Anda di halaman 1dari 19

PERDARAHAN HAMIL MUDA

1. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)


a. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang pertumbuhan sel telur
yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium.
Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dibagi menjadi: 6
1) Tuba Fallopi : meliputi 95% dari seluruh kejadian yang meliputi
pars ampula (55%), pars ismika (25%), pars fimbria (17%), dan
pars interstisialis (2%)
2) Kehamilan ektopik lain : meliputi serviks, ovarium, atau abdominal.
3) Intraligamen
4) Kehamilan heteropik
b. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun
sebagian besar penyebabnya masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan
akan dimulai dengan pembuahan di dalam ampulla tuba, dan dalam
perjalanan kedalam uterus telur mengalami hambatan sehingga pada
saat nidasi masih berada di tuba. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab kehamilan ektopik: 7
1) Faktor Tuba
 Faktor dalam lumen tuba : adanya infeksi atau peradangan
pada tuba menyebabkan penyempitan pada lumen tuba.
Lumen tuba yang sempit juga dapat disebabkan oleh
hipoplasia uteri atau karena bekas operasi pada tuba yang
bersangkutan.
 Faktori pada dinding tuba : endometriosis tuba dapat
memuahkan implantasi ovum di dinding tuba. Selain itu,
divertikulum kongenital juga dapat menghambat jalannya
ovum ke dalam uterus.
 Faktor di luar dinding tuba : tumor abdomen dapat
mengakibatkan penyempitan lumen tuba.
1
2) Faktor abnormalitas dari zigot
Zigot yang bertumbuh terlalu cepat tersendat pada saat di tuba
sehingga terhenti dan bertumbuh di tuba.
3) Faktor Hormonal
Pada akseptor, hormon progesteron dapat memperlambat gerakan
tuba sehingga meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik
4) Faktor Lain
Pemasangan IUD menyebabkan peradangan endometrium dan
endosalping sehingga menyebabkan kehamilan ektopik. Faktor usia
dan merokok juga disangkakan sebgai penybab kehamilan ektopik.
c. Patomekanisme 8,9
Kehamilan pada daerah intersisial sering berhubungan dengan
kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang muncul
lebih lama dari tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya
menghasilkan perdarahan yang sangat banyak bila terjadi ruptur. Jika
embrio tidak mencapai endometrium, maka embrio akan menempel
pada tuba dan akan berkembang. Namun karena tuba bukan merupakan
tempat yang baik untuk pertumbuhan janin, maka dapat terjadi
beberapa kelainan yaitu:
1) Hasil konsepsi mati dan diresorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi
total. Dalam keadaan ini, penderita tidak mengeluarkan apa-apa.
Hanya haid saja yang terlambat untuk beberapa hari.
2) Abortus tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh
darah oleh vili koreales pada dinding tuba di tempat implantasi
dapat melepaskan mudigah dari koriales pada dinding tersebut
bersama-sama dengan robekan pseudokapsularis. Pelepasan ini
dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung dari derajat
perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah
2
dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Frekuensi
abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi.
Abortus tuba lebih umum terjadi pada kehamilan tuba pars
ampullaris, sedankan penembusan dinding tuba oleh villi koriales
ke arah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars isthmika.
Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars ampullaris lebih luas,
sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi
dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah,
sampai berubah menjadi mola kruenta. perdarahan yang
berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan
(hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut
melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglasi
dan akan membentuk hematokel tertouterina.
3) Ruptur dinding tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan
rupture pada saluran lahir pada beberapa tempat. Ruptur dapat
terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus atau
pemeriksaan vagina.
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan
ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah
menipis karena invasi dari trofoblas, akan pecah karena tekanan
darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptut terjadi di arah ligamentum
latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin terus
hidup, terjadap kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga
perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan kecil,
perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Bila
pasien tidak meninggal jarena perdarahan, nasib janin bergantung
pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin yang
3
dikeluarkan tidak mati dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus
dalam rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal
sekunder.
d. Diagnosis 7,8,9
1) Anamnesis
Trias gejala klinis kehamilan ektopik meliputi :
 Amenore
 Perdarahan ireguler pervaginam
 Nyeri abdomen bagian bawah
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan
kesakitan. Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat diteukan
tanda-tanda syok dan pasien merasakan nyeri perut yang mendadak.
Pada jenis yang tidak mendadak, mungkin hanya terlihat perut
bagian bawah yang sedikit menggembung dan nyer tekan. Serviks
nyeri bila digerakkan, kavum douglas menonjol, dan nyeri raba
dijumpai.
3) Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah
Hemogram, golongan darah, tes faal ginjal, tes faal hati.
 Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan diagnostik
pilihan pada kasus suspek kehamilan ektopik. Kemungkinan
kehamilan ektopik harus dicurigai ketika kadar hormone b-hCG
pasien di atas 6.500 IU/L dan hasil USG transabdominal tidak
memperlihatkan kantung kehamilan (gestasional sac) atau jika
hasil USG transvaginal tidak menunjukkan kantung kehamilan
intrauterine dan kadar b-hCG lebih dari 1.500 IU/L.
 Pengukuran kadar B-hCG
b-hCG dapat terdeteksi dalam darah dan urine pada
4
kehamilan 1 minggu sebelum periode menstruasi yang
diperkirakan. Namun demikian, pengukuran tunggal b-hCG
tidak akan memberikan informasi yang signifikan. Pada
kehamilan normal dengan janin yang viabel, kadar b-hCG pada
trimester pertama akan mengalami kenaikan dua kali lipat setiap
sekitar 2 hari. Peningkatan setidaknya sebesar 66% sealma
waktu 48 jam digunakan sebagai nilai cut-off untuk viabilitas.
Kehamilan ektopik dapat terjadi dengan kadar b-hCG yang
mengalami kenaikan, penurunan atau plateau dan dengan
demikian diperlukan pemeriksaan estimasi secara serial. Pada
kehamilan dengan janin yang sudah tidak viabel akan terlihat
peningkatan kadar b-hCG yang subnormal. Akan tetapi,
peningkatan kadarnya dalam serum sebesar 2x lipar selama 48
jam tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.
Demikian pula, kadar yang menurun dapat memastikan
viabilitas tetapi tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan
ektopik.
 Pengukuran kadar progesteron
Kadar progesteron serum dapat mendeteksi kegagalan
kehamilan dan pasien suspek kehamilan ektopik tetapi tidak
dapat membedakan kehamilan ektopik dengan abortus spontan.
Sensitivitas untuk penegakan diagnosis kehamilan ektopik
sangat rendah (15%) yaitu 85 % pasien kehamilan ektopik akan
memiliki kadar progesteron serum yang normal.
Estimasi kadar progesteron dapat mengidentifikasi dua
subkelompok pasien, yaitu pasien yang sabil dengan kadar
progesteron serum di atas 22 ng/mL yang menunjukkan
kemungkinan besar kehamilan intrauterin dengan janin yang
valiabel, dan pasien dengan kadar progesteron serum sebesar 5
ng/mL atau kurang yang hampir dapat dipastikan bahwa pasien
ini sedang hamil dengan janin nonvaliabel. Pemeriksaan invasif
5
(misalnya dilatasi dan kuretase atau D&C) dapat ditunda sampai
dilakukan pengujian lebih lanjur pada subkelompok pasien yang
pertama, tetapi dapat dilakukan pada subkelompok pasien kedua
seperti halnya terapi dengan metotreksat.
 Kuretase diagnostik uterus
Jika vili korealis tidak ditemukan pada kuretase uterus,
maka kemungkinan kehamilan ektopik harus dicurigai. Akan
tetapi tindakan kuretase baru dipertimbangkan ketika kadar b-
hCG memperlihatkan penurunan atau ketika kadarnya
mengalami kenaikan dan hasil USG tidak menunjukkan
kehamilan intrauteri. Vili korealis terdapat dalam hasil kuretase
dan dipastikan ketika terlihat jaringan tersebut mengapung
dalam larutan saline; hasil ini menunjukkan adanya abortus
spontan meskipun tidak 100% akurat. Keberadaan abortus
spontan harus didukung oleh pemeriksaan histopatologi dan
estimasi kadar b-hCG seperti disebutkan sbelumnya.
 Kuldosentesis
Kuldosentesis merupakan alat diagnostik untuk
mengidentifikasi perdarahan intraperitoneal; tidakan diagnostik
ini dilakukan dengan menusukkan jarum sppinal berukuran 18-
gauge yang dihubungkan dengan sebuah tabung suntik
berukuran 50 mL ke dalam cul da sac (kavum Douglasi), untuk
kemudian melakukan aspirasi darah yang tidak membeku dari
dalam cul de sac tersebut. Namun demikian, prosedur ini tidak
memberikan informasi apakah darah tersebut berasal dari
kehamilan ektopik ataukah penyebab perdarahan intraperitoneal
yang lain.
 Laparoskopi
Laparoskopi tetap menjadi gold standard untuk mendeteksi
kehamilan ektopik dan memungkinkan visualisasi rongga pelvis
serta organ peritoneal lainnya. Tindakan tersebut
6
memungkinkan pemeriksaan tuba falopii yang tidak terkena dan
pemberian informasi tambahan tentang keberadaan adhesi
intraperitoneal ataupun endometriosis.
e. Penatalaksanaan 8,10
Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan
membutuhkan tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal
(salpingektomi) atau konservatif (biasanya salpingotomi) dan tindakan
itu dilakukan dengan jalan laparoskopi atau laparotomi.
Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara
hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan
laparaskopi, fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi
kurang, atau ada hambatan teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada
banyak kasus, pasien- pasien ini membutuhkan salpingektomi karena
kerusakan tuba yang banyak. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan
pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dan besarnya tidak lebih
dari 5 cm pada diameter transversa yang terlihat komplit melalui
laparaskop.
2. MOLA HIDATIDOSA
a. Definisi
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal yang ditandai dengan
pembengkakan kistik vilus korialis disertai proliferasi trofoblas dalam
beberapa tingkatan. 11
b. Etiologi / Faktor Risiko 7
1) Usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 35 tahun dengan risiko
relatif terbesar pada ibu tang berusia lebih dari 50 tahun.
2) Asupan protein, lemak hewani dan vitamin A larut lemak / keroten
yang berkurang dari maknan.
3) Riwayat kehamilan mola di masa lampau akan meningkatkan
risiko antara 1 dan 2 persen.
c. Tipe Mola Hidatidosa 7
1) Mola lengkap : terjadi karena fertilisasi ovum tanpa nukleus (tidak
7
memiliki kromosom) dengan sperma. Kemudian ovum ini
memperbanyak diri dengan menghasilkan 46 buah kromosom yang
asalnya dari pihak ayah saja.
2) Mola parsial : terjadi karena fertilisasi ovum oleh 2 buah sperma
dengan menghasilkan kromosom dari pihak ayah dan ibu.
d. Patomekanisme
Menurut teori Hertig Pada mola hidatidosa terjadi insufisiensi
peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed
abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan
mesemhin vili dan terbentuklak kista-kista kecil yang makin lama
makin besar, sampai pada akhirnya terbentuk gelembung mola.
Proliferasi trofoblas terjadi akibat tekanan vili yang membengkak. 9
Dilain pihak, Park mengatakan bahwa penyebab primer MH adalah
abnormalitas jaringan trofoblas beserta fungsinya, sehingga terjadi
absorpsi cairan berlebih ke dalam vili. Keadaan ini menekan pembuluh
darah dan akhirnya mematikan embrio.9
e. Pengelolaan Mola Hidatidosa
Prinsip dasar pengelolaan mola hidatidosa meliputi: 7
1) Konfirmasi diagnosis
 Keluarnya jaringan vesikuler pervaginam dapat menjadi bukti
diagnosis klinis pertama yang menunjukkan mola hidatidosa.
 Pemeriksaan USG
Akurasi fiagnosis ultrasound pra-evakuasi pada kehamilan
mola menunjukkan peningkatan bersama dengan peningkatan
usia gestasional, yaitu 35 hingga 40 % pada kehamilan
sebelum 14 minggu dan 60% pada kehamilan sesuah 14
minggu.
Pemeriksaan scan USG yang khas terhadap sebuah lengkap
memperlihatkan kavum uteru yang berisi masa heterogen
(suatu gambaran badai salju yang khas dari ekogenisitas
campuran yang merepresentasikan vili hidropik dengan
8
perdarahan intrauteri) tanpa disertai perkembangan janin dan
dengan atau tanpa kista theka lutein.
Gambaran ini mungkin tidak tampak pada awal trimester
pertama ketika perdarahan intrauteri belum terjai dan hasi scan
masih memperlihatkan gambaran vesikular yang halus atau
gambaran sarang lebah saja.
Diagnosis ultrasound sebuah mola parsial lebih kompleks
lagi dan meliputi baik ruang kistik dalam plasenta maupun
rasio diameter transversal terhadap diameter anteroposterior
dari kantung gestasional yang lebih dari 1.
 Pemeriksaan kuantitatif kadar b-hCG serum
Hasil pemeriksaan kuantitatif kadar b-hCG serum jauh
melebihi nilai yang diperkirakan untuk usia gestasionalnya
(lebih besar dari 2 kali nilai median) yaitu sering melebihi 10 5
IU/L.
 Pemeriksaan radioimunmunoassay kompetitif dengan
menggunakan antibodi poliklonal untuk mengenilai semua
bentuk b-hCG tetap menjadi gold standard bagi pemeriksaan
assay dalam pengelolaan penyakit trofoblastik gestasional.12
 Diagnosis definitif ditegakkan melalui pemeriksaan histologi
terhadap produk konsepsi. Dalam hal ini status ploidi dan
pewarnaan imunohistokimiawi untuk P57 membantu
membedakan moa parsial dengan mola lengkap dan keadaan
abortus mola dengan abortus nonmola.13
2) Evaluasi preterapi 7
 Investigasi baseline
- Hemogram lengkap dengan hitung trombosit
- Golongan darah ABO dan Rh
- Profil koagulasi
- Tes fungsi hati dan renal
- Pemeriksaan analisis gas darah arterial (AGD) baseline
9
dengan mempertimbangkan monitoring hemodinamika yang
invasif.
 Mendapatkan kadar baseline b-hCG
- Melakukan skrinning untuk mengantisipasipenyakit
metastatik okulta-pembuatan foto rontgen toraks.
- Pemeriksaan skrining untuk hipertiroidisme (T3, T4, dan
TSH)
3) Terapi definitif 7
 Suction curettage
Tindakan ini merupakan metode evakuasi yang digunakan
untuk menangani mola lengkap terlepsa dari ukuran uterus dan
untuk menangani mola parsial ketika ukuran janin
memungkinan. Tindakan suction hanya boleh dimulai sesudah
status euvolemik tercapai, darah yang sudah dicocokkan silang
tersedia dalam jumlah cukup (setidaknya 2 unit), dan
komplikasi medis seperti hipertensi serta hipertiroidisme sudah
ditangani. Akses infus intravena dengan selang infus
berdiameter besar harus sudah terpasang (sebaiknya dipasang
pada dua tempat).
 Histerektomi
Karena risiko timbulnya neoplasia trofoblastik gestasional
akan meningkat pada wanita yang berusia lbih dari 40 tahun,
maka tindakan histerektomi merupakan pilihan yang logis pada
wanita yang usia reproduktifnya sudah berlalu. Uterus diangkat
bersama dengan mola in situ. Adneksa dibiarkan; kista theka
lutein harus dibiarkan in situ kecuali kola terdapat
torsi/ruptur/perdarahan aktif.
Meskipun tindakan histerektomi akan menurunkan
insidensi kejadian malignan [asca-penyakit mola dari 20%
sesudah suction curetage menjadi kurang dari 5%, namun
tindakan tersebut tidak menghilangkan sama sekali risiko ini;
10
karena itu, protokol penanganan tindak-lanjut sama seperti
protokol penanganan tindak-lanjut harus dilaksanakan sama
seperti protokol yang harus diikui sesudah tindakan suctuin
curettage.
4) Penanganan tindak-lanjut / surveilans pasca terapi 7
 Pemeriksaan kuantitatif serial kadar b-hCG
Memantau kadar b-hCG selama 48 jam dan kemudian
setiap minggu sekali pasca-evakuasi sampai nilai yang normal
tercapai. Sesudah evakuasi mola H, biasanya kadar b-hCG akan
menjadi normal pada minggu ke-8 hingga ke-10.
Selanjutnya kadar b-hCG harus diukur selama 2 minggu
lagi sesudah kadar normal yang pertama untuk memastikan
regresi spontan b-hCG yang persisten. Memantau kadar b-hCG
setiap 1-2 bulan sekali selama 6 bulan berikutnya sejak tinggal
evakuasi jika kadar b-hCG sudah kembali normal dalam waktu
56 hari sejak kejadian kehamilan, maka penanganan tindak-
lanjut harus diteruskan selama 6 bulan dari normalisasi nilai b-
hCG.
Dasar pemikiran di balik tindakan monitoring selama 6
bulan pasca-normalisasi nilai b-hCG adalah untuk
memungkinkan identifikasi pasien yang megalami neoplasia
trogoblastik gestasional pasca-penyakit mola sesudah nilai b-
hCG yang normal tercapai yaitu keadaan yang akan dicapai oleh
sebagian besar pasien dalam waktu 6 bulan pasca-evakuasi.
5) Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan dalam (pelvik) yang frekuen dilakukan selama
kadar b-hCG menunjukkan peningkatan; penmeriksaan ini
bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya metastasi pada vagina,
memantau ukuran kista theka lutein, dan memantau involusi uterus.
6) Kontrasepsi yang andal harus dilaksanakan paling tidak selama 6
bulan
11
Kontrasepsi rintangan (barrier) harus dilakukan sampai
kadar b-hCG kembali normal. Sesudah itu dapat digunakan pil
kontrasepsi oral kombinasi (COC; combined oral contraception).
Penggunaan COC sebelum normalisasi nilai b-hCG akan sedikit
meningkatkan risiko terjadinya neoplasia trofoblastik gestasional
(GTN). Penggunaan kontrasepsi dalam rahim (IUN) sebelum
normalisasi hCG akan meningkatkan risiko perforasi.
Setelah surveilans untuk mengantisipasi kemungkinan
remisi selama 6 bulan selesai dilakukan, kehamilan sudah
diperbolehkan kembali sementara kadar b-hCG terus dipantau.
7) Jika pada setiap saat selama penanganan tindak lanjut terdapat tanda
yang menunjukkan penyakit sisa seperti perdarahan vaginal yang
rekuren atau persisten/amenore/kegagalan involusi uterus/
pembesaran uterus yang persisten atau apabila kadar b-hCG
kembali menunjukkan kenaikan, maka :
 Singkirkan kemungkinan kehamilan baru
 Lakukan pemeriksaan yang cermat untuk menemukan bukti
adanya penyakit sisa
 Ulangi foto toraks dan pemeriksaan usg pelvis

12
3. ABORTUS INSIPIEN, INKOMPLETUS, DAN SEPTIK

Gambar 2.1. Anatomi berbagai jenis keguguran (dikutip dari kepustakaan 14)
1. Definisi 14
Abortus insipien (abortus yang tidak terletakkan atau inevitable
abortion) melibatkan dilatasi serviks yang kontinyu dan progresif tanpa
terjadinya ekspulsi produk konsepsi sebelum periode viabilitas janin. Pada
kasus ini terjadi perubahan yang progresif menuju kepada keadaan yang
sejak itu tidak lagi dimungkinkan kelanjutan kehamilan.
Kegagalan kehamilan dini ketika keseluruhan produk konsepsi
belum terekspulsi keluar tetapi sebaliknya masih terdapat bagian janin
yang tertahan di dalam kavum uteri; keadaan ini didefinisikan sebagai
abortus inkompletus.
Keguguran septik adalah keguguran yang disertai infeksi baik pada
uterus dan organ sekitarnya, diikuti penyebaran kuman atau toksin ke
dalam peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau
sekitarnya dapat terjadi pada setiap keguguran, namun seringnya

13
ditemukan pada keguguran inkomplit dan lebih sering didapatkan pada
keguguran diinduksi yang dikerjakan tanpa memper- hatikan teknik
asepsis dan antisepsis.
2. Etiologi
Etiologi abortus spontan bersifat multifaktorial. Kurang lebih 50-
60% embrio yang mengalami abortus spontan memiliki anomali
kromossom. Faktor endokrin, metabolik, dan anatomi menyebabkan 10 –
15% kasus abortus spontan. Faktor anatomi ini meliputi inkompetensi
serviks, anomali kongenital uterus, tumor fibroid uterus dan adhesi uterus.
Penyebab lainnya adalah infeksi (5% kasus), penyebab imunologi (5-
10%), gangguan medis maternal dan inkompatibilitas golongan darah
ABO. Sekitar 40-60% kasus mungkin tidak diketahui penyebabnya. Usia
lanjut, usia yang ekstrim, stress dan usia ayah yang lanjut merupakan
faktor risiko independen untuk abortus spontan. Adapun untuk kejadian
abortus septik merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang
paling sering terjadi apalagibila dilakukan kurang memperhatikan asepsis
dan antisepsis. 7
3. Patomekanisme
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin
yang kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu
terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi
sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam. Buah
kehamilan terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan
sebagai benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi
uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi pendorongan benda asing itu
keluar rongga rahim (ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada abortus
spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling lama dua minggu
sebelum perdarahan. Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan
janin tidak layak dilakukan jika telah terjadi perdarahan banyak karena
abortus tidak dapat dihindari. 8
Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
14
dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis
belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur mudah
terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke-10 hingga minggu ke-12
korion tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua
makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta)
tertinggal kalau terjadi abortus. Pengeluaran hasil konsepsi didasarkan 4
cara: 8
a. Keluarnya kantong korion pada kehamilan yang sangat dini,
meninggalkan sisa desidua.
b. Kantong amnion dan isinya (fetus) didorong keluar, meninggalkan
korion dan desidua.
c. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan
janin ke luar, tetapi mempertahankan sisa amnion dan korion (hanya
janin yang dikeluarkan).
d. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh.
e. Kuretasi diperlukan untuk membersihkan uterus dan mencegah
perdarahan atau infeksi lebih lanjut.
4. Diagnosis

Gambar 2.2. Alur diagnosis abortus (dikutip dari kepustakaan 14)

15
a. Anamnesis 14
 Identitas pasien : nama, usia, informasi kontak
 Alasan mencari layanan kesahatan : kondisi kehamilan, termasuk
tanda dan gejala kehamilan serta komplikasi yang mungkin terjadi,
misalnya perdarahan pervaginam.
 Riwayat obstetri : informsi mengenai kehamilan-kehamilan
sebelunya beserta luarannya, termasuk: kehamilan ektopik, riwayat
kehuguran sebelumnya, kematian janin, kelahiran hidup, dan cara
persalinan.
 Riwayat ginekologi : HPHT dan apakah haid terakhir normal, pola
siklus haid, masalah ginekologi, dan riwayat kontrasepsi yang
digunakan.
 Riwayat seksual
 Riwayat penyakit lainnya
 Obat-obatan dan alergi
 Riwayat sosial
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kasus abortus meliputi pemeriksaan umum,
abdomen dan panggul, terutama untuk memastikan diagnosis
keguguran, menentukan jenis keguguran, menentukan ukuran dan posisi
uterus (dengan pemeriksaan bimanual), serta ada atau tidaknya
komplikasi. Pemeriksaan bimanual perlu selalu diakukan sebelum
melakukan prosedur aspirasi vakum oleh tenaga kesehatan yang
melakukan prosedur tersebut. 14
Saat melakukan pemeriksaan fisik, perlu dijelaskan kepada pasien
prosedur yang akan dilakukan serta apa yang mungkin pasien prosedur
yang akan dilakukan serta apa yang mungkin ia rasakan selama
pemeriksaan, misalnya rasa kurang nyaman pada saat pemeriksaan
pelvis. Dalam melakukan pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan pula
tanda dan gejala yang merujuk pada diagnosis banding abortus.

16
c. Pemeriksaan Penunjang
Dalam sebagian besar kasus, informasi dari anamneis dan
pemeriksaan fisik cukup untuk dapat menegakkan diagnosis dan
menentukan usia kehamilan. Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila
tanda dan gejala yang ditemukan tidak khas, atau diperlukan informasi
tambahan untuk mengonfirmasi diagnosis dan merencanakan
tatalaksana selanjutnya, misalnya pemeriksaan USG untuk
menyingkirkan kemungkinan KET, pemeriksaan laboratorium untuk
menentukan kadar hemoglobin pada pasien perdarahan hebat, b-hCG,
dan melihat apakah ada tanda infeksi (leukositosis), dan pemeriksaan
jaringan setelah prosedur evakuasi hasil konsepsi apabila dicurigai
adanya kondisi patologis tertentu. 14
Diagnosis Perdarahan Nyeri Ukuran ServiksGejala
Perut uterus Khas
Abortus Sedikit sedang Sesuai usia
Tertutup Tidak ada
Iminens kehamilan ekspulsi
jaringan
konsepsi
Abortus Sedang- Sedang- Sesuai usia terbuka Tidak ada
insipiens banyak hebat kehamilan ekspulsi
jaringan
konsepsi
Abortus Sedang- Sedang- Sesuai/lebih Terbuka Ekspulsi
inkomplit banyak hebat kecil dari sebagian
usia jaringa
kehamilan konsepsi
Abortus Ada/tidak Ada/tidak Sesuai/lebih Terbuka/ Ada tanda-
septik ada ada kecil dari tertutup tanda
usia infeksi,
kehamilan didapatkan
keputihan
berbau
Tabel 2.1. Diagnosis dan klasifikasi abortus
5. Penatalaksanaan
b. Abortus Insipien 15,16
1) Lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan risiko dan
rasa tidak nyaman selama tindakan evakuasi, serta memberikan

17
informasi mengenai kontrasepsi pascakeguguran.
2) Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu : lakukan evakuasi isi
uterus dan aspirasi vakum manual (AVM). Kuret tajam sebaiknya
hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia.
3) Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
 Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan
evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam uterus.
 Pasang infus 20 IU oksitosin dala 500 cc NaCl 0,9% atau RL
dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
4) Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2
jam.
5) Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
6) Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan
untuk pemeriksaan patologi ke laboratium.
7) Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urine setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa
kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan
kadar Hb > 8g/dL, ibu dapat diperbolehkan pulang.
c. Abortus inkomplit 15
1) Lakukan konseling
2) Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan
kurang dari 16 minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk
megeluarkan hasil konsepsi yang mencuat dari serviks.
3) Selanjutnya tindakan sesuai seperti pada abortus insipiens.
d. Abortus spetik 7
1) Antibiotik : antibiotik yang efektif untuk miktoorganisme gram-
negatif, gram-positif serta anaerob dan Chlamydia.
2) Evakuasi uterus : produk konsepsi yang masih tertinggal harus
dievakuasi di bawah perlindungan antibiotik
 Tindakan aspirasi vakum dihindari jika sebelumnya sudah
18
terdapat intervensi
 Oksitosin (20 unit dalam 500 mL cairan infus) dan
metilergometrin (0,2 mg IM) diberikan untuk mengatasi
atonia uteri.
 Alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) tidak dipasang pada saat
evakuasi.
 Hasil evakuasi produk konsepsi dikirim ke bagian
histopatologi.
3) Pengelolaan lebih lanjut :
 Monitoring yang ketat untuk gejala demam, frekuensi nadi,
perdarahan pervaginam dan perbaikan simtomatik.
 Jenis antibiotik perlu diubah jika tiak terjadi perbaikan pada
kondisi pasien dalam 48 jam, atau jika laporan tes sensitivitas
menunjukkan adanya bakteri yang resisten. Apabila gejala
demam menetap, kemungkinan penyebab demam yang lain
(demam tifoid, malaria) harus pula diinvestigasi.
 Terapi antibiotik IV dilanjutkan sampai pasien sudah tidak
demam lagi selama 48 jam dan kemudian terapi ini diikuti
dengan terapi oral. Doksisiklin (100 mg 2 kali sehari)
diberikan selama 14 hari.
 Imunoprofilaksis tetanus
 Tindakan follow-up dan konseling kontrasepsi

19

Anda mungkin juga menyukai