Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kondisi lahan pertanian saat ini sangat sempit dan terpencar pencar sehingga
sangat sulit untuk dilakukan mekanisasi pertanian. lahan yang sempit dikarenakan
semakin hari semkain bertambahnya jumlah penduduk. Bertambahnya penduduk
maka akan mengakibatkan lahan lahan banyak digunakan untuk pembangunan sarana
dan prasarana seperti contohnya rumah. akibatnya lahan hijau semakin sempit dan
terpencar pencar tidak beraturan yang dimana mempengaruhi untuk produksi dibidang
pertanian. solusi untuk mengatasi hal tersebut maka petani menerapkan sistem pola
tanam untuk produksi pertanian mereka agar tidak banyak kerugian.
Sistem pola tana mini juga diperlukan adanya penggunaan lahan efisien dan
memiliki efektifitas yang tinggi. Sehingga diperlukan adanya upaya untuk
peningkatpelaksanaan intensifikasi lahan. Hal ini dilakukan karena upaya
ekstensifikasi lahan tidak memungkinkan untuk dilakukan. Oleh karena itu,
diperlukan adanya suatu pengaturan pola tanam polikultur yang menguntungkan
dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur. Lahan yang ditanami tanaman
dengan teknologi budidaya monokultur dengan sistem polikultur akan memiliki
perbedaan dalam pertumbahan dan hasil.
Efisiensi penggunaan lahan yang digunakan dalam pola tanam monokultur dan
polikultur dapat dicari dengan cara menghitung Nilai Nisbah Kesetraan Lahan (NKL).
Nilai Nisbah Kesetraan Lahan (NKL) atau Land Equivalent Ratio (LER) adalah
jumlah nisbah hasil anatara tanaman yang dipolikulturkan terhadap hasil tanaman
secara monokuluratau tunggal pada tingkat manajemen yang sama. Hal ini merupakan
salah satu cara untuk menghitung produktivitas lahan yang ditanam dua atau lebih
jenis tanaman yang dipolikulturkan.

I.2 Tujuan
Menghitung Nilai NKL suatu sistem pola tanam dan mampu menganalisis hasil Nilai
NKL yang didapatkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq )
Klasifikasi kelapa sawit sudah dimulai sejak empat abad yang lalu (abad ke16)
dan dilanjutkan pada abad-abad selanjutnya. Seperti halnya dengan upaya
pengklasifikasian jenis-jenis tumbuhan lainnya ataupun hewan, para ahli berbeda
pendapat mengenai klasifikasi kelapa sawit. Hal ini dapat di mengerti, karena di masa
lampau ilmu taksonomi maupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya belum
berkembang seperti sekarang (Mangoensokerjo, 2010). Kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq ) diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Pteropsida
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Spadifciflorae
Famili : Palmae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq
Akar berfungsi untuk menunjang stuktur batang di atas tanah, penyerapan air
dan unsur-unsur hara dari dalam tanah, serta sebagai salah satu alat respirasi.Sistem
perakaran kelapa sawit merupakan sistem akar serabut, terdiri dari akar primer, akar
skunder, akar tersier dan akar kuarterner (Pahan.2015). Bakal batang disebut plumula
(seperti tombak kecil). Tanaman kelapa sawit berbatang lurus tidak bercabang. Pada
tanaman dewasa diameternya 45-60 cm. Bagian bawah batang biasanya lebih gemuk,
disebut bonggol dengan diameter 60-100 cm. Sampai tanaman berumur 3 tahun
batang belim terlihat karena msih tertutup pelepah yang belum ditunas. Kemudian
batang mulai meninggi dengan kecepatan tumbuh 35-70 cm/tahun (Lubis, 2011).
Tanaman kelapa sawit memiliki daun (frond) yang menyerupai bulu burung atau
ayam. Anak-anak daun (foliege leaflet) tersusun berbaris dua sampai ke ujung daun.
Di tengah-tengah setiap anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun. Daun berwarna
hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilan nya sangat mirip
dengan tanaman salak, hanya saja durinya tidak terlalu keras dan tajam. Bentuk
daunnya termasuk majemuk menyirip, tersusun rozet pada ujung batang (Adi, 2015).
Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu. Artinya, bunga jantan dan
bunga betina terdapat pada satu pohon, tetapi tidak pada tandan yang sama. Walaupun
demikian, kadang-kadang di jumpai juga bunga betina pada satu tandan
(hermaprodit). Bunga muncul dari ketiak daun, setiap ketiak daun hanya dapat
menghasilkan satu infloresen (bunga majemuk). Bunga kelapa sawit merupakan
bunga majemuk yang terdiri kumpulan spikelet dan tersusun dalam infloresen yang
berbentuk spiral. Bunga jantan maupun bunga betina mempunyai ibu tangkai bunga
yang merupakan struktur pendukung spikelet. Infloresen di bedakan berdasarkan
morfologi spikelet. Berdasarkan irisaan pada bunga yang belum mekar (immature),
infloresen jantan dan betina berasal dari struktur yang sama (Pahan, 2010). Buah
sawit mempunyai warna bervariasi dan hitam, ungu, hingga merah. Warna-warna itu
tergantung pada bibit yang digunakan. Buah sawit bergerombol dalam tandan yang
muncul dari tiap pelepah. Buah ini tersusun dari kulit buah yang licin dan keras
(epicrap), daging buah (mesocrap) dari susunan serabut (fibre) dan mengandung
minyak, kulit biji (endocrap) atau cangkang yang berwarna hitam dan keras, daging
biji (endosperm) yang berwarna putih dan mengandung minyak. Buah yang sangat
muda berwarna hijau pucat. Semakin tua warrnanya brubah menjadi hijau kehitaman,
kemudian menjadi kuning muda, dan setelah matang menjadi merah kuning (oranye).
Jika sudah berwarna oranye, buah mulai rontok dan berjatuhan (buah leles) (Hartanto,
2011).
II.2 Tanaman Jelutung
Pohon jelutung termasuk dari family Apocinacae batangnya tumbuh lurus
tingginya dapat mencapai ± 30 meter dan tidak berbanir. Tinggi batang bebas
cabang dapat mencapai antara 15 -30 meter dengan diameter dapat mencapai ± 100
cm. Kulit pohon Jelutung berwarna kelabu kehitam hitaman dengan permukaan rata
tapi kasar bila ditoreh akan keluar getah berwarna putih seperti susu kental.
Percabangannnya tumbuh secara beraturan melingkari batangnya dengan jumlah
cabang antara 6 - 8 cabang warnanya sewaktu masih muda adalah merah kecoklatan.
Daun daun jelutung tumbuh bertumpu pada satu tempat dalam bentuk lingkaran
dan setiap lingkaran terdiri dari 6 sampai 8 helai daun. Setiap lingkaran daun
dipisahkan oleh ruas ruas yang cukup Panjang dan daun tumbuh melengkung ke
atas, bunga jelutung berwarna putih dan harum baunya. Buah jelutung termasuk
buah polong berbentuk lonjong memanjang, letak buahnya berpasangan dan satu
sama lainnya membentuk sudut yang cukup lebar. Apabila telah mulai matang
buah jelutung akan melengkung dengan arah ke atas dan ujung buahnya sedikit demi
sedikit akan merekah dan terus pecah.Biji Jelutung sangat kecil bersayap tipis dan
halus didalam setiap buah Jelutung akan dijumpai antara 12 - 24 biji (DKPPK, 2010).
II.3 Polikultur
Polikultur merupakan salah satu bentuk dari program intensifikasi pertanian
alternatif yang tepat untuk memperoleh hasil pertanian yang optimal. Keuntungan
pola tanam polikultur selain diperoleh frekuensi panen lebih dari satu kali dalam
setahun, juga berfungsi untuk menjaga kesuburan tanah. Pola tanam polikultur dalam
implementasinya harus dipilih dua atau lebih tanaman yang cocok sehingga mampu
memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh
kompetitif sekecil-kecilnya (Prajitno, 1988 dalam Safuan et al., 2010). Tingkat
produktivitas tanaman lebih tinggi dengan keuntungan panen antara 20 - 60%
dibandingkan pola tanam monokultur. Untuk mengevaluasi keuntungan atau kerugian
yang ditimbulkan dari pola tanam polikultur dengan monokultur dapat dihitung dari
Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai NKL ini menggambarkan suatu areal yang
dibutuhkan untuk total produksi monokultur yang setara dengan satu ha produksi
polikultur.
Prasetyo et al. (2010) menyatakan bahwa tumpang sari tanaman pangan di
lahan tanaman tahunan yang belum menghasilkan perlu dipertimbangkan sebagai
alternatif pengembangan tanaman pangan. Pada kondisi ini lahan masih terbuka dan
pemanfaatan cahaya menjadi sangat tidak efisien karena energi cahaya matahari
masih belum dimanfaatkan secara optimal. Selanjutnya dikatakan oleh Prasetyo
(2012) bahwa sistem tanam tumpang sari merupakan bagian integral dari kegiatan
ekstensifikasi dan intensifikasi yang bertujuan untuk melipatgandakan hasil pangan,
dan memecahkan masalah kerusakan sumber daya alam atau memperbaiki lingkungan
hidup.
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
III.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Pola Tanam materi Nilai Nisbah Kesetaraan Lahan dilaksanakan
pada Kamis, 4 November 2021 pukul 09.20 – 11.00 WIB secara daring.
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat
1. alat tulis
2. alat hitung
III.2.2 Bahan
1. Artikel/jurnal tentang pola tanam tumpangsari dan monokultur
III.3 Cara Kerja
1. Menulis data tanaman hasil tumpangsari dan monokultur yang berasal dari
artikel/jurnal
2. Menghitung nilai NKL dari data yang telah diperoleh
3. Menganalisis nilai NKL yang diperoleh
4. Melakukan pembahsasan yang dibandingkan dengan literatur
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Nilai Kesetaraan Lahan
4.1.1. Tabel Hasil Produksi Kelapa Sawit dan Tanaman Jelutung pada Sistem
Monokultur dan Polikultur (ton/ha)

No Tanaman Hasil Produksi Hadil Produksi Nilai NKL


. Monokultur Polikultur
(ton/ha) (ton/ha)
1. Kelapa 38,68 35,00 1,4
Sawit
2. Jelutung 16,83 8,40

4.1.2 Perhitungan NKL


n
Xi
Rumus LER = NKL = ∑
i=1 Yi
hasil tumpangsari kelapa sawit hasil tumpangsari jelutung
NKL= +
hasil monokultur kelapa sawit hasil monokultur jelutung
35,00 8,40
= +
38,68 16,83
= 1,4
IV.2 Pembahasan
Polikultur adalah bentuk pola tanam yang mebudidayakan lebih dari satu
tanaman dalam jangka waktu tertentu. Tujuan sistem pola tanam polikutur adalah
untuk mengoptimalkan penggunaan lahan, air, dan sinar matahari seefisien mungkin
untuk mendapatkan produksi maksimum (Jamilah, 2020). Nilai kesetaraan lahan atau
Land Equivalent Ratio adalah perbandingan antara luas lahan yang diperlukan untuk
menanam tanaman secara tunggal dengan penanaman polikultur untuk mendapatkan
hasil yang sama pada tingkat pengelolaan yang sama. NKL digunakan untuk menguji
seberapa efektif. Teknik budidaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi
tanaman.
Berdasarkan data dari jurnal bahwa estimasi produksi kelapa sawit pertanaman
monokultur yaitu 38,68 ton ha−1 thn−1 lebih banyak dibandingkan dengan kelapa
sawit pertanaman polikultur yaitu 35,00 ton ha−1 thn−1 , sedangkan estimasi produksi
tanaman jelutung pertanaman monokultur yaitu 16,83 ton ha−1 thn−1 dan pertanaman
polikultur adalah 8,40 ton ha−1 thn−1 . Estimasi ini didasakan pada asumsi bahwa
semua tanaman dalam 1 hektar memiliki produksi dan frekuensi panen yang sama
dengan tanaman sampel. Hasil perhitungan nilai Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL)
tanaman polikultur kelapa sawit dengan jelutung adalah 1,4 ( NKL>1). Hal ini dapat
diketahui bahwa perlakuan polikultur lebih menguntungkan dibandingkan dengan
perlakuan sistem pola tanam sistem pola tanam monokultur. Pinem et al., (2011)
menyatakan bahwa apabila nilai NKL >1 maka perlakuan kombinasi atau
intercropping memberikan pengaruh terhada hasil tanaman yang dipolikulturkan dan
besarnya NKL juga merupakan besarnya pengaruh perlakuan kombinasi atau
intercropping. Keberhasilan dari budidaya tanaman dengan sistem polikultur dapat
dikatakan berhasil apabila nilai nisbah kesetraan lahan lebih dari satu. sehingga
sesuai dengan pengertian polikultur yaitu suatu usaha untuk meningkatkan keragaman
hasil panen dari sebidang lahan.
Pada pertanaman kelapa sawit polikultur dengan jelutung sangat berpengaruh
pada pertumbuhan dan produksi karena terjadi persaingan untuk mendapatkan unsur
hara, air, dan cahaya matahari. Hal ini terjadi karena pada sistem polikultur populasi
tanaman lebih banyak (melebihi populasi optimum) sehingga akan terjadi persaingan
dalam penyerapan unsur hara dan air dari dalam tanah (Herlina, 2011). Berbeda
dengan tanaman yang ditanam pada sistem monokultur, tanaman tidak mengalami
persaingan untuk mendapatkan air, unsur hara, dan cahaya matahari. Kondisi ini juga
disebabkan adanya persaingan untuk mendapatkan unsur hara, air dan cahaya
matahari sehingga berpengaruh pada lingkar batang setiap tanaman.
V. PENUTUP
V.1Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari Praktikum Pola Tanam materi Nilai
Nisbah Kesetaraan Lahan yaitu :
1. Hasil nilai Nisbah Kesetaraan Lahan tanaman polikultur kelapa sawit dengan
jelutung adalah 1,4 ( NKL>1).
2. Keberhasilan dari budidaya tanaman dengan sistem polikultur dapat dikatakan
berhasil apabila nilai nisbah kesetraan lahan lebih dari satu.
3. Pada pertanaman kelapa sawit polikultur dengan jelutung sangat berpengaruh
pada pertumbuhan dan produksi karena terjadi persaingan untuk mendapatkan
unsur hara, air, dan cahaya matahari.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, P. 2015. Kaya Dengan Bertani Kelapa sawit. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.

Departemen KehutananPusat Penyuluhan Kehutanan. 2010, Budidaya Jelutung.


Jakarta.
Hartanto H. 2011. Sukses Besar Budidaya Kelapa Sawit. Cetakan I.Yogyakarta:
Citra Media Publishing
Herliana. 2011. Kajian Variasi jarak dan Waktu Tanam jagung Manis dalam Sistem
Tumpangsari Jagung Manis (Zea Mays Saccharata0 dan Kacang Tanah (Archis
hypogea L.). Artikel. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang.
Jamilah.2010. Dasar Dasar Agronomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lubis, A.U. 2011. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia. Edisi ke-2
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Mangoensoekarjo dan Semangun. 2008. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit.

Pahan, l. 2010. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu

hingga Hilir. Penebar Swadaya.

Pahan, Iyung. 2015. Panduan Teknis Budidaya Kelapa Sawit untuk Praktisi
Perkebunan. Penebar Swadaya. Cibubur, Jakarta Timur.
Pinem, T., Z. Syarif, dan I. Chaniago.2011 Studi Waktu Penanaman dan Populasi
Kacang Tanah terhadap Produksi Kacang Tanah dan Jagung Pada Pola Tanam
Kacang Tanah dan Jagung. Jurnal Jerami. Vol 4(2) : 102 - 108.
Prasetyo, Alnopri, Hermansyah, dan M. Taufik. 2010. Produksi tanaman
perkebunan. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu (tidak
dipublikasikan).
Prasetyo. 2012. Pengaruh pemupukan nitrogen dan fosfor terhadap pertumbuhan
tanaman kapulaga sebagai tanaman sela pada dua umur tegakan sengon. Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Safuan, L. O.,I. U. Warsono, G. Ayu, L. Prihastuti, S. Wahyuni, Hestin, E.
Hernewa, Rudi, Desyanti, Elis, M. Suwena.2010. Pertanian terpadu suatu strategi
untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Walhi Jawa Barat, Bandung.
LAMPIRAN

6.1 Tabel Hasil Produksi Tanaman Sorgum dan Kedelai dalam Sistem Monokultur dan
Tumpang Sari (ton/ha)

6.2 Tabel Rata-rata produktivitas buah Pinang dan Kelapa Dalam pada sistem
tumpangsari dan sistem tunggal (ton ha-1)

Produktivitas (ton ha-1)


Tanaman Tumpang sari Monokultur
Pinang 0,12 0,16
Kelapa Dalam 0,68 0,95

6.3 Tabel Hasil Produksi Tanaman Tebu dan Kedelai dalam Sistem Monokultur dan
Tumpang Sari (ton/ha)

Monokultur Tumpang Sari


Jenis Tebu Hasil Jenis Hasil Jenis Hasil Jenis Hasil
Perlakuan
Kedelai Tebu Kedelai
PSJK 922 114,58 Argomulyo 1,34 P1 PSJK 71,48 Argomulyo 1,05
PS 851 97,92 Kaba 1,60 P2 85,16 Kaba 1,21
922
PS 881 84,64 Tanggamus 1,74 P3 100,00 Tanggamus 1,68
VMC 76-16 121,61 P4 PS 103,13 Argomulyo 1,50
P5 103,52 Kaba 1,73
851
P6 102,73 Tanggamus 1,56
6.4 P7 PS 89,45 Argomulyo 1,24
P8 87,11 Kaba 1,38
881
P9 91,80 Tanggamus 1,90
P10 VMC 113,48 Argomulyo 1,56
P11 111,13 Kaba 2,07
76-16
P12 111,33 Tanggamus 1,82

6.4 Tabel Hasil Produksi Tanaman Kedelai dan Jagung dalam Sistem Monokultur dan
Tumpang Sari (ton/ha)

6.5 Tabel Hasil Produksi Tanaman Jagung dengan Padi gogo dengan jarak tanam
berbeda

6.6 Tabel Hasil Produksi Tumpangsari Jagung Manis dengan Kacang Tanah, Kedelai
dan Kacang Panjang (19025010023)
6.7 Tabel Hasil Produksi Tumpang sari Tanaman Kacang Buncis dan Sawi Putih
(19025010026)

6.8 Tabel Hasil Produksi Tumpangsari Tanaman Jagung dan Kedelai (19025010019)

Tanaman Hasil Tumpangsari Hasil Monokultur NKL

Jagung 4.60 5.25 0,87

Kedelai 1,45 1,82 0,79

1.66
6.8 Tabel Hasil Produksi Tumpangsari Tanaman Cabai Merah dengan Kentang,
Bawang Merah dan Buncis (19025010014)

Anda mungkin juga menyukai