Anda di halaman 1dari 4

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:

P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 TENTANG JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN


YANG WAJIB MEMILIKI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

BAB II

JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG

WAJIB MEMILIKI AMDAL

Pasal 3

(1) Setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang

berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib

memiliki Amdal.

(2) Kriteria Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak

penting terhadap lingkungan hidup yang wajib memiliki

Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan

maupun yang tidak terbarukan;

c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat

menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup serta pemborosan dan

kemerosotan sumber daya alam dalam

pemanfaatannya;

d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat

mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan

buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan

mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi

sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar

budaya;

f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan

jasad renik;

g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan

nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau

mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau

i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai

potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan

hidup.

SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) adalah kesanggupan dari penanggung jawab usaha
dan/ atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak
lingkungan hidup dari usaha dan/ atau kegiatannya di luar Usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL.

Tujuan disusun dokumen lingkungan (bagi pemrakarsa) adalah agar suatu usaha dan/ atau
kegiatan yang dilakukan tidak menimbulkan pencemaran, perusakan, gangguan terhadap
lingkungan atau dampak sosial lainnya.

Amdal, UKL-UPL dan SPPL disusun sebelum dilaksanakannya suatu usaha dan/ atau kegiatan. Artinya
penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan harus memiliki rencana pengelolaan dan pemantauan
dampak yang akan ditimbulkan dari usaha/ kegiatan.

Persyaratan Pengajuan SPPL


Mengisi formulir SPPL sesuai Keputusan Bupati Nomor 17/Kep.KDH/A/2004 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dilampiri:

1. Fotocopy IPPT/SKTBL/IMB yang sesuai

        2. Sertifikat Tanah yang sesuai

3. Fotocopy KTP Pemohon

Prosedur Pengajuan Persetujuan SPPL

(1) Pemrakarsa harus datang sendiri atau memberikan kuasa untuk menyampaikan
formulir SPPL yang telah diisi dan ditandatangani kepada Kepala Dinas atau Camat
dengan dilampiri persyaratan sebagai berikut:

1. Fotocopy IPPT atau SKTBL atau IMB yang sesuai dengan kegiatannya
2. Fotocopy Sertifikat Tanah
3. Fotocopy KTP Pemohon
4. Fotocopy akta pendirian perusahaan bila pemrakarsa badan hukum atau badan usaha.
5. Khusus untuk usaha dan/atau kegiatan yang berdiri pada lahan yang berbatasan
dengan kawasan lindung wajib dilampiri rekomendasi dari instansi yang berwenang
6. Design IPAL bagi yang berpotensi menghasilkan air limbah
7. Draf siteplan
8. Rekomendasi ketinggian bangunan dari instansi yang berwenang untuk bangunan
dengan ketingian ≥ 20 m dari permukaan tanah.
9. Perjanjian sewa/kerelaan (jika bukan milik sendiri atau proses jual beli)
10. Surat kuasa bermeterai dan dilampiri KTP asli dari pemrakarsa dan KTP asli yang
diberi kuasa bagi pemohon yang tidak dapat datang sendiri.
11. MOU Pihak ketiga jika memiliki limbah B3
(2) Pemeriksaan dokumen SPPL dapat dilaksanakan apabila rencana kegiatan telah
sesuai dengan rencana tata ruang daerah.

(3) Kepala Dinas wajib memeriksa SPPL yang telah memenuhi format penyusunan
SPPL dan lampiran persyaratan.

(4) Dalam hal terdapat kekurangan data dan/atau informasi dalam SPPL dan
memerlukan tambahan dan/atau perbaikan, pemrakarsa wajib
menyempurnakannya dan/atau melengkapinya sesuai hasil pemeriksaan.

(5) Kepala Dinas atau camat wajib memberikan persetujuan SPPL atau menolak
SPPL berdasarkan hasil pemeriksaan dan perbaikan).

(6) Kepala Dinas memberikan keputusan persetujuan atau penolakan SPPL dalam
jangka waktu paling lama 7 hari sejak formulir SPPL diterima dan dinyatakan
lengkap dan benar.

(7) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki SPPL, direncanakan
mengalami perubahan pemrakarsa wajib menyusun SPPL baru.

Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat DELH, adalah dokumen yang
memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari proses audit
lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha
dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup
(AMDAL).

Sedangkan Pengertian Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat DPLH,
adalah dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dikenakan bagi
usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki
UKL-UPL.

DELH atau DPLH wajib disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:

telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan;

telah melaksanakan usaha dan/atau kegiatan;

lokasi usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang; dan

tidak memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi dokumen
lingkungan hidup tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3 ayat (2) Permenlhk P.102 berbunyi DELH atau DPLH dilaksanakan sesuai dengan perintah
melalui penerapan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah dari Menteri, gubernur,
dan/atau bupati/walikota; atau penerapan sanksi pidana yang dilakukan dengan penegakan hukum
terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.
Timbul pertanyaan dibenak saya apakah Pasal 3 ayat (2) huruf a Permenlhk P.102 merupakan sinyal
atau dasar untuk diberlakukannya asas subsidiaritas hukum pidana lingkungan hidup?, apakah
dengan penerapan sanksi administrasi akan mengkesampingkan sanksi pidana, perlu dicatat bahwa
Pasal 78 UUPPLH berbunyi: "Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak
membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan
pidana."

Hal yang juga masih menjadi pertanyaan bagi saya terkait bunyi Pasal 3 ayat (2) huruf a Permenlhk
P.102 yaitu "penerapan sanksi pidana yang dilakukan dengan penegakan hukum terpadu antara
penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri." sebagaimana
diketahu dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia yang berdasarkan Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana" bahwa penyelesaian perkara pidana berdasarkan asas differensiasi fungsional
artinya masing masing penegak hukum PPNS-Penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim
menjalankan fungsinya masing masing dalam Criminal justis system, tidak dikordinir atau kordinasi
salah satunya.

Anda mungkin juga menyukai