Anda di halaman 1dari 114

VARIASI RAGAM HIAS DI BAWAH CERAT YONI DI KAWASAN

PRAMBANAN

SKRIPSI

Oleh:
MUHAMMAD FAIZ
16/399526/SA/18434

PROGRAM STUDI S 1 ARKEOLOGI


DEPARTEMEN ARKEOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
VARIATION OF ORNAMENTS PRESENT UNDER THE YONI

WATERSPOUT AROUND PRAMBANAN

By:
MUHAMMAD FAIZ
16/399526/SA/18434

An Undergraduate Thesis

Submitted to the Board of Examiners


In Partial Fulfillment of the Requirements for
The Undergraduate Degree in Department of Archaeology
Faculty of Cultural Sciences
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2020
VARIASI RAGAM HIAS DI BAWAH CERAT YONI DI KAWASAN
PRAMBANAN

SKRIPSI

Oleh:
MUHAMMAD FAIZ
16/399526/SA/18434

Skripsi ini diajukan kepada


Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana S 1 dalam Ilmu Arkeologi
Tahun 2020
“It ain’t much but it’s an honest work” – Internet meme
Dipersembahkan

Untuk saya sendiri yang mau melakukan ini sampai akhir,

Untuk orang tua saya yang telah mendukung saya sampai saat ini,

Untuk siapapun yang berminat pada bidang arkeologi dan bidang Jawa Kuno,

Untuk para leluhur yang telah meninggalkan warisan yang tidak ternilai

harganya.
KATA PENGANTAR
Yoni merupakan salah satu artefak dari masa Jawa Kuno yang paling banyak

ditemukan. Keberadaannya dapat ditemukan di berbagai tempat, mulai candi-candi

beraliran Siwa maupun ditemukan secara lepas di tempat penampungan arca, pinggir

jalan, gudang milik negara, hingga ‘dimualafkan’ menjadi umpak masjid, dan jam

matahari penanda waktu shalat.

Salah satu hal yang paling menarik diperhatikan pada beberapa yoni di Jawa

adalah adanya ragam hias di bawah ceratnya. Ragam hias tersebut menyangga cerat

yoni. Yoni-yoni seperti ini cukup umum di Jawa Tengah dengan bentuk yang beragam

namun dengan ciri yang hampir seragam. Sepengetahuan penulis yang masih terbatas,

yoni dengan ragam hias di bawah cerat tidak ditemukan di luar Jawa. Di India maupun

daerah tetangga seperti Khmer (Kamboja sekarang), dan Champa (Vietnam Selatan

sekarang) mengenal yoni dengan ragam hias tetapi tidak menyangga cerat. Jika hal

demikian memang benar, maka yoni dengan ragam hias di bawah cerat merupakan

inovasi orang-orang Jawa Kuno. Walaupun begitu, masih diperlukan penelitian lebih

lanjut akan hal tersebut.

Namun, cukup disayangkan kajian mengenai yoni di Jawa masih cukup minim.

Walaupun beberapa kali digunakan untuk kajian skripsi, maupun skripsi sarjana muda,

tetapi kajian tentang yoni maupun lingga dan yoni masih dapat dikembangkan lagi.

Dari situ penulis tertarik untuk menulis berkaitan dengan ragam hias di bawah cerat

viii
yoni, sekaligus sebagai syarat utama untuk menempuh gelar sarjana di Universitas

Gadjah Mada.

Penulis merasa bahwa tulisan ini tidak akan ada tanpa dukungan maupun

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada bagian kecil tulisan ini penulis

mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT. yang telah memberikan rahmatnya ke seluruh bumi, juga

menciptakan dunia dan segala masalahnya.

2. Kepada diri penulis sendiri yang telah mau mengerjakan penelitian ini.

Walaupun sepintar apapun dosen pembimbingnya, seberapa suportif

keluarga dan teman, semudah apapun mengakses data dan literatur,

seberapapun nyamannya lingkungan, tidak akan selesai jika tidak

melakukan apa-apa.

3. Mas Wawin (Dwi Pradnyawan S.S., M.A.), selaku dosen pembimbing

skripsi, yang telah memberikan saran dan berbagai referensi yang

berguna dalam proses penelitian.

4. Kawan satu bimbingan penulis, Carol, yang telah menjadi kawan

diskusi dan memberikan beberapa saran. Referensi yang diberikannya

cukup membantu kebuntuan saya ketika mengerjakan skripsi.

5. Mbak Santi (Tyassanti S.S.), Bang Dipal (Sandy Maulana S.Ark.), dan

Pakde (Naufal Raffi S.Ark.) yang rela membaca skripsi saya terlebih

dahulu dan memberikan banyak saran yang berguna.

ix
6. Yoga yang telah memberikan beberapa foto salah satu dari data yang

digunakan dalam kajian ini.

7. Bima, Meli, Nurul, Wisang, Pak Agus tenaga lokal Candi Ijo dan

kawan-kawan lain yang membantu dalam proses pendataan di lapangan.

8. BPCB DIY dan BPCB Jateng yang telah membantu untuk mendapatkan

data, maupun merawat dan menampung objek-objek penelitian.

9. Guntoro yang sudah membantu menerjemahkan abstrak ke Bahasa

Inggris.

10. Mas Gumilang (Gumilang Cahyaning Dityo S.Ark), dan Pakde yang

telah mengirimkan skripsinya untuk penulis pelajari.

11. Pak Musadad (Drs. Musadad, M.Hum), selaku dosen pembimbing

akademik.

12. Mbak Ania (Dra. D.S. Nugrahani, M.A.) yang telah membuat saya

tertarik kepada ikonografi walaupun pada akhirnya penulis tidak jadi

menulis tentang Boyolali.

13. Kawan-kawan Arkeologi UGM 2016 yang tentunya tidak bisa

disebutkan satu persatu.

14. Bli Gede yang menjadi reviewer proposal pada seminar prosal kajian

ini.

15. Ibu, Bapak, Mas Hanif, Mas Fahmi, Ica, dan Lala yang telah

mendukung saya sebagai bagian dari keluarga. Terutama Bapak dan Ibu

x
yang selalu mengingatkan saya untuk cepat-cepat menyelesaikan kajian

ini.

16. Dosen-dosen Departemen Arkeologi, yaitu Dra. D.S. Nugrahani, Alm.

Dr. Djoko Dwiyanto, M.Hum., Dwi Pradnyawan, S.S., M.A., Dr. Widya

Nayati, M.A., Drs. J.S.E. Yuwono, M.Sc., Drs. Tjahjono Prasodjo,

M.A., Dr. Tular S., M.A., Dr. Mahirta, M.A., Dr. Daud Aris Tanudirjo,

M.A., M.A., Dr. Mimi Savitri, S.S., M.A., Fahmi Prihantoro, S.S., S.H.,

M.A., Sektiadi, S.S., M.Hum., Andi Putranto S.S., M.Sc., Adieyatna

Fajri, S.S., M.A., dan Aditya Revianur, S.Hum., M.Hum.

Diharapkan kajian ini dapat mengisi sedikit kekosongan dalam kajian

Arkeologi terutama Sejarah Seni Jawa Kuno. Tentu saja kajian ini masih jauh dari kata

sempurna. Penulis masih terbuka untuk kritik maupun masukan yang membangun

untuk kajian ini. Selain itu, yoni, maupun lingga yoni masih memiliki banyak ruang

untuk diteliti lebih lanjut dari berbagai sudut pandang.

Boyolali, 16 Desember 2020

Penulis

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN………………………………….…………………...i


HALAMAN SAMPUL DALAM…………………………..………………………... ii
HALAMAN JUDUL…………………………………..……………………………. iii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………….………………………… iv
HALAMAN PERNYATAAN………………………………..……………………… v
HALAMAN MOTO……………………………………………..………………….. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………..……………... vii
KATA PENGANTAR…………………………………………………..……….….viii
DAFTAR ISI………...…………………………………………………….……….. xii
DAFTAR GAMBAR……….………………………………………………….....… xv
DAFTAR TABEL………...…………………………………………………….… xvii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………..…. xviii
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………………..….… xix
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………… xx
ABSTRAK……..………………………………………………………………..…. xxi
ABSTRACT…...……………………………………………………………….…. xxii
BAB I: PENDAHULUAN………...………………………………………………..... 1
1.1. Latar Belakang………………………………………………….......... 1
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………….…….... 2
1.3. Tujuan Penelitian……………………………………………………... 3
1.4. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................... 3
1.5. Tinjauan Pustaka……………………………………………..………. 4
1.6. Keaslian Penelitian……………………………………………..…….. 5

xii
1.7. Metode Penelitian………………………………………………..…… 7
1.8. Bagan Alir………………………………………………………..…. 10
BAB II: DESKRIPSI YONI DENGAN RAGAM HIAS DI BAWAH CERAT…..... 11
2.1. Yoni di Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY ………………..… 12
2.2. Yoni di PU Berbah……………………………………………………… 14
2.3. Yoni Singa Gajah di Museum Prambanan................................................ 15
2.4. Yoni Ular Besar di Museum Prambanan.……………………………….. 16
2.5. Yoni Ular Kecil di Museum Prambanan..…………………………….… 17
2.6. Yoni di Candi Siwa, Prambanan................................................................18
2.7. Yoni di Candi Wisnu………….....……………………………….…….. 19
2.8. Yoni di Candi Brahma…………………………………………….……. 20
2.9. Yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu…………………………..……. 21
2.10. Yoni di Candi Kedulan………………………………………….…….. 22
2.11. Yoni di Candi Ijo……………………………………………….……... 23
2.12. Yoni di Candi Sambisari………………………………………..……... 24
2.13. Yoni di Pura Kalongan……………………………………….……….. 25
BAB III: KARAKTERISTIK BENTUK DAN MAKNA RAGAM HIAS DI BAWAH
CERAT YONI…………………………………………………………..…... 27
3.1. Jenis-Jenis Ragam Hias yang Ada di Bawah Yoni……………….… 28
1. Ular…………………………………………………………….…. 29
2. Ular dan Kura-kura…………………………………………….…. 35
3. Singa dan Gajah……………………………………………….….. 39

3.2. Karakteristik Ragam Hias di bawah Cerat Yoni di Sekitar


Prambanan…………………………………………………………………... 41
3.3. Analisis Ikonografi Ragam Hias di Bawah Cerat Yoni…………….. 45

xiii
3.3.1. Pengertian Lingga dan Yoni……………………………………….... 45
3.3.2. Makna Ragam Hias yang ada di Ukiran Bawah Cerat Yoni………... 52
a. Naga……………………………………………………………..... 53
b. Naga dan Kura-kura…………………………………………..…... 59
c. Singa dan Gajah…………………………………………….…….. 65
3.4 Makna Ragam hias di bawah Cerat Yoni di sekitar Prambanan…….…... 67
BAB IV: PENUTUP…………………………………………………………..…….. 69
4.1 Kesimpulan………………………………………………………….……… 69
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….……… 71
LAMPIRAN............................................................................................................... 77

xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar skematis dari yoni………………………………….………….. 12

Gambar 2 Ragam hias di bawah cerat yoni di BPCB DIY……………….………... 12

Gambar 3 Ragam hias bawah cerat yoni di PU Berbah…………………….……… 14

Gambar 4 Ragam hias di bawah cerat Yoni Singa Gajah dari samping……….…... 15

Gambar 5 Ragam hias di bawah cerat yoni Ular Besar Museum Prambanan.…….. 16

Gambar 6 Ragam hias di bawah cerat yoni Yoni Ular Kecil Museum

Prambanan…………………………………………………………..….. 17

Gambar 7 Ragam hias di bawah cerat yoni Candi Siwa……………………............ 18

Gambar 8 Ragam hias di bawah cerat pada yoni Candi Wisnu dari samping

kanan………………………………………………………………….... 19

Gambar 9 Ragam hias di bawah cerat pada yoni Candi Brahma………………….. 20

Gambar 10 Ukiran di bawah cerat yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu……..….. 21

Gambar 11 Ragam hias di bawah cerat Candi Kedulan……………………….……. 22

Gambar 12 Ragam hias di bawah cerat yoni Candi Ijo………………………..…….. 23

Gambar 13 Ragam hias di bawah cerat yoni di Candi Sambisari……………….…... 24

Gambar 14 Ragam hias di bawah cerat yoni di Pura Dusun Kalongan………….….. 25

xv
Gambar 15 Gambar dari ragam hias di bawah cerat yoni dengan bentuk ular di sekitar

Prambanan dari samping, dan depan…………………………………..... 29

Gambar 16 Lingga-yoni dari Tanjungtirto………………………………………….. 33

Gambar 17 Ilustrasi Beberapa yoni dari Jawa Timur…………………………..……. 34

Gambar 18 Ilustrasi dari ragam hias ular dan kura-kura di bawah cerat yoni dari

samping dan depan………………………………………………….….. 35

Gambar 19 Beberapa yoni dengan ukiran ular dan kura-kura di bawah cerat di

Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Magelang……………….……… 38

Gambar 20 Gambar ukiran di bawah cerat pada yoni MPN 1……………………… 39

Gambar 21 Arca singa dan gajah di Museum Prambanan……………………….….. 40

Gambar 22 Yoni dengan ukiran singa pada ceratnya di Gatak, Sukoharjo………..... 40

Gambar 23 : Bagian lingga-yoni…………………………………………………...... 47

Gambar 24 Sketsa skematik dari lingga yoni dari Tanjungtirto………………..……. 49

Gambar 25 Relief Samudramantana dari Wlingi, Blitar………………………….…. 64

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Ragam Hias Bawah Cerat Yoni di sekitar

Prambanan…………………………………………………..………….. 48

Tabel 2. Ukuran yoni dengan ragam hias bawah cerat di sekitar Prambanan….… 62

Tabel 3. Lebar dan panjang yoni dibandingkan dengan lebar dan panjang candi

penaungnya………………………………………………………...…... 63

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Yoni di BPCB DIY…………………………………………….………. 77

Lampiran 2. Yoni di PU Berbah……………………………………………….……. 78


Lampiran 3. Yoni Singa Gajah di Museum Prambanan…………………….…..…… 80

Lampiran 4. Yoni Ular Besar di Museum Prambanan………………………….…… 81

Lampiran 5. Yoni Ular Kecil di Museum Prambanan…………………………….… 83

Lampiran 6. Yoni di Candi Siwa………………………………………….………… 84

Lampiran 7. Yoni di Candi Wisnu……………………………………………..……. 85

Lampiran 8. Yoni di Candi Brahma………………………………………………..... 87

Lampiran 9. Yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu…………………….………… 89

Lampiran 10. Yoni di Candi Kedulan………………………………………..……… 90

Lampiran 11. Yoni di Candi Ijo…………………………………………………..…. 92

Lampiran 12. Yoni di Candi Sambisari……………………………………...………. 94

Lampiran 13. Yoni di Pura Kalongan……………………………………..………… 97

xviii
DAFTAR ISTILAH
Amerta : Air atau nektar sumber keabadian dalam mitologi Hindu dan
Buddha.
Garbagriha : Ruangan utama dari candi utama.
Garland : Motif berbentuk karangan bunga yang biasa menjadi relief banner
di candi.
Lingga : Aspek maskulin atau representasi niskala dari Siwa
Niskalam : Perwujudan dewa dalam bentuk ikon atau tanpa wujud tanpa
bentuk.
Padma : Bahasa sansekerta dari bunga teratai warna merah.
Padmamula : Organ utama dari bunga teratai dengan akar pada ragam hias yang
merupakan awal dari ragam hias sulur-suluran.
Perwara : Candi yang menjadi pengiring candi utama.
Pilaster : Pilar semu atau kolom persegi panjang yang menempel pada
dinding
Pranala : Bahasa Sansekerta dari saluran air, nama lain dari yoni.
Sakalam : Penggambaran dewata dalam bentuk fisik yang jelas, dari badan,
kepala, hingga kaki dan tangan.
Tumpal : Motif berbentuk segitiga sama kaki yang banyak digunakan sebagai
motif batik.
Yoni : Representasi niskala sakti dari Siwa, melambangkan aspek feminin.
Pada yoni terdapat cerat atau saluran air di ujungnya.

xix
DAFTAR SINGKATAN

BPCB : Balai Pelestarian Cagar Budaya.

BT : Bujur Timur.

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hlm. : Halaman.

Jateng : Jawa Tengah.

KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde.

LS : Lintang selatan.

PPKPP : Pejabat Pembantu Komitmen Pelaksanaan Peralatan Daerah

Istimewa Yogyakarta

PU : Pekerjaan Umum.

UGM : Universitas Gadjah Mada.

Vol. : Volume.

WIB : Waktu Indonesia Barat.

xx
ABSTRAK

Terdapat temuan yang menarik untuk diperhatikan di sekitar Prambanan, yaitu


yoni yang beberapa di antaranya memiliki ragam hias di bawah ceratnya. Dalam
Hinduisme, yoni merupakan representasi sakti dari Siwa. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi makna, dan mengklasifikasi ragam hias di bawah cerat yoni di sekitar
Prambanan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah ikonografi yang
digunakan untuk mengidentifikasi karakter yang ada pada bagian bawah cerat yoni.
Tahap pengolahan data diawali dengan pra-ikonografi, yaitu tahap pengamatan objek
secara murni, atau mendeskripsikan objek sebagai mana yang terlihat apa adanya.
Klasifikasi ragam hias di bawah cerat yoni juga dilakukan. Kemudian analisis
ikonografi digunakan untuk menghubungkan motif artefak dengan konsep yang
menyertainya. Hasil dari penelitian ini adalah ragam hias di bawah cerat yoni di sekitar
Prambanan memiliki pola tersendiri. Ragam hias tersebut umumnya berbentuk ular dan
kura-kura, dan ular. Namun terdapat satu yoni dengan ragam hias singa dan gajah di
bawahnya. Ukiran di cerat yoni tidak hanya menjadi penghias di yoni namun memiliki
arti yang berkaitan dengan cerita mitologi Samudramantana.

Kata kunci: Jawa Kuno, yoni, ikonografi, ragam hias.

xxi
ABSTRACT

There is an interesting findings around the Prambanan area where the yoni of

said area has an ornaments under it. In Hinduism, yoni is a represents the shakti (wive

of god) of Shiva. This research aims to identify the meaning and classify the ornaments

under the yoni waterspouts around Prambanan. The method used in this research is

iconography in order to identify the characters present under the yoni waterspout. Data

analysis began with pre-iconography, by observing the object whole, or describing the

objects as they are. This clasification of ornaments under the yoni waterspots was also

conducted. The results of iconography analysis were then used to connect the motif of

the artifacts with the corresponding concept. The result of this research is that the

ornaments under the yoni waterspout around Prambanan have themselves a distinct

pattern. The ornaments are usually in the shape of snakes and turtles, but one yoni has

the ornaments in the shape of a lion and an elephant. The stone carvings of yoni are

not only present as an ornaments for they have meanings that are tied to the mythology

of Samudramantana.

Keywords: ancient java, yoni, iconography, ornaments.

xxii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan Prambanan dulunya merupakan wilayah Kerajaan Matara Kuna1

yang beragama Hindu Siwa dan Buddha. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya

peninggalan yang berkaitan dengan agama Hindu Siwa dan Buddha seperti Candi

Prambanan, Candi Sari, Candi Sambisari, Candi Kedulan, dan Candi Ijo (Rahardjo,

2002:217).

Temuan lain yang menarik untuk diperhatikan di Kawasan Prambanan

diantaranya adalah yoni yang ada di wilayah ini beberapa di antaranya memiliki

ragam hias di bawah ceratnya. Terdapat berbagai jenis ragam hias di bawah cerat

yoni, seperti ular, kura-kura dan ular, dan singa dan gajah. Ukuran dari yoni dengan

ragam hias di bawah cerat juga bervariasi, dari yang panjangnya lebih dari dua

meter hingga kurang dari satu meter.

Yoni biasanya ditemukan sebagai satu kesatuan dengan lingga. Lingga

merupakan aspek maskulin atau representasi dari Siwa, sementara yoni merupakan

aspek feminin atau perlambangan sakti dari Siwa (Rahardjo, 2002:247,527,543).

Yoni dan lingga banyak ditemukan di dalam candi, walaupun sering ditemukan

secara lepas.

Yoni dengan ragam hias di bawah cerat dapat ditemukan di candi-candi

beragama Hindu seperti di Candi Prambanan, Candi Kedulan, Candi Sambisari, dan

Candi Ijo. Selain terdapat di dalam candi, terdapat juga yoni-yoni yang merupakan

1
Mataram Kuna merupakan kerajaan yang berkuasa dari abad ke-8 hingga ke-10 di Jawa Tengah
(Rahardjo, 2002:55).

1
temuan lepas. Yoni-yoni tersebut ditempatkan di rumah penampungan arca, balai

pelestarian cagar budaya, museum, hingga tempat-tempat lain yang in situ maupun

tidak.

Tidak semua yoni memiliki hiasan di bawah ceratnya. Pada Candi Kedulan,

Candi Sambisari, dan Candi Ijo, hanya yoni yang berada di bagian utama candi yang

memiliki hiasan di bawah ceratnya. Yoni yang berada di candi perwara memiliki

bentuk yang lebih polos jika dibandingkan dengan yoni yang ada di bangunan

utama. Di bawah ceratnya tidak terdapat ragam hias seperti yang ada pada bangunan

utama candi.

1.2. Rumusan Masalah

Selain bentuk dasar dari yoni, terdapat juga variasi ragam hias cerat yoni

yang dapat ditemukan di yoni-yoni di Indonesia terutama Kawasan Prambanan.

Permasalahan yang berusaha ditelaah penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk ragam hias di bawah cerat yoni-yoni yang

ditemukan di Kawasan Prambanan?

2. Apa makna ragam hias yang ada pada bawah yoni-yoni di Kawasan

Prambanan?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini

bertujuan untuk:

1. Menghasilkan tipologi ragam hias di bawah cerat yoni di Kawasan

Prambanan.

2. Mengidentifikasi makna ragam hias di bawah cerat yoni.

2
1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memfokuskan pada ragam hias pada bagian bawah cerat yoni

yang ditemukan di Kawasan Prambanan2 yang di dalamnya termasuk Kecamatan

Prambanan, dan Kalasan di Kabupaten Sleman, dan Kecamatan Prambanan, dan

Manisrenggo di Kabupaten Klaten. Namun, terdapat 2 objek yang masih berjarak 9

Km. dari Ratu Boko namun tidak termasuk kecamatan tersebut yaitu yoni di PU

Berbah, dan Pura Kalongan di Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, keduanya

berada di Kabupaten Sleman. Ragam hias tersebut termasuk yang berada di bawah

cerat atau penyangga dari cerat yoni. Kawasan Prambanan dipilih karena wilayah

ini memiliki data yang mirip. Kawasan tersebut juga memiliki artefak yang

sezaman yaitu dibuat pada era Kerajaan Mataram Kuna.

Terdapat beberapa sebutan lain dari yoni. Contohnya, pitha, pandhika,

maupun peetham (T. A. Gopinatha Rao, 1916:99; Sthapati, 2002:43). Namun,

dalam tulisan ini penulis menggunakan yoni. Kata yoni lebih banyak digunakan

2
Menurut rencana induk Taman Arkeologi Borobudur-Prambanan yang disusun oleh JICA (Japan
International Cooperation Agency) pada tahun 1979, diusulkan sistem zonasi wisata di kawasan
Prambanan menjadi 5 zona yang Candi Prambanan atau Loro Jonggrang sebagai pusat
perhatiannya. Zona-zona tersebut yaitu:
1. Zona 1 (Sanctuary Areas): Zona inti yang terdapat Candi Loro Jonggrang, Lumbung, Bubrah,
Sewu, Plaosan, Sojiwan, Ratu Boko, Banyunibo, Sari, Kalasan, dan Sambisari dengan total luas
55,1 Ha.
2. Zona 2 (Archaeological Park Zone): Area taman di kompleks Candi Prambanan dengan total
luar 77 Ha.
3. Zona 3 (Land Use Regulation Zone): Desa di sekitar kompleks candi dengan total luas 7,4 Km2.
4. Zona 4 (Historical Scenery Preservation Zone): Area yang memiliki pemandangan bernilai
sejarah dan dicegah dari kerusakan.
5. Zona 5 (National Archaeological zone): Area persegi 9 km yang dihitung dari Kraton Ratu
Boko untuk dilakukannya survey arkeologi dalam skala luas dan melindungi situs-situs arkeologi
yang masih terpendam. Total luas zona ini adalah 81 Km2 yang di dalamnya termasuk Kecamatan
Prambanan, dan Kalasan di Kabupaten Sleman, dan Kecamatan Prambanan, dan Manisrenggo di
Kabupaten Klaten (JICA, 1979:19-20).

3
dalam tulisan berbahasa Indonesia dibandingkan kata-kata yang disebutkan

sebelumnya.

Lokasi penilitian ini dibatasi di candi, tempat penampungan arca, dan

temuan lepas di Kawasan Prambanan. Candi yang yoni-nya menjadi objek

penelitian adalah di candi Ijo, Candi Prambanan, Candi Kedulan, dan Candi

Sambisari. Temuan lepas yang menjadi objek penelitian adalah yoni di Balai

Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta yang berasal dari Polangan, Sumberharjo,

Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yoni di Museum Prambanan,

yoni di Pura Kalongan, dan yoni di PU Berbah.

1.5. Tinjauan Pustaka

Beberapa peneliti seperti Rao, T.A. Gopinatha dan V. Ganapati Sthapati

telah menulis seputar kajian ikonografi. Karya Gopinatha, Elements of Hindu

Iconography diterbitkan oleh The Law Printing House Mount Rod di Madras pada

tahun 1916, sementara karya Sthapati, Indian Sculpture and Iconography: Forms

and Measurements diterbitkan oleh Sri Aurobindo Institute of Research in Social

Sciences pada tahun 2000. Dua karya tersebut membahas tentang ragam hias yang

ada pada agama-agama yang berasal dari India. Ragam hias yang ada di India kerap

ditemukan pada peninggalan-peninggalan Hindu-Buddha karena Jawa dipengaruhi

arus budaya dari India. Sehingga penjelasan yang ada di buku tersebut dapat

digunakan untuk mendeskripsi ragam hias di bawah cerat yoni.

Selain kajian tentang ikonografi, kajian tentang filologi dapat digunakan

untuk membantu mendeskripsikan data. Untuk dapat ‘membaca’ relief naratif (atau

ragam hias untuk penyebutan di tulisan ini), diperlukan manuskrip atau karya sastra

4
dari masa kuno meskipun manuskrip-manuskrip itu tidak dapat menjawab secara

penuh arti dari relief tersebut (Klokke M. J., The Tantri Reliefs on Ancient Javanese

Candi, 1993:5). Walaupun tidak semua, karya sastra pada Jawa kuno beberapa di

antaranya divisualisasikan ke dalam bentuk relief seperti Ramayana, Mahabharata,

dan cerita Panji (Munandar, 2004:54-55).

Karya sastra yang digunakan pada penelitian ini salah satunya adalah kitab

Adiparwa, yang merupakan bagian pertama dari sepuluh parwa cerita Mahabharata.

(Zoetmulder, 1983:80). Karya sastra tersebut juga memuat beberapa cerita yang

berkaitan dengan tokoh yang ada pada ragam hias di bawah cerat yoni. Adiparwa

yang digunakan adalah Adiparwa India oleh Protap Chandra Roy terbitan tahun

1884 (Roy, 1884), dan Jawa Kuno terjemahan dari Siman Widyatmanta terbitan

tahun 1968 (Widyatmanta, 1968).

Dalam Hinduisme, yoni merupakan representasi sakti dari Siwa. Biasanya

ditemukan bersama lingga dalam hal tersebut yoni menjadi pedestal dari lingga,

maupun menyatu dengan bagian atas yoni. Lingga merupakan representasi dari

Siwa. Yoni disebut juga sebagai peetham, pranala, atau avudaiyar. Lingga yoni

kerap ditemukan di candi-candi beraliran Hindu Siwa di Asia Selatan maupun Asia

Tenggara.

Lingga memiliki tiga bagian, yaitu Rudra bhagam, Wisnu Bhagam, dan

Brahma Bagham. Rudra Bhagam berada di bagian atas yoni yang berbentuk

lingkaran di lingga, Wisnu Bhagam berada di dalam yoni yang berbentuk oktagon

di lingga, sedangkan Brahma Bagham berada di bagian bawah yoni yang berbentuk

persegi di lingga. Ketiga bagian ini merepresentasikan trimurti atau tiga kekuatan

5
brahman yaitu melebur (Siwa), memelihara (Wisnu), dan menciptakan (Brahma)

(Sthapati, 2002:36).

Gambar 1 : Bagian lingga-yoni. 1) Brahma Bhagam. 2) Wisnu Bhagam. 3) Siwa Bhagam. 4) Bentuk Brahma
Bagham dari bawah. 5) Bentuk Wisnu Bagham dari bawah. 6) Bentuk Siwa (Sthapati, 2002:36)

Lingga merupakan aspek maskulin atau representasi dari Siwa, sedangkan

yoni merupakan aspek feminin atau perlambangan sakti dari Siwa (Rahardjo,

2002:247,527,543). Secara vulgar, lingga merupakan lambang dari phallus,

sedangkan yoni merupakan lambang dari vagina. Lingga yoni merupakan

perlambangan dari prinsip generatif agung alam semesta, Purusha dan Prakriti.

Namun, pada naskah Markendya Purana, disebutkan bahwa Markendeya

mengatakan bahwa Rudra dan Wisnu adalah pencipta alam semesta. Diibaratkan

Siwa merupakan aspek laki-laki sedangkan Wisnu merupakan aspek perempuan

yang menandakan bahwa aspek laki-laki dan perempuan tidak bisa dipisahkan dan

selamanya ditemukan (T. A. Gopinatha Rao, 1916:58-59).

Dalam Jnanasiddhanta, lingga yoni juga merupakan representasi dari

trimurti. Namun, yang berbeda adalah lingga merupakan representasi dari Siwa

sedangkan yoni (atau dalam kitab tersebut disebut sebagai pranala)

6
merepresentasikan Wisnu dan Brahma. Dapat diartikan bahwa Wisnu dan Brahma

hanya sebagai penunjang dari Siwa sebagai dewa utama dalam agama Hindu Siwa

sebagaimana yoni menyangga lingga (Soebadio, 1985:41).

Pranala berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti saluran air.

Zoetmoelder beranggapan bahwa pranala tersebut merupakan seluruh bagian dari

yoni yang merupakan pedestal yang menjunjung lingga (Soebadio, 1985:39).

Bagian dari cerat atau saluran yang menyalurkan air persembahan ke bawah disebut

nala atau saluran air dalam Bahasa Sansekerta (T. A. Gopinatha Rao, 1916:101).

Gambar 2 Sketsa skematik dari lingga yoni dari Tanjungtirto (Soebadio, 1985:40; Kempers, 1959: 166).

Bentuk dan bagian dasar dari yoni di dalam kitab Silphasastra juga diatur

terutama dalam hal ukuran. Lebar dari yoni sebaiknya memiliki tinggi yang sama

dengan lingga. Tinggi dari yoni sebaiknya memiliki panjang dua pertiga dari lebar

yoni. Gomukha3 memiliki ukuran selebar lingga. Ornamentasi yoni juga memiliki

beberapa jenis, yoni dibagi menjadi 16 atau 15 bagian dalam ornamentasi yoni

3
Kuncian dari yoni dan lingga.

7
tersebut. Beberapa contohnya antara lain adalah padma peetham, bhadra peetham,

dan vedibhadra peetham (Sthapati, 2002:43).

Pendirian lingga juga kadang disebutkan dalam prasasti-prasasti di Jawa

maupun Asia Tenggara daratan. Di Jawa, salah satu prasasti yang menyebutkan

pendirian lingga adalah prasasti Canggal oleh sang raja Sanjaya di area Candi

Gunung Wukir, Magelang (Supomo, 2006:311). Pendirian lingga juga beserta

didirikannya yoni sebagai lapik atau pedestal seperti terlihat pada Candi Gunung

Wukir yang terdapat lingga yoni pada bagian utama candi. Di Kamboja beberapa

lingga disebutkan pendiriannya di inskripsi di banyak candi seperti di Angkor

ketika raja Indravarman I mendirikan linga bernama Indresvara (Higham, 2001:63).

Di Champa, Vietnam pendirian Lingga juga disebutkan pada prasasti seperti di Mi

Son, dan Po Nagar (Katsimpalis, 2005:19,51).

1.6. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa kajian yang membahas yoni. Sugito (1984) membahas

arti simbolis relief garuda di yoni dan membandingkan dengan yoni-yoni yang

karakteristik serupa. Sugito menyimpulkan bahwa gambar atau relief yang ada pada

yoni bukan hanya hiasan saja, melainkan memiliki makna simbolis. Sugito

menyebut ragam hias yang ada di bawah cerat yoni sebagai relief penyangga cerat.

Pada relief tersebut terkandung cerita Garudeya, dan Amertamartana dengan

adanya relief garuda, kura-kura, dan naga.

Gumilang Cahyaning Dityo (2020) membahas perbandingan proporsi

ukuran yoni dengan bangunan utama candi dengan studi kasus candi di Yogyakarta

dan Jawa Tengah. Pada penelitian tersebut candi Hindu Siwa di Yogyakarta dan

8
Jawa Tengah dipilih karena memiliki yoni. Perbandingan dari yoni dan tiap bagian

bangunan utama candi menghasilkan rasio yang diharapkan dapat menemukan

hubungan antara ukuran yoni dan candi. Dari penelitian tersebut disimpulkan

bahwa tidak ditemukan rasio proporsi yang tetap pada periode tertentu. Oleh karena

itu ukuran batur (bagian bawah candi) dan kaki candi tidak memperhitungkan

ukuran yoni yang ada di bangunan utama candi.

Novaria Dwi S.P. dan Yohanes Hanan Pamungkas (2014) membahas segi

ikonografi dan historis sebuah yoni di Klinterejo. Pada kajian tersebut disimpulkan

bahwa yoni Klinterejo memiliki nilai yang tinggi akan kesejarahan dan arkeologis

merupakan hasil perkembangan pemujaan lingga yoni, yaitu pemujaan di luar bilik

candi, yang sudah ada sebelum masa Majapahit.

Yoni Klinterejo merupakan tanda batas kota dengan kemiripan bentuk

dengan yoni lainnya yaitu Yoni Japanan, dan Lebak Jabung. Kedua yoni tersebut

juga sejaman dengan Yoni Klinterejo. Ragam hias berupa naga, padma, ceplok,

sulur dan tumpal memiliki arti simbol yang sangat penting dalam kehidupan

keagamaan Majapahit. Mitologi pencarian air amerta digambarkan dalam ragam

hias naga yang menyangga cerat yoni.

Bayu Ari Wibowo (2016) memaknakan lingga yoni di masyarakat

Banyuwangi dengan pendekatan etnoarkeologi. Wibowo menyimpulkan bahwa

lingga yoni dimaknai oleh masyarakat Hindu-Budha sebagai simbol dari Sang

Hyang Widhi yang diwujudkan oleh Siwa-Sakti, leluhur, dan dhanyang (dewa atau

orang yang sangat dihormati dan melindungi suatu daerah). Oleh karena itu,

masyarakat dapat merasa dekat dengan yang maha kuasa dan selalu berhubungan

9
dengan meditasi. Berdasarkan studi literatur, dapat diketahui bahwa kajian ragam

hias di bawah cerat yoni di Kawasan Prambanan belum pernah dilakukan

sebelumnya.

1.7. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu tahap awal atau

persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyimpulan.

Berikut penjabaran dari masing-masing izin :

1. Tahap Awal

Pada tahap ini dilakukan hal-hal yang diperlukan sebelum pengumpulan

data seperti perizinan, dan desk based assessment. Data-data tentang yoni yang ada

di Kawasan Prambanan dikumpulkan terlebih dahulu dari berbagai sumber data

baik cetak maupun digital. Instansi-instansi yang memiliki data terkait penelitian

ini kemudian disurati izin penelitian. Jika diterima oleh instansi terkait, penulis

dapat memulai pengumpulan data secara fisik di situs, maupun tempat

penyimpanan arca yang berada di dalam lingkungan instansi terkait.

2. Tahap Pengumpulan Data

Tahap ini merupakan tahap di mana data-data dikumpulkan melalui

pencatatan, foto, dan ilustrasi. Data artefak berupa yoni diambil gambarnya dengan

kamera terlebih dahulu. Kemudian diukur panjang, lebar, dan tinggi dari yoni dan

ragam hias di bawah cerat yoni.

3. Tahap Analisis Data

Pada tahap penelitian ini, yoni-yoni dengan ragam hias di bawah cerat

dideskripsikan terlebih dahulu. motif Pada tahap ini, ragam hias pada yoni

10
digambar untuk mempermudah analisis. Kemudian yoni diklasifikasikan dan dibuat

tipologinya. Tipologi merupakan sistem konseptual yang dibuat dengan membagi

sebuah bidang spesifik menjadi sebuah kumpulan komprehensif dari tipe yang

eksklusif, berdasarkan seperangkat kriteria umum yang diatur berdasarkan tujuan

dari tipologi. Dalam tipologi, setiap jenis adalah kategori yang dibuat oleh pembuat

tipologi, di mana dapat ditempatkan entitas diskrit yang memiliki karakteristik

pengenal khusus, untuk membedakannya dari entitas yang memiliki karakteristik

lain, dengan cara yang bermakna bagi tujuan tipologi tersebut (Adams, William Y.;

Adams, Ernest W.,2007:91).

Tipologi ragam hias di bawah cerat yoni dibagi berdasarkan atribut yang ada

pada bawah cerat yoni. Variabel pada analisis ini dibagi menjadi tiga berdasarkan

ciri makhluk yang ada pada ragam hias yaitu motif ular, kura-kura, bunga teratai

dan singa dan gajah. Dibuat juga tabel yang berisi variabel analisis. Ragam hias-

ragam hias kemudian masih dibagi lagi menjadi beberapa sub-varian berdasarkan

sub-variabel yang ada. Dilakukan komparasi antara objek penelitian, dan yoni

sejenis yang ada di luar Kawasan Prambanan.

Penelitian ini menggunakan kajian studi ikonografi untuk mengidentifikasi

karakter yang ada pada bagian bawah cerat yoni. Ikonografi adalah cabang dari art

history yang berasangkutan dengan seni rupa beserta makna yang terkandung pada

karya seni tersebut (Straten, 1994:3).

Metode yang digunakan kajian ini adalah metode ikonografi yang

dikembangkan oleh panofsky. Metode ikonografi Panofsky dibagi menjadi 3 tahap,

yaitu pra-ikonografi, ikonografi, dan ikonologi (Panofsky, 1955:40). Namun,

11
penelitian ini hanya sampai tahap ikonografi. Tahap ini sudah cukup untuk

menyelesaikan rumusan masalah. Tahap ikonologi memerlukan pemahaman yang

lebih dalam atas konteks sejarah pada masa objek penelitian dibuat.

Tahap-tahap penelitian ikonografi dijelaskan sebagai berikut:

a. Pra Ikonografi

Pra-ikonografi merupakan tahap pengamatan objek secara murni, atau

mendeskripsikan objek sebagai mana yang terlihat apa adanya, berupa: bahan,

motif, dan karakter yang digambarkan maupun gestur apa yang ada pada karya seni

tersebut. Tahap ini dilakukan dengan membuat deskripsi dari temuan-temuan yang

menjadi objek penelitian. Pembuatan sketsa dilakukan untuk mempermudah

analisis dari artefak. Artefak-artefak tersebut dideskripsikan posisi atau lokasi

temuannya, dan dideskripsikan fisiknya. Aspek fisik yang dideskripsikan adalah

bentuk, dimensi, dan motif hiasnya.

b. Ikonografi

Pada tahap ini, dilakukan analisis untuk menghubungkan motif artefak

dengan konsep yang menyertainya. Contohnya, kejadian, dan tokoh mana yang

digambarkan pada karya tersebut. Penjelasan tentang tokoh maupun kejadian apa

yang terkandung pada ragam hias tersebut dapat dicari dari berbagai sumber seperti

karya sastra, dan kajian-kajian tentang ikonografi.

c. Ikonologi

Tahap ini merupakan tahap interpretasi yang mendalami makna interinsik yang

tergantung dalam suatu karya seni. Ikonologi merupakan cabang dari sejarah

budaya yang memaparkan latar belakang budaya, sosial, dan sejarah dari suatu

12
karya visual. Ikonologi dapat menjelaskan mengapa seorang seniman atau patron

membuat karya tersebut. Kajian ikonologi lebih berfokus kepada sejarah sosial

dibandingkan sejarah seni (Straten, 1994:12).

4. Penarikan Kesimpulan

Tahap ini berisi simpulan klasifikasi bentuk dari ragam hias di bawah cerat

yoni dan makna dari ragam hias tersebut. Penarikan kesimpulan merupakan tahapan

terakhir pada penelitian ini.

13
BAB II

DESKRIPSI YONI DENGAN RAGAM HIAS DI BAWAH CERAT

Terdapat empat belas tinggalan yoni dengan ragam hias di bawah cerat

di yang dibahas di tulisan ini. Beberapa di antaranya terdapat di candi, tempat

penyimpanan arca, dan sebagai temuan lepas. Candi-candi itu adalah Candi

Prambanan, Kedulan, Ijo, dan Sambisari. Sementara, tempat penampungan

arca yang terdapat yoni dengan ragam hias di bawah cerat adalah tempat

penampungan Candi Sewu, BPCB DIY, dan Museum Candi Prambanan.

Temuan lepas berupa yoni tersimpan di PPKPP DIY, dan Pura Kalongan.

Secara administratif, semuanya berada di Kabupaten Sleman yaitu di

kecamatan Berbah, Prambanan, Kalasan, dan Depok. Kecuali yoni di

penampungan Candi Sewu yang berada di Prambanan, Kabupaten Klaten.

Keempat belas yoni kemudian dideskripsikan menggunakan metode

ikonografi Panofsky. Tahap pertama dari metode ini adalah metode pra-

ikonografi, yang mana objek penelitian dilihat secara murni, atau objek

dideskripsikan sebagai mana adanya yang terlihat seperti bahan, motif, dan

karakter yang digambarkan maupun gestur apa yang ada pada karya seni

tersebut. Pada bagian ini dilakukan analisis formal dari objek-objek

penelitian. Ragam hias tersebut melekat di dinding yoni dan digambarkan

menyangga cerat dari yoni.

14
Gambar 3 Gambar skematis dari yoni (Sumber: Faiz, Muhammad. 2020).

Berikut adalah deskripsi dari yoni-yoni dengan ragam hias di bawah

cerat yoni di Kawasan Prambanan :

2.1. Yoni di Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY

Gambar 4 Ragam hias di bawah cerat yoni di BPCB DIY (sumber : dokumentasi penulis).

15
Yoni ini berada di halaman depan BPCB DIY4 dan berasal dari

Polangan, Sumberharjo, Prambanan, Sleman. Yoni ini telah diregistrasi oleh

BPCB DIY dengan nomor registrasi 1960. Panjang dari yoni ini adalah 198

cm, lebar 140 cm, dan tinggi 137 cm. Bagian bawah cerat memiliki bentuk

hiasan ular yang menyangga hiasan berbentuk bunga teratai. Panjang ragam

hias di bawah cerat 61 cm, lebar 52 cm, dan tinggi 75 cm. Selain terdapat

bunga teratai di atas ular, terdapat hiasan bunga teratai yang menjadi alas dari

ular.

Bagian ular dihiasi beberapa motif yang berbeda. Pada bagian bawah,

terdapat motif sulur-suluran berbentuk tumpal dengan ragam hias bunga

teratai di tengahnya. Jika di bagian perut terdapat motif tumpal dan lipatan,

maka bagian pinggirnya, selain terdapat motif tumpal5, terdapat pula motif

belah ketupat dengan motif sesuluran di dalamnya. Mata dari ular melotot.

Ular digambarkan memiliki gigi berbentuk taring berjumlah tujuh di sisi

kanan dan kiri. Di bagian tengah mulut terdapat lingkaran yang sudah aus.

Bagian belakang dari ular terdapat bagian yang menyatu dengan badan yoni.

Ragam hias juga menghiasi cerat dari yoni. Bagian hilir cerat dihiasi

oleh dua motif singa yang lidahnya menjulur ke bawah di kedua sisi saluran

air. Pada bagian hulu cerat terdapat motif kala. Bagian atas tubuh yoni dihiasi

oleh motif garland6. Terdapat 11 pilaster7 berhias tumpal di sisi badan yoni.

4
Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta yang beralamatkan di Jl.
Raya Solo - Yogyakarta No.15, Keniten, Tamanmartani, Kec. Kalasan, Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta
5
Motif berbentuk segitiga sama kaki yang banyak digunakan sebagai motif batik.
6
Motif berbentuk karangan bunga yang biasa menjadi relief banner di candi.
7
Pilar semu atau kolom persegi panjang yang menempel pada dinding

16
Pada setiap sisi terdapat 3 pilaster kecuali bagian depan yang hanya memiliki

2 pilaster.

2.2. Yoni di PU Berbah

Gambar 5 Ragam hias bawah cerat yoni di PU Berbah (sumber : dokumentasi penulis).

Yoni ini berada di gudang penyimpanan alat berat atau PPKPP DIY8.

Secara administratif berada di Jl. Tanjungtirto, Jrebesan, Kalitirto, Kec.

Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, tempat ini

dikenal sebagai PU Berbah sehingga selanjutnya penulis akan menyebut yoni

ini dengan yoni PU Berbah. Panjang Yoni adalah 170 cm, lebar 134 cm, dan

tinggi 172 cm. Yoni menghadap ke barat walaupun tidak diketahui apakah

yoni ini sudah bergeser dari posisi awal atau tidak. Bentuk yoni ini cukup

mirip dengan yoni di BPCB DIY namun dalam kondisi yang lebih rusak di

bagian depan.

8
Pejabat Pembantu Komitmen Pelaksanaan Peralatan Daerah Istimewa Yogyakarta.

17
Bagian bawah cerat dihiasi oleh motif bunga teratai yang disangga

oleh ular dan beralaskan hiasan berbentuk bunga teratai. Namun, ujung cerat,

mulut ular, dan bagian depan bunga teratai sudah rusak. Ragam hias ular juga

dihiasi oleh sulur-suluran berbentuk tumpal dengan ragam hias bunga teratai

di tengah badannya. Mata dari ragam hias ular berbentuk melotot, bagian atas

badan yoni dihiasi oleh motif garland dan terdapat panil dengan hiasan floral.

Terdapat juga hiasan kala pada bagian hilir cerat yoni dengan hiasan sulur-

suluran di samping kiri dan kanan juga bunga di depannya.

2.3. Yoni Singa Gajah di Museum Prambanan

Gambar 6 Ragam hias di bawah cerat Yoni Singa Gajah dari samping (sumber: dokumentasi
penulis).
Yoni ini sekarang berada di penampungan arca Museum Candi

Prambanan. Yoni ditemukan di tengah sawah barat Desa Bogem, Kalasan,

Sleman (Haryono, 1980:50). Yoni ini telah diregistrasi oleh BPCB DIY

18
dengan kode registrasi BG 372. Panjang dari yoni tersebut adalah 157 cm,

lebar 134,5 cm, dan tinggi 94 cm.

Terdapat beberapa motif yang menghiasi cerat yoni. Pada bagian hulu

cerat, terdapat motif sulur-suluran dengan manik-manik di pinggirnya.

Ragam hias bawah cerat adalah motif singa di atas, dan setengah badan gajah

di bawah. Singa tersebut berdiri dengan dua kaki, dan bagian tangannya

rusak. Singa tersebut berkalung perhiasan dan lidahnya menjulur ke luar. Di

bagian antara ragam hias singa dan badan yoni, terdapat ragam hias sulur

suluran berbentuk seperti sayap yang menghadap badan yoni. Gajah yang ada

di bawah memiliki kalung di leher, dan kepala. Pada bagian kakinya terdapat

hiasan sulur-suluran. Bagian punggungnya berhias karpet dan rangkaian

lingkaran berbentuk seperti manik-manik. Gajah tersebut beralaskan lapik

dengan hiasan bunga dengan sulur-suluran.

2.4. Yoni Ular Museum Prambanan I

Gambar 7 Ragam hias di bawah cerat yoni Ular Besar Museum Prambanan (sumber: dokumentasi
penulis).

19
Yoni ini berada di Museum Candi Prambanan. Yoni ini telah

diregistrasi oleh BPCB DIY dengan kode registrasi BG269. Lebar dari yoni

adalah 124 cm, panjangnya adalah 154 cm, dan tinggi 122 cm. Ragam hias di

bawah cerat memiliki tinggi 73 cm, panjang 41 cm, dan lebar 34 cm. Ragam

hias yang ada di bagian bawah cerat yoni adalah bunga teratai yang disangga

oleh ular. Pada bagian badan yoni, terdapat sulur-suluran berbentuk tumpal di

bagian tengah. Bagian bawah ular berhias motif bunga teratai. Walaupun

kepala ular sebagian sudah rusak, namun terlihat mata dari ular yang melotot,

dan gigi taring yang ada di bagian ujung mulut. Bagian ujung cerat, mulut

ular, dan sebagian badan yoni sudah rusak.

2.5. Yoni Ular Museum Prambanan II

Gambar 8 Ragam hias di bawah cerat yoni Yoni Ular Kecil Museum Prambanan (sumber:
dokumentasi penulis).

Yoni ini berada di Museum Candi Prambanan. Yoni ini sudah

terregistrasi oleh BPCB DIY dengan kode registrasi BG275. Panjang yoni

adalah 100 cm, lebar 76 cm, dan tinggi 64 cm. Sementara itu ragam hias di

bawah cerat yoni memiliki tinggi 39 cm, lebar 26 cm, dan panjang 26 cm.

20
Ragam hias yang ada di cerat yoni ini adalah ular dengan motif bunga teratai

di atas dan alasnya. Ragam hias sulur-sulurannya juga lebih tumpul daripada

ragam hias di Yoni Ular Besar Museum Prambanan. Bagian mulut dari yoni

sudah rusak, begitu juga dengan bagian cerat, dan badan yoni yang rusak

sebagian. Walaupun mulutnya rusak, masih terlihat mata dari ular tersebut

melotot.

2.6. Yoni di Candi Siwa, Prambanan

Gambar 9 Ragam hias di bawah cerat yoni Candi Siwa (sumber: dokumentasi penulis).

Yoni ini berada di Candi Siwa, Prambanan, Sleman atau 07° 45’ 07.4”

LS 110° 29’ 29.2” BT (Degroot, 2009, p. 240). Candi Siwa merupakan salah

satu dari tiga candi utama di Kompleks Candi Prambanan. Di atas yoni

terdapat arca Dewa Siwa. Panjang yoni adalah 174 cm, lebar 127cm, dan

tinggi 109 cm. Di atas yoni ini terdapat arca dari Dewa Siwa. Yoni ini

menghadap ke arah utara dan candinya menghadap timur.

Pada bagian bawah cerat dihiasi oleh ragam hias ular. Bagian badan

dihiasi motif bunga teratai dengan batang dan daunnya berbentuk tumpal di

21
bagian tengah. Daun-daunnya menjulur sampai ke kiri, dan kanannya. Mata

dari ular tidak melotot jika dibandingkan dengan yoni di BPCB DIY yang

melotot. Di atas mata ular tersebut terlihat ragam hias berbentuk lingkaran.

Semua gigi dari ular tersebut berbentuk seperti taring. Lidahnya bercabang

dua menjulur ke atas. Bagian mulut terdapat hiasan bulat-bulat. Kepalanya

berhias ragam hias berbentuk bulat-bulat.

2.7. Yoni di Candi Wisnu

Gambar 10 Ragam hias di bawah cerat pada yoni Candi Wisnu dari samping kanan (sumber:
dokumentasi penulis).

Yoni berada di Candi Wisnu, Prambanan atau 07° 45’ 07.4” LS 110°

29’ 29.2” BT (Degroot, 2009:240). Yoni menghadap ke arah utara. Di atas

yoni ini terdapat arca Wisnu. Panjang dari yoni adalah 142 cm, lebar 99 cm,

dan tinggi 86 cm. Ragam hias yang ada di bawah cerat berupa ragam hias

bulatan-bulatan yang disangga ular. Bagian mulut dari ular di yoni ini sudah

patah. Namun, bagian badan ular masih relatif utuh. Bagian bawah ular

dihiasi ragam hias berbentuk bunga teratai di ketiga sisi, yaitu tengah, kanan,

22
dan kiri. Cukup berbeda dengan yang ada di Candi Siwa yang terdapat tangkai

dan daun pada ragam hias bunga teratainya, di Candi Wisnu hanya terdapat

bunga. Panjang ragam hias di bawah cerat yoni adalah 43 cm, lebar 31 cm,

dan tinggi 57 cm.

2.8. Yoni di Candi Brahma

Gambar 11 Ragam hias di bawah cerat pada yoni Candi Brahma (sumber: dokumentasi penulis).

Yoni ini terletak di Candi Brahma, Prambanan atau 07° 45’ 07.4” LS

110° 29’ 29.2” BT (Degroot, 2009:240). Yoni ini menghadap ke arah utara.

Panjang dari yoni ini adalah 135 cm, sedangkan lebarnya 96 cm, dan

tingginya 86 cm. Yoni ini memiliki ragam hias ular menyangga hiasan

berbentuk bulatan-bulatan di bawah ceratnya. Ragam hias ular yang ada pada

yoni mengalami banyak kerusakan yaitu pada badan, dan kepala bagian

kanan. Bagian mulut dari ular lebih utuh daripada yoni di Candi Wisnu. Sulur-

suluran di Candi Brahma mirip dengan yang ada pada yoni Candi Siwa

dibandingkan dengan Candi Wisnu. Namun tidak sebesar dan sedetail di

Candi Siwa. Pada bagian tengah badan terdapat ragam hias berbentuk bunga

23
teratai yang sulur-sulurannya berbentuk tumpal di bagian tengahnya, dan

tangkainya menjulur sampai di bagian samping. Bagian atas mulut dan

dahinya terdapat ragam hias cincin-cincin seperti di Candi Siwa. Sementara

di ujung mulut dari ular ini memiliki taring yang menjulur ke atas, dan ke

bawah. Panjang ragam hias ular adalah 40 cm, lebar 30 cm, dan tinggi 59 cm.

2.9. Yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu

Gambar 12 Ukiran di bawah cerat yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu (sumber: dokumentasi
penulis).
Yoni berada di Penyimpanan Arca Candi Sewu dengan panjang 81 cm,

lebar 60 cm, dan tinggi 58 cm. Ragam hias pada bagian bawah cerat berupa

ukiran ular tanpa ragam hias lain kecuali gelambir, mata dan garis-garis perut.

Ukiran dari yoni ini relatif kasar jika dibandingkan dengan yoni-yoni lainnya.

24
2.10. Yoni di Candi Kedulan

Gambar 13 Ragam hias di bawah cerat Candi Kedulan (sumber: dokumentasi penulis).

Yoni berada di ruangan utama Candi Kedulan. Candi Kedulan berada

di Kedulan, Tirtomartani, Kalasan, Sleman, DIY atau 07° 44’ 33.2” LS 110°

28’ 11.0” BT (Degroot, 2009:219). Yoni menghadap ke arah utara sementara

candinya menghadap timur. Panjang dari yoni ini adalah 173cm, lebar 134

cm, dan tinggi 101 cm. Di bawah cerat terdapat ragam hias kura-kura yang

disangga oleh ular. Di antara kura-kura dan ular terdapat motif bunga teratai

yang memiliki dua sisi. Pada badannya terdapat ragam hias sulur-suluran

membentuk motif tumpal. Bagian belakang kepala terdapat ukiran sisik. Mata

dari ular tersebut melotot, giginya berbentuk taring dan taring paling belakang

mencuat dari mulut.

25
2.11. Yoni di Candi Ijo

Gambar 14 Ragam hias di bawah cerat yoni Candi Ijo (sumber: dokumentasi penulis).

Yoni ini berada di Candi Ijo yang terletak di Kikis, Sambirejo,

Prambanan, Sleman, DIY atau 07° 47’ 01.8” LS 110° 30’ 42.9” BT (Degroot,

2009:254). Panjang Yoni adalah 243 cm, lebar 182 cm, dan tinggi 117 cm.

Yoni menghadap utara sementara candi menghadap timur.

Yoni terdiri dari tiga batu. Ragam hias yang ada di bawah cerat yoni

adalah kura-kura, bunga teratai, dan ular di bagian paling bawah. Ragam hias

kepala ular berada di batu bagian tengah yoni, sementara bagian badan ada

susunan batu yang berada di bawah. Ragam hias bunga teratai hanya memiliki

satu sisi dan berada di batu atas. Badan ular terdapat motif sulur-suluran

berbentuk tumpal. Mata dari ular melotot, gigi-giginya tumpul seperti gigi

geraham manusia kecuali taring di bagian belakang.

26
2.12. Yoni di Candi Sambisari

Gambar 15 Ragam hias di bawah cerat yoni di Candi Sambisari (sumber: dokumentasi penulis).

Yoni ini berada di Candi Sambisari atau berada di 07° 45’ 44.8” LS

110° 26’ 49.0” BT. Secara administratif, Candi Sambisari berada di

Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman, DIY (Degroot, 2009:213).

Panjang yoni adalah 182 cm, lebar 134 cm, dan tinggi 107 cm. Panjang ragam

hias yang ada di bawah yoni adalah 40cm, lebar 26 cm, dan tinggi 70 cm.

Arah hadap dari yoni adalah utara.

Ragam hias yang ada di bawah cerat adalah kura-kura, dan bunga

teratai yang disangga oleh ular. Mata dari ular yang ada di yoni ini tidak

melotot. Ular yang ada di bawah cerat berbentuk ular sendok. Terdapat ragam

hias sulur-suluran berbentuk tumpal di bagian bawah. Kepala dari kura-kura

sudah aus. Ular tersebut memiliki gigi yang berbentuk taring dan taring yang

paling belakang memiliki ukuran paling panjang.

27
2.13. Yoni di Pura Kalongan

Gambar 16 Ragam hias di bawah cerat yoni di Pura Dusun Kalongan (sumber: dokumentasi penulis).

Yoni berada di Pura Dusun Kalongan, Desa Maguwoharjo Kecamatan

Depok, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut wawancara dengan pengurus

pura bernama Bu Kadek, awalnya yoni ini terpendam di tanah dan kemudian

digali secara swadaya oleh masyarakat etnis Bali di sekitar. Namun, tidak

diketahui secara pasti kapan yoni tersebut digali. Lantai di sekitar yoni sudah

diganti dengan paving namun tetap di bawah permukaan tanah sekitarnya.

Beberapa batu sisa material candi masih ditemukan di situs ini.

Panjang dari yoni adalah 173 cm, lebar 144 cm, dan tinggi 123 cm.

Sementara itu panjang ragam hias di bawah yoni adalah 20 cm, lebar 30 cm,

dan tinggi 46 cm. Namun, kondisi bagian atasnya sudah rusak termasuk

bagian cerat yang sudah hilang. Ragam hias yang ada di bawah cerat adalah

ular menyangga kura-kura. Di antara ular dan kura-kura terdapat ragam hias

bunga teratai dengan dua sisi. Kepala dari kura-kura sudah hilang sementara

28
bagian ukiran ular masih relatif utuh. Ular memiliki gigi yang semuanya

berbentuk taring. Mulut dari ular sedikit rusak. Bagian bawah badan ular

terdapat ukiran sulur-suluran di sisi tengah badan, dan kedua pinggir badan.

Sulur-suluran yang ada di tengah ular memiliki lingkaran di tengah

bawahnya.

29
BAB III
KARAKTERISTIK BENTUK DAN MAKNA RAGAM HIAS DI

BAWAH CERAT YONI

Pada bab ini dipaparkan analisis data dan tafsiran makna atas ragam

hias bawah cerat yoni berdasarkan deskripsi yang sudah dijelaskan pada bab

II. Penulisan bab ini akan diuraikan secara sistematis berkaitan dengan ragam

hias bawah cerat yoni. Pembahasan bab ini dibagi menjadi dua sub bab, yaitu

sub bab pertama yang membahas bentuk-bentuk ragam hias bawah cerat yoni

dan sub bab kedua yang membahas ragam hias bawah cerat yoni dan

kaitannya dengan yoni secara keseluruhan.

3.1. Variasi Ragam Hias yang Ada di Bawah Yoni

Ragam hias di bawah cerat yoni Kawasan Prambanan cukup variatif.

Terdapat beberapa variasi ragam hias. Beberapa yoni memiliki ragam hias

yang lebih raya daripada yoni lainnya meski lokasinya berdekatan. Walaupun

begitu, masih terdapat pola yang sama dari yoni-yoni tersebut.

Tabel di bawah ini menyajikan daftar variabel analisis yoni di


Kawasan Prambanan.
Tabel 1. Daftar Ragam Hias Bawah Cerat Yoni di Kawasan Prambanan.
No Nama Ular Kura- Gajah dan Bunga
kura Singa teratai
1 BPCB DIY  - - 
2 PU Berbah  - - 
3 Singa gajah Museum Prambanan - -  -
4 Yoni ular Museum Prambanan I  - - 
5 Yoni Ular Museum Prambanan II  - - 
6 Penyimpanan arca Candi Sewu  - - -
7 Candi Siwa  - - 
8 Candi Brahma  - - 
9 Candi Wisnu  - - 
10 Candi Ijo   - 
11 Candi Sambisari   - 
12 Candi Kedulan   - 
13 Pura Kalongan   - 

30
Dari semua yoni, hanya Yoni Ular Museum Prambanan I, dan Ular

Museum Prambanan II yang memiliki bentuk yang sama walaupun dengan

ukuran yang berbeda. Yoni-yoni dengan ragam hias di Kawasan Prambanan

memiliki ular namun yoni Singa Gajah Museum Prambanan tidak memiliki

naga. Yoni di Candi Sambisari, Kedulan, Ijo, dan Pura Kalongan memiliki

ragam hias ular dan kura-kura. Berbeda dengan yoni BPCB DIY, PU Berbah,

Yoni Besar Museum Prambanan dan Yoni Kecil Museum Prambanan,

Penyimpanan Arca Candi Sewu, dan Candi Prambanan (Candi Siwa, Wisnu,

dan Brahma) yang ragam hias hewannya hanya ular. Ragam hias bunga teratai

hanya absen di yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu, dan Singa Gajah

Museum Prambanan.

Dari paparan yang telah disebutkan sebelumnya, ragam hias di bawah

cerat yoni dibagi menjadi tiga varian berdasarkan varian ragam hias yang ada

di bawah cerat, yaitu ragam hias ular, ular dan kura-kura, serta singa dan

gajah. Terdapat kemiripan ragam hias pada yoni-yoni dengan ragam hias yang

sejenis.

31
1. Motif Ular

Gambar 17 Gambar dari ragam hias di bawah cerat yoni dengan bentuk ular di Kawasan Prambanan
dari samping, dan depan. (1) Penyimpanan Arca Candi Sewu; (2) Yoni Ular Museum Prambanan I;
(3) Candi Wisnu; (4) Candi Brahma; (5) Candi Siwa; (6) PU Berbah; (7) BPCB DIY. (Sketsa: Faiz,
Muhammad. 2020).

Bentuk ragam hias di bawah cerat yoni dengan ular memiliki jumlah

paling banyak di antara yoni-yoni dengan ragam hias di bawah cerat di

Kawasan Prambanan lainnya. Yoni BPCB DIY, dan PU Berbah ditempatkan

pada sub-varian yang sama. Keduanya memiliki motif hias di bagian badan

yoni. Beberapa ragam hias yang ada pada badan yoni juga ditemukan di

ukiran-ukiran yang ada pada candi. Pada beberapa yoni, antara ragam hias

dan badan yoni terdapat ruang kosong seperti yoni di BPCB DIY, Tempat

Penyimpanan Arca Candi Sewu, Yoni Naga Besar Museum Prambanan dan

Yoni Naga Kecil Museum Prambanan. Sementara, yoni-yoni di Candi

Prambanan ular menempel sepenuhnya pada badan yoni.

Walaupun sama-sama memiliki ukiran ular, bentuk ular yang ada pada

yoni-yoni tersebut memiliki variasi. Beberapa yoni seperti yang ada pada

32
Candi Prambanan memiliki bentuk ular yang hampir sama. Namun, banyak

ragam hias ular yang bagian mulutnya sudah tidak utuh lagi.

Ketiga yoni di Candi Prambanan berada di sub-varian yang sama karena

memiliki ciri yang sama. Candi Siwa memiliki bentuk yang lebih besar karena

posisinya yang berada di Candi utama dari kompleks. Ragam hias yang ada

di yoni Candi Siwa lebih raya dibandingkan dengan Candi Wismu dan

Brahma. Pada yoni Candi Siwa dan Brahma terdapat ragam hias sulur-suluran

berbentuk tumpal pada bagian tengah dari badan ular. Ragam hias pada yoni

di Candi Brahma memiliki bentuk yang sama tetapi dengan kualitas ukiran

yang tidak sebaik di Candi Siwa. Ragam hias pada Candi Siwa lebih detail

dan halus daripada Candi Brahma. Motif tumpal pada Candi Brahma juga

tidak setinggi di Candi Siwa. Berbeda dengan sulur-suluran yang ada pada

Candi Wisnu. Candi Wisnu tidak memiliki ukiran tumpal di bagian tengah

badannya. Namun, pada Candi Wisnu terdapat ukiran ukiran bunga teratai di

tiga sisi bagian badan yoni. Kondisi ukirannya lebih baik dan detail daripada

yoni Candi Brahma walaupun bentuknya lebih kecil. Pada yoni Candi Siwa

dan Candi Brahma, ular yang digambarkan juga memiliki lidah yang

bercabang dua dan menjulur ke bagian atas bibir.

Sementara itu, Yoni Motif Ular Museum Prambanan I dan Yoni Motif

Ular II Museum Prambanan II memiliki bentuk yang hampir mirip. Perbedaan

mencolok dari kedua yoni tersebut adalah ukuran dari kedua yoni. Namun,

keduanya memiliki motif sulur-suluran di bagian badan, dan belakang. Kedua

yoni ini tidak memiliki bunga teratai pada sulur-sulurannya. Pada bagian

bawahnya terdapat ukiran bunga teratai sebagai lapik. Matanya juga melotot,

33
dan gigi taringnya mencuat ke belakang seperti ular-ular di yoni dengan

ukiran ular dan kura-kura.

Yoni di PU Berbah, dan BPCB DIY memiliki ciri fisik yang mirip.

Ukuran keduanya cukup besar, yaitu untuk yoni di BPCB DIY memiliki

panjang 198 cm, lebar 140 cm, dan tinggi 137 cm, sedangkan yoni di PU

Berbah memiliki 170 cm, lebar 134 cm, dan tinggi 172 cm. Keduanya

merupakan temuan lepas yang tidak ditempatkan di dalam candi. Jika

dibandingkan dengan yoni lainnya, beberapa ukiran yang ada di yoni ini juga

terdapat pada bangunan candi. Salah satunya adalah motif garland yang ada

pada dinding yoni. Selain motif garland, motif sulur-suluran sejenis pada yoni

ini juga terdapat pada beberapa candi di Kawasan Prambanan seperti Candi

Prambanan dan Candi Sambisari.

Yoni di PU Berbah memiliki ciri yang sama dengan yoni yang diambil

oleh foto yang kemungkinan diambil oleh Kinsbergen dari Batavia dan dirilis

sebelum tahun 1900. Yoni yang ada di foto tersebut berasal dari Tanjungtirto9

(Kempers, 1959:166). Cerat dari PU Berbah sudah patah jika dibandingkan

dengan yoni tersebut yang masih utuh. Yoni yang di foto lama tersebut

memiliki ragam hias singa seperti yang ada di BPCB DIY. Terdapat

kemungkinan kedua yoni ini adalah yoni yang sama. Ragam hias yang ada

pada yoni tersebut sama dengan yoni di PU Berbah. Begitu juga dengan

goresan di bagian kiri yoni. Keduanya juga memiliki motif garland dan sulur-

suluran pada badan yoni, yang membedakannya dengan yang ada di PU

9
Tanjungtirto merupakan salah satu daerah di Berbah yang pada era kolonial terdapat
pabrik gula dan kompleks tempat tinggal pegawainya. Lokasinya berdekatan dengan lokasi
PU Berbah sekarang. Pada peta

34
Berbah adalah adanya lingga di foto lama, dan hilangnya cerat juga mulut

dari ular di yoni PU Berbah. Terdapat ragam hias singa pada hilir cerat yoni

BPCB DIY, dan PU Berbah dan foto tersebut. Kemungkinan yoni tersebut

merupakan yoni yang sama dengan PU Berbah10.

Gambar 18 Lingga-yoni dari Tanjungtirto. Terlihat pada yoni tersebut terdapat penggambaran dari
ular, kala, garlands dan ornamentasi lain pada ceratnya. Foto ini kemungkinan diambil oleh
Kinsbergen, I. van dari Batavia dan dirilis sebelum tahun 1900 (Sumber :
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/773781 diakses 5 November 2020, pukul
20:30).
Ragam hias ular di bawah cerat juga ada pada yoni yang dibuat pada era

Jawa Timur dengan bentuk yang berbeda dengan ragam hias ular di Jawa

Tengah. Pada yoni yang ada di Jawa Timur, ular memiliki mahkota di atas

kepalanya. Sering terdapat lidah yang menjulur ke bawah. Tidak jarang

ukiran yang ada pada ular lebih raya dengan motif berupa ukiran perhiasan.

Perhiasan tersebut biasa terdapat pada arca-arca berbentuk manusia.

Sementara itu, ukiran ular di Jawa Tengah tidak memiliki mahkota di atasnya

10
Seperti yang disebutkan sebelumnya ujung cerat dan mulut naga di PU Berbah sudah
tidak ada lagi.

35
melainkan umumnya berupa ukiran bunga teratai maupun bulatan-bulatan

seperti tiga yoni Candi Prambanan, di atas kepala ular dan ukiran hiasannya

hanya berupa sulur-suluran berbentuk tumpal. Pada bagian tengahnya

terdapat ukiran bunga teratai. Namun, ukiran pada yoni-yoni Candi

Prambanan memiliki bentuk sulur-suluran bunga teratai yang naturalis. Pada

bagian belakang ragam hias ular umumnya tidak terdapat ukiran. Namun,

terdapat juga ukiran berbentuk belah ketupat seperti di yoni BPCB DIY. Pada

yoni di Candi Siwa dan Brahma terdapat fitur yang ada pada ular pada yoni-

yoni di Jawa Timur namun ada di yoni-yoni tadi. Di bagian atas mulut dari

ular terdapat ukiran lingkaran yang bersusun.

Gambar 19 Beberapa yoni dari Jawa Timur. Gambar berdasarkan dokumentasi pribadi kecuali Yoni
Sedah yang berdasarkan gambar yang diambil dari blog Gapura Jombang (sumber :
gapurajombang.wordpress.com/2015/01/07/situs-yoni-sedah-yoni-gambar diakses 17 Oktober 2020,
23:17 WIB) (Sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, ragam hias di bawah cerat yoni

varian ular dapat dibagi menjadi empat sub-varian berdasarkan atribut yang

melekat pada bagian ular, dan bunga teratai. Sub-varian tersebut yaitu:

Sub-varian ular 1

36
- Ragam hias pada bagian ular memiliki sulur-suluran tumpal di

bagian perut ular.

- Ragam hias bunga teratai terdapat di atas kepala, dan di bawah

sebagai lapik dengan kedua bunga menghadap kedua sisi (atas dan

bawah).

Sub-varian ular 2

- Ragam hias sulur-suluran pada bagian ular berbentuk bunga teratai

di bagian perut ular.

- Bagian kepala ular terdapat motif bulat-bulatan.

Sub-varian ular 3

- Pada bagian ular terdapat ragam hiar sulur-suluran tumpal.

- Dia atas kepala ular terdapat ragam hias teratai yang bunganya

menghadap sisi atas dan bawah, sedangkan teratai yang menjadi

lapik hanya menghadap ke bawah.

Sub-varian ular 4

- Tidak memiliki sulur-suluran maupun motif teratai.

Sesuai dengan paparan di atas, sembilan ragam hias di bawah cerat yoni

dapat dibagi menjadi empat sub-varian. Yoni yang dapat dikategorikan

sebagai sub-varian 1 adalah yoni BPCB DIY, dan PU Berbah. Kedua yoni ini

tidak terletak di candi, dan memiliki ukuran yang cukup besar. Sedangkan

sub-varian 2 adalah yoni di Candi Prambanan, yaitu yoni Candi Siwa, Wisnu,

dan Brahma. Yoni yang ada pada sub-varian 3 adalah Yoni Ular Museum

37
Prambanan I dan II. Satu-satunya yoni sub-varian 4 adalah yoni di

Penyimpanan Arca Candi Sewu. Dari keempat sub-varian, hanya sub-varian

2 yang berada di candi.

2. Motif Ular dan Kura-kura

Gambar 20 Ilustrasi dari tagam hias ular dan kura-kura di bawah cerat yoni dari samping dan depan.
(1) Pura Kalongan; (2) Candi Sambisari; (3) Candi Kedulan; (4) Candi Ijo (Sketsa: Faiz, Muhammad.
2020).
Terdapat empat yoni yang memiliki ukiran kura-kura dan ular di bawah

ceratnya, yaitu yoni di Candi Ijo, Pura Kalongan, Candi Sambisari, dan Candi

Kedulan. Pada keempat yoni ini, ular ada di bagian bawah, dan kura-kura di

atasnya dengan ukiran bunga teratai di antaranya. Selain di Pura Kalongan,

yoni-yoni ini berada di dalam candi. Ukuran dari yoni-yoni tersebut hampir

sama yaitu memiliki panjang sekitar 173 cm hingga 182 cm. Kecuali yoni

38
Candi Ijo yang lebih besar dibandingkan yoni-yoni lain di Kawasan

Prambanan yang memiliki panjang 243 cm.

Penggambaran pada kura-kura di ragam hias bawah yoni memiliki

cangkang yang polos seperti yang ada pada yoni Pura Kalongan, Candi Ijo,

dan Candi Sambisari. Namun, yoni di Candi Kedulan yang memiliki motif

pada bagian cangkang dari kura-kura. Kepala kura-kura digambar detail di

yoni Candi Kedulan dan Ijo, sedangkan di Candi Sambisari, kepala kura-kura

cenderung dibuat polos, dan di Pura Kalongan kepalanya sudah hilang.

Penggambaran ular di sini sering digambarkan dengan bentuk yang

seram. Mulut ular berisi gigi-gigi taring yang tajam dengan taring di bagian

belakang, kecuali ular di yoni Pura Kalongan yang tidak memiliki taring

panjang di belakang. Ular di Candi Sambisari memiliki mata yang melotot.

Berbeda dengan Pura Kalongan, Candi Kedulan, dan Candi Ijo yang tidak

melotot.

Sulur-suluran yang ada pada semua ular ukiran di bawah cerat yoni pada

varian ini terdapat di tiga sisi, yaitu di bagian kiri, kanan, dan tengah badan.

Sulur-suluran yang ada pada bagian tengah berbentuk tumpal dengan ukiran

bunga teratai di tengahnya. Bosch (1960:42) menyebut ukiran bunga teratai

tersebut sebagai padmamula, yaitu organ utama dari bunga teratai dengan

akar. Dari padmamula, sulur-suluran menjalar sesuai yang pemahat

kehendaki. Sulur-suluran pada ragam hias bawah cerat yoni memiliki corak

yang berbeda dengan gaya yang sama. Namun, pada ular yang ada di Candi

Ijo tidak memiliki padmamula pada bagian tumpalnya, berbeda dengan Candi

Kedulan, Candi Sambisari, dan Pura Kalongan yang memiliki padmamula.

39
Selain di Kawasan Prambanan, ukiran dengan ular dan kura-kura juga

terdapat di luar Kawasan Prambanan. Diperkirakan, contoh yang paling tua

dari yoni dengan ukiran adalah yoni di Candi Gunung Wukir. Candi ini sudah

ada sejak abad ke-8 yang ditandakan oleh prasasti Canggal yang bertahun 654

Saka atau 732 Masehi yang didirikan oleh Raja Sanjaya (Boechari,

2018:572). Walaupun bagian ukiran di bawah ceratnya tidak utuh, namun

ukiran dari yoni di Candi Gunung Wukir memiliki ciri yang sama dengan yoni

dengan kura-kura dan ular yang ada di Kawasan Prambanan, yaitu ragam hias

ular berada di bagian paling bawah, lalu di atasnya terdapat ukiran bunga

teratai dan di atasnya lagi ada kura-kura. Terdapat ukiran sulur-suluran di

bagian badan ular juga yang berbentuk tumpal dengan ukiran berbentuk

lingkaran di tengahnya. Ciri yang paling mencolok dari ukiran di bawah cerat

yoni yang ada di Candi Gunung Wukir dengan yang ada di Kawasan

Prambanan adalah penggunaan bunga di ruang kosong antara ukiran ular dan

badan yoni. Selain pada ukiran, bagian badan yoni di Gunung Wukir memiliki

kemiripan dengan yoni di Candi Kedulan, Candi Sambisari, dan Pura

Kalongan yaitu memiliki motif tiga persegi panjang pada bagian tengah

badan.

Beberapa contoh lain yoni dengan ular dan kura-kura adalah yoni di

Candi Klero, dan beberapa yoni temuan lepas di Kabupaten Semarang.

Berbeda dengan yoni di Kawasan Prambanan, ukiran bunga teratai pada yoni

di Kabupaten Semarang tidak terdapat di antara ular dan kura-kura. Hanya

yoni di Bedono, Kabupaten Semarang yang memiliki ukiran bunga teratai

walaupun berada di atas kura-kura. Pada yoni di Bedono terdapat ukiran

40
sulur-suluran dengan bunga pada bagian kosong antara ukiran ular dan badan

yoni. Di bagian badan yoni juga tidak terdapat ukiran sulur-suluran. Tetapi

ukiran tumpal tanpa sulur-suluran tetap ada pada yoni di Gandekan, dan Candi

Klero.

Gambar 21 Beberapa yoni dengan ukiran ular dan kura-kura di bawah cerat di Kabupaten Semarang,
dan Kabupaten Magelang (Sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

Yoni di Candi Kedulan memiliki kesamaan dengan yoni di Gandekan,

Harjosari, Bawen, Kabupaten Semarang. Kedua yoni tersebut memiliki sisik

di badannya. Dibandingkan dengan ular di yoni lainnya yang cenderung polos

pada bagian badannya kecuali yoni BPCB DIY yang pada badannya berhias

motif berbentuk belah ketupat. Yoni di Gandekan sudah tidak in situ

melainkan dipindahkan ke kantor kelurahan Harjosari. Ukuran dari yoni di

Gandekan juga relatif lebih kecil yaitu panjang 140 cm, lebar 114 cm, dan

tinggi 90 cm.

Candi Kedulan dan Candi Sambisari memiliki kemiripan bentuk

bangunan candi yang menaungi. Pada kedua candi, candi utama memiliki

pagar langkan dan terdapat umpak di bagian terasnya. Denahnya sama-sama

41
berbentuk persegi dengan bangunan utama penaung yoni di tengah. Terdapat

tiga candi perwara di depannya dan dikelilingi oleh pagar. Kedua candi juga

berada di tanah sekitarnya dan dulunya terpendam. Kedua arah hadap candi

ini berbeda, Candi Kedulan menghadap arah timur sedangkan Sambisari

menghadap arah barat.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, ragam hias di bawah cerat yoni

varian ular dapat dibagi menjadi tiga sub-varian berdasarkan atribut yang

melekat pada bagian ular, dan kura-kura. Pada varian ini tidak ada perbedaan

siginifikan pada motif bunga teratai sehingga variabel ini tidak digunakan.

Sub-varian tersebut yaitu:

Sub-varian ular dan kura-kura 1

- Ragam hias pada bagian perut ular memiliki sulur-suluran tumpal

dengan padmamula.

- Ragam hias kura-kura pada cangkangnya tidak memiliki motif atau

polos.

Sub-varian ular dan kura-kura 2

- Ragam hias pada bagian perut ular memiliki sulur-suluran tumpal

dengan padmamula.

- Ragam hias kura-kura pada cangkangnya memiliki motif cangkang

kura-kura.

Sub-varian ular dan kura-kura 3

- Ragam hias pada bagian perut ular memiliki sulur-suluran tumpal

tanpa padmamula.

42
- Ragam hias kura-kura pada cangkangnya tidak memiliki motif atau

polos.

Berdasarkan paparan di atas, empat yoni dengan ragam hias kura-kura

dan ular dapat dibagi menjadi tiga sub-varian. Sub-varian 1 adalah yoni di

Pura Kalongan, dan Candi Sambisari. Sub-varian 2 adalah yoni di Candi

Kedulan. Sedangkan, sub-varian 3 adalah yoni di Candi Ijo. Hanya Pura

Kalongan yang letaknya tidak di candi.

3. Motif Singa dan Gajah

Gambar 22 Gambar ragam hias di bawah cerat pada yoni MPN 1 (Sketsa : Faiz, Muhammad. 2020).

Haryono (1980:48) berpendapat bahwa motif ini melambangkan

Gajaraja. Sampai saat ini, yoni yang memiliki ukiran singa dengan gajah

hanya ditemukan satu yaitu yoni ini. Motif ukiran bawah cerat yoni dengan

bentuk singa terdapat pada yoni lain di Jawa Tengah, salah satu contohnya

adalah yoni di Gatak, Sukoharjo. Namun, motif singa dan gajah dapat

ditemukan pada karya seni lain seperti arca-arca maupun relief. Salah satu

contohnya adalah arca yang ada di Museum Candi Prambanan. Singa yang

43
ada di yoni ini juga ciri yang sama dengan singa-singa yang ada di candi-

candi lain di Jawa Tengah. Salah satu contoh motif singa berdiri ada di Candi

Ngawen. Namun, yoni ini sudah lepas dari konteksnya sehingga tidak

diketahui posisinya dalam situs dan ada apa di situsnya.

Gambar 23 Arca singa dan gajah di Museum Prambanan. Berbeda dengan yoni Singa Gajah di
Museum Prambanan, singa di arca ini tidak berdiri (sumber: dokumentasi pribadi).

Gambar 24 Yoni dengan ukiran singa pada ceratnya di Gatak, Sukoharjo. Berbeda dengan yoni
Singa Gajah Museum Prambanan, singa tidak menjadi penyangga cerat melainkan menjadi
cerat pada kepalanya. Singa tersebut juga berdiri di atas ukiran bunga teratai sebagai lapik
(sumber: dokumentasi oleh Yoga Wahyudi).
Ukiran singa melawan gajah merupakan salah satu relief yang umum

menghiasi candi-candi Hindu dan Jain di India pasca abad ke-7. Ukiran ini

tidak hanya ada di bangunan bersifat relijius, namun juga terdapat di hal yang

bersifat profan seperti benteng, dan meriam yang dibuat pada kesultanan di

44
daratan tinggi Deccan maupun Kesultanan Mughal sekitar abad ke-16.

Walaupun begitu, penggunaan singa melawan gajah sudah ada jauh sebelum

bangunan-bangunan tersebut ada. Menurut puisi Bharavi yang banyak

beredar pada abad ke-6, singa dan gajah diumpamakan sebagai musuh

(Sohoni, 2017:228).

3.2. Karakteristik Ragam Hias di bawah Cerat Yoni di Kawasan

Prambanan

Yoni di Kawasan Prambanan dapat dibagi menjadi 3 varian, dengan 7

sub-varian. Dari tujuh sub-varian, 4 di antaranya ditemukan di candi

sedangkan sisanya ex situ seperti di tempat penyimpanan arca, museum, dan

gudang barang instansi pemerintah. Hanya yoni singa dan gajah yang tidak

memiliki sub-varian.

Penggambaran ular pada yoni yang memiliki ragam hias kura-kura di

atasnya juga berbeda dengan yoni yang hanya memiliki ukiran ular di bawah

cerat. Ragam hias ular yang ada pada yoni dengan ukiran ular saja umumnya

memiliki penggambaran yang lebih mirip ukiran ular pada seni-seni Jawa

Timur jika dibandingkan dengan ular dengan kura-kura. Bagian kepala dari

ular lebih lebar dibandingkan dengan varian ular dan kura-kura. Mulut dari

varian dengan ular saja cenderung lebih ‘sempit’ pada moncongnya

dibandingkan dengan ular yang ada pada varian ular dan kura-kura yang lebih

tumpul.

Beberapa yoni seperti yoni di Museum Prambanan, BPCB DIY, PU

Berbah, dan Tempat Penyimpanan Arca Candi Sewu sudah lepas dari

konteksnya. Sehingga tidak diketahui bagaimana kedudukan yoni tersebut di

45
tempat asalnya. Yoni-yoni seperti yoni di PU Berbah, Yoni Besar Museum

Prambanan, dan yoni di BPCB DIY memiliki ukuran yang besar. Namun,

yoni-yoni tersebut tidak berada di candi. Walaupun terdapat catatan seperti di

BPCB DIY yang berasal dari situs Polangan dan di situs tersebut ditemukan

bagian candi dan arca yang dicatat oleh Verbeek pada tahun 1890 (Degroot,

2009:260). Yoni di Pura Kalongan, meski di sekitarnya terdapat sisa-sisa batu

candi, namun tidak diketahui secara jelas apakah yoni tersebut benar-benar

berada di situs yang sama dengan bangunan yang menaunginya pada masa

lalu.

Tabel 2. Ukuran yoni dengan ragam hias bawah cerat di Kawasan


Prambanan.
No Nama Panjang Lebar Tinggi
1 BPCB DIY 198 cm 140 cm 137 cm
2 PU Berbah 170 cm 134 cm 138 cm
3 Singa gajah Museum Prambanan 154 cm 126 cm 94 cm
4 Yoni Ular Besar Museum Prambanan 154 cm 124 cm 122 cm
5 Yoni Ular Kecil Museum Prambanan 100 cm 76 cm 64 cm
6 Penyimpanan Arca Candi Sewu 81 cm 60 cm 58 cm
7 Candi Siwa 174 cm 127 cm 109 cm
8 Candi Brahma 135 cm 96 cm 86 cm
9 Candi Wisnu 142 cm 99 cm 86 cm
10 Candi Ijo 243 cm 182 cm 117 cm
11 Candi Sambisari 182 cm 134 cm 107 cm
12 Candi Kedulan 173 cm 134 cm 101 cm
13 Pura Kalongan 173 cm 144 cm 123 cm

Ukuran, dan ragam hias tetap memiliki pengaruh dalam hirarki sebuah

yoni jika berada di situs yang sama. Pada yoni di candi utama seperti di Candi

Ijo, Kedulan, dan Sambisari, yoni memiliki ragam hias di bawah cerat yoni.

Yoni yang bukan yoni di candi utama candi-candi tersebut tidak memiliki

ragam hias di bawah ceratnya. Ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan

yoni di garbhagriha. Yoni di candi perwara Kedulan memiliki panjang 113

cm, lebar 84 cm, dan tinggi 69 cm, sedangkan di candi utama memiliki

46
panjang 173 cm, lebar 134 cm, dan tinggi 101 cm. Pada candi perwara candi

Sambisari memiliki panjang 101 cm, lebar 74 cm, dan tinggi 101 cm,

sedangkan pada candi utama memiliki panjang 182 cm, lebar 134 cm, dan

tinggi 107 cm. Pada perwara candi Ijo, yoni memiliki panjang 143 cm, lebar

109 cm, dan tinggi 54 cm, sedangkan pada candi utama yoni memiliki panjang

243 cm, lebar 109 cm, dan tinggi 117 cm. Hal ini menyiratkan posisi yang

lebih penting dari yoni di candi utama yang memiliki ragam hias, dan ukuran

yang lebih besar.

Kaitan ukuran dan ragam hias yoni dalam hirarki candi juga dapat

dilihat di Kompleks Candi Prambanan. Candi Siwa, sebagai candi utama di

kompleks candi, memiliki ukuran yoni yang lebih besar daripada yoni di

Candi Brahma, dan Candi Wisnu. Panjang Yoni Candi Siwa adalah 174 cm,

lebar 127 cm, dan tinggi 109 cm. Sementara itu, panjang yoni Candi Wisnu

adalah 142 cm, lebar 99 cm, dan tinggi 86 cm, sedangkan panjang yoni Candi

Brahma adalah 135 cm, lebar 96 cm, dan tinggi 86 cm. Ragam hias pada yoni

Candi Siwa memiliki kualitas yang lebih baik daripada yoni di Candi Brahma,

dan Candi Wisnu. Ragam hias pada yoni Candi Siwa lebih raya, dan halus

dibandingkan dengan yoni Candi Brahma, dan Wisnu.

3.3. Analisis Ikonografi Ragam Hias di Bawah Cerat Yoni

Bagian ini menjelaskan makna dari ragam hias yang ada di bawah yoni.

Pada bagian ini dimulai dari pengertian lingga yoni untuk melihat posisi

ragam hias di bawah cerat sebagai bagian dari lingga yoni. Makna dari ragam

hias dari yoni dapat memiliki korelasi dengan posisinya di yoni. Kemudian

makna dari ragam hias di bawah cerat yoni dibagi sesuai dengan pembagian

47
varian ragam hias. Kajian filologi, dan kajian ikonografi digunakan pada

bagian ini untuk menjelaskan makna, maupun subyek dari ragam hias-ragam

hias tersebut. Setelah itu disimpulkan makna dan korelasi antara ragam hias-

ragam hias tersebut.

3.3.1. Makna Ragam Hias yang ada di Ukiran Bawah Cerat Yoni

Walaupun yoni memiliki bentuk nishkalam11, namun ukiran-ukiran

bersifat sakalam sering muncul di bawah cerat yoni-yoni di Jawa. Tidak

seperti mukha-lingga yang bersifat sakalam-niskalam, ukiran yang ada pada

yoni tidak merupakan gambaran vulgar dari sakti dewa Siwa maupun

perlambangan dari Wisnu atau Brahma. Melainkan makhluk-makhluk

mitologis seperti ular, kura-kura, singa, gajah, hingga Garuda. Hewan-hewan

ini sering digambarkan sebagai penyangga dari cerat yoni.

Makhluk-makhluk tersebut hadir di cerita-cerita yang ada pada naskah

keagamaan. Beberapa diantaranya merupakan jenis hewan yang sama dengan

awatara atau penjelmaan dewa. Kura-kura sering diasosiakan dengan Kurma

atau awatara dari dewa Wisnu. Hewan mitologis dalam Hinduisme yang

berbentuk ular adalah naga. Terdapat naga-naga yang disebut sebagai

nagaraja seperti Sesa, Wasuki, dan Taksaka. Sesa sering diasosiasikan dengan

11
Terdapat tiga jenis penggambaran dewata dalam bahasa Sansekerta, yaitu nishkalam,
sakala-nishkalam, dan sakalam. Sakalam adalah penggambaran dewata dalam bentuk
morphic, atau memiliki bentuk fisik yang jelas, dari badan, kepala, hingga kaki dan tangan.
Beberapa contoh sakalam adalah penggambaran dewa-dewa seperti Wisnu, Siwa, dan
Brahma dalam arca, lukisan, hingga relief. Sakala-Nishkalam merupakan penggambaran
bentuk dewata yang merupakan perpaduan antara amorphic, dan morphic, yaitu
penggambaran dewata yang penggambaran fisiknya tidak penuh atau sebagian. Salah satu
contohnya adalah mukha-linggam yang pada unsur morphic digambarkan oleh wajah dari
siwa, sedangkan amorphic digambarkan oleh bentuk lingga tersebut. Nishkalam adalah
penggambaran dewata bentuknya amorphic atau tidak memiliki bentuk yang jelas. Bentuk
fisik dari kedewaan tersebut direpresentasikan dalam bentuk simbol. Salah satu contohnya
adalah lingga dan yoni (Sthapati, 2002:35-36).

48
Wisnu, sedangkan Wasuki dengan Siwa (Vogel, 1926:202). Dalam tulisan

selanjutnya, motif ular pada ragam hias di bawah cerat yoni diidentifikasikan

dengan naga.

Oleh karena itu, berbagai ragam hias maupun relief pada era Jawa Kuno

bisa dilacak kaitannya dengan cerita-cerita keagamaan di naskah-naskah yang

pernah ditulis. Klokke (2003:26) berpendapat bahwa cerita-cerita keagamaan

memiliki pengaruh pada seni Jawa Kuno. Cerita tentang naga yang melilit

gunung meru untuk mengeluarkan air suci amerta cukup populer pada era

Jawa Kuno. Pada cerita Tantu Pagelaran12 diceritakan bahwa naga dunia

membawa gunung meru dari India ke tanah Jawa yang pada prosesnya

memproduksi air suci dengan mombolak-balik Gunung Meru. Klokke

mengambil contoh kamandalu atau kendi yang menyimpan air suci dari

temuan Jawa Timur. Kamandalu tersebut memiliki ukiran naga pada

mulutnya sehingga ditafsirkan sebagai naga yang mengeluarkan amerta dari

dalam kamandalu. Candi naga di kompleks Candi Penataran diperkirakan

sebagai tempat menyimpan air suci.

Walaupun contoh tersebut berasal dari masa yang lebih muda, persepsi

akan naga sebagai hewan suci yang berkaitan dengan air suci dapat terjadi di

masa sebelumnya. Beberapa karya sastra yang menyebut air suci seperti

Adiparwa pada salah satu bagiannya menceritakan tentang gunung

Mandaragiri yang dililit oleh naga Wasuki untuk ditarik oleh para dewa dan

12
Tantu Pagelaran ditulis pada tahun 1557 Masehi. Tantu Panggelaran berisi tentang
pengisian tanah Jawa dengan manusia oleh Batara Guru, dipindahkannya Mahameru ke
tanah Jawa, juga kisah-kisah bagaimana kehidupan Batara Guru dan permaisurinya, Batari
Uma, juga dewa-dewa lainnya di tanah Jawa (Ratna, Suyami, & Guritno, 1999:1). Cukup
jauh jaraknya dengan candi-candi era Jawa Tengah yang berkisar dari abad ke-8 hingga ke-
9 (Rahardjo, 2002:226-227).

49
asura agar air amerta keluar (Vogel, 1926:199). Berikut penjelasan

ikonografis tiap variasi dari yoni di bawah cerat yoni Kawasan Prambanan di

bawah ini:

1. Motif Ular

Naga merupakan salah satu tokoh mitologis yang terkenal dalam

Hinduisme dan Buddhisme. Dalam bahasa Sansekerta, naga memiliki

arti sebagai kobra atau ular secara umum (Apte, 1997:423,539). Naga

merupakan makhluk mitologis yang merupakan ras ular besar dan

mendiami patala-loka13. Terdapat tiga penggambaran naga yang umum

di India, yaitu memiliki bentuk ular kobra dengan kepala yang banyak,

manusia dengan bawah badan ular, dan manusia dengan tudung

berbentuk ular kobra (Bosch, 1960:136). Namun, dalam silparatna naga

memiliki bentuk setengah manusia dan ular besar, kepalanya

berkerudung dengan satu, tiga, lima, atau tujuh kepala ular sendok,

lidahnya bercabang, tangannya membawa pedang dan tameng (M.A.,

1914). Penggambaran setengah manusia tidak banyak terdapat dalam

seni Jawa Kuno. Naga-naga di Jawa digambarkan sebagai ular sendok

yang besar, dan pada artefak-artefak pada era Jawa Timur memakai

mahkota di kepalanya (Santiko, 2015:87).

Terdapat beberapa jenis naga. Pemimpin dari para naga umumnya

disebut sebagai nagaraja. Beberapa nagaraja yang utama adalah Sesa,

Wasuki, dan Takshaka. Sesa umumnya ditempatkan sebagai naga yang

13
Patala loka merupakan salah satu loka atau dunia yang berada di bawah bumi (Mani,
1975:580).

50
paling tinggi derajatnya namun terdapat nagaraja lain, terutama

Wasuki, yang sering ditukar posisinya sebagai naga tertinggi. Dalam

Harivamsa, di mana Dewa Brahma menunjuk raja-raja dari berbagai

jenis makhluk, Ia menunjuk Wasuki sebagai raja dari naga, Takshaka

raja dari ular, dan Sesa raja dari berbagai hal yang bertaring (Vogel,

1926:192).

Naga juga muncul dalam berbagai karya sastra. Dalam teks

Adiparwa14, diceritakan bagaimana asal usul dari naga. Naga

merupakan anak dari Kadru. Kadru merupakan salah satu dari dua

puluh sembilan istri Kasyapa yang bijak. Istri lainnya, Winata adalah

dewi dari surga dan mempunyai dua anak, yaitu Aruna yang ditunjuk

sebagai kusir dari kereta kuda Dewa Surya dan Garuda yang kemudian

ditunjuk sebagai wahana dari Dewa Wisnu. Kadru dan Vinata

kemudian berseteru mengenai warna dari kuda Uccaihswara, kuda yang

keluar bersamaan dengan air amerta ketika peristiwa

Samudramanthana. Karena keduanya gigih akan pendapatnya, pada

akhirnya mereka bertaruh, bahwa siapa yang salah akan menjadi budak

dari yang lain. Para naga kemudian memberi tahu bahwa Kadru salah

menebak dan kemudian para naga tersebut mengubah warna dari

Uccaihswara dengan bisa mereka, Kadru pun menang taruhan.

14
Adiparwa merupakan salah satu sastra parwa (prosa yang mengadaptasi bagian epos-epos
dalam Bahasa Sansekerta) yang merupakan kitab pertama dari cerita Mahabharata.
Adiparwa terdiri dari dua bagian, bagian pertama bercerita tentang korban atas perintah raja
Janamejaya dipersembahkan untuk suatu sarana magis yang digunakan untuk
menghilangkan para naga. Bagian kedua dari epos ini berisi tentang silsilah para Pandawa
dan Korawa, kelahiran, juga masa mudanya sampai dengan pernikahan Arjuna dan
Subhadra. (Zoetmulder, 1983:80)

51
Winata yang telah menjadi budak kemudian menyuruh anaknya,

Garuda, untuk melihat para naga-naga licik tersebut. Ia diberitahu

bahwa agar ibunya bebas, Ia harus memberikan naga-naga tersebut air

amerta. Air tersebut dimiliki oleh para dewa yang dipimpin oleh Dewa

Indra. Garuda ternyata dapat merebut air tersebut dari tangan para dewa

kemudian memberi izin Dewa Wisnu untuk menjadikannya

wahananya. Air amerta kemudian diberikan kepada naga untuk tebusan,

lalu air tersebut direbut kembali oleh para dewa (Zoetmulder, 1983:81-

82).

Namun, ada satu naga yang melepaskan diri dari saudara-

saudaranya tersebut. Naga itu adalah Sesa, anak tertua dari Kadru. Ia

bertapa untuk menebus dosanya. Brahma kemudian melihatnya dengan

kondisi rambut yang sudah kusut juga memakai pakaian kulit kayu

seorang pertapa. Brahma senang akan pengendalian diri dan

ketenangan pikiran Sesa. Brahma ingin Sesa bertindaklah sesuai

dengan kata-kataku untuk kesejahteraan semua makhluk. Atas perintah

Brahma, Sesa membawa Bumi yang terikat laut di atas kepalanya,

melingkupinya dengan gulungan tak berujung15 (Vogel, 1926:57).

Cerita tersebut berdasarkan Adiparwa versi India.

15
Kemudian Brahma bertanya kepada Sesa “Apa yang dilakukan Engkau, Sesa? Karena hal
yang kau lakukan, engkau menyebabkan kesusahan bagi umat manusia. Apa keinginan yang
ada di hatimu? " Sesa menjawab: “Saudaraku semuanya lambat untuk mengerti, sehingga
saya tidak tahan untuk tinggal bersama mereka. Untuk ini aku mendambakan persetujuanmu.
Mereka terus menerus membenci satu sama lain seperti musuh, dan mereka tidak menderita
seperti Vinata dan putranya. Dia yang mereka benci, meskipun dia lebih kuat karena
anugerah yang diberikan oleh ayah kami, Kasyapa. Oleh karena itu, Aku telah melakukan
pertapaan ini sehingga, terbebas dari tubuh ini, Saya mungkin tidak akan tinggal bersama
mereka setelah ini”. Brahma menasihatinya untuk tidak berduka atas nasib saudara-
saudaranya, dan mengizinkannya untuk memilih anugerah. Kemudian Sesa berkata: “Ini
adalah anugerah yang aku pilih. Semoga pikiran saya senantiasa menikmati kebenaran,

52
Dalam Adiparwa versi Jawa Kuno terjemahan Siman

Widyatmanta, cerita ini diceritakan lebih ringkas daripada versi India16.

Disebutkan bahwa naga yang paling tua dari naga-naga yang dilahirkan

Kadru, bertapa memuja Brahma. Lalu Ia diberi pekerjaan oleh Brahma,

yaitu menahan bumi, tidak mengenal susah. Karena hal tersebut,

namanya menjadi Anantabhoga (Widyatmanta, 1968:64). Cerita

tentang Sesa yang menyangga bumi cukup berkorelasi dengan yoni

yang merupakan perlambangan dari bumi, sedangkan lingga adalah

alam semesta.

Naga sebagai penyangga bumi juga disebutkan pada karya sastra

lain. Pada Udyogaparwa disebutkan bahwa naga berada di Saptapala17.

Hariani Santiko beranggapan bahwa para naga tinggal di dunia bawah

atau patala sehingga dianggap sebagai penyangga bumi atau bhudara

(Santiko, 2015:88).

Pada Tantu Pagelaran, diceritakan bahwa naga Sesa juga

membawa bumi. Walaupun naskah ini cukup jauh dengan seni kuno era

Jawa Tengah, namun terdapat kemiripan persepsi bahwa naga yang

ketenangan, dan asketisme." Brahma berkata: “Aku senang, Sesa, dengan pengendalian diri
dan ketenangan pikiranmu. Tetapi bertindaklah sesuai dengan kata-kataku untuk
kesejahteraan semua makhluk. Bumi yang dapat dipindahkan ini dengan bebatuan dan
hutannya, dengan lautan, desa, kebun, dan kota-kotanya. Pegang erat-erat, Sesa, sehingga dia
(bumi) mungkin tak tergoyahkan” Sesa setuju dan Bumi membuatnya menjadi celah, yang
dimasukinya, untuk menyangganya dari bawah..
16
Dalam Adiparwa bab VII nomor 2 disebutkan “...ikang naga atuhu de sang Kadru, amrih
ta sira sumangga prthiwitala, tan katakana de ning sarwadukha, ‘kadi lwirku ta lwiranta’
Mangkana ling bhatara Brahma irikang naga, ya ta matang yan adharana prthiwi, sira ta
Anantabhoga…” (Widyatmanta, 1968:64).
17
Disebutkan pada Udyogaparwa 62.29 “kahananing naga sinangguhaken saptapala.”
(Santiko, 2015:88).

53
menyangga bumi18. Ketika itu kepala Sang Hyang Brahma dilabuh ke

lautan, maka lautan menjadi kering airnya. Diletakkan di angkasa, maka

angkasa seperti disangrai atau terbakar. Diletakkan pada bumi,

langsung tembus ke bawah tanah lalu menimpa kepala Sang Hyang

Anantabhoga, naga penyangga bumi. Setelah itu ia menggelepar-

gelapar lalu gempa bumi terjadi (Ratna, Suyami, & Guritno, 1999:88).

Anantabhoga merupakan nama lain dari Sesa dan pada cerita ini juga

Sesa menyangga bumi.

Selain menyangga bumi, Sesa dikaitkan dengan Dewa Wisnu.

Naga tersebut sering digambarkan menjadi ‘tempat berbaring’ bagi

Dewa Wisnu dalam kesenian-kesenian Hindu (Vogel, 1926:193).

Ketika Dewa Wisnu tidur, alam semesta larut ke dalam keadaan tak

berbentuk, yang direpresentasikan sebagai samudra kausal. Sisa-sisa

perwujudan direpresentasikan sebagai Ular (Sesa) yang melingkar di

atas dirinya sendiri dan mengapung di atas air yang tak terkira. Di atas

Sesa Visnu yang tertidur beristirahat (Danielou, 1985:151).

Naga juga tampil dalam cerita Samudreamanthana atau

Amrtamanthana. Salah satu nagaraja, Wasuki, melilit gunung

Mandaragiri untuk mengeluarkan air amerta dari samudra. Wasuki

ditarik oleh para dewa dan dewi, juga para asura agar amerta bisa keluar

dari samudra. Pengadukan gunung Mandaragiri juga dibantu oleh salah

18
Dalam teks Tantu Pagelaran bagian kepala sang Brahma diletakkan pada bumi dan
menimpa kepala Sang Hyang Anantabhoga disebutkan sebagai berikut “…Dalam Katiban
sirah sang hyang Anantabhoga, naga pinakadasar ing prthiwi…” (Ratna, Suyami, &
Guritno, 1999:25).

54
satu awatara Wisnu berbentuk kura-kura yaitu Kurma. Cerita tentang

Samudramanthana akan lebih dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Cerita-cerita tersebut dapat menjadi alasan mengapa naga

menjadi penyangga cerat pada yoni-yoni di Kawasan Prambanan. Juga

diketahui bahwa naga yang menyangga cerat tersebut adalah naga Sesa,

atau Wasuki. Jika yoni merupakan penggambaran dari Wisnu, maka

naga yang menyangga cerat tersebut adalah Sesa. Dapat juga diartikan

sebagai Sesa yang menyangga bumi. Namun, jika ukiran tersebut

merupakan penggambaran dari peristiwa Samudramanthana, maka

naga tersebut adalah Wasuki.

2. Motif Ular dan Kura-kura

Penjelasan tentang naga cukup banyak dijelaskan pada tulisan

sebelumnya. Namun, pada bagian ini lebih menjelaskan kura-kura

dalam Hinduisme, dan cerita-cerita keagamaan yang mencantumkan

naga dan kura-kura. Terdapat beberapa tokoh kura-kura dalam

Hinduisme. Beberapa diantaranya yang paling populer adalah Kurma,

dan Kasyapa. Keduanya memiliki arti kura-kura dalam bahasa

Sansekerta. Kurma adalah salah satu dari sepuluh awatara Dewa Wisnu,

sedangkan Kasyapa merupakan Ayah dari berbagai makhluk, dan

memainkan peran yang sangat penting dalam konsepsi kosmogonik dan

silsilah orang-orang Veda (Patyal, 1995:98).

Naga, maupun kura-kura erat kaitannya dengan air. Air

merupakan tempat tinggal favorit bagi naga. Seringkali mereka

ditemukan di danau, kolam, hingga lautan. Dalam literatur Buddhisme,

55
naga menurunkan hujan lalu menjadi sungai. Menurut Bosch, Kura-

kura dikaitkan dengan air tidak hanya karena bentuknya mirip dengan

padmamula atau bentuk awalan dari tumbuhan teratai, melainkan

kerena habitat hidupnya yang berada di air. Kura-kura juga sering

dinamakan sebagai penguasa air (apam, patih). Sementara itu, naga

diasosiasikan dengan batang teratai pada ukiran kalpalata (Bosch,

1960:100, 136).

Naga dan kura-kura tampil dalam cerita Samudramanthana.

Cerita tersebut tercantum dalam beberapa karya sastra salah satunya

adalah Adiparwa. Di versi India maupun Jawa Kuno cerita ini

ditampilkan. Keduanya menjadi salah satu tokoh vital dalam pemutaran

gunung Mandaragiri. Adiparwa versi Jawa Kuno ditulis pada masa

Dharmawangsa Teguh, yaitu pada tahun 918 Saka atau 998 Masehi

(Widyatmanta, 1968:IX).

Dalam Adiparwa versi India bagian Astika Parwa bab XVII

hingga XIX, diceritakan bahwa bahwa Ada sebuah gunung bernama

Mandara dengan puncak seperti awan. Gunung tersebut adalah yang

terbaik dari pegunungan, dan diselimuti oleh tumbuhan herbal yang

terjalin. Para dewa, bidadari, dan kinnara mengunjungi tempat itu. Ke

atas naik sebelas ribu yojana, dan turun ke bawah dengan jumlah yang

sama. Para dewa gagal untuk merobek gunung. Lalu, mereka

mendatangi Wisnu dan Brahma yang sedang duduk. Mereka kemudian

mendiskusikan bagaimana memutar gunung Mandaragiri.

56
Ananta (nama lain dari Sesa) diarahkan oleh Brahma dan

Narayana (Wisnu), mengangkat gunung itu dengan hutan di atasnya dan

bersama penghuni hutan itu. Para dewa datang ke pantai Samudra

bersama Ananta, dan meminta kepada Samudra mengaduk airnya untuk

mendapatkan amerta. Samudra menyetujuinya karena Ia akan

mendapatkan bagian amerta dan mampu menahan gejolak perairannya

di dekat gunung.

Para dewa mendatangi raja kura-kura (Kurma) dan memintanya

memegang gunung tersebut ke punggungnya. Raja kura-kura setuju,

dan Indra ditempatkan di atas gunung. Para dewa dan Asura menjadikan

gunung Mandara sebagai bor, dan Wasuki sebagai talinya. Asura

memegang Wasuki di kepalanya sedangkan para dewa di ekor. Ananta

yang mewakili Narayana, secara berkala mengangkat kepala Ular dan

tiba-tiba menurunkannya. Dalam hati nurani dari gesekan yang Ia

terima di tangan para dewa dan Asura, uap hitam dengan api yang

keluar dari mulutnya yang menjadi awan yang diisi dengan kilat yang

disiram hujan untuk menyegarkan dewa yang lelah.

Setelah pengadukan berlangsung beberapa lama, keluarlah bulan

sejuk seribu sinar dari laut. Setelah itu, Laksmi berpakaian putih, dan

anggur, Uccaihsrawa19, dan kemudian permata surgawi Kaustuva yang

menghiasi dada Narayana keluar. Kemudian muncul Dhanwantari

sendiri dengan wadah putih nektar di tangannya.

19
Kuda putih berkepala tujuh yang kemudian dimiliki Dewa Indra.

57
Kemudian keluar Airawata, seekor gajah dengan tubuh besar dan

dua pasang gading putih. Indra kemudian mengambil pemegang petir

itu. Tapi pengadukan masih berlanjut, sehingga racun akhirnya muncul,

dan mulai menyebar ke seluruh bumi, berkobar seperti nyala api

bercampur asap. Siwa yang meminum racun tersebut kemudian

lehernya menjadi biru lalu Ia dijuluki Nilakantha. Melihat semua hal

yang menakjubkan ini, para Asura dipenuhi dengan keputusasaan, dan

bersiap untuk bertarung dengan para dewa karena memiliki Lakshmi

dan amerta.

Setelah proses yang panjang, para dewa memperoleh

kemenangan. Untuk menghormati Mandara, gunung tersebut

ditempatkan di tempatnya semula. Para dewa pembawa nektar yang

membuat langit bergema dengan teriakan mereka. Para dewa kemudian

yang kembali ke surga sangat bersukacita dan wadah nektar lndra dan

dewa lainnya yang dibawa ke Nara dijaga dengan hati-hati (Roy,

1884:78-83).

Inti cerita dari Samudramanthana pada Adiparwa versi India dan

Jawa sebenarnya sama, tetapi terdapat beberapa perbedaan minor.

Keduanya sama-sama menceritakan bahwa para dewa dan asura (atau

deitya pada versi Jawa Kuno) bersama-sama memutar gunung

Mandaragiri untuk mengelurkan air amerta dan ‘benda-benda’ lain

yang dikeluarkan dari samudra lalu peperangan antara dewa dan asura

yang berakhir dengan kemenangan para dewa. Keduanya terdapat Sesa,

58
Wasuki, dan raja kura-kura20. Sesa mencabut dan membawa gunung

Mandara ke samudra lalu Kurma di bawahnya dan Wasuki melilitnya.

Pada versi Jawa Kuno, cerita Samudramanthana berakhir pada

dipenggalnya raksasa yang meminum amerta oleh Sang Hyang Candra

di Wisnuloka. Karena air amerta baru sampai tenggorokan, maka

kepalanya abadi sedangkan badannya tidak. Pada versi India para Dewa

kembali ke tempatnya kembali bersama air amerta. Air amerta tersebut

dapat membuat peminumnya menjadi abadi. Cerita tersebut menjadi

transisi ke cerita pertaruhan Kadru dan Winata akan warna kuda

Uccaisrawa.

Jika bagian dari badan dari yoni merupakan perlambangan dari

wisnu sang pemelihara, maka penggambaran yang ada pada ukiran di

bawah cerat yoni merupakan penggambaran dari awatara Wisnu. Kura-

kura maupun naga pernah menjadi bentuk dari awatara Wisnu, yaitu

Kurma, kura-kura yang membantu pengadukan samudra, dan naga Sesa

yang menyangga bumi. Kurma sering digambarkan dengan bentuk

kura-kura darat biasa (dalam bahasa Inggris disebut tortoise) (T.A.,

1916:127).

Ukiran naga yang di atasnya terdapat kura-kura di bawah cerat

yoni tidak ditemukan di Jawa Timur. Walaupun begitu, seni yang

bercerita tentang Samudramanthana dapat ditemukan. Salah satu

20
Dalam versi Jawa Kuno Sesa disebut sebagai Anantabhoga, dan di versi India Ananta.
Pada versi Jawa Kuno, raja kura-kura disebut sebagai Kurmaraja dan memiliki nama Akupa
pada Adiparwa bab V nomor 31 “…hana ta sang akupa, kurmaraja, ratu ning pas, angsa
bhatara Wisnu kacaritanya nguni.” dalam terjemahan Adiparwa oleh versi Siman
Widyatmanta disebut sebagai raja para penyu (Widyatmanta, 1968:44).

59
contohnya adalah relief di Museum Nasional. Relief yang ada pada

Museum Nasional merupakan pancuran air yang berasal dari Sirah

Kencong, Wlingi, Blitar. Berbeda dengan ukiran di Jawa Tengah yang

naga ada di bawah dan kura-kura di atasnya, di Jawa Timur kura-kura

ada di bagian bawah. Pada relief yang ada di Museum Nasional secara

jelas menggambarkan dewa-dewa yang menarik naga juga hewan-

hewan mitologis yang keluar dari pengadukan laut Ksirarnarwa (Satari,

1987:27).

Gambar 25 Relief Samudramantana dari Wlingi, Blitar. Terlihat Wasuki melilit gunung
Mandara, dan para dewa menariknya juga yang keluar dari gunung Mandara. Juga terlihat
Kurma berada di bagian paling bawah sebelum alas berbentuk bunga teratai (sumber :
digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/830978 diakses 28 Oktober 2020, pukul
01:28 WIB).
Cerita yang berkaitan dengan naga dan kura-kura tidak hanya ada

di cerita Samudramanthana. Dalam teks Agastyaparwa, disebutkan

bahwa naga dan Kurma menyangga bumi, sedangkan dalam

Kowasrama disebutkan bahwa Pulau Jawa disangga oleh Bedawang

60
Nala dan Anantabhoga21 (Santiko, 2015:88). Di Bali, dipercaya bahwa

bumi dibawa oleh penyu yang besar bernama Bedawang Nala dan dua

ular. Masih mirip dengan apa yang dituliskan pada teks Korawasrama

yang ditulis pada abad ke-16. Namun, Bedawang Nala merupakan hasil

dari meditasi Antaboga, di atas Bedawang Nala terdapat dua ekor ular

(Covarrubias, 1937:6-7). Ukiran Bedawang Nala dan naga banyak

menghiasi padmasana. Terdapat padmasana yang naganya berjumlah

satu, dan dua. Jika satu, naga tersebut adalah Wasuki, sedangkan jika

dua naga tersebut adalah Wasuki dan Anantaboga (Idedhyana, Sueca,

Dwijendra, & Wibawa, 2020:292). Hal tersebut masih berkorelasi

dengan teks-teks di India yang menyebutkan bumi disangga oleh naga

Sesa seperti yang disebutkan sebelumnya. Berbeda dengan Kurma di

India yang umumnya digambarkan sebagai kura-kura darat, Bedawang

Nala biasa digambarkan sebagai penyu.

Dapat disimpulkan bahwa penggambaran di bawah cerat yoni

dengan ukiran naga dan kura-kura merupakan penggambaran mitologis.

Cerita-cerita tersebut dibuat berkaitan dengan penyanggaan bumi,

maupun pengadukan samudra. Hal ini berkaitan dengan bumi sebagai

lambang dari yoni, sedangkan lingga lambang dari kosmik yang

disebutkan sebelumnya.

21
Pada Agastyaparwa yang ditulis pada abad ke-11, disebutkan “naga kurma unggwan I
kandarana prthiwi.”, sementara Korawasrama yang ditulis pada abad ke-16 disebutkan
“nusa yawa kasangga de badawang nala mwang sang anantabhoga.” (Santiko, 2015, p.
88).

61
3. Motif Singa dan Gajah

Cerita yang berbeda dengan ragam hias singa dan gajah. Haryono

(Haryono, 1980:48-49) berpendapat bahwa ragam hias di bawah cerat

yoni MPN 1 merupakan gambaran dari jahat dan baik. Menurut Silpa

Prakasa, singa adalah simbol dari kebaikan sedangkan gajah adalah

simbol dari kejahatan. Salah satu cerita yang dicontohkan oleh Haryono

adalah yang diuraikan pada Kurma Purana. Perkelahian di antara kedua

spesies tersebut diibaratkan sebagai pertarungan antara baik dan jahat.

Ukiran singa di atas gajah mengibaratkan kemenangan kebaikan dari

kejahatan.

Terdapat salah satu cerita yang berkaitan dengan pertarungan

antara singa dan gajah. Suatu ketika, para dewa diganggu oleh

pemimpin para asura bernama Andhakasura. Setelah melakukan

pertapaan yang panjang, Ia mendapatkan beberapa anugerah dari

Brahma dan menjadi sangat kuat. Kemudian Ia mulai mengganggu para

dewa. Para dewa kemudian mengadukan hal ini ke Siwa di Kailasa

tentang masalah yang disebabkan oleh pemimpin para asura. Saat Siwa

mendengarkan keluhannya, Andhakasura sudah sampai di Kailasa

kemudian menculik Parwati. Siwa kemudian siap untuk bertarung dan

membuat tiga nagaraja, Wasuki, Takshaka dan Dhananjaya, menjadi

ikat pinggang dan gelangnya. Sebuah Asura bernama Nila telah

merencanakan secara diam-diam membunuh Siwa. Ia menyamar dalam

bentuk gajah. Nandi kemudian mengabarkan Virabhadra hal tersebut.

Ia kemudian berganti bentuk menjadi seekor singa yang merupakan

62
musuh alami dari gajah. Kulit dari gajah tersebut dipersembahkan oleh

Virabhadra kepada Siwa. Ia kemudian memakai kulit gajah tersebut dan

memakainya sebagai atasan pakaian. Dibalut dengan pakaian tersebut,

dan dihiasi oleh naga, juga membawa trisula, Siwa melanjutkan

perjalanannya melawan Andhakasura bersama pasukan yang terdiri

dari para gana (T. A. Gopinatha Rao, 1916:379-380).

Gajah yang hidup di alam liar sudah tidak ada di Jawa. Tetapi,

gajah-gajah tersebut merupakan gajah purba berbeda dengan gajah

modern yang ada pada masa kini dan Jawa Kuno. Walaupun begitu,

gajah sering disebutkan pada naskah-naskah kesustraan dan

digambarkan pada karya-karya seni seperti di relief dan arca.

Penggambaran gajah pada karya seni merupakan gajah Asia (Elephas

maximus) yang hidup di India, sampai Pulau Sumatera seperti yang ada

pada relief di Borobudur (Suripto & Pranowo, 2001:43). Gajah juga

merupakan wahana dari Dewa Indra, yaitu Airawata sang gajah putih

yang sebelumnya telah disebutkan keluar dari gunung Mandara

(Danielou, 1985:109) .

Sementara itu, singa tidak pernah hidup di alam bebas pulau Jawa.

Motif singa yang ada pada kesenian di Indonesia merupakan faktor luar

yang dibawa oleh tenaga asing (orang-orang dari India), terdapat model

yang dibawa berupa gambar, maupun tulisan, atau si pemahat pernah

melihatnya langsung (Haryono, 1980:43). Oleh karena itu, bentuk

ukiran singa di Jawa memiliki bentuk yang berbeda dibandingkan

dengan hewan aslinya. Singa terdapat di anak benua India atau tepatnya

63
terdapat di Gujarat, India hingga masa kini (Kitchener A. C., 2017:72),

sehingga terdapat penggambaran singa yang realistis yaitu memiliki

bentuk seperti singa aslinya contohnya seperti di ukiran pilar singa era

Mauryan22.

22
Maurya adalah Dinasti yang berkuasa dari 322 sampai 185 SM (Thapar, 1990:384). Salah
satu monumen yang cukup terkenal pada seni Mauryan adalah pilar-pilar yang didirikan
oleh raja Ashoka. Di atas pilar tersebut terdapat ragam hias singa yang dibuat dengan
bentuk naturalistik (Brown & Hutton, 2011:423).

64
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Ragam hias di bawah cerat yoni di Kawasan Prambanan memiliki pola

tersendiri. Ragam hias tersebut berbentuk motif ular dan kura-kura, motif

ular, dan motif singa dan gajah. Ragam hias di cerat yoni memiliki kemiripan

binatang yang ditampilkan. Pemahat arca sering terinspirasi dari alam

sekitarnya. Penggambaran bentuk dari hewan-hewan yang ada pada ukiran di

bawah cerat yoni banyak terinspirasi dari lingkungan sekitarnya terutama ular

dan kura-kura. Apalagi, seniman yang membuat yoni merupakan anggota

masyarakat yang walaupun mereka merupakan pembaharu, tetapi mereka

tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungannya (Kusen, 1985:101). Namun

masih terlihat perbedaan-perbedaan sekalipun minor. Hal ini merupakan

ekspresi dari si pemahat yoni itu sendiri.

Yoni dengan ukiran di bawah cerat yang ada di Kawasan Prambanan

berjumlah 13. Empat di antaranya memiliki ukiran naga dan kura-kura di

bawah ceratnya, delapan di antaranya hanya memiliki ukiran naga, dan satu

memiliki ukiran singa dan gajah. Enam di antaranya berada di bangunan

candi, sedangkan tujuh sisanya merupakan temuan lepas. Umumnya pada

naga tersebut terdapat ukiran sulur-suluran, dan bunga teratai kecuali yoni di

Penyimpanan Arca Candi Sewu, dan yoni Singa Gajah di Museum

Prambanan.

Ukiran di cerat yoni tidak hanya menjadi penghias di yoni namun

memiliki arti yang berkaitan dengan cerita mitologi. Ukiran ular dan kura-

kura ditafsirkan sebagai cerita samudramanthana atau pengadukan Samudra.

65
Ular tersebut merupakan Wasuki yang melilit gunung Mandaragiri yang

digunakan untuk mengebor lautan Ksirnawa, sedangkan kura-kura

merupakan Akupa atau Kurma yang membantu Wasuki dari bawah gunung.

Dari situ keluar air amerta dan lainnya seperti Uccaiswara, Laksmi, dan

Airawata. Cerat yang disangga oleh kura-kura dan naga diibaratkan

mengalirkan air amerta. Keabadian dalam amerta bukan secara gamblang

memberikan kehidupan yang kekal. Melainkan, keabadian yang dimaksud

adalah hidup secara penuh dan bahagia. Amerta merupakan penopang

kehidupan, memberikan perlindungan terhadap sakit, umur tua, dan kematian

(Bosch, 1960:62-63). Makna dari ragam hias ular dapat berarti dua

kemungkinan. Ular tersebut adalah naga Sesa yang menyangga bumi, atau

Wasuki yang melilit gunung Mandaragiri. Pada ukiran singa dan gajah

memiliki latar belakang cerita yang berbeda. Singa dan gajah berdasarkan

ketika Nila akan menyerang Siwa dengan bentuk gajah namun kemudian

dikalahkan oleh Virabhadra dengan bentuk singa.

4.2 Peluang Riset

Penelitian ini merupakan penelitian tahap awal yang mengidentifikasi

makna, dan mengklasifikasi ragam hias di bawah cerat yoni di Kawasan

Prambanan. Sehingga, yoni, dan ragam hias yoni di Kawasan Prambanan,

maupun Indonesia secara umum, masih memiliki banyak peluang untuk

diteliti. Topik tentang aliran keagamaan, ikonometri, ragam hias di bagian

lain pada yoni, maupun ragam hias di bawah cerat yoni di luar Kawasan

Prambanan dapat diteliti.

66
DAFTAR PUSTAKA
Adams, William Y.; Adams, Ernest W. 2007. “Archaeological Typology and
Practical Reality: A Dialectical Approach to Artifact Classification
and Sorting”. New York: Cambridge University Press.
Apte, V. S. 1997. “The Student's English-Sanskrit Dictionary (3rd rev. & enl.
ed.)”. Delhi: Motilal Banarsidas.
Boechari. 2018. “Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti”. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Bosch, F. 1960. “Golden Germ Introduction to Indian Symbolism”. Den
Haag: Mouton & Co. .
Brown, R. M., & Hutton, D. S. 2011. “A Companion to Asian Art and
Architecture”. New Jersey: John Wiley & Sons.
Covarrubias, M. 1937. “Island of Bali”. Oxford: Oxford University Press.
Danielou, A. 1985. “The Gods of India : Hindu Polytheism”. New York:
Inner Traditions International Ltd.
Degroot, V. M. 2009. “Candi Space and Landscape: A Study on the
Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central
Javanese Temple Remains”. Leiden: Universiteit Leiden.
Dityo, Gumilang Cahyaning. 2020. “Perbandingan Proporsi Ukuran Yoni
dengan Bangunan Utama Candi (Studi Kasus Candi di Yogyakarta
dan Jawa Tengah”. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
Haryono, T. 1980. “Singa dalam Kesenian Hindu di Jawa Tengah”. Dalam
Berkala Arkeologi Vol. 1 No. 1, Hlm. 42-51.
Higham, C. 2001. The Civilization of Angkor. London: Weidenfeld and
Nicolson.
Idedhyana, I. B., Sueca, N. P., Dwijendra, N. K., & Wibawa, I. B. 2020. “The
Function and Typology of the Padmasana Tiga Architecture in
Besakih Temple, Bali Indonesia”. Dalam The Asian Institute of
Research Journal of Social and Political Sciences Vol.3, No.2. Hlm.
291-299.

67
Japan International Cooperation Agency (JICA). 1979. “Republic of
Indonesia Borobudur Prambanan National Archaeological Parks Final
Report”. Tokyo: JICA.

Katsimpalis, Kory Thomas. 2009. “Po Nagar Temple: Evidence of Cultural


Development and Transition in the Champa Kingdom”. Boulder:
University of Colorado.
Kempers, A. J. 1959. “Ancient Indonesian art”. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press.
Kitchener A. C., B.-W. C.-J. 2017. “A revised taxonomy of the Felidae. The
final report of the Cat Classification Task Force of the IUCN/ SSC
Cat Specialist Group”. Cat News Special Issue 11, 80 pp.
Klokke, M. J. 1993. “The Tantri Reliefs on Ancient Javanese Candi”. KITLV
Press: Leiden.
__________. 2003. “Hinduism and Buddhism in Indonesia”. Dalam A. R.
Kinney, Worshiping Siva and Buddha : The Temple Art of East Java.
Hawa'i: University of Hawa'i Press.
Kusen. (1985). “Kreativitas dan Kemandirian Seniman Jawa dalam
Mengolah Pengaruh Budaya Asing : Studi Kasus tentang Gaya Relief
Candi di Jawa Antara Abad IX-XVI Masehi”. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan.
Mani, V. 1975. “Puranic Encyclopaedia: A Comprehensive Dictionary With
Special Reference to the Epic and Puranic Literature”. Delhi: Motilal
Banarsidass.
Munandar, A. A. 2004. “Karya Sastra Jawa Kuno yang diabadikan pada
Relief Candi-Candi Abad ke-13-15 M”. Dalam Makara, Sosial
Humaniora, Vol. 8, No. 2, Agustus, Hlm. 54-60.
Noerwidi, S. 2014. “Mungkinkah Batas Kota Majapahit ada di jakarta?”
Dalam I. Andrisijanti, Majapahit : Batas Kota dan Jejak Kejayaan di
Luar Kota. Yogyakarta: Kepel Press. Hlm. 219-242.
Panofsky, E. 1955. Meaning in the Visual Art. New York: Doubleday Anchor
Books.

68
Patyal, H. C. 1995. “Tortoise in Mythology and Ritual”. Dalam East and
West, December 1995, Vol 45, Hlm. 97-107 .
Rahardjo, S. 2002. “Peradaban Jawa”. Depok: Komunitas Bambu.
Ratna, D., Suyami, N., & Guritno, S. 1999. “Kajian Mitos dan Nilai Budaya
dalam Tantu Panggelaran”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Roy, P. C. 1884. “The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa : Adi
Parva”. Calcutta: Bharata Press.
S.P., N. D., & Pamungkas, Y. H. 2014. “Yoni Klinterejo Tinjauan Historis
dan Ikonografis”. Dalam AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah
Volume 2, No 3, Oktober 2014, Hlm. 429-440.
Santiko, H. 2015. “Ragam Hias Ular-Naga di Tempat Sakral di Jawa Timur”.
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 33
No. 2, Desember 2015, Hlm. 77-134.
Satari, S. S. 1987. “Penerapan dan Pengaruh Karya Sastra Hindu pada Relief
Candi”. Dalam 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (Puslit Arkenas) dan Ecole Francaise d'Extreme - Orient
(EFEO). Jakarta: Monkamo Company. Hlm. 23-42.
Sedyawati, E., Santiko, H., Djafar, H., Maulana, R., Ramelan, W. D., &
Ashari, C. 2013. “Candi di Indonesia : Seri Jawa”. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Soebadio, H. 1985. “Jnanasiddhanta”. Jakarta: Djambatan.
Sohoni, P. 2017. “Lions and elephants in combat”. Dalam Res: Anthropology
and Aesthetics, vol. 67/68 (2016/2017), Hlm. 225-234.
Sthapati, V. G. 2002. “Indian Sculpture and Iconography : Form and
Measurements”. Pondicherry: Sri Aurobindo Institute of Research in
Social Science.
Straten, R. v. 1994. “An Introduction to Iconography”. New York: Taylor &
Francis.
Sugito. 1984. “Arti Simbolis Relief Garuda Yoni Bowongan”. Yogyakarta:
Departemen Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Skripsi Sarjana
Muda.

69
Supomo, S. 2006. “Indic Transformation: The Sanskritization of Jawa and the
Javanization of the Bharat. In J. J. Peter Bellwood”. Dalam The
Austronesians : Historical and Comparative Perspective. Canberra:
ANU Press. Hlm. 309-332.
Suripto, B. A., & Pranowo, L. 2001. “Jenis-Jenis Fauna dan Setting
Lingkungannya pada Pahatan Dinding Candi Borobudur”. Dalam
Manusia dan Lingkungan Vol. VIII No. 1, April 2001, Hlm. 37-48.
T. A. Gopinatha Rao, M. 1916. Element of Hindu Iconography Volume 2 Part
1. Madras: The Law Printing House Mount Road.
___________________. 1916. Elements of Hindu Iconography Volume 1
Part 1. Madras: The Law Printing House Mount Rod.
___________________. 1914. “Elements of Hindu Iconography Volume 2
Part 2”. Madras: The Law Printing House.
Thapar, R. 1990. “A History of India, Volume 1”. London: Penguin Books.
Vogel, J. P. 1926. “Indian Serpent-Lore or The Nagas in Hindu Legend Art”.
London: Arthur Probsthain.
Wibowo, B. A. 2016. “Pemaknaan Lingga-Yoni dalam Masyarakati Jawa-
Hindu di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur : Studi
Etnoarkeologi”. Dalam E-Jurnal Humanis, Fakultas Sastra dan
Budaya Unud Vol 14.1 Januari , Hlm. 9-16.
Widyatmanta, S. 1968. “Adiparwa Djilid I”. Yogyakarta: Lembaga Adat
Istiadat dan Tjeritera Rakjat Ditdjen Kebudajaan Dep. P. & K.
Tjabang Yogyakarta.
Zoetmulder, P. 1983. “Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang”.

Jakarta: Penerbit Djambatan.

70
Lampiran 1. Yoni di BPCB DIY

Gambar 26 Yoni di BPCB DIY dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 27 Yoni di BPCB DIY dari depan (sumber: dokumentasi penulis).

71
Gambar 28 Sketsa yoni di BPCB DIY (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

Lampiran 2. Yoni di PU Berbah

Gambar 29 Yoni di PU Berbah dari depan (sumber: dokumentasi penulis).

72
Gambar 30 Yoni di PU Berbah dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 31 Sketsa yoni di PU Berbah (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

73
Lampiran 3. Yoni Singa Gajah di Museum Prambanan

Gambar 32 Foto yoni Singa Gajah di Museum Prambanan dari depan (sumber: dokumentasi penulis)

Gambar 33 Foto yoni Singa Gajah di Museum Prambanan dari samping (sumber: dokumentasi
penulis)

Gambar 34 Sketsa yoni Singa Gajah di Museum Prambanan (sketsa : Faiz, Muhammad. 2020).

74
Lampiran 4. Yoni Ular Museum Prambanan I

Gambar 35 Foto yoni Ular Museum Prambanan I dari depan (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 36 Foto yoni Ular Museum Prambanan I dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

75
Gambar 37 Sketsa yoni Ular Besar di Museum Prambanan (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

76
Lampiran 5. Yoni Ular Museum Prambanan II

Gambar 38 Foto yoni Museum Prambanan II dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 39 Foto yoni Ular Museum Prambanan II dari depan (sumber: dokumentasi penulis).

77
Lampiran 6. Yoni di Candi Siwa

Gambar 40 Foto yoni Candi Siwa dari depan (sumber : dokumentasi penulis).

Gambar 41 Foto yoni Candi Siwa dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

78
Gambar 42 Sketsa yoni di Candi Siwa (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

Lampiran 7. Yoni di Candi Wisnu

Gambar 43 Foto yoni Candi Wisnu dari depan (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 44 Foto yoni Candi Wisnu dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

79
Gambar 45 Sketsa yoni Candi Wisnu (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

80
Lampiran 8. Yoni di Candi Brahma

Gambar 46 Foto yoni Candi Brahma dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 47 Foto yoni Candi Brahma dari depan (sumber: dokumentasi penulis).

81
Gambar 48 Sketsa yoni di Candi Brahma (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

82
Lampiran 9. Yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu

Gambar 49 Foto yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu dari samping (sumber: dokumentasi
penulis).

Gambar 50 Foto yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu dari depan (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 51 Sketsa yoni di Penyimpanan Arca Candi Sewu (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

83
Lampiran 10. Yoni di Candi Kedulan

Gambar 52 Foto yoni di Candi Kedulan dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 53 Foto yoni di Candi Kedulan dari pojok candi (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 54 Foto yoni di candi perwara Candi Kedulan dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

84
Gambar 55 Sketsa yoni di Candi Kedulan (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

85
Lampiran 11. Yoni di Candi Ijo

Gambar 56 Foto yoni di Candi Ijo dari samping. Tas kamera memiliki tinggi 18 cm dan lebar 21 cm
(sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 57 Foto yoni di Candi Ijo dari depan Tas kamera memiliki tinggi 18 cm dan lebar 21 cm
(sumber: dokumentasi penulis).

86
Gambar 58 Foto yoni di candi perwara Candi Ijo dari samping Tas kamera memiliki tinggi 18 cm
dan lebar 21 cm (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 59 Sketsa yoni di Candi Ijo (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

87
Lampiran 12. Yoni di Candi Sambisari

Gambar 60 Foto yoni di Candi Sambisari dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 61 Foto yoni di Candi Sambisari dari bagian pojok candi (sumber: dokumentasi penulis).

88
Gambar 62 Foto yoni di depan candi perwara Candi Sambisari dari samping (sumber: dokumentasi
penulis).

Gambar 63 Sketsa yoni di Candi Sambisari (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

89
Lampiran 13. Yoni di Pura Kalongan

Gambar 64 Foto yoni di Pura Kalongan dari samping (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 65 Foto yoni di Pura Kalongan dari depan (sumber: dokumentasi penulis).

90
Gambar 66 Posisi yoni di Pura Kalongan yang berada di tanah yang lebih rendah dibandingkan tanah
sekitarnya (sumber: dokumentasi penulis).

Gambar 67 Sketsa yoni di Pura Kalongan (sketsa: Faiz, Muhammad. 2020).

91
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:


Nama : Muhammad Faiz

NIM : 16/399526/SA/18434

Program Studi : S 1 Arkeologi

Alamat email : muhammadfaiz12@live.com

menyerahkan kepada Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk


mempublikasikan secara online full text karya saya berupa skripsi/tesis/ disertasi
saya yang berjudul :
“VARIASI RAGAM HIAS DI BAWAH CERAT YONI DI KAWASAN
PRAMBANAN”

melalui sarana publikasi yang dimiliki perpustakaan FIB.


Hal-hal yang berkaitan dengan akibat dari penerbitan karya ini adalah menjadi
tanggung jawab saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini dibuat dengan
sebenarnya.
Boyolali, 18 Januari 2021
Yang Menyatakan

Muhammad Faiz

Anda mungkin juga menyukai