Anda di halaman 1dari 16

Teknik Dasar dan Aplikasi Konseling Pasca-Trauma

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Konseling Trauma

Oleh Kelompok II :

Annisa Nola Fikri (11940221286)

Windi Afrilnelda (11940221857)

Dosen Pengampu :

Muhammad Hafidz, S. Sos.I, M.Pd.I

Jurusan Bimbingan Konseling Islam

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

2021 / 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dari mata kuliah
Konseling Trauma dengan judul “Teknik Dasar dan Aplikasi Konseling Pasca
Trauma” ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Perawang, 14 September 2021

Kelompok II

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan .......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2

A. Pengertian Konseling Trauma ...................................................................... 2

B. Teknik Dasar dan Aplikasi Konseling Pasca-Trauma ................................. 3

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 12

A. Kesimpulan ................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, proses konseling tidak bisa berjalan sendiri
perlu adanya dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan suasana konseling
yang representatif. Teknik dan keterampilan konselor harus benar-benar dimiliki
oleh setiap konselor. Dalam menumbuhkan klien pasca-trauma, seorang konselor
harus dapat berorientasi pada klien semaksimal mungkin. Metode-metode yang
digunakan konselor dalam menangani klien juga berbeda, hal ini wajar karena
setiap orang berbeda-beda dalam memahami orang lain. Dalam menumbuhkan
klien pasca trauma, konselor tidak hanya memiliki satu teknik dan strategi saja,
namun harus mengglobal agar dalam menghadapi dan menyikapi konseli tepat
sesuai dengan yang diharapakan. Maka dari itu sangat diperlukan teknik dan
strategi yang relevan dalam menumbuhkan klien pasca trauma.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu konseling trauma ?
2. Bagimana teknik dasar dan aplikasi konseling pasca-trauma ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian konseling trauma
2. Untuk mengetahui teknik dasar dan aplikasi konseling pasca-trauma

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Konseling Trauma


Konseling dalam kasus traumatik diartikan sebagai bantuan yg bersifat
terapeutis yg diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku konseli yang
mengalami trauma, dilaksanakan face to face antara konseli dan konselor,
melalui teknik wawancara dengan konseli sehingga dapat terentaskan
permasalahan yang dialaminya. Konseling traumatik ini berbeda dengan
konseling biasa, perbedaannya terletak pada tiga hal yaitu :

1. Fokus Konseling traumatik lebih menitikberatkan pada satu masalah,


yaitu gejala trauma yang ada pada diri klien. Adapun konseling biasa,
pada umumnya suka menghubungkan permasalahan yang dihadapi
klien dengan masalah-masalah lainnya, seperti latar belakang klien,
proses ketidaksadaran klien, tekanan karier klien, masalah komunikasi
klien, transferensi klien, dan konflik nilai yang terjadi pada klien.
2. Aktifitas Konseling traumatik lebih banyak melibatkan banyak orang
dalam membantu klien dan lebih banyak aktif adalah konselor.
Konselor berusaha untuk mengarahkan, mensugesti, memberi saran,
mencari dukungan dari keluarga dan teman klien, menghubungi orang
yang lebih ahli untuk referal, menghubungkan klien dengan ahli lain
untuk referal, melibatkan orang atau agen lain yang kompeten secara
legal untuk membantu klien, dan mengusulkan berbagai perubahan
lingkungan untuk kesembuhan klien.
3. Dilihat dari tujuan, konseling traumatik lebih menekankan pada
pulihnya kembali klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru.

Secara lebih spesifik. Muro dan Kottman menyebutkan, bahwa tujuan


konseling traumatik adalah :

2
a. Berpikir realistis, bahwa trauma yang dihadapi klien adalah bagian dari
kehidupan.
b. Memperoleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang
menimbulkan trauma.
c. Memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma.
d. Belajar keterampilan baru untuk mengatasi trauma.1

B. Teknik Dasar dan Aplikasi Konseling Pasca-Trauma


Gangguan pasca trauma bisa dialami segera setelah peristiwa traumatis
terjadi, bisa juga dialami secara tertunda sampai beberapa tahun sesudahnya.
Korban biasanya mengeluh tegang, insomnia, sulit berkonsentrasi dan ia
merasa ada yang mengatur hidupnya, bahkan yang bersangkutan kehilangan
makna hidupnya. Lebih parah lagi, orang yang mengalami gangguan pasca
trauma berada pada keadaan stress yang berkepanjangan, yang dapat berakibat
munculnya gangguan otak, berkurangnya kemampuan intelektual, gangguan
emosional, maupun kemampuan gangguan sosial.2

Peranan konselor seyogyanya mencakup sebagai perancana, pelaksana,


dan sekaligus penilai program bimbingan-konseling, termasuk dalam
pelaksanaan konseling traumatis. Peranan konselor dalam program konseling
ini adalah sebagai pemimpin kelompok, fasilitator, dan reflektor. Konseling
dan terapi dengan menggunakan permainan telah digunakan secara luas dan
mendapatkan dukungan dari para ahli. Hampir semua ahli terapi telah
menggunakan permainan sebagai bagian dari proses terapi. Konseling
kelompok dapat menggunakan permainan sebagai modus dalam membantu
penanganan anak dengan kecemasan pasca trauma. 3

1
Nurihsan Juntika Achmad, Bimbingan Dan Konseling Dalam Berbagai Latar Kehidupan,
(Bandung : PT Refika Aditama, 2009), Hlm. 112
2
Kusmawati Hatta. TRAUMA DAN PEMULIHANNYA (Suatu Kajian Berdasarkan Kasus Pasca Konflik
dan Tsunami). (Dakwah Ar-Raniry Press : Aceh). 2016. Hlm,19
3
Nandang Rusmana. TEKNIK DASAR DAN APLIKASI KONSELING PASCA-TRAUMA. Universitas
Pendidikan Indonesia. 2009. Hlm, 6

3
Stres pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) merupakan
suatu kondisi atau keadaan yang terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa
traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. Orang yang mengalami stres
pasca traumatik merespon peristiwa traumatik yang dialami dengan ketakutan
dan keputus asaan, individu akan terus mengenang peristiwa itu dan selalu
menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan kembali ke peristiwa tersebut.
Menurut Kembaren, stressor atau faktor primer yang menyebabkan timbulnya
stres pasca trauma dapat berupa bencana alam, perang, kekerasan fisik atau
kekerasan seksual dan berbagai peristiwa menakutkan lainnya. Peristiwa
menakutkan yang mengancam tersebut akan meninggalkan bekas menyakitkan
dalam hidup seseorang.

Selain masalah fisik yang dialami, trauma psikologis tidak jarang


menyebabkan suatu masalah dalam kehidupan. Pengalaman traumatis berarti
pengalaman mental yang mengancam kehidupan dan melampaui ambang
kemampuan rata-rata orang untuk menanggungnya. Menurut Kembaren
(2014) gejala-gejala gangguan stres pasca trauma, antara lain:

a. Re-experiencing (seperti mengalami kembali), meliputi : terbayang-


bayang selalu akan pengalaman traumatisnya, terganggu mimpi buruk
akan pengalaman traumatisnya, seperti mengalami kembali peristiwa
traumatisnya (flashback), dan merasakan ketegangan psikologis yang
terus menerus bila terpapar kejadian yang mengingatkan akan pengalaman
traumatisnya.
b. Avoidance (Penghindaran), meliputi : senantiasa berusaha untuk
menghindari hal-hal yang mengingatkannya pada pengalaman
traumatisnya, amnesia psikogenik, hilang minat terhadap berbagai
aktivitas, perilaku menarik diri, afek atau kehidupan emosi menumpul, dan
takut memikirkan masa depan.
c. Hyper-arousal (Keterjagaan), meliputi: gangguan tidur, mudah marah dan
tersinggung, sulit berkonsentrasi, gampang kaget dan kewaspadaan
berlebihan.

4
d. Gejala-gejala tambahan lainnya, meliputi: rasa berdosa dan menyalahkan
diri, depresi, anxietas, marah, berduka, perilaku impulsif (compulsive
shopping, eating, changes in sexual behavior), keluhan somatik kronis
(sakit kepala, gangguan lambung), perilaku destruktif/menyakiti terhadap
diri sendiri, dan perubahan kepribadian.

Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita stres
pasca trauma, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat (terapi anti depresiva).
Sedangkan pengobatan psikoterapi, ada tiga tipe psikoterapi, yaitu: anxiety
management, cognitive therapy, dan exposure therapy.

1. Anxiety Management.

Terapis mengajarkan beberapa keterampilan untuk membantu mengatasi


gejala stres pasca trauma melalui :

a) Relaxation Training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan


secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
b) Breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-
lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa gesa yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik,
seperti jantung berdebar-debar dan sakit kepala.
c) Positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal
yang membuat stress.
d) Asserrtiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan
harapan, opini, dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain.
e) Thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika
sedang memikirkan hal-hal yang membuat stres.
2. Cognitive Therapy

Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang


mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan individu. Misalnya

5
seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-
hati. Tujuan kognitif terapi adalah untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional dan mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk
mencapai emosi yang lebih seimbang.

3. Exposure Therapy

Terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,


memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan
ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapis dapat berjalan
dengan cara : exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita
untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan
menceritakan, atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi
yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan
yang sangat kuat. Misalnya, kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di
rumah. Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi
tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai
penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi.4

Program terapi untuk anak yang mengalami kekerasan seksual sangat


bervariasi, tergantung pada usia dan kemampuan kognitif anak. Zastrow
mengemukakan beberapa model program konseling yang dapat diberikan kepada
anak yang mengalami kekerasan seksual, yaitu:

a. The Dynamics of sexual abuse

Konseling difokuskan pada pengembangan konsepsi bahwa kejadian


kekerasan seksual termasuk kesalahan dan tanggungjawabnya berada pada pelaku
bukan “korban”. Anak-anak dijamin bahwa mereka tidak dipersalahkan meskipun
telah terjadi kontak seksual. Kontak seksual yang terjadi adalah akibat trik para
pelaku yang lebih dewasa, kuat, cerdas dan itu merupakan pelanggaran hukum.

4
Wardhani, Y.F. dan Lestari, W. 2013. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban Pelecehan
Seksual dan Perkosaan. Journal unair.ac.id . Hlm,20

6
b. Protective behaviours counseling

Anak anak dilatih untuk menguasai keterampilan mengurangi


“kerentanannya” sesuai dengan usianya. Untuk anak-anak pra-sekolah, pelatihan
dibatasi pada cara-cara : berkata “tidak” terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak
diinginkan, menjauh secepat mungkin dari orang-orang yang terlihat sebagai
“abuse person”, melaporkan pada orang tua atau orang dewasa yang dipercaya
dapat membantu menghentikan perlakuan salah.

c. Survivor/self-esteem counseling

Menyadarkan anak-anak yang menjadi “korban” bahwa mereka


sebenarnya bukan korban, melainkan “orang yang mampu bertahan” (survivor)
menghadapi kekerasan seksual. Untuk mengurangi rasa bersalah pada anak yang
tidak melaporkan kejadian, anak perlu diyakinkan bahwa hal tersebut merupakan
situasi dan perasaan yang wajar. Konseling juga dapat difokuskan untuk
meningkatkan kesadaran anak akan kekuatan dan kelebihan yang dimiliki anak.
Terapi akan menjadi pengalaman yang berharga manakala anak merasa dihargai
dan diterima oleh konselor.

d. Feeling counseling

Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual, diidentifikasi


kemampuannya mengenali berbagai perasaan. Anak-anak diyakinkan bahwa
mereka mempunyai hak untuk memiliki perasaan sendiri dan bahwa perasaan
mereka tidak akan dinilai “baik” atau “buruk”. Mereka kemudian didorong untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan , baik pada saat
mengalami kekerasan seksual maupun saat ini. Perasaan-perasaan yang belum
tersalurkan memungkinkan anak-anak menunjukkan perilaku agresif dan merusak
diri sendiri. Sehingga anak-anak diberi kesempatan untuk secara tepat
memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya dan
mengkhianati kepercayaannya. Konselor perlu menghargai hak-hak anak yang
sulit atau bahkan menolak untuk membicarakan perasaan-perasaannya. Memaksa
anak justru akan memperkuat perasaan-perasaan bersalah dan penderitaannya.

7
e. Cognitive Therapy

Konsep dasar teknik ini adalah bahwa perasaan-perasaan seseorang


mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran
mengenai kejadian tersebut secara berulang-ulang. Konselor dapat mengintervensi
terhadap pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan negatif ini melalui berbagai cara:

a) Penghentian pikiran-pikiran imajinatif


b) Penggantian atau penukaran pikiran
c) Distraksi, konselor dapat bekerjasama dengan anak dan orangtuanya guna
mengembangkan kegiatan waktu tidur, seperti membaca cerita yang
menyenangkan atau membiarkan anak mendengarkan musik lembut pada
saat menjelang tidur.5

Selain teknik-teknik yang telah dijelaskan tersebut, didapatkan pula terapi


bermain ( play therapy) yang biasa diterapkan dalam upaya penanganan anak
PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Selain itu,
didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group
therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman
serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam
proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka,
kemudian mereka saling memberi penguatan satu sama lain. Sementara itu dalam
terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat
membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu
memperbaiki kondisi jiwa penderita.

Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang


dipendam. Bertukar cerita membuat merasa mereka senasib, bahkan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit
dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan. Konselor ahli
mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk
5
Zahrotul Uyun. KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK: STRES PASCA TRAUMA. PROCEEDING
SEMINAR NASIONAL “Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis
Kearifan Lokal”. Fakultas Psikologi - Universitas Muhammadiyah Surakarta

8
mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi dan pengobatan) yang
cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu
lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali
gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan
untuk mengatasinya.

Konseling melalui Teknik Play Therapy (Bermain) digunakan sebagai


terapi untuk anak-anak sebagaimana konseling digunakan sebagai terapi untuk
orang-orang dewasa. Play therapy merupakan suatu teknik konseling yang
diberikan orang dewasa kepada anak-anak dengan didasari oleh konsep bermain
sebagai suatu cara komunikasi anak-anak dengan orang dewasa untuk
mengungkapkan ekspresi yang sifatnya alami, maka orang dewasa menggunakan
pendekatan ini untuk mengintervensi atau mengajak dialog dengan mereka
sehingga tercipta perasaan yang lebih baik dan mengembangkan kemampuan
untuk mengatasi masalah.

Landert (1991) menyatakan bahwa dalam Play therapy dikenal tiga


pendekatan, yaitu nondirective atau humanis, directive, dan eclectic. Pendekatan
non-directive atau child centered play therapy yang dikembangkan oleh Carl
R.Rogers. Child-centered play therapy ditujukan untuk membantu anak :

1. Mengembangkan konsep diri yang positif


2. Meningkatkan rasa tanggung jawab
3. Menjadi lebih terarah (self directing)
4. Menjadi lebih menerima diri (self acceptance)
5. Menjadi lebih tangguh (self reliant)
6. Mampu mengambil keputusan yang sesuai tujuannya
7. Mengembangkan kemampuan internal untuk mengevaluasi
8. Menjadi lebih mempercayai diri sendiri

Pendekatan kedua adalah pendekatan directive yang dicetuskan oleh


Edmon G. Williamson. Pendekatan ketiga adalah pendekatan eclectic, pendekatan
ini merupakan gabungan dari pendekatan directive dan non directive digunakan

9
bila dalam terapi non directive anak kemudian diam tidak mau melanjutkan
permainan, terapis dapat membantu dengan terapi directive.

Penerapan Play Therapy pada Stress Pasca Trauma Bencana

Penerapan Play therapy dalam makalah ini akan difokuskan pada kasus anak
yang mengalami stress pasca trauma bencana Merapi. Anak-anak yang selamat
dari gempa Bencana Merapi mengalami peristiwa emosional yang menyakitkan,
dimana mereka harus kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya dan beberapa
saudara atau anggota keluarga yang lain, tempat tinggal yang rusak, serta kondisi
sekolah yang tidak mendukung. Shock akibat peristiwa tersebut, adanya
perpindahan yang mendadak dari rumah ke tempat pengungsian yang sangat
ramai, diyakini dapat berperan sebagai kondisi yang beresiko tinggi yang dapat
menyakitkan secara emosional. Beberapa gejala yang menonjol yang terjadi pada
anak pasca trauma berdasarkan hasil pengamatan anak-anak di kampung
pengungsian menunjukkann bahwa mereka takut berpisah dari orang tua,
berteriak-teriak, trembling, whimpering, excessive clinging, mengalami gangguan
tidur, nightmares, ketakutan yang irrasional, dan sakit perut tanpa didasari kondisi
medis.

Symptom diatas menguatkan pendapat Terr (1991) yang menyatakan bahwa


peristiwa traumatik mengacu pada peristiwa eksternal yang stressful dan tidak
diharapkan. Trauma psikis akan menyebabkan individu dihadapkan pada kondisi
helplessness dalam menghadapi bahaya kecemasan dan dorongan-dorongan
instingtif. Karakteristik symptom yang terlihat adalah:

1. Merasa mengalami kembali peristiwa traumatik, seperti nightmare.


2. Menghindari stimulus yang diasosiasikan dengan situasi yang
mengingatkan trauma.
3. Kehilangan responsifitas secara umum.
4. Meningkatnya penimbulan seperti kewaspadaan, irritabilitas, dan susah
tidur.

10
Anak-anak yang mengalami peristiwa traumatik tidak saja menjadi
terganggu secara fisik dan psikis saat kejadian, tetapi justru yang menjadi
ancaman adalah gangguan tersebut termanifestasi dalam bentuk dan waktu yang
berbeda. Pengalaman yang tidak menyenangkan akan tersimpan dalam alam
bawah sadar yang dapat mempengaruhi dinamika kepribadian. Menurut Knudson
(dalam Shaw, dkk, 1995) ketepatan dalam mendiagnosa dan memperlakukan
anak-anak yang mengalami gangguan stress pasca trauma merupakan hal yang
sangat penting karena jika perlakuannya tidak tepat dapat mempengaruhi aspek -
aspek perkembangan individu selanjutnya. Anak memiliki resiko terbesar untuk
mengalami efek trauma sebab mereka belum memiliki kematangan identitas diri
dan kemampuan mereka untuk melakukan coping terhadap stres masih sangat
terbatas, sehingga jika trauma psikis terjadi pada masa kanak-kanak, biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional.

Menurut Linda E. Homeyer dan Mary O Morrison (2012) Bermain


berfungsi sebagai sarana sesuai dengan tahapan perkembangan komunikasi untuk
anak-anak. Selama bermain, anak-anak mendapat motivasi diri untuk memenuhi
kebutuhan bawaan untuk mengeksplorasi dan menguasai lingkungan mereka.
Bermain juga membantu dalam pengembangan pemikiran kreatif. Berpikir kreatif
adalah dasar untuk keterampilan memecahkan masalah dan kemampuan untuk
bereksperimen dengan berbagai pilihan dalam bermain tanpa takut konsekuensi
negatif. Bermain juga menawarkan cara untuk melepaskan emosi yang kuat,
membawa bantuan. Gangguan stres pasca trauma pada anak selain berpengaruh
terhadap kondisi emosi, juga mengandung resiko yang berhubungan dengan
masalah psikososial, gangguan belajar, dan hambatan perkembangan.6

6
Imas Maspupatun. Keefektifan play thrapy untuk penanganan stress pasca trauma bencana
alam. PROCEEDINGS INTERNATIONAL CONFERENCE. 2017. Hlm, 104-108

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua
maupun anak-anak. Anak-anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa
depannya dan membangun harapan baru dengan kondisi yang baru pula.
Bagi orang tua, layanan konseling trauma akan membantu mereka
memahami dan menerima kenyataan hidup saat ini, untuk selanjutnya
mampu melupakan semua tragedi dan memulai kehidupan baru. Di
samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma
bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat
dijadikan modal awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-
pekerjaan baru sesuai kapasitas yang dimiliki dan daya dukung
lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera mungkin menjalani
hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus menyandarkan
kehidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hatta, Kusmawati. 2016. TRAUMA DAN PEMULIHANNYA (Suatu Kajian


Berdasarkan Kasus Pasca Konflik dan Tsunami). (Dakwah Ar-Raniry Press :
Aceh)

Juntika Achmad, Nurihsan. 2009. Bimbingan Dan Konseling Dalam Berbagai


Latar Kehidupan. (Bandung : PT Refika Aditama)

Maspupatun, Imas. 2017. Keefektifan play thrapy untuk penanganan stress pasca
trauma bencana alam. PROCEEDINGS INTERNATIONAL CONFERENCE

Rusmana, Nandang. 2009. TEKNIK DASAR DAN APLIKASI KONSELING


PASCA-TRAUMA. Universitas Pendidikan Indonesia

Uyun, Zahrotul. KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK: STRES PASCA


TRAUMA. PROCEEDING SEMINAR NASIONAL “Selamatkan Generasi
Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”. Fakultas
Psikologi - Universitas Muhammadiyah Surakarta

Y.F.,Wardhani, Lestari, W. 2013. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban


Pelecehan Seksual dan Perkosaan. Journal unair.ac.id.

13

Anda mungkin juga menyukai