1. Transaksi debit, yaitu transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari
dalam negeri ke luar negeri. Transaksi ini disebut transaksi negatif (-), yaitu transaksi
yang menyebabkan berkurangnya posisi cadangan devisa.
2. Transaksi kredit adalah transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa)
dari luar negeri ke dalam negeri. Transaksi ini disebut juga transaksi positif (+), yaitu
transaksi yang menyebabkan bertambahnya posisi cadangan devisa negara.
Pergerakan nilai tukar rupiah saat ini dipengaruhi oleh defisit neraca pembayaran. Solusi
utamanya: menaikkan ekspor dan menurunkan impor. Langkah ini akan memperbaiki
neraca transaksi berjalan. Selain itu, mesti memasukkan modal, baik investasi langsung
(FDI) maupun investasi di pasar keuangan. Menaikkan Ekspor Seharusnya, kalau rupiah
melemah, produk ekspor otomatis menjadi lebih kompetitif. Karena, dalam jangka pendek
ongkos produksi tetap sehingga eksportir bisa menjual produk dengan harga lebih murah.
Menaikkan ekspor juga berarti mendorong industri manufaktur untuk berproduksi.
Pertumbuhan ekspor kita saat ini meningkat dibandingkan 2015 atau 2016. Namun, ada
satu karakteristik khusus di Indonesia. Jika manufaktur berproduksi lebih banyak, biasanya
perlu impor bahan baku dan barang modal. Di sini menjadi mbulet. Ketika rupiah melemah,
ongkos bahan baku ikut naik, sehingga belum tentu ekspor barang manufaktur lebih murah.
Alhasil, ketergantungan terhadap impor barang modal dan bahan baku ini membuat sektor
manufaktur tidak bisa memanfaatkan pelemahan rupiah. Menaikkan ekspor juga berarti
mendorong pemasukan devisa dari pariwisata. Ketika rupiah melemah, seharusnya
bepergian ke Indonesia lebih murah. Para pengusaha pariwisata bisa mempromosikannya
secara besar-besaran. Di sisi lain, pemerintah membangun infrastruktur dan mendorong
destinasi-destinasi baru untuk turis. Ini benar-benar harus dimanfaatkan. Jumlah wisatawan
mancanegara harus digenjot. Program 10 New Bali harus jadi. Kalau Indonesia membangun
infrastruktur, itu juga supaya ekspor bisa lebih lancar. Infrastruktur harus cukup -listrik,
komunikasi, transportasi, dan lainnya- perizinan lancar, ada kepastian hukum, dan
pelayanan pajak dijalankan dengan benar. Begitu pula terkait aturan ketenagakerjaan, tidak
ada pungli, dan beragam urusan lainnya. Selain infrastruktur, iklim investasi harus
diperbaiki. Kita tahu Indonesia sudah naik peringkat Ease of Doing Business-nya ke ranking
70-an. Tapi, ini belum cukup. Musti dilanjutkan. Kalau online single submission (OSS) sudah
dimulai, tetap harus dicari terus terobosan baru mempercepat layanan perizinan. Semua
harus bisa dimanfaatkan oleh para eksportir. Mengurangi Impor Bagaimana menurunkan
impor? Mesti melihat data, apa impor yang tinggi? Apa yang naik cepat? Lalu, perlu
dirumuskan yang bisa dilakukan dalam jangka pendek dan panjang. Peningkatan impor saat
ini terjadi hampir untuk semua barang. Pada Januari-Juli 2018, impor barang modal naik
30,1 persen dibandingkan Januari-Juli tahun lalu. Impor barang konsumsi naik 27 persen,
dan impor bahan baku naik 23 persen. Angka ini relatif tinggi. Bandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi yang nominalnya hanya tumbuh 8,5 - 9 persen. Apa isi impor barang
modal? Ada barang-barang mekanik, mesin peralatan listrik, besi baja, dan lain-lain. Hal ini
tidak lepas dari impor mesin-mesin pembangkit untuk mewujudkan pembangunan proyek
listrik 35 GW dalam beberapa tahun terakhir. Namun untuk proyek-proyek yang belum
dimulai akan dijadwal ulang. Lalu, bagaimana proyek yang sudah berjalan? Berlanjut. Tapi
perlu di-review untuk memaksimalkan penggunaan produk-produk domestik, kecuali
memang yang harus diimpor. Harus diakui impor minyak relatif meningkat. Indonesia sudah
defisit minyak, impor lebih tinggi dari ekspor. Pada semester pertama 2018, defisit minyak
tercatat US$ 8,4miliar. Padahal, tahun sebelumnya “hanya” US$ 12,8miliar, bahkan pada
2016 “hanya” US$ 9,7 miliar. Defisit setahun 2018, kalau dibiarkan tanpa kebijakan, hampir
pasti lebih besar dari defisit tahun-tahun lalu. Kebutuhan minyak di dalam negeri memang
tinggi. Setiap tahun naik karena pertumbuhan ekonomi. Hal itu wajar. Sebagian kenaikan
juga karena konsumsi berlebih yang dipicu oleh harga bahan bakar minyak (BBM) yang
dipatok pemerintah lebih rendah dari yang seharusnya. Karena itu, salah satu upaya
menurunkan impor minyak adalah Program B20 untuk biosolar. Artinya, 20 persen dari
volume solar bersumber dari minyak kelapa sawit (CPO). Kita adalah produsen utama dunia
CPO. Karena sudah efektif mulai 1 September lalu, seharusnya impor solar berkurang
sehingga mengurangi tekanan di neraca transaksi berjalan (current account). Impor apa lagi
yang juga tinggi? Ternyata barang konsumsi. Ini juga wajar. Kalau pendapatan naik,
biasanya semangat membeli barang konsumsi dari luar negeri juga naik. Seperti halnya
dalam menangani impor bahan baku, barang modal, dan minyak tadi, pemerintah
memutuskan memberi sinyal kebijakan agar mengurangi impor barang konsumsi, dan
mengimbau memakai produksi lokal. Saat ini kebijakan yg dipakai adalah menaikkan tarif
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang dibayar ketika mengimpor barang. Yang membayar
PPh ini importir ketika barangnya masuk daerah pabean. Apakah konsumen akhir akan ikut
membayar? Bisa iya, bisa tidak. Si importir bisa menaikkan harga jualnya, tapi bisa juga
tidak. Kenapa? Karena sifat dari pembayaran PPh Pasal 22 itu adalah pre-payment atau
witholding. Artinya, pembayaran pajak tersebut bisa diklaim (dikreditkan) sebagai bagian
dari PPh keseluruhan tahun pajak yang bersangkutan. Jadi, pembayaran PPh ketika impor
itu tidak hilang. Kalau ada ada utang PPh di akhir tahun pajak, bisa dihitung sebagai
pembayaran PPh juga. Mungkin ada ada yang bertanya, apakah efektif menurunkan impor?
Lagi-lagi jawabannya adalah kebijakan ini bukan melarang orang mengimpor. Tapi ingin
memberi sinyal dengan cara menaikkan biaya impor yang sifatnya temporary. Di sini,
barang-barang yang terkena kenaikan tarif PPh Pasal 22 ini seperti kategori barang
konsumsi sejumlah 1.147 item komoditas. Sebagian adalah kendaraan mobil dan motor
mewah. Tarif PPh Pasal 22-nya menjadi 10 persen. Kategori lain ialah barang konsumsi
yang sudah ada produksi domestiknya. Ini terkena tarif 10 persen. Kemudian ada sejumlah
barang konsumsi yang penggunaannya bermacam-macam, bahkan kadang dipakai di
kegiatan produksi seperti barang elektronik naik ke 7,5 persen. Kebijakan-kebijakan
menurunkan impor di atas relatif langkah jangka pendek. Menurunkan impor tidak bisa
hanya begitu. Harus ada yang lebih mendasar, yaitu terkait ketergantungan Indonesia
kepada barang modal dan bahan baku impor. Di sini, kuncinya adalah membangun industri
hulu. Untuk itu perlu membangun infrastruktur, memperbaiki iklim usaha, perizinan, dan lain-
lain. Khusus di bidang pajak, pemerintah memberi insentif fiskal. Saat ini ada fasilitas bebas
pajak penghasilan untuk penanaman modal baru di 17 industri hulu (fasilitas tax holiday).
Investasi minimal Rp 500miliar akan mendapat bebas PPh 5-20 tahun. Apakah ini
mengurangi penerimaan pajak? Tidak. Toh investasi-investasi ini sekarang juga belum ada.
Misalnya industri hulu termasuk kilang minyak, petrokimia, farmasi, besi dan baja, turbin
pembangkit listrik, komponen mobil, komponen komputer, dan berbagai indutri komponen
lainnya. Kalau barang-barang ini tersedia di Indonesia, kita harapkan industri downstream
akan mendapat manfaat, tidak usah impor bahan baku. Ujungnya, struktur ekonomi lebih
baik dan masyarakat makin sejahtera. Kalau direnungkan lebih dalam, masih panjang sekali
jalan untuk memperbaiki neraca eksternal. Perlu kombinasi kebijakan yang baik supaya
neraca pembayaran lebih ajeg dan tidak selalu mendapat tekanan. Kebetulan, situasi global
sedang gonjang-ganjing (volatil). Saat ini pula tekanan eksternal lebih terasa di
perekonomian sehingga perlu meresponsnya bersama-sama. Negeri ini, kalau bukan kita
yang menjaga, siapa lagi?
Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul "Suahasil Nazara : Kunci Mengatasi
Pelemahan Rupiah dan Defisit Neraca
Pembayaran" , https://katadata.co.id/opini/2018/09/21/kunci-mengatasi-pelemahan-
rupiah-dan-defisit-neraca-pembayaran
Penulis: Suahasil Nazara
Editor: Muchamad Nafi