Anda di halaman 1dari 31

SYOK

SKENARIO

Seorang supir ugal-ugalan, berusia 28 tahun, terlibat dalam kecelakaan kendaraan


bermotor. Dia terlihat kebingungan dan gelisah, namun masih mampu menyebutkan
namanya. Laju pernapasannya 28 kali / menit, nadi 126 kali/menit, dan tekanan darah
96/70 mmHg.

Langkah pertama dalam manajemen awal syok pada pasien trauma adalah mengenali
terjadinya kondisi tersebut. Tidak ada tanda-tanda vital dan pemeriksaan laboratorium
yang dapat mendiagnosis terkadinya syok, namun diagnosis awal berdasarkan pada
mengenali secara klinis adanya perfusi dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat.
Definisi syok adalah abnormalitas pada sistem sirkulasi yang menyebabkan perfusi
organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat / memadai, juga menjadi alat operatif
untuk diagnosis dan penanganan.

Langkah kedua dalam manajemen awal syok adalah untuk mengidentifikasi


kemungkinan penyebab dari status syok. Pada pasien trauma, proses ini terkait langsung
dengan mekanisme cedera. Kebanyakan pasien syok mengalami hipovolemia, namun
mereka bisa mengalaminya akibat syok kardiogenik, obstruktif, neurogenik, dan yang
jarang, syok septik. Tension penumothorax dapat menurunkan aliran balik vena dan
menyebabkan syok obstruktif, karena darah yang terakumulasi di dalam ruang
perikardium dapat menghambat kontraktilitas dan menurunkan curah jantung. Diagnosis
– diagnosis ini harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami cedera di atas
diafragma. Syok neurogenik disebabkan oleh cedera yang luas pada medula spinalis
servikal atau thorakal. Untuk tujuan praktik, syok tidak disebabkan oleh cedera otak
yang berdiri sendiri. Pasien dengan cedera medula spinalis awalnya bisa menampilkan
syok yang terjadi akibat vasodilatasi dan hipovolemia relatif. Syok septik biasanya
jarang terjadi, namun harus dipertimbangkan pada pasien yang tiba di fasilitas
emergensi setelah mengalami keterlambatan selama berjam-jam. Manajemen pasien
dimulai dengan mengenali adanya syok dan penanganan harus dimulai secara simultan
dengan identifikasi penyebab yang mungkin. Respon terhadap penanganan awal, beserta
dengan temuan-temuan selama survei primer dan sekunder pada pasien, biasnaya
memberikan informasi yang cukup untuk menentukan penyebab syok. Perdarahan /
hemoragik merupakan penyebab tersering syok pada pasien yang mengalami cedera.

PATOFISIOLOGI SYOK

Apakah syok itu?

Ulasan mengenai fisiologi dasar jantung dan patofisiologi kehilangan darah merupakan
hal yang penting untuk memahami status syok.

Fisiologi Dasar Jantung

Curah jantung yang didefinisikan sebagai volume darah yang dipompakan oleh jantung
setiap menit, ditentukan oleh hasil kali antara laju jantung dengan volume sekuncup.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompakan setiap jantung mengalami kontraksi,
secara sederhana ditentukan oleh beban awal, kontraktilitas miokardium, dan beban
akhir. Beban awal, volume dari aliran balik vena ke jantung, ditentukan oleh kapasitansi
vena, status volume, dan perbedaan antara tekanan vena sistemik rata-rata dan tekanan
atrium kanan (gambar 3-1). Perbedaan tekanan ini menentukan aliran balik vena. Sistem
vena dapat dipertimbangkan sebagai suatu sistem reservoir (penampung) atau
kapasitansi, di mana volume darah dibagi ke dalam dua komponen:

1. Komponen pertama tidak berkontribusi untuk tekanan vena sistemik rata-rata


dan mewakili volume darah yang akan tersisa di dalam sirkuit kapasitansi ini
jika tekanan di dalam sistem sebesar nol.
2. Komponen kedua dan yang lebih penting mewakili volume vena yang
berkontribusi untuk tekanan vena sistemik rata-rata. Sekitar 70% dari volume
darah total tubuh diestimasi untuk dilokasikan ke sirkuit vena. Hubungan
antara volume vena dan tekanan vena menjelaskan komplians sistem.
Gradien tekanan ini mengendalikan aliran vena dan dengan demikian juga
volume aliran balik vena ke jantung. Kehilangan darah menyebabkan deplesi
pada komponen volume vena ini dan menurunkan gradien tekanan, sebagai
konsekuensinya, aliran balik vena juga menurun. Volume aliran darah vena
yang kembali ke jantung menentukan panjang serabut otot miokardoum
setelah pengisian ventrikel di akhir diastolik.

Panjang serabut otot terkait dengan sifat kontraktilitas dari otot miokardum berdasarkan
hukum Starling. Kontraktilitas miokardium merupakan pompa yang mengendalikan
sistem. Beban akhir adalah resistensi vaskuler sistemik (perifer), atau sederhananya
diistilahkan sebagai resistensi pada aliran darah yang dipompakan (forward flow).

Gambar 3.1. Curah Jantung

PATOFISIOLOGI KEHILANGAN DARAH

Respons awal sirkulasi terhadap kehilangan darah adalah kompensasi dan termasuk
vasokonstriksi progresif dari sirkulasi kulit, otot, dan viseral untuk menjaga aliran darah
ke ginjal, jantung, dan otak. Respon yang biasa terhadap penurunan volume sirkulasi
akut yang terkait dengan cedera adalah peningkatan denyut jantung dalam upaya
mempertahankan curah jantung. Dalam kebanyakan kasus, takikardia adalah tanda syok
yang paling pertama dapat diukur. Pelepasan katekolamin endogen meningkatkan
resistensi vaskular perifer, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan darah diastolik
dan menurunkan tekanan nadi, namun tidak banyak meningkatkan perfusi organ.
Hormon lain dengan sifat vasoaktif yang dilepaskan ke dalam sirkulasi selama syok,
termasuk histamin, bradikinin, ß-endorfin, dan kaskade prostanoid dan sitokin lainnya.
Zat ini memiliki efek mendalam pada mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular.

Aliran balik vena pada syok hemoragik awal dipertahankan sampai tingkat tertentu oleh
mekanisme kompensasi kontraksi volume darah dalam sistem vena, yang tidak
berkontribusi pada tekanan vena sistemik. Namun, mekanisme kompensasi ini terbatas.
Metode yang paling efektif untuk mengembalikan curah jantung dan perfusi organ akhir
yang cukup adalah mengembalikan aliran balik vena ke tingkat yang normal dengan
menemukan dan menghentikan sumber perdarahan, bersamaan dengan pelepasan
volume yang tepat. Pada tingkat sel, sel-sel yang tidak diserap dan oksigen yang tidak
memadai kekurangan substrat penting untuk metabolisme aerobik normal dan produksi
energi. Awalnya, kompensasi terjadi dengan beralih ke metabolisme anaerobik, yang
berakibat pada pembentukan asam laktat dan perkembangan asidosis metabolik. Jika
syok berkepanjangan dan pengiriman substrat untuk produksi adenosin trifosfat (ATP)
tidak memadai, membran seluler kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
integritasnya dan gradien listrik normal hilang.

Mediator proinflamasi, seperti inducible nitric oxide synthase (iNOS), tumor necrosis
factor (TNF), dan sitokin lainnya dilepaskan, yang menetapkan stadium untuk
kerusakan organ akhir dan disfungsi organ multipel.

Jika prosesnya tidak terbalik, kerusakan sel progresif, perubahan permeabilitas endotel,
pembengkakan jaringan tambahan, dan kematian sel dapat terjadi. Proses ini
memengaruhi dampak kehilangan darah dan hipoperfusi, berpotensi meningkatkan
volume cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi.

Pemberian sejumlah larutan elektrolit isotonik dan darah yang tepat membantu melawan
proses ini. Pengobatan pasien diarahkan untuk membalik keadaan syok dengan
menyediakan oksigenasi, ventilasi, dan resusitasi cairan yang adekuat, serta
menghentikan pendarahan.

Penanganan awal syok diarahkan untuk memulihkan perfusi seluler dan organ dengan
darah yang cukup teroksigenasi. Kontrol definitif perdarahan dan pemulihan volume
sirkulasi yang cukup adalah tujuan pengobatan syok hemoragik. Vasopressor
dikontraindikasikan untuk pengobatan syok hemoragik karena memperburuk perfusi
jaringan. Pemantauan yang sering dilakukan terhadap indeks perfusi pasien diperlukan
untuk mengevaluasi respon terhadap terapi dan mendeteksi adanya kemunduran pada
kondisi pasien sedini mungkin. Penilaian ulang akan membantu mengidentifikasi pasien
dengan syok kompensasi atau mereka yang tidak dapat memasang respons kompensasi
sebelum kolaps kardiovaskular. Sebagian besar pasien yang mengalami syok
hipovolemik memerlukan intervensi bedah dini atau angioembolisasi untuk
membalikkan keadaan syok. Kehadiran syok pada pasien yang cedera membutuhkan
keterlibatan seorang ahli bedah yang segera. Secara optimal, klinisi akan mengenali
status syok selama penilaian awal pasien. Sehingga penting untuk familiar dengan
diferensiasi klinis penyebab syok, singkatnya, hemoragik dan non-pendarahan.

PENGENALAN SYOK

Syok sirkulasi yang berat dapat dikenali dengan mudah karena adanya bukti kolaps
hemodinamik dengan perfusi kulit, ginjal, dan sistem saraf pusat yang tidak adekuat.
Setelah jalan napas dan ventilasi yang adekuat, sirkulasi pada pasien harus dievaluasi
dengan baik untuk menilai manifestasi awal dari syok, termasuk takikardi dan
vasokonstriksi kutaneus.

Tekanan darah sistolik merupakan indikator syok yang akibat keterlambatan


penanganan syok. Mekanisme kompensasi dapat mengaburkan turunnya tekanan
sistolik hingga volume darah menurun sebanyak 30% . Denyut nadi, karakteristik nadi,
laju pernapasan, sirkulasi kulit, dan tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik dan
diastolik) perlu diperhatikan dengan baik. Takikardi dan vasokonstriksi kutaneus
merupakan respon fisiologi akibat hilangnya volume darah pada dewasa. Pasien yang
mengalami perlukaan dengan tanda-tanda akral dingin dan takikardi dicurigai
mengalami syok hingga penyebab lain dapat dibuktikan. Denyut nadi yang normal atau
bahkan bradikardi dapat berhubungan dengan penurunan volume darah secara akut;
sehingga perfusi harus diperhatikan dengan baik.
Denyut nadi normal bervariasi sesuai dengan usia. Takikardi terdiagnosis saat denyut
nadi lebih besar dari 160 kali permenit pada infan, 140 kali permenit pada anas usia pra-
sekolah, 120 kali permenit pada anak usia sekolah hingga pubertas, dan 100 kali
permenit pada dewasa. Pasien usia lanjut biasanya tidak memberikan gejala takikardi
karena respon jantung yang kurang terhadap stimulasi katekolamin atau karena
penggunaan obat-obatan, seperti agen β-bloker. Kemampuan tubuh untuk meningkatkan
denyut jantung dapat terhambat akibat pemasangan pacemaker. Denyut nadi yang
melemah menunjukan penurunan volume darah yang signifikan dan melibatkan
mekanisme kompensasi. Nilai laboratorium untuk konsentrasi hematokrit atau
hemoglobin tidak selalu menunjukan penurunan volume darah akut dan tidak dapat
digunakan untuk menyingkirkan adanya syok. Penurunan volume darah massif hanya
menunjukan penurunan konsentrasi hematokrit atau hemoglobin minimal. Konsentrasi
hematokrit yang sangat rendah menunjukan adanya perlukaan yang menyebabkan
penurunan volume darah massif atau penderita telah mengalami anemia sebelumnya,
sehingga konsentrasi hematokrit normal tidak menunjukan penurunan volume darah
yang signifikan. Penurunan kadar basa dan/atau kadar laktat dapat digunakan untuk
menunjukan adanya syok dan memperkirakan keparahan dari syok. Penghitungan yang
berkelanjutan dari parameter ini dapat digunakan untuk memantau respon pasien
terhadap terapi.

Membedakan berbagai penyebab syok

Syok pada pasien trauma diklasifikasikan sebagai hemoragik ataupun nonhemoragik.


Pasien dengan perlukaan di atas diafragma dapat menunjukan perfusi organ yang tidak
adekuat akibat kemampuan jantung yang menurun karena trauma tumpul pada
miokardium, tamponade jantung, atau tension pneumotoraks menyebabkan darah dari
vena yang kembali ke jantung tidak adekuat. Observasi respon pasien terhadap terapi
dapat membantu klinisi untuk mengenali dan memberikan terapi pada semua jenis syok.

Pengenalan penyebab syok bergantung pada riwayat pasien dan pemeriksaan serta
penemuan fisik dengan baik. Pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan seperti penilaian
tekanan vena sentral (CVP), pemeriksaan foto x-ray dada dan/atau pelvis, dan
ultrasonografi dapat membantu membuktikan penyebab syok dan tindakan resusitasi
tidak boleh ditunda.
Syok hemoragik

Perdarahan merupakan penyebab syok yang paling sering ditemui setelah perlukaan,
dan pasien dengan perlukaan yang lebih dari satu cenderung mengalami hipovolemi.
Pada syok nonhemoragik, pemberian resusitasi tidak memberikan respon yang
maksimal. Sehingga pasien dengan gejala syok dapat diberikan terapi jika terdapat
tanda-tanda hipovolemik (Gambar 3-2). Pada saat pemberian terapi, sangat penting
untuk menilai penyebab syok karena dapat disertai dengan kondisi yang memperburuk
syok hipovolemik/hemoragik seperti temponade jantung, tension pneumotoraks,
kerusakan pada medulla spinalis, trauma tumpul pada jantung. Terapi spesifik pada
syok hemoragik dijelaskan pada bab selanjutnya. Hal utama yang perlu diperhatikan
pada syok hemoragik adalah mengidentifikasi dan menghentikan perdarahan. Sumber
perdarahan yang berasal dari dada, abdomen, pelvis, retroperitoneum, ekstremitas, dan
perdarahan luar harus diperiksa dengan benar dan cepat. Pemeriksaan x-ray dada, x-ray
pelvis, dan abdomen dapat menggunakan FAST (Focused Assessment Sonography in
Trauma) atau DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), dan pemasangan kateter dapat
digunakan untuk menilai sumber perdarahan
(Gambar 3-3).

Gambar 3-2. Penggunaan ultrasound untuk


menentukan penyebab syok
Gambar 3-3. Penilaian sirkulasi termasuk menentukan daerah perdarahan dengan cepat.
Terdapat empat regio dengan kemungkinan terjadinya perdarah: (A) dada; (B)
abdomen; (C) pelvis; dan (D) femur

Syok nonhemoragik

Syok nonhemoragik dapat dibagi menjadi syok kardiogenik, tamponade jantung, tension
pneumotoraks, syok neurogenik, dan syok sepsis.

Syok kardiogenik. Disfungsi miokardium dapat disebabkan oleh trauma tumpul pada
jantung, tamponade jantung, emboli udara, atau pada kasus yang jarang, infark
miokardium berhubungan dengan perlukaan pada pasien. Trauma tumpul pada jantung
dapat dicurigai akibat mekanisme kerusakan pada dada terjadi saat deselerasi. Semua
pasien dengan trauma tumpul pada dada membutuhkan pemeriksaan EKG
(elektrokardiograf) untuk menilai pola kerusakan dan disritmia. Pemeriksaan isoenzim
kreatinin kinase (CK), dan isotop spesifik terhadap miokardium dapat digunakan untuk
membantu diagnosis atau terapi pada pasien di instalasi darurat. Pemeriksaan
ekokardiografi juga dapat digunakan untuk diagnosis tamponade jantung dan ruptur
valvular, tetapi pemeriksaan ini biasanya tidak langsung tersedia di instalasi darurat.
Pemeriksaan FAST di instalasi darurat dapat digunakan untuk menilai cairan
pericardium dan tamponade jantung sebagai penyebab syok. Traum tumpul pada
jantung merupakan indikasi untuk pemasangan monitor CVP untuk membantu proses
resusitasi cairan.

Tamponade jantung

Tamponade jantung merupakan akibat yang paling sering didapatkan pada pasien
trauma penetrasi pada toraks, tetapi tamponade jantung juga dapat terjadi akibat trauma
tumpul pada jantung. Takikardi, suara jantung redup, dan dilatasi, pembesaran vena
jugularis dengan hipotensi yang tidak membaik dengan pemberian terapi cairan
menunjukan adanya tamponade jantung. Pada kondisi tidak ditemuakannya gejala
tersebut tidak menyingkirkan diagnosis tamponade jantung. Tension pneumotoraks
dapat menyerupai gejala tamponade jantung, tetapi dapat dibedakan dengan hilangnya
suara napas, deviasi trakea, dan perkusi yang hiperresonan menunjukan adanya
keterlibatan hemitoraks. Pemberian terapi pada tamponade jantung dapat menggunakan
torakotomi. Perikardiosentesis dapat digunakan jika torakotomi tidak tersedia. Lihat
Skill Station VII: Manajemen Trauma Dada. Skill VII-C: Perikardiosentesis.

Tension pneumotoraks

Tension pneumotoraks merupakan kasus emergensi yang membutuhkan diagnosis dan


penanganan dengan cepat. Hal ini terjadi saat udara masuk ke dalam cavum pleura,
tetapi katup yang terbentuk mencegah udara keluar dari cavum pleura. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intrapleural dan menyebabkan kolaps pada paru
serta penggeseran mediastinum ke arah sebaliknya sehingga terjadi gangguan aliran
balik vena dan penurunan curah jantung. Adanya kondisi distress respirasi akut,
emfisema subkutaneus, hilangnya suara napas, hiperresonan pada perkusi, dan deviasi
trakea membantu diagnosis dan membutuhkan dekompresi toraks secepatnya tanpa
menunggu konfirmasi dari foto x-ray. Penempatan jarum yang tepat pada cavum pleura
pada kasus tension pneumotoraks sangat mempengaruhi penyembuhan pada pasien.
Lihat Skill Station VII: Manajemen Trauma Dada, Skill VII-A: Torakosentesis Jarum.

Syok Neurogenik

Kerusakan pada intrakranial tidak menyebabkan syok. Adanya gejala syok pada pasien
dengan trauma kepala perlu diperhatikan adanya penyebab lain selain trauma
intrakranial. Trauma medulla spinalis servikal ataupun torakik atas dapat menyebabkan
hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Hilangnya tonus simpatis menyebabkan efek
fisiologi berupa hipovolemi, dan hipovolemi menyebabkan gangguan fisiologi berupa
denervasi simpatis. Gejala khas pada syok neruogenik berupa hipotensi tanpa takikardi
atau vasokonstriksi kutaneus. Denyut nadi yang melemah tidak terlihat pada syok
neurogenik. Pasien yang dicurigai dengan trauma medulla spinalis mengalami trauma
pada torso; sehingga pasien yang dicurigai mengalami syok neurogenik harus
mendapatkan terapi awal untuk hipovolemi. Kegagalan pada resusitasi cairan untuk
mengembalikan perfusi organ dapat berlanjut hingga syok hemoragik atau syok
neurogenik. Pemasangan monitor CVP dapat membantu untuk memperbaiki komplikasi
yang terjadi. Lihat Bab 7: Trauma Vertebra dan Medulla Spinalis.

Syok Sepsis. Syok akibat infeksi yang terjadi segera setelah trauma merupakan kasus
yang jarang terjadi; tetapi hal ini dapat terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan
terapi di instalasi darurat. Syok sepsis dapat terjadi akibat trauma penetrasi pada
abdomen dan berlanjut hingga ke kavum peritoneum. Pasien sepsis yang mengalami
hipotensi dan afebris sulit untuk dibedakan dengan syok hipovolemi, karena kedua jenis
syok tersebut dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi kutaneus, gangguan
pengeluaran urin, penurunan tekanan sistolik, dan denyut nadi yang melemah. Pasien
dengan syok sepsis fase dini memiliki sirkulasi normal, takikardi sedang, akral hangat,
tekanan sistolik yang mendekati normal, dan denyut nadi yang melebar.

Syok Hemoragik

Hemoragik merupakan penyebab syok yang paling sering ditemukan pada pasien
trauma. Pasien yang mengalami trauma dan kehilangan darah diperburuk dengan
perpindahan cairan ke dalam kompartemen ekstraseluler. Kehilangan cairan
berhubungan dengan adanya trauma pada organ dalam. Perubahan yang terjadi akibat
syok berat, berkepanjangan, dan dampak patofisiologi akibat resusitasi dan reperfusi
perlu diperhatikan dengan baik.

Definisi syok hemoragik

Perdarahan diartikan sebagai kehilangan volume darah yang terjadi secara akut. Volume
darah normal pada dewasa sekita 7% dari berat badan, tetapi berbagai variasi dapat
terjadi. Sebagai contoh, pria dewasa dengan berat 70 kg memiliki volume darah dalam
sirkulasi sekitar 5 L. volume darah pada dewasa yang mengalami obesitas ditentukan
berdasarkan berat tubuh ideal, karena kalkulasi yang dilakukan berdasarkan berat
sebenarnya dapat menyebabkan estimasi yang berlebihan. Volume darah pada anak-
anak diperkirakan sebanyak 8% hingga 9% dari berat tubuh (80-89 mL/kg). Lihat Bab
10: Trauma Pediatri.

Efek langsung akibat perdarahan

Hemoragik diklasifikasikan menjadi empat derajat berdasarkan gejala klinis dan


digunakan untuk menentukan kehilangan darah secara akut. Klasifikasi ini juga
didasarkan pada perdarahan aktif dan keparahan untuk menentukan terapi yang
diberikan. Penggantian volume darah dilanjutkan bergantung pada respon pasien
terhadap pemberian cairan sebagai terapi awal. Sistem klasifikasi digunakan untuk
memastikan gejala awal dan patofisiologi dari syok.

Syok hemoragik derajat I diumpamakan sebagai pasien yang mendonasikan satu unit
darah. Syok hemoragik derajat II merupakan perdarahan yang tidak memberikan
komplikasi dan membutuhkan resusitasi berupa cairan kristaloid. Syok hemoragik
derajat III merupakan perdarahan disertai komplikasi dan membutuhkan infus kristaloid
dan dapat diberikan transfuse darah. Syok hemoragik derajat IV merupakan kondisi
emergensi, dan pasien dapat meninggal dalam hitungan menit. Tabel 3.1 memberikan
estimasi kehilangan darah dan menentukan derajat kritikal klasifikasi syok pada pasien.

Beberapa faktor yang memperberat kondisi pasien mengganggu respon hemodinamik


pada kehilangan darah akut, dan kondisi ini harus dikenali sejak awal untuk pemberian
terapi dan resusitasi pada pasien dengan risiko syok hemoragik.
Faktor-fakto yang mempengaruhi:

■ Usia pasien

■ Keparahan trauma, bergantung pada tipe trauma dan lokasi anatomi

■ Waktu antara trauma dengan pemberian terapi awal

■ Terapi cairan sebelum perawatan di rumah sakit

■ Pengobatan yang digunakan untuk kasus kronik

Pemberian terapi cairan awal pada pasien trauma tidak harus menunggu hingga adanya
perubahan fisiologi yang sesuai dengan klasifikasi syok. Kontrol perdarahan dan
pemberian resusitasi cairan harus diberikan sejak awal saat tanda dan gejala kehilangan
darah muncul pada pasien. Pasien yang mengalami perdarahan membutuhkan transfuse
darah.

Syok Hemoragik derajat I-Kehilangan darah lebih dari 15%

Kehilangan darah pada syok hemoragik derajat I memberikan gejala klinis yang
minimal. Pada kasus yang tidak berkomplikasi, takikardi minimal terjadi. Tidak ada
perubahan yang terukur pada tekanan darah, tekanan nadi, ataupun laju pernapasan.
Pada pasien tanpa gangguan kesehatan lain, penggantian cairan untuk kehilangan darah
tidak dibutuhkan, karena mekanisme pengisian ulang transkapiler dan kompensasi lain
terjadi untuk mengembalikan volume darah dalam 24 jam, dan tidak dibutuhkan
transfuse darah.

Syok Hemoragik derajat II-Kehilangan darah 15% hingga 30%

Pada pria dewasa dengan berat 70 kg, kehilangan darah pada syok hemoragik derajat II
diperkirakan sebanyak 750 hingga 1500 mL. Gejala klinik yang terjadi seperti takikardi
(denyut jantung lebih dari 100 kali permenit pada dewasa), takipneu, dan penurunan
denyut nadi; gejala klinis selanjutnya berupa peningkatan komponen diastolik akibat
peningkatan sirkulasi katekolamin. Katekolamin ini meningkatkan produksi tonus
vaskuler perifer dan resistensi. Tekanan darah sistolik mengalami perubahan minimal
pada tahap awal syok hemoragik; tetapi sangat penting untuk menilai tekanan nadi
dibandingkan dengan tekanan sistolik. Perubahan klinis lain yang dapat ditemukan
akibat hilangnya volume darah termasuk perubahan pada sistem saraf pusat, seperti
ansietas, ketakutan, dan perasaan marar. Gangguan pada pengeluaran urin juga terjadi
akibat penurunan volume darah. Pada dewasa, jumlah urin normal diperkirakan 20
hingga 20 mL/jam. Kehilangan darah dapat memperberat gejala klinis pada syok
hemoragik derajat II. Beberapa pasien membutuhkan transfuse darah, tetapi pada
keadaan umum terapi hanya diberikan dengan pemberian cairan kristaloid.

Syok Hemoragik derajat III-Kehilangan darah 30% hingga 40%

Kehilangan darah pada syok hemoragik derajat III (pada dewasa diperkirakan 1500
hingga 2000 mL) dapat membahayakan pasien. Gejala yang muncul pada pasien
menunjukan perfusi yang tidak adekuat, menyebabkan takikardi dan takipneu,
perubahan status mental, dan penurunan tekanan darah sistolik. Pada kasus tanpa
komplikasi, penurunan sejumlah volume darah menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik. Pasien membutuhkan transfusi darah. Prioritas utama untuk terapi pasien
tersebut adalah menghentikan sumber perdarahan, baik dengan operasi maupun dengan
embolisasi jika diperlukan. Sebagian besar pasien membutuhkan resusitasi dengan
packed red blood cells (pRBC) dan produk darah lainnya untuk mencegah perburukan
pada derajat syok. Pemberian transfuse darah bergantung pada respon pasien terhadap
resusitasi cairan awal.

Syok Hemoragik derajat IV-Kehilangan darah lebih dari 40%

Derajat eksanguinasi (kehilangan darah) pada syok hemoragik derajat IV membutuhkan


penangan yang cepat untuk mencegah kematian. Gejala yang muncul berupa takikardi,
penurunan tekanan darah sistolik yang signifikan, dan denyut nadi yang melemah (atau
tekanan darah diastolik yang tidak terukur). Pengeluaran urin tidak memberikan makna
yang berarti, dan status mental pasien sangat tertekan. Kulit akan teraba dingin dan
pucat. Pasien dengan syok hemoragik derajat IV membutuhkan transfusi darah secepat
mungkin dan membutuhkan intervensi bedah segera. Keputusan tersebut bergantung
pada respon pasien terhadap teknik manajemen yang dibahas pada bab ini. Kehilangan
darah lebih dari 50% menyebabkan kehilangan kesadaran dan penurunan nadi dan
tekanan darah.
Tabel 3.1. Estimasi kehilangan darah bergantung pada gejala awal pasien

Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV


Jumlah darah yang Lebih dari 750 750 – 1500 1500 – 2000 >2000
hilang (mL)
Jumlad darah yang Lebih dari 15% 15%-30% 30%-40% >40%
hilang (% volume
darah)
Denyut nadi < 100 100-120 120-140 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
sistolik
Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
(mmHg) meningkat
Laju pernapasan 14-20 20-30 30-40 >35
Pengeluaran urin > 30 20-30 5-15 Diabaikan
(mL/jam)
SSP/status mental Sedikit cemas Ansietas Ansietas, Bingung, letargi
ringan bingung
Penggantian cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
darah darah

Klasifikasi Derjata Syok Untuk Kepentingan Klinik

Pentingnya klasifikasi derajat syok dapat dilihat dari ilustrasi berikut: seorang pasien
dengan berat 70 kg dan mengalami hipotensi dating ke instalasi darurat atau pusat
trauma akibat kehilangan darah dengan estimasi 1470 mL darah (70 kg × 7% × 30% =
1,47 L, atau 1470mL). Resusitasi yang diberikan berupa cairan kristaloid, pRBC, dan
produk darah lainnya. Kondisi saat pemberian resusitasi cairan tidak memberikan
respon menunjukan adanya kehilangan darah yang signifikan dan membutuhkan
tindakan operasi atau kontrol angiografi.

Perubahan Cairan Dalam Tubuh Akibat Trauma Jaringan Lunak

Kerusakan pada jaringan lunak yang luas dan fraktur dapat mengganggu hemodinamik
pasien melalui dua jalur:

1. Pertama, terjadi kehilangan darah pada daerah trauma, terutama pada kasus
fraktur. Sebagai contoh, fraktur tibia atau humerus dapat menyebabkan kehilangan
darah sebanyak 1.5 unit (750mL) darah. Pada fraktur femur dapat diperkirakan
terjadi kehilangan darah lebih dari 1500mL, dan sebagian darah dapat berkumpul
pada ruang retroperitoneal menyebabkan hematom akibat fraktur pelvis.
2. Faktor kedua adalah terjadinya edema akibat trauma pada jaringan lunak.
Derajat kehilangan darah pada kasus ini bergantung pada luas trauma pada jaringan
lunak. Trauma pada jaringan tersebut menyebabkan aktivasi dari respon inflamasi
dan produksi serta pelepasan berbagai mediato sitokin. Sebagian besar hormon
lokal yang aktif akan menyebabkan peningkatan permeabilitas. Edema jaringan
disebabkan oleh perpindahan cairan dari plasma ke dalam ekstravaskuler, ruang
ekstraseluler akibat gangguan permeabilitas pada endothelium. Perpindahan cairan
tersebut menyebabkan penurunan cairan di dalam intravaskuler.

Manajemen Awal Pada Syok Hemoragik

Diagnosis dan terapi pada kasus syok harus dilakukan secara bersamaan. Untuk kasus
pasien dengan trauma, terapi dimulai saat pasien mengalami syok hipovolemi, kecuali
jika terdapat gejala dan tanda syok yang disebabkan oleh penyebab lain. Prinsip
manajemen dasar pada kasus syok yaitu untuk menghentikan perdarahan dan mengganti
cairan yang hilang.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik ditujukan pada diagnosis segera untuk cedera yang mengancam
nyawa dan meliputi penilaian ABCDE. Catatan dasar penting untuk memantau respon
pasien terhadap terapi dan pengukuran tanda-tanda vital pasien, produksi urine, dan
derajat kesadaran. Pemeriksaan yang lebih detail pada pasien tergantung pada situasi
tertentu. Lihat Bab 1: Penilaian dan Manajemen Awal

Jalan napas dan pernapasan

Menjamin jalan napas yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang memadai
merupakan prioritas pertama. Oksigen tambahan disediakan untuk mempertahankan
saturasi oksigen agar lebih dari 95%. Lihat Bab 2: Manajemen Jalan Napas dan
Ventilasi.
Sirkulasi – Kontrol Perdarahan

Prioritas untuk menangani sirkulasi meliputi pemantauan perdarahan yang jelas,


memperoleh akses intravena yang adekuat, dan penilaian perfusi jaringan. Perdarahan
dari luka eksternal basanya dapat dikontrol melalui penekanan langsung pada lokasi
perdarahan, meskipun kehilangan darah yang masf dari ekstremitas bisa membutuhkan
sebuah tornikuet. Lembar atau binder pelvis dari ekstremitas bisa digunakan untuk
mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis. Perfusi jaringan yang memadai menentukan
jumlah cairan resusitasi yang dibutuhkan. Kontrol bedah atau angiografi dapat
dibutuhkan untuk mengontrol perdarahan internal. Prioritas untuk menghentikan
perdarahan, bukan untuk menghitung volume cairan yang hilang.

Disabilitas – Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis singkat akan menentukan derajat kesadaran pasien, pergerakan


mata dan respon pupil, fungsi motorik, dan derajat sensasi. Informasi ini berguna dalam
menilai perfusi serebral, setelah evolusi disabilitas neurologis dan memprediksi
pemulihan selanjutnya. Perubahan fungsi SSP pada pasien yang mengalami hipotensi
sebagai akibat dari syok hipovolemia tidak berartu cedera intrakranial langsung dan bisa
merefleksikan perfusi otak yang tidak adekuat. Restorasi perfusi dan oksigenasi serebral
harus dicapai sebelum dianggap temuan ini akibat cedera intrakranial. Lihat bab 6:
Trauma Kepala

Paparan – Pemeriksaan Lengkap


Setelah prioritas penyelamatan nyawa ditujukan, pakaian pasien harus dibuka dan
pasien diperiksa lengkap dari kepala hingga jari kaki untuk mencari cedera asosiasi.

Ketika Membuka Pakaian Pasien, penting untuk mencegah hipotermia.


Penggunaan cairan yang lebih hangat dan teknik menghangatkan secara eksternal pasif
dan aktif penting untuk mencegah hipotermia.

Dilatasi Lambung – Dekompresi

Dilatasi lambung seringkali terjadi pada pasien trauma, khususnya pada anak-anak,
yang dapat menyebabkan hipotensi yang tidak bisa dijelaskan atau disaritmia jantung,
biasanya bradikardi akibat stimulasi vagus yang berlebihan. Pada pasien yang tidak
sadar, distensi lambung meningkatkan risiko aspirasi dari isi lambung, yang berpotensi
sebagai komplikasi yang fatal. Dekompresi lambung dicapai melalui intubasi lambung
dengan selang yang dilewatkan melalui hidung atau oral dan melekatkannya untuk
menghisap dan mengevakuasi isi lambung. Namun, penempatan selang yang tepat tidak
sepenuhnya menghindarkan dari risiko aspirasi.

Kateterisasi Urine

Kateterisasi buli-buli bertujuan untuk menilai urine akan adanya hematuria (indikasi
retroperitoneum dapat menjadi sumber kehilangan darah yang signifikan) dan evaluasi
berlanjut pada perfusi ginjal melalui pemantauan produksi urine. Darah pada meatus
uretra atau prostat yang tidak bisa dipalpasi dan mobile pada laki-laki merupakan
kontraindikasi absolut untuk insersi kateter transuretra sebelum konfirmasi radiografi
pada uretra yang intak. Lihat bab 5: trauma abdomen dan pelvis.

JALUR AKSES VASKULAR

Akses untuk sistem vaskuler harus diperoleh dengan tepat. Hal ini bisa tercapai melalui
insersi dua kateter intravena perifer dengan kaliber besar (minimal 16 G pada orang
dewasa) sebelum pemasangan jalur vena sentral dipertimbangkan. Laju aliran
proporsional terhadap seperempat kekuatan dari radius kanula dan berbanding terbalik
dengan panjangnya (hukum Poseuille). Dengan demikian, jalur intravena perifer yang
berukuran pendek dan berkaliber besar dipilih untuk infus cepat pada volume cairan
yang besar. Cairan yang lebih hangat dan pompa infus yang cepat digunakan dalam hal
adanya perdarahan yang masif dan hipotensi yang berat.

Lokasi jalur intravena perkutaneus perifer yang paling diutamakan pada orang dewasa
adalah di lengan bawah dan vena antekubital. Jika keadaan mencegah penggunaan vena
antekubital, maka akses vena sentral berkaliber besar (misalnya vena femoral, jugular,
atau subklavia) dengan teknik Seldinger atau pemotongan vena safena diindikasikan,
tergantung pada keterampilan dan pengalaman klinisi. Lihat bagian keterampilan IV:
Penilaian dan Manajemen Syok dan Bagian Keterampilan V:
Pemotongan Vena
Seringkali dalam situasi darurat, akses vena sentral tidak dapat dilakukan di bawah
kondisi terkontrol atau steril sepenuhnya. Oleh karena itu, jalur ini harus diubah dalam
lingkungan yang lebih terkendali segera setelah kondisi pasien memungkinkan.
Pertimbangan juga harus diberikan pada potensi komplikasi serius yang terkait dengan
pemasangan kateter vena sentral, seperti pneumotoraks atau hemothorax, pada pasien
yang mungkin sudah tidak stabil. Pada anak-anak yang berusia di bawah 6 tahun,
penempatan jarum intraosseous harus dicoba sebelum memasukkan garis tengah.
Penentu penting untuk memilih prosedur atau rute untuk menetapkan akses vaskular
adalah pengalaman dan keterampilan dokter. Akses intraosseous dengan peralatan yang
dirancang khusus dimungkinkan di semua kelompok umur, dan digunakan dengan
frekuensi yang meningkat. Seperti pada populasi anak-anak, akses ini dapat digunakan
di rumah sakit sampai akses intravena diperoleh. Saat jalur intravena dimulai, sampel
darah diambil untuk penentuan jenis dan pencocokan silang, analisis laboratorium yang
tepat, studi toksikologi, dan tes kehamilan untuk semua wanita usia subur. Analisis gas
darah arterial (ABG) dilakukan pada saat ini. Rontgen dada harus diperoleh setelah
mencoba memasukkan jalur pemantauan CVP subklavia atau internal jugularis untuk
mendokumentasikan posisi jalur dan mengevaluasi adanya pneumotoraks atau
hemothorax.

TERAPI CAIRAN AWAL

Larutan elektrolit isotonik yang dihangatkan seperti Ringer laktat dan normal saline,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini memberikan ekspansi intravaskular
transien dan selanjutnya menstabilkan volume vaskular dengan mengganti kehilangan
cairan yang menyertainya ke ruang interstisial dan intraselular.

Bolus fluida awal yang hangat diberikan. Dosis yang biasa adalah 1 sampai 2 L untuk
orang dewasa dan 20 mL / kg untuk pasien anak-anak. Volume absolut cairan resusitasi
harus didasarkan pada respon pasien. Penting untuk diingat bahwa jumlah cairan awal
ini mencakup cairan yang diberikan di tempat pra-rumah sakit. Respon pasien diamati
selama pemberian cairan awal ini dan keputusan terapeutik maupun diagnostik lebih
lanjut didasarkan pada respon ini.
Jumlah cairan dan darah yang dibutuhkan untuk resusitasi sulit diprediksi pada evaluasi
awal pasien. Tabel 3.1 memberikan panduan umum untuk menentukan jumlah cairan
dan darah yang dibutuhkan. Hal yang paling penting untuk menilai respon pasien
terhadap resusitasi cairan dan mengidentifikasi bukti perfusi endokard dan oksigenasi
yang memadai (mis., melalui produksi urine, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer).
Jika selama resusitasi jumlah cairan yang dibutuhkan untuk memulihkan atau
mempertahankan perfusi organ yang adekuat melebihi perkiraan ini, penilaian ulang
yang hati-hati terhadap situasi dan mencari cedera yang tidak dikenal dan penyebab
syok lainnya diperlukan.

Tujuan resusitasi adalah mengembalikan perfusi organ. Hal ini dilakukan dengan
penggunaan cairan resusitasi untuk menggantikan volume intravaskular yang hilang.
Namun, perlu diketahui bahwa jika tekanan darah meningkat dengan cepat sebelum
perdarahan telah dikontrol secara pasti, peningkatan pendarahan dapat terjadi. Infus
persisten dengan volume cairan dan darah yang besar dalam upaya untuk mencapai
tekanan darah normal bukanlah pengganti kontrol definitif untuk pendarahan.

Pemberian cairan yang berlebihan dapat memperburuk trias letal koagulopati, asidosis,
dan hipotermia dengan aktivasi kaskade inflamasi. Resusitasi cairan dan penghindaran
hipotensi merupakan prinsip penting dalam pengelolaan awal pasien trauma tumpul,
terutama yang memiliki cedera otak traumatis (TBI). Pada trauma penetrasi dengan
perdarahan, menunda resusitasi cairan agresif sampai kontrol definitif dapat mencegah
pendarahan tambahan. Meskipun komplikasi yang terkait dengan cedera resusitasi tidak
diinginkan, alternatif ini bahkan masih kurang. Pendekatan yang hati-hati dan seimbang
dengan reevaluasi sering diperlukan. Menyeimbangkan tujuan perfusi organ dengan
risiko perdarahan ulang dengan menerima tekanan darah di bawah normal telah disebut
"resusitasi terkontrol," "resusitasi seimbang," "resusitasi hipotensi," dan "hipotensi
permisif." Tujuannya adalah keseimbangan , bukan hipotensi. Seperti strategi resusitasi
bisa menjadi jembatan, tapi bukan pengganti, kontrol bedah definitif untuk perdarahan.

Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ?

Apa itu respon pasien?


Tanda dan gejala yang sama dengan perfusi yang tidak memadai yang digunakan untuk
mendiagnosis syok adalah penentu respon pasien yang berguna. Kembalinya tekanan
darah normal, tekanan nadi, dan denyut nadi adalah tanda yang menunjukkan perfusi
kembali normal. Namun, pengamatan ini tidak memberikan informasi mengenai perfusi
organ. Perbaikan status CVP dan sirkulasi kulit merupakan bukti penting perfusi yang
disempurnakan, namun sulit untuk dihitung. Volume produksi urine adalah indikator
perfusi ginjal yang cukup sensitif. Volume urin normal umumnya menyiratkan aliran
darah ginjal yang adekuat, jika tidak dimodifikasi dengan pemberian bahan diuretik.
Untuk alasan ini, produksi urin merupakan salah satu monitor utama resusitasi dan
respon pasien. Perubahan CVP dapat memberikan informasi yang berguna dan risiko
yang timbul dalam pemasangan jalur CVP dibenarkan untuk kasus yang kompleks.

PRODUKSI URINE

Dalam batas-batas tertentu, produksi urin digunakan untuk memantau aliran darah
ginjal. Penggantian volume resusitasi yang memadai harus menghasilkan produksi urin
kira-kira 0,5 mL / kg / jam pada orang dewasa, sedangkan 1 mL / kg / jam adalah
produksi urine yang memadai untuk pasien anak-anak. Untuk anak di bawah usia 1
tahun, 2 mL / kg / jam harus dijaga. Ketidakmampuan untuk mendapatkan produksi urin
pada tingkat ini atau penurunan produksi urin dengan peningkatan berat jenis
menunjukkan resusitasi yang tidak memadai. Situasi ini harus memicu penggantian
volume dan upaya diagnostik lebih lanjut.

KESEIMBANGAN ASAM-BASA

Penderita syok hipovolemik dini mengalami alkalosis respirasi akibat takipnea.


Alkalosis respirasi sering diikuti oleh asidosis metabolik ringan pada fase awal syok dan
tidak memerlukan perawatan. Asidosis metabolik yang berat dapat terjadi akibat syok
lama atau berat. Asidosis metabolik disebabkan oleh metabolisme anaerobik, yang
berawal dari perfusi jaringan yang tidak adekuat dan produksi asam laktat. Asidosis
persisten biasanya disebabkan oleh resusitasi yang tidak adekuat atau kehilangan darah
yang terus berlanjut dan, pada pasien normotermik yang mengalami syok, harus
ditangani dengan cairan, darah, dan pertimbangan intervensi operasi untuk
mengendalikan perdarahan.

Defisit basa dan / atau laktat dapat berguna dalam menentukan adanya dan tingkat
keparahan syok. Pengukuran serial parameter ini dapat digunakan untuk memantau
respon terhadap terapi. Natrium bikarbonat tidak boleh digunakan untuk menangani
asidosis metabolik yang diakibatkan oleh syok hipovolemik

Keputusan Terapi Berdasarkan Respon terhadap Resusitasi Cairan Awal

Respon pasien terhadap resusitasi cairan awal adalah kunci untuk menentukan terapi
selanjutnya. Setelah menetapkan diagnosis awal dan rencana perawatan berdasarkan
evaluasi awal, dokter lalu memodifikasi rencana berdasarkan respon pasien.
Pengamatan pada respon terhadap resusitasi awal dilakukan untuk mengidentifikasi
pasien yang kehilangan darah dengan volume yang lebih besar daripada yang
diperkirakan dan mereka yang mengalami perdarahan terus-menerus yang memerlukan
kontrol operasi perdarahan internal. Resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan
bersamaan dengan pengontrolan langsung pendarahan oleh ahli bedah dan pemulihan
volume intravaskular. Selain itu, ini membatasi kemungkinan transfusi balik atau
transfusi darah yang tidak perlu pada pasien yang status awalnya tidak proporsional
terhadap jumlah kehilangan darah. Sangat penting untuk membedakan pasien yang
"stabil secara hemodinamik" dari mereka yang "normal secara hemodinamik." Pasien
yang stabil secara hemodinamik mungkin mengalami takikardia, takipnea, dan oliguria
persisten secara bersamaan. Pasien ini jelas tidak sadar dan masih dalam kondisi syok.
Sebaliknya, pasien dengan hemodinamik yang normal tidak menunjukkan tanda-tanda
perfusi jaringan yang tidak adekuat. Pola potensial respon terhadap pemberian cairan
awal dapat dibagi menjadi tiga kelompok: respon cepat, respons transien, dan respon
minimal atau tidak. Petunjuk tanda dan pedoman vital untuk pasien di masing-masing
kategori ini diuraikan pada Tabel 3.2.

RESPON CEPAT

Pasien dalam kelompok ini, yang disebut "responden cepat," merespon dengan cepat
bolus fluida awal dan tetap secara hemodinamika normal setelah bolus fluida awal telah
diberikan dan cairannya diperlambat untuk mempertahankan laju. Pasien tersebut
biasanya kehilangan volume darah minimal (kurang dari 20%). Tidak ada bolus cairan
atau pemberian darah langsung yang diindikasikan untuk pasien dalam kelompok
respon ini. Penggolongan dan pencocokan silang darah harus tetap tersedia. Konsultasi
dan evaluasi bedah diperlukan selama penilaian awal dan perawatan, karena intervensi
operasi mungkin diperlukan.

TABEL 3.2 Respon terhadap Resusitasi Cairan Awal


Tidak ada respon
Respon cepat Respon transien
atau minimal
Perbaikan sementara,
Kembali rekurensi penurunan
Tanda vital Tetap abnormal
normal tekanan darah dan
peningkatan laju jantung
Sedang dan terus
Perkiraan Minimal
berlangsung (20% - Berat (>40%)
kehilangan darah (10% - 20%)
40%)
Sedang sebagai
Kebutuhan
Rendah Rendah sampai sedang jembatan untuk
kristaloid lebih
transfusi
Kebutuhan darah Rendah Sedang sampai tinggi Segera
Tipe dan Pelepasan darah
Persiapan darah Tipe-spesifik
crossmatch darurat
Kebutuhan
Mungkin Cenderung Sangat mungkin
intervensi operasi
Kehadiran awal ahli
Ya Ya Ya
bedah

RESPON TRANSIEN

Pasien pada kelompok kedua, disebut “transien responden”, berespon terhadap bolus
cairan awal. Namun, mereka mulai menunjukkan penurunan indeks perfusi seiring
cairan awal diperlahan ke tingkat maintenance, yang menunjukkan adanya kehilangan
darah yang terus berlangsung atau resusitasi yang tidak adekuat. Kebanyakan pasien ini
awalnya kehilangan darah dengan perkiraan 205 sampai 40%. Transfusi darah dan
produk darah diindikasikan, namun lebih penting untuk mengenali bahwa pasien ini
membutuhkan kontrol perdarahan operatif atau angiografi. Respon transien terhadap
pemberian darah harus mengidentifikasi pasien-pasien yang masih berdarah dan
membutuhkan intervensi bedah cepat.

RESPON MINIMAL ATAU TANPA RESPON

Gagal respon terhadap terhadap pemberian darah dan kristaloid di IGD menunjukkan
dibutuhkannya intervensi segera dan definitif (mis, operasi atau angioembolisasi) untuk
mengendalikan perdarahan. Pada kesempatan yang sangat jarang, gagal respon mungkin
akibat dari kegagal pompa karena trauma tumpul jantung, tamponade jantung, atau
pneumothoraks tension. Syok non hemoragik selalu harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis pada kelompok pasien ini. Pemantauan CVP dan ultrasonografi jantung
membantu membedakan antara berbagai penyebab syok.

JEBAKAN
 Penundaan manajemen definitif dapat menjadi fatal/
 Jangan mengabaikan sumber perdarahan

Penggantian Darah
Keputusan untuk memulai transfusi darah didasarkan pada respon pasien, seperti yang
dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pasien-pasien yang merupakan transien responder
atau nonresponder – mereka dengan perdarahan Kelas III atau Kelas IV – akan
membutuhkan pRBC dan produk darah sebagai bagian awal resusitasi (GAMBAR 3-4).

DARAH YANG DI CROSSMATCHED, TIPE-SPESIFIK, DAN TIPE O

Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas pembawa oksigen
volume intravaskular. Darah yang telah dicrossmatched secara lengkap lebih dipilih.
Namun, proses crossmatch yang lengkap membutuhkan sekitar 1 jam pada kebanyakan
bank darah. Untuk pasien-pasien yang stabil dengan cepat, darah crossmatch harus
didapatkan dan tersedia untuk transfusi ketika dibutuhkan.

Darah tipe spesifik dapat tersedia pada kebanyakan bank darah dalam 10 menit. Darah
seperti ini kompatibel dengan golongan darah ABO dan Rh, namun inkompatibilitas
antibodi lainnya mungkin ada. Darah tipe spesifik dipilih untuk pasien-pasien transien
responder, yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Jika darah tipe spesifik
dibutuhkan, crossmatch lengkap harus dilakukan oleh bank darah.

Jika darah tipe spesifik tidak tersedia, sel tipe O diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan perdarahan. Untuk menghindari sensitasi dan komplikasi lanjut, sel Rh-negatif
dipilih untuk perempuan usia subur. Segera setelah tersedia, penggunaan darah tipe
spesifik yang tidak dicocokkan lebih dipilih dibandingkan darah tipe O. Hal ini benar
kecuali jika ada banyak korban yang tidak teridentifikasi yang dirawat bersamaan dan
resiko besar pemberian unit darah yang salah secara tidak sengaja.

CAIRAN YANG DIHANGATKAN – PLASMA DAN KRITALOID

Hipotermia harus dicegah dan ditangani jika pasien mengalami hipotermia saat tiba di
rumah sakit. Penggunaan penghangat darah di IGD penting, meskipun tidak praktis.
Langkah paling efisien untuk mencegah hipotermi pada pasien manapun yang mendapat
kristaloid dengan volume yang masif adalah dengan menghangatkan cairan sampai
39oC sebelum diinfuskan. Hal ini dapat dicapai dengan menyimpan kristaloid di
penghangat atau dengan menggunakan microwave oven. Produk darah tidak dapat
dihangatkan di microwave oven, namun dapat dihangatkan menggunakan penghangat
cairan intravena.

AUTOTRANSFUSI

Adaptasi alat pengumpul thorakostomi tube standar tersedia secara komersil. Alat ini
memungkinkan pengumpulan secara steril, antikoagulan (umumnya dengan cairan
sodium sitrat, bukan heparin), dan retransfusi dari darah yang tumpah. Pengumpulan
darah yang tumpah untuk autotransfusi harus dipertimbangkan untuk pasien mana saja
dengan hemothoraks yang besar.
TRANSFUSI MASIF

Sebuah subset kecil pasien dengan syok akan membutuhkan transfusi masif, sering
didefinisikan sebagai >10 unit pRBC dalam 24 jam pertama masuk rumah sakit.
Pemberian awal pRBC, plasma, dan platelet, dan meminimalkan pemberian kristaloid
yang agresif pada pasien-pasien ini dapat memperbaiki tingkat kelangsungan hidup.
Pendekatan ini telah diistilakan resusitasi kontrol seimbang, hemostatik atau cedera.
Upaya bersama untuk mengontrol perdarahan dengan cepat dan mengurangi efek
merugikan koagulopati, hipotermia, dan asidosis pada pasien ini sangat penting.
Protokol transfusi masif yang mencakup ketersediaan semua komponen darah harus ada
untuk memberikan reusitasi yang optimal bagi pasien-pasien ini, karena sumber daya
yang dibutuhkan sangat besar. Protokol ini juga memperbaiki hasilnya.

KOAGULOPATI

Cedera berat dan perdarahan menyebabkan konsumsi faktor-faktor koagulasi dan


koagulopati awal. Koagulopati seperti ini terdapat sampai 30% pasien-pasien yang
cedera berat saat masuk rumah sakit. Resusitasi cairan masif, dengan pengenceran
resultan platelet dan faktor-faktor pembekuan, bersama dengan efek samping hipotermia
pada agregasi platelet dan kaskade pembekuan, berkontribusi terhadap koagulopati pada
pasien-pasien cedera. Waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan jumlah
platelet merupakan studi awal berharga untuk didapatkan pada jam pertama, terutama
jika pasien memiliki riwayat gangguan koagulasi atau sedang dalam pengobatan yang
mengubah koagulasi, atau riwayat perdarahan. Pada pasienn yang tidak membutuhkan
transfusi masif, penggunaan platelet, kriopresipitat, dan plasma beku segar harus
dipandu oleh parameter-parameter koagulasi ini, termasuk kadar fibrinogen.

Pasien-pasien dengan cedera otak rentan terhadap abnormalitas koagulipati. Parameter


koagulopati butuh dipantau secara ketat pada pasien-pasien ini; pemberian plasma
dan/atau platelet awal memperbaiki tingkat kelangsungan hidup.
PEMBERIAN KALSIUM

Kebanyakan pasien yang mendapat transfusi darah tidak membutuhkan suplemen


kalsium. Ketika dibutuhkan, pemberian harus dipandu oleh pengukuran kalsium
terionisasi. Jika berlebihan, suplemen kalsium dapat berbahaya.

Pertimbangan Khusus

Pertimbangan khusus dalam diagnosis dan terapi syok termasuk persamaan yang keliru
dari tekanan darah dengan curah jantung, usia lanjut, atlet yang syok, kehamilan,
pengobatan pasien, hipotermia, dan adanya alat pacu jantung

PERSAMAAN TEKANAN DARAH DENGAN CURAH JANTUNG

Terapi syok hipovolemik (hemoragik) membutuhkan koreksi terhadap perfusi organ


yang inadekuat dengan meningkatkan aliran darah organ dan oksigenasi jaringan.
Meningkatkan aliran darah membutuhkan peningkatan curah jantung. Hukum Ohm (V
= I x R) berlaku pada keadaan fisiologi kardiovaskuler bahwa tekanan darah (V)
berbanding lurus dengan curah jantung (I) dan resistensi vaskuler sistemik (R)
(afteroad). Peningkatan tekanan darah tidak boleh disamakan dengan peningkatan curah
jantung atau pemulihan dari syok. Peningkatan pada resistensi perifer – contohnya,
dengan terapi vasopressor – tanpa perubahan curah jantung menyebabkan peningkatan
tekanan darah, namun tidak ada perbaikan pada perfusi jaringan atau oksigenasi.

USIA LANJUT

Pasien trauma usia lanjut membutuhkan pertimbangan khusus. Proses penuaan


menyebabkan penurunan relatif pada aktivitas simpatis dengan sehubungan dengan
sistem kardiovaskuler. Hal ini diperkirakan akibat dari defisit pada respon reseptor
terhadap katekolamin, dibanding dari penurunan produksi katekolaminnya. Komplians
jantung menurun seiring bertambahnya umur, dan pasien tua tidak dapat meningkatkan
laju jantung atau efisiensi kontraksi miokardium ketika mengalami stres akibat
kehilangan volume darah.

Penyakit penyumbatan vaskuler atherosklerotik membuat banyak organ vital sangat


sensitif terhadap sedikit saja penurunan aliran darah. Banyak pasien usia lanjut
mengalami penurunan volume yang terjadi sebelumnya akibat penggunaan diuretik
jangka panjang atau malnutrisi. Karena alasan ini, hipotensi akibat kehilangan darah
ditoleransi dengan buruk oleh pasien trauma lansia. Blokade beta-adrenergik dapat
menyamarkan takikardia sebagai indikator awal dari syok. Pengobatan lain dapat
mempengaruhi respon stres terhadap cedera atau menghambatnya secara total. Karena
jangkauan terapeuetik untuk resusitasi volume relatif sempit pada pasien lansia, perlu
untuk mempertimbangkan pemantauan invasif dari awal sebagai cara untuk
menghindari pemulihan volume yang berlebihan atau tidak adekuat.

Penurunan komplians pulmonal, penurunan kapasitas difusi, dan kelemahan umum dari
otot-otot pernapasan membatasi kemamuan pasien lansia untuk mencapai kebutuhan
pertukaran gas yang meningkat pada keadaan cedera. Hal ini memperparah hipoksia
seluler yang sudah disebabkan oleh penurunan pengantaran oksigen lokal. Penuaan
glomerular dan tubular pada ginjal menurunkan kemamuan pasien lansia untuk
mempertahankan volume dalam respon pada pelepasan hormon stres seperti aldosteron,
katekolamin, vasopressin, dan kortisol. Ginjal juga lebih rentan terhadap efek-efek
penurunan aliran darah dan agen-agen nefrotoksik, seperti obat-obatan, agen kontras,
dan produk-produk toksik dari kerusakan sel.

Untuk semua alasan-alasan ini, tingkat mortalitas dan morbiditas meningkat secara
langsung dengan bertambah umur dan status kesehatan jangka panjang untuk cedera
ringan dan berat. Meskipun adanya efek samping dari proses penuaan, komorbiditas
dari penyakit sebelumnya, dan penurunan umum pada “cadangan fisiologi” pasien
geriatri, sebagian besar pasien-pasien ini dapat sembuh dan kembali ke status preinjury
mereka. Terapi dimuali dengan resusitasi cepat dan agresif dan pemantauan yang
cermat. Lihat Bab 11: Trauma Geriatri.

ATLET
Rutinitas latihan atlet yang keras merubah dinamika kardiovaskuler pada kelompok
pasien ini. Volume darah dapat meningkat 15% sampai 20%, curah jantung enam kali
lipat, stroke volume 50%, dan nadi saat istirahat rata-rata 50. Kemampuan tubuh atlet
untuk mengkompensasi kehilangan darah sangat luar biasa. Respon biasa terhadap
hipovolemia dapat tidak bermanifestasi pada atlet, bahka jika kehilangan darah yang
signifikan terjadi.

KEHAMILAN
Fisiologi hipervolemia ibu membutuhkan kehilangan darah yang lebih besar untuk
bermanifestasikan kelainan perfusi pada ibu, yang juga dapat menggambarkan
penurunan perfusi janin. Lihat Bab 12: Trauma pada Kehamilan dan Kekerasan Partner
Intim.

PEMAKAIAN OBAT
Penghambat reseptor beta-adrenergik dan penghambat kanal kalsium dapat secara
signifikan mengubah respon hemodinamik pasien terhadap perdarahan. Pemakaian
insulin yang banyak mungkin bertanggung jawab terhadap hipoglikemia dan dapat
berkontribusi terhadap kejadian yang menyebabkan cedera. Terapi diuretik jangka
panjang dapat menjelaskan hipokalemia yang tidak terduga, dan obat anti inflamasi non
steroid (NSAID) dapat secara buruk mempengaruhi fungsi platelet.

HIPOTERMIA
Pasien yang mengalami hipotermia dan syok hemoragik tidak berespon secara normal
terhadap pemberian darah dan resusitasi cairan, dan koagulopati dapat berkembang atau
bertambah buruk. Temperatur tubuh merupakan tanda vital yang penting untuk dipantau
selama fase penilaian awal. Temperatur esofagus atau kandung kemih merupakan
pengukuran klinis temperatur tubuh inti yang akurat. Korban trauma di bawah pengaruh
alkohol dan terpapar temperatur dingin ekstrem lebih cenderung mengalami hipotermia
akibat vasodilatasi. Penghangatan yang cepat pada lingkungan dengan alat penghangat
eksternal yang tepat, lampu pemanas, topi termal, gas respirasi yang dipanaskan, dan
cairan intravena dan darah yang dihangatkan secara umum akan memperbaiki hipotensi
dan hipotermia ringan sampai sedang. Penghagatan inti (irigasi kavitas peritoneal atau
thoraks dengan cairan kristaloid yang dihangatkan sampai 39oC atau bypass
ekstrakorporal) diindikasikan untuk hipotermia berat. Hipotermia paling baik diobati
dengan mencegahnya. Lihat Bab 9: Cedera Termal.
ADANYA PACEMAKER
Pasien dengan pacemaker tidak dapat berespon terhadap kehilangan darah dengan cara
yang diharapkan, karena curah jantung secara langsung terkait dengan laju jantung.
Pada beberapa pasien dengan cacat konduksi miokardium yang memiliki alat terpasang,
pemantauan CVP sangat penting untuk memandu terapi cairan.

Menilai Kembali Respon Pasien dan Menghindari Komplikasi


Penggantian volume yang tidak adekuat merupakan komplikasi paling umum dari syok
hemoragik. Terapi yang segera, tepat, dan agresif yang mengembalikan perfusi organ
meminimalkan komplikasi seperti ini

PERDARAHAN YANG BERLANJUT


Sumber perdarahan yang tidak terdeteksi merupakan penyebab paling umum dari respon
terapi cairan yang buruk. Pasien-pasien dengan kondisi ini umumnya termasuuk pada
kategori respon transien, seperti yang didefinisikan sebelumnya. Intervensi bedah segera
mungkin dibutuhkan.

OVERLOAD CAIRAN DAN PEMANTAUAN CVP


Setelah penilaian dan terapi awal pasien telah selesai, resiko overload cairan
diminimalkan dengan pemantauan yang cermat. Ingat, tujuan terapi adalah
mengembalikan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang adekuat, yang dikonfirmasi
dengan keluaran urin, fungsi CNS, warna kulit, dan kembalinya nadi dan tekanan darah
menjadi normal.

Pemantauan respon resusitasi paling baik dilakukan pada pasien pasien di lingkungan di
mana teknik mutakhir digunakan. Pemindahan dini pasien ke unit perawatan intensif
harus dipertimbangkan untuk pasien lansia dan pasien dengan penyebab non hemoragik.

Pemantauan CVP merupakan prosedur yang relatif sederhana yang digunakan sebagai
panduan standar untuk menilai kemampuan bagian kanan jantung untuk menerima
cairan. Jika diinterpretasikan dengan benar, respon CVP terhadap pemberian cairan
membantuk mengevaluasi penggantian volume. Beberapa poin untuk diingat adalah:
1. Ukuran tepat fungsi jantung adalah hubungan antara volumen diastolik akhir
ventrikel dan stroke volume. Tekanan atrium kanan (CVP) dan curah jantung
(seperti yang tercermin dengan bukti perfusi atau tekanan darah, atau bahkan
dengan pengukuran langsung) merupakan perkiraan tidak langsung dan paling
baik dari hubungan ini. Mengingat fakta-fakta ini penting untuk menghindari
ketergantungan berlebihan pada pemantauan CVP.
2. Tingkat CVP awal dan volume darah sebenarnya tidak harus berhubungan. CVP
awal kadang tinggi, bahkan dengan defisit volume yang signifikan, terutama
pada pasien-pasien dnegan penyakit paru obstruktif kronik, vasokonstriksi
umum, dan penggantian cairan yang cepat. Tekanan vena awal juga dapat tinggi
karena penggunaan vasopressor eksogen yang tidak sesuai.
3. Peningkatan minimal pada CVP yang awalnya rendah dengan terapi cairan
menunjukkan perlunya ekspansi volume lebih lanjut (menggunakan kategori
resusitasi cairan yang tepat) dan mencari kembali sumber perdarahan.
4. Penurunan CVP menunjukkan kehilangan cairan yang masih berlangsung dan
kebutuhan untuk penggantian cairan atau darah tambahan (yaitu, respon transien
terhadap kategori resusitasi cairan).
5. Peningkatan CVP yang mendadak atau terus-menerus menunjukkan bahwa
penggantian volume cukup atau terlalu cepat, atau bahwa fungsi jantung
terganggu.
6. Peningkatan CVP yang jelas dapat disebabkan oleh hipervolemia akibat dari
overtransfusi, disfungsi jantung, tamponade jantung, atau peningkatan tekanan
intrathoraks dari pneumothoraks tension. Malposisi kateter dapat menyebabkan
pengukuran CVP yang keliru.
Teknik aseptik harus digunakan ketika jalur vena sentral dipasangkan. Beberapa tempat
menyediakan akses untuk sirkulasi sentral, dan keputusan terkait rute mana yang
digunakan ditentukan oleh skill dan pengalaman dokter. Posisi idial untuk tip kateter
adalah di vena cava superior, tepat di proksimal atrium kanan. Teknik untuk
pemasangan kateter didiskusikan secara rinci di Station Skill IV: Penilaian dan
Manajemen Syok.

Pemasangan jalur vena sentral memiliki resiko komplikasi yang membahayakan jiwa.
Infeksi, cedera vaskuler, cedera saraf, embolisasi, trombosis, dan pneumothoraks dapat
terjadi. Pemantauan CVP mencerminkan fungsi jantung kanan. Hal ini (alat ini) tidak
merepresentasikan fungsi jantung kiri pada pasien dengan disfungsi miokardium primer
atau sirkulasi paru yang abnormal.

PENGENALAN MASALAH-MASALAH LAIN


Ketika pasien gagal berespon terhadap terapi, pertimbangkan perdarahan yang tidak
terdiagnosa, tamponade jantung, pneumothoraks tension, masalah ventilasi, kehilangan
cairan yang tidak didapati, distensi lambung akut, infark miokardium, asidosis diabetik,
hipoadrenalisme, dan syok neurogenik. Reevaluasi secara konstan, terutama ketika
kondisi pasien tidak mengikuti pola yang diharapkan, merupakan kunci mengenali
masalah-malasah seperti ini secepat mungkin.

Skenario – kesimpulan

Pasien dibawa secepatnya ke ruangan operasi untuk kontrol perdarahan operatif. Darah
dan plasma diberikan, dan protokol transfusi masih dimulai.

Anda mungkin juga menyukai