisme paling kontemporer. Ia bukan hanya melemahkan
tapi juga mengaktifkan kekuatan-kekuatan perlawanan.
Seperti yang tampak dalam krisis global 1998-1999,
ketegangan politik palig penting pada era yang akan datang
adalah antara kekuatan kapitalisme global yang sedang
berusaha memperluas pergerakan modal tanpa kecuali dengan
kekuatan-kekuatan sosial perlawanan yang tengah berupaya
untuk mempertahanka dirinya dari terjangan neoliberalisme.
Di akhir 1990-an kapitalisme tampil penuh kemenangan di
atas puing-puing kebangkrutan rezim-rezim komunis yang
terjadi satu dekade lebih awal. Francis Fukuyama menjelaskan
perkembangan ini sebagai akhir dari sejarah peradaban.
Namun unjuk rasa di Seattle 1999 tidak bisa dipandang
sebelah mata. Sebaliknya, protes tersebut berhasil
membangkitkan perlawanan yang cukup luas terhadap
kapitalisme global.577 Sean M. Sheenan menegaskan bahwa
577
Eric Hiariej, (2012), Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan,
Yogyakarta: institute of International Studies Jurungan Hubungan
930
gerakan itu sebagai bentuk kebangkitan gerakan kiri baru
(sosialisme libertarian: anarkis) dalam menentang
neoliberalisme, terutama dengan mengutip pernyataan
pemberontak Zapatista:
931
hierarki. Kitalah jaringan itu, kita semua yang
melawan.”578
578
Sean M. Sheehan, Op., Cit, Hlm. 8-9.
932
perlawanan. Bertolak dari Islam sebagai ideologi yang
menginspirasi para mujahid dalam gerakan-gerakan
pembebasan, maka sekarang kader-kader himpunan mesti
belajar dari sejarah pergerakan mereka di masa silam. Soalnya
gerakan organisasi itu tak ubah dengan mobilisasi sebuah
pasukan perang. Dahulu, Perwira Mushalib ibn Khawarij—
dengan sedikit bantuan yang diterimanya dari Umar di
Madinah—dengan mengalahkan kekaisaran Sassania Persia.
Kemudian di bawah pimpinan ‘Amar ibn ‘Ash pasukan Islam
secara gemilang menaklukan Byzantium Romawi. Apa yang
menjadi kunci kemenangannya? Ali Syari’ati menjawab:
‘Timur dan Barat yang bersenjata modern bisa dirobohkan
karena pasukan muslim memiliki [persatuan] dan disiplin
tinggi.579 Dalam kisah tersebut sepatutnya dijadikan pelajaran
oleh HMI selaku organisasi pergerakan kader-kader Islam.
Apabila tidak, benarlah kata Hegel: ‘selama ini pembelajaran
kita akan sejarah adalah tidak pernah belajar dari sejarah sama
sekali’.
933
Mereka berebut ghanimah, ketimbang tujuan peperangan—
yang ditafsirkan oleh Syaikh Muhammad Husain Fadhullah
pemrakarsa gerakan Hizbullah—sebagai ‘upaya untuk
menyerang pasukan musuh sebagai bagian pembelaan’.
Menghadapi kondisi inilah mengapa kemudian Rasulullah
SAW meluruskan aqidah dan disiplin pasukan Islam. Dalam
kisah inilah Eko Prasetyo menjelaskan bahwa bersama perang
terdapat pengetahuan keorganisasian yang sangat penting bagi
setiap organisasi gerakan:
934
praktek many politic; supaya perpecahan tak kembali timbul.
Namun seperti organisasi revolusioner Afrika—FRELIMO:
pemimpin organisasi harus dipilih seorang dari anggota yang
menunjukan kualitas militansi luar biasa:
581
Samora Machel, (2018), Membangun Kekuatan Rakyat, Yogyakarta:
Tanaha Merah Press, Hlm. 34, 49.
935
peraturan yang syarat kepentingan segelintir orang. Kepada
setiap elemen gerakan, FRELIMO memberitahukan:
‘demokrasi di dalam organisasi adalah sarat penting bagi
setiap dan semua orang untuk merasa berkomitmen dan
bertanggung jawab mengenai suatu keadaan, karena muncul
dan berkembangnya situasi itu selalu berkaitan erat’. Samora
Machel juga menegaskan adanya hal-hal penting yang perlu
diperhatikan untuk menjadi organisasi revolusioner:
936
kebiasaan-kebiasaan dan kekeliruan-kekeliruan yang
korup, serta menolak untuk berubah; kedelapan,
mengorganisasi dan membimbing studi tentang
pengalaman teoritis dan praksis revolusi-revolusi lain,
sehingga bisa menarik pelajaran-pelajaran yang
berguna bagi keadaan dan mendidik militansi dengan
semangat revolusioner internasional.582
582
Ibid, Hlm. 75-76.
583
Hasan Al Banna, (2018), Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2,
Surakarta: Era Adicitra Intermedia, Hlm. 73-76.
584
“Cukuplah Allah sebagai pelindung dan cukuplah Allah sebagai
penolong,“ (An-Nisa’: 45).
937
jauh dari kebekuan dan keserbabolehan, keruwetan filsafat,
dan dari sikap berlebihan maupun menyepelekan, bersandar
pada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, juga sejarah
Salafusaleh, hati yang bersih dan akal yang jernih. Kader
Islam mengenal Islam dengan segala dimensinya: akidah dan
ibadah, negara dan bangsa, moral dan materi, dunia dan
akhirat, toleransi dan kekuatan, serta peradaban dan undang-
undang.585
585
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia
dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kalian,” (Al-Baqarah: 143).
586
“Sesungguhnya orang-orag beriman itu bersaudara,” (Al-Hujurat: 10).
938
keindahan, kecemerlangan dan kekuatan progresif Islam.
Pengiriman utusan untuk tafaquh fiddin (mendalami ilmu
agama) dan mengajarkannya kepada manusia tidak pernah
berhenti. 587 Kelima, ‘pengorbanan’. Dakwah yang dijadikan
alat perjuangan Ikhwan dilaksanakan dengan jalan yang suci.
Maka kepemilikan materil individu demi diswadayakan untuk
kepentingan organisasi. Sehingga dana-dana perjuangan
didapatkan dari kantong pribadi tiap-tiap kader.588 Keenam,
‘ikhlas’. Kader Islam yang terhimpun dalam Ikhawanul
Muslimun bukan untuk bersombong dan bermegah-megahan
melainkan secara tulus berjuang tanpa pamrih. Perjuangan
berpangkal dari keimanan, keikhlasan, kesatuan, dukugan dan
pengorbanan atas berkat rahmat dan ridha-Nya.589
587
“Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia member petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya,” (Al-An’am: 88)
588
“Sesungguhnya Allah telah membeli diri orang-orang mukmin, diri dan
harta mereka, dengan memberikan surge untuk mereka,” (At-Taubah: 111).
589
“Sebenarnya Allah-lah yang melimpahkan nikmat kepada kalian degan
menunjuki kalian kepada keimanan, jika kalian adalah orang-orang yang
benar,” (Al Hujurat: 17).
939
langsung kepada raja, perdana menteri, serta semua kepala
negara-negara Arab. Dalam pengamatan John L. Espito dan
John o. Voll, prestasi terpenting Ikhwanul Muslimun
sekaligus sumber kekuatan dan kredibilitasnya adalah sejauh
mana ia dapat menciptakan suatu tatanan alternatif dan
normatif dengan landasan agama dan pertimbangan-
pertimbangan politik, sosial dan ekonomi. Tatanan alternatif
memberikan suatu pandangan dunia ideologis yang
didasarkan atas dan dilegitimasi oleh agama serta
menawarkan sistem pelayanan sosial alternatif yang
menunjukkan relevansi dan efektifitas agama dengan realitas
dan masalah-masalah sosial. Akibatnya, Islam akan dianggap
sebagai agen perubahan yang efektif dan sekaligus sebagai
tantangan atau ancaman. 590
590
Eko Prasetyo, (2003), Islam Kiri Jalan Menuju Revolusi Sosial,
Yogyakarta: Insist Press, Hlm. 69.
940
dan akan terus-menerus terjadi sampai hari kiamat. Kedua,
‘menjauhi dominasi tokoh dan pembesar’. Tokoh dan
pembesar kerap kali berpaling dari dakwah (perjuangan)
dengan berorientasi pada tujuan dan ambisi pribadi. Ketiga,
‘menjauhi fanatisme partai dan golongan’. Partai [borjuasi]
dan golongan hanya dapat minumbulkan pertentangan dan
saling merendahkan. Keempat, ‘memperhatikan masalah
takwin (pembentukkan kepribadian) dan tadarruj (bertahap)
dalam langkahnya’. Dimulai dari: (1) Fase Ta’rif
(Pemberitahuan): penyampaian, pengenalan dan penyebaran
fikrah (ideologi) sehingga dapat terpatri dalam diri anggota
dengan segenap tingkatan sosialnya, (2) Fase Takwin
(Pembentukan): melakukan seleksi terhadap aktivis yang
sudah terekrut, mengoordinasikan, dan memobilisasi untuk
berinteraksi dengan rakyat, dan (3) Fase Tanfidz (Aksi):
merupakan tahapan pelaksanaan amal menuju produktivitas
kerja perjuangan yang optimal.
941
tujuan. Tetapi ikatan kasih sayang, kerja sama, kesucian amal
dan persaudaraan di jalan dakwah (perjuangan). Maka
hubungan kantor pusat dengan cabang-cabang Ikhwan bukan
seperti atasan dan bawahan tetapi berdasarkan kekeluargaan.
Sehingga Cabang-Cabang di pedesaan dan perkotaan tidak
melulu menunggu instruksi dari kantor pusat. Namun
berinisiatif untuk bekerja di setiap lini sosial. Untuk
kepentingan itu bermunculan organisasi-organisasi (wajiah)
yang terkait dengan setiap bidang garap.591
591
Hasan Al Banna, (2018), Risalah Pergerakan Ikwanul Muslimin 1,
Surakarta: Era Adicitra Intermedia, Hlm. 206-220.
592
Pesona gerakan ini telah berhasil menarik simpati dunia. Forum-forum
aksi internasional macam People’s Global Action dan World Social Forum
juga bercikal bakal dari pertemuan antarbenua demi kemanusiaan dan
melawan neoliberalisme yang dirintis di Wilayah Zapatista. Bila gerakan
Sandinista pada tahun 80-an hanya mampu menginspirasi kelompok music,
sosial dan kesenian, Zapatista bahkan bisa menggerakan klub sepak bola
sebesar Inter Milan untuk menyumbangkan 5.000 euro bagi desa-desa
942
Pembebasan Nasional Zapatista meski sebelumnya melakukan
pemberontakan, namun sekarang mereka bukan hadir untuk
merebut kekuasaan apalagi dengan menghalalkan kekerasan.
Melainkan mengupayakan tergapainya ruang politik yang
selama ini tidak memenuhi tuntutan dan aspirasi rakyat
miskin. Marcos nyatakan dengan tegas tentang gerakan
organisasinya:
943
sikap revolusioner dengan memposisikan diri terlibat dan
bersatu dengan rakyat tertindas. Marcos memberikan bekal
pengetahuan sempurna bagaimana mengarahkan gerakan agar
kaum miskin mampu melihat jaringan kekuasaan yang
menindas rakyat kecil. Zapatista memberikan tamparan yang
serius atas pemerintah Meksiko. Organisasi ini tidak lagi
mengharap belas kasih dari penguasa korup. Dalam kawasan
Lacandon Meksiko, mereka mendirikan ‘Junta Pemerintahan
yang Baik’. Sebuah sistem yang menolak cara pasar
membinasakan yang lemah. Mereka berpendirian bahwa
pengakuan atas martabat kemanusiaan bisa jadi jiwa
hubungan antar-anggota masyarakat. Untuk bidang
pendidikan dan kesehatan, Marcos mengatakan:
944
melebihi luasnya hutan Lacandon. Gema tulisan Marcos
hingga kini mampu menyentuh semua kalangan dan
menjangkau solidaritas yang tak terbatas. Ia menentang apa
yang menjadi sasaran perlawanan kalangan miskin di seantero
dunia: pengenyahan petani dan semua bersangkut paut dengan
pedesaan. Ketika desa ditanggalkan dan pembangunan lebih
memilih untuk memperluas kota, maka pilihan buruk ini akan
mengantarkan kemiskinan mejadi tragedi banyak warga.
EZLN lantas menjawab bukan dengan mendirikan partai
politik sebagai pilihan primitif yang miskin imajinasi. EZLN
semula memang pasukan bersenjata tetapi kemudian
melaksanakan perjuangan dengan mengembangkan basis dan
akar di masyarakat adat. Komunike-komunike yang
dikeluarkan oleh Marcos memberi sinyal dari mandat dan
tujuan akan pengakuan hak yang lebih dalam. Hak atas
keberadaan masyarakat adat dan menolak berbagai bentuk
penghambaan. Mengutp istilah Gramsci, EZLN telah
mengubah strateginya dari ‘perang manuver’ yang menentang
kekuasaan negara melalui kekuatan bersenjata menjadi
‘perang posisi’ yang menandingi kepemimpinan intelektual
dan moral dari kelas yang berkuasa di Meksiko. Seperti kredo
EZLN: ’Kita tidak sedang menghimbau untuk angkat senjata,
tapi kita ingin bernyanyi untuk mereka yang berani berteriak:
“cukup adalah cukup!’593
593
Lihat Eko Prtasetyo, (2009), Kaum Miskin Bersatulah!, Yogyakarta:
Resist Book.170-171.
945
lembaga sesungguhnya memiliki segenap sumber daya untuk
membangkitkan kekuatan rakyat. Terutama dengan
menorehkan kerja-kerja kemanusiaan dan berhenti melakukan
seminar atau program yang hanya menyasar kaum borjuis.
Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) sudah saatnya
dioptimalkan peran dan fungsinya. Waktunya lembaga ini
menghimpun pelbagai tulisan kader yang mendorong gagasan
perubahan. Kemudian didistribusikan gagasan-gagasan itu
kepada massa-rakyat sebagai tindakan penyadaran lewat
propaganda rutin. Kalian mesti mengerti: dalam
mengendorkan hegemoni kapitalisme sangat perlu
membangkitkan kesadaran perlawanan melalui artikulasi
ideologi ke dalam tulisan. Begitulah yang diperbuat kedua
anggota Sarekat Islam (SI): Haji Misbach594 dan Mas Marco
Kartodikromo595 pada zaman pergerakan, yang strukturnya
594
H. Mohammad Misbach, lahir pada 1876 di Kauman, Surakarta.
Kehidupannya didedikasikan untuk mengangkat derajat rakyat miskin dan
tertindas. Sosok aktivis ini memiliki keahlian melakukan propaganda.
Aspek propaganda Misbach terasa kental dalam tulisan-tulisannya di surat
kabar Medan Muslim dan Islam Bergerak. Di masanya, Ia bahkan
mengecam sikap lunak Muhammadiyah dan Tjokroaminoto. Namun tokoh
SI yang satu ini, karena sikap kritisnya sampai diberi stigma ‘Haji
Komunis’. Dijelaskannya korelasi Islam dan Komunisme sebagai modal
penting perjuagan untuk kemerdekaan. Semangat itulah yang kita temukan
dalam artikel-artikelnya semisal “Semprong Wasiat”, Islam dan
Aturannya”, ataupun serial tulisan “Islam dan Komunisme (lihat HM.
Misbach, (2016), Haji Misbach Sang Propagandis, Yogyakarta: Kendi,
Hlm. ix.
595
Marco Kartodikromo atau biasa dikenal Mas Marcos, lahir di Cepu,
Blora, Jawa Tengah, pada 1890, bertepatan dengan terjadinya
pemberontakan Samin. Ia adalah seorang wartawan dan aktivis pergerakan
anti-kolonial. Ia pernah menjabat Sekretaris SI di Solo. Ia merupakan anak
kelima dari Mas Karowikoro, seorang asisten wedana. Ia juga pendiri surat
kabar Doenia Bergerak (1914). Pemerintah kolonial Belanda
memenjarakannya mulai dari tahun 1915, Mei 1917, Februari 1918, lantas
diasingkan ke Digul, Papua, hingga meninggal dunia (lihat Agung Dwi
946
masih sama dengan Indonesia dewasa ini. Tak peduli
dimobardil intimidasi dan beragam tindakan kekerasan dari
pemerintah kolonial Belanda, Misbach bilang: ‘Kawan kita
banyak yang melarikan diri sebab takut, tetapi saya mesti
bekerja sampai mati untuk pergerakan’.
947
dicerahkan oleh kata-kata dan perbuatan mereka, rakyat
melihat dunia dan bergerak. 596
596
Takashi Shiraishi, (1997), Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa
1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, Hlm. 76.
948
tersembunyi. Penyebaran gagasan progresif-revolusionernya
dijalaninya pula sebagaimana sepak terjang Mas Marco:
melaksanakan perjuangan perlawanan berbekal penebaran
pemikiran provokatif pada surat kabar.
597
Pramoedya Ananta Toer, (1985), Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra,
Hlm. 63.
949
Ia menginginkan kehidupan yang damai dan rukun
antar bangsa, dan hanya kepada Tuhan yang Maha Adil
ia berharap agar menolong bangsanya yang sengsara
serta menderita ketidakailan. Dia ingin sesegara
mungkin melihat keadilan, kepandaian dan
kesejahteraan bagi bangsanya.598
598
Agung Dwi Hartanto, (2008), Karya-Karya Lengkap Mas Marco
Kartodikromo: Pikiran, Tindakan dan Perlawanan, Jakarta: Boekoe, Hlm.
84, 103.
950
…untuk memasyarakatkan pemikiran-pemikiran HMI,
media massa merupakan alat yang ampuh. Sejak 1
Agustus 1954, PB HMI menerbitkan Majalah Media
yang menjadi corong resmi organisasi dalam
menyuarakan aspirasi umat dan bangsa, juga berfungsi
sebagai penyebar kebudayaan Islam dan kebudayaan
pada umumnya, serta pembawa suara pembaharuan
yang dicetuskan HMI.599
599
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, (2008), Pemikiran HMI dan
Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: CV
Misaka Galiza, Hlm. 44.
951
Tulisan mereka dalam bentuk opini dan rilis dikirim ke media
online, setelahnya diviralkan ke grup facebook: info maba
Unram, info mahasiswa Unram, keluarga ideologi HMI
Komisariat Hukum. Judul pemberitaan juga amat menghela
emosi: Unram Naikan Ongkos Kuliah Pakai Cara
Machiavelli, Tidakkah Mahasiswa Sadar dan Lawan?; Orang
Miskin Dilarang Masuk Unram, Mikirin Unram Elang Curhat
Tentang Pejabat Kampus dan Mahasiswa Lho, Bagi Unram
Kemiskinan Adalah Kematian, Mahasiswa Miskin Mana Ya?;
Mahasiswa Unram Sudah Kaya-kaya, BEM-DPM Sentosa
dan Birokrasi Bahagia; Unram Naikan UP, Satria: Sudah
Konstitusional! Dhen: Mana Keadilan?; Parasit Pendidikan,
Unram Kesurupan Uang! Geram Rukiah WR II dan Hajatkan
Boikot Kampus.600 Selama beberapa waktu warta ini
disebarkan, akhirnya gayung bersambut: Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Unram kemudian terketuk hatinya untuk
melakukan Konsolidasi Akbar hingga meraih dukungan
seluruh elemen mahasiswa—yang diberitakan dengan judul:
Mahasiswa Unram, Mundur Ditindas Atau Bangkit Melawan
Iblis? Diam Adalah Pengkhianatan! dan BEM; Mahasiswa
Tanggalkan Kenyamanan Semu, Jika Keadilan Ditegakkan
Kebenaran Tidak Diperlukan Lagi.601
600
Kumpulan judul tulisan ini dimuat mulai dari tanggal 16-25 Juni 2019,
untuk melihatnya buka situs media online: https://patriot.id/
601
Dua tulisan ini kembali dimuat di situs media online: https://patriot.id/,
tanggal 25-26 Juni 2019.
952
dari setiap fakultas keluar membanjiri jalanan-jalanan
kampus. Mereka berbondong-bondong datang dari arah barat
dan timur mengepung rektorat Unram dengan membawa 13
tuntutan yang berpoin utama: penghapusan kebijakan uang
pangkal yang membelenggu calon mahasiswa miskin. Maka
aula rektorat menjadi lautan massa, karena telah dikepung
mahasiswa dari beragam penjuru mata angin. Para demonstran
bertahan sampai sore, karena menolak membubarkan diri
hingga birokrasi memberi respon. Singkat cerita: tuntutan-
tuntatan mahasiswa dijawab oleh Rektor Unram, beberapa di
antaranya mengabulkan penghapusan uang pangkal untuk
calon mahasiwa baru dari keluarga miskin berdasarkan syarat
tertentu.602
602
https://katada.id/soroti-kebijakan-kampus-mahasiswa-kepung-rektorat-
unram/, https://patriot.id/ingat-mahasiswa-rektor-unram-janji-penuhi-
tuntutan-ampk-hasilnya-akan-disosialisasikan/, https://katada.id//setelah-
didemo-unram-hapus-uang-pangkal-calon-mahasiswa-tidak-mampu/,
https://patriot.id/dituntut-mahasiswa-rektor-unram-kasih-13-jawaban-
gerakan-mau-diarahkan-ke-mana/
953
digencarkan. Buruh-buruh tertindas kemudian mampu
mengkonsolidasikan pergerakan menjadi masif. Memang
media bukan hanya menyebarkan informasi datar, namun
paling penting adalah mengorganisir perlawanan atas para
penindas. Maka benarlah katanya Semaoen: ‘pergerakan itu
lawan ketentraman’. Inilah mengapa ukuran pergerakan bukan
hanya pribadi yang baik, tapi kekuatan.
954
kemenangan asalkan kamoe maoe menoentoet! Ra’jat
Indonesia, sadarlah atas pendirian klas jang ada
padamoe dan pertjajalah bahwa kemenangan klasmou
itoe hanja bergantoeng atas kekoetanmoe!
603
Eko Prasetyo, (2008), Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!
‘Soekarno, Semaoen dan Moh. Natsir’, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 200-
205.
955
Dalam ajaran Islam jalan juang via media massa populer
dengan nama dakwah. HMI yang bernafaskan Islam ke depan
mesti mengoptimalkan Lapmi usaha mengkomunikasikan
gagasan-gagasan kader HMI. Dengan adanya Lapmi
seharusnya mendorong PB HMI untuk membentuk buletin,
surat kabar, ataupun media online resmi sebagai alat dakwah
serupa strategi propaganda dari organisasi Laskar Jihad—
yang berjihad di Ambon, Poso dan Maluku—lewat media
massa hingga mereka berhasil menarik dukungan massa dan
menyebarkan ajaran-ajaran Islam ke dalam bentuk gagasan
politik alternatif. Apalagi jika melihat dorongan internal
seperti pentingnya menampung pemikiran-pemikiran
progresif kader-kader HMI dan dorongan eksternal berupa
perjuangan membela kepentingan umat dan bangsa di tengah
transisi politik nasional atau perubahan konfigurasi di
panggung politik internasional, yang membuat mengarus
derasnya informasi-informasi destruktif. Tentu harus dapat
dilawan HMI dengan menebar polemik wacana yang
kemudian dapat mencetuskan aksi.
956
fatwa tentang jihad dan boikot dikumandangkan ke seluruh
dunia. Bahkan diucap Eko Prasetyo: ‘melalui media sejumlah
konsep penting dalam Islam dianalisis, dikaitkan dan
dicarikan relevansinya dengan peran dan tanggung jawab
umat’.604
604
Eko Prasetyo, (2011), Membela Agama Tuhan Potret Gerakan Islam
dalam Pusaran Konflik Global, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 248-249.
957
dipilih dari yang fasih baca Qur’an, lucu, tampan, cantik
ataupun mampu menghibur siapa saja.
958
ceramah-ceramah keagamaaan bersama MS Mintaredja di
sebuah masjid kampus Kauman Yogyakarta. Tetapi gerakan
HMI dengan LDMI-nya tidak boleh sebatas menebarkan
siraman rohani pada khalayak ramai, melainkan pula
mengarahkan pikiran mereka ke kesadaran Islam ideologis.
959
Media lagi-lagi mengambil peran penting dalam
menyebarluaskan pemahaman keagamaan yang demikian.
Ada banyak kemasan acara dan iklan yang berusaha
meyakinkan kalau model pemahaman keagamaan tersebut
sangat ideal. Dari mulai ceramah biasa hingga beberapa film
dan pengkilanan yang memperlihatkan hukuman untuk para
pendosa. Agama kemudian diringkas sebagai aktivitas yang
punya dua imbalan; pahala dan dosa. Makanya banyak
kegiatan keagamaan memiliki unsur persis sebagaimana
media: mampu menghibur dan memiliki unsur dramatik.
Apalagi tatkala ulama jadi bintang iklan; agama kemudian
mengambil peran sebagai industri gaya baru. Maka tugas
Lapmi yang paling penting, adalah melakukan counter
terhadap propaganda-propaganda keagamaan yang
menyesatkan seperti ini. LDMI juga mesti mulai menjadikan
masjid atau mushollah kampus sebagai sentral aktivitasnya.
Di sana mesti dilakukan propaganda dengan penyebaran
pamflet-pamflet berisi gagasan progresif dan agitasi-agitasi
lewat ceramah-ceramah pencerahan, yang tidak melulu
berbicara tentang akhirat melainkan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Sadarkan mereka dari ancaman kapitalisme.
Sistem modal membawa berbagai implikasi yang hebat, di
antaranya adalah hilangnya fungsi kritis agama. Peran kontrol
dan oposisi terhadap sistem sosial yang diskriminatif
digagalkan karena karena energi agama lebih diorientasikan
pada program pembentukan watak individu.
960
Fromm mengungkit kembali bagaimana pengucilan terhadap
kesadaran individu terbentuk. Karl Marx juga
menganggapnya hal itu disebabkan oleh proses produksi yang
telah membawa seseorang pada pengasingan. Nampak sekali
bagaimana lingkungan keagamaan telah lama membawa umat
dalam keterasingan: training, seminar dan pelatihan dalam
memuaskan kebutuhan rohani. Eko Prasetyo gelisah melihat
para pegawai BUMN (Badan Usaha Milik Negara) semarak
dengan training penataan hati dan emosi, tetapi tak
berpengaruh pada kinerja layanan publik. Makanya agama
kemudian mengembangkan fungsi dakwah yang dikulit
luarnya seolah sebagai dakwah itu sendiri. Lucunya: ini
dilakukan oleh salah satu kader HMI. Dia mengikuti lomba
ceramah yang diselenggarakan oleh stasiun televesi lalu
meminta dukungan kepada anggota HMI se-Indonesia. LDMI
mestinya mengkritik perilaku sia-sia tersebut. Tindakan yang
demikian mengakibatkan kerentanan dalam menjawab
problem sosial-masyarakat. Jangan sampai gerakan
keagamaan kader-kader HMI jatuh hanya karena ilusi-ilusi
simbolik.
961
Fromm—merujuk bahasa Berle dan Means—sebagai
‘mentalitas pasar’. Itulah mengapa LDMI harus menegakan
sikap resisten, karena jika dibiarkan akan menghancurkan
fokus perjuangan ideologis. Eko Prasetyo menjelaskan:
605
Eko Prasetyo, (2007), Astaghfirullah! Islam Jangan Dijual, Ypgyakarta:
Resist Book. Hlm. 10.
962
memang tidak dikarakteristikan dalam nilai guna dan nilai
tukar sebagaimana kata Marx, melainkan ditumpukan pada
tanda.
963
terselip kuis-kuis yang memberi pertanyaan tentang agama
namun dengan soal-soal tak bermutu. Akhirnya rayuan iklan
ditambah bujukan hadiah berhasil melenakan umat. Sifat
keagamaan tak lagi menerangkan melainkan menyesatkan.
Tidak ada batasan pahala dan dosa, karena semua kegiatan
ditampilkan punya peluang pahala.
606
Ibid, Hlm. 112-113.
964
Fenomena demikian merupakan tampilan cacat dari ajaran
Max Weber tentang ‘Etika Protestan’, yang menjadi biang
keladi pemacu kapitalisme. Di mana kekuatan iman dipaksa
melayani kebutuhan manusia lewat penggunaan mantra yang
tepat oleh ahli-magi, sedangkan agen-agen agama harus
‘dipuja’, atau menyembunyikan diri.607 Pemodal telah
menjelma jadi ahli-magi dan ustadz sengaja dioles untuk
senantiasa mendapatkan puja-puja. Padahal Islam
sebagaimana yang diucap oleh Mantan Ketum PB HMI
Nurcholish Madjid: ‘memiliki etos membanggakan dalam
soal kerja’. Dengan mengutip Robert Bellah; Nurcholish
percaya bahwa etos bahwa etos dalam Islam adalah
menggarap dunia yang lebih baik: industrilisasi dan
modernisasi mampu menopang religiusitas. Namun siasat
kapitalisme begitu lihai: menghalalkan segala cara untuk
meluncurkan nilai kemanusiaan demi meninggikan laba.
Maka sirkulasi kapital mendorong termistifikasikan
kehidupan manusia. Inilah yang disebut Marx dengan
fetisisme: mitos atau khayalan. Serupa jenis semangat
keagamaan—yang oleh Lafran Pane—disebut ‘ulama mistis’;
yang berusaha menggabungkan ajaran Islam dengan hal-hal
magis. Lama-kelamaan akan menyesatkan umat dan
memundurkan perkembangan kehidupan sosial-ekonomi.
Bagaimanapun kapitalisasi dakwah telah menyerupai apa
yang dinyatakan Appadurai:
607
Max Weber, (2012), Sosiologi Agama, Yogyakarta: IRCiSoD, Hlm. 34.
965
bisnis tercerabut dari akar umatnya dan mulai melintasi
batas dengan logika bisnis yang menyertainya.
966
Tugas penyadaran tersebut mesti pula dipercayakan ke
Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (Lapenmi). Di tengah
tercerabutnya kegiatan kuliah dari akar sosialnya akibat
kekuatan modal yang mengendalikan kegiatan akademis.
Maka Lapenmi mesti hadir ke tiap-tiap kampus untuk
menuangkan refleksi kritis guna menyadarkan mahasiswa atas
kondisinya yang hampir sekarat: pengetahuan yang tertanam
diorientrasikan untuk pasar tenaga kerja pada jalur sirkulasi
kapital. Di sinilah Lapenmi mesti bekerjasama dengan LDMI,
dan Lapmi untuk menarik kembali mereka yang sudah terjerat
kesesatan pengetahuan. Seminar, diskusi dan kajian progresif
adalah kuncinya. Angkatlah mengenai tema-tema derita
mahasiswa akan ongkos pendidikan yang mahal, korupsi
pejabat-pejabat kampus hingga kemelaratan rakyat di luar
tembok kampus. Buatlah les-les yang mengajarkan mahasiswa
bagaimana caranya membaca realitas dengan paradigma
materialis historis dan semangat idealis. Karena kebanyakan
pengajaran kampus telah membungkam rasa kepedualian dan
daya kritis mahasiswa. Langkah ini setidaknya akan
mendorong timbulnya pencerahan batin mahasiswa. Sejalan
dengan ungkapan penyair Maya Angelou:
967
anak-anak kaum tani dan kaum buruh yang notabenenya
miskin dan tidak berpendidikan mesti menjadi sasaran utama.
Tidak usah permasalahkan biaya apabila Lapenmi mau
mengambil tauladan dari SI, yang menarik sumbangan dari
masyarakat yang peduli. Sepak terjang Lapenmi diupayakan
mengambil tujuan Sekolah SI: pertama, memberi banyak
jalan (kepada murid) untuk mendapatkan mata pencarian di
dunia yang kapitalistis; kedua, memberi hak kepada murid
untuk mengikuti kegemaran (hobi) mereka dengan
membentuk perkumpulan-perkumpulan; dan ketiga,
mengarahkan perhatian para murid kepada kewajiban mereka
yang akan datang terhadap jutaan keluarga Pak Kromo (rakyat
kecil). 608
608
Eko Prasetyo dan Aditya Permono, (2012), Waktunya Tan Malaka
Memimpin, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 28.
968
tahunnya.609 Pada tahun 2015 Kemenristekdikti merilis sebuah
dokumen yang sangat ambisius, judulnya: ‘Menjadikan
Perguruan Tinggi Indonesia Kelas Dunia’. Indikator dalam
memberikan nilai pada sebuah kampus demi memenuhi
standar kampus dunia tidak terlepas dari aneka lembaga
kapitalis-imperialis: Quacquerelly Symonds World University
Rankings (QS)610, Times Higher Education (THE)611, dan
Shanghai Jiao Tong Rankings (SJT)612.
609
lihat https:suluhpergerakan.org/memahami-skema-liberalisasi-
perguruan-tinggi-di-indonesia/
610
QS adalah perusahaan yang berpusat di London—didirikan Nunzio
Quacquarelli pada tahun 1990—yang bergerak di bidang konsultasi
pendidikan, survey, pemeringkatan universitas, dan dikenal atas publikasi
rutinnya bernama QS World University Rankings.
611
THE adalah majalah mingguan yang berbasis di London. Tadinya THE
adalah koran yang terbit sejak 1971-2008 bernama Times Higher Education
Supplement (THES), dan berafiliasi dengan koran The Times. THE
kemudian tergabung dalam korporasi media Thompson Reuters, dan
menyusun peringkat 200 Universitas.
612
SJT adalah pemeringkatan yang dibuat oleh Universitas Shanghai Jiao
Tong yang dipublikasikan dengan nama Academic Rangking of World
(ARWU).
969
kampus.613 Saatnya Lapenmi menjadi corong penolakan
kapitalisasi pendidikan. Soalnya pemeringkatan kampus telah
menjadi sebatas modal pencitraan untuk menarik calon
mahasiswa. Mereka kemudian tak mampu keluar dari kondisi
yang dibikinnya sendiri. Malah kian hari terus berusaha
memoles diri dan membentuk citra dengan simbol-simbol
teknologi mutakhir, membuat fasilitas perkuliahan serba
mewah, mengupayakan akses transportasi terbaru,
menjalankan transaksi keuangan serupa bank, dan sebagainya.
Makanya kampus tak ubah rumah bordil yang
memberlakukan aturan: siapa yang punya uang maka dia
mendapat kepuasan. Tidak malah mengutamakan peningkatan
pada substansi pendidikan. Semakin hari makin banyak
perguruan tinggi makin terobsesi pada akreditasi dan tiap
tahun dikejar dengan gelontoran dana-dana besar meski untuk
soal sepele. Dengan terus bertambahnya peringkat suatu
kampus, maka meroket pula biaya yang dibutuhkan guna
melanggengkannya. Otomatis ongkos kuliah terus melangit
demi menopang banalitas kampus akan citra.
613
Edi Subkhan, (2016), Pendidikan Kritis, Kritik atas Praksis
Neoliberalisasi dan Standardisasi Pendidikan, Yogyakarta: Arruz Media,
247
970
(International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank)
dan WTO (World Trade Organization). Pertama, WTO
berperan mengubah konsepsi pendidikan yang tadinya
merupakan barang publik (hak semua warga negara) menjadi
barang privat berupa jasa yang diliberalisasikan. Lalu IMF
berupaya mendorong negara agar menerapkan politik
pengetatan anggaran (austerity) terutama mengurangi
pelbagai subsidi, termasuk soal pendidikan. Sedangkan Bank
Dunia melakukan pendanaan proyek-proyek bagi pemerintah
dan perguruan tinggi untuk menjalankan skema liberalisasi
seperti penerapan sistem akreditasi, UU BHP dan UU Dikti.
Kedua, Iklim persaingan sengaja diciptakan agar kampus
berlomba-lomba memperebutkan puncak peringkat kampus
terbaik, kelas dunia dan akreditasi yang tinggi. Kemudian
lembaga-lembaga swasta pemberi peringkat dan pemerintah
menetapkan indikator-indikatornya seperti jumlah riset
publikasi internasional, jumlah sitasi, banyaknya mahasiswa
asing, keaktifan dalam acara-acara internasional, dan
sebagainya. Karena semua indikator ini diukur secara
kuantitatif, maka kampus menggejot berdirinya sarana dan
prasarana penujang; dari laboratorium, perpustakaan digital,
rumah sakit universitas, hingga banyak pos satpam.
971
ke kas negara: Pemerintah Pusat. Meski mendapat kucuran
Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
(BPPTNBH), tetap saja spektrum otonomi yang diberikan
pemerintah ke perguruan tinggi juga luas. Malah bisa dengan
mudah mendirikan badan usaha tanpa perlu persetujuan dari
Menteri Keungan. Kelima, dana yang dikumpulkan kampus
diprioritaskan untuk pembangunan fisik maupun non fisik.
Pembangunan ditujukan guna menunjang indikator perolehan
peringkat, akreditasi hingga gelar. Ini untuk menggradasi
reputasi demi menarik calon mahasiswa, investor, lembaga
donor, dan lain-lain. Semakin baik citra suatu perguruan
tinggi maka akan banyak peminatnya. Birokrasi kampus
akhirnya serupa para pedagang yang menjajakan jualannya.
Makanya berlakulah hukum pasar hingga ilmu pengetahuan
meluncur dan citra-citra diobral dengan tarif yang mahal.614
614
lihat https:suluhpergerakan.org/memahami-skema-liberalisasi-
perguruan-tinggi-di-indonesia/
972
ketimbang menyoroti kenaikan biaya pendidikan. Tetapi
ketika ada mahasiswa yang protes; seketika pimpinan kampus
hadir dengan wajah fasis. Makana ada-ada saja aksi
mahasiswa ang dibungkam dengan amat keji: represifitas
satpam, sidang etik, skorsing dan drop out (DO). Permainan
kasar birokrasi bukan hanya dilakukan perguruan tinggi
negeri, melainkan juga perguruan tinggi swasta. Saat 2017,
sebanyak 22 mahasiswa Universitas Proklamasi di-DO
lantaran menuntut transaparansi anggranan yang memang
dicurigai kampus menyalahgunakannya. Di tahun ang sama
pula, kampus yang ngakunya Islam seperti Universitas Islam
Makassar (UIM) juga pimpinannya bertindak buas. Tiga
mahasiswa menggugat status rektornya yang menjabat tiga
priode, tapi dia tidak terima dan malah men-DO para
mahasiswanya. Lalu 2018, Julio Harianja dekenakan skorsing
oleh rektornya karena aktif mengorganisir mahasiwa untuk
melawan kebijakan kampus terkait mahalnya UP.
973
kampus yang memegang keculasan dengan bendera kebajikan
dikibarkan oleh rektor. Keinginannya jadi pembunuh ternyata:
membunuh karir akademik massa aksi. Makanya kemudian
para aktivis mahasiswa diancam dengan sanksi skrosing dan
DO. Seharusnya pembungkaman dan ancaman terhadap
kebebasan akademik yang sedemikian itu disoroti oleh
Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam. Jangan hanya
menyibukkan diri dengan seminar dan kuliah umum, karena
banyak persoalan pendidikan yang memanggil untuk
diadvokasi. Penggagalan pemutaran film senyap di kampus
Institut Seni Indonesia (ISI) dan Universitas Gadjah Mada
(UGM) oleh massa juga mestilah sudah menyadarkan
Lapenmi bahwa bergerak dalam ranah pendidikan adalah
penting mengawal terwujudnya kebebasan akademik.
Birokrasi kampus mesti didesak buat melindungi
mahasiswanya. Maka tugas Lapenmi tak hanya menyuntikan
semangat kenekadan mahasiswa untuk berjuang, melainkan
mengorganisir mereka untuk menuntut hak-haknya yang
selama ini menolak diberikan oleh kampus.
615
2018 lalu saya dan beberapa teman mahasiswa Unram pernah ditanyai
oleh Intel Polda NTB terkait perkembangan organisasi internal kampus
yang mereka curigai berpaham fundamentalis radikal. Ternyata LDK—bagi
mereka—dianggap benih-benih radikalisme penyebarkan paham pendirian
negara Islam. Oleh karena aparat kepolisian turun tangan ingin
menggembosi dan setiba waktunya akan menutup ruang gerak gerakan
mahasiswa yang telah distigmanya.
974
dengan tumbuh suburnya lembaga dakwah kampus (LDK),
karena dianggap menjadi underbrow ormas-ormas yang ingin
mendirikan negara Islam. Mungkin itulah sebabnya Unram
mendirikan Unit Kegiatan Mahasiswa Pembinaan Ideologi
Bangsa (UKM-PIB), yang dikira akan menjadi lembaga
penetralisir perkembangan ideologi-ideologi paham-paham
anti Pancasilais. Makanya untuk mendirikan UKM PIB
birokrasi kampus begitu alergi mengundang616 apalagi
memasukan organisasi-organisasi kemahasiswaan eksternal
kampus yang dinilainya radikal dan fundamentalis. Hal
demikian setidaknya memanggil Lapenmi untuk aktif
menyuarakan bahwa kampus tidak seperti yang
distigmakannya. Sedari awal perguruan tinggi bukan semata-
mata diberi tugas melahirkan sarjana dan untuk kuliah semata,
karena di sinilah taman pengetahuan dan gerakan. Lembaga
Pendidikan Mahasiswa Islam saatnya menanamkan kembali
keyakinan pada mahasiswa dan merajut kepercayaan birokrasi
bahwa melalui kampus mahasiswa tidak dilatih buat tertib dan
takut. Melainkan dimatangkan dengan gagasan dan polemik,
sehingga kehidupan akademik semua gagasan berhak untuk
mendapat panggung dan dipentaskan.
616
Sebelum keluar dari Unram, 2018 lalu saya sempat ke Ruangan WR III
untuk menyerahkan berkas pengajuan beasiswa tapi gagal karena terkendala
persyaratan IP yang diharuskan tiga koma. Walau begitu, di sana sudah ada
WR III dan Kasubbag Kemahasiswaan Unram. Ternyata mereka sedang
membicarakan terkait rencana pendirian UKM PIB. Akhirnya ditanyakanlah
kepada saya nama-nama organisasi mahasiswa eksternal kampus. Saya
memberitahukan hampir seluruh nama OKP yang ada di Unram, tapi
mereka menyeleksinya dan membuatkan undangan hanya untuk segelintir
OKP yang dianggap baik-baik. Sementara untuk OKP yang tidak diundang,
mungkin dianggap radikal dan fundamentalis.
975
Bilamana pemikiran-pemikiran radikal sudah tak mendapat
ruang di kampus. Sepatutnya Lapenmi menanam kecuriagaan
yang mendalam. Bisa jadi perguruan tinggi sekarang telah
sepenuhnya menjadi hamba pemodal. Mereka tak berani
mendengar dan melihat gagasan-gagasan kritis dan progresif
mahasiswanya. Karena pastinya akan mempertanyakan,
menyerang dan menggugat kampus yang terus-terusan
membebek pada WTO, IMF dan WB. Makanya satu-satunya
cara untuk membungkam mahasiswa adalah dengan
membatasi kebebasan akademik. Kini harus ada agenda besar
Lapenmi untuk menyatukan, menguatkan dan menggelorakan
ide-ide mahasiswa yang eksistensinya diteror modal.
Kemuakkan, kepedihan, penderitaan dan kemerahan yang
bergentayangan di kampus mesti diorganisir menjadi kekuatan
perlawanan terhadap hegemoni pasar bebas. Tiap kali ongkos
kuliah dinaikan dan terjadi skandal korupsi elit-elit kampus,
maka elemen-elemen mahasiswa harus mampu diajak bekerja
sama untuk menyerang kebijakan dan menekan tindakan
birokasi kampus.
976
HMI sama sekali enggan unjuk gigi dalam bergerak bersama
rakyat mengusir plesiran akbar imperialis global. Padahal para
pemodal membawa kepentingan yang sama sekali
mengabaikan hajat hidup kaum miskin. Malah mereka hanya
membahas perkara yang semata-mata meraup keuntungan dari
perekonomian rakyat: pertama, penguatan International
Monetary System (IMS); kedua, ekonomi digital; ketiga,
kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur; keempat,
penguatan ekonomi dan keuangan syariah; dan kelima, sektor
fiskal. Lima soal ini berangkat dari kerentanan ekonomi
global dan menegaskan bahwa kapitalisme telah gagal
mengatasi masalah klasik: kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan. Meskipun telah mengalami kegagalan, namun
kapitalisme tetap mampu bertahan. Intelektual Marxis Prancis
Henri Levebre mengatakan, kapitalisme bertahan karena
berhasil melakukan penciptaan perluasan ruang (production of
space). Namun pertahanannya semakin hari akan terus
menguras habis darah kaum miskin dan tertindas. Dalam
konteks inilah gagasan besar Lenin menjadi nyata, yakni pada
abad ke-20 muncul imperialisme sebagai tahap terakhir dari
perkembangan kapitalisme: terjewantah lewat penciptaan laba
yang dilakukan melalui ‘kolonisasi wilayah dengan ditopang
oleh kekuatan modal finansial’. 617
617
Lihat https://idoprogress.com/2018/10/mengapa-kita-harus-tolak-
pertemuan-tahunan-imf-wb/
977
masuk sekolah berkisar antara Rp 12,5-15 juta, untuk SMP
anatara 7,5-10 juta, dan SD sekitar Rp 1-3 juta; Tangerang
dan Jakarta kondisinya juga sama, untuk SD dan SMP dikenai
sumbangan rata-rata Rp 1-2 juta. Pihak sekolah juga tak
jarang bekerja sama dengan lembaga penerbit untuk terus-
menerus menyuapi siswa dengan buku-buku yang tidak
berkualitas dan menggandeng penjahit pakaian sekolah guna
mencekoki murid dengan seragam yang seharusnya bisa dibeli
sendiri. Tindakan yang demikian seperti memaksa dan
menguras uang siswa, sementara pihak sekolah dan pengusaha
mendapatkan untung berlebih. Jadilah sekolah resmi jadi
tempat buat menjajakan barang-barang guna meraup laba.
Parahnya kerap kali pimpinan sekolah juga malah lebih
senang mengutip laba lewat penyalahgunaan anggaran dari
pemerintah. Murid-murid miskin di SDN Inpres Tanjun Baru
merupakan korbannya. Kepala sekolah memintai uang
sejumlah Rp 75 ribu dari banyak murid penerima Bantuan
Siswa Miskin (BSM).618 Itulah sebabnya mengapa Eko
Prasetyo—melalui karyanya Orang Miskin Dilarang
Sekolah—menyatakan bahwa biaya sekolah yang mahal akan
menjadikan pendidikan biang utama dalam proses
pemiskinan:
618
https://patriot.id/heboh-guru-sekolah-beberkan-pungli-kepala-sekolah-
sdn-tanjung-baru/
978
dana bagi siswa yang tidak mampu, tetapi hal ini tidak
begitu saja menyelesaikan masalah … muncul metode
penetapan siapa yang ‘patut’ mendapat bantuan dan
bagaimana mekanisme penyaluran bantuan. Di sini
masuklah masalah…, yakni transparansi dan
akuntabilitas penyaluran dana…. (Kedua), adalah
kegiatan siswa menjelang akhir sekolah, di antaranya
wisata dan tambahan les pelajaran. Saya pernah
mengalami, bagaimana sekolah—tempat adik
kandung—meminta ongkos Rp 450-500 ribu untuk
kegiatan yang kadang berbuah kecelakaan. Dengan
alasan mengunjungi tempat-tempat bersejarah,
Orangtua harus dibebani biaya transportasi hingga
member uang saku. Belum lagi ongkos untuk wisuda
yang kini menjadi ritual pada setiap jenjang lembaga
pendidikan. Hal yang mengejutkan, terdapat sekolah
yang merayakan kelulusan siswanya di hotel
berbintang.619
619
Eko Prasetyo, (2004), Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 21-22.
979
Bupati Bima maka dia mengusulkan agar guru yang
mengkritiknya—soal keterbukaan penggunaan duit—
dipindahkan ke sekolah lain. 620 Makanya sekolah sekolah di
Bima tak hanya dijadikan tempat menimbah ilmu, melainkan
juga ladang politik. Soalnya banyak Pegawai Negeri Sipil
(PNS) menempati jabatan strategis bukan karena kompetensi
yang dimiliki, tapi melulu soal kedekatannya dengan
penguasa. Biasanya mereka adalah piaraan Bupati yang
sebelumnya telah banyak membantu dan menyukseskan
tuannya dalam kampanye-kampanye Pilkada.
620
https://patriot.id/pemimpin -smpn-2-bolo-mati-penguasa-kembali-akan-
bunuh-guru-dan-siswa-lawan/
621
Eko Prasetyo, (2004), Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 21-22.
980
kurangnya perhatian pemerintah atas upahnya yang rendah
dan kondisi keluarganya diselimuti kemiskinan. 622
622
https://m.detik.com/news/berita/d-4624684/tinggal-di-wc-sd-guru-
honorer-di-pandeglang-bergaji-rp-350-ribubulan?
981
dilakukan gubernur dengan pemodal-pemodal internasional.
Meski program yang dilaksanakan terkesan anggun, namun di
belakangnya terselip kepentingan pebisnis. Dikuliahkannya
mereka hanya untuk mengikat persahabatan dengan para
kapitalis. Orientasi pendidikan pada pasar inilah yang
mengekalkan kemelaratan orang miskin. Aktor negara
kemudian menjadi tertuding pertama dan utama karena
membiarkan pendidikan yang katanya Bung Karno ‘jembatan
emas untuk meraih kemerdekaan’ jatuh ke tangan pasar. Maka
dari itu sangat perlu Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam
membangun jaringan dengan mahasiswa juga bersama para
siswa dan guru. Hubungan disemai untuk menggelorakan
kembali perlawanan dari dalam kampus-kampus dan sekolah-
sekolah guna menerjang keluar sampai ke telinga para
pengambil kebijakan.
982
Supaya bisa ditembakan para mahasiswa, siswa dan guru
melalui pergerakan yang dimobilisasi dan dipersenjatai
langsung oleh Lapenmi. Gerakan sosial yang dilakukan bukan
sekedar berorientasi pada tuntutan kesejahteraan semata,
melainkan juga desakan untuk kembali membumikan
pembelajaran kritis. Suasana belajar yang membuat pendidik
dan peserta didik sama-sama berangkat dari kenyataan
keseharian, khususnya meresapi gelora ketertindasan akibat
pembangunan ang mengabaikan nilai kemanusiaan.
983
kemudian dilucuti peran kontrolnya guna diambil-alih oleh
swasta. Karena mereka dibuat tidak beres melayani
kepentingan publik; di situ ada korupsi yang mewabah dalam
semua lini. Kertidakbecusan tata kelola negara membuat
pemerintah tidak dipercaya, sehingga pengelolaan diserahkan
pada swasta agar lebih transparan dan
dipertanggungjawabkan; ketiga, menempatkan negara sebagai
penjamin bagi kelangsungan pasar. Terobosan ini bermula
dari mencopot semua layanan publik dari pengawasan dan
kendali negara, namun lama-kelamaan mendorong pemerintah
melakukan kapitalisasi terhadap semua bentuk pelayanan
publik; keempat, mendorong semangat wirausahawan serta
memberi jaminan maupun perlindungan hukum bagi setiap
inovasi yang dilakukan oleh individu, inilah yang popular
dengan hak kekayaan intelektual. 623
623
Lihat Eko Prasetyo, (2004), Orang Miskin Dilarang Sekolah,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 31-33.
984
menjadi kerja-kerja organisasi yang sama sekali tak mampu
menikam tepat ke jantung kekuatan ekonomi liberal?
Ingatlah! Tidak semua rakyat memiliki daya upaya untuk
berwirausaha. Tak mungkin kaum buruh, kaum tani, penarik
becak, pengamen jalanan bisa dengan muda jadi pengusaha.
Bahkan selama ini usaha-usaha pedagang kaki lima (PKL)
sekalipun berkali-kali jatuh-bangun dalam kebijakan yang
sepenuhnya dikendalikan pasar. Neoliberalisme memiliki
kekuatan dan kedigdayaan lantaran ditopang pemerintah
dengan bermodal aturan yang sangat mengikat. Aturan-aturan
ini membuat gaji buruh rendah. Berjuta-juta lahan pertanian
diserobot pelbagai perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Tarif bahan bakar minyak, listrik dan air dinaikan, kemudian
diikuti naiknya harga sembako dan ongkos angkutan umum.
Namun pemerintah menutup telinga dan bermuka tebal untuk
disalahkan. Malah mereka atas nama kebersihan dan
keindahan kota, maka pemukiman warga digusur dan rakyat
miskin kota ditertibkan.
985
dipaksa melibatkan sektor perusahaan multi-nasional.
Walaupun diikuti oleh pemain lokal tapi ada standar
internasional yang akan mengikat peserta tender; yang dengan
aturannya maka perusahaan manca-negara selalu keluar jadi
pemenang. Ini terjewantah saat perusahaan-perusahaan asing
campur tangan ketika pemerintah mengalokasikan anggaran
fantastis dalam pembangunan infrastruktur. Lagi-lagi karena
aturan sedari awal ditentukan lembaga perdagangan
internasional, maka banyak sektor kehidupan selalu
melibatkan modal asing. Melalui aturan WTO pasar domestik
dibuka lebar. Indonesia lantas meliberalisasi seabrek sektor
jasa yang vital bagi rakyat: energi, pendidikan, hukum,
kesehatan, dan sebagainya.
986
industri perusak lingkungan. Karena itulah dukungan kepada
beberapa perusahaan yang mengembangkan tambang minyak
menjadi komitmen besar di lingkungan WB. Argumentasi
Bank Dunia biasanya: mendukung investasi di sektor swasta
dalam bidang yang ‘padat modal’ akan membuat pemerintah
dapat mengalokasikan anggaran untuk pelayanan publik.
Sementara banyak pemerintahan yang sektor swastanya
mendapatkan bantuan WB tambah memotong anggaran publik
dan bahkan pinjaman dananya sengaja tidak dikontrol
sehingga mudah dikorupsi.
987
sangat buas karena pembeli dan penjual berjalan dengan
informasi yang tak seimbang. Kekuatan yang dimiliki penjual
dan pembeli ibaratkan hubungan majikan dengan budak.
Gelagat yang tak seimbang diawali oleh sebuah keyakinan
ortodoks: percaya bahwa perdagangan bebas akan
memberikan keuntungan besar.
988
antara 1983-1999, sedangkan jumlah orang yang dipekerjakan
hanya meningkat sebesar 14,4 persen. 624
624
Eko Prasetyo, (2005), Orang Miskin Tanpa Subsidi, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 105-106.
989
pemangku kepentingan publik tetap saja bermuka tebal—
sebagaimana atas alasan legalitas; PKL dengan riang
dibubarkan dan diberi sanksi begitu rupa.
990
melainkan malah terus-menerus memeras kekayaan alam dan
memiskinkan rakyat kebanyakan.
991
sebanyak 41 orang anggota DPRD Malang dengan tanpa malu
memakan uang pengelolaan sampah rakyatnya.625 Memang di
negeri ini wakil rakyat sering menikam orang-orang kecil
yang diwkilinya. 2015 saja, Pos Bantuan Hukum untuk rakyat
miskin di Aceh malah digunakan membiayai pengacara untuk
membela Gubernur Abdullah Putteh dan rekan-rekan
pejabatnya dari kasus korupsi. Kejadian ini begitu fenomenal:
Indonesia menorehkan sejarah tentang maling uang rakyat
yang proses hukumnya dibiayai negara sendiri. Sudah
ketahuan mencuri malah tak tau diri: semakin menambah
barang curian. Perilaku ini sebenarnya bukan muncul di ruang
hampa karena sistem telah banyak membentuk pejabat—
meminjam istilah Semaoen—menjadi ‘setan uang’. Di kantor-
kantor parlemen para wakil rakyat adalah sosok yang setiap
kegiatannya selalu dibelit duit. Kunjungan yang menjadi
kewajiban pekerjaannya harus disediakan ongkos banyak.
Begitu pula tunjangannya yang seharusnya memakai uang
sendiri justru diongkosi rakyat; untuk beli rumah, mobil,
kesehatan, jalan-jalan hingga purna tugas. Bahkan sampai
ketika BBM naik gaji merekalah yang lebih duluan
menyesuaikan diri dengan kenaikan harga.
625
https://regional.kompas.com/kasus-korupsi-massal-di-dprd-kota-malang-
ini-sejumlah-faktanya/
992
semakin menyadari bahwa sejatinya kemiskinan mereka
bukan sekedar persoalan kemalasan, melainkan persoalan
struktur yang memang menempatkan di posisi inferior
menunggu kematian. Jika saja HMI mau menganalisis sumber
penderitaan rakyat secara mendalam; sudah seharusnya
pekerjaan LEMI jangan lagi mendirikan seminar, workshop
dan acara-acara wirausaha sana-sini. Soalnya itu semua tak
bisa dijadikan sebagai kerja perlawanan terhadap kemiskinan
rakyat di tengah belitan sistem yang keji ini.
993
selain mengendalikan kebijakan pemerintah juga ikut
membentuk habitus ‘konsumsi’. Pemborosan yang tak saja
melahirkan tikus-tikus berdasi, tapi juga memunculkan orang-
orang yang mudah sekali mengikuti rayuan-rayuan iklan
besutan para pemodal. Keinginan-keinginan mengecap barang
mewah dan memperoleh kesenangan telah mengalahkan
kebutuhan hidup normal. Itulah sebabnya si kaya amat
gersang solidaritas terhadap si miskin. Bahkan tingkah laku
pemilik kekayaan sengaja tampil aneh untuk melecehkan dan
membedakan diri dengan kaum-kaum kecil. Eko Prasetyo
dalam Orang Kaya di Negeri Miskin—melalui sejumlah
data—meneriakan dengan tegas bagaimana gaya hidup orang
kaya penuh gairah, ingin membeli dan menikmati apa saja
secara vulgar. Mereka tak segan-segan menggunakan hartanya
dengan begitu boros. Seekor burung perkutut rela dibeli meski
varian harganya mulai dari Rp 5 juta-3,5 miliar. Uang yang
dikeluarkan guna melampiaskan hobi memelihara dan
mendengar suara perkutut seharusnya bisa digunakan untuk
kebutuhan hidup ribuan rumah tangga miskin. Namun
fenomena ini mewartakan bahwa melampiaskan kesenangan
bersama binatang lebih berharga ketimbang menolong
manusia yang jauh lebih membutuhkan.
994
ketinggalan, para pengguna motor gede pun ikut menonjolkan
kekayaannya. Motor berkekuatan minimum 500 cc berharga
amat mahal: Rp 100-400 juta. Aksesoris dalam
mengendarainya dibutuhkan uang mulai Rp 400 ribu-4 juta.
Belum lagi biaya perawatannya selangit. Ini uang tentu bagi
yang miskin bisa dipakai untuk biaya sekolah dari SD hingga
SMA. Dipacu status simbolik maka sebuah kegiatan yang
mengeluarkan banyak uang membuat orang jadi lebih percaya
diri sekaligus abai terhadap kemiskinan orang-orang di
sekitarnya. Bahkan dengan mengkonsumsi mereka mencoba
memasang tapal batas dengan kelas lainnya. Inilah yang
mendorong banyak orang kaya bertingkah gila: membeli
banyak pistol plus peluru dan ijinnya yang per paket senilai
puluhan juta dengan motif menjaga hartanya dan dijadikan
ajang gaya-gayaan; mengikuti permaianan airsoft gun biar
dianggap keren dan mirip tentara, yang menghabiskan uang
Rp 35 juta; menggunakan penyekat ruang ‘gebyok’ senilai Rp
3,5-85 juta biar dianggap ningrat; memburu sepeda luar negeri
yang harganya dari Rp 15-50-an juta; berburu fashion
keluaran terbaru dengan merogoh kocek Rp 3-5 juta; nonton,
piknik dan makan di restoran dengan anggaran Rp 1-2 juta;
merawat tubuh tak tanggung keluarkan uang Rp 1,2 juta,
hingga creambath dan manicure-pedicure yang menghabiskan
biaya Rp 1 juta tiap dua kali seminggu; dan bahkan tiap tahun
orang-orang kaya mendepak uangnya secara mudah hanya
untuk gonta-ganti mobil yang senilai ratusan hingga miliaran
rupiah.626
626
Lihat Eko Prasetyo, (2005), Orang Kaya di Negeri Miskin, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 73-88.
995
Gaya hidup orang-orang kaya tentu menimbulkan decak
kagum bahkan sampai memaksa kaum melarat mengeluarkan
air liur kaum. Dari segi jumlah kekayaan mereka tidak
seberapa, tapi jika dihitung simpanannya tentu sangat berarti.
Sebagian kalangan menyebutkan ada sekitar Rp 300 triliunan
data Perbankan bersumber dari 500 ribu orang kaya.627 Di
antara mereka ada yang dari kalangan militer sekaligus politisi
dan pengusaha. Pernah KPK melaporkan kekayaan para calon
presiden: Jusuf Kalla (alumni HMI) dengan kekayaan
mencapai Rp 122,6 miliar dan USD 14.928; Megawati
mencapai Rp 59,8 miliar; Wiranto Rp 46,2 miliar; SBY
berdiri di atas Rp 4,6 triliun; dan Aburizal Bakrie total
hartanya Rp 1,1 triliun. Sedangkan yang sangat fantastis
jumlah kekayaannya ada pada 10 orang kaya lainnya yang
dirilis media BBC pada 2018. Daftar nama mereka dan
sumbernya meliputi. Pertama, R Budi dan Michel Hartono
dengan kekayaan mencapai Rp 508 triliun. Sekitar 70%
kekayaan mereka berasal dari Bank Central Asia. Keluarga ini
juga memiliki perusahaan rokok Djarum, perusahaan
elektronik Polytron, dan real estate. Kedua, Susilo
Wonowidjojo yang hartanya sejumlah Rp 508 triliun. Dia
adalah pemilik saham Gudang Garam: perusahaan yang
memproduksi rokok sekitar 20 miliar batang setiap tahun.
orang ini pula merauk keuntungan besar lewat investasi
kelapa sawit melalui Makin Group.
627
Ibid, Hlm. 73-88.
996
estate dan layanan financial. Keempat, Sri Prakash Lohia
kekayaannya sebesar Rp 108 triliun. Hartanya berasal dari
harga saham Indorama Ventures, perusahaan pengahsil pukuk,
bahan mentah tekstil dan sarung tangan medis. Kelima,
Anthony Salim melalui kekayaannya yang mencapai Rp 76,9
miliar. Dia adalah kepala grup Salim, yang memiliki saham
Indofood dan berbagai perusahaan lainnya. Keenam, Tahir
jumlah kekayaannya mencapai Rp 65 triliun. Dia katanya
adalah bos Mayapada Group, perusahaan yang bergerak di
bidang perbankan, rumah sakit dan real estate. Ketujuh,
Chairul Tanjung dengan harta senilai Rp 50,8 miliar. Ia
merupakan pengusaha yang memiliki perusahaan CT Corp:
pengelola wiralaba Wendy’s, Versace dan Mango; sekaligus
menaungi beberapa stasiun TV, Bank Mega dan Jaringan
Super Market. Kedelapan, Boenjamin Setiawan dan keluarga,
yang kekayaannya mencapai Rp 46,4 triliun. Jamin memiliki
perusahaan farmasi Kalbe Farma dan juga menjadi pemilik 12
rumah sakit Mitra Keluarga. Kesembilan, Jogi Hendra Atmaja
dengan total asset senilai Rp 45 triliun. Ia mempunyai Grup
Mayora: salah satu perusahaan biskuit, kopi, permen, dan
lain-lain. Kesepuluh, Prajogo Pangestu yang total
kekayaannya Rp 43,5 triliun. Pengusaha ini memiliki PT
Barito Pacific dan Chandra Asri, yang merupakan produsen
petrokimia terbesar di Indonesia.628
628
https://www.bbc.com/indonesia-orang-terkaya-indonesia-2018-siapa-
saja-dan-dari-mana-sumbernya?/
997
sangat sedikit jumlahnya. Sementara kebanyakan warga lain
hidup dalam kubangan kemiskinan, kemelaratan dan tinggal
di pedesaan-pedesaan termiskin. Kesenjangan antara kaya dan
miskin semakin lebar tak karuan. Indonesia adalah salah satu
negara di Asia Tenggara yang mengalaminya. Di mana terjadi
proses aristokrasi di kalangan borjuis membuat mereka lebih
berdaya dalam monopoli dan mengubah laba menjadi rente:
Itulah mengapa para pejabat pemerintah (birokrat-kapitalis)
mencari kekayaan dan menyewakan kekuasaan birokrasinya
kepada kroni-kroninya (oligarki). Inilah yang menumbuhkan
hubungan-hubungan ekonomi patron-klien antara pengusaha
politik dalam birokrasi dengan seabrek pengusaha serta
kelompok-kelompok usaha tertentu di luar birokrasi. 629
Fenomena kekayaan super banyak yang hanya dimiliki oleh
sebagaian kalangan kemudian menjadi kendala utama dalam
meretas kemiskinan kaum tertindas.
629
Lihat Zakiyuddin Baidhawy, (2007), Islam Melawan Kapitalisme,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 7.
998
dengan beragam aksesoris mewah. Sementara orang-orang
miskin di pedesaan dan perkotaan yang bekerja sampai ngos-
ngosan, tetap saja berkekurangan duit dan hidup
sealakadarnya. Hidupnya begitu susah dan makin hari
bertambah melarat saja. Bahkan orang-orang miskin bukan
hanya dikibuli berkali-kali tapi juga sengaja dibiarkan bodoh
karena persoalan ekonomi membuatnya jauh dari akses
pendidikan. Akhirnya melepas nyawa adalah jalan terakhir
mengakhiri kesengsaraan: 2012 siswi SD di Grobogan
gantung diri lantaran tak punya uang bayar SPP senilai Rp
210 ribu; hal yang serupa terjadi tahun 2016 di Makassar
sesosok remaja mengakhiri hidupnya karena tak mampu bayar
biaya sekolah sebesar Rp 900.000.
999
Jakarta kebijakan pemerintah lebih gila: orang miskin wajib
merogoh kocek Rp 640 ribu ketika hendak mengubur mayat
keluarganya. Bahkan untuk ke akhirat pun masih diwajibkan
melengkapi syarat-syarat administratif: surat keterangan
kematian dari rumah sakit/puskesmas dan kelurahan; kartu
tanda pra sejahtera atau surat keterangan miskin.
630
Dihimpun dari berita di media: tribunnews.com, kompas.com,
kahaba.net, dan patriot.id
1000
pemotongan subsidi dan alih-fungsi lahan telah mendorong
pemelaratan jutaan petani. Mereka akhirnya tidak lagi
berminat bertani, tapi malah nganggur dan ada pula yang
pergi ke kota-kota jadi buruh.
1001
mereka. Status ilegal selain memuluskan banyak PKL
diringkus dan dijebloskan ke sel tahanan, juga ikut menutup
kepercayaan perbankan dalam memberikannya kredit—
pinjaman keuangan. Memang untuk menambal kehidupan
yang miskin, hutang sana-sini jadi jalan curam yang kerap kali
mereka lalui. Oscar Lewis percaya bahwa kemiskinan timbul
dikarenakan adanya situasi-situasi begini: (1) masih
menonjolnya sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem
produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat
pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga kerja
tak terampil: (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya
golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi
sosial; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada
sistem uniteral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada
kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta
kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal, dan
sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status
ekonomi sebagai hasil dari ketidaksanggupan pribadi atau
memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. 631
631
Eko Prasetyo, (2005), Orang Kaya di Negeri Miskin, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 133.
1002
melncarkan kepentingan pemodal. LEMI semestinya
mendesak pemerintah untuk mengubah indikator kemiskinan
tidak lagi definisi Biro Pusat Statistik. Bahwa penduduk
dikatakan miskin jika memenuhi tujuh dari dua belas kriteria
dasar: (1) luas bangunan 8m2 per orang; (2) jenis lantai
hunian berupa tanah/bambu/kayu murahan; (3) dinding tempat
tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok
tanpa diplester; (4) tidak ada fasilitas jamban; sumber air
minum dari sumur; (5) bahan bakar memasak dari kayu/arang;
(6) konsumsi lauk-pauk tidak bervariasi; (7) tidak mampu beli
pakaian minimal satu stel per tahun untuk setiap anggota
keluarga; (8) hanya sanggup makan satu/dua kali sehari; (9)
tidak memiliki asset rumah tangga seperti lemari; (10)
penghasilan kepala rumah tangga di bawah Rp 600 ribu per
bulan; (11) pendidikan tertinggi kepala keluarga SD atau tidak
tamat; dan (12) tidak memiliki tabungan barang yang mudah
dijual dengan minimal Rp 500 ribu. Eko Prasetyo menuturkan
bahwa paradigma itu berangkat dari suatu pemahaman yang
malah akan memiskinkan orang miskin. Pemerintah soalnya
lebih memandang ‘apa yang dimiliki’, ketimbang ‘yang tidak
dimiliki’ orang-orang miskin.632
632
https://arsipskpd.batam.go.id/
1003
kemiskinan bukan semata-mata soal ekonomi melainkan juga
gejala sosial—sindrom yang biasanya disebabkan oleh
lembaga perdagangan internasional, yang kemudian
menumbuh suburkan korupsi dan penggelembungan uang
segelintir kalangan. Orang miskin perlu sekali disadarkan
bahwa kemelaratannya akibat ketamakan kebijakan birokrasi
dan kesombongan gaya hidup orang kaya. Senada dengan
yang diucapkan Syaidina Ali: ‘tidak akan lapar orang miskin,
kecuali karena keraakusan orang kaya’. Dengan demikian
harus ada desakan terhadap pemerintah untuk membuatkan
aturan pembatasan harta kekayaan. Orang-orang kaya di
negeri ini sebagian harta-hartanya harus dilucuti demi
meretaskan kemiskinan. Hanya distibusi kekayaan itu lagi-
lagi tidak mungkin kalau cuma diperjuangkan LEMI tanpa
melibatkan kaum miskin sebagai sesarannya. Inilah mengapa
pendidikan politik harus diberikan kepada mereka.
1004
semangat perlawanan dan keyakinan agar petani, nelayan,
buruh, PKL, tukang becak berkumpul dan berserikat.
Tanamkan keyakinan kepada mereka tentang kebutuhan
bersama akan sebuah organisasi dan membangun gerakan
dalam melawan penguasa lalim. Terutama untuk sama-sama
menuntut dikukuhkannya aturan distribusi kekayaan yang
mengambil prinsip Qur’an: ‘dalam harta mereka (orang yang
berkecukupan) itu terdapat hak orang yang meminta dan tidak
memiliki’.
1005
terhadap kehidupan rakyat? Kemudian dengarkan pendapat,
rintihan dan curahan hati kaum miskin dan tertindas. Lalu
bantu mereka untuk bangkit, mengorganisir diri dan bergerak
bersama-sama—dengan jumlah yang lebih banyak—untuk
melayangkan protes.
633
Njoto, (2017), Marxisme, Ilmu dan Amalnya,Yogyakarta: Berdikari
Book, Hlm. 84.
1006
memberikan ruas-ruas jalan yang terbuka untuk tukang becak,
menjamin hak demokrasi bagi rakyat; suatu pemerintah yang
mampu membela industri dan perdagangan nasional terhadap
persaingan asing, untuk meninggikan tingkat hidup material
kaum buruh dan menghapuskan pengangguran, serta
memberikan status legal dan tempat yang layak bagi para
PKL.
1007
bawah, melainkan dari bawah naik ke atas. Maka sekaranglah
saatnya menerapkannya dalam medan pertempuran: lancarkan
perlawanan terhadap semua lembaga pelayanan publik yang
berwatak komersial dan tidak berpihak pada rakyat. Jika terus
dibiarkan mereka akan meledakan angka kematian terhadap
warga miskin yang tak mampu menjangkau ongkos pelayanan
kesehatan dan membodohkan mereka yang tidak punya akses
pendidikan. Itulah mengapa lagi-lagi diwanti-wanti agar
LEMI menyebarkan pemahaman ke seganap kaum miskin dan
tertindas tentang praktek-praktek curang perdagangan
internasional. Ajak mereka menuntut ongkos murah bahkan
gratis di sektor-sektor primer kehidupan rakyat. Minta mereka
untuk membenci koruptor dan memperjuangkan hukuman
berat sampai menyita kekayaan pelaku korupsi. Dorong
mereka mendesak nasionalisasi asset-aset publik dengan
memberikan saham yang diperuntukan bagi kepentingan
rakyat. Makanya LEMI dituntut mengemban program
revolusioner: berkampanye menolak kenaikan ongkos
pelayanan publik dan swastanisasi sektor-sektor publik;
melancarkan sosialisasi-sosialisasi ke pelbagai penjuru atas
kejamnya praktek ekonomi liberal; melakukan pemantauan
terhadap kebijakan pencabutan subsidi yang berdampak pada
meroketnya angka kemiskinan; dan menanamkan kepada
massa rakyat teologi dan ideologi yang berlawan terhadap
sistem kapitalisme.
1008
bantuan. Sudah cukup orang-orang papa disusahkan oleh
aneka kebijakan pemerintah yang tak mampu mengangkat
harkat dan martabatnya. Sekaranglah waktunya LKBHMI
membuktikan dirinya sebagai hajat hidup rakyat melalui
kerja-kerja advokasinya. Ketika para pejabat hukum tak
berani menegakan keadilan karena asal-usul mereka
dibesarkan oleh pendidikan yang buta atas fakta. Maka kader-
kader hukum HMI mesti menggunakan segala upaya untuk
terus mencurigai, membakar keberanian dan mengobarkan
inisiatif untuk melawan setiap ketidakadilan penguasa.
1009
pada kekuasaan, kita percaya pada tempo yang akan
datang untuk kemanusiaan … kebangsaan kita hanya
jembatan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang
sempurna, bukan untuk memuaskan diri sendiri kita,
sekali-kali bukan untuk merusakkan pergaulan
kemanusiaan … bangsa kita hanya satu roman dari
pembaktian kita pada kemanusiaan.634
634
Eko Prasetyo, (2010), Keadilan Tidak untuk yang Miskin, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 9-11.
635
Munir Said Thalib, lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 –
meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan Amsterdam , 7 September
2004 pada umur 38 tahun. Dia merupakan seorang aktivis yang menjujung
tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, anti kekerasan dan
berjuang tanpa kenal lelah dalam melawan praktek-praktek otoritarian dan
militeristik. Ia mematutkan hidupnya memperjuangkan hak-hak orang
tertindas. Selama dalam hidupnya ia selalu berkomitmen untuk selalu
membela siapa saja yang haknya dizalimi. Tidak gila harta, pangkat dan
jabatan juga fasilitas. Adapun kasus-kasu penting yang ia tangani: Penasihat
Hukum Kasus Fernando Araujo dkk, di Depansar yang dituduh
merencanakan pemberontakan melawan pemerintah secara diam-diam
untuk memisahkan Timor-Timur dari Indeonesia (1992); Penasihat Hukum
Kasus Marsinah dan para buruh PT CPS melawan Kodam V Brawijaya atas
tindak kekerasan pembunuh marsinah, aktivis buruh (1994); Penasihat
Hukum Masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan
pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah, Madura
Jawa Timur (1993); kasus Tanjumg Priok; kasus Semanggi, kasus
penculikan 24 Aktivis (1997-1998), dan pelbagai kasus pelanggaran HAM
berat lainnya (lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/Munir_Said_Thalib).
1010
satu praksis: membela kaum dhuafa dan mustad’afin. Baginya
doktrin keagamaan HMI mengajarkannya untuk comiteed
berdiri di atas landasan pembebasan. Munir mengatakan: ‘kita
tidak ada pertentangan agama, kita tidak ada pertentangan
etnis, yang ada hanyalah penyalahgunaan kekuasaan yang
harus kita lawan!’636 Dia melihat kerangka pembangunan
hukum memiliki fungsi fundamental untuk menjaga
kelanggengan negara, serta mengatur bagaimana rakyat harus
menempatkan diri melalui alat-alat kontrol yang telah
ditentukan oleh negara:
636
https://www.kompasiana.com/munir-dan-imajinasi-tentang-hmi?
1011
dibuat dengan menjauhkan partisipasi subtantif dari
rakyat banyak. 637
637
Munir, (2014), Gerakan Perlawanan Buruh Gagasan Politik dan
Pengalaman Pemberdayaan Buruh Pra Feformasi, Malang: Omah Munir
dan Intrans Publishing, Hlm. 27, 29.
1012
mengarah pada upaya ekspor. Ekstraversi bukan sebagai
akibat dari ketidakmampuan pasar dalam negeri, tetapi lebih
disebabkan superioritas produksi dari negara-negara sentral
dalam hampir segala bidang, yang memaksakan wilayah
pinggiran untuk mengurung dirinya sendiri dengan sekedar
berperan sebagai pelengkap proses produksi. Sementara
dengan proses distorsi, tingkat upah di pinggiran menjadi
rendah dibanding negara sentral. Pemikiran ini telah membuat
Munir melihat permasalahan kapitalisme secara global.
Cardoso—yang mengembangkan perspektif baru tentang teori
dependensi—berpendapat: ‘dalam batas-batas tertentu,
kepentingan modal asing bersesuaian dengan kemakmuran
negara pinggiran’. Dari pengertian ini negara-negara
multinasional membantu proses pembangunan negara
pinggiran. Dalam konsepnya tersebut ada tiga macam
kekuatan politik: negara birokratis-teknokratis militer,
perusahaan multinasional dan borjuis lokal. Ketiganya sangat
dominan memainkan peran.
1013
profesi pengacara dan kekuatan Ornop-nya, Munir lebih
banyak bersama, membela dan memperjuangkan hak-hak
kaum buruh dan rakyat miskin di mana-mana. Meski kerap
kali diintimidasi oleh rezim despotis; Munir tak mundur
apalagi berputus asa. Keberaniannya kemudian
mempertemukannya dengan ajalnya: pembunuhan dengan
racun yang dilakukan oleh kaki tangan Orba.
1014
seseorang mendapat keadilan adalah dalam ruang
pengadilan, baik kulitnya berwarna apapun dalam
pelangi, tetapi kebencian biasanya terbawa dalam petak
juri.638
638
lihat Eko Prasetyo, (2010), Keadilan Tidak untuk yang Miskin,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 31-32.
1015
yang kerdil: hukum terjatuh dalam empirisme kasar, yakni
kenikmatan untuk menuai prinsip-prinsip praktis semata.
Seakan-akan dengan meletakan semua unsur kejahatan maka
semua tindakan dapat mudah dicengkram olehnya. Setiap
sikap kritis bisa dengan mudah dituduh subversif. Empirisme
kasar telah membuat hukum berlumuran proses yang tidak
adil. Namun semua tahu—sampai kematiannya akibat
diracun—keadilan bagi Munir lebih mirip dengan keinginan
yang terus-menerus harus diperjuangkan. Persis dengan
sebuah kehendak yang dibunyikan dengan penuh keyakinan
akan kemenangan. Inilah mengapa keadilan memiliki hunian
yang permanen: di sangkar pengadilan atau pada kantor
penegak hukum. Pandangan demikian telah mengarahkan
Munir berjuang tanpa pandang bulu membela hak rakyat
tertindas dalam beragam kasus: pembantaian Tanjung Priok;
Semanggi I dan II; penculikan 24 aktivis; pembunuhan
Marsinah; kerusuhan mahasiswa dan petani Pasuruan;
pelanggaran HAM Aceh; dan sebagainya.
1016
keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu’.
Begitulah yang tercermin dalam gugatan kecurang Pemilu
2019, yang telah menewaskan ratusan anggota KPPS,
terbunuhnya puluhan warga dalam tragedi 21-23 Mei, dan
pelanggaran-pelanggaran lainnya; Mahkamah Konstitusi
(MK) hanya bisa menyelesaikan sengketa pemilu dan dengan
dalih yang positivistik mereka menolak mengadili skandal
kejahatan Terencana, Sistematis dan Masif (TSM) itu.
1017
menteri Rama Ginandjar: dia jatuh sakit pada saat perkaranya
diusut sampai menjadikan surat dokter sebagai tameng dalam
persidangan. Begitu pula yang terjadi dalam kasus korupsi
Proyek Penanganan Lahan Gambut di Kuala Kuapas,
Kalimantan Tengah: tersangka utama—Direktur Utama PT
Sumatera Indonesia, Tay Juhana—jatuh sakit lalu diijinkan
berobat ke Singapura sampai tak terlacak keberadaannya.
1018
Selama ini hukum mendekati kaum miskin dan tertindas
dengan memperpanjang proses pengungkapan hingga
mencoba mengaburkan atau meniadakan siapa pelaku
kejahatannya. Itulah mengapa sampai sekarang begitu banyak
kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang tidak mampu
diselesaikan, karena ditunda-tunda dengan tujuan agar semua
orang melupakannya. Perbuatan keji dan mungkar ini disebut
Haryatmoko sebagai upaya ‘pengaburan ingatan sosial’.
Pengaburannya melalui tiga cara banal. Pertama, pemaknaan
sejarah versi penguasa waktu itu akan tetap dominan dan
mengabaikan penderitaan korban. Kedua, kesaksian korban
tidak bisa dikonfrontasikan para pelaku dan arsitek kejahatan
HAM. Tiadanya konfrontasi ini akan melemahkan bobot
proses hukum. Ketiga, tiadanya pengakuan hukum terhadap
korban sebagai korban. Korban justru mengalami viktimisasi
kedua. Pelaku penikmat impunity (tiada sanksi hukum). 639
Sewalaupun dalam pengadilan ditemukan siapa yang patut
dihukum, tapi tak selamanya dialah orangnya. Begitulah
negara menyelamatkan para penjahat kemanusiaan dari aturan
dan sanksi yang berlaku. Eko Prasetyo mengingatkan kita:
639
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat; Akar Kekerasan dan
Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 52-53.
1019
sepenuhnya. Hanya dalam waktu tak terlampau lama
partai Prabowo punya pengurus aktivis yang dulu ia
culik. Lalu Prabowo calonkan diri sebagai Presiden. Ia
tak sendiri karena pesaingnya para Jenderal juga
mencalonkan. Hilang ingatan kita tentang siapa mereka
yang sesungguhnya. Yang muncul ke permukaan
hanyalah kumpulan Jenderal yang tak bersalah …
hukum tak hanya mengaburkan tapi mampu mengubur
sebuah kisah kejahatan. Hingga kini penculikan hanya
cerita yang tak mampu mengungkit emosi massa untuk
menuntut hadirnya keadilan.640
640
Eko Prasetyo, Op. Cit., Hlm. 211-212.
1020
reformis tidak pernah mampu mengabil peran dalam
memajukan kesadaran serta meradikalkan massa, melainkan
memungkas dan memundurkan perjuangan rakyat:
641
Sutan Syahrir, (2000), Pikiran & Perjuangan, Yogyakarta: Jendela.
1021
ditegakkan kalau cuma berharap pada penegak hukum semata.
Kini perebutan keadilan meniscayakan adanya konsistensi
mengarungi dunia gerakan. Maka peran LKBHMI semestinya
mempelopori advokasi bukan lagi sekedar lewat jalur hukum,
tapi juga kerja-kerja gerakan. Terlalu percaya dengan
penegakan hukum saja dapat mengakibatkan perjuangan cuma
meraih capaian-capaian yang bersifat sesaat: tidak mampu
membentuknya menjadi kekuatan-kekuatan yang
terkonsolidasi. Kita mengerti: arena hukum selalu
mengaburkan posisi kelas-kelas sosial seseorang dalam
masyarakat. Bahkan hukum selama ini mencampurbaurkan
kaum miskin dan tertindas dalam kedudukannya sebagai
warga negara semata. Karl Marx pernah berkata:
642
Issac Balbus, (1988), Bentuk Komoditi dan Hukum: Suatu Esai tentang
‘Otonomi Relatif Hukum’ dalam Hukum, Politik dan Perubahan Sosial,
Jakarta: YLBHI.
1022
menumbuhkan kredo ‘semua orang sama di mata hukum’ dan
kepentingan-kepentingan material yang ada disembunyikan
dalam prinsip konstituasionalisme: paham yang meletakkan
posisi seseorang pada pendasaran yang tidak material, hingga
meredam kontradiksi dengan persamaan hak palsu. Inilah
membuat hukum mengandung poin yang menindas dan
mengaburan pertentangan kelas: bukan lagi terletak kesadaran
massa melainkan kebutuhan akan stabilitas sistem dan
bagaimana membuat jalannya sistem itu memberi
perlindungan untuk semuanya. Menghadapi kenyataan inilah
LKBHMI mesti memilih langkah alternatif: menempuh
langkah advokatif yang tidak semata bersenjatakan hukum,
melainkan menitikbertkan pada gerakan radikal. Lagi-lagi
Munir memberi tauladan cara meracik penegakan hukum
dalam semangat gerakan. Membela hak rakyat miskin dan
tertindas perlu melibatkan diri langsung untuk mengorganisir
mereka guna melakukan perlawanan.
1023
dan teman-temannya bekerja. Marsinah menceritakannya
dalam catatan hariannya:
643
Eko Prasetyo, Op. Cit., Hlm. 167-168.
1024
Kedatangan Satriawan akhirnya mampu menggugah
kesadaran buruh. Mereka kemudian melancarkan perlawanan
melalui pemogokkan bersama. Kelak sikap berlawan itulah
yang mengantarkan semakin koersifnya perlakuan yang
didapatkan para buruh hingga terbunuhnya Marsinah di
tangan militer yang bersimbah darah. Maka dengan tewasnya
aktivis perempuan penggerak massa ini, kerja-kerja gerakan
redup dan tidak ada aturan yang mampu menjerat pembunuh
Marsinah. Hukum kembali menampilkan wajahnya yang tak
berpihak pada kaum miskin dan tertindas. Kini kelancungan
itu memperlihatkan kepada kita semua bagaimana jalur
hukum tak selamanya menjanjikan keadilan. Inilah mengapa
konsolidasi massa mesti dilakukan untuk menguatkan
tuntutan-tuntutan dan harapan keadilan dengan kerja-kerja
advokasi di luar sistem. Isu-isu pelanggaran HAM mesti
digugat dari luar pengadilan. Termasuk menyorot beragam
aturan bajingan: Perpres Nomor 37 Tahun 2019 yang
mengatur tentang pemberian jabatan ABRI pada instansi-
instansi sipil; Perpres Nomor 73 Tahun 2020 yang memberi
posisi istimewa terhadap Badan Intelijen Negara, hingga
Perppu No. 1 tahun 2020 yang melindungi aparat untuk
berbuat apa saja selama corona.
1025
gerakan aktif bersama massa rakyat. Salah satu langkah
awalnya ialah membangkitkan ingatan masa lalu. Ingatkan
rakyat bagaimana pelanggaran-pelanggran HAM yang
dilakukan aparatus represif negara. Sadarkan mereka betapa
bahayanya jika militer mengambil peran aktif di bidang-
bidang sosial-kemasyarakatan. Apalagi aparatus represif
negara dikenal sangat culas dan bengis dengan bisnis-bisnis
terselubungnya. Sudah saatnya mengusut tuntas perkara-
perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang
berlangsung saat Orba sampai sekarang. Perilaku korup
pejabat negara dan militer telah mempercepat kemiskinan dan
mendorong tampilnya pemerintahan yang otoriter serta tak
transparan.
1026
militer dan kemelaratan rakyat akibat korupsi. Lalu raihlah
tangan Lapenmi untuk mengadakan pendidikan anti-korupsi
dan pelanggaran HAM di kalangan rakyat miskin dan
tertindas hingga mampu membangkitkan kesadaran mareka
akan pentingnya sikap berlawan. Kemudian juga masukanlah
LEMI dalam melancarkan sosialisasi-sosialisasi tentang
dampak korupsi bagi perekonomian dan keharusan pelucutan
semua bisnis militer untuk dikembalikan pada rakyat dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Mungkin hanya dengan kerja-kerja inilah LKBHMI mampu
merintis aliansi dengan kelas tertindas—yang menjadi korban
kejahatan korupsi dan kekerasan militer—serta organisasi-
organisasi pro-demokrasi dan elemen-elemen progresif dalam
membangun gerakan rakyat.
1027
pengusaha melainkan juga keserakahan militer. Pada masa
Orde Baru (Orba) terjadi ketimpangan yang besar dalam
penguasaan tanah. Kebanyakan petani di pedesaan tidak
mempunyai tanah dan tak mendapatkan layanan-layanan
pemerintah.
644
Tim Kaderisasi FSBKU, dkk, (2006), Kaderisasi Organisasi Rakyat:
Pengalaman Lima Organisasi Rakyat, Bandung: Garis Pergerakan dan
Pergerakan – People Centered Advocacy Institute, Hlm. 63-64
1028
agar nasib petani tersejahterahkan. Itulah mengapa SPP
mengusahakan terwujudnya reformasi agrarian yang
dilakukan dengan 3 proses: pertama, redistribusi tanah untuk
penggarap; kedua, perbaikan layanan alam; dan ketiga,
penataan produksi bersama. Pembaruan agrarian berintikan
tanah untuk rakyat (land reform), yakni adalah suatu cara agar
kaum tani memiliki dan menggarap serta menjaga kelestarian
alam yang menjadi sumber kehidupannya. 645
645
Ibid
1029
kasus Cibenda di Ciamis: tahun 1992 sebagian warga
penggarap di Blok Bulat Laut—Desa Kecamatan Parigi
Kabupaten Ciamis—kehilangan lahan garapan karena
tanahnya disertifikasi pemerintah untuk pengusaha dan
pejabat daerah; lalu pada 1993 lahanyan diubah menjadi
tambak udang—ini mengakibatkan rakyat miskin terusir dari
tanahnya sendiri; sedangkan 1998—setelah Soeharto
lengser—sekelompok mahasiswa dari kota mempelopori
masyarakat untuk membangun gerakan sampai warga berhasil
mendirikan organisasi tani lokal (OTL) yang secara gradual
mampu mengangkat harkat dan martabat kaum tani dari
belenggu kekuasaan.
646
Nasionalisme agrarian telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor
5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), sebagaimana kata
Muchsin, dkk (2007: 53) adalah sebagai berikut: a. Bahwa wilayah Negara
Indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1); b. Bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan
karunia Tuhan yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia … haruslah
1030
kewenangan negara dalam menguasai sumber-sumber agraria
di seluruh wilayah negeri ini secara keji: kelompok-kelompok
masyarakat adat di Indonesia menghadapi kenyataan bahwa
ha-hak mereka atas sumber-sumber agrarian tidak diakui oleh
pemerintah. Ketidakpastian status tanah-tanah yang dikuasai
oleh kelompok masyarakat adat dalam hutan. Terutama
berkait HPM (Hak Penguasaan Masyarakat) dan HPHTI (Hak
Penguasaan Hutan Tanaman Industri), telah menimbulkan
silang sengketa yang berkepanjangan hingga merenggut
kesejahteraan. Secara simplistik petani-petani yang
seharusnya dilindungi hak ulayatnya dituduhkan oleh
penguasa sebagai peladang berpindah, perambah hutan,
ataupun masyarakat terasing yang tidak memiliki sertifikat
tanah.
1031
bantuan militer tingkat rendahan guna memaksa penduduk
Asmat dengan penggunaan senjata. Tujuannya untuk
menebang kayu-kayu demi kepentingan pengusaha yang
mendapat konsensi dari pemerintah. Bupati dengan dukungan
camat dan kepala-kepala desa di tempat itu—dalam rangka
menjamin kepentingan penanaman modal perusahaan
pemegang HPH—tak peduli dengan nasib warga pemilik
lahan; itulah sebabnya tidak heran jika tentara-tentara
rendahan tampak terlibat sana-sini ‘mengawasi’ pekerjaan
penebangan kayu langsung di hutan-hutan penduduk. 647
Penderitaan demikian dirasakan pula oleh petani-petani Lauje
Pegunungan di Wiliayah Tinombo-Tomini, Sulawesi Tengah.
Tanah yang semula menjadi sumber hidup mereka diserobot
pemerintah: keadaan tiadanya tanaman keras budidaya pada
tanah-tanah istrahat petani dipakai sebagai alasan para pejabat
untuk menuduh bahwa kekosongan lahan berarti menandakan
tanah tidak dimiliki oleh siapapun, sehingga diklaim jadi
tanah negara. Kesewenang-wenangan serupa juga dialami
para petani Bunggu di Moi dan Ngovi, pemerintah lebih
berpihak kepada Perusahaan Inti Perkebunan (PIR-Bun)
daripada rakyat miskin. Perusahaan perkebunan lantas
mengambil-alih kekuasaan atas 80.000 hektar tanah yang
semula dikuasai oleh orang-orang Ngovi dan Moi, yang
mengakibatkan penduduk hidup tercerai-berai baik dalam
artian fisik maupun mental.
647
Maria Rita Ruwiastuti, (2009), Sesat Pikir Politik Hukum Agraria,
Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Hlm. 21-22.
1032
dihapuskan oleh negara. Tanah perladangan penduduk seluas
20.000 hektar berpindah ke PT Fendi Hutani Lestari (PT-
FHL) atas sikap lancung pemerintah. Hal demikian terjadi
juga menimpah para petani Mullo di Pollen Provinsi NTT dan
petani-petani Bata Toba di Parbuluan Kabupaten Dairi. Pada
umumnya penindasan terhadap para petani yang memiliki hak
ulayat ini dipicu pelaksanaan reformasi agrarian dengan
setengah hati. Variabel kesetengah-hatian kekuasaan itu bagi
Maria Rita Ruwiastuti (2009) meliputi: pertama, di situ
terlibat dua sistem aturan yang sama-sama berlaku atas obyek
yang disengketakan; kedua, sistem aturan yang satu
menegasikan sahnya yang lain; ketiga, tidak terdapatnya
kesadaran serta pengetahuan yang cukup mengenai adanya
konflik aturan tersebut di kalangan masyarakat desa yang
menjadi korbannya; keempat, tidak ada penjelasan yang
memadai, jujur dan terbuka dari pihak pemerintah kepada
penduduk setempat mengenai penegasan tersebut; kelima,
sistem pemerintahan sungguh pun bersifat desentralistik
kenyataannya sangat sentralistik.
1033
didorong membentuk sebuah perkumpulan untuk dapat
mempengaruhi setiap kebijakan yang akan dihadapinya,
sebagaimana organisasi masyarakat adat Lombok Utara—
Parekat Ombara. Dengan dibentuknya Parekat Ombara kaum
tani berhasil merebut kemenangannya dalam perjuangan
melawan militer dan pejabat yang ingin merebut lahannya.
Mereka memberikan pelajaran: apabila petani memiliki
organisasi perlawanan maka akan berguna sebagai alat
perjuangan dalam mempertahankan tanah, hidup dan
martabat. Petani memang memiliki kekuatan dalam berjuang,
namun mereka butuh diorganisir. Dalam Brumaire Kedelapan
Belas Louis Boparte, Marx bertutur:
1034
kelas petani, yang ditentukan oleh syarat-syarat
keberadaannya secara sosial—ketidakmampuan mereka untuk
membebaskan diri. Kaum tani memang dapat berjuang,
bahkan dengan kegarangan yang luar biasa, tetapi tidak dapat
menjadi kelas penguasa dalam masyarakat’.648 Namun bukan
berarti mereka tidak bisa memberikan tekanan dan mengatur
jalannya kekuasaan. Karena dengan terjung ke pedesaan
LPMI dapat membangkitkan kesadaran perlawanan kaum
tani. Langkah ini meminjam istilah Che Guevara: ‘bergerilya’.
Sebagaimana gerilyawan dengan cita-citanya akan tatanan
sosial yang adil, Che memberi petuah: ‘kaum tani harus selalu
dibantu secara teknis, ekonomis, moral dan budaya’.
Singkatnya: tujuan mendasar intelektual revolusioner adalah
membebaskan kaum tani dari belenggu yang mengikatnya.
Andai kader-kader himpuna merupakan intelktual seperti itu
maka sudah waktunya mengusahakan petani-petani desa
merebut kebebasannya dengan menentang kebijakan
pemerintah, perusahaan dan militer yang zalim, hingga meraih
kemenangan dan kembali berkuasa atas lahannya masing-
masing.
648
John Molyneux, (2015), Mana Tradisi Marxis yang Sejati?, Yogyakarta:
Rumah Penerbitan Bintang Nusantara, Hlm. 76-77.
1035
dan ‘kebijakan revolusi hijau sektor pertanian’ ternyata
menimbulkan asupan kimia yang tidak terkontrol sehingga
menyebabkan serangan hama besar-besaran pada tanaman
pangan, bahkan membuat kerusakan lingkungan teramat
parah—mendorong penggunaan teknologi secara
serampangan, menyingkirkan banyak tenaga kerja,
merendahkan harga pangan yang berujung pada kemiskinan,
hingga mengakibatkan melonjaknya peredaran barang-barang
mewah sementara pangan kemudian ikut diimpor.
Menghadapi ini semualah lembaga pertanian HMI harusnya
jadi katalisator yang mampu membangkitkan kesadaran
kolektif dalam mengecam kebijakan ekonomi yang hanya
patuh pada serikat-serikat dagang internasional dan mendesak
pemerintah untuk memproteksi sektor usaha berbasis
kertakyatan—terutama pertanian.
1036
LKBHMI diajak untuk mendesak pemerintah memberikan
perlindungan bagi hajat-hidup kaum tani pedesaan melalui
penyusunan peraturan perlindungan usaha rakyat—termasuk
melindungi aktivitas masyarakat adat.
Selain itu, LEMI dan LPMI juga tidak boleh abai terhadap
permasalahan rendahnya upah buruh dan redistribusi tanah
yang tidak merata—ini telah manyakiti rakyat miskin: kaum
buruh dan kaum tani tak mampu mencukupi kebutuhan fisik
minimum sehingga tak dapat hidup layak. Sedangkan
monopoli kepemilikan tanah telah membuat kaum tani
pedesaan kehilangan lahan gara-gara dikuasai perusahaan
serta dijadikan tempat wisata. Sementara kaum miskin dan
buruh perkotaan hidup nomaden dan menjadi korban utama
dari industrialisasi demi pendirian perusahaan—mereka kerap
kali mendapati penggusuran lahan oleh pemerintah yang
mementingkan pembangunan infrastruktur apapun. Dalam
kondisi inilah HMI dituntut berdiri di atas keyakinan
ideologisnya dalam melancarkan pembelaan terhadap kaum
dhu’afa dan mustad’afin. Makanya harus ada gerakan-gerakan
perlawanan: membongkar keuntungan yang diperoleh
perusahaan selama ini dengan cara eksploitasi kaum tani
pedesaan dan buruh perkotaan; mendukung kenaikan upah
serta jaminan sosial pekerja yang memadai; mengungkap
secara terang-terangan siapa saja pejabat dan pengusaha atau
siapa pun yang memiliki tanah luas namun tak digunakan
untuk kepentingan produktif pertanian; dan diupayakan
pelbagai desakan kepada Badan Pertanahan Nasional agar
menjadi lembaga yang memprakarsai pembagian tanah untuk
kaum tani dan rakyat miskin.
1037
Dalam melancarkan gerakan itu LEMI dan LPMI juga mesti
dibantu LDMI. Adakan adakan penekanan dan bercermah
atau merukiah para pemangku kebijakan publik. Teriakan
kepada mereka bahwa pola wakaf tanah seharusnya bukan
hanya untuk tempat beribadah, melainkan yang utama adalah
diberikan pada rakyat miskin yang tak punya tanah guna
kepentingan produktif. Juga perlu menginvestigasi perusahaan
yang menggaji rendah buruh dan memboikot produk-
produknya. Tekan pula Majelis Ulama Indonesia untuk
mengeluarkan fatwa haram terhadap barang-barang produksi
pabrik yang menindas pekerja. Paling penting kemudian
LEMI harus mendorong para pekerja untuk melakukan
pemogokan agar perusahaan menaikan upah buruh. Sementara
LPMI mengajari petani berdemonstrasi menuntut
pengembalian lahan yang digusur pemerintah. Semaoen
pernah berkata:
1038
mendirikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di
Kuta, Lombok Tengah—mesti disoroti secara serius oleh
Leppami. Jangan biarkan atas nama pembangunan dan wisata
rakyat terus-menerus tergusur dan diusir sana-sini. Sudah
muak melihat motif untuk mendatangkan turis-turis asing
lebih dipreferensikan ketimbang kesejahteraan penduduk.
Padahal pariwisata kerap mengalami sindrom. Pengusaha
menjadi mafia devisa: sejak 2016—dalam berwisata ke Bali—
pengusaha memberikan subsidi kepada turis-turis asing; paket
wisata Bali-Tiongkok dibandrol murah meriah—Rp
600.000—guna mengutip keuntungan besar bagi para
pengusaha hotel, souvenir dan travel.
649
Dalam M – C – M operasi itu, pada sekilas pintas pertama, tampak
tautologis, tanpa tujuan. Menukarkan Poundsterling 100 untuk
Poundsterling 100, dan itu dengan cara berputar pula, tampak absurd. Satu
jumlah uang dapat dibedakan dari sejumlah uang lain dengan ukuran; M – C
– M memperoleh maknanya, oleh karenanya, hanya melalui perbedaan
kuantitatif pada ujung-ujungnya. Lebih banyak uang telah ditarik dari
peredaran daripada yang dimasukkan ke dalamnya. Kapas dibeli dengan
1039
perngembangan pariwisata dan sumber daya alam (SDA)
Indonesia Leppami diharapkan tak lagi duduk bergeming
melainkan mulai menyoroti tiap-tiap kebijakan pemerintah di
bidang tersebut. Harus ada pembongkaran terhadap selubung-
selubung kapitalisme yang berada di belakangnya. Makanya
Leppami mesti jadi lembaga yang tangkas bukan malah
memaknai pariwisata tak lebih dari kegiatan ‘liburan’ dan
mencintai alam dengan hanya ‘naik-turun’ gunung semata.
Kader-kader HMI di Leppami mesti membentuk prototipe
seperti Soe Hok Gie. Pendiri organisasi Mahasiswa Pecinta
Alam ini memadukan semangat nasionalis dan eksistensialis
untuk membangkitkan kepedulian terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan mencintai ‘Tanah Air Ibu Pertiwi’ tak
sekedar dalam formalitas kelembagaan dan selesai pada
gagasan, tapi terutama terjewantah lewat praksis. Komitmen
moral itudituliskan Gie dengan gambalng:
1040
Sederet kalimat Soe Hok Gie sekiranya memberikan
sinyalemen kepada manusia-manusia baru, yakni generasi
muda yang tergabung dalam Leppami bergerak mengenali dan
melindungi kepentingan kaum miskin dan tertindas. Kekayaan
alam seharusnya menjadi alat yang sebesar-besarnya
digunakan untuk menyejaterahkan kehidupan mereka. Bukan
seperti motif dekil pemerintah dalam menjadikan Madura
sebagai ‘Pulau Industri’, yang di baliknya terselip
keserakahan mengeksploitasi hasil alam di Pulau Madura;
terutama emas hitam: minyak dan gas (migas). Terdapat lebih
dari 100 blok migas di sekeliling pulau; untuk daratannya
mayoritas hak eksplorasi dipegang oleh Expan Nusantara
(anak perusahaan Medco), sedangkan potensi migas offshore
(lepas pantai) dibagi antara perusahaan: Conoco Phillips,
Santos, Kodeco, Arco, dan lain-lain. Kekayaan alam yang
berlimpah tak menjamin kesejahteraan penduduk setempat:
sejak tahun 1982 perusahaan-perusahaan tersebut
beroperasi—masyarakat Kangean dan Pagerungan di
Madura—tidak mendapati kemanfaatan, bahkan untuk
menikmati listrik masih menggunakan genset. Alhasil
masyarakat Madura tak ubahnya penduduk Papua: ketika
SDA dikeruk habis mereka merasakan penderitaan dan
kemiskinan. Dalam kasus penggerukan kelimpahan alam
Madura penguasa dan pengusaha ikut bermain: pembangunan
Jembatan Suramadu 651 lebih dipreferensikan pemerintah
651
Pertama, pembangunan Jembatan Suramadu yang menelan biaya Rp 4,5
triliun itu, sekitar Rp 2,1 triliun di antaranya berasal dari konsorsium Cina.
Kedua, sejak diresmikannya Jembatan Suramadu, banyak investor Cina
mendapat ijin ekploitasi dan eksplorasi minyak dan gas (migas) di Madura.
Ketiga, selain sektor migas, para pengusaha Cina juga terlibat dalam
beberapa proyek pembangunan infrastruktur, salah satunya pembangunan
1041
daripada membangun Jembatan Selat Sunda atau Jembatan
Ketapang-Gilimanuk—penghubung dua pulau yang lebih
besar dan ramai ketimbang selat Madura—menyiratkan
adanya tindakan konspiratif dalam memberi dukungan kepada
perusahaan untuk menghabiskan kekayaan alam Madura.
1042
impor barang setengah jadi dan barang modal, menciptakan
ketidakstabilan moneter dan bahkan menciptakan konflik
horizontal dalam kehidupan. 652
652
Pada 8 Maret 2012 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) merilis temuan mengejutkan; konflik Sunni vs Syiah
di Sampang, Madura sengaja diciptakan untuk kepentingan eksplorasi
minyak. Slah satu lokasi yang akan dibor adalah lahan milik Sunandar,
seorang penganut Syiah asal Dusun Nangkernang, Omben, Sampang.
Sunandar menolak menjual lahannya. Padahal, penanaman pipa gas
sepanjang 2-3 kilometer harus melewati Dusun Nangkernang … bulan
Agustus 2012 atau 5 bulan setelah Kontras merilis temuannya, warga Syiah
di Dusun Nangkernang benar-benar diserang oleh warga Sunni …
(sedangkan) awal Desember 2012 seorang pria Australia berinisial TH
melakukan penelitian soal konflik Sunni-Syiah di Desa Nangkernang. TH
mengaku sebagai pemantau HAM, tapi kemudian dideportasi ke Australia
karena persoalan izin keimigrasian … menurut Pimred Buletin Khidmah A.
Mubarak Yasin, Jika rangkaian fakta ini dirajut dan dikomparasikan (baca:
kasus Irak dan Afganistan yang diserang oleh Amerika Serikat dengan
pelbagai alasan hanya karena ingin menguasai migas) dengan fakta-fakta
yang terjadi di Sampang. Akan tampak sekali bahwa AS tidak suka pada
keberadaan pengusaha-pengusaha Cina yang mulai menguasai sumber-
sumber migas dan proyek-proyek infrastruktur di Madura. AS tentu tidak
mau kehilangan dominasi dan supremasinya di Pulai Madura, yang sudah
mereka genggam sejak awal decade 1980-an (untuk lebih jelasnya lihat
https://islambergerak.com/2014/04/rebutan-minyak-di-pulau-garam/).
1043
Hanya perjuangan yang sungguh-sungguh melawan sistem
kapitalis tidak sebatas dengan pemantauan dan kritik.
Melainkan pula melancarkan pendidikan politik, sosialisasi
dan kampanye masif pada kalangan masyarakat tentang
pentingnya menjaga lingkungan dan bersikap kritis pada
pemerintah dan perusahaan. Jika mencatat bencana-bencana
yang terjadi kerap kali ditengarai oleh tiadanya kesadaran
kolektif masyarakat baik dalam merawat alam maupun
menentang kebijakan publik yang memerosotkan. Adalah
contohnya, tindakan penguasa yang menerbitkan konsensi
pertambangan di kawasan hutan lindung pada masa
pemerintahan Megawati—dengan seenak perut mengesahkan
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan menyetujui Proyek Ladia
Galaska di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam—sementara
status lingkungan hidup dalam kurun waktu tersebut
mengandung permasalahan lingkungan, karena merugikan
kepentingan daya dukung ekosistem hutan dan membuka
akses terhadap penjarahan hutan seisinya. Menghadapi semua
ini eksekutif dan legislatif tidak merasa bersalah dalam
membuat dan mengesahkan aturannya. Apalagi yang amat
membangkitan amarah ialah ketika partai politik peserta
Pemilu 2004 sama sekali tidak memiliki platform pro-
lingkungan. 653 Bahkan untuk dana bencana Gempa Lombok
653
Sejumlah partai politik peserta Pemilu 2004, parpol yang sama sekali
platform pro lingkungan adalah PNI Marhaenisme, Partai Buruh Sosial
Demokrat, Partai Merdeka, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai
Nasional Banteng Kemerdekaan, Partai Persatuan Nadhlatul Ummah
Indonesia, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Sarikat Indonesia, Partai
Persatuan Daerah, dan Partai Pelopor … Sejumlah parpol tadi di atas sudah
bisa menggambarkan bagaimana nasib lingkungan hidup kita di meja kerja
mereka … mereka yang tidak pro lingkungan mana mungkin tiba-tiba
1044
2018, Muhir selaku anggota Komisi IV DPRD Kota
Mataram—tega mengorupsi uang kemanusiaan dan
lingkungan hidup. Makanya keberadaan Leppami sudah
saatnya bergerak meningkatkan kesadaran kritis rakyat, lenih-
lebih untuk menyulut sikap politiknya dalam mengkritik
kebijakan dan menyoroti rencana/janji-janji yang tertuang
dalam platform parpol serta kelauan wakil rakyat: hal ini
dapat dijadikan alat dalam menuntut dan mendesak politisi-
politisi pongah tukang abai kemaslahatan hidup manusia dan
lingkungan.
menjadi orang sangat peduli lingkungan ketika menjadi wail rakyat … janji-
janji yang mereka umbar sewaktu kampanye saja dengan mudah dilupakan,
apalagi yang tidak mereka cantumkan [lihat Sarwono Kusumaatmadja,
(2007) Politik & Lingkungan, Depok: Koekoesan, Hlm. 45-46].
1045
propaganda soal tidak becusnya kebijakan lingkungan yang
telah membuat sengsara. Minta LDMI menyebarkan pamflet,
ceramah-ceramah berisi agitasi, dan analisis dampak negatif
kapitalisme pada lingkungan hidup di tiap-tiap masjid atau
mushollah. Usahakan juga agar Lapenmi tergerak hatinya
membantu memberikan pendidikan lingkungan kepada
masyarakat; terutama dengan pemutaran film lingkungan yang
mudah dicerna orang-orang awam dan menghadirkan pakar,
akademisi dan aktivis lingkungan.
1046
dan harus mengais-ngais indentitas untuk memperoleh
layanan kesehatan gratis.
1047
Prasetyo dalam Orang Miskin Dilarang Sakit menceritakan,
persekongkolan tengik ini bisa dilakukan dengan cara
beragam:
654
Eko Prasetyo, (2004), Orang Miskin Dilarang Sakit, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 99-100.
1048
dan menghormati prosedur perofesional yang dikerjakan oleh
aparat kesehatan. Makanya kalau ada kesalahan medis akibat
salah obat atau penanganan; mereka jarang sekali
mempertanyakan atau menuntut ganti rugi. Ini paling banyak
menimpah orang-orang susah yang hidup pada desa-desa
pedalaman, tertinggal, dan terpinggir. Akhirnya mereka
menjelma tak lebih dari konsumen yang terus-menerus
bergantung pada obat. Padahal ada banyak fakta yang
menunjukan bagaimana obat ikut menambah parah sebuah
penyakit. Studi kepustakaan yang dilakukan Knutt Schroeder
membuktikan bahwa obat batuk yang marak beredar di
pasaran menghasilkan efek-efek buruk bagi kesehatan.
Bermacam efek samping seperti mulut kering, kepala pusing
dan susah tidur justru memperparah kondisi penderita. Untuk
obat batuk saja, menurut daftar obat Indonesia, pada tahun
1994 telah beredar lebih dari 150 merk. Survei perihal derajat
kemanjuran obat belakangan ini mulai banyak dilakukan
orang. Hanya repotnya, sekali ada ketidakberesan dan bahaya
dari salah satu jenis obat, kita diminta secepatnya
berhubungan dengan dokter. Lagi-lagi ketergantungan
masyarakat dibentuk melalui pola konsumsi. 655
655
Ibid, Hlm. 37.
1049
membunuh masyarakat di tengah mahalnya biaya berobat.
Itulah mengapa peran LKMI sangat diharapkan untuk
membasmi keadaan tersebut. Gerakan alternatif mesti
dibangun untuk menekan dan meruntuhkan siklus kesehatan
yang kapitalistis. Kecongkakan sistem kesehatan yang
bersanding erat dengan ongkos kesehatan yang mahal, sanitasi
lingkungan yang buruk, dan gizi makanan yang rendah telah
mengukuhkan orang miskin jadi korban pemerintah berdarah
dingin. Makanya tugas LKMI adalah mendorong hadirnya
pelayanan kesehatan yang tak hanya berkutat pada disiplin
ilmu yang melulu medis, melainkan juga terkait masyarakat
dan sistem sosial yang membentuknya. Calon-calon dokter
atau perawat yang ada di LKMI saatnya terjun langsung ke
lapangan: berbaur dengan masyarakat, menanyakan keluhan-
keluhan mereka terkait kesehatan, dan menangani persoalan-
persoalan sosial yang dialaminya.
1050
struktur sosial, penghasilan ekonomi, dan kebijakan
pemerintah. Maka tandaskan pada meraka tentang suatu
penyakit banyak terkait dengan kebijakan yang diambil
penguasa. Dengan demikian penyuluhan tak sekedar memberi
pemahaman tapi lebih-lebih mendengarkan keluhan
masyarakat agar mereka bisa terlibat dalam masalah yang
dihadapinya.
1051
menerusnya muka-mukanya. Lembaga ini pula mesti cekatan
memberi antidot terhadap wabah yang dibawa arus
perkembangan teknologi dan informasi, yakni propaganda
borjuis yang menghegemoni kesadaran kritis masyarakat.
Apalagi kini revolusi industri telah memasuki era disprusi
yang membuat semua hal tecerabut dari akarnya: fenomena
ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya
dilakukan di dunia nyata ke dunia maya, sehingga terjadi
perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan sehari-
hari. Ini menjadi pemicu lahirnya generasi muda yang melek
internet.
1052
berhenti dan kembali ke belakang. Dari kerumunan satu
ke kerumunan lainnya, dalam kebisingan dan
keasingan. Generasi zaman ini berbondong-bondong
meninggalkan masa lalu menuju masa depan. Tapi di
manakah masa depan itu?656
656
Lihat Arba Megazhe Edisi 50 April 2019, Generasi Milenial di Era
Disrupsi, Surabaya: SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya Sekolah
Teladan Tradisional, Hlm. 8-9.
1053
Mereka kira kemiskinan bisa teratasi jikalau diberi
sumbangan. Malah yang ada rakyat semakin bergantung dan
lama-kelamaan perbuatan demikian akan menjadi candu untuk
rakyat miskin. Dramaturgi inilah yang dipertontonkan kepala
daerah macam Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri. Dia
begitu rajin menemui orang sakit sampai ke rumah sakit dan
mengunjungi rakyat kecil guna disorot media. Sedangkan
kepemimpinannya begitu asal-asalan. Jembatan dan jalan di
daerah pedalaman mengalami kerusakan. Lima belas Aparatur
Sipil Negara (ASN) korupsi enggan diseret ke pengadilan.
Kecamatan-kecamatan yang kekeringan sulit memperoleh air
bersih dan rakyat kesusahan memenuhi kehidupan rumah
tangga. Narkoba bergentayangan hampir di tiap pelosok
kabupaten. Kepala-kepala sekolah dan desa yang diduga
menyelewengkan anggaran pembangunan—hanya karena
dekat dengan kekuasaan maka—sulit diusut. Aksi-aksi protes
masyarakat kerap kali diganjari intimidasi preman dan ulah
represi aparat kepolisian.
1054
berbahaya adalah ketika hinggap pada muka masam
pemegang kekuasaan.
1055
Kini dengan kemajuan teknologi maka semakin canggih pula
cara-cara mereka untuk melakukan korupsi. Bayangkan
bagaimana pengadaan e-KTP pada tahun 2011 dan 2012
ternyata ikut menghasilkan koruptor yang berasal dari
Kemendagri dan petinggi DPR, sebesar Rp 2,315 miliar;
begitupun dengan suap proyek Sistem Komunikasi Radio
Terpadu di Kementerian Kehutanan, korupsi hibah kereta api
dari Jepang di Kementerian Perhubungan, maling anggaran
proyek pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan,
dan lain-lain. 657 Atas nama penyediaan barang-barang
teknologi inilah anggaran yang seharusnya digunakan untuk
menyejahterakan rakyat malah masuk kantong penjahat
berdasi. Layar media terus disesaki oleh informasi-informasi
seputar kejahatan para pejabat. Sementara penegakan hukum
atas koruptor berjalan di tempat. Bahkan penjahat korupsi e-
KTP, Setya Novanto (Setnov) sempat dua kali melarikan diri
dari hukuman. Lagi-lagi seperti banyak penjahat sisa Orba
lain: dengan bermodalkan surat keterangan sakit dari dokter,
mereka diijinkan periksa dan dirawat di rumah sakit—namun
dalam perawatannya tidak diberi penjagaan ketat hingga
mendapat kesempatan kabur.
657
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/15/13012381/18-kasus-
korupsi-besar-mangkrak-pimpinan-kpm-tegaskan-terus-bekerja
1056
Sherry Turkle dalam tulisannya I share therefore I am juga
menjelaskan tentang hal itu: ‘di era sekarang ini akun media
sosial kita pergunakan untuk mengungkapkan perasaan di
dalam diri kita dan merasa dengan membagi (share) perasaan
tadi, kita akan segera terhubung dengan teman-teman lainnya,
sehingga membuat perasaan cemas berubah menjadi nyaman.
Setiap harinya terdapat ratusan juta pengguna media sosial di
Indonesia’.658 Banyak di antara mereka kecewa dan protes di
dunia maya. Tenaga mereka habis berjam-jam hanya untuk
manyalaki kebiadaban kekuasaan. Sepatutnya LTMI bisa
menjadi sentra pengorganisir luapan-luapan kekecewaan
netizen. Jangan sampai emosi tersebut terbuang percuma.
Lembaga ini mesti memanfaatkan teknologi dengan
mengambil sikap advokatif. Keresahan-keresahan rakyat di
media sosial harus diorganisir, sehingga munculah gerakan-
gerakan beraneka hastag: #SaveKPK, #HukumMatiKoruptor,
dan sebagainya. Lalu gerakan online kemudian juga harus
diwujudkan dalam dunia nyata. Intinya teknologi dan
informasi mestilah dimanfaatkan sebagai alat dalam melawan
kejahatan penguasa dan membela rakyat miskin.
658
Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite—dirilis Januari 2019—
pengguna medsos di Indonesia mencapai 150 juta jiwa atau sebesar 56%
total populasi, dan dipastikan angka ini akan terus meroket. Mereka
berselancar di facebook, whatsApp, instagram, twiteer dan youtube. Dalam
media sosial—kurang lebih mereka menggunakan waktu 3 jam dalam sehari
(lihat https://databok.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/berapa-
pengguna-media-sosial-di-indonesia, dan wwwaresocial.com).
1057
harus ditarik keluar ke jalan. Begitu banyak lembaga negara
yang lalai dalam merealisasikan keterbukaan informasi
publik. Sebaiknya perilaku tersebut dicurigai dan dikritik.
Apalagi masyarakat wajib mendapatkan haknya untuk
informasi terkait berapa dan untuk apa anggaran-anggaran di
tiap-tiap instansi publik—termasuk berkait urusan kesehatan
dan pendidikan masyarakat. Sudah saatnya LTMI mengawal
setiap kebijakan pemerintah yang melukai hajat hidup rakyat.
Manfaatkanlah handphone atau leptop untuk penggunaan:
facebook, instagram, whatsapp, twiteer, youtube dan lain-lain.
Media-media ini saatnya dijadikan alat-alat propaganda
alternatif dalam menyulut kesadaran netizen ke aneka bentuk
perlawanan yang menjadi sebuah preferensi perjuangan—
terutama untuk mengorganisir amarah mereka hingga dirinya
tergerak terjun langsung ke jalanan bersama massa rakyat
tertindas dalam melakukan rapat umum, aksi massa, dan
pemogokan.
1058
…sebuah telepon genggam dari produsen ternama luar
negeri misalnya, tidak semata seonggok barang
nirpesan (bebas nilai). Ia hadir sebagai sebuah ikon
yang mengafirmasi suatu tanda, yakni gaya hidup
kelas.… Di sinilah semestinya aktivis mahasiswa
melakukan transformasi teknologi sekaligus
mendekonstruksi nilai tersebut. Temuan terbaru
teknologi semestinya tidak lagi dipandang bebas nilai.
Bukan masanya lagi mengapriorikan kenyataan adanya
gaya hidup dalam muatan produk-produk elekteronik.
Maka, alih-alih turut menikmati—disadari atau tidak—
nilai yang termuat pada produk TI ini, mereka
semestinya merumuskan nilai tandingan. Dalam hal ini
gaya hidup digantikan kesadaran politis. Jadi,
kewajiban utama aktivis gerakan mahasiswa dalam
penerapan TI adalah merumuskan nilai (baru).659
659
Yusuf Maulana, (2015), Aktivis Bingung Eksis, Surabaya: Pustaka Saga,
Hlm. 151-152.
1059
sekali LTMI membuat layanan pengaduan masyarakat untuk
mendengar keluhuan-keluhan orang-orang yang hak-haknya
tidak terakomodasi pelbagai kebijakan pemegang kekuasaan.
Sewaktu-waktu akumulasi penderitaan rakyat disalurkan ke
bentuk gerakan lapangan.
1060
sebagai senjata dalam menyulut menyalaknya perlawanan via
digital. Sementara amunisinya ialah tebaran-tebaran: meme-
meme provokatif yang menampar pikiran dan perasaan;
quotes pemberi inspirasi perlawanan kaum muda; dan video,
musik, foto, serta himpunan film dokumenter berkait
kejadian-kejadian yang merangkum penderitaan rakyat. Untuk
yang terakhir tak apa membuat orang-orang pesimis.
Giringlah mereka untuk melihat pelbagai realitas palsu yang
suram, tetapi kesuraman yang kemudian membangkitkan
dinamisme. Tujuannya jelas: supaya muncul sebuah—
meminjam istilah Dhaniel Dhakidae—‘sense of commitment
atau rasa komitmen’, untuk membela rakyat-rakyat miskin
yang sengaja dimiskinkan oleh cara kelola kekuasaan yang
selalu ingin memperkaya diri. Itulah mengapa diperlukan
kerja sama yang serius antara LTMI dengan Lapmi dalam
memantik timbulnya arus deras perubahan melalui sulutan
propaganda-propaganda media. Dewasa ini keperkasaan pena
dalam skala global telah termanifestasi pada gelombang-
gelombang demokratisasi sejak pertengahan 1970.
Gelombang demikian diidentifikasi oleh Samuel P.
Hungtingtong sebagai yang ketiga dalam sejarah dunia
modern. Misalnya pada 1989, secara dramatis gelombang itu
menumbangkan negara Soviet di Eropa Timur dan melahirkan
gerakan demokratisasi di negara banyak bekas-bekas
Republik Soviet.660
660
Eko Prasetyo, (2012), Kekuatan Pena, Jakarta: Indeks, Hlm. 27.
1061
teknologi harus diupayakan menjadi senjata makan tuan bagi
kapitalisme. Napoleon Bonaparte meyakini: ‘empat surat
kabar yang memesuhi lebih menakutkan ketimbang seribu
bayonet’. Memang tatkala orang seperti Napoleon berkuasa,
mereka sangat membenci gagasan intelektual. Di bawah
kekuasaannya kaum intelektual justru mengalami penindasan
lewat sensor dan militer atau polisi rahasia. Kekeresan dan
pembungkaman paksa tak jarang berujung kematian. Di
Indonesia, kekejian demikian persis yang dialami Udin dan
Prabangsa. Keduanya merupakan beberapa di antara jurnalis
yang mendapati kematian di tangan penguasa yang ketakutan
atas pemberitaan koran dan viralisasi media. Paniknya kelas
penguasa dalam menghadapi serangan-serangan media itulah
yang juga tersirat dalam brutalitas aparat kepolisian terhadap
puluhan wartawan saat gerakan 21-22 Mei 2019 lalu. Para
jurnalis dipikuli hingga babak belur dan seluruh peralatan
peliputannya direbut bahkan dihancurleburkan. Kemudian
Kominfo membungkam masyarakat dalam mengakses media
agar tidak memperoleh informasi yang menurut penguasa
dapat membahayakan status-quo.
1062
kehidupan yang semakin meminggirkan rakyat miskin.
Tuntutan utamanya adalah meminta dilaksanakannya
pemilihan umum secara langsung. Mereka menginginkan ada
ruang bagi warga mencalonkan kandidat-kandidatnya, karena
pesta demokrasi Hongkong sudah lama ditentutakan oleh
Komisi Pemilihan—kelompok yang menentukan pemilihan
Dewan Eksekutif atau Chief Excecutive Hongkong—yang
didominasi oleh kelompok bisnis Cina. Bertahun-tahun suara
rakyat miskin dan tertindas diabaikan, persis seperti
Indonesia: banyak kebijakan masih diskriminatif dan tidak
adil bagi rakyat-pekerja. Daripada berusaha memperbaiki
kehidupan rakyat dengan mendorong perubahan mendasar;
pejabat-pejabat di negeri ini justru berkongsi dengan
pengusaha hingga militer. Inilah yang membuat oligarki lahir,
tumbuh subur, dan merajalela. Lihat saja bagaimana para
juragan properti semakin kaya menguasai pemilikan tanah,
apartemen dan gedung-gedung komersial di segenap penjuru
Hongkong. Sewalaupun Umbrella Movement tak punya
pemimpin tunggal, tapi gerakan ini mengajarkan kita tentang
pentingnya peran mahasiswa dan wartawan.
1063
ditambah protes-protes seluler dari netizen—lama-kelamaan
efektif menggaet dukungan dari pelbagai elemen masyarakat
Hongkong hingga tercetusnya perlawanan secara kolosal. 661
Hasilnya pemilihan legislatif Hongkong jadi terbuka bagi
pelbagai kalangan. Meskipun pada akhirnya tokoh-tokoh
mahasiswa yang dituduh sebagai provokator divonis dalam
persidangan. Kini Gerakan Payung mengajarkan pada kita
bahwa untuk sebuah perubahan dibutuhkan tindakan. Dalam
bertindak diperlukan kesadaran, pengetahuan, dan
keterampilan teknis—lebih-lebih dalam memanfaatkan
kemajuan ilmu dan teknologi.
661
https://indoprogress.com/2014/11/umbrella-movement-ketika-pelajar-
hongkong-bergerak-menuntut-demokrasi-di-jalanan/
1064
melakukan sesuatu, merespon situasi dan memahami apa yang
terjadi. Maka geliat kapitalisme akan memicu terjadinya:
‘distingsi’. Dimana selera terhadap berbagai benda budaya
berfungsi sebagai tanda kelas yang menjadi pembeda dalam
kehidupan. Kemudian struktur kelas atau pekerjaan yang
dasarnya adalah budaya dan ekonomi menjadi penopang
dinamika gaya hidup.
662
Nurani Sayomukti, (2012), Sastra Perlawanan: Menggugat Seni-Budaya
Kapitalis, Menegakkan Seni-Sastra Kerakyatan yang Humanis-Kritis,
Malang: Beranda (Kelompok Penerbit Intrans) & STKIP PGRI Publishing,
Hlm. 65.
1065
dan mengekspresikan gaya hidup dengan berpilar pada paham
individualisme dan liberalisme yang melahirkan narsisme.
1066
dibutuhkan penghayatan yang dalam hingga mampu
membongkar selubung realitas palsu. Dari Sutan Syahrir kita
diajarkan: ‘hanya dengan jalan membaca roman orang dapat
memperoleh pengalaman-pengalaman lain dan hanya dengan
membaca sajak orang dapat mengenal pelbagai perasaan
murni yang ada pada manusia tetapi sering disembunyikan’.
Perjuangan dengan roman berarti mengharuskan LSBMI
melancarkan propaganda melalui sastra. Imanuel Kant pernah
berkata: ‘kalau seni yang indah tidak mengungkapkan
gagasan moral, gagasan yang menyatukan orang, itu bukanlah
seni, hanya hiburan. Orang perlu dibuat untuk menjauhkan
mereka dari kekecewaan dalam kehidupan’. Sekarang
banyaknya kader himpunan yang pandai mencipta puisi sudah
waktunya diarahkan untuk melakukan kerja-kerja penyadaran.
Singkatnya, puisi yang mereka tulis bukan sekedar memompa
semangat melainkan juga ruang refleksi dan kritik—terutama
untuk melihat kenyataan dalam getar jarak dan rasa.
1067
Novel karya Pramodya Ananta Toer diharamkan untuk
dibaca, hingga pengedarnya dapat tuduhan subversif. Rezim
Soeharto memang masa-masa seni-budaya dijadikan senjata
kaum muda dalam melawan kezaliman. Adalah Iwan Fals jadi
aktivis di dunia musik. Lagu-lagunya terbilang paling berani:
lirik lagunya mengkritik habis para wakil rakyat ‘jangan tidur
waktu sidang soal rakyat’ dan menampar Soeharto dengan
nyanyian ‘Ibu Tin’. Kemudian pula ada grup Elpamas yang
melawan dengan lagu ‘Pak Tua’. Sebuah karya yang
mengasosiasikan Soeharto sebagai orangtua yang sudah
seharusnya turun takhta dan menyerahkan urusan negara ke
tokoh yang lebih muda. Selanjutnya muncul juga Slank
dengan karyanya berjudul ‘Gosip Jalanan’. Lirik lagunya
secara kentara ditujukan kepada DPR yang korup: segala
aktivitasnya Ujung-Ujungnya Duit (UUD).
1068
mengalami sebuah ‘cultural turn (giliran budaya)’. Makna,
bahasa, identitas dan proliferasi (pembiakan) media dilihat
sebagai isu-isu penting yang menandai kondisi postmodern
dan global. Merujuk pada fenomena giliran budaya, Fredric
Jameson berpendapat bahwa ekonomi pun telah ikut-ikutan
menjadi kultural, berpatut soal makna, tanda dan imej.
663
Eric Hiariej, (2012), Globalisasi, Kapitalisme dan Perlawanan,
Yogyakarta: Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Hlm. 163.
1069
bahkan dapat pula terjun ke tengah-tengah masyarakat dan
mengornasirnya serupa yang dilakukan Jaker.
1070
kesempatan’. Inilah bentuk daya rajut seni terhadap sikap
keberagamaan yang toleran. Toleran terhadap setiap
kebenaran agama, namun membangun sikap kontradiktif
terhadap kapitalisme guna menjaga para penganut agama dari
hegemoni modal yang merusak moralitas kemanusiaan:
664
Eko Prasetyo, (2017), Bergeraklah Mahasiswa!, Malang: Intrans
Publishing dan Social Movement Institute, Hlm. 113-114.
1071
bisa dilancarkan. Memberikan kesadaran bagi para
penikmatnya atau setidaknya mengusahakan khalayak
mengkonfrontir antara kesadaran dengan kenyataan. Merujuk
istilah Walter Benjamin maupun Brecht, karya seni progresif
bersifat reflektif: memberi renungan atas kenyataan sosial dan
itu sebabnya bukan tanggapan murni emosional, tapi sekaligus
mengembangkan kesadaran atas lingkungan sosial. Seni juga
tak hanya berperan tunggal—membangkitkan kesadaran, tapi
juga memencarkan keindahan. GWF Hegel megatakan: ‘seni
bersikap kritis terhadap dunia untuk menciptakan rasa rindu
akan perasaan keindahan yang mampu menyingkirkan segala
yang buruk dan tercela dalam realitas politik praktis.
Kerinduan akan keindahan itu bertentangan dengan kerakusan
untuk memiliki segala dan semuanya’. Melalui kerja-kerja
kesenian LSBMI bisa tampil menjadi kekuatan perlawanan
sekaligus penyadaran terhadap kedangkalan-kedangkalan
westernisasi yang merusak budaya bangsa. Setidaknya
lembagai ini mampu melakukan perlawanan kecil-kecilan
serupa Serikat Pengamen Indonesia (SPI): membangun
budaya kerakyatan dalam men-counter hegemoni budaya
kelas penguasa.
1072
menggelorakan pernyataan ‘Mobilisasi’: Deklarasi Serikat
Pengamen Indonesia (SPI) dan aksi bersama Front
Pembebasan Nasional (FPN) 21 Mei. Gerakan pegiat seni
budaya ini melakukan penolakan pada rencana kenaikan BBM
dengan aksi massa dan rapat umum. SPI mengkampenyakan
perlawanan terhadap modal asing. Baginya pemerintah adalah
agen imperialisme—yang mencetuskan beragam kebijakan
neoliberal—hingga mendorong kenaikan BBM dan
kesengsaraan rakyat berkepanjangan. Makanya gerakan ini
begitu keras menyatakan sikap: “LAWAN ELIT POLITIK
PENIPU RAKYAT YANG SOK REFORMIS DAN
NASIONALIS—padahal hanya minta jatah dari modal asing”.
Lewat propaganda media, SPI menyuarakan secara lantang
ajakan melawan kaum kapitalis:
665
Kprm-prd.blogspot.com/2008/05/mobilisasi-deklarasi-serikat-
pengamen.html?m=1
1073
Tinggi Seni. Ia terlibat dalam SPI karena keinginan kerasnya
memperjuangkann hak-hak kaum miskin lewat gerakan seni
budaya yang revolusioner. SPI banyak menorehkan ide
tentang pendidikan gerakan yang patut dicontoh LSBMI.
Sebuah gerakan yang berbasiskan dan digerakkan langsung
oleh kaum miskin kota: petani, buruh, pedagang kaki lima
(PKL), pedagang asongan, tukang becak dan lain-lain. Maka
tidak salah lagi perubahan bukan mengemis pada penguasa,
melainkan dilakukan sendiri oleh kaum tertindas melalui
tindakan konkret. Dalam sebuah forum ilmiah di sebuah
kampus Bung Bob tegaskan:
666
Eko Prasetyo, (2008), Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!
Soekarno, Semaoen & Moh. Natsir, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 39.
1074
Revolusi sosial dapat diusahakan dengan mengembangkan
seni-budaya kerakyatan. Namun di era pasar bebas yang
ditunggangi kapitalisme-neoliberal ini begitu banyak karya
seni-sastra yang didominasi nuansa seksual. Walhasil, hasrat
seksual manusia diseret ke dalam arena budaya liberal.
Banyak penulis novel dan puisi yang lahir dari dunia artis-
selebritis dengan gaya glamor dan suka dugem. Mereka
adalah para borjuis yang akan meracuni kesenian rakyat
dengan luapan karya yang tidak pernah membawa mandat
membangkitkan semangat perlawanan. Bahkan jika diambil
definisi dari Nurani Soyomukti: ‘seni adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan keindahan yang diterima indera’. Maka
para artis yang tampil ganteng, cantik dan gila-gilaan entah
dengan keahlian memoles diri atau karena pesanan—yang
jelas semuanya adalah gambaran keindahan. Namun
pengamat estetika Rusia NG Chernyshevsky menjelaskan
bahwa keindahan adalah yang di dalamnya manusia melihat
kehidupan sebagaimana dipahaminya. Itulah mengapa seni
memproduksi segala sesuatu yang pada akhirnya menjadi
kepentingan manusia.667
667
Nurani Sayomukti, (2012), Sastra Perlawanan: Menggugat Seni-Budaya
Kapitalis, Menegakkan Seni-Sastra Kerakyatan yang Humanis-Kritis,
Malang: Beranda (Kelompok Penerbit Intrans) & STKIP PGRI Publishing,
Hlm. 62.
1075
menjejalkan ‘norma-norma keindahan tubuh’ para artis atau
seles. Bentuk, ukuran, warna dan bau mereka yang
kemewahan menjadi sebuah keindahan. Estetika tubuh ini
ditebarkan kepada masyarakat untuk membuatnya semakin
konsumtif: agar kapitalis dapat terus melanggengkan posisi
sosial sebagai pemilik alat produksi yang akan membuatnya
kaya dan hidup enak. Begitulah yang terpampang lewat iklan-
iklan rokok, parfum, elektronik, dan merk-merk produk yang
dipampang melalui daya tarik estetisasi tubuh gadis cantik
atau pria tampan. Ketika citra-citra dan estetika konsumtif
bisa diterima publik, maka stabilitas masyarakat kapitalis
terjamin. Keadaan ini membuat terjadinya ‘esttitasi kehidupan
sehari-hari’, hingga menyuburkan ide-ide dan rasa yang
dipengaruhi oleh seni pasar. Segala sesuatu kemudian mudah
dijadikan konsumsi oleh masyarakat; mulai dari sinetron,
cerita-cerita tabloid, majalah-majalah dewasa, dagelan pop,
lagu-lagu pop, dan lain-lain. Kondisi ini dalam banyak hal
dapat mempengaruhi keadaan batin masyarakat. Mereka tidak
hanya lupa akan kebutuhannya, melainkan pula jauh dari
penjelasan ekonomi-politik dari kondisinya dalam kelas-kelas
sosial.
1076
berkembanglah wacana-wacana seksualitas, humor,
pendidikan, kesehatan, politik, bahkan agama sebagaimana
yang terjadi dalam acara-acara dakwah ustad borjuis—yang
turut mengokohkan jaringan kapitalisme hingga semakin
melebar dan mendalam. Menghadapi inilah LSBMI
diharapkan mampu mengemban tugas penyadaran. Spektrum
kapitalisme yang telah menyentuh pelbagai lini kehidupan
mengharuskan lembaga kesenian ini tidak bergerak sendirian.
Lembaga-lembaga HMI lainnya dan segenap kader hijau-
hitam mesti disatupadukan guna memiliki daya serang yang
kuat. Bangunlah gertaan alternatif secara besar-besaran, yang
menaruh keyakinan pada kamampuan kaum miskin dan
tertindas untuk merebut kemenangan.
1077
dengan senang hati juga mencintai mereka. Meniru
penampilan, kepribadian serta tak ketinggalan menjadikannya
tauladan. Sementara kedamaian yang dimanipulasi telah
membuat rakyat bungkam dan tidak marah ketika negara
berutang setinggi langit, menaikan harga-harga kebutuhan
pokok, memasarkan kesehatan, mengkomersialisasi
pendidikan dan memutus subsidi. Bahkan karena alasan
kedamaian masyarakat tidak berang dan protes terhadap
persahabatahn penguasa, militer dan pemodal yang melalui
perusahaan-perusahaan pertambangan mengurak habis
kekayaan alam negeri ini.
668
Terry Eagleton, (2002), Marxisme dan Kritik Sastra, Yogyakarta:
Sumbu, Hlm. 34.
1078
dan fragmentasi masyarakat kapitalis; Nurani Soyomukti
mengajarkan kepada kita untuk memproyeksikan gambaran
yang kaya dan banyak segi keseluruhan kehidupan manusia.
Hal demikian dapat dilakukan lewat kerja-kerja kebudayaan
berbasis kerakyatan. Teater, puisi dan roman mesti
diusahakan menjadi altar penyadaran yang mampu
menggambarkan posisi ketertindasan rakyat oleh kekuatan
kemodalan.
1079
pasar. Tebaran ajakan memakai kosmetik, membeli pakaian
dan barang-barang mewah, serta merawat kecantikan
menempatkannya pada keadaan yang mudah diarahkan oleh
aparatus ideologis kapitalisme sebagai konsumen utama.
Sementara pada saat yang sama kebanyakan di antara
perempuan dijadikan tenaga kerja murah. Bukan sekedar
gajinya yang rendah, tapi juga kehormatannya. Telah banyak
kaum hawa mendera kasus pelecehan seksual dalam pabrik-
pabrik, gudang-gudang tembakau dan perkebunan. Lewat
seni-budaya seharusnya mereka bisa dicerahkan dan disulut
keberangannya untuk melawan. Sastra sangat tepat dijadikan
perajut komunikasi dan penyadaran. Apalagi perempuan
relatif memiliki waktu luang untuk banyak membaca roman
dan menulis keluh kesah serta kontradiksi dalam hidupnya.
Hanya saja perlu ada gerakan yang mampu menjangkaunya.
Tidaklah berlebihan kiranya LSBMI menggandeng Korps
HMI-Wati (Kohati) dalam aktivitas seni-budaya. Tentu kader
HMI-Wati pasti banyak yang memiliki gairah kesusasteraan.
Pencerahan kaum perempuan melalui sastra sangat tepat
melawan arus modernisasi yang mendukung berkembang
biaknya seni-budaya borjuis.
1080
novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah
perempuan yang bernama asli Sanikem. Semulanya berkalang
dalam kebodohan dan penindasan feodal. Ayahnya telah
menjual dirinya pada tuan kolonial. Kedekatannya dengan
keilmuan barat kemudian hari membuatnya tercerahkan.
Pertemuannya dengan pengetahuan telah membawa dirinya
pada sebuah sikap dan pendirian baru. Baginya melawan
penindasan yang dimunculkan oleh sistem pemerintahan
kolonial merupakan prinsip. Terlepas dari persoalan menang
atau kalah. Melawan kezaliman adalah sebuah kehormatan
kalau dilakukan secara terhormat. Keyakinan itu kelak
diajarkan pada anak angkatnya, Minke. Karena sebuah
keyakinannya sebagai manusia merdeka anak muda ini tak
pernah berkompromi dengan penindas. Bahkan ayahnya yang
merupakan seorang yang feodalistik tidak disukainya.
1081
perempuan. Bagi Pramoedya Ananta Toer, Kartini tidak
punya massa apalagi uang. Yang dipunyainya adalah
kepekaaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala perasaan
yang tertekan itu. Dia begitu menginsyafi kepengarangan
adalah tugas sosial dan keinsyafan itu disebut Pramoedya
sebagai ‘manifest kepengarangan Kartini’. Berasal dari
kesadaran batinnya tentang kewajiban-kewajibannya terhadap
rakyatnya, bangsanya dan negerinya.669 Kartini tidak sekedar
menyaksikan bagaimana penidasan kolonial yang membuat
rakyatnya dan kaum hawa mengalami keterbelengguan,
melainkan juga ikut merasakan pemenjaraan tatanan dan
tradisi patriarkhi, sebagaimana ditulisnya pada Stella
Zeehendelaar—Jepara, tertanggal 25 Mei 1899—begini:
669
Pramoedya Ananta Toer, (2003), Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta
Timur: Lentera Dipantara, Hlm. 5-6.
670
Gagasan emansipasi Kartini memicu tumbuhnya organisasi-organisasi
wanita pada rentang tahun 1912-1928. Antara lain: Putri Mardika Jakarta
(1912), Keutamaan Istri Tasikmalaya (1913), Serikat Siti Fatimah Garut
(1918), Wanita Utomo Yogyakarta (1921), Aisyiyah Yogyakarta (1917),
Sarekat Putri Islam Yogyakarta (1925), Wanita Katolik Yogyakarta (1920),
Ina Tumi Ambon (1927), Persatuan Tarbiyah Islamiyah Jakarta (1928) dan
Putri Setia Manado (1928), serta organisasi lainnya yang berkembang di
1082
Keadaan batin yang demikian melahirkan dorongan-dorongan
untuk mencapai pembebasan. Kelak buah pikiran Kartini
dikenal sebagai gagasan feminisme terawal di Indonesia. Ide
emansipasi yang kemudian berkembang melalui pendidikan,
hingga menjadi wacana terkuat dan tajam yang mewarnai
masa pergerakan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
gagasan feminisme yang ditorehkan Kartini dikemudian hari
mengilhami lahirnya Kohati. Buku Korps HMI-Wati dalam
Sejarah 1966-1994 menjelaskan bahwa kesadaran untuk
meningkatkan peranan dan aktivitas kader-kader perempuan
himpunan telah mendorong terbentuknya Korps HMI-Wati
(Kohati). Jika dikatakan HMI merupakan kader umat dan
kader bangsa, dengan demikian HMI-Wati turut serta
bersamanya menjadi kader wanita Islam. 671 Lembaga
kewanitaan ini telah menjadi tempat kaum hawa menyuarakan
dan mewujudkan pelbagai aspirasinya. Apabila pada tahun
1800-an Kartini telah menginspirasi sejumlah organisasi
gerakan hingga dikenal sebagai gelombang pertama dari
feminisme, maka Kohati adalah gelombang kedua
berkembangnya feminisme yang tertoreh pada tahun 1960-
an.672
1083
politik yang setara bagi perempuan; (b) Menyusun sebuah
deklarasi perempuan sebagai sebuah kelompok dan sejumlah
teori yang telah diciptakan oleh perempuan; (c) Kepercayaan
pada perlunya perubahan sosial yang luas yang berfungsi
untuk meningkatkan daya perempuan.673 Dari pengistilahan
ini maka penting kiranya Kohati memperjuangkan feminisme
dalam cakupan gerakan-gerakan perempuan maupun
perjuangan emansipasinya. Lerner menjelaskan bahwa
gerakan hak-hak perempuan berarti sebuah gerakan yang
peduli dengan pemenangan bagi kesetaraan perempuan
dengan laki-laki dalam semua aspek masyarakat dan memberi
mereka aspek pada semua hak-hak dan kesemapatan-
kesempatan yang dinikmati laki-laki dalam institusi-institusi
kemasyarakatan. Maka dominasi laki-laki dalam sistem
patriarki membawa segudang kekerasan bagi perempuan—
pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi,
pelecehan seksual—harus diadvokasi oleh Kohati. Kasus
kekerasan seksual sebagaimana yang dialami Agni semestinya
disuarakan. Agni harus dibela dan menjadi kewajiban Kohati
untuk mendesak pelaku immoral serta Universitas Gadjah
Mada (UGM) bertanggung jawab. Begitupun dengan
pelecahan sosial dan ketidakadilan hukum yang menimpa
Baiq Nuril dan Anindya Shabrina tidak boleh HMI-Wati
abaikan dan tutup mata. Harus ada desakan terhadap para
perusak kemanusiaan untuk menyerahkan dirinya hingga
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pengambil
kebijakan juga harus didesak untuk membuat aturan-aturan
673
C.Y. Marselina Nope, (2005), Jerat Kapitalisme Atas Perempuan,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 66.
1084
yang memihak dan melindungi perempuan dari banalitas
kejahatan yang begitu rupa.
674
http://medium.com/lingkaran-solidaritas/telaah-teologis-progresif-
perempuan-dan-kekerasan-4c46f48773ba
1085
yang mampu meninggirendahkan derajat seseorang adalah
nilai pengabdian dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha
Esa, maka ajaran Islam yang fundamen adalah persamaan
manusia: laki-laki dan perempuan maupun antar-bangsa, suku
dan keturunan.
675
C.Y. Marselina Nope, (2005), Jerat Kapitalisme Atas Perempuan,
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 116.
1086
pekerja upahan di luar rumah, kebanyakan perempuan
yang telah menikah tidak dapat, karena pekerjaan
produksi ulang itu sendiri telah menyita banyak jam
kerja dari kebanyakan hidup perempuan yang
menikah….
1087
Dengan demikian perjuangan feminisme Kohati saatnya
mengambil posisi yang tidak asal-asalan. Jangan sampai
perjuangan pembebasan dari sistem patriarki membuat
gerakan terjatuh dalam kubangan kapitalisme. Gerbang
kesetaraan memang dibuka lebar-lebar. Keadaan ini
menciptakan kompetisi antar-individu dalam arena kehidupan.
Laki-laki dan perempuan saling bersaing dalam
mempertahankan kapital yang ritmenya dikendalikan pasar.
Sehingga dalam memandang person-person manusia,
kapitalisme mengabaikan kodrat kemanusiaan bahwa laki-laki
dan perempuan secara alamiah dan biologis berbeda.
Perempuan tersegregasi ketika memasuki sistem produksi.
Karakter lahiriah perempuan yang membedakannya dengan
laki-laki menghalanginya untuk lebih produktif. Tapi
kapitalisme enggan peduli, malah memperlakukan manusia
semata-mata dari pencapaiannya berproduksi. Memang
kesetaraan, kebebasan, demokrasi dan individualisme yang
identik dengan kapitalisme membawa dua dampak besar
terhadap kehidupan perempuan. Kapitalisme mendorong
pemberdayaan perempuan tapi pada saat yang sama
memasung perempuan dipaksa berkompetisi.
1088
keperempuanannya dan atribut-atribut yang melekat dalam
dirinya. Sangat memprihatinkan apabila mereka melalaikan
tanggung jawab dan kewajibannya sebagai ibu dan istri karena
tak mampu menahan dorongan ekstraktif dari kapitalisme
yang membuatnya lebih mengutamakan karir, ambisi dan
kesenangan yang bersembunyi di balik slogan ‘perempuan
berhak atas hidup, tubuh dan pilihannya’. Jangan sampai
perempuan terus-menerus dibodohi oleh kebiadaban sistem
kapitalisme. C.Y. Marselina Nope dalam Jerat Kapitalisme
Atas Perempuan—yang mengutip artikel Indrasari
Tjandraningsih berjudul Buruh Perempuan Menguak Mitos—
memberi gambaran bagaimana kapitalisme membuat
terombang-ambingnya kehidupan perempuan dalam ranah
produksi dan reproduksi. Fungsi ekonomis perempuan malah
tereduksi oleh industri yang berakar pada berbagai
pertimbangan faktor keperempuanan. Dia memaparkan:
1089
sambilan. Heyzer dan Tan menulis ada dua konsep
yang dapat dianggap menjadi penyebab terbentuknya
anggapan seperti itu. Pertama, family wage atau suatu
keyakinan bahwa lelaki adalah penghasil nafkah
keluarga karena dia sebagai kepala keluarga. Kedua,
continuity of work (keberlangsungan kerja), yang
mengasumsikan bahwa perempuan selalu akan
mengundurkan diri dari pekerjaannya pada suatu saat
untuk melahirkan dan merawat anak, sehingga dengan
demikian tidak menjamin kontinuitas kerja mereka. 676
1090
kekerasan seksual yang gadis ini dapatkan tak mampu
menghadirkan pertanggungjawaban dari pelaku. Nasib serupa
menimpa Ibu Nuril—pelecehan seksual yang dialaminya telah
memerosotkan harga dirinya. Hukum bukan malah
melindungi tapi ikut menghisap keuangannya: denda Rp 500
juta dimintakan kepadanya dengan tanpa memedulikan
posisinya sebagai korban kekerasan seksual.
1091
serangan ideologis dan programatik. Amunisinya adalah
menggunakan karya sastra seperti Kartini: menorehkan
tulisan-tulisan yang mewarnai dan memberikan nuansa estetis
pada gerakan sosial dan politik guna menghancurkan akar
penyebab ketertindasan perempuan.
677
Albert Camus (dll), (1998), Seni, Politik dan Pemberontakan,
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Hlm. xxxii.
1092
eksistensi kaum Hawa. Kemudian pada tingkatan praktek,
hadirkan program-program kerja yang memfokuskan pada
munculnya kegiatan-kegiatan pemberdayaan dengan mengkat
isu pentingnya kemandirian secara ekonomi sebagai pintu
pembebasan perempuan. Lalu lanjutkan dengan gerakan sosial
yang mendukung perlakuan setara atas perempuan di bidang
sosial, budaya dan politik. Kemudian bangkitkan tindakan-
tindakan advokatif secara kolektif pada pelbagai kasus
kekerasan, pelanggaran, pelecehan dan perampasan hak-hak
mereka.
1093
Latihan (BPL) pengkaderan. Eko Prasetyo menyebutnya
sebagai pendidikan perlawanan.678 Kegiatan belajar-mengajar
diusahakan membawa mandat pembebasan. Supaya kelak
kader-kader mengambil pengetahuan dari kemelaratan,
kekerasan dan ketimpangan di lingkungan sekelilingnya.
Kemudian mampu mengukuhkan kepedulian, keberpihakan
dan keberanian untuk menggulirkan wacana-wacana
perubahan menuju aksi-aksi lapangan.
678
Lihat Eko Prasetyo, (2006), Guru: Mendidik Itu Melawan, Yogyakarta:
Resist Book, Hlm. 186.
1094
Kemudian materi-materi kaderisasi haruslah progresif,
meliputi: pertama, realitas sosial yang penuh ketimpangan
dan diskriminasi dijadikan sandaran untuk melihat secara
kritis tatanan sosial yang terbentuk: untuk mendorong
kepekaan sosial mereka dan memotivasinya untuk ikut andil
dalam proses perubahan sosial; kedua, kekuasaan politik
maupun modal yang telah menjadi landasan bagi semua
transaksi sosial dan tumbuh kembangnya budaya pragmatis,
konsumtif, patriarki, serta bertahannya sisa-sisa feodal: guna
mengembangkan kesadaran kritis tentang struktur sosial
maupun jaringan kekuasaan yang selama ini mendominasi
sistem birokrasi, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan; ketiga, sejarah bukan sebagai tindakan elit
melainkan juga serangkaian tindakan-tindakan massa maupun
rakyat kecil yang turut serta merumuskan identitas
kebangsaan: supaya melatih mereka melihat fakta historis
dalam garis pandang gerakan sosial dan memberikan
perspektif populis dalam membaca alur pergerakan sejarah.
Selanjutnya metodologi pembelajaran yang digunakan yakni:
pertama, meletakkan peserta didik sebagai bagian dari proses
pembelajaran dan meletakan mereka sebagai subjek
pembelajar: demi mengembangkan kesadaran pada mereka
kalau proses pembelajaran adalah latihan untuk memupuk
akal sehat, toleransi dan mengasah kepekaan; kedua, Master
of Training dan pemateri berperan sebagai fasilitator ruang
kelas dan organizer yang melihat tugas mengajar sebagai
bagian dari kegiatan politik: agar mendidik tidak semata-mata
menjalankan fungsi transfer pengetahuan melainkan
bagaimana meletakkan pembelajaran sebagai proses
kesadaran politik; ketiga, teks pembelajaran bukan hanya ada
pada buku (materi berdasarkan modul LK dan semacamnya)
1095
melainkan juga pada kenyataan-kenyataan historis yang
berbarbalut ketimpangan, kesenjangan dan diskriminasi: agar
pengetahuan bukan sekedar kumpulan informasi melainkan
realitas dinamis yang terjadi di lingkungan sosial.
1096
ajaran Islam. Namun berhenti pada ideal-moral itu akan
menjadi idealis sepenuhnya—tentu akan membawa masalah
sampai bertolak pada kondisi-kondisi konkret, material, dan
aktual dari kehidupan yang hendak dijawab.679
679
https://Islambergerak.com/2016/10/membangun-keberislaman-yang-
materialis/
1097
Kita tidak pungkiri HMI kadang kala melakukan gerakan
protes. Aksi-aksi yang dilancarkan oleh masing-masing
Cabang kerap kali tak melatih banyak kader menganalisis
permasalahan secara mendalam dan serius. Soalnya
kebanyakan gerakannya mengandalkan instruksi aksi dari PB
HMI. Itulah kenapa kader-kader himpunan paling sukanya
menanggapi persoalan-persoalan nasional ketimbang daerah.
Namun jika ada yang Cabang yang menyoroti persoalan
lokal—dalam protes-protesnya—nyaris sama seperti aksi
nasionalnya: hampir tidak melibatkan rakyat yang hak-haknya
disuarakan. Buruh, petani, nelayan, tukang ojek dan becak,
PKL dan lain-lain—yang secara langsung dirugikan oleh
salahnya kebijakan-kebijakan—abai diorganisir untuk
bergabung ke dalam gerakan. Alasannya begitu sepele: ‘HMI
bukan organisasi massa, melainkan organisasi kader’. Padahal
garis batas antara organisasi massa dengan kader itu adalah
sejauh menyangkut soal disiplin keanggotaan bukan dalam
menyangkut mobilisasi demi meraih kekuatan dalam
pergerakan. Gerakan kemudian jadi begitu monoton,
pembelaan terhadap kepentingan rakyat lebih banyak
diartikulasikan ke dalam bentuk demo, demo dan demo.
Dalam kondisi inilah gerakan kontan terjebak pada modus
aktivisme. Gerakan mereka lakukan bukan berdasarkan
pembacaan atas gerak material yang ada. Melainkan
dorongan-dorongan sentimentil saja.
1098
aksinya. Mana mungkin organisasi yang sebelumnya jarang
terjung mengadakan pelatihan, pendidikan dan mendorong
massa untuk bergerak mau didengarkan secara tiba-tiba oleh
rakyat. Jangankan massa luas yang bukan kader, anggota
sendiri pun sukar diarahkan untuk sama-sama turun
menyuarakan aspirasi rakyat. Makanya Cabang-Cabang
pemilik daftar nama ratusan bahkan ribuan kader tapi saat
diajak mengikuti parlemen jalanan, yang hadir justru tak
sampai belasan. Mereka malah lebih banyak menghabiskan
waktu untuk membaca dan berdiskusi ketimbang aksi. Seolah
gerak perubahan dalam sejarah hanya digerakan oleh
individu-individu yang pintar dan cerdas. Padahal sekaliber
Ali Syari’ati dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah
ajaran sosial pertama yang meyakini gerak perubahan dalam
sejarah dan masyarakat itu dilakukan oleh massa. Pemikiran
ini diuraikan dengan jelas oleh Marx: perubahan dalam
sejarah dan masyarakat memang dilakukan massa, tetapi
motor penggeraknya adalah pertentangan kelas. Dalam
gagasannya ia melihat dalam masyarakat ada kelas borjuis dan
proletar, namun pemilik kekuatan terbesar adalah kaum
proletar: orang miskin dan tertindas yang notabene sebagian
besar berasal dari kelas pekerja.
1099
bukanlah musuh tapi saingan. Sehingga dalam autensitas
pemikirannya dilihat kesungguhan mensintesakan antara
Islam dan komunisme. Inilah yang menggerakannya terlibat
aktif dalam menggerakan rakyat melakukan perlawanan
terhadap penguasa rezim penindas. Ceramah-ceramah dan
kuliah-kuliahnya dianggap berbahaya oleh pemerintah, karena
ia mendorong massa untuk melawan kekuasaan yang zalim.
Apa yang dilakukannya begitu menampakan hawa perjuangan
kelas: menggagap bahwa rakyat miskin dan tertindaslah yang
memiliki kekuatan besar dalam menciptakan perubahan.
Hidupnya kemudian diakhiri dengan kematian menjadi martir
di altar kekuasaan.
680
Ibid.
1100
oleh BPL pada tiap-tiap training HMI. Rasa-rasanya memang
sudah waktunya training-training perlu ditanamkan kebencian
kepada orang-orang yang tampil dengan aneka sikap durjana.
Misalnya, berhaji dari uang yang diperoleh dari tunggakan
gaji para buruh atau hasil merampas lahan yang menjadi
tempat bergantung keluarga miskin. Membaca Qur’an dalam
setiap training juga kemudian mesti diarahkan pada kenyatan-
kenyataan yang sedang terjadi. Eko Prasetyo menyebutnya
sebagai tindakan ‘membaca Qur’an dalam spirit
perlawanan’. 681
1101
Pasti ada persamaan antara zaman sekarang dengan zamannya
Lahab; yang dirajai oleh kebebasan semu kapitalisme,
kesetiaan buta pada golongan tertentu, perbudakan tenaga
kerja, dan penumpukan kekayaan ke tangan segelintir
kalangan. Kondisi ini membuat orang kaya semakin kaya dan
yang miskin ditindas habis-habisan. Sepanjang sejarah jadinya
hanya ada dua kekuatan dalam masyarakat: penindas dan
tertindas.
1102
kaya sementara di dasarnya terdapat banyak orang miskin.
Untuk melakukan perubahan langkah gesit yang diambil
Muhammad ialah tindakan revolusioner: membangun gerakan
pengorganisiran massa tertindas. Melalui gerakan ini Islam
kemudian secara diametral melawan dan berusaha
meruntuhkan kekuatan kapitalis.
1103
mungkin. Trutama mulai dari Basic Training HMI. Di mana
saat forum LK I para peserta diajak untuk mentranformasikan
kesadaran keberagamaan menuju alam yang konkret dengan
belajar mengenal rakyat. Sudah waktunya Master of Training
mengalokasikan waktu secukupnya untuk mengarahkan
calon-calon anggota organisasi membentuk kelompok lalu
terjun ke lapangan, pemukiman penduduk, ataupun tempat
seabrek warga bekerja untuk membantu, menanyakan keluh
kesah mereka, sekaligus kenal langsung bagaimana kondisi
kehidupannya. Pengalaman ini tentunya mampu
menumbuhkan kepekaan sebagai modal perjuangan yang
lebih besar. Pertemuan kelompok peserta training dengan
rakyat—sewalaupun hanya bebera jam—pasti memberi
referensi soal cara kerja sistem sosial dalam lingkungan
kemasyarakatan. Kemudian setelah calon-calon kader itu
kembali ke forum; pengelola latihan memberikan mereka
kesempatan untuk mempresentasikan segala sesuatu yang
dialaminya. Lebih-kebih agar mereka bisa melihat dengan
jelas bahwa kemiskinan, ketertindasan dan kesengsaraan
masyarakat tak serta-merta muncul karena kehendak Tuhan.
Karena peserta justru digugah oleh fakta-fakta lapangan yang
diperolehnya tentang kemiskinan maupun ketertindasan
lainnya yang selalu lahir dari keburukan sistem dan
ketimpangan struktur.
1104
sekedar paham teori tanpa praktek. Tetapi Basic Training
sesungguhnya meletakkan keyakinan manusia untuk
melakukan aksi dalam mempercepat perubahan. Itulah
mengapa BPL HMI diharapkan mampu menyulut api
kesadaran anak-anak muda yang petama kali mengikuti
perkaderan untuk senantiasa mengimplementasikan prinsip-
prinsip keislaman melalui kerja gerakan. Karena memang
sebelum mengecap suasana kaderisasi himpunan mereka telah
diracuni oleh sistem kuliah yang memekarkan dogma
menjinjikan untuk membentuk budak-budak intelektual. Guna
memajukan kesadaran korban-korban perkuliahan itulah
proses rekruitmen LK I mesti dinisbahkan sebagai ajang
mengenalkan calon kader pada teori dan gerakan sosial yang
menampilkan dimensi praksis: jabaran dari nilai, visi dan
ideologi ‘Islam’ yang membebaskan.
1105
mendedikasikan dirinya untuk menyoroti kenyataan-
kenyataan pahit, pedih dan penderitaan rakyat; ketimbang
terjerambab pada wacana-wacana langit yang hanya berputar-
putar mencari Tuhan dan membicarakan datangnya hari akhir.
682
Munir Che Anam, (2008), Muhammad SAW & Karl Marx: Tentang
Masyaarakat Tanpa Kelas, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, Hlm. 142.
1106
kenyataan-kenyataan kongkret di dunia. Melalui cara inilah
ajaran Islam tidak stagnan dan menghadirkan agama sebagai
candu masyarakat sebagaimana yang diungkapkan Karl Marx
dalam kritiknya yang amat tajam dan menggugah pikiran kita:
1107
abad pertengahan didukung penuh. Itulah mengapa hubungan
di antara para anggota lapis atas dalam struktur lembaga
agama dengan masyarakat cenderung bersifat patron-client
dan Gereja mengaggap dirinya wakil Tuhan di muka bumi.
Makanya rakyat harus tunduk dan patuh pada otoritas
kegamanaan yang meniupkan ilusi. Mereka kemudian
menganggap hidupnya tidak penting, karena mereka lebih
mengutamakan syurga ketimbang memperjuangkan hidup di
alam ini. Situasi dan kondisi seperti yang dianggap Marx
membawa kemerosotan bagi para penganut agama.
Keberagmaannya tak mampu menggerakan seseorang
mengubah dunianya. Keberagamaan kemudian hanya ada
dalam peribadatan formal, tapi tak bisa diaktualisasikan
melalui proses perkembangan masyarakat dan sejarah. Dalam
argumen Marx dan Engels, agama seharusnya dapat mereka
dijelaskan dalam kondisi sosio-historis, tidak selamanya harus
teologis dan terkotakkan pada dikotomi pahala-dosa dan
surga-neraka.683 Kritik Marx atas agama kelak juga kembali
ditegaskan oleh Lenin. Dia secara ekspresif melukiskan
kesengsaraan rakyat dalam ilusi keberagamaan yang pasif ala
borjuis:
683
https://id.m.wikipedia/org/wiki/agama_adalah_candu/
1108
miskin berkekurangan sepanjang hidupnya telah dididik
oleh agama untuk bersikap pasrah dan sabar di dunia ini
sambil terlena akan imbalan surgawi. Sementara
mereka yang hidup di atas kerja keras orang lain dididik
oleh agama untuk bersikap dermawan saat di dunia
sehingga dengan begitu posisinya sebagai para
pengeksploitasi manusia-manusia lain bisa dijustifikasi
keberadaannya dan menjadikan mereka kemudahan
untuk masuk surga. Agama adalah candu masyarakat,
agama adalah sejenis arak spiritual, yang di dalamnya
para budak kapital menggagalkan citra manusiawinya,
menggagalkan hasratnya menjadi manusia.
1109
jawabannya: merupakan paham dari organisasi terlarang yang
tidak boleh dipelajari. Lalu sosialisme-komunisme jadilah
barang yang terus dilecehkan dengan beragam stigma naïf.
Terutama membahayakan keberadaan agama. Padahal
keberagamaan yang disilangkan dengan komunis itu akan
memuliakan manusia dan agamanya. Eko Prasetyo dalam
Agama itu Bukan Candu (2005) pernah menjelaskan bahwa
sosialisme atau komunisme yang diajarkan Marx merupakan
sebuah interpretasi yang otentik atas agama. Kritik marxisme
atas agama adalah kritik terhadap cara-cara empiris manusia
menjalankan keberagamaannya. Dalam konteks peradaban
saat ini, kritik tersebut sungguh mengena. Keberagamaan itu
soalnya menjadi modus eksistensi borjuis-kapitalis yang
menjadi kelas penguasa di mana-mana:
1110
biasanya bergentayangan sampai menyuruh orang-
orang yang ditimpah kemiskinan, penderitaan dan
kehinaan untuk selalu bersabar. Pemahaman
keagamaan yang seperti ini membuat penganutnya
takluk di bawah gelombang individualis, koruptif dan
konsumsif, hingga membuat orang-orang hanya
menjadi penonton sejarah.684
684
Eko P. Darmawan, (2005), Agama itu Bukan Candu, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 19.
1111
ilusi-ilusi yang menyelubunginya dan pulih kembali
indera-indera dan perasaannya, dan dengan itu dia akan
menjadi Matahari yang sejati bagi dirinya sendiri.
Agama tak lain dari Matahari bayangan yang akan
menerangi manusia sepanjang manusia itu tak sanggup
menerangi dirinya sendiri.
1112
Dialektika adalah sebuah metode untuk memikirkan
dan mengartikan dunia baik yang mewujud dalam alam
maupun dalam masyarakat. Ia adalah sebuah cara untuk
melihat semesta, yang berangkat dari aksioma bahwa
segala hal berada dalam kondisi yang selalu berubah
dan mengalir. Tapi bukan hanya itu. Dialektika
menjelaskan bahwa perubahan dan pergerakan
melibatkan kontradiksi dan hanya dapat terjadi melalui
kontradiksi itu. Jadi, bukannya sebuah garis progres
yang mulus dan tak terputus-putus, melalui dialektika
kita mendapati suatu garis yang di sana-sini disela
dengan priode-priode yang mendadak dan meledak-
ledak, di mana akumulasi dari perubahan yang kecil-
kecil (perubahan kuantitatif) menjalani suatu
percepatan yang tinggi, di mana kuntitas diubah
menjadi kualitas. Dialektika adalah logika dari
kontradiksi. 685
685
Alan Woods dan Ted Grant, (2015), Nalar yang Memberontak: Filsafat
Marxisme dan Sains Modern, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 41.
1113
maka akan mudah diketahui kenapa Marx tidak menerima
agama sebagai kenyataan ilahiah—itu karena dia melihat yang
nyata hanyalah materi. Sedangkan mengapa kebanyakan umat
beragama tak mau membuka diri untuk menandaskan
kapitalisme bukan hanya berada dalam persoalan moral tapi
juga sosial, lebih-lebih lantaran terlalu kentalnya mereka
memandang perubahaan keduniaan berpatokan pada ide-ide
keagamaan. Pada akhirnya orang-orang terjebak dalam
pemikiran berlandaskan idealisme total, tanpa mau
menghiraukan kenyataan-kenyataan konkret yang ada di alam.
686
https://indoprogress.com/2013/marxisme-dan-ateisme/
1114
untuk menyerang kaum agamawan yang tidak mau bergerak
secara revolusioner, sedangkan para agamawan pendukung
kekuasaan juga diarahkan menyerang orang-orang komunis
dengan melancarkan aneka stigma: anti-tuhan, sesat, kafir,
dan sebagainya.
1115
dorongan keagamaan. Materialisme historis, dialektika
materialis dan perjuangan kelas dari komunisme disandingkan
oleh Misbach dengan Islam sebagai agama pembebasan.
687
Dr. Syamsul Bakri, (2015), Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-
1942, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, Hlm. 147.
1116
Gagasan Misbach tentunya dapat dimengerti sebagai
pelampauan logika spiritual agama untuk keluar dari ranah
kebenarannya sendiri dan bertemu dengan kenyataan faktual
dunia. Ini serupa dengan pemikiran agamawan Kristiani
Thomas Muenzer. Dia mematutkan diri sebagai teolog
pemimpin para petani revolusioner dari abad ke-16. Oposisi
revolusioner terhadap feodalisme pada abad pertengahan
didasari oleh semangat keagamaan yang membuatnya mampu
mendorong massa rakyat melakukan pemberontakan. Orang-
orang miskin melarat dilecut keberanian dan disulut
kesadarannya oleh ajaran-ajaran Muenzer: pemahaman atas
Injil dipadukan dengan komunisme. Risalah-risalah
keagamaan yang ditebarkan oleh Muenzer dari dalam gereja
beringsut keluar ke lingkungan rakyat miskin dan tertindas,
diungkapkan oleh Karl Kautsky dengan apik: ‘betapapun jika
upaya untuk mewujudkan perintah komunistis pada
masyarakat itu menimbulkan hal yang klenik. Maka, di tangan
lain, perjuangan dengan sebuah gereja dibentuk oleh
pertumbuhan ide-ide komunis’. Makanya Engels sampai
berkata bahwa Kristianitas itu sendiri adalah revolusi:
ketertarikannya terhadap kelas miskin dan tertindas, petani,
dan pengangguran kaum miskin kota; hal tersebut
menguntungkan banyak hal bagi gerakan sosialisme pada
waktu itu.688
688
http://gerakanaksara.blogspot.com/2017/06/sosialisme -dan-agama-
sebagai-alat/
1117
gagasan Engels yang melihat kesejajaran sosialisme modern
dengan agama Kristen primitif dan membuatnya tertarik
dengan cara Muenzer untuk menjelaskan bahwa bahasa
teologis sebagai jubah untuk ‘pidato politis’ menanggapi
kekecewaan ekonomi rakyat Inggris. Pandangan yang begini
kemudian membuat gagasan Engels serupa pikiran Marx;
mereka berdua sama-sama meilihat karakter ganda dari
agama, yang mempertahankan tatanan dominan, namun di sisi
lain dapat mengubahnya. Itulah yang membuat Al-Fayyadl
kemudian menilai penglihatan Engels atas gerakan yang
dibangkitkan penginjil Muenzer lebih terdengar teologis.
Karena di sisi lain Muenzer tampak seperti seorang ateis yang
revolusioner, padahal dia merupakan seorang agamawan yang
taat. Stereotip ini jugalah yang selama ini dilekatkan pada
Misbach: oleh sebagian kalangan yang melihatnya secara
sekilas dia diberi stigma sebagai seorang ateis. Tetapi dari
dekat dirinya merupakan seorang muslim yang revolusioner
dengan visi: Islam membutuhkan alat bernama komunisme
untuk mengkongkretkan misi dan cita-cita agama. Kesadaran
keagamaan kemudian disilangkan dengan komunisme. Dalam
tangan Misbach Islam ditransormasikan menjadi ideologi.
Islam sebagai ideologi tidak sekedar memandang kenyataan-
kenyataan ketidakadilan dan ketertindasan, tapi juga
berkeinginan keras mengubahnya. Semua ini dilakukan demi
menghadikan doktrin-doktrin Islam yang ditafsirkan dengan
beralatkan komunisme sebagai pisau dalam membedah
kenyataan-kenyataan di alam materil.
1118
dari Marx. Organisasi keagamaan yang tidak menggunakan
senjata marxisme, amat rawan akan ancaman kekuatan modal.
Gerakan juga kurang mampu bersikap serius dalam memihak
kepada rakyat miskin dan tertindas. Itulah yang tercermin
lewat Kongres HMI di Riau dan Ambon yang masing-masing
menghabiskan anggaran Rp 5,3 miliar dan Rp 5,8 miliar.
Dengan uang sebanyak inilah tak heran tersebar kabar
terjadinya jual-beli suara peserta utusan saat Kongres. Konon:
harga pemilik suara penuh Rp 25 juta per kepala. Uang-uang
daerah yang notabene berasal dari rakyat bukan dipergunakan
meretaskan kemiskinan, melainkan digunakan untuk
kepentingan pesta demokrasi organisasi mahasiswa. Ketum
yang terpilih dengan menghabiskan anggaran rakyat Rp 5,8
miliar setelah naik ke singgasana malah seperti kegirangan:
melakukan tindakan immoral. Lantas kepengurusan
mengalami dualisme. Uniknya rentetan kejadian dari kasus
immoral sampai HMI mengalami dualisme berbarengan
dengan dinamika Pemilu 2019. Memang menjelang Pemilu
tidak hanya himpunan yang mengalami keterpecahan,
melainkan juga sekaliber pengurus KNPI yang pernah dikader
di HMI.
1119
persoalan-persoalan formalistik guna perbaikan citra yang
telah tercoreng. Organisasi yang demikian—kalau bagi
Misbach—bisa dianggap telah terjebak dalam misi
kapitalisme-imperialisme: menggiring agama menjauh dari
rakyat miskin dan tertindas untuk hanya mempersoalkan hal
privat. Keadaan demikian selanjutnya membuat HMI
menjauhi dunia pergerakan. Perhimpunan Islam yang seperti
ini tentu akan menghadirkan kader-kader yang menjadikan
agama sebagai candunya kaum kromo. Karena Islam yang
dipasangkan pada himpunan tidak pernah mencari dan berani
mengutuk kekuatan modal yang membuat hilangnya
kemaslahatan umum. Ini terbukti melalui eksistensi organisasi
yang cenderung menampilkan Islam sebagai ibadah formal
saja. Maka wajarlah kader-kadernya lebih suka
mempersoalkan perilaku asusila, tetapi diam terhadap
serangan-serangan kapitalisme yang membuat orang-orang
jadi asosial dan banyak menghardik kaum mustadafin dan
dhuafa.
1120
gagasan yang berguna sebagai alat perlawanan terhadap
kekuatan modal perlu diajarkan ketika pertama kali memasuki
pintu himpunan. Tentu ke depan kita tidak ingin HMI terus-
terusan menjadi organisasi yang melakukan pemborosan, baik
dalam kongres maupun dalam aktivitas-aktivitas lainnya.
Apalagi kemudian itu membuat kader hijau hitam hanya
disibukan oleh urusan perebutan kursi kekuasaan organisasi
dan menjauhkan diri dari permasalahan rakyat, umat dan
bangsa. Semua ini harus dianggap sebagai masalah kronis
dalam HMI. Hanya ajaran keberislaman yang materialis
dengan pisau marxisme yang dapat menjadi obat alternatifnya.
Melaluinya kader-kader yang lahir dari rahim HMI mampu
mengobarkan semangat revolusioner yang terus-menerus dan
berkomitmen memerangi kapitalisme.
1121
kalangan menengah dan hasilnya tak jelas dirasakan kaum
miskin dan tertindas. Hal serupa sama dengan yang dialami
Badko Nusra tahun lalu. Badko ini mengadakan kuliah umum
di Islamic Center dengan mengundang pemateri-pemateri
nasional, yang merupakan tokoh-tokoh dan pejabat-pejabat
pemerintahan. Namun dalam pelaksanaannya persis orang
yang berjudi. Sebab dalam menggelar kegiatan, uang untuk
sewa tempat dan lain sebagainya tidak hanya didapatkan dari
proposal yang diajukan ke instansi pemerintahan melainkan
juga berasal dari hasil gadai motor seorang kader. Kendaraan
tersebut digadai lantaran ongkos berkegiatan belum semuanya
cair hingga dicarikanlah tambalan. Nanti sehabis acara baru
dana-dana pengeluaran itu diganti. Jika ada anggaran yang
lebih maka akan dimasukan sebagai kas organisasi. Kegiatan
yang semacam ini juga marak dilakukan kader HMI
sewalaupun tanpa membawa-bawa nama dan bendera
organisasi. Itulah yang terjadi sewaktu kuliah umum BEM
Nusantara di Auditarium Unram dulu. Hanya karena ada
senior dari PB yang terlibat dalam kegiatan, maka panitia dan
peserta kegiatannya bisa dengan mudah diambil dari kader-
kader HMI. Paling lelah adalah kader yang berada di
Komisariat yang menjadi junior dari senior-seniornya yang
terlibat mengawal acara.
1122
setiap aktivitas yang disuruhlakukan oleh seniornya kerap kali
dianggap sebagai latihan dan jalan untuk berproses. Kondisi
ini terkadang beraroma feodal, karena yang muncul
dipermukaan adalah fenomena penghambaan: tuan
pemerintah dan budak penurut. Apa yang keluar dari mulut
senior selalu saja dianggap benar dan baik oleh karena itu
tidak bisa dibantah. Hal ini sama dengan pendidikan gaya
bank yang dibenci oleh Paulo Freire: kader hanya bisa diisi
dengan apapun tak peduli itu kotor. Makanya tak heran—
dalam kegiatan BEM Nusantara—si junior digunakan tenaga
dan waktunya demi lancarnya hajatan. Ada yang masuk dalam
seksi peralatan, konsumsi hingga disuruh jadi sopir buat antar
jemput tamu-tamu dan orang-orang yang ditokohkan. Tapi
mereka tentunya dapat imbalan baik itu uang maupun sebatas
nomor handphone untuk menambah koneksi.
689
Sumber: sekelumit peristiwa ini pernah saya lihat dan rasakan sendiri
sewaktu aktif di HMI.
1123
definisi kaderisasi justru jadi kian rancu: apakah kader adalah
mereka yang melaksanakan aktivitas organisasi?, ataukah
cuma mereka yang membebek dan bersedia turut pada
perintah senior yang berkeneksi sampai ke relung-relung
birokrasi? Sekarang, perlu sekali calon-calon kader HMI
dalam Latihan Kader I dibekali dengan ilmu yang mengutuk
negara dan kapitalisme. Tujuan jelas: supaya mereka tidak
mudah menjadi budak kelas penguasa hingga diperas tenaga
lebih banyak daripada yang mereka peroleh. Tentunya kita tak
mau HMI menjadi semacam perusahaan tempat
berlangsungnya sirkulasi modal bagi para majikan dengan
cara memeras keringat orang-orang yang diperbudak begitu
rupa.
1124
Doktrin materialis yang menyatakan bahwa manusia
adalah produk dari lingkungan dan pendidikan, dan
karena itu manusia berubah manakala lingkungan dan
pendidikannya berubah. Lupa bahwa manusialah yang
mengubah lingkungan dan karena itu yang hakiki ialah
mendidik sang pendidik.
1125
ditokohkan, tanpa mampu bertanggung jawab dalam
menentukan pilihan.
1126
bahwa jika setiap orang menjadi ‘Matahari’ bagi
dirinya sendiri, maka akan terjadi anarkisme pendapat
tentang kebenaran. Maka bagi mereka, bukanlah lebih
baik jika kemudian tetap ada otoritas, sementara
mayoritas yang lain cukuplah menjadi pengikut?
Anggapan semacam ini sesungguhnya berasal dari
asumsi tak sadar yang menganggap seolah-olah
kebenaran itu adalah barang yang istimewa, kebenaran
itu tidak bisa dimiliki oleh setiap orang. Hanya mereka
yang istimewalah yang memegang benda istimewa
tersebut. Anggapan yang membedakan kebenaran itulah
yang lalu menciptakan semacam relasi yang tak sehat
dalam kehidupan religiusitas. Kehidupan tak sehat
macam apa? Yaitu kerdilnya daya kearifan dalam setiap
individu. Individu-individu beragama menjadi massa
yang senantiasa harus menunggu sabda ‘orang-orang
istimewa’ untuk tahu bagaimana harus menilai dan
bertindak atas realitas.690
690
Eko P. Darmawan, (2005), Agama Itu Bukan Candu, Yogyakarta: Resist
Book, Hlm. 184-185.
1127
sesungguhnya memiliki kebenaran. Maka tidak salah lagi,
matahari yang ditemukan Marx melalui pemikiran
materialisnya merupakan cahaya yang berasal dari pancaran
sumber segala kebenaran. Dengan Matahari yang terkandung
dalam diri manusia itu dapat menumbuhkan kearifan yang
membuatnya benci terhadap segala bentuk penindasan. Lewat
kearifan pulalah seseorang punya energi yang memencar
keluar dirinya untuk memerangi kegelapan, sehingga
selubung dari kapitalisme akan tersingkap dan realitas
ketimpangan dapat terlihat jelas untuk kemudian diubah.
1128
mereka yang mengaku muslim, tetapi tidak berjuang melawan
fitnah-kapitalisme adalah munafik.
1129
teguh. Dalam tulisannya Medan Moeslim yang berjudul Islam
dan Gerakan, ia mengingatkan Tjokro agar segera sadar dari
kesalahannya dengan membandingkan dirinya dengan kisah
kekalahan Adam di tangan iblis: ‘pada waktoe bapa kita nabi
Adam masih di taman firdaus, setan telah menipunya dan
menjatuhkannya dengan berboeat seolah-olah membawa
perintah Toehan’. Sekarang O.S. Tjokroaminoto akan
memperdayai anak-anak Adam dengan berboeat seolah-olah
adalah pemimpin yang aktif di jalan Islam’.
1130
jelas hubungan negara dan warganya. 691 Dahulu dapat
dikatakan bahwa gerakan komunisme Islam dari Misbach
yang melandaskan diri pada ajaran pembebesan Islam
merupakan lompatan progresif dan transformatif dari
pemahamannya akan hikmah-hikmah dalam Qur’an.
691
Dr. Moeslim Abdurrahman (pengantar), (2003), Islam Pribumi, Jakarta:
Erlangga.
1131
diharoeskanlah dan malah wadjib mereka itoe
memeloeknja; inilah jang menjebabkan kita mesti fikir
lebih dalam … soedah saja oetarakan betapa nasib
ra’jat djadjahan itoe, boleh sekali dikatakan orang
sebagaimana halnja boeroeng jang ada di dalam
sangkar, jang djoega terikat dengan beberapa ikatan
jang begitoe koeat. Soedah tentoe sadja, roesaklah
kemerdekaan hidoep itoe, djika tida’ dapat kebebasan
dari segala ikatan tadi. Roesaklah kemerdekaan itoe,
berarti djoega roesaknja Iman pada Allah Ta’ala, djika
mereka itoe ta’ segan menjoesoen kekoewatan bersama
goena menghindarkan diri dari pada segala ikatan
orang, karena disebabkan: pertama, hidoep bersama
terganggoe; kedoewa: tidak merdeka poela memboewat
barang sesoeatoe perintah Allah jang terma’toep dalam
Qoer’an djika perintah itoe dipraktijkan; ketiga,
terpaksa menoerut perintah oerang jang banjak djoega
tidak sesoeai ataoe bertentangan dengan kehendak
Qoer’an.
1132
kekoewatan goena membebaskan sebab-sebab
terseboet. Tebaklah hei toean-toean pembatja!
692
Lihatlah selengkapnya tulisan H.M. Misbach yang berjudul Perbarisan
Islam Bergerak: Sikap Kita dalam karya Takashi Shiraishi, (1990), Zaman
Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti, Hlm. 136-137.
1133
Qoer’an menetapkan bahwa merupakan kewajiban
setiap moeslim untuk mengakui hak asasi manusia dan
pokok ini djuga ada dalam prinsip-prinsip komunis …
adalah perintah Tuhan bahwa [kita] harus berjoeang
melawan penindasan dan penghisapan. Ini juga salah
satu sasaran komunisme. Sehingga benar jika dikatakan
bahwa ia jang tida’ dapat menerima prinsip-prinsip
komunisme itu bukanlah moeslim sejati. Dan itulah
sebabnja mengapa yang Maha Kuasa dengan keras
mengutuk ibadat dan salat jang dilakukan PEB [Politiek
Economische Bond: karena di dalamnja tergaboeng
anggota-anggota Jamiyatul Kasanah, Muhammadiyah
dan CSI]. Sebab setiap jang percaya pada-Nja terikat
kewajiban membasmi penindasan, penekanan dan
penghisapan dan ini jang diabaikan oleh seksi agama
PEB. Komunisme tidak toleran pada diskriminasi
pangkat dan ras, dan dengan demikian mengutuk
keberadaan kelas-kelas di masyarakat.693
693
Ibid, Hlm. 367.
1134
EPILOG:
1135
dengan konteks penjajahan kontemporer: imperialisme yang
didalangi oleh kapitalisme. Kapitalisme hingga kini terus-
menerus melanggengkan eksploitasi de 1’homme par
I’homme. Penindasan-demi-penindasan merajalela tanpa
menggunakan senjata sebagaimana penjajahan klasik. Kawan
dan lawan tidak mudah dikenali. Itulah mengapa ada manusia
yang dengan mudahnya merampas hak-hak saudaranya.
Bahkan Bung Karno pun ikut menandaskannya begitu rupa:
‘perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi
perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara
sendiri’.
1136
manusia dan binatang berkawan dalam sebuah kehidupan
rimba yang polos dan sensual, ikatan-ikatan afektif begitu
kuat: kebersamaan begitu hidup antar-sesama manusia
maupun alam.
1137
ekonomi dan budaya makin lama semakin terkoptasi oleh
kapitalisme. Bahkan agama telah terkomersialisasi oleh yang
namanya setan uang. Fenomena inipun berangsur-angsur
nampak mulai berpenetrasi ke dalam gerakan HMI. Lihat saja
bagaimana idealisme perkaderan direcoki dengan mudah,
karena kader-kadernya kebanyakan mengejar kemapanan
yang berdiri di atas kekuatan modal. Gerakan organisasi
kemudian menumpul. semenjak Orde Baru sampai Pasca-
Reformasi himpunan tak mampu memperbaiki gerakannya.
Itulah kenapa tidak ada proposal perubahan yang ditawarkan
untuk kehidupan rakyat, umat dan bangsa. Usaha-usaha
menuju terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya
masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT—jauh dari
panggang dari api.
1138
Komisariat bersenang hati bantu-bantu di setiap kegiatan
serimonial, terutama yang berdiri di atas kerjasama
mendukung program-program lembaga pemerintahan. Lalu
insan yang bernafaskan Islam, tidak pernah beringsut dari
persoalan moral semata. Islam bagi mereka lebih dimaknai
sebagai pengatur tingkah-laku individu saja. Tengoklah
bagaimana maraknya omelan terhadap tindakan immoral
Ketum PB HMI ketimbang menjadikan Islam sebagai agama
protes terhadap penindasan-penindasan yang dialami rakyat.
1139
Tentu hari-hari ini begitu banyak anggota biasa yang sudah
bosan melihat gerakan HMI yang bergerak secara elitis
ketimbang revolusiner. Apalagi sangat sedikit gagasan-
gagasan himpunan yang mengambil peran gerakan dari
bawah: membangun kekauatan rakyat. Malah yang
menggeliat ialah perubahan-perubahan yang ingin dilakukan
dengan keyakinan dimulai dari atas: dekat dengan para
pejabat. Hal demikian pasti membuat kita semakin muak. Itu
jelas terbukti lewat kritik-keritik terhadap pengurus HMI.
Mereka lebih tepat diasosiasikan sebagai kader pejabat
daripada kader HMI. Tetapi bila diberi stigma begini pasti di
antara mereka melakukan pembelaan: pejabat yang didekati
adalah senior atau alumni HMI. Perbuatannya kemudian
menjadi amat disederhanakan dengan dalih: silaturaHMI. Ini
tidak akan meluncurkan independensi, apalagi yang didekati
adalah senior-senior alias alumni sendiri. Dus, bertemu
dengan para politisi dianggap biasa dan lama-lama menjadi
kebiasaan. Mungkin inilah yang membuat pengurus-
pengurusnya lebih suka berpenampilan mirip pejabat
ketimbang mahasiswa. Rapinya mereka minta ampun dech..,
jika dalam kegiatan-kegiatan organisasi belum menggunakan
batik, sepatu pentopel, jam tangan, minyak wangi, tentu dirasa
belum oke. Nongkrongnya lebih banyak di tempat-tempat
mewah yang terlalu ramai dan berisik untuk diskusi.
1140
Komisariat saja. Itupun cukup formal, paling lama 2 jam, dan
para peserta terkadang lebih tertarik pada cemilan yang
disediakan pengurus ketimbang sajian materi. Bahasan ilmiah
pun sulit sekali menemukan saluran ke dunia aksi. Lagi-lagi
hanya sebatas wacana. Keadaan begini membuat program
kerja-program kerja tak mampu menyentuh kalangan akar
rumput. Walhasil, HMI lantas begitu jauh dari sikap
kerakyatan. Banyak persoalan-persoalan rakyat yang lupa
dibela himpunan. Soalnya jika ada gerakannya yang populis
itu hanya pas momen-momen tertentu saja. Inilah mengapa
pembelaan-pembelaan terhadap kepentingan kaum bisa tampil
dan hilang sesuka hati: sekedar untuk membuktikan bahwa
HMI masih ada. Harapannya mungkin agar dianggap
organisasi ini masih berisi orang-orang yang idealis. Padahal
program kerjanya lebih banyak menjadi ekspresi kepentingan
borjuis. Di Cabang, Badko, atau PB sekalipun; seminar,
kuliah umum, diskusi publik dan semacamnya sasarannya
hanya kalangan-kalangan mahasiswa, pejabat dan pengusaha.
Kini HMI yang disebut-sebut Jendral Soedirman sebagai
harapan masyarakat Indonesia jadi sebatas wahana untuk
memenuhi hasrat-hasrat masyarakat kapitalis. Rupa-rupanya
organisasi ini mungkin sudah lupa dengan pesan Soedirman:
‘HMI jangan menyendiri’. Kesendirian di sini dimaksudkan
sebagai gerakan yang cenderung ekslusif. Soalnya bila
melakukan pergerakan jarang melibatkan rakyat miskin dan
tertindas. Gerakannya juga begitu tertutup sekali untuk
bekerjasama dengan organisasi kepemudaan di luar Cipayung
Plus. Makanya HMI sangat terlihat kaku dalam membangun
gerakan bersama organisasi progresif. Pengurus-pengurusnya
paling suka main dengan organisasi-organisasi mahasiswa
keagamaan modernis dan sejenis. Sementara untuk organisasi-
1141
organisasi kiri—SMI, FMN, PEMBEBASAN, dan lain-lain—
sangat-sangat dijauhi dan tidak pernah bisa ketemu.
1142
penyamun itu senantiasa menjilat siapa saja. Inilah penyebab
seringnya terjadi kasus jual-beli jabatan dalam birokrasi.
Keadaan begini membuat kekuasaan menjadi lahan subur
oligarki; (2) Kapitalis swasta. Bentuknya memang lebih
mandiri dari ikatan dengan birokrasi. Inilah kenapa setan uang
yang ini lebih kreatif, sehingga dapat ditemui pada aneka
bidang: entertainment (artis dan ustad), bisnis perbankan, dan
industri manufaktur. Ketiganya menjadi pemicu tumbuhnya
budaya konsumsi dalam kehidupan masyarakat; (3) Kapitalis-
imperialis (modal asing). Golongan yang paling sudah lama
menghegemoni negeri ini. Mereka membuat pemerintah tidak
peduli terhadap nasib rakyat. Kebijakan-kebijakan yang
dihasilkannya hanya untuk memenuhi kebutuhan lembaga
perdagangan internasional, yang telah mengalirkan modal
kepada negara. Utang lama-kelamaan beratambah banyak dan
negara menjadi peakitan. Makanya segala sektor kehidupan
rakyat gampang sekali dikomersialisasi, seperti yang terjadi
pada bidang kesehatan dan pendidikan. Sementara yang
paling para dijarah adalah sumber daya alam: minyak, hutan,
tembaga, gas, bauksit, batubara, dan lain-lain.
1143
HMI) malah ditanami keyakinan untuk membencinya lewat
sajian materi yang parsial dan penuh stigma. Pengajaran
beginilah yang melanggengkan sikap ketertutupan dan
kesempitan berpikir calon anggota. Bahkan jika mereka sudah
resmi menjadi anggotanya dapat dipastikan bahwa kebencian
akan paham komunis terus bertambah, karena dalam praktek
berorganisasi yang mengambil bentuk sosionomi bakal terus
mereproduksi keterikatan dengan kelompoknya. Demikian
membuat seseorang sullit berpikir, merasa dan berkehendak
sebagai manusia merdeka. Soalnya lingkungan perkaderan
mengharuskan anggapan mayoritas terhadap sesatnya
marxisme-leninisme ditelan begitu saja. Padahal melalui
pandangan marxis-leninis sangat berguna sebagai landasan
membuat program kerja organisasi yang menyeluruh, teratur
dan terencana guna memerangi kapitalisme.
1144
ideolog. Mereka adalah kader progresif yang tidak sekedar
memposisikan ajaran Tuhan sebagai sesuatu yang ideal
semata, melainkan berusaha mewujudkan seruan wahyu
dalam kehidupan dunia. Pengimplementasian kalam ilahi ke
alam nyata guna mewujudkan kehidupan syurgawi di dunia
tentu tmembutuhkan alat. Alatnya ialah komunisme, sebuah
ilmu yang akan membuat kita melihat dunia secara
menyeluruh untuk kemudian mengubahnya lewat kerja-kerja
gerakan. Melalui penyilangan antara Islam dengan komunis,
maka resistensi atas penindasan manusia oleh kapitalisme
juga pasti bisa digencarkan.
1145
melainkan mendorongnya mengambil sikap untuk
mengubahnya.
1146
Nabi dan rasul merupakan aktivis di zamannya. Mereka itu
sesungguhnya menempuh jalan pembebasan yang kemudian
hari diproklamirkan Marx sebagai bentuk perjuangan kelas.
Melalui konfrontasi yang tiada henti dan berbekal doktrin-
doktrin pencerahan dari wahyu yang diajarkan melalui
dakwah-dakwahnya, kesadaran perlawanan kaum mustad’afin
dan duafa dikuatkan. Kelas penindas yang merupakan kaum
mustakbirin kemudian dapat dirobohkan oleh massa miskin
dan tertindas. Yang demikian—dikatakan Ali Syari’ati—
terjadi karena Islam diangkat sebagai ideologi: ‘ketika para
utasan Tuhan ini muncul dari kalangan suku-suku tertentu,
ketika mereka memimpin gerakan-gerakan historis untuk
membangkitkan dan mencerahkan kemanusiaan, dan mereka
memproklamasikan semboyan mereka secara jelas dalam
mendukung massa manusia—pada saat itulah para pengikut
muncul di sekitar mereka, dan bergabung bersama mereka
atas kehendak bebasnya sendiri. Itulah saat kemunculan
agama sebagai ideologi’. Ideologi bagi Syari’ati adalah
pembawaan tertinggi yang paling bernilai bagi manusia. Tidak
dalam bentuk ilmu, teknologi, seni, cita rasa keagamaan
maupun sosial-politis, tetapi merupakan ‘kesadaran diri
manusia’:
1147
fatal; betapa dirinya hidup semata-mata untuk
menanggung derita, memikul beban berat, menahan
lapar demi memuaskan kesenangan dan kenikmatan
yang dirasakan orang lain.… Semua nilai
dijungkirbalikkan ketika Nabi Saw sendiri memimpin
dimulainya ikhtiar menghancurkan segenap tatanan
jahiliah dan pola kecongkakan kaum ningrat. Beliau
Saw memerintahkan para bangsawan untuk
memendekkan jubah-jubah yang biasa mereka
kenankan dan memotong janggut-janggut panjang
lambang tingkat kepriyayian mereka. Beliau Saw
memerintahkan mereka untuk mengubah gaya berjalan
mereka yang penuh kesombongan, menunggang kuda
pun diharuskan bersedia berboncengan berdua. Bahkan,
untuk itu, beliau Saw tak segan-segan menghancurkan
nilai-nilai aristokrat seraya menanamkan nilai-nilai
luhur (monoteisme).694
694
Ali Syari’ati, (2011), Do’a Tangisan dan Perlawanan, Refleksi
Sosialisme Religius: Doa Ahlulbait dan Asyura di Karbala, Yogyakarta:
Rausyanfikr Institute, Hlm. 191-193.
1148
didapatkannya dari ajaran Karl Marx mendorongnya
melakukan perjuangan kelas sebagaimana yang diperbuat
nabi-nabi. Hidupnya dihabiskan hanya untuk berjuan
mengangkat derajat buruh dan tani yang dilucuti
kehormatannya. Pembelaan terhadap kaum miskin dan
tertindas dilakukan melalui pengorganisiran rasa tidak puas
dan gerakan perlawanan terhadap kelas penguasa. Maka sepak
terjang Misbach masuk dalam kategori tindakan pembebasan.
Perbuatan membebaskan manusia dari belenggu penindasan
ini merupakan misi kenabian. Hanya tanpa membawa atribut
nabi dan rasul pun; sebagai manusia biasa kita berpotensi
mengemban misi kenabian. Muhammad Al Fayyadl
menjelaskan:
1149
Tetapi Misbach bisa menauladani keluhuran para utusan
Tuhan itu dengan beralatkan komunis. Sadar akan perjuangan
kelas yang sedang ditembuhnya maka dia tak menyerah meski
ditekan, dipukul dan hajar kanan-kiri oleh kekuasaan
kolonialis-kapitalis. Sekarang, jika HMI mau membangun
gerakan anti-kapitalis maka sudah seharusnya mempelajari
dan mengajarkan ilmu-ilmu komunis. Memang misi kenabian
jarang orang berani dan sanggup melaksanakannya, tetapi
dengan menggunakan materialisme dialektik dan dialektika
historis—yang disandingkan dengan ajaran pembebasan
wahyu—maka perjuangan kelas para nabi dan rasul dapat
dihidupkan kembali guna membebaskan umat manusia dari
penindasan kapitalisme. Bahkan melalui pemakaian ilmu
komunis itulah agama tidak bakal lagi ditampilkan sebagai
rezim kebenaran yang mendukung status quo. Mungkin dalam
kondisi inilah HMI tak akan cuma diam waktu ada
pelanggaran HAM, penggusuran lahan petani, dan PHK para
buruh. Organisasi pasti juga tidak bakal ketinggalan dalam
mencipta dan menyalurkan ide serta gagasan tentang
perubahan sosial.
1150
melainkan hanya taat dan patuh kepada garis perjuangan dan
keputusan-keputusan organisasional yang demokratis.
Sekarang, jika HMI ingin menjadi organisasi yang memiliki
keberpihakan pada rakyakt miskin dan tertindas; tentu spirit
keislaman kader-kadernya mesti diarahkan ke jalan yang
transformatif. Makanya keberislaman yang materialis menjadi
syarat dalam menempah kader progresif. Melaluinya kita
tidak lagi harus takut, membatasi diri, dan bermusuhan
dengan segala yang berbau komunis. Tetapi justru
diperkenalkan dengan ajaran revolusioner dari teori-teori
marxis-leninis. Singkatnya: gerakan organisasi diberikan
banyak pelajaran analisis tentang struktur sosial.
1151
pada sim salabim atau ‘ptah! (sabda!). Tan menuliskannya
secara ekspresif tapi menyindir tentang itu:
695
Tan Malaka, (2010), Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika),
Jakarta: PT Suaka Buku, Hlm. 38.
1152
pemerintah bukanlah lembaga supra-masyarakat tapi bagian
mata rantai yang fungsinya sangat luas. Makanya perubahan
itu tidak selamanya selalu datang dari atas!
1153
membutuhkan apa-apa dari hamba-Nya. Oleh karenanya—
dalam pemikiran Syari’ati—yang membutuhkan pinjaman,
bantuan, ataupun pertolongan ialah kaum mustad’afin dan
dhuafa. Itulah mengapa pembelaan-pembelaan terhadap
kepentingan mereka menjadi yang utama dan pertama. Dalam
menjadikan Islam sebagai ideologi perlawanan, maka prinsip
sosialisme Islam menuntut untuk segera diaktualisasikan:
pertama, melawan segala bentuk penindasan dan
kesewenang-wenangan; kedua, menentang monopoli ekonomi
dan kapitalisme; ketiga, Islam membela kaum lemah dan
tertindas. dan keempat, menegakkan keadilan dan prinsip
pemerataan. Untuk mengusahakan terwujudnya cita-cita
pembebasan ini adalah menjauhkan diri dari jalan perjuangan
yang menganggap segala perubahan datangnya dari
pemerintah, tetapi membangun gerakan populis. Menurut
Hasan Hanafi, keseluruhan warisan kesejarahan Islam
menunjuk kepada keharusan pencegahan hubungan langsung
antara Islam dengan kekuasaan.696
696
Listiyono, dkk, (2015), Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hlm. 272.
1154
menjadi pemikir Islam dengan keyakinan bahwa tradisi agama
mempunyai pijakan ideologis yang kuat untuk menggerakan
perubahan sosial. Dunia Islam baginya jika tidak ingin
tersobek di antara tradisionalisme dan sekularisme—antara
konservatifme dan progresivisme, dan antara
fundamentalisme dan westernisme—maka tidak ada jalan lain
yang dapat dilakukan, kecuali memakai landasan kekayaan
tradisi-tradisi Islam lama yang dimaknai secara dinamis dan
kreatif. Tradisi-tradisi Islam lama itulah yang tercermin dalam
perjuangan-perjuangan pembebasan para nabi yang digerakan
oleh semangat ketauhidan. Kemudian untuk menariknya
kembali sekarang diperlukan elaborasi tradisi lama dengan
abstraksi atas basis material massa dan kebudayaan dari
ideologi-ideologi modern yang menjadi pertautan menarik di
antara bangunan epistemologi dalam sebuah paradigma.
1155
mengukuhkan keyakinannya untuk senantiasa membangunkan
kaum tertindas, terhisap dan miskin dari ilusi-ilusi sistem dan
struktur yang rusak. Sikap revolusioner Hanafi terukir lewat
risalah penyadarannya berikut:
1156
manusia kecuali karyanya sendiri. Dan tidak ada
kesuksesan kecuali dengan bekerja sama dengan rakyat
banyak yang diperkuat dinamika sejarah. Sebenarnya
keberhasilan untuk menghimpun kekuatan tidak akan
pernah datang dengan mendoakan orang-orang yang
kuat. Juga, tidak dengan memohon pertolongan kepada
pemberi kekuatan. (Tetapi) kekuatan diraih dengan
persiapan dan kerja.697
1157
manusia memahami dirinya lewat bekerja. Karena dalam
pekerjaannya manusia menyatakan diri tidak hanya
berkesadaran secara intelektual, melainkan berkarya secara
nyata sehingga ia memandang dirinya sendiri. Pandangan ini
sejalan dengan perspektif fenomenologi Hegelian. Marx
menjelaskan, sudut pandang Hegel sebagai pandangan
ekonomi-politik modern. Dia memahami pekerjaan sebagai
esensi dari manusia yang sedang menyatakan diri. Tetapi yang
dilihatnya hanyalah segi positif dari pekerjaan, bukan sisi
negatifnya. Oleh karena itu, pekerjaan adalah gerak manusia
untuk menjadi dirinya sendiri dengan menempatkan dirinya di
luar dirinya sendiri, sebagai manusia yang memproyeksikan
dirinya sendiri di luar dirinya.698
698
Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens (ed.), (1978), Sekitar Manusia:
Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia, Jakarta: Gramedia. Hlm. 83.
1158
manusia memberhalakan hasil pekerjaannya sendiri. Inilah
yang sedang terjadi dalam kehidupan di negeri ini: budaya
konsumtif menjadi perwujudan kongkret dari alam kesadaran
yang memberhalakan benda. Bahkan kondisi begini juga
mengguyur tubuh himpunan. Itulah mengapa Kongres HMI
yang seharusnya menjadi ajang melempar gagasan dan
mengeluarkan kritik terhadap proker-proker demi
dilakukannya perbaikan malah terpelintir ke sebatas ganti
pemimpin.
1159
pemerintah yang didukung dengan tujuan mencari kas
organisasi, semisal—soialisasi-sosialisasi, ataupun
menyediakan kader untuk terlibat dalam lembaga-lembaga
survey pada saat-saat menjelang Pemilu. Tindakan ini
mengakibatkan buntunya semangat gerakan membela hak-hak
kaum-kaum tertindas, tapi lebih bangga mendukung
pemerintah. Walhasil, kader-kadernya kemudian menjelma
jadi benda yang mudah diarahkan ke sana-ke mari sesuai
kepentingan kelas penguasa.
1160
Soalnya nilai ini tidak memiliki keberadaan material apapun.
Walau demikian ia adalah hakikat dari komoditi di bawah
kapitalisme. Ekspresi puncak dari nilai tukar itu ialah uang,
yang merupakan alat tukar universal.
1161
menyalurkan tenaganya untuk mendukung jalannya Kongres,
melainkan juga menyodorkan kemampuan kerjanya untuk
dipergunakan sesuai kehendak kelas penguasa: mafia
Kongres. Inilah yang menyebabkan hasil kerja kader-kader
diperuntukan bukan lagi kepada dirinya sendiri, tapi diberikan
pada orang-orang yang menguasai kepala pemegang suara
penuh. Para mafia tak pernah berpikiran bahwa suara itu tak
mungkin terwujud tanpa limpahan daya dari para panitia dan
peserta Kongres. Itulah mengapa mafia-mafia tak segan-segan
menjadikan pesta demokrasi himpunan sebagai ajang
memutar uang. Makanya uang yang mengalir dalam Kongres
dapat diasosiasikan sebagai kapital yang masuk kantong
mafia.
1162
garapan para borjuis. Dalam proses eksploitasi ini, Marx
menjelaskan begini:
699
Karl Marx, (2004), Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik: Buku
Pertama Proses Produksi Kapital, (Indonesia): Hasta Mitra. Hlm. 57, 68.
1163
dari kesadaran manusia. Marxisme juga menunjukkan hakikat
dari fenomenaa-fenomena itu dan bagaimana mereka
terhubung dengan perkembangan nyata dari masyarakat, yang
tergantung pada kemampuannya untuk memproduksi dan
mengembangkan kondisi-kondisi material untuk
mempertahankan keberadaannya. Dengan perspektif marxis,
kita jelas melihat bahwa efek perkembangan kapitalisme telah
menerobos masuk ke dalam tubuh HMI. Itu nampak dari
bagaimana kader-kader HMI—dalam pesta demokrasi
himpunan—mengalami kemerosotan kehendak karena ulah
perputaran modal melalui nilai tukar.
700
Alan Woods dan Ted Grant, (2015), Nalar yang Memberontak: Filsafat
Marxisme dan Sains Modern, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 90.
1164
tindak kekerasan. Preman-preman bermunculan melakukan
pemukulan terhadab beberapa orang pengurus organisasi. 701
Entah siapa yang mengundang para tukang pukul bersenjata
tajam itu. Namun patut diduga bahwa HMI hari-hari ini
sedang mengidap sakit kronis. Penyakit yang datang karena
rongrongan kekuatan modal menjadi penyebab utama tidak
berkutiknya organisasi melawan kapitalisme.
701
https://sultra.id/situasi-pb-hmi-mencekam/
1165
seberat gunung Alpen di bawah benak laki-laki dan
perempuan, yang, pada masa-masa sejarah yang normal,
berpegang erat-erat pada kebiasaan lama yang biasa
dilakukannya’.
1166
untuk membersihkan dunia dari fitnah-fitnah yang dibawa
kapitalisme.
1167
soal akhirat dan duniawi di pihak lain harus disatukan
sehingga menjadi agama yang hidup dan dinamis.
702
Listiyono, dkk, (2015), Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hlm. 306.
1168
harus seorang mujahid yang berjuang menegakkan
keadilan, melawan kezaliman dan penindasan. Jadi, jika
seseorang mengaku sebagai muslim tetapi tidak
berjuang menegakkan keadilan dan melawan kezaliman
serta penindasan, apalagi jika ia justru mendukung
sistem dan struktur masyarakat yang tidak adil,
walaupun ia percaya kepada Tuhan, orang itu, dalam
pandangan Asghar, masih dianggap sebagai kafir.703
1169
yang telah menemukan bahwa gagasan roh absolutnya Hegel
tak lain adalah manusia yang menyempurnakan diri dalam
rasa keberagamaan atau esensi sejati kemanusiaannya.
Keabstrakan pandangan Hegel ditariknya ke wilayah nyata
pada diri manusia. Namun yang membedakan antara Asghar
dengan Feuerbach ialah persoalan praksis. Loncatan
pemikiran yang dialektis seperti Asghar tidak ditemukan pada
Feuerbach, karena perasaan keagamaan pada Esensi Agama
Kristen tak mampu menghadirkan manusia-manusia yang
bersemangat merubah dunianya. Materialisme Feuerbach
kemudian cuma menjelaskan dunia nyata tapi tidak berusaha
mengubahnya. Inilah yang membuat Marx mengkritik
Feuerbach.
1170
Pertama. Kekurangan utama dari materialisme yang
ada hingga kini—termasuk materialisme Feuerbach—
ialah bahwa hal, realitas, kenyataan konkret hanya
dipahami sebagai obyek kontemplasi, bukan sebagai
praksis atau aktivitas manusia yang konkret, jadi tidak
secara subyektif. Sementara, berseberangan dengan
materialisme, idealisme memahami sisi aktif dari
realitas tersebut hanya secara abstrak, dan itulah
sebabnya tidak memahami aktivitas inderawi yang
sejati. Feuerbach memang menempatkan obyek-obyek
inderawi sebagai sungguh-sungguh berbeda dari obyek-
obyek pikiran, hanya saja dia tidak memahami aktivitas
manusia sebagai aktivitas yang bersifat obyektif. Itulah
sebabnya, dalam The Essence of Christianity, dia
menganggap sikap teoritis sebagai satu-satunya sikap
sejati manusia, sementara praksis hanya dianggap
sebagai manifestasi tak sempurna dari sikap teoritis.
Karena itu, dia tak bisa memahami makna dari aktivitas
‘revolusioner’, dari aktivitas ‘praksis-kritis’. Kedua.
Soal apakah kebenaran obyektif bisa dicapai oleh
pemikiran-pemikiran manusia sesungguhnya bukan
problem teori, namun merupakan sebuah problem
praksis. Manusia harus membuktikan kebenaran, seperti
halnya membuktikan kenyataan dan kuasa, seperti
membuktikan kedangkalan pemikirannya lewat praksis.
Perdebatan mengenai benar atau tidaknya sebuah
pemikiran yang diletakkan secara terisolasi dari praksis
merupakan sebuah problem yang sepenuhnya berwatak
skolastik. Ketiga. Ajaran materialis mengenai
berubahnya lingkungan dan pendidikan lupa bahwa
manusia-manusialah yang mengubah lingkungan dan
1171
karena itu adalah hakiki untuk mendidik pendidik.
Doktrin materialisme yang semacam itu hanya akan
membela masyarakat menjadi dua bagian, di mana yang
satu lebih unggul daripada yang lainnya. Berbarengnya
perubahan lingkungan dengan aktivitas lingkungan atau
perbuatan diri manusia, itulah yang disebut sebagai
praksis revolusioner. Keempat. Feuerbach berangkat
dari fakta tentang keterasingan-diri manusia dalam
agama, mengenai terbelahnya dunia menjadi wilayah
agama dan wilayah duniawi. Karyanya berusaha
menyatukan kembali wilayaha agama ke dalam wilayah
duniawi. Namun, duniawi yang semata-mata duniawi
dan yang berdiri sendiri sebagai sebuah kenyataan yang
bersifat independen di awang-awang hanya bisa terlihat
secara demikian manakala dalam wilayah keduniawian
tersebut terbelah dan berkontradiksi dengan dirinya
sendiri. Karena itu, wilayah duniawi yang terbelah dan
berkontradiksi dengan dirinya sendiri ini harus
dipahami sebagai wilayah duniawi yang sedang
berkontradiksi dan mengevolusi dirinya sendiri secara
praksis. Jadi, sebagai misal, setelah alam kehidupan
keluarga yang profan dipahami dalam hakekatnya
sebagai alam kehidupan keluarga yang sakral, maka
alam kehidupan keluarga yang profan haruslah
dihancurkan, baik dalam teori maupun praksis. Kelima.
Feuerbach, yang tidak merasa puas dengan pemikiran
abstrak, menghendaki kontemplasi kepancainderaan;
tetapi dia tidak menganggap kepancaindraan (yang ada
secara konkret) sebagai aktivitas praktis dan konkret
dari manusia. Keenam. Feuerbach melebur hakekat
keagamaan ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi
1172
hakekat kemanusiaan bukanlah abstraksi yang secara
inheren ada dalam diri setiap individu. Dalam
kenyataannya, apa yang disebut sebagai esensi manusia
itu adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan sosial.
Oleh karenanya, Feuerbach, yang tidak memasuki kritik
terhadap hakekat yang nyata sebagai keseluruhan dari
relasi-relasi sosial, terpaksa: (1) Mengabstaraksi
sentimen keagamaan dari proses sejarah dan
menempatkannya sebagai sesuatu yang dengan sendiri
dan mengandaikan individu manusia yang abstrak,
yaitu terisolasi dari proses historis; (2) Karena itu,
baginya hakekat kemanusiaan hanya bisa dipahami
sebagai ‘jenis’, sebagai sesuatu keumuman intern yang
bisu secara alamiah ada dalam diri banyak individu,
mempersatukan perorangan yang banyak itu. Ketujuh.
Konsekuensinya, Feuerbach tidak melihat bahwa
‘perasaan keagamaan’ sebagai hasil produksi sosial,
dan bahwa individu abstrak yang dianalisanya itu
sesungguhnya termasuk bagian dari masyarakat
tertentu. Kedelapan. Semua kehidupan sosial pada
hakikatnya bersifat praksis. Segala kegaiban yang
dijelaskan oleh teori secara mistisisme sesungguhnya
bisa ditemukan solusi rasionalnya dalam praksis
manusiawi dan dalam pemahaman praktek itu.
Kesembilan. Titik tertinggi yang dicapai oleh
materialisme kontemplatif, yaitu materialisme yang
tidak memahami yang konkret sebagai aktivitas praksis,
adalah renungan masing-masing individu dalam
keterisolasiannya dan kontemplasi masyarakat yang
memuja hak-hak pribadi. Kesepuluh. Pendirian
materialisme lama ialah masyarakat pemuja hak-hak
1173
pribadi, sementara titik awal materialisme baru adalah
masyarakat yang manusiawi, atau kemanusiaan yang
berwatak sosial. Kesebelas. Para filosof hanya bergerak
menafsirkan dunia dengan berbagai caranya masing-
masing; padahal yang terpenting adalah mengubah
dunia.704
704
https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1845/tesis-
feuerbach.htm/
1174
‘dialego’, artinya pembalikan, perbantahan. Pada pengertian
lama dialektika bermakna seni pencapaian kebenaran melalui
pertentangan dalam perdebatan dari satu pertentangan ke
pertentangan lainnya; selanjutnya dialektika banyak
digunakan untuk memahami kenyataan. Sedangkan dalam
pengertian baru, dialektika mengandung sebuah gerak maju
dari tahapan rendah ke taraf yang lebih tinggi dan serentak
dengan dibarengi adanya persatuan.
1175
pertarungan antara tesis dan antitesis yang menghasilkan
sintesa.
1176
pembentuk dan pengembang subjektivitasnya, sehingga pada
saat inilah muncullah roh absolut. Itulah yang dikritik oleh
Marx. Dia menilai bahwa penggunaan dialektika bukan
sekedar pada proses pergerakan ide tanpa memandang asal-
usul ide tersebut. Dalam Das Capital dia membuat pernyataan
yang menarik garis batas antara dialektikanya dengan
dialektika Hegel yang beridiri di pandangan idealis:
1177
yang dilalui industri modern, yang puncaknya adalah
krisis umum (akhir fase kapitalis) itu….705
705
Karl Marx (Kata Susulan untuk Edisi ke-2), (2004), Kapital Sebuah
Kritik Ekonomi Politik: Buku Pertama Proses Produksi Kapital,
(Indonesia): Hasta Mitra.
1178
tertentu, maka di situlah rasa keberagamaan diredusir
maknanya. Karena Tuhan dilokalisir dalam ruang dan waktu
tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Makanya untuk
mengembangkan esensi rasa keberagamaan Marx kemudian
menekankan pentingnya mengubah dunia melalui praksis.
Praksis adalah tidak dipakai sejauh bertentangan dengan teori.
Tetapi dalam praksis justru diandaikan suatu hubugan
dialektis antara aksi di satu pihak dan hubungan teoritis di lain
pihak, jadi praksis tidak sama dengan aksi begitu saja. Praksis
adalah aktivitas revolusioner, aktivitas yang mengubah relasi-
relasi antarmanusia tapi tidak secara buta melainkan berdasar
pengertian teoritis.706 Penjelasan ini sekaligus menjadi lawan
dari rasa keberagamaan menurut Feuerbach, yakni yang
ditemukan dalam aktivitas kontemplasi yang pasif. Melalui
materialisme dialektikanya, Marx sendiri memahami rasa
keberagamaan atau esensi kemanusiaan itu sebagai sesuatu
yang berwatak aktif dan revolusioner. Paulo Freire—dalam
Education For Critical Consciousness—mengelaborasi sisi
historisitas pemikiran Marx yang revolusioner itu dengan
sangat baik:
1179
Jika manusia menjalani hidupnya dengan beradaptasi,
maka itu adalah gejala dehumanisasi/kemerosotan nilai
manusia.
1180
hanya dimiliki oleh kalangan kecil pemilik kapital. Pemilik
modal ini menindas nilai kerja kaum buruh guna kepentingan
pengakumulasian laba. Karena itu pula para kapitalis terus-
menerus bersaing dengan sesamanya. Akibatnya: beberapa
kapitalis bangkrut hingga mereka berkonversi masuk ke kelas
proletar. Keadaan ini makin lama semakin menciptakan
pengelompokan kelas sosial dalam masyarakat secara tajam
menjadi dua kelas yang saling bertentangan. Tetapi kaum
buruh dipastikan akan terus bertambah banyak. Kekuatan
kelas inilah yang kemudian dapat mengalahkan kaum pemilik
modal yang kian hari makin sedikit. Penindasan-penindasan
para kapitalis terhadap kaum buruh semakin menjadi-jadi. Ini
melecut tumbuhnya kesadaran kelas proletar. Kesadaran kelas
yang timbul dengan sendirinya inilah—bagi Marx—akan
mendorong kelas proletar menggerakan revolusi demi
mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
1181
adanya konsentrasi modal, maka kekayaan berada di tangan
segelintir manusia, kapitalis kecil gulung tikar dan menjadi
buruh bagi kapitalis kuat. Di pihak lain segera terlihat bahwa
di belakang kapitalis besar ini berdiri massa rakyat yang tidak
mempunyai harta akibat penghisapan yang berjalan simultan;
dan ketiga, Hukum Bertambahnya Kemelaratan (The Law of
Increasing Misery). Sesudah teori akumulasi, yakni
pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang, maka
perusahaan raksasa akhirnya terdiri dari mesin-mesin saja,
mengakibatkan meningkatnya pengangguran atau kalau kaum
buruh tetap ingin memiliki kerja, berarti ia akan mendapat
upah yang tidak memadai. 707
707
Andi Muawiyah Ramly, (2013), Peta Pemikiran Karl Marx
[Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis], Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, Hlm. 164.
1182
melenyapkan orang kaya dan orang miskin, tetapi melalui fase
itulah mereka dirubah wataknya oleh basis material yang ada.
Inilah yang menjadi perbedaannya dengan masyarakat
kapitalis, karena dalam masyarakat berkelas ini hanya orang
kaya yang memiliki kesempatan berkembang di tengah
mayoritas orang miskin yang hidupnya makin tersisih.
Sementara pada masyarakat komunis tak ada kelas, lantaran
tiada yang namanya hak istimewa. Dalam masyarakat inilah
perbedaan tingkat ekonomi tak mempengaruhi kesempatan
setiap individu untuk mengembangkan dirinya dengan
sempurna, melainkan akan menjadi ajang menjalarnya
solidaritas di antara individu untuk mengembangkan hidup
sesamanya. Mekarnya saling-bantu pada kehidupan
masyarakat ini didasarkan atas hilangnya hak istimewa yang
selama ini menjadi lantai berdirinya tatanan kapitalisme.
Hanya untuk mewujudkan masyarakat komunis dibutuhkan
sebuah gerakan bersama yang dilakukan oleh kelas pekerja
sedunia. Dalam The German Ideology Marx menegaskannya
begitu:
708
www.marxists.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/
1183
mendunia. Itulah mengapa dibutuhkan konsistensi dan
persatuan gerakan yang meluas dalam menentang kapitalisme-
imperialisme (modal asing). Hanya pemikiran Marx ini tidak
hanya menjadi ajaran yang berpaut seputar persoalan ekonomi
saja, karena ekonomi Cuma sebagai basis yang dianalisnya
untuk mempelajari dan mendalami bagaimana fenomena-
fenomena penindasan yang menimpah kelas pekerja pada
zamannya. Tetapi gagasan komunisme justru membicarakan
tentang pembebasan manusia dari segala bentuk eksploitasi
dalam kehidupannya. Inilah mengapa hakikat dari komunisme
merupakan ajaran tentang pentingnya eksistensi manusia.
Makanya komunisme menginginkan sebuah bangunan
masyarakat yang lebih mengutamakan kualitas ketimbang
kuantitas. Kini sejarah umat manusia sedang mengarah pada
terwujudnya masyarakat tanpa kelas yang perubahannya
ditentukan oleh kekuatan produksi dan reproduksi, tetapi
dalam perjalanannya tidak sepenuhnya berpijak pada
kepentingan ekonomi semata. Soalnya dalam menuju
masyarakat komunis, ekonomi hanya merupakan basis
ketimbang penentu. Ini persis yang dijelaskan Engels di
suratnya--ke J. Bloch di Konigsberg, 21 September 1890.
Bahwa unsur ekonomi bukanlah satu-satunya yang
memngaruhi dan menentukan kemenangan dalam perjuangan
kelas buruh:
1184
satu frasa yang tidak bermakna, abstrak, dan tidak
masuk nalar. Situasi ekonomi adalah basis, tapi
berbagai unsur dalam superstruktur—bentuk-bentuk
politik dari perjuangan kelas dan hasil-hasilnya, dalam
kata lain: konstitusi-konstitusi yang disusun oleh kelas
yang berkuasa setelah menang dalam pertempuran,
dsb., bentuk-bentuk peradilan, dan berbagai pemikiran
yang timbul di benak para pelaku perjuangan kelas ini
secara politik teori-teori politik, yudisial, filosof,
pandangan-pandangan religius, dan perkembangan
mereka lebih lanjut menjadi sistem-sistem dogma;
semua ini mempunyai pengaruh dalam jalannya
perjuangan-perjuangan historis, dan dalam berbagai
kasus merupakan faktor dominan dalam menentukan
bentuk perjuangan yang diambilnya.
1185
melalui gerakan organisasi. Dengan demikian perjuangan
melawan kapitalisme bukan hanya menjadi tugas kaum buruh
yang secara langsung terikat dalam hubungan-hubungan
ekonomi, tetapi oleh seluruh elemen kekuatan sosial yang
terseret dalam penindasan masyarakat kapitalis. Inilah
mengapa peran melawan hegemoni modal juga menuntut
dijalankan oleh segenap elemen-elemen progresif dalam
masyarakat.
1186
Aliran filsafat materialisme dialektis dan historis itulah yang
harusnya disilangkan dengan pikiran-pikiran teologi atau
tradisi-tradisi kader muslim. Persilangan inilah yang telah
melahirkan pemikiran Keberislaman yang Materialis, Kiri
Islam, Islamisme dan Komunisme, Islam Kiri, ataupun
Teologi Pembebasan. Gagasan-gagasan itu mengutamakan
penyaluran prinsip-prinsip Islam dalam dimensi praksis.
Darinya praktek keberagamaan kader-kader himpunan dapat
mengambil sikap transformatif: kekuatan-kekuatan
pembebasan disalurkan ke pelbagai bentuk gerakan
kemanusiaan dan perlawanan terhadap kapitalisme. Maka
tujuan untuk mewujudkan masyarakat adil-makmur yang
diridhoi Allah SWT selanjutnya mulai dilakukan dengan
mengambil langkah maju. Langkah itu adalah menempuh
perjuangan kelas berdasarkan pemahaman bahwa dalam
realitas perkembangan sejarah dan masyarakat selalu diliputi
oleh pertentangan kelas. Melaluinya tugas kader HMI menjadi
lebih sederhana tapi menantang: mendedikasikan dirinya pada
upaya-upaya menghapus kehidupan diskriminatif, berkasta
dan berkelas yang membeda-bedakan manusia berdasarkan
kelas sosialnya dalam masyarakat.
1187
memahami kondisi-kondisi obyektif bahwa negara sekarang
tidaklah sama dengan masa-masa kehidupan Karl Marx
dahulu. Dengan begitu: organisasi tentunya tidak akan
mempraktekan teori-teori komunis tanpa lebih dulu
memahami kenyataan konkret dan menemukan apa yang
menjadi kebutuhan riil perjuangan kontemporer. Filosof
Yunani Heraclitus pernah berkata: ‘segala sesuatu mengalir
dan tak satu pun yang tinggal diam’. Pelajaran inilah yang
terdapat dalam materialisme dialektis:
709
Alan Woods dan Ted Grant, (2015), Nalar yang Memberontak: Filsafat
Marxisme dan Sains Modern, Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 43.
1188
buruhlah yang memiliki potensi revolusiner, karena mereka
memiliki keterikatan langsung dalam hubungan-hubungan
produksi dan penggunaan alat-alat produksi. Keadaan
mayoritas kelas buruh semakin tersisihkan oleh mesin dan
terus ditindas segelintir kelas borjuis, sehingga dengan
sendirinya—akibat konflik internal kapitalisme—akan timbul
kesadaran kelas proletar. Tetapi teori ini disempurnakan
Lenin. Mula-mula dia melihat realitas perkembangan sosio-
historis Rusia yang berbeda dengan apa yang dijelaskan Marx.
Baginya kekuatan revolusioner juga dimiliki oleh petani-
petani kecil di pedesaan. Rusia pada masa Tsar sebagian besar
penduduk-penduduknya bekerja sebagai petani, sementara
yang menjadi buruh pabrik tidaklah begitu banyak. Makanya
Lenin menorehkan analisis, perjuangan kelas proletar
melawan kelas borjuis itu hanya dapat beroleh kemenangan
ketika kekuatan buruh dan petani telah bersatu. Sikap ini
sekaligus membuktikan bagaimana marxisme tampil sebagai
ilmu yang tidak melulu berisi dogma.
1189
semua kelas, strata, dan kelompok sosial masyarakat lainnya,
termasuk dalam aspek kehidupan dan aktivitas keagamaan,
ilmiah dan budaya. Karenanya, harus diupayakan
pembangunan dan penguatan kesadaran politik untuk
melawannya. Lenin akhirnya menorehkan gagasan tentang
pentingnya partai politik yang terkoordinatif dan militan.
Sebuah organisasi yang terdiri dari ‘revolusioner profesional’;
mereka akan bekerja memimpin kaum buruh dan petani, serta
merumuskan cara-cara merebut kekuasaan melalui strategi
politik yang cerdas.
1190
pekerja dari kontradiksi internal kapitalisme, untuk kemudian
disatukan menjadi kekuatan yang besar.
1191
partai menjadi kuat dengan membersihkan dirinya
sendiri.710
710
Tulisan Lenin dalam Surat Lesalle kepada Marx 24 Juni 1852, lihat
Saiful Arif dan Eko Prasetyo, (2004), Lenin Revolusi Oktober 1917,
Yogyakarta: Resist Book. Hlm. 74.
1192
dan suatu pertumbuhan yang tinggi yang didukung oleh
aparat birokrasi dan militer, dalam hubungannya
dengan pengintensifan tindakan-tindakan penindas
terhadap proletar baik di negeri monarkis maupun di
negeri-negeri republik yang paling merdeka.
1193
tidak melulu berasal dari kelas buruh, karena yang penting
adalah kesanggupannya menjalankan tanggung jawab dengan
baik. Itulah makanya Lenin juga meyakini bahwa untuk
melakukan indoktrinasi kesadaran sosialisme dapat pula
dilakukan oleh kaum terpelajar.711 Tanpa menjadi organisasi
revolusioner memang sangat lucu kalau dibayangkan
gerombolan Master HMI mengambil peran sebagai kelompok
terpelajar yang menjadi revolusioner profesional untuk
membekali dan menyadarkan kader-kader himpunan—dengan
teori-teori revolusioner—untuk melawan kapitalisme.
711
John Molyneux, (2015), Mana Tradisi Marxis yang Sejati, Yogyakarta:
Rumah Penerbitan Bintang Nusantara, Hlm. 17.
1194
harus dilakukan dengan bertolak dari pemikiran Lenin—
disuntikan lewat kelompok kecil dalam HMI: master yang
memiliki peran ibarat revolusioner profesional.
1195
seiring dengan bertambah kelamnya realitas kehidupan yang
terus-menerus dicemari kapitalisme. Kesadaran tersebut
dengan sendirinya mendorong pemiliknya untuk melakukan
gerakan-gerakan perubahan. Di titik inilah HMI dapat
mendayagunakan kader-kader revolusionernya. Mereka selain
berproses di Komisariat, juga sangat tepat disalurkan ke tiap-
tiap lembaga pengembangan profesi (LPP) yang ada di
wilayah kerja Cabang maupun PB. Karena lambaga
mempunyai spektrum lebih luas ketimbang Komisariat,
Korkom, Cabang, Badko, atau PB. Kelembagaan yang semula
mempunyai fungsi praksis sangatlah cocok untuk diarahkan
oleh aneka kader yang mempunyai kesadaran revolusioner.
1196
bentuk ke organisasi yang menjadikan masyarakat luas
sebagai sasaran keanggotaannya. Tidak! Rakyat yang bukan
mahasiswa tentu tak bisa menjadi anggota HMI. Tetapi kader-
kaderlah yang menjadi elemen pendukung perjuangan
mereka. Melalui lembaga yang ada dalam tubuh himpunan,
mereka dibangkitkan kesadaran kelasnya dan didorong untuk
membetuk sebuah perserikatan atau perhimpunannya sendiri.
Organisasi-organisasi yang mereka bentuk tidak boleh
dilepaskan dari pantauan, melainkan gerakan mereka
diusahakan membangun hubungan yang terus-menerus
dengan lembaga-lembaga HMI. Artinya setiap lembaga yang
ada dalam himpunan memiliki pekerjaan riil: membangkitkan
kesadaran rakyat untuk mendirikan organisasi dan berjuang
dengan tenaga dan kemampuannya sendiri.
1197
saatnya sebuah kesadaran didapati langsung dari keadaan
sosial sekelilingnya: situasi dan kondisi kehidupan yang telah
dihegemoni kekuatan modal. Negara tidak memiliki
kemandirian dalam mengambil keputusan. Tubuh
pemerintahan dipenuhi oleh elemen-elemen oligarkis dan
korup. Merekalah yang dengan mudah mengkomersialisasi
sektor kesehatan dan pendidikan. Perusahaan-perusahaan
negara di tangan para kapitalis ini juga dengan mudah
diswastanisasi. Makanya kekayaan-kekayaan alam menjadi
barang yang terus-menerus dicuri asing tanpa proteksi.
Indonesia kini seolah menjadi germo di mata negara-negara
imperialis—melacurkan sumber daya alam, tenaga kerja dan
pelnbagai kebijakan.
1198
ketidakadilan yang terjadi dalam kenyataan hidup umat
manusia tentu mengusik sikap keberagamaan HMI. Saat itulah
Islam hadir menjiwai perjuangan organisasi dan mendapat
tarikan dan jalan yang jelas untuk aktualisasikan. Singkatnya:
melalui gerakan demikianlah prinsip-prinsip sosialisme Islam
dapat diartikulasi ke kerja-kerja perlawanan untuk mengubah
dunia demi mewujudkan insan akademis, pencipta, pengabdi,
yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah
SWT.
1199
memproklamiskan semboyan-semboyan secara jelas dalam
mendukung massa manusia. Itulah agama yang menampilkan
bentuk ideologis.
1200
ideologi. Ali Syari’ati memang tidak menyatakan bahwa
filsafat merupakan pembentuk ideologi. Tetapi dia tidak
memungkiri peran filsafat dalam membentuk ideologi. Secara
empiris, banyak aliran pemikiran filosofis yang telah
menyusun dan menguatkan ideologi. Dan usaha-usaha
penyusunan dan penguatan ideologi kebanyakan dilakukan
melalui organisasi dan gerakan yang menyoroti persoalan
sosio-historis. Ini persis yang dijelaskan Syari’ati tentang cara
menjadikan agama sebagai ideologi:
1201
yang lebih tinggi daripada komunis. Akibat ketinggian Islam
itulah yang sekali lagi harus kita rendah hati katakan bahwa
agama sebagai ajaran langit membutuhkan sebuah teori yang
memang berada di bumi. Itulah kenapa materialisme dialektis
dan historis amat tepat untuk mengupayakan terwujudnya
suasana surgawi dalam kehidupan duniawi. Kita tentunya
sangat menyayangkan apabila HMI dalam gerakan-
gerakannya mematutkan keyakinan sempit seperti Wilhem
Weitling. Dia adalah seorang aktivis sosialis yang mempunyai
keyakinan kolot: gerakan yang berkemajuan tidak harus
berlandaskan teori yang maju.
1202
diperlengkapi dengan senjata ideologi yang lengkap, dan
harus dibangun dengan propaganda yang sabar. Massa harus
dididik dan dilatih untuk memiliki cara pandang dunia yang
luas. Tidak hanya berurusan dengan isi perut mereka saja,
tetapi menyentuh semua aspek kehidupan: seni, sastra, sains,
kebudayaan, sejarah, filsafat, dan sebagainya.
1203
dari kesimpulan-kesimpulan revolusioner. Dengan segala
perangkat kekuasaan yang dimiliki kelas penguasa terus-
menerus mengupayakan agar doktrin-doktrin marxis ditakuti
dan ditabukan dalam kehidupan masyarakat. Tebaran
pandangan kekuasaan inilah yang kemudian menyebabkan
pelarangan, bahkan perpecahan sampai pertengkaran demi
membatasi pembelajaran ilmu komunis. Mereka begitu ingin
melanggengkan status-quo, sampai tega menyebar prsangka,
stigma, fitnah dan tuduhan bengis. Pembatasan ini
digencarkan karena marxisme merupakan ajaran yang
menantang dan berniat menghancurkan tatanan masyarakat
kapitalis. Mengerti dengan revolusionernya teori inilah
kenapa ilmu tersebut perlu sekali diajarkan dalam perkaderan
HMI. Lebih-lebih dalam bentuk keberislaman yang
materialis—sikap keberagamaan yang berdiri di atas cara
pandang, prinsip dan praktek komunis. Louis Althusser
memang menyatakan bahwa marxisme bukan sekedar ilmu
kaum proletar. Definisi marxisme sebagai teorinya kaum
buruh hanya akan menurunkan marxisme ke ‘level ideologi’.
Padahal posisi puncaknya adalah sebagai ilmu pengetahuan
sosial. Inilah mengapa kemudian John Molyneux
mengungkapkan bahwa ilmu komunis itu bukan hanya
dikhusukan untuk proletariat:
1204
Argumentasi tulisan ini adalah bahwa kerja merupakan
syarat dasar dari kehidupan manusia.
1205
masyarakat kapitalis adalah sebodoh dan senaif
mengharapkan sikap netral kaum majikan dalam menentukan
apakah gaji kaum buruh akan dinaikkan dengan mengurangi
laba perusahaan’. Sikap inilah yang dibenci oleh kelas borjuis,
sehingga marxisme, marxisme-leninisme (komunisme); atau
apapun namanya—Itu diharamkan dan wajib dibinasakan dari
muka bumi. Namun kita mengerti bahwa hanya melalui
analisis marxislah didapati pengetahuan komprehensif tentang
alam, manusia dan masyarakat. Sederhananya: salah satu
manfaat belajar teori ini bagi HMI, adalah bisa digunakan
dalam menentukan sebuah program kerja yang progresif-
revolusioner. Boleh jadi melalui pisau analisa marxismelah
himpunan mendapati kesimpulan bahwa problem umum yang
dialami selama ini ialah belum tuntasnya perjuangan meraih
kemerdekaan (pembebasan nasional) yang sejati, karena
rongrongan musuh-musuh rakyat: (1) Penjajahan Modal
Asing (Imperialisme); (2) Agen-Agen Imperialis (Borjuis
Nasional dan Komprador); (3) Sisa-Sisa Orba (Golkar dan
Militerisme—TNI-Polri Fasis) dan Partai Borjuis; (4)
Reformis Gadungan; dan (5) Fundamentalisme dan Milisi
Sipil Reaksioner.
1206
Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Alam
Berkelanjutan; dan (5) Manusia yang Sehat, Produktif,
Merdeka, Melawan, dan Bersolidaritas. Dengan mengenal
kekuatan-kekuatan rakyat inilah organisasi dapat menarik
garis demarkasi dan memasang posisi diametral terhadap
musuh-musuh rakyat. Memancang sikap berlawan pada
merekalah dibutuhkannya prinsip politik yang tegas: Anti-
Kooptasi dan Anti-Kooperasi. Di sisi lain, melaksanakan
perjuangan kelas ini pula meniscayakan adanya metode
gerakan tersendiri. Metode itu terutama untuk menguatkan
perjuangan politik rakyat dalam melawan musuh-musuh
kekuasaannya. Koran Pembebasan dari Partai Pembebasan
Rakyat (PPR) menjelaskannya sebagai Persatuan Mobilisasi:
713
https://koranpembebasan.org/2008/03/19/program-prinsip-dan-metode-
politik-rakyat-miskin/
1207
Program itu tidak ditujukan untuk melindungi dan
melancarkan kepentingan kelas penguasa, melainkan
melayani kepentingan kaum terhisap, tertindas dan miskin.
Adapun untuk melaksanakan gerakan pembebasan nasional,
maka program-program berikutlah yang dapat ditawarkan:
Umum, Pejuangan (Strategis, Tuntutan Mendesak Rakyat,
Tuntutan Mendesak Mahasiswa), Ideologi, Politik, dan
Organisasi:
1208
Program Pembebasan Nasional
A. Program Umum
1. Strategis
1209
e. Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, feminis, ekologis
dan bervisi kerakyatan.
f. Kesehatan gratis yang berkualitas.
g. Kuota 50 % untuk perempuan di semua jabatan publik.
h. Perluas ruang demokrasi, lawan rasisme dan berikan
kebebasan berideologi, beragama dan berkeyakinan.
i. Pemenuhan hak terhadap kaum disabilitas.
j. Membela kebebasan identitas dan orientasi seksual.
k. Pemanfaatan alam untuk kesejahteraan secara ekologis.
l. Tanah, modal dan teknologi modern di bawah komite
tani.
m. Perumahan bersubsidi, modern dan layak untuk rakyat.
n. Air bersih dan higienis, BBM, listrik dan sembilan
bahan pokok yang murah.
o. Bubarkan komando teritorial TNI.
p. Adili Partai Golkar dan Jendral Pelanggar HAM.
q. Lawan dan adili milisi sipil reaksioner.
r. Membangun kebudayaan maju dan kerakyatan.
s. Menolak pernikahan anak di bawah umur, poligami dan
kekerasan seksual.
t. Tarik militer dari tanah Papua dan mendukung
perjuangan Rakyat-Bangsa Papua Barat untuk
menentukan nasibnya sendiri.
1210
d. Bentuk Pengadilan Perselisihan Akademik.
e. Lawan diskriminasi berbasis gender, suku, agama, ras,
antar-golongan, orientasi seksual, dan disabilitas dalam
kehidupan kampus.
Program Ideologi
Program Politik
1211
a. Mengkampanyekan keberhasilan sosialisme di Amerika
Latin.
b. Mengampanyekan kebaikan-kebaikan sosialisme.
c. Membangun gerakan berkesadaran kerakyatan dan
berprinsip mandiri dan demokratis.
d. Membangun Front Persatuan Gerakan Rakyat untuk
Melawan Imprealisme dan Agen-Agen Imprealis.
e. Mengkampanyekan persatuan gerakan rakyat sebagai
kekuatan sejati perubahan bagi masyarakat Indonesia
agar tidak lagi terjatuh dalam cengkraman borjuasi
antek neo-liberalisme.
f. Mengkampanyekan perlawanan atas praktek-praktek
gerakan yang kooptatif, kolaboratif dan kooperatif
dengan imprealis dan agen imprealis dengan agitasi dan
propaganda yang berkelanjutan.
g. Mengkampanyekan dan menggalang solidaritas
terhadap perjuangan rakyat di negeri-negeri yang
sedang melawan imprealis maupun yang tengah
memperjuangkan demokrasi dari Pemerintahan
Diktator.
h. Mengkampanyekan gerakan budaya pembebasan.
i. Mengkampanyekan hak penentuan nasib sendiri untuk
Rakya-Bangsa Papua Barat.
j. Mendesak pembubaran KAHMI selaku sarang
kapitalis-oligarki dan sisa-sisa Orba.
k. Aksi serentak nasional pertiga bulan.
Program Organisasi
1212
Latihan Kader yang berdasarkan kesadaran dari
kenyataan-kenyataan lingkungan di mana struktur
kepengurusan itu berletak; (3) menyusun silabus dan
menyelenggarakan pusdiklat yang progresif-
revolusioner; (4) Bekerja sama dengan BPL dalam
mengembangkan ajaran keberislaman yang materialis
(Islam yang memakai aliran filsafat materialisme
dialektis dan historis) untuk kemudian dipadukan ke
dalam penyampaian materi NDP kepada peserta
training dan anggota; (5) Menertibkan pelaksanaan dan
pembinaan anggota di semua jenjang (menindak tegas
tindakan-tindakan titip menitip kader dalam kegiatan
perkaderan); (6) menyusun silabus pembinaan atau
follow up (terutamamenikberatkan pada hal-hal yang
mampu mendorongan kader untuk membaca, menulis,
berdiskusi dan melakukan aksi [yang bukan hanya
demonstrasi] dan penciptaan lingkungan pembinaan
yang terbebas dari unsur dogmatis); (6) Bekerja sama
dengan bidang terkait untuk menyusun data base
anggota dengan teliti dan terus-menerus diperbaharui
tiap tahun; (7) Mengadakan konferensi-konferensi
ideopolitorstratak (ideologi, politik, organisasi, strategi
dan taktik) untuk mempertajam landasan dan konsep
perjuangan ke depan; (8) Mengupayakan organisasi
mendayagunakan teknologi, seperti membangun
infrastuktur propaganda untuk pembinaan kader, yaitu:
pendidikan IT dan pendidikan jurnalistik; dan (9)
Menumbuhkembangkan sifat kader yang berani dan
berempati, serta bersikap penuh tanggung jawab untuk
senantiasa terlibat dalam gerakan sosial membela
kepentingan rakyat.
1213
b. Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi: (1)
Melakukan restrukturisasi terhadap pengurus-pengurus
yang stagnan, bermasalah, terutama pragmatis, dan
wajib menerapkan menajemen organisasi berbasis
teknologi. (2) Menegakan disiplin organisasi dengan
tegas dan tanpa pandang bulu terhadap anggota-anggota
yang melanggar AD/ART: kepengurusan tidak tepat
waktu, anggota yang sudah dan/atau belum memenuhi
kriteria menjadi pengurus, dan sebagainya; (3)
Menyusun pola rekruitmen pengurus HMI yang
ideologis, militan, berdisiplin dan taat konstitusi, serta
menindak keras pelanggaran-pelanggaran apabila
ditemukan dalam draft rancangan kepengurusan; (4)
Menghidupkan kembali struktur-struktur
kepemimpinan organisasi yang vakum; (5) Perluasan
organisasi ke daerah-daerah atau kampus dan geo-
politik lain yang belum ada sturuktur kepemimpinan;
(6) Mengefektifkan pelaksanaan pembuatan laporan
kegiatan dengan seksama; (7) Terus-menerus
melakukan sosialisasi kepada aparat dan anggota
organisasi agar membawa gerakan HMI ke arah yang
berkarakter kerakyatan, mandiri, demokrtatis, ekologis
dan feminis; (8) Membersihkan organisasi dari
pengaruh-pengaruh imperialisme, agen-agen imperialis,
dan musuh-musuh rakyat lainnya; dan (9) Memecat
aparatur-aparatur organisasi yang terlibat many politic
dalam setiap pesta demokrasi HMI dan yang melakukan
praktik seksisme.
c. Bidang Administrasi dan Kesekretariatan: (1) Terus
melakukan penyempurnaan terhadap pedoman
administrasi kesekretariatan sesuai dengan
1214
perkembangan internal dan eksternal organisasi; (2)
Mengupayakan tersedianya secretariat HMI yang
representative dan permanen di setiap wilayah dan
Cabang; (3) Melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat
membuat secretariat menjadi pusat dokumentasi dan
informasi organisasi; (4) Melakukan Up-Grading
kesekretariatan secara teratur, terencana dan sistematis;
(5) Melakukan pengadaan sarana dan prasarana
secretariat sesuai dengan kebutuhan nyata akan
perkembangan zaman, terutama menyediakan
perpustakaan dengan bahan-bahan bacaan yang
progresif-revolusioner untuk para kader; perpus juga
dapat diadakan secara online; dan (6) Mengadakan,
mengaktifkan dan meningkatkan pengelolaan koran dan
alat-alat propaganda HMI untuk keperluan informasi-
informasi seputar perkaderan dan pergerakan, terutama
demi kepentingan agitasi-propaganda organisasi kepada
mahasiswa dan rakyat (aktivitas ini dapat menggandeng
LTMI).
d. Bidang Keuangan dan Perlengkapan: (1) Menyusun
sistem pendanaan, pengelolaan dan pengawasan dana
organisasi yang berasal dari uang halal dan anti
meminta atau mempergunakan dana dari kapitalis; (2)
Mengaktifkan pengelolaan iuaran anggota secara
modern, disiplin dan penuh tanggung jawab; (3) Tidak
menggantungkan diri pada sokongan anggaran dari
alumni HMI; (4) Melakukan kegiatan-kegiatan usaha
progresif sebagai sumber dana untuk membiaya
kebutuhan organisasi (salah satunya, adalah melalui
kerja sama dengan Lapmi untuk membuat dan
menyebarluaskan secara intensif alat-alat propaganda
1215
regular [surat kabar, surat kabar online, selebaran,
pamflet dan karikatur perlawanan—hasil penjualan
koran bisa digunakan untuk membiayai kehidupan
HMI]); (5) Menegakkan tertib administrasi keuangan
dengan tegas; dan (6) Menyusun anggaran rutin dan
anggaran kegiatan.
e. Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi:
(1) Menjadikan Lembaga Pengembangan Profesi (LPP)
untuk melakukan kerja-kerja perlawanan:
mempraktekan gerakan-gerakan pembelaan terhadap
kepentingan mahasiswa-siswa dan kaum miskin dan
tertindas, untuk kemudian membina dan
mengembangkan potensi mereka; (2) Mensinergikan
antara LPP yang satu dengan yang lainnya, dan
mendorong mereka untuk membangun jaringan
bersama elemen-elemen progresif: buruh, petani,
nelayan, pedagang kaki lima, tukang ojek dan tukang
becak, juru parker, dan lain-lain, untuk kemudian
mereka dibuatkan sebuah perserikatan atau
perhimpunan sendiri, yang berguna sebagai wadah
perjuangannya; (3) Mengembangkan LPP berdasarkan
potensi, minat, serta bakat dari anggota di Wilayah dan
Cabang; dan (4) Mendorong LPP-LPP untuk membantu
dan memperlancar program-program organisasi dari
pelbagai bidang HMI.
f. Bidang Pemberdayaan Perempuan: (1) Sosialisasi
pelaksaan pedoman dasar Kohati; (2) Mendorong kader
HMI-Wati untuk sungguh-sungguh mengembangkan
dirinya menjadi seorang perempuan yang progresof-
revolusioner, hingga mamutkan komitmen untuk
senantiasa melakukan perjuangan pembebasan
1216
perempuan; (3) Melaksanakan indoktrinasi teori-teori
feminisme melalui forum-forum khusus perempuan; (4)
Melakukan kajian/diskusi keperempuan dengan materi-
materi perlawanan terhadap kapitalisme dan budaya
patriarki-seksisme dan sisa-sisa feodal; (5) Mengadakan
kerja sama dengan elemen-elemen progresif dari
organisasi-organisasi lainnya untuk sama-sama
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan untuk
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat; (6)
Melaksanakan advokasi atas isu-isu keperempuanan
dengan terus-menerus dan berdisiplin tinggi; (7)
Mempelopori kampanye-kampanye tentang pentingnya
kuota 50% untuk perempuan di setiap jabatan publik;
(8) Melatih HMI-Wati untuk mengembangkan dirinya
menulis karya-karya sastra perlawanan: puisi dan
roman-roman untuk pembebasan, kesetaraan dan
keadilan bagi perempuan (untuk ini Kohati perlu
bersinergi dengan LSBMI); dan (9) Demi
menumbuhkan profesionalitas dan menjaga kobaran
jiwa pergerakan HMI-Wati, ada baiknya HMI-Wan
dibatasi untuk tidak menjadikan pacaran dengan HMI-
Wati sebagai preferensi.
g. Bidang Hubungan Internasional: (1) Membangun
hubungan dan meningkatkan kerjasama dengan
pelbagai organisasi progresif internasional: mahasiswa,
pemuda, dan rakyat; (2) Rutin melakukan kajian-kajian
terhadap permasalahan-permasalahan internasional; (3)
Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang
pelbagai dinamikan internasional; (4) Terus
mengembangkan strategi rekruitmen untuk meng-HMI-
kan mahasiswa Islam yang berada di luar negeri dan
1217
mengembangkan progresivitas Cabang HMI di luar
negeri, serta terus merintis pendirian Cabang baru; (5)
Berperan aktif dalam gerakan-gerakan pemuda,
mahasiswa, dan rakyat Internasional dalam menentang
kapitalisme-imperialisme dan totalitarianisme; (5)
Mengutuk keras setiap kerja sama-kerja sama
internasional yang dilakukan Indonesia dengan negara-
negara penganut kapitalisme, totalitarianisme, dan
zionisme; (6) Melakukan kontrol-kritik-protes terhadap
setiap kebijakan (neoliberal) luar negeri dari
Pemerintah Indonesia; (7) Melaksanakan konferensi-
konferensi untuk memperkuat gerakan Internasional
dalam melawan kolonialisme, kapitalisme,
imperialisme, fasisme, dan totalitarianisme; dan (8)
Menggalang dukungan dunia internasional dalam
perjuangan pembebasan yang dilakukan rakyat-rakyat
tertindas di pelbagai negeri tertindas, terhisap dan
jajahan.
h. Bidang Pembangunan Nasional: (1)
Mengkampanyekan pentingnya persatuan nasional
dalam bentuk kesatuan gerakan rakyat untuk melawan
kapitalisme-imperialisme; (2) Bekerja sama dengan
lembaga-lembaga progresif lainnya untuk membangun
front persatuan gerakan rakyat dalam melawan paham-
paham kapitalisme-imperialisne dan agen-agennya; (3)
Melalui agitasi dan propaganda yang berkelanjutan,
dilakukan perlawanan terhadap praktek-praktek
gerakan yang kooperatif, kooperasi dan kolaboratif
pada kapitalis-birokrat, kapitalis swasta dan kapitalis-
imperialis; (4) Memberikan kritik dan saran setiap
penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan otonomi
1218
daerah; (5) Mengutuk keras setiap pelaksanaan Pemilu
yang penuh kecurangan, kebohongan dan tidak
demokratis; (6) Memberikan pendidikan politik yang
dapat membangkitkan kesadaran rakyat bahwa dirinya
sedang berada di bawah ancaman kapitalisme; (7)
Mendukung penuh setiap gerakan-gerakan rakyat yang
memperjuangkan hak-haknya; (8) Melakukan dialog
seluas-luasnya untuk demokratisasi dan kesetaraan
rakyat-rakyat daerah di Indonesia yang terbelakang,
termelaratkan, dan terabaikan; terutama rakyat Papua;
(9) Menyebarluaskan bacaan-bacaan yang progresif
kepada seluruh rakyat melalui surat kabar, majalah dan
media online; dan (10) Menyerang budaya: konsumtif,
konservatif, sisa-sisa feodal, patriarki, kolonialis-
imperialis dengan kampanye-kampanye budaya
progresif yang berbasis kerakyatan.
i. Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan
Kepemudaan: (1) Mengutuk keras dan menolak
komersialisasi-leberalisasi pendidikan; (2) Melakukan
pembelejetan terhadap ideologi kapitalisme-
neoliberalisme yang dipasok pada mahasiswa dan yang
sekarang bercokol dalam kurikulum pendidikan; (3)
Mengkampanyekan seluas-luasnya tentang pentingnya
ongkos kuliah yang murah dan terjangkau; (4)
Mendesak dihentikannya represifitas, kekerasan,
intimidasi dan persekusi terhadap aksi-aksi mahasiswa,
pemuda dan rakyat; (5) Menolak tindakan-tindakan
pelarangan dan pembakaran buku, terutama buku kiri;
(6) Mengadakan latihan-latihan yang progresif untuk
dapat mengembangkan semangat advokasi dari
mahasiswa, pemuda dan masyarakat guna membela
1219
kepentingan rakyat miskin dan tertindas; (7)
Membentuk sistem jaringan organisasi dan gerakan
mahasiswa dengan menggandeng elemen-elemen
progresif di universitas yang bersedia bekerja sama,
seperti: organisasi internal dan eksternal kampus,
dosen, satpam, penjaga kantin; kemudian memperluas
spektrum kerja sama dengan elemen progresif di luar
kampus: kelas pekerja; (8) Membantu memproduksi
dan mendistribusikan koran organisasi dan alat-alat
propaganda lainnya; dan (9) Mengasah profesionalisme
dan aktivisme kader dengan menyalurkan mereka untuk
mendukung kerja-kerja gerakan yang dilakukan LPP.
j. Bidang Pemberdayaan Umat: (1) Merumuskan pola
hubungan kerja sama yang dinamis dan progres antara
HMI dengan lembaga-lembaga masyarakat sipil dan
organisasi-organisasi keagamaan nasional maupun
internasional; (2) Melakukan fungsionalisasi prinsip-
prinsip (sosialisme) Islam dalam kehidupan
bermasyarakat; (3) Membuatkan, mengembangkan dan
memajukan media-media komunikasi antargenerasi
muda Islam; (4) Meningkatkan aktivitas pelaksanaan
kajian-kajian mengenai perkembangan pemikiran Islam
di struktur-struktur kepemimpinan HMI; (5)
Mempropagandakan dengan seluas-luasnya ajaran-
ajaran sosialisme dan mengutuk keras upaya-upaya
pengadudombaan antara Islam dengan komunisme; (6)
Melawan segala tindakan yang melakukan
komersialisasi ajaran Islam dalam berbagai bidang
kehidupan umat; (7) Mengutuk keras ustad-ustad yang
menjual agama Islam; dan (8) Mengkampanyekan
1220
dengan seluas-luasnya tentang pentingnya melawan
fitnah-fitnah dari kapitalisme.
k. Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan
Lingkungan Hidup: (1) Melakukan kajian kritis
terhadap berbagai aspek perlindungan dan pengelolaan
SDA dan lingkungan hidup; (2) Mendorong kader HMI
agar tergerak untuk melakukan pengawasan terhadap
aspek-espek perlindungan dan pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup; (3) Melaksanakan advokasi terhadap
permasalahan-permasalahan terkait perlindungan dan
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup; (4)
Mengkampanyekan seluas-luasnya keharusan
pemanfaatan SDA secera berkesinambungan dan
kewajiban menjaga kelangsungan lingkungan hidup; (5)
Berkerja sama dengan pelbagai elemen masyarakat sipil
untuk mengontrol kinerja pemerintah dalam upaya-
upaya perlindungan dan pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup; (6) Menyebarkan propaganda
tentang kejamnya eksploitasi kekayaan alam dan
kerusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan-
perusahaan pertambangan dan perkebunan di Indonesia;
(7) Mendesak perbaikan dan pemulihan lingkungan
hidup yang telah dirusak oleh perusahaan-perusahaan
pertambangan; (8) Melaksanakan pelatihan progresif
terkait pengawasan pengelolaan SDA dan lingkungan
hidup kepada anggota organisasi, mahasiswa dan
rakyat; dan (9) Menyelenggarakan konverensi-
konverensi untuk mengembangkan dan memajukan
konsep pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.
l. Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia HAM: (1)
Melaksanakan kajian kritis terhadap perbagai aspek
1221
hukum dan HAM; (2) Mendorong kader HMI supaya
terlibat aktif dalam melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan hukum dan penegakan HAM di Indonesia;
(3) Menyelenggarakan pelatihan advokasi masalah
hukum dan HAM; (6) Mendadvokasi tiap-tiap
kejahatan hukum dan HAM secara terus-menerus; (5)
Melaksanakan konferensi-konferensi dalam
mengembangkan dan memajukan konsep hukum dan
HAM; (6) Mendesak ditangkap dan berikannya
hukuman terhadap semua pelaku kajahatan
kemanusiaan di Indonesia dan Papua. (7) Mendesak
diberlakukannya penegakan hukum dan HAM yang
mengutamakan aspek keadilan untuk rakyat miskin dan
tertindas; (8) Mendesak agar diberhentikannya
keterlibatan militer dalam memangku jabatan publik;
(9) Memprotes praktik brutalistik dan militeristik dari
TNI-Polri dan memperjuangkan pelenyapan brutalisme
dan militerisme; dan (10) Mengampanyekan tentang
pentingnya pemberian keadilan untuk seluruh kaum
tertindas, terhisap dan miskin yang telah menjadi
korban pelanggaran HAM.
1222
DAFTAR PUSTAKA
Buku
1223
Al Banna, Hasan, (2018), Risalah Pergerakan Ikhwanul
Muslimin 2, Surakarta: Era Adicitra Intermedia.
1224
Anam, Munir Che, (2008), Muhammad SAW & Karl Marx:
Tentang Masyaarakat Tanpa Kelas, Yogyakarta; Pustaka
Pelajar.
1225
Keterlibatan Militer dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven
Digoel dan Poso, Jakarta: KontraS.
1226
Brewer, Anthony, (1999), Kajian Kritis Das Kapital Karl
Marx, Jakarta: Teplok Press.
1227
Dwi Hartanto, Agung, (2008), Karya-Karya Lengkap Mas
Marco Kartodikromo: Pikiran, Tindakan dan Perlawanan,
Jakarta: Boekoe.
1228
Fakih, Mansour, (2001), Sesat Pikir Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press.
1229
Gramsci, Antonio, (2017) Sejarah dan Budaya, Yogyakarta:
Narasi - Pustaka Promethea.
1230
Haryatmoko, (2010), Dominasi Penuh Muslihat; Akar
Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama.
1231
Jusuf Habibie, Bacharuddin, (2006), Detik-Detik yang
Menentukan; Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi,
Jakarta: THC Mandiri.
1232
Lowy, Michael, (2013), Teologi Pembebasan Kiritik
Marxisme dan Marxisme Kritis, Yogyakarta: Insist Press.
1233
Moore, John & Spencer Sunshine (ed.), (2014), Aku Bukan
Manusia, Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Poiitik
Anarkisme, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
1234
M. Sheehan, Sean, (2003), Anarkisme; Perjalanan Sebuah
Gerakan Perlawanan, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
1235
Pramula, Beni, (2015), Ironi Negeri Kepulauan, Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
1236
Prasetyo, Eko, (2006), Guru: Mendidik Itu Melawan,
Yogyakarta: Resist Book.
1237
Prasetyo, Eko, (2016), Kitab Pembebasan Tafsir Progresif
Atas Kisah-Kisah dalam Qur’an, Malang: Beranda Kelompok
Intrans Publishing dan Social Movement Institute.
1238
Rizky, Awalil dan Nasyith Mahdi, (2008), Neo Liberalisme
Mencengkeram Indonesia, Jakarta: E. Publishing Company.
1239
Satya Widodo, Martinus, (2005), Cinta dan Keterasingan,
Yogyakarta: Penerbit Narasi.
1240
Solichin (Penyusun), (2010), Candradimuka HMI, Jakarta:
Sinergi Persadatama Foundation.
1241
Siregar, M.R., (2007), Tragedi Manusia dan Kemanusiaan;
Holokaus Terbesar Setekah Nazi, Yogyakarta: Resist Book.
1242
Syari’ati, Ali (1984), Tugas Cendikiawan Muslim, Jakarta:
CV Rajawali.
1243
Syari’ati, Ali, (2017), Islam Agama Protes,
Yogyakarta:Pribumi Publishing.
1244
Zubir, Zaiyardam, (2003), Radikalisme Kaum Pinggiran Studi
tentang Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan,
Yogyakarta: Insist Press.
1245
Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
1246
Novianto, Arif, dkk, (2018), Dinamika Gerakan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) di Indonesia: Analisis Perspektif Partai
Pelopor Dan Partai Kiri Luas, Jurnal Penelitian Politik, Vol.
15(1),
Suwirta, Andi, (2018), Pers dan Kritik Sosial pada Masa Orde
Baru: Studi Kasus Pers Mingguan Mahasiswa Indonesia di
Bandung, 1966-1974, Mimbar Indonesia: Jurnal Indonesia
untuk Kajian Pendidikan, Vol. 3(2).
1247
Wawancara dengan beberapa teman dekat dari korban
seksisme HMI-Wan Cabang Mataram (2019).
Dokumen Organisasi
1248
Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
(PEMBEBASAN), (2021), Pengantar Materialisme
Dialektika Historis, Mataram: PEMBEBASAN Kolkot
Mataram.
Internet
1249
pinterpolitik.com | indonesia-investments.com |
budimansudjatmiko.net | katada.id | swamedium.com
1250
1251