Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan multikultur merupakan pendidikan yang didasari pada konsepsi

pemahaman perbedaan dalam kehidupan, konseptual tersebut membuat adanya

semangat dalam memahami budaya lain (Parekh, 2000: 227). Pendidikan

multikultur selalu menarik untuk dibahas terutama pada negara demokrasi yang

dinamikanya selalu berkembang. Menurut Raihani (2018:3) perkembangan

dinamika demokrasi tersebut tidak lepas dari identitas-identitas masyarakat yang

mempunyai karakteristik dan keunikan diwarnai dengan minoritas dan mayoritas.

Kaitan antara demokrasi, identitas, minoritas-mayoritas merupakan isu yang tidak

habis pembahasannya karena sebuah aspek dasar yaitu perbedaan.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem demokrasi yang

mempunyai banyak identitas dengan polarisasi perbedaan yang kuat. Oleh karena

itu Hoon (2006:149) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan rumah bagi lebih

dari 220 juta orang dari berbagai etnis, agama, ras, suku, daerah, bahasa yang

mempunyai ideologi Pancasila. Menariknya penggunaan kata rumah oleh Hoon

menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang begitu kuat identitasnya,

hal ini ditunjukkan bahwa setiap warga negara secara formal selalu menempatkan

agama, suku (daerah) kedalam tanda pengenal atau akta mereka. Pendidikan di

Indonesia secara umum belum secara lugas menyampaikan konsep pendidikan

multikultur sebagai kebijakan nasional, tetapi unsur-unsur multikultur sudah ada

dalam pendidikan di Indonesia (Hoon, 2013: 491).

1
Penelitian ini didasari pada keresahan orientasi religiusitas pada sekolah-

sekolah negeri dan masifnya sekolah swasta yang berbasis agama, seperti

kecenderungan eksklusifitas terhadap kelompok agama yang menutup diri terhadap

kelompok lain di masyarakat. Bukan sebuah phobia terhadap orientasi religiusitas

tetapi konteksnya adalah terciptanya monokultur yang dominan sehingga

membatasi ruang terhadap perbedaan dalam masyarakat. Didasari pada pernyataan

Raihani (2011:25) tren orientasi Islam seperti jilbabisasi (membuat jilbab menjadi

seragam sekolah) dan fasilitas ruang ibadah seperti masjid dan mushola di sekolah

merupakan sebuah tren yang berkembang di sekolah-sekolah Indonesia. Hefner

(2007:66) menyampaikan bahwa munculnya sekolah swasta yang terintegrasi dan

mencampurkan kurikulum Islam dan sekuler di lingkungan sekolah berbasis agama

Islam di ruang publik mengalami peningkatan. Kemudian pertanyaannya adalah

bagaimana toleransi dan multikultural dapat tertanam dalam pendidikan sekolah,

bagaimana membuka dialog agama Islam terhadap agama lain, dan bagaimana

mengajarkan keberagaman nya.

Kajian tersebut tidak terlepas dari adanya orde baru yang pengaruhnya masih

sangat dirasakan sampai sekarang, budaya yang mendominasi pada masa Soeharto

adalah budaya jawa dengan basis agama Islam. Parker (2014:460) menyatakan

bahwa masa Soeharto merupakan masa asimilasi budaya, sehingga perbedaan

ditekan untuk menciptakan stabilitas negara dengan membawa bendera penegakan

pancasila. Banyak penelitian menjelaskan pengaruh orde baru terhadap pendidikan

Indonesia seperti penelitian Hoon tentang “Assimilation, Multiculturalism, and

Hybridity: The Dilemmas of Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia.”

2
Era post-suharto menjadi tanda reformasi berbagai aspek yang substansial

dalam pencabutan kebijakan yang diskriminatif. Salah satu aspek yang dikritik oleh

Hoon (2006:152) pada saat era soeharto adalah adanya diskriminasi terhadap agama

dan budaya contohnya etnis Cina dimana mereka diwajibkan adanya dokumen

tambahan sebagai bukti kewarganegaraan selain itu adanya dikotomi antara pribumi

dan non pribumi, kasus dalam perspektif pendidikan dilarangnya bahasa mandarin

untuk dipelajarkan kepada masyarakat Indonesia. Hasilnya, sampai sekarang

masyarakat Indonesia masih mempunyai sentimen terhadap kaum minoritas Cina.

Permasalahan tersebut merupakan masalah kewarganegaraan yang timbul akibat

tidak adanya pemahaman multikultural pada masyarakat dimasa tersebut. Isu

kewarganegaraan pada era demokrasi setelah era post-suharto di Indonesia masih

mempunyai pekerjaan rumah, karena gesekan semakin kuat dan intens pada

masyarakat multikultural yang mempunyai keanekaragaman yang dapat

mengakibatkan konflik argumen, fisik maupun kelompok. (Zamroni, 2013: 97).

Berkaitan dengan pernyataan diatas isu kewarganegaraan pada masyarakat

Indonesia tidak terlepas dari kondisi latar belakang masyarakat Indonesia yang

terbagi dari pulau-pulau dari Miangas sampai Rote, dari Sabang sampai Merauke.

Total pulau yang terdaftar pada tahun 2016 adalah 16.056 pulau dengan bahasa

daerah terbanyak di dunia yaitu 652 bahasa daerah, ditambah dengan keberagaman

agama setidaknya terdapat enam agama yang diakui di Indonesia yaitu Hindu,

Budha, Islam, Konghucu, Katolik dan Kristen. Selain itu terdapat banyak adat

istiadat yang menyebar ke seluruh pelosok nusantara yang berbeda satu dengan

yang lainnya (Bempah, 2017:2).

3
Realitas kondisi masyarakat Indonesia yang plural dengan keberagaman yang

berdasarkan suku, etnis, agama, ras, gender, kondisi geografis, tradisi dan adat yang

berbeda mencerminkan potensi konflik yang mudah terjadi. Masyarakat Indonesia

memiliki tingkat sensitivitas terhadap keberagaman ditandai dengan sebagian

kelompok masyarakat Indonesia dengan mudahnya menyerang, memprovokasi dan

melakukan tindakan anarkis serta persekusi terhadap pihak yang tidak sejalan

terhadap pandangan politik maupun agama tertentu (Dike, 2018: 4). Kondisi sosial

masyarakat Indonesia tidak terlepas dari bagaimana pendidikan meredam potensi

konflik sebagai hasil dari manusia yang terdidik dan bisa berfikir.

Hubungan antara demokrasi dan pendidikan di jelaskan oleh Dewey

(1963:19) bahwa democracy has to be born a new in each generation and education

is it’s midwife, dengan pendidikan akan melahirkan generasi yang demokratis dan

terdidik. Praksis demokrasi terlihat dari kebijakan dan politik sekolah yang terdapat

di Indonesia bagaimana hegemoni semangat demokrasi dan dinamikanya

terimplementasikan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Bahkan kebijakan

dan bentuk sekolah sangat terpengaruh bagaimana pelaksanaan politik pada saat itu.

Zamroni (2013:8) menjelaskan bahwa demokrasi dan pendidikan merupakan proses

mengembangkan diri dengan dua basis yaitu keadilan (equality) dan kebebasan

(freedom). Pendidikan harus memiliki peran menjadi agent of change sehingga

dapat memposisikan demokrasi menjadi ideal, inti demokrasi dalam masyarakat

adalah menjunjung toleransi, menghargai, tolong-menolong, kesamaan hak dan

kewajiban, kebebasan berpendapat, dan diaplikasikan dalam pendidikan

(Setyowati, 2014: 5-6)

4
Tetapi pendidikan di Indonesia semakin lama semakin terpolarisasi dengan

politik identitas, identitas sekolah yang berlomba dalam mendapatkan label prestise

pada masyarakat. Gerakan sekolah yang berbasis agama yang semakin berkembang

pesat seperti yang di sampaikan Prastowo (2012: 34) bahwa lembaga pendidikan

yang berkembang pesat dalam basis agama tertentu berubah menjadi sekolah

alternatif pilihan favorit dan terkesan elite. Perkembangan sekolah menjadi

berkualitas baik mempunyai sisi progresif sebagai peningkatan mutu pendidikan,

tetapi mempunyai sisi regresif jangka panjang yaitu tidak adanya komunikasi yang

terbentuk dalam sisi pendidikan multikultural nya dikhawatirkan membentuk sikap

primordial.

Sejalan dengan pemikiran diatas Maimun (2010:10) menjelaskan bahwa tidak

menutup kemungkinan sekolah yang memiliki label prestisius terutama kuat bidang

basis agama tertentu memiliki dampak laten yang tidak bisa dinafikan. Pendapat

yang sama oleh Haryanto (2002:46) bahwa proses transformasi sosial pada pihak

yang kuat diuntungkan dan sebagian dirugikan, kualitas dan kategori pendidikan

menjadi diskriminasi baru dimana tidak ada sekolah yang dapat terbuka

menampung semua peserta didik pada masyarakat dengan dalih mempertahankan

identitasnya. Sekolah yang mempunyai orientasi menjadi center of excellent

memiliki motif tersendiri dalam mempersiapkan sumber daya manusia dengan

menggunakan peluang industrialisasi sekolah. Sekolah yang pada awalnya di

gunakan sebagai pengenalan terhadap lingkungan baru semakin lama menjadi ter

segmentasi, gap antar sekolah menjadi lebih luas dan bahkan sebagai bentuk upaya

legitimasi kedudukan sosial pada masyarakat.

5
Polarisasi sekolah prestisius, religius, sekuler, dan etnis tertentu merupakan

isu yang serius, yang dikhawatirkan akan berdampak pada kehidupan sosial

masyarakat Indonesia ke depannya. Merujuk pada sejarah demokrasi Indonesia, isu

tersebut merupakan implikasi dari perkembangan politik Indonesia terutama

pemerintahan orde baru Suharto dengan pemerintahan yang otoriter. Raihani (2014:

62) menjelaskan bahwa since the authoritarian regime in 1998, Indonesian

education has experienced dramatic changes. The Indonesian government should

have more explicit policies on multicultural education, considering that both

democracy and multiculturalism share some principles including social justice and

equality. Pernyataan ini menjelaskan bahwa Indonesia pada masa orde baru

memberikan efek dimana ketidak adanya keadilan sosial dan kesetaraan. Semua

masyarakat tahu pada masa orde baru warga negara Indonesia dari etnis Cina

mengalami asimilasi yang dipaksakan, dari nama Cina yang dilarang, kebudayaan

mereka yang dikebiri dan pemaksaan identitas.

Sejalan dengan pemikiran tersebut Hoon (2013:491) menjelaskan bahwa era

post-Suharto adalah masa dimulainya keterbukaan demokrasi dan multikultural

dimana sebelumnya perbedaan ditekan dan sekarang bebas mengekspresikan dalam

bentuk reformasi. Masalah tersebut sebagai bentuk intoleransi yang berkembang

pada masa sebelumnya, sekarang ini masyarakat Indonesia masih terbawa produk

orde baru yang masih melekat pada masyarakat. Bahkan masalah intoleransi terjadi

di sekolah pun masih terjadi padahal sekolah dianggap sebagai alat yang tepat

melawan diskriminasi rasial dan intoleransi (Parker, 2014:496).

6
Mempertegas pernyataan sebelumnya bahwa efek orde baru sampai sekarang

ini dan berefek pada sekolah yang secara tidak sengaja mengajarkan intoleransi.

Hal ini didasarkan survei dari PPIM UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta tahun 2018

tentang keberagaman pada guru di Indonesia, survei ini dilaksanakan pada bulan

Agustus sampai September 2018 dengan sampel 2237 guru di seluruh Indonesia,

dimulai dari guru TK sampai guru tingkat SMA. Secara metodologi variabel

utamanya adalah level intoleransi dan radikalisme guru serta faktor-faktor dominan

yang mempengaruhi. Penelitian ini memiliki tingkat Margin of error 2,07% dan

tingkat kepercayaan 95%. Hasil dari penelitian menyampaikan bahwa guru di

Indonesia dari TK hingga SMA memiliki opini intoleran dan opini radikal yang

tinggi. Secara persentasenya 50% guru memiliki opini intoleran dan 46,09% guru

di Indonesia memiliki opini radikal.

Masalah intoleransi sangat berbahaya ditambah pelaku intoleransi adalah

praktisi pendidikan yang seharusnya mengajarkan sikap-sikap toleransi. Padahal

pandangan global menganggap Indonesia adalah negara yang mempunyai toleransi

yang tinggi dan dapat menekan adanya konflik di latarbelakang oleh kondisi sosial,

ekonomi, geografi, kultural yang berbeda beda. Zamroni (2013: 97) menyatakan

bahwa keanekaragaman mempunyai dinamika yang dapat menyebabkan gesekan

dalam masyarakat di semua aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi,

politik, dan kultural. Masalah tersebut merupakan akar masalah kewarganegaraan

di Indonesia yang tidak demokratis, hal ini perlu disadari oleh semua elemen yang

terlibat dalam dunia pendidikan, karena dunia pendidikan adalah dunia pembentuk

kepribadian anak untuk bekal masa depan mereka.

7
Oleh karena itu perlu adanya politik pendidikan multikultural yang

diimplementasikan di sekolah, sebagai salah satu bentuk upaya pendidikan.

Pendidikan merupakan fondasi masyarakat dalam proses sosialisasi untuk

membentuk sikap dan tata kelakuan, sehingga menjadikan pendidikan sebagai

proses untuk menyatukan dirinya pada pengalaman sosial dengan segala dinamika

perubahannya. Pengembangan individu dipahami sebagai perkembangan kreatif

kehidupan sosial karena dimensi sosial adalah pokok utama yang muncul pertama

diikuti dengan perkembangan individu sebagai bayangan dari adanya hubungan

sosial (O’Brien, 2010:2).

Politik pendidikan multikultural sebagai salah satu alternatif membangun

masyarakat yang tidak diskriminatif. Wihardit (2017:96-105) menyatakan bahwa

pendidikan multikultural adalah condite cine quanon dimana keragaman sekarang

menjadi asas pembeda dan berakibat pada konflik horizontal, konflik bukan lagi

masalah ekonomi tetapi sudah pada arah ideologi. Dan menurut Fay (1996:2) acuan

terbentuknya masyarakat Indonesia adalah multikulturalisme yang mengakui

adanya perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun kebudayaan.

Bentuk memanusiakan manusia sebagai proses pendidikan agar individu dapat bisa

menjalankan perannya di dalam masyarakat nantinya. Rousseau (1962:114)

menjelaskan tujuan pendidikan sebagai berikut, education should aim to perfect the

individual in all powers, the education is not to make soldier, magistrate, or priest

but to make a man. Artinya bahwa sekolah mempunyai tujuan untuk tidak

membedakan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia, menjadikan

peserta didik memahami kodrati kehidupan manusia yang berbeda.

8
Namun pendidikan multikultur di Indonesia belum menjadi kebijakan

substantif masih berupa wacana narasi yang dilaksanakan pada sub terkecil

sehingga dampak dan efeknya juga masih dalam skala kecil. Suparlan (2002:99)

mengatakan bahwa multikulturalisme bukanlah wacana melainkan ideologi yang

diperjuangkan sebagai landasan demokrasi, HAM dan kesejahteraan masyarakat.

Multikulturalisme adalah ideologi yang tidak terpisahkan dengan ideologi lainnya,

sehingga konsep yang relevan seperti demokrasi, keadilan, hukum, nilai budaya,

dan HAM dan di Indonesia diimplementasikan dalam ideologi Pancasila yang

memiliki Bhineka Tunggal Ika.

Tetapi harus ditegaskan bahwa pelaksanaan pendidikan multikultur bukan

hanya masalah diskriminasi dan keberagaman, karena pendidikan multikultur

merupakan langkah politis bukan hanya sebagai upaya anti diskriminasi tetapi

mempunyai ruang baru untuk eksistensi sebuah sekolah yang kadang tujuan

utamanya berbeda dengan pokok multikulturalisme. Beberapa sekolah yang

menerapkan pendidikan multikultural di Indonesia adalah SMA BOPKRI 2

Yogyakarta dan SMA Tumbuh Yogyakarta, sekolah tersebut secara tegas

mendeklarasikan diri sebagai sekolah yang berwawasan pendidikan multikultural

dengan brand Sekolah Multikultural Indonesia dan sekolah inklusif yang termasuk

dalam kajian pendidikan multikultur. Brand Sekolah Multikultural Indonesia

banyak di iklankan oleh SMA BOPKRI 2 Yogyakarta melalui baliho yang ada di

Jalan Ring road Utara dan Jalan Raya Solo di Daerah Istimewa Yogyakarta selain

itu juga di iklankan melalui website mereka. Hal ini menandakan bahwa SMA

BOPKRI 2 Yogyakarta mempunyai tujuan tertentu yang perlu dikaji lebih dalam

9
kenapa melaksanakan sekolah multikultural yang bukan hanya untuk mengiklankan

sekolah multikultur Indonesia, sementara SMA Tumbuh Yogyakarta dengan label

sekolah multikultural berbasis inklusif yang mempunyai segmentasi yang khusus

dalam masyarakat, tetapi mengapa harus ada sekolah tumbuh? Hal tersebut adalah

isu yang menarik untuk diteliti mengapa sekolah tersebut mengimplementasikan

pendidikan multikultural dalam perspektif politik pendidikan dan apa latar

belakangnya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasikan pelbagai

masalah sebagai berikut:

1. Intervensi aspek non-pendidikan yang mengkerdilkan tujuan imparsial

pendidikan sehingga kaum minoritas seperti etnis Cina yang aksesnya

terbatasi, islamisasi sekolah-sekolah negeri, dan terdapat gap pendidikan

prestisius dengan sekolah pinggiran yang jauh.

2. Permasalahan demokrasi pada era orde baru membuat penyeragaman pada

kondisi sosial masyarakat, seperti identitas nama Cina yang dilarang,

kebudayaan dominan jawa islam yang masif, dan anggapan bahwa perbedaan

adalah ancaman Pancasila era orde baru.

3. Polarisasi pendidikan pada masa reformasi semakin kuat setelah efek dari

orde baru, dimana politik identitas kembali dalam bentuk pendidikan seperti

adanya sekolah elite prestisius, sekolah berbasis agama tertentu, dan sekolah

dengan etnis tertentu.

10
4. Intoleransi sebagai bentuk belum matang nya proses pendidikan yang

multikultural seperti masih adanya prasangka terhadap kaum disabilitas dan

minoritas, bullying berbasis SARA dan rendahnya sikap menghargai terhadap

perbedaan.

5. Sekolah yang mapan dengan identitasnya tidak mau membawa multikultural

dalam sistemnya, karena lebih menguntungkan untuk sekolah tersebut.

Seperti sekolah elite berbasis agama atau berbasis etnisitas mempunyai

filosofi dan politik yang mengesampingkan ruang keberagaman dalam aspek

agama dan etnis.

6. Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan multikultural latar belakang lain

dan tujuan tersendiri dalam celah multikulturalisme yang dapat mereka ambil

keuntungannya.

C. Fokus dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan,

maka fokus permasalahan penelitian ini pada sekolah yang melaksanakan

pendidikan multikultur dalam perspektif politik pendidikan. Diantaranya rumusan

masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang SMA BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA Tumbuh

Yogyakarta dalam penetapan sekolah multikultural?

2. Bagaimana program inti dan program tambahan sekolah multikultural di

SMA BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA Tumbuh Yogyakarta?

3. Bagaimana pola politik pendidikan multikultural di SMA BOPKRI 2

Yogyakarta dan SMA Tumbuh Yogyakarta?

11
D. Tujuan Penelitian

Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Menganalisis implementasi dan pelaksanaan pendidikan multikultural di

SMA BOPKRI 2 Yogyakarta dan SMA Tumbuh Yogyakarta.

2. Menganalisis latar belakang dan tujuan sekolah tersebut menyelenggarakan

pendidikan berbasis mutikultur.

3. Menemukan pola politik pendidikan yang diterapkan di SMA BOPKRI 2

Yogyakarta dan SMA Tumbuh Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini bermanfaat untuk perkembangan teori multikultural,

khususnya perkembangan teori multikultural di Indonesia. Penelitian ini

mendeskripsikan pengembangan politik pendidikan multikultural pada

sekolah. Dengan konsep multikulturalisme direkonstruksi pada pengembangan

ilmu pendidikan dapat diimplementasikan dalam sekolah secara luas nantinya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana kontribusi dalam inovasi

politik sekolah, pada aspek keberagaman suku, ras, agama, budaya, tingkat

sosial-ekonomi dan kondisi fisik melalui praksis nilai-nilai multikultural.

Mengintegrasikan pendidikan multikultur dan mengaplikasikannya.

Memberikan motivasi pada masyarakat agar menerima realita sosial.

12

Anda mungkin juga menyukai