Anda di halaman 1dari 3

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 PONOROGO

TAHUN AJARAN 2018/2019


Jl. Soekarno-Hatta No. 381 Telp/Fax (0352) 481168 KenitenPonorogoKodePos
123456
E-mail: man2ponorogo@gmail.com
Website: http://manduaponorogo.sch.id/

MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH DAN


KHALIFAH DI BUMI

Mata Pelajaran : Al-Qur’an & Hadist


Nama : Putri Wahyu Sukma Sari
No. Absen : 33
Kelas : X MIPA 5
Iqra’ yang diterjemahkan dengan perintah “membaca” semata-mata bukan hanya
ditujukan kepada pribadi junjungan kita Nabi Muhammad SAW, tetapi juga untuk ummat
manusia sampai akhir zaman. Menurut Dr. Quraish Shihab dalam bukunya “Tafsir Al
Amanah”, kata Iqra’ diambil dari kata kerja qaraa yang mempunyai arti beraneka ragam antara
lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya.1
Kata “qalam” selama ini diterjemahkan dengan “pena”. Penulis yang sama, yaitu Dr.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pena di sini adalah hasil dari pena
tersebut yang berarti tulisan. Sedangkan tulisan Allah itu tidak lain Al Qur’an dan alam raya.
Hal ini memberi petunjuk bahwa Allah itu mengajarkan manusia dengan tulisan-tulisan
tersebut, yakni Al Qur’an dan alam raya.2
Allah SWT berfirman:
‫الَّ ِذ ْي َعلَّ َمبِ ْالقَلَ ِم‬
"Yang mengajar (manusia) dengan pena."(QS. Al-'Alaq: Ayat 4)

‫َعلَّ َمااْل ِ ْن َسانَ َمالَ ْميَ ْعلَ ْم‬


"Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."(QS. Al-'Alaq: Ayat 5)

Allah SWT mengajarkan kepada manusia dengan fenomena atau gejala alam karena
Allah manusia telah diberi hidayah akal pikiran atau qalbu. Jadi alam raya yang indah tidak
lain merupakan laboratorium manusia, sehingga menimbulkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang kemanfaatannya adalah untuk manusia itu sendiri.
Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa untuk membaca alam raya dengan
berbagai fenomena ini, Allah telah membekali manusia dengan pengajaran melalui fenomena
atau karakter qalam, karena manusia telah dibekali dengan hidayah pikiran dan piranti lainnya,
sehingga menimbulkan iptek yang bermanfaat bagi manusia, sebagaimana perwujudan tugas
kekhalifahan di muka bumi ini.3
Allah memuji para cerdik cendekia, karena mereka berpikir tentang kejadian dan cara
kerja alam ini, sekaligus berzikir, kemudian hasil dari pikir dan zikirnya dipadukan, sehingga
lahir amal dan karya-karya nyata yang bermanfaat. Bukankah Nabi bersabda: “Khairunnas
Anfa’uhu linnas”. Orang yang paling baik itu adalah orang yang mampu memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya terhadap sesamanya. Dan yang mampu memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya terhadap sesamanya itu tidak lain apabila seseorang mempunyai ilmu
pengetahuan yang disebarluaskan kepada masyarakat dengan semata-mata mengharap ridho-
Nya. Nilai ilmu yang bermanfaat bagi orang lain tersebut, tidak hanya berhenti pada saat orang
tersebut masih hidup, namun akan berkelanjutan meskipun orang itu telah dipanggil oleh Allah
SWT. Maka sungguh sangat tepat Sabda Nabi yang menyebutkan: “Jika manusia telah wafat,
maka terputuslah amalnya, kecuali yang meninggalkan tiga hal, yakni: 1. Sedekah jariah
(wakaf); 2. Ilmu yang dapat diambil manfaatnya oleh ummat; 3. Anak yang saleh yang
mendoakan orang tuanya. (H.R. Al-Bukhari di dalam kitab Al-Adab, Muslim, Abu Daud, Al-
Nasa’i, dan Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah).” Orang yang tidak berpengetahuan hanya mampu
memberikan manfaat dengan sangat terbatas kepada masyarakat sekelilingnya. Begitu dia
dipanggil oleh Allah, karena jatah hidupnya di dunia telah habis, maka habis pulalah amalnya,
yang berarti nilai kemanfaatannya bagi ummat amat sedikit. Dengan demikian bekal yang
dibawa di hadapan Allah kelak juga amat sedikit. Sungguh amat merugi orang-orang yang
demikian ini.
1
H. Muhammad Ansorudin Sidik, Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren, Jakarta, Maret 1995, Hal.5
2
H. Muhammad Ansorudin Sidik, Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren, Jakarta, Maret 1995, Hal.6
3
H. Muhammad Ansorudin Sidik, Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren, Jakarta, Maret 1995, Hal.7
Oleh karena itu Allah menempatkan orang yang berilmu pengetatahuan sebagai orang
yang ditinggikan derajatnya apabila dilandasi dengan iman yang kokoh. Hal demikian cukup
wajar, karena dengan ilmu yang dimilikinya, orang lain dapat merasakan manfaat kehadirannya
di pentas bumi ini, bahkan ketika orang tersebut telah wafat. Inilah salah satu makna dari ayat
Al-Qur’an yang menyatakan: “Walaa tahsabannalladziina qutiluu fi sabiilillaahi amwaatan
bal ahyaa-un ‘indarabbihim yurzaquun.” (Jangan kamu sangka orang-orang yang mati di
jalan Allah itu mati. Mereka tetap hidup dan diberi rezeki). Ya, mereka tetap hidup dengan
ilmunya yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan mendapatkan tambahan pahala amal yang
merupakan rezeki dari Allah SWT, sehingga bobot timbangan amal salehnya akan semakin
berat.4

4
H. Muhammad Ansorudin Sidik, Pengembangan Wawasan Iptek Pondok Pesantren, Jakarta, Maret 1995,
Hal.10-11

Anda mungkin juga menyukai