Anda di halaman 1dari 59

TUGAS SIRKUMSISI

PEMBIMBING :
dr. Landry Miguna, Sp.B.

KOAS BEDAH PERIODE 15-28 JUNI 2020

Karina Febiani Widjaja 1915105


Medylin Duallo 1915093
Marcellino Bulain 1915098
Moses Arky Krisnanda 1915156
Nabila Cahya Putri 1915146
Nerissa Arviana Fuad 1915150
Novie Kartika 1915099
Revena Astanti Percunda 1915155
Tujuan Sirkumsisi:
● Menjaga higiene penis dari smegma dan sisa-sisa urine
Smegma adalah waxy material yang disekresikan kelenjar-kelenjar prepusium yang
terdapat di sepanjang kulit dan mukosa prepusium
● Mencegah terjadinya infeksi pada glans atau prepusium penis
● Mencegah timbulnya karsinoma penis

Indikasi dan Kontraindikasi sirkumsisi:


● Indikasi Sirkumsisi:
○ Agama
○ Sosial dan budaya
○ Medis :
i. Phimosis
ii. Paraphimosis
iii. Balanitis recurrens.
iv. Pencegahan tumor
v. Kondiloma akuminata.
vi. Kelainan-kelainan lain yang terbatas pada prepusium.
● Kontraindikasi sirkumsisi:
○ Hypospadias.
○ Chordee.
○ Penile Torsion.
○ Webbed Penis.
○ Buried Penis.
○ Urethral Hypoplasia.
○ Epispadias.
○ Ambiguous Genitalia (including bilateral cryptorchidism or micropenis).
○ Kelainan Hemostasis darah.
○ Infeksi lokal pada penis dan sekitarnya.
Anatomi Penis

Penis terdiri dari:


● Radix penis (bagian terfiksasi) terdiri atas:
○ Dua crura penis, yaitu bagian proksimal corpora cavernosa, melekat pada arcus
pubicus.
○ Bulbus penis, yaitu bagian proksimal corpus spongiosum, melekat pada
membrana perinealis.
● Corpus penis (bagian bebas), yang seluruhnya ditutupi oleh kulit, dibentuk oleh
penambatan dua bagian bebas proksimal dari corpora cavernosa dan bagian bebas corpus
spongiosum.
○ Corpora cavernosa
■ Pada tiap corpora cavernosa dilapisi jaringan ikat tunica albuginea.
■ Pada masing masing corpus cavernosum didapatkan a. profunda penis.
■ Di dalam setiap korpus terdapat jaringan erektil yaitu berupa jaringan
kavernus (berongga) seperti spon. Jaringan ini terdiri atas sinusoid atau
rongga lakuna yang dapat menampung darah yang cukup banyak sehingga
menyebabkan ketegangan batang penis.
○ Corpus spongiosum (di dalamnya berjalan pars spongiosa urethra), melebar pada
ujung distal corpora cavernosa membentuk glans penis.
○ Corpus penis dilapisi oleh jaringan ikat fascia penis profunda (Buck's fascia),
lebih superfisial lagi oleh fasia Colles atau fasia Dartos yang merupakan
kelanjutan dari fasia Scarpa.
○ Di dalam didapatkan pembuluh darah yaitu a. dorsalis penis (yang merupakan
cabang a. pudenda interna) dan v. dorsalis penis beserta cabang - cabangnya.
● Bagian basis penis disokong oleh dua ligamen:
○ Lig. suspensorium penis → melekat pada bagian superior penis dengan symphysis
pubica
○ Lig. fundiforme penis → melekat ke linea alba dinding anterior abdomen
● Pada pria didapatkan otot:
○ m. ischiocavernosus
○ m. bulbospongiosus
○ m. transversus perinei superficialis
○ Fungsi otot tersebut:
■ Mengalirkan darah dari crus penis ke arah corpus penis
■ Mengalirkan urine residu dari uretra setelah miksi
■ Emisi pulsatil semen selama ejakulasi
■ Menstabilisasi corpus perinealis
● Kulit penis mendapatkan persarafan:
○ Sensorik dan simpatis dari n. dorsalis penis cabang n. pudendus (S2-S4)
○ Parasimpatis dari n. splanchnicus pelvicus (S2-S4), masuk ke dalam penis melalui
spatium perinei profundus dan membrana perinealis untuk mempersarafi jaringan
erektil penis.
Prinsip Dasar Sirkumsisi
Dalam melakukan sirkumsisi harus diingat beberapa prinsip dasar, yaitu:
1. Asepsis
2. Pengangkatan kulit prepusium secara adekuat
3. Hemostasis yang baik
4. Kosmetik.
Sirkumsisi yang dikerjakan pada umur neonatus (<1 bulan) dapat dikerjakan tanpa memakai
anastesi, sedangkan anak yang lebih besar harus dengan memakai anestesi umum guna
menghindari terjadinya trauma psikologis.

Alat dan Bahan Sirkumsisi


Alat dan bahan yang digunakan dalam sirkumsisi adalah sebagai berikut:
1. Minor surgery set steril berisi dissecting forceps, artery forceps (2 lurus, 2 bengkok),
gunting kasa, dan gunting jaringan, needle holder, blade dan blade holder
2. Instrumen Tray + Doek steril + Doek lubang steril
3. Kain kasa steril
4. Sarung tangan steril, masker, head caps, apron
5. Spuit 10 atau 20 cc steril
6. Povidone Iodine
7. Larutan anestesi : Lidokain 1% atau 2 %
8. Benang jahit : Chromic catgut atau polyglactin 910 3-0 dan 4-0 dengan ⅜ circle reverse
cutting needle
9. Plester
Dissecting Forceps Artery Forceps Gunting Kasa Gunting Jaringan

Needle Holder Blade & Blade Holder Chromic Catgut Polyglactin

Anestesi
Jenis anestesi lokal yang paling sering digunakan adalah lidokain polos / lignokain 1% atau 2%,
sendiri atau dalam kombinasi dengan bupivacaine biasa 0,25% atau 0,5%. Bupivacaine dapat
digunakan pada anak yang berusia diatas 10 tahun. Keuntungan dari lidocaine / lignocaine adalah
ia bekerja dengan cepat (onset cepat). Sedangkan bupivacaine ini lebih mahal daripada
lidocaine/lignocaine dan membutuhkan waktu lebih lama untuk bekerja, tetapi durasi anestesinya
bertahan lebih lama. Dosis maksimum lidokain/lignokain 3 mg/kgBB, sedangkan bupivacaine
1,5 mg/kgBB.
Teknik dalam lokal anestesi:
1. The subcutaneous ring block technique
Menggunakan jarum ukur halus (gauge 23-27).
Cara melakukan:
● Suntikan sekitar 0,1 mL agen anestesi secara subkutan pada jam 12:00.
● Tanpa menarik jarum, lanjutkan jarum ke ruang subdermal, pastikan jarum itu
bebas bergerak. Pada titik ini, aspirasi jarum suntik dan, jika tidak ada darah,
suntikkan 2-3 mL agen anestesi untuk memblok saraf-saraf penis dorsal.
● Lanjutkan jarum secara subkutan di sekitar setiap sisi penis, aspirasi jarum suntik
dan, jika tidak ada darah, menyuntikkan sejumlah kecil agen anestesi untuk
menyelesaikan setengah-cincin anestesi di sekitar setengah punggung poros.
● Untuk menyelesaikan blokir, buat tusukan tambahan pada posisi jam 03:00 dan
09:00 untuk melanjutkan cincin anestesi di sekitar setengah ventral dari poros.
Jika tusukan dilakukan pada posisi jam 06:00, ada risiko cedera uretra dan
menyuntikkan ke pembuluh darah.
Setelah anestesi diinjeksi, tunggu minimal lima menit (dihitung dengan waktu) sebelum
mulai sirkumsisi. Kesalahan umum adalah memulai prosedur sebelum anestesi sempat
bekerja. Tes sensasi sebelum memulai prosedur dengan mencubit kulup dengan lembut
dengan forsep arteri. Jika ada sensasi residu, tunggu tambahan dua hingga tiga menit dan
tes lagi. Jika masih ada sensasi, beri lebih banyak lokal anestesi, berhati-hatilah agar tidak
melebihi dosis aman maksimum.

2. The dorsal nerve block


Cara ini cepat dan aman dalam mengontrol nyeri. Jarum yang baik digunakan berukuran
21-27.
Cara melakukan:
● Berikan dua suntikan pada posisi 11:00 dan 01:00 pada dorsum penis di subpubic
angle.
● Arahkan jarum pada sudut 45° ke poros. Ini meningkatkan tingkat keberhasilan
blok dan mengurangi risiko cedera pada struktur penis yang mendasarinya.
● Tingkatkan jarum di setiap posisi ini (pukul 11:00 dan 01:00) hingga kedalaman
sekitar 3 cm sehingga anestesi berdekatan dengan saraf sebelum bercabang.
● Aspirasi jarum suntik untuk memastikan bahwa jarum tidak ada dalam pembuluh
darah.
● Tempatkan agen anestesi dekat dengan saraf dorsal penis.
● Tunggu lima menit setelah memberikan suntikan — sesuai waktu — agar anestesi
mulai bekerja. Biasa kesalahannya adalah memulai prosedur sebelum anestesi
punya waktu untuk bekerja.

Kontraindikasi anestesi lokal:


1) Infeksi kulit / jaringan lunak di tempat injeksi
2) Alergi terhadap agen anestesi lokal
3) Perdarahan diatesis
4) Pasien tidak kooperatif
Prinsip Asepsis & Antisepsis
Asepsis adalah tidak adanya mikroba patogen di jaringan hidup. Teknik aseptik
merupakan praktik spesifik yang mengurangi risiko infeksi pasca bedah pada pasien dengan
mengurangi kemungkinan agen infeksi akan menyerang tubuh selama prosedur klinis. Teknik
aseptik harus digunakan hanya pada daerah yang tidak terinfeksi. Praktik-praktik teknik aseptik
dirancang untuk membantu tim bedah menghindari paparan darah, cairan tubuh, jaringan, dan
bahan infeksius lainnya yang berpotensi selama prosedur bedah. Tujuan dari teknik aseptik
adalah untuk melindungi pasien dari infeksi dan untuk mencegah penyebaran patogen.
Seringkali, praktik dengan membersihkan (menghilangkan kotoran dan kotoran lainnya),
menyanitasi (mengurangi jumlah mikroorganisme ke tingkat yang aman), atau mendisinfeksi
(membuang sebagian besar mikroorganisme tetapi bukan yang sangat resisten) tidak cukup untuk
mencegah infeksi. Infeksi di tempat bedah adalah infeksi nosokomial (didapat di rumah sakit)
ketiga yang paling umum dan bertanggung jawab untuk durasi rawat inap yang lebih lama di
rumah sakit serta meningkatkan biaya kepada pasien dan rumah sakit. Teknik aseptik sangat
penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan infeksi bedah. Teknik
aseptik dibedakan menjadi 2, yaitu:
● Asepsis medis: Teknik bersih, termasuk prosedur yang digunakan untuk mencegah
penyebaran mikroorganisme. Misalnya: mencuci tangan, mengganti linen tempat tidur,
dan menggunakan cangkir untuk obat.
● Asepsis bedah: Teknik steril, termasuk prosedur yang digunakan untuk membunuh
mikroorganisme dari suatu daerah.
Teknik aseptik juga mencakup praktik yang dilakukan segera sebelum dan selama
prosedur pembedahan untuk mengurangi infeksi pasca operasi, termasuk:
● Cuci tangan
● Lulur bedah
● Menggunakan pembatas bedah, termasuk tirai bedah steril dan peralatan pelindung
pribadi yang tepat, termasuk penutup kepala, masker bedah dan gaun, sarung tangan, dan
penutup sepatu
● Persiapan bedah pasien
● Memelihara bidang yang steril
● Menggunakan teknik operasi yang aman
● Menjaga lingkungan yang aman di ruang operasi
Semua personel yang terlibat dalam prosedur aseptik diharuskan untuk mengikuti prinsip-
prinsip dan praktik teknik aseptik. Prinsip-prinsip ini harus diterapkan secara ketat ketika
melakukan prosedur aseptik, ketika membantu prosedur aseptik, dan ketika melakukan intervensi
saat prinsip-prinsip asepsis bedah dilanggar. Berikut adalah beberapa pertimbangan keamanan
saat melakukan prosedur aseptik:
● Kebersihan tangan adalah prioritas sebelum prosedur aseptik
● Saat melakukan prosedur, pastikan pasien mengerti bagaimana mencegah kontaminasi
peralatan dan tahu untuk menahan diri dari gerakan tiba-tiba atau menyentuh, tertawa,
bersin, atau berbicara di atas bidang yang steril
● Pilih Alat Pelindung Diri (APD) yang tepat untuk mengurangi penularan mikroorganisme
dari pasien ke petugas kesehatan
● Tinjau prosedur dan persyaratan rumah sakit untuk teknik steril sebelum memulai
prosedur invasif apapun
● Penyedia layanan kesehatan yang sakit harus menghindari prosedur invasif, atau jika
mereka tidak dapat menghindarinya, harus menggunakan masker ganda
Prinsip-prinsip teknik aseptik dijabarkan dalam tabel di bawah ini.

Langkah-langkah teknik aseptik Informasi tambahan

1. Semua benda yang digunakan ● Persediaan steril yang dikemas secara komersial ditandai
dalam bidang yang steril harus sebagai steril; kemasan lain akan diidentifikasi steril
steril. menurut kebijakan agensi
● Periksa paket untuk sterilitas dengan menilai keutuhan,
kekeringan, dan tanggal kadaluarsa sebelum digunakan
● Kemasan yang sobek, yang sebelumnya dibuka, atau basah,
atau kemasan yang dijatuhkan di lantai, dianggap tidak steril
dan tidak boleh digunakan dalam bidang steril

2. Objek steril menjadi tidak steril ● Benda steril hanya boleh disentuh oleh peralatan steril atau
ketika disentuh oleh objek yang sarung tangan steril
tidak steril. ● Ketika sterilitas suatu benda dipertanyakan, anggap itu tidak
steril
● Cairan mengalir ke arah gravitasi. Jaga agar ujung forceps
tetap di bawah selama prosedur steril untuk mencegah cairan
mengalir melewati seluruh forceps dan berpotensi
mencemari bidang steril

3. Benda-benda steril yang berada ● Simpan semua peralatan steril dan sarung tangan steril di
di bawah tingkat pinggang, atau atas tingkat pinggang
benda-benda yang berada di ● Tirai meja hanya steril di tingkat pinggang
bawah tingkat pinggang,
dianggap tidak steril

4. Bidang-bidang yang steril harus ● Bidang steril harus selalu diperhatikan selama seluruh
selalu dijaga agar dianggap prosedur steril
steril ● Jangan pernah memunggungi bidang steril karena sterilitas
tidak dapat dijamin

5. Saat membuka peralatan steril ● Atur baki steril sedekat mungkin dengan waktu penggunaan
dan menambahkan persediaan ● Tetap terorganisir dan selesaikan prosedur sesegera mungkin
ke bidang steril, berhati-hatilah ● Tempatkan benda-benda besar di bidang steril menggunakan
untuk menghindari kontaminasi sarung tangan steril atau forsep pemindah yang steril
● Benda steril dapat menjadi tidak steril karena kontak dengan
mikroorganisme di udara dalam waktu lama

6. Setiap tusukan, kelembaban, ● Jaga permukaan steril tetap kering dan ganti jika basah atau
atau sobekan yang melewati sobek
penghalang steril harus
dianggap terkontaminasi

7. Setelah bidang steril diatur, ● Tempatkan semua benda di dalam bidang steril dan jauh dari
batas satu inci di tepi tirai steril perbatasan satu inci
dianggap tidak steril

8. Jika ada keraguan tentang ● Sterilitas yang diketahui harus dipertahankan selama
sterilitas suatu benda, itu prosedur apapun
dianggap tidak steril

9. Orang steril atau benda steril ● Bagian depan gaun steril berifat steril antara bahu dan
hanya dapat melakukan kontak pinggang, dan dari lengan ke 2 inci di bawah siku
dengan bidang steril; orang atau ● Benda-benda yang tidak steril jangan sampai melewati
barang yang tidak steril hanya bidang steril. Misalnya, orang yang tidak steril tidak boleh
melakukan kontak dengan menjangkau bidang yang steril
bidang yang tidak steril ● Saat membuka peralatan steril, ikuti praktik terbaik untuk
menambahkan persediaan ke bidang steril untuk
menghindari kontaminasi
● Jangan letakkan benda yang tidak steril di dalam bidang
steril

10. Gerakan di sekitar dan di ● Jangan bersin, batuk, tertawa, atau berbicara pada bidang
bidang steril tidak boleh yang steril
berkompromi atau mencemari ● Pertahankan ruang yang aman atau batas keselamatan antara
bidang steril benda serta area yang steril dan tidak steril
● Jangan menyentuh bidang yang steril
● Pertahankan lalu lintas ruang operasi minimum, dan tutup
pintu
● Jaga rambut tetap diikat
● Saat menuangkan larutan steril, hanya bibir dan tutup bagian
dalam wadah penuangan yang dianggap steril
● Wadah penuangan tidak boleh menyentuh bagian mana pun
dari bidang steril. Hindari percikan
Antisepsis adalah pencegahan sepsis dengan penghancuran atau penghambatan
mikroorganisme menggunakan agen yang dapat diterapkan dengan aman pada jaringan hidup.
Sepsis adalah adanya patogen atau produk toksiknya dalam jaringan tubuh pasien. Antiseptik
adalah bahan kimia yang dapat membunuh mikroorganisme patogen, atau menghambat
pertumbuhannya selama agen dan mikroorganisme tetap dalam kontak; sebutan ini digunakan
untuk pengaplikasian agen pada tubuh. Disinfeksi adalah penyingkiran mikroorganisme, spora
mereka belum tentu. Disinfektan adalah zat kimia germisidal yang membunuh mikroorganisme
dalam benda mati, seperti benda-benda peralatan bedah. Sterilisasi adalah peniadaan viabilitas
mikroba secara lengkap, termasuk bentuk vegetatif dari bakteri dan spora, secara fisik atau
kimiawi. Beberapa contoh antiseptik yang digunakan sebagai agen untuk mempersiapkan kulit
sebelum operasi adalah sebagai berikut.
TEKNIK SIRKUMSISI
● GUILLOTINE / FORCEP GUIDED
1. Persiapan alat, tindakan asepsis, pasang doek lubang steril dan lakukan tindakan anestesi.

2. Retraksi dan lepaskan perlekatan preputium


3. Tandai dalam bentuk garisan pada lokasi incisi

4. Klem preputium pada arah jam 3 dan 9 dengan dua klem arteri. Letakan klem sesuai pada
apeks preputium supaya tekanan diantara bagian dalam dan bagian luar preputium sama.
Jika hal tersebut tidak dilakukan dengan benar, ada resiko meninggalkan terlalu banyak
mukosa kulit atau terlalu banyak membuang preputium bagian luar.
5. Tarik preputium pada tanda incisi yang sudah dibuat sampai melewati glans. Lalu jepit
dengan klem panjang lurus pada proksimal tanda incisi, dengan panjang axis di jam 6 ke
arah jam 12, hati-hati jangan sampai menjepit glans. Setelah klem terpasang, palpasi
glans cek apabila glans tidak sengaja terjepit pada klem.
6. Menggunakan scapel, gunting preputium pada bagian luar daripada klem. Klem berfungsi
melindungi glans dari cedera, namun tetap tahap ini perlu perhatian.

7. Retraksi kembali untuk melihat bagian dalam. Jepit dengan klem arteri apabila ada
pembuluh darah yang bocor. Klem pembuluh darah seakurat mungkin dan menjepit
jaringan sekitar seminimal mungkin. Ikat masing-masing pembuluh darah atau jahit
pembuluh darah. Hati-hati jangan sampai meletakan jahitan hemostatik terlalu dalam.
Saat melakukannya di area frenulum lakukan dengan hati-hati jangan sampai mencedera
uretra.
8. Jahit secara horizontal di bagian frenulum, pada arah jam 6.

9. Jahit secara vertikal berlawanan dengan frenulum, pada arah jam 12. Tambahkan
penjahitan vertikal pada jam 3 dan jam 9.
10. Setelah menjahit di jam 6,12,3,9, tambahkan dua atau lebih simple suture pada gap
diantaranya.

11. Setelah prosedur selesai, cek apabila ada pendarahan. Jika tidak ada, tutup dengan
dressing.
DORSAL SLIT CIRCUMCISION
1. Persiapan alat, tindakan asepsis, pasang doek lubang steril dan lakukan tindakan anestesi.
2. Retraksi dan lepaskan perlekatan preputium
3. Tandai dalam bentuk garisan pada lokasi incisi
4. (opsional) Beberapa dokter spesialis bedah menandai dengan membuat incisi sangat
dangkal menggunakan skapel, hal ini berguna pada kulit dengan pigmen banyak yang
sulit dengan spidol/ gentian violet. Sebelum melakukan tanda insisi, cek tanda dilakukan
pada level corona dan berapa banyak bagian kulit yang ditandai. Incisi harus dibuat hanya
pada kulit, jangan sampai terlalu dalam dan mengenai pembuluh darah. Kerugian dari
step ini adalah resiko kecelakaan tidak disengaja.

Fig. 5.27 Superficial incision used to mark the line of incision on a man with deeply pigmented skin.
5. Klem preputium pada arah jam 3 dan 9 dengan dua klem arteri. Letakan klem sesuai pada
apeks preputium supaya tekanan diantara bagian dalam dan bagian luar preputium sama.

6. Letarak dua klem arteri pada preputium di jam 11 dan jam 1. Cek apakah bagian dalam
klem sudah berada diantara glans dan preputium, dan tidak melewati meatus urethra.

7. Diantara dua klem arteri, di arah jam 12, gunakan guntin dissection untuk mengunting
(dorsal slit) tapi tidak melewati tanda insisi.
8. Menggunakan gunting dissection, gunting preputium mengikuti tanda insisi.

9. Bila ada skin tag di bagian dalam pinggiran preputium dapat di gunting untuk
menyisakan sekitar 5 mm proksimal dari corona.
10. Hentikan pendarahan dan jahit sesuai dengan step 7-10 pada metode Guillotine.
11. Cek apabila ada pendarahan. Jika tidak ada, tutup dengan dressing.

Risiko dan Komplikasi sirkumsisi serta penanganannya


Seperti prosedur bedah yang lain, terdapat beberapa risiko yang berhubungan dengan
sirkumsisi. Risiko risiko ini secara umum dapat terjadi selama atau segera setelah prosedur
sirkumsisi.
Risiko risiko tersebut antara lain :
· Nyeri
· Perdarahan
· Hematom
· Infeksi ditempat sirkumsisi
· Peningkatan sensitivitas glans penis untuk beberapa bulan pertama setelah prosedur
· Iritasi glans penis
· Meatitis
· Cedera pada penis
Risiko risiko ini jarang terjadi apabila sirkumsisi dilakukan dengan benar oleh tenaga
Kesehatan yang terlatih dan berpengalaman.

Komplikasi sirkumsisi:
1. Komplikasi yang terjadi saat dilakukan sirkumsisi
- Excessive adhesions
Pada pasien dengan phimosis terdapat ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi setelah
dilakukannya dorsal slit, jika terdapat excessive adhesion maka akan sulit untuk memisahkan
preputium dengan glans penis sehingga prosedur sebaiknya dihentikan lalu pasien dirujuk ke
sebuah rumah sakit. Pada keadaan ini dorsal slit yang sudah dilakukan harus diperbaiki dengan
dijahit untuk menghentikan perdarahan kemudian tutup dengan kain kasa lalu rujuk dalam 24-48
jam.
- Perdarahan
Bila timbul perdarahan saat melakukan sirkumsisi jangan panik, letakkan swab di bawah penis
dan swab lain di atas titik perdarahan, tekan kuat titik perdarahan selama kurang lebih 5 menit,
kemudian angkat swab secara perlahan, dan biasanya perdarahan telah berhenti setelah dilakukan
penekanan selama 5 menit. Bila perdarahan masih berlangsung, dapat digunakan haemostatic
artery forceps atau dilakukan penekanan kembali pada titik perdarahan selama kurang lebih 5
menit, setelah itu lakukan penjahitan pada titik perdarahan.
- Perdarahan dari arteri frenular
Bila timbul perdarahan hebat dari arteri frenular maka harus dilakukan penjahitan untuk meligasi
arteri tersebut (under-running haemostatic stitch).

- Terputusnya glans penis


Bila sebagian atau seluruh glans penis terputus, maka potongan glans penis tersebut harus
dilapisi dengan kain parafin steril agar tidak mengering dan dimasukkan ke dalam kantung
polietilene, setelah itu segera rujuk pasien ke SpB. untuk dilakukan penyambungan kembali
glans penis.
b. Komplikasi yang terjadi dalam 48 jam pertama setelah sirkumsisi
- Perdarahan
Perdarahan adalah komplikasi yang paling mungkin terjadi dalam 24-28 jam pertama.
Perdarahan dalam jumlah kecil merupakan hal yang biasa namun bila terjadi perdarahan hebat,
maka perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada jahitan sirkumsisi untuk melihat lokasi pasti titik
perdarahan dan kemudian ditinjau apakah perlu dilakukan penjahitan di area perdarahan tersebut.
- Hematoma
Biasanya tidak diperlukan penanganan khusus untuk hematoma karena akan diserap kembali
oleh tubuh kecuali bila hematoma sangat besar atau terdapat perdarahan yang tidak terkendali.
Maka dapat dilakukan pemakaian clean dressing lalu evaluasi dalam 24 jam atau pemakaian
clean dressing lalu segera dirujuk.
- Wound disruption
Biasanya tidak terjadi dalam beberapa hari pertama. Tetapi terkadang dapat dilihat berhubungan
dengan perdarahan subkutan dan pembentukan hematom Ketika jahitan dipotong. Pada keadaan
ini pasien harus dirujuk.
c. Komplikasi yang terjadi dalam 2 minggu pertama setelah sirkumsisi
- Infeksi
Tanda apabila terjadi infeksi biasanya pasien akan merasakan nyeri disertai adanya kemerahan
atau timbul sekret purulen di area sirkumsisi, bahkan pasien dapat mengalami febris. Antibiotik
serta obat-obatan simtomatis diperlukan untuk mengatasi infeksi tersebut dan edukasi pasien
untuk membersihkan serta merawat area penis secara teratur agar tetap dalam kondisi steril.
Pasien juga dianjurkan untuk lebih banyak dalam posisi berbaring daripada duduk, tujuannya
adalah agar aliran limfatik dapat berjalan dengan baik sehingga mempercepat proses
penyembuhan.
- Memburuknya infeksi pada luka disertai dengan tanda-tanda gangren
Risiko yang jarang terjadi pada pembedahan genital adalah adanya infeksi bakteri multipel yang
menyebabkan kerusakan jaringan kulit progresif. Dalam kondisi tersebut, suplai darah akan
menurun bahkan terhenti sehingga kulit menjadi nekrosis dan berwarna hitam (fournier’s
gangrene). Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pria dengan diabetes melitus. Tindakan
selanjutnya perlu dilakukan anestesi umum dan kemudian dilakukan pengangkatan kulit yang
mati.
4. Komplikasi jangka panjang
- Penurunan sensitivitas glans penis
- Sensivitas berlebihan glans penis
- Bekas luka sirkumsisi yang kurang baik serta masalah kosmetik lainnya
- Ketidaknyamanan ketika ereksi (dapat terjadi akibat terlalu banyak kulit yang diangkat
ketika sirkumsisi)
- Torsio (misalignment) dari kulit batang penis
Informed Consent
Informed consent adalah suatu persetujuan pasien terhadap tindakan medis yang akan
dilakukan kepada diri pasien, tertuang dalam suatu dokumen vital yang ditandatangani. Informed
consent dan persetujuan termasuk hal krtitikal dalam pemberian tindakan sirkumsisi. Hal ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2,
Pasal 45. Informed Consent diperlukan untuk berbagai tindakan kedokteran, seperti pembedahan
(operasi), tindakan invasif , dan tindakan lain yang mengandung resiko tinggi termasuk
Sirkumsisi. Pasien dan orangtua atau wali pasien harus diberikan pengertian tentang risiko,
keuntungan dan prosedur sirkumsisi secara menyeluruh dan akurat. Penerapan informed consent
secara tepat dalam penyelenggaraan praktik kedokteran bertujuan untuk menghindari dokter dari
tuntutan perbuatan melawan hukum, dimana pasien sudah mengerti sejala jenis risiko medis
yang timbul yang tidak diinginkan dan dokter sudah berupaya semaksimal mungkin sesuai
dengan kompetensi yang dimilikinya. Oleh karena itu semua pasien atau walinya perlu
menandatangani lembar informed consent sebelum dilakukannya tindakan.
Berikut komponen yang tercantum dalam informed consent untuk tindakan sirkumsisi :
1. Penjelasan tindakan
Sirkumsisi adalah pengangkatan kulit yang mengelilingi ujung penis secara total dan permanen
dengan operasi, lalu menjahit kulit yang tersisa diujung penis.
2. Alasan tindakan ini dilakukan dan keuntungannya
➢ Kebiasaan : Budaya, spiritual dan preferensi personal
➢ Kebersihan : Secret normal yang terbentuk di bawah preputium utuh, jika
dibiarkan menumpuk dapat mengiritasi penis dan dapat menyebabkan infeksi.
Oleh karena itu sirkumsisi mencegah hal ini, tetapi penumpukan juga dapat
dicegah dengan tepat kebersihan saat mandi. Sirkumsisi tidak menghilangkan
kebutuhan akan kebersihan yang layak meskipun itu membuatnya lebih mudah.
➢ Berkurangnya insiden infeksi : Sirkumsisi akan sedikit mengurangi risiko infeksi
saluran kemih pada pria, baik sebagai bayi maupun dewasa. Selain itu sirkumsisi
juga terbukti berhubungan dengan risiko yang lebih rendah terhadap beberapa
infeksi menular seksual termasuk HIV.
➢ Mencegah paraphimosis : Jika preputium dibiarkan teretraksi (tertarik), ia dapat
bertindak sebagai tourniquet sehingga mengurangi suplai darah ke ujung penis.
Ini mungkin perlu diperbaiki melalui pembedahan. Tindakan sirkumsisi ini dapat
mencegah komplikasi yang tidak biasa ini terjadi.
3. Alasan tindakan ini tidak dilakukan dan kerugiannya
➢ Nyeri
➢ Risiko operasi
➢ Perubahan sensasi
➢ Tanggungan biaya
4. Risiko bila dilakukan
● Risiko jangka pendek:
○ Pendarahan ringan atau sedikit pendarahan di lokasi bedah
○ Infeksi pada lokasi sirkumsisi atau di ujung penis dapat terjadi
○ Iritasi ujung penis yang terbuka akibat kontak dengan tinja atau urin kerap
terjadi dan biasanya berespons terhadap pembersihan dengan air
● Risiko jangka panjang :
○ Gangguan pada uretra, yang mengarah dari kandung kemih ke ujung
penis.
○ Bekas luka pada penis bisa terjadi
○ Pengangkatan lapisan kulit luar (atau lapisan) penis yang tidak diinginkan
dapat terjadi.
○ Kelainan bentuk kosmetik
● Risiko sangat jarang terjadi :
○ Pendarahan yang signifikan dapat terjadi, membutuhkan jahitan untuk
menghentikan pendarahan.
○ Infeksi bakteri yang serius dan mengancam jiwa dapat terjadi.
○ Pengangkatan sebagian atau seluruh (amputasi) ujung penis juga jarang
dilaporkan
5. Risiko bila tidak dilakukan
➢ Berisiko paraphimosis
➢ Berisiko lebih tinggi terkena infeksi saluran kemih
➢ Berisiko lebih tinggi tertular infeksi menular seksual
➢ Berisiko terkena infeksi bila tidak memperhatikan kebersihan daerah sekitar
preputium
6. Biaya : Sesuai kebijakan rumah sakit
7. Tandatangan persetujuan dan saksi : Biasa ditandatangani dokter, pasien atau walinya dan
suster sebagai saksi
Sangat penting mempersilahkan pasien untuk bertanya mengenai hal yang menurutnya
masih kurang jelas dan tidak lupa untuk meminta pasien menjelaskan ulang mengenai
pengertian yang dimiliki pasien mengenai sirkumsisi untuk mencegah terjadinya missed
communication.
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s Anatomy:
Anatomy of the Human Body. Elsevier; 2014.
2. http://www.urology-textbook.com/penis-anatomy.html
3. Basuki B. Purnomo. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV. Sagung Seto
4. Moore Keith L., Dalley Arthur F., Agur Anne M.R.. 2014. Clinically Oriented
Anatomy. 7th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins
5. Tohari H. 2013. Informed Consent Pada Pelayanan Sirkumsisi. Jurnal Medika
Muda
6. Consent For Circumcision. Brighams and Woman Hospital
7. The State of Queensland (Queensland Health).Circumcision. 2018
8. WHO, UNAIDS. Male Circumcision Under Local Anaesthesia. Version 3.1
9. WHO,jhpiego.MANUAL FOR MALE CIRCUMCISION UNDER LOCAL
ANAESTHESIA AND HIV PREVENTION SERVICES FOR ADOLESCENT
BOYS AND MEN.2018
TUGAS PEMBIDAIAN

PEMBIMBING :
dr. Landry Miguna, Sp.B

KOAS BEDAH PERIODE 15-28 JUNI 2020

Karina Febiani Widjaja 1915105


Medylin Duallo 1915093
Marcellino Bulain 1915098
Moses Arky Krisnanda 1915156
Nabila Cahya Putri 1915146
Nerissa Arviana Fuad 1915150
Novie Kartika 1915099
Revena Astanti Percunda 1915155
Tujuan Pembidaian :
● Mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau sendi yang mengalami
dislokasi
● Meminimalisasi ataupun mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar tulang yang
patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah, jaringan saraf perifer dan
pada jaringan patah tulang tersebut)
● Mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul
● Mencegah terjadinya syok
● Mengurangi nyeri dan penderitaan

Status lokalis / Status distalis : (Look, Feel, Move)


1. Look:
● Bandingkan dengan bagian yang sehat
● Perhatikan posisi anggota gerak
● Ekspresi wajah karena nyeri
● Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau terbuka.
● Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
● Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
● Perhatikan kondisi mental penderita
● Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi/Feel
● Palpasi dilakukan dengan hati-hati karena penderita biasanya mengeluh sangat
nyeri
● Temperatur sekitar lokasi fraktur yang lebih meningkat
● Nyeri tekan: nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
● Krepitasi: dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati.
● Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi a. Radialis, a.
Dorsalis pedis, a. Tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena
● Refilling/pengisian arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal karena
trauma, serta temperatur kulit.
● Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai.
3. Move/Pergerakan
● Dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi
proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
● Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakkan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan
saraf.

PENANGANAN FRAKTUR:
FRAKTUR TERTUTUP
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip pengobatan ada 4
(4R)
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Lakukan anamnesis, PF, dan PP radiologis. Yang perlu diperhatikan adalah: lokalisasi
fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
2. Reduction
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima. Pada
fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan
fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas, osteoarthritis
Posisi yang baik adalah:
➔ Alignment yang sempurna
➔ Aposisi yang sempurna
Fraktur klavikula, iga, impaksi humerus tidak memerlukan reduksi angulasi <5o
pada tulang panjang anggota gerak bawah dan lengan atas dengan angulasi
sampai 10o pada humerus dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-kurangnya
50%, dan overriding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur. Adanya rotasi
tidak dapat diterima dimanapun lokalisasi fraktur
3. Retension: imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation: mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin

Metode pengobatan fraktur pada umumnya dibagi dalam:


1. Konservatif
2. Reduksi Tertutup dengan fiksasi eksterna dan fiksasi perkutaneus dengan K-wire
3. Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang
4. Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis

Konservatif, terdiri atas:


● Proteksi semata-mata (tanpa reduksi atau imobilisasi)
○ Tujuan: mencegah trauma lebih lanjut misalnya dengan cara memberikan sling
(mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah
○ Indikasi:
■ Pada fraktur-fraktur tidak bergeser, fraktur iga yang stabil, falangs,
metakarpal, atau fraktur klavikula pada anak.
■ Fraktur kompresi tulang belakang
■ Impaksi fraktur pada humerus proksimal
■ Fraktur yang sudah mengalami union secara klinis, tetapi belum
konsolidasi secara radiologis

● Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)


○ Tujuan: Memberikan sedikit imobilisasi , biasanya menggunakan plaster of Paris
(gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal
○ Indikasi: Fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses
penyembuhannya

● Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna , mempergunakan gips


○ Indikasi:
■ Sebagai bidai pada fraktur untuk pertolongan pertama
■ Imobilisasi sebagai pengobatan definitif pada fraktur
■ Diperlukan manipulasi pada fraktur yang bergeser dan diharapkan dapat
direduksi dengan cara tertutup dan dapat dipertahankan. Fraktur yang
tidak stabil atau bersifat komunitif akan bergerak di dalam gips sehingga
diperlukan pemeriksaan radiologis yang berulang-ulang
■ Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis
■ Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang kurang kuat
● Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi
Reduksi tertutup pada fraktur yang diikuti dengan traksi berlanjut dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu traksi kulit dan traksi tulang
● Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi
Dengan menggunakan alat-alat mekanik seperti bidai Thomas, bidai Brown Bohler, bidai
Thomas dengan Pearson knee flexion attachment.
Dengan 2 tujuan: reduksi yang bertahap dan imobilisasi
4 metode traksi kontinu yang digunakan:
❏ Traksi kulit
Mempergunakan leukoplas yang melekat pada kulit disertai dengan pemakaian
bidai Thomas atau bidai Brown Bohler, traksi menurut Bryant (Gallow) pada
anak-anak dibawah 2 tahun dengan berat badan kurang dari 10 Kg. Traksi juga
dapat dilakukan pada fraktur suprakondiler humeri
❏ Traksi menetap
Mempergunakan leukoplas yang melekat pada bidai Thomas atau bidai Brown
Bohler yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai Thomas. Biasanya
dilakukan pada fraktur femur yang tidak bergeser
❏ Traksi tulang
Dilakukan dengan kawat Kirschner (K-wire) dan pin Steinmann yang dimasukkan
ke dalam tulang dan dilakukan traksi dengan mempergunakan beban dengan
bantuan bidai Thomas dan bidai Brown Bohler.
❏ Traksi berimbang dan traksi sliding
Digunakan pada fraktur femur, mempergunakan traksi skeletal dengan beberapa
katrol dan bantalan khusus, biasanya menggunakan bidai Thomas dan Pearson
attachment
Komplikasi dari traksi kontinu:
★ Trombo-emboli
★ Infeksi kulit superficial, reaksi alergi
★ Leukoplas yang mengalami robekan sehingga fraktur mengalami pergeseran
★ Infeksi tulang akibat pemasangan pin
★ Terjadi distraksi diantara kedua fragmen fraktur
★ Dekubitus pada daerah bidai Thomas (tuberositas isiadikus)
Reduksi Tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi dengan K-Wire
Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, maka reduksi
dapat dipertahankan dengan memasukkan K-Wire perkutaneus. Teknik ini biasanya memerlukan
bantuan alat rontgen image intensifier (Gram)
Indikasi: fraktur suprakondiler humeri, fraktur colles, fraktur leher femur, fraktur batang femur
dengan teknik tertutup dan hanya membuat lubang kecil pada daerah proksimal femur
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang
Tindakan operasi harus diputuskan dengan cermat dan dilakukan oleh ahli bedah
berpengalaman dalam ruangan yang aseptik. Operasi harus dilakukan secepatnya (dalam 1
minggu) kecuali bila ada halangan. Alat- alat yang disiapkan seperti berikut:
Selain alat metal, tulang yang mati ataupun hidup dapat pula digunakan bone graft baik
autograft/alograft, untuk mengisi defek tulang atau pada fraktur yang nonunion. Operasi
dilakukan dengan cara membuka daerah fraktur dan fragmen direduksi secara akurat dengan
penglihatan langsung.

Eksisi Fragmen tulang dan penggantian dengan protesis


Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua, biasanya terjadi nekrosis avaskuler dari
fragmen atau nonunion, oleh karena itu dilakukan pemasangan protesis (alat dengan komposisi
metal tertentu utuk menggantikan bagian yang nekrosis, yang paling sering digunakan adalah
metilmetakrilat).

FRAKTUR TERBUKA
Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur terbuka :
1. Obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan
2. Adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat menyebabkan
kematian
3. Berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah operasi
4. Segera dilakukan debridemen dan irigasi yang baik
5. Ulangi debridemen 24-72 jam berikutnya
6. Stabilisasi fraktur
7. Biarkan luka terbuka antara 5-7 hari
8. Lakukan bone graft autogenous secepatnya
9. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena

Tahap – tahap pengobatan fraktur terbuka :


1. Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat
2. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan
bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak,
fasia, otot dan fragmen fragmen yang lepas.
3. Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau reduksi terbuka
dengan fiksasi eksterna ulang. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi
eksterna.
4. Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari terjadinya
kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak dilakukan apabila penutupan
membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan
drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Luka dapat
dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup
Kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu mendapat perhatian adalah penutuapan
kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkam kulit menjadi tegang.
5. Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotic bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam dosis
yang adekuat sebelum, pada saat dan sesudah tindakan operasi.
6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diperlukan pencegahan tetanus. Pada penderita
yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum,
dapat diberikan 250 unit tetanus immunoglobulin (manusia).
Prosedur dan Gambar pemasangan Arm Sling
Fraktur clavicula undisplaced fraktur dan minimal displaced fraktur diterapi dengan
menggunakan sling, yang dapat mengurangi nyeri. Tujuan pemasangan arm sling untuk
mengimobilisasi lengan atas, lengan bawah dan sendi bahu sesuai indikasi.

Gambar Pemasangan arm sling / mitella untuk menggendong lengan yang cedera, seperti pada
kasus fraktur antebrachii yg telah dipasang bidai pada posisi elbow flexi atau
fraktur clavicula yg belum dipasang verban figure of 8

Teknik pemasangan arm sling :


1. Board arm sling
a. Indikasi :
i. Untuk mendukung lengan dalam gips dan untuk memberikan ketinggian
yang sama
ii. Elevasi sementara
iii. P3K sebagai penopang dan memberikan ketinggian untuk mencegah
pembengkakan karena cedera lengan dan laserasi
b. Prosedur :
i. Posisikan lengan pasien yang mengalami cedera dengan bahu rileks dan
tangan melintasi perut ke sisi lengan yang berlawanan. Tangan lebih tinggi
daripada siku lengan yang mengalami cedera.
ii. Bentangkan sling di antara lengan bawah dan dada sehingga sisi
terpanjangnya tegak lurus terhadap lengan yang cedera dan sudut
terbesarnya berada di dekat siku yang cedera. Kedua sudut sling lainnya
akan berada di bahu dan paha sisi kontralateral dari lengan yang
mengalami cedera.
iii. Lipat sudut sling yang berada di dekat paha melewati lengan yang cedera
hingga mencapai bahu yang sesisi dengan lengan tersebut.
iv. Ikat kuat kedua sudut sling yang berada setinggi bahu dengan nyaman di
belakang leher pasien.
v. Lipat sudut sling yang berada dekat siku lengan yang cedera ke arah depan
sehingga mengamankan posisi siku dari pergerakan, lalu hubungkan sudut
tersebut ke material sling dengan menggunakan peniti atau plester.
2. High arm sling
a. Indikasi :
i. Pertolongan pertama untuk ekstremitas yang membengkak parah (semua
penyebab) dan perdarahan aktif
ii. Elevasi tinggi sementara, untuk pasien membutuhkan elevasi yang ketat
untuk periode singkat
1. Infeksi pada tangan / lengan
2. Luka yang beresiko jika pendarahan lebih lanjut (untuk mencegah
- hematoma)
b. Prosedur :
i. Posisikan tangan pasien yang mengalami cedera hingga setinggi bahu sisi
kontralateral.
ii. Bentangkan sling agar menutupi dada dan lengan yang mengalami cedera
sehingga sudut terbesarnya berada di pertengahan lengan atas dari sisi
yang mengalami cedera. Kedua sudut sling lainnya akan berada di bahu
kontralateral dan paha ipsilateral dari sisi lengan yang mengalami cedera.
iii. Lipat sisi sling yang terpanjang ke bawah lengan yang cedera dan pastikan
agar tangan yang cedera tertutup oleh sling.
iv. Tarik perlahan sudut sling yang berada di dekat paha ke arah punggung
pasien.
v. Ikatkan sudut sling yang berada di punggung bawah ke sudut sling yang
berada di dekat bahu kontralateral. Posisi simpul dapat berada di antara
kedua tulang belikat atau di bawah bahu yang mengalami cedera.
vi. Rekatkan sudut sling yang masih bebas ke material sling bagian belakang
dengan menggunakan peniti atau plester agar memfiksasi siku lengan yang
cedera.
3. Collar and cuff arm sling
a. Indikasi :
i. Fraktur caput atau collum humerus yang dapat diperparah oleh gaya
gravitasi dari berat tangan
ii. Fraktur caput radial pada siku
iii. Penggunaan jangka panjang
b. Prosdeur :
i. Lipat verban membentuk angka 8 atau biasa disebut huruf d dan p
ii. Satukan lingkaran yang dibentuk, dan ambil bagian ujung verban
iii. Letakan lingkaran pada tangan yang cedera
iv. Kaitkan ujung verban pada leher pasien lalu ikat
Prosedur dan Gambar Pemasangan verban Figure of 8
Fraktur clavicula ⅓ tengah displaced diterapi dengan menggunakan verban figure of 8 di sekitar
sendi bahu, untuk menarik bahu sehingga dapat mempertahankan alignment dan fraktur.
Pertolongan :
- Pasang verban
- Bagian yang patah diberi alas lebih dahulu.
- Verban dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui punggung ke ketiak kanan.
- Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak kanan, dari pundak kanan
disilangkan ke ketiak kiri, lalu ke pundak kanan,akhirnya diberi peniti/ diikat.
- Tidak menganggu sirkulasi dan persyarafan kedua lengan.
Gambar Pemasangan verban Figure of 8

Prosedur dan Gambar Bidai Pada Ekstremitas Atas


Fraktur Ekstremitas Atas
1. Fraktur humerus (patah tulang lengan atas).
Pertolongan :
- Letakkan lengan bawah di dada dengan telapak tangan menghadap ke dalam.
- Pasang bidai dari siku sampai ke atas bahu.
- Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.
- Lengan bawah digendong
- Jika siku juga patah dan tangan tak dapat dilipat, pasang spalk ke lengan bawah dan
biarkan tangan tergantung tidak usah digendong.
- Bawa korban ke rumah sakit.

Pemasangan bidai pada fraktur humerus

2. Fraktur Antebrachii (patah tulang lengan bawah).


Pertolongan:
- Letakkan tangan pada dada.
- Pasang bidai dari siku sampai punggung tangan.
- Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.
- Lengan digendong.
- Bawa korban ke rumah sakit.
Pemasangan bidai pada fraktur antebrachii

Pemasangan bidai pada fraktur antebrachii kondisi pasien datang dalam keaadan sudah elbow
flexi, sehingga tidak boleh meluruskan elbow nya. Cukup dilakukan bidai langsung melewati 2
sendi wrist dan elbow pada kondisi elbow flexi dan bisa ditambahkan mitella tanpa mengangkat
lengan bawahnya
Pemasangan sling / Mitella untuk menggendong lengan yang cedera, seperti pada kasus fraktur
antebrachii yg telah dipasang bidai pada posisi elbow flexi atau fraktur clavicula yg belum
dipasang ransel verban

Prosedur dan Gambar Bidai Pada Ekstremitas Bawah


Fraktur Femur (patah tulang paha).
Pertolongan :
- Pasang bidai (melewati dua sendi) dari proksimal sendi panggul hingga melalui
lutut.
- Beri bantalan kapas atau kain antara bidai dengan tungkai yang patah.
- Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut dengan pembalut untuk mengurangi
pergerakan.
- Bawa korban ke rumah sakit.
Gambar 6. Pemasangan bidai pada fraktur femur, (melewati dua sendi) dari proksimal sendi
panggul hingga melalui lutut.

Fraktur Cruris (patah tulang tungkai bawah).


Pertolongan :
- Pasang bidai sebelah dalam dan sebelah luar tungkai kaki yang patah, kadang
juga bisa ditambahkan pada sisi posterior dari tungkai ( syarat : do no harm ) .
- Di antara bidai dan tungkai beri kapas atau kain sebagai alas.
- Bidai dipasang mulai dari sisi proximal sendi lutut hingga distal dari pergelangan
kaki.
- Bawa korban ke rumah sakit.
Gambar 7. Pemasangan bidai pada fraktur cruris, bidai dipasang mulai dari sisi proximal sendi
lutut hingga distal dari pergelangan kaki.

Sindrom Kompartemen
Definisi dan Anatomi:
Sindrom kompartemen merupakan suatu keadaan darurat ortopedi yang disebabkan oleh
pembengkakan yang signifikan dalam kompartemen ekstremitas yang terluka yang
membahayakan aliran darah ke anggota gerak. Meningkatnya tekanan di dalam kompartemen
membahayakan perfusi otot dan dapat menyebabkan iskemia atau nekrosis. Kompartemen adalah
pengelompokan otot, saraf, dan pembuluh darah di lengan dan kaki. Menutupi jaringan-jaringan
ini adalah membran keras yang disebut fasia. Peran fasia adalah menjaga jaringan tetap di
tempatnya, dan, oleh karena itu, fasia tidak mudah meregang atau mengembang. Sindrom
kompartemen dapat berkembang di kompartemen mana pun. Lokasi yang mungkin, termasuk:
tungkai bawah, lengan bawah, pergelangan tangan, dan tangan.
Tungkai bawah memiliki 4 kompartemen, yaitu:
● Anterior
○ Otot: tibialis anterior, extensor digitorum longus, extensor hallucis longus, dan
peroneus tertius
○ Batas: tibia, fibula, interosseous membrane, dan anterior intermuscular septum
● Lateral
○ Kompartemen lateral termasuk peroneus longus dan brevis
○ Di dalam kompartemen terletak cabang superfisial saraf peroneum yang umum
○ Batas: anterior intermuscular septum, fibula, posterior intermuscular septum, dan
deep fascia
● Posterior superfisial
○ Kompartemen posterior superfisial berisi gastrocnemius, soleus, dan plantaris
○ Dikelilingi oleh fasia kaki yang dalam.
● Posterior profunda
○ Otot: flexor digitorum longus, flexor hallucis longus, popliteus, dan tibialis
posterior
○ Di dalam kompartemen ini terletak arteri dan vena tibialis posterior serta saraf
tibialis
○ Batas: tibia, fibula, deep transverse fascia, dan interosseous membrane
Lengan bawah memiliki 4 kompartemen yang saling berhubungan, yaitu: volar
superfisial (fleksor), volar profunda, dorsal (ekstensor), dan kompartemen yang berisi mobile
wad of Henry. Kompartemen volar profunda berisi otot serta tendon dari flexor digitorum
profundus, flexor pollicis longus, dan pronator quadratus. Mobile wad of Henry terdiri dari otot
serta tendon dari brachioradialis, extensor carpi radialis brevis (ECRB), dan extensor carpi
radialis longus.
Di pergelangan tangan, sebagian besar jaringan lunak terikat dalam kompartemen yang
kaku. Tendon pergelangan tangan volar, untuk sebagian besar, sangat dibatasi dalam terowongan
karpal (tendon fleksor panjang ibu jari dan jari lain), kecuali untuk flexor carpi radialis, flexor
carpi ulnaris, dan tendon palmaris longus, yang berada di kompartemen terpisah. Kompartemen
dorsal terutama saluran untuk tendon dan jarang terserang sindrom kompartemen. Tendon
ekstensor dorsal lewat di bawah retinakulum ekstensor dan dibagi menjadi 6 kompartemen,
yaitu: radial wrist abductor (abductor pollicis longus tendon) dan thumb extensor (extensor
pollicis brevis tendon); radial wrist extensors (extensor carpi radialis longus dan ECRB
tendons); extensor pollicis longus tendon; common finger extensors (extensor digitorum
communis [EDC] tendon); extensor digiti minimi tendon; serta ulnar wrist extensor (extensor
carpi ulnaris tendon).
Tangan memiliki 10 kompartemen, yaitu: dorsal interossei (4 kompartemen), palmar
interossei (3 kompartemen), adductor pollicis compartment, thenar compartment, dan
hypothenar compartment.
Epidemiologi:
Sebagian besar kasus sindrom kompartemen terjadi pada pria dewasa berusia 30-35
tahun, antara lain karena massa otot pada pria usia tersebut lebih besar daripada wanita seusianya
(10:1) dan lebih besar daripada pria berusia di atas 35 tahun. Ekstremitas bawah anterior distal
adalah tempat yang paling umum terjadinya sindrom kompartemen. Fraktur tibialis adalah
peristiwa pencetus yang paling umum, terhitung 2-12% dari semua kasus sindrom kompartemen.
Pada fraktur humerus atau fraktur lengan bawah, insiden dari sindrom kompartemen dilaporkan
berkisar 0,6-2%. Pasien dengan kombinasi ipsilateral fraktur humerus dan lengan bawah
memiliki insiden 30%. Secara keseluruhan, prevalensi sindrom kompartemen meningkat pada
kasus dengan kerusakan vaskular.

Klasifikasi:
Sindrom kompartemen dapat bersifat akut atau kronis. Sindrom kompartemen akut
adalah keadaan darurat medis. Biasanya disebabkan oleh cedera parah. Tanpa perawatan dan
dapat menyebabkan kerusakan otot permanen. Sindrom kompartemen kronis, juga dikenal
sebagai sindrom kompartemen eksersional, biasanya bukan keadaan darurat medis. Hal ini paling
sering disebabkan oleh aktivitas atletik.

Etiologi:
Setiap peristiwa internal atau eksternal yang meningkatkan tekanan dalam kompartemen
dapat menyebabkan sindrom kompartemen. Dengan demikian, peningkatan kadar cairan atau
penurunan ukuran kompartemen dapat menyebabkan kondisi tersebut. Peningkatan kadar cairan
dapat disebabkan oleh hal berikut: penggunaan otot intensif (contoh: tetanus, olahraga berat,
kejang), aktivitas latihan sehari-hari (contoh: penggunaan sepeda stasioner dan menunggang
kuda), luka bakar, envenomation, osmolaritas serum menurun (contoh: sindrom nefrotik),
hemoragik (terutama karena cedera pembuluh besar), pembengkakan pasca iskemia,
penyalahgunaan dan penyalahgunaan narkoba / alkohol, rhabdomyolysis, robekan otot
gastrocnemius atau peroneus (ekstremitas bawah), kista baker yang pecah, influenza myositis,
vaskulitis autoimun, penyalahgunaan androgen / hipertrofi otot, serta trombosis vena dalam.
Fraktur atau luka tembak mungkin merupakan sumber perdarahan yang mendasari
sindrom kompartemen. Fraktur ekstremitas atas yang paling sering dikaitkan dengan sindrom
kompartemen adalah fraktur supracondylar dari humerus, tetapi juga telah dilaporkan kasus-
kasus dengan fraktur lain, seperti fraktur diafisis radialis, ulnaris, fraktur leher bedah humerus,
dan fraktur Colles. Meskipun trauma adalah etiologi yang paling umum, sindrom kompartemen
telah terbukti terjadi pada neonatus dari malposisi intrauterin atau pencekikan ekstremitas oleh
tali pusat.
Penyebab iatrogenik dari sindrom kompartemen meliputi: celana militer anti-syok; belat,
gips, dan pembalut yang ketat; posisi litotomi (kasus ekstremitas bawah), malfungsi perangkat
kompresi berurutan; injeksi intramuskuler, intra-arteri, atau intrakompartemen; infus intraoseus;
infus cairan iv hipertonik masif; infus intravena (iv) bertekanan dari agen kontras hipertonik
parenteral; upaya-upaya kanulasi pembuluh darah dan arteri pada pasien dengan antikoagulan
sistemik atau pasien yang diobati dengan obat trombolitik; penggunaan sistem irigasi pulsatil
bertekanan intraoperatif; serta penggunaan pompa untuk infus cairan ke dalam sendi selama
prosedur artroskopik.

Patogenesis dan Patofisiologi:


Sindrom kompartemen terjadi sekunder akibat peningkatan tekanan di ruang fasia
tertutup. Penyebab paling umum dari sindrom kompartemen pada pasien ortopedi adalah edema
otot dari trauma langsung ke ekstremitas atau reperfusi setelah cedera vaskular. Edema ini
menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen, yang mencegah aliran keluar vena dari
ekstremitas yang terkena. Kemacetan aliran balik semakin meningkatkan siklus peningkatan
tekanan dan iskemia otot. Dalam kasus pasien trauma ortopedi dengan fraktur tulang panjang,
perdarahan dari fraktur menghasilkan hematoma yang menempati ruang yang memperburuk
situasi. Pada pengurangan fraktur, tekanan kompartemen meningkat sekunder akibat penurunan
volume kompartemen. Pembalut atau balutan tekan eksternal semakin mengurangi kemampuan
kompartemen untuk mengembang.
Gambar 8. Mekanisme terjadinya Sindrom Kompartemen

Tanda, Gejala, dan Diagnosis:


Diagnosis sindrom kompartemen bergantung pada pemahaman pola cedera berisiko
tinggi, keluhan subyektif pasien, serta temuan fisik dan klinis pada tahap awal dan lanjut. Gejala
umum yang diamati pada sindrom kompartemen, yaitu perasaan sesak / tegang dan adanya
pembengkakan. Pada sindrom kompartemen didapatkan 6P yaitu: pain / nyeri (karena cedera),
pallor / pucat, paralisis, parestesia, pulselessness, dan poikiloterm. Dalam praktik klinis, semua
temuan ini kecuali nyeri tidak dapat diandalkan atau tidak terwujud sampai cedera permanen
terjadi. Pasien yang diduga memiliki sindrom kompartemen harus menjalani fasciotomy segera
atau pemeriksaan klinis serial jika diagnosis tidak jelas. Pengukuran tekanan kompartemen harus
dihindari pada pasien yang sadar dan mampu memberikan pemeriksaan yang baik. Pada tipe
pasien ini, temuan yang berkaitan dengan sindrom kompartemen (nyeri dengan peregangan pasif,
kompartemen yang menegang / ketat pada palpasi, peningkatan kebutuhan narkotika) harus
diperlakukan seperti itu dan dikelola secara operatif. Pasien yang sadar dengan pemeriksaan
yang benar-benar samar sebaiknya menjalani pemeriksaan serial dan pengukuran kompartemen
atas kebijakan dokter yang hadir. Pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan melalui 2
cara, yaitu: wick catheter dan side port needle. Metode pengukuran yang paling umum adalah
Stryker Intra-Compartmental Pressure Monitor System (STIC), yang menggunakan teknik side
port needle. Walau demikian, pengukuran kompartemen tetap kontroversial dalam aplikasinya
dan tekanan apa yang merupakan indikasi untuk dilepaskan, namun pengukuran tersebut tetap
menjadi alat yang berharga untuk pasien dengan hasil pemeriksaan serial yang samar.
Cara Mengukur Tekanan Intrakompartemen menggunakan metode STIC:
● Siapkan alat pengukur Stryker Intra-Compartmental Pressure Monitor System dan
hubungkan dengan jarum infus ukuran 18 G
● Posisikan pasien senyaman mungkin dengan meletakkan posisi kompartemen yang akan
diukur sejajar jantung
● Lakukan prosedur septik dan aseptik pada daerah pengukuran, pilih jaringan kulit pada
kompartemen yang akan diukur dengan syarat kulit intak dan bebas infeksi
● Lakukan prosedur pembiusan
● Masukkan jarum yang terdapat pada alat pengukur secara tegak lurus sedalam 3
sentimeter pada kompartemen tungkai bawah yang diukur
● Gerakkan kaki pada posisi fleksi dan ekstensi untuk melihat peningkatan tekanan intra-
kompartemen dan memastikan ujung jarum sudah terletak di dalam kompartemen.
● Dalam posisi diam, baca angka pada alat pengukur yang menunjukkan tekanan dalam
kompartemen.

Penatalaksanaan:
Pengobatan pilihan untuk sindrom kompartemen akut adalah dekompresi dini. Jika
tekanan jaringan tetap meningkat pada pasien dengan tanda atau gejala lain dari sindrom
kompartemen, fasciotomy dekompresi yang memadai harus dilakukan sebagai prosedur darurat.
Setelah fasciotomy, pengurangan fraktur atau stabilisasi dan perbaikan vaskular dapat dilakukan,
jika perlu.
Jika dicurigai terjadi sindrom kompartemen, tempatkan ekstremitas atau anggota tubuh
yang terkena di level jantung. Ketinggian merupakan kontraindikasi karena mengurangi aliran
arteri dan mempersempit gradien tekanan arteri-vena.
Pada pasien dengan fraktur tibialis dan dugaan sindrom kompartemen, imobilisasi
tungkai bawah dengan pergelangan kaki sedikit fleksi plantar, yang menurunkan tekanan
kompartemen posterior dalam dan tidak meningkatkan tekanan kompartemen anterior. (Pasca
operasi, pergelangan kaki ditahan pada suhu 90 ° untuk mencegah deformitas equinus.)
Semua perban dan gips harus dilepas. Melepaskan 1 sisi gips plaster dapat mengurangi
tekanan kompartemen hingga 30%, bivalving dapat menghasilkan pengurangan 35% tambahan,
dan pelepasan gips lengkap menambah pengurangan tekanan sebesar 15%, dengan total
penurunan 85% dari awal. Memotong undercast padding dapat menurunkan tekanan
kompartemen sebesar 10-30%.
Dalam sindrom kompartemen akut, perubahan permeabilitas kapiler terjadi setelah 3 jam,
mengakibatkan pembengkakan jaringan pasca iskemia sebesar 30-60%. Peran manitol dalam
mengurangi edema jaringan masih diselidiki; itu dapat mengurangi tekanan kompartemen dan
mengurangi cedera reperfusi. Obat vasodilator atau obat penghambat simpatis tampaknya tidak
efektif, mungkin karena vasodilatasi lokal maksimal sudah ada dalam kondisi ini.
Terapi bedah definitif untuk sindrom kompartemen adalah fasciotomy darurat untuk
melepaskan kompartemen yang terlibat, dengan pengurangan fraktur berikutnya, atau stabilisasi
dan perbaikan pembuluh darah, jika diperlukan. Fasiotomi merupakan tindakan operatif definitif
dengan cara memotong fascia untuk membuka ruang, sehingga tekanan dapat langsung
berkurang. Ketika tekanan kompartemen meningkat, terutama dalam pengaturan akut, evaluasi
bedah segera harus dilakukan, karena tekanan tinggi dapat, selama jangka waktu yang lama,
menyebabkan kerusakan permanen. Saat ini, banyak ahli bedah menggunakan tekanan
kompartemen terukur 30 mmHg sebagai batas untuk dilakukannya fasciotomy. Dokter harus
dapat memutuskan bagaimana menggabungkan pembacaan banyak hasil pengukuran tekanan
dengan gambaran klinis dalam proses pengambilan keputusan. Pada kondisi sebagai berikut,
pasien harus dilakukan fasciotomy, yaitu:
● Mereka yang normotensif dengan temuan klinis positif, yang memiliki tekanan
kompartemen >30 mmHg, dan yang durasi peningkatan tekanannya tidak diketahui atau
diperkirakan lebih dari 8 jam.
● Mereka yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekanan kompartemen >30 mmHg
● Mereka yang memiliki tekanan darah rendah dan tekanan kompartemen >20 mmHg
Jangan lakukan tindakan fasiotomi apabila sindrom kompartemen terdiagnosis pada hari
ketiga atau keempat setelah onset. Fasiotomi juga tidak boleh dilakukan apabila telah terjadi
kematian jaringan otot yang ditandai dengan rasa nyeri yang memburuk, perubahan warna otot
menjadi lebih gelap, perubahan warna urin menjadi kecoklatan (akibat kandungan mioglobin
yang meningkat), dan dapat disertai gangren serta gejala inflamasi sistemik lainnya. Hal ini
karena jaringan otot yang telah nekrosis sangat rentan terhadap infeksi. Apabila saat terjadinya
sindrom kompartemen tidak diketahui pasti, tindakan fasiotomi tetap dianjurkan.

Gambar 9. Algoritma Penanganan Seseorang dengan Suspek Sindrom Kompartemen

Komplikasi:
Dengan diagnosis yang terlambat, iskemia jaringan ireversibel dapat berkembang dalam
sindrom kompartemen akut. Dengan demikian, kerusakan otot dan saraf permanen, bersama
dengan nyeri kronis, dapat terjadi. Kelumpuhan saraf peroneum, khususnya, dapat berkembang.
Dengan kerusakan otot, kontraktur otot dapat terjadi (Volkmann contracture). Kontraktur
Volkmann adalah kelainan bentuk tungkai residual yang terjadi selama beberapa minggu hingga
bulan setelah sindrom kompartemen akut yang tidak diobati atau iskemia akibat cedera arteri
yang tidak terkoreksi. Sekitar 1-10% pasien mengalami kontraktur Volkmann. Mionekrosis
kalsifikasi otot ekstremitas bawah telah diidentifikasi sebagai komplikasi akhir yang tidak biasa
dari sindrom kompartemen posttraumatic. Hipestesia dan disestesia yang menyakitkan juga dapat
terjadi akibat sindrom kompartemen. Infeksi adalah komplikasi serius dari sindrom
kompartemen. Suatu penelitian mengatakan bahwa, 11 dari 24 ekstremitas yang memiliki
dekompresi bedah yang terlambat mengalami infeksi, dan 5 infeksi ini menyebabkan amputasi.
Infeksi setelah fasciotomy dapat menjadi kronis. Pasien, terutama mereka yang mengalami
cedera traumatis multipel, dapat meninggal karena infeksi atau komplikasi metabolik. Gagal
ginjal atau gagal organ multipel dapat terjadi sebelum operasi atau pasca operasi. Sebagian besar
kematian disebabkan oleh perawatan intensif yang berkepanjangan dengan sepsis dan kegagalan
organ multisistem.

Prognosis:
Hasil akhir sindrom kompartemen tergantung pada diagnosis dan waktu dari cedera
hingga intervensi. Suatu penelitian melaporkan bahwa pemulihan fungsi tungkai yang hampir
lengkap dapat terjadi jika fasciotomy dilakukan dalam waktu 6 jam. Nekrosis dapat terjadi
setelah 6 jam iskemia, yang saat ini merupakan batas atas viabilitas yang diterima. Penelitian lain
mengatakan bahwa ketika fasciotomy dilakukan dalam waktu 12 jam setelah timbulnya sindrom
kompartemen akut, fungsi tungkai normal kembali pada 68% pasien. Namun, ketika fasciotomy
tertunda 12 jam atau lebih, hanya 8% pasien yang memiliki kembali fungsi normal. Dengan
demikian, sedikit atau tidak adanya pengembalian fungsi dapat diperoleh ketika diagnosis dan
pengobatan tertunda. Tindak lanjut jangka panjang dari pasien yang telah menjalani fasciotomy
telah menunjukkan hasil yang baik, dengan kembali ke tingkat aktivitas premorbid. Nyeri juga
telah ditemukan membaik secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ermawan R, Maftuhah A, E.N.P. A, Ariningrum D, Qadrijati I, Listyaningsih E et al. Buku


Panduan Keterampilan Klinis Pembebatan Pembidaian Semester 6. Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2019.
2. Rasul AT. Acute Compartment Syndrome. 2020. [Cited 27 Juni 2020], Available from
https://emedicine.medscape.com/article/307668-overview
3. Apriyanto P. Sindrom Kompartemen Akut Tungkai Bawah. 2017. CDK-253; 44(6).
4. Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. 2017. Sabiston Textbook of Surgery:
The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Philadelphia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai