Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN ETNOBOTANI PADA MASYARAKAT DESA RANCABUNGUR

KECAMATAN RANCABUNGUR KABUPATEN BOGOR


Ilham Setiawan Noer (E34160059)1, Rahmadi Aulan (E34160118) 1, Evi Wardani (E34160066)1, Belia Elgasari (E34160045)1, TB
Ahmad Mufawwaz (E34160077)1, Nuril Faradisa (E34160104)1, Muhammad Naufal Fadhiil (E34160088)1, Feril Fizar (E34160061)1,
Hanifah Nur Sa’adah (E34160065)1
1
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia
email: rahmadi_aulan@apps.ipb.ac.id
ABSTRAK
Keanekaragaman flora Indonesia sangat melimpah dan berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan sebagai tumbuhan
obat. Salah satu sumber pengetahuan mengenai tumbuhan obat adalah dari pengetahuan tradisional masyarakat. Penelitian
ini bertujuan mengidentifikasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat serta mengidentifikasi cara pemanfaatan
penggunaan tumbuhan obat oleh masyarakat sekitar Kampus IPB Dramaga, tepatnya di Desa Rancabungur, Kecamatan
Rancabungur, Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi langsung, serta studi
literatur. Data responden dianalisis secara deskriptif mengenai komposisi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, mata
pencaharian, dan sumber pengetahuan. Sementara itu, data tumbuhan obat yang ditemukan dianalisis secara kuantitatif
dengan menghitung persentase habitus, bagian yang digunakan, tipe habitat, dan status budidaya. Tumbuhan yang
dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat Desa Rancabungur berjumlah 87 jenis tumbuhan. Komposisi habitus
tumbuhan obat yang paling banyak digunakan adalah habitus herba, bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan
adalah daun, tipe habitat yang paling sering ditemukan adalah pekarangan rumah, dan sumber perolehan terbanyak adalah
dari budidaya.

Kata kunci: etnobotani, keanekaragaman, Desa Rancabungur, tumbuhan obat


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keanekaragaman flora Indonesia sangat melimpah dan berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan. Pendekatan yang
dapat dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan oleh suatu suku yaitu melalui etnobotani. Menurut Plotkin
(2006), etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari hubungan erat antara manusia dengan tumbuhan mengenai
pemanfaatan tumbuhan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari serta digunakan dalam kegiatan adat suatu suku bangsa.
Pemanfaatan tumbuhan sudah dilakukan masyarakat sejak zaman dahulu untuk memenuhi kebutuhan hidup, berupa
sumber bahan obat, sumber pangan, dan sumber kebutuhan hidup manusia lainnya (Suwahyono et al. 1992). Masyarakat
adalah pihak yang paling mengerti dan memahami kondisi lingkungan sekitarnya. Pemahaman masyarakat dapat
dibuktikan dengan adanya pengetahuan tradisional yang sudah dikembangkan sejak dahulu dalam rangka menjaga
keberlangsungan hidupnya.
Pengetahuan tradisional bersifat adaptif dan dinamis karena pengalaman empiris dan pemahaman masyarakat
dapat berubah sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Pengetahuan tradisional berperan penting dalam peletarian dan
keberlanjutan alam, karena pengetahuan tradisional dijadikan sebagai prinsip-prinsip dalam mengelola sumberdaya alam
sehari-hari. Pengetahuan tradisional lahir dari interaksi yang erat antara masyarakat dengan hutan, masyarakat lokal
memiliki dan mengembangkan pranata budaya yang terkait dengan hutan (Gunawan 1998). Kebudayaan masyarakat ini
membuat hutan tidak semata-mata memenuhi fungsi ekonomis, tetapi juga terkait dengan fungsi sosial budaya dan
religius. Pengetahuan ini sudah ada secara turun temurun dari generasi terdahulu ke generasi sekarang pada setiap suku
bangsa.
Salah satu suku yang masih memiliki kearifan lokal dalam memanfaatkan tumbuhan yaitu Suku Sunda. Salah satu
lokasi keberadaan Suku Sunda yaitu di Desa Rancabungur, Bogor, Jawa Barat. Desa ini berada di sekitar Kampus IPB
Dramaga yang sering menjadi sasaran IPB dalam pengembangan tumbuhan. Dengan kegiatan ini, masyarakat dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus memperoleh pendapatan. Pengembangan jenis-jenis komersil tumbuhan obat
yang digunakan sebagai ramuan atau bahan baku obat juga dapat dikembangkan untuk meningkatan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian dan pengembangan mengenai pemanfaatan tumbuhan obat agar
kelestarian tumbuhan tetap terjaga, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat serta untuk mengetahui
karakteristik tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Kampus IPB Dramaga.
METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada 13-17 September 2019 di Desa Rancabungur, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat.
Gambar 1 Peta lokasi Desa Rancabungur

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, tally sheet panduan wawancara, kamera, perekam suara,
field guide tumbuhan obat. Objek penelitian ini yaitu seluruh tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa
Rancabungur.
Jenis Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer merupakan data
yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan masyarakat. Data ini meliputi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan
masyarakat untuk berbagai kebutuhan hidup, praktik kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan tumbuhan obat yang
dilakukan oleh masyarakat, pada masa lalu hingga sekarang. Sementara itu, data sekunder merupakan data dan informasi
tambahan yang diperoleh dari studi literatur meliputi nama ilmiah, famili dan kandungan kimia tanaman obat yang
didapat.
Metode
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi langsung, serta studi literatur. Wawancara dilakukan
untuk memperoleh data pemanfaatan tumbuhan obat oleh Suku Sunda di Desa Rancabungur. Responden ditentukan
dengan metode purposive sampling. Menurut Setiawan (2005), metode purposive sampling merupakan penentuan sampel
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Dalam hal ini, responden yang dipilih yaitu masyarakat Desa Rancabungur yang
mengetahui, memahami, serta pernah memanfaatkan tumbuhan obat. Sasaran wawancara ditentukan dengan
mempertimbangkan keterwakilan elemen masyarakat. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur agar mendapatkan
ide atau pengetahuan sesuai pengalaman responden. Sementara itu, observasi lapang dilakukan untuk mengetahui spesies
tumbuhan yang didapat dari hasil wawancara, kemudian pengenalan jenis tumbuhan dilakukan dengan mencari jenis
tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dari hasil wawancara, lalu mendokumentasikan spesies tumbuhan yang
ditemukan. Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang mendukung topik penelitian.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif yaitu menjabarkan
komposisi responden yang terdiri dari komposisi jenis kelamin, komposisi umur, komposisi tingkat pendidikan,
komposisi mata pencaharian, dan komposisi sumber pengetahuan. Sementara itu analisis kuantitatif dilakukan dengan
menghitung persentase habitus, persentase bagian yang digunakan, persentase tipe habitat, dan persentase status budidaya.

Karakteristik responden dianalisis menggunakan rumus:


∑ responden dengan jenis kelamin tertentu
Komposisi jenis kelamin= ×100%
∑seluruh responden
∑responden kelas umur tertentu
Komposisi kelas umur= ×100%
∑seluruh responden
∑responden pada tingkat pendidikan tertentu
Komposisi tingkat pendidikan = ×100%
∑seluruh responden
∑responden sumber tertentu
Komposisi sumber pengetahuan= ×100%
∑seluruh responden
Karakteristik tumbuhan obat dihitung menggunakan rumus:
∑ spesies dari habitus tertentu
Persentase Habitus Tertentu = ×100%
∑ seluruh spesies
∑ bagian tertentu yang digunakan
Persentase Bagian yang Digunakan= ×100%
∑ seluruh bagian yang digunakan
∑ suatu tipe habitat
Persentase Tipe Habitat= ×100%
∑ seluruh tipe habitat
∑ spesies budidaya/liar
Persentase Sumber Perolehan= ×100%
∑ seluruh spesies

PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Komposisi Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil wawancara Komposisi jenis kelamian didominasi oleh perempuan dibandingkan laki-laki.
Dapat dilihat di Gambar 2, terdapat sebanyak 13 responden perempuan dan 9 orang laki-laki. Responden perempuan
banyak mendominasi dikarenakan perempuan lebih banyak beperan dalam mengolah maupun mencarai tanaman untuk
mengobati sakit pada tubuhnya. Menurut Ismarani (2013), perempuan lebih banyak mengonsumsi obat herbal untuk
menjaga dan memelihara kesehatannya. Adanya perbedaan gender yang terjadi pada masyarakat desa Rancabungur
membuat adanya pembagian dalam mata pencaharian diaman perempuan akan lebih banyak berada dirumah
dibandingkan laki-laki. Menurut Rahayu (2013), perempuan lebih banyak memberikan informasi mengenai pemanfaatan
tumbuhan dikarenakan perempuan yang mengurus rumah tangga baik dalam hal memasak maupun mengurus anak,
sehingga secara tidak langsung lebih banyak tahu akan penggunaan tumbuhan pangan. Selain itu, saat pengambilan data
pada siang hingga sore hari perempuan lebih sering di rumah dibandingkan laki-laki.

Laki-laki
9
41%

Perempuan
13
59%

Gambar 2 Komposisi jenis kelamin responden

Komposisi Umur
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh responden dengan komposisi umur yang dikategorikan sebagai anak-anak
sebanyak 1 responden, dewasa sebanyak 7 responden, lansia 12 responden dan manula 2 responden. Pengkategorian kelas
umur tersebut menurut Depkes RI (2009) dan disederhanakan menjadi 4 kategori saja yaitu kanak-kanak (5-11

Manula Anak-anak
2 1
9% 4%

Dewasa
7
32%

Lansia
12
55%

Gambar 3 Komposisi umur responden


tahun), remaja (12-25 tahun), dewasa (26-45 tahun) , lansia (46-65 tahun), dan manula (lebih dari 65 tahun). Dapat dilihat
di Gambar 3, kategori umur lansia memiliki jumlah responden terbanyak dikarenakan responden lansia memiliki
informasi dan pengalaman yang lebih dalam pemanfaatan tumbuhan obat. Hingga saat ini responden lansia masih gemar
mengkonsumsi dan memanfaatkan tumbuhan obat tersebut secara turun temurun. Bahkan, beberapa responden juga
membuka usaha dari tumbuhan obat, diantaranya teh binahong, kapsul binahong dan kekerit. Sementara itu, responden
manula hanya didapat sejumlah dua responden. Responden manula sulit untuk menyampaikan informasi yang mereka
ketahui karena faktor usia.
Komposisi Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, diperoleh 22 responden dengan tingkat pendidikan terakhir yang
berbeda-beda. Responden dengan pendidikan terakhir SD menempati posisi paling besar yaitu sebanyak 55% atau 12
orang dari total keseluruhan 22 responden. Setelah SD, tingkat pendidikan responden paling besar kedua adalah tamat
SMA yaitu sebanyak 6 responden, tamat SMP sebanyak 2 responden, dan yang terakhir tidak tamat SD sebanyak 2
responden. Tingkat pendidikan responden cukup rendah karena lebih dari 50% responden hanya tamat SD. Diagram
komposisi tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 4.
Tidak taman SD
SMA 2
6 9%
27%

SMP
2
9%
SD
12
55%

Gambar 4 Komposisi tingkat pendidikan responden

Komposisi Mata Pencaharian


Berdasarkan data hasil wawancara di lapangan, responden dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga adalah
yang paling banyak ditemui yaitu sejumlah 7 orang. Pekerjaan paling banyak ditemui kedua adalah buruh dan pedagang
yaitu masing-masing 5 orang, diikuti petani dan jasa kesehatan masing-masing 2 orang dan yang terakhir adalah pelajar
yaitu 1 orang. Hal tersebut karena waktu pengambilan data yaitu pada siang hari, disaat kebanyakan bapak-bapak sedang
bekerja, dan sore hari, disaat jam pulang kerja. Grafik komposisi mata pencaharian responden dapat dilihat pada Gambar
5.

8
7
7

6
Jumlah responden

5 5
5

3
2 2
2
1
1

0
Ibu rumah tangga Pedagang Buruh Petani Jasa kesehatan Pelajar
Mata pencaharian responden

Gambar 5 Komposisi mata pencaharian responden


Komposisi Sumber Pengetahuan
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, sebagian besar masyarakat mengetahui fungsi tumbuhan obat dari
keluarga. Informasi tumbuhan obat obat itu secara turun temurun diwariskan dari satu generasi hingga generasi
berikutnya. Jumlah masyarakat yang mengetahui informasi tumbuhan obat melalui keluarga sebanyak 11 orang, diikuti
dengan informasi melalui pengalaman sebanyak 9 orang, melalui orang lain sebanyak 6 orang, dan yang terakhir melalui
sekolah dan buku masing-masing 1 orang. Sangat sedikit responden yang mengetahui informasi mengenai tumbuhan obat
melalui media cetak. Komposisi sumber pengetahuan tumbuhan obat oleh responden dapat dilihat pada Gambar 6
Gambar 6 Komposisi sumber pengetahuan tumbuhan obat oleh responden
Sekolah Buku
1 1
4% 4%
Orang lain
6 Keluarga
21% 11
39%

Pengalaman
9
32%
Karakteristik Tumbuhan Obat
Komposisi Habitus
Habitus tumbuhan obat ada bermacam-macam, seperti semak, liana, herba, epifit, perdu, palem, pohon, dan lain
sebagainya. Habitus tumbuhan obat yang terdapat pada Desa Rancabungur, Ciampea, Jawa Barat yaitu herba, pohon,
perdu, semak, liana, dan palem. Jenis tumbuhan obat paling banyak ditemui yaitu pada habitus herba, sebanyak 46%,
persentase dapat dilihat pada Gambar 7. Beberapa jenis herba yang dimanfaatkan masyarakat sebagai tumbuhan obat
yaitu kunyit (Curcuma longa), jahe (Zingiber officinale), lengkuas (Alpinia galanga) dan kencur (Kaempferia galanga),
remek daging (Hemigraphis colorata), lempuyang (Zingiber zerumbet), lidah buaya (Aloe vera), babandotan (Ageratum
conizoides) dan lain sebagainya. Beberapa jenis perdu yang dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat yaitu sirsak
(Annona muricata), dadap (Erythrina variegata), sembung (Blumea balsamifera), leunca (Solanum nigrum), dan lain
sebagainya. Beberapa jenis pohon yang dapat digunakan sebagai obat yaitu nangka (Artocarpus heterophyllus), alpukat
(Persea americana), manggis (Garcinia mangostana), duku (Lansium domesticum), salam (Syzygium polyanthum), dan
lain sebagainya.

semak
5%

Pohon Herba
28% 46%

Perdu
15% Palem Liana
3% 3%

Gambar 7 Komposisi habitus tumbuhan obat yang ditemukan


Komposisi Bagian yang Digunakan
Bagian dari tumbuhan yang berkhasiat menjadi obat yang paling penting untuk mengenali jenisnya adalah bagian
daun. Daun adalah bagian yang mudah dilihat tanpa harus mencabut tumbuhannya (Kusuma dan Zaky, 2005). Bagian
tumbuhan yang bisa dimanfaatkan menjadi obat pada umumnya bukan hanya daun, ada bagian lain yang bisa
dimanfaatkan, seperti umbi (tuber), umbi lapis (bulbus), rimpang, batang kayu, kulit batang, daun, bunga, buah, kulit, biji,
dan seluruh bagian tumbuhan. Selain itu hasil etnobotani tumbuhan obat pada masyarakat Desa Rancabungur bagian yang
dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat adalah akar, daun, batang, kulit batang, buah, bunga, kulit buah, biji, getah,
rimpang, dan umbi. Setiap tumbuhan mempunyai bagiannya masing-masing sebagai tumbuhan obat, namun terdapat
beberapa tumbuhan yang mempunyai lebih dari satu bagian yang berfungsi sebagai obat. Bagian tumbuhan yang
dijadikan sebagai tumbuhan obat di Desa Rancabungur paling banyak adalah bagian daun, komposisi dapat dilihat pada
Gambar 8.
Bagian daun yang digunakan sebagai tumbuhan obat yaitu sebanyak 48 spesies, beberapa spesies diantaranya
adalah daun pecah beling (Strobilanthes crispa), daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus), daun suji (Dracaena
reflexa), daun karuk (Piper sarmentosum), daun antanan atau pegagan (Centella asiatica), daun katuk (Sauropus
androgynus), daun pandan (Pandanus amaryllifolius), daun binahong (Anredera cordifolia), daun nangka (Artocarpus
heterophyllus), daun kecapi (Sandoricum koetjape), daun alpukat (Persea americana), daun kersen (Muntingia calabura),
dan lain sebagainya. Beberapa diantaranya yang bisa dimanfaatkan buahnya yaitu cabai jawa (Piper retrofractum),
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), takokak (Solanum torvum), dan jeruk nipis (Citrus aurantifolia). Beberapa
diantaranya bagian rimpang yang bisa dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat yaitu kunyit (Curcuma longa), jahe (Zingiber
officinale), lengkuas (Alpinia galanga) dan kencur (Kaempferia galanga). Beberapa diantaranya bunga yang bisa
dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat yaitu bunga telang (Clitoria ternatea), bunga kenanga (Cananga odorata), dan
bunga melati (Jasminum sambac). Beberapa tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat dari akar yaitu akar
sereh wangi (Cymbopogon nardus), akar gedang gandul (Carica papaya), akar alang-alang (Imperafa cylindrica).
Bahkan, ada bagian getah dan biji yang bisa dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat di Desa Rancabungur, yaitu getah
angsana (Pterocarpus indicus) dan biji mahoni (Swietenia sp.).

60
48
50
Jumlah jenis

40

30

20
11 9
10 7 6 5 3 1 1 1 1
0
Daun Buah Rimpang Bunga Akar Kulit Batang Kulit Buah Biji Getah Umbi
Batang
Bagian yang digunakan

Gambar 8 Komposisi bagian tumbuhan obat yang digunakan


Bagian-bagian dari tumbuhan-tumbuhan tersebut mempunyai manfaat yang berbeda. Namun ada tumbuhan yang
mempunyai fungsi yang sama untuk obat suatu penyakit dengan bagian yang berbeda. Penyakit batuk dapat diobati
dengan menggunakan jahe, jeruk nipis dan antanan atau pegagan. Masing-masing tumbuhan tersebut dimanfaatkan
dengan menggunakan bagian yang berbeda. Jahe dimanfaatkan umbinya, jeruk nipis dimanfaatkan buahnya, dan antanan
atau pegagang dimanfaatkan daunnya. Contoh lain yaitu penyakit diabetes yang dapat diobati dengan menggunakan
antanan, jamblang, mahoni dan cecenet. Bagian yang dapat digunakan pada tumbuhan antanan yaitu dengan merebus
daunnya, jamblang dapat dimanfaatkan kulit batangnya, mahoni dengan daunnya dan cecenet dengan akarnya. Cara
pengolahannya pun berbeda dengan antanan yang hanya direbus saja. Ada beberapa tumbuhan yang berkhasiat sebagai
obat namun harus diracik sedemikian rupa sehingga menjadi ramuan beberapa tumbuhan. Kulit batang jamblang, daun
mahoni dan akar cecenet yang dikeringkan kemudian di rebus dan diminum, menjadi ramuan yang dapat digunakan
sebagai obat diabetes.
Komposisi Tipe Habitat
Masyarakat Desa Rancabungur pada umunya menggunakan pekarangan dan kebun untuk menanam tumbuhan
obat. Tipe habitat yang paling banyak ditemukan tumbuhan obat yaitu pekarangan dengan penggunaan lahan mencapai
61%, sedangkan kebun 39%. Persentase tipe habitat disajikan pada Gambar 9.

Kebun
34
39%

Pekarangan
53
61%

Gambar 9 Komposisi tipe habitat tumbuhan obat yang ditemukan

Berdasarkan hasil, didapatkan bahwa masyarakat memilih memanfaatkan pekarangan sebagai habitat menanam
tumbuhan obat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menambah pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat Desa Rancabungur, Bogor memanfaatkan tumbuhan paling banyak berasal dari hasil budidaya masyarakat itu
sendiri. Menurut Rahayu (2011), pekarangan dipilih oleh masyarakat karena letaknya lebih dekat dengan tempat tinggal
daripada tibe habitat lainnya, sehingga masyarakat lebih mudah mengambil spesies tumbuhan obat jika sewaktu-waktu
diperlukan. Pekarangan bervariasi dari yang luasnya besar sampai dengan luasnya kecil. Apabila pekarangan berukuran
kecil, masyarakat biasanya memanfaatkan media pot atau media merambat lainnya. Keberadaan tumbuhan obat selain
untuk dimanfaatkan, juga dapat menambah keasrian rumah. Beberapa spesies yang biasa ditanam di pekarangan yaitu
sirih (Piper betle), jawer kotok (Plectranthus scutellarioides), dan binahong (Anredera cordifolia).
Komposisi Budidaya
Berdasarkan hasil wawancara, spesies tumbuhan yang digunakan masyarakat berasal dari beberapa tempat di
sekitar tempat tinggal masyarakat, baik dari kebun dan pekarangan. Spesies tumbuhan tersebut ada yang merupakan hasil
budidaya dan ada pula yang liar. Sebagian besar tumbuhan yang dimanfaatkan merupakan spesies tumbuhan hasil
budidaya, karena dari 87 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan sebanyak 70 spesies atau sekitar 80% merupakan hasil
budidaya (Gambar 10). Sebagian besar spesies tumbuhan diperoleh dari pekarangan (Gambar 9). Masyarakat Desa Ranca
bungur biasanya memiliki pekarangan disekitar rumah yang ditanami beberapa tumbuhan seperti sayuran, buah-buahan,
tumbuhan obat, dan tumbuhan hias. Selain itu masyarakat Desa Rancabungur memiliki kebun yang terletak tidak terlalu
jauh dari rumah, sehingga masyarakat mudah mendapatkan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhannya. Masyarakat
membudidayakan berbagai tumbuhan bukan sekedar dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat namun juga dimanfaatkan
untuk dinikmati nilai intrinsik dan estetika dari tumbuhan tersebut, Tumbuhan obat ini selain dimanfaatkan khsasiat obat
tetapi juga sebagai pelengkap dan penghias pekarangan rumah warga karena terdapat beberapa tumbuhan yang memiliki
bentuk dan warna yang unik sehingga menarik untuk di tanam atau dibudidayakan di pekarangan sekitar rumah. Contoh
beberapa tumbuhan obat yang memiliki multimanfaat yakni melati, antana jepang dan begonia merah.

liar
17
20%

budidaya
70
80%
Gambar 10 Komposisi sumber perolehan tumbuhan obat yang ditemukan
SIMPULAN
Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat Desa Rancabungur berjumlah 87 jenis tumbuhan.
Komposisi habitus tumbuhan obat yang paling banyak digunakan adalah habitus herba, bagian tumbuhan yang paling
banyak digunakan adalah daun, tipe habitat yang paling sering ditemukan adalah pekarangan rumah, dan sumber
perolehan terbanyak adalah dari budidaya.

SARAN
Perlu dilakukan kegiatan sosialisasi dan pembinaan mengenai pemanfaatan pekarangan rumah khususnya untuk
menanam tumbuhan obat di masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan potensi pengetahuan tentang
tumbuhan obat yang cukup tinggi namun hanya terpusat pada beberapa orang saja.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2009. Kategori Usia. Dalam http://kategori-umurmenurut-Depkes.html. [Diakses Pada
Tanggal 20 September 2019].
Gunawan, D. 1998. Tumbuhan Obat Indonesia. Yogyakarta (ID): Pusat Penelitian Obat Tradisional UGM.
Ismarani. 2013. Kajian persepsi konsumen terhadap terhadap penggunaan obat herbal (kasus di Unisma Bekasi). Jurnal
Agribisnis dan Pengembangan Wilayah. 4 (2): 52-58
Kusuma FR, Zaky BM. 2005. Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat. Indonesia (ID) : AgroMedia
Plotkin MJ. 2006. Ethnobotany. Washington (US): Microsoft Encarta.
Rahayu SM. 2011. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Kabupaten Subang, Jawa Barat: studi kasus di
Kecamatan Jalan Cagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rahayu S. 2013. Pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat Kampung Sinarwangi di sekitar hutan Gunung
Salak Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Setiawan N. 2005. Teknik Sampling. Bogor (ID): Departemen Nasional Inspektorat Jenderal Pendidikan.
Suwahyono N, Sudarsono B, Waluyo EB. 1992. Pengelolaan Data Etnobotani Indonesia. Di dalam: Prosiding Seminar
dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Bogor, Indonesia. 1992. 8-15.

Anda mungkin juga menyukai