Pendahuluan
Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaruratan pada bidang kardiovaskular yang
cukup sering terjadi. Emboli paru merupakan peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya
pembuluh darah arteri pulmonalis akibat peristiwa emboli. Oklusi pada arteri pulmonal dapat
menimbulkan tanda gejala yang beragam, dari keadaan yang asimptomatik hingga keadaan yang
mengancam nyawa, seperti hipotensi, shok kardiogenik, hingga henti jantung tibatiba.
Berdasarkan penelitian, insidensi terjadinya emboli paru pada populasi adalah 23 per
100,000 penduduk dengan angka kematian 15% yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih
merupakan sebuah penyebab emergensi kardiovaskular. Beberapa penyebab utama dari sebuah
kejadian emboli paru merupakan tromboemboli vena, tetapi penyebab lain seperti emboli udara,
emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor, dan sepsis masih mungkin terjadi.1 Diagnosis dini
penting untuk ditegakkan karena tatalaksana dan intervensi harus segera dilakukan. Bergantung
dari gejala klinisnya, terapi awal bertujuan utama untuk mengembalikan aliran darah pada daerah
yang mengalami oklusi atau untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk.
Pencegahan sekunder memiliki peran sama pentingnya dengan terapi awal, sehingga angka
Pulmonary embolism (PE) atau emboli paru adalah emboli peristiwa infark jaringan paru
akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli. Kondisi ini
merupakan bagian dari spektrum penyakit yang disebut Venous thromboembolism (VTE) yang
Emboli paru dan dapat menimbulkan gambaran klinis dengan spektrum yang luas, mulai dari
suatu gambaran asimptomatik sampai keadaan yang mengancam nyawa berupa hipotensi, syok
kardiogenik, hingga keadaan henti jantung tiba- tiba (sudden cardiac death).
2.2 Epidemiologi
Insidens emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir 200.000 kasus pertahun dengan
angka kematian mencapai 15% yang menunjukan bahwa penyakit ini masih merupakan
penyebab kegawatan kardiovaskuler yang tersering. Emboli paru adalah penyakit vaskular
tersering ketiga di Eropa dengan insiden tahunan 100-200 per 100.000 pennduduk
Berdasarkan American Heart Association, terdapat beberapa faktor predisposisi yang dapat
emboli paru pada usia 60 tahun ke atas. Terdapat peningkatan resiko sebesar delapan kali lipat
pada pasien berusia 80 tahun dibandingkan dengan pasien berusia kurang dari 50 tahun.2 Hanya
39.5% pasien yang melakukan tindakan operasi besar memiliki resiko terjadinya emboli paru
2.4 Patofisiologi
Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat sebuah postulat yang menyatakan bahwa terdapat
tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu:
1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi kerusakan endotel vaskular.
pembedahan.
sebelumnya, efek samping anestesi, gagal jantung kongestif, dan cor pulmonale.
Emboli akan meningkatkan resistensi dan tekanan pada arteri pulmonalis yang kemudian
akan melepaskan senyawa-senyawa vasokonstriktor, agregasi platelet, dan sel mast. Keadaan
vasokonstriksi arteri pulmonal dan hipoksemia kemudian akan menimbulkan hipertensi arteri
Selanjutnya, dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan akan menyebabkan penekanan septum
intraventrikuler ke sisi kiri dan regurgitasi katup trikuspidalis. Hal ini dapat mengganggu proses
pengisian ventrikel. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri, maka curah jantung sistemik
akan menurun dan mengurangi perfusi koroner. Infard miokard terjadi sebagai akibat dari
penurunan aliran koroner yang dapat menyebabkan shok kardiogenik. Apabila tidak ditangani
Pada pasien yang berhasil melewati episode emboli akut, terjadi aktivasi pada sistem
simpatetik. Stimulasi inotropik dan kronotropik meningkatkan tekanan arteri pulmonal yang
dapat membantu untuk mengembalikan aliran darah pulmonal dan memperbaiki pengisian
ventrikel kiri, sehingga tekanan darah sistemik menjadi stabil kembali. Tetapi kompensasi
inotropik dan kronotropik ini tidak mampu untuk mempertahankan fungsi ventrikel kanan untuk
jangka waktu panjang. Sehingga akan terjadi peningkatan kebutuhan oksigen pada otot
miokardial ventrikel kanan disertai dengan penurunan gradien perfusi koroner ventrikel kanan.
Jika tidak ada penyakit kardioemboli sebelumnya, obstruksi kurang dari 20% hanya akan
menyebabkan gangguan hemodinamik minimal dengan gejala klinis tidak spesifik. Ketika
obstruksi mencapai 30-40%, maka akan terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan, tetapi curah
jantung sistemik masih dapat dipertahankan dengan adanya kompensasi inotropik dan
kronotropik yang meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Ketika obstruksi
melebihi 50-60% dari arteri pulmonalis, maka kompensasi akan mulai mengalami kegagalan.
Curah jantung berkurang dan tekanan atrium kanan akan meningkat sehingga menimbulkan
kegagalan hemodinamik yang nyata. Sedangkan insufisiensi pernapasan pada emboli paru
disebabkan akibat rendahnya curah jantung sehingga terjadi desaturasi darah vena yang
hipoksemia. Pada emboli paru yang letaknya lebih ke distal, gangguan hemodinamik mungkin
tidak ditemukan. Tetapi gejala hemoptisis, pleuritis, dan efusi pleura ringan dapat ditemukan
Emboli paru ditandai dengan adanya gejala berupa sesak napas yang muncul tiba-tiba,
kadang disertai dengan nyeri dada seperti ditusuk-tusuk yang memberat saat pasien menarik
napas lebih dalam, pasien juga mengalami batuk kadang disertai dahak yang berbercak darah.
Dari segi sirkulasi disertai dengan laju nadi yang cepat dan gejolak hemodinamik. Pasien juga
akan tampak pucat dan diaforetik, bahkan dapat mengalami kolaps dan kematian mendadak.
Kebanyakan tanda dan gejala klinis yang ditampilkan oleh emboli paru bersifat tidak
spesifik dan dapat menjadi manifestasi dari penyakit lainnya, seperti infark miokard dan
pneumonia. Emboli paru dapat bersifat asimptomatik hingga mengancam nyawa dengan tanda
dan gejala dispnea berat, sinkop, dan sianosis. Emboli paru juga dapat disertai dengan tachypnea,
takikardia, ronki, hemoptisis, batuk, dan nyeri pleuritik. Nyeri pleuritik terjadi apabila emboli
paru menyerang arteri pulmonalis bagian distal yang berdekatan dengan pleura. 4 Berikut ini
2.6 Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik menjadi modalitas dalam menegakkan diagnosa emboli
paru. Anamnesa dan pemerikasaan fisik diaplikasikan dalam bentuk skoring seperti Well score
dan Geneva score. Banyak penelitian yang menghubungkan terjadinya emboli paru dengan Well
score dan Geneva score. Semakin tinggi scoring yang ada semakin tinggi insidensi terjadi emboli
paru.
D dimer merupakan hasil produk dari fibrinolisis. Semakin tinggi kadar D dimer maka
kemungkinan untuk terjadinya emboli paru semakin besar. Akan tetapi bila hanya mengandalkan
D dimer sebagai penanda untuk emboli paru sangatlah sulit. Hal ini dikarenakan pada kehamilan,
infeksi dan keganasan D-dimer akan meningkat. Akan tetapi dengan bantuan fibrinogen dimana
pada keadaan akut akan meningkat dan pada keadaan kronik tidak meningkat, maka rasio antara
d dimer dan fibrinogen dapat digunakan sebagai penanda emboli paru yang lebih spesifik.
Pada pemeriksaan foto thoraks seringkali ditemukan adanya gambaran efusi pleura ataupun
atelektasis yang dapat muncul bersamaan dengan insidensi penyakit ini. Pemeriksaan ini juga
dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain pada paru. Pada pemeriksaan
elektokardiogram (EKG) kurang spesifik apabila dilakukan pada penderita emboli paru ringan
hingga sedang, karena dapat memberikan gambaran normal. Tetapi pada penderita emboli paru
posisi jantung akibat dilatasi atrium dan ventrikel kanan. Dapat ditemukan
P pulmonal
V4
Aritmia supraventrikuler atau sinus takikardia
Angiografi paru merupakan standar baku emas (sensitifitas 90% dan spesifitas
95%) untuk memastikan emboli paru. Pemeriksaan ini sifatnnya invasif dan mempunyai
2.7 Tatalaksana
Untuk penatalaksanaan emboli paru sendiri tidak lain adalah dengan melakukan
penatalaksanaan untuk kegawatdaruratan, mulai dari penanganan pada jalan napas seperti
bantuan napas hingga pemasangan jalan napas yang paten menggunakan intubasi, kontrol
pernapasan lewat ventilasi mekanik, menjaga keadekuatan sirkulasi seperti pemberian resusitasi
cairan serta terapi suportif lainnya untuk menjaga agar tidak terjadi goncangan hemodinamik
lebih berat yang dapat memicu lepasnya lebih banyak trombus atau klot yang akan memperparah
kondisi emboli paru. Penanganan yang cepat saat di Unit Gawat Darurat dan diikuti dengan
kelanjutan yang komprehensif di Unit Terapi Intensif akan sangat menentukan kesembuhan
pasien. Tindakan definitif yang akan dilakukan sangat berisiko tinggi antara lain mulai dari
pemberian antikoagulan sistemik, prosedur lisis dengan memakai kateter, trombolisis sistemik
Manajemen dari emboli paru adalah bantuan respiratori dan hemodinamik, trombolisis,
embolektomi, antikoagulasi. Pada emboli paru dengan kegagalan jantung kanan akan terjadi
penurunan curah jantung sistemik, sehingga diperlukan bantuan suportif. Apabila terjadi
hipoksemia, pemberian oksigen dengan nasal kanul dianjurkan untuk diberikan. Ventilasi
mekanikal dengan tekanan positif sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan penurunan
aliran vena balik ke jantung dan memperparah keadaan gagal jantung kanan.
tromboemboli dan memberikan efek positif pada parameter hemodinamik. Beberapa agen
trombolisis yang telah diterima sebagai regimen yang cocok diberikan pada emboli paru adalah:
2. Urokinase: 4.400 unit dalam 10 menit, diikuti dengan 4.400 unit/kg/jam selama
12-24 jam.
3. Recombinant tissue plasminogen activator (rtPA): 100 mg dalam 2 jam atau 0.6
jam pertama setelah pemberian agen trombolitik. Seharusnya ditemukan adanya perbaikan pada
gambaran ekokardiografi. Trombolisis memmberikan efek paling baik apabila diberikan dalam
48 jam pertama setelah onset. Tetapi trombolisis masih dapat diberikan hingga 6-14 hari setelah
Selain itu dapat dilakukan tindakan embolektomi dapat dilakukan apabila terapi trombolisis
tidak dapat dilakukan atau gagal. Teknik embolektomi perkutaneus dengan menggunakan kateter
hanya dapat digunakan apabila bagian yang tersumbat adalah arteri utama, karena teknik
embolektomi pada cabang arteri yang berukuran kecil memiliki resiko lebih tinggi untuk
Antikoagulan juga memiliki peran penting dalam manajemen emboli paru. Berdasarkan
penelitian, pemberian unfractioned heparin dapat mencegah kematian dan mencegah terjadinya
rekurensi emboli paru dengan komplikasi perdarahan yang masih dapat ditangani. Beberapa
tamponade jantung,
diseksi aorta
DAFTAR PUSTAKA
Octaviani, Fidelia. Andree Kurniawan. 2015. EMBOLI PARU. Fakultas Kedokteran Universitas
Pelita Harapan 2 Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Pelita
Harapan. Medicinus. 2015;4(8):313-322.
Konstantinides S, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galie N, dkk. 2014 ESC
guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism-web
addenda. European Heart. 2014,35:3033–80
Embolism in the mechanically-ventilated critically ill patient: is it different? JICS.
2013;14(1):36–44.
Anonim. Pulmonary Embolism. [diakses 25 Oktober 2016]. Diunduh dari: URL:
http://www.google. com/earch?client=safari&hl=en&biQhYIGygA&dpr=1#imgrc=f-
9vbrCrYKjBgM%3A.
Philbrick JT, Shumate R, Siadaty MS, Becker DM. Air travel and venous thromboembolism : a
systematic review. J Gen Intern Med. 2007;22(1):107-14
Parkin L, Bell ML, Herbison GP, Paul C, Skegg DC. Air travel and fatal pulmonary embolism.
Thromb Haemost. 2006;95(5):807-14.
Lubis, Bastian et al. 2018. Peran Angiografi Pada Emboli Paru The Role of Angiography
Pulmonary Embolism. Anaesthesiology and Intensive Therapy Department, Faculty of
Medicine, Universitas Sumatera Utara **RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Volume X,
Nomor 1
Andisari, Hendrata Erry et al. 2020. Seorang Penderita SLE dengan Emboli Paru Akut dan
Hipertensi Pulmonal (Studi Kasus). Oceana Biomedicina Journal. Vol 3 No 1.