Anda di halaman 1dari 3

MEMBENTENGI GENERASI BANGSA DARI BAHAYA PKI MELALUI LITERASI

Oleh:

IDRIS APANDI

(Penulis Buku: Literasi atau Mati; Gerakan Literasi dan Penguatan Pendidikan
Karakter; Aku, Ramadan, dan Literasi; dan Iktikaf Literasi)

Bulan September adalah bulan yang menyimpan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia,
dimana pada tanggal 30 September 1965 terjadi pemberontakan yang dikenal sebagai G-30
S/PKI. Tujuannya ingin merebut kekuasaan, mengganti ideologi Pancasila dengan komunis,
dan membasmi pihak-pihak yang anti terhadap PKI.

Sebelum pemberontakan tahun 1965, PKI di bawah pimpinan Muso telah melakukan
pemberontakan terhadap NKRI pada 18 September 1948 di Madiun dengan mendirikan
Republik Soviet Indonesia. Pada waktu itu, ribuan ulama dan santri dibantai dengan kejam.
Dengan kata lain, PKI telah memberikan kenangan kelam terhadap umat Islam khususnya
warga NU.

PKI telah secara nyata melakukan makar terhadap negara. Ingin menggantikan Pancasila,
ideologi negara, yang merupakan kesepakatan para pendiri bangsa dengan ideology komunis.
Kedua pemberontakan PKI tersebut dapat digagalkan. Tokoh-tokoh PKI berhasil ditangkap
dan diadili.

Pemberontakan PKI tahun 1965 adalah momentum awal jatuhnya rezim orde lama di bawah
kepemimpinan Soekarno digantikan oleh Soeharto pada tahun 1967 yang kemudian disebut
sebagai orde baru. Pada masa orde baru, dibuatlah film G-30 S/PKI yang menggambarkan
kekejaman PKI terhadap 7 (tujuh) jenderal dan beberapa orang prajurit dan Ade Irma
Suryani, anak jenderal AH Nasution. Melalui Film ini, bangsa Indonesia diharapkan
mengetahui dan mewaspadai bangkitnya kembali PKI. Tentunya, pembuatan film ini
dipengaruhi oleh sudut pandang kekuasaan orde baru dibawah Soeharto, yang notabene
memimpin pemberantasan PKI tahun 1965. Selama masa orde baru, film tersebut menjadi
film yang wajib diputar setiap tanggal 30 September.

Pasca reformasi tahun 1998 pemutaran film G-30 S/PKI dihentikan karena dinilai telah tidak
sesuai dengan lagi kondisi izaman, terlalu berbau politis, menonjolkan Soeharto sebagai
pahlawan pemberantas PKI, dan mencitrakan sosok Sokarno sebagai pencetus Nasionalis,
Agamis, Komunis (NASAKOM) yang bersahabat dengan PKI, dan itulah yang menyebabkan
kejatuhannya.

Dalam perkembangannya, mantan tapol PKI, serta keluarga tokoh-tokoh PKI mulai
menggerakkan dan membuat opini bahwa peristiwa tahun 1965 sebagai pelanggaran HAM
berat yang dilakukan oleh TNI atau negara kepada orang-orang yang diduga sebagai anggota,
underbow, atau simpatisan PKI.

Isu pelanggaran HAM berat oleh negara terus disebar, bahkan sampai dimunculkan ke
pengadilan HAM internasional. Tujuannya yaitu untuk meminta keadilan dan membela hak-
hak kelompok yang menamakan dirinya sebagai korban, negara meminta maaf,
merehabilitasi namanya, serta memberikan kompensasi kepada mereka.

Melalui berbagai acara dan kegiatan, mereka terus menyuarakan gerakan-gerakan mereka.
Target utamanya adalah negara membatalkan Tap MPRS No. 66 tahun 1966 tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Jika Tap MPRS tersebut dicabut, maka
ideologi komunis tidak mustahil untuk bangkit. Dan ini yang banyak dikhawatirkan oleh
banyak pihak yang anti PKI. PKI yang notabene atheis, alias anti Tuhan, menganggap agama
sebagai candu, tentunya bertentangan dengan Pancasila dimana sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Setelah sekian lama dihentikan, tahun ini Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
memerintahkan seluruh anak buahnya untuk nonton bareng (nobar) film G-30 S/PKI bersama
dengan masyarakat. Hal ini mengundang reaksi pro dan kontra. Pihak yang pro mengatakan
bahwa pemutaran film tersebut penting untuk mengingatkan bahaya laten PKI, sedangkan
pihak yang kontra menyampaikan beragam alasan penolakan. Antara lain akan membuka
kembali luka bangsa, akan mengganggu proses rekonsiliasi yang selama ini diupayakan, film
tersebut banyak rekayasa, ada adegan-adegan yang tidak sesuai, isu munculnya kembali PKI
sudah usang karena komunisme telah bangkrut di berbagai belahan dunia, dan film tersebut
tidak layak ditonton oleh anak-anak.

Seorang politisi juga menyatakan ketika panglima TNI memerintahkan anak buahnya
menonton film G-30 S/PKI, maka dia telah berpolitik. Menanggapi hal tersebut, di sebuah
acaa dialog yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun TV swasta, cukup menjawab "emang
gue pikirin." TNI sudah tahu terhadap kondisi saat ini yang rawan terhadap bangkitnya
kembali faham komunis.

Literasi

Bahaya PKI memang harus disampaikan kepada semua anak bangsa. Jangan sampai sejarah
kelam kekejaman PKI terulang. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui literasi.
Secara sederhana literasi diartikan sebagai keberaksaraan, yaitu mampu membaca dan
menulis. Masyarakat disuguhi bacaan-bacaan yang menceritakan kekejaman PKI dimasa lalu,
tentunya berdasarkan fakta yang sebenarnya terjadi. Para pelaku atau saksi sejarah kekejaman
PKI pun perlu menulis tentang PKI, menyampaikan data atau fakta baru yang mungkin belum
diketahui oleh masyarakat.

Peneliti LIPI, Hermawan Sulistyo, pada sebuah dialog di sebuah stasiun TV tanggal 22
September 2017 menyatakan bahwa selama 20 tahun meneliti dokumen-dokumen tentang
peristiwa 30 September 1965 tidak ada lagi fakta-fakta baru, tetapi yang muncul adalah tafsir-
tafsir baru.

Usulan presiden Jokowi tentang perlunya dibuat film PKI yang sesuai dengan generasi
millennial perlu dikaji. Para pelaku sejarah, saksi sejarah, peneliti, sejarawan perlu duduk
bersama untuk "meluruskan" sejarah yang selama dinilai sedikit dibelokkan pada masa orde
baru.

Tentunya hal tersebut bukan hal mudah, karena dua pihak yang bertentangan akan
menyampaikan infomasi, data, dan fakta sesuai dengan kepentingannya masing-masing,
kecuali jika pihak yang pro dan kontra memiliki semangat rekonsiliasi tanpa syarat. Walau
dibuat dengan versi kekinian, saya berpendapat bahwa film tersebut tetap harus
menggambarkan bahaya laten komunis yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Dan
Presiden Jokowi pun pernah menyampaikan bahwa kalau PKI muncul kembali, maka akan
"digebuk."

Selain membaca berbagai bacaan tentang kekejaman PKI di masa lalu, masyarakat pun perlu
dididik untuk kritis menerima informasi yang berkaitan dengan PKI di Indonesia, karena
ditengah era media sosial saat ini, berita-berita hoax dapat dengan cepat beredar.

Pemerintah, organisasi masyarakat, dan lembaga pendidikan pun alangkah baiknya


melakukan sosialisasi dan seminar tentang bahaya laten komunis dalam rangka
memperkokoh pemahaman terhadap ideologi Pancasila dan menyelenggarakan acara menulis
tentang bahaya komunisme dalam rangka memperkuat ketahanan nasional.

Gerakan literasi yang saat ini digulirkan oleh pemerintah menjadi momentum yang tepat
untuk sosialisasi anti komunisme, utamanya kepada para pelajar, karena mereka yang akan
melanjutkan pembangunan. Jangan sampai generasi muda tidak tahu sejarah negerinya
sendiri. Bung Karno pun pernah mengingatkan jangan sesekali melupakan sejarah (jasmerah),
karena sejarah banyak memberikan pelajaran kepada para anak bangsa untuk menentukan
arah pembangunan bangsa dan negaranya.

Anda mungkin juga menyukai