Anda di halaman 1dari 12

PENGAKUAN

ALGOJO 1965
PENGAKUAN
ALGOJO 1965
Pengakuan Algojo 1965

Diterbitkan oleh Tempo Publishing, Cetakan Ketiga, Desember 2013

Penulis: Kurniawan et al.


Penyunting: Arif Zulkifli et al.
Desain Sampul :Edi RM
Desain Isi: M. Moeloek
Foto pada Sampul: Koleksi Perpustakaan Nasional RI
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
© Tempo 2013

PERPUSTAKAAN NASIONAL – KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)


Pengakuan Algojo 1965
Penulis: Kurniawan, et al. Penyunting: Arif Zulkifli et al. -
Jakarta: PT Tempo Inti Media Tbk , 2013.
xii + 178 hlm: graf., ilus., potr., 14,5 x 21 cm

Cetakan I, September 2013


Cetakan II, Oktober 2013
Cetakan III, Desember 2013

ISBN: 978-602-14105-1-6

Tempo Publishing
PT Tempo Inti Media Tbk.
Kebayoran Center Blok A11-A15, Jalan Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta 12240

Dicetak oleh percetakan PT Temprint, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan
DARI PENGAKUAN
ALGOJO 1965

R
EKONSILIASI tidak bisa dimulai dari ingkar; ia harus diawali oleh
pengakuan. Itulah yang seharusnya dilakukan para pelaku pembunuhan
massal 1965 dan mereka yang menyokong kejadian itu. Dalam frasa
truth and reconciliation, terma “kebenaran” diletakkan mendahului
“rekonsiliasi” untuk menunjukkan yang satu merupakan syarat mutlak
bagi yang lain.
Kini, 47 tahun berlalu sejak pembunuhan besar-besaran terhadap anggota
Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya.
Rekonsiliasi masih jauh dari angan-angan. Yang abadi hingga kini: para pelaku--juga
organisasi serta aparatur negara yang menyokong aksi sadistis itu--sibuk menyangkal
atau membela diri seraya mengingatkan tentang “bahaya laten” komunisme.
Tak ada angka pasti tentang jumlah korban. Pada Desember 1965, Sukarno pernah
membentuk komisi pencari fakta yang dipimpin Menteri Negara Oei Tjoe Tat untuk
mencari tahu. Karena tak leluasa bekerja dan khawatir pada reaksi tentara, komisi itu
menyimpulkan 78 ribu orang terbunuh--angka yang dipercaya terlalu kecil. Laporan
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menyebutkan korban tewas
sekitar satu juta. Menurut Mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan
Darat, Sarwo Edhie Wibowo, setidaknya tiga juta orang terbunuh. Para aktivis kiri
mempercayai dua juta.
Meminjam Robert Cribb, kaum kiri membesar-besarkan skala pembantaian untuk
menekankan kesalahan para pelaku. Bagi para penentang komunis, angka yang tinggi

Pengakuan Algojo 1965 ix


menegaskan bahaya PKI, angka yang rendah akan mengurangi kesalahan mereka.
Dalam hal ini, pengingkaran tampaknya dimulai dari statistik.
Dalam semangat mengungkap “truth” itulah film The Act of Killing karya sutradara
Joshua Oppenheimer layak mendapat perhatian. Dibuat selama tujuh tahun, film itu
memuat kesaksian terbuka seorang bergajul yang pernah membunuh ratusan orang
PKI di Medan. Kesaksian itu menguak motif lain para jagal: dendam pribadi. Bagi Anwar
Kongo, jagal itu, orang-orang PKI harus dibunuh karena mereka melarang film Barat-
-“kapitalisme” yang bertahun-tahun telah menafkahi Anwar sebagai tukang catut
karcis bioskop. Sejumlah algojo lain menyampaikan apologia yang tak baru: mereka
membunuh untuk menyelamatkan negara dari bahaya komunis.
Dalam alam pikir Orde Baru yang belum sepenuhnya pupus di masyarakat,
permohonan maaf yang diajukan Presiden Abdurrahman Wahid pada awal reformasi
dulu layak diapresiasi. Sebagai kepala negara dan kiai Nahdlatul Ulama, Gus Dur secara
terbuka menyatakan penyesalan. Patut disayangkan, 13 tahun setelahnya segelintir
ulama NU justru menolak meminta maaf kepada para korban dan meminta Presiden
Yudhoyono mengikuti jejak mereka. Sikap ini mereka ambil setelah Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini. Sejarah
mencatat, NU adalah organisasi yang aktif berperan “membersihkan” PKI di Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Betapapun penolakan tak surut, langkah untuk menyembuhkan luka 1965 harus
terus dilakukan. Membentuk pengadilan ad hoc untuk mengadili para pelaku--kini uzur
atau bahkan sudah meninggal--tampaknya bukan rencana yang mudah dilakukan.
Proses rekonsiliasi yang membutuhkan undang-undang diperkirakan akan memakan
waktu lama meski tak sepatutnya diabaikan.
Permintaan maaf pemerintah mungkin jadi solusi jangka pendek. Penyesalan
bisa dinyatakan dengan memberi kompensasi yang wajar kepada para korban. Aksi
pemerintah ini diharapkan diduplikasi oleh masyarakat di level yang lebih mikro.
Benih permaafan itu sebetulnya bukan tak ada sama sekali.
Di Palu, Sulawesi Tengah, Wali Kota Rusdi Mastura secara resmi dan terbuka meminta
maaf kepada bekas anggota PKI. Kepada keluarga korban ia menjanjikan kesehatan
gratis dan beasiswa. Ia juga berencana mendirikan monumen di bekas lokasi kerja
paksa PKI. Sebagai pegiat Majelis Syuro Muslimin, ia mengaku organisasinya terlibat
dalam aksi mengganyang PKI.
Di luar itu, tak selayaknya kita alergi terhadap komunisme. Sudah lama ideologi itu
bangkrut. Uni Soviet porak-poranda, Cina kini sama kapitalisnya dengan Amerika. Ide
masyarakat tanpa kelas adalah utopia yang usang dan sia-sia.

x TEMPO Publishing
Karena itu tak perlu melarang penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, dan
Leninisme. Ketetapan MPRS tentang itu sebaiknya dihapus saja. Tak boleh ada
pembredelan buku yang menyangkut 1965--juga yang lainnya. Yang justru harus
diperangi adalah stigmatisasi pada komunisme dan para korban. Menyebut komunis
sebagai ateis merupakan salah kaprah yang bertahun-tahun telanjur dipercaya.
Dengan kata lain, hadapi komunisme dengan rileks. Sebab, ideologi itu sesungguhnya
biasa-biasa saja. O

Pengakuan Algojo 1965 xi


KOLEKSI PERPUSTAKAAN NASIONAL

Anggota dan
DARI LADANG-LADANG
PEMBANTAIAN
simpatisan
PKI yang
ditangkap di
Bali.

S
ETELAH laporan khusus “Pengakuan Algojo
1965” terbit di majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012,
berbagai tanggapan pun berdatangan. Ada yang
memuji, ada yang mendukung, tapi ada pula yang
mengecam. Bahkan koresponden Tempo di Jember
dan Kediri beberapa kali mendapat pesan pendek lewat telepon
seluler yang bernada mengancam. Pengirimnya tentu orang-orang

2 TEMPO Publishing
yang menentang laporan Tempo tentang kejadian 1965 di daerah itu.
Reaksi juga datang dari Nahdlatul Ulama. Kami mendengar kabar
bahwa para ulama NU di Jawa Timur gusar karena laporan itu
menyebut keterlibatan orang-orang NU dalam pembantaian PKI di
daerah tersebut. Tak lama setelah majalah itu terbit, Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama mengundang kami ke kantornya di Jalan Kramat
Raya, Jakarta, untuk mendiskusikan masalah tersebut.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Muryadi bersama dua
anggota redaksi memenuhi undangan tersebut. Di sana mereka
bertemu dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Sekretaris
Jenderal PBNU KH Marsudi Syuhud, dan beberapa pengurus NU.
Perbincangan dilakukan dalam suasana santai, yang diselingi
kelakar dan minum teh.
Said Aqil meneruskan keluhan para kiai di daerah atas laporan
Tempo tersebut. Mereka mempertanyakan, kata Said, apa betul
Tempo punya agenda tertentu dalam menurunkan laporan ini.
Wahyu menegaskan bahwa tak ada agenda apa pun dari Tempo.
“Keputusan untuk mengangkat tema ini dilakukan sepenuhnya
berdasarkan pertimbangan jurnalistik dan melalui rapat redaksi.”
Wahyu menyampaikan, saat mempersiapkan laporan itu, Tempo
juga melakukan diskusi dengan berbagai narasumber, termasuk
sejarawan, wakil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Ketua
PBNU M. Imam Azis, yang aktif dalam upaya rekonsiliasi tragedi
politik 1965. “Jadi wakil dari NU pun sudah mengetahui rencana
kami. Tidak ada yang kami tutup-tutupi,” kata Wahyu.
Said juga menyampaikan keberatan para kiai yang menganggap
laporan itu kurang berimbang. Misalnya tidak mengangkat
pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, yang mengakibatkan
banyak warga dan kiai NU jadi korban, sebagai latar dari reaksi
NU pada 1965. Wahyu menjelaskan bahwa bukan sekali ini Tempo
mengangkat topik PKI dan NU. “Sebelumnya, misalnya, kami
bikin edisi khusus pada April 2011 tentang Wahid Hasyim dan NU.
Nah, kali ini kami mengangkat masalah PKI, yang berfokus pada
peristiwa 1965,” ujar Wahyu.
Beberapa hari kemudian, giliran para kiai dan Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama Jawa Timur mengundang Pemimpin Redaksi
Majalah Tempo Wahyu Muryadi untuk bertabayun, meminta
klarifikasi. Pertemuan berlangsung pada 10 Oktober di kantor

Pengakuan Algojo 1965 3


PWNU Jawa Timur, Jalan Masjid Al-Akbar Nomor 9, Surabaya. Hari
itu Wahyu bertemu dengan sejumlah kiai sepuh dan pengurus
PWNU Jawa Timur, seperti Ketua PWNU Jawa Timur KH Mutawakkil
Alallah, Sekretaris PWNU KH Masyhudi Mukhtar, Bendahara PWNU
Kikin Abdul Hakim, Rais Syuriah PWNU KH Miftachul Akhyar,
Wakil Rais Syuriah PWNU KH Agoes Ali Masyhuri, dan KH Anwar
Iskandar, pengasuh Pondok Pesantren Assa’idiyah Jamsaren Kediri,
serta beberapa pemimpin Gerakan Pemuda Ansor dan Barisan
Ansor Serbaguna.
Pertemuan selama hampir empat jam itu berlangsung serius.
Dalam kesempatan itu, Kiai Mutawakkil meminta Tempo memberikan
kesempatan hak jawab kepada NU. “Karena Tempo tidak hidup di
ruang kosong, saya harap hati-hati. Dalam penulisan sejarah harus
akurat,” kata Kiai Ali Masyhuri. Wahyu meminta maaf kalau memang
laporan Tempo ini dinilai membuka luka lama, yang mungkin tidak
diinginkan para kiai. Tapi menurut Wahyu, “Ini namanya fakta
yang menyakitkan.” Menurut dia, laporan Tempo juga tidak untuk
menyudutkan para kiai dan kalangan pesantren pada umumnya.
Kejadian pembantaian PKI, kata dia, tidak hanya terjadi di Jawa Timur
dan Jawa Tengah, tapi juga di Medan, Flores, Palu, dan Bali, yang
melibatkan berbagai organisasi dan umat beragama lain.
Tempo, kata Wahyu, sengaja menuliskan sejarah dari versi
yang lain, karena penulisan sejarah yang ada sudah sarat dengan
kepentingan penguasa. Dengan mengangkat tema ini, Tempo
berharap akan ada inspirasi untuk rekonsiliasi nasional.

OOO

Pembaca, laporan utama tentang algojo--yang kami bukukan


ini--memang bukanlah laporan yang berniat membuka aib atau
menyudutkan para pelaku. Politik Indonesia pada masa itu sangat
kompleks. Menjelang tragedi September, konflik Partai Komunis
Indonesia dan partai politik lain memanas. PKI, yang merasa di
atas angin, menekan penduduk yang tidak sealiran. Ketika keadaan
berbalik, luapan pembalasan tak terkendali. Pembunuhan direstui
oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama. Masa 1965-1966 tentu
tak bisa dinilai dengan norma dan nilai-nilai masa kini. Membaca
sejarah kelam Indonesia pada masa itu hanya dapat dilakukan

4 TEMPO Publishing
dengan memperhatikan konteks sosial-politik-ekonomi pada masa
itu pula.
Kita juga tahu betapa tak simetris informasi tentang tragedi 1965.
Saat itu, semua koran dikuasai militer. Masyarakat dicekoki cerita
bahwa komunis adalah musuh negara yang identik dengan ateisme.
Militer menyebarkan daftar anggota PKI yang harus dihabisi. Militer
melindungi para pelaku, bahkan menyuplai mereka dengan senjata.
Di beberapa tempat, ada narapidana yang sengaja dilepaskan
untuk memburu sang musuh negara. Itu membuat para algojo
menganggap wajar tindakan mereka.
Dalam film dokumenter The Act of Killing (Jagal) karya sutradara
Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer--yang menjadi salah satu
referensi pembuatan laporan kami--misalnya, ada mantan preman
di Medan bernama Anwar Congo yang blakblakan mengaku dengan
sadis membantai orang-orang Partai Komunis Indonesia di Medan
sepanjang 1965-1966.
Pembawaan Anwar riang. Ia dikenal jago dansa. Penggemar Elvis
Presley dan James Dean itu mengatakan sering membunuh sembari
menari cha-cha. “Saya menghabisi orang PKI dengan gembira,”
katanya. Dalam sebuah adegan, bersama rekannya sesama algojo
1965, ia terlihat naik mobil terbuka menyusuri jalan-jalan di Medan.
Mereka bernostalgia ke tempat-tempat mereka pernah membunuh,
di antaranya sepotong jalan tempat ia menyembelih banyak warga
keturunan Tionghoa. “Setiap ketemu mereka, langsung saya tikam.”
Pengakuan jujur Anwar ini bisa membuat siapa saja terperangah.
Ada “heroisme” di situ. Anwar mengesankan dirinya penyelamat
bangsa. Seorang algojo lain, seperti Anwar, menyatakan moralitas
itu sesuatu yang relatif. Pembunuhan memang dilarang, tapi harus
dilakukan untuk menyelamatkan bangsa dan agama.
Pembaca, kami melihat sejarah berulang di sini. Di luar negeri
pun--semasa holocaust, misalnya--juga ada pribadi-pribadi seperti
Anwar itu. Di Israel, pernah seorang aparat kamp konsentrasi Nazi
bernama Adolf Eichmann diadili. Ia pelaku pembantaian ratusan
orang Yahudi. Ia merasa tak bersalah karena menganggap itu tugas
negara. Filsuf Jerman, Hannah Arendt, yang mengamati sidang itu,
pada 1963, menulis buku terkenal Eichmann in Jerusalem: A Report of
the Banality of Evil. Arendt melihat para eksekutor seperti Eichmann
bukan pengidap skizofrenia atau psikopat, melainkan warga biasa

Pengakuan Algojo 1965 5


yang menganggap wajar tindakannya karena dibenarkan negara.
Arendt menyebut fenomena ini sebagai kedangkalan yang akut.
Memahami persoalan dari sisi para jagal bisa memberi pengertian
lain terhadap prahara 1965. Seperti dikatakan Oppenheimer,
persoalan utama rekonsiliasi pada dasarnya bukan terletak pada
sisi korban atau masalah prosedural, melainkan pada kemauan
para pembantai untuk menilai perbuatannya sebagai perbuatan
salah dan jahat. Rekonsiliasi sering terhambat karena dalam diri
para pelaku tertanam kuat indoktrinasi rezim yang mengatakan
perbuatan mereka masuk akal.

OOO

Pembaca, dalam pelacakan, kami menemukan pembunuhan


massal tak hanya terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali--
tempat-tempat yang sudah sering disebut oleh media dan sejumlah
hasil penelitian. Pembantaian, misalnya, terjadi juga di Sikka,
Flores, juga di sebuah pulau di Palembang. Kami menemui para
algojo? Upaya yang tak mudah karena umumnya sudah meninggal.
Yang masih hidup, rata-rata 70-an tahun, tanpa tedeng aling-aling
membuka kisah kelam yang membangkitkan bulu kuduk.
Liputan ini kami lakukan ekstra-hati-hati. Kami tahu menampilkan
profil para algojo adalah hal yang sensitif. Prosedur jurnalistik kami
patuhi, termasuk memverifikasi keabsahan cerita para algojo yang
kami wawancarai. Melalui sejumlah sumber, kami mengecek apakah
dia benar pelaku atau orang yang sekadar ingin dicap berani. Bila tak
ada konfirmasi yang menguatkan, sosok itu kami coret dari daftar.
Kami menghargai privasi narasumber. Bagi mereka yang tak ingin
namanya disebut, hanya kami cantumkan inisialnya atau kami
samarkan identitasnya dengan nama samaran. Kami mematuhi
permintaan sumber yang tak ingin fotonya dimuat. Algojo yang
fotonya terpampang dalam liputan ini adalah mereka yang
mengizinkan gambar mereka diketahui publik luas.
Kami juga menelusuri ulang kamp-kamp konsentrasi yang didirikan
militer pasca-1965. Selain di Pulau Buru yang terkenal, tertuduh PKI
banyak ditahan di penjara seperti di Plantungan, Jawa Tengah, atau
di Moncongloe, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Tempat-tempat
ini--mengambil istilah Aleksandr Solzhenitsyn, sastrawan Rusia yang

6 TEMPO Publishing
pernah ditahan di kamp konsentrasi Rusia--adalah Gulag Archipelago
Indonesia. Meski kini lokasi itu sudah menjadi tempat lain, kisah sedih
masa lalu masih terasa mengalir dari situ.
Pembaca, betapapun pedihnya, pembunuhan massal 1965-1966
harus dikuak. Mengingat lebih baik daripada melupakan. Memang
dibutuhkan kesiapan mental bagi para pelaku untuk menyadari
kesalahan dan meminta maaf. Apa yang terjadi di Palu, Sulawesi
Tengah, bisa dijadikan contoh. Solidaritas Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Sulawesi Tengah menemukan lebih dari seribu orang
terbunuh dalam prahara 1965-1966 di provinsi itu. Wali Kota Palu
Rusdi Mastura secara terbuka meminta maaf kepada para korban.
Rusdi bercerita bahwa ia berusia 16 tahun ketika pembunuhan
massal terjadi. Ketika itu, ia siswa sekolah menengah atas. Sebagai
anggota Pramuka, dia disuruh kepala sekolah menjaga tempat-
tempat tahanan di sekitar kota itu selama satu-dua bulan. Ia terkesan
oleh pengalaman masa kecilnya menyaksikan penderitaan para
korban. Rusdi dan pejabat pemerintah Palu berjanji memberikan
kesehatan gratis kepada keluarga korban dan beasiswa bagi anak-
anak korban serta mendirikan monumen di lokasi kerja paksa PKI.
Sikap Rusdi perlu dicontoh.
Akhirnya, terima kasih kepada semua yang memberikan koreksi
dan info. Seperti Saudara Agus Sunyoto, Wakil Ketua Lesbumi,
yang menulis surat bahwa di Magetan pembunuhan dilakukan
tidak hanya terhadap PKI. Pada 1948, pada zaman Muso melakukan
pemberontakan di Madiun, banyak warga desa yang dibantai
PKI. Mereka dicemplungkan ke sumur-sumur. Dikemukakan
juga bahwa sudah ditemukan tujuh sumur “neraka” karya PKI
di Kabupaten Magetan, yaitu sumur di Desa Dijenan, Kecamatan
Ngadirejo; sumur tua I Desa Soco, Kecamatan Bendo: sumur tua II
Desa Soco, Kecamatan Bendo; sumur tua Desa Cigrok, Kecamatan
Kenongomulyo; sumur tua Desa Pojok, Kecamatan Kawedanan;
sumur tua Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo; dan sumur tua Desa
Bogem, Kecamatan Kawedanan. Tentang info-info ini, kami akan
mengulasnya di kesempatan lain.
Hanya untuk alasan mendokumentasikan sejarah sajalah laporan
Tempo itu kami terbitkan dalam bentuk buku. Semoga bermanfaat.
Selamat membaca. O

Pengakuan Algojo 1965 7

Anda mungkin juga menyukai