Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN SEMENTARA

PRAKTIKUM PENGELOLAAN TANAH DAN AIR

Materi :

“Observasi Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Salin dengan Komoditi Timun
Krai di Ds. Damarsih, Buduran, Sidoarjo”

Dibuat Oleh :

Shofihatul Maula

19025010016

Goloangan B1

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAWA TIMUR
2021
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Lahan salin seringkali menjadi permasalahan pada lahan pertanian.
Salinisasi merupakan proses terjadi peningkatan garam mudah larut (NaCl,
Na2CO3 , Na2SO4) yang tinggi dalam tanah, sehingga berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.Tanah yang subur
untuk lahan pertanian semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal tersebut
menyebabkan pengembangan pertanian beralih ke lahan marginal seperti
tanah salin. Salinitas pada umumnya terjadi pada lahan yang berada dekat
dengan pantai dan terjadi karena intrusi air laut ke daratan melalui
permukaan tanah, tingginya evaporasi dan evapotranspirasi dibanding
presipitasi atau curah hujan serta tingginya bahan induk tanah yang
mengandung garam.
Salinitas menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya
produksi tanaman karena terhambatnya penyerapan air dan nutrisi akibat
jerapan Natrium pada pori tanah(Rachman et al., 2018). Indonesia sebagai
negara kepulauan memiliki potensi tanah salin yang sangat luas. Kendala
dalam pemanfaatan tanah salin untuk budidaya tanaman adalah tingginya
kadar garam terlarut utamanya NaCl. Salah satu permasalahan tersebut
adalah, ditemukannya lahan salin daerah Ds. Damarsih, Buduran,
Sidoarjo. Daerah tersebut memiliki karakteristik lahan salin, yakni dengan
dijumpai kerak putih pada ats lapisan tanah, dan lapisan tanah mengalami
reta-retakan pecah pada musim kering, dan permasalahan air yang asin.
Lahan tersebut dekat dengan Pantai Ketingan di Sidoarjo, lahan tersbeut
menjadi daerah yang dekat dengan pasang surut dari air laut. Pada lahan
tersebut, petani melakukan budiaya tanaman padi, dan hortikultura.
Tanaman hortikultura yang ditanam pada musim kering adalah timun krai.
Salinitas menurunkan kemampuan tanaman padi dan timun krai
menyerap air sehingga menyebabkan penurunan kecepatan pertumbuhan.
Apabila tanaman menyerap garam berlebihan akan menyebabkan
keracunan pada daun tua. Hal tersebut akan menyebabkan penuaan daun
lebih awal dan mengurangi luas daun yang berfungsi pada proses
fotosintesis.
Masalah salinitas pada lahan pertanian perlu ditangani secara serius
dan menyeluruh karena tanah dengan kandungan garam yang tinggi
mengakibatkan struktur tanah menjadi rusak, sehingga aerasi dan
permeabilitas tanah tersebut menjadi sangat rendah. Salinitas juga
menyebabkan tanaman sulit menyerap air hingga terjadi kekeringan
fisiologis akibat peningkatan potensial osmotik larutan tanah. Oleh karena
itu diperlukan upaya atau solusi untuk mengatasinya. Upaya yang
dilakukan tentunya yang berkelanjutan tanpa merusak tanah.
I.2. Tujuan
1. Mengobservasi pengelolaan tanah dan air pada lahan salin didekat
domisili.
2. Mengetahui factor-faktor yang menyebabkan lahan salin
3. Mengetahui cara budidaya pertanian yang tepat pada lahan salin
4. Mengidentifikasi suatu permasalahan pada lahan salin yang dialami
oleh petani.
5. Mencari solusi bagi permasalahan lahan tersebut
II. TINJAUN PUSTAKA
II.1. Lahan Salin
Lahan salin merupakan lahan yang memiliki kandungan garam
atau NaCl yan tinggi dan kandungan konduktivitas elektrik (Electric
conductivity) yang tinggi. Kondisi lahan di Indonesia yang dipengaruhi
oleh pasang surut air laut, dapat menjadikan lahan potensial, lahan sulfat
masam, lahan gambut dan sebagainya terdapat sebanyak 20.12 juta ha.
Lahan salin utamanya sering ditemukan pada daerah yang dekat dengan
areal pesisir pantai yang dipengaruhi oleh intrusi air laut. Luasan lahan
salin di Indonesia diperkirakan sekitar 0.44 juta ha (Alwi, 2014). Luasan
lahan salin didunia terdapat 412 juta ha, terbagi seperti pada benua afrika
sebanyak 122,9 juta ha, asia tengah dan utara 91,5 juta ha, dan masih
banyak lagi.
Lahan salin adalah tanah dengan kandungan garam yang mudah
larut seperti NaCl, Na2CO3, Na2SO4, yang tinggi sehingga jika
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, akan mempengaruhi bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Lahan salin dapat terjadi karena
adanya peningkatan konsentrasi garam dalam tanah yang disebabkan oleh
cekaman lingkungan. Lahan salin jika digunakan sebagai lahan pertanian
akan menjadi kurang efektif dan dapat menurunkan produktivitas suatu
tanaman(Rachman et al., 2018). Apabila tanaman menyerap garam
berlebih akan menyebabkan keracunan pada daun. Daun akan mengalami
penunaan lebih awal sehingga memnegaruhi luasan fotosintesi daun
menjadi terganggu, menghambat metabolism, dan menurunkan
produktivitasnya.
Salinisasi dapat terjadi dikarenakan intrusi air laut, air irigasi yang
mengandung garam, atau tingginya penguapan dengan curah hujan rendah
sehingga garam-garam akan naik ke daerah perakaran. Tanah salin dapat
terbentuk ketika curah hujan (presipitasi) lebih rendah daripada proses
evaporasi yang terjadi. Proses salinisasi permukaan tanah terjadi ketika
pada suatu peristiwa yang bersamaan, seperti munculnya garam terlarut
pada tanah, tingginya permukaan air(hight water table), tingkat evaporasi
tinggi namun jumlah curah hujan tahunan yang rendah (Karolinoerita &
Annisa, 2020). Kondisi curah hujan yang rendah menyebabkan tidak
terjadinya pencucian basa secara intensif, sehingga penimbunan garam
semakin banyak. Hal teresebut biasanya terjadi pada daerah yang
cenderung kering. Selain itu, proses salinitas dapat terjadi secara spontan
dikarenakan praktik pengolahan dan manajemen lahan, seperti praktik
irigasi
II.2. Karakteristik Lahan Salin
Lahan salin memiliki karakteristik kandungan garam yang mudah
larut tinggi NaCl, Na2CO3, Na2SO4, memiliki nilai DHL (daya hantar
listrik) atau EC (electrical conductivity) lebih besar dari 4 deci Siemens/m
(ekivalen dengan 40 m M NaCl) dan persentase natrium yang dapat
ditukar (ESP= exchangeable sodium percentage) kurang dari 15. Lahan
salin di Indonesia yang merupakan termasuk daerah arid dan semi-arid
yang diakibatkan oleh evaporasi lebih tinggi dibandingkan presitipasi,
sehingga menyebabkan pencucian basa-basa tidak intensif, dan adanya
penimbunan garam-garam atau basa-basa secara intensif pada horizon C
berupa akumilasi CaCO3 pada horizon C. CaCO3 ini dapat berasal dari air
tanah atau dari debu yang jatuh ke tanah dan mengendap dengan kadar
CaCO3 ≥ 15%. Natrik merupakan horizon illuviasi liat yang mempunyai
struktur tanah berbentuk prismatik atau tiang akibat tingginya kadar
natrium (Na) di dalam tanah dengan kandungan Na-dd ≥ 15%. Kemudian
Horison Salik merupakan horison akumulasi garam mudah larut seperti
NaCl, biasa ditemui di daerah beriklim kering dimana evapotranspirasi
melebihi presipitasi (Karolinoerita & Annisa, 2020).
Kadar kandungan NaCl dalam tanah salin berkisar 2-6%. NaCl
inilah garam utama yang terkandung pada dalam tanah salin. Kandungan
Na yang sangat tinggi di dalam tanah akan berakibat buruk bagi sifat fisika
tanah karena akan menyebabkan pelarutan liat (clay dispersion) yang lebih
jauh lagi dapat mengakibatkan penyumbatan dan pembentukan kerak pada
kesarangan tanah sehingga kepadatan tanah meningkat. Apabila semua
kapasitas adsorpsi tanah telah dijenuhi oleh ion Na+, akan terjadi fenomena
“Tanah Larut” (dispersive soils). Penjenuhan kapasitas adsorpsi
menyebabkan lempeng-lempeng dalam partikel liat saling tolak-menolak
sehingga melarut (disperse) dalam air dalam bentuk koloidal berukuran
submicron (Arabia & Royani, 2012).
II.3. Penyebab Lahan Salin
Penyebab adanya tanah salin adalah adanya proses salinisasi.
Proses salinisasi adalah penggunaan air irigasi dengan kandungan garam
yang tinggi secara terus menerus, dan menyebabkan garam terakumulasi
pada tanah. Perubahan iklim juga dapat menjadi penyebab pada lahan
salin. Perubahan iklim juga telah mengakibatkan kenaikan muka air laut,
sehingga juga mengakibatkan peningkatan salinitas air tanah dan atau
salinitas tanah. Adanya peningkatan evaporasi tersebut menjadi penyebab
utama aliran air dari bawah permukaan tanah yang mengandung air laut
menuju ke permukaan, sehingga banyak lahan pertanian di daerah pesisir
yang mengalami peningkatan kadar garam atau salinisasi. Pada daerah
pesisir yang memiliki air tanah dangkal rentan akan kenaikan salinitas
karena kondisi air tawarnya tidak sebanyak dengan perairan dalam,
sehingga saat terjadi penguapan menyebabkan terjadinya peningkatan
konsentrasi kadar garam(Sukarman et al., 2020).
Penyebab lahan salin juga dapat dialami karena lokasi lahan yang
berada pada aderah lahan pasnag surut yang berbatasan dengan air pantai.
Suasana salin akibat pengaruh air asin/air laut terjadi pada tanah mineral
berpirit maupun tanah gambut. Masalah salinitas terjadi ketika jumlah
garam terlarut dalam tanah cukup tinggi. Penimbunan garam di daerah
perakaran mempengaruhi kemampuan tanaman untuk menyerap air.
Salinisasi tanah di Indonesia juga terjadi karena adanya kejadian tsunami.
Tsunami yang terjadi pada tahun 2004 dan menerjang pantai barat dan
timur Provinsi Aceh menyebabkan daerah berelevasi rendah tergenang air
laut. Lahan-lahan di daerah ini sekarang kembali digunakan untuk
kegiatan pertanian, akan tetapi beberapa lahan tersebut ternyata masih
mempunyai tingkat salinitas (kadar garam) yang terlalu tinggi dan sangat
mengganggu pertumbuhan tanaman (Arabia et al. 2012).
II.4. Permasalahan pada Lahan Salin
Permasalahan pada lahan salin adalah tingginya kadar garam yang
menyebabkan struktur tanah menjadi rusak, aerasi dan permeabilitas tanah
menjadi sangat rendah. Pengakumulasian garam dapat mengakibatkan
adanya plasmolisis. Plasmolisis adalah proses bergerak keluar H2O dari
tanaman ke dalam larutan tanah. Salinitas dapat menyebabkan tanaman
menjadi sulit menyerap air, sehingga tanaman menjadi kekeringan
fisiologis akibat peningkatan potensial osmotic laruta tanah. Kelebihan
garam ini mengakibatkan ketahanan penetrasi tanah tinggi dan kation Ca,
Mg, Na, serta ESP tinggi serta ketersediaan air dan hara menurun,
sedangkan air irigasi menjadi racun bagi tanaman yang tidak toleran salin,
kemudian tanah menjadi kering dan padat(Alvarez et al., 2015).
Lahan yang salin menyebabkan meningkatnya pencucian nitrogen
dari tanah sehingga menurunkan hasil produksi tanaman. pada lahan salin
terdapat tingginya kadar garam. Salinitas yang tinggi menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat karena turunnya tekanan osmotik,
sehingga menyulitkan pengambilan unsur hara oleh akar. Sodisitas tinggi
menyebabkan keracunan Na dan ion-ion sejenis, seperti Boron dan
Molibdenum. Disamping itu, terdapat efek tidak langsung dari keduanya
berupa peningkatan nilai pH tanah yang menyebabkan imobilitas beberapa
unsur hara penting seperti Ca, Mg, P, Fe, Mn, dan Zn sehingga unsur-
unsur tersebut tidak dapat di ambil oleh akar tanaman, sehingga lahan salin
dapat menurunkan produktivitas tanaman(Su & Hock, 2016).
II.5. Budidaya Pertanian pada Lahan Salin

Lahan salin dapat digunakan sebagai lahan budidaya pertanian, jika


dilalukan pengelolaan yang tepat. Lahan pasang surut memiliki potensi
yang besar dan prospek pengembangan yang baik, serta merupakan salah
satu pilihan strategis sebagai areal produksi pertanian guna mendukung
ketahanan pangan nasional. Pengolahan lahan dapat dilakukan reklamasi
dengan mengatur sistem drainase dari daerah tersebut. Pengaturan tata air
sepenuhnya masih bergantung pada kondisi alam. Pada sistem jaringan
terbuka, tipe luapan air pasang menjadi pertimbangan utama dalam
penerapan sistem usaha tani. Dengan dibangunnya infrastruktur
pengendali air, maka beberapa pokok permasalahan teknis mulai dapat
dipecahkan, namun dalam pelaksanaannya masih terhambat oleh kondisi
yang beragam di lapangan(Septinar & Putri, 2019).
Budidaya pertanian pada lahan salin, dapat dilakukan dengan
pengaturan pada pola tanaman. Sistem pola tanam adalah usaha
penanaman pada sebidang lahan dengan mengatur susunan tata letak dan
periode waktu tertentu termasuk pengelolaan tanah dan masa tidak
ditanam selama periode tertentu. Maka pemilihan jenis/varietas yang
ditanampun perlu disesuaikan dengan keadaan air yang tersedia ataupun
curah hujan(Purnama, 2020).
II.6. Botani Tanaman Timun Krai
Timun krai (Curcumis sp) termasuk jenis tanaman asli Indonesia yang
termasuk dalam golongan mentimun (Cucumis). Margha Cucumis terdiri
dari 20 jenis, dengan Cucumis melo dan Cucumis sativus merupakan jenis
yang paling umum dikenal. Mentimun adalah salah satu jenis sayur-
sayuran yang dikenal hampir di setiap negara. Tanaman ini memiliki
berbagai nama daerah seperti timun (Jawa), bonteng (Jawa Barat), temon
atau antemon (Madura), ktimun atau antimun (Bali), hantimun (Lampung)
dan timon (Aceh). Menurut sejarah para ahli tanaman memastikan daerah
asal tanaman mentimun adalah India, tepatnya di lereng Gunung Himalaya
dan sudah meluas ke seluruh baik wilayah tropis atau subtropics
(Shakespeare, 2014). Klasifikasi tanaman timun krai sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Famili : Cucurbitaceae

Genus : Cucumis
Spesies : Cucumis sp

Timun krai (Curcumis sp) termasuk tanaman semusim (annual)


yang bersifat menjalar atau memanjat dengan perantaraan pemegang yang
berbentuk pilin (spiral). Batang mentimun berupa batang lunak dan berair,
berbentuk pipih, berambut halus, berbuku-buku, dan berwarna hijau segar.
Panjang atau tinggi tanaman dapat mencapai 50 - 250 cm, bercabang dan
bersulur yang tumbuh di sisi tangkai daun. Batang utama dapat
menumbuhkan cabang anakan, ruas batang atau buku-buku batang
berukuran 7 - 10 cm dan berdiameter 10 - 15 mm. Diameter cabang
anakan lebih kecil dari batang utama, pucuk batang aktif
memanjang(Saputri et al., 2017). Timun krai cocok ditanaman pada
dataran rendah pada ketinggian 1.000-1.200 meter dpl. Di daerah tropis,
mentimun dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi karena
daya adaptasi tanaman pada berbagai iklim cukup tinggi. Untuk
pertumbuhan yang optimum diperlukan iklim kering, sinar matahari yang
cukup (tidak ternaungi), temperatur 21.1 – 26.7ºC dan tidak banyak hujan.
Hampir semua jenis tanah cocok untuk ditanami mentimun. Tanaman
mentimun sangat menghendaki lahan yang subur, gembur, banyak
mengandung humus, tata air baik, tanah mudah meresapkan air, pH tanah
antara 6 - 7. Kelembaban relatif udara yang dikehendaki oleh tanaman
mentimun untuk pertumbuhannya antara 50 - 85%. Sementara curah hujan
optimal yang diinginkan tanaman sayur ini antara 200 - 400 mm/bulan
II.7. Solusi pada Lahan Salin
Tanah salin tentunya perlu untuk diperbaiki, karena tanah yang
dikategorikan tanah salin struktur tanahnya sudah rusak. Solusi yang dapat
diterapkan dalam penanggulangan salinitas tanah yaitu pencucian dengan
menggunakan irigasi air berkualitas baik, perbaikan secara kimia dengan
menambahkan gypsum, dan perbaikan secara biologis dengan penggunaan
mulsa organik dan bahan organik. Leaching yang berarti pencucian,
merupakan proses melarutkan kadar garam yang berlebih pada tanah
dengan menggunakan sistem irigasi. Cara paling efektif menurunkan kadar
garam, tetapi membutuhkan air segar yang banyak, dan waktu lama.
Namun apabila tanah sudah terlalu jenuh dengan natrium, perbaikan akan
dilakukan dengan metode selanjutnya yaitu secara kimiawi menggunakan
gypsum(Purwaningrahayu & Taufiq, 2018).

Perbaikan secara kimiawi dilakukan dengan penambahan gypsum


pada tanah salin, gypsum merupakan mineral yang terdiri atas kalsium dan
sulfat terhidrasi. Pemberian gipsum pada tanah salin dapat memperbaiki
sifat fisik dan kimia tanah seperti KTK (kapasitas tukar kation), kapasitas
menahan air, meningkatknya kandungan Ca dan S, dan dapat berfungsi
sebagai pemantap tanah, serta mampu menurunkan pH. Selanjutnya yaitu
penggunaan mulsa organik, pemulsaan dilakukan untuk mengurangi
evapotranspirasi dan akumulasi garam yang naik ke permukaan tanah.
Mulsa organik lebih disarankan daripada mulsa plastik karena mulsa
plastik dapat menahan air hujan yang bisa mencuci air garam dari tanah
salin. Pengaplikasian bahan organik tentunya memiliki banyak manfaat
bagi tanah dan tumbuhan yang akan ditanam ditanah tersebut. Fungsi
bahan organik adalah (a) meningkatkan kondisi fisik tanah; (b) sebagai
sumber nutrisi bagi bakteri, jamur, dan organisme lainnya; (c) melarutkan
mineral tanah yang tidak larut dan menjadi tersedia untuk tanaman; (d)
berperan penting dalam memasok nutrisi ke tanah karena memiliki
kapasitas pertukaran kation yang tinggi; (e) meningkatkan kapasitas
sebagai penahanan air tanah, terutama di tanah berpasir; (f) meningkatkan
aerasi dan infiltrasi di tanah yang berat; (g) mengurangi hilangnya tanah
oleh erosi air dan angin; (f) mengatur suhu tanah; (h) berfungsi sebagai
sumber nutrisi bagi tanaman dan (i) bersifat sebagai penyangga dalam
pengelolaan residu pestisida, herbisida dan logam berat lainnya.
Penambahan bahan organik dalam bentuk residu tanaman, kotoran ternak
dan kompos akan mengakibatkan tercucinya garam dan menggerakkan
kalsium dalam tanah melalui proses dekomposisi dan meningkatkan
aktivitas mikroorganisme tanah(Perbaikan et al., 2015).
III. METODE PELAKSANAAN
III.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktikum Observasi Pengelolaan Tanah dan Air di Lahan Salin ini
terdiri dari 3 kegiatan yaitu pengamatan lapang dan wawancara,
pengambilan smapel, dan pengamatan sampel tanah serta analisa sampel
tanah. Pengamatan dilakukan pada Minggu, 10 Oktober 2021 di Desa
Damarsih, Buduran, Kab. Sidoarjo di lahan sawah tadah hujan komoditi
timun krai milik Bapak Kamiran dengan luasan 4 ha atau seluas 40.000
m2. Pengambilan sampel tanah dan air juga dilakukan pada dilakukan pada
Minggu, 17 Oktober 2021, pengampilan sampel dilakukan juga pada lahan
Bapak Kamiran dengan titik koordinat 7º25’28.7’’ S dan 112 º46’08.2’’ E.
Penanganan hasil sampel dilakukan di Kenjeren, Suarabaya pada 18
Oktober 2021. Selanjutnya, kegiatan penganalisaan sampel tanah
dilakukan di Laboraturium Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian,
Universitas Pembangunan “Nasional” Veteran Jawa Timur.

Gambar 3.1. Citra Lanskap Lokasi Pengambilan Sampel Tanah dan


Air
III.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan pengamatan
lapangan dan wawancara adalah alat tulis, gawai, dan lembar hasil
wawancara. Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengambilan sampel
adalah kantong plastik, botol plastik, dan gawai. Alat dan bahan yang
dibutuhkan dalam penanganan sampel tanah adalah nampan. Sedangkan
alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penganalisaan sampel tanah di
laboraturium adalah mortar, botol film, saringan 0.5 cm, skaher, pH meter,
sampel tanah yang dikeringkan, dan laruta H2O dan KCL.
III.3. Metode Observasi
III.3.1.Pengamatan Lapang dan Wawancara
1. Mencari lokasi yang sesuai dengan klasifikais yang sudah
ditentukan oleh asisten praktikum Lahan Salin.
2. Menyiapkan alat dan bahan.
3. Mengamati kondisi lahan yang akan dijadikan lokasi observasi
4. Melakukan wawancara dengan petani/pemilik lahan mengenai a)
Pengolahan Tanah, b) Teknik Pemupukan, c) Teknik Tanam, d)
Teknik Perawatan Tanaman, e) Panen
5. Mencatat data hasil wawancara di lembar hasil wawancara yang
sudah dilakukan
6. Mendokumentasikan setiap kegiatan pengamatan lahan dan
wawancara
7. Membuat laporan hasil pengamatan lahan dan wawancara
III.3.2.Pengambilan dan Penanganan Sampel Tanah
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Mengambil sampel tanah dari 5 titik yang berbeda pada lahan yaitu
pojok kiti atas, pojok kanan atas, tengah, pojok kiri bawah, dan
pojok kanan bawah.
3. Memasukkan sampel tanah pada plastik dan pemberian label sesuai
dengan lokasi pengambilan tanahnya
4. Mengambil sampel air dan memasukkan pada botol air
5. Mengeluarkan masing-masing sampel tanah dari plastik dan
menaruhnya pada satu wadah nampan
6. Mongering anginkan sampel tanah ditempat yang tidak terkena
matahari langsung selama 2-3 hari
III.3.3.Analisa Sampel Tanah
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Menyiapkan sampel tanah yang telah dikeringanginkan
3. Menumbuk dan menyaring tanah menggunakan saringan 0.5 cm
4. Memasukkan tanah yang telah disaring sebanyak ± 10 gram ke
dalam botol film
5. Menuangkan larutan H2O (untuk analis pH dan EC) dan larutan
KCL (untuk analis pH) ke dalam botol film yang berisi tanah
6. Mengocok botol film dnegan shaker hingga homogeny
7. Mengukur pH tanah menggunakan pH meter
8. Mengukur EC tanah dengan menggunakan EC meter
9. Mencatat data hasil analis pada lembar kerja
DAFTAR PUSTAKA

Alvarez, M. del P., Carol, E., Hernández, M. A., & Bouza, P. J. (2015).
Groundwater dynamic, temperature and salinity response to the tide in
Patagonian marshes: Observations on a coastal wetland in San José Gulf,
Argentina. Journal of South American Earth Sciences, 62, 1–11.
https://doi.org/10.1016/j.jsames.2015.04.006
Alwi, M. (2014). Prospek lahan rawa pasang surut untuk tanaman padi. Prosiding
Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi,” 2007, 45–
59.
http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/images/pdf/semnas2014/6_alwi.pdf
Arabia, T., & Royani, I. (2012). Karakteristik Tanah Salin Krueng Raya
Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Manajemen
Sumberdaya Lahan, 1(1), 32–42.
Karolinoerita, V., & Annisa, W. (2020). Salinisasi Lahan dan Permasalahannya di
Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan, 14(2), 91.
https://doi.org/10.21082/jsdl.v14n2.2020.91-99
Perbaikan, P., Salin, T., & Fisiologis, K. (2015). PENGARUH PERBAIKAN
TANAH SALIN TERHADAP KARAKTER FISIOLOGIS Calopogonium
mucunoides. Pastura : Jurnal Ilmu Tumbuhan Pakan Ternak, 4(1), 1–6.
https://doi.org/10.24843/PASTURA.2014.V04.I01.P01
Purnama, D. (2020). TIDAL LOWLAND POTENTIAL FOR WATERMELON
CULTIVATION IN TANJUNG LAGO SUBDISTRICT OF BANYUASIN
DISTRICT PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI.
Purwaningrahayu, R. D., & Taufiq, D. A. (2018). Pemulsaan dan Ameliorasi
Tanah Salin untuk Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. Jurnal Agronomi
Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy), 46(2), 182.
https://doi.org/10.24831/jai.v46i2.16517
Rachman, A., Dariah, A., & Sutono, S. (2018). Pengelolaan sawah salin berkadar
garam tinggi. In Iaard Press.
Saputri, Y. E., K, E. B., & Larasati, D. (2017). KADAR GARAM TERHADAP
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK PIKEL
TIMUN KRAI (Curcumis sp). Journal of Chemical Information and
Modeling, 110(9), 1689–1699.
Septinar, H., & Putri, M. K. (2019). Pengelolaan Tata Air Lahan Pertanian Rawa
Pasang Surut Sebagai Upaya Melestarikan Lingkungan Di Desa Mulya Sari
Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. Media Komunikasi
Geografi, 19(2), 187. https://doi.org/10.23887/mkg.v19i2.16499
Shakespeare, W. (2014). 済 無 No Title No Title No Title. Paper Knowledge .
Toward a Media History of Documents, 6–13.
Su, Y. T., & Hock, L. K. (2016). Climate change and soil salinization: impact on
agriculture, water and food security. International Journal of Agriculture,
Forestry and Plantation, 2(February), 1–9.
Sukarman, S., Mulyani, A., & Purwanto, S. (2020). Modifikasi Metode Evaluasi
Kesesuaian Lahan Berorientasi Perubahan Iklim. Jurnal Sumberdaya Lahan,
12(1), 1. https://doi.org/10.21082/jsdl.v12n1.2018.1-11
LAMPIRAN

Gambar 1.1. Gambar 1.2.

Lahan Salin Damarsih, Buduran, Lahan Salin Damarsih, Buduran,


Sidoarjo Sidoarjo

Gambar 1.3. Gambar 1.4

Tanaman Timun Krai Wawancara dengan Bapak


Kamiran

Gambar 1.1.
Pengairan sumur bor pada lahan

Anda mungkin juga menyukai