Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

“CRUSH INJURY OF CRURIS”

A. Anatomi dan Fisiologi Regio Cruris


Tulang tibia merupakan tulang besar dan utama pada
tungkai bawah. Tulang ini mempunyai kondilus besar tempat
berartikulasi. Pada sisi depan tulang hanya terbungkus kulit
dan periosteum yang sangat nyeri jika terbentur. Pada
pangkal proksimal berartikulasi dengan tulang femur pada
sendi lutut. Bagian distal berbentuk agak pipih untuk
berartikulasi dengan tulang tarsal. Pada tepi luar terdapat
perlekatan dengan tulang fibula. Pada ujung medial terdapat
maleolus medialis. Tulang fibula merupakan tulang panjang
dan kecil dengan kepala tumpul tulang fibula tidak
berartikulasi dengan tulang femur ( tidak ikut sendi lutut )
pada ujung distalnya terdapat maleolus lateralis.

1
Tulang tibia bersama-sama dengan otot-otot yang ada
di sekitarnya berfungsi menyangga seluruh tubuh dari paha
ke atas, mengatur pergerakan untuk menjaga keseimbangan
tubuh pada saat berdiri.
Dan beraktivitas lain disamping itu tulang tibia juga
merupakan tempat deposit mineral ( kalsium, fosfor dan
hematopoisis). Fungsi tulang adalah sebagai berikut, yaitu :
1) Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada
kerangka tubuh
2) Melindungi organ-organ tubuh ( contoh, tengkorak
melindungi otak )
3) Untuk pergerakan ( otot melekat kepada tulang untuk
berkontraksi dan bergerak.
4) Merupakan gudang untuk menyimpan mineral ( contoh,
kalsium)
5) Hematopoeisis ( tempat pembuatan sel darah merah
dalam sumsum tulang )
Vaskularisasi regio cruris oleh
a.Tibialis anterior dan posterior cabang
dari arteri besar poplitea. Dan vena
saphena magna
dan sapena parva serta vena poplitea
dengan cabang- cabangnya.
Persarafan di regio cruris oleh n.tibialis anterior dan n.
peroneus menginervasi otot extensor dan abductor serta n.
tibialis posterior n.poplitea menginervasi fleksor dan otot tricep
surae.

Gbr. N. Tibialis posterior


Struktur Otot Bagian posterior region crurys
superficial terdiri dari ; lapisan ; m.Gastrocnemius, tendon
dan muskulus plantaris, muskulus soleus, lapisan posterior
paling dalam muskulus flexor digitorum longus, bagian
lateral muskulus peroneus longus dan muskulus brevis,
bagian anterior lagi ; muskulus tibialis anterior, muskulus
extensor digitorum longus dan muskulus brevis. Dari masing-
masing otot memiliki tendon dibagian origo dan insertionya.
B. Crush Injury
1. Definisi
Crush Injury didefinsikan sebagai luka yang hancur pada
extremitas atau anggota badan lain yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan yang serius, meliputi; kulit dan
jaringan lunak dibawa kulit, kerusakan pembuluh darah,
persarafan, tendon, fascia , bone joint (lokasi penghubung
anatara tulang ), kerusakan tulang serta komponen
didalam tulang. Crush injury lebih sering mengenai
anggota gerak dibanding anggota tubuh yang lain.
2. Patofisiologi
Pada crush injury kerusakan lapisan kulit dan
subkutan dapat mempermudah masuknya kuman melalui
lokasi luka yang terbuka sehingga sangat penting pada
ada anamnesis dapat diketahui mengenai mekanisme
trauma dan lokasi kejadian, agar dapat mengetahui risiko
terjadinya infeksi.
Kerusakan pembuluh darah dapat disebabkan oleh
kekuatan crush injury yang mengakibatkan hilangnya
suplai darah ke otot. Biasanya otot dapat bertahan selama
4 jam tanpa aliran darah ( warm ischemia time) masuk
dalam sel otot, kemudian sel-sel otot akan mati.
Selanjutnya terjadi kebocoran membrane plasma sel otot
serta kerusakan pembuluh darah yang akan
mengakibatkan cairan intravaskuler akan terakumulasi ke
jaringan yang cedera. Hal ini dapat dapat menyebabkan
hipovelemia yang signifikan sehingga mengakibatkan
terjadi syok hipovolemik, serta kehilangan ion calcium
(Ca+) sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya
hipokalsemia.
Kerusakan saraf tibialis, dapat mengakibatkan
hilangnya reflek neurologis yang signfikan pada sebelah
distal regio cruris, sebab cabang n.Tibialis dapat
menginervasi regio pedis.
Jika tulang patah maka periosteum dan pembuluhh
darah pada kortek, sum-sum dan jaringan lunak
sekitarnya mengalami gangguan / kerusakan. Perdarahan
terjadi dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan
lunak (otot) yang ada disekitarnya. Hematoma terbentuk
pada kannal medullary antara ujung fraktur tulang dan
bagian bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini
menstimulasi respon inflamasi yang kuat yang dicirikan
oleh vasodilasi, eksudasi plasma dan lekosit , dan infiltrasi
oleh sel darah putih lainnya. Kerusakan pada periosteum
dan sum-sum tulang dapat mengakibatkan keluarnya
sumsum tulang terutama pada tulang panjang, sumsum
kuning yang keluar akibat fraktur masuk ke dalam
pembuluh darah dan mengikuti aliran darah sehingga
mengakibatkan terjadi emboli lemak (Fat emboly ).
Apabila emboli lemak ini sampai pada pembuluh darah
kecil, sempit, dimana diameter emboli lebih besar dari
pada diameter pembuluh darah maka akan terjadi
hambatan aliran-aliran darah yang mengakibatkan
perubahan perfusi jaringan. Emboli lemak dapat berakibat
fatal apabila mengenai organ-organ vital seperti otak,
jantung, dan paru-paru.
Kerusakan pada otot dan jaringan lunak juga dapat
menimbulkan nyeri yang hebat karena adanya spasme
otot. Sedangkan kerusakan pada tulang itu sendiri
mengakibatkan terjadinya perubahan ketidakseimbangan
dimana tulang dapat menekan persyarafan pada daerah
yang terkena fraktur sehingga dapat menimbulkan
penurunan fungsi syaraf, yang ditandai dengan
kesemutan, rasa baal dan kelemahan. Selain itu apabila
perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau
benturan akan lebih mudah terjadi proses penyembuhan
fraktur dapat dikembalikan sesuai dengan anatominya.
Biasanya jika penanganan awal tidak dilakukan
dengan baik, akan berkembang timbul tanda-tanda dari
crush syndrome yang mana akibat kerusakan sel-sel otot
sebagai akibat dari crush injury. Crush syndrome ditandai
dengan adanya gangguan sistemik.
3. Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda jelas berbeda tergantung dari
keparahan crush injury. Pada trauma yang ringan dapat
ditandai dengan adanya luka robek, nyeri terlokasir dan
ringan. Namun pada trauma crush injury yang berat
dapat terlihat kerusakan hebat dibawa kulit lokasi lesi,
dan sering dijumpai kerusakan hebat terhadap kulit,
jaringan lunak , fascia, saraf, pembuluhh darah, tulang
serta tendon dan organ lainnya. Beberapa tanda yang
mungkin dan sering timbul yaitu; klinis pada kulit
mungkin hampir sama dengan trauma bukan crush injury,
bengkak daerah trauma, paralisis ( jika mengenai
vertebra), parestesi , nyeri, pulsasi ujung distal dari lokasi
trauma mungkin ada atau tidak ada, mioglobinuri yang
mana warna urine menjadi merah gelap atau coklat.
4. Kelainan Metabolik
 Hipokalsemia sistemik; akibat kalsium masuk kedalam
sel otot melalui membrane yang bocor,
 Hiperkalemia ; kalium dilepaskan oleh sel otot iskemik
ke sirkulasi sistemik
 Asidosis metabolic ; akibat pelepasan asam laktat dari
sel otot iskemik ke sirkulasi sistemik
 Ketidakseimbangan Kalsium dan kalium menyebabkan
aritmia jantung memperburuk kondisi penderita (
cardiac arrest ) dan asidosis metabolic memperburuk
kondisi pasien.
5. Etiologi
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak
faktor antara lain ; tertindih oleh objek berat, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja pada Industri, kecelakaan
kerja lain yang menyebabkan luka hancur yang serius.
6. Penatalaksanaan.
Pada crush injury , perlu adanya penanganan yang
sergera, karena lebih dari 6-8 jam setelah kejadian, jika
tidak dapat ditangani dengan baik akan menyebabkan
kondisi pasien semakin memburuk dan terjadi banyak
komplikasi lain yang dapat memperberat kondisi pasien
dan penanganan selanjutnya menjadi semakain sulit.
Penanganan pada crush injury dapat dimulai dari
tempat kejadian yaitu dengan prinsip primary surface
( ABC) terutama mempertahankan atau mengurangi
perdarahan dengan cara bebat tekan sementara dilarikan
ke rumah sakit.
Penanganan di rumah sakit harus di awali dengan
prinsip ATLS. Pemberian oksigen (O2) guna mencegah
terjadinya hipoksia jaringan serta terutama organ-organ
vital. Kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi
cairan awal harus diarahkan untuk mengoreksi takikardia
atau hipotension dengan memperluas volume cairan tubuh
dengan cepat dengan menggunakan cairan NaCl
( isotonic) atau ringer laktat diguyur dan kemudian
dilanjutkan perlahan ± 1-1.5 L/jam ( Barbera&
Macintyre, 1996; Gonzalez, 2005; Gunal et Al., 2004;
Malinoski et Al., 2004; Stewart, 2005).
Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang
sesuai, anjuran terapi akhir–akhir ini berupa pemberian
cairan Intravena dan manitol untuk mempertahankan
diuresis minimal 300- 400 mL/jam, dalam hal ini penting
dipasang folley cateter guna menghitung balance cairan
masuk dan cairan keluar (Malinoski et Al., 2004). Volume
agresif ini dapat mencegah kematian yang cepat dan
dikenal sebagai penolong kematian, dimana dapat
memperbaiki perfusi jaringan yang iskemik sebagai akibat
crush injury.
Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan
Crush Syndrome. Ini akan mengembalikan asidosis yang
sudah ada sebelumnya yang sering timbul dan juga
sebagai salah satu langkah pertama dalam mengobati
hiperkalemia. Hal ini juga akan meningkatkan pH urin,
sehingga menurunkan jumlah mioglobin yang mengendap
di ginjal. Masukkan natrium bikarbonat intravena sampai
pH urine mencapai 6,5 untuk mencegah mioglobin dan
endapan sama urat di ginjal. Disarankan bahwa 50-100
mEq bikarbonat, tergantung pada tingkat keparahan.
Selain natrium bikarbonat, perawatan lain mungkin
diperlukan untuk memperbaiki hiperkalemia, tergantung
pada cedera yang mengancam , biasanya diberikan ;
Insulin dan glukosa.
Kalsium - intravena untuk disritmia.
Beta-2 agonists - albuterol, metaproterenol sulfat
(Alupent), dll
Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat
polystyrene (Kayexalate).
Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut

Pemberian Manitol intravena memiliki tindakan yang


menguntungkan beberapa korban crush syndrome guna
melindungi ginjal dari efek rhabdomyolisis, peningkatan
volume cairan ekstraselular, dan meningkatkan
kontraktilitas jantung. Selain itu, intravena manitol selama
40 menit berhasil mengobati sindrom kompartemen,
dengan menghilangkan gejala dan mengurangi bengkak
( edema).
Manitol dapat diberikan dalam dosis 1 gram / kg
atau ditambahkan ke cairan intravena pada pasien
sebagai infuse lanjutan. Dosis maksimum adalah 200
gm/d, dosis yang lebih tinggi dari ini dapat merusak fungsi
ginjal. Mannitol boleh diberikan hanya setelah aliran urin
baik yang dikoreksi dengan cairan IV lain sebelumnya.
Luka harus dibersihkan, debridemen, dan ditutup
dengan dressing sterile dengan kain kasa. Lokasi cedera
diangkat lebih tinggi dari posisi jantung akan membantu
untuk membatasi edema dan mempertahankan perfusi.
Antibiotik intravena sering digunakan guna mencegah
infeksi, obat-obatan untuk mengontrol rasa sakit
( analgetik) dapat diberikan yang sesuai. Torniket yang
kontroversial perlu jika perdarahan aktif , namun biasanya
jarang digunakan.
Amputasi di lapangan atau tempat kejadian
digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Ini mungkin
sesuai strategi penyelamatan untuk pasien yang hidupnya
berada dalam bahaya langsung dan yang tidak dapat
melepaskan diri dengan cara lain. Ini merupakan bidang
yang sulit dengan prosedur yang sangat meningkatkan
risiko infeksi dan perdarahan pada pasien. Amputasi
dirumah sakit harus dilakukan oleh dokter ahli yang
berkompeten berdasarkan keahlian.
Pada amputasi bawah lutut dapat dilakukan jika ada
kerusakan yang sulit untuk dipertahan lagi dan kerusakan
fungsi komponen yang terdapat pada daerah bawah lutut (
under of knee) yang melibatkan kerusakan kulit , soft
tissue, otot, vaskularisasi, persarafan, tendon, fascia serta
tulang. Sehingga amputasi pada daerah bawah lutut dapat
dilakukan dengan cara mempertahankan otot dan
komponen lainnya serta kondilus tulang paha, namun pada
kasus crush injury ( Regio cruris) yang kerusakannya
mencapai tulang patella, dapat dilakukan tindakan
amputasi daerah diatas lutut (Amputation above the
knee).Pastikan tindakan ini membantu pasien untuk
berlatih seketika setelah amputasi, supaya dapat
memperkuat: otot adductor sisa, mencegah prosthesis
gerakkan keluar ketika ia berjalan, dan otot extensors,
sebab kedua fungsi otot ini akan melebarkan pinggul
pasien dan prosthesis, yang mana untuk membentuk
lututnya dan juga harus belajar untuk menyeimbangkan
pinggulnya sebagai ganti otot yang diamputasi. Tujuan
operasi amputasi bawah lutut adalah untuk menghasilkan
sebuah alat gerak yang padat, berbentuk silindris, bebas
dari jaringan parut yang sensitif dengan tulang yang
cukup baik ditutupi oleh otot dan jaringan subkutan yang
sesuai dengan panjangnya. Ujung puntung sebaiknya
dilapisi oleh jaringan kulit, subkutan, fasia dan otot yang
sehat dan tidak melekat.
Dalam hal ini sangat penting pengetahuan yang
lebih mengenai anatomi dan fisiologi pada lokasi
amputasi. Oleh karena itu tindakan ini harus dilakukan
oleh ahli orthopedic.

Adapun indikasi yang sangat penting diketahui yaitu :


(1) Live saving (menyelamatkan jiwa), contoh trauma
disertai keadaan yang mengancam jiwa (perdarahan
dan infeksi). Sangat mengancam nyawa bila dibiarkan,
misalnya pada crush injury, sepsis yang berat, dan
adanya tumor ganas.
(2) Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi
ekstremitas secara maksimal), seperti pada kelainan
kongenital dan keganasan. Anggota gerak tidak
berfungsi sama sekali, sensibilitas anggota gerak
hilang sama sekali, adanya nyeri yang hebat,
malformasi hebat atau ostemielitis yang disertai
dengan kerusakan tulang hebat. Serta kematian
jaringan baik akibat diabetes melitus (DM), penyakit
vaskuler, setelah suatu trauma, dapat di indikasikan
amputasi.
7. Komplikasi
➢ Hypotensi
➢ Crush Syndrome
➢ Renal failure
➢ Compartmen Syndrome
➢ Cardiac Arres

8. Pathways

CRUSH

Kerusaka n saraf Kerusakan pembuluh Periosteu m pada

Reflek Suplai darah ke Terbentuk hematoma bag bawah

Distal region
Nekrotik sel

Nervus Menstimula si respon


Sumsum kuning masuk ke pembu
Kebocoran membran plasma sel

Inversi region
Inflam Emboli

Hambatan Cairan Pembul uh


Mobilitas fisik intravascula
r akan
Hipovole
Aliran
darah
Ion Syok
Ketidakefektifan perfusi jaringa
Defisit volume cairan
Hipokalse
12
9. Masalah Keperawatan
a. Defisit volume cairan b.d kehilangan cairan secara aktif
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan
aliran darah vena arteri
c. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan muskuloskeletal
patahnya jaringan tulang

10. Asuhan Keperawatan

Etiologi NOC NIC


Defisit  Fluid balance Fluid management
volume  Hydration  Timbang
cairan b/d  Nutritional Status : popok/pembalut
kehilangan Food and Fluid Intake jika diperlukan
Kriteria Hasil :  Pertahankan
cairan
 Mempertahankan catatan intake
secara aktif, urine output sesuai
kurangnya dan output yang
dengan usia dan BB,
akurat
intake BJ urine normal, HT
normal  Monitor status
cairan hidrasi
 Tekanan darah, nadi,
suhu tubuh dalam ( kelembaban
batas normal membran
 Tidak ada tanda mukosa, nadi
tanda dehidrasi, adekuat, tekanan
Elastisitas turgor darah ortostatik ),
kulit baik, membran jika diperlukan
mukosa lembab, tidak  Monitor vital sign
ada rasa haus yang  Monitor masukan
berlebihan makanan / cairan
dan hitung intake
kalori harian
 Lakukan terapi IV
 Monitor status
nutrisi
 Berikan cairan

13
 Berikan cairan IV
pada suhu
ruangan
 Dorong masukan
oral
 Berikan
penggantian
nesogatrik sesuai
output
 Dorong keluarga
untuk membantu
pasien makan
 Tawarkan snack
( jus buah, buah
segar )
 Kolaborasi dokter
jika tanda cairan
berlebih muncul
meburuk
 Atur
kemungkinan
tranfusi
 Persiapan untuk
tranfusi

Ketidakefek Circulation status Peripheral


tifan perfusi Tissue Prefusion : Sensation
jaringan cerebral Management
perifer b.d Kriteria Hasil : (Manajemen
penurunan mendemonstrasikan sensasi perifer)
aliran darah status sirkulasi yang  Monitor adanya
daerah tertentu
vena arteri ditandai dengan :
yang hanya peka
 Tekanan terhadap
systole panas/dingin/taja
dandiastole m/tumpul
dalam rentang
 Monitor adanya
yang diharapkan paretese
 Tidak  Instruksikan
ada keluarga untuk
ortostatikhiperte mengobservasi
nsi kulit jika ada lsi
 Tidk atau laserasi
ada tanda tanda  Gunakan sarun
peningkatan tangan untuk
tekanan proteksi
intrakranial  Batasi gerakan
(tidak lebih dari pada kepala,
15 mmHg) leher dan
mendemonstrasikan punggung
kemampuan kognitif yang  Monitor
ditandai dengan: kemampuan BAB
 Kolaborasi
 berkomunikasi pemberian
dengan jelas dan analgetik
sesuai dengan  Monitor adanya
kemampuan tromboplebitis
 menunjukkan Diskusikan
perhatian, menganai
konsentrasi dan
penyebab
orientasi
 memproses perubahan
informasi sensasi
 membuat
keputusan
dengan benar
menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran mambaik,
tidak ada gerakan
gerakan involunter

Hambatan Setelah diberikan asuhan Exercise therapy :


mobilitas keperawatan selama 3x24 ambulation
fisik b.d jam, klien dapat  Monitoring vital
gangguan melakukan aktivitas sign
sebelm/sesudah
muskuloske secara bertahap sesuai
latihan dan lihat
letal dengan batas respon pasien
patahnya kemampuannya dengan saat latihan
jaringan kriteria hasil :  Konsultasikan
tulang 1. Pasien menunjukan dengan terapi
peningkatan mobilitas fisik tentang
2. Pasien menggunakan rencana ambulasi
alat bantu dengan sesuai dengan
benar kebutuhan
3. Pasien dapat  Bantu klien untuk
mempertahankan menggunakan
kekuatan otot tongkat saat
4. Pasien dapat berjalan dan
mempertahankan cegah terhadap
fleksibilitas sendi cedera
Kekuatan kontraksi  Ajarkan pasien
otot meningkat atau tenaga
kesehatan lain
tentang teknik
ambulasi
 Kaji kemampuan
pasien dalam
 mobilisasi
Latih pasien
dalam
pemenuhan
kebutuhan ADLs
secara mandiri
sesuai
 kemampuan
Dampingi dan
Bantu pasien saat
mobilisasi dan
bantu penuhi
kebutuhan ADLs
 ps.
Berikan alat
Bantu jika klien
memerlukan.
 Ajarkan pasien
bagaimana
merubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN CRUSH INJURY OF CRURIS DENGAN MASALAH
HAMBATAN MOBILITAS FISIK

A. Pengertian
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk
bergerak dengan bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan
kesehatannya. Sedangkan gangguan mobilisasi fisik
(imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing
Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika
individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan
gerak fisik (Kim et al, 1995 dalam Fundamental Keperawatan
Potter dan Perry, Ed. 4, Vol. 2).Mobilisasi dan Imobilisasi
berada pada suatu rentang dengan banyak tingkatan
imobilisasi parsial di antaranya.Beberapa klien mengalami
kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang
mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada
kondisi mobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu
tidak terbatas (Perry dan Potter, 1994). Perubahan dalam
tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan instruksi
pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan
gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal (mis.
Gips atau traksi rangka), pembatasan gerakan volunter, atau
kehilangan fungsi motorik.

B. Jenis Mobilisasi dan Imobilisasi

1. Jenis Mobilisasi
a. Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang
untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga
dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan
peran sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan
fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat
mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilisasi sebagian, merupakan kemampuan
seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan
tidak mampu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik
pada tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus
cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi.
Pasien paraplegi dapat mengalami mobilisasi sebagian
pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol
motorik dan sensorik. Mobilisasi sebagian ini dibagi
menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mobilisasi sebagian temporer, merupakan
kemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya sementara. Dapat
disebabkan oleh trauma reversible pada sistem
musculoskeletal, contohnya adalah adanya
dislokasi sendi dan tulang.

2. Mobilisasi permanen, merupakan kemampuan


individu untuk bergerak dengan batasan yang
sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh
rusaknya sistem saraf yang ireversible, contohnya
terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi
karena cedera tulang belakang, poliomyelitis
karena terganggunya system saraf motorik dan
sensorik.

2. Jenis Imobilisasi
a. Imobilisasi fisik, merupakan pembatasan untuk
bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah
terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti
pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralisis
sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya
untuk mengurangi tekanan.
b. Imobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika
seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti
pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat
suatu penyakit.
c. Imobilisasi emosional, keadaan ktika seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena
adanya perubahan secara tiba-tiba dalam
menyesuaikan diri. Contohnya keadaan stress berat
dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika
seseorang mengalami kehilangan bagian anggota
tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
d. Imobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami
hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena
keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi
perannya dalam kehidupan sosial.

C. Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi


1. Gaya Hidup. Perubahan gaya hidup dapat
memengaruhi kemampuan mobilisasi seseorang
karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaan sehari-hari.
2. Proses Penyakit/Cedera. Proses penyakit dapat
memengaruhi kemampuan mobilisasi karena dapat
memengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh,
orang yang mengalami fraktur femur akan mengalami
keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bawah.
3. Kebudayaan. Kemampuan melakukan mobilisasi
dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Contohnya orang
yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki
kemampuan mobilisasi yang kuat; sebaliknya ada
orang yang mengalami gangguan mobilisasi (kaki)
karena adat dan kebudayaan tertentu dilarang untuk
beraktivitas.
4. Tingkat Energi. Energi adalah sumber untuk
melakukan mobilisasi. Agar seseorang dapat
melakukan mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi
yang cukup.
5. Usia dan Status Perkembangan. Terdapat
perbedaan kemampuan mobilisasi pada tingkat usia
yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau
kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia.
D. Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilisasi
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem
tubuh berisiko terjadi gangguan.Tingkat keparahan
dari gangguan tersebut tergantung dari umur klien,
dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta
tingkat imobilisasi yang dialami. Misalnya,
perkembangan pengaruh imobilisasi lansia
berpenyakit kronik lebih cepat dibandingkan klien
yang lebih muda (Perry dan Potter, 1994).

1. Perubahan Metabolisme
Secara umum imobilisasi dapat mengganggu
metabolisme secara normal, mengingat imobilisasi
dapat menyebabkan turunnya kecepatan
metabolisme di dalam tubuh. Hal tersebut dapat
dijumpai pada menurunnya basal metabolism rate
(BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi
untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat
memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan
metabolisme imobilisasi dapat mengakibatkan
proses anabolisme menurun dan katabolisme
meningkat. Keadaan ini juga dpat berisiko
meningkatkan gangguan metabolisme.

2. Ketidakseimbangan cairan dan Elektrolit


Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
sebagai dampak dari imobilisasi akan
mengakibatkan persediaan protein menurun dan
konsentrasi protein serum berkurang sehingga
dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Di
samping itu, berkurangnya perpindahan cairan
dari intravascular ke interstisial dapat
menyebabkan edema sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Ekskresi
kalsium dalam urine ditingkatkan melalui resorpsi
tulang. Imobilisasi menyebabkan pelepasan
kalsium ke dalam sirkulasi. Dalam keadaan normal
ginjal dapat mengekskresi kelebihan kalsium. Jika
ginjal tidak mampu berespon dengan tepat maka
terjadi hiperkalsemia (Holm, 1989 dalam
Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed.4,
Vol.2).

3. Gangguan Fungsi Gastriointestinal


Imobilisasi dapat menyebabkan gangguan fungsi
gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena
imobilisasi dapat menurunkan hasil makanan yang
dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang
cukup dapat menyebabkan keluhan, seperti perut
kembung, mual, dan nyeri lambung yang dapat
menyebabkan gangguan proses eliminasi.
Gangguan fungsi gastrointestinal bervariasi dan
mengakibatkan penurunan motilitas saluran
gastrointestinal. Konstipasi merupakan gejala
umum dari diare sering terjadi akibat impaksi
fekal. Perawat harus waspada terhadap temuan
penemuan seperti ini yaitu bukan diare yang
normal, tetapi lebih cairan feses yang berjalan
melalui area yang terjepit. Jika dibiarkan tidak
ditangani, impaksi fekal dapat mengakibatkan
obstruksi usus mekanik sebagian ataupun
keseluruhan yang menyumbat lumen usus,
menutup dorongan normal dari cairan dan udara.
Akibat adanya cairan dalam usus menimbulkan
distensi dan peningkatan tekanan intraluminal.
Selanjutnya, fungsi usus menjadi tertekan, terjadi
dehidrasi, terhentinya absorbsi, dan gangguan
cairan dan elektrolit semakin memburuk.

4. Perubahan Sistem Pernapasan


Akibat imobilisasi, kadar hemoglobin menurun,
ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot
yang dapat menyebabkan proses metabolisme
terganggu. Terjadinya penurunan kadar
hemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran
oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga
menyebabkan anemia.

5. Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular juga dipengaruhi oleh
imobilisasi. Ada tiga perubahan utama yaitu
hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja
jantung, dan pembentukan thrombus. Hipotensi
ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik
25 mmHg dan diastolik 10mmHg ketika klien
bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi
berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan
sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada
ekstremitas bawah, dan penurunan respon otonom.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan penurunan
aliran balik vena, diikuti oleh penurunan curah
jantung yang terlihat pada penurunan tekanan
darah (McCance and Huether, 1994 dalam
Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed. 4,
Vol.2). Jika beban kerja jantung meningkat maka
konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu
jantung bekerja lebih keras dan kurang efisien
selama masa istirahat yang lama. Jika imobilisasi
meningkat maka curah jantung menurun,
penurunan efisiensi jantung yang lebih lanjut dan
peningkatan beban kerja.Klien juga berisiko terjadi
pembentukan thrombus. Kelainan aliran darah
vena yang lambat akibat tirah baring dan
imobilisasi dapat menyebabkan akumulasi
trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah,
dan elemen sel-sel darah yang menempel pada
dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-
kadang menutup lumen pembuluh darah.

6. Perubahan Sistem Muskuloskeletal


Perubahan yang terjadi dalam sistem
musculoskeletal sebagai dampak dari imobilisasi
adalah sebagai berikut :

a. Pengaruh Otot. Akibat pemecahan protein


klien mengalami kehilangan massa tubuh, yang
membentuk sebagian otot. Oleh karena itu,
penurunan massa otot tidak mampu
mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan
kelelahan. Massa otot menurun akibat
metabolisme dan tidak digunakan. Jika
imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka
akan terjadi penurunan massa yang
berkelanjutan. Penurunan stabilitas terjadi
akibat kehilangan daya tahan, penururnan
massa otot, atrofi dan kelainan sendi yang
aktual. Sehingga klien tersebut tidak mampu
bergerak terus menerus dan sangat berisiko
untuk jatuh.
b. Pengaruh Skelet. Imobilisasi menyebabkan
dua perubahan terhadap skelet : gangguan
metabolisme kalsium dan kelainan sendi.
Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi
tulang, sehingga jaringan tulang menjadi
kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm,
1989 dalam Fundamental KeperawatanPerry
dan Potter Ed.4, Vol.2). Apabila osteoporosis
terjadi maka klien berisiko terjadi fraktur
patologis. Imobilisasi dan aktivitas yang tidak
menyangga tubuh meningkatkan kecepatan
resorpsi tulang. Resorpsi tulang juga
menyebabkan kalsium terlepas ke dalam darah,
sehingga mengakibatkan terjadi hiperkalsemia.
Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur
sendi dimana terjadi kondisi abnormal dan
biasanya permanen yang ditandai oleh sendi
fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak
digunakannya, atrofi, dan pemendekan serat
otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak
dapat mempertahankan rentang gerak dengan
penuh. Sayangnya kontraktur sering
menjadikan sendi pada posisi yang tidak
berfungsi (Lehmkuhl et al, 1990 dalam
Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed.
4, Vol. 2). Satu macam kontraktur umum dan
lemah yang terjadi adalah foot drop, dimana
kaki terfiksasi pada posisi plantarfleksi secara
permanen. Ambulasi sulit pada kaki dengan
posisi ini.

7. Perubahan Sistem Integumen


Perubahan sistem integument yang terjadi berupa
penurunan elastisitas kulit karena menurunnya
sirkulasi darah akibat imobilisasi dan terjadinya
iskemia serta nekrosis jaringan superficial dengan
adanya luka decubitus sebagai akibat tekanan kulit
yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.

8. Perubahan Eliminasi
Eliminasi urine klien berubah oleh adanya
imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urine mengalir
keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter
dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika
klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan
ureter membentuk garis datar seperti pesawat.
Ginjal yang membentuk urine harus masuk ke
dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi.
Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak
cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal
menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam
ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan
meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan
dan batu ginjal.Klien dengan imobilisasi berisiko
terjadi pembentukan batu karena gangguan
metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia.
Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut,
asupan cairan yang terbatas, dan penyebab lain
seperti demam, akan mengakibatkan resiko
dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun,
umunya urine yang diproduksi berkonsentrasi
tinggi.Urine yang pekat ini meningkatkan risiko
terjadi batu dan infeksi.Perawatan perineal yang
buruk setelah defekasi terutama pada wanita,
meningkatkan risiko kontaminasi saluran
perkemihan oleh bakteri Escherechia Coli.
Penyebab lain infeksi saluran perkemihan pada
klien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine
menetap.

9. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilisasi,
antara lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung,
cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus
tidur, dan menurunnya koping mekanisme.
Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan
dampak imobilisasi karena selama proses
imobilisasi seseorang akan mengalami perubahan
peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-lain.

E. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


I. Pengkajian
1. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan
pasien yang menyebabkan terjadi
keluhan/gangguan dalam mobilisasi dan
imobilisasi, seperti adanya nyeri, kelemahan otot,
kelelahan, tingkat mobilisasi dan imobilisasi,
daerah terganggunya mobilisasi dan imobilisasi,
dan lama terjadinya gangguan mobilisasi.

2. Riwayat Keperawatan Penyakit yang Pernah


Diderita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan mobilisasi, misalnya
adanya riwayat penyakit sistem neurologis
(kecelakaan cerebrovascular, trauma kepala,
peningkatan tekanan intracranial, miastenia gravis,
guillain barre, cedera medulla spinalis, dan lain-
lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular
(infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat
penyakit musculoskeletal (osteoporosis, fraktur,
artritis), riwayat penyakit sistem pernapasan
(penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan
lain-lain), riwayat pemakaian obat, seperti
sedative, hipnotik, depresan sistem saraf pusat,
laksania, dan lain-lain.

3. Kemampuan Fungsi Motorik


Pengkajian fungsi motorik antara lain pada tangan
kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri untuk menilai
ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan, atau
spastis.

4. Kemampuan Mobilisasi
Pengkajian kemampuan mobilisasi dengan tujuan
untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring,
duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa
bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas
adalah sebagai berikut :

Tingkat Kategori
Aktivitas/Mobilisasi
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri
secara penuh.
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.
Memerlukan bantuan atau
Tingkat 2
pengawasan orang lain.
Memerlukan bantuan,
Tingkat 3 pengawasan orang lain, dan
peralatan.
Sangat tergantung dan tidak
Tingkat 4 dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan.

5. Kemampuan Rentang Gerak

Pengkajian rentang gerak (range of motion-ROM)


dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan,
panggul dan kaki.

Derajat
Tipe Gerakan Rentang
Normal
Leher, Spina, Servikal
Fleksi : menggerakkkan dagu menempel ke 45
dada
Ekstensi : mengembalikan kepala ke posisi 45
tegak
Hiperekstensi : menekuk kepala ke belakang 10
sejauh mungkin
Fleksi Lateral : memiringkan kepala sejauh 40-45
mungkin ke arah setiap bahu
Rotasi : memutar kepala sejauh mungkin 180
dalam gerakan sirkuler
Bahu
Fleksi : menaikkan lengan dari posisi di 180
samping tubuh ke depan ke posisi di atas
kepala
Ekstensi : mengembalikan lengan ke posisi 180
semula
Abduksi : menaikkan lengan ke posisi 180
samping di atas kepala dengan telapak
tangan jauh dari kepala
Adduksi : menurunkan lengan ke samping 320
dan menyilang tubuh sejauh mungkin
Rotasi dalam : dengan siku fleksi, memutar 90
bahu dengan menggerakan lengan sampai
ibu jari menghadap ke dalam dan ke
belakang
Rotasi luar : dengan siku fleksi, 90
menggerakkan lengan sampai ibu jari ke atas
dan samping kepala
Lengan Bawah
Supinasi : memutar lengan bawah dan tangan 70-90
sehingga telapak tangan menghadap ke atas
Pronasi : memutar lengan bawah sehingga 70-90
telapak tangan menghadap ke bawah
Pergelangan Tangan
Fleksi : menggerakkan telapak tangan ke sisi 80-90
dalam lengan bawah
Ekstensi : menggerakkan jari-jari sehingga 80-90
jari-jari, tangan, dan lengan bawah berada
dalam arah yang sama
Abduksi (fleksi radial) : menekuk pergelangan Sampai 30
tangan miring (medial) ke ibu jari
Adduksi (fleksi luar) : menekuk pergelangan 30-50
tangan miring (lateral) ke arah lima jari
Jari-jari Tangan
Fleksi : membuat pergelangan 90
Ekstensi : meluruskan jari tangan 90
Hiperekstensi : menggerakkan jari-jari 30-60
tangan ke belakang sejauh mungkin
Ibu Jari
Fleksi : menggerakkan ibu jari menyilang 90
permukaan telapak tangan
Ekstensi : menggerakkan ibu jari lurus 90
menjauh dari tangan
Pinggul
Fleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan 90-120
atas
Ekstensi : menggerakkan kembali kesamping 90-120
tungkai yang lain
Lutut
Fleksi : menggerakkan tumit ke arah 120-130
belakang paha
Ekstensi : mengembalikan tungkai ke lantai 120-130
Mata Kaki
Dorsifleksi : menggerakkan kaki sehingga 20-30
jari-jari kaki menekuk ke atas
Plantarfleksi : menggerakkan kaki sehingga 45-50
jari-jari kaki menekuk kebawah

6. Perubahan Intoleransi Aktivitas

Pengkajian intoleransi aktifitas yang berhubungan


dengan perubahan pada sistem pernapasan, antara
lain : suara napas,analisa gas darah, gerakan
dinding thorak, adanya mucus, batuk yang
produktif diikuti panas, dan nyeri saat respirasi.
Pengkajian intoleransi aktivitas terhadap
perubahan sistem kardiovaskular, seperti nadi dan
tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer, adanya
thrombus, serta perubahan tanda vital setelah
melakukan aktivitas atau perubahan posisi.

7. Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi


Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan
kekuatan secara bilateral atau tidak. Derajat
kekuatan otot dapat ditentukan dengan :

Persentase
Skala Kekuatan Karakteristik
Normal
0 0 Paralisis sempurna.
Tidak ada gerakan, kontraksi
1 10
otot dapat di palpasi atau dilihat
Gerakan otot penuh melawan
2 25
gravitasi dengan topangan
Gerakan yang normal melawan
3 50
gravitasi
Gerakan penuh yang normal
4 75 melawan gravitasi dan melawan
tahanan minimal
Kekuatan normal, gerakan penuh
5 100 yang normal melawan gravitasi
dan tahanan penuh

II. Diagnosa Keperawatan

1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan


kerusakan musculoskeletal patahnya jaringan
tulang
III. Rencana Keperawatan

Dx Tujuan Intervensi Rasional


Hambata Setelah 1. Kaji pergerakan 1. Mengetahui
n diberikan atau aktivitas tingkat
mobilitas asuhan klien. kemandirian
2. Berikan latihan aktivitas klien
fisik keperawatan
ROM aktif dan 2. Melatih dan
berhubun selama 3x24 ROM pasif. menjaga massa
gan jam, klien dapat 3. Ukur kekuatan otot agar tidak
dengan melakukan otot klien. atrofi.
patahnya aktivitas secara 4. Ajarkan teknik 3. Mengetahui
jaringan bertahap sesuai berjalan khusus perkembangan
tulang dengan batas 5. Kolaborasi otot klien
dengan 4. Teknik berjalan
kemampuannya
fisioterapi dalam khusus dapat
dengan kriteria melatih pasien. mengimbangi
hasil : 6. Dorong klien gaya berjalan
5. Pasien agar aktif menyeret dan
menunjukan menjalankan kecenderungan
peningkatan aktivitas sehari- tubuh condong
mobilitas hari secara ke depan pada
6. Pasien mandiri sesuai klien
menggunakan kemampuan 5. Memberi terapi
alat bantu 7. Dorong fisik pada pasien
dengan benar melakukan untuk menjaga
7. Pasien dapat aktivitas dengan dan
mempertahank alat bantu meningkatkan
an kekuatan aktivitas
otot 6. Motivasi yang
8. Pasien dapat tinggi dari diri
mempertahank pasien dan
an fleksibilitas latihan yang
sendi sering dilakukan
9. Kekuatan akan
kontraksi otot mempercepat
meningkat perbaikan
mobilitas tubuh
7. Penggunaan alat
dapat membantu
dalam
menghindari
aktivitas yang
sedikit akibat
keterbatasan
mobilisasi

IV. Evaluasi
Evaluasi yang dihharapkan dari hasil tindakan
keperawatan untuk mengatasi masalah gangguan
mobilitas adalah sebagai berikut :

1. Peningkatan fungsi sistem tubuh


2. Peningkatan kekuatan dan ketahanan otot
3. Peningkatan fleksibilitas sendi
4. Peningkatan fungsi motorik, perasaan nyaman
pada pasien, dan ekspresi pasien menunjukkan
keceriaan.
Bagan

Mobilitas

Tidak Terbatas

Sehat Disebabkan faktor-faktor berhubungan pengobatan,karen


pembatasan yang seperti: terapi gera

kurang pengetahuan mengenai pembatasan gerak fi


sesuai dengan
75%
usia, sensori
kerusakan

Keterbatasan dalam pergerakan fisik pada bagian tubuh tertentu at

Tanda/gejala dengan karakteristik keterbatasan keterbatasan


sesuai
melakukan batasan
seperti :
ROM,33
kemampuan keterampilan
Hambatan Mobilitas

DAFTAR PUSTAKA

Rahimah, Ayu. 2013. Refarat Crush Injury.

https://id.scribd.com/doc/139686661/Crush-Injury. Diakses
tanggal 07 Oktober 2015.

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik,Ed.4. Vol.2. Jakarta : EGC.

34

Anda mungkin juga menyukai