Anda di halaman 1dari 3

“Hans dan Boneka”

Nama : Anastasya Y.F Way (XII MIPA 2)

Sinopsis :
Pediophobia adalah ketakutan akan boneka. Karena boneka dialihkan ke anak-anak,
pediophobia diderita terutama oleh anak-anak. Seseorang dengan pediophobia biasanya akan
menyembunyikan boneka yang mereka temui atau menolak untuk mendekati boneka. Jika
mereka mendekati boneka, mereka mungkin merasa malu dengan reaksi mereka, gemetaran,
detak jantung yang meningkat, ketidakmampuan untuk berbicara atau berpikir jernih, panik,
takut, sesak napas, menangis, dan mual. Dalam kasus yang lebih buruk, seseorang akan
kehilangan kendali atau amarah, jantung berdebar-debar, sensasi lepas dari kenyataan, atau
serangan kecemasan yang hebat

"Enggak mau!" Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun memberontak saat teman-
temannya memaksa untuk bermain boneka. "Lagi pula aku kan cowok!" serunya.
"Ah ... kau ini! Lihatlah! Mereka juga cowok dan tetap bermain. Hanya kali ini saja," pinta
anak itu. Ia bernama Hazel. Gadis cantik berambut pirang dengan mata biru terang.
Sedangkan anak yang sedang berhadapan dengannya adalah Hans. Anak laki-laki pendek dan
lucu yang berambut gelap dengan mata senada.
"Enggak! Kubilang enggak ya enggak!" Hans terus bersikeras menolak ajakan Hazel.
Teman-temannya yang lain kini ikut memaksanya.
"Hei! Ayolah, Hans! Bukankah momen ini sangat jarang terjadi? Momen saat kita
berdelapan berkumpul bersama saat merayakan ulang tahun Hazel?" Heinrich, sahabat
terdekat Hans ikut memaksa.
"Apa kau punya masalah dengan boneka?" tanya Gerald asal namun ternyata tepat sasaran.
Hans mengangguk samar.
"Aku mengidap pediophobia. Phobia boneka," jawab Hans lemas. Semburat merah kini
terlihat jelas di pipinya.
Angel berkomentar. "Apa kau malu? Pipimu merah, loh." Tawa langsung terdengar saat
komentar polos Angel terlontar dari bibir mungilnya.
Garry dan Harry merangkul Hans dengan senyuman khas mereka. "Tak apa. Maafkan
kami karena memaksamu bermain dengan ketakutanmu."
Heinrich berjalan mendekati sahabatnya, membuka lengannya lebar untuk memberikan
pelukan terhadap terhadap Hans. Mereka bersatu dalam pelukan persahabatan yang hangat
dan tak terkalahkan.
Hanya Rochelle yang tetap diam di posisi awal. la menatap Hans dengan tatapan yang sulit
diartikan. Beberapa saat kemudian, ia tersenyum.
Sebuah boneka raksasa kini sedang mengejar Hans. Di tengah kegelapan malam, hanya
ada Hans dan boneka itu di sana. Hans hanya bisa berlari dan terus berlari untuk
menghindari serangan boneka anak-anak dengan penuh luka menyeramkan itu. Boneka itu
lebih dari kata 'sangat menyeramkan' bagi Hans. Hans bersembunyi di dalam tong, berusaha
menetralkan napasnya yang terengah-engah. Ia sangat ketakutan. Hans terus berharap agar
boneka itu cepat pergi meninggalkannya. Harapan selalu indah, namun kenyataan selalu
pahit. Tong yang ditempati Hans seperti ditarik ke atas oleh sesuatu. Saat ia mengintip ke
luar, ternyata boneka itu sudah menemukannya. Boneka itu memasang senyum yang amat
menyeramkan. Hans mual, ia sungguh pusing. Kepalanya berputar dengan sangat cepat.
Boneka itu kemudian melemparnya ke dalam luasnya air danau.
Byuur!
"Aaaaaahhhh!!!" Hans berteriak dan terbangun. Sepertinya mimpi buruk itu masih terus
menghantuinya. Sudah empat tahun ia seperti ini. Hidup dalam ketakutan luar biasa terhadap
boneka. la merasa aneh. Ada sesuatu yang basah dan bau di area selangkangannya. la melihat
ke tempat di mana basah dan bau itu berasal.
"A-aku... mengompol?!" teriak Hans histeris.
"APA?!" Mama Hans menjerit tak kalah histeris. Entah sejak kapan Helena, Mama Hans,
sudah berdiri di depan pintu. "Astaga, Hans! Kamu sudah besar, loh! Sudah sepuluh tahun
masa masih ngompol?!" omel Helena.
Hans menunduk malu. "Maaf, Ma. Tadi Hans mimpi itu lagi," ujarnya penuh penyesalan.
Hati Helena langsung luluh melihatnya. Ia mengelus pucuk kepala anak semata wayangnya
dengan penuh kasih sayang.
"Kamu mimpi itu lagi, ya? Bersabarlah, Hans! Mama tau kamu kuat. Sekarang, kamu
ganti celana, biar Mama yang ganti kasurnya. Oke?"
Hans tersenyum ceria. "Oke, Ma!"
Pagi ini, mata Hans tampak begitu bengkak. Setelah kejadian semalam, ia tak bisa tidur
sama sekali. la masih dalam keadaan terjaga dari jam satu dini hari sampai jam tujuh pagi.
Helena yang melihat langsung mengintrogasinya.
"Nama?"
"Hans."
"Umur?"
"Sepuluh."
"BANCI! Mama apa-apaan sih?!" Hans berseru kesal. la menggembungkan pipinya.
Helena terkekeh pelan. "Kamu gak tidur habis mimpi semalam?" tanya Helena to the
point. Hans mengangguk pelan. Ia berjalan ke meja makan sambil mengusap mata yang
bengkak. "Hari ini makan apa, Ma?" tanya Hans lemah.
Ibu tersenyum jahil. "Makan daging Hans Morgan." Hans melotot, berhasil membuat
ibunya tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat kemudian, ruangan ini dipenuhi oleh tawa.
"Berisik amat, sih!" protes Andryan, Papa Hans, membuat Helena dan Hans segera
bungkam. Helena mengacungkan dua jari berbentuk V. "Piss dame," ujarnya, mencoba
sekonyol mungkin.
Andryan kembali ke rutinitasnya, membaca koran sembari berkata, "Garing, Len. Oh, ya!
Kita dapet kiriman paket entah dari siapa. Hans, coba buka isinya!" Hans menurut.
Melihat suaminya yang berbicara tanpa menghadap ke orang lain membuat Helena
berkomentar, "Kalau ngomong lihat orangnya, Sayang."
Andryan membuat bola mata. "Iya, iya."
Bruuk!
Suara berdebum menggema cukup kuat di ruangan itu. Andryan dan Helena segera
melihat ke asal suara.
"HANS!!!" teriak keduanya begitu melihat kondisi anak semata wayang mereka yang tak
sadarkan diri. Mereka melihat kotak yang baru setengah dibuka, kemudian membuka
sepenuhnya.
Alangkah terkejutnya mereka melihat isi dari kotak itu adalah boneka anak laki-laki
dengan luka di sekujur tubuh. Boneka itu terlihat sangat menyeramkan bagi mereka. Boneka
itu kemudian menatap mata kedua orang tua Hans, kemudian tersenyum mengerikan.

Anda mungkin juga menyukai