Anda di halaman 1dari 33

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/350040603

Aksi Kolektif

Chapter · January 2021

CITATIONS READS

0 2,247

1 author:

Muhammad Abdan Shadiqi


Universitas Lambung Mangkurat
29 PUBLICATIONS   34 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Enviromental Psychology View project

Konformitas View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Abdan Shadiqi on 13 March 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Cara Sitasi:
Shadiqi, M. A. (2021). Aksi Kolektif. In W. Yustisia, M. A. Hakim., & R. Ardi (Eds.), Psikologi
Politik (pp. 395-437), Kompas Penerbit Buku.

Bab 11 Aksi Kolektif


Muhammad Abdan Shadiqi

Konten:

ter
- Contoh fenomena aksi kolektif di Indonesia
- Pengertian aksi kolektif dan jenisnya
- Jenis-jenis aksi kolektif

ap
- Sejarah perkembangan studi aksi kolektif
- Faktor-faktor penyebab keikutsertaan aksi

Ch
o Faktor identitas
o Faktor emosi
o Faktor instrumental
ok
o Faktor relasional
o Faktor moralitas
Bo

o Faktor lain
- Aksi kolektif melalui media daring
- Konsekuensi aksi
ed

- Pengukuran aksi kolektif


- Kesimpulan dan arah riset pada masa depan
pt

Ringkasan:
ce

Pada perkembangan psikologi politik saat ini, beberapa peneliti fokus untuk
menjelaskan aksi kolektif (collective action) dari faktor penyebab hingga konsekuensi.
Ac

Indonesia sendiri memiliki sejarah dan peristiwa yang banyak mengenai aksi kolektif,
seperti aksi bela Islam dan aksi protes mahasiswa. Beberapa bentuk aksi kolektif adalah
demonstrasi, protes, long march, orasi, aksi teatrikal, hingga tanda tangan petisi.
Berdasarkan definisi, aksi kolektif berbeda dengan aksi individual, berbeda pula dengan
perilaku kolektif (collective behavior), pergerakan sosial, dan perubahan sosial. Aksi
kolektif dapat dibedakan menjadi aksi normatif dan aksi tidak normatif. Pada perspektif
psikologi politik, aksi kolektif memiliki sejarah yang panjang pada penelitian-
penelitian empiris, sejak 1890an hingga 2000an. Jika ditinjau dari faktor individual,
seseorang dapat mengikuti aksi didasari oleh faktor identitas, emosi, instrumental,
relasional, moralitas, dan faktor lainnya. Selain aksi yang langsung dilakukan di
lingkungan fisik, seperti berdemo dan long march di jalanan, sekarang aksi kolektif
juga dapat dilakukan secara daring. Seseorang yang telah mengikuti aksi kolektif akan
mengalami konsekuensi-konsekuensi psikologis. Riset aksi kolektif dibutuhkan untuk
menjelaskan faktor penyebab dan konsekuensi. Untuk mendukung riset aksi kolektif
dibutuhkan beberapa bentuk alat ukur. Riset aksi kolektif memiliki arah pengembangan
yang luas dan masih perlu usaha untuk membongkar dinamika penyebab seseorang ikut
aksi sekaligus menjelaskan konsekuensi aksi. Isu-isu yang terjadi di Indonesia menjadi
menarik untuk diteliti lebih lanjut pada penelitian-penelitian aksi kolektif di masa
depan.

1
Pengantar Fenomena

Aksi Pergerakan Politik Keagamaan: Aksi Bela Islam


Belakangan ini sering terjadi pergerakan kelompok keagamaan, khususnya Islam
di Indonesia. Pada catatan pemberitaan sepanjang akhir 2016 hingga awal 2017
terdapat berbagai aksi yang didasari oleh kasus penistaan kitab suci umat Islam.
Awalnya, Front Pembela Islam (FPI) menginisiasi pergerakan yang pada
perkembangannya dinamakan Aksi Bela Islam sebagai respon terhadap kasus yang
berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta atau seruan penolakan calon Gubernur DKI
Jakarta yang non-Muslim. Aksi yang diawali 14 Oktober 2016, dilanjutkan dengan

ter
Aksi Bela Islam II atau aksi 411 (4 November 2016), semula merupakan aksi damai,
tetapi berujung ricuh dan bentrok akibat provokasi sekelompok massa sehingga ratusan
orang terluka dan puluhan unit mobil aparat dirusak (Rahmat, 2016).

ap
Aksi tersebut berlanjut dengan Aksi Bela Islam jilid III yang dilakukan pada
tanggal 2 Desember 2016 dan dikenal luas dengan nama aksi 212. Aksi yang disebut-

Ch
sebut sebagai aksi ‘super’ damai ini diisi dengan kegiatan keagamaan, bahkan turut
dihadiri oleh kepala negara Republik Indonesia. Aksi 212 ini tidak hanya berkaitan
dengan isu gubernur non-Muslim, tetapi juga dilandasi oleh adanya kasus penistaan
kitab suci Al-Quran melalui surah Al-Maidah ayat 51 oleh calon gubernur DKI Jakarta,
ok
Basuki Tjahja Purnama. Hal yang menarik dari aksi yang ketiga ini adalah adanya
penghitungan jumlah peserta aksi melalui tampilan GoogleMap yang diperkirakan dua
Bo

kali lipat dari peserta aksi jilid II. Dalam penghitungan tersebut, ada yang
memperkirakan aksi 212 mencapai 6,4 juta peserta aksi (Pratiwi, 2016). Jumlah tersebut
seringkali dibulatkan dan disebut sebagai aksi 7 juta muslim oleh beberapa pihak
ed

tertentu. Para peserta aksi berasal dari masyarakat umum, organisasi masyarakat,
kelompok pengajian, organisasi mahasiswa, dan organisasi politik yang tersebar dari
pt

berbagai daerah di Indonesia.


Selain tiga aksi tersebut, umat Muslim yang dikomandoi oleh beberapa tokoh
ce

agama ternama di Indonesia melanjutkan aksi-aksi di jilid berikutnya, seperti aksi jilid
IV, jilid V, aksi 313, dan aksi-aksi lain yang seringkali disebut sebagai bentuk
Ac

representasi aksi dari alumni 212. Seakan tidak berhenti, aksi-aksi alumni ini terus
berlanjut hingga tahun 2019 dan seringkali dilakukan pada tanggal-tanggal khusus
(Lova, 2019), seperti 2 Desember atau 21 Februari untuk meninggalkan memori
kolektif mengenai aksi 212. Secara umum, jenis-jenis aksi yang dilakukan saat Aksi
Bela Islam adalah protes, orasi, long march, hingga kegiatan keagamaan.

Aksi Pergerakan Politik oleh Mahasiswa


Selain aksi-aksi politik keagamaan, aksi yang berasal dari mahasiswa Indonesia
juga menarik untuk dibahas. Sejak kemerdekaan hingga sekarang tidak terhitung aksi-
aksi pergerakan mahasiswa yang dilakukan untuk tujuan politik, sosial, budaya,
ekonomi, lingkungan, dan bidang-bidang lainnya. Sepanjang sejarah Indonesia
merdeka, salah satu aksi pergerakan mahasiswa yang dianggap besar dan berhasil
mencapai tujuan aksi adalah demonstrasi reformasi 1998. Aksi ini menumbangkan
rezim Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Mulanya aksi 1998 yang didasari oleh krisis ekonomi 1997 terjadi di beberapa
kota besar dan memuncak saat Maret 1998, yaitu ketika Soeharto terpilih kembali
menjadi presiden (Firdausi, 2019). Sejarah menjelaskan bahwa terjadi peristiwa
berdarah 12 Mei 1998 yang ditandai dengan meninggalnya 4 orang mahasiswa Trisakti
yang tertembak aparat (Firdausi, 2019). Hal ini menyebabkan aksi keesokan harinya

2
menjadi lebih mengganas. Di pusat ibu kota terjadi pembakaran tempat-tempat umum
yang berakibat 4.000 bangunan terbakar dan menewaskan 499 orang (Firdausi, 2019).
Beberapa aksi lain juga berujung ricuh, bentrok, dan diikuti dengan penjarahan massa.
Sementara, ribuan mahasiswa juga menduduki gedung DPR/MPR sambil menuntut
reformasi yang berdampak pada mundurnya Soeharto dari jabatannya pada 21 Mei
1998.
Penghujung tahun 2019 juga terjadi aksi mahasiswa di berbagai kota di Indonesia.
Aksi dimulai dari Yogyakarta oleh ratusan aktivis mahasiswa dengan nama aksi
“Gejayan Memanggil”. Aksi dilakukan di Jalan Gejayan pada 23 September 2019,
tempat yang dulu pada 8 Mei 1998 seorang mahasiswa bernama Moses Gatotkaca

ter
meninggal dunia setelah mengikuti aksi (Putsanra, 2019). Aksi damai Gejayan
Memanggil ini menginisiasi sejumlah aksi lain pada beberapa hari berikutnya di
berbagai daerah. Tuntutan mahasiswa berkutat seputar rancangan perundang-

ap
undangan, aturan tata laksana kelembagaan, militerisme di Papua, lingkungan, hingga
HAM dan perlindungan aktivis. Sebagai catatan, aksi saat itu juga dilakukan oleh anak

Ch
SMK di Jakarta. Beberapa aksi berlangsung damai, beberapa di antaranya berakhir
ricuh dan bentrok dengan aparat.
Pada beberapa hal yang disampaikan di atas terdapat beberapa pertanyaan penting,
yaitu:
ok
- Apa faktor sosiopsikologis yang mendasari individu-individu berpartisipasi
pada serangkaian aksi-aksi tersebut?;
Bo

- Mengapa terdapat aksi yang sifatnya damai dan ada pula yang mengedepankan
kekerasan?;
- Mengapa aksi-aksi tersebut terus berlanjut hingga berkali-kali?
ed

Beberapa pertanyaan penting ini akan coba dibahas menggunakan paparan


penjelasan teoretis dan empiris terkait aksi-aksi pergerakan dengan perspektif psikologi
pt

politik.
ce

Pengertian Aksi Kolektif dan Jenisnya


Ac

Definisi Aksi Kolektif


Contoh fenomena aksi politik tersebut di atas, baik yang dilakukan atas nama
agama dan oleh mahasiswa, menjadi fokus kajian penting di Psikologi Politik.
Demonstrasi, protes, long march, orasi, pembakaran ban, teatrikal di jalanan, dan aksi-
aksi lain dikategorikan sebagai aksi kolektif. Aksi kolektif dapat diartikan sebagai aksi
yang melibatkan anggota kelompok sebagai bentuk representasi kelompok (Wright,
Taylor, & Moghaddam, 1990). Meskipun fenomena aksi kolektif berkaitan dengan
kelompok, tetapi aksi kolektif lebih berkaitan dengan keputusan individu untuk terlibat
atau tidak dalam suatu aksi (van Stekelenburg & Klandermans, 2009).
Terdapat perbedaan jelas antara aksi individu dengan aksi kolektif. Namun, perlu
ditegaskan bahwa sebuah aksi yang dilakukan oleh seorang individu dapat
dikategorikan sebagai aksi kolektif sepanjang yang dilakukannya adalah bagian dari
aksi kelompok, membawa tujuan kelompok, diikuti dengan pengkategorian diri
(identitas kolektif), dan berintensi pada kelompok (Wright, 2001, 2009). Sebaliknya,
menurut Wright (2001; 2009), banyaknya individu yang ikut serta dalam sebuah aksi
secara bersama-sama dimungkinkan tidak merepresentasikan aksi kolektif karena
masing-masing justru membawa kepentingan pribadi. Perbedaan antara aksi individu
dengan aksi kolektif dapat dipahami dengan contoh berikut:

Contoh Aksi 1 Berkelompok:

3
Mahasiswa berdemo di depan gedung atau kantor Dekan untuk menuntut nilai mata
kuliah mereka yang sangat rendah karena tidak ada yang lulus di satu mata kuliah
tertentu.

Penjelasan:
Mahasiswa berkelompok melakukan aksi, tetapi mereka membawa tujuan pribadi,
yaitu ingin mengubah nilai mata kuliah mereka sendiri. Aksi dikategorikan sebagai
aksi individu.

Contoh Aksi 2 Berkelompok:

ter
Mahasiswa berdemo di depan gedung atau kantor Dekan untuk menuntut penurunan
biaya pendidikan karena membebani teman-teman mereka yang tidak mampu.

ap
Penjelasan:
Mahasiswa berkelompok melakukan aksi, tetapi mereka membawa tujuan kelompok,

Ch
yaitu menurunkan biaya pendidikan dari kelompok mereka. Aksi dikategorikan
sebagai aksi kolektif.
Contoh Aksi 3 dilakukan sendirian: ok
Seseorang yang mengaku sebagai ayah dari mahasiswa datang ke kantor Dekan
menuntut ketidaklulusan anaknya di satu mata kuliah.
Bo

Penjelasan:
Aksi seorang ayah ini membawa tujuan pribadi, yaitu menuntut ketidaklulusan
anaknya. Aksi dikategorikan sebagai aksi individu.
ed

Contoh Aksi 4 dilakukan sendirian:


Seorang mahasiswa mendapat ajakan untuk menandatangani suatu petisi untuk
pt

menuntut penurunan biaya pendidikan di universitas mereka. Mahasiswa ini mengisi


petisi daring secara individual di rumah.
ce

Penjelasan
Ac

Aksi mahasiswa dilakukan sendirian di rumah, tetapi membawa tujuan kelompok,


yaitu menurunkan biaya pendidikan. Aksi dikategorikan sebagai aksi kolektif.

Dari contoh tersebut, aksi kolektif menunjukkan perilaku antarkelompok yang


spesifik dalam usaha strategis untuk mengubah posisi kelompok (Wright, 2009). Hal
ini berbeda dengan aksi individual yang dirancang untuk mengubah posisi personal
(Wright, 2009). Usaha untuk mengubah posisi atau situasi kelompok dapat berkaitan
dengan kondisi didiskriminasi, dirugikan, dan ketidakadilan yang dialami kelompok
(Koomen & Pligt, 2016; Tausch dkk., 2011). Aksi kolektif dilakukan oleh individu
sebagai representasi kelompok untuk mengubah kondisi, kekuatan, status, dan
pengaruh pada seluruh kelompok (van Zomeren & Iyer, 2009; S. C. Wright dkk., 1990).
Aksi kolektif merupakan dasar dari gerakan sosial yang bertujuan untuk
mencapai perubahan sosial (Oliver, 2013). Secara definisi, aksi kolektif dapat
dijelaskan berbeda dengan konsep lain, seperti perilaku kolektif (collective behavior).
Oliver (2013) mendefinisikan perilaku kolektif sebagai perilaku yang muncul tiba-tiba
atau secara spontan, misalnya perilaku kekerasan di kerumunan (crowd). Oliver
membedakan aksi kolektif dan perilaku kolektif terutama dari sisi orientasi tujuan dan
spontanitas. Contoh aksi kolektif adalah protes dan pergerakan sosial, sementara contoh
perilaku kolektif adalah kerusuhan dan penjarahan (Oliver, 2013).

4
Istilah lain yang cukup dikenal kalangan ilmuwan sosial adalah gerakan sosial
(social movement). Gerakan sosial memiki 3 elemen utama, yakni (1) collective
challenges, muncul karena kurangnya akses politik terhadap kepentingan kontroversial
yang melibatkan elit, otoritas, kelompok lain, dan budaya; (2) common purpose and
solidarity, bertujuan mengubah keadaan atau membatalkan perubahan serta terjadi
karena adanya identitas kolektif dan solidaritas; (3) tidak terjadi secara tiba-tiba, aksi
yang tiba-tiba bukan merupakan manifestasi gerakan sosial (Klandermans, 2003). Saya
mendefinisikan pergerakan sosial adalah akumulasi dari aksi kolektif yang dilakukan
melalui aksi terencana, sistematik, dan berkelanjutan hingga tujuan gerakan tercapai.
Contohnya adalah gerakan sosial feminisme yang dilakukan dengan banyak rangkaian

ter
aksi dan berlangsung hingga sekarang.
Berbagai uraian mengenai aksi kolektif, perilaku kolektif, dan gerakan sosial
dapat mempermudah proses pendefinisian aksi kolektif itu sendiri. Aksi kolektif

ap
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Aksi dapat dilakukan secara berkelompok atau
individual; (2) Aksi membawa tujuan kelompok, bukan tujuan individual (personal);

Ch
(3) Aksi seringkali diikuti dengan pengategorian diri pada sebuah kelompok; (4) Aksi
dilakukan secara terencana, sistematik, dan berorientasi tujuan, serta tidak terjadi secara
tiba-tiba.
Dari ciri-ciri tersebut maka definisi yang direkomendasikan untuk menjelaskan
ok
aksi kolektif adalah segala bentuk aksi terencana dan sistematik yang dilakukan oleh
kelompok atau individu sebagai anggota kelompok yang merupakan usaha untuk
Bo

mencapai tujuan kelompok. Sebagai contoh, aksi protes yang dilakukan mahasiswa di
gedung DPR September 2019 silam adalah bentuk aksi kolektif yang dilakukan berkali-
kali dan terencana dengan rapi. Aksi tanda tangan petisi secara daring yang dilakukan
ed

oleh individu saat di rumah, di kantor, atau di tempat mana pun adalah bentuk aksi
kolektif. Baik contoh aksi protes dan aksi tanda tangan petisi sama-sama membawa
pt

tujuan kelompok meskipun diikuti dengan jumlah partisipan yang berbeda-beda.


Aksi kolektif diteliti dengan konteks yang berbeda-beda. Beberapa riset
ce

mengusung isu pendidikan (Tausch dkk., 2011; Giguere & Lalonde, 2010; Shepherd
dkk., 2013), lingkungan (Thomas, McGarty, & Mavor, 2016; Schumann & Klein,
Ac

2015; Thomas & Louis, 2014), kebijakan politik negara, (Tausch dkk., 2011; Alberici
& Milesi, 2013; Shepherd dkk., 2013), dan keagamaan (Tausch dkk., 2011; Tabri &
Conway, 2011). Di Indonesia, fenomena berkaitan dengan pergerakan kelompok agama
dan mahasiswa terus terjadi. Aksi kolektif tidak hanya dilakukan dengan long march
dan protes damai, tetapi ada beberapa yang mengarah pada kekerasan dan tidak sesuai
norma masyarakat, sebagaimana telah dipaparkan di fenomena awal.

Jenis-Jenis Aksi Kolektif


Wright (2001) membedakan beberapa jenis aksi. Wright merujuk pada aksi yang
ditujukan untuk melawan keadaan yang dianggap merugikan kelompok. Lima jenis
respon individu atau kelompok terhadap keadaan adalah: (1) tidak bereaksi; (2) aksi
individual normatif; (3) aksi individual nonnormatif; (4) aksi kolektif normatif; dan (5)
aksi kolektif nonnormatif. Selanjutnya, aksi kolektif dikategorikan oleh Becker dan
Tausch (2015) dari aksi yang bersifat damai hingga bentuk aksi yang lebih radikal.
Berdasarkan Wright (2001); dan Becker dan Tausch (2015); aksi kolektif dapat
dibedakan menjadi dua jenis (Tausch dkk., 2011; Thomas & Louis, 2014; Wright,
2009):
1. Aksi kolektif normatif, yaitu aksi yang cenderung damai atau tanpa kekerasan.
Contohnya adalah demonstrasi damai dan tanda tangan petisi.

5
2. Aksi kolektif nonnormatif, yaitu aksi yang radikal dan disertai kekerasan atau
aksi nonnormatif. Contohnya adalah sabotase, kekerasan, dan terorisme.
Beberapa riset aksi kolektif di psikologi sosial lebih berfokus menjelaskan aksi
normatif atau aksi moderat tanpa kekerasan (Becker & Tausch, 2015; van Zomeren,
2015b). Aksi kolektif yang tadinya damai dapat berubah menjadi ekstrim ketika aksi
yang lebih diterima secara sosial tidak berhasil sehingga kekerasan menjadi pilihan
individu/kelompok (Hoog & Abrams, 2007). Melalui fenomena yang terjadi pada
pergerakan Islam di Indonesia, aksi kolektif tidak hanya ditampilkan dengan long
march dan protes damai, tetapi ada beberapa aksi yang mengarah pada kekerasan dan
tidak sesuai dengan norma masyarakat, misalnya ketika bentrok antara aparat dan

ter
anggota FPI yang berunjuk rasa terkait pelantikan gubernur DKI Jakarta, Basuki Thaja
Purnama (Faqih, 2014; Salim, 2014).
Aksi kolektif dapat dilakukan secara langsung dengan turun ke jalan (seperti

ap
berdemo) dan melalui media daring (seperti tanda tangan petisi daring). Terdapat dua
riset oleh Wilkins, Livingstone, dan Levine (2019); serta Lane, Kim, Lee, Weeks, dan

Ch
Kwak (2017); yang membedakan jenis aksi kolektif yang dilakukan secara langsung
dan menggunakan media internet. Menurut Wilkins dkk. (2019) dan Lane dkk. (2017),
seseorang yang melakukan aksi kolektif di internet akan cenderung mengikuti aksi
kampanye lain di masa depan hanya jika ia yakin bahwa aksinya berkontribusi pada
ok
tujuan aksi. Ini menjelaskan bahwa aksi-aksi di media daring dapat bertransformasi
menjadi aksi luring hingga turun ke jalan.
Bo

Sejarah Perkembangan Studi Aksi Kolektif


ed

Gustave Le Bon, seorang Psikolog Francis, mengembangkan teori Crowd yang


diiilhami dari kerusuhan revolusi di Prancis. Teori ini lebih jelasnya dapat dibaca di
pt

buku The Crowd: A Study of the Popular Mind yang diterbitkan di tahun 1895 (Locher,
2002). van Stekelenburg dan Klandermans (2009) menyepakati bahwa Gustave Le Bon
ce

adalah Bapak pelopor studi aksi kolektif. Gustave Le Bon memaparkan bahwa apa pun
jenis aksi protes jalanan merupakan perilaku menyimpang, tidak rasional, dan
Ac

destruktif. Gustave Le Bon turut mengembangkan teori penularan atau dikenal dengan
istilah Contagion Theory. Ia percaya bahwa terdapat insting hewan yang menyebar
melalui “maddening crowd” atau kerumunan yang menggila dan menginfeksi orang-
orang yang berada dalam kerumunan (Locher, 2002). Jika menggunakan contoh saat
penjarahan saat terjadi kerusuhan, orang-orang yang awalnya tidak ingin mengambil
barang jadi ikut-ikutan menjarah barang yang bukan miliknya karena proses penularan
ini.
Setelah Le Bon, muncul beberapa teori lain, seperti Emergent Norm Perspective
oleh Ralph Turner dan Lewis Killian tahun 1957; the value-adeed theory oleh Niel
Smelser tahun 1962; SBI atau interaksionis/behaviorist simbolis oleh Clark McPhail
tahun 1970-an; hingga teori yang berfokus pada individual (individualist theories),
seperti convergence theory, learning theory, dan social identity theory (Locher, 2002).
Untuk membatasi kajian mengenai aksi kolektif dan perilaku kolektif, saya tidak
membahas lebih lanjut teori-teori ini. Alasannya adalah teori-teori ini lebih berkaitan
dengan tingkah laku kolektif (collective behavior) atau juga di istilah lain disebut
sebagai crowd behavior.
Ketika membahas mengenai aksi kolektif maka perlu melihat ulasan literatur
klasik mengenai gerakan sosial di sosiologi. Pada pembagian periodisasi yang
dijelaskan oleh Melucci (1980), ia membagi dua periode berdasarkan konteks isu
gerakan, yaitu:

6
1. Periode I, sebelum tahun 1960-an dianggap sebagai gerakan sosial lama yang
ditandai dengan pertentangan kelas sosial, seperti yang terjadi pada zaman
Marxisme;
2. Periode II, setelah tahun 1960-an dan puncaknya pada tahun 1980-an dikenal
sebagai gerakan sosial baru (New Social Movement) yang tidak hanya
membahas isu kelas sosial tetapi meluas pada isu gender, ras, etnis,
seksualitas dan lain-lain (Buechler, 2013; van Stekelenburg, Klandermans, &
van Dijk, 2009).
Selain itu, Klandermans dan van Stekelenburg (2013) mempermudah penjelasan
mengenai kajian sejarah dan perkembangan riset gerakan sosial dengan membuat 4

ter
periode perkembangan studi gerakan sosial, yaitu:
1. Periode I (1950-1970-an), muncul perspektif interaksionisme simbolik,
fungsionalisme struktural, dan deprivasi relatif;

ap
2. Periode II (1970-1980-an), perspektif yang berlandaskan pada sumber daya,
pilihan rasional, teori aksi kolektif, dan kesempatan struktur politik;

Ch
3. Periode III (akhir 1980 hingga awal 1990-an), mulai terjadi pembahasan
perspektif kognisi dan afeksi sebagai hasil dari pertukaran ilmu antara ahli
pergerakan sosial Amerika dan Eropa;
4. Periode IV (menuju 2000-an), studi-studi mulai mengelaborasi konstruksi
ok
sosial melalui peran framing, identitas kolektif, dan emosi pada konteks
pergerakan sosial.
Bo

Periode I
Penjelasan gerakan sosial melalui literatur klasik dimulai pada periode I (1950-
ed

1970-an) melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif interaksionisme simbolik


menganggap gerakan sosial terbentuk karena interaksi antara orang-orang yang tidak
pt

puas dengan kondisi yang ada (Blumer, 1951; Turner & Killian, 1987). Blumer terkenal
dengan bukunya The Field of Collective Behavior yang dicetak pada 1939 dan kembali
ce

dicetak pada 1951; sementara Turner dan Killian terkenal dengan bukunya Collective
Behavior di tahun 1959 yang dicetak kembali pada tahun 1972 dan 1987 (Snow, della
Ac

Porta, Klandermans, & McAdam, 2013). Buechler (2007) menjelaskan bahwa karya
Blumer mengemukakan hubungan yang kuat antara ketegangan atau kerusakan dengan
konsep yang khas pada perilaku kolektif (seperti kerumunan/crowd, massa, publik, dan
gerakan) yang menekankan pada karakter spontan, menular, bersemangat, dan tidak
masuk akal. Sederhananya, pada saat itu perilaku kolektif dianggap sebagai hal yang
negatif dan mengganggu ketertiban sosial, seperti kerusuhan.
Selanjutnya, Turner dan Killian mengembangkan pendekatan Blumer dengan
menganalisis norma-norma yang muncul dalam perilaku kolektif (Buechler, 2007).
Melalui pendekatan teori Turner dan Killian—biasa disebut dengan the emergent norm
theory—dipahami bahwa perilaku kolektif spontan sebenarnya terbentuk akibat dari
norma sosial baru yang situasinya dianggap ambigu atau membingungkan bagi
beberapa orang. Kebanyakan orang beranggapan bahwa mengambil barang milik toko-
toko di sepanjang jalan tidak dibenarkan oleh norma sosial, tetapi dalam situasi
kerusuhan di mana beberapa orang melakukan penjarahan secara spontan maka muncul
norma sosial baru yang beranggapan bahwa boleh saja mengambil barang karena saat
itu terjadi kebingungan antara boleh atau tidak boleh mengambil barang.
Kedua, pada perspektif fungsionalisme struktural, Smelser (1962) melalui
bukunya Theory of Collective Behavior menjelaskan bahwa gerakan sosial adalah
proses untuk mengembalikan keseimbangan sehingga struktur yang ada di masyarakat
menjadi kondusif dan berkurang ketegangannya. Marx (2012) menjelaskan bahwa apa

7
yang disampaikan Smelser pada zamannya lebih banyak membahas dan mengkritik
penjelasan perilaku kolektif di 1950-an, terutama bahasan terkait panik, kegilaan,
ledakan permusuhan, dan gerakan sosial yang berorientasi pada nilai dan norma.
Beberapa jenis perilaku kolektif tidak selalu berujung pada hal-hal yang negatif, tetapi
dapat berakhir dengan terjadinya kondisi ekuilibrium. Mari kita lihat kasus kerusuhan
pada tahun 1998 di beberapa kota Indonesia, akibat situasi ekonomi yang tidak stabil,
dilakukan aksi-aksi protes hingga berujung pada kerusuhan yang tidak terkontrol. Jika
dikaitkan dengan teori Smelser maka apa yang dilakukan masyarakat dan mahasiswa
pada masa itu lebih bertujuan untuk mencapai keseimbangan (ekuilibrium) kondisi
ekonomi.

ter
Ketiga, penjelasan terakhir di periode I adalah gerakan sosial yang berfokus pada
deprivasi relatif (Davies, 1962; Gurr, 1970). Deprivasi relatif dianggap sebagai
persepsi pada ketidakseimbangan antara nilai dan kapabilitas nilai (Gurr, 1970;

ap
Firestone, 1974), atau sederhananya ada kesenjangan yang besar antara apa yang
didapat dengan apa yang pantas diterima (Tilly, 1970). Saat itu Gurr mengemas

Ch
penjelasannya pada buku Why Man Rebel yang menceritakan tentang kekerasan politik
(Tilly, 1970). Untuk menjelaskan kekerasan politik yang terjadi, Gurr (1970)
mengaitkan teori deprivasi relatif dengan teori frustasi-agresi. Semakin besar frustasi
maka semakin besar pula agresi yang dilakukan untuk melawan frustasi. Postulat ini
ok
diadopsi Gurr (1970, hal. 9) menjadi, “Semakin tinggi intensitas deprivasi, semakin
besar pula ukuran kekerasan.”
Bo

Saya berpandangan bahwa tiga perspektif di periode I ini lebih memosisikan


penjelasan gerakan sosial pada perilaku kolektif kekerasan yang erat kaitannya dengan
konteks politik sesuai peristiwa yang terjadi pada zaman saat itu. Jika kita tarik ke
ed

sejarah, pada tahun 1950-1960-an terjadi perpecahan di masyarakat kapitalis,


selanjutnya di tahun 1960-1970-an ditandai dengan revolusi kelas buruh (Tarrow,
pt

2011). Tidak heran jika perkembangan teori perilaku kolektif pada periode ini
mengarah pada aksi-aksi yang negatif dan merugikan.
ce
Ac

Periode II
Periode II (1970-1980-an) lahir dari kritik periode I bahwa tidak semua orang
yang dirugikan akan melakukan gerakan sosial (Klandermans & van Stekelenburg,
2013). Penjelasan pertama pada periode II ini adalah perspektif Resource Mobilization
Theory (RMT). Teori ini berfokus pada apa yang membuat orang merasa dirugikan atau
tidak ketika mengikuti pergerakan sosial (McCarthy & Zald, 1977). Singkatnya, RMT
membawa arah peran faktor instrumental berupa pertimbangan harga (cost) dan
manfaat (benefit). Kemudian muncul perspektif model pilihan rasional (Klandermans,
1984) dan teori aksi kolektif melalui penyediaan barang publik (public goods) (Olson,
1965). Secara sederhana, public goods dapat dipahami sebagai kepentingan bersama
dari suatu kelompok (Olson, 1965). Teori-teori pada periode ini mengarah ke
penjelasan bahwa partisipasi seseorang pada aksi kolektif bergantung pada besarnya
keuntungan daripada kerugian (Klandermans & van Stekelenburg, 2013).
Penjelasan terakhir di periode II adalah faktor kesempatan politik yang berusaha
menarik penjelasan sumber daya ke ranah politik (McAdam, 1982; Tarrow, 1998).
Secara khusus, Tarrow menempatkan struktur kesempatan politik pada gerakan sosial
(Tarrow, 2011). Kontribusi utama Tarrow adalah “power in movement” yang menjadi
perdebatan dan menstimulasi perkembangan penelitian gerakan sosial (della Porta,
1994). Mobilisasi gerakan dapat terjadi karena dukungan faktor eksternal berupa

8
kesempatan untuk berekspresi dan akses terhadap kekuasaan (power). Artinya ada
faktor kekuasaan pada suatu pergerakan.
Secara umum, kata kunci dari penjelasan periode II ini adalah: faktor
instrumental; sumber daya; dan pertimbangan untung-rugi; yang ditarik oleh ahli-ahli
saat itu ke ranah individual dan aktor politik. Jika dikaitkan dengan kasus-kasus gerakan
sosial, misalnya gerakan sosial perubahan iklim, maka gerakan seperti ini
membutuhkan sumber daya baik manusia atau pun dana untuk menggerakkannya.
Namun, jika dikaitkan pada sisi individu, ketika seseorang ingin mengikuti suatu
gerakan sosial, maka ia akan mempertimbangkan apa untung dan ruginya ketika ikut
atau tidak ikut aksi. Inilah poin penting dari faktor instrumental yang menentukan

ter
keputusan individu untuk terlibat lebih jauh dengan pergerakan.

Periode III

ap
Periode III (akhir 1980 hingga awal 1990-an) ditandai dengan interaksi peneliti
Amerika dan Eropa yang membuka beberapa perspektif baru pada studi gerakan sosial,

Ch
yaitu mengembangkan peran kognisi dan afeksi melalui konstruksi sosial
(Klandermans & van Stekelenburg, 2013). Saya menilai Periode III sebagai masa
transisi menuju periode di satu setengah dekade berikutnya. Paradigma yang digunakan
untuk menjelaskan aksi di periode ini menggunakan pendekatan konstruktivistik
ok
daripada pendekatan struktural, sebagaimana yang terjadi periode II. Pada periode III,
para ilmuwan mengkritisi bahwa keluhan (grievance), sumber daya, dan kesempatan
Bo

(opportunity) adalah hasil dari adanya gerakan sosial; dan bukan sesuatu yang
diperlukan agar gerakan sosial dapat berkembang (Klandermans & van Stekelenburg,
2013). Para ilmuwan lebih berpendapat bahwa hal yang juga diperlukan pada gerakan
ed

sosial adalah identitas kolektif yang dibangun oleh konstruksi sosial (Klandermans &
van Stekelenburg, 2013). Hal ini dimaksudkan bahwa identitas kolektif dibentuk oleh
pt

suatu masyarakat, misalnya isu feminis yang muncul pada tahun 1980-an (gelombang
ketiga) yang menggambarkan bagaimana identitas kolektif sebagai kelompok
ce

perempuan menjadi sorotan penting. Identitas sebagai kelompok feminis dikonstruksi


atau dibangun oleh masyarakat sosial saat itu dan terus berkembang hingga sekarang.
Ac

Hal yang mungkin terjadi berikutnya adalah aspek afeksi (emosi) masyarakat saat itu
dalam menyikapi isu gender yang juga dikonstruksi secara sosial.
Sejak tahun 1990-an terjadi perubahan drastis di mana konteks aksi meluas di
ranah sosial politik, globalisasi, serta jaringan dan sistem informasi masyarakat (van
Stekelenburg & Klandermans, 2009). Gerakan-gerakan sosial berkembang pada level
sinergi antara supranasional (liberalisasi dan globalisasi) dan nasional (sistem politik
negara tertentu).
Seperti yang disampaikan sebelumnya, periode III ini adalah periode transisi.
Ketika sistem informasi semakin berkembang pesat maka penyebaran informasi lintas-
negara semakin mudah. Pada saat mendekati tahun 2000-an, perkembangan zaman dan
teknologi dengan segala keterbukaannya telah membuat aksi-aksi yang berasal dari satu
wilayah dapat meluas ke seluruh wilayah dunia. Proses penyebaran informasi ini tentu
membutuhkan proses kognisi. Untuk itu, bukan tidak mungkin ada pergeseran
pemahaman masyarakat suatu negara mengenai suatu isu tertentu, misalnya tentang isu
feminis yang menyebar di seluruh penjuru dunia.

Periode IV
Pada periode IV (menuju tahun 2000-an) penelitian gerakan sosial berusaha
mengelaborasi peran framing, identitas kolektif, dan emosi (Klandermans & van
Stekelenburg, 2013). Periode ini bermula dari istilah frame alignment atau penyelarasan

9
bingkai (Snow, Rochford, Worden, & Benford, 1986). Cara penyelarasan bingkai
adalah dengan memahami situasi melalui proses kognisi. Saat itu, arah penelitian
gerakan sosial menuju pada riset gerakan sosial baru (Melucci, 1980) yang secara
spesifik mengembangkan perspektif identitas kolektif (Cohen, 1985). Perspektif
terakhir di periode IV adalah pengujian peran emosi (van Stekelenburg & Klandermans,
2010). Pembahasan emosi dimulai pada buku Passionate Politics yang dikarang oleh
Jeff Goodwin, James Jasper, dan Francesca Polletta tahun 2001 (Snow dkk., 2013). van
Stekelenburg dan Klandermans (2010) berpendapat bahwa pada masa ini dimulai
pembahasan mengenai proses psikologi melalui identitas, kognitif, motivasi, dan
emosi. Bagi ilmuwan psikologi sosial, fokus kajian yang mereka kembangkan pada

ter
periode ini adalah mengenai teori identitas sosial dan teori emosi antarkelompok
(Klandermans & van Stekelenburg, 2013). Ini artinya penelitian aksi kolektif di tahun
2000-an lebih banyak mengupas faktor individual, yakni menjelaskan bagaimana

ap
individu dapat berpartisipasi pada sebuah aksi, bagaimana proses, dan dinamika
intrapsikis individu, dan bagaimana pengaruh aksi kolektif dan kelompok pada keadaan

Ch
psikologis individu.

Periode Sekarang
Fokus kajian penelitian aksi kolektif lebih menitikberatkan pada faktor identitas.
ok
Hal ini dimulai dengan hasil meta analisis van Zomeren, Postmes, dan Spears (2008)
yang mengembangkan model aksi kolektif berbasis identitas sosial yang dinamakan
Bo

Social Identity Model Collective Action (SIMCA). SIMCA dikembangkan lagi oleh
van Zomeren (2013; 2015a; 2015b) dengan mengidentifikasi 4 prediktor, yakni
identitas sosial, amarah berbasis kelompok, efikasi kelompok, dan moralitas. Model
ed

SIMCA menjadi dasar banyak peneliti aksi kolektif, salah satunya Beker dan Tausch
(2015) dalam mengembangkan model integratif yang komprehensif dari aksi kolektif
pt

normatif dan nonnormatif melalui skema anteseden, prediktor, aksi, dan konsekuensi.
Dengan menggunakan perspektif yang serupa, lahir model ESIMCA, di mana E
ce

adalah Encapsulated. Thomas, Mcgarty, dan Louis (2014) mengajukan analisis tentang
interaksi kelompok. Penjelasan ini berlandaskan pada kekuatan dimensi identitas sosial,
Ac

yakni ikatan kelompok dan sentralitas. Sedikit berbeda dengan SIMCA, ESIMCA
menjelaskan faktor lain, yaitu persepsi ketidakadilan dan efikasi kolektif yang
berkontribusi pada pembentukan identitas sosial khususnya saat kelompok belum
terbentuk (Thomas, Mavor, & McGarty, 2012). Secara lengkap dinamika prediktor-
prediktor aksi kolektif akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.

Faktor-faktor penyebab keikutsertaan aksi

Jika menggunakan berbagai sudut pandang keilmuan, banyak hal yang dapat
menjelaskan mengapa orang-orang mengikuti aksi. Namun, pada pembahasan ini saya
hanya akan menyampaikan faktor penyebab dari sudut pandang ilmu perilaku.
Beberapa studi aksi kolektif di psikologi sosial menjelaskan dinamika prediktor atau
penyebab aksi kolektif melalui model-model teoretis. Model teoritis aksi kolektif ini
mengacu pada pendekatan sosiopsikologis. Satu di antara sekian banyak model adalah
model dual pathway yang pertama kali dikembangkan oleh van Zomeren, Spears,
Fischer, dan Leach (2004). Model ini melibatkan dua variabel penting, yaitu emosi dan
persepsi efikasi sebagai motivasi aksi kolektif (Saab, Tausch, Spears, & Cheung, 2015;
Tausch dkk., 2011). Akar dari pengembangan model ini berasal dari pendekatan koping
stress oleh Richard Lazarus pada tahun 1991, yakni koping yang berfokus pada emosi

10
(emotion-focused coping) dan problem (problem-focused coping) (Shi, Hao, Saeri, &
Cui, 2014).
Model lain yang dikembangkan lebih integratif adalah pendekatan social identity
model of collective action (SIMCA) yang menjelaskan beberapa hal penting yang
mempengaruhi aksi kolektif yaitu: identitas sebagai faktor sentral; terjadi melalui emosi
marah berbasis kelompok sebagai respon ketidakadilan; dan efikasi kelompok sebagai
motivasi instrumental (van Zomeren dkk., 2008). Model ini dikembangkan dengan
menambahkan keyakinan akan pelanggaran standar moral sebagai katalisator dari tiga
prediktor sebelumnya (van Zomeren, 2013, 2015a). Ada pula model pengembangan
SIMCA pada kelompok yang belum terbentuk, yakni encapsulation model of social

ter
identity in collective action (EMSICA) di mana dalam model ini tidak melibatkan faktor
moralitas (Thomas, Mavor, & McGarty, 2012). Contoh-contoh pendekatan tersebut
sama-sama berusaha mengkaji pendekatan sosiopsikologis individu tetapi dengan cara

ap
yang berbeda (Thomas dkk., 2012).
Model-model yang telah dijelaskan mengarahkan beberapa prediktor aksi

Ch
kolektif yang dapat diidentifikasi berupa identitas sosial, reaksi ketidakadilan berbentuk
amarah berbasis kelompok, efikasi kelompok (Tabri & Conway, 2011; Thomas,
McGarty, & Mavor, 2016; Thomas dkk., 2012; van Zomeren dkk., 2008) serta faktor
moralitas (van Zomeren, 2013, 2015a). Penelitian aksi kolektif mengalami pergeseran
ok
dari studi yang hanya menghubungkan satu variabel prediktor ke variabel outcome ke
arah model yang lebih integratif (van Zomeren, 2015a). Model integratif aksi kolektif
Bo

pernah diuji oleh Tausch dkk. (2011), tetapi masih belum melibatkan motivasi moral.
Sementara itu, van Zomeren dkk. (2011) serta van Zomeren, Postmes, dan Spears
(2012) memasukkan moralitas dalam model teoritik.
ed

Model teoretik akan sangat mungkin mengalami pergeseran pola dan tambahan
variabel lain (seperti ESIMCA, Thomas dkk., 2012), terutama jika diteliti pada
pt

partisipan yang pernah terlibat langsung pada aksi kolektif dan pada sampel spesifik
(misalnya di konteks Indonesia). Di antara beberapa model tersebut dapat disimpulkan
ce

beberapa faktor yang menjelaskan aksi kolektif adalah identitas, emosi, instrumental,
dan moralitas.
Ac

Untuk menambah pengetahuan terkini tentang faktor-faktor yang turut


berkontribusi pada penjelasan aksi kolektif, saya menambahkan beberapa faktor lain
yang perlu dipertimbangkan untuk diteliti pada konteks Indonesia. Jumlah studi-studi
aksi kolektif yang dilakukan oleh penulis Indonesia atau yang dilakukan di Indonesia
sangat minim sehingga pada paparan berikut akan banyak menggunakan referensi dari
penelitian luar Indonesia, tetapi diakhiri dengan contoh riset-riset yang dilakukan oleh
penulis Indonesia atau yang dilakukan di Indonesia.

Faktor Identitas
Identitas sosial menjadi faktor utama, tetapi belum tentu sebagai titik awal atau
dasar psikologis tunggal dari aksi kolektif (van Zomeren, 2015a). Dasar teori faktor ini
berasal dari teori identitas sosial atau social identity theory (SIT) yang pertama kali
dijelaskan oleh Henri Tajfel dan John Turner. Deaux (2000) menjelaskan definisi
identitas sosial sebagai struktur diri yang diartikan melalui keanggotaan kategorikal,
karakter relasi antarkelompok, dan hubungan individu dengan struktur sosial yang lebih
luas. SIT banyak digunakan untuk mengkaji topik terkait proses kelompok dan relasi
antarkelompok. Premis utamanya adalah ketika individu dihadapkan pada berbagai
situasi maka mereka akan berpikir tentang dirinya dan orang lain sebagai anggota dari
kelompok, melebihi dari keunikan individual (Ellemers & Haslam, 2012).

11
Sebelum menjelaskan bukti-bukti ilmiah tentang peran faktor identitas, perlu
ditegaskan dulu bagaimana dinamika psikologis dari faktor ini. Berdasarkan teori
identitas sosial, seseorang merasa sebagai bagian dari anggota kelompok melebihi dari
identitas dirinya. Kekuatan perasaan sebagai “kita” lebih kuat dari pada “saya”.
Selanjutnya, ada kelompok luar (outgroup) yang dianggap berbeda dengan kelompok
sendiri (ingroup) sehingga muncul istilah “kami” berbeda dengan “kalian”. Proses ini
akan berdampak pada perbedaan perasaan, pikiran, dan tingkah laku (Ellemers &
Haslam, 2012). Jika dikaitkan dengan aksi kolektif ketika seseorang merasa sebagai
“kami” (ingroup) menguat, ia akan berusaha melakukan apa pun untuk kelompoknya
sebagai bukti bahwa ia benar-benar merupakan bagian anggota kelompok (van

ter
Zomeren, Kutlaca, & Turner-Zwinkels, 2018). Saat aksi protes mahasiswa, sekelompok
mahasiswa yang memiliki rasa yang kuat sebagai anggota kelompok akan lebih mudah
tergerak melakukan aksi, dibandingkan dengan mahasiswa yang bukan bagian dari

ap
kelompok tersebut. Hal ini dapat menjawab mengapa ada mahasiswa yang turun ke
jalanan melakukan aksi protes, tetapi ada pula mahasiswa yang tidak ikut aksi.

Ch
Pada aksi kolektif, semakin kuat seseorang mengidentifikasikan dirinya pada
kelompok maka semakin ingin ia terlibat pada aksi. Hal ini telah dibuktikan oleh
berbagai penelitian (Shadiqi, Muluk, & Milla, 2018; Tausch & Becker, 2013; Thomas
dkk., 2016; van Zomeren, Postmes, dkk., 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ok
identitas sosial mampu memprediksi baik aksi kolektif normatif ataupun nonnormatif
(Becker & Tausch, 2015). Identitas sosial pada model van Zomeren (2015a) sebagai
Bo

variabel sentral dapat memengaruhi langsung aksi kolektif atau melalui efikasi
kelompok dan emosi berbasis kelompok terlebih dahulu. Secara spesifik, identitas
sosial yang bersifat politis lebih memprediksi aksi kolektif dibandingkan identitas
ed

nonpolitis (Alberici & Milesi, 2016; Shadiqi dkk., 2018; van Zomeren, Postmes, dkk.,
2008; van Zomeren, Spears, dkk., 2008). Jenis identitas politis ini seringkali disebut
pt

dengan identitas terpolitisasi. Identitas terpolitisasi diartikan sebagai identitas sebagai


keanggotaan pada suatu kelompok yang secara sadar berjuang untuk kekuasaan atas
ce

nama kelompok pada konteks masyarakat yang luas (Simon & Klandermans, 2001).
Lebih sederhana lagi, van Zomeren, Postmes, dkk. (2008) mengartikan identitas
Ac

terpolitisasi sebagai identitas “aktivis” untuk melakukan aksi kolektif. Secara


sederhana, identitas terpolitisasi adalah identitas yang menggambarkan keanggotaan
aktivis pergerakan. Jika seseorang berasal dari kelompok agama maka identitas
terpolitisasi merujuk pada identitas anggota aktivis pergerakan keagamaan.
Beberapa riset lain menemukan bahwa jenis identitas yang menjelaskan aksi
kolektif radikal adalah identitas religius atau keagamaan (Basedau, Strüver, Vüllers, &
Wegenast, 2011; Hirsch-hoefler, Canetti, & Eiran, 2016; Phalet, Baysu, & Verkuyten,
2010; Toft, 2007). Sedangkan penelitian lain menemukan identitas keagamaan dapat
berperan pada aksi kolektif normatif (damai) untuk memajukan tujuan agama (Phalet
dkk., 2010) dan untuk tujuan solidaritas (Shadiqi, Muluk, & Milla, 2020). Jenis
identitas ini mampu menjelaskan dukungan pada rekonsiliasi konflik melalui emosi
antarkelompok yang positif (Baysu, Coşkan, & Duman, 2018). Namun, pada aksi
kolektif damai di Indonesia, Shadiqi dkk. (2018) menemukan bahwa identitas
keagamaan (sebagai Muslim) tidak berpengaruh pada keikutsertaan seseorang pada
aksi disaat ada identitas lain yang menguat (identitas terpolitisasi). Selain identitas
terpolitisasi dan keagamaan, ada pula konsep dual identity untuk menjelaskan aksi
kolektif (Kanas & Martinovic, 2017; Klandermans, 2014; Klandermans, van der Toorn,
& van Stekelenburg, 2008).
Riset-riset aksi kolektif di Indonesia yang menggunakan faktor identitas sebagai
penjelasan aksi pernah dilakukan oleh Shadiqi (2017, 2019); Shadiqi dkk. (2018, 2020);

12
dan Yustisia, Shadiqi, Muluk, dan Milla (2019). Identitas terpolitisasi kuat menjelaskan
keinginan seseorang mengikuti aksi kolektif baik pada isu dukungan solidaritas
Palestina dan aksi pilihan politik saat Pilpres 2019 di Indonesia (Shadiqi, 2017; 2019;
Shadiqi dkk., 2018). Tidak hanya pada isu agama dan politik, riset lain juga
menjelaskan bagaimana peran identitas sosial memengaruhi keinginan para buruh di
kawasan Industri Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya untuk melakukan aksi
kolektif (Soeharso, 2009). Selain itu, penelitian Yustisia dkk. (2019) menjelaskan lebih
spesifik tentang pengaruh faktor identitas pada dukungan aksi kekerasan di antara 66
orang tahanan teroris di Indonesia. Temuan Yustisia dkk. (2019) menjelaskan bahwa
identitas sebagai mujahid/pelaku jihad memengaruhi secara kuat dukungan terhadap

ter
aksi teror kekerasan berbasis agama. Aksi kolektif radikal dapat dianggap sebagai
ekspresi dan tindakan aktivis yang memiliki identitas Islam radikal di Indonesia
(Hiariej, 2010). Dengan demikian, dari berbagai studi-studi aksi kolektif, faktor

ap
identitas yang dapat memprediksi keikutsertaan aksi adalah identitas sosial, identitas
terpolitisasi, identitas religius, dan dual identity.

Ch
Faktor Emosi
Terdapat beberapa jenis model dualitas jalur (dual pathway) dalam menjelaskan
aksi kolektif. Van Zomeren dkk. (2004) menjelaskan dual pathway aksi kolektif
ok
sebagai berikut: jalur pertama adalah koping terfokus pada emosi; dan jalur kedua
adalah koping terfokus pada masalah. Selanjutnya, model dual pathway dikemukakan
Bo

oleh Tausch dkk. (2011) dan Saab dkk. (2015). Kedua tim peneliti ini menjelaskan dual
pathway sedikit berbeda dengan yang sebelumnya, di mana: emotional pathway berupa
kemarahan menjadi respon dari motivasi aksi ketidakadilan; dan efficacy pathway
ed

berupa keyakinan bahwa permasalahan dapat terpecahkan secara kolektif sehingga


meningkatkan kemungkinan menjadi bagian dari kelompok untuk mengambil aksi.
pt

Selanjutnya, Giguere dan Lalonde (2010) mengintegrasikan dual pathway yang


berhubungan langsung dengan aksi kolektif, di mana jalur pertama disebut sebagai
ce

affective path (afeksi yang berkontribusi dalam pembentukan identitas kolektif); dan
jalur kedua disebut sebagai strategic path (persepsi nilai instrumental untuk
Ac

mempertimbangkan perbandingan biaya dan keuntungan).


Faktor emosi dalam menjelaskan aksi kolektif dapat dikategorikan menjadi dua
jenis, yakni emosi yang berbasis diri (self-based) dan berbasis kelompok (group-based)
(Becker dkk., 2011). Emosi berbasis diri berkaitan dengan pengalaman emosi sebagai
individu (Becker dkk., 2011). Emosi berbasis kelompok sejalan dengan Intergroup
Emotion Theory (IET) (Mackie, Smith, & Ray, 2008). Emosi berbasis kelompok
didefinisikan sebagai emosi yang muncul ketika individu menjadi bagian dari
kelompok yang ia miliki dan merupakan hasil identifikasi dengan kelompoknya
(Niedenthal & Brauer, 2012). Emosi ini bahkan ada ketika mereka tidak berhadapan
langsung dengan kelompoknya dan juga bisa terjadi saat mereka tidak berada dalam
situasi yang memicu emosi (Niedenthal & Brauer, 2012). IET mengklaim emosi
sebagai fenomena kelompok yang dikendalikan oleh proses pada level kelompok,
seperti kategorisasi sosial dan identifikasi (Smith & Mackie, 2015). Emosi berbasis
kelompok terjadi ketika individu mempertimbangkan pengalaman emosi sebagai
respon peristiwa yang berkaitan dengan kelompok (Goldenberg, Saguy, & Halperin,
2014).
Sebelum lebih jauh membahas bukti ilmiah tentang faktor emosi, perlu
dipahami bagaimana dinamika psikologi dari faktor emosi menyebabkan seseorang
terlibat pada aksi kolektif. Saya menilai dua proses yang mendasari faktor emosi ini
adalah kognitif dan sosial. Pada proses kognitif, orang-orang melakukan penilaian

13
kognitif terhadap situasi atau kondisi (van Zomeren, 2013). Hal ini menunjukkan
bahwa mereka harus memaknai situasi berdasarkan pengalaman emosi yang mereka
miliki. Sementara itu, pada proses sosial, emosi terjadi pada level kelompok. Dasar dari
proses ini bersumber dari intergroup emotion theory yang merupakan perpanjangan
dari teori identitas sosial. Pada emosi di level kelompok terjadi proses kategorisasi dan
identifikasi (Smith & Mackie, 2015). Orang-orang tergerak melakukan aksi kolektif
karena merasakan emosi yang dirasakan kelompoknya. Hal ini biasa disebut sebagai
emosi berbasis kelompok. Emosi seperti ini hanya dapat dibentuk dengan proses
interaksi sosial. Seseorang akan kuat untuk beraksi turun ke jalan melakukan protes
setelah ia dapat menilai suatu kejadian berdasarkan pengalaman emosinya dan juga

ter
merasakan emosi yang dirasakan kelompoknya. Sebaliknya, seseorang tidak akan
terlibat aksi jika ia tidak dapat memaknai kejadian berdasarkan pengalaman emosi dan
terlebih ketika ia tidak merasakan emosi dari kelompoknya.

ap
Banyak riset menjelaskan bahwa jenis emosi berbasis kelompok berperan
menentukan keputusan seseorang mengikuti aksi kolektif. Emosi marah berbasis

Ch
kelompok dibuktikan sebagai prediktor kuat aksi kolektif (Shepherd, Spears, &
Manstead, 2013; Shi, Hao, Saeri, & Cui, 2014; Stewart dkk., 2016; van Zomeren dkk.,
2011). Namun, Becker dan Tausch (2015) mengkritisi bahwa hasil penelitian psikologi
sosial saat itu lebih banyak menjelaskan aksi kolektif normatif saja. Beberapa penelitian
ok
lain berusaha membuktikan lebih spesifik faktor emosi pada jenis aksi kolektif yang
berbeda. Kemarahan berbasis kelompok lebih menyebabkan aksi kolektif normatif
Bo

(Becker dkk., 2011; Becker & Tausch, 2015b; Tausch dkk., 2011; van Zomeren, 2013;
van Stekelenburg & Klandermans; 2013). Sementara, jenis emosi negatif yang terbukti
menyebabkan aksi kolektif nonnormatif (seperti aksi radikal kekerasan dan terorisme)
ed

adalah perasaan merendahkan (contempt) (Becker dkk., 2011; Becker & Tausch,
2015b; Tausch dkk., 2011; van Stekelenburg & Klandermans; 2013). Rasa merendah,
pt

seperti halnya kemarahan, dipengaruhi jarak psikologis dan kurangnya keinginan


berdamai (Koomen & Pligt, 2016). Artinya adalah orang-orang yang memiliki emosi
ce

merendahkan lebih memilih untuk melakukan aksi-aksi kekerasan (nonnormatif)


karena mereka merasa jalan damai bukan pilihan saat itu. Untuk diingat kembali bahwa
Ac

baik emosi marah dan merendahkan adalah bentuk emosi berbasis kelompok. Hal
tersebut berarti emosi marah dan merendahkan yang dirasakan oleh individu sebagai
anggota kelompok akan diarahkan pada anggota kelompok lain yang mereka sebut
sebagai outgroup.
Jika marah dan merendahkan adalah wakil dari emosi negatif maka perlu untuk
dijelaskan bagaimana pengaruh emosi positif. Terdapat temuan bahwa emosi positif
berupa kebanggaan akan keberhasilan aksi kolektif dapat memprediksi keinginan untuk
terlibat pada aksi kolektif di masa yang akan datang melalui efikasi kelompok (Tausch
& Becker, 2013). Temuan lain menyebutkan bahwa antisipasi emosi positif berbasis
kelompok (bangga, rasa berani, menolong) mengurangi intensi aksi kolektif dengan
dimoderasi oleh investasi diri yang rendah (Shepherd dkk., 2013). Di lain hal, emosi
positif berbasis diri (kebalikan dari emosi berbasis kelompok) tidak memprediksi aksi
kolektif di masa yang akan datang (Becker dkk., 2011). Ini artinya emosi positif tidak
secara langsung menjelaskan keterlibatan seseorang pada aksi, terutama jika ada faktor
lain yang turut berperan sehingga keputusan untuk mengikuti aksi dapat berubah.
Namun, satu hal yang perlu dipahami, Morgan (2011) menjelaskan bahwa baik emosi
positif dan negatif perlu dikaitkan dengan motivasi moral pada aksi kolektif. Dengan
kata lain, ketika berbicara faktor emosi maka ia dapat berkaitan dengan penilaian moral
untuk menjelaskan keputusan seseorang dalam mengikuti aksi. Sebagai contoh,
seseorang menilai secara moral ada yang salah pada keputusan pemerintah saat

14
mengambil kebijakan menggusur rumah warga. Orang tersebut—dengan penilaian
subjektif ataupun kelompok—dapat bereaksi marah karena melihat adanya
ketidakadilan. Kondisi seperti ini yang mungkin dapat menyebabkan seseorang
mengikuti aksi protes terhadap kebijakan penggusuran rumah warga.
Di Indonesia, terdapat setidaknya beberapa riset yang menjelaskan faktor emosi
pada aksi kolektif. Shadiqi, Muluk, Milla, Hudiyana, dan Umam (2018) menegaskan
apa yang disampaikan oleh Becker dkk. (2011) mengenai jenis emosi berbasis diri dan
kelompok. Pada studi yang mereka lakukan ditemukan bahwa emosi berbasis kelompok
lebih signifikan menjelaskan keikutsertaan individu pada sebuah aksi kolektif
dibandingkan emosi berbasis diri (Shadiqi dkk., 2018). Namun, studi Shadiqi dkk.

ter
(2018) menemukan bahwa emosi marah berbasis kelompok tidak signifikan
menjelaskan keikutsertaan seseorang pada aksi kolektif terkait dukungan terhadap
Palestina pada sampel aktivis mahasiswa Muslim Indonesia. Shadiqi dkk. (2018)

ap
menerangkan bahwa emosi marah bisa saja tidak menguatkan keputusan mengikuti aksi
karena kemarahan mereka didasarkan pada penilaian ketidakadilan. Sementara itu,

Ch
persepsi atau penilaian kondisi yang tidak adil pada isu Palestina tidak secara langsung
dirasakan oleh para mahasiswa Muslim Indonesia. Dengan kata lain, orang Indonesia
tidak langsung mengalami ketidakadilan yang terjadi di Palestina. Hal berbeda dengan
Muslim Palestina yang langsung mengalami penindasan, kekerasan, dan peperangan
ok
sebagai bentuk ketidakadilan. Pengalaman aktual yang dihadapi secara langsung oleh
individu penting untuk membentuk persepsi mengenai suatu isu. Lebih jauh lagi
Bo

pengalaman aktual ini dapat membentuk jenis emosi yang dapat memengaruhi
keputusan seseorang dalam melaksanakan aksi kolektif.
ed

Faktor Instrumental
Sederhananya faktor instrumental menyangkut pertimbangan rasional
pt

mengenai untung dan ruginya seseorang mengikuti aksi kolektif. Seseorang akan
mempertimbangkan apa untungnya jika ia ikut dan apa ruginya jika ia tidak ikut aksi
ce

(Giguere & Lalonde, 2010). Namun, tentu saja penilaian mengenai untung dan rugi ini
tidak hanya berlandaskan pada perspektif penilaian diri, tetapi juga melalui penilaian
Ac

sudut pandang kelompok. Faktor ini telah lama dijelaskan melalui teori Resource
Mobilization Theory (RMT, McCarthy & Zald, 1977). Namun demikian, fokus kajian
faktor instrumental belakangan ini lebih mengarah pada konsep efikasi.
Efikasi secara konseptual mengarah pada perasaan akan kontrol, pengaruh,
kekuatan, dan efektivitas untuk melakukan perubahan pada masalah yang berkaitan
dengan kelompok (van Zomeren dkk., 2008). Efikasi kelompok merupakan bentuk dari
motivasi instrumental (van Zomeren, 2015a). Berbagai bukti empiris menjelaskan
bahwa efikasi kelompok ditemukan secara konsisten memprediksi aksi sosial (van
Zomeren dkk., 2008, 2004). Pada model yang dikembangkan van Zomeren (2015);
Becker dan Tausch (2015); dan van Zomeren dkk. (2004); menempatkan efikasi
kelompok sebagai variabel mediator dari hubungan identitas sosial dengan aksi
kolektif. Kemudian, secara spesifik melalui studi Tausch dkk (2011) yang dirangkum
oleh Becker dan Tausch (2015) disebutkan bahwa efikasi kelompok yang tinggi
memprediksi aksi normatif, sedangkan efikasi yang rendah memprediksi aksi
nonnormatif. Ini artinya, saat orang-orang yakin tujuan kelompok dapat tercapai
melalui usaha yang dilakukan kelompok maka mereka akan memilih aksi normatif
(damai). Sebaliknya, saat orang-orang merasa tidak yakin aksi damai dapat mencapai
tujuan maka dibandingkan tidak mendapatkan apa pun (noting-to-lose) lebih baik
melakukan aksi nonnormatif (kekerasan).

15
Hal ini menjelaskan dinamika aksi-aksi dengan tujuan yang sama, tetapi
dilakukan pada waktu yang berbeda-beda. Kadang aksi-aksi seperti ini tidak dapat
mencapai tujuan yang dihendaki kelompok sehingga peserta aksi membuat keputusan
untuk melakukan aksi kekerasan. Sebagai contoh, mari kita analisis aksi ricuh
mahasiswa yang terjadi pada 30 September 2019. Aksi mahasiswa yang mengangkat
isu rancangan undang-undang dilakukan berhari-hari sejak 23 September 2019 hingga
berakhir di tanggal 30 September 2019. Dengan mengesampingkan faktor lain seperti
adanya provokator dan free-rider (penunggang gelap), aksi ricuh menjadi pilihan akhir
mahasiswa ketika merasa aksi-aksi damai yang sebelumnya dilakukan tidak
membuahkan hasil.

ter
Meski demikian, van Zomeren (2015a) berusaha untuk memberikan penjelasan
yang berbeda dengan Becker dan Tausch (2015). Van Zomeren berasumsi bahwa
semestinya jenis efikasi kelompok disesuaikan dengan jenis aksi kolektif. Itu artinya

ap
jika menjelaskan aksi kolektif damai maka gunakan efikasi kelompok atau keyakinan
bahwa tujuan dapat tercapai melalui aksi damai. Sebaliknya, jika menjelaskan aksi

Ch
kolektif kekerasan maka gunakan efikasi kelompok atau keyakinan bahwa tujuan dapat
tercapai melalui aksi kekerasan. Dengan menggunakan penjelasan ini maka kita dapat
lebih mudah memahami mengapa para teroris mau mengorbankan diri dengan
melakukan aksi bom bunuh diri demi mencapai tujuan kelompok. Hal tersebut dapat
ok
terjawab salah satunya karena mereka memiliki efikasi terhadap kelompok radikal.
Pada model integratif yang dikembangkan oleh van Zomeren (2015a), efikasi
Bo

kelompok dapat secara langsung memengaruhi aksi kolektif. Di sisi lain, efikasi
kelompok juga dibuktikan dapat menjadi mediator atau perantara dari faktor identitas
sosial terhadap keikutsertaan aksi (van Zomeren, 2015a).
ed

Faktor Relasional
pt

Aktivitas di internet, seperti di media sosial, dapat mendorong seseorang terlibat


pada aksi, sebagai contoh hasil riset Syahputra (2018) mengenai Aksi Bela Islam yang
ce

terjadi di Indonesia tahun 2016. Muncul pertanyaan, aktivitas seperti apa yang dapat
membuat seseorang mengikuti aksi kolektif? Alberici dan Milesi (2013) menjawabnya
Ac

dengan membuktikan bahwa diskusi daring mampu menjelaskan keikutsertaan


seseorang pada aksi kolektif. Efek ini turut dipengaruhi oleh faktor efikasi kelompok
dan moralitas. Konten diskusi turut menentukan jenis aksi yang akan diambil oleh
peserta aksi. Thomas, McGarty, dan Louis (2014) menemukan bahwa diskusi
kelompok menghasilkan intensitas politik yang tinggi, di mana ketika diskusi bersifat
radikal maka akan mengarah pada intensi aksi yang radikal pula. Berdasarkan beberapa
temuan ini dapat disimpulkan bahwa relasi yang terbangun melalui proses pertukaran
pendapat (diskusi) dapat memengaruhi keputusan seseorang untuk terlibat pada aksi
atau tidak.
Masih berkaitan dengan faktor relasional, studi Thomas, dkk. (2016) telah
menguji peran interaksi sosial secara empris pada penelitian aksi kolektif. Mereka
melakukan eksperimen dengan memberikan focus group discussion (FGD) pada
kelompok kecil. Hasilnya FGD dapat meningkatkan komitmen aksi, efikasi pada aksi,
dan identifikasi sosial.
Studi lain terkait relasi sosial menjelaskan bahwa persepsi terhadap relasi
intrakelompok dan antarkelompok yang terkait konteks sosial/sosiopolitik
memengaruhi bentuk aksi kolektif pada aktivis (Hartley, Lala, Donaghue, & Mcgarty,
2016). Hal ini dapat menjelaskan bagaimana proses terjadinya aksi-aksi kolektif atas
dasar solidaritas. Misalnya, saat pada aksi mahasiswa akhir tahun 2019, para siswa
STM (atau SMK) turun ke jalanan sebagai bentuk solidaritas terhadap “kakak-kakak”

16
mereka. Hal yang penting untuk dipahami pada sebuah aksi berbasis relasi sosial adalah
kuat atau tidaknya ikatan kelompok. Semakin kelompok merasakan adanya keterikatan
yang kuat maka semakin mungkin mereka melakukan aksi bersama-sama. Hal ini
terbukti melalui studi yang menemukan bahwa kuatnya ikatan kelompok “aliansi” dari
1.400 struktur organisasi terorisme global signifikan memengaruhi secara signifikan
jumlah aksi serangan dengan kekerasan (Pearson, Akbulut, & Lounsbery, 2015).

Faktor Moralitas
Model empat prediktor atas aksi kolektif yang melibatkan faktor moralitas,
identitas sosial, efikasi kelompok, dan emosi berbasis kelompok mengacu pada teori

ter
SIMCA (Social Identity Model Collective Action) yang dikembangkan oleh van
Zomeren (2013; 2015a). Keyakinan moral mengacu pada evaluasi subjektif yang
dilakukan individu untuk menyikapi satu isu yang menggambarkan benar dan salah,

ap
atau baik dan buruk (Skitka, Bauman, & Mullen, 2008). Motif moralitas ini
didefinisikan sebagai bentuk pelanggaran standar moral yang berlaku secara sosial dan

Ch
ini akan terkait dengan usaha untuk melindungi nilai kesucian dan keterancaman (van
Zomeren, 2015a). Moral ini juga diistilahkan sebagai pelanggaran pada sesuatu yang
tabu (van Zomeren, 2015b). Moral dapat diyakini secara subjektif bersifat absolut dan
di saat bersamaan motivasi moral dapat memprediksi aksi sosial pada kelompok yang
ok
dirugikan (van Zomeren dkk., 2012) dan diuntungkan (aksi dari kelompok yang
diuntungkan, namun dilakukan untuk mendukung kelompok dirugikan) (van Zomeren
Bo

dkk., 2011).
Motivasi moral tidak secara langsung menyebabkan seseorang terlibat aksi
kolektif tetapi harus melewati identitas sosial, emosi marah berbasis kelompok, dan
ed

efikasi kelompok (van Zomeren, 2015a). Istilah yang lebih tepat untuk faktor moralitas
ini adalah faktor katalisator (van Zomeren, 2015a). Penelitian Cohen-Chen, Halperin,
pt

Saguy, dan van Zomeren (2014) menemukan bahwa individu yang meyakini bahwa
kondisi immoral outgroup akan berubah maka semakin tinggi kecenderungannya
ce

melakukan aksi kelompok dengan diperkuat oleh efikasi kelompok. Faktor moralitas
adalah katalisator dari faktor lain (van Zomeren, 2013, 2015a), artinya ia merupakan
Ac

pemicu munculnya faktor lain, seperti faktor identitas, emosi, dan efikasi. Perlu
dipahami, bahwa faktor moralitas ini spesifik ke bentuk keyakinan adanya pelanggaran
moral.
Saya cenderung setuju bahwa keyakinan akan pelanggaran moral terdiri dari
dua dimensi, seperti yang dijelaskan oleh Wright, Cullum, dan Schwab (2008), yaitu
dimensi kognitif dan afektif. Ketika berhadapan pada suatu permasalahan kelompok
(misalnya konflik yang merugikan Muslim Palestina) maka seseorang akan membuat
keyakinan tentang benar versus salah secara moral atau dengan bahasa lain moral
versus nonmoral. Saat itu terjadi maka individu akan menggunakan struktur
berpikirnya. Selanjutnya, ia akan merasakan seberapa kuat reaksi emosi yang ia alami
mengenai suatu isu atau permasalahan (Skitka, 2010). Setelah seseorang “menilai” dan
“merasa” akan isu tertentu maka ia akan berusaha mencari identitas kelompok yang
relevan atau menguatkan identifikasi kelompoknya (van Zomeren, 2013). Kelompok
yang dimaksud di sini adalah kelompok yang memiliki pandangan dan perasaan yang
sama secara moral terkait masalah yang dihadapi. Pada isu konflik yang merugikan
Muslim Palestina, seseorang akan menganggap bahwa ada pelanggaran nilai dan
merasakan emosi yang kuat, selanjutnya ia berusaha bergabung atau menguatkan
identitas kelompok sebagai sesama Muslim. Setelahnya, barulah muncul keinginan
untuk bertindak, semisal dengan cara melakukan aksi protes.

17
Untuk pengembangan riset aksi kolektif, model teoretik dengan melibatkan
faktor moralitas ini belum diuji pada aksi kolektif nonnormatif (lihat Tausch dkk., 2011;
Becker & Tausch, 2015). Ketika diuji oleh van Zomeren dkk. (2011, 2012), faktor
moralitas ini tidak dikaitkan dengan aksi nonnormatif (kekerasan) dan emosi yang
digunakan hanya berupa amarah. Padahal, pada tiap aksi yang berbeda akan memiliki
jenis emosi yang spesifik (lihat bagian faktor emosi). Kebutuhan untuk pengembangan
model yang melibatkan motivasi moral ini didukung oleh hasil penelitian Morgan
(2011) yang menemukan bahwa hubungan antara keyakinan moral dan aksi kolektif
dapat pula dimediasi oleh adanya kewajiban moral dan perasaan bangga (emosi positif)
setelah melakukan aksi.

ter
Faktor lain
Wright (2009) secara lebih luas menyebutkan anteseden dan motivasi aksi

ap
kolektif, yakni (1) kepedulian intrakelompok, di mana faktor ini menjadi motivasi bagi
kelompok yang tidak diuntungkan untuk berusaha menyetarakan kondisinya dengan

Ch
kelompok lain; (2) ideologi, faktor ini dapat menyebabkan keikutsertaan aksi dan
berkaitan dengan pembentukan keyakinan moral serta dasar untuk membagi identitas
kolektif (Klandermans, 2003; Klandermans & van Stekelenburg, 2013); (3) afirmasi
identitas kolektif, faktor ini berkaitan dengan eksistensi dan legitimasi identitas kolektif
ok
sebagai motivasi aksi; (4) koping psikologis: faktor ini adalah bentuk dari koping stress
psikologis saat menghadapi suatu masalah; (5) memengaruhi orang lain dengan
Bo

“menggalang pasukan” dan pihak ketiga, faktor ini berupaya untuk memengaruhi
pikiran, perasaan, dan keyakinan ingroup dan outgroup untuk mencapai kesetaraan
melalui kemunculan “pasukan” aksi dan pihak ketiga; (6) kompetisi antarkelompok
ed

versus aksi kolektif konversi, di mana kompetisi atau persaingan sosial dianggap
sebagai penyebab aksi kolektif (contohnya adalah aksi protes para supir taksi
pt

konvensional merespon adanya taksi daring); selain itu konversi orientasi terhadap
kelompok luar dapat pula membentuk aksi (contohnya adalah aksi protes solidaritas
ce

Muslim Indonesia terhadap kelompok Muslim lain yang mengalami penindasan).


Jika berbicara tentang kelompok keagamaan, khususnya kelompok radikal,
Ac

pada proses radikalisasi sangat mungkin melibatkan justifikasi ideologi kekerasan


(Kruglanski & Fishman, 2009). Aksi kekerasan radikal disebabkan setidaknya oleh tiga
faktor (Borum, 2011), yakni (1) berkembangnya antipati pada kelompok target; (2)
munculnya justifikasi dan perintah melakukan aksi kekerasan; dan (3) meniadakan
batasan sosial dan psikologis yang menghambat aksi kekerasan. Konsep justifikasi atas
rasionalisasi kekerasan menjadi moderator fundamentalisme Islam terhadap dukungan
aksi terorisme pada sampel di Indonesia, di mana efek moderasi ini dipengaruhi oleh
rendahnya kepercayaan bahwa Islam itu damai (Putra & Sukabdi, 2014). Aksi terorisme
diklasifikasikan sebagai aksi radikal disertai kekerasan (Tausch dkk., 2011). Studi
Yustisia dkk. (2019) pada sekelompok terorisme Indonesia menemukan bahwa selain
identitas sosial sebagai mujahid dapat memprediksi langsung dukungan aksi terorisme,
identitas sosial juga dimediasi oleh pengaruh persepsi keterancaman dan persepsi
ketidakadilan.

Aksi Kolektif melalui Media Daring

Fenomena beberapa tahun belakangan, misalnya pada Aksi Bela Islam di akhir
tahun 2016 hingga awal 2017, menunjukkan sumber aksi berasal dari internet
(Syahputra, 2018). Selain itu, seperti aksi politik “ganti presiden” bersumber dari
hashtag atau tagar yang populer di media sosial hingga meluas ke aksi-aksi di jalanan.

18
Selain itu, kemunculan platform atau media tanda tangan petisi secara daring dan
penggunaan media sosial penting untuk diperhatikan guna memahami aksi-aksi kolektif
yang berkaitan dengan media daring. Namun, satu hal yang perlu ditegaskan,
penggunaan media digital dalam penelitian lebih mengarah pada konteks aksi, bukan
variabel yang diuji pada penelitian ilmiah (Bimber, 2017).

Kupas Fenomena #2019gantipresiden


Gerakan #2019gantipresiden ini muncul pertama kali diinisiasi oleh politikus Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Sera, saat melakukan debat di TV swasta pada
27 Februari 2018 (Hadi, 2018). Kemudian, diikuti dengan munculnya gelang dan

ter
kaos hashtag atau tagar tersebut. Analisis big data dari Drone Emprit menemukan
bahwa #2019gantipresiden semakin populer di Twitter setelah Presiden RI, Joko
Widodo, menyindir gerakan ini di sebuah pidato pada 1 April 2018 (Ngazis, 2018).

ap
Dari baju, spanduk, diskusi, hingga akhirnya #2019gantipresiden menjelma menjadi
aksi-aksi deklarasi yang disertai dengan orasi di beberapa daerah di Indonesia, seperti

Ch
Jakarta, Surakarta, Pontianak, Surabaya, Makassar, dan beberapa daerah lain
(Purnomo dkk., 2018). Lebih jauh lagi, dari hasil investigasi jurnalistik menyebutkan
bahwa hampir semua aksi deklarasi selalu diwarnai dengan penolakan dari pihak lain,
ok
berpotensi bentok, dan beberapa di antaranya berakhir ricuh seperti yang terjadi di
Tugu Pahlawan, Surabaya (Purnomo dkk., 2018).
Bo

Beberapa bukti temuan ilmiah terdahulu menegaskan bagaimana peran media


sosial untuk menggerakkan orang-orang terlibat pada suatu aksi kolektif, seperti protes
(Anduiza, Cristancho, & Sabucedo, 2014; Theocharis, Lowe, van Deth, & García-
ed

Albacete, 2015; Valenzuela, Correa, & Gil de Zúñiga, 2018). Pada para pengguna
Facebook, hasil studi Chan (2016) menemukan bahwa relasi seseorang dengan publik
pt

figur politik dan ukuran jejaring pertemanan di Facebook dapat memprediksi partisipasi
protes secara langsung atau dimediasi oleh seberapa sering partisipan menyimak berita
ce

peristiwa politik, mengekspresikan pandangan/opini politik dan efikasi politik.


Sederhananya, orang-orang yang begitu aktif di Facebook pada isu-isu politik dan
Ac

sering berinteraksi dengan pengguna lain untuk membahas isu politik akan lebih mudah
mengikuti aksi-aksi kolektif.
Selain media sosial Facebook, Twitter juga berperan dalam memobilisasi aksi
protes (Theocharis dkk., 2015). Para orang-orang muda (seperti mahasiswa) berusaha
untuk mencari informasi tentang suatu aksi protes melalui media sosial, kemudian
mereka akan melibatkan diri secara politik melalui ekspresi di media sosial (MacAfee
& De Simone, 2012; Valenzuela, Arriagada, & Scherman, 2012; Xenos, Vromen, &
Loader, 2014). Studi yang dilakukan Hayes (2017) menemukan bahwa aksi protes yang
awalnya hanya dilakukan melalui Twitter dapat berpindah ke ruang publik saat
pembahasan mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat di aksi #MyNYPD, New
York, Amerika Serikat. Aksi tersebut diawali oleh pembahasan di Twitter tentang
informasi kebrutalan polisi saat aksi. Fitur Retweet yang ada di Twitter membagikan
ulang status twitter orang lain melalui pengguna lain. Fitur retweet ini dapat digunakan
sebagai ekspresi politik, bahkan lebih jauh dari itu, retweet juga dapat dimanfaatkan
untuk meminta orang-orang berpartisipasi secara politis, seperti mengajak untuk
melakukan tanda tangan petisi daring (Choi & Park, 2014). Walaupun bukti-bukti
ilmiah ini banyak bersumber dari negara di luar Indonesia, namun hal tersebut
membuka peluang untuk menjelaskan bagaimana dinamika psikologi seseorang yang
terlibat pada aksi-aksi kolektif secara daring di Indonesia.

19
Sebagai konteks aksi, media sosial dapat berguna sebagai satu tempat pertukaran
informasi yang membawa orang-orang untuk mendapatkan pemahaman yang sama atas
suatu isu. Apakah semua orang yang memiliki twitter akan ikut melakukan gerakan
#2019gantipresiden? Tentu jawabannya adalah tidak. Media sosial dapat menjadi
pemicu aksi, tetapi proses keputusan seseorang melakukan suatu aksi tidak semudah
hanya dengan terpapar suatu informasi saja. Artinya, ada faktor lain yang memperkuat
keinginan seseorang melakukan aksi di mana pembahasan masalah dimulai dari media
sosial. Mari kita coba analisis aksi #2019gantipresiden menggunakan faktor identitas
sosial (lihat studi 2a dan 2b Shadiqi, 2019). Saat seseorang telah terpapar informasi
#2019gantipresiden, ia perlu menjadi dan memiliki perasaan yang kuat sebagai bagian

ter
dari anggota pergerakan (identitas terpolitisasi). Jika identitas kelompoknya menguat
maka ia akan mudah melakukan aksi. Sebaliknya, jika ia sering terpapar informasi yang
sama tetapi merasa bukan bagian dari anggota gerakan #2019gantipresiden maka ia

ap
tidak mungkin turun ke jalanan mengikuti aksi.

Ch
Konsekuensi Aksi

Setelah seseorang mengikuti suatu aksi kolektif, apa yang terjadi berikutnya?
Apa yang ia rasakan setelahnya? Apa yang ia pikirkan? Beberapa pertanyaan ini
ok
tampaknya kurang menjadi perhatian bagi para peneliti psikologi. Banyak penelitian
psikologi terbatas pada penjelasan prediktor atau faktor penyebab seseorang terlibat
Bo

dalam aksi kolektif, tidak pada outcome atau konsekuensi dari sebuah aksi.
Bagaimanapun orang yang terlibat pada aksi sosial mungkin akan lebih atau kurang
termotivasi pada aksi selanjutnya di masa depan sebagai konsekuensi aksi sosial.
ed

Konsekuensi setelah mengikuti aksi dapat dibedakan menjadi dua (Thomas &
Louis, 2013), yaitu: (1) konsekuensi Psikologis, hal ini dialami pada level individual
pt

(mikro) di mana individu akan mendapatkan kesejahteraan emosi dan meningkatkan


perasaan atas diri dan identitas; (2) konsekuensi sosial politik, di mana hal ini lebih
ce

mengacu pada efek terhadap masyarakat secara luas (makro), seperti mendapat
perhatian media, memanipulasi/mengubah opini publik, hingga tercapainya tujuan
Ac

kelompok. Pada pembahasan kali ini, saya akan fokus menjelaskan beberapa
konsekuensi psikologis yang telah dibuktikan secara ilmiah pada penelitian aksi-aksi
kolektif di dunia.
Emosi—selain sebagai penyebab mengikuti aksi— juga dapat menjadi konsekuensi
setelah mengikuti suatu aksi kolektif (Wright, 2009). Becker, Tausch, dan Wagner
(2011) menemukan berpartisipasi pada aksi dapat meningkatkan emosi marah berbasis
kelompok. Artinya setelah orang mengikuti aksi (semisal demonstrasi) maka ia akan
menjadi semakin marah. Bukti lain juga menjelaskan bahwa identitas sosial individu
dapat menjadi lebih self-relevant di mana seseorang semakin merasa cocok dengan
dirinya sendiri setelah mengikuti aksi (van Zomeren dkk. 2010). Terdapat pembahasan
yang lebih komprehensif mengenai konsekuensi aksi, Becker dan Tausch (2015)
merangkum beberapa temuan-temuan sebelumnya menjadi 5 konsekuensi setelah
mengikuti aksi kolektif (baik aksi damai atau kekerasan), sebagai berikut:
1. Emosi yang diarahkan pada kelompok luar. Hal ini berbentuk emosi kemarahan
dan merendahkan kelompok luar;
2. Emosi yang diarahkan pada diri sendiri. Hal ini termanifestasi dalam emosi
menyenangkan dan bahagia;
3. Emosi prestasi. Bentuknya dapat berupa emosi bangga saat aksi berhasil dan
emosi kecewa saat aksi gagal yang dapat memengaruhi kembali keputusan
untuk ikut aksi di masa depan;

20
4. Efikasi. Hal ini termanifestasi pada meningkatnya keyakinan kelompok sebagai
efek dari identifikasi individu pada kelompoknya;
5. Identifikasi dan disidentifikasi. Hal ini menunjukkan bagaimana identifikasi
pada kelompok akan semakin menguat setelah mengikuti aksi damai.
Sebaliknya, saat aksi nonnormatif (kekerasan) tidak didukung oleh kelompok
besar maka akan muncul usaha pemisahan diri dan disidentifikasi dengan
kelompok tersebut.

Pengukuran Aksi Kolektif

ter
Aksi kolektif dapat dioperasionalisasikan secara berbeda, termasuk pada sikap
terhadap aksi kolektif; intensi dan kecenderungan dalam berpartisipasi pada aksi
kolektif; laporan aksi masa lampau; serta perilaku nyata aksi kolektif (van Zomeren &

ap
Iyer, 2009). Perbedaan konteks penelitian menghasilkan beberapa alat ukur aksi
kolektif. Beberapa alat ukur diadopsi dan dikembangkan sesuai dengan konteks

Ch
penelitian. Sedangkan penelitian lain berusaha untuk membuat sendiri alat ukur aksi
kolektif terkait konteks penelitian. Sebagian besar alat ukur mengacu pada intensi atau
kecenderungan berpartisipasi pada aksi kolektif. Hanya ada sedikit jenis pengukuran
tingkah laku, seperti tindakan menandatangani petisi atau menulis surat. Belum
ok
ditemukan alat ukur khusus yang dikembangkan untuk mengukur sikap, intensi dan
perilaku aksi kolektif secara universal. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk aksi
Bo

kolektif sangat tergantung dengan konteks penelitian yang diangkat oleh peneliti.
Pengukuran psikologis untuk aksi kolektif lebih banyak dijumpai pada level individu
untuk merepresentasikan aksi kelompok. Sulit dibayangkan untuk melakukan
ed

pengukuran aksi kolektif secara langsung pada sebuah kelompok, apalagi dalam
konteks dunia nyata. Peneliti harus berjibaku di situasi aksi kolektif untuk melakukan
pt

pengamatan langsung pada intensi, sikap, perilaku, dan aksi saat itu. Aksi kolektif
berada pada level fenomena kelompok yang diukur atau dianalisis pada level
ce

individual.
Ac

Tabel 1. Alat Pengukuran Kolektif

No Sumber Deskripsi Alat Ukur


1 Tausch dkk. Kecenderungan/keinginan berpartisipasi pada aksi kolektif
(2011) pada 16 aksi berbeda dengan klasifikasi: (1) aksi normatif,
yaitu partisipasi pertemuan diskusi, pertemuan umum,
menulis selebaran, menandatangani keluhan, teatrikal jalanan,
dan demonstrasi (loading factor > 0.55, α=90); (2) aksi
nonnormatif, yaitu aksi kekerasan dengan melempar batu atau
botol, pembakaran pada bangunan universitas, pembakaran
fasilitas umum, menyerang polisi, menyerang individu yang
dianggap bertanggung jawab (loading factor >0.89, α=0.89);
(3) aksi moderat, yaitu aksi yang tidak mengandung kekerasan
namun juga tidak normatif, seperti menggangu aksi yang
mendukung suatu isu yang berlawanan dengan kelompoknya,
memblokir gedung universitas, dan menutup jalan raya
(loading factor > 0.74; α=0.96). (diadopsi Thomas dkk., 2014
yang dintegrasikan dengan Moskalenko & McCauley, 2009;
serta diadaptasi oleh Shadiqi dkk., 2018 pada konteks
Indonesia)

21
2 Tausch dan Terdiri dari 6 item dengan respon jawaban 1 (sangat tidak
Becker (2013) mungkin) hingga 7 (sangat mungkin) di mana konteksnya
adalah keinginan berpartisipasi dalam aksi kolektif pada
persoalan biaya pendidikan di Jerman, α=0.89.
3 (Alberici & Mengukur seberapa sering individu berniat mengikuti 9
Milesi, 2013) aktivitas pergerakan dengan respon jawaban 1 (tidak pernah)
hingga 7 (sangat sering); α=0.92.
4 (van Zomeren Mengembangkan 7 item yang dicontohkan berisi tentang
dkk., 2011) partisipasi pada demonstrasi, penandatanganan petisi, dan
terlibat aksi melawan diskriminasi, dengan reliabilitas sebesar

ter
α=0.96. (diadopsi oleh (Shepherd dkk., 2013; Shi dkk., 2014)
5 (Thomas dkk., Mengembangkan pengukuran intensi aksi kolektif pada
2016) konteks dukungan atas gerakan “Water of Life” melalui

ap
sejumlah item yang dirancang untuk merepresentasikan
peningkatan komitmen sebagai penyebab aksi. Item lain

Ch
dikembangkan dalam konteks penandatanganan petisi, donasi
uang, berbicara dengan orang lain, menghadiri rapat umum,
menulis surat untuk anggota parlemen, mengikuti kelompok
ok
advokasi, dan hadir serta mengorganisir kegiatan “Water for
Life” (α=0.87-0.91).
6 (Schumann & Mengukur keinginan untuk bergabung pada aksi kolektif
Bo

Klein, 2015) dengan meminta partisipan membaca skenario pada studi 1


yang isinya berkaitan dengan adanya diskusi panel terkait
suatu isu. Setelahnya, partisipan diminta memilih 4 item
ed

terkait intensi untuk hadir pada diskusi panel (aksi kolektif)


(α=0.91)
pt

7 (Tabri & Mengukur aksi kolektif menggunakan 3 item yang


Conway, dikembangkan oleh mereka sendiri. Ketiga item melalui 7
ce

2011) nilai respon jawaban berisikan partisipasi pada demonstrasi


publik, aksi unjuk rasa, dan pertemuan kelompok. Nilai
Ac

reliabilitas untuk pengukuran dua kelompok adalah kelompok


Kristen α=0.90 dan kelompok Muslim α=0.90

Pada beberapa studi, peneliti-peneliti membuat pendekatan untuk mengukur aksi


kolektif, seperti: (1) sikap terhadap aksi kolektif (misalnya menjadi mendukung aksi);
(2) intensi atau kecenderungan terlibat dalam aksi kolektif (misalnya, “saya akan
terlibat pada aksi kolektif”); (3) laporan aksi kolektif masa lalu (misalnya, “seberapa
sering menandatangani petisi selama satu tahun terakhir ini); dan (4) mengukur perilaku
aktual (misalnya, menandatangani petisi saat itu juga) (van Zomeren, Postmes, dkk.,
2008). Pengukuran perilaku aktual akan lebih sulit diaplikasikan pada aksi-aksi kolektif
nonnormatif sehingga aksi jenis ini lebih mudah diukur dengan menggunakan intensi
aksi. Di era teknologi seperti saat ini, pengukuran aksi kolektif dapat diintegrasikan
dengan penggunaan teknologi, misalnya menggunakan gim dan virtual reality.

Kesimpulan dan Arah Riset di Masa Depan

Aksi kolektif dapat diartikan sebagai segala bentuk aksi yang mengatasnamakan
kelompok untuk mencapai tujuan kelompok yang dapat dilakukan sendirian atau
berkelompok serta terencana dengan baik. Pada perkembangannya, aksi kolektif
dibedakan menjadi dua berupa aksi damai (normatif) dan kekerasan (nonnormatif).

22
Belakangan sesuai dengan perkembangan konteks, aksi kolektif dapat dibedakan
menjadi aksi yang dilakukan secara langsung (ke jalanan) dan tidak langsung (melalui
media internet). Konteks penelitian yang perlu menjadi pertimbangan arah riset
penelitian di masa yang akan datang adalah menguji dinamika faktor penyebab pada
aksi kekerasan (tidak normatif) serta mempertimbangkan penelusuran aksi-aksi yang
berasal dari dunia virtual.
Jika berbicara mengenai faktor penyebab keikutsertaan aksi maka saat ini para
peneliti di psikologi berusaha menjelaskan dinamika hubungan interaksi antar variabel
sehingga dapat dilihat bagaimana peran integratif dari beberapa variabel (tidak satu
faktor). Faktor-faktor yang terpetakan dengan jelas yang dapat menyebabkan seseorang

ter
mengikuti aksi kolektif adalah: faktor identitas sosial; faktor emosi berbasis kelompok;
efikasi kelompok sebagai bagian faktor instrumental; faktor relasional; dan faktor
moralitas. Titik berat penelitian-penelitian psikologi saat ini lebih pada faktor

ap
motivasional. Tidak banyak yang menjelaskan faktor-faktor terkait kognitif dan pikiran
sehingga jalan untuk mengupas dinamika faktor penyebab keikutsertaan seseorang

Ch
pada aksi kolektif melalui perspektif kognitif dapat menjadi arah penelitian yang akan
datang.
Bagaimanapun, banyak sekali riset-riset aksi kolektif yang dilakukan di dunia,
tetapi masih sedikit riset dilakukan di konteks Indonesia. Padahal isu-isu aksi di
ok
masyarakat Indonesia begitu khas sehingga dapat menghasilkan temuan-temuan yang
berbeda dengan yang telah ada. Peneliti aksi kolektif di Indonesia semestinya
Bo

memerhatikan isu-isu terkait religiusitas, budaya, serta faktor komunalitas Indonesia


(Muluk, Hudiyana, & Shadiqi, 2018). Riset aksi kolektif akan berpeluang untuk
menemukan hal yang baru karena dinamika budaya Indonesia yang sangat beragam.
ed

Satu hal terakhir yang perlu disadari adalah banyaknya riset yang menguji faktor
penyebab keikutsertaan aksi. Namun, sangat sedikit yang menjelaskan apa konsekuensi
pt

dan dampak psikologis setelah seseorang mengikuti aksi. Ranah ini tidak kalah penting
untuk dieksplorasi karena dapat menjawab mengapa beberapa aksi pada isu atau
ce

konteks yang sama terus-menerus dilakukan, atau setidaknya ada aksi-aksi yang
menggunakan nama yang serupa tapi digerakkan untuk tujuan-tujuan kelompok yang
Ac

berbeda. Sebagai contoh adalah Aksi Bela Islam yang dilakukan berjilid-jilid bahkan
hingga membentuk aksi alumni. Pertanyaan yang perlu dijawab oleh para peneliti
psikologi adalah apa faktor psikologis yang mendasari para peserta aksi tersebut dapat
secara konsisten mengikuti aksi-aksi tersebut?
Uraian-uraian ini ditutup dengan saran arah penelitian yang patut
dipertimbangkan bagi peneliti psikologi politik Indonesia di area riset aksi kolektif
sebagai berikut:
1. Selain menjelaskan aksi damai, riset dapat diarahkan pada aksi-aksi
kekerasan (nonnormatif);
2. Selain menjelaskan aksi turun ke jalanan, riset dapat berfokus pula pada aksi-
aksi yang dilakukan secara daring melalui media digital;
3. Selain menjelaskan faktor-faktor penyebab keikutsertaan aksi, riset dapat
memfokuskan pada konsekuensi aksi.

Daftar Pustaka
Alberici, A. I., & Milesi, P. (2013). The influence of the internet on the psychosocial
predictors of collective action. Journal of Community & Applied Social
Psychology, 23(5), 373–388. doi: 10.1002/casp
Alberici, A. I., & Milesi, P. (2016). Online discussion, politicized identity, and
collective action. Group Processes & Intergroup Relations, 19(1), 43–59. doi:

23
10.1177/1368430215581430
Anduiza, E., Cristancho, C., & Sabucedo, J. M. (2014). Mobilization through online
social networks: the political protest of the indignados in Spain. Information
Communication and Society, 17(6), 750–764. doi:
10.1080/1369118X.2013.808360
Basedau, M., Strüver, G., Vüllers, J., & Wegenast, T. (2011). Do religious factors
impact armed conflict? Empirical evidence from Sub-Saharan Africa. Terrorism
and Political Violence, 25(5), 752–779. Retrieved from
http://hdl.handle.net/10419/47770
Baysu, G., Coşkan, C., & Duman, Y. (2018). Can identification as Muslim increase

ter
support for reconciliation? The case of the Kurdish conflict in Turkey.
International Journal of Intercultural Relations, 64(February), 43–53. doi:
10.1016/j.ijintrel.2018.02.002

ap
Becker, J. C., & Tausch, N. (2015). A dynamic model of engagement in normative
and non-normative collective action: Psychological antecedents, consequences,

Ch
and barriers. European Review of Social Psychology, 26(1), 43–92. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004
Becker, J. C., Tausch, N., & Wagner, U. (2011). Emotional Consequences of
Collective Action Participation: Differentiating Self-Directed and Outgroup-
ok
Directed Emotions. Personality and Social Psychology Bulletin, 37(12), 1587–
1598. doi: 10.1177/0146167211414145
Bo

Becker, Julia C., Tausch, N., Spears, R., & Christ, O. (2011). Committed dis(s)idents:
participation in radical collective action fosters disidentification with the broader
in-group but enhances political identification. Personality and Social Psychology
ed

Bulletin, 37(8), 1104–1116. doi: 10.1177/0146167211407076


Bimber, B. (2017). Three prompts for collective action in the context of digital media.
pt

Political Communication, 34(1), 6–20. doi: 10.1080/10584609.2016.1223772


Blumer, H. (1951). Social movements. In A. M. Lee (Ed.), New outline of the
ce

principles of sociology (pp. 199–220). New York: Barnes & Noble.


Borum, R. (2011). Radicalization into Violent Extremism I: A Review of Social
Ac

Science Theories. Journal of Strategic Security, 4(4), 7–36. doi: 10.5038/1944-


0472.4.4.1
Buechler, S. M. (2007). The Strange Career of Strain and Breakdown Theories of
Collective Action. In The Blackwell Companion to Social Movements (pp. 47–
66). doi: 10.1002/9780470999103.ch3
Buechler, S. M. (2013). New social movements and new social movement theory. In
The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Social and Political Movements (pp. 1–7).
doi: 10.1002/9781405198431.wbespm143
Chan, M. (2016). Social network sites and political engagement: Exploring the impact
of Facebook connections and uses on political protest and participation. Mass
Communication and Society, 19(4), 430–451. doi:
10.1080/15205436.2016.1161803
Choi, S., & Park, H. W. (2014). An exploratory approach to a Twitter-based
community centered on a political goal in South Korea: Who organized it, what
they shared, and how they acted. New Media and Society, 16(1), 129–148. doi:
10.1177/1461444813487956
Cohen-Chen, S., Halperin, E., Saguy, T., & van Zomeren, M. (2014). Beliefs about
the malleability of immoral groups facilitate collective action. Social
Psychological and Personality Science, 5(2), 203–210. doi:
10.1177/1948550613491292

24
Cohen, J. L. (1985). Strategy or identity: New theoretical paradigms and
contemporary social movements. Social Research, 52(4), 663–716. doi:
10.2307/40970395
Davies, J. (1962). Toward a theory of revolution. American Sociological Review, 27,
5–19.
Deaux, K. (2000). Models, meanings and motivations. In R. Brown & D. Capozza
(Eds.), Social Identity Processes (pp. 1–14). London: Sage.
della Porta, D. (1994). Book reviews : Sidney Tarrow: Power in movement. Social
movements, collective action and politics. Acta Sociologica, 38(3), 275–278. doi:
10.1080/10635150500541565

ter
Ellemers, N., & Haslam, S. A. (2012). Social identity theory. In P. van Lange, A. W.
Kruglanski, & E. T. Higgins (Eds.), Handbook of theories of social psychology
Vol 2. (pp. 379–398). London: Sage.

ap
Faqih, M. (2014). Polisi anggap kericuhan aksi tolak Ahok sudah direncanakan.
Republika.Co.Id. Retrieved from http://www.republika.co.id/berita/nasional

Ch
/jabodetabek-nasional/14/10/03/ncv4j0-polisi-anggap-kericuhan-aksi-tolak-ahok-
sudah-direncanakan
Firdausi, F. A. (2019, September 26). Sejarah demonstrasi mahasiswa yang
mengancam & menumbangkan rezim. Tirto.Id. Retrieved from
ok
https://tirto.id/sejarah-demonstrasi-mahasiswa-yang-mengancam-
menumbangkan-rezim-eiBo
Bo

Firestone, J. M. (1974). Continuities in the violence theory of violent. Journal of


Conflict Resolution, 18(March), 117–142.
Giguere, B., & Lalonde, R. N. (2010). Why do students strike? direct and indirect
ed

determinants of collective action participation. Political Psychology, 31(2), 227–


247. doi: 10.1111/j.1467-9221.2009.00750.x
pt

Goldenberg, A., Saguy, T., & Halperin, E. (2014). How Group-Based Emotions Are
Shaped by Collective Emotions: Evidence for Emotional Transfer and Emotional
ce

Burden. Journal of Personality and Social Psychology, 107(4), 581–596. doi:


10.1037/a0037462
Ac

Gurr, T. R. (1970). Why men rebel. New Jersey: Princeton University Press.
Hadi, S. (2018, May 18). Deklarasi hari ini, begini awal mula gerakan
#2019GantiPresiden. Tempo.Co. Retrieved from
https://nasional.tempo.co/read/1086128/deklarasi-hari-ini-begini-awal-mula-
gerakan-2019gantipresiden
Hartley, L. K., Lala, G., Donaghue, N., & Mcgarty, C. (2016). How activists respond
to social structure in offline and online contexts. Journal of Social Issues, 72(2),
376–398. doi: 10.1111/josi.12171
Hayes, T. J. (2017). #MyNYPD: Transforming Twitter into a public place for protest.
Computers and Composition, 43, 118–134. doi: 10.1016/j.compcom.2016.11.003
Hiariej, E. (2010). Aksi dan identitas kolektif gerakan Islam radikal di Indonesia.
Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 14(2), 131–168. doi: 10.22146/jsp.10934
Hirsch-hoefler, S., Canetti, D., & Eiran, E. (2016). Studies in conflict & terrorism
radicalizing religion? Religious identity and settlers ’ behavior. Studies in
Conflict & Terrorism, 39(6), 500–518. doi: 10.1080/1057610X.2015.1127111
Hoog, M. A., & Abrams, D. (2007). Intergroup behavior and social identity. In M. A.
Hoog & J. Cooper (Eds.), The SAGE Handbook of Social Psychology (pp. 335–
360). London: Sage Publication.
Kanas, A., & Martinovic, B. (2017). Political action in conflict and nonconflict
regions in indonesia: The role of religious and national identifications. Political

25
Psychology, 38(2), 209–225. doi: 10.1111/pops.12345
Klandermans, B. (1984). Mobilization and participation : Social-psychological
expansisons of resource mobilization theory. American Sociological, 49(5), 583–
600.
Klandermans, B. (2003). Collective political action. In D. O. Sears, L. Huddy, & R.
Jervis (Eds.), Oxford Handbook of political psychology (pp. 670–709). New
York: Oxford University Press.
Klandermans, B. (2014). Identity politics and politicized identities: Identity processes
and the dynamics of protest. Political Psychology, 35(1), 1–22. doi:
10.1111/pops.12167

ter
Klandermans, B., van der Toorn, J., & van Stekelenburg, J. (2008). Embeddedness
and identity: How immigrants turn grievances into action. American Sociological
Review, 73(6), 992–1012. doi: 10.1177/000312240807300606

ap
Klandermans, B., & van Stekelenburg, J. (2013). Social movements and the dynamics
collective of collective action. In L. Huddy, D. O. Sears, & J. S. Levy (Eds.), The

Ch
Oxford Handbook of Personality and Social Psychology (pp. 1–48). doi:
10.1093/oxfordhb/9780199760107.013.0024
Koomen, W., & Pligt, J. V. P. (2016). The psychological of radicalization and
terrorism. New York: Routledge.
ok
Kruglanski, A. W., & Fishman, S. (2009). Psychological Factors in Terrorism and
Counterterrorism: Individual, Group, and Organizational Levels of Analysis.
Bo

Social Issues and Policy Review, 3(1), 1–44. doi: 10.1111/j.1751-


2409.2009.01009.x
Lane, D. S., Kim, D. H., Lee, S. S., Weeks, B. E., & Kwak, N. (2017). From online
ed

disagreement to offline action: How diverse motivations for using social media
can increase political information sharing and catalyze offline political
pt

participation. Social Media and Society, 3(3). doi: 10.1177/2056305117716274


Locher, D. A. (2002). Collective behavior. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
ce

Lova, C. (2019). Reuni akbar 212 digelar hari Ini, dimulai pukul 3.00 WIB.
Kompas.Com. Retrieved from
Ac

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/02/05053571/reuni-akbar-212-
digelar-hari-ini-dimulai-pukul-300-wib
MacAfee, T., & De Simone, J. J. (2012). Killing the bill online? Pathways to young
people’s protest engagement via social media. Cyberpsychology, Behavior, and
Social Networking, 15(11), 579–584. doi: 10.1089/cyber.2012.0153
Mackie, D. M., Smith, E. R., & Ray, D. G. (2008). Intergroup emotions and
intergroup relations. Social and Personality Psychology Compass, 25(10), 1866–
1880. doi: 10.1111/j.1751-9004.2008.00130.x
Marx, G. T. (2012). Looking at Smelser ’ s theory of collective behavior after almost
50 Years : A review and appreciation. The American Sociologist, 43(2), 135–
152.
McAdam, D. (1982). Political process and the development of Black insurgency
1930-1970. Chicago: University of Chicago Press.
McCarthy, J. D., & Zald, M. N. (1977). Resource mobilization and social movements:
A partial theory. American Journal of Sociology, 82(6), 1212–1241. doi:
10.1086/226464
Melucci, A. (1980). The new social movements: A theoretical approach. Social
Science Information, 19(2), 199–226. doi: 10.1177/053901848001900201
Morgan, G. S. (2011). Toward a model of morally motivated behavior: Investigating
mediators of the moral conviction-action link (Order No. 3551265) (Doctoral

26
Disertation). University of Illinois at Chicago. Retrieved from
http://search.proquest.com.ezproxy.lib.rmit.edu.au/docview/1285537246?acco
Moskalenko, S., & McCauley, C. (2009). Measuring political mobilization: The
distinction between activism and radicalism. Terrorism and Political Violence,
21(2), 239–260. doi: 10.1080/09546550902765508
Muluk, H., Hudiyana, J., & Shadiqi, M. A. (2018). The development of psychology of
culture in Indonesia. In W. W. Li, D. Hodgetts, & K. H. Foo (Eds.), Asia-Pacific
Perspectives on Intercultural Psychology (pp. 140–156). doi:
10.4324/9781315158358-8
Ngazis, A. N. (2018, April 11). #2019GantiPresiden kalahkan #Jokowi2Periode.

ter
Viva.Com. Retrieved from https://www.viva.co.id/digital/digilife/1025352-
2019gantipresiden-kalahkan-jokowi2periode
Niedenthal, P. M., & Brauer, M. (2012). Social functionality of human emotion.

ap
Annual Review of Psychology, 63(1), 259–285. doi:
10.1146/annurev.psych.121208.131605

Ch
Oliver, P. (2013). Collective action (collective behavior). In D. A. Snow, D. della
Porta, B. Klandermans, & D. McAdam (Eds.), The Wiley-Blackwell
encyclopedia of social and political movements (pp. 1–5). doi:
10.1002/9780470674871.wbespm032
ok
Olson, M. (1965). The logic of collective action: Public goods and the theory of
groups. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bo

Pearson, F. S., Akbulut, I., & Lounsbery, M. O. (2015). Group Structure and
Intergroup Relations in Global Terror Networks: Further Explorations. Terrorism
and Political Violence, 6553(December), 1–23. doi:
ed

10.1080/09546553.2015.1058788
Phalet, K., Baysu, G., & Verkuyten, M. (2010). Political mobilization of Dutch
pt

Muslims: Religious identity salience, goal framing, and normative. Journal of


Social Issues, 66(4), 759–780. doi: 10.1111/j.1540-4560.2010.01674.x
ce

Pratiwi, F. (2016, December 4). Jumlah peserta aksi 212 mencapai 7,5 juta orang.
Republika Online. Retrieved from http://www.republika.co.id/berita/nasional/
Ac

umum/16/12/04/oho06r257-jumlah-peserta-aksi-212-mencapai-75-juta-orang
Purnomo, W. A., Arigi, F., Pramono, S., Rahma, A., Wibowo, K. S., Pahlevi, A., &
Rafiq, A. (2018, September). Tagar vs Telik Sandi. Majalah Tempo.
Putra, I. E., & Sukabdi, Z. A. (2014). Can Islamic fundamentalism relate to
nonviolent support? The role of certain conditions in moderating the effect of
Islamic fundamentalism on supporting acts of terrorism. Peace and Conflict:
Journal of Peace Psychology, 20(4), 583–589. doi: 10.1037/pac0000060
Putsanra, D. V. (2019, September 23). Demo Gejayan Memanggil Jogja dan tragedi
Moses Gatotkaca 1998. Tirto.Id.
Rahmat, M. A. (2016, November 7). Kronologi demo 4 November: Dari damai
hingga berakhir ricuh. Detik Online. Retrieved from
https://news.detik.com/berita/d-3339694/kronologi-demo-4-november-dari-
damai-hingga-berakhir-ricuh
Saab, R., Tausch, N., Spears, R., & Cheung, W. Y. (2015). Acting in solidarity:
Testing an extended dual pathway model of collective action by bystander group
members. British Journal of Social Psychology, 54(3), 539–560. doi:
10.1111/bjso.12095
Salim, H. J. (2014). Berkas perkara 22 tersangka anggota FPI dilimpahkan ke
kejaksaan. Liputan 6. Retrieved from
https://www.liputan6.com/news/read/2119067/berkas-perkara-22-tersangka-

27
anggota-fpi-dilimpahkan-ke-kejaksaan
Schumann, S., & Klein, O. (2015). Special section article : Putting the Social (
Psychology ) into Social Media Substitute or stepping stone ? Assessing the
impact of low-threshold online collective actions on of fl ine participation.
322(November 2013), 308–322.
Shadiqi, M. A. (2017). Intensi aksi kolektif solidaritas pada mahasiswa Islam:
Interaksi pengaruh identitas sosial politik, emosi berbasis kelompok, dan efikasi
kelompok (Unpublished master's thesis). Universitas Indonesia.
Shadiqi, M. A. (2019). Pengaruh realitas terbagi, identitas terpolitisasi, dan
keterlibatan politik secara daring pada aksi kolektif (Unpublished doctoral's

ter
dissertation). Universitas Indonesia.
Shadiqi, M. A., Muluk, H., & Milla, M. N. (2018). Palestinian solidarity action: The
dynamics of politicized and religious identity patterns among student activists.

ap
Makara Human Behavior Studies in Asia, 22(2), 118–128. doi:
10.7454/hubs.asia.1140818

Ch
Shadiqi, M. A., Muluk, H., & Milla, M. N. (2020). Support for Palestine among
Indonesian Muslims: Religious identity and solidarity as reasons for E-petition
signing. Psychological Research on Urban Society.
Shadiqi, M. A., Muluk, H., Milla, M. N., Hudiyana, J., & Umam, A. N. (2018). Non-
ok
normative collective action in Muslims: The effect of self-versus group-based
emotion. In A. A. Ariyanto, H. Muluk, P. Newcombe, F. D. Piercy, E. K.
Bo

Poerwandari, & S. H. R. Suradijono (Eds.), Diversity in Unity: Perspectives from


Psychology and Behavioral Sciences (pp. 639–646). doi:
10.1201/9781315225302-80
ed

Shepherd, L., Spears, R., & Manstead, A. S. R. (2013). ‘This will bring shame on our
nation’: The role of anticipated group-based emotions on collective action.
pt

Journal of Experimental Social Psychology, 49(1), 42–57. doi:


10.1016/j.jesp.2012.07.011
ce

Shi, J., Hao, Z., Saeri, a. K., & Cui, L. (2014). The dual-pathway model of collective
action: Impacts of types of collective action and social identity. Group Processes
Ac

& Intergroup Relations, 1368430214524288-. doi: 10.1177/1368430214524288


Simon, B., & Klandermans, B. (2001). Politicized Collective Identity A Social
Psychological Analysis. American Psychologist, 56(4), 319–331. doi:
1O.1037//OOO3-066X.56.4.319
Skitka, L. J. (2010). The psychology of moral conviction. Social and Personality
Psychology Compass, 4(4), 267–281. doi: 10.1111/j.1751-9004.2010.00254.x
Smelser, N. J. (1962). Theory of Collective Behavior (T. F. Press, Ed.). New York:
The Free Press.
Smith, E. R., & Mackie, D. M. (2015). Dynamics of group-based emotions: Insights
from intergroup emotions theory. Emotion Review, 7(4), 349–354. doi:
10.1177/1754073915590614
Snow, D. A., della Porta, D., Klandermans, B., & McAdam, D. (2013). Timeline. In
D. A. Snow, D. della Porta, B. Klandermans, & D. McAdam (Eds.), The Wiley-
Blackwell encyclopedia of social and political movements. International Review
of Cytology.
Snow, D. A., Rochford, E. B., Worden, S. K., & Benford, R. D. (1986). Frame
alignment processes, micromobilization, and movement participation. American
Sociological Review, 51(4), 464–481.
Soeharso, S. Y. (2009). Pendekatan integratif terhadap faktor yang mempengaruhi
intensi buruh untuk mengikuti aksi kolektif. Makara Seri Sosial Humaniora,

28
13(2), 77–84.
Stewart, A. L. L., Pratto, F., Bou Zeineddine, F., Sweetman, J., Eicher, V., Licata, L.,
… van Stekelenburg, J. (2016). International support for the Arab uprisings:
Understanding sympathetic collective action using theories of social dominance
and social identity. Group Processes & Intergroup Relations, 19(1), 6–26. doi:
10.1177/1368430214558310
Syahputra, I. (2018). Media sosial dan prospek Muslim Kosmopolitan: Konstruksi &
peran masyarakat siber pada Aksi Bela Islam. Jurnal Komunikasi Islam, 1(1), 19.
doi: 10.15642/jki.2018.1.1.19-40
Tabri, N., & Conway, M. (2011). Negative expectancies for the group’s outcomes

ter
undermine normative collective action: Conflict between Christian and Muslim
groups in Lebanon. British Journal of Social Psychology, 50(4), 649–669. doi:
10.1111/j.2044-8309.2011.02071.x

ap
Tarrow, S. (1998). Power in movement. Social movements, collective action and mass
politics in the modern state (2nd edition). Cambridge, UK: Cambridge

Ch
University Press.
Tarrow, S. (2011). Power in movement: Social movements, collective action, and
politics.
Tausch, N., & Becker, J. C. (2013). Emotional reactions to success and failure of
ok
collective action as predictors of future action intentions: A longitudinal
investigation in the context of student protests in Germany. British Journal of
Bo

Social Psychology, 52(3), 525–542. doi: 10.1111/j.2044-8309.2012.02109.x


Tausch, N., Becker, J. C., Spears, R., Christ, O., Saab, R., Singh, P., & Siddiqui, R. N.
(2011). Explaining radical group behavior: Developing emotion and efficacy
ed

routes to normative and nonnormative collective action. Journal of Personality


and Social Psychology, 101(1), 129–148. doi:
pt

10.1037/a0022728\r10.1037/a0022728.supp (Supplemental)
Theocharis, Y., Lowe, W., van Deth, J. W., & García-Albacete, G. (2015). Using
ce

Twitter to mobilize protest action: online mobilization patterns and action


repertoires in the Occupy Wall Street, Indignados, and Aganaktismenoi
Ac

movements. Information Communication and Society, 18(2), 202–220. doi:


10.1080/1369118X.2014.948035
Thomas, E. F., & Louis, W. R. (2013). Doing democracy: The social psychological
mobilization and consequences of collective action. Social Issues and Policy
Review. doi: 10.1111/j.1751-2409.2012.01047.x
Thomas, E. F., & Louis, W. R. (2014). When will collective action be effective?
Violent and non-violent protests differentially influence perceptions of
legitimacy and efficacy among sympathizers. Personality and Social Psychology
Bulletin, 40(2), 263–276. doi: 10.1177/0146167213510525
Thomas, E. F., Mavor, K. I., & McGarty, C. (2012). Social identities facilitate and
encapsulate action-relevant constructs: A test of the social identity model of
collective action. Group Processes & Intergroup Relations, 15(1), 75–88. doi:
10.1177/1368430211413619
Thomas, E. F., Mcgarty, C., & Louis, W. R. (2014). Social interaction and
psychological pathways to political engagement and extremism. European
Journal of Social Psychology, 44(1), 15–22. doi: 10.1002/ejsp.1988
Thomas, E. F., McGarty, C., & Mavor, K. (2016). Group interaction as the crucible of
social identity formation: A glimpse at the foundations of social identities for
collective action. Group Processes & Intergroup Relations, 19(2), 137–151. doi:
10.1177/1368430215612217

29
Tilly, C. (1970). Book review: Why Men Rebel. By TED ROBERT GURR. Journal
of Social History, 416–420.
Toft, M. D. (2007). Getting religion? The puzzling case of Islam. International
Security, 31(4), 97–131. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/4137567
Turner, R. H., & Killian, L. M. (1987). Collective behavior (3rd ed.). Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Valenzuela, S., Arriagada, A., & Scherman, A. (2012). The social media basis of
youth protest behavior: The case of Chile. Journal of Communication, 62(2),
299–314. doi: 10.1111/j.1460-2466.2012.01635.x
Valenzuela, S., Correa, T., & Gil de Zúñiga, H. (2018). Ties, Likes, and Tweets:

ter
Using strong and weak ties to explain differences in protest participation across
Facebook and Twitter use. Political Communication, 35(1), 117–134. doi:
10.1080/10584609.2017.1334726

ap
van Stekelenburg, J., & Klandermans, B. (2010). Individuals in movements: A social
psychology of contention. In B. Klandermans & C. M. Roggeband (Eds.), The

Ch
handbook of social movements across disciplines (pp. 157–204). New York:
Springer.
van Stekelenburg, J., Klandermans, B., & van Dijk, W. W. (2009). Context matters:
Explaining how and why mobilizing context influences motivational dynamics.
ok
Journal of Social Issues, 65(4), 815–838. doi: 10.1111/j.1540-
4560.2009.01626.x
Bo

van Stekelenburg, J., & Klandermans, P. G. (2009). Social movement theory: Past,
present and prospect. In I. van Kessel & S. Ellis (Eds.), Movers and shakers:
Social movements in Africa (pp. 17–44). Leiden: Brill.
ed

van Zomeren, M. (2013). Four core social-psychological motivations to undertake


collective action. Social and Personality Psychology Compass, 7(6), 378–388.
pt

doi: 10.1111/spc3.12031
van Zomeren, M. (2015a). Collective action as relational interaction: A new relational
ce

hypothesis on how non-activists become activists. New Ideas in Psychology, 39,


1–11. doi: 10.1016/j.newideapsych.2015.04.001
Ac

van Zomeren, M. (2015b). Psychology process in social action. In M. Mikulincer, P.


R. Shaver, J. F. Dovidio, & J. A. Simpson (Eds.), APA Handbook of Personality
and Social Psychology, Volume 2: Group Processes (pp. 505–533). Washington,
DC: American Psychological Association.
Van Zomeren, M. (2013). Four core social-psychological motivations to
undertakecollective action. Social and Personality Psychology Compass, 7(6),
378–388. doi: 10.1111/spc3.12031
van Zomeren, M., & Iyer, A. (2009). Introduction to the social and psychological
dynamics of collective action. Journal of Social Issues, 65(4), 645–660.
van Zomeren, M., Kutlaca, M., & Turner-Zwinkels, F. (2018). Integrating who “we”
are with what “we” (Will not) stand for: A further extension of the social identity
model of collective action. European Review of Social Psychology, 29(1), 122–
160. doi: 10.1080/10463283.2018.1479347
van Zomeren, M., Postmes, T., & Spears, R. (2008). Toward an integrative social
identity model of collective action: A quantitative research synthesis of three
socio-psychological perspectives. American Psychological Association, 134(4),
504–535. doi: 10.1037/0033-2909.134.4.504
van Zomeren, M., Postmes, T., & Spears, R. (2012). On conviction’s collective
consequences: Integrating moral conviction with the social identity model of
collective action. British Journal of Social Psychology, 51(1), 52–71. doi:

30
10.1111/j.2044-8309.2010.02000.x
van Zomeren, M., Postmes, T., Spears, R., & Bettache, K. (2011). Can moral
convictions motivate the advantaged to challenge social inequality?: Extending
the social identity model of collective action. Group Processes & Intergroup
Relations, 14(5), 735–753. doi: 10.1177/1368430210395637
van Zomeren, M., Spears, R., Fischer, A. H., & Leach, C. W. (2004). Put your money
where your mouth is! Explaining collective action tendencies through group-
based anger and group efficacy. Journal of Personality and Social Psychology,
87(5), 649–664. doi: 10.1037/0022-3514.87.5.649
van Zomeren, M., Spears, R., & Leach, C. W. (2008). Exploring psychological

ter
mechanisms of collective action: does relevance of group identity influence how
people cope with collective disadvantage? The British Journal of Social
Psychology / the British Psychological Society, 47(Pt 2), 353–372. doi:

ap
10.1348/014466607X231091
Wilkins, D. J., Livingstone, A. G., & Levine, M. (2019). All click, no action? Online

Ch
action, efficacy perceptions, and prior experience combine to affect future
collective action. Computers in Human Behavior, 91(September 2018), 97–105.
doi: 10.1016/j.chb.2018.09.007
Wright, J. C., Cullum, J., & Schwab, N. (2008). The cognitive and affective
ok
dimensions of moral conviction: Implications for attitudinal and behavioral
measures of interpersonal tolerance. Personality and Social Psychology Bulletin,
Bo

34(11), 1461–1476. doi: 10.1177/0146167208322557


Wright, S. C. (2001). Restricted intergroup boundaries: Tokenism, ambiguity, and the
tolerance of injustice. In J. T. Jost & B. Mayor (Eds.), The Psychology of
ed

Legitimacy: Emerging Perpectives on Ideology, Justice, and Intergroup Relation


(pp. 223–254). New York: Cambridge University Press.
pt

Wright, S. C. (2009). The next generation of collective action research. Journal of


Social Issues, 65(4), 859–879.
ce

Wright, S. C., Taylor, D. M., & Moghaddam, F. M. (1990). Responding to


membership in a disadvantaged group: From acceptance to collective protest.
Ac

Journal of Personality and Social Psychology, 58(6), 994–1003. doi:


10.1037/0022-3514.58.6.994
Xenos, M., Vromen, A., & Loader, B. D. (2014). The great equalizer? Patterns of
social media use and youth political engagement in three advanced democracies.
Information Communication and Society, 17(2), 151–167. doi:
10.1080/1369118X.2013.871318
Yustisia, W., Shadiqi, M. A., Muluk, H., & Milla, M. N. (2019). An Investigation of
an Expanded Encapsulate Model of Social Identity in Collective Action
(EMSICA) including Perception of threat and intergroup contact to understand
support for Islamist terrorism in Indonesia. Asian Journal of Social Psychology,
23(1), 29-41. doi: 10.1111/ajsp.12372

Biografi Penulis
Muhammad Abdan Shadiqi lahir di Angkinang (Kalimantan Selatan) pada 23 Februari
1991. Pada tahun 2012, menyelesaikan S1 Psikologi di Universitas Lambung
Mangkurat (ULM), Banjarbaru. Setelah lulus, ia bekerja di Prodi Psikologi (ULM)
sebagai tenaga pengajar dan tenaga kependidikan, kemudian pada 2015 ia berhenti dari
pekerjaannya karena mendapatkan beasiswa percepatan melanjutkan studi dari S2 ke
S3 dari Menristekdikti, yakni PMDSU (Program Magister menuju Doktoral untuk

31
Sarjana Unggul) selama 4,5 tahun. Pada tahun 2017 ia telah menyelesaikan kulah S2
bidang Psikologi Sosial dan pada 2019 menyelesaikan studi program doktoral di usia
28 tahun di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Saat ini bekerja sebagai dosen
tetap di Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat
(ULM), ia juga aktif sebagai pengurus Ikatan Psikologi Sosial – Himpunan Psikologi
Indonesia (IPS-HIMPSI), serta menjadi peneliti di Laboratorium Psikologi Politik
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selain itu, ia menjadi managing editor di
Jurnal Makara Hubs-Asia UI; editor di Jurnal Psikologi Sosial IPS-HIMPSI; dan editor
di Jurnal Ecopsy ULM. Minat studinya adalah berkaitan dengan psikologi sosial dan
politik, khususnya pada tema penelitian pergerakan sosial dan aksi kolektif, perilaku

ter
politik, dan isu politik-keagamaan. Untuk kebutuhan korespondensi dapat
menghubungi penulis melalui email: abdan.shadiqi@ulm.ac.id

ap
Ch
ok
Bo
ed
pt
ce
Ac

32

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai