Anda di halaman 1dari 141

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian terhadap pengelasan logam berbeda antara Baja Tahan
Aus HB 500 dengan Baja Konstruksi ST 42 menggunakan metode Gas Metal Arc
Welding (GMAW) untuk menentukan struktur mikro dan sifat mekanik yang
dihasilkan. Baja Tahan Aus HB 500 diketahui merupakan baja dengan paduan
rendah dengan kekerasan tinggi (High Strength Low Alloy Steel/ HSLA) yang
memiliki kekerasan sebesar 500 Hardness Brinell. Sedangkan Baja Konstruksi ST
42 sendiri merupakan baja karbon rendah dengan kekuatan tarik 415 MPa yang
memiliki sifat mampu las yang baik. Pengelasan dilakukan dengan memvariasikan
jumlah lapisan dan kuat arus. Hasil paling optimal terdapat pada perlakuan
pengelasan dengan jumlah lapisan sebanyak 4 (empat) dan kuat arus antara 80 –
150 A dengan nilai kekuatan tarik sebesar 434,689 – 444,582 MPa, kekuatan
tekuk sebesar 958.168 – 969.165 MPa dan kekerasannya sebesar 561 HB pada
daerah logam las.

Kata kunci : Baja Tahan Aus, Baja Konstruksi, Struktur Mikro dan Sifat
Mekanik

iv
ABSTRACT

Research of Dissimilar welding has been carried out between HB 500 Wear-
resistant Steel and ST 42 Construction Steel by using the Gas Metal Arc Welding
(GMAW) method to examine the microstructure and mechanical properties which
produced. The HB 500 wear-resistant steel is known as High Strength Low Alloy
Steel (HSLA) that has a hardness of 500 Brinell Hardness, whereas the ST 42
construction steel is a low carbon steel with a tensile strength of 415 MPa which
has a good weldability. Welding is done by varying the number of layers and the
current strength. The most optimal results are found in the welding treatment with
a total of 4 (four) layers and a current strength between 80 - 150 A generate a
tensile strength value of 434,689 - 444,582 MPa, a bending strength of 958,168 -
969,165 MPa and a hardness of 561 HB in the weld metal area.

Key Words : Wear-resistant Steel, Construction Steel, Microstructure and


Mechanical Properties

v
KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya pada tempo ini saya dapat melaksanakan seluruh proses penelitian di
PT. Pindad (Persero) dari awal hingga penyelesaian laporan dengan judul
“Analisis Hasil Pengelasan Baja HB 500 dengan Baja ST 42 menggunakan
Metode Gas Metal Arc Welding (GMAW) di PT. Pindad (Persero) ”.

Penulisan skripsi ini tergolong jauh dari sempurna. Maka dari itu, kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk peningkatan kualitas tulisan-
tulisan berikutnya. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat untuk civitas
akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya mahasiswa/i Program
Studi Fisika. Semoga kita tetap senantiasa semangat dalam menuntut ilmu,
meningkatkan produktivitas dan menjaga kesehatan di masa transisi normal baru
Pandemi Covid-19 ini.

Jakarta, ….. Juli 2021

Cut Fitria
NIM.11170970000001

vi
UCAPAN TERIMA KASIH

Pelaksanaan penelitian yang berjalan sesuai rencana tentunya diiringi


dengan semangat dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis
mohon izin mengucapkan terimakasih kepada pihak – pihak yang telah membantu
mulai dari proses penelitian hingga pembuatan laporan, antara lain :

1. Bpk. Teuku Jamaluddin (Alm) dan Ibu Seha yang telah memberikan jasa
fundamental selama ini
2. Erwin H. Al-Jakartaty selaku Wakil Komandan Komando Nasional
Resimen Mahasiswa Indonesia, yang telah memberikan semangat dan
dukungan untuk senantiasa mengimplementasikan Panca Dharma Satya
Resimen Mahasiswa Indonesia
3. Bpk. Zen Wahyudin selaku Vice President Penjaminan Mutu & K3LH PT.
Pindad (Persero), yang telah memberikan kesempatan untuk dapat
melaksanakan penelitian tugas akhir
4. Bpk. Trisno Mardi Yanto selaku Manager Pengembangan Kompetensi
Teknikal dan Sertifikasi PT. Pindad (Persero), yang telah memberikan
kesempatan untuk dapat melaksanakan penelitian tugas akhir
5. Ibu Tati Zera, M.Si selaku Kepala Program Studi Fisika, yang selama ini
memberikan petunjuk dan arahan untuk pelaksanaan kegiatan akademik
6. Bpk. Arif Tjahjono, S.T, M.Si selaku Pembimbing I dari Program Studi
Fisika, yang telah memberikan suplemen penunjang terkait ilmu material
bahan, bimbingan pelaksanaan penelitian tugas akhir dan motivasi semangat
untuk selalu berjuang dan konsisten
7. Bpk. Iwan Setiawan selaku Pembimbing II dari PT. Pindad (Persero), yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kegiatan lapangan selama
pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan selesai
8. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Fisika UIN Jakarta atas ilmu dan
pengetahuan selama melaksanakan kegiatan perkuliahan
9. Keluarga Besar Komando Resimen Mahasiswa Satuan “Wira Dharma” UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
10. Seluruh mahasiswa di Program Studi Fisika UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Semoga skripsi ini dapat menjadi refensi dalam pengembangan penelitian


selanjutnya dan membawa manfaat untuk yang membaca dan
mengimplementasikannya.

vii
DAFTAR ISI

ABSTRAK iv
ABSTRACTS v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 4
1.3 Batasan Masalah 5
1.4 Tujuan 5
1.5 Manfaat 5
1.6 Sistematika Penulisan 6

BAB II DASAR TEORI 8


2.1 Baja 8
2.2 Pengelasan 35
2.3 Radiografi 60
2.4 Metalografi 62
2.5 Uji Tarik 64
2.6 Uji Tekuk 67
2.7 Uji Kekerasan Hardness Vickers 68

BAB III METODE PENELITIAN 71


3.1Waktu, dan Tempat Penelitian 71
3.2 Alat dan Bahan 71
3.3 Parameter Penelitian 72
3.4 Prosedur Penelitian 73
3.5 Diagram Alir 90

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 91


4.1 Hasil Pengujian Struktur Mikro 91
4.2 Hasil Pengujian Sifat Mekanik 104

BAB V PENUTUP 114


5.1 Kesimpulan 114
5.2 Saran 115
DAFTAR PUSTAKA 116

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Unsur Penting dalam Baja 10


Tabel 2.2 Lembar Data ST 42 ketebalan 10 mm 16
Tabel 2.3 Lembar Data HB 500 ketebalan 10 mm 19
Tabel 2.4 Jenis Flux Welding untuk Proses Pengelasan Metode GMAW 47
Tabel 2.5 Klasifikasi dan Persyaratan Kawat Las 51
Tabel 2.6 Sifat Mekanik Logam Las 52
Tabel 3.1 Variasi Pengelasan Baja HB 500 dengan Baja ST42 73
Tabel 4.1 Analisa Kandungan Unsur HB 500 Program Fe120 91
Tabel 4.2 Analisa Kandungan Unsur ST 42 Program Fe120 93
Tabel 4.3 Radiografi Hasil Pengelasan x = 180 mm 97
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Struktur Fasa Pengelasan 100
Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Makroskopis 103
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Tarik 106
Tabel 4.7 Hasil Pengujian Tekuk 109

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan klasifikasi baja 13


Gambar 2.2 Diagram Besi-Karbon 20
Gambar 2.3 Struktur mikro pada feritik penuh 22
Gambar 2.4 Struktur mikro pada jenis baja struktural ferit-perlit 25
Gambar 2.5 Struktur mikro pada jenis baja perlit 26
Gambar 2.6 Struktur mikro pada jenis baja martensit 28
Gambar 2.7 Struktur mikto pada jenis baja bainit 30
Gambar 2.8 Contoh baja "overaustenitized" 31
Gambar 2.9 Diagram Graville untuk Baja HSLA 34
Gambar 2.10 Ilustrasi jenis pengelasan bead welds 36
Gambar 2.11 Ilustrasi jenis pengelasan fillet welds 37
Gambar 2.12 Ilustrasi jenis pengelasan groove welds 38
Gambar 2.13 Pengukuran pada groove welds 39
Gambar 2.14 Ilustrasi jenis pengelasan plug welds 39
Gambar 2.15 Skema representasi untuk metode Shield metal arc welding 41
Gambar 2.16 Pengelasan tempa (friction welding) kuno 44
Gambar 2.17 Proses pengelasan dengan metode Gas Metal Arc Welding 46
Gambar 2.18 Diskontinuitas retak dan porositas 55
Gambar 2.19 Peleburan berlebihan (undercut) daerah lasan 56
Gambar 2.20 Diskontinuitas underfill dan undersized 57
Gambar 2.21 Diskontinuitas inklusi dan penetrasi tidak menyeluruh 58
Gambar 2.22 Diskontinuitas percikan dan kawah pada ujung las 59
Gambar 2.23 Diskontinuitas arc strike 60
Gambar 2.24 Diskontinuitas yang terdeteksi Radiografi 61
Gambar 2.25 Prinsip kerja pada pengujian radiografi 62
Gambar 2.26 Pemeriksaan struktur makro hasil pengelasan 62
Gambar 2.27 Daerah hasil pengelasan pada metalografi 63
Gambar 2.28 Hasil Tegangan Uniaksial dari Spesimen Logam 66
Gambar 2.29 Hasil uji tarik 67
Gambar 2.30 Prinsip kerja untuk guided bend, no die test 68
Gambar 2.31 Skema indentor Vickers 69
Gambar 2.32 Distribusi kekerasan 70
Gambar 3.1 Material HB 500 dan ST 42 75
Gambar 3.2 OES Bruker tipe Q4 Tasman 76
Gambar 3.3 ZQ250 Automatic Cutting Machine 77
Gambar 3.4 Baja Konstruksi ST 42 kampuh las 78
Gambar 3.5 Penyangga material untuk las 78

x
Gambar 3.6 Sketsa pengelasan Baja 79
Gambar 3.7 Malvern Microfocus X-ray Tube 80
Gambar 3.8 Material hasil pengelasan 81
Gambar 3.9 HD-CR / CR 35 NDT Imaging Plate Scanners 82
Gambar 3.10 TRUMPF TruLaser 1030 82
Gambar 3.11 Hasil pemotongan material 83
Gambar 3.12 Shimadzu Universal Testing Machine AGX.R 83
Gambar 3.13 Shimadzu Universal Testing Machine AGX.R 85
Gambar 3.14 Krisbow Mikroskop 100x Metal 86
Gambar 3.15 Vickers Hardness Tester Amstrong Pedestal 88
Gambar 3.16 Diagram Tahapan Penelitian 90
Gambar 4.1 Hasil Pengujian Tarik 105
Gambar 4.2 Hasil Pengujian Tekuk 108
Gambar 4.3 Skema pengujian kekerasan 111
Gambar 4.4 Grafik pengujian kekerasan 112

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini, setiap negara berlomba-lomba untuk meningkatkan sistem

pertahanan baik di darat, laut maupun udara. Menurut Undang‑Undang

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Pasal 1 tentang Pertahanan Negara,

yang dimaksud Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk menegakkan

kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI), dan melindungi keselamatan segenap bangsa

dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Ditinjau dari Landasan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan

Negara, pada bagian Landasan Konsepsional, disebutkan bahwa ancaman

merupakan faktor utama yang menjadi dasar dalam penyusunan desain sistem

pertahanan negara [1]. Dinamika ancaman ini dapat berupa ancaman aktual

(ancaman militer, ancaman nonmiliter dan ancaman hibrida baik yang

berasal dari dalam negeri maupun luar negeri) dan ancaman potensial

(ancaman yang belum terjadi dan dapat terjadi dalam situasi tertentu) [2]. Hal

ini merupakan tantangan bagi industri pertahanan di Indonesia untuk

senantiasa mengembangkan produk-produknya agar dapat menjamin

keamanan seluruh rakyat Indonesia.

Sementara itu, perubahan yang terjadi pada era Revolusi Industri 4.0.

dapat dikatakan sebagai perubahan dengan kecepatan eksponensial. Hal

tersebut berpotensi menimbulkan berbagai peluang dan permasalahan yang

1
akan secara pararel harus diikuti dengan perubahan kualitas pengembangan

pada industri pertahanan. Bentuk pengembangan ini salah satunya dilakukan

oleh PT. Pindad (Persero) dimana merupakan manufaktur yang bergerak di

bidang produk militer maupun produk komersial non militer. Beberapa

produk militer yang berupa kendaraan lapis baja bahkan telah mampu

diproduksi oleh PT. Pindad (Persero) seperti panser 6x6 Anoa, kendaraan

taktis 4x4 Komodo dan yang terbaru yaitu kendaraan taktis 4x4 Maung.

Adapun material yang secara dominan digunakan di industri

pertahanan adalah baja. Baja didefinisikan sebagai besi dengan kandungan

karbon sekitar 0,1 hingga 2%, yang dibuat dengan menggabungkan

ketangguhan besi tempa pada jangka waktu tertentu dalam api arang yang

panas dari kekuatan besi gubal (scrap besi). Besi panas inilah yang menyerap

karbon dari arang, sehingga atom karbon berdifusi ke dalam kisi besi

kemudian menghasilkan paduan larutan padat besi-karbon yang kita kenal

sebagai baja. Baja dengan karakteristik yang variatif diperoleh dari

penambahan berbagai elemen paduan antara lain: karbon, mangan, silikon,

nikel, kromium, molibdenum, vanadium, kolumbium (niobium), tembaga,

aluminium, titanium, tungsten, dan kobalt [3]. Dengan berbagai macam baja

yang ada, kategori baja yang paling banyak digunakan di bidang pertahanan

adalah Baja Tahan Aus dan Baja Konstruksi.

Baja Tahan Aus diproduksi dengan tingkat kekerasan yang variatif,

salah satunya yaitu Baja Tahan Aus HB 500 yang biasa disebut baja Armor

atau baja lapis baja dengan nilai kekerasan sebesar 500 Hardness Brinell.

2
Baja Armor secara historis memberikan kinerja tahan balistik terhadap

berbagai ancaman di medan perang. [4]. Sedangkan Baja Konstruksi secara

umum digunakan untuk keperluan struktural dan dapat diaplikasikan pada

saat keadaan suhu lingkungan, misalnya dalam bangunan di atas dan di

bawah tanah, pembangunan jembatan, teknik hidrolik, bunker, otomotif, dan

konstruksi kendaraan tempur [5]. Salah satu Baja Konstruksi yang paling

banyak diaplikasikan yaitu Baja Konstruksi ST 42 yang memiliki kekuatan

tarik sebesar 415 MPa [6].

Baja Tahan Aus dan Baja Konstruksi selanjutnya dipadukan menjadi

satu-kesatuan dengan menggunakan sistem pengelasan (welding). Pengelasan

adalah proses fabrikasi yang menggabungkan material (biasanya logam atau

termoplastik) dengan tekanan tertentu yang dilakukan dengan cara melebur

benda kerja dan menambahkan bahan pengisi (logam las) untuk membentuk

genangan bahan cair (kolam las), kemudian mendingin dan menjadi

sambungan yang kuat. [7] [8]. Pengelasan tidak hanya dapat dilakukan

terhadap material yang sama, melainkan juga dapat dilakukan pada material

yang berbeda (dissimilar metal welding), tentunya dengan tetap

memperhatikan spesifikasi kawat las yang mengumpuni.

Namun menjadi tantangan tersendiri ketika menggabungkan dua jenis

baja yaitu Baja Tahan Aus dengan Baja Konstruksi. Hal tersebut disebabkan

oleh Baja Tahan Aus dengan kekerasan tinggi ternyata rumit untuk dilas,

karena memiliki kandungan karbon ekuivalen yang lebih tinggi. Maka dari

itu, perlu mengoptimalkan teknologi pengelasan untuk mendapatkan

3
sambungan las tanpa retakan dan cacat. Sifat mekanis yang menjadi

kelebihan material ini seperti ketangguhan dan kekerasan dapat

diperoleh dengan optimal, dengan pemberian variasi selama proses

pengelasan. Berdasarkan standar MIL-STAN-1185, lebar Heat Affected Zone

(HAZ) pada material baja kekerasan tinggi harus berada dalam kisaran

maksimal 15,9 mm dari garis tengah sambungan dengan kekerasan mikro

lemparan logam dasar adalah antara 478 hingga 521 HV [9].

Berdasarkan fakta di atas maka menjadi sangat penting untuk

dilakukan penelitian tentang “Analisis Hasil Pengelasan Baja HB 500 dengan

Baja ST 42 menggunakan Metode Gas Metal Arc Welding (GMAW) di PT.

Pindad (Persero)”, sehingga akan dapat diketahui jumlah lapisan dan kuat

arus yang harus diberikan saat proses pengelasan untuk menghasilkan

kekuatan sambungan yang paling optimum.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diambil rumusan masalah

untuk penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hasil pengujian struktur mikro daerah lasan antara Baja

HB 500 dengan Baja ST 42 yang telah mengalami variasi pengelasan

melalui pengujian radiografi dan metalografi?

2. Bagaimanakah hasil pengujian sifat mekanik daerah lasan antara Baja

HB 500 dengan Baja ST 42 yang telah mengalami variasi pengelasan

melalui pengujian tarik, tekuk dan kekerasan?

4
1.3 Tujuan

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk:

1. Menentukan struktur mikro yang terbentuk pada daerah lasan antara Baja

HB 500 dengan Baja ST 42 yang telah mengalami variasi pengelasan

melalui pengujian radiografi dan metalografi

2. Menentukan nilai sifat mekanik yang berupa kekuatan tarik, kekuatan

tekuk dan kekerasan daerah lasan antara Baja HB 500 dengan Baja ST 42

yang telah mengalami variasi pengelasan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penulisan hasil penelitian ini,

antara lain:

1. Mengetahui banyaknya jumlah lapisan dan besar kuat arus yang paling

optimal untuk hasil pengelasan dengan kekuatan yang baik

2. Mengetahui hasil kekuatan sambungan jika dilakukan pengelasan dengan

metode Gas Metal Arc Welding (GMAW)

3. Memberikan pengembangan keilmuan terkait pengelasan pada material

tahan aus kepada civitas akademika pada umumnya dan kepada mahasiswa

fisika ilmu material dan bahan pada khususnya.

1.5 Batasan Masalah

Pelaksanaan penelitian ini mengambil batasan masalah sebagai

berikut:

5
1. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah Baja Tahan Aus

Hardox HB 500 dengan dimensi 300 mm x 150 mm x 10 mm dan Baja

Konstruksi ST 42 dengan dimensi 300 mm x 150 mm x 10 mm.

2. Metode pengelasan menggunakan Gas Metal Arc Welding (GMAW)

dengan posisi pengelasan down hand

3. Kawat Las yang digunakan yaitu ER 70 S

4. Kampuh las yang digunakan adalah butt joint single V-groove dengan

sudut bevel 30°.

5. Variasi pengelasan dilakukan antara tiga dan empat layer, dengan kuat

arus mulai dari 80-90A hingga 160-180A

6. Parameter pengujian yang digunakan pada hasil pengelasan tersebut

adalah analisa komposisi kimia, radiografi, metalografi, uji kekerasan

vickers , uji tekuk dan uji tarik.

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam hal ini, peneliti membuat sistematika guna penyusunan laporan

yang sistematis dan tetap sejalur dengan topik yang dicanangkan. Maka dari

itu, skripsi ini tersusun atas 5 (lima) bab yang ditulis dengan interpretasi

sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, batasan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

6
BAB II Dasar Teori

Bab ini berisi teori-teori dari penelitian yang berkaitan dengan

penelitian, dimulai dari material, pengelasan, dan prinsip-prinsip pada

pengujian.

BAB III Metode Penelitian

Bab ini terdiri atas prosedur yang dilakukan saat penelitian, mencakup

informasi tentang waktu dan tempat penelitian, alat dan bahan yang

digunakan, hingga prosedur kerja yang dilakukan dari awal hingga

akhir penelitian.

BAB IV Hasil dan Pembahasan

Bab ini memaparkan data yang diperoleh dengan mengikutsertakan

analisisnya.

BAB V Penutup

Bab ini berisi kelebihan dan keterbatasan dari pengelasan metode

GMAW pada penyambungan dua bahan berbeda yang diikutsertakan

dengan kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilaksanakan.

7
BAB II

DASAR TEORI

2.1 Baja

Setelah tahun 1890-an penemuan yang menarik dan produktif seputar

metalografi baja mulai ramai di Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Jepang, dan

Amerika Serikat. Peningkatan penggunaan baja paduan yang diberi perlakuan

panas selama dan setelah Perang Dunia I mengarah pada pengembangan

berbagai paduan yang berbeda dengan penekanan pada komposisi khusus

yang memberikan sifat unggul pada baja. Pemahaman yang lebih maju

tentang paduan dalam baja pada saat itu sangat dibutuhkan untuk

menyelesaikan transformasi austenit menjadi martensit. Kemudian, muncul

penelitian pertama yang menerbitkan tentang transformasi baja oleh ahli

metalurgi Prancis terkenal Albert Portevin dan M. Garvin pada tahun 1919.

Mereka menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa transformasi struktur ke

martensit keras tidak akan terjadi melainkan sampai baja yang dipadamkan

telah mendingin hingga suhu jauh di bawah suhu struktur perlit (lapisan besi

dan besi karbida) terbentuk [10].

Baja pada dasarnya adalah paduan besi dan berbagai unsur lain yang

terdapat dalam tabel periodik. Sebagai definisi umum, baja adalah paduan

besi, dengan kadar karbon (di bawah 2% C), dan elemen paduan lainnya yang

dapat berubah bentuk pada saat perlakuan panas atau pendinginan menjadi

berbagai bentuk. Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan baja

adalah bijih besi, batu bara, dan batu kapur [11]. Bahan-bahan ini

8
digabungkan dalam tanur sembur untuk dijadikan produk yang dikenal

sebagai "pig iron" (besi gubal), yang mengandung karbon dalam jumlah besar

(di atas 1,5%) dengan paduan : mangan, sulfur, fosfor, dan silikon. Adapun

besi gubal ini memiliki karakteristik keras, rapuh, dan tidak cocok untuk

diproses langsung menjadi olahan produk. Maka dari itu dilakukan proses

selanjutnya yaitu steelmaking (pembuatan baja), yaitu proses pemurnian skrap

besi dengan menghilangkan elemen yang tidak diinginkan dari lelehan dan

kemudian menambahkan elemen yang diinginkan dalam jumlah yang telah

ditentukan [12].

Reaksi utama dalam kebanyakan pembuatan baja adalah kombinasi

karbon dengan oksigen untuk membentuk gas. Jika oksigen terlarut

(dissolved) tidak dihilangkan dari lelehan sebelum atau selama penuangan,

produk gas terus berkembang selama pemadatan. Jika baja sangat

terdeoksidasi dengan penambahan elemen deoksidasi, dimana tidak ada gas

yang terbentuk, maka baja dapat disebut "musnah" karena berada dalam

kondisi terdiam (didiamkan) di dalam cetakan. Peningkatan derajat evolusi

gas (penurunan deoksidasi) menandai baja yang disebut "semikilled",

"capped", atau "rimmed". Derajat deoksidasi dalam hal ini dapat

mempengaruhi beberapa sifat baja [12].

Struktur metalurgi dan kandungan karbon merupakan kontributor

utama bagi sifat keseluruhan dari material baja. Setiap elemen yang

ditambahkan ke penyusun dasar besi memiliki pengaruh pada sifat akhir

material dan reaksi metal terhadap proses fabrikasi. Penambahan elemen-

9
elemen tersebut memiliki tanggung jawab atas banyak perbedaan antara

berbagai jenis atau kualitas baja. Daftar unsur-unsur yang biasa ditambahkan

ke besi dan pengaruhnya terhadap baja yang dihasilkan terdapat pada Tabel

2.1.

Tabel 2.1 Unsur penting dalam baja [6], [7], [11], [13], [14]
No. Unsur Titik Kegunaan
Lebur
1 Karbon (C) 3450°C Elemen paduan penting pada baja. Karbon bisa ditambahkan baik terlarut
dalam besi atau dalam bentuk gabungan, seperti pada besi karbida (Fe3C).
Peningkatan jumlah karbon dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan
tarik serta respon terhadap perlakuan panas (hardenability). Di sisi lain,
peningkatan jumlah karbon dapat mengurangi kemampuan las.

2 Mangan (Mn) 1221°C Termasuk juga sebagai elemen paduan penting di sebagian besar baja. Baja
biasanya mengandung setidaknya 0,3% mangan, yang bekerja tiga kali
lipat: membantu deoksidasi baja, menangkal kerapuhan dengan mencegah
pembentukan inklusi besi sulfida, dan meningkatkan kekuatan yang lebih
besar dengan meningkatkan kemampuan pengerasan baja. Jumlah
kandungan mangan hingga 1,5% umumnya ditemukan pada baja karbon.
Tingkat mangan yang tinggi menghasilkan baja austenitik dengan
ketahanan aus dan abrasi yang ditingkatkan.
3 Fosfor (P) 44°C Fosfor juga dianggap sebagai pengotor yang tidak diinginkan dalam baja.
Biasanya ditemukan dalam jumlah hingga 0,04%. Pada baja yang mengeras,
cenderung mempromosikan embrittlement (kerapuhan). Pada baja paduan
rendah dan kekuatan tinggi (High Strength Low Alloy Steel), fosfor dapat
ditambahkan dalam jumlah hingga 0,10% untuk meningkatkan kekuatan
,kekerasan, dan ketahanan korosi.

4 Sulfur (S) 118°C Biasanya dianggap sebagai pengotor pada baja. Ditambahkan ke baja
khusus dalam jumlah 0,1% -0,3% untuk meningkatkan kemampuan mesin.
Namun, dalam jumlah yang melebihi 0,05% cenderung menyebabkan
kerapuhan dan mengurangi kemampuan las.

5 Silikon (Si) 1414°C Ditambahkan untuk meningkatkan kekuatan dan kekerasan larutan padat
serta untuk meningkatkan kemampuan pengerasan. Ditambahkan ke baja
cair untuk menghilangkan oksigen (deoksidasi). Akibat deoksidasi, Silikon
dapat membentuk stringer silikat (inklusi silikon dioksida). Logam las
biasanya mengandung sekitar 0,5% silikon sebagai deoxidizer. Penambahan
Silikon tidak menyebabkabkan munculnya karbida pada baja. Ditambahkan
ke baja khusus untuk meningkatkan sifat listrik dan magnet serta
kemampuan pengerasan.

10
Tabel 2.1 Unsur penting dalam baja [6], [7], [11], [13], [14]
No. Unsur Titik Kegunaan
Lebur
6 Nikel (Ni) 1453°C Nikel ditambahkan ke baja untuk meningkatkan kemampuan kekerasan,
kekuatan, ketangguhan dan keuletan. Penambahan unsur ini tidak
membentuk karbida pada baja. Nikel sering digunakan untuk meningkatkan
ketangguhan baja pada suhu rendah.

7 Krom (Cr) 1920°C Merupakan elemen paduan yang kuat dalam baja. Ditambahkan untuk
meningkatkan kekerasan baja dan ketahanan korosi dan oksidasi suhu
tinggi. Keberadaannya di beberapa baja bisa menyebabkan kekerasan yang
berlebihan dan retak di bagian dalam dan di daerah sekitar lasan. Pada baja
tahan karat, jumlah kandungan kromium melebihi 12%.

8 Molibdenum 2623°C Unsur ini merupakan pembentuk karbida yang kuat dan biasanya terdapat
(Mo) pada baja paduan dalam jumlah kurang dari 1,0%. Penambahan
molybdenum ditujukan untuk meningkatkan kekuatan dan kekerasan
larutan padat serta untuk meningkatkan kemampuan pengerasan. Elemen ini
juga dapat meningkatkan sifat suhu tinggi, termasuk kekuatan mulur,
menangkal kerapuhan,dan tahan korosi.

9 Tembaga (Cu) 1920°C Merupakan logam yang lunak, ulet, dan mudah dibentuk yang meleleh pada
suhu 1.984 ° F. Tembaga juga sangat tahan korosi dan tidak membentuk
karbida. Dalam jumlah kecil yang digunakan (0,10-0,40%) tembaga tidak
berpengaruh signifikan terhadap sifat fisik. Namun, efek samping dari
penambahan unsur ini cenderung menyebabkan kerapuhan saat panas,
sehingga menurunkan kualitas permukaan .

10 Kobalt (Co) 2623°C Penambahan unsur ini dilakukan untuk meningkatkan kekuatan,
kekerasan,dan kekerasan panas. Pembentuk karbida yang lemah. Unsur ini
juga berperan penting dalam beberapa baja perkakas dan baja tahan panas.

11 Tungsten (W) 1084°C Tungsten adalah logam baja abu-abu yang berbobot lebih dari dua kali lebih
berat dari besi. Penambahan unsur ini dapat meningkatkan kekerasan,
ketahanan aus, dan kekuatan tarik pada baja. Dalam jumlah dari 17 - 20 %
dikombinasikan dengan kromium dan molibdenum, dapat menghasilkan
baja yang mempertahankan kekerasannya pada suhu tinggi .
12 Vanadium (V) 1492°C Penambahan vanadium akan meningkatkan kekuatan dan kekerasan baja
dengan kontrol ukuran butir (grain refinement) serta untuk meningkatkan
kemampuan pengerasan. Unsur ini juga sebagai pembentuk nitrida yang
kuat yang juga membentuk karbida. Namun, dalam jumlah yang lebih besar
dari 0,05%, akan ada kecenderungan baja menjadi getas (brittle) selama
proses thermal stress relief treatments .

11
Tabel 2.1 Unsur penting dalam baja [6], [7], [11], [13], [14]
No. Unsur Titik Kegunaan
Lebur
13 Kolumbium 3380°C Kolumbium (juga disebut niobium), seperti vanadium umumnya dianggap
(Cb) meningkatkan kekerasan baja. Namun, karena afinitasnya yang kuat
terhadap karbon, ia dapat bergabung dengan karbon dalam baja sehingga
menghasilkan penurunan kemampuan pengerasan secara keseluruhan.

15 Alumunium 1726°C Aluminium merupakan unsur tidak pernah ditemukan di alam dalam
(Al) keadaan murni. Pada umumnya unsur tersebut berasal dari bauksit, suatu
jenis aluminium hidroksida. Aluminium adalah salah satu logam paling
ringan: beratnya sekitar sepertiga dari besi. Selain itu, ia juga konduktor
panas dan listrik yang baik dan sangat tahan terhadap korosi atmosferik.
Aluminium ulet dan mudah dibentuk. Ia dapat dengan mudah dicor,
diekstrusi, ditempa, digulung, dan ditarik. Aluminium dapat digabungkan
dengan pengelasan, pematri, penyolder, pengikat perekat, dan pengikatan
mekanis. Aluminium digunakan baik dalam baja karbon maupun baja
paduan. Karena mudah digabungkan dengan oksigen, ia berperan sebagai
deoxidizer dan pembersih yang andal. Ia juga menghasilkan ukuran butir
austenitik halus. Ketika aluminium hadir dalam jumlah sekitar 1%, dapat
meningkatkan kekerasan baja yang tinggi.

16 Titanium (Ti) 2477°C Logam-logam ini kadang-kadang ditambahkan dalam jumlah kecil ke baja
Zirkonium (Zr) paduan rendah berkekuatan tinggi tertentu untuk mendeoksidasi logam,
mengontrol ukuran butiran halus (grain size), dan meningkatkan sifat fisik
material.

17 Boron (B) 2075°C Penambahan boron dapat meningkatkan pengerasan baja, dengan kedalaman
dimana baja akan mengeras saat di-quenching. Efektivitas Boron terbatas
pada bagian ukuran dan bentuknya saat proses liquid quenching. Boron juga
mengintensifkan karakteristik pengerasan elemen lain yang ada dalam baja.
Ini sangat efektif bila digunakan dengan baja karbon rendah. Efeknya yaitu
dapat meningkatkan kandungan karbon pada baja. Boron juga ditambahkan
ke baja untuk aplikasi reaktor nuklir karena penampang neutronnya yang
tinggi.

18 Timbal (Pb) 328°C Timbal adalah logam berat yang lunak, mudah dibentuk. Timbal memiliki
kekuatan tarik yang kecil, sangat tahan terhadap korosi. Penambahan timbal
ke baja karbon dan baja paduan dapat meningkatkan kemampuan mesin
tanpa mempengaruhi sifat mekanik material secara signifikan. Timbal
ditambahkan ke komposisi basa dengan kandungan fosfor, karbon, sulfur,
dan nitrogen yang tinggi untuk mendapatkan kemampuan mesin yang
optimal. Timbal digunakan secara luas dalam industri perpipaan, penutup
kabel, dan baterai. Ia juga digunakan dalam pembuatan paduan seperti
solder, logam bantalan, dan pelat terne.

12
Baja diklasifikasikan dengan meninjau kandungan komposisi kimianya.

Berbagai elemen paduan ditambahkan dengan untuk tujuan mencapai sifat dan

karakteristik tertentu. Klasifikasi baja dijelaskan pada Gambar 2.1.

Ferrous Alloys

Klasifikasi
Klasifikasi
berdasarkan nama
berdasarkan
dagang atau
struktur
pengaplikasian

Alloy tanpa
Baja
eutectic (<2% C
pada bagan Fe-C)
Baja Karbon Biasa

Baja karbon rendah


Feritik
(0,05-0,3% C)

Baja karbon sedang


Feritik - Perlitik
(0,3-0,59 % C)

Baja karbon tinggi


Perlitik
(0,6-0,99% C)

Baja Paduan Rendah


dengan ≤ 8% elemen
paduan

Martenisitik

Baja Paduan
Tinggi dengan
Bainitik
>8% elemen

Austenitik

Presipitasi
Hardening

Austenitik -
Tahan Korosi
Feritik

Struktur
Tahan Panas
Dupleks

Tahan Aus

Gambar 2.1 Bagan klasifikasi baja [11]

13
2.1.1 Baja Karbon

Baja karbon adalah salah satu bahan yang paling banyak

digunakan di industri,terutama pada sistem yang mengandung air

dan tekanan uap di pembangkit listrik sebagai pendukung sistem

– sistem tersebut. Karena karbon merupakan elemen paduan yang

sangat kuat dalam baja, terdapat perbedaan signifikan dalam

kekuatan, kekerasan, dan keuletan yang dapat dicapai dengan

variasi yang relatif kecil pada tingkat karbon dalam komposisi

kandungan baja. Namun, faktor penting lainnya — seperti

fabrikasi material, perlakuan panas (heat treatment), fabrikasi

komponen, dan proses fabrikasi lainnya— juga dapat

mengakibatkan perubahan signifikan pada properti komponen

baja karbon. Berdasarkan kadar karbonnya, baja karbon terbagi

atas Baja Karbon Rendah, Baja Karbon Sedang, dan Baja Karbon

Tinggi.

A. Baja Karbon Tinggi

Baja Karbon Tinggi memiliki kandungan karbon

berkisar antara 0,60 - 0,99 %. Terdapat juga jenis lain yaitu

baja karbon ultra tinggi yang mengandung karbon antara 1,0

- 2,0 % karbon. Baja ini lebih sulit untuk dilas daripada baja

karbon rendah atau sedang. Mereka dapat diberi perlakuan

panas untuk kekerasan maksimum dan ketahanan aus.

Pemberian pemanasan awal dan perlakuan panas setelah

14
pengelasan diupayakan untuk menghilangkan kekerasan dan

kerapuhan yang terdapat pada zona fusi. Baja ini banyak

digunakan pada pegas, tempaan, cetakan, dan baja struktural

[7].

B. Baja Karbon Sedang

Baja dengan komposisi kandungan karbon antara 0,30

- 0,59 % ini memiliki sifat lebih kuat dari baja karbon rendah

dan memiliki kualitas mampu diberi perlakuan panas yang

lebih tinggi. Pengerasan dapat terjadi saat baja ini dilakukan

heat treatment dan quenching. Untuk proses pengelasan, baja

ini harus dilas dengan elektroda arc logam berpelindung

yang rendah hidrogen. Operasi pengelasan menggunakan

baja karbon sedang harus lebih berhati-hati, dan hasil terbaik

diperoleh jika baja dipanaskan terlebih dahulu (pre-heating)

sebelum pengelasan dan dilakukan normalisasi setelah

pengelasan. Ini memastikan kekuatan tarik dan keuletan

maksimum [7]. Baja karbon sedang secara komersil biasanya

digunakan sebagai alat-alat perkakas, baut, poros engkol,

roda gigi, ragum, pegas, dan lain-lain [15].

C. Baja Karbon Rendah

Baja yang sering disebut sebagai baja ringan (mild

steels) ini memiliki kandungan karbon sebanyak 0,05 - 0,30

%. Baja karbon rendah diproduksi dalam jumlah yang lebih

15
banyak daripada semua baja lain untuk dimanfaatkan pada

proses fabrikasi. Hal tersebut dikarenakan kemampuan las

baja karbon rendah sangat baik. Baja ini umumnya

digunakan untuk baja mesin (0,08–0,29% karbon) dan baja

coldrolled (0,08–0,29% karbon) [7].

Salah satu jenis baja karbon rendah yang memiliki

kekuatan tarik dan mampu las yang baik adalah Baja

Konstruksi ST42 yang terdapat dalam DIN 17100.

Komposisi kimia dari material ini yaitu jumlah karbon

maksimum 0,2%. Untuk mencapai sifat mekanik yang

mudah diatur walaupun pengunaan unsur-unsur lainnya

sangat rendah, maka diperlukan penambahan mangan.

Adapun komposisi dan sifat mekanik material ST42

berdasarkan DIN 17100 terdapat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Lembar data ST 42 ketebalan 10 mm [5]


Komposisi Kimia Sifat Mekanik Material
Tegangan Tegangan
C Fe Mn P Si S N Kekerasan Perpanjangan
Tarik Luluh
% % % % % % % HB MPa MPa %
0,21 98 1,35 0,04 0,4 0,05 0,009 123 415 290 20

Selain itu, Baja ST42 juga memiliki kemampuan las

sangat baik karena kandungan karbonnya yang rendah.

Sedangkan untuk perlakuan lain seperti : polishing (poles),

etsa, EDM, nitridasi, hard chroming dapat dilakukan

dengan cara tertentu [6].

16
2.1.2 Baja Paduan

Baja diklasifikasikan sebagai baja paduan bila kandungan

elemen paduannya melebihi batas tertentu. Elemen-elemen

paduan ditambahkan untuk mendapatkan efek yang diinginkan

dalam suatu produk. Baja paduan mudah dilas dengan proses

pengelasan seperti MIG / MAG dan TIG [7]. Baja paduan terbagi

menjadi dua, yaitu baja paduan tinggi dan baja paduan rendah.

A. Baja Paduan Tinggi

Baja paduan tinggi adalah baja yang kandungan paduan

totalnya melebihi 5%. Kelompok baja paduan tinggi yang

paling sering ditemui pada proses fabrikasi adalah baja tahan

karat (stainless steel) dan baja mangan austenitik.

Baja tahan karat pada dasarnya adalah paduan besi /

kromium dimana kandungan kromiumnya melebihi 10,5%

dengan kandungan karbon kurang dari 1,5%, dan kandungan

besi lebih besar dari unsur lainnya. Kromium oksida, yang

terbentuk dengan cepat di permukaan material, membuat baja

ini tahan terhadap korosi [16].

B. Baja Paduan Rendah

Baja paduan rendah termasuk kelompok baja yang

banyak sekali kegunaannya, karena masing-masing dari

jenisnya memiliki sifat yang sesuai untuk aplikasi tertentu.

Keuntungan utama dari penggunaan baja paduan rendah ini

17
adalah bahwa kita dapat meningkatkan sifat mekanik material

(seperti kekerasan dan kekuatan tarik) tanpa disertai

kurangnya keuletan. Terdapat beberapa kombinasi properti

yang diinginkan apabila dibawa oleh penambahan masing-

masing elemen paduan, seperi berikut :

 Krom - meningkatkan kekerasan, kekuatan tarik dan

ketahanan korosi

 Nikel - meningkatkan ketangguhan dan meningkatkan

struktur butiran halus

 Molibdenum - memberikan ketahanan terhadap creep

[16].

Baja Paduan Rendah Berkekuatan Tinggi (High

Strength Low Alloy Steel) merupakan kelompok baja dengan

komposisi kimia yang dikembangkan secara khusus untuk

memberikan nilai sifat fisik yang lebih tinggi dan ketahanan

korosi material yang lebih besar daripada yang diperoleh

dari kelompok baja karbon [7].

Komposisi kimiawi baja HSLA dapat bervariasi

tergantung pada ketebalan produk guna memenuhi

persyaratan sifat mekanik material tersebut. Baja HSLA

dalam bentuk lembaran atau pelat memiliki kandungan

karbon rendah (0,05 - 0,25% C) dengan kandungan mangan

18
hingga 2,0% yang ditujukan untuk menghasilkan

kemampuan bentuk dan kemampuan las yang memadai.

Sejumlah kecil elemen seperti kromium, nikel, molibdenum,

tembaga, nitrogen, vanadium, niobium, titanium, dan

zirkonium digunakan dalam baja paduan ini [17]. Salah satu

jenis baja paduan rendah yaitu material Armor HB 500.

Komposisi kimia material tahan aus HB 500 berdasarkan

Military Standard MIL-DTL-46100 untuk Armor

Plate,Steel,Wrought,High-Hardness terdapat pada Tabel 2.3.

[18] :

Tabel 2.3 Lembar Data HB 500 ketebalan 10 mm [18]


Komposisi Kimia Sifat Mekanik Material
Tegangan Tegangan
C Cr Mn P Si S Mo Ni CE Kekerasan
Tarik Luluh
% % % % % % % % % HB MPa MPa
0,3 0,7 ,80 0,02 0,02 0,005 0,3 0,6 0,6 477 - 534 1654,74 1310

2.1.3 Struktur Fasa Baja

Sifat-sifat baja yang memiliki keterkaitan dengan komposisi

kimia, jalur pemrosesan, hingga struktur mikro material yang

dihasilkan; telah dikenal sejak awal abad kedua puluh. Untuk

komposisi baja tertentu, sebagian besar propertinya bergantung

pada mikrostruktur. Properti ini disebut properti peka struktur

(structure-sensitive properties), misalnya, kekuatan luluh dan

kekerasan. Pemberian perlakuan pada processing juga merupakan

19
sarana untuk mengembangkan dan mengontrol mikrostruktur,

misalnya hot rolling, quenching, dan lain sebagainya [19]. Studi

tentang struktur baja dan besi dimulai dengan mempelajari

diagram kesetimbangan besi-karbon. Banyak fitur dasar dari

sistem ini (Gambar 2.2) yang mempengaruhi perilaku baja paduan

hingga yang paling kompleks sekalipun. Diagram besi-karbon

yang terdapat pada Gambar 2.2 memberikan fondasi untuk

membangun pengetahuan tentang baja karbon biasa dan baja

paduan dalam variasi yang sangat banyak [20].

Gambar 2.2 Diagram Besi-Karbon (Hansen, Constitution of Binary Alloys,


2nd edition, McGraw-Hill, NewYork, USA, 1958) [20]

20
Baja yang diklasifikasikan berdasarkan struktur mikro

antara lain : feritik, feritik-perlitik, perlitik, martensitik, bainitik,

dan austenitik.

A. Feritik (Besi Alpha)

Berbagai macam baja dan besi tuang secara umum

memanfaatkan sifat ferit. Namun, hanya beberapa baja

komersial yang benar-benar feritik. Ferit pada dasarnya

adalah larutan padat besi yang mengandung karbon dengan

satu atau lebih elemen paduan seperti silikon, kromium,

mangan, dan nikel. Ada dua jenis larutan padat pada struktur

ferit, antara lain:

 Interstisial

Dalam larutan padat interstisial, elemen dengan diameter

atom kecil, misalnya karbon dan nitrogen, menempati

situs interstisial tertentu dalam kristal besi Body-

Centered Cubic (BCC).

 Substitusional

Dalam larutan padat substitusional, unsur-unsur dengan

diameter atom yang sama menggantikan atom besi.

Kedua jenis larutan padat tersebut dapat memberikan

karakteristik berbeda pada ferit. Misalnya, elemen pengantar

seperti karbon dan nitrogen dapat dengan mudah berdifusi

melalui kisi BCC yang terbuka, sedangkan elemen substitusi

21
seperti mangan dan nikel berdifusi dengan sangat sulit.

Struktur mikro dari ferit dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur mikro pada feritik penuh, baja karbon ultralow,
etch + HF, 300x. Dokumentasi dari A.O. Benscoter, Lehigh University
[19]

Oleh karena itu, larutan padat interstisial dari besi dan

karbon dapat merespons dengan cepat selama perlakuan

panas, sedangkan larutan padat substitusional berperilaku

lamban selama perlakuan panas, seperti dalam homogenisasi.

Adapun jika kandungan karbon melebihi batas kelarutan

0,022%, karbon akan membentuk fase lain yang disebut

sementit. Perlu kita ketahui juga bahwa fasa semenit

merupakan penyusun perlit [19].

22
B. Feritik-Perlitik

Baja struktural yang paling banyak diproduksi

umumnya memiliki mikrostruktur campuran ferit-perlit.

Paduan yang ditambahkan pada baja jenis ini juga memiliki

pengaruh pada sifat mekaniknya. Misalnya, mangan

digabungkan dengan belerang sebagai penguat, mangan dan

silikon sebagai penghilang oksidasi, dan aluminium sebagai

penghilang oksidator. Pada kebanyakan baja ferit-perlit,

kandungan karbon dan ukuran butir dapat menentukan

struktur mikro dan sifat yang dihasilkan. Pengaruh karbon

terlihat pada kekuatan tarik pamungkas yang terus meningkat

dengan meningkatnya kandungan karbon. Hal ini disebabkan

oleh peningkatan fraksi volume perlit pada struktur mikro

yang memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan ferit. Dengan demikian, peningkatan fraksi volume

perlit memiliki efek yang sangat besar pada peningkatan

kekuatan tarik [19][20].

Baja ferit-perlit dapat dibuat dengan menggunakan

proses sebagai berikut :

 Normalisasi

Pada proses normalisasi, baja dipanaskan kembali

sekitar 100°C untuk membentuk austenit, dilanjutkan

dengan pendinginan udara melalui transformasi fasa.

23
Hal ini bertujuan untuk memperhalus ukuran butir

austenit dan ferit, dan pencapaian perlit yang relatif

halus. Proses ini sering digunakan setelah pengerolan

panas, di mana suhu finishing yang tinggi dapat

menyebabkan struktur mikro yang kasar. Laju

pendinginan selama normalisasi bergantung pada

dimensi baja, tetapi beberapa kontrol dapat dilakukan

dengan menggunakan pendinginan udara secara paksa

(forced air cooling) [20].

 Anil

Baja ananneal berarti baja yang telah di

austenitisasi pada suhu yang cukup tinggi, diikuti

dengan pendinginan yang lambat, misalnya di dalam

tungku. Hal ini akan menghasilkan transformasi yang

tinggi dalam kisaran perlit, menghasilkan perlit kasar

dengan kemampuan mesin yang baik. Ada jenis anil

lain yang biasa dilakukan, seperti anil isotermal, di

mana baja didinginkan hingga suhu transformasi

subkritis yang tinggi, yang dapat mengubah isotermal

menjadi ferit dan perlit kasar. Anil sferoidisasi seperti

ini diterapkan pada baja perlit karbon tinggi untuk

meningkatkan kemampuan mesinnya [20].

24
Gambar 2.4 Struktur mikro pada jenis baja structural ferit-perlit [19]

Pada Gambar 2.4 dapat dilihat struktur mikro dari ferit-

perlit. Baja dengan struktur ferit-perlit ini banyak sekali

aplikasinya, seperti balok untuk jembatan, bangunan

bertingkat tinggi, pelat untuk kapal, dan tulangan untuk jalan

raya. Baja ini dapat dikatakan relatif terjangkau untuk

diproduksi dalam jumlah besar.

C. Perlitik

Pada saat kandungan karbon baja meningkat melebihi

batas kelarutan (0,02% C) di diagram fase biner besi karbon,

konstituen tersebut membentuk struktur perlit. Perlit dibentuk

dengan mendinginkan baja melalui temperatur eutektoid.

Sementit dan ferit membentuk pelat sejajar yang disebut

lamellae. Lamellae pada dasarnya yaitu struktur mikro

komposit yang terdiri dari fasa karbida yang sangat keras,

sementit, dan fasa ferit yang sangat lunak dan ulet.

25
Perlit sendiri terbentuk pada komposisi eutektoid

sebesar 0,78% C dengan struktur mikro yang dapat dilihat

pada Gambar 2.5 sebagai koloni di mana lamellae sejajar

dalam orientasi yang sama [19].

Gambar 2.5 Struktur mikro pada jenis baja perlit [19]

Sifat-sifat baja perlit ditentukan oleh jarak antara

lamellae ferit-sementit (jarak interlamelar). Ketebalan

lamellae sementit juga dapat mempengaruhi sifat perlit.

Lamellae sementit yang halus dapat berubah bentuk,

dibandingkan dengan lamellae kasar, yang cenderung retak

selama deformasi. Meskipun baja perlit sepenuhnya memiliki

kekuatan tinggi, kekerasan tinggi, dan ketahanan aus yang

baik, baja ini juga memiliki keuletan dan ketangguhan yang

buruk. Karena keuletan / ketangguhan yang buruk, hanya

ada beberapa aplikasi untuk baja perlit, seperti : rel kereta

api, roda dan kawat berkekuatan tinggi. Baja rel perlit

26
sepenuhnya memberikan ketahanan aus yang sangat baik

untuk kontak roda / rel kereta api [19].

D. Martensitik

Dalam paduan Fe-C, fase stabil pada suhu tinggi

disebut sebagai austenit, dengan struktur kristal kubik

berpusat disaat atom karbon menempati situs interstisial.

Ketika didinginkan pada kecepatan yang cukup lambat,

austenit kemudian berubah ke fase kesetimbangan pada suhu

rendah, yang disebut sebagai BCC ferit dan grafit. Namun,

saat laju pendinginan yang lambat mengarah pada struktur

metastabil yang terdiri dari ferit dan sementit, reaksi tersebut

melibatkan difusi karbon yang memiliki kelarutan rendah

dalam ferit. Sebaliknya, jika pendinginan dilakukan pada

kecepatan yang sangat tinggi, keadaan tersebut menghasilkan

struktur martensit. Maka dari itu, martensit memiliki

komposisi kandungan karbon yang sama seperti austenit

aslinya [21].

Secara morfologi, martensit terbagi menjadi dua, yaitu :

 Lath martensite

Lath martensite dapat diamati pada karbon biasa

dan baja hipoeutektoid paduan rendah. Morfologi ini

terjadi ketika austenit mengandung endapan,

pertumbuhan bundel yang terhambat, kemudian

27
memperoleh struktur halus. Efek ini sering dicari dengan

sengaja untuk meningkatkan sifat mekanik.

 Plate martensite

Plat martensit terjadi pada baja karbon sedang dan

tinggi. Jenis pelat seperti ini dapat mengganggu satu

sama lain, karena mengarah pada struktur mikro yang

tampak kusut dapat dilihat pada Gambar 2.6 [21].

a. b.
Gambar 2.6 Struktur mikro pada jenis baja martensit, a. lath martensit, b.
plate martensit [21]

Kekuatan dan kekerasan martensit bervariasi secara linier

sesuai dengan kadar karbon yang terkandung dalam austenit

hingga sekitar 0,5% C.Ketika karbon dalam austenit meningkat

melebihi 0,5%, kekuatan dan kekerasan ini mulai mendatar dan

kemudian turun karena ketidakmampuan untuk mengubah

austenit sepenuhnya menjadi martensit, (austenit yang tertahan

menjadi semakin banyak). Oleh karena itu, ketika baja karbon

tinggi diolah dengan panas, temperatur aus dipilih untuk

28
melarutkan tidak lebih dari sekitar 0,6% C ke dalam austenite

agar menghasilkan martensit dengan kekuatan dan kekerasan

yang baik [22].

Namun, kekerasan dan kegetasan yang tinggi dari baja

yang dibuat dengan proses rapid quenched juga dihasilkan dari

pembentukan martensit ini. Dimana dengan kompleksitas

struktur martensit yang memiliki kisi tetragonal, kadar karbon

interstisial dalam larutan padat yang terbentuk oleh pergeseran

dislokasi dengan kepadatan tinggi dan fine twins,

menyebabkan perlunya beberapa mekanisme penguatan

sebagai berikut:

 Larutan padat substitusional and interstisial

 Dislokasi strengthening dan perlakuan hardening

 Struktur kembar

 Ukuran butir (grain size)

 Pemisahan atom karbon

 Pengendapan karbida besi [20].

E. Bainitik

Ciri umum dari struktur bainit yaitu mengandung

dislokasi ferit yang seringkali memiliki morfologi acicular.

Mikrostruktur bainit umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu:

29
 Bainit atas

Terbentuk dalam kisaran suhu tepat di bawah perlit,

bentuknya seperti bundel bilah atau berkas gandum

 Bainit bawah

kisaran pembentukannya meluas hingga ke martensit,

bentuknya seperti pelat individu.

Dari segi kinetik, transformasi bainit tidak secepat

struktur martensit. Laju nukleasi dan pertumbuhan bainit

dikendalikan oleh difusi karbon. Dalam kisaran suhu yang

bersangkutan, pertumbuhan hanya dapat terjadi pada

antarmuka inkoheren yang bergerak, tidak pada antarmuka

yang semi-koheren dengan austenite, dan terjepit oleh

dislokasi yang tidak sesuai [20]. Struktur mikro bainit dapat

dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Struktur mikro pada jenis baja bainit [21]

30
F. Austenitik (Besi Gamma)

Besi gamma, seperti besi alfa, hanya berhubungan

dengan face-centered cubic (FCC) dari besi murni yang stabil

antara 912 dan 1394 ° C, sedangkan austenit merupakan

kondisi larutan padat dari satu atau lebih elemen dalam FCC

besi. Untuk baja yang dapat diolah dengan panas, austenit

adalah fase induk untuk semua transformasi produk yang

membuat paduan besi menjadi serbaguna dan komersial.

Austenit tidak stabil saat suhu kamar pada baja biasa. Baja

Cr-Ni, yang dikenal sebagai baja tahan karat austenitik,

adalah kelompok kelas yang sangat penting di mana austenit

stabil pada suhu kamar dengan struktur mikro yang dapat

dilihat pada Gambar 2.8 [22].

Gambar 2.8 Contoh baja "overaustenitized" yang mengandung jumlah


austenit yang tertahan berlebihan, martensit pelat kasar (gelap) dan
karbida primer tak terlarut (panah) dalam baja [22]

Austenit adalah fase lunak dan ulet yang dapat

dikeraskan hingga tingkat kekuatan tinggi. Untuk baja

31
karburasi yang mengeras dan karbon tinggi, baja highalloy,

seperti baja perkakas, penggunaan suhu austenitisasi yang

terlalu tinggi akan melarutkan karbida dalam jumlah

berlebihan yang menekan suhu di mana martensit akan

muncul [22].

Austenit yang tertahan secara berlebihan dalam baja

perkakas biasanya merusak masa pakai, karena dapat berubah

menjadi martensit dan menyebabkan kegetasan, atau

mengurangi ketahanan aus. Austenit yang tertahan dalam

roda gigi karburasi biasanya tidak merugikan karena roda

gigi biasanya tidak dibebani dengan goncangan, sehingga

austenit yang tertahan akan berubah menjadi martensit; dan,

ketangguhan austenit, jika distabilkan, dapat bermanfaat. Ada

jenis baja tahan karat yang komposisinya seimbang untuk

menghasilkan ferit dan austenit dalam jumlah yang kira-kira

sama pada suhu kamar, contohnya yaitu baja tahan karat

dupleks [22].

2.1.4 Karbon Ekuivalen

Sifat baja karbon sebagian besar bergantung pada

kandungan karbonnya khususnya untuk digunakan dalam praktik

permesinan. Kemampuan las baja karbon menunjukan bahwa

propertinya mudah untuk dilas. Hal tersebut merupakan fungsi

dari karbon ekuivalen yang diperkirakan dari komposisi kimia

32
baja. Peningkatan kandungan karbon dapat menurunkan

kemampuan las baja karbon. Dengan demikian, baja karbon

tinggi memiliki kemampuan las yang rendah jika disandingkan

dengan baja karbon sedang dan baja karbon rendah karena

struktur mikro baja karbon tinggi (yaitu martensit pada

pendinginan dari panas pengelasan) yang rentan terhadap retak

dingin [23].

Karbon ekuivalen adalah indikator yang menyatakan

waktu pendinginan kritis yang diperlukan material baja untuk

berubah menjadi 100% martensit. Karbon ekuivalen awalnya

digunakan untuk menyatakan laju pendinginan kritis, tetapi saat

ini digunakan untuk menyatakan waktu pendinginan kritis guna

menghitung kekerasan dari zona terpengaruh panas (HAZ) pada

sambungan las. Jika waktu pendinginan setelah pengelasan baja

lebih pendek dari waktu pendinginan kritis, maka struktur HAZ

berubah menjadi 100% martensit dan sebaliknya, struktur HAZ

berpotensi terdapat fasa selain martensit [24].

Konsep Karbon Ekuivalen (CE) telah berkembang sebagai

normalisasi komposisi kimia menjadi satu angka untuk mewakili

kemampuan baja dalam mengeras. Formula ini juga

dikembangkan untuk mengkorelasikan hasil uji retak atau untuk

menghubungkan antara kekerasan HAZ maksimum dengan

kandungan komposisi baja. Rumus Karbon Ekuivalen banyak

33
macamnya, pada dasarnya yaitu memberikan bobot ke elemen

sisa yang ada dalam baja untuk mewakili pengaruhnya pada

kemampuan mengeras dan kerentanan terhadap retak [25].

Pada penelitian ini, karbon ekuivalen yang diterapkan

pada Baja Tahan Aus HB 500 yaitu sesuai dengan Diagram

Graville (Gambar 2.9) karena baja ini memiliki struktur martensit.

Gambar 2.9 Diagram Graville untuk Baja HSLA (High Strength Low Alloy

Steel) berdsasarkan jumlah karbon [25]

Karbon ekuivalen dapat dikalkulasi menggunakan Pers 2.1.

(2.1)

Dimana CE adalah Karbon Ekuivalen dengan masing – masing

jumlah komposisi unsur yaitu karbon, mangan, krom,

molibdenum, vanadium, nikel dan tembaga.

34
2.2 Pengelasan

2.2.1 Gambaran Umum Pengelasan

Pengelasan adalah proses fabrikasi atau pahatan yang

menggabungkan material, biasanya logam atau termoplastik, yang

menghasilkan suatu penggabungan. Proses ini sering dilakukan

dengan melebur benda kerja dan menambahkan bahan pengisi

untuk membentuk genangan bahan cair (kolam las) yang

mendingin menjadi sambungan yang kuat, dengan tekanan

tertentu yang digunakan bersamaan dengan panas. Tujuan dari

proses pengelasan adalah untuk membuat potongan material yang

berbeda menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, diartikan

bahwa dua buah logam memiliki atom-atom di tepi suatu

potongan dimana cukup dekat dengan atom di tepi potongan

lainnya , kemudian saling mengembangkan daya tarik interatomic

satu sama lain, lalu kedua bagian tersebut menjadi satu

sambungan. Meskipun konsep tersebut mudah dijelaskan, namun

aktulaisasinya tidak sesederhana itu. Kekasaran permukaan,

ketidakmurnian/impuritas, ketidaksempurnaan pemasangan, dan

beragam sifat material yang digabungkan berpotensi untuk

mempersulit proses penyambungan [7] [8].

Lebih dari satu jenis pengelasan dapat digunakan dalam

suatu sambungan. Terdapat empat jenis pengelasan yang perlu

diketahui sebagai dasar, antara lain sebagai berikut :

35
 Bead Welds (Las Manik)

Las ini juga disebut sebagai las permukaan, merupakan

endapan single-pass dari logam las, seperti yang

diilustrasikan pada Gambar 2.10. Bead weld ini digunakan

untuk membangun bantalan logam dan menggantikan logam

pada permukaan yang aus [7].

Gambar 2.10 Ilustrasi jenis pengelasan bead welds [22]

 Fillet Welds

Pengelasan ini terdiri dari satu atau lebih manik-manik

yang disimpan dalam sudut siku-siku yang dibentuk oleh dua

pelat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11. Jenis

pengelasan ini digunakan untuk sambungan pangkuan (lap

joints) dan sambungan T (T-joints). Lasan fillet mengambil

penampang segitiga karena lokasinya ditempatkan di

sambungan las. Aspek penting dari pengelasan ini adalah

bentuk profilnya. Permukaan las yang digunakan bisa

cembung, cekung, atau datar. Pengelasan fillet juga dapat

digunakan dengan pengelasan alur (groove welds) untuk

36
memperkuat sambungan sudut. Pada sambungan T yang

miring, sudut deposit las yang disertakan dapat bervariasi

hingga 30° dari tegak lurus, dan salah satu sudut tepi yang

akan dihubungkan dapat dinaikkan, hingga 3⁄16 inci [7], [26].

Gambar 2.11 Ilustrasi jenis pengelasan fillet welds [22]

 Groove Welds

Pengelasan ini terdiri dari satu atau lebih manik-manik

yang disimpan dalam alur, seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 2.12. Pengelasan alur digunakan untuk sambungan

pangkal. Sambungan pangkal dapat dibuat dengan bevel atau

J-groove. Jika kedua bagian miring atau berlekuk-J saat

disatukan, mereka berbentuk V atau U dan begitulah alur ini

disebut pada sambungan pangkal [7], [26].

37
Gambar 2.12 Ilustrasi jenis pengelasan groove welds [22]

Pengelasan alur juga diklasifikasikan sebagai

pengelasan penetrasi lengkap dan penetrasi parsial. Pada

pengelasan penetrasi-penuh, material las dan logam dasar

menyatu di seluruh kedalaman sambungan. Ketika

sambungan dibuat dengan pengelasan dari kedua sisi, akar

pengelasan lintasan pertama terkelupas atau dicungkil untuk

menghasilkan logam sebelum pengelasan di sisi yang

berlawanan, atau lintasan belakang dibuat. Sedangkan

pengelasan penetrasi parsial umumnya digunakan jika gaya

yang akan ditransfer kecil. Bagian tepi mungkin tidak

terbentuk melebihi ketebalan sambungan penuh, dan

kedalaman las mungkin kurang dari ketebalan sambungan

[7], [26].

Pengelasan groove welds ini dilakukan dengan skema

pada Gambar 2.13.

38
Gambar 2.13 Pengukuran pada groove welds [22]

 Plug Welds

Las ini digunakan untuk mengisi lubang berlubang atau

melingkar pada sambungan pangkuan. Jika lubang, atau

celah, besar, las fillet dapat dibuat di sekitar permukaan

faying dari sendi. Las ini juga digunakan untuk menggeser

dan mencegah tekuk pada bagian yang tersusun dan dapat

dilakukan berdasarkan ilustrasi pada Gambar 2.14 [7], [26].

Gambar 2.14 Ilustrasi jenis pengelasan plug welds [22]

Adapun dalam pelaksanaannya, proses pengelasan

diklasifikasikan menjadi beberapa metode sebagai berikut :

39
 Arc Welding

Istilah pengelasan busur berlaku untuk proses

pengelasan skala besar dan beragam dimana menggunakan

busur listrik sebagai sumber panas. Pembuatan lasan antar

logam menggunakan proses ini biasanya tidak melibatkan

tekanan tetapi menggunakan logam pengisi (filler metal).

Panas intens yang dihasilkan oleh busur secara cepat

melelehkan sebagian base metal, yang kemudian

menghasilkan pembentukan lasan. Proses pengelasan busur

dapat dilakukan secara berpindah di sepanjang sambungan

untuk menghasilkan lasan atau ditahan diam beberapa saat

pada benda kerja. Operasi pengelasan busur dilakukan

dengan mengalirkan arus pada pengelasan melalui elektroda

yang habis pakai (yang berbentuk kawat atau batang), atau

elektroda non habis pakai ( yang terdiri dari batang karbon

atau tungsten), seperti yang direpresentasikan pada Gambar

2.15. [27].

Metode pengelasan menggunakan Arc Welding terbagi

atas beberapa jenis, antara lain :

o Shielded Metal Arc Welding

o Submerged Arc Welding

o Gas Tungsten Arc Welding

o Gas Metal Arc Welding

40
o Flux Cored Arc Welding

o Electrogas Welding

o Plasma Arc Welding

o Arc Stud Welding

Gambar 2.15 Skema representasi untuk metode Shield metal arc welding
[27]

 Resistance Welding

Pengelasan resistansi merupakan proses yang dilakukan

dengan memberikan pengaruh antara penyatuan permukaan

faying dan resistansi panas benda kerja terhadap aliran arus

pengelasan pada tekanan tertentu. Gas pelindung tidak

diperlukan pada metode ini karena udara diperas keluar dari

permukaan faying oleh gaya yang melekat pada proses

tersebut. Industri manufaktur kendaraan dalam hal ini

41
menggunakan proses resistensi secara ekstensif pada

pengaplikasian desain suatu produk. Sistem otomatis dan

robotik digunakan dalam aplikasi metode ini. Variabel proses

utama yang terkait dengan proses pengelasan resistansi ini

adalah arus pengelasan, waktu pengelasan, gaya elektroda,

bahan elektroda, dan konfigurasi ujung (tip configuration)

[27].

Metode pengelasan menggunakan Resistance Welding

terbagi atas beberapa jenis, antara lain :

o Resistance Spot Welding

o Resistance Seam Welding

o Resistance Projection Welding

o Flash Welding

o Upset Welding

o High-Frequency Upset Welding

Adapun metode pengelasan yang disebutkan di atas

menggunakan arus bolak-balik dalam penerapannya. Untuk

kualitas las yang konsisten,diperlukan bentuk dan kondisi

ujung elektroda yang baik.

 Solid State Welding

Proses pengelasan solid-state menyelesaikan

penggabungan dengan menerapkan tekanan pada suhu di

bawah titik leleh base metal dan filler metal. Proses solid-

42
state memiliki kemampuan untuk menggabungkan logam

berbeda yang tidak dapat berhasil digabungkan dengan proses

yang melibatkan logam cair. Misalnya, pengelasan

aluminium ke baja mudah dilakukan dengan beberapa proses

solid-state karena kedua bahan tersebut tidak dilebur dan

dicampur. Adapun ketika besi dan aluminium dilebur dan

dicampur bersama, hasil senyawa intermetalik menjadi getas.

Namun, jika besi dan aluminium bergabung tanpa melibatkan

peleburan, maka terjadi tarikan antar atom, menghasilkan

bagian tanpa intermetalik yang getas [27]. Proses pengelasan

ini diilustrasikan pada Gambar 2.16.

Metode pengelasan menggunakan Solid-State Welding

terbagi atas beberapa jenis, antara lain :

o Forge Welding

o Friction Welding

o Diffusion Welding

o Ultrasonic Welding

o Explosion Welding

o Cold Welding

43
Gambar 2.16 Pengelasan tempa (friction welding) kuno [27]

 Oxyfuel Welding

Oxyfuel gas welding merupakan proses pengelasan

yang memanfaatkan panas dari api gas untuk melelehkan

filler metal dan base metal. Pengelasan dengan metode ini

digunakan terutama dalam keadaan darurat. Namun yang

perlu diperhatikan saat penerapan metode ini adalah saat

melakukan perbaikan pada hasil pengelasan untuk besi tuang

kelabu [27].

Dari sudut pandang metalurgi, proses pengelasan dapat

dibagi menjadi dua kategori utama: proses pengelasan fusi dan

proses pengelasan fase padat. Dalam pengelasan fusi,

permukaan yang akan disambung dipanaskan hingga titik leleh

44
dan cairan logam pengisi ditambahkan untuk mengisi celah pada

sambungan. Lasan tersebut terdiri dari tiga zona metalurgi, yaitu :

zona fusi, zona terpengaruh panas/heat affected zone (HAZ) yang

tidak meleleh, dan pelat induk yang tidak terpengaruh.

Sebaliknya, pada pengelasan fase padat dapat dilakukan pada

suhu serendah suhu kamar normal tanpa memerlukan bagian

logam yang dipanaskan [28].

Namun, efek pengelasan pada daerah di sekitar lasan dapat

merugikan suatu material — tergantung pada material yang

digunakan dan perlakuan heat input dari proses pengelasan yang

diterapkan. HAZ dalam hal ini dapat memiliki ukuran dan

kekuatan yang bervariasi yang bergantung pada difusivitas termal

pada material dasar memainkan peran besar. Apabila difusivitas

tinggi, maka laju pendinginan material tinggi dan HAZ relatif

kecil. Sebaliknya, apabila difusivitas rendah, maka menyebabkan

pendinginan lebih lambat dan HAZ akan lebih besar [8].

2.2.2 Gas Metal Arc Welding

Gas metal arc welding (GMAW) merupakan proses

pengelasan yang melibatkan penggunaan busur logam dan

elektroda yang habis pakai dengan penambahan gas pelindung

secara eksternal. Proses GMAW dapat digunakan untuk mengelas

banyak logam ferrous dan nonferrous. Ukuran logam ini berkisar

dari 0,020 inci (0,5 mm) hingga pelat yang tebal atau pipa sesuai

45
dengan kebutuhan. Gas pelindung atau campuran gas yang

digunakan dalam pengelasan GMAW seringkali tidak sepenuhnya

inert. Gas pelindung biasanya terdiri dari karbon dioksida saja,

atau karbon dioksida yang dicampur dengan argon, atau karbon

dioksida yang dicampur dengan gas lainnya. Terkadang juga

ditemukan oksigen (hingga 5%) bercampur dengan argon. Salah

satu variabel penting dalam proses pengelasan GMAW adalah

jarak elektroda yang menjorok melewati ujung-ujung kontak ke

benda kerja, yang disebut sebagai ekstensi elektroda. Jika ekstensi

elektroda meningkat bahkan sepersekian inci dalam sistem

tegangan konstan, arus listrik akan berkurang dengan cepat

karena sudah lebih banyak arus yang digunakan untuk pemanasan

awal elektroda. Proses dari pengelasan ino diilustrasikan pada

Gambar 2.17 [7], [8], [27].

Gambar 2.17 Proses pengelasan dengan metode Gas Metal Arc Welding [27]

46
Berdasarkan intensitas sumber panas, metode pengelasan

GMAW dibagi menjadi beberapa jenis proses sesuai dengan

peruntukannya di industri, seperti yang terdapat pada Tabel 2.4.

[28]

Tabel 2.4 Jenis flux welding untuk proses pengelasan metode GMAW [28]
N Proses Su Sumber Mekanika Gas Jenis Aplikasi
o. mb daya dan pelindung Logam Kis Penggunaan
er polaritas ara di Industri
Pan n
as ket
eba
lan
Fluks diapit oleh Slag dan
elektroda tubular gas, baik
Gas dengan diameter yang
Pengelasan
Metal Arus smaal. Otomatis dihasilkan 1
logam
Arc searah, atau semi otomatis. sendiri Baja mm
1 Arc lembaran,
kawat elektroda Kawat diumpankan atau dari karbon ke
general
flux- positif terus menerus sumber atas
engineering
cored melalui pistol eksternal
dengan atau tanpa (biasanya
pelindung gas CO2)
Logam Pengelasan
Argon,
Sama seperti di nonferrous, baja paduan
atau
Arus atas, tapi baja 2 tinggi dan
Helium,
searah, menggunakan solid karbon, mm logam
Arc Argon/O2
elektroda wire, terdapat baja paduan ke nonferrous,
atau
positif perpindahan logam rendah, atas pengelasan
Argon/C
secara free flight baja paduan pipa, general
O2
Gas tinggi engineering
Metal Arus Sama seperti di Baja 1
Arc Argon/O2, Logam
2 searah, atas, tetapi dalam karbon dan mm
kawat Arc Argon/C lambaran
elektroda mode perpindahan baja paduan ke
flux- O2, CO2 (plat)
positif logam short-circuit rendah atas
cored Logam
Pulsa melepaskan
nonferrous, Posisional
penurunan di ujung
Arus Argon, baja 1 pengelasan
Pul elektroda dan
searah, Argon/O2, karbon, mm terhadap
sed memungkinkan
elektroda Argon/C baja paduan ke baja karbon
Arc transfer logam
positif O2 rendah, atas tipis atau
secara free flight
baja paduan baja paduan
pada arus rendah
tinggi

47
Pengelasan dengan metode gas metal arc welding

memberikan hasil las yang berkualitas baik pada kondisi mesin

berkecepatan tinggi tanpa menggunakan fluks maupun pada

pembersihan pasca pengelasan yang mudah untuk berbagai

macam paduan besi dan non-besi, dengan harga yang relatif

terjangkau. Proses tersebut sangat efektif untuk pekerjaan mikro.

Metode ini sering dilakukan untuk menggantikan proses

penyambungan lainnya seperti brazing, silver-soldering, atau

resistance welding. Dalam menentukan proses pengelasan untuk

pekerjaan tertentu, metode pengelasan yang dipilih adalah yang

menghasilkan kualitas terbaik dengan biaya terenda dengan

didasarkan pada suatu pertimbangan dari biaya tenaga pekerja,

peralatan, elektroda dan gas, persiapan material, dan pembersihan

pasca las [7].

Berdasarkan konsideran di atas, tidak heran bahwa

GMAW banyak diaplikasikan di industri. Adapun keunggulan

pengelasan menggunakan metode GMAW sebagai berikut:

 Kemampuan untuk menggabungkan berbagai jenis dan

ketebalan material dengan baik

 Komponen peralatan sederhana sudah tersedia dan terjangkau

 GMAW memiliki efisiensi elektroda yang lebih tinggi,

biasanya antara 93% dan 98%, jika dibandingkan dengan

proses pengelasan lainnya

48
 Efisiensi welder dan operator yang lebih tinggi, jika

dibandingkan dengan proses pengelasan busur terbuka

lainnya

 GMAW mudah diadaptasi untuk robot kecepatan tinggi,

otomatisasi keras, dan aplikasi pengelasan semi-otomatis

 Kemampuan pengelasan pada semua posisi

 Penampilan manik las yang sangat baik

 Deposit las hidrogen yang lebih rendah - umumnya kurang

dari 5 mL / 100 g logam las

 Input panas lebih rendah jika dibandingkan dengan proses

pengelasan lainnya

 Sedikitnya percikan dan terak las membuat pembersihan las

menjadi cepat dan mudah

 Lebih sedikit asap pengelasan jika dibandingkan dengan

proses SMAW (Pengelasan Busur Logam Terlindung) dan

FCAW (Pengelasan Busur Beralur Fluks) [29].

Dibalik banyaknya keunggulan, dalam penggunaan

metode GMAW masih ditemukan beberapa keterbatasan sebagai

berikut :

 Karakteristik input panas yang lebih rendah dari mode

transfer logam menjadikan penggunaannya terbatas pada

bahan yang tipis

49
 Transfer input panas yang lebih tinggi umumnya membatasi

penggunaannya untuk base metal yang lebih tebal

 Mode input panas yang lebih tinggi dari semprotan aksial

dibatasi untuk posisi pengelasan datar atau horizontal

 Penggunaan gas pelindung berbahan dasar argon lebih mahal

daripada 100% karbon dioksida (CO2) [29].

2.2.3 Elektroda ER 70 S

Dalam metode pengelasan gas metal arc welding, jenis

elektroda yang digunakan yaitu solid wire dan flux-cored wire.

Gas pelindung yang digunakan untuk metode ini berasal dari baja

berkekuatan tinggi biasanya yaitu campuran CO2 dan Ar + CO2

[30]. Tujuan dari pelapisan elektroda adalah untuk memberikan

hasil arc yang mudah menyambar dan stabil. Bahan pelapis ini

pun juga mengandung elemen yang dapat mempengaruhi

pengangkutan logam selama melintasi arc dan memberikan sifat

mekanik dan kimia yang baik pada paduan yang terbentuk antara

weld metal dengan inti batang di elektroda. Saat meleleh, lapisan

tersebut bertindak sebagai perlindungan terhadap atmosfer selama

pengelasan dengan membentuk slag (terak) saat dingin yang

selanjutnya melindungi lasan selama proses pendinginan [31].

Adapun terdapat beberapa faktor penting sebagai kontrol

kualitas dalam pengelasan berpelindung gas, antara lain :

50
 Kemurnian gas CO sebesar 99,8 vol% min dan Ar sebesar

99,99 vol% min.

 Laju aliran gas harus 20-25 l/mnt dan kecepatan gas 2 m/s.

 Jarak antara ujung kontak dan logam dasar atau ekstensi

kawat harus 10-15 mm untuk I 200A, 15-20 mm untuk I =

200-350A, dan 20-25 mm untuk I 350A atau lebih tinggi

[30].

Metode pengelasan gas metal arc welding dapat dilakukan

dengan menggunakan kawat las sesuai dengan klasifikasi dan

syarat yang tertuang pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Klasifikasi dan persyaratan kawat las untuk metode GMAW
berdasarkan AWS A5,18:2005 dan A5,20:2005 [30]
Gas Tip
Komposisi kimia peli e
Klasifikasi
ndu aru
C Mn Si P S Cu Ti Zr Al Cr Ni Mo V ng s
0,07 0,9 0,05 0,02 0,05
0,4 -
ER70S-2 mak - - - -
0,7
s 1,4 0,15 0,12 0,15
Solid
DC
Wire 0,06 0,9 0,45 0,025 0,035 0,5 0,15 0,15 0,15 0,03
CO2 -
(A5, ER70S-3 - - - maks maks maks maks maks maks maks
EP
18) 0,15 1,4 0,75
- - -
0,06 1,4
0,8 -
ER70S-6 - -
1,15
0,15 1,85

E70T-1C CO2
Flux
Cored 0,12 1,75 0,9 Ar+ DC
E70T-1M 0,03 0,03 0,35 0,2 0,5 0,3 0,08
Wire mak mak mak - - - CO2 -
maks maks maks maks maks maks maks
(A5, E71T-1C s s s CO2 EP
20)
Ar+
E71T-1M
CO2

51
Penggunaan kawat las pada metode ini dapat

menghasilkan sifat mekanik terhadap logam las seperti yang

disebutkan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Sifat mekanik logam las [30]


Sifat mekanik pada logam las
Tegangan Tegangan
Klasifikasi Perpanjangan
Tarik Luluh 0,2%
(ksi) (ksi) (%)
ER70S-2
Solid Wire
(A5, 18)
ER70S-3 70 min 58 min 22 min
ER70S-6
E70T-1C
Flux Cored E70T-1M
Wire (A5, 70 - 95 58 min 22 min
20) E71T-1C
E71T-1M

2.2.4 Pengelasan Logam Berbeda (Dissimilar Metal Welding)

Kompleksitas beberapa produk seperti fabrikasi pada

pembangkit listrik, paduan dalam membran dinding pipa, suku

cadang, komponen superheater dan reheater, dimana

membutuhkan kekuatan yang tinggi dan ketahanan oksidasi yang

baik. Maka dari itu, dikembangkan sambungan menggunakan

transisi las logam berbeda (Dissimilar Metal Welding/DMW).

Integrasi teknologi pengelasan dengan kualitas yang efisien untuk

logam berbeda akan menghasilkan sistem transportasi dan

pembangkit listrik yang baik [32], [33].

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap pengelasan

berbeda antara baja paduan rendah kekuatan tinggi (high strength

52
low-alloy steel / HSLA) dan baja karbon rendah (low carbon steel

/ LCS). Dari sudut pandang industri, integrasi multi-bahan ini

memiliki beberapa tantangan, yang pertama yaitu risiko HAZ

lebar karena input panas yang berpotensi retak terdapat pada

penggunaan Baja CrNi (Mo) kekuatan tinggi karena sejak dari

pembuatan sudah dapat perlakukan panas (untuk menambah

kekerasan) sehingga pada saat dilas menjadi jauh lebih sulit.

Kedua,yaitu kerapuhan, kegetasan dan kerentanan korosi pada

zona las. Lasan logam yang berbeda rentan terhadap korosi

galvanik, korosi lubang, korosi intergranular, retak hidrogen dan

korosi tegangan khususnya pada lingkungan korosif seperti air

laut, karbon dioksida atau udara lembab. Namun, korosi tersebut

dapat ditanggulangi dengan meminimalisasi senyawa intermetalik

sebelum dilakukan penyambungan [32], [34].

Pada pengelasan logam berbeda, struktur mikro dan

kekerasan zona fusi diatur oleh kandungan karbon dan tingkat

paduannya. Untuk kasus khusus kombinasi HSLA/LCS ini,

komposisi kimia zona fusi dipengaruhi oleh pencampuran kedua

baja dan struktur mikro yang semakin keras dipengaruhi oleh

karbon ekuivalen dari zona fusi yang meningkat. Performa

mekanik, sifat kimia dan sifat mekanik las dari kombinasi

sambungan ini adalah beban puncak pengelasan berbeda

HSLA/LCS terlihat serupa dengan pengelasan sejenis LCS/LCS.

53
Hal tersebut disebabkan oleh kontrol input panas pengelasan yang

tepat dan pencocokan elektroda yang diberikan guna

meminimalisasi migrasi karbon [32].

2.2.5 Identifikasi Diskontinuitas Las

Menurut American Welding Society (AWS) A3.0 tentang

Standar Persyaratan dan Pengelasan, diskontinuitas didefinisikan

sebagai gangguan pada struktur khas suatu material, yang

dicirikan seperti kurangnya homogenitas dalam sifat mekanik,

metalurgi, atau fisiknya. Sedangkan untuk cacat sendiri

didefinisikan sebagai penghentian yang secara alami atau efek

terakumulasi yang membuat bagian tidak dapat memenuhi standar

spesifikasi minimum yang berlaku [35].

Diskontinuitas yang biasa ditemukan pada sambungan

yang dihasilkan oleh pengelasan fusi dapat diklasifikasikan ke

dalam tiga kategori utama, yaitu : (1) proses dan prosedur, (2)

perilaku metalurgi, dan (3) desain. Diskontinuitas yang terkait

dengan proses, prosedur, dan desain biasanya akan mengubah

tegangan pada pengelasan atau zona yang terkena panas (HAZ).

Kemudian untuk diskontinuitas metalurgi sendiri akan mengubah

distribusi tegangan lokal serta mempengaruhi sifat mekanis atau

kimiawi (ketahanan korosi) dari daerah lasan dan HAZ [27].

Jenis diskontinuitas pada hasil pengelasan umumnya

antara lain :

54
 Retak (Crack)

Diskontinuitas yang ditandai dengan ujung tajam

dengan rasio panjang dan lebar yang tinggi terhadap

perpindahan bukaan. Retakan dapat terjadi di weld metal,

HAZ, atau base metal ketika tegangan lokal melebihi

kekuatan tarik material seperti yang tertuang pada Gambar

2.18 (a) [24].

 Porositas

Diskontinuitas tipe rongga yang dibentuk oleh jebakan

gas selama pemadatan. Diskontinuitas yang terbentuk

umumnya berbentuk bola dan dapat memanjang. Porositas

disebabkan oleh kontaminasi selama pengelasan. Ada

berbagai jenis porositas antara lain: porositas tersebar,

porositas memanjang, porositas sejajar atau linier, dan

porositas pipa atau lubang cacing. Porositas lubang cacing

terdapat pada Gambar 2.18 (b) [24].

(a.) (b.)

Gambar 2.18 Diskontinuitas hasil pengelasan, (a.) retak dan (b.) porositas [29]

55
 Undercut

Diskontinuitas pada alur yang melebur kebase metal

yang berdekatan dengan ujung las atau akar las dan dibiarkan

tidak terisi oleh logam las, seperti yang terlihat pada Gambar

2.19. Cacat jenis ini dapat sangat mengurangi ketahanan lelah

dari sambungan yang dilas. Penyebabnya yaitu teknik

pengelasan yang tidak tepat atau bisa juga arus pengelasan

yang berlebihan [24].

Gambar 2.19 Peleburan berlebihan (undercut) terjadi pada daerah lasan [29]

 Underfill

Kondisi pengelasan dimana permukaan las atau

permukaan akar berada di bawah permukaan base metal

secara berdekatan. Pada dasarnya sambungan tersebut belum

sepenuhnya terisi dengan logam las. Diskontinuitas ini dapat

dilihat pada Gambar 2.20 (a) [24].

56
 Undersized

Cacat ini biasa terlihat di lapangan dan mudah

dihindari. Dalam hal ini lasan yang terdapat undersized tidak

memenuhi persyaratan ukuran spesifikasi di proyek, seperti

yang terlihat pada Gambar 2.20 (b) [24].

(a.) (b.)

Gambar 2.20 Diskontinuitas hasil pengelasan, (a.) underfill dan (b.) undersized

[29]

 Inklusi

Diskontinuitas ini dicirikan sebagai bahan padat asing

yang terperangkap, seperti terak, fluks, tungsten, atau oksida.

Biasanya inklusi adalah slag yang tertinggal dalam las

Complete Joint Penetration (CJP) dan terlihat oleh

pemeriksaan non-destruktif di pengujian ultrasonik pasca-

modifikasi. Inklusi slag dihasilkan dari teknik pengelasan

yang tidak tepat, kurangnya akses las, atau pembersihan yang

tidak tepat di antara lintasan las. Diskontinuitas ini dapat

dilihat pada Gambar 2.21 (a) [24].

57
 Penetrasi Tidak Menyeluruh

Incomplete fusion yaitu fusi tidak terjadi antara logam

las dan permukaan fusi atau manik-manik las secara

berdampingan. Dapat disebut juga sebagai tumpang tindih

dan putaran dingin. Sedangkan penetrasi sambungan yang

tidak sempurna merupakan kondisi akar sambungan lasan

tidak menembus ke dalam area akar lasan, seperti yang

terlihat pada Gambar 2.21 (b) [24].

(a.) (b.)

Gambar 2.21 Diskontinuitas hasil pengelasan, (a.) unklusi dan (b.) penetrasi

tidak menyeluruh [29]

 Percikan (Spatter)

Percikan adalah partikel logam yang dikeluarkan

selama pengelasan yang bukan merupakan bagian dari

pengelasan dan dapat diperbaiki dengan menggunakan

gerinda. Diskontinuitas ini terlihat pada Gambar 2.22 (a)

[24].

58
 Kawah (Crater)

Kawah adalah cekungan di permukaan las yang terjadi

pada saat penghentian manik las, seperti yang ditunjukan

pada Gambar 2.22 (b) [24].

(a.) (b.)

Gambar 2.22 Diskontinuitas hasil pengelasan, (a.) percikan pada permukaan las

dan (b.) kawah pada ujung las [29]

 Arc Strike

Diskontinuitas yang dihasilkan dari arc (busur), yang

berasal dari logam yang dilebur ulang, logam yang dialihkan

panasnya, atau perubahan pada profil permukaan benda

logam dan menyebabkan retak. Dapat terjadi ketika welder

memulai pengelasan pada permukaan logam dasar dengan

menjauh dari sambungan las, baik secara sengaja maupun

tidak sengaja kemudian menyeabkan area terlokalisasi dari

permukaan logam dasar dengan menjauh dari sambungan las,

baik secara sengaja maupun tidak sengaja kemudian

menyeabkan area terlokalisasi dari permukaan logam dasar

yang meleleh dengan cepat didinginkan karena heat sink

59
yang dibuat oleh logam dasar di sekitarnya. Diskontinuitas ini

ditunjukan pada Gambar 2.23 [24].

Gambar 2.23 Arc strike pada daerah lasan [29]

2.3 Radiografi

Pengujian Radiografi atau Pemeriksaan Radiografi adalah metode

pengujian tidak rusak (non destructive test) yang dilakukan untuk memeriksa

struktur internal komponen apa pun guna mengidentifikasi

penyambungannya. Pengujian Radiografi menggunakan sinar-x dan sinar

gamma untuk menghasilkan radiograf dari benda uji yang menunjukkan

perubahan ketebalan, defect atau cacat, dan detail suatu perakitan untuk

memastikan kualitas yang optimal pada produk [36].

Pengujian radiografi pada hasil las sendiri dilakukan untuk

memastikan kualitas dengan mendeteksi cacat pengelasan seperti retakan,

porositas, inklusi, rongga, kurangnya fusi, pada interior pengelasan. Karena

keandalannya yang tinggi, pengujian radiografi banyak digunakan di industri

seperti minyak & gas, dirgantara, transportasi, militer, otomotif, manufaktur,

60
lepas pantai, petrokimia, kelautan, dan pembangkit listrik [36]. Hasil dari

pengujian ini ditunjukan pada Gambar 2.24.

Gambar 2.24 Diskontinuitas yang terdeteksi menggunakan Radiografi [37]

Radiografi diterapkan pada beberapa bidang yang potensial pada suatu

industri, seperti : pada penelitian & pengembangan yaitu untuk memeriksa

fatigue (kelelahan) dan deteksi retakan pada lapisan las, pada pengendalian

produksi untuk menentukan parameter manufaktur, dan pada penjaminan

mutu untuk kondisi adhesi yang buruk, retak dalam pengelasan, pori-pori di

logam yang tidak seragam dan penentuan cacat material [38]. Prinsip kerja

dari pengujian ini terdapat pada Gambar 2.25.

61
Gambar 2.25 Prinsip kerja pada pengujian radiografi [38]

2.4 Metalografi

Pengelasan dapat dikatakan sebagai teknologi penyambungan yang

penting, dimana penentu hasilnya sangat bergantung pada pilihan proses,

penggunaan bahan habis pakai, parameter pengoperasian, dan kemampuan

seorang operator. Dengan demikian, inspeksi mulai dari non destructive test

hingga destructive test, diperlukan sebagai kontrol proses untuk menjamin

kualitas hasil pengelasan. Sampel uji secara makroskopis ditunjukan pada

Gambar 2.26.

Gambar 2.26 Pemeriksaan struktur makro hasil pengelasan dengan metode GMAW [39]

62
Pemeriksaan metalografi berperan sebagai destructive test hasil lasan,

baik sebagai alat kontrol proses maupun sebagai pemeriksaan post-mortem

pada komponen yang gagal. Dalam prosedur pemeriksaan metalografi,

terdapat struktur makro yang harus diperiksa pada bagian setelah

pengamplasan atau pemolesan. Pemeriksaan struktur makro digunakan untuk

mempelajari geometri las, kedalaman penetrasi logam las, besarnya zona

yang terkena panas, serta untuk mendeteksi retakan dan void. Sektor-sektor

struktur pengelasan dapat dilihat pada Gambar 2.27.

Gambar 2.27 Daerah hasil pengelasan yang teridentifikasi pada metalografi [40]

Kemudian, terdapat pemeriksaan mikrostruktur yang digunakan untuk

menentukan mode retak dan mekanisme retak, sebagai identifikasi fase atau

konstituen dalam logam las, zona yang terkena panas, logam dasar (weld

metal), dan inklusi nonlogam – yang terkait dengan spesifikasi yang mengatur

tentang kesesuaian hasil atau penyebab kegagalan suatu produk las [41].

Adapun, di dalam logam las dan zona yang terkena panas, sering kali

ditemukan perubahan komposisi, ukuran dan orientasi butir, struktur mikro,

63
dan kekerasan. Maka dari itu, perlu untuk dilakukan pengamatan terhadap

mikrostruktur saat hasil pengelasan dipindai. Dalam hal ini, pemeriksaan

dapat dilakukan dengan memberikan cairan etsa setelah pemolesan. Cairan

etsa yang digunakan untuk memeriksa hasil pengelasan metode GMAW

dengan gas CO yaitu Larutan HNO3 10% [39].

2.5 Uji Tarik

Uji tarik dilakukan untuk melihat kekuatan tarik material dan

memastikan kualitas suatu material. Kekuatan suatu material seringkali

menjadi perhatian utama. Kekuatan tarik dalam hal ini dapat diukur baik dari

tegangan yang diperlukan untuk menyebabkan deformasi plastis atau

tegangan maksimum yang dapat ditahan oleh material tersebut. Uji tarik

dalam pelaksanaanya melibatkan pemasangan spesimen di dalam mesin.

Maka, gaya tarik yang dihasilkan kemudian dicatat sebagai fungsi dari

pertambahan panjang alat ukur [42].

Berdasarkan kurva tegangan-regangan (Stress-Strain Curves), yang

dimaksud tegangan yaitu:

(2.2)

Dimana adalah tegangan dengan satuan N/m2, F adalah beban dengan

satuan N, dan A adalah luas penampang dengan satuan m 2. Kemudian, yang

dimaksud regangan (ε) yaitu:

(2.3)

64
Dimana adalah regangan, adalah perubahan panjang dengan satuan

meter, dan adalah panjang mula-mula dengan satuan meter.

Untuk sebagian besar material, bagian awal kurva adalah linier atau

garis lurus. Kemiringan yang terdapat pada daerah linier ini disebut modulus

elastisitas atau modulus Young yang didefiniskan sebagai :

(2.4)

Dimana E adalah modulus Young dengan satuan N/m 2, yang merupakan rasio

antara perubahan dan perubahan .

Pada Gambar 2.28 terdapat grafik hasil tegangan uniaksial dari

spesimen logam berdasarkan ASTM. Titik A dalam grafik menunjukkan

batas elastis bahan yang setelahnya bahan mulai luluh (yield). Ketika titik ini

tidak terlihat jelas atau dapat diuraikan dalam pengujian, kekuatan luluh off di

B diambil dengan mengimbangi regangan (F-G) sebesar 0,2% dari gauge

length. Demikian pula, ekstensi dengan hasil di bawah beban atau extension

by yield under load (EUL) dihitung dengan mengimbangi regangan 0,5% dari

gauge length. Wilayah antara titik A dan B pada grafik juga murni elastis,

dengan pemulihan penuh pada pelepasan logam, tetapi pada dasarnya tidak

linier [42].

65
Beban
Maksimum
Offset Batas
Kekuatan Plastis
Luluh (necking)
C D
B
Batas
Elastis
A Fraktur

E
Regangan, σ

Kekuatan
Ekstensi Tarik
Luluh di
Bawah
Beban

F G H Tegangan , ε ∆
0,2%

Gambar 2.28 Hasil tegangan uniaksial dari spesimen logam [43]

. Uji tarik pada hasil pengelasan dibutuhkan untuk melihat seberapa

kuat hasil pengelasan tersebut, melihat bagian mana yang mengalami fraktur

(apakah itu logam las atau logam dasar?) dan meninjau apakah kekuatan

sudah sesuai dengan spesifikasi material/kawat las yang digunakan. Studi

terkait uji tarik ini salah satunya dilakukan pada sampel ASTM E8 untuk

menilai kekuatan dan keuletan las [44]. Berdasarkan studi tersebut terlihat

bahwa kegagalan tarik terjadi pada logam induk AISI 316 (dimana

merupakan baja yang kekuatannya lebih rendah) seperti pada Gambar 2.29.

66
Gambar 2.29 Hasil uji tarik yang memperlihatkan fraktur pada induk logam yang
kekuatannya lebih rendah [44]

2.6 Uji Tekuk

Uji tekuk merupakan destructive test yang dapat menyebabkan cacat

pada logam akibat deformasi plastik akibat perubahan bentuk material. Bahan

ini diberi tekanan di atas batas kekuatan luluh tetapi di bawah kekuatan tarik.

Secara umum, pembengkokan mengacu pada deformasi di sekitar satu sumbu

saja. Material pada uji tekuk ini ditempatkan pada sebuah cetakan dan

ditempatkan pada posisi "berhenti" dengan menempatkan penahan. Bagian

atas ditekan, dengan pukulan berbentuk ram menekan pelat dan membentuk

tekukan-v. Pembengkokan dilakukan dengan menggunakan rem tekan yang

memiliki kapasitas tekan 20 - 200 ton sesuai aplikasi yang diberikan [45].

Pembengkokan ini menghasilkan sudut yang dapat dihitung dengan:

(2.5)

Dimana adalah sudut yang dihasilkan, s adalah jarak dari kedua beban bagian

bawah dengan satuan m, dan d adalah defleksi maksimum dengan satuan N.

Setelah pembengkokan, permukaan yang cembung dari tikungan akan

diperiksa untuk mengetahui adanya retakan atau ketidakteraturan permukaan.

67
Jika spesimen patah, bahan tersebut gagal dalam pengujian. Jika tidak terjadi

patahan total, kriteria kegagalan ditinjau dari jumlah dan ukuran retakan atau

ketidakteraturan permukaan yang terlihat dengan mata telanjang pada

permukaan cembung spesimen setelah ditekuk, seperti yang telah ditentukan

oleh standar produk [46]. Prinsip kerja dari uji tekuk ini dapat dilihat pada

Gambar 2.30.

Gambar 2.30 Prinsip kerja untuk guided bend, no die test [46]

2.7 Uji Kekerasan Vickers

Pengujian kekerasan dilakukan dengan cara memberikan tekanan ke

permukaan suatu material dengan gaya yang cukup untuk menghasilkan

sebuah lekukan dimana akan timbul lekukan yang ukurannya akan

bergantung pada besar gaya yang diterapkan dan kekerasan material uji,

seperti yang terlihat pada Gambar 2.31. Pengujian kekerasan pada hasil

pengelasan menggunakan metode Vickers karena dipilih sebagai metode yang

lebih presisi ketimbang metode lainnya (Brinnel atau Rockwell).

68
Gambar 2.31 Skema yang menggambarkan indentor piramida berlian Vickers dan lekukan
yang dihasilkan [46]

Alat uji kekerasan Vickers menggunakan piramida berbasis persegi

dengan sudut 136° antara permukaan yang berlawanan untuk mendapatkan

angka kekerasan yang sama besarnya dengan angka Brinell. Rasio d / D yang

ideal untuk indentor bola senilai 0,375. Kelebihan uji kekerasan piramida

intan Vickers adalah indentornya geometris sehingga nilai HV yang

dihasilkan cukup konstan pada rentang beban yang biasanya diterapkan.

Kemampuan untuk menggunakan berbagai macam beban dan tetap

mendapatkan angka kekerasan yang sama menjadikan pengujian ini dapat

digunakan pada material dengan ketebalan yang berbeda. Dalam pengujian

Vickers standar, beban yang digunakan mulai dari 1 hingga 120 kgf, dengan

beban yang paling umum adalah 10 kgf [39].

Adapun persamaan yang digunakan untuk menghitung HV adalah

sebagai berikut :

69
(2.6)

dengan L sebagai beban dengan satuan kgf, yaitu sudut muka sebesar 136°,

dan d adalah rata-rata dari diagonal bekas indentor dengan satuan mm.

Distribusi kekerasan mikro pada pengujian ini telah digunakan di

berbagai penelitian pengelasan logam berbeda guna melihat pengaruh panas

pada HAZ dan logam las serta logam induk terhadap material hasil

pengelasan itu sendiri. Hasil dari pengujian kekerasan dapat dilihat pada

Gambar 2.32.

Gambar 2.32 Distribusi kekerasan pada pengelesan logam berbeda [33]

70
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu, dan Tempat Penelitian

Penelitian terkait analisis hasil pengelasan dilaksanakan pada:

3.1.1 Waktu

Penelitian ini berlangsung selama 6 (enam) bulan sejak Januari s.d

Juni 2021

3.1.2 Tempat

Penelitian ini dilakukan di Departemen Fabrikasi dan Kendaraan

Khusus, Divisi Kendaraan Khusus dan Laboratorium Kalibrasi dan

Uji, Departemen Rekayasa Mutu, Divisi Penjaminan Mutu & K3LH,

PT. Pindad Persero.

3.2 Alat dan Bahan

Penelitian ini membutuhkan dukungan khususnya perlengkapan guna

menunjang terlaksananya penelitian. Adapun alat dan bahan yang digunakan

pada penelitian ini, antara lain:

3.2.1 Alat

1. Three Phase Messer Griesheim Mig Welding Machine WEGA 400

2. ZQ250 Automatic Cutting Machine

3. TRUMPF TruLaser 1030

4. Malvern Microfocus X-ray Tube

5. HD-CR / CR 35 NDT Imaging Plate Scanners

71
6. Vickers Hardness Tester Armstrong Pedestal

7. 1 (Satu) Unit Komputer

8. Amplas grade 60 – 600 butir/mm2

9. Pasta Alumina

10. Krisbow Mikroskop 100x

11. Shimadzu Universal Testing Machine AGX.R

3.2.2 Bahan

1. Baja Tahan Aus HB 500

2. Baja Konstruksi ST 42

3. Kawat Las ER 70 S

4. Gas CO

3.3 Parameter Penelitian

Parameter penelitian ini yaitu melihat struktur mikro dan sifat

mekanik material dari hasil pengelasan dua logam berbeda (dissimilar metal

welding) pada variasi pengelasan berupa perbedaan jumlah lapisan pengisi

dan besar kuat arus berdasarkan standar:

1. American Welding Society

2. ASME QW-463.l untuk Plates - Longitudinal Procedure Qualification

3. MIL-STAN-1185 tentang Besar HAZ pada material dengan kekerasan

tinggi.

Seluruh proses pengelasan menggunakan kawat las yang seragam

yaitu ER 70 S dengan gas 100% CO. Adapun variasi pengelasan yang

menjadi deskripsi kode sampel dijabarkan pada Tabel 3.1.

72
Tabel 3.1 Variasi Pengelasan Baja HB 500 dengan Baja ST42
Kuat Arus
Kode Lapisan
No. I II III IV
Sampel Pengisi

1 3A 3 80 - 90 120 - 130 140 - 150 -


2 3B 3 90 - 100 130 - 140 160 - 180 -
3 4A 4 80 - 90 100 - 110 100 - 110 140 - 150
4 4B 4 90 - 100 100 - 110 100 - 110 160 - 180

Untuk melihat struktur mikro, maka dilakukan pemeriksaan defect

menggunakan Radiografi Sinar-X, pengamatan bentuk fasa menggunakan

Metalografi, dan pengamatan makroskopis menggunakan Etsa. Sedangkan

untk menentukan sifat mekanik, maka dilakukan pengujian tarik, pengujian

tekuk dan pengujian kekerasan Vickers.

3.4 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan prosedur yang secara sistematis

dideskripsikan melalui beberapa tahapan, antara lain:

3.4.1 Tahap Perencanaan

Pada tahap ini, dilakukan proses identifikasi sebagai langkah awal

dalam pelaksanaan penelitian. Identifikasi kemudian akan

memunculukan topik permasalahan serta perencanaan tentang apa

yang diamati untuk mencapai tujuan dari penelitian. Selain itu, pada

tahap ini akan ada ditetapkan sumber – sumber penelitian dan

pemeriksaan keadaaan lapangan yang sebenarnya, yang menjadikan

landasan bahwa peelitian ini perlu untuk dilakukan.

73
A. Identifikasi Masalah

Pada bagian ini, dilakukan peninjauan terkait penggunaan jumlah

layer pada proses pengelasan dengan metode Gas Metal Arc

Welding (GMAW). Kemudian dilakukan peninjauan mengenai

kuat arus yang biasa digunakan oleh WPS dari mesin tersebut.

Adapun dalam industri pembuatan kendaraan tempur sering kali

dilakukan pengelasan logam berbeda (dissimilar metal welding).

Berdasarkan hal tersebut, dilakukan peninjauan kawat las yang

digunakan dan dampak yang ditimbulkan pada perlakuan yang

diberikan terhadap kedua material yaitu Baja Tahan Aus HB 500

dan Baja Konstruksi ST 42.

B. Studi Lapangan

Pada bagian ini, dilakukan proses identifikasi hal-hal yang terjadi

di lapangan meliputi penggunaan material baja yang mampu las,

spesifikasi mesin yang digunakan, dampak dari pengelasan yang

berupa HAZ , dan tahapan prosedur pada pengujian struktur mikro

dan sifat mekanik material hasil las.

C. Studi Literatur

Pada bagian ini, dilakukan pengumpulan teori-teori dasar sebagai

penunjang dalam penulisan laporan tugas akhir dan acuan dalam

menyusun hipotesa dan menarik kesimpulan. Teori-teori tersebut

meliputi : baja yang dilengkapi dengan komposisi kimia, sifat

mekanik, struktur mikro, dan sifat mampu las, pengelasan yang

74
dilengkapi dengan macam, metode, dan inklusi, serta prosedur dari

pengujian yang dilakukan untuk melihat struktur mikro dan sifat

mekanik.

3.4.2 Tahap Persiapan

A. Persiapan Material

1. Menyiapkan Baja Tahan Aus HB 500 dengan ukurang panjang

150mm, lebar 300 mm, dan ketebalan 10mm, sebanyak 4 buah

pelat

2. Menyiapkan Baja Konstruksi ST 42 dengan ukurang panjang

150mm, lebar 300 mm, dan ketebalan 10mm, sebanyak 4 buah

pelat

Gambar 3.1 Delegasi masing-masing material HB 500 dan ST 42 yang


sudah dilakukan penghalusan untuk analisa kimia

75
3. Melakukan pemeriksaan kandungan komposisi material

menggunakan Optical Emission Spectrometer.

Gambar 3.2 Emisi Optik Sperktrometer keluaran Bruker tipe Q4 Tasman [47]

Berikut langkah-langkah pengujian dari analisa komposisi

kimia menggunakan Optical Emission Spectrometer:

a. Menyiapkan test piece dengan cara dibubut (untuk

material non logam agar silikat tidak terbaca) atau cukup

diamplas dengan amplas grade 60 untuk material logam

b. Membersihkan sekitar mulut tungku dari sisa-sisa

pengujian sebelumnya

c. Memastikan co-axial argon dapat mengalir untuk

karakterisasi material

d. Mengoperasikan perangkat lunak Q-Matrix dengan cara

memilih pengaturan “Base Fe”

76
e. Mesin di-Xtras menggunakan RE-12, lalu multiple

measurement menggunakan “Base Fe”

f. Setelah itu test piece diletakan di mulut tungku yang

dialiri dengan co-axial argon, OES akan membaca unsur

material menggunakan panjang gelombang dan persentase

berat kandungan menggunakan intensitas cahaya

g. Data kandungan komposisi kimia dari material

ditampilkan di layar monitor

B. Persiapan Pengelasan

1. Melakukan koordinasi dengan pihak welder terkait teknis

pengelasan

2. Menyiapkan mesin mekanik untuk membuat kampuh las, yaitu

ZQ250 Automatic Cutting Machine

Gambar 3.3 ZQ250 Automatic Cutting Machine [48]

77
3. Membuat kampuh las bentuk V groove dengan sudut sebesar

30°

Gambar 3.4 Baja Konstruksi ST 42 yang sudah dibuat kampuh las

4. Merekatkan material yang sudah dibuat kampuhnya pada

penyangga setinggi 100mm secara berpasangan antara HB 500

dengan ST 42

5. Menyiapkan kawat las ER 70 S

Gambar 3.5 Penyangga material untuk las

Menyiapkan alat pelindung diri, mesin las, gerinda dan gas CO


6. Melakukan uji coba pada material sisa untuk melihat kesiapan

kuat arus

78
3.4.3 Tahap Pelaksanaan

A. Proses Pengelasan

1. Memasang kawat las

2. Melakukan pengelasan dengan mengatur terlebih dahulu kuat

arus mulai dari terendah hingga tertinggi

3. Melakukan proses pengelasan dengan posisi down hand

4. Sketsa gambar pengelasan ditunjukan pada gambar di bawah

ini :

Gambar 3.6 Sketsa pengelasan Baja Tahan Aus HB 500 dengan Baja Konstruksi
ST 42

5. Melakukan pembersihan pada permukaan las setiap selesai

pengisian lapisan dengan menggunakan gerinda

B. Radiografi

79
Pengujian ini dilakukan untuk melihat defect yang

terkandung pada material hasil pengelasan antara HB 500 dengan

ST42 pasca dilakukan penyambungan.

Gambar 3.7 Malvern Microfocus X-ray Tube [49]

Adapun langkah kerja dari radiografi adalah sebagai berikut

ini :

1. Melakukan penandaan (marking) pada tempat atau material

pengelasan yang akan diuji

2. Sebelum pemasangan film radiografi di tempat pengelasan,

film terlebih dahulu di pasang di antara plat PB (Lead Screen)

agar radiasi yang ditembakan ke film dapat terperangkap

kedalam film

3. Kemudian dilakukan pemasangan film di tempat yang sudah

berikan tanda

80
Gambar 3.8 Material hasil pengelasan yang sudah diberikan tanda

4. Menyiapkan tabung radiasi, source tube dan alat pemantik

radiasi

5. Meletakkan source tube dengan film secara sejajar dan

menatur jarak antara source tube dengan film harus sesuai

dengan identifikasi

6. Jika menurut operator lingkungan penembakan sudah dirasa

aman, maka proses penembakan dilakukan melalui alat

pemantik radiasi dengan tegangan 120 kV, arus 6 Ampere

selama waktu 120 detik

7. Operator memastikan pada saat proses penembakan, ruangan

dalam keadaan tertutup

8. Untuk membaca hasil dari radiografi, digunakan scanner

berupa detector x-ray

81
Gambar 3.9 HD-CR / CR 35 NDT Imaging Plate Scanners [50]

C. Pemotongan Material

Setelah dilakukan inspeksi menggunakan radiografi,

keempat material hasil pengelasan dilakukan pemotongan

menggunakan TRUMPF TruLaser 1030 berdasarkan standar

ASME QW-463.l untuk Plates - Longitudinal Procedure

Qualification. Tahap ini dilakukan dengan cara menggambar

sketsa pada perangkat lunak yang terhubung dengan mesin

pemotong, kemudian mesin akan beroperasi secara otomatis

memotong material tersebut.

Gambar 3.10 TRUMPF TruLaser 1030 [51]

82
Material dipotong sebanyak dua buah untuk pengujian

tarik, dua buah untuk pengujian tekuk, satu buah untuk gabungan

pengujian kekerasan dan metalografi, dan dua bagiaan disisihkan.

[52]

Gambar 3.11 Hasil pemotongan material

D. Pengujian Tarik

Pengujian ini dilakukan untuk melihat kesesuaian sifat

mekanik material berupa kekuatan tarik, tegangan luluh dan

perpanjangan dari material hasil pengelasan antara HB 500

dengan ST42.

Gambar 3.12 Shimadzu Universal Testing Machine AGX.R [53]

83
Berikut langkah-langkah pengujian tarik :

1. Mengukur panjang dan diameter test piece menggunakan

jangka sorong

2. Menyiapkan mesin uji tarik dengan meletakan beban dan

penjepit dari test piece

3. Mengoperasikan perangkat lunak TrapeziumX , mengatur

metode pengujian yang sesuai dengan bentuk test piece

(pelat/silinder)

4. Mengamati layar monitor yang menampilkan grafik selama

beberapa saat hingga material patah

5. Data kekuatan tarik, tegangan luluh dan perpanjangan dari

material hasil pengelasan antara HB 500 dengan ST42

ditampilkan di layar monitor

6. Melakukan pengukuran kembali terhadap panjang test piece

menggunakan jangka sorong sebagai data pertambahan

elongasi

E. Pengujian Tekuk

Pengujian ini dilakukan untuk melihat kemampuan bengkok

dari material hasil pengelasan antara HB 500 dengan ST42

dengan mengukur sudut terbentuk dan mengamati porositas yang

muncul pada logam las.

84
Gambar 3.13 Shimadzu Universal Testing Machine AGX.R [53]

Berikut langkah-langkah pengujian tekuk :

1. Menyiapkan mesin uji tekuk dengan meletakan beban dan

penjepit dari test piece

2. Mengoperasikan perangkat lunak TrapeziumX , mengatur

metode pengujian yang sesuai dengan bentuk test piece

(pelat/silinder)

3. Mengamati layar monitor yang menampilkan grafik selama

beberapa saat hingga material patah

4. Data tegangan luluh dari material hasil pengelasan antara HB

500 dengan ST42 ditampilkan di layar monitor

5. Melakukan pengukuran sudut terbentuk hasil pembengkokan.

F. Metalografi

Pengujian ini dilakukan untuk melihat struktur fasa dari

hasil pengelasan dimulai dari logam dasar HB 500, daerah

terpengaruh panas, logam las dan logam dasar ST 42. Adapun

setelah dilakukan pengujian secara mikroskopis, dilakukan pula

85
pengujian secara makroskopis untuk melihat defect pada

permukaan sampel.

Gambar 3.14 Krisbow Mikroskop 100x Metal [54]

Berikut langkah – langkah pengujian metalografi secara

mikrosopis, antara lain :

1. Melakukan penghalusan dengan amplas grade 60 butir/mm 2,

120 butir/mm2, butir/mm2,240 butir/mm2, 320 butir/mm2, 400

butir/mm2, dan 600 butir/mm2

2. Melakukan polishing dengan cairan Alumina

3. Menghubungkan Krisbow Mikroskop 100x dengan 1 unit

komputer

4. Meletakan test piece tepat di bawah lensa, kemudian

melakukan pengamatan jumlah dan kelas nodul di layar

monitor

86
5. Apabila hasil gambar masih ditemukan kecacatan, maka

dihimbau untuk melakukan penghalusan dan polishing

kembali. Jika sudah sesuai, dapat melanjutkan ke proses

berikutnya

Berikut langkah – langkah pengujian secara makrosopis,

antara lain :

1. Melakukan penghalusan dengan amplas grade 60 butir/mm 2,

120 butir/mm2, butir/mm2,240 butir/mm2, 320 butir/mm2, 400

butir/mm2, dan 600 butir/mm2

2. Melakukan polishing dengan cairan Alumina

3. Memberikan etched berupa HNO3 terhadap test piece

4. Test piece siap untuk diambil gambar dengan meletakan

penggaris secara simetris.

G. Pengujian Kekerasan

Pengujian ini dilakukan untuk mengukur kekerasan

berdasarkan bekas indentor intan yang tercetak di permukaan

material yang dilakukan pada beberapa titik sepanjang logam

dasar HB 500, daerah terpengaruh panas, logam las hingga logam

dasar ST 42. Adapun setelah dilakukan penembakan pada titik-

titik material, bekas indentor dilakukan pengukuran di bawah

mikroskop.

87
Gambar 3.15 Vickers Hardness Tester Amstrong Pedestal [55]

Berikut langkah – langkah pengujian kekerasan vickers,

antara lain :

1. Material uji yang telah dihaluskan permukaannya

menggunakan Polishing Machine dengan grid 320, apabila

material uji dirasa belum halus dapat dihaluskan kembali

dengan menggunakan grid 320 atau 400

2. Menentukan beban indentor yang akan digunakan berdasarkan

jenis dan diameter indentor

3. Mengatur handle Hardness Test Machine pada posisi Vickers

4. Meletakkan pyramid intan pada tempat indentasinya

5. Meletakkan spesimen dan atur dengan tepat pada titik

penetrasi yang telah ditentukan

88
6. Menginjak pedal beban dengan tangan kanan pada posisi siap

untuk penetrasi

7. Setelah 20 detik, handle beban akan terlepas dari kunci

8. Menggeser spesimen ke titik berikutnya, dan mengulang

kegiatan di atas hingga 50 titik

9. Melakukan pengukuran bekas indentor menggunakan

mikroskop.

3.4.4 Tahap Penulisan Laporan

Pada tahap ini, melakukan rekapitulasi data dan analisis dari

seluruh data yang dihasilkan untuk selanjutnya dilakukan proses

penulisan dan penyusunan laporan skripsi.

89
3.5 Diagram Alir

Mulai

Studi Literatur

Pembuatan
Kampuh Las

Proses Pengelasan

3 Lapisan, 3 Lapisan, 4 Lapisan, 4 Lapisan,


Arus Rendah Arus Tinggi Arus Rendah Arus Tinggi

Radiografi

Pemotongan berdasarkan ASME

Pengujian

Uji
Metalografi Uji Tarik Uji Tekuk
Kekerasan

Polished Etched

Rekapitulasi Data
dan Analisis

Pembahasan

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.16 Diagram Tahapan Penelitian

90
BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian Struktur Mikro

Pada bagian ini, terdapat beberapa proses pengujian dimana

menghasilkan data yang secara mikroskopis akan dianalisis antara lain:

4.1.1 Analisis Komposisi Kimia

Material Baja Tahan Aus HB 500 dan Baja Konstruksi ST 42

dikarakterisasi menggunakan Spektroskopi Emisi Optik untuk

melihat kandungan unsur pada masing-masing material. Adapun

material yang diperiksa pertama yaitu Baja Tahan Aus HB 500,

memiliki kandungan unsur-unsur seperti yang terdapat pada Tabel

4.1.

Tabel 4.1 Analisa Kandungan Unsur HB 500 Program Fe120


Unsu C Si Mn P S Cr Mo Ni Cu
r % % % % % % % % %
0.003
Hasil 0.147 0.309 0.328 0.014 0.98 0.281 0.183 0.024
4
2

Unsu Al As B Bi Ce Co Mg Nb Pb
r % % % % % % % % %
0.004 0.002 0.009 0.01 0.003 0.005 <0.003
Hasil 0.079 0.002
7 3 9 5 7 5 0
9

Unsu Sb Sn Ta La Ti V W Zr Fe
r % % % % % % % % %
<0.005 <0.03 0.003 0.04 0.002
Nilai 0.002 0.028 0.037 97.46
0 0 2 1 7
9

91
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Baja HB 500 pada

Tabel 4.1, dapat dibuktikan bahwa material tersebut merupakan baja

paduan rendah dengan kalkulasi jumlah paduan sebesar 2,54%. Baja

tersebut perlu dilakukan kalkulasi lebih lanjut terkait jumlah Karbon

Ekuivalen sebagai ukuran kecenderungan pada proses pengelasan

sebagai berikut :

Didapatkan hasil bahwa material HB 500 yang digunakan di

PT. Pindad (Persero) memiliki kadar karbon ekuivalen yang

tergolong karbon menengah karena di bawah 0,5%.

Setelah itu, material kedua yang diperiksa yaitu Baja

Konstruksi memiliki kandungan unsur-unsur seperti yang terdapat

pada Tabel 4.2.

92
Tabel 4.2 Analisa Kandungan Unsur ST 42 Program Fe120
Unsu C Si Mn P S Cr Mo Ni Cu
r % % % % % % % % %
0.008 0.008 0.001 <0.001
Hasil 0.177 0.049 0.964 0.005 0.013
9 2 2 5
4

Unsu Al As B Bi Ce Co Mg Nb Pb
r % % % % % % % % %
0.005 0.001 0.003 0.002
Hasil 0.393 0.020 0.018 0.0060 0.010
0 3 4 5
0

Unsu Sb Sn Ta La Ti V W Zr Fe
r % % % % % % % % %
0.007 <0.03 0.002
Nilai 0.002 0.004 0.019 0.064 0.0052 98.18
3 0 6
2 3

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Baja ST 42 pada

Tabel 4.2, dapat dibuktikan bahwa material tersebut merupakan baja

karbon rendah dengan kadar karbon sebesar 0,177%. Dan baja ini

juga dapat dikatakan baja paduan rendah karena kalkulasi jumlah

paduan sebesar 1,82%. Dari kedua material, kandungan karbon

ekuivalen pada Baja HB 500 dan karbon biasa pada Baja ST 42

tergolong cukup rendah dan dapat dikategorikan sebagai bahan

dengan mampu las yang baik.

Pada Baja HB 500, kadar kandungan Krom yang dimiliki

cukup tinggi yaitu 0,982%. Adapun jumlah Krom yang tinggi

menurut teori dapat meningkatkan kekerasan, ketahanan korosi dan

oksidasi pada suhu tinggi. Di samping itu, unsur Krom yang tinggi

juga bisa menyebabkan kekerasan yang berlebihan sehingga dapat

93
berpotensi retak di bagian dalam dan di daerah sekitar lasan [11],

[14]. Sedangkan pada Baja ST 42, kadar kandungan Krom sangat

kecil yaitu 0,0082%. Dapat dikatakan bahwa baja konstruksi

memang tidak sekeras baja tahan aus, namun memiliki sifat mampu

las yang lebih baik dibandingkan baja tahan aus.

Untuk kadar kandungan mangan, pada Baja HB 500 terdapat

sebesar 0,328% dimana merupakan nilai minimum mangan yang

harus dimiliki baja pada umumnya. Kandungan mangan berfungsi

untuk membantu deoksidasi baja, menangkal kerapuhan dengan

mencegah pembentukan inklusi besi sulfida, dan meningkatkan

kekuatan juga kekerasan baja [11], [14]. Sedangkan pada Baja ST

42, kadar kandungan mangan tergolong besar yaitu 0.964%

(kandungan maksimal hingga 0,8%). Kandungan mangan yang

tinggi dapat meningkatkan kekuatan tarik, namun dapat berpotensi

mengalami porositas dan retak pada pengelasan [7].

Untuk kadar kandungan molibdenum, kedua material tersebut

memiliki kandungan yang rendah. Berdasarkan teori, kandungan

molibdenum yang baik pada baja kurang dari 1%. Elemen ini

ditambahkan untuk meningkatkan kekuatan, kekerasan, menangkal

kerapuhan dan tahan korosi [11], [14]. Kandungan nikel, silikon dan

kobalt dari kedua material tersebut juga lumayan berbeda. Pada baja

tahan aus, kandungan elemen-elemen tersebut lebih tinggi

dibandingkan pada baja konstruksi. Itulah mengapa baja tahan aus

94
memiliki kekerasan yang tinggi karena penambahan unsur nikel,

silikon dan kobalt akan mempromosikan kekuatan, meningkatkan

pengerasan dan mengoptimalkan ketangguhan [7], [11], [14].

Sementara untuk elemen pengotor yang tidak diinginkan

seperti sulfur dan fosfor, kedua material tersebut memiliki

kandungan sangat kecil. Diketahui kadar sulfur pada kedua material

tersebut tidak melebihi 0,04%. Sulfur dalam jumlah hingga 0,035%

tidak memiliki pengaruh merugikan pada weldability, namun bisa

berpotensi terjadi pemisahan band, retak dan lasan berpori. Mampu

las dalam hal ini dapat menurun dengan meningkatnya kandungan

sulfur. Sedangkan untuk fosfor diketahui pada kedua material ini

kadarnya 0,05% (kurang dari 0,30%) sedikit mempengaruhi mampu

las baja karbon rendah, maka perlakuan pengelasan arus rendah

dalam hal ini direkomendasikan [56]. Sehingga dapat dikatakan

kedua material tersebut memiliki sifat mekanik yaitu kekuatan,

kekerasan, mampu las dan mampu mesin yang baik dengan tingkat

kegetasan yang rendah [11], [14].

Elemen yang mempromosikan karakteristrik yang ulet, lunak

dan mudah dibentuk seperti tembaga, aluminium dan timbal

ditemukan dalam kadar yang kecil pada kedua material tersebut.

Namun, elemen-elemen tersebut untuk baja konstruksi diketahui

kadarnya lebih besar dibandingkan baja tahan aus. Itulah mengapa

baja tahan aus jauh lebih kaku dibandingkan dengan baja konstruksi.

95
4.1.2 Pengujian Radiografi

Telah dilakukan pemeriksaan radiografi terhadap produk

pengelasan dari masing-masing variasi untuk melihat diskontinuitas

pada daerah lasan menggunakan sinar X, dengan hasil seperti yang

tertuang pada Tabel 4.3.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada Tabel 4.3, untuk sampel

yang pertama yaitu Kode Sampel 3A dengan pengisian sebanyak 3x

dan kuat arus rendah menghasilkan pengelasan dengan

diskontinuitas yaitu incomplete joint penetrant atau penetrasi

sambungan tidak menyeluruh sepanjang 95,33 mm. Cacat jenis ini

umumnya disebabkan karena calah akar (root gap) yang terlalu

rapat, posisi elektroda saat pengelasan terlalu tinggi, atau

penggunaan kuat arus pada root yang terlalu rendah. Adapun

kemungkinan lain dari penyebabnya cacat tersebut yaitu penggunaan

diameter elektroda terlalu besar, kampuh yang kotor, dan kecepatan

pada saat root pass yang terlalu tinggi [37]. Karena kondisi logam

las yang tidak memanjang melalui ketebalan sambungan, sehingga

menyebabkan logam las tidak menembus ke dalam area akar

sambungan [35].

96
Tabel 4.3 Radiografi Hasil Pengelasan x = 180 mm
Kode
No. Hasil Pemeriksaan
Sampel

1 3A

Keterangan : Penetrasi tidak menyeluruh sepanjang 95,33 mm

2 3B

Keterangan : Porositas sepanjang 0,7 mm

3 4A

Keterangan : Porositas sepanjang 0,4 mm

4 4B

Keterangan : 1. Peleburan berlebihan (undercut) sepanjang 54,5 mm


2. Porositas sepanjang 0,6 mm
3. Peleburan berlebihan (undercut) sepanjang 10,6 mm
4. Peleburan berlebihan (undercut) sepanjang 18,2 mm

97
Pada Kode Sampel 3B dengan pengisian sebanyak 3x dan kuat

arus tinggi menghasilkan pengelasan dengan diskontinuitas yaitu

porositas sepanjang 0,77 mm. Hasil pengelasan yang hampir sama

juga didapatkan pada Kode Sampel 4A dengan pengisian sebanyak

4x dan kuat arus rendah, yaitu porositas sepanjang 0,4 mm.

Diskontinuitas ini disebabkan oleh kondisi pengelasan lembab

seperti kampuh las yang basah dan elektroda yang lembab.

Kemungkinan lain seperti kolam las terhembus angin, pelindung

cuaca kurang berfungsi atau bisa juga salut elektroda terkupas dapat

menjadi faktor yang berpengaruh [37].

Sampel yang terakhir yaitu Kode Sampel 4B dengan pengisian

sebanyak 4x dan kuat arus tinggi menghasilkan pengelasan dengan

diskontinuitas yang paling banyak dibandingkan dengan seluruh

sampel, yaitu porositas sepanjang 0,6 mm dan 3 daerah undercut

(sepanjang 54,5 mm ; 10,6 mm ; dan 18,2 mm). Undercut

didefinisikan sebagai alur tidak beraturan di sepanjang ujung lasan

atau secara visual dapat diamati seperti peleburan berlebihan yang

terlihat seperti alur yang tidak terisi pada logam dasar di tepi lasan.

Diskontinuitas ini juga dapat disebabkan oleh sudut elektroda yang

tidak tepat, arus yang berlebihan, dan kecepatan gerak yang tidak

dapat diterima oleh material sambungan [57]. Adapun pada sampel

4B ini mendapatkan salah satu perlakuan dari faktor yang sudah

98
disebutkan yaitu arus yang berlebihan pada ke-empat lapisan yang

diberikan.

Hasil pengujian radiografi ini memberikan kita informasi

bahwa sampel yang paling optimum adalah 4A, yang mendapatkan

perlakuan sebanyak 4x pengisian dan kuat arus rendah, meskipun

masih ditemukannya defect berupa porositas sepanjang 0,4 mm.

4.1.3 Pengujian Mikroskopis

Telah dilakukan pemeriksaan metalografi terhadap produk

pengelasan dari masing-masing variasi untuk melihat fasa pada

daerah pengelasan, yang terdiri atas : logam dasar ST 42, HAZ ST

42, garis fusi ST 42, logam las ER70S, garis fusi HB 500, HAZ HB

500 dan logam dasar HB 500 menggunakan mikroskop dengan

pembesaran 200x. Hasil dari pemeriksaan tertuang pada Tabel 4.4.

99
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Struktur Fasa Pengelasan pada Pembesaran 200x
Nama Kode Sampel Struktur
Bagian 3A 3B 4A 4B Fasa

Logam
Dasar
ST 42
Ferit-
Perlit

HAZ
ST 42

Ferit-
Perlit

Garis
Fusi
ST 42
Ferit-
Perlit

Logam
Las

Ferit-
Perlit

100
Garis
Fusi
Ferit-
HB
Perlit
500
(Kiri),
Martensit
(Kanan)

HAZ
HB
500

Martensit

Logam
Dasar
HB
500
Martensit

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada Tabel 4.4, dapat kita amati

bahwa setiap bagian pada hasil pengelasan memiliki struktur fasa

yang berbeda. Pada logam dasar ST 42, terlihat struktur ferit-perlit

yang mayoritas berwarna hitam maka dapat dikatakan bagian ini

memiliki struktur ferit-perlit dengan perlit sebagai dominan. Pada

daerah terpengaruh panas ST 42, terlihat struktur ferit-perlit yang

berkebalikan dengan bagian sebelumnya yaitu mayoritas berwarna

putih yang mengartikan bahwa daerah ini memiliki struktur ferit-

perlit dengan ferit sebagai dominan yang juga terdapat sedikit

101
karbida di permukannya. Pada garis fusi, terlihat jelas batas pemisah

antara Baja ST 42 dengan logam las meskipun keduanya memiliki

struktur ferit-perlit. Adapun pada logam las terlihat mayoritas

berwarna hitam, maka dapat dikatakan bagian ini memiliki struktur

ferit-perlit dengan perlit sebagai dominan.

Sedangkan untuk bagian selanjutnya yaitu garis fusi terlihat

jelas pemisah antara struktur ferit-perlit yang dimiliki logam las

dengan martensit yang dimiliki Baja HB 500. Pada daerah

terpengaruh panas, baja ini memiliki struktur martensit dengan

karbida yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah terpengaruh

panas Baja ST 42. Adapun untuk logam dasar HB 500 terlihat

martensit dengan hampir tidak ditemukan karbida. Terlihat HAZ

pada dua material pasca penyambungan baik sruktur ferit-perlit

maupun martensit, keduanya memiliki karbida yang tidak ditemukan

pada logam dasar maupun logam las.

4.1.4 Pengujian Makroskopis

Telah dilakukan pemeriksaan secara makroskopis

menggunakan Cairan Etsa HNO3 terhadap potongan dari sampel-

sampel untuk melihat hasil fusi dari pengelasan itu sendiri. Hasil dari

pemeriksaan tertuang pada Tabel 4.5.

102
Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Makroskopis
Kode
No. Hasil Pengamatan
Sampel

1 3A

2 3B

3 4A

4 4B

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada Tabel 4.5, dapat dilihat

daerah-daerah terbentuk akibat proses pengelasan mulai dari garis

fusi, daerah terpengaruh panas, logam las, dan porositas. Hasil

pemeriksaan memperlihatkan bahwa sambungan pada seluruh

sampel adalah fusi. Pada kode sampel 3A, terlihat hasil fusi yang

103
kurang optimal, lebar HAZ yang pendek dan tidak ditemukan

diskontinuitas. Pada kode sampel 3B, terlihat hasil fusi yang lebih

baik dari 3A dengan lebar HAZ yang lebih panjang serta tidak

ditemukan diskontinuitas. Pada kode sampel 4A, hasil fusi yang

sama ditunjukan seperti kode sampel 3B namun dengan HAZ yang

lebih lebar dengan tidak ditemukan diskontinuitas.

Sedangkan pada kode sampel 4B, hasil fusi yang ditunjukan

sangat optimal dengan HAZ yang lebih lebar namun ditemukan

beberapa porositas. Lebar dari daerah HAZ dipengaruhi oleh

penggunaan arus selama proses pengelasan. Penggunaan arus yang

berlebihan juga dapat mengakibatkan banyaknya muncul

diskontinuitas. Hasil pengujian makroskopis ini memberikan kita

informasi bahwa sampel yang paling unggul adalah 4A, yang

mendapatkan perlakuan sebanyak 4x pengisian dan kuat arus rendah

dengan memiliki fusi yang baik dan tidak ditemukan defect.

4.2 Hasil Pengujian Sifat Mekanik

Pada bagian ini, terdapat beberapa proses pengujian mekanik dimana

menghasilkan data yang dianalisis antara lain:

4.2.1 Pengujian Tarik

Setelah mendapatkan hasil struktur mikro, kemudian dilakukan

pengujian tarik untuk melihat sifat mekanik yang terdapat pada hasil

pengelasan dari seluruh sampel. Adapun hasil pengujian dapat dilihat

di pada Gambar 4.1.

104
Uji Tarik Hasil Pengelasan HB 500 x ST 42

3A1 4A1
3A2 4A2
3B1 4B1
3B2 4B2

Gambar 4.1 Hasil Pengujian Tarik

Pengujian tarik dilakukan terhadap bagian root dan face dari

masing-masing sampel. Berdasarkan Gambar 4.1, seluruh sampel

mengalami dispersi antara 8.000 – 9.000 N. Setelah itu, didapatkan

tegangan tarik, tegangan luluh dan perpanjangan yang tercantum

pada Tabel 4.6.

105
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Tarik
Kode Teganga Teganga Perpanja
No. Samp n Tarik n Luluh ngan Gambar Material
el
MPa MPa %

1 3A1 453,988 305,441 21,22

2 3A2 453,793 310,064 32,66

Keterangan : Fraktur di bagian base metal material ST 42

3 3B1 446,927 316,071 25,32

4 3B2 448,766 310,081 28,52

Keterangan : Fraktur di bagian base metal material ST 42

5 4A1 444,582 304,828 29,48

6 4A2 434,689 307,049 33,38

Keterangan : Fraktur di bagian base metal material ST 42

7 4B1 448,37 305,767 33,8

8 4B2 473,292 317,493 34,56

Keterangan : Fraktur di bagian base metal material ST 42

106
Berdasarkan Tabel 4.6, hasil pengujian tarik dari seluruh

sampel baik pada bagian root maupun face secara fisis fraktur pada

logam dasar ST 42 [44]. Ditinjau dari Tabel 2.2 tentang lembar data

material ST 42, baja tersebut memiliki tegangan tarik 415 MPa,

tegangan luluh 290 MPa dan perpanjangan 20%. Disebutkan pada

Tabel 2.6 tentang sifat mekanik logam las, logam las ER70S

memiliki tegangan tarik 482 MPa, tegangan luluh 399 MPa dan

perpanjangan 22%. Hasil yang ditunjukkan pada pengujian di atas

seperti tegangan tarik rentang 434,689 – 473,292 MPa, tegangan

luluh 304,828 – 317,493 dan perpanjangan 21,22 - 34,56 %,

merupakan bukti bahwa pengelasan Baja Tahan Aus HB 500 dengan

Baja Konstruksi ST 42 memiliki nilai yang sudah melampaui batas

minimum dari ketiga parameter yang dibutuhkan.

Selanjutnya didapatkan material dengan hasil pengujian tarik

yang kurang optimal baik pada bagian root maupun face yaitu kode

sampel 3B dimana mendapatkan perlakuan sebanyak tiga kali

pengisian dengan kuat arus tinggi. Sedangkan untuk hasil yang

optimal diraih oleh kode sampel 4A dan 4B dengan perolehan yang

hampir sama. Namun dari segi kuantitatif, sampel 4B yang paling

unggul di antara ketiga sampel lainnya.

107
4.2.2 Pengujian Tekuk

Setelah mendapatkan hasil pengujian tarik, dilakukan

pengujian tekuk untuk melihat sifat mekanik lainnya yang terdapat

pada hasil pengelasan dari seluruh sampel. Adapun hasil pengujian

dapat dilihat di pada Gambar 4.2.

Uji Tekuk Hasil Pengelasan HB 500 x ST 42

3A R 4A R
3A F 4A F
3B R 4B R
3B2 F 4B F

Gambar 4.2 Hasil Pengujian Tekuk

Pengujian tekuk dilakukan terhadap bagian root dan face dari

masing-masing sampel Berdasarkan Gambar 4.2, seluruh sampel

mengalami stroke pada gaya yang variatif, ditunjukan dengan hasil

grafik yang tidak beraturan. Dilakukan perhitungan untuk

mendapatkan sudut yang terbentuk dari hasil defleksi maksimum

menggunakan Persamaan 2.5, dengan hasil terdapat pada Tabel 4.7.

108
Tabel 4.7 Hasil Pengujian Tekuk
Beban
Sudut
Kode Maksimu
N Terbentuk
Samp m Gambar Material Keterangan
o.
el MPa °

Tidak
1 3A F 932.307 75,12° terdapat
retak

Terdapat
2 3A R 830.341 129,47° cacat
terbuka

Terdapat
3 3B F 1003.41 79,08° cacat
terbuka

Terdapat
4 3B R 873.826 94,78° cacat
terbuka

Tidak
5 4A F 969.165 81,784° terdapat
retak

Tidak
6 4A R 958.168 92,52° terdapat
retak

Tidak
7 4B F 919.544 86,14° terdapat
retak

Tidak
8 4B R 874.496 85,414° terdapat
retak

109
Berdasarkan Tabel 4.7, hasil pengujian tekuk dari seluruh

sampel baik pada bagian face maupun root logam las diperoleh hasil

yang berbeda dari setiap sampel. Pada kode sampel 3A, untuk

bagian face diperoleh sudut terbentuk sebesar 75,12° yang mana

pada sudut tersebut tidak terdapat retak dan mampu menahan beban

maksimum sebesar 932,307 MPa. Sedangkan pada bagian root

ditemukan cacat terbuka dengan perolehan sudut terbentuk sebesar

129,47° dan retak pada beban 830,341 MPa. Pada kode sampel 3B,

meskipun mendapatkan perlakuan arus yang lebih tinggi

dibandingkan 3A, ditemukan cacat terbuka baik untuk face maupun

root. Bagian face diperoleh sudut sebesar 79,08° dengan kondisi

retak pada saat beban mencapai 1.003,41 MPa, bagian root diperoleh

sudut sebesar 94,78° yang retak pada beban 873,82 MPa.

Selanjutnya untuk kode sampel 4A, tidak ditemukan cacat

terbuka baik pada bagian face maupun root dengan sudut terbentuk

untuk keduanya masing-masing 81,784° dan 92,52°, dan mampu

menahan beban maksimum sebesar 969,165 MPa dan 958,168 MPa.

Hasil yang lebih optimal secara visual diperoleh pada kode sampel

4B, yang mana diketahui sampel ini mendapat perlakuan arus yang

lebih tinggi dibandingkan 4A. Adapun sudut yang terbentuk pada

face sebesar 86,14° dan root sebesar 85,414° dengan kemampuan

menahan beban maksimum masing-masing sebesar 919,544 MPa

dan 874,496 MPa. Sedangkan jika ditinjau dari segi kuantitatif,

110
sampel 4A memperoleh nilai paling unggul untuk bagian face diikuti

oleh sampel 4B yang unggul untuk bagian root.

4.2.3 Pengujian Kekerasan

Telah dilakukan pengujian kekerasan Vickers sebanyak 25 titik

dari logam las menuju logam dasar ST 42 dan 25 titik dari logam las

menuju logam dasar HB 500 dengan skema seperti yang ditunjukan

pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Skema pengujian kekerasan pada spesimen hasil pengelasan

Data yang tercantum pada Tabel 4.8 kemudian dilakukan

pembuatan grafik untuk melihat distribusi kekerasan yang terdapat

sepanjang daerah pengelasan. Adapun daerah pengelasan diuji

sepanjang 50 mm. Grafik distribusi kekerasan ditunjukan pada

Gambar 4.4.

111
Gambar 4.4 Grafik pengujian kekerasan pada spesimen hasil pengelasan

Berdasarkan Gambar 4.4, dapat kita amati bahwa daerah

logam las dari seluruh penyambungan adalah sama yaitu masing-

masing 6mm. Daerah terpengaruh panas untuk Baja ST 42 sejauh

4mm dari batas garis fusi. Sedangkan Baja HB 500, terdapat kriteria

khusus sesuai dengan fungsinya sebagai material untuk industri

pertahanan (MIL-STAN-1185) yaitu sejauh 15,9 mm dari garis

tengah sambungan [9]. Adapun yang dicapai pada pengujian ini

secara keseluruhan sampel yaitu sejauh 17mm dari garis tengah

sambungan.

112
Kekerasan mikro yang ditunjukan pada Baja ST 42 untuk

daerah logam las terlihat kode sampel 3A yang paling unggul,

diikuti oleh 3B, lalu hasil yang minim ditunjukan 4A dan 4B secara

beririsan. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya arus dan jumlah

lapisan yang sedikit yang diberikan selama proses pengelasan. Pada

daerah terpengaruh panas, seluruh kode sampel memiliki kekerasan

mikro yang hampir sama. Pada daerah logam dasar, hasil kekerasan

mikro yang ditunjukan adalah konstan seperti daerah terpengaruh

panas.

Selanjutnya kekerasan mikro yang ditunjukan pada Baja HB

500 untuk daerah logam las terlihat kode sampel 4A yang paling

unggul, diikuti oleh 3A, 3B dan 4B. Pada daerah logam las ini,

ditunjukan bahwa sampel dengan perlakuan arus lebih rendah,

menghasilkan kekerasan mikro yang lebih tinggi. Sedangkan pada

daerah terpengaruh panas, seluruh sampel menunjukan nilai

kekerasan mikro optimum di titik yang berbeda. Namun, kode

sampel 4A pada bagian ini menunjukan konsistensinya dalam

peningkatan kekerasan, dibandingkan dengan sampel-sampel lainnya

yang terlihat fluktuatif. Pada daerah logam dasar ditinjau dari MIL-

STAN-1185, nilai kekerasan mikro adalah antara 478 hingga 521

HV. Terbukti pada daerah ini, seluruh sampel menunjukan hasil

yang sesuai dengan standar yang berlaku.

113
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan seluruh proses penelitian pada pengelasan Baja Tahan

Aus HB 500 dengan Baja Konstruksi ST 42 menggunakan metode gas metal

arc welding yang kemudian dianalisis hasil struktur mikro dan sifat mekanik

dari seluruh sampel, dapat ditarik kesimpulan antara lain :

1. Struktur mikro yang diperlihatkan melalui radiografi dan makro etsa

menunjukan bahwa sampel dengan hasil pengelasan paling optimum

dengan diskontinuitas yang minim adalah kode sampel 4A. Struktur

fasa hasil pengelasan yang diperlihatkan melalui metalografi

menunjukan bahwa Baja ST 42 adalah ferit-perlit, logam las ER70S

adalah ferit-perlit, dan Baja HB 500 adalah martensit

2. Dari hasil pengujian sifat mekanik, sampel dengan kode 4A adalah

sampel dengan hasil pengelasan yang paling optimum dengan nilai

kekuatan tarik sebesar 434,689 – 444,582 MPa, kekuatan tekuk sebesar

958.168 – 969.165 MPa, serta kekerasannya sebesar 591,78 HV atau

561 HB pada daerah logam las. Hasil ini menunjukan bahwa dalam

melakukan proses pengelasan, kuat arus yang terlalu tinggi akan

berpotensi menimbulkan diskontinuitas berupa peleburan berlebihan

(undercut), namun apabila terlalu rendah akan berpotensi menimbulkan

porositas bahkan penetrasi tidak menyeluruh (incomplete fusion) yang

dapat dilihat melalui radiografi.

114
5.2 Saran

Saran yang diberikan penulis untuk penelitian ini antara lain :

1. Melakukan proses machining lebih maksimal setiap selesai satu demi

satu lapisan pengisian logam las

2. Melakukan percobaan pemotongan bahan serupa yang sudah tidak

terpakai sebagai uji coba pola pemotongan bahan hasil pengelasan

sebelum memotong material pengujian dengan laser jet guna

menghindari kesalahan pemotongan

3. Melakukan perawatan dan penyimpanan test piece dengan lebih hati-

hati agar tidak terjadi korosi pada test piece itu sendiri.

115
DAFTAR PUSTAKA

[1] Kementrian Pertahanan Republik Indonesia, Pertaturan Menteri

Pertahanan Nomor 19 Tahun 2015, Kebijakan Penyelenggaraan

Pertahanan Negara Tahun 2015 - 2019. Jakarta, 2015.

[2] Kementrian Pertahanan Republik Indonesia, Keputusan Menteri

Pertahanan No : Kep/104/M/I/2020. Jakarta, 2020.

[3] World Steel Association, The White Book of Steel. 2012.

[4] S. J. Cimpoeru, “The Mechanical Metallurgy of Armour Steels,” vol. AR-

016-722, 2017.

[5] DIN Standard, “Steels for General Structure Purposes : Quality Standard,”

in Allgemeine Baustähle, Dessau-Roßlau: Zementanlagenbau GmbH, 1980,

pp. 2–15.

[6] Meusburger Setting Standards, Material Grades. Wolfurt: Meusburger

Georg GmbH & Co KG, 2020.

[7] E. Bonnart, Welding Principles and Practices, 5th ed. New York: McGraw-

Hill Education, 2018.

[8] United States Environmental Protection Agency, Basic Welding. Chino

Valley: Technical Learning College (TLC), 2018.

[9] Department of Defense Manufacturing Process Standard, Millitary

Specification, MIL-STD-11. Washington DC: Department of Defense

116
USA, 1979.

[10] C. R. Simcoe, “The history of alloy steels: Part II,” Adv. Mater. Process.,

vol. 172, no. 8, pp. 28–29, 2014.

[11] ASM International, Metallographer’s Guide : Irons and Steels. New York:

ASM International, 2002.

[12] G.L. Huyett, Engineering Handbook, 1st ed. Minneapolis: G.L. Huyett

Manufacturer, 2004.

[13] V. Ostermna and H. Antes, Critical Melting Points and Reference Data for

Vacuum Heat Treating, vol. 1. Souderton: Solar Atmospheres, Inc., 2010.

[14] D. Gandy, Carbon Steel Handbook, 2nd ed. California: Electric Power

Research Institute, 2007.

[15] A. Tjahjono, Fisika Logam dan Alloy. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013.

[16] Ministerial Corporation, Introduction to Metallurgy : Weldability Metals.

West Perth: Department of Training and Workforce Development, 2007.

[17] ASM International, Alloying: Understanding the Basics. New York: ASM

International, 2001.

[18] G. E. Saunders and T. P. Koczansk, Standarization Stars. Fort Belvoir:

Defense Standardization Program, 2010.

[19] ASM International, “Structure/Property Relationships in Irons and Steels,”

in Metals Handbook Desk Edition, 2nd ed., J. . Davis, Ed. New York: ASM

117
International, 2018, pp. 153–173.

[20] H. Bhadeshia and R. Honeycombe, Steels : Microstructure and Properties,

4th ed. Oxford: Elsevier Ltd., 2016.

[21] M. Durand-Charre, Microstructure of Steels and Cast Irons. Berlin:

Springer-Verlag, 2004.

[22] G. Vander Voort, “Microstructure of Ferrous Alloys,” Buehler, vol. 3, no.

7, pp. 1–5, 2015.

[23] O. S. Odebiyi, S. M. Adedayo, L. A. Tunji, and M. O. Onuorah, “A Review

of Weldability of Carbon Steel in Arc-Based Welding Processes,” Cogent

Eng., vol. 6, no. 1, 2019, doi: 10.1080/23311916.2019.1609180.

[24] T. Kasuya and Y. Hashiba, “Carbon Equivalent to Assess Hardenability of

Steel and Prediction of HAZ Hardness Distribution,” Nippon Steel Tech.

Rep., no. 95, pp. 53–60, 2007.

[25] Ship Structure Committee, Carbon Equivalence and Weldability of

Microalloyed Steels. Washington DC: American Bureau of Shipping

Military SealiftCommand, 1991.

[26] R. L. Brockenbrough and F. S. Merritt, Structural Steel Designer’s

Handbook, 3rd ed. New York: McGraw, Inc., 1999.

[27] AWS, Welding Handbook, Welding Science & Technology, 9th ed., vol. 1.

Miami: American Welding Society, 2001.

118
[28] J. F. Lancaster, Metallurgy of Welding, 3rd ed. London: George Allen &

Unwin LTD, 1980.

[29] Lincoln Electric, Gas Metal Arc Welding Guidlines. Cleveland: Lincoln

Global Inc., 2014.

[30] Kobelco, Arc Welding of Specific Steels and Cast Irons. Tokyo: KOBE

Steel, Ltd., 2015.

[31] J. S. Jensen, Unitor Maritime Welding Handbook, 14th ed. Lysaker:

Wilhelmsen Ships Service, 2017.

[32] B. Mvola, P. Kah, and J. Martikainen, “Dissimilar Ferrous Metal Welding

Using Advanced Gas Metal Arc Welding Processes,” Rev. Adv. Mater. Sci.,

vol. 38, no. 2, pp. 125–137, 2014.

[33] K. E. Dawson, “Dissimilar Metal Welds,” University of Liverpool, 2012.

[34] M. Abdul Karim and Y.-D. Park, “A Review on Welding of Dissimilar

Metals in Car Body Manufacturing,” J. Weld. Join., vol. 38, no. 1, pp. 8–

23, 2020, doi: 10.5781/jwj.2020.38.1.1.

[35] B. Reese, “Planning Advisory Notice : Welding Discontinuities and

Defects,” National Association of Tower Erectors (NATE), Watertown, Jun.

2016.

[36] A. K. Dey, “Radiographic Testing : Principle , Procedure , Standards ,

Advantages , and Disadvantages,” What is Piping, 2020. .

119
[37] S. P. P. Warman, “Analisis Faktor Penyebab Cacat Pengelasan pada Pipa (

Study Kasus Pada Pipa Distribusi PDAM Kabupaten Kutai Barat ),”

Mekanikal, vol. 8, no. 2, pp. 730–736, 2017.

[38] M. Taskin, U. Caligulu, and M. Turkmen, “X-Ray Tests of AISI430 and

304 Stainless Steels and AISI 1010 Low Carbon Steel Welded by CO2

Laser Beam Welding,” Mater. Test., vol. 53, no. 11–12, pp. 741–747, 2011,

doi: 10.3139/120.110283.

[39] G. F. Vander Voort, Metallography Principles and Practice, 4th ed. Ohio:

ASM International, 2007.

[40] M. Pouranvari, P. Marashi, and M. Alizadeh-sh, “Welding Metallurgy of

Dissimilar AISI 430 / DQSK Steels Resistance Spot Welds,” no. June,

2015.

[41] G. F. Vander Voort, “Metallography of Welds,” Adv. Mater. Process., vol.

169, no. 6, pp. 19–23, 2011.

[42] J. . Davis, Tensile Testing, 2nd ed. Ohio: ASM International, 2004.

[43] American Association State, “Standard Test Methods for Tension Testing

of Metallic Materials,” in ASTM International, West Conshohocken: ASM

International, 2014.

[44] M. P. Reddy et al., “Assessment of Mechanical Properties of AISI 4140

and AISI 316 Dissimilar Weldments,” Procedia Eng., vol. 75, pp. 29–33,

2014, doi: 10.1016/j.proeng.2013.11.006.

120
[45] A. Ruchiyat, M. Anhar, Y. Yusuf, and B. S. E. Polonia, “The Effect of

Heating Temperature on The Hardness, Microstructure and V-Bending

Spring Back Results on Commercial Steel Plate,” J. Appl. Eng. Technol.

Sci., vol. 1, no. 1, pp. 1–16, 2019, doi: 10.37385/jaets.v1i1.10.

[46] “Standard Test Methods for Bend Testing of Material for Ductility,” in

ASTM Intenational, New York: ASTM International, 2015.

[47] Direct Industry by Virtualexpo Group, “Bruker Q4 TASMAN.”

https://trends.directindustry.com/bruker-axs-gmbh/project-30028-

124882.html (accessed Jul. 22, 2021).

[48] L. Taizhou Yihong Import & Export Co., “Hydraulic Automatic Brass

Bar/Tube Circular Saw Cutting Machine.” https://transfer-

machinery.en.made-in-china.com/product/TdsnFbwEArkp/China-

Hydraulic-Automatic-Brass-Bar-Tube-Circular-Saw-Cutting-Machine.html

(accessed Jul. 22, 2021).

[49] Malvern Panalytical, “Microfocus X-ray Tube.”

https://www.malvernpanalytical.com/en/products/category/x-ray-tubes/x-

rayindustrialtubes/microfocustube (accessed Jul. 22, 2021).

[50] Durr NDT, “HD-CR/CR 35 NDT Imaging Plate Scanners.”

https://www.duerr-ndt.com/downloads.html (accessed Jul. 22, 2021).

[51] Assoication of Industrial Laser Users, “Familiy-run Firm Installs Entry-

Level TRUMPF Trulaser.”

121
http://www.ailu.co.uk/laser_technology/news/2019-08-

27/trumpf_270819.html (accessed Jul. 22, 2021).

[52] ASME Boiler and Pressure Vessel Code, Qualification Standard for

Welding and Brazing Procedures, Welders, Brazers, and Welding and

Brazing Operators. New York: The American Society of Mechanical

Engineers, 2004.

[53] Shimadzu, “AGX-V Series - Features.”

https://www.shimadzu.com/an/products/materials-testing/uni-

ttm/autogrraph-precision-universal-tester/features.html (accessed Jul. 22,

2021).

[54] Karfo Endustrivel, “Metalografi Hizmetleri.” https://karfo-

endustriyel.com.tr/tr/hizmetler-destek/analiz-hizmetleri/metalografi-

hizmetleri (accessed Jul. 22, 2021).

[55] Spectrographic Limited, “Vickers Hardness Tester - Armstrong Pedestal.”

https://spectrographic.co.uk/products/vickers-hardness-tester-armstrong-

pedestal (accessed Jul. 22, 2021).

[56] P. Yanuar and Yurianto, “Evaluasi Weldability dan Temperatur

Transformasi C-Mn Steel Produk Lokal sebagai Bahan Baku Baja Tahan

Aus,” Pros. SNST ke-7 Tahun 2016 Fak. Tek. Univ. Wahid Hasyim

Semarang, vol. 6, 2015.

[57] J. Achebo and S. Salisu, “Reduction of Undercuts in Fillet Welded Joints

122
Using Taguchi Optimization Method,” J. Miner. Mater. Charact. Eng., vol.

03, no. 03, pp. 171–179, 2015, doi: 10.4236/jmmce.2015.33020.

123
LAMPIRAN
Tabel 4.8 Distribusi Kekerasan Hasil Pengelasan
Nilai Kekerasan ST 42 Nilai Kekerasan HB 500
No. Titik No. Titik
3A 3B 4A 4B 3A 3B 4A 4B
1 -25 141,87084 134,3359 178,81255 134,69824 1 1 181,05469 181,62181 178,81255 186,25631
2 -24 145,46995 132,54597 177,15816 133,6156 2 2 163,24877 172,33046 241,62963 186,25631
3 -23 143,45376 132,90108 174,98779 137,27613 3 3 172,33046 288,5053 341,50565 186,84807
4 -22 140,31397 130,79157 161,80517 134,3359 4 4 164,22194 434,78006 530,18388 191,07049
5 -21 142,65901 131,48913 155,31508 137,65044 5 5 321,875 359,7974 591,78397 203,28056
6 -20 139,16307 132,19228 136,16234 134,69824 6 6 487,57396 310,13587 456,62494 222,7502
7 -19 139,16307 135,42732 137,65044 139,16307 7 7 335,71752 311,40822 371,15445 482,61141
8 -18 138,78258 135,06204 139,16307 141,08918 8 8 332,87848 376,187 424,44083 324,57415
9 -17 137,27613 135,42732 139,92875 138,02628 9 9 383,05785 397,37654 434,78006 302,66299
10 -16 140,70077 133,25762 144,25518 135,06204 10 10 390,11868 434,78006 447,69362 337,15068
11 -15 139,16307 134,69824 139,54512 140,31397 11 11 285,12111 447,69362 461,19116 393,72253
12 -14 139,16307 134,69824 139,54512 142,2641 12 12 458,89953 452,1262 458,89953 391,91439
13 -13 139,92875 133,97503 145,46995 142,2641 13 13 477,72424 447,69362 454,36722 410,57439
14 -12 144,25518 134,69824 140,70077 143,85363 14 14 487,57396 454,36722 468,17 439,02179
15 -11 141,08918 136,16234 139,16307 143,05556 15 15 472,91093 477,72424 468,17 458,89953
16 -10 146,28835 136,90336 140,70077 140,31397 16 16 397,37654 480,1585 485,08317 465,82622
17 -9 150,48579 139,92875 150,48579 136,16234 17 17 468,17 487,57396 449,90172 477,72424
18 -8 150,05797 143,05556 144,65841 141,08918 18 18 492,61346 497,73148 470,53151 482,61141
19 -7 150,48579 147,11367 145,06333 145,46995 19 19 477,72424 502,92969 465,82622 490,08399
20 -6 178,81255 147,94599 154,41989 145,06333 20 20 468,17 519,02242 470,53151 485,08317
21 -5 234,79946 165,20383 155,31508 147,11367 21 21 454,36722 500,32046 475,30844 475,30844
22 -4 226,66145 170,24793 161,80517 160,85337 22 22 513,57341 516,28713 480,1585 495,16255
23 -3 206 195,43768 174,98779 175,52663 23 23 468,17 516,28713 470,53151 502,92969
24 -2 179,36916 228,25485 177,15816 178,81255 24 24 508,20975 535,9001 461,19116 492,61346
25 -1 176,06796 181,05469 178,81255 177,15816 25 25 565,91679 505,55938 447,69362 492,61346
Tabel 4.9 Sudut saat defleksi maksimum
Defleksi
Jarak Ѳ Ѳx 2
No. Kode Sampel maks.
mm N ° °
1 3A root 30 8,3584 79,05 148,862
2 3A face 30 38,995 37,56 75,12
3 3B root 30 19,27 74,488 148,89
4 3B face 30 23,0 52,516 105,03
5 4A root 30 17,36 59,941 119,88
6 4A face 30 34,622 40,892 81,784
7 4B root 30 32,49 42,707 85,414
8 4B face 30 32,071 43,07 86,14

Anda mungkin juga menyukai