Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

LANDASAN FILOSOFI

Dalam upaya memahami tentang kepribadian manusia, mau tidak mau kita harus
membicarakan terlebih dahulu landasan filosofi tentang manusia. Karena melalui landasan
filosofi tersebut kita akan memahami tentang makna dan hakikat manusia sebagai objek dan
sekaligus subjek dalam kajian psikologi sesuai dengan sudut pandang dari teori yang
bersangkutan. Seperti halnya ketika kita menggunakan pendekatan Psikoanalisa sebagai
telaahan, maka teori ini memandang manusia sebagai makhluk biologis yang dikuasai oleh
instink tak sadar. dengan sifat dasarnya buruk. Sementara Behaviorisme memandang manusia
sebagai makhluk biologis yang terkondisi oleh lingkungan, dan sifat dasarnya netral.
Sedangkan manusia dipandang oleh Humanistik dan Transpersonal adalah sebagai makhluk
yang unik, dan merupakan kesatuan somatik, psikis, dan spiritual (Baharuddin, 2007, 317).
Sementara tema dan asumsi dasar dari Psikologi Positif fokusnya pada elemen-eleman dan
prediktor kehidupan yang baik atau “good life”. Yang dimaksud dengan kehidupan yang
baik adalah merupakan kombinasi dari hubungan yang positif terhadap orang lain (positive
connection to others), secara individual memiliki sifat-sifat positif (positive individual traits),
serta memiliki kualitas regulasi kehidupan (life regulatioan quality) (Willian
C.Comption,2005.7). Pertanyaannya sekarang bagaimanakah pandangan Islam tentang
landasan filosofi dan hakikat manusia?

Landasan Filosofis tentang Manusia Menurut Perspektif Islam

Berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap ayat-ayat al-Qu’ran dan beberapa


hadits diperoleh gambaran sebagai berikut:

1. Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk dengan sempurna-sempurnanya


bentuk fisiknya dibandingkan dengan makhluk lainnya.

2. Manusia lahir dengan potensi yang berbeda-beda yang bersifat unik.   

3. Manusia lahir kemuka bumi sebagai mahluk sosial


4. Manusia diciptakan makhluk yang berakal
5. Manusia dilahirkan ke muka bumi memiliki potensi untuk bergerak ke masa depan

6. Manusia dilahirkan ke muka bumi sebagai makhluk beragama yang suci dan lurus.

7. Manusia memiliki potensi sebagai abdillah (taat dan patuh) dan Manusia diciptakan
memiliki potensi sebagai khalifah di muka bumi

Untuk memahami lebih lanjut tentang hakikat manusia sebagaimana dikemukakan di


atas, maka perlu dijelaskan satu persatu yang dilandasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang
relevan untuk itu.

1. Manusia diciptakan sebagai Makhluk Biologis yang Sebaik-baiknya Bentuk ,


dibandingkan Makhluk hidup lainnya

28
Manusia sebagai makhluk biologis, ia diciptakan oleh Allah Swt dalam bentuk yang
sempurna-sempurnanya bentuk. Hal ini sebagaimana tercantum dalam QS at-Tin (94) 4:

:       

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya

Dalam tafsir Unisba (2011) dijelaskan bahwa makna dari Surat At-Tin (95): 4 yang
artinya Allah telah menjadikan manusia dapat berdiri tegak dan baik penampilannya. Artinya
Allah swt telah menjadikan manusia mampu untuk menggapai apa yang diinginkan dengan
tangannya, bukan seperti hewan, yang mampu mengambil sesuatu dengan mulutnya. Ia juga
diberi akal serta kemampuannya dan kesiapan yang khusus untuk menerima ilmu
pengetahuan, serta ia memiliki kemampuannya untuk menyimpulkan berbagai siasat yang
memungkinkan dirinya menguasai alam, akan tetapi manusia juga terkadang lupa akan
keistimewaan dirinya dan menduga dirinya seperti makhluk lainnya.

Kata taqwim dalam penggalan ayat ini menggambarkan kesempurnaan bentuk sesuai
dengan objeknya (M. Quraish Shihab, 2005). Ar—Raghib al-Ashfahani, seorang pakar
bahasa al-Qur’an, memandang kata taqwim sebagai isyarat tentang keistimewaan manusia
dibanding dengan binatang, selain bentuk fisiknya tegak dan lurus, juga memiliki akal. Jadi,
kalimat ahsan taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang
menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin ((Tafsir Al-Misbah,
2005. Vol 15, hal 378).

Ayat tersebut di atas dimaksudkan untuk menggambaran tentang anugrah Allah Swt
kepada manusia yang tidak hanya terbatas pada bentuk fisik semata tetapi diperlengkapi
dengan akal. Oleh karena itu Allah Swt dengan tegas mengecam orang-orang yang bentuk
fisiknya baik, namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika, maupun ilmu
pengetahuan (QS al-Munafiqun (63): 4.

Sementara Sayyid Quthb (1992. Jilid 12. 299) menjelaskan Allah Swt menciptakan
manusia dengan sebaik-baiknya, dan keseimbangan yang sebaik-baiknya. Baik dalam hal
susunan tubuhnya yang sangat cermat dan rumit dibandingkan dengan makhluk lainnya,
susunan akalnya yang unik, maupun susunan ruhnya yang menakjubkan. Khusus kaitan
dengan ruhyiah, tampak bahwa keunggulan wujud manusia, diberi potensi untuk mencapai
tingkat yang tinggi melebihi kedudukan malaikat, namun juga manusia memiliki potensi
untuk mencapai derajat yang terendah seperti binatang. Jika manusia memperturutkan hawa
nafsunya.

2. Manusia Sejak Lahir Memiliki Potensi dan Usaha yang Berbeda-beda.

Sebagaimana kita ketahui John Lock (l690) dan para penganut behaviorisme
menyatakan bahwa manusia lahir ke muka bumi bagaikan kertas putih kosong, yang belum
ditulis apapun. Sementara menurut pandagnan Islam manusia diciptakan oleh Allah Swt
memiliki potensi yang berbeda-beda baik dalam hal kecerdasan, bakat, sifat-sifatnya
sebagaimana telah dijelaskan. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam QS al Zukheruf (43)
32: 

29
         
        
         
32.Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.

Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa Allah Swt telah memberi rahmat dan
nikmat yang berbeda-beda, ada yang kaya dan ada pula yang miskin, ada yang lemah dan ada
kuat. Sebagian individu diberi beberapa derajat, pangkat, jabatan dan amanah, dengan tujuan
agar manusia memberlakukan dan mensejahterakan orang lain (Nasharuddin, 2015.89).

Demikian pula dijelaskan dalam QS surat Ar-Rum (30):22:

dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-
lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.

Penggalan dari ayat ini menjelaskan tanda-tanda dari kekuasaan-Nya adalah


menciptakan manusia berlain-lainan dalam bahasa dan warna kulit. Bahkan dalam tafsir Ibnu
Katsir dijelaskan lebih rinci bahwa manusia diciptakan dengan bahasa yang berbeda-beda.
Ada yang berbahasa Arab, Tartar, Romawi, Perancis, Barbar, Habsi, Armenia, dan
sebagainya, di mana tidak ada yang mengajarkannya kecuali Allah. Selain itu Allah Swt
menciptakan berbagai warna kulit yang berbeda. Seluruh penduduk bumi semua memiliki
dua mata, dua pelipis, satu mulut, dan dua pipi, satu dengan yang lainnya tidak ada yang
memiliki kesamaan, bahkan dibedakan dengan jalannya, sikapnya atau pembicaraannya, baik
nyata dan tersembunyi, yang hanya dapat terlihat jika dipahami melalui perenungan. Dan
setiap wajah diantara mereka memiliki bentuk dan susunan pada dirinya sendiri yang tidak
sama dengan yang lainnya (Tafsir Ibnu Katsir . l997, jilid 7, 210-211).

Selain itu perhatikan pula QS al—An-am (6) :165 :

dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Penggalan ayat ini yang artinya: Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang
lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Artinya
Allah membedakan kalian dalam hal rizki, akhlak, kebaikan, keburukan, penampilan, bentuk,
warna, dan hikmah yang berbeda. (Tafsir Ibnu Katsir, 1997, jilid 3, 431).

30
Penggalan ayat QS surat An-Nisa (4: 32) yang artinya: Dan janganlah kamu
berangan-angan terhadap apa yang dikarunia Allah kepada sebagian kamu lebih banyak
dari sebagian yang lain.

Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu Abas tentang ayat ini, ia berkata
“Hendaklah laki jangan berhayal, dan ia berkata: Seandainya aku memiliki harta si pulan
dan keluarganya. ( Maka Allah melarang hal itu), akan tetapi (hendaklah) ia memohon
kepada Allah dari karunia-Nya. Demikian pula Ibnu Abi Rabah berkata: Ayat ini turun
berkenaan dengan larangan iri hati terhadap apa yang dimiliki seseorang, dan juga iri hati
seorang wanita untuk menjadi laki-laki, sehingga mereka dapat berperang (HR. Ibnu Jarir,
dalam Ibn Katsir, l997, jilid 2. 372-273).

Banyak para ahli tafsir yang berbeda dalam menganggapi penggalan ayat ini. Seperti
halnya kata iktasabu dan iktasabna yang diartikan dengan yang mereka usahakan yang
terambil dari kasaba. Penambahan ta’ pada kata itu sehingga menjadi iktasau dalam berbagai
bentuknya menunjuk adanya kesungguhan serta usaha ekstra. Berbeda dengan kasaba, yang
berarti melakukan usaha dengan mudah dan tidak disertai dengan upaya sungguh-sungguh.

Ar-Raghib al-Ashfani berpendapat bahwa kata iktasaba adalah usaha manusia dan
perolehannyya untuk dirinya sendiri, berbeda dengan kasaba yang digunakan untuk
perolehan dirinya atau orang lain. Sementara Ibn Asyur, berpendapat kata patron itu
digunakan oleh Al-Qur’an untuk menjelaskan perolehan sesuatu yang didapat manusia tanpa
usaha darinya seperti halnya orang yang memperoleh warisan.

Jika kata ikhasabu dipahami sebagaimana dikemukakan oleh ar-Raghib all


Ashafahani, maka ayat ini seakan-akan berkata: janganlah kamu mengangan-angankan
keistimewaan yang dimiliki seseorang atau jenis kelamin yang berbeda dengan jenis
kelaminmu, karena keistimewaan yang ada padanya itu adalah karena usahanya sendiri, baik
dengan kerja keras membanting tulang dan pikiran, karena fungsi yang harus diembannya
dalam masyarakat, sesuai dengan potensi dan kecenderungan jenisnya.

Demikian pula sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Musa ra bahwa Rasulullah Saw
bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diemban Allah kepadaku
adalah seperti hujan yang turun ke Bumi/ Di antara Bumi itu terdapat sebidang tanah yang
subur yang menyerap air, dan sebidang itu rumput hijau tumbuh subur. Ada juga sebidang
tanah yang tidak menumbuhkan apa-apa, walaupun tanah itu penuh dengan air. Padahal
Allah Swt menurunkan aitu itu agar manusia dapat meminumnya, menghilangkan rasa haus,
dab menanam. Ada juga sekelompok orang yang mempunyai tanah gersang yang tidak ada
air dan tidak tumbuh apa pun di tanah itu. Gambaran tersebut seperti orang yang
mempunyai ilmu agama Allah Swt dan mau memanfaatkan “sesuatu” yang menyebabkan
aku diutus oleh Allah Swt kemudian orang itu mempelajari dan mengerjakannya.
Diriwayatkan oleh Syaikhan (Nawawi, jilid 2, 95; hadits No 3/1379)

Hadits ini menggambarkan perbedaan antar manusia dalam kemampuan belajar,


memahami, dan mengingatnya. Ketiga kemampuan ini tergolong dlaam pengertian
intelektualitas.

31
Adapun perbedaan tingkah emosional dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Sa’id al-Kudri ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Ingatlah, diantara anak Nabi
Adam As itu ada yang lambat marah dan cepat kendali. Ada pula yang cepat marah dan
cepat pula kendali. Ingatlah di antara anak Nabi Adam as itu ada yang cepat marah dan
lambat kendali. Ingatlah sebaik-baik mereka ialah anak Adam as yang lambat marahnya
dan cepat kendali. Ingatlah seburuk-buruknya anak Nabi Adam as ialah yang cepat marah
dan lambat kendalinya”

Berdasarkan penjelasan di atas Islam telah memberikan pedoman bahwa manusia


dilahirkan ke muka bumi memiliki potensi dan karakter yang berbeda-beda. Artinya manusia
dilahirkan ke muka bumi tidak sebagaimana yang digambarkan oleh John Locke adalah
manusia lahir ke muda bumi bagaikan kertas kosong yang belum ada tulisan sama sekali atau
bersifat netral sebagaimana digambarkan oleh behaviorime.

3. Manusia diciptakan sebagai Makhluk Sosial.

Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial, sehingga ada peribahasa yang


menyatakan “Bersatu manusia akan kuat, sedangkan bercerai akan lemah dan runtuh”. Hal
ini sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an Al- Hujarat (49):13:

        


           
 

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.

Penggalan pertama ayat di atas: Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan adalah sebagai pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia
memiliki derajat yang sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan satu dengan yang lain. Tidak
ada perbedaan nilai kemanusian laki-laki dan perempuan, karena semua diciptakan dari
seorang laki-laki dan perempuan. Pengantar tersebut mengantarkan pada kesimpulan
sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah ialah yang paling bertakwa (Tafsir Al-Misbah,
2005. Vol 13.260)

Sayyid Quthb (l992) menjelaskan ayat ini bahwa Allah menciptakan kamu dari jenis
laki-laki dan wanita, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, tujuannya bukan saling menjegal
dan bermusuhan, tetapi supaya harmonis dan saling mengenal. Adapun perbedaan bahasa,
warna kulit, perbedaan watak dan akhlak, serta perbedaan bakat dan potensi merupakan
keragaman yang tidak perlu menimbulkan perselisihan. Justru harus menimbulkan kerjasama
supaya bangkit dalam memikul segala tugas dan memenuhi segala kebutuhan ( Jilid 10; 421).

32
Perhatikan pula QS surat al-Zukhruf (43):32 yang artinya:

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan


antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.

QS surat Maryam (l9): 57 yang artinya:

dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.

QS al-A’raf (7) l76 yang artinya:

dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan


ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang
rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya
lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.

Namun Allah Swt menegaskan bahwa tidak wajar seseorang berbangga dan merasa
diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antarbangsa, antarsuku dan warna kulit. Karena
manusia pada awalnya sebagai makhluk yang satu, kemudian mereka berselisih. Hal ini
sebagaimana dikemukakan pada surat QS surat Yunus (10) 19:

           
      
manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih[679]. kalau
tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu [680], pastilah telah
diberi keputusan di antara mereka[681], tentang apa yang mereka perselisihkan itu. [679]
Maksudnya: manusia pada mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu
keluarga. tetapi setelah mereka berkembang biak dan setelah kepentingan mereka berlain-
lain, timbullah berbagai kepercayaan yang menimbulkan perpecahan. Oleh karena itu Allah
mengutus Rasul yang membawa wahyu dan untuk memberi petunjuk kepada mereka.

Penyebab perselisihan, karena manusia adalah makhluk yang loba kepada kehidupan
(mencari kesenangan material). Padahal Allah memberi petunjuk agar manusia berlaku adil,
tidak boleh mengurangi takaran dan timbangan, dan janganlah membuat kerusakan di muka
bumi (QS al-A’raf (7):85. Janganlah kita merugikan hak-hak mereka, dan janganlah pula
kamu berbuat kejahatan (QS 11:85).

4. Manusia Dilahirkan sebagai Makhluk yang Berakal.

Sosok Adam sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Qur’an adalah makhluk yang
sangat beradab, ia memiliki ilmu yang tinggi dan bukan makhluk purba. Oleh karena itulah
Allah menunjuknya sebagai Khalifah (pemimpin) di muka bumi.  Adam As dan anak cucunya

33
dimuliakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang teramat cerdas, memiliki kelebihan yang
sempurna dibandingkan dengan makhluk lain sebelumnya, yaitu diciptakan sebagai
makhluk yang terbaik. Hal ini sesuai Firman-Nya pada Surah Al Israa' (17): 70:

         


        

dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-
pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.

Ayat ini terkait dengan QS surat At-Tiin yang menjelaskan bahwa Allah Swt
memberitahukan tentang pemuliaan dan penghormatan-Nya terhadap anak cucu Adam, yakni
penciptaan yang sebaik-baiknya dan sempurna, yaitu makhluk yang dapat berjalan tegak
dengan berpijak kepada kedua kakinya, makan dengan menggunakan tangan, Allah juga
memberi pendengaran, penglihatan, dan akal yang dengannya dapat memahami, mengambil
manfaat, dan membedakan banyak hal, mengetahui manfaat dan keistimewaan serta
bahayanya dalam urusan duniawi dan urusan agama (Tafsir Ibnu Katsir, 1997, jilid 5, 342)

Dan Allah Swt juga memberi karunia kepada mereka berbagai macam rizki yang
baik-baik berupa tanaman, buah-buahan, daging, susu, dan beraneka macam makanan yang
beraneka warna yang sangat lezat (guna memenuhi gizi dan nutrisi), juga memberi
pemandangan yang indah, pakaian yang bagus-bagus dengan berbagai macam jenis, warna,
dan bentuknya, yang mereka buat untuk diri sendiri atau orang lain, yang mereka ambil dari
daerahnya maupun dari daerah lainnya. Dan kami lebihkan mereka dari makhluk lainnya
(Tafsir Ibnu Katsir, 1997, jilid 5, 342)

Demikian pula dalam QS surat Qof (50): 6:

        


   

Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ?

Kata yandhuru dalam ayat ini dapat diartikan melihat sambil memikirkan dan
melakukan penalaran, betapa hebatnya langit yang tinggi tanpa tiang yang diciptakan Tuhan,
dihiasi dengan jutaan planit yang kokoh dan kuat, dan tidak ada yang retak sekalipun, dan
tidak pernah ada yang bertabrakan satu sama lainnya.

QS Abasa ( 80):24-25:

         

Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.

34
Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),

Ayat ini menjelaskan tidak semua makanan yang ada di bumi ini bisa dikonsumsinya,
ada yang diharamkan ada pula yang dihalalkan, ada yang diperuntukan untuk makanan
binatang ada untuk manusia, ada yang perlu dimatangkan oleh api ada yang tidak. Sedangkan
ayat berikut ini bagaimana air hujan yang diturunkan ke bumi yang dapat menumbuhkan
jenis tanaman yang ditumbuhkan oleh air hujan, ayat selanjutnya 26 sampai dengan 32
manusia diperintahkan untuk menemukan dan memikirkan tentang tumbuhnya biji-bijian
yang subur di muka bumi. Tidak semua tanah bisa ditumbuhi oleh macam-macam tumbuhan.
Hanya Allah sajalah yang yang menentukan biji-bijian dan sayur-sayuran manakah yang
dapat tumbuh di bumi, dsb.

Sebagai makhluk yang berakal, manusia juga diharuskan untuk patuh kepada
Tuhannya. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam QS Arad (13):15:

         
  
hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu
pagi dan petang hari.

Manusia sebagai makhluk yang berakal, melalui ayat ini disadarkan untuk senantiasa
patuh dengan ketetapan Allah sebagaimana halnya segala sesuatu yang ada di langit dan bumi
mengikuti ketetapan Allah seperti halnya air selalu mengalir ke tempat rendah, Air pada suhu
0 derajat celcius membeku, dan mendidih pada suhu 100 derajat celcius. Ini terjadi kapan dan
dimanapun berada. Karena itu ketentuan Allah. Seandainya Allah menghendaki yang lain,
seperti halnya api yang menghangatkan atau membakar dan membinasakan yang dibakarnya,
maka api akan patuh seperti ketika Allah memerintahkan dingin dan menyelamatkan Nabi
Ibrahim (al-Anbiya 69). Demikian pula seandainya Allah menjadikan bumi ini transparan
atau mengkilat seperti air ketika terkena sinar matahari, maka bayangan tidak akan tampak.
Ini menunjukkan betapa kuasanya Allah swt, dan menunjukkan kendatipun ada manusia
enggan bersujud kepada-Nya, tetapi bayangannya sudah sujud dan patuh kepadanya.
Sebenarnya manusia-manusia yang kafir itupun sujud kepada Allah, dalam sekian bagian dari
anggota badannya. Dia hanya membangkang melalui anggota badan yang dapat dikendalikan,
adapun yang berada di luar kendali dirinya, tunduk kepada Allah, seperti denyut nadi dan
peredaraan darah (Tafsir Al-Misbah 2005. Vol 6, 578).

5. Manusia Bergerak ke Masa Depan.

Dalam pandangan Al-Qur’an adalah makhluk yang bergerak ke masa depan. Hal ini
sebagaimana tercantum pada QS Ibrahim (14):1:

          
      

35
Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
1.
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin
Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.

Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan kepadamu, wahai Muhammad


untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kesesatan yang mereka alami menuju
petunjuk Allah dan kebenaran. Arti penggalan ayat di atas mengisyaratkan manusia
hendaknya selalu menunju kearah yang positif yaitu menuju kepada sesuatu yang terang
(Tafsir Ibn Katsir, 1997. Jilid 5, 60)

Penjelasan yang hampir sama dikemukakan pada QS Al-Hasyr: (59):18:

          
        
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Mundzir bin Jarir, dari ayahnya ia berkata: Kami
pernah bersama Rasulullah Saw di permulaan siang. Lalu ada suatu kaum yang mendatangi
beliau dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, membukus diri dengan kulit
macan atau sejenis mantel dengan menyandang pedang. Kebanyakan mereka berasal dari
suku Mudhar. Maka raut wajah Rasulullah berubah ketika melihat keadaan mereka yang
demikian miskin itu. Setelah beliau melaksanakan shalat, beliau berhutbah, beliau berkata:
Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa
yang suci, sampai akhir ayat- lalu beliau membaca ayat yang terdapat pada surat al-Hasyr:
Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok. Sebagian
menyedekahkan dari dinar, dirham, pakaian, gandum, dan kurma.

Perintah memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok, dipahami oleh
Thabathaba’i sebagai perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah
dilakukan. Ia seperti tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia dituntut untuk
memperhatikan kembali memperbaikinya bila masih ada kekurangan. Sehingga jika tiba
saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan dan barang tersebut tampil sempurna (Tafsir Al-
Misbah. Vol 14. 130).

6. Manusia Dilahirkan dalam Keadaan Fitrah dan Lurus.

Manusia menurut pandangan Islam, manusia dilahirkan dengan keadaan fitrah (suci)
dan memiliki agama yang lurus (hanif), sebagaimana tercantum pada QS surat Rum (30):30:

            
          
 
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

36
Fitrah dalam ayat di atas bermakna agama yang lurus yaitu Islam atau tauhid. Artinya
manusia terlahir dengan membawa fitrah beragama yaitu dalam keadaan Islam, baik dari
keturunan kafir maupun Islam. Pemaknaan fitrah berarti beragama Islam sesuai dengan
penjelasan al-Qur’an surat (30):30 Ruum, di mana tujuan Allah menciptakan manusia
hanyalah menyembah kepada-Nya secara lurus, tidak menyimpang, sebagaimana agama
Yahudi, Nasrani, Majusi atau syirik yang menghilangkan fitrah manusia (Nasrudin, 2016.
63). Hal ini sebagaimana dikemukakan hadits Nabi Muhammad Saw:

Bayi yang dilahirkan itu hanyakah membawa fitrah, (Islam), maka hanya orang
tualah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, Majusi dan Syirik (H.R Bukhari dan Muslim,
dalam Nasharudin, 2015, 54).

Mengenai pendapat ulama tentang kata fitrah berbeda-beda dalam hal menjelaskan
ayat ini. Ada yang berpendapat fitrah yang dimaksud adalah keyakinan tentang keesaan Allah
swt, yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. Namun Al-Biqa’i tidak membatasi
arti fitrah pada keyakinan tentang keesaan Allah swt. Menurutnya, yang dimaksud dengan
fitrah adalah ciptaan pertama dan tabiat awal yang Allah ciptakan atas dasar yang suci.
Pandangan ini dibuktikan oleh Al.Biqa’i melalui pengamatan terhadap anak-anak. Anak
menurutnya memiliki perangai lurus serta kemudian mematuhi petunjuk yang jelas seperti
orang dewasa, walaupun mereka bertingkat-tingkat dalam hal ini. Dengan demikian tulis Al-
Biqa’i, yang dimaksud fitrah adalah penerimaan kebenaran dan kemantapan mereka dalam
penerimaannya. Selanjutnya Al-Biqa’i memahami tidak seorangpun yang menjadikan
seorang anak pada awal pertumbuhannya menyandang fitrah yang buruk (Tafsir Al-Misbah,
2005. Vol 11: 54)

Sedangkan Thahir Ibn Asyur dalam uraiannya tentang makna fitrah, dengan terlebih
dahulu mengutif pendapat pakar tafsir Ibn Athiyah yang memahami fitrah sebagai “keadaan
atau kondisi penciptaan yang terdapat dalam diri manusia yang menjadikannya fitrah itu,
yaitu mampu membedakan ciptaan-ciptaan Allah serta mengenall Tuhan dan Syariat-Nya.”.
Sehingga dengan demikian Fitrah yang dimaksud di sini menurut Ibn Asyur adalah unsur-
unsur dan sistem yang Allah anugrahkan kepada setiap makhluk. Artinya fitrah manusia
adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia yang terdiri dari jasad dan akal. Seperti
misalnya manusia berjalan dengan kakinya. Dengan memperhatikan penjelasan tersebut
kesimpulan adalah bahwa dengan mengait-kaitkan premis-premis di atas, maka fitrah
dimaksud di sini adalah fitrah akliahnya. Sebaliknya jika mengambil kesimpulan akliyah
dengan cara mengkait-kaitkan premis-premis yang saling bertentangan, maka dapat dikatakan
bukanlah fitrah akliah manusia. Dengan demikian dapat dipastikan fitrah akliah adalah
dengan memastikan apa yang disaksikan oleh mata kita sebagai hal-hal yang mempunyai
wujud sebagaimana apa adanya, maka ini dinamakan fitrah akliah, sedangkan
mengingkarinya sebagaimana yang diduga oleh penganut sophisme adalah bertentangan
dengan fitrah akliah (Tafsir Al-Misbah, 2005, vol 11: 54).

Selanjutnya Ibn Asyur dengan menukil pendapat Ibn Sina yang memberi ilustrasi
tentang makna fitrah adalah seandainya seseorang manusia lahir ke dunia ini dalam keadaan
sempurna akal, tetapi dia belum pernah mendengar satu pendapatpun, tidak juga meyakini

37
satu mazhab, tidak bergaul dengan masyarakat atau mengenai siasat—hanya menyaksikan
hal-hal indrawi-lalu ia mengambil beberapa kondisi dan memaparkannya kebenaknya lalu
berusaha untuk meragukannya, maka bila ia ragu itu berarti fitrah tidak mendukungnya, tetapi
bila dia tidak ragu, itulah petunjuk fitrah. Namun demikian- lebih lanjut Ibn Sina
mengemukakan tidak semua yang dituntun oleh fitrah manusia, benar adanya. Yang benar
hanyalah yang dituntun oleh potensi akliah, sedang fitrah merupakan pemikiran umum, maka
bisa saja tidak benar.

Pemahaman atas ayat di atas hanya berbicara tentang fitrah yang dipersamakan
dengan agama yang benar. Ini berarti yang dibicarakan oleh ayat ini adalah fitrah agama,
bukan fitrah dalam arti semua potensi yang diciptakan Allah pada diri mahluk itu. Melalui
ayat ini Al-Qur’an menggaris bawahi adanya fitrah manusia dan bahwa fitrah tersebut fitrah
keagamaan yang perlu dipertahankan. Dalam konteks ini, kita mencatat penemuan Tim
Universitas California tentang apa yang mereka namai god spot, yakni noktah otak
merespons ajaran moral keagamaan. Mulanya god spot ditemukan pada penderita epilepsi,
ketika mereka sedang diserang penyakit itu. Saat itu mereka sedang mengalami halusinasi.
Tim peneliti ini selanjutnya berupaya menggali pengalaman mereka dan ternyata ketika itu
mereka mengalami episode mistik yang sangat kuat dan membuat mereka terobsesi pada soal
spiritual keagamaan. Eksperimen dilanjutkan dengan memeriksa gelombang otak penderita
itu saat mereka mengalami gangguan, dengan memasang sensor di bagian dahi dan
memonitornya melalui layar komputer. Di sana, para ahli tersebut menemukan bahwa pada
saat itu muncul pancaran gelombang yang kuat dari satu titik di temparal lobes-bagian otak
yang berada persis di belakang tulang jidat. Penyelidikannya dilakukan pada sejumlah
sukarelawan yang sehat. Dan ketika mereka khusyu dalam renungan tentang Tuhan dan hal-
hal berkaitan dengan-Nya, para ahli tersebut menemukan pancaran yang sama dan di tempat
yang sama yang menderita epilepsi itu (Tafsir Al-Misbah, 2005; vol 11, 55)

7. Manusia diciptakan Tuhan sebagai Abdullah dan Khalifah

Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai mahluk untuk mengabdi kepada-Nya. Hal
ini sebagaimana dikemukakan pada QS surat Adz—Daariayat (51):56:
      
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Tugas sebagai Abdullah hanyalah menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri


kepada-Nya. Kehambaan manusia terhadap Tuhannya berkorelasi dengan kasih sayang
Tuhan. Semakin tinggi bobot kehambaan manusia, maka semakin tinggi pula derajat manusia
di sisi Tuhannya. Manusia yang paling tinggi derajat kehambaannya adalah Nabi Muhammad
Saw, sehingga derajatnya ditinggikan yang tidak diberikan kepada manusia lainnya, dia
sudah sampai manusia paripurna. Jika waktu siang, ia tampil sebagai pemimpin umat yang
siap melayani semua orang. Jika malam tiba, malamnya di bagi tiga, sepertiga malam untuk
keluarga, sepertiga malam untuk istirahat, dan sepertiga malam untuk ibadah kepada
Tuhannya (Nasharuddin, 2015; 104).

38
Terminologi Abdullah tidak saja diperuntukkan kepada Nabi Muhammad, akan tetapi
terhadap Nabi dan Rasul lainnya antara lain, dapat dilihat pada QS 19:12, QS 4:172, QS 17:3,
QS 66:10, dsb. Apabila ditelaah ayat-ayat Al-Qur’an yang menyangkut Abdullah ini
menunjukkan bahwa jati diri manusia itu hanyalah hamba Allah, jika manusia itu dapat
mempertahankan jati dirinya itu, maka manusia akan memperoleh keselamatan, keberkahan,
dan akan menjadi manusia yang bersyukur yang selalu diperhatikan dan derajatnya dinaikan
untuk menjadi manusia paripurna (Nasrudin, 2015, 112).

Sedangkan peran manusia selain sebagai hamba Allah juga ia mendapat tugas sebagai
khalifah. Kata khalifah awal katanya berarti “menggantikan” dalam arti yang menggantikan
Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, bukan
karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan. Namun
dengan pengangkatan itu Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan.
Ada lagi yang memahami kata khalifah dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam
menghuni bumi ini.” (Tafsir Al-Misbah, Vol 1. 2005; 142).

Sedangkan pada surat al-Naml (27): 62, yang dimaksud manusia sebagai khalifah
adalah menjadikan manusia berkuasa di bumi. Sebab khalifah bukan hanya sekedar
menggantikan, tetapi manusia pengganti Allah, bayangan Tuhan di muka bumi. Oleh sebab
itu manusia sebagai khalifah itu mesti menyadari, bahwa manusia sebelum bertindak dan
berbuat, pasti sesuai dengan perintah Allah. Sebab manusia itu hanyalah pengganti. Inilah
yang dikemukakan para mufasir, seperti halnya Qurthubi, Thabathaba’i, Razi dan lainnya.
Dengan demikian makna manusia diciptakan menjadi pemimpin di muka bumi yang mesti
melaksanakan kekhalifahannya, sesuai dengan tuntutan syariat yang dapat mengaplikasikan
rahmatan lil-alamin. Dengan demikian, tingkah laku manusia memiliki tujuan, yaitu
mematuhi perintah, diperintahkan untuk bekerja keras untuk mengatasi rintangan dan
problema kehidupannya. Menjadi khalifah Allah tidak bermakna dengan bebas, tidaklah
dengan mudah dan selalu diuji ( Nasrudin, 2015: 119).

Syaikh Thabathaba’i berkata yang dimaksud khilafah adalah khilafah ‘an Allah, yakni
pengganti, dalam arti makhluk yang mendapat kepercayaan sebagai wakil Allah di muka
bumi untuk menjalankan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Fungsi
kekhalifahan ialah mengatur, menundukkan, dan memanfaatkan benda-benda ciptaan Allah
di muka bumi ini sesuai dengan maksud diciptakannya.  Hal ini sesuai dengan makna yang
terkandung dalam ayat berikutnya “wa ‘allama Adam Al-Asma’ (“Dan Allah mengajarkan
kepada Adam nama-nama.)” Dalam ayat tersebut yang dimaksud dengan Adam bukanlah
syakhsiyyat Adam, bukan Adam sebagai pribadi,  akan Adam tetapi dan keturunannya yaitu
manusia pada umumnya (al-Baqarah 2:30). Pengertian khilafah yang mengandung arti umum
juga diperkuat dengan ayat Al-Qur’an “idz ja’alakum khulafa’ min ba’di qawm Nuh” (Al-
A’raf/7 : 69), “Tsumma ja’alnakum khala’ifa fi al-ardh” (Yunus/10 : 14), “Wa yaj’alakum
khulafa al-ardh” (Al-Naml (27) : 62.

Faruq Ahmad Dasuqi dalam bukunya Istikhlaf Al-Insan fi Al-Ardh menjelaskan bahwa
di dalam kata khilafah itu terdapat lima   unsur. Pertama, yang memberi wewenang ialah
Allah. Kedua, yang diberi wewenang ialah manusia, yaitu Nabi Adam dan keturunannya.
Ketiga, tugas yang dibebankan ialah tugas kekhalifahan di muka bumi, yaitu memakmurkan
kehidupan di muka bumi, menjadikan benda-benda bumi bermanfaat bagi dirinya dan alam

39
semesta pada umumnya sesuai dengan maksud diciptakannya. Keempat, syarat melaksanakan
kekhalifahan ialah dengan ilmu dan dengan petunjuk agama. Kelima, masa kekhalifahan
ialah semenjak penciptaan sampai hari kiamat dan tanggung jawab atau hisabnya adalah di
hari pembalasan. Dengan demikian khilafah adalah hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan alam semesta. Hubungan manusia dengan Allah yang
membebankan taklif kekhalifahan adalah hubungan ketaatan, kepatuhan, menjalankan
perintah dan meninggalkan larangan, dengan kata lain merupakan hubungan yang bersifat
‘ubudiyah. Hubungan manusia dengan alam semesta ialah hubungan manusia sebagai
khalifah dengan benda-benda di muka bumi agar dipelihara dan digunakan untuk kehidupan
yang baik di muka bumi. Dengan kata lain hubungan yang bersifat siyadah (kepemimpinan)
antara pemimpin dengan yang dipimpin. Khilafah adalah ‘ubudiyah dan sekaligus siyadah,
‘ubudiyah dilihat dari segi manusia dalam hubungannya dengan Allah dan siyadah dilihat
dari segi manusia dalam hubungannya dengan alam semesta (Wahab Mu’ti:
http://psq.or.id/artikel/penciptaan-manusia-sebagai-khalifah-allah-di-muka-bumi/

Syaikh Al-Maraghi berkata bahwa Surat Al-Baqarah (2) : 30 tersebut di atas yaitu
ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan manusia sebagai khalifah Allah di
muka bumi termasuk ayat mutasyabihat, yaitu ayat yang samar artinya. Dalam ayat tersebut
digambarkan ada dialog dalam bentuk tanya jawab antara Allah dan malaikat. Dialog tersebut
sulit dipahami bagaimana hakikatnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai ayat tersebut.
(1) Pendapat mutaqaddimin (para ulama pada zaman dahulu),  mereka bersikap tafwidh
kepada Allah, yakni menyerahkan segala urusan yang berkaitan dengan apa yang dimaksud
dengan firmanNya kepada Allah. Dengan kata lain mereka mengatakan bahwa bagaimana
terjadinya dialog antara Allah dengan malaikat, hanyalah Allah yang mengetahui. Kita hanya
dapat memahami maksud ayat tersebut secara ijmali, yaitu menjelaskan tentang keistimewaan
manusia dan kedudukannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. (2) Pendapat
muta’akhhirin, yaitu mereka berkata bahwa dialog antara Allah dan para malaikat, yang
digambarkan dalam ayat tersebut di atas dalam bentuk tanya jawab, sesungguhnya
merupakan kisah perumpamaan. Dengan perumpamaan tersebut dimaksud untuk memberikan
pemahaman tentang penciptaan manusia dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah
kepadanya.  Manusia adalah makhluk yang diberi oleh Allah daya berfikir dan kebebasan
berkehendak yang oleh karenanya, seperti diindikasi oleh para malaikat, manusia cenderung
berbuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah SWT memberikan kepada manusia ilmu
pengetahuan, dengan pengetahuan yang dianugerahkan Allah itu manusia dapat mengemban
amanat Allah sebagai khalifahNya di muka bumi. Demikian Syaikh Al-Maraghi menjelaskan
di dalam Tafsirnya (Tafsir Al-Maraghi, Juz, I, hal. 78-79).

Simpulan
Berdasarkan uraian dan penjelasan sebagaimana dikemukakan di atas maka dapat
disimpulkan hakikat manusia dalam pandangan Islam adalah pertama: manusia adalah
mahluk yang sejak awal telah diciptakan Allah swt dengan sesempurna-sempurnanya bentuk
baik secara fisik, ia dapat berdiri tegak tidak seperti mahluk lainnya. Kedua: Manusia sejak
lahir sudah dibekali oleh akal, sehingga dengan akalnya ia dapat memahami, mengingat, dan
berpikir, serta mengambil pelajaran dari apa yang dilihat dan dialaminya. Demikian pula
dengan akalnya ia dapat berpikir dan bergerak ke masa depan untuk membangun dan
mengembangkan diri untuk beradaptasi dengan tuntutan lingkungannya. Ketiga: manusia
lahir ke muka bumi dengan membawa potensi diri yang berbeda-beda, baik secara fisik
maupun psikologis termasuk dalam hal ini bakat dan kecerdasan yang dimilikinya. Keempat:

40
manusia dilahirkan sebagai mahluk sosial ia diperintahkan untuk saling mengenal satu sama
lainnya dan memberi pertolongan satu sama lainnya. Akan tetapi karena manusia memiliki
sifat yang loba sehingga sering menjadi penyebab perselisihan dan permusuhan diantara
sesama manusia. Kelima; manusia sebagai makhluk yang berakal semestinya ia mampu
memahami, memotivasi dan mampu mengambil hikmah dari setiap kejadian disekitarnya.
Namun karena hawa nafsunya yang kuat, akibatnya akal tidak mampu memerankan
fungsinya sebagai upaya untuk mengikat dan mengendalikan dirinya. Keenam; sebagai
mahluk yang memiliki potensi untuk senantiasa berorientasi kemasa depan, semestinya ia
mampu untuk melihat hari esok yang lebih baik. Ketujuh; sebagai makhluk yang memiliki
potensi sebagai khalifah ia seharusnya mampu memerankan diri menjalankan amanah untuk
mengelola diri maupun lingkungan demi meningkatkan kesejahteraan diri dan lingkungannya
tanpa harus merusak alam hanya semata-mata karena terdorong oleh nafsu syahwatnya.

41

Anda mungkin juga menyukai