Anda di halaman 1dari 25

Pediatric Emergency Medicine : Hemorraghic Shock

Javier Immanuel

102018112

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida wacana

Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Javier.2018fk112@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Mengelola syok pada trauma pasien adalah untuk mengenalinya, kemudian mengidentifikasi
kemungkinan penyebab syok dan sesuaikan pengobatannya. Penatalaksanaan awal dari syok
hemoragik adalah mengevaluasi sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, dan mengganti
volume yang hilang. Perdarahan akut akibat trauma merupakan penyebab paling sering dari syok
hemoragik. Ruptur limpa dapat dibagi menjadi dua kategori utama: ruptur traumatis dan non-
trauma. Pengobatan tergantung pada tingkat keparahan dan etiologi ruptur, serta stabilitas
hemodinamik pasien.

Kata Kunci : Hemorraghic Shock, Resusitasi Cairan, Ruptur Lien

Abstract

Managing shock in trauma patients is to recognize it, then identify possible causes of shock and
adjust treatment accordingly. The initial management of hemorrhagic shock is to evaluate the
source of the bleeding, stop the bleeding, and replace the volume lost. Acute bleeding from
trauma is the most common cause of hemorrhagic shock. Splenic ruptures can be divided into
two main categories: traumatic and non-traumatic ruptures. Treatment depends on the severity
and etiology of the rupture, as well as the hemodynamic stability of the patient.

Keywords : Hemorraghic Shock, Fluid Resuscitation, Splenic Rupture


Pendahuluan

Langkah pertama dalam mengelola syok pada trauma pasien adalah untuk mengenalinya. Seteleh
diidentifikasi, mulai penaganan berdasarkan pada kemungkinan penyebabnya. Syok merupakan
kelainan pada sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan
yang tidak memadai juga memandu tim trauma dalam diagnosis dan perlakuan. Mendiagnosis
syok pada pasien trauma bergantung pada sintesis temuan klinis dan laboratoriumtes. Tidak ada
tanda vital tunggal dan tidak ada tes laboratorium, pada sendiri, secara definitif dapat
mendiagnosis syok. Tim trauma anggota harus segera mengenali jaringan yang tidak memadai
perfusi dengan mengenali temuan klinis yang sering terjadi pada pasien trauma.1

Langkah kedua dalam mengelola syok adalah mengidentifikasi kemungkinan penyebab syok dan
sesuaikan pengobatannya. Pada pasien trauma, proses ini terkait terhadap mekanisme cedera.
Sebagian besar pasien terluka disyok memiliki hipovolemia, tetapi mereka mungkin menderita
kardiogenik, obstruktif, neurogenik, dan/atau, jarang, syok septik. Misalnya, tension
pneumotoraks dapat mengurangi aliran balik vena dan menghasilkan obstruktif terkejut.
Tamponade jantung juga menghasilkan obstruktif syok, karena darah di kantung perikardial
menghambat kerja jantung kontraktilitas dan curah jantung. Anggota tim trauma harus
mempertimbangkan diagnosis ini pada pasien dengan cedera di atas diafragma. Syok neurogenic
hasil dari cedera luas pada serviks atau bagian atas sumsum tulang belakang toraks yang
disebabkan oleh hilangnya simpatis tonus dan vasodilatasi berikutnya. Syok tidak bukan hasil
dari cedera otak yang terisolasi kecuali jika batang otak terlibat, dalam hal ini prognosisnya
miskin. Pasien dengan cedera tulang belakang mungkin awalnya hadir dalam syok akibat
vasodilatasi dan hipovolemia, terutama jika ada banyak cedera lainnya. Syok septik tidak biasa,
tetapi harus dipertimbangkan pada pasien yang tiba di gawat daruratfasilitas tertunda selama
berjam-jam. Pada orang tua,alasan yang mendasari atau pencetus penyebab traumacedera
mungkin merupakan infeksi yang tidak dikenali, umumnyasuatu infeksi saluran kemih. 1

Tanggung jawab manajemen pasien dimulai dengan mengenali adanya syok. Memulai
pengobatan segera dan mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya. Respon pasien terhadap
pengobatan awal, ditambah dengan temuan survei primer dan sekunder, biasanya memberikan
informasi yang cukup untuk menentukan penyebab syok. Perdarahan adalah yang paling umum
penyebab syok pada pasien trauma. 1
Patofisiologi Shock

Peninjauan fisiologi jantung dan patofisiologi pendarahan dasar dalam memahami status shock.

Fisiologi Jantung Dasar

Curah jantung didefinisikan sebagai volume darah dipompa oleh jantung per menit. Nilai ini
adalah ditentukan dengan mengalikan denyut jantung dengan stroke volume (jumlah darah yang
keluar dari jantung dengan setiap kontraksi jantung). Volume Langkah secara klasik ditentukan
oleh preload, kontraktilitas miokard, dan afterload. 1

Preload, volume darah vena yang kembali kesisi kiri dan kanan jantung, ditentukan oleh
kapasitas vena, status volume, dan perbedaannya antara tekanan sistemik vena rata-rata dan
atrium kanan tekanan. Perbedaan tekanan ini menentukan aliran darah vena. Sistem vena dapat
dianggap sebagai reservoir, atau kapasitansi, sistem di mana volume darah adalah dibagi menjadi
dua komponen: 1

1. Komponen pertama mewakili volume darah yang akan tetap berada di sirkuit kapasitansi
ini jika tekanan dalam sistem adalah nol. Komponen ini tidak berkontribusi pada tekanan
vena sistemik rata-rata.
2. Komponen kedua mewakili volume vena yang berkontribusi terhadap tekanan vena
sistemik rata-rata. Hampir 70% dari total volume darah tubuh diperkirakan berada di
sirkuit vena. Kepatuhan sistem vena melibatkan hubungan antara volume vena dan
tekanan vena. Gradien tekanan ini mendorong aliran vena dan oleh karena itu volume
aliran balik vena ke jantung. Kehilangan darah menghabiskan komponen volume vena ini
dan mengurangi gradien tekanan; akibatnya, vena pengembalian berkurang.

Volume darah vena yang kembali ke jantung menentukan panjang serat otot miokard setelah
pengisian ventrikel pada akhir diastol. Menurut menurut hukum Starling, panjang serat otot
berhubungan dengan sifat kontraktil otot miokard.Kontraktilitas miokard adalah pompa yang
mendorong sistem. 1

Afterload, juga dikenal sebagai resistensi pembuluh darah periferance, bersifat sistemik. Secara
sederhana, afterload adalah resistensi untuk aliran darah ke depan. 1

Patofisiologi Pendarahan

Respon sirkulasi awal terhadap pendarahan merupakan kompensasi memuaskan dan termasuk
vasokonstriksi progresifsirkulasi kulit, otot, dan visceral untuk menjaga aliran darah ke ginjal,
jantung, dan otak. Respon umum terhadap deplesi volume akut dalam sirkulasi adalah
peningkatan denyut jantung diupaya untuk mempertahankan curah jantung. Umumnya,takikardia
adalah tanda sirkulasi paling awal yang dapat diukur dalam syok. Pelepasan katekolamin
endogen meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, yang pada gilirannya meningkatkan
tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi. Namun, peningkatan ini tekanan tidak
banyak meningkatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan. 1

Untuk pasien dengan syok hemoragik dini, aliran vena pengembalian dipertahankan sampai
tingkat tertentu oleh mekanisme kompensasi kontraksi volume darah dalam sistem vena.
Mekanisme kompensasi ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam memulihkan curah
jantung yang memadai, perfusi organ akhir, dan oksigenasi jaringan adalah untuk
mengembalikan aliran balik vena ke normaldengan mencari dan menghentikan sumber
perdarahan. Volume pengisian hanya akan memungkinkan pemulihan dari kondisi syok ketika
pendarahan telah berhenti. 1
Pada tingkat sel, perfusi tidak memadai dan sel-sel yang teroksigenasi buruk, kehilangan substrat
esensialuntuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Awalnya, kompensasi terjadi
dengan beralih ke anaerobic metabolisme, menghasilkan pembentukan asam laktatdan
perkembangan asidosis metabolik. Jika syok berkepanjangan, kerusakan organ akhir berikutnya
dan multiple disfungsi organ dapat terjadi. 1

Pemberian isotonik dalam jumlah yang tepatlarutan elektrolit, darah, dan produk darah
membantu menghamabat proses ini. Perawatan harus fokus pada pembalikan keadaan syok
dengan menghentikan pendarahan dan memberikan oksigenasi yang memadai, ventilasi, dan
resusitasi cairan. Akses intravena yang cepat harus didapat. 1

Kontrol definitif perdarahan dan pemulihan volume sirkulasi yang memadai adalah tujuan
pengobatan syok hemoragik. Vasopresor dikontraindikasikan sebagai pengobatan lini pertama
syok hemoragik karena mereka memperburuk perfusi jaringan. Sering memantau indeks perfusi
pasien untuk mendeteksi adanya perburukan kondisi pasien sedini mungkin mungkin sehingga
dapat dibalik. Pemantauan juga memungkinkan untuk menilai respon pasien terhadap terapi.
Penilaian ulang membantu dokter mengidentifikasi pasien dalam syok kompensasi dan mereka
yang tidak mampu pasang respons kompensasi sebelum terjadinya kardiovaskular collapse. 1

Sebagian besar pasien yang cedera mengalami syok hemoragik memerlukan intervensi bedah
dini atau angioembolisasi untuk membalikkan keadaan syok. Adanya kejutan pada pasien trauma
menjamin keterlibatan segeradari seorang ahli bedah. Sangat mempertimbangkan untuk
mengatur lebih awalpemindahan pasien ini ke pusat trauma ketika mereka hadir ke rumah sakit
yang tidak dilengkapi untuk mengelola luka mereka. 1

Anamnesis dan PF

Anamnesis tidak ada maka berlangsung ke Pemeriksaan Fisik, yaitu : Kesadaran : Somnoelen ,
TD 90/60 mmHg nadi 130 Pernafasan 28x/menit suhu 36,8 akral dingin dan lembab terdapat
jejas pda pinggang kiri, abdomen datar dan bising usus menurun, dilakukan pemberian cairan
kristaloid 500 cc selama 1 jam setelah itu kesadarannya komposmentis TD 100/70 mmHg nadi
120 pernafasaan 24x suhu 36,8.

Hemorragic Shock
Hemorragic Shock merupakan penyebab tersering syok pada pasien trauma. Respons pasien
trauma terhadap kehilangan darah menjadi lebih kompleks dengan perpindahan cairan di antara
kompartemen cairan dalam tubuh, terutama di kompartemen cairan ekstraseluler. Cedera
jaringan lunak, bahkan tanpa perdarahan parah, dapat mengakibatkan pergeseran cairan ke
kompartemen ekstraseluler. Responnya kehilangan darah harus dipertimbangkan dalam konteks
perpindahan cairan. Juga pertimbangkan perubahan yang terkait dengan syok berat yang
berkepanjangan dan patofisiologis dari hasil resusitasi dan reperfusi. 1

Diagnosis Banding5,6,7,8,9

Syok Distributif

Bentuk syok septic, syok neurogenik, syok anafilaktik yang menyebabkan penurunan tajam pada
resistensi vaskuler perifer. Patogenesis syok septic merupakan gangguan kedua system vaskuler
perifer dan jantung.

1. Syok Anafilaktik
Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah respon imunologi yang berlebihan terhadap suatu
bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut.
Patofisiologi
Mediator biokimia dan substansi kemotaktik terlepas ke sistemik selama proses degranulasi
dari sel mast dan basofil. Saat pasien kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin,
tryptase dan bahan vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi
anafilaktoid secara klinik tak dapat dibedakan dengan anafilaksis, tetapi reaksi ini dimediasi
langsung oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak melalui sensitasi antibodi IgE.
2. Syok Neurogenik

Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan
penimbunan darah pada pembuluh tamping (capacitance vessels). Syok neurogenic terjadi
karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.

Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif, hasil
perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh cidera pada system
saraf
Syok neurogenik dapat disebabkan oleh:

1. Trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis dengan quadriplegia atau
paraplegia (syok spinal)
2. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur
tulang
3. Rangsangan pada medulla spinalis seperti penggunaan obat anastesi spinal/;imbal
4. Trauma kepala
5. Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut

Manifestasi klinis

Tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bradikardi, sesudah pasien menjadi tidak
sadar, barulah nadi bertambah cepat. Pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler, dan
vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.

Patofisiologi

Syok neurogenic termasuk syok distributif dan terjadi penurunan perfusi jaringan
merupakan penyebab utama hipotensi arterial karena penurunan resistensi pembuluh darah
sistemik. Penurunan efektivitas sirkulasi volume plasma sering mengakibatkan penurunan
venous tone, pengumpulan darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskular
dan intersisial karena peningkatan permeabilitas kapiler sehigga terjadi disfungsi miokard
primer yang akan terjadi dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi dan penurunan kurva
fungsi ventrikel.

Syok neurogenik terjadi karena adanya reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan
vasodilatasi menyeluruh di region splanikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Syok
neurogenik juga bisa disebabkan adanya rangasangan parasimpatis ke jantung yang
memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke
pembuluh darah, contohnya mendadak pingsan akibat gangguan emosional.

Pada pasien yang menggunakan obat anastesi spinal, obat anastesi dapat melumpuhkan
kendali neurogenik sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Pasien dengan nyeri
hebat, stress, emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang
tidak jelass sehingga menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop.

Manifestasi Klinis

Syok neurogenic terdapat tanda-tanda seperti syok lainnya yaitu, tekanan darah turun, nadi
tidak bertambah cepat, bahkan bisa lebih lambat (bradikardi), kadang disertai dengan adanya
defisit neurologi berupa quadriplegia atau paraplegia,

3. Syok Sepsis
Syok Septik didefinisikan sebagai kondisi sepsis dengan hipotensi refrakter (tekanan darah
sistolik < 65 mmHg, atau penurunan > 40 mmHg dari ambang dasar tekanan darah sistolik
yang tidak responsif setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20 sampai 40 mL/kg).
abnormalitas sirkulasi dan selular/metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian
secara signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis
dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean arterial
pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah diberikan
resusitasi cairan yang adekuat. Penyebab paling sering adalah bakteri. Bakteri gram positif
adalah organisme utama yang menyebabkan sepsis sedangkan bakteri gram negatif menjadi
pathogen yang menyebabkan sepsis berat dan syok sepsis.

Patofisologi

Patofisiologi syok sepsis dimulaidari, adanya respon terhadap infeksi yang akan memicu
respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinfamasi, dimulai dengan
aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial.
Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi
selular dan disrupsi endotelial. Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α,
interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat
fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari
rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat
proses trombosis dan inflamasi. Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut
memperkuat proses tersebut. menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan
endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan
global.

Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik. Tekanan arteri sistolik <
80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8 L/menit/ m2, dan tekanan pengisian ventrikel
kiri meningkat. Pasien sering tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/ jam,
ekstremitas dingin dan sianotik.

Penyebab paling sering adalah 40% lebih karena miokard infark ventrikel kiri, yang
menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri yang berat, dan kegagalan pompa ventrikel
kiri. Penyebab lainnya miokarditis akut dan depresi kontraktilitas miokard setelah henti jantung
dan pembedahan jantung yang lama. Bentuk lain bisa karena gangguan mekanis ventrikel.
Regurgitasi aorta atau mitral akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut, dapat
menyebabkan penurunan yang berat pada curah jantung forward (aliran darah keluar melalui
katub aorta ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya menyebabkan syok kardiogenik.

Patofisiologi dari syok kardiogenik adalah adanya penurunan dari kontraktilitas


miokardium yang menyebabkan curah jantung menurun, tekanan darah rendah dan iskemia arteri
koroner, yang semakin memperburuk kontraktilitas jantung. Siklus ini dapat berakhir pada
kematian.

Etiologi

Etiologi syok hemoragik dapat berupa eksternal dan/atau internal. Penyebab yang paling umum
terjadi adalah cedera traumatik berupa laserasi, trauma tembus pada bagian toraks dan abdomen,
serta ruptur pembuluh darah. 10

Beberapa hal yang dapat menyebabkan syok hemoragik, antara lain :

 Trauma
Trauma merupakan penyebab tersering perdarahan akut seperti pada laserasi, trauma
tembus pada toraks dan abdomen serta ruptur pada pembuluh darah besar

 Perdarahan Gastrointestinal

Perdarahan pada gastrointestinal dapat berupa varises esofagus, esophagogastric mucosal


tear, kanker kolon, kanker gaster dan esofagus serta gastritis

 Obstetrik/ Ginekologi

Pada kasus obstetrik/ ginekologi yang dapat menyebabkan perdarahan sampai syok
hemoragik seperti plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kehamilan ektopik serta ruptur
kista ovarium.

 Koagulopati: demam berdarah, disseminated intravascular coagulation (DIC)


 Ruptur Aneurisma
 Terapi Antitrombotik

Terapi antitrombotik seperti antikoagulan (heparin, warfarin dan direct thrombin


inhibitors) serta antiplatelet (aspirin, clopidogrel dan glycoprotein IIb/IIIa receptor
antagonists) dapat menyebabkan perdarahan sampai syok hemoragik

 Pulmonal

Terjadinya emboli pulmonal, kanker paru-paru, penyakit tuberkulosis, aspergillosis serta


Goodpasture's syndrome dapat menyebabkan terjadinya perdarahan akut sampai syok

Klasifikasi

Efek fisiologis dari perdarahan dibagi menjadi empat kelas, berdasarkan gejala klinis yang
berguna untuk memperkirakan persentase kehilangan darah akut. Tanda-tanda klinis mewakili
kontinum yang sedang berlangsung perdarahan dan hanya berfungsi untuk memandu terapi
awal.Penggantian volume selanjutnya ditentukan oleh respon pasien terhadap terapi. Berikut
adalah sistem klasifikasi berguna dalam menekankan awal tanda dan patofisiologi keadaan
syok:1,3
 Class I hemorrhage, dicontohkan oleh kondisi seseorang yang telah mendonorkan 1 unit
darah.
 Class II hemorrhage, perdarahan tidak rumit dimana resusitasi dengan cairan kristaloid
diperlukan.
 Class III hemorrhage adalah pendarahan yang rumit di mana setidaknya infus kristaloid
diperlukan dan mungkin juga penggantian darah.
 Class IV hemorrhage acara praterminal; kecuali tindakan agresi diambil, pasien akan
meninggal dalam beberapa menit.Transfusi darah diperlukan.

Penatalaksanaan Awal/Primary Survey2,4

Penatalaksanaan awal dari syok hemoragik adalah mengevaluasi sumber perdarahan,


menghentikan perdarahan, dan mengganti volume yang hilang. Perdarahan akut akibat trauma
merupakan penyebab paling sering dari syok hemoragik.
Penatalaksanaan awal pada syok hemoragik mencakup survei primer yang dilakukan secara
simultan dengan resusitasi dengan urutan A, B, C, D, dan E sesuai anjuran Advanced Trauma
Life Support (ATLS).

Airway dan Breathing

Menjaga patensi jalan napas dengan ventilasi adekuat dan oksigenasi. Pemberian oksigen
tambahan untuk menjaga saturasi oksigen lebih besar dari 95% diikuti pemasangan saturasi
oksigen.

Circulation

Melakukan kontrol perdarahan eksternal dengan balut tekan, mencari akses intravena yang
adekuat dan menilai perfusi jaringan. Tindakan bedah atau angioembolisasi mungkin diperlukan
untuk mengontrol perdarahan internal.

Disability

Melakukan pemeriksaan neurologis secara singkat dalam menentukan tingkat kesadaran pasien
untuk menilai perfusi otak. Adanya perubahan dalam fungsi SSP pada syok hipovolemik tidak
selalu karena adanya cedera intrakranial langsung karena kemungkinan perfusi yang tidak
memadai sehingga perlu diulangi evaluasi neurologis setelah perfusi dan oksigenasi.

Exposure

Memberikan penghangat untuk mencegah hipotermia saat melakukan eksposur untuk mencari
cedera lainnya. Hipotermia pada keadaan syok hipovolemik dapat menyebabkan asidosis
memburuk dan terjadinya koagulopati.

Resusitasi 1,2,4

Akses vaskular adalah kebutuhan awal tetapi seringkali menantang dalam resusitasi. Kanulasi
perkutan dari vena ekstremitas atas bilateral dengan dua kanula besar sangat ideal. Namun,
ukuran vena yang tersedia memandu pilihan kanula. Penempatan kanula ukuran 22 atau 20 yang
berhasil lebih baik daripada gagal mencoba untuk menempatkan kanula yang lebih besar.
Volume cairan dan darah yang relatif besar dapat diberikan melalui kanula pendek. Peningkatan
volume vaskular kemudian memungkinkan penempatan kanula yang lebih besar pada situs
alternatif. Akses intraosseous memberikan alternatif yang cepat dan mudah selama resusitasi dini
terutama pada anak-anak dengan gangguan kardiovaskular. Pada anak hipotensi yang awalnya
upaya akses perifer atau akses IO tidak berhasil, vena femoralis menyediakan situs yang aman
untuk penyisipan kateter sentral menggunakan teknik standar kawat pemandu Seldinger. Namun,
panjang, sempit, kateter sentral standar mungkin kurang efektif daripada kateter IV perifer besar
untuk resusitasi cairan cepat. Akses pemotongan cepat paling baik dilakukan pada vena basilika
di siku atau vena safena baik di pergelangan kaki atau di selangkangan tepat di bawah
sambungan safenofemoral. Kanulasi vena sentral di atas diafragma, meskipun diperlukan pada
waktu tertentu, bukan merupakan rute akses darurat yang disukai pada anak-anak karena risiko
yang signifikan komplikasi; ini harus dilakukan oleh personel yang berpengalaman. Penggunaan
panduan ultrasound juga dapat meningkatkan keberhasilan dalam memperoleh akses vaskular di
situs perifer dan pusat. Darah harus segera dikirim untuk suatu tipe dan cross-match, hitung
darah lengkap, dan koagulasi dan parameter kimia.

Beberapa penelitian syok pediatrik telah menunjukkan penurunan mortalitas dengan resusitasi
cairan dini dan agresif, dan saat inirekomendasi adalah untuk memberikan cairan dalam 20 mL
per kg bolus didorong selama 5 menit, dengan penilaian ulang perfusi dan vitaltanda selama dan
setelah setiap bolus cairan. Bolus cairan dengan total hingga dan lebih dari 60 mL per kg harus
diberikan jika ana ktetap shock, dengan tujuan memberikan setidaknya 60 mL per kg dalam 20
sampai 60 menit pertama jika shock berlanjut. Cairan tambahanresusitasi harus dipertimbangkan
kembali jika hepatomegali atau tanda-tanda edema paru berkembang. Selain itu, harus berhati-
hati dengan resusitasi cairan cepat pada neonatus <30 hari, dan pada pasien dengan penyakit
jantung atau ginjal yang diketahui atau dicurigai ataudiduga syok kardiogenik. Untuk pasien ini,
bolus yang lebih kecil dari 5 sampai 10 mL per kg adalah bijaksana dengan penilaian ulang yang
sering menentukan respon klinis

Penggunaan produk darah untuk ekspansi volume merupakan pertimbangan penting lainnya,
terutama pada syok hemoragik. Pedoman Advanced Trauma Life Support merekomendasikan
resusitasi dengan kristaloid dan produk darah untuk Kelas III dan IV syok hemoragik

Kontrol Sumber4
Sementara akses IV diperoleh dan resusitasi cairan untuk membalikkan syok dilakukan,
pertimbangan awal kontrol sumber untuk penanganan etiologi syok diperlukan.

Syok hemoragik harus ditangani dengan kombinasi pemberian kristaloid dan produk darah.
Untuk pengobatan definitif, sumber perdarahan harus ditemukan dan dikendalikan.
Ultrasonografi dan komputerisasi tomografi adalah modalitas penting untuk diagnosis syok
hemoragik. Prosedur radiologi intervensi untuk menemukan dan mengendalikan sumber
perdarahan juga menjadi semakin tersedia pada anak-anak, meskipun konsultasi bedah dini
dianjurkan sebagai bagian dari survei primer dan sekunder.

Secondary Survey

Secondary survey atau tatalaksana kedua merupakan pemeriksaan pengulangan head to


toe untuk mengindentifikasi potensi cedera. Hal ini dilakukan setelah primary survey dan
stabilisasi awal selesai. Tujuan melakukan secondary survey adalah untuk melihat data pasien
lebih lanjut serta mengevaluasi dan mengobati cedera yang tidak ditemukan selama primary
survey. Tahap ini sangat membantu untuk memprioritaskan evaluasi dan tatalaksana selanjutnya.
Secondary survey melihat data pasien, pemeriksaan head to toe, menilai kembali tanda-tanda
vital, hasil laboratorium dan hasil foto untuk mengidentifikasi trauma dan abnormal metabolik.
Jika pasien dalam keadaan tidak stabil dan terjadi trauma hebat yang menyebabkan tidak dapat
meminta data pasien maka tidak dapat dilakukan secondary survey. Data pasien dapat diminta
dari EMS (Emergency Medical Services) dan keluarga pasien. Jika keadaan pasien mengalami
penurunan maka primary survey harus dilakukan kembali dan evaluasi ABCDE. Tanda-tanda
resusitasi adekuat jika urine output normal, tekanan darah meningkat, dan takikardi melambat.16

Secondary survey tidak dapat dilakukan hingga: 16

- Primary survey sudah selesai


- Resusitasi sudah dimulai
- Semua kondisi mengancam jiwa sudah diidentifikasi dan diselamatkan
- Tanda-tanda vital sudah dalam keadaan normal
Upaya yang harus dilakukan untuk mendapatkan riwayat data pasien ketika mengalami cedera,
karena beberapa makanisme tertentu dapat menimbulkan kecurigaan pada beberpaa jenis cedera
seperti berikut: 16

- Trauma tumpul (pemakaian sabuk pengaman, pelepasan airbag, tingkat keparahan


kerusakan pada mobil)
- Trauma tajam (luka tembakan)

I. AMPLE history

Pemeriksaan ini digunakan untuk mendapatkan hasil yang cepat dan fokus pada: 16

- Allergy (Riwayat alergi)


- Medications (Riwayat pengobatan)
- Previous medical history or illness/pregnancy (Riwayat penyakit sebelumnya atau
riwayat kehamilan)
- Last Meal (Riwayat terakhir makan)
- Events/environment related to injury (Apa yang terjadi pada saat kecelakaan)

II. Pemeriksaan Fisik16

a) Tanda-tanda vital

Tekanan nadi yang rendah dan takikardi merupakan tanda-tanda syok hipovolemik dalam
trauma. Tanda-tanda vital harus dimonitor secara ketat dan respon terhadap intervensi harus
dinilai.

b) Pemeriksaan kepala

Lakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada kepala untuk melihat apakah terdapat
hematom pada kulit kepala, penekanan atau luka pada kepala. Palpasi juga pada tulang orbita,
maxilla, hidung dan mandibulla. Selang nasogatrik (NG) tidak dapat dilakukan jika terpdat
trauma wajah atau bukti fraktur temgkorak basiler. Telinga juga harus dievaluasi untuk melihat
apakah terdapat darah pada telinga tengah atau ekimosis retro-auricular. Terdapatnya darah dan
cairan jernih dari liang telinga menunjukkan adanya fraktur tengkorak basilar dengan kebocoran
CSF. Periksa juga pada hidung dan juga hematoma septum.
c) Pemeriksaan leher

Pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada leher harus dilakukan secara hati-hati selama
leher diimobilisasi. Imobilisasi inadekuat dapat meningkatkan mobiditas. Hati-hati karena cedera
leher bawah mungkin tidak mudah terlihat. Evaluasi apakah terdapat pembengkakan leher atau
massa leher yang berdenyut. Curigai adanya trauma tulang servikal pada trauma tumpul.

d) Pemeriksaan saraf dan kulit

Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mengevaluasi sensorik, motorik dan juga skala
koma Glasgow untuk menilai tingkat kesadaran pasien. Pemeriksaan neurologis juga mencakup
pemeriksaan respons pupil terhadap cahaya. Pada pemeriksaan kulit dilakukan isnpeksi dengan
melihat seluruh area kulit dan menilai adanya ekimosis, hematom, memar dan lainnya, jika ada
maka dapat dicatat lokasinya. Dievaluasi juga bagian tubuh yang lebih tersembunyi seperti
lipatan aksila, perut dan juga perineum.

e) Pemeriksaan paru-paru

Pemeriksaan paru-paru atau thorax dapat dilkukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan
juga auskultasi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kesimetrisan dan juga bentuk pada
paru-paru. Pada palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat nyeri tekan, massa,
peradangan, edema, taktil fremitus. Pada pemeriksaan perkusi dilakukan untuk mengetahui batas
paru dan organ lainnya. Mengevaluasi bunyi nafas denngan melakukan auskultasi.

f) Pemeriksaan abdomen

Pada pemeriksaan abdomen, tindakan yang dilakukan berupa inspeksi, palpasi, dan
auskultasi pada abdomen atau perut. Pemeriksaan inspeksi dilakukan untuk mengamati apakah
adanya kelainan bentuk perut, retraksi, penonjolan dan juga ketidaksimetrisan pada perut atau
abdomen. Pemeriksaan palpasi bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat massa dan respon
nyeri tekan, palpasi dilakukan dengan meletakkan telapak tangan pada abdomen secara
berhimpitan dan menekan sesuai kuadran. Palpasi dalam bertujan untuk mengetahui posisi organ
dalam seperti hepar, ginjal, limpa. Pada pemeriksaan auskultasi dilakukan untuk mengetahui
apakah adanya bising usus.
g) Pemeriksaan pelvis dan eksremitas

Pemeriksaan eklstremitas dapat dilakukan dengan palpasi dengan meraba setiap ekstremitas dan
menilai adanya nyeri tekan dan juga deformitas (pemendekan rotasi dan angulasi) yang
menyebabkan penurunan rentang gerak. Pada sendi yang cedera dapat dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut dengan radiografi. Penilaian status neurovascular dari setiap ekstremitas juga
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan denyut nadi. Mengevaluasi pelvis dan spina iliaka
anterior untuk melihat adanya kelainan pada panggul. Dilakukan inspeksi untuk melihat adanya
ekimosis dan juga palpasi untuk menilai nyeri tekan.

Setelah pemeriksaan fisik dan juga neurologis dilakukan, tetap lakukan pemantauan
terhadap tanda-tanda vital dan penilaian pada urinnya. Pada pasien yang mengalami trauma
dapat dilakukan pemeriksaan sonografi perut dan melakukan pemasangan kateter urin.

Hal yang terpenting untuk mengevaluasi pasien yang memiliki trauma tumpul abdominal
ialah memperhatikan stabilisasi hemodinamik. Pada pasien yang memiliki hemodinamik tidak
stabil, maka harus cepat dievaluasi dan curiga adanya hemoperiteneum dengan cara melakukan
diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau melakukan focused assessment with sonography for
trauma (FAST). Radiografi perut diindikasikan pada pasien yang stabil ketika adanya temuan
pemeriksaan fisik yang tidak menyakinkan.17

Observasi yang dilakukan oleh Kwok et al, menunjukkan bahwa pada anak-anak yang
mengalami trauma tumpul abdomen dan di lakukan radiografi pelvis anteroposterior polos hanya
memiliki sensitivitas 78% dalam mendeteksi fraktur atau dislokasi panggul. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah CT scan yang memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan foto polos
abdomen. Hal ini didapatkan, 85 pasien yang mengalami trauma hanya 2 pasien saja yang tidak
terdeteksi fraktur atau dislokasi. Pemeriksaan CT Scan dilakukan, jika pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya curiga trauma. 17

III. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Darah Lengkap

Dilakukan ketika terdapat pendarahan yang massif, dan untuk melihat kadar hemoglobin
dan hematokrit dengan tujuan mengidentifikasi pasien apakah mengalami kekurangan volume
dan hemodelusi yang signifikan secara fisiologis. Tetapi jika nilai hemoglobin dan hematokrit
normal tidak memungkinkan tidak terjadinya perdarahan. Pada nilai hematokrit yang relatif
normal (>30%) tetapi memiliki bukti syok secara klinis (fraktur panggul terbuka) atau
kehilangan darah yang signifikan maka segera lakukan transufusi. 17

2. Test fungsi hati

Mengidentifikasi apakah terdapat cedera pada hati yang dapat dilihat dari nilai
aminotransferase (AST) atau alanain aminotransferase (ALT) lebih dari 130 U. 17

3. Analisa Gas Darah

Untuk menegetahui hasil tekanan parsial oksigen PO2, saturasi oksigen SO2 dan tekanan
parsial karbon dioksida PCO2 mengenai pertukaran alveolar oksigen. Pemeriksaan hemoglobin
total melalui AGD juga memberikan hasil lebih cepat daripada pemeriksaan darah lengkap. 17

4. Pemeriksaan Urin

Pemeriksaan urin diindikasikan untuk pasien yang megalami trauma pada abdomen atau
panggul, gross hematuria, dan microscopic hematuria dalam pengaturan hipotensi. Adanya
hematuria dapat dilihat dengan pemeriksaan cystography dan IVP atau CT scan abdomen dengan
kontras. 17

5. Foto Polos

Walaupun pemeriksaan pada trauma tumpul abdomen sangat terbatas, pemeriksaan foto
polos toraks dapat membantu dalam diagnosis cidera perut lainnya seperti ruptur hemidiafragma
(seperti nasogastric tube yang dapat dilihat di bagian dada) atau pneumoperiteneum.
Pemeriksaan foto toraks juga untuk melihat trauma pada bagian dada, seperti fraktur pada iga.17

6. USG

Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan yang cepat dan nonivasif untuk mendeteksi
hemoperiteneum. Focused assessment with sonography in trauma (FAST) merupakan
pemeriksaan ultrasonografi cepat untuk mendiagnosis trauma tumpul abdomen terutama pada
pasien tidak stabil tetapi juga dapat dilakukan pada pasien yang stabil.17
FAST dianggap sebagai pelengkap untuk CT scan dan DPL. Manfaat pemeriksaan FAST antara
lain:18

- Mengurangi waktu mendiagnosis trauma tumpul abdomen


- Memabantu diagnosis hemoperitoneum secara akurat
- Tidak invasif
- Dapat dilakukan dalam primary survey atau secondary survey dengan cepat, tanpa
memindahkan pasien dari area klinis
- Dapat diulang untuk pemeriksaan selanjutnya
- Aman untuk pasien hamil dan anak-anak karena sedikit radiasi daripada CT scan

Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan trauma ditempat lainnya, FAST dapat
mengidentifikasi cairan intraperitoneal bebas dengan cepat (umumnya muncul sebagai garis
hitam). Akurasi diagnostic pemeriksaasan FAST dan DPL umumya sama. Berdasarkan hasil
FAST, maka terdapat beberapa tindakan yang harus dilakukan, seperti: 17

• Pasien stabil secara hemodinamik dengan hasil FAST positif

Memerlukan CT Scan untuk menentukan sifat dan tingkan cedera. Membawa setiap pasien
dengan hasil FAST positif ke ruang operasi dapat menyebabkan tingkat laparatomi yang sangat
tinggi.

• Pasien stabil secara hemodinamik dengan hasil FAST negatif

Memerlukan observasi yang ketat, melakukan pemeriksaan abdomen kembali, dan melalukan
pemeriksaan FAST lanjutan.

• Pasien tidak stabil dengan hasil FAST negative

Melakukan penilaian ulang untuk mencari diagnostik yang pasti dan melihat sumber perdarahan,
yaitu dengan melakukan DPL, exploratory laparotomy, jika memungkikan CT Scan setelah
resusitasi agresif.

• Pasien tidak stabil dengan hasil FAST positif

Lakukan tindakan operatif


Diagnostic peritoneal lavage (DPL) merupakan pemeriksaan diagnostik untuk mengetahui
pendarahan di dalam rongga perut pada trauma. DPL digunakan ketika pasien trauma
hemodinamik tidak stabil yang memiliki hasil FAST negatif atau belum pasti serta dapat dengan
cepat memastikan ada atau tidaknya perdarahan di intraperitoneal. Oleh karena itu, pasien
dengan cedera kepala tertutp, pasien tidak stabil yang mengalami kecelakaan motor, atau pasien
dengan fraktur panggul dan potensi mengalami perdarahan retroperitoneal dapat dilakukan
laparatomi darurat. DPL juga dapat digunakan dalam keadaan tidak darurat sebagai sarana untuk
mendeteksi cedera padat atau hollow-viscus injury (HVI) yang memerlukan laparatomi. 19

7. CT Scan

CT Scan merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat detail pada gambar, mahal, dan
memakan waktu yang lama tetapi dapat memabntu dalam penentuan intervensi operatif. CT Scan
perut dapat mengetahui patah tulang belakang, panggul dan cedera pada rongga dada. CT Scan
tidak seperti DPL atau FAST, yang memili kemampuan untuk menentukan sumber perdarahan.16

Pemeriksaan CT Scan hanya boleh dilakukan pada pasien yang stabil secara
hemodinamik. Pemeriksaan ini sangat baik pada organ yang padat seperti pancreas, duodenum
dan system genitourinarius. Gambaran CT scan dapat membantu menilai seberapa banyak darah
yang ada di abdomen dan dapat mengungkapkan secara detail dan tepat pada organ yang
mengalami trauma. Selain itu, keuntungan lainnya adalah spesifisitasnya tinggi dan digunakan
untuk memandu manajemen nonoperatif cedera pada organ padat. CT scan dapat melewatkan
trauma pada diafragma dan perforasi saluran gastrointestinal terutama bila dilakukan segera
setelah cedera. Meskipun beberapa trauma pankreas terlewatkan dengan CT scan yang dilakukan
segera setelah terjaidnya trauma, namun biasanya trauma tersebut dapat diidentifikasi kembali
dalam 36-48 jam kemudian. 16

Ruptur Limpa

Ruptur limpa dapat dibagi menjadi dua kategori utama: ruptur traumatis dan non-trauma.
Mekanisme utama yang paling umum pada cedera traumatis (50% sampai 75%) adalah akibat
dari cedera kendaraan bermotor. Pukulan perut langsung dan jatuh adalah penyebab utama yang
tersisa dari ruptur traumatis. Selain itu, ruptur traumatis dapat muncul segera setelah cedera atau
mungkin muncul secara tertunda.11

Ruptur limpa diklasifikasikan berdasarkan temuan CT menurut American Association for the
Surgery of Trauma (AAST) Organ Injury Scale. Ini membantu mengkategorikan cedera limpa
tetapi tidak memprediksi kebutuhan untuk intervensi bedah :12

 Tingkat 1
o Hematoma, subkapsular, luas permukaan kurang dari 10%
o Laserasi, robekan kapsular, kedalaman parenkim kurang dari 1 cm
 Kelas 2
o Hematoma, subkapsular, luas permukaan 10% hingga 50%
o Intraparenkim, diameter kurang dari 5 cm
o Laserasi, robekan kapsular, kedalaman parenkim 1 cm sampai 3 cm yang tidak
melibatkan pembuluh trabekula
 Kelas 3
o Hematoma, subkapsular, luas permukaan lebih dari 50% meluas; hematoma
subkapsular atau parenkim pecah; hematoma intraparenkim 5 cm atau lebih besar
dan meluas
o Laserasi, kedalaman parenkim lebih dari 3 cm atau melibatkan pembuluh darah
trabekular
 Kelas 4
o Laserasi yang melibatkan pembuluh darah segmental atau hilus yang
menyebabkan devaskularisasi mayor (lebih dari 25% limpa)
 Kelas 5
o Laserasi, limpa yang benar-benar hancur
o Vaskular, cedera vaskular Hilar yang menyebabkan devaskularisasi limpa

Penaganan/Managemen

Pengobatan tergantung pada tingkat keparahan dan etiologi ruptur, serta stabilitas hemodinamik
pasien.
Perawatan non-operatif dicoba pada 60% hingga 90% pasien dengan cedera limpa traumatis
tumpul karena keinginan untuk mempertahankan fungsi limpa. Sebuah studi kasus-kontrol
penting tahun 1968 tentang manajemen operatif vs. non-operatif oleh Upadyaya dan Simpson
menyarankan bahwa cedera limpa yang terisolasi dapat diobati dengan aman tanpa operasi pada
anak-anak. Sejak kasus itu, beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang serupa, dan
manajemen non-operatif adalah pilihan manajemen utama, terutama pada populasi anak. Tingkat
keberhasilan saat ini 90% dilaporkan pada populasi anak-anak. 13

Radiologi intervensi mungkin tersedia di beberapa institusi sebagai sarana untuk melakukan
embolisasi arteri untuk cedera pembuluh darah besar atau kecil dengan perdarahan pada pasien
trauma stabil. Ini juga merupakan pilihan pada pasien yang gagal dalam manajemen
konservatif.14

Laparotomi eksplorasi, bagaimanapun, diindikasikan jika ketidakstabilan hemodinamik berlanjut


atau jika pasien membutuhkan lebih dari 4 unit darah selama periode 48 jam. Pilihan awal dalam
manajemen bedah adalah untuk memperbaiki laserasi kapsuler (splenoraphy).15

Kesimpulan

Dalam penanganan emergensi shock pada pediatri, harus mengevaluasi sumber perdarahan,
menghentikan perdarahan, dan mengganti volume yang hilang. Semua harus dilakukan segera
mungkin untuk mempertahankan kehidupan pasien. Setelah itu, anak-anak dengan syok harus
dikelola oleh dokter dengan perawatan kritis dan keahlian trauma dalam pengaturan yang
memiliki sumber daya yang diperlukan untuk memberikan perawatan intensif pediatrik.
Daftar Pustaka

1. Henry S, Brasel K, Stewart RM. ATLS Advanced Trauma Life Support. 10th ed. United
State: American College of Surgeons; 2018. p.43-59.
2. Jelinek G, Everitt I, and Raftos J. Textbook of Paediatric Emergency Medicine. 2 nd ed.
United Kingdom: Elsevier Health Sciences. 2011.p41-4
3. Balamuth F, Fitzgerlad J, Weiss S. Chapter 5. Shock. In : Shaw KN and Bachur RG,
editors. Fleisher & Ludwig’s Textbook of Pediatric Emergency Medicine. 7th ed. United
Kingdom: Wolters Kluwer.2015.p167-83
4. Lavoie M and Nance ML. Chapter 2. Approach to The Injured Child. In : Shaw KN and
Bachur RG, editors. Fleisher & Ludwig’s Textbook of Pediatric Emergency Medicine. 7 th
ed. United Kingdom: Wolters Kluwer.2015.p79-90
5. Ganesha IGH, Putra IKB. Hypovolemic shock. 2016. Tersedia di:URL:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/05cb00122059443e6648bef1374
d500f.pdf. Diakses 15 November 2021.
6. Fitria CN. Syok dan penaganannya. 2010. Tersedia di:URL: http://fmipa.umri.ac.id/wp-
content/uploads/2016/06/Unida-Putri-syok-kardiogenik-dan-penaganannya.pdf. Diakses
15 November 2021.
7. Hatta NSM. Syok neurogenik. 2017. Tersedia di:URL:
file:///C:/Users/Asus/Downloads/kupdf.net_syok-neurogenik.pdf. Diakses 15 November
2021.
8. Irvan, Febyan, Suparto. Sepsis dan tatalaksana berdasarkan guidline terbaru. Jurnal
anastesiologi indonesia. 2018:10(1):62-71.
9. Salam SH. Syok anafilaksis. 2016. Tersedia di:URL:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/SYOK-ANAFILAKSIS-
2.pdf. Diakses 15 November 2021.
10. Hooper N, Armstrong TJ. Hemorrhagic Shock. 2019 [cited 15 November 2021]. Avaible
from :https://www.ncbi.nlm.nih. gov/books/NBK470382/#__NBK470382_dtls
11. Clancy A, Tiruta C, Ashman D, Ball C, Kirkpatrick A. The song remains the same
although the instruments are changing: complications following selective non-operative
management of blunt spleen trauma: a retrospective review of patients at a level I trauma
centre from 1996 to 2007. Journal of Trauma Management & Outcomes [Internet]. 2012
[cited 15 November 2021];6(1). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3338082/
12. Margari S, Garozzo Velloni F, Tonolini M, Colombo E, Artioli D, Allievi NE,
Sammartano F, Chiara O, Vanzulli A. Emergency CT for assessment and management of
blunt traumatic splenic injuries at a Level 1 Trauma Center: 13-year study. Emerg Radiol.
2018 Oct;25(5):489-497.
13. Skattum J, Naess PA, Gaarder C. Non-operative management and immune function after
splenic injury. Br J Surg. 2012 Jan;99 Suppl 1:59-65.
14. Livingston MH, Moffat B, Leeper WR, Parry NG, Gray DK. Angiography and
embolization for blunt splenic injuries. J Am Coll Surg. 2014 Dec;219(6):1193-4.
15. Ammann AJ, Addiego J, Wara DW, Lubin B, Smith WB, Mentzer WC. Polyvalent
pneumococcal-polysaccharide immunization of patients with sickle-cell anemia and
patients with splenectomy. N Engl J Med. 1977 Oct 27;297(17):897-900.
16. Zemaitis MR, Planas JH, Waseem M,2021. Trauma Secondary Survey. [Internet]. 2021
[cited 14 November 2021]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441902/
17. Legome, E, Keim SM, Salomone JP, Udeani J. Blunt Abdominal Trauma Workup:
Approach Considerations, Blood Studies, Urine Studies [Internet]. Medscape: 2021
[Cited 14 November 2021]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#showall
18. Jang T, Basrai Z Focused Assessment with Sonography in Trauma (FAST) [Internet].
Medscape: 2021 [Cited 14 November 2021]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/104363-overview#showall
19. Jagminas L, Windle ML, Scudder L. Diagnostic Peritoneal Lavage [Internet]. Medscape:
2021 [Cited 14 November 2021]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/82888-overview#showall

Anda mungkin juga menyukai