Aspek Hukum Kebidanan
Aspek Hukum Kebidanan
BAB I
PENDAHULUAN
Membahas masalah etika profesi dan hukum kebidanan sangat penting bagi mahasiswa
kebidanan untuk mengetahui tentang apa itu etika, apa itu moral dan bagaimana menerapkannya
dalam praktik kebidanan. Sehingga dengan hal tersebut seorang bidan akan terlindung dari
kegiatan pelanggaran etik/moral ataupun pelanggaran dalam hukum yang sedang berkembang di
hadapan publik dan erat kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai
provider kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat
untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan.
Etika juga sering dinamakan filsafat moral yaitu cabang filsafat sistematis yang membahas dan
mengkaji nilai baik buruknya tindakan manusia yang dilaksanakan dengan sadar serta menyoroti
kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Perbuatan yang dilakukan sesuai
dengan norma moral maka akan memperoleh pujian sebagai rewardnya, namun perbuatan yang
melanggar norma moral, maka si pelaku akan memperoleh celaan sebagai punishmentnya.
Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan falsafah moral yaitu
mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sesuai
dengan perubahan/perkembangan norma/nilai. Pada zaman sekarang ini etik perlu dipertahankan
karena tanpa etik dan tanpa diperkuat oleh hukum, manusia yang satu dapat dianggap sebagai
saingan oleh sesama yang lain. Saingan yang dalam arti lain harus dihilangkan sebagai akibat
timbulnya nafsu keserakahan manusia.
Kalau tidak ada etik yang mengekang maka pihak yang satu bisa tidak segan¬segan untuk
melawannya dengan segala cara. Segala cara akan ditempuh untuk menjatuhkan dan
mengalahkan lawannya sekadar dapat tercapai tujuan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN ETIKA (KODE ETIK)
Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam
menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak.
Etika diartikan “sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia
khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan didasari pikiran yang jernih
dengan pertimbangan perasaan”.
Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah
disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai: dalam bahasa Yunani yaitu Ethos, kebiasaan atau
tingkah laku, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti Ethis, tingkah laku/prilaku manusia yg baik
– tindakan yg harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya.
Selain itu etik juga merupakan aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap kenyataan yg
sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar & konsep yg membimbing
makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
profesional dan terhormat.
1. Sistematika Etika
Sebagai suatu ilmu maka etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya antara lain:
1. Etika deskriptif, yaitu memberikan gambaran atau ilustrasi tentang tingkah laku manusia
ditinjau dari nilai baik/buruk serta hal-hal yangboleh dilakukan sesuai dengan norma etis
yang dianut oleh masyarakat.
2. Etika Normatif, yaitu membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia,
etika normatif juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok , sbb:
1). Etika umum, yaitu membahas hal-hal yang berhubungan dengan kondisi manusia untuk
bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.
2). Etika khusus; yaitu terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
1. a) Etika sosial menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar sesama manusia
dalam aktivitasnya.
2. b) Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai pribadi.
3. c) Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.
Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik dan
Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang Berkeadilan, Etika
Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika Kebidanan.
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar
memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan
melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan
nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga disebut kode kehormatan.
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam hal
kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi
anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga
menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak
pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota
profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh
karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota
profesi dalam menjalankan tugasnya.
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk
meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga
mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.
Kode etik profesi merupakan “suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan
tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik yang
berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya
sendin”.
Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien
memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan
individu, yaitu pasien.
Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang
diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga
ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien.
1. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien, seperti:
1) Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3) Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa
diskriminasi.
4) Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.
5) Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan, persalinan, nifas dan
bayinya yang baru dilahirkan.
6) Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses persalinan
berlangsung.
7) Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan keinginannya dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
8) Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat kritis dan
pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
9) Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut
(second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengatahuan dokter yang merawat.
10) Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-
data medisnya.
12) Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter
sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
13) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri
pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang
jelas tentang penyakitnya.
15) Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu
tidak mengganggu pasien lainnya.
16) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah
sakit.
18) Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus mal¬praktek.
1. Kewajiban Pasien
1) Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah
sakit atau institusi pelayanan kesehatan.
2) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan, perawat yang
merawatnya.
3) Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan
rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan dan perawat.
4) Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu
disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
1. Hak Bidan
1) Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya.
2) Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat jenjang
pelayanan kesehatan.
3) Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang bertentangan dengan
peraturan perundangan dan kode etik profesi.
4) Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien,
keluarga maupun profesi lain.
5) Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun
pelatihan.
6) Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang
sesuai.
1. Kewajiban Bidan
1) Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan
tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan tempat dia bekerja.
2) Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan
menghormati hak-hak pasien.
3) Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan
dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami atau keluarga.
5) Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai
dengan keyakinannya.
6) Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.
7) Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta
risiko yang mungkiri dapat timbul.
8) Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan yang akan
dilakukan.
10) Bidan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui
pendidikan formal atau non formal.
11) Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik
dalam memberikan asuhan kebidanan.
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis.
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk
menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum.
Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau
dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut
ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma
hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas,
tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica
malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap
ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum
yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan
perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1) Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
1. a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang
berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan
pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
1. b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346
KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2. c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan.
Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
1. d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
2. e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama lima tahun.
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
1. b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
1. a) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati
atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka
berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-
peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat
hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan
dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan
pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam
mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-
umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.
1. Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban
atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan
bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
1. Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah
melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat
Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan
melanggar hukum administrasi.
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam
undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang
berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri
Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu
bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti
pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
1) Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana
kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2) Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan
ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan,
berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan
kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang
akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5) Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan
pelaporan.
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang
disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
1). Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan
yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan
kesehatan masyarakat.
2). Pasal 15 :
a). Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan)
ditujukan pada ibu dan anak.
b). Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin,
masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).
c). Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak
balita dan masa pra sekolah.
3). Pasal 16 :
– Perawatan bayi
– Pemberian imunisasi
– Pemberian penyuluhan
4). Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal
16,berwenang untuk :
– Memberikan imunisasi
– Episiotomi
– Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
– Pemberian infuse
– Kompresi bimanual
– Pengendalian anemi
– Penanganan hipotermi
– Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV
terlampir
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur dalam
Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sbb:
1) Pasal 15
Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan
atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan :
Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu
hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah
perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif
act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan
dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien
meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun
kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab
(causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif
tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum,
maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa
kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama
sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau
merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila
kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya
upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun
rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar
profesi/standar pelayanan.
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah
sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai
karyawannya.
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban
hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang
berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek
diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1). Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
6). Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan
menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
1) Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak
berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti
bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana
disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum,
yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau
melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan
bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang
dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak
yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya
fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
bidan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
MAKALAH KONSEP
Pendahuluan
Pasien harus mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian yang secara tidak sengaja telah
tersepakati, pasien sebagai konsumen berhadapan dengan keadaan yang menyangkut
keselamatan dirinya. Pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaian dengan pelayanan
medis yang diberikan oleh tenaga medis. Jika pelayanan bidan diberikan kepada pasien sesuai
dengan standar operasional prosedur, berkualitas dan bermartabat, maka pelayanan itu akan
terhindar dari bayangan-bayangan tuntutan hukum maupun tuntutan etika profesi. Permasalahan
Angka Kematian Ibu (AKI) yang terdeteksi masih sangat tinggi ini setidaknya karena beberapa
penyebab baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu pemasok terbesar penyebab langsung
perdarahan, pre eklamsi, baik dalam kehamilan, saat bersalin dan setelah bersalin. Sedangkan
yang menjadikan penyebab tidak langsung karena keterlambatan membawa ke tempat rujukan,
terlambat mencari pertolongan dan terlambat memberi pertolongan di tempat rujukan.
Memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil bersalin, nifas dan neonatal haruslah sesuai
denga ketentuan yang ditetapkan serta berdasarkan pada kode etik profesi sehingga
meningkatkan kuwalitas diri perlu selalu dipelihara. Teamwork yang baik dalam pelayanan
kesehatan perlu dieratkan dengan kejelasan wewenang dan fungsinya. Oleh karena tanpa
mengindahkan hal-hal yang disebutkan sebelumnya, maka konsekwensi hukum akan muncul
tatkala terjadi penyimpangan kewenangan atau karena kelalaian. Mengenai kasus di atas, seorang
bidan tidak memberikan informasi tentang keadaan pasiennya serta bidan tidak merujuk pasien
yang bukan wewenangnya atau kompetensinya. Penempatan terhadap jenis tenaga kesehatan
tertentu ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi
tenaga kesehatan yang sangat potensial di dalam kebutuhan penyelenggaraan upaya kesehatan.
Disamping itu tenaga kesehatan tertentu yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi
pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai dengan kompetensi pendidikan yang diperolehnya,
sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibannya. Kompetensi dan kewenangan tersebut
menunjukan kemampuan profesional yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga
kesehatan tersebut. Menurut Pasal 2 ayat (3) PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,
disebutkan bahwa bidan termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan. Sehubungan dengan hal
tersebut, bidan juga memiliki hubungan dengan pasien, khususnya dalam praktik seperti halnya
dengan tenaga kesehatan lainnya. Dalam pemberi pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dokter,
bidan dan perawat merupakan tenaga kesehatan yang memegang peran penting. Perawat (bidan)
melakukan tindakan medik tertentu berdasakan ilmunya. Selanjutnya pasien tidak dirujuk oleh
bidan dalam kasus diatas, dijelaskan di UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41 ayat (1) pemerintah dan
asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dan
ayat (2) jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana,
pelayanan, rujukan, penyediaan alat dan pendidikan tenaga. Pasal 42 ayat (1) sistem rujukan
merupakan penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab
secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap
kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. Pasal 42 ayat (2)
menentukan bahwa setiap rumah sakit berkewajiban merujuk pasien yang memerlukan
pelayanan di luar kemampuan pelayanan Rumah Sakit. Upaya peningkatan derajat kesehatan
semata-mata tidak hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan) tetapi peran serta aktif
masyarakat termasuk swasta perlu diarahkan, dibina dan dikembangkan sehingga dapat
melakukan fungsi dan tanggung jawab sosialnya sebagai mitra pemerintah. Peran pemerintah
lebih dititik beratkan pada pembinaan, pengaturan, dan pengawasan untuk terciptanya
pemerataan pelayanan kesehatan dan tercapainya kondisi yang serasi dan seimbang antara upaya
kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Kewajiban
untuk melakukan pemerataan dan peningkatan pela- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap
Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 225 yanan kesehatan bagi
seluruh lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah. Keberhasilan
pembangunan diberbagai bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekNologi telah
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan hidup sehat. Hal Ini
mempengaruhi meningkatnya kebutuhan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga,
sarana, dan prasarana baik jumlah maupun mutu. Oleh karena itu diperlukan pengaturan untuk
melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan. Bidan sebagai pendukung upaya
kesehatan dalam menjalankan tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan dilakukan
untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, sehingga selalu tanggap terhadap
permasalahan kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan pengawasan dilakukan
terhadap kegiatannya agar tenaga kesehatan tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan
kebijaksanaan peraturan perundangundangan dan sistem yang telah ditetapkan. Setiap
penyimpangan pelaksanaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam
bentuk sanksi. Telah ditentukan secara jelas bahwasannya tugas atau wewenang bidan sudah
diatur oleh pemerintah sebagai berikut: pemberian kewenangan lebih luas kepada bidan
dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal kepada
setiap ibu hamil/bersalin, nifas dan bayi baru lahir (0- 28 hai) agar penanganan dini atau
pertolongan pertama sebelum rujukan dapat dilakukan secara cepat dan tepat waktu. Dalam
menjalankan kewenangan yang diberikan bidan harus; melaksanakan tugas kewenangannya
sesuai dengan standar profesi, memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk tindakan yang
dilakukannya, mematuhi dan melaksanakan protap yang berlaku diwilayahnya, bertanggung
jawab atas pelayanan yang diberikan dan berupaya secara optimal dalam mengutamakan
keselamatan ibu calon bayi atau janin. Perhatian khusus yang diberikan pada masa sekitar
persalinan karena kebanyakan kematian ibu dan bayi dalam masa tersebut. Pelayanan kesehatan
pada anak diberikan kepada bayi(khususnya bayi baru lahir), balita dan anak pra sekolah.
Pelayanan dan pengobatan genekologi yang dapat dilakukan oleh bidan adalah kelainan
genekologi ringan seperti keputihan dan penundaan haid. Pengobatan ginekologik yang
diberikan tersebut pada dasarnya bersifat pertolongan sementara sebelum dirujuk ke dokter atau
tindak lanjut pengobatan sesuai advis dokter. Pelayanan neonatal esensial dan tata laksana
neonatal sakit diluar rumah sakit meliputi; pertolongan persalinan traumatik, bersih dan
aman;menjaga tubuh bayi tetap hangan dengan kontak dini; membersihkan jalan nafas,
mempertahankan bayi bernafas spontan; pemberian ASI dini dalam 30 menit setelah melahirkan;
mencegah infeksi pada bayi baru lahir antara lain melalui perawatan tali pusat secara higenis,
pemberian imunisasi dan pemberian ASI eksklusif; pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir
dilaksanakan pada bayi 0-28 hari. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1464/ MenKes/per/X/2010
tentang Izin dan Penyelanggaraan Praktik Bidan Indonesia pada BAB III Penyelanggaraan
Praktik Pasal 9 menentukan bahwa bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan kesehatan ibu; pelayanan kesehatan anak; dan
pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pasal 10 ayat (1)
menentukan bahwa pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a
diberikan pada masa pra hamil, kehamilan masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan
masa antara dua kehamilan. Pasal 13 ayat (1) selain wewenang bidan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi pelayanan
konseling pada masa pra hamil; pelayanan antenatal pada kehamilan Normal; pelayanan
persalinan normal; pelayanan ibu nifas normal; pelayanan ibu menyusui; dan pelayanan
konseling pada masyarakat kedua kehamilan; Pasal 13 ayat (3) menentukan bahwa bidan dalam
memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk episiotomi;
penjahitan luka jalan lahir tingkat I 226 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 dan II
penanganan kegawatdaruratan dilanjutkan perujukan; pemberian tablet Fe pada ibu hamil;
pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; fasilitas atau bimbingan inisiasi menyusui dini
dan promosi air susu ibu eksklusif; pemberian uterotonika pada menejemen aktif kala III dan
postpartum; penyuluhan dan konseling; bimbingan pada kelompok ibu hamil; pemberian surat
keteranagan kematian; dan emberian surat keterangan cuti bersalin. Berdasarkan Pasal 13 ayat
(1), selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, bidan
yang menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi:
butir g melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi
Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom dan penyakit lainnya. Suatu perbuatan
dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi beberapa unsur. Pertama, bertentangan
dengan hak orang lain. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (kewajiban
hukum si pelaku). Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan baik. Keempat, bertentangan dengan
keharusan yang diindahkan dalam pergaulan. Berdasarkan data di atas, beberapa unsur terpenuhi.
Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Maksud bertentangan dengan hak orang lain
adalah bertentangan dengan hak subjektif (subjektiferecht) orang lain. Hak-hak pribadi
(Persoonlijkheidsrechten) seperti hak atas keutuhan badan, kebebasan, hak atas kehormatan dan
nama baik. Keluarga pasien dalam hal ini adalah suami tidak diberikan informasi sesuai dengan
keadaan istri dan janinnya. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (kewajiban
hukum si pelaku). Suatu perbuatan adalah melawan hukum apabila perbuatan tersebut adalah
bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) si pelaku. Rechtsplicht adalah kewajiban
yang berdasar atas hukum. Menurut pendapat umum dewasa ini, maka hukum, mencakup
keseluruhan Norma-norma, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pada kasus I, bidan melanggar
KepMenkes No. 1464/MenKes/per/X/2010. Bidan melanggar wewenangnya dimana menolong
persalinan dengan kondisi janin premature dengan keadaan presentasi bokong, sedangkan dalam
peraturan KepMenKes ataupun wewenang bidan diatas sudah jelas bahwasannya bidan hanya
menolong kehamilan, persalinan fisiologis dan mendeteksi dini komplikasi persalinan serta
dilanjutkan rujukan. Setelah melakukan diagnosa kebidanan bahwa usia kehamilan masih
tergolong premature bidan tersebut tidak melakukan rujukan hal ini selain diatur dalam
KepMenKes diatas dan wewenang bidan dijelaskan juga pada UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41
dan Pasal 42. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan. Keempat, bertentangan dengan keharusan
yang diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda milik orang lain.
Unsur ketiga dan empat ini tidak terpenuhi dalam kasus diatas. Jadi kesimpulan sementara pada
kasus di atas, bidan tersebut memenuhi unsur pertama dan kedua. Simpulan itu dapat diketahui
dari KepMenkes No 1464/MenKes/per/X/2010. Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa dalam
rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri, Pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota dapat memberian tindakan administratif
kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam
peraturan ini. Ayat (2) dari pasal tersebut menentukan bahwa tindakan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan SIKB/SIPB
untuk sementara paling lama 1 tahun; atau pencabutan SIKB/SIPB selamanya. Dari sudut
hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta pertanggung jawaban berdasarkan hukum
perdata,hukum pidana maupun hukum administrasi. Tanggungjawab dibidang hukum perdata
dapat ditemukan disetiap pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena dalam setiap
pelayanan kesehatan selalu terjadi hubungan antara kedua belah pihak sebagai subjek hukum,
dimana masing-masing pihak memiliki kewajiban dan haknya yang sama. Maksud kedua belah
pihak ini adalah dokter dan pasien. Hubu- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap
Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 227 ngan atara dokter
dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus terpenuhi secara umum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan
melawan hukum tahu betul suatu perbuatannya akan berakibat suatu keadaan yag merugikan
orang lain pada umumnya perbuatan orang tersebut dapat dikatakan bisa dipertanggugjawabkan.
Pasal 1365 KUHPer yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian
tersebut. Pasal 1366 KUHPer yang menentukan bahwa seiap orang yang bertanggung jawab
tidak saja untuk kergian yang disebabkan karena perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kekurang hati-hatiannya. Pasal 1367 KUHPer yang menentukan
bahwa seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri tetapi juga kerugian yang disebabkan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang dibawah pengawasannya. Pasal 1370 KUHPer yang
menentukan dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya
seseorang maka istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua sikorban yang lazim mendapatkan
nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hak menuntut ganti rugi, yang dinilai menurut
kedudukan dan kekayaan dari kedua belah pihak.9 Pasal 58 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009
menentukan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian atau kesalahan akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayaan kesehatan yang diterimanya. 10 Sedangkan aspek
perdata lainnya adalah tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum, ukuran yang
digunakan adalah kesesuaian dengan standar profesi medik serta kerugian yang ditimbulkan.
Pengertian diatas menunjukan bahwa se- 9 Bambang Heryanto, “Malpratik Dokter dalam
Perspektif Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No 2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 184 10 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, op.cit,
hlm.268 kalipun hubungan hukum antara tenaga kesehatan (bidan) dengan pasien adalah ”upaya
secara maksimal”, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan timbulnya tuntutan ganti rugi yang
didasarkan pada perbuatan melanggar hukum yang tenaga kesehatan harus
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dari segi hukum perdata.11 Kerugian – pada
gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum – juga meliputi kerugian materi dan imateriil
sebagaimana yang berlaku dalam gugatan berdasarkan wanprestasi. Apabila ketentuan di atas
dibandingkan, maka gugatan perbuatan melawan hukum memiliki pengertian jauh lebih luas
dibandingkan dengan wanprestasi karena beberapa hal. Pertama, gugatan wan prestasi dasarnya
adalah perjanjian yang dalam hal ini adalah kontrak teraupetik (penyembuhan) antara tenaga
kesehatan dalam hal ini adalah pasien. Dengan berlakunya azas kepribadian dalam transaksi
teraupetik maka pihak yang terkait adalah pasien dan tenaga kesehatan atau rumah sakit. Oleh
karena itu jika transaksi teraupetik tidak tercapai tujuannya karena wanprestasi, maka gugatan
hanya ditujukan kepada bidan atau rimah sakit, sedangkan pihak lain yang membantu tidak dapat
digugat berdasarkan wanprestasi. Kedua, sebaliknya gugatan berdasarkan perbuatan melawan
hukum, gugatan tidak dapat ditujukan perbuatan melawan hukum, gugatan tidak hanya
ditunjukan pada terhadap pelaku perbuatan itu saja, melainkan juga terhadap orang-orang yang
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di bawah tanggung
jawabnya. Rumah sakit dapat digugat untuk bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja dirumah sakit tersebut atau dapat digugat
untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh laboran atau perawat yang bekerja
diperintahnya. 11 Hargianti Dini Iswandari, “Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang No.9/2004 Tentang Praktik
Kedokteran”, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol 09 No 2 Juni 2006, Universitas
Gadjah Mada, UGM Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, hlm. 56 228 Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 Ketiga, gugatan berdasarkan wanprestasi dasarnya adalah
perjanjian, jadi gugatan hanya diajukan bila bidan melakukan perbuatan melawan hukum lebih
luas karena dapat bertujuan yang masuk kategori perbuatan melawan hukum yang menimbulkan
pada pihak lain.12 Penutup Simpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bidan
dalam kasus yang diambil sebagai data dalam penelitian ini memberikan pelayanan kepada
pasien tetapi dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena
pelayanan bidan tersebut memenuhi dua unsur yaitu unsur bertentangan dengan hak subjektif
orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, tidak memberikan informasi
secara lengkap dan memberikan pelayanan yang melebihi wewenangnya yaitu meNolong
persalinan dengan keadaan janin premature. Dalam hal ini bidan bertentangan dengan
PerMenKes No 1464 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, Undang-
undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009 dan Kode Etik serta wewenang bidan. Kedua hal
tersebut secara teori termasuk perbuatan melawan hukum dalam arti sempit. DAFTAR
PUSTAKA Heryanto, Bambang. “Malpratik Dokter dalam Perspektif Hukum”. Jurnal Dinamika
Hukum, Vol 10 No 2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
Iswandari, Dini Hargianti. “Aspek Hukum Penyelenggaran Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan
Berdasarkan Undang-Undang No.9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, 12 R.A. Antari Inaka Turingsih, “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan
Dalam Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 268-274 Vol 09 No 2 Juni 2006. Universitas
Gadjah Mada Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan; Latifah, Emmy. “Harmonisasi Kebijakan
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia yang berorientasi pada Millennium Development Goals”.
Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman; Manan, Bagir. 2003. Teori Politik dan Konstitusi. Yogyakarta:
FH UII Press; Rozah, Umi. “Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medis”.
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol 33 No 3 2004. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP;
Sudrajat,Tedi dan Agus Mardiyanto. “ Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan
Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 12 No
2 Mei 2012. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Taufiq, Muhammad.
”Perspektif Yuridis Tanggung Jawab Dokter terhadap Rahasia Medis Pasien HIV/AIDS (Studi di
Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September
2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Turingsih, Inaka Antari
R.A. “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan dalam Pelayanan Kesehatan”. Jurnal Mimbar
Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada;
Wahyudi, Setya. ”Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga
Keshatan dan Implikasinya”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011.
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Yanti dan W.E. Nurul. 2010.
Etika Profesi Dan Hukum Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Riham