Anda di halaman 1dari 65

INTERVENSI UNTUK MENGURANGI KECEMASAN AKIBAT

HOSPITALISASI PADA ANAK

Disusun untuk memenuhi Tugas Matrikulasi Keperawatan Anak


Yang dibimbing oleh Ibu Ns. Evy Marlinda, M.Kep., Sp.Kep.An

Oleh:
Maulidia Selfianie P17212215105
M.Andriannoor P17212215106
M.Irfan Sidik P17212215107
Della Darmawanti P17212215013
Dimby Allinda C P17212215011
Deby Eka C P17212215030
Wahyu Artyningsih P17212215033
Mariatul Qiftiyah P17212215025
Goodhari C P17212215049
Iga Arif F P17212215059
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunianya, kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Intervensi untuk
mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi pada anak”.

Adapun penyusunan makalah ini di maksudkan untuk memenuhi tugas dari


matrikulasi Keperawatan Anak. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini banyak kekurangannya. Karena itu saran dan kritik yang membangun
senantiasa kami harapkan.

Dalam kesempatan ini juga kami ucapkan terima kasih kepada ibu/bapak dosen
mata kuliah Keperawatan Anak dan teman-teman yang telah memberikan
bimbingan dan semangat, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................

Malang, 05 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.......................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Anak...............................................................................4
2.1.1 Pengertian Anak...................................................................4
2.1.2 Kebutuhan Dasar Anak.........................................................6
2.1.3 Tingkat Perkembangan Anak................................................6
2.1.4 Tugas Perkembangan Anak..................................................8
2.1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak....13
2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak..............13
2.2 Konsep Kecemasan Pada Anak.................................................14
2.2.1 Pengertian Kecemasan.........................................................14
2.2.2 Tingkat Kecemasan..............................................................16
2.2.3 Rentang Kecemasan.............................................................18
2.2.4 Gejala Kecemasan................................................................18
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan...................19
2.2.6 Kecemasan Pada Anak.........................................................20
2.2.7 Penatalaksanaan Kecemasan Pada Anak.............................22
2.2.8 Alat Ukur Kecemasan Pada Anak........................................23

ii
2.3 Konsep Hospitalisasi..................................................................24
2.3.1 Pengertian hospitalisasi........................................................24
2.3.2 Respon Anak Tentang Hospitalisasi....................................24
2.3.3 Faktor Stressor Hospitalisasi................................................25
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anak dalam Bereaksi Terhadap
Hospitalisasi..................................................................................26
. 2.3.5 Pencegahan Hospitalisasi Anak...........................................28
2.4 Intervensi Mengurangi Kecemasan Akibat Hospitalisasi..........30
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Strategi Pencarian Literatur.......................................................32
3.1.1 Database Pencarian.............................................................32
3.1.2 Kata Kunci...........................................................................32
3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi.....................................................33
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Analisa Jurnal.............................................................................35
4.2 Pembahasan................................................................................49
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan................................................................................52
5.2 Saran..........................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................54

iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Kata Kunci...................................................................................32
Tabel 3.2 Kriteria Inklusi dan Ekslusi.........................................................34
Tabel 4.1 Hasil Analisis Jurnal....................................................................35

iv
DAFTAR GAMBAR

2.1 Rentang Respon Kecemasan..................................................................18

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Populasi anak yang dirawat dirumah sakit, mengalami peningkatan yang
sangat drastis. Persentase anak yang dirawat dirumah sakit saat ini mengalami
masalah yang lebih serius dan kompleks dibandingkan kejadian hospitalisasi pada
tahun-tahun sebelumnya. Masalah pada anak yang mengalami hospitalisasi adalah
kecemasan (Hermalinda et al., 2018). Menurut American Heart Association
(AHA) pada tahun 2003, menyatakan anak-anak sangat rentan terhadap stress
yang berhubungan dengan prosedur tindakan invasif. Pemasangan infus tentu saja
akan menimbulkan nyeri, rasa sakit pada anak, dan juga akan menimbulkan
trauma sehingga anak akan mengalami kecemasan dan stress (De Breving et al.,
2015).

Menurut data Disease Control National Hospital Discharge Survey (NHDS)


pada tahun 2004 di Amerika Serikat lebih dari 5 juta anak diperkirakan menjalani
hospitalisasi karena prosedur pembedahan dan lebih dari 50% dari jumlah
tresebut, anak akan mengalami kecemasan dan stress (Kaluas et al., 2015).
Dijelaskan Miller, (2002) menyebutkan bahwa prevalensi kecemasan pada anak
yang dirawat di rumah sakit berkisar 10% mengalami kecemasan ringan dan itu
berlanjut, dan sekitar 2% mengalami kecemasan berat. Gangguan kecemasan
karena perpisahan terjadi 2%-4% pada anak, keadaan tersebut adalah gangguan
kecemasan yang paling sering ditemukan pada anak (Hermalinda et al., 2018).
Anak-anak yang menjalani operasi akan mengalami kecemasan dan kesusahan
yang parah sebelum operasi dengan jumlah 50%-70% (Retnani et al., 2019).

Tindakan operasi memerlukan sebuah tindakan keperawatan pre operasi yang


merupakan tahapan awal dari keperawatan operatif yang dimulai sejak pasien
diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke
meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan. Salah satu persiapan pre
operasi ialah persiapan mental/psikis. Persiapan mental merupakan hal yang tidak
kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak

1
siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya dan kelancaran proses
operasi. Perawat perlu mengkaji mekanisme koping pasien dalam menghadapi
stres, dimana tindakan operasi merupakan salah satu keadaan pemicu kecemasan
dan stress pada pasien terutama pada pasien anak (Retnani et al., 2019).

Kecemasan merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah


laku. Baik tingkah laku normal maupun tingkah laku yang menyimpang, atau
yang terganggu, kedua-duanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan
dari pertahanan terhadap kecemasan itu. Bagi anak, sakit dan dirawat di rumah
sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Anak akan mengalami
stress akibat perubahan terhadap kesehatannya maupun status lingkungannya
dalam kebiasaan sehari-hari dan anak juga mempunyai sejumlah keterbatasan
dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian
yang bersifat menekan (Kaluas et al., 2015).

Kondisi kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi merupakan


masalah yang serius dan harus mendapat perhatian khusus. Berbagai dampak
hospitalisasi dan kecemasan yang dialami oleh anak akan beresiko mengganggu
tumbuh kembang anak dan berdampak pada proses penyembuhan (Hermalinda et
al., 2018). Kecemasan pada anak yang menjalani hospitalisasi disebabkan karena
perpisahan, kehilangan, ketakutan tentang tubuh yang disakiti dan nyeri. Dampak
dari kecemasan akibat hospitalisasi pada anak prasekolah dapat mengganggu
tumbuh kembang anak, proses penyembuhan, dan trauma pada anak setelah keluar
dari rumah sakit (Al-ihsan et al., 2018).

Kecemasan yang terjadi pada anak akan menghambat prosedur yang akan
dilakukan selama di rumah sakit, sehingga perlu adanya atraumatik care untuk
mencegah atau meminimalisir nyeri dan cidera pada tubuh akibat prosedur yang
dilakukan sehinga tidak terjadi distres psikologi pada anak (Legi et al., 2019).
Banyak sekali cara untuk menurunkan kecemasan pada anak akibat hospitalisasi
dengan menonton video kartun dan animasi, melakukan storytelling dan guided
imagery, terapi bermain puzzle, terapi badut, terapi musik, terapi boneka tangan,
metode Family Centered Care (FCC), terapi bermain.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan kecemasan akibat hospitalisasi pada anak ?
2. Apa saja intervensi yang dapat menurunkan kecemasan akibat hospitalisasi
pada anak ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui kecemasan akibat hospitalisasi pada anak
2. Untuk mengetahui intervensi yang dapat menurunkan kecemasan akibat
hospitalisasi pada anak

1.4 Manfaat Penelitian


Diharapkan mahasiswa/i dapat mengerti dan memahami tentan kecemasan
akibat hospitalisasi pada anak dan intervensi yang dapat menurunkan kecemasan
akibat hospitalisasi pada anak sehingga dapat melakukan penatalaksanaaa pada
anak yang mengalami kecemasan akibat hospitalisasi.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Anak
2.1.1........................................................................................Pengertian Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18
tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang
berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan
terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam
kandungan hingga berusia 18 tahun (Damayanti,2008).
Anak sekolah dasar yaitu anak yang berusia 6-12 tahun,
memiliki fisik lebih kuat yang mempunyai sifat individual serta
aktif dan tidak bergantung dengan orang tua. Anak usia sekolah ini
merupakan masa dimana terjadi perubahan yang bervariasi pada
pertumbuhan dan perkembangan anak yang akan mempengaruhi
pemebentukan karakteristik dan kepribadian anak. Periode usia
sekolah ini menjadi pengalaman inti anak yang dianggap mula
bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan
dengan teman sebaya, orang tua dan lannya. Selain itu usia sekolah
merupakan masa dimana anak memperoleh dasar-dasar
pengetahuan dalam menentukan keberhasilan untuk menyesuaikan
diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu
(Diyantini, et al. 2015).
Dalam keperawatan anak yang menjadi individu (klien) adalah
anak yang diartikan sebagai seseorang yang usianya kurang dari 18
(delapan belas) tahun dalam masa tumbuh kembang, dengan
kebutuhan khusus yaitu kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan
spiritual. Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang
perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja.
Dalam proses berkembang anak memiliki ciri fisik, kognitif,

4
konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri fisik pada semua
anak tidak mungkin pertumbuhan fisiknya sama, demikian pula
pada perkembangan kognitif adakalanya cepat atau lambat.
Perkembangan konsep diri sudah ada sejak bayi akan tetapi belum
terbentuk sempurna dan akan mengalami perkembangan seiring
bertambahnya usia anak. Pola koping juga sudah terbentuk sejak
bayi di mana bayi akan menangis saat lapar. Perilaku sosial anak
juga mengalami perkembangan yang terbentuk mulai bayi seperti
anak mau diajak orang lain. Sedangkan respons emosi terhadap
penyakit bervariasi tergantung pada usia dan pencapaian tugas
perkembangan anak, seperti pada bayi saat perpisahan dengan
orang tua maka responsnya akan menangis, berteriak, menarik diri
dan menyerah pada situasi yaitu diam.
Dalam memberikan pelayanan keperawatan anak selalu
diutamakan, mengingat kemampuan dalam mengatasi masalah
masih dalam proses kematangan yang berbeda dibanding orang
dewasa karena struktur fisik anak dan dewasa berbeda mulai dari
besarnya ukuran hingga aspek kematangan fisik. Proses fisiologis
anak dengan dewasa mempunyai perbedaan dalam hal fungsi tubuh
dimana orang dewasa cenderung sudah mencapai kematangan.
Kemampuan berpikir anak dengan dewasa berbeda dimana fungsi
otak dewasa sudah matang sedangkan anak masih dalam proses
perkembangan. Demikian pula dalam hal tanggapan terhadap
pengalaman masa lalu berbeda, pada anak cenderung kepada
dampak psikologis yang apabila kurang mendukung maka akan
berdampak pada tumbuh kembang anak sedangkan pada dewasa
cenderung sudah mempunyai mekanisme koping yang baik dan
matang.

5
2.1.2...................................................................................Kebutuhan dasar anak
Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum
digolongkan menjadi kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang
meliputi, pangan atau gizi, perawatan kesehatan dasar, tempat
tinggal yang layak, sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau
rekreasi. Kebutuhan emosi atau kasih saying (Asih), pada tahun-
tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras
antara ibu atau pengganti ibu dengan anak merupakansyarat yang
mutlakuntuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik,
mental maupun psikososial. Kebutuhan akan stimulasi mental
(Asah), stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses
belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini
mengembangkan perkembangan mental psikososial diantaranya
kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreaktivitas, agama,
kepribadian dan sebagainya.
2.1.3..............................................................................Tingkat perkembangan anak
Menurut Damaiyanti (2008), karakteristik anak sesuai tingkat
perkembangan:
1. Usia bayi (0-1 tahun)
Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan
perasaan dan pikirannya dengan kata-kata. Oleh karena itu,
komunikasi dengan bayi lebih banyak menggunakan jenis
komunikasi nonverbal. Pada saat lapar, haus, basah dan
perasaan tidak nyaman lainnya, bayi hanya bisa
mengekspresikan perasaannya dengan menangis. Walaupun
demikian, sebenarnya bayi dapat berespon terhadap tingkah
laku orang dewasa yang berkomunikasi dengannya secara
nonverbal, misalnya memberikan sentuhan, dekapan, dan
menggendong dan berbicara lemah lembut.
Ada beberapa respon nonverbal yang biasa ditunjukkan
bayi misalnya menggerakkan badan, tangan dan kaki. Hal ini
terutama terjadi pada bayi kurang dari enam bulan sebagai

6
cara menarik perhatian orang. Oleh karena itu, perhatian saat
berkomunikasi dengannya. Jangan langsung menggendong
atau memangkunya karena bayi akan merasa takut. Lakukan
komunikasi terlebih dahulu dengan ibunya. Tunjukkan bahwa
kita ingin membina hubungan yang baik dengan ibunya.
2. Usia pra sekolah (2-5 tahun)
Karakteristik anak pada masa ini terutama pada anak
dibawah 3 tahun adalah sangat egosentris. Selain itu anak
juga mempunyai perasaan takut oada ketidaktahuan sehingga
anak perlu diberi tahu tentang apa yang akan akan terjadi
padanya. Misalnya, pada saat akan diukur suhu, anak akan
merasa melihat alat yang akan ditempelkan ke tubuhnya.
Oleh karena itu jelaskan bagaimana akan merasakannya. Beri
kesempatan padanya untuk memegang thermometer sampai
ia yakin bahwa alat tersebut tidak berbahaya untuknya.
Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara fasih. Hal
ini disebabkan karena anak belum mampu berkata-kata 900-
1200 kata. Oleh karena itu saat menjelaskan, gunakan kata-
kata yang sederhana, singkat dan gunakan istilah yang
dikenalnya. Berkomunikasi dengan anak melalui objek
transisional seperti boneka. Berbicara dengan orangtua bila
anak malu-malu. Beri kesempatan pada yang lebih besar
untuk berbicara tanpa keberadaan orangtua. Satu hal yang
akan mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan
dalam berkomunikasi adalah dengan memberikan pujian atas
apa yang telah dicapainya.
3. Usia sekolah (6-12 tahun)
Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus
yang dirasakan yang mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh
karena itu, apabila berkomunikasi dan berinteraksi sosial
dengan anak diusia ini harus menggunakan bahasa yang
mudah dimengerti anak dan berikan contoh yang jelas sesuai

7
dengan kemampuan kognitifnya. Anak usia sekolah sudah
lebih mampu berkomunikasi dengan orang dewasa.
Perbendaharaan katanya sudah banyak, sekitar 3000 kata
dikuasi dan anak sudah mampu berpikir secara konkret.
4. Usia remaja (13-18)
Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari
akhir masa anak-anak menuju masa dewasa. Dengan
demikian, pola piker dan tingkah laku anak merupakan
peralihan dari anak-anak menuju orang dewasa. Anak harus
diberi kesempatan untuk belajar memecahkan masalah secara
positif. Apabila anak merasa cemas atau stress, jelaskan
bahwa ia dapat mengajak bicara teman sebaya atau orang
dewasa yang ia percaya. Menghargai keberadaan identitas
diri dan harga diri merupakan hal yang prinsip dalam
berkomunikasi. Luangkan waktu bersama dan tunjukkan
ekspresi wajah bahagia.
2.1.4...............................................................................Tugas Perkembangan Anak
Perkembangan jika dalam bahasa inggris disebut development.
Menurut Santrock development is the pattern of change that begins
at conception and continues through the life span, yang artinya
perkembangan adalah perubahan pola yang dimulai sejak masa
konsepsi dan berlanjut sepanjang kehidupan. Perkembangan
berorientasi pada proses mental sedangkan pertumbuhan lebih
berorientasi pada peningkatan ukuran dan struktur. Jika
perkembangan berkatan dengan hal yang bersifat fungsional,
sedangkan pertumbuhan bersifat biologis. Misalnya, jika dalam
perkembangan mengalami perubahan pasang surut mulai lahir
sampai mati. Tetapi jika pertumbuhan contohya 14 seperti,
pertumbuhan tinggi badan dimula sejak lahir dan berhenti pada usia
18 tahun (Desmita, 2015).
Tugas perkembangan menurut teori Havighurst (1961) adalah
tugas yang harus dilakukan dan dikuasai individu pada tiap tahap

8
perkembangannya. Tugas perkembangan bayi 0-2 adalah berjalan,
berbicara,makan makanan padat, kestabilan jasmani. Tugas
perkembangan anak usia 3-5 tahun adalah mendapat kesempatan
bermain, berkesperimen dan berekplorasi, meniru, mengenal jenis
kelamin, membentuk pengertian sederhana mengenai kenyataan
social dan alam, belajar mengadakan hubungan emosional, belajar
membedakan salah dan benar serta mengembangkan kata hati juga
proses sosialisasi.
Tugas perkembangan usia 6-12 tahun adalah belajar menguasai
keterampilan fisik dan motorik, membentuk sikap yang sehat
mengenai diri sendiri, belajar bergaul dengan teman sebaya,
memainkan peranan sesuai dengan jenis kelamin, mengembangkan
konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari,
mengembangkan keterampilan yang fundamental, mengembangkan
pembentukan kata hati, moral dan sekala nilai, mengembangkan
sikap yang sehat terhadap kelompok sosial dan lembaga. Tugas
perkembangan anak usia 13-18 tahun adalah menerima keadaan
fisiknya dan menerima peranannya sebagai perempuan dan laki-
laki, menyadari hubungan-hubungan baru dengan teman sebaya
dan kedua jenis kelamin, menemukan diri sendiri berkat refleksi
dan kritik terhadap diri sendiri, serta mengembangkan nilai-nilai
hidup.
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan
manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu
semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana indvidu
mempelajari dan memimkirkan lingkungannya. Perkembangan
kognitif juga digunakan dalam psikolog untuk menjelaskan semua
aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran,
ingatan, dan penglohan informasi yang memungkinkan seseorang
memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan
merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang
berkaitan dengan individu. Selain berkaitan dengan individu juga

9
mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan,
memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya (Desmita,
2015).
Mengacu pada tahap perkembangan kognitif dari Piaget, maka
anak pada masa kanak-kanak akhir berada pada tahap operasional
konkret yang berlangsung kira-kira usia 7-11 tahun (tahap
operasional konkret. Pada tahapan ini, pemikiran logis
menggantikan pemikiran intuitif. Anak sudah mampu berpikir
rasional dan melakukan aktivitas logis tertentu, walaupun masih
terbatas pada objek konkret dan dalam situasi konkret. Anak telah
mampu mampu memperlihatkan keterampilan konversi, klasifikasi,
penjumlahan, pengurangan, dan beberapa kemampuan lain yang
sangat dibutuhkan anak dalam mempelajari pengetahuan dasar
sekolah. Cara berpikirnya sudah kurang egosentris yang ditandai
dengan desentrasi yang besar, yaitu sudah mampu memperhatikan
lebih dari satu dimensi dan juga menghubungkan satu dengan yang
lainnya (Soetjiningsih, 2012).
Pada tahap operasional konkret, anak-ank dapat memahami:
1. Konservasi, yaitu kemampuan anak untuk memahami bahwa
suatu zat/objek/benda tetap memiliki substansi yang sama
walaupun mengalami perubahan dalam penampilan. Ada
beberapa macam konservasi seperti konservasi jumlah,
panjang, berat, dan volume.
2. Klasifikasi, yaitu kemampuan anak untuk mengelompokkan
/mengklasifikasikan benda dan memahmi hubungan
antarbenda tersebut.
3. Seriaton, yaitu kemampuan anak mengurutkan sesuai dimensi
kuantitatifnya. Misalnya sesuai panjang,besar dan beratnya.
4. Transitivity, yaitu kemampuan anak memikirkan relasi
gabungan secara logis. Jika ada relasi antara objek pertama dan
kedua, da nada relasi antara objek kedua dan ketiga, maka ada
relasi antara objek pertama dan ketiga.

10
Menurut Kohlberg, perkembangan moral terjadi melalui tiga
tingkatan dan terdiri dari enam stadium, dan masing-masing
stasium akan dilalui oleh setiap anak walaupun tidak pada usia
yang sama namum perkembangan selalui melalui urutan ini
(Soetjiningsih, 2012), yaitu:
1. Tingkatan I: Penalaran moral yang pra conventional
Merupakan tingkatan terendah dari penalaran moral. Pada
tingkatan ini baik dan burk diinterpretasikan melalui reward
(imbalan) dan punishment (hukuman). Stadium 1: moralitas
heteronom, penalaran moral terkait dengan hukuman
(punishment), anak bepikir bahwa mereka harus patuh karena
takut hukuman (tingkah laku dinilai benar bila tidak dihukum,
dan sebaliknya). Stadium 2: individualisme, tujuan
instrumental, dan pertukaran, Pada tahap ini penalaran individu
yang memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang
benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu,
menurut anak apa yang benar adalah sesuatu yang melibatkan
pertukaran yang setara. Mereka berpikir jika mereka akan baik
terhadap dirinya.
2. Tingkatan II: Penalaran moral yang conventional
Individu memberlakukan standart tertentu, tetapi standar
ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua sekolah.
Stadium 3: Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan
orang lain, dan konformitas interpersonal, pada tahap ini, anak
menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap
orang lain sebagai dasar dari penilain moral. Anak mengadopsi
standar moral orang tua agar dianggap oleh orang tua sebagai
anak yang bak. Dengan kata lain, mereka merupakan tahap
orientasi anak atau person yang baik. Stadium 4: Moralitas
sistem sosial, Penilaian moral didasari oleh pemahaman
tentang keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan, dan
kewajiban. Sebagai contoh, anak berpikir supaya komunitas

11
dapat bekerja dengan efektif perlu dilindungi oleh hukum yang
diberlakukan terhadap anggotanya. Dengan kata lain,
merupakan tahap orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial
(aturan sosial yang ada harus dijaga).
3. Tingkatan III : Penalaran moral yang post-conventional
Individu menyadari adanya jalur moral alternative,
mengeksplorasi pilihan ini, laly memutuskan berdasarkan kode
moral personal. Stadium 5: kontrak atau utilitas sosial dan hak
individu, pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak, dan
prinsip lebih utama atau lebih luas darpada hukum. Individu
mengevaluasi validitas hukum yang ada, dan melindungi hak
asasi dan nilai dasar manusia. Dengan kata lain, merupakan
orientasi control legalitas (untuk kehidupan bersama yang
teratur). Stadium 6: Prinsip etis universal, individu
mengembangjan standar moral berdasarkan hak asasi manusia
universal. Ketika dihadapkan dengan pertentangan antara
hukum dan hat nurani, individu menalar bahwa harus diikuti
adalah hati nurani, meskipun keputusan ini dapat memberikan
resiko. Dengan kata lain merupakan orientasi atas dasar prinsip
dan konsiensia sendiri (ukuran penilaian adalah konsiensia
sendiri) (Soetjiningsih, 2012). Pada masa kanak-kanak akhir
usia 6-12 tahun, penalaran moral anak ada pada angkatan II,
yaitu pada moral yang conventional (tahapan selengkapnya
dapat dilihat pada uraian sebelumnya tentang masa anak awal).
Pada tingkat conventional ini individu memberlakukan satndar
tertentu, tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya
orang tua atau pemerintah (Soetjiningsih, 2012).

12
2.1.5........................................................Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan An
Proses perkembangan pada anak dapat terjadi secara cepat
maupun lambat tergantung dari individu atau lingkungannya.
Proses tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
perkembangan anak, yaitu:
1. Faktor herediter
Faktor herediter dapat diartikan sebagai pewarisan atau
pemindahan karakteritik biologis individu dari pihak kedua
orang tua ke anak atau karakteristik biologis individu yang
dibawa sejak lahir yang tidak diturnkan dari pihak kedua orang
tua. Kita juga dapat menyebutkan bahwa sifat-sifat atau ciri-
ciri padi aseorang anak adalah keturunan (Lestaari, 2011).
2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor yang memegang
perananan penting dalam mempengaruhi perkembangan anak.
Faktor lingkungan secara garis besar dibagi menjadi faktor
prenatal dan postnatal. Lingkungan postnatal secara umum
dapat di golongkan menjadi lingkungan biologis (ras/suku
bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan,
kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi
metabolisme, hormon), lingkungan fisik (cuaca, musim,
keadaam geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah,
radiasi), lingkungan psikososial (stimulasi, motivasi belajar,
ganjaran atau hukuman, kelompok sebaya, stress, sekolah), dan
lingkungan keluarga (Candrasari, et al. 2017).
2.1.6..............................................................Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anak
Selain adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan pada anak, terdapat juga faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku anak diantaranya, yakni:
1. Sekolah
Sekolah merupakan salah satu lembaga yang berperan
dalam pengaruh pembentukan perilaku siswa. Baik buruknya

13
suasana sekolah sangat tergantung pada kepemimpinan kepala
sekolah, komitmen guru, sarana pendidkan, dan kedisiplinan
dalam sekolah. Selan dari terciptanya kedisiplinan ,yakni juga
dari kebiasaan belajar, dan pengendalian diri dari siswa (Tim
Penulis Poltekkes Depkes Jakarta, 2010).
2. Keluarga
Keluarga adalah sebagai lingkungan pertama dan yang
utama bagi perkembangan anak. Anak usia 4-5 tahun dianggap
sebagai titik awal proses identifikasi diri menurut jenis
kelamin, sehingga peran ibu dan ayah atau orang tua pengganti
(seperti nenek, kakek, dan orang dewasa, dan lainnya) sangat
besar. Apabila proses identifikasi ini tidak berjalan dengan
lancer, maka dapat timbul proses identifikasi yang salah (Tim
Penulis Poltekkes Depkes Jakarta, 2010).
3. Media massa
Abad ini adalah abad informasi, yang ditandai oleh
kemajuan yang pesat di bidang tekonologi informasi. Selain
membawa kegembiraan yang menyenangkan serta wawasan
luas. Kemajuan media elektronik yang sedang melanda saat ini
membuat anak atau remaja dipenuhi dengan tayangan dan
berita yang kurang mendidik. Dikhawatirkan akan muncul nilai
kehidupan yang tidak sesuai dengan kehidupan yang ada.
Selan itu juga nila yang diserap akan mempengaruhi perilaku
dan gaya hidupnya sehari-hari (Tim Penulis Poltekkes Depkes
Jakarta, 2010).

2.2 Konsep kecemasan pada anak


2.2.1...................................................................................Pengertian kecemasan
Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak
didukung oleh situasi. Individu yang mengalami mengalami
gangguan kecemasan dapat memperlihatkan perilaku yang tidak
lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang tidak beralasan

14
terhadap objek atau kondisi apapun, melakukan tindakan berulang-
ulang tanpa dapat dikendalikan, mengalami kembali peristiwa yang
traumatik, atau rasa khawatir yang tidak dapat dijelaskan atau
berlebihan (Videbeck, 2008). Kecemasan adalah sebuah emosi dan
pengalaman subjektif dari seseorang. Pengertian lain cemas adalah
suatu keadaan yang membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi
dalam beberapa tingkatan. Jadi cemas, berkaitan dengan perasaan
yang tidak pasti dan tidak berdaya (Kusumawati & Hartono,
2011).Kecemasan merupakan perasaan tidak tenang yang
samarsamar karena adanya ketidaknyamanan atau rasa takut yang
disertai suatu respons (penyebab tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu) (Sutejo, 2017).
Menurut Sutejo (2017) Ansietas adalah suatu perasaan tidak
santai yang samar-samar karena adanya ketidaknyamanan atau rasa
takut yang disertai suatu respons. Sumber perasaan tidak santai
tersebut tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu. Ansietas
dapat pula diterjemahkan sebagai suatu perasaan takut akan
terjadinya sesuatu yang disebabkan oleh antisipasi bahaya dan
merupakan sinyal yang membantu individu untuk bersikap
mengambil tindakan untuk menghadapi ancaman. Adanya tuntutan,
persaingan, serta bencana yang terjadi dalam kehidupan dapat
membawa dampak terhadap kesehatan fisik dan psikologi. Salah
satu dampak psikologis yaitu ansietas atau kecemasan. Ansietas
adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan
dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini
tidak memiliki objek spesifik. Ansietas dialami secara subjektif dan
dikomunikasikan secara interpersonal. Ansietas berbeda dengan
rasa takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya.
Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut
(Stuart, 2007).

15
Menurut Asmadi (2008) ada beberapa teori yang menjelaskan
asal dari kecemasan, teori tersebut antara lain:
1. Teori psikoanalisis
Dalam sudut pandang psikoanalisis, ansietas merupakan
konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian
yaitu ide dan superego. Ide merupakan dorongan insting dan
implus primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan
hati nurani dan dikendalikan dengan norma-norma budaya.
2. Teori interpersonal
Dalam pandangan interpesonal, ansietas timbul dari
perasaan takut terhadap penolakan saat berhubungan dengan
orang lain. Ansietas ini disebabkan trauma pada masa
pertumbuhan, seperti kehilangan, dan perpisahan dengan orang
yang dicintai.
3. Teori perilaku
Menurut pandangan prilaku, ansietas berasal dari
ketidakmampuan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan
sehingga menimbulkan frustasi atau keputusasaan.
Keputusasaan inilah yang menyebabkan orang menjadi
ansietas.
2.2.2.....................................................................................Tingkat kecemasan
Tingkat kecemasan ada 4 menurut Donsu (2017):
1. Kecemasan ringan (Mild Anxiety)
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-
hari. Penyebabnya, seseorang menjadi lebih waspada, sehingga
persepsinya meluas dan memiliki indra yang tajam.
Kecemasan ringan masih mampu memotivasi individu untuk
belajar dan memecahkan masalah sevara efektif dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
2. Kecemasan sedang (Moderate Anxiety)
Memusatkan perhatian pada hal-hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Perhatian seseorang menjadi

16
selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah
lewat arahan dari orang lain.
3. Kecemasan berat (Savere Anxiety)
Kecemasan berat ditandai lewat sempitnya persepsi
seseorang. Selain itu, memiliki perhatian yang terpusat padahal
yang spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal-hal lain,
dimana semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan.
4. Panik
Setiap orang memiliki kepanikan yang berbeda. Hanya
saja, kesadaran dan kepanikan itu memiliki kadarnya masing-
masing. Kepanikan muncul disebabkan karena kehilangan
kendali diri dan detail perhatian kurang. Ketidakmampuan
melakukan apapun meskipun dengan perintah menambah
tingkat kepanikan seseorang.
Pada ansietas ringan dan sedang, individu dapat
memproses informasi, belajar, dan menyelesaikan masalah.
Pada kenyataannya, tingkat ansietas ini memotivasi
pembelajaran dan perubahan perilaku. Ketika individu
mengalami ansietas berat dan panik, ketrampilan bertahan
yang lebih sederhana mengambil alih, proses defensif terjadi,
dan ketrampilan kognitif menurun secara signifikan. Individu
yang mengalami ansietas berat akan sulit berfikir dan
melakukan pertimbangan, otot-ototnya menjadi tegang, tanda-
tanda vital meningkat, dan memperlihatkan kegelisahan,
kemarahan dan iritabilitas (Videbeck, 2008).

17
2.2.3.....................................................................................Rentang kecemasan

Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan.


2.2.4......................................................................................Gejala kecemasan
Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki
gejala-gejala yang khas dan terbagi dalam beberapa fase, yaitu
(Wilkie, 1985 dalam Elfira, 2011):
1. Fase 1
Keadaan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan,
maka tubuh mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau
flight (lari secepat cepatnya). Pada fase ini tubuh merasakan
tidak enak sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon
adrenalin dan nor-adrenalin. Oleh karena itu, maka gejala
adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan
kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung.
Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan
menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan
spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari
kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan
gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan.
2. Fase 2
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti
gelisah, Ketegangan otot gangguan tidur dan keluhan perut,
penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak
ada motifasi diri. Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah
menangis tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi
tertawa. Mudah menangis yang berkaitan dengan stres mudah
diketahui.

18
3. Fase 3
Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi
sedangkan stresor tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh
kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda dengan gejala-gejala
yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di identifikasi
kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga
umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya
tidak mudah terlihat kaitannya dengan stres. Pada fase tiga ini
dapat terlihat gejala seperti : intoleransi dengan rangsang
sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu
yang sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi
terhadap sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan
kepribadian.
2.2.5................................................................Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan
Stuart (2006) menyatakan ada beberapa teori yang telah
dikembangkan untuk menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan:
1. Faktor predisposisi Kecemasan
Dalam pandangan psikoanalitis, kecemasan adalah konflik
emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan
superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitive,
sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan
dikendalikan oleh norma budaya. Ego atau Aku, berfungsi
menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan itu,
dan fungsi cemas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari
perasaan takut terhadap ketidak setujuan dan penolakan
interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan
perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan,
yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan
haraga diri rendah rentan mengalami kecemasan yang berat.

19
Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan
produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Ahli teori perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu
dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam
diri untuk menghindari kepedihan. Ahli teori konflik
memandang kecemasan sebagai pertentangan antara dua
kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini adanya
hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan. Konflik
menimbulkan kecemasan, dan kecemasan menimbulkan
perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan
konflik yang dirasakan. Kajian keluarga menunjukkan bahwa
gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam keluarga.
Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan
kecemasan dengan depresi.
Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung
reseptor khusus untuk benzodiasepin, obat-obatan yang
meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat
(GABA), yang berperan penting dalam mekanisme biologis
yang berhubungan dengan kecemasan. Kecemasan mungkin
disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan
kemampuan individu untuk mengatasi stressor.
2.2.6...................................................................................Kecemasan pada Anak
Kecemasan pada anak akan menimbulkan perasaan takut yang
biasanya disebabkan oleh tidak mempunyai pengalaman dirawat
atau ketidaktahuan tentang prosedur tindakan, dan bila anak tidak
mempunyai koping yang efektif, hal tersebut akan menimbulkan
stress (Susilaningrum, 2013). Karena lingkungan rumah sakit
dirasa asing dan karena pembedahan yang akan dialami,
kebanyakan anak merasakan tingkat kecemasan tertentu selama
periode praoperasi (morgan, 2008). Kecemasan yang terjadi pada

20
anak tidak dapat dibiarkan, karena hal ini dapat berdampak buruk
pada proses pemulihan kesehatan anak. Dalam mengatasi
kecemasan pada anak yang dapat dilakukan ialah melalui terapi
bermain sesuai dengan tumbuh kembang anak (Hidayat, 2008
dalam Ferdianto, 2014). Anak usia prasekolah biasanya mengalami
separation anxiety atau kecemasan perpisahan karena anak harus
berpisah dengan lingkungan yang dirasakannya aman, nyaman,
penuh kasih sayang, dan menyenangkan seperti lingkungan rumah,
permainan, dan teman sepermainannya (Alini, 2017).
Anak yang dirawat di rumah sakit akan berpengaruh pada
kondisi fisik dan psikologinya, hal ini disebut dengan hospitalisasi.
Pembedahan yang ditunggu pelaksanaannya oleh klien akan
menyebabkan rasa takut dan ansietas (Potter & Perry, 2005). Anak
prasekolah yang dirawat di RS menunjukkan reaksi berupa perilaku
seperti protes, putus asa, dan regresi (Wong, 2003). Sikap regresi
bisa dalam bentuk menangis, bersandar pada ibu, serta menolak
makan maupun pengobatan. Kecemasan terbesar pada anak usia
prasekolah selama menjalani hospitalisasi adalah kecemasan
terjadinya perlukaan pada bagian tubuhnya. Semua prosedur atau
tindakan keperawatan baik yang menimbulkan nyeri maupun tidak
dapat menyebabkan kecemasan anak prasekolah. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan pemahaman anak mengenai tubuh.
Reaksi anak usia prasekolah yang menunjukkan kecemasan seperti
anak menolak makan, menangis diam-diam karena kepergian orang
tua mereka, sering bertanya tentang keadaan dirinya, mengalami
sulit tidur, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan saat
dilakukan tindakan keperawatan (Alfiyanti, 2007).
Menurut Nursalam et al (2008) Respon perilaku anak akibat
perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu:
1. Tahap protes (Phase of protest)
Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat,
menjerit, dan memanggil ibunya atau menggunakan tingkah

21
laku agresif, seperti menandang, menggigit, memukul,
mencubit, mencoba untuk membuat orang tuanya tetap tinggal,
dan menolak perhatian orang lain.
2. Tahap putus ada (Phase of despair)
Pada tahap ini anak tampak tegang, tangisannya
berkurang, tidak aktif, kurang berminat untuk bermain, tidak
nafsu makan, menarik diri, tidak mau berkomunikasi, sedih,
apatis, dan regresi. Pada tahap ini kondisi anak
mengkhawatirkan karena anak menolak untuk makan, minum,
atau bergerak.
3. Tahap menolak (phase of denial)
Pada tahap ini anak samar-samar menerima perpisahan,
mulai tertarik dengan apa yang ada disekitarnya, dan membina
hubungan dangkal dengan orang lain.
2.2.7.....................................................................Penatalaksanaan kecemasan pada Anak
Menurut Wong (2003), penatalaksanaan kecemasan pada anak
yaitu: Melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif
dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk
tinggal Bersama anak selama 24 jam. Jika tidak mungkin, beri
kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan
maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka. Modifikasi
lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa nyaman dan tidak
asing dengan lingkungan baru. Peran dari petugas kesehatan rumah
sakit dimana diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat
harus menghargai sikap anak karena selain orang tua, perawat
adalah orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan di
rumah sakit. Salah satu peran perawat yaitu melakukan intervensi
terapi bermain, menurut (Ball dan Bindler, 2010 dalam Oktiawati,
2017) bermain terapeutik merupakan bentuk bermain yang
terstruktur untuk mrnurunkan kecemasan yang cenderung
mengancam dan dapat dijadikan rekreasi untuk mengatasi
kecemasan tersebut.

22
2.2.8...........................................................................Alat ukur kecemasan pada Anak
1. Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS)
Spence Children’s Anxiety Scale merupakan alat untuk
mengukur dalam menentukan peningkatan kecemasan pada
anak dengan total 114 skor dan dibagi menjadi 3 tingkat
kecemasan yaitu kecemasan ringan dengan skor 1-38,
kecemasan sedang dengan skor 39-76 dan kecemasan berat
dengan skor 77-114.
2. Pediatric Anxiety Rating Scale (PARS)
Pediatric Anxiety Rating Scale digunakan untuk menilai
kecemasan pada anak usia 6-17 tahun. Terdiri dari gejala dan
tingkat kecemasan. Alat ukur ini diisi dengan melakukan
wawancara kepada ibu dan anak kemudian di nilai dan diambil
nilai tengah. Terdapat 7 item dengan jumlah skor 35.
3. Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (MYPAS)
Modified Yale Preoperative Anxiety Scale digunakan
untuk mengukur kecemasan anak usia 2 sampai 7 tahun yang
akan menerima tindakan medis meupun operasi. Penilaian
MYPAS memiliki 22 kriteria yang terdiri dari 5 item yaitu
aktivitas, suara, ekspresi emosi, keadaan dan interaksi anak
terhadap keluarga. Pada semua item terdapat 4 pilihan tanda
kecemasan anak kecuali item suara terdapat 6 pilihan. Skor
dihitung dengan membagi nilai yang di peroleh dengan nilai
tertinggi, masingmasing item kemudian menambahkan semua
nilai yang dihasilkan mengkalinya dengan 100 dan
membaginya dengan 5. Perhitungan ini menghasilkan skor
berkisar 23-100 dimana skor 23 adalah skor terendah yang
menunjukkan derajar kecemasan yang lebih rendah, dan skor
100 merupakan skor tertinggi yang diartikan derajat
kecemasan yang lebih besar.

23
2.3 Konsep Hospitalisasi
2.3.1..................................................................................Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi adalah kondisi dimana anak diharuskan untuk
dirawat di rumah sakit baik karena alasan darurat atau alasan
tertentu mulai dari awal perawatan, pemeberian terapi sampai
dengan pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004 dalam
Utami, 2014) hospitalisasi yang dialami anak menururt WHO
dianggap sebagai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan dan
dianggap mengancam sehingga mengakibatkan anak merasa tidak
aman.
Hospitalisasi sebagai suatu keadaan krisis pada anak yang
mana anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing
rumah sakit yang akhirnya menjadi stresor tersendiri untuk anak
dengan respon yang biasa ditunjukkan yaitu rasa marah, sedih,
takut dan bersalah (Sitepu & Simanungkalit, 2020) sehingga dalam
kondisi ini anak, orangtua anak maupun keluarga dari si anak
memerlukan suatu intervensi tertentu dengan harapan memberikan
ketenangan dan rasa nyaman kepada mereka.
2.3.2.........................................................................Respon Anak tentang Hospitalisasi
Respon anak terhadap kejadian hospitalisasi pada anak
beragam, dapat berupa dari segi presepsi anak, stress yang
dirasakan anak, kondisi fisiologis dan emosional anak hingga
kondisi kognitif pada anak (Rahayuningrum, 2015).
1. Presepsi anak: anak merasa tidak nyaman dengan terhadap
perubahan penampilan tubuhnya yang disebabkan oleh
pengobatan, perlukaan atau ketidakmampuan
2. Stres anak: anak yang mengalami stress hospitalisasi akan
menunjukkan ciri maladaptif misalnya tidak kooperatif, tidur
tidak nyenyak, tidak mau makan serta menunjukkan reaksi
regresi baik verbal maupun non verbal
3. Kondisi fisiologis: peningkatan frekwensi jantung,peningkatan
tekanan darah,peningkatan frekuensi pernapasan, dioferesis,

24
dilatasi pupil, suaratremor/ perubahan nada, gelisah, gemetar,
berdebar-debar, sering berkemih, diare, gelisah, insomnia,
keletihan dan kelemahan, pucat, pusing, mual, anoreksia.
4. Kondisi emosional: Ketakutan, ketidak berdayaan, gugup,
kurang percaya diri, kehilangan kontrol ketegangan. Individu
juga sering memperlihatkan marah berlebihan, menangis,
cenderung menyalahkan orang lain, kontak mata buruk,
kritisme pada diri sendiri, menarik diri, kurang inisiatif,
mencela diri, reaksi baku.
5. Kondisi kognitif: Tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa,
penurunan kemampuan belajar, terlalu perhatian, orientasi
pada masa lalu dari pada masa kini atau masa depan.
2.3.3...............................................................................Faktor Stresor Hospitalisasi
1. Faktor Lingkungan rumah sakit
Rumah sakit dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan
dilihat dari sudut pandang anak-anak. Suasana rumah sakit
yang tidak familiar, wajah-wajah yang asing, berbagai macam
bunyi dari mesin yang digunakan, dan bau yang khas, dapat
menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak
ataupun orang tua. (Norton-Westwood,2012).
2. Faktor Berpisah dengan orang yang sangat berarti; Berpisah
dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang familiar
digunakan sehari-hari, juga rutinitas yang biasa dilakukan dan
juga berpisah dengan anggota keluarga lainnya (Pelander &
Leino-Kilpi,2010)
3. Faktor kurangnya informasi
Kurangnya informasi yang didapat anak dan orang tuanya
ketika akan menjalani hospitalisasi. Hal ini dimungkinkan
mengingat proses hospitalisasi merupakan hal yang tidak
umum di alami oleh semua orang. Proses ketika menjalani
hospitalisasi juga merupakan hal yang rumit dengan berbagai
prosedur yang dilakukan (Gordon dkk,2010).

25
4. Faktor kehilangan kebebasan dan kemandirian; Aturan ataupun
rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang dijalani seperti tirah
baring, pemasangan infus dan lain sebagainya sangat
mengganggu kebebasan dan kemandirian anak yang sedang
dalam taraf perkembangan.
5. Faktor pengalaman
Faktor ini berkaitan dengan pelayanan kesehatan; semakin
sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit, maka
semakin kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya
(Pelander & Leino-Kilpi,2010).
6. Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit
Petugas rumah akit dalam hal ini khususnya perawat;
mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam
perkembangan kognitif, bahasa dan komunikasi. Perawat juga
merasakan hal yang sama ketika berkomunikasi, berinteraksi
dengan pasien anak yang menjadi sebuah tantangan, dan
dibutuhkan sensitifitas yang tinggi serta lebih kompleks
dibandingkan dengan pasien dewasa. Selain itu berkomunikasi
dengan anak juga sangat dipengaruhi oleh usia anak,
kemampuan kognitif, tingkah laku, kondisi fisik dan psikologis
tahapan penyakit dan respon pengobatan (Pena & Juan,2011).

2.3.4................................................Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anak dalam Bereaksi T


Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap hospitalisasi yang dijalani ditentukan
oleh faktor-faktor sebagai beriku: (Fadlian N, 2015)
1. Umur dan perkembangan kognitif
Hospitalisasi dan faktor-faktor yang terkait lebih
mempengaruhi anak-anak dibanding dengan orang dewasa.
Anak-anak memang jelas tidak memiliki kemampuan emosi
dan kognitif yang setara dengan orang dewasa.
2. Kecemasan Orangtua

26
Orang tua dan anak mengalami kecemasan saat anak
dihospitalisasi. Kecemasan yang terjadi pada orang tua ini
dapat meningkatkan kecemasan anak. Orang tua kadang tidak
menjawab pertanyaan anak dan tidak menjelaskan yang
sebenarnya karena khawatir anak menjadi takut dan cemas.
Orang tua takut membuat bingung anak dan menurunkan
tingkat kepercayaan anak.
3. Persiapan anak dan orang tua
Metode yang dapat dilakukan untuk menyiapkan anak dalam
menjalani hospitalisasi adalah mengerti kebutuhan tentang dari
anak tersebut. Petugas kesehatan harus mempertimbangkan
umur, tingkat perkembangan, keterlibatan keluarga, waktu,
status fisik dan psikologi anak, faktor sosial budaya dan
pengalaman terhadap sakit maupun pengalaman merawat anak.
4. Ketrampilan koping anak dan keluarga
Koping merupakan suatu proses dalam menghadapi kesulitan
untuk mendapatkan penyelesaian masalah. Koping anak
terhadap hospitalisasi dipengaruhi oleh usia, persepsi terhadap
kejadian yang dialami, hospitalisasi sebelumnya dan dukungan
dari berbagai pihak.
5. Dampak Hospitalisasi Anak
Anak yang tidak mampu beradaptasi dengan kondisi rumah
sakit atau selama dia dalam masa perawatan atau bisa
dikatakan sebagai hospitalisasi yang berkelanjutan akan
memberikan dampak yang kurang baik pada anak, dimana
dampak yang kemungkinan muncul adalah sebagai berikut:

a) Takut dan Cemas


Hospitalisasi pada pasien anak dapat menyebabkan
kecemasan dan stres pada semua tingkat usia. Penyebab dari
kecemasan dipengaruhi oleh faktor dari petugas (perawat,
dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru,
maupun keluarga yang menunggu selama perawatan selain

27
itu anak juga takut terhadap pengobatan, asing dengan
lingkungan baru, dan takut terhadap petugas kesehatan
(Vianti, 2020).
b) Berkembangnya Gangguan Emosional Jangka Panjang
Gangguan emosional tersebut terkait dengan lama dan
jumlah masuk rumah sakit, dan jenis prosedur yang dijalani
di rumah sakit. Hospitalisasi berulang dan lama rawat lebih
dari 4 minggu dapat berakibat gangguan dimasa yang akan
datang (Utami, 2014).
c) Gangguan Perkembangan
Penelitian yang dilakukan oleh Lilis Murtutik dan Wahyuni
(2013) pada anak preschool penderita leukemia di RSUD
Dr. Moewardi menunjukkan bahwa semakin sering anak
menjalani hospitalisasi beresiko tinggi mengalami gangguan
pada perkembangan motorik kasar (Utami, 2014)
2.3.5............................................................................Pencegahan Hospitalisasi Anak
Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh petugas medis dalam
memberikan pencegahan dampak hospitalisasi pada anak adalah
(Fadlian N, 2015)
1. Persiapan hospitalisasi
Proses persiapan hospitalisasi yang dapat dilakukan adalah
dengan pemberian informasi secara verbal dan tertulis,
kunjungan keliling rumah sakit, pertunjukan menggunakan
boneka dan permainan yang menggunakan miniatur peralatan
rumah sakit yang nanti akan dijumpai anak pada saat proses
pengobatan. Persiapan bisa juga menggunakan buku-buku,
video atau film yang menceritakan seputar kondisi di rumah
sakit.
2. Mencegah dan mengurangi perpisahan
Kehadiran orang tua setiap saat dapat membantu mengurangi
kecemasan anak. Orang tua diharapkan terlibat dalam
aktivitas pengobatan sehingga orang tua dapat berpartisipasi

28
terhadap pengobatan. (Wong et al, 2003) Lingkungan yang
akrab juga meningkatkan penyesuaian anak terhadap
perpisahan. Jika orang tua tidak dapat melakukan rawat
gabung, mereka harus membawa barang-barang kesukaan
anak dari rumah ke rumah sakit seperti selimut, alat bermain,
botol, peralatan makan, atau pakaian.
3. Mencegah kehilangan kontrol
Kehilangan kontrol dapat terjadi akibat perpisahan, restriksi
fisik dan perubahan rutinitas. Kehilangan kontrol dapat
dicegah dengan meningkatkan kebebasan bergerak,
mempertahankan rutinitas anak, mendorong kemandirian dan
meningkatkan pemahaman.
4. Mencegah dan mengurangi ketakutan akan cedera tubuh dan
nyeri
Anak akan dihantui rasa takut akan mengalami cedera tubuh
dan nyeri dalam menghadapi prosedur yang menyakitkan.
Tehnik manipulasi prosedural untuk setiap kelompok umur
dapat mengurang ketakutan terhadap cedera tubuh. Intervensi
yang paling mendukung adalah dengan prosedur secepat
mungkin dan mempertahankan kontak orang tua dengan
anak.
5. Penataan Ruang Rawat Inap dan Ruang Bermain di Rumah
Sakit
Anak yang sakit dimungkinkan dirawat di rumah sakit khusus
anak atau di rumah sakit umum yang memiliki fasilitas
ruangan khusus untuk anak. Perlu mempertimbangkan
kebutuhan dan perkembangan anak, dengan mempersiapkan
sarana di unit perawatan anak dengan perabotan yang
berwarna cerah dan sesuai dengan usia anak, dekorasi
ruangan yang menarik dan familiar bagi anak, serta adanya
ruang bermain yang dilengkapi berbagai macam alat bermain.

29
2.4 Intervensi mengurangi kecemasan akibat Hospitalisasi
Intervensi merupakan sebuah rencana tindakan untuk mengurangi
masalah tertentu, intervensi yang direncanakan hendaknya disesuaikan
dengan perkembangan klien. Intervensi yang dapat diberikan kepada anak
yang mana konteknya adalah mengatasi kecemasan selama perawatan di
rumah sakit adalah sebagai berikut:

1. Terapi Bermain
Bermain atau yang lebih dikenal dengan terapi bermain diharapkan
dapat mengurangi dampak akibat hospitalisasi, karena rumah sakit
merupakan lingkungan baru bagi anak yang dimana terjadi tindakan-
tindakan medis yang dianggap menakutkan bahkan terkadang
menimbulkan trauma yang dapat menganggu perkembangan anak
dimana tujuan dari terapi bermain ini adalah menciptakan suasana aman
bagian akan untuk mengekspresikan diri mereka, memahami bagaimana
sesuatu dapat terjadi, mempelajari aturan social dan mengatasi masalah
mereka serta memberikan kesempatan bagi anak anak untuk berekspresi
dan mencoba sesuatu hal yang baru, selain itu dengan terapi bermain
diharapkan anak dapat melajutkan fase tumbuh kembangnya secara
optimal, mengembangkan kreativitas anak sehingga anak dapat
beradaptasi lebih efektif terhadap stress (Saputro, 2017 dalam Setiawati
& Sundari, 2019). Terapi bermain ini misalnya menggunakan puzzle
(Fitriani et al., 2017).

2. Terapi Badut
Terapi Badut di bagian anak adalah bermain dengan lemah lembut dan
penuh tawa bersama anak-anak yang menderita sakit sehingga mereka
dapat mengekspresikan emosinya, memenuhi rasa kontrol dan dapat
berinteraksi sosial selama hospitalisasi. Terapi Badut bertujuan untuk
mengurang stres anak dan keluarga selama rawat inap dan menjalani
pengobatan (Koller & Gryski, 2008 dalam Fadlian N, 2015).

3. Terapi Musik

30
Terapi musik adalah salah satu metode yang dilakukan untuk
mengurangi stres pada anak yang mengalami hospitalisasi. Berbagai
penelitian telah menunjukkan efek fisologis dan psikologis dari musik
terhadap anak yang mengalami hospitalisasi. (Kazemi, et al, 2010
dalam Fadlian N, 2015).

4. Terapi Boneka Tangan


Terapi boneka tangan adalah terapi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan ketrampilan komunikasi verbal melalui media boneka
tangan dimana boneka tangan sendiri adalah benda tiruan dari bentuk
manusia atau binatang yang dimainkan dengan satu tangan, ukurannya
lebih besar dari boneka jari dan bisa dimasukkan ke tangan (Hidayati &
Asti, 2019).

5. Metode Family Centered Care (FCC)


Family-centered care merupakan hal terpenting dalam hospitalisasi
anak yang didasarkan pada kolaborasi antara anak, orangtua, dokter
anak, perawat anak, dan profesional lainnya dalam perawatan klinis
yang berdasarkan pada perencanaan, pemberian dan evaluasi pelayanan
kesehatan (American Academy of Pediatrics, 2012 dalam Suza, 2016).
Salah satu manfaat dar metode in adalah dapat dijalinnya komunikasi
yang efektif antara tenaga kesehatan khusunya perawat dengan anak
maupun orang tua dari anak karena pada ppeaksanaanya metode ini
terfokus pada anak da orang tua (Suza, 2016).

31
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Pencarian Literatur

3.1.1 Database Pencarian

Literature review merupakan rangkuman menyeluruh


beberapa studi penelitian yang ditentukan berdasarkan tema yang
ditetapkan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang bukan diperoleh dari pengamatan langsung
melainkan hasil dari peneliti terdahulu. Sumber data sekunder yang
didapatkan berupa artikel jurnal nasional maupun internasional
yang berupatasi dengan tema yang ditentukan. Pencarian sumber
sekunder dalam literature review ini menggunakan database
Google Scholar.

3.1.2 Kata Kunci

Pencarian artikel atau jurnal menggunakan kata kunci


digunakan untuk menspesifikasikan pencarian agar mempermudah
dalam penentuan artikel maupun jurnal yang digunakan. Kata kunci
dalam literature review ini disesuaikan dengan Medical Subject
Heading (MeSH) dan dikombinasi dengan boolean operators
AND, OR, dan NOT terdiri dari :

Tabel 3.1 Kata Kunci

Hopitalisasi Kecemasan Prasekolah Intervensi


OR OR OR OR
Hospitalizatio Anxiety Preschool Intervention
n

32
3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Strategi yang digunakan untuk mencari artikel menggunakan


PICOS framework yang terdiri dari:

1. Population /Problem yaitu populasi atau masalah yang akan di


analisis sesuai dengan tema yang sudah ditentukan di literature
review. Populasi dalam literatur review ini adalah Pasien anak dengan
usia prasekolah (3-6 tahun) yang mengalami hospitalisasi.
2. Intervention yaitu suatu tindakan penatalaksanaan terhadap kasus
perorangan atau masyarakat serta pemaparan tentang penatalaksanaan
studi sesuai dengan tema yang sudah ditentukan. Intervensi dalam
literature review ini adalah semua intervensi keperawatan yang dapat
menurunkan tingkat kecemasan.
3. Comparation yaitu intervensi atau penatalaksanaan lain yang
digunakan sebagai pembanding, jika tidak bisa menggunakan
kelompok kontrol dalam studi yang terpilih. Pada literature review ini
tidak terdapat intervensi pembanding.
4. Outcome yaitu hasil atau luaran yang diperoleh dari studi terdahulu
yang sesuai dengan tema yang sudah ditentukan. Outcome pada
literatur review ini adalah semua intervensi keperawatan yang
memiliki pengaruh signifikan pada penurunan kecemasan anak pada
masa hospitalisasi
5. Study design yaitu desain penelitian yang digunakan dalam artikel
yang akan direview. Pada literatur review ini study design yang
digunakan yaitu crosssectional, quasy experimental, dan case study.

33
Tabel 3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi Eksklusi


Population Pasien dengan usia Pasien rawat jalan, berusia
prasekolah (3-6 tahun) yang <3 atau >6 tahun.
mengalami hospitalisasi.
Intervension Intervensi keperawatan yang Intervensi invasif, Intervensi
dapat menurunkan tingkat farmakologi.
kecemasan.

Comparation tidak ada pembanding Tidak ada eksklusi


Outcome Intervensi keperawatan yang Intervensi yang tidak
memiliki pengaruh memiliki pengaruh terhadap
signifikan pada penurunan penurunan kecemasan anak
kecemasan anak pada masa pada masa hospitalisasi
hospitalisasi.
Study design Quasy experimental studies, Literature review,
crosssectional, case study. systematic review, articel
review
Publication year Post 2015 Pre 2015
Language Inggris, Indonesia Prancis, Spanyol, Rusia,
Mandari, dan Arab.

34
35
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 ANALISIS JURNAL

Tabel 4.1 Hasil Analisis Jurnal

NO PENULIS DATA BASE JUDUL HASIL


1 Yulianto et al, Google Bermain (Puzzle) -Hasil penelitian didapatkan bahwa jenis kelamin dapat
2021 scholar Terhadap Kecemasan
mempengaruhi kecemasan dan stress pada anak, dimana
Anak Usia Prasekolah
Yang Mengalami anak perempuan pra sekolah yang menjalani hospitalisasi
Hospitalisasi
memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi
dibandingkan laki-laki.
- Sebelum diberikan terapi bermain rata-rata tingkat
kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia prasekolah
sebelum teknik bermain puzzle adalah 20.94, Setelah
diberikan terapi bermain rata-rata tingkat kecemasan
akibat hospitaliisasi pada anak usia prasekolah setelah
diterapkan teknik bermain puzzle adalah 13,38. Ada
perbedaan kecemasan sebelum dan sesudah diberikan
terapi bermain dengan selisih nilai 7,563. Hasil tersebut
membuktikan bahwa ada pengaruh bermain Puzzle
terhadap tingkat kecemasan akhibat hospitalisasi pada
anak usia prasekolah di ruang perawatan anak RSUD

36
Kabupaten Pringsewu. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan diberikan terapi bermain dengan tekhnik puzzle,
rata-rata anak akan cenderung mengalami penurunan
tingkat kecemasan yang lebih banyak dibandingkan
dengan anak yang tidak mendapat perlakuan berupa
tekhnik bermain dengan puzzle.
2 Hidayati et al, Google Efektivitas Terapi Hasil dari 7 jurnal yang di review oleh peniliti
2021 scholar Bermain Terhadap
menyatakan bahwa Terapi bermain sudah terbukti cukup
Tingkat Kecemasan Anak
Yang Menjalani efektif untuk mengurangi ansietas/kecemasan pada anak
Hospitalisasi
dan orangtua anak yang akan menjalani prosedur
hospitalisasi seperti rawat inap, prosedur pembedahan
khususnya di fase pra operasi dan post operasi, prosedur
pelepasan gips (cast removal), pemasangan intravena
perifer (infus), administrasi midazolam oral serta anak
yang akan menjalani perawatan akibat adanya gangguan
penyakit jantung bawaan (PJB). Keberhasilan terapi
bermain dalam mengurangi tingkat ansietas pada anak
juga dipengaruhi oleh peran orang tua yang ikut terlibat
didalamnya. Terapi permainan ini memungkinkan anak
mengeluarkan perasaan serta pengalaman yang tak
terucap, menghilangkan ketegangan dan mengekspresikan
ketakutan yang mendasari stres dan emosi negatif yang

37
muncul. Dengan cara memerankan berbagai peran selama
permainan, sehingga dapat menemukan solusi untuk
masalah yang menimpanya sehingga mereka bisa
mengurangi ansietas yang dialami, selain itu terapi ini
dapat meningkatkan keterampilan sosial, emosional, dan
perilaku anak-anak khususnya anak usia pra sekolah.
3 Saputro & Google Penurunan Tingkat Dari Tabel di bawah menunjukkan bahwa usia terbanyak
Fazrin scholar Kecemasan Anak Akibat
yang mengalami kecemasan adalah anak yang berusia 4
Hospitalisasi dengan
Penerapan Terapi tahun, dan merupakan anak kedua (23 anak), sedangkan
Bermain
dilihat dari jenis kelaminnya, anak perempuan lebih
banyak mengalami kecemasan daripada anak laki-laki.
Kemudian ditinjau dari pengalaman masuk rumah sakit,
yang paling banyak mengalami kecemasan adalah anak
yang tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya yaitu
30 anak dan ditinjau dari jumlah saudara kandung yang
dimiliki, anak yang tidak punya saudara kandung yang
banyak mengalami kecemasan.

38
Berdasarkan Tabel di bawah menunjukkan rata-rata
perubahan skor kecemasan anak sebelum dan sesudah
terapi bermain dengan keterlibatan orangtua. Analisis
lebih lanjut menunjukkan ada perubahan yang bermakna
antara rata-rata skor kecemasan sebelum dan sesudah
terapi bermain dengan keterlibatan orangtua.Dengan kata
lain secara signifikan terapi bermain dengan keterlibatan
orangtua dapat menurunkan kecemasan anak sebesar
11,3922 dengan nilai p value sebesar 0,002 (p < 0,05).

39
4. (Pulungan, Google Atraumatic Care Dengan Data karakteristik responden menunjukan bahwa rata-rata
2018) scholar Spalk Manakara Pada usia ibu pada kelompok kontrol adalah 27,93 tahun dengan
Pemasangan Infus Efektif usia minimun 23 tahun dan maksimum 38 tahun,
Menurunkan Tingkat sedangkan rata-rata usia ibu pada kelompok intervensi
Kecemasan Anak Pra adalah 27 tahun dengan usia minimun 22 tahun dan
Sekolah maksimum 33 tahun. Rata-rata usia anak pada kelompok
kontrol adalah 4,2 tahun, sedangkan rata-rata usia anak
pada kelompok intervensi adalah 3,87 tahun. Sedangkan
dari jenis kelamin menunjukkan bahwa jenis kelamin
responden pada kelompok kontrol dan intervensi
terbanyak adalah laki-laki yang berjumlah 8 (53.3%) dan
11 (73.3%).

Tabel di atas menunjukkan tingkat kecemasan pada


kelompok kontrol paling banyak dengan tingkat
kecemasan ringan 10 (66,7%) dan kecemasan sedang
sebanyak 5 (33,3%). Sedangkan pada kelompok intervensi
ada penurunan tingkat kecemasan menjadi tidak cemas 3
(20%) walaupun paling banyak dengan tingkat kecemasan
40
ringan 10 (66,7%).

-
Tabel di atas menunjukkan ada perbedaan tingkat
kecemasan anak antara kelompok intervensi yang
dipasang Spalk Manakarra dengan kelompok kontrol yang
dipasang spalk rumah sakit dengan nilai p=0,026.
- Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan yang
bermakna tingkat kecemasan anatara kelompok intervensi
dan kontrol. Hal ini menjelaskan bahwa Spalk Manakarra
efektif menurunkan tingkat kecemasan anak pada saat
pemasangan infus. Penelitian ini juga membuktikan bahwa
spalk Manakarra dapat digunakan sebagai alat dalam
melaksanakan asuhan atraumatic care. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Subandi, 2012)
yang menyatakan adanya pengaruh pemasangan spalk
bermotif terhadap tingkat kooperatif anak usia pra sekolah
selama prosedur injeksi intra vena di rumah sakit Wilayah
Cilacap. Tingkat kecemasan anak pra sekolah pada saat
pemasangan infus paling banyak dengan tingkat
kecemasan ringan dan pemasangan spalk manakarra

41
efektif menurunkan tingkat kecemasan an
5. (Al-ihsan et Google Terapi bermain origami - Kecemasan Sebelum Diberikan Terapi Bermain Origami
al., 2018) scholar terhadap kecemasan anak pada Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) yang Menjalani
usia prasekolah Hospitalisasi di RSUD Idaman Banjarbaru.

Berdasarkan tabel 1 distribusi kecemasan anak sebelum


diberikan terapi bermain origami pada kelompok
intervensi menunjukan hasil bahwa tscore rata-rata
kecemasan responden sebesar 69,33 yang berarti rata-rata
anak yang menjalani hospitalisasi pada kelompok
intervensi mengalami peningkatan kecemasan.
Berdasarkan distribusi kecemasan anak sebelum diberikan
terapi bermain origami pada kelompok kontrol rata-rata
kecemasan anak adalah 67,47 sama dengan kelompok
intervensi pada kelompok kontrol anak yang menjalani
hospitalisasi juga mengalami peningkatan kecemasan.
- Kecemasan Sesudah Diberikan Terapi Bermain Origami

42
pada Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) yang Menjalani
Hospitalisasi di RSUD Idaman Banjarbaru

Berdasarkan tabel 1 distribusi kecemasan anak sesudah


diberikan terapi bermain origami pada kelompok
intervensi didapatkan bahwa t-score rata-rata kecemasan
mengalami penurunan menjadi 62,27 dengan standar
deviasi 7,80 hasil ini menujukan bahwa ada penurunan
tscore rata-rata kecemasan sesudah pada kelompok
intervensi sebesar 7,06 dengan derajat kepercayaan 95%
berada dalam rentang 6,83 sampai 7,31. Pada kelompok
kontrol tidak diberikan terapi bermain origami hanya
diukur tscore kecemasan sesudah tanpa diberikan terapi.
Dari hasil distribusi kecemasan anak sesudah tanpa
diberikan terapi bermain origami pada kelompok kontrol
didapatkan adanya peningkatan skor rata-rata sebesar 1,06
dengan derajat kepercayaan 95% berada dalam rentang 1,3

43
sampai 0,83. Hasil ini kemungkinan disebabkan
keteramilan koping yang dimiliki anak dalam menangani
stres masih kurang baik sehingga anak tidak dapat
beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
- Pengaruh Terapi Bermain Origami Terhadap Kecemasan
Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) yang Menjalani
Hospitalisasi di RSUD Idaman Banjarbaru

Pada table 2 hasil analisis data pengaruh terapi bermain


origami terhadap kecemasan anak usia prasekolah (3-6
tahun) yang menjalani hospitalisasi di RSUD Idaman
Banjarbaru pada kelompok intervensi menggunakan uji
non parametrik Wilcoxon Signed Rank Test didapatkan
nilai p-value 0,001 dan nilai signifikan (α) sebesar 0,05.
Hasil tersebut menunjukan bahwa p-value 0,001 < 0,05
berarti H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh terapi bermain origami terhadap
kecemasan anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang
menjalani hospitalisasi di RSUD Idaman Banjarbaru.
- Anak usia prasekolah (3-6 tahun) pada kelompok

44
intervensi dan kontrol sebelum diberikan terapi bermain
origami mengalami peningkatan kecemasan. Kecemasan
anak usia prasekolah (3-6 tahun) pada kelompok intervensi
sesudah diberikan terapi bermain origami mengalami
penurunan kecemasan sedangkan pada kelompok kontrol
sesudah tanpa diberikan terapi bermain origami
mengalami peningkatan kecemasan Terdapat perbedaan
kecemasan sebelum dan sesudah diberikan terapi bermain
origami pada kelompok intervensi dengan nilai p-value
0,001.
6. (Rusmariana Google Efektifitas Terapi - Gambaran kecemasan pada anak prasekolah akibat
et al., 2013) scholar Bermain Menggambar hospitalisasi sebelum dan setelah diberikan terapi bermain
Terhadap Kecemasan aktif menggambar di Ruang Flamboyan RSUD Batang
Anak Usia Pra Sekolah Kabupaten Batang tahun 2012. a. Kecemasan pada anak
Akibat Hospitalisasi prasekolah akibat hospitalisasi sebelum diberikan terapi
bermain aktif menggambar, sebagai berikut :

45
Berdasarkan Tabel 4.1. Menunjukkan bahwa kecemasan
anak di Ruang Flamboyan RSUD Batang kabupaten
Batang sebelum diberikan terapi bermain aktif
menggambar yaitu skor 7 dengan 2 responden (13,3%),
skor 8 dengan 3 responden (20,0%), skor 11 dengan 2
responden (13,3%), skor 12 dengan 3 responden (20,0%),
skor 14 dengan 1 responden (6,7%), skor 15 dengan 1
responden (6,7%), skor 16 dengan 1 responden (6,7%).
- Kecemasan pada anak prasekolah akibat hospitalisasi
setelah diberikan terapi bermain aktif menggambar,
sebagai berikut : Distribusi kecemasan Responden Setelah
Diberikan Intervensi Terapi Bermain Aktif Menggambar
di Ruang Flamboyan RSUD Batang Kabupaten Batang

46
Tahun 2012

Berdasarkan Tabel 4.2. di atas menunjukkan bahwa


kecemasan responden di Ruang Flamboyan RSUD Batang
kabupaten Batang setelah diberikan terapi bermain aktif
menggambar yaitu skor 0 dengan 1 responden (6,7%),
skor 2 dengan 1 responden (6,7%), skor 3 dengan 1
responden (6,7%), skor 4 dengan 7 responden (46,7%),
skor 6 dengan 1 responden (6,7%), skor 7 dengan 1
responden (6,7%), skor 8 dengan 2 responden (13,3%) dan
skor 9 dengan 1 responden (6,7%).
- Rata-rata skor kecemasan The OSBD anak prasekolah
Tabel 4.3. Rata-rata skor kecemasan The OSBD sebelum
dan sesudah dilakukan terapi bermain aktif menggambar
di Ruang Flamboyan RSUD Batang Kabupaten Batang
Tahun 2012

47
Tabel di atas menunjukan rata-rata skor kecemasan The
OSBD sebelum terapi bermain aktif menggambar sebesar
11,13. Rata-rata skor kecemasan The OSBD setelah terapi
bermain aktif menggambar sebesar 4,73. Hasil
perhitungan menunjukan rata-rata penurunan skor
kecemasan The OSBD kelompok terapi bermain aktif
menggambar 6.
- Kecemasan anak prasekolah yang mengalami hospitalisasi
sebelum dilakukan terapi bermain mempunyai rata-rata
skor kecemasan The OSBD 11,13. Kecemasan anak
prasekolah yang mengalami hospitalisasi setelah dilakukan
terapi bermain aktif menggambar mempunyai rata-rata
skor kecemasan The OSBD 4,73. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa setelah dilakukan terapi bermain
aktif menggambar mengalami penurunan, yaitu skor
kecemasan The OSBD sebelum diberikan terapi bermain
aktif menggambar paling rendah 7 dan paling tinggi 16

48
dan setelah dilakukan terapi bermain aktif menggambar
mengalami penurunan yaitu skor kecemasan The OSBD
paling rendah 0 dan paling tinggi 9.

49
4.2 PEMBAHASAN

Dari 6 jurnal yang telah dianalisis didapatkan hasil bahwa


pemberian intervensi seperti pemasangan spalk manakara pada
pemasangan infus, hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang
bermakna antara tingkat kecemasan kelompok intervensi dan kontrol
sebelum dilakukan intervensi dan sesudah dilakukan intervensi, hal
tersebut juga berlaku pada intervensi dengan terapi bermain origami dan
terapi menggambar yang mana tingkat penurunan kecemasan sangat
signifikan sehingga terapi atraumatic care, terapi bermain origami, serta
terapi menggambar sangat berpengaruh terhadap penurunan tingkat
kecemasan hospitalisasi pada anak.
Kecemasan merupakan salah satu distres psikologis ketika anak
dirawat di rumah sakit. Terapi bermain dapat diberikan untuk mengatasi
persoalan tersebut. Salah satu terapi bermain yang sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak usia pra sekolah adalah kegiatan
origami. Penelitian membuktikan kegiatan origami dapat menurunkan
tingkat kecemasaan anak usia pra sekolah yang mengalami hospitalisasi.
Intervensi keperawatan dalam upaya mengatasi masalah yang timbul pada
anak maupun orang tua selama hospitalisasi adalah meminimalkan
stressor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan
psikologi terhadap anggota keluarga dan mempersiapkan anak sebelum
hospialisasi (Supartini, 2004). Atraumatic care merupakan suatu tindakan
asuhan keperawatan yang terapeutik dengan menyediakan lingkungan
yang nyaman oleh petugas kesehatan, dan menggunakan intervensi yang
menghilangkan atau mengurangi distress fisik maupun psikologis pada
anak-anak dan keluarga dalam sistem pelayanan kesehatan. Prinsip yang
mendasari atraumatic care adalah bagaimana mencegah atau mengurangi
pemisahan anak dan keluarga; meningkatkan pengendalian diri pada anak;
dan mencegah atau mengurangi nyeri dan cedera pada tubuh (Wong et al.,
2009).

50
Beberapa contoh tindakan atraumatic care adalah dengan
memodifikasi lingkungan rumah sakit seperti di rumah sendiri. Dekorasi
bernuansa anak seperti tirai, hiasan dinding dan papan nama bergambar
binatang lucu, sprei bergambar bunga, dan dinding dicat dengan warna
cerah. Intervensi yang penting dilakukan perawat terhadap anak
berpinsip untuk meminimalkan stressor, mencegah perasaan kehilangan,
meminimalkan perasaan rasa takut dan nyeri terhadap perlukaan, serta
memaksimalkan perawatan di rumah sakit melalui terapi bermain. Terapi
bermain mempunyai manfaat untuk anak yang dirawat di rumah sakit
sebagai fasilitas penguasaan situasi yang tidak familiar, membantu
anak untuk mengurangi stress terhadap perpisahan, memberi
kesempatan bagi anak untuk mempelajari bagian-bagian tubuh dan
fungsinya serta penyakitnya sendiri, memperbaiki pemahaman yang
salah tentang tujuan penggunaan peralatan dan prosedur medis serta
memberi peralihan dan relaksasi. Untuk mengatasi kecemasan anak
tersebut, anak dapat diikutkan dalam terapi bermain.
Sebuah literatur review yang dilakukan oleh Koukourikos, Tzeha,
Pantelidou, & Tsaloglidou (2015) menyimpulkan bahwa bermain dapat
mengurangi emosi negatif pada anak yang sedang dirawat di rumah sakit.
Sementara itu, penelitian selanjutnya yang dilakukan di Tamil Naidu
mendukung literatur review tersebut dengan membuktikan bahwa bermain
memiliki pengaruh yang signifikan untuk mengurangi kecemasan anak
(Davidson, Satchi, & Venkatesan, 2017). Bermain juga dapat dilakukan
sebagai persiapan perawatan. Sebelum masuk di ruang perawatan, anak
diajak bermain di ruang admisi. Kegiatan ini terbukti efektif menurunkan
kecemasan pada anak di Hamadan, Iran (Sadeghian, Seif, Aahmadi nia, &
Khalili, 2019), Kegiatan bermain memiliki berbagai variasi. Salah satu
kegiatan bermain yang sesuai dengan perkembangan anak usia pra sekolah
adalah kegiatan melipat kertas atau yang biasa disebut sebagai origami.
Sebuah literatur review menyebutkan bahwa origami telah menjadi
kegiatan keterampilan bagi 97% anak pra sekolah di Jepang dan praktik ini
telah dilakukan lebih dari 140 tahun (Nishida, 2019). Origami menjadi

51
pilihan kegiatan bagi anak pra sekolah karena pada usia ini, anak berada
pada tahap perkembangan bermain sosial dan fantasi. Kegiatan origami
dapat memenuhi tugas perkembangan fantasi pada anak (Jones, 2018).
Dari fakta dan teori diatas dapat disimpulkan bahwa intervensi
keperawatan seperti atraumatic care pemasangan spalk manakara, terapi
bermain origami, puzzle dan terapi menggambar yang dilakukan pada
anak hospitalisasi sangat efektif dilakukan untuk mengurangi kecemasan
pada anak tersebut. Terapi bermain mampu menurunkan kecemasan anak
ketika dirawat di rumah sakit karena kegiatan bermain dapat mengurangi
stres dan membebaskan anak dari tekanan. Hal tersebut disebabkan anak-
anak diberi kebebabasn mengkespresikan ketakutan, kekuatiran, dan
kecemasan mereka. Kegiatan bermain ini memberikan kesempatan anak
membuat bentuk-bentuk yang ada di sekitar rumah sakit, dan menggambar
hal-hal yang disenangi oleh anak-anak. Sambil melipat kertas dan
menggambar, anak dapat mengekspresikan perasaan mereka tentang
benda-benda atau lingkungan fisik yang ada di rumah sakit, bermain juga
menjadi sumber pengalihan yang mengurangi separation anxiety sehingga
tindakan atau terapi ini sangat berguna untuk mengurangi kecemasan pada
anak dengan hospitalisasi.

52
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Populasi anak yang dirawat dirumah sakit, mengalami peningkatan
yang sangat drastis. Persentase anak yang dirawat dirumah sakit saat ini
mengalami masalah yang lebih serius dan kompleks dibandingkan
kejadian hospitalisasi pada tahun-tahun sebelumnya. Masalah pada anak
yang mengalami hospitalisasi adalah kecemasan (Hermalinda et al., 2018).
Menurut data Disease Control National Hospital Discharge Survey
(NHDS) pada tahun 2004 di Amerika Serikat lebih dari 5 juta anak
diperkirakan menjalani hospitalisasi karena prosedur pembedahan dan
lebih dari 50% dari jumlah tresebut, anak akan mengalami kecemasan dan
stress (Kaluas et al., 2015). Dijelaskan Miller, (2002) menyebutkan bahwa
prevalensi kecemasan pada anak yang dirawat di rumah sakit berkisar 10%
mengalami kecemasan ringan dan itu berlanjut, dan sekitar 2% mengalami
kecemasan berat. Gangguan kecemasan karena perpisahan terjadi 2%-4%
pada anak, keadaan tersebut adalah gangguan kecemasan yang paling
sering ditemukan pada anak (Hermalinda et al., 2018). Anak-anak yang
menjalani operasi akan mengalami kecemasan dan kesusahan yang parah
sebelum operasi dengan jumlah 50%-70% (Retnani et al., 2019).

Kecemasan yang terjadi pada anak akan menghambat prosedur


yang akan dilakukan selama di rumah sakit, sehingga perlu adanya
atraumatik care untuk mencegah atau meminimalisir nyeri dan cidera pada
tubuh akibat prosedur yang dilakukan sehinga tidak terjadi distres
psikologi pada anak (Legi et al., 2019). Banyak sekali cara untuk
menurunkan kecemasan pada anak akibat hospitalisasi dengan menonton
video kartun dan animasi, melakukan storytelling dan guided imagery,
terapi bermain puzzle, terapi badut, terapi musik, terapi boneka tangan,
metode Family Centered Care (FCC), terapi bermain.

52
5.2 Saran
Dari kesimpulan diatas , saran yang dapat diberikan adalah menonton
video kartun dan animasi, melakukan storytelling dan guided imagery,
terapi bermain puzzle, terapi badut, terapi musik, terapi boneka tangan,
metode Family Centered Care (FCC), terapi bermain dapat menurunkan
kecemasan anak pada hospitalisasi, diharapkan nantinya ada penelitian
lanjutan dengan cara yang berbeda yang dapat membantu menurunkan
kecemasan hospitalisasi pada anak.

53
DAFTAR PUSTAKA

Al-ihsan, M., Santi, E., & Setyowati, A. (2018). Terapi bermain origami
terhadap kecemasan anak usia prasekolah. Dunia Keperawatan, 6(1), 63–
70. https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/JDK/article/view/5086

De Breving, R. M., Yudi Ismanto, A., & Onibala, F. (2015). Pengaruh


Penerapan Atraumatic Care Terhadap Respon Kecemasan Anak Yang
Mengalami Hospitalisasi Di Rsu Pancaran Kasih Gmim Manado Dan
Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Keperawatan UNSRAT,
3(2), 108829.

Hermalinda, Novrianda, D., & Pratama Putri, M. A. (2018). Pengaruh Intervensi


Pelibatan Keluarga Terhadap Kecemasan Anak yang Mengalami
Hospitalisasi di Ruang Perawatan Anak RSUD dr. Rasidin Padang Tahun
2016. NERS Jurnal Keperawatan, 13(2), 78.
https://doi.org/10.25077/njk.13.2.78-85.2017

Kaluas, I., Yudi Ismanto, A., & Margaretha Kundre, R. (2015). Perbedaan
Terapi Bermain Puzzle Dan Bercerita Terhadap Kecemasan Anak Usia
Prasekolah (3-5 Tahun) Selama Hospitalisasi Di Ruang Anak Rs Tk. Iii.
R. W. Mongisidi Manado. Jurnal Keperawatan UNSRAT, 3(2), 111559.

Legi, J. R., Sulaeman, S., & Purwanti, N. H. (2019). Pengaruh Storytelling dan
Guided-Imagery terhadap Tingkat Perubahan Kecemasan Anak Usia
Prasekolah yang Dilakukan Tindakan Invasif. Journal of Telenursing
(JOTING), 1(1), 145–156. https://doi.org/10.31539/joting.v1i1.496

Retnani, A. D., Sutini, T., & Sulaeman, S. (2019). Video Kartun dan Video
Animasi dapat Menurunkan Tingkat Kecemasan Pre Operasi pada Anak
Usia Pra Sekolah. Jurnal Keperawatan Silampari, 3(1), 332–341.
https://doi.org/10.31539/jks.v3i1.837

Bruce. (2015). Konsep Anak Usia Sekolah. Journal of Chemical


Information and Modeling, 64(9), 20.

54
Donsu. (2017). Tingkat Kecemasaan. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.

Hapsari, D. (2016). Pengaruh Terapi Murottal Surat Al-Mulk terhadap


Kemampuan Interaksi Sosial pada Anak Autis di SLBN 01 Bantul
Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah, 9–32.

Puspitarini, R. D. (2017). Pengaruh Terapi Bermain Squishy


Terhadapkecemasan Anak Preoperasi Di Ruang Kemuning Rsud Dr.
H. Abudl Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2019. 5–27.
http://repository.poltekkes-tjk.ac.id/id/eprint/800

Fadlian N, A. K. (2015). Hospitalisasi pada Anak. Universitas Airlangga.

Fitriani, W., Santi, E., & Rahmayanti, D. (2017). Terapi Bermain Puzzle
Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pada Anak Usia Prasekolah
(3-6 Tahun) Yang Menjalani Kemoterapi Di Ruang Hematologi
Onkologi Anak. Dunia Keperawatan, 5(2), 65.
https://doi.org/10.20527/dk.v5i2.4107

Hidayati, A. N., & Asti, A. D. (2019). Terapi Boneka Tangan untuk


Menurunkan Ansietas Anak karena Efek Hospitalisasi. 63–68.

Rahayuningrum, L. M. (2015). Hubungan Peran Orang Tua Dengan


Kecemasan Hospitalisai Pada Anak Prasekolah. Journal Ners
Community, 06(November), 158–165.

Setiawati, E., & Sundari. (2019). Pengaruh Terapi Bermain dalam


Menurunkan Kecemasan Pada Anak. Indonesian Journal of Midwivery
(IJM), 2(1), 17–22.

Sitepu, Y. R. B. T. P. D. melitus T. 1. 2019. 89-94, & Simanungkalit, J. N.


(2020). Caring Perawat Berhubungan dengan Kecemasan Orang Tua
yang Anaknya Hospitalisasi. Jurnal Penelitian Perawat Profesional,
2(Mei), 171–178.
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/dow

55
nload/83/65

Suza, D. E. (2016). Family-Centered Care Model untuk Menurunkan


Dampak Hospitalisasi Anak dengan Penyakit Kanker di Medan ,
Sumatera Utara Family-Centered Care Model to Reduce Impact of
Hospitalization Children with Cancer in Medan , Sumatera Utara Dewi
Elizadiani Suza. Idea Nursing Journal, VI(I), 15–24. http://e-
repository.unsyiah.ac.id/INJ/article/view/6634/5428

Utami, Y. (2014). Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak.


Jurnal Ilmiah WIDYA, 2(2), 9–20.
http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!
@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_891255124583.pdf

Vianti, R. A. (2020). Pengalaman Perawat Mengatasi Dampak Hospitalisasi


Pada Anak Remilda. Jurnal PENA, 34(2), 29–39.

Gordon B. K., T. Jaaniste, K. Bartlett, M. Perrin, A. Jackson, A. Sandstrom ,


R. Charleston, dan S. Sheehan. (2010). Child and parental surveys
about pre-hospitalization information provision. Child: care, health and
development.
Norton-Westwood, D. (2012). “The health-care environment through the
eyes of a child—Does it soothe or provoke anxiety?”. International
Journal of Nursing Practice.
Pelander, T., & H. Leino-Kilpi. (2010). “ Empirical Studies; Children’s best
and worst experiences during hospitalization”. Finland Scand J Caring
Sci.

Pena., A., L., N, & Juan, L., C. (2011). The experience of hospitalized
children regarding their interactions with nursing professionals.
Enfermagem Original Article.

Al-ihsan, Muhammad, Eka Santi, and Anggi Setyowati. “TERAPI BERMAIN


ORIGAMI TERHADAP.” : 63–70.

56
Hidayati, Nur Oktavia, Ajeng Andini Sutisnu, and Ikeu Nurhidayah. 2021.
“Efektivitas Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kecemasan Anak Yang
Menjalani Hospitalisasi.” 9(1): 61–67.

Anak, Kecemasan et al. 2019. “Atraumatic Care Dengan Spalk Manakara Pada
Pemasangan Infus Efektif Menurunkan Tingkat Kecemasan Anak Pra
Sekolah.” 15(2): 78–83.

Rusmariana, Aida, Nur Faridah, and Rieza Ariani. 2013. “Efektifitas Terapi
Bermain Menggambar Terhadap Kecemasan Anak Usia Pra Sekolah Akibat
Hospitalisasi.” Jurnal Ilmiah Kesehatan 5(2): 2–5.

Saputro, Heri, Intan Fazrin, Stikes Surya, and Mitra Husada. 2017. “Penurunan
Tingkat Kecemasan Anak Akibat Hospitalisasi Dengan Penerapan Terapi
Bermain.” Jurnal Konseling Indonesia 3(1): 9–12.

Yulianto, Andri, Idayati Idayati, and Senja Atika Sari. 2021. “Bermain (Puzzle)
Terhadap Kecemasan Anak Usia Prasekolah Yang Mengalami
Hospitalisasi.” Jurnal Wacana Kesehatan 6(1): 39.

57

Anda mungkin juga menyukai