Anda di halaman 1dari 6

SIKAP GURU TERHADAP PROGRAM INKLUSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI

SEKOLAH UMUM
Irgi Achmad Fajri1,Farhan Andrian, Muhammad Alif Baqir
2018465000311, 201846500012, 201846500043
Prodi DKV, FBS, Universitas Indraprasta PGRI
irgi.achmad91@gmail.com1, farhanandrian12111@gmail.com , alifbaqir07@gmail.com

ABSTRAK
Program pendidikan inklusif merupakan pendidikan umum yang ramah untuk anak berkebutuhan khusus
(ABK). Anak berkebutuhan khusus adalah segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan
sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial, atau gabungan dari
ciri-ciri itu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membahas tentang anak berkebutuhan khusus (ABK)
mengikuti proses pembelajaran bersama dengan anak tanpa kebutuhan khusus. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi literatur yang
digunakan sebagai sumber data dan referensi dalam pencarian regulasi tentang program pendidikan
inklusi. Pendidikan inklusi sendiri memiliki banyak prinsip seperti membuka kesempatan kepada semua
jenis siswa, menghindari semua aspek negatif labeling, dan selalu melakukan Check dan Balances.
Terlebih Pendidikan inklusif di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan dan
mendapat apresiasi serta antusiasme dari berbagai kalangan, terutama para praktisi Pendidikan. Tetapi
sejauh ini dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat berbagai isu dan permasalahan.
Kata kunci: Pendidikan, Inklusi, ABK

PENDAHULUAN
Program pendidikan inklusif merupakan pendidikan umum yang ramah anak berkebutuhan khusus
(ABK) dengan kata lain, program inklusi merupakan program yang mana anak berkebutuhan khusus
(ABK) mengikuti proses pembelajaran bersama-sama dengan anak tanpa kebutuhan khusus. Program ini
merujuk pada filosofi pendidikan yang mana kebutuhan semua anak dalam mendapatkan pendidikan,
tanpa ada perbedaan dalam segi fisik maupun psikis anak (Tarmansyah dalam wardani, 2020).
Menurut Permendiknas No. 70 Tahun 2009, pendidikan inklusif (PI) merupakan sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada seluruh siswa baik yang memiliki
kebutuhan, potensi dan kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pembelajaran di lingkungan
secara bersama- sama dengan siswa normal pada umumnya. Program tersebut bertujuan untuk
memberikan kebebasan yang luas dalam menghargai keberagamanan siswa, tidak membeda-bedakan
peserta didik yang memiliki kebutuhan istimewa baik secara fisik, emosional mental maupun kemampuan
beradaptasi dengan sosialnya.
Program tersebut mewajibkan anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan di sekolah dan
di kelas sesuai seperti anak-anak pada umumnya dalam proses belajar mengajar. Penyelenggaraan
pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana
prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta
didik. Untuk itu proses identifikasi dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan
atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program pendidikan yang sesuai dan objektif.
Guru merupakan garda terdepan yang menyukseskan program inklusi di sekolah. Sikap guru
dalam menyukseskan program tersebut diantaranya adalah dalam pendidikan inklusi, guru harus selalu
ramah dan terampil dalam mengembangkan potensi anak, baik anak yang berkebutuhan khusus maupun
anak normal. Keduanya tidak diperbolehkan untuk di beda-bedakan. Dalam menghadapi anak dengan
kebutuhan khusus, harus terampil mengatasi penanganan permasalaham anak dengan kebutuhan khusus,
oleh karena itu guru harus mencari referensi metode pembelajaran yang cocok dan metode penanganan
anak dengan kebutuhan khusus.
Hal ini sesuai dengan pendapat Taylor dan Ringlaben dalam Putri & Hamdan, 2021 bahwa
pendidikan inklusi merupakan tantangan baru bagi guru yaitu dalam hal melakukan perubahan yang
signifikan terhadap program pendidikan dan menyiapkan guru untuk menghadapi anak dengan kebutuhan
khusus maupun anak tidak dengan kebutuhan khusus. Guru yang memiliki sikap positif dapat
mengintruksi kurikulum dan memilih pendekatan yang khas untuk diterapkan kepada siswa dengan
kebutuhan khusus.
Damayanti, Dkk (2017) meneliti tentang kompetensi dan sikap guru dalam penyelenggaraan
program inklusi. Penelitian ini menunjukkan bahwa domain content mayoritas menunjukkan kompetensi
yang rendah. Penelitian lain oleh Fernandes (2017) mengatakan bahwa sekolah merespon dengan
menjalankan program pendidikan inklusif cenderung melakukan pemeriharaan sistem dan menjaganya
tetap dalam keseimbangan (equilibrium) dengan sistem lainnya. Dalam menjaga keseimbangan
(equilibrium) sekolah harus melakukan Adaptation (adaptasi) dengan lingkungan. Di kota Padang
pendidikan inklusi tetap saja dijalankan oleh sekolah dengan penyesuaian yang dilakukannya dengan
sumber daya yang dimilikinya.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan
data dengan studi literatur yang digunakan sebagai sumber maupun referensi dalam pencarian regulasi
tentang pendidikan inklusi sekaligus pembuatan artikel ilmiah tersebut. dalam penelitian ini, yang
dijadikan sebagai objek penelitian adalah sekolah-sekolah umum yang menerima anak berkebutuhan
khusus (ABK) untuk menyelenggarakan pendidikan Inklusi. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif yang bertujuan untuk melihat sikap dan kompetensi guru dalam
menyikapi pendidikan inklusif di sekolah-sekolah umum.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pendidikan inklusif adalah sekolah yang harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang
kondisi fisik, intelektual sosial, emosional, linguistik, atau kondisi lainnya. Anak” jalanan dan pekerja.
Anak berkebutuhan khusus ditujukan pada segerombolan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan
sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial. sehingga mereka
memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal.

No Evaluasi bagi anak ABK bersekolah diSDN Hal-Hal Yang Diperlukan Dalam
Penerapan Pendidikan
01 Masih ada sekolah yang secara formal belum berpredikat Kelas Reguler (kelas inklusi
sebagai sekolah inklusif, bahkan sampai sekarang belum penuh). Anak berkebutuhan
tersentuh proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang pendidikan khusus belajar bersama anak lain
inklusif. (normal) sepanjang hari dikelas
reguler dengan menggunakan
kurikulum yang sama.
02 Para guru belum memahami dan terampil melakukan proses Kelas Reguler dengan clusterk
pembelajaran di kelas inklusif yang terdapat ABK. berkelainan belajar bersama anak
normal
dikelas reguler dalam kelompok
khusus.
03 Para guru masih merasa sulit menyelaraskan antara standar Kelas reguler dengan pull out.
layanan persekolahan reguler yang selama ini berjalan dan Anak berkebutuhan khusus belajar
variasi kebutuhan belajar ABK. bersama
anak normal lain dikelas reguler
namun dalam waktu-waktu
tertentu ditarik
dari kelas reguler ke ruang sumber
untuk belajar dengan guru
pembimbing
khusus.
04 Para guru awalnya sempat khawatir akan menurunkan citra Kelas reguler dengan cluster dan
sekolah. pull out. Anak berkebutuhan
khusus
belajar dengan anak normal
lainnya dikelas reguler dalam
kelompok khusus,
dan dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler ke ruang
sumber
untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.
05 Para siswa normal belum sepenuhnya menerima ABK sebagai Kelas khusus dengan berbagai
teman belajar di kelasnya. macam pengintegrasian. Anak
berkebutuhan
khusus belajar didalam kelas
khusus pada sekolah reguler,
namun dalam
bidang-bidang tertentu dapat
belajar bersama anak lain (normal)
dikelas
reguler.
06 Adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara ada anak Kelas khusus penuh. Anak
normal yang tidak naik kelas. berkebutuhan khusus belajar
didalam kelas
khusus pada sekolah reguler,
dengan demikian pendidikan
inklusi tidak
mengharuskan semua anak
berkebutuhan khusus berada
dikelas reguler
setiap saat dengan semua
pelajarannya
07 Tidak ada guru khusus, tetapi ini justru tantangan untuk
menemukan metode baru (kreatif) melalui kebersamaan, saling
diskusi, saling berbagai.
08 Perubahan proses adaptasi pembelajaran dilakukan terus
menerus melalui kerja sama, saling memotivasi, saling
membantu, saling mendukung, dan belajar dari pengalaman.
09 Mengembangkan kerjasama antar guru dan orang tua murit,
meningkatkan jalinan komunikasi dengan orang tua.
10 Sekalipun diakui menambah beban tambahan, diterima sebagai
challange.
11 Sekolah belum mampu menyediakan program yang tepat, bagi
ABK dengan kondisi kecerdasan di bawah rata-rata
(tunagrahita).

12 Belum adanya sistem evaluasi hasil belajar (baik formatif dan


sumatif) yang tepat sesuai kebutuhan ABK karena kurangnya
sarana dan sumber belajar aksesabilitas untuk mengakomodasi
kebutuhan mobilitas dan belajar ABK.

13 Belum seluruh warga sekolah memiliki kesepahaman tentang


pendidikan inklusif dan layanan ABK.
14 Masih adanya anggapan keberadaan ABK akan mempengaruhi
ketuntasan hasil belajar akhir tahun, akibatnya ABK
dipindahkan di SLB menjelang ujian.

15 Layanan inklusif masih belum menyatu dalam sistem dan iklim


sekolah, sehingga ada dua label siswa ABK dan reguler.

v
Prinsip pendidikan inklusif  berkaitan dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak
Indonesia untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Ada
beberapa prinsip dasar pendidikan inklusif diantaranya
1. Pendidikan inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa.
Pendidikan inklusif mempresentasikan pihak yang termarginalkan dan terbelakang dari
lingkungannya. Representasi pendidikan inklusif bukan menolak diskriminasi dan ketidakadilan,
melainkan pula memperjuangkan hak asasi manusia yang terbelenggu oleh hegemoni penguasa.
2. Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling.
Prinsip dasar yang menjadi pendidikan inklusif adalah menghindari sesuatu yang berkaitan dengan
pelabelan. Ketika memberikan pelabelan kepada ABK, disitulah akan muncul stigma negatif yang
menyudutkan anak dengan keterbatasan atau kekurangannya.
3. Pendidikan inklusif selalu melakukan Check dan Balances.
Salah satu keuntungan dari kehadiran pendidikan inklusif adalah selalu
melakukan check. Kehadiran pendidikan inklusif bukan sekedar sebagai konsep percobaan yang
hanya muncul dalam wacana belaka, melainkan bisa menjadi konsep ideal yang berperan penting
dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis check dan balances.

Tantangan Implementasi Pendidikan Inklusif


Ada beberapa dilema yang perlu ditangani dengan kebijakan khusus yaitu:
1. Sistem penerimaan siswa baru, khususnya ditingkat pendidikan menengah dan atas yang
menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima jika
nilai UN tersebut bagus atau diatas rata”.
2. Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, bukan diukur dari
kemampuannya siswa, sesuai dengan keragaman.
3. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakamodasi keberadaan anak-anak
yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
Masih dipahaminya pendidikan inklusif secara dangkal, yaitu semata-mata memasukkan
anak disabled children ke sekolah regular, tanpa upaya mengakmodasi kebutuhan khususnya.
Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih,
terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah dan sebagainya. Padahal makna inklusif adalah
ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah,
bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
4. Munculnya label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun masyarakat yang
cenderung membentuk sikap ekslusivisme, seperti sekolah unggulan, sekolah berstandar nasional
(SNI), sekolah rintisan berstandar nasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas
akselerasi serta sekolah-sekolah yang berbasis agama.  Kondisi ini tentu dapat berdampak pada
sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua karena menerima anak berkebutuhan khusus dengan
sekolah special school.
5. Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusif
secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya maupun uji
coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental.

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak dengan
kebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat
dengan tempat tinggalnya. Tujuannya adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan
pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu
meningkatkan mutu pendidikan. Mereka memiliki hak yang sama dengan untuk memperoleh pendidikan
agar para anak berkebutuhan khusus mendapatkan kehidupan yang layak.

PENUTUP
Menilik banyaknya permasalahan di pendidikan inklusif tersebut menunjukkan masih perlunya
penataan lebih komprehensif. Uraian permasalahan di atas memberikan fakta bahwa pelaksanaan
pendidikan inklusif di Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan yang cukup
kompleks. Permasalahan yang muncul bukan hanya ditingkat sekolah saja tetapi ada juga di tingkat pusat.
Tidak semua guru dan kepala sekolah memahami dan mampu menerapkan pendidikan inklusif. Perlu ada
kesadaran yang mendalam tentang betapa pentingnya penyelanggaraan Pendidikan inklusif. Selain
komitmen, akar permasalahan pendidikan inklusif adalah rendahnya kemampuan praktisi dan pemerintah.
Praktisi kurang mampu menyelenggarakan pendidikan inklusif dan pemerintah kurang mampu dalam
memonitor pendidikan inklusif. Kegiatan melakukan monitoring dan evaluasi pendidikan inklusif
merupakan hal penting mengingat hasil monev dapat dijadikan rujukan dalam membuat langkah-langkah
strategis.
Sementara itu, kemampuan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat ditingkatkan
melalui studi banding dan program pelatihan. Misalnya studi banding ke beberapa negara yang telah
menyelenggarakan Pendidikan inklusif dengan baik. Setelah itu diimplementasikan di Indonesia dan
diadaptasikan dengan kondisi nyata di Indonesia. Dari hasil studi banding itu bermanfaat untuk
mendorong terjadinya perubahan-perubahan di sekolah inklusif seperti: (1) anak belajar aktif; (2) terjalin
kerjasama yang lebih erat dengan keluarga; (3) dipergunakan pendekatan seluruh sekolah dan dukungan
belajar antar teman sebaya; (4) dukungan dari administrator dan masyarakat setempat melalui
pembentukan komita; (5) pelatihan guru berbasis sekolah yang berkesinambungan; dan (6)
pengintegrasian anak ABK secara bertahap. Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan suatu sistem
layanan anak berkebutuhan khusus (ABK) bersatu dalam layanan pendidikan formal.
REFERENSI
Damayanti, T., Hamdan, S. R., & Khasanah, A. N. (2017). Kompetensi Guru dalam Proses Pembelajaran
Inklusi pada Guru SD Negeri Kota Bandung. SCHEMA, 79-88.
Fernandes, R. (2017). Adaptasi Sekolah Terhadap Kebijakan Pendidikan Inklusif. Socius, 119-125.
Putri, Y., & Hamdan, S. R. (2021). Sikap dan Kompetensi Guru Pada Pendidikan Inklusi di sekolah`.
Jurnal Pendidikan Inklusi , 146-160.
Achyar. (2018). Permasalahan Pendidikan Inklusif di Indonesia.
https://p4tktkplb.kemdikbud.go.id/permasalahan-pendidikan-inklusif-di-indonesia/
(Di akses pada 1 Januari 2022 pukul 09.25)
Ayu, R. (2017). Makalah Pendidikan Inklusif. https://rizaputriayu36.blogspot.com/2017/03/makalah-
pendidikan-inklusif.html (Di akses pada 29 Desember 2021 pukul 23.42)

Anda mungkin juga menyukai