Anda di halaman 1dari 4

Judul : Negeri di Ujung Tanduk

Penulis : Tere Liye

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal buku : 360 halaman ; 20 cm

Tahun terbit : April 2013

ISBN : 978 – 979 – 22 – 9429 – 3

Novel lanjutan dari “Negeri Para Bedebah” ini menjadi semakin rumit dan
semakin serius, bahwa sekelompok penjahat di Negeri ini tidak hanya bergerak di
bidang ekonomi saja, melainkan mengotori bidang politik dan ketatanegaraan
Negeri ini. Thomas yang menjadi tokoh utama dalam novel ini, mendapatkan
lawan konspirasi yang cukup tangguh. Jika di novel sebelumnya ia hanya
berlawanan dengan seorang jaksa dan seorang brigadir polisi bintang tiga,
sekarang ia berhadapan dengan otak dari strategi konspirasi ini, yakni Shinpei.
Dalam novel sebelumnya tokoh Shinpei digambarkan sebagai rekan Opa Thomas
dan sama sekali tidak terlihat bahwa Shinpei akan menjadi tokoh antagonis dalam
novel ini.

Banyak hal yang membedakan novel ini dengan sebelumnya, walaupun


genre novel tetap berisi kisah kejar-kejaran, ditangkap, dipenjara, meloloskan diri
dari penjara, dan lain sebagainya. Namun, dalam novel kedua ini cakupan konflik
yang tak hanya terjadi di dalam negeri, menjadikan pembaca harus lebih memutar
otak untuk menggambarkan keadaan di sana. Bukan Tere Liye jika ia tidak bisa
membuat pembaca mengerti detail cerita termasuk dengan detail latarnya. Kisah
yang unik dicampur dengan konflik yang menegangkan terpadu dalam novel ini,
hingga saya menghabiskan waktu sekitar 3 hari untuk menghabiskan setiap detail
cerita.

Novel ini bersetting cerita di Hongkong, Makau, Jakarta, dan Denpasar.


Namun, novel ini justru hanya menceritakan perjalanan 4 hari Thomas di kota-
kota tersebut. Secara garis besar, cara bercerita dalam novel ini juga masih seperti
novel sebelumnya. Menggunakan pondasi cerita kejadian nyata yang terjadi di
Indonesia, kemudian dikemas dengan bumbu-bumbu yang membuat cerita
semakin menarik.

Setahun sebelumnya, setelah kasus penyelamatan Bank Semesta, dalam


penerbangan menuju London, Thomas bertemu JD, mantan wali kota dan
gubernur yang dikenal sebagai figur muda yang sederhana dan bersih. Pertemuan
itu menjadi momen penting dalam hidup Thomas. Percakapan dengan JD
menginspirasi Thomas untuk terlibat dalam dunia politik. Dalam sosok JD
Thomas menemukan jawaban dari pernyataan yang menyelinap di benaknya
terkait sosok politikus dengan kemuliaan dan kelurusan hati bak Gandhi atau
Nelson Mandela. Maka, Thomas pun menawarkan diri menjadi konsultan strategi
demi mewujudkan penegakan hukum yang dikehendaki JD. Dikarenakan presiden
adalah pemilik komando tertinggi bagi penegakan hukum di Indonesia, cita-cita
JD hanya bisa direalisasikan dengan menjadi presiden.

Menjelang konvensi partai yang akan mengumumkan secara resmi


kandidat presiden dari partai yang menominasikan JD, mendadak terjadi peristiwa
yang tidak diantisipasi Thomas sebelumnya. Terjadi kenaikan besar-besaran dari
peserta konveksi yang ditandai dengan manuver raksasa yang dilakukan pihak
lawan JD. Situasi yang berkembang tidak terduga itu membuat JD meminta
Thomas yang berada di Hongkong untuk kembali ke Jakarta. Tapi sebelum
Thomas meninggalkan Hongkong, seusai konferensi mengenai komunikasi dan
pencitraan politik, ia ditangkap satuan khusus antiteror otoritas Hongkong. Di
dalam kapal yang digunakan Opa dan Kadek menjemput Thomas di Makau,
ditemukan 100 kg bubuk heroin serta setumpuk senjata api dan peledak. Tidak
ada hipotesis lain yang terbentuk di benak Thomas selain bahwa kejadian ini
adalah salah satu adegan serius yang dijalankan pihak lawan JD. Ditahannya
Thomas di Hongkong, membuat ia tidak bisa hadir di konvensi partai. Untungnya
ada Lee, pengusaha Hongkong yang dikalahkannya dalam pertarungan di Makau.
Lee berhasil meloloskan Thomas dan mengatur perjalanan pulang Thomas di
Indonesia. Setibanya di Jakarta, Thomas disambar berita penangkapan kliennya.
JD ditetapkan sebagai tersangka korupsi megaproyek tunnel raksasa selama
menjabat sebagai gubernur ibu kota. Penangkapan itu tak pelak lagi disinyalir
Thomas sebagai upaya pembunuhan karakter untuk mencemarkan reputasi
cemerlang JD. Kemungkinan besar JD akan didiskualifikasi dari kandidat calon
presiden partai.

Maka sebelum notifikasi pelariannya dari Hongkong menyebar ke seluruh


jaringan interpol dunia dan menobatkannya menjadi buruan internasional, Thomas
harus bergerak cepat memperjuangkan nasib kliennya. Ia harus pergi ke Denpasar
untuk melakukan konsolidasi para pendukung JD. Tetapi hal itu tidaklah mudah,
karena seperti dugaan Thomas, ada sekelompok yang disebutnya sebagai mafia
hukum, bergerak di belakang setiap kejadian itu.

Thomas mau tak mau mesti merancang sebuah plot untuk bisa menghadapi
tekanan demi tekanan mematikan yang dihadapinya. Tidak hanya berupaya
membawa keluar seorang saksi mahkota dari tahanan kepolisian, Thomas pun
menggandeng KPK , untuk menjalankan rencananya. Hingga pada akhirnya ia
menyadari, sesungguhnya ia sedang berhadapan dengan para pendiri benteng
kekuasaan yang mampu melakukan apa saja demi pencapaian tujuan mereka dan
sebagai pemimpinnya adalah bedebah yang menyeruak dari puing-puing masa lalu
Thomas..

Di akhir cerita, Thomas bisa dibilang beruntung karena memiliki teman-


teman yang peduli dan peka terhadap pekerjaannya. Thomas mengakhiri
konfliknya dan mendapat bantuan dari teman-temannya saat sedang terpojok.

Novel “Negeri di Ujung Tanduk” menarik untuk dibaca karena terdapat


sentuhan politik yang dituangkan dalam kata-katanya. Kalimat-kalimat yang
dipilih pun menarik dan mengalir begitu saja. Pembaca seakan disuguhkan
kejadian yang benar-benar terjadi dalam kehidupan. Belum lagi aksi heroik yang
dilakukan Thomas bersama temannya, membuat pembaca hanyut dalam situasi
yang terjadi.

Bagi Thomas sendiri, politik tidak lebih adalah permainan terbesar dalam
bisnis omong kosong, sebuah industri artifisial penuh kosmetik yang pernah ada
di dunia. Tere Liye ingin mempertegas melalui sastra bahwa politik hanya
mengandung kepemimpinan dan kekuasaan saja. Selain itu politik akan
menimbulkan keangkuhan, kesombongan, cemoohan, dan sifat iri hati. Politik
hanya berisi omong kosong yang dilakukan agar mencapai kemenangan.

Tere Liye ingin menyampaikan bahwa penegakan hukum di indonesia


memang masih sangat lemah. Hal ini terbukti dari berbagai kasus korupsi yang
terjadi hingga berlarut-larut belum juga tuntas. Serta fasilitas penjara yang
membedakan orang-orang yang melakukan korupsi dengan yang tidak. Orang-
orang yang melakukan korupsi seperti Om Liem, Paman Thomas memiliki
fasilitas penjara yang tidak layak untuk disebut penjara. Om Liem terjerat kasus
korupsi dan dijadikan tersangka korupsi. Kehidupannya cukup enak di dalam
penjara karena apapun yang dia inginkan sudah tersedia. Kita terlalu sibuk dengan
urusan masing-masing sehingga tidak memperdulikan lagi hal-hal sepele yang
akan berakibat buruk ke depannya. Tere Liye mengibaratkan bahwa negeri ini
sedang berada di ujung tanduk. Dia tidak menyebutkan negeri ini di mana, namun
di dalam ceritanya dia menyebutkan Jakarta dan Bali. Novel ini merupakan
refleksi dari kehidupan negeri kita.

Untuk itu kita harus memulai dengan peduli antar sesama karena rasa
kepedulian saat ini mulai menghilang dari masyarakat. Hal kecil; yang kadang
terabaikan bisa merubah masa depan. Begitu juga dengan politik yang tidak
pernah ada habisnya jika dibahas. Bahkan sekarang ini politik tidak segan untuk
‘membunuh’ sesama, saling membodohi serta memperbudak.

Anda mungkin juga menyukai