Anda di halaman 1dari 27

Tinjauan Pustaka

Faktor Prognosis dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring


Oleh:
Eka Arie Yuliyani, I Gde Ardika Nuaba, I Made Sudipta

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
____________________________________________________________________
I. Pendahuluan

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu bentuk keganasan pada


daerah kepala dan leher dimana tumor ini berasal dari sel epitel mukosa atau kelenjar
yang terdapat pada nasofaring. KNF pertama kali dilaporkan oleh Regaud dan
Schmincke pada tahun 1921. Penyakit ini seringkali ditemukan pada orang dewasa,
namun jarang dijumpai pada anak dan remaja. Karsinoma nasofaring memiliki
karakteristik yang khas baik secara histologi, epidemiologi dan biologi, hal ini yang
akan menentukan gejala klinis dan pendekatan terapinya.1,2

KNF adalah penyakit keganasan yang dapat menyebabkan kematian, di


beberapa negara bagian Cina selatan sangat tinggi. Prevalensi KNF semakin
meningkat pada Negara bagian lain di Asia Tenggara. KNF di Indonesia menduduki
urutan ke empat sebagai penyakit keganasan yang paling sering terjadi setelah kanker
servik, kanker payudara dan kanker kulit. KNF paling sering ditemukan pada
keganasan kepala dan leher.2

Secara epidemiologi KNF merupakan keganasan yang sangat menarik oleh


karena penyebarannya berdasarkan geografi dan ras. Faktor genetik, sosial dan
lingkungan sebagai etiologinya. Angka kejadian KNF di beberapa negara dapat
sangat rendah dan bahkan menjadi suatu keganasan yang langka pada populasi
penduduk di Amerika, Jepang, Korea dan Eropa.2

KNF hingga saat ini masih merupakan suatu masalah. Hal ini disebabkan
karena gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga
diagnosis dini sering terlambat. Sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut

1
bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Kemoradiasi konkuren
menjadi terapi utama pada pasien dengan KNF oleh karena sifat tumor yang
sensitif terhadap radiasi dan kemoterapi. Akan tetapi, KNF masih memiliki angka
kekambuhan lokoregional dan metastasis jauh yang cukup banyak. Faktor
prognosis pada pasien KNF ini merupakan hal yang sangat penting dalam hal
optimalisasi rencana pengobatan sehingga dengan identifikasi terhadap
faktorfaktor tersebut dapat berperan dalam meningkatkan prognosis pasien dengan

KNF.2

Sehingga dengan alasan tersebut, penulis tertarik untuk membahas faktor


prognosis dan stadium klinis pada pasien KNF.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1.
Anatomi
Nasofaring merupakan celah sempit berbentuk tabung yang terletak di
bagian bawah dasar tengkorak pada bagianfossa nasalis posterior. Bagian
anteriornya berbatasan dengan nares posterior, dimana terletak di bagian
ujung posterior konka media dan inferior. Bagian atapnya cenderung
membentuk permukaan yang konkaf dan dibentuk oleh bagian posterior tulang
sphenoid, komponen basilar tulang occipital dan cabang anterior dari atlas. Otot
konstriktor faringeal superior dan fasia terletak di dinding posterior. Atap
nasofaring terdiri dari palatum yang lunak. Dinding lateral terdiri dari struktur
yang penting seperti tuba faringotimpanikum, yang terletak 10-12 mm di
belakang dan sedikit ke arah bawah

bagian posterior konka inferior.3

Dinding lateral terdiri dari dua lapis yaitu membran mukosa dan
aponeurosis faringeal. Kartilago tuba Eustachius melewati aponeurosis ini,
membuka hingga ke dalam fossa Rosenmuller. Bagian lateral hingga dinding
lateral, n. mandibular keluar dari foramen ovale masuk ke fossa infratemporal.
Posterior tuba Eustachius merupakan daerah retroparotid, dimana terdiri dari
nodus lifatikus faringeal, arteri karotis interna, vena jugularis interna,
glossofaringeal, vagus, spinal accesorius dan nervus hipoglosus sebagai nervus
simpatis. Mengerti dan memahami lokasi foramina yang melingkupi nasofaring
dapat memberikan klinisi gambaran tentang penyebaran
2
tumor berdasarkan pemeriksaan saraf kranialis.Enam foramina yang berbatasan

dengan dinding nasofaring yaitu, foramen laserum, foramen ovale, foramen

spongiosum,
carotid canal
, foramen jugular dan
hypoglossal canal
. Foramen laserum

dan foramen ovale dapat memberikan sedikit tahanan untuk penyebaran tumor ke

cranium dan foramen tersebut dekat dengan sinus kavernosus dan saraf kranialis II, III,

IV dan VI yang dapat menjelaskan kekerapan terjadinya kelumpuhan pada saraf cranial

3
tersebut pada diagnosis KNF.

4
Gambar 1.Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping

Aliran limfatik nasofaring salah satunya melewati secara langsung saluran

efferentke nodus limfatikus bagian dalam di segitiga posterior atau pertama kali

melewati dinding lateral faringeal ke retroparotid atau nodus limfatikus lateral faringeal

dan kemudian ke arah atas ke rantai jugular. Beberapa saluran dapat melewati secara
langsung ke rantai jugulodigastrikus. Saluran limfatik selalu menyebrangi bagian

3
tengah dan siap memberikan akses ke dua bagian leher.

3
2.2. Epidemiologi
KNF merupakan salah satu keganasan yang menyebabkan kematian terbanyak
pada sebagian populasi di Asia. Insiden KNF jarang ditemukan di Jepang, Eropa dan
Amerika Utara. Distribusi KNF memiliki kemajuan yang luar biasa berdasarkan geografis
dan ras dengan interaksi yang kompleks dengan faktor genetik, virus, lingkungan dan
makanan.2

Insiden KNF pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 84.400 kasus dengan angka
kematian 51.600 kasus, mewakili sekitar 0,7% beban kanker secara global. KNF dapat
merupakan suatu kenagasan yang langka pada beberapa negara bagian di dunia dengan
prevalensi kurang dari 1/100.000. Angka kejadian KNF di wilayah Cina selatan, tepatnya
di propinsi Guangdong memiliki prevalensi tertinggi di dunia sekitar 20 hingga 40 kasus
per 100.000 penduduk. Data terbaru juga mendapatkan adanya prevalensi yang tinggi
untuk KNF ini yaitu pada suku Bidayuh di Serawak, Malaysia sekitar 23,1/100.000
penduduk.2

Adham,dkk pada penelitiannya tahun 1995-2005 di RSUPN Dr. Cipto


Mangunkusumo, angka kejadian KNF lebih banyak dijumpai pada pasien dengan jenis
kelamin laki-laki yaitu sekitar 789 orang (70,4%) dari 1121 kasus dan rasio antara
lakilaki dan perempuan yaitu 2,4:1. Distribusi KNF berdasarkan usia dari beberapa
negara berkisar pada usia antara 4 hingga 91 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 50
hingga 60 tahun pada populasi Cina. Secara umum, KNF jarang terjadi pada usia dibawah
20 tahun, mengingat distribusi usia bimodal telah digambarkan di Afrika utara dengan
20% pasien berusia dibawah 30 tahun.2,5

2.3. Etiologi
Penyebab KNF masih belum diketahui secara pasti. Studi epidemiologi
menduga karsinoma nasofaring terkait dengan faktor lingkungan dan kerentanan genetik
serta infeksi, namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Di daerah
endemik, KNF merupakan penyakit yang komplek yang disebabkan oleh interaksi faktor
onkogenik akibat infeksi kronis virus EBV, faktor lingkungan dan
4
faktor genetik.2,6 Berikut adalah beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain:
1. Infeksi Virus Epstein barr (EBV)
Keterkaitan antara karsinoma nasofaring dan EBV untuk pertama kali telah
diketahui pada tahun 1966. EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring.
Sebagian besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV dapat memasuki sel-sel
epitel orofaring dengan jalur yang masih belum jelas, bersifat menetap dan tersembunyi.
EBV dapat ditransmisikan melalui saliva dan infeksi primer terjadi selama masa
anakanak dengan replikasi virus di sel-sel epitel orofaring diikuti dengan infeksi laten
pada limfosit B ( target primer EBV).2

Infeksi EBV pada permulaannya bersifat aktif kemudian virus tersebut menetap
dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala sampai virus tersebut aktif kembali oleh karena
kondisi tertentu seperti penurunan daya tahan tubuh. Pada pasien KNF ditemukan adanya
peningkatan antibodi IgG dan IgA yang dapat digunakan sebagai pedoman tes skrining

KNF pada kelompok risiko tinggi2,5.

2. Lingkungan
Konsumsi ikan asin sangat erat hubungannya dengan kejadian KNF, dimana
konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan dapat meningkatkan risiko KNF. Potensi
karsinogenik ikan asin ini didukung oleh penelitian dengan menggunakan hewan coba
dimana ditemukan bahwa proses pengawetan dengan garam dapat menimbulkan
akumulasi nitrosamine yang bersifat karsinogenik. Konsumsi ikan asin pada anak-anak
dari usia dini merupakan faktor risiko yang sangat substansial untuk terjadinya KNF, hal
ini telah dilaporkan melalui penelitian pada orang Cina di Malaysia5.

Merokok dapat meningkatkan kejadian KNF sebanyak 2 sampai 6 kali, oleh


karena kandungan nitrosamine yang terdapat dalam rokok.Sekitar 60% KNF tipe I
berhubungan dengan merokok, sedangkan tipe II dan tipe III tidak berhubungan. Perokok
berisiko untuk terkena KNF sebesar 30%-100% dibandingkan dengan bukan perokok.
Beberapa peneliti juga menemukan bahwa pajanan asap pembakaran kayu bakar dapat
meningkatkan resiko kejadian KNF. Sebanyak 93% dari penderita KNF

5
tinggal di rumah dengan ventilasi yang buruk dan terpapar oleh asap pembakaran kayu
bakar.2,7

Pajanan pekerjaan seperti debu kayu, debu katun, bahan kimia lainnya, pajanan
tempat kerja yang panas atau produk bakaran dapat meningkatkan kejadian KNF. Adanya
iritasi dan inflamasi kronik nasofaring, penghambatan transport mukosilier dan perubahan
sel epitel akibat paparan tersebut dapat pula memicu KNF.2

3. Genetik
Pada familial clustering biasanya terjadi pada karsinoma nasofaring tipe II dan III.
Kerabat pertama, kedua dan ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih berisiko untuk
terkena KNF.2

Genetik juga memegang peranan penting dalam risiko KNF, dimana human
leucocyte antigens (HLA), termasuk didalamnya HLA-A2, HLA-B46 dan HLA-B58
memiliki hubungan dengan kejadian KNF,5,8. Pada kasus familial yang jarang, pewarisan
perubahan genetik dapat menjadi penyebab utama dan infeksi EBV yang ke dua. Oleh
sebab itu kasus pewarisan genetik ini biasanya terjadi pada pasien KNF dengan usia
muda. Translokasi, amplifikasi dan delesi pada 3p,5p dan 3q menunjukkan suatu
kerusakan genetik yang sangat memungkinkan timbulnya suatu KNF pada seseorang.2

2.4. Patogenesis
Terdapat tiga kelompok utama gen pada regulasi pertumbuhan sel normal yaitu
protoonkogen, gen penekan tumor dan gen gatekeeper. Protoonkogen berperan dalam
stimulasi, regulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. Gen penekan tumor bekerja sebagai
penghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis. Gen gatekeeper memiliki
fungsi untuk mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada
genom dan memperbaikinya. Gen-gen ini dikenal sebagai gen antionkogen karena
berfungsi melakukan kontrol negatif atau menekan pertumbuhan sel. Adanya mutasi pada
gen-gen ini mengakibatkan terbukanya

peluang terbentuknya suatu kanker. Jika terjadi ketidakseimbangan dari ketiga gen-gen
tersebut akan mencetuskan suatu penyimpangan dari siklus sel.4
Pada umumnya proses keganasan dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu
pemendekan waktu siklus sel sehingga akan lebih banyak sel yang diproduksi dalam
satuan waktu dan penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan dalam proses
apoptosis. Jika proses ini terjadi dalam suatu sel yang dicetuskan oleh karena mutasi dari
ketiga gen tersebut, maka siklus sel tidak akan berjalan semestinya dan terjadi

pertumbuhan sel tidak terkendali dan proses karsinogenesis dimulai.4

Gambar 2. Skema patofisiologi terjadinya keganasan4

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa faktor risiko penyebab KNF bersifat
multifaktorial, akan tetapi virus Epstein Barr yang paling sering dikaitkan

7
dengan kejadian KNF disamping faktor-faktor predisposisi lainnya yaitu genetik,
nitrosamine yang terdapat pada ikan asin dan makanan yang diawetkan, paparan asap,
dan lain-lain. Infeksi yang disebabkan oleh EBV seringkali bersifat asimptomatis. EBV
masuk ke dalam tubuh dan dapat bersifat laten sehingga tidak menimbulkan gejala dalam
jangka waktu lama. Untuk mengaktifkan virus EBV diperlukan mediator tertentu seperti
kebiasaan konsumsi ikan asin dan paparan kondisi lingkungan tertentu
sehinggamenimbulkan KNF.2,6

2.5. Gejala Klinis


Pasien karsinoma nasofaring jarang datang dengan keluhan yang berarti
kecuali bila telah ada penyebaran ke kelenjar getah bening regional. Pembesaran dan
ekstensi tumor pada nasofaring dapat menimbulkan adanya keluhan seperti hidung
tersumbat, sekret pada hidung, perdarahan pada hidung, gangguan pendengaran biasanya
dihubungkan dengan adanya sumbatan pada tuba Eustachius seperti otitis media efusi dan
tinnitus. Kelumpuhan saraf kranial biasanya dihubungkan dengan adanya penyebaran
tumor ke dalam dasar tengkorak, seperti gejala pada mata berupa diplopia. Massa atau
benjolan di leher seringkali menjadi alasan pasien KNF melakukan pemeriksaan. Sekitar
60-90% pasien KNF memiliki metastasis kelenjar leher pada evaluasi menggunakan
modalitas pencitraan.2,5

Adanya keluhan berupa nyeri pada kepala dan keluhan lain yang berhubungan
dengan keterlibatan saraf intrakranial merupakan tanda bahwa KNF telah mencapai
stadium lanjut. Keterlibatan saraf kranialis yang paling sering adalah saraf V dan VI
dimana akan menimbulkan keluhan berupa baal pada wajah dan diplopia. Pada KNF
stadium lanjut dapat muncul keterlibatan saraf kranialis IX, X, XI dan XII. Dapat pula
ditemukan adanya keluhan berupa trismus yang terjadi akibat infiltrasi pada otot

pterygoid. Gejala lainnya yaitu disfagia dan proptosis.5

2.6. Diagnosis
Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat tentang
keluhan yang dirasakan oleh pasien, gejala klinis yang nampak pada pasien,
8
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Oleh karena nasofaring merupakan tempat
yang tersembunyi dan sulit dilihat, maka diperlukan teknik khusus untuk dapat melihat
kondisi nasofaring, yaitu dengan menggunakan alat endoskopi atau kaca laring apabila
fasilitas tersebut tidak tersedia.8

Pemeriksaan penunjang radiologis berupa computed tomography (CT) dan


magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk melihat adanya pertumbuhan
tumor yang bersifat lokal dan perluasan intrakranial. MRI lebih sensitif daripada CT
untuk mendeteksi tumor primer dan adanya metastasis ke kelenjar getah bening dan
perineural sehingga mejadi pilihan dalam mengevaluasi penyebab lokoregional. CT lebih
baik daripada MRI dalam hal mengidentifikasi adanya erosi tulang.8

Untuk menentukan diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan penunjang yaitu


histopatologi yang diperoleh dari hasil biopsi nasofaring. Biopsi nasofaring dikerjakan di
ruang tindakan dengan atau tanpa bantuan alat endoskopi, kemudian sampel hasil biopsi
tersebut di kirim ke laboratorium patologi anatomi guna dilakukan pemeriksaan
histopatologi di bawah mikroskop untuk melihat sel kanker. Biopsi merupakan gold
standard untuk menegakkan diagnosis KNF.5,8

Untuk penentuan stadium KNF digunakan American Joint Committee on Cancer


(AJCC) 2010/TNM edisi 7 seperti yang dijelaskan pada tabel berikut,

Tabel 1. Sistem klasifikasi TNM edisi 7/ AJCC 20105

Tumor

TX : Primary tumor cannot be assessed T0 :


No evidence of primary tumor
T1: Tumor confined to nasopharynx or tumor extends to oropharynx and or nasal cavity
without parapharyngeal extension
T2 : Tumor with paapharyngeal extension
T3 : Tumor involves bony structures of skull base and or paranasal sinuses
T4:Tumor with intracranial extension and or involvement of cranial nerves,
hypopharynx, orbit or with extension to infratemporal fossa/masyicator space

9
Nodal

NX : Regional lymph nodes cannot be assessed


N0 : No regional lymph nodes metastasis
N1 : Unilateral metastasis in cervical lymph node (s), 6 cm or less in greatest dimenson,
above the supraclavicula fossa, and/or unilateral bilateral, retropharyngeal lymph
nodes, 6 cm or less, in greatest dimension
N2 : Bilateral metastasis in cervical lymph node(s), 6 cm or less in greatest
dimension,above supraclavicular fossa
N3 : Metastasis in a lymph node (s) > 6 cm and or to supraclavicular fossa
N3a: More than 6 cm in dimension
N3b: Extension to the supraclavicular fossa

Metastasis

MX : Metastasis cannot be assessed


M0 : No evidence of metastasis present
M1: Distant metastasis present

Stage grouping

0 : TisN0M0
I : T1N0M0
II : T1N1M0, T2N0M0, T2N1M0
III : T1-2N0M0, T3N0-2M0
IVA: T4N0-2M0
IVB : AnyTN3M0
IVC : AnyTAnyNM1

2.7. Histopatologi
Klasifikasi histopatologi pada KNF menurut WHO ada tiga bentuk yaitu tipe I
karsinoma sel skuamosa, berkeratin dengan diferensiasi sedang-baik, terdapat jembatan
intersel, tipe II karsinoma tidak berkeratin, ditemukan sel matur hingga anaplastik dengan
keratin minimal, tipe III sel tidak berdiferensiasi (termasuk limfoepitelioma, anaplastik,
clear cell, dan varian sel spindel). WHO tipe I ini sekitar

10
25% dari semua KNF di Amerika Utara, tapi hanya 1% didaerah endemis. Gambaran
histopatologi WHO tipe III adalah yang paling sering ditemukan pada daerah dengan
prevalensi KNF yang tinggi. Negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia merupakan
daerah endemik KNF.2,5,8

Pada orang dewasa, gambaran histopatologi yang tersering adalah tipe I dan
dikaitkan dengan pajanan terhadap tembakau/rokok dan faktor lingkungan lainnya,
sedangkan pada anak lebih sering ditemukan tipe III, yang berhubungan dengan infeksi
EBV dan predisposisi genetik. Berbagai literatur juga menghubungkan gambaran tumor
tipe III ini dengan kombinasi antara infeksi EBV dan paparan diet yang mengandung

nitrosamin.2

Gambar 3.Klasifikasi histopatologi menurut WHO, (A).Keratinizing


Squamous Cell Carcinoma, (B). Non-Keratinizing carcinoma,

(C). Undifferentiated Carcinoma.5

2.8. Penatalaksanaan
Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi utama untuk KNF oleh karena sangat
radiosensitif.KNF stadium I-II dapat diterapi dengan menggunakan radioterapi saja,
sedangkan stadium III-IV dapat diberikan kemoterapi dan radioterapi. Untuk

11
radioterapi, sebagian besar pasien menjalani fraksi radioterapi konvensional dengan
energi tinggi 6-8 MV X-ray dengan percepatan linear. Terdapat empat teknologi
radioterapi yang dapat digunakan yaitu, (1).Radioterapi konvensional dua dimensi
(2DRT), (2).CT simulation treatment planning radiotherapy, (3). Radioterapi konformal
tiga dimensi (3D-CRT) dan (4).Intensity-modulated radiotherapy (IMRT). Akumulasi
dosis yang digunakan untuk tumor primer yang besar termasuk pembesaran kelenjar
getah bening di leher adalah sebesar 66-70 Gy dan daerah sekitar yang benjolan sebesar
50-60 Gy.9

Penatalaksanaan KNF dengan IMRT dinilai lebih baik dibandingkan dengan


teknik 2D-RT oleh karena IMRT merupakan teknik konformal radioterapi yang dapat
memberikan dosis yang cukup pada target tumor dan dosis yang rendah untuk daerah
disekitarnya dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pemilihan teknik radioterapi
ini ditentukan berdasarkan pada indikasi klinis dan modalitas yang dimiliki oleh
masingmasing institusi kesehatan.5,10

Kemoterapi
Kemoterapi diberikan pada pasien KNF stadium III-IV dan biasanya
dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan melalui beberapa cara
yaitu neoadjuvant, adjuvant dan concomitant kemoterapi. Kemoterapi neoadjuvant
diberikan sebelum tindakan definitif dan diberikan pada kanker stadium lanjut dengan
maksud mengecilkan volume kanker dan mengurangi mikrometastasis. Kemoterapi
neoadjuvant ini biasanya menggunakan cisplatin atau karboplatin ditambahkan docetaxel.
Adjuvant chemotherapy diberikan pada pasien KNF oleh karena ukuran tumor yang
terlampau besar atau respon terhadap radioterapi sangat rendah. Kemoradiasi yang diikuti
adjuvant kemotrapi dapat digunakan cisplatin + radioterapi diikuti cisplatin/5-FU atau
karboplatin/5-FU. Pasien KNF dengan ukuran tumor yang sangat besar dapat diberikan
pula concomitnant chemotherapy dengan cisplatin tiap minggu (40 mg/m2) selama
radioterapi dan dosis radioterapi yang diberikan > 64,5 Gy. Pada KNF non keratin
didapatkan komplit respon 70-90%.11,12

12
Operasi
Pilihan operasi pada KNF jarang dilakukan, hal ini disebabkan oleh karena
lokasinya yang rumit disertai letaknya yang sangat berdekatan dengan organ penting
sekitarnya hampir tidak memungkinkan untuk tepi sayatan bebas tumor. Tindakan
operatif dapat dilakukan teutama pada kasus yang rekuren lokal atau regional yang masih
dapat dieksisi dengan tepi sayatan bebas kanker. Adapun beberapa pendekatan operasinya
yaitu transnasal, palatal split, transpalatal flap, trascervico-mandibulo-palatal,
infratemporal, maxillary swing.12

2.9. Faktor yang mempengaruhi prognosis KNF


Prognosis pasien dengan kanker daerah kepala dan leher yang utama adalah
tergatung pada keagresifan tumor yang dikaitkan dengan karakteristik penjamu dan terapi
atau penatalaksanaan yang diberikan. Stadium klinis, keterlibatan kelenjar limfatik
regional dan tatalaksana serta adanya metastasis jauh merupakan faktor penting dalam
penentuan prognosis yang berkaitan dengan angka harapan hidup secara keseluruhan.10,13

Pada beberapa studi menggambarkan bahwa faktor yang terkait dengan


karakteristik pasien seperti usia, jenis kelamin dan ras merupakan faktor yang signifikan
dapat mempengaruhi prognosis pasien dengan kanker dan sangat berkaitan dengan
stadium klinis dan histologi. Distribusi pasien KNF di Indonesia berdasarkan usia yaitu
sekitar 40-49 tahun dan lebih dari 80% pasien telah terdiagnosis pada rentang usia 30 dan
59 tahun. Selain itu didapatkan pula data bahwa KNF pada usia kurang dari 30 tahun
sebesar 20% walaupun hal ini jarang terjadi. Pada beberapa penelitian menyebutkan
bahwa usia dapat mempengaruhi prognosis pada pasien KNF dimana pasien dengan usia
muda memiliki angka harapan hidup yang lebih baik. Beberapa studi juga menunjukkan
hal tersebut dikaitkan dengan kontrol lokal dan metastasis jauh. 11,13,14 Akan tetapi
penelitian yang dilakukan oleh Ma seperti yang dikutip Xiao,dkk melaporkan bahwa
pasien dengan usia muda (< 40 tahun) memiliki angka harapan hidup dan kontrol lokal
yang lebih baik dengan analisis multivariat.

13
Pada penelitian yang dilakukan di Washington University tahun 1980 dan 1991 untuk
pasien dengan squamous cell carcinoma kepala dan leher (HNSCC) yang pertama kali
diterapi menunjukkan bahwa prognosis pasien berusia < 40 tahun memiliki angka
harapan hidup yang lebih baik dibandingkan pasien berusia tua. Pasien dengan usia lebih
tua memiliki angka komorbiditas dan status kondisi pasien yang lebih rendah jika
dikaitkan dengan rendahnya toleransi terhadap intensitas terapi (kemoterapi dan
radioterapi) serta kondisi lain yang dapat meningkatkan angka kematian di luar faktor
keganasan itu sendiri.7,11

Penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan jenis kelamin dapat


mempengaruhi prognosis KNF telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan di Cina
menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien berjenis kelamin perempuan lebih
baik daripada laki-laki. Menurut Xiao pada beberapa penelitian yang pernah dilakukan,
pasien laki-laki memiliki prognosis yang lebih buruk daripada perempuan jika dilihat dari
beberapa faktor yaitu kontrol lokal dan metastasis jauh. Pasien KNF berjenis kelamin
laki-laki memiliki prevalensi metastasis jauh yang lebih tinggi daripada perempuan
sehingga angka harapan hidup menjadi rendah. Penelitian yang dilakukan di University of
Oslo di Norwegia pada pasien dengan HNSCC menunjukkan angka harapan hidup yang
lebih baik pada pasien berjenis kelamin perempuan.7,11

Ras merupakan faktor prognosis yang berdiri sendiri yang dapat mempengaruhi
prognosis pasien KNF. Penelitian yang dilakukan pada pasien HNSCC didapatkan data
bahwa angka harapan hidup pada orang ras kulit putih lebih baik dibandingkan ras kulit
hitam.Data di Indonesia menujukkan bahwa orang dari suku jawa memiliki prevalensi
lebih besar yang mendapatkan terapi KNF dibandingkan suku lainnya. Walaupun hal ini
diduga adanya suatu keterkaitan dengan kontrol genetik akan tetapi insiden yang terjadi
diantara suku di Indonesia tidak menunjukkan perbedaan.2,7

Kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok merupakan etiologi dan sekaligus


mempengaruhi faktor prognosis pasien KNF. Konsumsi akohol dan merokok dapat
menurunkan keefektifan terapi dan meningkatkan risiko terjadinya

14

pertumbuhan tumor yang semakin besar dan secara tidak langsung mempengaruhi angka
harapan hidup pasien. Menghentikan kebiasaan ini dapat meningkatkan prognosis
pasien.Selain itu status gizi pasien dengan kanker kepala dan leher sering mengalami
gangguan dimana terjadi penurunan pada status gizi yang disebabkan karena gangguan
secara anatomi yang menyebabkan suatu kondisi sehingga pasien menjadi sulit untuk
mendapatkan nutrisi yang baik.Seringkali pasien dengan pecandu alkohol dan merokok
didapatkan dengan penurunan status gizi. Malnutrisi dapat menyebabkan penurunan
fungsi immunologi, penyembuhan luka yang lambat dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Penanganan terhadap hal ini harus dapat dengan cepat dilakukan
karena menjadi faktor prognostik terhadap keberhasilan pengobatan.5,7

Anemia juga merupakan salah satu faktor yang mempengauhi prognosis pasien
dengan KNF. Kemoradioterapi merupakan terapi standar untuk metastasis lokoregional
pada KNF sesuai dengan National Comprehensive Cancer Network Guidelines. Akan
tetapi, hal tersebut dapat menyebabkan prevalensi pasien KNF dengan anemia menjadi
meningkat oleh karena efek mielosupresif. Anemia ringan hingga sedang kerapkali
didapatkan pada pasien KNF dengan terapi tersebut dan hal ini jarang diperhatikan oleh
para ahli onkologi. Penurunan kadar Hb pada pasien kanker telah dilaporkan dapat
menjadi faktor prognosis yang penting dalam penatalaksanaan radioterapi. Kadar Hb
yang rendah dapat menyebabkan terjadinya hipoksia tumor dan meningkatkan sel yang
hipoksik sehingga berpengaruh terhadap resistansi radioterapi dan prognosis yang
buruk.10,15

Klasifikasi Ho’s dari Hongkong, American Joint Committee on Cancer


(AJCC) dan beberapa klasifikasi lainnya merupakan sistem yang digunakan untuk
penentuan stadium klinis pada KNF. Masing-masing klasifikasi ini memiliki kriteria yang
berbeda untuk klasifikasi T dan N sehingga tahun 1987 digunakan dua klasifikasi utama
untuk stadium KNF yaitu AJCC dan UICC.5

Klasifikasi TNM tetap merupakan indikator prognosis yang kuat dengan dua
faktor prognosis yang berdiri sendiri yaitu ukuran tumor atau valume tumor (T) dan
pembesaran kelenjar getah bening (N). Klasifikasi T memiliki pengaruh pada kontrol

15
lokal dan volume serta diameter tumor merupakan dua indeks yang dapat
menggambarkan pembesaran tumor, sedangkan klasifikasi N signifikan dalam
memprediksi kontrol regional dan metastasis jauh. Pasien dengan N3 memiliki prognosis
yang buruk.10,14,15

KNF merupakan jenis tumor yang sangat infiltratif dengan kecenderungan


menyebar ke struktur jaringan lunak sekitar dan dasar tengkorak. Tanpa modalitas CT
Scan atau MRI volume tumor tidak dapat diukur dengan mudah secara klinis. Pada
beberapa penelitian volume tumor primer menjadi faktor prognosis yang lebih penting
dibandingkan klasifikasi T pada pasien KNF. Untuk pasien KNF stadium lanjut kita juga
mempertimbangkan volume tumor primer menjadi faktor prognosis yang penting dalam
hal keberhasilan terapi. Oleh Fletcher bahwa volume tumor dapat menjadi indikasi dari
jumlah klonogen tumor yang seharusnya hilang. Untuk kasus KNF yang memperoleh
kemoradiasi dimana ukuran tumor yang besar memiliki dampak yang bermakna terhadap
kontrol lokal karena peningkatan risiko jumlah klonogen serta tumor berukuran besar
cenderung mengandung area hipoksik sehingga resisten terhadap terapi radiasi.5,15,16,17

Menurut WHO, klasifikasi KNF secara histopatologi dibagi menjadi tiga yaitu
karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO tipe I) yang dikaitkan dengan infeksi EBV di
daerah endemis memiliki prognosis yang lebih buruk daripada karsinoma sel skuamosa
tidak berkeratin atau karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO tipe II atau WHO tipe III).
Pemeriksaan histopatologi lebih banyak digunakan untuk mengevaluasi adanya suatu
metastasis jauh.5,18

Biomarker tumor merupakan marker diagnostik dan prognostik pada pasien


kanker. Beberapa biomarker telah dilaporkan yang terkait dengan diagnosis dan
prognosis KNF. Salah satunya yaitu DNA EBV yang terdapat didalam plasma atau serum
pasien KNF yang dapat digunakan dalam hal deteksi dini, diagnosis dan menentukan
prognosisnya. Keberadaan EBV pada semua sel tumor membuat EBV menjadi suatu
target diagnostik untuk pasien KNF. Peningkatan secara menetap kadar DNA di dalam
plasma dikaitkan dengan ketidak berhasilan dalam eradikasi sel tumor dan hal ini
mengindikasikan suatu angka harapan hidup yang rendah pada pasien

16
KNF. Monitoring kadar plasma secara baik dapat mendeteksi adanya suatu metastase dan
rekurensi penyakit, dimana hal ini menujukkan penambahan jumlah sel tumor dapat
melepaskan DNA viral di dalam darah saat replikasi. Banyak studi menunjukkan kadar
antibodi anti-EBV yang lebih tinggi pada kasus KNF dibandingkan orang normal.2,5

Selain itu ada pula biomarker plasma yang lain yang dapat mempengaruhi
prognosis KNF. Transformasi sel normal menjadi sel kanker sering menyebabkan sintesis
enzim serum yang abnormal bahkan sebelum terjadi perubahan morfologi tumor.
Proliferasi tumor memiliki karakteristik metabolik yang unik termasuk perubahan pada
beberapa indikator di serum, seperti enzim, protein dan hormon. Untuk memproduksi
energi, sel kanker menggunakan jalur anaerob glikolisis yang menghasilkan transformasi
piruvat menjadi laktat.Peningkatan serum LDH sebelum penatalaksanaan telah dikaitkan
dengan angka harapan hidup yang rendah pada pasien KNF.Alkali phosphatase (ALP)
merupakan antigen yang berkaitan dengan tumor dan ditemukan peningkatan ALP pada
KNF dengan T3-4 yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi angka harapan hidup
pasien KNF. Peningkatan kadar ALP dikaitkan dengan infasif tumor lokal dan hal ini
dapat menjadi prediksi adanya suatu invasi ke tulang tengkorak pada pasien KNF dengan
T3-4.5,9

III. PEMBAHASAN
KNF merupakan karsinoma sel skuamosa nonlimfomatosa yang terjadi pada sel
epitelial di nasofaring. KNF memiliki karakteristik yang khas baik secara histologi,
epidemiologi dan biologi. Hal ini yang akan menentukan gejala klinis dan pendekatan
terapinya2. Angka kejadian KNF di wilayah Cina selatan, tepatnya di propinsi Guangdong
memiliki prevalensi tertinggi di dunia sekitar 20 hingga 40 kasus per 100.000 penduduk.
Data terbaru juga mendapatkan adanya prevalensi yang tinggi untuk KNF ini yaitu pada
suku Bidayuh di Serawak, Malaysia sekitar 23,1/100.000 penduduk. Ho melaporkan
bahwa KNF menempati urutan ke tiga keganasan pada pada laki-laki dengan insiden 50
kasus per 100.000 di propinsi Guangdong, Cina selatan.2,8

17

KNF merupakan penyakit yang komplek yang disebabkan oleh adanya interaksi
antara infeksi kronis dengan onkogenik gamma herpesvirus EBV dan faktor lingkungan
serta genetik termasuk proses karsinogenik multistep. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
berkaitan dengan keluhan utama pasien dan gejala klinis yang menyertai yang merupakan
tanda khas pada pasien KNF. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan endoskopi fiber
optik untuk melihat adanya massa tumor di fossa
Rosenmuller atau peninggian di atap nasofaring. Pemeriksaan penunjang radiologis
berupa computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat
digunakan untuk melihat adanya pertumbuhan tumor yang bersifat lokal dan perluasan
intrakranial. MRI lebih sensitif daripada CT untuk mendeteksi tumor primer dan adanya
metastasis ke kelenjar getah bening dan perineural sehingga menjadi pilihan dalam
mengevaluasi penyebaran lokoregional.8

Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan biopsi yang merupakan gold standard
untuk menegakkan diagnosis KNF. Untuk penentuan stadium KNF digunakan
American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010/TNM edisi 7. Klasifikasi
histopatologi pada KNF menurut WHO ada tiga bentuk yaitu tipe I karsinoma sel
skuamosa, berkeratin dengan diferensiasi sedang-baik, terdapat jembatan intersel, tipe II
karsinoma tidak berkeratin, ditemukan sel matur hingga anaplastik dengan keratin
minimal, tipe III sel tidak berdiferensiasi (termasuk limfoepitelioma, anaplastik, clear
cell, dan varian sel spindel).5,18

Untuk penatalaksanaan KNF dapat dilakukan dengan radioterapi, kemoterapi dan


operasi. Radioterapi merupakan terapi utama untuk KNF oleh karena sangat radiosensitif.
KNF stadium I-II dapat diterapi dengan menggunakan radioterapi saja, sedangkan
stadium III-IV dapat diberikan kemoterapi dan radioterapi. Penatalaksanaan KNF dengan
IMRT dinilai lebih baik dibandingkan dengan teknik 2D-RT. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Sheng Fa Su,dkk yang dikutip oleh Hamida menunjukkan bahwa
IMRT memberikan angka kesintasan hidup selama 5 tahun yang cukup baik pada pasien
KNF stadium dini yaitu desease-spesific

18
survival 97,3%, local recurrence-free survival 97,7% dan distant metstasis-free survival
97,8%.5
Kemoterapi diberikan pada pasien KNF stadium III-IV dan biasanya
dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan melalui beberapa cara
yaitu neoadjuvant, adjuvant dan concomitant kemoterapi. Pada stadium III-IV walaupun
pencapaian kontrol lokoregional tinggi, tapi risiko metastasis jauh masih sangat tinggi
sekitar 25% pada 5 tahun pertama. Pemberian neoadjuvant kemoterapi cisplatin dan 5 FU
didapatkan hasil pengecilan volume tumor > 50% dari 70% pasien. Kemoradiasi yang
diikuti adjuvant kemotrapi dapat digunakan cisplatin + radioterapi diikuti cisplatin/5-FU
atau karboplatin/5-FU. Pasien KNF dengan ukuran tumor yang sangat besar dapat
diberikan pula concomitnant chemotherapy dengan cisplatin tiap minggu (40 mg/m 2)
selama radioterapi dan dosis radioterapi yang diberikan > 64,5 Gy. Suatu studi
membandingkan antara konkomitan kemoterapi dengan radioterapi saja pada pasien KNF
stadium lokoregional lanjut diperoleh angka kesintasan hidup 5 tahun untuk yang
mendapat terapi radiasi saja sebesar 58,6% dan untuk yang mendapat konkomitan
kemoterapi sebesar 70,3%.5,11,12

Selain kemoterapi dan radiasi, operasi juga merupakan pilihan terapi pada pasien
dengan KNF. Pilihan operasi pada KNF jarang dilakukan, hal ini disebabkan oleh karena
lokasinya yang rumit disertai letaknya yang sangat berdekatan dengan organ penting
sekitarnya, hampir tidak memungkinkan untuk tepi sayatan bebas tumor.12

Prognosis KNF telah menjadi salah satu fokus penelitian yang sangat penting.
Stadium klinis, keterlibatan kelenjar limfatik regional dan tatalaksana serta adanya
metastasis jauh merupakan faktor penting dalam penentuan prognosis yang berkaitan
dengan angka harapan hidup secara keseluruhan. Pada beberapa studi menggambarkan
bahwa faktor yang terkait dengan karakteristik pasien seperti usia, jenis kelamin dan ras
merupakan faktor yang signifikan dapat mempengaruhi prognosis pasien dengan kanker
dan sangat berkaitan dengan stadium klinis dan histologi. Dalam perkembangannya yang
berhubungan dengan rekurensi atau tumor primer baru dengan angka harapan hidup 5
tahun, beberapa peneliti menunjukkan

19
bahwa pasien KNF usia muda (< 40) tahun memiliki angka harapan hidup yang lebih baik
secara statistik dibandingkan usia pertengahan (41-64) tahun dan usia tua (> 65) tahun
yaitu 66% vs 52% vs 37%.7,10,13

Penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan jenis kelamin dapat


mempengaruhi prognosis KNF telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan di
University of Oslo di Norwegia pada pasien dengan HNSCC menunjukkan angka
harapan hidup yang lebih baik pada pasien berjenis kelamin perempuan. Secara
keseluruhan angka harapan hidup sekitar 52,8% dan secara statistik signifikan dalam
hubungannya dengan jenis kelamin. Data di Indonesia menujukkan bahwa orang dari
suku jawa memiliki prevalensi lebih besar yang mendapatkan terapi KNF dibandingkan
suku lainnya yaitu 32% diikuti dengan suku sunda (19,2%), Cina (10,6%), batak (9,5%),
betawi (7,6%), lampung (2,9%), dan minangkabau (2,4%). Walaupun hal ini diduga
adanya suatu keterkaitan dengan kontrol genetik akan tetapi insiden yang terjadi diantara
suku di Indonesia tidak menunjukkan perbedaan.2,7,11

Kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok merupakan etiologi dan sekaligus


mempengaruhi faktor prognosis pasien KNF. Konsumsi alkohol dan merokok dapat
menurunkan keefektifan terapi dan meningkatkan risiko terjadinya pertumbuhan tumor
yang semakin besar dan secara tidak langsung mempengaruhi angka harapan hidup
pasien. Menghentikan kebiasaan ini dapat meningkatkan prognosis pasien. Pasien yang
mengalami penurunan 10% dari berat badannya dan memiliki kadar albumin < 3,2 mg/dl
atau total limfosit 1500 sel/ml termasuk dalam kondisi malnutrisi dan sangat
memungkinkan untuk mendapat suatu suplemen atau vitamin.7

Penurunan kadar Hb pada pasien kanker telah dilaporkan dapat menjadi faktor
prognosis yang penting dalam penatalaksanaan radioterapi. Kadar Hb yang rendah dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia tumor dan meningkatkan sel yang hipoksik sehingga
berpengaruh terhadap resistansi radioterapi dan prognosis yang buruk. Penurunan kadar
Hb dikaitkan dengan terapi konkomitan kemoradioterapi oleh karena toksisitas
mielosupresif dan mukositis pada traktus digestivus bagian atas yang berkaitan dengan
kurangnya nutrisi selama terapi.15

20
Selain faktor-faktor tersebut di atas, masih terdapat beberapa faktor lain yang
mempengaruhi prognosis pada pasien KNF yaitu volume tumor primer, stadium klinis,
histopatologi, biomarker tumor. Tumor dengan volume tumor primer >15 cm 3 memiliki
kontrol lokal yang lebih buruk akan tetapi angka harapan hidup 5 tahun tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna. Berdasarkan stadium klinis, semakin besar kategori T dan N
maka semakin rendah tingkat kontrol lokal dan regional. Menurut penelitian oleh Guo
Li,dkk dilakukan analisis hubungan antara peningkatan kadar LDH dan ALP terhadap
prognosis KNF. Peningkatan LDH didapatkan pada 44 kasus (8,3%) dengan angka
harapan hidup dan bebas metastasis jauh yang lebih buruk daripada kasus dengan kadar
LDH normal. Peningkatan ALP pada 41 kasus (7,7%) memiliki angka harapan hidup dan
bebas dari kekambuhan lokal yang lebih buruk daripada kadar ALP normal.9

IV. KESIMPULAN
KNF merupakan salah satu jenis keganasan pada daerah kepala dan leher dimana
tumor ini berasal dari sel epitel mukosa atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring. KNF
ini memiliki karakteristik yang unik dengan angka kejadian yang sangat tinggi di Asia
Tenggara. Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan pada anamnesis yang cermat meliputi
keluhan utama pasien dan gejala klinis yang menyertai, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan pasien KNF dapat dilakukan dengan
kemoterapi, radioterapi dan operatif. Akan tetapi radioterapi merupakan penatalaksanaan
yang utama pada KNF karena sifatnya yang radiosensitif. Faktor utama yang
mempengaruhi prognosis pasien dengan KNF yaitu meliputi keagresifan tumor yang
dikaitkan dengan karakteristik pejamu dan terapi atau penatalaksanaan yang diberikan.
Stadium klinis, keterlibatan kelenjar limfatik regional dan tatalaksana serta adanya
metastasis jauh merupakan faktor penting dalam penentuan prognosis yang berkaitan
dengan angka harapan hidup secara keseluruhan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. William I. Wei. Nasopharyngeal Cancer. In : Bailey Byron J, Johnson Jonas T,


Newlands Shawn D, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology.

Lippincott Williams & Wilkins, 4thEdition 2006 ; 7 : 117.

2. Adham M,dkk. Nasophayngeal carcinoma in Indonesia: Epodemiology, incidence,


signs, and symptoms at presentation. In : Chinese Journal of Cancer. 2012.p. 61-80
3. Ondrey FG, Simon K, K.Wright. Neoplasm of the Nasopharynx.In :
Ballanger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sixteenth Edition.
2003.p. 1392-1407
4.Maulana AS, dkk.Kasus Karsinoma Nasofaring di RSUD dr. Soebandi Jember Periode
2009-2010.2010; diunduh tanggal 8 Mei
2016.http://mylifeismypride.files.wordpress.com
5. Faisal HH. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring Dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Prognosis. Di Bagian Telinga Hidung Tenggorok Universitas
Indonesia.2014: diunduh tanggal 8 Mei 2016.http://www.rscm.quality-journey.com
6. Zeng MS &Yi Xin Zeng. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma.In
: Cancer Center of Sun Yat-sen University. Diunduh tanggal 8
Mei 2016, http://www.cancer.org
7.Piccirillo JF & Anna Vlahiotis. General Patient Factor. In: Prognosis In Head
And Neck Cancer. Rotterdam. 2000.p. 73-84
8. Tabuchi K, dkk. Early Detection of Nasofaringeal Carcinoma. In: International Journal
of Otolaryngology. 2011; diunduh tanggal 8 Mei 2016,http://www.researchgate.net
9. Li Guo, dkk. Increased Pretreatment levels of serum LDH and ALP as Poor Prognostic
Factors For Nasopharyngeal Carcinoma.In :Chinese Journal of Cancer.2012. Diunduh
tanggal 8 Mei 2016, http://www.cjcsysu.com

22

10.Wang W, dkk. Clinical Outcomes and Prognostic Factors of 695 Nasopharyngeal


Carcinoma Patients Treated with Intensity-Modulated Radiotherapy. In : BioMed
Research International. 2014. Diunduh tanggal
8 Mei 2016. http://www.dx.doi.org/10.1155/2014/814948
11. Xiao G, dkk. Influence of gender and age on the survival of patients with
nasopharyngeal carcinomaIn :BMC Cancer.2013. Diunduh tanggal 8 Mei
2016.http://www.biomedcentral.com
12. Kurnia HA. Kanker Nasofaring. In : Kanker Kepala Leher Dan Rekonstruksi.
Divisi Bedah onkologi/HNBSCT FKUI/RSCM Jakarta.2012.p.1-42 13.Kowalski LP
& Andre L. Carvalho.General Tumor Factor. In : Prognosis In
Head And Neck Cancer. Rotterdam. 2000.p.127-138
14.Raissouni S, dkk. Clinical prognostic factors in locally advanced nasopharyngeal
carcinoma in Moroccan population .Department Oncology Morocco. 2013. Diunduh
tanggal 8 Mei 2016. http://www.applications.emro.who.int
15. Liang Xue X, dkk.Significant Prognostic Impact of Chemoradiotherapy-Induced
Hemoglobin Decrease on Treatment Outcomes of Nasopharyngeal Carcinoma.In :
Journal of Cancer. South China. 2015. Diunduh tanggal 8 Mei
2016.http://www.jcancer.org
16.Chen Mu, dkk. Better Prediction of Prognosis for Patients with Nasopharyngeal
Carcinoma Using Primary Tumor Volume.American Cancer Society. 2004. Diunduh
tanggal 8 Mei 2016. http://www.interscience.wiley.com
17. Feng Mei, dkk. Tumor volume is an independent prognostic indicator of local control
in nasopharyngeal carcinoma patients treated with intensity-modulated radiotherapy.
In : BiMed Central. 2013. http://www.ro-journal.com
18. Velthusyen MLV, dkk. Histopathology. In : Prognosis In Head And Neck Cancer.
Rotterdam. 2000.p.139-153

23

Anda mungkin juga menyukai