Anda di halaman 1dari 206

MODUL PELATIHAN KADER DASAR XVI

PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA


KOMISARIAT BELA NEGARA UPN “VETERAN” JATIM

Pelatihan Kader Dasar | i


PENGANTAR

Kader Mujahid adalah status yang disematkan kepada


anggota PMII yang telah lulus menempuh jenjang pendidikan
kaderisasi dasar (PKD). PKD merupakan perkaderan formal
basic tingkat kedua. Pada fase ini persoalan doktrinasi nilai-
nilai dan misi PMII, penanaman loyalitas dan militansi
gerakan, diharapkan sudah tuntas. Target yang harus dicapai
pada fase ini adalah terwujdnya kader-kader militan,
mempunyai komitmen moral dan dasar-dasar kemampuan
praksis untuk melakukan Amar ma’ruf nahi munkar. Dalam
PKD, peserta mulai diperkenalkan berbagai berbagai model
gerakan, prinsip prinsip dasar Analisa Sosial, dasar-dasar
Advokasi dengan segala macam bentuknya serta dasar-dasar
managerial pengelolaan aktifitas dan gerakan. Output dari
PKD adalah seorang kader pergerakan yang siap terjun di
tengah masyarakat.
Mujahid diartikan Orang yang sungguh-sungguh, Militan,
dan punya elan vital gerakan. Status kader mujahid sama
seperti “Mukallaf” dalam tradisi Islam, yaitu orang-orang
yang sudah wajib menjalankan syariat Islam, apabila
melanggar akan mendapat dosa, dan apabila taat akan
mendapat pahala. Kader mujahid selalu terikat dengan nilai,
ketentuan-ketentuan dan peraturan organisasi, selain itu tak
kalah penting adalah harus mampu mentransformasikan
nilai dan ketentuan peraturan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari baik sebagai individu maupun komunitas. Ia
mempunyai peran penting dalam aktivitas organisasi mulai dari
kaderisasi, kepemimpinan, dan gerakan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa danbernegara.

Pelatihan Kader Dasar | i


Modul ini terdiri dari sepuluh bab yang masing-masing
menjelaskan materi yang ada di kurikulum PKD. Bab
pertama mengulas tentang Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr
Wal Harakah berisi materi tentang sejarah Aswaja,
Terminologi aswaja, Doktrin, Konsep transformasi aswaja
dari madzhab ke manhaj dan Aswaja dalam realitas sosial. Bab
kedua tentang peta gerakan islam berisi penjelasan mengenai
embrio lahirnya aliran dalam islam, sejarah masuknya islam
diindonesia, pemikiran keislaman diindonesia, aliran islam
kontemporer dan gerakan islam transnasional.
Bab ketiga nahdatun nisa’ mengurai paham feminisme
dan gerakan perempuan prespektif PMII melalui penjelasan
tenang wacana feminisme secara global, konsep gender,
perbedaan sex dan gender, aliran feminisme, feminisme islam,
gerakan perempuan diindonesia prespektif sejarah dan
gerakan KOPRI, serta Prempuan dan Pembangunan. Bab ke
empat PMII dan Gerakan Mahasiswa, mengulas Geneologi
Gerakan Mahasiswa Indonesia, gerakan mahasiswa 1998,
dinamika pasca 1998, gerakan mahasiswa intra kampus, dan
realitas gerakan mahasiswa saat ini.
Bab ke lima tentang paradigma PMII, paradigma
merupakan perangkat metodologis PMII dalam menganalisis
dan memandang realitas sosial didalamnya dijelaskan
mengenai pengertian paradigma, refleksi paradigma yang
pernah dipakai pmii, paradigma kritis transformatif diulas
secara detail mulai dari teori konsep hingga praksis, juga tak
ketinggalan strategi dan taktik gerakan menggunakan
paradigma.

Pelatihan Kader Dasar | iii


Bab ke enam tentang Analisis sosial dan Rekayasa Sosial,
mulai dari paradigma yang dipakai meliputi paradigma
fungsionalis, interpretatif, humanis radikal hingga strukturalis
radikal. Pengertian dan Ruang lingkup ansos dan reksos,
prinsip- prinsip, model dan telaah ansos dan reksos, tahapan
dan langkah raksis ansos dan reksos.
Bab ke tujuh Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse
Analysis), materi ini penting bagi kader pmii dalam
membongkar latensi suatu wacana baik berita maupun media.
Bab ini menjelaskan epistemologi wacana, pendekata nalisis
wacana, dan kerangka-kerangka analisis dari berbagai model
mulai versi Roger Fowler Dkk, Theo Van Leewen, Sara Mills,
Teun A. Van Dijk sampai Norman Fairclough. Bab ke
delapan Format Ekonomi Politik Indonesia, menjelaskan
prinsip ekonomi politik, aliran-aliran ekonomi politik, sistem
ekonomi, sistem ekonomi pancasila, demokrasi ekonomi,
demokrasi dan kapitalisme, kapitalisme dan neoliberal di
indonesia, dan wacana mencari format ekonomi baru untuk
indonesia.
Bab ke sembilan Strategi Pengembangan PMII, Berisi
ulasan epistemologis mengenai pembinaan dan pengembangan
organisasi, perencanaan strategis, analisis SWOT, maksud
dan tujuan pengembangan PMII, Modal dasar dan faktor
dominan PMII, Permasalahn yang dihadapi, dan strategi
pengembangan PMII. Bab ke sepuluh Pengelolaan Opini
dan Pengorganisiran Massa, Berisi pengertian opini,
pengelolaan opini dalam sebuah gerakan, cara
pengorganisiran massa, manajemen aksi dan perangkat aksi.

PelatihanKader Dasar | iv
Modul ini merupakan materi PKD yang dirangkum
dari berbagai narasumber, semoga bermanfaat bagi
sahabat-sahabati. Serta terima kasih kepada seluruh
Panitia Pelaksana yang telah berpartisipasi dalam
tersusun nya modul sederhana ini. Mohon maaf jika ada
beberapa redaksi yang salah atau kurang kata dan
kalimat.

Wallahul Muwafiq Ilaa aqwamith thorieq


Wassalamu’alaikum wr . wb
Surabaya, 01 Desember 2021

Tim Penyusun
Sttering Committee (SC)
PKD 2021 Komisariat Bela Negara

PelatihanKader Dasar | v
SILABUS MATERI PKD

NO
. MATERI TUJUAN POKOK PEMBAHASAN DURASI
1. Paradigma Peserta memahami (1) Pengertian Paradigma dan 90 Menit
PMII paradigma gerakan PMII pilihan paradigmatik PMII
dan menjadikanya (2) Kerangka berpikir
sebagai metodologi paradigma kritis transformatif
berpikir dan gerakan (3) Peran paradigma sebagai
serta dalam salah satu landasan strategi
mengimplementasikann dan taktik gerakan.
ya dalam perilaku, sikap (4) Penerapan paradigma kritis
dan kehidupan pribadi, transformative
berorganisasi dan (5) Alasan PMII memilih
berdialektika dalam paradigma kritis transformatif
pergerakan.
2. Strategi Peserta memahami pola (1) Pemahaman Lingkungan 90 Menit
Pengembangan dan strategi ke depan Organisasi PMII
PMII PMII sebagai upaya (2) Strategi penguasaan ruang-
untuk menentukan posisi ruang strategis di kampus
gerakan ke depan. (3) Strategi pengembangan
PMII
(4) Strategi Pembinaan dan
Pengembangan Kader
(5) Identifikasi peluang dan
potensi PMII.
(6) Membaca alternatif peran
gerakan PMII untuk
menentukan posisinya di
masa kini dan masa depan
3. Analisis Sosial (1) Peserta memiliki (1) Pengertian, ruang lingkup, 90 Menit
II dan Rekayasa perangkat konseptual unsur dan fungsi ansos dan
Sosial untuk memahami reksos
kenyataan masyarakat (2) Prinsip-prinsip dan model
di tingkat lokal, analisis sosial.
nasional dan global. (3) Langkah dan strategi ansos
Lebih dari itu peserta (4) Metode analisis reksos
diharapkan mampu (5) Prinsip-prinsip teoritik
memahami karakter rekayasa sosial
dan pola sosial dalam (6) Peran ansos dan reksos
kenyataan masyarakat dalam strategi gerakan PMII
sebagai pengetahuan
dasar bagi mungkinnya
sebuah gerakan.
(2) Peserta memiliki

Pelatihan Kader Dasar | vi


pandangan holistik
dalam proses rekayasa
sosial. Selanjutnya
peserta memahami
prinsip-prinsip dasar
dan alternatif rekayasa
sosial
4. Analisis Peserta memahami (1) Pengertian teoritik dan 90 Menit
Wacana fungsi strategis wacana konseptual analisa wacana
bagi misi pergerakan. (2) Prinsip dan metode analisis
Tujuan selanjutnya wacana.
peserta diharapkan (3) Menganalisis kepentingan
mampu menempatkan di balik wacana.
wacana sebagai bagian (4) Peran wacana sebagai alat
dari strategi dan taktik bagi misi pergerakan.
gerakan (5) Paradigma analisa wacana
5. Aswaja Sebagai (1) Peserta mampu (1) Garis-garis besar doktrin 90 Menit
Manhaj Al Fikr memahami proses aswaja
Wal Harakah kemunculan (2) Prinsip-prinsip aswaja
pemikiran-pemikiran sebagai manhaj al-harakah
Islam sebagai sebuah (3) Implementasi aswaja dalam
pengetahuan (teori) nilai-nilai gerakan
dan konstruksi global. (4) Tantangan aswaja di masa
(2) Peserta mampu depan
memahami aswaja An-
Nahdhiyah sebagai
metodologi berfikir
dalam upaya
memahami ajaran-
ajaran Islam dan
landasan gerakan
sebagai upaya untuk
menentukan posisi
gerakanPMII dalam
konteks lokal,
nasional, dan global.
6. PMII dan (1) Peserta mampu (1) PMII dalam Fase Sejarah 90 Menit
Gerakan memahami munculnya Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa gerakan mahasiswa (2) Peta Gerakan Mahasiswa
(2) Peserta memahami (Ideologi, afiliasi, Jaringan,
tujuan mahasiswa agenda)
(3) Realitas gerakan
mahasiswa saat ini
(4) Posisi Strategis PMII saat
ini

Pelatihan Kader Dasar | vii


7. Nahdlatun Nisa’ 1. Peserta mampu (1) Pengertian, karakteristik 90 Menit
memahami awal dan landasan hukum
kemunculan gerakan (2) Problematika perempuan
perempuan dan Indonesia
perkembangannya (3) Wacana feminisme global
2. Peserta mampu (4) Aliran feminisme
memahami orientasi (5) Diskursus arah gerak dan
gerakan perempuan pengembangan kaum wanita
(6) Tantangan gerakan
perempuan
(7) Pentingnya gerakan
perempuan
8. Peta Gerakan (1) Peserta memahami (1) Akar-akar pemikiran Islam 90 Menit
Islam Indonesia sejarah, peta kekuatan di Indonesia
islam Indonesia. (2) Sejarah munculnya aliran
(2) Peserta mengetahui dalam islam
posisi NU dan PMII (3) Peta Pemikiran Islam dan
dalam Gerakan Basis Sosialnya (Islam
tradisional, modernis, liberal,
fundamentalis)
(4) Basis organisasi dan tokoh
peta pemikiran Islam di
Nusantara
9. Format Politik (1) Peserta memahami (1) Politik dan ekonomi 90 Menit
dan Ekonomi kekuatan politik, posisi menurut para ahli
Indonesia politik serta peluang (2) Kondisi dan dimensi
PMII dalam ruang politik dan ekonomi
politik. (2) Peserta Indonesia
memahami sejarah, (3) Kekuatan-kekuatan politik
peta kekuatan ekonomi Indonesia.
Indonesia. (4) Posisi politik Nahdhiyin
(3) Peserta mengetahui saat ini.
posisi NU dan PMII (5) Peluang politik PMII.
dalam Ekonomi Lokal (6) Sejarah sistem
dan Nasional. perekonomian Indonesia.
(7) Peta Kekuatan Ekonomi
Nasional.
(8) Potensi Ekonomi
Indonesia.
(9) Posisi NU dan PMII dalam
Ekonomi Nasional

Pelatihan Kader Dasar | viii


10. Pengelolaan (1) Peserta memiliki (1) Mengelola opini untuk 90 Menit
Opini dan kemampuan untuk gerakan massa
Pengorganisiran membaca dan (2) Tahapan pengorganisiran
massaPengelola membuat isu-isu massa
an Opini dan strategis. (3) Analisa situasi dan
Pengorganisiran (2) Peserta memahami pembacaan medan
massa pentingnya komunikasi (4) Strategi dan teknik
massa. menggalang massa dan
(3) Peserta dapat menggerakkannya untuk
memahami dan sebuah misi pergerakan
mengaplikasikan (5) Metode dalam
prinsip-prinsip pengorganisiran massa dan
pengorganisiran massa perangkat aksi
dengan tepat dan
efektif

Pelatihan Kader Dasar | ix


DAFTAR ISI

Halaman Judul..............................................................i
Kata Pengantar ..............................................................ii
Silabus Materi PKD.......................................................vi
Daftar Isi .......................................................................x
Aswaja Sebagai Manhaj Al-Fikr Wal Harakah .............1
Peta Gerakan Islam di Indonesia.............................. 31
Nahdhatun Nisa’ ............................................................... 49
PMII dan Gerakan Mahasiswa ................................. 73
Paradigma PMII ...........................................................91
Analisis Sosial dan Rekayasa Sosial ......................... 116
Analisis Wacana Kritis .............................................. 131
Format Ekonomi Politik Indonesia .......................... 146
Strategi Pengembangan PMII................................... 161
Pengelolaan Opini dan Pengorganisiran Massa ...... 182

Pelaksana Kader Dasar | x


BAB I

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH


SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR WAL HARAKAH

A. Sketsa Sejarah
Membicarakan tentang Ahlussunnah wal Jamaah, maka tidak
bisa lepas dan selalu ada kaitannya dengan hadits Nabi SAW

yang menerangkan bahwa umat ini akan terpecah menjadi


tujuh puluh tiga golongan.
“Sesungguhnya kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71
golongan, dan kaum Nasrani terpecah belah menjadi 72 golongan, dan
umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan”.(HR. Abu Dawud)

Ketika beliau ditanya para Sahabat, “siapakah mereka


yang akan selamat dan masuk surga”, dalam hadits
selanjutnya Rasulullah SAW menjawabnya:

“Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Lalu


Sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu ya Rasullah?”, Nabi SAW
menjawab (golongan itu adalah orang-orang yang berpegangan pada
semua kegiatan yang telah aku dan sahabat- sahabatku lakukan.”

Pelatihan Kader Dasar | 1


(Sunan At-Tirmidzi; 2565)
Pada perkembangan selanjutnya, satu golongan
tersebut populer dengan term Aswaja (sunni). Ahlussunnah
Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara
doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal
kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau
bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara
ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan
seterusnya. Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja
terentang hingga zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin, yakni dimulai
sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin
Abi Thalib RA dengan Muawiyah kemudian melahirkan
Tahkim (arbitrase) yang dimenangkan oleh pihak
Muawiyah.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang
menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij. Dari sini,
golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah
(kelompok pendukung Ali, dari awal, tahkim, hingga akhir
hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang kemudian keluar
pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang
tidak membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat
bahwa keduanya tidak menggunakan hukum Allah atau Al
Quran), dan pendukung Muawiyah (terjadi sekitar tahun
40H).
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan, Muawiyah
dengan dalil agama membuat aliran atau golongan Islam
bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan
manusia adalah kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita
lakukan sudah menjadi takdir Allah. Dengan dalil dalam Al
Quran yang digunakan Jabariyah adalah “Wamaa ramaita

Pelatihan Kader Dasar | 2


idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa”. Yang pada perkembangannya
aliran ini justru menimbulkan kekacauan masyarakat di sana
sini.
Respons atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang
bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan
Qodariyah. Aliran Qodariyah muncul sebagai doktrin
untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran
Jabariyah yang kian meresahkan umat.
Aliran Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim
bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas
setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki ikut
campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil yang populer
untuk melegitimasi aliran ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang
artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.” paham ini kemudian mengalami
metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba
menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya.
Pada perkembangan selanjutnya ajaran Mu’tazilah
dijadikan sebagai aliran resmi negara oleh keturunan Abu al-
Abbas al-Saffah (Khalifah pertama dinasti Abbasiyah) di
mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah
sebagai aliran pemikiran (manhajul fikr) umatnya. Warga yang
tidakmenggunakan aliran mu’tazilah maka dibunuh.
Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah
komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn
Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal
dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung
mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural

Pelatihan Kader Dasar | 3


(tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran
secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik
antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang
ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem
keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak
ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka
tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok
lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan
ke generasi- generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam
Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w.
179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H),
Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu
Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.
333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham
Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara
teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad
sebelumnya.
Sementara itu hadirnya para penyebar agama Islam di
Nusantara seperti Walisongo memberikan warna bagi tumbuh
suburnya aliran Aswaja di Indonesia. Walisongo menyebarkan
Islam dengan cara damai, akomodatif, moderat, toleran dan
berpegang pada mengambil maslahat dan menolak
kemudaratan sebagai konsep yang dibawa oleh para ulama
pendahulu yang mengusung Aswaja.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan
jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di
dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah
penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung
– baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam
jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri
Pelatihan Kader Dasar | 4
menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-
Jama’ah.

B. Pengertian ASWAJA
Secara semantik arti Ahlussunnah wal Jama’ah adalah
sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan
aliran atau madzhab maka artinya adalah penganut aliran
atau penganut madzhab. Kata al-Sunnah mempunyai arti
‘jalan’ atau karakter. Disamping memiliki arti al-Hadits.
Disambungkan dengan kata Ahl keduannya bermakna pengikut
jalan Nabi, para Sahabat dan Tabi’in. Sedangkan kata al-
Jamaah diartikan sebagai perkumpulan. Bila dimaknai
secara kebahasaan Ahlusssunnah Wal Jamaah berarti segolongan
orang- orang (komunitas) yang selalu mengikuti jalan Nabi
Muhammad SAW, para Sahabat dan Tabi’in.
KH. Sirajuddin Abbas mendefinisikan ahlussunnah
Wal Jama’ah sebagai kaum yang menganut I’tiqad yang dianut
oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. Drs.
KH. Syamsudin Anwar, Mendefinisikan Ahlussunnah Wal
Jama’ah adalah penganut ajaran, paham (doktrin) yang
menganut pada sunnah Nabi dan I’tiqad para sahabat
Nabi.
Kemudian pengertian ini mengalami perubahan ketika
Ahlussunnah diartikan menurut presfektif Nahhdhatul ‘Ulama
(NU). Dalam Qanun Asasi yang dirumuskan Hadhrastus
Syaikh KH. Hasyim ‘Asy’ari tertulis bahwa Aswaja
merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam bidang
aqidah menganut pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan al-

Pelatihan Kader Dasar | 5


Maturidi, dalam bidang fiqih menganut salah satu dari keempat
madzhab (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam
Hanbali), dan dalam bidang tasawuf menganut Imam Junaid al-
Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
C. Garis-Garis Besar Doktrin Aswaja
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addîn) yang
membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syari'at sebagai
realitas hukum, thariqat sebagai jembatan menuju haqiqat
yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya
adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang
dibawa Rasulullah SAW. yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama
ini (Islam, iman dan ihsan), masing- masing saling
melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan
sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan.
Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan
penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam
firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208).
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, “hakikat Islam
adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban
agama, hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan,
dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam penyaksian
(musyâhadah) kepada Allah”.
Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan
ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan
disiplin ilmu yang disebut fiqih. Kecenderungan ulama

Pelatihan Kader Dasar | 6


dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin
ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama dalam dimensi
keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak.
Paham ASWAJA mengakomodir secara integral tiga
dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran
esensialnya. Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa
disertai esoterisme, merupakan kemunafikan. Begitu juga
esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik. Semata-
mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas
belaka adalah sia-sia. Imam Malik mengatakan: Barang
siapa menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq,
barang siapa memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah
fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah
menemukan kebenaran.
Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul
dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin
keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada
akidah islamiyah (ushuluddin) yang dirumuskan oleh Abu
Hasan Al'asy'ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu
Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam
masalah akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil
dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati
keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua
tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak
berakibat fatal. Yaitu dalam masalah istitsna’, takwin, dan
iman dengan taqlid.

Pelatihan Kader Dasar | 7


Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan
dengan insya'Allah, seperti “Saya beriman, insya'Allah”,
menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsnâ
demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan
batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asy’ariah
diperbolehkan, Karena maksud istisna’ demikian bukan
didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melainkan
keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak,
na’ûdzu billah min dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya
keraguan dan spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di
hadapan Allah.
Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut Asyâ'irah
sifat takwîn (‫ )تكوین‬tidak berbeda dengan sifat Qudrah.
Sedangkan menurut Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri
yang berkaitan dengan sifat Qudrah.
Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-
ikutan tanpa mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi,
imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga.
Sedangkan Menurut Abu hasan Al'asy'ari, keimanan demikian
tidak cukup. Sedangkan Asyâ'irah (pengikut Abu Alhasan
Al'asy'ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid.
Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak
mau berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian
mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu
mengetahui dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak
dianggap mukmin sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata
keimanan. Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan
iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd adalah keimanan
melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya
secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih
Pelatihan Kader Dasar | 8
diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah
keyakinan terhadap aqâ'id lima puluh dengan dalil dan alasan
filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (‫)محجوب‬
dalam mengetahui Allah.
Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan
yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya,
dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran
hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu
keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan
tenggelam dalam fanâ' billah. Mempelajari ilmu tauhid, fiqh
dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul
yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati
dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman biliyyân
(‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil
haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau
meng-Esakan Allah dalam af'âl, shifah dan dzât. Dengan
demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fi’li, yaitu fana’
dari seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala
sifat; dan tauhiddzati, yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’
fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga
dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan
haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini merupakan puncak
prestasi dari penghayatan firman Allah: Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS.
Ashshafat: 96). Sebagian ulama 'arif billah menyatakan:
Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki
perbuatan, maka ia telah beruntung, barang siapa
menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan
barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah

Pelatihan Kader Dasar | 9


wushul.
Konsep tauhid ASWAJA mengenai af'âl (perbuatan)
Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu pihak
dan Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah
menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia
atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak,
sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan makhluk
memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan
perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat
di antara dua paham ektrim tersebut. ASWAJA meyakini
bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar)
namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas
kasb (upaya). Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir
manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin,
manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan
seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir, dengan
melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat
ataupun bid'ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua
kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak akan menvonis
sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl)
dan durhaka. ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak
gampang dalam sikap takfîr (mengkafirkan). Karena
memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin akan
menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw.
bersabda: Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: ”wahai
seorang yang kafir”, maka salah satunya benar-benar telah kafir.
(HR. Bukhari)
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir
(murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur
Pelatihan Kader Dasar | 10
syirik yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian,
mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama
(ma'lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau
mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan yang
menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi
ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-
unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa
dita’wil.
Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke
dalam bidang fiqh yang meliputi hukumhukum legal-formal
(ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-
lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat
madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA
hanya kepada empat madzhab ini. Di samping alasan
otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep
madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis,
metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif
tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql
(rasio-logis) dan dalil naql (teks-tekskeagamaan).
Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat
dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang cenderung
tekstualis dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung
rasionalis. Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh ASWAJA
di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan
tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini
sebagai jalan paling selamat diantara yang selamat, jalan
terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan
Nabi saw. Dalam sabdanya: Sebaik-baiknya perkara adalah

Pelatihan Kader Dasar | 11


tengahnya.
Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat
madzhab yang memadukan dalil Alqur'an, Hadits, Ijma' dan
Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih
besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini
juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan
diyakini oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan
kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak
benar. Empat dalil (Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas) ini
dirumuskan dari ayat: Hai orangorang yang beriman,
ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya) (QS. Annisa': 59)
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada
empat dalil yangbisa dijadikan tendensi penggalian (istinbâth)
hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Perintah taat
kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada
Alqur'an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti
perintah berpegang pada Ijma' (konsensus) umat (mujtahidîn),
dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan
RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang
tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas hakikatnya
mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah
dan utusanNya.
Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid,
bahkan mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki
kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan
melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-
benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang

Pelatihan Kader Dasar | 12


dikaji dalam kitab Ushul Fiqh. Dengan demikian, ASWAJA
tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad
selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya
dewasa ini 'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada
umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja
memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka
kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai
kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah: Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui. (QS. An-nahl: 43)
Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa
dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata melainkan
dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan
melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah)
dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq
mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap
gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret
dari ihsan dalam sabda Rasulullah SAW: Ihsan adalah engkau
menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau
tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke
dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman
pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh
Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi
(pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti
manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok
ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi
'kontroversial' lainnya.

Pelatihan Kader Dasar | 13


Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok
yang masuk kategori ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam),
ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli
hadits (muhadditsîn). Dari kelompok- kelompok ini masing-
masing memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-
sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas ini.
D. Transformasi Teologi Aswaja Era
Postmodern Aswaja Sebagai Mazhab dan
Telaah Kritisnya
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar
tahun 1994, pengertian Aswaja lebih didorongkan sebagai
Madzab ditubuh Nahdlatul Ulama’. Aswaja sebagi madzhab
artinya seluruh penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah
menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama
yang dimaksud. Aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang
diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi
ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan
keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab,
seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin
Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu
dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama
terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada
beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan
membahas doktrin Aswaja.
Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja
dalam kitab Qanun asasi NU dengan melakukan pembakuan
atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tauhid aswaja (harus)
mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al
Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu

Pelatihan Kader Dasar | 14


di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-
Ghazali atau Al-Junaidi.
Sedangkan menurut KH. Said Aqil Siraj ada dua pola
pemahaman kaum muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Pertama, yang memahami Aswaja identik dengan Islam dengan
doktrin pemurnian (purifikasi) ajaran Islam. Kedua, yang
memahami Aswaja sebagai “madzhab” saja (Said Agil Siradj:
1997). Baik pola pertama maupun kedua masing-masing
mempunyai kelemahan. Yang pertama seringkali mengklaim
bahwa kebenaran hanyalah milik kelompoknya, sehingga
kesan sekterianisme perlu dihindarkan pada level praksisnya,
pengkafiran (takfir) menjadi bagian tidak terpisahkan dalam
relasinya dengan non-muslim maupun dengan umat Islam yang
tidak satu aliran, sehingga bentuk kekerasan menjadi mudah
dilakukan atas dasar teks agama (dari konteks ke teks). Pola
madzhab cenderung untuk menjadi institusi, dalam
beberapa hal ia menjadi kaku (jumud). Madzhab
mengandaikan kebakuan suatu pola ajaran, dan akhirnya
menjadi ajaran atau doktrin yang terbakukan.
Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja.
Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks
keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang
terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama
klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami
agama. Kemudian sekitar pertengahan dekade 1990an, muncul
gugatan yang mempertanyakan, masih tepatkah Aswaja dianut
sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan
cara lain?
Aswaja sebagai madzhab mengharuskan seluruh
penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan produk
hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini
Pelatihan Kader Dasar | 15
dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan
perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang
berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru
untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis
terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat
madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik
dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang
menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat
diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus
diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.
Kontekstualisasi Aswaja sebagai Manhaj al-
Fikr dan Manhaj Al-Taghayyur Al-Ijtima’i
Perubahan alur dari madzhabi ke manhaji adalah
sebuah landasan konsepsional dan teoritis, dimana madzhab
adalah aliran yang di dalamnya memuat seperangkat aturan-
aturan, nilai-nilai, norma-norma, metodologi, dan dalam
prakteknya sudah diamalkan oleh seluruh warga Nahdliyin
dengan mengikuti madzhab teologi, madzhab fiqih, dan
madzhab tasawuf. Sementara manhaji adalah sebuah konsep
metodologis yang selalu berkembang dan berubah sesuai
dengan tuntutan zaman.
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik
dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama,
kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mu‘tazilah yang
pelapori oleh Washil bin Atho‘, kedua, kelompok tekstualis
dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang
munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya.
Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik
dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi‘ah dan
Pelatihan Kader Dasar | 16
Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang
dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy‘ari dan Abu Mansur al-
Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikr artinya
Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan
dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran
agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba
mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi
sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada
banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga
PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan
siapapun dan kelompok apapun.
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai metode berfikir
(manhaj al-fikr). Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku
tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca
Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan
rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung.
Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-
fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj pada
sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991 yang mengundang
kontroversi, mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan
memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama
untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama
yang tersebut dalam pengertian Aswaja.
PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah
orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan
yang mencakup semua aspek kehidupan dengan
berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan
toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah

Pelatihan Kader Dasar | 17


metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan -
persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan;
inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Selain itu salah satu karakter Aswaja adalah selalu
bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi (Al-Taghayyur Al-
Ijtima’i), oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku,
tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim.
Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus
dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah
kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu
pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena
implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-
akhdzu bi al jadid alashlaha adalah menyamakan langkah sesuai
dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa
yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif
pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sektor dan
bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, sosial
budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Semua itu dilakukan sebagaim wujud dari upaya untuk
senantiasa melaksanakan ajaran Islam dengan sungguh-
sungguh.
E. Prinsip ASWAJA sebagai Manhaj al-Harokah
Berikut ini adalah prinsip-prinsip metodologis gerakan
Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip
prinsiptersebut meliputi Aqidah, pengambilan
hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
1. Aqidah
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi
penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya
yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait
Pelatihan Kader Dasar | 18
dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak
perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT.
Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah
tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H)
secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan
yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati (mausuf),
sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama
(Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan
pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan
manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan
murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah
yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan
semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki
sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan
meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada
para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang
dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia
dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia
dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam
doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini
dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan
Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat
manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh
setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan
dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan

Pelatihan Kader Dasar | 19


mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul
jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh
amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang
banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang
banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2. Bidang Istinbath Al-Hukm (Pengambilan
Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat
sumber hukum yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas.
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan
hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua
madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak
diragukan, Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi
dalam Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala
tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan
oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah
setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-
Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari
apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an. As-Sunnah
sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada
yang terus- menerus (mutawatir), terkenal (masyhur)
ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah
tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-
Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-
halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa
terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan
orang-orang mukallaf dari ummat Nabi Muhammada pada
suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-
Qur’andasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’ ayat 115 dan QS
Pelatihan Kader Dasar | 20
Al-Baqarah ayat 143.

Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah


satu hasil ijtihad para Ulama. Imam Syafi’i mendefinisikan
qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapan hukum) dengan
berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah
diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadist.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan:
Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam
nas dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nas,
disebabkan kesatuan ‘illah hukum antara keduanya.
3. Bidang Tasawuf
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi
menjelaskan “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari
dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf
adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa
keterikatan apa pun.”
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan
“Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. Aku
simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan
perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan
yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling
tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal
selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya
sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“Berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan
apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa saja
selain Allah…. Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari
berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al- Ghazali.
Seorang sufi adalah mereka yang mampu
Pelatihan Kader Dasar | 21
membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah
proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama
keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat
duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk
melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa
meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? Karena justru di
tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai
Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud
namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja
Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses,
Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz
adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara,
Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusahakonveksi, Abu
Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-
Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah
sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan
duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah
seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada
urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas
bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan,
hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-
urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai
zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi
secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak
terikat dengan urusan- urusan itu. Di situlah zuhud kita
maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas
sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan
segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat
yang baik.

Pelatihan Kader Dasar | 22


4. Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah
konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),
Ahlussunnah wal- jama’ah dan golongan sunni umumnya
memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu
kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan
golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri
tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya
sendiri. Bagi Ahlussunnah Wal Jama’ah, negara merupakan
alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk
menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama
(mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk
negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-
modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat- syarat atau
kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah
otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat
itu adalah:
a) Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil
segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan
peraturan (SebgaimanaQS. As-Syura ayat 36-39).
b) Prinsip al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak
ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh
dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk
pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang
memerintahkan keadilan. (QS. An-Nisa ayat 58)
c) Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Pelatihan Kader Dasar | 23
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi
warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena
merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan
manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams
(prinsip yang lima), yaitu:
(1) Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap
warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas
untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
(2) Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang
memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau
melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga
negara.
(3) Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban
setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta
benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib
memberikan jaminankeamanan dan menjamin rakyatnya hidup
sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
(4) Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan
terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga
negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis),
tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan
sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus
memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah
negaranya.
(5) Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan,
profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena
profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus
Pelatihan Kader Dasar | 24
menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi
setiap warga negara.
Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi
Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan
mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok
atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi
sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap
orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.
5. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT.
Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan
bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu
manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia
diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu
dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan
sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. (lihat
Q.S. Al-Hujuraat ayat;13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni
fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial.
Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam
surat Al-Ma’idah ayat 48.
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah
sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan
memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka
memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi,
melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak
ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.
Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat
antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar
Pelatihan Kader Dasar | 25
oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin
Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah
Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun
tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam
hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah
pemerintahan baik negara maupun kerajaan harus mampu
memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
F. Implementasi Aswaja dalam Nilai-Nilai
Gerakan
Aswaja sebagai Manhaj Al-Taghayyur Al-Ijtima‘I bisa kita
tarik dari nilai- nilai perubahan yang diusung oleh Nabi
Muhammad dan para sahabat ketika merevolusi masyarakat
Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-
nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok
yang menjadi landasan perubahan itu: (1) Basis Nilai, yaitu nilai
kebenaran qurani dan sunnah nabi yang diimplementasikan
secara konsekwen dan penuh komitmen. (2) Basis Realitas,
yaitu keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat
lapisan bawah. Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan
yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan
Aswaja, termasuk di dalamnya NU dan PMII. Konsistensi di
sini hadir dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu
terbuka untuk dikritik dan dikonstruk ulang, sesuai dengan
dinamika zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim
kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas,
jauh dari sikap eksklusif dan fanatik.
Maka empat nilai yang dikandung oleh aswaja, untuk

Pelatihan Kader Dasar | 26


konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan
perkembangan teori-teori sosial dan ideologi-ideologi
dunia.
1) Tawassuth sebagai pola pikir, harus kita maknai sebagai
tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal di satu sisi dan nalar
sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang
otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam
tradisi. Pemaknaannya ada dalam paradigma yang dipakai
oleh PMII yaitu paradigma kritis transformatif.
2) Tasamuh sebagai pola sikap harus kita maknai sebagai
bersikap toleran dan terbuka terhadap semua golongan selama
mereka bisa menjadi saudara bagi sesama. Sudah bukan
waktunya lagi untuk terkotak-kotak dalam kebekuan
golongan, apalagi agama. Seluruh gerakan dalam satu nafas
prodemokrasi harus bahu membahu membentuk aliansi
bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik, bebas dari
segala bentuk penindasan dan penjajahan. PMII harus bersikap
inklusif terhadap sesama pencari kebenaran dan membuang
semua bentuk primordialisme dan fanatisme keagamaan.
3) Tawazun sebagai pola relasi dimaknai sebagai usaha
mewujudkan egalitarianisme dalam ranah sosial, tidak ada lagi
kesenjangan berlebihan antar sesama manusia, antara laki-laki
dan perempuan, antara kelas atas dan bawah. Di wilayah
ekonomi PMII harus melahirkan model gerakan yang
mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar dan
masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan
orientasi ekonomi di tangan pasar sehingga fungsi negara
hanya sebagai obligator belaka dan masyarakat ibarat robot
yang harus selalu menuruti kehendak pasar; atau sosialisme
yang menjadikan Negara sebagai kekuatan tertinggi yang
mengontrol semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada
Pelatihan Kader Dasar | 27
kebebasan bagi pasar dan masyarakat untuk
mengembangkan potensi ekonominya. Di wilayah politik, isu
yang diusung adalah mengembalikan posisi seimbang antara
rakyat dan negara. PMII tidak menolak kehadiraan negara,
karena Negara melalui pemerintahannya merupakan
implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu
dikembalikan adalah fungsi negara sebagai pelayan dan
pelaksana setiap kehendak dan kepentingan rakyat. Di bidang
ekologi, PMII harus menolak setiap bentuk eksploitasi alam
hanya semata- mata demi memenuhi kebutuhan manusia
yang berlebihan. Maka, kita harus menolak nalar positivistik
yang diusung oleh neo-liberalisme yang menghalalkan
eksploitasi berlebihan terhadap alam demi memenuhi
kebutuhan bahan mentah, juga setiap bentuk pencemaran
lingkungan yang justru dianggap sebagai indikasi kemajuan
teknologi dan percepatan produksi
Ta’adul sebagai pola integral mengandaikan usaha PMII
4)
bersama seluruh komponen masyarakat, baik nasional
maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat
manusia. Keadilan dalam berpikir, bersikap, dan relasi.
Keadilan dalam ranah ekonomi, politik, sosial, budaya,
pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan
menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui
usaha sungguh- sungguh, bukan sekadar menunggu anugerah
dan pemberian turun dari langit.
G. Aswaja & Tantangan Masa Depan
Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan
nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun
jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit
perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus
besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja. Yang paling
Pelatihan Kader Dasar | 28
penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di
Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh),
seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten pada
sikap adil (i‘tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang
menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang
menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang
plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-
beda.
Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan
Aswaja di Indonesiasekarang ini dan di masa depan: kekuatan
liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di
pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang
pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah
Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa
pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16
masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan
filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan
terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang
melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang
dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap
menyapu masyarakat di negara-negara berkembang,
termasuk di Indonesia.
Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir
dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai
“musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika
Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara
umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut
garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim.
Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di
New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua
kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa
Pelatihan Kader Dasar | 29
yang disebut “perang terhadap terorisme” dilancarkan
Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.
Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal
dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional,
lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi
kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia
yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.

Pelatihan Kader Dasar | 30


DAFTAR RUJUKAN

Abbas, Sirajuddin. 2006. I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah. Jakarta:


Pustaka Tarbiyah
Anwar, Syamsuddin. 1999. Ahlus Sunnah wal Jama’ah Konteksnya
dengan Sumber DayamManusia dan Lingkungan Hidup,
Semarang: Yayasan Pendidikan Tinggi NUJawa Tengah
Hamzah, Muchotob, dkk. 2017. Pengantar Studi Aswaja An-
Nahdliyah. Yogyakarta:LkiS
Nahrawi, Ahmad Abdussalam. 2008. Ensiklopedi Imam Syafi’i.
Jakarta Selatan: PTMizan Publika
Santoso, Nur Sayyid. 2017. Sejarah Teologi Islam dan akar Pemikiran
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Santoso, Nur Sayyid. 2019. Hand-Out Discussion; Materi Kaderisasi
PMII, Cilacap:PMII Jaringan Inti Ideologis
Siradj, Said Aqil. 2008. Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik
Historis. Jakarta:Pustaka Cendikia Muda
Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr

Pelatihan Kader Dasar | 31


BAB II

PETA GERAKAN ISLAM DI INDONESIA

Embrio Lahirnya Aliran Dalam Islam


Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan Islam
di Mekkah, kotaini memiliki sistem kemasyarakatan terletak
di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem
pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang
anggotanya terdiri dari kepala suku, dan dipilih berdasarkan
kekayaan serta pengaruhnya di masyarakat. Ketika Nabi
Muhammad SAW diangkat menjadi pemimpin, terjadi
perselisihan dan perlawanan dari mereka, khususnya para
pedagang dan pebisnis Arab kala itu. Akhirnya Rasulullah
SAW hijrah ke Yasrib/Madinah (622 M). Di Madinah
Rasulullah berperan ganda, selain sebagai pemimpin agama
juga menjadi pemimpin negara/pemerintahan. Dari kota
Madinah inilah syiar dan pemerintahan Islam dikelola, sampai
akhirnya Mekkah dapat dikuasai. Bahkan daerah kekuasaannya
telah meliputi seluruh semenanjungArabia.
Pada jaman Rasulullah SAW sesungguhnya telah
muncul embrio kelompok penentang Nabi/Islam.
Setidaknya ada tiga kelompok yang mengemuka saat itu,
yaitu: (1) kelompok inkar as-sunnah (mengingkari hadits
Nabi); (2) kelompok inkar Az-zakah (menolak membayar zakat),
dan (3) kelompok murtad (meninggalkan Islam dan kembali ke
jahiliyah). Namun tiga kelompok ini, kala itu tidak diperangi,
karena masih berikrar sebagai penganut Islam, dan mengakui
kenabian Muhammad SAW selain itu, Nabi Muhammad
SAW lebih memilih cara-cara damai dalam menyelesaikan

Pelatihan Kader Dasar | 32


setiap masalah, sebagaimana sikap Nabi ketika ditekan orang-
orang Quraisy di Thaif saat menyebarkan Islam.
Di jaman Abu Bakar Ash-shiddiq, kelompok-kelompok
di atas semakin menunjukkan eksistensinya, bahkan
menolak terhadap seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW., sehingga Abu Bakar meniscayakan
peperangan atas mereka. Kelompok-kelompok penentang
Nabi tersebut, akhirnya berhasil ditumpas, dan seluruh
tokohnya tewas dalam pertempuran. Perang melawan mereka
di jaman Abu Bakar disebut dengan “Perang Riddah” (perang
melawan kaum murtad). Tokoh-tokohnya antara lain: (1) Al
Aswad Al Ansi. Dia memimpin Pasukan Badui di Yaman
dalam sebuah pertempuran melawan pasukan Abu Bakar. Ia
terbunuh dalam pertempuran tersebut, dan pasukan Islam
berhasil menguasai Yaman; (2) Thulaihah bin Khuwalid Al
Asadi. Dia menganggap dirinya sebagai Nabi. Pengikutnya
berasal dari: Bani Asad, Bani Gatafan, dan Bani Amir.
Pasukanmuslim berhasil mengalahkan mereka di bawah
panglima perang Khalid bin Walid, dalam pertempuran di
Bazakhah; (3) Malik bin Nuwairah. Dia merupakan
pemimpin Bani Yarbu’ dan Bani Tamim. Sepeninggal
Nabi, ia tidak mengakui Islam. Malik bin Nuwairah juga
terbunuh dalam pertempuran yang dipimpin Khalid bin
Walid; (4) Musailamah al-Kadzab (Sang Pembohong).
Musailamah adalah tokoh yang paling berbahaya. Dia
mengklaim sebagai Nabi ketika Nabi Muhammad SAW
masih hidup, baik di kalangan umat Islam maupun Kristen.
Pengikut terbesar Musailamah adalah Bani Hanifah di
Yamamah. Pasukan muslim yang dipimpin Ikrimah bin Abu
Jahal dan Syurahbil bin Hasanah hampir kalah dalam
pertempuran melawan Pasukan Musailamah. Namun
Pelatihan Kader Dasar | 33
setelah datang bantuan bala tentara muslim di bawah
Khalid bin Walid, pasukan Musailamah berhasil dikalahkan.
Tercatat ada 10 ribu kaum murtad terbunuh, dan ribuan kaum
muslimin gugur menjadi syuhada dalam pertempuran ini
(rata-rata huffadz: ini pula yang menjadi cikal bakal kodifikasi
Al-Qur’an).
Sejarah Munculnya Aliran dalam Islam
Bibit-bibit awal kemunculan aliran dalam Islam
sesungguhnya mulai terjadi pada saat Rasulullah SAW wafat
(632 M). Persoalannya berkisar pada masalah siapa
pengganti pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad
Saw. Meski persoalan itu akhirnya dapat diselesaikan,
namun bibit-bibit perpecahan sudah mulai muncul pada saat
itu. Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat
Khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari
Utsman bin Affan ke Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Perpecahan
itu semakin kuat pada saat kekuasaan Ali Ibn Abi Thalib.
Tercatat ada dua peperangan besar yang terjadi di jaman
Khalifah Ali, yaitu (1) Perang Jamal (Perang Onta) yang terjadi
antara Ali dan Aisyah, dibantu oleh Zubeir bin Awwam dan
Thalhah bin Ubaidillah; (2) Perang Siffin, yang berlangsung
antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abi
Sufyan (Gubernur Damaskus kala itu).
Perselisihan antara Kubu Sayyidina Ali dan para
penentangnya itu melahirkan aliran-aliran keagamaan dalam
Islam, antara lain: Syiah, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Jabariyah, Qadariyah, dan Ahlussunnah wal
Jamaah. Aliran-aliran tersebut, dalam perkembangannya telah
menginspirasi umat Islam dunia di berbagai bidang, seperti
hukum (fiqh), akidah (teologi), dan filsafat.

Pelatihan Kader Dasar | 34


Oleh karena itu, jika dipetakan perkembangan
pemikiran Islam secara umum dibagi dalam empat
kelompok, yaitu: (1) Pemikiran Ahli Fikih; (2) Pemikiran
Teologi Islam; (3) Pemikiran Filsafat Islam; dan (4) Pemikiran
Modern.
Pertama, Pemikiran fikih sudah dimulai sejak Rasulullah
masih hidup. Pada masa itu, semua hukum fikih bisa
langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Setelah Nabi wafat,
perkembangan fikih pada masa sahabat dibagi ke dalam dua
macam kelompok, yaitu: (1) kelompok Ahl an Nash dan (2)
kelompok Ahl al Ra’yi. Perkembangan fikih setelah masa
kepemimpinan Ali ibn Abu Thalib disebut dengan Fikih
Tabi’in.
Kedua, Pemikiran teologi Islam. Setelah kepemimpinan
Islam dilanjutkan oleh para sahabat, banyak tumbuh dan
berkembang golongan teologi Islam, sebagaimana diuraikan
dalam penjelasan di atas. Tujuan dari golongan ini adalah
menjelaskan dan membela akidah Islam, serta menolak akidah
yang bertentangandengan akidah Islam.
Ketiga, Pemikiran Filsafat Islam. Pada masa ini banyak
muncul tokoh- tokoh pemikir filsafat Islam, antara lain: Al-
Ghazali, Ibnu Rusyd, Syuhrowardi, Al-Kindi, Abu Bakar
Arrazi, Al Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Keempat, Pemikiran Modern. Pada kelompok ini
muncul beberapa pemikiran Islam, antara lain: (a) Islam
Tekstual, corak pemikiran ini bercorak fundamental dan
tekstualis; (b) Islam Revivalisme, yakni pengkombinasian Islam
dan modernitas, tapi masih kental nilai keislamannya; (c)
Islam Modern. Coraknya lebih banyak memasukkan nilai-nilai
kemodernan dalam pemikiran Islam; (d) Neo Modernisme.
Pemikirannya lebih banyak ke liberalisme dan
Pelatihan Kader Dasar | 35
kontekstualis.
Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia
Berbicara tentang peta pemikiran dan gerakan Islam
di Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari
sejarah masuknya agama Islam di negeri ini. Terdapat dua
versi mengenai kapan dan dari mana agama Islam itu
disebarkan. Pertama, pendapat dari Snouck Hurgronje yang
menyebut bahwa pada abad ke-13 M. merupakan awal dari
masuknya agama Islam ke tanah air, melalui Persi dan
Gujarat (India). Versi ini cukup banyak menghiasi buku-buku
sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia mulai dari
pendidikan dasar sampai PT. Kedua, pendapat Thomas W.
Arnold, yang menyebut Agama Islam masuk ke Indonesia pada
abad 7 M dibawa oleh para saudagar Arab (Mekah dan
Mesir) sejak abad pertama Hijriyah. Pendapat ini diperkuat
oleh Buya Hamka (1982), seperti dikutip dalam bukunya
“Sejarah Umat Islam di Indonesia”. Corak dan ajaran Islam
yang pertama kali berkembang menurutnya banyak
dipengaruhi oleh Madzhab Syafi'i.
Hamka memiliki sejumlah argumentasi mengenai
pendapatnya itu, antara lain: (1) dalam buku catatan
perjalanannya, Ibnu Batutah menulis, ia menyaksikan Raja-raja
Samudera Pasai bermadzhab Syafi'i. Dan madzhab Syafi'i
kala itu kebanyakan dianut oleh umat Islam di Mekah
(sebelum jatuh ke ibnu Saud) dan Mesir. (2) Al Malik, gelar
yang dipakai oleh raja-raja Pasai adalah sama dengan gelar
yang dipakai oleh raja-raja Mesir. Tiruan gelar ini tidak
ditemukan di Iran (Persia) atau di India. Gelar “Syah” raja-raja
Malaka baru dipakai pada permulaan abad 15 M. Ini berarti
bahwa pengaruh India dan Persia datang setelah pengaruh

Pelatihan Kader Dasar | 36


Arab dan Mesir. Masih menurut Hamka, jika pengaruh India
yang besar maka Madzhab Hanafiyah yang paling berpengaruh
di sini. Dan Jika pengaruh Iran yang kuat, tentu Madzhab
Syiah yang paling berpengaruh di sini. Faktanya kedua
madzhab tersebut tidak populer di negeri ini, sejak
permulaan Islam masuk sampai sekarang. (3) Sebelum Ibnu
Batutah melawat ke Kerajaan Pasai sudah ada ulama besar
Indonesia yang mengajar ilmu tasawuf di Adn dan Arab, yakni
Syaikh Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi. Ini
merupakan bukti bahwa hubungan dalam mencari ilmu
pengetahuan Islam langsung ke tanah Arab, bukan ke India
atau Malabar.
Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia
Peta pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia dapat
dirunut sejarahnya pada dekade tahun 1800-1900-an, setelah
Haramain jatuh ke Ibnu Saud. Penguasa baru di tanah Arab itu
kemudian menggandeng Ibnu Abdul Wahab dalam gerakan
pemurnian dan pembaharuan Islam. Ada dua missi besar
yang diinginkan, (1) menjadi Khilifah Islamiyah yang bersifat
tunggal di kalangan dunia Islam, untuk menggantikan Khilifah
Usmaniyah di Turki yang baru digulingkan oleh Gerakan Turki
Muda pimpinan Kemal Attaturk; (2) menjadikan paham
Wahabi sebagai satu-satunya madzhab tunggal di kalangan
umat Islam dunia.
Paham Wahabiah yang merambah ke tanah air melalui
sejumlah tokoh danorganisasi di atas menimbulkan ketegangan
di internal umat Islam Indonesia. Masalah pokok yang
menjadi sumber ketegangan sesungguhnya bukanlah
substansi dari nilai ajaran Islam, tetapi lebih menunjuk kepada
aspek khilafiyah, seperti soal taqlid, upacara kematian, tahlil
dan talqin, ushalli dan sebagainya atau isu yang terkenal kala
Pelatihan Kader Dasar | 37
itu adalah TBC (taklid, bid’ah dan churafat). Upaya untuk
menyatukan perbedaan ini bukan tidak ada, tetapi selalu gagal
dalam beberapa kali pertemuan. Fenomena inilah yang
kemudian menjadi salah satu sebab atau motivasi kenapa
Nahdlatul Ulama (NU) harus berdiri pada tahun 1926.
Setelah NU berdiri, ketegangan di kalangan umat Islam
Indonesia bukan tidak ada, tetapi berpindah dari ranah
kultural ke ranah politik. Dijelaskan oleh Djohan Effendi
(2010)1, sejak pembentukannya pada tahun 1926, NU
menempati posisi sentral dan memainkan peranan penting di
kalangan masyarakat santri, terutama di pedesaan. Ia
menunjukkan kemampuan membangkitkan kesadaran kolektif
umat Islam Indonesia, terutama di bidang agama, sosial,
kebangsaan, pendidikan dan sebagainya.
Beberapa catatan yang menjadi prestasi NU sejak jaman
kolonial, revolusi dan kemerdekaan, antara lain: (1)
keputusan (ijtihat politik) NU tentang status Indonesia di
jaman Belanda; (2) Resolusi Jihad untuk mempertahankan
kemerdekaan RI; (3) Pemberian gelar kepada Presiden
Soekarno; (4) Kembali ke UUD 1945; (5) Pembubaran PKI;
dan (6) Keputusan tentang asas tunggal dan NKRI. Seluruh
keputusan NU tersebut menjadi landasan bagi seluruh
bangsa,baik Islam maupun non-Islam, dan baik NU maupun
non-NU. Dinamika yangterjadi di tubuh NU, baik pada jaman
Kolonial, Revolusi Kemerdekaan, era Orla dan era Soeharto
merupakan salah satu bentuk gerakan pemikiran di tengah
kompetisi politik dan budaya umat Islam Indonesia kala itu.
Berdasarkan catatan di atas, jelas sekali bahwa paham
Wahabi dunia, merupakan satu-satunya aliran yang cukup
massif melakukan penetrasi terhadap kantong-kantong umat

Pelatihan Kader Dasar | 38


Islam di Indonesia, sementara aliran lain, seperti Syiah dan
sebagainya (meski) diakui pernah masuk ke Indonesia tetapi
tidak berdampak signifikan terhadap mainstream Islam di
negeri ini. Kini, Islam Indonesia semakin memiliki corak
dan karakter yang beragam, baik dari sisi pemikiran maupun
gerakan. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi
keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang
dari waktu ke waktu semakin bervariasi.
Sedangkan dari sisi pemikiran, kita mengenal ada
sejumlah kategori yang biasa dilekatkan dalam pemikiran Islam
di Indonesia, yakni Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam
neo-tradisionalis, Islam neo-modernis, Islam liberal, Islam
post-tradisionalis, Islam radikal, Islam ekstrim, Islam
moderat, Islam fundamentalis, Islam kanan, Islam kiri, dan
sebagainya.
Fazlur Rahman misalnya dengan metode historisnya,
membagi perkembangan pemikiran Islam menjadi lima
yaitu; tradisionalis, revivalis, modernisme klasik, neo revivalis, dan
neo modernis.
1) Kelompok Tradisionalis, mereka adalah kelompok yang
memiliki keterikatan kuat dengan ulama abad
pertengahan. Kelompok tradisionalis menganggap pintu
idjtihad sudah tertutup, hal ini berkaitan dengan
pandangan bahwa ulama-ulama mahzab terdahulu telah
merumuskan permasalahan kehidupan secara lengkap.
Jadi, kalaupun ada masalah- masalah baru yang belum
diputuskan oleh ulama-ulama terdahulu, tinggal dikiaskan
saja dengan fatwa-fatwa mereka. Selain itu, hal ini juga
dipengaruhi oleh pandangan mereka yang menganggap
bahwa ulama sekarang tidak mampu melakukan ijtihad

Pelatihan Kader Dasar | 39


karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Jadi, secara
singkat mereka begitu mengkultuskan ulama-ulama mahzab
dan selalu merujuk kepada keputusan-keputusan mereka
dalam mengatasi permasalahan yang berkembang dalam
konteks kekinian.
2) Kelompok Revivalis,pemikiran ini muncul diakibatkan
adanya rasa keprihatinan yang dalam mengenai
keterpurukan kaum muslimin. Sehingga hadirlah suatu
gerakan pembaharuan yang mencoba mengangkat kembali
derajat kaum muslimin. Gerakan mereka terutama berusaha
menghindarkan umat Islam dari praktek tahayul dan
khurofat dengan cara kembali kepada ajaran sumber
utama Islam; Al-Qur‘an dan Sunnah. Sebagai pembeda
pemikiran kaum revivalis dengan pemikiran selanjutnya
(modernis), mereka tidak mendasarkan pembaharuannya kepada
konsep-konsep Barat. Tokoh sentral gerakan ini menurut
Rahman adalah Ibn Abdul Wahab yang pada tahap selanjutnya
menjelma menjadi kekuatan pemikiran besar yang disebut
Wahabi.
3) Modernisme Klasik, kemunculannya adalah pada
awal abad ke-19. Walaupun bertolak dari semangat
yang dikobarkan kaum revivalis, namunkelompok pemikir
ini sudah memiliki relasi dengan para pemikir Barat. Selain
itu, kaum modernis juga memiliki perluasan isi ijtihad.
Sehingga mereka mulai berani mengurai masalah-masalah
sosial seperti mengenai demokrasi, kesetaraan
priawanita, dan pembaharuan pendidikan yang diperoleh
dari interaksi dengan dunia Barat. Walaupun begitu, mereka
tetap menyandarkan pemikirannya dalam kerangka
keIslaman. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam golongan ini
diantaranya adalah Sayyid Jamaludin Al Afgani dan

Pelatihan Kader Dasar | 40


Muhammad Abduh.
4) Neo-Revivalis, pemikiran ini muncul sebagai respon
terhadap pemikiran modernisme klasik (demokrasi dan
juga kemajuan pendidikan). Namun relasi antara kaum neo-
revivalis dengan kaum modernisme klasik tidak selamanya
antagonis. Ada tiga hal yang menjadi penolakan kaum neo
revivalis terhadap pemikiran kaum modernis yaitu mengenai
bunga bank, aurat wanita dan juga keluarga berencana.
Pemikiran ini muncul pada awal abad ke 20 di daerah
Arab Timur Tengah, India-Pakistan, dan juga Indonesia.
5) Neo-Modernis, menurut Rahman, kehadiran kelompok ini
adalah mencoba merespon pemikir-pemikir kelompok yang
terlebih dahulu hadir. Keterkaitan mereka dengan
pemikiran Barat begitu kuatnya bahkan mereka begitu
tercelup dalam arus westrenisasi. Kelompok ini mencoba
merekonstruksi pemikiran Islam secara radikal. Mereka
mencoba menawarkan metode baru dalam memaknai Al-
Qur‘an, yaitu melalui pendekatan-pendekatan filsafat
hermenetika (tafsir). Hal ini tentunya memunculkan
gelombang kontroversi yang begitu besar dikalangan muslim
dari golongan tradisionalis dan revivalis yang masih
memiliki kerigidan metode dalam menafsirkan Al-
Qur‘an, terutama kaum tradisionalis yang masih sangat
mengkultuskan ulama abad pertengahan.
Khusus di Indonesia pun banyak para peneliti yang
mencoba menelaah lebih dalam peta pemikiran Islam di
Indonesia secara spesifik. Menurut Fahri Ali dan Bachtiar
Effendy, pemikiran Islam di Indonesia dapat dikategorikan
menjadi formalistik, substansialistik, transformatik, totalistik,
idealistik, dan realistik. Di sisi lain, Syafii Maarif membedakan
Pelatihan Kader Dasar | 41
corak pemikiran Islam Indonesia menjadi empat, modernis
dilanjutkan oleh neo modernis, neo tradisionalis, eksklusif Islam,
modernis sekularis muslim. Sedangkan M. Dawam Raharjo
membedakannya menjadi nasionalis Islam, humanis-sosialis,
muslim-sosial, sekular-muslim dan modernis-sekular. Namun secara
umum pemikiran Islam di Indonesia dapat dikategorikan
kedalam tiga kelompok besar yaitu pemikiran formalistik,
substansialistik, dan juga moderat.
1) Tipologi Formalistik merujuk kepada golongan yang
menekankan ideologisasi atau politisasi yang mengarah
pada simbolisme keagamaan secara formal. Kelompok ini
menganggap ajaran Islam adalah ajaran yang sempurna dan
lengkap, oleh karenanya tiap-tiap orang yang mengaku
muslim haruslah menerima sistem-sistem kehidupan yang
ada seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dan
juga sosial yang dianjurkan oleh Islam. Secara politis,
kelompok ini sudah barang tentu sangat menginginkan
pemberlakuan syariat Islam, sehingga gerakan mereka
terkristalisasi dalam berbagai partai politik Islam ataupun
gerakan keagamaan yang mengusung penerapan syariat
Islam.
2) Substansialistik. merupakan antitesis dari pemikiran
sebelumnya, yaitu Menurut pendangan kelompok ini, jalan
yang paling tepat untuk melakukan Islamisasi di Indonesia
adalah dengan mengedepankan sisi substansial dari ajaran
Islam, ketimbang sisi formalnya. Sifat lebih utama dibanding
bentuk, sehingga menurut kelompok ini tidak perlu
pemberlakuan Syariat Islam, namun lebih strategis nilai-
nilai (value) yang terdapat dalam ajaran Islam seperti;
persamaan, keadilan dan kemerdekaan yang dapat

Pelatihan Kader Dasar | 42


diwujudkan di dalam masyarakat Indonesia. Golongan
ini memiliki kemiripan dengan tipologi neo-modernisme
dalam kacamata Rahman. Karena memang kelompok
substansialis sangat akrab dengan pembaharuan pemikiran
Barat. Abdurrahaman Wahid, Nurcholish Madjid, Dawam
Raharjo, Johan Efendi, serta tokoh muda Ulil Abshar
Abdalla adalah orang-orang yang pemikirannya termasuk
dalam golongan substansialistik. Karena golongan ini
menggunakan metode yang bersandarkan pada prinsip-
prinsip ilmiah, maka golongan formalistik mengaggap
pemikiran ini telah menghancurkan doktrin-doktrin Islam
yang sebenarnya, bahkan lebih jauh mereka dianggap
antek-antek Yahudi untuk menghancurkan kelompok Islam
fundamentalis.
3) Moderat, pemikiran ini adalah jalan tengah antara
pemikiran formalistik dan substansialistik. Mereka mencoba
menjaga kemurnian doktrin Islam, namun di sisi lain tetap
merespon perkembangan sosio-kultural yang ada. Dalam
pandangan kaum moderat, nilai-nilai keIslaman harus tetap
dijaga terutama yang mengenai hal prinsip seperti aqidah
dan ibadah, namun dalam prinsip muamalah diberikan
keleluasaan dalam merespon perkembangan zaman yang
ada. Dalam konteks kekinian, kelompok moderat diwakili
oleh dua organisasi besar di Indonesia, yaitu NU
(Nahdlatul Ulama) dan juga Muhammadiyah. Oleh
karenanya, kelompok moderat terfragmentasi menjadi
dua, yaitu moderat tradisionalis dan juga moderat
modernis.
Aliran-Aliran Islam Kontemporer di Indonesia
1. Islam Tradisional
Istilah ini biasanya dilekatkan ke bangunan keIslaman
Pelatihan Kader Dasar | 43
komunitas tradisional, yang sering diasosiasikan dalam
organisasi Nahdlatul Ulama. Secara sederhana kata
tradisional mengacu ke suatu adat kebiasaan. Tradisi
bermakna kebiasaan yang terus menerus direproduksi dan
dilembagakan oleh masyarakat. Tradisional adalah kata sifat
dari sesuatu, sehingga tradisional berarti segala sesuatu
yang berkaitan dengan tradisi kebiasaan tadi. Dalamteori
politik, faham yang memegang teguh tradisi disebut
dengan tradisionalisme. Ciri khas pemikiran tradisional
adalah menundukkan realitas di bawah teks dan
manifestasi sosialnya nampak dalam berbagai kegiatan
ritual keagamaan seperti ziarah, khaul, dan lainnya.
Namun teks yang dimaksud lebih mengacu, meski tidak
secara mutlak, ke kitab-kitab yang sering disebut dengan
kutulrul mu‘tabarah.
2. Islam Modernis
Sama dengan istilah tradisional, Islam Modernis juga
terkait erat dengan pengertian sosiologis dan epistemologis.
Secara sosiologis, lahir dari kalangan masyarakat
perkotaan, atau katakanlah kelas menengah ke atas.
Secara historis, dapat dipandang sebagai antitesa terhadap
praktek keberagamaan kaum tradisional yang dipandang
menyimpang. Secara kelembagaan sering diasosiasikan
dengan Muhammadiyah dan Persis. Istilah ini mengacu
pada makna dasar kata modern itu sendiri. Yang sering
diidentikkan dengan pembaharuan (modernisasi) alias
rasionalisasi. Cirin-cirinya langsung kembali ke teks
otentik Islam: Al-Qur‘an dan Hadits. Menolak kewajiban
bermazhab, dan lumayan anti terhadap berbagai budaya
lokal secara antropologis-sosiologis tidak bertolak dari
teks.
Pelatihan Kader Dasar | 44
3. Islam Neo-modermis
Istilah ini dilekatkan pada pemikir Islam asal Pakistan,
Fazlur Rahman. Kata neo di sini mengacu ke seruan untuk
menengok kembali ke warisan Islam klasik. Menurut
aliran ini, pembaharuan pemikiran Islam harus berbasiskan
pada warisan Islam klasik yang dipandang sangat kaya.
Pembasisan ini akan memperkokoh bangunan pemikiran
keIslaman modern sebab berakar secara kukuh pada
khazanah keIslaman itu sendiri. Jika dilihat dalam optik
Kuhnian, epistemologi yang dibangun merupakan
epistemologi yang bukan diskontinuitas dengan epsiteme
masa lalu. Di Indonesia aliran ini dibawa oleh pentolan
Paramadina, Nurcholish Madjid. Intinya adalah apresiasi
terhadap masa lalu bukanlah apresiasi terhadap
kebudayaan atau tradisi, namun mengacu ke sejarah
pemikiran Islam global (dunia) seperti Ibn Shina, Ibn
Thufail, Ibn Rusyd, dan lainnya.
4. Islam Fundamentalis
Istilah ini memiliki kesamaan dengan istilah tradisional,
dalam arti tidak diciptakan oleh komunitas mereka,
namun diciptakan oleh entitas di Iuar dirinya sendiri.
Dalam sosiologi agama, istilah ini berasal dari sejarah
pemikiran Kristen. Dalam kalangan Kristen istilah ini
berarti penolakan terhadap penafsiran bibel yang tidak
lafdhiyyah. Introduksi perangkat hermeneutik atau
interpretasi non-tekstual ditolak sebab dipandang akan
mengancam kemurnian ajaran. Di kemudian hari istilah ini
mengglobal namun dengan pemaknaan negatif.
Fundamentalisme diidentikkan dengan radikalisme,
Pelatihan Kader Dasar | 45
keras, galak, dan lainnya.
5. Islam Liberal
Istilah Liberal merupakan istilah yang sudah mapan dalam
teori dan filsafat politik. Liberalisme merupakan suatu
pandangan filsafat yang mempercayai kemampuan manusia
untuk menggunakan rasionya untuk menggerakkan
reformasi sosial, cenderung menerima perubahan, bahkan
tak dapat ditawar- tawar, walaupun dapat dikendalikan,
dan memperjuangkan kebebasan berkehendak manusia.
Tinjauan singkat di atas menunjukkan bahwa pandangan-
pandangan liberal menyangkut setidaknya manusia,
ekonomi, dan politik (negara). Manusia dipercaya sebagai
makhluk rasional, dan menumpukan keputusan manusia
pada rasionalitasnya. Secara ekonomi mengambil posisi
pada pasar bebas, dan secara politik mendukung negara
demokratis prosedural. Apa yang dirumuskan oleh
intelektual liberal merupakan jawaban terhadap
persoalan sosial yang ada. Persoalan itu di antaranya
adalah nalar manusia yang ditundukkan oleh otoritas di luar
akal seperti budaya, agama, mitos, dan lainnya, kondisi
politik yang otoritarian. Dengan kata lain, pemikiran
bercorak liberal adakah pemikiran yang pro akal budi (akal
bebas), pasar bebas, pemisahan agama dan negara
(sekularisasi), perlindungan individu (kebebasan
individu), dan lainnya.
6. Islam Kiri/ Kiri Islam
Sebagaimana liberal, istilah kiri juga sudah baku dalam
teori politik. Implikasinya terjadi tarik menarik apakah
yang dimaksud dengan Islam kiri adalah aspek-aspek kiri
dalam Islam, ataukah kiri/ sosialisme yang diramu dengan
religiusitas, atau tesis-tesis kiri yang pararel dengan Islam.
Pelatihan Kader Dasar | 46
Hassan Hanafie, deklarator manifesto Al-Yasar Al-Islamy,
menolak kiri Islam sebagai Islam yang ditafsirkan dalam
konteks marxisme, marxisme yang ditafsirkan dalam
konteks Islam. Dengan kata lain, Islam dalam dirinya
memiliki aspek- aspek sosialistik yang bahkan sangat
revolusioner. Aktifis dan pemikir yang dapat
dikelompokkan dalam sayap ini, atau setidak-tidaknya
dekat dengan kelompok ini. Misalnya, Salamah Musa,
Tahtawi, Shamayyil, Fuad Mursi (mesir), Abdallah Laroui
(maroko), Abdul Khaleq Mahgoub (Sudan), (Mesir), Aziz Al
haji (Iraq), Ben Bella, Ahmad ben saleh (Tunisia),
Qathafi, Syari‘ati (Iran), Cokro (Indonesia), Farid (Afrika
Selatan), dan lainnya. Untuk memahami secara agak
utuh gagasan Kiri Islam harus mengacu setidak- tidaknya
ke Hassan Hanafie, atau Farid Essack. Pemikiran Kiri Islam
Hanafie, menurut Isa Boullata, bertumpu pada telaah
kritis sejarah sosial Islam, hermeneutika teks, dan tafsir
sosial kontemporer dalam optik neo-marxian, meskipun
Hanifie sendiri menolak analisis ini. Dengan kerangka itu,
Hanafie menyodorkan rekonstruksi Tasawwuf, rethinking
tauhid, dan revitalisasi turats. Intinya adalah bagaimana
memaknai Islam sebagai kekuatan pembebas atau Islam
revolusioner.
Penutup
Menurut catatan yang diambil dari Workshop Islam
dan Pluralisme (2008) Semua varian yang disebutkan di atas
dalam sejarah keindonesiaan tidak jarang satu sama lain
mengalami benturan, ketegangan, pergesekan, dan
persaingan yang sangat dinamis. Dinamika itu terjadi
karena didorong oleh banyak faktor. Di antara faktor yang
dominan adalah perebutan kekuasaan (akses) politik dan
Pelatihan Kader Dasar | 47
ekonomi. Relasi antar organisasi ini juga tidak simetris atau
paralel, tetapi seperti sarang laba-laba yang satu titik dengan
titik lain bisa saling berhubungan. Jaring laba-laba ini bukan
untuk memperkuat atau melemahkan, melainkan semata-mata
untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Meskipun terjadi persaingan yang serius, semua
gerakan transnasional tersebut ternyata bertemu dalam
agenda terwujudnya pemerintahan Islam. Kecuali Salafi
Dakwah dan Jamaah Tablig yang, untuk sementara, bersifat
apolitik. Apabila melihat kecenderungannya, maka jamaah
Ikhwan, HT dan Syiah tampaknya paling berpotensi untuk
terus membesar. Ketiga jaringan ini untuk masa yang akan
datang menjadi saingan serius gerakan Islam lokal. Gerakan
Islam lokal (Sunni moderat) tampaknya paling ketinggalan
dalam kompetisi global ini. Hal ini karena, gerakan Islam lokal
semata-mata berbasis nation-state dan tidak mempunyai
jaringan internasional yang kuat.
Pertanyaannya adalah, di mana posisi PMII di tengah
pergumulan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia? untuk
menjawab pertanyaan tersebut, dapat ditelisik dari akar
kesejarahannya, ideologi gerakannya, komunitasnya, dan segala
performance yang melekat pada organisasi ini dan orang-
orangnya. Di sini saya tidak akan memberikan stigma dan
kategorisasi apapun kepada PMII. Karena hanya PMII-lah
yang sejatinya tahu akan jati dirinya. Yang terpenting adalah
bagaimana PMII tetap menjaga komitmennya sebagai
organisasi yang berbasis akademik, berbasis keislaman, dan
keindonesiaan, yang secara dinamis terus
dikontekstualisasikan dalam dimensi kekinian dan
keakanan, untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat,
bangsa, agama dan kemanusiaan.
Pelatihan Kader Dasar | 48
DAFTAR RUJUKAN
Al-Zastrouw. 2006. Gerakan Islam Simbolik. Yogyakarta: LKiS
Pelangi Aksara Basyir, Kunawi. Ideologi Gerakan Politik Islam
Di Indonesia (dalam Jurnal Al-Tahrir, Vol. 16, No. 2 November
2016 : 339 – 362)
Effendy, Bahtiar. 2011. Islam Dan Negara: Transformasi Gagasan Dan
Praktik Politik Islam Di Indonesia. Translated by Ihsan Ali
Fauzi. Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad
Demokrasi
Hilmy, Masdar. 2009. Teologi Perlawanan; Islamisme Dan Diskursus
Demokrasi Di Indonesia Pasca Orde Baru. Yogyakarta: Kanisius
Rahman, Fazlur. 2016. Islam, Sejarah Pemikiran dan Peradaban.
Surabaya: Mizan
Santoso, Nur Sayyid. 2014. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pelatihan Kader Dasar | 49


BAB III

NAHDHATUN NISA’

Feminisme dan Gerakan Perempuan Prespektif


PMII

Prawacana
Nahdlatun berasal dari kata “nahdlah” yang artinya
bangkit dan “nisa” adalaah perempuan. Secara etimologi
Nahdlatun Nisa berarti kebangkitan perempuan dari masa ke
masa yang kemudian gerakannya menjadi pembaharu tanpa
membongkar tradisi. Jika dikaitkan dengan kata bangkit,
maka sontak mindset kita langsung dibawa kepada gaya hidup
kebaat-baratan dimana gerakan gender awal mula diteriakkan
pada abad ke-18. Dalam sejarahnya sendiri, perempuan
Indonesia yang selalu berada dibawah laki-laki dalam
mendapatkan hak berpendidikan, kesehatan dan ekonomi
politik, membuat perempuan Indonesia tergugah untuk
menyuarakan hak.
Pada masa penjajahan, perlakuan ketidakadilan yang
diterima perempuan Indonesia, khususnya dalam lingkup
keluarga, ditulis dalam surat-surat Kartini dari tahun 1878
sampai 1904 yang dibukukan pada mermulaan abad ke -20
surat- surat kartini banyak berbicara tentang nilai-nilai
tradisi yang cenderung membelenggu perempuan,
tergantung pada laki-laki sehingga perempuan menjadi
kaum yang tidak berdaya. Strategi perjuangan yang
dilakukan oleh kartini untuk mengatasi permasalahan yang
dialami kaumnya adalah dengan melakukan pendekatan
Pelatihan Kader Dasar | 50
pendidikan. sehingga bukti adalah berdirinya Indischere
Vereeninging yang selanjutnya bernama Perhimpunan
Indonesia, didirikannya organisasi perempuan tahun 1912 oleh
Poetry Mardika Atas bantuan Budi Utomo. sehingga pada masa
selanjutnya muncul lah organisasi perempuan yang modern
dengan program utamanya sangat bagus untuk memajukan
perempuan dalam pendidikan dan menghilangkan perlakuan
tidak adil terhadap kaum perempuan. Dua bulan setelah
Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928,
pada tanggal 22-26 Desember 1928 diadakannya Kongres
Perempuan Indonesian pertama di Yogyakarta. Kongres ini
merupakan lembaran baru bagi pergerakan Indonesia. Berbagai
organisasi perempuan bersatu bekerjasama untuk kemajuan
kaum perempuan.
Kongres Perempuan Indonesian pertama ini kemudian
dilihat sebagai bentuk kebangkitan politik perempuan
Indonesia. Meskipun masih menghindari diskusi politik,
Kongres ini dapat menjadi penanda keluarnya perempuan
Indonesia dari peran domestik ke ranah sosial. Kongres ini pun
menghasilkan tiga tuntutan kepada pemerintah kolonial pada
masa itu; 1) Penambahan sekolah untuk anak-anak
perempuan; 2) Syarat menjelaskan arti taklik saat akad nikah
kepada mempelai wanita; 3) pemberian tunjangan kepada
janda-janda dan anak yatim piatu.
Selain itu, Kongres tersebut juga menghasilkan
organisasi Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), yang pada
kongres di tahun berikutnya berubah nama menjadi
Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Baik PPI
maupun PPII merupakan federasi yang menghimpun
organisasi-organisasi perempuan lokal maupun organisasi

Pelatihan Kader Dasar | 51


perempuan dari berbagai golongan.
Dibandingkan organisasi perempuan lainnya, gerakan
perempuan Nahdatul Ulama sedikit terlambat. Manifestasi
gerakan perempuan Nahdlatul Ulama ditandai dengan
berdirinya Muslimat NU tahun 1946. Secara struktural
Muslimat merupakan kepanjangan tangan Nahdlatul Ulama
dalam bidang pengelolaan isu perempuan. Di luar jalur
struktural, gerakan perempuan NU tumbuh seiring
menguatnya gerakan perempuan di Indonesia.
Gerakan perempuan di Nahdlatul Ulama (NU) sedikit
banyak juga terpengaruh dengan gerakan pengarus utamaan
gender. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari keterlibatan
organisasi perempuan NU dalam beberapa program
berbasis gender. Misalnya kampanye penguatan hak-hak
perempuan yang digagas oleh Fatayat melalui LKP2
(Lembaga Konsultasi dan Pemberdayaan Perempuam)
sejak tahun 1997-2000.
Andree Feillard mencatat bahwa Munas NU tahun
1997 di Lombok merupakan pertama kalinya wacana gender
mengemuka dalam forum NU berskala nasional. Hasil dari
Munas ini adalah bentuk pengakuan posisi perempuan yang
sejajar dengan laki-laki, baik hak dan kewajiban keduanya
adalah sama. Dengan kata lain kedudukan perempuan
dalam sistem negara terbuka lebar. Perempuan memiliki
ruang yang sama dengan laki-laki dalam partisipasi publik. 1
Wacana gender yang mulai mendapat perhatian dalam
diskursus NU tidak bias dipisahkan dari kondisi NU yang
mulai berubah. Sejakkepemimpinan NU beralih ke tangan KH.
Abdurrahman Wahid (Gusdur), secara perlahan namun
meyakinkan konservatifisme yang selama ini mendukung

Pelatihan Kader Dasar | 52


semangat patriarki dalam NU bisa ditekan. Dengan bekal
keilmuwan yang kosmopolit, Gus Dur membawa NU ke arah
yang lebih moderat dan progresif.
Selain pergualatan diskursus dan wacana gender, gerakan
perempuan NU juga aktif dalam pemberdayaan perempuan.
Seiring program yang dijalankan Orde Baru yang menganut
paham developmetalism, organisasi-organisasi perempuan
didorong untuk turut serta dalam mensukseskan
pembangunan. Sesuai dengan keputusan Presiden No. 23
1983 mendorong Menteri Urusan Perempuan untuk
mengintegrasikan perempuan dalam setiap proyek
pembangunan. Diseluruh lini baik ekonomi sosial politik dan
budaya.2
Wacana Feminisme Global
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak
dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan
di Eropa yang dipelopori oleh LadyMary Wortley Montagu dan
Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk
perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota
di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19
feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan
perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.
Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan
apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis
sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan
center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat
sejak publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang
Pertama. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada
Pelatihan Kader Dasar | 53
masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap
kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa
secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan
dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-
laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki
sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan,
dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang
lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-
laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris
cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar
rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai
mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di
Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang
gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh
dunia.
Istilah Feminisme; meski terdapat beberapa perdebatan,
muncul sebagai kelanjutan dari gerakan perempuan yang
muncul pertama kali di Inggris pada tahun 1890. Gerakan ini
bersifat politis, dengan fokus gerakan memperjuangkan hak
suara perempuan dalam pemilihan umum (Pemilu Inggris).
Lalu, pada perkembangannya gerakan perempuan tersebut
berimbas pada hal lain, seperti persoalan ekonomi, sosial,
hingga persoalan teologis.
Pada perekembangan selanjutnya, Feminisme
berkembang menjadi beberapa aliran berbeda diantaranya:
Feminisme Liberal, Marxis, Radikal, dan Feminisme Sosialis.
Keempat aliran tersebut lahir dan berkembang di Barat,
dengan tipe gerakan yang “sederhananya” menuntut
kesetaraan, persamaan perempuan dengan laki-laki secara
total, penyetaraan dalam semua hal. Karena itu, di kalangan

Pelatihan Kader Dasar | 54


masyarakat Eropa lalu bermunculan perempuan yang tidak
mau menyusui, dan mengasuh anaknya. Bahkan, mereka juga
tidak mau mengandung (hamil), karena pekerjaan itu hanya
akan menyulitkan karir sosialnya. Gerakan Feminisme begitu
cepat menjalar ke seluruh dunia, tidak terkecuali dunia Islam.
Ketika berkembang ditengah kalangan muslim, Feminisme
barat, mendapatkan sorotan, kecaman bahkan penolakan.
Namun, setelah melalui perdebatan panjang, dan telaah kritis
atas ajaran Feminisme barat, kemudian lahirlah konsep
Feminisme Islam sebagai respon atas pesatnya
perkembangan Feminisme di peradaban barat.

Konsepsi Gender
Gender secara leksikon merupakan identitas gramatikal
yang berfungsi mengklasifikasikan suatu benda pada
kelompok-kelompoknya. Penggolongan ini secara garis besar
berhubungan dengan dua jenis kelamin, masing-masing sering
dirumuskan dengan kategori feminin dan maskulin. Secara
terminologis, gender digunakan untuk menandai perbedaan
segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan
perbedaan seksual. Perbedaan yang dimaksud termasuk di
dalamnya adalah bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan,
ruang, waktu, harta milik, tabu, teknologi, media massa,
mode, pendidikan, profesi, alat-alat produksi, dan alat-alat
rumah tangga. Gender sendiri sebenarnya memiliki definisi
terminologis yang variatif, namun demikian sesungguhnya ia
saling melengkapi. Selain itu, pembatasannya juga lebih banyak
terkait dengan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Heyzer (1991), gender adalah peranan laki-laki dan
perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang terstruktur.
Sedangkan Illich (1983) berpendapat bahwa gender
Pelatihan Kader Dasar | 55
dimaksudkan untuk membedakan antara laki-laki dan
perempuan secara sosial, yang mengacu pada unsur
emosional, kejiwaan, dan tingkah laku. Di sisi lain, Lerner
(1986) mendefinisikan gender sebagai suatu tingkah laku
yang sesuai dengan jenis kelamin pada suatu masyarakat
yang dilaksanakan pada waktu tertentu.
Perbedaan Sex dan Gender
Gender secara umum digunakan unttuk mengidentikasi
perbedaan laki- laki dan perempuan dari segi sosial budaya.
Sedangkan sex secara umum digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologis. Istilah sex berkonsentrasi pada aspek
biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan
hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan
karakteristik biologis lainnya. Sementara gender lebih
banyakberkonsentrasi pada aspek sosial budaya, psikologis dan
aspekaspek non biologis lainnya. Secara fisik biologis, laki-laki
dan perempuan tidak saja dibedakan oleh identitas jenis
kelamin, bentuk dan anatomi biologi lainnya, melainkan
juga komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan yang terakhir ini
menimbulkan akibat- akibat fisik biologis.
Teori feminis kontemporer sangat berhati-hati
membedakan antara jenis kelamin dan gender. Dengan
berlandaskan pada karya Margaret Mead: Sex and Temprament in
Three Primitive Societies (1935), teori ini menempatkan
pandangan bahwa jenis kelamin adalah biologis dan prilaku
gender adalah konstruksi sosial. 8 Secara mendasar, gender
berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis
merupakan giving. Manusia dilahirkan sebagai seorang laki-

Pelatihan Kader Dasar | 56


laki atau sebagai seorang perempuan, tapi jalan yang
menjadikan kita masculine atau feminine adalah bangunan
blok-blok, bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis
oleh kultur lingkungan dan tempat kita berkembang.
Perbedaan gender (gender differences) telah melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequalities). Setelah ditelaah
secara mendalam perbedaan gender ini telah mengakibatkan
lahirnya sifat dan stereotype yang oleh masyarakat dianggap
sebagai ketentuan kodrati atau ketentuan Tuhan. Sifat dan
stereotype yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun
rekayasa sosial dan akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat
kultural, dalam proses sejarah yang panjang telah
mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan.
Oleh karena itu, lahirnya ketidakadilan sosial karena adanya
perbedaan gender, bisa dikatakan merupakan pemicu kelahiran
gerakan emansipasi perempuan.

Aliran Feminisme
1. Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah
pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki
kebebasan secara penuh danindividual. Aliran ini menyatakan
bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan
pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia
demikian menurut mereka punya kapasitas untuk berpikir
dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan.
Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah
karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa
bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan

Pelatihan Kader Dasar | 57


punya kedudukan setara dengan lelaki. Tokoh aliran ini adalah
Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang
merupakan solusi. Feminisme liberal mengusahakan untuk
menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor
domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif
dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Pada abad
18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat
pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya
memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi
perempuan, dan di abad 20 organisasi- organisasi perempuan
mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di
bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif
keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam
parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis
liberal.
2. Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di
mana aliran inimenawarkan ideologi "perjuangan separatisme
perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi
atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis
kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan
kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman
penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta
dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini
adalah sesuai namanya yang "radikal". Aliran ini bertumpu
pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan
merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-
laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan
Pelatihan Kader Dasar | 58
antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan
laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political"
menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau
permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang
dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.
Informasi atau pandangan buruk (black propaganda)
banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah
Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT).
3. Feminisme Post-modern
Ide Posmo-menurut anggapan mereka-ialah ide yang
anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan
pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena
penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah
dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak
bermakna identitas atau struktur sosial.
4. Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu
paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan
menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki
adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus
dihancurkan.
5. Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan
perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi.
Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan
aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep
Pelatihan Kader Dasar | 59
kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang
semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah
menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai
konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial.
Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang
maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan
terhadap perempuan dihapus.
6. Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa
Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa
Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk
menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan
yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan
suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa
pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai
kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan
bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan
tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik
kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas
perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas
dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia
sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme
merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran

Pelatihan Kader Dasar | 60


feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal
yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu.
Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling
mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika
Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi
dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja
adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen
dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda
perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan
kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia,
analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem
kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
7. Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan
universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman
perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas
koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia
pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban
penindasan lebih berat karena selain mengalami
pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami
penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi
kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang
pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan,
nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on
Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan,
“hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis
kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi
ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

Pelatihan Kader Dasar | 61


Feminisme Islam
Jika dicermati lebih dalam sebenarnya kedatangan Islam
pada abad ke-7 M telah membawa revolusi gender. Islam
hadir sebagai ideologi pembaharuan terhadap budaya-budaya
yang menindas perempuan, merubah status perempuan yang
rendah. Dalam pandangan Islam, perempuan tidak lagi sebagai
“second creation‟, “second sex‟ dan “the other‟. Semua
penyebutan yang dimaknai bahwa perempuan sebagai mahluk
kedua setelah laki-laki tidak terdapat dalam ajaran Islam.
Ketika menafsirkan konsep Islam tentang perempuan
sebagai “direndahkannya derajat perempuan” sama saja
mengaburkan persoalan atau makna yang sebenarnya. Islam
tidak pernah menyatakan bahwa perempuan lebih rendah dari
pada laki-laki”. Islam hanya menunjukkan bahwa
perempuan diciptakan dengan perbedaan yang sesuai dengan
harmoni alam.
a) Kodrat Perempuan dalam Islam
Kodrat berasaI dari bahasa Arab qadara/qadira,-
yaqduru/ yaqdiru - qudratan, Da1am kamus Munjid fi al-lughah Wal
al-A'Iam, kata ini diartikan dengan qawiyyun 'ala as-syai (kuasa
mengerjakan senatu), ja‘alajhu 'ala miqdarih (membagi
sesuatu menurut porsinya), atau qashshara (memendekkan/
membatasi). Dari akar kata qadara/ qadira ini juga lahir kata
taqdir (qaddra- yuqaddira - taqdir). Bagaimana sesungguhnya
pandangan Islam (a-Qur'an dan Hadits) dalam menempatkan
perbedan jenis kelamin daIam konsep pranata sosial. Catatan
sejarah tentang kedudukan dalam struktur sosial, khususnya
masyarakat Arab pra-Islam sangat memprihatinkan.
Perempuan dipandang tidak lebih dari "obyek", perlakuan seks
kaum laki-Iaki dan dianggap sebagai beban dalam strata sosial.
Pelatihan Kader Dasar | 62
Itulah sebabnya, dalam budaya masyarakat Arab ketika itu
bukan sesuatu yang naif untuk "menyingkirkan" perempuan
dalam kehidupan dan pergaulan mereka. Tidak segan-segan
mereka membunuh, bahkan mengubur anak perempuan
mereka. AI-Qur'an sendiri secara langsung menyinggung hal
ini dan menyindir mereka yang berpikiran picik yang
menganggap anak, khususnya perempuan, hanya sebagai beban
sosial dan ekonomi (QS. Al-An'am, 16:151).
Islam mengakui adanya perbedaan (distintion) antara
laki-Iaki dan perempuan, bukan pembedaan (discrimination).
Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik biologis
perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki.,
namun perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk
memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya. Dalam
Islam, kaum perempuan juga memperoleh berbagai hak
sebagaimana halnya kawan laki- laki. (a) Hak-Hak Dalam
Bidang Politik. Tidak ditemukan ayat/hadits yang melarang
kaum perempuan untuk akill dalam dunia polilik. Hal ini
terdapat dalam QS. &I-Taubah (9): 71, QS. al-Mumtahanah
(160): 12. (b) Hak-hak dalam Memilih Pekerjaan. Memilih
pekerjaan bagi perempuan juga tak ada larangan baik itu di
dalam atau di luar rumah, baik secara mandiri atau secara
kolektif, baik di lembaga pemerintah atau swasta. Selama
pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan
dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari
dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan
lingkungannya. (c) Hak memperoleh pekerjaan. Kalimat
pertama yang diturunkan daIam Al-Qur'an adalah kalimat
perintah, yaitu perintah untuk membaca (iqra'). Perintah
untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya bagi kaum

Pelatihan Kader Dasar | 63


laki-Iaki lelapi juga perempuan "menuntut ilmu
pengetahuan difardlukan kepada kaum Muslim laki-Iaki dan
perempuan".
b) Fokus Gerakan Feminisme Islam
Mempertahankan Kodrat, Mengembangkan
Potensi
Bila kita kaji secara mendalam, maka akan ditemukan
perbedaan konsep Feminisme Barat dengan konsep Feminisme
Islam. Sebab Feminisme Islam telah mengalami perombakan
total (dekontruksi pemikiran), dengan memasukkan
beberapa nilainilai keislaman, batasan-batasan, dan sesuai
dengan ajaran Islam. Perbedaan tersebut bisa dilihat pada
objek, wacana yang dikembangkan, dan konsentrasi gerakan
dalam mengupayakan kesetaraan bagi perempuan. Feminisme
Barat; terutama yang radikal, telah jauh melampaui
batasan- batasan kodrat seorang perempuan. Semisal, mereka
sama sekali tidak mau berhubungan (menikah) dengan laki-
laki, tidak mau mengandung, melahirkan, dan juga
menyusui.11 Sebab bagi mereka, kesejahteraan perempuan
diyakini hanya bisa diraih setelah menaklukkan laki-laki,
atau paling tidak menyamai tindakan yang dilakukan laki-
laki. Sementara Feminisme Islam, berupaya memberdayakan
perempuan pada skala sosio- kultural (memperjuangkan
kesetaraan Gender). Menuntut adanya kesejajaran,
kesamaan hak, tanpa diskriminasi, penindasan, maupun
pengucilan perannya dilingkup sosial kemasyarakatan. Sebab,
bagi kalangan feminis muslim, menstruasi, mengandung,
melahirkan, dan menyusui (perbedaan jenis kelamin; seks),
merupakan kodrat yang harus diterima. Namun demikian,
perbedaan jenis kelamin tidak boleh dijadikan alasan untuk
mendiskriminasi seseorang

Pelatihan Kader Dasar | 64


Tentang tujuan, berikut citi-ciri dari Feminisme Islam,
Abul Mustaqim merumuskannya sebagai berikut:
1. Feminisme Islam harus mendasarkan diri kepada agama.
Feminis muslim harus menyadari bahwa agama Islam dan
ajarannya (Al-Qur’an dan Hadits) adalah sumber nilai dan
pendukung yang terbaik dalam perjuangannya. Feminisme
Islam harus senantiasa merujuk pada prinsip- prinsip
ajaran alQur’an dan Hadits sebagai sumber nilai tertinggi
dan prilaku Rasulullah SAW. adalah contoh yang
paling baik dalammelakukan gerakan.
2. Feminisme Islam mestinya tidak bersifat chauvinistik. Kaum
feminis tidak boleh hanya menekankan kekuatannya
kepada perempuan dan mengabaikan potensi kekuatan
laki-laki, ataupun justru berusaha meruntuhkannya. Lai-
laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan sebagai mitra,
bukan sebagai musuh atau lawan (rival) dalam persaingan.
Sehingga keduanya, dapat saling membantu, melengkapi
satu sama lain, serta dapat bersatu secara harmonis dalam
menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
3. Feminisme Islam harus memandang ajaran Islam secara
integral dan menyeluruh. Al-Qur’an dan tradisi Islam yang
muncul dalam sejarah, dapat dijadikan sebagai pisau analisis
dalam memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Sudah
barang tentu, harus tetap mempertimbangkan konteks
sosiokultural pada waktu itu. Untuk itu, fokus gerakan
kaum Feminisme Islam adalah dengan menghadirkan
corak penafsiran yang baru terhadap doktrin-doktrin agama
yang selama ini, oleh kalangan tertentu ditafsiri secara
serampangan, sehingga wajah Islam bagi kaum perempuan
begitu suram dan menakutkan. Melalui corak dan metode
penafsiran yang baru, di tangan kaum Feminis muslim,
Pelatihan Kader Dasar | 65
agama ditampilkan dengan wajah yang ramah, peduli pada
keberlangsungan kehidupan.
Gerakan Perempuan Indonesia
1. Prespektif Sejarah
Periode awal (Angkatan Srikandi), Pada periode ini
gerakan perempuan difokuskan pada perlawanan terhadap
penjajahan Belanda. Isu-isu tentang perempuan ketika itu
belum menjadi prioritas. Tokoh gerakan perempuan pada
periode ini adalah semua pahlawan wanita Indonesia yang
secara fisik turut berjuang di Medan pertempuran melawan
Belanda, diantaranya: Nyai Ageng Serang (1752-1828), Cut
Nya' Dien (1850-1908), Cut Mutia (1870-1910) Periode ke dua,
Angkatan Kartini (Feminis Sosial Gelombang Pertama)
Masa ini merupakan awal dari perjuangan perempuan yang
telah dipengaruhi oleh gerakan perempuan di Barat. Ide-ide
emansipasi wanita yang diperjuangkan perempuan di Eropa
dengan model feminisme liberal yang menekankan pada akses
dan partisipasi perempuan yang sama dengan laki- laki di
wilayah publik, peran produktif dan isu-isu perempuan
tentang pendidikan, perlindungan hukum, dan budaya. Tokoh
perempuan muslimah pada angkatan ini adalah: RA. Kartini
(1879-1904), Dewi Sartika (1884-1947)
Periode ke tiga (Angkatan Perintis Kemerdekaan),
Titik balik perjuangan perempuan terjadi pada tahun 1928,
ketika diselenggarakannya Konggres Perempuan pertama di
Yogyakarta. Pergerakan perempuan telah terorganisir dalam
sebuah wadah, baik yang menjadi bagian dari organisasi yang
dominan laki-laki maupun secara individu masuk dalam
organisasi atau lembaga di mana dia menjadi bagian dari
pengambil keputusan. Tokoh perempuan muslimah pada

Pelatihan Kader Dasar | 66


angkatan ini antara lain: Nyai Ahmad Dahlan ( 1872 – 31 Mei
1946), Hají Rasuna Said (14 September 1910- 2 Oktober 1965),
Rahmah El Yunusiyah (10 Juli 1901 – 26 Februari 1969).
Nyai Ahmad Dahlan sebagai pendiri organisasi wanita
Muhammadiyah “Sopo Trisno” pada tahun 1917 yang kemudian
menjadi “Aisyah”. Dia juga mendirikan pesantren putri sebagai
pusat pelatihan santri dan ulama’, mendirikan sekolah
umum dan panti asuhan. Haji Rasuna Said (Sumatera Barat)
pada tahun 1926 menjadi perumus Sarikat Rakyat yang
kemudian menjadi PSII, aktif pada organisasi Persatuan
Muslim Indonesia tahun 1930, pendiri Komite Nasional
Sumatera Barat, Dewan Perwakilan Negeri, anggota KNIP,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera, dan anggota
Dewan Perwakilan Agung (DPA). Adapun Rahmah El
Yunusiyah (Padang Panjang) mendirikan Diniyah Putri School
di Padang Panjang dengan tujuan membentuk putri Islam dan
ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan keluarga, masyarakat dan tanah air.
Gerakan yag dia lakukan untuk melawan penjajah menganut
politik non kooperatif. Ia ikut membantu terbentuknya
pasukan Sabilillah dan Hisbullah tahun 1919 hingga
kemedekaan. Setelah kemerdekaan, ia aktif di Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi inti dari batalyon
Merapi. Tahun 1955 Rektor Al Azhar berkunjung ke lembaga
pendidikan putri yang ia pimpin, kemudian Rahmah di
undang ke Al Azhar dan mendapatkan gelar “Syaikhah”,
jabatan terakhirnya sebagai anggota DPR 1955.
Periode keempat (Angkatan Proklamasi/Penegak
Kemerdekaan 1945- 1949), gerakan perempuan dilakukan
secara mandiri maupun kelompok. Isu yang diusung masih

Pelatihan Kader Dasar | 67


diseputar bagaimana perempuan menghadapi awal
kemerdekaan, di mana secara umum bangsa Indonesia sedang
dihadapkan pada mempertahankan kemerdekaan yang baru
diraih dengan segala daya. Sebagaimana periode sebelumnya
bahwa konsentrasi gerakan perempuan belum menyentuh
substansi yang diperlukan spesifik isu perempuan. Presiden
Sukarno lebih menekankan bahwa problem perempuan
akan berhasil jika kemerdekaan ini telah dicapai. Sejumlah
tokoh perempuan berbasis pesantren (ibu nyai) aktif
mengasuh santri putri, namun kurang dikenal kiprahnya,
karena penulis lebih tertarik pada tokoh laki-laki.
Fase Konsolidasi Kemerdekaan (1950-1965) Sebagaimana
angkatan sebelumnya, angkatan ini gerakan perempuan
nasionalis semakin maju, sejumlah tokoh perempuan aktif
sebagai tenaga profesional yang bekerja pada ranah publik dan
juga sebagai pengambil keputusan. Kelompok-kelompok
perempuan mendirikan organisasi baik berbasis profesi,
politik, sosial, maupun daerah yang tumbuh sangat banyak.
Pergerakan perempuan Islam telah terwadahi dalam
organisasi wanita, seperti Aisyiyah, Wanita Islam, Muslimat
NU dan gerakan perempuan berbasis pesantren, namun akses
dan peran sosial tertentu masih terbatas.
Selanjutnya Angkatan Pembangunan (Orde Baru), pada
fase ini konsep Women in Development (WID) yang
diperkenalkan oleh Pusat Studi dan LSM perempuan tahun
70an dan diimplementasikan tahun 80an, turut
mempengaruhi corak gerakan perempuan Islam di
Indonesia. Salah satu strategi WID adalah memberikan akses
pada perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan di
bidang-bidang yang masih beraroma stereotype gender tanpa

Pelatihan Kader Dasar | 68


diikuti penyadaran bagi laki-laki, melahirkan peran ganda
perempuan yang berdampak pada beban berlipat bagi
perempuan. Perempuan lebih banyak mendukung
keberhasilan pembangunan, tetapi bukan sebagai penikmat
hasil pembangunan.
Fase terakhir (Gerakan Perempuan Era Reformasi s/d
saat ini) konsep WID pada masa Orba dinilai belum cukup
efektif menjadi sebuah pendekatan pembangunan. Konferensi
Perempuan Dunia ke 3 di Naerobi tahun 1985 membahas
pendekatan baru yaitu Gender and Development (GAD), di mana
perempuan dan laki-laki bersama-sama dalam
mendapatkan akses, partisipasi, kontrol atas sumber daya,
dan penerima manfaat hasil pembangunan secara adil.
Kemudian ide pendekatan GAD dibahas lebih lanjut melalui
Konferensi Perempuan keempat di Beijing tahun 1995.
Konferensi ini bertema: Persamaan, Pembangunan,
Perdamaian ini telah menghasilkan sejumlah rekomendasi yang
harus dilaksanakan oleh negara- negara anggota PBB dalam
upaya meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan
atas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Komitmen internasional tersebut melahirkan Beijing Platform
For Action (BPFA) berikut rumusan Sasaran-sasaran Strategis
yang harus dicapai dari 12 Bidang Kritis yang ditetapkan,
yaitu: 1) Perempuan dan Kemiskinan; 2)Pendidikan dan
Pelatihan bagi Perempuan; 3) Perempuan dan Kesehatan; 4)
Kekerasan terhadap Perempuan; 5) Perempuan dan Konflik
Senjata; 6) Perempuan dan Ekonomi; 7) Perempuan dalam
Kedudukan Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan
Keputusan; 8) Mekanisme Institusional untuk Kemajuan
Perempuan; 9) Hak-hak Asasi Perempuan; 10) Perempuan dan

Pelatihan Kader Dasar | 69


Media Massa; 11). Perempuan dan Lingkungan; 12) Anak-anak
Perempuan.
Gerakan Perempuan di PMII (KOPRI)
Lahirnya KOPRI berawal dari keinginan kaum
perempuan untuk memiliki ruang sendiri dalam
beraktifitas, sehingga mereka dapat bebas mengeluarkan
pendapat atau apapun. Keinginan tersebut didukung
sepenuhnya oleh kaum laki-laki saat itu. Corps Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia Poetri (COPRI) lahir pada tanggal
25 November 1967 di Semarang, dengan status semi otonom
yang sebelumnya merupakan follow up atas dilaksanakannya
Training Kursus keputrian di Jakarta pada tanggal 16
Februari 1966 yang melahirkan Panca Norma KOPRI.
Sikap dan Arah Gerakan KOPRI
Gerakan yang dilakukan KOPRI sebagai wujud bentuk
perubahan dalam wacana-wacana baru dan menjawab
permasalahan-permasalahan perempuan baik internal dan
eksternal. setidaknya ada Empat gerakan strategis yang
dilakukan KOPRI untuk tetap konsisten dengan gerakan dan
tujuan PMII yakni :
1. Gerakan sosial-budaya, output yang dicapai dalam
proses gerakan sosial adalah advokasi kepada masyarakat
baik advokasi kebijakan publik yang tidak berpihak kepada
perempuan dan advokasi ke basis masa (include terhadap
sektor buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota, dll)
Budaya patriarki adalah sebuah sistem sosial yang
menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang
central di dalam kehidupan sosial. Secara tersirat budaya
ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki- laki
dan menuntut sub ordinasi wanita. Budaya adalah hal
Pelatihan Kader Dasar | 70
yang sangat berkembang cepat di daerah daerah dan
terpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, perlu ada kesadaran dari masyarakat daerah tersebut.
Supaya budaya patriarki tidak berkembang di daerah,
terutama pada perempuan. Karena budaya sangat
menyentuh langsung dengan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari dan perlu adanya dampingan khusus agar
paham terhadap budaya ini tidak berkembang. KOPRI
PB PMII bisa menjembatani masyarakat serta berperan
penting dalam sosialisasi akan budaya yang memarjinalkan
posisi strategis perempuan.

2. Gerakan politik, output yang dicapai dalam proses


gerakan politik adalah penguasaan leading sector oleh
kader-kader perempuan PMII. Politik merupakan seni
bagi setiap orang yang berproses diorganisasi, Ada
beberapa hal yang ditekankan oleh KOPRI antara lain:
pertama, Alasan adanya KOPRI, yaitu: 1) Kebijakan
yang tidak memihak kepada perempuan 2) Peluang
mengawal kebijakan pro-gender. Kedua Hal-hal yang harus
dilakukan oleh KOPRI, yaitu: 1) Mendorong kebijakan
pro gender : Advokasi kebijakan publik (Partnership,
memiliki jaringan seluas- luasnya dan lembagalembaga yang
berhubungan dengan perempuan, Memiliki desain gerakan)
Advokasi penyusunan regulasi sensitive gender (Kebijakan
bias gender, Kebijakan netral gender, Kebijakan spesifik
gender, Kebijakan pengawal kesetaraan gender). 2)
Distribusi kader Pendisrtibusian kader sesuai dengan
kapasitas, elektabilitas dan talenta kader KOPRI. Mengakses
dan memaksimalkan peluang yang ada untuk KOPRI

Pelatihan Kader Dasar | 71


terlibat langsunng dalam system kebijakan.
3. Gerakan Sains dan teknologi, output yang
dicapai oleh kader KOPRI dapat menciptakan produk
sains dan teknologi serta dapat memasuki sektor-sektor
sains berperan aktif dalam media sosial dalam rangka
pengawalan gerkan dan teknologi dalam ranah gerakan.
Sebagai intelektual muda, KOPRI PB PMII dapat
menuangkan ide, gagasan ataupun wacana yang melalui
diskusi. Kepenulisan harusnya menjadi tradisi sebagai
basis pengetahuan dalam ranah gerakan untuk
memaksimalkan potensi seorang kader maka dari itu
diperlukan adanya beberapa tahap ataupun action untuk
menciptakan atau melahirkan seorang kader yang benar-
benar punya intelektualitas, integritas, profesional dan
mempunyai jiwa kepemimpinan dengan nilai-nilai aswaja.
Pertama yang harus dilakukan membuka kesadaran
kerangka berpikir pentingnya pengatahuan untuk
membentuk kader berkualitas dan berkapasitas. Kedua,
memberi pemahaman setiap kader mempunyai potensi
dan skill yang harus dikembangkan. Ketiga, memperkuat
kajian untuk menanamkan atau memupuk jiwa kompetisi di
setiap kader.
4. Gerakan Ekonomi, dalam hal ini kader KOPRI dapat
mengambil peran besar dalam kemajuan perekonomian
Indonesia 2030 dengan menyiapkan perempuan-perempuan
kuat dalam bidang ekonomi dan ranah gerakan. Indonesia
merupakan negara emerging market yang diprediksi akan
masuk ke dalam jajaran 10 besar ekonomi dunia (sekarang

Pelatihan Kader Dasar | 72


20 besar) pada tahun 2030. Pada tahun 2030 juga
penduduk muda Indonesia akan meningkat menjadi 5-6
persen dari penduduk muda dunia (sekarang penduduk
muda Indonesia 4 persen dari penduduk muda dunia).
Jumlah ini lebih besar 20-50 pesen dari negara maju seperti
Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, dll). Dari total populasi
penduduk muda tersebut hampir 50 persen merupakan
perempuan.

Pelatihan Kader Dasar | 73


DAFTAR RUJUKAN

Abd. Warits Reorientasi Gerakan Feminisme Islam; Sebuah Upaya


Membangun Kesetaraan Perempuan : Institut Ilmu Keislaman
Annuqayah Sumenep
Affiah, Neng Dara, Menapak Jejak Fatayat NU: Sejarah
Gerakan, Pengalaman, danPemikiran, Jakarta: Fatayat
NU, 2005.
Ali Engginer, Asgar, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Farid
Wajdi dan Cicik Farkha Assegaf (penj.), judul asli The Righ
Of Women in Islam, Jogjakarta: Lembaga Studi dan
Pengembangan Perempuan dan Anak.
Ardaniah, Tri. Perspektif Gender Sebagai Alternatif Penyusunan Program
Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Argapura, Vol. 13 No. 1/2.
1993, h. 36.
Hasyim, Syafiq. 1999. Menakar Harga Perempuan.Jakarta: Mizan
Mosse, Julia Cleves. (1993). Gender dan Pembangunan. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta
Maggie Humm. 2002. Ensiklopedia feminism terj. Mundi Rahayu
(Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru
Marsudi. Bias Gender dalam Buku-Buku Tuntunan Hidup Berumah
Tangga, Jurnal Istiqro’, Vol. 07 No. 1. 2008/1429, h. 237
Mustaqim, Abdul., MA., 2002, Tafsir Feminis Versus Tafsir
Patriarkhi: Telaah Kritis Penafsiran Dekontruktif Riffat
Hasan, Yogyakarta: LkiS.
Syam, Nur. 2010. Gender, Budaya, dan Seksualitas, dalam Agama
Pelacur: Dramaturgi Transendental. Yogyakarta: LKiS bekerja
sama dengan IAIN Sunan Ampel Press Surabaya
Wahyun M, Andik. Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam. dalam Jurnal
Al-Ulum Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013 Hal 491 – 512

Pelatihan Kader Dasar | 74


BAB IV
PMII DAN GERAKAN MAHASISWA
Geneologi Gerakan Mahasiswa di Indonesia
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan
kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar
perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan
kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan
para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali
menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak
dalam lembaran sejarah bangsa. Sejarah Gerakan mahasiswa
yang tertua yang tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia adalah Perhimpoenan Indonesia di Belanda, yang
didirikan pada 1922 oleh Mohammad Hatta, yang saat itu
sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia
banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde
Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang
menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional,
sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih
bersifat kedaerahan.
Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang
kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di
antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi,
Yusuf Wanandi, dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis
sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil
membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung
mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI
(Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir,
aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan
banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam
kabibet pemerintahan Orde Baru. Masa Orde Baru Dalam
perkembangannya di kemudian hari, Orde Baru juga banyak
Pelatihan Kader Dasar | 75
mendapatkan koreksi dari germa seperti dalam gerakan-
gerakan berikut:
1. Gerakan anti korupsi yang diikuti oleh pembentukan Komite
Anti Korupsi,yang diketuai oleh Wilopo (1970).
2. Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa
Orde Baru pada1972 karena Golkar dinilai curang.
3. Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia
Indah pada 1972yang menggusur banyak rakyat kecil yang
tinggal di lokasi tersebut.

GENESIS GERAKAN MAHASISWA 1998


Sejarah Gerakan Tahun 1998
Secara historis, peran GM dalam perubahan politik di
Indoensia sangatlah besar. Misalnya, perubahan kekuasaan
dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru pada tahun 1965,
peran GM sangat besar dalam melegitimasi kekuasaan
Sukarno. Begitu pula pada tahun 1998, tanpa kehadiran ribuan
GM di gedung MPR/DPR, sangatlah sukar untuk membuat
Soeharto mundur dari jabatan presiden. Bahkan, jika dilihat
jauh ke belakang, peran GM lah yang membidani lahirnya
negara Indonesia. Sebagai misal adalah didirikannya Boedi
Oetomo pada 1908, yang meskipun bersifat primordial
etnik, organisasi GM pertama di Jawa ini telah berhasil
memberikan semangat kepada mahasiswa dan pemuda lainnya
untuk bercita-cita merdeka. Diskusi mengenai GM mahasiswa
di Indonesia penuh dengan dinamika, karena selalu mengalami
perubahan karakter dan bentuk pada setiap jamannya.
Soewarsono (1999: 1) menyebut bahwa sejarah awal Indonesia
moderen tentang GM memiliki empat "tonggak", yaitu
"angkatan 1908", "angkatan 1928", "angkatan 1945" dan
"angkatan 1966". Selanjutnya, Soewarsono menyebut bahwa
Pelatihan Kader Dasar | 76
keempat angkatan tersebut adalah generasi- generasi dalam
sebuah "keluarga", yaitu sebuah catatan-catatan prestasi "satu
generasi baru" tertentu. Masing-masing dari keempat angkatan
di atas memiliki bentuk dan karakter serta relasi-relasi
dengan kelompok yang lain yang khas dibanding angkatan-
angkatan yang lain. Namun, tidaklah dapat dikatakan
bahwa tiap-tiap angkatan tersebut selalu membawa
perubahan dan kemajuan bagi jamannya. Tetapi, tiap-tiap
angkatan tersebut dapat pula menjadi pengekor atau epigon
yang menerima melalui pewarisan (Soewarsono, 1999: 1-2).
Dengan demikian, diskusi mengenai GM di Indonesia, tidak
selalu berbicara mengenai perubahan yang positif, tetapi juga
dapat sebaliknya. Hal ini tergantung dengan konteks situasi
dan relasi-relasi yang dibangun oleh GM itu sendiri.
Selain keempat angkatan tersebut, terdapat satu
angkatan generasi lagi yang paling mutakhir dan sangat
bepengaruh tidak hanya pergantian politik kekuasaan saja,
tetapi juga pada proses demokratisasi di Indonesia, yaitu
"angkatan 1998". Pada angkatan ini, GM telah berhasil
menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto yang sebelumnya
telah berkuasa selama 32 tahun. Selain itu, GM juga
mempengaruhi munculnya wacana demokratisasi dan civil
society. Meskipun demokrasi dan civil society secara relatif
belum sepenuhnya berhasil diterapkan dalam realitas politik
di Indonesia, namun peran GM telah menyebabkan proses-
proses tersebut dapat dimulai. Tulisan ini akan
mendiskusikan tentang GM angkatan 1998 dengan
menggunakan pendekatan prosesual. Pendekatan ini akan
melihat keragaman dan kesamaan antar kelompok GM,
perubahan-perubahan karakternya dan strategi-strategi yang

Pelatihan Kader Dasar | 77


digunakan untuk melawan rejim penguasa serta
kontinyuitasnya. Proses dan peristiwa- peristiwa dari suatu
fenomena sosial merupakan suatu rangkaian yang saling
berkesinambungan. Pemahaman tentang kondisi-kondisi yang
memungkinkan berlangsungnya relasi-relasi antara peristiwa
satu dengan peristiwa lain merupakan bagian dari penjelasan
yang harus dilakukan (Winarto, 1999). Untuk itu, suatu kajian
tentang proses harus mampu menunjukkan hubungan yang
berangkai dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, dengan
keterkaitan satu sama lain (Winarto, 1999). Selain itu,
pendekatan ini juga menekankan adanya perbedaan
(difference). Konsepkonsep mengenai emosi, agen, gender dan
tubuh individu, secara kultural telah dibentuk melalui
perbedaanperbedaan. Dalam artikelnya yang berjudul “Theories of
Culture Revisited”, Keesing (1994) menyatakan bahwa selayaknya
teori kebudayaan yang dikembangkan tidak akan membuat
asusmi-asumsi dengan batas-batas yang tertutup, tetapi
biarkan dia memberikan konsep-konsep yang kompleks dan
beragam. Aspek lain yang perlu ditekankan dalam
pendekatan ini adalah memotret adanya dinamika suatu
kelompok masyarakat. Kebudayaan mempunyai karakter
yang dinamis dan selalu mengalami perubahan. Untuk itu,
antropolog hendaknya menekankan bagaimana mekanisme
dan proses yang berlangsung dalam suatu kelompok
masyarakat, hingga hal tersebut dimiliki bersama atau tidak,
vice-versa (Winarto, 1999: 26).
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)
Peristiwa penting yang patut dicatat dalam sejarah GM
1998 adalah kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(P dan K), Dr. Daoed Joesoef. Nomor: 0156/U/1978 tentang

Pelatihan Kader Dasar | 78


Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Kebijakan ini
dianggap telah mematikan GM karena membebani
mahasiswa dengan serangkaian kewajiban kuliah dan
melarang kegiatan politik di kampus. Pada intinya kebijakan
ini adalah menjustifikasi pembubaran dan dihilangkannya
organisasi mahasiswa yang selama ini merupakan sarana
demokratis mahasiswa berdasarkan prinsip-prinsip
pemerintahan mahasiswa (Harahap dan Basril, 1999: 55).
Sebelumnya, lembaga kemahasiswaan merupakan sarana untuk
menentang kebijakan pemerintah maupun perguruan tinggi.
Dengan dibubarkannya lembaga pemerintahan kampus,
pemerintah Orde Baru berharap GM tidak lagi turun ke jalan
untuk melakukan demonstrasi politik. Dikeluarkannya
kebijakan NKK ini merupakan respon pemerintah atas
serangkain peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh GM
pada tahun 1973-1978. Terutama setelah peristiwa
Malapetaka 17 Januari 1974 (Malari 1974), GM diawasi secara
ketat. Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
028/1974 yang dianggap membatasi aktivitas GM. Antara
tahun 1975-976, protes yang dilakukan oleh GM terhadap
kebijakan pemerintah Orde Baru sedikit mereda. Namun,
setelah pemilu tahun 1977, gelombang aksi meningkat lagi.
Di Jakarta, mahasiswa UI kembali melakukan aksi
memprotes pelaksanaan pemilu yang dianggap tidak adil,
karena pihak birokrasi dan militer dianggap memihak ke
Golkar. Mereka mengganggap tidak sah dan menolak
kemenangan Golkar pada pemilu 1977. Aksi serupa juga terjadi
di beberapa daerah, misalnya di Bandung, mahasiswa ITB
membentuk Gerakan Anti Kebodohan (GAK), di Yogyakarta,
mahasiswa UGM mengusung "keranda matinya demokrasi",

Pelatihan Kader Dasar | 79


bahkan di Surabaya, sejumlah mahasiswa terlibat bentrok
dengan aparat keamanan. Peristiwa penting yang patut
dicatat adalah ketika ketua Dewan Mahasiswa (DM) UI,
Lukman Hakim berhasil mengadakan pertemuan 67 DM dan
Senat Mahasiswa (SM) se-Indonesia dengan
menggunakan dana kegiatan mahasiswa yang berasal dari SPP.
Peristiwa tersebuttelah membuat khawatir penguasa.
Segera setelah Soedomo mengeluarkan surat
pernyataan tersebut, beberapa tindakan represif diambil oleh
pemerintah Orde Baru. Sejumlah kampusdiduduki oleh militer
dan beberapa koran seperti Kompas, Sinar harapan,
Merdeka, Pelita, Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore
dilarang terbit (Sanit, 1999: 58). Selanjutnya, untuk
menunjukkan sikapnya terhadap GM tersebut, pemerintah
melalui Menteri P dan K, Dr. Daoed Joesoef mengeluarkan
keputusan Nomor: 0156/U/1978 tentang Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK). Kemudian, di bidang
penyelenggaraan pendidikan tinggi, Menteri P dan K
juga mengeluarkan SK No. 0124 yang memberlakukan Sistem
Kredit Semerter (SKS) dengan mekanisme mengajar dan
belajar terprogram secara intensif. Konsekuensi dari kebijakan
tersebut adalah mewajibkan mahasiswa menyelesaikan
sejumlah beban studi untuk setiap semester yang secara
keseluruhan terdiri dari 8 sampai 12 semester untuk jenjang S-1
(Sanit, 1999: 59-60). Akibat dari kebijakan tersebut telah
membuat aktivitas politik GM menjadi berkurang. Selain
harus menyelesaikan beban studi ang berat, ketatnya
pembinaan non akademik mahasiswa telah menyebabkan
terbatasnya waktu mahasiswa untuk melakukan gerakan-
gerakan kritik terhadap pemerintah. Selain itu, pemerintah
juga melakukan "pembinaan ideologi" terhadap mahasiswa
Pelatihan Kader Dasar | 80
melalui penataran P-4 (Pendidikan, Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila).
Gerakan Moral dan Gerakan Politik
Muridan S. Widjojo (1999a: 234-289) telah
merumuskan dengan baik mengenai GM 1998 dalam dua
kelompok, yaitu "gerakan moral" dan "gerakan politik".
Pembagian menjadi dua kelompok ini didasarkan pada
wacana yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok dalam
GM itu sendiri. Gerakan moral mengacu pada wacana yang
dikembangkan oleh GM yang mengkritisi kebijakan rejim Orde
Baru. Muridan menyebut kelompok ini sebagai Gerakan Kritik
Orde baru (GKOB). Sedangkan gerakan politik mengacu
pada wacana untuk merobohkan rejim Orde Baru, dan
menyebut kelompok ini sebagai Gerakan Anti Orde Baru
(GAOB). "Gerakan moral" mendasarkan diri pada pandangan
bahwa perubahan politik dapat dilakukan dengan cara
"menghimbau" atau "mengingatkan" kepada elit politik.
Berbeda dengan "gerakan politik", gerakan moral ini tidak
secara tegas ingin mengganti kekuasaan politik Orde Baru
Soeharto saat itu. Paham ini menekankan "suara" atau
"gagasan" sebagai inti gerakan. Ini berati bahwa kapasitas
operasi yang diharapkan dari gerakan moral mahasiswa adalah
sebatas "menghimbau" dan atau "mengingatkan". Dari sini juga
dapat dilihat bahwa penganut paham ini percaya bahwa suatu
rejim politik bisa diubah dengan cara "dihimbau" atau
"diingatkan" (Widjojo, 1999a: 240).
Sedangkan gerakan politik secara tegas ingin mengganti
kekuasaan rejim Orde Baru Soeharto. Kelompok ini
menolak semua kerangka asumsi yang dibangun Orde
Baru. Sebelum tahun 1997, pemerintah rejim Orde Baru

Pelatihan Kader Dasar | 81


telah melarang mahasiswa terjun ke gerakan politik karena hal
tersebut bukan karakter mahasiswa. Menurut pemerintah
Orde Baru, mahasiswa harus belajar dan menunjukkan
prestasi di kampusnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa
gerakan politik adalah hal yang tabu bagi mahasiswa saat
itu. Akan tetapi tidak bagi kelompok GAOB. Mereka justru
ingin menggunakan gerakan politik sebagai senjata untuk
melawan pemerintah Orde Baru. Kelompok ini menyatakan
bahwa mahasiswa tidak perlu menggunakan pemahaman yang
dibuat oleh pemerintah Orde Baru, karena hal tersebut dapat
membatasi peran GM itu sendiri. Dengan menganggap GM
sebagai gerakan politik, maka ruang pergerakannya menjadi
luas, sehingga dengan demikian dapat berjuang bersama-
sama rakyat. Konsekuensi bagi suatu gerakan politik, yaitu
menyatunya antara berbagai kekuatan, termasuk dengan
rakyat. Kelompok ini secara tegas menginginkan adanya
hubungan dengan massa pengilkut di luar kampus.
Mengutip sebuah wawancara dengan seorang aktivis dari
Unila, Lampung, Widjojo menulis: Pertama kami tegaskan,
gerakan kami adalah gerakan politik dan bukan gerakan moral.
Langkah yang kami tempuh berupa aksi atau pergerakan massa
(Widjojo, 1999a: 243). Gagasan untuk menggabungkan
kekuatan GM dengan massa di luar kampus ini telah menjadi
perdebatan yang sengit diantara kelompok GM sendiri.
Kelompok yang dikategorikan sebagai GKOB yang menolak
unsur non mahasiswa atau rakyat biasa sebagai
kekuatannya. Karena GKOB ingin bahwa GM harus steril dari
infiltrasi kelompok-kelompok di luar mahasiswa. Sehingga
dalam setiap aksinya, GKOB hanya melibatkan mahasiswa
sebagai massanya. Hal ini berbeda dengan GAOB yang justru
mengundang kelompok non mahasiswa, yang mereka sebut
Pelatihan Kader Dasar | 82
dengan rakyat untuk mendukung gerakannya.

DINAMIKA GERAKAN MAHASISWA


PASKA MEI 1998
Pasca kejatuhan Soeharto 1998 Paska kejatuhan Soeharto
1998, antara kelompok-kelompok GM maupun dalam
internal kelompok GM mengalami perbedaan pendapat
yang sangat tajam. Perbedaan ini mulai muncul ketika
mensikapi naiknya Habibie sebagai presiden. Bagi kelompok
GKOB menganggap bahwa perjuangan mereka telah selesai,
sedangkan bagi GAOB masih menganggap bahwa Habibie
merupakan perpanjangan tangan dari Soeharto. Akibat dari
perbedaan tersebut, pada tanggal 22 Mei 1998, di gedung DPR
hampir terjadi bentrok antara kelompok yang mendukung
Habibie sebagai presiden melawan ribuan mahasiswa yang
menentang Habibie sebagai presiden. Kelompok yang
mendukung Habibie antara lain adalah KISDI, Humanika dan
kelompok preman yang menamakan dirinya pendekar
banten. Humanika ini adalah kelompok yang sebagian
aktivisnya merupakan mantan anggota HMI sewaktu mereka
menjadi mahasiswa tahun 1978-an. Mereka ini kelompok yang
cukup dekat dengan Habibie, terutama setelah Habibie
menjadi ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI). Dukungan yang diberikan terhadap Habibie yang
ICMI diharapkan akan membawa keuntungan bagi KISDI
dan Humanika. Pada 23 Mei 1998, KAMMI Solo dan
Salatiga melakukan aksi menerima Habibie sebagai presiden.
Sementara di Semarang, pada 25 Mei 1998, kelompok yang
menamakan diri SMPT se Jateng mendukung Habibie. Di
daerah- daerah lain seperti di Surabaya, Ujung Pandang dan
Bandung, kelompok- kelompok yang dikategorikan GKOB

Pelatihan Kader Dasar | 83


secara serempak melakukan aksi mendukung Habibie. Tetapi
di lain pihak, pada tanggal 28 Mei 1998, Forkot dan FKSMJ
aksi di gedung DPR RI menolak Habibie serta menuntut
dibentuknya KRI, untuk membentuk eksekutif dan
DPRS/MPRS serta menyelenggarakan kabinet sementara
serta mempercepat pemilu dan Sidang Istimewa. Tuntutan
tersebut bertentangan dengan keinginan kelompok GKOB
untuk menjadikan Habibie sebagai presiden. Pada 22 Mei
1998, LMMY, PMII, GKMI dan kelompok GAOB lainnya di
Yogyakarta juga melakukan aksi menolak Habibie dan
kabinetnya. DRMS Solo juga melakukan aksi menolak
Habibie dengan melakukan aksi di Balaikota Solo.
Penolakan yang sama juga dilakukan oleh AMRS di
Semarang pada 23 Mei 1998 di Kantor Gubernur Jawa dan
FKPI di depan gedung DPRD I pada 25 Mei 1998. Aksi yang
sama juga dilakukan oleh kelompok GAOB di seluruh kota-
kota besar di Indonesia untuk menolak Habibie sebagai
presiden. Pertentangan tersebut terus mewarnai
demonstrasi- demonstrasi di Jakarta dan beberapa kota
lainnya antara akhir Mei hingga September 1999. Tetapi,
kuantitas aksi demonstrasi mulai menuntut dan menolak
habibie mulai berkurang pada bulan Juli hingga September
1998. Tetapi, wacana tentang perbedaan tersebut makin
menajam di antatra kelompok GKOB dengan GAOB pada
bulan Oktober 1998. Misalnya pada 28 Oktober 1998 di
Bandung hampir terjadi bentrok di antara kelompok
tersebut. Pasalnya, aksi yang sebelumnya dilakukan oleh
kelompok GAOB dengan memasang spanduk anti Habibie,
tiba-tiba dirubah oleh kelompok GKOB menjadi dukungan
terhadap Habibie. Ketegangan-ketegangan tersebut juga terjadi
di beberapa kota besar di Indonesia. Perbedaan ini terus
Pelatihan Kader Dasar | 84
berlanjut dalam menyikapi perkembangan politik nasional.
Kedua kelompok di atas seringkali mengambil posisi
yang berseberangan dalam menghadapi isu-isu penting
nasional. Catatan tambahan: Peristiwa Malari 1974 bermula
dari aksi mahasiswa menolak kedatangan Perdana Menteri
Jepang Tanaka sebagai simbol untuk menentang investasi
modal asing. Namun peristiwa tersebut akhirnya berubah
menjadi kerusuhan yang telah menyebabkan 9 orang
meninggal, 23 orang terluka dan beberapa banguan
termasuk pasar Senen terbakar. Dari peristiwa tersebut, pihak
keamanan telah menahan 700 orang dan 45 diantaranya
diajukan ke pengadilan. Pada saat yang sama, pemerintahan
membredel beberapa koran yang telah memberitakan
peristiwa tersebut (Sanit, 1999: 53-54). Pada tahun 1983,
pemerintah rejim Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai
satu-satunya asas bagi setiap organisasi yang ada di Indonesia.
Kebijakan ini telah berpengaruh pada organisasi HMI yang
pada tahun 1984 terpecah menjadi dua kelompok, yaitu
HMI Dipo (yang diakui pemerintah Orde Baru) yang
menerima asas tunggal Pancasila dan HMI MPO yang
menolak asas tunggal Pancasila. Penyebutan HMI Dipo
karena kelompok HMI ini bermarkas di jalan Diponegoro,
sedangkan HMI MPO berkenginan menyelamatkan
organisasi dari campur tangan kekuasaan.
GERAKAN MAHASISWA INTRA KAMPUS
Dewan Mahasiswa dan Majelis Mahasiswa adalah
Lembaga intra Kemahasiswaan tingkat Universitas. Dewan
Mahasiswa ini sangat independen, dan merupakan kekuatan
yang cukup diperhitungkan sejak Indonesia Merdeka hingga
masa Orde Baru berkuasa. Ketua Dewan Mahasiswa selalu
menjadi kader pemimpin nasional yang diperhitungkan pada
Pelatihan Kader Dasar | 85
jamannya. Dewan Mahasiswa berfungsi sebagai lembaga
eksekutif sedangkan yang menjalankan fungsi legislatifnya
adalah Majelis Mahasiswa. Di Fakultas-fakultas dibentuklah
Komisariat Dewan Mahasiswa (KODEMA), atau di beberapa
perguruan tinggi disebut Senat Mahasiswa. Para Ketua Umum
KODEMA atau Ketua Umum Senat Mahasiswa ini secara
otomatis mewakili Fakultas dalam Majelis Mahasiswa.
Keduanya dipilih secara langsung dalam Pemilu Badan
Keluarga Mahasiswa untuk masa jabatan dua tahun.
Sedangkan Ketua Umum Dewan Mahasiswa dipilih dalam
sidang umum Majelis Mahasiswa. Masa Dewan Mahasiswa
dan juga Majelis Mahasiswa di Indonesia berakhir pada
tahun 1978-an ketika Pemerintah memberangus aksi kritis
para mahasiswa dan Dewan Mahasiswa dibekukan.
Kegiatan politik di dalam kampus juga secara resmi
dilarang. Kebijakan itu dikenal dengan nama Kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan pengganti
lembaga tersebut adalah Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (BKK).
Senat Mahasiswa
Senat Mahasiswa adalah organisasi mahasiswa intra
universiter yang dibentuk pada saat pemberlakuan kebijakan
NKK/BKK pada tahun 1978. Sejak 1978-1989, Senat Mahasiswa
hanya ada di tingkat fakultas, sedangkan di tingkat universitas
ditiadakan. Di tingkat jurusan keilmuan dibentuk Keluarga
Mahasiswa Jurusan atau Himpunan Mahasiswa Jurusan, yang
berkoordinasi dengan Senat Mahasiswa dalam melakukan
kegiatan intern. Pada umumnya Senat Mahasiswa
dimaksudkan sebagai Lembaga Eksekutif, sedangkan fungsi
legislatifnya dijalankan organ lain bernama

Pelatihan Kader Dasar | 86


Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM).
Pada tahun 1990, pemerintah mengizinkan dibentuknya
Senat Mahasiswa tingkat Perguruan Tinggi namun model
student government ala Dewan Mahasiswa tidak
diperbolehkan. Senat Mahasiswa yang dimaksudkan adalah
kumpulan para Ketua-Ketua Lembaga Kemahasiswaan yang
ada: Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas, Ketua Umum
BPM dan Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa. Model
seperti ini di beberapa perguruan tinggi kemudian ditolak,
dan dipelopori oleh UGM, Senat Mahasiswa memakai model
student government. Senat Mahasiswa menjelma menjadi
Lembaga Legislatif, termasuk di tingkat Fakultas. Lembaga
Eksekutifnya adalah Badan Pelaksana Senat Mahasiswa.
Belakangan nama Badan Pelaksana diganti dengan istilah
yang lebih praktis: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Awalnya BEM dipilih, dibentuk dan bertanggung jawab
kepada Sidang Umum Senat Mahasiswa namun sekarang
pengurus kedua institusi sama-sama dipilih langsung dalam
suatu Pemilihan Raya.
Unit Kegiatan Mahasiswa
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) adalah wadah aktivitas
kemahasiswaan untuk mengembangkan minat, bakat dan
keahlian tertentu bagi para aktivis yang ada di dalamnya. Unit
Kegiatan Mahasiswa sebetulnya adalah bagian/ organ/
departemen dari Dewan Mahasiswa. Ketika dilakukan
pembubaran Dewan Mahasiswa, departemen-departemen
Dewan Mahasiswa ini kemudian berdiri sendiri-sendiri menjadi
unitunit otonom di Kampus. Unit Kegiatan Mahasiswa terdiri
dari tiga kelompok minat : Unit-unit Kegiatan Olahraga,
Unit-unit Kegiatan Kesenian dan Unit Khusus (Pramuka,
Menwa, Pers Mahasiswa, Koperasi Mahasiswa, Unit
Pelatihan Kader Dasar | 87
Kerohanian dan sebagainya).
Badan Perwakilan Mahasiswa
Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) adalah organisasi
mahasiswa Intra Universiter di Indonesia yang dibentuk
pada saat pemberlakuan kebijakan NKK/BKK pada tahun
1978. Sejak 1978-1989, Badan Perwakilan Mahasiswa hanya ada di
tingkat Fakultas bersama-sama dengan Senat Mahasiswa. Ada
kerancuan istilah BPM dengan Senat Mahasiswa karena sama-
sama berarti wakil. Hanya saja menurut aturan main, BPM
dianggap berfungsi sebagai badan legislatif sedangkan Senat
Mahasiswa menjalani fungsi eksekutif. Akhirnya, karena
ketidakjelasan fungsi BPM itu ketika era Senat Mahasiswa
Perguruan Tinggi atau SMPT fungsi BPM digantikan Senat
Mahasiswa. BPM sendiri dihapuskan. Senat Mahasiswa yang
tadinya badan eksekutif berubah menjadi badan legislatif.
Sedangkan badan eksekutifnya dibentuk Badan Pelaksana
Senat Mahasiswa, yang lantas diubah lagi menjadi Badan
Eksekutif Mahasiswa atau BEM. Istilah ini bertahan hingga
saat ini.
Badan Eksekutif Mahasiswa
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ialah lembaga
kemahasiswaan yang menjalankan organisasi serupa
pemerintahan (lembaga eksekutif). Dipimpin oleh
Ketua/Presiden BEM yang dipilih melalui pemilu mahasiswa
setiap tahunnya. Di beberapa kampus seperti Universitas
Indonesia, masih digunakan nama SenatMahasiswa (SM).
Himpunan Mahasiswa Jurusan
Himpunan Mahasiswa Jurusan adalah organisasi
mahasiswa intra universiter di Indonesia yang terdapat pada
jurusan keilmuan dalam lingkup fakultas tertentu. Umumnya
Pelatihan Kader Dasar | 88
bersifat otonom dalam kaitannya dengan organisasi mahasiswa
di tingkat Fakultas seperti Senat Mahasiswa dan Badan
Eksekutif Mahasiswa. Kegiatan Himpunan Mahasiswa Jurusan
umumnya dalam konteks keilmuan, penalaran dan
pengembangan profesionalisme. Nama lain Himpunan
Mahasiswa Jurusan adalah Keluarga Mahasiswa Jurusan atau
Korps Mahasiswa Jurusan. Sebagai contoh : Himpunan
Mahasiswa Budi Daya Pertanian (Fakultas Pertanian),
Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil (Fakultas Teknik),
Himpunan Mahasiswa Sejarah (Fakultas Ilmu Budaya),
Korps Mahasiswa Komunikasi (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik). Himpunan Mahasiswa Jurusan kelompok sejenis
banyak yang membentuk jaringan dengan HMJ lainnya di lain
Perguruan Tnggi sehingga seperti juga Senat Mahasiswa.
Maka ada Ikatan Himpunan Mahasiswa Jurusan sejenis skala
nasional. Sebut saja nama Ikatan Mahasiswa Komunikasi
Indonesia yang menghimpun HMJ Komunikasi Fisip,
beberapa diantaranya berstatus Senat Mahasiswa Fakultas
Ilmu Komunikasi. Atau Ikatan Mahasiswa Administrasi
Indonesia. Juga ada Ikatan Mahasiswa Geografi Indonesia
atau IMAHAGI.
Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus
Organisasi kemahasiswaan yang bersifat ekstra kampus
pada umumnya terkait dengan aliran politik atau ideologi
tertentu seperti: FMN, GMNI, HMI, PMII, GMKI, PMKRI,
Mapancas dan sebagainya. Ada pula organisasi
kemahasiswaan ekstra kampus yang didasarkan pada ikatan
asal daerah, misalnya Himpunan Mahasiswa Jawa Timur
(HIMAJATI), atau Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Kalimantan
Timur (KPMKT). Untuk organisasi kemahasiswaan yang
bersifat kedaerahan umumnya sekretariatnya sekaligus
Pelatihan Kader Dasar | 89
merupakan Asrama Mahasiswa asal daerah yang bersangkutan.
Meskipun tidak semua mahasiswa asal daerah tersebut
merupakan anggota organisasi atau tinggal di Asrama
Mahasiswa daerah yang bersangkutan.

REALITAS GERAKAN MAHASISWA SAAT


INI
Setelah melewati masa-masa yang sulit (32 tahun)
akhirnya mahasiwa berhasil keluar dari sarangnya dan
berhasil juga dalam menggulingkan sebuah rezim yang otoriter
yaitu Orde Baru. Dalam kontek gerakan reformasi waktu itu,
nampaknya mahasiswa tidak saja memerankan agen kontrol
sosial tetapi jugasebagai agen pembaharu. Mahasiswa telah
menjembatani kekosongan yang terjadi antara kepentingan
rakyat dan penguasa. Pada saat itu gerakan mahasiswa
merupakan lambang kekuatan moral yang bersih dan dalam
melakukan kontrol sosial tidak dilatar belakangi unsur politik.
Idealisme mereka terjaga dengan baik. Selain itu hubungan
komunikasi antar organ pergerakan cukup solid, sehingga
memungkinkan mereka melakukan koordinasi dengan baik.
Keberhasilan ini juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa
faktor pendukung. Pertama ; Mahasiswa memiliki satu
musuh bersama, Kedua; Banyaknya dukungan dari beberapa
unsur masyarakat mengenai gerakan mereka, Ketiga;
Kenyataan persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Selain
dari faktor yang saya paparkan ini, mungkin masih banyak
faktor-faktor lain yang ikut andil dalam masalah
penggulingan pemerintahan Suharto.
Tetapi itu semua sirna ketika terbentuk pemerintahan
yang dipilih secara demokratis, yaitu ketika pemerintahan
Abdurrahman Wahid berjalan kurang lebih satu tahun.

Pelatihan Kader Dasar | 90


Gerakan mahasiswa mulai mengalami kemunduran ideologi, ini
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, gerakan yang sudah
setahun biasanya mengalami fragmentasi. Fragmentasi gerakan
ini biasanya terurai, mungkin dari gerakan moderat sampai
ekstrem.kemunduran gerakan mahasiswa ini karena terjadinya
radikalisasi gerakan. Dalam kasus ini biasanya berbagai rambu-
rambu prinsip demokrasi sering dilupakan dan dilanggar.
Kedua, adanya perubahan latar gerakan itu sendiri. Semula
gerakan bersandar pada kekuatan moral perlahan- lahan
berubah menjadi kekuatan politik. Ketiga, terjadi pergeseran
dalam ideologigerakan mahasiswa.
Dalam sejarahnya, kata M. Hatta mahasiswa yang
banyak mewakili pemuda adalah harapan bangsa dan pelopor
setiap perjuangan. Pernyataan Hatta tersebut sangat relevan
sekali bila digunakan dalam keadaan waktu itu atau
sekarang, khususnya sebagai pemecut semangat dan
progresifitas gerakan mahasiswa yang cenderung melemah.
Oleh karena itu tidak ada alasan lagi bagi gerakan mahasiswa
untuk tidak bergerak dan menyatukan langkah dalam
menegakkan kebebasan dan keadilan. Pada dasarnya,
gerakan mahasiswa merupakan sebuah gerakan budaya,
karena itu mempunyai dampak politik yang sangat luas. Oleh
sebab itu mereka tidaklah cepat boleh puas dengan hasil yang
dicapai. Gerakan mereka juga harus senantiasa menegakkan
asas kebenaran politik dan pengungkapan kebenaran publik
sekaligus. Maka, budaya Indonesia yang cenderung cepat puas
dengan keadaan tidak perduli perkembangan karena sibuk
sendirian, tidaklah patut menjadi paradigma gerakan.
Agar gerakan mahasiswa menjadi progresif, dinamis,
revolusioner, dan inklusif. Gerakan mahasiswa meniscayakan

Pelatihan Kader Dasar | 91


hal berikut ini. Pertama, proaktif merespon keadaan dan teguh
pendirian. Gerakan mahasiswa harus bersatu dalam visi
penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini
bisa dilakukan saling memasok informasi untuk selanjutnya
dilanjutkan pada penyusunan agenda aksi dan gerakan
mahasiswa haruslah bersifat independen dan tidak menjadi
perpanjangan tangan para seniornya. Karena hal ini biasanya
hanya akan menimbulkan friksi dikalangan sendiri dan
saling merebutkan proyek demontrasi. Kedua, melakukan
dialog transformatif-meminjam istilah Jurgen Habermas untuk
menciptakan masyarakat komunikatif dan demokratis. Ketiga,
mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas
intelektual yang memadai dan berjiwa intelektual organik
meminjam istilah Gramsci. Hal ini berguna agar para aktivis
gerakan tidak hanya sibuk dilapangan, kurang melakukan
refleksi dan cenderung bergerak secara pragmatis

Daftar Rujukan

Sayyid Santoso, Nur. 2016. Hand-Out Diskusi Materi Kaderisasi PMII.


Cilacap: PMII Jaringan Inti Ideologi

Pelatihan Kader Dasar | 92


BAB V

PARADIGMA PERGERAKAN PMII


Pengertian Paradigma
Paradigma berasal dari kata yunani yaitu paraa dan
deigmaa yang berarti kaca mata, cakrawala atau horizona,
oleh karena itu paradigma dari segi asal kata, pengertian
paradigma adalah kacamata memandang terhadap situasai,
cara pandang terhadap keyataan atau peristiwa. Atau
menafsirfkan kaadaan tentang politik, agama, budaya,
ekonomi dan pendidikan. Paradigma berhubungan dengan
cara ilmu pengetahuan memandang suatu masalah yang
muncul dari kenyataan sendiri. (Layla Sugandhi,1999: 13).
Paradigma pertama kali di perkenalkan oleh Thomas
Kuhn, seorang ahli fisika teoritik, konsep paradigma di
gunakan untuk menunjukan pola pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Pada dasarnya
lewat bukunya itu, Thomas Kuhn hendak membuktikan
sesat anggapan lama yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan
adalah bersifat linear, akumulatif dan gradual.
Pegertian paradigma menurut George Ritzer
mengartikan paradigma sebagai pandangan fundamental
tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Yaitu
tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang
mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta
seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-
persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana
sesungguhnya paradigma adalah semacam kaca mata untuk
melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas
sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial
yang memandu arahan pergerakan.
Pelatihan Kader Dasar | 93
Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun
para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam
masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk
menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun
pertanyaan, dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
Dengan kata lain paradigma merupakan titik tolak dalam
mendekati objek kajiannya.
Refleksi Paradigma Gerakan PMII
Paradigma gerakan adalah alat dalam membedah pola,
arah dan tujuan ber-PMII, ber-Islam dan ber-Indonesia.
Paradigma kritis tansformatif yang selama ini dipakai sebagai
pisau analisa di anggap mampu dalam menghadapi tekanan
baik internal maupun eksternal. Dengan kritisismenya,
PMII terbukti masih bisa tegak berdiri ketika sejumlah badai
mengahadang. PMII juga masih mampu mentransformasikan
sistem nilai yang berakar pada tradisi saat sistem nilai baru
bermunculan. Tetapi dunia terus berubah-bergerak ke arah
yang kadang sulit diprediksi. Arus globalisasi,
neoliberalisme, dam fundamintalisme ekstrim tak hentinya
menggempur. Ada banyak tantangan saat dunia semakin datar,
persaingan kian ketat. Karena itu, PMII perlu terus melakukan
menformulasi ulang paradigma gerakannya agar tidak gagap
terhadap perubahan dunia yang terus mengealami
percepatan. Sepanjang sejarah PMII dari Tahun 80an
hingga 2010, ada 3 (tiga) Paradigma yang telah dan sedang
digunakan. Masing-masing menggantikan model paradigma
sebelumnya. Pergantian paradigma ini mutlak diperlukan
sesuai perubahan dengan konteks ruang dan waktu. Ini
bersesuaian dengan kaidah Taghoyyurul ahkami bi
taghoyyuril azminati wal amkinati. Bahwa hukum itu bisa
Pelatihan Kader Dasar | 94
berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat.
1) Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran
Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun
secara sistematis pada masa kepengurusan Sahabat
Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor
(Sekjend) 1994-1997. Untuk pertama kalinya istilah
Paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan
untuk menyatakan apa yang oleh PMII disebut prinsip-
prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap
pluraltas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang.
Dimuat dalam buku berjudul Paradigma Arus Balik
Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma
Pergerakan disambut massif oleh seluruh anggota dan kader
PMII di seluruh Indonesia. Paradigma Pergerakan,
demikian ‘judulnya’, dirasa mampu menjawab kegelisahan
anggota pergerakan yang gerah dengan situasi sosial-
politik nasional.
Adapun titik tolak dari paradigma pergerakan (atau
populer dengan nama paradigma arus balik) ini adalah
kondisi sosio-politik bangsa Indonesia yang ditandai oleh:
(a) Munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom
yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang
merupakan asal-usul eksistensinya.
(b) Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan
teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi
dan politik.
(c) Semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer”
dalam masyarakat,termasuk intelektual.
(d) Diterapkannya model politik eksklusioner melalui
jaringan korporatis untuk menangani berbagai
kepentingan politik.
Pelatihan Kader Dasar | 95
(e) Penggunaan secara efektif hegemoni secara ideologi
untuk memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem
politik yang ada. Lima ciri diatas tak jauh beda dengan
negara-negara kapitalis pinggiran (peripherial capitalist
state) (1997; hal. 3).
2) Paradigma Kritis Transformatif
Pada periode sahabat Syaiful Bahri Anshari (1997-
2000), diperkenalkan Paradigma Kritis Transformatif.
Pada hakikatnya prinsip-prinsip dasar paradigma ini
tidak jauh berbeda dengan Paradigma Pergerakan. Titik
bedanya terletak pada pendalaman teoritik paradigma
serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis
madzhab Frankfurt (Frankfurt School) serta dari kritisisme
wacana intelektual Muslim seperti Hassan Hanafi,
Muhammad Arkoun, Ali Ashghar Engiiner dll. Sementara
di lapangan terdapat pola yang sama dengan PMII
periode sebelumnya; gerakan PMII terkonsentrasi pada
aktivitas jalanan dan wacana-wacana kritis. Semangat
perlawanan-oposisi (perang terbuka), baik dengan negara
maupun dengan kapitalisme global masih sangat
mewarnai gerakan PMII.
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika
KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI
pada november 1999. Para aktifis PMII (dan aktifis civil
society umumnya) mengalami kebingungan saat Gus Dur
yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society di
Indonesia naik ke tampuk kekuasan. Aktivis pro
demokrasi mengalami dilema antara mendampingi Gus
Dur dari jalur ekstraparlemen, atau bersikap sama
sebagaimana terhadap presiden-presiden sebelumnya.
Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan

Pelatihan Kader Dasar | 96


bahwa masih banyak unsur orba baik di legislatif maupun
eksekutif yang memusuhi presiden ke-4 tersebut. Namun
pilihan tersebut akan memunculkan pandangan bahwa
aktivis prodemokrasi (termasuk PMII) menanggalkan
semangat perlawanannya. Meski demikian, secara nasional
sikap PB PMII di masa kepengurusan Sahabat Nusron
Wahid secara tegas-terbuka mengambil tempat sebagai
pendukung demokrasi dan program reformasi yang secara
konsisten dijalankan oleh presidan Gus Dur, sejalan dengan
berbagai organisasi pro-dem yang lain.
Hanya titik persoalannya terletak pada paradigma
gerakan PMII itu sendiri. Secara massif, paradigma gerakan
PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik
terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara
(kapitalis internasional). Inilah yang ditemukan di
tingkat aktivis- aktivis PMII. Sehingga ruang taktis-
strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang
berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh
tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak-larut
dalam persoalan temporal- spasial, sehingga gerak
perkembangan internasional yang sangat berpengaruh
terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri luput
dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum
seberapa, aktivis PMII sering larut pada impian
“membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat
ini juga”. Efek besarnya, upaya taktis-strategis untuk
mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit
dilakukan.
Inilah mengapa kemudian dalam buku Membangun
Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal yang diterbitkan pada era
sahabat A. Malik Haramain dikatakan bahwa dua
Pelatihan Kader Dasar | 97
paradigma di atas telah patah Kedua paradigma di atas
melanjutkan kagagapan PMII dalam bersinggungan dengan
kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk
menjelaskan patahnya kedua paradigma ini.
Pertama, keduanya didesain hanya untuk melakukan
resistensi terhadap otoritarianisme tanpa membaca
kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait
dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-
ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh maraknya LSM pro
demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade
1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai
rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
Kedua, dua paradigma di atas hanya menjadi bunyi-
bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus
atau laku di PMII. Akibatnya bentuk resistensi yang
muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan.
Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan
Soeharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan
organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus
berbuat apa.
Ketiga, pilihan dua paradigma di atas tidak didorong
oleh setrategi sehingga paradigma dianggap sebagai
suatu yang baku. Mestinya ketika medan pertempuran
telah berganti, maka strategipun harus berbeda.
Sayangnya yang terjadi pada PMII, ketika medan
pertempuran melawan otoritarianisme orde baru telah
dilewati, PMII masih berpikir normatif dengan
mempertahankan nalar paradigma lama.
3) Paradigma Menggiring Arus, Berbasis Realitas
Pada masa kepengurusan sahabat Heri Harianto
Pelatihan Kader Dasar | 98
Azumi (2006-2008) secara massif, paradigma gerakan
PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal
baik baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan
kapitalis internasional. Sehingga ruang taktis-strategis
dalam kerangka cita- cita gerakan yang berorientasi jangka
panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis
PMII masih mudah terjebak larut dalam persoalan
temporal-spasial, sehingga perkembangan internasional
yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan
Indonesia sendiri sulit dibaca. Dalam kalimat lain, dengan
energi yang belum seberapa, aktifis PMII sering larut pada
impian membendung dominasi negara dan
ekspansineoliberal saat ini juga. Efek besarnya, upaya strategis
untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih
sedikit dilakukan.
Maka dalam periode ini diperkenalkan “Paradigma
Menggiring Arus”, yaitu paradigma yang mampu menjadikan
sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan
kenyataan hari ini. Bahwa sejarah telah menyimpan masa
lalu yang telah memyusun masa kini dan masa depan.
Jadi, dengan mengkobinasikan masa lalu dengan hari ini,
kita akan mampu membaca keadaan atau kenyataan
secara benar sehingga kita tidak terjebak mediatik dan
manipulative yang menyesatkan. Dengan berangkat dari
kenyatan real, kita akan mampu menangkap apa yang akan
terjadi. Dengan begini gerakan akan mampu memutus roda-
roda peradapan yang hegemonik. Dalam bukunya “Multi
Level Strategi”. Paradigma ini tidak di tulis karna paradigma
ini sebagai arternatif saja
Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan
Malaka lebih bersifat teoritik-akademik (logos), yakni
Pelatihan Kader Dasar | 99
diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat
atau negara yang berasal dari barat. Celakanya, konsep-
konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir
seluruhnya beraroma liberalisme. Dengan kata lain, dalam
upaya melawan neoliberalisme, banyak gerakan
terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh
konsep- konsep liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society,
sipil vs militer, federalisme dll. difahami sebagai agenda
substansial. Padahal dalam lapangan politik dan ekonomi,
kesemuanya tadi nyaris menjadi mainan negara-negara
neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak dari pikiran
gerakan semacam itu memang tidakakan pernah berhasil.
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun
paradigma berbasis kenyataan di PMII itu pararel dengan
kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari
kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari
penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk
sementara waktu organisasi akan tersisih dari pergaulan
gerakan mainstream. Gerakan harus mampu berkayuh di
antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar
gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek
tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang
rapuh. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita
harus mendahulukan realitas ketimbang logos.

PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF


Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis,
terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan
proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular.
Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan
mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut

Pelatihan Kader Dasar | 100


diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka
diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis
dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis
diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berpikir dan
metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan
sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari
ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan
dan memfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya
sebagaimana mestinya. Dalam hal ini penerapan paradigma
kritis bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sacral,
tetapi pada pesoalan yang profan.
Lewat paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan
sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran
agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis. Sebagaimana
dijelaskan di atas, pertama, paradigma krirtis berupaya
menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari
berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang
bersifat profan. Kedua, paradigma kritis melawan segala
bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga, paradigma kritis
membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan
hegemonik. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh
Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat
diterima sebagai titik pijak paradigma kritis di kalangan warga
PMII.
Landasan Pemikiran Paradigma Kritis
Transformatif PMII.
Ada bebarapa alasan yang menyebabkan PMII harus
memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan
mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang
dalam melakukan analisa: Pertama, masyarakat Indonesia saat
Pelatihan Kader Dasar | 101
ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern.
Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu
titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola pikir positivistic
modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah
menjadi sebuah berhala yang mengahruskan semua orang
untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak
melakukan, dia akan ditinggalkan dan dipinggirkan.
Eksistensinya-pun tidak diakui. Akibatnya jelas, kreatifitas
dan pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. Dalam
kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi
suatu keniscayaan.
Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun kepercayaan.
Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis,
karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi
setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk
mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya secara
maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan
demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara
maksimal untukkemanusiaan.
Ketiga, sebagaimana kita ketahui selama pemerintahan
Orde Baru berjalan sebuah sistem politik yang represif dan
otoriter dengan pola yang hegemonic. Akibatnya ruang publik
(public sphere) masyarakat hilang karena direnggut oleh
kekuatan negara. Dampak lanjutannya adalah berkembangnya
budaya bisu dalam masyarakat, sehingga proses
demokratisasi terganggu karena sikap kritis diberangus.
Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat
civil society dihadapan negara, maka paradigma kritis
merupakan alternatif yang tepat.

Pelatihan Kader Dasar | 102


Keempat, selama pemerintahan orde baru yang
menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma)
dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui
ideologi developmentalisme, warga PMII mengalami proses
marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII
dianggap sebagai wakil dari masyarakat tardisional. Selain itu,
paradigma keteraturan memiliki konsekuensi logis bahwa
pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan social
yang meniscayakan adanya gejolak social yang harus ditekan
seecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara
gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian, massa PMII
secara sosilogis akan sulit berkembangkarena tidak memiliki
ruang yang memadai untuk mengembangkan diri,
mengimplementasikan kreatifitas danpotensi dirinya.
Kelima, Selain belenggu sosial politik yang dilakukan oleh
negara dan sistem kapitalisme global yang terjadi sebagai
akibat perkembangan situasi, factor yang secara spesifik
terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu
dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak
sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif
mengenai ajaran dan fungsi agama. Terjadi dogmatisme agama
yang berdampak pada kesulitan membedakan mana yang
dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun
menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru
menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan
nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya
dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.
Kerangka Konseptual Paradigma Kritis
Transformatif
1. Teori Kritis
Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/
Pelatihan Kader Dasar | 103
tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian
secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang
berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap
realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa
lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis
merupakan produk dari institute penelitian sosial,
Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan
neo-marxian Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di
kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961.
Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan
epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt–
paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina–
paradigma neo-positivisme/ neo-kantian). Konfrontasi
berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen
Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat
positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh
yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam
pemikiran dialektis Teori Kritis.
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan
sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl
Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran
Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische
Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba
memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan
manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari
teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik
tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga
sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan
meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi
masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max
Pelatihan Kader Dasar | 104
Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli
sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom),
Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel
(sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus
sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba
menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga
selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di
Amerika). Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori
Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme
ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan
akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic
strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik,
sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan
manusia).
Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap
masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis
tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial,
tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan
masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis
Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah
manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh
Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori
Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori
kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini
adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund
Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang
kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt
yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori
komunikasinya.

Pelatihan Kader Dasar | 105


Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis
berfungsi untuk mengkritisi:
(a) Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan
semua persoalanpada bidang ekonomi;
(b) Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode
sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah
kritik epistimologi;
(c) Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya
memperpanjang status quo;
(d) Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada
irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang
gagal membebaskan manusia dari dominasi;
(e) Kritik kebudayaan yang dianggap hanya
menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis
dengan empat hal: Berpikir dalam totalitas (dialektis); Berpikir
empiris-historis; Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis;
Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja
(working reality).
Pengertian “Kritik” dalam Tradisi Teori Kritis
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik
ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya
pada struktur sosial namunjuga pada ideologi dominan dalam
masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik
yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl
Marx dan Sigmund Freud.
a. Kritik dalam Pengertian Kantian.
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan
suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan
membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif

Pelatihan Kader Dasar | 106


pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras
epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada
persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan
kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of
possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan
bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang
(kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa
rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya
sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini
bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran
Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan
klaim pengetahuan tanpa prasangka.
b. Kritik dalam Arti Hegelian.
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap
pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi
membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas
suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan
refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang
menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar
metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-
angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah
therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda
dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai
proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran
muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan
dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik
dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri
atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses
pembentukan diri- rasio dalam sejarah manusia.
c. Kritik dalam Arti Marxian.
Pelatihan Kader Dasar | 107
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan
dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian
dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang
berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab
yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material
dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan
material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori
kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari
penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di
dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti
usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau
keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan
dalam masyarakat.
d. Kritik dalam Arti Freudian.
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena
analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis
masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran
dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori
kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya.
Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena
didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia
melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam
pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis
yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran.
Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat
psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap
ortodoksi marxisme klasik.
Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis
adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif
prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat
Pelatihan Kader Dasar | 108
emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus
memenuhi tiga syarat : Pertama, bersifat kritis dan curiga
terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua,
berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses
perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan
teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-
mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
2. Paradigma
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas
Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The
Structure Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh
Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology; 1970), Lodhal dan
Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara
Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak
mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan
menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang
berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman
diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma.
a. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang
menjadi pusat kajian ilmuwan.
b. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan
sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara
umum.
c. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari
bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya
paradigma pembangunan, paradigmapergerakan dll.

Tiga Jenis Utama Paradigma


Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan
Paradigma Sosial: William Perdue, menyatakan dalam ilmu
sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
Pelatihan Kader Dasar | 109
a. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan).
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa
masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari
bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan
saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi
dasarnya adalah bahwa: Setiap struktur sosial adalah
fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang
wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang
kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara
eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-
satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini
mengingkari hukum kekuasaan: setiap ada kekuasaan senantiasa
ada perlawanan. Untuk memahami pola pemikiran paradigma
keteraturan dapat dilihat skema berikut:
Elemen
Asumsi dasar Type
Paradigmatik
ideal
Rasional, memiliki
Imajinasi sifat kepentinganpribadi, Pandangan Hobes
dasar manusia ketidakseimbangan personal mengenai konsep
dan berpotensi memunculkan dasarNegara
dis integrasi
sosial
Imajinasi Consensus, kohesif/fungsional
tentang struktural, ketidakseimbangan Negara Republic
masyarakat sosial, ahistoris, konservatif, Plato
pro-
status quo, anti perubahan
Fungsionalisme
Imajinasi ilmu Sistematic, positivistic, Auguste Comte,
pengetahuan kuantitatif dan prediktif. fungsionalisme
Durkheim,
fungsionalisme
struktural Talcot
Parson

Pelatihan Kader Dasar | 110


b. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang
paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa:
Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip
penggerak perubahan. Perubahan tidak selalu gradual;
namun juga revolusioner. Dalam jangka panjang sistem sosial
harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious
circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik.
Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas,
tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi
instrument perubahan. Untuk memahami pola pemikiran
paradigma konflik dapat dilihat skema berikut:

Elemen Asumsi dasar Type ideal


paradigmatik
Imajinasi sifat Rasional,kooperatif, Konsep homo
sempurna feber Hegel
dasarmanusia
Imajinasi Integrasi sosial terjadi Negara
tentang karena adanyadominasi, Republic
konflik menjadi plato
masyarakat instrument perubahan,
utopia
Imajinasi ilmu Filsafatmaterialisme, Materialisme
pengetahuan histories, holistic, dan historis marx
terapan
c. Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari kontras atau perbedaan antara paradigma
keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya
membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma
plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok
yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi
Pelatihan Kader Dasar | 111
untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas
sosial yang ada disekitarnya. Untuk memahami pola
pemikiran paradigma plural dapat dilihat skema berikut:

Elemen Asumsi Dasar Type Ideal


Paradigmatic
Manusia bertindak
Konsep
ataskesadaran
Imajinasi sifat kesadaran
subyektif, memiliki
dasarmanusia diri imanuel
kebebasan menafsirkan
kant
realitas/aktif
Struktur internal yang
Konsep
Imajinasi membentukkesadaran
kontrak
tentang manusia, kontrak
sosial J.J
masyarakat sosial
Rousseau
sebagai mekanisme control.
Imajinasi Filsafat idealisme, Metode
ilmu tindakanmanusia tidak Versteen
pengetahuan dapat diprediksi Weber

Terbentuknya Paradigma Kritis


Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan
untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan
teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan
elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis
terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok
yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk
menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik
mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang

Pelatihan Kader Dasar | 112


adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada
kelompok yang lain.
Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma
kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial
atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu
pada:
a) Analisis struktural: membaca format politik, format
ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk
menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk
membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik,
dominatif, dan eksploitatif.
b) Analisis ekonomi untuk menemukan Variabel ekonomi
politikbaik pada level nasional maupun internasional.
c) Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik
itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat.
Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu
wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
d) Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di
masyarakat.
e) Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-
tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah baik
dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan
kemunduran suatu masyarakat.
Kritis dan Transformatif
Kritis saja tidak lah cukup tanpa diimbangi dengan
transformatif, sebab kritis hanya sebatas proses analisis, yang
tentunya masih ‘abstrak’ dan perlu dikristalkan menjadi
wujud konkret (gerakan). Paradigma kritis sebagaimana
uraian di atas, adalah sebuah alat analisa. Ia baru menjawab
serial pertanyaan ‘kekinian’ modernitas, struktur formasi
sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru
sampai pada logika dan mekanisme working-system yang
menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan
Pelatihan Kader Dasar | 113
eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif
tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi
mentransformasikannya. Oleh karena itu term “transformatif”
dihadirkan dalam rangka melengkapi kemandegan pasca
‘analisa’ atau kontemplasi dalam teori kritis.
Transformatif adalah adjective dari kata transformasi
yang secara leksikal mempunyai arti pengubahan atau
perubahan bentuk. Makna transformatif kurang lebih adalah
proses pengubahan dari satu bentuk yaitu berupa gagasan atau
ide dan sistem gerakan menjadi bentuk baru yang mampu
menjamah realitas masyarakat; pada wilayah tindakan praksis.
Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada
dataran praksis antara lain:
a. Transformasi dari Elitisme ke Populisme.
Dalam model tranformasi ini digunakan model
pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan
sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu
kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani,
pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat
adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan
kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-
mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan
rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak
mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan
jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang
sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum
intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar
sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini
haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat
horisontal.

Pelatihan Kader Dasar | 114


b. Transformasi dari Negara ke Masyarakat.
Transformasi dari Negara ke masyarakat, Kalau kita
lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl
Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara
sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati
kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap
rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara
adalah satu- satunya wadah yang paling efektif untuk
meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam
satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa
justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam
menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini
akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahumembahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan
yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.
c. Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk transformasi ketiga ini akan bisa terwujud jika
dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-
kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti
yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya
kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah
harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam
mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling
mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan
langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.
d. Transformasi dari Individu ke Massa.
Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia
adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran
mahluk yang lain. Bentuk- bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers

Pelatihan Kader Dasar | 115


kita tentang adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan
individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia.
Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka
(Sang Kiri Nasionalis), adalah adanya aksi massa. Hal ini
tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power
atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program
perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun
(ipoleksosbudhankam).
Paradigma Kritis Transformatif (PKT) yang
diterapkan PMII.
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya
merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia
adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis,
karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut
diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut,
maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam
tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis
diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode
analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya
dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya
justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama
sebagaimana mestinya.
PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat
kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi
dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan
yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok- pokok
pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya
pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik
pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Contoh yang
paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran
yang menggunakan paradigma kritis dari beberapa intelektual
Pelatihan Kader Dasar | 116
Islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun.
Alasan PMII memilih Paradigma Kritis
Transformatif
“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif” itulah Jargon
PMII dalam setiap membaca tafsir sosial yang sedang terjadi
dalam konteks apapun. Ada bebarapa alasan yang
menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai
dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta
menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap
realitas sosial. Alasan-alasan tersebut adalah :
a. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-
nilai kapitalisme modern. Kesadaran masyarakat dikekang
dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa
kapitalisme dan pola pikir positivistic modernisme.
b. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk,
baik etnik, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya
pluralitas society)
c. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan
otoriter dengan
pola yang hegemonik (sistem pemerintahan
menggunakan paradigma keteraturan yang anti
perubahan dan pro status quo).
d. Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama
menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru
menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan
nilai kemanusiaan.

DAFTAR RUJUKAN
Sayyid Santoso, Nur. 2016. Hand-Out Diskusi Materi Kaderisasi PMII.
Cilacap: PMII Jaringan Inti Ideologi

Pelatihan Kader Dasar | 117


BAB VI
ANALISIS SOSIAL DAN REKAYASA
SOSIAL

Apakah Analisis Sosial Itu ?


Analisis sosial merupakan usaha untuk
menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara
objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh
gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan
menelaah kaitan-kaitan histories, struktural dan
konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari
struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial,
kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya, dan
agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi
perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang
menyebabkan masalah- masalah sosial, dan juga dampak
sosial yang muncul akibat masalah sosial
Analisis sosial atau yang lebih akrab dikenal ansos
ini merupakan sebuah proses atau mekanisme yang akan
membahas problematika-probelmatika yang terjadi pada
sebuah objek analisa dan pada akhirnya akan
menghasilkan apa sebenarnya yang menjadi akar
permasalahan atas problematika-problematika tersebut.
Dari sana, kita dapat menentukan apa sebenarnya yang
dibutuhkan untuk dicarikan solusi yang tepat.
Inilah yang acapkali tidak dilalui oleh para
problem solver. Mereka seringkali menghasilkan solusi
atas problematika yang hadir bukan berdasarkan hasil
analisis mendalam namun hanya berdasarkan dugaan
yang argumentasinya lemah atau bahkan hanya
berdasarkan pada kemauannya saja. Mungkin
permasalahan yang nyata di lapangan akan terselesaikan,
namun karena ia tak akan menyentuh sampai ke akarnya
maka akan hadir permasalahan-permasalahan baru atau
Pelatihan Kader Dasar | 118
bahkan permasalahan yang nyata tersebut tidak hilang
sama sekali.
Ruang lingkup dan Orientasi Ansos
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis,
namun dalam konteks transformasi sosial, maka paling tidak
objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan
sosial yang direncanakan yang sesuai dengan visi atau misi
organisasi. Secara umum objek sosial yang dapat di analisis
antara lain:
a) Masalah-masalah sosial, seperti; kemiskinan, pelacuran,
pengangguran,kriminilitas.
b) Sistemsosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah,
sitem pemerintahan,sitem pertanian.
c) Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan
rumah sakit, lembagapedesaan.
d) Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak
perlakuan sebuahUU.

Pentingnya Teori Sosial


Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori
sosial merupakan refleksi dari fakta sosial, sementara
fakta sosial akan mudah dianalisis melalui teori-teori
sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat,
untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas
sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam
realitas empiris. Charles lemert (1993) dalam Sosial
Theory ; The Multicultural And Classic Readings
menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan
basis dan pijakan teknis untuk bisa survive.
Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah
pandangan dunia tertentu yang berakar pada
positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis
terdapat dua macam analisis sosial. Pertama, analisis
Pelatihan Kader Dasar | 119
intitusional, yaitu ansos yang menekan pada
keterampilan dan kesetaraan aktor yang memperlakukan
institusi sebagai sumber daya dan aturan yang
diproduksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku
strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan
institusi sebagai sesuatuyang diproduksi secara sosial.
Orientasi Analisa Sosial
1. Analisa sosial jelas didedikasikan dan diorientasikan
untuk keperluan perubahan.
2. Analisa sosial adalah watak mengubah yang dihidupkan
dalam proses identifikasi. Justru karena itu pula, maka
menjadi jelas bahwa analisa sosial merupakan salah satu
titik simpul dari proses mendorong perubahan.
3. Analisa sosial akan menghasilkan semacam peta yang
mem•berikan arahan dan dasar bagi usaha-usaha
perubahan.
Pendekatan Dalam Analisis Sosial
1. Historis: dengan mempertimbangkan konteks
struktur yang saling berlainan dari periode-periode
berbeda, dan tugas strategis yang berbeda dalam tiap
periode.
2. Struktural: dengan menekankan pentingnya
pengertian tentang bagaimana masyarakat dihasilkan
dan dioperasikan, serta bagaimana pola lembaga-lembaga
sosial saling berkaitan dalam ruang sosial yang ada.
Prinsip-Prinsip Analisa Sosial
1. Analisa sosial bukan suatu bentuk pemecahan masalah,
melainkan hanya diagnosis (pencarian akar masalah), yang
sangat mungkin digunakan dalam menyelesaikan suatu
masalah, karena analisa sosial memberikan pengetahuan
yang lengkap, sehingga diha•rapkan keputusan atau
Pelatihan Kader Dasar | 120
tindakan yang diambil dapat merupakan pemecahan yang
tepat.
2. Analisa sosial tidak bersifat netral, selalu berasal dari
keberpihakan terhadap suatu keyakinan. Soal ini berkait
dengan perspektif, asumsi-asumsi dasar dan sikap yang
diam•bil dalam proses melakukan analisa. Karena
pernyataan di atas, maka analisa sosial dapat digunakan
oleh siapapun.
3. Analisa sosial lebih memiliki kecenderungan mengubah;
tendensi untuk menggunakan gambaran yang diperoleh
dari analisa sosial bagi keperluan tindakan-tindakan
mengubah, maka menjadi sangat jelas bahwa analisa sosial
berposisi sebagai salah satu simpul dan siklus kerja
transformasi.
4. Analisa sosial selalu menggunakan “tindakan manusia”
sebagai sentral atau pusat dalam melihat suatu fenomena
nyata.
Mengapa Gerakan Sosial Membutuhkan Analisa
Sosial ?
Kalau kita pahami secara lebih mendalam, aktivitas sosial
adalah sebuah proses penyadaran masyarakat dari suatu
kondisi tertentu kepada kondisi yang lain yang lebih baik (baca:
kesadaran kritis). Kalau kita menggunakan istilah yang lebih
populer, aktivitas semacam itu bisa juga disebut sebagai
aktivitas pemberdayaan (Empowerment) untuk suatu entitas
atau komunitas masyarakat tertentu. Dari statemen tersebut,
maka akan termuat suatu makna bahwa sebenarnya
kesadaran kritis atas realitas sosial ini pada dasarnya ada pada
setiap diri manusia. Hanya saja tingkat kesadaran kritis pada
masing-masing orang itu kadarnya berbeda-beda. Dan aktivitas
sosial adalah alat untuk menyadarkan atau memotivasi bagi
Pelatihan Kader Dasar | 121
munculnya kesadaran tersebut. Meskipun, sebagaimana kita
ketahui, bahwa membangun kesadaran kritis atas realitas
sosial itu tidaklah semudah membalik tangan, karena
kesadaran itu dilingkupi oleh persoalan- persoalan (sosial
dan sebagainya), yang senantiasa membelenggunya. Oleh
karena itu, untuk masuk pada titik sentral kesadaran kritis
atas realitas sosial sebagaimana dimaksud dalam gerakan sosial
di atas, maka tidak mungkin untuk tidak membongkar,
mengurai dan menganalisa persoalan- persoalan yang ada
disekitarnya. Pada konteks inilah kompetensi analisis sosial
dalam gerakan sosial.
Signifikansi Analisa Sosial
1. Untuk mengidentifikasikan dan memahami persoalan-
persoalan yang berkembang (ada) secara lebih mendalam
dan seksama (teliti); berguna untuk membedakan mana akar
masalah (persoalan mendasar) dan mana yang bukan, atau
mana yang merupakan masalah turunan.
2. Akan dapat dipakai untuk mengetahui potensi yang ada
(kekuatan dan kelemahan) yang hidup dalam masyarakat.
4. Dapat mengetahui dengan lebih baik (akurat) mana
kelompok masyarakat yang paling dirugikan (termasuk
menjawab mengapa demikian).
5. Dari hasil analisa sosial tersebut dapat proyeksikan apa
yang mungkin akan terjadi, sehingga dengan demikian
dapat pula diperkirakan apa yang harusdilakukan.
Model Telaah dalam Analisa Sosial
1. Telaah Historis, dimaksudkan untuk melihat ke
belakang. Asumsi dasar dari telaah ini bahwa suatu
peristiwa tidak dengan begitu saja hadir, melainkan
melalui sebuah proses sejarah.
Pelatihan Kader Dasar | 122
2. Telaah Struktur, Analisa ini sangat tajam dalam
melihat apa yang ada, dan mempersoalkan apa yang
mungkin tidak berarti digugat. Struktur yang akan dilihat
adalah: ekonomi (distribusi sumberdaya); politik
(bagaimana kekuasaan dijalankan); sosial (bagaimana
masyarakat mengatur hubungan di luar politik dan
ekonomi); dan budaya (bagaimana masyarakat mengatur
nilai).
3. Telaah Nilai, Penting pula untuk diketahui tentang
apa nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat.
Mengapa demikian. Dan siapa yang berkepetingan
dengan pengembangan nilai-nilai tersebut.
4. Telaah Reaksi, Melihat reaksi yang berkembang berarti
mempersoalkan mengenai siapa yang lebih merupakan atau
pihak mana yang sudah bereaksi, mengapa reaksi muncul
dan bagaimana bentuknya. Telaah ini penting untuk
menuntun kepada pemahaman mengenai "peta" kekuatan
yang bekerja.
5. Telaah Masa Depan, Tahap ini lebih merupakan usaha
untuk memperkirakan atau meramalkan, apa yang terjadi
selanjutnya.

Tahap-tahap analisis sosial


1. Tahap menetapkan posisi, orientasi: pada intinya dalam
tahap ini, pelaku analisa perIu mempertegas dan
menyingkap motif serta argumen (ideologis) dari tindakan
analisa sosial.
2. Tahap pengumpulan dan penyusunan data: tujuan dan
maksud dari tahap ini, agar analisa memiliki dasar
rasionalitas yang dapat diterima akal sehat. Ujung dari
pengumpulan data ini adalah suatu upaya untuk
merangkai data, dan menyusunnya menjadi diskripsi
Pelatihan Kader Dasar | 123
tentang suatu persoalan.
3. Tahap analisa: pada tahap ini, data yang telah terkumpul
diupayakan untuk dicari atau ditemukan hubungan
diantaranya.
Strategi Analisa Sosial
1. Maping, pemahaman situsai demografi, aktor-aktor awal,
pengenalan budaya, pemahaman masalah mendasar, dll.
2. Integrasi, bagaimana kita (sebagai penggerak awal)
diterima oleh individu atau sekelompok korban sehingga
mereka bisa terbuka berkeluh kesah tentang
permasalahannya.
3. Infiltrasi, sesuai dengan prinsip-prinsip analisa sosial agar
bisa diterima dan dipahami oleh individu atau kelompok.
Bahwa langkah awal penyelesaian masalah adalah
merubah cara pandang korban dulu.
4. Mengumpulkan keresahan-keresahan dari masing-masing
individu untuk diajak membahas persoalan yang sedang
dihadapi dan mencari pemecahnya
5. Menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan-
kegiatan secara terus menerus. Tujuannya yang paling
utama adalah membangun kekompakan korban
(penguatan) dan berupaya menyelesaikan yang menjadi
masalah pokok (advokasi).
6. Membangun kelembagaan atau organisasi kelompok
Langkah-Langkah Ansos
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain:
1. Memilih dan menentukan objek analisis
Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada
pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalsis
merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan
sesuai dengan visi atau misi organisasi.
Pelatihan Kader Dasar | 124
2. Pengumpulan data atau informasi penunjang
Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu
didukung dengan data dan informasi penunjang yang
lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa,
kegiatan observasi maupun investigasi langsung
dilapangan. Re-cek data atau informasi mutlak dilakukan
untuk menguji validitas data.
3. Identifikasi dan analisis masalah
Merupaka tahap menganalisis objek berdasarkan data
yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable,
seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan
agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara
komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi
masalah dan menemukan saling keterkaitan antara
aspek.
4. Mengembangkan presepsi
Setelah diidentifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi
atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan
presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif.
pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan
implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta
pengembangan beberapa alternative sebagai kerangka
tindak lanjut.
5. Penarikan Kesimpulan
Pada tahap ini, setelah berbagai aspek tersebut
ditemukan, maka pada akhirnya suatu kesimpulan akan
diambil; kesimpulan merupakan gambaran utuh dari suatu
situasi, yang didasarkan kepada hasil analisa. Dengan
demikian kualitas kesimpulan sangat bergantung dari
proses tahap-tahap analisa, juga tergantung pada

Pelatihan Kader Dasar | 125


kompleksitas isu, kekayaan data dan akurasi data yang
tersedia, ketepatan pertanyaan atau rumusan terhadap
masalah, dan kriteria yang mempengaruhi penilaian-
penilaian alas unsur-unsur akarmasalah.

Diagram Peta Proses Analisis Sosial, H.A.


Taufiqurrahman (1999)
PROSES
ANALISIS
SOSIAL

ANALISIS PEMECAHAN JALAN


MASALAH
SOSIAL MASALAH KELUAR

Akal Fikiran
Tindakan
Keyakinan Rumusan
yang
Data Masalah
dilakukan
Fakta

REKAYASA SOSIAL
A. Prolog: Sebuah Kasus Awal
Mulanya biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah
terpencil pinggiran hutan di Kalimantan adalah
komunitas adat yang setia terhadap warisan tradisi
leluhur. Pemahaman mereka atas hutan, pohon dan
tanah masih bersifat sakral dan berdimensikan
transendental. Tapi sejak upaya modernisasi dari negara
melalui proyek pembangunan dengan program
transmigrasi, pengembangan kawasan desa hutan,
pariwisata, dan apapun namanya, daerah tersebut mulai
terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar
komunitas adat, tak terkecuali masuknya Media Televisi

Pelatihan Kader Dasar | 126


melalui antena parabola.
Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai
terlihat dengan persentuhan dengan masyarakat luar
yang juga membawa serta bentuk-bentuk kebudayaan;
dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja,
masuknya televisi telah mampu merubah berbagai sistem
nilai dan sistem makna yang terdapat dalam masyarakat
terbut. Sebelum ada modernisasi (dan televisi)
masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu
bersosialisasi, berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika
televisi baru memasuki desa dan jumlahnya belum
seberapa, alat tersebut justru menjadi sarana yang
memperkuat kebersamaan, karena tetangga yang belum
mempunyai televisi boleh menumpang menonton.
Namun ketika televisi semakin banyak dan hampir tiap
keluarga memilikinya, maka kebersamaan itu segera
berkahir, karena masing-masing keluarga melewatkan
acara malam mereka di depan pesawatnya.
Tanpa disadari media telivisi telah merubah
segalanya dalam struktur maupun kultur masyarakat
tersebut. Peristiwa itu menunjukkan bahwa nilai-nilai
(kebersamaan atau individualisme) dan tingkah laku
(berkumpul atau bersendiri), secara langsung
dipengaruhi oleh hadirnya sebuah benda materiil.
Parahnya, pola kehidupan yang menghargai
kebersamaan beralih menjadi individualis, sifat gotong
royong tergantikan sifat pragmatisme dalam memaknai
segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya
ketika memaknai tanah warisan. Jika dulu bermakna
teologis, sekarang lebih dimaknai bersifat ekonomis
belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati- matian
membela tanah warisnya, sekarang tergantikan
kepentingan ekonomis untuk dijual kepada pengusaha
dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-cafe
dan apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat

Pelatihan Kader Dasar | 127


terpencil tersebut. Lambat laun, masyarakat tersebut
sudah berubah citranya secara fundamental sebagai
masyarakat adat dengan kearifan lokalnya menjadi
masyarakat ‘pinggiran‘ berwajah metropolitan dengan
segenap perubahan yang ada. Sayangnya, yang
diuntungkan dalam kondisi masyarakat yang demikian
ternyata tidak merata. Bahkan hampir sebagian besar
masyarakat tetap menjadi ‘penonton‘ dalam perubahan
struktur maupun kultur yang terjadi.
Dalam kondisi yang demikian, apa yang seharusnya
dilakukan? Membiarkan berada dalam situasi
ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian
tersisihkan atau tergerus oleh kepentingan ekonomis-
pragmatis atau ikut serta terlibat merancang sebuah
strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat
tersebut dapat direncanakan.

Perubahan Sosial: awal dari rekayasas sosial


Prolog ini merupakan catatan awal untuk
memberikan suatu preskripsi bahwa perubahan sosial
merupakan keniscayaan yang menimpa suatu
masyarakat, seberapapun dia tersisolasi. Persoalannya
bagaimana perubahan sosial tersebut dirancang dengan
perencanaan, sehingga yang muncul dalam masyarakat
yang berada dalam order (tatanannya); meskipun
didalamnay berkelindan berbagai perubahan. Artinya;
tiada masyarakat yang dapat steril dari perubahan sosial.
Justru perubahan sosial memberikan suatu bukti
terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut.
Tanpa perubahan sosial, masyarakat tersebut adalah
masyarakat yang ‘mati‘, stagnan, tanpa dinamika.
Terdapat dua bentuk perubahan sosial. Pertama,
perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned
social change). Perubahan social yang terjadi terus
menerus yang terjadi secara perlahan yang tanpa
direncanakan yang biasanya diakibatkan oleh teknologi
Pelatihan Kader Dasar | 128
dan globalisasi. Perubahan dalam contoh di atas adalah
salah satu bentuk adanya perubahan yang tidak disadari
dengan hadirnya kebudayaan materiil, yakni televise.
Kedua, perubahan social yang terencana (planned social
change); yakni sebuah perubahan social yang didesain
serta ditetapkan strategi dan tujuannya. Nah, dalam
kasus perubahan social di desa adapt tersebut di atas
juga terjadi akibat sebuah desain matang (rekayasa
social) dari Negara, misalnya melalui proyek modernisasi
yang berbalut ideologi pembangunanisme
(developmentalisme).
Lalu apa sesungguhnya perubahan social tersebut.
Perubahan social adalah proses perubahan yang terjadi
dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Sementara
Suparlan menegaskan bahwa perubahan sosial adalah
perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola
hubungan sosial, yang antara lain mencakup; sistem
status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-
sistem politik dan kekuatan, serta persebaran penduduk.
Selain itu terdapat tiga unsur penting perubahan sosial,
yakni :
(1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan,
(2) proses perubahan
(3) akibat atau konsekuensi perubahan ini.
Menurut Jalaluddin Rahmat, ada beberapa
penyebab terjadinya perubahan sosial.
(1)bahwa masyarakat berubaha karena ideas; pandangan
hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai.Max Weber
adalah salah satu tokoh yang percaya bahwa ideas
merupakan penyebab utama terjadinya perubahan sosial.
Hal ini dia perlihatkan dalam menganalisis perubahan
sosial dalam masyarakat Eropa dengan semangat etik
protestanismenya sehingga memunculkan spirit
kapitalisme. Diakui oleh Weber bahwa ideologi ternyata
berpengaruh bagi perkembangan dalam masyarakat.
(2) yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam
Pelatihan Kader Dasar | 129
masyarakat juga terjadi dengan adanya tokoh-tokoh
besar (the great individuals) yang seringkali disebut
sebagaiheroes (pahlawan)
(3) perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya
social movement(gerakan sosial). Yakni sebuah
gerakan yang digalang sebagai aksi sosial, utamanya
oleh LSM/NGO, yayasan, organisasi sosial.

Rekayasa Sosial: Gagasan Konseptual


Berangkat dari realitas bahwa perubahan sosial
tidak dapat dicegah sebagai sebuah keniscayaan sejarah,
baik direncanakan maupun tidak direncanakan, tulisan
ini berupaya lebih dilokalisir untuk mewacanakan
perubahan sosial dengan perencanaan atau desain
perubahan sosial. Istilah populernya adalah rekayasa
sosial.Istilah "rekayasa sosial (social engineering)"
seringkali dipandang negatif karena lebih banyak
digunakan untuk menunjuk perilaku yang manipulatif.
Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa sosial"
adalah suatu konsep yang netral yang mengandung
makna upaya mendesain suatu perubahan sosial
sehingga efek yang diperoleh dari perubahan tersebut
dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa
sosial, dengan demikian, menunjuk pada suatu upaya
mendesain atau mengkondisikan terjadinya perubahan
struktur dan kultur masyarakat secara terencana.
Rekayasa sosial (social engineering) adalah salah satu
cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan masyarakat
yang bersih, kuat, disiplin dan berbudaya. Dalam prinsip
berpikir sistem, perubahan yang signifikan hanya dapat
dilakukan oleh individu dan masyarakat itu sendiri,
bukan menunggu peran struktur saja. Untuk membentuk
struktur yang kuat, diperlukan elemen kebaruan
(emergent properties) yang lahir dari individu dan
komunitas yang sadar/belajar secara terus menerus (the
lifelong learner). Komunitas ini dapat dirancang dengan
Pelatihan Kader Dasar | 130
menggunakan pendekatan dan penerapan beberapa
prinsip organisasi pembelajaran (learning organisation)
dan berpikir sistem (system thinking) yang dirajut dan
dikonstruksi dalam konsep dan metode pembelajaran
primer.

Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur Sosial hingga


Aksi Sosial
Pada dasarnya rekayasa sosial hanya dapat
diselenggarakan kepada masyarakat yang didalamnya
terdapat sejumlah problem (sosial). Problem- problem
sosial tersebut memberikan dampak bagi perjalanan
panjang (dinamika) dalam masyarakat. Tapa ada
problem sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk
melakukan rekayasa sosial. Artinya, problem sosial
menjadi faktor utama untuk segera diatas dalam
melakukan rekayasa sosial.
Problem sosial biasanya muncul akibat terjadinya
kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi dalam
masyarakat (das sollen) dengan kondisi yang sebenarnya
terjadi (das sein). Misalnya; awalnya masyarakat
berharap agar arus lalu lintas di Metropolitan Surabaya
berjalan aman, tertib dan lancar. Semua pengguna jalan
raya berjalan dengan mentaati aturan yang berlaku, ada
atau tidak ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan
oleh masyarakat bertolak belakang dengan realitas yang
terjadi. Betapa banyak pelanggaran lalu lintas terjadi
akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan. Akibatnya
terjadi perbedaan antara yang ideal dengan realitas.
Kesenjangan tersebut merupakan suatu problem sosial
yang mesti segera di atasi. Itulah sebabnya, dibuatlah
sebuah skenario (strategi) sebagai bagian rekayasa sosial
melalui kampanye safety riding.
Dengan demikian, dalam melakukan rekayasa
sosial, analisis atas situasi (problem sosial) dalam
masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Sebab, bisa jadi
Pelatihan Kader Dasar | 131
tanpa analisis situasi ini sebuah rekayasa sosial akan
mengalami kegagalan. Ibarat sebuah adagium salah di
tingkat hulu akan berakhir fatal di tingkat hilir. Salah
dalam membaca sebab musabab sehingga terlahir
problem sosial akan berakibat kesalahan dalam
menentukan rekayasa sosial yang dijalankannya. Tanpa
pembicaraan mengenai problem sosial ini, alih-alih
melakukan rekayasa sosial untuk menyelesaikan problem
sosial, kita mungkin malah menambah panjang
munculnya problem sosial baru. Dalam melakukan
pemecahan atas problem sosial ada kalanya memang
dituntut aksi sosial (aksi kolektif) yakni tindakan kolektif
(bersama) untuk mengatasi problem sosial, sehingga
perubahan sosial bisa digerakkan bersama sesuai dengan
keinginan bersama.

Epilog
Namun demikian dalam melakukan rekayasa sosial
harus dihindarkan berbagai bentuk kesalahan (asumsi)
yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir
(fallacy). Artinya, harus dicermati dan diwaspadai juga,
bahwa dalam masyarakat yang hendak dirancang
rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya
berbagai bentuk pola pikir yang dapat mengganggu
jalannya rekayasa sosial. Rekayasa sosial akan mendapat
tantangan bisa jadi bukan berasal dari pihak luar atau
kelompok sosial di luar, tetapi justru dalam masyarakat
yang hendak dirancang perubahan sosial; masyarakat
yang menjadi korban dari kelompok kepentingan. Tanpa
perencanaan yang matang bisa jadi bukan keberhasilan
yang diperoleh justru kitalah menjadi penyebab kian
melembaganya problem sosial.

Pelatihan Kader Dasar | 132


DAFTAR RUJUKAN
Sayyid Santoso, Nur. 2016. Hand-Out Diskusi Materi Kaderisasi PMII.
Cilacap: PMII Jaringan Inti Ideologi

Pelatihan Kader Dasar | 133


BAB VII
ANALISIS WACANA KRITIS
A. Prawacana
Jangan sekali-kali melupakan imbuhan kata
kritis di atas, sebab jika kalian hanya berusaha mengenal
Analisis Wacana semata tidak akan ada banyak hal yang
akan kalian pelajari. Tidak mencantumkan satu kata itu
saja implikasinya tidak main-main.
Jika Analisis Wacana adalah sebuah studi dalam
Linguistika, maka Analisis Wacana Kritis adalah studi
multi disipliner yang melibatkan beragam disiplin ilmu.
Jika Analisis Wacana adalah bertugas menyingkap
makna kebahasaan, maka Analisis Wacana Kritis
menyibak relasi kuasa yang beroperasi melalui bahasa.
Dan jika Analisis Wacana adalah alatnya para linguis
untuk mengutak-atik bahasa, maka Analisis Wacana
Kritis adalah alatnya kaum pergerakan untuk
membongkar struktur dominasi, penyalah-gunaan
kekuasaan dan ketidak-setaraan relasi sosial.
Analisis Wacana Kritis menjadi penting sebagai alat
pergerakan sebabsetiap pergerakan harus menyasar pula
segi-segi tak tampak dalam struktur ketidak-adilan.
Tidak cukup kaum pergerakan mengacung-acungkan
pentungan dan teriak-teriak melalui mikrofon,
sementara mekanisme kuasa di sekitarnya mereproduksi
wacana-wacana penindasan yang merugikan aksi
perjuangan itu. Singkat kata, jika keadilan ingin
diratakan di muka bumi ini, otot saja tak cukup.
Kecerdasan juga diperlukan.
Jadi, apakah itu Analisis Wacana Kritis?
Gampangnya, frase itu berarti suatu upaya untuk
menyingkap relasi kuasa yang dioperasikan melalui
bahasa. Bahasa yang digunakan oleh seseorang, entah itu
tertulis maupun diucapkan, sebetulnya adalah alat untuk

Pelatihan Kader Dasar | 134


memengaruhi orang lain. Ada efek yang diharapkan
ketika bahasa itu diucapkan. Tindak berbahasa bukan
sekadar menggambarkan atau merepresentasikan
realitas (sebagaimana dikonsepsikan oleh kaum
Positivis), namun lebih dari itu adalah suatu medium
untuk memberikan pengaruh kepada objeknya. Ketika
seseorang membaca suatu tulisan, misalnya, baris-baris
tulisan yang tertera di dalamnya sejatinya sedang
menyebarkan ―kuasa‖ yang bisa mengontrol,
mendisiplinkan ataupun memosisikan pembaca agar
bertindak sesuai ideologi/kuasa yang bersembunyi di
dalamnya. Mereka yang tidak mampu membaca secara
kritis secara tidak sadar akan dicengkram pikirannya,
kemudian dikontrol, dinormalisasi dan didisiplinkan.
Sejauh bahasa dimengerti sebagaimana pengertian
di atas, sebetulnya tidak ada masalah. Watak bahasa
memang selalu memberikan pengaruh kepada
audiens/pembacanya. Namun, jika kontrol, normalisasi
dan pendisiplinan itu mengabsahkan tindakan ketidak-
adilan, menormalkan ketidak-setaraan, serta
mendukung penyalah-gunaan kekuasaan, pada saat
itulah relasi kuasa harus dibongkar.
Kebutuhan Dasar Wacana
Wacana digunakan karena adanya keinginan untuk
memberi informasi kepada orang lain mengenai suatu hal.
Keinginan untuk meyakinkan seseorang mengenai kebenaran
suatu hal dan mempengaruhi sikap/pendapat orang lain.
Keinginan untuk mendeskripsikan cita-rasa suatu bentuk,
wujud, objek. Keinginan untuk menceritakan kejadian atau
peristiwa yang terjadi. (Keraf, 1995: 6).
-Unsur Wacana
1. Kata dan Kalimat
Kata, dilihat dalam sebuah struktur yanga lebih besar,

Pelatihan Kader Dasar | 135


merupakan bagian dari kalimat. Dalam analisis wacana,
kata atau kalimat yang berposisi sebagai wacana
diisyaratkan memiliki kelengkapan makna, informasi, dan
konteksturunan yang jelas dan mendukung.
2. Tulisan dan Teks
Tulisan bukan cuma sekedar “literal pictographic” atau
sekedar inskripsi yang bersifat ideografik, tetapi tulisan
dapat merupakan suatu totalitas, termasuk kemampuannya
untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik.
(Derrida 1984, dalam Kleden-Probonegoro, 1998). Teks
adalah penggunaan bahasa dilihat sebagai bentuk praktik
sosial, dan analisis wacana adalah analisis bagaimana teks
bekerja dalam praktik sosiokultural. Analisis seperti ini
memerlukan perhatian pada bentuk, struktur dan
organisasi teks pada semua level organisasi teks: fonologi,
gramatikal, leksikal dan pada level yang lebih tinggi yang
terkait dengan sistem pertukaran (distribusi giliran bicara),
struktur argumentasi, dan struktur generik. (Fairclough
(1995:5).
3. Konteks
Kontek ialah situasi atau latar terjadinya suatu
komunikasi yang dianggap sebagai alasan terjadinya suatu
pembicaraan/ wacana. Adapun macam-macam Konteks
sebgai berikut: (1) Konteks Fisik (physical context), yang
meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam
suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam suatu
peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau peilaku dari
para peran dalam peristiwa komunikasi itu. (2)
Konteks Epistemis (epistemic context), yaitu latar belakang
pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara
Pelatihan Kader Dasar | 136
maupun pendengar. (3) Konteks Linguistik (linguistic
context), yaitu terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-
tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu
dalam peristiwa komunikasi. (4) Koteks Sosial (sosial
context), yaitu relasi sosial dan latar setting yang
melengkapi hubungan antara pembicara (penutur)
dengan pendengar. (Syafi’ie, 1990, dalam Lubis, 1993: 58).
4. Bahasa
Manusia adalah mahluk berfikir. Demikian tesis klasik
yang kita temukan dalam dunia filsafat. Konsekuensi logis
dari tesis ini, bahwa manusia adalah mahluk berbahasa.
Hubungan pikiran dan bahasa sangat erat. Bahasa
menunjukkan jalan pikiran seseorang. Dalam bahasa
terdapat sesuatu kekuatan yang tidak tampak yang diberi
nama komunikasi. Dalam filsafat bahasa dikatakan, bahwa
orang yang mencipta realitas dan menatanya lewat bahasa.
Bahasa mengangkat kepermukaan hal yang tersembunyi
sehingga menjadi kenyataan. Bahasa dapat dipakai untuk
menghancurkan realitas orang lain. Bahasa dapat menjadi
tiran. (Loren Bagus, 1990).
Bahasa Memiliki beberapa fugsi, (a) Fungsi Ideasional:
untuk membentuk, mempertahankan dan memperjelas
hubungan diantara anggota masyarakat. (b) Fungsi
Interpersonal: untuk menyampaikan informasi diatara
anggota masyarakat. (c) Fungsi Tekstual: untuk
menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus
(wacana) yang relevan dengan situasi (features of the
situation). (Halliday, 1972: 140-165)

Pelatihan Kader Dasar | 137


5. Makna
Makna merupakan kata yang subjektif (Jalaluddin
Rahmat, 1996). Para ahli filsafat dan linguis, membedakan
antara struktur logis dan struktur bahasa, sehingga
memudahkan kita untuk membedakan antara ungkapan
yang tidak mengandung makna (meaningless) dan yang
mengandung arti (meaningfull). (Mustansyir, 2001: 153-
154)
Perubahan & Pemberian Makna
Makna yang dikode oleh pemirsa terjadi dalam ruang
yang berbeda dan individu yang berbeda berdasarkan pada
kemampuan kognitif dan kemampuan afektif pemirsa. Makna
yang dikode oleh pemirsa tergatung pada bagaimana individu
melakukan dekonstruksi terhadap iklan televisi/ tulisan di
media cetak. Setiap individu memiliki kebebasan
menentukan metode interpretasi, termasuk kepentingan
dalam melakukan dekonstruksi. (Bungin, 2001: 199-200).
Peran Makna : sebagai Peran tanda (sign) di dalam
masyarakat (semiotics), makna-makna tanda (semantics), serta
kode-kode sosial (sosial codes) dibalik tanda dan makna
tersebut diperlukan dalam studi kebudayaan, oleh karena itu
makna tersebut merupakan pembentuk (construct) utama dari
kebudayaan. (Piliang, 2001: 308). Kata memperoleh
maknanya melalui penggunaannya sehari-hari dalam konteks
kebudayaan. (van Peursen, 1990: 2).
B.Bias Media
Bias media terjadi karena media tidak berada dalam
ruang vakum. Media sesungguhnya berada ditengah realitas
sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan
fakta yang kompleks dan beragam. Louis Althusser (1971),
menjelaskan Media dalam hubungannya dengan kekuasaan,
Pelatihan Kader Dasar | 138
menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan
kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa
sebagaimana lembaga pendidikan, agama, seni, kebudayaan,
merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja
secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak
terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states apparatus).
Makna Bahasa Menimbulkan Bias
Dalam sebuah penelitian terhadap fenomena perkosaan dalam
pemberitaan surat kabar Kedaulatan Rakyat dan Suara
Merdeka, ditemukan 22 kata yang digunakan untuk
menggantikan kata “perkosaan”, yaitu: 1) merenggut
kegadisan, 2) mencabuli, 3) menggauli, 4) menggagahi,
5)
menakali, 6) dianui, 7) dikumpuli, 8) menipu luar dalam, 9)
digilir, 10) dinodai, 11) digarap, 12) dihamili, 13) korban cinta
paksa, 14) dipaksa berhubungan intim, 15) berbuat tidak
senonoh, 16) memaksa bersetubuh, 17) korban kuda-
kudaan, 18) memaksa memenuhi nafsu birahi, 19) dipaksa
melayani, 20) melakukan perbuatan asusila, 21) digelandang,
22) dipaksa melakukan permainan ibu- ibuan. Pilihan atau
pemakaian istilah tersebut jelas menimbulkan bias
(Winarko, 2000: 50)
Kepentingan Media
Althusser dan Gramsci sepakat bahwa media massa bukan
sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki
keterkaitan dengan realitas sosial. Ada berbagai kepentigan
yang bermain dalam media massa. Kepentingan ideologis
antara masyarakat dan negara, juga kepentingan lain,
misalnya; kepentingan kapitalisme pemilik
modal, kepentingan

Pelatihan Kader Dasar | 139


keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para
karyawan. Dalam kondisi ini media harus bergerak dinamis
diatara pusaran yang bermain. Hal inilah yang
menyebabkan bias berita di media yang sulit dihindari.
Faktor Penyebab Bias Media
Menurut winarko ada tiga faktor penyebab bias media yaitu
: (1) Kapasitas dan kualitas pengelola media. (2) Kuatnya
kepentingan yang sedang bermain dalam realitas sosial. (3)
Taraf kekritisan dari masyarakat. Dari ketiga faktor tersebut
menimbulkan derajat bias media yang berbeda-beda
(Winarko, 2000: xi)
Media & Politik Pemaknaan
Politik pemberitaan media berhubungan dengan strategi media
dalam meliput peristiwa, memilih dan menampilkan fakta
serta dengan cara apa fakta itu disajikan—yang secara
langsung atau tidak berpengaruh dalam merekonstruksi
media. (Eriyanto, 2000). Makna media tidak bergantung pada
struktur makna itu sendiri, tetapi lebih kepada praktik
pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu
praktik konstruksi. Media massa pada dasarnya tidak
mereproduksi, melainkan menentukan (to define) realitas
melalui pemakaian kata-kata yang dipilih. Makna tidak secara
sederhana bisa dianggap sebagai produksi dalam bahasa, tetapi
sebuah pertentangan sosial (sosial struggle) sebuah perjuangan
dalam memenangkan wacana. Pemaknaan yang berbeda
merupakan arena pertarungan tempat memasukkan bahasa
didalamnya. (Hall, 1982: 67).
D.Paradigma Analisis wacana
A.S Hikam menyampaikan ada tiga paradigma analisis
yang digunakan untuk melihat Bahasa. Ketiga paradigma
Pelatihan Kader Dasar | 140
analisis wacana ini yang akan mendapatkan porsi banyak
untuk di jelaskan dalam tulisan ini selanjutnya. Pertama,
diwakili oleh kaum Positivisme- Empiris. Penganut aliran ini
melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan
objek yang ada di luar dirinya. Pengalaman manusia dianggap
dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan
bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia
dinyatakan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan
yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan
pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini
adalah pemisahan antara ide/pemikiran dan realitas. Dalam
kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari
pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-
makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya,
Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau
ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik, titik
perhatian didasarkan pada benartidaknya bahasa secara
gramatikal. Analisis ini disebutanalisis isi (kuantitatif).
Pandangan kedua, disebut sebagai Konstruktivisme.
Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran
fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan
positivisme/empirisme dalam analisis wacana yang
memisahkan subyek dan objek bahasa. Dalam pandangan
konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat
untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari
subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme
justru menganggap bahwa subjek adalah aktor utama atau
faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-
hubungan sosialnya. Konstruktivisme menempatkan analisis
wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-
maksud dan makna-makna tertentu. Menurut mereka
Pelatihan Kader Dasar | 141
Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud
tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu
pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan
diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti
struktur makna dari sang pembicara. Analisis ini disebut
analisis framing (bingkai)
Pandangan ketiga disebut pandangan kritis.
Pandangan kritis ingin mengoreksi pandangan pandangan
konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan
reproduksi makna yang terjadi ssecara historis maupun secara
institusional. Pandanga konstruktivisme masih belum
menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inhern
dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam
membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-
perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis.
Analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada
konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek
yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai
dengan pikiran-pikirannya, karena sangat berhubungan
dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang adal
dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai
medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa
dipahami sebagai representasi yang berperan dalam
membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana
kritis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam
setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang
diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti
dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana kritis melihat
bahasa selalu terlibat dalam hubungan “kekuasaan”. Karena
Pelatihan Kader Dasar | 142
memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini
disebut juga dengan analisis wacana kritis
E.Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis adalah sebuah upaya atau
proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah
teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh
seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya
mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang
diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari
adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk
nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si pembuat teks dari
berbagai faktor. Jadi dalam wacana seseorang di dalamnya
terkandung motif ideologis dan relasi kekuasaannya.
Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Menurut Fairclough dan Wodak dalam Eriyanto
(2011)5, praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi,
ia dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak
imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok
mayoritas dan minoritas. Analisis wacana kritis melihat
bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa
digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam
masyarakat terjadi. Karakteristik analisis wacana kritis
sebagai berikut.
1) Tindakan
Wacana dipahami sebagai tindakan dalam bentuk
interaksi. Seseorang berbicara, menulis, dan
menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan
berhubungan dengan orang lain. Pemahaman ini,
memunculkan beberapa konsekuensi yang pertama,
wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan. Kedua,

Pelatihan Kader Dasar | 143


wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara
sadar, terkontrol.

2) Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana,
seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana
dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada
konteks tertentu. Titik perhatian dari analisis wacana
adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-
sama dalam suatu proses komunikasi.
3) Historis
Aspek penting untuk memahami sebuah teks adalah
dengan menempatkan wacana itu dalam konteks
historis tertentu, wacana diproduksi dalam konteks
tertentu, dan tidak dapat serta merta dimengerti
tanpa melihat konteks lain yang menyertainya.
4) Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen
kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci
hubungan antara wacana dengan masyarakat. Analisis
wacana kritis tidak hanya membatasi diri pada detil teks
atau struktur wacana saja, juga kondisi sosial, politik,
ekonomi, dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam
hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa
yang di sebut dengan kontrol. Seorang individu atau
kelompok mengontrol orang atau kelompok lain melalui
wacana. Mengontrol tidak selalu dalam bentuk fisik,
melainkan dapat pula melalui mental atau psikis.
5) Ideologi
Teori-teori klasik mengatakan bahwa ideologi dibangun

Pelatihan Kader Dasar | 144


oleh kelompok dominan tertentu. Wacana dalam
pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium
mana suatu kelompok yang dominan
mengkomunikasikan kepada khalayak tentang produksi
kekuasaan dan dominan yang mereka miliki. Peranan
wacana dalam kerangka ideologi dimaksudkan untuk
mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau
anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota dari
suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang lama,
dapat menghubungkan masalah mereka dan memberikan
kontribusi dalam membentuk solidaritas dalam
kelompok. Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa
menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus
melihat konteks terutama bagaimana ideologi dan
kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam
membentuk wacana.
Media dan Berita (Paradigma Pluralis
VsParadigma Kritis)
Setidaknya ada dua paradigma yang digunakan dalam
analisis wacana kontemporer, yaitu paradigma kritis dan
paradigma pluralis.6 Perbedaan dan pembagian pandangan
media antara kritis dan pluralis ini memperhitungkan filosofi
media dan pandangan bagaiamana hubungan antara media,
masyarakat, dan filosofi kehadiran media ditengah
masyarakat. Pertama, Paradigma pluralis terutama bersumber
dari pemikiran August Comte, Emil Durkhiem, Mark Weber,
dan Ferdinand Tonnies. Inti dari aliran ini adalah
kepercayaan bahwa masyarakat adalah wujud dari
konsensus dan mengutamakan keseimbangan. Masyarakat
dilihat sebagai suatu kelompok yang kompleks dimana
terdapat berbagai kelompok sosial yang saling berpengaruh
Pelatihan Kader Dasar | 145
dalam suatu sistem dan pada akhirnya mencapai suatu
keseimbangan.

Kedua, paradigma kritis; pandangan ini dipengaruhi


oleh ide dan gagasan Marxis yang melihat masyarakat
sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat sebagai
sistem dominasi dan media adalah salah satu bagian dari
sistem dominasi tersebut. Kalau pandangan pluralis percaya
bahawa kelompok masyarakat dapat secara bebasbertarung
dalam ruang yang terbuka, maka pandangan kritis justru
melihat masyarakat didominasi oleh kelompok elit. Media
adalah alat kelompok dominan yang disatu sisi untuk
memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya dan
disisi lain untuk memarjinalkan kelompok yang tidak
dominan.
Dalam poses poduksi berita paradigma pluralis
percaya bahwa wartawan dan media adalah entitas yang
otonom dan berita yang dihasilkan haruslah menggambarkan
realitas yang sesunggguhnya. Sementara paradigma kritis
mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam seluruh
struktursosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat,
dimana posisi tersebut pada akhirnya mempengaruhi berita
dan bukan cerminan realitas yang sesungguhnya.
Perbedaan padangan dapat digambarkan selengkapnya
sebagai berikut:

Pelatihan Kader Dasar | 146


PANDANGAN PANDANGAN KRITIS
PLURALIS
Fakta
Ada faktor yang real yang Fakta merupakan hasil
diatus olehkaidah-kaidah dari proses petarungan
tertentu yang berlaku antara kekuatan ekonomi,
universal politik, dan sosial yang ada
dalam
masyarakat
Berita adalah cermin dan Berita tidak mungkin
refleksi darikenyataan. Oleh merupakan cermin dan
karena itu berita haruslah refleksi dari realitas,
sama dan sebangun dengan karenaberita yang
fakta yang diliput terbentuk hanya cerminan
dari kepentingan
kekuatan
Posisi
Media
Media adalah sarana yang Media hanya dikuasai
bebas dan oleh kelompokyang
netral tempat semua dominan dan menjadi

Pelatihan Kader Dasar | 147


kelompok masyarakat sarana untuk
saling berdiskusi yang memojokkan kelompok
tidak dominan lain
Media menggambarkan Media hanya
diskusi apayang ada di dimanfaatkan dan
masyarakat menjadi alat kelompok
dominan
Posisi
Wartawan
Nilai dan ideologi wartawan Nilai dan ideologi
berada diluar proses wartawan tidak
peliputan berita dapat dipisahkan dari
proses peliputandan
pelaporan suatu peristiwa
Wartawan berperan Wartawan berperan
sebagai pelapor sebagai partisipan
dari kelompok tertentu
Tujuan peliputan dan Tujuan peliputan dan
penulisan berita: eksplanasi penulisan berita:
dan menjelaskan apa adanya pemihakan kelompok
sendiri ataukelompok lain
tertentu
Penjaga gerbang Sensor diri
(gatekeeping)
Landasan etis Landasan ideologis
Profesionalisme sebagai Profesionalisme sebagai
Keuntungan kontrol
Wartawan sebagai bagian Sebagai pekerja yang
dari timuntuk mencari mempunyaiposisi
kebenaran berbeda dalam kelas
sosial

Pelatihan Kader Dasar | 148


Hasil
Liputan
Liputan dua sisi, dua Mencerminkan ideologi
pihak, dankredibel wartawan dan
kepentingan sosial,
ekonomi, ataupolitik
tertentu
Objektif, menyingkirkan Tidak objektif, karena
opini dan pandangan wartawan adalah bagian
subjektif dari pemberitaan dari kelompok/ struktur
sosial tertentu yang lebih
besar
Memakai bahasa yang tidak Bahasa menunjukkan
menimbulkan penafsiran bagaimana
yangberaneka kelompok sendiri
diunggulkan dan
memarjinalkan kelompok
lain

DAFTAR RUJUKAN

Eriyanto. Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:


LKiS
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode & Aplikasi PrinsipPrinsip
Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana
Oetomo, D. 1993. Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana.
Dalam PELBA 6. Yogyakarta : Kanisius

Pelatihan Kader Dasar | 149


BAB VIII
FORMAT EKONOMI POLITIK INDONESIA

Prawacana
Ekonomi-politik pada masa sekarang sudah menjadi
topik mendasar di dalam hubungan internasional, era di mana
liberalisasi ekonomi terjadi hampir di tiap negara dan
interdenpendensi (kondisi negara menjadi sejajar dan saling
berketergantungan satu sama lain) yang semakin menguat,
orientasi kebijakan luar negeri tidak lagi pada permasalahan
Power (kekuasaan) yang melekat kepada politik saja, tetapi
juga kepada orientasi Welfare (kesejahteraan), sebagai contoh
sederhana; bentuknya bisa berupa bagaimana politik
(negara/pemerintahan) mempengaruhi aktivitas pasar
(ekonomi) dan juga sebaliknya bagaimana mekanisme negara
(politik) dipengaruhi oleh unsur-unsur ekonomi (pasar), dalam
sudut pandang realisme ( struggle for power ) bagaimana
sumber-sumber ekonomi memberi kekuatan pada negara
dan sebaliknya bagaimana faktor negara/politik digunakan
untuk meraih kekuatan/sumber- sumber ekonomi.
Dalam perkembangannya, perdebatan ekonomi-politik
pun telah bergeser dari yang sebelumnya masih berkisar pada
ideologi (merkantilisme, liberalisme dan marxisme), sekarang
lebih kepada metodologi dan rasionalitas, Robert Gilpin
berpendapat bahwa mengapa ideologi di dalam ekonomi-politik
harus ditolak, karena area pembuktian ketiga aliran tadi tidak
bisa dibuktikan dengan argumen yang logis dan uji coba
empiris.
Mohtar Mas’oed menjelaskan Ekonomi Politik mengkaji
tentang kerkaitan antara fenomena politik dan ekonomi,
antara negara dan pasar, antara lingkungan domestik dan
Pelatihan Kader Dasar | 150
internasional, dan antara pemerintah dengan masyarakat.
Para ahli Ekonomi Politik Internasional (EPI)
memfokuskan pada konsep yang berbeda-beda terhadap makna
variabel “politik” dan “ekonomi” tersebut. Menurut Rober
Gilpin, hakikat politik adalah negara (state), sedangkan hakikat
aktivitas ekonomi adalah pasar (market). Carles Lindblom
menyebut hakikat atau konsep pokok ekonomi politik adalah
pertukaran (exchange) sebagai representasi ekonomi dan
kewenangan (authory) sebagai representasi politik. Sementara
Klaus Knorr menggunakan konsep kekayaan (wealt) dan
kekuasaan/kekuatan (power) sebagai hakikat ekonomi
politik.

Sistem ekonomi
1. Sistem Ekonomi Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis bersandar kepada pemilikan
pribadi maupun swasta terhadap alat-alat produksi, kegiatan
distribusi, maupun pertukaran. Sehingga tiga hal utama
tersebut berada penuh di tangan swasta. Sistem ekonomi
kapitalis mendominasi secara keseluruhan dari sistem ekonomi
yang dianut oleh negara-negara di dunia. Menurut Winardi
(1990) Sistem ekonomi kapitalis ini, merupakan suatu system
ekonomi di mana hak milik pribadi atas alat-alat produksi,
kegiatan distribusi, serta pemanfaatannya untuk mencapai laba
dalam kondisi maupun situasi yang sangat kompetitif, menjadi
ciri utama dalam system ini. Jika kita melihat sejarah,
kapitalisme dibangun dari buah pemikiran tokoh ekonomi
besar yaitu Adam Smith, dia merupakan tokoh dari mazhab
klasik (Tho’in, 2015: 120).
Pilar-pilar sistem ekonomi kapitalis Sistem
ekonomi kapitalis ini menyadarkan diri secara penuh kepada
Pelatihan Kader Dasar | 151
hal-hal di bawah ini:
a) Private property atau hak milik swasta (Pengakuan yang
luas atas hak-hak pribadi)
b) The invisibel hand atau dibina oleh tangan tak terlihat
(Campur tangan pemerintah diusahakan sekecil
mungkin. “The Invisible Hand” yang mengatur
perekonomian menjadi efisien)
c) Idividualisme ekonomi (Paham individualisme
didasarkan materialisme,
warisan zaman Yunani Kuno (disebut hedonisme)
d) Free market kompetition atau persaingan dan pasar
bebas
e) Pemilikan alat-alat produksi di tangan individu
f) Inidividu bebas memilih pekerjaan/ usaha yang
dipandang baik bagidirinya.
g) Pasar berfungsi memberikan “signal” kepada produsen
dan konsumendalam bentuk harga-harga.
h) Motif yang menggerakkan perekonomian mencari laba
i) Manusia dipandang sebagai mahluk
homoeconomicus, yang selalu mengejar kepentingan
(keuntungan) sendiri
2. Sistem Ekonomi Sosialis
Sistem ekonomi ini merupakan bentuk resistensi dari
sistem ekonomi sebelumnya yaitu sistem ekonomi kapitalis.
Karena sistem ekonomi kapitalis dituding menjadi penyebab
tidak tercapainya suatu kesejahteraan masyarakat yang
merata. Sistem ekonomi sosialis merupakan kebalikan dari
system ekonomi kapitalis, yang mana menyerahkan segala
siklus ekonomi sepenuhnya kepada mekanisme pasar yang

Pelatihan Kader Dasar | 152


ada. Sedangkan untuk sistem ekonomi sosialis, di mana
pemerintah sangat memiliki peran sangat besar di dalam
mengelola roda perekonomian dari hulu hingga hilir dalam
rantai perekonomian di masyarakat Sistem ekonomi sosialis
bukan berarti tidak memberikan kebebasan individu dalam
kegiatan ekonomi, individu tetap diberikan kebebasan
dalam melakukan aktivitas ekonomi tetapi sangat terbatas
sekali, serta dengan adanya campur tangan pemerintah yang
sangat besar. Pemerintah melakukan campur tangan demi
terwujudnya kemakmuran masyarakat bersama, tetapi di sisi
lain kepemilikan individu yang dibatasi menyebabkan
kreativitas individu menurun karena semangat untuk berkarya
di bayangbayangi oleh pemerintah untuk kemakmuran
bersama. Karena sistem ekonomi sosialis ini memiliki
pandangan bahwa suatu kemakmuran pribadi atau individu
hanya dapat terwujud jika berlandaskan kemakmuran secara
bersama-sama. Sehingga konsekuensi yang harus
dipertaruhkan ialah penguasaan dan kepemilikan atas aset-aset
ekonomi maupun terhadap faktor- faktor produksi yang ada
sebagian besarnya adalah kepemilikan untuk sosial.
Ciri-ciri sistem ekonomi sosialis: a) Lebih mengutamakan
kebersamaan atau kolektivitas; b) Pemerintah memiliki peran
sangat besar. c) Sifat manusiadalam sistem ini ditentukan oleh
pola produksi; d) Hak milik individu tidakdiakui.
Prinsip dasar sistem ekonomi sosialis menurut Caporaso
(2008), adalah sebagai berikut:
a) Pemilikan harta oleh negara seluruh bentuk produksi dan
sumber pendapatan menjadi milik masyarakat secara
keseluruhan. Hak individu untuk memiliki harta atau
memanfaatkan produksi tidak diperbolehkan;
b) Kesamaan ekonomi sistem ekonomi sosialis menyatakan,
Pelatihan Kader Dasar | 153
(walaupun sulit ditemui disemua negara komunis) bahwa
hak-hak individu dalam suatubidang ekonomi ditentukan
oleh prinsip kesamaan. Setiap individu disediakan
kebutuhan hidup menurut keperluan masingmasing;
c) Keseluruhan negara diletakkan di bawah peraturan kaum
buruh, yang mengambil alih semua aturan produksi dan
distribusi.
Sistem Ekonomi yang Diterapkan Indonesia?
Kapitalisme, sosialis, atau gabungan dari kedua sistem
tersebut?. Dalam menjawab pertanyaan ini, Dumairy (1996)
menegaskan sebagai berikut: “Ditinjau berdasarkan sistem
pemilikan sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi,
tak terdapat alasan untuk menyatakan bahwa sistem
ekonomi kita adalah kapitalis. Sama halnya, tak pula cukup
argumentasi untuk mengatakan bahwa kita menganut sistem
ekonomi sosialis. Indonesia mengakui pemilikan individual
atas faktor-faktor produksi, kecuali untuk sumber daya-
sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak,
dikuasai oleh negara. Hal ini diatur dengan tegas oleh Pasal 33
UUD 1945. Jadi, secara konstitusional, sistem ekonomi
Indonesia bukan kapitalisme dan bukan pula sosialis.
Berdasarkan penjelasan di atas maka jelas bahwa untuk
memahami sistem ekonomi apa yang diterapkan di
Indonesia, paling tidak secara konstitusional (mungkin
dalam praktik sehari-harinya sangat berbeda), Perlu dipahami
terlebih dahulu ideologi apa yang dianut oleh Indonesia.
Dalam kata lain, kehidupan perekonomian atau sistem
ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari prinsip- prinsip
dasar dari pembentukan Republik Indonesia yang
tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Seperti yang

Pelatihan Kader Dasar | 154


dijelaskan oleh Sanusi (2000) berikut ini.
“Sistem ekonomi Indonesia yang termasuk sistem
ekonomi campuran disesuaikan terutama dengan UUD
1945 sebelum diamandemen tahun 2000, yakni sistem
ekonomi Pancasila ... dan ekonomi dengan
menitikberatkan pada koperasi terutama pada masa
Orde Lama sebelum tahun 1996 dan hingga kini masih
berkembang Dan masa pemerintahan Indonesia
Baru (1999) setelah berjalannya masa reformasi
muncul pula istilah ekonomi kerakyatan. Tetapi ini pun
belum banyak dikenal , karena hingga kini yang
masih banyak dikenal masyarakat adalah sistem
ekonomi campuran yakni sistem ekonomi Pancasila,
di samping ekonomi yang menitikberatkan kepada
peran koperasi dalam perekonomian Indonesia”.
Hal tersebut diperjelas lagi dengan adanya bunyi
dalam pertimbangan Presiden Republik Indonesia dalam
Undang-undang Penanaman modal asing, yakni “bahwa
Pancasila adalah landasan idiil dalam membina: sistem ekonomi
Indonesia dan yang senantiasa harus tercermin dalam setiap
kebijaksanaan ekonomi”.

Sistem Ekonomi Pancasila


Pemikiran dan pembahasan tentang sistem ekonomi
Indonesia secara komprehensif dimulai oleh Mohammad
Hatta dengan buku kecilnya yang berjudul “Ekonomi
Terpimpin” terbit pada tahun 1967. Dalam pemikirannya itu
Hatta mengacu kepada pasal-pasal tertentu dalam UUD 1945,
yaitu pasal 27 ayat 2, pasal 33 dan pasal 34 beserta
penjelasannya. Namun konsep itu tidak dikembangkan lebih
lanjut menjadi dokumen resmi mengenai suatu sistem
Pelatihan Kader Dasar | 155
ekonomi yang dianut oleh negara walaupun berbagai aspek
dalam konsep itu sudah mencerminkan realitas yang berlaku
dalam perekonomian Indonesia. Namun konsep itu tidak
sempat menjadi wacana publik sehingga tidak diketahui derajat
penerimaan masyarakat dan negara terhadap konsep itu.
Menurut Emil Salim, dalam perkembangannya sejak
1945, sistem ekonomi Indonesia bergerak dari kiri dan
kekanan mengikuti gerak bandul jam. Mula-mula mengarah
kepada haluan sosialis, tetapi kemudian berbalik ke kanan, ke
haluan liberal. Sejak Orde Batu gerak bandul jam itu
diusahakan untuk diseimbangkan, sehingga akhirnya pada
akhir dasawarsa ’70-an dicapai titik keseimbangan menjadi
Sistem Ekonomi Pancasila. Pemikiran itu dituangkan oleh Emil
Salim dalam suatu artikelnya yang dimuat dalam jurnal
ilmiah “Prisma” tahun 1979.
Konsep Sistem Ekonomi Pancasila mulai
dikembangkan lebih serius sejak Seminar Nasional di
Universitas Gadjah Mada Tahun 1980. Tidak dapat disangkal
bahwa hangatnya polemik tentang sistem ekonomi Indonesia
sekitar tahun 1980-81 berkisar kepada gagasan Mubyarto
mengenai Sistem Ekonomi Pancasila (SEP). Sebutan SEP
sebenarnya telah dilontarkan lebih dulu oleh Emil Salim dalam
suatu artikel pada harian Kompas tanggal 30 Juni 1966.
Buku “Membangun Sistem Ekonomi” karya guru besar FE
UGM ini sekali lagi menegaskan betapa konsistennya Pak
Muby, dalam memperkenalkan dan memopulerkan sistem
ekonomi yang pas bagi Indonesia. Di kalangan para pelopor
SEP terdapat dua cara pandang.
a. Pertama, jalur yuridis formal, yang berangkat dari
keyakinan bahwa landasan hukum SEP adalah pasal 33

Pelatihan Kader Dasar | 156


UUD 1945, yang dilatarbelakangi oleh jiwa Pembukaan UUD
1945 dan dilengkapi oleh pasal 23, 27 ayat 2, 34, serta
penjelasan pasal 2 UUD 1945. Pelopor jalur ini, misalnya
adalahSri-Edi Swasono dan Potan Arif Harahap.
b. Jalur kedua adalah jalur orientasi, yang menghubungkan
sila-sila dalam Pancasila. Termasuk dalam kubu ini adalah
Emil Salim, Mubyarto, dan Sumitro Djojohadikusumo.
Pada dasarnya mereka menafsirkan SEP sebagai sistem
ekonomi yang berorientasi pada sila I, II, III, IV, dan V.
Perbandingan pemikiran ketiga tokoh ini dapat dilihat bahwa
ketiganya berusaha menjabarkan ideologi Pancasila dalam
dunia ekonomi dan bisnis. Agaknya ini sejalan dengan
pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan
ideologi terbuka, yang artinya nilai dasarnya tetap, namun
penjabarannya dapat dikembangkan secara kreatif dan dinamis
sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat Indonesia
(Alfian, 1991). Relevansi Ekonomi Pancasila dapat dideteksi
dari tiga kontek yang berkaitan, yaitu a. cita-cita ideal
pendiri bangsa; b. praktek ekonomi rakyat; c. praktek
ekonomi aktual yang menyimpang karena berwatak liberal,
individualis, dan kapitalistik.

Demokrasi Ekonomi
Sistem ekonomi Pancasila yang dimili Indonesia
kadang disebut juga sebagai demokrasi ekonomi. Dijelaskan
oleh Latief (2004) sebagaimana dikutip Pasaribu bahwa
“demokrasi ekonomi yang menjadi dasar pelaksanaan
pembangunan dan yang meliputi ciri-ciri positif maupun
negatif yang harus dihindarkan. Garis-garis Besar Haluan
Negara yang merupakan pedoman bagi kebijaksanaan
pembangunan di bidang ekonomi Indonesia berbunyi:
Pelatihan Kader Dasar | 157
“pembangunan ekonomi yang didasarkan pada Demokrasi
Ekonomi menentukan bahwa masyarakat harus memegang
peran aktif dalam kegiatan pembangunan (Purwandaya: 2017,
Suroso: 2004 dan Pasaribu, 2017: 7).
Demokrasi Ekonomi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh engara dan digunakan untuk sebesarbesar
kemakmuran rakyat.
4) Sumber-sumber kekayaan dan keuangan engara
digunakan denganpermufakatan Lembagalembaga
5) Perwakilan Rakyat, serta pengawasan terhadap
kebijaksanaannya ada pada Lembagalembaga Perwakilan
Rakyat pula.
6) Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih
pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan
pekerjaan dan penghidupan yang layak.
7) Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya
tidka boleh bertentangan dengan kepentingan
masyarakat.
8) Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga Negara
diperkembangkan sepenuhnya dalam batasbatas yang tidak
merugikan kepentingan umum.
9) Fakir miskin dan anak-anak etrlantar dipelihara oleh
Negara (Rintuh: 2005 dan Pasaribu, 2017: 7).
Sedangkan Sistem Ekonomi Pancasila memiliki ciri ciri
sebagai berikut:

Pelatihan Kader Dasar | 158


1) Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi,
sosial dan moral
2) Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan
kemerataan sosial (egalitarianism), sesuai asasasas
kemanusiaan
3) Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan
perekonomian nasional yang tangguh yang berarti
nasionalisme menjiwai tiap kebijaksanaan ekonomi
4) Koperasi merupakan soko guru perekonomian dan
merupakan bentuk yang paling konkrit dari usaha
bersama
5) Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan
di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam
pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin
keadilan sosial.

Demokrasi dan Kapitalisme


Secara historis, terdapat keterkaitan erat dalam kelahiran
demokrasi dan kapitalisme. Kelahiran demokrasi seringkali
dikaitkan dengan keberadaan pasarpasar bebas. Di Eropa
abad ke-18 dan 19, tuntutan kebebasan individu awalnya
dikaitkan dengan ekonomi yang berlandaskan pada
persaingan bebas dan kepemilikan pribadi. Berbarengan
dengan tuntutan tersebut, muncul keinginan tentang
kepastian hukum dan hak-hak dasar yang melekat, tuntutan
terkait partisiasi politik dan perwakilan masyarakat dalam
negara. Demokrasi pertama dalam abad moderen tercetus
lewat kemerdekaan Amerika Serikat (AS) dengan seruan “No
taxation without representation!” (tiada pembayaran pajak tanpa
perwakilan dalam negara) artinya, sangat erat dengan

Pelatiham Kader Dasar | 159


tuntutan partisipasi ekonomi dan politik. Setelah tahun
1989, munculnya negara-negara pascakomunisme
berbarengan dengan liberalisasi ekonomi dan demokratisasi.
Cukup lama bisa dipastikan bahwa negara-negara
demokratis, secara ekonomi, lebih berhasil dibandingkan
negara-negara bersistem non-demokratis. Sangat kasat mata,
kesejahteraan di Barat dan kegagalan ekonomi di Blok Timur.
Namun, saat ini, terdapat pula negara-negara yang meskipun
tidak demokratis mampu memperoleh pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dalam sebuah sistem ekonomi kapitalis. Contoh
paling kasat mata adalah China, yang perekonomiannya
berkembang sangat pesat dan tanpa banding setelah masuk
dalam sistem kapitalis meskipun dalam proses tersebut
tidak mengalami demokratisasi.
Mencari Format Ekonomi Indonesia Baru
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia kali ini mau
tidak mau menyadarkan akan “mimpi kosong di siang
bolong”. Kondisi ini harus disikapi sebagai momentum besar
yang menyadarkan kita betapa paradoksalnya pembangunan
ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia
bukan semata karena fenomena efek domino, akan tetapi lebih
merupakan akumulasi kesalahan kebijakan-kebijakan dimasa
lalu. Terlihat bahwa pemilihan-pemilihan strategi, pengaturan
struktur dan sistem ekonomi “tidak sesuai” dengan amanat
UUD 1945 dan Pancasila. Kurang tanggap terhadap dinamika
yang terjadi, baik didalam negeri maupun internasional
begitu pekat terlihat.
Menghadapi fenomena yang demikian, kiranya perlu
diajukan pertanyaan awam dan mendasar yaitu perlukan kita
mencari format ekonomi Indonesia baru? Apakah kita masih

Pelatiham Kader Dasar | 160


berayun-ayun pada pendulum yang sama dengan geseran
kekanan terpatok pada ekonomi kapitalis dan kekiri pada
ekonomi sosialis? Tetapi yang jelas pendulum ekonomi kita
tidak dioperasikan dengan tehnologi GSM (geser sedikit
mati), dan tentunya kita tidak menginginkan ekonomi
Indonesia go to the shut down point? Berangkat dari sejumlah
pertanyaan diatas maka kiranya perlu untuk mencoba
mencari format menuju ekonomi Indonesia baru.
Mungkinkan kita mengembangkan dan memformat ulang
ekonomi Indonesia menuju ekonomi (pasar) kerakyatan? Perlu
dan relevankah?
Namun lebih dari itu perlu konsep mendasar akan
sistem ekonomi Indonesia baru yang berpihak pada rakyat,
serta perlunya prinsip-prinsip ekonomi yang mampu
merangkul semua aspek universal yang berlaku bagi
seluruh hubungan kemanusiaan dan organisasi ekonomi
yang ada. Untuk itu pilihan terhadap kebijakan dan paket-
paket solusi keluar dari krisis Neoliberal ini perlu mendapat
perhatian serius. Hal ini nampaknya bukan pekerjaan mudah
yang dapat dilakukan oleh pemerintah secara cepat. Semua
ada sisi positif dan negatifnya. Hanya perlu diingat bahwa
apapun yang dipilih mestinya bersandar kepada kepentingan
nasional (baca: rakyat). Menghadapi krisis dan kepungan
kapitalisme global saat ini diperlukan upaya khusus untuk
memecahkan secara simultan permasalahan menurunnya
kondisi sosial ekonomi yang ada. Reformasi ekonomi dalam
masa krisis harus dirumuskan dengan tidak mengaburkan
arah pembangunan yang kita harapkan, yaitu mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini rakyat harus menjadi
pelaku utama dalam pembangunan ekonomi.

Pelatiham Kader Dasar | 161


Ekonomi (Pasar) Kerakyatan atau Ekonomi Pasar
(Kerakyatan). Lepas dari konsep ekonomi kerakyatan yang
disisipi dengan embel-embel pasar atau sebaliknya ekonomi
pasar yang diembel-embeli kerakyatan. Keduanya
menghendaki adanya sintesa antara ekonomi yang ada di
ektrem kiri dan kanan. Atau minimal ada ditengah. Sebenarnya
ini merupakan debat klasik yang terjadi antara akademisi
ditanah air. Bahkan embelembel ideologispun telah mewarnai
perlu tidaknya unsur tersebut. Cukup katakan sistem
ekonomi apa, apakah itu sistem ekonomi kapitalis atau
sistem ekonomi sosialis. Titik. Tidak perlu ada embel-embel
kerakyatan atau Pancasila. Dampak kedua sikap yang
cenderung sama-sama mengambil posisi ektrim tersebut
menimbulkan wacana ekonomi yang membinggungkan
masyarakat. Apalagi ditengah krisis ekonomi dengan
keharusan reformasi total disegala bidang ini. Untuk itu
tulisan ini mengajak untuk mendudukan atau mencermati
konsepsi tersebut secara proporsional. Seberapa relevankah
konsepsi ini dapat berlaku dan diterima.
Sebelum menganalisis lebih jauh, kita mencoba untuk
membuat batasan mengenai ekonomi kerakyatan itu sendiri.
Konsep ekonomi kerakyatan pada hakekatnya adalah
perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat dalam arti
yang luas. Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat
adalah usaha ekonomi yang menjadi sumber penghasilan
(income) keluarga atau orang-orang. Pemahaman
berikutnya tentang istilah ekonomi kerakyatan, yaitu sistem
ekonomi yang mengikutsertakan seluruh lapisan
masyarakat dalam proses pembangunan. Sistem ekonomi
kerakyatan mencakup administrasi pembangunan nasional
mulai dari sistem perencanaan hingga sistem pemantauan dan
Pelatiham Kader Dasar | 162
pelaporan. Sesungguhnya ekonomi kerakyatan adalah
demokrasi ekonomi. Dalam Indonesia demokrasi ekonomi
dikembangkan berdasarkan UUD 1945 dan dasar negara
Pancasila (Somodiningrat, 1998).
Lebih lanjut Somodiningrat (1998) menegaskan bahwa
yang dimaksud dengan perekonomian yang diselenggerakan
oleh rakyat adalah bahwa perkonomian nasional yang
berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas
untuk menjalankan roda perekonomian mereka sendiri.
Dengan demikian konsep ekonomi rakyat sesungguhnya
bukan berarti mensengaja adanya “rakyat” dan “bukan
rakyat” . Dikotomi istilah rakyat mungkin muncul dalam
bentuk yang berbeda-beda. Salah satunya adalah jika kita
mengandaikan “rakyat” sebagai rakyat pada umumnya
(ordinary people) maka akan muncul “rakyat yang lain” (elite
people). Dengan begitu garis tegas yang harus diambil bahwa
istilah rakyat adalah dari segi proses bukan dari segi
kebendaan. Jadi tekanannya pada pemberian peran yang
memadai kepada lapisan masyarakat untuk berperan dalam
pembangunan dengan adanya kesempatan dan peluang yang
sama. Tetapi yang perlu diingat bahwa pemerintah perlu
memahami kondisi kemampuan riil masyarakat yang masih
mengalami ketimpangan. Pada kondisi ini perlu diciptakan
iklim kondusif sehingga setiap anggota masyarakat sebagai
pelaku ekonomi akan mempunyai kemampuan sama dalam
menghasilkan dan menikmati hasil pembangunan.

Fakta-fakta dari proses pembangunan ekonomi selama


ini ternyata menunjukkan hasil yang jauh dari usaha
pemberdayaan rakyat, meskipun ada proyek-proyek serta
program-program yang berusaha untuk itu. Kebijakan
Pelatiham Kader Dasar | 163
makro dan mikro ekonomi mengandung kelemahan yang
berupa lemahnya ekonomi rakyat dalam menopang
transformasi ekonomi yang terjadi (Sondakh, 1995). Proses
pembangunan ekonomi dengan paket-paket deregulasinya
ternyata tidak mampu mengangkat ekonomi rakyat. Studi
Abimanyu (1995) mendapatkan bahwa deregulasi yang gencar
dilakukan ternyata hanya dinikmati oleh usaha skala besar.
Kongurasi usaha menunjukkan bahwa skala usaha perusahaan
besar mengalami peningkatan sebesar 28,68%, sedangkan
9,31% untuk perusahaan skala kecil dan 12,3% skala
menenggah. Mengapa bisa demikian? Sebagaimana penelitian
Bank Dunia (1995) dan Abimanyu (1995) bahwa fasilitas
untuk berkembang hanya diberikan pada konglomerat saja
sementara usaha skala kecil kurang mendapat porsi fasilitas
yang memadai. Sementara studi Farrukh (1995) deregulasi
yang dilakukan sejak tahun 1980-an memperlihatkan bahwa
probabilitas perusahaan berskala kecil untuk menjadi kian kecil
atau gulung tikar menjadi semakin besar.

Pelatihan Kader Dasar | 164


Daftar Rujukan

Caporaso, A. James. 2008. Teori Teori Ekonomi Politik.


Yogyakarta: PustakaPelajar
Rahardjo, M. Dawam Menuju Sistem Perekonomian Indonesia.
Jurnal UNISIA, Vol. XXXII No. 72 Desember 2009
Swasono, Sri Edi. 2005. Sistem ekonomi dan demokrasi
ekonomi. Jakarta:Universitas Indonesia (UI-Press)
Sayyid Santoso, Nur. 2016. Hand-Out Diskusi Materi Kaderisasi PMII.
Cilacap: PMII Jaringan Inti Ideologi
Tho’in, Muhammad, Konsep Ekonomi Islam Jalan Tengah (Kapitalis-
Sosialis)(Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol. 01 No. 03,November 2015)
Winardi. 1990. Ilmu Ekonomi, AspekAspek Sejarahnya. Bandung: PT
Citra AdityaBakti,

Pelatihan Kader Dasar | 165


BAB IX

STRATEGI PENGEMBANGAN PMII

Pengertian Pengembangan Organisasi


Pengembangan Organisasi (PO) merupakan cara
pendekatan terhadap perubahan yang berjangka panjang dan
lebih luas ruang lingkupnya dengan tujuan untuk
menggerakkan seluruh organisasi ke arah tingkat fungsional
yang lebih tinggi. (Indrawijaya, 1989:203)

Teknik Pengembangan Organisasi


Untuk melakukan pengembangan organisasi, maka
diperlukan cara-caraatau teknik tertentu. Ada berbagai teknik
yang dirancang para ahli, dengan tujuan meningkatkan
kemampuan berkomunikasi serta bekerja secara efektif antar
individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Beberapa
teknik yang sering digunakan berikut ini.
a. Sensitivity Training; merupakan teknik pengembangan
organisasi yang pertama diperkenalkan dan yang paling
sering digunakan. Teknik ini sering disebut juga T-group atau
training group, group disini berarti anggota terdiri atas 6-10
orang, pemimpin kelompok membimbing peserta
meningkatkan kepekaan (sensitivity) terhadap orang
lain, serta keterampilan dalam hubungan antar pribadi.
b. Team Building; adalah pendekatan yang bertujuan memperdalam
efektifitas serta kepuasaan tiap individu dalam kelompok
kerjanya.

Pelatihan Kader Dasar | 166


c. Survey Feedback; dalam teknik survey ini tiap Anggota
diminta menjawab kuesioner yang dimaksud untuk
mengukur persepsi serta sikap mereka(misalnya persepsi
tentang kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan mereka).
Hasil survey ini diumpan balikkan pada setiap anggota,
termasuk para ketua bidang yang terlibat. Kegiatan ini
kemudian dilanjutkan dengan lokakarya yang
mengevaluasi hasil keseluruhan dan mengusulkan
perbaikan-perbaikan konstruktif.
d. Transcational Analysis (TA); teknik ini berkonsentrasi
pada gaya komunikasi antar individu. TA dimaksudkan
untuk mengurangi kebiasaan komunikasi yang buruk dan
menyesatkan. Oleh sebab itu, teknik ini mengajarkan
cara penyampaian pesan yang jelas dan bertanggung
jawab dengan wajar dan menyenangkan.
e. Intergroup Activities; fokus dalam teknik intergroup
activities adalah peningkatan hubungan baik antar bidang.
Dimana ketergantungan antar bidang yang membentuk
kesatuan organisasi dapat menimbulkan banyak masalah
dalam koordinasi. Karenanya, intergroup activities dirancang
untuk meningkatkan kerjasama atau pemecahan konflik
yang mungkin timbul akibat saling ketergantungan
tersebut.
f. Process Consultation; dalam process consultation konsultan
pengembangan organisasi (Majelis Pembina) mengamati
komunikasi, pola pengambilan keputusan, gaya
kepemimpinan, kerjasama, dan pemecahan konflik dalam
tiap unit organisasi. Kemudian konsultan memberikan
umpan balik pada semua pihak yang terlibat tentang
proses yang telah diamatinya, serta menganjurkan
tindakan koreksi.

Pelatihan Kader Dasar | 167


g. Third-part Peacemaking; dalam menerapkan teknik ini,
konsultan pengembangan organisasi berperan sebagai
pihak ketiga yang memanfaatkan berbagai cara menengahi
sengketa, serta berbagai teknik negosiasi untuk
memecahkan persoalan atau konflik antar individu dan
kelompok.
Model Pengembangan Organisasi

Pengembangan
Strategi Perubahan

Diagnosa Analisis
Umpan Balik intervensi
Masalah Organisasi

Pengukuran dan
Penilaian

Bagan Model Pengembangan Organisasi

Pembuatan model pengembangan organisasi sangatlah


perlu untuk dapat mempertajam dan mempermudah
komunikasi antara agen pembaharu dengan mereka yang
berada dalam organisasi tersebut. Model yang dikemukakan
di atas, menggambarkan bahwa suatu program pengembangan
organisasi haruslah mulai dari pengenalan bahwa dalam
organisasi tersebut terdapat persoalan. Persoalan didiskusikan
sehingga tercapai suatu kesamaan pendapat. Berdasarkan
persoalan tersebutlah dilakukan analisa organisasi, yang
dimaksudkan baik untuk meneliti kembali persoalan tersebut
maupun untuk mencari sebabnya.
Pelatihan Kader Dasar | 168
Hasil analisa perlu disampaikan kepada anggota
organisasi dalam bentuk umpan balik. Selanjutnya tanggapan
terhadap umpan balik tersebut dapat digunakan untuk
mengembangkan strategi perubahan. Kemudian strategi
tersebut dilaksanakan dalam bentuk intervensi nyata untuk
kemudian diukur dan dinilai hasilnya, dan pada akhirnya
disampaikan berupaumpan balik.

PERENCANAAN STRATEGIS
Perencanaan strategis (Strategic Planning) ialah suatu
istilah jangka panjang, proses penilaian yang berorientasi
masa depan, penetapan tujuan, dan membangun strategi
yang memetakan jalur eksplisit antara sekarang dan visi
masa depan, yang bergantung pada pertimbangan cermat
kemampuan organisasi dan lingkungan, dan menyebabkan
alokasi sumber daya berbasis prioritas dan keputusan
lainnya. (CSDF: 1998)
Model-Model Perencanaan Strategis
a) Perencanaan Strategis Dasar (Basic Strategic Planning)
Perencanaan strategis ini terdiri dari langkah-langkah
berikut, yaitu : (1) mengidentifikasi tujuan organisasi; (2)
memilih tujuan; (3) mengidentifikasi strategi implementasi
yang spesifik; (4) mengidentifikasi rencana aksi (action
plans) untuk mengimplementasikan setiap strategi; serta (5)
memantau dan memperbaharui rencana.
b) Perencanaan Skenario (Scenario Planning)
Perencanaan scenario digunakan untuk menggambarkan
situasi di masa depan dalam situasi sekarang. Adapun
langkah-langkah dari perencanaan skenario adalah : (1)
mengidentifikasi beberapa kekuatan eksternal yang
penting dan memproyeksikan pengaruhnya terhadap
organisasi; (2) membahas tiga skenario masa depan yang
berbeda untuk setiap perubahan dari kekuatan eksternal,
dan meninjau skenario terburuk; (3) menyarankan strategi
yang potensial untuk menanggapi perubahan dari masing-
Pelatihan Kader Dasar | 169
masing scenario; (4) mendeteksi pertimbangan umum
dalam strategi; serta (5) memilih perubahan eksternal
yang paling mungkin dan mengidentifikasi strategi yang
paling responsif.
c) Perencanaan Penyelarasan (Alignment Planning)
Model ini dapat digunakan untuk organisasi yang perlu
menyempurnakan strategi mereka atau isu-isu yang dialami
terkait efisiensi internal. Tujuannya adalah untuk
menyelaraskan misi organisasi dan sumber daya agar
lebih efektif. Langkah-langkah yang harus dilakukan, yaitu :
(1) menggaris bawahi misi, program, sumber daya, dan
dukungan yang diperlukan; (2) mengidentifikasi apa
sudah berjalan dengan baik dan apa yang perlu
penyesuaian; (3) mengidentifikasi bagaimana melakukan
penyesuaian;
d) Perencanaan Berbasis Isu (Issues Based Planning)
Organisasi yang sudah besar dan berpengalaman bisasnya
menggunakan model yang lebih komprehensif dan efektif.
Berikut langkah-langkahnya, yaitu: (1) melakukan penilaian
eksternal / internal; (2) erancang strategi utama untuk
mengatasi masalah dan tujuan; (3) mengembangkan atau
memperbarui visi, misi, nilai-nilai; (4) menetapkan rencana
aksi; (5) merekam penilaian, tujuan, dan strategi, misi, visi,
dan rencana aksi dalam dokumen Rencana Strategis; (6)
mengembangkan dokumen rencana operasional tahunan;
(7) mengembangkan rencana angaran tahunan; (8)
menjalankan program dan kegiatan tahunan; serta (8)
pemantauan / meninjau / mengevaluasi / memperbarui
dokumen Rencana Strategis.
e) Perencanaan Pengorganisasian Diri (Self-Organizing Planning)
Daripada proses linear seperti model lainnya, Self-
Organizing Planning berjalan dengan proses yang lebih
alami. Perlu ada proses refleksi bersama terhadap proses
dan system melalui dialog, eksplorasi, dan teknik
Pelatihan Kader Dasar | 170
storyboard. Berikut adalah langkah-langkahnya, yaitu :
(1) memperjelas dan mengartikulasikan nilai-nilai budaya
organisasi; (2) mengartikulasikan visi kelompok ; (3)
melakukan dialog berkala (kuartalan) tentang apa yang
dibutuhkan organisasi membutuhkan untuk mencapai visi dan
memutuskan apa yang akan dilakukan berikutnya; (4) berfokus
pada proses belajar daripada metode linier; (5) menumbuhkan
kesabaran untuk proses-proses yang sedang berlangsung; (6)
memutuskan bagaimana menggambarkan rencana strategis
kepada para pemangku kepentingan.
f) Perencanaan Terpadu (Hibrid-Integrated Planning)
Menggabungkan proses dari dua atau lebih model yang
menghasilkan efek hibrida. Salah satu contoh adalah
model Balanced Score Card (BSC), yang mengintegrasikan
unsur proses perencanaan berbasis isu-isu dan keselarasan.
Robert Kaplan dari Harvard Business School, dan
konsultan bisnis, David Norton, mengembangkan Model
Perencanaan Strategis Balanced Scorecard tahun 1992.
Lebih setengah dari 500 perusahaan Fortune di Amerika
Serikat dan sejumlah lembaga pemerintah di semua
tingkatan menggunakan model ini. Model BSC
mengarahkkan fokus strategis organisasi terhadap factor-
faktor kunci kesuksesan organisasi. Manajemen strategis
menerjemahkan ukuran kunerja dan target ke dalam
inisiatif tindakan.

Langkah-langkah Perencanaan Strategis


Secara umum langkah-langkah perencanan strategis
terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu : (1) menganalisis; (2)
merencanakan; (3) mengimplementasikan; serta (4) mengukur.
Tahapan ini dimulai dari penentuan visi organisasi sampai
hasil yang diperoleh. Berikut ini adalah rincian dari
masing-masing tahapan perencaanaan strategis:

Pelatihan Kader Dasar | 171


Tabel Tahapan Strategic Planning
RINCIAN DESKRIPSI
TAHAPAN
1. Analisis
Pernyataan tentang fungsi inti organisasi dalam
bentuk yang tentang alasan keberadaan
organisasi. Menghubungkan fungsi inti
Mendefinisikan organisasi dengan misi organisasi.
fungsi inti  mengidentifikasi pelanggan dan harapan
organisasi mereka
 memperjelas tanggung jawab organisasi untuk
menyediakan produk atau jasa yang bermakna.
Melandasi rencana dengan memeriksa
lingkungan saat ini. Mempertimbangkan aspek
ekonomi, tren politik, sosial, dan teknologi yang
mempengaruhi kegiatan organisasi.
mengidentifikasi Kekuatan dan Kelemahan /
Peluang dan Ancaman
Melakukan  Kekuatan dan Peluang merupakan faktor
pemeriksaaan positif yang menunjukkan keunggulan
terhadap kompetitif, mendukung strategi saat ini dan
lingkungandan peningkatan kinerja.
melakukan
 Kelemahan dan Ancaman menghambat kinerja
analaisis SWOT
dan menyarankan risiko dalam strategi saat ini.
 Kekuatan dan Kelemahan menunjukkan
kondisi internal.
 Peluang dan Ancaman menunjukkan kondisi
eksternal

Pelatihan Kader Dasar | 172


Sebuah visi yang realistis harus mendorong
perbaikan dalam efisiensi atau efektivitas untuk
mendukung misi (organisasi) atau (unit) fungsi
Mencipatakan visi inti.
yang realistik  Visi adalah pandangan yang inspiratif tentang
masa depan organisasi yang diinginkan
 Visi adalah dasar untuk tujuan dan sasaran
organisasi.
Deskripsi visi yang ingin dicapai adalah
pernyataan singkat tentang apa yang organisasi
inginkan di akhir siklus perencanaan.
 Visi menjadi patokan atau cetak biru untuk
Mengembangkan masa depan
pernyataan visi  Visi memperluas jangkauan potensi kinerja
organisasi untuk berkembang atau menjadi
efisien
 Pengembangan misi menjadi tujuan yang
diturunkan dari visi.
2. Perencanaan
Menguji kekuatan visi dengan :
 menguji tujuan terhadap realitas lingkungan
organisasi
Mengidenifikasi
tujuan jangka  menetukan apakah mungkin untuk mencapai
tujuan dalam jangka waktu yang wajar
panjang
 memutuskan apakah tujun layak untuk dicapai
dan apakah tujuan tersebut dapat memberikan
apa yang diharapkan organisasi
Sasaran adalah:
Mengidentifikasi
 langkah-langkah spesifik untuk pencapaian
kinerja sasaran
tujuan jangka panjang
secaratakti
 niat yang dibentuk menjadi kinerja kegiatan
Mengidentifika Pengukuran kinerja dan target adalah alat untuk:
si ukuran kinerja  menentukan patokan tingkat pencapaian
dantarget untuk tujuan
setiaptujuan  menilai efektivitas kinerja
3. Proses Implementasi

Pelatihan Kader Dasar | 173


Rencana operasional mengkoordinasikan
keseluruhan ruang lingkup pelaksanaan. Ini
adalah rencana manajemen eksekutif untuk
menerjemahkan ukuran kinerja dan target dari
rencana strategis dalam inisiatif kinerja.
Menggunakan alat perencanaan operasional
Mengembangka untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang
n rencana muncul dari Rencana Strategis meliputi:
operasional  operasi (upaya-upaya atau kegiatan yang
dibangun ke dalam rutinitas sehari-hari untuk
menghasilkan produk atau jasa berulang)
 proyek (inisiatif sementara dan unik dengan
batas-batas tertentu)
 program (sistem pelayanan)
Kinerja rencana aksi mendefinisikan dan
menjelaskan rincian yang menghubungkan
tujuan rencana strategis, tolok ukur kinerja, dan
target untuk tugas-tugas tertentu dan tonggak
kinerja. Merumuskan rencana aksi meliputi :
Membuat  pelaksanaan kegiatan dalam proyek kinerja,
kinerjarencana operasi yang sedang berlangsung, dan program
aksi  tugas dan tanggung jawab
 alat komunikasi dan metode
 sumber daya
 kiriman yang diharapkan, jadwal, dan tenggat
waktu penyelesaian
Sistem komunikasi yang efektif sangat penting
untuk implementasi; untuk memaksimalkan
pencapaian tujuan, standar berkomunikasi,
harapan, dan pedoman untuk kinerja; serta
memantau dan kemajuan dokumen.
Membuktikan hasil dan memastikan kemajuan
yang berkelanjutan dengan:
Mengelola kinerja  menunjukkan perilaku manajemen yang
mendukung
 melakukan penilaian berkelanjutan gerakan
menuju tujuan diproyeksikan dan hasil
 menekankan umpan balik
 membuat modifikasi yang diperlukan dalam
arah
 membuat laporan
Pelatihan Kader Dasar | 174
4. Penilaian
 proses yang terkait dengan kinerja layanan atau
Menentukan aspek produk
yang akan dinilai  kepuasan pelanggan internal dan eksternal dan
dilihat dari manfaat umpan balik
dan perbandingan  kinerja karyawan
dengan informasi  kepuasan karyawan
dandata  matriks berkualitas untuk tingkat kesalahan,
efisiensi, dan efektivitas.
Menentukan jumlah dan jenis data yang harus dikumpulkan sesuai.
memilih metode untuk menilai dan melaporkan kemajuan.

sumber : Texas Workforce Commission, 2005

Teknik Analisis SWOT dalam Strategic Planing


Analisis SWOT adalah sebuah metode perencanaan
strategis yang dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin
proyek riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa 1960-an
dan 1970-an dengan menggunakan data dari perusahaan-
perusahaan Fortune 500. Menurut Freddy Rangkuti,
analisis SWOT diartikan sebagai : “analisa yang didasarkan
pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths)
dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman
(threats)”. fungsi dari Analisis SWOT adalah untuk
mendapatkan informasi dari analisis situasi dan
memisahkannya dalam pokok persoalan internal (kekuatan
dan kelemahan) dan pokok persoalan eksternal (peluang
dan ancaman).Analisis SWOT tersebut akan menjelaskan
apakah informasi tersebut berindikasi sesuatu yang akan
membantu perusahaan mencapai tujuannya atau memberikan
indikasi bahwa terdapat rintangan yang harus dihadapi atau
diminimalkan untuk memenuhi pemasukan yang diinginkan.

Pelatihan Kader Dasar | 175


a. Komponen SWOT
1) Kekuatan (strength)
Kekuatan (strength) adalah sumberdaya keterampilan
atau Keunggulan- keunggulan lain relatif terhadap
pesaing dan medan gerak organisasi. Kekuatan adalah
kompetensi khusus yang memberikan keunggulan
komparatif bagi organisasi. Kekuatan dapat
terkandung dalam sumber daya keuangan, citra,
kepemimpinan, hubungan pembeli dengan pemasok, dan
faktor-faktor lain.
2) Kelemahan (weakness)
Kelemahan (weakness) adalah keterbatasan atau
kekurangan dalam sumberdaya, keterampilan, dan
kapabilitas yang secara serius menghambat kinerja
efektif organisasi. Fasilitas, sumber daya keuangan,
kapabilitas manajemen, keterampilan pemasaran,
citra merek dapat merupakan sumber kelemahan.
3) Peluang (Opportunity)
Peluang (opportunity) adalah situasi atau kondisi yang
merupakan peluang diluar suatu organisasi dan
memberikan peluang berkembang bagi organisasi
ataupun terobosan dimasa yang akan datang.
4) Ancaman (Threats)
Ancaman (Threats) yaitu tantangan atau ancaman
yang harus dihadapi oleh organisasi untuk menghadapi
berbagai macam faktor lingkungan yang tidak
menguntungkan yang menyebabkan kemunduran. Jika
tidak segera di atasi, ancaman tersebut akan menjadi
penghalang bagi organisasi yang bersangkutan baik di
masa sekarang maupun masa yang akan datang.
b. Matrik SWOT
Matrik SWOT adalah alat yang dipakai untuk
menyusun faktor-faktor strategi organisasi. Matriks ini dapat
Pelatihan Kader Dasar | 176
menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal yang dihadapi disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki. Dalam membuat Matriks SWOT
kita dapat memakai dua pendekatan: pertama pendekatan
kualitatif dan kedua pendekatan kuantitatif.
1. Pendekatan Kualitatif
Pendekatan kualiatif Matriks SWOT sebagaimana
dikembangkan oleh Kearns, Matrik ini dapat menghasilkan
empat set kemungkinan alternatif strategi. Perhatikan tabel
di bawah ini:
Tabel Matrik SWOT Kearns
EKSTERNAL
INTERNAL OPPORTUNITY TREATHS

(A)
(B)
STRENGT Comparativ
Mobilization
H e
Advantag
e
(C)
(D)
WEAKNES Divestment/
Damage
S Investment
Control

Sumber:Hisyam, 1998
Keterangan:
Sel A: Comparative Advantages, Sel ini merupakan pertemuan
dua elemen kekuatan dan peluang sehingga memberikan
kemungkinan bagi suatu organisasi untuk bisa berkembang
lebih cepat.
Sel B: Mobilization, Sel ini merupakan interaksi antara
ancaman dan kekuatan. Di sini harus dilakukan upaya
mobilisasi sumber daya yang merupakan kekuatan organisasi
untuk memperlunak ancaman dari luar tersebut, bahkan
kemudian merubah ancaman itu menjadi sebuah peluang.

Pelatihan Kader Dasar | 177


Sel C: Divestment/Investment, Sel ini merupakan interaksi
antara kelemahan organisasi dan peluang dari luar. Situasi
seperti ini memberikan suatu pilihan pada situasi yang kabur.
Peluang yang tersedia sangat meyakinkan namun tidak dapat
dimanfaatkan karena kekuatan yang ada tidak cukup untuk
menggarapnya. Pilihan keputusan yang diambil adalah
(melepas peluang yang ada untuk dimanfaatkan organisasi
lain) atau memaksakan menggarap peluang itu (investasi).
Sel D: Damage Control, Sel ini merupaka kondisi yang paling
lemah dari semua sel karena merupakan pertemuan antara
kelemahan organisasi dengan ancaman dari luar, dan
karenanya keputusan yang salah akan membawa bencana
yang besar bagi organisasi. Strategi yang harus diambil adalah
Damage Control (mengendalikan kerugian) sehingga tidak
menjadi lebih parah dari yang diperkirakan.

Pelatihan Kader Dasar | 178


KETERANGAN :
Kuadran I (positif, positif) Posisi ini menandakan sebuah
organisasi yang kuat dan berpeluang, Rekomendasi strategi
yang diberikan adalah Progresif, artinya organisasi dalam
kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan untuk
terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan
meraih kemajuan secara maksimal.
Kuadran II (positif, negatif) Posisi ini menandakan sebuah
organisasi yang kuat namun menghadapi tantangan yang
besar. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah
Diversifikasi Strategi, artinya organisasi dalam kondisi
mantap namun menghadapi sejumlah tantangan berat
sehingga diperkirakan roda organisasi akan mengalami
kesulitan untuk terus berputar bila hanya bertumpu pada
strategi sebelumnya. Oleh karenya, organisasi disarankan
untuk segera memperbanyak ragamstrategi taktisnya.
Kuadran III (negatif, positif) Posisi ini menandakan sebuah
organisasi yang lemah namun sangat berpeluang.
Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Ubah Strategi,
artinya organisasi disarankan untuk mengubah strategi
sebelumnya. Sebab, strategi yang lama dikhawatirkan sulit
untuk dapat menangkap peluang yang ada sekaligus
memperbaikikinerja organisasi.
Kuadran IV (negatif, negatif) Posisi ini menandakan sebuah
organisasi yang lemah dan menghadapi tantangan besar.
Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Strategi
Bertahan, artinya kondisi internal organisasi berada pada
pilihan dilematis. Oleh karenanya organisasi disarankan
untuk meenggunakan strategi bertahan, mengendalikan kinerja
internal agar tidak semakin terperosok. Strategi ini
dipertahankan sambil terusberupaya membenahi diri.

Pelatihan Kader Dasar | 179


Maksud dan Tujuan Rencana Strategis
Rencana Strategis (Renstra) pembinaan dan
pengembangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
merupakan garis-garis besar pembinaan, pengembangan dan
perjuangan, sebagai pernyataan kehendak kader PMII yang
pada hakekatnya adalah pola dasar dan umum program jangka
panjang dalam mewujudkan tujuan organisasi. Renstra ini
menjadi penting supaya langkah PMII menjadi terarah, terpadu
dan sustainable (berkelanjutan) pada setiap kebijakan program
dan garis perjuangannya. Tahapan-tahapan pencapaian
tujuan dimaksudkan untuk mewujudkan suatu keadaan
yang diinginkan atau ditargetkan serta merupakan landasan
bagi tahap selanjutnya, sehingga perspektif pencapaian
tujuan selalu berbeda dalam kesinambungan program yang
membawa pada tercapainya tujuan dan cita-cita PMII
sebagaimana terdapat dalam Anggaran Dasar PMII Bab IV
Pasal 4 yaitu: “Terbentuknya pribadi muslim
Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT,
berbudi luhur, berilmu, cakap dan
bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya
komitmen dalam memperjuangkan cita-cita
kemerdekaan Indonesia”.
Tujuan pembinaan pengembangan dan perjuangan PMII
diarahkan pada terbentuknya pribadi dan kondisi organisasi
yang mempunyai suatu sikap dan perilaku sebagai berikut:
a. Terwujudnya kader-kader penerus perjuangan PMII yang
bertaqwa kepada Allah SWT, berpegang teguh pada ajaran
Islam Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja) serta pancasila dan
UUD 1945 sebagai satu-satunya ideologi dan pandangan
hidup bangsa dan negara.
b. Terwujudnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran
Islam Aswaja dan moral bangsa untuk memperkokoh alas
Pelatihan Kader Dasar | 180
pijak dalam menghadapi laju perkembangan IPTEK serta
arus globalisasi dan informasi.
c. Tumbuh dan berkembangnya kreatifitas, dinamika dan
pola fikir yang mencerminkan budaya pergerakan,
selektif, akomodatif, integratif konstruktif, dan sikap
profersional.
d. Tumbuh dan berkembangnya sikap orientasi fungsi dan
produktifitas ke masa depan serta mengutamakan
prestasi.
e. Terciptanya suatu organisasi sebagai suatu sistem yang
sehat dan dinamis didukung oleh nilai, aparat, sarana dan
fasilitas serta tata kelola yang memadai.
f. Terciptanya suatu kehidupan organisasi yang dinamis, kritis
dan cerdas dalam merebut tangung jawab dan peran sosial,
serta menjadi lembaga alternatif dalam dimensi pemikiran
maupun kualitas kepemimpinan dan sumber daya manusia.
g. Tumbuhnya suatu situasi dan kondisi yang mencerminkan
kekokohan PMII yang berpijak pada nilai-nilai dan tradisi
yang dimilikinya. Tidak terseret pada polarisasi dan opini
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang
dapat merugikan PMII.
h. Tersedianya kader-kader yang memadai baik secara
kualitatif maupun kuantitatif sebagai konsekuensi logis
dari arah PMII sebagai organisasi pembinaan,
pengembangan dan perjuangan yang dikhidmatkan
kepada agama, masyarakat, bangsa dan negara.
Modal Dasar Dan Faktor Dominan
a. Modal Dasar
Modal Dasar PMII adalah:
1) PMII merupakan organisasi kemahasiswaan atau organisasi
pemuda yang eksistensinya dijamin oleh UUD 1945 Pasal
28 E ayat 3.
2) NDP sebagai prinsip ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah
merupakan sumber motivasi dan inspirasi pergerakan,
Pelatihan Kader Dasar | 181
sekaligus sebagai pendorong, penggerak dan landasan
berpijak dalam kehidupan pribadi kader.
3) Mempunyai keterikatan dan tangung jawab dengan
seluruh masyarakat bangsa Indonesia yang menganut
sistem berfikir keagamaan, dan kemasyarakatan yang
sama yaitu Islam Aswaja dan sistem kebangsaan
Pancasila.
4) Kepeloporan dan kepatriotismenya dalam menegakkan
dan membela agama, Pancasila dan UUD 1945. Selain itu,
PMII sebagai elemen civil society telah terbukti
peranannya dalam melakukan pendampingan
masyarakat.
5) Jumlah dan persebaran anggota PMII yang berada di
seluruh Fakultas dengan berbagai disiplin ilmu sebagai
sumber daya insani yang potensial. Dengan kemapanan
struktur organisasi dari tingkat Komisariat sampai Rayon,
maka sosialisasi nilai dan gagasan serta kewajiban dapat
berjalan secara efektif dan efisien.
6) Ketakwaan kepada Allah SWT merupkan acuan dasar dan
sekaligus menjadi inspirasi bagi peningkatan kualitas diri
menuju kesempurnaan hidup manusia sebagai hamba
Allah SWT.
7) Jumlah dan mulai tersebarnya profesi alumni merupakan
bagian potensi bagi pengembangan organisasi dan
masyakarakat.
8) Tipologi kader yang beragam merupakan modal utama
dalam mengembangkan PMII.
b. Faktor Dominan
1) Ideologi dan akidah yang dianut PMII merupakan aspek
dominan dari organisasi PMII. berakidah Islam
Ahlussunnah wal Jama’ah dan berideologi Pancasila.
Akidah dan ideologi tersebut merupakan faktor
pendorong dan penggerak dalam proses pembinaan
pengembangan dan perjuangan organisasi, sekaligus sebagai

Pelatihan Kader Dasar | 182


dasar berpijak dalam menghadapi proses perubahan dan
goncangan-goncangan di tengah masyarakat.
2) Komunitas Islam Ahlussunah wal Jama’ah sebagai kelompok
masyarakat terbesar Indonesia merupakan wahana dan
tempat pengabdian yang jelas bagi PMII.
3) Jumlah anggota PMII yang setiap tahunnya bertambah
dengan kuantitas yang cukup besar merupakan faktor
strategis yang menentukan usaha pembinaan generasi
muda dalam proses pelahiran kepemimpinan organisasi.
4) Alumni yang tersebar di berbagai daerah dan bergerak di
berbagai profesi dan disiplin ilmu yang mengabdi pada
agama, masyarakat dan negara.

Masalah Pokok Yang Dihadapi


Yang dimaksud dengan masalah pokok di sini adalah
segala suatu yang dianggap, diduga atau dirasa menjadi
hambatan dalam mekanisme organisasi. Dengan mengetahui
masalah-masalah pokok PMII diharapkan terdapat
gambaran yang jelas mengenai langkah-langkah yang harus
diambil di masa yang akan datang.
1. Nilai-Nilai Kepribadian Kader
NKK adalah nilai-nilai fundamental dari PMII yang
merupakan pendorong dan penggerak serta sekaligus
sebagai alas pijak dalam kehidupan sehari-hari.
Ketidakmampuan merumuskan secara jelas aspek-aspek
fundamental ini mengakibatkan organisasi kehilangan
dasar pijakan dan sumber motivasi serta arah dan tujuan
selanjutnya akan kehilangan kekuatan dalam menghadapi
tantangan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
NKK ini pada dasarnya adalah nilai-nilai dan prinsip Aswaja
itu sendiri, tetapi dalam bentuk sederhana perwujudannya
yang aktual dan tidak lepas dari sifat, asas dan tujuan
PMII.

Pelatihan Kader Dasar | 183


2. Kepemimpinan dan Kaderisasi
Sangat dirasakan kurangnya kualitas kepemimpinan,
kekurangan ini tentu menimbulkan hambatan bagi
kemajuan organisasi. Kita berharap PMII dapat
memproduksi sosok pemimpin yang bukan hanya mampu
membangun reverent power (trustworthy, competent,
forward- looking, risk-taker) namun juga memiliki expert
power (change, dream, model, empower and love) di
tengah berbagai tantangan zaman ini.
3. Aparat dan Struktur Organisasi
Salah satu parameter keberhasilan organisasi dapat dilihat
dari bagaimana sebuah organisasi mampu memanajemen
organiasasi. Perkembangan yang begitu pesat membawa
permasalahan tersendiri jika PMII tidak mampu
melakukan manajemen dengan baik. melalui bidang
pendayagunaan aparatur harus mampu mempersiapkan
dan mendesain berbagai macam aturan organisasi agar
roda organisasi dapat berjalan secara baik. Penguatan
pemberdayaan kader putri yaitu biro keputrian. Karena
bagaimanapun kesuksesan PMII juga akan dinilai salah
satunya dari bagaimana PMII unesa mampu melakukan
proses kaderisasi pada kader-kader putri yang
dimilikinya. Oleh karenanya sudah menjadi keniscayaan
bagi PMII untuk terus melakukan penguatan
kelembagaan juga mendorong keberadaan KOPRI Level
cabang hinga Rayon.
4. Program
Secara operasional, selama ini program yang ditetapkan
Pengurus PMII terlihat kurang berkesinambungan antara
periode yang satu dengan yang berikutnya hal ini salah
satunya dikarenakan lemahnya tingkat kepatuhan atas
pelaksanaan rencana strategi (renstra) jangka panjang
yang sudah dicanangkan. Lemahnya tingkat kepatuhan ini
dikarenakan adanya tumpang tindih pada pelaksanan
program tahunan. Di sisi lain kita sadar bahwa program
Pelatihan Kader Dasar | 184
penguatan kapasitas kader secara nyata dibutuhkan dan
harus mendapat perhatian khusus. Hal ini tentu tidak
lepas dari dampak semakin heterogennya input kaderisasi
yang ada di PMII. Keterbukaan informasi yang beriring
dengan kemajuan teknologi dan bahkan ditambah lagi
dengan perkembangan tantangan ekonomi dunia, dan
kompetisi global menuntut PMII harus dapat melakukan
penyesuaian dalam sistem kaderisasinya. Jika PMII
berharap alumninya mampu merebut berbagai sektor
startegis di daerah-daerah tentu PMII harus mempersiapkan
dengan sungguh-sungguh sistem kaderisasinya. Sistem
kaderisasi selain memberikan penanaman nilai- nilai luhur,
juga harus mampu memberikan skill khusus kepada
seluruh kadernya untuk mampu terjun di dunia profesional
Strategi
Strategi yang dimaksud di sini adalah adanya suatu
kondisi serta langkah- langkah yang mendasar, konsisten dan
aplikatif yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan
visi-misi PMII. Dari pemahaman strategi itulah maka untuk
mencapai tujuan diperlukan strategi sebagai berikut:
1. Iklim yang mampu menciptakan suasana yang sehat,
dinamis dan kompetitif yang selalu dibimbing dengan
bingkai takwa, intelektualitas dan profesionalitas.
sehingga mampu meningkatkan kualitas pemikiran dan
prestasi, terbangunnya suasana kekeluargaan dalam
menjalankan tugas suci keorganisasian.
2. Kepemimpinan harus dipahami sebagai amanat Allah
SWT yang menempatkan setiap insan PMII sebagai dai
untuk melaksanakan amar ma’ruf-nahi munkar sehingga
kepemimpinannya selalu tercermin sikap
bertanggungjawab melayani, berani, jujur, adil dan ikhlas.
3. Untuk mewujudkan suasana takwa, intelektualitas dan
profesionalitas serta kepemimpinan sebagai amanat Allah
SWT, diperlukan suatu gerakan dan mekanisme

Pelatihan Kader Dasar | 185


organisasi yang bertumpu pada kekuatan zikir dan fikir
dalamsetiap pola fikir, pola sikap dan pola perilaku.
4. Struktur dan aparat organisasi yang tertata dengan baik
sehingga dapat mewujudkan sistem dan mekanisme
organisasi yang efektif dan efesien.
5. Produk dan peraturan-peraturan organisasi yang konsisten
dan tegas menjadi panduan yang konstitutif sehingga
tercipta mekanisme organisasi yang teratur dan
mempunyai kepastian hukum bagi komisariat dan rayon.
6. Pola komunikasi yang dikembangkan adalah komunikasi
individual dan kelembagaan, yaitu terciptanya komunikasi
timbal balik dan berdaulat serta mampu membedakan
antara hubungan individual dan hubungan
kelembagaan, baik ke dalam maupun keluar.
7. Pola kaderisasi yang dikembangkan selaras dengan tuntutan
perkembangan zaman kini dan mendatang, sehingga
terwujud pola pengembangan kader yang berkualitas,
mampu menjalankan fungsi kekhalifahan yang
terjawantahkan dalam perilaku keseharian, baik selaku
kader bangsa maupun kader agama.

Pelatihan Kader Dasar | 186


DAFTARA RUJUKAN

CSDF. 1998. Strategic Planning Guidelines. California: California State


Grewal & Levy. 2008. Marketing. New York: Mc.Graw Hill
Indrawijaya, Adam. 1989. Perubahan dan Pengembangan Organisasi.
Bandung : Sinar Baru
Miftah, Toha. 1997. Pembinaan Organisasi. Jakarata: Mutiara Ilmu
Musanef. 1991. Manajemen Kepegawaian Di Indonesia. Surabaya:
Apolo
Rangkuti, Freddy. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah
Kasus Bisnis,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Texas Workforce Commission. (2005). Strategic Planning:
Managing Strategically.Texas: Texas Workforce Commission
, 2019. Hasil-Hasil Muspimnas Boyolali. Jakarta: PB PMII

Pelatihan Kader Dasar | 187


BAB X
Pengelolaan Opini Dan Pengorganisiran Massa

A. Pengertian
1. Opini Publik
Seperti ilmu sosial lainnya, definisi opini
(pendapat) sulit untuk dirumuskan secara lengkap dan
utuh. Ada berbagai definisi yang muncul, tergantung
dari sisi mana kita melihat. Ilmu komunikasi
mendefinisikan opini sebagai pertukaran informasi
yang membentuk sikap, menentukan isu dalam
masyarakat dan dinyatakan secara terbuk. Ilmu
psikologi mendefinisikan opini publik sebagai hasil
dari sikap sekumpulan orang yang memperlihatkan
reaksi yang sama terhadap rangsangan yang sama dari
luar (Leonard W. Doob).
Opini publik memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Dibuat berdasarkan fakta, bukan kata-kata
b) Dapat merupakan reaksi terhadap masalah
tertentu, dan reaksi itudiungkapkan
c) Masalah tersebut disepakati untuk dipecahkan
d) Dapat dikombinasikan dengan kepentingan pribadi
e) Yang menjadi opini publik hanya pendapat dari
mayoritas anggotamasyarakat
f) Opini publik membuka kemungkinan adanya
tanggapan
g) Partisipasi anggota masyarakat sebatas
kepentinganmereka, terutamayang terancam
h) Memungkinkan adanya kontra-opini

Pelatihan Kader Dasar | 188


2. Proses pembentukan opini publik
Proses pembentukan opini publik melalui beberapa
tahapan:
a) Ada masalah yang perlu dipecahkan sehingga orang
mencari alternatif pemecahan
b) Munculnya beberapa alternatif memungkinkan
terjadinya diskusi untuk memilih alternative
c) Kesadaran kelompok
d) Program yang memerlukan dukungan yang lebih
luas

Erikson, Lutberg dan Tedin mengemukakan ada empat


tahap terbentuknya opini publik:
a) Munculnya isu yang dirasakan sangat relevan
bagi kehidupan orangbanyak
b) Isu tersebut relatif baru sehingga memunculkan
kekaburan standarpenilaian atau standar ganda
c) opinion leaders (tokoh pembentuk opini) yang
juga tertarik dengan isutersebut, seperti politisi
atau akademisi
d) Mendapat perhatian Pers/ media hingga
informasi dan reaksi terhadap isutersebut
diketahui khalayak

Opini publik sudah terbentuk jika pendapat yang


semula dipertentangkan sudah tidak lagi dipersoalkan.
Dalam hal ini tidak berarti bahwa opini publik tersebut
merupakan hasil kesepakatan mutlak suara mayoritas
setuju, karena kepada para anggota diskuis memang
sama sekali tidak dimintakan pernyataan setuju. Opini
publik terbentuk jika dala diskusi tidak ada lagi yang
menentang pendapat akhir karena sudah berhasil
diyakinkan atau meungkin karena argumentasi untuk
menolak sudah habis.

Pelatihan Kader Dasar | 189


Berdasarkan terbentuknya opini publik, kita
mengenal opini publik yang murni. Opini publik murni
adalah opini publik yang lahir dari reaksi masyarakat
atas suatu masalah (isu). Sedangkan opini publik yang
tidak murni dapat berupa:
a) Manipulated Public Opinion, yaitu opini publik
yang dimanipulasikanatau dipermainkan dengan
cerdik.
b) Planned Public Opinion, yaitu opini publik yang
direncanakan
c) Intended Public Opinion, yaitu opini publik yang
dikehendaki
d) Programmed Public Opinion, yaitu opini publik
yang diprogramka
e) Desired Public Opinion, yaitu opini publik yang
diinginkan
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi opini publik
Opini publik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya:
a) Pendidikan: Pendidikan, baik formal maupun non
formal, banyak mempengaruhi dan membentuk
persepsi seseorang. Orang berpendidikan cukup,
memiliki sikap yang lebih mandiri ketimbang
kelompok yang kurang berpendidikan. Yang
terakhir cenderung mengikut.
b) Kondisi Sosial: Masyarakat yang terdiri dari
kelompok tertutup akan memiliki pendapat yang
lebih sempit daripada kelompok masyarakat
terbuka. Dalam masyarakat tertutup, komunikasi
dengan luar sulit dilakukan.
c) Kondisi Ekonomi: Masyarakat yang kebutuhan
minimumnya terpenuhi dan masalah survive
bukan lagi merupakan bahaya yang mengancam,
Pelatihan Kader Dasar | 190
adalah masyarakat yang tenang dan demokratis.
d) Ideologi: Ideologi adalah hasil kristalisasi nilai
yang ada dalam masyarakat, ia merupakan
pemikiran khas suatu kelompok. Karena titik
tolaknya adalah kepentingan ego, maka ideologi
cenderung mengarah pada egoisme atau
kelompokisme.
e) Organisasi: Dalam organisasi, orang berinteraksi
dengan orang lain dengan berbagai ragam
kepentingan. Dalam organisasi, orang dapat
menyalurkan pendapat dan keinginannya. Karena
dalam kelompok ini orang cenderung bersedia
menyamakan pendapatnya, maka pendapat umum
mudah terbentuk.
f) Media Massa: Persepsi masyarakat dapat dibentuk
oleh media massa. Media massa dapat
membentuk pendapat umum dengan cara
pemberitaan yang sensasional dan
berkesinambungan.

B. Pengelolaan Opini dalam Gerakan Massa


Mengelola Opini untuk Menggerakkan Massa
merupakan skill yang mesti dimiliki orang sebagai
sebuah ketrampilan memimpin. Generasi muda sebagai
agen sekaligus mandataris perubahan dimasa depan
harus cakap dalam mengorganisir ide perubahan
sebelum dilempar kepada masyarakat. Untuk itu,
mahasiswa berpotensi menjadi opinion maker dalam
menyuarakan perubahan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kerap kali kita
terlibat dalam penggalangan dukungan untuk mencapai
tujuan, mulai dari hal yang sederhana sampai masalah
yang lebih besar dan strategis. Misalnya, dengan alasan
agar cepat sampai sekolah kita berusaha meyakinkan
Pelatihan Kader Dasar | 191
orang tua agar mau dibelikan sepeda motor, mulai dari
untung dan ruginya memiliki sepeda – coba kita
utarakan dengan orang tua. Nah, segala usaha dan upaya
meyakinkan kedua orang tua itu bisa dikatakan gerakan
mengelola opini anggota keluarga agar tujuan untuk
memiliki sepeda motor terpenuhi. Jadi menurut saya,
pengertian pengelolaan opini bukan sebatas membuat
opini lalu dikirim ke media massa, tapi penggalangan
massa demi mencapai tujuan tertentu. Sedangkan cara
dan bentuknya bisa bermacam- macam.
Pengelolaan opini sebagai sebuah gerakan
setidaknya ada tiga agenda yang mesti kita kerjakan
terlebih dahulu. Ketiga agenda itu bisa dijadikan acuan
tergantung tingkat kesulitan gerakan yang dibangun;
1. Tentukan Tujuan Gerak : Sebelum melontarkan ide
atau opini kepada publik secara luas, terlebih dahulu
tujuan gerakan harus ditetapkan secara tepat. Disini
misi gerakan harus menjadi ―Panglima yang akan
menjadi petunjuk arah. Namun pengalaman selama
ini kenapa gerakan massa ―Layu ditengah jalan?
Persoalannya penggerak opini terbuai dengan
imbalan-imbalan pragmatis yang ditemui ditengah
jalan. Akibatnya, ia lupa akan tujuan gerakan.
2. Pegang Data dan Fakta: Bagi seorang organizer, data
adalah senjata yang paling ampuh. Dengan data dan
fakta yang lengkap serta akurat kelompok target
gerakan akan sulit membantah kebenaran yang kita
sampaikan. Apa lagi itu bentuknya penyelewengan
atau manipulasi. Inilah yang banyak dilakukan oleh
banyak aktivis dalam menjalankan programnya.
3. Gali Masalah: Berbekal data yang akurat dengan
sedikit analisa saja kita sudah mengetahui pangkal
masalahnya, kemudian dampaknya seperti apa. Bisa
menimpa siapa saja dan lain seterusnya. Kalau sudah
akar masalah dan dampaknya tergali, baru tawarkan
Pelatihan Kader Dasar | 192
solusi penyelesaian dari problem sosial yang terjadi.
Analisa yang cerdas akan menghasilkan jawaban yang
cerdas pula.
Dalam mengelola opini menjadi sebuah gerakan,
kita bisa belajar dari kesuksesan aktivis gerakan pada era
‘66, ‘74 maupun reformasi 98. Kita bisa lihat berbagai
wacana yang disampaikan itu ternyata selalu disuarakan
ketika momentum datang. Selain bekerja dengan
rencana, mereka juga tidak pernah melewatkan
momentum dalam menyuarakan perubahan. Hasilnya
mereka terlatihmembaca momentum.
Yang tidak kalah penting ketika mengelola opini
menjadi gerakan adalah berkongsi dengan media massa.
Demi misi gerakan, konspirasi dengan media perlu
dibangun. Bukankah media membutuhkan berita yang
berasal darimasyarakat. Jika yang disampaikan itu benar
dan menyangkut kepentingan publikluas maka tidak ada
alasan bagi media untuk memberitakan apa yang ingin
kita suarakan. Untuk membangun konspirasi dengan
media, bisa dengan mengadakan jumpa pers, seminar,
lokakarya, demonstrasi atau menulis opini dan artikel
dimedia massa. Cara-cara ini malah sangat efektif
mengundang media agar mau memberitakan gerakan
yang akan kita bangun.
Selanjutnya tokoh masyarakat juga perlu kita
rangkul, karena bagaimanapun realitas masyarakat di
Indonesia masih sangat mempercayai dan bergantung
pada tokoh. Selain akan menjadi penggerak utama,
mereka bisa dimanfaatkan jika gerakan mendapat
pertentangan dari penguasa atau kelompok tertentu
yang merasa terusik. Dengan pengaruh yang mereka
miliki tentunya kelompok penentang akan berpikir
sekian kali jika ingin mengganggu.
Layaknya kita sebagai generasi yang mewakili
Pelatihan Kader Dasar | 193
kelompok intelektual sudah saatnya tampil sebagai
opinion maker bukan lagi menjadi komoditas yang
terjebak pada lingkar opini yang kemudian menyeret kita
kedalam gerakan praktis dan reaktif belaka.
Bagaimanapun juga tidak akan ada api kalau tidak ada
pemantiknya, Bola yang dilempar akan memantul
sebanding dengan seberapa kuat lemparannya (Teori
Newton II). Tidak akan terwujud suatu gerakan massif
dan tertata rapi tanpa kita menangkap dan melemparkan
opini secara terus- menerus.

C. Peran PMII dalam Instrumen Kebijakan


Pengelolan Opini Publik,Komunikasi Media,
dan Transformasi Sosial
Berangkat dari kesadaran akan peran dan tanggung
jawabnya sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) serta perubahan pesat
tatanan dunia baru, PMII perlu menyusun strategi
pengelolaan opini publik. Sebab, transformasi nilai dan
wacana adalah bagian prasyarat mutlak dalam
mengupayaan perubahan kehidupan manusia secara
umum dan lebih khusus lagi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik.
Dalam mengupayakan tranformasi nilai dan
menguatkan pengaruhnya terhadap masyarakat, perlu
ada sandaran pendukung yang memadai. Sosialisasi
program dan kebijakan organisasi penting untuk
menetaskan wacana agar tersebar dan berkembang ke
ranah publik. Tanpa adanya sosialisasi, segala potensi,
kekuatan, dan produk apapun dari suatu institusi
ataupun organisasi tidak akan mampu mengalir dan
tertransformasi dengan baik.
Tentang sosialisasi dan pengelolaan opini publik,
membutuhkan sejumlahperangkat. Antara lain
a) Tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang
Pelatihan Kader Dasar | 194
memadai dan berkualitas. Dalam perspektif sosiologis,
gambaran anggota PMII bisa dilihat dari dua hal:
anggota yang secara tradisi, kultur, dan ritualnya
kental dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh
Nahdlatul Ulama dan anggota yang secara tradisi,
kultur, dan ritualnya kurang atau malah sama sekali
tidak bersentuhan dengan nilai yang dikembangkan
oleh Nahdlatul Ulama. Dalam perspektif pendidikan
terbelah menjadi dua hal: anggota PMII yang
pendidikannya berada di lingkungan pesantren
dengan basis keagamaan kuat dan anggota yang
mengenyam pendidikan institusi pembelajaran
umum. Anggota PMII yang dominan adalah disiplin
ilmu sosial. Sedangkan anggota yang memiliki basis
keilmuan eksakta masih minim Dalam konteks ini,
suatu organisasi yang berkeinginan mensosialisasikan
ide dan kebijakannya membutuhkan struktur atau
institusi yang kuat dan sistem yang berjalan baik.
Menafikan semua itu akan berakibat pada mampatnya
sosialisasi dan transformasi ide.
b) Struktur yang kuat. Struktur adalah jaringan tatanan,
hubungan- hubungan yang sifatnya vertikal dan
horizontal. Dalam kerangka berorganisasi, struktur
mutlak diperlukan. Tetapi, struktur itu tidak adalah
berjalan jika tidak ada bangunan sistem yang baik.
Struktur adalah sistem dalam keadaan diam,
sedangkan sistem adalah struktur yang bekerja.
Organisasi tidak akan berjalan tanpa adanya struktur.
Struktur tidak akan bekerja jika tidak ditopang dengan
sistem dan mekanisme yang bergerak dinamis
c) Strategi dan taktik. Strategi dan taktik harus dimiliki
oleh suatu organisasi agar sosialisasi dan transformasi
yang dilakukan bisa mengena pada sasaran. Strategi
adalah cara yang harus dilakukan untuk memobilisasi
kekuatan (forces mobilization). Forces mobilization
Pelatihan Kader Dasar | 195
hanya akan optimal jika memiliki titik fokus. Fokus
akan digunakan untuk core competence. Core
competence digunakan untuk menjadi pemenang
(winner). Strategi lebih dimaknai sebagai kerangka
konsepsional. Sedangkan taktik berkaitan langsung
dengan praksis lapangan.
Dari ketiga hal tersebut, perlu juga
dipertimbangkan tiga aspek penting. Yakni lingkungan
(environment). Desain produk yang dimiliki (pilihan
gerakan) PMII perlu mempertimbangkan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosial di
sekitarnya. Kedua, misi. Misi berkaitan dengan isu atau
masalah yang akan disampaikan. Ketiga, kompetisi.
Kompetisi adalah mekanisme perebutan area gerakan
untuk mempertaruhkan produk-produk atau ide-ide
yang dihasilkan sebuah organisasi. Respon publik atas
ide yang disampaikan akan menentukan seberapa besar
keberhasilan proses transformasi yang dilakukan.

Daftar Rujukan

Sayyid Santoso, Nur. 2016. Hand-Out Diskusi Materi Kaderisasi PMII.


Cilacap: PMII Jaringan Inti Ideologi

Pelatihan Kader Dasar | 196

Anda mungkin juga menyukai