Kerajaan atau Kesultanan Banten didirikan oleh Syarif Hidayatullah atau dikenal sebagai Sunan Gunung
Jati. Ia mengangkat anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama Kesultanan Banten.
Lokasinya yang strategis, menjadikan Kerajaan Banten sangat mengandalkan perdagangan dalam
menopang perekonomiannya.
Lada menjadi komoditas yang paling diunggulkan dan berkembang pesat pada masa itu. Bahkan
monopoli perdagangan lada di Lampung dikuasai oleh Banten.
Belum lagi didukung oleh niaga melalui jalur laut yang membuat Banten berkembang tak hanya di
Nusantara, melainkan sampai pada pedagang Persia, India, Arab, Portugis, hingga Tiongkok.
Di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, ia banyak memimpin perlawanan terhadap Belanda
lantaran VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.
Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa juga menginginkan Banten menjadi kerajaan Islam terbesar. Tak heran
jika Islam telah menjadi pilar dalam Kerajaan Banten maupun pada kehidupan masyarakatnya.
Perpecahan ini dimanfaatkan oleh kompeni VOC dengan memberi dukungan dan bantuan persenjataan
kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara menjadi tak terhindarkan.
Akibat sengketa tersebut, Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah bersama putranya
yang lain Pangeran Purbaya. Kemudian pada 1683 Sultan Ageng ditangkap VOC dan ditahan di Batavia.
Perang saudara yang berlangsung di Banten menyisakan ketidakstabilan dan konflik di masa
pemerintahan berikutnya.
VOC semakin ikut campur dalam urusan Banten bahkan meminta kompensasi untuk menguasai
Lampung sekaligus hak monopoli perdagangan lada di sana.
Merujuk Kemhub, usai Sultan Haji meninggal, VOC semakin menekan Kerajaan Banten. Hal tersebut pun
membuat pengaruh Kerajaan Banten memudar dan ditinggalkan.
Jejak peninggalan Kerajaan Banten banyak berupa bangunan seperti Masjid Agung Banten, Istana
Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Vihara Avalokitesvara, Benteng Speelwijk, dan Meriam Ki Amuk.