Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PROGRAM

BUDAYA DAN IKLIM


SEKOLAH

DINAS PENDIDIKAN NASIONAL


SD NEGERI 138 PALEMBANG
2019/2020
Budaya dan iklim organisasi sekolah secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan
prestasi belajar. Penelitian Cheng (1993) menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi
(cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal
produktivitas, kemampuan adaptasi dan keluwesan. Demikian juga halnya, kinerja sekolah
ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara
maju, riset tentang iklim kerja di sekolah telah berkembang dengan mapan dan memberikan
sumbangan yang cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang berhasil. Ditegaskan
bahwa jika guru merasakan suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diharapkan
siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Kekondusifan iklim kerja suatu
sekolah mempengaruhi sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tersebut, khususnya pada
pencapaian prestasi akademik siswa. Purkey dan Smith (1985) menyatakan bahwa prestasi
akademik siswa dipengaruhi sangat kuat oleh suasana kejiwaan atau iklim kerja sekolah. Lebih
lanjut Hughes (1991) menegaskan bahwa setiap sekolah mempunyai karakter suasana kerja, yang
akan mempengaruhi keberhasilan proses kegiatan pembelajaran di kelas.
Pembentukan suasana pembelajaran yang kondusif perlu diciptakan dalam seluruh
lingkungan sekolah termasuk didalamnya lingkungan kelas. Secara eksplisit faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas antara lain adalah kompetensi
guru, metode pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan
pembelajaran baik lingkungan alam, psikososial dan budaya (Depdikbud, 1994). Dapat diartikan
disini bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun di sekolah (kantor guru dan staf
tata usaha) mempunyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses kegiatan
pembelajaran.
Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan
iklim yang kondusif untuk belajar (Reynolds, 1990). Iklim yang kondusif ditandai dengan
terciptanya lingkungan belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar
dapat berlangsung dengan baik. Iklim adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan
gaya hidup suatu organisasi. Apabila gaya hidup itu dapat ditingkatkan, kemungkinan besar
tercapai peningkatan prestasi kerja (Davis dan Newstrom, 1985). Pandangan ini mengindikasikan
kualitas iklim yang memungkinkan meningkatnya prestasi kerja. Iklim tidak dapat dilihat dan
disentuh, tetapi ia ada seperti udara dalam ruangan. Ia mengitari dan mempengaruhi segala hal
yang terjadi dalam suatu organisasi. Iklim dapat mepengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan
kerja (Davis dan Newstrom, 1985).
Budaya dan iklim sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman
dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasakan diri dihargai, dan agar orangtua
dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend, 1994). Hal ini dapat terjadi
melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis
yang didasari oleh sikap saling menghargai satu sama lain. Hal yang sama dikemukakan oleh
Wijaya (2005), yaitu budaya sekolah yang perlu ditumbuhkan berupa suasana saling hormat
antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, dan dengan pihak lainnya.
Sehubungan dengan itu maka iklim sekolah dapat digolongkan menjadi enam kondisi yaitu: (1)
iklim terbuka, (2) iklim bebas, (3) iklim terkontrol (4) iklim familier (kekeluargaan), (5) iklim
parternal, dan (6) iklim tertutup (Halpin & B Croft dalam Burhanunudin, 1994). Selain itu, iklim
sekolah yang kondusif mendorong setiap personil yang terlibat dalam organisasi sekolah untuk
bertindak dan melakukan yang terbaik yang mengarah pada prestasi siswa yang tinggi.

Beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah
yang kondusif dikemukakan berikut ini.
A. Penataan Lingkungan Fisik Sekolah
1. Perawatan Fasilitas Fisik Sekolah
Salah satu ciri sekolah efektif adalah terciptanya budaya dan iklim sekolah yang menyenangkan
sehingga siswa merasa aman, nyaman, dan tertib di dalam belajarnya. Hal ini ditandai dengan
fasilitas-fasilitas fisik sekolah terawat dengan baik. Penampilan fisik sekolah selalu bersih, rapi,
indah dan nyaman. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
a. Pekarangan dan lingkungan sekolah yang tertata sedemikian rupa sehingga memberi kesan
asri, teduh, dan nyaman, serta dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan apotik hidup.
b. Budaya bersih juga senantiasa ditumbuhkan di kalangan warga sekolah dengan membiasakan
perilaku membuang sampah pada tempatnya.
c. Dalam lingkungan sekolah terdapat beberapa kawasan khusus seperti: kawasan wajib senyum,
kawasan bebas narkoba dan rokok, dan kawasan wajib bahasa Inggeris (English area).
d. Adanya pembiasaan-pembiasaan yang bernuansa moral dan akhlak yang mendorong
meningkatnya kecerdasan spritual peserta didik, seperti: (a) berdoa sebelum pelajaran dimulai;
(b) menumbuhkan budaya relegius dengan membiasakan murid mengucapkan dan membalas
salam setiap bertemu; (c) mengadakan pengajian secara rutin; (d) shalat berjamaah pada waktu
shalat duhur; dan (e) terdapat juga sekolah yang mengadakan “kultum” setiap hari dan
menugaskan siswa berceramah sekali seminggu.
1. Penataan Ruang Kelas
Kondisi kelas yang menyenangkan perlu diciptakan sehingga tercipta suasana yang mendorong
siswa belajar. Penggunaan musik instrumentalia yang lembut dapat lebih menciptakan suasana
menyenangkan dan memberi efek penenteraman emosi, baik pada saat siswa belajar di kelas
maupun pada saat mereka melakukan berbagai aktivitas lainnya di luar kelas.
2. Penggunaan Sistem Kelas Berpindah (Moving-Class)
Moving-class adalah sistem pengelolaan aktivitas pembelajaran di mana kelas-kelas tertentu
ditata khusus menjadi sentra pembelajaran bidang studi/mata pelajaran tertentu. Penggunaan
sistem moving-class (kelas berpindah) merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk
mengefektifkan penataan ruangan kelas sebagai sentra belajar. Dalam sistem moving-class ini,
ruang-ruang kelas tertentu dapat ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran
tertentu. Ada kelas sains, kelas bahasa, kelas matematika, kelas kesenian, dan sebagainya. Kelas-
kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra belajar khusus. Meja, kursi, peralatan,
media, pajangan, dan berbagai aspek yang ada di kelas diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan
dan karaketeristik pembelajaran mata pelajaran tertentu.
3. Penggunaan Poster Afirmasi
Poster-poster afirmasi, yaitu poster yang berisi pesan-pesan positif digunakan dan dipajang di
berbagai tempat strategis yang mudah dan dapat selalu dilihat oleh siswa. Poster afirmasi ini
dapat digunakan untuk mensosialisasikan dan menanamkan pesan-pesan spiritual kepada siswa
dan warga sekolah.
Pesan-pesan spiritual untuk poster afirmasi dapat berupa petikan ayat Al-Quran, hadist, pesan
pujangga, atau puisi-puisi spiritual. Yang perlu diperhatikan, adalah pengadaan dan penempatan
poster afirmasi ini jangan sampai terkesan berlebihan atau menjadi pesan sloganis belakang.

B. Penataan Lingkungan Sosial Sekolah


1. Penciptaan Keamanan di Lingkungan Sekolah
Sekolah yang efektif perlu memperhatikan keamanan sekitar. Sekolah terbebas dari gangguan
keamanan baik dari dalam maupun dari luar sekolah. Untuk menjamin keamanan sekolah maka
harus didukung adanya tata tertib sekolah yang menjadi acuan dari semua warga sekolah. Tata
tertib sekolah dapat terlaksana dengan baik, apabila didukung oleh seluruh penyelenggara
sekolah. Karena itu kepala sekolah, guru, dan staf harus menjadi model dan teladan untuk
penegakan tata tertib dan disiplin.
2. Penciptaan Relasi Kekeluargaan dan Kebersamaan
Sekolah menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan antara kepala sekolah, guru,
karyawan, siswa, dan orangtua, sehingga satu sama lain saling berbagi dan memberi bantuan.
Sekolah membangun budaya setara di kalangan warga sekolah. Iklim interaksi antar warga
sekolah dibangun atas dasar prinsip ”I Thou Relationship” bukan hubungan yang bersifat ”I-it
Relathionsip”.

Hubungan kekeluargaan ini dapat digambarkan sebagai berikut:


a. Orang tua siswa dilibatkan dalam berbagai kegiatan, seperti pembuatan tata tertib, mengontrol
perkembangan belajar anaknya, penegakan kedisiplinan di sekolah, pertemuan berkala antara
orangtua dan pihak sekolah, memberikan sumbangan dalam bentuk materi.
b. Prosedur untuk melibatkan orang tua disampaikan secara jelas. Orangtua siswa diberi
kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna mengobservasi program pendidikan. Orangtua dan
masayarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan strategis di sekolah.
c. Sekolah senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan orangtua dan masyarakat melalui
wadah Komite Sekolah. Keterlibatan komite sekolah secara nyata ditemukan pada semua sekolah
dalam berbagai aspek dan kegiatan, seperti menjaga kebersihan lingkungan dan keamanan
sekolah, pengadaan sarana sekolah, ikut serta memutuskan sanksi terhadap pelanggaran di
sekolah, mendorong dunia usaha dan industri untuk berpartisipasi dalam pengembangan sekolah,
dan memberdayakan orang tua siswa yang memiliki kemampuan finansil atau peran penting di
lembaga pemerintah dan swasta dalam berbagai kegiatan sekolah,
d. Memaksimalkan buku penghubung sebagai alat pengontrol kemajuan siswa sekaligus wadah
menjalin komunikasi dengan orang tua.
e. Pelibatan tokoh masyarakat. Sebaliknya dalam hubungan yang dicirikan dengan ”I-it
Relathionsip”, individu tertentu, katakanlah guru tertentu, memandang individu lain (katakanlah
siswa) sebagai objek, perlu dituntun, tidak berhak untuk menyatakan kebutuhan dan
kepentingannya, dan dapat diperlakukan sesuai kemauan dan determinasi sang guru. Ciri
hubungan seperti ini akan mematikan kretivitas dan rasa percaya diri sisiwa, dan cenderung
mengembangkan sikap asosial, bahkan anti sosial, pada diri siswa.

C. Penataan Personil Sekolah


1. Pemberian Ganjaran Positif bagi Karya Terbaik Siswa
Karya-karya cemerlang siswa dipajang di kelas atau ruang kepala sekolah dan diberi ganjaran
positif. Ganjaran hendaknya diberikan sesegara mungkin dan diarahkan untuk memberi rasa
kebanggaaan dan untuk mempertahankan motivasi siswa yang diberi ganjaran serta menstimulasi
siswa lainnya untuk menghasilkan prestasi yang sama.
Ganjaran juga dibutuhkan untuk mempertahankan motivasi dan gairah berprestasi di kalangan
siswa. Ganjaran akan efektif jika diberikan sesegara mungkin dan dilakukan secara konsisten
pada setiap siswa yang menunjukkan prestasi.
2. Pengembangan Rasa Memiliki Terhadap Sekolah
Sekolah menciptakan rasa memiliki sehingga guru, staf administrasi dan siswa menunjukkan rasa
bangga terhadap sekolahnya. Setiap warga sekolah merasa bertanggung jawab untuk menjaga
kondusivitas lingkungan sekolah. Ini bisa dicapai, antara lain dengan memberi tanggung jawab
pengelolaan dan perawatan wilayah tertentu kepada kelompok kelas atau ruang tertentu.
3. Pemberian Jaminan Atas Kemaslahatan Siswa
Kemaslahatan siswa merupakan kriteria penting yang digunakan dalam pembuatan keputusan
tentang mereka. Setiap keputusan yang dibuat di sekolah hendaknya memperhatikan kebutuhan,
kepentingan, dan kondisi khusus siswa. Keputusan yang dibuat hendaknya juga dapat memenuhi
prinsip keadilan dan kesetaraan di kalangan siswa, termasuk keadilan dan kesetaraan gender, ras,
etnis, kelas sosial, agama, kondisi fisik, ataupun varian-varian latar siswa lainnya.
4. Akseptabilitas Guru Terhadap Metode Pembelajaran Terbaru
Guru bersedia mengubah metode-metode mengajar, bila metode yang lebih baik diperkenalkan
kepadanya. Berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif telah ditawarkan dan
disosialisasikan melalui berbagai media, seperti buku, internet, dan pelatihan. Penerapan
berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif dan telah teruji perlu menjadi bagian
yang mencoraki iklim pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, guru perlu mengadopsi dan
mencoba menerapkan berbagai metode dan strategi pembelajaran tersebut untuk lebih
mengefektifkan proses pembelajarannya.
5. Harapan yang Tinggi Untuk Berprestasi
Karakteristik ini pada umumnya ditemukan dalam sekolah efektif. Penelitian Moedjiarto (1990)
dan Witte dan Walsh (1990) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan
yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan
penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi.
Hal ini sejalan dengan teori motivasi-iklim baik dari Herzberg (Hersey dan Blanchard, 1992).
Dijelaskan bahwa faktor-faktor motivasi-iklim baik, yaitu: (1) pekerjaan itu sendiri, yang
meliputi: (a) prestasi; (b) pengakuan akan keberhasilan; (c) pekerjaan yang menantang; (d)
meningkatnya tanggung jawab; (e) pertumbuhan dan perkembangan.Lingkungan, terdiri dari: (a)
kebijaksanaan dan administrasi; (b) supervisi; (c) kondiisi kerja; (d) hubungan antar pribadi; (e)
penghargaan, status, dan keamanan.
Menurut Mortimore (1993), harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan
dalam meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi
akademik mereka.
Murphy (1985) seperti dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan bahwa harapan dan
standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan
adanya: (1) keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, (2) tanggung jawab bagi pembelajaran
siswa, (3) harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, (4) persyaratan promosi
dan penjenjang-an, dan (5) pemberian perhatian pribadi kepada siswa perorangan.

D. Penataan Lingkungan Kerja Sekolah


1. Pengaturan Jadwal Acara dan Aktivitas Sekolah
Semua aktivitas di sekolah harus dijadwalkan secara baik, agar kegiatan proses belajar-mengajar
tidak terganggu. Sehubungan dengan itu, maka seluruh kegiatan non-teaching yang bersifat
regular dan yang bersifat insidental perlu diidentifikasi. Aktivitas bersifat regular dan dilakukan
setiap semester/tahun di sekolah, misalnya: acara perpisahan sekolah, kegiatan OSIS, porseni,
peringatan hari-hari besar, PMR, sebaiknya dijadwal dan disesuaikan dengan kalender
pembelajaran agar jadwal proses belajar-mengajar dan implemantasi kurikulum tidak terganggu.
Aktivitas yang bersifat insidental dan tidak terjadwal dalam program semester/tahunan,
misalnya: penyuluhan tentang anti narkoba, mading, karya tulis remaja, dan lain-lain sedapat
mungkin dilaksanakan pada waktu-waktu yang tidak mengganggu aktivitas proses belajar-
mengajar.

2. Penciptaan Budaya Kerja


Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam upaya penciptaan budaya kerja yang
positif seperti:
a. Penerapan disiplin dan tatatertib sesuai dengan mentaati jam kerja yang berlaku di lingkungan
sekolah.
b. Setiap guru bidang studi dan wali kelas senantiasa melakukan pemantauan dan evaluasi secara
periodik terhadap peningkatan disiplin dan prestasi belajar siswa
c. Kepala sekolah, guru dan wali kelas wajib menciptakan iklim kerja dan iklim belajar yang
kondusif dalam rangka untuk meningkatkan kinerja guru dan prestasi belajar siswa.
d. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa dan masyarakat, kepala sekolah,
guru dan staf menyusun mekanisme proses pelayanan yang direncanakan maupun mekanisme
pelayanan langsung/spontan berhubungan proses belajar mengajar dan kegiatan yang dapat
menunjang kelancaran proses belajar mengajar.
e. Menyiapkan buku bacaan sekolah di setiap sudut atau ruang sekolah dalam bentuk taman
bacaan atau ruang tunggu yang bisa digunakan oleh siapa saja tanpa harus dijaga karena didasari
oleh kebutuhan dan kejujuran.
f. Memberikan kesempatan kepada para guru, staf dan siswa untuk meningkatkan
profesionalisme dalam pelaksanaan tugas melalui pendidikan dan pelatihan, baik yang bersifat
formal maupun informal.
g. Dalam rangka menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif, menanamkan budaya
pengawasan melekat (WASKAT) terhadap seluruh personil sekolah secara intensif.
h. Senantiasa melakukan pembinaan dan motivasi kepada guru, staf dan siswa dengan
menggunakan prinsip pemberian penghargaan mereka yang berprestasi dan penerapan sanksi
disiplin untuk mereka yang melakukan pelanggaran disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku di sekolah tidak terkecuali kepada siapapun.
Salah satu bentuk pengembangan budaya kerja yang positif adalah budaya mutu. Filosofi utama
budaya mutu adalah “perbaiki prosesnya sebelum hasilnya jelek” (Paine, Turner, Pryke, 1992).
Di kalangan bisnis, ternyata 35 persen dari biaya operasionalnya dipakai untuk memperbaiki dan
menyelesaikan pekerjaan yang ternyata salah atau keliru dilakukan (Crosby, 1990).
Hal ini membawa implikasi bahwa sekolah perlu didorong untuk tidak hanya melihat aspek input
manajemen tetapi jauh lebih penting adalah proses manajemennya, yang dalam konteks
pembelajaran berarti perbaikan secara berkelanjutan “proses pembelajaran.” Sehubungan dengan
itu maka, yang diartikan sebagai proses manajemen dalam konteks ini adalah manajemen mutu.
Penerapan manajemen mutu dalam organisasi nonprofit termasuk sekolah, menurut Brough
(1992) perlu memperhatikan hal berikut, yaitu: (1) kualitas adalah pekerjaan setiap orang; (2)
kualitas muncul dari pencegahan, bukan hasil dari suatu pemeriksaan atau inspeksi; (3) kualitas
berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, dan selera konsumen; (4) kualitas menuntut kerja sama
yang erat; (5) kualitas menuntut perbaikan yang berkelanjutan; (6) kualitas harus didasarkan atas
perencanaan strategik.
Sebuah model sekolah bermutu terpadu yang dikembangkan oleh Jarome S. Arcaro (2005)
dengan konsep “pilar mutu” menggambarkan kriteria sekolah yang memiliki mutu mulai dari
kegiatan di ruang kelas sampai pada perawatan bangunan sekolah sebagaimana digambarkan
pada halaman berikut.
Pilar-pilar ini merupakan model penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil dan pilar
mutu ini bersifat universal, dapat diterapkan di semua sekolah. Pilar mutu memberikan fokus dan
arahan yang diperlukan oleh seluruh personil sekolah untuk setiap prakarsa mutu. Dengan
konsep ini memungkinkan bagi guru dan staf untuk mengukur dan mendokumentasikan nilai
tambah parakarsa mutu kepada siswa dan masyarakat. Fokus dan arahan pada setiap pilar tidak
dapat dibatasi oleh satu pilar dalam mengembangkan budaya dan iklim mutu dalam lingkungan
sekolah. Karena pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan yang diterapkan dalam pilar
mutu maka dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah yang bermutu maka juga harus
berfokus pada semua pilar sekaligus.
Pengembangan budaya mutu antara lain dapat dilakukan melalui penciptaan harapan yang
tinggi untuk berprestasi di kalangan warga sekolah. Yang dimaksud dengan budaya mutu adalah
terciptanya kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang positif terutama dalam aspek sikap dan perilaku
yang berorientasi pada kinerja sekolah yang tinggi.

Beberapa indikator penciptaan budaya mutu di sekolah adalah.


a. Sekolah menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, di mana para guru
percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi.
b. Sekolah menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling
penting untuk bersekolah.
c. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa.
d. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa.
Beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah dalam menciptakan budaya mutu di sekolah adalah
sebagai berikut.
a. Merumuskan standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja tinggi baik bagi kepala
sekolah, guru, staf administrasi, mapun siswa.
b. Merumuskan standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan
mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orangtuanya. Standar
pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketepatan, keramahan, ketanggapan, dan
pemberian jaminan mutu sekolah.
c. Melaksanakan berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi.
d. Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan
serta hukuman bagi yang berprestasi rendah.
e. Memampukan warga sekolah untuk secara terus menerus meningkatkan kualitas guna
memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan (masyarakat).
3. Peningkatan akuntabilitas
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penciptaan budaya akuntabilitas di sekolah sebagai
berikut:
a. Setiap staf dan guru agar menyusun laporan akuntabilitas secara periodik setiap triwulan
b. Pemanfaatan sumber dana baik yang bersumber dari APBN maupun APBD ataupun seumber
lain dilakukan dengan berlandaskan kepada prinsip efektivitas dan efisiensi, serta berorientasi
kepada hasil (output) dan manfaat (outcomes) dari setiap program yang diselenggarakan di
sekolah
c. Setiap orang yang melakukan perjalanan dinas baik ke daerah maupun ke luar negeri wajib
melaporkan hasil perjalanan Dinasnya kepada bendahara atau kepala sekolah
Berikut ini dikemukakan contoh-contoh penerapan indicator budaya dan iklim sekolah pada
salah satu sekolah.

Contoh Budaya dan iklim Sekolah Bakti Mulya 400


Visi : Menjadi pusat pengembangan pendidikan yang melahirkan kader pemimpin dan
intelektual muslim dengan wawasan luas serta tanggap terhadap lingkungan dan mampu bersaing
di era globalisasi sehingga mampu memperbaiki kualitas bangsa Indonesia
Misi: Dikembangkan dari visi, kemudian diuraikan dalam beberapa misi sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
2. Menyelenggarakan pendidikan yang menumbuhkembangkan potensi siswa untuk
menjadi manusia seutuhnya.
3. Menghasilkan lulusan yang unggul, kompeten/mampu dan terampil.
4. Menghasilkan sumber daya manusia yang berguna bagi dirinya, nusa, bangsa dan negara
Budaya Sekolah:
Untuk merealisasikan visi, misi pendidikan serta sifat-sifat umum siswa Bakti Mulya 400, maka
pembinaan siswa dilakukan melalui proses pembinaan sikap dan prilaku sehari-hari di sekolah
yang diarahkan kepada terwujudnya budaya sekolah Bakti Mulya 400. Pembiasaan dan tata
prilaku dimaksudkan sebagai Budaya Sekolah Bakti Mulya 400 adalah sebagai berikut:
a.  Kegiatan sekolah dilaksanakan pagi hari dengan 5 hari belajar dalam seminggu.
b.  Setiap pagi siswa dilepas pergi ke sekolah oleh kedua orang tua dengan iringan salam dan
do’a.
c.  Setibanya di sekolah saat bertemu dengan guru maupun teman berjabat tangan dan memberi
salam “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Demikian halnya bila menerima salam
maka segera menjawab salam “Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh”.
d.  Pada pagi hari membaca “Ikrar” dalam bahasa Arab dan terjemahannya bersama dengan guru,
dan juga dilakukan dalam setiap kesempatan suatu acara resmi sekolah.
e.  Dengan bimbingan guru yang mengajar pada jam pertama, siswa melafalkan surat “Al
Fatihah” dan “Do’a” sebelum pelajaran dimulai, dan setelah jam pelajaran terakhir membaca
surat “Al Ashr” dipimpin guru yang mengajar pada jam terakhir.
f.  Membiasakan menulis dan mengucapkan “Basmallah” setiap memulai pekerjaan dan atau
“Hamdallah” setelah selesai melakukan pekerjaan.
g.  Melafalkan dan membiasakan mengamalkan 10 do’a amaliah harian, di antaranya do’a keluar
rumah, mengawali dan mengakhiri pekerjaan, do’a untuk kedua orang tua, minta tambah ilmu,
sebelum tidur, bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi/wc, do’a bercermin, masuk dan
keluar masjid
h.  Melakukan 11 amalan yang tercermin dalam “Birrulwalidain” yakni:
1. Berbakti kepada orang tua
 Ikhlas beramal
 Rajin beramal
 Ramah dalam bergaul
 Ulet dalam mencapai cita-cita
 Logis dalam berpikir
 Waspada terhadap naza
 Amanah, dapat dipercaya
 Lemah lembut dalam tutur kata
 Istiqomah, teguh dalam keyakinan
 Nadzafah, bersih diri, pakaian dan lingkungan.
a. Membiasakan menulis tanggal, bulan dan tahun hijriah di samping tanggal, bulan dan tahun
masehi.
b.  Membiasakan mengucap kalimat-kalimat thayyibah dan dzikir dalam rangka mendekatkan
diri dan mengagungkan Asma Allah SWT.
c. Membiasakan melaksanakan puasa sunat seperti puasa Senin dan Kamis.
d.  Membiasakan memakmurkan Mushalla dengan kegiatan keagamaan dan shalat
Dzuhur/Jumat.
e. Melaksanakan pesantren kilat setiap awal Bulan Ramadhan.
f.  Melaksanakan khataman pelajaran Al Quran, bagi siswa yang telah menyelesaikan pendidikan
pada jenjang SD, SLTP, dan SMU.
g.  Mengikuti pemantapan pelajaran Al Quran dengan metode Iqra, atau yang lainnya.
h.  Menyelenggarakan latihan manasik haji, mejelang datangnya Hari Raya Idul Adha.
i.  Memberangkatkan ibadah haji bagi guru/ karyawan sesuai dengan kemampuan keuangan
Yayasan BKSP Bakti Mulya 400.
j.  Menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam, Nasional dan bakti sosial kemasyarakatan
(seperti donor darah, khitanan masal, santunan anak yatim, pembagian sembako, pemberian
beasiswa).
k.  Menjalin kerja sama yang harmonis dengan orangtua/wali siswa.
l.  Mengenakan pakaian seragam, untuk siswa setiap hari sesuai jadwal.
Dengan pelaksanaan budaya tersebut, diharapkan siswa/siswi Bakti Mulya 400 memiliki sifat-
sifat umum, sebagai berikut :
m.  Bertaqwa kepada Allah SWT, serta aktif menjalankan ibadah dan amaliah.
n. Setiap gerak, langkah dan tindakan di manapun berada dan dalam suasana yang bagaimanapun
semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT, dengan senantiasa dijiwai ajaran Agama Islam.
o.  Berbudi luhur dan berakhlak mulia.
p.  Sehat jasmani dan rohani.
q.  Memiliki pengetahuan dan keterampilan.
r.  Kreatif dan bertanggung jawab.
s.  Berpengetahuan tinggi dan cerdas.
t.  Demokratis dan penuh tenggang rasa.
u.  Berjiwa gotong royong, mencintai bangsa dan sesamanya.
v. Disiplin, cinta kebersihan dan keindahan alam sekitar.
w. Berjiwa pejuang, rendah hati dan berpola hidup sederhana.
x.  Cukup tanggap dan peka terhadap masalah yang ada di lingkungannya.
LAPORAN PROGRAM
BUDAYA DAN IKLIM
SEKOLAH

DINAS PENDIDIKAN NASIONAL


SD NEGERI 138 PALEMBANG
2020/2021
Budaya dan iklim organisasi sekolah secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan
prestasi belajar. Penelitian Cheng (1993) menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi
(cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal
produktivitas, kemampuan adaptasi dan keluwesan. Demikian juga halnya, kinerja sekolah
ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara
maju, riset tentang iklim kerja di sekolah telah berkembang dengan mapan dan memberikan
sumbangan yang cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang berhasil. Ditegaskan
bahwa jika guru merasakan suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diharapkan
siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Kekondusifan iklim kerja suatu
sekolah mempengaruhi sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tersebut, khususnya pada
pencapaian prestasi akademik siswa. Purkey dan Smith (1985) menyatakan bahwa prestasi
akademik siswa dipengaruhi sangat kuat oleh suasana kejiwaan atau iklim kerja sekolah. Lebih
lanjut Hughes (1991) menegaskan bahwa setiap sekolah mempunyai karakter suasana kerja, yang
akan mempengaruhi keberhasilan proses kegiatan pembelajaran di kelas.
Pembentukan suasana pembelajaran yang kondusif perlu diciptakan dalam seluruh
lingkungan sekolah termasuk didalamnya lingkungan kelas. Secara eksplisit faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas antara lain adalah kompetensi
guru, metode pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan
pembelajaran baik lingkungan alam, psikososial dan budaya (Depdikbud, 1994). Dapat diartikan
disini bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun di sekolah (kantor guru dan staf
tata usaha) mempunyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses kegiatan
pembelajaran.
Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan
iklim yang kondusif untuk belajar (Reynolds, 1990). Iklim yang kondusif ditandai dengan
terciptanya lingkungan belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar
dapat berlangsung dengan baik. Iklim adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan
gaya hidup suatu organisasi. Apabila gaya hidup itu dapat ditingkatkan, kemungkinan besar
tercapai peningkatan prestasi kerja (Davis dan Newstrom, 1985). Pandangan ini mengindikasikan
kualitas iklim yang memungkinkan meningkatnya prestasi kerja. Iklim tidak dapat dilihat dan
disentuh, tetapi ia ada seperti udara dalam ruangan. Ia mengitari dan mempengaruhi segala hal
yang terjadi dalam suatu organisasi. Iklim dapat mepengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan
kerja (Davis dan Newstrom, 1985).
Budaya dan iklim sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman
dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasakan diri dihargai, dan agar orangtua
dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend, 1994). Hal ini dapat terjadi
melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis
yang didasari oleh sikap saling menghargai satu sama lain. Hal yang sama dikemukakan oleh
Wijaya (2005), yaitu budaya sekolah yang perlu ditumbuhkan berupa suasana saling hormat
antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, dan dengan pihak lainnya.
Sehubungan dengan itu maka iklim sekolah dapat digolongkan menjadi enam kondisi yaitu: (1)
iklim terbuka, (2) iklim bebas, (3) iklim terkontrol (4) iklim familier (kekeluargaan), (5) iklim
parternal, dan (6) iklim tertutup (Halpin & B Croft dalam Burhanunudin, 1994). Selain itu, iklim
sekolah yang kondusif mendorong setiap personil yang terlibat dalam organisasi sekolah untuk
bertindak dan melakukan yang terbaik yang mengarah pada prestasi siswa yang tinggi.

Beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah
yang kondusif dikemukakan berikut ini.
A. Penataan Lingkungan Fisik Sekolah
1. Perawatan Fasilitas Fisik Sekolah
Salah satu ciri sekolah efektif adalah terciptanya budaya dan iklim sekolah yang menyenangkan
sehingga siswa merasa aman, nyaman, dan tertib di dalam belajarnya. Hal ini ditandai dengan
fasilitas-fasilitas fisik sekolah terawat dengan baik. Penampilan fisik sekolah selalu bersih, rapi,
indah dan nyaman. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
a. Pekarangan dan lingkungan sekolah yang tertata sedemikian rupa sehingga memberi kesan
asri, teduh, dan nyaman, serta dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan apotik hidup.
b. Budaya bersih juga senantiasa ditumbuhkan di kalangan warga sekolah dengan membiasakan
perilaku membuang sampah pada tempatnya.
c. Dalam lingkungan sekolah terdapat beberapa kawasan khusus seperti: kawasan wajib senyum,
kawasan bebas narkoba dan rokok, dan kawasan wajib bahasa Inggeris (English area).
d. Adanya pembiasaan-pembiasaan yang bernuansa moral dan akhlak yang mendorong
meningkatnya kecerdasan spritual peserta didik, seperti: (a) berdoa sebelum pelajaran dimulai;
(b) menumbuhkan budaya relegius dengan membiasakan murid mengucapkan dan membalas
salam setiap bertemu; (c) mengadakan pengajian secara rutin; (d) shalat berjamaah pada waktu
shalat duhur; dan (e) terdapat juga sekolah yang mengadakan “kultum” setiap hari dan
menugaskan siswa berceramah sekali seminggu.
4. Penataan Ruang Kelas
Kondisi kelas yang menyenangkan perlu diciptakan sehingga tercipta suasana yang mendorong
siswa belajar. Penggunaan musik instrumentalia yang lembut dapat lebih menciptakan suasana
menyenangkan dan memberi efek penenteraman emosi, baik pada saat siswa belajar di kelas
maupun pada saat mereka melakukan berbagai aktivitas lainnya di luar kelas.
5. Penggunaan Sistem Kelas Berpindah (Moving-Class)
Moving-class adalah sistem pengelolaan aktivitas pembelajaran di mana kelas-kelas tertentu
ditata khusus menjadi sentra pembelajaran bidang studi/mata pelajaran tertentu. Penggunaan
sistem moving-class (kelas berpindah) merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk
mengefektifkan penataan ruangan kelas sebagai sentra belajar. Dalam sistem moving-class ini,
ruang-ruang kelas tertentu dapat ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran
tertentu. Ada kelas sains, kelas bahasa, kelas matematika, kelas kesenian, dan sebagainya. Kelas-
kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra belajar khusus. Meja, kursi, peralatan,
media, pajangan, dan berbagai aspek yang ada di kelas diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan
dan karaketeristik pembelajaran mata pelajaran tertentu.
6. Penggunaan Poster Afirmasi
Poster-poster afirmasi, yaitu poster yang berisi pesan-pesan positif digunakan dan dipajang di
berbagai tempat strategis yang mudah dan dapat selalu dilihat oleh siswa. Poster afirmasi ini
dapat digunakan untuk mensosialisasikan dan menanamkan pesan-pesan spiritual kepada siswa
dan warga sekolah.
Pesan-pesan spiritual untuk poster afirmasi dapat berupa petikan ayat Al-Quran, hadist, pesan
pujangga, atau puisi-puisi spiritual. Yang perlu diperhatikan, adalah pengadaan dan penempatan
poster afirmasi ini jangan sampai terkesan berlebihan atau menjadi pesan sloganis belakang.

B. Penataan Lingkungan Sosial Sekolah


1. Penciptaan Keamanan di Lingkungan Sekolah
Sekolah yang efektif perlu memperhatikan keamanan sekitar. Sekolah terbebas dari gangguan
keamanan baik dari dalam maupun dari luar sekolah. Untuk menjamin keamanan sekolah maka
harus didukung adanya tata tertib sekolah yang menjadi acuan dari semua warga sekolah. Tata
tertib sekolah dapat terlaksana dengan baik, apabila didukung oleh seluruh penyelenggara
sekolah. Karena itu kepala sekolah, guru, dan staf harus menjadi model dan teladan untuk
penegakan tata tertib dan disiplin.
2. Penciptaan Relasi Kekeluargaan dan Kebersamaan
Sekolah menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan antara kepala sekolah, guru,
karyawan, siswa, dan orangtua, sehingga satu sama lain saling berbagi dan memberi bantuan.
Sekolah membangun budaya setara di kalangan warga sekolah. Iklim interaksi antar warga
sekolah dibangun atas dasar prinsip ”I Thou Relationship” bukan hubungan yang bersifat ”I-it
Relathionsip”.

Hubungan kekeluargaan ini dapat digambarkan sebagai berikut:


a. Orang tua siswa dilibatkan dalam berbagai kegiatan, seperti pembuatan tata tertib, mengontrol
perkembangan belajar anaknya, penegakan kedisiplinan di sekolah, pertemuan berkala antara
orangtua dan pihak sekolah, memberikan sumbangan dalam bentuk materi.
b. Prosedur untuk melibatkan orang tua disampaikan secara jelas. Orangtua siswa diberi
kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna mengobservasi program pendidikan. Orangtua dan
masayarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan strategis di sekolah.
c. Sekolah senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan orangtua dan masyarakat melalui
wadah Komite Sekolah. Keterlibatan komite sekolah secara nyata ditemukan pada semua sekolah
dalam berbagai aspek dan kegiatan, seperti menjaga kebersihan lingkungan dan keamanan
sekolah, pengadaan sarana sekolah, ikut serta memutuskan sanksi terhadap pelanggaran di
sekolah, mendorong dunia usaha dan industri untuk berpartisipasi dalam pengembangan sekolah,
dan memberdayakan orang tua siswa yang memiliki kemampuan finansil atau peran penting di
lembaga pemerintah dan swasta dalam berbagai kegiatan sekolah,
d. Memaksimalkan buku penghubung sebagai alat pengontrol kemajuan siswa sekaligus wadah
menjalin komunikasi dengan orang tua.
e. Pelibatan tokoh masyarakat. Sebaliknya dalam hubungan yang dicirikan dengan ”I-it
Relathionsip”, individu tertentu, katakanlah guru tertentu, memandang individu lain (katakanlah
siswa) sebagai objek, perlu dituntun, tidak berhak untuk menyatakan kebutuhan dan
kepentingannya, dan dapat diperlakukan sesuai kemauan dan determinasi sang guru. Ciri
hubungan seperti ini akan mematikan kretivitas dan rasa percaya diri sisiwa, dan cenderung
mengembangkan sikap asosial, bahkan anti sosial, pada diri siswa.

C. Penataan Personil Sekolah


1. Pemberian Ganjaran Positif bagi Karya Terbaik Siswa
Karya-karya cemerlang siswa dipajang di kelas atau ruang kepala sekolah dan diberi ganjaran
positif. Ganjaran hendaknya diberikan sesegara mungkin dan diarahkan untuk memberi rasa
kebanggaaan dan untuk mempertahankan motivasi siswa yang diberi ganjaran serta menstimulasi
siswa lainnya untuk menghasilkan prestasi yang sama.
Ganjaran juga dibutuhkan untuk mempertahankan motivasi dan gairah berprestasi di kalangan
siswa. Ganjaran akan efektif jika diberikan sesegara mungkin dan dilakukan secara konsisten
pada setiap siswa yang menunjukkan prestasi.
2. Pengembangan Rasa Memiliki Terhadap Sekolah
Sekolah menciptakan rasa memiliki sehingga guru, staf administrasi dan siswa menunjukkan rasa
bangga terhadap sekolahnya. Setiap warga sekolah merasa bertanggung jawab untuk menjaga
kondusivitas lingkungan sekolah. Ini bisa dicapai, antara lain dengan memberi tanggung jawab
pengelolaan dan perawatan wilayah tertentu kepada kelompok kelas atau ruang tertentu.
3. Pemberian Jaminan Atas Kemaslahatan Siswa
Kemaslahatan siswa merupakan kriteria penting yang digunakan dalam pembuatan keputusan
tentang mereka. Setiap keputusan yang dibuat di sekolah hendaknya memperhatikan kebutuhan,
kepentingan, dan kondisi khusus siswa. Keputusan yang dibuat hendaknya juga dapat memenuhi
prinsip keadilan dan kesetaraan di kalangan siswa, termasuk keadilan dan kesetaraan gender, ras,
etnis, kelas sosial, agama, kondisi fisik, ataupun varian-varian latar siswa lainnya.
4. Akseptabilitas Guru Terhadap Metode Pembelajaran Terbaru
Guru bersedia mengubah metode-metode mengajar, bila metode yang lebih baik diperkenalkan
kepadanya. Berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif telah ditawarkan dan
disosialisasikan melalui berbagai media, seperti buku, internet, dan pelatihan. Penerapan
berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif dan telah teruji perlu menjadi bagian
yang mencoraki iklim pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, guru perlu mengadopsi dan
mencoba menerapkan berbagai metode dan strategi pembelajaran tersebut untuk lebih
mengefektifkan proses pembelajarannya.
5. Harapan yang Tinggi Untuk Berprestasi
Karakteristik ini pada umumnya ditemukan dalam sekolah efektif. Penelitian Moedjiarto (1990)
dan Witte dan Walsh (1990) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan
yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan
penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi.
Hal ini sejalan dengan teori motivasi-iklim baik dari Herzberg (Hersey dan Blanchard, 1992).
Dijelaskan bahwa faktor-faktor motivasi-iklim baik, yaitu: (1) pekerjaan itu sendiri, yang
meliputi: (a) prestasi; (b) pengakuan akan keberhasilan; (c) pekerjaan yang menantang; (d)
meningkatnya tanggung jawab; (e) pertumbuhan dan perkembangan.Lingkungan, terdiri dari: (a)
kebijaksanaan dan administrasi; (b) supervisi; (c) kondiisi kerja; (d) hubungan antar pribadi; (e)
penghargaan, status, dan keamanan.
Menurut Mortimore (1993), harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan
dalam meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi
akademik mereka.
Murphy (1985) seperti dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan bahwa harapan dan
standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan
adanya: (1) keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, (2) tanggung jawab bagi pembelajaran
siswa, (3) harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, (4) persyaratan promosi
dan penjenjang-an, dan (5) pemberian perhatian pribadi kepada siswa perorangan.

D. Penataan Lingkungan Kerja Sekolah


1. Pengaturan Jadwal Acara dan Aktivitas Sekolah
Semua aktivitas di sekolah harus dijadwalkan secara baik, agar kegiatan proses belajar-mengajar
tidak terganggu. Sehubungan dengan itu, maka seluruh kegiatan non-teaching yang bersifat
regular dan yang bersifat insidental perlu diidentifikasi. Aktivitas bersifat regular dan dilakukan
setiap semester/tahun di sekolah, misalnya: acara perpisahan sekolah, kegiatan OSIS, porseni,
peringatan hari-hari besar, PMR, sebaiknya dijadwal dan disesuaikan dengan kalender
pembelajaran agar jadwal proses belajar-mengajar dan implemantasi kurikulum tidak terganggu.
Aktivitas yang bersifat insidental dan tidak terjadwal dalam program semester/tahunan,
misalnya: penyuluhan tentang anti narkoba, mading, karya tulis remaja, dan lain-lain sedapat
mungkin dilaksanakan pada waktu-waktu yang tidak mengganggu aktivitas proses belajar-
mengajar.

2. Penciptaan Budaya Kerja


Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam upaya penciptaan budaya kerja yang
positif seperti:
a. Penerapan disiplin dan tatatertib sesuai dengan mentaati jam kerja yang berlaku di lingkungan
sekolah.
b. Setiap guru bidang studi dan wali kelas senantiasa melakukan pemantauan dan evaluasi secara
periodik terhadap peningkatan disiplin dan prestasi belajar siswa
c. Kepala sekolah, guru dan wali kelas wajib menciptakan iklim kerja dan iklim belajar yang
kondusif dalam rangka untuk meningkatkan kinerja guru dan prestasi belajar siswa.
d. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa dan masyarakat, kepala sekolah,
guru dan staf menyusun mekanisme proses pelayanan yang direncanakan maupun mekanisme
pelayanan langsung/spontan berhubungan proses belajar mengajar dan kegiatan yang dapat
menunjang kelancaran proses belajar mengajar.
e. Menyiapkan buku bacaan sekolah di setiap sudut atau ruang sekolah dalam bentuk taman
bacaan atau ruang tunggu yang bisa digunakan oleh siapa saja tanpa harus dijaga karena didasari
oleh kebutuhan dan kejujuran.
f. Memberikan kesempatan kepada para guru, staf dan siswa untuk meningkatkan
profesionalisme dalam pelaksanaan tugas melalui pendidikan dan pelatihan, baik yang bersifat
formal maupun informal.
g. Dalam rangka menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif, menanamkan budaya
pengawasan melekat (WASKAT) terhadap seluruh personil sekolah secara intensif.
h. Senantiasa melakukan pembinaan dan motivasi kepada guru, staf dan siswa dengan
menggunakan prinsip pemberian penghargaan mereka yang berprestasi dan penerapan sanksi
disiplin untuk mereka yang melakukan pelanggaran disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku di sekolah tidak terkecuali kepada siapapun.
Salah satu bentuk pengembangan budaya kerja yang positif adalah budaya mutu. Filosofi utama
budaya mutu adalah “perbaiki prosesnya sebelum hasilnya jelek” (Paine, Turner, Pryke, 1992).
Di kalangan bisnis, ternyata 35 persen dari biaya operasionalnya dipakai untuk memperbaiki dan
menyelesaikan pekerjaan yang ternyata salah atau keliru dilakukan (Crosby, 1990).
Hal ini membawa implikasi bahwa sekolah perlu didorong untuk tidak hanya melihat aspek input
manajemen tetapi jauh lebih penting adalah proses manajemennya, yang dalam konteks
pembelajaran berarti perbaikan secara berkelanjutan “proses pembelajaran.” Sehubungan dengan
itu maka, yang diartikan sebagai proses manajemen dalam konteks ini adalah manajemen mutu.
Penerapan manajemen mutu dalam organisasi nonprofit termasuk sekolah, menurut Brough
(1992) perlu memperhatikan hal berikut, yaitu: (1) kualitas adalah pekerjaan setiap orang; (2)
kualitas muncul dari pencegahan, bukan hasil dari suatu pemeriksaan atau inspeksi; (3) kualitas
berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, dan selera konsumen; (4) kualitas menuntut kerja sama
yang erat; (5) kualitas menuntut perbaikan yang berkelanjutan; (6) kualitas harus didasarkan atas
perencanaan strategik.
Sebuah model sekolah bermutu terpadu yang dikembangkan oleh Jarome S. Arcaro (2005)
dengan konsep “pilar mutu” menggambarkan kriteria sekolah yang memiliki mutu mulai dari
kegiatan di ruang kelas sampai pada perawatan bangunan sekolah sebagaimana digambarkan
pada halaman berikut.
Pilar-pilar ini merupakan model penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil dan pilar
mutu ini bersifat universal, dapat diterapkan di semua sekolah. Pilar mutu memberikan fokus dan
arahan yang diperlukan oleh seluruh personil sekolah untuk setiap prakarsa mutu. Dengan
konsep ini memungkinkan bagi guru dan staf untuk mengukur dan mendokumentasikan nilai
tambah parakarsa mutu kepada siswa dan masyarakat. Fokus dan arahan pada setiap pilar tidak
dapat dibatasi oleh satu pilar dalam mengembangkan budaya dan iklim mutu dalam lingkungan
sekolah. Karena pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan yang diterapkan dalam pilar
mutu maka dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah yang bermutu maka juga harus
berfokus pada semua pilar sekaligus.
Pengembangan budaya mutu antara lain dapat dilakukan melalui penciptaan harapan yang
tinggi untuk berprestasi di kalangan warga sekolah. Yang dimaksud dengan budaya mutu adalah
terciptanya kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang positif terutama dalam aspek sikap dan perilaku
yang berorientasi pada kinerja sekolah yang tinggi.

Beberapa indikator penciptaan budaya mutu di sekolah adalah.


a. Sekolah menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, di mana para guru
percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi.
b. Sekolah menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling
penting untuk bersekolah.
c. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa.
d. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa.
Beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah dalam menciptakan budaya mutu di sekolah adalah
sebagai berikut.
a. Merumuskan standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja tinggi baik bagi kepala
sekolah, guru, staf administrasi, mapun siswa.
b. Merumuskan standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan
mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orangtuanya. Standar
pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketepatan, keramahan, ketanggapan, dan
pemberian jaminan mutu sekolah.
c. Melaksanakan berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi.
d. Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan
serta hukuman bagi yang berprestasi rendah.
e. Memampukan warga sekolah untuk secara terus menerus meningkatkan kualitas guna
memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan (masyarakat).
3. Peningkatan akuntabilitas
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penciptaan budaya akuntabilitas di sekolah sebagai
berikut:
a. Setiap staf dan guru agar menyusun laporan akuntabilitas secara periodik setiap triwulan
b. Pemanfaatan sumber dana baik yang bersumber dari APBN maupun APBD ataupun seumber
lain dilakukan dengan berlandaskan kepada prinsip efektivitas dan efisiensi, serta berorientasi
kepada hasil (output) dan manfaat (outcomes) dari setiap program yang diselenggarakan di
sekolah
c. Setiap orang yang melakukan perjalanan dinas baik ke daerah maupun ke luar negeri wajib
melaporkan hasil perjalanan Dinasnya kepada bendahara atau kepala sekolah
Berikut ini dikemukakan contoh-contoh penerapan indicator budaya dan iklim sekolah pada
salah satu sekolah.

Contoh Budaya dan iklim Sekolah Bakti Mulya 400


Visi : Menjadi pusat pengembangan pendidikan yang melahirkan kader pemimpin dan
intelektual muslim dengan wawasan luas serta tanggap terhadap lingkungan dan mampu bersaing
di era globalisasi sehingga mampu memperbaiki kualitas bangsa Indonesia
Misi: Dikembangkan dari visi, kemudian diuraikan dalam beberapa misi sebagai berikut:
5. Menyelenggarakan pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
6. Menyelenggarakan pendidikan yang menumbuhkembangkan potensi siswa untuk
menjadi manusia seutuhnya.
7. Menghasilkan lulusan yang unggul, kompeten/mampu dan terampil.
8. Menghasilkan sumber daya manusia yang berguna bagi dirinya, nusa, bangsa dan negara
Budaya Sekolah:
Untuk merealisasikan visi, misi pendidikan serta sifat-sifat umum siswa Bakti Mulya 400, maka
pembinaan siswa dilakukan melalui proses pembinaan sikap dan prilaku sehari-hari di sekolah
yang diarahkan kepada terwujudnya budaya sekolah Bakti Mulya 400. Pembiasaan dan tata
prilaku dimaksudkan sebagai Budaya Sekolah Bakti Mulya 400 adalah sebagai berikut:
a.  Kegiatan sekolah dilaksanakan pagi hari dengan 5 hari belajar dalam seminggu.
b.  Setiap pagi siswa dilepas pergi ke sekolah oleh kedua orang tua dengan iringan salam dan
do’a.
c.  Setibanya di sekolah saat bertemu dengan guru maupun teman berjabat tangan dan memberi
salam “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Demikian halnya bila menerima salam
maka segera menjawab salam “Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh”.
d.  Pada pagi hari membaca “Ikrar” dalam bahasa Arab dan terjemahannya bersama dengan guru,
dan juga dilakukan dalam setiap kesempatan suatu acara resmi sekolah.
e.  Dengan bimbingan guru yang mengajar pada jam pertama, siswa melafalkan surat “Al
Fatihah” dan “Do’a” sebelum pelajaran dimulai, dan setelah jam pelajaran terakhir membaca
surat “Al Ashr” dipimpin guru yang mengajar pada jam terakhir.
f.  Membiasakan menulis dan mengucapkan “Basmallah” setiap memulai pekerjaan dan atau
“Hamdallah” setelah selesai melakukan pekerjaan.
g.  Melafalkan dan membiasakan mengamalkan 10 do’a amaliah harian, di antaranya do’a keluar
rumah, mengawali dan mengakhiri pekerjaan, do’a untuk kedua orang tua, minta tambah ilmu,
sebelum tidur, bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi/wc, do’a bercermin, masuk dan
keluar masjid
h.  Melakukan 11 amalan yang tercermin dalam “Birrulwalidain” yakni:
2. Berbakti kepada orang tua
 Ikhlas beramal
 Rajin beramal
 Ramah dalam bergaul
 Ulet dalam mencapai cita-cita
 Logis dalam berpikir
 Waspada terhadap naza
 Amanah, dapat dipercaya
 Lemah lembut dalam tutur kata
 Istiqomah, teguh dalam keyakinan
 Nadzafah, bersih diri, pakaian dan lingkungan.
a. Membiasakan menulis tanggal, bulan dan tahun hijriah di samping tanggal, bulan dan tahun
masehi.
b.  Membiasakan mengucap kalimat-kalimat thayyibah dan dzikir dalam rangka mendekatkan
diri dan mengagungkan Asma Allah SWT.
c. Membiasakan melaksanakan puasa sunat seperti puasa Senin dan Kamis.
d.  Membiasakan memakmurkan Mushalla dengan kegiatan keagamaan dan shalat
Dzuhur/Jumat.
e. Melaksanakan pesantren kilat setiap awal Bulan Ramadhan.
f.  Melaksanakan khataman pelajaran Al Quran, bagi siswa yang telah menyelesaikan pendidikan
pada jenjang SD, SLTP, dan SMU.
g.  Mengikuti pemantapan pelajaran Al Quran dengan metode Iqra, atau yang lainnya.
h.  Menyelenggarakan latihan manasik haji, mejelang datangnya Hari Raya Idul Adha.
i.  Memberangkatkan ibadah haji bagi guru/ karyawan sesuai dengan kemampuan keuangan
Yayasan BKSP Bakti Mulya 400.
j.  Menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam, Nasional dan bakti sosial kemasyarakatan
(seperti donor darah, khitanan masal, santunan anak yatim, pembagian sembako, pemberian
beasiswa).
k.  Menjalin kerja sama yang harmonis dengan orangtua/wali siswa.
l.  Mengenakan pakaian seragam, untuk siswa setiap hari sesuai jadwal.
Dengan pelaksanaan budaya tersebut, diharapkan siswa/siswi Bakti Mulya 400 memiliki sifat-
sifat umum, sebagai berikut :
m.  Bertaqwa kepada Allah SWT, serta aktif menjalankan ibadah dan amaliah.
n. Setiap gerak, langkah dan tindakan di manapun berada dan dalam suasana yang bagaimanapun
semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT, dengan senantiasa dijiwai ajaran Agama Islam.
o.  Berbudi luhur dan berakhlak mulia.
p.  Sehat jasmani dan rohani.
q.  Memiliki pengetahuan dan keterampilan.
r.  Kreatif dan bertanggung jawab.
s.  Berpengetahuan tinggi dan cerdas.
t.  Demokratis dan penuh tenggang rasa.
u.  Berjiwa gotong royong, mencintai bangsa dan sesamanya.
v. Disiplin, cinta kebersihan dan keindahan alam sekitar.
w. Berjiwa pejuang, rendah hati dan berpola hidup sederhana.
x.  Cukup tanggap dan peka terhadap masalah yang ada di lingkungannya.
LAPORAN PROGRAM
BUDAYA DAN IKLIM
SEKOLAH

DINAS PENDIDIKAN NASIONAL


SD NEGERI 138 PALEMBANG
2020/2021
Budaya dan iklim organisasi sekolah secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan
prestasi belajar. Penelitian Cheng (1993) menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi
(cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal
produktivitas, kemampuan adaptasi dan keluwesan. Demikian juga halnya, kinerja sekolah
ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara
maju, riset tentang iklim kerja di sekolah telah berkembang dengan mapan dan memberikan
sumbangan yang cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang berhasil. Ditegaskan
bahwa jika guru merasakan suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diharapkan
siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Kekondusifan iklim kerja suatu
sekolah mempengaruhi sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tersebut, khususnya pada
pencapaian prestasi akademik siswa. Purkey dan Smith (1985) menyatakan bahwa prestasi
akademik siswa dipengaruhi sangat kuat oleh suasana kejiwaan atau iklim kerja sekolah. Lebih
lanjut Hughes (1991) menegaskan bahwa setiap sekolah mempunyai karakter suasana kerja, yang
akan mempengaruhi keberhasilan proses kegiatan pembelajaran di kelas.
Pembentukan suasana pembelajaran yang kondusif perlu diciptakan dalam seluruh
lingkungan sekolah termasuk didalamnya lingkungan kelas. Secara eksplisit faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas antara lain adalah kompetensi
guru, metode pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan
pembelajaran baik lingkungan alam, psikososial dan budaya (Depdikbud, 1994). Dapat diartikan
disini bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun di sekolah (kantor guru dan staf
tata usaha) mempunyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses kegiatan
pembelajaran.
Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan
iklim yang kondusif untuk belajar (Reynolds, 1990). Iklim yang kondusif ditandai dengan
terciptanya lingkungan belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar
dapat berlangsung dengan baik. Iklim adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan
gaya hidup suatu organisasi. Apabila gaya hidup itu dapat ditingkatkan, kemungkinan besar
tercapai peningkatan prestasi kerja (Davis dan Newstrom, 1985). Pandangan ini mengindikasikan
kualitas iklim yang memungkinkan meningkatnya prestasi kerja. Iklim tidak dapat dilihat dan
disentuh, tetapi ia ada seperti udara dalam ruangan. Ia mengitari dan mempengaruhi segala hal
yang terjadi dalam suatu organisasi. Iklim dapat mepengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan
kerja (Davis dan Newstrom, 1985).
Budaya dan iklim sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman
dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasakan diri dihargai, dan agar orangtua
dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend, 1994). Hal ini dapat terjadi
melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis
yang didasari oleh sikap saling menghargai satu sama lain. Hal yang sama dikemukakan oleh
Wijaya (2005), yaitu budaya sekolah yang perlu ditumbuhkan berupa suasana saling hormat
antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, dan dengan pihak lainnya.
Sehubungan dengan itu maka iklim sekolah dapat digolongkan menjadi enam kondisi yaitu: (1)
iklim terbuka, (2) iklim bebas, (3) iklim terkontrol (4) iklim familier (kekeluargaan), (5) iklim
parternal, dan (6) iklim tertutup (Halpin & B Croft dalam Burhanunudin, 1994). Selain itu, iklim
sekolah yang kondusif mendorong setiap personil yang terlibat dalam organisasi sekolah untuk
bertindak dan melakukan yang terbaik yang mengarah pada prestasi siswa yang tinggi.

Beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah
yang kondusif dikemukakan berikut ini.
A. Penataan Lingkungan Fisik Sekolah
1. Perawatan Fasilitas Fisik Sekolah
Salah satu ciri sekolah efektif adalah terciptanya budaya dan iklim sekolah yang menyenangkan
sehingga siswa merasa aman, nyaman, dan tertib di dalam belajarnya. Hal ini ditandai dengan
fasilitas-fasilitas fisik sekolah terawat dengan baik. Penampilan fisik sekolah selalu bersih, rapi,
indah dan nyaman. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
a. Pekarangan dan lingkungan sekolah yang tertata sedemikian rupa sehingga memberi kesan
asri, teduh, dan nyaman, serta dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan apotik hidup.
b. Budaya bersih juga senantiasa ditumbuhkan di kalangan warga sekolah dengan membiasakan
perilaku membuang sampah pada tempatnya.
c. Dalam lingkungan sekolah terdapat beberapa kawasan khusus seperti: kawasan wajib senyum,
kawasan bebas narkoba dan rokok, dan kawasan wajib bahasa Inggeris (English area).
d. Adanya pembiasaan-pembiasaan yang bernuansa moral dan akhlak yang mendorong
meningkatnya kecerdasan spritual peserta didik, seperti: (a) berdoa sebelum pelajaran dimulai;
(b) menumbuhkan budaya relegius dengan membiasakan murid mengucapkan dan membalas
salam setiap bertemu; (c) mengadakan pengajian secara rutin; (d) shalat berjamaah pada waktu
shalat duhur; dan (e) terdapat juga sekolah yang mengadakan “kultum” setiap hari dan
menugaskan siswa berceramah sekali seminggu.
2. Penataan Ruang Kelas
Kondisi kelas yang menyenangkan perlu diciptakan sehingga tercipta suasana yang mendorong
siswa belajar. Penggunaan musik instrumentalia yang lembut dapat lebih menciptakan suasana
menyenangkan dan memberi efek penenteraman emosi, baik pada saat siswa belajar di kelas
maupun pada saat mereka melakukan berbagai aktivitas lainnya di luar kelas.
3. Penggunaan Sistem Kelas Berpindah (Moving-Class)
Moving-class adalah sistem pengelolaan aktivitas pembelajaran di mana kelas-kelas tertentu
ditata khusus menjadi sentra pembelajaran bidang studi/mata pelajaran tertentu. Penggunaan
sistem moving-class (kelas berpindah) merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk
mengefektifkan penataan ruangan kelas sebagai sentra belajar. Dalam sistem moving-class ini,
ruang-ruang kelas tertentu dapat ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran
tertentu. Ada kelas sains, kelas bahasa, kelas matematika, kelas kesenian, dan sebagainya. Kelas-
kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra belajar khusus. Meja, kursi, peralatan,
media, pajangan, dan berbagai aspek yang ada di kelas diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan
dan karaketeristik pembelajaran mata pelajaran tertentu.
4. Penggunaan Poster Afirmasi
Poster-poster afirmasi, yaitu poster yang berisi pesan-pesan positif digunakan dan dipajang di
berbagai tempat strategis yang mudah dan dapat selalu dilihat oleh siswa. Poster afirmasi ini
dapat digunakan untuk mensosialisasikan dan menanamkan pesan-pesan spiritual kepada siswa
dan warga sekolah.
Pesan-pesan spiritual untuk poster afirmasi dapat berupa petikan ayat Al-Quran, hadist, pesan
pujangga, atau puisi-puisi spiritual. Yang perlu diperhatikan, adalah pengadaan dan penempatan
poster afirmasi ini jangan sampai terkesan berlebihan atau menjadi pesan sloganis belakang.

B. Penataan Lingkungan Sosial Sekolah


1. Penciptaan Keamanan di Lingkungan Sekolah
Sekolah yang efektif perlu memperhatikan keamanan sekitar. Sekolah terbebas dari gangguan
keamanan baik dari dalam maupun dari luar sekolah. Untuk menjamin keamanan sekolah maka
harus didukung adanya tata tertib sekolah yang menjadi acuan dari semua warga sekolah. Tata
tertib sekolah dapat terlaksana dengan baik, apabila didukung oleh seluruh penyelenggara
sekolah. Karena itu kepala sekolah, guru, dan staf harus menjadi model dan teladan untuk
penegakan tata tertib dan disiplin.
2. Penciptaan Relasi Kekeluargaan dan Kebersamaan
Sekolah menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan antara kepala sekolah, guru,
karyawan, siswa, dan orangtua, sehingga satu sama lain saling berbagi dan memberi bantuan.
Sekolah membangun budaya setara di kalangan warga sekolah. Iklim interaksi antar warga
sekolah dibangun atas dasar prinsip ”I Thou Relationship” bukan hubungan yang bersifat ”I-it
Relathionsip”.

Hubungan kekeluargaan ini dapat digambarkan sebagai berikut:


a. Orang tua siswa dilibatkan dalam berbagai kegiatan, seperti pembuatan tata tertib, mengontrol
perkembangan belajar anaknya, penegakan kedisiplinan di sekolah, pertemuan berkala antara
orangtua dan pihak sekolah, memberikan sumbangan dalam bentuk materi.
b. Prosedur untuk melibatkan orang tua disampaikan secara jelas. Orangtua siswa diberi
kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna mengobservasi program pendidikan. Orangtua dan
masayarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan strategis di sekolah.
c. Sekolah senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan orangtua dan masyarakat melalui
wadah Komite Sekolah. Keterlibatan komite sekolah secara nyata ditemukan pada semua sekolah
dalam berbagai aspek dan kegiatan, seperti menjaga kebersihan lingkungan dan keamanan
sekolah, pengadaan sarana sekolah, ikut serta memutuskan sanksi terhadap pelanggaran di
sekolah, mendorong dunia usaha dan industri untuk berpartisipasi dalam pengembangan sekolah,
dan memberdayakan orang tua siswa yang memiliki kemampuan finansil atau peran penting di
lembaga pemerintah dan swasta dalam berbagai kegiatan sekolah,
d. Memaksimalkan buku penghubung sebagai alat pengontrol kemajuan siswa sekaligus wadah
menjalin komunikasi dengan orang tua.
e. Pelibatan tokoh masyarakat. Sebaliknya dalam hubungan yang dicirikan dengan ”I-it
Relathionsip”, individu tertentu, katakanlah guru tertentu, memandang individu lain (katakanlah
siswa) sebagai objek, perlu dituntun, tidak berhak untuk menyatakan kebutuhan dan
kepentingannya, dan dapat diperlakukan sesuai kemauan dan determinasi sang guru. Ciri
hubungan seperti ini akan mematikan kretivitas dan rasa percaya diri sisiwa, dan cenderung
mengembangkan sikap asosial, bahkan anti sosial, pada diri siswa.

C. Penataan Personil Sekolah


1. Pemberian Ganjaran Positif bagi Karya Terbaik Siswa
Karya-karya cemerlang siswa dipajang di kelas atau ruang kepala sekolah dan diberi ganjaran
positif. Ganjaran hendaknya diberikan sesegara mungkin dan diarahkan untuk memberi rasa
kebanggaaan dan untuk mempertahankan motivasi siswa yang diberi ganjaran serta menstimulasi
siswa lainnya untuk menghasilkan prestasi yang sama.
Ganjaran juga dibutuhkan untuk mempertahankan motivasi dan gairah berprestasi di kalangan
siswa. Ganjaran akan efektif jika diberikan sesegara mungkin dan dilakukan secara konsisten
pada setiap siswa yang menunjukkan prestasi.
2. Pengembangan Rasa Memiliki Terhadap Sekolah
Sekolah menciptakan rasa memiliki sehingga guru, staf administrasi dan siswa menunjukkan rasa
bangga terhadap sekolahnya. Setiap warga sekolah merasa bertanggung jawab untuk menjaga
kondusivitas lingkungan sekolah. Ini bisa dicapai, antara lain dengan memberi tanggung jawab
pengelolaan dan perawatan wilayah tertentu kepada kelompok kelas atau ruang tertentu.
3. Pemberian Jaminan Atas Kemaslahatan Siswa
Kemaslahatan siswa merupakan kriteria penting yang digunakan dalam pembuatan keputusan
tentang mereka. Setiap keputusan yang dibuat di sekolah hendaknya memperhatikan kebutuhan,
kepentingan, dan kondisi khusus siswa. Keputusan yang dibuat hendaknya juga dapat memenuhi
prinsip keadilan dan kesetaraan di kalangan siswa, termasuk keadilan dan kesetaraan gender, ras,
etnis, kelas sosial, agama, kondisi fisik, ataupun varian-varian latar siswa lainnya.
4. Akseptabilitas Guru Terhadap Metode Pembelajaran Terbaru
Guru bersedia mengubah metode-metode mengajar, bila metode yang lebih baik diperkenalkan
kepadanya. Berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif telah ditawarkan dan
disosialisasikan melalui berbagai media, seperti buku, internet, dan pelatihan. Penerapan
berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif dan telah teruji perlu menjadi bagian
yang mencoraki iklim pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, guru perlu mengadopsi dan
mencoba menerapkan berbagai metode dan strategi pembelajaran tersebut untuk lebih
mengefektifkan proses pembelajarannya.
5. Harapan yang Tinggi Untuk Berprestasi
Karakteristik ini pada umumnya ditemukan dalam sekolah efektif. Penelitian Moedjiarto (1990)
dan Witte dan Walsh (1990) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan
yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan
penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi.
Hal ini sejalan dengan teori motivasi-iklim baik dari Herzberg (Hersey dan Blanchard, 1992).
Dijelaskan bahwa faktor-faktor motivasi-iklim baik, yaitu: (1) pekerjaan itu sendiri, yang
meliputi: (a) prestasi; (b) pengakuan akan keberhasilan; (c) pekerjaan yang menantang; (d)
meningkatnya tanggung jawab; (e) pertumbuhan dan perkembangan.Lingkungan, terdiri dari: (a)
kebijaksanaan dan administrasi; (b) supervisi; (c) kondiisi kerja; (d) hubungan antar pribadi; (e)
penghargaan, status, dan keamanan.
Menurut Mortimore (1993), harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan
dalam meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi
akademik mereka.
Murphy (1985) seperti dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan bahwa harapan dan
standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan
adanya: (1) keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, (2) tanggung jawab bagi pembelajaran
siswa, (3) harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, (4) persyaratan promosi
dan penjenjang-an, dan (5) pemberian perhatian pribadi kepada siswa perorangan.

D. Penataan Lingkungan Kerja Sekolah


1. Pengaturan Jadwal Acara dan Aktivitas Sekolah
Semua aktivitas di sekolah harus dijadwalkan secara baik, agar kegiatan proses belajar-mengajar
tidak terganggu. Sehubungan dengan itu, maka seluruh kegiatan non-teaching yang bersifat
regular dan yang bersifat insidental perlu diidentifikasi. Aktivitas bersifat regular dan dilakukan
setiap semester/tahun di sekolah, misalnya: acara perpisahan sekolah, kegiatan OSIS, porseni,
peringatan hari-hari besar, PMR, sebaiknya dijadwal dan disesuaikan dengan kalender
pembelajaran agar jadwal proses belajar-mengajar dan implemantasi kurikulum tidak terganggu.
Aktivitas yang bersifat insidental dan tidak terjadwal dalam program semester/tahunan,
misalnya: penyuluhan tentang anti narkoba, mading, karya tulis remaja, dan lain-lain sedapat
mungkin dilaksanakan pada waktu-waktu yang tidak mengganggu aktivitas proses belajar-
mengajar.

2. Penciptaan Budaya Kerja


Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam upaya penciptaan budaya kerja yang
positif seperti:
a. Penerapan disiplin dan tatatertib sesuai dengan mentaati jam kerja yang berlaku di lingkungan
sekolah.
b. Setiap guru bidang studi dan wali kelas senantiasa melakukan pemantauan dan evaluasi secara
periodik terhadap peningkatan disiplin dan prestasi belajar siswa
c. Kepala sekolah, guru dan wali kelas wajib menciptakan iklim kerja dan iklim belajar yang
kondusif dalam rangka untuk meningkatkan kinerja guru dan prestasi belajar siswa.
d. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa dan masyarakat, kepala sekolah,
guru dan staf menyusun mekanisme proses pelayanan yang direncanakan maupun mekanisme
pelayanan langsung/spontan berhubungan proses belajar mengajar dan kegiatan yang dapat
menunjang kelancaran proses belajar mengajar.
e. Menyiapkan buku bacaan sekolah di setiap sudut atau ruang sekolah dalam bentuk taman
bacaan atau ruang tunggu yang bisa digunakan oleh siapa saja tanpa harus dijaga karena didasari
oleh kebutuhan dan kejujuran.
f. Memberikan kesempatan kepada para guru, staf dan siswa untuk meningkatkan
profesionalisme dalam pelaksanaan tugas melalui pendidikan dan pelatihan, baik yang bersifat
formal maupun informal.
g. Dalam rangka menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif, menanamkan budaya
pengawasan melekat (WASKAT) terhadap seluruh personil sekolah secara intensif.
h. Senantiasa melakukan pembinaan dan motivasi kepada guru, staf dan siswa dengan
menggunakan prinsip pemberian penghargaan mereka yang berprestasi dan penerapan sanksi
disiplin untuk mereka yang melakukan pelanggaran disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku di sekolah tidak terkecuali kepada siapapun.
Salah satu bentuk pengembangan budaya kerja yang positif adalah budaya mutu. Filosofi utama
budaya mutu adalah “perbaiki prosesnya sebelum hasilnya jelek” (Paine, Turner, Pryke, 1992).
Di kalangan bisnis, ternyata 35 persen dari biaya operasionalnya dipakai untuk memperbaiki dan
menyelesaikan pekerjaan yang ternyata salah atau keliru dilakukan (Crosby, 1990).
Hal ini membawa implikasi bahwa sekolah perlu didorong untuk tidak hanya melihat aspek input
manajemen tetapi jauh lebih penting adalah proses manajemennya, yang dalam konteks
pembelajaran berarti perbaikan secara berkelanjutan “proses pembelajaran.” Sehubungan dengan
itu maka, yang diartikan sebagai proses manajemen dalam konteks ini adalah manajemen mutu.
Penerapan manajemen mutu dalam organisasi nonprofit termasuk sekolah, menurut Brough
(1992) perlu memperhatikan hal berikut, yaitu: (1) kualitas adalah pekerjaan setiap orang; (2)
kualitas muncul dari pencegahan, bukan hasil dari suatu pemeriksaan atau inspeksi; (3) kualitas
berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, dan selera konsumen; (4) kualitas menuntut kerja sama
yang erat; (5) kualitas menuntut perbaikan yang berkelanjutan; (6) kualitas harus didasarkan atas
perencanaan strategik.
Sebuah model sekolah bermutu terpadu yang dikembangkan oleh Jarome S. Arcaro (2005)
dengan konsep “pilar mutu” menggambarkan kriteria sekolah yang memiliki mutu mulai dari
kegiatan di ruang kelas sampai pada perawatan bangunan sekolah sebagaimana digambarkan
pada halaman berikut.
Pilar-pilar ini merupakan model penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil dan pilar
mutu ini bersifat universal, dapat diterapkan di semua sekolah. Pilar mutu memberikan fokus dan
arahan yang diperlukan oleh seluruh personil sekolah untuk setiap prakarsa mutu. Dengan
konsep ini memungkinkan bagi guru dan staf untuk mengukur dan mendokumentasikan nilai
tambah parakarsa mutu kepada siswa dan masyarakat. Fokus dan arahan pada setiap pilar tidak
dapat dibatasi oleh satu pilar dalam mengembangkan budaya dan iklim mutu dalam lingkungan
sekolah. Karena pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan yang diterapkan dalam pilar
mutu maka dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah yang bermutu maka juga harus
berfokus pada semua pilar sekaligus.
Pengembangan budaya mutu antara lain dapat dilakukan melalui penciptaan harapan yang
tinggi untuk berprestasi di kalangan warga sekolah. Yang dimaksud dengan budaya mutu adalah
terciptanya kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang positif terutama dalam aspek sikap dan perilaku
yang berorientasi pada kinerja sekolah yang tinggi.

Beberapa indikator penciptaan budaya mutu di sekolah adalah.


a. Sekolah menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, di mana para guru
percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi.
b. Sekolah menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling
penting untuk bersekolah.
c. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa.
d. Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa.
Beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah dalam menciptakan budaya mutu di sekolah adalah
sebagai berikut.
a. Merumuskan standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja tinggi baik bagi kepala
sekolah, guru, staf administrasi, mapun siswa.
b. Merumuskan standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan
mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orangtuanya. Standar
pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketepatan, keramahan, ketanggapan, dan
pemberian jaminan mutu sekolah.
c. Melaksanakan berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi.
d. Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan
serta hukuman bagi yang berprestasi rendah.
e. Memampukan warga sekolah untuk secara terus menerus meningkatkan kualitas guna
memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan (masyarakat).
3. Peningkatan akuntabilitas
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penciptaan budaya akuntabilitas di sekolah sebagai
berikut:
a. Setiap staf dan guru agar menyusun laporan akuntabilitas secara periodik setiap triwulan
b. Pemanfaatan sumber dana baik yang bersumber dari APBN maupun APBD ataupun seumber
lain dilakukan dengan berlandaskan kepada prinsip efektivitas dan efisiensi, serta berorientasi
kepada hasil (output) dan manfaat (outcomes) dari setiap program yang diselenggarakan di
sekolah
c. Setiap orang yang melakukan perjalanan dinas baik ke daerah maupun ke luar negeri wajib
melaporkan hasil perjalanan Dinasnya kepada bendahara atau kepala sekolah
Berikut ini dikemukakan contoh-contoh penerapan indicator budaya dan iklim sekolah pada
salah satu sekolah.

Contoh Budaya dan iklim Sekolah Bakti Mulya 400


Visi : Menjadi pusat pengembangan pendidikan yang melahirkan kader pemimpin dan
intelektual muslim dengan wawasan luas serta tanggap terhadap lingkungan dan mampu bersaing
di era globalisasi sehingga mampu memperbaiki kualitas bangsa Indonesia
Misi: Dikembangkan dari visi, kemudian diuraikan dalam beberapa misi sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
2. Menyelenggarakan pendidikan yang menumbuhkembangkan potensi siswa untuk
menjadi manusia seutuhnya.
3. Menghasilkan lulusan yang unggul, kompeten/mampu dan terampil.
4. Menghasilkan sumber daya manusia yang berguna bagi dirinya, nusa, bangsa dan negara
Budaya Sekolah:
Untuk merealisasikan visi, misi pendidikan serta sifat-sifat umum siswa Bakti Mulya 400, maka
pembinaan siswa dilakukan melalui proses pembinaan sikap dan prilaku sehari-hari di sekolah
yang diarahkan kepada terwujudnya budaya sekolah Bakti Mulya 400. Pembiasaan dan tata
prilaku dimaksudkan sebagai Budaya Sekolah Bakti Mulya 400 adalah sebagai berikut:
a.  Kegiatan sekolah dilaksanakan pagi hari dengan 5 hari belajar dalam seminggu.
b.  Setiap pagi siswa dilepas pergi ke sekolah oleh kedua orang tua dengan iringan salam dan
do’a.
c.  Setibanya di sekolah saat bertemu dengan guru maupun teman berjabat tangan dan memberi
salam “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Demikian halnya bila menerima salam
maka segera menjawab salam “Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh”.
d.  Pada pagi hari membaca “Ikrar” dalam bahasa Arab dan terjemahannya bersama dengan guru,
dan juga dilakukan dalam setiap kesempatan suatu acara resmi sekolah.
e.  Dengan bimbingan guru yang mengajar pada jam pertama, siswa melafalkan surat “Al
Fatihah” dan “Do’a” sebelum pelajaran dimulai, dan setelah jam pelajaran terakhir membaca
surat “Al Ashr” dipimpin guru yang mengajar pada jam terakhir.
f.  Membiasakan menulis dan mengucapkan “Basmallah” setiap memulai pekerjaan dan atau
“Hamdallah” setelah selesai melakukan pekerjaan.
g.  Melafalkan dan membiasakan mengamalkan 10 do’a amaliah harian, di antaranya do’a keluar
rumah, mengawali dan mengakhiri pekerjaan, do’a untuk kedua orang tua, minta tambah ilmu,
sebelum tidur, bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi/wc, do’a bercermin, masuk dan
keluar masjid
h.  Melakukan 11 amalan yang tercermin dalam “Birrulwalidain” yakni:
3. Berbakti kepada orang tua
 Ikhlas beramal
 Rajin beramal
 Ramah dalam bergaul
 Ulet dalam mencapai cita-cita
 Logis dalam berpikir
 Waspada terhadap naza
 Amanah, dapat dipercaya
 Lemah lembut dalam tutur kata
 Istiqomah, teguh dalam keyakinan
 Nadzafah, bersih diri, pakaian dan lingkungan.
a. Membiasakan menulis tanggal, bulan dan tahun hijriah di samping tanggal, bulan dan tahun
masehi.
b.  Membiasakan mengucap kalimat-kalimat thayyibah dan dzikir dalam rangka mendekatkan
diri dan mengagungkan Asma Allah SWT.
c. Membiasakan melaksanakan puasa sunat seperti puasa Senin dan Kamis.
d.  Membiasakan memakmurkan Mushalla dengan kegiatan keagamaan dan shalat
Dzuhur/Jumat.
e. Melaksanakan pesantren kilat setiap awal Bulan Ramadhan.
f.  Melaksanakan khataman pelajaran Al Quran, bagi siswa yang telah menyelesaikan pendidikan
pada jenjang SD, SLTP, dan SMU.
g.  Mengikuti pemantapan pelajaran Al Quran dengan metode Iqra, atau yang lainnya.
h.  Menyelenggarakan latihan manasik haji, mejelang datangnya Hari Raya Idul Adha.
i.  Memberangkatkan ibadah haji bagi guru/ karyawan sesuai dengan kemampuan keuangan
Yayasan BKSP Bakti Mulya 400.
j.  Menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam, Nasional dan bakti sosial kemasyarakatan
(seperti donor darah, khitanan masal, santunan anak yatim, pembagian sembako, pemberian
beasiswa).
k.  Menjalin kerja sama yang harmonis dengan orangtua/wali siswa.
l.  Mengenakan pakaian seragam, untuk siswa setiap hari sesuai jadwal.
Dengan pelaksanaan budaya tersebut, diharapkan siswa/siswi Bakti Mulya 400 memiliki sifat-
sifat umum, sebagai berikut :
m.  Bertaqwa kepada Allah SWT, serta aktif menjalankan ibadah dan amaliah.
n. Setiap gerak, langkah dan tindakan di manapun berada dan dalam suasana yang bagaimanapun
semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT, dengan senantiasa dijiwai ajaran Agama Islam.
o.  Berbudi luhur dan berakhlak mulia.
p.  Sehat jasmani dan rohani.
q.  Memiliki pengetahuan dan keterampilan.
r.  Kreatif dan bertanggung jawab.
s.  Berpengetahuan tinggi dan cerdas.
t.  Demokratis dan penuh tenggang rasa.
u.  Berjiwa gotong royong, mencintai bangsa dan sesamanya.
v. Disiplin, cinta kebersihan dan keindahan alam sekitar.
w. Berjiwa pejuang, rendah hati dan berpola hidup sederhana.
x.  Cukup tanggap dan peka terhadap masalah yang ada di lingkungannya.

Anda mungkin juga menyukai