Anda di halaman 1dari 23

Penyakit Akibat Kerja : Bisinosis

Javier Immanuel 102018112

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida wacana

Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Javier.2018fk112@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Kemajuan teknologi dan industri yang dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat
manusia, kadang-kadang justru dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, bahkan
malapetaka. Debu mineral dan organik industri yang terhirup para karyawan dan penduduk
sekitar dapat menimbulkan berbagai gangguan saluran napas, salah satunya adalah bisinosis.
Bisinosis adalah penyakit saluran napas akibat kerja yang disebabkan penghirupan debu kapas,
flax atau hemp yang dianggap sebagian peneliti sebagai asma dan oleh peneliti lainnya
dibedakan dari asma. Jumlah pajanan yang dialami dapat diukur secara kuantitatif ataupun
kualitatif. Penentuan besar pajanan dengan cara kuantitatif dilakukan dengan cara melihat data
pemeriksaan lingkungan sedangkan secara kualitatif dilakukan dengan mengamati cara pekerja
bekerja. Penanganan untuk bisinosis lebih difokuskan kepada pencegahan daripada tatalaksana.

Kata kunci : bisinosis, debu mineral, manajemen resiko

Abstract

Technological and industrial advances that are developed to improve the welfare of mankind can
sometimes cause various kinds of diseases, even disasters. Mineral and organic industrial dust
inhaled by employees and local residents can cause various respiratory disorders, one of which is
byssinosis. Byssinosis is an occupational respiratory disease caused by inhalation of cotton,
hemp or hemp dust, which is considered by some researchers to be asthmatic and by others to be
distinguished from asthma. The amount of exposure that can be measured quantitatively or
qualitatively. Determining the amount of exposure in a quantitative way is done by looking at the
environmental inspection data. Qualitatively, it is done by observing the way workers work.
Treatment for byssinosis is more about prevention than treatment.

Keywords: byssinosis, mineral dust, risk management

PENDAHULUAN

1
Kemajuan teknologi dan industri yang dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat
manusia, kadang-kadang justru dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, bahkan
malapetaka. Debu mineral dan organik industri yang terhirup para karyawan dan penduduk
sekitar dapat menimbulkan berbagai gangguan saluran napas. Asma bronkial dapat timbul pada
karyawan industri logam, plastik, kayu, sabun, obat dan berbagai industri lainnya Ditaksir bahwa
2 % dari seluruh asma adalah akibat lingkungan kerja. Di Jepang, 15 % asma bronkhial pada pria
disebabkan akibat industri. 

Bisinosis adalah penyakit saluran napas akibat kerja yang disebabkan penghirupan debu kapas,
flax atau hemp yang dianggap sebagian peneliti sebagai asma dan oleh peneliti lainnya
dibedakan dari asma. Kata bisinosis berasal dari perkataan Yunani byssos yang berarti fine flax
atau fine linnen yang dihasilkan tanaman flax yang diakukan Proust pada tahun 1877 untuk
pertama kali. Oliver pada tahun 1902 menggunakan istilah tersebut untuk gejala-gejala saluran
napas dalam berbagai derajat akibat pemaparan debu kapas dan flax. Collis pada tahun 1909
menemukan keluhan serupa asma yang timbul sesudah bekerja hari Senin pada 74-91 %
karyawan dari 31 pabrik tekstil di Blackburn yaitu pada 126 strippers dan grinders yang sekarang
dikenal sebagai bisinosis.

DIAGNOSIS OKUPASI

2
Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu dilakukan suatu
pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya
secara tepat. Kita semua telah mengetahui cara membuat diagnosis penyakit umum, menegakkan
diagnosis Penyakit Akibat Kerja memerlukan hal khusus dalam anamnesis dan pemeriksaannya,
baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan yang menunjang yang pada prinsipnya ada kaitan
dengan pekerjaan. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan
sebagai pedoman.

1. Tentukan diagnosis klinisnya


Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas
penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Dimulai
dengan anamnesis, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan
tempat kerja.
A. Anamnesis:
 Riwayat penyakit: RPS, RPD, RPK.
 Riwayat pekerjaan:
-
sudah berapa lama bekerja sekarang
-
riwayat pekerjaan sebelumnya
-
alat kerja, bahan kerja, proses kerja
-
barang yang diproduksi/ dihasilkan
-
waktu bekerja sehari
-
kemungkinan pajanan yang dialami
-
APD yang dipakai
-
hubungan gejala dan waktu kerja
-
pekerja lain ada yang mengalami hal yang sama

B. Pemeriksaan fisik:

3
 Pemeriksaan umum dan khusus (lokal)
-
Pada penyakit bisinosis, tidak ditemukan tanda yang khas atau ciri tertentu
pada pemeriksaan fisik. Efek kronis memiliki ciri obstruksi jalan napas dan
secara klinis tidak bisa dibedakan dengan bronkhitis kronis dan emfisema.
-
Gambaran klinis: Penyakit ini memiliki ciri napas pendek dan dada sesak.
Dalam bentuk dini berupa dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari
pertama kerja sesudah hari libur, selanjutnya disebut hari Senin (Monday
morning chest tightness). Mungkin disertai batuk yang lama-kelamaan
menjadi batuk berdahak. Pada sebagian besar individu, temuan ini akan
berkurang atau hilang pada hari kedua bekerja. Pada pekerja yang sudah lama
terpajan selama bertahun-tahun, adanya riwayat dispnoe saat melakukan
kegiatan adalah temuan yang biasa. 1
C. Pemeriksaan penunjang:
 Uji faal paru
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan terhadap fungsi ventilasi dengan
menggunakan alat spirometri yang mengukur arus udara dalam satuan isi dan
waktu. Spirometri dapat digunakan untuk melakukan berbagai macam uji, tetapi
yang paling bermanfaat di lapangan adalah volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP).
Pemeriksaan faal paru dengan spirometer adalah pemeriksaan penunjang yang
terpenting pada Bisinosis, akan didapatkan penurunan VEP1 > 10%.
Gangguan faal paru dibagi atas 4 kelompok berdasarkan perubahan kapasitas
ventilasi yaitu derajat F0 sampai derajat F3. Kapasitas difusi biasanya tidak
berubah.
 Radiologis
Gambaran radiologi paru pada penderita Bisinosis tidak menunjukkan kelainan
yang khas.

D. Pemeriksaan tempat kerja:

4
-
Faktor penyebab
-
Hasil pengukuran
Pabrik tekstil mengeluarkan bahan pencemar debu. Bila berhadapan dengan bahan pencemar
debu (bentuk partikel) maka yang perlu dievaluasi adalah komposisi kimiawi dari debu tersebut.,
tentang ukuran aerodinamik partikel debu tersebut karena hal ini berhubungan dengan deposisi
didalam saluran napas, serta kadar dari debu tersebut, hal ini berhubungan dengan NAB.
Keadaan lingkungan kerja seperti suhu terlalu panas, kelembapan dapat mempengaruhi respons
karyawan terhadap pengaruh bahan dalam lingkungan kerja. Di samping itu kelembapan yang
tinggi dapat mengurangi gerakan silia saluran napas sehingga mengakibatkan lebih banyak
partikel dalam lingkungan kerja yang terhirup tidak dapat dikeluarkan kembali dan masuk ke
dalam saluran napas lebih dalam. Kelembapan optimal untuk mendapatkan toleransi karawaan
sebaik-baiknya adalah antara 30% dan 70%.

Ada 3 kriteria untuk diagnosis klinis bisinosis, yaitu :

i. Riwayat paparan yang pasti terhadap dedu kapas


ii. Gejala-gejala bissinosis yang dikenal dengan kuestioner standar ( BMRC) dan pada
beberapa kasus manifestasi klinis bronchitis kronis ( WHO, technical report series
No. 684 tahun 1983)
iii. Penurunan kapasitas ventilasi selama jam kerja, yang lebih berat pada penderita
bisinosis daripada individu normal dan pada umumnya lebih tinggi pada hari pertama
minggu kerja dibandingkan hari lainnya.

Schilling pada tahun 1955 membagi bisinosis secara klinis yang ditandai dengan huruf C dalam
derajat Cl dan C2. Kemudian Schilling dan Watford pada tahun 1963 menambahkan derajat C1/2
dan C3, sehingga derajat bisinosis dewasa ini dibagi dalam empat derajat sebagai berikut : 
Derajat C1/2 : dada rasa tertekan dan atau sesak napas yang kadang-kadang timbul pada hari
Senin. 
Derajat Cl : dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada setiap hari Senin. 
Derajat C2 : dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari Senin dan hari kerja lainnya. 
Derajat C3 : derajat C2 disertai sesak napas yang menetap. 2

2. Pajanan yang dialami

5
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial untuk
dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan
anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti. Lebih baik jika ada
pengukuran lingkungan.

-
Bahan yang diproduksi
-
Materi (bahan baku) yang digunakan
-
Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (MSDS,
label, dan sebagainya.
Yang diartikan dengan debu kapas ialah debu ang dilepaskan ke dalam udara yang terjadi pada
pengolahan serat kapaas. Debu kapas yang timbul waktu panen, pengangkutan dan pengolahan
tidak hanya mengandung bahan yang berasal dari serat kapas saja, tetapi tercemar oleh bahan
yang berasal dari tanaman seperti daun, ranting, biji, berbagai mikroorganisme seperti virus,
bakteri, jamur dan lain-lain bahan yang berasal dari tanah. Komponennya sebagian besar terdiri
dari selulose, protein, dan mineral. Debu kapas dibagi menurut urutannya sebagai berikut:
-
Halus atau respirabel yang berukuran kurang dari 7 µm.
-
Sedang yang berukuran antara 7 µm-2 mm.
-
Kasar berukuran lebih dari 2 mm yang terutama terdiri atas serat kapas
sendiri.
Serat yang tampak dengan mata dan terlalu besar untuk dihirup yang berukuran sampai 2,5 cm
disebut fly. Kadar protein ditemukan sebanyak 28-47% dalam debu halus dan 3-7% dalam debu
yang berukuran sedang-kasar.
Kadar debu kapas dalam lingkungan kerja dapat diukur dengan alat pengukur debu yang dapat
diletakkan di lokasi kerja dengan ketinggian breathing zone antara mulut dan hidung yaitu
sekitar 1,5 m dari lantai untuk jangka waktu tertentu yang disebut vertical elutriator. Ada pula
alat pengukur debu kapas yang disebut personal sampler yang dapat diikatkan pada ikat
pinggang karyawan, sehingga kadar debu yang diukur lebih banyak berhubungan dengan lama
pemaparan karyawan. 2,3.

3. Hubungan pajanan dengan penyakit


Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut.

6
Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat bahwa
pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak
ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat
ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu
dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit
yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya).
Penelitian-penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara kadar debu kapas dan bisinosis
yang dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut:
a. Pekerja atau pengolah kapas yang menunjukkan gejala khas bisinosis dini seperti Monday
feeling, Monday effect, akan membaik kalau mereka meninggalkan tempat kerja.
b. Pabrik atau lokasi yang lebih banak berdebu jelas memberikan angka prevalensi bisinosis
ang lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik atau lokasi yang kurang berdebu.
c. Strippers dan grinders yang lebih banyak terpapar dengan debu kapas dibandingkan
dengan pekerja lainnya yang ada di dalam ruang carding yang sama, menunjukkan
prevalensi bisinosis yang lebih tinggi.
d. Prevalensi bisinosis meninggi dengan meningkatnya kadar debu dalam lingkungan kerja.
e. Pabrik yang berhasil memperbaiki kadar debu dalam lingkungan kerjanya menunjukkan
penurunan angka prevalensi bisinosis.
f. Ada hubungan yang jelas antara lama pemaparan dan peningkatan prevalensi bisinosis.

Battigelli dan kawan-kawan pada tahun 1981 melkukan tes provokasi dengan menggunakan
suatu kamar model ruang carding yang berkadarkan debu kapas antara 0,3-2,0 mg/m3 .
Penurunan Forced Expiratory Volume dalam detik pertama (FEV1) ditemukannya pada
karyawan yang mempunyai riwayat bisinosis.

Patogenesis Bisinosis belum sepenuhnya jelas. Ada bukti bahwa suatu zat toksik yang
melepaskan histamine mungkin bertanggungjawab atas gejala-gejala khas Bisinosis, yaitu sesak
nafas pada hari pertama bekerja setelah liburan akhir minggu. Secara luas diyakini bahwa kerja
pelepasan histamine ini disebabkan oleh senyawa molekular kecil yang larut air dan stabil panas,
yang berasal dari bulu-bulu tanaman kapas.

7
Disamping pelepasan histamine, paparan terhadap debu kapas juga menyebabkan iritasi saluran
nafas bagian atas ddan bronchus, dimana setelah paparan yang lama perlahan-lahan berlanjut
menjadi penyakit paru obstruktif kronik. Mungkin juga terdapat lebih dari satu tipe reaksi
manusia terhadap debu-debu ini. Inhalasi endotoksin bakteri gram negative telah terbukti dapat
menyebabkan gejala menyerupai Bisinosis.
Maltland dan kawan-kawan pada tahun 1032 dan kemudian Mac Donald dan Prausnitz pada
tahun 1936 menemukan histamin sebagai komponen debu asal tanaman dan menduga sebagai
salah satu sebab bisinosis. Haworth dan Mac Donald yang menemukan kadar histamin yang jauh
lebih tinggi dalam darah karyawan ruang carding dibanding dengan control menunjang teori
histamin. 4

4. Pajanan yang dialami cukup besar.

Bouhuys dan kawan-kawan dan Antweiler menyimpulkan bahwa kadar histamine yang ada
dalam debu kapas terlalu sedikit untuk menimbulkan bisinosis.
Buck dan Bouhuys membuat ekstrak dari bract, bagian tanaman yang tidak dapat dilepas dari
kapas dan melakukan percobaan dengan menghirupkannya kepada sukarelawan. Merekatidak
menemukan gejala sampai 24 jam setelah inhalasi, tetapi inhalasi yag diulang 6-8 hari kemudian
menimbulkan gejala bisinosis seperti pada hari Senin.
Debu kapas merupakan contoh debu yang timbul dalam industri yang dapat mencemari udara
lingkungan kerja dan menimbulkan gangguan kesehatan pada para pengolahnya.
Peneliti membagi pengolahan kapas dalam dua bagian, proses sebelum kapas diolah di pabrik
yaitu panen dan pemilahan, dan proses di pabrik.

Panen: dikerjakan dengan tangan atau mesin dan selama prosses tersebut berlangsung berbagai
bahan organic dapat mencemari kapas. Pekerjaan ang dilakukan dengan mesin menghasilkan
kapas yang mengandung lebih banyak pencemaran oleh bahan yang berasal baik dari daun atau
ranting tanaman sendiri maupun dari tanah. Panen dilakukan di ruangan terbuka dan hanya
musiman sehingga pemaparan dengan debu kapas disini tidak merupakan bahaya.
Pemilahan: yang dimaksudkan dengan pemilahan ialah memisahkan biji kapas dari seratnya
dengan mesin khusus yang disebut mesin gin. Kapas yang ringan ini memungkinkan untuk di
pres, dibungkus dengan karung dan diikat dengan plat besi sebelum dikirim ke pabrik atau
negara lain. Pemaparan dengan debu kapas mulai terjadi dalam pengolahan ini.

8
Proses di pabrik
Pembongkaran atau opening: kapas yang diterima di pabrik dikeluarkan dari karung untuk
selanjutnya didiamkan selama 24 jam agar kapas tersebut dapat memual.
Pengadukan atau blowing: kapas yang sudah memual kemudian dimasukkan ke dalam mesin
blowing. Mesin blowing biasanya tertutup sehingga prosesnya disini tidak banyak mengeluarkan
debu.
Carding: lembaran kapas hasil pengadukan diteruskan ke bagian carding untuk disisir,
diluruskan, disejajarkan, dan dibersihkan lebih lanjut dari pencemaran serta bahan yang tidak
terpakai seperti serat pendek dan tipis. Karyawan yang mengerjakan pekerjaan tersebut masing-
masing disebut stripper dan grinder. Mesin carding biasanya terbuka dan mengeluarkan sangat
banyak debu.
Flyer: hasil pengolahan carding disebut sliver, berupa tali kapas tebal kemudian dimasukkan ke
dalam mesin flyer untuk dijadikan tali kapas yang lebih halus, disebut roving yang merupakan
bentuk akhir sebelum dijadikan benang.
Spinning: spinning merupakan bagian terakhir pembuatan benang disini roving diolah menjadi
benang.
Tempat yang berdebu menurut urutannya adalah ruang carding, pengadukan, pembongkaran dan
bagian terakhir pembuatan benang.
Pertenunan: benang jadi yang merupakan hasil pengolahan pemintalan akhirnya ditenun dan
dijadikan bahan jadi di pertenunan. Pertenunan yang mengolah benang jadi tidak lagi
mengeluarkan banyak debu ke dalam lingkungan kerja disbanding dengan pemintalan yang
mengolah kapas berupa bahan mentah.

Proses pembuatan garmen


Proses pembuatan garmen dimulai dari pengecekan kain di ruang penyimpanan kain kemudian
proses disain dan pembuatan pola, grading dan marker, kemudian dilanjutkan ke proses
pembuatan sample dan pemotongan kemudian dilakukan proses pengepresan. Setelah bagian-
bagian yang terpotong tadi dipres maka dilanjutkan ke proses produksi (penjahitan). Proses
penjahitan ini dilakukan per piece (bagian) sehingga untuk menjahit satu kemeja  terkadang bisa
mencapai 100 variasi proses penjahitan. Oleh karena iti produksi garmen dikenal dengan
proses piece to piece. Setelah dijahit maka dilanjutkan proses penyempurnaan/penyelesaian

9
akhir, seperti pemasangan kancing, label, pembersihan dan penyetrikaan dan kemudian
dilakukan pengepakan dan pengiriman ke konsumen.
Karakteristik pekerjaan di industri garmem umumnya adalah  proses material handling (angkat-
angkut), posisi kerja duduk dan berdiri, membutuhkan ketelitian cukup tinggi,  tingkat
pengulangan kerja tinggi pada satu jenis otot, berinteraksi dengan benda tajam seperti jarum,
gunting dan pisau potong, terjadi paparan panas di bagian pengepresan dan penyetrikaan dan
banyaknya debu-debu serat dan aroma khas kain, terpajan kebisingan, getaran, panas dari mesin
jahit dan lainnya. 
Kelompok studi WHO untuk Recommended Healthy Based Occupational Exposure Limits for
Selected Vegetable Dusts pada tahun 1983 di Geneva memutuskan ambang kadar debu respirabel
untuk berbagai jenis pengolahan kapas sebagai berikut:
a. Pemilahan 0,5 mg/m3
b. Pemintalan 0,2 mg/m3
c. Pertenunan 0,75 mg/m3
d. Kapas sisa, sementara 0,5 mg/m3( sampai ada ketentuan lebh lanjut)
e. Biji kapas, sementara 0,1 mg/m3 (sampai ada ketentuan lebih lanjut)

1. Peranan faktor individu


 Status kesehatan fisik: atopi/alergi, riwayat penyakit dalam keluarga, kebiasaan
olahraga.
 Status kesehatan mental
 Hygiene perorangan
Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita
lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami. Dimana seperti terdapat
kecenderungan yang lebih besar untuk terjadinya Bisinosis pada pekerja yang mempunyai
keluhan obstruksi akut maupun kronis. Faktor resiko menunjukkan bahwa pria cenderung
menderita Bisinosis 1,8 kali daripada wanita. Kemungkinan temuan ini erat kaitannya dengan
kebiasaan merokok, dimana perokok lebih dominan pada pria. 2

2. Faktor lain diluar pekerjaan

10
Dicari apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit, atau apakah penderita
mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Antaranya hobi,
kebiasaan merokok, pajanan di rumah, pekerjaan sambilan. Meskipun demikian, adanya
penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
Kebiasaan merokok mempunyai hubungan yang paling bermakna secara statistic terhadap
terjadinya Bisinosis. Hal ini berarti karyawan yang merokok mempunyai resiko untuk menderita
bisinosis 3,3 kali lebih besar disbanding dengan karyawan yang tidak merokok.

3. Diagnosis okupasi
Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya. Sesudah menerapkan ke
enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan berdasarkan informasi yang telah didapat
yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan
merupakan penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat
suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu menegakkan
diagnosis. Suatu pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa
melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit
tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila
penyakit telah ada atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi
pekerjaannya/pajanannya memperberat/mempercepat timbulnya penyakit. Dari uraian di atas
dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja diperlukan
pengetahuan yang spesifik, tersedianya berbagai informasi yang didapat baik dari pemeriksaan
klinis pasien, pemeriksaan lingkungan ditempat kerja (bila memungkinkan) dan data
epidemiologis. 3

II.2. PENATALAKSANAAN

11
II.2.1. Medikamentosa

1. Beta2-Agonis Long Acting 5


Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi kerja
panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta 2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor
beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan
konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos
saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler dan
dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma
segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon
saluran nafas akibat induksi histamin. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler,
tremor otot skeletal dan hipokalemi.

2. Sodium kromoglikat dan sodium nedokromil

Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti
belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh
IgE dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain
(makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat
menghambat reaksi asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan,
udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian jangka panjang menyebabkan penurunan nyata
dari jumlah eosinofil pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik.
Bisa digunakan jangka panjang setelah asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan
frekuensi eksaserbasi.
Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding
sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan
pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma
timbul.

12
3. Teofilin lepas lambat

Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma.
Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin
karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE
IV, yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek
antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera
setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin berpengaruh baik
terhadap inflamasi kronis pada asma.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas
lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena
mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal
yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ
yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling
sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek
kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.

4. Kortikosteroid
Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa
yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolism asam arakidonat, juga sintesa
leukotrien dam prostaglandin, mengurangi kerusakan mikrovskuler, menghambat produksi
dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan respon
reseptor beta pada otot polos saluran nafas.
Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki fungsi
paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala,mengurangi frekuensi dan
beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang

13
kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena dapat
menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi efek samping
sistemik.
Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding parenteral. Jika
kortikosteroid oral akan diberikan secara jangka panjang, harus diperhatikan mengenai efek
samping sistemiknya. Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah kortikosteroid
oral pilihan karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang relatif
pendek dan efek yang ringan terhadap otot bergaris. Pendapat lain menyatakan
kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita dengan penyakit akut, pasien yang tidak
tertangani dengan baik memakai bronkodilator dan pada pasien yang gejalanya menjadi
lebih jelek walaupun telah diberi pengobatan maintenance yang baik.
Global Initiative For Asthma (GINA) memberikan petunjuk pemakaian kortikosteroid
untuk pencegahan jangka panjang berdasarkan beratnya asma pada orang dewasa sebagai
berikut:
i. Asma dengan serangan intermitten (step 1) tidak memerlukan steroid preventif, bila
perlu dapat dipakai steroid oral jangka pendek.
ii. Asma persisten ringan (step 2) memerlukan inhalasi 200-400 mcg/hari beclometason
dipropionat, budesonid atau ekuivalennya.
iii. Asma persisten sedang (step 3) memerlukan inhalasi 800-2000 mcg/hari
iv. Asma persisten berat (step 4) memerlukan 800-2000 mcg/hari atau lebih.
Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis maksimal (800-1500 mcg/hari)
selama 1-2 minggu diperlukan untuk mengendalikan proses inflamasi secara cepat, dan
kemudian dosis diturunkan sampai dosis terendah (200-800 mcg/hari) yang masih dapat
mengendalikan penyakit.

Pencegahan

1. Melakukan pre-employment medical check up 6


- Penderita yang atopik idealnya dianjurkan menghindari tempat yang jelas tepat
mencetuskan serangan asma, seperti produksi sutra, deterjen, dan pekerjaan yang

14
mempunyai paparan garam platinum. Industri dan tempat kerja yang mempunyai
risiko tinggi menimbulkan serangan asma hendaklah tidak menerima pegawai yang
atopik.

2. Pengendalian kadar debu dalam lingkungan

i. Pencegahan Terhadap Sumbernya


- Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain :
Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu di ruang kerja dengan ‘Local
Exhauster’ atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.

ii. Pencegahan Terhadap Transmisi

- Memakai metode basah yaitu,penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet


Drilling).

- Dengan alat berupa Scrubber,Elektropresipitator,dan Ventilasi Umum.

iii. Pencegahan Terhadap Tenaga Kerja


Antara lain dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker, sarung
tangan.
Pemantauan medis agar bissinosis dan obstruksi saluran napas dapat ditemukan dan
dicegah sedini mungkin

3. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok mempunyai hubungan yang paling bermakna secara statistic
terhadap terjadinya bisinosis selain lama paparan. Hal ini berarti karyawan yang merokok
mempunyai resiko 3,3 kali lebih besar disbanding dengan karyawan tidak merokok.
Sebaiknya sewaktu pemeriksaan prakerja dilakukan ditanyakan riwayat merokok pada
calon karyawan. Karyawan yang diambil bekerja sebaiknya tidak mempunyai riwayat
merokok atau diharuskan berhenti merokok untuk menurunkan resiko menghidap
bisinosis.

15
Rehabilitasi

Pelayanan rehabilitasi sebagian besar target dalam membantu mengendalikan perkembangan


penyakit, mengurangi tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan penyakit, dan
menurunkan resiko kesehatan, meningkatkan kemandirian dalam perawatan diri dan integrasi
masyarakat, serta mempromosikan kerja yang sesuai dengan para pekerja.

Pembatasan kerja

Pembatasan kerja disini adalah berarti pembatasan terhadap pajanan debu di lingkungan kerja.
Karyawan sama ada ditukarkan bekerja di bagian yang kurang/tiada pajanan, atau mengurangi
jam kerjanya ditempat/ruang pajanan.

Pengelolaan

 Pemeriksaan Kesehatan (MCU)

Pemeriksaan tenaga kerja secara umumnya bertujuan untuk :

 Menilai kemampuan tenaga kerja melaksanakan pekerjaan tertentu, ditinjau dari segi
kesehatan.
 Mendeteksi gangguan kesehatan yang mungkin berkaitan dengan pekerjaan dan
lingkungan kerja.
 Mengidentifikasikan penyakit akibat kerja (PAK).

Pemeriksaan kesehatan dibagi kepada 3 bagian utama yaitu awal, berkala dan khusus :

i. Pemeriksaan kesehatan awal (sebelum kerja)


Dilakukan oleh dokter sebelum seorang tenaga kerja diterima untuk melakukan pekerjaan.
Tujuan :
 Tenaga kerja yang diterima sehat

16
 Tidak mempunyai penyakit menular
 Cocok untuk pekerjaan yang akan dilakukan

ii. Pemeriksaan kesehatan berkala (periodik)


Dilakukan oleh dokter pada waktu tertentu terhadap tenaga kerja.

Tujuan :

 Mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja


 Menilai kemungkinan pengaruh dari pekerjaan
 Untuk pengendalian lingkungan kerja
Bagi kasus bisinosis, antara pemeriksaan berkala yang dilakukan adalah :
 Setiap tenaga kerja baru diperiksa kapasitas vital ( KV ) dan Volume Ekspirasi Paksa
Detik Pertama (VEP 1) secara berulang selama 6 bulan pertama kerja.
 Pemeriksaan berkala kapasitas ventilasi dilakukan pada hari pertama kerja dan
dilakukan sebelum dan sesudah pajanan setidaknya selama 6 jam. Pemeriksaan
dilakukan pada berbagai interval bila ada penurunan kapasitas ventilasi.
Maksud pemeriksaan medis periodic ialah untuk mengetahui gejala bisinosis secara dini.
Sesudah satu tahun bekerja, karyawan diwawancarai dan diperiksa paru dan faalnya pada hari
Senin untuk menemukan gejala bisinosis dan efek akut. Tujuan lain pemeriksaan kesehatan
periodic adalah untuk menilai usaha pencegahan yang sudah dilakukan.

iii. Pemeriksaan kesehatan kerja khusus

Dilakukan secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu

Tujuan :

 Menilai adanya pengaruh dari pekerjaan tertentu


 Menilai terhadap tenaga kerja atau golongan tenaga kerja tertentu.

Pemeriksaan tenaga kerja ini meliputi pemeriksaan fisik, laboratorium (darah dan urin) rutin dan
pemeriksaan khusus lainya jika dianggap perlu. Setelah ditemukan diagnosis, PAK harus segera
dilaporkan. Dokter pemeriksaan kesehatan tenaga kerja harus segera membuat laporan kepada

17
perusahaan dan tembusannya kepada disnaker setempat. Selain itu, dokter pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja harus membuat laporan kegiatannya kepada disnaker setempat setiap
setahun sekali.

 Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatahan kerja turut diterapkan dalam mengatasi penyakit akibat kerja. Dengan
adanya pelayanan kesehatan, ini dapat memenuhi kebutuhan unik individu, kelompok dan
masyarakat di tatanan industri, pabrik, tempat kerja, tempak konstruksi, universitas dan lain-lain.

Tujuan utama pelayanan kesehatan adalah :

 Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri


 Melindung tenaga kerja terhadap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau
lingkungan kerja.
 Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dari kemampuan fisik tenaga
kerja.
 Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi.

Upaya pencegahan dapat dilakukan sebagai berikut :12


1. Primodial prevention
Pencegahan tingkat dasar dalam mencegah meningkatnya resiko terhapadap
penyakit tertentu. Hal yang dapat dilakukan adalah membuat kebijakan
seperti:
 UU No. 1 tahun 1970 tenang Keselamatan Kerja
 UU RI No.13 tentang Ketenagakerjaan
2. Primary Prevention
Pencegahan tingkat pertama dengan berusaha menjaga kesehatan individu agar
tidak jatuh sakit. Upaya dilakukan seperti
 Health promotion

18
 Kampanye kesadaran, promosi kesehatan dan pendidikan
Kesehatan mengenai PAK
 Pemasangan poster
 Specific Protectio
 Menggunakan APD
 Menghilangkan kebiasaan merokok
 Modifikasi tempat kerja
 Perbaikan ventilasi tempat kerja
 Diberlakukan Shift Kerja
3. Secondary Prevention
Upaya mecegah meluasnya kejadian penyakit agar tidak berkembang lebih lanjut,
upaya tersebut adalah :
 Pemeriksaan berkala
 Servailens epidemiologi
 Pengobatan
4. Tertiary Prevention
Pencegahan terhadapa penderita penyakit tertentu agar penyakit tidak bertambah
berat dan upaya rehabilitative sehingga pasien bisa Kembali hidup mandiri setelah
sembuh. Upaya seperti pemberian terapi oksigen, terapi nebulizer, dan Latihan
pernapasan.

 Pemeriksaan Lingkungan Kerja

Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising debu, zat-zat kimia dan lain-lain) dapat
merupakan beban tambahan terhadap pekerja. Beban-beban tambahan tersebut secara tersendiri
atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan atau penyakit akibat kerja.

Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya lingkungan kerja, 3 langkah utama
harus diambil, yakni :

i. Pengenalan lingkungan kerja

19
Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dengan cara melihat dan mengenal (“walk
through inspection”), dan ini merupakah langkah dasar yang pertama-tama dilakukan
dalam upaya kesehatan kerja.

ii. Evaluasi lingkungan kerja

Merupakan tahapan penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi bahaya yang


mungkin timbul, sehingga bisa untuk menentukan prioritas dalam mengatasi
permasalahan.

iii. Pengendalian lingkungan kerja

Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap


zat/bahan yang berbahaya dilingkungan kerja. Kedua tahapan sebelumnya, pengenalan
dan evaluasi, tidak dapat menjamin sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi, hanya
dapat dicapai dengan teknologi pengendalian yang adekuat untuk mencegah efek
kesehatan yang merugikan di kalangan pekerja.

 Pengendalian lingkungan (Environmental Control Measures)


- Disain dan tata letak yang adekuat
- Penghilangan atau pengurangan bahan berbahaya pada sumbernya
 Pengendalian perorangan (Personal Control Measures)
- Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk melindungi
pekerja dari bahaya kesehatan. Namun alat pelindung perorangan harus sesuai dan
adekuat.
- Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya
dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja.

20
EPIDEMIOLOGI

Prevalensi penyakit ini di Eropa pada tahun 1970 dan 1980 mencapai 47- 66%, United kingdom
(UK) 3%, Turki 14,2%.8,9 Kejadian di India tahun 2010 mencapai 11,7% dari 432 karyawan
pabrik kapas.10 Prevalensi bisinosis di Irak pada tahun 2015 sebesar 49,3% terjadi pada
kelompok umur 51- 65 tahun dan 49,2% pada kelompok dengan lama kerja > 30
tahun.Sedangkan di Indonesia, Sudan dan India mencapai 30-50%. Di Medan pada tahun 2015,
dari 47 orang pekerja pabrik, 35 orang diantaranya (74%) menderita bisinosis.11

PROGNOSIS

Prognosis bagi bisinosis adalah baik jika sumber pajanan penyakit ( debu kapas ) dapat
dihilangkan apabila seseorang terdiagnosis dengan penyakit ini. Jika sumber pajanan tidak
dihilangkan, penyakit akan berlanjut menjadi penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik. 7

KESIMPULAN

Untuk mencegah terjadinya obstruksi saluran napas pada karyawan yang terpapar dengan debu
kapas, semua karyawan yang melamar untuk bekerja di pabrik tekstil hendaknya menjalani
penyaringan khusus yang dimulai dengan wawancara terpimpin dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik, spirometri, foto paru dan tes kulit terhadap beberapa allergen inhalan umum.
Kepada karyawan yang baru diterima, hendaknya diberikan penyuluhan tentang kesehatan kerja,
bahaya pemaparan debu kapas dan gejala dini obstruksi saluran napas. Mereka dianjurkan segera
melaporkan diri kepada dokter perusahaan bila merasa dada tertekan, batuk dan sesak yang ada
hubungannya dengan lingkungan kerja. Karena rokok pada umumnya mempunyai hubungan
dengan gangguan saluran napas, semua karyawan yang terpapar dengan debu kapas dianjurkan
tidak atau menghentikan merokok. Instansi pemerintah diharapkan agar dapat mengawasi pabrik-
pabrik yan mengolah kapas dengan jalan mengukur kadar debu dalam lingkungan kerja,
memeriksa mesin, kualitas udara dalam pabrik, mengontrol pemakaian filter, respiratoir dan
masker dan bila perlu memperketat izin operasi pabrik.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwanto, Amin M.Hubungan antara paparan debu kapas dengan kelainan faal paru :
Penelitian pada pabrik pemintal X. J. Respir Indo, 1996 ; H 16:22-8.
2. Bisinosis dan hubungannya dengan obstruksi akut. Diunduh dari http://152.118.80.2/file?
file=digital/83630-Bisinosis%20dan-Full%20text%20(D%2062).p pada 14 Oktober
2021.
3. World Health Organization ( WHO ), Early detection of occupational diseases, 1986.
4. Faridawati R. Yunus F, Aditima TY, Mangunnegoro H, Mamdy Z. prevalensi penyakit
bronchitis kronik, emfisema dan asma kerja pada pekerja PT. Kkakatau Steel. J respire
Indo, 1997; 17 :52-8
5. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Kortikosteroid pada asma kronis. 2001. Diunduh
dari http://www.klikpdpi.com/modules.php?
name=Content&pa=showpage&pid=79&page=9 pada 14 Oktober 2021
6. Buchari : Manajemen Kesehatan Kerja dan Alat Pelindung Diri. USU Repository 2007.
Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1441/1/07002748.pdf.
pada 14 Oktober 2021.
7. Byssinosis. 2011 Diunduh dari: www.umm.edu/ency/article/001089trt.htm pada 14
Oktober 2021
8. Hinson, A., Schlunssen, V., Agodokpessi, G., Sigsgaards, T., Fayomi, B. The Prevalence
of byssinosis Among Cotton Workers in The Nort of Benin. The InternationalJournal of
Occupational and Environmental Medicine; 2014: 5, 448-194-200.
9. Farooque, M.I., Khan, B., Aziz, F., Moosa, M., Kumar, S., Mansuri, F.A. Byssinosis: As
Seen in Cotton Spinning Mill Workers of Karachi. Journal-Pakistan Medical Association;
2008: 58,95.
10. Ajeet, S., Aniruddha, D., Meenal, K. To Study The Prevalence of Byssinosis in Cotton
Mill Workers. Global Journal of Health Scienc;. 2010:2-111-6.
11. Syahputra, D.A., Amir, Z., Pandia, P. Hubungan Kadar Debu Kapas dengan Kejadian
Bisinosis pada Pekerja Pabrik X Pembuat Tilam di Kota Medan. J Respir Indo; 2015:
35(3): 135-143.
12. Salawati L. Bisinosi dan manajemen Resiko. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2019;1(3):1-7.

22
23

Anda mungkin juga menyukai