OLEH :
KELAS A
KELOMPOK 2
Penentuan kebijakan di bidang kesehatan memang merupakan sebuah sistem yang tidak
lepas dari keadaan di sekitarnya yaitu semua faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, sejarah dan
pengaruh faktor lainnya. Selain itu komponen, proses, alokasi sumber daya, aktor dan kekuasaan
merupakan faktor yang berperan pada penetapan kebijakan sebagai sebuah sistem. Oleh karena
itu, kebijakan yang dihasilkan merupakan produk dari serangkaian interaksi elit kunci dalam
setiap detil proses pembuatan kebijakan termasuk tarik-menarik kepentingan antara aktor,
interaksi kekuasaan, alokasi sumber daya dan bargaining position diantara elit yang terlibat
(Ayuningtias.2008).
Kekuasaan dilaksanakan sebagai arah berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Pertanyaan-
pertanyaan seperti : ”Apakah kekuasaan mempengaruhi pembuatan kebijakan kesehatan” atau
”Apakah kebijakan kesehatan adalah sesuatu yang bersifat rasional atau politis” serta adakah
kaitan antara kebijakan kesehatan dengan sistem politik di suatu negara?”. Proses pembentukan
kebijakan tidak dapat menghindar dari upaya individual atau kelompok tertentu yang berusaha
mempengaruhi para pengambil keputusan agar suatu kebijakan dapat lebih menguntungkan
pihaknya. Semua itu, merupakan manifestasi dari kekuatan politik (power) untuk
mempertahankan stabilitas dan kepentingan masing-masing aktor. Bahkan tak jarang terjadi pula
intervensi kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan politis dari pemegang kekuasaan atau aktor
yang memiliki pengaruh dalam posisi politik.
Dalam makalah ini, dibahas mengenai kekuasaan dan dan bagaimana peranannya dalam
proses kebijakan.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Dimensi Kekuasaan
Kekuasaan pada umumnya dipahami sebagai kemampuan untuk mencapai hasil
yang diharapkan untuk melakukan sesuatu. Dalam penyusunan kebijakan, konsep
kekuasaan secara khusus dipertimbangkan dalam suatu pemikiran hubungan bmemiliki
kekuasaanc atas orang lain. Terdapat tiga dimensi kekuasaan yaitu kekuasaan sebagai
pengambilan keputusan, kekuasaan sebagai bahan pengambilan keputusan; dan
kekuasaan sebagai pengendali pikiran.
1. Kekuasaan Sebagai Pengambilan Keputusan
Kekuasaan dalam pengambilan keputusan menekankan pada tindakan individu
atau kelompok yang memengaruhi pemutusan kebijakan.
Penelitian Rober Dahl (1961) melihat kepada siapa yang membuat keputusan penting
atas isu-isu yang terjadi di New Haven, Connecticut, Amerika. Ia menyimpulkan
tentang siapa yang berkuasa dengan mengkaji preferensi (keinginan) kelompok-
kelompok berkepentingan dan membandingkannya dengan hasil kebijakan. Ia
menemukan bahwa ada perbedaan sumber daya yang memberikan kekuasaan kepada
warga masyarakat dan kelompok berkepentingan. Sumber daya ini tidak
didistribusikan dengan merata.
2. Kekuasaan Sebagai Bahan Pengambilan Keputusan
Menurut ahli lain atas pengkajian Dahl, mengtakan bahwa pengakajiannya
hanya berfokus pada isu-isu kebijakan yang dapat diamati dan tidak memperhatikan
dimensi kekuasaan lain yag penting karena pengkajiannya tersebut merupakan
adanya kemungkinan bahwa kelompok-kelompok dominan mengeluarkan pengaruh
mereka dengan membatasi agenda kebijakan kapada pemikiran-pemikiran yang dapat
diterima. Bachrach dan Barats (1962) berpendapat bahwa ‘kekuasaan juga dilakukan
ketika seseorang mengaluarkan tenaganya untuk menciptakan atau memberlakukan
nilai-nilai sosial dan politik serta kegiatan-kegiatan kelembagaan yang dapat
membatasi lingkup proses politik hanya pada pemikiran umum pada isu-isu tersebut
yang tidak membayakan orang tersebut’. Akibatnya kekuasaan sebagai latar belakang
agenda menyoroti cara para kelompok berkuasa mengendalikan agenda tetap menjadi
isu yang mengancam di bawah layar radar kebijakan. Menurut Bachrach dan Barats
1963, kekuasaan sebagai bukan pembuat keputusan mencakup kegiatan yang
membatasi lingkup pembuatan keputusan untuk menyelamatkan isu degan merubah
nilai-nilai masyarakat yang dominan, mitos dan lembaga serta prosedur politik.
Dalam dimensi kekuasaan ini, beberapa isu tetap tersembunyi dan aggal memasuki
area politik (Bachrach dan Barats 1963)
3. Kekuasaan Sebagai Pengendali Pikiran
Steven Lukes (1974) menggambarkan kekuasaan sebagai pengendali gagasan.
Dengan kata lain, kekuasaan berfungsi sebagai kemampuan untuk memengaruhi
orang lain dengan membentuk keinginan. Dalam dimensi ini, A melakukan
kekuasaan kepada B pada saat A memengaruhi B dengan cara yang tidak sesuai
dengan keinginan B. Sebagai contoh, orang-orang miskin memberikan suara kepada
Presiden Bush pada tahun 2004 meskipun kebijakan dalam negerinya tidak sesuai
dengan keinginan mereka. Lukes berpendapat bahwa A memperoleh kepatuhan B
melalui cara yang terselubung. Cara terselubung ini meliputi kemampuan untuk
membentuk arti dan cara pandang terhadap kenyataan yang dilakukan melalui
pengendalian informasi, media massa, dan pengendalian proses sosialisasi.
Untuk kalangan pluralis, kebijakan kesehatan muncul sebagai hasil dari konflik dan
tawar menawar diantara sejumlah besar kelompok-kelompok yang terbentuk untuk
melindungi kepentingan khusus dari anggotanya. Negara memilih dari setiap gagasan dan
usulan yang diajukan oleh kelompok berkepentingan sesuai dengan apa yang terbaik
untuk masyarakat.
2. Pilihan Rakyat
Para ahli teori pilihan rakyat sepakat dengan para pluralis bahwa masyarakat
terbentuk dari kelompok-kelompok yang bersaing untuk meraih tujuan masing-masing.
Tetapi mereka mempermasalahkan kenetralan negara. Para ahli teori pilihan rakyat
menyatakan bahwa Negara sendiri merupakan suatu kelompok berkepentingan yang
berkuasa atas proses kebijakan untuk meraih kepentingan pelaksana negara: parapejabat
terpilih dan pegawai pemerintahan. Untuk tetap berkuasa, para pejabat terpilih berusaha
untuk memfasilitasi kelompok-kelompok dengan anggaran, barang, jasa dan peraturan
yang mendukung dengan harapan bahwa kelompok-kelompok ini akan tetap
menjadikannya berkuasa. Akibatnya, pejabat pemerintah mempunyai harapan untuk
memperluas kerajaan birokrasi mereka yang akan mengarah kebesarnya gaji dan
kesempatan untuk naik jabatan, kekuasaan, perlindungan, dan gengsi. Oleh karena itu,
negara dikatakan memiliki dinamika internal yang dapat mengarah keperkembangan
kekuasaan pemerintah.
Para ahli teori pilihan rakyat berpendapat bahwa sikap mementingkan kepentingan
sendiri dari para pejabat negara akan menimbulkan suatu kebijakan yang dipahami oleh
kelompok kepentingan tertentu. Akibatnya, kebijakan akan terpecah secara ekonomi dan
tidak sesuai dengan kepentingan umum. Penganut kelompok ini berpendapat bahwa
kebijakan kesehatan yang menarik kembali pemerintah akan ditolak oleh para birokrat,
bukan karena keuntungan atau kerugian teknis yang diakibatkan oleh kebijakan, tetapi
karena birokrat lebih memilih kebijakan yang akan memperkokoh jabatannya dan
memperluas pengaruhnya.
3. Elitisme
Ahli teori elitisme menyatakan bahwa kebijakan didominasi oleh “minoritas
istimewa”. Mereka berpendapat kebijakan umum menggambarkan nilai dan kepentingan
dari para elit atau aristokrat, bukan “rakyat” seperti yang dianggap oleh pluralis.
Kelompok elits seperti: Pejabat pemerintah dan pejabat tinggi administrasi, pemimpin
militer, dan, untuk beberapa kasus, keluarga yang berpengaruh secara politis serta
pemimpin perusahaan besar dan golongan politik lain antara lain elit politik dan
pemimpin partai oposisi, pemimpin serikat buruh,orang-orang bisnis dan anggota
kelompok elit social yang lain.
Dapat disimpulkan bahwa untuk para ahli teori elitisme, kekuasaan dapat
didasarkan pada beragam sumberdaya: kekayaan, hubungan keluarga, keahlian teknis,
atau lembaga. Namun, yang tak kalah penting adalah untuk satu anggota kalangan elit,
kekuasaan tidak mungkin tergantung pada satu sumber saja. Menurut para ahli teori
elitisme:
̵ Masyarakat terdiri dari kalangan kecil yang memiliki kekuasaan, dan sebagian
besar lagi tanpa memiliki kekuasaan apapun. Hanya kalangan kecil tersebut yang
memiliki kekuasaan untuk menyusun kebijakan publik.
̵ Mereka yang memerintah tidak seperti mereka yang tidak memerintah. Secara
khusus, para elit berasal dari tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi.
̵ Kalangan nonelit dapat dimasukkan ke dalam lingkaran pemerintahan jika mereka
menerima kesepakatan dasar dari para elit.
̵ Kebijakan public menggambarkan nilai daripara elit. Hal ini tidak selalu
menimbulkan konflik dengan nilai yang dianut masyarakat. Para elit dapat
memanipulasi nilai yang dianut masyarakat agar dapat mencerminkan nilai mereka
sendiri.
̵ Kelompok kepentingan muncul tetapi mereka tidak memiliki kekuasaan yang sama
dan tidak memiliki akses yang sama terhadap proses penyusunan kebijakan.
̵ Nilai yang dianut para elit sifatnya konservatif dan akibatnya perubahan kebijakan
akan bersifat instrumental.
Ada sejumlah peringatan dalam penggunaan kerangka yang berguna dan sederhana ini.
Pertama, proses kebijakan akan terlihat sebagai proses yang linier, dengan kata lain proses ini
berjalan dengan mulus dari suatu tahap ke tahap yang lain, dari penemuan masalah hingga ke
pelaksanaan dan evaluasi. Namun sebenarnya jarang terlihat jelas sebagai suatu proses.
Mungkin pada tahap pelaksanaan masalah baru ditemukan atau kebijakan mugkin
diformulasikan tetapi tidak pernah mencapai tahap pelaksanaan. Dengan kata lain penyusunan
kebijakan jarang menjadi suatu proses yang rasionaliteratif dan dipengaruhi oleh kepentingan
sepihak. Banyak yang sependapat dengan Lindblom (1959) bahwa proses kebijakan adalah
sesuatu yang dicampur aduk oleh para penyusun kebijakan (Lindblom, 1959). (Rahman,
Fauzie. 2016)
2. Model Incremental
Model incremental menggambarkan pembuatan keputusan kebijakan publik adalah
sebagai suatu proses politis yang ditandai dengan tawar menawar dan kompromi untuk
kepentingan para pembuat keputusan sendiri. Keputusan yang akhirnya dibuat lebih
mencerminkan pada apa yang tampak secara politis daripada yang diinginkan. Model
incremental memandang bahwa pembuatan keputusan bagi pemecahan masalah untuk
mencapai tujuan, dipilih melalui trial and error dari pada melalui evaluasi menyeluruh.
Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan alternatif yang akan dipatuhi
kelompok sasaran dan menghentikan pencarian alternatif lain ketika mereka
mempercayai suatu alternatif yang dapat diterima sudah didapatkan. Gambaran model
incremental adalah sebagai berikut:
Kelemahan model incremental adalah hanya dapat diambil ketika masalah yang dihadapi
pembuat kebijakan publik merupakan masalah „rutin‟ dan tidak dapat dilaksanakan untuk
mengatasi masalah krisis.
3. Model Mixed Scanning
Keterbatasan dari model rasional dan incremental membuat Amitai Etzioni
mengembangkan model campuran antara model rasional dan incremental untuk
menjembatani kelemahan dari kedua model tersebut dengan menggabungkan elemen-
elemen dari keduanya. Membuat keputusan yang sangat rasional dengan menghitung
secara matematis dari setiap alternatif menjadi sesuatu yang tidak efisien dan irrasional,
sedangkan incremental yang cenderung mempertahankan status-quo cenderung pula
mengabaikan kebutuhan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Penggabungan model rasional dan incremental diperlihatkan Etzioni melalui dua (2) jenis
keputusan yang dibuatnya, yaitu:
̵ Keputusan fundamental atau contextuating decisions. Yaitu keputusan-keputusan
yang disusun dari seleksi menyeluruh terhadap alternatif utama yang diambil
pembuat kebijakan publik dalam rangka mencapai tujuan.
̵ Keputusan incremental atau bit decisions. Yaitu keputusan-keputusan yang dibuat
secara incremental atau perubahan sesedikit mungkin dari keputusan-keputusan
fundamental yang telah dibuat sebelumnya.
BAB III
KESIMPULAN
Ayuningtyas Dumilah. 2008. Kotak Hitam Sistem Penetapan Kebijakan dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhinya. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol.11 No.02.
Buse K, Mays N, Walt G. 2005. Making Health Policy. Understanding Public Health. Open
University Press. United Kingdom.
Haryanto. 2017. Elit, Massa dan Kekuasaan: Suatu Bahasan Pengantar. Yogyakarta. PolGov.