Anda di halaman 1dari 6

Disiplin ilmiah, gaya jurnalistik

Meningkatnya jumlah perokok aktif di kalangan anak-anak dan remaja mengancam kualitas bonus demografi di Indonesia
pada 2020-2030. Lagoda Dmytro/Shutterstock.com

Riset terbaru: kerugian ekonomi di balik konsumsi


rokok di Indonesia hampir Rp600 triliun
Januari 4, 2018 4.13pm WIB

Soewarta Kosen
Policy Researcher, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Ministry of Health Indonesia

Tembakau adalah satu-satunya penyebab kematian yang dapat dicegah. Tapi longgarnya
regulasi pengendalian tembakau di Indonesia membuat jumlah perokok terus meroket
sehingga menempati urutan ketiga terbesar setelah Cina dan India.

Konsumsi rokok yang meningkat makin memperberat beban penyakit akibat rokok dan
bertambahnya angka kematian akibat rokok. Penyakit terkait rokok menyebabkan defisit
keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Riset kami menunjukkan kerugian makro ekonomi akibat konsumsi rokok di Indonesia pada
2015 mencapai hampir Rp600 triliun atau empat kali lipat lebih dari jumlah cukai rokok pada
tahun yang sama. Kerugian ini meningkat 63% dibanding kerugian dua tahun sebelumnya.
Konsumsi tembakau di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 30 tahun terakhir
disebabkan oleh beberapa faktor: tingginya angka pertumbuhan penduduk, harga rokok yang
relatif murah, pemasaran yang leluasa dan intensif oleh industri rokok, dan kurangnya
pengetahuan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan tembakau.

“Keberhasilan” bisnis rokok di negeri ini terlihat dari meningkatnya persentase jumlah
perokok di kalangan anak-anak dan remaja. Indikasinya, antara 1995 sampai 2013, perokok
berusia 10-14 tahun meningkat dari 0,5% menjadi 4,8% dan perokok berusia 15-19 tahun
meningkat dari 13,7% menjadi 37,3%. Prevalensi perokok aktif di perdesaan berjumlah dua
kali di perkotaan.

Ironisnya, belanja rumah tangga kelompok masyarakat miskin untuk rokok, menempati
urutan ketiga tertinggi setelah makanan siap saji dan beras, di atas pengeluaran untuk
kesehatan dan pendidikan.

Pendekatan biaya kesakitan

Sebagian besar studi tentang biaya merokok dan konsekuensi ekonomi dari penyakit dan
cedera akibat merokok mengadopsi pendekatan biaya kesakitan (cost-of-illness approach).
Konsekuensi ekonomi dari sakit terdiri dari (1) biaya yang ditimbulkan karena penyakit dan
biaya terkait lainnya dan (2) nilai kerugian produksi karena berkurangnya atau hilangnya
jam kerja.

Pendekatan ini tidak mencakup dampak terhadap kesejahteraan dan waktu senggang. Tidak
juga menangkap dampak dinamika jangka panjang penyakit terhadap perubahan dalam
komposisi demografi atau berkurangnya sumber daya karena investasi keuangan dan sumber
daya manusia. Karena itu, metode ini hanya mencakup perkiraan parsial dan statis dari total
dampak makro ekonomi penyakit.

Dampak ekonomi dari merokok menyebabkan dampak buruk terhadap masyarakat karena
kematian prematur, produktivitas yang hilang, dan beban keuangan yang ditanggung oleh
perokok dan keluarga mereka, penyedia jasa kesehatan, penyedia layanan asuransi, dan
perusahaan pemberi kerja.
Biaya ekonomi merokok terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung
meliputi barang atau jasa yang melibatkan transaksi moneter seperti biaya penggunaan
pelayanan kesehatan (perawatan di rumah dan rumah sakit, jasa dokter, dan obat penyakit
terkait dengan rokok) dan biaya terkait lainnya seperti biaya transportasi ke fasilitas
kesehatan, biaya penunggu penderita. Analisis biaya langsung dalam riset kami merujuk pada
Keputusan Menteri Kesehatan No. 59/2014 tentang Tarif Standar Asuransi Kesehatan Nasional.

Ada pun biaya tidak langsung dari merokok meliputi kehilangan sumber daya lain, seperti
waktu dan produktivitas yang hilang akibat sakit dan disabilitas, serta kematian prematur
karena penyakit terkait rokok. Orang yang sakit mungkin tidak bisa bekerja atau bahkan
tidak mampu melakukan kegiatan rumah tangga dan perawatan anak. Biaya morbiditas
diperkirakan dengan menentukan berapa yang mampu dihasilkan orang tersebut (dengan
pekerjaan berupah) dan juga memperkirakan nilai untuk produksi rumah tangga yang hilang.

Kemungkinkan perokok meninggal karena beberapa jenis penyakit yang terkait dengan
kebiasaan merokok akan meningkat. Nilai hilangnya nyawa dikenal sebagai biaya mortalitas.
Satu ukuran yang digunakan untuk mengikuti nilai kehidupan yang dibuat berdasarkan nilai
moneter kehidupan. Perhitungan bisa dilakukan menggunakan human capital approach, yang
menghargai nyawa berdasarkan apa yang dihasilkan oleh individu. Ada pula pendekatan
keinginan untuk membayar (willingness to pay approach), yang menghargai nyawa
berdasarkan apa yang mereka berani tanggung untuk menghindari penyakit atau kematian.

Pengukuran lain yang digunakan adalah nilai kerugian akibat kematian prematur dihitung
dengan menggunakan kehilangan tahun produktif, dengan memperhitungkan sisa usia
berdasarkan harapan hidup (years of potential life lost/YPLL). Disability Adjusted Life Years
(DALYs) Loss alias Tahun Produktif yang Hilang menggabungkan sakit dan atau disabilitas
karena merokok dan kematian prematur dalam satu pengukuran.

Tahun produktif yang hilang

Sebagai faktor risiko, tembakau bertanggung jawab atas lebih dari 30 penyakit, sebagian
besar penyakit tidak menular. Dalam studi ini, kami menggunakan pengukuran 33 penyakit
berdasarkan data WHO, mulai dari kanker, jantung koroner, tuberkulosis paru, hingga
radang sendi.
Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam tiga tahun terakhir
menunjukkan tingginya beban penyakit tidak menular yang terkait tembakau telah menguras
keuangan BPJS.

Meningkatnya jumlah perokok aktif di kalangan generasi muda akan membahayakan kualitas
generasi mendatang dan mempengaruhi kualitas bonus demografi yang diharapkan terjadi di
Indonesia.

Karena nikotin pada tembakau bersifat adiktif, belanja tembakau pada tingkat rumah tangga
mengalahkan semua prioritas belanja rumah tangga lainnya, termasuk keperluan makanan
bergizi dan pendidikan anak. Situasi ini dapat melanggengkan atau memperburuk tingkat
sosial-ekonomi keluarga miskin.

Melihat pentingnya tembakau sebagai salah satu risiko utama terhadap kesehatan,
pemantauan terhadap distribusi dan intensitas penggunaan tembakau menjadi penting
dalam mengidentifikasi prioritas intervensi dan mengevaluasi kemajuan upaya pengendalian
tembakau.

Implikasi kebijakan

Epidemi penggunaan tembakau menimbulkan penyakit terkait tembakau yang sebenarnya


dapat dicegah, mempengaruhi kesejahteraan sosial masyarakat warga miskin dan
memperburuk beban ekonomi makro negara.
Indonesia harus mempercepat upaya peningkatan status kesehatan masyarakat, termasuk
mengendalikan salah satu faktor risiko utama yakni penggunaan tembakau, sehingga dapat
menahan epidemi penyakit tidak menular. Sampai kini Indonesia adalah satu-satunya di Asia
Pasifik yang belum mengaksesi atau menyetujui WHO Framework Convention on Tobacco
Control (WHO FCTC).

Pada 2008, WHO memperkenalkan MPOWER (Monitor, Protect, Offer help, Warn, Enforce,
Raise taxes) sebagai sebuah paket berisi enam kebijakan pengendalian tembakau yang
penting dan efektif. Kebijakan MPOWER meliputi upaya menaikkan pajak dan harga rokok,
melarang iklan, promosi dan pemberian sponsor, melindungi masyarakat dari paparan asap
rokok, memberikan peringatan bergambar akan bahaya merokok, menawarkan bantuan
kepada mereka yang ingin berhenti merokok dan memantau kebijakan pencegahan dan
kejadian epidemi.

Komitmen pemerintah, masyarakat sipil, termasuk organisasi masyarakat dan sektor swasta
untuk melaksanakan kebijakan pengendalian tembakau sangat dibutuhkan untuk
menurunkan konsumsi tembakau, mengurangi beban ekonomi dan kesehatan akibat
penyakit terkait tembakau dan mencegah kematian dini.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa kita tidak dapat menghambat peningkatan prevalensi


perokok aktif, termasuk di kalangan kaum muda. Karena itu upaya-upaya pengendalian
tembakau yang efektif dan berkesinambungan harus dilakukan.

Estimasi kerugian makro ekonomi secara jelas menunjukkan bahwa dampak ekonomi karena
konsumsi tembakau cenderung merugikan upaya perbaikan kesehatan masyarakat dan
pembangunan secara keseluruhan. Situasi ini menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih
baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan pengendalian dan menahan
laju peningkatan penggunaan tembakau.

Kepemimpinan yang lebih kuat dan memihak pada kesehatan dibutuhkan baik di tingkat
pusat dan daerah untuk mendukung program pencegahan dampak negatif dari konsumsi
tembakau.

Lalu apa langkah yang mendesak?


Ada kebutuhan mendesak untuk melarang total iklan rokok di media massa, mencegah
inisiasi penggunaan tembakau oleh generasi muda dan populasi perempuan, memberikan
akses strategis layanan berhenti merokok, dan meningkatkan harga rokok dan rata-rata cukai
rokok hingga mencapai 57% (nilai maksimum menurut UU Cukai) dan menghilangkan nilai
batas atas cukai rokok. Menaikkan harga dan cukai yang tinggi adalah cara agar orang miskin
dan anak-anak tidak lagi membeli rokok.

Juga sangat mendesak memperluas dan memperkuat regulasi kawasan bebas asap rokok.
Dalam konteks riset, perlu meningkatkan investasi untuk penelitian dan pengembangan isu
tembakau dalam berbagai bidang dan untuk mendapatkan upaya pengendalian tembakau
yang lebih efektif dan efisien. Bila itu dilakukan bisa menurunkan konsumsi rokok di masa
depan dan mencegah naiknya angka kematian karena penyakit tidak menular yang muncul
dari konsumsi rokok.

Anda mungkin juga menyukai