H
DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN DI RSUP DR. SARDJITO
MATA KULIAH KEPERAWATAN DASAR PROFESI
Disusun oleh:
Milenia Ramadhani (P07120521071)
Diajukan oleh :
MILENIA RAMADHANI P07120521071
Mengetahui,
Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,
Sari makanan
Konsumsi obat- Degradasi
diregurgitasi ke
Cairan: larutan yang terdiri Elektrolit: zat kimia obatan: clopidogrel mucus
sfingter pylorus
dari air (pelarut) dan zat bermuatan listrik (ion)
tertentu (zat terlarut) jika berada dalam larutan
Faktor risiko: Riwayat Hancurnya
Mual,
Penyakit Jantung dan kapiler
muntah
Hipertensi dan vena
berperan dalam kecil
memelihara fungsi tubuh Pengeluaran
dan proses homeostasis cairan &
Perdarahan
elektrolit
berlebih
Haswita dan Reni Sulistyowati. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan
dan Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Media.
Kurianto, E., & Arianti. (2018). Status Cairan Pada Pasien Pasca Pembedahan di RS PKU
Muhammadiyah Gamping. INDONESIAN JOURNAL OF NURSING PRACTICES, II(2),
68-76. doi:http://journal.umy.ac.id/index.php/ijnp/article/view/4613.
Mubarak, Wahid & Chayatin, Nurul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi
1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tarwoto & Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Pasien
1) Nama Pasien : Ny. H
2) Tempat Tgl Lahi : 15 September 1949
3) Umur : 72 Th, 1 bl, 1 hr
4) Jenis Kelamin : Perempuan
5) Agama : Islam
6) Pendidikan : SMP
7) Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
8) Suku / Bangsa : Jawa/ Indonesia
9) Alamat : Ngemplak, Sleman
10) Diagnosa Medis : Anemia Life Threatening EC Blood Loss, Perdarahan Saluran
Cerna Bagian Atas
11) No. RM : 01821xxx
12) Tanggal Masuk RS : 14 Agustus 2021
2. Riwayat Kesehatan
a. Kesehatan Pasien
1) Keluhan Utama saat Pengkajian
Pasien mengatakan badan lemes, pucat, mengeluh BAB hitam sejak 4 hari yang lalu, BAK
2-3 kali dalam sehari.
Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Alasan masuk RS:
Sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami BAB hitam, pasien
mengatakan badannya terasa lemah. Mual (+), nyeri ulu hati menjalar sampai ke
tenggorokan dan lidah terasa pahit, makan sekitar 2-10 sendok sejak seminggu yang
lalu, demam (-), sesak (-), batuk (-). Pasien mengatakan badannya juga lemas, pasien
kemudian dibawa ke IGD RSS, ditemukan Hb menurun. Pasien direncanakan mondok.
b) Riwayat Kesehatan Pasien:
Pasien tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien Covid, belum melakukan vaksin
Covid. Pasien mendapatkan terapi rutin Novorapid 17-17-17, terakhir suntik
Novorapid 17 unit sore jam 17:00. Pasien juga mengonsumsi obat rutin Adalat oros
1×30 mg, Irbesartan 1×75 mg, Bisoprolol 1×5 mg, Allopurinol 1×300 mg, HCT 1×25
mg, Simvastatin 1×20 mg, Nitrokaf 1×2,5 mg, CPG 1×75 mg, dan ISDN 5 mg k/p.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
a) Penyakit yang pernah diderita
Pasien memiliki riwayat sakit DM sejak tahun 1997 dengan gula darah tertinggi High
dan gula darah rerata 200-an. Pasien memiliki riwayat Stroke Non Haemorraghic pada
bulan April 2021 dengan gejala sisa kelemahan anggota gerak kiri dengan kelemahan
saat ini tidak memberat. Riwayat sakit jantung (+) CAD post PCI tahun 2014 dan
stroke pada bulan April tahun 2021. Pasien juga memiliki riwayat sakit Jantung dan
riwayat CAD post PCI tahun 2014.
b) Riwayat Hospitalisasi
Pasien pernah dirawat pada bulan April 2021 di Perawatan Unit Stroke RSUP Dr.
Sardjito.
Tn. E Ny. E
Riw. HT dan Jantung Riw. DM
Tn. K Ny. H Tn. D Tn. A Tn. P Tn. A Ny. I Ny. J Ny. M Ny. H
Keterangan :
Laki-laki Tinggal serumah Pasien
Perempuan
Meninggal
Pisah
Pasien mengatakan sebelum sakit BAB lancar 1 kali dalam sehari dengan konsistensi
lembek tidak ada darah dan berwarna kuning, BAK lancar 5 – 6 kali sehari warna kuning
jernih.
2) Setelah sakit
Pasien mengalami BAB hitam sejak 4 hari yang lalu dengan konsistensi lembek disertai
adanya darah dan pasien BAK hanya 2 – 3 kali sehari.
c. Aktivitas/latihan
1) Keadaan aktivitas sehari – hari
Pasien mengatakan saat ini lemas dan ingin berbaring saja di tempat tidur. Sebelumnya,
keadaan aktivitas sehari-hari pasien hanya menghabiskan waktu dengan mendengarkan
radio dan nonton TV, semua aktivitas dibantu oleh keluarga karena masih terdapat sisa
gejala stroke yaitu kelemahan anggota gerak kiri.
2) Keadaan pernafasan
Pasien saat ini terpasang nasal kanul 3 lpm.
3) Keadaan Kardiovaskuler
Pasien mengeluh sedikit sesak dan tidak merasakan nyeri atau rasa berdebar-debar.
(1) Skala ketergantungan
AKTIFITAS KETERANGAN
0 1 2 3 4
Bathing ✓
Toileting ✓
Eating ✓
Moving ✓
Ambulasi ✓
Walking ✓
Keterangan :
0 = Mandiri/ tidak tergantung apapun
1 = dibantu dengan alat
2 = dibantu orang lain
3 = Dibantu alat dan orang lain
4 = Tergantung total
4) Istirahat – tidur
Pasien mengatakan sebelum sakit biasanya tidur pukul 9 malam dan bangun ketika subuh
sekitar 6 – 7 jam perhari. Setelah sakit pasien mengatakan tidurnya sedikit terganggu
karena aktivitas Rumah Sakit.
5) Persepsi, pemeliharaan dan pengetahuan terhadap kesehatan
Pasien dan keluarga cukup mengerti akan penyakit Ny. H dan paham akan pentingnya
kesehatan, sehingga tiap kali ada anggota keluarga yang sakit selalu di bawa ke pelayanan
kesehatan terdekat.
6) Pola Toleransi terhadap stress-koping
Pasien mengatakan selalu bermusyawarah dengan keluarga jika ada masalah, termasuk
keputusan dirawat di rumah sakit.
7) Pola hubungan peran
Pasien mengatakan kalau di rumah sebagai orang tua yang sudah renta, meski d emikian
anak cucu tetap menghormati semua bentuk keputusan pasien.
8) Kognitif dan persepsi
Pasien menganggap sakitnya ini merupakan ujian dari Tuhan sehingga bisa menerima
penyakitnya ini dengan sabar dan terus berupaya untuk berobat ke pelayanan kesehatan.
9) Persepsi diri-Konsep diri
a) Gambaran Diri
Pasien mengatakan mempunyai anggota badan yang lengkap meskipun anggota gerak
badan sebelah kiri mengalami kelemahan akibat stroke pada bulan April 2021 dan
tetap bersyukur karena ini merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa.
b) Harga Diri
Pasien mengatakan tidak malu dengan kondisi dirinya.
c) Peran Diri
Pasien mengatakan kalau di rumah merupakan seorang nenek, dan orang yang
dituakan di rumah.
d) Ideal Diri
Pasien mengatakan ingin cepat sembuh supaya bisa cepat pulang ke rumah.
e) Identitas Diri
Pasien merupakan seorang nenek dan mengetahui bahwa ia berjenis kelamin
perempuan.
10) Reproduksi dan Kesehatan
Pasien mengatakan tidak ada gangguan dengan masalah reproduksinya.
11) Keyakinan dan Nilai
Pasien adalah seorang muslim. Sebelum sakit pasien selalu menjalankan ibadah secara
muslim. Selama sakit pasien tetap menjalankan ibadahnya yaitu berdoa.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
1) Kesadaran: Compos mentis
2) Status Gizi:
− TB= 158 cm
− BB= 56 kg
− IMT= 22,43 kg/m2 (Normal)
3) Tanda Vital:
− TD= 113/69 mmHg
− HR= 98×/menit (teraba lemah)
− Suhu= 36,1°C
− RR= 22×/menit
− SpO2 : 96%
5) Balance Cairan
BC= Intake – (Output + IWL)
BC= (3 gelas air putih+kuah sayur bayam) – (BAK+BAB+IWL)
BC= (3×220+100) – (500+200+560)
BC= -500
Berdasarkan skala nyeri menggunakan visual analog didapatkan nyeri skala 2 dari 10 yang
berarti nyeri ringan.
b. Pemeriksaan Secara Sistematik (Cephalo – Caudal)
1) Kulit
Kulit pasien berwarna kuning, nampak pucat, CRT > 2 detik.
2) Kepala
Bentuk mesocephal, kulit kepala bersih, rambut beruban, pasien tidak mengeluh sakit
kepala atau pusing. Konjungtiva pucat, bibir terlihat kering.
3) Leher
Leher pasien simetris, tidak ada tanda-tanda pembesaran kelenjar getah bening, tidak
tampak vena jugularis. Pasien mengatakan tidak nyeri saat menelan.
4) Dada
a) Inspeksi
Terlihat simetris kiri dan kanan tidak ada bagian dada yang tertinggal pada saat
ekspirasi dan inspirasi, tidak ada jejas pada bagian dada. Klavikula tidak terangkat,
tidak ada penggunaan otot bantu nafas.
b) Palpasi
Tidak terdapat benjolan abnormal. Taktil fremitus teraba di bagian depan dan
belakang.
c) Perkusi
Terdengar bunyi sonor pada bagian paru.
d) Auskultasi
Bunyi vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
5) Payudara
Simetris, tidak ada benjolan.
6) Punggung
Tidak ada kelainan bentuk tulang punggung (lordosis, kifosis, maupun skoliosis).
7) Abdomen
a) Inspeksi
Tidak terlihat benjolan maupun bekas luka.
b) Auskultasi
Bising usus terdengar 15×/menit
c) Perkusi
Terdengar bunyi timpani
d) Palpasi
Tidak teraba massa, tidak ada asites. Terdapat nyeri tekan di bagian ulu hati dengan
skala nyeri 2 dari 10.
8) Anus dan Rectum
Tidak terdapat benjolan, keluarga pasien mengatakan BAB menghitam disertai adanya
darah.
9) Genetalia
Pasien menggunakan pampers dan tidak terpasang DC. Keluarga pasien mengatakan
terpantau volume urin pasien dari jam 07.00-16.00 WIB ±500mL dan BAB pagi hari
±200mL.
10) Ekstremitas
a) Atas: Anggota gerak kiri lemas akibat serangan stroke bulan April lalu. Kekuatan otot
tangan kanan 3 dan tangan kiri 2.
b) Bawah: Anggota gerak bawah sebelah kiri juga lemah. Kekuatan otot kaki kanan 3 dan
kaki kiri 2.
Pengkajian VIP score (Visual Infusion Phlebithis) Skor visual flebitis pada luka tusukan
infus :
Tanda yang ditemukan Skor Rencana Tindakan
Tidak ada tanda flebitis
Tempat suntikan tampak sehat 0
- Observasi kanula
Salah satu dari berikut jelas:
Mungkin tanda dini flebitis
− Nyeri tempat suntikan 1
- Observasi kanula
− Eritema tempat suntikan
Dua dari berikut jelas :
− Nyeri sepanjang kanula Stadium dini flebitis
2
− Eritema - Ganti tempat kanula
− Pembengkakan
Semua dari berikut jelas :
Stadium moderat flebitis
− Nyeri sepanjang kanula
3 − Ganti kanula
− Eritema
− Pikirkan terapi
− Indurasi
Semua dari berikut jelas :
Stadium lanjut atau awal
− Nyeri sepanjang kanula
tromboflebitis
− Eritema 4
− Ganti kanula
− Indurasi
− Pikirkan terapi
− Venous cord teraba
Semua dari berikut jelas :
− Nyeri sepanjang kanula
Stadium lanjut tromboflebitis
− Eritema
5 − Ganti kanula
− Indurasi
− Lakukan terapi
− Venous cord teraba
− Demam
*) Lingkari pada skor yang sesuai tanda yang muncul
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Patologi Klinik
Hasil Pemeriksaan laboratorium tanggal 14 Agustus 2021.
Tanggal
Jenis Pemeriksaan Hasil (satuan) Normal
Pemeriksaan
Hb 5,3 g/dl 14.00-18.00
Al 16.00 ribu/ul 4,5-11,5
AT 361 ribu/ul 150-450
AE 1.81 juta/ul 4,60-6,00
Hmt 16,2 mmol/l 7,4-9,9
MCV 89,5 ft 80.0-94.0
MCH 29,3 pg 26.0-32.0
13 Agustus 2021 Alb 3,74 3,97-4,94
SGOT 21 u/l 0-32
SGPT 14 u/i 0-33
HBsAg NR -
GDS 347 mg/dl 80-140
BUN 63,2 mg/dl 10-50
CREAT 2,44 mg/dl 0,8-1,3
Na 135 mmol/i 136-145
K 3,77 3,5-5,1
Cl 101 98-107
(Sumber Data Sekunder: RM Pasien)
b. Pemeriksaan Radiologi
c. Pemeriksaan EKG
6. Terapi
Pemberian Terapi yang sudah diberikan di IGD.
ANALISA DATA
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Hari,Tgl/ Perencanaan
Diagnosa
Jam Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan
Jumat, Hipovolemi Setelah dilakukan intervensi selama 6 jam, maka Status Manajemen Hipovolemia (SIKI, 2018;
13-08- berhubungan Cairan Membaik, dengan kriteria hasil: I.03116; Hal. 184)
2021/20. dengan kehilangan
cairan aktif Indikator Capaian Observasi
45 WIB Kriteria Hasil Keterangan
Awal Target Akhir - Periksa tanda dan gejala hipovolemia
Kekuatan nadi 3 4 1: Menurun (mis. frekuensi nadi meningkat, nadi
Output urine 2 3 teraba lemah, tekanan darah menurun,
2: Cukup tekanan nadi menyempit, turgor kulit
Menurun menurun, membrane mukosa kering,
3: Sedang
volume urin menurun, hematokrit
Pengisian vena 3 4
meningkat, haus, lemah)
4: Cukup - Monitor intake dan output cairan
Meningkat Terapeutik
- Hitung kebutuhan cairan
5: Meningkat Edukasi
1: Meningkat - Anjurkan memperbanyak asupan
cairan oral
2: Cukup Kolaborasi
Meningkat - Kolaborasi pemberian cairan IV
Perasaan lemah 2 3
isotonis (mis. NaCl, RL)
3: Sedang - Kolaborasi pemberian produk darah
4: Cukup
Menurun
(Milenia Ramadhani)
Jumat, Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi selama 6 jam, maka Toleransi Manajemen Energi (SIKI, 2018; I.05178;
13-08- berhubungan Aktivitas Meningkat, dengan kriteria hasil: Hal. 176)
2021/20. dengan
ketidakseimbangan Indikator Capaian Observasi
45 WIB Kriteria Hasil
Awal Target Akhir
Keterangan
antara suplai dan - Monitor kelelahan fisik dan emosional
kebutuhan oksigen 1: Menurun Terapeutik
- Sediakan lingkungan nyaman dan
2: Cukup rendah stimulus
Menurun Edukasi
Saturasi
3 4
oksigen
3: Sedang
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
4: Cukup - Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
Meningkat cara meningkatkan asupan makanan
5: Meningkat
Keluhan lelah 2 3 1: Meningkat
2: Cukup
Meningkat (Milenia Ramadhani)
Sianosis 3 4 3: Sedang
4: Cukup
Menurun
5: Menurun
1: Memburuk
2: Cukup
Memburuk
Frekuensi
3 3 3: Sedang
napas
4: Cukup
Membaik
5: Membaik
(SLKI,2019; L.05047; Hal. 149)
(Milenia Ramadhani)
Diagnosa
Hari/Tgl Jam Pelaksanaan Evaluasi Paraf
Keperawatan
Hipovolemi Sabtu/14-08-2021 Jam 03.10 WIB
berhubungan dengan Memberikan cairan IV
kehilangan cairan 21.00 isotonis NaCl 0,9% 20 S:
tpm (memasang infus) (Milenia
aktif - Pasien mengatakan badannya masih Ramadhani)
agak lemah
- Keluarga pasien mengatakan tadi pipis
Jumat/13- Menghitung kebutuhan ±400cc terpantau jam 16.00-02.00
22.00
08-2021 cairan - Keluarga pasien mengatakan tidak (Milenia
BAB lagi Ramadhani)
O:
Menganjurkan - Terpasang infus NaCl 500cc 20 tpm di
23.30 memperbanyak asupan tangan kanan, tidak ada tanda-tanda
cairan oral (Milenia
phlebitis Ramadhani)
- Transfusi darah PRC 1 kolf sudah
Memberikan produk
diberikan dan tidak ada tanda-tanda
darah PRC 1 kolf alergi
00.45
(250cc) golongan darah (Milenia
- Kebutuhan cairan pasien: 10 kg I
Sabtu/14- B+ (transfusi darah) Ramadhani)
(1000cc)+10 kg II(500cc)+>10
08-2021 kg(20×sisa BB→20×36)=
Memonitor intake dan 1000cc+500cc+720cc= 2220cc
02.50
output cairan - Pasien muntah berwarna kehijauan (Milenia
±200cc Ramadhani)
(Milenia Ramadhani)
Intoleransi aktivitas Sabtu/14-08-2021 Jam 03.20 WIB
berhubungan dengan Menyediakan
Jumat/13-
ketidakseimbangan 22.30 lingkungan nyaman dan S:
08-2021 (Milenia
antara suplai dan rendah stimulus - Pasien mengatakan sesaknya timbul
kebutuhan oksigen ketika mengubah posisi tidur Ramadhani)
- Pasien mengatakan belum kuat untuk
Memonitor kelelahan bangun
00.00
fisik dan emosional O: (Milenia
- Pasien tampak lemas berbaring di Ramadhani)
tempat tidur
- RR: 20×/menit
- Terpasang oksigen melalui nasal kanul
Sabtu/14- 3 lpm
08-2021 - EKG: Sinus Rhythm, Anterolateral T
wave abnormality is nonspecific
Menganjurkan tirah - SpO2 : 98%
01.00
baring - Konjungtiva anemis (Milenia
A: Masalah belum teratasi Ramadhani)
Indikator Capaian
Standar Luaran
Awal Target Akhir
Saturasi
3 4 4
oksigen
Keluhan lelah 2 3 2
Sianosis 3 4 3
Frekuensi
3 3 3
napas
(Milenia Ramadhani)
BAB III
KESIMPULAN
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada pasien Ny. H dengan
diagnosa medis Anemia Life Threatening EC Blood Loss, Perdarahan
Saluran Cerna Bagian Atas dari tanggal 13 Agustus 2021, saya sebagai
penulis sekaligus pengasuh perawatan memperoleh pengalaman dalam
mengkaji, merencanakan intervensi, implementasi, hingga
mendokumentasikan asuhan keperawatan terkhusus pada pasien Ny. H
dengan diagnosa medis Anemia Life Threatening EC Blood Loss,
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dan diagnosa keperawatan utama
hipovolemia.
1. Pengkajian pasien dengan metode wawancara, observasi, pemeriksaan
fisik, dan studi dokumen. Selama wawancara dan observasi, pasien
didampingi oleh anaknya dalam membantu menjawab pertanyaan
perawat. Tidak ada kendala dalam tahap pengkajian dengan pasien
Ny. H.
2. Diagnosa keperawatan pada pasien Ny. H dengan diagnosa Anemia
Life Threatening EC Blood Loss, Perdarahan Saluran Cerna Bagian
Atas adalah hipovolemia dan intoleransi aktivitas. Perencanaan
keperawatan hingga implementasinya sesuai teori dengan
memperhatikan situasi, kondisi pasien serta sarana dan prasarana di
rumah sakit yang menggunakana pedoman SDKI, SIKI, SLKI.
3. Evaluasi keperawatan dari hasil asuhan keperawatan yang
dilaksanakan selama 6 jam. Dari 2 diagnosa keperawatan yang
ditegakkan dan dilaksanakan implementasinya, belum ada diagnosa
keperawatan yang teratasi sehingga saya selaku penulis dan pemberi
asuhan keperawatan akan menjadikannya pembelajaran untuk
dikembangkan pada kasus-kasus serupa di masa yang akan datang.
ABSTRAK
Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dan elektrolit dengan penyebab multifaktor. Diare merupakan penyebab tersering, dan usia
balita adalah kelompok yang paling rentan mengalami kondisi ini. Derajat dan jenis dehidrasi penting diketahui untuk menentukan strategi
penanganan. Manajemen dehidrasi juga ditujukan untuk mengoreksi status osmolaritas pasien.
Kata kunci: Dehidrasi, diare, isotonik, hipotonik, hipertonik, oral rehydration solution
ABSTRACT
Dehydration is a condition of water and electrolyte deficit with multifactor causes. Diarrhea is common cause, and children below 5 years
old are the most susceptible group. Degree and type of dehydration is important to determine management strategy. Management is also
aimed at correcting osmolarity status. Eri Leksana. Strategy for Rehydration Therapy.
PENDAHULUAN Pada dehidrasi terjadi keseimbangan negatif dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi
Secara definisi, dehidrasi adalah suatu cairan tubuh akibat penurunan asupan volume cairan intravaskuler. Proses dehidrasi
keadaan penurunan total air di dalam tubuh cairan dan meningkatnya jumlah air yang yang berkelanjutan dapat menimbulkan
karena hilangnya cairan secara patologis, keluar (lewat ginjal, saluran cerna atau syok hipovolemia yang akan menyebabkan
asupan air tidak adekuat, atau kombinasi insensible water loss/IWL), atau karena gagal organ dan kematian.
keduanya.1 Dehidrasi terjadi karena pe- adanya perpindahan cairan dalam tubuh.
ngeluaran air lebih banyak daripada jumlah Berkurangnya volume total cairan tubuh DEHIDRASI
yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga menyebabkan penurunan volume cairan Penyebab
disertai dengan hilangnya elektrolit.2 intrasel dan ekstrasel. Manifestasi klinis Mencari penyebab dehidrasi merupakan
hal penting. Asupan cairan yang buruk,
cairan keluar berlebihan, peningkatan
insensible water loss (IWL), atau kombinasi hal
tersebut dapat menjadi penyebab deplesi
volume intravaskuler. Keberhasilan terapi
membutuhkan identifikasi penyakit yang
mendasari kondisi dehidrasi.
Rasa nyeri mulut dan tenggorokan dapat hilang, dan biasanya tidak mengakibatkan akan menyebabkan influks cairan berlebihan
membatasi asupan makanan dan minuman cairan ekstrasel berpindah ke dalam ruang yang dapat menyebabkan pembengkakan
lewat mulut. intraseluler. Kadar. natrium dalam darah dan ruptur sel; edema serebral adalah
• Ketoasidosis diabetes (KAD) pada dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan konsekuensi yang paling fatal. Rehidrasi
KAD disebabkan karena adanya diuresis osmolaritas efektif serum 275-295 mOsm/L. secara perlahan dalam lebih dari 48 jam
osmotik. Berat badan turun akibat ke- dapat meminimalkan risiko ini.
hilangan cairan dan katabolisme jaringan. 2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik).
• Demam Natrium hilang yang lebih banyak dari- Derajat dan Tanda Klinis
Demam dapat meningkatkan IWL dan me- pada air. Penderita dehidrasi hipotonik Berdasarkan persentase kehilangan air dari
nurunkan nafsu makan. ditandai dengan rendahnya kadar natrium total berat badan, derajat/skala dehidrasi
serum (kurang dari 135 mmol/L) dan dapat ringan, sedang, hingga derajat berat
Selain hal di atas, dehidrasi juga dapat osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 (tabel 1).7
dicetuskan oleh kondisi heat stroke, mOsml/L). Karena kadar natrium rendah,
tirotoksikosis, obstruksi saluran cerna, fibrosis cairan intravaskuler berpindah ke ruang Derajat dehidrasi berbeda antara usia bayi
sistik, diabetes insipidus, dan luka bakar. ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi cairan dan anak jika dibandingkan usia dewasa.
intravaskuler. Hiponatremia berat dapat Bayi dan anak (terutama balita) lebih rentan
Tipe Dehidrasi memicu kejang hebat; sedangkan koreksi mengalami dehidrasi karena komposisi air
Kehilangan cairan tubuh biasanya disertai cepat hiponatremia kronik (2 mEq/L/jam) tubuh lebih banyak, fungsi ginjal belum
gangguan keseimbangan elektrolit. Dehidrasi terkait dengan kejadian mielinolisis pontin sempurna dan masih bergantung pada
dapat dikategorikan berdasarkan osmolaritas sentral. orang lain untuk memenuhi kebutuhan
dan derajat keparahannya. Kadar natrium cairan tubuhnya, selain itu penurunan berat
serum merupakan penanda osmolaritas 3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik). badan juga relatif lebih besar. Pada anak
yang baik selama kadar gula darah normal. Hilangnya air lebih banyak daripada natrium. yang lebih tua, tanda dehidrasi lebih cepat
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan terlihat dibandingkan bayi karena kadar
Berdasarkan perbandingan jumlah natrium tingginya kadar natrium serum (lebih dari cairan ekstrasel lebih rendah.
dengan jumlah air yang hilang, dehidrasi 145 mmol/L) dan peningkatan osmolalitas
dibedakan menjadi tiga tipe yaitu dehidrasi efektif serum (lebih dari 295 mOsm/L). Menentukan derajat dehidrasi pada anak
isotonik, dehidrasi hipertonik, dan dehidrasi Karena kadar natrium serum tinggi, terjadi juga dapat menggunakan skor WHO, dengan
hipotonik.5 Variasi kadar natrium men- pergeseran air dari ruang ekstravaskuler ke penilaian keadaan umum, kondisi mata,
cerminkan jumlah cairan yang hilang dan ruang intravaskuler. Untuk mengkompensasi, mulut dan turgor (tabel 2).8
memiliki efek patofisiologi berbeda. sel akan merangsang partikel aktif (idiogenik
osmol) yang akan menarik air kembali ke Derajat dehidrasi berdampak pada tanda
1. Dehidrasi isotonik (isonatremik). Tipe sel dan mempertahankan volume cairan klinis. Makin berat dehidrasi, gangguan
ini merupakan yang paling sering (80%). dalam sel. Saat terjadi rehidrasi cepat hemodinamik makin nyata. Produksi urin
Pada dehidrasi isotonik kehilangan air untuk mengoreksi kondisi hipernatremia, dan kesadaran dapat menjadi tolok ukur
sebanding dengan jumlah natrium yang peningkatan aktivitas osmotik sel tersebut penilaian klinis dehidrasi (tabel 3).9
PENATALAKSANAAN4,10
Secara sederhana prinsip penatalaksanaan
dehidrasi adalah mengganti cairan yang
hilang dan mengembalikan keseimbangan
elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Selain per-
timbangan derajat dehidrasi, penanganan
juga ditujukan untuk mengoreksi status
osmolaritas pasien.
Tabel 1 Derajat dehidrasi berdasarkan persentase kehilangan air dari berat badan mEq/L, kalium 20-25 mEq/L, dan osmolalitas
200-310 mOsm/L.
Derajat dehidrasi Dewasa Bayi dan Anak
Penanganan kondisi ini dibagi menjadi 2 Dehidrasi Isotonik direkomendasikan untuk menghindari risiko
tahap: Pada kondisi isonatremia, defisit natrium ini.
Tahap Pertama berfokus untuk secara umum dapat dikoreksi dengan
mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu mengganti defisit cairan ditambah dengan Dehidrasi Hipertonik
syok hipovolemia yang membutuhkan cairan pemeliharaan dextrose 5% dalam Pada tahap awal diberikan cairan peng-
penanganan cepat. Pada tahap ini dapat NaCl 0,45-0,9%. Kalium (20 mEq/L kalium ganti intravaskuler NaCl 0,9% 20 mL/
diberikan cairan kristaloid isotonik, seperti klorida) dapat ditambahkan ke dalam cairan kgBB atau RL sampai perfusi jaringan
ringer lactate (RL) atau NaCl 0,9% sebesar pemeliharaan saat produksi urin membaik tercapai. Pada tahap kedua, tujuan utama
20 mL/kgBB. Perbaikan cairan intravaskuler dan kadar kalium serum berada dalam adalah memulihkan volume intravaskuler
dapat dilihat dari perbaikan takikardi, denyut rentang aman. dan mengembalikan kadar natrium serum
nadi, produksi urin, dan status mental pasien. sesuai rekomendasi, akan tetapi jangan
Apabila perbaikan belum terjadi setelah Dehidrasi Hipotonik melebihi 10 mEg/L/24 jam. Koreksi dehidrasi
cairan diberikan dengan kecepatan hingga Pada tahap awal diberikan cairan peng- hipernatremia terlalu cepat dapat memiliki
60 mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus ganti intravaskuler NaCl 0,9% atau RL 20 mL/ konsekuensi neurologis, termasuk edema
dipikirkan (misalnya anafilaksis, sepsis, syok kgBB sampai perfusi jaringan tercapai. Pada serebral dan kematian. Pemberian cairan
kardiogenik). Pengawasan hemodinamik hiponatremia derajat berat (<130 mEq/L) harus secara perlahan dalam lebih dari 48
dan golongan inotropik dapat diindikasikan. harus dipertimbangkan penambahan jam menggunakan dextrose 5% dalam NaCl
natrium dalam cairan rehidrasi. 0,9%. Apabila pemberian telah diturunkan
Tahap Kedua berfokus pada mengatasi hingga kurang dari 0,5 mEq/L/jam, jumlah
defisit, pemberian cairan pemeliharaan dan Koreksi defisit natrium melalui perhitungan natrium dalam cairan rehidrasi juga dikurangi,
penggantian kehilangan yang masih ber- = (Target natrium - jumlah natrium saat sehingga koreksi hipernatremia dapat ber-
langsung. Kebutuhan cairan pemeliharaan tersebut) x volume distribusi x berat badan langsung secara perlahan.
diukur dari jumlah kehilangan cairan (urin, (kg).
tinja) ditambah IWL. Jumlah IWL adalah SIMPULAN
antara 400-500 mL/m2 luas permukaan Cara yang cukup mudah adalah memberi- Penatalaksanaan dehidrasi ditujukan untuk
tubuh dan dapat meningkat pada kondisi kan dextrose 5% dalam NaCl 0,9% sebagai mengatasi defisit cairan dan mengembali-
demam dan takipnea. Secara kasar kebutuhan cairan pengganti. Kadar natrium harus kan keseimbangan elektrolit. Terapi cairan
cairan berdasarkan berat badan adalah: dipantau dan jumlahnya dalam cairan di- parenteral menjadi pilihan pada saat asupan
• Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB sesuaikan untuk mempertahankan proses cairan melalui ORS tidak cukup atau tidak
• Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/ koreksi perlahan (<0,5 mEq/L/jam). Koreksi memungkinkan. Pada tahap awal diberikan
kgBB untuk setiap kilogram berat badan di kondisi hiponatremia secara cepat sebaik- cairan pengganti intravaskuler sampai
atas 10 kg nya dihindari untuk mencegah mielinolisis tercapai perfusi jaringan. Target selanjutnya
• Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/ pontin (kerusakan selubung mielin), sebaliknya adalah memulihkan volume intravaskuler
kgBB untuk setiap kilogram berat badan di koreksi cepat secara parsial menggunakan dan mengembalikan kadar natrium serum
atas 20 kg larutan NaCl hipertonik (3%; 0,5 mEq/L) sesuai rekomendasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mentes JC, Kang S. Hydration management. J Gerontol Nurs. 2013;39(2):11-9.
2. Thomas DR, Cote TR, Lawhorne L, Levenson S, Rubenstein LZ, Smith DA. Understanding clinical dehydration and its treatment. J Am Med Dir Assoc. 2008;9:292-301.
3. Water and hydration: Physiological basis in adults [Internet]. Available from: http://www.h4hinitiative.com/h4h-academy/hydration-lab/water-and-hydration-physiological-basis-adults/
body-water-balance.
4. Huang LH, Anchala KR, Ellsbury DL, George CS. Dehydration [Internet]. 2014 Sept 25. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/906999.
5. Modric J. Dehydration types: Pathophysiology, lab test and values. eHealthstar [Internet]. 2013 July 31. Available from: http://www.ehealthstar.com/dehydration/types-pathophysiology.
6. Hassan A. Disorders of water-electrolytes metabolism [Internet]. 2013 April 29. Available from: http://servingnature.blogspot.com/2013_04_01_archive.html.
7. Degrees of dehydration [Internet]. Available from: http://immunopaedia.org.za/fileadmin/new_all/case_studies/pdfs/degrees%20of%20dehydration.pdf.
8. Pringle K, Shah SP, Umulisa I, Munyaneza RBM, Dushimiyimana JM, Stegmann K, et al. Comparing the accuracy of the three popular clinical dehydration scales in children with diarrhea.
Int J Emerg Med. 2011;4:58.
9. Hostetter MA. Gastroenteritis: An evidence-based aproach to typical vomiting, diarrhea and dehydration. Pediatr Emerg Med Prac. 2004;1(5).
10. Yu C, Lougee D, Murno JR. Diarrhea and dehydration [Internet]. Available from: http://www.aap.org/en-us/advocacy-and-policy/aap-health-initiatives/children-and-disasters/Documents/
MANUAL-06-internacional-2011.pdf.
11. Clinical management of acute diarrhea. WHO/UNICEF Joint Statement 2004.
12. Bellemare S, Hartling L, Wiebe N, Russel K, Craig WR, McConnell D, et al. Oral rehydration versus intravenous therapy for treating dehydration due to gastroenteritis in children: A meta-
analysis of randomised controlled trials. BMC Med. 2004;2:11.
Iddo Posangi
Abstract: Trauma can be defined as a physical harm or damage to the structure or function of
the body, caused by an acute exchange of mechanical, chemical, thermal, radioactive, or
biological energy that exceeds the body’s tolerance. The commonly used resuscitation fluids
are Ringer’s Lactate solution, normal saline, colloids, hypertonic saline, and blood products
(packed red blood cells, fresh frozen plasma, or platelets). Fluid resuscitation strategy consists
of early resuscitation and late resuscitation. The management of perioperative fluid therapy in
traumatized cases requires a comprehensive understanding regarding the pathophysiology of
shock, the consequences of fluid therapy in ongoing bleeding, and the ability to apply the
evidence-based studies on each individual with different clinical status.
Key words: trauma, fluid resuscitation, shock
Abstrak: Trauma dapat didefinisikansebagai cedera atau kerusakan fisik dari struktur atau
fungsi tubuh yang disebabkan oleh perubahan energi akut(mekanis, kimiawi, radioaktif,
biologik) yang melampaui toleransi tubuh. Cairan resusitasi yang umunya digunakan pada
kasus trauma ialah larutan Ringer laktat, NaCl fisiologis, koloid, NaCl hipertonik dan produk
darah (packed red blood cells, plasma beku atau trombosit). Strategi resusitasi cairan terdiri
dari resusitasi fase awal dan fase akhir. Penatalaksanaan terapi cairan perioperatif pada kasus
trauma memerlukam pemahaman yang menyeluruh mengenai patofisiologi syok, efek terapi
cairan pada saat perdarahan aktif, dan kemampuan untuk menerapkan bukti ilmiah pada
masing-masing individu dengan keadaan klinis yang berbeda.
Kata kunci: trauma, resusitasi cairan, syok
Trauma adalah cedera atau kerusakan fisik meningkat seiring dengan meningkatnya
dari struktur atau fungsi tubuh yang dise- jumlah produk industrialisasi mobil. Untuk
babkan oleh perubahan energi (mekanis, itu WHO mencetuskan kampanye global
kimiawi, radioaktif, dan biologik) yang tentang pencegahan dan kesadaran guna
mendadak yang melampaui toleransi tu- menurunkan angka trauma akibat kecelaka-
buh.1 Trauma merupakan masalah kesehat- an. Pada anak, kecelakaan lalu lintas meru-
an masyarakat di seluruh dunia dan meru- pakan penyebab utama trauma dan kema-
pakan penyebab morbiditas dan mortalitas tian sedangkan kasus tenggelam sebesar
pada usia muda, terlebih khusus pada nega- 10-27% yang kemudian menjadi 4% pada
ra industri. Menurut WHO terdapat 5,8 juta usia di atas15 tahun. Pada pasien berusia di
kasus fatal akibat trauma pada tahun 2000 atas 80 tahun, jatuh merupakan penyebab
sehingga trauma tergolong sebagai penye- utama terjadinya kematian pada kasus
bab kematian terbanyak ke-7 di dunia. Di trauma.2
Amerika Serikat trauma merupakan penye- Trauma dikategorikan berdasarkan tiga
bab kematian terbanyak.2 Trauma yang gambaran utama: 1) mekanisme cedera, 2)
menyebabkan kematian dan kecacatan ini kekuatan biomedik yang menyebabkan
5
6 Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 5-12
cedera, 3) cedera yang disengaja atau tidak. sebagai cairan Hartmann). Ringer Laktat
Mekanisme trauma meliputi antara lain (RL) merupakan cairan resusitasi utama
trauma mekanik, listrik, radiasi, dan ledak- yang digunakan di pusat trauma di Amerika
an. Untuk setiap mekanisme tersebut terda- dan Kanada.Komposisi RL dibuat menye-
pat agen yang menyebabkan cedera. Cedera rupai plasma, dan laktat ditambahkan se-
mekanik dapat terjadi karena trauma tum- bagai buffer. Metabolisme intrahepatik
pul atau trauma tembus. Contoh trauma akan mengubah laktat menjadi bikarbonat
tumpul antara lain kecelakaan lalu lintas, melalui proses glukoneogenesis dengan ter-
baik tabrakan antar mobil maupun tabrakan jadi peningkatan glukosa plasma sebanyak
mobil dengam pejalan kaki. Trauma tem- 50-100 mg/dL pada setiap liter. Pada resu-
bus dapat disebabkan oleh pisau, luka tem- sitasi cairan yang dikarenakan perdarahan,
bak, benda tajam maupun serpihan ledakan kebanyakan pasien trauma akan mengalami
bom. Trauma panas dapat disebabkan oleh asidosis laktat. RL merupakan pilihan per-
api, uap maupun zat kimiawi. Trauma list- tama untuk resusitasi sedangkan normal
rik dapat disebabkan oleh arus langsung saline (NS) merupakan pilihan kedua. Wa-
maupun sambaran petir. Trauma ledakan laupun NS merupakan pengganti volumee
dapat berhubungan dengan ledakan Indus- yang memuaskan pada pasien trauma na-
tri, bom, maupun kegiatan teroris. Trauma mun NS berpotensi menyebabkan asidosis
radiasi dapat disebabkan kesalahan pada hiperkloremik.3
penelitian, nuklir, maupun kegiatan teroris.2 Penelitian tentang perdarahan dan re-
susitasi pada tikus oleh Healey et al, me-
nunjukkan bahwa NS dan RL mempunyai
PILIHAN CAIRAN RESUSITASI efek yang sama pada perdarahan 36%
Cairan kristaloid isotonik merupakan estimated blood volumee (EBV), namun
cairan awal yang digunakan pada keba- pada keadaan perdarahan dua kali EBV ter-
nyakan pasien trauma. Keuntungan cairan jadi peningkatan angka asidosis secara ber-
ini yaitu murah, siap tersedia, tidak alergik, makna dengan angka mortalitas meningkat
tidak infeksius, dan efektif untuk mengem- 50% pada kelompok NS dibandingkan
balikan cairan tubuh. Cairan kristaloid rela- kelompok RL. Hasil ini hampir sama de-
tif mudah penyimpanannya, mudah ber- ngan penelitian Coran et al, yang mem-
campur dengan obat-obatan intravena dan bandingkan RL dan NS pada anjing. Sejak
dapat cepat dihangatkan. Kekurangan cair- saat itu diketahui bahwa penggunaan NS
an kristaloid yaitu rendahnya kemampuan dengan jumlah yang banyak dapat me-
mengantarkan oksigen, rendahnya kemam- nyebabkan asidosis hiperkloremik. RL me-
puan koagulasi, dan keterbatasan half-life ngandung 28 mmol/L laktat dalam cam-
di intravaskuler.3 puran L-laktat dan D-laktat 50:50. L-laktat
dimetabolisme di hepar dan ginjal menjadi
piruvat kemudian menjadi HCO3- + CO2 +
Ringer Laktat
H2O, atau HCO3- + glukosa, untuk cadang-
Sydney Ringer (1882) menghasilkan an buffer. D-laktat tidak dapat dimetabolis-
cairan garam fisiologik seimbang yang me sehingga diperkirakan menjadi pe-
ditelitinya pada jantung katak. Seorang nyebab terjadinya asidosis. Beberapa penu-
dokter spesialis anak, Alexis Hartmann lis menyarankan untuk menghindari peng-
(1930-an) mendapat kesulitan mengobati gunaan RL pada kasus dengan peningkatan
penderita kolera yang asidosis karena pada laktat. Telah dibuktikan bahwa penggunaan
saat melakukan sterilisasi larutan garam de- cairan RL untuk resusitasi berpotensi me-
ngan bikarbonat yang diramunya meng- nyebabkan terjadinya aktivasi leukosit poli-
alami kehilangan CO2. Kemudian Hartmann morfonuklear sehingga dapat mencederai
mencampur Na-laktat (Na-C3H5O3) ke da- paru-paru.Walaupun resusitasi mengguna-
lam larutan Ringer, maka “lahirlah” cairan kan RL memperbaiki parameter hemodina-
Ringer laktat (di Inggris masih disebut mik setelah syok hemoragik, namun RL
Posangi, Penatalaksanaan Cairan Perioperatif pada Kasus Trauma 7
dapat memengaruhi sistem imun dengan vaskuler lebih sedikit. Para pemberi kris-
cara mengubah fungsi leukosit. Harus di- taloid pada umumnya menganjurkan hu-
ingat bahwa RL bukan cairan isotonik na- kum 3:1 karena hanya sepertiga cairan kris-
mun sedikit hipotonik (273 mOsmol/l), taloid yang bertahan di dalam intravas-
sehingga ahli bedah saraf lebih menyukai kuler.5 Suatu meta-analisis membandingkan
NS daripada RL.4 kristaloid dan koloid pada tahun 1989
menyimpulkan bahwa pasien trauma se-
NaCl fisiologis baiknya diresusitasi dengan menggunakan
NaCl fisiologis merupakan cairan kris- cairan kristaloid sedangkan pasien pembe-
taloid sedikit hipertonik dengan komposisi dahan elektif nontrauma dan nonseptik di-
natrium dan klorida yang lebih tinggi dari resusitasi dengan koloid. Meta-analisis
plasma. Cairan ini tidak mengandung kal- lanjutan oleh Choi et al, menunjukkan bah-
sium sehingga digunakan untuk dilusi wa tidak terdapat perbedaan bermakna
produk transfusi darah, supaya tidak timbul dalam halterjadinya edema paru, mortalitas,
kemungkinan terjadinya gangguan dengan lama inap pasien antara resusitasi meng-
antikoagulan sitrat. Resusitasi mengguna- gunakan cairan kristaloid dengan koloid
kan cairan ini dalam jumlah yang banyak pada populasi umum, namunangka mor-
akan menimbulkan asidosis metabolik hi- talitas lebih rendah pada pasien dengan
perkloremik. Cairan ini lebih jarang digu- pemberian kristaloid. Secara Cochrane Re-
nakan pada resusitasi syok perdarahan. view dalam Randomized Controlled Trials
Penelitian terhadap hewan menunjukkan (RCT) tidak membuktikan bahwa resusitasi
bahwa angka mortalitas lebih tinggi pada menggunakan koloid menurunkan risiko
penggunaan NS jika dibandingkan dengan kematian dibandingkan dengan resusitasi
RL.3 menggunakan kristaloid pada pasien trau-
ma atau luka bakar. Kesimpulan sementara
Koloid yaitu bahwa pro dan kontra terhadap cairan
kristaloid dan koloid sampai saat ini masih
Cairan koloid sejak lama telah dikenal terus berlangsung dan penelitian tentang
untuk mengisi volume plasma dengan ce- kristaloid dan koloid masih harus dilan-
pat. Seperti halnya kristaloid, koloid siap jutkan.3,6
tersedia, mudah disimpan dan digunakan.
Koloid bekerja meningkatkan volume intra-
vaskuler dengan cara menarik cairan bebas Hypertonic saline
kembali ke intravaskuler. Jika akses intra- Cairan hypertonic saline (HS), tanpa
vena terbatas, resusitasi koloid akan me- atau dengan tambahan polimer dextran (HS
ngembalikan volume intravaskuler lebih atau HSD) telah banyak diteliti pada re-
cepat daripada kristaloid. Sama seperti kris- susitasi syok perdarahan. Campuran 6%
taloid, koloid tidak memfasilitasi transpor dekstran 70 dengan HS 7,5% telah disetujui
oksigen maupun pembekuan darah, sehing- di beberapa negara Eropa sebagai cairan
ga efek dilusinya serupa dengan kristaloid. resusitasi untuk jumlah kecil (4 ml/kg,
Jenis koloid yang sering digunakan yaitu biasanya 20 ml/kg). Berbagai studi yang di-
albumin, gelatin, starch, dekstran, dan plas- lakukan pada hewan dengan perdarahan
ma.4 letal menunjukkan peningkatan angka ha-
rapan hidup jika menggunakan HSD diban-
Kristaloid versus koloid dingkan dengan HS. Studi tentang peng-
Sampai saat ini belum terdapat bukti gunaan HSD pada pasien trauma umumnya
yang menunjukkan cairan mana lebih baik bersifat suportif. Keuntungan dari peng-
untuk penggantian volume cairan intravas- gunaan HS pada pasien trauma multipel
kuler. Cairan koloid akan bertahan lebih la- dengan traumatic brain injury (TBI) me-
ma di intravaskuler sehingga jumlah yang nunjukkan perbaikan status neurologik. HS
diperlukan untuk mengisi volume intra- dan HSD terbukti dapat menurunkan
8 Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 5-12
aktivitas netrofil sesudah resusitasi. Menu- menetap walaupun telah dilakukan resu-
rut Coimbra et al, resusitasi menggunakan sitasi cairan dengan volume yang adekuat.
HS dapat menurunkan kemungkinan ter- Kadar ion kalsium sebaiknya diperiksa dan
jadinya sepsis pada syok hemoragik.6 kalsium intravena sebaiknya diberikan jika
diperlukan. American Society of Anes-
Produk darah thesiologists (ASA) merekomendasikan
transfusi PRBC pada kadar hemoglobin
Ketersediaan produk darah merupakan
kurang dari 6 g/dL dan tidak merekomen-
hal yang penting. Berkurangnya kemam-
dasikan transfusi di atas 10 g/dL. Pem-
puan mengangkut oksigen akan memper-
berian transfusi pada kadar hemoglobin 6-
sulit manajemen syok hemoragik sehingga
10 g/dL didasarkan pada pendekatan in-
menyebabkan iskemia jaringan walaupun
dividual, dengan mempertimbangkan ada-
dengan cardiac output yang tinggi. Perlu
nya iskemi organ, kecepatan dan jumlah
diingat bahwa hemodilusi harus dihindari
perdarahan, status volume intravaskuler,
pada awal terjadinya syok hemoragik, baik
dan risiko jika terjadi oksigenasi yang tidak
untuk cadangan hematokrit maupun untuk
adekuat. Sebagai contoh: pada pasien de-
hemostasis.
ngan cadangan kardiopulmoner yang ren-
dah dan konsumsi oksigen tinggi.6
Packed red blood cells (PRBC)
PRBC golongan darah O Rh(-) tanpa Plasma
crossmatch harus selalu tersedia di pusat
trauma manapun sebab dapat langsung di- Terapi plasma diindikasikan pada pa-
berikan. PRBC jenis ini harus segera di- sien yang telah menjalani transfusi PRBC
berikan pada pasien dengan syok akibat pada fase akut sebanyak enam kantong.6
perdarahan yang sedang berlangsung. Se- Plasma seharusnya diberikan lebih awal pa-
lanjutnya darah yang telah menjalani proses da pasien dengan traumabermakna dan
crossmatch harus segera diberikan. Satu adanya perdarahan aktif. Cryoprecipitate
kantong PRBC rata-rata akan meningkat- atau preparat faktor koagulasi lainnya
kan hematokrit sebanyak 3% atau hemo- jarang diperlukan kecuali ditemukan ada-
globin sebesar 1 g/dL pada pasien dengan nya defisiensi kongenital. Bukti terakhir
berat badan 70 kg tanpaperdarahan.Risiko dari perang di Iraq menyebutkan bahwa
pemberian PRBC yaitu reaksi transfusi, whole blood lebih superior daripada terapi
transmisi infeksi dan hipotermi. PRBC komponen darah. Jika whole blood tidak
disimpan pada suhu 40C sehingga akan tersedia, fresh frozen plasma (FFP): PRBC
menurunkan suhu pasien dengan cepat jika dengan rasio 1:1 atau 1:2 terbukti dapat
tidak dimasukkan melalui penghangat atau meningkatkan volumee intravaskuler dan
dicampur dengan kristaloid isotonik. Men- memperbaiki faktor koagulasi yang hilang
campur darah dengan kristaloid juga akan akibat transfusi kristaloid yang masif.6
mengurangi viskositas PRBC sehingga bisa
lebih mudah masuk intravena. Transfusi Platelet
cepat PRBC berisiko terjadi intoksikasi Jumlah platelet tetap adekuat selama
sitrat pada resepien. PRBC dikemas dengan proses perdarahan pasien trauma jika di-
sitrat untuk berikatan dengan kalsium bebas bandingkan dengan hematokrit atau para-
sehingga menghambat kaskade pembekuan meter koagulasi lainnya, namun transfusi
darah. Transfusi PRBC dalam jumlah ba- platelet diindikasikan jika terjadi perda-
nyak dengan cepat menyebabkan tubuh rahan akut lebih dari 1,5 kali volumee
tidak mampu untuk menyediakan kalsium darah pasien. Transfusi platelet diberikan
bebas, sehingga terjadi penurunan kalsium pada pasien dengan perdarahan masif dan
bebas dalam darah. Hipokalsemia yang ti- pada pasien yang secara klinis mengalami
dak diketahui penyebabnya merupakan koagulopati dengan kadar platelet yang
penyebab lazim terjadinya hipotensi rendah (50.000). Platelet tidak boleh diberi-
Posangi, Penatalaksanaan Cairan Perioperatif pada Kasus Trauma 9
kan melalui filter karena dapat mengurangi iskemia akibat vasokonstriksi dan hipo-
kuantitas yang sampai ke jaringan.6 perfusi yang lama.7
Risiko yang dapat terjadi sehubungan
STRATEGI RESUSITASI CAIRAN dengan penggantian cairan volumee yang
agresif pada resusitasi awal: peningkatan
Terapi cairan merupakan kunci dari tekanan darah, penurunan viskositas darah,
resusitasi. Pada pasien trauma umumnya penurunan hematokrit, penurunan konsen-
terjadi perubahan berupa berkurangnya trasi faktor-faktor pembekuan, kebutuhan
aliran darah sirkulasi akibat perdarahan transfusi lebih besar, gangguan keseim-
internal maupun eksternal. Pemahaman bangan elektrolit, supresi imun langsung,
bahwa saat terjadi perdarahan butuh peng- reperfusipremature, dan peningkatan risiko
gantian cairan sudah jelas: tubuh kehilang- hipotermia.7
an cairan sehingga cairan tersebut harus Teknik hipotensi pada pembedahan
diganti.6,7 Dikenal duafase resusitasi: (1)
merupakan teknik yang sudah lazim digu-
resusitasi fase awal, saat perdarahan masih
nakan pada operasi elektif seperti operasi
berlangsung; (2) resusitasi fase akhir, saat
penggantian sendi, fusi spinal, diseksi leher
perdarahan telah dikontrol. Pemberian cair-
radikal, pembedahan rekonstruksi wajah
an intra vena diperkirakan akan meningkat-
dan sebagainya. Penggunaan teknik ini pa-
kan curah jantung dan tekanan darah pada
da penanganan kasus dengan perdarahan
pasien hipovolemik yang mengalami trau-
masih merupakan perdebatan. Perbedaan
ma. Kurikulum ATLS (Advanced Trauma
Life Support) menyarankan pemberian klinis antara pasien yang menjalani pem-
cairan infus isotonik kristaloid sampai 2 bedahan elektif dan pembedahan pasien
liter pada pasien hipotensi dengan tujuan darurat akibat trauma dengan teknik hipo-
menormalkan tekanan darah. Keefektifan tensi dapat dilihat pada Tabel 2.
teknik ini dipertanyakan, mengingat bahwa Tahun 1965, Shaftan et al, memban-
pemberian cairan agresif dianalogikan de- dingkan jumlah darah yang hilang akibat
ngan menumpahkan air ke dalam ember trauma arteri pada anjing. Hasilnya menun-
yang bocor, di mana semakin besar tekanan jukkan bahwa jumlah darah yang hilang le-
yang ada pada ember, semakin banyak air bih sedikit pada hewan yang dibuat hipo-
yang hilang. Selain hal itu, penggunaan tensi dibandingkan dengan hewan yang
cairan yang tidak mengandung eritrosit, mendapat infus agresif.7 Pembatasan cairan
trombosit, maupun faktor koagulasi akan intravaskuler dan tekanan darah pada he-
menyebabkan hemodilusi, bahkan lebih wan yang mengalami perdarahan lebih
dari keadaan hemodilusi yang disebabkan menguntungkan. Burriset al menggunakan
oleh perdarahan itu sendiri. Resusitasi yang teknik resusitasi dengan cairan kombinasi
kurang mengakibatkan perdarahan yang HS dan dekstran menyimpulkan bahwa
lebih sedikit, namun lebih berisiko terjadi angka ketahanan hidup paling baik pada
Tabel 2. Perbedaan klinis antara pembedahan pasien elektif dan pembedahan pasien darurat akibat
trauma dengan teknik hipotensi.7
Aspek Elektif Trauma
Volumee intravaskuler Euvolemik Hipovolemik
Suhu Normal Cenderung hipotermi
Kapiler Dilatasi Konstriksi
Stadium anestesi Dalam Biasanya dangkal
Status mental Normal Mungkin terganggu
Trauma penyerta Tidak ada Mungkin bermakna
Penyakit medik lain Diketahui dan ditangani Tidak diketahui
10 Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 5-12
kelompok yang diresusitasi dengan tekanan operasi pada kedua kelompok ini tidak
darah arterial rerata yang lebih rendah dari berbeda, sehingga peneliti menjadikan
normal. bukti bahwa kelompok yang resusitasinya
Konsensus panel tahun 1994 menya- ditunda mengalami hemostasis spontan.
takan bahwa hewan mamalia mampu ber- Angka ketahanan hidup dan angka kepu-
tahan hidup pada tekanan darah arterial langan dari rumah sakit pada kelompok
rerata serendah 40 mmHg selama 2 jam pasien yang ditunda resusitasinya secara
tanpa mengalami efek yang dapat mengan- bermakna lebih baik dari kelompok re-
cam nyawa. Simpulan dari konsensus ter- susitasi standar (70% versus 62% dengan
sebut yaitu angka hemostasis spontan dan P=0,04).8
ketahanan hidup lebih tinggi terjadi pada Pada tahun 2002 dilakukan studi
kelompok yang pemberian cairan resustasi- prospektif kedua mengenai resusitasi pada
nya lebih sedikit saat perdarahan aktif; pasien trauma.9 Pasien perdarahan dengan
targetnya yaitu mencapai perfusi sedikit di tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm
atas ambang batas terjadinya iskemia.8 Hg dibagi dalam dua kelompok, kelompok
Penelitian prospektif pertama meng- pertama dilakukan resusitasi hingga
gunakan teknik resusitasi hipotensi pada tekanan darah sistolik mencapai 100 mm
trauma torso ditunjukkan di bawah ini. Pa- Hg (grup normal) dan kelompok kedua
sien dibagi dalam dua kelompok, kelompok dilakukan resusitasi hingga tekanan darah
pertama yaitu pasien yang mendapatkan sistolik mencapai 70 mm Hg (grup studi).
resusitasi standar (infus 2 L kristaloid) dan Hasil dari penelitian ini dapat dilihat pada
kelompok kedua yaitu pasien yang re- Tabel 3.
susitasinya ditunda (tidak diberikan cairan Temuan pada penelitian ini serupa de-
infus sampai pasien masuk kamar operasi). ngan temuan penelitian sebelumnya yang
Studi yang berlangsung selama 37 bulan ini menyimpulkan bahwa hipotensi menyebab-
mencakup 598 pasien. Waktu transpor dan kan terjadinya auto resusitasi dan ber-
penanganan rata-rata dari tempat kejadian hentinya perdarahan. Tekanan darah akan
sampai ke unit gawat darurat yaitu 30 me- kembali naik tanpa pemberian cairan infus
nit, dan 50 menit sampai ke kamar operasi. jika hemostasis telah tercapai. Dalam 24
Kelompok yang resusitasinya ditunda rata- jam pertama, laktat dan base deficit pada
rata mendapatkan cairan infus sejumlah kedua kelompok kembali normal, dan di-
800 ml sedangkan kelompok yang men- butuhkan jumlah cairan infus dan produk
dapatkan resusitasi standar rata-rata men- darah yang relatif sama, sehingga disim-
dapatkan cairan infus kristaloid sejumlah pulkan bahwa target akhir resusitasi yang
2500 ml dan transfusi darah sejumlah 130 dicapai kedua kelompok ialah ekuivalen.
cc. Tekanan darah saat tiba di kamar Pada penelitian ini disimpulkan bahwa
Tabel 3. Hasil Penelitian Dutton et al (2002). Perbandingan Perbedaan Perlakuan Resusitasi Pada
Pasien Trauma dengan Pencapaian Tekanan Sistolik100 mm Hg dan 70 mm Hg.9
Konvensional Hipotensi Total
Jumlah Pasien 55 55 110
Lelaki 46 41 87
Trauma tumpul 22 31 53
Trauma tembus 33 24 57
Skor trauma 19,65 23,62 (P= 0.11)
Prediksi bertahan 0,94 0,90 (P= 0.19)
Tekanan darah sistolik saat studi
Bertahan hidup sampai pulang 114 100 (P < 0.001)
4 4
Posangi, Penatalaksanaan Cairan Perioperatif pada Kasus Trauma 11
pemberian cairan infus pada pasien dengan pasien trauma memerlukan pemahaman
perdarahan aktif harus dititrasi untuk men- yang menyeluruh mengenai patofisiologi
capai target fisiologik yang spesifik, di satu syok, efek terapi cairan pada saat per-
sisi mempertimbangkan risiko terjadinya darahan aktif, dan kemampuan untuk me-
peningkatan perdarahan, namun di sisi lain nerapkan bukti ilmiah pada masing-masing
menghindari terjadinya hipoperfusi. Target individu dengan keadaan klinis yang ber-
untuk resusitasi di fase awal:7 pertahankan beda. Tatalaksana cairan merupakan seni
tekanan darah sistolik antara 80-100 mm mengenai kapan harus menyesuaikan terapi
Hg, pertahankan hematokrit antara 25%- cairan, membatasi cairan, memberikan cair-
30%, pertahankan trombosit lebih dari an secara agresif dan menggunakan inotro-
50.000 / mm3, pertahankan suhu tubuh sen- pik, serta bagaimana menilai trauma pasien
tral di atas 350 C, pertahankan fungsi pulse dan responnya terhadap terapi. Jenis, jum-
oximeter, mencegah kenaikan serum laktat, lah dan waktu pemberian cairan bervariasi
mencegah terjadinya asidosis yang lebih sesuai keadaan klinis pasien.
memburuk, memberikan anestesi dan anal-
gesi.7
DAFTAR PUSTAKA
Penelitian klinis mengenai teknik re-
susitasi hipotensi dihindari pada populasi 1. Barbieri P, Gomez DH, Mahoney PF,
yang diperkirakan lebih berisiko untuk tim- Pratesi P, Grande CM. Mechanisms
bul komplikasi akibat iskemia, yaitu pasien and demographics in trauma. In: Smith
CE, editor. Trauma anesthesia.
dengan penyakit jantung koroner, usia
Cambridge: Cambridge University
lanjut, dan pasien dengan trauma otak dan Press, 2008; p.1-8.
medula spinalis. Pasien usia lanjut yang 2. Potenza B, Nolan J, Mechanisms and
mengalami trauma hasil akhirnya lebih epidemiology of trauma. In: Wilson
buruk jika dibandingkan pasien usia muda, WC, Grande CM, Hoyt DB, editors.
hal ini dikarenakan cadangan fisiologis Trauma emergency resuscitation
mereka yang sudah berkurang. Jadi, teknik perioperative anesthesia surgical
hipotensi resusitasi kasus trauma pada management Vol. 1. New York:
pasien trauma otak dan pasien usia lanjut Informa Healthcare, 2007; p.25-42.
sebaiknya dihindari.7,9 3. Dutton RP, Howard RS. Fluid resuscitation
Resusitasi di fase akhir dimulai ketika strategy. In: Wilson WC, Grande CM,
Hoyt DB, editors. Trauma emergency
perdarahan sudah bisa dikontrol melalui
resuscitation perioperative anesthesia
pembedahan, angiografi, maupun hemo- surgical management Vol. 1. New
stasis spontan. Capaian target pada fase ini York: Informa Healthcare, 2007; p.215-
yaitu mengembalikan perfusi normal semua 34.
sistem organ sambil tetap mempertahankan 4. Joy MA, Marciniak D, Petelenz-Rubin K,
fungsi vital. Target untuk resusitasi di fase Establishing vascular access in the trau-
akhir yaitu mempertahankan tekanan darah ma patient. In: Smith CE, editor. Trau-
sistolik di atas 100 mm Hg, hematokrit di ma anesthesia. Cambridge: Cambrigde
atas ambang batas transfusi individual, University Press, 2008; p.69-80.
status koagulasi yang normal, keseimbang- 5. Morgan GE Jr, Mikhail MS, Murray MJ.
an elektrolit, suhu tubuh yang normal dan Clinical anesthesiology (Fourth
Edition). New York: McGraw-Hill
produksi urin yang normal, serta memak-
Companies Inc, 2006.
simalkan curah jantung dengan pengukuran 6. Novikov M, Smith CE. Fluid and blood
invasif maupun non-invasif, memperbaiki therapy in trauma. In: Smith CE, editor.
asidosis sistemikdan mempertahankan se- Trauma anesthesia. Cambridge:
rum laktat normal.9 Cambrigde University Press, 2008;
p.101-20.
7. Jackson K, Nolan J. The role of
SIMPULAN hypotensive resuscitation in the
Penatalaksaan cairan perioperatif pada management of trauma. JICS. 2009
12 Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 5-12
Berdasarkan penelitian yang berjudul Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi oleh Eri
Leksana didapatkan bahwa berkurangnya volume total cairan tubuh menyebabkan penurunan
volume cairan intrasel dan ekstrasel. Defisit cairan harus segera dikoreksi dalam 4 jam dan ORS
harus diberikan dalam jumlah sedikit tetapi sering, untuk meminimalkan distensi lambung dan
refleks muntah. Secara umum, pemberian ORS sejumlah 5 mL setiap menit dapat ditoleransi
dengan baik. Jika muntah tetap terjadi, ORS dengan NGT (nasogastric tube) atau NaCl 0,9% 20-
30 mL/kgBB selama 1-2 jam dapat diberikan untuk mencapai kondisi rehidrasi. Saat pasien telah
dapat minum atau makan, asupan oral dapat segera diberikan. Kebutuhan cairan pemeliharaan
diukur dari jumlah kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah IWL. Jumlah IWL adalah antara 400-
500 mL/m2 luas permukaan tubuh dan dapat meningkat pada kondisi demam dan takipnea. Secara
kasar kebutuhan cairan berdasarkan berat badan adalah:
➢ Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB
➢ Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat badan di atas 10 kg
➢ Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat badan di atas 20 kg
Terapi cairan parenteral menjadi pilihan pada saat asupan cairan melalui ORS tidak cukup atau
tidak memungkinkan. Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler sampai tercapai
perfusi jaringan. Target selanjutnya adalah memulihkan volume intravaskuler dan mengembalikan
kadar natrium serum sesuai rekomendasi.
Selain itu, pemberian darah seperti PRBC (Pack Red Blood Cells) harus segera di-berikan
pada pasien dengan syok akibat perdarahan yang sedang berlangsung. American Society of Anes-
thesiologists (ASA) merekomendasikan transfusi PRBC pada kadar hemoglobin kurang dari 6
g/dL dan tidak merekomen-dasikan transfusi di atas 10 g/dL. Pem-berian transfusi pada kadar
hemoglobin 6-10 g/dL didasarkan pada pendekatan in-dividual, dengan mempertimbangkan ada-
nya iskemi organ, kecepatan dan jumlah perdarahan, status volume intravaskuler, dan risiko jika
terjadi oksigenasi yang tidak adekuat. Pemahaman bahwa saat terjadi perdarahan butuh
penggantian cairan sudah jelas: tubuh kehilangan cairan sehingga cairan tersebut harus diganti.
Pemberian cairan infus pada pasien dengan perdarahan aktif harus dititrasi untuk mencapai target
fisiologik yang spesifik, di satu sisi mempertimbangkan risiko terjadinya peningkatan perdarahan,
namun di sisi lain menghindari terjadinya hipoperfusi. Target untuk resusitasi di fase awal:
1. Pertahankan tekanan darah sistolik antara 80-100 mm Hg
2. Pertahankan hematokrit antara 25%-30%
3. Pertahankan trombosit lebih dari 50.000/mm3
4. Pertahankan suhu tubuh sentral di atas 350 C
5. Pertahankan fungsi pulse oximeter
6. Mencegah kenaikan serum laktat
7. Mencegah terjadinya asidosis yang lebih memburuk
8. Memberikan anestesi dan analgesi.
Tatalaksana cairan merupakan seni mengenai kapan harus menyesuaikan terapi cairan, membatasi
cairan, memberikan cairan secara agresif dan menggunakan inotropik, serta bagaimana menilai
trauma pasien dan responnya terhadap terapi. Jenis, jumlah dan waktu pemberian cairan bervariasi
sesuai keadaan klinis pasien (Posangi, 2012).
Sumber:
Leksana, E. (2015). Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. Cermin Dunia Kedokteran, XLII(1),
70-73. Retrieved from http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/1056
Posangi, I. (2012). Penatalaksanaan Cairan Perioperatif Pada Kasus Trauma. Jurnal Biomedik,
IV(1), 5-12. doi:https://doi.org/10.35790/jbm.4.1.2012.743