Anda di halaman 1dari 8

Anamnesis

1. Identitas Pasien.
 Nama lengkap pasien, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, pendidikan,
agama, pekerjaan, suku bangsa.
Dari kasus didapatkan identitas pasien : wanita berumur 20 tahun.
2. Keluhan utama
 Sering mengalami pilek sejak 2 bulan lalu
3. Riwayat penyakit sekarang
 Pilek terus menerus disertai bersin dan hidung tersumbat terutama saat malam
hari, tidak ada riwayat seperti ini sebelumnya, ingus nya bening encer, tidak
keluar darah dari hidungnya
4. Riwayat penyakit keluarga.
 Menanyakan adakah keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan yang
dialami oleh pasien. Atau adakah riwayat alergi dalam keluarga untuk
membedakan dengan rinitis lainnya.
5. Riwayat penyakit dahulu
 Menanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Cari tahu riwayat penyakit dahulu dari kondisi medis apapun yang signifikan.
6. Riwayat sosial.
 Menanyakan kepada pasien apakah penyakitnya menganggu/sangat menggangu/
tidak menggangu aktivitas sehari-hari pasien.
Pasien mengeluh mengganggu aktivitas dan tidurnya.
7. Riwayat pengobatan/obat
 Apakan sudah menggunakan obat tertentu. Dan bagaimana hasilnya.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan dilakukan berdasarkan gejala yang berhubungan dengan organ yang terlibat, Dalam
kasus ini dilakukan pemeriksaan fisik.1 Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan THT dengan hasil
sebagai berikut :
- TTV : suhu 36,70C
- Telinga : membrane timpani keduanya tampak retraksi
- Hidung : konka pucat kanan dan kiri, tampak edema kanan kiri, secret serous kanan kiri

Working Diagnosis (Rhinitis Alergi)

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan, didapatkan berbagai ciri-ciri klinik


penyakit. Ciri-ciri tersebut lalu dibandingkan satu sama lain dan kemudian dicocokan dengan
kasus yang ada pada skenario. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada kasus dalam
skenario adalah Rhinitis Alergi.

Pemeriksaan Penunjang

Walau pemeriksaan fisik dan anamnesis yang terarah sudah bisa menegakkan diagnosis rhinitis
alergi, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi penyebab alergi yang
mendasari rhinitis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :2

1. Hitung darah lengkao dan eosinophil


2. Lanjut Endapan Darah
3. Menetapkan status atopic : deteksi IgE
4. In vivo test
i. Skin test (Intradermal, Prick, Scratch tests)
ii. Mucosal challenge tests (Bronchial and Nasal challenge, Double blind placebo
controlled food challange)
5. In vitro test : untuk kuantitas total serum IgE/ allergen spesifik IgE levels
i. Radio allergosorbent test
ii. Enzyme linked allergosorbent
iii. Radio and Enzyme immunoassays
iv. Multi-allergen screening assays

Dari semua pemeriksaan penunjang berikut, Skin-prick test menjadi pemeriksan penunjang
utama untuk menidentifikasi alergen pemicu rhinitis. Skin-prick test dilakukan dengan
meneteskan ekstrak komersional dari alergen spesifik pada lengan bawah, lalu menusuk dengan
ekstrak pada epidermis. Dalam waktu 15-20 menit, akan muncul reaksi alergi (wheat and flare)
bila tes positif.3

Alternatif selain Skin-prick test adalah allergen spesifik IgE test dengan immunosorbent assy –
sebelumnya dilakukan dengan radioallergosorbent test (RASTs). Test in vitro ini dapat dilakukan
apabila pasien terapi antihistamin tidak dapat diberhentikan untuk keperlulan pemeriksaan.
Tetapi, skin prick test lebih umum dilakukan karena lebih sensitive dan hemat biaya dibanding
pemeriksaan allergen spesifik IgE test, serta menghasilkan hasil yang cepat.3

Etiologi

Epidemiologi

Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia. Di Amerika,
prevalensi untuk rhinitis alergi adalah 10-30% pada usia dewasa dan hampir 40% pada usia anak
anak. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi ini dapat menjadi suatu beban ekonomi yang berat
karena pada umumnya pasien dengan rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam
menjalankan aktivitasnya dan penurunan kualitas hidup.4 Pada suatu survei di Amerika mengenai
gejala rhinitis alergi pada pekerja, sekitar 55% (8267 pekerja) dengan gejala rhinitis alergi
menjadi tidak produktif selama 3.6 hari dalam satu tahun. Di Asia Pasifik, prevalensi rhinitis
alergi tinggi terutama pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah, yaitu sekitar  5-
45%.5

Patofiosiologi
Manifestasi Klinik6,7
Rinitis alergi secara khas digambarkan dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan
hidung, bersin, mata berair, dan gatal, dan post-nasal drip.
Gejala alergi hidung berbeda dengan rhinitis infeksiosa. Respons alergi biasanya ditandai
oleh bersin, kongesti hidung, dan rinore yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan sekret
biasanya tidak mengental ataupun menjadi purulen seperti yang terjadi pada rhinitis infeksiosa.
Gejala timbul cepat setelah paparan allergen, dapat berupa mata atau palatum yang gatal berair.
Biasanya dapat terungkap suatu pola musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu, asap atau
inhalan lain. Gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen, atau
insomnia dapat juga member kesan suatu allergen yang ditelan, serta membedakan pasien-pasien
ini dari penderita rhinitis virus. Perbedaan penting lainnya adalah rinitis alergi umunya
berlangsung lebih lama dari rhinitis virus. Pada pasien dengan rinitis alergi, sering kali terdapat
riwayat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti pada rhinitis virus, maka sinusitis bakterialis
akut juga dapat timbul sekunder akibat sumbatan ostia dan pengumpulan secret.
Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan
oleh pasien.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stais vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic
shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak mengosok-gosok hidung, karena gatal. Keadaan
ini desebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
allergic crease.

Terapi
Terapi yang paling optimal adalah dengan menjauhi pencetus alergi dan farmakoterapi. Figure 1
adalah algotirme untuk tatalaksana rinitis alergi.3 Terapi lain adalah terapi farmako dengan
intranasal kortikosteroid, oral dan intranasal antihistamin, dekongestan, intranasal cromolyn,
intranasal anticholinergics, dan leukrotin reseptor antagonist. Tidak direkomendasi menggunakan
dekongestan dan intranasal cromolyn untuk anak.8

Berdasarkan Internasional The International Primary Care Respiratory Group; British Society for
Allergy and Clinical Immunology; dan American Academy of Allergy, Asthma, and
Immunology merekomendasi intranasal korticosteroids sendiri untuk terapi inisial untuk gejala
persisten yang memepengaruhi kualitas hidup dan second-generation nonsedating antihistamines
untuk tipe mild intermittent. Bila penyakit pasien lebih parah dan tidak respon terhadap
intranasal kortikosteroid dengan atau tanpa terapi line kedua, maka perlu dipertimbangkan
melakukan immunoterapi. Berikut adalah terapi berdasarkan gejala klinis (Table 1) dan
ringkasan terapi (Table 2).8

Figure I. Algoritme untuk tatalaksana rinitis alergi3


Table 1.Terapi berdasarkan gejala klinis8
Table 2 Ringkasan terapi8
Daftar Pustaka

1. Soepardi EA. Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Dalam:
Soepardo EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2011.h.135-7.
2. Gaur SN & Agarwal K. Allergic Rhinitis : Clinical Presentation and Management.
Dalam: Wang DY & Gaur SN. Allergic Rhinis and Asthma. New Delhi :
Kontentworx.2012.h.30-1
3. Small P, Keith P, Kim H. Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology.
2018;14(S2):31-41.
4. Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis. Allergy,
Asthma and Immunology Research.2010. vol. 2, no. 2, p. 65,.
5. Sudiro M. Prevalence of Allergic Rhinitis based on World Health Organization ( ARIA-
WHO ) questionnaire among Batch 2010 Students of the Faculty of Medicine Universitas
Padjadjaran. 2015. Amj, pp. 620-625,.
6. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardo EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2011.h.128-34.
7. Blumenthal MN. Kelainan alergi pada pasien THT. Dalam: Adams GL, Boeis LR, Higler
PA, editor. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit BUku
Kedokteran EGC., 1997.h.196-8.
8. Platt M, Lee S, Lin S. Treatment of Allergic Rhinitis. American family physician.
2015;92(11):985–992.

Anda mungkin juga menyukai