Anda di halaman 1dari 4

A.

Teori Keagenan

Teori Keagenan (agency theory) adalah teori utama yang mendasari pengelolaan

(manajemen) sebuah perusahaan. Teori ini berlaku apabila terjadi pemisahan antara

pemilik (pemegang saham) dan manajemen perusahaan. Pemilik adalah prinsipiel

(principal), dan manajemen adalah agen (agent). Pemegang saham mendelegasikan tugas

dan wewenangnya kepada manajemen untuk mengelola perusahaan yang mereka miliki.

1. Perspektif Ekonomi

Menurut Eisenhardt (1989: 57), teori keagenan dapat digunakan oleh

berbagai bidang pengetahuan, salah satunya adalah ilmu ekonomi. Dalam buku

Kenneth Arrow (1971) yang berjudul “Essays in the theory of risk bearing”, dan

buku Robert Wilson (1968) yang berjudul “On the theory of syndicates”,

menjelaskan tetang masalah pembagian risiko yang muncul jika pihak-pihak yang

melakukan kerja sama mempunyai sikap yang berbeda terhadapnya.

Teori keagenan memperluas perspektif pembagian risiko ke dalam

masalah keagenan, yaitu jika pihak-pihak yang bekerja sama mempunyai tujuan

yang berbeda dan terdapat pembagian kerja (division of labor) di anatara mereka.

Teori ini juga mencoba untuk memecahkan dua masalah utama, yaitu masalah

keagenan yang muncul jika keinginan atau tujuan dari prinsipiel dan agen saling

bertentangan (conflict of interest), serta untuk mengetahui apa yang sebenarnya

dilakukan oleh agen, dan masalah pembagian risiko terjadi apabila sikap

prinsipiel terhadap risiko berbeda dengan sikap agen sehingga tindakan mereka

akan berbeda. Selain itu, teori ini juga mencoba untuk mengatur dan memecahkan

masalah hubungan prinsipiel-agen melalui penyusunan kontrak. Ada dua macam


kontrak yang digunakan, yaitu kontrak berorientasi perilaku (behavioural

oriented contract) seperti sistem gaji tetap atau pengaturan melalui hierarki, dan

kontrak berorientasi hasil (outcome oriented contract) seperti kompensasi

berdasarkan komisi, pemberian opsi saham, atau pengaturan melalui saham.

Pemilihan salah satu dari dua jenis kontrak ini akan menentukan efisiensi suatu

keagenan.

2. Moral Hazard

Moral hazard adalah tindakan menyembunyikan informasi oleh calon

direksi atau komisaris demi kepentingan pribadi. Menurut Kerps (1990: 577),

moral hazard didefinisikan sebagai tindakan oleh salah satu pihak (agen) dalam

suatu transaksi yang memengaruhi penilaian pihak lain (prinsipiel) terhadap

transaksi tersebut, tetapi pihak kedua (prinsipiel) tidak dapat mengawasi atau

memaksa secara sempurna tindakan yang dimaksud. Motif utama dari tindakan

tersebut adalah memaksimalkan manfaat bagi pihak yang bersangkutan, dan

moral hazard dapat terjadi sebelum atau setelah dilakukannya suatu transaksi

(kontrak). Menurut Brooks & Dunn (2012: 360-361) menjelaskan bahwa moral

hazard terjadi karena tindakan manajemen (direksi) tidak dapat diobservasi,

sehingga mereka melakukan tindakan yang berada dalam direksinya untuk

kepentingan pribadi yang mungkin bertentangan dengan kepentingan investor.

Untuk mencegah terjadinya moral hazard, struktur kontrak perlu

dirancang dengan menyusun sistem insentif dan menyediakan sistem monitoring

terhadap masing-masing pihak dengan sedemikian baik, sehingga masing-masing

pihak akan bertindak sesuai dengan keinginan pihak yang lain.


3. Adverse Selection (Salah Pilih)

Menurut Kerps (1990: 577) menjelaskan bahwa adverse selection terjadi

jika salah satu pihak (agen) dalam suatu transaksi mengetahui informasi yang

relevan tentang transaksi tersebut. Sementara, pihak kedua (prinsipiel) tidak

mengetahuinya (terjadi asimetri informasi) sehingga salah satu pihak (atau

keduanya) dapat melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan, dalam arti

tidak sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Masalah adverse selection banyak

dihadapi oleh perusahaan, seperti pengangkatan direksi atau komisaris yang

mengalami kesalahan karena pemegang saham tidak memiliki informasi yang

cukup dan relevan tentang mereka. Salah satu cara untuk mengatasi masalah

adverse selection adalah dengan pemberian sinyal kepada pasar (marketing

signaling), seperti halnya dengan moral hazard, yaitu dengan pemberian intensif

dan pengendalian atau monitoring.

Menurut Berndt dan Gupta (2009), moral hazard dan adverse selection

kemungkinan terjadi dalam transaksi penjualan portofolio kredit oleh bank kepada

investor. Penjualan dilakukan dalam bentuk surat berharga yang didukung oleh

aset (asset backed securities), dan bank beralih fungsi dari originator menjadi

distributor yang melakukan fungsi pemberian kredit secara langsung kepada

debitur, sehingga bank memiliki informasi privat tentang debitur yang tidak

dimiliki oleh pihak lain. Ketika bank menjual portofolio kredit yang mereka

miliki kepada investor lain di pasar sekunder, bank bertindak sebagai distributor

kredit.

Anda mungkin juga menyukai