Anda di halaman 1dari 26

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu industri yang di prioritaskan dan mulai dikembangkan saat ini

adalah industri tekstil dan produk tekstil. Industri TPT memiliki peranan penting

dalam perekonomian nasional karena sektor ini dapat menyediakan lowongan

tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Indonesia, China dan India

merupakan negara di wilayah Asia dengan industri tekstil dan produk tekstil yang

terintegritas. Industri terintegrasi ini melibatkan industri dari awal hingga akhir

dalam menghasilkan produk berupa serat dan benang, kain, hingga pakaian jadi

(Sahat, 2016)

Salah satu produk tekstil yang terkemuka dan ikon dari kalimantan selatan

adalah kain sasirangan. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2017 ada 170 unit usaha

industri sasirangan yang terdapat di beberapa Kota/Kabupaten. Diantaranya

terdapat 70 unit usaha di Kota Banjarmasin, 38 unit usaha di Kabupaten Banjar,

22 unit usaha di Kota Banjarbaru, 23 unit usaha di Kabupaten Batola, 12 unit

usaha di Kabupaten Tanah laut, 2 unit usaha di Kabupaten HST, serta 1 unit

usaha untuk masing-masing kabupaten Tabalong, Tapin dan Balangan (Dinas

Perindustrian dan Perdagangan, 2017).

Tingginya minat masyarakat terhadap kain sasirangan, membuat produksi

sasirangan semakin melimpah. Besarnya produksi mengakibatkan limbah yang

di hasilkan juga semakin meningkat. Limbah utama dari proses produksi kain

sasirangan adalah limbah cair, hal ini dikarenakan pada proses penyempurnaan

produk tekstil pada setiap tahapannya selalu dibantu dengan air. Pencemaran air

akibat industri kain sasirangan dapat berasal dari limbah air pada proses
produksi, sisa-sisa pelumas dan minyak, sisa bahan-bahan kimia pada proses

produksi, serta sampah potongan kain dan lainnya. Industri tekstil biasanya

menggunakan pewarna sintetik pada proses pencelupan atau pencapan. Pada

zat pewarna tekstil terdapat kandung logam berat berbahaya seperti timbal (Pb),

kadmium (Cd), krom (Cr), arsen (As), tembaga (Cu), dan seng (Zn)

(Komarawidjaja, 2017).

Logam berat merupakan salah satu agen pencemar lingkungan, oleh

sebab itu limbah yang mengandung logam berat perlu dikelola secara benar

sebelum di buang ke lingkungan. Salah satu kandungan logam berat yang perlu

diperhatikan adalah timbal (Pb). Timbal (Pb) merupakan logam berat non

esensial dimana logam berat ini tidak dapat terdegradasi di alam dan tidak

berubah bentuk (Sudarmawan dkk, 2020). Timbal (Pb) merupakan salah satu

anggota dari kelompok logam beracun yang apabila terpapar dapat

membahayakan untuk makhluk hidup. Logam Pb yang masuk ke badan air

dalam bentuk air limbah atau buangan selanjutnya akan mengalami

pengendapan yang dikenal dengan istilah sedimen. Sedimen adalah lapisan

dasar yang melapisi sungai, danau, teluk, muara dan lautan. Kandungan logam

berat dalam sedimen biasanya cinderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan

kandungan logam berat yang ada secara alami di perairan. Kandungan timbal

(Pb) yang tinggi dalam badan air akan mengakibatkan biota yang ada di

dalamnya tercemar seperti ikan, udang dan kerang, dimana biota tersebut

biasanya hidup di dasar sungai dan apabila dikonsumsi oleh manusia dapat

berbahaya bagi kesehatan (Budiastuti dkk., 2016).

Salah satu teknologi tepat yang digunakan untuk mengolah limbah kain

sasirangan adalah lahan basah buatan atau LBB yang memanfaatkan


tumbuhan untuk mengurangi konsetrasi pencemar dan kontaminan yang

terdapat di dalamnya. Lahan Basah Buatan (Constructed Wetlands) merupakan

salah satu sistem pengolahan air limbah alternatif yang tergolong murah dan

mudah untuk dioperasikan karena prinsipnya yang menyerupai keadaan alamiah

di lapangan (Gupta dkk., 2016). Sistem pengolah limbah Constructed Wetlands

hanya membutuhkan bak atau kolam sederhana, sehingga tidak memerlukan

biaya besar untuk pembuatan instalasi bangunannya. Pengolahan limbah

mengandalkan kinerja tanaman dan mikrobia yang bekerja secara alamiah,

sehingga tidak membutuhkan sistem pengoperasian yang rumit dan dapat

menekan biaya operasionalnya (Margowati & Sugeng, 2016). Salah satu sistem

lahan basah buatan yang dikembangkan saat ini yaitu Sub-surface Flow System

(SSF). Sub-surface Flow System (SSF) adalah sistem dengan aliran di bawah

permukaan tanah. Air limbah akan dialirkan melewati lahan basah buatan melalui

tanaman yang ditanam pada media yang berpori. Media berperan dalam

membantu terjadinya proses sedimentasi serta membantu penyerapan bau dari

gas hasil biodegradasi, serta tempat berkembangbiaknya mikroorganisme, dan

apabila pemilihan media tidak sesuai maka dapat menimbulkan pendangkalan

dan merombak beban organik akibat pembusukan tanaman dan menyebabkan

kenaikan konsentrasi zat organik itu sendiri (Puspitasar dkk, 2021). Media yang

sering digunakan pada lahan basah buatan adalah tanah, pasir, batuan atau

bahan lainya. Tanah sebagai sebagai media tanam dan tempat berkembang

biaknya mikroorganisme. Kerikil dan Pasir berfungsi sebagai filter dan rongga

yang tersusun antar batuan memungkinkan oksigen masuk sampai kedasar

(Qomariyah dkk., 2017). Sub-surface Flow terdiri atas kolam atau bak dengan

dasar yang kedap air lalu diisi dengan media tanah, pasir atau batu untuk
mendukung pertumbuhan vegetasi. Ada dua macam pola aliran pada Sub-

surface Flow System, yaitu aliran horizontal (Horizontal Sub-surface Flow) dan

aliran vertikal (Vertical Flow System) (Cahyana & Annisha, 2019).

Jenis tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja

LBB, selain media, kedalaman air, beban hidrolik, aku retensi, jenis

pengoperasian, dan prosedur pemeliharaan (Prihatini dkk., 2020). Tanaman hias

jenis Equisetrum Hyemale merupakan jenis tanaman air memiliki kinerja yang

cukup baik dalam mengolahan air limbah dengan sistem pengolahan lahan

basah buatan aliran bawah permukaan atau sub-surface flow wetland dan dalam

perawatannya tergolong mudah (Putra dkk., 2020). Tanaman bambu air

(Equisetium hymale) terdapat kandungan silikat pada bagian batangnya yang

cukup tinggi dan bisa dijadikan sebagai bahan pengikat logam yang terserap

oleh tanaman. Dalam penelitian Kurniati dkk (2014) Tanaman air bambu

Equisetum hyemale dapat menurunkan kandungan logam berat Pb dalam air

limbah sebesar 82,2%. Permadi (2019) menggunakan tanaman bambu air

(Equisetrum Hyemale) dalam perencanaan constructed wetland selama 12 hari

mampu mereduksi polutan timbal (Pb) sebesar 99,75%. Menurut Dewi & Tauny

(2020) selain jenis tanaman dan waktu detensi, variasi biomassa tanaman juga

sangat berpengaruh dalam mengoptimalkan proses reduksi polutan yang

terdapat pada limbah cair. Sehingga penulis dalam penelitian ini ingin

mengetahui efektifitas tanaman dan pengaruh variasi Jumlah tanaman

Equisetium Hyemale terhadap penurunan kandungan logam berat Timbal (Pb)

pada limbah cair sasirangan.


1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masallah diatas dapat diambil perumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika penyisihan Kandungan Logam Berat Pb menggunakan

variasi jumlah biomassa tanaman Equisetum Hyemale pada effluen sistem

Lahan Basah Buatan Aliran Horizontal Bawah Permukaan (LBB-AHBP) pada

limbah cair sasirangan.

2. Bagaimana pengaruh variasi jumlah biomassa tanaman Equisetum Hyemale

di sistem Lahan Basah Buatan Aliran Horizontal Bawah Permukaan (LBB-

AHBP) terhadap penyisihan Pb pada limbah cair sasirangan

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:

1. Menganalisis dinamika penyisihan Pb di effluen Lahan Basah Buatan Aliran

Horizontal Bawah Permukaan (LBB-AHBP) menggunakan tanaman

Equisetum Hyemale dengan variasi biomassa pada limbah cair sasirangan.

2. Menentukan pengaruh variasi biomassa Equisetum Hyemale pada sistem

Lahan Basah Buatan Aliran Horizontal Bawah Permukaan (LBB-AHBP)

terhadap dinamika penyisihan Pb pada limbah sasirangan.

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Limbah cair yang digunakan adalah limbah cair yang berasal dari hasil

produksi kain sasirangan.

2. Lahan Basah Buatan Aliran Horizontal Bawah Permukaan (LBB-AHBP)

menggunakan tanaman Equisetum Hyemale.


3. Variasi Biomassa tanaman Equisetum Hyemale pada sistem LBB-AHBP

4. LBB-AHBP ini menggunakan media tanah, pasir dan kerikil.

5. Waktu pelaksanaan penelitian selama 21 hari dengan waktu kontak setiap 7

hari.

6. Parameter yang diuji dalam penelitian ini ialah kandungan logam berat Timbal

(Pb) pada limbah cair sasirangan sebelum dan sesudah penerapan LBB-

AHBP.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan beberapa pengetahuan tentang sistem perbaikan kualitas air

limbah cair sasirangan.

2. Memberikan alternatif penggunaan constructed wetland yang efektif untuk

perbaikan kualitas air limbah cair sasirangan.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair Kain Sasirangan

Kain Sasirangan merupakan salah satu kain khas Suku Banjar berasal

dari Provinsi Kalimantan Selatan. Industri sasirangan merupakan industri rumah

tangga yang pengolahannya masih bersifat tradisional. Melihat sifat kegiatan

industri tersebut, sebagian besar para pengrajin kain sasirangan belum

melakukan upaya pengolahan terhadap limbah yang dihasilkan dan langsung

dibuang ke badan air penerima (Santoso dkk., 2014). Dalam kegiatan produksi

kain sasirangan akan menghasilkan buangan berupa limbah cair, hal ini

disebabkan dari proses penyempurnaan tekstil selalu menggunakan air sebagai

bahan pembantu utama dalam setiap tahapan prosesnya.

Limbah cair industri sasirangan umumnya mengandung kontaminan-

kontaminan yang jumlahnya melebihi baku mutu limbah untuk industri tekstil,

seperti yang diatur pada peratutan Menteri Lingkungan Hidup nomor: KEP-

51/MENLH/10/1995 (Rossi dkk., 2014). Kualitas air limbah cair sasirangan akan

dapat terindikasi dari kualitas parameter kunci, dimana konsentrasi parameter

kunci tidak boleh melebihi dari standar baku mutu yang ada sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pengolahan air limbah

terdapat beberapa parameter kualitas yang digunakan. Parameter kualitas air

limbah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu organik, fisik, dan kontaminan spesifik.

Parameter organik adalah ukuran jumlah zat organik yang terdapat dalam

limbah, parameter ini terdiri dari Total Organic Carbon (TOC), Chemical Oxygen

Demand (COD), Biochemical Oxygen Demand (BOD), minyak dan lemak (O &

G), dan Total Petroleum Hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik air limbah dapat

dilihat dari parameter Total Suspended Solids (TSS), pH, temperatur, warna,
bau, dan potensial reduksi. Kontaminan spesifik dalam air limbah dapat berupa

senyawa organik ataupun senyawa anorganik. Mengingat air limbah cair

sasirangan memiliki kandungan bahan anorganik (logam dan lainnya) dan bahan

organik, maka parameter kunci yang umum digunakan adalah logam Cr, Pb, CD,

parameter BOD, COD, TSS, dan kekeruhan (Nurandini dkk., 2018)

Dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan, Pemerintah Provinsi

Kalimantan Selatan dan Pemerintah Kota Banjarmasin telah berupaya untuk

menerapkan prinsip-prinsip pencegahan dalam berbagai kebijakannnya,

terutama dalam mencegah kemungkinan timbulnya kerusakan lingkungan yang

diakibatkan oleh kegiatan pengerajin kain sasirangan. Hal ini antara lain

tercermin dalam standar baku mutu untuk limbah cair industri tekstil ditetapkan

dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 4 Tahun 2007.

Tabel 2.1 Baku Mutu Limbah Cair menurut Peraturan Gubernur Kalimantan
Selatan Nomor 4 Tahun 2007
No Parameter Satuan Kadar Max. BLM¹
A LIMBAH CAIR
1 pH - 6-9
o
2 Suhu C 38 oC
3 Warna - -
4 Konduktivias µmhos/cm -
5 COD mg/l 150
6 BOD mg/l 60
7 TSS mg/l 50
8 TDS mg/l 2000
9 Minyak Bumi mg/l 3
B LIMBAH PADAT
1 Timbal mg/l 0,1
2 Besi mg/l 5
3 Sulfida mg/l 0,3
4 Kadium (Cd) mg/l 0,005
5 Tembaga (Cu) mg/l 2
6 Krom total (Cr) mg/l 1
7 Seng (Zn) mg/l 2
(Sumber: Pergub Kal-Sel, 2007)
2.2 Lahan Basah Buatan (Constructed Wetland)

Constructed Wetland merupakan sistem pengolahan limbah cair yang

menirukan proses alam dalam memperbaiki kualitas air dengan menyisihkan

polutan yang terkandung di dalam air limbah melalui proses fisik (penyaringan

dan sedimentasi), proses biologi (pertumbuhan mikroba dan tanaman air), dan

proses mekanik. Kelebihan teknologi CWs dibanding teknologi lainnya adalah

mengolah limbah sekaligus menciptakan estetika lingkungan, yang dikenal

dengan istilah Ekosan (ekologi sanitasi), dimana teknologi ini menggunakan

tanaman air sebagai salah satu media pengolahan limbah Komponen CWs terdiri

dari air, media lolos air (substrate), tanaman air, dan mikroorganisme yang

tumbuh di dalam lahan basah. Komponen air menghubungkan semua fungsi di

dalam lahan basah, dan efisiensi pengolahan limbah di CWs tergantung pada

sifat-sifat air (limbah cair) (Qomariyah dkk., 2017).

Prinsip kerja sistem Constructed Wetland yaitu dengan memanfaatkan

simbiosis antara tumbuhan air dengan mikroorganisme dalam media sistem

perakaran (Rhizosphere) tumbuhan. Bahan organik yang terdapat dalam air

limbah akan dirombak oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih

sederhana dan akan dimanfaatkan oleh tumbuhan sebagai Nutrient. Sistem

perakaran tumbuhan air akan menghasilkan oksigen yang dapat digunakan

sebagai sumber energi/katalis untuk rangkaian proses metabolisme bagi

kehidupan mikroorganisme (Sakinah, 2018).

Terdapat dua macam tipe Constructed Wetland, yaitu Free Water Surface

(FWS) atau Surface Flow (SF), dan SubSurface Flow (SSF). Pada sistem FWS,

aliran air limbah berada di atas permukaan tanah. Sedangkan, pada sistem SSF,

aliran air limbah berada di bawah permukaan tanah. Constructed wetland


dengan aliran FWS adalah sistem constructed wetland yang pengolahannya

menggunakan tumbuh-tumbuhan yang mengambang. Sistem FWS biasanya

berupa kolam atau saluaran-saluran yang dilapisi lapisan impermeable di bawah

saluran atau kolam yang berfungsi untuk mencegah merembesnya air keluar

kolam atau saluran. Kemudian kolam tersebut terisi tanah sebagai tempat hidup

tanaman yang hidup pada air limbah (Hidayah & Aditya, 2017). Sistem

Subsurface Flow disebut juga rawa buatan dengan aliran di bawah permukaan

tanah. Air limbah nantinya akan mengalir melalui tanaman yang ditanam pada

suatu media berpori. Sistem SSF biasanya menggunakan media seperti pasir

dan kerikil dengan diameter bervariasi antara 3–32 mm. Sistem aliran bawah

permukaan (Subsurface Flow Constructed Wetland) lebih dianjurkan dikarenakan

sistem ini dapat mengolah berbagai jenis limbah dengan efisiensi pengolahan

tinggi (80%) (Nirmala & Ratni, 2019).

Gambar 2. 1 Aliran pada masing-masing lahan basah buatan

Sumber : Supradata (2005)


2.3 Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan

Subsurface Flow (SSF) disebut juga rawa buatan dengan aliran di bawah

permukaan. Sistem ini dirancang untuk pengolahan lanjutan dan disebut sebagai

"Root Zone". Subsurface Flow terdiri atas saluran atau kolam dengan dasar yang

kedap air, diisi pasir atau batu untuk mendukung pertumbuhan vegetasi. Ada dua

macam pola aliran pada Sistem Subsurface Flow, yaitu aliran horizontal

(Horizontal Subsurface Flow) dan aliran vertikal (Vertical Flow System) yang

sering digunakan adalah aliran horizontal karena jenis ini memiliki efisiensi

pengolahan terhadap suspended solid dan bakteri lebih tinggi dibandingkan

dengan tipe lain (Cahyana & Annisha, 2020).

Horizontal Subsurface Flow (HSF), yaitu kolam yang berisi material

(tanah, batu bata, pasir, kerikil). Material ini difungsikan sebagai pendukung

pertumbuhan akar. Dasar dan dinding kolam kedap air dengan tujuan untuk

mencegah infiltrasi ke dalam tanah sebelum diolah di Constructed Wetland.

Biasanya dilapisi tanah liat atau membran sintetis (HDPE atau LDPE tebal 2

mm). Dasar Constructed Wetland diberi kemiringan 0 - 1% untuk memastikan

terjadi aliran dari inlet ke outlet. Keuntungan tipe Horizontal Subsurface Flow,

yaitu tidak ada genangan air yang menimbulkan bau busuk atau menjadi sarang

nyamuk. Sedangkan kekurangannya adalah bakteri menghasilkan lendir biofilm

yang dapat menyumbat ruang antar media (parasitas, perviousness). Horizontal

Subsurface Flow tidak cocok digunakan untuk pengolahan air limbah yang

suspended solid-nya tinggi (Cahyana & Annisha, 2020).

Ada kriteria untuk mendesain Subsurface Flow Constructed Wetland

dapat dilihat pada tabel berikut.


Tabel 2. 2 Kriteria desain Subsurface Flow Constructed Wetland
Parameter Desain Satuan Besaran Sumber

3 – 4 (BOD) Tchobanou
Waktu detensi hidrolis hari
6 – 10 (N) glous,2003

Tchobanou
Tinggi muka air m 0,3 – 0,6
glous,2003

Tchobanou
Beban BOD Kg/ha.hari <112
glous,2003

Tchobanou
Beban hidrolis m3/m2.hari 0,015 – 0,05
glous,2003

Tchobanou
Tinggi Media m 0,5 – 0,8
glous,1991

Tchobanou
Area Spesifik Ha/(103m3/hari) 2,2 – 7,2
glous,1991

Slope dasar % 0,5 - 1 EPA, 2002


(sumber: USEPA, 1988)

Cara kerja lahan basah buatan aliran bawah permukaan diantaranya

phytoacumulation, rhizofiltration, rhyzodegradation, phytovolatization dan

phytodegradation. Phytoacumulation yaitu proses tumbuhan menarik zat

kontaminan dari media sehingga berakumulasi di sekitar akar tumbuhan,

rhizofiltration adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh

akar untuk menempel pada akar, phytostabilization yaitu penempelan zat-zat

kontaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap ke dalam batang

tumbuhan, rhyzodegradation yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas

mikroba yang ada disekitar akar tumbuhan. Phytodegradation yaitu proses yang

dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai

molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan

susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan
tumbuhan itu sendiri, phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat

kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai

sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfir

(Nurandini dkk., 2018).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Sistem Lahan Basah Buatan

2.4.1 Tanaman

Tanaman adalah komponen terpenting yang berfungsi sebagai pendaur

ulang zat pencemar di dalam air limbah dan memasok oksigen ke dasar air atau

ke dalam substrate yang berkondisi anaerobik. Tanaman menggunakan energi

matahari untuk menggerakan reaksi biokimia di dalam selnya sehingga tidak

dibutuhkan aerator mekanis yang menggunakan listrik dalam proses pengolahan

air limbah seperti yang terjadi pada teknologi konvensional. Fungsi tanaman air

dalam pengolahan air limbah Constructed Wetland adalah:

1. Akar atau batang dalam air sebagai tempat tumbuh bakteri, sebagai

media adsorbsi dan filtrasi.

2. Batang dan daun yang berada di permukaan air untuk mengurangi

masuknya sinar matahari.

3. Mencegah tumbuhnya alga.

4. Mengurangi efek kecepatan angin di permukaan air. Transfer gas yang

dihasilkan tanaman.

Fungsi lain tanaman adalah meningkatkan aktivitas bakteri di bagian akar.

Akar tanaman sebagai filter melepaskan oksigen di daerah perakaran

(rhizosphere). Akar menyerap unsur hara yang terkandung dalam air limbah

sehingga berfungsi sebagai pupuk bagi tanaman (Cahyana & Annisha, 2020).
Tanaman hias jenis Equisetrum Hyemale merupakan salah satu jenis

tanaman air yang mudah dalam perawatannya, selain itu juga memiliki kinerja

yang cukup baik dalam pengolahan air limbah dengan sistem pengolahan lahan

basah buatan aliran bawah permukaan atau subsurface flow wetland (Putra dkk.,

2020). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Any dan Putu (2013) bambu

air dapat menurunkan kadar timbal pada air limbah buatan dengan skala

laboraturium sebesar 76%. Pemaparan tanaman dengan air limbah dilakukan

selama 30 hari dengan debit air limbah 200 ml/menit. Permadi (2019)

menggunakan tanaman bambu air (Equisetrum Hyemale) dalam perencanaan

constructed wetland selama 12 hari mampu mereduksi polutan timbal (Pb)

sebesar 99,75%. Pada tanaman bambu air (Equisetium hyemale) terdapat

kandungan silikat di bagian batangnya yang cukup tinggi dan bisa dijadikan

sebagai bahan pengikat logam yang terserap oleh tanaman.

1. Equisetium hyemale (Bambu Air)

Equisetium Hyemale atau Bambu Air merupakan tanaman yang umumnya

tumbuh di lingkungan basah seperti kolam dangkal, daerah pinggiran sungai,

atau daerah rawa. Berikut adalah klasifikasi tanaman Equisetum hyemale.

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Divisi : Pteridophyta

Kelas : Equisetopsida

Ordo : Equisetales

Famili : Eqisetaceae

Genus : Equisetum

Spesies : Equisetum Hyemale L.


Gambar 2. 2 Tanaman Equisetum Hyemale

Equisetum biasanya tumbuh dengan tinggi kurang dari 1,3 meter (4 kaki),

tetapi beberapa equisetum di daerah tropis dan pantai hutan tropis di California

tingginya dapat melebihi 4,6 meter atau kurang lebih sekitar 15 kaki. Pada

equisetum terdapat cabang disepanjang batang dan hampir semua proses

fotosintesis terjadi di batang. Marga Equisetum memuat kira-kira 25 jenis yang

sebagiannya hidup di darat dan sebagian hidup di rawa-rawa. Equisetum

hyemale hidup di danau dengan akar yang tumbuh pada tanah. Batang

tumbuhan ini berwarna hijau, beruas-ruas, berlubang di tengahnya, berperan

sebagai organ fotosintetik menggantikan daun. Batangnya dapat bercabang.

Cabang duduk mengitari batang utama, batang inilah yang banyak mengandung

silika. Daun pada semua anggota tumbuhan ini tidak berkembang baik, hanya

menyerupai sisik yang duduk berkarang menutupi ruas. Spora tersimpan pada

struktur berbentuk gada yang disebut strobilus (jamak strobili) yang terbentuk

pada ujung batang (Permadi, 2019).


2.4.2 Media

Media reaktor aliran bawah permukaan (SSF-Wetland) secara umum

dapat berupa tanah, pasir, batuan atau bahan-bahan lainnya. Media ini berfungsi

sebagai penunjang struktur bakteri seperti halnya mengganti sistem aerator

mekanik dalam mentransfer oksigen didalam sistem pengolahan air buangan

(Kusumastuti dkk., 2015). Komponen pada media biasanya berupa substrate

(media lolos air) seperti pasir, kerikil maupun pecahan batu. Namun

persyaratannya harus bersih, keras, tidak berubah bentuk, dan durable

(Qomariyah dkk., 2017).

Penghilangan suatu pencemar lebih cepat pada tanah berpasir daripada

tanah halus namun secara efisiensi tanah halus lebih tinggi. Media tanah

tersebut akan mendukung pertumbuhan mikroorganisme dalam proses degradasi

pencemar, lalu kerikil dan pasir berfungsi sebagai filtrasi sehingga akan

membantu penghilangan pencemar dengan cepat. Komposisi dari kerikil, pasir

dan tanah terbukti mampu mempercepat penghilangan pencemar dengan waktu

tinggal yang lebih singkat. Penelitian Hendrawan dkk. (2014) menyatakan

perbandingan tanah dan pasir mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme,

perbandingan 75:25 dari tanah:pasir lebih besar pertumbuhan mikroorganisme

sekitar 71% daripada perbandingan 25:75. Penambahan kerikil dalam media

lahan basah buatan sangat bagus karena memiliki luas permukaan yang besar

dan bakteri dapat hidup dan melekat pada permukaannya. Selain itu,

penyumbatan yang terjadi pada kerikil sangat kecil dan volume rongganya besar

dibandingkan dengan media lain serta mudah didapat dan relatif lebih murah

(Hadiwidodo dkk., 2012).


2.4.3 Mikroorganisme

mikroorganisme pada lahan basah buatan yang melekat pada permukaan

perakaran dan substrate/media membentuk suatu biofilm. Mikroorganisme

berperan sangat penting dalam sistem lahan basah buatan karena

mikroorganisme melaksanakan penguraian bahan-bahan organik baik secara

aerobik maupun anaerobik. Konsentrasi bahan organik tersuspended solid dapat

dihilangkan dengan proses sedimentasi, sedangkan untuk bahan organik terlarut

dihilangkan dengan aktifitas mikroorganisme dan tanaman (Yaqin dkk., 2019).

Pada perairan tercemar dengan kandungan bahan organik tinggi akan tercipta

suasana yang sesuai bagi mikroorganisme untuk menggunakan bahan organik

tersebut dalam proses metabolismenya. Semakin tinggi aktivitas mikroorganisme

dalam menguraikan bahan organik maka semakin tinggi pula biomassa yang

dihasilkan (Lau dkk., 2018).

Mikroorganisme memegang peran sangat penting dalam penghilangan

bahan organik yang proses penguraiannya membutuhkan oksigen.

Mikroorganisme aerob dapat hidup dalam air dan tanah rawa yang berkondisi

aerob berkat aliran oksigen yang dilepaskan oleh akar tanaman air dalam zona

rhizosphere. Pengolahan secara aerob berlangsung di dalam zona akar dan

dibagian atas dari sedimen sedangkan pengolahan secara anaerob terjadi pada

bagaian bawah sedimen atau terkadang berlangsung di dalam air apabila suplai

oksigen telah habis terpakai kandungan oksigen dalam media sistem lahan

basah buatan akan disuplai oleh akar tanaman yang merupakan hasil samping

dari proses fotosintesis (Asmoro & Al Kholif, 2016). Proses penguraian zat

organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme atau bakteri memerlukan

waktu yang cukup lama, kurang lebih sekitar 10 hari. Wahyuni (2017)
menjelaskan bahwa waktu 2 hari mungkin reaksi oleh mikroorganisme atau

bakteri telah mencapai 50% dan dalam waktu 5 hari telah mencapai 75%.

2.5 Parameter yang Diteliti

2.5.1 Timbal (Pb)

Logam berat pada suatu perairan dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk

proses metabolisme. Namun, jika logam berat tersebut kadarnya berlebihan akan

menyebabkan keracunan. Logam berat dikatakan sebagai bahan pencemar

apabila keberadaanya melewati batas baku mutu (Palar, 2012). Keberadaan

logam berat tidak hanya berada pada perairan tetapi juga mengendap dalam

sedimen dan biota. Logam berat akan terakumulasi dalam sedimen dan biota

melalui proses gravitasi. Secara umum logam berat alami masuk ke lingkungan

dengan cara yaitu pelapukan mineral, erosi serta aktivitas vulkanik. Jalur masuk

logam berat dalam suatu perairan dapat berasal dari sumber-sumber alamiah

dan juga dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia (Permata dkk.,

2018).

Salah satu logam berat yang sering ditemukan sebagai pencemar area

perairan akibat aktivitas manusia adalah timbal (Pb). Timbal merupakan salah

satu logam berat non esensial yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan

keracunan (toksisitas) pada makhluk hidup. Toksisitas timbal (Pb) bersifat

kumulatif, artinya sifat racun akan timbul apabila terakumulasi dalam jumlah yang

cukup besar pada tubuh makhluk hidup. Logam berat akan terakumulasi dalam

sedimen bawa perairan dan menjadi sumber kontaminan yang juga memiliki efek

merusak pada keseimbangan ekologis lingkungan perairan diatasnya sehingga

akumulasi dapat terjadi pada rantai makanan hingga sampai manusia (Sidjabat

dkk., 2020).
Menurut Permenkes No. 32 Tahun 2017, bahwa ambang batas logam

berat Pb yang diperbolehkan yakni sebesar 0,05 mg/l. Kandungan timbal tinggi

dalam sedimen akan menyebabkan biota air tercemar seperti ikan, udang dan

kerang, dimana biota tersebut hidup di dasar sungai dan apabila dikonsumsi

dapat berbahaya bagi kesehatan (Budiastuti & Raharjo, 2016). Keracunan kronik

timbal (Pb) yang paling sering dijumpai adalah anoreksia, keguguran, tremor,

turunnya berat badan, sakit kepala dan gejala saluran pencernaan. Gejala

neurologik paling khas yang ditemukan pada keracunan kronik timbal (Pb)

adalah Wristdrop (pergelangan tangan terkulai). Timbal (Pb) juga telah

menyebabkan hipertensi pada 20% orang dewasa, dan juga pada 29% anak-

anak (Fibrianti & Azizah, 2016)

2.6 Analisis Pertumbuhan Tanaman

Laju Pertumbuhan Relatif (LPR) atau Relative Growth Rate (RGR) ialah

pertambahan bobot kering tanaman dalam suatu interval waktu tertentu yang

erat kaitannya dengan bobot kering awal tanaman. RGR digunakan sebagai

pengukur efisiensi produktivitas biomassa tanaman. Ketersediaan air akan

mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman. Laju

pertumbuhan suatu tumbuhan dapat diukur melalui berat kering tanaman. Berat

kering tanaman sangat erat hubungannya dengan laju pertumbuhan relatif.

Semakin berat kering tanaman yang dihasilkan maka semakin tinggi pula nilai

laju pertumbuhan relatif tanaman tersebut (Fitriyah dkk., 2017).

Proses fotosintesis menghasilkan metabolit primer yang dipakai untuk

metabolisme tanaman sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan.

Metabolit primer digunakan untuk menyusun metabolite sekunder yang

mendukung pada proses adaptasi dan proteksi tanaman. Suatu aspek yang
sangat penting dalam proses pertumbuhan tanaman dalam penyediaan substrat.

Substrat yang digunakan untuk membentuk bahan baru tanaman yang sebagian

besar adalah karbohidrat, diperoleh dari proses fotosintesis pada organ tanaman

yaitu daun. Kemampuan daun untuk menghasilkan produk fotosintetis ditentukan

oleh produktifitas per satuan luas daun dan total luas daun. Laju pertumbuhan

biasanya dapat terhambat apabila ditemukan gangguan-gangguan seperti

gangguan pernapasan akar, penyerapan air dan zat hara (Saharuddin & Rahim,

2018).

Fitriani (2014) menyatakan analisis pertumbuhan tanaman pada

penelitian ini menggunakan perhitungan laju pertumbuhan relatif atau relative

growth rate (RGR) yang kemudian digunakan untuk menentukan nilai doubling

time. Tujuan penentuan doubling time adalah untuk membantu menyetarakan

biomassa dengan luas penutupan tumbuhan air yang akan digunakan serta

membantu menentukan lama waktu pengamatan. Rumus perhitungan RGR

mengacu pada Mitchell (1974) adalah sebagai berikut.

RGR =

DT =

Keterangan:

RGR : pertumbuhan spesifik harian (gr/hari)

Xt : biomassa setelah waktu ke-t

Xo : biomassa awal

T : waktu pengamatan ke-t

DT : waktu penggandaan biomassa (hari)


2.7 Analisis Ragam Rancangan Acak Lengkap (RAL)

RAL adalah jenis rancangan percobaan yang paling sederhana dan

paling mudah jika di bandingkan dengan jenis rancangan percobaan yang lain.

RAL hanya bisa digunakan pada percobaan dengan jumlah perlakuan yang

terbatas dan satuan percobaan harus homogen atau faktor luar yang dapat

mempengaruhi percobaan harus dapat di kontrol. Aplikasi RAL terdiri dari

pengacakan dan perhitungan untuk membuat tabel anova. Pengacakan dalam

penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil analisis yang tepat dari setiap

perlakuan yang di ujicobakan. Hasil pengacakan perlakuan yang dilakukan pada

tahap sebelumnya akan di hitung untuk membuat tabel anova (Persulessy dkk.,

2016).

Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap umumnya

disajikan dalam bentuk tabel sidik ragam. Penarikan kesimpulan dapat dilihat dari

tabel sidik ragam.

1. Jika nilai Fhitung>Ftabel, maka tolak H0, berarti minimal ada satu

perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap

perubahan kualitas air limbah (τ1 ≠ τ2 ≠ τ3), dan

2. Jika nilai Fhitung<Ftabel, maka gagal tolak H0, berarti tidak ada

perlakuan yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap

perubahan kualitas air limbah (τ1 = τ2 = τ3).

H0 : tidak ada pengaruh faktor biomassa rata-rata dan/atau kerapatan

tanaman air terhadap nilai parameter kualitas air

H1 : ada pengaruh faktor biomassa rata-rata dan/atau kerapatan tanaman

air terhadap nilai parameter kualitas air


Tabel 2. 3 Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap
Jumlah Kuadarat
Sumber Derajat
Kuadarat Tengah Fhitung Ftabel
Keragaman Bebas
(JK) (KT)
Perlakuan P-1 JKP KTP KTP/KTS (α, dbp,
dBS)

Sisa P(q-1) JKS KTS


Total Pq-1 JKT
(Sumber: Fitriani, 2014)

2.8 Studi Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang penulis

ambil dan sebagai bahan acuan dalam penulisan diantaranya dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 2. 4 Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang kan


dilakukan
Jenis
Sumber Metode Media Hasil
Tanaman
Kurniati, E., T. Constructed Zeolit Equisetum Limbah yang
Imai., T. Higuchi Wetland Steril hyemale digunakan adalah air
& M. Sekine. lindi dari TPA Supit
(2014) Urang, Malang. Aliran
lindi dilakukan secara
kontinyu dan
intermiten. Pemuatan
terus menurus
dilakukan
menggunakan laju
aliran 15 ml/s setiap
hari selama 21 hari.
Berdasarkan hasil
penelitian
menunjukkan bahwa
82,2% timbal dapat
dihilangkan dengan
153 gram Equisetum
hyemale
Permadi, M. I. Constructed Tanah Equisetum Penelitian ini
(2019) Wetland hyemale menggunakan sistem
batch dengan variasi
tanaman 25 dan 75
untuk setiap 2 reaktor
dengan waktu
pengambilan sampel
pada
hari ke 3,6,9 dan 12
dan konsentrasi
setiap reaktor yaitu
0,787, 0,754, 0,765,
0,821 ppm. Reaktor A
(25 tanaman dengan
0,787 ppm)
konsentrasi akhir
sebesar 0,004 mg/l
dan 99,75%, pada
reaktor B ( 25
tanaman
dengan 0,754 ppm)
konsentrasi akhir
sebesar 0,003 mg/l
dan 97,61%, pada
reaktor C (75
tanaman dengan
0,765 ppm)
konsentrasi akhir
sebesar 0,004 mg/l
dan 99,69%, serta
pada reaktor D (75
tanaman dengan
0,821 ppm)
konsentrasi akhir
sebesar 0,007 mg/l
dan 99,5%.
Qomariyah, S., Horizontal Pasir Cyperus Eksperimen
Sobriyah, Subsurface dan papyrus pengolahan limbah
Koosdaryanti & Flow kerikil cair jenis greywater
A. Y. Muttaqien. Constructed dapat menyisihakan
(2017) Wetland (parameter TSS, pH,
BOD, COD, minyak
& lemak, dan
deterjen) dengan
persentase
penyisihan berkisar
antara 95,47%-
99,89%.
Ajeng, A. B. & Constructed Tanah Equisetum Penelitian ini
P. Wesen. Wetland lumpur hyemale bertujuan untuk
(2013) mengetahui tingkat
efisiensi penurunan
kadar timbal (Pb)
yang terkandung
dalam limbah buatan
setelah melalui
proses. Variabel
utama: debit di
kisaran 100 ml / menit
sampai 300 ml / menit
dan umur bambu air
di kisaran 30 hari
sampai 60 hari
dengan kepadatan 15
tanaman bambu air.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
dengan menggunakan
tanaman bambu air
(Equisetum Hymale)
dengan sistem
fitoremidiasi dapat
menyisihkan
kandungan timbal
(Pb) dari 76% yang
terjadi pada debit 200
ml / menit tanaman
bambu air usia 30
hari.
Mubarak, F., A. Constructed Tanah Equisetium Sampel yang
L. Mawardi & Wetland hymale digunakan berupa
Elfrida. (2020) limbah cair kelapa
sawit. Limbah cair
kelapa sawit
mengandung logam
Pb 0,03 mg/l.
Tujuan dari penelitian
yaitu mengetahui
dampak pemarapan
air limbah kelapa
sawit yang
mengandung logam
berat timbal (Pb)
terhadap kondisi fisik
tanaman bambu air
(Equisetium
hymale). Hasil uji
menunjukan bahwa
tanaman bambu air
mengalami
perubahan warna
pada batangnya dari
warna hijau menjadi
hijau kekuningan
pada batangnya
setelah pemaparan
air limbah selama 3
minggu.
Wahyudianto, Contructed Tanah, Equisetum Penelitian ini
F. E., dkk. Wetland pasir & Hyemale menggunakan limbah
(2019) kerikil Laundry. Equisetum
hyemale efektif
menghapuskan TSS,
COD, fosfat, LAS
sampai 90% di variasi
pengenceran air
limbah setelah 2 hari
kontak. Equisetum
hyemale
menunjukkan
performa terbaik pada
100% menghapuskan
polutan di air limbah
laundry pada Waktu
kontak optimal adalah
4-5 hari.
Annisa, (2020) Fitoremediasi - Equisetum Penelitian dilakukan
Hyemale dengan memapar
tanaman bambu air
pada logam artifisial
timbal yang berbeda
konsentrasi selama
15 hari. Empat
perlakuan berbeda
terdiri dari konsentrasi
0 ppm, 1 ppm, 3 ppm,
dan 5 ppm. Hasil
penelitian yang
didapatkan
menunjukkan bahwa
kadar logam Pb
artifisial mengalami
penurunan. Laju
penyerapan nilai
paling tinggi terdapat
pada konsentrasi 5
ppm yaitu sebesar
14.2974 mg/kg/hari.
2.9 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini diantaranya:

1. Variasi jumlah tanaman air Equisetum Hyemale memiliki pengaruh

terhadap nilai parameter timbal (Pb) pada sistem LBB-AHBP aliran

kontinyu.

2. Terdapat fluktuasi konsentrasi timbal (Pb) di effluent LBB-AHBP

menggunakan tanaman Equisetum Hyemale pada limbah cair kain

sasirangan.

3. Penyisihan tertinggi polutan oleh tanaman terjadi pada rentang waktu

awal percobaan.

Anda mungkin juga menyukai