net/publication/324032133
CITATIONS READS
3 8,140
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Muhammad Rifqi Damm on 17 September 2018.
Abstrak
Bukan hanya kejelasan mengenai Gerakan 30 September (G30S) pada 1 Oktober 1965 masih men-
gundang perdebatan, pembunuhan massal yang terjadi setelahnya juga masih jauh dari kejelasan.
Bagaimana pembunuhan massal tersebut mungkin? Kita dapat saja mengatakan, sebagaimana argu-
mentasi Roosa, pembunuhan massal itu mungkin karena ada dalih yang mendahuluinya, yakni G30S/
PKI. Kita pun dapat mengatakan, sebagaimana argumentasi Drakeley, atmosfer sosiopolitik pada masa
itu memang kondusif untuk memungkinkan terjadinya pembunuhan massal. Akan tetapi, kedua argu-
mentasi ini mencukupi untuk menjelaskan bagaimana pembunuhan massal 1965–1966 mungkin hanya
jika menyertakan penjelasan mengenai “mekanisme mental” yang bekerja di baliknya. Mekanisme
mental yang dimaksud dapat diungkap dalam rupa abjeksi terhadap PKI (Komunis) melalui penelaa-
han strukturalis terhadap kompleks Monumen Pancasila Sakti—salah satu sarana representasi dan
rekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965. Bukan hanya memungkinkan pembunuhan massal 1965–1966,
mekanisme abjeksi ini juga melegitimasi historiografi Orde Baru mengenai peristiwa 1 Oktober 1965.
Menggunakan paradigma antropologi strukturalis dan metode penelitian etnografi museum, tulisan
ini mencoba menjelaskan bagaimana proses abjeksi tersebut berlangsung.
Abstract
Not only explanations about 30th September Movement (G30S) on 1st October 1965 debatable, the
following mass murder during late 1965 to 1966 is still far from any clearance either. How that mass
murder possible? We may say, following Roosa’s argument, that that mass murder possible because of
preceding pretext, that is G30S/PKI. We may also say, following Drakeley’s argument, that that mass
murder possible because of current socio-political atmosphere at that time was conducive for its emer-
gence. Nevertheless, both arguments are sufficient to explain how 1965–1966 mass murder possible
if only complemented by explanation about “mental mechanism” that worked behind it. That mental
mechanism, namely abjection of PKI (Communist), can be revealed through structural inquiry to The
Sacred Pancasila Monument complex as a representation and reconstruction of 1st October 1965 his-
torical event. Not only made 1965–1966 mass murder possible, abjection mechanism also legitimized
New Order’s historiography about 1st October 1965. Using structural anthropology as paradigm and
museum ethnography as research method, this article attempts to explain how the abjection transpired.
Keywords: The Sacred Pancasila Monument, Pancasila, PKI, communist, latent danger, abjection.
PENDAHULUAN
Tanggal 1 Oktober 1965 menandai salah satu PKI)”—sebuah peristiwa yang menandai pad-
episode penting dalam sejarah modern Indone- amnya rezim Soekarno dan munculnya rezim
sia. Pada tanggal tersebut terjadi peristiwa yang Soeharto. Kejadian ini diikuti dengan pem-
selama masa pemerintahan Orde Baru dinamai bunuhan massal ratusan ribu (jutaan?) orang PKI,
“Pengkhianatan Gerakan 30 September (G30S/ orang-orang yang dilabeli Komunis, atau yang
1965 oleh Gerakan 30 September (G30S), pen- digunakan oleh para “pemberontak” yang terafi-
umpasan PKI oleh TNI di bawah pimpinan liasi dengan PKI.
Mayjen Soeharto, hingga turunnya Surat Per- Adapun Museum Pancasila Sakti atau Pas-
intah Sebelas Maret (Supersemar), digelarnya eban merupakan museum yang menampilkan
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk 16 diorama yang mereka ulang adegan-adegan
mengadili pentolan G30S/PKI, dan pidato Jen- pada malam 30 September–1 Oktober 1965, juga
deral Soeharto di hadapan sidang MPRS ketika beberapa momen sebelumnya terkait rapat per-
menerima amanah sebagai pejabat presiden meng- siapan G30S dan pelatihan militer sukarelawan
gantikan Soekarno. Di kisaran monumen tersebut G30S,4 serta momen-momen setelahnya seperti
juga terdapat bangunan cungkup yang menaungi pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma dan
sumur “maut” tempat dibuangnya mayat tujuh prosesi pemakaman para Pahlawan Revolusi.5
Pahlawan Revolusi serta tiga rumah yang menjadi Selain itu, di kompleks bangunan ini juga
dapur umum, tempat penahanan dan penyiksaan terdapat Ruang Relik yang menyimpan benda-
para perwira TNI AD, serta pos komando G30S.
Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) 4 Kebenaran tentang keberadaan “sukarelawan G30S” ini memang
masih perlu penjelasan-penjelasan dan penelitian yang lebih
adalah bangunan utama yang didirikan paling cermat. Deskripsi untuk diorama berjudul “Latihan Sukarelawan
belakangan. Museum ini berupa bangunan besar PKI di Lubang Buaya” di Museum Pancasila Sakti menyebutkan
penjelasan yang cukup mengambang atas perkara ini: “Dalam upaya
berlantai dua dengan koleksi utama berupa 34 menumbangkan pemerintah Republik Indonesia yang sah, PKI
mempersiapkan diri dengan mengadakan latihan kemiliteran bagi para
diorama yang menggambarkan sepak terjang anggotanya. Dalih yang digunakan ialah melatih para sukarelawan
PKI, sejak 1945 sampai penumpasannya pada dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia”.
akhir 1960-an dan awal 1970-an. Selain diorama, 5 Sebelum mengalami renovasi pada Maret 2013, bangunan ini hanya
memiliki 9 diorama, 3 di antaranya menampilkan “Proses Lahirnya
di museum ini juga terpajang mosaik foto-foto Surat Perintah 11 Maret 1966 (11 Maret 1966)”, “Pelantikan Jenderal
Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia (12 Maret
dokumentasi terkait peristiwa politik 1965, serta 1967)”, dan “Tindak Lanjut Pelarangan Partai Komunis Indonesia (26
beberapa senjata baik asli maupun replika yang Juni 1982)”. Setelah renovasi, ketiga diorama tersebut dipindahkan,
diganti dengan 10 diorama lain yang berfokus pada kejadian-kejadian
antara 30 September dan 1 Oktober 1965.
namun aktivitas PKI sebagai “agen kekacauan” kembalinya tatanan diperlihatkan pula melalui
tidak pernah surut; terlebih, karena ideologi Ko- kerumunan massa yang muncul pada latar be-
munis yang menjadi jiwa PKI dibiarkan tumbuh lakang hampir di sepanjang relief. Kerumunan
oleh rezim Soekarno dengan dicetuskannya Na- yang sebelumnya lebih banyak menggambarkan
sakom sebagaimana terlihat pada segmen kedua. massa atau gerombolan pengacau yang diger-
Segmen-segmen setelah peristiwa 1 Oktober akkan oleh PKI, lambat laun digantikan oleh
1965 menggambarkan upaya TNI di bawah pimp- pasukan TNI, dan kemudian rakyat sipil yang
inan Mayjen Soeharto menangani kekacauan menuntut pembubaran PKI. Secara keseluruhan,
yang diakibatkan oleh PKI sekaligus mengemba- keberadaan kerumunan di hampir sepanjang
likan tatanan dan ketertiban. Penggambarannya relief seolah menggambarkan kekacauan yang
mulai dari operasi militer sebagaimana tergam- selalu menghantui perjalanan kehidupan bangsa
bar pada segmen keempat (operasi penumpasan Indonesia, namun pada akhirnya, dengan dijiwai
G30S) hingga penyerahan Supersemar (segmen Pancasila—yang diwakili oleh lambang Garuda
keenam) dan pelaksanaan Mahmilub (segmen di pusat relief—tatanan akan senantiasa dapat
ketujuh). Bagian ini memberikan penekanan pada dipulihkan. Pesan dari penggambaran relief
sentralitas Soeharto sebagai tokoh yang sangat itu cukup jelas: sampai kapan pun, kekacauan
berperan dalam pemulihan tatanan, sejak op- dapat muncul sewaktu-waktu karena selalu ada
erasi penumpasan G30S hingga “kesediaannya” “bahaya laten” yang mengancam kehidupan har-
mengemban tugas sebagai pejabat presiden pada monis bangsa ini. Pesan tersebut dieksplisitkan
Sidang Istimewa MPRS 12 Maret 1967.6 dalam penggalan kalimat yang terpahat pada
Selain dari tokoh-tokoh utama yang dit- landasan Monumen: “Waspada... ... dan mawas
ampilkannya, perubahan dari kekacauan ke diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang
lagi—Djakarta, 1 Oktober 1965, dini hari.”
6 Keterangan pada sebuah diorama yang berjudul “Pelantikan
Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia (12 Lokus kedua dari narasi tunggal mengenai
Maret 1967)” menyebutkan, “Sementara itu pimpinan partai-partai
politik dan para senior ABRI meminta Jenderal Soeharto agar bersedia
PKI terdapat pada koleksi diorama yang ber-
menerima kepemimpinan negara” (penekanan oleh penulis). Diorama jumlah 50 buah—34 di Museum Pengkhianatan
tersebut dahulu tersimpan di Museum Pancasila Sakti (Paseban),
tetapi kemudian dipindahkan ketika Museum direnovasi pada bulan PKI (Komunis) dan 16 di Museum Pancasila
Maret 2013.
menjadi satu dari tiga pilar kekuatan dalam politik seolah mengawali pengategorian biner “Pancas-
Indonesia (Feith 1964; Roosa 2006). Lebih jauh, ila–Komunisme”, “benar–salah”, “baik–buruk”,
Feith (1964) memprediksi bahwa pada akhirnya “pahlawan–pengkhianat”, yang semakin tajam
PKI akan berhasil meraih kekuasaan, meski TNI dan kokoh melalui presentasi dua tokoh utama
akan pula muncul sebagai kekuatan yang dominan dalam tragedi 1 Oktober 1965: Para Pahlawan
dan memperlakukan PKI sebagai musuh. Berdiri Revolusi vis a vis PKI. Kategorisasi biner ini
di antara dua kekuatan ini, Presiden Soekarno berkisar pada pendikotomian dua kekuatan yang
menjadi figur yang mencegah terjadinya konflik menggerakkan alur sejarah seperti digambarkan
terbuka antara PKI dan tentara. Bahkan di saat pada kompleks Monumen Pancasila Sakti—dua
kampanye anti-PKI dan operasi penumpasannya kekuatan yang “secara diametral bertentangan”
mulai digalakkan pasca-1 Oktober 1965, Soek- dan saling meniadakan: Pancasila dan “bahaya
arno termasuk tokoh yang senantiasa memprotes laten” Komunis. Di dalam kompleks Monumen,
langkah tersebut dan menuduh TNI bertindak kekuatan-kekuatan tersebut terutama diwakili
berlebihan karena telah “membakar rumah hanya oleh para Pahlawan Revolusi dan PKI; maka
untuk membunuh seekor tikus” (Roosa 2006:22). tidak mengherankan, jika fokus narasi sejarah
Melalui pendepresiasian kekokohan Soekarno, yang kita dapati di sana berulang-alik di antara
narasi sejarah versi Orde Baru bukan hanya beru- kedua aktor ini. Bersama-sama, keduanya meru-
paya melepaskan diri dari bayang-bayang rezim pakan bagian dari sebuah narasi tunggal namun
Soekarno, tetapi juga membersihkan dirinya dari diceritakan dengan cara yang berbeda.
unsur-unsur Komunis, termasuk dari tokoh-tokoh Cerita mengenai para Pahlawan Revolusi
nasional yang dinilai berperan dalam membiarkan dikonstruksi dengan skema yang serupa dengan
hidupnya ideologi tersebut di bumi pertiwi. yang biasa kita dapati dalam martirologi.8 Keseru-
Pengontrasan antara Soeharto dan Soekarno— 8 Secara sederhana, martirologi dapat diartikan sebagai
di mana yang satu digambarkan berjuang men- kisah tentang orang-orang suci yang mati sebagai martir;
banyak kita temukan dalam tradisi Kristen dan Islam.
egakkan Pancasila, sementara yang lain memberi Untuk diskusi mengenai martirologi, lihat misalnya
Febe Armanios dan Boğaç, “A Christian Martyr under
tempat bagi Komunisme—dalam cerita yang Mamluk Justice: The Trials of Şalīb (d. 1512) according
digambarkan oleh relief Monumen Pancasila Sakti to Coptic and Muslim Sources,” dalam The Muslim
World Vol. 96 (2006), pp. 115–144; Adam H. Becker,
paan ini dapat kita lihat dari beberapa aspek. Perta- A. Yani yang menudingkan telunjuk kanannya
ma, kisah ketujuh Pahlawan Revolusi memberikan ke arah cungkup sumur, seolah menunjukkan di
penekanan lebih kepada kematian mereka, dan mana mereka dikuburkan setelah dibunuh secara
bukan pada cerita kehidupannya. Ketika berkun- keji. Oleh karena itu, anak tangga dan setapak
jung ke Ring Satu, rute yang pengunjung lalui berlantai merah yang membimbing pengunjung
akan langsung mengantarkan mereka kepada dari lapangan upacara ke Monumen Pancasila
cungkup sumur. Di Jawa, cungkup sendiri biasa Sakti sebenarnya membawa mereka ke dalam
dibangun di atas makam orang-orang yang dihor- sebuah situs penziarahan.
mati. Dengan demikian, membangun cungkup Namun demikian, dalam martirologi ses-
itu juga menandai sumur tua di Lubang Buaya eorang menjadi martir bukan sekadar karena ia
sebagai makam, mengingat ketujuh jenazah per- mati, namun karena ia dibunuh secara keji lanta-
wira TNI AD dipendam dan disembunyikan di ran mempertahankan suatu gagasan, kebenaran,
sumur ini. Di balik sumur tersebut berdiri tegak keyakinan, atau ideologi. Aspek-aspek ini tampak
Monumen Pancasila Sakti, seolah-olah berfungsi jelas dari cara penceritaan kematian para Pahla-
sebagai nisan bagi ketujuh Pahlawan Revolusi. wan Revolusi melalui diorama yang terdapat di
Di tengahnya berdiri patung Jenderal (Anumerta) rumah penyiksaan di samping cungkup sumur,
di samping sejumlah diorama di Paseban yang
‘Martyrdom, Religious Difference, and “Fear” as A merekonstruksi drama penculikan serta pakaian
Category of Piety in the Sasanian Empire: The Case
of the Martyrdom of Gregory and the Martyrdom of dengan bekas darah mereka yang tersimpan di
Yazdpaneh,’ dalam Journal of Late Antiquity Vol. 2 Issue
2 (Fall, 2009), pp. 300–336; Christine Caldwell, “Peter Ruang Relik. Diorama tersebut memperlihatkan
Martyr: The Inquisitor as Saint,” dalam Comitatus: personel-personel G30S tengah menyiksa Mayjen
A Journal of Medieval and Renaissance Studies Vol.
31 Issue 1 (2000), pp. 137–174; Carl W. Ernst, “From R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo
Hagiography to Martyrology: Conflicting Testimonies to
a Sufi Martyr of the Delhi Sultanate,” dalam History of S., dan Lettu P. A. Tendean.
Religions Vol. 24 Issue 4 (1985), pp. 308–327; Shelley Kendati rekonstruksi menggunakan diorama
Matthews, Perfect Martyr: The Stoning of Stephen and
Construction of Christian Identity (Oxford: Oxford tampaknya dimaksudkan untuk “mengabadikan”
University Press, 2010).
Gambar 7. Detail ukiran burung garuda dan bunga bakung di cungkup sumur
(sumber: dokumentasi pribadi, 2014)
Cribb, Robert.
2009 “The Indonesian Massacres.” From Century of Genocide. 3rd Edition. Taylor and Francis,
Inc.
Drakeley, Steven.
2007 “Lubang Buaya: Myth, Misogyny and Massacre.” Nebula 4, 4 Desember 2007:11-35.
Feith, Herbert.
1964 “President Soekarno, The Army and the Communists: The Triangle Changes Shape.” Asian
Survey 4(8):969-980.
Heryanto, Ariel.
2006 State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London dan New
York: Routledge.
Hinton, Alexander Laban, ed.
2002 Annihilating Difference: The Anthropology of Genocide. Berkeley, Los Angeles, London:
University of California Press.
Kristeva, Julia.
1982 Powers of Horror: An Essay on Abjection. New York: Columbia University Press.
McGregor, Katharine E.
2002 ‘Commemoration of 1 October, “Hari Kesaktian Pancasila”: A Post Mortem Analysis?’
Asian Studies Review 26(1):40-72.
Pohlman, Annie.
2004 “Women and the Indonesian Killings of 1965-1966: Gender Variables and Possible Direc-
tions for Research.” Makalah, dipresentasikan dalam The 15th Biennial Conference of the
Asian Studies Association of Australia in Canberra 29 June-2 July 2004.
Polimpung, Hizkia Y.
2014 Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara. Depok:
Penerbit Kepik.
Purdey, Jena.
tt. “Being an Apologist? The Cornell Paper and a Debate between Friends.” Diunduh dari http://
aust-neth.net/transmission_proceedings.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI (Pusjarah ABRI).
1995a Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhiana-
tan Komunisme di Indonesia (1913-1948). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas
Besar ABRI.
1995b Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid II: Penumpasan Pemberontakan PKI. Jakarta:
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI.
1995c Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jilid III: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI. Jakarta:
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Markas Besar ABRI.