Anda di halaman 1dari 3

http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2007/8/12/bud4.

html

Segores Kisah Kelam di Bali


Judul : Ladang Hitam di Pulau Dewa
Pembantaian Massal di Bali 1965
Pengaran g : I Ngurah Suryawan
Penerbit : Galang Press
Tebal : 264 halaman
Tahun : Cetakan I, 2007

DALAM pelajaran sejarah generasi Orde Baru pasca-1966, baik PMP (Pendidikan Moral
Pancasila) ataupun PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), sama sekali tidak
dijelaskan tentang pembantaian massal setelah peristiwa G30S. Yang ada adalah kudeta
yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap pemerintahan yang sah pada dini
hari 30 September 1965. Ini dibuktikan dengan penemuan jenazah tujuh jenderal di
kawasan Lubang Buaya yang disiksa dan dibunuh oleh organisasi underbow PKI, yaitu
Pemuda Rakyat dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Ritual lain yang tak terlupakan adalah upacara bendera memperingati Hari Kesaktian
Pancasila (1 Oktober), dilanjutkan dengan mengunjungi monumen Tujuh Pahlawan
Revolusi untuk mengutuk kekejaman PKI dan mengenang tujuh pahlawan revolusi yang
gugur, kemudian rombongan sekolah menonton film "Pengkhianatan G30S/PKI" di
gedung-gedung bioskop sehingga wacana "Hantu Komunis" terus tercipta yang dijadikan
senjata untuk menghabisi gerakan-gerakan kritis dan istilah "Ganyang PKI" menjadi
begitu dikenal.

Siapa yang tahu bahwa sesungguhnya ada cerita lain di balik peristiwa itu, yang hanya
diketahui oleh para survivor dan saksi-saksi sejarah pembantaian massal di seluruh bumi
pertiwi Indonesia, khususnya di Bali yang memilih senyap meski hati mereka berteriak
memohon ruang bebas untuk bercerita? Buku ini menjadi satu sarana mereka untuk
bertutur dan akhirnya terkuaklah bahwa di rentang tahun 1965-1969 Pulau Bali telah
menjadi sebuah "Ladang Hitam".

Saat meletusnya G30S, Bali menjadi salah satu daerah dengan "penyembelihan" terganas
terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan dan anggota PKI, penuh dengan jejak
darah pembantaian dan kuburan massal yang ada di hampir semua jengkal desa-desa di
Bali. Soe Hok Gie dalam sebuah essainya di Zaman Peralihan, menuliskan gambaran
tentang Bali saat hari-hari mencekam 1965-1966 di Bali sbb.;

1
"Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang
mempunyai teman orang Bali, tanyakan apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban
pertumbuhan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan
di Bali. Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai
tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang
berkeliaran di mana-mana pada waktu itu."

Atau simaklah sebuah pengakuan dan penuturan seperti ini;

"Saya berasal dari Bangli. Konon katanya pada waktu itu banyak orang yang diculik dan
dibawa ke suatu tempat untuk dibunuh. Saat itu kakek saya adalah seorang Jero Mekel
dan juga polisi pamong praja yang mempunyai banyak pengayah yang harus menjaga
kestabilan, keamanan dan ketenangan di wilayahnya. Kakek sering bercerita bahwa pada
waktu itu situasi sangat gawat dan genting sekali. Banyak kepala keluarga yang ditangkap
dan diculik kemudian dibunuh, bahkan ada yang langsung dibunuh di depan rumahnya
sendiri dengan digorok, diklewang atau ditembus dengan timah panas, disaksikan oleh
anak dan istrinya.

Orang yang bertugas menculik dan membunuh ketika itu dikenal dengan istilah tameng.
Istilah ini begitu terkenal di desa saya dan sampai sekarang masih melekat. Para tameng
yang masih hidup sekarang kebanyakan hidupnya tidak karuan dan terlunta-lunta, bahkan
ada yang sangat menderita. Mungkin itu karena karma yang harus mereka tanggung
akibat membunuh orang-orang yang tidak berdosa."

Sebuah Referensi

Buku "Ladang Hitam di Pulau Dewa" karya I Ngurah Suryawan ini, setidaknya bisa
menjadi sebuah referensi bagi masyarakat yang ingin mengetahui sejarah G30S PKI, apa
yang terjadi di balik Gerakan Satu Oktober, di mana saja orang-orang dibantai pada saat
itu dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Referensi ini sangatlah penting, terutama
bagi para pemuda zaman sekarang, karena minim sekali sejarah yang menceritakan
secara rinci kejadian yang sebenarnya.

Dalam buku ini juga dibicarakan mengenai politik ingatan. Dikatakan demikian karena
akan diuraikan kesaksian seorang mantan Bupati Jembrana pada tahun-tahun genting dan
hilang dalam sejarah politik Bali. Ia adalah IB Gde Dhoster yang yang akrab dipanggil Pak
Dhoster. Ia mantan Bupati Jembrana Tahun 1960-1967. Segudang kesaksian dan ingatan
Pak Dhoster ini diharapkan akan memberikan perspektif baru dalam pengetahuan
sejarah di Bali.

2
Pembantaian massal pasca G30S PKI 1965, merupakan sejarah buruk yang terjadi di
negeri ini. Ratusan ribu jiwa manusia yang di-PKI-kan melayang tanpa memperoleh
keadilan. Tragedi ini sungguh merupakan kisah kelam, bukan hanya bagi para korban
tetapi juga bagi bangsa ini. Buku ini merekam beragam kisah pedih yang terjadi di Bali,
salah satu wilayah di mana pembantaian itu terjadi.

Dengan perspektif studi antropologi keke rasan, buku ini membongkar mitos tentang
kekerasan yang terjadi di Bali pada tahun 1965 sebagai proses alamiah, argumentasi
keseimbangan alam, dan mitologi letusan Gunung Agung yang meminta korban.
Mitos-mitos itu tak lebih sebagai sebuah rekayasa yang sengaja diciptakan oleh para
penguasa saat itu.

Jadi, buku sangat penting untuk generasi muda kini. Dapatkan buku ini hanya di Gramedia
Pusat Kota Denpasar, Matahari Duta Plaza Lt. Basement.

* made suardana,
Gramedia Duta Plaza

Anda mungkin juga menyukai