Anda di halaman 1dari 46

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan Irigasi


Jaringan irigasi adalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan
untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian,
pemberian dan penggunaannya. Jaringan irigasi yang akan dibahas pada skripsi ini
termasuk sistem irigasi permukaan. Jaringan irigasi adalah merupakan suatu kesatuan
dari seluruh bangunan irigasi dan saluran irigasi.

Jaringan irigasi dapat dibedakan (KP-01, 2013) menjadi :

a. Jaringan Irigasi Utama


1. Saluran primer membawa air dari bendung ke saluran sekunder dan ke petak-
petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan bagi
yang terakhir, lihat pada Gambar 2.1
2. Saluran sekunder membawa air dari saluran primer ke petak-petak tersier yang
dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas ujung saluran ini adalah pada
bangunan sadap terakhir.
3. Saluran pembawa membawa air dari saluran irigasi dari sumber air lain (bukan
sumber yang memberi air pada bangunan utama proyek) ke jaringan irigasi
primer.
4. Saluran muka tersier membawa air dari bangunan sadap tersier ke petak tersier
yang terletak di seberang petak tersier lainnya. Saluran ini termasuk dalam
wewenang dinas irigasi dan menjadi tanggung jawabnya.
b. Jaringan saluran irigasi tersier
1. Saluran tersier membawa air dari bangunan sadap tersier dari jaringan utama
kedalam petak tersier lalu ke saluran kuarter. Batas ujung saluran ini adalah
boks bagi kuarter yang terakhir.
2. Saluran kuarter membawa air dari boks bagi kuarter melalui bangunan sadap
tersier atau parit sawah ke sawah-sawah.

4
3. Perlu dilengkapi jalan petani ditingkat tersier dan kuarter sepajang itu memang
diperlukan oleh petani setempat dan dengan persetujuan petani setempat pula,
karena banyak ditemukan di lapangan jalan petani yang rusak sehingga akses
petani dari dan ke sawah menjadi terhambat, terutama untuk petak sawah yang
paling ujung.
4. Pembangunan sanggar tani sebagai sarana untuk diskusi antar petani sehingga
partisipasi petani lebih meningkat, dan pembangunannya disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi petani setempat serta diharapkan letaknya dapat
mewakili wilayah P3A atau GP3A setempat.
c. Garis Sempadan Saluran
Dalam rangka pengamanan saluran dan bangunan maka perlu di tetapkan garis
sempadan saluran dan bangunan irigasi yang jauhnya ditentukan dalam peraturan
perundangan sempadan saluran.

Gambar 2. 1 Saluran-saluran primer dan sekunder


Sumber : Kriteria Perencanaan 01, 2013

5
2.1.1 Tingkat Jaringan Irigasi
Dalam suatu jaringan irigasi dapat dibedakan adanya empat unsur fungsional
pokok, yaitu:
1) Bangunan-bangunan utama (head works) dimana air diambil dari sumbernya,
umumnya sungai atau waduk.
2) Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak
tersier.
3) Petak-petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan kolektif,
air irigasi dibagi-bagi dan dialirkan ke sawah-sawah dan kelebihan air ditampung
didalam suatu sistem pembuangan didalam petak tersier.
4) Sistem pembuang berupa saluran dan bangunan bertujuan untuk membuang
kelebihan air dari sawah ke sungai atau saluran-saluran alamiah.
2.1.2 Irigasi Sederhana
Didalam irigasi sederhana, pembagian air tidak diukur atau diatur, air lebih
akan mengalir ke saluran pembuang. Para petani pemakai air itu tergabung dalam satu
kelompok jaringan irigasi yang sama, sehingga tidak memerlukan keterlibatan
pemerintah didalam organisasi jaringan irigasi semacam ini.
Persediaan air biasanya berlimpah dengan kemiringan berkisar antara sedang
sampai curam. Oleh karena itu hampir-hampir tidak diperlukan teknik yang sulit
untuk sistem pembagian airnya.
Jaringan irigasi yang masih sederhana itu mudah diorganisasi tetapi memiliki
kelemahan-kelemahan yang serius. Pertama-tama, ada pemborosan air dan karena
pada umumnya jaringan ini terletak di daerah yang tinggi, air yang terbuang itu tidak
selalu dapat mencapai daerah rendah yang lebih subur. Kedua, terdapat banyak
penyadapan yang memerlukan lebih banyak biaya lagi dari penduduk karena setiap
desa membuat jaringan dan pengambilan sendiri-sendiri.

6
Gambar 2. 2 Jaringan Irigasi Teknis
Sumber: Kriteria Perencanaan KP-01

2.1.3 Jaringan Irigasi Semi Teknis


Dalam banyak hal, perbedaan satu satunya antara jaringan irigasi sederhana dan
satu-satunya
jaringan semi teknis adalah bahwa jaringan semiteknis ini bendungnya terletak di
sungai lengkap dengan bangunan pengambilan dan bangunan pengukur di bagian
hilirnya. Mungkin juga dibangun beberapa bangunan permanen di jaringan saluran.
Sistem pembagian air biasanya serupa dengan jaringan sederhana
sederhana. Adalah mungkin
bahwa pengambilan dipakai untuk melayani atau mengairi daerah yang lebih luas dari
daerah layanan pada jaringan sederhana.
Oleh karena itu biayanya ditanggung oleh lebih banyak daerah layanan.
tetapnya berupa bangunan pengambilan dari
Organisasinya lebih rumit jika bangunan tetapnya
sungai, karena diperlukan lebih banyak keterlibatan dari pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Pekerjaan Umum.

7
Gambar 2. 3 Jaringan Irigasi Semi Teknis
Sumber: Kriteria Perencanaan KP-01

2.1.4 Jaringan Irigasi Teknis


Salah satu prinsip dalam perencanaan jaringan teknis adalah pemisahan antara
jaringan irigasi dan jaringa tus. Hal ini berarti bahwa baik
jaringan pembuang atau pemutus.
saluran irigasi maupun pembuang tetap bekerja sesuai deng
dengan
an fungsinya masing
masing-
masing, dari pangkal hingga ujung. Saluran irigasi mengalirkan air irigasi ke sawah
sawah-
sawah dan saluran pembuang mengalirkan air lebih dari sawah-sawah
sawah ke saluran
pembuang alamiah yang kemudian akan diteruskan ke laut. Petak tersier menduduki
mendu
fungsi sentral dalam jaringan irigasi teknis.
Sebuah petak tersier terdiri dari sejumlah sawah dengan luas keseluruhan yang
idealnya maksimum 50 ha, tetapi dalam keadaan tertentu masih bisa ditolerir sampai
tersier yang ideal hingga maksimum adalah
seluas 75 ha. Perlunya batasan luas petak tersier
agar pembagian air di saluran tersier lebih efektif dan efisien hingga mencapai lokasi
sawah terjauh.
Permasalahan yang banyak dijumpai di lapangan untuk petak tersier dengan
luasan lebih dari 75 ha antara lain:
m proses pemberian air irigasi untuk petak sawah terjauh sering tidak
1) Dalam
terpenuhi.

8
2) Kesulitan dalam mengendalikan proses pembagian air sehingga sering terjadi
pencurian air.
3) Banyak petak tersier yang rusak akibat organisasi petani setempat yang tidak
terkelola dengan baik.
Semakin kecil luas petak dan luas kepemilikan maka semakin mudah organisasi
setingkat P3A/GP3A untuk melaksanakan tugasnya dalam melaksanakan operasi dan
pemeliharaan. Petak tersier menerima air dalam jumlah yang sudah diukur dari suatu
jaringan pembawa yang diatur oleh Institusi Pengelola Irigasi.
Pembagian air didalam petak tersier diserahkan kepada para petani. Jaringan
saluran tersier dan kuarter mengalirkan air ke sawah. Kelebihan air ditampung
didalam suatu jaringan saluran pembuang tersier dan kuarter dan selanjutnya
dialirkan ke jaringan pembuang primer.
Jaringan irigasi teknis yang didasarkan pada prinsip-prinsip diatas adalah cara
pembagian air yang paling efisien dengan mempertimbangkan waktu merosotnya
persediaan air serta kebutuhan-kebutuhan pertanian. Jaringan irigasi teknis
memungkinkan dilakukannya pengukuran aliran, pembagian air irigasi dan
pembuangan air lebih secara efisien.
Jika petak tersier hanya memperoleh air pada satu tempat saja dari jaringan
(pembawa) utama, hal ini akan memerlukan jumlah bangunan yang lebih sedikit di
saluran primer, eksploitasi yang lebih baik dan pemeliharaan yang lebih murah
dibandingkan dengan apabila setiap petani diizinkan untuk mengambil sendiri air dari
jaringan pembawa.
Kesalahan dalam pengelolaan air di petak-petak tersier juga tidak akan
mempengaruhi pembagian air di jaringan utama. Dalam hal-hal khusus, dibuat sistem
gabungan (fungsi saluran irigasi dan pembuang digabung). Walaupun jaringan ini
memiliki keuntungan tersendiri, dan kelemahankelemahannya juga amat serius
sehingga sistem ini pada umumnya tidak akan diterapkan.
Keuntungan yang dapat diperoleh dari jaringan gabungan adalah pemanfaatan
air yang lebih ekonomis dan biaya pembuatan saluran lebih rendah, karena saluran
pembawa dapat dibuat lebih pendek dengan kapasitas yang lebih kecil.

9
kelemahannya antara lain adalah bahwa jaringan semacam ini lebih
Kelemahan-kelemahannya
sulit diatur dan dioperasikan sering banjir, lebih cepat rusak dan menampakkan
pembagian air yang tidak merata. Bangunan-bangunan
Bangunan unan tertentu didalam jaringan
tersebut akan memiliki sifat-sifat
sifat perti bendung dan relatif mahal (Anonim, 2013).
seperti

Gambar 2. 4 Jaringan Irigasi Teknis


Sumber: Kriteria Perencanaan KP-01
2.2 Saluran Irigasi
rigasi
Saluran irigasi adalah saluran bangunan, dan bangunan pelengkap yang
merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk membawa, menyediakan, membagi,
(KP 01, 2013). Saluran irigasi di
memberi dan pembuangan air irigasi ke saluran lain (KP-01,
nis dibedakan menjadi saluran irigasi pembawa dan saluran irigasi
daerah irigasi teknis
pembuang. Saluran irigasi pembawa ditinjau dari letaknya dapat dibedakan menjadi
saluran irigasi garis tinggi dan saluran irigasi punggung. Saluran irigasi garis tinggi
ditempatkan sejurusan dengan garis tinggi/ kontur. Dan saluran
yaitu saluran yang ditempatkan
punggung yaitu saluran yang ditempatkan di punggung medan.
2.2.1 Saluran Irigasi Menurut Jenis Dan Fungsinya
Ditinjau dari jenis dan funginya, saluran irigasi pembawa dibedakan menjadi
saluran primer,, sekunder, tersier dan kuarter. Berdasarkan Standar Perencanaan
2013,, saluran irigasi didefinisikan sebagai berikut :
Irigasi KP-01 tahun 2013

10
1. Saluran peimer yaitu saluran yang membawa air dari jaringan utama ke saluran
sekunder dan petak-petak tersier yang diairi. Saluran primer biasa disebut dengan
saluan induk. Saluran ini berakhir pada saluran bagi yang terakhir.
2. Saluran sekunder yaitu saluran yang membawa air dari saluran primer ke petak-
petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas ujung saluran
sekunder adalah bangunan sadap terakhir.
3. Saluran muka tersier yaitu saluran yang membawa air dari bangunan sadap tersier
ke petak tersier yang terletak di seberang petak tersier lainnya.
4. Saluran tersier yaitu saluran yang membawa air dari bangunan sadap di tersier di
jaringan utama kedalam petak tersier lalu ke saluran kuarter. Saluran ini berakhir
pada boks kuarter terakhir.
5. Saluran kuarter yaitu saluran yang membawa air dari boks bagi kuarter melalui
bangunan sadap tersier ke sawah-sawah.
Dalam mendesain saluran irigasi dapat dilakukan dengan tata cara seperti berikut :
a. Tentukan lebar dasar saluran (b), lebih besar dari kedalaman saluran (h), atau
b>h. Bila diambil h>b maka akan terjadi proses pendangkalan saluran yang
lebih cepat.
b. Tentukan besarnya kecepatan aliran (v) seimbang antara v pengendapan dan v
penggerusan.
c. Tetapkan kemiringan talud.
d. Hitung kemiringan air saluran (i) dengan cara Strickler/manning., ambil nilai
kekasaran (k) yang tergantung kepada besarnya debit saluran dan jenis tanah
saluran.
1) Saluran irigasi utama
Saluran primer membawa air dari jaringan utama ke saluran sekunder dan ke
petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan
bagi yang terakhir.
Saluran sekunder membawa air dari saluran primer ke petak-petas tersier yang
dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas saluran sekunder adalah pada
bangunan sadap terakhir.

11
Saluran pembawa membawa air irigasi dari sumber air lain (bukan sumber yang
memberi air pada bangunan utama) kejaringan irigasi primer. Saluran muka tersier
membawa air dari bangunan sadap tersier ke petak tersier yang terletak diseberang
petak tersier lainnya.
2) Jaringan saluran irigasi tersier
Saluran irigasi tersier membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama
ke dalam petak tersier lalu di saluran kuarter. Batas ujung saluran ini adalah box
bagi kuarter yang terakhir. Saluran kuarter membawa air dari box bagi kuarter
melalui bangunan sadap tersier atau parit sawah ke sawah.
2.2.2 Saluran Irigasi Pembuang
Saluran pembuang yaitu saluran yang digunakan sebagai pembuang kelebihan
air yang sudah tidak digunakan dari petak-petak sawah ke jaringan saluran
pembuang. Setelah air dipakai untuk penggarapan sawah, pertumbuhan padi dan sisa
penguapan serta sisa penggenangan maka selanjutnya air itu dibuang. Saluran
pembuangan padah daerah irigasi teknis dibedakan menjadi saluran pembuangan
kuarter, saluran pembuangan tersier dan saluran pembuangan utama untuk tanama
padi (KP-01, 2013), bermanfaat yaitu :
a. Sebagai pencegah jumlah pertumbuhan anak padi yang berlebihan dimasa padi
tumbuh dan sangat produktif beranak pada umur padi 35-40 hari sesudah tanam.
b. Disaat padi berbuah masak, saat sekitar dua minggu sebelum panen.
Selain itu saluran pembuangan dapat mengeringkan sawah, membuang
kelebihan air hujan dan membuang kelebihan air irigasi maka penting pula artinya
untuk :
a. Membuat kelembaban tanah yang sesuai dengan keperluan tanaman.
b. Memperbaiki temperatur dalam tanah.
c. Membuang garam-garam yang berbahaya buat tanaman terutama di daerah irigasi
pasang surut atau di daerah pembuatan irigasi baru.
Bagi tanaman palawija saluran pembuangan bermanfaat sebagai berikut :
a. Mempercepat pengerjaan tanah, sehingga memperpanjang pula masa bertanam.
b. Memperbaiki pergantian udara dalam tanah.

12
c. Memperbaiki kehidupan bakteri di dalam tanah
1) Jaringan saluran pembuang
Saluran pembuang primer mengalirkan air yang lebih dari saluran pembuang
sekunder keluar daerah irigasi. Saluran pembuang primer sering berupa saluran
pembuang alam yang mengalirkan kelebihan air ke sungai, anak sungai atau ke
laut.
Saluran pembuang sekunder menampung air dari jaringan pembuang tersir dan
membuang air tersebut ke pembuang primer atau langsung ke pembuang alam dan
keluar daerah irigasi.
2) Jaringan saluran pembuang tersier
Saluran pembuang tersier terletak di antara petak-petek tersier yang termasuk
dalam unit irigasi sekunder untuk menampung air, baik dari pembuangan kuarter
maupun dari sawah-sawah. Air tersebut dibuang ke dalam jaringan pembuang
sekunder. Saluran pembuang sekunder menerima buangan air dari saluran
pembuang kuarter yang menampung air langsung dari sawah (Anonim, 1986).
2.3 Standar Tata Nama
Nama-nama yang diberikan untuk saluran irigasi dan pembuang, bangunan-
bangunan daerah irigasi harus jelas dan logis. Nama yang diberikan harus pendek dan
tidak mempunyai tafsiran ganda (ambigu). Nama-nama harus dipilih dan dibuat
sedemikian sehingga jika dibuat bangunan baru,tidak perlu mengubah semua nama
yang sudah ada.
2.3.1 Daerah Irigasi
Daerah irigasi dapat diberi nama sesuai dengan nama daerah setempat, atau
desa penting di daerah itu, yang biasanya terletak dengan dekat dengan jaringan
bangunan utama atau sungai yang airnya diambil untuk keperluan irigasi. Contohnya
adalah Daerah Irigasi Jatiluhur atau Dl. Cikoncang Apabila ada dua pengambilan atau
lebih, maka daerah irigasitersebut sebaiknya diberi nama sesuai dengan desa-desa
terkenal didaerah-daerah layanan setempat. Untuk pemberian nama-nama bangunan
utama berlaku peraturan yang sama seperti untuk daerah irigasi, misalnya bendung
elak Cikoncang melayani D.I Cikoncang. Sebagai contoh, lihat Gambar 2.5.

13
Gambar 2. 5 Standar sistem tata nama untuk skema irigasi
Sumber: Kriteria Perencanaan 01, 2013

14
2.3.2 Jaringan Irigasi Primer
Saluran irigasi primer sebaiknya diberi nama sesuai dengan daerah irigasi yang
dilayani, contoh: saluran primer Makawa. Saluran sekunder sering diberi nama sesuai
dengan nama desa yang terletak di petak sekunder. Petak sekunder akan diberi nama
sesuai dengan nama saluran sekundernya. Sebagai contoh saluran sekunder Sambak
mengambil nama desa Sambak yang terletak di petak sekunder Sambak.
Saluran dibagi menjadi ruas-ruas yang berkapasitas sama. Misalnya, RS 2
adalah Ruas saluran sekunder Sambak (S) antara bangunan sadap BS 1 dan BS 2.
Bangunan pengelak atau bagi adalah bangunan terakhir di suatu ruas. Bangunan itu
diberi nama sesuai dengan ruas hulu tetapi huruf R (Ruas) diubah menjadi B
(Bangunan). Misalnya BS 2 adalah bangunan pengelak di ujung ruas RS 2.
Bangunan-bangunan yang ada di antara bangunan-bangunan bagi sadap (gorong-
gorong. jembatan, talang bangunan terjun, dan sebagainya) diberi nama sesuai dengan
nama ruas di mana bangunan tersebut terletak juga mulai dengan huruf B (Bangunan)
lalu diikuti dengan huruf kecil sedemikian sehingga bangunan yang terletak di ujung
hilir mulai dengan "a" dan bangunan-bangunan yang berada lebih jauh di hilir
memakai hurut b, c, dan seterusnya. Sebagai contoh BS2b adalah bangunan kedua
pada ruas RS 2 di saluran Sambak terletak antara bangunan-bangunan bagi BS 1 dan
BS 2.

15
Gambar 2. 6 Standar sistem tata nama untuk bangunan - bangunan irigasi
Sumber: Kriteria Perencanaan 01, 2013

16
2.3.3 Jaringan Pembuang

Setiap pembangunan jaringan irigasi dilengkapi dengan pembangunan jaringan


drainase yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan irigasi yang bersangkutan
(PP 20 pasal 46 ayat I).
Pada umumnya pembuang primer berupa sungai-sungai alamiah, yang
kesemuanya akan diberi nama. Apabila ada saluran-saluran pembuang primer baru
yang akan dibuat, maka saluran-saluran itu harus diberi nama tersendiri. Jika saluran
pembuang dibagi menjadi ruas-ruas, maka masing-masing ruas akan diberi nama,
mulai dari ujung hilir.
Pembuang sekunder pada umumnya berupa sungai atau anak sungai yang lebih
kecil. Beberapa di antaranya sudah mempunyai nama yang tetap bisa dipakai, jika
tidak sungai/anak sungai tersebut akan ditunjukkan dengan sebuah huruf bersama-
sama dengan nomor seri. Nama-nama ini akan diawali dengan huruf d (d = drainase).
Pembuang tersier adalah pembuang kategori terkecil dan akan dibagibagi menjadi
ruas-ruas dengan debit seragam, masing-masing diberi nomor. Masing-masing petak
tersier akan mempunyai nomor seri sendiri-sendiri.

Gambar 2. 7 Sistem tata nama jaringan pembuang


Sumber: Kriteria Perencanaan 01, 2013

17
2.4 Analisis Hidrologi
Dalam suatu studi pemanfaatan bendung perlu dilakukan adanya analisa
hidrologi. Dari data-data yang tersedia akan digunakan untuk perhitungan curah hujan
rata-rata, perhitungan curah hujan efektif, perhitungan debit (inflow) andalan, serta
perhitungan evapotranspirasi yang terjadi berdasarkan keadaan klimatologi daerah
irigasi di lokasi studi.
Data hujan merupakan variabel hidrologi terpenting karena paling relatif mudah
diperoleh. Selanjutnya pendekatan untuk analisis ketersediaan dan kebutuhan air
didasarkan pada data curah hujan. Berdasarkan data hujan, potensi ketersediaan air
dapat dilakukan untuk mengetahui karakteristik rinci tentang jumlah dan pola
distribusi air hujan. Informasi awal yang perlu diketahui terkait dengan karakteristik
curah hujan adalah pola musim hujan. Data curah hujan dibedakan berdasarkan
teknik pengukurannya yaitu, penakar hujan manual dan penakar hujan otomatis.
2.4.1 Analisis Curah Hujan Rata-Rata
Dalam penentuan curah hujan data dari pencatat atau penakar hanya didapatkan
curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Untuk mendapatkan harga curah
hujan areal dapat dihitung dengan beberapa metode :
1. Metode Rata-Rata Aljabar
Cara ini adalah perhitungan rata-rata aljabar curah hujan didalam dan di sekitar
daerah yang bersangkutan.
Hasil yang diperoleh dengan cara ini tidak berbeda jauh dari hasil yang didapat
dengan cara lain, jika titik pengamatan itu banyak dan tersebar merata diseluruh
daerah itu (Sosrodarsono, Takeda, & Kensaku, 2003).
Rumus yang digunakan pada perhitungan ini adalah sebagai berikut:
𝑅= (𝑅₁ + 𝑅₂ + ⋯ + 𝑅ₙ)……………….....….....…………………………(2.1)

Dimana:
R = curah hujan maksimum rata-rata (mm)
n = jumlah stasiun pengamat
R1 = curah hujan pada stasiun pengamat satu (mm)
R2 = curah hujan pada stasiun pengamat dua (mm)

18
Rn = curah hujan pada stasiun pengamatan n(mm)
2. Metode Polygon Thiessen
Dalam cara ini memasukkan faktor pengaruh daerah yang diwakili oleh stasiun
penakar hujan yang disebut sebagai faktor pembobot. Besarnya faktor pembobot
tergantung dari luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang dibatasi oleh polygon-
polygon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua
stasiun. Dengan demikian setiap stasiun akan terletak didalam suatu polygon yang
tertutup (Umboro Lasminto, 2005). Polygon-polygon tersebut dapat diperoleh
dengan cara:
a. Hubungkan masing-masing stasiun dengan garis lurus sehingga membentuk
polygon segitiga.
b. Buat sumbu-sumbu pada polygon segitiga tersebut sehingga titik potong sumbu
akan membentuk polygon baru.
c. Polygon baru inilah merupakan batas daerah pengaruh masing-masing stasiun
penakar hujan.
Curah hujan rata-rata dapat dihitung sebagai berikut:
₁ 𝐴₂ 𝐴₃ 𝐴ₙ
R= . R₁ + 𝐴
. R₂ + 𝐴
. 𝑅₃ +…. + 𝐴
. 𝑅ₙ ……...….………..…..……….. (2.2)

Atau
R= ∑ 1 𝐴𝑖𝑅𝑖…………………………..…….……………………….......(2.3)

Dimana:
R = curah hujan rata-rata
Ri = tinggi hujan pada stasiun i
Ai = luas daerah pengaruh stasiun i
A = luas daerah aliran
3. Metode Isohyet
Metode ini menggunakan pembagian DAS dengan garis yang menghubungkan
tempat-tempat dengan curah hujan yang sama dengan curah hujan yang sama
besar (isohyet). Curah hujan rata-rata dari daerah aliran sungai didapatkan dengan
menjumlahkan perkalian antara curah hujan rata-rata diantara garis isohyet dengan

19
luas daerah yang dibatasi oleh garis batas DAS dan dua garis isohyet, kemudian
dibagi dengan luas seluruh DAS (Anonim, 2013).
Berikut rumus hitungan hujan ratarata DAS dengan menggunakan metode isohyet:

₁ ( ₁ ₂) ₂ ( ₂ ₃) ₙ ( ₙ ₙ₊₁)
P= × + × …..+ × …………..…(2.4)

Dimana :
P = hujan rata-rata DAS
P1,P2,…Pn = besaran curah hujan pada setiap garis Isohyet
2.4.2 Analisia Curah Hujan Efektif
Curah hujan efektif adalah curah hujan andalan yang jatuh di suatu daerah dan
digunakan tanaman untuk pertumbuhan. Curah hujan tersebut merupakan curah hujan
wilayah yang harus diperkirakan dari titik pengamatan yang dinyatakan dalam
milimeter (mm). Penentuan curah hujan efektif didasarkan atas curah hujan bulanan,
yaitu menggunakan R80 yang berarti kemungkinan tidak terjadinya 20%. R80
didapat dari urutan data dengan rumus Harza
𝑚= + 1.…………………...……………………………………...……….(2.5)

Dimana:
m = Rangkaian curah hujan dari urutan yang terkecil
𝑛 = periode lama pengamatan
2.5 Ketersediaan Air
Ketersediaan air dalam pengertian sumber daya air pada dasarnya berasal dari
air hujan (atmosferik), air permukaan dan air tanah. Ketersediaan air yang merupakan
bagian dari fenomena alam, sering sulit untuk diatur dan diprediksi dengan akurat.
Hal ini karena ketersediaan air mengandung unsur variabilitas ruang (spatial
variability) dan variabilitas waktu (temporal variability) yang sangat tinggi.
Konsep siklus hidrologi adalah bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di
hamparan bumi dipengaruhi oleh masukan (input) dan keluaran (output) yang terjadi.
Oleh karena itu, analisis kuantitatif dan kualitatif harus dilakukan secermat mungkin

20
agar dapat dihasilkan informasi yang akurat untuk perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya air.
2.5.1 Analisis Debit Andalan
Debit andalan (dependable flow) adalah debit minimum sungai untuk
kemungkinan terpenuhi yang sudah ditentukan yang dapat dipakai untuk irigasi.
Kemungkinan terpenuhi ditetapkan 80% (kemungkinan bahwa debit sungai lebih
rendah dari debit andalan adalah 20%). Debit andalan ditentukan untuk periode
tengah bulanan. Debit minimum sungai diantalisis atas dasar data debit harian sungai.
Agar analisisnya cukup tepat dan andal, catatan data yang diperlukan harus meliputi
jangka waktu paling sedikit 20 tahun. Jika persyaratan ini tidak bisa dipenuhi, maka
metode hidrologi analitis dan empiris bisa dipakai.
Dalam menghitung debit andalan, kita harus mempertimbangkan air yang
diperlukan dari sungai di hilir pengambilan. Dalam praktek ternyata debit andalan
dari waktu kewaktu mengalami penurunan seiring dengan penurunan fungsi daerah
tangkapan air. Penurunan debit andalan dapat menyebabkan kinerja irigasi berkurang
yang mengakibatkan pengurangan areal persawahan. Antisipasi keadaan ini perlu
dilakukan dengan memasukan faktor koreksi besaran 80% - 90% untuk debit andalan.
Faktor koreksi tersebut tergantung pada kondisi perubahan DAS (Anonim, 2013).
Tabel 2. 1 Debit Andalan
Catatan Debit Metode Parameter
Perencanaan
1a Data cukup (20 Analisis frekuensi distribusi Debit rata-rata tengah
tahun atau lebih) frekuensi normal bulan dengan kemungkinan
tak terpenuhi 20%
1b Data terbatas Analisis frekuensi rangkaian Seperti pada 1a dengan
debit dihubungkan dengan ketelitian kurang dari itu
rangkaian curah hujan yang
mencakup waktu lebih lama
2 Data Minimal atau tidak a. Model simulasi Seperti pada 1b dengan
Ada pertimbangan air dari ketelitian kurang dari itu
Dr. Mock atau metode

21
Enreca dan yang serupa
lainnya curah hujan
didaerah aliran sungai,
evapotranspirasi,
vegetasi, tanah dan
karakteristik geologis
daerah aliran sebagai
data masukan.
b. Perbandingan dengan
daerah aliran sungai
didekatnya.
3 Data tidak ada Metode kapasitas saluran Seperti pada 1b dengan
Aliran rendah dihitung dari ketelitian kurang dari itu
muka air rendah, potongan
melintang sungai dan
kemiringan yang sudah
diketahui. Metode tidak tepat
hanya sebagai cek
Sumber: Kriteria Perencanaan KP-01
Debit andalan diperoleh dengan mengurutkan debit rata-rata bulanan dari
urutan besar ke urutan kecil. Nomor urut data yang merupakan debit andalan Dr.
Mock dapat dihitung menggunakan rumus ploting Weibul :
Pr = (m/(n+1)) x 100% ……………………………………………………...…. (2.6)
Dimana:
Pr = Peluang (%)
m = Nomor urut data
n = Jumlah tahun data
2.5.1 Debit Andalan dengan Model F.J. Mock
Dr. F.J Mock, memperkenalkan cara pehitungan simulasi aliran sungai dari data
hujan, evapotranspirasi dan karakteristik hidrologi daerah aliran sungai. Model ini
dihasilkan dari penelitian dengan memasukan data hujan bulanan, evapotranspirasi

22
potensial bulanan, dan parameter-parameter fisik lainnya yang sifatnya juga bulanan,
sehingga menghasilkan debit aliran simulasi bulanan.
Dalam aplikasinya hasil perhitungan simulasi hujan aliran sungai model Dr.FJ
Mock, dilakukan kalibrasi dengan data pengamatan debit jangka pendek minimal 1
tahun untuk mengetahui ketepatan nilai parameter sebagai input pada model. Metode
Mock merupakan metode empiris yang dapat digunakan untuk menghitung debit rata-
rata bulanan sungai, curah hujan bulanan, evapotranspirasi, kelembaban tanah dan
penyimpanan air didalam tanah (Bolota, Soetopo, & Putra, 2016).
1. Parameter yang digunakan dalam perhitungan debit f.j Mock adalah:
a. m = Persentase lahan yang terbuka atau tidak ditumbuhi vegetasi, ditaksir
dengan peta tata guna lahan atau pengamatan di lapangan.
b. k = koefisien simpan tanah atau faktor resesi aliran tanah (Catchment Area
Resessio Factor). Nilai k ditentukan oleh kondisi geologi lapisan bawah.
Batasan nilai K yaitu antara 0 - 1,0. Semakin besar k, semakin kecil air yang
mampu keluar dari tanah.
c. Vn-1 = penyimpanan awal (initial storage). Nilai ini berkisar antara 3 mm -109
mm.
2. Evapotranspirasi
a. Evapotranspirasi potensial
Metode perhitungan evapotranspirasi potensial menggunakan metode Penman
Modifikasi. Metode perhitungan ini dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab 2.6.3
b. Evapotranspirasi actual
Evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang terjadi pada kondisi air
yang tersedia terbatas. dipengaruhi oleh proporsi permukaan luar yang tidak
tertutupi tumbuhan hijau (exposed surface) pada musim kemarau. Besarnya
exposed surface (m) untuk tiap daerah berbeda-beda. Klasifikasi daerah dan
nilai exposed surface (m) yaitu:
 Hujan primer, sekunder = 0%
 Daerah tererosi = 10-40%
 Daerah ladang pertanian = 30-50%

23
Menurut metode Mock, rasio selisih antara evapotranspirasi potensial dan
evapotranspirasi aktual dipengaruhi oleh exposed surface (m) dan jumlah hari
hujan (n) dalam bulan yang bersangkutan, seperti ditunjukkan dalam formulasi
berikut:
∆𝐸 𝑚
𝐸𝑝
= 20 (18 − 𝑛)…………………………………………………………….(2.7)

Sehingga:
∆𝐸 = 𝐸𝑝 ( )(18 − 𝑛)……………………………………………………...(2.8)

Dari formulasi diatas dapat dianalisi bahwa evapotranspirasi potensial akan


sama dengan evapotranspirasi aktual (atau ∆𝐸 = 0) jika:
 Evapotranspirasi terjadi pada hutan primer atau hutan sekunder. Dimana
daerah ini memiliki harga exposed surface (m) sama dengan nol (0)
 Banyaknya hari hujan dalam bulan yang diamati pada daerah tersebut sama
dengan 18 hari.
 Jadi, evapotranspirasi potensial dan aktual yang memperhitungkan faktor
exposed surface dan jumlah hari hujan dalam bulan yang bersangkutan.
Sehingga evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang sebenarnya
terjadi atau actual evapotranspiration. Dihitung sebagai berikut:
Ektual (Ea) = Ep - ∆𝐸………………………………………….………...(2.9)
3. Water Blance
Kapasitas kelembaban tanah (Soil Moisture Capacity, disingkat SMC) yaitu
perkiraan kapasitas kelembaban tanah awal. Besarnya nilai SMC tergantung dari
tipe tanaman penutup lahan dan tipe tanahnya.
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung water balance adalah:
WS = (P-Ea)…………………………………………………………………(2.10)
Dimana:
WS = kelebihan air (mm)
P = curah hujan (mm/bln)
Untuk menentukan nilai SMC ada ada dua keadaan, yaitu:
a. Jika nilai P-Ea>0, maka nilai SMC=200mm

24
b. Jika nilai P-Ea<0, maka:
SMC = ISMS + (P-Ea)
Dimana:
ISMS = Initial Soil Moisture Storage (nilai SMC bulan sebelumnya).
4. Runoff dan air tanah
Persamaan yang digunakan dalam menghitung runoff dan air tanah adalah sebagai
berikut:
In = WS x i……………………………………………………………………(2.11)
Dimana:
In = infiltrasi (mm)
I = koefisien infiltrasi
koefisien infiltrasi ditentukan oleh kondisi porositas dan kemiringan daerah
pengaliran. Lahan yang bersifat porous umumnya memiliki koefisien yang
cenderung besar. Namun jika lahan terjal dimana air tidak sampai infiltrasi ke
dalam tanah, maka anggapan infiltrasi akan kecil.
𝐼𝑔𝑤= 𝑥 (1 + 𝑘)𝑥 𝐼𝑛……………………………………………………..(2.12)

Dimana:
Igw = sebagian infiltrasi pengisi air tanah (mm)
k = koefisien resesi tanah
lb = k x Vn-₁……………………………………………………………..(2.13)
dimana:
lb = pengisian air tanah sebelumnya
k x Vn-₁= volume tersimpan sebelumnya
5. Total volume tersimpan
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung total volume tersimpan
adalah sebagai berikut:
Vn = Igw + Ib………………………..………………………………………..(2.14)
dVn = Vn - Vn-₁……………………..………………………………………..(2.15)
BF = In – dVn…………...…………………………………………………….(2.16)
Dimana:

25
Vn = Volume tersimpan (mm)
dVn = perubahan volume tersimpan
Bf = aliran dasar (mm)
6. Aliran permukaan
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung aliran permukaan
adalah sebagai berikut:
DR = WS – In……………………………………………….………………..(2.17)
R = BF + DR………………………………………………..………………(2.18)
Q = R x A/n…………………………………………………...…………….(2.19)
Dimana:
DR = aliran permukaan langsung (mm)
R = Aliran permukaan (mm)
Q = debit aliran sungai (m³/dt)
A = luas DAS (m²)
n = jumlah hari dalam 1 bulan x 24 x 3600 (detik)
2.5.3 Analisis Klimatologi
Air yang berada di permukaan tanah maupun di permukaan air dapat naik ke
udara dan mengurangi jumlah air yang ada. Peristiwa ini disebut evapotranspirasi.
Evapotranspirasi merupakan gabungan dari evaporasi dan transpirasi yang terjadi
bersamaan.
Evaporasi merupakan peristiwa berubahnya air dari bentuk cair menjadi uap
dan bergerak dari permukaan tanah atau air menuju ke udara. Transpirasi merupakan
proses penguapan yang terjadi melalui tumbuhan. Faktor yang mempengaruhi
besarnya evapotraspirasi, yaitu suhu udara, kelembapan, lama penyinaran matahari,
kelembapan, kecepatan angin dan tekanan udara.
Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya
evapotranspirasi yaitu metode Thorntwaite, metode Blaney-Criddle, dan metode
Penman Modifikasi. Metode yang digunakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini
adalah metode Penman Modifikasi.

26
1) Metode Penman Modifikasi
Perhitungan Eto didasarkan pada rumus Penmann yang dimodifikasi untuk
perhitungan pada daerah-daerah di Indonesia adalah sebagai berikut:
𝐸𝑇𝑜 = 𝐸𝑇 ∗ 𝑥 𝑐 ………………………………………………………………(2.20)
𝐸𝑇𝑜∗ = 𝑊(0,7𝑅𝑠 − 𝑅𝑛1) + (1 − 𝑊)𝑓(𝑢)(𝑒𝑎 − 𝑒𝑑)……...……..…..….........(2.21)
Dimana:
t = suhu bulan rata-rata (ºC)
RH = kelembaban relative bulanan rata-rata (%)
n/N = kecerahan matahari bulanan (%)
u = kecepatan angin bulanan rata-rata (m/dt)
LL = letak lintang daerah yang ditinjau
c = angka koreksi
Data terukur tambahan yang dibutuhkan untuk perhitungan menggunakan
rumus Penmann Modifikasi adalah:
W =Faktor berat yang mempengaruhi penyinaran matahari pada evapotranspirasi
potensial (mengacu pada tabel Penman hubungan antara temperature/suhu dan
ketinggian/elevasi daerah)
Rs = Radiasi gelombang pendek, dalam setahun evaporasi ekivalen (mm/hari).
(0,25 + 0,54 n/N).Ra
R = Radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfir atau angka
angot (mm/hari).
Rn 1 = Radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari). f(t)f(ed)f(n/N)
f (t) = Fungsi suhu = Ꞇ . Ta4
f(n/N) = 0,1 + 0,9 n/N
f(u) = Fungsi kecepatan angin pada ketinggian 2,00 m (mm/dt). 0,27 (1 + 0,864. u)
ea = Perbedaan tekanan uap jenuh dengan tekanan uap sebenarnya.
ed = ea.RH
RH = Kelembaban udara relatif (%)
Setelah hargaETo* didapat, besar harga evapotranspirasi potensial (ETo) dapat
dihitung dengan rumus berikut:

27
𝐸𝑇𝑜 = 𝐸𝑇𝑜 ∗ 𝑥. 𝑐………………………….…………...…….…………………(2.22)
Dengan:
C adalah Angka koreksi penman yang besarnya mempertimbangkan perbedaan
kecepatan angina (u) siang dan malam.
Prosedur perhitungan ETo berdasarkan rumus penman adalah sebagai berikut:
1) Mencari data suhubulanan rata-rata (t)
2) Mencaribesaran (ea) (W), (1-W), dan f(t) daritabel PN.1, berdasarkan nilai suhu
rerata bulanan.
3) Mencari data kelembaban relatif (RH)
4) Mencaribesaran (ed) berdasarkannilai (ae) dan (RH)
5) Mencaribesaran (ea-ed)
6) Mencaribesaran f(ed) berdasarkannilai ed
7) Mencari data letak lintang daerah yang ditinjau
8) Mencari besaran (Ra) dari tabel PN.2, berdasrkan data letak lintang
9) Mencari data kecerahanmatahari (n/N)
10) Mencari besaran (Rs) dari perhitungan, berdasarkan (Ra) dan (n/N)
11) Mencari besaran f(n/N) berdasarkan nilai (n/N)
12) Mencari data kecepatan angin rata-rata bulanan (u)
13) Mencari besaran f(u) berdasarkan nilai (u)
14) Menghitung besar Rn1 : f(t) f(ed) f(n/N)
15) Mencari besarang kakoreksi (c) dari tabel PN.3
16) Menghitung besaran ETo*
ETo ∗= W (0,7Rs − Rn1) + (1 − W)f(u)(ea − ed)……………………………….(2.23)
17) Menghitung 𝐸𝑇𝑜 = 𝐸𝑇𝑜 ∗ 𝑥. 𝑐…………………….………………………(2.24)

28
Tabel 2. 2 Harga Faktor (1-W) Karena Pengaruh Kecepatan Angin dan Kelembaban
Pada Temperatur dan Ketinggian Berbeda
(1 - w) pada
ketinggian 500 1000 2000 3000
Temperatur ˚C
2 0.56 0.54 0.51 0.48
4 0.56 0.51 0.48 0.45
6 0.52 0.48 0.45 0.42
8 0.49 0.45 0.42 0.39
10 0.46 0.42 0.39 0.36
12 0.43 0.39 0.36 0.34
14 0.40 0.36 0.34 0.31
16 0.38 0.34 0.31 0.29
18 0.35 0.31 0.29 0.27
20 0.33 0.29 0.27 0.25
22 0.30 0.27 0.25 0.23
24 0.28 0.25 0.23 0.21
26 0.26 0.23 0.21 0.19
28 0.24 0.21 0.19 0.18
30 0.22 0.20 0.18 0.16
32 0.21 0.18 0.16 0.15
34 0.19 0.17 0.15 0.14
36 0.16 0.15 0.14 0.13
38 0.15 0.14 0.13 0.12
Sumber: Crop Water Requirements, Food And Agriculture Organization, Revised 1977

29
Tabel 2. 3 Harga faktor (w) untuk pengaruh radiasi pada temperatur dengan
ketinggian yang berbeda
No Temperatur W pada elevasi . M

(°C) 0 500 1000 2000 3000

1 2 0,43 0,44 0,46 0,49 0,52

2 4 0,46 0,44 0,49 0,52 0,55

3 6 0,49 0,48 0,52 0,58 0,58

4 8 0,52 0,52 0,55 0,61 0,61

5 10 0,55 0,55 0,58 0,61 0,64

6 12 0,58 0,57 0,61 0,64 0,66

7 14 0,61 0,60 0,64 0,66 0,69

8 16 0,64 0,62 0,66 0,69 0,71

9 18 0,66 0,65 0,69 0,71 0,73

10 20 0,69 0,67 0,71 0,73 0,75

11 22 0,71 0,70 0,73 0,75 0,77

12 24 0,73 0,72 0,75 0,77 0,79

13 26 0,75 0,74 0,77 0,79 0,81

14 28 0,77 0,76 0,79 0,81 0,82

15 30 0,78 0,78 0,80 0,82 0,84

16 32 0,80 0,79 0,82 0,83 0,85

17 34 0,82 0,81 0,83 0,85 0,86

18 36 0,83 0,84 0,85 0,86 0,87

19 38 0,84 0,85 0,86 0,87 0,88

20 40 0,85 0,86 0,87 0,88 0,89

Sumber : Crop water requirements, food and agriculture organisation revised 1977

30
Tabel 2. 4 Lamanya Penyinaran Matahari Rata-Rata Maksimum (N) yang Mungkin Terjadi untuk Bukan dan Garis Lintang
yang Berbeda
LS Juli Agt Sept Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni
30 10,4 11,1 12 12,9 13,6 14 13,9 13,2 2,4 11,5 10,6 10,2
25 11 11,5 12 12,7 13,3 13,7 13,5 13 12,3 11,6 10,9 10,6
20 11,3 11,6 12 12,6 13,1 13,3 13,2 12,8 12,3 11,7 11,3 10,9
15 11,3 11,6 12 12,5 12,8 13 12,9 12,6 12,2 11,8 11,4 11,2
10 11,6 11,8 12 12,3 12,6 12,7 12,6 12,4 12,1 11,8 11,6 11,5
5 11,8 11,9 12 12,2 12,3 12,4 12,3 12,3 12,1 12 11,9 11,8
0 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12

Sumber: Crop Water Requirements, Food And Agriculture Organization, Revised 1977

Tabel 2. 5 Besarnya Radiasi (Ra) pada Garis Lintang yang Berbeda


LS Jan Feb Mar apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nop Des
20 17,3 16,5 15 13 11 10 10,4 12 13,9 15,8 17 17,4
18 17,1 16,5 15,1 13,2 11,4 10,4 10,8 12,3 14,1 15,8 16,8 17,1
16 16,9 16,4 15,2 13,5 11,7 10,8 11,2 12,6 14,3 15,8 16,7 16,8
14 16,7 16,4 15,3 13,7 12,1 11,2 11,6 12,9 14,5 15,8 16,5 16,6
12 16,6 16,3 15,4 14 12,5 11,6 12 13,2 14,7 15,8 16,4 16,5
10 16,4 16,3 15,5 14,2 12,8 12 12,4 13,5 14,8 15,9 16,2 16,2
8 16,1 16,1 15,5 14,4 13,1 12,4 12,7 13,7 14,9 15,8 16 16
6 15,8 16 15,6 14,7 13,4 12,8 13,1 14 15 15,7 15,8 15,7
4 15,5 15,8 15,6 14,9 13,8 13,1 13,4 14,3 15,1 15,6 15,5 15,4
2 15,3 15,7 15,7 15,1 14,1 13,5 13,7 14,5 15,2 15,5 15,3 15,1
0 15 15,5 15,7 15,3 14,4 13,9 14,1 14,8 15,3 15,4 15,1 14,8
Sumber: Crop Water Requirements, Food And Agriculture Organization, Revised 1977

31
Tabel 2. 6 Pengaruh Temperatur f(T) Pada Radiasi Gelombang Panjang (Rnl)
Temp. (ºC) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

f( T) 11 11,4 11,7 12 12,4 12,7 13 13,5 13,8 14,2 14,6 15 15,4 15,9 16,3 16,7
Sumber: Crop Water Requirements, Food And Agriculture Organization, Revised 1977

Tabel 2. 7 Pengaruh Tekanan Jenuh Uap Air ( ed ) Pada Radiasi Gelombang Panjang (Rnl)
Ed ( mmbar ) 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36

f ( ed ) 0,23 0,22 0,2 0,19 0,18 0,16 0,15 0,14 0,13 0,12 0,12 0,11 0,1 0,09 0,08 0,08
Sumber: Crop Water Requirements, Food And Agriculture Organization, Revised 1977

Tabel 2. 8 Pengaruh f (n/N) Pada Radiasi Gelombang Panjang (Rnl)


n/N 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5 0,55 0,6 0,65 0,7 0,75

F (n/N) 0,1 0,15 0,19 0,24 0,28 0,33 0,37 0,42 0,46 0,51 0,55 0,6 0,64 0,69 0,73 0,78

n/N 0,8 0,85 0,9 0,95 10

F (n/N) 0,82 0,86 0,91 0,95 1

Sumber: Crop Water Requirements, Food And Agriculture Organization, Revised 1977

Tabel 2. 9 Tekanan Uap Air (ea) dalam mmbar Suhu Udara Rata-Rata
Temp. (ºC) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

ea (mmbar) 6,1 6,6 7,1 7,6 8,1 8,7 9,3 10 10,7 11,5 12,3 13,1 14 15 16,1 17 18,2 19,4 20,6 22

Temp. (ºC) 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

ea (mmbar) 23,4 24,9 26,4 28,1 29,8 31,7 33,6 35,7 37,8 40,1 42,2 44,9 47,6 50,3 53,2 56,2 59,4 62,8 66,3 69,9

Sumber: Crop Water Requirements, Food And Agriculture Organization, Revised 1977

32
Tabel 2. 10 Faktor Perkiraan (C) Pada Persamaan Penman
RH max = 30% RH max = 60% RH max = 90%
Rs 3 6 9 12 3 6 9 12 3 6 9 12
Ud Uday/Unight = 4,0
0 0,86 0,90 1,00 1,00 0,96 0,98 1,05 1,05 1,02 0,11 1,10 1,10
3 0,79 0,84 0,92 0,97 0,92 1,00 1,11 1,19 0,99 1,10 1,27 1,32
6 0,68 0,77 0,87 0,93 0,85 0,96 1,11 1,19 0,94 1,10 1,26 1,33
9 0,55 0,65 0,78 0,90 0,76 0,88 1,02 1,14 0,88 1,01 1,16 1,27
Uday/Unight = 3,0
0 0,86 0,90 1,00 1,00 0,96 0,98 1,05 1,05 1,02 1,06 1,10 1,10
3 0,76 0,81 0,88 0,94 0,87 0,96 1,06 1,12 0,94 1,04 1,18 1,28
6 0,61 0,68 0,81 0,88 0,77 0,88 1,02 1,10 0,86 1,01 1,15 1,22
9 0,46 0,56 0,72 0,82 0,67 0,79 0,88 1,05 0,78 0,92 1,06 1,18
Uday/Unight = 2,0
0 0,86 0,90 1,00 1,00 0,96 0,98 1,05 1,05 1,02 1,06 1,10 1,10
3 0,69 0,76 0,85 0,92 0,83 0,91 0,99 1,05 0,89 0,98 1,10 1,14
6 0,53 0,61 0,74 0,84 0,70 0,80 0,94 1,02 0,79 0,92 1,05 1,12
9 0,37 0,48 0,65 0,76 0,59 0,70 0,84 0,95 0,71 0,81 0,96 1,06
Uday/Unight = 1,0
0 0,86 0,90 1,00 1,00 0,96 0,98 1,05 1,05 1,02 1,06 1,10 1,10
3 0,64 0,71 0,82 0,89 0,78 0,86 0,94 0,99 0,85 0,92 1,01 1,05
6 0,63 0,53 0,68 0,79 0,62 0,70 0,84 0,93 0,72 0,82 0,95 1,00
9 0,37 0,41 0,59 0,70 0,50 0,60 0,75 0,87 0,62 0,72 0,87 0,96
Sumber: Crop Water Requirements, Food And Agriculture Organization, Revised 1977

33
2.6 Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume airyang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan evaporasi,kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman
denganmemperhatikan jumlah air yang diberikan oleh alammelalui hujan dan
kontribusi air tanah (Sosrodarsono, Takeda, & Kensaku, 2003).
Kebutuhan air sawah atau NFR (Net Field Water Requirement) untuk tanaman
padi ditentukan oleh faktor-faktor berikut:
1) Penyiapan lahan
2) Kebutuhan air untuk tanaman
3) Perkolasi dan rembesan
4) Pergantian lapisan air
5) Curah hujan efekti
2.6.1 Penyiapan Lahan
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya menentukan kebutuhan air
irigasi maksimum pada suatu proyek irigasi. Pada tanaman padi diperlukan persiapan
lahan guna penyiapan awal terhadap tanah berupa perendaman sehingga mendapatkan
kelembaban yang cukup untuk ditanami. Faktor-faktor penting yang menentukan
besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan adalah sebagai berikut:
1) Lamanya waktu penyiapan lahan
Lamanya waktu penyiapan lahan untuk petak sawah tersier yang dikerjakan tanpa
bantuan traktor diambil selama satu bulan, apabila digunakan dengan traktor
secara luas maka lamanya waktu tersebut diambil selama satu bulan.
2) Kebutuhan air untuk penyiapan lahan
Kebutuhan air selama penyiapan lahan dipengaruhi oleh porositas tanah di sawah.
Untuk tanah bertekstur berat tanpa retak-retak kebutuhan air untuk penyiapan
lahan diambil 200 mm. Ini termasuk air untuk penjenuhan dan pengolahan tanah.
Pada permulaan transplantasi (pemindahan bibit ke petak sawah) tidak akan ada
lapisan air yang tersisa di sawah. Setelah transplantasi selesai lapisan air di sawah
akan ditambah 50 mm. Secara keseluruhan lapisan air yang diperlukan 250 mm
untuk penyiapan lahan dan untuk lapisan air awal setelah transplantasi selesai.

34
Pada lahan yangdibiarkan atau tidak digarap dalam jangka waktu 2,5 bulan atau
lebih, maka lapisan air yang diperlukan untuk penyiapan lahan diambil 300 mm,
250 mm untuk penyiapan lahan dan 50 mm untuk penggenangan setelah
transplantasi.
Pada umunya waktu penyiapan lahan berkisar antara 30 dan 45 hari. Besarnya
kebutuhan air selama penyiapan lahan dihitung dengan metode yang
dikembangkan oleh Van de Goor dan Ziljlstra (Rachmayani, 2014). Metode
tersebut didasarkan pada laju air konstan dalam l/dt selama periode penyiapan
lahan. Rumus tersebut adalah sebagi berikut :

𝑅= …………………..……...………….…………...…………….……(2.25)
( )

𝑀 = 𝐸𝑜 + 𝑃………………...………………………………………………...(2.26)
𝑘 = 𝑀. 𝑇/𝑆………………………...………………………………………….(2.27)
Dimana:
IR = Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari)
M = Kebutuhan air untuk mengganti/mengkonpensasi air yang hilang akibat
evaporasi dan perkolasi disawah yang telah dijenuhkan (mm/hari)
Eo = Evaporasi air tebuka (1,1 x Eto) selama penyiapan lahan (mm/hari)
P = Perkolasi (mm/hari)
K = Parameter fungsi dari air yang diperlukan untuk penjenuhan waktu
penyiapan lahan dan kebutuhan air untuk lapisan pengganti
T = Jangka waktu penyiapan lahan (hari)
S = Kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air (mm)

35
Tabel 2. 11 Kebutuhan Air Untuk Penyiapan Lahan (S)
M=Eo + P T 30 hari T 45 hari
(mm/hr S = 250 mm S =300 mm S =250 mm S = 300 mm
5 11,1 12,7 8,4 9,5
5,5 11,4 13 8,8 9,8
6 11,7 13,3 9,1 10,1
6,5 12 13,6 9,4 10,4
7 12,3 13,9 9,8 10,8
7,5 12,6 14,2 10,1 11,1
8 13 14,5 10,5 11,4
8,5 13,3 14,8 10,8 11,8
9 13,6 15,2 11,2 12,1
9,5 14 15,5 11,6 12,5
10 14,3 15,8 12 12,9
10,5 14,7 16,2 12,4 13,2
11 15 16,5 12,8 13,6
Sumber: Kriteria Perencanaan KP-03
2.6.2 Penggunaan Konsumtif
Kebutuhan air konsumtif dipengaruhi oleh evatranspirasi potensial, yaitu
gabungan dari evaporasi dan transpirasi yang terjadi secara bersamaan. Evaporasi
adalah berubahnya air menjadi uap yang bergerak dari permukaan tanah atau air
menuju ke udara, sedangkan transprasi adalah penguapan yang terjadi melalui
tanaman. Besarnya penggunaan konsumtif air untuk tanaman padi dihitung
bersadarkan metode prakira empiris, dengan menggunakan data iklim dan koefesien
tanaman pada tahap pertumbuhan dengan rumus berikut :
𝐸𝑇𝑐 = 𝐾𝑐 × 𝐸𝑇𝑜…………………………………………….….……………….(2.28)
Dimana:
Etc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari)
Eto = Evapotranspirasi tanaman acuan (mm/hari)
Kc = Koefisien tanaman
Nilai koefisien pertumbuhan tanaman tergantung jenis tanaman yang ditanam.
Untuk tanaman yang jenisnya sama juga berbeda menurut varietasnya pada tabel
berikut disajikan harga-harga koefisien tanaman padi dengan varietas unggul dan
varietas biasa menurut Nedeco/Prosida dan FAO.

36
Tabel 2. 12 Koefisien Tanaman Padi
Periode PADI
Tengah Nedeco/Prosida FAO
Varietas Varietas Varietas Varietas
bulanan Biasa Unggul Biasa Unggul
0,5 1,20 1,20 1,10 1,10
1,0 1,20 1,27 1,10 1,10
1,5 1,32 1,33 1,10 1,05
2,0 1,40 1,30 1,10 1,05
2,5 1,35 1,30 1,10 0,95
3,0 1,34 0,00 1,05 0,00
3,5 1,12 0,95
4,0 0,00 0,00
Sumber: Dirjen Pengairan, Bina Program PSA 01,1985

Tabel 2. 13 Koefisien Tanaman Palawija


Tanaman
1/2 bulanan
Kedelai Jagung K. Tanah Bawang K.Hijau Kapas
(85) (80) (130) (70) (75) (195)
1 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
2 0,75 0,59 0,51 0,51 0,64 0,50
3 1,00 0,96 0,66 0,69 0,89 0,58
4 1,00 1,05 0,85 0,90 0,95 0,75
5 0,82 0,02 0,95 0,95 0,88 0,91
6 0,82 0,95 0,95 1,04
7 0,45 0,95 1,05
8 0,55 1,05
9 0,55 1,05
10 0,78
11 0,65
12 0,65
13 0,65
14
Sumber: Dirjen Pengairan,1985

37
2.6.3 Perkolasi
Perkolasi adalah pergerakan air ke bawah yang disebabkan oleh gaya vertikal
dan gaya hidrostatis pada proses penjenuhan tanah sub surface. Perkolasi akan
menyebabkan kehilangan air akibat rembesan. Laju perkolasi sangat tergantung pada
sifat-sifat tanah. Besarnya perkolasi yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu jenis tanah, topografi, muka air tanah dan tebalnya lapisan pada permukaan.
Laju perkolasi dan rembesan untuk tanaman palawija sama dengan tanaman padi,
pada daerah yang mempunyai tanah lempung diperkirakan berkisar antara 1-3
mm/hari. Tanah yang mengandung pasir, laju perkolasi dan rembesan dapat mencapai
angka yang tinggi.
2.6.4 Penggantian Lapisan Air
Setelah pemupukan, usahakan untuk menjadwalkan dan mengganti lapisan air
menurut kebutuhan.
Jika tidak ada penjadwalan semacam itu, lakukan penggantian sebanyak 2 kali,
masing-masing 50 mm (atau 3,3 mm/ hari selama ½ Bulan) selama sebulan dan dua
bulan setelah transplantasi.
2.6.5 Curah Hujan Efektif
Untuk irigasi pada curah hujan efektif bulanan diambil 70% untuk padi, 60%
untuk tebu, dan 50% untuk palawija. Dari curah hujan minimum tengah bulanan
dengan periode ulang rencana tertentu dengan kemungkinan kegagalan 20% (curah
hujan R80). Apabila data hujan yang digunakan 15 harian maka persamaanya
menjadi:
𝑅80 𝑥 70%
𝑅𝑒𝑝𝑎𝑑𝑖 = 15
𝑚𝑚/ℎ𝑎𝑟𝑖………………………..………………..……(2.29)

𝑅80 𝑥 60%
𝑅𝑒𝑡𝑒𝑏𝑢 = 15
𝑚𝑚/ℎ𝑎𝑟𝑖………………..……………….…...…..……(2.30)
𝑅80 𝑥 50%
𝑅𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎𝑤𝑖𝑗𝑎 = 15
𝑚𝑚/ℎ𝑎𝑟𝑖…………………………….……..…………..(2.31)
Dari kelima faktor tersebut maka perkiraan kebutuhan air irigasi sebagai berikut
(Direktorat Jenderal Pengairan, 1986):

38
1) Kebutuhan air bersih di sawah
NFRpadi = Etc + P - Re + WLR
NFRpol = Etc - Repol
NFRtebu = Etc – Retebu
2) Kebutuhan air irigasi di pintu pengambilan (WRD)
𝑊𝐷𝑅 =
……………………………………...……………………………………..(2.32)

Besarnya kebutuhan air irigasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,


diantaranya :
a. Kebutuhan untuk penyiapan lahan
b. Kebutuhan air konsumtif
c. Kebutuhan air untuk penggantian lapisan air
d. Perkolasi
e. Efisiensi air irigasi
f. Luas areal
g. Curah hujan efektif
Kebutuhan total air di sawah mencakup faktor a sampai dengan f, sedangkan
untuk kebutuhan air bersih irigasi di sawah mencakup faktor a sampai g. persamaan
untuk menghitung kebutuhan bersih air di sawah :
𝐷𝑅 = ………………………………………………….…….……………(2.33)
, ×

Dimana:
DR = Devertion Requirement (Besarnya kebutuhan penyadapan dari sumber)
(lt/det/ha)
NFR = Net Field Requirement (Kebutuhan air bersih di sawah) (mm/hari)
Etc = Evaporasi konsumtif (Evaporasi tanaman) (mm/hari)
El = Efisiensi di saluran secara total (%)
P = Kehilangan air akibat perkolasi (mm/hari)
Re = Curah hujan efektif (mm/hari) (mm/hari)
WLR = Pergantian lapisan air di sawah (mm/hari)

39
1/8,64 = Angka konversi satuan dari mm/hari ke lt/det/ha
2.4. Pola Tata Tanam
Untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman, penentuan pola tanam
merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Tabel dibawah ini merupakan contoh
pola tanam yang dapat dipakai. Tabel dibawah ini merupakan contoh pola tanam yang
dipakai:
Tabel 2. 14 Pola Tanam
Ketersediaan Air Untuk Pola Tanam Dalam Satu Tahun
Kebutuhan Irigasi
Tersedia air cukup banyak Padi – padi – palawija
Tersedia air dalam jumlah Padi – palawija – tebu
cukup Padi – Padi - bero
Daerah yang cenderung Padi – palawija – bero
Kehilangan air Palawija – padi – bero
Sumber: Direktorat Jendral Pengairan 1986
2.7. Perenanaan Jaringan Irigasi
Jaringan adalah suatu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan untuk
mengatur air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan
penggunaan. Prinsipnya adalah membawa air dari sumbernya ke tempat pemanfaatan
dengan cara sesederhana mungkin, tepat fungsi dan murah biaya. Jenis saluran yang
digunakan untuk mengalirkan air dengan bergantung pada keadaan wilayah.
Berdasarkan fungsinya saluran dibedakan atas dua, yaitu :
1. Saluran pembawa, yaitu saluran yang berfungsi membawa air dari sumbernya
sampai air tersebut dapat dimanfaatkan.
2. Saluran pembuang, yaitu saluran yang berfungsi untuk membuang kelebihan air
agar tanaman di sawah tidak terganggu kebutuhannya.
2.6.1 Dimensi Saluran
Menurut asalnya, saluran dapat digolongkan atas saluran alam dan saluran
buatan. Saluran alam meliputi semua alur air yang terdapat secara alamiah di bumi.

40
buatan dibentuk oleh manusia. Penampang saluran buatan
Sedangkan saluran buatan
biasanya direncanakan berdasarkan bentuk geometris yang umum.

1. Penampang Saluran Persegi Panjang

W
M.A.N

Gambar 2. 8 Penampang Saluran Persegi Panjang


Sumber : Dirtjen Pengairan, PU, 1996

a. Luas = 𝑏 𝑥 ℎ (m2)………………………………………………………(2.34
………………………………………………………(2.34)
b. Volume …………………………….……(2.35)
= b x h x pjg sal (m3)……………………………………….……(2.35
c. Keliling basah …………………………………….(2.36)
= b + 2h (m)…………………………………………….(2.36

d. Jari-jari hidrolis = …………………...………………...(2.37)


(m)……………………………...………………...(2.37

Dimana :

b = Lebar
ar dasar saluran

h = Tinggi air

m = Kemiringan talud

w = Tinggi jagaan

41
2. Penampang Saluran Trapesium

w
M.A.N

m h

Gambar 2. 9 Penampang Saluran Trapesium


Sumber : Dirtjen Pengairan, PU, 1996

a. Luas = (𝑏 + 𝑚. ℎ)ℎ (m2)………………………………………


……………………….(2.38)
b. Volume = (𝑏 + 𝑚. ℎ)ℎ𝑥 𝑝𝑗𝑔 𝑠𝑎𝑙 (m3)…………………………….(2.39
…………………….(2.39)
c. Keliling basah …………………...………...(2.40)
= 𝑏 + 2ℎ√(1 + 𝑚 ) (m)……………………...………...(2.40
( .ℎ)ℎ
d. Jari-jari hidrolis = ………………………………...(2.41)
(m)………………………………………...(2.41
ℎ√( )

Dimana :
b = Lebar dasar saluran
h = Tinggi air
m = Kemiringan talud
w = Tinggi jagaan

42
3. Penampang Saluran Segitiga

Gambar 2. 10 Penampang Saluran Segitiga


Sumber : Dirtjen Pengairan, PU, 1996

a. Luas = 𝑚 𝑥 ℎ (m2)……………………………...……………..(2.42)
b. Volume = 𝑚 𝑥 ℎ 𝑥 𝑝𝑗𝑔 𝑠𝑎𝑙(m3)…………………………….…….(2.43)
c. Keliling basah = 2ℎ√(1 + 𝑚 ) (m)……………………………………...(2.44)

d. Jari-jari hidrolis = ℎ√( )
(m)……………………………………...…...(2.45)

Dimana :
b = Lebar dasar saluran
h = Tinggi air
m = Kemiringan talud
w = Tinggi jagaan
4. Penampang Saluran Lingkaran

d M.A.N

Gambar 2. 11 Penampang Saluran Lingkaran


Sumber : Dirtjen Pengairan, PU, 1996

43
a. Luas =1 8 (∅ − 𝑠𝑖𝑛 ∅ )𝑑 (m2)…………………………..…...(2.46)

b. Volume = 1 8 (∅ − sin ∅)𝑑 𝑥 𝑝𝑗𝑔 𝑠𝑎𝑙(m3)……………………...(2.47)

c. Keliling basah = 1 2 . ∅. 𝑑 (m)…………………………………….…….(2.48)

d. Jari-jari hidrolis = 1 4 (1 − 𝑠𝑖𝑛 ∅/∅ )(m)………………………..………(2.49)


Dimana :

b = Lebar dasar saluran


h = Tinggi air
m = Kemiringan talud
w = Tinggi jagaan
2.6.2 Menghitung Debit Rencana Saluran
Besarnya debit tencana pada saluran irigasi dihitung dengan menggunakan
rumus berikur :
. .
𝑄= ……………………………………………………………………..(2.50)

𝑄𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = …………………………………………………………...……..(2.51)

𝑄= ( 𝑚 /𝑑𝑡𝑘) ……………………………………………………….(2.52)

Dimana :
Qrencana : Debit rencana (ltr/dtk)
Qs : Debit saluran (ltr/dtk)
C : Koefisien pengurangan karena adanya sistem golongan (c = 1)
NFR : Kebutuhan air bersih di sawah (ltr/dtk/ha)
e : Efisiensi irigasi (0,65)
A : luas areal (ha)
Rumus-rumus saluran aliran dan saluran
𝑄 = 𝑉 . 𝐴 …………………...……………………………………………………(2.53)

𝑉 = 𝐾 .𝑅 .𝐼 …………………………………………………………….…..(2.54)
𝑅 = 𝐴 𝑃 …………………………………………………………………...……(2.55)
𝐴 = 𝑏 . ℎ (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑎𝑙. 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑔𝑖 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔) ……………………………...………(2.56)

44
𝑃 = 𝑏 . 2ℎ (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑎𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑙. 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑔𝑖 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔)………….…………...(2.57)
Dimana :
Q : Debit aliran (ltr/dtk)
V : Kecepatan aliran (m/dtk)
R : Jari-jari hidrolis (m)
A : Luas penampang salurar (m2)
P : Keliling basah (m)
I : Kemiringan saluran
b : Lebar saluran (m)
h : tinggi air (m)
2.6.3 Keofisien kekasaran Strickler
Koefisien kekasaran Strickler (K) tergantung pada faktor sebagai berikut :
1. Kekasaran permukaan saluran
2. Ketidak beraturan permukaan saluran
3. Trase saluran
4. Vegetasi saluran
5. Sedimen
Pengaruh faktor diatas terhadap koefisien kekasaran saluran adalah besarnya
berfariasi tergantung dimensi saluran yang ada. Besarnya koefisien kekasaran
Strickler untuk perencanaan saluran terdapat pada tabel berikut.
Tabel 2. 15 Harga Koefisien Strickler (K) untuk saluran irigasi
No Jenis Saluran Harga (K)

1 Saluran tanah

a. Q < m³/dtk 35

b. 1 < Q < 5 40

c. 5 < Q < 10 42,5

d. Q > 10 45

2 Satu sisi talud pasangan 42

3 Talud pasangan dasar tanah 45

45
4 Kedua dasar saluran pasang 60

5 Satu sisi talud dari beton 45

6 Kedua talud dari beton dasar dari tanah 50

7 Kedua talud dari beton dasar saluran dari tanah 70

8 Saluran dari pasangan dan di plester 75

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi, KP-03, 2013

2.6.4 Tinggi Jagaan


Tinggi jagaan bertujuan untuk :
1. Menaikan muka air diatas muka air maksimum
2. Mencegah kerusakan tanggul saluran
Meningginya muka air sampai diatas tinggi yang telah direncanakan bisa
disebabkan oleh penutupan pintu secara tiba-tiba di sebelah hilir, variasi ini akan
bertambah dengan besarnya debit. Meningginya muka air dapat pula disebabkan oleh
pengaliran air bangunan kedalam saluran.
Tinggi jagaan minimum yang diberikan pada saluran primer dan sekunder
dikaitkan dengan debit rencana saluran seperti pada tabel berikut.
Tabel 2. 16 Tinggi jagaan minimum yang digunakan untuk saluran irigasi
Tinggi Jagaan
No Debit (m³/dtk)
Tanah (m) Pasangan (m)

1 < 0,5 0,40 0,20

2 0,5 - 1,5 0,50 0,20

3 1,5 - 5,0 0,60 0,25

4 5 - 10 0,75 0,30

5 10 - 15 0,85 0,40

6 > 15 1,00 0,50

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi, KP-03, 2013

46
Tabel 2. 17 Kemiringan minimum talud untuk berbagai bahan tanah
No Bahan Tanah Simbol Kemiringan (m)

1 Batu 0,25

2 Gambutkenyal Pt 1 s/d 2

3 Lempungkenyal CL

4 Gelu CH 1 s/d 2

5 Tanah lus MH

6 Lempungpasiran SC
1,5 - 2,5
7 Tanah pasirankohesif SM

8 Pasiranlanauan SM 2 s/d 3

9 Gambutlunak Pt 3 s/d 4

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi, KP-03, 2013

2.6.5 Kemiringan Sisi Saluran


Untuk menekan biaya pembebasan tanah dan pengaliran, maka talud saluran
derencanakan haruslah securam mungkin. Baik tanah, kedalaman saluran dan
terjadinya rembesan akan membentuk kemiringan maksimum untuk talud yang stabil
(dilihat pada tabel 2.18 kemiringan minimum talud untuk berbagai bahan tanah).

Tabel 2. 18 Nilai banding dasar saluran (n)


No Q (m³/dtk) N No Q (m³/dtk) N

1 0,15 - 0,30 1,0 9 5,00 - 6,00 2,9 - 3,1

2 0,30 - 0,50 1,0 -1,2 10 6,00 - 7,50 3,1 - 3,5

3 0,50 - 0,75 1,2 -1,3 11 7,50 - 9,00 3,5 - 3,7

4 0,75 - 1,00 1,3 - 1,5 12 9,00 - 10,00 3,7 - 3,9

5 1,00 - 1,50 1,5 - 1,8 13 10,00 - 11,00 3,9 - 4,2

6 1,50 - 3,00 1,8 - 2,3 14 11,00 - 15,00 4,2 - 4,9

7 3,00 - 4,50 2,3 - 2,7 15 15,00 - 25,00 4,9 - 6,5

8 4,50 - 5,00 2,7 - 2,9 16 25,00 - 40,00 6,5 - 9,0

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi, KP-03, 2013

47
2.6.6 Perbandingan Dasar Saluran
Saluran kecil didesain dengan perbandingan sebagai beriku :

1. Luas Penampang (A)


Untuk saluran berpenampang persegi panjang
𝐴 = 𝑏 𝑥 ℎ ……………………………………………………………..…….(2.58)
2. Keliling Basah (P)
Untuk saluran berpenampang persegi panjang
𝑃 = 𝑏 + 2ℎ………………………………………………………………….(2.59)
3. Jari-Jari Hidrolis (R)
𝑅 = 𝐴 𝑃 ………………………...………………………………………….(2.60)
4. Perbandingan antara Lebar Dasar Saluran dengan Kedalaman Saluran
𝑏
ℎ = 1 → 𝑏 = ℎ …………………………………………………...……...(2.61)
5. Kecepatan Aliran (V)
𝑄
𝑉= 𝐴……………………………………………………………….……(2.62)

6. Kontrol Froude
𝐹𝑟 = …………………………………………………………...……….(2.63)
.ℎ

Sedangkan saluran dengan debit besar didesain dengan lebar (b) dan
kedalaman (h) dengan rasio n : hingga 10. (dilihat pada tabel 2.19 Nilai banding
dasar saluran n).

Tabel 2. 19 Kecepatan aliran yang diijinkan pada saluran terbuka


Kecepatanijinmaksimal (m³/dtk)
setelahsalurahberusia lama denganjenis
jenistanahasli yang dilewatisaluran air yang berupa

Air jernih Air yang berwarnalanau

Pasirhalus (Koloidal) 0,13 0,37

Geluhpasiran (non koloidal) 0,18 0,37

geluhhalus (non koloidal) 0,23 0,54

48
lanaualuvial (non koloidal) 0,23 0,73

Geluhpadatbiasa 0,37 0,73

Abu vulkanik 0,37 0,73

Kerikilhalus 0,37 1,56

Lempungkaku (sangatkoloidal) 1,27 2,25

Lanaualuvial (koloidal) 1,27 2,25

Geluhbergradasisampaikrakal (bila non


1,86 3,23
koloidal)

Lanaubergradasisampaikrakal (kalukoloidal) 2,10 3,01

Kerikilkasar (non koloidal) 1,47 3,28

Berangkal 4,45 5,39

Serpihdanserpihkeras 3,28 3,28

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi, KP-03, 2013

49

Anda mungkin juga menyukai