Kelompok 4 :
Annisa Nola Fikri
Ivan Syahdila
Mardiyanti
Rennie Liana
Sri Rejeki Permata Hati
Dosen Pengampu :
Elmirawati, M.Pd
Penulis
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar.............................................................................................ii
Daftar Isi......................................................................................................iii
Bab 1 Pendahuluan.......................................................................................1
Latar Belakang Masalah.................................................................................1
Rumusan Masalah...........................................................................................1
Tujuan Masalah..............................................................................................1
Bab 2 Pembahasan........................................................................................3
Sikap dan Perilaku dalam Organisasi atau Profesi.........................................3
Kode Etik dalam Organisasi.........................................................................12
Kepuasan Kerja.............................................................................................17
Dampak Kepuasan Karyawan dan Tidak Puasnya
Karyawan terhadap Organisasi.....................................................................21
Bab 3 Penutup.............................................................................................25
Kesimpulan ..................................................................................................25
Daftar Pustaka............................................................................................26
iii
Bab 1
Pendahuluan
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sikap dan perilaku dalam berorganisasi?
2. Bagaimana kode etik dalam organisasi?
3. Apa arti kepuasan kerja?
4. Apa saja faktor penyebab kepuasan kerja?
5. Bagaimana dampak kepuasan kerja karyawan dan tidak puasnya
terhadap organisasi?
C. Tujuan Masalah
Setelah memahami makalah ini kami berharap bahwa pemabaca
dapat memahami:
1
1. Sikap dan perilaku
2. Kode etik dalam organisasi
3. Makna dari kepuasan kerja
4. Faktor-faktor kepuasan kerja, serta
5. Dampak dari kepuasan kerja karyawan.
2
Bab 2
Pembahasan
1
Marisi Batarbutar, dkk. Teori Perilaku Organisasi. Yayasan Kita Menulis. 2021.hal.194
2
Onita Sari Sinaga, dkk. Manajemen Kinerja dalam Organisasi. Yayasan Kita Menulis.2020.hal.18
3
a. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen
yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan,
yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang
mempersepsi terhadap obyek sikap.
b. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen
yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal yang
positif, sedangkan rasa tidak senang adalah hal negatif.
c. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action
component). yaitu komponen yang berhubungan dengan
kecenderungan bertindak atau berperilaku terhadap obyek
sikap.
3. Jenis Jenis Sikap dalam bekerja
Sikap kerja berisi evaluasi positif maupun negatif yang dimiliki
setiap manusia tentang aspek-aspek di lingkungan kerja mereka. Setiap
manusia memiliki berbagai jenis sikap yang berbeda. Jenis-jenis sikap
ada tiga yakni (Purba et al.. 2020):
a. Job Satisfaction, sikap yang menentukan kepuasan seseorang
terhadap pekerjaannya dengan cara memberikan evaluasi
positif terhadap pekerjaannya.
b. Job Involvement, sikap yang menggambarkan sampai sejauh
mana partisipasi aktif dan benar benar peduli dengan bidang
pekerjaannya.
c. Organization Commitment, sikap yang menunjukkan sampai
mana seseorang melibatkan diri dalam organisasi beserta
dengan tujuan tujuannya dan ingin menjaga anggota-anggota
organisasinya dalam organisasi tersebut.3
4. Pembentukan dan Perubahan Sikap
Pembentukan sikap terjadi dalam interaksi manusia dan
berkaitan dengan objek tertentu. Interaksi sosial dapat mengubah sikap
3
Marisi Batarbutar, dkk. Teori Perilaku Organisasi. Yayasan Kita Menulis. 2021.hal. 195
4
atau membentuk sikap baru seseorang. Akan tetapi, pengaruh yang
terjadi dari luar diri manusia belum cukup menyebabkan berubahnya
sikap atau terbentuknya sikap yang diri manusia sendiri seperti daya
pilih atau minat perhatian untuk menerima atau mengolah penganih-
pengaruh yang datang dari luar diri sendiri. Faktor yang memengaruhi
pembentukan sikap antara lain:
a. Pengalaman Pribadi.
Tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek
psikologis cenderung akan membentok sikap negatif terhadap
objek tersebut. Dasar pembentukan sikap adalah pengalaman
pribadi yang meninggalkan kesan kuat. Karena sikap lebih
mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi terjadi dalam
situasi yang melibatkan. faktor emosional. Situasi yang
melibatkan faktor emosi, penghayatan pengalaman akan lebih
mendalam dan membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya individu cenderung memilih untuk
memiliki sikap yang konformis dengan significant others.
Kecenderungan ini dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi
dan keinginan menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan di mana pun kita hidup dan dibesarkan
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap.
Tanpa disadari. kebudayaan telah menanamkan pengaruh
seseorang terhadap berbagai masalah. Misalnya, apabila
seseorang hidup dalam budaya sosial yang sangat
mengutamakan kehidupan berkelompok maka sangat mungkin
mempunyai sikap negatif terhadap kehidupan individualisme
yang mengutamakan kepentingan perorangan.
d. Media Massa
5
Sarana komunikasi berbentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah dan lainnya, mempunyai pengaruh
besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Media
massa dalam penyampaian informasi membawa pola pesan-
pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan pada opini
seseorang. 4
6
yang pada gilirannya akan muncul dalam bentuk keinginan untuk
dihormati dan diperlakukan secara manusiawi oleh pimpinananya.
Oleh karena itu seorang manajer perlu memahami faktor-faktor
pembentuk perilaku seorang karyawan6:
Faktor Genetik
yang dimaksud faktor genetik dalam hal ini adalah sifat-sifat yang
dibawa sejak lahir yang bahkan merupakan “warisan” dari kedua
orang tuanya. Misalkan tentang latar belakang kehidupan
karyawan, seperti kecerdasan, sifat pemarah, penyabar dan lain-
lain.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan disini adalah situasi dan kondisi yang dihadapi
seseorang pada masa muda didalam rumah dan dalam lingkungan
yang lebih luas, termasuk lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat dekat yang dijumpai sehari-hari.
Faktor Pendidikan
Pendidikan adalah usaha secara sadar dan sistematis dalam rangka
mengalihkan pengetahuan dari seorang kepada orang lain.
Pendidikan dapat bersifat formal dan juga non-formal.
Faktor Pengalaman
Pengalaman seseorang sejak kecil turut membentuk perilaku dalam
kehidupan organisasionalnya. Pengalaman dapat membentuk sifat
apatis, keras kepala, tidak toleran, mudah putus asa, dan
sebagainya.
Perilaku Kerja Yang Positif dan Negatif Beberapa perilaku
positif sebagai seorang karyawan atau pegawai yang baik menurut
Irmin adalah7 :
a) Menampilkan etos kerja yang tinggi
6
Siagian, S.P. (2006), Manajemen sumber daya manusia. (13th Ed.). Jakarta: Bumi Aksara, hal 54
7
Irmin, S. (2004). 135 sikap positif karyawan berprestasi: Self improvement series. Jakarta : Setia
Media, hal 44
7
b) Menunjukkan hubungan personal yang simpatik seperti, bertutur
kata halus dan sopan, menghargai atasan dan teman.
c) Mampu menyikapi perubahan secara positif seperti, selalu
menyadari bahwa perubahan akan terus terjadi, setiap perubahan
pasti ada sisi positif dan negatifnya.
d) Memiliki kendali diri yang kuat seperti, mampu mengendalikan
amarah.
e) Mampu meringankan tugas atasan seperti membantu atasan
sebisanya.
f) Mampu menjadi contoh orang lain seperti, mempunyai sifat jujur.
g) Mampu membedakan antara yang hak dan yang kewajiban seperti,
selalu berpikir apakah yang dilakukan itu salah atau benar.
h) Kreatif dan inovatif
i) Berjiwa besar dan berlapang dada seperti, menghargai keberadaan
orang lain, mengakui kelebihan orang lain.
Terdapat empat belas tipe dari perilaku negatif yang biasa
terlihat dari seseorang di tempat kerja yaitu8:
a) Tipe Locomotif.
Orang dengan tipe ini mengekspresikan siikap negatifnya dengan
cara melindas orang lain. Orang dengan tipe ini cenderung cepat
marah dan mengekpresikan kemarahan serta rasa frustasinya pada
orang lain. Orang dengan tipe ini selalu menunjukan perilaku
otokratik dan bersikap diktator. Kata-kata favorit orang seperti ini
adalah, “lakukan menurut cara saya…..”
b) Tipe Perfeksionis.
Orang dengan tipe ini apabila menghadapi sesuatu yang tidak
sempurna akan cenderung menjadi negatif. Standar-standar yang
ditetapkannya cenderung tidak realistis. Hasil pekerjaan anak
buahnya yang dipuji oleh orang lain tetap belum bisa diterima
8
Thernando Maulana, ANALISA PERILAKU KERJA KARYAWAN DI DE BOLIVA
SURABAYA TOWN SQUARE, Manajemen Perhotelan, Universitas Kristen Petra, Surabaya,
Indonesia. (Topchik, 2000, p.95)
8
olehnya. Kata-kata favoritnya adalah, “…masih harus
disempurnakan lagi”.
c) Tipe Manusia Es (Penolak)
Bagi orang dengan tipe ini, perubahan sekecil apapun akan
mengecewakannya dan menyebabkan bisa bersikap negatif. Tipe
ini senang mempertahankan keadaan status kuno, dan cenderung
menolak perubahan. Dengan kata-kata orang dengan tipe ini dapat
mengatakan bahwa perubahan itu baik. Namun orang dengan tipe
ini tidak akan mengimplementasikannya dalam tindakan nyata.
Kata-kata favorit orang dengan tipe ini adalah, “…saya lebih
menyukai cara-cara lama”.
d) Tipe “Bukan Tugas Saya”
Orang dengan tipe ini mengekspresikan sikap negatifnya dengan
cara menolak melakukan tugas apapun yang menurut pendapatnya
tidak termasuk dalam lingkup tanggung jawabnya. Kata-kata
favorit orang dengan tipe ini adalah, “Tugas ini tidak tercantum
dalam job description saya”
e) Tipe Penyebar Gosip.
Tipe ini menampakan perilaku negatifnya dengan cara menebar
gosip. Orang dengan tipe ini akan merasa dirinya penting apabila
rumor yang disebar mendapat reaksi dan sambutan dari banyak
orang. Apabila sudah mulai kehilangan kontrol atas sesuatu, orang
tipe ini akan berupaya mendapatkannya kembali dengan cara
menebar gosip. Kata-kata favoritnya adalah, “Mau dengar nggak?
Ini ada berita heboh”.
f) Tipe Pesimis.
Orang dengan tipe ini memandang dunia sebagai tempat yang tidak
nyaman baginya. Tipe yang satu ini selalu tidak merasa puas
dengan segala sesuatu yang sudah ada. Sangat sulit untuk membuat
orang-orang seperti ini merasa gembira. Dunia dilihatnya sebagai
sesuatu yang sama saja, kemarin hari ini atau besok tidak ada
9
bedanya. Kata-kata favorit orang dengan tipe ini adalah, “Lorong
gelap yang kulalui ini seakan tak berujung”.
g) Tipe Miskin Komitmen. Orang dengan tipe ini sulit dipegang janji-
janjinya. Dalam mengerjakan pekerjaan orang dengan tipe ini
cenderung angin-anginan dan kurang bertanggung jawab.
Pekerjaan merupakan prioritas paling rendah bagi orang dengan
tipe ini. Orang dengan tipe ini mudah berubah-ubah fokus, tidak
memiliki “sense of urgency” dalam melakukan sesuatu. Kata-kata
favorit orang dengan tipe ini adalah, “…nanti saja”.
h) Tipe Pengkritik.
Misi orang dengan tipe ini adalah membantah apapun yang orang
lain katakan. Orang seperti ini menganggap diri selalu paling
benar. Orang dengan tipe ini sulit memberi umpan balik positif
pada orang lain, orang dengan tipe ini sulit memuji orang lain.
Katakata favorit orang dengan tipe ini adalah, “Itu ide buruk”,
“Usul itu tidak bisa diterapkan”.
i) Tipe Tukang Ngambek.
Orang dengan tipe ini berperilaku seperti anak kecil. Apabila
sesuatu tidak sesuai dengan keinginan orang dengan tipe ini, orang
dengan tipe ini akan menunjukan perilaku negatif seperti marah-
marah, ngambek, mengundurkan diri, bahkan bisa menangis. Kata-
kata favorit orang dengan tipe ini adalah, “Tidak ada orang yang
memperhatikan saya”.
j) Tipe Rela Berkorban.
Orang dengan tipe ini masuk kantor paling pagi, pulang paling
malam. Namun orang dengan tipe ini cenderung banyak mengeluh
tentang beban kerja orang dengan tipe ini, tentang pelanggan, juga
tentang atasan serta tentang lingkungan kerja. Orang dengan tipe
ini memiliki kehidupan pribadi yang kurang menyenangkan.
Pekerjaan adalah pelarian orang dengan tipe ini. Orang dengan tipe
ini akan berperilaku negatif apabila kerja keras orang dengan tipe
10
ini kurang mendapat penghargaan yang pantas. Kata-kata favorit
orang dengan tipe ini adalah, “Saya telah berkorban sedemikian
rupa, tapi apa yang saya dapat?”’
k) Tipe Menyalahkan Diri Sendiri. Orang dengan tipe seperti ini
sering kecewa terhadap diri sendiri, kemudian menjadi negatif.
Orang dengan tipe ini selalu menemukan kekurangan pada
kinerjanya, pada penampilan, pada peningkatan karir, pada status
sosial, pada latar belakang pendidikan dan lainnya. Kata-kata
favorit orang dengan tipe ini pada umumnya ditujukan pada diri
sendiri seperti, “Bodoh sekali saya ini”, “Mengapa harus saya
melakukan hal seperti ini?”, “Semua ini kesalahan saya”.
l) Tipe Pencari Kambing Hitam.
Orang dengan tipe ini sangat sulit menerima kenyataan bahwa ini
salah. Juga sulit untuk mengakui bahwa orang dengan tipe inilah
yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan orang
lain, misalnya oleh anak buah orang dengan tipe ini. Karena itu
orang dengan tipe ini akan cenderung mengalihkan kesalahan pada
orang lain, alias cari kambing hitam. Kata-kata favorit orang
dengan tipe ini adalah, “Saya tidak melakukan ini, dia yang
melakukannya”.
m) Tipe Mudah Retak.
Orang-orang yang bertipe seperti ini sangat sensitif. Hal sekecil
dan sepele apapun yang dikatakan pada orang dengan tipe ini jika
tidak hati-hati menyampaikannya akan membuat orang dengan tipe
ini menjadi sangat tersinggung. Ketika orang dengan tipe ini
tersinggung lalumenjadi negatif. Kata-kata favorit orang dengan
tipe ini adalah, “Jangan katakan itu pada saya, saya tidak bisa
menghadapinya”.
n) Tipe Manusia Detail.
11
Orang dengan tipe ini sangat senang memusatkan perhatian pada
hal-hal kecil dan detail. Kalimat yang kurang tanda titiknya akan
dipersoalkan oleh orang yang bertipe detail ini.
12
d) Tanggung jawab terhadap masyarakat.
Kode etik dijadikan standart aktvitas anggota profesi, kode etik
tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun
menjadikan sebagai perdoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya
bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan
monopoli profesi., yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak-hak
istimewa yang melindungi kepentingan pribadi yang betentangan
dengan masyarakat. Oteng/ Sutisna (1986: 364) mendefisikan bahwa
kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku etis anggota
profesi.
2. Tujuan dan fungsi kode etik dalam organisasi profesi
Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu
profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi
profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah
sebagai berikut (R. Hermawan S, 1979):
a. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
b. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
c. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
d. Untuk meningkatkan mutu profesi
e. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi
Tujuan kode etik adalah pelaku profesi tersebut dapat
menjalankan tugas dan kewajiban serta memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada pemakai jasa profesi tersebut. Adanya kode etik akan
melindungi perbuatan-perbuatan yang tidak professional.
Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik
profesi:
a. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap
anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang
digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik
profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
13
b. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi
masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya
bahwa etika profesi dapat memberikan suatu
pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat
memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga
memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana
di lapangan kerja (kalangan sosial).
c. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di
luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam
keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan
bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau
perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri
pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.
3. Kode etik profesi Bimbingan dan Konseling
Kode etik profesi bimbingan dan konseling adalah landasan
moral dan pedoman tingkah laku sebagai profesional yang dijunjung
tinggi, diamalkan, dan diamanatkan kepada setiap anggota profesi
Bimbingan dan Konseling di Indonesia.9
Nilai-nilai etika profesional merupakan hal yang sangat penting
dalam profesi pembantuan (helping profession). Inti dari nilai
bimbingan dan konseling Indonesia adalah :
a. Meningkatkan perkembangan manusia di seluruh
rentang kehidupannya;
b. Menghormati keragaman dan menggunakan pendekatan
multikultural untuk mendukung nilai, martabat, potensi
dan keunikan setiap individu dalam konteks sosial dan
budaya mereka;
c. Mempromosikan keadilan sosial melalui layanan
advokasi;
9
Suharni dan Ratih Christiana. Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling. (UNIPMA Press :
Madiun) 2020, hal. 100
14
d. Menjaga integritas pribadi dalam hubungan konselor-
konseli;
e. Mempraktikkan layanan bimbingan dan konseling
dengan cara yang kompeten dan perilaku etis yang
dilandasi oleh nilai-nilai luhur dan keragaman budaya
Indonesia.
Kode etik profesi dinyatakan dalam bentuk seperangkat
standar, peraturan, dan/atau pedoman yang mengatur dan mengarahkan
ucapan, tindakan, dan/atau perilaku konselor sebagai pemegang kode
etik yang bekerja pada sektor dalam interaksi mereka dengan mitra
kerja dan sasaran layanan atau konseli serta anggota masyarakat pada
umumnya.10
4. Dasar kode etik profesi Bimbingan dan Konseling
Kode etik dalam profesi Bimbingan dan Konseling tidak di
buat tanpa ada dasar, setiap kode etik dalam profesi bimbingan dan
konseling berdasarkan pada :
a.Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
c.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2
dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Konselor.
e.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun
2008 tentang Guru.11
10
Pengurus Besar ABKIN. Kode Etik Bimbingan Dan Konseling Indonesia. (Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia : Yogyakarta). 2018, hal. 8
11
Syamsu Yusuf, Kode Etik Profesi Konselor Indonesia. (Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia, 2009) hal.4
15
5. Bentuk Pelanggaran
a. Terhadap Konseli
Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang
yang tidak terkait dengan kepentingan konseli
Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual,
penistaan agama, rasialis).
Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis)
terhadap konseli.
Kesalahan dalam melakukan pratik profesional
(prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).
b. Terhadap Organisasi Profesi
Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah
ditetapkan oleh organisasi profesi.
Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan
organisasi profesi untuk kepentingan pribadi dan atau
kelompok).12
c. Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik
(penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap
arogan)
Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki
keahlian sesuai dengan masalah konseli.
6. Sangsi Pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan
Konseling. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi
Bimbingan dan Konseling maka kepadanya diberikan sangsi sebagai
berikut :
Memberikan teguran secara lisan dan tertulis
Memberikan peringatan keras secara tertulis
Pencabutan keanggotan ABKIN
12
Syamsu Yusuf, Kode Etik...........hal. 14-15
16
Pencabutan lisensi
Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal maka akan
diserahkan pada pihak yang berwenang.
Setelah kita mengetahui pentingnya kode etik dalam mengatur
setiap tindakan, sikap dan perilaku anggota organisasi maupun profesi,
agar selalu bersikap profesional dalam menjalankan profesinya sebagai
anggota organisasi. Maka kita akan masuk pada pembahasan tentang
kepuasan kerja dalam mempengaruhi suatu organisasi karena, kepuasan
kerja anggota organisasi akan memberikan dampak yang positif bagi
tercapainya tujan organisasi tersebut.
C. Kepuasan Kerja
a) Pengertian kepuasan kerja
Kepuasan kerja menjadi masalah yang menarik dalam manajemen
organisasi/perusahaan sebab besar pengaruhnya bagi karyawan maupun
organisasi/perusahaan. Bagi karyawan kepuasan kerja akan menimbulkan
perasaan yang menyenangkan dalam bekerja. Sedangkan bagi perusahaan
kepuasan kerja bermanfaat dalam usaha meningkatkan produktivitas,
perbaikan sikap dan tingkah laku karyawan (Suwatno,2011:263)13.
Kepuasan kerja merupakan cerminan dari perasaan pekerja terhadap
pekerjaannya. Hal ini tampak dalam sikap positif pekerja terhadap
pekerjaan yangdihadapi dan lingkungannya. Sebaliknya, karyawan yang
tidak puas akan bersikap negatif terhadap pekerjaan dalam bentuk yang
berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Adanya ketidakpuasan kerja
karyawan seharusnya dapat dideteksi oleh perusahaan.
Kepuasan kerja merupakan hasil dari persepsi karyawan tentang
sejauh mana pekerjaan mereka dapat memberikan keadaan emosi seperti
itu.Menurut Hani Handoko14 , kepuasan kerja adalah keadaan emosional
13
Donni J. P.& Suwatno H., Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis, (Bandung:
Alfabeta, 2001), h. 263
14
T.Hani Handoko, Manajemen Personalia & Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: BPFE, 2011), h.
193.
17
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para
karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan
perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dalam sikap
positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi
lingkungan kerjanya. Departemen personalia atau manajemen sumber daya
manusia harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal ini
mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja,
keluhan-keluhan, dan masalah-masalah personalia vital lainnya.
Sementara menurut Robbins15 , kepuasan kerja merujuk padasikap
umum individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan kepuasan kerja
yang tinggi biasanya memiliki sikap yang positif terhadap pekerjaannya
sementara seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya biasanya
memiliki sikap yang negatif terhadap pekerjaannya.
Ketika membicarakan sikap karyawan seringkali yang dimaksud
tidak lain adalah kepuasan kerja mereka. Selain itu, yang melekat pada
konsep ini adalah pekerjaan yang membutuhkan interaksi dengan rekan
kerja, atasan, mematuhi peraturan dan kebijakan perusahaan, memenuhi
standar kinerja hidup dengan lingkungan kerja yang seringkali tidak bisa
dikatakan ideal, dan lain sebagainya selain tentang pekerjaan itu sendiri.
Oleh karena itu untuk mengukur apakah karyawan puas atau tidak
terhadap pekerjaannya, maka semua elemen itu harus tercakup di dalam
penilaiannya.
Dari batasan-batasan mengenai kepuasan kerja di atas, dapat
disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang
menyokong atau tidak menyokong diri karyawan yang berhubungan
dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang
berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upah atau
gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan
karyawan lainnya, penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi
perusahaan, mutu pengawasan. Sedangkan perasaan yang berhubungan
15
S.P. Robbins, Perilaku Organisasi,(Jakarta: IndeksTim Indeks, 2001), h. 163.
18
dengan dirinya, antara lainumur, kondisi kesehatan, kemampuan,
pendidikan, dan lain sebagainya.
b) Faktor penting kepuasan kerja
Kepuasan merupakan sebuah hasil yang dirasakan oleh karyawan.
Jika karyawan puas dengan pekerjaannya. maka ia akan betah bekerja pada
organisasi tersebut. Dengan mengerti out put yang dihasilkan, maka perlu
di ketahui penyebab yang bisa mempengaruhi kepuasan kerja. Menurut
Luthans (20XX) ada lima faktor penting sebagai penentu kepuasan kerja
yang telah diukur dengan Job Descriptive Index (JDI), yaitu:
1. Pekerjaan itu sendiri. Sejauh mana sebuah pekerjaan
menyediakan tugas yang menyenangkan, kesempatan belajar
dan kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab
menentukan kepuasan kerja adalah keragaman, kesulitan,
jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap
metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas.
2. Gaji Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolute
dari gaji yang diterima, derajad sejauh mana gaji memenuhi
harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan.
Upah dan gaji diakui merupakan faktor yang signifikan
terludap kepuasan kerja.
3. Kesempatan atau promosi, Karyawan memiliki kesempatan
untuk mengembangkan diri dan memperluas pengalaman
kerja, dengan terbukanya kesempatan untuk kenaikan
jabatan.
4. Supervisor. Kemampuan supervisor untuk menyediakan
bantuan teknis dan perilaku dukungan. Menurut Locke
bubungan fungsional dan hubungan keseluruhan yang positif
memberikan tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan
atasan.
5. Rekan kerja. Kebutuhan dasar manusia. untuk melakukan
hubungan sosial akan terpenuhi dengan adanya rekan kerja
19
yang mendukung karyawan. Jika terjadi konflik dengan rekan
kerja, muika akan berpengaruh pada tingkat kepuasan
karyawan terhadap pekerjaannya.
Faktor-faktor penyebab kepuasan kerja (job satisfaction)
mempunyai pengaruh pendorong bagi prestasi dan semangat kerja, dan
faktor-faktor penyebab ketidakpuasan kerin (jab dissatisfiuriam)
mempunyai pengaruh negatif. Jadi, hasil penemuannya membedakan
antara yang disebut "motivators" atau "permuas" (satisfiers) dan faktor
faktor pemeliharaan (Hygienic factors) atau divsansfiers. Motivator
mempunyai pengarah meningkatkan prestasi atau kepuasan kerja. Faktor-
faktor pemeliharaan mencegah merosotnya semangat kerja atau efisiensi,
dan meskipum faktor-faktor ini tidak dapat memotivasi, tetapi dapat
menimbulkan ketidakpuasan kerja atau menurunnya produktifitas (Hani
Handoko, 1986: 259). Kelompok faktor-faktor yang menimbulkan
ketidakpuasan Uygienic factors), berkaitan dengan konteks dari pekerjaan,
yang mencakup faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, mencakup:
1. Administrasi dan kebijakan perusahaan, derajat kesesuaian yang
dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang
berlaku dalam perusahaan
2. Penyeliaan, derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima
oleh tenaga kerja
3. Gaji. derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan
unjuk kerjanya.
4. Hubungan antara pribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam
berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.
5. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses
pelaksanaan tugas pekerjaannya (Munandar, 2010: 332)
Dalam konteks pekerjaan, faktor motivatorlah yang akan memberi
kepuasan kerja sekiranya kebutuhan-kebutuhan dari faktor tersebut
dipenuhi. Jika tidak dipenuhi tidaklah juga menyebabkan individu
mengalami ketidakpuasan kerja, tetapi hanya pada tingkat netral.
20
Sebaliknya jika kebutuhan-kebutuhan dil dalam faktor pemeliharuan tidak
dipenuhi akan membuat individu tersebut mengalami ketidakpuasan kerja,
Selanjutnya, walaupun kebutulman-kebutuhan di dalam faktor
pemeliharaan tersebut dipenubi tidak dapat memberikan individu
mengalami kepuasan kerja, tetapi hanya pada tingkat netral. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
21
Horner, dan Hollingworth menunjukkan bahwa setelah
tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi beberapa tahap
(misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan) sebelum
keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Sementara
meurut Robbins, ketidakpuasan kerja pada karyawan dapat
diungkapkan melalui berbagai cara misalkan selain
meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh,
membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindar
dari tanggung jawab (Munandar, 2008).
Terhadap Kesehatan
Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara
kepuasan kerja dengan kesehatan fisik dan mental. Kajian
yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental
dan kepuasan kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan,
persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut
penggunaan efektif dari kemampuan mereka berkaitan
dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor – skor ini
juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat
dari jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja
dengan kesehatan, namun hubungan kausalnya masih tidak
jelas. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin
saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu
dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan
yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain
(Munandar, 2008).
Hasibuan (2001) mengemukakan bahwa membahas
kepuasan kerja bukanlah hal yang sederhana, salah satu
buktinya adalah sukarnya menemukan jawaban pertanyaan
apakah ada kaitan antara kepuasan kerja dengan prestasi kerja
seseorang. Memang pada umumnya orang berpendapat
bahwa ada korelasi yang positif antara keduanya. Padahal
22
berbagai penelitian membuktikan bahwa seorang karyawan
yang “puas” tidak dengan sendirinya merupakan karyawan
yang berprestasi tinggi, melainkan sering hanya berprestasi
“biasa-biasa saja”. Jika demikian halnya, dapat pula
dikatakan bahwa kepuasan kerja tidak selalu menjadi fakto
motivasional kuat untuk berprestasi. Seorang karyawan yang
puas belum tentu terodorng untuk berprestasi karena
“kepuasannya” tidak terletak pada motivasinya, akan tetapi
pada imbalan yang diperolehnya. Misalnya, seorang dokter
muda yang ditempatkan di suatu daerah terpencil sangat
mungkin “tidak puas” dengan kondisi kerjanya, namun pada
waktu yang bersamaan merasa “puas” karena dapat
mengabdikan pengetahuannya demi kesejahteraan
masyarakat. Dari contoh tersebut terlihat bahwa tidk selalu
mudah mengkaitkan kepuasan kerja dengan prestasi,
tergantung pada apa yang dimaksud dengan kepuasan kerja
itu.
Pengukuran Kepuasan Kerja
Ada tiga macam instrumen pengukuran kepuasan
kerja (Munchinsky, 1993) yang cukup popular dan sering
digunakan dalam penelitian-penelitian, antara lain yaitu :
a. Job Descriptive Index
Job Descriptive Index (JDI) dikembangkan oleh
Smith, Kendall, dan Hulin (1969) dan direvisi Smith
(1985). Kuesioner tersebut mengukur lima aspek
kepuasan sdri pekerjaan itu sendiri, yaitu pengawasan,
gaji, kesempatan untuk maju, rekan kerja dan
pekerjaan secara umum. Setiap aspek berisi 9 sampai
18 item. Karyawan memilih item yang
menggambarkan tentang pekerjaannya. Setiap item
mempunyai nilai skala yang mengindikasikan
23
penjelasan tentang kepuasan terhadap pekerjaan.
Roznowski (1989) menyarankan item yang ada dalam
JDI yang mengandung validitas konstrak. Tampaknya
JDI mempunyai reputasi tersendiri sebagai
pengukuran kepuasan kerja yang paling bagus.
b. Minnesota Satisfaction Questionnaire
Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ)
dikembangkan oleh Weiss, Davis, England dan
Lofquist (1967). Alat ukur ini merupakan alat terbaik
kedua yang mengukur kepuasan. Hal yang diukur
antara lin kreatifitas, independensi, hubungan
manusia-pengawasan, teknik pengawasan dan kondisi
pekerjaan. Individu diminta diberi lima alternatif
jawaban dari sangat puas (%) sampai sangat tidak
puas (1). Dalam MSQ ada 20 item yang harus dijawab
sehingga membutuhkan lebih banyak waktu dalam
menyelesaikan dibandingkan dengan JDI.
c. Faces Scale
Faces Scale ini dikembangkan oleh Kunin (1955).
Item tunggalnya sangat berbeda dari alat ukur yang
lain. Alat ini mengukur kepuasan secara global. Skala
ini berbentuk gambar wajah manusia. Subyek diminta
untuk memilih gambar dengan cara mencentang pada
kotak yang mengambarkan kondisi individu yang
memilih pada saat itu. Faces Scale ini sangat baik
untuk mengukur kepuasan kerja secara umum, mudah
diaplikasikan, bisa dipergunakan untuk pria maupun
wanita serta membutuhkan waktu yang relatif singkat
dalam pengerjaannya.
Bab 3
Penutup
24
Kesimpulan
Dalam berorganisasi kita harus mengerti bagaimana kita bertindak dan
berperilaku, supaya kita tidak salah dan melanggar norma-norma dan aturan yang
berlaku terkhusus dalam ranah organisasi tersebut. Norma-norma yang dimaksud
adalah kode etik dalam organisasi.
Dalam bekerja banyak kita jumpai bahwa beberapa pekerja atau anggota
dari suatu organisasi merasa tidak puas dengan pekerjaan atau keanggotan
mereka, hal ini bisa menjadi masalah bagi organisasi tersebut dikarenakan
penurunan kualitas anggota organisasi berbanding lurus dengan penurunan
kualitas dari organisasi itu sendiri.
25
Daftar Pustaka
Marseto, D.S. 2007. Komitmen Karyawan pada Organisasi Pengaruhnya terhadap
Prestasi Kerja Karyawan. Tesis Pascasarjana. Universitas Airlangga,
Surabaya. Tidak diterbitkan.
Munandar, A.S. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press.
Onita Sari Sinaga, dkk. Manajemen Kinerja dalam Organisasi. Yayasan Kita
Menulis.2020
Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan Dan Konseling Indonesia, Kode Etik
Bimbingan Dan Konseling Indonesia. (ABKIN, 2018)
Syamsu Yusuf, Kode Etik Profesi Konselor Indonesia. (Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia, 2009) https://www.konselor.or.id/read/27kode-
etik.html
Thernando Maulana, ANALISA PERILAKU KERJA KARYAWAN DI DE
BOLIVA SURABAYA TOWN SQUARE, Manajemen Perhotelan,
Universitas Kristen Petra, Surabaya, Indonesia. (Topchik, 2000, p.95)
26