Anda di halaman 1dari 7

COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPI (CBT)

COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPI (CBT)


 
Pendahuluan
Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan sejahtera dimana individu mampu menyadari
kemampuan dirinya, mampu memgatasi stress yang biasa terjadi dalam kehidupannya, mampu
bekerja secara produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya serta mampu berperan serta dalam
komunitasnya (WHO, 2003). Sedangkan menurut Stuart dan Laraia (2005), kesehatan jiwa
adalah suatu keadaan dimana individu mempunyai penilaian positif pada diri sendiri,
pertumbuhan, perkembangan dan aktualisasi diri, mempunyai integritas diri, otonomi, persepsi
yang realities dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

Kesehatan jiwa saat ini perlu menjadi fokus perhatian, hal ini karena banyaknya faktor-faktor
yang beresiko mempengaruhi kualitas kesehatan jiwa, seperti perkembangan informasi dan
teknologi yang sangat cepat serta masalah-masalah sosial lainnya seperti kemiskinan dan tingkat
pendidikan yang rendah (WHO, 2001). Apabila individu tidak mampu menyikapi dan
beradaptasi dengan baik terhadap perubahan dan dan kejadian yang terjadi, maka akan
meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa pada indvidu.

Pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa pada pasien gangguan jiwa dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan jiwa baik dilayanan primer maupun di rumah sakit. Menurut Doebbling (2007),
pemberian terapi kesehatan jiwa ditatanan kesehatan tidak hanya diberikan oleh psikiater, tetapi
dapat juga diberikan oleh seorang psikolog klinis, pekerja sosial kesehatan jiwa, perawat dan
juga konselor. Perawat yang memiliki keahlian sebagai seorang register nurse dengan latar
belakang master keperawatan atau diatasnya yang telah mendapatkan latihan dapat melakukan
psikoterapi secara mandiri dan memberikan obat dibawah supervisi doktor keperawatan
(Doebbling, 2007). Dengan demikian, perawat spesialis jiwa merupakan salah satu tim kesehatan
yang dapat memberikan pelayanan kesehatan jiwa.
Pelayanan kesehatan jiwa tersebut juga telah dikembangkan di Indonesia. Hamid (2009, dalam
Wahyuni, 2010), menyebutkan bahwa perawat professional yang dapat memberikan nursing
treatmen adalah perawat yang berada pada level magister atau doktor keperawatan yang
tersertifikasi serta menjalankan peran sebagai pakar praktisi pada satu bidang tertentu seperti
jiwa dan lain sebagainya.

Perawat kesehatan jiwa sebagai salah satu tim pelayanan professional yang berada 24 jam
bersama pasien , merupakan orang yang paling mengerti dan mengetahui keadaan serta keunikan
pasiennnya. Sebagai wujud profesionalismenya, maka perawat jiwa diharapkan dapat
memberikan asuhan keperawatan kepada klien melalui terapi-terapi keperawatan, baik terapi
generalis maupun terapi spesialis yang berorientasi untuk membantu pasien dalam proses
penyembuhannya, membantu mengatasi masalah, memenuhi kebutuhan pasien, dan juga
membantu pasien menuju kemandiriannya.

Salah satu terapi spesialis yang dapat diberikan oleh seorang perawat spesialis jiwa adalah terapi
perilaku-kognitif atau Cognitive Behavior Therapy (CBT). CBT merupakan gabungan dari terapi
kognitif dengan terapi perilaku. Melalui terapi kognitif, seseorang belajar untuk mengerti serta
mengubah pikiran dan keyakinan mereka. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa pikiran kita
mempengaruhi perasaan dan perilaku kita. Oleh karena itu, dalam makalah singkat ini, penulis
mencoba memaparkan tentang penerapan terapi perilaku kognitif dengan menganalisis jurnal
terkait dengan penerapan terapi tersebut.

Terapi Perilaku-Kognitif atau Cognitive Behavior Therapy (CBT)


Cognitive Behavior Therapy adalah terapi yang digunakan untuk memodifikasi fungsi berfikir,
merasa dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan,
bertanya, berbuat, dan memutuskan kembali sehingga dengan merubah status pikiran dengan
perasaannya, pasien diharapkan dapat merubah tingkah lakunya dari negatif menjadi positif
(Oemarjoedi, 2003). Menurut Dobson & Dozois (2001), CBT memiliki asumsi bahwa pola
berfikir dan keyakinan mempengaruhi perilaku dan perubahan kognisi ini dapat menghasilkan
perubahan perilaku yang diharapkan.
Cognitive Behavior Therapy pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk
melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon yang saling berkaitan dan membentuk
semacam jaringan dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi faktor penentu
dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa dan bertindak, sementara itu adanya
keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang irrasional, dimana
pemikiran yang irrasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku, maka CBT
diarahkan kepada modifikasi fungsi berfikir, merasa dan bertindak dengan menekankan peran
otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali, sehingga
dengan merubah status pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat merubah tingkah
lakunya (Oemarjoedi, 2003).

Pada pelaksanaanya, CBT mempersiapkan diri pasien agar dapat melakukan intervensi dan
memotivasi dirinya sendiri untuk berubah serta mampu berhadapan dengan kemungkinan
resitensi dan relaps melalui pelatihan stress-inoculation yang terdiri dari kombinasi antara
pemberian informasi, diskusi, restrukturisasi kognitif, problem solving, relaksasi, pengulangan
tingkah laku, monitor diri, instruksi diri, penguatan diri dan kemampuan dalam merubah
lingkungan (Oemarjoedi, 2003).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CBT merupakan intervensi yang efektif untuk berbagai
masalah gangguan jiwa. Keefektifan terapi ini telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan
oleh Rezvan et al (2008), yang menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan gangguan kecemasan
menyeluruh atau Generalized Anxiety Disorder (GAD) dapat diturunkan setelah dilakukan CBT,
akan tetapi CBT lebih efektif apabila dikombinasikan dengan terapi interpersonal Penelitian
dilakukan di pusat konseling Universitas Isfahan Iran terhadap 36 mahasiswa perempuan
semester 1 Tahun Ajaran 2006-2007 yang memenuhi kriteria Generalized Anxiety Disorder
(GAD) untuk DSM-IV. GAD merupakan gangguan kecemasan dasar dari gangguan kecemasan
lain yang sering muncul yang disertai dengan depresi ringan (Barkovec & Inz, 1990). Gangguan
kecemasan juga sering dihubungkan dengan perilaku menghindar dalam menghadapi situasi
yang ditakuti.
Terapi perilaku kognitif untuk GAD didasarkan pada teori bahwa gangguan tersebut bersumber
dari persepsi bahwa dunia sebagai tempat yang berbahaya, kebiasaan interaksi kognitif, perilaku
dan psikologis termasuk kewaspadaan terhadap ancaman dan menghasilkan proses yang
maladaptif. Sebelum menerima intervensi, partisipan diminta untuk mengisi Penn State Worry
Questionnaire dan Oxford Happiness Inventory. Terapi dilakukan dalam 8 sesi, dimana masing-
masing sesi dilakukan 1 kali dalam 1 minggu dan lamanya tiap sesi adalah 1,5 jam. Sesi ke-1
bertujuan untuk mengkaji pemicu kecemasan; sesi ke-2 metode pengontrolan stimulus; sesi ke-3
sampai ke-5 latihan pernafasan diafragma dan relaksasi otot progresif; sesi ke-6 dan ke-7 self
control desensitisasi; sesi ke-8 relaksasi untuk menurunkan kecemasan. Setelah 8 sesi terapi
selesai, maka seluruh kelompok dilakukan penilaian kembali menggunakan kuesioner yang
sama. Tindak lanjut dilakukan 1 tahun setelah psikoterapi dengan melakukan tes menggunakan
kuesioner yang sama.

Cognitif Behavior Terapi selain efektif diberikan secara individual, juga efektif diberikan secara
berkelompok, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kellet (2007), membuktikan bahwa
CBT kelompok psikoedukasi lebih efektif dari pada CBT yang diberikan secara individual
maupun terapi interpersonal-psikodinamik individu pada tingkat pelayanan Primary Care.
Menurut SIU (2004), sepertiga klien yang datang ke pelayanan Primary Care memiliki masalah
kesehatan jiwa seperti kecemasan, depresi, dan hanya sebagian kecil yang datang mencari
bantuan dengan memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalahnya. Hal ini
disebabkan karena kurangnya terapis, sehingga mereka harus menunggu lama untuk
mendapatkan intervensi psikologis. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah ini adalah
dengan memberikan terapi dalam skala besar melalui pendekatan psikoedukasi.

Partisipan dalam penelitian ini merupakan rujukan dari Primary Care, dimana masalah yang
paling banyak ditemukan untuk CBT individu dan kelompok adalah kecemasan, sedangkan
untuk psikoterapi interpersonal adalah depresi. Peserta dalam CBT kelompok psikoedukasi
adalah 65 orang, dan hanya 43 peserta yang mengikuti terapi sampai sesi terakhir. CBT individu
terdiri dari 68 peserta dengan 12 terapis, sedangkan psikoterapi interpersonal-psikodinamik
individu terdiri dari 65 peserta dan dirawat oleh 17 terapis. CBT kelompok dilakukan dalam 6
sesi sedangkan CBT individu dilakukan antara 6-9 sesi karena lamanya sesi tidak ditentukan dari
awal terapi, akan tetapi disesuaikan dengan kasus yang ditemukan pada klien. Lamanya sesi
dalam CBT kelompok adalah 2 jam dan berlangsung setiap minggu. Pada minggu pertama
dilakukan pengenalan tentang psikoedukasi dan CBT; minggu ke-2 manajemen fisiologi; minggu
ke-3 manajemen psikologi; minggu ke-4 manajemen perilaku; minggu ke-5 manajemen serangan
panik dan tidur; serta minggu ke-6 model perawatan diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
CBT kelompok lebih efektif, dimana tingkat kehadiran peserta lebih besar yaitu sampai sesi ke
empat atau lebih dibandingkan peserta CBT individu yang hanya mengikuti sesi awal dari terapi
dan menghentikan pengobatannya.

Lu et al (2009) melakukan penelitian untuk melihat efektifitas CBT pada klien dengan PTSD
dan gangguan jiwa berat. Penelitian dilakukan pada 14 klien beragam etnis setelah diberikan
intervensi selama 12-16 minggu. CBT diberikan dalam 5 sesi yang meliputi pendahuluan, latihan
pernafasan, psikoedukasi, restrukturisasi kognitif dan terminasi. Hasil penelitian menunjukkan
kelayakan dan keberhasilan program CBT untuk PTSD di perkotaan dan pada populasi dengan
beragam etnis yang menderita gangguan jiwa berat. Fokus utama dari program ini adalah
restrukturisasi kognitif yang ditujukan pada trauma yang mendasari gejala PTSD.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Carter et al (2009), menunjukkan hasil bahwa CBT efektif
dalam mencegah kekambuhan Anoreksia Nervosa (AN) apabila dibandingkan dengan
pengobatan biasa. Peserta penelitian ini adalah 88 pasien yang memenuhi Kriteria DSM-IV
untuk AN. CBT diberikan dalam 50 sesi dengan durasi 45 menit selama 1 tahun kepada 46
peserta penelitian dengan indeks masa tubuh 19,5. Jumlah rata-rata sesi CBT yang diterima oleh
masing-masing peserta selama penelitian adalah 38 sesi. melibatkan tiga fase yaitu: (1) strategi
untuk mengatasi disfungsi perilaku yang berkaitan dengan makan dan berat badan yang
meningkatkan risiko kekambuhan; (2) teknik restrukturisasi kognitif yang berkaitan dengan
makan dan berat, dan (3) penerapan suatu skema berbasis pendekatan untuk mengatasi berbagai
macam isu peningkatan berat badan. Pasien juga diberikan lima sesi tambahan dengan anggota
keluarga atau orang yang berarti bagi klien. Klien dikatakan kambuh jika dalam waktu 3 bulan
ditemukan criteria IMT 17,5 dan memuntahkan kembali makanannya setelah makan.
Penelitian untuk melihat dampak CBT terhadap klien dengan ketergantungan alkohol juga telah
dilakukan oleh Feeney et al (2004), dimana hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa CBT
efektif dalam meningkatkan statsus kesehatan secara subjektif pada klien dengan ketergantungan
alkohol. Sebelum diberikan terapi, dilakuan pengukuran status kesehatan klien menggunakan
Rand Corporation Medical Outcomes Short Form 36 Health Survey (SF-36) dengan mengukur
fungsi psikososial secara subjektif melalui 8 dimensi yaitu: fungsi fisik, keterbatasan peran
karena masalah fisik, keterbatasan peran karena masalah emosional, fungsi sosial, penyakit,
kesehatan mental, vitalitas, dan persepsi terhadap kesehatan secara umum. Keadaan mental klien
diukur dengan menggunakan General Health Questionnaire (GHQ-28) dengan 4 sub skala
pengukuran yaitu: gejala somatik, kecemasan, disfungsi sosial dan depresi. Hasil penguran SF-36
dan GHQ-28 sebelum intervensi adalah dibawah standar normal, akan tetapi setelah diberikan
terapi CBT dengan naltrexone terjadi perbaikan secara signifikan yang ditunjukkan dengan skala
pada SF-36 dan GHQ-28. Penelitian dilakukan selama 12 minggu dengan 8 sesi. Responden
dalam penelitian ini berusia diatas 18 tahun dan memenuhi kriteria DSM-IV untuk
ketergantungan alkohol. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui apakah peserta
dalam penelitian melaporkan peningkatan status kesehatan dan kesejahteraan secara subjektif.

Di Indonesia sendiri, CBT sedang dikembangkan aplikasinya di tatanan keparawatan jiwa dalam
menangani pasien skizofrenia. Dibuktikan oleh penelitian Sasmita (2008), yang menunjukkan
bahwa kemampuan perilaku dan kognitif pasien harga diri rendah meningkat setelah dilakukan
CBT. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Fauziah (2009), yang menunjukkan bahwa
pemberian CBT dapat meningkatkan kemampuan perilaku dan kogbitif pasien dalam mengatasi
perilaku kekerasan. Hasil penelitian Wahyuni (2010), menunjukkan bahwa CBT bermanfaat
dalam menurunkan halusinasi pasien, sedangkan hasil penelitian Erwina (2010), menunjukkan
adanya pengaruh CBT terhadap kemampuan responden dalam mengatasi PTSD. Pelaksanaan
CBT dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Magister Keperawatan Jiwa UI
ini menggunakan lima sesi, dimana tiap sesi bukan berfokus pada topik pembahasan akan tetapi
lebih pada inti dari CBT yaitu mengubah pikiran dan perilaku negatif yang timbul akibat pikiran
negatif.

Kesimpulan
Cognitif Behavior Therapy merupakan psikoterapi yang bertujuan untuk merubah pola berfikir
negatif menjadi positif sehingga perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah
akan berubah menjadi perilaku adaptif. Berdasarkan banyaknya penelitian, dan dari penelitian
tersebut ada banyak referensi bahwa CBT bisa dilakukan dengan jumlah sesi yang bervariasi.
Pertemuan atau sesi antara terapis dan klien tergantung dari apa yang akan diberikan pada klien,
materi dan tujuan dari terapi, serta kemampuan klien dalam menerapkan kemampuan yang telah
diajarkan.

Anda mungkin juga menyukai