Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA SISTEM

NEUROLOGI (ACUTE ISCHEMIC DAN HEMORRAJIC STROKE)

Memenuhi tugas keperawatan kritis

Disusun Oleh:
Basilio Robertus P17212215041
Dwi Putri Y. P17212215053
Imelda S. P17212215092
Indra Marga Kusuma P17212215008
Lailaturrosidah P17212215073
Moh. Adib P17212215081
Sarmillawati P17212215117
Sekar Prana I. P17212215026
Shelvia Rosalinda P17212215038
Silva Niar Katamsi P17212215118
Yenny Yulistiani P17212215119
Yunda Arizatul P17212215063

Dosen Pengampu:

Taufan Arif, S.Kep., Ns., M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya. Kita masih diberi kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen kami yaitu Lingling
Marinda Palupi S.Kp, Ns., M.Kep.yang telah memberikan kesempatan kepada kami
untuk menyelesaikan makalah ini.

Tujuan penulisan makalah ini agar dapat menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan yang dapat membantu dalam penyelesaian kurikulum. Kami menyadari
dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami mengucap kan terimakasih kepada setiap pihak yang
membantu kami dalam menyelesakan makalah ini, kami mohon maaf atas segala
kekurangan dan semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua.

Malang, Agustus 2021


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan global yang dihadapi seluruh dunia termasuk Indonesia adalah
penigkatan jumlah penderita akibat infeksi Humman Immunodeficiency Virus
(HIV). Di Indonesia angka kejadian HIV/AIDS terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya untuk berbagai wilayah (Literate & Indonesia, 2020). HIV
(Human Immunodeficiency Virus) dan Aids (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) saat ini menjadi masalah darurat global, meskipun kita sadari bersama
bahwa upaya baik itu promotif ataupun preventif yang dilakukan pemerintah
sudah demikian besar. Namun demikian jumlah kasus HIV/Aids dari tahun ke
tahun diseluruh bagian dunia terus meningkat, sehingga tidak ada negara yang
tidak terkena dampak penyakit ini (UMMU MUNTAMAH, S.Kp.,Ns., 2019)
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
penyakit yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia. Bagi orang yang telah didiagnosa positif
mengidap HIV dan AIDS sering disebut sebagai ODHA. ODHA adalah singkatan
dari Orang Dengan HIV dan AIDS. ODHA merupakan pengganti dari istilah
pengidap yang mengarah pada pengertian bahwa orang tersebut telah positif
didiagnosa mengidap HIV dan AIDS. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. Rusaknya sistem kekebalan
tubuh pada orang yang terinfeksi HIV menyebabkan orang tersebut mudah
diserang oleh penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal dan sering disebut
dengan infeksi oportunistik. Penurunan sistem kekebalan tubuh dapat
menyebabkan ODHA mengalami gejala-gejala menyerupai flu, seperti: lemas,
mudah lelah, batuk yang berkepanjangan, demam, sakit kepala, nyeri otot, nafsu
makan buruk, mual, pembengkakan kelenjar, berat badan yang durun drastik, dan
bercak di kulit. Hal ini tentunya dapat menghambat ODHA untuk beraktivitas
secara normal dalam kesehariannya (Diatmi & Fridari, 2014).
Seseorang yang terjangkit HIV AIDS dapat berdampak sangat luas dalam
hubungan sosial, dengan keluarga, hubungan dengan teman-teman, relasi dan
jaringan kerja akan berubah baik kuantitas maupun kualitas. Orang-orang yang
terjangkit HIV AIDS secara alamiah hubungan sosialnya akan berubah. Dampak
yang paling berat dirasakan oleh keluarga dan orang-orang dekat lainnya.
Perubahan hubungan sosial dapat berpengaruh positif atau negatif pada setiap
orang. Reaksi masing-masing orang berbeda, tergantung sampai sejauh mana
perasaan dekat atau jauh, suka dan tidak suka seseorang terhadap yang
bersangkutan.
Oleh karena itu pendekatan terhadap ODHA perlu dilakukan untuk
meningkatkan motivasi agar dapat melanjutkan kehidupannya dengan
meningkatkan semua aspek baik aspek fisik, emosional, sosial dan spiritualnya.
Salah satu upaya pendekatan pada ODHA dilakukan dengan cara memberikan
konseling interpersonal. Tujuan dari dilakukannya konseling HIV/AIDS agar
tersedianya dukungan sosial dan psikologik pada ODHA dan keluarganya.
Pendekatan pada ODHA dengan memberikan konseling interpersonal adalah hal
yang tepat dilakukan untuk mengatasi permasalahan psikologis meliputi aspek
sosial, emosional dan spiritual ODHA (Ekonomi et al., 2016).

1.2 Rumusan Masalah


1. Menjelaskan definisi konsep AIDS
2. Menjelaskan definisi konsep keperawatan paliatif pada AIDS
3. Menjelaskan definisi konsep aspek sosial terhadap pasien AIDS
4. Menjelaskan asuhan keperawatan paliatif AIDS aspek sosial
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi konsep AIDS
2. Untuk mengetahui definisi konsep keperawatan paliatif pada AIDS
3. Untuk menegetahui definisi konsep aspek sosial terhadap pasien AIDS
4. Untuk mengetahui asuhan keperawatan paliatif AIDS aspek sosial

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Memberikan pengetahuan dan memperkaya pengalaman bagi penulis dalam
memberikan dan menyusun asuhan keperawatan paliatif pada klien dengan
AIDS dengan aspek sosial.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan


Sebagai masukan bagi institusi pendidkan dalam proses belajar mengajar
Profesi Ners , khususnya pada matakuliah Keperawatan Paliatif dan
memberikan sumbangan pikiran yang kiranya dapat berguna sebagai
informasi awal.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV/AIDS
HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia.
Menurut data dari World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan
bahwa 940.000 orang meninggal karena HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang
yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang menjadi
terinfeksi baru pada tahun 2017 secara global. Lebih dari 30% dari semua
infeksi HIV baru secara global diperkirakan terjadi di kalangan remaja usia 15
hingga 25 tahun. Diikuti dengan anak-anak yang terinfeksi saat lahir tumbuh
menjadi remaja yang harus berurusan dengan status HIV positif mereka.
Menggabungkan keduanya, ada 5 juta remaja yang hidup dengan HIV (WHO,
2017).
AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh
kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. HIV (Human
Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immuno
Deficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat
turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika individu sudah tidak
lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan
mudah masuk ke dalam tubuh. Karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi
sangat lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat
berbahaya. Orang yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS.
Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan tubuhnya makin lama semakin
lemah, sehingga semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan
itulah penderita disebut sudah terkena AIDS.
B. Anatomi fisiologi HIV
Imunologi Sistem
1. Sistem imun Sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam
mengenali dan menghancurkan bahan yang bukan “normal self”
(bahan asing atau abnormal cells)
2. Imunitas atu respon imun
3. Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin
yang berbahaya
Ada 2 macam RI, yaitu :
 RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.
 RI non Spesifik : efektif untuk semua mikroorganisme Sel-sel yang
berperan dalam respon Imun
a. Sel B Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk
merespons antigen tertentu. Sel B merupakan nama bursa
fabrisius, yaitu jaringan limfoid 8 yang ditemukan pada ayam.
Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum tulang,
jaringan limfe usus, dan limpa. Sel B matur bermigrasi ke organ-
organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe, bercak Peyer pada
saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa molekul
immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya.
Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit
T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu :
1. Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi
antibodi untuk menghancurkan antigen tertentu.
2. Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan
limfoid dan siap merespons antigen perangsang yang muncul
dalam pajanan selanjutnya dengan respons imun sekunder yang
lebih cepat dan lebih besar.
b. Sel T Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan
berploriferasi jika ada antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi
antibodi. Sel T mengenali dan berinteraksi dengan antigen melalui
reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel yang terikat membran
dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat aktif secara
imulogis yang disebut limfokin. Sub type limfosit T berfungsi untuk
membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-sel asing
tertentu, dan mengatur respons imun.
Respons sel T adalah :Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang
prekusor dalam sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan
janin atau segera 9 setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju
kelenjar timus, tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi dan
mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri. Setelah mengalami
diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid
seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan
sel yang mengandung organisme intraselular.
c. Sel T efektor :
 Sel T sitotoksik (sel T pembunuh) Mengenali dan
menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen asing pada
permukaannya
 Sel T pembantu Tidak berperan langsung dalam pembunuhan
sel. Setelah aktivasi oleh makrofag antigen, sel T pembantu
diperlukan untuk sistesis antibodi normal, untuk pngenalan
benda asing sel T pembantu melepas interleukin-2 yang
menginduksi proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel T lain
untuk merespons antigen dan sel T pembantu dpt memproduksi
zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi
(hipersensitivitas). d. Sel T supresor Setelah diaktifasi sel T
pembantu akan menekan respon sel B dan sel T.
e. Makrofag Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui
denaturasi atau mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan
fragmen yang 10 mengandung determinan antigenic. Makrofag
akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya
sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu
C. Penyebab HIV/AIDS
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara
darah, semen, dan sekret vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka
target utama HIV adalah limfosit CD 4 karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan mengubah informasi
genetiknya ke dalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari
sel yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid) menjadi
DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase.
DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus. Setiap kali sel yang
dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan.
D. Patofisiologi HIV/AIDS
Menurut Widyanto & Triwibowo, (2013) HIV dapat membelah diri
dengan cepat dan kadar virus dalam darah berkembang cepat, dalam satu hari
HIV dapat membelah diri menghasilkan virus baru jumlahnya sekitar 10
miliar. Proses terjadinya defisit nutrisi pada HIV/AIDS, pasien akan
mengalami 4 fase yaitu :
a. Periode jendela Pada periode ini pemeriksaan tes antibodi HIV
masih negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien. Hal itu
karena antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui
pemeriksaan laboratium. Biasanya Antibodi terhadap HIV muncul
dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Pada
periode ini pasien mampu dan berisiko menularkan HIV kepada orang
lain.
b. Fase infeksi akut Proses ini di mulai setelah HIV menginfeksi sel
target kemudian terjadi proses replika yang menghasilkan virus baru
yang jumlahnya berjuta-juta virion. Virimea dari banyak virion ini
memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala mirip flu.
Sekitar 50-70% orang hiv yang terinfeksi mengalami sindrom infeksi
akut selama 3-6 minggu seperti influenza yaitu demam, sakit otot, 9
berkeringat, ruam, sakit tenggorokan, sakit kepala, keletihan,
pembengkakan kelenjar limfe, mual, muntah, anoreksia, diare, dan
penurunan BB. Antigen HIV terdeteksi kira-kira 2 minggu setelah
infeksi dan terus ada selama 3-5 bulan. Pada fase akut terjadi
penurunan limfosit T yang dramatis kemudian terjadi kenaikan limfosit
T karena respon imun. Pada fase ini jumlah limfosit T masih di atas
500 sel/mm3 kemudian akan menurun setelah 6 minggu terinfeksi
HIV.
c. Fase infeksi laten Pada fase infeksi laten terjadi pembentukan respon
imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritic
folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfe. Hal tersebut
menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai
memasuki fase laten. Pada fase ini jarang di temukan virion sehingga
jumlahnya menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di
kelenjar limfe dan terjadi replika. Jumlah limfosit T-CD4 menurun
sekitar 500- 200 sel/mm3.
Meskipun telah terjadi serokonversi positif individu pada
umumnya belum menunjukan gejala klinis (asimtomatis). Fase ini
terjadi sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke
delapan setelah terinfeksi HIV gejala klinis akan muncul seperti
demam , kehilangan BB < 10%, diare, lesi pada mukosa dan infeksi
kulit berulang.
d. Fase infeksi kronis Selama fase ini, replika virus terus terjadi di
dalam kelenjar limfe yang di ikuti kematian SDF karena banyaknya
virus. Fungsi kelenjar limfe yaitu sebagai perangkap virus akan
menurun atau bahkan hilang dan virus diluncurkan dalam darah. Pada
fase ini terjadi peningkatan jumlah virion berlebihan, limfosit 10
semakin tertekan karena infeksi HIV semakin banyak. Pada saat
tersebut terjadi penurunan, jumlah limfosit T-CD4 di bawah 200
sel/mm3. Kondisi ini menyebabkan sistem imun pasien menurun dan
semakin rentan terhadap berbagai infeksi sekunder. Perjalanan
penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.
E. Manifestasi Klinis
Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor
dan satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang
diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :
 Penurunan berat badan lebih dari 10%
 Diare kronik lebih dari 1 bulan
 Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten).
b. Gejala minor :
 Batuk lebih dari 1 bulan
 Dermatitis pruritik umum
 Herpes zoster rekurens
 Candidiasis oro-faring
 Limfadenopati umum
 Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
2. AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala
mayor dan dua gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi
yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.

a. Gejala mayor :

 Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal


 Diare kronik lebih dari 1 bulan
 Demam lebih dari 1 bulan 13

b. Gejala minor :

 Limfadenopati umum
 Candidiasis oro-faring
 Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
 Batuk persisten
 Dermatitis umum
 Infeksi HIV maternal Kriteria tersebut di atas khusus disusun untuk
negara-negara Afrika yang mempunyai prevalensi AIDS tinggi dan
mungkn tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia. Untuk
keperluan surveilans AIDS di Indonesia sebagai pedoman
digunakan defmisi WHO/CDC yang telah direvisi dalam tahun
1987. Sesuai dengan hasil Inter-country Consultation Meeting
WHO di New Delhi, 30-31 Desember 1985, dianggap perlu bahwa
kasus-kasus pertama yang akan dilaporkan sebagai AIDS kepada
WHO mendapat konfrrmasi dengan tes ELISA dan Western Blot.
F. Tahapan perubahan HIV/AIDS
1) Fase 1 Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah
terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia
melakukan tes darah. Pada fase ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk.
Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3
hari dan sembuh sendiri).
2) Fase 2 Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua
ini individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah
dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala
ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).
3) Fase 3 Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum disebut sebagai
gejala AIDS.
Gejala-gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu
malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang
tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah,
serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh
mulai berkurang.
4) Fase 4 Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel-T nya. Timbul
penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi
paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas,
kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus
yang menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang
menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala.
WHO menetapkan empat stadium klinis HIV, sebagaimana berikut:
1) Stadium 1 : tanpa gejala.
2) Stadium 2 : penyakit ringan.
3) Stadium 3 : penyakit lanjut.
4) Stadium 4 : penyakit berat.
G. Penularan HIV/AIDS
1) Media penularan HIV/AIDS HIV dapat ditularkan melalui pertukaran
berbagai cairan tubuh dari individu yang terinfeksi, seperti darah, air susu ibu,
air mani dan cairan vagina. Individu tidak dapat terinfeksi melalui kontak
sehari-hari biasa seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi
benda pribadi, makanan atau air.
2) Cara penularan HIV/AIDS
a) Hubungan seksual : hubungan seksual yang tidak aman dengan orang
yang telah terpapar HIV.
b) Transfusi darah : melalui transfusi darah yang tercemar HIV.
c) Penggunaan jarum suntik : penggunaan jarum suntik, tindik, tato, dan
pisau cukur yang dapat menimbulkan luka yang tidak disterilkan secara
bersama-sama dipergunakan dan sebelumnya telah dipakai orang yang
terinfeksi HIV. Cara-cara ini dapat menularkan HIV karena terjadi kontak
darah.
d) Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya
( 1 ) Antenatal : saat bayi masih berada di dalam rahim, melalui plasenta.
( 2 ) Intranatal : saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan
vagina.
( 3 ) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu ibu.
Kenyataannya 25-35% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
sudah terinfeksi di negara berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan
anak yang tertular HIV tertular dari ibunya.
3) Perilaku berisiko yang menularkan HIV/AIDS
a) Melakukan seks anal atau vaginal tanpa kondom.
b) Memiliki infeksi menular seksual lainnya seperti sifilis, herpes,
klamidia, kencing nanah, dan vaginosis bakterial.
c) Berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, alat suntik dan peralatan
suntik lainnya dan solusi obat ketika menyuntikkan narkoba.
d) Menerima suntikan yang tidak aman, transfusi darah, transplantasi
jaringan, prosedur medis yang melibatkan pemotongan atau tindakan
yang tidak steril.
e) Mengalami luka tusuk jarum yang tidak disengaja, termasuk diantara
pekerja kesehatan.
f) Memiliki banyak pasangan seksual atau mempunyai pasangan yang
memiliki banyak pasangan lain.
H. Gejala HIV/AIDS
Gejala-gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap infeksi. Meskipun
orang yang hidup dengan HIV cenderung paling menular dalam beberapa
bulan pertama, banyak yang tidak menyadari status mereka sampai tahap
selanjutnya. Beberapa minggu pertama setelah infeksi awal, individu mungkin
tidak mengalami gejala atau penyakit seperti influenza termasuk demam, sakit
kepala, ruam, atau sakit tenggorokan. Ketika infeksi semakin memperlemah
sistem kekebalan, seorang individu dapat mengembangkan tanda dan gejala
lain, seperti kelenjar getah bening yang membengkak, penurunan berat badan,
demam, diare dan batuk. Tanpa pengobatan, mereka juga bisa
mengembangkan penyakit berat seperti tuberkulosis, meningitis kriptokokus,
infeksi bakteri berat dan kanker seperti limfoma dan sarkoma kaposi.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes Laboratorium Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang
sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium
digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
A. Serologis
1) Tes antibody serum Skrining Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan ELISA. Hasiltes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
2) Tes blot western Mengkonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper Indikator system imun (jumlah
5) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel
helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
7) Kadar Ig Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal
8) Reaksi rantai polimerase Mendeteksi DNA virus dalam jumlah
sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
9) Tes PHS Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV
mungkin positif
B. Neurologis EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
C. Tes Lainnya
a) Sinar X dada Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari
PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan
bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial 19 Dilakukan dengan
biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
2. Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus
HIV.Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual
telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di
pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang
mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS,
menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan
lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian,
darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan
dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya. Tes HIV
umum, termasuk imunoasaienzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan
untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah
kering, atau urin pasien.
Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi
pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat
bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk
mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial
untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang
dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan
antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak
disetujui secara khusus 20 untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan
secara rutin di negaranegara maju.
3. USG Abdomen
4. Rongen Thorak

J. KONSEP PALIATIF
A. Palliative care
1. Pengertian Palliative care
Menurut WHO palliative care merupakan pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi
masalah yang berkaitan dengan masalah yang mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan menghentikan penderitaan dengan identifikasi dan
penilaian dini, penangnanan nyeri dan masalah lainnya, seperti fisik,
psikologis, sosial dan spiritual (WHO, 2017).
Palliatif care berarti mengoptimalkan perawatan pasien dan
keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mengantisipasi,
mencegah, dan mengobati penderitaan. Palliative care meliputi seluruh
rangkaian penyakit melibatkan penanganan fisik, kebutuhan intelektual,
emosional, sosial dan spiritual untuk memfasilitasi otonomi pasien, dan
pilihan dalam kehidupan (Ferrell, 2015).
Berdasarkan penjelasan diatas 20 Palliative care merupakan sebuah
pendekatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup orang-orang dengan
penyakit yang mengancam jiwa dan keluarga mereka dalam menghadapi
masalah tersebut, baik dari aspek fisik, psikologis, sosial maupun spiritual.
2. Prinsip Palliative care
Palliative care secara umum merupakan sebuah hal penting dan bagian
yang tidak terpisahkan dari praktek klinis dengan mengikuti prinsip:
a. Fokus perawatan terhadap kualitas hidup, termasuk kontrol gejala
yang tepat
b. Pendekatan personal, termasuk pengalaman masa lalu dan kondisi
sekarang
c. Peduli terhadap sesorang dengan penyakit lanjut termasuk keluarga
atau orang terdekatnya d. Peduli terhadap autonomy pasien dan pilihan
untuk mendapat rencana perawatan lanjut, eksplorasi harapan dan
keinginan pasien
e. Menerapkan komunikasi terbuka terhadap pasien atau keluarga
kepada profesional kesehatan (Cohen and Deliens, 2012)
3. Peran dan Fungsi Perawat
Dalam menjalankan peran dan fungsi perawat dalam palliative care,
perawat harus menghargai hak-hak pasien dalam menentukan pilihan,
memberikan kenyamanan pasien dan pasien merasa bermartabat yang
sudah tercermin didalam rencana asuhan keperawatan. Perawat memiliki
tanggung jawab mendasar untuk mengontrol gejala dengan mengurangi
penderitaan dan support yang efektif sesuai kebutuhan pasien. Peran
perawat sebagai pemberi layanan palliative care harus didasarkan pada
kompetensi perawat yang sesuai kode etik keperawatan (Combs, et
al.,2014).
Hal-hal yang berkaitan dengan pasien harus dikomunikasikan oleh
perawat kepada pasien dan keluarga yang merupakan standar asuhan
keperawatan yang profesional.
Menurut American Nurse Associatiuon Scope And Standart
Practice dalam (Margaret, 2013) perawat yang terintegrasi harus mampu
berkomuniasi dengan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya
mengenai perawatan pasien dan ikut berperan serta dalam penyediaan
perawatan tersebut dengan berkolaborasi dalam membuat rencana yang
berfokus pada hasil dan keputusan yang berhubungan dengan perawatan
dan pelayanan, mengindikasikan komunikasi dengan pasien, keluarga dan
yang lainnya.
4. Pedoman Perawat Palliative
Berdasarkan National Consensus Project For Quality Palliative Care
(NCP, 2013) pedoman praktek klinis untuk perawat palliative dalam
meningkatkan kualitas pelayanan palliative terdiri dari 8 domain
diantaranya :

Domain 1 : structure and proses of care Structure and proses of care


merupakan cara menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan bagi para
profesional paliatif dalam memberikan perawatan yang berkesinambungan
pada pasien dan keluarga (De Roo et al., 2013; Dy et al., 2015). Adapun
panduan bagi perawat paliatif dijelaskan sebagai berikut :
a. Semua perawat harus menerima pendidikan tentang palliative care
primer baik itu tingkat sarjana, magister dan doctoral
b. Semua perawat harus diberikan pendidikan lanjut untuk palliative
care primer
c. Semua perawat menerima orientasi palliative care primer yang
termasuk didalamnya mengenai sikap, pengetahuan dan keterampilan
dalam domain palliative care. Ini termasuk penilaian dasar dan
manajemen gejala nyeri,keterampilan komunikasi dasar tentang
penyakit lanjut, prinsip etika, 24 kesedihan dan kehilangan keluarga,
komunitas dan pemberi layanan.
d. Semua perawat harus mampu melakasanakan palliative care
dengan kerjasama tim dari multidisplin ilmu
e. Perawat hospice dan perawat palliative harus tersetifikasi dalam
memberikan pelayanan palliative care
f. Semua perawat harus berpartisipasi dalam inisatif memperbaiki
kualitas layanan palliative care
g. Perawat hospice dan perawat palliative memperomosikan
kontinuitas dalam palliative care sesuai aturan kesehatan dan
mempromisikan hospice sebagai pilihan (Ferrell et al., 2007; Ferrell,
2015).
Domain 2 : Physical Aspect Of Care Physical Aspect Of Care merupakan
cara yang dilakukan untuk mengukur dan mendokumentasikan rasa nyeri
dan gejala lain yang muncul seperti menilai, mengelola gejala dan efek
samping yang terjadi pada 25 masalah fisik pada pasien (De Roo et al.,
2013; Dy et al., 2015).
Adapun panduan bagi perawat paliatif dijelaskan sebagai berikut:
a. Semua perawat harus mampu menilai nyeri, dyspnea dan fungsinya
dengan menggunakan pedoman yang konsisten pada pasien dengan
penyakit lanjut yang mengancam jiwa
b. Semua perawat harus mendokumentasikan pedoman dan temuan
dalam rencana asuhan keperawatan
c. Semua perawat harus mengikuti jalur pengobatan berdasarkan bukti
evident based nursing untuk memberikan perawatan manajemen nyeri
dan menilai ulang gejala yang ditimbulkan (Ferrell et al., 2007; Ferrell,
2015).
Domain 3: Psychological And Psychiatric Aspect Of Care Psychological
And Psychiatric Aspect Of Care merupakan cara yang dilakukan untuk
menilai status psikologis pasien dan keluarga seperti mengukur,
mendokumentasikan, mengelola kecemasan, dan gejala psikologis lainnya
(De Roo et al., 2013; Dy et al., 2015).
Adapun panduan bagi perawat paliatif dijelaskan sebagai berikut:
a. Semua perawat harus mampu menilai depresi, kecemasan, dan
delirium menggunakan pedoman yang tepat pada pasien yang
mengancam jiwa
b. Semua perawat harus mendokumentasikan temuan dalam rencana
perawatan
c. Semua perawat harus mengikuti jalur pengobatan berbasis EBN
untuk mengelola gejala psikologis yang ditimbulkan
d. Perawat hospice dan perawat palliative harus mempersiapkan duka
cita bagi keluarga yang ditinggalkan
e. Perawat hospice dan perawat palliative harus ikut andil dalam
pengembangan palliative care (Ferrell et al., 2007; Ferrell, 2015).
Domain 4 : Social Aspect Of Care Social Aspect Of Care merupakan cara
yang dilakukan untuk mendiskusikan segala informasi, mendiskusikan
tujuan perawatan, dan memberikan dukungan sosial yang komperhensif
(De Roo et al., 2013). Adapun panduan bagi perawat paliatif dijelaskan
sebagai berikut:
a. Semua perawat harus meninjau kembali kekhawatiran pasien dan
keluarga terhadap penyakit lanjut yang mengancam jiwa
b. Perawat hospice dan perawat palliative harus membantu dan
mengembangkan sebuah rencana perawatan sosial yang komperhensif
yang termasuk ndidalamnya hubungan dengan keluarga, komunitas,
dan orang yang terlibat dalam merawat pasien (Ferrell et al., 2007;
Ferrell, 2015).
Domain 5 : Spiritual, Religious, And Existential Aspect Of Care Spiritual,
Religious, And Existential Aspect Of Care merupakan cara yang dilakukan
untuk menyediakan atau memfasilitasi diskusi terkait kebutuhan spiritual
pasien dan keluarga (De Roo et al., 2013; Dy et al., 2015). Adapun
panduan bagi perawat paliatif sebagai berikut:
a. Perawat hospice dan perawat palliative harus melakukan pengkajian
spiritual mencakup masalah agama, spiritual, dan eksistensial
menggunakan pedoman instrument yang terstruktur dan terintegrasi
dalam penilaian dalam rencana palliative care
b. Semua perawat harus mampu merujuk pasien dan keluarga pada
kondisi yang serius dengan menghadirkan rohaniawan, pendeta jika
diperlukan(Ferrell et al., 2007; Ferrell, 2015)

Domain 6 : Culture Aspect Of Care Culture Aspect Of Care merupakan


cara yang dilakukan menilai budaya dalam proses pengambilan keputusan
dengan memperhariakn preferensi pasien atau keluarga, memahami bahasa
yang digunakan serta ritual-ritual budaya yang dianut pasien dan
keluarga(De Roo et al., 2013).
Adapun panduan bagi perawat paliatif sebagai berikut:
a. Semua perawat harus mampu menilai budaya pasien sebagai
komponen yang tidak terpisahkan dalam memberikan palliative care
dan perawatan dirumah yang komperhensip mencakup pengambilan
keputusan,prrepernsi pasien, komunikasi keluarga, terapi
komplementer, dan duka cita bagi keluarga yang ditinggalkan, serta
pemakaman dan ritual pemakaman pasien. (Ferrell, 2015).
Domain 7 : Care Of The Patient At End of life Care Of The Patient At End
of life merupakan cara yang dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang
kesiapan menghadapi kematian dan duka cita setelah kematian bagi
keluarga yang ditinggalkan (De Roo et al., 2013).
Adapun panduan bagi perawat apaliatif sebagai berikut:
a. Perawat hospice dan perawat palliative harus mampu mengenali
tanda dan gejala kematian pasien, keluarga dan komunitas.ini harus
dikomunikasikan dan didokumentasikan.
b. Semua perawat harus mampu menjamin kenyamanan pada akhir
kehidupan
c. Semua perawat harus meninjau kembali ritual budaya, agama, dan
adat dalam menghadapi kematian pasien.
d. Semua perawat harus mampu memberikan dukungan pasca
kematian pada keluarga yang ditinggalkan
e. Semua perawat harus mampu merawat jenazah sesuai dengan
budaya, adat dan agama pasien (Ferrell, 2015).
Domain 8 : Ethical And Legal Aspect Of Care Ethical And Legal Aspect
Of Care merupakan cara yang dilakukan untuk membuat perencanaan
dengan memperhatian preferensi pasien dan keluarga sebagai penerima
layanan dengan tidak melanggar norma dan aturan yang belaku (De Roo et
al., 2013; Dy et al., 2015). Adapun panduan bagi perawat paliatif sebagai
berikut:

a. Semua perawat harus meninjau kembali asuhan keperawatan yang


telah diberikan dan semua dokumentasinya
b. Semua perawat harus menjaga prinsip etik berdasarkan komite etik
keperawatan
c. Semua perawat harus mengerti hukum aspect palliative dan mencari
pakar hukum jika diperlukan (Ferrell, 2015).
5. Tempat-tempat Pelayanan Paliatif Berdasarkan Permenkes Nomor 812/
Menkes/ SK/VII/2007 dijelaskan tempat untuk layanan paliatif meliputi:
a. Rumah Sakit : untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan yang
memerlukan 32 pengawawasan ketat, tindakan khusus atau perawalatan
khusus.
b. Puskesmas : untuk pasien yang memerlukan perawatan rawat jalan
c. Rumah singgah / panti (hospice) : untuk pasien yang tidak memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khsus tetapi belum dapat
dirawat dirumah karena memerlukan pengawasan d. Rumah pasien : untuk
pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat tindakan khsusus atau
peralatan khusus atau keterampilan perawatan yang tidak mungkin
dilakukan oleh keluarga (PERMENKES, 2007).
6. Langkah- langkah dalam Pelayanan Paliatif
a. Menentekun tujuan perawatan dan harapan pasien
b. Membantu pasien dalam membuat advance care planning
c. Pengobatan penyakit penyerta dari aspek sosial yang muncul
d. Tata laksana gejala
e. Dukungan psikologis, kultural dan sosial
f. Respon pada fase terminal : memberikan tindakan sesuai wasiat atau
keputusan keluarga bila wasiat belum dibuat.
g. Pelayanan terhadap pasien dan keluarga termasuk persiapan duka cita.
(KEMENKES, 2013).

7. Layanan Palliative Home Care


Palliative home care merupakan pelayanan palliative care yang
dilakukan dirumah pasien oleh tenaga palliative dan atau keluarga atas
bimbingan dan pengawasan tenaga palliative (KEPMENKES, 2007).
Palliative home care dinilai baik dan pilihan yang tepat untuk dapat
menghindari perawatan di rumah sakit yang dinilai mahal dan tidak efektif
bagi pasien terminal, hal ini juga dapat membantu dan melatih pasien ,
keluarga dan pemberi layanan dalam menghadapi situasi yang sulit
(Pompili et al., 2014).
Berbagai manfaat pelayanan palliative home care yang dapat dirasakan
oleh pasien ataupun keluarga diantaranya merasa lebih nyaman,
bermartabat dan juga dapat menghemat biaya dari pada meninggal dirumah
sakit (Ventura et al., 2014).

K. PERUBAHAN ASPEK SOSIAL

Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stressor tertentu


menurut Stewart (1997) dalam Nursalam dkk (2014) dibedakan dalam 3 aspek
yang antara lain:

1. Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang


harga diri individu.
2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan
bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan.
3. Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai
penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat
terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Adanya
dukungan sosial yang baik dari keluarga, teman, maupun tenaga
kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal ini sesuai
dengan penelitian oleh Payuk, dkk (2012) tentang hubungan antara
dukungan sosial dengan kualitas hidup ODHA di daerah kerja Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang Baru, Makasar.
Bentuk dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut Nurbani &
Zulkaida (2012) antara lain emotional support, informational support,
instrumental or tangible support, dan companionship support, dukungan
tersebut berdampak positif pada kehidupan ODHA. Untuk kesehatan,
ODHA menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Adapun dampak
sosial, ODHA menjadi lebih banyak teman, merasa dirinya berarti,
serta ODHA diikutsertakan dalam kegiatan kelompok. Selain dampak
tersebut, ada pula dampak perkerjaan yang dapat mengoptimalkan
kemampuannya, menjadikan kemampuan ODHA bertambah, ODHA
dapat mengevaluasi pekerjaan-nya serta mendapatkan informasi yang
dibutuhkan, sehingga ODHA dapat membantu dalam memberikan
informasi mengenai akses kesehatan kepada kelompok anggota
dukungan.
a. Jenis dukungan sosial
1) Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan
2) Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan
positif untuk orang tersebut.
3) Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, misalnya
memberi pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan, dll.
4) Dukungan informatif, mencakup pemberian nasihat, saran, pengerahuan,
dan informasi serta petunjuk.
b. Dampak bagi lingkungan
1) Menurunnya produktivitas masyarakat
Salah satu masalah sosial yang dihadapi ODHA adalah menurunnya
produktivitas mereka. Daya tahan tubuh yang melemah, dan angka
harapan hidup yang menurun, membuat daya produktivitas ODHA tidak
lagi sama seperti orang pada umumnya. Hal ini menyebabkan
kebanyakan dari mereka kehilangan kesempatan kerja ataupun
pekerjaan tetapnya semula. Hal ini juga berpengaruh terhadap
permasalahan dalam aspek ekonomi yang mereka dihadapi.
2) Mengganggu terhadap program pengentasan kemiskinan
Berkaitan dengan point yang pertama, ketika ODHA mengalami
penurunan produktivitas, mereka akan kehilangan pekerjaan mereka dan
mulai menggantungkan hidupnya kepada keluarganya ataupun orang
lain. Tanpa disadari hal ini akan menganggu terhadap program
pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
3) Meningkatnya angka pengangguran
Meningkatnya angka pengangguran ini juga merupakan salah satu
dampak sosial yang ditimbulkan HIV/AIDS. Daya tahan tubuh yang
melemah, antibody yang rentan dan ketergantungan kepada obat
membuat ODHA merasa di diskriminasi dalam hal pekerjaan, sehingga
mereka susah untuk mencari pekerjaan yang sesuai.
4) Mempengaruhi pola hubungan sosial di masyarakat
Pola hubungan sosial di masyarakat akan berubah ketika masyarakat
memberikan stigma negatif kepada ODHA dan mulai mengucilkan
ODHA. Hal ini bukan saja terjadi pada diri ODHA namun berdampak
juga pada keluarga ODHA yang terkadang ikut dikucilkan oleh
masyarakat sekitar.
5) Meningkatkan kesenjangan pendapatan/kesenjangan sosial
Kesenjangan sosial dapat terjadi ketika masyarakat di sekitar tempat
ODHA tinggal mulai memperlakukan beda atau mendiskriminasi,
memberi stigma negatif dan mengkucilkan ODHA.
6) Munculnya reaksi negatif dalam bentuk; deportasi, stigmatisasi,
diskriminasi dan isolasi, tindakan kekerasan terhadap para pengidap
HIV dan penderita AIDS.
c. Intervensi yang diberikan pada sistem pendukung adalah
1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan
2) Menegaskan tentang pentingnya pasien bagi orang lain
3) Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif
4) Memberikan umpan balik terhadap perilakunya
5) Meberi rasa percaya dan keyakinan
6) Memberikan informasi yang diperlukan
7) Berperan sebagai advokat
8) Memberi dukungan moral, material (khususnya keluarga) dan spiritual
d. Perubahan respon keluarga
a) Tahap I penolakan status meliputi :
(1) Marah
Ketika dinyatakan positif HIV/AIDS berbagai respon
muncul antara lain marah, ketidakterimaan status adanya
penerimaan status. Seperti ungkapan berikut : “..saya kaget, marah
dan gak tau nak mau ngomong apa, campur aduk lah hati sama
pikiran bapak, tapi bapak sadar mungkin ini kesalahan saya yang
tak bisa membimbing anak..” (K1) “..pengen rasanya ibu mati saja
mendengar anak saya seperti itu, saya ingin sekali mencabik-cabik
diri sendiri..” (K2) “..Awalnya saya diem aja mba, marah iya tapi
ya udahlah mau gimana lagi..” (K3)
(2) Ketidakterimaan Akan Status
Semua respon keluarga tidak menerima akan status nya,
hasil yang didapatkan: “ waah pas saya denger sendiri anak saya
bilang HIV, nyess rasanya nak sakit banget, saya tidak nerima,
tapi ya mungkin kesalahan saya..” (K1) “..Saya tau anak saya HIV
karena pada waktu itu menantu pertama saya sakit tertular HIV
dan disitu saya beri tahu anak saya yang ada dipenjara dan anak
saya baru jujur, hmm saya rasanya pengen mati aja mba. saya
tidak terima.. “ (K2) “..saya tidak terima karena saya sudah
menyekolahkan anak saya sampe perguruan tinggi dan saya tidak
tau akan pergaulan nya di luar sana, ya mau gimana lagi..”(K3)
b) Tahap II penerimaan status meliputi :
Semua partisipan mengatakan dapat menerima akan status nya.
setalah mengalami selama beberapa bulan. hasil yang didapatkan :
“..mungkin karena ini saya kurang memperhatikan anak saya, saya
nangis dan meluk anak saya nak.. “ (K1) “ ..awalnya saya diem aja mba
sama anak saya, tapi ya udah lah mau gimana lagi udah terinfeksi dan
saya harus menerimanya..” (K2) “..saya rasanya mau mati mba, saya
marahmarahin dia, tapi lama kelamaan ya udah lah, Cuma saya belum
bisa ikhlas sama pekerjaannya sekarang..” (K3) “ibu kaget mba, cuma
ibu ga mau melihat anak ibu patah semangat dengan penyakitnya, jadi
ibu terima dengan lapang dada..” (K4) Keluarga memiliki peran penting
dalam pendekatan masalah HIV/AIDS, arah dan strategi nasional
penanggulangan HIV/ AIDS (Keppres 36/94) pada hakekatnya
ditujukan untuk meningkatkan ketahanan keluarga sejalan dengan UU
pokok no 10 tahun 1992 tentang kependudukan dan keluarga sejahtera
misalnya untuk perawatan penderita, peranan keluarga, baik keluarga
batih maupun keluarga jaringan (nuclear and extended family) akan
semakin dibutuhkan (Farlina, 2016).
2) Perubahan respon masyarakat
Semua partisipan mengatakan dapat menerima statusnya, dan cara
pandang masyarakat pun dapat adanya stigma dari masyarakat dan
penerimaan status dari partisipan. hasil yang didapatkan sebagai berikut :
a) Adanya Stigma Dari masyarakat
Partisipan satu, kedua dan ketiga mengatakan ada yang ngomongin
saya di belakang, tapi yaudah sih ini hidup-hidup gu (P1) (P2) (P3)
Respon keluarga mengatakan adanya stigma dan diskriminasi dari
masyarakat: “ya mereka pada jauhin saya nak, tapi saya coba buat baikdan
menjelaskan ke mereka bahwa HIV itu tidak berbahaya, ya hari demi hari
taun demi tahun akhirnya mereka bisa menerima keluarga saya dengan
kondisi seperti ini..” (K1) “..mungkin karena ini saya kurang
memperhatikan anak saya, saya nangis dan meluk anak saya nak.. “ (K1) “
..awalnya saya diem aja mba sama anak saya, tapi ya udah lah mau
gimana lagi udah terinfeksi dan saya harus menerimanya..” (K2) “..saya
rasanya mau mati mba, saya marahmarahin dia, tapi lama kelamaan ya
udah lah, Cuma saya belum bisa ikhlas sama pekerjaannya sekarang..”
(K3) “ibu kaget mba, cuma ibu ga mau melihat anak ibu patah semangat
dengan penyakitnya, jadi ibu terima dengan lapang dada..” (K4)
b) Menarik diri
Semua partisipan mengatakan menarik diri dikarenakan takut
masyarakat sekitar. Seperti ungkapan partisipan berikut : “..ya karena
dapet cemoohan dari warga, ya sempet gamau keluar rumah, diajak arisan
atau kumpul warga saya mending di rumah (P3) partisipan pertama dan
kedua mengatakan hmm saya sempet gamau keluar rumah soalnya males
dengerin omongan-omongan mereka yang engga-engga.. (P1) (P2)
Respon keluarga pun adanya menarik diri dari masyarakat yaitu dengan
hasil : “..ya mereka pada jauhin saya nak, saya sempat pindah rumah agar
tetangga gak ngomongin keluarga saya lagi eh tau nya pas setaun kita
kembali lagi tetep aja. Tapi saya coba buat baik dan menjelaskan ke
mereka bahwa HIV itu tidak berbahaya, ya hari demi hari taun demi tahun
akhirnya mereka bisa menerima keluarga saya dengan kondisi seperti
ini..” (K3) Self esteem adalah evaluasi tang dibuat oleh individu dan
biasanya berhubungan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri, hal
ini mengekpresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukan
tingkat dimana individu itu meyakini diri sendiri mampu, penting, berhasil
dan berharga. Menurut Mechanic menarik diri adalah salah satu perasaan
yang dapat muncul pada orang yang sakit kecemasan (ansietas), untuk
mengatasi kecemasan salah satu caranya adalah menarik diri dari.
d. Sistem Pendukung Yang Ada Sistem pendukung yang ada
digunakan dalam melakukan upaya mengatasi perubahan atau
permasalahan yang timbul dengan motivasi hidupnya dan didiagnosis HIV
merupakan faktor pendukung yang dapat memperkuat upaya yang
dilakukan sistem pendukung meliputi sumber dukungan dan jenis
dukungan yang di dapat. Sumber dukungan yang dapat berasal dari
internal maupun eksternal keluarga, sedangkan jenis dukungan dapat
berupa ekonomi, informasi atau semangat dan pendampingan. 1)
Dukungan keluarga Hasil identifikasi dari partisipan didapat hasil bahwa
empat orang partisipan mendapat dukungan yang bersumber dari keluarga,
seperti diungkapkan partisipan: “..keluarga ya mendukung.., dengan
kondisi saya seperti ini..” (P2) “..kedua orang tua saya yang selalu ada
buat saya, disaat saya sedang sekarat di rumah sakit..” (P4) “..pas saya
kasih hasil dari dokter tentang penyakit saya, ya awalnya kaget. Tapi
setelah itu bapak langsung meluk saya dan katanya saya harus berjuang..”
(P1) “.. Melihat anak saya yang menjadi motivasi saya biar bangkit dan
harus kerja keras biar sembuh..” (P3) 2) Dukungan dari petugas ODHA
Mendapatkan penjelasan dari petugas ODHA diungkapkan oleh semua
partisipan, sesuai ungkapannya berikut: Semua partisipan mengungkapkan
setelah saya lama di rawat rumah sakit ada petugas ODHA rumah cemara
datang dan memberikan dukungan dan motivasi buat saya (P1) (P2) (P3)
(P4) Peer support atau dukungan sebaya adalah penyediaan dukungan
emosional, informasi dan penilaian terhadap suatu jaringan sosial yang
diciptakan anggota itu sendiri yang memiliki pengetahuan, keterampilan
dan pengalaman dari perilaku tertentu dalam suatu populasi sejenis yang
bertujuan untuk membantu mengatasi berbagai masalah yang muncul.
Dukungan sebaya terbukti menjadi sumber penting dalam meningkatkan
kualitas hidup pada ODHA Aktivitas yang dilakukan oleh dukungan
sebaya antara lain memberikan konseling terhadap keluhan klien,
memberikan pengetahuan tentang HIV/AIDS, mempermudah akses
pelayanan kesehatan dan memberikan motivasi pada ODHA untuk patuh
terhadap terapi (Surakarta, E. S. W. S. A, 2015).
BAB 3

TINJAUN KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN

A. KASUS
Seorang pria ODHA berumur 30 tahun melakukan medical check up
sekalian mengambil obat ARV di Puskesmas terdekat. Pasien tersebut
menceritakan kondisinya sekarang. Pasien mengeluh dengan sikap sosial
tetangganya yang sangat menjaga jarak dengannya. Pasien menyadari dengan
kejadian tersebut, akibat perilaku menyimpang yaitu LGBT menyukai lawan
sesama jenis bahkan sampai melakukan hubungan intim, ditambah make up
dan baju yang dipakai sehari-hari pasien layaknya seorang perempuan pada
masa lalunya saat kuliah dahulu menjadikan presepsi tetangga sekitar
menganggap dirinya sebagai orang yang aneh dan dijauhi. Isu tentang dirinya
terjangkit penyakit HIV/AIDS sudah tersebar luas di masyarakat sekitar,
banyak yang mencibir tentang perilakunya masa lalu. Dengan kondisi badan
yang sekarang, tubuh kurus kering, warna kulit mulai gelap, bibir yang pecah-
pecah, dan kulit ada bercak-bercak putih akibat jamur membuat pasien tambah
merasa malu dan tidak pd dalam berinteraksi dengan tetangga, sekedar
menyapa hai atau menyakan kabar saja tidak pernah. Melakukan aktivitas
sekedar beli barang atau makanan pun susah banyak yang menolaknya. Pasien
benar-benar dijauhi oleh masyarakat sekitar, pasien sangat merasa depresi
ditambah dengan pasien sudah tidak bekerja lagi akibat fisik yang tidak
memadahi dan tidak ada penghasilan sendiri merasa jadi beban orang tuanya
terus menerus.
B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Identitas diri : Tn. X


Nama Umur : 30 tahun
No. MR : 123xxx
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Pendidikan : Sarjana
Suku bangsa : Jawa
Diagnosa Medis : HIV/AIDS
Tanggal pengkajian : 19 Agustus 2021

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Riwayat Kesehatan Sekarang Saat dilakukan pengkajian pada pukul
08.00WIB, klien mengatakan klien mempunya riwayat hubungan sex
bebas semenjak 3 tahun yang lalu, klien mengatakan badan letih, klien
mengatakan nafsu makannya kurang, makan klien saat dirumah hanya 2
sendok makan, muntah ( - ) , mual (+ ) klien mengatakan tenggorokannya
sakit saat menelan klien mengatakan tidur sering terbangun pada malam
hari. Klien kadang merasakan pusing, klien mengatakan badan nya terasa
lemas, pasien merasakan nyeri pada persendian saat istirahat dan aktivitas.
Klien mengeluh kondisi kulitnya semakin hari semakin parah.Klien
tampak kurus, klien tampak pucat, mulut klien tampak ada sariawan dan
kering.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
Dahulu klien mengatakan tidak pernah menderita penyakit seperti ini
sebelumnya, keluarga mengatakan pasien tidak pernah dirawat di rumah
sakit sebelumnya.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :


Klien mengatakan keluarganya tidak ada mengalami riwayat penyakkit
yang sama dengan yang diderita klien dan tidak memiliki penyakit
keturunan seperti DM, Hipertensi, Jantung. Penyakit menular seperti,
TBC, HIV, Hepatitis, dll.

RIWAYAT ALERGI :
Klien mengatakan tidak ada mengalami alergi makanan, udara atau obat-
obatan.

2. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Composmentis (CM)


GCS : 456
BB sehat : 65 kg
BB sakit : 40 kg
Tekanan Darah : 110/90 mmhg
Nadi : 89x/menit
Temperatur : 36,6
Pernafasan : 20x/.menit
1. Kepala
- Rambut
I: rambut klien tampak kotor, berminyak, tidak ada ketombe,
rambuttidak beruban, rambut tampak kering, mulai rontok, bau tidak
sedap, dan rambut klien tampak tidak rapi
P : tekstur rambut kering

- Mata
I : Mata terlihat simetris kiri dan kanan, penglihatan mulai
menurun,konjungtiva anemis, palpebra tidak oedema, skeleraikterik,
mata tampak cekung, pupil isokor, reflek cahaya (+/+)

- Telinga
I: Telinga tampak simetris kiri dan kanan, P: tidak ada nyeri tekan,
pendengaran mulaiterganggu pada telinga kanan, tidak ada
pembesaran disekitar telinga, tidak ada oedema, tidak ada perdarahan
disekitar telinga

- Hidung
I : Lubang hidung simetris kiri dan kanan, tidak ada lecetan di
daerahhidung, lubang hidung tampak bersih tidak ada secret,
penciuman masih bagus dan normal

2. Leher
I : Simetris kiri dan kanan, warna kulit sawo matang
P : Tidak ada pembembesaran kelenjer tiroid
3. Thorax Paru-paru
I: Terlihat simetris kiri dan kanan (ekspansi dinding dada), frekuensi
pernafasan 22x/menit
P: Traktil premitus melemah di bagian paru ka/ki
P: bunyi sonor
A: Bunyi nafas whezing

Jantung
I: Tidak terlihat pembengkakan, iktus kordis tidak terlihat
P: Tidak ada nyeri tekan,iktus teraba, nadi 104x/i
P: Terdengar bunyi redup
A: Iramanya teratur (BJ 1 Lup, BJ 2 Dup ) heart Rate : 89x/menit

4. Abdomen
I: Tidak ada pembesaran
A: Bising usus 18x/menit
P: nyeri tekan pada epigastrium (-)
P: bunyi normal (tympani )

5. Punggung
I : Sedikit ada lesi bekas gatal , lecet akibat sering digaruk karena
jamur kulit
P:Tidak ada pembengkakan

6. Ekstermitas Atas : Simetris kiri dan kanan, tidak ada mengalami


kelemahan, tidak ada otot pada lengan kanan klien
Ekstremitas Bawah :simetris kiri dan kanan tidak mengalami
kelemahan pada otot pada kaki kanan kiri klien
Kekuatan otot :
55
55

Keterangan :
5 : dapat melakukan ROM secara penuh dan dapat melawan gravitasi
dan tahanan 4 : dapat melakukan ROM yang penuh dan dapat
melawan tahanan yang sedang
3 : dapat melakukanROM secara penuh dengan melawan gravitasi
tetapi tidak bisa melawan tahanan
2 : tidak mampu melawan gaya gravitsi
1 : kontraksi otot hanya dapat dipalpasi
0 : tidak ada kontraksi otot

7. Integument : Warna kulit sawo, turgor kulit kering, dan berbusik


putih-putih.

3. DATA PSYKOLOGIS

1. Prilaku Verbal
Cara menjawab : Klien dapat menjawab setiap pertanyaan yang di beri
kan walaupun jawaban nya kurang jelas
Cara memberi informasi : Klien menjawab setiap pertanyaan dengan
kooperatif
2. Keadaan Emosi
Keadaan emosi klien terlihat tidak stabil ,dan emosi pada saat
berbicara dengan waktu yang mulai lama
3. Persepsi penyakit
Klien beranggapan penyakit ini adalah datangnya dari ALLAH dan
sebagai cobaan untuk lebih dekat lagi dengan Nya
4. Mekanisme pertahanan diri
Pasien berusaha sedapat mungkin untuk tidak menjadikan penyakit
nya sebagai beban fikiran, dan menghambat proses penyembuhan
ANALISA DATA

N DATA ETIOLOGI MASALAH


O

1. DS: pasien mengeluh Adanya perubahan fisik Isolasi sosial


dengan sikap sosial pasien
tetanggannya yang
menjahui dia sehingga
pasien lebih nyaman
untuk sendirian
Pasien mengeluh
berbeda dengan orang
lain karena tampilan
fisiknya
DO:
- pasien terihat menarik
diri
- pasien tampak sedih
dan murung dan
mmenujukkan afek
sedih
-pasien tampak tidak
bergairah dan lesu

2. DS: pasien mengatakan Adanya gangguan peran Gangguan identitas diri


dengan kondisinya sosial
sekarang dia menjadi
beban orang tuanya

DO:
- Penampilan
peran tidak
efektiff
- Strategi koping
tidak efektif
-
DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan fisik ditandai dengan menarik


diri
2. Gangguan identitas diri berhubungan dengan gangguan peran sosial ditandai
dengan penampilan peran tidak efektif

INTERVENSI

A. Isolasi sosial:
1. Bina hubungan saling percaya
2. Bantu klien mengenal penyebab isolasi sosial
3. Bantu klien mengenali keuntungan dari membina hubungan dengan orang
lain
4. Bantu klien mengenal kerugian dari tidak membina hubungan
5. Bantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap

B. Gangguan identitas diri:


1. Bina hubungan saling percaya
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki.
3. Bantu klien menggunakan kemampuan positif yang dimiliki klien.
4. Berikan penghargaan / pujian terhadap klien atas kemajuan klien.
5. Bantu klien untuk menemukan penerimaan diri

IMPLEMENTASI

A. Isolasi sosial:
1. Membina hubungan saling percaya
2. Membantu klien mengenal penyebab isolasi social
3. Membantu klien mengenali keuntungan dari membina hubungan dengan
orang lain
4. Membantu klien mengenal kerugian dari tidak membina hubungan
5. Membantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap

B. Gangguan identitas diri:


1. Membina hubungan saling percaya
2. Membantu klien untuk mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki.
3. Membantu klien menggunakan kemampuan positif yang dimiliki
klien.
4. Memberikan penghargaan / pujian terhadap klien atas kemajuan klien.
5. Membantu klien untuk menemukan penerimaan diri

EVALUASI

1. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan fisik ditandai dengan menarik


diri :

S:
- Klien mengatakan mampu memahami penyebab isolasi social
- Klien mengatakan mampu memahami kekuntungan dan kerugian membina
hubungan dengan orang lain
- Klien mengatakan kabarnya baik.

O:
- K/U: Baik
- Klien tampak lebih semangat
- Klien sudah bisa tersenyum saat bertemu dengan orang lain
- Klien tampak lebih kooperatif

A:
Isolasi social teratasi

P:

Intervensi dihentikan

2. Gangguan identitas diri berhubungan dengan gangguan peran sosial ditandai


dengan penampilan peran tidak efektif

S:

- Klien mengatakan ingin segera sembuh dari penyakit yang di derita


O:
- K/U: Baik
- Klien tampak lebih semangat
- Klien sudah bisa tersenyum saat bertemu dengan orang lain
- Klien tampak lebih kooperatif

A:

Ganguuan identitas diri teratasi

P:

Intervensi dihentikan.
BAB 4

KESIMPULAN DAN PENUTUP

KESIMPULAN

AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita

selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. HIV (Human Immunodeficiency Virus)

merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah

putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh

manusia. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai

gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika individu

sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan

mudah masuk ke dalam tubuh karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi sangat

lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya. Orang

yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan

sistem kekebalan tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit

dapat masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan itulah penderita disebut sudah terkena

AIDS.

Pada pasien AIDS dengan kondisi terminal dibutuhkan perawatan paliatif dari

berbagai aspek, salah satunya aspek sosial. Palliatif care berarti mengoptimalkan

perawatan pasien dan keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup dengan


mengantisipasi, mencegah, dan mengobati penderitaan. Palliative care meliputi

seluruh rangkaian penyakit melibatkan penanganan fisik, kebutuhan intelektual,

emosional, sosial dan spiritual untuk memfasilitasi otonomi pasien, dan pilihan dalam

kehidupan.

SARAN

Melihat masih tingginya kasus AIDS di Indonesia serta penanganan asuhan

paliatif yang jarang ditemui diharapkan perawatan paliatif ini dapat dilakukan pada

setiap pederita penyakit terminal sehingga akan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Asuhan paliatif dapat dilakukan dari beberapa aspek seperti aspek fisik, spiritual dan

sosial. Aspek inlah yang akan membantu pasien dalam menghadapi setiap penyakit

yang diderita dan mempersiapkan diri menghadapi kematian. Sehingga perlu adanya

pemahaman bagi masyarakat untuk memanfaatkan perawatan paliatif dalam

meningkatkan kualitas hidup pada pasien terminal. Bagi tenaga kesehatan diharapkan

untuk bisa lebih berinovatif dalam pengembangan asuhan keperawatan paliatif

terutama di aspek sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Depkes. (2016). Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan


PMS Di Fasilitas Tingkat Pertama. Diakses pada tanggal 22
Maret 2019 dari
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasy
ankes_Primer_ok.pdf).

Diatmi, K., & Fridari, I. G. A. D. (2014). Hubungan Antara Dukungan


Sosial dengan Kualitas Hidup pada Orang Dengan HIV dan
AIDS (ODHA) Di Yayasan Spirit Paramacitta. Jurnal
Psikologi Udayana, 1(2), 353–362.
https://doi.org/10.24843/jpu.2014.v01.i02.p14

Ekonomi, F., Udayana, U., Analisis, A., Sosial, D., Hiv, P., & Denpasar,
K. (2016). Analisis Dampak Sosial, Ekonomi, Dan Psikologis
Penderita Hiv Aids Di Kota Denpasar. Buletin Studi Ekonomi,
19(2), 193–199.

Gusti, R. P., & Farlina, M. (2016). Studi fenomologi pengalaman orang


HIV/AIDS (ODHA) dalam mendekatkan dukungan keluarga di
yayasan lantera minangkabau support padang. Jurnal
Ners,11(1).

Jurnal National Heriana et al. Kesmas: National Journal Public Health.


2018; 12 (4)

Kemenkes RI. (2015). Laporan perkembangan HIV-AIDS triwulan IV


Tahun 2015 [Online]. Diakses dari http://www.depkes. go.id/.

Kemenkes RI. 2017. Laporan situasi perkembangan HIV-AIDS &


PIMS di Indonesia Januari- Desember 2017. Diakses pada
tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_HIV_AI
DS_TW_4_Tahun_2017__1_.pdf).

Lindayani, L., & Maryam, N. N. A. 2017. Tinjauan sistematis:


Efektifitas Palliative Home Care untuk Pasien dengan
HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1).

Literate, S., & Indonesia, J. I. (2020). View metadata, citation and


similar papers at core.ac.uk. 8, 274–282.

Nihayati, A. (2012). Dukungan Sosial Pada Penyandang HIV/AIDS


Dewasa (Doctoral dissertation,Universitas Muhammadiyah
Surakarta)

Nursalam, M., Dian, N., & Ns, S. K. (2011). Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Terinfeksi HIV/ AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Nursalam, Ninuk D.K, Abu Bakar, Purwaningsih, Candra P.A. 2014.


Hubungan antara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar
Hemoglobin pada Pasien yang Terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Jurnal Ners Vol. 9 No. 2:
209–216.

Payuk, I., Arsin, A.A., Abdullah, A.Z. 2012. Hubungan


dukungan sosial dengan kualitas hidup orang dengan HIV/
AIDS di Puskesmas Jumpang Baru Makassar

UMMU MUNTAMAH, S.Kp.,Ns., M. K. (2019). Pedoman Perawatan


Paliatif pada orang dengan Hiv/Aids (ODHA) (Vol. 53, Issue
9).http://repository.itspku.ac.id/226/1/PERAWATAN
PALIATIF HIV AIDS Cetak.pdf

Anda mungkin juga menyukai