Anda di halaman 1dari 5

5 ARGUMENTASI KADERISASI

Imdhat Aditya, S.AB

“Hanya melalui kesatuan bangunan dalam bingkai organisasi yang utuhlah,


proses kaderisasi pada setiap jenjang level pengkaderan akan berjalan maksimal serta mampu
memberikan jawaban akan kebutuhan dan permasalahan pengkaderan dewasa ini”.

Idiom diatas barangkali dapat dijadikan renungan dan evaluasi bersama akan pentingnya
percepatan perubahan dan penyesuaian terhadap tantangan kondisi dinamika masyarakat kekinian
baik ditingkatan lokal, regional maupun nasional yang menuntut PMII untuk selalu mencari,
memikirkan, dan membuat bangunan formulasi baru dan tepat terhadap kaderisasi dalam konteks
adaptasi perubahan. Kondisi ini menuntut PMII untuk selalu membangun solidaritas internal
sebagai upaya untuk mewujudkan bangunan kaderisasi yang kokoh, sebagai bagian dari jawaban
PMII terhadap tantangan perubahan tersebut.

Forum pertemuan kaderisasi nasional yang diadakan PB PMII pada awal tahun 2012 lalu,
memberikan sebuah gambaran terhadap kondisi warga pergerakan dalam potret kaderisasi serta
kontribusi output yang dihasilkan dewasa ini. Bidang Kaderisasi PB PMII pada saat itu
menyampaikan bahwa PMII belum mampu menjawab tantangan yang hadir ditengah-tengah
masyarakat. Ditengah-tengah berkembang pesatnya pembangunan dan tuntutan perubahan
ditengah masyarakat dewasa ini, kader-kader PMII belum mampu mengisi ruang-ruang kosong
dalam merebut perubahan terebut.

Tantangan ini yang harus mampu ditangkap oleh setiap kader, agar pada saatnya nanti
PMII tidak tertinggal oleh perubahan, dimana sebagaimana hal tersebut selalu hadir sebagai sebuah
jawaban atas keluhan kader dalam setiap periode kepengurusan ditingkatan rayon, komisariat,
maupun cabang nantinya. Sebab jika kita potret lebih dalam lagi masih banyak ruang-ruang yang
seharusnya mampu diisi oleh kader-kader PMII melalui proses kaderisasi yang terkonsep dan
berjenjang.

Produk serta formulasi kaderisasi PMII yang telah terkesima dengan sistematis dan
konseptual belum mampu diterjemahkan dan dipahami secara tuntas oleh kader-kader yang
memiliki tanggung jawab dalam setiap proses kaderisasi pada tingkatan level organisasi di PMII.
Sehingga dewasa ini yang sering terjadi pada tataran basis kader adalah semangat militansi dan
loyalitas kader terkesan semu dan tak terarah, yang disebabkan oleh kurang maksimalnya
transformasi dan internalisasi nilai-nilai ke PMII an pada kader melalui formulasi kaderisasi yang
ada. Problem kaderisasi yang dewasa ini masih kurang terjamah oleh desain kaderisasi adalah
bagaimana pola pengkaderan dapat memberikan ruang sebagai media aktualisasi bagi anggota,
kader dan mereka yang telah purna/pasca sebagai pengurus PMII. Sering kali pada beberapa
kepengurusan di tingkatan rayon, komisariat dan cabang belum terdapat desain yang sinergis serta
mampu mengakomodir kepentingan kaderisasi.

Berangkat dari bangunan history dan filosofis berdirinya lembaga pendidikan di suatu
wilayah, mahasiswa sebagai bagian civitas akademika yang berada didalamnya harus mampu
memberikan kebermanfaatan melalui output yang dihasilkan dari sayap-sayap keilmuan
fakultatifnya dengan kajian ilmiah dan pendampingan pada masyarakat secara berkelanjutan.
Sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat dan tanggung jawab keilmuan mahasiswa pada
perubahan dan kontrol sosial.

Mahasiswa dan PMII merupakan bagian yang saling berkaitan dan tak terpisahkan. Sebab
berawal dari mahasiswalah kita mengenal dan menjadi kader PMII serta berangkat dari ruang-
ruang ilmiah dibangku kuliahlah kita diperkenalkan oleh berbagai khasanah wawasan sebagai
bekal keilmuan dan modal pengembangan sayap gerakan serta kaderisasi. Input inilah yang
nantinya harus mampu diolah dan dimaksimalkan melalui konsepsi dan formulasi kaderisasi yang
telah terskema dengan sistematis agar output kader dan alumni yang dihasilkan nantinya mampu
memiliki andil dalam menjaga eksistensi organisasi dan penguatan sayap-sayap gerakan untuk
mengisi dan merebut ruang-ruang perubahan dalam menciptakan civil society.

GAMBARAN KADERISASI DI KAMPUS UMUM

Model dan formulasi kaderisasi yang dilaksanakan pada proses internalisasi nilai dan
pembentukan karakter kader PMII pada level basis kader memiliki karakteristik dan kultur yang
berbeda-beda menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan tipologi karakter mahasiswa pada
tingkatan lembaga serta fakultatif tertentu. Tahapan mengurai dan menganalisa lebih dalam ini
pada akhirnya nanti akan membantu pengurus pada tiap level lembaga dalam menentukan metode,
saluran dan arahan output yang ingin dicapai melalui proses kaderisasi tersebut.

Berangkat dari kompleksitas kondisi tersebut, metode kaderisasi yang dijalankan sahabat-
sahabat pengurus rayon maupun komisariat memiliki kultur karakteristik dan tantangan yang lebih
kompleks dibandingkan dengan yang ada pada kampus-kampus yang berlatar belakang Islam. Hal
ini menjadi tantangan tersendiri bagi sahabat-sahabat pengurus untuk lebih inovatif dan progresif
dalam menjalankan agenda kaderisasi pada setiap lembaganya. Kekayaan bidang kajian keilmuan
yang terdapat dikampus umum, dengan hadirnya bermacam fakultatif keilmuan yang beragam dan
secara khusus mempelajari disiplin ilmu tertentu sebaiknya dapat dijadikan modal dasar pengurus
untuk dapat memaksimalkan potensi fakultatif tersebut melalui pemetaan dan program
pengembangan potensi akademik kader agar dapat dimaksimalkan pada ruang-ruang implementasi
keilmuan yang terdapat ditiap jenjang lembaga.

Pengembangan potensi-potensi tersebut diatas akan mampu dijadikan salah satu ruang
implementasi nilai yang didapat pada proses pengkaderan di PMII melalui lembaga-lembaga
akademik maupun minat bakat kemahasiswaan yang berada di kampus. Selain dari pada itu,
penanaman nilai-nilai keIslaman dan pemahaman akan kePMIIan harus mampu disesuaikan
dengan porsinya melalui ruang kaderisasi non formal dan ruang-ruang kultural yang ada. Sehingga
pemahaman akan nilai-nilai tersebut dapat tersampaikan secara kontekstual maupun tekstual dan
akan lebih lunak penyampaian juga pemahamannya serambi mengatur ritme pengkaderan pada
tingkatan yang selanjutnya.
Berawal dari bangunan tersebut, PMII pada akhirnya akan mampu menjawab tantangan
yang hadir dalam konteks kekinian dengan pergeseran pola pikir dan tingkah laku mahasiswa
terhadap pemahaman pentingnya berorganisasi, dengan memberikan jawaban atas kebutuhan
mahasiswa.

MENEMUKAN FORMULASI KADERISASI

Heterogennya latar belakang kultural mahasiswa di kampus umum


serta academic regulations yang ada menjadi tantangan tersendiri bagi PMII dikampus umum agar
tetap mampu bertahan ditengah-tengah masyarakat kampus yang beragam. Kampus sebagai salah
satu akses kader untuk survive pada keilmuan menjadi sebuah bagian keniscayaan tersendiri.
Diruang keilmuan formal tersebut kader akan mendapatkan akses keilmuan yang sekiranya tak
didapatkan pada ruang informal.

Keberadaan PMII kampus umum di Indonesia telah banyak berkembang. Secara kuantitas
pun kader-kader PMII dikampus umum (Unej, UB, UGM, UI, dsb) telah tersebar dan telah
memiliki alumni yang tersebar ditengah-tengah masyarakat. Alumni yang tercetak melalui
pendidikan formal dibangku perkuliahan dan melalui proses penanaman nilai pada proses
pengkaderan di PMII pun juga tak kalah besar secar kuantitas maupun kualitas. Hal ini harus dapat
di manfaatkan sebagai ruang untuk membangun akses pengembangan output yang dihasilkan pada
proses kaderisasi di PMII agar mampu mengisi ruang-ruang pengabdian dimasyarakat kelak.

Pencapaian kuantitas anggota tersebut tidak terlepas dari strategi dan metode penjaringan
anggota yang digunakan meskipun dalam perjalanannya terdapat sedikit ketimpangan secara
kuantitas yang seharusnya bisa diminimalisir dengan kematangan konsep taktis skematik yang
mampu ditransformasikan pada tiap lembaga. Kelemahan mendasar tersebut membuat
ketimpangan kuantitas anggota terjadi pada lembaga-lembaga lainnya. Sehingga diperlukan
soliditas organ sebagai prasyarat utama agar terbentuk pemahaman yang masif terhadap metode
kaderisasi pada tahapan mapaba.

Jejang persiapan dan pendampingan tersebut nantinya akan berlanjut pada tahapan
pendidikan formal Mapaba dan tindak lanjutnya pada pra mapabanya. Sehingga dengan metode
ini pengurus mampu memaksimalkan ruang kaderisasi di rayon maupun komisariat untuk
mengatur ritme tahapan pendampingan terhadap anggota berupa penanaman ideologisasi terhadap
anggota. Selain itu pula seleksi dan bentuk pendampingan pada awal proses pengenalan terhadap
PMII ini pada akhirnya akan menciptakan kader yang memiliki totalitas sebagai anggota PMII.
Kajian dan diskusi ringan kaderisasi selalu menarik dan tak akan ada habisnya untuk dibicarakan.
Sebab melalui saluran dan pemahaman inilah eksistensi organisasi akan tetap terus terjaga.
Wacana tentang hal tersebut sering hadir pada ruang-ruang diskusi formal maupun non formal.

MEMBENTUK BANGUNAN KELEMBAGAAN KADERISASI

Kekuatan dan kebesaran institusi kelembagaan PMII di kampus umum secara basis
keanggotaan, secara niscaya tak akan memberikan kebermanfaatan dalam konteks kaderisasi tanpa
adanya kesadaran bersama akan pemahaman dan tanggung jawab kelembagaan terhadap
pengawalan setiap proses pengkaderan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa konsepsi
yang matang menjadi sesuatu yang urgent dalam pengkaderan. Sebab berangkat dari hal itulah
arahan kaderisasi dapat ditentukan, akan diarahkan dan dibawa kemana proses kaderisasi yang
telah kita berikan pada para anggota dan kader pada setiap level lembaga. Pemahaman atas
tanggung jawab kaderisasi pun selayaknya harus berangkat dari bangunan pemahaman akan
pentingnya argumentasi kaderisasi pada individu personal maupun kelembagaan dalam
melangsungkan proses kaderisasi.

Berbicara tentang pemahaman atas argumentasi kederisasi diatas, yang harus mampu
secara tuntas dipahami dan dimengerti oleh setiap pengkader, disini akan sedikit dihadirkan
pemahaman akan hal tersebut. Argumentasi kaderisasi merupakan sebuah bentuk pemahaman atas
apa yang mendasari kita melakukan proses kaderisasi.
Ada lima argumentasi mengapa harus ada pengkaderan di PMII (Eman Hermawan,
Menjadi Kader Pergerakan, PB PMII; 2000 dan Pendidikan Kritis Transformatif, PB
PMII; 2002) . Lima argumentasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pewarisan Nilai-Nilai (Argumentasi Idealis)


Pengkaderan ada sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur yang difahami, dihayati
dan diacu oleh PMII. Nilai-nilai harus diwariskan karena salah satu sumber elangerak PMII
adalah nilai-nilai, seperti penghormatan terhadap sesama, perjuangan,
kasih-sayang. Nilai-nilai tersebut selain disampaikan melalui materi-materi
pengkaderan juga ditularkan dalam pergaulan sehari-hari sesama anggota/kader
PMII.
b. Pemberdayaan Anggota (Argumentasi strategis)
Pengkaderan merupakan media bagi anggota dan kader untuk menemukan dan
mengasah potensi-potensi individu yang masih terpendam. Secara lebih luas,
pengkaderan merupakan upaya pembebasan individu dari berbagai belenggu yang
menyekap kebebasannya. Sehingga individu dapat lebih terbuka untuk menyatakan
diri dan mengarahkan potensinya bagi tujuan perjuangan.
c. Memperbanyak Anggota (Argumentasi praktis)
Manusia selalu membutuhkan orang lain untuk dijadikan teman. Semakin banyak
teman semakin manusia merasa aman dan percaya diri. Hukum demikian berlaku
dalam organisasi. Di samping itu kuantitas anggota sering menjadi indikator
keberhasilan organisasi, meskipun tidak bersifat mutlak. Setidaknya semakin
banyak anggota, maka human resources organisasi semakin besar.
d. Persaingan Antar-Kelompok (Argumentasi Pragmatis)
Hukum alam yang berlaku di tengah masyarakat adalah kompetisi. Bahkan teori
Charles Darwin, survival of the fittest, nyaris menjadi kenyataan yang tidak dapat
dielak siapapun. Dalam persaingan di tingkat praktek, cara yang sehat dan tidak
sehat campur aduk dan sulit diperkirakan berlakunya. Melalui pengkaderan, PMII
menempa kadernya untuk menjadi lebih baik dan ahli daripada organisasi yang
lain. Dengan harapan utama, apabila (kader) PMII memenangkan persaingan,
kemenangan tersebut membawa kebaikan bersama. Hanya sekali lagi, persaingan
itu sendiri tidak dapat dielakkan.
e. Mandat Organisasi (Argumentasi Administratif)
Regenerasi merupakan bagian mutlak dalam organisasi, dan regenarasi hanya
mungkin terjadi melalui pengkaderan. Tujuan PMII yang termaktub dalam AD/ART
Pasal 4 mengharuskan adanya pengkaderan. Melalui pengkaderan
penggemblengan dan produksi kader dapat sinambung. Oleh karena menjadi
mandat organisasi, maka pengkaderan harus selalu diselenggarakan.
Dewasa ini pemahaman akan argumentasi kaderisasi tersebut belum mampu secara masif
dipaham oleh para pengurus dan kader yang memiliki tanggung jawab untuk mengkader. Padahal
argumentasi tersebut menjadi hal dasar yang semestinya telah dimengerti oleh setiap diri
pengkader. Berangkat dari hal tersebut diatas, dalam proses berjalannya roda organisasi pada level
lembaga rayon masih sering dijumpai kesenjangan pemahaman akan konsepsi kaderisasi.
Sehingga yang terjadi kesenjangan tersebut berefek pada kinerja kelambagaan tersebut yang
tercermin dari jumlah kuantitas anggota dan kualitas kader yang ada didalam lembaga tersebut.
Kondisi kesenjangan tersebut jika dibiarkan secara berlarut dapat mengancam eksistensi
organisasi.

Melihat realita kondisi kaderisasi yang belum terkonsep secara hierarki pada setiap jenjang
level organisasi, dirasa perlu adanya bentuk pembagian wewenang dan tugas setiang elemen
organisasi pada poros porsinya dalam mengawal proses kaderisasi pada setiap jenjangnya sebagai
salah satu bentuk pengawalan yang masif dan konkrit pada konteks proses pengkaderan. Berbicara
mengenai pembagian wewenang dan tugas pengawalan kaderisasi tersebut dimaksudkan agar pada
setiap level organisasi tertanam jelas haluan dan sistem pengkaderan yang terkonsep secara rapih
dan sistematis. Dimanakah posisi cabang pada tingkatan kelembagaannya dalam mengawal
kaderisasi, bagaimanakah peran dan porsi surveillance komisariat dalam memberikan arahan
pengkaderan pada level dibawahnya, serta apa yang harus dilakukan rayon-rayon melalui ruang
prosesnya yang ideal mampu melahirkan anggota dan kader yang loyal dan progresif.

Anda mungkin juga menyukai