Anda di halaman 1dari 19

THAHAROH DENGAN WUDLU

SYARAT SAH, RUKUN, DAN YANG MEMBATALKAN.


MAKALAH

Diajukan nuntuk Memenuhi Tugas Matakuliah


Fiqih Ibadah, Muamalah, dan Mawaris

Dosen Pengampu :
Dr. Nurul Hidayat, M.Ag.

Disusun Oleh :
Kelompok 2 PAI-3F

1. Muhamad Sohibul Muslihin 126201201039 (05)


2. Gicica Mutiara Bintang 126201203316 (38)
3. Putri Jami’atul Fuadah 126201203307 (37)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
AGUSTUS 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani
dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Muhammad
SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama
yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi


tugas matakuliah pendidikan bahan ajar dengan judul “Thaharoh Dengan Wudlu
(Syarat Sah, Rukun, Dan Yang Membatalkan) “.Penulisan mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang membantu menyelenggarakan makalah ini. Ucapan
terimakasih tidak lupa penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Maftuhin, M.Ag. Selaku rektor IAIN Tulungagung yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
2. Prof. Dr. Hj. Binti Maunah, M.Pd.I. selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan.
3. Dr. Nurul Hidayat, M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah pendidikan
bahan ajar yang telah membimbing dan memberikan masukan-masukan
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.
4. kedua orang tua yang telah memberikan semangat serta dukungannya.
5. Civitas UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. yang telah memberikan
izin dan fasilitas kepada penulis untuk mencari dan mendapatkan tambahan
pengetahuan dalam menyelesaikan makalah ini.
6. Teman-teman PAI 3F yang selalu mendukung penulis dalam pengerjaan
makalah ini.

i
Dengan penuh harap, semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT dan
tercatat sebagai amal salih. Penulis sadar bahwa penyusunan makalah ini banyak
terdapat kesalahan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa, untuk itu kritik
dan saran sangat penulis harapkan demi kesempatan penulis dalam menyelesaikan
tugas-tugas dimasa datang. Semoga dengan adanya makalah ini bisa bermanfaat
kepada siapa saja yang membaca.

Blitar, 29 Agustus 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman sampul
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN................................................................................................. 2
A. Pengertian Wudhu .................................................................................... 2
B. Syarat Sah Wudhu .................................................................................... 3
C. Rukun Wudhu .......................................................................................... 4
D. Sunnah Wudhu ........................................................................................ 8
E. Hal Yang Membatalkan Wudhu ............................................................... 9
BAB III ................................................................................................................. 13
PENUTUP ........................................................................................................ 13
A. Kesimpulan ............................................................................................. 13
B. Saran ....................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Thaharah atau wudhu merupakan masalah yang paling utama, dan
sangat penting dalam beragama. Berwudhu merupakan fondasi dalam
beribadah. Karena sangat berlandaskan apabila kitab-kitab fiqh dan kitab-
kitab hadis sering sekali diawali dengan bab tentang kajian thaharah.
Maka dari itu penting sekali untuk mengetahui bagaimna pengertian,
syarat-syarat, rukun dan penyebab batalnya wudhu. Dengan kami menulis
makalah ini semoga dapat bermanfaat dan menjadi tambahan ilmu
pengetahuan bagi para pembaca serta dapat dijadikan sumber wawasan
khasanah keilmuan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian wudhu?
2. Apa saja syarat sah wudhu?
3. Apa saja rukun wudhu?
4. Apa saja sunnah wudhu?
5. Apa yang menyebabkan batalnya wudhu?

C. TUJUAN
1. Memaparkan pengertian wudhu.
2. Menyebutkan saja syarat sah wudhu.
3. Menyebutkan saja rukun wudhu.
4. Menjelaskan sunnah-sunnah wudhu.
5. Mengungkapkan yang menyebabkan batalnya wudhu.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wudhu
Menurut Wahbah Al-Zuhaili pengertian ‫ الوضوء‬ialah mengunakan air
pada anggota badan tertentu yang tujuan untuk membersihkan dan
menyucikan. Sedangkan menurut syara’, wudhu yaitu membersihkan bagian
badan tertentu dengan suatu susunan kegiatan yang diawali dengan niat,
membasuh wajah, kedua tangan dan kaki serta menyapu kepala.1
Wudhu yaitu menghilangkan hadas kecil dengan cara berniat, membasuh
muka, dua tangan sampai sikut, mengusap sebagian kepala dan membasuh
dua kaki sampai mata kaki.2
Perintah permulaan diwajibkan berwudlu bersamaan dengan permulaan
kewajiban sholat fardhu, yaitu pada malam isra’.3
Semua umat muslim pastinya tahu bahwa wudhu merupakan salah satu
ritual yang sangat penting dalam Islam untuk menjaga kesucian dan sebagai
salah satu syarat sebelum melaksanakan salat. Sehingga seseorang tidak
dianggap sah salatnya ketika tanpa berwudhu terlebih dahulu. Sebenarnya
perintah wudhu tersebut tercantum dalam firman Allah Q.S Al-Maidah ayat
6, yakni sebagai berikut:

۟ ‫س ُح‬
‫وا‬ َ ‫ق َو ْٱم‬ِ ِ‫وا ُو ُجو َه ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْٱل َم َراف‬ َّ ‫ٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا إِذَا قُ ْمت ُ ْم إِلَى ٱل‬
۟ ُ‫صلَ ٰوةِ فَٱ ْغ ِسل‬
‫سف ٍَر أَ ْو‬َ ‫علَ ٰى‬َ ‫ض ٰ َٰٓى أَ ْو‬
َ ‫وا ۚ َوإِن ُكنتُم َّم ْر‬ ۟ ‫ٱط َّه ُر‬
َّ َ‫بِ ُر ُءو ِس ُك ْم َوأَ ْر ُجلَ ُك ْم إِلَى ْٱل َك ْعبَي ِْن ۚ َوإِن ُكنت ُ ْم ُجنُبًا ف‬
۟ ‫س ُح‬
‫وا‬ َ ‫ٱم‬ ْ َ‫طيِبًا ف‬ َ ‫ص ِعيدًا‬ َ ‫وا‬ َ ِ‫َجا َٰٓ َء أَ َحدٌ ِمن ُكم ِمنَ ْٱلغَآَٰئِ ِط أَ ْو ٰلَ َم ْست ُ ُم ٱلن‬
۟ ‫سا َٰٓ َء فَلَ ْم ت َِجدُو ۟ا َما َٰٓ ًء فَتَيَ َّم ُم‬
ُ‫ط ِه َر ُك ْم َو ِليُتِ َّم نِ ْع َمتَ ۥه‬َ ُ‫ج َو ٰلَ ِكن ي ُِريدُ ِلي‬ٍ ‫علَ ْي ُكم ِم ْن َح َر‬ َ ‫ٱَّللُ ِليَجْ َع َل‬ َّ ُ‫ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َوأَ ْيدِي ُكم ِم ْنهُ ۚ َما ي ُِريد‬
َ‫ع َل ْي ُك ْم َل َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرون‬
َ

1
Oan Hasanuddin, Mukjizat Berwudhu, (Jakarta: Qultum Media, 2007), h. 15
2
Toto Suryana, Cecep Alba dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Tiga
Mutiara, 1997), h. 112
3
Zainuddin Abdul Aziz, Aly As’ad. Fathul mu’in, cetakan 1.(Yogyakarta:Menara Kudus, 1980), h.
18

2
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur”.4

Menurut As-Suyuthi, inilah pendapat yang paling kuat. Demikian


diriwayatkan Imam Bukhari dari Amr bin al-Harits dari Abdurrahman bin
al-Qasim. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dari Ubbad
bin Abdillah bin Zubair yang bersumber dari Aisyah.

Wudhu menjadi salah satu syarat utama diterimanya shalat seorang


Muslim. Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci.” (HR Muslim 224).
Tidak diterima shalat salah seorang dari kalian jika berhadas hingga dia
berwudhu.” (HR Bukhari No 135 dan Muslim 225).5

B. Syarat Sah Wudhu

Wudhu adalah cerminan dari ajaran Islam agar semua orang muslim dalam
keadaan suci.untuk itu, berwudhu adalah hal yang diutamakan. Wudhu
berlaku sama dengan hal- hal ibadah lainnya, yakni memiliki syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi sehingga wudhu dapat dikatakan sah secara
hukum. Secara umum, syarat wudhu ada lima, yaitu:

1. Islam
2. Sudah baligh
3. Berhadas kecil

4
Terjemah Q.S Al-Maidah ayat 6
5
HR Bukhari No 135 dan Muslim 225

3
4. Memakai air mutlak yaitu suci dan dapat mensucikan
5. Tidak ada air yang menghalangi sampai kekulit.6

Dalam perspektif empat mazhab, ulama masih ditemukan beda pendapat


dalam menentukan beberapa syarat wudhu. Dalam hal syarat berakal,
menurut jumhur ulama selain mazhab Hanafi tidak mewajibkan wudhu.
Sementara mazhab Hanafi mewajibkannya.7 Dalam hal lainnya, seperti
penggunaan air yang tidak cukup, ulama mazhab Hanafi dan Maliki tidak
mewajibkan penggunaan air suci tersebut, melainkan harus bertayamum.
Sementara menurut Imam Syafi’i dan Hambali mewajibkannya dan setelah
habis air suci tersebut disambung dengan tayamum.

Selain itu, syarat orang yang sedang uzur, menurut Imam Maliki sah
wudhu sebelum dan sudah masuk waktu shalat. Imam Hanafi memandang sah
hanya ketika sebelum masuk waktu, pendapat ini juga dipegang oleh Imam
Syafi’i dan Hambali. Sementara itu, keadaan baligh menurut jumhur ulama
merupakan masuk sebagai syarat sah wudhu. Adapun menurut Hanafi bukan
Syarat sah wudhu.8
Dalam keadaan tertentu bagi orang-orang tertentu seperti perempuan yang
sedang dalam keadaan istihadah, jumhur ulama berpendapat baginya menjadi
syarat wudhu untuk setiap ingin melaksanakan shalat. Artinya, jika tiba waktu
shalat bagi orang yang terus menerus berhadas maka disyaratkan harus selalu
melaksanakan wudhu.

C. Rukun Wudhu
Rukun wudhu itu ada enam perkara. Dari keenam rukun wudhu tersebut
perinciannya adalah sebagai berikut:9

1. Niat

6
Syamsul Rijal Hamid, Agama Islam..., hlm.476
7
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, (Bairut: Dar alKutb al-
‘Iimiyyah, 2003), hlm. 49.
8
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah..., hlm. 48-50.
9
Husni M. Saleh, Fiqih Ibadah , Ibid. h.48.

4
Hendaknya berniat (menyengaja) menghilangkan hadats atau
menyengaja berwudhu. Niat ini berdasarkan hakikatnya ada di dalam hati
yang dimaksudkan pada sesuatu yang dilafalkan bersamaan dengan
mengerjakan nya (sesuatu tersebut dalam hal ini adalah wudhu). Lafal
niat wudhu:
‫َّلل تَ َع ٰالى‬ ِ َ‫ض ْو َء ِل َر ْف ِع ْال َحد‬
ْ َ‫ث اْل‬
ً ‫صغ َِر فَ ْر‬
ِ ‫ضا ِ ه‬ ُ ‫ن ََويْتُ ْال ُو‬

“Nawaitul-wudhuu’a liraf’il-hadatsil-ashghari fardhal lillahi


ta’aaalaa.” “Aku niat berwudhu untuk menghilangkan hadast kecil,
fardhu karena Allah Ta’ala.

Dalam melafakan niat juga menentukan keihklasan seseoramg dalam


melkasanakan ibadah nya. Firman Allah SWT yang terdapat dalam surat
Al-Bayyinah:
‫صيْنَ لَهُ ال ِديْنَ ەۙ ُحنَف َۤا َء‬ ‫َو َمآ ا ُ ِم ُر َْٰٓوا ا َِّل ِل َي ْعبُدُوا ه‬
ِ ‫ّٰللاَ ُم ْخ ِل‬
Artinya: “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya menyembah
Allah serta ikhlas bergama padaNya.

Sedangkan untuk waktu niat terdapat pula perbedaan pendapat dari


para Fuqaha’ antara lain:
a. Hanafiyah, niat dilakukan sebelum istinja’, agar semua pekerjaan
mengandung ibadah
b. Malikiyah, niat itu dilakukan pada waktu membasuh muka
c. Syafi’iyah, niat dilakukan pada waktu membasuh bagian pertama
dari muka
d. Hanabilah, niat itu dilakukan pada waktu membaca basmalah.

Niat dalam wudhu dilakukan saat membasuh muka (wajah), dalam


hal ini bersamaan dengan membasuh wajah bukan pada saat sebelum
membasuh muka dan juga bukan sesudah membasuh muka. Jadi, apabila
orang yang sedang berwudhu tidak mengucapkan niat menghilangkan

5
hadats maka dianggap tidak sah wudhunya. Sedangkan apabila ada orang
yang sedang wudhu berniat seperti niat yang sesuai dengan niat wudhu
yang semestinya dan disertai niat membersihkan badan atau berniat agar
badannya segar maka wudhunya dianggap sah.

2. Membasuh muka

Adapun batas dari muka yang harus dibasuh adalah mulai dari atas
tempat tumbuhnya rambut kepala sampai pada bagian bawah kedua
tulang dagu yaitu kedua tulang yang tempatnya tumbuh gigi bagian
bawah, dimana kedua tulang itu permulaannya berkumpul (bertemu) di
dagu, sedang pada bagian akhirnya ada di sekitar telinga.

Adapun batas lebarnya (muka), yaitu mulai dari telinga kanan hingga
sampai telinga kiri. Adapun jika terdapat jenggot laki-laki yang tumbuh
lebat, sekiraya orang yang berbicara didepannya tidak dapat melihat
kulit (dagunya) dari sela-sela jenggot, maka cukup membasuh pada
bagian muka (yang tampak) saja. Namun, jika jenggot yang tumbuh itu
jarang-jarang (tipis), yaitu sekiramya orang yang berbicara dapat
melihat kulit dari dagunya, maka wajib membasuh hingga air itu sampai
mengenai bagaian kulitnya. Seluruh bagian muka tersebut wajib
dibasuh, tidak boleh tertinggal sedikitpun, bahkan wajib dilebihkan
sedkit agar yakin jika sudah terbasuh semuanya, sebab hal tersebut
termasuk dalam hal yang membuat sempurnanya pembasuhan bagian
muka.

3. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku


Kalau ada seseorang yang tidak memiliki siku-siku, maka yang harus
dibasuh adalah bagian yang diperkirakan sebagai sikusikunya. Wajib
pula membasuh bagian-bagian yang ada di dua tangan seperti rambut
(bulu), uci-uci (daging yang tumbuh di badan), jari-jari tambahan dan
kuku-kuku (sekalipun panjang). Dan wajib pula menghilangkan kotoran

6
(benda) yang terdapat di bagian bawah kuku yang bisa mencegah air
sampai mengena pada kuku.

4. Mengusap kepala
Dalam hal ini maksudnya mengusap sebagaian kepala bagi laki-laki
maupun perempuan atau setidaknya mengusap sebagaian rambut yang
masih ada pada batas-batas kepala. Sedangkan dalam hal mengusap ini,
tidak harus dengan tangan, tetapi bisa saja memakai secarik kain yang
lainnya.
Dan seandainya ada orang yang tidak mengusap kepala, tetapi sebagai
gantinya ia membasuhnya, maka diperbolehkan, dan demikian pula
seandainya ada orang yang hanya meletakkan tangannya yang sudah
dibasahi tanpa menggerak-gerak kannya itupun boleh-boleh saja
hukumnya sah. Ukuran kepala yang diusap menurut pendapatpara
ulama:
a. Menutut Hanafiyah, mengusap kepala menurut urf (kebiasaan)
yaitu sesuai dengan ukuran tangan kira-kira tidak lebih dari ¼
kepala
b. Menurut Malikiyah dan Hanabilah, wajib mengusap seluruh kepala
bagian laki-laki dan tidak wajib membuka sanggul bagi perempuan
c. Menurut Syafi’iyah, yang wajib diusap hanya sebagaian dari
kepala.

5. Membasuh kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki


Wajib pula membasuh sesuatu yang terdapat pada kedua kaki
tersebut seperti rambut (bulu yang tumbuh) uci-uci, jari tambahan dan
kotoran (benda) yang terdapat di bagian bawah kuku yang bisa mencegah
air sampai mengena pada kuku, sebagaimana ketika membasuh kedua
tangan. Apabila seseorang sedang berwudhu dan memakai kedua
khufnya (sepatunya), maka diperbolehkan mengusap kedua khufnya
(sepatunya).

7
6. Tertib
Berurutan yakni membasuh anggota wudhu satu persatu dan
mendahulukan rukun wudhu yang harus dahulu dan mengakhirkan rukun
wudhu yang harus diakhirkan. Hanafiyah dan Malikiyah menganggap
tertib membasuh anggota wudhu itu hanya sunnah muakkad saja.
Sedangkan syafi’iyah dan Hanabilah tertib dalam wudhu itu wajib, tetapi
tidak wajib dalam mandi. Jadi, kalau orang yang berwudhu lupa tidak
tertib tidak sesuai ketentuan urut-urutan pada rukun wudhu maka tidak
sah wudhunya.

D. Sunnah Wudhu
Dalam penetapan sunnah-sunnah wudhu masih banyak perdebatan
yang terjadi diantara para ulama terutama para imam madzhab dalam
beberapa masalah yang masih diperdebatkan kedudukannya apakah
sunnah, atau syarat, atau fardhu. Diantaranya adalah mencelubkan kedua
tangan kedalam bejana sebelum berwudhu, diantara ulama yang
berpendapat bahwa itu pekerjaan sunnah adalah Imam Syafi’i dan Imam
Malik itu pun jika yakin bahwa tangan tersebut suci, ada juga yang
pendapat yang mengatakan bahwa pekerjaan itu mustahab dan pendapat
ini juga diriwayatkan dari pendapat Imam Malik. Menurut Daud az
Zhohiri dan kalangan Ashhab-nya perbuatan itu wajib sebagai peringatan
bagi yang tidur dimalam hari.10
Diantara hal-hal lain yang diperdebatkan oleh alim ulama adalah
masalah berkumur dan istinsyaq dalam wudhu, ada tiga pendapat
masyhur dalam masalah ini; yang pertama keduanya sunnah sebagai
mana yang diutarakan oleh Imam Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah.
Pendapat yang kedua, keduanya fardhu ini dilontarkan oleh Ibnu Abi
Layla dan sekelompok pengikut Daud az Zahohiry, pendapat yang ketiga
mengatakan bahwa istinsyaq fardhu dan berkumur sunnah, ini dikatakan
oleh Abu Tsaur, Abu ‘Ubaidah, dan sekelompok pengikut az Zahohiry.

10
Imam Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, (Daar el Fikr, Beirut). hal. 11

8
Perbedaan pendapat ini didasari dengan adanya hadits-hadits yang
menyebutkan berkumur sebagai tata cara pelaksanaan wudhu, apabila ada
yang perpendapat bahwa itu hanya tambahan saja maka keduanya
sunnah, karena kalau wajib pasti akan ada pertentangan dengan nash al
Qur’an-nya, dengan demikian sudah jelas bahwa hadits tersebut ingin
mengecualikan dua hal tersebut sebagai sunnah wudhu.
Dalam penetapan sunnah-sunnah wudhu juga dibicarakan tentang
bilangan basuhan maupun sapuhan. Hadits-hadits shahih yang
menjelaskan tatacara berwudhu nabi pun sudah cukup menjelaskan
bahwa semua yang melebihi dari satu, baik itu dua maupun tiga adalah
sunnah, karena kalimat amr ( perintah ) hanya menuntut satu kali. Yang
menjadi permasalahan adalah dalam jumlah sapuhan kepala, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa jika seseorang berwudhu dari awal masing-
masing tiga kali, maka ketika menyapu kepala pun tiga kali sapuhan.
Menurut sebagian ulama membasuh telinga termasuk rukun wudhu
dan mereka menta’wilkan pendapat ini adalah pendapat Imam Malik,
begitupun menurut Abu Hanifah dan Ashhabnya namun beliau
mengatakan bahwa telinga dapat dibasuh dengan air sisa basuhan kepala
berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat fardhu namun dengan air
yang baru. Menurut Imam Syafi’i keduanya bukanlah fardhu namun
sunnah wudhu dan harus menggunakaan air yang baru. Dalam kitab
Mishbah diterangkan bahwa yang mengisyaratkan untuk menggunakan
air yang baru adalah ; Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hanbal.

E. Hal Yang Membatalkan Wudhu


1. Sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur.

ِ‫أ َ ْو َجا َء أ َ َحدٌ مِ ْن ُك ْم مِ نَ ْالغَائِط‬

"Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air."
(QS. Al-Maidah: 6)
Sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur dapat membatalkan wudhu
menurut semua Imam Mazhab. Adapun dalil yang dijadikan sebagai

9
landasannya yaitu Alquran surah an-Nisa’ ayat 43 dan al-Maidah ayat 6,
semua Imam Mazhab sepakat menjadikan surah ini sebagai landasan
dalam berpendapat.

2. Bersentuhan kulit laki-laki dan wanita.


Menurut para Imam Mazhab selain Imam Hanafi segala bentuk
persentuhan dapat membatalkan wudhu karena adanya dugaan timbulnya
syahwat. Dalam hal ini para Imam Mazhab sepakat menjadikan surah an-
Nisaa’ ayat 43 sebagai landasan hukumnya.

Artinya: ... janganlah menyentuh perempuan...

Pemaknaan secara bahasa terkait dengan ayat tersebut ialah :


a. Menyentuh maksudnya bersetubuh.
b. Menyentuh maksudnya persentuhan kulit
c. Menyentuh maksudnya dua hal itu sekaligus.

3. Tidur / hilang akal dan kesadaran.


disebutkan:

‫عن أَنَس َرضي هللا عنه قا َ َل َكانَ أَص َحاب َرسول هللا‬
َ ‫ رواه‬- َ‫صلُّونَ َولَ يَت ََوضؤن‬
َ ‫يَنَامونَ ثم ي‬
َ ‫علَى‬
‫عهد َرسول هللا‬ َ َ‫ َحتى ت َخفَق رؤسهم َو َكانَ ذَلك‬: ‫ وزاد أبو داود‬- ‫مسلم‬.

Dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata bahwa para sahabat Rasulullah


SAW tidur kemudian salat tanpa berwudhu' (HR. Muslim) - Abu Daud
menambahkan: Hingga kepala mereka tertunduk dan itu terjadi di masa
Rasulullah SAW.
Imam Hanafi berpendapat bahwa tidur itu sendiri tidak membatalkan
wudhu, kecuali jika:
a. Tidurnya miring, pada lambung samping nya,
b.Tidur dalam keadaan terlentang pada tengkuknya, dan

10
c. Tidur bersandar pada salah satu kedua pahanya.

Karena pada tiga kondisi tersebut seseorang hilang konsentrasinya


dan persendiannya juga mengendur. Namun jika posisi tidurnya dalam
keadaan duduk dan tempat duduknya kokoh di atas tanah atau lainnya,
maka tidak membatalkan wudhu. Jika dia bersandar pada bantal atau
lainnya dan ketika dicabut sandaran tersebut dia terbangun maka batal
wudhunya, jika tidak bangun maka tidak batal. Hal ini berdasar pada
hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan Thabrani:
“wudhu tidak diwajibkan kecuali kepada orang yang tidur miring atau
berbaring, jika seseorang dalam posisi ini maka persendiannya
mengendur”.

4. Menyentuh kemaluan Menurut jumhur ulama kecuali Imam Hanafi,


wudhu menjadi batal karena menyentuh kemaluan.11
Dalil yang melandasi hal ini adalah hadits: Dari Busrah binti Abu Sufyan
ra, Rasullullah saw. Bersabda :

‫َمن َمس ذَك ََره فَليَت ََوضأ‬


Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad
dan At-Tirmizi)
Imam Syafi’i berkata: Apabila seseorang menyentuh kemaluannya
dengan telapak tangannya, dimana tidak ada pembatas antara tangan dan
kemaluannya, maka wajib atasnya berwudhu kembali.12 Hukumnya sama
saja apakah seseorang sengaja atau tidak, karena setiap yang mewajibkan
untuk mengulangi wudhu adalah sikap sengaja, keduanya sama saja, baik
sedikit atau banyak ia menyentuh kemaluannya.

11
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), (Jakarta:
Gema Insani, 2010), hlm. 360.
12
Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, ),
hlm.34.

11
5. Sesuatu yang keluar tidak melalui dua kemaluan.
Imam Hambali mensyaratkan, hendaklah sesuatu yang keluar itu
dalam kadar yang banyak. Maksud kadar yang banyak adalah apabila
kondisinya menjadi buruk menurut diri seseorang, maksudnya kondisi
badan seseorang diperhitungkan, baik ia kurus ataupun gemuk. Oleh
karena itu, jika darah keluar dari badan seseorang yang kurus misalnya,
dan ia dianggap banyak berdasarkan atas badannya, maka wudhunya
menjadi batal.
Jika tidak dianggap banyak, maka wudhu nya tidak batal.
Hal ini karena Ibnu Abbas pernah berkata, “perkara yang buruk itu
adalah apa yang dirasakan buruk menurut pertimbangan hatimu”. Selain
itu, karena darah adalah najis yang keluar dari badan, maka dari itu ia
diberi hukum seperti sesuatu yang keluar dari dua kemaluan. Kadar
sedikit dari darah tidak membatalkan wudhu, karena berdasarkan
mafhum kata-kata Ibnu Abbas tentang darah, “ jika ia buruk (kadarnya
banyak), hendaklah dia mengulangi wudhunya”.

12
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bagaimana pengertian wudhu?
wudhu yaitu membersihkan bagian badan tertentu dengan suatu susunan
kegiatan yang diawali dengan niat, membasuh wajah, kedua tangan dan
kaki serta menyapu kepala
2. Apa saja syarat sah wudhu?
a. Islam
b. Sudah baligh
c. Berhadas kecil
d. Memakai air mutlak yaitu suci dan dapat mensucikan
e. Tidak ada air yang menghalangi sampai kekulit.13
3. Apa saja rukun wudhu?
a. Niat
b. Membasuh muka
c. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku
d. Mengusap kepala
e. Membasuh kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki
f. Tertib
4. Apa saja sunnah-sunnah wudhu?
a. Mencelubkan kedua tangan kedalam bejana
b. Berkumur dan istinsyaq
c. Bilangan basuhan maupun sapuhan sebanyak 3 kali
d. Membasuh telinga
5. Apa yang menyebabkan batalnya wudhu?
a. Sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur.
b. Bersentuhan kulit laki-laki dan wanita.
c. Tidur / hilang akal dan kesadaran.
d. Menyentuh kemaluan

13
Syamsul Rijal Hamid, Agama Islam..., hlm.476

13
e. Sesuatu yang keluar tidak melalui dua kemaluan.

B. SARAN
Bab thaharah khususnya wudhu sangatlah penting bagi umat islam karena
sebagian besar ibadah diharuskan dalam keadaan suci, baik dari hadas
ataupun najis. Maka kami berharap para pembaca lebih mendalami lagi
ilmu mengenai thaharah karena keterbatasan penulis dalam memberikan
penjelasan dalam tulisan ini. Semoga bermanfaat.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, (Bairut: Dar
alKutb al-‘Iimiyyah, 2003), hlm. 49.
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah..., hlm. 48-50.
HR. Bukhari No 135 dan Muslim 225
Husni M. Saleh, Fiqih Ibadah , Ibid. h.48.
Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz 1, (Beirut: Dar
al-Fikr, ), hlm.34.
Oan Hasanuddin, Mukjizat Berwudhu, (Jakarta: Qultum Media, 2007), h. 15
Syamsul Rijal Hamid, Agama Islam..., hlm.476
Terjemah Q.S Al-Maidah ayat 6
Toto Suryana, Cecep Alba dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan
Tinggi, (Bandung: Tiga Mutiara, 1997), h. 112
Imam Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, (Daar el Fikr, Beirut). hal. 11
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk), (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 360.
Zainuddin Abdul Aziz, Aly As’ad. Fathul mu’in, cetakan 1.(Yogyakarta:Menara
Kudus, 1980), h. 18

15

Anda mungkin juga menyukai