Dalam Bab ini akan dikemukakan tentang definsi kepribadian dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepribadian.
A. Pengertian Kepribadian
Kepribadian dalam bahasa arab memiliki padanan dengan istilah huwiyah, dzatiyyah,
nafsiyah, khuluqiyah dan syakshiyah. Huwiyyah dalam terminologi bahasa inggris berarti
identity. Al-Farabi mengemukakan bahwa huwiyyah adalah eksistensi individu untuk
menunjukkan keadaan dan keunikan yang dapat membedakan individu tersebut dengan individu
lain. Sedangkan dzatiyyah memiliki arti Identity, Personality, dan Subjectivity. Dalam
terminologi psikologi dzatiyyah adalah disposisi untuk bertingkah laku dengan satu cara tertentu.
Adapun nafsiyyah, Syafii menterjemahkan nafs sebagai personality, self or level of personality
development.
Sedangkan dalam perspektif psikologi modern yang dimaksud dengan kepribadian adalah
sebagai berikut:
Dari kedua pendapat ahli di atas pada dasarnya keduanya memiliki kesamaan yaitu
kepribadian merupakan suatu pola karakteristik yang relatif menetap yang ditampilkan
seseorang, sebagai manifestasi dari apa yang dipikirkan, dirasakan dan akan dilakukannya. Oleh
karena itu melalui karakteristik yang dimilikinya seseorang akan merespons dunia sekitarnya
berbeda-beda dan unik sifatnya
Untuk memahami lebih lanjut tentang kepribadian manusia, tentunya ada baiknya kita
mengenal terlebih dahulu tentang asal muasal manusia
Al-Qur’an telah menerangkan bagaimana Allah Swt menciptakan manusia dari materi
(jasad) dan ruh Dia telah menciptakan Nabi Adam dari tanah liat, kemudian meniupkan ruh-Nya
ke dalam diri Nabi Adam as. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt dalam QS surat
Shad (38:71-72) yang berbunyi:
71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan
menciptakan manusia dari tanah". 72. Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan
kutiupkan padanya ruh (ciptaan)Ku, hendaklan kamu bersujug kepadaNya.
dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk,
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Dimaksud dengan sujud di
sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan
Sifatspiritual yang dimilikinya, akan tercermin dari sifat-sifat baiknya yang dibawa sejak
lahir dalam bentuk fitrahnya lurus, beriman dan berbudi luhur dan perasaan halus. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam QS surat ar-Ruum (30:30) yang berbunyi:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
Yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar.
Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Hal yang sama juga dikemukakan dalam hadits yang disampaikan oleh Abdullah bin
Mas’ud, di mana diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw berkata: Tiap-tiap kalian dipadukan
penciptaaannya di dalam perut ibunya 40 hari sebagai yang muthfah, kemudian menjadi alaqah
(40hari), kemudian menjadi mudhghah (40 hari), setelah itu diutuslah malaikat untuk
meniupkan ruh kepadanya”
Dari penjelasan al-Qur’an dan hadits tersebut, maka sifat manusia itu merupakan
perpaduan antara sifat materi dan sifat ruh. Selanjutnya hadits dari Abu Hurairah menyatakan
bahwa Rasullulah saw berkata: setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Namun orangtuanya
yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
Dengan fitrahnya itu, bisa membedakan mana tingkah laku yang hak dan batil atau yang
baik dan yang buruk. Namun demikian manusia juga memiliki kesiapan untuk memilih jalan
yang baik maupun jalan yang buruk. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an surat al-
Balad (90:10):
Namun al-Qur’an dan hadits juga menjelaskan tentang keunikan manusia yang dilahirkan
dengan potensi yang berbeda-beda, baik berbeda dalam warna kulit, bahasa, kemampuan fisik
dan pikir, maupun kemampuan karakteristik kepribadiannya.
1. Pengaruh Heriditer
Dalam hadits Rasullullah Saw sebagaimana dijelaskan oleh Abu Hurairah yang artinya:
seorang laki-laki dari Bani Fazarah pernah datang mengunjungi Nabi Muhammad Saw, laki-laki
itu berkata: “Istriku melahirkan anak yang berkulit hitam. “lalu Nabi SAW bertanya: Apakah
engkau memiliki unta? Laki-laki itu menjawab, “punya” Nabi SAW bertanya lagi “apakah warna
unta itu? Ia menjawab: “merah”. Nabi SAW bertanya lagi” apakah unta tersebut makan
dedaunan? Laki-laki itu menjawab: “benar” Nabi SAW lalu bertanya lagi “Mengapa engkau
memberinya dedaunan? Ia menjawab. “Karena aku berharap unta itu melahirkan keturunan.”
Nabi SAW berkata: semoga unta itu melahirkan keturunan (dalam Ustman Najati, 2004: 277)
Hadits ini mengisyaratkan dengan jelas bahwa pengaruh heriditer memberi pengaruh
penting terhadap keturunannya. Gejala ini merupakan pengaruh faktor genetika atau keturunan
dari dari salah satu atau dari kedua orang tuanya.
Hadits Rusulullah SAW lainnya juga mengisyaratkan pengaruh genetika pada perilaku
manusia seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
Pilihkan untuk sperma (nutfah) kalian, nikahilah orang yang sepadan dan nikahilah
mereka.
Hadits ini memberi petunjuk. Seorang laki-laki seharusnya memilih istri berasal dari
keluarga yang baik agar dari pernikahan itu lahir keturunan yang baik dan sholeh.
Dalam Al-Qur’an juga telah mengisyaratkan tentang adanya perbedaan-perbedaan itu,
baik dalam hal perbedaan yang bersifat fitri maupun bersifat heriditer (bawaan). Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam QS surat ar-rum (30) 22, yang berbunyi:
Ayat di atas menguraikan tentang bukti-bukti keesaan Allah Swt, di mana melalui
pengamatan kita bisa memperhatikan tentang perbedaan lidah yang mempengaruhi perbedaan
bahasa, dialek dan intonansi. Dan juga perbedaan antara warna kulit kamu, ada yang hitam,
kuning, sawo matang, dan putih, padahal kamu semua bersumber dari asal-usul yang sama.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
alim yakni dalam dirinya memiliki pengetahuan tentangnya. (Tafsir Al_Misbah, 2005. Vol
11.37).
Demikian pula hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa yang artinya: sesungguhnya
Allah Swt menciptakan Adam dari segengam tanah yang digenggamNya dari seluruh tanah yang
ada. Karena itu lahirlah keturunan Adam sesuai dengan kadar tanah itu. Diantara mereka ada
lahir berkulit merah, putih, hitam, dan perpaduan diantara itu. Ada yang halus dan ada yang
kasar. Ada yang buruk dan ada yang baik.
Hadits di atas juga mengungkapkan bahwa perbedaan warna kulit, tabiat, kecenderungan
atas temperamen dan emosi telah menggambarkan perbedaan kepribadian. Oleh karena itu hadits
Rasullullah Saw dari Abu Hurairah bersabda: Apa yang kularang, jauhilah. Dan apa yang
kuperintahkan kepada kalian jalankan semampu kalian. Hal ini karena beliau memahami adanya
perbedaan karakter dari masing-masing sahabatnya.
Di samping dalam al-Qur’an dan hadits telah menjelaskan dijelaskan secara rinci tentang
perbedaan perbedaan warna kulit, bahasa, juga memiliki perbedaan dalam hal tingkat kecerdasan
maupun emosi dari setiap individu. Hal ini akan penulis jelaskan pada uraian berikut ini:
Dalam al-Qur’an dan hadits selain membahas perbedaan faktor fisik dan temperamen,
juga membahas tentang perbedaan tingkat kecerdasan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-
Qur’an surat al-Baqarah (2) 269:
Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran (dari firman Allah).
Hikmah terambil dari kata hakama, yang pada mulanya berarti menghalangi. Dari akar
kata yang sama terbentuklah kata bermakna kendali, yakni sesuatu yang fungsinya mengantar
kepada yang baik dan menghindarkan dari yang buruk. Untuk mencapai maksud tersebut
diperlukan pengetahuan dan kemampuan menerapkannya.
Dari sini hikmah dipahami dalam arti pengetahuan tentang baik dan buruk, serta
kemampuan menerapkannya yang baik dan menghindari dari yang buruk. Siapa yang dianugrahi
pengetahuan tentang kedua jalan itu, mampu memilih yang terbaik dan melaksanakannya serta
mampu mengindari yang buruk, maka dia telah dianugrahi hikmah. Tentu saja siapa yang
dianugrahi al-hikmah itu, maka benar-benar tekah diberi anugrah yang banyak. Tidak semua
manusia mampu menggunakan potensinya mengasah dan mengasuh jiwanya, sehingga tidak
semua yang diberi anugrah itu, bahkan tidak semua mau menggunakan akalnya untuk memahami
pelajaran tentang hakikat ini. Hanya ulul al-bab yang dapat mengambil pelajaran. Yang
dimaksud ulul-al-bab adalah orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh
“kulit” yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan berpikir. Yang memahami petunjuk-
petunjuk Allah, yang mau merenungkan ketetapan-ketetapkan-Nya, serta melaksanakannya,
itulah yang telah mendapat hikmah, sedangkan yang menolaknya pasti ada kerancuan dalam
berpikirnya, dan ia belum sampai memahami sesuatu. Karena fenomena alam hanya mungkin
dapat ditangkap oleh yang berakal, tetapi hakekat fenomena tidak akan terjangkau, kecuali oleh
mereka yang memiliki saripati akal (Tafsir Al-Misbah, 2005. Vol 1, 581)
Demikian pula sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw
berkata: Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diemban Allah kepadaku adalah seperti hujan
deras yang mengguyur tanah. Sebagian tanah itu ada yang subur dan menyerap air, kemudian
menumbuhkan banyak rerumputan. Sebagian lagi ada yang gersang yang masih bisa menyimpan
air. Allah memberi manfaat kepada manusia dengan tanahnya itu. Orang-orang bisa minum,
memberi minum, dan bercocok tanam. Hujan itu juga mengguyur sebagian tanah lainnya, yakni
tanah cadas yang tidak menyimpan air juga tak menumbuhkan tetumbuhan dan rumput-
rumputan. Begitulah perumpamaan orang yang paham akan agama Allah dan ajaran yang
diberikan Allah kepadaku, sehingga ia bisa mengetahui sekaligus mengajarkannya, dan juga
perumpamaan orang tidak mengangkat kepala untuk itu serta enggan menerima petunjuk Allah
yang diemban kepadaku (al-Bukhari dan Muslim).
1. Golongan orang pertama yang seperti tanah subur, yaitu yang mampu menyerap,
menghafal, mengamalkan, dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Al-hasil ilmu itu
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
2. Golongan kedua, orang yang seperti tanah gersang. Artinya orang yang masih bisa
menghafal ilmu dan menyampaikan ilmu kepada orang lain. Hanya saja ilmu tersebut
tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.
3. Golongan ketiga yang seperti cadas, yakni tanah datar yang sama sekali tidak memiliki
tumbuh-tumbuhan, tidak bisa merasakan manfaat ilmu, dan juga tidak bisa menghafal
untuk kemudian disampaikan kepada orang lain.
Di dalam hadits terdapat juga perbedaan dalam hal gejolak emosi. Dalam hadits masalah
emosi pada manusia diklasifikasikan menjadi tiga golongan:
1. Terdapat golongan orang yang tidak lekas marah, jika marah ia cepat-cepat meredam
kemarahannya. Inilah manusia utama.
2. Terdapat golongan orang yang cepat marah, karena hal-hal yang sepele. Namun
demikian kemarahan cepat mereda dan segera kembali tenang.
3. Golongan ketiga adalah golongan orang yang cepat marah, dan berkepanjangan dan
tak mudah reda. Ia hanya bisa kembali tenang setelah tempo yang cukup lama. Inilah
manusia yang paling buruk.
Abu Sa’id al-Khudri menuturkan bahwa Rasullah saw berkata: “ketahuilah, diantara
mereka (Bani Adam) ada yang lekas marah dan mudah reda. Ada yang lekas marah dan segera
tenang, dada yang lekas marah dan tidak mudah reda. Ketahuilah seburuk-buruk mereka adalah
yang lekas marah dan tidak mudah reda’.
Secara umum hampir seluruh teori kepribadian memberi penekanan tentang pentingnya
peranan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kepribadian seorang anak. Demikian pula
dalam pandangan Islam. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi SAW berkata:
“Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua
orang tualah yang menjadikan anak menjadi yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana
binatang yang melahirkan anaknya apakah kalian memberi makanan yang”
(diriwayatkan dari Ibnu Majah).
Hal ini menunjukkan bagaimana peran keluarga yang cukup vital dalam pembentukan
perilaku dan cara berpikir seorang anak. Oleh Karena itu Rasulullah SAW berwasiat untuk
memilih istri yang sholihat, yang beragama sama agar anak keturunan dalam suatu keluarga
tumbuh dengan baik dan sholih.
Rasulullah Saw menganjurkan kepada para sahabatnya agar memilih suami atau istri
yang sholih. Anjuran dari Rasulullah Saw itu menunjukkan perhatian terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak dalam lingkungan keluarga yang sholeh. Keluarga baik biasanya akan
mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik pula. Dan tentunya dalam keluarga yang
sholih akan memiliki kemauan untuk mempelajari kebiasaan dan akhlah yang terpuji (Utsman
Najati, 2004. 280).
Selain pengaruh orang tua. Rasulullah SAW mengemukakan orang terdekat juga
memiliki pengaruh terhadap perkembangan perilaku anak, terutama pada masa remaja. Hal ini
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Musa ra bahwa Rasulullah pernah berkata:
Perumpamaan seorang teman yang sholeh dan teman yang buruk itu seperti penjual minyak
wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi bisa saja memberikan minyaknya kepadamu atau
kamu menjual atau kamu bisa mencium bau wanginya. Sedangkan seorang pandai besi, kalau
tidak membakar pakaianmu, maka kamu akan mencium bau yang tidak sedap.
Mengenai pengaruh lingkungan ini sangat penting, karena manusia dapat belajar banyak
tentang kebiasaan, moral dan nilai, serta orientasi pemikiran dari lingkungan sosial dan budaya
di mana manusia tumbuh. Oleh karena itu pendidikan anak-anak harus mendapat perhatian
khusus bagi orang tua agar kebiasan baik yang sebenarnya telah dimiliki seorang anak dapat
terjaga sejak kecil. Mereka tidak harus belajar kebiasaan buruk dari suatu lingkungan di mana
pengaruhnya sangat sulit dielakkan dari diri mereka.
D. SIMPULAN