Judul : Thaharoh dengan Wudlu Syarat Sah, Rukun, Dan Yang Membatalkan
Persentasi : Kamis, 9 September 2021
Nama Kelompok :
1. Muhamad Sohibul Muslihin 126201201039 (05)
2. Gicica Mutiara Bintang 126201203316 (38)
3. Putri Jami’atul Fuadah 126201203307 (37)
Pertanyaan no. 1
Nama : Michel Azahra Firdaus
NIM : 126201203251
Dalam hal ini Ustadz Abdul Somad menjelaskan bahwa wanita yang sedang haid atau
menstruasi, hukumnya boleh untuk menjaga wudhunya. Hukum tersebut berdasar atas apa
yang Nabi Muhammad SAW lakukan. Nabi malam hubungan, pernah tidak mandi. Dari
malam sampai ke subuh dia berwudhu, sebelum tidur malam ia basuh kemaluan, dia
berwudhu. Itu dalil orang yang sedang berhadats tetap boleh berwudhu." tambahnya.
Maka jika seorang wanita sedang haid namun ia tetap ingin menjaga wudhunya agar dapat
berdzikir dan bersholawat, Ustadz Abdul Somad menjelaskan hal tersebut tidak menjadi
masalah.
Tetapi yang perlu diingat, wudhu hanyalah menghilangkan hadats kecil bukan hadats besar
seperti haid, nifas, dan berhubungan badan. Sehingga meski diperbolehkan berdzikir dan
bersholawat, ia tidak diperkenankan untuk sholat dan berpuasa.
NIM : 126201203237
NO : 28
NIM : 126201202168
Absen : 19
Saat sedang haid tidak disunnahkan berwudhu, bahkan namanya wudhu tidak boleh terjadi
saat masih haid bila wudhunya untuk menghilangkan hadats untuk ibadah maka haram karena
akan menimbulkan talaa’ub (mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa
menghilangkan hadats berupa haidnya). Kecuali kalau sudah terputus sudah waktunya dia
mandi, haid nya sudah terputus waktunya dia mandi maka seperti itu diperkenankan baginya
untuk berwudhu bahkan sunnah kalau sebelum mandi untuk berwudhu dahulu.
NIM : 126201202177
No. Absen: 20
“Para ulama mazhab kami (Syafi’iyah) sepakat bahwa tidak dianjurkan bagi wanita haid atau
nifas untuk berwudhu (sebelum tidur) karena wudhunya tidak berdampak pada statusnya,
karena ketika darah haidnya sudah berhenti (sedangkan dia belum mandi suci), hukumnya
seperti orang junub. (Syarh Shahih Muslim,)
NIM : 126201203300
No.Abs : 36
استقيموا و لن تحصوا و اعلموا أن خير أعمالكم الصالة و ال يحافظ على الوضوء إال مؤمن
“Istiqomahlah kalian, walaupun kalian tidak akan mampu melakukannya secara hakiki
(namun berusahalah mendekatinya), dan ketahuilah sebaik-baik amalan kalian adalah sholat,
dan tidaklah ada yang MENJAGA WUDHU kecuali dia seorang mukmin.” [HR. Al-Hakim
dan Ibnu Hibban dari Tsauban radhiyallahu’anhu, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-
Jami’: 952]
NIM 126201202189
Absen 23
Imam Nawawi m menjelaskan m dalam Syarah Muslim, “Adapun ashab kami, mereka
sepakat bahwasanya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena
berwudhu tidak berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti
darah haidnya, maka dia seperti orang junub.”
Nim : 126201201064
Absen : 08
Ulama sepakat bahwa hadats kecil misalnya karena buang air kecil atau kentut bisa
dihilangkan dengan wudhu. Sedangkan hadats besar disebabkan haid, nifas (kondisi setelah
melahirkan) dan janabah (kondisi junub)—bisa dihilangkan dengan mandi besar.
Sampai di sini kita bisa memahami bahwa berwudhu tak bisa menjadikan wanita yang sedang
haid menjadi suci. Sebagai konsekuensinya, walaupun seorang wanita yang sedang haid
berwudhu, ia tetap tidak bisa melakukan apa pun.
NIM : 126201202112
No absen : 12
Mohon ijin menambahkan jwaban untuk pertanyaan nomor 1
Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah maka haram karena akan
menimbulkan TANAAQUD (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang
hadats) dan menimbulkan TALAA’UB (mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya
tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya).
Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah
maka sunnah karena fungsinya TAQLIIL ALHADATS (meringankan dan mengecilkan
hadats) dan NASYAATH LI ALGHUSLI (untuk merangsang segera mandi).
Bila wudhunya tidak untuk menghilangkan hadats / ibadah melainkan wudhu yang tujuannya
untuk ‘AADAH / kebiasaan seperti Tabarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah
(kebersihan) maka sunnah karena fungsi rof’i alhadats (menghilangkan hadats) atau taqliil
alhadats (meringankan/mengecilkan hadats tidak terjad dalam wudhu semacam ini dan tidak
menimbulkan tanaaqud (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats).
Wallaahu A’lam bishshawaab.
Absen: 4
Nim: 126201201034
Tidak disunnahkan berwudhu bagi orang yang sedang haid. Hal ini sebagaimana pendapat
para ulama Syafiiyah. Ketika perempuan haid berwudhu maka wudhunya itu tidak akan
mendatangkan manfaat apapun. Hal ini serupa ketika seorang perempuan tengah mandi wajib
dan haidnya mengalir, maka hadatsnya tidak hilang.
Imam Syafi’I Rahimahullah mengatakan bahwa anjuran berwudhu sebelum tidur tidaklah
berlaku pada perempuan haid. Karena meskipun ia mandi, hadatsnya tidak akan hilang (jika
masih terus keluar darah). Hal ini berbeda dengan orang junub. Namun jika darah berhenti,
namun belum langsung mandi wajib, maka statusnya sama seperti orang junub.
Absen : 15
NIM : 126201202134
-Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah maka haram karena akan
menimbulkan TANAAQUD (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang
hadats) dan menimbulkan TALAA’UB (mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya
tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya).
-Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah
maka sunnah karena fungsinya TAQLIIL ALHADATS (meringankan dan mengecilkan
hadats) dan NASYAATH LI ALGHUSLI (untuk merangsang segera mandi).
Maidatul Khofifah
NIM. : 126201202149
No.Absen : 17
Wanita yang sedang haid tidak disunnahkan berwudhu sebelum tidur, kecuali jika darah
haidnya sudah berhenti. Imam Nawawi dalam syarah Muslim:
ْ فَِإ ْن َكان، ض َوالنُّفَ َسا ِء ؛ َأِل َّن ْال ُوضُوْ ء اَل يَُؤ ثِّ ُر فِي َح َدثِ ِه َما
َت ِ َوَأ َّما َأصْ َحابنَا فَِإنَّهُ ْم ُمتَّفِقُوْ نَ َعلَى َأنَّهُ اَل يُ ْستَ َحبُّ ْال ُوضُو ُء لِ ْل َحاِئ
“Adapun ashab kami, mereka sepakat bahwasanya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita
haid dan wanita nifas. Karena berwudhu tidak berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika
wanita haid sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallaahu A’lam.”
(Sumber Kitab: Syarhunnawawi ‘Alaa Shahihi Muslim juz III halaman 218, cetakan ke III
tahun 1398 H – 1978 M / juz I halaman 499 / juz III halaman 218, maktabah syamilah).
Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah maka haram karena akan
menimbulkan TANAAQUD (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang
hadats) dan menimbulkan TALAA’UB (mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya
tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya).
Bila wudhunya untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah
maka sunnah karena fungsinya TAQLIIL ALHADATS (meringankan dan mengecilkan
hadats) dan NASYAATH LI ALGHUSLI (untuk merangsang segera mandi).
Bila wudhunya tidak untuk menghilangkan hadats / ibadah melainkan wudhu yang tujuannya
untuk ‘AADAH / kebiasaan seperti Tabarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah
(kebersihan) maka sunnah karena fungsi rof’i alhadats (menghilangkan hadats) atau taqliil
alhadats (meringankan/mengecilkan hadats tidak terjad dalam wudhu semacam ini dan tidak
menimbulkan tanaaqud (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats).
Wallaahu A’lam bishshawaab.
NIM : 126201203292
Absen : 35
Imam Nawawi pun menjelaskan lagi dalam Syarah Muslim, “Adapun ashab kami, mereka
sepakat bahwasanya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena
berwudhu tidak berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti
darah haidnya, maka dia seperti orang junub.”
Nim : 126201203330
Absn : 40
Pendapat para ulama syafiiyah, ketika perempuan haid berwudhu maka wudhunya tidak akan
mendatangkan manfaat apapun. Hal ini serupa ketika seorang perempuan tengah mandi wajib
dan haidnya mengalir maka hadastnya tidak hilang.
Ni'matus Salamah
No. Absen: 26
Dalam keadaan haid tidak disunnahkan berwudhu, karena dia keadaan punya hadas, keadaan
ini berbeda dengan junub. Jika darah haid sudah terputus, disaat dia mandi maka berwudhu
hukumnya sunnah.
nim : 126201203263
absen : 31
hukum berwudhu bagi seorang perempuan yang sedang haid itu terdapat banyak perbedaan
ada yang di perbolehkan dan ada juga yang tidak di perbolehkan. namun mam Nawawi
rahimahullah berkata, menurut ulama Syafi’iyah disepakati bahwa tidak dianjurkan bagi
wanita haidh untuk berwudhu (sebelum tidur) karena wudhu tidak berpengaruh apa-apa.
Namun jika darah haidh berhenti, maka statusnya sama seperti orang junub.
NIM: 126301202081
Absen: 09
Berwudhu tak bisa menjadikan wanita yang sedang haid menjadi suci. Sebagai
konsekuensinya, walaupun seorang wanita yang sedang haid berwudhu, ia tetap tidak bisa
melakukan apa pun (kegiatan ibadah syar’i) yang seharusnya bisa dilakukan dalam keadaan
suci.
NIM. : 126201202102
Absen : 11
berwudhu bagi wanita haid dan nifas itu hukumnya Sunnah. Karena berwudhu tidak
berpengaruh pada hadats mereka berdua.
Absen 21
Nim: 126201202180
Imam Nawawi Rahimahullah menjelaskan dalam Syarah Muslim, “Adapun ashab kami,
mereka sepakat bahwasanya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas.
Karena berwudhu tidak berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah
berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub.”
Pertanyaan no. 2
NIM : 126201201044
Pertanyaan : Sebagian umat Islam disela-sela berwudu, ketika membasuh kedua tangan,
membasuh dari pergelangan sampai siku tanpa memasukkan dua telapak tangan dalam
basuhan. Apa hukumnya hal itu?
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.” QS. AL-MAidah: 6
Maka Allah mewajibkan membasuh dua tangan sampai siku setelah membasuh wajah. Dan
hal ini tidak terealisasi kecuali dengan membasuh dua tangan dari jemari dua telapak tangan
sampai ke dua siku. Siapa yang hanya membasuh dua pergelangan sampai ke siku tidak tidak
mendatangkan fardu ini. Sementara membasuh dua telapak tangan di awal wudu termasuk
basuhan yang sunah. Tidak diterima untuk yang fardu menurut jumhur ulama. Berbeda
dengan Hanafiyah. Jumhur ulama berpendapat harus tertib antara anggota wudu. Sehingga
membasuhnya tertib sesuai dalam ayat. Membasuh wajah, kemudian membasuh dua tangan
kemudian mengusap kepala kemudian membasuh dua kaki.
Dari sini, maka tidak sah hanya mencukupkan membasuh dua telapak tangan pada awal
wudu, untuk mengulangi basuhan bersama tangan. Karena hal itu menghilangkan tertib.
Dengan memasukkan membasuh wajah disela-sela membasuh dua tangan. Yang wajib adalah
membasuh semua dua tangan. Itu terjadi setelah membasuh wajah.
Namun jika terjadi suatu hal. Semusal ada luka yang tidak bisa terkena air maka boleh
melewatkan anggota wudhu tersebut untuk tidak dibasuh dengan syarat anggota tersebut
sudah dalam keadaan bersih/suci.
Nama: Amaliyah Umami
Absen: 3
NIM: 126201201024
Muwalat (bersambung terus) dalam wudu adalah tidak mengakhirkan membasuh anggota
tubuh sampai kering dari sebelumnya dengan waktu normal. Tidak pengaruh keringnya
anggota karena sangat panas atau adanya angin atau mengeringkan dengan baju contohnya.
Kalau sekiranya waktu keringnya tidak dalam waktu normal. Yang dijadikan patokan adalah
tidak berlangsungnya waktu (lama).
Sebagian ulama mendefinisikan muwalat adalah tidak memisahkan antara anggota yang
dibasuh pada waktu lama dalam kebiasaan. Tidak terikat hal itu dengan waktu yang terjadi
keringnya (anggota tubuh).
Pertanyaan no. 3
NIM : 126201202160
Pertanyaan :
Bagaimana hukum berwudhu di dalam kamar mandi ? Dan apabila kita berwudhu di dalam
kamar mandi, doa sesudah wudhu lebih baik dilafalkan di dalam kamar mandi tersebut atau
dilafalkan ketika kita keluar dari kamar mandi ?
Berwudhu di kamar mandi adalah sah dan diperbolehkan meski bersifat makruh dan
menyarankan agar jangan sampai alasan tersebut membuat seseorang lantas bertayamum.
Sangat dianjurkan untuk tidak membaca doa usai wudhu di kamar mandi dan memang di
sunnahkan. Ini untuk menghormati kesucian dari lafal doa tersebut. Sementara demi
mengejar keutamaan sunah dalam wudhu, dianjurkan untuk membaca lafal doa setelah keluar
dari kamar mandi agar terhindar dari hadas kecil dan hadas besar.
Seorang ahli ilmu fiqih, Ustadz Habib Syauqi Al Haddad mengatakan, jika memungkinkan
lebih baik wudhu di luar kamar mandi. Namun apabila terpaksa, maka hukum berwudhu di
dalam kamar mandi hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan. Sedangkan, untuk
membaca lafal dzikir atau doa di kamar mandi hukumnya makruh (mendekati dosa) dan
membatin dzikir dan doa di dalam hati tetap diperbolehkan (mubah). Adapun terkait
kesunahan berdoa setelah wudhu, solusinya ialah membacanya pada saat keluar dari kamar
mandi. Maka jika diambil kesimpulan hukum wudhu di kamar mandi adalah mubah
(diperbolehkan), dengan catatan bacaan doa atau dzikir dilakukan di dalam hati.
NIM : 126201203341
No. Absen : 41
Menurut saya berwudhu dikamar mandi boleh tetapi apabila menggunakan bak mandi harus
mempunyai air yang banyaknya minimal 2 kullah. Dan ketika membaca doa sebaiknya
dilakukan di luar kamar mandi atau ketika di dalam membaca doa dengan dibatin dalam hati.
NIM : 126201203237
NO : 28
Jika memungkinkan lebih baik wudhu di luar kamar mandi. Namun apabila terpaksa, maka
hukum berwudhu di dalam kamar mandi hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan. Dalam
adab yang diajarkan dalam syariat Islam yaitu baiknya berdoa di luar kamar mandi, setelah
berwudhu, mandi atau buang hajat.
Absen : 02
Lebih baik tidak melafalkan bismillah dan do’a pada saat wudhu di kamar mandi. Aturan ini
berlaku bila di dalamnya terdapat tempat buang hajat. Ibn ‘Abidin mengatakan, larangan
melafalkan dzikir pada tempat kotor lebih jelas ketimbang perintah umum melafalkan dzikir
dan doa, khususnya pada saat wudhu. Hal ini ditekankan guna menghormati kesucian kalimat
dzikir dan doa. Meskipun membacanya dimakruhkan, membatinkan dzikir dan doa di dalam
hati tetap diperbolehkan. Adapun terkait kesunahan berdo’a setelah wudhu, solusinya ialah
membacanya pada saat keluar dari kamar mandi. Akan tetapi ada juga yang mengganggap
berwudhu di kamar mandi hukumnya sah.
NIM : 126201202177
No. Absen: 20
seorang ahli ilmu fiqih, Ustadz Habib Syauqi Al Haddad mengatakan, jika memungkinkan
lebih baik wudhu di luar kamar mandi. Namun apabila terpaksa, maka hukum berwudhu di
dalam kamar mandi hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan.
Sedangkan, untuk membaca lafal dzikir atau doa di kamar mandi hukumnya makruh
(mendekati dosa) dan membatin dzikir dan doa di dalam hati tetap diperbolehkan (mubah).
Adapun terkait kesunahan berdoa setelah wudhu, solusinya ialah membacanya pada saat
keluar dari kamar mandi.
NIM: 126201203251
NIM : 126201203300
No. Abs : 36
Dikutip dari channel resmi Nahdlatul Ulama, salah seorang ahli ilmu fiqih, Ustadz Habib
Syauqi Al Haddad menuturkan, di antara adab seseorang ketika berada di dalam kamar mandi
adalah tidak boleh berbicara. Berbicara yang baik, seperti berdzikir maupun berbicara yang
tidak baik. Jika memungkinkan lebih baik wudhu di luar kamar mandi. Namun apabila
terpaksa, maka hukum berwudhu di dalam kamar mandi hukumnya adalah mubah atau
diperbolehkan.
"Sekarang seumpama rumah kita sempit, tidak ada tempat wudhu kecuai di kamar mandi itu
diperbolehkan. Selagi kita tidak melihat najis tersebut, terciprat ke baju kita atau anggota
tubuh kita," tuturnya.
Nim : 126201201064
Absen : 08
Hukum berwudhu di dalam kamar mandi atau toilet adalah makruh. Mengingat itu adalah
tempat yang kotor dan sarang setan. Sehingga ketika masuk kotoran dapat membuat
seseorang tidak bisa mengucapkan kalimat-kalimat baik. Kalimat baik itu adalah bismillah.
Jika memang di dalam rumah tidak memiliki tempat khusus untuk berwudhu, maka tidak apa-
apa jika berwudhu di kamar mandi. Dan sebaiknya saat akan membaca doa selesai wudhu
lebih baik dibaca saat sudah keluar dari kamar mandi.
Absen. 14
Jika memungkinkan lebih baik wudhu di luar kamar mandi. Namun apabila terpaksa, maka
hukum berwudhu di dalam kamar mandi hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan. Dalam
adab yang diajarkan dalam syariat Islam yaitu baiknya berdoa di luar kamar mandi, setelah
berwudhu, mandi atau buang hajat.
Pertanyaan no. 4
NIM : 126201203329
Pertanyaan : Salah satu yang membatalkan wudhu adalah bersentuhan dengan yang bukan
muhrim nya. Lalu bagaimana dengan orang yang haji ketika thowaf pastinya dengan jumlah
yang banyak akan bersentuhan antara laki dan perempuan.. ? Apakah harus mengulang
kembali ketika di tengah2 thowaf mereka tidak sengaja bersentuhan dengan yang bukan
muhrim nya. Berikah alasan dan dalil nya. 🙏🏻
Ada pendapat lintas madzhab yang menyatakan bahwa bersentuhan lain jenis tidak
membatalkan wudhu selama tidak syahwat namun dengan syarat harus pindah ke madzhab
lain (intiqalul madzhab). Konskuensinya jika seseorang ingin pindah ke luar madzhab syafi'i
maka harus pindah satu paket (satu qadliyah). Artinya mengikuti madzhab lain itu mulai dari
syarat rukun hingga batalnya wudhu, tidak boleh setengah-setengah. Bagi masyarakat umum,
hal ini cukup rumit. sebuah kelonggaran bagi penganut madzhab Syafi'i dalam berthawaf.
Redaksi yang dikemukakan Imam Nawawi sebagai berikut. مما تعم به البلوى في الط’’واف مالمس’’ة
فإن لمس أحدهما بشرة، فينبغي للرجل أن ال يزاحمهن ولها أن ال تزاحم الرجال خوفا من انتقاض الطهارة، النساء للزحمة
اآلخر ببشرته انتقض طهور الالمس وفي الملموس قوالن للشافعي رحمه هللا تعالي أصحهما أنه ينتقض وضوءه وهو نصه
والثاني ال ينتقض واختاره جماعة قليلة من أص’’حابه والمخت’’ار األول، في أكثر كتبهArtinya, “Termasuk cobaan
yang merata dalam thawaf adalah sentuhan dengan wanita karena berdesak-desakan.
Sebaiknya bagi lelaki untuk tidak berdesak-desakan dengan para wanita tersebut. Begitu pula
bagi para wanita jangan berdesakan dengan para lelaki karena kekhawatiran akan terjadi
batalnya wudhu. Sesungguhnya bersentuhan salah satu dari keduanya terhadap kulit yang lain
bisa menyebabkan batalnya kesucian orang yang menyentuh. Sedangkan bagi orang yang
disentuh, terdapat dua pendapat dalam madzhab Syafi'i rahimahullah. Menurut pendapat yang
paling sahih adalah batal wudhunya orang yang disentuh. Itu merupakan redaksi tekstual
yang terdapat dalam mayoritas kitab-kitab Syafii. Adapun pendapat kedua mengatakan tidak
batal. Pendapat ini dipilih oleh sebagian kecil golongan pengikut Syafi'i. Sedangkan pendapat
yang terpilih adalah yang pertama,” (Lihat Imam Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj wal
Umrah, Al-Maktabah Al-Imdadiyah, halaman 220-221).dalam hal batalnya wudhu, mereka
tetap dapat mengikuti madzhab syafi'i asalkan tidak menyengaja menyentuh lawan jenis.
Selama tidak menyengaja, tidak membatalkan wudhu.
Absen : 25
NIM : 126201203024
Ada pendapat lintas madzhab yang menyatakan bahwa bersentuhan lain jenis tidak
membatalkan wudhu selama tidak syahwat namun dengan syarat harus pindah ke madzhab
lain (intiqalul madzhab). Ulama Syafiiyyah sepakat bahwa orang yang menyengaja
menyentuh hukumnya batal. Adapun sisi kedua adalah yang orang disentuh (al-malmus).
Bagi orang yang disentuh (tidak sengaja menyentuh) terdapat dua pendapat. Menurut
pendapat yang paling shahih adalah batal, sedangkan menurut pendapat sebagian ulama tidak
batal.
NIM : 126201203229
Absen : 27
Orang yang sedang tawaf baik itu tawaf sunnah, qudum, umroh, ataupun ifadah jika
berhadast saat thawafnya maka harus keluar dan mengambil wudhu lagi. Misalkan saat
thawaf di hitungan ke empat dia batal, maka dia start lagi thawafnya untuk putaran ke empat
setelah berwudhu. Demikian kata Firman yang dijelaskan oleh darul Ifta dengan menukil dari
kitab Mughnil Muhtaj.