Disusun Oleh:
Basilio Robertus P17212215041
Dwi Putri Y. P17212215053
Imelda S. P17212215092
Indra Marga Kusuma P17212215008
Lailaturrosidah P17212215073
Moh. Adib P17212215081
Sarmillawati P17212215117
Sekar Prana I. P17212215026
Shelvia Rosalinda P17212215038
Silva Niar Katamsi P17212215118
Yenny Yulistiani P17212215119
Yunda Arizatul P17212215063
Dosen Pengampu:
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN MALANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT memberikan Rahmat dan
Hidayah-Nya. Kita masih diberi kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen kami yaitu Lingling
Marinda Palupi S.Kp, Ns., M.Kep.yang telah memberikan kesempatan kepada kami
untuk menyelesaikan makalah ini.
Tujuan penulisan makalah ini agar dapat menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan yang dapat membantu dalam penyelesaian kurikulum. Kami menyadari
dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami mengucap kan terimakasih kepada setiap pihak yang
membantu kami dalam menyelesakan makalah ini, kami mohon maaf atas segala
kekurangan dan semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua.
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Memberikan pengetahuan dan memperkaya pengalaman bagi penulis dalam
memberikan dan menyusun asuhan keperawatan paliatif pada klien dengan
AIDS dengan aspek sosial.
TINJAUAN PUSTAKA
A. HIV/AIDS
HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia.
Menurut data dari World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan
bahwa 940.000 orang meninggal karena HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang
yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang menjadi
terinfeksi baru pada tahun 2017 secara global. Lebih dari 30% dari semua
infeksi HIV baru secara global diperkirakan terjadi di kalangan remaja usia 15
hingga 25 tahun. Diikuti dengan anak-anak yang terinfeksi saat lahir tumbuh
menjadi remaja yang harus berurusan dengan status HIV positif mereka.
Menggabungkan keduanya, ada 5 juta remaja yang hidup dengan HIV (WHO,
2017).
AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh
kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. HIV (Human
Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immuno
Deficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat
turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika individu sudah tidak
lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan
mudah masuk ke dalam tubuh. Karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi
sangat lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat
berbahaya. Orang yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS.
Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan tubuhnya makin lama semakin
lemah, sehingga semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan
itulah penderita disebut sudah terkena AIDS.
B. Anatomi fisiologi HIV
Imunologi Sistem
1. Sistem imun Sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam
mengenali dan menghancurkan bahan yang bukan “normal self”
(bahan asing atau abnormal cells)
2. Imunitas atu respon imun
3. Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin
yang berbahaya
Ada 2 macam RI, yaitu :
RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.
RI non Spesifik : efektif untuk semua mikroorganisme Sel-sel yang
berperan dalam respon Imun
a. Sel B Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk
merespons antigen tertentu. Sel B merupakan nama bursa
fabrisius, yaitu jaringan limfoid 8 yang ditemukan pada ayam.
Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum tulang,
jaringan limfe usus, dan limpa. Sel B matur bermigrasi ke organ-
organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe, bercak Peyer pada
saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa molekul
immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya.
Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit
T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu :
1. Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi
antibodi untuk menghancurkan antigen tertentu.
2. Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan
limfoid dan siap merespons antigen perangsang yang muncul
dalam pajanan selanjutnya dengan respons imun sekunder yang
lebih cepat dan lebih besar.
b. Sel T Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan
berploriferasi jika ada antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi
antibodi. Sel T mengenali dan berinteraksi dengan antigen melalui
reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel yang terikat membran
dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat aktif secara
imulogis yang disebut limfokin. Sub type limfosit T berfungsi untuk
membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-sel asing
tertentu, dan mengatur respons imun.
Respons sel T adalah :Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang
prekusor dalam sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan
janin atau segera 9 setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju
kelenjar timus, tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi dan
mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri. Setelah mengalami
diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid
seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan
sel yang mengandung organisme intraselular.
c. Sel T efektor :
Sel T sitotoksik (sel T pembunuh) Mengenali dan
menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen asing pada
permukaannya
Sel T pembantu Tidak berperan langsung dalam pembunuhan
sel. Setelah aktivasi oleh makrofag antigen, sel T pembantu
diperlukan untuk sistesis antibodi normal, untuk pngenalan
benda asing sel T pembantu melepas interleukin-2 yang
menginduksi proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel T lain
untuk merespons antigen dan sel T pembantu dpt memproduksi
zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi
(hipersensitivitas). d. Sel T supresor Setelah diaktifasi sel T
pembantu akan menekan respon sel B dan sel T.
e. Makrofag Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui
denaturasi atau mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan
fragmen yang 10 mengandung determinan antigenic. Makrofag
akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya
sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu
C. Penyebab HIV/AIDS
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara
darah, semen, dan sekret vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka
target utama HIV adalah limfosit CD 4 karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan mengubah informasi
genetiknya ke dalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari
sel yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid) menjadi
DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase.
DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus. Setiap kali sel yang
dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan.
D. Patofisiologi HIV/AIDS
Menurut Widyanto & Triwibowo, (2013) HIV dapat membelah diri
dengan cepat dan kadar virus dalam darah berkembang cepat, dalam satu hari
HIV dapat membelah diri menghasilkan virus baru jumlahnya sekitar 10
miliar. Proses terjadinya defisit nutrisi pada HIV/AIDS, pasien akan
mengalami 4 fase yaitu :
a. Periode jendela Pada periode ini pemeriksaan tes antibodi HIV
masih negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien. Hal itu
karena antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui
pemeriksaan laboratium. Biasanya Antibodi terhadap HIV muncul
dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Pada
periode ini pasien mampu dan berisiko menularkan HIV kepada orang
lain.
b. Fase infeksi akut Proses ini di mulai setelah HIV menginfeksi sel
target kemudian terjadi proses replika yang menghasilkan virus baru
yang jumlahnya berjuta-juta virion. Virimea dari banyak virion ini
memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala mirip flu.
Sekitar 50-70% orang hiv yang terinfeksi mengalami sindrom infeksi
akut selama 3-6 minggu seperti influenza yaitu demam, sakit otot, 9
berkeringat, ruam, sakit tenggorokan, sakit kepala, keletihan,
pembengkakan kelenjar limfe, mual, muntah, anoreksia, diare, dan
penurunan BB. Antigen HIV terdeteksi kira-kira 2 minggu setelah
infeksi dan terus ada selama 3-5 bulan. Pada fase akut terjadi
penurunan limfosit T yang dramatis kemudian terjadi kenaikan limfosit
T karena respon imun. Pada fase ini jumlah limfosit T masih di atas
500 sel/mm3 kemudian akan menurun setelah 6 minggu terinfeksi
HIV.
c. Fase infeksi laten Pada fase infeksi laten terjadi pembentukan respon
imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritic
folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfe. Hal tersebut
menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai
memasuki fase laten. Pada fase ini jarang di temukan virion sehingga
jumlahnya menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di
kelenjar limfe dan terjadi replika. Jumlah limfosit T-CD4 menurun
sekitar 500- 200 sel/mm3.
Meskipun telah terjadi serokonversi positif individu pada
umumnya belum menunjukan gejala klinis (asimtomatis). Fase ini
terjadi sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke
delapan setelah terinfeksi HIV gejala klinis akan muncul seperti
demam , kehilangan BB < 10%, diare, lesi pada mukosa dan infeksi
kulit berulang.
d. Fase infeksi kronis Selama fase ini, replika virus terus terjadi di
dalam kelenjar limfe yang di ikuti kematian SDF karena banyaknya
virus. Fungsi kelenjar limfe yaitu sebagai perangkap virus akan
menurun atau bahkan hilang dan virus diluncurkan dalam darah. Pada
fase ini terjadi peningkatan jumlah virion berlebihan, limfosit 10
semakin tertekan karena infeksi HIV semakin banyak. Pada saat
tersebut terjadi penurunan, jumlah limfosit T-CD4 di bawah 200
sel/mm3. Kondisi ini menyebabkan sistem imun pasien menurun dan
semakin rentan terhadap berbagai infeksi sekunder. Perjalanan
penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.
E. Manifestasi Klinis
Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor
dan satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang
diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari 1 bulan
Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten).
b. Gejala minor :
Batuk lebih dari 1 bulan
Dermatitis pruritik umum
Herpes zoster rekurens
Candidiasis oro-faring
Limfadenopati umum
Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
2. AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala
mayor dan dua gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi
yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala mayor :
b. Gejala minor :
Limfadenopati umum
Candidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
Batuk persisten
Dermatitis umum
Infeksi HIV maternal Kriteria tersebut di atas khusus disusun untuk
negara-negara Afrika yang mempunyai prevalensi AIDS tinggi dan
mungkn tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia. Untuk
keperluan surveilans AIDS di Indonesia sebagai pedoman
digunakan defmisi WHO/CDC yang telah direvisi dalam tahun
1987. Sesuai dengan hasil Inter-country Consultation Meeting
WHO di New Delhi, 30-31 Desember 1985, dianggap perlu bahwa
kasus-kasus pertama yang akan dilaporkan sebagai AIDS kepada
WHO mendapat konfrrmasi dengan tes ELISA dan Western Blot.
F. Tahapan perubahan HIV/AIDS
1) Fase 1 Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah
terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia
melakukan tes darah. Pada fase ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk.
Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3
hari dan sembuh sendiri).
2) Fase 2 Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua
ini individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah
dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala
ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).
3) Fase 3 Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum disebut sebagai
gejala AIDS.
Gejala-gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu
malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang
tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah,
serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh
mulai berkurang.
4) Fase 4 Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel-T nya. Timbul
penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi
paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas,
kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus
yang menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang
menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala.
WHO menetapkan empat stadium klinis HIV, sebagaimana berikut:
1) Stadium 1 : tanpa gejala.
2) Stadium 2 : penyakit ringan.
3) Stadium 3 : penyakit lanjut.
4) Stadium 4 : penyakit berat.
G. Penularan HIV/AIDS
1) Media penularan HIV/AIDS HIV dapat ditularkan melalui pertukaran
berbagai cairan tubuh dari individu yang terinfeksi, seperti darah, air susu ibu,
air mani dan cairan vagina. Individu tidak dapat terinfeksi melalui kontak
sehari-hari biasa seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi
benda pribadi, makanan atau air.
2) Cara penularan HIV/AIDS
a) Hubungan seksual : hubungan seksual yang tidak aman dengan orang
yang telah terpapar HIV.
b) Transfusi darah : melalui transfusi darah yang tercemar HIV.
c) Penggunaan jarum suntik : penggunaan jarum suntik, tindik, tato, dan
pisau cukur yang dapat menimbulkan luka yang tidak disterilkan secara
bersama-sama dipergunakan dan sebelumnya telah dipakai orang yang
terinfeksi HIV. Cara-cara ini dapat menularkan HIV karena terjadi kontak
darah.
d) Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya
( 1 ) Antenatal : saat bayi masih berada di dalam rahim, melalui plasenta.
( 2 ) Intranatal : saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan
vagina.
( 3 ) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu ibu.
Kenyataannya 25-35% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
sudah terinfeksi di negara berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan
anak yang tertular HIV tertular dari ibunya.
3) Perilaku berisiko yang menularkan HIV/AIDS
a) Melakukan seks anal atau vaginal tanpa kondom.
b) Memiliki infeksi menular seksual lainnya seperti sifilis, herpes,
klamidia, kencing nanah, dan vaginosis bakterial.
c) Berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, alat suntik dan peralatan
suntik lainnya dan solusi obat ketika menyuntikkan narkoba.
d) Menerima suntikan yang tidak aman, transfusi darah, transplantasi
jaringan, prosedur medis yang melibatkan pemotongan atau tindakan
yang tidak steril.
e) Mengalami luka tusuk jarum yang tidak disengaja, termasuk diantara
pekerja kesehatan.
f) Memiliki banyak pasangan seksual atau mempunyai pasangan yang
memiliki banyak pasangan lain.
H. Gejala HIV/AIDS
Gejala-gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap infeksi. Meskipun
orang yang hidup dengan HIV cenderung paling menular dalam beberapa
bulan pertama, banyak yang tidak menyadari status mereka sampai tahap
selanjutnya. Beberapa minggu pertama setelah infeksi awal, individu mungkin
tidak mengalami gejala atau penyakit seperti influenza termasuk demam, sakit
kepala, ruam, atau sakit tenggorokan. Ketika infeksi semakin memperlemah
sistem kekebalan, seorang individu dapat mengembangkan tanda dan gejala
lain, seperti kelenjar getah bening yang membengkak, penurunan berat badan,
demam, diare dan batuk. Tanpa pengobatan, mereka juga bisa
mengembangkan penyakit berat seperti tuberkulosis, meningitis kriptokokus,
infeksi bakteri berat dan kanker seperti limfoma dan sarkoma kaposi.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes Laboratorium Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang
sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium
digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
A. Serologis
1) Tes antibody serum Skrining Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan ELISA. Hasiltes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
2) Tes blot western Mengkonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper Indikator system imun (jumlah
5) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel
helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
7) Kadar Ig Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau
mendekati normal
8) Reaksi rantai polimerase Mendeteksi DNA virus dalam jumlah
sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
9) Tes PHS Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV
mungkin positif
B. Neurologis EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
C. Tes Lainnya
a) Sinar X dada Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari
PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan
bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial 19 Dilakukan dengan
biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
2. Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus
HIV.Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual
telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di
pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang
mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS,
menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan
lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian,
darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan
dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya. Tes HIV
umum, termasuk imunoasaienzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan
untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah
kering, atau urin pasien.
Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi
pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat
bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk
mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial
untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang
dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan
antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak
disetujui secara khusus 20 untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan
secara rutin di negaranegara maju.
3. USG Abdomen
4. Rongen Thorak
J. KONSEP PALIATIF
A. Palliative care
1. Pengertian Palliative care
Menurut WHO palliative care merupakan pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi
masalah yang berkaitan dengan masalah yang mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan menghentikan penderitaan dengan identifikasi dan
penilaian dini, penangnanan nyeri dan masalah lainnya, seperti fisik,
psikologis, sosial dan spiritual (WHO, 2017).
Palliatif care berarti mengoptimalkan perawatan pasien dan
keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mengantisipasi,
mencegah, dan mengobati penderitaan. Palliative care meliputi seluruh
rangkaian penyakit melibatkan penanganan fisik, kebutuhan intelektual,
emosional, sosial dan spiritual untuk memfasilitasi otonomi pasien, dan
pilihan dalam kehidupan (Ferrell, 2015).
Berdasarkan penjelasan diatas 20 Palliative care merupakan sebuah
pendekatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup orang-orang dengan
penyakit yang mengancam jiwa dan keluarga mereka dalam menghadapi
masalah tersebut, baik dari aspek fisik, psikologis, sosial maupun spiritual.
2. Prinsip Palliative care
Palliative care secara umum merupakan sebuah hal penting dan bagian
yang tidak terpisahkan dari praktek klinis dengan mengikuti prinsip:
a. Fokus perawatan terhadap kualitas hidup, termasuk kontrol gejala
yang tepat
b. Pendekatan personal, termasuk pengalaman masa lalu dan kondisi
sekarang
c. Peduli terhadap sesorang dengan penyakit lanjut termasuk keluarga
atau orang terdekatnya d. Peduli terhadap autonomy pasien dan pilihan
untuk mendapat rencana perawatan lanjut, eksplorasi harapan dan
keinginan pasien
e. Menerapkan komunikasi terbuka terhadap pasien atau keluarga
kepada profesional kesehatan (Cohen and Deliens, 2012)
3. Peran dan Fungsi Perawat
Dalam menjalankan peran dan fungsi perawat dalam palliative care,
perawat harus menghargai hak-hak pasien dalam menentukan pilihan,
memberikan kenyamanan pasien dan pasien merasa bermartabat yang
sudah tercermin didalam rencana asuhan keperawatan. Perawat memiliki
tanggung jawab mendasar untuk mengontrol gejala dengan mengurangi
penderitaan dan support yang efektif sesuai kebutuhan pasien. Peran
perawat sebagai pemberi layanan palliative care harus didasarkan pada
kompetensi perawat yang sesuai kode etik keperawatan (Combs, et
al.,2014).
Hal-hal yang berkaitan dengan pasien harus dikomunikasikan oleh
perawat kepada pasien dan keluarga yang merupakan standar asuhan
keperawatan yang profesional.
Menurut American Nurse Associatiuon Scope And Standart
Practice dalam (Margaret, 2013) perawat yang terintegrasi harus mampu
berkomuniasi dengan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya
mengenai perawatan pasien dan ikut berperan serta dalam penyediaan
perawatan tersebut dengan berkolaborasi dalam membuat rencana yang
berfokus pada hasil dan keputusan yang berhubungan dengan perawatan
dan pelayanan, mengindikasikan komunikasi dengan pasien, keluarga dan
yang lainnya.
4. Pedoman Perawat Palliative
Berdasarkan National Consensus Project For Quality Palliative Care
(NCP, 2013) pedoman praktek klinis untuk perawat palliative dalam
meningkatkan kualitas pelayanan palliative terdiri dari 8 domain
diantaranya :
A. KASUS
Seorang pria ODHA berumur 30 tahun melakukan medical check up
sekalian mengambil obat ARV di Puskesmas terdekat. Pasien tersebut
menceritakan kondisinya sekarang. Pasien mengeluh dengan sikap sosial
tetangganya yang sangat menjaga jarak dengannya. Pasien menyadari dengan
kejadian tersebut, akibat perilaku menyimpang yaitu LGBT menyukai lawan
sesama jenis bahkan sampai melakukan hubungan intim, ditambah make up
dan baju yang dipakai sehari-hari pasien layaknya seorang perempuan pada
masa lalunya saat kuliah dahulu menjadikan presepsi tetangga sekitar
menganggap dirinya sebagai orang yang aneh dan dijauhi. Isu tentang dirinya
terjangkit penyakit HIV/AIDS sudah tersebar luas di masyarakat sekitar,
banyak yang mencibir tentang perilakunya masa lalu. Dengan kondisi badan
yang sekarang, tubuh kurus kering, warna kulit mulai gelap, bibir yang pecah-
pecah, dan kulit ada bercak-bercak putih akibat jamur membuat pasien tambah
merasa malu dan tidak pd dalam berinteraksi dengan tetangga, sekedar
menyapa hai atau menyakan kabar saja tidak pernah. Melakukan aktivitas
sekedar beli barang atau makanan pun susah banyak yang menolaknya. Pasien
benar-benar dijauhi oleh masyarakat sekitar, pasien sangat merasa depresi
ditambah dengan pasien sudah tidak bekerja lagi akibat fisik yang tidak
memadahi dan tidak ada penghasilan sendiri merasa jadi beban orang tuanya
terus menerus.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
RIWAYAT ALERGI :
Klien mengatakan tidak ada mengalami alergi makanan, udara atau obat-
obatan.
2. PEMERIKSAAN FISIK
- Mata
I : Mata terlihat simetris kiri dan kanan, penglihatan mulai
menurun,konjungtiva anemis, palpebra tidak oedema, skeleraikterik,
mata tampak cekung, pupil isokor, reflek cahaya (+/+)
- Telinga
I: Telinga tampak simetris kiri dan kanan, P: tidak ada nyeri tekan,
pendengaran mulaiterganggu pada telinga kanan, tidak ada
pembesaran disekitar telinga, tidak ada oedema, tidak ada perdarahan
disekitar telinga
- Hidung
I : Lubang hidung simetris kiri dan kanan, tidak ada lecetan di
daerahhidung, lubang hidung tampak bersih tidak ada secret,
penciuman masih bagus dan normal
2. Leher
I : Simetris kiri dan kanan, warna kulit sawo matang
P : Tidak ada pembembesaran kelenjer tiroid
3. Thorax Paru-paru
I: Terlihat simetris kiri dan kanan (ekspansi dinding dada), frekuensi
pernafasan 22x/menit
P: Traktil premitus melemah di bagian paru ka/ki
P: bunyi sonor
A: Bunyi nafas whezing
Jantung
I: Tidak terlihat pembengkakan, iktus kordis tidak terlihat
P: Tidak ada nyeri tekan,iktus teraba, nadi 104x/i
P: Terdengar bunyi redup
A: Iramanya teratur (BJ 1 Lup, BJ 2 Dup ) heart Rate : 89x/menit
4. Abdomen
I: Tidak ada pembesaran
A: Bising usus 18x/menit
P: nyeri tekan pada epigastrium (-)
P: bunyi normal (tympani )
5. Punggung
I : Sedikit ada lesi bekas gatal , lecet akibat sering digaruk karena
jamur kulit
P:Tidak ada pembengkakan
Keterangan :
5 : dapat melakukan ROM secara penuh dan dapat melawan gravitasi
dan tahanan 4 : dapat melakukan ROM yang penuh dan dapat
melawan tahanan yang sedang
3 : dapat melakukanROM secara penuh dengan melawan gravitasi
tetapi tidak bisa melawan tahanan
2 : tidak mampu melawan gaya gravitsi
1 : kontraksi otot hanya dapat dipalpasi
0 : tidak ada kontraksi otot
3. DATA PSYKOLOGIS
1. Prilaku Verbal
Cara menjawab : Klien dapat menjawab setiap pertanyaan yang di beri
kan walaupun jawaban nya kurang jelas
Cara memberi informasi : Klien menjawab setiap pertanyaan dengan
kooperatif
2. Keadaan Emosi
Keadaan emosi klien terlihat tidak stabil ,dan emosi pada saat
berbicara dengan waktu yang mulai lama
3. Persepsi penyakit
Klien beranggapan penyakit ini adalah datangnya dari ALLAH dan
sebagai cobaan untuk lebih dekat lagi dengan Nya
4. Mekanisme pertahanan diri
Pasien berusaha sedapat mungkin untuk tidak menjadikan penyakit
nya sebagai beban fikiran, dan menghambat proses penyembuhan
ANALISA DATA
DO:
- Penampilan
peran tidak
efektiff
- Strategi koping
tidak efektif
-
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI
A. Isolasi sosial:
1. Bina hubungan saling percaya
2. Bantu klien mengenal penyebab isolasi sosial
3. Bantu klien mengenali keuntungan dari membina hubungan dengan orang
lain
4. Bantu klien mengenal kerugian dari tidak membina hubungan
5. Bantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
IMPLEMENTASI
A. Isolasi sosial:
1. Membina hubungan saling percaya
2. Membantu klien mengenal penyebab isolasi social
3. Membantu klien mengenali keuntungan dari membina hubungan dengan
orang lain
4. Membantu klien mengenal kerugian dari tidak membina hubungan
5. Membantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
EVALUASI
S:
- Klien mengatakan mampu memahami penyebab isolasi social
- Klien mengatakan mampu memahami kekuntungan dan kerugian membina
hubungan dengan orang lain
- Klien mengatakan kabarnya baik.
O:
- K/U: Baik
- Klien tampak lebih semangat
- Klien sudah bisa tersenyum saat bertemu dengan orang lain
- Klien tampak lebih kooperatif
A:
Isolasi social teratasi
P:
Intervensi dihentikan
S:
A:
P:
Intervensi dihentikan.
BAB 4
KESIMPULAN
AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita
selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah
putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh
gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika individu
sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan
mudah masuk ke dalam tubuh karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi sangat
lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya. Orang
yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan
sistem kekebalan tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit
dapat masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan itulah penderita disebut sudah terkena
AIDS.
Pada pasien AIDS dengan kondisi terminal dibutuhkan perawatan paliatif dari
berbagai aspek, salah satunya aspek sosial. Palliatif care berarti mengoptimalkan
emosional, sosial dan spiritual untuk memfasilitasi otonomi pasien, dan pilihan dalam
kehidupan.
SARAN
paliatif yang jarang ditemui diharapkan perawatan paliatif ini dapat dilakukan pada
setiap pederita penyakit terminal sehingga akan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Asuhan paliatif dapat dilakukan dari beberapa aspek seperti aspek fisik, spiritual dan
sosial. Aspek inlah yang akan membantu pasien dalam menghadapi setiap penyakit
yang diderita dan mempersiapkan diri menghadapi kematian. Sehingga perlu adanya
meningkatkan kualitas hidup pada pasien terminal. Bagi tenaga kesehatan diharapkan
Ekonomi, F., Udayana, U., Analisis, A., Sosial, D., Hiv, P., & Denpasar,
K. (2016). Analisis Dampak Sosial, Ekonomi, Dan Psikologis
Penderita Hiv Aids Di Kota Denpasar. Buletin Studi Ekonomi,
19(2), 193–199.
Nursalam, M., Dian, N., & Ns, S. K. (2011). Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Terinfeksi HIV/ AIDS. Jakarta : Salemba Medika.