Anda di halaman 1dari 4

30

1.3. Latar Belakang Permasalahan

Tuberkulosis (TBC) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan

oleh kuman dari kelompok Mycobacterium, yaitu Mycobacterium tuberculosis.1

Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus TBC yang setara

dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Indonesia masuk ke dalam lima negara

dengan penemuan kasus TBC tertinggi di dunia yaitu India, Indonesia, China,

Philipina, dan Pakistan. Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan

beban tinggi/high burden countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator

yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk

dalam daftar HBC untuk ketiga indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki

permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC.2

Jumlah kasus baru TBC di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun

2017 (data per 17 Mei 2018). Prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi

dibandingkan pada perempuan. Berdasarkan survei prevalensi TBC tahun 2013-

2014, prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759

per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif

sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.2

Sumber penularan TBC adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik

dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil

pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Infeksi

akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik

dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan
31

kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik).

Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.2

Indikator yang digunakan dalam pengendalian TB nasional adalah Case

Detection Rate (CDR) atau Penemuan Kasus Baru, yaitu persentase jumlah pasien

baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibandingkan dengan jumlah pasien

baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. CDR

menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah

tersebut.3 Target CDR program penanggulangan tuberkulosis nasional minimal

70%.4

Berdasarkan data laporan tahunan kinerja penanggulangan TB Puskesmas S.

Parman pada 2018 menunjukkan capaian CDR masih dibawah target nasional

yaitu 30% dari target minimal 70%. Peningkatan CDR sangat penting dalam

penanggulangan TB paru karena jika CDR rendah, penularan TB akan

berlangsung terus di masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi

pencapaian CDR adalah peran masyarakat dalam mengenali gejala penyakit dan

mengerti pentingnya deteksi dini terhadap penyakit yang dilanjutkan dengan

tindakan mencari pengobatan. Diagnosa dini dan pengobatan segera adalah

merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengendalian

penyakit TB5.

Rendahnya angka penemuan kasus TB dapat disebabkan oleh berbagai

faktor, diantaranya adalah sistem surveilans yang belum kuat, kemampuan

mendiagnosa penyakit TB yang kurang disertai kurangnya akses ke pelayanan


32

kesehatan. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gejala-gejala awal TB

Paru dan sistem penjaringan penderita di puskesmas dalam melakukan anamnesa

yang belum optimal juga mempengaruhi rendahnya cakupan suspek yang

diperiksa. Berdasarkan penelitian Sumartini 2014 suspek TB kadang tidak

kembali lagi untuk mengumpulkan dahak yang ke-2 dan ke-3, menandakan

edukasi ke suspek belum maksimal. Suspek TB sendiri juga memberi kontribusi

bagi rendahnya penemuan kasus TB akibat kesulitan suspek mengeluarkan dahak

meskipun telah

diberikan mukolitik-ekspektoran dan kualitas dahak yang diperiksa kurang baik.

Penelitian lain mengidentifikasi bahwa penjaringan suspek TB, pelayanan KIE

(komunikasi, informasi, edukasi) TB, dan pelatihan DOTS petugas puskesmas

mempengaruhi penemuan kasus TB dan dapat meningkatkan CDR jika

dilakukan.6

Dalam penelitian Vidyastari 2019 terdapat beberapa faktor dari responden

yaitu koordinator program pencegahan dan penanggulangan TB (P2TB) yang

mempengaruhi capaian CDR, yaitu tingkat pengetahuan responden, motivasi

responden, pelatihan responden, dan stress kerja responden.7 Faktor penyebab lain

yang mempengaruhi capaian CDR adalah program TB hanya mengandalkan

passive case finding (PCF) untuk menjaring kasus TB, kesulitan suspek kasus

mengeluarkan dahak meskipun telah diberikan mukolitik-ekspektoran (terutama

pasien suspek TB yang telah diobati sebelumnya dengan obat anti-


33

tuberkulosis/OAT yang tidak standar), dan kualitas dahak yang diperiksa kurang

baik.3

Penyakit TB yang tidak diobati menurut riwayat alamiahnya maka setelah 5

tahun menunjukkan 50% akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya

tahan tubuh yang tinggi, dan 25 % akan menjadi kasus kronis yang tetap menular

Kondisi ini mengindikasikan pentingnya memastikan bahwa semua penderita TB

ditemukan dan kemudian diobati sedini mungkin, jadi penemuan kasus TB adalah

langkah awal agar penderita mendapat manfaat dari pengobatan TB. Dengan

demikian penemuan kasus TB yang rendah dapat berakibat meningkatnya

morbiditas, disabilitas, mortalitas dan transmisi TB di masyarakat; meningkatkan

kemungkinan terapi yang tidak sesuai sehingga meningkatkan angka Multiple

Drug Resistance (MDR) TB serta menurunkan kualitas hidup penderita yang tidak

terdeteksi tersebut.6

1.4. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menentukan alternatif pemecahan

masalah agar meningkatkan angka penemuan kasus baru (case detection rate) TB

di wilayah kerja Puskesmas S. Parman.

Anda mungkin juga menyukai