Anda di halaman 1dari 23

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Agroforestry

Agroforestry mengacu pada sistem penggunaan lahan dimana pepohonan

tumbuh bergabung dengan tanaman pertanian, rumput-rumputan atau ternak.

Gabungannya boleh jadi waktu, seperti rotasi antara pepohonan dengan komponen

lain, atau di ruang dengan komponen-komponen tumbuh bersama pada lahan yang

sama. Selalu ada interaksi antara ekologi dan ekonomi antara pepohonan dengan

komponen lain dari sistem tersebut. Adanya interaksi antara ekologi yang memiliki

ciri-ciri yang paling khusus yang mengambil tempat di atas tanah (seperti

penaungan, evapotranspirasi), di bawah tanah (seperti interaksi akar dengan

masing-masing air dan unsur hara) melalui transfer biomassa, ketika serasah pohon

atau pangkasan ditambahkan pada tanah (Young, 1997). Selanjutnya Young (1997)

menyatakan tumbuh-tumbuhan tahunan yang berkayu termasuk pohon-pohonan,

semak belukar, kelapa, bambu temasuk pada kata “pohon-pohonan”. Dalam kasus

yang terkecuali, tanaman berkayu yang tumbuh kurang dari satu tahun ( seperti

Sesbania spp.) juga dimasukkan.

Chundawat dan Gautam (1993) mengemukakan alternatif pengertian

agroforestry yaitu sebagai suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem

pengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana tanaman pohon (hutan)

dengan sengaja diusahakan dalam unit pengelolaan lahan yang sama dengan

tanaman pertanian dan/atau ternak pada saat bersamaan atau berurutan. Dalam

sistem agroforestry terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan aspek ekonomis.

Universitas Sumatera Utara


Nair (1989a) mengemukakan bahwa agroforestry adalah suatu sistem

penggunaan lahan : (a) tanaman tahunan dan tanaman perdu tumbuh bersama-sama

dalam campuran dengan pembagian tapak dan/atau secara berurutan dengan atau

tanpa hewan, dan (b) menghasilkan lebih besar keuntungan pada penggunaan

lahannya daripada mengusahakan tanaman pertanian atau hutan saja. Keuntungan

dimaksud termasuk satu atau lebih dari kriteria berikut : terjadi keberlanjutan

kesuburan tanah, konservasi tanah, peningkatan hasil, memperkecil resiko

kerusakan atau kegagalan tanaman, kemudahan pengelolaan dan pengendalian

hama serta penyakit, dan/atau lebih dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi

masyarakat setempat.

Satjapradja (1981) telah mengumpulkan beberapa pengertian agroforestry

yang kemudian memberikan batasan umum sebagai suatu bentuk pemanfaatan

lahan secara optimal pada suatu tapak yang mengusahakan produksi biologis

berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan),

membentuk tajuk yang berlapis-lapis, berdasarkan kelestarian, baik ditanam secara

serentak maupun berurutan di dalam dan/atau di luar kawasan hutan, untuk

kesejahteraan masyarakat.

Nair (1989a) kembali melengkapi definisi agroforestry sebagai suatu sistem

budidaya yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam

asosiasi tertutup, dalam satu kesatuan kehutanan dan agronomis. Tujuannya adalah

untuk memaksimumkan produksi dalam jangka panjang. Hasil yang diperoleh

sekaligus berasal dari dua komponen tersebut yaitu tanaman pohon dan non pohon

(sekurang-kurangnya pakan ternak).


Dari definisi-definisi tersebut diatas, Nair (1989a) dan juga Chundawat dan

Gautam (1993) membatasi agroforestry dengan kriteria sebagai berikut : a) dalam

bentuk yang normal, agroforestry terdiri dari dua atau lebih spesies tanaman

(dan/atau hewan), b) agroforestry selalu memiliki dua atau lebih produk, c) siklus

dari sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun, dan d) sistem agroforestry

lebih komplek daripada sistem monokultur dengan sekaligus memenuhi

keuntungan secara ekologis (struktur dan fungsinya) dan keuntungan secara

ekonomis.

B. Sistem Agroforestry Berbasis Salak

Penelitian di Kabupaten Malang, Jawa Timur menunjukkan bahwa tanaman

salak pada umumnya diusahakan di lahan pekarangan secara sambilan. Estimasi

tentang persentase luas pengusahaan salak berdasarkan sistem pengusahaannya

disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi persentase usahatani tanaman salak berdasarkan sistem


pengusahaannya

Sistem Pertanian % luasan

1. Salak diusahakan pada lahan pekarangan dan ruang publik 40 – 50


2. Salak diusahakan pada lahan penghijauan, tegalan dan
tumpangsari dengan tanaman pangan 30
3. Salak diusahakan pada lahan tegalan secara monokultur ±5

Sumber: Soemarno et al, 2000.

Sistem Usahatani tanaman salak di lahan tegalan dan pekarangan penduduk

tidak mendapatkan perawatan secara memadai, pemupukan dilakukan ala kadarnya,

pemangkasan tajuk tidak dilakukan (Soemarno et al, 2000). Deskripsi ringkas

sistem usahatani salak yang dilakukan oleh petani disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Deskripsi sistem usahatani salak yang dilakukan petani
Kondisi aktual
1. Rata-rata jumlah pohon 15 -50 pohon
2. Lahan yang digunakan Lahan pekarangan, tegalan, HRKR
3. Jarak tanam Tidak beraturan
4. Sistim penanaman Sebagian besar berasal dari bibit
grafting dan okulasi
5. Jenis Salak yang banyak diusahakan Suwaru dan Lokal
6. Pemangkasan Umumnya dilakukan pada
waktu tanaman umur 1-3 tahun
7. Pemupukan Umumnya dilakukan pada waktu
tanaman umur 1-2 tahun
8.Pemberantasan hama dan penyakit Jarang dilakukan
Sumber: Soemarno et al, 2000.

Ketersediaan sarana produksi untuk pengembangan salak yang terpenting

adalah bibit yang kualitasnya baik. Potensi bibit salak di Jawa Timur masih dapat

dikembangkan lagi sesuai dengan permintaan pasar. Market share petani dari harga

beli konsumen hanya sebesar lebih kurang 45% (Tabel 3).

Tabel 3. Pemasaran salak dari Kabupaten Malang ke luar wilayah Kabupaten

Aktivitas Nilai Pangsa


(Rp/kg buah) (%)
1. Petani
Harga jual di tingkat lahan 1.200 24.00
2. Tengkulak desa
Harga beli 1.200
Harga jual ke pengumpul 2.000
Keuntungan 800 16.00
2. Pedagang pengumpul
a. Harga beli dari tengkulak 2.000
b. Biaya 1.000 20.00
c. Harga jual 5.000 100.00
d. Keuntungan 2.000 40.00
Sumber: Soemarno et al, 2000.

Dalam rangka penyediaan bibit salak, peranan masyarakat dalam

usahatani pembibitan salak dipandang perlu dilibatkan, karena usahataninya cukup

efisien dan meningkatkan pendapatan petani. Penguasaan agroteknologi salak oleh


penduduk pada umumnya sudah menguasai syarat minimal, akan tetapi untuk

menuju kepada usahatani yang lebih intensif masih diperlukan tambahan informasi

teknologi inovatif. Teknologi bibit dan pembibitan, penanaman bibit dan perawatan

tanaman, serta fungsi pascapanen sederhana telah dikuasai penduduk (Soemarno et

al, 2000). Keadaan sosio teknologi budidaya salak disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Keadaan sosio-teknologi budidaya salak di wilayah Kabupaten Malang


Malang:
Pekarangan Kebun rakyat
I. Bibit dan Pembibitan
a. Asal bibit
- Sendiri 75.0 % 35 %
- Membeli 25.0 % 65 %
b. Cara Pembibitan : Biji 75.0 % 65.0
- Sambungan 0.0 % 0.0
- Okulasi 0.0 % 0.0
- Cangkok 25.0 % 35.0
c. Jarak Tanam; m
- Tak teratur 5x5 -
- Teratur 10 x 10 12 x 12
d. Sistim Penanaman
- Tumpangsari 100 % 75 %
- Monokultur - 25 %
II. Pemeliharaan
a. Pemangkasan/Benalu 60.00 % 40.75 %
b. Pemupukan 11.00 % 55.00 %
c. Pemberantasan hama penyakit 5.00 % 45.00 %
d. Penyiangan 40.00 % 75.00%
III. Jumlah rata-rata 15-50 pohon 500
pohon setiap orang
Sumber: Soemarno et al, 2000.

Berdasarkan estimasi cash flow selama 20 tahun diperoleh informasi bahwa

tanaman salak baru mendatangkan keuntungan setelah umur 5-6 tahun. Sedangkan

apabila modalnya berasal dari kredit akan dapat terlunasi pada tahun ke-8-10.

Besarnya keuntungan Salak pada "discount rate" 22 persen per tahun dengan "Net

Present Value" (NPV) sekitar Rp.4.000.000,- sedangkan besarnya "Internal Rate of

Return" (IRR) sekitar 32.5 persen. Dengan informasi ini dapat disimpulkan bahwa
secara finansial usahatani salak sangat menguntungkan (Soemarno et al, 2000).

Analisis keuntungan usahatani salak disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis keuntungan usahatani kebun salak (untuk setiap hektar


pertanaman salak)
Keterangan Keadaan
1. Umur mulai berproduksi 4 tahun
2. Umur impas permodalan 8-10 tahun
3. Net Present Value (NPV)
dengan DF = 22 % Rp. 4.000.000
4. Internal Rate of Return (IRR) 32.00 %
5. Nilai Break Event Point (BEP)
a. Produksi 50 tandan / pohon /th
b. Harga Rp. 20-25 / buah
Sumber: Soemarno et al, 2000.

C. Klasifikasi Sistem Agroforestry

Keragaman sistem agroforestry dapat dikelompokkan kedalam empat dasar

utama (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993) yaitu (1) berdasarkan

strukturnya (structural basis) yang berarti penggolongan sistem agroforestry dilihat

dari komposisi komponen penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan dan/atau

ternak); (2) berdasarkan fungsinya (functional basis), penggolongan sistem

agroforestry ditinjau dari fungsinya seperti fungsi produksi dan fungsi proteksi atau

perlindungan; (3) berdasarkan sosial ekonominya (socioeconomic basis) yang

ditinjau dari segi tingkat pengelolaan dan tujuan komersialnya, serta (4)

berdasarkan ekologisnya (ecological basis) yang didasarkan pada kondisi ekologis

tempat atau lokasi sistem agroforestry diterapkan atau ditemukan.

Berdasarkan strukturnya, sistem agroforestry dibedakan atas beberapa tipe

(Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (1) Agrisilvicultural

yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pohon (hutan) dengan


tanaman pertanian. Alley cropping, kebun pepohonan multispesies, tanaman pagar,

pohon penahan angin dan sejenisnya termasuk kedalam tipe agrisilvicultural; (2)

Silvopastural yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pakan

dan atau ternak dengan tanaman pohon (hutan). Tanaman pohon yang digunakan

terutama yang dapat menjadi sumber pakan ternak seperti tanaman leguminosa dan

pohon buah-buahan; dan (3) Agrosilvopastural atau sistem campuran yaitu sistem

agroforestry yang mengkombinasikan sekaligus tanaman pohon (hutan), tanaman

pertanian, dan tanaman pakan dan/atau ternak.

Chundawat dan Gautam (1993) melengkapi tipe agroforestry berdasarkan

strukturnya : (1) Apicultural yaitu kombinasi budidaya tanaman pohon dengan

pemeliharaan lebah madu, dan (2) Aquaforestry atau Agroaquaforestry yaitu sistem

agroforestry yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman pohon

(hutan) dan tanaman pertanian. Interaksi antara sistem hutan, pertanian dan kolam

ikan merupakan bentuk yang lazim ditemui, selain penanaman pohon bernilai

ekonomis yang mampu tumbuh dalam kondisi tergenang (dalam rawa atau gambut)

termasuk ke dalam tipe aquaforestry.

Berdasarkan fungsinya, sistem agroforestry dapat dibedakan menjadi : (1)

fungsi produksi yaitu sistem agroforestry yang lebih ditujukan untuk mendapatkan

hasil (produksi) bahan pangan, pakan, bahan bakar kayu, serat, kayu dan lain-lain;

dan (2) fungsi proteksi yaitu sistem agroforestry yang lebih ditujukan untuk

perlidungan atau pencegahan dari kerusakan sumberdaya lingkungan dan sekaligus

pemeliharaan sistem produksi seperti tanaman pagar, pematah angin, kebakaran,

konservasi tanah dan air, penguat bantaran sungai (Nair, 1989b; Chundawat dan

Gautam, 1993).
Berdasarkan sosial ekonomis, sistem agroforestry dibedakan atas : (1)

tujuan komersial yaitu pengelolaannya dimaksudkan terutama untuk menghasilkan

produk bernilai ekonomis tinggi melebihi sistem monokultur; (2) Subsistence yaitu

sistem agroforestry yang dikelola tanpa mempertimbangkan input dan output,

berbasis tenaga keluarga dan umumnya merupakan dampak dari sistem

perladangan berpindah; dan (3) Intermediate yaitu sistem agroforestry yang

memiliki sifat diantara komersil dan subsisten dengan tingkat pengelolaan dan

pencapaian produksi yang medium dan tetap mempertimbangkan input meski pada

tingkat yang tidak maksimal (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993).

Berdasarkan ekologisnya, sistem agroforestry dapat dibedakan kedalam tiga

kategori yaitu sistem agroforestry pada dataran rendah humid dan subhumid, pada

daerah arid dan semi arid serta pada dataran tinggi (Nair, 1989b; Chundawat dan

Gautam, 1993). Di Indonesia khususnya di Sumatera, sistem agroforestry banyak

dijumpai pada daerah dataran tinggi atau lereng-lereng bukit yang umumnya

terbentuk akibat konversi penggunaan lahan hutan menjadi lahan budidaya

(Michon, Mary dan Bompard, 1989).

D. Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry

1. Keuntungan Sistem Agroforestry

Kebaikan penerapan sistem agroforestry dapat dilihat dari keuntungan

secara ekologis atau lingkungan, keuntungan secara ekonomis, dan keuntungan

secara sosial. Keuntungan sistem agroforestry secara ekologis dapat berupa (Nair,

1989d; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (a) pengurangan tekanan

terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b) lebih efisien dalam
siklus hara, terutama pemindahan hara dari lapisan bawah solum tanah ke lapisan

permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan

dan pengendalian laju aliran permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (d)

pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas,

pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk

dan mulsa sisa tanaman; (e) terciptanya kondisi yang menguntungkan bagi

peningkatan/pemeliharaan populasi dan aktivitas organisme tanah; (f) penambahan

hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan; dan

(g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik

sisa-sisa tanaman dan hewan.

Secara ekonomis, sistem agroforestry sangat menguntungkan terutama

dalam hal (Nair, 1989c; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (a)

peningkatan keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu

berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk

kandang; (b) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen

dari salah satu komponen masih dapat diitutupi oleh adanya hasil (panen)

komponen lain; dan (c) meningkatnya pendapatan petani karena input yang

diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan.

Keuntungan secara sosial dari diterapkannya sistem agroforestry adalah

(Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (a) terpeliharanya standar kehidupan

masyarakat pedesaan dengan berkelanjutan pekerjaan dan pendapatan; (b)

terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat karena

peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (c)
terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat

mengurangi dampak negatif urbanisasi.

2. Kelemahan Sistem Agroforestry

Selain kebaikan-kebaikan yang dimiliki sistem agroforestry tersebut diatas,

sistem ini juga memiliki kelemahan-kelemahan, baik kelemahan secara ekologis

atau lingkungan, maupun kelemahan secara sosial ekonomis (Chundawat dan

Gautam, 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan antara lain : (a) kemungkinan

terjadinya persaingan matahari, air tanah dan hara antara tanaman pohon (hutan)

dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (b) kerusakan tanaman pangan saat

dilakukan pemanenan tanaman pohon (terutama saat penebangan kayu); (c)

tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit

tanaman pertanian; dan (d) relatif lamanya regenerasi tanaman pohon

menyebabkan penyempitan lahan untuk tanaman pangan sejalan dengan semakin

besarnya tanaman pohon. Kelemahan dari segi sosial ekonomis antara lain

(Chundawat dan Gautam, 1993) : (a) terbatasnya tenaga kerja yang berminat

dibidang pertanian, khususnya dalam membangun sistem agroforestry;

(b) terjadinya persaingan antara tanaman pohon dengan tanaman pangan yang

dapat menurunkan hasil tanaman pangan (sumber gizi keluarga) dibandingkan pada

penanaman dengan sistem monokultur; (c) waktu yang cukup panjang untuk

menunggu panen tanaman pohon dapat mengurangi produksi sistem agroforestry;

(d) sistem agroforestry terutama yang berorientasi komersial diakui lebih komplek

sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan pengetahuan petani yang terbatas

dibandingkan pada sistem pertanian monokultur; dan (e) keengganan sebagian


besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon

atau sebaliknya yang lebih bernilai ekonomis.

3. Mengatasi Kelemahan Sistem Agroforestry

Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahan-

kelemahan sistem agroforestry tersebut di atas dapat dikendalikan sebagian atau

seluruhnya dengan jalan (Nair, 1989c; Chundawat dan Gautam, 1993) : (a)

penggunaan pohon leguminosa (pohon kacangan) atau tanaman berbuah polong

yang sedikit dalam menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk

tanaman pangan dapat terpenuhi; (b) pemilihan tanaman pohon dengan sistem

perakaran dalam, sehingga mengurangi persaingan hara dan air dengan tanaman

pangan di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas; dan (c) jarak tanaman pohon

dibuat lebih lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air

tanah dengan tanaman pangan dan memudahkan pada saat tanaman pohon akan

dipanen (ditebang) dan lahan sela dapat ditanami tanaman semusim secara

berkelanjutan.

E. Sifat Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil penelitian Wijayanto dan Rifa’i (2009), hasil analisis

sifat kimia tanah pada beberapa pola agroforestri di Desa Cikanyere pada Tabel 6.

Hasil analisis sifat kimia tanah masing-masing pola agroforestri pada Tabel

6 menunjukkan nilai reaksi tanah (pH) terendah ditemukan pada pola AF 1

sedangkan pH tanah tertinggi ditemukan pada pola AF2. Ispandi dan Munip (2005)

menyatakan reaksi tanah atau pH tanah yang terlalu rendah menyebabkan tidak

tersedianya unsur hara tanaman di dalam tanah, seperti hara P, K, Ca, Mg dan
unsur mikro yang menyebabkan tanaman mengalami kahat unsur hara sehingga

hasil tanaman tidak optimal.

Tabel 6. Hasil analisis sifat kimia tanah pada beberapa pola agroforestry di
Desa Cikanyere
pH 1:1 Walkley Kjeldahl Bray I HCl NH4oAc
No Lokasi & Black 25% pH C/N
H2O KCl C-org N-Total P K KTK Ratio
(%) (%) (ppm) (ppm) (me/100g)
1 AF1 4,70 3,70 1,83 0,19 8,2 39 19,43 9,63
2 AF2 5,60 4,80 1,83 0,18 7,8 54,6 15,25 10,17
3 AF3 5,50 4,70 2,39 0,22 6,6 93,6 21,29 10,86
4 AF4 4,90 4,00 1,91 0,20 11,6 19,5 22,41 9,55
5 AF5 5,00 4,10 2,07 0,20 7,8 35,1 19,42 10,35
Keterangan :
AF 1 : Pola agroforestry 1 : gmelina, jagung, singkong, pisang,petai
AF 2 : Pola agroforestry 2 : gmelina, jagung, kopi, pisang,petai
AF 3 : Pola agroforestry 3 : gmelina, mahoni, singkong, petai
AF 4 : Pola agroforestry 4 : gmelina, mahoni, jagung, cabai
AF 5 : Pola agroforestry 5 : gmelina, mahoni, padi gogo, singkong, jagung, petai

Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Pusat Penelitian Tanah

1983) dalam Hardjowigeno (2003), beberapa unsur hara yang dianalisis secara

umum berada pada kisaran sangat rendah sampai rendah. Nilai total unsur N berada

pada kisaran rendah sampai sedang. Unsur nitrogen (N) merupakan unsur hara

yang berperan penting bagi pertumbuhan vegetatif tanaman. Zubachtirodin dan

Subandi (2008) menyatakan, tanaman tidak dapat melakukan metabolisme jika

kekurangan unsur hara N. Leguminosa mampu memfiksasi N bebas dari udara

sehingga dapat membantu menyuburkan tanah sebagai pengganti pupuk N.

Menurut Humphreys (1995), pada umumnya setiap 1000 kg bahan kering bagian

atas tanaman dapat memfiksasi sekitar 15-40 kg N. Serasah daun dan ranting

tanaman serta sisa panen yang masuk ke dalam tanah diduga bisa meningkatkan

jumlah C dalam tanah. Hairiah et al. (2002) menyatakan, ada 3 pool utama

pemasok C ke dalam tanah yaitu: (1) tajuk tanaman semusim yang masuk ke
dalam tanah sebagai serasah, (2) akar tanaman, melalui akar tanaman yang mati,

ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar, (3) biota tanah.

Unsur N dan C yang ditemukan pada tanah bisa digunakan untuk

memperkirakan besarnya kandungan bahan organik dalam tanah (BOT). Nisbah

C/N rendah menunjukkan kandungan bahan organik tanah yang tinggi, karena

bahan organik merupakan sumber N yang utama dalam tanah. Pola AF 4

menunjukkan nilai nisbah C/N yang paling rendah dibandingkan dengan pola

agroforestry yang lain. Bahan organik tanah pada pola AF 4 diduga menyebabkan

kapasitas tukar kation (KTK) pada pola tersebut paling tinggi dibandingkan dengan

pola yang lain. Tanah dengan nilai KTK yang tinggi mampu menyerap dan

menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah

(Hardjowigeno, 2003).

Unsur Posfor (P) pada pola agroforestry AF 3 diduga menjadi faktor

pembatas bagi pertumbuhan tanaman pokok gmelina. Hasil analisis sifat kimia

tanah menunjukkan kandungan unsur P pada pola AF 3 mempunyai jumlah yang

paling kecil dibandingkan dengan pola agroforestri yang lain. Unsur P mempunyai

peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman yaitu, pembelahan sel,

perkembangan akar, menyimpan dan memindahkan energi, metabolisme

karbohidrat dan lain-lain. Penggunaan unsur Posfor yang cukup besar pada pola AF

3 lebih disebabkan oleh adanya tanaman ubi kayu (singkong) dibawah tegakan

tanaman pokok G.arborea. Howeler (1981, 1985) dalam Isphandi (2003)

menyatakan, proses pembentukan umbi, tanaman ubi kayu sangat memerlukan hara

P dan K yang cukup.


Penelitian Young (1997) pada ekosistem alam menunjukkan masing-masing

tingkat jenis hasil bersih dari ekosistem alam (dalam kg/ha/tahun berat kering, pada

permukaan tanah) adalah Tropis Basah (Hutan Hujan) lebih besar 20.000, Tropis

Agak Basah Lembab (Savana berdaun lebar) sebesar10.000, Tropis Agak Basah

Kering (Savana berdaun sempit) sebesar 5.000, dan Daerah Agak Kering (Vegetasi

subdesert) lebih kecil 2.500.

Untuk mempertahankan bahan organik di wilayah Tropis basah, sistem

penggunaan tanah perlu menambahkan ke permukaan tanah serasah atau pangkasan

kira-kira 10.000 per kg per hektar per tahun berat kering (Young, 1977). Jika tidak

diberikan input, tanah-tanah tropis akan kehilangan setengah dari bahan organik

tanah lapisan atas, sementara tanah di Kanada membutuhkan waktu lebih dari 50

tahun (Tiessen et al, 1994 dalam Young, 1997). Sementara Sanchez (1992)

menyatakan bahwa tambahan bahan organik segar di hutan tropika per tahun

berupa serasah, dahan dan akar yang mati lebih kurang dari 5 ton/ha bahan kering

dan kira-kira 1ton/ha per tahun di hutan tropika dan 1 sampai 8 ton/ha per tahun di

hutan iklim sedang. Laju perubahan bahan organik segar menjadi karbon organik

tanah (humus) adalah kira-kira 30 sampai 50 persen per tahun. Laju itu nisbi tapi di

lingkungan yang berbeda-beda. Tambahan karbon organik tanah atau humus

adalah kira-kira empat kali lebih banyak di hutan tropika daripada hutan iklim

sedang dan agak serupa di padang rumput tropika dan padang rumput iklim sedang.

Laju pelapukan tahunan karbon organik tanah sangat berguna. Di hutan tropika laju

itu berkisar dari 2 sampai 5 persen.


F. Analytical Hierarchy Proses

Analytical Hierarchy Proses (AHP) adalah suatu metode unggul untuk

memilih aktivitas yang bersaing atau banyak alternatif berdasarkan kriteria tertentu

atau khusus. Kriteria dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif, dan bahkan kriteria

kuantitatif ditangani dengan struktur kesukaan pengambil keputusan daripada

berdasarkan angka (Amborowati dan Armadyah, 2008).

Pada perkembangannya, AHP dapat memecahkan masalah yang kompleks

atau tidak berkerangka dengan aspek atau kriteria yang cukup banyak.

Kompleksitas ini disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas,

ketidakpastian tersedianya atau bahkan tidak ada sama sekali data statistik yang

akurat. Adakalanya timbul masalah keputusan yang dirasakan dan diamati perlu

diambil secepatnya, tetapi variasinya rumit sehingga datanya tidak mungkin dapat

dicatat secara numerik hanya secara kualitatif saja yang dapat diukur, yaitu

berdasarkan persepsi pengalaman dan intuisi. Namun, tidak menutup kemungkinan

bahwa model-model lainnya ikut dipertimbangkan pada saat proses pengambilan

keputusan dengan pendekatan AHP, khususnya dalam memahami para pengambil

keputusan individual pada saat proses penerapan pendekatan ini (Iryanto, 2008).

Marimin (2004) menyebutkan bahwa AHP memiliki banyak keunggulan

dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan

secara grafis sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam

pengambilan keputusan. Beberapa keuntungan yang diperoleh bila memecahkan

persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP adalah :


1. Kesatuan, dalam hal ini AHP memberikan satu model tunggal yang mudah

dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.

2. Kompleksitas, dalam hal ini AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan

berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. Saling ketergantungan, AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-

elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. Penyusunan hierarki, AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk

memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan

dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. Pengukuran, AHP memberikan suatu skala untuk mengukur hal-hal dan

terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas.

6. Sintesis, AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap

alternatif.

7. Tawar menawar, AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari

berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih altenatif terbaik

berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

8. Penilaian dan konsesus, AHP tidak memaksakan konsesus tetapi

mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang

berbeda.

9. Pengulangan proses, AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi

mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian

mereka melalui pengulangan.


Prinsip dasar AHP menurut Saaty (1993) dalam Tantyonimpuno (2006), meliputi :

1. Penyusunan hierarki masalah (Problem Decomposition)

Dalam penyusunan hierarki ini perlu dilakukan perincian atau pemecahan

dari persoalan yang utuh menjadi beberapa unsur/komponen yang kemudian dari

komponen tersebut dibentuk suatu hierarki. Pemecahan unsur ini dilakukan sampai

unsur tersebut sudah tidak dapat dipecah lagi sehingga didapat beberapa tingkat

suatu persoalan. Penyusunan hierarki merupakan langkah penting dalam model

analisis hierarki.

2. Penilaian perbandingan berpasangan (Comparative Judgement)

Prinsip ini dilakukan dengan membuat penilaian perbandingan berpasangan

tentang kepentingan relatif dari dua elemen pada suatu tingkat hierarki tertentu

dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya dan memberikan bobot numerik

berdasarkan perbandingan tersebut. Hasil penelitian ini disajikan dalam matriks

yang disebut pairwise comparison.

3. Penentuan prioritas (Synthesis of Priority)

Sintesa adalah tahap untuk mendapatkan bobot bagi setiap elemen hierarki

dan elemen alternatif. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap

tingkat untuk mendapatkan global priority, maka sintesis harus dilakukan pada

setiap local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif

melalui prosedur sistesis dinamakan priority setting.


4. Konsistensi logis (Logical Consistensy)

Konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah objek-objek yang serupa

dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Arti kedua adalah

menyangkut tingkat hubungan anatara objek-objek yang didasarkan pada kriteria

tertentu. Konsistensi data dapat dari rasio konsistensi (CR) yang merupakan hasil

bagi antara indeks konsistensi (CI) dan indeks random (RI).

Iryanto (2008) menyebutkan, metode AHP mempunyai keunggulan dalam

memecahkan masalah-masalah multikriteria, masalah yang tak terstruktur, yang

dapat diraba maupun yang tidak dapat diraba bahkan masalah yang tidak

mempunyai data statistik. Metode AHP mampu menyerap persepsi, preferensi, dan

pengalaman pengambil keputusan dan tidak membutuhkan keahlian yang tinggi.

Pengambilan keputusan dengan metode AHP mmemungkinkan untuk

memandang permasalahan dengan kerangka berpikir yang tertata, sehingga

pengambilan keputusan menjadi efektif. Prinsip kerja AHP adalah

menyederhanakan masalah yang kompleks, tak terstruktur, strategis dan dinamis

menjadi bagian-bagian yang terstruktur dan menata variable dalam hierarki. AHP

menentukan tingkat kepentingan setiap variabel, dan secara subjektif memberi

numerik suatu variabel tentang arti pentingnya secara relative dibanding dengan

variabel lainnya secara berpasangan. Dari berbagai pertimbangan tersebut AHP

melakukan sintesa untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas

tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi sistem tersebut. AHP juga dapat

menangani masalah yang elemen-elemennya saling tergantung dalam suatu sistem

dan tidak memaksakan pemikiran linier (Iryanto, 2008).


Suryadi dan Ramadhani (1998), menyebutkan langkah-langkah penyusunan

AHP sebagai berikut :

1. Mendefinisikan masalah

Mendefinisikan masalah dan menentukan tujuan yang diinginkan. Bila AHP

digunakan untuk memilih alternatif atau menyusun prioritas alternatif, maka

pada tahap ini dilakukan pengembagan alternatif.

2. Penyusunan Hierarki

Penyusunan hierarki permasalahan merupakan langkah pendefinisian masalah

yang rumit dan kompleks sehingga menjadi lebas dan detail. Hierarki

keputusan disusun berdasarkan pandangan pihak yang memiliki keahlian dan

pengetahuan dibidang yang bersangkutan. Keputusan yang diambil dijadikan

sebagai tujuan dan dijabarkan menjadi elemen yang lebih rinci hingga tercapai

suatu tahapan yang terukur. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan

tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan

alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.

3. Penentuan prioritas atau membuat matriks perbandingan berpasangan yang

menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap

masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. AHP melakukan

analisis prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar dua

elemen sehingga seluruh elemen yang ada tercakup.

4. Melakukan perbandingan berpasangan dengan nilai skala seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 7, sehingga diperoleh judgement seluruhnya sebanyak

n x ((n-1)/2) buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan.


5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka

pengambilan data kembali diulangi. Konsistensi jawaban responden dalam

menentukan prioritas elemen merupakan prinsip pokok yang menentukan

validitas data dan hasil pengambilan keputusan. Secara umum, responden

harus memiliki konsistensi dalam melakukan perbandingan elemen.

6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki

7. Menghitung vector eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai

vector eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis

penilaian dalam penentuan prioritas elemen pada tingkat hierarki terendah

sampai pencapaian tujuan.

8. Memeriksa konsistensi hierarki. Jika nilainya lebih dari sepuluh persen, maka

data penilaian harus diperbaiki (diulangi).

Secara lengkap Rahmawaty, et al (2011) menyebutkan bahwa dalam proses

perbandingan berpasangan melibatkan perhitungan vektor kolom. Hal ini diperoleh

dengan mengalikan matriks tujuan dengan bobot relatif, misalnya bobot tujuan,

dalam bentuk persamaan :

Vk = Mk * W ik

Keterangan :
Vk = vektor kolom pengambil keputusan ke- k
Mk = matrik obyektif pengambil keputusan ke- k
Wik = bobot relatif dari obyek ke- i terhadap pengambil ke- k
Tabel 7. Nilai skala AHP

Intensitas Definisi Penjelasan


Pentingnya
Kedua elemen sama
1 pentingnya. Dua elemen menyumbang sama besar sifat
tersebut.
Elemen yang satu sedikit Pengalaman dan pertimbangan sedikit
3
lebih penting daripada menyokong satu elemen atas elemen lainnya
elemen lainnya.
Elemen yang satu sangat pengalaman dan pertimbangan dengan kuat
5
penting daripada elemen menyokong satu elemen atas elemen lainnya
yang lainnya.
Satu elemen jelas lebih Satu elemen denga kuat disokong dan
7
penting daripada elemen dominannya telah terlihat dalam praktek
yang lain.
9 Satu elemen mutlak lebih Bukti yang menyokong elemen yang
penting daripada elemen satu atas yang lainnya memiliki tingkat
yang lain. penegasan yang tertinggi yang
mungkin menguatkan
Kompromi diperhatikan diantara dua
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai diantara dua pertimbangan.
pertimbangan yang
berdekatan

Jika untuk aktivitas i mendapat satu


Kebalikan angka bila dibandingkan dengan
aktivitas j, maka j memiliki nilai
kebalikannya bila dibandingkan
dengan i.
Sumber : Saaty dan Vargas (2001) dalam Rahmawaty, et al (2011)
Dengan vektor kolom dari bobot, nilai eigen maksimum atau pokok (yang

disumbangkan oleh Ymaks) dihitung semakin dekat nilai eigen utama adalah ke n,

yang lebih konsisten adalah penilaian subjektif itu berasal dengan mengambil rata-

rata dari jumlah rasio dari vektor kolom dan bobot relatif (Rahmawaty et al, 2011).

λmaks = ∑ Vk/Wik/q

k=1

Keterangan :
k = urutan matriks 1 sampai q yang setara dengan jumlah pembuat keputusan
Pusat untuk AHP adalah ukuran dari konsistensi dalam penilaian manusia.

Penyimpangan dari konsistensi dapat diwakili oleh indeks konsistensi (CI). Nilai

ini adalah perbedaan antara nilai eigen maksimum atau pokok dan jumlah tujuan

(N) dibagi dengan n-1. Bentuk persamaan sebagai berikut:

CI = λ maks – n/n-1
Keterangan :
CI = indeks konsistensi
λ maks = nilai eigen pokok
n = jumlah obyek

Untuk mendapatkan ide dari konsistensi penilaian, CI dibandingkan dengan

indeks konsistensi acak (RI) dari nilai-nilai seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8.

Sebuah rasio konsistensi sepuluh persen atau kurang dianggap dapat diterima.

Persamaan rasio konsistensi (CR)

CR = CI/RI
Keterangan :
CI = indeks konsistensi
RI = indeks random

Malczewski (1999) dalam Rahmawaty et al, (2011) menyebutkan bahwa

ketika CR kurang dari atau 0,1, nilai-nilai dari rasio tersebut tidak konsisten. Dalam

kasus terakhir nilai asli dalam matriks perbandingan pasangan yang bijaksana harus

direvisi.

Table 8. Nilai indeks konsistensi random (RI)

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56
Sumber : Saaty (1980)

Dalam proses yang terkait dengan derivasi dari prioritas alternatif,

sehubungan dengan setiap tujuan pada tingkat 3 hierarki, bobot relatif dari
alternatif yang didasarkan pada tujuan masing-masing dihitung dengan cara yang

sama. Peringkat akhir dari alternatif (menunjukkan ωj) itu dihitung dengan

melakukan perkalian matriks bobot relatif dari alternatif per tujuan (dilambangkan

dengan Mij) dan bobot relatif dari tujuan (dilambangkan dengan ωi). ini dihitung

dengan menggunakan persamaan:

ωj= Mij * ωi
Keterangan :
ωj = bobot akhir dari alternatif j
Mij = matriks bobot relatif alternatif per obyektif
ωi = pembobotan obyektif

disamping itu, Mij mengambil bentuk:

Mij = ω11 …. ω1p

ωn1 …. ωnp

Keterangan :
ω11 = bobot relatif dari alternatif 1 (j ke p) obyektif 1 (i ke n)

Langkah terakhir adalah untuk agregat prioritas vektor dari setiap tingkat

yang diperoleh pada langkah kedua, untuk menghasilkan bobot keseluruhan. Hal

ini dapat dilakukan dengan cara perkalian urutan vektor bobot pada setiap tingkat

hierarki. Bobot keseluruhan mewakili ranting alternatif sehubungan dengan tujuan

keseluruhan. Ri skor keseluruhan alternatif ke-i adalah jumlah total dari peringkat

tersebut pada setiap tingkat yang dihitung sebagai berikut:

Ri = ∑k ωkrik
Keterangan:
ωk = vektor prioritas berhubungan dengan elemen ke-k dari hierarki
rik = vektor prioritas berasal dari membandingkan alternatif pada setiap kriteria
(Malczewski, 1999 dalam Rahmawaty et al, 2011).

Anda mungkin juga menyukai