Anda di halaman 1dari 4

_*"Ketika Para Kyai Disembelih (2)"*_

Oleh : Nuim Hidayat. MA.

Dalam bukunya Ayat-ayat Yang Disembelih, Anab Afifi dan Thowaf Zuharon menuliskan
ivestigasinya terhadap kekejaman PKI di berbagai kota.

Menurutnya, Oktober 1945 di kota Tegal ada tokoh PKI bernama Kutil. Di Slawi, Tegal
ia pernah menyembelih seluruh pejabat pemerintah di sana. “Dari namanya saja sudah
menjijikkan meskipun nama aslinya adalah Sakyani. Kutil ini sangat ditakuti karena
pernah memimpin pemberontakan yang gagal di Tegal dan sekitarnya pada tahun 1926,
kemudian dibuang ke Digul. Namun Kutil bisa lari dari Digul setelah membunuh sipir
Belanda dan mencuri kapal. Kutil juga melakukan penyembelihan besar-besaran di
Brebes dan Pekalongan. ,” terang kedua wartawan ini.

Kekejian berikutnya dari kota Lebak, Banten. Di sana ada nama Ce’ Mamat, pimpinan
gerombolan PI dari Lebak yang merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet.
Gerombolan Ce’ Mamat berhasil menculik dan menyembelih Bupati Lebak R Hardiwinangun
di Jembatan Sungai Cimancak pada 9 Desember 1945.

Di Jakarta juga kekejaman PKI terjadi. Di Jalan Oto Iskandar Dinata di selatan
Kampung Melayu, tokoh nasional Oto Iskandar dihabisi secara kejam oleh Laskar Ubel-
Ubel dari PKI pada Desember 1945.

Sumatra Utara, juga menyimpan banyak kisah duka. PKI pernah menumpas habis seluruh
keluarga (termasuk anak kecil) Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjungpura,
serta merampas seluruh harta kerajaan pada Maret 1946. Dalam peristiwa ini putra
Mahkota Kerajaan Langkat, Amir Hamzah (dikenal sebagai sastrawan), ikut dibunuh.
Tak ada lagi penerus kerajaan Langkat.

Di Pematang Siantar, Sumatra, PKI menunjukkan kebrutalannya. Pada 14Mei 1965, PKI
melakukan aksi sepihak menguasai secara tidak sah tanah-tanah negara. Pemuda
Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia melakukan penanaman secara
liar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara Karet IX Bandar Betsi.

Pembantu Letnan Dua Sudjono yang sedang ditugaskan di perkebunan itu secara
kebetulan menyaksikan ulah anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberikan peringatan
agar aksi mereka dihentikan. Anggota-anggota PKI itu bukannya pergi, justru balik
menyerang dan menyiksa Sudjono. Akhirnya Sudjono tewas dengan kondisi yang
mengenaskan.

Kekejian PKI juga terjadi di Jawa Timur. Gubernur Jatim RM Soerjo beserta dua
pengawalnya setelah pulang dari lawatan menghadap Soekarno, dicegat pemuda PKI di
tengah jalan. Soerjo diseret menggunakan tali sejauh 10km hingga tewas, lalu
mayatnya dicampakkan di tepi kali.
Padahal, Soerjo dikenal sebagai pemimpin penting dalam perang melawan Belanda di
Surabaya. Kini di Ngawi berdiri Monumen Gubernur Soerjo.

Di Madiun lebih mengerikan. Di sini PKI menusuk dubur banyak warga Desa Pati dan
Wirosari (Madiun) dengan bambu runcing. Lalu mayat mereka ditancapkan di tengah-
tengah sawah, hingga mereka kelihatan seperti hantu pengusir burung pemakan padi.
Salah seorang diantaranya wanita, ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga
ditancapkan di tengah sawah.

Di Kota Magetan, anggota-anggota PKI merentangkan tangga melintang di bibir sumur,


kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika terlentang terikat itu,
algojo menggergaji badannya putus sampai dua, lalu langsung jatuh ke dalam sumur.

Di Magetan juga PKI pernah menimbun di sumur Soco Kiyai Sulaiman bersama 200
santrinya yang saat itu terus berdzikir. Kejadian itu pada September 1948.
Begitu juga yang terjadi Pabrik Gula Gorang Gareng yang genangan darahnya sampai
setinggi mata kaki. Disitu Kiyai Imam Mursyid Takeran hilang tak jelas rimbanya dan
baru ketemu rangka tubuhnya setelah 16 tahun. PKI diduga kuat mengadakan pesta
daging bakar ulama dan santri di lumbung padi.

Kisah Isro seorang guru di Jawa Timur juga menyedihkan. Pada usia 10 tahun, pada
tahun 1965, ia hanya bisa memunguti potongan-potongan tubuh ayahnya yang sudah
hangus dibakar PKI di pinggir sawah untuk dimasukkan dalam kaleng.

Kekejian PKI juga terjadi di Blora. Pasukan PKI menyerang Markas Kepolisian Distrik
Ngawen, Blora pada 18 September 1948. Setidaknya 20 orang anggota polisi ditahan
PKI. Tujuh polisi yang masih muda dipisahkan mereka. Sementara yang lainnya
dibantai atas perintah Komandan Pasukan PKI Blora. Tujuh polisi muda itu
ditelanjangi dan kemudian leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi luka
parah, tujuh polisi itu dibuang dalam jamban (WC) dalam kondisi masih hidup.
Setelah itu mereka baru ditembak mati.

Sastrawan terkemuka Taufik Ismail juga mencatat kekejaman PKI ini : “Di samping
lubang pembantaian yang sengaja digali, tempat penyembelihan itu praktis dilakukan
di sumur-sumur tua tak terpakai, yang banyak terdapat di desa-desa itu.

Karena repot dan sibuk, di Cigrok korban dikubur hidup-hidup. Di sebuah sumur tua
yang tak tertimbun penuh, terdengar suara azan dari dalamnya. Tapi Kiai Imam Sofwan
dari Pesantren Kebonsari tidak tertolong.
Pesantren-pesantren menjadi sasaran utama PKI, karena itulah komunitas yang anti-
Marxis-Leninis, yaitu Pesantren Takeran, Burikan, Dagung, Tegalredjo (tertua),
Kebonsari, dan Immadul Falah…

Seorang ibu, Nyonya Sakidi, mendengar suaminya dibantai PKI di Soco. Dia menyusul
ke sana, sambil menggendong dua anak, umur satu dan tiga tahun.

Dia nekat minta melihat jenazah suaminya. Karena repot melayaninya, PKI sekalian
membantai perempuan malang itu, dimasukkan dan dikubur di sumur yang sama,
sementara kedua anaknya itu menyaksikan pembunuhan ibunya.

Adik Sakidi menyelamatkan kedua keponakannya itu.

Yel-yel PKI di Madiun dalam gerakan Republik Sovyet tersebut : “Pondok bobrok,
pondok bobrok! Langgar bubar, langgar bubar! Santri mati, santri mati!” yang
disorakkan dengan penuh kebencian dan ancaman.”

Menebar Angin, Menuai Badai

Pada 13 Januari 1965 sekitar pukul 04.30 subuh, lebih kurang 3000 anggota massa PKI
yang dipimpin Ketua Pengurus Cabang Pemuda Rakyat Kediri, Soerjadi mengadakan teror
dengan melakukan penyerbuan terhadap para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII).
Saat itu para pelajar sedang mengadakan mental training (pelatihan mental) di desa
Kanigoro, Kediri, Jawa Timur. Pada kesempatan itu massa PKI melakukan pemukulan dan
penganiayaan terhadap para kiyai dan imam masjid serta merusak masjid, dan bahkan
menginjak-injak kitab suci al Qur’an.

Mereka melakukan penyerbuan sambil meneriakkan kata-kata antara lain: Ganyang


Santri, Ganyang Masjumi, Ganyang Sorban, Ganyang Kapitalis, Ganyang Kontra
Revolusi, Dulu waktu peristiwa Madiun besar kepala, kini rasakan pembalasan.

Selain ada aksi PKI di berbagai daerah, Ketua CC PKI DN Aidit dalam apel
kesiapsiagaan Dwikora tanggal 2 April 1965, antara lain mengatakan bahwa,”Manipol
harus dibela dengan senjata. Manipol tidak bisa dibela hanya dengan tangan kosong.
Oleh karena itu, latihan militer penting bagi orang-orang revolusioner manipolis
dengan tujuan membela Manipol dengan senjata.”

Pada saat berlangsungnya peringatan HUT PKI ke-45 di Stadiun Utama Senayan Jakarta,
tanggal 23 Mei 1965, Ketua CC PKI mengomandokan kepada massa PKI untuk meningkatkan
“ofensif revolusioner sampai ke puncaknya.”

Pada kesempatan HUT itu terpampang poster-poster raksasa, slogan-slogan tertulis


menyeramkan seperti Ganyang Tujuh Setan Desa, Ganyang Tiga Setan Kota, Ganyang
Kapbir, Intensifkan Konfrontasi Dengan Malaysia, Bantu Vietnam Utara, Ganyang
Kebudayaan Ngak Ngik Ngok, Sekarang Juga Bentuk Angkatan V dan lain-lain.

Selain itu juga dipajang format raksasa gambar-gambar Bung Karno, DN Aidit, Lenin,
Mao Tse Tung dan Karl Marx sebagai hiasan.

Pada bulan Agustus 1965 bertempat di Rawabinong, sekitar satu kilometer dari Lubang
Buaya, diselenggarakan pelatihan khusus bagi para kader yang dikirim oleh CDB PKI
Jawa Barat, sejumlah 120 orang dan kader-kader BTI (Barisan Tani Indonesia) Jakarta
sejumlah 80 orang. Pada awal September 1965, juga di tempat yang sama diadakan
pelatihan khusus bagi kader-kader tingkat pusat sejumlah 60 orang.

Hingga akhirnya terjadilah peristiwa Gerakan 30 Sepember 1965. Dimana pasukan-


pasukan PKI menculik dan membunuh perwira-perwira Angkatan Darat dengan tujuan
untuk ‘mengkudeta pemerintah’.

Ternyata PKI gagal, karena para perwira Angkatan Darat cepat mengkonsolidasikan
diri dan bersama rakyat –khususnya umat Islam—menangkap dan melawan PKI di berbagai
daerah. Hingga akhirnya jatuh korban banyak dari PKI. Taufik Ismail menyebut bahwa
jumlah besar korban dari PKI itu akibat dari ulah PKI sendiri yang kejam dalam
aksi-aksinya.

Waktu terus berjalan. Kini simpatisan PKI telah berhasil menghapuskan kewajiban
pemutaran film G30S PKI yang menceritakan aksi-aksi kejam PKI. Dan justru yang
beredar di kalangan pemuda kini film aksi-aksi pembunuhan terhadap PKI (seperti
film The Act of Killing/Jagal 2012 yang lebih pro PKI).

Juga buku-buku kini banyak beredar di tengah masyarakat yang berusaha ‘mencuci dosa
PKI’. Seolah-olah PKI adalah korban dan tidak pernah menjadi pelaku aksi kebiadaban
dalam sejarah bangsa ini.

Akhirnya, Jenderal AH Nasution yang selamat dari pembunuhan PKI, dalam sambutannya
di depan penguburan perwira-perwira TNI yang menjadi korban kebiadaban PKI
menyatakan: “Rekan-rekan adik-adikku sekalian, saya sekarang sebagai yang tertua
dalam TNI yang masih tinggal bersama yang lainnya, akan meneruskan perjuanganmu,
membela kehormatan kamu.

Menghadaplah sebagai pahlawan, pahlawan dalam hati kami seluruh TNI, sebagai
pahlawan menghadaplah kepada asal mula kita yang menciptakan kita, Allah Subhana
Wata’ala. Karena akhirnya Dialah Panglima Kita yang Tertinggi. Dialah yang
menentukan segala sesuatu, juga atas diri kita semua.

Tetapi dengan keimanan ini juga kita semua yakin bahwa yang benar akan tetap menang
dan yang tidak benar akan tetap hancur. Fitnah-fitnah lebih jahat daripada
pembunuhan, fitnah berkali-kali lebih jahat daripada pembunuhan.” Wallahu azizun
hakim. II
Nuim Hidayat
—–
Rujukan :
*Fadli Zon dan M Halwan Aliuddin, Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, Komite
Waspada Komunisme, Jakarta, 2005*

*Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai


Komunis Indonesia, Setneg RI, Jakarta 1994*

*Jenderal Besar Dr AH Nasution, Peristiwa 1 Oktober 1965 Kesaksian Jenderal Besar


Dr AH Nasution, Penerbit Narasi Yogyakarta, 2012*

*Taufik Ismail, Presiden (15/8/15) Mau Minta Maaf Kepada PKI?, republika.co.id, 12
Agustus 2015*

*Anab Afifi dan Thowaf Zoharon, Ayat-Ayat yang Disembelih, Penerbit Cordoba Books,
Mei 2016*

*H Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, Penerbit Langgar Swadaya Nusantara,
2014 II*

*Nuim Hidayat* Dachli

Anda mungkin juga menyukai