SKENARIO
Langkah pertama dalam manajemen awal syok pada pasien trauma adalah mengenali
terjadinya kondisi tersebut. Tidak ada tanda-tanda vital dan pemeriksaan laboratorium
yang dapat mendiagnosis terkadinya syok, namun diagnosis awal berdasarkan pada
mengenali secara klinis adanya perfusi dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat.
Definisi syok adalah abnormalitas pada sistem sirkulasi yang menyebabkan perfusi
organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat / memadai, juga menjadi alat operatif
untuk diagnosis dan penanganan.
PATOFISIOLOGI SYOK
Ulasan mengenai fisiologi dasar jantung dan patofisiologi kehilangan darah merupakan
hal yang penting untuk memahami status syok.
Curah jantung yang didefinisikan sebagai volume darah yang dipompakan oleh jantung
setiap menit, ditentukan oleh hasil kali antara laju jantung dengan volume sekuncup.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompakan setiap jantung mengalami kontraksi,
secara sederhana ditentukan oleh beban awal, kontraktilitas miokardium, dan beban
akhir. Beban awal, volume dari aliran balik vena ke jantung, ditentukan oleh kapasitansi
vena, status volume, dan perbedaan antara tekanan vena sistemik rata-rata dan tekanan
atrium kanan (gambar 3-1). Perbedaan tekanan ini menentukan aliran balik vena. Sistem
vena dapat dipertimbangkan sebagai suatu sistem reservoir (penampung) atau
kapasitansi, di mana volume darah dibagi ke dalam dua komponen:
Panjang serabut otot terkait dengan sifat kontraktilitas dari otot miokardum berdasarkan
hukum Starling. Kontraktilitas miokardium merupakan pompa yang mengendalikan
sistem. Beban akhir adalah resistensi vaskuler sistemik (perifer), atau sederhananya
diistilahkan sebagai resistensi pada aliran darah yang dipompakan (forward flow).
Respons awal sirkulasi terhadap kehilangan darah adalah kompensasi dan termasuk
vasokonstriksi progresif dari sirkulasi kulit, otot, dan viseral untuk menjaga aliran darah
ke ginjal, jantung, dan otak. Respon yang biasa terhadap penurunan volume sirkulasi
akut yang terkait dengan cedera adalah peningkatan denyut jantung dalam upaya
mempertahankan curah jantung. Dalam kebanyakan kasus, takikardia adalah tanda syok
yang paling pertama dapat diukur. Pelepasan katekolamin endogen meningkatkan
resistensi vaskular perifer, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan darah diastolik
dan menurunkan tekanan nadi, namun tidak banyak meningkatkan perfusi organ.
Hormon lain dengan sifat vasoaktif yang dilepaskan ke dalam sirkulasi selama syok,
termasuk histamin, bradikinin, ß-endorfin, dan kaskade prostanoid dan sitokin lainnya.
Zat ini memiliki efek mendalam pada mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular.
Aliran balik vena pada syok hemoragik awal dipertahankan sampai tingkat tertentu oleh
mekanisme kompensasi kontraksi volume darah dalam sistem vena, yang tidak
berkontribusi pada tekanan vena sistemik. Namun, mekanisme kompensasi ini terbatas.
Metode yang paling efektif untuk mengembalikan curah jantung dan perfusi organ akhir
yang cukup adalah mengembalikan aliran balik vena ke tingkat yang normal dengan
menemukan dan menghentikan sumber perdarahan, bersamaan dengan pelepasan
volume yang tepat. Pada tingkat sel, sel-sel yang tidak diserap dan oksigen yang tidak
memadai kekurangan substrat penting untuk metabolisme aerobik normal dan produksi
energi. Awalnya, kompensasi terjadi dengan beralih ke metabolisme anaerobik, yang
berakibat pada pembentukan asam laktat dan perkembangan asidosis metabolik. Jika
syok berkepanjangan dan pengiriman substrat untuk produksi adenosin trifosfat (ATP)
tidak memadai, membran seluler kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
integritasnya dan gradien listrik normal hilang.
Mediator proinflamasi, seperti inducible nitric oxide synthase (iNOS), tumor necrosis
factor (TNF), dan sitokin lainnya dilepaskan, yang menetapkan stadium untuk
kerusakan organ akhir dan disfungsi organ multipel.
Jika prosesnya tidak terbalik, kerusakan sel progresif, perubahan permeabilitas endotel,
pembengkakan jaringan tambahan, dan kematian sel dapat terjadi. Proses ini
memengaruhi dampak kehilangan darah dan hipoperfusi, berpotensi meningkatkan
volume cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi.
Pemberian sejumlah larutan elektrolit isotonik dan darah yang tepat membantu melawan
proses ini. Pengobatan pasien diarahkan untuk membalik keadaan syok dengan
menyediakan oksigenasi, ventilasi, dan resusitasi cairan yang adekuat, serta
menghentikan pendarahan.
Penanganan awal syok diarahkan untuk memulihkan perfusi seluler dan organ dengan
darah yang cukup teroksigenasi. Kontrol definitif perdarahan dan pemulihan volume
sirkulasi yang cukup adalah tujuan pengobatan syok hemoragik. Vasopressor
dikontraindikasikan untuk pengobatan syok hemoragik karena memperburuk perfusi
jaringan. Pemantauan yang sering dilakukan terhadap indeks perfusi pasien diperlukan
untuk mengevaluasi respon terhadap terapi dan mendeteksi adanya kemunduran pada
kondisi pasien sedini mungkin. Penilaian ulang akan membantu mengidentifikasi pasien
dengan syok kompensasi atau mereka yang tidak dapat memasang respons kompensasi
sebelum kolaps kardiovaskular. Sebagian besar pasien yang mengalami syok
hipovolemik memerlukan intervensi bedah dini atau angioembolisasi untuk
membalikkan keadaan syok. Kehadiran syok pada pasien yang cedera membutuhkan
keterlibatan seorang ahli bedah yang segera. Secara optimal, klinisi akan mengenali
status syok selama penilaian awal pasien. Sehingga penting untuk familiar dengan
diferensiasi klinis penyebab syok, singkatnya, hemoragik dan non-pendarahan.
PENGENALAN SYOK
Syok sirkulasi yang berat dapat dikenali dengan mudah karena adanya bukti kolaps
hemodinamik dengan perfusi kulit, ginjal, dan sistem saraf pusat yang tidak adekuat.
Setelah jalan napas dan ventilasi yang adekuat, sirkulasi pada pasien harus dievaluasi
dengan baik untuk menilai manifestasi awal dari syok, termasuk takikardi dan
vasokonstriksi kutaneus.
Pengenalan penyebab syok bergantung pada riwayat pasien dan pemeriksaan serta
penemuan fisik dengan baik. Pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan seperti penilaian
tekanan vena sentral (CVP), pemeriksaan foto x-ray dada dan/atau pelvis, dan
ultrasonografi dapat membantu membuktikan penyebab syok dan tindakan resusitasi
tidak boleh ditunda.
Syok hemoragik
Perdarahan merupakan penyebab syok yang paling sering ditemui setelah perlukaan,
dan pasien dengan perlukaan yang lebih dari satu cenderung mengalami hipovolemi.
Pada syok nonhemoragik, pemberian resusitasi tidak memberikan respon yang
maksimal. Sehingga pasien dengan gejala syok dapat diberikan terapi jika terdapat
tanda-tanda hipovolemik (Gambar 3-2). Pada saat pemberian terapi, sangat penting
untuk menilai penyebab syok karena dapat disertai dengan kondisi yang memperburuk
syok hipovolemik/hemoragik seperti temponade jantung, tension pneumotoraks,
kerusakan pada medulla spinalis, trauma tumpul pada jantung. Terapi spesifik pada
syok hemoragik dijelaskan pada bab selanjutnya. Hal utama yang perlu diperhatikan
pada syok hemoragik adalah mengidentifikasi dan menghentikan perdarahan. Sumber
perdarahan yang berasal dari dada, abdomen, pelvis, retroperitoneum, ekstremitas, dan
perdarahan luar harus diperiksa dengan benar dan cepat. Pemeriksaan x-ray dada, x-ray
pelvis, dan abdomen dapat menggunakan FAST (Focused Assessment Sonography in
Trauma) atau DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), dan pemasangan kateter dapat
digunakan untuk menilai sumber perdarahan
(Gambar 3-3).
Syok nonhemoragik
Syok nonhemoragik dapat dibagi menjadi syok kardiogenik, tamponade jantung, tension
pneumotoraks, syok neurogenik, dan syok sepsis.
Syok kardiogenik. Disfungsi miokardium dapat disebabkan oleh trauma tumpul pada
jantung, tamponade jantung, emboli udara, atau pada kasus yang jarang, infark
miokardium berhubungan dengan perlukaan pada pasien. Trauma tumpul pada jantung
dapat dicurigai akibat mekanisme kerusakan pada dada terjadi saat deselerasi. Semua
pasien dengan trauma tumpul pada dada membutuhkan pemeriksaan EKG
(elektrokardiograf) untuk menilai pola kerusakan dan disritmia. Pemeriksaan isoenzim
kreatinin kinase (CK), dan isotop spesifik terhadap miokardium dapat digunakan untuk
membantu diagnosis atau terapi pada pasien di instalasi darurat. Pemeriksaan
ekokardiografi juga dapat digunakan untuk diagnosis tamponade jantung dan ruptur
valvular, tetapi pemeriksaan ini biasanya tidak langsung tersedia di instalasi darurat.
Pemeriksaan FAST di instalasi darurat dapat digunakan untuk menilai cairan
pericardium dan tamponade jantung sebagai penyebab syok. Traum tumpul pada
jantung merupakan indikasi untuk pemasangan monitor CVP untuk membantu proses
resusitasi cairan.
Tamponade jantung
Tamponade jantung merupakan akibat yang paling sering didapatkan pada pasien
trauma penetrasi pada toraks, tetapi tamponade jantung juga dapat terjadi akibat trauma
tumpul pada jantung. Takikardi, suara jantung redup, dan dilatasi, pembesaran vena
jugularis dengan hipotensi yang tidak membaik dengan pemberian terapi cairan
menunjukan adanya tamponade jantung. Pada kondisi tidak ditemuakannya gejala
tersebut tidak menyingkirkan diagnosis tamponade jantung. Tension pneumotoraks
dapat menyerupai gejala tamponade jantung, tetapi dapat dibedakan dengan hilangnya
suara napas, deviasi trakea, dan perkusi yang hiperresonan menunjukan adanya
keterlibatan hemitoraks. Pemberian terapi pada tamponade jantung dapat menggunakan
torakotomi. Perikardiosentesis dapat digunakan jika torakotomi tidak tersedia. Lihat
Skill Station VII: Manajemen Trauma Dada. Skill VII-C: Perikardiosentesis.
Tension pneumotoraks
Syok Neurogenik
Kerusakan pada intrakranial tidak menyebabkan syok. Adanya gejala syok pada pasien
dengan trauma kepala perlu diperhatikan adanya penyebab lain selain trauma
intrakranial. Trauma medulla spinalis servikal ataupun torakik atas dapat menyebabkan
hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Hilangnya tonus simpatis menyebabkan efek
fisiologi berupa hipovolemi, dan hipovolemi menyebabkan gangguan fisiologi berupa
denervasi simpatis. Gejala khas pada syok neruogenik berupa hipotensi tanpa takikardi
atau vasokonstriksi kutaneus. Denyut nadi yang melemah tidak terlihat pada syok
neurogenik. Pasien yang dicurigai dengan trauma medulla spinalis mengalami trauma
pada torso; sehingga pasien yang dicurigai mengalami syok neurogenik harus
mendapatkan terapi awal untuk hipovolemi. Kegagalan pada resusitasi cairan untuk
mengembalikan perfusi organ dapat berlanjut hingga syok hemoragik atau syok
neurogenik. Pemasangan monitor CVP dapat membantu untuk memperbaiki komplikasi
yang terjadi. Lihat Bab 7: Trauma Vertebra dan Medulla Spinalis.
Syok Sepsis. Syok akibat infeksi yang terjadi segera setelah trauma merupakan kasus
yang jarang terjadi; tetapi hal ini dapat terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan
terapi di instalasi darurat. Syok sepsis dapat terjadi akibat trauma penetrasi pada
abdomen dan berlanjut hingga ke kavum peritoneum. Pasien sepsis yang mengalami
hipotensi dan afebris sulit untuk dibedakan dengan syok hipovolemi, karena kedua jenis
syok tersebut dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi kutaneus, gangguan
pengeluaran urin, penurunan tekanan sistolik, dan denyut nadi yang melemah. Pasien
dengan syok sepsis fase dini memiliki sirkulasi normal, takikardi sedang, akral hangat,
tekanan sistolik yang mendekati normal, dan denyut nadi yang melebar.
Syok Hemoragik
Hemoragik merupakan penyebab syok yang paling sering ditemukan pada pasien
trauma. Pasien yang mengalami trauma dan kehilangan darah diperburuk dengan
perpindahan cairan ke dalam kompartemen ekstraseluler. Kehilangan cairan
berhubungan dengan adanya trauma pada organ dalam. Perubahan yang terjadi akibat
syok berat, berkepanjangan, dan dampak patofisiologi akibat resusitasi dan reperfusi
perlu diperhatikan dengan baik.
Perdarahan diartikan sebagai kehilangan volume darah yang terjadi secara akut. Volume
darah normal pada dewasa sekita 7% dari berat badan, tetapi berbagai variasi dapat
terjadi. Sebagai contoh, pria dewasa dengan berat 70 kg memiliki volume darah dalam
sirkulasi sekitar 5 L. volume darah pada dewasa yang mengalami obesitas ditentukan
berdasarkan berat tubuh ideal, karena kalkulasi yang dilakukan berdasarkan berat
sebenarnya dapat menyebabkan estimasi yang berlebihan. Volume darah pada anak-
anak diperkirakan sebanyak 8% hingga 9% dari berat tubuh (80-89 mL/kg). Lihat Bab
10: Trauma Pediatri.
Syok hemoragik derajat I diumpamakan sebagai pasien yang mendonasikan satu unit
darah. Syok hemoragik derajat II merupakan perdarahan yang tidak memberikan
komplikasi dan membutuhkan resusitasi berupa cairan kristaloid. Syok hemoragik
derajat III merupakan perdarahan disertai komplikasi dan membutuhkan infus kristaloid
dan dapat diberikan transfuse darah. Syok hemoragik derajat IV merupakan kondisi
emergensi, dan pasien dapat meninggal dalam hitungan menit. Tabel 3.1 memberikan
estimasi kehilangan darah dan menentukan derajat kritikal klasifikasi syok pada pasien.
■ Usia pasien
Pemberian terapi cairan awal pada pasien trauma tidak harus menunggu hingga adanya
perubahan fisiologi yang sesuai dengan klasifikasi syok. Kontrol perdarahan dan
pemberian resusitasi cairan harus diberikan sejak awal saat tanda dan gejala kehilangan
darah muncul pada pasien. Pasien yang mengalami perdarahan membutuhkan transfuse
darah.
Kehilangan darah pada syok hemoragik derajat I memberikan gejala klinis yang
minimal. Pada kasus yang tidak berkomplikasi, takikardi minimal terjadi. Tidak ada
perubahan yang terukur pada tekanan darah, tekanan nadi, ataupun laju pernapasan.
Pada pasien tanpa gangguan kesehatan lain, penggantian cairan untuk kehilangan darah
tidak dibutuhkan, karena mekanisme pengisian ulang transkapiler dan kompensasi lain
terjadi untuk mengembalikan volume darah dalam 24 jam, dan tidak dibutuhkan
transfuse darah.
Pada pria dewasa dengan berat 70 kg, kehilangan darah pada syok hemoragik derajat II
diperkirakan sebanyak 750 hingga 1500 mL. Gejala klinik yang terjadi seperti takikardi
(denyut jantung lebih dari 100 kali permenit pada dewasa), takipneu, dan penurunan
denyut nadi; gejala klinis selanjutnya berupa peningkatan komponen diastolik akibat
peningkatan sirkulasi katekolamin. Katekolamin ini meningkatkan produksi tonus
vaskuler perifer dan resistensi. Tekanan darah sistolik mengalami perubahan minimal
pada tahap awal syok hemoragik; tetapi sangat penting untuk menilai tekanan nadi
dibandingkan dengan tekanan sistolik. Perubahan klinis lain yang dapat ditemukan
akibat hilangnya volume darah termasuk perubahan pada sistem saraf pusat, seperti
ansietas, ketakutan, dan perasaan marar. Gangguan pada pengeluaran urin juga terjadi
akibat penurunan volume darah. Pada dewasa, jumlah urin normal diperkirakan 20
hingga 20 mL/jam. Kehilangan darah dapat memperberat gejala klinis pada syok
hemoragik derajat II. Beberapa pasien membutuhkan transfuse darah, tetapi pada
keadaan umum terapi hanya diberikan dengan pemberian cairan kristaloid.
Kehilangan darah pada syok hemoragik derajat III (pada dewasa diperkirakan 1500
hingga 2000 mL) dapat membahayakan pasien. Gejala yang muncul pada pasien
menunjukan perfusi yang tidak adekuat, menyebabkan takikardi dan takipneu,
perubahan status mental, dan penurunan tekanan darah sistolik. Pada kasus tanpa
komplikasi, penurunan sejumlah volume darah menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik. Pasien membutuhkan transfusi darah. Prioritas utama untuk terapi pasien
tersebut adalah menghentikan sumber perdarahan, baik dengan operasi maupun dengan
embolisasi jika diperlukan. Sebagian besar pasien membutuhkan resusitasi dengan
packed red blood cells (pRBC) dan produk darah lainnya untuk mencegah perburukan
pada derajat syok. Pemberian transfuse darah bergantung pada respon pasien terhadap
resusitasi cairan awal.
Pentingnya klasifikasi derajat syok dapat dilihat dari ilustrasi berikut: seorang pasien
dengan berat 70 kg dan mengalami hipotensi dating ke instalasi darurat atau pusat
trauma akibat kehilangan darah dengan estimasi 1470 mL darah (70 kg × 7% × 30% =
1,47 L, atau 1470mL). Resusitasi yang diberikan berupa cairan kristaloid, pRBC, dan
produk darah lainnya. Kondisi saat pemberian resusitasi cairan tidak memberikan
respon menunjukan adanya kehilangan darah yang signifikan dan membutuhkan
tindakan operasi atau kontrol angiografi.
Kerusakan pada jaringan lunak yang luas dan fraktur dapat mengganggu hemodinamik
pasien melalui dua jalur:
1. Pertama, terjadi kehilangan darah pada daerah trauma, terutama pada kasus
fraktur. Sebagai contoh, fraktur tibia atau humerus dapat menyebabkan kehilangan
darah sebanyak 1.5 unit (750mL) darah. Pada fraktur femur dapat diperkirakan
terjadi kehilangan darah lebih dari 1500mL, dan sebagian darah dapat berkumpul
pada ruang retroperitoneal menyebabkan hematom akibat fraktur pelvis.
2. Faktor kedua adalah terjadinya edema akibat trauma pada jaringan lunak.
Derajat kehilangan darah pada kasus ini bergantung pada luas trauma pada jaringan
lunak. Trauma pada jaringan tersebut menyebabkan aktivasi dari respon inflamasi
dan produksi serta pelepasan berbagai mediato sitokin. Sebagian besar hormon
lokal yang aktif akan menyebabkan peningkatan permeabilitas. Edema jaringan
disebabkan oleh perpindahan cairan dari plasma ke dalam ekstravaskuler, ruang
ekstraseluler akibat gangguan permeabilitas pada endothelium. Perpindahan cairan
tersebut menyebabkan penurunan cairan di dalam intravaskuler.
Diagnosis dan terapi pada kasus syok harus dilakukan secara bersamaan. Untuk kasus
pasien dengan trauma, terapi dimulai saat pasien mengalami syok hipovolemi, kecuali
jika terdapat gejala dan tanda syok yang disebabkan oleh penyebab lain. Prinsip
manajemen dasar pada kasus syok yaitu untuk menghentikan perdarahan dan mengganti
cairan yang hilang.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik ditujukan pada diagnosis segera untuk cedera yang mengancam
nyawa dan meliputi penilaian ABCDE. Catatan dasar penting untuk memantau respon
pasien terhadap terapi dan pengukuran tanda-tanda vital pasien, produksi urine, dan
derajat kesadaran. Pemeriksaan yang lebih detail pada pasien tergantung pada situasi
tertentu. Lihat Bab 1: Penilaian dan Manajemen Awal
Menjamin jalan napas yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang memadai
merupakan prioritas pertama. Oksigen tambahan disediakan untuk mempertahankan
saturasi oksigen agar lebih dari 95%. Lihat Bab 2: Manajemen Jalan Napas dan
Ventilasi.
Sirkulasi – Kontrol Perdarahan
Dilatasi lambung seringkali terjadi pada pasien trauma, khususnya pada anak-anak,
yang dapat menyebabkan hipotensi yang tidak bisa dijelaskan atau disaritmia jantung,
biasanya bradikardi akibat stimulasi vagus yang berlebihan. Pada pasien yang tidak
sadar, distensi lambung meningkatkan risiko aspirasi dari isi lambung, yang berpotensi
sebagai komplikasi yang fatal. Dekompresi lambung dicapai melalui intubasi lambung
dengan selang yang dilewatkan melalui hidung atau oral dan melekatkannya untuk
menghisap dan mengevakuasi isi lambung. Namun, penempatan selang yang tepat tidak
sepenuhnya menghindarkan dari risiko aspirasi.
Kateterisasi Urine
Kateterisasi buli-buli bertujuan untuk menilai urine akan adanya hematuria (indikasi
retroperitoneum dapat menjadi sumber kehilangan darah yang signifikan) dan evaluasi
berlanjut pada perfusi ginjal melalui pemantauan produksi urine. Darah pada meatus
uretra atau prostat yang tidak bisa dipalpasi dan mobile pada laki-laki merupakan
kontraindikasi absolut untuk insersi kateter transuretra sebelum konfirmasi radiografi
pada uretra yang intak. Lihat bab 5: trauma abdomen dan pelvis.
Akses untuk sistem vaskuler harus diperoleh dengan tepat. Hal ini bisa tercapai melalui
insersi dua kateter intravena perifer dengan kaliber besar (minimal 16 G pada orang
dewasa) sebelum pemasangan jalur vena sentral dipertimbangkan. Laju aliran
proporsional terhadap seperempat kekuatan dari radius kanula dan berbanding terbalik
dengan panjangnya (hukum Poseuille). Dengan demikian, jalur intravena perifer yang
berukuran pendek dan berkaliber besar dipilih untuk infus cepat pada volume cairan
yang besar. Cairan yang lebih hangat dan pompa infus yang cepat digunakan dalam hal
adanya perdarahan yang masif dan hipotensi yang berat.
Lokasi jalur intravena perkutaneus perifer yang paling diutamakan pada orang dewasa
adalah di lengan bawah dan vena antekubital. Jika keadaan mencegah penggunaan vena
antekubital, maka akses vena sentral berkaliber besar (misalnya vena femoral, jugular,
atau subklavia) dengan teknik Seldinger atau pemotongan vena safena diindikasikan,
tergantung pada keterampilan dan pengalaman klinisi. Lihat bagian keterampilan IV:
Penilaian dan Manajemen Syok dan Bagian Keterampilan V:
Pemotongan Vena
Seringkali dalam situasi darurat, akses vena sentral tidak dapat dilakukan di bawah
kondisi terkontrol atau steril sepenuhnya. Oleh karena itu, jalur ini harus diubah dalam
lingkungan yang lebih terkendali segera setelah kondisi pasien memungkinkan.
Pertimbangan juga harus diberikan pada potensi komplikasi serius yang terkait dengan
pemasangan kateter vena sentral, seperti pneumotoraks atau hemothorax, pada pasien
yang mungkin sudah tidak stabil. Pada anak-anak yang berusia di bawah 6 tahun,
penempatan jarum intraosseous harus dicoba sebelum memasukkan garis tengah.
Penentu penting untuk memilih prosedur atau rute untuk menetapkan akses vaskular
adalah pengalaman dan keterampilan dokter. Akses intraosseous dengan peralatan yang
dirancang khusus dimungkinkan di semua kelompok umur, dan digunakan dengan
frekuensi yang meningkat. Seperti pada populasi anak-anak, akses ini dapat digunakan
di rumah sakit sampai akses intravena diperoleh. Saat jalur intravena dimulai, sampel
darah diambil untuk penentuan jenis dan pencocokan silang, analisis laboratorium yang
tepat, studi toksikologi, dan tes kehamilan untuk semua wanita usia subur. Analisis gas
darah arterial (ABG) dilakukan pada saat ini. Rontgen dada harus diperoleh setelah
mencoba memasukkan jalur pemantauan CVP subklavia atau internal jugularis untuk
mendokumentasikan posisi jalur dan mengevaluasi adanya pneumotoraks atau
hemothorax.
Larutan elektrolit isotonik yang dihangatkan seperti Ringer laktat dan normal saline,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini memberikan ekspansi intravaskular
transien dan selanjutnya menstabilkan volume vaskular dengan mengganti kehilangan
cairan yang menyertainya ke ruang interstisial dan intraselular.
Bolus fluida awal yang hangat diberikan. Dosis yang biasa adalah 1 sampai 2 L untuk
orang dewasa dan 20 mL / kg untuk pasien anak-anak. Volume absolut cairan resusitasi
harus didasarkan pada respon pasien. Penting untuk diingat bahwa jumlah cairan awal
ini mencakup cairan yang diberikan di tempat pra-rumah sakit. Respon pasien diamati
selama pemberian cairan awal ini dan keputusan terapeutik maupun diagnostik lebih
lanjut didasarkan pada respon ini.
Jumlah cairan dan darah yang dibutuhkan untuk resusitasi sulit diprediksi pada evaluasi
awal pasien. Tabel 3.1 memberikan panduan umum untuk menentukan jumlah cairan
dan darah yang dibutuhkan. Hal yang paling penting untuk menilai respon pasien
terhadap resusitasi cairan dan mengidentifikasi bukti perfusi endokard dan oksigenasi
yang memadai (mis., melalui produksi urine, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer).
Jika selama resusitasi jumlah cairan yang dibutuhkan untuk memulihkan atau
mempertahankan perfusi organ yang adekuat melebihi perkiraan ini, penilaian ulang
yang hati-hati terhadap situasi dan mencari cedera yang tidak dikenal dan penyebab
syok lainnya diperlukan.
Tujuan resusitasi adalah mengembalikan perfusi organ. Hal ini dilakukan dengan
penggunaan cairan resusitasi untuk menggantikan volume intravaskular yang hilang.
Namun, perlu diketahui bahwa jika tekanan darah meningkat dengan cepat sebelum
perdarahan telah dikontrol secara pasti, peningkatan pendarahan dapat terjadi. Infus
persisten dengan volume cairan dan darah yang besar dalam upaya untuk mencapai
tekanan darah normal bukanlah pengganti kontrol definitif untuk pendarahan.
Pemberian cairan yang berlebihan dapat memperburuk trias letal koagulopati, asidosis,
dan hipotermia dengan aktivasi kaskade inflamasi. Resusitasi cairan dan penghindaran
hipotensi merupakan prinsip penting dalam pengelolaan awal pasien trauma tumpul,
terutama yang memiliki cedera otak traumatis (TBI). Pada trauma penetrasi dengan
perdarahan, menunda resusitasi cairan agresif sampai kontrol definitif dapat mencegah
pendarahan tambahan. Meskipun komplikasi yang terkait dengan cedera resusitasi tidak
diinginkan, alternatif ini bahkan masih kurang. Pendekatan yang hati-hati dan seimbang
dengan reevaluasi sering diperlukan. Menyeimbangkan tujuan perfusi organ dengan
risiko perdarahan ulang dengan menerima tekanan darah di bawah normal telah disebut
"resusitasi terkontrol," "resusitasi seimbang," "resusitasi hipotensi," dan "hipotensi
permisif." Tujuannya adalah keseimbangan , bukan hipotensi. Seperti strategi resusitasi
bisa menjadi jembatan, tapi bukan pengganti, kontrol bedah definitif untuk perdarahan.
PRODUKSI URINE
Dalam batas-batas tertentu, produksi urin digunakan untuk memantau aliran darah
ginjal. Penggantian volume resusitasi yang memadai harus menghasilkan produksi urin
kira-kira 0,5 mL / kg / jam pada orang dewasa, sedangkan 1 mL / kg / jam adalah
produksi urine yang memadai untuk pasien anak-anak. Untuk anak di bawah usia 1
tahun, 2 mL / kg / jam harus dijaga. Ketidakmampuan untuk mendapatkan produksi urin
pada tingkat ini atau penurunan produksi urin dengan peningkatan berat jenis
menunjukkan resusitasi yang tidak memadai. Situasi ini harus memicu penggantian
volume dan upaya diagnostik lebih lanjut.
KESEIMBANGAN ASAM-BASA
Defisit basa dan / atau laktat dapat berguna dalam menentukan adanya dan tingkat
keparahan syok. Pengukuran serial parameter ini dapat digunakan untuk memantau
respon terhadap terapi. Natrium bikarbonat tidak boleh digunakan untuk menangani
asidosis metabolik yang diakibatkan oleh syok hipovolemik
Respon pasien terhadap resusitasi cairan awal adalah kunci untuk menentukan terapi
selanjutnya. Setelah menetapkan diagnosis awal dan rencana perawatan berdasarkan
evaluasi awal, dokter lalu memodifikasi rencana berdasarkan respon pasien.
Pengamatan pada respon terhadap resusitasi awal dilakukan untuk mengidentifikasi
pasien yang kehilangan darah dengan volume yang lebih besar daripada yang
diperkirakan dan mereka yang mengalami perdarahan terus-menerus yang memerlukan
kontrol operasi perdarahan internal. Resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan
bersamaan dengan pengontrolan langsung pendarahan oleh ahli bedah dan pemulihan
volume intravaskular. Selain itu, ini membatasi kemungkinan transfusi balik atau
transfusi darah yang tidak perlu pada pasien yang status awalnya tidak proporsional
terhadap jumlah kehilangan darah. Sangat penting untuk membedakan pasien yang
"stabil secara hemodinamik" dari mereka yang "normal secara hemodinamik." Pasien
yang stabil secara hemodinamik mungkin mengalami takikardia, takipnea, dan oliguria
persisten secara bersamaan. Pasien ini jelas tidak sadar dan masih dalam kondisi syok.
Sebaliknya, pasien dengan hemodinamik yang normal tidak menunjukkan tanda-tanda
perfusi jaringan yang tidak adekuat. Pola potensial respon terhadap pemberian cairan
awal dapat dibagi menjadi tiga kelompok: respon cepat, respons transien, dan respon
minimal atau tidak. Petunjuk tanda dan pedoman vital untuk pasien di masing-masing
kategori ini diuraikan pada Tabel 3.2.
RESPON CEPAT
Pasien dalam kelompok ini, yang disebut "responden cepat," merespon dengan cepat
bolus fluida awal dan tetap secara hemodinamika normal setelah bolus fluida awal telah
diberikan dan cairannya diperlambat untuk mempertahankan laju. Pasien tersebut
biasanya kehilangan volume darah minimal (kurang dari 20%). Tidak ada bolus cairan
atau pemberian darah langsung yang diindikasikan untuk pasien dalam kelompok
respon ini. Penggolongan dan pencocokan silang darah harus tetap tersedia. Konsultasi
dan evaluasi bedah diperlukan selama penilaian awal dan perawatan, karena intervensi
operasi mungkin diperlukan.
RESPON TRANSIEN
Pasien pada kelompok kedua, disebut “transien responden”, berespon terhadap bolus
cairan awal. Namun, mereka mulai menunjukkan penurunan indeks perfusi seiring
cairan awal diperlahan ke tingkat maintenance, yang menunjukkan adanya kehilangan
darah yang terus berlangsung atau resusitasi yang tidak adekuat. Kebanyakan pasien ini
awalnya kehilangan darah dengan perkiraan 205 sampai 40%. Transfusi darah dan
produk darah diindikasikan, namun lebih penting untuk mengenali bahwa pasien ini
membutuhkan kontrol perdarahan operatif atau angiografi. Respon transien terhadap
pemberian darah harus mengidentifikasi pasien-pasien yang masih berdarah dan
membutuhkan intervensi bedah cepat.
Gagal respon terhadap terhadap pemberian darah dan kristaloid di IGD menunjukkan
dibutuhkannya intervensi segera dan definitif (mis, operasi atau angioembolisasi) untuk
mengendalikan perdarahan. Pada kesempatan yang sangat jarang, gagal respon mungkin
akibat dari kegagal pompa karena trauma tumpul jantung, tamponade jantung, atau
pneumothoraks tension. Syok non hemoragik selalu harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis pada kelompok pasien ini. Pemantauan CVP dan ultrasonografi jantung
membantu membedakan antara berbagai penyebab syok.
JEBAKAN
Penundaan manajemen definitif dapat menjadi fatal/
Jangan mengabaikan sumber perdarahan
Penggantian Darah
Keputusan untuk memulai transfusi darah didasarkan pada respon pasien, seperti yang
dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pasien-pasien yang merupakan transien responder
atau nonresponder – mereka dengan perdarahan Kelas III atau Kelas IV – akan
membutuhkan pRBC dan produk darah sebagai bagian awal resusitasi (GAMBAR 3-4).
Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas pembawa oksigen
volume intravaskular. Darah yang telah dicrossmatched secara lengkap lebih dipilih.
Namun, proses crossmatch yang lengkap membutuhkan sekitar 1 jam pada kebanyakan
bank darah. Untuk pasien-pasien yang stabil dengan cepat, darah crossmatch harus
didapatkan dan tersedia untuk transfusi ketika dibutuhkan.
Darah tipe spesifik dapat tersedia pada kebanyakan bank darah dalam 10 menit. Darah
seperti ini kompatibel dengan golongan darah ABO dan Rh, namun inkompatibilitas
antibodi lainnya mungkin ada. Darah tipe spesifik dipilih untuk pasien-pasien transien
responder, yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Jika darah tipe spesifik
dibutuhkan, crossmatch lengkap harus dilakukan oleh bank darah.
Jika darah tipe spesifik tidak tersedia, sel tipe O diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan perdarahan. Untuk menghindari sensitasi dan komplikasi lanjut, sel Rh-negatif
dipilih untuk perempuan usia subur. Segera setelah tersedia, penggunaan darah tipe
spesifik yang tidak dicocokkan lebih dipilih dibandingkan darah tipe O. Hal ini benar
kecuali jika ada banyak korban yang tidak teridentifikasi yang dirawat bersamaan dan
resiko besar pemberian unit darah yang salah secara tidak sengaja.
Hipotermia harus dicegah dan ditangani jika pasien mengalami hipotermia saat tiba di
rumah sakit. Penggunaan penghangat darah di IGD penting, meskipun tidak praktis.
Langkah paling efisien untuk mencegah hipotermi pada pasien manapun yang mendapat
kristaloid dengan volume yang masif adalah dengan menghangatkan cairan sampai
39oC sebelum diinfuskan. Hal ini dapat dicapai dengan menyimpan kristaloid di
penghangat atau dengan menggunakan microwave oven. Produk darah tidak dapat
dihangatkan di microwave oven, namun dapat dihangatkan menggunakan penghangat
cairan intravena.
AUTOTRANSFUSI
Adaptasi alat pengumpul thorakostomi tube standar tersedia secara komersil. Alat ini
memungkinkan pengumpulan secara steril, antikoagulan (umumnya dengan cairan
sodium sitrat, bukan heparin), dan retransfusi dari darah yang tumpah. Pengumpulan
darah yang tumpah untuk autotransfusi harus dipertimbangkan untuk pasien mana saja
dengan hemothoraks yang besar.
TRANSFUSI MASIF
Sebuah subset kecil pasien dengan syok akan membutuhkan transfusi masif, sering
didefinisikan sebagai >10 unit pRBC dalam 24 jam pertama masuk rumah sakit.
Pemberian awal pRBC, plasma, dan platelet, dan meminimalkan pemberian kristaloid
yang agresif pada pasien-pasien ini dapat memperbaiki tingkat kelangsungan hidup.
Pendekatan ini telah diistilakan resusitasi kontrol seimbang, hemostatik atau cedera.
Upaya bersama untuk mengontrol perdarahan dengan cepat dan mengurangi efek
merugikan koagulopati, hipotermia, dan asidosis pada pasien ini sangat penting.
Protokol transfusi masif yang mencakup ketersediaan semua komponen darah harus ada
untuk memberikan reusitasi yang optimal bagi pasien-pasien ini, karena sumber daya
yang dibutuhkan sangat besar. Protokol ini juga memperbaiki hasilnya.
KOAGULOPATI
Pertimbangan Khusus
Pertimbangan khusus dalam diagnosis dan terapi syok termasuk persamaan yang keliru
dari tekanan darah dengan curah jantung, usia lanjut, atlet yang syok, kehamilan,
pengobatan pasien, hipotermia, dan adanya alat pacu jantung
USIA LANJUT
Penurunan komplians pulmonal, penurunan kapasitas difusi, dan kelemahan umum dari
otot-otot pernapasan membatasi kemamuan pasien lansia untuk mencapai kebutuhan
pertukaran gas yang meningkat pada keadaan cedera. Hal ini memperparah hipoksia
seluler yang sudah disebabkan oleh penurunan pengantaran oksigen lokal. Penuaan
glomerular dan tubular pada ginjal menurunkan kemamuan pasien lansia untuk
mempertahankan volume dalam respon pada pelepasan hormon stres seperti aldosteron,
katekolamin, vasopressin, dan kortisol. Ginjal juga lebih rentan terhadap efek-efek
penurunan aliran darah dan agen-agen nefrotoksik, seperti obat-obatan, agen kontras,
dan produk-produk toksik dari kerusakan sel.
Untuk semua alasan-alasan ini, tingkat mortalitas dan morbiditas meningkat secara
langsung dengan bertambah umur dan status kesehatan jangka panjang untuk cedera
ringan dan berat. Meskipun adanya efek samping dari proses penuaan, komorbiditas
dari penyakit sebelumnya, dan penurunan umum pada “cadangan fisiologi” pasien
geriatri, sebagian besar pasien-pasien ini dapat sembuh dan kembali ke status preinjury
mereka. Terapi dimuali dengan resusitasi cepat dan agresif dan pemantauan yang
cermat. Lihat Bab 11: Trauma Geriatri.
ATLET
Rutinitas latihan atlet yang keras merubah dinamika kardiovaskuler pada kelompok
pasien ini. Volume darah dapat meningkat 15% sampai 20%, curah jantung enam kali
lipat, stroke volume 50%, dan nadi saat istirahat rata-rata 50. Kemampuan tubuh atlet
untuk mengkompensasi kehilangan darah sangat luar biasa. Respon biasa terhadap
hipovolemia dapat tidak bermanifestasi pada atlet, bahka jika kehilangan darah yang
signifikan terjadi.
KEHAMILAN
Fisiologi hipervolemia ibu membutuhkan kehilangan darah yang lebih besar untuk
bermanifestasikan kelainan perfusi pada ibu, yang juga dapat menggambarkan
penurunan perfusi janin. Lihat Bab 12: Trauma pada Kehamilan dan Kekerasan Partner
Intim.
PEMAKAIAN OBAT
Penghambat reseptor beta-adrenergik dan penghambat kanal kalsium dapat secara
signifikan mengubah respon hemodinamik pasien terhadap perdarahan. Pemakaian
insulin yang banyak mungkin bertanggung jawab terhadap hipoglikemia dan dapat
berkontribusi terhadap kejadian yang menyebabkan cedera. Terapi diuretik jangka
panjang dapat menjelaskan hipokalemia yang tidak terduga, dan obat anti inflamasi non
steroid (NSAID) dapat secara buruk mempengaruhi fungsi platelet.
HIPOTERMIA
Pasien yang mengalami hipotermia dan syok hemoragik tidak berespon secara normal
terhadap pemberian darah dan resusitasi cairan, dan koagulopati dapat berkembang atau
bertambah buruk. Temperatur tubuh merupakan tanda vital yang penting untuk dipantau
selama fase penilaian awal. Temperatur esofagus atau kandung kemih merupakan
pengukuran klinis temperatur tubuh inti yang akurat. Korban trauma di bawah pengaruh
alkohol dan terpapar temperatur dingin ekstrem lebih cenderung mengalami hipotermia
akibat vasodilatasi. Penghangatan yang cepat pada lingkungan dengan alat penghangat
eksternal yang tepat, lampu pemanas, topi termal, gas respirasi yang dipanaskan, dan
cairan intravena dan darah yang dihangatkan secara umum akan memperbaiki hipotensi
dan hipotermia ringan sampai sedang. Penghagatan inti (irigasi kavitas peritoneal atau
thoraks dengan cairan kristaloid yang dihangatkan sampai 39oC atau bypass
ekstrakorporal) diindikasikan untuk hipotermia berat. Hipotermia paling baik diobati
dengan mencegahnya. Lihat Bab 9: Cedera Termal.
ADANYA PACEMAKER
Pasien dengan pacemaker tidak dapat berespon terhadap kehilangan darah dengan cara
yang diharapkan, karena curah jantung secara langsung terkait dengan laju jantung.
Pada beberapa pasien dengan cacat konduksi miokardium yang memiliki alat terpasang,
pemantauan CVP sangat penting untuk memandu terapi cairan.
Pemantauan respon resusitasi paling baik dilakukan pada pasien pasien di lingkungan di
mana teknik mutakhir digunakan. Pemindahan dini pasien ke unit perawatan intensif
harus dipertimbangkan untuk pasien lansia dan pasien dengan penyebab non hemoragik.
Pemantauan CVP merupakan prosedur yang relatif sederhana yang digunakan sebagai
panduan standar untuk menilai kemampuan bagian kanan jantung untuk menerima
cairan. Jika diinterpretasikan dengan benar, respon CVP terhadap pemberian cairan
membantuk mengevaluasi penggantian volume. Beberapa poin untuk diingat adalah:
1. Ukuran tepat fungsi jantung adalah hubungan antara volumen diastolik akhir
ventrikel dan stroke volume. Tekanan atrium kanan (CVP) dan curah jantung
(seperti yang tercermin dengan bukti perfusi atau tekanan darah, atau bahkan
dengan pengukuran langsung) merupakan perkiraan tidak langsung dan paling
baik dari hubungan ini. Mengingat fakta-fakta ini penting untuk menghindari
ketergantungan berlebihan pada pemantauan CVP.
2. Tingkat CVP awal dan volume darah sebenarnya tidak harus berhubungan. CVP
awal kadang tinggi, bahkan dengan defisit volume yang signifikan, terutama
pada pasien-pasien dnegan penyakit paru obstruktif kronik, vasokonstriksi
umum, dan penggantian cairan yang cepat. Tekanan vena awal juga dapat tinggi
karena penggunaan vasopressor eksogen yang tidak sesuai.
3. Peningkatan minimal pada CVP yang awalnya rendah dengan terapi cairan
menunjukkan perlunya ekspansi volume lebih lanjut (menggunakan kategori
resusitasi cairan yang tepat) dan mencari kembali sumber perdarahan.
4. Penurunan CVP menunjukkan kehilangan cairan yang masih berlangsung dan
kebutuhan untuk penggantian cairan atau darah tambahan (yaitu, respon transien
terhadap kategori resusitasi cairan).
5. Peningkatan CVP yang mendadak atau terus-menerus menunjukkan bahwa
penggantian volume cukup atau terlalu cepat, atau bahwa fungsi jantung
terganggu.
6. Peningkatan CVP yang jelas dapat disebabkan oleh hipervolemia akibat dari
overtransfusi, disfungsi jantung, tamponade jantung, atau peningkatan tekanan
intrathoraks dari pneumothoraks tension. Malposisi kateter dapat menyebabkan
pengukuran CVP yang keliru.
Teknik aseptik harus digunakan ketika jalur vena sentral dipasangkan. Beberapa tempat
menyediakan akses untuk sirkulasi sentral, dan keputusan terkait rute mana yang
digunakan ditentukan oleh skill dan pengalaman dokter. Posisi idial untuk tip kateter
adalah di vena cava superior, tepat di proksimal atrium kanan. Teknik untuk
pemasangan kateter didiskusikan secara rinci di Station Skill IV: Penilaian dan
Manajemen Syok.
Pemasangan jalur vena sentral memiliki resiko komplikasi yang membahayakan jiwa.
Infeksi, cedera vaskuler, cedera saraf, embolisasi, trombosis, dan pneumothoraks dapat
terjadi. Pemantauan CVP mencerminkan fungsi jantung kanan. Hal ini (alat ini) tidak
merepresentasikan fungsi jantung kiri pada pasien dengan disfungsi miokardium primer
atau sirkulasi paru yang abnormal.
Skenario – kesimpulan
Pasien dibawa secepatnya ke ruangan operasi untuk kontrol perdarahan operatif. Darah
dan plasma diberikan, dan protokol transfusi masih dimulai.